Kelebihan Dan Kekurangan an Ilmu Pengetahuan Dalam Periode Islam Klasik

Embed Size (px)

Citation preview

Kelebihan dan Kekurangan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Periode Islam KlasikAYU WIJAYANTI 1121218012 I. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Periode Islam Klasik Wafatnya Rasulullah SAW pada 632 Masehi membuat para pemimpin Islam mulai bergerak melakukan penyebaran agama Islam ke Babilonia dan Damaskus, dilanjutkan ke Persia, Rusia Selatan, serta Afrika Utara pada 645 Masehi, kemudian dilanjutkan ke timur India dan barat Spanyol pada 711 Masehi. Penyebaran Islam dengan superioritas wahyu didampiingi dengan budaya jahiliyah Arab membuat para penyebar agama Islam berusaha mencari dukungan budaya yang lebih maju. Sehingga mereka melakukan pencarian pada kebudayaan klasik Yunani, baik secara langsung ataupun tidak. Kemudian mereka mengupayakan pertumbuhan keilmuan untuk mendukung pernyebaran agama, dan pada akhirnya ilmu dalam Islam tumbuh menjadi bagian fungsional dari agama yang membuat agama Islam menjadi lebih mudah diterima dan mencapai puncak kejayaannya (Muhadjir, 2000:267). Dalam perkembangannya selama periode Islam klasik, ilmu dan filsafat mengalami rekonsiliasi antara pandangan filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan dalam Islam yang seringkali

menimbulkan benturan-benturan, hingga pada akhirnya upaya rekonsiliasi tersebut menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat antara filsafat Arab dan Yunani (Bakhtiar, 2010:35). Selanjutnya terdapat sebuah peristiwa yang turut mewarnai sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam periode Islam klasik, yaitu Fitnah al-Kubra Bermulakan dengan banyaknya fitnah-fitnah keji dilontarkan oleh orang Mesir terhadap Saidina Uthman bin Affan, seorang kalifah pada tahun 23 Hijriyah yang berhasil menyebarkan ajaran agama Islam, melakukan pembukuan Al-Quran, dan meluaskan masjid Nabawi. Fitnah-fitnah itu pada akhirnya berhasil mempengaruhi sebagian besar umat yang mengakibatkan terbunuhnya Usman bin Affan pada tahun 35 Hijriyah (Anonim, 2005).

Dengan terbunuhnya kalifah Usman bin Affan, memunculkan berbagai golongan dengan aliran teologis sendiri yang perkembangannya didasari oleh alasanalasan politik. Dari sini dapat dikatakan, bahwa sejak awal Islam, embrio teologi telah lahir dan selanjutnya menemukan bentuknya yang lebih sistematis dalam kajian-kajian teologis dalam Islam. Dimana peranan akal yang mempengaruhi pergulatan pemikiran dan keilmuan dalam tradisi Islam dimulai (Bakhtiar, 2010:38). Tahap penting berikutnya adalah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam, khususnya unsur-unsur budaya Perso-Semitik (Zoroastrianisme-

khususnya Mazdaisme, serta Yahudi dan Kristen) dan budaya Helenisme, yaitu gabungan antara budaya Yunani, budaya asia kecil, Syiria, Mesopotamia dan Mesir yang lebih tua, yeng terjadi selama tiga abad setelah Alexander Agung wafat pada tahun 323 SM (Bakhtiar, 2010:39). Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dalam periode Islam klasik sangat dipengaruhi oleh budaya Yunani dan Hellenisme yang kemudian terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya. Hal ini diperjelas dengan adanya usaha yang muncul untuk menengahi dikotomi pandangan antara pendukung Jabariyah dan Qadariyah dengan menggunakan argumen-argumen Hellenisme. Terutama filsafat Aristoteles yang dilakukan oleh Abu Al-Hasan AlAsyari dan Al Maturidi (Bakhtiar, 2010:39).

II.

Perkembangan Ilmu pada Masa Kejayaan Islam Ilmu menjadi demikian berkembang pada masa pemerintahan Dinasti

Umayyah dan Dinasti Abbasiyah yang berhasil membawa Islam pada masa keemasannya, sementara pada saat yang sama, wilayah-wilayah di luar kekuasaan Islam berada dalam masa kegelapan. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya pengamatan yang terus menerus dan teratur, serta adanya dorongan dan bantuan dari pihak para raja yang memerintah. Sehingga pada saat itu, tiga factor penting yang meliputi politik, agama, dan ilmu pengetahuan berada di satu tangan dengan koordinasi yang baik dari raja. Keadaan ini jelas sangat menguntungkan bagi kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan bagi bangas-bangsa yang beragama Islam (Poedjiadi, 1987:44).

Pada masa pemerintahan Al-Masur (754-775)

misalnya, proses

penerjemahan karya-karya filosof Yunani mengenai filsafat dan ilmu ke dalam bahasa Arab berkembang dengan pesat. Proses penerjemahan juga terus berlangsung pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809), dimana beliau juga memerintahkan penerjemahan buku-buku kuno mengenai kedokteran, astronomi, dan karya-karya pada bidang astrologi (Bakhtiar, 2010:40). Perkembangan ilmu selanjutnya terjadi pada masa pemerintahan AlMa;mun (813-833). Beliau adalah seorang rasionalis yang berusaha memakasakan pandangannya kepada rakyat melalui mekanisme kenegaraan. Namun dmeikian, beliau berjasa besar dalam mengembangkan ilmu di dunia Islam dengan membangun Bait al-Hikmah yang terdiri dari sebuah perpustakaan, observatorium, dan sebuah departemen penerjemahan dengan penerjemah-penerjemah hebat di dalamnya. Sebuat saja Hunain, seorang murid Masawayh, yang telah berhasil menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolouis, dan Archimides. Lalu pada pertengahan abad ke-10, muncul pula dua orang penerjemah terkemuka, yaitu Yahya Ibu Adi dan Abu Ali Isa Bin Ishaq bin Zera. Pada saat itu yahya banyak memperbaiki terjemahan dan menulis komentar mengenai karya-karya Aristoteles seperti Categories, Sophist, Petics, Metaphysics, dan karya Plato seperti Timaesus dan Laws. Ia juga merupakan ahli logika yang menerjemahkan The Prolegomena of Ammonius dan sebuah kata pengantar untuk Isagoge milik Pophyrius (Bakhtiar, 2010:41). Tokoh-tokoh lain yang ikut mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa ini dan membuat Islam semakin berada di puncak kejayaan antara lain : a. Ibn Sina, pembuat kitab al-Syifa, sebuah ensiklopedi filsafat Arab yang terbesar mengenai logika, fisika, matematika, dan metafisika. b. Al Kindi, seorang ilmuwan dengan minat yang besar dalam bidang matematika dan filsafat. c. Al Farabi, peneliti bidang geometri dan mekanika, serta seorang musikus ternama pada masanya. d. Ibn Bajah, Ibn Tufail, dan Ibn Rushd yang bergelut secara intensif dalam bidang kedokteran.

e. Muhammad Ibnu Zakaria Al Razi, dokter tersohor dalam Islam sepanjang abad pertengahan yang telah menulis kitab kedokteran al-Hawi. f. Imam SyafiI, Ar Ramahurmuzi, Al-Hakim an-Naisaburi, Al-Baghdadi, dan Ibn Shalah yang mengembangkan ilmu hadis. g. Saidina Abu Bakar, Saidina Umar khatab, saidina Uthman Affan, dan Saidina Ali Abi Thalib (Khulafa al-Rasyidun) yang mengembangkan ilmu fiqih (Bakhtiar, 2010:43-45). Selain tokoh-tokoh tersebut, Poedjiadi (1987:44) juga menuliskan beberapa nama yang telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi di masa kejayaan Islam, yaitu : a. Al Khawarizmi (825), penyusun buku tentang ilmu hitung dengan sistem desimal yang dapat menggantikan penulisan angka Romawi. Ia juga mengenalkan persamaan pangkat dua dalam aljabar. b. Omar Khayam (1043-1132), seorang penyair yang dikenal sebagai ahli matematika dan astronomi. c. Jabir Ibnu Hayan (720-800), seorang ahli kimia yang banyak melakukan eksperimen tentang kristalisasi, pelarutan, sublimasi, dan reduksi. d. Abu Mansur Muwaffal, seorang dokter yang memberikan sumbangan dalam ilmun kimia berupa eksperimen tentang kalium karbonat dari abu tumbuhan yang kemudian dikenal dengan nama alkali. e. Al Idrisi (1100-1166), pembuat 70 peta daerah yang dikenalnya pada saat itu. Pada masa kejayaan keilmuan Islam, terjadi transformasi ilmu dari dunia Islam ke Barat yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat pada masa renaisans. Transformasi ini disebabkan oleh dua hal, yaitu : 1. Kontak pribadi orang-orang Kristen di timur dengan orang-orang Islam setelah penaklukkan Arab atas Persia, Syiria, dan Mesir yang didukung oleh kedekatan geografis Byzantium dengan dunia Islam. Mereka hidup bersama dalam mengikuti berbagai kegiatan intelektual dan sangat menikmati toleransi agama yang sangat besar. 2. Adanya kegiatan penerjemahan oleh kebudayaan Islam yang kemudian mendorong orang-orang latin untuk melakukan kegiatan serupa. (Bakhtiar, 2010:46).

III.

Masa Keruntuhan Tradisi Keilmuan dalam Islam Pada abad ke-18, terjadi proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan

Islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa barat. Seperti yang diungkapkan Lothrop Stoddaro (dalam Bakhtiar, 2010:46), bahwa menjelang abad ke-18, Islam telah merosot ke tingkat terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontangberupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabt umatnya. Kejatuhan tersebut disebabkan oleh beberapa factor, seperti : 1. Adanya penerimaan paham Yunani mengenai realitas yang bersifat statis. Sementara Islam sesungguhnya memiliki jiwa yang dinamis dan berkembang. 2. Kemerosotan tingkat rasionalitas umat Islam karena adanya persepsi yang keliru dalam memahami penolakan Al-Ghazali akan filsafat, serta tidak adanya perhatian umat muslim terhadap karya Ibn Rushd yang membela Aristotelianisme dan mengecam kritik Al-Ghazali kepada filsafat. 3. Karena dalam memahami fiqih yang bersumber kepada Al-Quran, sunnah, ijma, dan qiyas dengan sifatnya yang tetap, kaum muslim seharusnya menggunakan metode deduktif untuk sampai pada keputusan mengenai masalah-masalah khusus. Namun pada saat yang sama semangat induktif menjadi kehilangan semangatnya. Sehingga di masa ini, kegiatan intelektual mencapai titik terendahnya dan menyebabkan banyak umat muslim kemudian menjadi bersikap dogmatis dan taklid. 4. Adanya ketakutan penguasa akan perkembangan ilmu dan pengetahuan di masyarakat yang dapat menggerogoti kekuasaan mutlak mereka. 5. Kesulitan-kesulitan untuk melakukan ijtihad, atau penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat atau hadis. 6. Berkembangnya pemikiran mistisme asketik yang membuat umat Islam lebih suka menerawang tanpa tujuan di lembah remang mistisme-helenik. Hal ini merupakan ajaran bawaan dari Persia yang menganjurkan untuk orang-orang menutup mata dari realitas keras di sekeliling mereka dan menetapkan pandangan pada apa yang dinamakan iluminasi (Bakhtiar, 2010:49).

IV.

Kelebihan dan Kekurangan Pengembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Islam Klasik Dari uraian sejarah perkembangan keilmuan pada masa periode Islam

klasik, terdapat beberapa kelebihan yang membuat Islam sempat mencapai puncak kejayaan sementara wilayah barat berada dalam masa kegelapan. Namun ada pula beberapa kelemahan yang pada akhirnya menyebabkan Islam dengan keilmuannya merosot hingga berada di titik terendah dan akhirnya terjajah oleh barat. Berikut ini adalah beberapa kelebihan yang tergambar dari uraian di atas : 1. Ilmu dalam Islam tumbuh bermula dari adanya kebutuhan untuk melakukan penyebaran agama, sehingga ilmu tumbuh menjadi bagian yang fungsional dari agama dan saling melengkapi dalam perkembangannya. 2. Islam terbuka pada ilmu dan filsafat yang berasal dari budaya lain, seperti misalnya budaya Yunani. 3. Adanya pengamatan secara berkelanjutan dan pencatatan yang teratur melalui dukungan dan bantuan dari para penguasa yang memerintah. Sementara kekurangan yang terdapat dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada masa Islam klasik adalah karena adanya penerimaan yang berlebihan terhadap paham Yunani yang sejak awal sudah mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sehingga umat Islam menjadi kehilangan identitas diri dan lebih condong untuk mengikuti apapun paham Yunani tanpa menelusuri terlebih dahulu apakah paham tersebut baik atau tidak bagi perkembangan keilmuan selanjutnya. Serta adanya pembatasan perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad ke-18 oleh para penguasa karena mereka sudah mengutamakan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan memajukan umat Islam secara umum melalui perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju. Pada akhirnya pembatasanpembatasan tersebut membuat umat Islam menjadi semakin dogmatis dan taklid, atau hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa adanya keinginan untuk menjadi lebih baik lagi, yang membuat keadaan Islam dan tradisi keilmuannya semakin terpuruk di bawah jajahan barat.

Referensi

:

Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Poedjiadi, Anna. 1987. Sejarah dan Filsafat Sains. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin. Yogyakarta. Anonim. 2005. Uthman bin Affan Radhiallahu Anh. Diunduh dari

http://sirah.blogsome.com/2005/09/20/uthman-bin-affan-radhiallahuanh/.