19

Kekuatan Kapital-kapital Kelembagaan

  • Upload
    others

  • View
    35

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Kekuatan Kapital-kapital Kelembagaan: Belajar dari Dua Koperasi Sukses1

R i c a r d i S A d n a n

Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia Email: [email protected]

Abstract

Organizational performance has always been viewed based on physical capital, such as money or assets. this is certainly not adequate because it ignores other aspects, such as intelligence, cooperation, trust, and so forth. POPIS (physical capital , organizational capital, political capital, intellectual capital, socio-cultural capital) conception offers a more comprehensive perspective on the various capital that affect organizational performance. But, in fact, among the various capital, there are some capital that is more dominant than the other capital-capital. SBW and KGJ cooperative performance clearly demonstrate the dominant role of socio-cultural capital in influencing the success of those two institutions.

Kata kunci: konsep POPIS, modal sosial, modal kultural, koperasi

1 Tulisan ini merupakan sadur ulang dari hasil penelitian yang dilakukan oleh LabSo-sio bekerja sama dengan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 20072008 dengan judul “Dampak Pemberdayaan Koperasi dan UKM terhadap Kes-ejahteraan Rakyat.“

22 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

PENDA HU LUA N

Koperasi dan usaha kecil sudah menjadi lembaga penggerak perekonomian kelompok masyarakat kurang beruntung sejak dahulu. Bahkan jauh sebelum perang kemerdekaan, seperti pada masa Sarekat Dagang Islam, kehadiran koperasi dan usaha kecil dianggap menjadi saka guru jalannya perekonomian rakyat (Robison 1986:24-25). Hingga kini, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) merupakan suatu lembaga yang sangat penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Berbagai usaha pemberdayaan maupun evaluasinya telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga ini baik yang dikembangkan oleh instansi-instansi pemerintah, misalnya Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum, dinas-dinas yang ada di pemerintahan daerah, serta organisasi-organisasi internasional seperti United Nations Development Programme, World Bank, dan World Health Organization.

Akan tetapi, dari sekian banyak model yang mengevaluasi dampak pemberdayaan KUKM di Indonesia belum ada yang melihatnya dari kacamata yang benar-benar komprehensif mengenai berbagai jenis kapital yang telah terbukti memiliki kontribusi penting dalam kemajuan suatu lembaga masyarakat. Oleh karena itu penulis mencoba menguraikan tulisan ini dengan merujuk pada sebuah konsep yang relevan, khususnya yang dikembangkan oleh Canadian International Development AgencyCanada-ASEAN Governance Innovation Network (CIDA-CAGIN), yaitu “konsep POPIS” (Gonzalez III 2000), yang meliputi physical capital, organizational capital, political capital, intellectual capital, socio-cultural capital.

Selama ini evaluasi kinerja organisasi ekonomi senantiasa diukur dari kekuatan kapital atau modal yang bersifat kasat mata (tangibles), seperti kondisi keuangan maupun kepemilikan aset. Memang telah ada kajian dan evaluasi yang menilai berdasarkan kekuatan organisasi ataupun sumber daya manusia. Misalnya, metode yang dikembangkan oleh “balanced scorecard” ataupun “six sigma”. Sementara aspek-aspek sosial sedikit tergambar dalam analisis SWOT. Sebaliknya organisasi nirlaba seperti koperasi, analisisnya lebih banyak menitikberatkan pada aspek kuantitatif dari kinerja keuangan serta jumlah dan partisipasi dari anggotanya. Kendati demikian, alat ukur kinerja

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 23

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

tersebut belum pernah diterapkan secara utuh kepada organisasi yang tidak berorientasi bisnis murni seperti koperasi. Oleh karena itu, “konsep POPIS” dari Pemerintah Canada ini bisa dijadikan salah satu rujukan yang bermanfaat.

Beberapa proyek pengembangan komunitas yang dilakukan oleh CIDA-CAGIN di berbagai negara Asia seperti Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia dinilai oleh banyak pihak telah memberikan dampak yang sangat positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Metode yang digunakan merujuk pada konsep kapital atau modal yang dibutuhkan oleh lembaga-lembaga sosial untuk mengembangkan dirinya.

Modal pertama adalah physical capital (modal fisik), yakni aspek keuangan, mesin-mesin serta sumber daya material dalam memproduksi suatu kegiatan. Modal kedua, organizational capital (modal organisasional) yang meliputi kemampuan sekelompok orang untuk memberdayakan dirinya dalam suatu kelompok. Kapital ini dapat dibedakan atas personil, struktur organisasi, kepemimpinan, kemampuan manajemen, perencanaan, implementasi program, evaluasi serta pelatihan.

Ketiga, political capital (modal politik) yang terdiri atas kekuasaan, otoritas, kemampuan mempengaruhi serta legitimasi. Dengan adanya modal politik maka suatu organisasi akan dapat berkembang dengan baik karena akan menghilangkan (atau paling tidak meminimalisasi) keraguan tentang keabsahan jalannya organisasi yang bersangkutan. Mubyarto (2003) menyebutkan bahwa salah satu persoalan terpenting perkoperasian di Indonesia adalah lemahnya kedudukan koperasi di dalam struktur hukum dan politik di Indonesia.

Keempat, intellectual capital (modal intelektual) yang dapat dirinci atas pengetahuan (knowledge) dan kecakapan teknis (know-how). knowledge adalah pengetahuan dalam bentuk wawasan pengetahuan mengenai hal-hal khusus yang terkait dengan lingkup kerja koperasi maupun hal-hal yang lebih luas seperti aspek manajemen, pemasaran, pengembangan produk dan sebagainya. Sedangkan know-how adalah pengetahuan dan kemampuan untuk mengaplikasikan knowledge tersebut, misalnya pengetahuan tentang data koperasi yang seharusnya disimpan dalam sistem komputer. Maka know-how adalah kemampuan dari anggota koperasi untuk menerjemahkannya ke dalam program pengolah kata atau tabulasi komputer dengan teknis format yang paling tepat. Lebih jauh lagi, kapital intelektual

24 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

yang baik adalah kemampuan yang dimiliki organisasi (dan juga pengurus/anggotanya) dalam mengubah tantangan menjadi peluang. Paul Stoltz (2000) menyebutnya sebagai adversity quotient.

Kelima, socio-cultural capital (modal sosial-budaya) yang terdiri atas trust (kepercayaan), persahabatan, kemampuan dalam bekerja sama, tradisi serta nilai-nilai. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Fukuyama (1996), trust merupakan modal/kapital yang paling utama dalam pembangunan baik pada level makro seperti negara maupun mikro pada tingkatan lembaga-lembaga sosial. Kekuatan dari pendekatan POPIS ini adalah peran dari socio-cultural capital yang memegang kendali sangat penting dalam memanfaatkan kapital-kapital lain. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa lima jenis kapital tersebut diikat oleh satu konsep itu yang memang terbukti memiliki pengaruh paling penting terhadap kekuatan dari empat kapital lainnya. Ini selaras dengan pendapat Robert D. Putnam, Jane Jacobs, Pierre Bourdieu, James S. Coleman (meski dalam terminologi yang berbeda) yang menyebutkan bahwa socio-cultural capital merupakan kunci keberhasilan suatu komunitas ataupun organisasi sosial (Putnam 2000).

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, berikut akan diulas mengenai keberhasilan dua koperasi terpilih berdasarkan hasil riset dari Tim LabSosio FISIP Universitas Indonesia, yaitu Koperasi Keluarga Guru Jakarta (Koperasi KGJ) dan Koperasi Setia Bhakti Wanita (Koperasi SBW). Kedua koperasi ini memiliki kisah sukses yang menjadi rujukan banyak pihak dan bahkan direkomendasikan oleh Kementerian Negara KUKM untuk dikaji lebih jauh. Penelitian dilakukan pada awal hingga akhir tahun 1997 dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan narasumber yang relevan dari dua koperasi tersebut. Analisis POPIS ini kiranya dapat dijadikan masukan/inspirasi bagi pengembangan kelembagaan sosial serta dapat dijadikan salah satu alternatif dalam membedah kekuatan dan kelemahan lembaga-lembaga sosial lainnya terutama koperasi.

KOPER A SI K ELUA RG A GU RU JA K A RTA

Koperasi KGJ merupakan koperasi yang beranggotakan guru-guru sekolah dasar di DKI Jakarta. Koperasi KGJ berdiri sejak 1952, namun da lam perkembangannya menga lami pasang

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 25

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

surut sampai 1984; kegiatan usaha dan tingkat laba yang tidak berkembang, bahkan pernah mengalami kerugian. Penyebab utama ketidakberhasilan ini adalah faktor pengelola pada waktu itu yang tidak bisa konsentrasi penuh dalam mengelola koperasi. Oleh karena itu sejak 1984, organisasi ini melakukan pembenahan manajemen dan keanggotaan, dan pada 1998 mengubah visi usahanya menjadi berorientasi kewirausahaan.

Saat ini Koperasi KGJ merupakan salah satu badan usaha koperasi di Indonesia yang mendapat perhatian dari perbankan. Banyak perbankan besar bahkan yang ingin bekerja sama dengan Koperasi KGJ, seperti Bank DKI, Bukopin dan BRI. Keadaan ini tidak terlepas dari kinerja Koperasi KGJ yang terus membaik. Dengan jumlah anggota sebanyak 22.119 orang, asetnya mencapai Rp 138 miliar per Desember 2006. Aset itu antara lain berupa Gedung Koperasi KGJ di Jakarta Timur, sebuah wisma tempat pelatihan dan pendidikan di Bogor, sebuah rumah-toko di Lippo Cikarang, serta harta tidak bergerak lainnya di beberapa lokasi. Beberapa aset properti itu digunakan sebagai tempat olah raga dan usaha, seperti kolam renang, warung telekomunikasi, stasiun pompa bensin, kebon belimbing, tempat penginapan, dan penggilingan beras. Masih banyak lagi unit usaha lain yang dikelola Koperasi KGJ, seperti unit simpan pinjam dan tabungan haji atau pensiun. Semua unit usaha ini berjalan produktif dan terus membukukan kenaikan pendapatan. Dalam kurun waktu 2002-2006, pendapatan unit-unit usaha Koperasi KGJ tumbuh dari Rp 11 miliar menjadi Rp 29 miliar (laporan pertanggungjawaban pengurus 2006).

Pada awal 2007, Koperasi KGJ mendapat kesempatan dari Kementerian KUKM berkeliling ke-12 provinsi di Indonesia (selain memperoleh bantuan penguatan modal sebesar Rp 4,5 miliar). Misinya untuk memberikan replikasi kesuksesan Koperasi KGJ pada seluruh koperasi di 12 provinsi tersebut, karena koperasi ini dianggap berhasil meningkatkan sumber daya anggotanya dan mengelola organisasi dengan bagus.

K U NCI K EBER H A SIL A N KOPER A SI KGJ

Ada beberapa kunci yang membuat koperasi guru ini berhasil hingga kini. Melalui perspektif modal fisik, organisasional, politik,

26 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

intelektual dan sosial (POPIS concepts) maka penulis mengkaji keberhasilan Koperasi KGJ.

Di dalam tubuh organisasi Koperasi KGJ bisa dilihat beberapa “modal fisik” yang dapat diidentifikasi, antara lain jumlah guru sekolah dasar (SD) di Jakarta yang berjumlah puluhan ribu, besarnya iuran anggota yang rutin sehubungan dengan besarnya jumlah anggota, serta akumulasi aset yang baik. Berdasarkan data tahun 2006, jumlah guru SD mencapai 40.000 orang, sementara data tahun 2008 untuk jumlah guru SD berstatus pegawai negeri di Jakarta mencapai 23.938 orang. Maka, tidak heran jika saat ini jumlah anggota Koperasi KGJ bisa lebih dari 22 ribu orang. Dari iuran wajib anggota sebesar Rp 100.000, setiap bulan koperasi mendapat suntikan dana Rp 2,2 miliar. Pertambahan dana yang cukup besar ini secara langsung menambah omset, akumulasi aset dan modal koperasi. Dampaknya pada perputaran uang tentu semakin besar sehingga pendapatan dan pembagian keuntungan (SHU) juga semakin meningkat. Dengan aset dan likuiditas yang perkasa tak heran kalau kemampuan koperasi ini dalam mengatasi seluruh kewajiban jangka pendek dan kewajiban lain yang jatuh tempo sebesar lebih dari dua kali lipat (283,75%)

Dari sisi “modal organisasional”, ada beberapa hal yang menjadi faktor pendukung keberhasilan Koperasi KGJ, antara lain pengalamannya yang panjang sejak 1952. Pengalaman baik keberhasilan maupun kegagalan menjadi pelajaran berharga dalam mengambil langkah pengembangan koperasi selanjutnya. Dengan sistem manajemen yang mengedepankan prinsip dedikasi, transparansi dan akuntabilitas, serta dengan dukungan teknologi maka anggaran bisa diakses setiap anggota secara online. Pencatatan keuangan dan transaksi apapun bisa dipantau langsung secara luas setiap waktu. Misalnya, anggota bisa mengintip laporan arus kas yang diperbaharui setiap hari pada setiap tutup buku sore hari saat berakhirnya pelayanan. Keberhasilan penataan sistem dan informasi keuangan merupakan modal strategis dalam menentukan keberhasilan pelayanan koperasi. Terkait dengan peningkatan kedisiplinan dan tuntutan dari manajemen agar pengelola berdedikasi tinggi dalam menjalankan tugasnya, pihak manajemen Koperasi KGJ juga telah memberikan kompensasi yang layak atau pantas dengan memberikan gaji dan tunjangan yang cukup bersaing.

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 27

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

Pada setiap pelaksanaan kegiatan, pengurus secara rutin melaksanakan koordinasi dengan komisariat. Kegiatan ini selalu dilakukan mengingat komisariat merupakan perwakilan anggota dari setiap kecamatan. Koordinasi dilakukan agar tercipta hubungan yang berkesinambungan antara anggota dan pengurus Koperasi KGJ, sehingga anggota mendapatkan pelayanan yang optimal dari pengurus. Seluruh kegiatan Koperasi KGJ dipantau secara berkesinambungan oleh Dewan Pengawas.

“Modal politik” tercermin dari persetujuan atau dukungan secara legal formal dari institusi-institusi politik yang ada. Di samping landasan hukum koperasi beserta turunannya berupa izin-izin badan usaha komersial, inti dari kapital ini dapat diidentifikasi dalam beberapa hal pokok. Yang paling berarti dan paling penting, antara lain jaminan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta kepada Bank DKI serta dukungan dari Kementerian. Dengan jaminan ini maka koperasi dapat bekerja sama dan didukung penuh oleh perbankan (Bank DKI). Peran Bank DKI sangat penting dalam menjamin kelancaran iuran anggota. Karena semua anggotanya adalah guru dengan status pegawai pemerintah daerah DKI Jakarta sedangkan pembayaran gaji guru, berdasarkan peraturan gubernur mulai Juli 2006, semuanya melalui Bank DKI. Maka para guru dapat memperoleh berbagai kemudahan dan fasilitas dari Bank DKI.

Ketua Koperasi KGJ Yitno Suyoko menceritakan, pada 2006 koperasi hanya memiliki modal sekitar Rp 40 miliar. Padahal biaya operasional dan pelayanan Koperasi KGJ mencapai Rp 115 miliar. Untuk mengatasi kekurangan tersebut koperasi harus meminjam ke bank. “Kalau tidak ada kerja sama dengan bank tentu Koperasi KGJ bisa tutup,” katanya (lihat, wawancara 2007). Dukungan dari Kementerian Koperasi sangat membantu mengembangkan koperasi, khususnya dalam hal pendanaan, karena Koperasi KGJ mendapat bantuan Rp 4,5 miliar. Melalui tambahan dana itu koperasi semakin menguntungkan sehingga lebih mampu menyejahterakan para anggotanya.

Kekuatan Koperasi KGJ lainnya adalah laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Indonesia. Melalui laporan keuangan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang positif kepada anggota menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan posisi keuangan koperasi, serta menggambarkan pengaruh keuangan dari transaksi yang telah dilakukan manajemen. Sebelum

28 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

diumumkan, laporan keuangan diaudit oleh kantor akuntan publik sehingga penilaian secara independen dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan operasional unit usaha juga didukung oleh sistem informasi yang terkomputerisasi dan mampu menyajikan secara kontinu laporan arus kas setiap hari. Akuntabilitas sistem keuangan itu merupakan cerminan dari sifat kepercayaan (trust) yang ada dalam socio-cultural capital. Keberhasilan penataan sistem dan informasi keuangan merupakan modal strategis untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan mengembangkan usaha.

Dari sisi “modal intelektual” ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi, antara lain adanya proses pembelajaran dalam hal knowledge dan know-how dari pengurus koperasi, selain kualitas intelektual sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Beberapa orang pengurus berpendidikan tinggi dengan gelar doktor dan master. Bahkan Koperasi KGJ memberikan bantuan serta pinjaman bagi anggotanya yang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Learning process sangat penting dalam membangun organisasi yang dinamis. Manajemen pengetahuan selalu menegaskan bahwa sebuah organisasi seharusnya tidak berhenti pada “memiliki pengetahuan” dalam arti menimbun tumpukan dokumen yang dilengkapi dengan alat temu-kembali. Persoalan terpenting yang dihadapi organisasi-organisasi modern saat ini adalah: bagaimana mengintegrasikan timbunan pengetahuan itu ke dalam keseluruhan kemampuan dan kegiatan organisasi. Dalam kondisi dunia yang sangat dinamis ini, maka integrasi pengetahuan ke dalam kemampuan organisasi menjadi rumit. Organisasi dituntut fleksibel, tetapi sekaligus konsisten, dan juga punya “akar” yang kokoh dalam bentuk kompetensi inti (core competency). Hal seperti ini yang sedang diterapkan di Koperasi KGJ, sehingga pengorganisasian Koperasi KGJ terus dinamis dan ada alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari pengelola-pengelola sebelumnya. Para staf Koperasi KGJ mulai menjadi “knowledge Worker”. Para staf dituntut untuk meningkatkan kemampuannya ketika melayani pelanggan internal atau eksternal, sehingga para staf mampu beradaptasi segera dengan pengetahuan yang terbaru dan akurat. Dalam hal ini, teknologi web (world wide web) dapat memberikan fasilitas untuk mendorong perubahan budaya melalui lingkungan yang didukung oleh pengetahuan atau informasi yang dapat diakses dari berbagai lapisan, dan juga bisa saling berbagi cerita atau berempati satu sama lain dengan mudah. Pengetahuan

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 29

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

yang paling sering dibagi bersama adalah pengetahuan-praktis (know-how) sebuah organisasi, bukan pengetahuan-teoritis (know what). Pengetahuan praktis berkaitan langsung dengan kemampuan kompetitif sebuah organisasi (competitive edge). Berbagi-bersama pengetahuan-praktis ini akan sangat berguna jika dilakukan dalam konteks kegiatan bersama (team work).

Guna mencetak SDM yang handal (baik pengurus maupun anggota), Koperasi KGJ telah melakukan beberapa kegiatan pelatihan, lokakarya maupun seminar. Misalnya seminar tentang pajak, studi banding ke Solo, Jawa Tengah, lokakarya penyusunan program kerja, lokakarya menjadi guru profesional, pelatihan pemasaran, penyusunan silabus dan rencana kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk staf pengajar Taman Kanak-Kanak-SD, serta berbagai kegiatan lainnya. Semangat mengapresiasi intellectual capital di dalam koperasi ini tercermin pula dengan pemberian beasiswa kepada siswa/siswi dari anggota yang berprestasi terbaik di sekolahnya masing-masing.

Dari sisi “modal sosial-budaya”, ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan terkait dengan keberhasilan Koperasi KGJ. Antara lain idealisme guru-guru SD dan semangat kolegial di antara mereka. Guru-guru SD di tanah air dianggap masih memiliki idealisme, dedikasi dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Dan mereka masih berkeyakinan bahwa perkataannya sebagai guru masih diperhatikan dan perbuatannya selalu menjadi teladan oleh orang lain. Menyandang profesi guru, berarti harus menjaga citra, wibawa, keteladanan, integritas dan kredibilitas. Dia tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik, membimbing, menuntun dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa-siswanya. Karena guru-guru SD memiliki idealisme yang hampir sama, maka ikatan dan jaringan di antara mereka pun sangat kuat, terlebih guru SD menempati jumlah yang paling besar jika dibandingkan dengan guru Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Idealisme yang sama tidak hanya berjalan sebatas angan-angan saja, tetapi direalisasikan dalam wujud nyata yaitu bergabung dalam koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Selain itu mereka juga diikat oleh kekuatan emosional dan spiritual, sehingga ikatan mereka bukan sebatas materi tetapi lebih dalam lagi, yaitu adanya ikatan emosi dan spirit yang sama. Lebih lanjut, modal sosial-budaya inilah yang menjadi pengikat modal-modal lainnya, terutama dengan adanya kepercayaan yang tinggi dari anggota kepada pengurus

30 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

dan sebaliknya serta semangat untuk maju bersama. Dengan cara seperti ini, maka pengembangan koperasi melalui pengembangan aset, penambahan unit-unit kerja dan penyempurnaan manajemen organisasi menjadi sesuatu yang relatif mudah dilakukan. Sementara itu, political capital baik pada awal berdirinya koperasi maupun pada perkembangan selanjutnya sangat bergantung pada kinerja dari modal fisik, modal organisasi serta modal sosial-budaya. Dukungan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta serta Kementerian Negara KUKM didasarkan atas kepercayaan lembaga pemerintah tersebut kepada Koperasi KGJ. Sebagaimana telah disebutkan di atas, kepercayaan merupakan inti dari socio-cultural capital.

KOPER A SI SET I A BH A K T I WA NITA

Koperasi Setia Bhakti Wanita (Koperasi SBW) ada sejak 30 Mei 1978. Awal mula berdirinya koperasi ini berasal dari kegiatan arisan ibu-ibu rumah tangga yang berjumlah 35 orang. Dengan iuran sebesar Rp 2.000 per orang per bulan, arisan itu terus berjalan hingga menjadi perkumpulan dan berkembang menjadi usaha simpan pinjam. Dengan pinjaman sebesar Rp 5 ribu yang diangsur 5 kali akhirnya koperasi berjalan dengan baik dan terus berkembang. Lama kelamaan pinjaman pun bisa meningkat hingga Rp 10 ribu, dan terus meningkat hingga Rp 50 ribu. Pinjaman itu tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bersifat konsumtif apalagi berfoya-foya tetapi harus ada keterangan yang jelas seperti membuat usaha kecil dan kegiatan lain yang produktif.

tabel 1. Data Perkembangan Koperasi SBW

Tahun Omset Aset2003 75.988.955.389 59.839.362.7352004 102.375.502.100 75.357.651.0122005 85.592.441.000 69.015.683.2112006 145.807.051.000 87.641.712.201

Sumber: http://www.puskowanjati.com/primer2.php?id=2

Sejak 1980, Koperasi SBW termasuk dalam klasifikasi A, dinilai sebagai koperasi yang memiliki kinerja sangat bagus. Berbagai prestasi seperti koperasi terbaik, andalan, teladan dan koperasi berprestasi telah diraih. Tidak mengherankan bila kemudian koperasi ini sering

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 31

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

dijadikan tempat menimba ilmu atau “studi banding” bagi koperasi-koperasi lain di seluruh tanah air. Pada 2004 setelah mendapat tugas dari Kementerian Negara KUKM untuk mensosialisasikan “sistem tanggung renteng”, Koperasi SBW semakin terkenal dan semakin banyak orang berdatangan ke kantor untuk bertanya tentang koperasi.

Perkembangan Koperasi SBW dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel itu memperlihatkan kemajuan koperasi dalam empat tahun terakhir. Jika dibandingkan dengan awal berdirinya di akhir tahun 1970-an, asetnya hanyalah garasi yang menjadi kantor, maka pada tahun 2006 sudah berkembang menjadi Rp 88 miliar. Perputaran uang yang dahulunya hanya berupa iuran arisan sebesar Rp 5 ribu per bulan, pada akhir 2006 telah berbiak mendekati Rp 150 miliar.

“Sistem tanggung renteng” menjadi landasan pokok keberhasilan Koperasi SBW. Pola peminjaman ini pada awalnya bertujuan untuk mengamankan aset organisasi. Karena sebuah koperasi tidak akan bisa bertahan apalagi berkembang bila asetnya berkurang apalagi hilang. Dengan berkembangnya aset, maka pelayanan pada anggota pun bisa semakin ditingkatkan baik jenis maupun kualitasnya. Dengan sistem tanggung renteng Koperasi SBW mampu menekan kredit macet (non performing loans/NPL) hingga 0 %. Pelayanan anggota terus meningkat. Setiap anggota yang mengajukan pinjaman dapat segera terlayani. Bahkan anggota bisa mengajukan pinjaman dengan batas enam kali simpanan wajibnya dan tanpa agunan.

Bentuk tanggung renteng dari sistem ini adalah jika ada anggota yang tidak membayar, maka tanggungan akan menjadi tanggung jawab seluruh anggota. Pola ini merupakan sistem tanggung bersama dengan sifat kekeluargaan dan kebersamaan yang sangat kental di dalamnya. Pola inilah yang dapat mengamankan aset koperasi dengan NPL 0%. Selain karena sifat kekeluargaannya, sistem ini juga dapat berjalan karena adanya ketentuan peraturan berupa sanksi yang jelas dan dijalankan secara konsisten. Hal inilah yang mendorong setiap anggota untuk disiplin terhadap ketentuan yang ada. Karena jika tidak disiplin maka akan terkena sanksi. Sanksi dibagi dua, bisa dikenakan pada individu dan dapat pula diberikan kepada kelompok. Setiap anggota secara tidak sadar juga terpaksa berdisiplin menghadiri pertemuan kelompok. Karena bila seseorang tidak hadir dia akan kesulitan mendapatkan persetujuan anggota yang lain ketika ingin mengajukan pinjaman, terutama jika dia juga tidak pernah hadir untuk tanda tangan memberikan persetujuan kepada

32 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

anggota yang lain. Pola seperti ini menjadi keyakinan pengelola dan seluruh anggota Koperasi SBW bakal memunculkan rasa tepo seliro atau rasa empati terhadap sesama. Rasa ini akan semakin menguat sehingga tidak hanya dalam lingkup kelompok tapi berkembang pada masyarakat sekitarnya.

K U NCI K EBER H A SIL A N KOPER A SI SBW

Ada beberapa hal yang mendasari keberhasilan Koperasi SBW. Dengan menggunakan “konsep POPIS” berikut ini penulis menguraikan kunci keberhasilan SBW.

Dari segi “modal fisik”, dapat dilihat besarnya jumlah aset dan modal kerja yang dimiliki oleh koperasi pada saat ini. Catatan penting dari kondisi modal fisik tersebut adalah sifatnya yang senantiasa meningkat atau terjadi akumulasi aset yang baik. Contohnya adalah modal yang tidak lebih dari Rp 1 juta pada 1978 lalu menjelma menjadi lebih dari Rp 100 miliar pada 2007. Kantor yang menumpang di garasi salah seorang pendiri telah pindah ke gedung berlantai dua di atas tanah seluas 1.400 meter persegi milik sendiri. Dari usaha simpan pinjam yang bersifat arisan ibu-ibu itu kemudian berkembang menjadi unit-unit usaha, di antaranya unit simpan pinjam, toko swalayan dan usaha kecil menengah lainnya. Koperasi SBW juga menyisihkan 2,5% dari SHU sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat miskin. Dana ini dikelola oleh TIM SBW Peduli, sedangkan penyalurannya bisa berbentuk santunan, pemberdayaan dan beasiswa untuk siswa SD hingga SMA.

Anggota koperasi yang pada awalnya berjumlah 35 orang telah berkembang menjadi 2.913 orang di tahun 1984. Perkembangan yang pesat itulah yang kemudian menuntut adanya perubahan anggaran dasar. Jangkauan pun diperluas mencakup wilayah kerja Surabaya Timur. Pada 1988 jumlah anggota terus bertambah hingga mencapai 3.431 orang, yang terbagi dalam 270 kelompok, dan tersebar di 11 kecamatan dalam wilayah Kotamadya Surabaya (seluruhnya ada 19 kecamatan). Sampai dengan Desember 2001 anggota Koperasi telah mencapai 9.832 orang yang dibagi dalam 348 kelompok, sedangkan hingga akhir 2006 sudah berkembang lebih dari 12.000 orang anggota.

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 33

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

tabel 2. Akumulasi Kesuksesan Koperasi KGJ dan SBW

Berdasarkan “Konsep POPIS”

POPIS Concept Koperasi KGJ Koperasi SBWPhysical Capital • Jumlah anggota lebih

dari 42 ribu orang.• Jumlah anggota 12 ribu orang.

• Memiliki aset lebih dari Rp 137 miliar.

• Aset lebih dari Rp 100 miliar.

• Memiliki diversifikasi usaha yang besar.

• Bangunan gedung utama dua lantai di atas lahan 1.400 m2.

Organizational Capital

• Pengalaman organisasi sejak tahun 1952 dengan sejumlah pengalaman kegagalan dan keberhasilan.

• Keterlibatan ibu-ibu pejabat.

• Dedikasi ketua dan pengurus.• Sistem tanggung renteng.• Pengalaman sejak tahun 1978.

Political Capital • Memiliki legalitas hukum dan dukungan penuh dari Pemprov DKI.

• Suami dan orang tua dari para pendiri dan juga pengurus merupakan tokoh masyarakat.

• Pengakuan dari Kementrian KUKM.

• Memiliki legalitas hukum dan dukungan dari Pemda, perbankan dan lembaga lainnya.

• Sering dijadikan rujukan sebagai salah satu model dari koperasi sukses di tanah air.

• Pengakuan dari pemerintah dan publik berupa penghargaan sehingga Koperasi SBW sering dijadikan tempat belajar benchmarking.

Intellectual Capital

• Pengurus bertitel S2 dan S3.

• Pendiri dan pengurus memiliki pengetahuan tentang perkoperasian dan ketrampilan yang baik.

Socio-cultural Capital

• Pengembangan knowledge dan know-how melalui pelatihan-pelatihan ketrampilan.

• Pelatihan ketrampilan kepada anggota dilakukan sesuai dengan kebutuhannya.

• Spirit dan jaringan sosial dari guru-guru SD.

• Idealisme pendiri dan pengurus.

• Semangat kolegial. • Dilandasi oleh budaya tanggung jawab seorang ibu sangat mewarnai aktivitas di koperasi.

• Pembinaan spiritual. • Kebersamaan/sistem tanggung renteng.

34 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

Di dalam “modal organisasional” terlihat betapa sangat kayanya pengalaman organisasi Koperasi SBW yang sudah berdiri sejak 1978 ini. Sejak awal koperasi ini sudah dikelola dengan serius sehingga pengorganisasiannya terus meningkat dan semakin berkembang. Para pengurus koperasi memiliki komitmen yang besar dengan mengalokasikan waktu sepenuhnya pada pengembangan koperasi. Ada aturan yang mengikat misalnya sanksi bagi pengurus atau anggota yang tidak disiplin. Sanksi itu bisa berbentuk peringatan, teguran hingga pemberhentian. Melalui kerja keras pada 2006 jangkauan operasional Koperasi SBW telah mencapai seluruh Jawa Timur.

Setiap tahun Koperasi SBW mempunyai mekanisme untuk memilih anggota baru. Persyaratan agar bisa diterima menjadi anggota koperasi, antara lain calon harus wanita, warga Negara Indonesia, berpenghasilan, memiliki kemampuan penuh melakukan tindakan hukum (tidak berada dalam perwalian dan pengampunan), bersedia membayar simpanan pokok sebesar Rp 500 ribu dan simpanan wajib, serta bertempat tinggal di wilayah Provinsi Jawa Timur. Selain itu, anggota harus sudah menikah dan suami memiliki penghasilan tetap, walaupun gajinya tidak seberapa. Setiap penerimaan anggota baru harus mendapat persetujuan dari anggota kelompok lainnya. Kapital ini sangat terkait dengan socio-cultural capital karena kelompok-kelompok tersebut bukan dibentuk oleh koperasi, melainkan inisiatif mereka sendiri atas dasar kepercayaan dan kebersamaan dari setiap anggotanya. Mereka harus bersepakat untuk menerima anggota baru karena konsekuensi dari sistem tanggung renteng. Manajemen organisasi yang dibangun Koperasi SBW ini sangat efektif karena didukung oleh sistem nilai yang dibangun bersama (akan diuraikan lebih lanjut pada bagian socio-cultural capital).

Organisasi Koperasi SBW juga berjalan secara transparan yang selalu disampaikan dan dimusyawarahkan bersama anggota, baik dalam bentuk pertemuan kelompok, temu wicara, atau dalam rapat resmi setiap tahun (misalnya Rapat Anggota Tahunan). Setiap anggota bisa memberikan masukan atau sanggahan jika ada sesuatu yang dinilai kurang pas. Komunikasi organisasi yang bersifat dua arah dan bukan bersifat instruksional seperti ini terbukti berhasil mempertahankan rasa kepemilikan dan kepedulian anggota terhadap jalannya koperasi.

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 35

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

Dari sisi “modal politik”, dukungan dari pejabat daerah, instansi, perbankan dan organisasi lain penting dalam mendukung perkembangan modal koperasi. Dukungan dari suami juga penting. Terbukti dengan pendiri Ny. Hj. Yoos S. Aisyah Lutfi yang juga putri dari seorang wedana di Bangkalan dan mantan bupati di daerah Malang, sangat membantu perkembangan organisasi seperti dukungan jaringan dan modal dari relasi yang secara langsung atau tidak memberikan legitimasi untuk memperoleh kepercayaan dari dinas koperasi dan UKM setempat. Beberapa penghargaan telah mereka raih seperti anugerah Citra Kartini Nasional (1996), penghargaan Bakti Koperasi Nasional (1997), Satya Lencana Pembangunan dari Presiden RI (1998), anugerah Insan Peduli Sosial (1999), anugerah Wanita Berprestasi Indonesia (1999), penghargaan ASEAN Development Best Economic Executive Awards (2000-2001), dan sebagainya. Memang secara kasat mata peran dari political capital ini tidak terlalu jelas, namun kapital ini memberikan legitimasi dan kredibilitas yang jelas bagi keberadaan koperasi serta perkembangan selanjutnya.

Perkembangan “modal intelektual” di dalam Koperasi SBW, sama seperti Koperasi KGJ, dapat dilihat dalam proses pembelajaran dalam hal pengetahuan dan keterampilan praktis dari pengurus koperasi. Dari segi “modal sosial-budaya” ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan berperan dalam kesuksesan Koperasi SBW, antara lain “sistem tanggung renteng” sebagaimana telah diuraikan di atas. Melalui mekanisme seperti ini akhirnya tumbuh rasa kebersamaan, kepedulian, kejujuran, disiplin dan keterbukaan. Menariknya lagi, keanggotaan koperasi ini adalah khusus untuk wanita dan sudah menikah. Dengan karakter ini rupanya bisa meniadakan kredit macet.

Rasa memiliki yang tinggi merupakan kunci lain dari kemajuan Koperasi SBW. Dari sebuah garasi, kantor koperasi telah berkembang menjadi gedung berlantai dua di atas tanah 1.400 meter persegi. Bahkan anggota rela tidak menerima SHU selama 3 tahun dan menyumbang Rp 16 ribu untuk penyelesaian pembangunan kantor ini.

Faktor yang juga cukup signifikan adalah jaringan ibu-ibu arisan yang cukup banyak. Jaringan ini penting karena ibu-ibu memiliki manajemen yang cukup strategis dalam mengelola uang. Mengapa ibu-ibu ini penting? Ada dugaan keberhasilan ibu-ibu ini sama dengan

36 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

model Grameen Bank di Bangladesh. Berdasarkan pengalaman mereka lebih cermat, hati-hati dan teliti dalam mengatur keuangan, termasuk uang masuk dan uang keluar. Selain itu, apabila seorang ibu memiliki penghasilan lebih maka yang pertama kali dipikirkan adalah untuk kesejahteraan keluarga, khususnya anak. Karena itu pinjaman yang diberikan oleh Koperasi SBW untuk perempuan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya secara keseluruhan.

PENU T U P

Koperasi masih banyak yang belum dapat memainkan peran yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Anggotanya pun banyak yang tidak merasakan manfaatnya. Oleh karena itu, dapat dimaklumi seandainya ada sikap pesimis dari berbagai pihak tentang perkoperasian di Indonesia saat ini. Meskipun tidak diuraikan dalam makalah ini, ketidakberhasilan berbagai koperasi yang ada di tanah air karena kurangnya optimalisasi kapital (capital ) yang selayaknya berkembang dalam organisasi. Kapital-kapital tersebut merupakan faktor penting dalam akumulasi kesuksesan Koperasi KGJ dan Koperasi SBW sebagaimana disarikan dalam Tabel 3.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa kunci utama kesuksesan dari Koperasi KGJ adalah spirit dan jaringan dari guru-guru SD sebagai pendiri, pengelola dan anggota koperasi. Sedangkan keberhasilan dari Koperasi SBW didasarkan atas idealisme kelompok ibu-ibu yang menggunakan mekanisme tanggung renteng. Setelah melihat uraian mengenai kapital-kapital yang ada, dapat disimpulkan bahwa, peran utama dipegang oleh socio-cultural capital khususnya dimensi trust, semangat kebersamaan yang membawa dampak positif pada manajemen organisasi dan legitimasi koperasi sehingga bisa menjadi koperasi sukses. Meski demikian, dua koperasi yang dijadikan studi kasus keberhasilan perkoperasian di Indonesia tersebut tentunya tidak akan berhasil jika tidak membangun kapital-kapital lainnya.

Untuk keberlangsungan keberhasilan dua koperasi sukses tersebut tentunya kapital-kapital yang dimiliki harus senantiasa direvitalisasi dan ditingkatkan. Jika tidak, maka kapital yang ada akan luntur dan bahkan menjadi tidak relevan dengan dinamika lingkungan. Hal ini pernah terjadi pada Koperasi KGJ sepanjang 1970-an hingga 1988.

K E K U A T A N K A P I T A L - K A P I T A L K E L E M B A G A A N | 37

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 10, Januar i 2010: 21-38

Keberhasilan dua koperasi di atas yang dipotret berdasarkan perspektif “POPIS concepts”, diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi program pengembangan/pemberdayaan koperasi-koperasi yang ada di tanah air. Lima pengertian kapital/modal yang harus diperhatikan oleh suatu organisasi selayaknya pula dicermati oleh para pengambil kebijakan dan pelaksana pengembangan organisasi di lapangan untuk meningkatkan jumlah serta kualitas dari koperasi sukses di tanah air.

DA F TA R PUSTA K A

Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a theory of Practice. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Chou, Tien-Chen. 2003. “The Formation and Characteristics of Taiwan’s Outward Looking SMEs.” Dalam Joseph S. Lee, dan Chi Schive, taiwan’s Economic Development and Role of SMEs. Singapore: Graham Brash, Pte. Ltd.

Dale, Reidar. 2004. Evaluating Development Programmes and Projects. London: Sage Publications, Ltd.

Dasgupta, Partha dan Ismail Serageldin. 2000. Social Capital, A Multifaceted Perspective. Washington D.C.: The World Bank.

Fukuyama, Francis. 1996. trust, the Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press Paperbacks.

Gonzalez, Joaquin, Kathleen Lauder dan Brenda Melles. 2000. Opting for Partnership: Governance Innovations in Southeast Asia. Ottawa, Canada dan Kuala Lumpur: Institute on Governance.

Hall, Anthony dan James Midgley. 2004. Social Policy for Development. London: Sage Publications, Ltd.

Haryadi, Dedi, et. al. 1998. tahap Perkembangan Usaha kecil Dinamika dan Peta Potensi Pertumbuhan, Bandung: Yayasan Akatiga.

Hil l, Hal l. 2006. “The Strategy of Indonesia’s Economic Transformation.” Economic and Finance in Indonesia Journal. Vol. 54.

Koperasi KGJ. 2006. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas koperasi keluarga Guru Jakarta tahun Buku 2006.

LabSosio FISIP UI. 2008. “Dampak Pemberdayaan Koperasi dan UKM terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.” Laporan Hasil Penelitian.

38 | R I C A R D I S . A D N A N

Jurna l Sosiolog i M ASYA R AK AT Vol. 15, No. 1, Januar i 2010: 21-38

Martinussen, John. 1999. Society, State & Market. New York: St Martin’s Press, Inc.

Mubyarto. 2003. “Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi.” Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun II, No. 4, Juli.

Murphy, Paticia Watkins dan James V. Cunningham. 2003. Organizing for Community Controlled Development Renewing Civil Society. California: Sage Publications, Inc.

________. 2006. White Paper on Small and Medium Enterprises in taiwan, 2006 . Taipei: Small and Medium Enterprise Administration.

Pikiran Rakyat, 26 September 2004.Putnam, R. D. 2000. Bowling Alone. the Collapse and Revival of

American Community. New York: Simon and Schuster.Robison, Richard. 1986. Indonesia the Rise of Capital. Sydney: Allen

& Unwin.Royse, David dan Bruce Thyer. 1996. Program Evaluation: An

Introduction. Chicago: Nelson Hall Publisher.Sjaefudian, Hetifah, et. al. 1995. Strategi dan Agenda Pengembangan

Usaha kecil. Bandung: Yayasan Akatiga. Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient. Terj.: Hermaya T. Jakarta:

Gramedia Widiasarana Indonesia.Suwandi, Ima. 1984. koperasi Organisasi Ekonomi yang Berwatak

Sosial. Jakarta: Rajawali Press.Tambunan, Tulus. 2006. “Perkembangan UKM di Indonesia.”

Infokop, Nomor 29.Usman, Marzuki. 2003. “Catatan Kecil, Kesekian Kalinya, Usaha

Kecil Menengah (UKM).” Suara Pembaruan, 10 Agustus.