24
1 KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN DI SEKOLAH (Studi atas Pengajaran Bahasa Inggris di Sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jakarta) Stephen Pratama Program Studi Sarjana, Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstract This research aims to describe symbolic violence towards poor students through English Teaching through Pierre Bourdieu’s Critical Perspective of Sociology of Education. Therefore this research took place at a Junior High School in Jakarta where the case was located. To gather all data, this research used qualitative method with case study model. This research found that poor students don’t have enough cultural capital and suitable habitus to adjust to the legitimate standard of English Subject which was imposed arbitarily to them at the field of education. The legitimate standard of English which exceeded their capacity was the source of their adversity and recuring failure along the learning process. Further, those adversity and failure were accepted as normal. These are the manifestation of symbolic violence. Symbolic violence occured through six elements that are Educational System, School Authority, Pedagogic Action, Work of Schooling, Pedagogic Authority, and Pedagogic Work. Keywords : Poor Students, English Subject, Cultural Capital, Habitus, Field of Education, Symbolic Violence PENDAHULUAN Sebagai sebuah bahasa asing, bahasa Inggris wajib diajarkan pada pelajar di Indonesia (Lauder, 2008). Bahasa Inggris merupakan sebuah mata pelajaran wajib yang harus dipelajari mulai di jenjang SMP. Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih berlaku hingga saat ini dan di dalam kurikulum itu bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib mulai di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) diberikan alokasi waktu empat jam pelajaran per minggu (Permendiknas no. 22 Tahun 2006). Bahkan bahasa Inggris merupakan mata uji dalam Ujian Nasional (UN) bagi jenjang SMP hingga SMA/K (Suryadi, 2014). Secara mendasar bahasa Inggris diajarkan agar pelajar Indonesia dapat berpartisipasi dan bersaing di kancah global (Panjaitan, 2013; Permendiknas no. 22 Tahun 2006). Informasi yang selaras dengan pandangan itu didapatkan oleh Hadisantosa (2010) dari seorang pejabat yang menyampaikan bahwa pelajar Indonesia mendapat mandat untuk menguasai bahasa Inggris agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat global. Untuk dapat beradaptasi dengan tuntutan dalam mata pelajaran bahasa Inggris terutama di jenjang yang lebih tinggi ketika bahasa Inggris sudah ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib dan distandarkan secara nasional, maka dibutuhkan kemampuan dasar yang cukup. Kemampuan dasar berbahasa Inggris dapat ditentukan oleh besarnya akses terhadap bahasa Inggris yang dikondisikan oleh latar belakang sosial ekonomi. Lie (2007) menyatakan bahwa di Indonesia akses terhadap bahasa Inggris lebih dimiliki oleh pelajar berlatar belakang kelas tengah dan atas. Berdasarkan risetnya di Jakarta, Manara (2014) juga menuliskan bahwa bahasa Inggris lebih lekat dengan pelajar dari kelas tengah dan atas yang kerap menempuh studi di sekolah internasional atau nasional plus. Lalu penelitian Lamb (2011) yang dilakukan di sebuah provinsi di Indonesia menemukan bahwa peserta didik yang berpengalaman mengikuti kursus bahasa Inggris, menjalin relasi dengan teman di luar negeri, dan berkomunikasi dengan orang tua menggunakan bahasa Inggris memiliki kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris yang lebih baik dibanding pelajar yang tidak memiliki latar belakang sosial ekonomi serupa. Di samping itu persoalan kualitas pengajaran bahasa Inggris di jenjang Sekolah Dasar (SD) juga sangat mungkin menghambat peserta didik tertentu untuk mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris di jenjang selanjutnya. Guru-guru bahasa Inggris SD di daerah pelosok ternyata kurang kompeten (Luciana, 2006; Sadtono, 2007; dan Suyanto, 2010 dalam Zein, 2015). Selain itu apabila mereka memiliki kompetensi bahasa Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

1    

KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN DI SEKOLAH

(Studi atas Pengajaran Bahasa Inggris di Sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jakarta)

Stephen Pratama

Program Studi Sarjana, Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia Email: [email protected]

Abstract

This research aims to describe symbolic violence towards poor students through English Teaching through Pierre Bourdieu’s Critical Perspective of Sociology of Education. Therefore this research took place at a Junior High School in Jakarta where the case was located. To gather all data, this research used qualitative method with case study model. This research found that poor students don’t have enough cultural capital and suitable habitus to adjust to the legitimate standard of English Subject which was imposed arbitarily to them at the field of education. The legitimate standard of English which exceeded their capacity was the source of their adversity and recuring failure along the learning process. Further, those adversity and failure were accepted as normal. These are the manifestation of symbolic violence. Symbolic violence occured through six elements that are Educational System, School Authority, Pedagogic Action, Work of Schooling, Pedagogic Authority, and Pedagogic Work. Keywords : Poor Students, English Subject, Cultural Capital, Habitus, Field of Education, Symbolic Violence

PENDAHULUAN Sebagai sebuah bahasa asing, bahasa Inggris wajib diajarkan pada pelajar di Indonesia (Lauder, 2008). Bahasa Inggris merupakan sebuah mata pelajaran wajib yang harus dipelajari mulai di jenjang SMP. Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih berlaku hingga saat ini dan di dalam kurikulum itu bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib mulai di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) diberikan alokasi waktu empat jam pelajaran per minggu (Permendiknas no. 22 Tahun 2006). Bahkan bahasa Inggris merupakan mata uji dalam Ujian Nasional (UN) bagi jenjang SMP hingga SMA/K (Suryadi, 2014). Secara mendasar bahasa Inggris diajarkan agar pelajar Indonesia dapat berpartisipasi dan bersaing di kancah global (Panjaitan, 2013; Permendiknas no. 22 Tahun 2006). Informasi yang selaras dengan pandangan itu didapatkan oleh Hadisantosa (2010) dari seorang pejabat yang menyampaikan bahwa pelajar Indonesia mendapat mandat untuk menguasai bahasa Inggris agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat global. Untuk dapat beradaptasi dengan tuntutan dalam mata pelajaran bahasa Inggris terutama di jenjang yang lebih tinggi ketika bahasa Inggris sudah ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib dan distandarkan secara nasional, maka dibutuhkan kemampuan dasar yang cukup. Kemampuan dasar berbahasa Inggris dapat ditentukan oleh besarnya akses terhadap bahasa Inggris yang dikondisikan oleh latar belakang sosial ekonomi. Lie (2007) menyatakan bahwa di Indonesia akses terhadap bahasa Inggris lebih dimiliki oleh pelajar berlatar belakang kelas tengah dan atas. Berdasarkan risetnya di Jakarta, Manara (2014) juga menuliskan bahwa bahasa Inggris lebih lekat dengan pelajar dari kelas tengah dan atas yang kerap menempuh studi di sekolah internasional atau nasional plus. Lalu penelitian Lamb (2011) yang dilakukan di sebuah provinsi di Indonesia menemukan bahwa peserta didik yang berpengalaman mengikuti kursus bahasa Inggris, menjalin relasi dengan teman di luar negeri, dan berkomunikasi dengan orang tua menggunakan bahasa Inggris memiliki kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris yang lebih baik dibanding pelajar yang tidak memiliki latar belakang sosial ekonomi serupa. Di samping itu persoalan kualitas pengajaran bahasa Inggris di jenjang Sekolah Dasar (SD) juga sangat mungkin menghambat peserta didik tertentu untuk mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris di jenjang selanjutnya. Guru-guru bahasa Inggris SD di daerah pelosok ternyata kurang kompeten (Luciana, 2006; Sadtono, 2007; dan Suyanto, 2010 dalam Zein, 2015). Selain itu apabila mereka memiliki kompetensi bahasa

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 2: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

2    

Inggris, tetapi mereka belum tentu mampu mengajar dengan baik mengingat pendidikan guru bahasa Inggris di Indonesia fokus untuk menghasilkan guru bahasa Inggris bagi jenjang menengah (Hawanti, 2014). Penelitian doktoral Yulia (2014) terhadap 12 SMP di Yogyakarta menemukan bahwa sekolah-sekolah yang peserta didiknya berlatar belakang sosial ekonomi bawah memiliki rata-rata UN Bahasa Inggris di bawah standar nasional (5,5). Ini menjadi salah satu potret bahwa tuntutan bahasa Inggris yang bertaraf nasional berjarak dengan kemampuan peserta didik dari kalangan sosial ekonomi bawah. Hal itu juga mengindikasikan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan standar bahasa Inggris yang berlaku secara nasional. Lalu apa yang mungkin dialami oleh mereka sepanjang proses sehari-hari? Kajian yang dilakukan oleh Lin (1999) di Hong Kong dan Sultana (2014) di Bangladesh dapat memberi ilustrasi apa yang dialami pelajar dari kalangan sosial ekonomi kurang beruntung ketika dipaksakan standar bahasa Inggris yang melampaui kapasitas mereka dalam proses pengajaran sehari-hari. Keberadaan bahasa Inggris dalam konteks studi mereka adalah sebagai kunci untuk berkiprah di dunia perekonomian. Lin (1999) melihat penggunaan bahasa Inggris yang dominan dalam proses pengajaran bahasa Inggris, sedangkan Sultana (2014) fokus pada penggunaan bahasa Inggris di perguruan tinggi sebagai bahasa pengantar perkuliahan. Keduanya sama-sama menunjukkan bahwa para pelajar berlatar belakang sosial ekonomi bawah mengalami kesulitan untuk memahami materi ajar yang disampaikan menggunakan bahasa Inggris. Secara spesifik Lin (1999) menunjukkan bahwa pengalaman itu menghadirkan kekhawatiran akan masa depan, sedangkan Sultana (2014) menemukan bahwa pengalaman tersebut memunculkan anggapan bahwa kapasitas intelektual ekuivalen dengan kemampuan berbahasa Inggris yang kurang. Ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap diri dibentuk melalui proses. Temuan mereka merupakan dasar yang relevan untuk mencari tahu pengalaman peserta didik sepanjang mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris yang dibahas dalam tulisan ini. Pertanyaannya, secara sosiologis apa konsep yang menggambarkan hal itu, serta bagaimana mungkin keterpurukan pelajar dari kalangan tak beruntung dapat diterima dan bahkan dibenarkan? Adalah Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron yang meletakkan fondasi teori yang kritis untuk menjelaskannya. Di dalam buku Reproduction, Bourdieu dan Passeron (1990) berargumen bahwa semua pengajaran yang memaksakan suatu budaya yang dianggap sahih dengan menggunakan kuasa yang sewenang-wenang merupakan kekerasan simbolis. Kekerasan ini bersifat simbolis karena pemaksaan yang terjadi tidak berwujud fisik, melainkan berada di tataran makna atau cara pandang. Kemudian kuasa yang digunakan pun bersifat absah sehingga pemaksaan dan apa yang dipaksakan memiliki legitimasi. Oleh karena itu, kegagalan pelajar kelas bawah untuk memenuhi tuntutan di sekolah merupakan kegagalan yang sahih (Haralambos, 2008). Berbekal perspektif sosiologi pendidikan kritis itu, kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya kekerasan simbolis terhadap peserta didik miskin melalui beroperasinya mata pelajaran bahasa Inggris. Secara mendasar kekerasan simbolis terjadi terhadap peserta didik miskin karena mereka secara terus menerus dipaksa untuk menguasai bahasa Inggris yang sangat berjarak dengan kemampuan dasar mereka sehingga mereka pun kerap mengalami kesulitan dan bahkan kegagalan. Beban yang dipaksakan pada mereka dibenarkan atas dasar pandangan bahwa itu sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, kegagalan mereka pun bersifat sahih. Lalu bagaimana dengan konteks dilakukannya studi ini? Menurut pernyataan seorang pejabat pemerintah yang diwawancarai Hadisantosa (2010), tuntutan untuk menguasai bahasa Inggris lebih tinggi untuk konteks kota-kota besar. Salah satu kota besar di Indonesia adalah DKI Jakarta yang menurut Wirutomo (2012) merupakan kota yang seharusnya menjadi penggerak pembangunan nasional. Sekalipun status itu melekat pada kota Jakarta, tetapi Wirutomo (2012) juga menegaskan bahwa wajah ketimpangan masih bertahan di ibu kota. Hal itu dibenarkan oleh pendataan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam bkkbn.go.id bahwa persentase penduduk miskin di Jakarta sejak tahun 2009 hingga 2013 selalu lebih dari angka 3% atau 300.000. Kondisi sosial ekonomi tersebut dapat melatarbelakangi keterbatasan akses terhadap bahasa Inggris yang dialami oleh pelajar dari kalangan miskin. Meski begitu, bukan tak mungkin mereka tetap dapat menikmati akses pendidikan karena berdasarkan pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam bps.go.id, secara keseluruhan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) di Jakarta sejak tahun 2003 hingga 2015 cenderung berada di atas angka nasional. Yang menjadi persoalan adalah apakah mungkin mereka tidak mengalami kesulitan lalu terhindar dari keterpurukan sepanjang proses pengajaran bahasa Inggris? Sebagai pembanding, hasil penelitian Bourdieu dan Passeron (1979) di Perancis menunjukkan bahwa terbukanya akses terhadap pendidikan bukan jaminan bagi pelajar dari kalangan tak beruntung untuk menorehkan keberhasilan

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 3: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

3    

karena tuntutan dalam dunia pendidikan ternyata berjarak dengan kemampuan mereka yang dikondisikan oleh latar belakang kelas sosial. Dari sinilah, penelitian ini mengambil kasus dengan berkontekskan kota Jakarta.

PEMIKIRAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PIERRE BOURDIEU Bagi Bourdieu, institusi pendidikan bertanggung jawab atas terlestarikannya kesenjangan sosial (Swartz, 1997). Ini terjadi karena dalam konteks kajiannya di Perancis, sistem pendidikan bias terhadap kelas dominan (Dalal, 2016). Dalam konteks masyarakat Perancis, kelas dominan berkuasa untuk menjadikan budayanya sebagai budaya dominan yang memiliki legitimasi (Haralambos, 2008). Di dalam buku The Inheritors, Bourdieu dan Passeron (1979) menuliskan bahwa standar yang digariskan di sekolah sangat dekat dengan budaya kelompok elit dan berjarak dengan kompetensi kultural yang dimiliki pelajar dari lingkungan non elit. Selanjutnya Bourdieu dan Passeron (1990) membangun fondasi teoritis mengenai kekerasan simbolis di dalam buku Reproduction. Keduanya berargumen bahwa sistem pendidikan berfungsi untuk mereproduksi budaya dominan sebagai jembatan menuju reproduksi struktur sosial di masyarakat. Pembongkaran atas dominasi itulah yang membuat pemikiran Bourdieu berhaluan kritis (Swartz, 1997). Pemikiran teoritis yang dituangkan dalam buku itu menjadi kerangka berpikir utama tulisan ini. Kemudian konsep arena, kapital, dan habitus juga digunakan karena turut menjadi fondasi dari bangunan pemikiran Bourdieu (Dalal, 2016). Konsep Arena, Kapital, dan Habitus Bourdieu melihat masyarakat sebagai ruang sosial yang terdiri atas berbagai arena yang saling terkait dan setiap arena memiliki aturan main masing-masing yang mengatur jalannya permainan (Rusdiati, 2004). Arena terdiri atas jalinan relasi antar posisi yang bersifat objektif yang ditempati oleh agen sesuai dengan kapital yang dimiliki dan setiap agen di dalam arena saling berkompetisi (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Arena sendiri mempunyai bagian-bagian atau subarena yang menjadi suatu arena sehingga memiliki logika aturan main tersendiri meskipun tetap terkait dengan aturan main dari suatu arena secara keseluruhan (Thomson, 2008). Kondisi ini merujuk pada konsep otonomi relatif yang menunjukkan adanya dua sifat dari arena, yakni terhubung dengan lingkungan eksternal dan independen darinya di mana independensi suatu arena dari lingkungan luar tergantung dari konteks historis dan jenis arenanya (Swartz, 1997). Kemampuan agen (individu atau institusi) untuk beradaptasi dengan aturan main lalu memenangi kompetisi di suatu arena tentu saja tidak lepas dari kapital dan habitus yang dimiliki dari latar belakang kelas sosialnya. Menurut Bourdieu (1984) kelas sosial yang ditempati oleh agen memiliki ciri kehidupan yang membentuk dirinya (habitus). Menurutnya terdapat tiga aspek yang menentukan kondisi kehidupan suatu kelas sosial, yakni volume keseluruhan kapital, komposisi kapital, dan perubahan volume maupun komposisi kapital yang mungkin terjadi sepanjang perjalanan hidup. Terdapat empat jenis kapital dan setiap kapital memiliki bobot relatif yang berbeda sesuai aturan main dalam setiap arena (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Misalnya, kapital budaya memiliki bobot yang tinggi pada arena pendidikan (Bousquett dan Pessin, 2003). Kemudian setiap kapital juga dapat dikonversi menjadi bentuk yang lain (Bourdieu, 1984).

Tabel 1 Bentuk-Bentuk Kapital Kapital Keterangan

Kapital Ekonomi Kapital ekonomi terdiri atas kekayaan, pendapatan, dan properti (Swartz, 1997). Kapital Budaya Yang termasuk kapital adalah ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara

berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan lain-lain (Haryatmoko, 2003).

Kapital Sosial Kapital sosial merupakan sumber daya yang dimiliki individu atau kelompok baik aktual maupun virtual berkat adanya jaringan antar pihak yang terlembaga maupun tidak (Bourdieu dan Wacquant, 1992).

Kapital Simbolis Kapital simbolis merupakan pengakuan atas kepemilikan suatu kapital yang membuat pemiliknya berkuasa memaksakan suatu sudut pandang (Bourdieu, 1990).

Sumber: Olahan Penulis Sementara itu habitus terbentuk berdasarkan pengalaman kehidupan dalam suatu lingkungan sosial dengan kondisi struktural tertentu sebagai ciri khas dari suatu kondisi kelas (Bourdieu, 1984; Bourdieu, 1990; Bourdieu dan Wacquant, 1992). Tentu saja kondisi lingkungan (kelas) sosial setiap agen berbeda sehingga muncul istilah habitus kelas (misal, habitus kelas bawah) sesuai dengan asal usul pembentukannya. Dengan

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 4: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

4    

habitus itu, maka agen dapat memahami aturan main di suatu arena yang dimasukinya (Bourdieu, 1990). Selain itu habitus juga merupakan kecenderungan yang memberi panduan untuk mempersepsi, menilai, dan bertindak (Bourdieu, 1990; Bourdieu dan Wacquant, 1992). Menurut Bourdieu (1998) persepsi dan penilaian yang dimunculkan oleh agen membentuk suatu klasifikasi yang pada dasarnya dapat dibedakan, misalnya baik dan buruk, benar dan salah. Pada dasarnya habitus memiliki sifat kreatif dan berdaya cipta, tetapi tetap dibatasi oleh karakteristik struktur sosial tempat ia dibentuk (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Teori Kekerasan Simbolis Fondasi teori kekerasan simbolis dituliskan oleh Bourdieu dan Passeron (1990) dalam karya berjudul Reproduction. Terdapat enam elemen penting yang berperan memfasilitasi beroperasinya kekerasan simbolis, yakni aksi pedagogis, otoritas pedagogis, praktik pedagogis, sistem pendidikan, otoritas sekolah, dan praktik persekolahan. Aksi pedagogis, otoritas pedagogis, dan praktik pedagogis merupakan tiga elemen mendasar agar kekerasan simbolis dapat bekerja. Ketiga elemen ini dapat berlaku dalam segala formasi sosial dan dalam berbagai konteks, misalnya aksi pedagogis yang dijalankan keluarga sebagai manifestasi dari pendidikan keluarga. Selanjutnya sistem pedidikan, otoritas sekolah, dan praktik persekolahan merupakan elemen-elemen yang khusus memfasilitasi beroperasinya kekerasan simbolis dalam konteks pendidikan formal. Aksi pedagogis merupakan kekerasan simbolis sejauh melaluinya terjadi pemaksaan budaya secara sewenang-wenang dengan memanfaatkan kuasa yang sewenang-wenang pula. Dalam konteks sosial tempat dilakukannya aksi pedagogis, terdapat relasi kuasa antar kelompok atau kelas yang mendasari suatu dominasi budaya tertentu. Budaya dominan merupakan budaya milik kelompok atau kelas dominan, bersifat sahih, dan menjadi tolok ukur bagi budaya-budaya lainnya. Aksi pedagogis yang dilakukan untuk memaksakan budaya dominan bertujuan untuk menjaga dominasi kelompok atau kelas dominan di dalam suatu formasi sosial. Supaya aksi pedagogis terlihat netral, maka dibutuhkan otoritas pedagogis dan otonomi relatif. Otoritas pedagogis membuat aksi pedagogis, agen pedagogis yang menjalankan, beserta dengan konten yang dipaksakan memiliki legitimasi. Otoritas pedagogis merupakan kuasa yang terlegitimasi sebagai sebuah kondisi yang dibutuhkan aksi pedagogis. Legitimasi ini menyembunyikan adanya kesewenang-wenangan yang berjalan melalui aksi pedagogis. Adanya otoritas pedagogis di saat yang sama mengkondisikan adanya kemandirian yang dimiliki oleh agen pedagogis, yakni otonomi relatif. Kemandirian ini menjadi bagian dari penyembunyian kesewenang-wenangan, yakni bahwa aksi pedagogis memuat budaya milik kelompok atau kelas tertentu. Dalam hal ini agen pedagogis tidak benar-benar mandiri karena biar bagaimana pun otoritas pedagogis yang dimilikinya dibangun atas dasar relasi kuasa yang mendasari dominasi suatu budaya yang terlegitimasi. Otoritas pedagogis didelegasikan dari kelompok atau kelas kepada agen pedagogis dan tidak harus bersifat langsung atau kontrak karena sejauh aksi pedagogis memuat suatu budaya dari suatu kelompok atau kelas, maka telah tercipta kondisi yang menghadirkan otoritas pedagogis. Dengan demikian, ketika suatu aksi pedagogis memuat budaya dominan, maka ia dilakukan atas mandat kelompok atau kelas dominan. Aksi pedagogis memerlukan praktik pedagogis. Praktik pedagogis merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk menginternalisasikan suatu budaya hingga dapat menyatu dengan habitus dari objek yang dituju. Pada dasarnya sebagai sebuah institusi, sistem pendidikan berperan untuk melakukan reproduksi budaya dalam rangka mendorong reproduksi sosial. Dalam hal ini sistem pendidikan menyerap budaya dominan dan melakukan aksi pedagogis untuk memaksakannya sebagai jalan untuk mempertahankan relasi kuasa di masyarakat. Untuk melakukannya sistem pendidikan berdiri sebagai sebuah institusi yang memiliki kemandirian hingga derajat tertentu untuk beroperasi. Oleh karena itu, sistem pendidikan membekali para agennya dengan pelatihan terstandar dan instrumen terstandar (silabus, diktat materi, dan sejenisnya). Pelatihan dan instrumen terstandar yang diberikan bagi agen membuat mereka menjalankan praktik pedagogis yang terlembaga dalam wujud praktik persekolahan. Dengan demikian, sekolah pun beroperasi sesuai standar yang digariskan di dalam sistem pendidikan. Tidak ketinggalan sistem pendidikan juga membekali agen dengan otoritas sekolah, suatu bentuk otoritas pedagogis yang terlembaga dalam sistem pendidikan, agar dapat menjalankan aksi pedagogis dan praktik pedagogis yang terlembaga. Dalam hal ini guru yang bekerja di dalam sistem pendidikan memiliki otoritas tersebut. Sebagai catatan, ketika otoritas tersebut didelegasikan secara eksplisit, maka akan terdapat kontrol agar apa yang dijalankan sesuai dengan standar. Secara keseluruhan, beroperasinya sistem pendidikan melalui para agen yang menjalankan aksi pedagogis dan praktik

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 5: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

5    

persekolahan yang terlegitimasi berkat otoritas sekolah akan memfasilitasi reproduksi sosial sehingga sistem pendidikan sebagai arena sesungguhnya tidak benar-benar independen.

METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh data, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena peneliti hendak menggali pemahaman yang mendalam sesuai dengan permasalahan yang dibangun (Neuman, 2006). Sementara itu pendekatan kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Menurut Creswell (2014) studi kasus diawali dengan isu yang mendorong peneliti untuk melakukan penelusuran lebih jauh dengan berangkat dari satu atau beberapa kasus dan menempatkannya sesuai dengan konteks yang ada. Secara metodologis pemilihan lokasi sekolah didasari oleh teori dan faktor kenyamanan (Kuzel, 1992 dan Paton, 1990 dalam Huberman dan Miles, 1994). Oleh karena itu, peneliti memilih konteks lokasi dan karakteristik partisipan dengan berangkat dari pemikiran Bourdieu, serta faktor kemudahan (akses). Penelitian Bourdieu dan Passeron menemukan bahwa kelompok pelajar dari kalangan bawah yang tidak terbiasa hidup dalam fasilitas dan berbagai kebiasaan yang membuat mereka mampu beradaptasi dengan standar di sekolah (Haryatmoko, 2003). Budaya dominan yang terserap ke dalam sistem pendidikan menjadi standar keberhasilan akademis yang berjarak dengan kemampuan kalangan bawah yang terdominasi sehingga melalui sekolah terjadilah kekerasan simbolis (Dalal., 2016). Atas dasar itulah sekolah yang dituju harus memiliki peserta didik miskin yang kemampuan bahasa Inggris-nya berjarak dengan tuntutan di dalam sekolah maupun sistem pendidikan di Indonesia secara umum. Penetapan lokasi sekolah didahului dengan studi pendahuluan. Pemilihan lokasi untuk studi pendahuluan ini didasari oleh faktor adanya akses. Berdasarkan studi pendahuluan, sekolah tersebut memiliki peserta didik miskin yang kemampuan bahasa Inggris-nya tergolong rendah menurut standar yang ditetapkan di sekolah maupun pemerintah. Capaian akademis bahasa Inggris mereka yang di bawah standar menjadi cermin awal keterpurukan mereka selama proses pengajaran bahasa Inggris yang merupakan manifestasi dari kekerasan simbolis terhadap pelajar miskin. Oleh karena itu, kasus yang diambil bertempat di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Untuk memahami kasus yang diangkat, maka peneliti menggunakan berbagai sumber data. Wawancara dilakukan terhadap sepuluh orang informan yang terdiri atas representasi Dinas Pendidikan (Bapak AS), Kepala Sekolah (Guru WS), Wakil Kepala Sekolah (Guru A), Wali Kelas IX (Guru V), Guru Bimbingan dan Konseling (Guru S), Guru Bahasa Inggris (Guru BT dan Guru ES), dan Peserta Didik Miskin yang duduk di kelas IX (ANS, KL, FY). Dokumen milik sekolah maupun berbagai kebijakan pendidikan juga menjadi sumber data. Dokumen milik sekolah yang digunakan adalah soal ujian Bahasa Inggris dalam tiga tahun terakhir, uji coba UN Bahasa Inggris, instrumen supervisi manajerial dan klinis, serta kumpulan nilai Bahasa Inggris. Sementara itu berbagai kebijakan pendidikan itu ialah sebagai berikut, Undang-Undang no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Peraturan Pemerintah no. 19 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah no. 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan; Peraturan Pemerintah no. 74 Tahun 2008 tentang Guru; Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional no. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI); Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional no. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL); Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional no. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan; Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan; Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional no. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses; Pedoman Penyusunan KTSP.

BEROPERASINYA MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DI JENJANG SMP DALAM

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Bagian ini akan mendeskripsikan keberadaan bahasa Inggris sebagai salah satu wujud dari budaya yang distandarkan sebagai mata pelajaran dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selanjutnya diskusi akan membahas lebih jauh bagaimana mata pelajaran bahasa Inggris dapat beroperasi secara nasional dengan merujuk pada karakteristik kegiatan pengajaran secara umum, sebab pengajaran bahasa Inggris terintegrasi dengan kegiatan pengajaran pada umumnya. Singkatnya, bagian ini akan mendeskripsikan bagaimana sistem pendidikan, otoritas sekolah, aksi pedagogis, dan praktik persekolahan terkait mata pelajaran bahasa Inggris bekerja untuk menginternalisasikan pengetahuan bahasa Inggris bagi pelajar di Indonesia pada jenjang SMP.

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 6: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

6    

Latar Belakang dan Standar Mata Pelajaran Bahasa Inggris di Indonesia Eksistensi bahasa Inggris sebagai bahasa global dilatarbelakangi oleh konteks global yang ada. Brutt-Griffler (2002), Fennell (2001), Lauder (2008), Vu (2012) dan Yusny (2013) sama-sama menguraikan bahwa geliat Amerika Serikat dan Inggris dalam sistem global telah meletakkan dasar bagi dominasi bahasa Inggris di dunia. Walau demikian, di dalam bukunya, Brutt-Griffler (2002) juga menulis bahwa bahasa Inggris sebagai ekspresi linguistik dari sistem ekonomi dan kebudayaan (ilmu pengetahuan dan teknologi) di dunia dapat bertahan berkat berbagai bangsa di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Asia yang mengakuisisi bahasa Inggris dan mengalami kemajuan di bidang ekonomi maupun budaya. Akan tetapi, peranan Amerika Serikat tetap tidak dapat diabaikan. Vu (2012) memaparkan bahwa kedigdayaan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II beserta kepentingan ekonomi dan kebudayaannya melalui berbagai institusi, seperti NATO, UNESCO, atau korporasi, semisal Exxon, Ford, IBM, McDonald’s, Microsoft, dan Disney, telah menjaga dominasi bahasa Inggris. Lagipula selama perang dingin, Amerika Serikat merupakan pemimpin dari blok Barat yang kapitalis (Suwarsono dan Yo, 1994; Wardaya, 2012). Indonesia sebagai sebuah bangsa di Asia Tenggara memberikan kedudukan penting bagi bahasa Inggris walaupun hanya sebagai bahasa asing. Hal itu tidak lepas dari keterikatan antara Indonesia dengan kondisi lingkungan global yang ada. Pranowo (2007) menegaskan bahwa maraknya penggunaan bahasa Inggris di Indonesia dikarenakan kebijakan politik Indonesia yang berkiblat pada Amerika Serikat. Selanjutnya menurut Sneddon (2003) tekanan untuk menguasai bahasa Inggris bagi masyarakat Indonesia telah dimulai pada era Orde Baru. Dalam konteks itu Soeharto memang terbuka pada kubu Barat, berkeinginan agar Indonesia terintegrasi dengan ekonomi dunia, dan mengusung semangat anti-Komunis (Drakeley, 2005; Hadiz, 2006; Kivimäki, 2000; Wie, 2003). Selain itu menurut Sally (2008) Indonesia terintegrasi dengan World Trade Organization (WTO). Sesungguhnya di balik WTO sendiri terdapat kepentingan perdagangan Amerika Serikat (Mantra, 2011). Paparan di atas melatarbelakangi keberadaan mata pelajaran bahasa Inggris yang berstatus wajib dalam sistem pendidikan di Indonesia yang dalam tulisan ini akan dikhususkan pada konteks pendidikan formal1 yang diatur menurut rambu-rambu dalam kurikulum 2006 atau KTSP. Secara eksplisit mata pelajaran bahasa Inggris diatur dalam UU no. 20 Tahun 2003, Permendiknas no. 22 Tahun 2006, dan Permendiknas no. 23 Tahun 2006. Di dalam UU no. 20 Tahun 2003, dijelaskan pada penjelasan atas pasal 37 bahwa bahasa asing yang terutama untuk diajarkan di jenjang dasar dan menengah adalah bahasa Inggris yang berguna untuk pergaulan global. Ini menunjukkan bahwa jalur pendidikan formal wajib mengajarkan bahasa Inggris. Lebih jauh lagi, alokasi dan muatan mata pelajaran bahasa Inggris diatur dalam Permendiknas no. 22 Tahun 2006 dan Permendiknas no. 23 Tahun 2006. Menurut Permendiknas no. 22 Tahun 2006, mata pelajaran bahasa Inggris bersifat wajib mulai di jenjang SMP. Hal ini sebenarnya adalah kelanjutan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang sejak awal kemerdekaan memang memberlakukan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib mulai di jenjang SMP (Panjaitan, 2013). Mata pelajaran bahasa Inggris memperoleh alokasi waktu minimal sebanyak empat jam pelajaran per minggunya. Dalam struktur kurikulum, bahasa Inggris menjadi satu-satunya bahasa asing yang wajib diajarkan. Dengan demikian, mata pelajaran bahasa Inggris mempunyai keistimewaan dibandingkan mata pelajaran bahasa asing lainnya. Untuk jenjang SMP standar kompetensi bahasa Inggris terpusat pada teks prosedur, narasi, deskripsi, recount, dan laporan. Panjaitan (2013) menjelaskan bahwa teks prosedur berisikan tata cara melakukan sesuatu; teks narasi berisikan cerita, seperti cerita pendek, novel, film, dongeng, legenda; teks deskripsi dapat berisi uraian mengenai sesorang, tempat wisata; teks laporan memuat paparan ilmiah. Standar kompetensi tersebut termuat dalam Permendiknas no. 23 Tahun 2006. Lalu materi teks fungsional, pengetahuan kosakata, dan tata bahasa juga mendapatkan penekanan sebagaimana yang tertera dalam SI. Berdasarkan observasi peneliti teks fungsional merupakan teks pendek yang biasanya berbentuk ucapan selamat, pengumuman, daftar belanja, dan lain-lain. Materi-materi ini dipelajari dalam empat aspek utama dalam bahasa, yakni mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Semua cakupan materi ini diatur dalam Permendiknas no. 22 Tahun 2006. Walau demikian, Furaidah, Saukah, dan Widiati (2015) dengan merujuk pada Permendiknas no. 75 Tahun 2009

                                                                                                                         1  Menurut pasal 13, ayat 1 UU no. 20 Tahun 2003, di Indonesia terdapat tiga jalur pendidikan, yakni pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.  

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 7: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

7    

menulis bahwa aspek yang diujikan secara nasional dalam mata pelajaran Bahasa Inggris untuk jenjang SMP adalah membaca dan menulis saja. Bisa dikatakan, kompetensi membaca dan menulis menjadi dua aspek paling minimal yang harus dikuasai oleh seluruh peserta didik SMP di Indonesia. Ditetapkannya mata pelajaran bahasa Inggris sebagai salah satu mata uji dalam UN bukan hanya menjamin keberadaannya sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan, tetapi juga kualitas pengajarannya yang harus memenuhi standar nasional. Betapa tidak, UN yang hanya memuat beberapa mata pelajaran merupakan salah satu tolok ukur dari mutu pendidikan sekolah maupun daerah. Sekolah atau daerah yang dianggap “kurang bermutu” berdasarkan hasil UN-nya akan diberikan pembinaan dan bantuan. Semua ini telah diatur dalam pasal 68 PP no. 19 Tahun 2005 yang diturunkan ke dalam Permendiknas no. 20 Tahun 2007. Guru WS selaku kepala sekolah menegaskan bahwa salah satu wujud dari mutu pendidikan yang dimiliki sekolah atas dasar capaian UN adalah peringkat sekolah yang bersangkutan. “Namun nilai UN ini masih menggambarkan wajah dari sekolah karena peringkat sekolah diambil dari sini. Bermutu atau tidak hanya dilihat dari nilai UN karena sekolah diperingkat berdasarkan UN”, tukas beliau. Di samping itu UN juga dapat berfungsi sebagai alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, capaian bahasa Inggris dalam UN turut menentukan keberhasilan peserta didik duduk di kursi sekolah yang diinginkannya. Secara yuridis ini juga diatur dalam pasal 68 PP no. 19 Tahun 2005 dan Permendiknas no. 20 Tahun 2007. Guru WS mengkonfirmasi, “Karena untuk masuk ke negeri itu salah satunya dilihat dari UN. Jadi itu salah satu lagi ya tujuan pemerintah membuat UN, menjadi syarat untuk pendidikan yang lebih tinggi. Dari SMP ke SMA, dari SMA ke Perguruan Tinggi.” Seluruh penjelasan di atas telah menunjukkan kondisi konkrit yang menjadi alasan mengapa pelajar di Indonesia harus menguasai bahasa Inggris hingga taraf tertentu. Standar-standar dalam mata pelajaran bahasa Inggris yang dilembagakan di dalam institusi pendidikan hanyalah wujud operasional dari diskursus mengenai pentingnya menguasai bahasa Inggris sesuai tuntutan kehidupan. Terlepas dari apakah pandangan bahwa penguasaan bahasa Inggris bersifat mutlak agar dapat beradaptasi dengan konteks zaman adalah sepenuhnya tepat atau tidak, tapi atas dasar itulah pelajar di Indonesia memperoleh mandat untuk menguasainya. Di sinilah sistem pendidikan hadir untuk mempersiapkan peserta didik. Sebab, sesuai dengan pasal 1, ayat 2 dari UU no. 20 Tahun 2003, salah satu ciri dari pendidikan nasional adalah tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dalam sudut pandang Bourdieu, arena pendidikan di Indonesia dikondisikan oleh lingkungan eksternalnya sehubungan dengan tuntutan untuk mampu berbahasa Inggris.

Otoritas Sekolah Untuk mempersiapkan pelajar-pelajar di Indonesia setidaknya sejak SMP untuk menguasai bahasa Inggris, maka diperlukan pengajaran bahasa Inggris sebagai wujud dari aksi pedagogis. Dalam sistem pendidikan pada bentuk jalur formal, sekolah diberi tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan formal yang memuat pengajaran bahasa Inggris dan pengajaran lainnya sesuai yang telah diatur dalam kurikulum. Secara tegas hal itu dinyatakan dalam pasal 77 M, ayat 1 dari PP no. 32 Tahun 2013, “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.” Di sinilah sekolah-sekolah di Indonesia diberikan otoritas untuk menyelenggarakan pengajaran bahasa Inggris yang bertaraf nasional. Lalu siapa yang bertugas mewujudkannya? Adalah guru bahasa Inggris sebagai agen yang mewujudkannya. Sebab, berdasarkan pasal 1, ayat 1 UU no. 14 Tahun 2005 dan pasal 1, ayat 1 PP no. 74 Tahun 2008 yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, pendidikan menengah. Selain itu dalam Permendiknas no. 19 Tahun 2007 dituliskan bahwa guru merupakan pendidik yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Uraian dalam kebijakan-kebijakan itu menegaskan keberadaan guru sebagai agen yang secara otomatis memiliki otoritas sekolah sebagai implikasi dari jabatan yang dimilikinya di dalam jenjang pendidikan formal. Kondisi ini sejalan dengan pemaparan Bourdieu dan Passeron (1990) bahwa guru sebagai pegawai dalam suatu sistem pendidikan akan memiliki otoritas sekolah. Jika mengikuti logika berpikir Bourdieu, sekolah sendiri merupakan subarena dari arena pendidikan yang lebih luas yang dapat memiliki aturan main tersendiri khususnya untuk mata pelajaran bahasa Inggris. Dalam konteks Indonesia, apakah hal itu ada dan jika ada, bagaimana hal itu dimungkinkan secara yuridis?

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 8: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

8    

Pasal 77 M, ayat 2 dari PP no. 32 Tahun 2013 memuat pernyataan, “Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, dan pedoman implementasi Kurikulum.” Ini artinya sekolah sebagai pelaksana KTSP dapat pula mengembangkannya dan hal itu menyesuaikan dengan karakteristik yang ada di sekolah maupun lingkungannya (BSNP, 2006). Di sinilah sekolah memiliki kemandirian hingga derajat tertentu untuk mendesain sendiri karakteristik dari pengajaran bahasa Inggris. Sehubungan dengan hal itu, guru sebagai pelaksananya memperoleh otoritas pedagogis dari sistem pendidikan atau pun sekolah untuk mengembangkan muatan pengajaran bahasa Inggris. Aksi Pedagogis dan Praktik Persekolahan Pengajaran bahasa Inggris berbasis standar kurikulum yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di Indonesia merupakan bagian dari kegiatan pengajaran pada umumnya. Dengan demikian, wujud konkret dari pengajaran bahasa Inggris harus kembali pada gambaran dari kegiatan pengajaran secara umum. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Permendiknas no. 19 Tahun 2007. Menurut Permendiknas no. 19 Tahun 2007, kegiatan pembelajaran didasarkan pada SKL, SI, Standar Proses, dan Standar Penilaian. Muatan materi bahasa Inggris untuk jenjang SMP telah diuraikan sebelumnya sehingga pada bagian ini deskripsi lebih diarahkan pada pengoperasiannya melalui proses pengajaran dan penilaian. Aksi pedagogis merupakan moda untuk memaksakan suatu cara pandang atau budaya. Dalam kajian ini pengajaran bahasa Inggris merupakan moda yang harus dioperasionalkan lagi agar tampak lebih konkret dan dapat digunakan untuk menginternalisasikan pengetahuan bahasa Inggris setidaknya seturut dengan standar nasional. Berdasarkan Permendiknas no. 41 Tahun 2007 kegiatan pengajaran terdiri atas rangkaian tahapan dimulai dari pemberian motivasi terkait pentingnya mempelajari suatu kompetensi; penyampaian materi dengan metode tertentu yang mempertimbangkan kondisi peserta didik, menekankan keaktifan peserta didik, dan selaras dengan jenis materi yang diajarkan; kegiatan penutup dari suatu rangkaian pengajaran yang memuat refleksi atas materi ajar atau pun pemberian tugas. Melalui rangkaian kegiatan itu, maka peserta didik mengalami internalisasi pengetahuan bahasa Inggris. Tidak berhenti di situ, terdapat mekanisme penilaian sesuai yang diatur dalam Permendiknas no. 20 Tahun 2007 sebagai moda untuk menjamin bahwa internalisasi pengetahuan bahasa Inggris telah sesuai dengan kompetensi yang digariskan secara nasional. Penilaian yang dilakukan di dalam sekolah terdiri atas penilaian harian (ulangan atau penugasan), remedial, Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), Ujian Kenaikan Kelas (UKK), dan Ujian Sekolah (US). Indikator-indikator dalam penilaian harian harus disesuaikan dengan materi yang hendak diujikan. Lalu pelaksanaan UTS, UAS, UKK, dan US dilakukan oleh guru di bawah koordinasi sekolah. Peserta didik yang nilainya tidak mencapai batas pada saat ulangan harian harus mengikuti remedial. Sehubungan dengan itu, terbuka ruang bagi sekolah untuk menetapkan standar nilai minimal dengan memperhitungkan kemampuan peserta didik, daya dukung, dan kompleksitas materi (BSNP, 2006). Seluruh komponen dari kegiatan pengajaran di atas yang memuat cakupan materi bertaraf nasional dan diselenggarakan oleh sekolah dalam suatu kurun waktu merupakan wujud dari praktik persekolahan. Setelah mengikuti seluruh rangkaian pengajaran bahasa Inggris sepanjang alokasi waktu yang disediakan baik untuk proses sehari-hari maupun ujian yang diadakan setiap semester (UTS, UAS, dan UKK), maka peserta didik akan menginternalisasikan pengetahuan bahasa Inggris yang setidaknya sesuai dengan standar nasional dan cara pandang yang mendasari signifikansi dari pengajarannya. Alokasi waktu untuk menyelenggarakan seluruh komponen dari kegiatan pengajaran diatur dalam program tahunan dan program semester yang merupakan bagian dari kalender pendidikan (Sanjaya, 2008). Bagaimana agar guru dapat menjalankan pengajaran yang bertaraf nasional? Di Indonesia, melalui kebijakan pemerintah (pasal 42, ayat 1-2 UU no. 20 Tahun 2003; pasal 2 PP no. 74 Tahun 2008), guru-guru harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik. Kualifikasi akademik merupakan latar belakang keilmuan. Sementara itu untuk memiliki sertifikat pendidik, maka setiap guru yang belum menjadi guru harus terlebih dahulu mengikuti pendidikan profesi, sedangkan mereka yang telah berstatus sebagai guru hanya cukup melengkapi penilaian portofolio yang pada intinya berisi kualifikasi akademis, pengalaman mengajar, daftar prestasi, rancangan pengajaran, pengalaman mengikuti pelatihan, penilaian hasil supervisi, partisipasi dalam forum ilmiah, dan pengalaman organisasi. Semua itu pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan untuk membentuk habitus guru agar dapat mengajar sesuai dengan rambu-rambu dalam

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 9: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

9    

kurikulum maupun mengembangkannya. Di samping itu guru juga dibekali dengan instrumen-instrumen, seperti dokumen SI dan SKL, dokumen panduan pengembangkan KTSP, dan silabus yang menjadi dasar untuk membuat desain pengajaran, serta buku teks pelajaran yang digunakan selama mengajar. Semua ini tertuang dalam Permendiknas no. 41 Tahun 2007. Mekanisme Pengawasan: Supervisi Manajerial dan Supervisi Klinis Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mekanisme pengawasan merupakan aspek yang menjadi penting. Hal itu diatur dalam pasal 66 UU no. 20 Tahun 2003, pasal 92 PP no. 19 Tahun 2005, dan Permendiknas no. 19 Tahun 2007. Pada dasarnya terdapat dua macam supervisi, yakni supervisi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap sekolah dan supervisi internal yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada guru. Bapak AS sebagai representasi Dinas Pendidikan mengkonfirmasi,

“Idealnya supervisi bertujuan untuk perbaikan yang baik agar bisa di share ke yang lain. Makanya dalam supervisi disamping skor juga perlu sekolah melakukan tindak lanjut. Tindak lanjut utama bukan dari Dinas tapi manajemen sekolah. Supervisi Akademis dilakukan minimal satu semester sekali setiap guru, sedangkan supervisi manajerial, sesuai program pengawas dan sekolah. Dampak bagi sekolah yang hasil supervisinya rendah akan dilakukan program perbaikan pada unsur yang rendah tersebut.” (Wawancara melalui Email dengan Bapak AS).

Berdasarkan observasi peneliti atas Instrumen Supervisi Manajerial dan Instrumen Supervisi Klinis yang dimiliki sekolah, terdapat sejumlah indikator yang menjadi dasar untuk mengontrol agar pengajaran yang diselenggarakan oleh sekolah melalui guru mata pelajaran tetap berjalan sesuai koridor. Sehubungan dengan itu penyusunan rancangan pengajaran tetap harus berangkat dari hasil telaah atas kurikulum. Ini merupakan penjamin agar praktik pedagogis yang dijalankan oleh guru, dalam hal ini guru bahasa Inggris, tetap sesuai dengan praktik pedagogis yang dilembagakan dalam bentuk praktik persekolahan yang memuat standar yang digariskan dalam sistem pendidikan. Tidak ketinggalan, di dalam supervisi klinis capaian peringkat UN sekolah pun menjadi bagian dari penilaian di mana ini menunjukkan bahwa sekolah harus menyelenggarakan pengajaran bahasa Inggris yang berstandar nasional.

BEROPERASINYA MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DI SEBUAH SEKOLAH Pada bagian sebelumnya telah dideskripsikan gambaran dari pengajaran bahasa Inggris yang bertaraf nasional. Semua itu dijalankan sebagai wujud dari aksi pedagogis yang dilakukan atas nama sistem pendidikan Indonesia dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk menyongsong hari depan yang membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris. Namun, dalam konteks KTSP pihak sekolah dapat mengembangkan kurikulum. Dalam pandangan Bourdieu, sekolah sebagai subarena dari arena pendidikan dapat memiliki aturan main tersendiri walaupun tetap terikat dengan aturan main dalam arena pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, aksi pedagogis tidak hanya dilakukan atas nama sistem pendidikan nasional, tapi dapat pula dilakukan atas nama sekolah yang memiliki kemandirian hingga derajat tertentu. Hal ini membuat proses yang dijalankan bukanlah berbentuk praktik persekolahan yang digariskan dalam sistem pendidikan secara nasional, melainkan praktik pedagogis yang secara spesifik berlaku di dalam sebuah sekolah dan memuat standar bahasa Inggris yang tidak segaris dengan standar nasional. Guru sebagai pelaksananya pun diberikan otoritas pedagogis untuk mengembangkan pengajaran dan melaksanakannya. Berbeda dengan otoritas sekolah, otoritas pedagogis secara khusus dimiliki oleh guru untuk mendesain dan melaksanakan pengajaran yang tidak segaris dengan standar nasional. Dalam konteks Indonesia otoritas pedagogis tidak hanya diberikan oleh sistem pendidikan sesuai dengan yang diatur dalam kebijakan pendidikan, tapi sekolah dengan kemandiriannya yang relatif juga dapat melimpahkan otoritas pedagogis pada guru mata pelajaran. Profil Sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jakarta Sekolah yang dituju sebagai lokasi penelitian ini menerima peserta didik dari kalangan yang kurang mampu. Ciri paling jelasnya adalah diajukannya beberapa nama peserta didik untuk menerima Kartu Jakarta Pintar (KJP). Guru A menegaskan bahwa penerima KJP haruslah peserta didik yang benar-benar miskin. Sementara itu Guru V menambahkan bahwa seorang penerima KJP harus terlebih dahulu disurvei kondisi sosial ekonominya. Menurut keterangan yang ditulis oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dalam kjp.jakarta.go.id, KJP merupakan bentuk bantuan finansial yang diberikan kepada peserta didik yang dianggap

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 10: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

10    

kurang mampu atau miskin. Peserta didik yang layak untuk menerima KJP adalah mempunyai orang tua yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pendidikan, seperti membeli sepatu, seragam, tas sekolah, biaya transportasi, makanan, dan biaya ekstrakurikuler. Otoritas Pedagogis dan Otoritas Sekolah Sebagai pemilik otoritas sekolah, sekolah juga mempunyai kemandirian hingga derajat tertentu. Terdapat dua aspek terkait hal itu. Pertama, di samping menjalankan mandat untuk menyelenggarakan pengajaran bahasa Inggris yang selaras dengan agenda pendidikan nasional, sekolah itu juga memiliki agenda tersendiri. Terdapat mata pelajaran English Conversation yang menjadi mata pelajaran tersendiri di luar jam bahasa Inggris. Mata pelajaran English Conversation untuk seluruh jenjang kelas diampu oleh Guru ES. Selain itu beliau juga mengampu mata pelajaran bahasa Inggris di kelas sembilan. Sementara itu Guru BT merupakan guru Bahasa Inggris untuk kelas tujuh dan delapan. Kedua, masih berkaitan dengan pengajaran bahasa Inggris. Dengan otonomi relatif yang dimiliki sekolah, maka jam pelajaran bahasa Inggris tidak diberikan hanya empat jam, melainkan lima jam pelajaran per minggu. Dalam konteks itu, Guru BT dan Guru ES memiliki otoritas sekolah untuk mengajarkan mata pelajaran bahasa Inggris yang bertaraf nasional. Adanya penambahan sebanyak satu jam memungkinkan keduanya untuk secara mandiri melakukan improvisasi sehingga konten materi bisa jadi tidak melulu segaris dengan kurikulum nasional. Di sinilah otoritas pedagogis keduanya dapat bekerja. Lalu secara khusus sekolah memberikan otoritas pedagogis bagi Guru ES untuk mengajarkan English Conversation yang memang tidak diatur dalam kurikulum nasional. Di samping memiliki otoritas sekolah sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan kepada sekolah untuk mendidik peserta didik sesuai dengan rambu-rambu dalam kurikulum nasional, guru bahasa Inggris juga dapat mengembangkan sendiri kegiatan pengajaran yang dilaksanakannya sesuai dengan kebijakan sekolah. Berikut adalah tabel berisikan penjelasan mengenai sejauh mana guru dapat secara mandiri melakukan improvisasi dalam beberapa aspek terkait kegiatan pengajaran bahasa Inggris.

Tabel 2 Batasan dan Ruang Improvisasi Moda Aspek Deskripsi

Penyampaian materi

Konten Materi

Harus berpijak pada kurikulum utamanya silabus mata pelajaran, tetapi dapat dikembangkan secara mandiri. Oleh karena itu, di samping memiliki otoritas sekolah untuk mengajar sesuai kurikulum nasional, tapi guru juga memiliki otoritas pedagogis untuk mengembangkannya secara mandiri.

Metode Pengajaran

Harus berpusat pada peserta didik dan sesuai dengan jenis materi ajar, tetapi jenis metode yang digunakan tetap berangkat dari pertimbangan guru atas kondisi peserta didik. Oleh karena itu, guru secara mandiri dapat memanfaatkan otoritas pedagogis yang dimilikinya untuk memilih metode yang sesuai dengan kondisi peserta didik menurut pertimbangannya.

Mekanisme Penilaian

Standar Kelulusan

Guru dapat menetapkan batasan nilai minimal secara mandiri, tetapi tetap menggunakan rumus penghitungan yang dibuat oleh BSNP. Di sini guru dapat memanfaatkan otoritas pedagogisnya untuk secara mandiri menetapkan besaran standar nilai walaupun tetap harus berangkat dari perhitungan menggunakan rumus yang diberikan BSNP.

Penilaian Harian

Penilaian harian adalah aspek yang harus ada di dalam pengajaran. Ini adalah otoritas yang diberikan pada sekolah untuk mengadakannya di dalam kegiatan pengajaran. Akan tetapi, terdapat keleluasaan bagi guru untuk mendesain instrumen penilaian harian.

UTS dan UAS

Menurut ketetapan sekolah, soal harus berbentuk Pilihan Ganda (PG) dengan jumlah soal 50 buah. Ini adalah wujud dari kemandirian yang dimiliki sekolah untuk mengelola pelaksanaan ujian. Akan tetapi, guru sebagai pemilik otoritas pedagogis dapat secara mandiri menentukan kontennya apakah sesuai dengan materi UN atau tidak. Di samping itu, setiap guru juga diberikan kesempatan untuk memberikan pendapatnya terkait bentuk soal maupun jumlahnya.

Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Guru WS, Guru BT, dan Guru ES Deskripsi di atas menunjukkan adanya kewajiban dan kemandirian yang dimiliki oleh guru dalam mendesain pengajaran. Kewajiban guru untuk menggunakan metode atau mengajarkan materi tertentu sesuai dengan kebijakan pendidikan nasional adalah implikasi dari mandat yang diberikan kepada sekolah untuk

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 11: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

11    

menyelenggarakan pengajaran yang bertaraf nasional. Di sisi lain kemandirian yang dimiliki guru hadir bersamaan dengan otoritas pedagogis yang dimilikinya. Dalam konteks ini, pihak sekolah dengan kemandirian yang dimilikinya, memberikan otoritas pedagogis sekaligus kebebasan pada guru untuk mengembangkan secara mandiri beberapa aspek dalam kegiatan pengajaran. Lagipula konteks KTSP beberapa aspek, semisal jenis metode pengajaran atau instrumen evaluasi memang ditentukan guru sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Di sinilah guru memperoleh otoritas pedagogis dari sistem pendidikan maupun sekolah yang menjadikannya memiliki legitimasi untuk mendesain kegiatan pengajaran. Pembekalan bagi Guru Bahasa Inggris: Berbagai Pelatihan dan Instrumen Terstandar Berbagai pelatihan dan instrumen terstandar diberikan bagi guru agar mereka dapat menjalankan praktik persekolahan terkait mata pelajaran bahasa Inggris sesuai yang digariskan dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, sekalipun Guru BT dan Guru ES dapat mengembangkan materi ajar, tetapi mereka tetap berpijak pada kerangka pendidikan nasional. Berikut adalah rincian dari kedua aspek tersebut.

Tabel 3 Berbagai Pelatihan dan Instrumen Terstandar Komponen Keterangan Tujuan

Pelatihan Terstandar

Persiapan Sertifikasi Membedah kurikulum, menyusun rancangan pengajaran, pelatihan mengenai metode pengajaran.

Mempersiapkan seseorang agar dapat menjadi guru untuk mengajar sesuai bidangnya.

Seminar Persiapan UN

Membedah kisi-kisi dan SKL. Sosialisasi akan materi dan soal yang diujikan.

Instrumen Terstandar

Dokumen Standar Isi Berisikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang memuat cakupan materi ajar.

Memberi rujukan paling mendasar untuk menentukan materi ajar.

Silabus Operasionalisasi lebih jauh dari Standar Isi.

Memandu guru membuat perencanaan untuk mengajar.

Buku Mata Pelajaran Memuat materi yang akan diajarkan. Sumber materi bagi guru untuk mengajar.

Kisi-kisi ujian keluaran BSNP

Memuat indikator-indikator yang dapat menjadi dasar pembuatan soal bertaraf nasional.

Memandu guru untuk membuat soal ujian berlandaskan standar nasional.

Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan Guru WS, Guru BT, dan Guru ES, serta observasi Mekanisme Pengawasan Mekanisme supervisi internal yang dilakukan di sekolah pada dasarnya tidak benar-benar menjamin bahwa guru akan mengajar dengan “baik” dan “benar” atau pun betul-betul sesuai dengan tuntutan kurikulum sepanjang satu semester. Guru WS menyampaikan, “Cuman kadang-kadang karena kita sudah terjadwal sehingga yang bersangkutan kita minta persiapan itu. Maka dibuatlah persiapan yang pada saat itu luar biasa. Setelah itu sudah tidak ada apa-apa lagi.” Guru WS menyatakan bahwa supervisi dapat dilakukan oleh guru lain yang ditunjuk. Potret Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah: Antara Standar Nasional dan Pengembangan Atasnya Bagian ini akan mendeskripsikan pengajaran bahasa Inggris yang dijalankan oleh Guru BT maupun Guru ES. Pengajaran yang mereka lakukan dasarnya memiliki dua dimensi, yakni pengajaran yang disesuaikan dengan kurikulum nasional terutama standar UN maupun pengajaran yang bermuatan standar yang spesifik dikembangkan di dalam sekolah sesuai kreativitas dan kemandirian masing-masing. Model pengajaran yang berpijak pada kerangka nasional utamanya standar UN dapat dilihat dari kajian yang dilakukan oleh Furaidah, Saukah, dan Widiati (2015), serta Yulia (2014). Penelitian Furaidah, Saukah, dan Widiati (2015) dilakukan pada jenjang SMA di lima sekolah di Jawa Timur. Untuk jenjang SMA fokus materi UN Bahasa Inggris adalah pada aspek membaca dan mendengarkan. Studi kualitatif itu menemukan bahwa fokus pada UN dapat diimplementasikan melalui proses di kelas sehari-hari pada sesi yang materinya atau kompetensinya sejalan dengan standar UN atau pun secara ekstrim mengubah KBM dalam satu semester menjadi sesi khusus persiapan UN. Kegiatan yang dilakukan, misalnya berlatih mengerjakan soal-soal UN dan membahasnya. Sementara itu riset doktoral Yulia (2014) atas 12 SMP di Yogyakarta menemukan bahwa proses pengajaran sehari-hari difokuskan untuk berlatih memahami teks beserta dengan kosakata, serta menjawab pertanyaan

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 12: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

12    

dari buku teks. Ini sesuai dengan fokus materi UN Bahasa Inggris di jenjang SMP yang menekankan pada aspek membaca dan menulis. Kedua penelitian tersebut menjadi ilustrasi bagaimana praktik persekolahan terkait mata pelajaran bahasa Inggris berjalan. Bagaimana dengan Guru BT dan Guru ES? Pada dasarnya baik Guru BT maupun Guru ES sama-sama berpandangan bahwa bahasa Inggris penting untuk diajarkan karena adanya tuntutan zaman untuk menguasai bahasa Inggris. Ungkapan-ungkapan, semisal, “International language”, “... untuk Market”, “... cari kerjaan ...”, “... bangsa yang maju... ”, “... ada pasar bebas ...”, “... teks book sekarang mostly in English”, dan sejenisnya selaras dengan sudut pandang pemerintah sebagai dasar dari perlunya pengajaran bahasa Inggris. Lagipula keduanya pun setuju dengan sudut pandang tersebut. Guru BT mengatakan, “Tujuannya sama, saya dengan pemerintah, kita itu satu ide”, begitu juga dengan Guru ES yang mengaku, “Ya harus setuju, karena mereka kan, ini kan nasional kan?” Lalu bagaimana ide yang menjadi akar dari mata pelajaran bahasa Inggris itu diwujudkan dalam wajah pengajaran bahasa Inggris? Guru BT dan Guru ES sama-sama berkonsentrasi pada kompetensi yang diujikan dalam UN. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa sebagai agen pedagogis mereka mempunyai kewenangan untuk mendesain sendiri karakteristik dari pengajaran bahasa Inggris sehingga memungkinkan adanya persamaan maupun perbedaan di antara mereka. Ini sekaligus mencerminkan adanya otonomi relatif dan seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa di sekolah ini guru memiliki kemandirian yang cukup besar untuk mengembangkan desain pengajaran asalkan tetap sesuai dengan rambu-rambu yang tertuang dalam kebijakan. Guru BT yang mengampu mata pelajaran bahasa Inggris di kelas tujuh dan delapan rupanya mengaku telah menyiapkan mereka sejak dini untuk memahami materi-materi UN. Beliau mengaku, “Karena kita memperkenalkan pelajaran Bahasa Inggris itu secara akademik larinya kepada kisi-kisi, ‘nanti di kelas 9 akan belajar seperti ini’, supaya mereka tidak terlalu kesulitan di kelas 9, jadi mulai diperkenalkan pelajaran Bahasa Inggris, dari kelas 7-8-9 kan nanti akan di UN kan.” Dalam proses pengajaran sehari-hari beliau pun sudah menekankan hal itu. Lalu terkait dengan penilaian baik penugasan, ulangan, dan ujian, beliau juga mengujikan pemahaman atas materi-materi yang diujikan dalam UN. Secara khusus soal-soal ujian (UTS dan UAS) bermuatan tipe soal yang biasa diujikan dalam UN. Walau demikian, beliau juga mengujikan kemampuan berbicara dan mendengar. Hanya saja aspek mendengar jarang diujikan. Sedikit berbeda dengan Guru BT, Guru ES yang mengampu di kelas sembilan tidak melakukan penilaian atas kemampuan mendengar. Penilaian berbicara pun dilakukannya pada sesi English Conversation sehingga berada di luar jam bahasa Inggris yang ditetapkan sekolah. Selain itu beliau juga tidak melakukan penilaian atas tugas-tugas harian karena bagi beliau tugas harian hanya menjadi salah satu pertimbangan untuk penambahan nilai. Akan tetapi, dalam memberikan ulangan harian soal yang diberikan dalam bentuk tertulis dan ada beberapa yang menyerupai model UN. Secara khusus untuk UTS atau UAS, beliau tetap berpijak pada kisi-kisi UN karena biar bagaimana pun peserta didik harus dipersiapkan mengikuti UN. Beliau mengaku,

“Sebetulnya kalau dikatakan mana yang lebih penting, semua penting. Cuman prosentasenya itu seperti itu. Karena kita harus menggiringnya ke model negara akhir nanti kan? Masih ada UN kan dua itu ... Yaaa reading dan writing kalau SMP kalau yang fokus ... Kami fokus nya yang untuk mengukur secara nasional kan reading dan writing. 40 itu reading, teks-teks itu yang 10 nomor itu writing itu pun modelnya melengkapi rumpang dan sebagainya.” (Wawancara dengan Guru ES pada hari Selasa, 29 Maret 2016).

“Bahkan speaking dan listening itu kan dipersilahkan sekolah masing-masing, tidak mesti diajarkan, apalagi di kampung-kampung sana, speaking dan listening susah diajarkan.” (Wawancara dengan Guru ES pada hari Kamis, 31 Maret 2016).

Bagaimana dengan standar kelulusan atau yang akrab disebut sebagai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)? Baik Guru BT dan Guru ES sama-sama menetapkan angka sebesar 75. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa dengan standar sebesar itu, maka peserta didik berada pada jalur untuk siap menghadapi masa depan yang menuntut kemampuan berbahasa Inggris. Guru ES bahkan menambahkan bahwa angka sebesar itu untuk konteks di Jakarta sebenarnya bukanlah masalah. Beliau berturur, “... di Jakarta ini, Stephen tahu sendiri sekolah-sekolah beragama X untuk pelajaran Bahasa Inggris, hampir mereka banyak ya yang mampu. Karena banyak yang di luar sekolah dia, les. Lalu di rumah ada fasilitas ada tv, ada gadget, media banyak. Beda dengan kampung. Kemarin saya main di Muntilan, KKM nya mereka nggak berani 75, 70, misalnya.” Berdasarkan observasi peneliti KKM sebesar 75 sudah diberlakukan oleh Guru BT sejak peserta didik yang saat ini duduk di kelas IX masih

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 13: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

13    

kelas VII (tahun 2013). Hanya saja pada tahun lalu ketika sekolah menggunakan Kurikulum 2013, besaran KKM diturunkan menjadi 70. Tahun ini sekolah kembali menggunakan KTSP. Masih terkait KKM. Bagaimana dengan peserta didik yang tidak mampu mencapai KKM? Guru ES menyampaikan, “Ketika pertemuan dengan orang tua murid kan kita share ya? Saling bertukar pikiran, dia bertanya saja, misalnya ada KKM pelajaran tertentu kok sekian, apa bisa anak saya? Nah nanti pihak sekolah akan menjelaskan. Nah untuk mencapai itu, maka sekarang ada yang namanya remedial. Ketika anak belum tuntas, nah itu diarahkan untuk menjadi tuntas. Melalui remedial, melalui tugas-tugas.” Lalu berkenaan dengan metode pengajaran. Guru BT dan Guru ES sama-sama menekankan pada keaktifan peserta didik. Bahkan Guru BT kerap melontarkan pertanyaan yang menstimulasi peserta didik untuk berpikir dan aktif menjawab. Ketika menjawab, Guru BT mempersilakan mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, tetapi jawaban menggunakan bahasa Inggris akan dinilai lebih. Sementara itu Guru BT mengaku bahwa ketika mengajar dirinya tidak mau mendiktekan, melainkan mendorong peserta didik untuk merumuskan penjelasan yang diberikan dengan bahasa mereka masing-masing di buku catatan. Metode seperti itulah yang memang distandarkan dalam konteks KTSP walaupun jenisnya tetap kembali pada guru masing-masing. Masih terkait dengan metode pengajaran. Baik Guru BT dan Guru ES sama-sama mengaku bahwa mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara berimbang. Ketika menyampaikan materi-materi yang dirasa sulit, maka keduanya akan beralih menggunakan bahasa Indonesia. Guru BT dan Guru ES beranggapan bahwa penggunaan bahasa Inggris dimaksudkan untuk membiasakan peserta didik mendengar dan terlibat dalam percakapan berbahasa Inggris. Ini dimaksudkan untuk mengkondisikan agar peserta didik memiliki habitus yang sesuai dengan tuntutan globalisasi. Dari paparan di atas bisa dikatakan bahwa baik Guru BT maupun Guru ES sama-sama fokus pada materi UN, sebuah standar paling minimal dalam pengajaran bahasa Inggris yang bertaraf nasional. Oleh karena itu, kegiatan pengajaran yang diarahkan untuk membiasakan peserta didik dengan materi UN merupakan bagian dari praktik persekolahan. Walau begitu, terdapat proses-proses yang hanya spesifik berlaku di dalam sekolah tersebut sebagai subarena yang spesifik dari arena pendidikan. Hal itu belum tentu ditemui di sekolah lain karena memang hal itu tidak distandarkan secara resmi dalam sistem pendidikan. Ini disebut sebagai praktik pedagogis. Pelaksanaan penilaian berbicara, tuntutan dalam penugasan sehari-hari, besaran KKM, dan proporsi penggunaan bahasa menjadi hal-hal yang mungkin spesifik berlaku di sekolah tersebut. Khusus untuk penilaian berbicara, apa yang dilakukan Guru BT merupakan bagian dari proses yang distandarkan dalam sistem pendidikan, tetapi hal itu tidak terjadi pada Guru ES. Sebab, English Conversation bukanlah bagian dari kurikulum nasional. Besaran KKM dan proporsi penggunaan bahasa menjadi kesamaan yang terlihat di antara kedua guru berdasarkan hasil wawancara. Kedua hal itu termasuk ke dalam praktik pedagogis karena ditentukan sendiri oleh guru. Kemudian mekanisme penilaian tugas harian menjadi perbedaan antara kedua guru. Dalam hal inilah kreativitas guru bekerja berkat adanya otonomi relatif yang digaransi oleh otoritas pedagogis.

POTRET PENGALAMAN PESERTA DIDIK MISKIN DI SEBUAH SEKOLAH DALAM MENGIKUTI MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS

Hasil studi pendahuluan dari kajian ini menemukan bahwa kelompok peserta didik yang dapat disebut miskin rupanya mempunyai nilai bahasa Inggris di bawah KKM. Selain itu menurut penilaian guru, mereka memang kerap kesulitan untuk mengikuti proses di kelas. Dalam sudut pandang Bourdieu, peserta didik datang ke sekolah membawa bekal kapital budaya yang menubuh menjadi habitus sebagai hasil dari pengalaman hidupnya di dalam lingkungan sosial ekonomi tertentu. Oleh karena itu, saat membahas habitus, maka di saat yang sama juga akan menyinggung penubuhan kapital budaya seperti yang diulas oleh Egderton dan Roberts (2014). Adanya jarak antara kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki peserta didik dengan standar yang menjadi aturan main di sekolah akan menghadirkan kesulitan sepanjang mengikuti proses seperti yang ditemukan oleh Lin (1999) dan Sultana (2014) lalu memunculkan perasaan inferior di dalam diri. Bagaimana hasil temuan dari kajian ini? Berikut adalah deskripsi tentang para informan yang memuat latar kondisi kehidupan mereka dan pengalaman mereka mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris di SMP sejak kelas tujuh hingga sembilan.

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 14: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

14    

Kondisi Kehidupan ANS dan Pengalamannya Mengikuti Mata Pelajaran Bahasa Inggris di SMP ANS merupakan putri bungsu dari seorang supir kopaja dan seorang pembantu kantin. Ayahnya merupakan tamatan SMP dan ibunya merupakan lulusan SMEA. Ia mempunyai kakak laki-laki yang sebelumnya pernah bersekolah di sekolah yang menjadi lokasi studi ini. Menurut penuturan Guru V, kakaknya pun kerap menerima bantuan. Bahkan sampai saat ini bantuan pun masih mengalir untuk biaya kuliahnya. Siswi berdarah Batak-Jawa itu menuturkan bahwa dirinya mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan saat mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris di jenjang SD. Adalah Guru M yang menjadi penyebabnya. Ia menuturkan bahwa Guru M merupakan sosok yang tidak mempedulikan peserta didik yang ketinggalan materi. Bahkan pada suatu ketika saat ANS ditegur karena belum memahami materi, Ia membalasnya dengan menuding bahwa Guru M yang tidak mau mengajarinya. Lalu bagaimana kegiatan ANS dalam mempelajari bahasa Inggris di rumah atau lingkungan kesehariannya? ANS memberitahu bahwa sang kakak biasanya membantu saat Ia harus menghadapi ujian speaking yang diadakan oleh Guru ES. Setelah mencoba untuk menghafalkan naskah pidato, maka ANS mempraktikkan di depan kakaknya dan terkadang kakaknya kerap mengoreksi jika ANS salah mengucapkan kata-kata yang terdapat di dalam teks. Akan tetapi, sejak kakaknya berpacaran dan sering pergi ANS pun semakin jarang belajar bersama kakaknya. Terkadang, ibunya juga membantu ANS ketika ada penilaian berbicara tersebut. ANS berpidato di depan ibunya menggunakan untuk memastikan bahwa dirinya sudah hafal dan siap maju. Sementara itu Ia sendiri jarang pernah belajar bersama ayahnya yang jarang ada di rumah. Kemudian ANS juga mempunyai seorang teman dekat bernama Smt, sosok yang menurut ANS berasal dari keluarga yang mapan secara finansial. Smt rupanya juga kerap membantu ANS ketika ada tugas bahasa Inggris. ANS mengaku bahwa terkadang Ia membuat dan berlatih menghafal pidato bersama Smt. ANS sendiri mengatakan bahwa dirinya hanya belajar bahasa Inggris ketika ada tugas dari sekolah sehingga di luar itu Ia tidak belajar. Selain itu ANS juga tidak berlangganan TV Kabel yang menyajikan tayangan berbahasa Inggris. ANS sendiri menyadari kondisi sosial ekonomi keluarganya. Ibunya kerap mengingatkan agar ANS tidak boros mengingat keluarganya memiliki keterbatasan ekonomi. Bahkan ANS dilarang oleh ibunya menggunakan uang dari KJP yang besarannya Rp 150.000,00 per bulan untuk membeli cemilan. ANS mengklasifikasi dirinya, “... aku kan orang kurang”, sehingga menerima KJP. Pandangan itu ternyata sudah dimilikinya sejak masih SD. Ia bertutur, “Ya karena nggak kaya anak-anak lain yang punya. Kaya rumahnya besar, gadgetnya canggih. Ya udah.” Secara sosiologis ini menunjukkan habitus yang dimiliki oleh ANS berdasarkan kondisi kelas yang dihidupinya. Selain itu dikotomi “orang ada” atau “orang kurang” merupakan wujud dari habitus yang merupakan skema klasifikasi yang dapat dibedakan sebagaimana yang diuraikan Bourdieu (1998). Keterbatasan sosial ekonomi yang nampak sudah menyejarah dalam keluarganya pun sebenarnya menghambat ANS untuk mengakses bahasa Inggris melalui kegiatan-kegiatan, semisal kursus bahasa Inggris di tempat ternama. Lalu bagaimana ANS melalui pengajaran yang dibawakan oleh Guru BT dan Guru ES? Sepanjang mengikuti proses pengajaran bahasa Inggris di SMP, ANS kerap mengalami kesulitan dan kegagalan berulang kali. Ia sebenarnya kesulitan mengerjakan soal-soal yang bersifat melengkapi kata atau paragraf rumpang, menanyakan pengertian kosakata, menanyakan isi bacaan, serta model soal yang meminta peserta didik untuk mengurutkan kata-kata yang acak menjadi kalimat padu. Model-model soal inilah yang justru menjadi ciri khas dari soal UTS dan UAS baik Guru BT maupun Guru ES. Berdasarkan observasi peneliti nilai-nilai UTS dan UAS ANS yang belum diremedial adalah 42, 58, 42, dan 36. Kemudian baginya KKM yang ditetapkan untuk mata pelajaran bahasa Inggris sulit dicapai. Meski begitu, ANS lebih mampu mengikuti penilaian praktik berbicara karena rupanya hal itu dapat diatasi cukup dengan menghafal materi yang digunakan. Dalam sudut pandang Bourdieu (1977) ini menunjukkan bahwa habitus tidaklah kaku. Sekalipun kesulitan memahami isi teks, tetapi ANS dapat memilih cara lain, yakni menghafal agar bisa lulus. Bagi ANS, Guru ES jauh lebih menyenangkan dibanding Guru BT. Menurut ANS, Guru BT lebih banyak menyampaikan materi menggunakan bahasa Inggris. Hal ini tentu saja membuatnya kesulitan memahami apa yang disampaikan. Sebaliknya, Guru ES secara lebih berimbang menggunakan dwi bahasa sehingga ANS dapat memahami materi. Selanjutnya mengenai penugasan sehari-hari. Kesempatan untuk bekerja sama dengan teman lebih besar ketika mata pelajaran bahasa Inggris diampu oleh Guru ES. Oleh karena itu, ANS merasa lebih nyaman mengerjakan tugas sejak diajar oleh Guru ES. Secara keseluruhan terdapat perubahan dalam diri ANS dalam memandang kemampuan dirinya untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris. Sejak diajar oleh Guru ES, perasaan bahwa dirinya tidak bisa berbahasa Inggris telah berkurang.

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 15: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

15    

Meski mata pelajaran bahasa Inggris yang dibawakan oleh Guru ES telah menyurutkan perasaan tidak bisa di dalam diri ANS, tetapi bukan berarti ANS benar-benar merasa telah menguasai bahasa Inggris. Dengan jujur Ia menyatakan kekhawatirannya terhadap UN Bahasa Inggris maupun peluangnya berkiprah di masyarakat. Kekhawatiran ini menjadi manifestasi dari habitus yang terbentuk berdasarkan pengalamannya selama mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris. Seringnya menemui kesulitan dan bahkan mengalami kegagalan dalam mata pelajaran bahasa Inggris membuatnya sadar betapa rendah volume kapital budayanya sehingga peluang untuk beradaptasi dengan aturan main di arena yang lebih luas, seperti arena okupasi, atau bahkan memenangkannya pun tidak besar. Bahkan di lingkungan kesehariannya di sekolah ANS merasa minder karena kerap tidak berhasil mencapai KKM dan harus mengikuti remedial yang lalu membuatnya beranggapan bahwa dirinya memang tidak bisa berbahasa Inggris. Ungkapan itu menunjukkan bahwa dirinya malu karena “kalah” dalam kompetisi di sebuah arena, yaitu pada sesi mata pelajaran Bahasa Inggris karena kapital budaya (pengetahuan Bahasa Inggris) yang dimilikinya tidak cukup untuk menorehkan capaian baik seperti beberapa teman lain. ANS mengungkapkan bahwa kesulitan yang dialaminya saat ini adalah buah dari ketertinggalannya mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris sejak SD. Apa pun pengalaman yang dialami oleh ANS, dirinya tetap mengakui kewenangan guru bahasa Inggris yang membentuk pengalamannya. Ia menyampaikan bahwa seorang guru bahasa Inggris berhak untuk menentukan batasan nilai minimal kelulusan, menentukan penggunaan bahasa saat mengajar, hingga membuat berbagai penilaian. Kewenangan itu dimiliki oleh Guru BT dan Guru ES dalam konteks mata pelajaran bahasa Inggris dan tidak dimiliki oleh guru lain yang tidak mengampu mata pelajaran bahasa Inggris. Kondisi Kehidupan KL dan Pengalamannya Mengikuti Mata Pelajaran Bahasa Inggris di SMP KL merupakan siswi berdarah Batak yang tinggal di sebuah kontrakan di belakang Mall Kota Kasablanka. Sebelumnya orang tua KL merupakan penjual ikan mas dan ikan lele di daerah jembatan merah. Kedua orang tuanya yang merupakan tamatan SMA dan STM itu kini tidak lagi tinggal bersama dengan KL karena harus pulang ke Bekasi dan ini berkaitan dengan perubahan okupasi mereka. Nasib mereka sangat tidak beruntung karena digusur sekitar satu tahun yang lalu. Sekarang ayahnya bekerja sebagai distributor ikan. Kedua orang tuanya pulang ke Bekasi agar tidak mengganggu kelancaran pekerjaan baru itu. Di Bekasi kedua orang tuanya tinggal di rumah kakek dan neneknya yang saat ini tinggal di Medan. Menurut penuturan Guru V, KL memang peserta didik yang memprihatinkan secara ekonomi. Oleh karena itu, Ia tidak hanya menerima bantuan dari KJP, tetapi juga bantuan lain, semisal Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK). Sehari-hari KL tidak memiliki kegiatan dalam rangka mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Di rumah tidak ada yang mengajaknya untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan baginya satu-satunya anggota keluarga yang dapat berbahasa Inggris adalah adiknya. Memang, sebelumnya KL kerap dibantu oleh tantenya untuk mengerjakan tugas bahasa Inggris, tetapi itu tidak lantas membuatnya mendalami bahasa Inggris. Selain itu KL juga menyatakan bahwa semasa masih SD, Ia sempat mengikuti kursus bahasa Inggris bersama teman-temannya di rumah seorang guru. Hanya saja kursus tersebut tidak dilanjutkan karena guru yang bersangkutan telah pindah. Semenjak itu KL tidak pernah lagi mengikuti kursus bahasa Inggris. Bahkan KL mengaku enggan mendaftarkan diri ke lembaga-lembaga kursus, seperti EF karena alasan biaya. Sama dengan ANS, KL juga berasal dari SD I. Akan tetapi, Ia baru masuk ke SD I setelah duduk di kelas 4 SD. KL menceritakan bahwa salah satu alasannya pindah ke SD I adalah murahnya biaya sekolah di SD tersebut. Alasan tersebut diperolehnya dari sang ibu. Bahkan sebenarnya KL bermaksud untuk mendaftar ke SMP negeri agar meringankan biaya pendidikan yang harus ditanggung keluarganya. Hanya saja kesalahan saat proses pendaftaran membuatnya gagal masuk ke sekolah negeri. Deskripsi di atas sebenarnya menunjukkan habitus yang dibentuk oleh kondisi lingkungan yang dihidupi. Menurut Bourdieu (1984) pengalaman (perjalanan) menghidupi suatu kondisi kelas akan membentuk habitus yang mengarahkan tindakan dari agen. Karena terbiasa menjalani hidup dalam keterbatasan finansial, maka KL atau orang tuanya cenderung memiliki preferensi terhadap hal-hal yang tidak memakan biaya besar, seperti memilih sekolah murah atau tidak mengikuti kursus di lembaga berbiaya tinggi. Secara khusus pilihan untuk bersekolah di SD I dengan alasan biaya rupanya mendatangkan konsekuensi buruk. Layaknya ANS, KL menyampaikan bahwa semasa duduk di bangku SD, kesempatannya untuk memahami bahasa Inggris melalui mata pelajaran bahasa Inggris menemui hambatan. Adalah Guru M yang menjadi faktor penyebabnya. Menurut KL, Guru M merupakan sosok yang hanya mau mengajari peserta

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 16: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

16    

didik yang menurutnya pandai berbahasa Inggris. Selain itu KL juga menceritakan bahwa semasa bersekolah di SD I, nilai-nilai bahasa Inggris-nya berkutat di angka empat atau lima. Hal itu rupanya memunculkan rasa jenuh terhadap mata pelajaran bahasa Inggris di dalam diri seorang KL. Dengan kondisi latar belakang seperti ini bagaimana KL beradaptasi dengan mata pelajaran bahasa Inggris di SMP? KL ternyata memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan selama mengikuti rangkaian kegiatan belajar dan mengajar bahasa Inggris di SMP. Ia mengaku tidak dapat memenuhi tuntutan KKM pada mata pelajaran bahasa Inggris. Selain itu KL juga kerap kesulitan mengerjakan soal-soal bahasa Inggris yang bersifat tertulis. Ini dikarenakan dirinya sulit memahami kata-kata maupun teks yang disajikan. Oleh karena itu, model-model soal UTS dan UAS yang menurutnya sulit, misalnya melengkapi paragraf atau kalimat rumpang, menanyakan makna kosakata, menanyakan isi bacaan, dan mengubah kata acak menjadi kalimat padu. Berdasarkan pengamatan peneliti, nilai UTS dan UAS KL yang belum diremedial adalah 37, 47, dan 46. Akan tetapi, KL mengaku bahwa dirinya masih sanggup mengikuti tes berbicara karena Ia mampu menghafalkan isi teks yang diujikan. KL pun mengaku bahwa pada suatu ketika Guru BT pernah mengapresiasinya karena bisa melalui tes berbicara tanpa mengulang. Inilah gambaran dari seorang agen yang kreatif di mana KL dapat memilih cara untuk lulus tanpa harus memahami isi materi untuk tes berbicara. Walaupun secara umum KL kerap mengalami kesulitan dan kegagalan dalam mata pelajaran bahasa Inggris, tetapi baginya pelajaran yang dibawakan oleh Guru ES lebih nyaman dibanding Guru BT. Bersama Guru BT, KL mengaku beberapa kali ditegur dengan keras. Berikut pengakuannya,

“... disebut sama Guru BT gitu, VZ, KL, gitu. Kalo lagi mau ulangan, jangan lupa belajar, nanti nilainya gimana gitu. Di kelas. Ya diem aja gitu. Ya malu gitu lah, di tempat umum gitu.” (Wawancara dengan KL pada hari Jumat, 26 Februari 2016).

“Guru BT galaknya itu loh. Diomelin pernah. Dibilang ‘gak bisa gak bisa banget Bahasa Inggris’ gitu. Pas lagi ulangan, ‘ini gimana caranya gini-gini gini.’Iya. ‘Gak ngerti Guru BT’‘Gimana kamu bisa dapet sekolah yang bagus sama nanti pekerjaan yang bagus, Bahasa Inggris aja gak bisa’ katanya gitu. Ya kayak sakit hati gitu lah.” (Wawancara dengan KL pada hari Kamis, 17 April 2016).

Teguran-teguran semacam itu tidak didapatkannya saat mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris yang diampu oleh Guru ES. Di samping itu KL juga mengeluhkan cara mengajar Guru BT yang cenderung lebih banyak menggunakan bahasa Inggris sehingga sulit dipahami. Ini berbeda dengan Guru ES yang lebih seimbang menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kemudian KL juga mengatakan bahwa mengerjakan tugas di kelas Guru ES lebih terasa mudah karena bisa bertanya dengan teman. Hal itu berbeda dengan pengerjaan tugas di kelas Guru BT yang terkadang harus dikerjakan sendiri sehingga Ia mengalami kesulitan dan bahkan mengaku mengerjakan asal-asalan. Secara keseluruhan apa pun beban yang harus ditanggung oleh KL, Ia tetap mengakui otoritas yang dimiliki oleh guru bahasa Inggris. Baginya Guru BT dan Guru ES berwenang menentukan desain dari proses belajar dan mengajar, misalnya menentukan besaran dari standar nilai, model soal ujian dan tingkat kesulitannya, dan lain-lain. Kewenangan untuk mendesain pengajaran bahasa Inggris hanya dimiliki oleh guru bahasa Inggris saja. Lalu apa akibat dari keseluruhan pengalaman tersebut? Pertama, KL merasa iri dan minder dengan teman-teman lain yang nilai bahasa Inggris-nya di atas KKM. Bahkan atas dasar perolehan nilai yang di bawah KKM itulah KL menganggap bahwa dirinya tidak bisa berbahasa Inggris. Berdasarkan sudut pandang Bourdieu ini merupakan cerminan seorang agen yang “kalah” dalam kompetisi di suatu arena. Kekalahan itu membuatnya merasa iri dan minder, serta merasa inferior. Kedua, KL mengkhawatirkan peluang keberhasilannya dalam mengikuti UN Bahasa Inggris. Ketiga, KL mengkhawatirkan bahwa apa yang dikatakan oleh Guru BT akan terjadi. Dalam paparan di atas Guru BT memarahi KL dan mengatakan bahwa bagaimana dirinya dapat mencari pekerjaan apabila secara terus-menerus tidak bisa berbahasa Inggris. Poin kedua dan ketiga merupakan akibat dari poin pertama. Pengalamannya mengalami kegagalan akademis membentuk pandangan di dalam dirinya bahwa Ia bisa saja gagal dalam UN atau pun berkarir di masa depan. Kondisi Kehidupan FY dan Pengalamannya Mengikuti Mata Pelajaran Bahasa Inggris di SMP FY merupakan siswi berdarah Tionghoa-Jawa yang sudah menjadi anak yatim. Ayahnya yang merupakan tamatan SMP itu meninggal akibat sakit. Sebelum meninggal, Ayahnya ikut membantu Ibunya

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 17: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

17    

berjualan peyek dan ini merupakan pekerjaan tetap mereka. Ibunya sendiri berlatar pendidikan SD. Karena keterbatasan kondisi finansialnya, maka FY pun memperoleh KJP. Di samping itu Guru V juga menyampaikan bahwa berbagai bantuan pun mengalir dari gereja. Kondisi sosial ekonominya yang terbatas ternyata menutup peluangnya untuk mempelajari bahasa Inggris secara mendalam melalui jalur pendidikan. FY berasal dari SD yang sama dengan KL dan ANS. Karena terbatasnya kondisi keuangan sembilan tahun silam, maka FY terpaksa mendaftar ke SD I karena tidak diterima di SD X. Ia menceritakan,

“Karena kan di X nggak diterima SD-nya. Awalnya kan mau masuk X, tapi nggak diterima SD-nya. Karena kalo mama cerita tuh duitnya itu kurang. Padahal kan bisa nyicil kan? Tapi kalo pas masa-masa itu nggak bisa nyicil, harus bayar cash langsung. Jadi tuh karena mama mungkin sakit hati sama orang yayasannya, jadi ya udah lah ke I. I kan juga kan sama aja kaya X gitu. Dari dulu emang dengernya lebih mahalan X daripada I. Karena kan waktu itu yang kerja cuman mamah. Jadi ya uangnya emang belum cukup aja. Emang orderannya belum stabil aja, jadi belum kekumpul uangnya.” (Wawancara dengan FY pada hari Senin, 11 April 2016).

Tentu saja ada harga yang harus dibayar. Bersekolah di SD I membuat FY tidak menikmati pengajaran bahasa Inggris yang memfasilitasinya untuk belajar bahasa Inggris secara mendalam. Ia bertutur,

“Nggak enak sih ngajarnya. Jadi biasa aja. Nggak dapet apa-apa. Makanya bodoh Bahasa Inggris karena sama Guru M tuh nggak dapet apa-apa. Itu juga kadang dia tuh pilih kasih gitu lah. Kadang sama yang pinter, kadang sama yang ekonominya ada dia baru ngajarin giat. Iya kaya gitu lah. Yang pinter, yang ekonominya ada, baru mereka ajarin. Tapi kalo misalkan ada sama aku nih, ‘itu kamu tanya aja sama yang lain.’ Sedangkan yang lain kan lagi ngerjain tugas. Nggak enak dong kalo kita ganggu.” (Wawancara dengan FY pada hari Rabu, 6 April 2016).

Menghidupi kondisi lingkungan dengan keterbatasan finansial juga turut membuatnya enggan mendaftarkan diri ke lembaga kursus bahasa Inggris berbiaya mahal. Di rumah sendiri FY mengaku tidak mempelajari bahasa Inggris secara mandiri. Ia menuturkan bahwa dirinya memang tidak pernah diajarkan bahasa Inggris di rumah. FY hanya akan mempelajari bahasa Inggris ketika memperoleh tugas dari sekolah. Lalu bagaimana FY mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris di jenjang SMP? Tak ubahnya ANS dan KL, FY pun kerap mengalami kesulitan dan terpuruk. Adalah soal-soal dalam bentuk tertulis yang menurutnya sangat sulit. Bahkan FY mengatakan bahwa ia pasti memperoleh nilai buruk ketika harus mengerjakan soal-soal tertulis. Berdasarkan wawancara, model soal UTS dan UAS yang menurut FY tergolong sulit adalah soal-soal yang menanyakan makna kosakata, melengkapi kalimat atau paragraf rumpang, menanyakan isi bacaan, dan mengubah kata acak menjadi kalimat padu. Menurut observasi peneliti, nilai-nilai UTS dan UAS FY yang belum diremedial adalah 65, 75, 64, dan 56. Kebiasaannya memperoleh nilai di bawah KKM membuat FY berpandangan bahwa ia tidak bisa berbahasa Inggris. Bahkan dalam wawancara, Ia beberapa kali mendefinisikan dirinya bodoh.

“Iya banyak yang gatau. Apalagi pas kelas 7, bodoh bodohnya Bahasa Inggris.” (Wawancara dengan FY pada hari Rabu, 6 April 2016).

“Tiba-tiba ada tugas, tiba tiba ada ulangan. Sebenernya ulangan udah dikasih tau sebelumnya, tapi kan susah gitu loh karena bodoh banget jadi nggak ngerti.” (Wawancara dengan FY pada hari Jumat, 8 April 2016).

“Kadang-kadang ngerasa kenapa gue nggak bisa Bahasa Inggris, kenapa gue bodoh banget dalam Bahasa Inggris, gitu.” (Wawancara dengan FY pada hari Senin, 11 April 2016).

Berdasarkan pemikiran Bourdieu pendefinisian bodoh ini merupakan suatu klasifikasi yang mencerminkan habitus dari agen yang tumbuh karena pengalamannya di suatu arena. Meskipun dirinya kerap kesulitan dan bahkan harus menuai kegagalan saat mengerjakan tes-tes atau ujian tertulis, tapi FY dengan tegas mengakui bahwa Ia bisa lulus saat mengikuti tes berbicara. Sama dengan ANS dan KL, FY mengandalkan kemampuannya untuk menghafal materi untuk tes berbicara. Berkat itulah FY pun sempat diapresiasi oleh Guru BT dan dianggap mengalami peningkatan. Sama seperti ANS dan KL, FY pun terang-terangan merasa bahwa Guru ES lebih baik dibanding Guru BT. FY menceritakan bahwa terkadang Guru BT kerap marah saat peserta didik memperoleh nilai di bawah standar. Bahkan FY menyampaikan, “Kalo lagi nilainya jelek banget. Itu baru dia bilang. Kalo lagi ngajarin atau kalo lagi remedialnya jelek, dia pasti ngomong begitu. Ya buat nanti kita ke depannya. Karena kan dia bilang ‘kita tuh di Indonesia udah dominan pake Bahasa Inggris. Kamu ke luar negeri juga pake Bahasa Inggris. Jadi kamu banyak-banyak

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 18: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

18    

baca juga belajar Bahasa Inggris’.” Selain itu FY juga menyampaikan bahwa Guru BT lebih banyak menggunakan bahasa Inggris saat menjelaskan materi. Bahkan FY pun menyampaikan bahwa ketidakmampuannya memahami penjelasan Guru BT dalam bahasa Inggris adalah karena Ia memang tidak bisa berbahasa Inggris sejak SD. Menurut FY, metode Guru ES berbeda karena beliau lebih seimbang menggunakan dwi bahasa dan membuatnya lebih mampu memahami apa yang disampaikan. Terlepas dari apa pun keterpurukan yang dialami oleh FY sepanjang mengikuti mata pelajaran bahasa Inggris, Ia tetap mengakui otoritas yang dipegang oleh Guru BT maupun Guru ES untuk merancang kegiatan pengajaran. Bahkan FY mengatakan bahwa bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang tidak mungkin dihindari karena setiap sekolah pasti mengajarkannya. Oleh karena itu, apabila seorang peserta didik tidak pandai berbahasa Inggris, maka yang bisa dilakukannya hanyalah belajar sampai paham. Apakah FY mengalami kekhawatiran yang sama seperti ANS dan KL karena sering mengalami kesulitan dan bahkan ketidakberhasilan dalam mata pelajaran bahasa Inggris? Tentu, tapi kekhawatiran itu berbeda dengan ANS dan KL. FY khawatir tidak bisa mengerjakan UN Bahasa Inggris lalu tidak lulus. Akan tetapi, Ia tidak khawatir dengan masa depannya. FY dengan tegas mengatakan, “Ya karena kan kita tinggalnya di Indonesia. Jadi ya kenapa harus belajar bahasa luar gitu.”

PANDANGAN GURU BAHASA INGGRIS ATAS PESERTA DIDIK MISKIN Deskripsi sebelumnya telah menunjukkan bagaimana peserta didik miskin mengalami kekerasan simbolis. Mereka dipaksakan untuk memenuhi tuntutan dalam mata pelajaran bahasa Inggris yang melampaui kemampuan adaptasi mereka. Tuntutan itu tercermin setidaknya lewat konten materi khususnya aspek membaca dan menulis, penggunaan bahasa Inggris secara dominan oleh Guru BT yang memaksa peserta didik untuk memahami materi dalam kebahasaan aslinya, dan standar nilai bahasa Inggris yang menuntut peserta didik untuk menguasai materi hingga derajat tertentu. Kesulitan dan ketidakberhasilan mereka dalam mata pelajaran bahasa Inggris memang tidak lepas dari kondisi latar belakang yang tidak membuat mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang sesuai dengan tuntutan di sekolah. Walau begitu, menganggap hal itu sebagai faktor menyebab tentu saja merupakan bentuk pembenaran atas dominasi sebuah bahasa asing sebagai dasar operasional bagi serangkaian standar dalam kegiatan pengajaran. Masalahnya baik Guru BT maupun Guru ES hanya menekankan pada faktor latar belakang ketiga peserta didik tersebut tanpa mengkritisi standar yang digariskan dalam mata pelajaran bahasa Inggris beserta representasi di baliknya. Seperti apa pandangan kedua guru itu? Berikut adalah ringkasannya.

Tabel 4 Pandangan Guru BT dan Guru ES terhadap ANS, KL, dan FY Guru BT Guru ES

• “Bekalnya kurang kuat untuk bisa menguasai Bahasa Inggris. Sama seperti yang lain. Mereka yang gagal itu, kalau Bahasa Inggris, itu karena memang kurangnya vocabulary mereka. Karena pertanyaannya simpel, sederhana. Tapi kalau kosakatanya kurang, mereka bagaimanapun juga tidak akan mengerti model pertanyaan itu. Tidak mengerti isi teks, bagaimana mereka bisa menjawab pertanyaan.”

• “ANS, untuk ANS, memang kemampuannya di bawah. Keaktifannya di kelas pun sangat jauh di bawah juga, dalam pengumpulan dan pengerjaan tugas pun anak ini termasuk yang selalu terlambat dalam mengumpulkan tugas. Jadi kerajinan anak ini di bawah, mungkin karena pengaruh kemampuan Bahasa Inggris. Jadi kalau kemampuan sudah tidak bisa menguasai Bahasa Inggris, bagaimana dia bisa mengerjakan di rumah? Ini membuat kendala dia mengerjakan di rumah, mengerjakannya tidak on time, mungkin seperti itu, karena sudah kemampuan English-nya di bawah, untuk membantu dia mengerjakan tugas itu di keluarga saya rasa tidak ada, tidak ada bantuan dari orang tua.”

• “Sama anak-anak yang kurang, misalnya, F dan K, kan? Tapi F ini benar-benar mau mencoba, lambat, kesulitan, tapi, bekerja dengan baik, dibanding dengan si K. Tidak selesainya F dan K sudah beda. Nah ini juga buat saya, menjadi penilaian.”

• “Contoh mungkin si K, ini mungkin memang sudah faktor belajarnya memang nggak intens, memang ada ya. Jadi sudah lemah, belajarnya juga nggak intens. Yang kedua juga faktor, SD asal, juga memengaruhi. SD asal itu misalnya gini, karena misalnya sudah banyak sekali terbukti, kita bisa melihat terutama, di kelas 7, Anak-anak yang misalnya dari SD Negeri yang kurang “terlihat”, sama Anak-anak dari SD sekolah berbasis agama yang mapan gitu ya, pasti beda. Nah anak-anak dari negeri ini kan, berarti kan, fundamental dia, dasar dia, kurang. Sehingga ketika, masuk seperti ini, teman-temannya sudah jauh melampaui, maka dia, baru mulai, kan?”

• “... kalau I kan, mungkin lebih, dibanding dengan SD X, mungkin di sana dari segi finance, lebih murah dibanding dari SD X, kalau nggak salah seperti itu, tapi kadang-

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 19: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

19    

Guru BT Guru ES • “Ini (KL) anaknya memang kemampuannya di bawah.

Kualitas tugas sehari-harinya, bagi dia Bahasa Inggris itu bahasa asing, seperti bahasa planet yang baru dia kenal di kelas 7. Mungkin dia waktu SD hanya dengar kosakata, namun di kelas 7 dia belajar teks, yang bagi dia mungkin itu asing, karena memang latar belakang SD kali yah, memang bukan dari X...”

• “FY secara kemampuan lain dia menguasai, namun Bahasa Inggris, dia memang di bawah karena memang mungkin baru bagi dia di SMP, karena dia datang dari SD I, yang kemampuan Bahasa Inggrisnya masih di bawah dibandingkan SD X.”

kadang anak yang pengin, masuk di sini, tapi terbentur finance, tetap masih sekolah berbasis agama tapi biayanya masih terjangkau. Nah itu I, kalau dibanding dengan X, jauh ya... jauh lebih rendah, kecuali anak yang diajar di sana talentanya tinggi. Tapi kalau segi kualitas nggak. Kamu kan bisa lihat, SD X, dalam tahun belakangan ini, apalagi bilingual kan, nah itu pasti Bahasa Inggris, pasti hampir tiap hari. Porsinya lebih banyak, dibanding yang I, misalnya. Apalagi yang negeri.”

Sumber: Wawancara mendalam dengan Guru BT dan Guru ES Mengapa yang mungkin atau pasti dipandang sebagai masalah adalah latar belakang peserta didik dan bukannya tuntutan dalam mata pelajaran bahasa Inggris yang memberatkan mereka? Sebab, standar bahasa Inggris yang ditetapkan bersifat sahih dan memiliki dasar yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, kegagalan peserta didik dibenarkan dan dianggap wajar karena lingkungannya yang tidak menyediakan bekal untuk beradaptasi dengan tuntutan di sekolah yang tak lain adalah representasi tuntutan zaman seperti yang telah diulas pada bagian sebelumnya mengenai sudut pandang yang menjadi dasar bagi mata pelajaran bahasa Inggris beserta standar-standarnya. Ini adalah suatu kekerasan simbolis karena memaksakan tolok ukur dari budaya dominan sebagai dasar untuk mendefinisikan bagaimana seharusnya latar belakang keluarga atau SD seorang peserta didik agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan di sekolah. Ini cukup merefleksikan pemaparan Schubert (2009) bahwa dipersalahkannya peserta didik dan lingkungan keluarganya karena tidak membekali mereka dengan kapital budaya yang sesuai untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan di dalam arena pendidikan merupakan bentuk dari kekerasan simbolis. Kendati demikian, kedua guru tersebut pun rupanya tidak selalu memaksakan standar yang tinggi pada ketiga peserta didik itu. Hal ini utamanya dalam melaksanakan penilaian berbicara. Guru BT dan Guru ES mengakui,

“Kalau speaking misalkan, saya kasih KL 80, ketika datang dari pihak manapun bertanya, saya bisa menjelaskan ini bahwa untuk seorang KL, bisa berbicara di depan dan merangkai kata-kata, saya rasa itu sudah bagus, saya berani mempertanggungjawabkan ini.” (Wawancara dengan Guru BT pada hari Senin, 14 Maret 2016).

“Sekarang logikanya ketika dia, menghafal teks seperti itu saja, berkali-kali kan? Otomatis nilainya, tidak akan setinggi yang lain. Tapi itu bukan remedial ya? Jadi dia diberi kesempatan untuk menghafal lagi. Ya rata-rata nilai mereka itu, seputar KKM itu. Ya paling tinggi kalau KKM-nya 75, dia mendapatkan mungkin ketika diberi kesempatan lagi dia bisa lancar dan lain sebagainya, nilainya dapat 77, 78. Tapi prosesnya tidak sekali. Itu bedanya.” (Wawancara dengan Guru ES pada hari Jumat, 15 April 2016).

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ANS, KL, dan FY pun merasa lebih mampu mengikuti tes berbicara. Dalam konteks ini secara tak langsung guru mengakui dan menghargai kemampuan menghafal ketiga peserta didik itu sebagai satu-satunya strategi untuk lulus sehingga ketiganya pun bisa melalui tes berbicara lebih baik dibanding tes tertulis yang betul-betul memaksa peserta didik untuk memahami teks dan variasi kosakatanya. Ini merefleksikan tulisan Egderton dan Roberts (2014) bahwa ketika disposisi (habitus) dihargai dalam suatu arena yang spesifik, maka ia dapat menjadi dasar untuk memperoleh keuntungan.

KESIMPULAN DAN REFLEKSI KRITIS Secara mendasar kekerasan simbolis terjadi karena aksi pedagogis yang dilakukan memaksa peserta didik miskin untuk memahami dan menguasai bahasa Inggris pada taraf yang jauh melampaui kemampuan mereka. Bahasa Inggris sendiri merupakan salah satu manifestasi dari kebudayaan yang mendominasi di skala global dan kondisi sosial ekonomi seseorang dapat menentukan besaran akses terhadapnya. Pemaksaan untuk menguasai bahasa Inggris dilakukan secara sewenang-wenang dengan menggunakan kuasa yang terlegitimasi (otoritas). Kesewenang-wenangannya terletak pada model top down yang tidak menyertakan sudut pandang peserta didik mengenai bagaimana seharusnya mata pelajaran bahasa Inggris dioperasikan. Standar-standar

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 20: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

20    

yang termuat dalam mata pelajaran bahasa Inggris dipandang tepat karena dianggap menjadi bekal untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi tuntutan zaman meskipun akses terhadap bahasa Inggris setiap peserta didik sebenarnya tidaklah setara. Oleh karena itu, kesulitan dan ketidakberhasilan yang harus diderita oleh peserta didik miskin dibenarkan karena tuntutan yang membebani mereka bersifat sahih. Dalam kerangka berpikir yang diajukan oleh Bourdieu dan Passeron (1990), kekerasan simbolis dapat terjadi melalui enam elemen, yakni aksi pedagogis, otoritas pedagogis, praktik pedagogis, sistem pendidikan, otoritas sekolah, dan praktik persekolahan. Dengan memanfaatkan kerangka berpikir tersebut, penelitian ini menemukan terjadinya kekerasan simbolis melalui keenam elemen itu dalam kasus yang diangkat. Aksi pedagogis yang mengoperasikan mata pelajaran bahasa Inggris bersifat dua arah, yakni yang dilakukan atas nama sistem pendidikan maupun atas nama sekolah sebagai hasil dari pengembangan guru atas desain pengajaran. Sistem pendidikan hadir sebagai institusi yang salah satu fungsinya adalah menginternalisasikan pengetahuan bahasa Inggris dalam rangka menyiapkan pelajar Indonesia memenuhi tuntutan zaman. Oleh karena itu, disusunlah kurikulum bahasa Inggris sebagai sebuah mata pelajaran wajib yang secara khusus juga diujikan secara nasional. Aksi pedagogis yang memuat standar bahasa Inggris bertaraf nasional nampak ketika guru cenderung memaksa peserta didik untuk setidaknya menguasai materi-materi yang diujikan dalam UN. Untuk jenjang SMP aspek yang diujikan adalah membaca dan menulis di mana ini merupakan “titik lemah” dari peserta didik miskin berdasarkan kasus yang diangkat. Kegiatan pengajaran itu berlangsung secara terus menerus pada setiap semester hingga mereka masuk ke masa akhir studi dan akan mengikuti UN. Ini merupakan wujud dari praktik persekolahan yang dilakukan untuk membentuk habitus agar peserta didik siap mengikuti UN yang menjadi tolok ukur nasional bahwa peserta didik mampu berbahasa Inggris hingga derajat tertentu dalam rangka menghadapi tuntutan zaman. Dalam proses pelaksanaannya, sekolah diberikan kewenangan (otoritas sekolah) sehingga memiliki kuasa yang diakui untuk menyelenggarakan pengajaran bahasa Inggris sesuai dengan standar nasional. Aksi pedagogis yang dilakukan atas nama sekolah dengan guru sebagai pengembang desain pengajarannya dapat terjadi karena sekolah memang diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum. Di sinilah sekolah memiliki kemandirian dan guru pun diberikan otoritas pedagogis sehingga berkuasa untuk membentuk desain pengajaran tersendiri. Dalam konteks kasus yang diangkat, guru juga memiliki kemandirian yang cukup besar untuk melakukannya dan konteks sekolah yang menjadi lokasi studi memang memungkinkan untuk itu. Di sinilah guru dapat melakukan aksi pedagogis yang memuat standar hasil konstruksinya, misal nilai minimal kelulusan, proporsi penggunaan bahasa, dan cara pengerjaan tugas harian. Proses yang dijalankan dengan berangkat dari hasil kreativitas guru disebut sebagai praktik pedagogis. Pengalaman mengalami kesulitan dan bahkan kegagalan membuat ketiga peserta didik menganggap bahwa mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Pada gilirannya hal itu memunculkan kekhawatiran akan peluang keberhasilan mereka dalam UN. Habitus ini tentunya tidak muncul begitu saja, melainkan atas dasar proses yang terus menerus dilalui oleh mereka. Di sinilah praktik persekolahan dan praktik pedagogis sebagai suatu proses yang berjalan sepanjang waktu tertentu membentuk habitus mereka. Mereka pun menerima begitu saja ketidakberhasilan dan kesulitan yang kerap mereka hadapi karena standar yang dipaksakan pada mereka bersifat sahih dan dipaksakan oleh agen pedagogis yang punya kewenangan. Walau demikian, tak dapat dipungkiri bahwa kualitas kekerasan simbolis yang dilakukan melalui kedua guru berbeda. Nampak bahwa derajat kekerasan simbolis yang dilakukan oleh Guru ES lebih rendah dibanding Guru BT. Proporsi penggunaan dwi bahasa yang lebih seimbang dan keleluasaan bagi peserta didik untuk bekerja sama sepanjang proses belajar membuat mereka merasa lebih mampu beradaptasi dengan mata pelajaran bahasa Inggris. Tak pelak mereka merasa lebih nyaman dengan mata pelajaran bahasa Inggris yang dibawakan oleh Guru ES. Lalu apa refleksi yang dapat diangkat dari temuan penelitian ini jika dikembalikan pada konteks dari kerangka pemikiran Bourdieu? Pada dasarnya pemikiran Bourdieu dikembangkan dalam konteks di mana terdapat relasi kuasa antar kelompok atau kelas di masyarakat. Kelompok atau kelas dominan dapat memaksakan sudut pandang atau kebudayaannya sebagai yang paling memiliki legitimasi sebagai dasar beroperasinya masyarakat. Oleh karena itu, ketika agen pedagogis melakukan aksi pedagogis dengan muatan budaya dominan, maka mereka melanggengkan dominasi kelompok atau kelas itu. Selain itu mereka pun memiliki kuasa yang terlegitimasi ketika melakukannya karena konten yang mereka paksakan memiliki legitimasi dan menjadi tolok ukur di masyarakat. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bourdieu dan Passeron (1979), budaya yang meresap ke dalam sistem pendidikan adalah budaya milik kelas elit. Budaya

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 21: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

21    

tersebut berjarak dengan budaya milik kalangan non elit dan membuat mereka tidak asing dengan kegagalan akademis. Hal ini dipertegas dengan temuan mereka sesudahnya ketika melakukan penelitian dengan teori kekerasasan simbolis yang sudah dibangun. Dalam bagian kedua dari buku Reproduction, Bourdieu dan Passeron (1990) menemukan bahwa sistem pendidikan berperan mengkonversi perbedaan latar belakang sosial menjadi perbedaan keberhasilan akademis. Ini menjadi gerbang bagi reproduksi sosial yang mempertahankan dominasi kelompok atau kelas dominan. Lalu bagaimana dengan konteks Indonesia? Di Indonesia tidak ada kelompok atau kelas dominan sesuai dengan konteks pemikiran Bourdieu. Sebab, tidak ada kelompok di Indonesia yang menghasilkan bahasa Inggris sebagai sebuah ekspresi linguistik. Dalam sejarah Indonesia, bahasa yang diajukan sebagai bahasa nasional oleh golongan nasionalis adalah bahasa Indonesia (Sneddon, 2003). Kedudukan bahasa Inggris sesudah Indonesia merdeka hanyalah bahasa asing (Lauder, 2008). Artinya tidak ada kelompok atau kelas dominan, yang berasal dari masyarakat Indonesia, yang menghasilkan bahasa Inggris lalu menjadikannya sebagai budaya dominan. Pemerintah selaku pihak yang berkuasa pun hanya melakukan pengaturan atas sistem pendidikan melalui berbagai peraturan dan bukanlah penghasil bahasa Inggris. Walau begitu, dalam konteks kajian ini, kekerasan simbolis tetap terjadi karena bahasa Inggris sebagai ekspresi linguistik dominan di skala global dipaksakan kepada peserta didik miskin yang berjarak darinya. Pemaksaan itu dilakukan dengan memanfaatkan kuasa yang terlegitimasi (kewenangan). Kewenangan itu hadir dalam konteks keberadaan bahasa Inggris sebagai ekspresi linguistik dominan yang diakui sehingga dirasa harus diajarkan melalui agen-agen dalam sistem pendidikan. Terakhir, kebijakan pemerintah mewajibkan dan menstandarkan bahasa Inggris secara nasional begitu rupa pun harus dipertanyakan kembali. Pengajaran bahasa Inggris yang diwajibkan untuk membuat seluruh pelajar Indonesia mampu berbahasa Inggris sesuai tuntutan zaman adalah sebuah diskursus yang memerlukan tinjauan lebih jauh. Pertanyaannya, apakah ini merupakan sebuah kepercayaan (belief) atau adalah sebuah fakta yang berangkat dari kajian yang melihat realita secara kritis? DAFTAR PUSTAKA Jurnal

Dalal, Jyoti. 2016. Pierre Bourdieu: The Sociologist of Education. Contemporary Education Dialogue Vol. 13, No. 2: halaman 1-20, DOI: 10.1177/0973184916640406, diakses pada 31 Mei 2016 pukul 10.40.

Edgerton, Jason D dan Lance W. Roberts. 2014. Cultural capital or habitus? Bourdieu and beyond in the explanation of enduring educational inequality. Theory and Research in Education Vol. 12, No. 2: halaman 193-220, DOI: 10.1177/1477878514530231.

Furaidah, Ali Saukah, dan Utami Widiati. 2015. Washback of English National Examination in the Indonesian Context. TEFLIN Journal, Vol 26, No. 1, Januari: 36-58. Diunduh dari http://dx.doi.org/10.15639/teflinjournal.v26i1/36-58, diakses pada 4 November 2015 pukul 18.11.

Hawanti, Santhy. 2014. Implementing Indonesia’s English Language teaching policy in primary schools: The role of teachers’ knowledge and beliefs. International Journal of Pedagogies and Learning, Vol. 9, No. 2, Desember: halaman 162-170. Diunduh dari http://dx.doi.org/10.1080/18334105.2014.11082029, diakses pada 20 Desember pukul 23.08.

Kivimäki, Timo. 2000. U.S.-Indonesia Relations During The Economic Crisis: Where Has Indonesia’s Bargaining Power Gone? Contemporary Southeast Asia, Vol. 22, No. 3, Desember: halaman 527-549. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/25798510, diakses pada 22 Juni 2016 pukul 11.54.

Lauder, Allan. 2008. The Status and Function of English in Indonesia: A Review of Key Factors. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 12, No.1, Juli: halaman 9-20. Diunduh dari http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/128/124, diakses pada 4 Maret 2015 pukul 18.43.

Lie, Anita. 2007. Education Policy and EFL Curriculum in Indonesia: Between Commitment to Competence and The Quest For Highest Scores. TEFLIN Journal, Vol. 18, No. 1, Februari: halaman 1-14. Diunduh dari http://www.teflin.org/journal/index.php/teflin/article/viewFile/113/102, diakses pada 6 Februari 2015 pukul 00.38).

Lin, Angel M. Y. 1999. Doing-English-Lessons in the Reproduction or Transformation of Social Worlds? TESOL Quarterly, Vol 33, No. 3, Critical Approaches to TESOL, halaman 393-412. Diunduh dari http://remote-lib.ui.ac.id:2059/stable/pdf/3587671.pdf, diakses pada 20 September 2015 pukul 10.14.

Manara, Christine. 2014. “That’s What Worries Me”: Tensions in English Language Education in Today’s Indonesia. International Journal of Innovation in English Language Teaching and Research, Vol.3, No.1, halaman: 21-35. Diunduh dari

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 22: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

22    

http://remote-lib.ui.ac.id:2092/docview/1625463532/fulltextPDF/D79F229DD4FE451CPQ/7?accountid=17242, diakses pada 6 Februari 2015 pukul 00.21; https://www.novapublishers.com/catalog/product_info.php?products_id=50128, diakses pada 19 Januari 2016 pukul 10.52.

Panjaitan, Mutiara O. 2013. Analisis Standar Isi Bahasa Inggris SMP dan SMA. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.19, No.1, Maret: Halaman 140-155. Diunduh dari http://litbang.kemdikbud.go.id/jurnaldikbud/index.php/jpnk/article/download/113/110, diakses pada 4 November 2015 pukul 23.23.

Sultana, Sheila. 2014. English as a Medium of Instruction in Bangladesh’s Higher Education: Empowering or Disadvantaging Students? Asian EFL Journal, Vol 16, Issue. 1, halaman 11-52. Diunduh dari https://www.elejournals.com/download?code=546015ba94823, diakses pada 27 Agustus 2015 pukul 23.55.

Wardaya, Baskara T. 2012. Diplomacy and cultural understanding. Learning from US policy toward Indonesia under Sukarno. International Journal of Canada’s Journal and Global Policy Analysis, Vol 67 (4), Desember: halaman 1051-1061. Diunduh dari ijx.sagepub.com.

Yusny, Rahmat. 2013. ELT in Indonesian Context: Issues and Challanges. Englisia, Vol.1, No.1, November: halaman 81-99. Diunduh dari http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/englisia/article/download/140/121, diakses pada 8 Januari 2015 pukul 10.05.

Zein, Mochamad Subhan. 2015. Preparing Elementary English Teachers: Innovations at Pre-service Level. Australian Journal of Teacher Education, Vol. 40, No. 6, Juni: halaman 107-120. Diunduh dari http://ro.ecu.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=2589&context=ajte, diakses pada 7 Desember 2015 pukul 20.22.

Buku Bourdieu, Pierre. (1977). Outline of a Theory of Practice (Richard Nice, Penerjemah.). Cambridge: Cambridge University

Press. ------. (1984). Distinction. A Social Critique of the Judgement of Taste (Richard Nice, Penerjemah.). Cambridge: Harvard

University Press. ------. (1990). In Other Words. Essays Towards a Reflexive Sociology (Matthew Adamson, Penerjemah.). California: Standford

University Press. ------. (1998). Practical Reason. On the Theory of Action (Polity Press, Penerjemah.). California: Stanford University Press. ------. dan Jean-Claude Passeron. (1979). The Inheritors. French Students and Their Relations to Culture. (Richard Nice,

Penerjemah.). London: The University of Chicago Press. ------. (1990). Reproduction in Education, Society, and Culture (Richard Nice, Penerjemah.). Ed.ke-2. London: Sage

Publications. ------. dan Loïc J.D. Wacquant. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: Polity Press. Bousquett, Gilles dan Alain Pessin. (2003). Culture and identity in postwar France. Dalam Nicholas Hewit (Ed.). The

Modern Companion to Modern French Culture (pp.40-60). Cambridge: Cambridge University Press. Brutt-Griffler, Janina. 2002. World English. A study of its Development. Clevedon: Cromwell Press Ltd. Creswell, John. W. (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih di Antara Lima Pendekatan (Ahmad Lintang Lazuardi,

Penerjemah.). Ed.ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Drakeley, Steven. (2005). The History of Indonesia. London: Greenwood Press. Fennell, Barbara A. (2001). A History of English. A Sociolinguistic Approach. Oxford: Blackwell Publishers. Hadiz, Vedi R (Ed.). (2006). Indonesia.Order and terror in a time of empire. Empire and Neoliberalism in Asia (pp. 123-138).

Oxon: Routledge. Haralambos & Holborn. (2008). Sociology – Themes and Perspectives (7th ed.). London: Harper Collin. Huberman, A. Michael dan Matthew B. Miles. (1994). Qualitative Data Analysis: An Expanded Source Book. Ed. ke- 2.

Thousand Oaks, CA: Sage. Mantra, Dodi. (2011). Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme. Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi

ASEAN 2015. Bekasi: Mantra Press. Neuman, Lawrence W. (2006). Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches). Ed. ke-6. Boston: Pearson

Education Inc. Pranowo. (2007). Pembelajaran Bahasa Inggris di SD, Perlukah? Dalam Adi, dkk (Eds.). Teropong Pendidikan Kita. Antologi

Artikel 2006-2007 (pp. 129-133). Edisi ke-2. Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional. Sally, Razeen. (2008). Globalisation and the Political Economy of Trade Liberalisation in the BRIICS. Dalam OECD.

Globalization and Emerging Economies (Brazil, Russia, India, Indonesia, China and South Africa) (pp. 117-185). OECD.

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 23: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

23    

Sanjaya, Wina. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.

Schubert, J. Daniel. (2008). Suffering. Dalam Michael Grenfell (Ed.). Pierre Bourdieu Key Concepts (pp. 183-198). Stocksfield: Acumen Publishing Limited.

Sneddon, James. (2003). The Indonesian Language. Its history and role in modern society. Sydney: UNSW Press. Swartz, David. (1997). Culture and Power. The Sociology of Pierre Bourdieu. Chicago: The University of Chichago Press. Suwarsono dan Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan (2nd ed.). LP3ES. Thomson, Patricia. (2008). Field. Dalam Michael Grenfell (Ed.). Pierre Bourdieu Key Concepts (pp. 67-81). Stocksfield:

Acumen Publishing Limited. Wie, Thee Kian (Ed.). (2005). Pelaku Berkisah. Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Wirutomo, Paulus. 2012. Sosiologi Untuk Jakarta: Menuju Pembangunan Sosial-Budaya. Jakarta : Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat Jakarta. Skripsi / Tesis / Disertasi / Paper Hadisantosa, Nilawati. 2010. Learning Through English: Insights From Indonesia. Richard Johnstone (ed). Learning

Through English: Policies, Challanges, and prospects. British Council. Paper. (Diunduh dari https://www.teachingenglish.org.uk/sites/teacheng/files/publication_1_-_learning_through_english.pdf, diakses pada 27 April 2016 pukul 18.02).

Lamb, Martin. 2011. A Matthew Effect in English Language Education in A Developing Country Context. Hywel Coleman (ed). Dreams and Realities: Developing Countries and the English Language. London: British Council. Paper. (Diunduh dari https://www.teachingenglish.org.uk/sites/teacheng/files/Z413%20EDB%20Section09.pdf, diakses pada 1 mei 2015 pukul 17.57).

Rusdiati, Suma Riella. 2004. Bahasa, Kekuasaan Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan. Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu tentang Kuasa. Tesis FIB UI Pascasarjana Filsafat.

Vu, Phuong Tra. 2012. English in Southeast Asian countries. Paper. (Diunduh dari http://dumas.ccsd.cnrs.fr/dumas-00931949/document, diakses pada 1 Mei 2015 pukul 18.33).

Yulia, Yuyun. 2014. An Evaluation of English Language Teaching Programs in Indonesian Junior High Schools in The Jogjakarta Province. Disertasi RMIT University.

Majalah Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoretis Gerakan Sosial menurut Pierre

Bourdieu,” Basis, No. 11-12, tahun ke-52, November-Desember, 4-23. Suryadi, Bambang. 2014. Ujian Nasional 2015: Uji Coba UN Dengan CBT. Buletin BSNP, Vol IV, No. 4, Desember, 6-9. Peraturan/ Kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bandung: Citra

Umbara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai revisi

atas UU No. 19 Tahun 2005. Bandung: Citra Umbara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Bandung: Citra Umbara. Standar Isi Bahasa Inggris SMP-MTS. (Permendiknas no. 22 Tahun 2006). diunduh dari http://bsnp-

indonesia.org/id/wp-content/uploads/isi/SMP-MTS.zip, diakses pada 30 Juni 2015 Pukul 23.25 Standar Kompetensi Lulusan SMP-MTS (Permendiknas no. 23 Tahun 2006). diunduh dari http://bsnp-

indonesia.org/id/wp-content/uploads/2009/04/SKL_MAPEL_SMP_MTs.pdf, diakses pada 26 September 2015 pukul 11.37

Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. (Permendiknas no. 19 Tahun 2007). diunduh dari http://bsnp-indonesia.org/id/wp-content/uploads/pengelolaan/Permen_19_Th-2007.zip, diakses pada 26 September 2015 pukul 11.57

Standar Penilaian Pendidikan (Permendiknas no. 20 Tahun 2007). diunduh dari http://sdm.data.kemdikbud.go.id/SNP/dokumen/Permendiknas%20No%2020%20Tahun%202007.pdf, diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 21.46

Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendiknas no. 41 Tahun 2007). diunduh dari http://bsnp-indonesia.org/id/wp-content/uploads/proses/Permen_41_Th-2007.pdf, diakses pada 4 Juni 2016 pukul 11.01

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016

Page 24: KEKERASAN SIMBOLIS TERHADAP PESERTA DIDIK MISKIN (Studi

24    

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bandung: Citra Umbara. Dokumen Publikasi Lembaga Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2006) Panduan Umum KTSP. Diunduh dari http://bsnp-

indonesia.org/id/wp-content/uploads/kompetensi/Panduan_Umum_KTSP.pdf, diakses pada 3 Januari 2015 pukul 23.12.

Dokumen Sekolah Kumpulan Nilai Bahasa Inggris. Instrumen Supervisi Manajerial. Instrumen Supervisi Klinis. Soal UTS Bahasa Inggris Kelas 7 semester 1. Soal UAS Bahasa Inggris Kelas 7 semester 2. Soal UTS Bahasa Inggris Kelas 7 semester 2. Soal UTS Bahasa Inggris Kelas 9 semester 1. Soal Try Out UN Bahasa Inggris.

Website Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). “Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Nasional”.

http://www.bkkbn.go.id/kependudukan/Pages/DataLainlain/Perkembangan_indikator_sosial_ekonomi/Ekonomi_Tenagakerja/Jumlah_dan_persentase_penduduk_miskin/Nasional.aspx, diakses pada 2 Juli 2016 pukul 01.08.

Badan Pusat Statistik (BPS). “Angka Partisipasi Kasar (APK) 2003-2010”. http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1049, diakses pada 10 Agustus 2016 pukul 11.56.

---, “Angka Partisipasi Kasar (APK) 2011-2015”. http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1050, diakses pada 8 Juni 2016 pukul 18.28.

---, “Angka Partisipasi Murni (APM) 2003-2010”. http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1051, diakses pada 10 Agustus 2016 pukul 11.57.

---, “Angka Partisipasi Murni (APM) 2011-2015”. http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1052, diakses pada 2 Juli 2016 pukul 01.06.

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. “Informasi Umum. Tentang KJP”. http://kjp.jakarta.go.id/kjp2/public/informasi_umum.php?id=eydpZCc6J2M3NGQ5N2IwMWVhZTI1N2U0NGFhOWQ1YmFkZTk3YmFmJywnamVuaXMnOicxNWY0MDI5MTI5OWQ4YzQ3NDMxYzcwNDVhMDVmOWNmOCd9, diakses pada 4 Juni 2016 pukul 20.56.

Kekerasan Simbolis ..., Stephen Pratama, FISIP UI, 2016