Author
vudieu
View
261
Download
9
Embed Size (px)
1
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
KEJAHATAN PERANG DI IRAK
Menggugat Keterlibatan Inggris dalam Perang Irak
"Saya akan bertanggung jawab penuh untuk setiap kesalahan tanpa
pengecualian atau alasan. Saya, pada saat yang sama, selalu bertanya
mengapa. Namun, saya percaya bahwa lebih baik untuk
menyingkirkan Saddam Hussein dan mengapa saya tidak percaya hal
ini adalah penyebab terorisme yang kita lihat saat ini di Timur Tengah
atau di tempat lain di dunia ini. "
(Pernyataan Tony Blair, PM Inggris pada era Perang Irak, menanggapi
publikasi the Iraq Inquiry oleh Sir John Chilcot, The Guardian, 6 Juli 2016)
Daftar Isi
Konsep Kejahatan Perang...............................3
Chilcot Report dan Tuduhan Kejahatan Perang
kepada Tony Blair...........................................4
Pengakuan Bersalah Tony Blair......................7
Respons Internasional terhadap Laporan
Chilcot............................................................9
Dampak Perang Irak dalam Angka Statistik..11
__________________________________________
Tentang Kami
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari
Lembaga Kajian SYAMINA (LKS). LKS merupakan
sebuah lembaga kajian independen yang bekerja
dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman.
Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh
pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit
sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari
sekian banyak media yang mengajak segenap
elemen umat untuk bekerja mencegah
kezaliman.
Media ini berusaha untuk menjadi corong
kebenaran yang ditujukan kepada segenap
lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya
mengemukakan gagasan ilmiah dan menitik-
beratkan pada metode analisis dengan uraian
yang lugas dan tujuan yang legal.
Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh
masing-masing penulis. Untuk komentar atau
pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan
email ke: [email protected].
Seluruh laporan kami bisa diunduh di website:
www.syamina.org
2
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
Amerika Serikat (AS), didukung kuat oleh Inggris,
menginvasi Irak dengan dalih bahwa rezim Saddam
memiliki senjata pemusnah massal. Invasi dengan
kode "Operasi Pembebasan Irak" secara resmi
dimulai pada tanggal 19 Maret 2003. Tujuan resmi
yang ditetapkan AS adalah untuk "melucuti senjata
pemusnah masal Irak, mengakhiri dukungan
Saddam Hussein kepada terorisme, dan
memerdekakan rakyat Irak".
George W. Bush dan Tony Blair, menyatakan
bahwa mereka berperang di Irak untuk
membebaskan dunia dari seorang diktator brutal
yang merupakan ancaman bagi perdamaian,
stabilitas, dan demokrasi regional. Keduanya telah
secara teratur menyebutkan penggunaan gas kimia
terhadap penduduk Kurdi, dan Perang Iran-Irak
pada tahun 80-an, sebagai contoh kebrutalan
Saddam. Namun saat invasi dilakukan, tidak ada
dan tidak pernah ditemukan senjata pemusnah
massal tersebut di Irak.
Sebagai persiapan, pada 18 Februari
2003,sekitar 100 ribu tentara AS dimobilisasikan di
Kuwait. Amerika Serikat menyediakan mayoritas
pasukan untuk invasi ini, dengan dukungan dari
pasukan koalisi yang terdiri dari lebih dari 20
negara dan suku Kurdi di utara Irak. Invasi inilah
yang menjadi pembuka Perang Irak.
Sebelum invansi dilaksanakan, pemerintah AS
dan Inggris menuduh Irak sedang berusaha
membuat senjata pemusnah masal yang
mengancam kemanan nasional mereka, koalisi, dan
sekutu regional. Pada tahun 2002, Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1441 yang
mewajibkan Irak untuk bekerjasama sepenuhnya
dengan inspektur senjata PBB guna membuktikan
bahwa Irak tidak berada dalam suatu usaha
membuat senjata pemusnah masal.
Hans Blix, pemimpin dari tim inspeksi senjata
yang dikirim, mengatakan bahwa tidak ditemukan
senjata pemusnah massal dan Irak telah bekerja
sama dengan aktif, akan tetapi, di bawah
ketentuan-ketentuan tertentu dan penundaan-
penundaan. Sementara itu, Pemerintah AS di
bawah Presiden George W. Bush sedang
memfokuskan diri pada sosok Saddam Hussein
yang dinilai ikut menjadi dalang serangan teror 11
September. Adapun Inggris mengonsentrasikan diri
pada senjata pembunuh massal yang katanya
dimiliki Irak.
Sebuah dokumen dari tahun 2002, yang disebut
"Senjata Pembunuh Massal Irak"—sekarang lebih
dikenal sebagai Dodgy Dossier atau “Dokumen
Berisiko Tinggi” —dijadikan acuan. Pengantarnya
ditandatangani Blair, dan isinya menyatakan,
pasukan Inggris yang ditempatkan di Siprus bisa
dicapai dengan senjata pembunuh masal hanya
dalam waktu 45 menit setelah pernyataan perang.
Isi laporan ini disebarluaskan dan tidak pernah
dikoreksi pemerintah Inggris.
Memang, pada tanggal 15 Desember 2011,
Perang Irak telah dinyatakan berakhir, yang
ditandai dengan pernyataan penutupan misi militer
pasukan AS di Irak oleh Menteri Pertahanan AS
Leon Panetta. Namun, dalam perkembangannya,
3
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
banyak sorotan ditujukan kepada invasi AS dan
Inggris ke Irak tersebut. Kontroversi pun mencuat
di mata publik dunia; apakah invasi tersebut telah
mengakibatkan kejahatan perang yang serius
ataukah tidak?
Konsep Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah suatu tindakan
pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional,
terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa
orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan
perang ini disebut penjahat perang. Setiap
pelanggaran hukum perang pada konflik
antarbangsa merupakan kejahatan perang.
Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal
suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan
perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran
terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh
hukum perang, dan juga mencakup kegagalan
untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan
pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah
mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya,
menggunakan bendera perdamaian itu sebagai
taktik perang untuk mengecoh pihak lawan
sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan
perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap
sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal
dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu
kejahatan perang, walaupun dalam Hukum
Kemanusiaan Internasional (International
Humanitarian Law), kejahatan-kejahatan ini secara
luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Kejahatan perang merupakan bagian penting
dalam hukum kemanusiaan internasional karena
biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan
suatu pengadilan internasional, seperti pada
Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini
pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan
Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda,
yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB
berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan
Internasional, yang berbasis di Den Haag, Belanda,
dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang
terjadi pada atau setelah tanggal tersebut.
Beberapa negara, terutama Amerika Serikat,
Tiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi
atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak
warga negara mereka.1
Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak
kepada pemenang suatu peperangan, karena
beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum
dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya
antara lain perusakan target-target sipil yang
dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan
Perang Dunia II; penggunaan bom atom terhadap
Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.
1Cassese, Antonio. 2013. Cassese's International Criminal Law
(3rd ed.). Oxford University Press. pp. 63–66.
4
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
Pada tahun 2003, Erol Moris memenangkan
Academy Award atas film dokumenternya, The Fog
of War: Eleven Lessons from the Life of Robert S.
McNamara. Film itu sebagian besar berisi
wawancara dengan Robert McNamara, termasuk
perannya dalam pengeboman di Hiroshima dan
Nagasaki. Ia pernah menjabat sebagai Menteri
Pertahanan AS pada tahun 1961-1968. Setelah itu,
ia menjabat sebagai Presiden Bank Dunia pada
tahun 1968 hingga 1981.
Tahu bahwa ia tidak akan dituntut sebagai
penjahat perang, McNamara menjelaskan bahwa
Jenderal Curtis LeMay, arsitek pengeboman
tersebut, pernah mengatakan, “Jika kita kalah
perang, kita semua akan dituntut sebagai penjahat
perang.”
“Saya rasa dia benar,” kata McNamara. “Dia dan
saya telah melakukan kejahatan perang. LeMay
tahu bahwa apa yang ia lakukan akan dianggap
tidak bermoral jika pihaknya kalah. Tapi, apa yang
membuat amoral jika Anda kalah dan tidak amoral
jika Anda menang?”2
Chilcot Report dan Tuduhan Kejahatan Perang
kepada Tony Blair
The Iraq Inquiry adalah sebuah jajak pendapat
publik Inggris terkait peran negaranya dalam
Perang Irak. Jajak pendapat ini diumumkan pada
tahun 2009 oleh Perdana Menteri Gordon Brown
2The Fog of War: Eleven Lessons from the Life of Robert S.
McNamara (2003)
dan dimulai dengan penyelidikan hingga kemudian
diumumkan dan dipublikasikan pada 6 Juli 2016
lewat laporan publik berupa Chilcot Report.
Laporan Chilcot yang disiapkan selama 7 tahun ini
mencakup kajian hampir 10 tahun keputusan
kebijakan pemerintah Inggris dari tahun 2001
sampai 2009.
Foto: Halaman Twitter Sir John Chilcot, pemimpin tim
penyelidikan the Iraq Inquiry.
Laporan Chilcot pada intinya menyebutkan:
Inggris ikut melancarkan invasi ke Irak secara
tergesa-gesa, sebelum semua opsi damai
dijalankan. Di samping itu, antisipasi untuk masa
pascaperang tidak memadai. Juga penarikan
keputusan dilakukan berdasarkan penilaian data
intelijen yang cacat dan meragukan.
Laporan ini diyakini akan jadi "ancaman" bagi
mantan Perdana Menteri Tony Blair, yang aksinya
ikut memicu berkobarnya Perang Irak II.
Pertanyaan paling penting: Apakah Blair sengaja
mengecoh parlemen? Atau ia hanya
mempropagandakan informasi salah, yang ia
sendiri percaya sebagai benar?
Penyelidikan resmi yang dipimpin Sir John
Chilcot ini bukanlah sebuah pengadilan. Jadi, pada
5
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
akhirnya tidak akan memberi akibat hukum kepada
para pejabat yang dipanggil untuk memberi
kesaksian. Namun demikian, penyelidikan ini
mempunyai wewenang besar untuk memanggil
semua pejabat Inggris yang terlibat dalam perang
Irak dan membuka dokumen-dokumen yang
selama ini masih menjadi rahasia.
Di antara saksi yang sudah tampil adalah bekas
juru bicara Tony Blair, Alastair Campbell, yang
mengatakan bahwa sang perdana menteri menulis
surat kepada Presiden Bush pada tahun 2002 untuk
mengatakan bahwa Inggris akan ikut apabila
Amerika Serikat melakukan aksi militer terhadap
Saddam Hussein.
Selama ini yang masih menjadi pertanyaan
sejumlah warga Inggris adalah apakah Blair
membesar-besarkan informasi intelijen tentang
senjata pemusnah massal Irak untuk mendukung
niatnya memerangi Saddam Hussein.Hal lain yang
menjadi sorotan adalah mengenai legalitas invasi
itu yang tidak didasarkan pada resolusi Dewan
Keamanan PBB, apalagi setelah terungkap dalam
kesaksian bahwa mantan jaksa agung Inggris, Lord
Goldsmith, berubah sikap tak lama sebelum invasi.
Sementara dua pejabat hukum Departemen Luar
Negeri Inggris menyatakan invasi itu melanggar
hukum internasional tanpa dukungan Dewan
Keamanan PBB.
Pengritik kebijakan perang Blair
menganggapnya telah melanggar adab
kemanusiaan dan layak dibawa ke pengadilan
kejahatan perang. Seorang aktivis perdamaian
Inggris bahkan membuat situs yang berjudul
tangkap Tony Blair—arrestblair.org—karena
dianggap melakukan kejahatan melawan
perdamaian dan membuka rekening donasi yang
didedikasikan khusus menangkap Blair.3
John Prescott, yang menjadi Wakil Perdana
Menteri ketika Inggris terlibat dalam Perang Irak
2003, juga mengatakan bahwa invasi Inggris dan
Amerika Serikat ke negara itu adalah "ilegal".
Dalam tulisannya di harian Sunday Mirror, dia
mengaku sisa hidupnya bakal terbebani akibat
"keputusan penuh malapetaka" tersebut. Prescott
mengatakan dirinya saat ini "dengan kesedihan dan
kemarahan luar biasa" mendukung pernyataan
mantan Sekjen PBB Kofi Annan yang saat itu
menyatakan bahwa Perang Irak adalah tindakan
ilegal.
Namun, dia juga memuji pernyataan pimpinan
Partai Buruh yang meminta maaf atas nama partai
terkait keterlibatan Inggris dalam Perang Irak.
Prescott juga mengatakan bahwa pernyataan
Perdana Menteri Tony Blair bahwa "Saya dengan
Anda, apapun alasannya" dalam pesannya kepada
Presiden AS George W. Bush sebelum invasi pada
Maret 2003, merupakan sikap yang
"menghancurkan".
Dalam tulisannya, Prescott secara pribadi juga
menyatakan "permintaan maaf sepenuhnya"
terutama kepada keluarga tentara Inggris yang
tewas di Irak. Menurutnya, Inggris memilih untuk
3http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/01/100129_chil
cot
6
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
bergabung melakukan invasi sebelum jalan keluar
damai untuk melucuti Irak telah ditempuh
sepenuhnya. Dia mengatakan, sekarang jelas
bahwa kebijakan terhadap Irak didasarkan data
intelijen yang cacat dan penilaian yang tidak
pernah dipertanyakan.4
Laporan Chilcot juga mengungkap bahwa Tony
Blair, mengirimkan memo-memo dukungan kepada
George W. Bush, sebelum mantan presiden
Amerika Serikat itu mengirimkan pasukan untuk
menginvasi Irak. Laporan Chilcot juga
mengungkapkan bahwa Blair mengirimkan 29 surat
rahasia untuk Bush dalam masa-masa sebelum
invasi.
Pada memo tertanggal 4 Desember 2001, Blair
mengakui adanya keengganan dari negara-negara
lain untuk melakukan aksi militer di Irak, namun
menegaskan "yang pasti, orang-orang ingin
menyingkirkan Saddam." Blair juga menyarankan
Bush untuk merancang peta untuk menggulingkan
rezim Saddam Hussein, termasuk di antaranya
menekan Suriah, memantik api pemberontakan di
dalam Irak, dan juga mengajak Rusia ikut serta.
Dalam memo tertanggal 28 Juli 2002, Blair
mengungkapkan dukungannya untuk Bush, namun
mengingatkan bahwa negara-negara Eropa takkan
terlibat tanpa adanya otorisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Ia menyarankan Bush
mengumpulkan bukti-bukti bahwa Irak memang
4http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160710_du
nia_inggris_perangirak_ilegal
menyembunyikan senjata pemusnah massal dan
juga bukti keterkaitan Irak dengan Al-Qaeda.
Dalam memo yang sama, Blair mengakui bahwa
Perang Irak tidak akan berlangsung mudah. "Ini
bukan Kosovo. Ini bukan Afghanistan. Ini bahkan
bukan Perang Teluk." Blair juga mengatakan pada
Bush bahwa Saddam Hussein adalah rezim yang
paling brutal di dunia selain Korea Utara, dan
menurunkan Sadam Hussein dari posisinya sebagai
presiden Irak akan "membebaskan negara itu".
Dalam memo tertanggal 26 Maret 2003, atau
enam hari setelah invasi dimulai, Blair
membenarkan serangan tersebut, meski tak ada
bukti konkret Irak memiliki senjata pemusnah
massal. Blair mengatakan bahwa meskipun senjata
pemusnah massal adalah faktor penting, "hadiah
utama" mereka adalah untuk menyingkirkan
Saddam.
Enam bulan setelah perang dimulai, Blair
kembali mengirimkan surat dan mengakui bahwa
rencana mereka tak berjalan sesuai rencana. Satu
bulan kemudian, Blair mulai mengirimkan surat
dalam nada panik. "Memerangi Irak di daratan
sangat sukar. Kami kehilangan orang karena
serangan teroris. Kami belum menemukan cukup
bukti soal senjata pemusnah massal."
Surat-surat Blair untuk Bush ini berlanjut selama
perang berlangsung dan menunjukkan kedekatan
hubungan antara Blair dan pemimpin Amerika
Serikat tersebut. Menanggapi temuan ini, Alex
Salmond dari Partai Nasional Skotlandia
7
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
mengatakan, “Mengatakan satu hal yang sama
untuk George W. Bush secara pribadi, itu adalah
tindakan kejahatan, pelanggaran pada parlemen,
dan sekarang saatnya bagi parlemen untuk
memberikan vonis kepada mereka.”5
Pada akhirnya, pemimpin penyelidikan Inggris
terkait perang Irak, Sir John Chilcot, menyampaikan
kesimpulan yang mengecam keras peran Inggris
dalam invasi pimpinan Amerika Serikat pada tahun
2003. Saat menyampaikan temuan penyelidikan,
Chilcot mengatakan bahwa Inggris memilih untuk
bergabung melakukan invasi sebelum jalan keluar
damai untuk melucuti Irak telah ditempuh
sepenuhnya.
Dia mengatakan sekarang jelas bahwa kebijakan
terhadap Irak didasarkan data intelijen yang cacat
dan penilaian yang tidak pernah dipertanyakan.
Chilcot mengatakan Irak bukanlah ancaman segera,
dan penilaian tentang risiko senjata pemusnah
massal Irak yang disampaikan sebagai suatu
kepastian, sama sekali tidak berdasar.
Dia menambahkan bahwa Perdana Menteri
Inggris saat itu, Tony Blair, berperang bersama-
sama dengan AS agar sejajar dengan sekutu
utamanya. Tetapi, Blair tidak mendesak Presiden
George W Bush terkait jaminan pasti rencana
Amerika.
Perdana Menteri David Cameron mengatakan
hal ini adalah pelajaran yang harus dikaji untuk
5“Terungkap, Memo Rahasia Blair untuk Bush dalam Perang
Irak”, CNN Indonesia(7/7/2016).
masa depan dan semua pihak yang mendukung
aksi militer di Irak harus turut merasa bersalah.6
Pengakuan Bersalah Tony Blair
Keluarga tentara Inggris yang tewas di Irak
menyatakan kemarahan mereka terkait keputusan
mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair
berperang di Irak. Dalam berbagai kesempatan,
Blair telah meminta maaf atas kesalahan yang
dibuatnya, tetapi tidak pada keputusannya untuk
melibatkan Inggris berperang ke Irak.
Tony Blair mengaku tidak menyangka Irak akan
terjerumus dalam bencana setelah Saddam
Hussein jatuh. Dalam memoarnya, Blair menyebut
keadaan di Irak setelah Saddam Hussein
digulingkan sebagai nightmare (mimpi buruk).
Memoar yang ditulis selama tiga tahun itu
bercerita tentang masa kepemimpinan Blair
sebagai perdana menteri antara 1997-2007.
Blair mengatakan sangat menyesali jatuhnya
korban dalam invasi Amerika, Inggris dan sekutu-
sekutunya. Namun menurutnya Saddam
menimbulkan bahaya yang lebih besar seandainya
dia dibiarkan berkuasa. "Kami tidak
mengantisipasi peran Al-Qaidah atau Iran," kata
Blair mengenai perencanaan pascaperang yang
ternyata menyebabkan pertumpahan darah
berlangsung sampai lama setelah rezim Saddam
tumbang.
6http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160706_du
nia_irak_inggris
8
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
Blair mengatakan dia sangat menyesalkan
jatuhnya korban akibat perang di Irak, penyesalan
yang menurutnya lebih dari sekadar perasaan
sedih ketika melihat tayangan berita yang tragis.
"Saya merasa sangat kasihan pada mereka, kasihan
pada kehidupan yang direnggut, kasihan pada
keluarga yang kesedihannya semakin parah karena
kontroversi mengenai alasan kematian sanak
saudara mereka, kasihan karena merekalah yang
secara tidak fair harus kehilangan."
Tercatat, lebih 200 warga Inggris tewas karena
perang Irak, sementara sampai tahun 2009 paling
sedikitnya 150 ribu warga Irak yang meninggal, dan
lebih satu juta orang harus mengungsi.Perang itu
juga menyedot dana senilai 12 miliar dolar AS dari
anggaran Inggris.
Dalam pernyataannya pada tahun 2010
tersebut, Blair mengaku akan mengambil tindakan
yang berbeda pada tahun 2002 dan 2003, jika ia
punya informasi intelejen yang baru muncul
setelahnya. "Itu bukan penipuan, melainkan
sebuah keputusan," kata Blair menyangkut
keikutsertaan Inggris dalam invasi ke Irak yang
digagas AS secara unilateral tanpa persetujuan PBB
dan NATO.
Tapi ada yang beranggapan, Blair menipu
negara, parlemen, bahkan kabinetnya sendiri,
karena salah menginterpretasi atau membesar-
besarkan hasil penyelidikan yang sangat terbatas,
dan keinginannya untuk mengambil keputusan
dalam suasana yang informal dan bukan dalam
pertemuan kabinet. Bahkan, pemimpin Partai
Buruh—partainya Blair—saat ini, Jeremy Corbyn,
juga sempat menyatakan akan mengajukan
tuntutan terhadap Blair, jika hasil penyelidikan
merujuk pada kesalahan Blair.
Sementara anggota Parlemen David Davis dari
kubu konservatif menilai Blair tidak hanya
berbohong, tapi juga melancarkan kampanye
terkoordinir untuk menyesatkan politisi serta
publik. Davis mengatakan konflik yang dipicu
"koalisi antiteror" Bush menyebabkan Irak
sekarang jadi puing-puing belaka. Hal ini juga jadi
penyebab utama menyebarnya kekerasan di
kawasan maupun global sekaligus merusak
kepercayaan pada kemampuan politik luar negeri
negara-negara Barat.
Dua tuduhan jelas memberatkan Blair. Yang
pertama, apakah ia sengaja menipu rakyat dan
parlemen? Yang kedua, apa motifnya ikut perang?
Ketika Chilcot’s Iraq Inquiry berkonklusi bahwa
"pergantian rezim Irak" jadi tujuan invasi, dan
bukan melucuti senjata Saddam, Blair pun dituduh
melanggar mandatnya.7
Pada akhirnya, menjawab temuan penyelidik,
Blair mengatakan dirinya bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap kesalahan apa pun tanpa
kecuali dan tanpa alasan apa pun. Tetapi, dia
meminta masyarakat Inggris untuk menerima apa
yang telah dilakukannya, apa yang dirinya pikir
yang terbaik saat itu.Blair mengatakan dia masih
7“Invasi Irak Berdasar Data Intelien Cacat”,
http://www.dw.com/id/inggris-invasi-irak-berdasar-data-
intelejen-cacat/a-19381472 (6/7/2016).
9
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
meyakini dunia lebih baik tanpa Saddam Hussein,
dan biaya kemanusiaannya lebih besar jika Saddam
dibiarkan berkuasa.8
Ketika itu opini publik tentang keikutsertaan
Inggris dalam invasi Irak bermacam-macam. Yang
tegas menentang hanya sedikit. Ada demonstrasi
menentang perang di London yang dihadiri 1 juta
orang. Namun, setelah beberapa tahun Perang Irak
dan Saddam Hussein dihukum mati, kesalahan data
atau rekayasa informasi dalam konflik Irak makin
jelas. Barulah rakyat Inggris menyatakan tidak
setuju negaranya ikut invasi yang digagas AS tanpa
persetujuan Dewan Keamanan PBB. Tapi, semua
sudah terlambat dan tidak ada gunanya, terutama
bagi rakyat Irak yang menjadi korban.
Pada sisi lain, mari bicara tentang Tony Blair
Faith Foundation. Lembaga yang didirikan dan
berada di bawah asuhan Tony Blair ini sama sekali
tidak menyinggung isu ini. Padahal, lembaga
tersebut dikenal getol dalam mengampanyekan
program CVE (Counter Violent Extremism) dan
perdamaian dunia.
Sikap yang ditunjukkan oleh Tony Blair justru
menunjukkan paradoks (bertolak belakang) dengan
slogan yang dikampanyekan oleh lembaganya
tersebut. Dalam website resminya disebutkan:
“The Rt. Hon. Tony Blair established the Tony
Blair Faith Foundation in 2008 because he
believed that religious ideology and its impact
on the world would be the biggest challenge
facing the 21st Century.
8http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/09/100901_bla
irmemoar
Our team is committed to increasing
understanding of the impact of religion in the
world and mitigating the damage caused by
religious conflict and extremism. We advocate
for open-mindedness, tolerance and secure and
stable societies.”9
Pada saat yang sama, Tony Blair menegaskan
sikapnya yang doyan perang lewat intervensi
militer ketika menanggapi Laporan Chilcot:
"Tidak peduli apakah orang setuju atau tidak
setuju dengan keputusan saya untuk melakukan
tindakan militer terhadap Saddam Hussein; saya
melakukannya dengan niat baik dan dengan yang
saya yakini akan menjadi kepentingan yang terbaik
untuk negara ini....
Saya akan bertanggungj awab penuh untuk setiap
kesalahan tanpa pengecualian atau alasan. Saya di
waktu yang sama selalu bertanya mengapa,
namun, saya percaya bahwa lebih baik untuk
menyingkirkan Saddam Hussein dan mengapa saya
tidak percaya hal ini adalah penyebab terorisme
yang kita lihat saat ini di Timur Tengah atau di
tempat lain di dunia ini."10
Respons Internasional terhadap Laporan Chilcot
Publikasi laporan Chilcot ternyata mendapatkan
respons dari dunia internasional. Misalnya, Komite
Luar Negeri Parlemen Mesir mengajukan
9Lihat:
http://tonyblairfaithfoundation.org/foundation/leadership 10
Tony Blair says reports clears him of 'bad faith', The Guardian (6/7/2016): http://www.theguardian.com/politics/live/2016/jul/06/chilcot-report-live-inquiry-war-iraq
10
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
permohonan dalam pernyataan yang dirilis pada
tanggal 6 Juli 2016, dua hari setelah laporan
tentang partisipasi Inggris dalam Perang Irak
tersebut telah menemukan bahwa intervensi
militer (AS dan Inggris) didasarkan pada cacat
intelijen. Laporan Chilcot "telah menunjukan
alasan palsu yang oleh Bush dan Blair telah
digunakan untuk perang tidak sah mereka
terhadap Irak," kata pernyataan itu, menambahkan
bahwa perang di Irak mengakibatkan lebih dari
satu juta orang tewas dan jutaan lainnya terluka
dan terlantar.
"Bush dan Blair harus diadili sebagai penjahat
perang bukan hanya karena mereka adalah orang-
orang yang mengumandangkan alasan untuk
perang ini, tetapi juga karena mereka harus
bertanggung jawab atas kematian jutaan warga
Irak sejak tahun 2003," pernyataan itu
menambahkan. Lebih lanjut, para anggota
parlemen Mesir mengatakan "Bush melakukan
kejahatan di Irak di tengah ‘keheningan’ AS, yang
memproklamirkan diri sebagai pembawa bendera
demokrasi dan hak asasi manusia.
Mereka juga mencatat bahwa laporan Chicot
menunjukan plot Barat yang tak henti-hentinya
melawan negara-negara Arab, Teluk Persia dan
Timur Tengah. "Konspirasi ini bertujuan menjarah
kekayaan daerah ini, memperbudak bangsa dan
menjatuhkan (mereka) ke dalam masalah yang
konstan," kata pernyataan itu. Anggota Parlemen
Mesir selanjutnya menyarankan agar Liga Arab dan
KTT Arab ke-27 di Mauritania mengeluarkan
pernyataan keras terhadap intervensi militer Barat
di Dunia Arab dan menekan PBB untuk mengadopsi
prinsip ini.11
Sebelumnya, Peraih Nobel Perdamaian 1984,
Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu,
pernah mengatakan bahwa invasi militer Amerika
Serikat (AS) dan sekutunya, terutama Inggris,
terhadap Irak adalah pelanggaran hak asasi
manusia. Dia mendesak pengadilan tindak pidana
hak asasi internasional (ICC) untuk mengungkap
kejahatan HAM tersebut.
''George Bush dan Tony Blair telah melakukan
kejahatan perang terhadap Irak,'' tulis Desmond di
surat kabar Inggris The Observer dan The Guardian
(2/9/2016). Aktivis Apertheid ini menuliskan, kedua
pemimpin negara adidaya itu telah melakukan
kebohongan publik, dengan menyiarkan senjata
pemusnah massal dan pembunuhan massal
sebagai alasan invansi militer pada 2003 itu.
Menurut dia, kestabilan politik internasional dan
keamanan di Kawasan Timur Tengah tidaklah akan
terusik apabila AS dan sekutunya tidak turut
campur di sana. Lebih jauh dia menganalisis bahwa
penggulingan Saddam Hussein oleh kelompok
digdaya itu adalah pemantik kerusuhan di kawasan
hingga sekarang, dan memaksa Iran untuk terlibat.
''Bush dan Blair telah mendorong manusia ke tepi
jurang peperangan,'' ujarnya.
11
“Bush, Blair should be tried as war criminals for Iraq war:
Egypt's Parliament”, Ahram
Online,http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/64/2327
51/Egypt/Politics-/Bush,-Blair-should-be-tried-as-war-
criminals-for-I.aspx (8/7/2016).
11
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
Desmond mengaku kecewa terhadap
penegakan hukum di internasional, yang dianggap
tidak adil dalam memperlakukan penjahat
kemanusiaan lainnya. Dia mempertanyakan
pengadilan di Den Haag hanya terkonsentrasi
terhadap pelanggar HAM di Asia dan Afrika, namun
tidak 'membuka mata' terhadap kejahatan
kemanusian yang dimotori oleh AS bersama sekutu
di tempat lain.
Dia menjelaskan, hingga sekarang 16 kasus
kejahatan HAM yang diseret ke ICC. Di antaranya,
yang menyeret pemimpin pemberontak dari
Republik Demokratik Kongo (DRC), Thomas
Lubanga (divonis 14 tahun penjara), dan penjahat
Perang Serbia Ratko Mladic.
Sementara itu, Pengadilan Kriminal
Internasional (ICC) menyatakan tertarik pada
sejumlah hasil penyelidikan, misalnya perincian
soal tindakan kriminal yang dilakukan tentara
Inggris di Irak. Tapi, ICC juga menyatakan,
keputusan Inggris untuk melancarkan perang
dengan Irak tidak termasuk jurisdiksi mereka.12
Dampak Perang Irak dalam Angka Statistik
Dampak dari invasi militer AS dan Inggris ke Irak
luar biasa ‘disesalkan’ jika ditinjau dari berbagai
aspek. Berikut ini sejumlah angka yang
dikumpulkan BBC dari berbagai sumber di seputar
12
“Why I had no choice but to spurn Tony Blair”
https://www.theguardian.com/commentisfree/2012/sep/02/
desmond-tutu-tony-blair-iraq (2/9/2012)
Perang Irak sejak invasi Maret 2003 hingga
mundurnya pasukan Amerika Serikat, Desember
2011.13
Jumlah tentara
Amerika Serikat memimpin invasi Irak dengan
didukung oleh berbagai negara, antara lain Inggris.
Jumlah tentara AS di lapangan befluktuasi antara
100.000-150.000 kecuali pada masa ‘penambahan
pasukan’ tahun 2007.
Pada masa itu, Presiden George Bush ingin
meningkatkan keamanan di Irak, khususnya di
ibukota Baghdad, dengan mengerahkan 30.000
pasukan tambahan.
Presiden Barack Obama kemudian menjanjikan
penarikan mundur tentara AS dari Irak sebagai
bagian dari kampanye pada tahun 2008 dan jumlah
tentara AS di Irak terus berkurang sejak dia
memerintah Januari 2009.
Tanggal 19 Agustus 2010, brigade pasukan tempur
AS yang terakhir meninggalkan Irak, namun sekitar
50.000 personil masih tetap di sana untuk
mempersiapkan proses peralihan keamanan.
13
http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/1
30216_irak_statistik
12
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
Sumber: Brooking Institution
Jumlah terbesar pasukan Inggris di Irak mencapai
46.000 pada masa invasi awal dan setiap tahun
berkurang terus hingga 4.100 tentara ketika
penarikan mundur pada Mei 2009. Namun
Angkatan Laut Inggris masih melatih AL Irak hingga
Mei 2011.
Jumlah korban
Amerika Serikat kehilangan 4.487 personilnya di
Irak sejak Operasi Pembebasan Iran dilancarkan
pada tanggal 19 Maret 2003. Sebanyak 3.492
tewas dalam operasi militer dan sekitar 32.000
luka-luka.
Sumber: Defence Manpower Data Centre
Sementara Inggris kehilangan 179 tentaranya
dengan 136 tewas dalam operasi. Sebanyak 139
pasukan dari negara-negara lain anggota koalisi
tewas di Irak.
Jika kematian pasukan internasional tercatat
dengan baik, jumlah korban jiwa penduduk sipil
maupun tentara atau pejuang bersenjata Irak lebih
sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, semua
perkiraan jumlah korban jiwa warga Irak bisa
diperdebatkan.
Badan Perhitungan Irak, Iraq Body Council atau IBC,
merupakan lembaga yang secara rutin melakukan
perhitungan dengan melakukan pemeriksaan ulang
atas laporan media dan sumber-sumber lain –
antara lain catatan kematian di rumah sakit.
Sumber: Iraq Body Count
Berdasarkan IBC, tercatat 97.461 hingga 106.348
korban jiwa sipil hingga Juli 2010. Menurut IBC
perbedaan antara tinggi-rendahnya korban
disebabkan perbedaan laporan-laporan tentang
berapa banyak yang tewas dalam insiden
kekerasan dan apakah mereka warga sipil atau
pejuang bersenjata.
Laporan lain—berdasarkan Survei Kesehatan
Keluarga Irak yang didukung PBB—memperkirakan
jatuh 152.000 korban jiwa dalam kekerasan
sepanjang Maret 2003-Juni 2006. Jumlah itu
mencakup pejuang Irak dan juga penduduk sipil.
Biaya perang
Perhitungan tentang biaya yang dihabiskan dalam
Perang Irak juga bisa diperdebatkan. Data dari
Badan Riset Kongres (Congresional Research
Service) per Juli 2010 di bawah ini
menggambarkannya:
13
Laporan Reguler SYAMINA Edisi 13/Oktober 2016
Badan Riset Kongres memperkirakan negara itu
menghabiskan hampir US$ 802 miliar untuk
mendanai Perang Irak hingga tahun keuangan
2011.
Namun, pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz
dan akademisi dari Universitas Harvard, Linda
Bilmes, mendapatkan perhitungan US$ 3 triliun
dengan memasukkan dampaknya terhadap
anggaran negara dan perekonomian AS.
Pemerintah Inggris pada Juni 2010 mengeluarkan
angka US$ 14,32 miliar untuk mendanai perang
Irak. Sebagian besar untuk kepentingan militer dan
US$861 juta untuk bantuan.
Jumlah pengungsi
Kekerasan sektarian di Irak mulai berkembang
pada awal 2005 dan meningkat drastis pada
Februari 2006. Konflik bersenjata antara kubu
Syiah dan Sunni mendorong terjadinya
pengungsian di dalam negeri maupun ke luar
negeri.
Organisasi Migrasi Internasional (IOM)
memperkirakan dalam masa 2006-2010 sebanyak
1,6 juta warga Irak mengungsi dari rumahnya.
Jumlah itu sekitar 5,5% dari total penduduk Irak.
Dari jumlah itu, pada tahun 2012 sekitar 400.000
orang sudah kembali ke rumah mereka, khususnya
di Baghdad, Diyala, Ninewa, dan di Provinsi Anbar.
Kesimpulan
Dari kumpulan data dampak perang di atas,
publik bisa menilai layak tidaknya invasi militer
yang mengakibatkan Perang Irak disebut sebagai
kejahatan perang. Yang jelas, Laporan Chilcot–yang
dideskripsikan oleh BBC News sebagai "laporan
yang memberatkan", oleh The Guardian sebagai
"vonis berat", dan oleh The Telegraph sebagai
"tajam" –secara luas mengkritik aksi pemerintah
dan militer Inggris untuk terlibat dalam perang
maupun perencanaannya setelah Perang Irak.
Setidaknya, Laporan Chilcot menjadi titik masuk
yang melahirkan beberapa kesimpulan, di
antaranya bahwa ada pengakuan bahwa invasi Irak
merupakan sebuah kesalahan, ditinjau dari sisi
norma maupun aturan hukum internasional.
Di sisi lain, fakta Perang Irak menunjukkan
wajah sesungguhnya dari negara-negara yang
menjadi pemegang veto di PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa); bahwa PBB hanyalah alat bagi
kepentingan negara-negara tersebut. Ketika
kepentingan tidak sejalan maka prinsip-prinsip PBB
pun tidak lagi dipedulikan, ditinggalkan, bahkan
jika perlu dilanggar. (F. Irawan)