Upload
phamthuan
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KEJAHATAN BEGAL YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KABUPATEN
TANGGAMUS (PERSPEKTIF KRIMINOLOGI)
Tesis
Oleh
GUSTI ANGGI MERDEKA PUTRI
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
KEJAHATAN BEGAL YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI
KABUPATEN TANGGAMUS (PERSPEKTIF KRIMINOLOGI)
Oleh :
GUSTI ANGGI MERDEKA PUTRI
Kejahatan begal di Kabupaten Tanggamus adalah suatu bentuk pencurian atau
perampasan secara paksa dengan menggunakan senjata dan ancaman kekerasan di
jalanan, hal yang menarik perhatian adalah kejahatan begal ini telah melibatkan
anak sebagai pelakunya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai
faktor penyebab anak menjadi pelaku kejahatan begal dan upaya pihak Polres
Tanggamus dalam penanggulangan kejahatan begal yang dilakukan oleh anak di
Kabupaten Tanggamus.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder dan data primer. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab anak menjadi pelaku begal di
Kabupaten Tanggamus yaitu faktor internal berupa aspek kepribadian, sikap dan
intelejensi yang rendah, gangguan mental diakibatkan konsumsi alcohol. Faktor
eksternal yaitu kemiskinan, keluarga, pengaruh pergaulan, video game yang
bersifat kekerasan dan faktor wilayah berpotensi begal. Polres Tanggamus
melakukan upaya penal (represif) yaitu menemukan kembali barang pembegalan,
mengadakan pemeriksaan dan menghimpun bukti untuk dapat melakukan
penangkapan dan penahanan untuk melakukan proses penyidikan yang akan
menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut, dan
Punishment sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam hukum pidana
dengan berorentasi pada pembinaan dan perbaikan anak. Kemudian upaya non
penal (preventif) yaitu : memadukan berbagai unsur yang berkaitan dengan
mekanisme peradilan pidana serta partisipasi masyarakat seperti siskamling,
memberikan penyuluhan, himbauan berhati-hati mengendari sepeda motor,
Sweeping, strong point, dan menggandeng media massa agar menyampaikan
pentingnya menaati hukum yang berlaku.
Polres Tanggamus disarankan untuk lebih cekatan dalam menangani kasus begal
yang dilakukan oleh anak sehingga wilayah yang berpotensi kejahatan begal dapat
diamankan untuk mempersempit melakukan begal. Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus juga stakeholder yang ada diharapkan
bekerjasama dalam menangani, memperhatikan, dan memenuhi hak-hak anak,
menciptakan kota (daerah) layak anak, kegiatan-kegiatan positif agar anak tidak
melakukan kejahatan.
Kata kunci : Pelaku Begal Anak, Kabupaten Tanggamus, Kriminologi.
ABSTRACT
ROBBERY CRIMES (BEGAL) COMMITTED BY CHILDREN IN
TANGGAMUS DISTRICT (PERSPECTIVE OF LEGAL CRIMINOLOGY)
By :
GUSTI ANGGI MERDEKA PUTRI
Robbery (begal) crime in Tanggamus district is a form of theft or forced seizure
by using weapons and threats of violence on the streets, the interesting thing
lately this crime has involved the child as the perpetrator. The problem in this
study is about the factors that cause children to become perpetrators of crime in
Tanggamus District and the efforts of Tanggamus District Police in handling
crime committed by children in Tanggamus District.
The method used in this study was conducted with a normative and empirical
juridical approach. The data used in this study are secondary data and primary
data. Data analysis used in this study is qualitative.
he results of the study showed that the cause of the child being a troublemaker in
Tanggamus Regency was an internal factor in the form of personality aspects, low
attitudes and intelligence, mental disorders caused by alcohol consumption.
External factors are poverty, family, social influences, violent video games and
potential regional factors. Tanggamus District Police conducted a punitive action
(repressive), which was rediscovering the defective property, conducting an
examination and collecting evidence to be able to carry out arrests and detention
to conduct an investigation process that would determine whether the child would
be released or processed further, and Punishment in accordance with the
legislation in criminal law with an orientation on the development and
improvement of children. Then non-penal (preventive) efforts are: integrating
various elements related to criminal justice mechanisms as well as community
participation such as siskamling, providing counseling, careful calls for driving
motorbikes, sweeping, strong points, and holding the mass media to convey the
importance of obeying the laws applies.
To Tanggamus District Police, is advised to be more agile in handling begal cases
committed by children so that areas with potential crime crimes could be secured
to narrow the child's movement to do begal. To the Provincial Government, the
Regional Government of Tanggamus Regency and the existing stakeholders are
expected to cooperate in handling, paying attention to, and fulfilling children's
rights, creating child-friendly cities (regions), positive activities so that children
do not commit crimes.
Keywords : Perpetrators of Child Begal, Tanggamus District, Criminology.
i
KEJAHATAN BEGAL YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KABUPATEN
TANGGAMUS (PERSPEKTIF KRIMINOLOGI)
Oleh
GUSTI ANGGI MERDEKA PUTRI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Natar Kabupaten Lampung Selatan, pada tanggal 17 Agustus
1992, anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Sukardi dan Ibu Netty
Herawaty, S. Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK
Pewa Natar pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 2 Merak Batin, Natar
pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Natar yang
diselesaikan pada tahun 2007, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 10
Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2010.
Pada Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Lampung dan pada Tahun 2014 penulis meraih gelas
Sarjana Hukum. Pada Tahun 2015 penulis melanjutkan jenjang pendidikan pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
ii
MOTO
Agar sukses, kemauanmu untuk berhasil harus lebih besar dari ketakutanmu akan
kegagalan.
(Bill Cosby)
Jika kamu benar menginginkan sesuatu, kamu akan menemukan caranya. Namun
jika tak serius, kau hanya akan menemukan alasan.
(Jim Rohn)
iii
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT, dan dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati kupersembahkan Tesis ini kepada:
Ayah dan Ibu
sebagai orang tua penulis tercinta yang telah membesarkan dan mendidik dengan
segenap kasih sayang, kesabaran, dan pengorbanan serta senantiasa mendo’akan untuk
keberhasilan ku.
Adikku tersayang dan seluruh keluarga besar yang selalu
mendo’akanku serta memberi bantuan dalam segala hal dalam menggapai cita-cita
Sahabat-sahabat penulis
yang tidak bisa untuk disebutkan satu-persatu
yang telah banyak membantu, menemani dan memberikan dukungan
kepada penulis selama ini.
Almamaterku
Universitas Lampung
iv
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT, sebab hanya dengan izin-Nya semata maka penulis dapat menyelesaikan
Tesis yang berjudul: “Kejahatan Begal yang Dilakukan oleh Anak di Kabupaten
Tanggamus (Perspektif Kriminologi)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan sampai terselesaikannya Tesis ini,
mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin,M.P. selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. I Gede AB. Wiranata, S.H., M.H., selaku Plt. Dekan Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
4. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingan,
masukan dan saran dalam penyusunan sampai selesainya Tesis.
5. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, atas bimbingan, masukan
dan saran dalam penyusunan sampai selesainya Tesis.
v
6. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Penguji Utama, atas masukan dan
saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis.
7. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Penguji, atas masukan dan saran
yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis.
8. Ibu Dr. Amnawaty, S.H., M.H., selaku Penguji, atas masukan dan saran yang
diberikan dalam proses perbaikan Tesis.
9. Para narasumber yang telah memberikan informasi dan bantuan dalam
pelaksanaan penelitian.
10. Seluruh dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Lampung telah memberikan ilmu kepada penulis dan seluruh staf dan karyawan
yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam penyusunan Tesis ini.
11. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dukungan dalam
penyusunan Tesis ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan
kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga
Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bandar Lampung, 18 Oktober 2018
Penulis,
Gusti Anggi Merdeka Putri
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Perumusan dan Ruang Lingkup ............................................................... 10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................... 11
D. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 12
E. Metode Penelitian ...................................................................................... 22
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 27
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kejahatan ................................................................................ 28
B. Pengertian Begal ....................................................................................... 32
C. Aspek Hukum Terhadap Kejahatan Begal oleh Anak .............................. 34
D. Pengertian Anak dan Anak yang Berkonflik dengan Hukum .................. 38
1. Pengertian Anak .................................................................................... 38
2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum .................................................. 43
E. Kriminologi .............................................................................................. 46
1. Pengertian Kriminologi ......................................................................... 46
2. Pendekatan Kriminologi ........................................................................ 50
F. Tinjauan Tentang Penyebab Kejahatan .................................................... 51
G. Upaya Penanggulangan Kejahatan ........................................................... 59
III. HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kejahatan Begal di Kabupaten Tanggamus ................ 65
1. Kejahatan Begal di Kabupaten Tanggamus........................................... 65
2. Kejahatan Begal yang dilakukan oleh Anak di
Kabupaten Tanggamus .......................................................................... 70
B. Faktor Penyebab Anak sebagai Pelaku Kejahatan Begal di
Kabupaten Tanggamus ............................................................................. 75
1. Faktor Internal .................................................................................... 78
2. Faktor Eksternal .................................................................................. 84
C. Upaya Pihak Kepolisian Polres Tanggamus dalam Penanggulangan
Kejahatan Begal yang dilakukan oleh Anak di Kabupaten Tanggamus. . 96
IV. PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................. 110
B. Saran. ........................................................................................................ 111
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan manusia telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk
mempertahankan hidupnya, melalui proses sosialisasi yang dibangun dengan
interaksi sosial tidak selamanya menghasilkan pola-pola perilaku yang positif
tetapi juga dapat menimbulkan hal yang negatif sehingga tidak menutup
kemungkinan secara langsung maupun tidak langsung akan banyak
mempengaruhi gaya hidup di masyarakat. Perilaku manusia yang mengalami
perubahan dimana dipandang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat tersebut
merupakan perubahan yang berasal dari luar dan ada yang berasal dari dalam
masyarakat itu sendiri. Pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi
manusia lain ( homo homuni lupus ) selalu mementingkan diri sendiri dan tidak
mementingkan keperluan orang lain.1
Kejahatan merupakan problematika yang membayangi umat manusia. Timbulnya
kejahatan salah satunya disebabkan karena kebutuhan akan benda-benda materil
terbatas, sementara cara untuk memperoleh benda itu juga terbatas. Sudah
menjadi kondrat alamiah, apabila kebutuhan satu telah dipenuhi maka kebutuhan
selanjutnya akan segera timbul, begitu seterusnya tanpa henti. Dengan demikian
1Deni Achmad dan Firganefi, Pengantar Kriminologi & Viktiminologi, Justice Publisher, Bandar
Lampung, 2016, hlm.2.
2
manusia berusaha untuk memenuhinya dengan berbagai cara tidak terkecuali
dengan cara-cara melanggar hukum. Berkaitan dengan kejahatan, maka kekerasan
merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Sebagai salah satu
perbuatan manusia yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia,
kejahatan merupakan masalah sosial, yaitu masalah-masalah di tengah masyarakat
sebab pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga.2
Kejahatan terhadap barang dan harta benda yang semula hanya dikenal dalam
bentuk pencurian atau penipuan, sekarang marak dengan kejahatan perampokan
dan pembegalan khususnya terhadap pengendara sepeda motor, dan begal
merupakan bentuk kejahatan jalanan ( street crime ) yang menjadi perhatian serius
masyarakat serta aparat penegak hukum. Beberapa waktu belakangan ini kata
begal atau perampasan dijalan menjadi sangat populer di masyarakat. Bukan
hanya menjadi perbincangan dikalangan masyarakat, namun kata begal juga
sering ditemui di media sosial. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang begitu
pesat, menggoda pelaku untuk melakukan aksinya dan bahkan terkadang berujung
maut.3
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya agar tidak terlepas
dari segala peraturan-peraturan yang bersumber dari hukum. Ini berarti agar
hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati, dan ditaati oleh siapapun tanpa
ada pengecualian.4 Istilah begal itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2 Alam A.S, Pengantar Kriminologi, Pusat Refleksi, Jakarta, 2010, hlm. 17.
3Muladi, dan Diah Sulistyani, Kompleksitas Perkembangan Tindak Pidana dan Kebijakan
Kriminal, PT. Alumni, Bandung, 2016, hlm. 24. 4R. Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, PT.Raja Grapindo Persada, Bandung,
2005, hlm.26.
3
kata “begal” merupakan kata kerja, sinonim kata begal adalah kata penyamun,
membegal berarti merampas di jalan atau menyamun. Pembegalan berarti proses,
cara, perbuatan membegal, perampasan dijalan atau penyamun. Berdasarkan
konsep penegakan hukum harus mementingkan asas legalitas yang tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , “ nullum delictum
nulla poena siena praevia lege poenali ” yang menjelaskan bahwa tidak ada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali ada undang-undang yang mengaturnya.5
Begal merupakan istilah yang digunakan masyarakat tradisional yang kemudian
berkembang menjadi istilah terhadap pelaku kejahatan yang mencegat korban di
jalan dan melakukan perampasan harta sikorban. Sehingga istilah begal lebih
cenderung dikenal dengan tindak pidana perampasan kendaraan bermotor,
sedangkan dalam terminologi hukum tidak ada istilah begal melainkan
perampasan kendaraan bermotor dengan kekerasan di jalan raya. Berkaitan
dengan kejahatan begal, pada dasarnya tidak terlihat dengan jelas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana pengertian atau tindak pidana yang langsung
menunjuk pada kata begal, adaapun dalam koridor hukum positif aksi begal
biasanya dikaitkan dengan Pasal 365 KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan
pencurian dengan kekerasan. Pasal 365 KUHP sebagai berikut :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan
diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang di
curi.
5 Anthon F. Susanto, Teori-Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2010,hlm.47
4
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta
api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat;
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun;
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan
luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1
dan 3.
Begal merupakan bentuk kejahatan yang sangat meresahkan dan semakin marak
terjadi di mana pun dan dilakukan oleh siapa pun baik dalam skala luas atau
sempit, kejahatan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang mempunyai
tingkat kriminalitas tinggi, melainkan telah terjadi di wilayah Kabupaten
Tanggamus. Pelaku mengikuti korbannya yang melintas di lokasi kejadian dan
menodongkan senjata tajam serta merampas sepeda motor korban bahkan pelaku
dalam melaksankan aksinya tidak segan untuk menewaskan korbannya. Korban
aksi begal di Tanggamus pun bermacam-macam mulai dari pria, wanita,
karyawan, PNS, tukang ojek, hingga pelajar. Kejahatan begal sebagai kejahatan
konvensional telah menjadi sebuah fenomena kejahatan yang sampai saat ini
masih meresahkan termasuk di wilayah Kabupaten Tanggamus. Berdasarkan data
rekapitulasi kasus yang berhasil dihimpun Polres Tanggamus pada Tahun 2014
5
sampai dengan Tahun 2017, kasus kejahatan begal berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan oleh penulis ini dikategorikan masuk kedalam data jenis tindak
pidana curas. Dimana jumlah tindak pidana begal yang berhasil didata dapat
terlihat dari angka-angka crime rate dan crime total yang tercatat dalam table di
bawah ini:
Tabel 1.Tindak Pidana yang Terjadi di Kabupaten Tanggamus
Sumber data : Polres Tanggamus tahun 2017
Ket: JTP : Jumlah Tindak Pidana
PTP : Penyelesaian Tindak Pidana
Table 1 terlihat bahwa jumlah tindak pidana begal (curas) dari tahun ke tahun
berfariatif dan mengalami kenaikan jumlah kasus, dimana pada Tahun 2014
jumlah tindak pidana begal yang dilaporkan ke Polres Tanggamus sebanyak 59
kasus, Tahun 2015 sebanyak 35 kasus dan mengalami peningkatan pada dua tahun
terakhir yaitu pada Tahun 2016 sebanyak 74 kasus dan yang terakhir Tahun 2017
sebanyak 90 kasus, pada Tahun 2017 ini lah jumlah tindak pidana begal terbesar
sepanjang empat tahun terakhir. Dari 90 kasus begal Tahun 2017 yang dilaporkan
No Jenis Tindak Pidana 2014 2015 2016 2017
JTP PTP JTP PTP JTP PTP JTP PTP
1 Curat 87 47 76 34 83 26 95 53
2 Curas 59 21 35 18 74 22 90 33
3 Curanmor 40 12 39 16 48 22 41 12
4 Penganiayaan berat 4 3 4 1 5 5 12 11
5 Pembunuhan 2 2 2 2 5 5 2 2
6 Penculikan 0 0 0 0 0 0 3 3
7 Perkosaan 8 7 8 8 9 8 26 25
8 Perjudian 25 25 28 28 19 19 18 18
9 Pemerasan 3 3 3 2 9 8 4 4
10 Pembakaran/kebakaran 15 15 12 12 7 7 3 3
11 Lain-lain 250 234 143 127 220 198 216 190
JUMLAH 493 368 350 248 479 320 510 351
6
tersebut hanya 33 kasus saja yang berhasil diselesaikan oleh pihak Polres
Tanggamus. Kejahatan Curas (pencurian yang disertai kekerasan atau ancaman
kekerasan) atau yang disebut dengan istilah begal khusus di daerah Kabupaten
Tanggamus merupakan kejahatan yang cukup tinggi kualitas dan kuantitasnya
dimana menempati urutan kedua kejahatan yang paling banyak terjadi
dibandingkan dengan kejahatan konvensional yang lainnya, dapat dilihat juga
bahwa peningkatan kuantitas cenderung meningkat setiap tahunnya.
Hal yang menarik perhatian adalah kejahatan begal di Tanggamus ini telah
melibatkan anak sebagai pelakunya, ini menjadi contoh bahwa aksi kekerasan
sudah menjalar ke generasi muda. Perubahan usia pelaku begal yang sebelumnya
banyak dilakukan oleh orang dewasa, belakangan menjadi banyak dilakukan
pelaku berusia muda dan berstatus sebagai pelajar ini menunjukkan adanya
pergeseran tren dan perubahan perilaku anak usia pelajar. Jumlah anak di bawah
umur yang terlibat dalam kasus kriminalitas menunjukkan peningkatan. Tidak
hanya dari sisi jumlah, secara kualitas kasus kriminalitas yang melibatkan anak di
bawah umur mengalami peningkatan. Jika dahulu anak di bawah umur hanya
terlibat kasus perkelahian antarteman atau tindak pencurian ringan, kini banyak
kasus pembegalan yang melibatkan anak. Aksi mereka dilakukan dalam kelompok
dan secara beramai-ramai mengepung calon korban yang sedang berkendara,
mereka tidak segan untuk melukai, bahkan menghilangkan nyawa korban.
Gaya hidup anak yang semakin beragam akibat pengaruh globalisasi dan
modernisasi juga turut mempengaruhi banyak terjadinya kejahatan begal yang
dilakukan oleh anak saat ini, ataupun disintegrasi moral dimana norma agama,
kesusilaan, adat istiadat, maupun norma lain yang ada dan hidup dalam
7
masyarakat tidak lagi diperhatikan dan ditaati oleh para anak-anak, ini tentunya
harus mendapatkan perhatian serius karena pada akhirnya akan semakin
meresahkan masyarakat, rasa aman untuk beraktifitas bebas di luar rumah.
Sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan oleh anak khususnya kejahatan
begal di Kabupaten Tanggamus, terdapat kasus yang menjadi daya tarik penulis
untuk dikaji dalam perspektif kriminologi yang mana merupakan salah satu ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Kasus-kasus begal yang
dilakukan anak usia pelajar di Kabupaten Tanggamus yaitu :
Kasus 1 :
Laporan perkara LP/B-87/IV/2017/Polda Lpg/Res Tgms/Sek Sobo Tanggal 24
April 2017 dengan korban Rani (20), tim khusus anti bandit (Tekab) 308 Polres
Tanggamus berhasil menangkap dua orang tersangka yaitu : Setiawan yang
berusia 24 Tahun dan AP yang berusia 15 Tahun disepanjang Jalan Lintas
Barat (Jalinbar) Kecamatan Wonosobo dan Bandarnegeri Semuong Kabupaten
Tanggamus pada Jumat (5/5). Tersangka dijerat Pasal 365 KUHP tentang
pencurian dengan kekerasan dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara, dan
terhadap AP yang berusia 15 Tahun , Pelaku Anak Berkonflik dengan Hukum
(ABH) dikenakan Pasal 365 ayat (2) ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP dan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Anak, mengingat pelaku masih berstatus anak dengan umur 15 tahun.6
Kasus 2 :
Kasus begal motor yang dilakukan anak-anak remaja di Jalan Raya Kecamatan
Wonosobo, dicokok satuan Reserse Kriminal (SatReskrim) Polres Tanggamus.
Kasus dengan LP/B-174/IX/2016/LPG/RES TGMS/SEK AGUNG Tanggal 22
September 2016 dalam aksi tersebut korbannya ialah Bambang SY. Pelaku
curas adalah Riki Kurniawan berusia 17 Tahun, Yudi berusia17 Tahun, dan
6Rakyat Lampung, Edisi koran harian, Sudah Beraksi 9 Lokasi Begal „Cilik Ditembak, Senin
Tanggal 08 Mei 2017, hlm 1 dan 11.
8
Tomi Arnando berusia 19 Tahun. Yudi dan Riki dikenakan Pasal 365 ayat (2)
ke-1, ke-2 dan ke-3 KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak sehingga mendapatkan hukuman
penjara selama 7 Tahun 1 Bulan. 7
Kasus-kasus di atas membuktikan bahwa saat ini kebanyakan anak bukan lagi
sebagai korban tindak kejahatan, melainkan pelaku dari tindak kejahatan itu
sendiri. Terlihat bahwa dengan semakin berkembangnya kejahatan begal yang
dilakukan anak secara berkelompok, teknik tertentu seperti menggunakan kunci
leter „T‟ berikut anak mata kuncinya, pelaku anak juga bahkan tidak takut
menggunakan senjata tajam berupa pisau untuk mengancam korban saat
menjalankan aksinya. Karena hal tersebut maka anak yang melakukan tindak
kejahatan tersebut perlu mendapat perhatian khusus, baik dari pemerintah maupun
masyarakat mulai dari upaya pencegahan sampai upaya penanggulangannya.
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban
untuk turut serta dalam pembangunan bangsa dimasa depan. Oleh sebab itu,
kualitas mereka harus diproses dan dibentuk melalui perlakuan terhadap mereka
sejak dini. Terkadang seorang anak melakukan perbuatan yang melanggar hukum
terlepas dari anak tersebut sadar atau dalam keadaan tidak sadar dalam
melakukannya sehingga dapat merugikan orang lain, terlebih lagi dapat
merugikan dirinya sendiri. Namun tidak jarang anak-anak tersebut yang merasa
yakin bahwa tindakannya tidak akan diproses secara hukum. Tingkah laku yang
demikian karena dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil,
7Data dari LP Kelas II B Kota Agung, Tanggal 27 November 2017
9
perkembangan gaya berfikir dan bertindak instan dan juga tidak terlepas dari
lingkungan pergaulannya.
Masalah kejahatan begal yang pelakunya adalah anak di Kabupaten Tanggamus
ini sangatlah bertentangan dengan norma-norma hukum, kesusilaan, adat istiadat
dan agama pada bangsa Indonesia. Sejauh ini masih banyak hal yang
dipertanyakan apakah yang menjadi faktor penyebab semakin maraknya kejahatan
pelaku begal yang dilakukan oleh anak. Apakah adanya hubungan antara suku
bangsa dengan kejahatan, ataukah kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat, dan
pengaruh kejiwaan yang mengakibatkan seseorang melakukan tindak pidana.
Proses penegakan hukum pidana (criminal law enforcement process) saling
berkaitan dengan kriminologi, sebab dapat memberikan masukan kepada hukum
pidana berdasarkan ilmu kriminologi itu akan dapat membantu kepada penegakan
hukum pidana yang sedang diproses di pengadilan.8 Hukum Pidana merupakan
sarana penting dalam penanggulangan kejahatan atau sebagai sarana dalam
memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada
umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat
dilakukan secara preventif (pencegahan) dan represif (penindakan). Namum upaya
preventif tidak efektif dilaksanakan jika kita tidak mengetahui apa sebenarnya
yang menjadi faktor kejahatan tersebut terjadi dan apa alasan dari seseorang
melakukan kejahatan.9
Mengacu dari hal-hal tersebut, perlu dilakukan tinjauan terhadap kejahatan pelaku
begal yang dilakukan oleh anak, agar kemudian dapat ditentukan solusi efektif
8 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2014, hlm. 6. 9 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.13
10
untuk menanggulangi atau meminimalisir pelaku begal yang dilakukan oleh anak
agar lebih terciptanya rasa aman dalam setiap hubungan ditengah-tengah
masyarakat khususnya di wilayah Kabupaten Tanggamus. Pendekatan kriminologi
merupakan suatu entitas penting dan strategis dalam mencari akar penyebab
terjadinya kejahatan dan memberikan penanggulangan yang tepat. Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan
tersebut dengan judul “Kejahatan Begal yang Dilakukan oleh Anak di Kabupaten
Tanggamus (Perspektif Kriminologi)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis bahas di dalam tesis ini adalah sebagai
berikut :
a. Mengapa anak menjadi pelaku kejahatan begal di Kabupaten Tanggamus?
b. Bagaimanakah upaya pihak Kepolisian Resor Tanggamus dalam
menanggulangi kejahatan begal yang dilakukan oleh anak di Kabupaten
Tanggamus?
2. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah kajian kriminologi dan kajian bidang
hukum pidana, dengan objek kajian penelitian mengenai faktor penyebab
terjadinya kejahatan begal yang dilakukan oleh anak, dan upaya pihak Polres
Tanggamus dalam penanggulangan terhadap kejahatan begal yang dilakukan oleh
anak. Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Kabupaten Tanggamus yaitu
Polres Tanggamus, Lapas Kelas II B Kotaagung, dan waktu penelitian
dilaksanakan pada Tahun 2017 sampai dengan bulan Mei 2018.
11
C. Tujuan dan Kegunanaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengkaji dan memahami penyebab anak menjadi pelaku kejahatan
begal di Kabupaten Tanggamus.
b. Untuk mengkaji dan memahami upaya pihak kepolisian Resor Tanggamus
dalam penanggulangan terhadap kejahatan begal yang dilakukan oleh anak
di Kabupaten Tanggamus.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana tentang kejahatan begal
yang dilakukan anak dalam pendekatan kriminologi.
b. Kegunaan Praktis
Manfaat penelitian ini digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan yang dapat digunakan dalam keperluan akademik bagi penulis
dan pihak-pihak yang membutuhkan mengenai paya pihak kepolisian
Resor Tanggamus dalam penanggulangan terhadap kejahatan begal yang
dilakukan oleh anak di Kabupaten Tanggamus.
12
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Kejahatan begal oleh Anak Di
Kabupaten Tanggamus
Faktor Penyebab
Upaya non penal
Pembahasan
Upaya pihak Kepolisian Resor
Tanggamus dalam menanggulangi
kejahatan begal yang dilakukan
oleh anak
Pendekatan Kriminologi
Faktor intern
Faktor eksternal
Upaya penal
Bersifat Represif
Bersifat Preventif
13
2. Kerangka Teoretis
Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh
peneliti.10
Kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard seorang ahli antropologi
Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau
penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan11
, kriminologi yang
menunjuk pada studi ilmiah tentang sifat, tingkat, penyebab, dan pengendalian
perilaku kriminal baik yang terdapat dalam diri individu maupun dalam kehidupan
sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Dengan demikian, cakupan studi kriminologi
tidak hanya menyangkut peristiwa kejahatan, tetapi juga meliputi bentuk,
penyebab, konsekuensi dari kejahatan, serta reaksi sosial terhadapnya, termasuk
reaksi lewat peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan pemerintah di
berbagai bidang. Sehingga berdasarkan cakupan studinya yang luas dan beragam,
menyebabkan kriminologi menjadi sebuah kajianinterdisipliner terhadap
kejahatan.12
Kriminologi tidak hanya deskripsi tentang peristiwa dan bentuk kejahatan tetapi
juga menjangkau mengenai penyebab atau akar kejahatan itu sendiri baik yang
berasal dari diri individu maupun yang bersumber dari kondisi sosial, budaya,
politik, dan ekonomi termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah. Kriminologi
juga mengkaji upaya pengendalian kejahatan serta mengkaji reaksi terhadap
10
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Cetakan ke-16, PT. Grafindo Persada,
Jakarta, 2016, hlm. 36. 11
Topo Santoso dan Eva Achajani Ulfa, Kriminologi, Cetakan Ke-3, PT. Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hlm. 9. 12
Soegiono, Kriminologi, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 23.
14
kejahatan baik formal maupun informal, baik reaksi pemerintah maupun reaksi
masyarakat secara keseluruhan.13
a. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan
Suatu fenomena baik maupun buruk yang dapat menimbulkan kriminalitas (faktor
kriminogen) diperhatikan dalam meninjau dan menganalisa terjadinya suatu
kejahatan. Membahas mengenai kejahatan termasuk sebab-sebabnya tentu tidak
akan terlepas dari ilmu kriminologi.14
Menurut kriminologi faktor-faktor
penyebab terjadinya kejahatan bermacam-macam seperti faktor biologi (biologi
kriminal), faktor psikologis dan psikiatris (psikologi kriminal) dan faktor-faktor
sosial kultural (sosiologi kriminal), untuk mencari sebab-sebab seseorang
melakukan kejahatan maka ada beberapa teori yang dapat digunakan, yaitu :
1. Teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (Biologi Kriminal)
Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh ahli-
ahli frenologi, seperti Gall dan Spuzheim yang mencoba mencari hubungan antara
bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku manusia. Ajaran ini berdasarkan
pendapat aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal.
Cesare Lombroso, seorang dokter ahli Kedokteran Kehakiman merupakan tokoh
penting dari teori ini, mengemukakan ajarannya sebagai berikut :
a. Born criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme.
b. Insane criminal, yaitu orang menjadi penjahat sebagai hasil dari beberapa
perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk
membedakan antara benar dan salah. Contonya adalah kelompok idiot,
embisil, atau paranoid.
13
Indah Sri Utami, Aliran Dan Teori Dalam Kriminologi, Thafa Media, Yogyakarta, 2012, hlm. 2. 14
Muhammad Mustafa, Metodelogi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2007, hlm.9.
15
c. Occasional criminal, atau criminaloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus-menerus sehingga mempengaruhi pribadinya.
Contonya penjahat kambuhan (habitual criminal).
d. Criminal of passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya
karena marah, cinta, atau karena kehormatan. 15
2. Teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor psikologis dan psikiatris
(psikologi kriminal)
Psikologi kriminal mencari sebab-sebab dari faktor psikis termasuk agak baru,
seperti halnya para positivis pada umumnya, usaha untuk mencari ciri-ciri psikis
kepada para penjahat di dasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-
orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang
bukan penjahat, dari ciri-ciri psikis tersebut terletak pada intelegensinya yang
rendah. Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku
kejahatan yang sehat, artinya sehat dalam pengertian psikologis. Mengingat
konsep tentang jiwa yang sehat sulit dirumuskan, dan kalaupun ada maka
perumusannya sangat luas dan masih belum adanya perundang-undangan yang
mewajibkan para hakim untuk melakukan pemeriksaan psikologis/psikiatris
sehingga masih sepenuhnya diserahkan kepada psikolog.16
3. Teori-teori kejahatan dari faktor Sosio-Kultural (Sosiologi Kriminal)
Obyek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara masyarakat
dengan anggotanya antara kelompok baik karena hubungan tempat atau etnis
dengan anggotanya antara kelompok dengan kelompok sepanjang hubungan itu
15
Abintoro Prakoso, Krimininologi & Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm.
28 16
I.S. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hllm. 49
16
dapat menimbulkan kejahatan. Menurut Sacipto Raharjo teori-teori kejahatan dari
aspek sosiologis terdiri dari :
a. Teori-teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang mencari
sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial serta konflik diantara kelas-kelas yang
ada.
b. Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori-teori yang
membahas sebab-sebab kejahatan dari aspek lain seperti lingkungan,
kependudukan, kemiskinan dan sebagainya.17
Terjadinya suatu kejahatan sangatlah berhubungan dengan kemiskinan,
pendidikan, pengangguran dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya utamanya
pada negara berkembang, dimana pelanggaran norma di latar belakangi oleh hal-
hal tersebut.18
Pernyataan bahwa faktor-faktor ekonomi banyak mempengaruhi
terjadinya sesuatu kejahatan didukung oleh penelitian Clinard di Urganda
menyebutkan bahwa kejahatan terhadap harta benda akan terlihat naik dengan
sangat pada negara-negara berkembang, kenaikan ini akan mengikuti
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, hal ini disebabkan adanya "Increasing
demand for prestige articles for conficous consumfion ".19
Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejahatan selain faktor ekonomi adalah
faktor pendidikan yang dapat juga bermakna ketidaktahuan dari orang yang
melakukan kejahatan terhadap akibat-akibat perbuatannya, hal ini diungkapkan
oleh Goddard dengan teorinya (The mental tester theory) berpendapat bahwa
kelemahan otak (yang diturunkan oleh orang tua menurut hukum-hukum
17
Sacipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Adhitya Bhakti, Jakarta, 2000. hlm.47. 18
Ninik Widyanti dan Yulius Weskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya,
Jakarta, 1987, hlm.62 19
Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro, Paradoks dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1982,
hlm.94.
17
kebakaran dari mental) menyebabkan orang-orang yang bersangkutan tidak
mampu menilai akibat tingkah lakunya dan tidak bisa menghargai undang-undang
sebagaimana mestinya.20
Faktor lain yang lebih dominan adalah faktor lingkungan, Bonger dalam "in
leiding tot the criminologie " berusaha menjelaskan betapa pentingnya faktor
lingkungan sebagai penyebab kejahatan. Sehingga dengan demikian hal tersebut
di atas, bahwa faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor lingkungan
merupakan faktor-faktor yang lebih dominan khususnya kondisi kehidupan
manusia dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.21
Sejumlah teori yang terdapat pada ilmu kriminologi di atas dapat dikelompokkan
ke dalam faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan yang
dikemukakan oleh Momon Kartasaputra, yaitu :22
1. Faktor-faktor internal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
b. Sifat khusus dari individu, seperti : sakit jiwa, daya emosional, rendahnya
mental dan anomi (kebingungan).
c. Sifat umum dari individu, seperti : umur, gender, kedudukan individu di
dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah reaksi atau hiburan
individu.
2. Faktor eksternal meliputi :
a. Faktor ekonomi, dipengaruhi oleh kebutuhan hidup yang tinggi namun
keadaan ekonominya rendah;
b. Faktor agama, dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan agama;
c. Faktor bacaan/ Faktor Media informasi dan komunikasi;
d. Faktor film, dipengaruhi oleh tontonan atau film yang disaksikan;
20
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Op.Cit, hlm.54. 21
R. Soesilo, Kriminologi (Pengetahuan tentang sebab-sebab Kejahatan), Politea, Bogor, 1985,
hlm. 28. 22
Momon Kartasaputra, Azas-asas Kriminologi, Remaja Karya, Bandung, 2008, hlm.17.
18
e. Faktor lingkungan/pergaulan, dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal,
lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya;
f. Faktor keluarga, dipengaruhi oleh kurangnya kasih sayang dan perhatian
dari orang tua.
b. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan
Masyarakat saat ini masih dihadapkan pada kejahatan yang merupakan masalah
sosial dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat itu sendiri.
Kejahatan dalam arti luas merupakan pelanggaran dari norma-norma yang di
kenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum.23
Tingginya
tingkat kejahatan secara langsung atau tidak langsung mendorong perkembangan
dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya
berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan
tersebut.24
Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa upaya atau kebijakan untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan criminal .25
Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan
sosial dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. Konsepsi
kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi
bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus
merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk mengendalikan
atau menanggulangi kejahatan (politik criminal) sudah barang tentu tidak hanya
23
Romli atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 2006, hlm. 32. 24
Soejono, D, Doktrin-doktrin krimonologi, Alumni, Bandung, 1973, hlm.42. 25
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.1.
19
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga menggunakan
sarana non-penal.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan
menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana”
(Penal Policy) khususnya pada tahap kebijakan yudkikatif/aplikatif (penegakan
hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya
tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social-welfare” dan “Social defense”.26
Upaya penanggulangan kejahatan lewat sarana penal lebih menitik beratkan pada
sifat represif, tindakan represif mempunyai pengertian merupakan tindakan yang
dilakukan apabila kejahatan telah terjadi atau tindakan-tindakan seperti mengadili,
menjatuhi hukuman terhadap seseorang yang melakukan kejahatan. Cara represif
adalah dengan jalan memberikan tindakan sistem penal yaitu tahapan
penangkapan yang dilanjutkan dengan pemberian hukuman. Abdulsyani dalam
sistem penal ini menggunakan istilah punishment (penghukuman). Penghukuman
merupakan tindakan untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku kejahatan
yang sebanding atau mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan kejahatan tersebut. Dalam hukum pemidanaan Indonesia sistem penal
ini dikenal dengan sistem pemasyarajatan. Maksudnya adalah sistem
pemasyarakatan terhadap pelaku kejahatan, agar ia benar-benar dapat kembali
kepada masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik pula.27
Sistem non-penal adalah pemberian pengarahan, ceramah-ceramah yang sifatnya
positif (sifatnya preventif). Sarana non-penal lebih menitikberatkan pada sifat
26
Shafrudin, Politik Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar lampung, 1998, hlm.75 27
Ibid, hlm.21
20
preventif , yaitu tindakan yang dilakukan apabila kejahatan belum terjadi atau
tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk pencegahan agar tidak terjadi
suatu kejahatan. Tujuan utama sarana non-penal tersebut adalah memperbaiki
kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai
pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik
criminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non-penal itu sebenarnya
mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus
diefektifkan dan intensifkan. 28
3. Konseptual
Kerangaka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.29
Berdasarkan defenisi
tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
a. Kejahatan adalah Rechdeliten, artinya perbuatan yang betentangan dengan
keadilan. Intinya kejahatan merupakan suatu hal yang ditentang oleh
masyarakat, baik diatur dalam undang-undang maupun tidak diatur dalam
undang-undang. Jadi perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat
sebagai hal yang bertentangan dengan keadilan.30
b. Begal merupakan kata kerja yang sinonimnya menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah penyamun. Begal ialah tindak pidana perampasan
28 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm.33 29
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.132 30
Tri Andrisman, Delik Tertentu Dalam KUHP, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011,
hlm.8.
21
kendaraan bermotor di jalan raya yang didahului, disertai atau diikuti
dengan kekerasan untuk melukai korbannya.31
c. Anak ditinjau dari aspek yuridis diartikan sebagai orang yang belum
dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah
umur/keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga
disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige
ondervoordij).
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
d. Perspektif adalah suatu cara pandang terhadap suatu masalah yang terjadi,
atau sudut pandang tertentu yang digunakan dalam melihat suatu
fenomena.32
e. Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan
(baik yang dilakukan oleh individu, kelompok atau masyarakat) dan sebab
musabab timbulnya kejahatan serta upaya-upaya penanggulangannya
sehingga orang tidak berbuat kejahatan lagi. 33
f. Kabupaten Tanggamus adalah salah satu kabupaten di Provinsi Lampung.
Ibukota kabupaten ini terletak di Kota Agung Pusat, Kabupaten Tanggamus
31
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 37. 32
Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.20. 33
Ediwarman, Op.Cit, hlm.6.
22
di resmikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tanggal 21
Maret 1997.34
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.35
Karya
ilmiah seharusnya mempunyai unsur-unsur ilmiah yang terkandung didalamnya,
unsur-unsur ini merupakan syarat metode ilmiah yang harus dimiliki, antara lain:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan pendekatan:
a) Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan dalam arti menelaah kaidah-
kaidah atau norma-norma dan aturan-aturan yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas atau dilakukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. 36 Pendekatan tersebut
dilakukan dengan mengumpulkan berbagai peraturan-peraturan, teori-teori
yang berkenaan dengan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini.
b) Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan secara
langsung terhadap objek penelitian dengan cara mendapatkan data langsung
dari narasumber melalui observasi dan wawancara, khususnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam mencari dan menemukan
fakta tersebut.
34
www.tanggamus.go.id diakses pada hari kamis 20 Juli 2017 Pukul 10.00 WIB 35
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hlm.30. 36
Mukti Fajar dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2009, hlm.23.
23
c) Pendekatan Secara Normatif Kriminologi yaitu pendekatan kriminologi
sebagai idiographic-discipline dan nomothetic-discipline. Dikatakan sebagai
“ideographic discipline”, karena kriminologi mempelajari fakta-fakta, sebab-
akibat, dan kemungkinan-kemungkinan dalam kasus yang bersifat individual.
Sedangkan yang dimaksud dengan “nomotethic-discipline” adalah bertujuan
untuk menemukan dan mengungkapkan hukum-hukum yang bersifat ilmiah,
yang diakui keseragaman dan kecenderungan-kecenderungannya.37
2. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer,
yaitu sebagai berikut:
a. Data Sekunder
Data skunder diperoleh dengan cara membaca, mengutip, mencatat serta
menelaah bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum
tersier.
1). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
37
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.23.
24
e. Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
2). Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa tulisan-tulisan yang terkait hasil
penelitian dan berbagai keputusan dibidang hukum, dalam penelitian ini
bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, jurnal, makalah,
artikel serta karya tulis ilmiah lainnya yang berkaitan dengan kajian
kriminologi terhadap kasus begal yang dilakukan oleh anak.
3). Bahan hukum tersier, bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari
bahan hukum primer dan skunder agar dapat menjadi lebih jelas, seperti
kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia serta kamus hukum lainya, media
masa dan sebagainya serta hasil-hasil penelitian dan petujuk-petunjuk
yang berkaitan dengan pelaku begal yang dilakukan oleh anak.
b. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh penulis melalui studi dengan
mengadakan wawancara dan pertanyaan kepada pihak yang terkait. Penelitian
ini memerlukan narasumber sebagai sumber informasi untuk mengelola dan
mengumpulkan data serta menganalisis data sesuai permasalahan yang
dibahas. Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang
diinginkan dan dapat memberikan tanggapan terhadap informasi yang
diberikan.38
38
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 25.
25
Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah :
a. Anak Pelaku Begal (di LP Kelas IIB Kotaagung ) : 2 orang
b. Kasat Reskrim pada Polres Tanggamus : 1 orang
c. Staff BHPT (Bantuan Hukum Penyuluhan Tahanan di
LP Kelas II B Kotaagung) : 1 orang
d. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah = 5 orang
3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penyusunan penulisan ini sesuai dengan jenis dan sumber data sebagaimana
ditentukan diatas mempergunakan dua macam prosedur, dalam rangka
mengumpulkan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Prosedur Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literature
serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
terkait dengan permasalahan.
b. Studi lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara
(interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan
berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian.
26
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah diperoleh, maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan
antara lain:
a) Pemeriksaan data
Yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang
telah diterima serta relevansinya dalam penelitian. Dalam penelitian ini data-
data berupa peraturan perundang-undangan dan literatur atau buku yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.
b) Klasifikasi data
Yaitu suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis
dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan
kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya.
c) Sitematisasi data
Yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai jenis data dan
pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif dan teknik deskripsi yaitu,
dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu
dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci,
sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan
dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan
umum.Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode
induktif yaitu berfikir berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian
dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat khusus.
27
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisannya tesis ini disajikan dalam beberapa bab yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya yaitu sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang penulisan,
perumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka
teoritis dan konseptual, metode penelitian serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum
serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya
akan digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku
dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang deskripsi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
dari penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai upaya dalam
menanggulangi kejahatan begal yang dilakukan oleh anak di Kabupaten
Tanggamus, dan penyebab terjadinya kasus pelaku begal yang dilakukan oleh
anak di Kabupaten Tanggamus.
IV. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan tesis yang berisikan secara singkat
hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti sehubungan
dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta saran-saran yang
berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang dibahas bagi aparat
penegak hukum yang terkait.
28
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kejahatan
Kejahatan atau tindak criminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku
menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.
Kejahatan adalah pokok penyelidikan dalam kriminologi, artinya kejahatan yang
dilakukan dan orang-orang yang melakukannya. Pengklasifikasian terhadap
perbuatan manusia yang dianggap sebagai kejahatan didasarkan atas sifat dari
perbuatan yang merugikan masyarakat, Paul Moekdikdo merumuskan sebagai
berikut :
“Kejahatan adalah pelanggaran hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan
sebagai perbuatan yang sangat merugikan, menjengkelkan dan tidak boleh
dibiarkan atau harus ditolak.”
Pandangan positivisme di Indonesia kejahatan dipandang sebagai; pelaku yang
telah diputus oleh pengadilan; perilaku yang perlu deskriminalisasi; populasi
pelaku yang ditahan; perbuatan yang melanggar norma; perbuatan yang
mendapatkan reaksi sosial.39
Kejahatan adalah delik hukum (Rechts delicten)
yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-
Undang sebagai peristiwa pidana, tetapi dirasakan sebagai perbuatan yang
39
Yesmil Anwar Adang, Krimonologi, PT Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 178
29
bertentangan dengan tata hukum. Setiap orang yang melakukan kejahatan akan
diberi sanksi pidana yang telah diatur dalan Buku Kedua Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Selanjutnya di singkat KUHPidana), yang dinyatakan didalamnya
sebagai kejahatan. Pengertian kejahatan menurut tata bahasa adalah perbuatan
atau tindakan yang jahat seperti lazim orang mengetahui atau mendengar
perbuatan yang jahat adalah pembunuhan, pencurian, penipuan, penculikan, dan
lain-lain yang dilakukuan oleh manusia, sedangkan di dalam KUHP tidak
disebutkan secara jelas tetapi kejahatan itu diatur dalam Pasal 104 KUHP sampai
dengan Pasal 488 KUHP.
Menurut A. S. Alam ada dua sudut pandang untuk mendefinisikan kejahatan,
yaitu: 40
1) Sudut pandang hukum, kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah
laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan
sepanjang perbuatan itu tidak dilarang diperundang-undangan pidana
perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan kejahatan.
2) Sudut pandang masyarakat, kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap
perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam
masyarakat.
Kejahatan diukur berdasarkan pengujian yang diakibatkan terhadap masyarakat,
berbicara tentang rumusan dan definisi kejahatan, ada beberapa pendapat dari para
ahli kriminologi dan hukum pidana diantaranya sebagai berikut : 41
40
Alam A.S, Op. Cit .hlm. 16-17 41
IS. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.5
30
1. Sue Titus Reid, kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi), dalam
pengertian ini seseorang tidak hanya dapat dihukum karena pikirannya,
melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dan bertindak. Dalam hal
ini, kegagalan dalam bertindak dapat dikatakan sebagai kejahatan, jika
terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu.
Disamping itu pula harus ada niat jahat (criminal inten/means rea).
2. Sutherland menganggap kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh Negara
karena merugikan, terhadapnya Negara beraksi dengan hukuman sebagai
upaya untuk mencegah dan memberantasnya.
3. W.A.Bonger menjelaskan kejahatan merupakan perbuatan anti social yang
secara sadar mendapatkan reaksi dari Negara berupa pemberian derita dan
kemudian, sebagai reaksi-reaksi terhadap rumusan hukum (legal definition)
mengenai kejahatan.
Selanjutnya Bonger membagi kejahatan berdasar motif pelakunya sebagai berikut:
1) Kejahatan ekonomi (economic crime), misalnya penyelendupan
2) Kejahatan Seksual (sexual crime), misalnya perbuatan zinah
3) Kejahatan politik (political crime), misalnya pemberontakan PKI
4) Kejahatan lain-lain (miscelianeauos crime), misalnya penganiayaan.42
Definisi kejahatan menurut R.Soesilo membedakan pengertian kejahatan menjadi
dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.
Dilihat dari sudut pandang yuridis, menurut R.Soesilo,pengertian kejahatan adalah
suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Dilihat
dari sudut pandang sosiologis, pengertian kejahatan adalah perbuatan atau tingkah
42
M.Ali Zaidan, Kebijakan Kriminal. Sinar Grafika, Jakarta, 2016, .hlm. 11.
31
laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu
berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Sedangkan menurut A. S. Alam membagi kejahatan berdasarkan berat atau ringan
ancaman pidananya:
1) Kejahatan, yakni semua pasal-pasal yang disebut di dalam buku ke-II (dua)
KUHP. Seperti pembunuhan, pencurian,dan lain-lain. Golongan inilah dalam
bahasa Inggris disebut felony. Ancaman pidana pada golongan ini kadang-
kadang pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara sementara.
2) Pelanggaran, yakni semua pasal-pasal yang disebut di dalam buku ke-III (tiga)
KUHP, seperti saksi di depan persidangan memakai jimat pada waktu ia harus
member keterangan dengan bersumpah, dihukum dengan kurungan selama-
lamanya 10 hari atau denda. Pelanggaran di dalam bahasa Inggris disebut
misdemeanor. Ancaman hukumannya biasanya hukuman denda saja. 43
Jadi, dengan menghubungkan pengertian delik dengan maksud asas legalitas,
maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perbuatan manusia
dikategorikan sebagai suatu delik apabila memenuhi unsur sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan manusia;
2. Perbuatan manusia itu harus sesuai dengan rumusan masalah pasal yang
mengaturnya serta tidak di kecualikan oleh undang-undang;
3. Harus ada kesengajaan atau kesalahan;
4. Dapat dipertanggung jawabkan;
5. Harus ada ancaman pidananya dalam undang-undang.44
43
Ibid, hlm. 23. 44
Topo Santoso dan Eva Achajani Ulfa, Op.Cit, hlm. 18.
32
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami kejahatan adalah perbuatan
yang melanggar dan bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah dan
tegasnya, perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah
hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam
kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.
B. Pengertian Begal
Kata begal merupakan kata kerja, sinonim kata begal adalah kata penyamun,
istilah begal merupakan kata dasar (digunakan dalam Bahasa Jawa Kuno) secara
harfiah kata jadian ambegal dan binegal berarti menyamun. Sementara kata
“pembegalan” menunjuk pada tempat yang baik untuk menyamun. Kata
membegal berarti merampas di jalan, adapun pembegalan berkenaan dengan
proses, cara, atau perbuatan membegal. Pembegalan dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang terhadap seorang atau beberapa orang yang sedang melintas di
jalan dengan merampas harta benda miliknya disertai dengan tindak kekerasan,
bahkan tak jarang memakan korban jiwa. Jika melihat Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex ganarale kita tidak akan menemukan definisi
tentang tindak pidana pembegalan.45
Tidak ada definisi begal dalam perspektif hukum, melainkan tumbuh dalam kultur
masyarakat yang menamakan kejahatan begal sebagai kejahatan yang dilakukan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengambil barang secara paksa di
jalan. Berdasarkan hal tersebut kejahatan begal merupakan kejahatan yang
45
http://suara.com/news/2015/03/12/063000/asal-usul-istilah-begal di akses tanggal 31 Juli 2017
33
dilakukan dengan cara merampas barang yang dimiliki orang lain dengan jalanan
sebagai lokasi kejahatannya.
Louise E. Porter mengatakan pembegalan itu bisa ditujukan untuk mendapatkan
barang komersil (biasanya lebih terencana dan dalam jumlah besar) serta bisa pula
untuk barang personal. Begal pada dasarnya sama dengan perampokan/
pencurian/ perampasan hak secara paksa. Begal hanya istilah khusus untuk
membedakan karena begal fokus pada pencurian kendaraan bermotor oleh
sekelompok orang dengan kemungkinan melukai sampai menghilangkan nyawa
korbannya.46
Berdasarkan penjelasan tersebut maka begal dikategorikan dalam kejahatan
pencurian, menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah
mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan
sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” adalah proses, cara, perbuatan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengelompokkan kejahatan pencurian ke
dalam klasifikasi kejahatan terhadap harta kekayaan orang lain, yang dirumuskan
sebagai tindakan mengambil barang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
dengan tujuan memilikinya secara melanggar hukum.47 Dalam KUHP ada 5 (lima)
jenis tindak pidana pencurian, yaitu : pencurian biasa (Pasal 362 KUHP);
Pencurian dengan pemberat (Pasal 363 KUHP); pencurian ringan (Pasal 364
KUHP); pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP); pencurian lingkungan
keluarga (Pasal 367 KUHP).
46
Ibid 47
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2008,
hlm. 10.
34
Sebenarnya tidak terlihat dengan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana pengertian atau tindak pidana yang langsung menunjuk pada kata begal,
sehingga begal dikaitkan dengan Pasal 365 KUHP yang dikategorikan sebagai
kejahatan pencurian dengan kekerasan. Kejahatan begal biasanya dilakukan
dengan cara membuntuti korban dan mencegat korban di jalan dan merampas
harta benda korban di jalan, apabila korban melakukan perlawan maka pelaku
kejahatan begal tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan sehingga
membuat korban terluka bahkan mengalami kematian. Berbeda dengan
menjambret dilakukan dengan merampas di jalan tanpa mencegat korban, sering
kita lihat pelaku penjambretan melakukan perampasan saat korban berada di jalan
tanpa menghentikan kendaraan atau pun menghentikan kendaraan korban.
Persamaan kejahatan begal, perampokan, dan penjambretan sama-sama
melakukan kejahatan pencurian dan perampasan harta benda, yang membedakan
adalah cara, tempat dan cara melakukan kejahatan pencuriannya.
C. Aspek Hukum Terhadap Kejahatan Begal oleh Anak
Begal merupakan salah satu tindak kejahatan yang termasuk dalam “Tindak
Pidana Penurian” Bab XXII khususnya diatur dalam Pasal 365 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan melarikan
diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang di
curi.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
35
Ke- 1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam
kereta api atau trem yang sedang berjalan;
Ke- 2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
Ke-3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu;
Ke-4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat;
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun;
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan
luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1
dan 3.
Secara khusus Pasal 365 KUHP memberikan batasan pendekatan atas “begal” dari
pencurian karena pada pembegalan sebelum mengambil harta orang lain, begal
memberikan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud
mempermudah atau mempersiapkan pencurian itu. Yang dikatakan kekerasan
adalah setiap perbuatan yang mempergunakan tenaga, badan atau fisik yang tidk
ringan. Kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang
mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu
unsure penting yang harus adalah berupa paksaan atau ketidak relaan atau tidak
adanya persetujuan pihak lain yang dilukai. Rumusan Pasal 89 KUHP
menyebutkan bahwa : membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi
disamakan dengan menggunakan kekerasan. Sehingga yang dimaksud kejahatan
dengan kekerasan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum yang membawa
akibat-akibat cedera atau menyebabkan matinya orang lain.
36
Bertolak dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 365 KUHP unsur-unsur yang
terdapat dalam Pasal 365 yaitu :
Unsur Obyektif :
Pencurian dengan didahului, disertai, diikuti, atau kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap seseorang.
Unsur Subyektif :
Dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu atau jika
tertangkap tangan member kesempatan bagi diri sendiri atau peserta lain dalam
kejahatan ini.
Kejahatan begal yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga merupakan
gequificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan
suatu pencurian dengan unsure yang memberatkan. Artinya Pasal 365 KUHP
yaitu suatu perbuatan yang berdiri sendiri, yakni pencurian yang dilakukan dengan
keadaan yang memberatkan karna dalam pelaksanaannya telah digunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban. Jelas tampak disini bahwa
pencurian itu mempunyai hubungan pasti dan segera dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, yang mana harus ditujukan kepada seseorang, jadi bukan
kepada barang atau binatang. Seseorang yang dimaksud disini bukan hanya si
pemilik dari barang yang akan dicuri tersebut, melainkan siapa saja yang berada
pada waktu dan tempat tersebut yang dipandang atau diduga sebagai penghalang
bagi maksud si pelaku tersebut. Yang dimaksud dengan kekerasan atau tindakan
kekerasan pada dasarnya adalah melakukan suatu tindakan badaniah yang cukup
berat sehingga menjadikan orang yang dikerasi itu kesakitan atau tidak berdaya,
37
terwujud dalam bentuk memukul dengan sengaja, memukul dengan senjata,
menyekap, mengikat, menahan dan sebagainya.
Berdasarkan unsur dalam Pasal 365 KUHP di atas, maka kejahatan begal masuk
kategori kejahatan dalam Pasal 365 KUP dengan ancaman hukuman yang normal
adalah 9 (Sembilan) tahun sampai hukuman mati atau seumur hidup apabila hal
tersebut dilakukan oleh seseorang. Ancaman pidana ditujukan terhadap subjek
yang dipandang memenuhi kualitas tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
undang-undang, pemenuhan kualitas tertentu oleh subjek delik harus dilihat dalam
kerangka perbuatan yang menjadi unsure pembentuk tindak pidana.48
Oleh karena
itu ancaman pidana menggambarkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan
yang merupakan kejahatan, pidana juga merupakan kelanjutan dari pernyataan
hukum atas kesalahan pembuat kejahatan. Dari sisi pertanggungjawaban pidana,
penjatuhan pidana mempertimbangkan kesalahan pembuat, sehingga orientasi
penjatuhan pidana tidak hanya ditujukan kepada standar umum dalam kejahatan
tetapi juga memperhatikan keadaan tertentu pembuat.49
Akan tetapi, untuk kejahatan yang dilakuakn oleh anak berlaku ketentuan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yaitu diversi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 :
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
48
Chairul Huda, “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan” : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidan., Kencana Prenadamedia, Jakarta, 2006, hlm. 38. 49
Andi Zaenal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Grafika, Jakarta, 1995, hlm.235.
38
a. diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pengecualian dicantumkan dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa, untuk tindak pidana
serius misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme yang
diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun tidak dapat dilakukan diversi. Oleh karena
itu, anak pelaku begal yang menyebabkan korbannya terbunuh tidak dapat
memperoleh keringan hukuman.
D. Pengertian Anak dan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
1. Pengertian Anak
Pengertian anak merupakan masalah actual dan sering menimbulkan
kesimpangsiuran pendapat diantara para ahli hukum. Beberapa pendapat ahli
tentang definisi anak, yakni :
a. W.J.S Poerwodarminto, menyebutkan bahwa anak adalah manusia yang masih
kecil.50
b. Kartini Kartono, memberikan pengertian bahwa anak adalah keadaan manusia
normal yang masih muda usia dan sedang menentukan identitasnya serta
sangat labil jiwanya, sehingga sangat mudah terpengaruh lingkungan.51
c. Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang masih di
bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.52
50
W.J.S Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm.
735. 51
Kartini Kartono, Gangguan-Gangguan Psikis, Sinar Baru, Bandung, 1981, hlm. 187. 52
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm.25.
39
d. Zakaria Ahmad Al Barry, yang dimaksud dewasa adalah cukup umur untuk
berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda-
tanda wanita dewasa pada putrid. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya
belum ada sebelum anak putra berumur 12 (dua belas) tahun dan putrid
bermumur 9 (Sembilan) tahun. Kalau anak mengatakan bahwa dia dewasa,
keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang mengalami, kalau sudah
melewati usia tersebut di atas tetapi belum Nampak tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa ia telah dewasa, harus ditunggu sampai ia berumur 15
(lima belas) tahun.53
Anak ditinjau dari aspek yuridis diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah
umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di
bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Ini berarti bahwa hukum
positif Idonesia (ius consitutum/ ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi
hokum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan criteria batasan umur
bagi seorang anak.54
Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Pengadilan Anak dan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia batasan usia anak dikaitkan dengan status
perkawinan. Arif Goestia dalam buku Wagiati Soetedjo mengatakan bahwa hal
tersebut merugikan anak, karena anak yang misalnya berumur 17 (tujuh belas)
tahun dan sudah kawin, akan berubah status secara hukum dan akibatnya ia
53
Zakaria Ahmad Al Barry, Hukum Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, hlm. 114. 54
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar
Maju, Bandung, 2005, hlm. 3-4.
40
kehilangan haknya untuk dilindungi sebagai anak.55
Sedangkan dalam Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan anak tidak dibatasi oleh
status perkawinan seseorang. Pengertian menurut undang-undang yang berlaku di
Indonesia tidak ada keseragaman, begitupula definisi terkait terpidana anak, ada
banyak sebutan dan versi yang berbeda antara peraturan perundang-undangan
yang satu dengan yang lainnya.
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 45 KUHP meberi batasan mengenai anak, yaitu apabila belum
berusia 16 (enam belas) tahun, oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam
perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya terdakwa
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan
tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.
Ketentuan Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP sudah dinyatakan tidak
berlaku oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum pernah kawin.
c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
55
Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak, PT. Radika Aditama, Bandung, 2000, hlm.141-142.
41
d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, terdapat pada Pasal 1 (satu) Ayat 2 (dua) sampai Ayat 5 (lima)
yaitu:
(1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.
(2) Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
(3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
(4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri.
e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang atau anak yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
42
Menurut Nasir Djamil sudah seharusnya peraturan perundang-undangan yang ada,
memiliki satu (mono) definisi sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih
peraturan perundang-undangan yang ada pada tataran praktis yang akan menjadi
kendala penyelenggaraan pemerintah. Untuk itu, undang-undang tentang
perlindungan anak memang seyogyanya menjadi rujukan dalam menentukan
kebijakan kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.56
Berdasarkan pengertian anak seperti yang dijelaskan di atas, ditinjau dari segi
usia, kronologis menurut aturan hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat dan
untuk hal-hal apa saja, dan tentu sangat mempengaruhi batasan-batasan yang
digunakan untuk menentukan usia anak. Menurut uraian di atas maka dapat
penulis simpulkan bahwa, anak adalah mereka yang masih muda usianya yang
memiliki kelabilan jiwa dan sedang menentukan identitasnya sehingga berakibat
mudah terpengaruh lingkugan sekitarnya.
Diantara sekian banyak pengertian anak yang telah dikemukakan, maka dalam
tulisan ini pengertian anak yang digunakan adalah pengertian anak menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yaitu anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun. Pengertian anak ini menjadi sangat penting terutama
berkaitan dengan upaya perumusan batasan upaya pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility) terhadap seseorang anak yang melakukan tindak
criminal, dalam tingkat usia berapakah seseorang anak yang berprilaku criminal
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
56
Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 10.
43
2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Pada masa perkembangan fisik, mental maupun intelektual setiap anak, mereka
sedang berusaha mengenal dan mempelajari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
serta meyakininya sebagai bagian dari dirinya. Sebagian kecil anak tidak
memahami secara utuh aturan hidup di dalam masyarakat baik disebabkan oleh
kurangnya perhatian orang tua, kurang kasih sayang, kurang kehangatan jiwa,
kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat yang membawa dampak pada
terbentuknya sikap dan perilaku menyimpang anak di masyarakat. Sebagian
perilaku menyimpang anak-anak tersebut bersentuhan dengan ketentuan hukum.
Anak-anak inilah yang disebut anak yang berkonflik dengan hukum.57
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
mengklasifikasikan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum adalah orang
yang dalam perkara telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
mencapai usia 18 (delapan belas) dan belum menikah :
a) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana;
b) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.58
Anak yang berkonflik dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang
terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena :
a) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersala melanggar hokum; atau
Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/Negara terhadapnya; atau
57
Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2003, hlm. 4. 58
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.39.
44
b) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum. 59
Berdasarkan ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat
dibagi menjadi: Pelaku atau tersangka tindak pidana; Korban tindak pidana; Saksi
suatu tindak pidana.60
Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah
melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut
sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang
berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya.
Kata konflik digunakan untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa yang tidak
selaras atau terdapat pertentangan dalam suatu peristiwa, sehingga dapat
dikatakan sebagai permasalahan. Oleh karena itu pengertian anak yang berkonflik
dengan hukum dapat juga diartikan dengan anak yang mempunyai permasalahan
karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau bisa juga
dikatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hokum adalah anak nakal.61
Kenakalan anak (juvenile delinquency) bukan kenakalan yang dimaksud dalam
Pasal 489 KUHP. Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik
pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency
artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya
menjadi jahat, a-sosial, criminal, pelanggaran aturan, pembuat rebut, pengacau,
59
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2015,
hlm. 13 60
M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.54. 61
M.Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2012, hlm.46.
45
penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dan lain-lain.62
Menurut Kartini
Kartono, juvenile delinquency adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan
anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologi) secara social pada anak-
anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian social, sehingga
merika itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
Kenakalan anak dapat dilihat dalam bentuk sebagai berikut:
1) Kenakalan anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang
dianggap menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak
dianggap sebagai tindak pidana, misalnya membolos sekolah, melawan orang
tua, lari dari rumah.
2) Kenakalan anak sebagai tindak pidana, yaitu segala prilaku anak yang
dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang dewasa
juga merupakan tindak pidana, tetapi pada anak dianggap belum betanggung
jawab penuh atas perbuatannya. Misalnya mencuri, merampas.
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa kenakalan anak mencakup 3 (tiga)
pengertian yaitu:
1) Perbuatan yang dilakukan orang dewasa merupakan tindak pidana (kejahatan),
akan tetapi bila dilakukan oleh anak-anak belum dewasa dinamakan
delinquency seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan.
2) Perbuatan anak yang menyeleweng dari norma kelompok yang menimbulkan
keonaran seperti kebut-kebutan, perkelahian kelompok, dan sebagainya.
3) Anak-anak yang hidupnya membutuhkan bantuan dan perlindungan, seperti
anak-anak terlantar, yatim piatu, dan sebagainya, yang jika dibiarkan
berkeliaran dapat berkembang menjadi orang-orang jahat.
62
Wagiati Soetedjo, Op.Cit, hlm.39.
46
E. Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Kriminologi yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang penjahat dan
kejahatan, serta mempelajari cara-cara penjahat melakukan kejahatan, kemudian
berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan dan berupaya pula untuk mencari dan menemukan cara untuk
dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan. Nama kriminologi
ditemukan oleh P. Topinard seorang ahli antropologi Perancis. Secara harfiah
berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang
berarti ilmu pengetahuan, apabila dilihat dari istilah tersebut, maka kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan atau penjahat.63
Perkembangan kriminologi setelah mendapatkan nama dari P. Topinard,
kemudian Cesaria Becca (1738-1794) mempopulerkan istilah kriminologi sebagai
reformasi terhadap hukum pidana dan bentuk hukuman. Herman Mannheim
dalam bukunya, Comparative criminology (1965), membedakan kriminologi
dalam arti sempit yang tujuan utamanya adalah kriminologi difokuskan pada
memperlajari kejahatan, dan kriminologi dalam arti luas, difokuskan pada
kriminologi mempelajari penelogi dan metode-metode yang berkaitan dengan
masalah kejahatan dan masalah-masalah yang berkaitan dengan prevensi
kejahatan dengan tindakan yang bersifat non-punit. Beberapa sarjana memberikan
definisi berbeda tentang kriminologi sebagai berikut:
1) Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
63
Topo Santoso dan Eva Achajani Ulfa, Op.Cit, hlm.9.
47
2) Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan
yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial.
3) Paul Mudikdo Mulyadi, merumuskan kriminologi adalah ilmu pengetahuan
yang ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah
manusia.
4) Wood berpendirian bahwa kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuanyang
diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan
jahat dan penjahat, termasuk didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap
perbuatan jahat dari penjahat.
5) Frij merumuskan kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan, bentuk, sebab dan akibatnya.64
Berbicara tentang ruang lingkup kriminologi berarti berbicara mengenai objek
studi dalam kriminologi. Bonger membagi kriminologi menjadi dua bagian, yaitu:
(1) Kriminologi murni, yang terdiri dari:
a) Antropologi kriminal, yaitu pengetahuan tentang manusia yang jahat
(somatis) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat
dan tanda-tanda tubuhnya.
b) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai
suatu gejala masyarakat dan sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan
dalam masyarakat.
c) Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat
dari sudut jiwanya.
d) Psikopatologi dan Neuropatologi kriminal, yaitu ilmu tentang penjahat
yang sakit jiwa atau urat syaraf.
e) Penologi, yaitu ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
64
A.Gumilang, Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik Penyidikan, Angkasa,
Bandung, 1993, hlm.2-3
48
2) Kriminologi terapan, yang terdiri dari:
a) Higiene kriminal, yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
b) Politik kriminal, yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana kejahatan
telah terjadi.
c) Kriminalistik, yaitu ilmu tentang pelaksanaan penydikan teknik kejahatan
dan pengusutan kejahatan.
Shuterland mengatakan bahwa kriminologi itu sendiri mencakup proses-proses
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.
Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu:
1) Etiologi kriminal, yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab
kejahatan.
2) Penologi, yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya
hukuman, perkembangannya serta arti dan faedahnya.
3) Sosiologi hukum (pidana), yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang
mempengaruhi perkembangan hukum pidana.
Selanjutnya paradigma kriminologi menurut Huwitz bahwa dalam memandang
kriminologi membagi menjadi 2 (dua) pokok besar yakni criminal biology dan
criminal sociology. Inti dari Huwitz ini mendasarkan bahwa kriminologi dilihat
dari sudut pandang kejahatan dalam suatu gejala sosial dan manusia.
Pandangan dari sudut criminal biology mengenai penyelidikan tentang
kepribadian penjahat dalam interaksinya dengan kejahatan. Perhatian terutama
tertuju kepada adanya dan pentingnya faktor-faktor sebagai berikut: Hereditary
(keturunan); Constitutional (untuk pembentukan pribadi); Psychic abnormalities
(kelainan jiwa); Crimino-psychological characteristic (ciri-ciri jiwa kriminal).
49
Selanjutnya criminal sociology berkisar mengenai ilmu pengetahuan tentang
kriminalitas sebagai suatu gejala sosial, penyelidikan terutama dipusatkan pada
hubungan timbal balik antara kriminalitas dengan bangunan masyarakat, system
politik, ekonomi serta faktor-faktor lain dalam penggolongan manusia.
Kriminologi dapat dibagi ke dalam:
1) Anthropologi-Kriminologi yaitu ilmu pengetahuan yang mencari sebab-
sebab dari kejahatan dalam dirinya si penjahat pada keadaan badan
penjahat (ajaran Lombroso).
2) Sosiologi-Kriminil yaitu ilmu pengetahuan yang mencari sebab-sebab dari
kejahatan di dalam masyarakat, misalnya: keadaan ekonomi, harga yang
tinggi dari barang-barang keperluan sehari-hari, upah yang sangat rendah,
tempat tinggal yang buruk dan kotor dan lain-lain.
3) Politik-kriminil ialah ilmu pengetahuan yang mencari cara-cara untuk
memberantas kejahatan.
4) Statistik-kriminil ialah ilmu pengetahuan yang dengan angka-angka
mencatat tentang kejadian-kejadian dan macam-macam kejahatan.
Terdapat tiga mashab yang melatar belakangi timbulnya kejahatan. Pertama,
mashab anthropologis yang mengartikan sebab-sebab timbulnya kejahatan adalah
karena bersumber pada bentuk-bentuk jasmaniah, watak dan/atau rohaniah
seseorang. Dengan kata lain seseorang telah ditakdirkan lahir sebagai seorang
penjahat. Kedua ialah sosiologis, yang mengartikan faktor-faktor dari
lingkunganlah yang mempengaruhi seseorang melakukan tindak pidana. Faktor
ekonomilah yang menjadi dasar dan merusak moril seseorang sehingga ia menjadi
seorang penjahat. Mashab ketiga ialah mashab biososiologis, menurut ajaran ini,
50
timbulnya berbagai bentuk kejahatan di pengaruhi oleh sederetan faktor-faktor
dimana watak dan lingkungan seseorang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut
antara lain: sifat, bakat, watak, intelek, pendidikan dan pengajaran, suku bangsa,
sex, umur, kebangsaan, agama, ideologi, pekerjaan, keadaan ekonomi dan
keluarga.
2. Pendekatan Kriminologi
Mempelajari kejahtan adalah mempelajari tingkah laku manusia, maka
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriftif, kausalitas, dan
normative. Pertama pendekatan deskriptif adalah suatu pendekatan dengan cara
melakukan observasi dan pengumpulan data yang berkaitan dengan fakta-fakta
tentang kejahatan dan pelaku kejahatan seperti : bentuk tingkah laku criminal;
bagaimana kejahatan dilakukan; frekuensi kejahatan pada waktu dan tempat yang
berbeda; ciri-ciri khas pelaku kejahatan, seperti usia, jenis kelamin, dan
sebaginya, perkembangan karir seorang pelaku kejahatan. Istilah lain dari
pendekatan deskriptif menurut Herman Mannheim adalah fenomenologi atau
simptomatologi kejahatan.
Pendekatan yang kedua yang digunakan adalah pendekata kausalitas atau
pendekatan sebab-akibat, berasal dari pokok kata “causa” yang berarti “sebab”/
Dalam kriminologi, hubungan sebab akibat dicari setelah hubungan sebab akibat
dalam hukum pidana terbukti, artinya apabila hubungan sebab akibat dalam
hukum pidana terbukti, maka hubungan sebab akibat dalam kriminologi dapat
dicari, yakni denngan mencari jawaban atas pertanyaan mengapa seseorang
melakukan kejahatan, pendekatan ini juga disebut sebagai etiologi criminal.
51
Pendekatan Normatif Kriminologi dikatakan sebagai idiographic-discipline, yaitu
karena kriminologi mempelajari fakta-fakta, sebab akibat dan kemungkinan-
kemungkinan dalam kasus yang sifatnya individual. Sedangkan yang dikataan
dengan nomothetic-discipline adalah sesuatu yang bertujuan untuk menemukan
dan mengungkapkan hukum-hukum yang bersifat ilmiah yang diakui
keseragamannya.
F. Tinjauan Tentang Penyebab Kejahatan
Menurut Bonger kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan
seluas-luasnya.65
Menurut kriminologi untuk mencari sebab-sebab seseorang
melakukan kejahatan maka ada beberapa teori yang dapat digunakan, yaitu :
1. Teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (Biologi Kriminal)
Teori born criminal (lahir sebagai penjahat) yang dikemukakan oleh Cesare
Lombroso (1835-1909) lahir dari ide yang diilhami oleh teori Darwin tentang
evolusi manusia. Di sini Lombroso membantah tentang sifat free will yang
dimiliki manusia. Doktrin atavisme menurutnya membuktikan adanya sifat
hewani yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul
sewaktu-waktu dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia
modern. Ajaran inti dari penjelasan awal Lombroso tentang kejahatan adalah
bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan atau keganjilan fisik, yang berbeda
dengan non-kriminal. Lombroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu
bentuk kemerosotan yang termanifestasikan dalam karakter fisik yang
65
Abintoro Prakoso, Op.Cit, hlm. 28 .
52
merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Berdasarkan penelitiannya ini,
Lombroso tokoh penting dari teori ini, mengemukakan ajarannya sebagai berikut : 66
a. Born criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme.
b. Insane criminal, yaitu orang menjadi penjahat sebagai hasil dari beberapa
perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk
membedakan antara benar dan salah. Contonya adalah kelompok idiot,
embisil, atau paranoid.
c. Occasional criminal, atau criminaloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus-menerus sehingga mempengaruhi pribadinya.
Contonya penjahat kambuhan (habitual criminal).
d. Criminal of passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya
karena marah, cinta, atau karena kehormatan.
2. Teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor psikologis dan psikiatris
(psikologi kriminal)
Psikologi kriminal mencari sebab-sebab dari faktor psikis termasuk agak baru,
seperti halnya para positivis pada umumnya, usaha untuk mencari ciri-ciri psikis
kepada para penjahat di dasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-
orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang
bukan penjahat, dari ciri-ciri psikis tersebut terletak pada intelegensinya yang
rendah. Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku
kejahatan yang sehat, artinya sehat dalam pengertian psikologis.67
66 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa Op.Cit, hlm.40 67
I.S. Susanto, Op.Cit, hllm. 49
53
a) Teori Psikoanalisis ( Sigmund Freud)
Teori ini menghubungkan dilequent dan perilaku kriminal dengan suatu
conscience yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan
bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan si
individu dan bagi kebutuhan yang harus segera dipenuhi.
b) Moral Development Theory
Lawrence Kohlberg seorang psikolog menemukan bahwa pemikiran moral
tumbuh dalam tiga tahap yakni, preconvensional stage, conventional level, dan
postconventional. Sedangkan John Bowlhy mempelajari kebutuhan akan
kehangatan dan afeksi sejak lahir dan konsekuensi bila tidak mendapatkan itu,
dia mengajukan theory of attachment.
c) Social Learning Theory
Teori pembelajaran ini berpendirian bahwa perilaku dilenquent ini dipelajari
melalui proses psikologis yang sama sebagai mana semua perilaku non
dilenquent. Tokoh yang mendukung teori ini diantaranya adalah :
(1). Albert Bandura
Ia berpendapat bahwa individu-individu yang mempelajari kekerasan dan
agresi melalui behavioural modeling. Misalnya anak belajar bertingkah
laku melalui peniruan tingkah laku orang lain.
(2) Gerard Peterson
Ia menguji bagaimana agresi dipelajari melalui pengalaman langsung. Ia
melihat bahwa anak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban
anak-anak lainnya, tetapi kadang-kadang mereka berhasil mengatasi
54
serangan itu dengan agresi balasan. Dengan berlalunya waktu anak-anak
ini belajar membela diri dan akhirnya mereka mulai perkelahian.
(3) Ernesnt Burgess dan Ronald Akers
Dimana mereka menggabungkan learning theory dari Bandura yang
berdasarkan psikologi dengan theory differential association dari Erwin
Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan kemudian menghasilkan teori
differential association rein forcemt.
3. Teori-teori kejahatan dari faktor Sosio-Kultural (Sosiologi Kriminal)
Berbeda dengan teori sebelumnya, teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan
perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Manheim
membedakan teori-teori sosiologi kriminal ke dalam :
A). Teori-teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang mencari
sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial, perbedaan kelas sosial secara konflik
diantara kelas-kelas sosial yang ada.68
Termasuk dalam teori ini adalah teori
anomie dan teori-teori sub budaya delinkuen. Yang termasuk dalam teori yang
berorientasi pada kelas sosial adalah :
1). Teori Anomie (ketiadaan norma)
Teori Anomie dan Penyimpangan Budaya, memusatkan perhatian pada
kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan
aktivitas kriminal. Teori ini berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku
kriminal saling berhubungan. Pada teori Anomie beranggapan bahwa seluruh
anggota masyarakat mengikuti seperangkat nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai
budaya kelas menengah, yakni adanya anggapan bahwa nilai budaya
68
Ibid, hlm.80.
55
terpenting adalah keberhasilan dalam ekonomi. Karena orang-orang kelas
bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk
mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju, dan
lain-lain, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana
yang tidak sah (illegitimate means).69
2). Teori Sub Budaya Delikuen
Teori ini mencoba mencari sebab-sebab kenakalan remaja dari perbedaan
kelas diantara anak-anak yang diperolehnya dari keluarganya. A.K Cohen dari
tokoh ini membedakan tiga bentuk sub kultur delinkuen yaitu :
a. Criminal Sub Culture, yaitu suatu bentuk gang yang terutama melakukan
pencurian, pemerasan dan bentuk kejahatan lain dengan tujuan
memperoleh uang.
b. Conflict sub culture, yaitu suatu bentuk gang yang mencari status dengan
menggunakan kekerasan.
c. Retreatist sub culture, yaitu suatu bentuk gang dengan ciri-ciri penarikan
diri dari tujuan dan peranan yang konvesional dan karenanya mencari
pelarian dengan menggunakan narkotika.70
Ketiga pola sub culture delinkuen tersebut tidak hanya menunjukkan adanya
perbedaan dalam gaya hidup diantara anggotanya akan tetapi juga karena adanya
masalah-masalah yang berbeda bagi kepentingan kontrol sosial dan
pencegahannya. Mereka timbul dari proses-proses yang berbeda dari struktur
sosial, seperti perbedaan dalam kepercayaan (beliefs), nilai-nilai dan aturan-aturan
69
Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994,
hlm.132-133. 70
Ibid
56
tingkah laku bagi anggota-anggotanya. Akan tetapi ketiganya adalah serupa
dalam hal norma-norma tandingan yang menyebabkan tingkah anggotanya
melarikan dari norma yang berlaku pada masyarakat yang lebih luas. Dalam
teorinya tersebut Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa timbulnya kenakalan
remaja lebih ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kelas yang dapat menimbulkan
hambatan-hambatan bagi anggotanya, misalnya kesempatan untuk memperoleh
pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi anggotanya
untuk mencapai aspirasinya.
B). Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori-teori yang
membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial tetapi dari aspek
yang lain seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan, dan sebagainya.
Termasuk dalam teori ini adalah teori-teori ekologis, teori konflik
kebudayaan, teori faktor ekonomi, dan differential association. Yang
termasuk teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial adalah :
1). Teori ekologis
Teori-teori yang mencoba dan mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek-
aspek tertentu baik dari lingkungan manusia maupun sosial seperti :
Kepadatan penduduk; Mobilitas penduduk; Hubungan desa dan kota
khususnya urbanisasi; Daerah kejahatan dan perumahan kumuh (slum).
2). Teori Konflik Kebudayaan
Teori ini diajukan oleh T. Sellin. Menurut T. Sellin semua konflik kebudayaan
(culture conflict) adalah konflik dalam nilai sosial, kepentingan norma-norma.
Tingkat konflik tersebut dapat berbeda-beda, konflik antara norma-norma dari
aturan kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain : Bertemunya dua
57
budaya besar; Budaya besar menguasai budaya kecil; Apabila anggota dari
suatu budaya pindah ke budaya lain.
3). Teori Ekonomi
Pandangan bahwa kehidupan ekonomi merupakan hal yang fundamental bagi
seluruh struktur sosial dan kultural dan karenanya menentukan semua urusan
dalam struktur tersebut, merupakan pandangan yang sejak dulu hingga kini
masih diterima. Faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang besar dalam
timbulnya kejahatan. Latar belakang masalah ekonomi ini merupakan salah
satu faktor penyebab timbulnya suatu kejahatan yakni kejahatan-kejahatan
yang menyangkut harta benda, kekayaan, dan perniagaan atau hal-hal yang
sejenisnya. Kejahatan-kejahatan ini terjadi karena adanya tekanan ekonomi
dimana rakyatnya berada dalam kemiskinan, yang serba kekurangan di bidang
pangan, apalagi sandang dan perumahan. Salah satu contohnya yaitu
pencurian yang terjadi dimana-mana.
4) Differential association
Prof. E.H Sutherland mencetuskan teori yang disebut Differential association
theory sebagai teori penyebab kejahatan. Makna dari teori ini adalah
merupakan pendekatan individu mengenai seseorang dalam kehidupan
masyarakatnya, karena pengalaman-pengalamannya tumbuh menjadi penjahat.
Dan bahwa ada individu atau kelompok individu yang secara yakin dan sadar
melakukan perbuatannya yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena
58
adanya dorongan posesif mengungguli dorongan kreatif yang untuk itu dia
melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi posesifnya.71
Sejumlah teori yang terdapat pada ilmu kriminologi di atas dapat dikelompokkan
ke dalam faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan yang
dikemukakan oleh Momon Kartasaputra, yaitu :72
1). Faktor-faktor internal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Sifat khusus dari individu, seperti : sakit jiwa, daya emosional, rendahnya
mental dan anomi (kebingungan).
b. Sifat umum dari individu, seperti : umur, gender, kedudukan individu di
dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah reaksi atau hiburan
individu.
2). Faktor eksternal meliputi :
a. Faktor ekonomi, dipengaruhi oleh kebutuhan hidup yang tinggi namun
keadaan ekonominya rendah;
b. Faktor agama, dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan agama;
c. Faktor bacaan/ Faktor Media informasi dan komunikasi;
d. Faktor film, dipengaruhi oleh tontonan atau film yang disaksikan;
e. Faktor lingkungan/pergaulan, dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal,
lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya;
f. Faktor keluarga, dipengaruhi oleh kurangnya kasih saying dan perhatian
dari orang tua.
71
Ibid, hlm. 41-42 . 72
Momon Kartasaputra, Loc.Cit, hlm.17.
59
G. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak, baik
pemerintah, lembaga sosial masyarakat, maupun masyarakat pada umumnya.
Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara
yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi permasalahan tertentu.
Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa upaya atau kebijakan untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan criminal .73
Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan
sosial dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan ini dilakukan tidak semata-mata secara penal
saja, tetapi juga dilakukan dengan upaya-upaya non penal agar lebih efektif dan
efisien, dimana kedua upaya tersebut saling melengkapi dan saling mengisi satu
sama lain. Dalam kerangka penanggulangan kejahatan ini tidak terlepas dari
pemikiran bahwa hakekat dan tujuan penanggulangan kejahatan dalam rangka
melindungi masyarakat dari kejahatan (social defence policy), yang pada akhirnya
guna mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy).
Dari sisi frekuensi, upaya penal bersifat temporal kondisional yang bekerja ketika
suatu pelanggaran/kejahatan terjadi, sedangkan upaya non penal bersifat rutin atau
continue yaitu tetap bekerja, baik pada saat tidak ada pelanggaran/kejahatan
maupun setelah ada pelanggaran/kejahatan. Jika menbandingkan pola kerja
73
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit, hlm.1.
60
keduanya tersebut, maka upaya penal merupakan ultimum remidium yang
sebenarnya hanya mem-back-up upaya non penal saja.74
Upaya penal lebih bersifat refresif yang bekerja setelah kejahatan terjadi dengan
fokus utama pada pelakunya, sedangkan upaya non penal bersifat preventif yang
bekerja sebelum kejahatan terjadi yaitu melakukan langkah-langkah antisipasi
berupa tindakan pencegahan, yang diarahkan pada upaya menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Beberapa ahli hukum pidana berpendapat
upaya non penal mempunyai peranan kunci yang strategis dari keseluruhan upaya
politik kriminal atau politik hukum pidana dalam upaya pencegahan terjadinya
suatu kejahatan.75
Usaha penanggulangan kejahatan dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a. Pencegahan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus menunjang tujuan
(goal), social welfare dan social defence. Di mana aspek social welfare dan
social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan perlindungan
masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran,
kejujuran/keadilan.
b. Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan
integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal.
c. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau penal law
enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui
74
Aminal Umam, Ketidakadilan Dalam Penanganan Kejahatan Narkoba, Masalah Hukum Varia
Peradilan, Edisi No.303, Ikahi, Jakarta, 2011, hlm.30 75
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
61
beberapa tahap: formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan
yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).76
Upaya non penal dengan menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup yang sehat dari faktor-faktor kriminogen, merupakan potensi
yang dapat dicoba untuk menangkal kejahatan, begal yang dilakukan oleh anak,
sehingga perlu dikembangkan seluruh potensi dan dukungan dari masyarakat
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan tersebut.
Selanjutnya juga Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa usaha non penal
didalam penanggulangan kejahatan lebih bersifat tindakan pencegahan untuk
terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.
Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global,
maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal. 77
Pencegahan kejahatan dapat dibagi kedalam tiga pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan sosial
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial biasa disebut sebagai Sosial
Crime Prevention, segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar
penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran.
76
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Universitas Diponegoro. Semarang, 2001, hlm.77-78 77
Ibid. hlm.79
62
b. Pendekatan Situasional
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan situasional biasanya disebut sebagai
Situasional Crime Prevention, perhatian utamanya adalah mengurangi
kesempatan seseorang atau kelompok untuk melakukan pelanggaran.
c. Pendekatan Kemasyarakatan
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan disebut sebagai
Community Based Prevention, segala langkahnya ditujukan untuk
memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan jalan
meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial formal.
Masalah pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan 2 teori pencegahan
kejahatan yaitu dengan cara tindakan Preventif dan tindakan Represif. Menurut
E.H. Sutherland dan Cressey yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention
dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi
frekuensi dari kejahatan,78
yaitu :
e. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan
Yakni suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis
(pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara
konseptual.
b. Metode untuk mencegah kejahatan pertama kali (the first crime) Yakni satu
cara yang ditujukan untk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali
(the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga
dikenal sebagai metode preventif (prevention).
78
Romli Atmasasmita , Op.Cit, hlm. 66
63
1. Tindakan Preventif
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan apabila kejahatan belum
terjadi atau tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk pencegahan agar tidak
terjadi suatu kejahatan. Terhadap penanggulangan preventif Soedjono
Dirdjosisworo mengemukakan bahwa :
Upaya membina dan mendidik untuk masyarakat kembali, hakikatnya bermaksud
untuk mencegah (preventif). Secara lebih umum upaya penanggulangan
kriminalitas dilakukan dengan apa yang dinamakan metode moralistic dan metode
abolisionistik. Moralistik dilakukan dengan cara membina mental spiritual yang
bias dilakukan oleh para ulama, para pendidik dan lain-lain. Sedangkan cara
abolisionistik adalah cara penanggulangan bersifat konsepsional yang harus
direncanakan dengan dasar penelitian kriminologi, dan menggali sebab-
musababnya dari berbagai faktor yang berhubungan.79
Tindakan preventif juga disebut sistem non Penal. Sistem Non Penal adalah
pemberian pengarahan, ceramah-ceramah yang sifatnya positif (sifatnya
preventif). Cara preventif dapat dilakukan dengan dua obyek sistem pencegahan
atau penanggulangan yaitu :
a. Sistem Abiolisionistik
Yang dimaksud dengan sistem ini adalah penanggulangan kejahatan dengan
menghilangkan faktor-faktor yang menjadi sebab musabab kejahatan. Cara ini
sangat berhubungan dengan perkembangan studi tentang sebab-sebab kejahatan,
yang memerlukan pengembangan teori dan penelitian-penelitian lapangan.
b. Sistem Moralistik
Yang dimaksud dengan sistem ini adalah penanggulangan kejahatan melalui
penerangan atau penyebarluasan dikalangan masyarakat sarana-sarana untuk
memperteguh moral dan mental seseorang agar dapat terhindar dari nafsu ingin
berbuat jahat.
79
Soedjono D, Op.Cit, hlm.19-20
64
2. Tindakan Represif
Tindakan represif mempunyai pengertian merupakan tindakan yang dilakukan
apabila kejahatan telah terjadi atau tindakan-tindakan seperti mengadili, menjatuhi
hukuman terhadap seseorang yang melakukan kejahatan. Cara repressif adalah
dengan jalan memberikan tindakan : Sistem Penal. Yang dimaksud dengan sistem
penal adalah tahapan penangkapan yang dilanjutkan dengan pemberian hukuman.
Abdulsyani dalam sistem penal ini beliau menggunakan istilah Punishment
(penghukuman). Yang dimaksudkan dengan penghukuman ini adalah sebagai
suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum.80
Penghukuman
merupakan tindakan untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku kejahatan
yang sebanding atau mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan kejahatan tersebut, apakah ia berupa hukuman pemenjaraan ataupun
hukuman yang bersifat penderaan.
W.A.Bonger menyebutkan hal tersebut sebagai politik kriminal karena disini yang
memberikan atau yang menjatuhkan hukuman pada seseorang adalah lembaga
pemerintahan. Dalam hukum pemidanaan Indonesia sistem penal ini dikenal
dengan sistem pemasyarakatan. Dalam hal ini Sahardjo dikutip oleh Soedjono
Dirdjosisworo, mengatakan bahwa : dengan singkat tujuan pidana penjara adalah
pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang
diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh narapidana, tetapi juga orang-
orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan
diberikan bekal hidup sehingga akan berfaedah didalam masyarakat Indonesia.81
80
Abdulsyani, Sosiologi Kriminologi, Pustaka Refleksi, Makassar,1987, hlm. 137. 81
Soedjono D, Op.Cit, hlm. 31
110
IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Anak menjadi pelaku begal di Kabupaten Tanggamus didominasi oleh latar
belakang kemiskinan, secara kriminologi terdapat dua faktor penyabab yaitu
faktor internal yang berasal dari aspek kepribadian anak yaitu sikap dan
intelejensi (kecerdasan) anak yang rendah, psikologis anak berupa gangguan
mental yang diakibatkan oleh konsumsi alcohol berakibat anak sulit
mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan sehingga tidak dapat
membedakan mana yang baik dan buruk. Sedangkan faktor eksternal berasal
dari keluarga berlatar belakang kemiskinan, mengalami permasalahan keluarga
seperti kurangnya perhatian dari kedua orang tua serta broken home, faktor
pengaruh pergaulan yang salah, faktor media berupa pengaruh tontonan dan
video game yang bersifat kekerasan dan faktor wilayah berpotensi begal
dimana masyarakat lalai dalam menciptakan atau menjaga sistem keamanan
lingkungan.
2. Upaya penanggulangan kejahatan begal yang dilakuakan oleh anak di
Kabupaten Tanggamus oleh pihak Kepolisian Resor Tanggamus dengan
diimplementasikannya upaya penal (refresif) bekerja setelah kejahatan terjadi
dengan fokus utama pada pelakunya dan non penal (preventif) yang bekerja
111
sebelum kejahatan terjadi yaitu melakukan langkah-langkah antisipasi berupa
tindakan pencegahan. Sarana penal (refresif) terhadap anak sebagai pelaku
begal dilakukan dengan berusaha menemukan kembali barang hasil
pembegalan, mengadakan pemeriksaan dan menghimpun bukti untuk dapat
melakukan penangkapan dan penahanan untuk melakukan proses penyidikan
yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih
lanjut, dan memberikan penghukuman sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dalam hukum pidana dengan berorentasi pada pembinaan dan
perbaikan anak pelaku begal bertujuan agar anak dapat kembali kemasyarakat
minimal tidak akan mengulangi kejahatan yang telah dilakukan. Selanjutnya
sarana non penal (preventif) yang dilakukan adalah dengan cara memadukan
berbagai unsur yang berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana serta
partisipasi masyarakat seperti mengaktifkan dan memperketat pos siskamling.
Kepolisian berkunjung ke sekolah untuk memberikan penyuluhan, himbauan
berhati-hati mengendari sepeda motor, melakukan sweeping, strong point dan
menggandeng media massa menyampaikan pentingnya menaati hukum yang
berlaku dan informasi kejahatan yang sedang marak terjadi.
B. Saran
Berdasarkan hasil uraian pembahasan dan kesimpulan, saran dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Kepada Polres Tanggamus yang berperan sebagai mitra masyarakat
diharapkan lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas sehingga lebih
cekatan dalam menangani dan penyelesaian setiap kasus kejahatan begal
terutama yang dilakukan oleh anak, sehingga wilayah-wilayah yang
112
berpotensi kejahatan begal dapat diamankan untuk mempersempit gerak
anak untuk melakukan begal.
2. Kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus
juga stakeholder yang ada dan unsure terkait lainnya diharapkan
bekerjasama dalam menangani, memperhatikan, dan memenuhi hak-hak
anak, menciptakan kota (daerah) layak anak, ramah bagi tumbuh kembang
anak, menciptakan kegiatan-kegiatan yang berorientasi positif dan berbudi
luhur agar anak-anak mengetahui akan pentingnya untuk tidak melakukan
kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminologi. Pustaka Refleksi. Makassar.
Abidin, Farid Andi Zaenal, 1995. Hukum Pidana I. Grafika. Jakarta.
Achmad, Deni, dan Firganefi. 2016. Pengantar Kriminologi & Viktiminologi.
Justice Publisher. Bandar Lampung.
Adang, Yesmil Anwar. 2013. Krimonologi. PT Refika Aditama. Bandung.
Alam, A.S. 2010. Pengantar Kriminologi. Pusat Refleksi. Jakarta.
Ali, Zaidan M. 2016. Kebijakan Kriminal. Sinar Grafika. Jakarta.
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Andrisman, Tri. 2011. Delik Tertentu Dalam KUHP, Universitas Lampung.
Bandar Lampung.
Atmasasmita, Romli. 2006. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Tarsito.
Bandung.
Arief, Barda Nawawi. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana.
Jakarta.
-------------. 2000. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
-------------. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Barry, Zakaria Ahmad Al. 1993. Hukum Anak dalam Islam. Bulan Bintang.
Jakarta.
Dirdjosisworo, Soejono. 1994. Sinopsis Kriminologi Indonesia. Mandar Maju,
Bandung.
Djamali, R. Abdoel. 2005. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. PT.Raja Grapindo
Persada, Bandung.
Djamil, Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Ediwarman. 2014. Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi.
Genta Publishing. Yogyakarta.
Fajar, Mukti dkk. 2009. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem
Peradilan Anak di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.
Gumilang, A. 1993. Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik
Penyidikan, Angkasa. Bandung.
Huda, Chairul. 2006. “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” : Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidan. Kencana
Prenadamedia. Jakarta.
Joni, M dan Zulchaina Z. Tanamas. 1995. Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Kartono, Kartini. 1981. Gangguan-Gangguan Psikis. Sinar Baru. Bandung.
Kartasaputra, Momon. 2008. Azas-asas Kriminologi. Remaja Karya. Bandung.
Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Rajawali Pers. Jakarta.
Muladi, Diah Sulistyani. 2016. Kompleksitas Perkembangan Tindak Pidana dan
Kebijakan Kriminal. PT. Alumni. Bandung.
Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik dan
Permasalahannya. Mandar Maju. Bandung.
Mustafa, Muhammad. 2007. Metodelogi Penelitian Kriminologi. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta.
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Poerwodarminto, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Jakarta.
Prinst, Darwin. 2003. Hukum Anak Indonesia. Citra Adiyta Bakti. Bandung.
Prakoso, Abintoro. 2013. Krimininologi & Hukum Pidana. Laksbang Grafika.
Yogyakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika
Aditama. Jakarta.
Rahardi, H.Pudi Hukum. 2007. Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi
POLRI). Laksbang Mediatama. Surabaya.
Raharjo, Sacipto. 2000. Ilmu Hukum. Citra Adhitya Bhakti. Jakarta.
Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian. LaksBang Persindo.Yogyakarta.
Santoso, Topo, dan Eva Achajani Ulfa. 2003. Kriminologi, Cetakan Ke-3. PT.
Grafindo Persada. Jakarta.
Sahetapy, dan Mardjono Reksodiputro. 1982. Paradoks dalam Kriminologi.
Rajawali. Jakarta.
Saraswati, Rika. 2015. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. PT. Citra Aditya
Bakti. Jakarta.
Shafrudin. 1998. Politik Hukum Pidana, Universitas Lampung. Bandar lampung.
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi. 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES.
Jakarta.
Soetedjo, Wagiati. 2000. Hukum Pidana Anak. PT. Radika Aditama. Bandung.
Soegiono. 2009. Kriminologi. Alumni. Bandung.
Soesilo,R. 1985. Kriminologi (Pengetahuan tentang sebab-sebab Kejahatan).
Politea. Bogor.
Sunggono, Bambang. 2016. Metodelogi Penelitian Hukum. Cetakan ke-16. PT.
Grafindo Persada. Jakarta.
Susanto, Anthon F. 2010. Teori-Teori Hukum. Refika Aditama. Bandung.
Susanto, I.S. 2011. Kriminologi. Genta Publishing. Yogyakarta.
Umam, Aminal. 2011. Ketidakadilan Dalam Penanganan Kejahatan Narkoba,
Masalah Hukum Varia Peradilan, Edisi No.303, Ikahi. Jakarta.
Utami, Indah Sri. 2012. Aliran Dan Teori Dalam Kriminologi. Thafa Media.
Yogyakarta.
Wadong, M.Hassan. 2012. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Grasindo
Jakarta.
Weda, Made Darma. 1996. Kriminologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Widiyanti, Ninik, Yulius Waskita. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan
Pencegahannya. Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Internet:
http;/www.tanggamus.go.id
http;//TribunLampung.go.id
http://suara.com/news/2015/03/12/063000/asal-usul-istilah-begal
Koran :
Rakyat Lampung Edisi koran harian,