Upload
asep-bunyamin
View
96
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
KEDUDUKAN MAHAR DALAM PERKAWINAN
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan Islam
Disusun Oleh:
Nama : Siti IsnawatiNPM : 11.0298.1Fak. / Jur. : Syari’ah /ASTk. / Smt : II / III
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNGSINGAPARNA - TASIKMALAYA
2012
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya sajalah makalah
Perceraian Menurut Piqh ini bisa terwujud dan sampai dihadapan dosen dan para
pembaca yang berbahagia. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
baginda alam Nabi Muhammad SAW, yang telah di berikan keistimewaan oleh
Alloh dari nabi-nabi yang lain berupa perkatannya yang singkat namun memilki
arti yang sangat luas, yaitu Al-Hadits / As-Sunnah yang merupakan sumber kedua
syari'at islam setelah Al-Qur'an. Tak terlupakan kepada keluarganya, para sahabat
dan pengikutnya sampai hari kemudian yang akan selalu memperjuangkan dan
memelihara syari'at-Nya. Aaminn.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai "Kedudukan Mahar dalam
Perkawinan", yang sejarah mahar, pengertian mahar dan dasar hukumnya, shaduq
sebagai mahar dan kadar minimal dan maksimal mahar, .
Sebagaimana pepatah mengatakan " tak ada gading yang tak retak", maka
makalah ini pun tiada tebebas dari kekurangan dan kelemahan di dalamnya.
Namun kami telah berusaha meminimalkannya. Untuk itu kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan,
agar kekurangan dan kelemahan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan
manfaatnya bagi perkembangan studi Islam pada umumnya.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita sebagai
generasi yang senantiasa terus mengkaji dunia pendidikan untuk menuju arah
perbaikan.
Cipasung, Desember 2012
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Perumusan Masalah.................................................................... 2
C. Tujuan Makalah.......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4
A. Sejarah Mahar Pada Masa Arab Pra-Islam................................. 3
B. Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya.................................... 4
C. Shaduq sebagai Mahar dalam al-Qur’an.................................... 5
D. Kadar Minimal dan Maksimal Mahar........................................ 8
BAB III PENUTUP........................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Merupakan hal yang wajar jika seseorang dalam hidupnya
membutuhkan hubungan biologis. Sehingga di dalam ajaran islam dikenal
dengan istilah nikah yang kurang lebihnya bermakna sebagai akad yang
membolehkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dan perempuan.
Diantara rukun nikah yang diyakini adalah mahar (maskawin), setelah calon
suami-istri, wali, saksi, serta ijab dan qabul. Mahar bukanlah hal yang baru
dalam Islam. Pada zaman pra-islam juga telah dikenal istilah mahar.
Pemberian mahar pada saat itu ditujukan pada wali si wanita sebagai imbalan
bagi para wali yang telah membesarkannya dan juga sebagai resiko kehilangan
perannya dalam keluarga. Sehingga mahar sering ditafsiri sebagai harga beli
seorang perempuan dari walinya, sehingga wanita merupakan milik suami
sepenuhnya. Ia berhak memperlakukan istrinya dalam bentuk apapun.
Seiring dengan datangnya islam, hal seperti yang diatas sudah tidak
berlaku lagi. Islam menghapus semua praktik dan kebiaasan yang merugikan
wanita dalam hal mahar. Sehingga wanita tidak lagi diperlakukan seperti
barang yang telah dibeli dari sang penjual (majikan). Maka dari itu, kami ingin
mencoba mengkaji ulang makna dari mahar itu sendiri.
Hal lain yang juga menjadi problem dalam hal mahar adalah kadar
minimal yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istri. Sebagian
ulama membatasi kadar minimalnya –juga berbeda beda- dan sebagian lainnya
tidak membatasinya sama sekali. Sehingga bagi sebagian ulama, mahar
tidaklah harus berbentuk materi. Karena ada riwayat yang menyatakan bahwa
Rasulullah pernah mengizinkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dengan hafalan quran sebagai mahar.
Dalam makalah yang singkat ini, kami akan mencoba memberi
gambaran pandangan para ulama sehingga kita dapat memahami alasan-alasan
dari para ulama terdahulu.
1
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah mahar dalam Islam?
2. Bagaimanakah pengertian dan kedudukan mahar?
C. Tujuan Makalah
1. Ingin mengetahui sejarah mahar dalam Islam.
2. Ingin mengetahui pengertian dan kedudukan mahar.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Mahar Pada Masa Arab Pra-Islam
Al-Quran menghapus adat kebiasaan zaman pra-Islam mengenai mahar
dan mengembalikannya kepada kedudukannya yang asasi dan alami. Di masa
pra islam para ayah dan ibu para gadis menganggap maskawin adalah hak
mereka sebagai imbalan atas pendidikan dan perawatan mereka. Dalam kitab-
kitab tafsir disebutkan bahwa apabila seorang bayi wanita lahir maka biasanya
orang yang mengucapkan selamat kepadanya dengan mengatakan “hannian
laka al nafi’ah” (selamat, semoga ia menjadi sumber kekayaan bagimu). Hal
ini menunjukkan bahwa kelak si gadis akan dikawinkan dan mahar akan
menjadi milik si ayah sepenuhnya.
Pada masa ini juga terdapat adat kebiasaan lain yang dalam praktiknya
digunakan untuk merampas hak wanita atas mas kawinnya. Salah satu dari
adat kebiasaan itu adalah pewarisan istri. Apabila seorang pria meninggal,
maka para ahli warisnya, seperti anak laki-lakinya atau saudara laki-lakinya
mewarisi istrinya persis sebagaimana mereka mewarisi harta dari lelaki yang
meninggal itu. Setelah kematian si pria, putranya atau saudara laki-lakinya
menganggap bahwa hak atas perkawinan tersebut masih terus berlaku. Si
pewaris memandang dirinya berhak untuk mengawinkan si wanita warisan
tersebut dengan siapa saja yang dikehendakinya dan mengambil maskawin
dari perkawinan itu. Bisa pula ia sendiri mengambilnya sebagai istri tanpa
maskawin lagi, atas dasar kekuatan maskawin yang telah diberikan oleh
almarhum dulunya. Namun adat seperti ini telah dihapus dengan turunnya
firman Allah QS. Al Nisa: 19:
:(19)النساء “Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
3
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, kecuali…”. (QS. Al Nisa’ (4): 19)
B. Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya
Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai
kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Di
zaman Islam pra-Islam hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan. Sehingga
walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak
memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya.
Kemudian Islam datang menghilangkan belenggu ini. Kepadanya diberi hak
mahar. Dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan
kepada ayahnya. Bahkan kepada orang yang paling dekat kepadanya sekalipun
tidak dibenarkan menjamah sedikitpun harta bendanya kecuali dengan ridha
dan kemauannya. Sebagaimana fiman Allah dalam QS al-Nisa:4
(4)النساء:Artinya:
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyarahkan kepada kamu sebagaian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.
Maksudnya berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian
wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika istri telah menerima maharnya
tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya
kepadamu, maka terimahlah dengan baik.
Ada beberapa definisi mahar yang dikemukakan oleh ulama mazhab
diantanya mazhab Hanafi yang mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta
yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau terjadinya senggama
dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya sebagai harta yang
wajib dibayarkan suami kepada istrinya ketika berlangsung akad nikah sebagai
4
imbalan dari kesediaan penyerahan kepada suami (senggama) Ulama mazhab
Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk
digauli. Ulama mazdhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang
wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama
mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai imbalan dari suatu perkawinan,
baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan
persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim. Termasuk juga
kewajiban untuk melakukan senggama. Sedangkan Quraish Shihab
mengatakan bahwa mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami
untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.
C. Shaduq sebagai Mahar dalam al-Qur’an
Ketidaktepatan dalam memaknai mahar menimbulkan berbagai
implikasi terhadap status perempuan dalam kehidupan perkawinan dan
rumah tangga. Dari sekian pembahasan para ahli hukum islam, permasalahan
mahar hanya berada disekitar dan berkaitan dengan permasalahan biologis,
sehingga seolah-olah mahar hanya sebagai alat perantara dan kompensasi
bagi kehalalan hubungan suami istri. Pada saat yang sama, mahar juga
digunakan sebagai alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa suami
mempunyai hak yang terhadap istinya.
Berbagai definisi mahar yang disampaikan oleh ulama mazhab yang
telah disebutkan sebelumnya menunjukkan kebenaran kesimpulan diatas.
Beberapa indikator di atas menunjukkan bahwasanya mahar selama ini telah
diartikan secara sempit. Ketika kewajiban membayar mahar hanya diartikan
sebagai perantara bagi halalnya hubungan biologis suami-istri, meskipun
pembayarannya kadang tidak dilakukan secara tunai, maka dapat dimaklumi
mengapa akad pernikahan dikatakan sebagai akad kepemilikan (‘aqd al-
tamlik). Artinya, karena suami telah membayar sejumlah mahar kepada
istrinya waktu pernikahan., maka ketika itu suami berkedudukan sebagai
pemilik dari istrinya. Ada juga yang berpendapat akad pernikahan adalah
sebagai akad pengganti ( ‘aqd mu’awadah). Artinya, karena suami telah
5
membayar sejumlah mahar terhadap istrinya sebagai kompensasi, maka
pembayaran tersebut adalah sebagai jembatan untuk mendapatkan hubungan
biologis. Namun permasalahannya adalah, apakah mahar hanya sebatas
jembatan dan kompensasi bagi halalnya hubungan suami istri sehingga
memunculkan kesan bahwa mahar masih identik sebagai harga beli dari istri
itu sendiri?
Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan istilah mahar secara eksplisit
sebagai kewajiban yang harus dibayarkan oleh pria yang hendak menikah.
Hanya saja, ada beberepa isyarat ayat al-Qur’an yang menunjukkan kearah
pengertian mahar tersebut dengan menggunakan kata-kata shaduqat dan
nihlah. Inilah salah satu bentuk pembaharuan yang ingin disampaikan al-
Qur’an terhadap tradisi Arab pra-Islam. Sekalipun demikian, kebanyakan
fuqaha masih saja tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh tradisi jahiliyah
tersebut. Penggunaan kata-kata shaduqat dan nihlah sebagai isyarat terhadap
pengertian mahar tersebut terdapat pada surat al-Nisa’ (4): 4 :
(4)النساء:Artinya:“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyarahkan kepada kamu sebagaian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.
Pada ayat di atas, Allah mengguanakan kata-kata shaduqat dan tidak
menggunakan kata-kata mahar, dan ini merupakan salah satu ungkapan yang
digunakan oleh Allah dalam al-Qur’an untuk menunjukkan istilah mahar.
Kata shaduqat merupakan jamak dari kata shidaq dan merupakan satu rumpun
dengan kata shiddiq, shadaq dan shadaqah. Didalamnya terkandung makna
jujur, putih hati, bersih. Dengan demikian arti shaduqat dalam konteks ayat
tersebut adalah harta yang diberikan dengan hati yang bersih dan suci kepada
calon istri yang dinikahi sebagai amal shaleh. Hal tersebut adalah sebagai
wujud kasih sayang dan ketulusan suami pada istrinya dalam pernikahan yang
6
memang pantas dan layak diantara kedua suami istri, sehingga jika istri rela
untuk tidak dibayarkan, maka hal itu dibolehkan dengan syarat tidak ada unsur
keterpaksaan. Inilah makna ketulusan dari kata-kata mahar. Kalau dibawakan
dalam konteks Indonesia, ternyata makna mahar dalam pengertian ini
mempunyai korelasi dengan ditemukannya istilah uang jujur sebagai
pengganti istilah mahar di beberapa wilayah Indonesia.
Di dalam ayat di atas, Allah juga menggunakan kata-kata nihlah.
Terdapat perbedaan sejumlah ulama tentang makna kata ini yang dapat
dikelompokkan kedalam dua kelompok. Kelompok pertama mengartikannya
dengan sesuatu yang wajib (fardhu) diberikan kepada calon istri, diantara
ulamanya adalah Imam Qatadah, Ibnu Juraij, dan Abu Ubaidah. Mereka
menafsirkan nihlah dengan kewajiban, karena nihlah secara bahasa artinya
adalah agama, ajaran, syari’at dan madzhab. Jadi, redaksi arti dari ayat di atas
adalah “dan berikanlah mahar kepada istri-istrimu, karena ia merupakan
bagian dari ajaran agama (kewajiban)”. Konsekuensinya pemaknaan tersebut
adalah mahar wajib diberikan. Pengertian kata-kata nihlah dengan kewajiban
bertujuan supaya cepat dipahami bahwa mahar memang wajib dibayarkan.
Kelompok kedua, al-Kalabi mengartikannya dengan pemberian atau hibah.
Abu ‘Ubaidah mengartikannya dengan kebaikan hati. Hal ini dikarenakan
bahwasannya nihlah secara bahasa adalah pemberian tanpa minta pengganti,
sebagaimana halnya seorang bapak memberikan sejumlah harta terhadap
anaknya yang diberikan atas dasar kasih sayang, bukan untuk mendapatkan
ganti rugi dari anaknya. Sehubungan dengan hal ini, Allah memerintahkan
para suami untuk memberikan mahar tehadap istrinya tanpa menuntut ganti
rugi atau imbalan sebagai wujud rasa cinta dan penghormatan, apalagi diikuti
dengan perdebatan, karena sesuatu yang dituntut atas dasar permusuhan,
bukanlah disebut nihlah.
Kalau diteliti asal usul kata nihlah ini, akan semakin menguatkan
pemaknaan kata nihlah kebaikan dan kebersihan hati. Ada yang berpendapat
bahwa nihlah berasal dari rumpun yang sama dengan kata-kata al nahl yang
artinya lebah. Pemaknaan kata-kata ini masih ada hubungannya dengan kata
7
shaduqat di atas. Yakni, yamg laki-laki mencari harta yang halal seperti lebah
mencari kembang yang kelak menjadi madu. Hasil jerih payah yang suci dan
bersih tersebut itulah yang diserahkan kepada calon istrinya sebagai bukti
ketulusan dan kejujurannya, dan nyatanya yang diberikan memang sari yang
bersih.
D. Kadar Minimal dan Maksimal Mahar
Mengenai kadar minimal mahar, terjadi perbedaan pendapat diantara
para ulama mazhab. Menurut Imam al Syafi’i, kadar minimal mahar tidak
dapat dibatasi. Ia berpendapat bahwa apa saja yang memiliki harga atau nilai
boleh dijadikan mahar. Sementara Iman Hanafi mengatakan bahwa jumlah
minimal mahar adalah sepuluh dirham. Sedangkan Imam Malik berpendapat
bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Akan tetapi pendapat yang
diutarakan oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki tidaklah didasarkan pada
keterangan agama yang kuat atau alasan yang sah.
Quraih Shihab dalam bukunya Wawasan al Quran menyebutkan
bahwa karena mahar bersifat lambang maka sedikitpun jadilah. Bahkan
Rasulullah bersabda yang artinya “sebaik-baiknya maskawin adalah seringan-
ringannya” (HR. Abu Daud). Akan tetapi, ia mengatakan bahwa agama
menganjurkan agar maskawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena
itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan
perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Namun apabila oleh satu dan lain
hal ia harus juga kawin, maka cincin besipun jadilah, sebagaimana yang telah
disabdakan Rasulullah SAW.
Para ulama lebih cenderung kepada pendapat Imam al-Syafi’i. Karena
al Syafi’i menyebutkan bahwa apa saja yang berharga dan bernilai boleh
dijadikan mahar. Adapun yang dimaksud dengan berharga ialah sesuatu yang
bisa diperjual belikan dikalangan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan
nilai adalah sesuatu yang abstrak namun dapat bermanfa’at dalam kehidupan
manusia.
8
Imam Syafi’i memberikan kriteria umum tentang sesuatu yang dapat
dijadikan mahar. Kriteria ini tidak hanya dibatasinya kepada bentuk barang,
akan tetapi keterampilan dan profesionalisme juga dapat dijadikan sebagai
mahar, seperti menjahitkan pakaian, membangunkan rumah, membantu
selama sebulan, mencarikan pekerjaan, mengajarkan al Quran kepada manita
yang akan menjadi istri.
Sedangkan untuk kadar maksimal mahar, para ulama sepakat bahwa
tidak ada batasan jumlahnya. Hal ini sebagaimana riwayat Sa’ad bin Mansur
dan Abu Ya’la yang mengatakan bahwa Umar pernah melarang pembayaran
mahar lebih dari empat ratus dirham. Akan tetapi ia ditegur oleh seorang
perempuan quraisy dengan menyebutkan QS. Al Nisa : 20:
:النساء(20)
Artinya:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali.
Lalu menjawab: “Ya Allah, saya mohon maaf. Orang-orang lain
kiranya lebih pintar dari pada Umar”. Kemudian beliau cabut keputusannya,
lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya tadi telah melarang kepadamu memberi
mahar lebih dari empat ratus dirham. Sekarang siapa yang mau memberi
lebih dari pada harta yang dicintainya terserahlah”.
Namun bukan berarti tidak adanya batasan maksimal dalam kadar
mahar, seseorang dapat menentukan jumlah mahar yang diinginkannya dengan
hanya memperhatikan status sosialnya sendiri. Akan tetapi ia juga harus
memperhatikan ssosial masyarakat sekitarnya. Sehingga janganlah sampai
mahar itu berlebihan dalam jumlahnya hanya dikarenakan “gengsi belaka”.
Karena Aisyah dalam riwayatnya mengatakan bahwa Rasulullah bersabda
yang artinya:
9
“Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang
paling murag maharnya”. Dan sabdanya pula: “perempuan yang baik
hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan
perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka
yaitu, yang maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk
akhlaknya”.
10
BAB III
PENUTUP
Dari penguraian di atas jelaslah bahwa islam memiliki konsep sendiri
dalam hal mahar. Mahar yang pada masa pra-islam merupakan hak orang tua atau
wali perempuan, maka setelah islam datang, mahar sepenuhnya menjadi milik istri
tanpa ada yang boleh mengambilnya kecuali atas keridhaannya. Islam juga
menghapus sitem pewarisan istri yang ada pada masa pra-islam sebagaimana yang
telah kami paparkan. Sehingga mahar bukanlah harga jual-beli atau pengganti,
akan tetapi mahar haruslah dipandang sebagai pemberian yang penuh sukarela
sebagai amal shaleh yang tidak mengharapkan imbalan. Begitu juga dengan
bentuk mahar yang pada masa pra-Islam berupa materi –harta-, kemudian oleh
islam diperbolehkan dalam bentuk imateri – jasa atau kemampuan-. Walaupun
masih ada perbedaan pendapat ulama mazhab dalam hal batas minimal kadar
mahar itu sendiri.
Dari penjelasan diatas juga dapat disimpulkan bahwa jangalah sampai
pelaksaan pernikahan tertunda, terlebih lagi batal hanya karena sarana dan
prasarana yang terlalu mahal. Karena bila suatu pernikahan diidentikkan dengan
ibadah maka sangatlah tidak etis bilamana ibadah tertunda hanya gaga-gara
permasalahan ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
Afdawaiza. ”KonsepShaduq Sebagai Mahar Dalam Al Qur’an”, Al-AQur’an dan Hadis, 5. januari 2004,
Dahlan , Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Hasanuddin, “Mahar dalam……”, Asy-syir’ah. 40. 2006..
Mutahhari, Morteza. Wanita dan Hak-Haknya dalan Islam terj. M. Hashem. Bandung: Pustaka, 1985.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 7 terj. Moh. Thalib. Bandung: Al Ma’arif, 1986.
Tim DEPAG. Eniklopedi Islam, jilid II. Jakarta: CV. Anda Utama, 1993.
12