29
KEBIJAKAN SEKTOR SUMBER DAYA AIR INDONESIA: Pengaruh Globalisasi dan Kebijakan World Bank oleh Nadia Hadad PENGANTAR Kemarau 2003 ini negara kita sedang dilanda krisis air yang gawat. Terutama pulau Jawa, pulau yang potensi air tawarnya hanya 4,5% tapi harus menopang 65% jumlah penduduk Indonesia 1 , saat ini kondisinya sudah sangat kritis dan tidak berkelanjutan. Setiap tahun Pulau Jawa mengalami defisit air sekitar 13 miliar meter kubik (Kompas, 26 Agustus 2003). Dampaknya, ada 485 desa di Jawa yang mengalami krisis air yang parah. Akibatnya, pemerintah harus melakukan langkah-langkah penyelamatan bagi jutaan penduduk dan petani yang terkena dampak kekeringan, seperti bantuan beras gratis, proyek reboisasi, merancang system pertanian yang tidak membutuhkan air banyak seperti sawah bagi para petani, dan membuka lahan-lahan sawah baru diluar Jawa. Tapi ironisnya, sementara pemerintah kita sibuk melakukan upaya penyelamatan bagi masyarakat dan petani dari krisis air, dilain pihak pemerintah dan DPR kita juga meluncurkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang akan membuat sumberdaya air Indonesia terprivatisasi. Saat ini, sebuah RUU mengenai Sumber Daya Air di Indonesia (RUU-SDA) sedang dibahas oleh DPR untuk segera disahkan 2 . RUU-SDA ini, jika dilihat secara keseluruhan, mengarah pada privatisasi Sumber Daya Air, dimana air dianggap sebagai barang ekonomi yang dapat diperdagangkan. Nah, disinilah pokok persoalannya dimana mengundang pertentangan dari beberapa kalangan yang sadar. 3 Alasannya, air yang merupakan hak asasi manusia dan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup, tidak boleh diprivatisasi. Mereka beranggapan, bahwa implikasinya akan sangat membahayakan, baik bagi rakyat – terutama mereka yang miskin – maupun lingkungan. Apalagi, RUU-SDA tersebut menganut konsep “hak guna air” yang berpotensi memicu terjadinya komersialisasi air, seperti halnya yang terjadi dengan hak guna hutan dan sertifikat tanah. Hak guna air ini merupakan perwujudan dari konsep yang diperkenalkan oleh World Bank, yang disebut dengan tradable water rights. Di banyak negara, kendati bumi ini mengalami krisis pasokan air bersih, tapi air bersih juga dibuka untuk diprivatisasi, komodifikasi, expor dan perdagangan. Ini disebabkan oleh karena air, dipandang sebagai barang/komoditi (economic goods) yang dapat diperjualbelikan dan bukan sebagai barang sosial (social goods). Padahal, air merupakan kebutuhan esensial bagi seluruh mahluk hidup di dunia ini. Negara harus menjamin akses rakyatnya terhadap air bersih dan air harus dipandang sebagai barang publik. Karenanya selama ini di kebanyakan negara, pengelolaan SDA dan pelayanan air bersih biasanya ditangani oleh perusahaan publik, seperti kalau di Indonesia dikelola oleh PDAM. 1 Dari hasil sensus BPS tahun 2000, Jumlah penduduk seluruh Indonesia adalah 206.264.595 jiwa, dan dari jumlah itu, pulau Jawa sendiri berpenduduk 121.352.608 jiwa. 2 RUU-SDA yang diajukan oleh pemerintah sejak bulan Oktober 2002, sampai saat tulisan ini dibuat masih dalam tahap pembahasan oleh Panja di DPR. 3 Adalah mereka yang sadar atau beranggapan bahwa RUU-SDA mengarah pada privatisasi, dan berpendapat bahwa implikasinya akan sangat membahayakan bagi rakyat, terutama mereka yang miskin. Tapi masih sedikit sekali orang yang sadar mengenai hal ini. Kebanyakan adalah para aktivis dan kalangan NGO yang sangat menentang ide privatisasi terhadap air/sumberdaya air.

Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

KEBIJAKAN SEKTOR SUMBER DAYA AIR INDONESIA:

Pengaruh Globalisasi dan Kebijakan World Bank oleh Nadia Hadad

PENGANTAR Kemarau 2003 ini negara kita sedang dilanda krisis air yang gawat. Terutama pulau Jawa, pulau yang potensi air tawarnya hanya 4,5% tapi harus menopang 65% jumlah penduduk Indonesia1, saat ini kondisinya sudah sangat kritis dan tidak berkelanjutan. Setiap tahun Pulau Jawa mengalami defisit air sekitar 13 miliar meter kubik (Kompas, 26 Agustus 2003). Dampaknya, ada 485 desa di Jawa yang mengalami krisis air yang parah. Akibatnya, pemerintah harus melakukan langkah-langkah penyelamatan bagi jutaan penduduk dan petani yang terkena dampak kekeringan, seperti bantuan beras gratis, proyek reboisasi, merancang system pertanian yang tidak membutuhkan air banyak seperti sawah bagi para petani, dan membuka lahan-lahan sawah baru diluar Jawa. Tapi ironisnya, sementara pemerintah kita sibuk melakukan upaya penyelamatan bagi masyarakat dan petani dari krisis air, dilain pihak pemerintah dan DPR kita juga meluncurkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang akan membuat sumberdaya air Indonesia terprivatisasi. Saat ini, sebuah RUU mengenai Sumber Daya Air di Indonesia (RUU-SDA) sedang dibahas oleh DPR untuk segera disahkan2. RUU-SDA ini, jika dilihat secara keseluruhan, mengarah pada privatisasi Sumber Daya Air, dimana air dianggap sebagai barang ekonomi yang dapat diperdagangkan. Nah, disinilah pokok persoalannya dimana mengundang pertentangan dari beberapa kalangan yang sadar.3 Alasannya, air yang merupakan hak asasi manusia dan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup, tidak boleh diprivatisasi. Mereka beranggapan, bahwa implikasinya akan sangat membahayakan, baik bagi rakyat – terutama mereka yang miskin – maupun lingkungan. Apalagi, RUU-SDA tersebut menganut konsep “hak guna air” yang berpotensi memicu terjadinya komersialisasi air, seperti halnya yang terjadi dengan hak guna hutan dan sertifikat tanah. Hak guna air ini merupakan perwujudan dari konsep yang diperkenalkan oleh World Bank, yang disebut dengan tradable water rights. Di banyak negara, kendati bumi ini mengalami krisis pasokan air bersih, tapi air bersih juga dibuka untuk diprivatisasi, komodifikasi, expor dan perdagangan. Ini disebabkan oleh karena air, dipandang sebagai barang/komoditi (economic goods) yang dapat diperjualbelikan dan bukan sebagai barang sosial (social goods). Padahal, air merupakan kebutuhan esensial bagi seluruh mahluk hidup di dunia ini. Negara harus menjamin akses rakyatnya terhadap air bersih dan air harus dipandang sebagai barang publik. Karenanya selama ini di kebanyakan negara, pengelolaan SDA dan pelayanan air bersih biasanya ditangani oleh perusahaan publik, seperti kalau di Indonesia dikelola oleh PDAM.

1 Dari hasil sensus BPS tahun 2000, Jumlah penduduk seluruh Indonesia adalah 206.264.595 jiwa, dan dari jumlah itu, pulau Jawa sendiri berpenduduk 121.352.608 jiwa.

2 RUU-SDA yang diajukan oleh pemerintah sejak bulan Oktober 2002, sampai saat tulisan ini dibuat masih dalam tahap pembahasan oleh Panja di DPR.

3 Adalah mereka yang sadar atau beranggapan bahwa RUU-SDA mengarah pada privatisasi, dan berpendapat bahwa implikasinya akan sangat membahayakan bagi rakyat, terutama mereka yang miskin. Tapi masih sedikit sekali orang yang sadar mengenai hal ini. Kebanyakan adalah para aktivis dan kalangan NGO yang sangat menentang ide privatisasi terhadap air/sumberdaya air.

Page 2: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

2

Tetapi, di tahun-tahun belakangan ini, seiring dengan berkembangnya industri air global, air cenderung tidak lagi dipandang sebagai barang publik. Korporasi-korporasi transnasional (Transnational Corporations – TNCs) mulai menguasai sumber-sumber air, baik dalam pengelolaannya maupun dalam pelayanannya, demi keuntungan perusahaannya sendiri. Dan pemerintah di berbagai negarapun, mulai mengalihkan tanggung jawab mereka untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya kepada korporasi-korporasi raksasa tersebut. Maka, trend yang berkembang sekarang adalah PRIVATISASI air. Karena, pemerintah atau perusahaan publik dianggap kurang mampu, dan jikapun mampu, dianggap kurang efisien dalam melayani kebutuhan air bersih rakyatnya. Apakah benar pemerintah atau perusahaan publik tidak mampu dan tidak efisien? Kalaupun iya, apakah kemudian solusinya segampang itu: diserahkan pada swasta? Karena kenyataannya, pengelolaan SDA oleh swasta juga menimbulkan berbagai persoalan sendiri. Karena perusahaan swasta yang menganut sistim full-cost recovery, menginginkan uang/biaya yang sudah mereka keluarkan, dapat balik dan bisa menghasilkan keuntungan, tanpa terlalu memikirkan kemampuan masyarakat, terutama mereka yang miskin. Contoh konkritnya adalah kasus privatisasi di Jakarta, ketika PAM-Jaya sudah diambil alih oleh Thames Water Overseas Ltd (yang kemudian mendirikan PT Thames PAM Jaya) dan Suez (yang mendirikan PT PAM Lyonnaise Jaya), bukannya menyelesaikan masalah, malah menimbulkan persoalan-persoalan baru. Efisiensi dan kualitas pelayanan juga tidak meningkat/membaik. Semua ini dapat terjadi, sebagai akibat dari Globalisasi ekonomi yang tidak terlepas dari campur tangan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional seperti World Bank, IMF dan juga WTO, yang perannya sangat besar dalam membukakan jalan bagi perusahaan-perusahaan transnasional tersebut untuk menguasai bisnis air di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Caranya, adalah melalui kebijakan-kebijakan yang mereka ciptakan dan syarat-syarat (conditionalities) yang menyertai utang yang dipinjami. Di Indonesia, syarat-syarat tersebut ada dalam paket pinjaman program dari Bank Duniauntuk merestruturisasi sektor air di Indonesia, yaitu WATSAL (Water Resources Sektor Structural Adjustment Loan). Dari WATSAL inilah maka restruturisasi sumberdaya air di Indonesia mengarah pada privatisasi. RUU-SDA yang segera akan disahkan tadi juga merupakan salah satu syarat terpenting yang harus dipenuhi oleh pemerintah guna mendapat pencairan pinjaman. Paper ini akan mencoba untuk mengangkat berbagai isu dan pendapat diatas. Mengulas berbagai fenomena menyangkut persoalan air yang terjadi, seperti globalisasi, privatisasi dan komodifikasi air. Menjelaskan mengenai trend privatisasi sumber daya air secara global, juga kebijakan-kebijakan pendukungnya. Kemudian masuk ke konteks Indonesia, dimana kebijakan-kebijakan MDBs terutama Bank Duniamendorong terjadinya privatisasi sumber daya air di Indonesia, dimulai dengan WATSAL, dimana prinsip-prinsipnya lalu diadopsi oleh pemerintah Indonesia, dan usaha-usaha pengimplementasiannya. Paper ini juga mencoba untuk menganalisa dampak yang akan terjadi akibat perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air yang menuju privatisasi, dan memberikan rekomendasi unutk meminimalisir dampak negatifnya.

A. MASALAH SUMBER DAYA AIR: MASALAH RUMIT

Page 3: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

3

Fenomena diatas tidak terjadi hanya di Indonesia saja, tapi juga terjadi di seluruh dunia. Saat ini, bumi kita sudah mengalami krisis pasokan air bersih. Sumberdaya air yang ada dipolusi, cemari, dan eksploitasi. Menurut PBB, 1,3 milyar orang di dunia ini kurang memiliki akses terhadap air bersih dan 2,5 milyar orang tidak mendapatkan sistim pembuangan dan sanitasi yang layak. Ada 31 negara di dunia ini yang dinyatakan berada dalam wilayah kekurangan air. Kebutuhan akan air bersih bertambah dua kali lipat dalam 20 tahun (dua kalinya angka pertumbuhan populasi dunia) dimana sementara itu tingkat polusi dan pencemaran meningkat dan sumber-sumber daya air makin dikuras dan diexploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar demi kepentingan mereka sendiri. Keadaan sudah sedemikian parahnya sehingga PBB merasa perlu untuk mencurahkan perhatinannya kepada kondisi air bersih dunia dan mengerahkan 23 lembaga dibawahnya, dikepalai oleh UNESCO, dan sekretariat-sekretariat konvensi internasional untuk membuat sebuah laporan komprehensif mengenai kondisi dan data air bersih dunia yang paling up-to-date. Laporan yang berjudul “World Water Development Report – Water for People, Water for Life” ini diluncurkan dan dipresentasikan pada World Water Forum ketiga di Kyoto, Jepang, tanggal 16-23 Maret 2003. Kemudian tahun 2003 inipun dinyatakan sebagai “International Year of Fresh Water”. Pesan dan kampanye yang disampaikan, adalah agar air dapat digunakan sebagai agen perdamaian. PBB berharap, akan dapt dicari solusi dan kesepakatan global untuk mencapai “water peace” dan bukan “water wars”. Menurut Dirjen UNESCO, Koichiro Matsuura, walaupun selama ini sudah banyak sekali konferensi-konferensi internasional yang membahas mengenai kelangkaan air, tapi kurang ada komitmen politik yang dapat membantu untuk mengatasi hal ini. Bahkan, sudah banyak target yang secara internasional dibuat dalam rangka memperbaiki pengelolaan sumber daya air, namun menurut laporan tersebut “hampir tidak ada yang terpenuhi”. Banyak negara dan wilayah di dunia yang sudah mencapai titik kritis. Dari 180 negara yang diberi ranking/peringkat dalam laporan tersebut menurut ketersediaan sumberdaya air yang dapat diperbaharui (renewable water resources) pernegara perkapita, negara/wilayah yang paling parah ketersediaan airnya (berada pada peringkat terbawah, 176-180) adalah Kuwait, Jalur Gaza, Emirat Arab, Bahamas, dan Qatar. Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 58, dimana tersedia 13.381 m3 air pertahunnya, perkapita penduduk Indonesia. Tetapi, meskipun Indonesia berada pada peringkat yang “lumayan” dalam hal ketersediaan airnya, dibandingkan dengan Kuwait (hanya 10m3) atau Emirat Arab (58m3) misalnya, namun jika dilihat dari kualitas airnya, ternyata Indonesia berada pada peringkat yang cukup mengkhawatirkan, yaitu urutan ke 110 dari 122 negara yang terdata. Berarti, tingkat polusi, sistim pembuangan dan sanitasi berada pada tingkat yang cukup parah sehingga jaminan agar rakyat bisa mendapatkan air bersih yang layak, kecil sekali. Memang, permasalahan air di Indonesia sendiri cukup kritis. Untuk menjamin ketersediaan air yang berkesinambungan diperlukan usaha-usaha pengelolaan sumber daya air yang baik, terpadu dan handal. Adapun permasalahan pokok mengenai sumber daya air yang sering dihadapi di Indonesia adalah, antara lain: (1) Adanya kelangkaan lokal (local scarcity) dalam alokasi air untuk berbagai sektor akibat dari

bertambahnya penduduk dan bertambahnya kebutuhan air bersih, khususnya di daerah perkotaan (urban areas). Karena walaupun ketersediaan air tawar di Indonesia dalam skala global melimpah, yaitu sekitar 13.000 m3 tadi, tapi kelimpahan tersebut tidak merata di tiap wilayah. Contohnya di Pulau Jawa yang hanya mempunyai 4,5% potensi air tawar nasional, tapi harus menopang 65% jumlah penduduk Indonesia yang seluruhnya berjumlah kurang

Page 4: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

4

lebih 210 juta orang.4 Akibatnya Pulau Jawa mengalami krisis air pada musim-musim kemarau. Padahal, permintaan akan air bersih, terutama di Jawa, tiap tahunnya makin meningkat. Menurut proyeksi Kimpraswil, pertambahan permintaan air bersih ini dari tahun 1990 sampai 2020 mencapai 220%.

Tabel 1

Status Sumber Daya Air di Indonesia tahun 1999 Menurut Pulau Pulau Area

(1000 Km2)

Air Permukaan Potensial (m3/s)

Air Tanah Potensial (m3/s)

Low Flow Available

Demand/Permintaan

Irigasi DMI Total Jawa/Bali 130 6199 95 786 950 124 1074 Nusa Tenggara 81 1777 21 90 70 3 73 Sumatera 470 23660 N/A 4704 271 26 297 Kalimantan 535 32279 N/A 6956 19 7 26 Sulawesi 187 2488 44 561 120 6 126 Maluku 78 3373 9 391 5 1 6 Irian Jaya 414 28061 N/A 4140 2 1 1 Total 1904 97837 17628 1437 1168 1603

Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Keterangan: N/A: Not Available DMI: Domestic, Municipal and Industry (2) Akses supply air bersih dari institusi pengelola tidak memadai, sementara itu prasarana

penyedia air bersih perkotaan tidak mampu melayani perkembangan permintaan yang pesat. Dalam dokumen WATSAL disebutkan, bahwa pada daerah perkotaan, hanya sebesar 40% dari seluruh penduduk perkotaan yang mendapatkan akses terhadap air bersih (piped water). Akibatnya, air tanahlah yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakan sehari-hari dan kebutuhan industri. Diperkirakan, 80% kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan dan pedesaan masih mengandalkan air tanah, sedangkan untuk industri hampir mencapai 90% yang mengandalkan air tanah.5

(3) Adanya tekanan terhadap linkungan, yang disebabkan oleh perencanaan yang tidak

memperhatikan pelestarian lingkungan dan factor budaya setempat. Dengan adanya Industrialisasi dan urbanisasi, menambah tekanan ini.

Karena masalah air yang kompleks diatas maka perlu diatasi dengan kebijakan pengelolaan yang komprehensif, mencakup lintas sektor yang terpadu, peningkatan kemampuan kelembagaan dan penerapan program-program pembangunan yang ramah lingkungan. Berbagai institusi publik, terutama yang bertanggung-jawab untuk penyediaan air bersih perlu direformasi agar secara efisien dapat melayani masyarakat. Namun yang perlu diperhatikan adalah, segala bentuk reformasi yang dilakukan dan Undang-Undang yang baru harus ditujukan untuk menjamin proteksi bagi hak masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Disinilah dimana perdebatan terjadi. Betul bahwa kita memerlukan regulasi baru dalam hal pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Namun, celakanya undang-undang tersebut bukan

4 Sarwoko, A dan Anshori, I. 2003 Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pendayagunaan yang

Berkelanjutan .Direktorat Jendral sumberdaya Air, Dep. Kimpraswil. Maret 2003 5 Ir. Yousana OP Siagian.2003. Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan. Direktorat Tata Lingkungan

Geologi dan Kawasan Pertambangan. Maret 2003

Page 5: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

5

semata-mata dibuat, murni karena kesadaran kita sendiri, tapi sangat terkait dengan kebijakan dan prasyarat yang dibuat oleh Bank Duniadan IMF, seperti yang juga terjadi di banyak negara lain di seluruh dunia, dimana pemecahannya adalah dengan mengoptimalkan peran swasta dalam pengelolaan sumberdaya air.

B. LATAR BELAKANG DAN DEFINISI

Oleh karena banyak istilah yang penting digunakan dalam paper ini seperti globalisasi, privatisasi, komodifikasi, air sebagai barang sosial, air sebagai barang ekonomi menjadi bagian penting untuk pembahasan dalam paper ini, maka penulis akan mencoba menguraikan masing-masing definisinya, yang berasal dari pencarian beberapa sumber, sesuai dengan konteks pengelolaan sumberdaya air. 1. Globalisasi

Sebuah istilah yang sering kali muncul akhir-akhir ini. Sebagai definisi, artinya adalah sebuah proses mengintegrasikan dan membuka pasar/perdagangan antar negara. Namun keseluruhan proses dari globalisasi ini adlah sangat kontroversial dan mengundang kekuatiran dan perdebatan mengenai national sovereignty, tanggung jawab perusahaan, keadilan dan equity bagi kaum miskin di dunia, dan perlindungan terhadap lingkungan. Perdebatan ini meluas dengan adanya eksploitasi dan perdagangan air bersih yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan (bottled water) secara besar-besaran. Instrumen yang paling berperan disini adalah perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) dalam WTO (Lembaga Perdagangan Dunia). 2. Privatisasi

Privatisasi dalam sektor air, adalah mengalihkan sebagian atau seluruh aset/pengelolaan dari perusahaan-perusahaan publik yang mengelola sumberdaya air (misalnya PDAM) ke tangan pihak swasta. Ada banyak bentuk privatisasi sumberdaya air. Mulai dari hanya mengalihkan tanggung jawab pemerintah ke pihak swasta dalam mengelola sistem pelayanan air bersih, atau dialihkan secara lebih menyeluruh bukan hanya dalam pengelolaannya, tapi juga dalam hal kepemilikannya. Atau, yang lebih gawat lagi, penjualan sebuah sumberdaya air yang menjadi hak masyarakat lokal (hak masyarakat adat, hak ulayat) ke tangan pihak swasta. Saat ini, usaha tawaran dan usaha untuk memprivatisasi air/sumberdaya air makin meningkat. Datangnya, dari perusahaan-perusahaan raksasa trans-nasional (TNCs). Instrumennya, melalui kebijakan-kebijakan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional. 3. Komodifikasi

Komodifikasi artinya adalah sebuah proses merubah suatu barang/jasa yang tadinya adalah bagian/subyek dari aturan sosial non-pasar, menjadi subyek aturan pasar6. Dalam proses globalisasi dan privatisasi cenderung menjadikan air (dan pelayanan air) sebagai komoditi atau sebagai subyek aturan pasar tanpa mengindahkan aturan budaya tradisional. Contohnya, adalah air minum dalam kemasan dalam berbagai bentuk (mineral water, flavored water, glacier water, dll). Dan belakangan ini, penjualan air minum dalam kemasan ini makin meningkat. Akibatnya, makin banyak pengusaha yang tertarik untuk berbisnis ini dan mengekspor air untuk tujuan komersial. 4. Air Sebagai Barang Sosial (Social Good)

6 Gleick, P.H., G. Wolff, E. L. Chalecki, R. Reyes. 2002. The New Economy of Water: The Risk and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water. Pacific Institute. February 2002

Page 6: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

6

Adapun yang dimaksud dengan barang sosial (social good), biasanya adalah suatu benda yang berguna bagi tidak hanya individu, tapi juga penting bagi kehidupan masyarakat. Tersedianya air bersih secara luas dan terjangkau adalah vital bagi kelangsungan hidup seluruh mahluk hidup di muka bumi. Karenanya, air adalah barang sosial. Oleh sebab itu, saluran air merupakan bentuk infrastruktur yang pada zaman dahulu pertama kali dibuat sebagai bentuk pelayanan masyarakat, bahkan sebelum adanya listrik, sanitasi, atau bentuk-bentuk pelayanan publik lainnya. Karena akses terhadap air bersih adalah fundamental bagi kelangsungan hidup, termasuk sebagai sarana untuk mengurangi berbagai penyakit (UN 1997), maka akses ini harus dijamin oleh negara dan pengelolaannya haruslah ditangan publik/pemerintah. Sebab, banyak aspek yang harus diperhatikan dan dijaga dalam pengelolaan sumberdaya air dan pelayanan air bersih, seperti kesehatan masyarakat, keberlanjutan, menjaga dari kerusakan lingkungan, dll. Sedangkan jika tanggung jawab ini diserahkan ke swasta, belum tentu aspek-aspek penting tersebut akan diperhatikan, karena tidak akan menghasilkan keuntungan bagi mereka. 5. Air Sebagai Barang Ekonomi

Air didefinisikan sebagai barang ekonomi (economic good) bermula dari adanya kelangkaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Jadi pada awal tahun 1990-an, berkembang pemikiran bahwa perlu dibuat kebijakan-kebijakan baru untuk mengatasi hal ini, dengan menggunakan model-model ekonomi neo-liberal. Hasilnya, pada saat berlangsungnya International Conference on Water and Environment di Dublin, Irlandia pada bulan Januari 1992, dikeluarkanlah empat butir prinsip yang kemudian dikenal sebagai “Dublin Principles”, yang salah satunya berbunyi: “Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good” (“Air mempunyai nilai ekonomi dalam seluruh kegunaannya dalam berkompetisi sehingga haruslah dikenal sebagai barang ekonomi”)7 Dari keempat butir prisip yang dikeluarkan, butir inilah yang paling banyak menimbulkan perdebatan dan penolakan. Alasannya, tentu saja karena air adalah esensial untuk kehidupan. Memperlakukan air sebagai komoditi yang harus tunduk pada aturan-aturan pasar dapat menyebabkan mereka yang tidak mampu membayar atau kaum miskin tidak bisa mendapatkan air bersih. Lalu, apa artinya bahwa air harus dikenal sebagai barang ekonomi? Artinya, bahwa air mempunyai nilai untuk diperdagangkan/berkompetisi. Mengelola air sebagai barang ekonomi, dapat diartikan bahwa air akan dialokasikan untuk keperluan berkompetisi dengan cara memaksimalkan keuntungan yang bisa didapat dari sejumlah air.8

C. PRIVATISASI AIR: PERAN WORLD BANK, IMF DAN WTO

1. Kenapa Privatisasi?

7 International Conference on Water and the Environment (ICWE). 1992. The Dublin Principles. Bisa

dilihat di http://www.wmo.ch/web/homs/icwedece.html 8 Briscoe, J. 1996. “Water as an Economic Good: The idea and what it means in practice.” Sebuah paper

yang dipresentasikan di World Congress of the International Commission on Irrigation and Drainage, Kairo, Mesir, September 1996. Terdapat di http://www-esd.worldbank.org

Page 7: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

7

a. Perubahan Paradigma dari Publik ke Privat

Seperti yang sudah disinggung diatas, keseluruhan fenomena terjadinya privatisasi diseluruh dunia, tidak terlepas dari adanya peran yang besar dari IMF, World Bank, dan juga untuk wilayah Asia termasuk Indonesia, peran ADB. Melalui kebijakan-kebijakan yang mengacu pada prinsip-prinsip Washington Consensus9, seperti pengurangan subsidi, liberalisasi pasar, privatisasi dan deregulasi, menyebabkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, air dan listrik menjadi berkurang. Tapi trend privatisasi atau mendukung sektor swasta yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut, baru membahana di awal-awal tahun 1990-an. Sebelumnya, jika kita melihat ke belakang, antara tahun 1960-an sampai 1980-an proyek-proyek pinjaman Bank Duniadi sektor air ke negara-negara berkembang adalah untuk pembangunan dan pengembangan perusahaan-perusahaan publik. Pada masa itu, fokus pinjamannnya adalah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur besar, karena pada masa itu, para pakar ekonomi dunia masih menganut faham ekonomi yang percaya bahwa investasi di perusahaan-perusahaan publik (BUMN seperti PDAM) dan proyek-proyek infrastruktur dapat memacu pembangunan. Teorinya, BUMN/Perusahaan publik merupakan bentuk monopoli natural yang jika dibarengi dengan stabilitas fiskal dan investasi, merupakan jurus jitu untuk memacu pembangunan. Namun kemudian paradigma ini berubah pada awal 1990-an. Kenapa? Karena, pertama, perusahaan publik dianggap tidak dapat dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Dalam salah satu working paper-nya, Bank Duniamenyatakan bahwa monopoli sektor publik dalam pelayanan publik hasilnya mengecewakan. Perusahaan publik dianggap cenderung gagal dalam mengembangkan jasa pelayanannya seiring dengan adanya pertambahan permintaan (public demand) yang pesat. Kedua, perusahaan-perusahaan raksasa dunia (TNCs) melihat bahwa prospek untuk berbisnis air sangat menguntungkan sehingga mereka meningkatkan upaya mereka untuk dapat menguasai bisnis air di seluruh dunia. Dengan keluarnya empat prinsip dasar dalam Dublin Principles pada tahun 1992, termasuk konsep air sebagai barang ekonomi, sejak itu, konsep tersebut dipakai untuk meninggalkan cara-cara lama dimana pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pelayanan air/sumberdaya air dan membuat berbagai upaya dan kebijakan supaya peran tersebut dialihkan ke swasta. Trend yang mengarah pada privatisasi ini, sangat jelas terlihat pada negara-negara berkembang, dimana mereka harus tunduk pada kebijakan, program restrukturisasi (Adjustment Program) dan syarat-syarat yang diberikan oleh Bank Duniadan IMF. Sebuah penelitian secara random terhadap program bantuan IMF di 40 negara pada tahun 2000 menunjukkan bahwa dalam perjanjian pinjaman (LoI) IMF dengan negara-negara tersebut, ada 12 negara yang salah satu loan conditionalities-nya adalah privatisasi sumber daya air dan cost recovery (Grosky, 2001). b. Adanya Regim Perdagangan Bebas

9Sebuah istilah yang diluncurkan oleh ekonom Amerika John Williamson pada tahun 1989 yang menganut

model ekonomi yang berakar pada pemikiran bahwa sistim ekonomi pasar liberal merupakan satu-satunya model ekonomi yang paling pantas di dunia ini. Ada 10 butir ajaran yg dikeluarkan oleh Washington Consensus (dikenal dengan istilah 10 commandments) yang pada prinsipnya adalah privatisasi perusahaan-perusahaan publik/BUMN, mengurangi defisit negara dan pajak

Page 8: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

8

Di era globalisasi ini, privatisasi sudah menjadi ‘resep’ perbaikan pengelolaan sumber daya air yang didorong oleh IMF dan Bank Duniamelalui syarat-syarat pinjaman structural. Belakangan ini, juga sudah menjadi agenda bersama antara IMF, Bank Duniadan WTO dalam men-mainstream-kan liberalisasi perdagangan ke dalam pembangunan. Contohnya, antara tahun 1997-2001 paling tidak ada 36 negara yang setuju untuk tunduk pada WTO atau berkomitmen untuk mempercepat pengimplementasian aturan-aturan WTO, baik secara tertulis dalam Program Pengentasan Kemiskinan IMF (PRSP) atau sebagai syarat dalam perjanjian dengan IMF.10 Namun, aturan-aturan mengenai perdagangan internasional yang dibuat oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serba kompleks dan kadang malah bertentangan. Banyak pula yang kemudian menjadi isu yang kontroversial karena berimplikasi pada kerusakan lingkungan, masyarakat sipil, dan ekonomi lokal. Salah satunya yang sangat berimplikasi terhadap sektor air adalah GATS (General Agreement on Trade in Services). Dalam GATS, negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia, terikat dalam komitmen program “Liberalisasi progresif dalam semua jasa pelayanan” termasuk pelayanan dasar seperti air. Walaupun sebenarnya aturan GATS tidak secara spesifik mengharuskan anggotanya untuk memprivatisasi pelayanan publik, tapi di dalamnya terdapat aturan-aturan yang menciptakan kondisi untuk terjadinya deregulasi dan privatisasi. Contohnya, salah satu aturan GATS dalam ‘regulasi domestik’ memperbolehkan sebuah negara untuk menantang hukum, kebijakan dan program suatu negara lainnya jika dianggap menghambat penjualan jasa pelayanan. Akibatnya, hukum/aturan yang memproteksi sistem pelayanan publik di negaranya dapat digugat sebagai hambatan perdagangan jasa pelayanan (trade in services) antar wilayah. Peraturan ini berlaku untuk semua level pemerintahan, baik di tingkat nasional, regional, maupun daerah. 2. Bentuk-bentuk Privatisasi Privatisasi bentuknya bisa bermacam-macam, dari yang sifatnya hanya sebagian dialihkan ke swasta, sampai pada bentuk privatisasi dimana peran, tanggung jawab, bahkan kepemilikan pemerintah sama sekali dihilangkan. Cara memilah-milahnyanya pun bemacam-macam, tergantung pada bagaimana pengaturannya, bentuk kontrak dan modelnya. Perlu ditekankan disini, bahwa bagaimanapun bentuknya, bahkan jika kepemilikan/ownership-nya masih ditangan pemerintah dan swasta hanya mengelola saja, semuanya adalah bentuk PRIVATISASI.11 Umumnya, istilah privatisasi menjadi perdebatan karena orang mengasosiasikannya dengan kepemilikan. Jika sudah terjadi divestasi atau penjualan aset negara secara penuh, baru dikatakan sebagai privatisasi. Padahal, walaupun aset tersebut masih milik negara dan yang dialihkan hanyalah tugas-tugasnya/ pengelolaannya, tetap merupakan bentuk privatisasi. Namun, banyak pihak seperti Bank Duniayang kemudian lebih suka untuk menggunakan istilah lain jika suatu aset/perusahaan status kepemilikannya masih milik negara. Istilah yang kemudian dipopulerkan adalah Private Sektor Participation (PSP – Partisipasi Sektor Swasta) atau Public

10 Mehta, Lyla dan Birgit La Cour Madsen, 2003. Is the WTO After your Water?: The General Agreement

on Trade and Services (GATS) and the Basic Right to Water. Intitute of Development Studies, University of Sussex, August 2003.

11 Ini perlu ditekankan karena banyak sekali terjadi kesalahan pengertian dan informasi mengenai bentuk apa yang disebut dengan privatisasi. Bahkan dikalangan DPR dan pemerintah kitapun masih banyak yang salah mengerti. Pengertian dan definisi dari privatisasi ini adalah berdasarkan beberapa referensi. Diantaranya Gleick et al. 2002, Grusky. 2002

Page 9: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

9

Private Partnership (PPP – Kemitraan Publik dan Swasta). Juga, karena masalah mengenai privatisasi pelayanan dasar seperti air menimbulkan banyak perdebatan dan pertentangan dimana-mana, apalagi jika sampai sebuah sumberdaya air kepemilikannya ada di tangan swasta (private ownership), maka model yang dipromosikan saat ini adalah PSP dan PPP. Dari hasil kajian yang dikeluarkan oleh Pacific Institute – AS, berikut adalah fungsi-fungsi sistem jasa air yang dapat diprivatisasi:

1. Perencanaan pengembangan modal dan penganggaran (termasuk konservasi air dan isu-isu reklamasi sistim pembuangan air)

2. Pendanaan pengembangan modal 3. Disain dari pengembangan modal 4. Konstruksi dari pengembangan modal 5. Pengoperasian dan fasilitas 6. Pemeliharaan fasilitas 7. Keputusan mengenai harga (pricing) 8. Manajemen tagihan (billing) dan pengumpulan pendapatan 9. Manajemen pembayaran terhadap pekerja atau kontraktor 10. Manajemen finansial dan resiko 11. Establishment, monitoring and enforcement dari kualitas air dan standar-standar pelayanan

lainnya Model-model privatisasi/PSP/PPP yang ada, tercipta dari hasil kombinasi fungsi-fungsi diatas. Model yang biasanya tercipta adalah: a. Kontrak Pelayanan dan Leasing/Kontra Sewa

Pada model ini, perusahaan publik pengelola air bersih (kalau di Indonesia PDAM) memberikan tanggung jawab kepada swasta untuk kegiatan-kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan, kontrak pelayanan umum, atau manajemen fasilitas yg di kontrak-sewakan. Biasanya kontrak-sewa seperti ini berjangka waktu 10-15 tahun atau lebih dan perusahaan swasta tersebut memperoleh bagian dari pengumpulan pendapatan yang berasal dari tagihan pembayaran (Panos, 1998).

b. Model Konsesi

Model konsesi ada bermacam-macam. Pada model full-konsesi, tanggung jawab pengoperasian dan manajemen pada seluruh system pengelolaan air dialihkan ke swasta. Di dalam kontraknya, termasuk disebutkan mengenai perincian untuk risk allocation dan keperluan investasi. Kontrak konsesi biasanya berjangka waktu cukup lama, dari 25-50 tahun. Variasi dari konsesi adalah Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Operate-Train-Transfer (BOTT), Build-Own-Operate-Transfer (BOOT), Rehabilitate-Operate Transfer (ROT), dan Build-Operate-Own (BOO). Pengaturan seperti ini, kadang dinggap sebagai “konsesi sebagian” (partial concession) karena tanggung jawab yang diserahkan pada perusahaan swasta, hanya pada porsi tertentu. Kepemilikan terhadap fasilitas modal akan diserahkan kembali ke pemerintah setelah masa kontrak habis.

Page 10: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

10

Gambar 1 Tipe-tipe Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Publik dan/atau Swasta

Sumber: Gleick, et al. (2002) c. Bisnis swasta penuh dan Pengusaha kecil

Pada model ini, dimana sebuah perusahaan swasta - kecil maupun besar – memegang penuh bisnis manajemen dan supply air bersih, segala macam regulasi untuk memproteksi “barang publik” seperti hak atas air dan pemeliharaan lingkungan dapat terabaikan sama sekali. Bisnis swasta seperti ini biasanya ditemukan jika perusahaan penyedia jasa air yang ada (sebut saja PAM/PDAM) kualitasnya jelek atau tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Airnya mereka ambil langsung dari PAM, atau secara tidak langsung dari pelanggan PAM, atau dari sumber-sumber air yang sudah mereka kuasai/privatisasi. Celakanya, bisnis swasta seperti ini biasanya beroperasi pada daerah pinggiran atau daerah miskin dimana akses terhadap air susah. Ada banyak studi yang menunjukkan bahwa banyak rakyat miskin di dunia ini yang seringkali harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan air bersih dari supplier swasta seperti ini (biasanya disebut private vendors) ketimbang jika mereka punya akses ke sarana PAM yang layak.

Namun, model atau bentuk manapun yang digunakan, perlu diingat bahwa pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa bisnis swasta, bagaimanapun mereka mencoba untuk bertanggung jawab dalam menjalankan bisnis mereka, tidak didisain untuk menyediakan pelayanan publik atas dasar persamaan dan keadilan.

swasta

Mix

publik

Manajem

en Aset

Publik

Mix

Swasta

Public Water PLC

Joint Venture

Private Water PLC

Corporatized Utility

Kecamatan Kabupaten

Tipe manajemen publik

Konsesi

BOT, BOOT, dsb Lease Contract

Kontrak manajemen

Kontrak servis

Manajemen swasta

Kepemilikan Aset

Public-Private Partnership

Tipe-tipe

Asosiasi Pengguna Air

WUA

Page 11: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

11

2. Pemain-pemain Korporasi

Di tingkat internasional, terdapat industri global yang berspesialisasi di bisnis air. Ada dua perusahaan raksasa yang mendominasi disini, dua-duanya milik Perancis, yaitu Vivendi Universal dan ONDEO-Suez (dulu bernama Suez Lyonnaise des Eaux, yang sekarang menguasai setengah pelayanan air bersih di Jakarta). Kedua perusahaan ini memiliki bisnis air di 120 negara, dimana masing-masing menyatakan bahwa mereka melayani kebutuhan air bersih kepada kira-kira 100 juta orang.12 Korporasi-korporasi besar lainnya yang menguasai industri air dunia diantaranya adalah Thames Water dari Inggris yang telah dibeli oleh RWE - Jerman, United Utilities - Inggris, Bechtel - AS, dll (lihat Table 2). Dan ternyata, banyak dari korporasi-korporasi besar ini yang saling berhubungan. Seperti misalnya, pada tahun 1999, Vivendi membeli US Filter Corporation, United Utilities dari Inggris mempunyai joint ventures dengan Bechtel, dan United Water Resources dari AS sebagian sahamnya dimiliki oleh Suez.

Tabel 2 Daftar Korporasi Paling atas Dalam Industri Air

Korporasi Anak Perusahaan Negara Pendapatan

2001 (milyar dolar)

Laba 2001 (milyar dolar)

Pendapatan dari Air 2001 (milyar dolar)

Vivendi Universal

Vivendi Water Perancis 51.7 -1.02 11.90

Suez ONDEO Perancis 37.2 1.80 8.84 RWE Thames Jerman 55.5 1.11 2.8 Bouyguez SAUR Perancis 17.9 0.301 2.18 United Utilities

United Utilities Water

Inggris 2.7 0.467 1.35

Severn Trent Inggris 2.6 0.307 1.28 AWG plc Anglian Water Inggris 2.6 0.195 1.03 Kelda Yorkshire Water Inggris 1.1 0.231 0.8 Bechtel International Water AS/Inggris 15.1

Sumber: Polaris Institute, Global Water Grab Jakarta, adalah termasuk kota yang berhasil dikuasai oleh dua dari korporasi-korporasi penguasa air tersebut, yaitu oleh ONDEO-Suez dan Thames Water. Melalui cara-cara yang sarat dengan KKN (baca box 1) , keduanya berhasil mendapatkan kontrak konsesi masing-masing selama 25 tahun untuk pelayanan air bersih kota Jakarta. Batam merupakan satu lagi kota di Indonesia yang telah berhasil diprivatisasi. Yaitu oleh Biwater dari Inggris yang juga mendapatkan konsesi selama 25 tahun.13 Selain itu ada Cascal BV di Pakanbaru dan DWB di Manado.

Box 1 Privatisasi PAM JAYA yang sarat KKN

Jakarta, sebagai ibukota negara Indonesia adalah kota yang paling padat penduduknya yang terletak di pulau yang juga paling padat yaitu pulau Jawa. Dari tahun-ke tahun, penduduk Jakarta makin bertambah saja. Tapi pertambahan penduduk Jakarta, tidak dibarengi dengan penambahan sarana infrastruktur kota.

12 Barlow, M. 1999. Blue Gold: The Global Water Crisis and the Commodification of the World’s Water

Supply. International Forum on Globalization 13 Ardhianie, Nila. 2003. Membeli Air pada Swasta Asing. INFOG

Page 12: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

12

Salah satu yang terpenting, dari hasil survey yang dilakukan pada tahun 1994, ternyata hanya ada 42,6% rumahtangga di Jakarta yang mempunyai akses ke air bersih / pipa. Sehingga, 53% penduduk harus menggunakan air tanah (groundwater) untuk minum, dan 70% menggunakan airtanah untuk cuci dan mandi (karena kualitas airtanah di beberapa area Jakarta tidak memungkinkan untuk diminum). Karena keadaan diatas, pada tahun 1991 Bank Duniamenawarkan pinjaman sebesar 92 juta USD kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastrukturnya. Tujuannya, agar PAM Jaya menjadi lebih menarik bagi investor dan layak untuk diprivatisasi. Pinjaman ini dibarengi dengan pinjaman dari Pemerintah Jepang melalui OECF untuk membangun water purification plant di Pulogadung, Jakarta Timur. Begitu pinjaman diberikan, langsung saja dua perusahaan air raksasa, yaitu Thames Water Overseas Ltd. dan perusahaan Perancis Suez berebut untuk menguasai sistim air Jakarta. Pada tahun 1993, Thames beraliansi dengan Sigit Harjojudanto, anak dari Presiden Soeharto. Sedangkan Suez, langsung mendekati Anthony Salim, seorang konglomerat yang merupakan kroni Soeharto. Akhirnya pelayanan air Jakarta dibagi dua dan masing-masing perusahaan mendapatkan porsi yang sama. Kemudian, atas permintaan Thames dan Suez, pada tahun 1995, Presiden Soeharto memberikan perintah kepada menteri pekerjaan umum waktu itu untuk memprivatisasi PAM Jaya. Pada tahun 1997, PAM Jaya dan kedua perusahaan tersebut menandatangani sebuah kontrak konsesi berjangka waktu 25 tahun. Baik Suez maupun mendirikan perusahaan lokal dengan partner Indonesia mereka, dengan Thames memegang 80% saham atas perusahaannya dengan Sigit, dan Salim Group memberikan 40% sahamnya kepada Suez.. Dalam kontrak tersebut, seluruh sistim pelayanan air Jakarta diberikan kepada kedua perusahaan tersebut, yaitu supply air bersih, treatment plants, system distribusi, pencatatan dan penagihan, juga bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya. Imbalannya, kedua perusahaan swasta tersebut setuju untuk membayar utang PAM Jaya sebesar 231 juta USD. Tapi kemudian, dengan terjadinya demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan jatuhnya kepemimpinan Soeharto, pemerintah Indonesia mencoba untuk membatalkan kontrak tersebut. Namun gagal karena diancam tuntutan hokum oleh Thames dan Suez. Akhirnya kontrak direnegosiasi dan berakhir dengan Thames dan Suez masing-masing memegang 95% saham dan mereka mendirikan dua perusahaan baru yaitu PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya. 4. Kebijakan Air Bank Dunia

Seperti yang tadi sudah dikatakan, Bank Duniamempunyai peran yang sangat besar dalam sektor sumberdaya air. Dan bukan hanya peran, tapi juga kekuasaan. Peran dan kekuasaan tesebut diperoleh melalui kebijakan-kebijakan dan persyaratan-persyaratan yang menyertai pinjaman yang mereka berikan, yang sayangnya, sangat mendorong terjadinya privatisasi air di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Melalui program PSP dan PPP, dan dengan alasan untuk mengurangi kemiskinan dan agar dapat mencapai target Milenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, Bank Duniadengan giatnya mendorong agar pemerintah negara-negara bekembang untuk mengecilkan peran mereka dalam hal pelayanan publik dan mengalihkannya ke pihak swasta. Usaha untuk memperbesar peran swasta ini nampak jika kita melihat urut-urutan kebijakan Bank Duniayang menyangkut sektor sumberdaya air. Nah, sebenarnya, keterlibatan Bank Duniadalam sektor air sudah mulai sejak awal-awal IBRD didirikan, jika dilihat dari banyaknya jumlah proyek-proyek World untuk mendanai sektor air sejak dulu yang sudah berjumlah 1044 proyek. Namun, kebijakan mereka untuk sektor air baru keluar pada tahun 1993 yang dinamakan “Water Resource Management Policy” yang penyusunannya membutuhkan waktu tiga tahun. Kebijakan dalam Manajemen Sumber Daya Air ini, menurut World Bank, merefleksikan kesepakatan-kesepakatan dalam Rio Earth Summit/ KTT Bumi di Rio tahun 1992, dan juga Dublin Principles.

Page 13: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

13

Fungsi dari kebijakan ini adalah, satu, untuk mendorong reformasi dalam hal kebijakan, perencanaan, dan manajemen institusi pengelola sumberdaya air di negara-negara peminjam. Dua, sebagai panduan bagi Bank Dunia sendiri untuk membantu negara-negara peminjamnya dalam hal menciptakan upaya-upaya reformasi tersebut dan alat-alat untuk mengim-plementasikannya. Kebijakan tersebut berfokus pada tiga tema sentral, yaitu: 1) kerangka kerja dengan menggunakan analisa yang komprehensif untuk dapat mengidentifikasikan prioritas apa yang diperlukan (perencanaan holistik); 2) sistem institusional dan sistem peraturan/perundang-undangan yang didukung oleh legislatif yang dapat menunjang terjadinya perubahan (dengan penekanan pada desentralisasi dan partisipasi); dan 3) masalah financial cost dan opportunity costs dari air dan kegunaannya dalam berkompetisi (sebagai barang ekonomi). Sebuah matriks rekomendasi dari kebijakan tersebut, yang disebut dengan Water Policy Matrix of Recommended Reforms, dapat dilihat dalam Annex 1. Sejak berlakunya kebijakan tersebut, pinjaman-pinjaman Bank Dunia di sektor air meningkat. Saat ini outstanding commitments Bank Duniauntuk proyek-proyek air adalah sebanyak US$ 17 milyar. Dari tahun 1993 sampai 2001, sekitar 17 persen dari pinjaman Bank Dunia adalah untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan sumberdaya air, seperti proyek water supply dan sanitasi, irigasi dana sistem pembuangan, pembangkit tenaga air dan komponen manajemen sumberdaya air.14 Kini, sepuluh tahun sudah Bank Dunia mengimplementasikan dublin principles dalam kebijakan sektor airnya. Tahun 2003 ini, Bank Duniakemudian mengeluarkan strateginya untuk sektor sumberdaya air (Water Resources Sektor Strategy). Karena walaupun prinsip-prinsip Dublin tersebut menurut Bank Dunia tetap kuat, sesuai dan relevan sampai sekarang, namun dari hasil review negara-negara industrialisasi (OECD) menunjukkan bahwa perkembangan pengimple-mentasiannya masih sulit dan lamban. Juga, review Operation and Evaluation Department (OED) menyimpulkan bahwa tantangan terhadap penerapan kebijakan air tahun 1993 adalah dalam mengembangkan pendekatan untuk spesifik konteks, prioritas, urutan, yang realistis dan “sabar” dalam pengimplementasiannya.15 Inti pesan yang ingin disampaikan oleh Water Resource Strategy ini adalah: Pertama, manajemen dan pembangunan sumber daya air adalah salah satu kunci dari pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Kedua, negara-negara berkembang harus aktif dalam hal pengelolaan dan pembangunan infrastruktur sumber daya air. Ketiga, tantangan dalam hal pengelolaan sumber daya air bukanlah pada visi pengelolaan sumberdaya air yang terintegrasi tapi pada pendekatan yang “pragmatis tapi berprinsip”. Maksudnya, adalah pendekatan yang tetap menghargai prinsip-prinsip efisiensi, keadilan dan keberlajutan, tapi sekaligus menyadari bahwa pengelolaan sumber daya air merupakan upaya politis sejalan dengan upaya reformasi ekonomi politik di negara-negara berkembang16.

14 Lihat di www.worldbank.org/water. Updated April 2003 15 World Bank. 2003. Water Resource Sektor Strategy: Startegic Directions for Bank DuniaEngangement.

February 2003 16 Usaha Bank Duniauntuk mereformasi sektor sumber daya air di negara-negara berkembang seperti di

Indonesia, yang diimplementasikan melalui WATSAL, adalah bagian dari usaha Bank Duniauntuk mendorong terjadinya reformasi ekonomi, perubahan fiscal dan reformasi politik menuju liberalisasi.

Page 14: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

14

Kemudian pesan yang keempat adalah, Bank Dunia perlu membantu negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur hidrolik (bendungan, kanal, tanggul, pipa air) dan dalam hal pemeliharaannya supaya dalam kondisi tetap baik, dengan cara mengusahakan public-private financing, sekaligus memenuhi standar-standar sosial dan lingkungan. Kelima, agar dapat menjadi mitra yang lebih efektif, Bank Dunia akan memperbaharui kontrak-kontrak infrastuktur hidrolik yang beresiko tinggi, dengan menggunakan model bisnis yang lebih efektif, dengan mengikutsertakan IFC.17 Pesan keenam, banyak yang merasa bahwa peran Bank Dunia di sektor air menghasilkan keuntungan komparatif, sehingga, makin banyak permintaan dari berbagai pihak, akan keterlibatan Bank Dunia di sektor sumber daya air. Artinya, jika Bank Dunia ingin tetap di anggap sebagai sebuah institusi yang kredibel, maka Bank Dunia harus menjadi mitra yang melayani secara penuh, baik dalam hal investasi maupun pengetahuan. Dan disini, Bank Dunia, termasuk didalamnya ‘perpanjangan tangan korporasi’ Bank Dunia untuk sektor bisnis dan pemberi jaminan asuransi yaitu IFC dan MIGA, memainkan peran penting dalam menarik investor swasta. Dan pesan yang terakhir, yang ketujuh adalah, bantuan Bank Dunika di setor air harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara juga konsisten dengan CAS (Country Assistance Strategy) dan PRSP (Poverty Reduction Startegy Paper) negara tersebut. Agenda bersama Bank Dunia dan IMF (TNCs?) Seperti yang sudah disebutkan diatas, Bank Duniadan IMF mempunyai peran penting dalam mendorong kebijakan privatisasi sumberdaya air ke negara-negara peminjamnya. Melalui program PSP dan PPP, Bank Duniadengan giatnya mendorong agar pemerintah negara-negara bekembang untuk mengecilkan peran mereka dalam hal pelayanan publik dan mengalihkannya ke pihak swasta. Jika menilik Kebijakan Bank Dunia tahun 1993 untuk sumber daya air dan strateginya yang baru mengenai pengelolaan sumber daya air, usaha pengalihan ke swasta tersebut jelas sekali terlihat. Dan negara-negara peminjam, dikondisikan untuk menerima kebijakan dan strategi tersebut. Contohnya, pendekatan “pragmatis tapi berprinsip” dalam strategi Bank Duniayang harus sejalan dengan upaya reformasi ekonomi di negara-negara berkembang. Reformasi ekonomi itu kita tahu, didorong ke arah kebijakan ekonomi ala Washington Consensus melalui syarat-syarat pinjaman IMF dan Bank Dunia. Dan keduanya merupakan institusi yang sangat kuat kekuasaannya. Seperti yang terjadi dengan Indonesia semenjak takluk dibawah kekuasaan program IMF pada saat kita terpuruk dalam krisis ekonomi 1997. Program reformasi ekonomi makro IMF mengharuskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan kerangka kerja kebijakan makro ekonomi yang didisain IMF. Jika pemerintah tidak melaksanakannya maka tidak hanya akan mempengaruhi pinjaman dari IMF saja, tapi juga dapat menghambat pinjaman dan bantuan dari lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya dan pinjaman bilateral. Apalagi forum kreditor bagi Indonesia yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) juga mengacu

17 Perbaharuan kontrak pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur hidrolik ini didasari pertimbangan

yang berasal dari pengalaman Bank Duniadimasa lalu. Yang selama ini terjadi, bagi negara-negara berkembang yang menginginkan investasi proyek-proyek infrastruktur besar, kadang terdapat keengganan dari Bank Duniauntuk membatu karena resikonya tinggi (resiko politik, ekonomi). Karena itu, Bank Duniakemudian mengembangkan model bisnis baru, yang lebih menguntungkan, dengan mengikutsertakan cabang bisnis dari World Bank, yaitu International Finance Corporation (IFC)

Page 15: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

15

pada program makro ekonomi IMF dan bergantung pada analisa dan rekomendasi Bank Dunia dalam memberikan bantuannya. Kemudian mengenai dua ‘perpanjangan tangan korporasi” Bank Duniayaitu International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) yang menyediakan pinjaman, garansi dan bantuan tehnis bagi korporasi-korporasi besar. IFC memberikan pinjaman dan garansi bagi perusahaan swasta yang berinvestasi pada pembangunan dan pengembangan prasarana dan infrastruktur yang mayoritas untuk bidang telekomunikasi dan sektor listrik. Baru-baru ini saja kemudian diberikan untuk infrastruktur air. Sebab, investasi di sektor air memerlukan reformasi kebijakan, relgulasi dan struktur institusional. Sehingga, kelompok Bank Dunia kemudian mendorong usaha reformasi tersebut, tidak hanya melalui syarat pinjaman seperti WATSAL, tapi juga melalui Private Sektor Advisory Services (PSAS) dan Foreign Investment Advisory Service (FIAS) yang memberikan jasa konsultansi bagi perusahaan swasta dan pemerintah dalam hal kebijakan, pengimplementasian transaksi, privatisasi, dan iklim investasi (Grusky, 2002). Sedangkan MIGA memberikan jaminan asuransi politik bagi investasi swasta. Belakangan ini, MIGA banyak membantu perusahaan air swasta dalam pencarian solusi untuk faktor-faktor resiko yang dapat menghambat pertumbuhan investasi mereka di sektor air. Nah, dalam starteginya unutk sektor air yang baru, Bank Dunia akan lebih meningkatkan keterlibatan IFC dan MIGA ini agar dapat menciptakan iklim yang lebih aman bagi investor. Lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut menyatakan bahwa misi mereka adalah untuk mengurangi kemiskinan dan mengatasi permasalahan sumberdaya air di seluruh dunia. Sedangkan para kritisi menyatakan bahwa kebijakan mereka hanyalah menguntungkan bagi korporasi-korporasi transnasional dan justru mengakibatkan jumlah kemiskinan bertambah dan sumberdaya air makin tercemar dan tereksploitasi. Tapi memang, jika kita melihat secara keseluruhan kebijakan ekonomi global yang sepenuhnya dimotori oleh lembaga-lembaga keuangan tersebut, kita bisa melihat benang merah dimana kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi terkait dengan kepentingan TNCs.18

D. PRIVATISASI AIR DI INDONESIA 1. WATSAL Sampai saat ini, sektor sumber daya air Indonesia diatur oleh UU No.11/1974 tentang Pengairan. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan adanya perubahan-perubahan yang cepat dalam tata kehidupan masyarakat, globalisasi, perubahan kebijakan ekonomi dan politik, dan desentralisasi, maka undang-undang 1974 tersebut sudah tidak memadai. Juga, terdapat aturan-aturan terkait lainnya yang juga menyangkut sumber daya air dan pengelolaannya, tapi tidak integratif dan koordinatif19. Maka, perlu ada kebijakan baru yang akomodatif terhadap

18 Grusky, S.2002. The IMF, the Bank Duniaand the Global Water Companies: A shared Agenda.

International Water Working Group dan Public Citizen’s Critical Mass Energy and Environment Program. 2002. Profit Streams: The Bank Dunia& Greedy Global Water Companies. Water for All. September 2002.

19 Misalnya UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 4/1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 22/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan

Page 16: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

16

perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi, juga terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Implikasinya, seluruh sektor sumber daya air di Indonesia harus direformasi/restrukturisasi. Dan hal inilah yang kemudian yang mendasari Bank Dunia untuk memberikan pinjaman restrukturisasi sektor sumber daya air (WATSAL). Melalui WATSAL, reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tentunya harus mencerminkan pandangan dan kebijakan Bank Dunia untuk sektor sumber daya air, seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya. Sehingga hasilnya, reformasi sumber daya air Indonesia yang dirancang oleh pemerintah kita (bisa dilihat di website Kimpraswil, www.kimpraswil.go.id) , didasari oleh paradigma baru sebagai berikut:

• Berwawasan Lingkungan: untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan • Perubahan Peran Pemerintah: dari yang tadinya berperan sebagai penyedia (provider)

berubah fungsi sebagai yang memungkinkan tersedianya air dan sumber air (enabler), atau lebih sebagai fasilitaor

• Desentralisasi Kewenangan: Pengelolaan SDA harus memperhatikan kewenangan daerah kabupaten, kota dan propinsi

• Hak Asasi Manusia: selama ini terjadi ketidak adilan distribusi air, dan setiap individu sebenarnya mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses terhadap air dan sumber air

• Demokratisasi: berubah dari pola pendekatan pembangunan top-down menjadi om-pola-pola pendekatan yang proporsional antara top-down dan bottom-up sehingga lebih efektif

• Globalisasi: paradigma baru yang mewarnai reformasi kebijakan sektor sumber daya air yang didukung oleh WATSAL untuk membuat UU baru mengenai SDA, menetapkan kebijakan air nasional dan pembentukan Dewan Air Nasional dan Daerah. Upaya reformasi ini selaras dengan isu-isu global mengenai Sumber Daya Air.

Dengan melihat paradigma diatas, jelas sekali bahwa reformasi ini sangat kental diwarnai oleh kebijakan dan syarat-syarat yang diberikan Bank Dunia melalui WATSAL. Dan kebijakan baru dengan dasar paradigma globalisasi tersebut, merupakan awal dari sebuah usaha untuk meliberalisasi dan memprivatisasi sektor sumber daya air Indonesia melalui konsep PPP dan PSP. 2. Latar Belakang Lahirnya WATSAL Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997 berdampak pada kolaps-nya kondisi makro ekonomi Indonesia dan defisit Neraca pembayaran. Kondisi ini, menyebabkan pemerintah Indonesia berserah diri pada program IMF dan melaksanakan kerangka kerja dan kebijakan makro ekonomi yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI) yang pertama kali ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1997 antara pemerintah kita kepada IMF. Pemerintah kita juga harus melakukan agenda reformasi kebijakan dan institusional berdasarkan: a) manajemen makro ekonomi; b) restrukturisasi finansial dan corporate sektor ; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d) reformasi institusi-institusi ekonomi. Strategi dan program untuk melaksanakan agenda diatas kemudian dimatangkan sepanjang tahun 1998 bekerjasama dengan Bank Dunia, ADB dan kreditor bilateral. Bank Dunia pun mengeluarkan pinjaman “Policy Reform Support Loan” (PRSL) sebesar US$ 1 milyar pada bulan Juni 1998, yang kemudian disusul dengan PRSL II sebesar US$ 500 juta, dimana terdapat rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia20, seperti yang tertera dalam Matrix of Policy Actions di PRSL II tersebut.

20 Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Air (Improve water resource management) yang terdapat dalam Matrix of Policy Reform – PRSL II, direncanakan implementasinya setelah Juni 1999, yang rencananya dibagi dalam dua

Page 17: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

17

Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul, oleh karena pada akhir tahun 1997, terdapat sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa Bank Dunia tidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut bagi sektor sumber daya air dan irigasi Indonesia, jika tidak ada perombakan/reformasi secara besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunya perombakan ini, sebelumnya juga sudah diidentifikasi oleh Bank Duniadan ADB pada saat terjadi dialog sektoral antar departemen yang diadakan oleh BAPPENAS dalam rangka penyusunan Repelita VII. Karena itu, dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, Bank Duniamenawarkan pada pemerintah Indonesia, sebuah pinjaman program untuk merestrukturisasi sektor sumber daya air Indonesia, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini, menjadi bagian dari keseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan makro ekonomi Indonesia yang sifatnya “quick disburse” supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran, seperti juga yang tertera dalam dokumen Country Assistance Strategy (CAS) Progress Report21 untuk Indonesia, bulan Juni 1999. Penawaran ini diterima oleh pemerintah Indonesia, dan Bappenas pun kemudian dengan segera membentuk sebuah tim khusus yang terdiri dari orang-orang pemerintah dan NGO untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama-sama dengan staf Bank Dunia. Tim ini, melalui Keputusan Menteri tanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources Sektor Policy), dibawah Bappenas dan Kimpraswil. Tim ini, yang lebih dikenal sebagai WATSAL Task Force/Kelompok Kerja WATSAL, kemudian bersama-sama dengan Dirjen-dirjen terkait dan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air22, menandatangani Letter of Sektor Policy yang didalamnya terdapat Matriks kebijakan yang disusun oleh kelompok kerja WATSAL. Selain itu, kelompok kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi tahapan-tahapan proses dan time-frame dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam Matriks Kebijakan. Rencana ini diserahkan ke Bank Dunia pada tanggal 29 Maret 1999, sebagai panduan mereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi. Akhirnya, Loan Agreement sebesar US$ 300 juta akhirnya ditandatangani pada tanggal 28 Mei 1999, dengan jangka waktu pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun. Pencairan pinjaman dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dicairkan pada bulan Mei 1999 sebesar US$ 50 juta. Tahap kedua sebesar US$ 100 juta, yang semula direncanakan untuk dicairkan pada akhir 1999, ternyata baru bisa cair pada bulan Desember 2001, karena pada masa itu terjadi pergolakan politik dan pergantian pemerintahan Indonesia. Sedangkan agenda WATSAL tahap ketiga sebagian besar saat ini masih dalam proses, termasuk diantaranya agar Indonesia segera mensahkan RUU Sumber Daya Air yang baru.

bagian yaitu, satu, memformulasikan kebijakan sumber daya air nasional dan rencana implementasinya; dan kedua, mendirikan sebuah badan nasional yang akan menyusun kebijakan tersebut, berikut penuntun dan perencanaan startegisnya.

21 Dokumen CAS Progress Report ini merupakan hasil revisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Juni 1997, karena situasi politik dan ekonomi Indonesia akibat krisis ekonomi 1997.

22 Tim koordinasi ini dibentuk atas dasar pertimbangan bahwa perlu ada koordinasi antar departemen untuk pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan untuk persetujuan WATSAL. Karena itu dibentuklah Tim Koordinasi terdiri dari sepuluh kementerian untuk “Kebijakan untuk Pemanfaatan Sungai dan DAS yang Efisien dan Berkelanjutan” berdasarkan Keppres No.9/Januari 1999. Tim Koordinasi ini diketuai oleh Menko Perekonomian, wakil ketua adalah Meneg PPN/Kepala Bappenas, dan Ketua Hariannya adalah Menteri Kimpraswil. Sebagai anggota adalah Mendagri, Mentan, Menhut, Menhub, MenESDM, MenKP, Menkes, Memperindag, Menkeu, MenLH.

Page 18: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

18

Prinsip-prinsip yang ada dalam WATSAL yang harus diadopsi oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-undang baru mengenai sumber daya air dan kerangka kerja implementasinya adalah23:

• Memperkenalkan konsep hak guna air untuk alokasi air permukaan dan tanah dan untuk penggunaan air yang kondusif

• Menigkatkan efisisensi terhadap penggunaan air, terutama untuk irigasi • Memfasilitasi hubungan antara alokasi dan penggunaan air permukaan dan tanah melalui

mekanisme sertifikat yang seragam • Mengusahakan pencapaian kualitas air permukaan dan tanah yang kondusif dengan

pembangunan sosial-ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, juga kompatibel dengan hak guna tanah dan perencanaan DAS (Daerah Aliran Sungai)

• Membangun institusi-institusi pengelolaan DAS yang partisipatif dan transparan • Menguatkan mekanisme-mekanisme penunjang pengelolaan dan pendanaan berbasis

masyarakat untuk jaringan irigasi, pelayanan air di tingkat kecamatan/kotamadya, sanitasi dan sistim pembuangan air.

• Membentuk sistim perencanaan, programming dan anggaran untuk keperluan investasi dan manajemen pembangunan sumber daya air yang terdesentralisasi

• Membangun struktur regulator untuk pengelolaan tingkat daerah untuk menunjang pengimplementasian pengelolaan DAS yang terintegrasi melalui unit DAS propinsi, dan jika feasible, usaha corpotarized self-financing dibawah Pemda.

• Mendorong prinsip kontribusi yang saling menguntungkan terhadap biaya pelayanan publik air bersih dan irigasi dan prinsip “Poluter Pays” atau “yang membuat polusi harus membayar” untuk biaya yang ditimbulkan karena terjadi polusi air

• Memperbaiki peraturan-peraturan dan kerangka kerja untuk partisipasi swasta (PPP) dalam sektor sumber daya air dan pengelolaan kualitas air, termasuk manajemen irigasi melalui konsesi investasi, pengoperasian dan pemeliharaan.

• Meningkatkan koordinasi antara kehutanan, pertanian, konservasi dan aktivitas sektor publik dan swasta dalam sumber daya air

• Membuat kebijakan-kebijakan spesifik mengenai konservasi lahan basah yang berkelanjutan dan pembangunan daerah rawa.

3. Program Pemerintah Tindak Lanjut WATSAL

Sebagai tindak lanjut dari agenda WATSAL diatas, pemerintah Indonesia kemudian menyusun agenda implementasi, yang direncanakan dan diimplementasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air. Agenda pemerintah tersebut adalah sebagai berikut (Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA 2004):

• Pembentukan Badan Air Nasional atau Badan Koordinasi di tingkat Menteri • Kebijakan Nasional mengenai Sumber Daya Air beserta instrumen-instrumen penunjang

lainnya yang diperlukan untuk implementasi kebijakan • Mereformasi Perum Jatiluhur (Jasa Tirta II) dan mendirikan empat badan usaha baru

untuk pengelolaan DAS untuk sungai Bengawan Solo, Jeneberang, Jratunseluna dan Serayu-Bogowonto

• Membentuk Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, Dewan Sumber Daya Air Propinsi dan Unit Hidrologi untuk wilayah sungai di delapan propinsi

• Adanya representasi stakeholders pada Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai dan Dewan Sumber Daya Air Propinsi

23 Document of the World Bank, 1999. Report and Recommendation of the President of the International

Bank for Reconstruction and Development to the Executive Directors on a Proposed Water Resources Sektor Adjustment Loan in the Amount of US$300 Million to the Republic of Indonesia, April 23, 1999

Page 19: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

19

• Perbaikan kerangka organisasi, keuangan dan pengelolaan untuk pengusahaan pengelolaan wilayah sungai yang sesuai dengan peraturan otonomi daerah dan mampu mandiri dalam pembiayaan

• Pembentukan sistim hak guna air untuk alokasi air permukaan dan air tanah dan perbaikan pengaturan badan usaha melalui iuran pelayanan air dan iuran pembuangan air limbah dalam rangka manajemen kualitas air

• Pembentukan kerangka untuk penyerahan kewenangan pengelolaan berdasarkan Pembaharuan Kebijakan pengelolaan Irigasi (PKPI) yang menunjang kegiatan Perkumpulan Petani Pemakai Air - P3A (Water User Association - WUA) dan Gabungan P3A dan kewenangan pembiayaan dalam rangka pengelolaan jaringan irigasi

• Mereformasi administrasi lembaga pengelola irigasi di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam rangka penyerahan kewenangan pada P3A/GP3A, dan mengubah kerangka pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan irigasi oleh P3A/GP3A dengan hak penuh untuk mengumpulan iuran pengelolaan irigasi di seluruh daerah irigasi

• Membangun Sistim Informasi dan database Pengelolaan Sumber Daya Air Nasional Poin-poin reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi yang tertera diatas, sudah mencakup paradigma yang diinginkan WATSAL. Dan sudah membuka pintu masuk bagi sektor swasta unutk menjadi mitra pemerintah sesuai dengan konsep Bank Dunia untuk PPP dan PSP, dengan cara melihat air sebagai barang ekonomi. Poin-poin inilah yang dituangkan ke dalam pasal-pasal RUU-SDA yang baru. Dan pasal-pasal RUU tersebut, selain menjadikan air sebagai barang ekonomi yang dapat diperdagangkan dan memperbesar peran swasta, juga berpotensi untuk memicu tejadinya konflik air yang seharusnya dicegah oleh UU ini. Juga, menurut beberapa ahli, RUU ini belum menjamin akses rakyat terhadap air bersih dan tidak memberikan perlindungan kepada rakyak kecil, belum menjamin keberlanjutan sumber daya air, dan pelestarian lingkungan. Karena itulah RUU-SDA yang masih dalam pembahasan DPR ini menjadi perdebatan berbagai kalangan. 4. Isu Krusial dan Resiko: Bisa dan Siapkah Kita? a. Water Rights atau Hak Guna Air Isu yang paling penting untuk diperhatikan dari poin-poin reformasi SDA diatas adalah mengenai konsep hak guna air (water rights) untuk alokasi air permukaan dan air tanah yang diperkenalkan BankDunia. Hak Guna Air dalam RUU dibagi menjadi dua, yaitu hak guna pakai dan hak guna usaha. Hak Guna Pakai adalah untuk penggunaan keperluan sehari-hari. Sedangkan Hak Guna Usaha adalah hak guna air untuk memenuhi tujuan komersial dan/atau kebutuhan usaha.. Di Indonesia, konsep ini nantinya akan mirip dengan “land rights” atau hak sertifikasi tanah, namun lebih kompleks. Sebetulnya terdapat banyak konsep water rights. Seperti misalnya Riparian Rights yang tidak dapat diperjual-belikan atau dipindah-tangankan (non transferable). Tapi yang diperkenalkan oleh World Bank ini adalah konsep yang berkembang seiring dengan perkembangan era globalisasi, dimana air cenderung diperlakukan sebagai komoditi (komodifikasi air). Sehingga, konsep hak yang diperkenalkan adalah hak yang dapat diperjual-belikan atau yang disebut dengan “Tradable Water Rights”, yaitu sebuah pendekatan yang muncul dari konsep hak sewa properti (property rights). Sedangkan air yang didapat menurut riparian rights, tidak dianggap sebgai komoditi, karena tidak dapat diperjual belikan.

Deleted: dan P3A

Deleted: ¶

Deleted: .

Deleted: Konsep ini, oleh Bank Duniadisebut dengan “Tradable Water Rights”, yaitu sebuah pendekatan yang muncul dari konsep hak sewa properti (property rights)

Page 20: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

20

Menurut Bank Dunia, dalam sebuah working paper-nya yang dikeluarkan pada tahun 199624, sistim tradable water rights ini, jika ditunjang dengan institusi yang efektif, maka akan dapat mengatasi banyak masalah mengenai sumber daya air, yang tidak bisa diatasi oleh sistim administrasi alokasi air biasa. Melalui konsep ini, air sebagai barang ekonomi yang dapat diperdagangakan mendapat pengakuan yang sah. Menurut dokumen working paper ini, disebutkan bahwa dengan konsep tradable water rights, harga air dapat mencerminkan nilai kegunaannya sehingga dapat menciptakan insentif agar air dapat digunakan untuk hal-hal yang paling produktif. Sebab, harga air yang dibebankan (water charge) harus sama dengan biaya operasi dan pemeliharaan infrastrukturnya. Oleh sebab itu harga penjualan atau kontraknya, otomatis mencerminkan opportunity cost25 dari air. Hal ini sesuai dengan yang digariskan Bank Dunia dalam Water Resources Sektor Strategy 2003, yang menyebutkan bahwa prinsip ekonomi dasar yang digunakan untuk memperlakukan air sebagai barang ekonomi adalah bahwa pengguna menyadari adanya financial cost untuk jasa penyediaan air (water supply) dan adanya opportunity cost. Dengan memasukkan opportunity cost ini kedalam harga air melalui sistim hak guna yang berkekuatan hukum, diharapkan pengguna yang membutuhkan air lebih banyak seperti perkotaan, dapat mencukupi kebutuhannya karena dapat membeli hak guna air dari low value user (misal: petani, masyarakat pedesaan). Melalui sistem hak guna ini akan ada insentif yang kuat dari low value user untuk secara sukarela memberikan hak guna mereka kepada high value user.26 Contohnya, jika para petani dapat menjual hak guna mereka dengan harga yang sesuai, maka kelebihan air di daerahnya dapat dijual ke daerah/kota tetangganya dimana nilainya lebih tinggi (high value uses). Ini berarti, melalui sistem hak guna usaha, mekanisme pasar dapat berjalan. Karena, menurut teori dalam working paper Bank Duniauntuk tradable water rights, pasar air akan meningkatkan nilai air. Dan biaya transaksi/penjualan dari pengalihan hak guna akan lebih rendah dibandingkan dengan penjualan oleh otoritas publik. Sistim ini, juga akan memperkuat organisasi pemakai air atau Water User Associations (P3A/GP3A) dan Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai. b. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau WUA Karena ada Hak Guna Air inilah mengapa peran dari organisasi pemakai air seperti P3A menjadi penting. Sebab, dengan kewenangan yang diberikan kepada P3A/GP3A untuk mengelola dan memelihara jaringan irigasi pada suatu wilayah sungai, termasuk kewenangan penuh untuk pengumpulan iurannya, maka mekanisme pasar dan tujuan dari sistem alokasi air melalui hak guna usaha, dapat tercapai. Karena P3A/GP3A mempunyai wewenang untuk mengalokasikan air dari low value uses (nilai pakai yang kegunaannya bernilai rendah) ke high value uses. P3A ini merupakan sebuah organisasi yang sudah dikembangkan sejak lama, dan pengembangannya juga berasal dari pinjaman proyek World Bank27. Konsep P3A/WUA ini

24 Holden,Paul and Marteen Thobani. Tradable Water Rights: A Property Rights Approach to Resolving

Water Shortages and Promoting Investment. Policy Research Working Paper. The World Bank, July 1996 25 Opportunity Cost adalah biaya yang ditimbulkan karena kesempatan yang hilang. Atau disebut juga biaya

alternatif. Artinya, bahwa setiap pengguna saat memanfaatkan air sebenarnya telah menghilangkan kesempatan pengguna potensial lainnya untuk memanfaatkan air tersebut.

26 Ardhianie, Nila dan J. Wijanto Hadipuro. RUU Sumberdaya Air dan Konsep Tradable Water Rights. Sebuah artikel untuk menyambut Rapat Panja RUU Sumber Daya Air DPR. September 2003 27 Pinjaman tersebut antara lain: Irrigation Subsector Project 1 tahun 1987-1991 dan Irrigation Subsector Project 2 tahun 1991-1995 yang bertujuan untuk menunjang program pengembangan pemerintah untuk subsektor irigasi sesuai dengan program desentralisasi. Proyek ini antara lain mendorong: 1) pengalihan skema irigasi publik sebesar 130.000 ha. kepada P3A dan pemungutan iuran irigasi untuk areal 700.000 ha.; 2) Penguatan institusional dan penguatan organisasi P3A

Deleted: Disinilah

Deleted:

Page 21: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

21

sendiri merupakan salah satu dari kebijakan World Bank yang juga diterapkan di negara-negara peminjamnya. Pengembangan ini akhirnya mencapai puncak dengan diserahkannya kewenangan pengelolaan irigasi kepada P3A pada saat dimulainya program WATSAL, melalui Inpres No.3/1999 tentang Reformasi Kebijakan Pengelolaan Irigasi. Inpres tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.77/2001 tentang Irigasi, lalu Keputusan Menteri Dalam Negeri No.50 tahun 2001tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air, dan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 529 tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi kepada P3A. Penyerahan kewenangan kepada petani sebetulnya merupakan suatu usaha yang mulia. Namun sayangnya, petani yang dimaksud hanyalah yang tergabung dalam P3A/GP3A. Bagaimana dengan petani yang tidak tergabung disitu? Konsep P3A yang dikembangkan melalui pinjaman World Bank ini seakan tidak memperhatikan kondisi nyata di Indonesia dimana banyak sekali petani, terutama di Jawa yang merupakan petani gurem dan tidak punya lahan. Selain itu, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan penyeragaman kelembagaan dalam wadah tunggal pengelola air. Karena itu, P3A dapat menghancurkan system tradisi lokal pengeloaan irigasi partisipatif berbasis rakyat yang sudah bertahun-tahun digunakan oleh petani kita, seperti Subak di Bali, atau Sambong di Jawa, dan Ulu-ulu, misalnya. Penyeragaman tersebut, sangat tidak sesuai dengan tradisi dan lingkungan Indonesia yang sangat beragam ini. Lebih lanjut, menyerahkan pengelolaan air pada P3A sehingga terjadi mekanisme pasar akan berbahaya sekali. Sebab, air sebagai barang ekonomi (sebagaimana barang ekonomi lainnya) sangat rentan terhadap kegagalan pasar. Juga, baik dalam working paper 1996 atau para evaluator Bank Dunia sendiri menyatakan bahwa sistem hak guna usaha dan penyerahan wewenang pada WUA memerlukan good governance, regulasi dan institusi yang baik dan dapat dipercaya – suatu hal yang bahkan oleh Bank Dunia sendiri diakui sangat kurang di negara-negara bekembang seperti Indonesia. Seperti yang terjadi jika menyerahkan Perusahaan Air Minum (PAM) pada mekanisme pasar, resikonya akan besar sekali jika kapasitas pemerintah kurang dalam mengatur, memberikan rambu-rambu dan mengintervensi pihak-pihak yang dapat memanipulasi pasar tersebut. Juga organisasi seperti P3A, bisa sangat rentan dan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang lebih kuat dan memiliki kepentingan besar. Jadi resikonya akan sangat besar sekali bagi petani jika peraturan, rambu-rambu dan kemampuan untuk mengintervensi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan besar tersebut kurang. b. Private Sektor Participation dan Public-Private Partnership Hal krusial lain yang harus diwaspadai dalam poin-poin WATSAL dan diadopsi RUU-SDA adalah mengenai partisipasi swasta dan kemitraan dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya air. Dalam bab terdahulu sudah dijelaskan mengenai bentuk dan pola kemitraan dan partisipasi swasta. Konsep yang dipopulerkan Bank Dunia ini, juga diadopsi kedalam RUU-SDA dan didefinisikan sebagai bentuk pengusahaan sumber daya air yang diselenggarakan secara bekerja sama antara pengelola sumber daya air dan pihak swasta dan/atau masyarakat. Semua bentuk dan pola kemitraan (PPP) yang ada diperbolehkan. Baik dalam pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air, penyediaan jasa pelayanan dan/atau pengoperasian prasarana sumber daya air, dengan cara BOT, konsesi, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, dlsb. Namun, pengalaman dari banyak negara menunjukkan, bahwa perjanjian/kontrak kemitraan seringkali gagal dalam melibatkan partisipasi publik, walaupun namanya Public-Private Participation. Lebih banyak usaha yang diberikan untuk hal-hal seperti mengatasi hambatan financial dan kekurangan pemerintah, dan untuk mendorong dan meningkatkan partisipasi swasta dibanding dengan usaha untuk memberikan panduan mengenai akses publik, monitoring publik dan

Deleted: ¶Tapi

Page 22: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

22

memastikan adanya partisipasi publik dan transparansi. Kelemahan ini dapat berakibat pada pelayanan yang kurang efektif, perlakuan diskriminasi terhadap kaum yang lemah, dan pelanggaran akan kualitas air bersih. c. Tanggung Jawab Negara Sudah jelas, bahwa UUD ’45, Pasal 33 menyebutkan bahwa Bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Sebab, pemerintah di negara manapun mempunyai tanggung jawab fundamental untuk memberikan dan melayani kebutuhan dasar rakyatnya. Dulu, Bank Dunia dan LKI lainnya memfokuskan upaya mereka untuk membantu negara/pemerintah dalam penyediaan pelayanan dasar ini. Tapi sekarang, lembaga-lembaga tersebut beralih usaha, untuk lebih mendorong privatisasi. Pengalihan peran dan tanggung jawab ini merupakan hal yang sangat patut dianggap memprihatinkan sebab jaminan dan kontrol negara berkurang. d. Masalah PDAM dan Supply Air Tidak dapat disangkal, bahwa badan usaha milik negara Indonesia khususnya PDAM di seluruh Indonesia sarat dengan masalah KKN, tidak mempunyai kinerja yang baik dan mempunyai kondisi keuangan yang memprihatinkan. Terutama setelah terjadi krisis 1997, PDAM Indonesia banyak yang hampir bangkrut. Padahal, sekitar 41% dari penduduk Indonesia tinggal di daerah pekotaan dan sangat bergantung pada penyediaan air bersih oleh PDAM. Dari jumlah itu hanya 51,7% atau 20% dari total populasi yang mendapatkan pelayanan dari PDAM. Jumlah PDAM di Indonesia, menurut data PERPAMSI (Perkumpulan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) saat ini ada 293 peusahaan (termasuk lima perusahaan yang sudah menjalin kerjasama dengan pihak swasta asing). Dari jumlah tersebut, terdapat:

• 82% dari total jumlah PDAM yang memiliki keuntungan negative atau rugi • 22% memiliki modal (equity) positif • 44% pendapatannya lebih kecil dari biaya operasi dan pemeliharannya (O&M) • dan hanya 10% PDAM yang memiliki kondisi keuangan yang sehat • 119 PDAM memiliki hutang luar negeri dan 146 PDAM punya hutang dalam negeri28

Penilaian terhadap kinerja PDAM seperti yang tercantum diatas, adalah berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.47 tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja PDAM. Dalam Kepmen tersebut ada tiga aspek yang dipergunakan unutk menilai kinerja PDAM, yaitu aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek administrasi. Dari ketiga aspek tersebut, aspek keuanganlah yang dianggap paling penting sebab bobot penilaiannya paling besar. Sehingga, manajemen PDAM akan lebih mementingkan kinerja keuangannya dibandingkan kinerja operasional dan administrasi. Padahal, aspek operasional mencakup masalah-masalah penting seperti pelayanan, kualitas air distribusi, kontinuitas pasokan air pada pelanggan, tingkat kehilangan air, dll.29 Buruknya kinerja dari PDAM tersebut kemudian menjadi alasan lagi bagi LKI untuk memberikan pinjaman baru. Pada tahun 1998 Bank Dunia memberikan pinjaman program penyelamatan

28 Menurut artikel yang ditulis oleh Wijanto Hadipuro, utang dalam negeri ini bisa juga berasal dari hutang

luar negeri. Sebab, pinjaman pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang berupa Subsidiary Loan Agreement atau alokasi untuk daerah berupa Regional Development Account biasanya berasal dari hutang luar negeri

29 Hadipuro, Wijanto, 2003. PDAM: Antara Fakta dan Harapan. Artikel unutk Lokarkarya Bedah Hasil Panja Komisi IV DPR mengenai RUU-SDA, 13 Oktober 2003

Page 23: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

23

PDAM (Water Utilities Rescue Program). Program ini dibiayai oleh Bank Dunia dan juga Asian Development Bank (ADB). Semua PDAM bisa mendapatkan pinjaman ini, dengan syarat-syarat yang ditentukan Bank Dunia. Salah satunya yang terpenting adalah mereka harus membuat Financial Recovery Action Plan (FRAP) yang isinya adalah langkah-langkah konkret untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya pada umumnya. Syarat lainnya, setoran keuntungan ke pemda harus dihentikan, harus dibentuk dewan pengawas untuk mengawasi management PDAM, dan FRAP yang dibuat harus dengan persetujuan Bupati/Walikota.30 Setelah itu, Bank Dunia memberikan pijaman proyek yang dinamai Urban Water Supply Project. Proyek ini ditujukan untuk mengatasi masalah inefisiensi pengelolaan PDAM, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan untuk penyesuaian tarif. Agar proyek ini berhasil, keikutsertaan pihak swasta sangat ditekankan untuk ikut dalam tender perancangan, pembangunan dan pengoperasian system pengelolaan air bersih. Bentuknya adalah PPP atau PSP dengan skema kontrak Design-Build-Lease (DBL). Pihak swasta merancang, membangun sarana layanan air, juga mengoperasikannya, lalu membayar sejumlah uang sewa kepada PDAM/ Pemda. Tidak cukup sampai disitu, dalam laporan Kimpraswil unutk World Water Forum III kemarin, dicantumkan bahwa untuk mencapai target Milennium Development Goals 2015 untuk mengurangi separuh dari jumlah masyarakat yang tidak terlayani air bersih dan sanitasi, maka diperlukan total investasi sebesar Rp 66,43 milyar atau sebesar Rp 5,1 milyar (US$ 573 juta) pertahunnya. Angka ini dicantumkan dengan sebagai proposal pemerintah kita untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman baru untuk pembangunan sumber daya air. Namun, pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan sumberdaya air Indonesia harus benar-benar dilakukan dengan hati-hati. Karena, walau bagaimanapun, perusahaan swasta tidak mempunyai kewajiban sosial dan tidak mungkin menjalankan suatu usaha tanpa mencari keuntungan. Hal ini dapat merugikan rakyat banyak, terutama mereka yang tidak mampu. Apalagi jika penilaian kinerja PDAM seperti yang tertera diatas hanya mementingkan aspek finansial, operasional dan administrasi saja. Padahal, ada aspek-aspek lain yang juga penting seperti keberlanjutan lingkungan dan konservasi air, yang justru dapat menjamin akses dan ketersedian air untuk masa yang akan datang, tidak menjadi hitungan. Sehingga, PDAM, apalagi jika dikelola swasta yang tujuannya adalah untuk mendapatkan profit, tidak akan mementingkan aspek-aspek tersebut. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah, mencari upaya-upaya penyehatan PDAM, tanpa harus melibatkan pihak swasta. Kinerja dan kondisi keuangan PDAM yang buruk memang tidak bisa lepas dari masalah tarif yang dikenakan ke pelanggan, tidak dapat menutupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan (tidak cost recovery). Jika memang ini masalah, memang tarif pelayanan air PDAM tersebut perlu dinaikkan sehingga dapat menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, yang harus juga harus dibarengi dengan upaya penyehatan lain seperti mengurangi tingkat kebocoran, menanggulangi korupsi dan peningkatan efisiensi. Sehingga setiap warga dapat menikmati pelayanan air bersih dan kualitas pelayanannya dapat ditingkatkan. e. Harga/Tarif Salah satu kekuatiran yang paling mendasar dengan adanya privatisasi atau pelibatan swasta adalah pembebananharga/tarif air yang mahal ke konsumen. Hal ini sebetulnya ironis mengingat argumentasi yang sering digunakan oleh kelompok pro-privatisasi adalah privatisasi dapat meningkatkan efisiensi sehingga tarif air menjadi murah.

30 Lihat PDAM: Privatisasi Berkedok Reformasi, Water For Alll Factsheet, INFOG, October 2002.

Deleted: ut

Deleted: pandangan bahwa air adalah barang ekonomi bisa dimanfaatkan pihak swasta untuk mencari keuntungan dan

Deleted: mencari keuntungan

Deleted: ¶¶

Deleted: meningkatnya

Deleted:

Page 24: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

24

Nah, pertanyaannya adalah, apakah tariff yang akan dibebankan oleh swasta akan sama saja dengan tariff yang dibebankan oleh PDAM publik? Sebelumnya menjawab itu, ada beberapa yang perlu dipertimbangkan. Yaitu, pertama, pelayanan air bersih merupakan bisnis yang tidak murah. Lalu perbaikan dan pengembangan system dan pelayanan juga dapat menyebabkan perlunya penambahan pendapatan dari tarif. Jika pengelola PDAM tersebut adalah perusahaan swasta maka mereka perlu mendapatkan profit atau keuntungan. Biaya yang harus dibayar perusahaan swasta kemungkinan juga lebih tinggi dibandingkan perusahaan publik, ditambah mereka harus membayar biaya pajak. Nah, jika seluruh biaya ini, oleh perusahaan swasta kemudian dibebankan ke konsumen berdasarkan prinsip full cost recovery, maka sudah pasti harga air menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga PDAM publik Jika memang kita sampai pada keadaan dimana kenaikan tarif harus dijalankan untuk menutupi biaya-biaya yang ada, maka harus diperhatikan dengan benar mengenai sistim dan disain tarif yang akan dibebankan ke berbagai kelompok mesyarakat. Misalnya melalui kebijakan block tariff, yaitu kebijakan yang mengklasifikasikan konsumen menjadi empat atau lima kelas melalui sistim tarif progresif. Dengan sistim ini, kelompok masyarakat yang paling bawah, mendapatkan subsidi dari kelompok yang diatas. Malah kalau perlu kelompok masyarakat yang paling bawah, tidak dibebani oleh tarif, atau tarifnya nol. Artinya kelompok masyarakat paling bawah ini mendapatkan subsidi dari yang diatas, atau mendapat subsidi dari pemerintah. Suatu hal yang tidak bisa diberlakukan jika PDAM tersebut dikelola oleh swasta. Sebab, jatuhnya nanti pemerintah memberikan subsidi demi keuntungan perusahaan swasta tersebut. Mengenai tarif ini memang harus kita cermati baik-baik dan harus berhati-hati. Pengalaman di banyak negara (a.l. Bolivia, Argentina, Puerto Rico, AS, dan Afrika Selatan) menunjukkan, bahwa kenaikan tarif dapat memicu ketegangan antar stakeholders, bahkan kerusuhan, apalagi bagi negara seperti Indonesia yang sejak krisis 1997 kemarin sampai sekarang belum juga ada perbaikan ekonomi31. Sedangkan tarif air sebagian besar PDAM yang berlaku di Indonesia sekarang masih menggunakan tarif yang lama, berdasarkan kemampuan masyarakat untuk membayar dan bukan berdasarkan atas cost recovery. Tapi dengan adanya restrukturisasi sumber daya air ini dan program-program penyelamatan PDAM dimana nantinya akan banyak PDAM yang bermitra dengan swasta, maka sistim tarif akan berdasarkan pada full cost recovery. Contohnya seperti yang terjadi dengan Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM Jaya) yang diprivatisasi oleh pemerintah Indonesia dan diserahkan ke Thames Water Overseas Ltd (yang kemudian mendirikan PT Thames PAM Jaya) dan Suez (yang mendirikan PT PAM Lyonnaise Jaya), otomatis, tarif air bersih di Jakarta naik drastis. Padahal, tarif yang diberlakukan oleh pemda dan dibebankan kepada konsumen tersebut masih lebih kecil dari tagihan biaya (water charge) yang ditagihkan oleh kedua perusahaan swasta tersebut berdasarkan prinsip cost recovery. Jadi yang terjadi adalah, pemerintah bukannya mensubsidi masyarakatnya yang tidak mampu, tapi malah memberi subsidi (membayar selisih water charge) ke perusahaan swasta! Dan untuk selanjutnya masih banyak PDAM lainnya yang dalam proses menyusun FRAP, termasuk didalamnya rencana kenaikan tarif. Dari data yang dihimpun oleh INFOG (Indonesian Forum on Globalization, Solo) sedikitnya ada delapan PDAM yang sudah memiliki rencana konkrit kenaikan tarif.32

31 Contohnya ketika Pemerintahan Soeharto yang mengambil kebijakan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok pada tahun 1998 malah membuatnya jadi turun tahta. Juga ketika Megawati pada awal tahun 2003 menaikkan tariff Listrik, telepon dan BBM, diserbu dengan ribuan protes di seluruh negeri sehingga akhirnya pemerintah harus membatalkan keputusan kenaikan harga untuk beberapa barang tersebut.

32 PDAM Bogor akan naik 39,5%; PT Adhya Tirta Batam 10-15%; PDAM Balikpapan 60%; PDAM Sukohardjo 14-18%; PDAM Solo 16-45%; PDAM Purworejo 250%; PDAM Semarang 220-250%; dan PDAM Jayapura 17%.

Deleted: Jadi, apakah kita patut khawatir

Deleted: ?

Deleted: Belum lagi sebagai

Deleted: .

Deleted: ¶

Page 25: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

25

E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan Uraian dalam paper ini telah menunjukkan bahwa privatisasi atau pelibatan swasta dalam pengelolaan sumber daya air merupakan sebuah opsi yang tidak disarankan, mengingat banyak sekali kejadian, bukti-bukti dan analisa dampak privatisasi yang merugikan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Menganggap air sebagai barang ekonomi dan memperlakukan air sebagai komoditi juga menimbulkan banyak implikasi yang menyangkut fair pricing, akuntabilitas publik, dampak lingkungan, efisiensi penggunaan air, marjinalisasi kaum miskin dan petani, sampai pada dampak kultural terhadap pengalihan system pengeloaan air tradional ke yang baru. Namun, melihat trend yang terjadi di seluruh dunia dan kenyataan yang kita hadapi di Indonesia dimana privatisasi atau konsep PPP dan PSP ini sudah terjadi dan kemungkinan besar akan bertambah dan terus terjadi, maka ada beberapa prinsip mengenai pengelolaan sumber daya air yang harusnya tidak boleh dilanggar. Pada prinsipnya, kami percaya bahwa tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya air dan penyediaan air bersih harus tetap berada ditangan negara/publik, dan harus ada usaha-usaha untuk memperkuat kemampuan pemerintah dalam penyediaan kebutuhan dasar rakyatnya akan air bersih. 2. Rekomendasi:

a. Mengenai Pengelolaan SDA secara garis besar • Air harus tetap dianggap dan dikelola sebagai barang social/publik dengan prinsip

Hak Asasi Manusia. Barang yang sifat kepemilikannya adalah publik, harus tunduk pada aturan-aturan publik, bukan aturan pasar.

• Rakyat harus mendapatkan jaminan bahwa kebutuhan dasarnya akan air dapat terpenuhi. Jaminan ini tetap harus diberikan walaupun terjadi kontrak pengelolaan sumber daya air dalam bentuk apapun dengan swasta. Dalam kontrak, perlindungan agar kebutuhan pokok rakyat unutk air bersih harus tercukupi dahulu (menurut standar-standar yang ada), baru kemudian digunakan untuk kebutuhan lainnya.

• Jaminan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan harus dimasukkan dalam bentuk pengelolaan sumber daya air dan pelayanan air bersih manapun. Baik dalam Undang-undang dan turunan-turunannya, atau peraturan daerah. Terutama dalam perjanjian kontrak pengelolaan dengan swasta, harus dimasukkan klausul yang dapat melindungi ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.

b. Masalah pengelolaan PDAM

• Untuk PDAM yang bermasalah, harus diupayakan solusi-solusi penyehatan dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan kinerja PDAM.

• Sebagai bagian dari upaya peningkatan efisiensi dan pelayanan PDAM, harus juga didisain mekanisme partisipasi masyarakat dimana masyarakat atau pelanggan dapat ikut mengontrol kinerja PDAM tersebut. Formatted: Bullets and

Numbering

Deleted: ¶Jika memang kita sampai pada keadaan dimana privatisasi atau kemitraan dengan swasta harus dijalankan, maka kita harus memperhatikan benar-benar mengenai sistim dan disain tarif yang akan dibebankan ke berbagai kelompok mesyarakat. Misalnya melalui kebijakan block tariff, yaitu kebijakan yang mengklasifikasikan konsumen menjadi empat atau lima kelas melalui sistim tarif progresif. Dengan sistim ini, kelompok masyarakat yang paling bawah, mendapatkan subsidi dari kelompok yang diatas. ¶¶Namun perlu dicatat, bahwa karena kebanyakan dari rakyat kecil bergantung pada cash money, yaitu uang yang hanya saat itu mereka pegang, dan tidak punya tabungan. Maka walaupun sudah ada sistim subsidi seperti diatas, tapi keharusan membayar biaya sambungan pipa, instalasi, membangun tangki air dsb, akan menjadi hambatan bagi mereka. Sehingga tetap harus dipikirkan mengenai penyediaan prasarana gratis bagi kaum miskin. Seperti yang kita lihat di negara-negara maju yang menyediakan keran air bersih di tempat-tempat umum, misalnya.¶

Deleted: dahulu

Deleted: ,

Deleted: sebelum sebagai pilihan terakhir, mencari solusi pada swasta

Page 26: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

26

• Dalam pola kemitraan publik-swasta, jika memang sudah terjadi atau harus terjadi, harus juga dirumuskan mengenai konsep dan mekanisme partisipasi publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dari kemitraan tersebut, supaya masyarakat tidak terlalu dirugikan.

• Air dan pelayanan air harus diberikan pada harga yang adil, pantas dan terjangkau. Pelayanan air bersih ini memang tidak boleh diberikan secara gratis, namun harus ada sistem subsidi bagi kaum lemah. Pengaturan mengenai sistim tarif diatur oleh regulasi pemerintah

c. Mengenai kebijakan dan program pemerintah (WATSAP)

• Badan Regulasi yang dibentuk harus melaui mekanisme partisipatif yang seadil-adilnya bagi masyarakat dan melalui proses yang transparan. Badan ini tidak boleh bertanggung jawab pada Menteri (tidak disebutkan menteri apa) tapi kepada rakyat langsung.

• RUU-SDA harus melalui proses yang sah menurut hukum, partisipatif, dan transparan sebelum disahkan.

• Sistim Hak Guna Air tidak boleh diterapkan dahulu sampai ada analisa mendalam mengenai pengimplementasiannya dan dampaknya terhadap rakyat dan tercipta mekanisme perlindungan terhadap hak-hak rakyat kecil.

• Pemberian wewenang kepada petani untuk mengelola sistim irigasi seharusnya tidak mengacu pada kelembagaan P3A/GP3A saja, tapi mengacu pada pendekatan partisipatif yang dapat memfasilitasi kemandirian petani dalam mengelola irigasi, juga melindungi sistim sosial dan adat lokal yang sudah ada.

Lampiran 1

Table Comprehensive Analitic Framework

National/State Level

Regional/Basin Level

Infrastructure Projects

Formatted: Bullets andNumbering

Deleted: <#>P3A/GP3A tidak boleh diberikan wewenang unutk mengelola wilayah sungai sebelum ada pembuktian bahwa organisasi P3A tersebut cukup kuat dan mampu. ¶

Deleted: ¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Page 27: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

27

National water strategy should reflect social, economic and environmental objectives and be based on sound assessment of water resources. The strategy deal should spell out priorities for providing water services, establish policies on water rights, water pricing and cost recovery, demand management, public investment, private sektor participation; and meeting environmental management needs. Strategy formulation should be transparent and participatory.

Investment, policies, and regulations in one part of river basin potentially affect our activities in the basin. The framework should be formulated in the context of broad national/state strategy, be sensitive to socio-economic concerns related to water, and incorporate environmental management needs. This is an indicative and dynamic planning process. Formulation of framework should be transparent and participatory, and based on accurate information.

Project should be planned and assessed in the context of broad river basin and national water strategy. Projects should internalize environmental management needs (e.g., water quality, in-stream flows). Socio economic assessment should accompany all projects. Project planning should be transparent and participatory, and based on accurate information. Project should be reviewed by appropriate management agencies.

Institutional and Regulatory Systems Legal, Policy and Planning

Institutional structures-and laws-at the national and regional levels to coordinate the formulation and implementation of policies for improved water management, water services delivery, public investment program and environmental management. Policy and planning institutions at the river basin level may also be appropriate. Stakeholders actively influence policy decisions, and policy-makers are ultimately responsible to public.

Regulatory and Management Agencies for regulation of water services and the management of water resources. Water services to be regulated with respect to pricing and quality of service. Water management responsibilities include inter-alia setting standard, issuing permits, basin operations, and the collection and analysis of data. Regulatory and management decision should take place at the lowest appropriate level with stakeholder participation.

Water Service Provision Water service organization should be financially and operationally autonomous-within an appropriate regulatory framework. Water services should be decentralized to lowest appropriate level. Water services custormers and users should participate in the formulation of management decision.

Economic and Social Issue Financing and Subsidies

Pulic sektor financing should be focuses on public goods. Water services organization should be partially self-financing and use private capital markets; subsidies should be transparent and justified; subsidy program s should not create perverse incentives.

Water Service Charges Water service organization should be financially autonomous and operate under hard budget constraint with explicit cost recovery targets. Service charge mechanism should promote incentives for performance by providers and efficiency by users. Cross subsidies between users and regions should be minimized, but equity pursued.

Poverty Alleviation Special effort should be directed to meeting the water supply and sanitation needs of the poor and redressing the neglect of the rural poor. Policies that undermine subsistence agricultural or fisheries should be carefully evaluated and, where necessary there should be adjustment and compensation.

DAFTAR PUSTAKA

A, Sarwoko dan Anshori, I. 2003 Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pendayagunaan yang

Berkelanjutan. Direktorat Jendral sumberdaya Air, Dep. Kimpraswil. Maret 2003

Page 28: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

28

Ardhianie, Nila. 2003. Membeli Air pada Swasta Asing. INFOG Ardhianie, Nila dan J. Wijanto Hadipuro. “RUU Sumberdaya Air dan Konsep Tradable Water Rights”. Artikel untuk

menyambut Rapat Panja RUU Sumber Daya Air DPR. September 2003. Briscoe, J. 1996. “Water as an Economic Good: The idea and what it means in practice.” paper pada World Congress of the

International Commission on Irrigation and Drainage, Kairo, Mesir, September 1996. Terdapat di http://www-esd.worldbank.org

Barlow, M. 1999. Blue Gold: The Global Water Crisis and the Commodification of the World’s Water

Supply. International Forum on Globalization CNES.2002. “ Allocating Water Through Market Mechanism”. Tools for Advocacy: Water, September 8, 2002 Gleick, P.H., G. Wolff, E. L. Chalecki, and R. Reyes. 2002. The New Economy of Water: The Risk and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water. Pacific Institute. February 2002 Grusky, S. 2002. The IMF, the Bank Duniaand the Global Water Companies: A shared Agenda. International

Water Working Group dan Public Citizen’s Critical Mass Energy and Environment Program Public Citizen2002. Profit Streams: The World Bank and Greedy Global Water Companies. Water for All. Public Citizen’s Critical Mass Energy and Environment Program, September 2002. Holden, Paul and Marteen Thobani. Tradable Water Rights: A Property Rights Approach to Resolving Water

Shortages and Promoting Investment. Policy Research Working Paper. The World Bank, July 1996. INFOG. “PDAM: Privatisasi Berkedok Reformasi, Water For All”. Factsheet, October 2002. International Conference on Water and the Environment (ICWE). 1992. The Dublin Principles. Bisa dilihat di

http://www.wmo.ch/web/homs/icwedece.html Mehta, Lyla and Birgit La Cour Madsen. 2003. Is the WTO After your Water?: The General Agreement on

Trade and Services (GATS) and the Basic Right to Water. Intitute of Development Studies, University of Sussex, August 2003.

Ministry of Settlements and Regional Infrastructure. 2003. Water Resources Management towards

Enhancement of Effective Water Governance in Indonesia. Country Report. For the 3rd World Water Forum Kyoto – Japan, March 2003. Ministry of Settlements and Regional Infrastructure, Directorate General of Water Resources Republic of Indonesia, 24 February 2003

Polaris Institute, 2003. Global Water Grab. How corporations are planning to Take Control of Local Water

Services. GATS Attack pamphlet series. Polaris Institute, January 2003 Siagian, Yousana OP. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan. Direktorat Tata Lingkungan Geologi

dan Kawasan Pertambangan. Maret 2003 Silva, Gisele, N. Tynan and Y. Yilmaz. Private Participation in the Water and Sewerage Sector-Recent

Trends. Public Policy for the Private Sector. The World Bank Group, Finance, Private Sector and Infrastructure Network. August 1998

Wijanto, Hadipuro. 2003. “PDAM: Antara Fakta dan Harapan”. Artikel untuk Lokarkarya Bedah Hasil Panja Komisi

IV DPR mengenai RUU-SDA, 13 Oktober 2003. World Bank doc. www.worldbank.org/water. Updated April 2003 World Bank. 2003. Water Resource Sektor Strategy: Startegic Directions for World Bank’s Engangement.

February 2003 World Bank. 2002. Indonesia – Urban Water Supply Project. Project Information Document. World Bank, July

2, 200, ada di http://www.wds.worldbank.org/servlet/WDS_IBank_Servlet?pcont=details&eid=000094946_02071104031595

Deleted: ¶

Deleted: ------------

Deleted: Bank Dunia

Page 29: Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Di Indonesia

29

World Bank. 2002. Private Sector Development Strategy. World Bank. April 2002 World Bank doc. 1999. “Report and Recommendation of the President of the International Bank for Reconstruction and

Development to the Executive Directors on a Proposed Water Resources Sector Adjustment Loan in the Amount of US$300 Million to the Republic of Indonesia”. April 23, 1999

Peraturan UU No.11/1974 tentang Pengairan UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya UU No. 4/1992 tentang Penataan Ruang UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 22/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Keppres No.9/Januari 1999. PP No.77/2001 tentang Irigasi Kepmen Dagri No.50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air Kepmen Kimpraswil No.259/2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenagan Pengelolaan irigasi kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air