Upload
nguyennga
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
363
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SISTEM AGRIBISNIS PADI
Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra
I. PENDAHULUAN
Walaupun cenderung menurun, sistem agribisnis padi masih tetap memegang
peran penting dalam perekonomian nasional. Pertama, beras masih tetap merupakan
makanan pokok penduduk, sehingga sistem agribisnis padi berperan strategis dalam
pemantapan ketahanan pangan baik dalam hal penyediaan, distribusi maupun akses
terhadap beras guna menjamin kecukupan pangan penduduk. Kedua, sistem agribisnis
padi menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang sangat besar. Hingga padi
menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah yang sangat besar. Hingga saat ini
usahatani padi masih merupakan yang paling dominan dalam sektor pertanian. Ketiga,
sistem agribisnis padi sangat instrumental dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di
satu sisi, sistem agribisnis padi merupakan lapangan kerja bagi sejumlah besar
penduduk miskin. Di sisi lain, harga beras merupakan determin utma pengeluaran
penduduk miskin. Keempat, sistem agribisnis padi berperan penting dalam menentukan
dinamika harga beras, yang berarti dalam menentukan inflasi yang merupakan salah
satu indikator fundamental ekonomi makro.
Peran sosial-ekonomi yang demikian besar telah membuat pembangunan sistem
agribisnis padi sebagai salah satu issu politik nasional. Pembangunan sistem agribisnis
padi merupakan agenda kebijakan yang senantiasa mendapatkan prioritas penanganan
pemerintah. Sudah barang tentu, paradigma strategis dan langkah operasional
kebijakan berubah-ubah menurut rejim pemerintahan, sesuai dengan garis kebijakan
yang ditetapkan presiden dan meteri yang berkuasa serta perubahan konteks
lingkungan strategis kebijakan tersebut. Kebijakan pembangunan sistem agribisnis lebih
tepat dikaji berdasarkan perspektif ekonomi-politik.
Berikut ini diuraikan evaluasi kebijakan pembangunan sistem agribisnis padi
nasional, hasil dan dampaknya serta prospek masa depannya. Sesuai dengan
ketersediaan data dan pengetahuan penulis, cakupan topik bahasan dibatasi untuk
kebijakan yang dilakukan pemerintah sejak zaman Orde Baru (Orba), tepatnya sejak
awal dekade 1970’an. Aspek yang dibahas difokuskan pada kebijakan ekonomi,
364
kelembagaan dan teknologi saja. Dari hasil ulasan ini selanjutnya dirumuskan opsi
kebijakan pembangunan sistem agribisnis padi untuk masa mendatang.
II. KEBIJAKAN SEJAK MASA ORDE BARU
2.1. Arah dan Strategi.
Terlepas dan kekurangannnya, mesti diakui bahwa Presiden Suharto pemimpin
Orde Baru selama sekitar 30 tahun merupakan Presiden Indonesia pertama yang
memiliki obsesi dan komitmen yang paling besar untuk memacu pembangunan
agribisnis padi nasional serta melaksanakannya dengan konsisten dan berkelanjutan.
Selama periode tahun 1968-1998 kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk
mencapai tiga tujuan pokok yang saling berhubungan: (a) Memantapkan ketahanan
pangan nasional; (b) Memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas
ekonomi (inflasi) nasional; dan (c) Meningkatkan pendapatan petani.
Oleh karena beras merupakan makanan pokok dan mengingat peran strategis
sistem agribisnis padi baik secara ekonomi, sosial maupun politik maka makna bahan
pangan dalam konteks ketahanan pangan diartikan secara sempit yaitu praktis hanya
beras saja. Pemantapan ketahanan pangan nasional diartikan sebagai upaya untuk
menjamin kebutuhan beras penduduk. Oleh karena itu, kebijakan ketahanan pangan
terfokus pada beras. Kebijakan perberasan nasional lebih diarahkan untuk pemantapan
ketahanan pangan nasional. Setidaknya hingga tahun 1980’an, pembangunan yang
dilaksanakan rejim Orde Baru lebih difokuskan pada stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi, dengan harapan pemerataan akan muncul dengan sendirinya sesuai dengan
hipotesis ”menetes ke bawah” (trickle down). Dengan strategi pembangunan makro
demikian maka peningkatan pendapatan petani praktis merupakan tujuan tersier.
Walaupun kurang tepat (Simatupang, 1999), pemerintah Orde Baru mengartikan
stabilitas harga beras pada tingkat yang terjangkau (murah) merupakan indikator
sempurna ketahanan pangan (Falcon and Timmer, 1991). Berdasarkan tujuan dan
paradigma di atas maka strategis yang dipilih ialah ”Strategi kembar dua” atau twin-
strategi (Simatupang, 1991; Pearson and Falcon, 1991; Pearson, Naylor and Falcon,
1991): (1) Jangka pendek ”Stabilisasi harga beras pada tingkat yang terjangkau (beras
murah dan stabil)”, dan (b) Jangka panjang: ”Swasembada mutlak”.
Strategi kembar dua di atas dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan,
setidaknya hingga swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984. Pada
365
kenyataannya, swasembada mutlak hanya dapat bertahan sekitar lima tahun saja. Sejak
awal tahun 1990’an Indonesia telah kembali menjadi negara importir beras. Menyadari
kemustahilan mempertahankan swasembada beras mutlak tersebut maka sejak
pertengahan tahun 1990’an sasaran jangka panjang diubah menjadi pencapaian
swasembada beras on trend (sapuan, 1999).
Ketergantungan terhadap beras meningkat terus. Pada krisis pangan tahun 1998
Indonesia bahkan mengimpor beras sekitar 6 juta ton, rekor tertinggi sepanjang zaman.
Perpaduan krisis ekonomi-pangan-politik membuat Presiden Suharto jatuh dari
singgasana kepresidenan. Melalui Menteri Pertanian Prof.Solahuddin, pemerintah
Transisi Reformasi yang dipimpin Prof. B.J.Habibie mencanangkan kembali upaya
pencapaian swasembada beras mutlak. Melalui program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai
dan Jagung (Gema Palagung), dengan sangat ambisius pemerintah ingin meraih
swasembada beras mutlak pada beras, kedelai dan jagung paling lambat tahun 2003.
Program ini tidak berkelanjutan karena pemerintah Habibie hanya bertahan sekitar satu
tahun. Pada masa pemerintah Presiden Gus Dur (1999-2001) dan Megawati (2001-?)
yang memerintah saat ini, praktis tidak ada, belum ada atau tidak dapat diketahui
arah kebijakan agribisnis padi nasional. Yang dapat diketahui ialah pada masa kerja
Menteri Pertanian Dr. Prakosa sempat dimunculkan Wacana Corporate Farming dan
Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian saat ini, melontarkan wacana ”Usaha dan
Sistem Agribisnis”. Kedua wacana ini lebih tepat disebut sebagai ”taktik operasional”
daripada strategi besar pembangunan agribisnis padi.
2.2. Instrumen Kebijakan.
Berdasarkan paradigma dan strategi kebijakan seperti yang diuraikan di atas,
kebijakan perberasan semasa Orde Baru diarahkan untuk meraih produksi nasional
yang seting-tingginya dalam rangka mencapai dan mempertahankan swasembada
beras Obsesi pemerintah (presiden Suharto) yang sangat besar untuk meraih tujuan
tersebut, dan mengingat pemerintah pusat merupakan kekuatan politik yang tidak boleh
ditandingi, merupakan sumber dekungan politik yang luar biasa bagi upaya peningkatan
produksi beras. Dengan begitu, dukungan biaya dan anggaran pemerintahpun melimpah
pula. Secara umum, peningkatan produksi beras, merupakan komitmen nasional yang
mesti didukung ”secara patriotik” oleh seluruh eksponen bangsa. Dengan komitmen
yang begitu besar maka kebijakan produksi beras dapat dilakukan secara besar-
besaran. Instrumen kebijakan yang dilakukan dapat dibagi menjadi enam jenis yaitu: (a)
366
pembangunan lahan dan irigasi; (b) inovasi teknologi dan intensifikasi usahatani; (c)
penyediaan sarana produksi; (d) pemberian intensif; (e) pengambangan usaha jasa alat
dan mesin pertanian; dan (f) pembanguan kelembagaan.
2.2.1. Pembangunan Lahan dan Irigasi.
Lahan dan irigasi merupakan basis usahatani padi yang berarti merupakan
penentu utama kapasitas produksi beras. Oleh karena itu langkah pertama yang
ditempuh pemerintah Orde Baru dalam memacu produksi beras ialah melakukan
”rehabilitasi lahan” dan ”sistem pengairan” yang terbengkalai selama pemerintahan Orde
Lama. Pada tahapan berikutnya langkah yang ditempuh ialah melakukan ”ekstensifikasi
lahan dan irigasi” melalui pembukan lahan baru, pencetakan sawah dan pembangunan
jaringan irigasi baru. Pembukaan lahan baru terutama dikaitkan dengan program
transmigrasi. Program ekstensifikasi dilakukan secara besar-besaran diantaranya
dengan membuka lahan pasang surut di Sumatera dan Kalimantan, pembangunan
waduk-waduk besar, khususnya di Jawa, dan pembangunan sistem irigasi di seluruh
Indonesia. Jelas sekali bahwa upaya peningkatan produksi beras dilakukan dengan
strategi” dorongan besar” (big-push). Hal ini dilakukan pada periode pertengahan tahun
1970’an, tatkala pemerintah memperoleh pendapatan yang melimpah dan bonaza
minyak yang harganya melonjak dalam periode tersebut. Investasi besar-besaran telah
mampu meningkatkan luas baku maupun kualitas lahan tanaman pangan, khususnya
lahan sawah untuk usahatani padi. Namun demikian, program perluasan lahan ini
nampaknya sudah melampaui titik optimalnya sehingga telah menimbulkan over
ekstensifikasi (Christianto, 1997).
Pembangunan lahan dan irigasi mulai mengalami perlambatan sejak awal
dekade tahun 1980’an (Simatupang, 1999). Rehabilitasi dan pencetakan lahan sawah
irigasi menurun tajam sejak tahun 1983/1984. Hal ini diduga disebabkan oleh tiga fkator:
(a) Semakin ketanya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)(Tabel 1);
Adanya perubahan rejim kebijakan ekonomi dari sistem pasar ”dikelola pemerintah” ke
sistem pasar bebas (dalam kaitan ini pemerintah bahkan telah menerapkan sistem iuran
irigasi sebagai awal penciptaan pasar ); (c) Menurunnya obsesi untuk memacu produksi
pangan karena swasembada beras telah diraih pada tahun 1984. Ironisnya,
menurunnya investasi dalam pembukaan lahan baru ini bersamaan dengan makin
cepatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan non-pertanian. Penurunan anggaran
pemerintah untuk irigasi diperkirakan telah menyebabkan semakin berkurangnya
367
kualitas jaringan irigasi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab utama kenapa laju
pertumbuhan produksi beras cenderung menurun dan semakin rentan terhadap
perubahan iklim sehingga menimbulkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan
nasonal.
Tabel 1. Alokasi APBN untuk Subsidi Pupuk, Pengairan dan Sektor Pertanian dan Pengairan di Indonesia, 1989/90 - 2000 (Rp. milyar).
Subsidi Pupuk Pangairan Pertanian & Pengairan Tahun
Nilai Pangsa Nilai Pangsa Nilai Pangsa 1989/90 278 2,10 578 4,37 2.566 19,40 1993/91 265 1,63 698 4.30 1.958 12,07 1991/92 302 1,51 949 4,75 2.166 10,83 1992/93 175 0,76 1.027 4,48 2.103 9,18 1993/94 175 0,69 1,122 4,45 2.135 8,46 1994/95 815 2,97 1.687 6,16 1.771 6,46 1995/96 143 0,46 2.042 6,63 1.204 3,91 1996/97 186 0.54 2.317 6,72 1.437 4,16 1997/98 137 0,38 2.285 6,41 1.434 4,02 1998/99 1.065 1,25 4.775 5,57 9.041 10,55 1999/00 0 0 3.466 4,20 4.389 5,32
2000 0 0 2.219 5,33 2.690 6,47 Sumber : Bappenas.
Sebagai ilustrasi, pada Tabel 2 disampaikan pertimbangan proporsi lahan sawah
beririgasi terhadap total lahan sawah di daerah sentra produksi padi di Indonesia.
Sarana igrigat, proporsi lahan sawah beririgasi tidak mengalami perubahan yang berarti
selama periode 1980 – 2000, yaitu hanya meningkat dari 57,10 persen menjadi 60,08
persen. Daerah yang mengalami peningkatan relatif besar adalah Sulawesi, yaitu dari
53,81 persen (1980) menjadi 67,61 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2000, proporsi
lahan sawah beririgasi di Bali, Nusa Tenggara, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan
Kalimantan masing-masing adalah 98,90 persen, 80,41 persen, 76,98 persen, 67,61
persen, 47,70 persen, dan 19,89 persen. Kecuali Bali, masih terdapat peluang
peningkatan lahan sawah beririgasi.
368
Tabel 2. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Sentra Produksi Padi di Indonesia,
1980-2000 (Ha).
No Propinsi 1980 1990 2000 1. Sumatera 1.708.890
(44,43) 2.210.381
(40,03) 2.244.634
(47,70) 2. Jawa 3.483.582
(71,91) 3.422.747
(74,07) 3.345.145
(76,98) 3. Sulawesi 671.282
(53,81) 838.024 (60,13)
936.125 (67,61)
4. Bali 100.295 (99,18)
92.623 (99,01)
86.086 (98,90)
5. Nusa Tenggara 260.930 (74,69)
318.304 (68,01)
330.287 (80,41)
6. Kalimantan 846.016 (14,22)
1.256.739 (13,08)
1.141.050 (19,89)
Indonesia 7.075.790 (57,10)
8.138.818 (54,02)
8.083.327 (60,08)
Catatan: Angka dalam kurung adalah proporsi lahan sawah beririgasi (%) Sumber: Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia, 1980-2000, Biro Pusat Statistik, Jakarta Semakin besarnya impor beras pada awal tahun 1990’an nampaknya telah
memaksa pemerintah untuk kembali memperhatikan investasi dalam ekstensifikasi
lahan. Untuk itu, pada tahun 1994/1995 presiden Suharto mencanangkan mega proyek
pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Namun,proyek ini
mengalami kegagalan total, diduga sebagai akibat dari praktek KKN. Pemerintah
transisi reformasi telah memutuskan untuk menghentikan proyek ini. Dengan demikian,
kelangkaan lahan dan air irigasi akan menjadi kendala utama bagi upaya peningkatan
produksi pangan di masa mendatang. Inilah salah satu tantangan utama yang harus
mendapatkan prioritas penangan dari pemerintah saat ini.
2.2.2. Pengembangan Sistem Inovasi.
Sungguh merupakan suatu kebetulan yang sangat menguntungkan, obsesi
pemerintah untuk memacu produksi padi bertepatan pla dengan awal ”Revolusi Hijau”
yang digerakan oleh temuan terobosan teknologi benih unggul padi berumur pendek
oleh International Rice Research Institute (IRRI). Teknologi baru ini mampu
melipatgandakan produktivitas usahatani padi namun harus dilakukan di lahan beririgasi
teknis, pengelohan tanah yang baik dan disertai dengan penggunaan input kimiawi
(pupuk dan pestisida) secara intensif (Casman and Pinggali, 1995). Dengan demikian,
369
program rehabilitasi dan ekstensifikasi jaringan irigasi dan lahan sawah yang telah
diuraikan sebelumnya merupakan langkah yang tepat untuk membuka kesempatan
adopsi teknologi Revolusi Hijau tersebut. Oleh karena itu, langkah pertama yang
itempuh ialah melakukan penelitian adaptasi terhadap varietas unggul padi jenis IR yang
ditemukan oleh IRRI tersebut. Selain itu, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (Badan Litbang Pertanian) juga melakukan penelitian mandiri untuk
memperoleh varietas unggul baru. Penelitian teknologi usahatani padi memperoleh porsi
anggaran terbesar dalam anggaran Badan Litbang Pertanian.
Untuk memfasilitasi diseminasi teknologi, pemerintah membangun sistem
perbenihan padi nasional yang menjembatani lembaga penelitian penghasil teknologi
berbasis benih dan petani pengguna akhir benih. Pada awalnya perbanyakan benih
praktis sepenuhnya dilakukan oleh Badan Benih milik pemerintah dan Badan Usaha
Milik Negara (PT.Pertani dan Sang Hyang Sri). Dalam perkembangan selanjutnya,
pemerintah juga mendorong petani dengan usaha perbenihan swasta, termasuk petani
penangkar benih.
Untuk mempercepat diseminasi teknologi, pemerintah juga membangun Balai
penyuluhan Pertanian diseluruh Indonesia dengan tenaga penyuluh, anggaran
operasional dan fasilitas kerja yang memadai. Secara umum, pemerintah membangun
sistem inovasi terpadu, lengkap dan meluas di seluruh Indonesia. Dengan begitu,
inovasi usahatani padi dapat berlangsung dengan cepat. Pembangunan sistem inovasi
tersebut merupakan langkah paling strategis dan jasa besar yang dilakukan pemerintah
Orde Baru dalam rangka memajukan pembangunan agribisnis padi.
Tidak dapat dipungkiri penelitian pemulian padi merupakan yang paling berhasil
dilihat dari segi temuan teknologi tepat guna (Darwanto, 1993; Jatileksono, 1998) Badan
Litbang Pertanian, selama periode tahun 1966 – 1999, berhasilnya dilepas 118 varietas
padi unggul baru (Tabel 3). Baik dari segi jumlah varietas maupun dari segi peningkatan
potensi hasil varietas baru, produktivitas penelitian tertingi adalah dalam periode tahun
1980-an. Namun demikian, persoalan besar saat ini ialah adanya fenomena bahwa
teknologi Revolusi Hijau sudah mengalami saturasi. Sejak pertengahan tahun 1980’an
praktis tidak ada lagi temuan varietas unggul padi dengan produktivitas yang nyata lebih
tinggi daripada temuan sebelumnya. Potensi produktivitas teknologi hasil pemuliaan
padi nampaknya telah mendekati titik frontiernya. Terobosan teknologi hasil pemulian
labih banyak pada aspek toleransi terhadap hama dan lingkungan yang kurang baik
(less favorable environment).
370
Selain terobosan teknologi baru yang cukup nyata lebih unggul dari teknologi
sebelumnya praktis tidak ada dalam sepuluh tahun terakhir, infrastruktur penyuluhan
juga menunjukkan gejala penurunan kapasitas. Tenaga penyuluhan semakin didominasi
oleh kelompok umur tua, sementara struktur organisasi penyuluhan berubah-ubah
dalam interval waktu yang sangat singkat. Secara keseluruhan sistem inovasi teknologi
agribisnis padi nampaknya sudah menunjukkan gejala ”kelesuan sistem”. Dengan
demikian, peningkatan produksi melalui terobosan teknologi usahatani padi di lahan
beririgasi nampaknya sudah semakin sulit diharapkan. Peluang peningkatan
produktivitas padi di masa mendatang akan lebih besar terjadi pada usahatani di lahan
rawa dan lahan kering. Dengan prospek innovasi demikian maka dapat diduga bahwa
peningkatan produksi beras di masa mendatang akan berjalan dengan lambat. Hal ini
jelas akan merupakan tantangan serius bagi penyediaan pangan dimasa mendatang.
2.2.3. Penyediaan Sarana Produksi
Pemerintah Orde Baru sangat menyadari bahwa penyediaan input, khususnya
benih, pupuk kimia dan pestisida, merupakan masalah generasi pertama (first genration
problem) dari Revolusi Hijau. Sehubungan dengan it, bersamaan dengan program
BIMAS pemerintah pun membangun balai benih beserta jaringan penangkaran dan
pengadaan benih di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sistem pengadaan pupuk
dan pestisida pun dibangun dengan Koperasi Unit Desa (KUD) atau kios sarana
produksi sebagai ujung tombaknya di tingkat pedesaan. Di tingkat hulu, pemerintah
membangun pabrik pupuk BUMN dan mendorong investasi (asing) untuk membangun
pabrik pestisida (industri substitusi impor). Sistem distribusi sarana produksi
dikendalikan penuh oleh pemerintah, sehingga selama Orde Baru penyediaan sarana
produksi usahatani tanaman pangan, khususnya padi, praktis tidak menjadi masalah
yang berarti. Hal inilah yang menjadi fasilitator kunci dalam inovasi teknologi Revolusi
Hijau pada usahatani padi dan usahatani tanaman pangan lainya.
371
Tabel 3. Jumlah dan Karakteristik Varietas Padi yang dilepas menururt Agroekosistem di Indonesia, 1953-1999.
Agroekosistem dan karakteristik varietas
1950-1966
1966-1969
1970-1979 1980-1989
1990-1999
I Sawah dataran rendah 1. Jumlah varietas 8 4 14 41 17 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 3,875
(3,0-4,5) 4,625
(4,0-5,5) 4,571
(4,0-5,5) 6,890 (4-8)
5,932 (4-8)
3. Umur (hari) 148 (140-155)
133 (125-145)
126 (110-140)
122 (100-140)
119 (115-130)
4. Rasa: Enak 4 2 4 18 10 Sedang 1 2 2 4 4 Kurang 3 - 8 16 2 Ketan - - - 3 1 II Sawah Dataran Tinggi 1. Jumlah varietas - - 3 3 - 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 4,820
(4,5-5,0) 6,167
(4,0-8,0)
3. Umur (hari) 140
123 (140-150)
4. Rasa: Enak - - Sedang 1 2 Kurang 2 1 III Pasang Surut 1. Jumlah varietas - - - 7 6 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 4,714
(3-7) 5,167 (3-6)
3. Umur (hari) 132 (125-170)
124 (118-130)
4. Rasa: Enak 1 2 Sedang 4 - Kurang 2 4 IV Lahan Kering (padi
gogo)
1. Jumlah varietas 3 - 2 11 9 2. Rata-rata hasil (ton/ha) 3,333
(3,0-3,5) 3,250
(3,0-3,5) 3,864 (3-7)
3.361 (2-5)
3. Umur (hari) 125 (110-145)
110 (105-115)
116 (105-135)
114 (95-125)
4. Rasa: Enak 3 - 4 3 Sedang - - 6 5 Kurang - 2 1 1 Jumlah Seluruh varietas 11 4 19 63 32
372
Masalah mulai muncul ketika pada tahun 1998 pemerintah transisi Reformasi
melakukan kebijakan harga pupuk dualistik yaitu menerapkan pasar terkendali (harga
bersubsidi) untuk usaha pertanian tanaman pangan, dan pasar bebas (tidak bersubsidi)
untuk usaha pertanian lainya. Perbedaan harga yang cukup besar telah menyebabkan
kelangkaan pasokan pupuk untuk usahatani tanaman pangan. Dewasa ini ada tekanan
yang sangat kuat agar pemerintah melepaskan pengaturan distribusi sarana produksi
pertanian sehinggasepenuhnya tergantung pada kekuatan pasar. Perubahan sistem
tataniaga ini jelas dapat berdampak buruk terhadap ketersediaan sarana produksi
ditingkat petani, khususnya di daerah-daerah terpencil yang sarana transportasinya
belum memadai. Dengan perkataan lain, fluktuasi harga maupun pasokan sarana
produksi usahatani merupakan ancaman baru terhadap uapaya peningkatan produksi
beras di masa mendatang.
2.2.4. Pemberian Insentif
Selama era Orde Baru, lebih-lebih pada awalnya, pemerintah mendorong
produksi beras dengan memberikan berbagai insentif: (a) dukungan dan jaminan harga
jual produk dengan menetapkan harga dasar;(b) subsidi sarana produksi (benih, pupuk,
pestisida); (c) kredit bersubsidi; (d) air irigasi bersubsidi. Pemberian insentif inilah yang
merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani dalam memacu produksi beras dan
bahan pangan lainya.
Setelah pada awalnya cenderung meningkat, pemberian insentif produksi
dirunkan secara bertahap sejak awal tahun 1980’an. Langkah penurunan ini diawali
dengan penghapusan subsidi pestisida (1989) yang kemudian dilanjutkan dengan
pengurangan subsidi pupuk K, air irigasi dan benih. Kecenderungan penurunan tajam
insentif ini dapat terlihat dengan jelas dari penurunan subsidi pupuk dalam APBN sejak
sejak tahun 1988/1989 (Tabel 1). Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan
kuat bahwa pemerintah akan terus menghapus semua insentif produksi, sehingga
usahatani padi sepenuhnya tergantung pada kekuatan pasar bebas. Petani harus
membayar air irigasi. Jaminan pengadaan kredit usahatani bersubsidi praktis sudah
tidak ada.
Boleh dikatakan, satu-satunya kebijakan insentif harga petani padi yang masih
bertahan hingga saat ini ialah kebijakan harga dasar gabah (HDG). Namun demikian,
kebijakan HDG inipun terbukti tidak sepenuhnya efektif. Sejak tahun 1999 harga gabah
yang diterima petani jauh di bawah HDG yang ditetapkan pemerintah. Kegagalah
373
pemerintah dalam mempertahankan kebijakan HDG merupakan hasil perpeduan dari
kesalahan rancangan kebijakan dan ketidakmampuan manajerial dalam implementasi
kebijakan. Dari segi rancangan kebijakan, HDG secara teoritis sudah tidak perlu
(redundant) pada rejim perdagangan bebas (tidak ada pembatasan volume impor
beras). Selain itu, HDG yang ditetapkan pemerintah (Rp.1.500/Kg) ternyata terlalu tinggi,
tidak konsisten dengan tarif impor pendukungnya (hanya Rp.340/Kg) sehingga
menimbulkan sindrome price overhang (Simatupang, 2001) yang diindikasikan oleh
praktek penyelundupan dan atau manipulasi dokumen impor beras dan tidak dapat
diefektifkannya kebijakan HDG sudah sangat kurang karena sudah tidak memiliki hak
monopoli impor, dukungan dana bersubsidi dan pasar khususnya (penyaluran beras
untuk pegawai negeri sudah dihentikan).
2.2.5. Pengembangan Traktor.
Pesatnya pertumbuhan luas tanam padi sejak akhir tahun 1960’an telah
menyebabkan melonjaknya kebutuhan tenaga kerja pengelola tanah. Di sisi lain, musim
tanam padi biasanya harus dilakukan serentak dan dalam rentang waktu yang sempit
sehingga kebutuhan tenaga kerja pada musim tanam semakin besar lagi. Akibatnya,
tenaga kerja pengolah tanah menjadi langka pada musim tanam di beberapa daerah,
khusunya di daerah sentra produksi padi. Untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja
tersebut maka sejak awal tahun 1970’an pemerintah melaksanakan program
traktorisasi. Walaupun mendapat resistensi dari beberapa kalangan yang khawatir akan
dampak negatifnya terhadap ketersediaan lapangan kerja bagi buruh tani, pemerintah
tetap tegar dan konsisten melaksanakan program traktorisasi tersebut. Pemerintah
menyediakan hibah traktor tangan bagi kelompok tani guna mengembangkan usaha
jasa traktor tersebut. Dismaping itu, pemerintah juga menyediakan kredit murah untuk
pembelian traktor bagi usaha peorangan. Program tersebut telah berhasil mendorong
pertumbuhan usaha jasa traktor seperti yang ditunjukkan oleh pesatnya pertambhan
jumlah traktor tangan (Tabel 4).
Pesatnya perkembangan traktor inilah yang memungkinkan pelaksanaan tanam
padi tepat waktu dan yang mendorong peningkatan intensitas tanam usahatani padi.
Peningkatan intensitas tanam tidak hanya berguna meningkatkan pendapatan petani
dan produksi beras nasional, tetapi secara agregat juga meningkatkan penyediaan
lapangan kerja. Dengan demikian, traktorisasi tidak menimbulkan penurunan, tetapi
374
sebaliknya, menigkatkan lapangan kerja bagi buruh tani. Dalam hal ini, kebijakan
traktorisasi yang dicanangkan pemerintah Orde Baru terbukti sangat tepat.
Tabel 4. Perkembangan Alat dan Mesin Pertanian di Indonesia 1990-1998 (Unit).
No Jenis 1990 1995 1998 1 Traktor 23.431 53.867 81.108 2. Traktor Roda empat: a. Mini 2.256 3.791 2.516 b. Sedang 872 1.261 1.042 c. Besar 257 1.072 1.098 3. Mesin penyemprot hama a. Knapsack 10.286 14.515 31.301 b. Skid 2.585 3.162 4.631 c. Swing Fag 371 786 1.729 4. Perontok Gabah 47.509 200.141 367.250 5. Pengering Gabah 1.975 5.635 5.525 6. Penggilingan padi: 46.236 69.836 79.568 a. Besar 3.965 3.957 6.462 b.Kecil 31.301 25.841 30.555 c. RMU 10.970 40.038 42.551 7. Pompa air 26.191 16.449 117.116
Sumber : BPS.
2.2.6. Pengembangan Usaha Jasa Penggilingan Padi.
Pesatnya perkembangan pertumbuhan produksi padi telah menciptakan pasar
yang besar dan meluas bagi perkembangan dan pertumbuhan usah jasa penggilingan
padi. Di sisi lain, tersedianya kredit perbankan yang murah merupakan faktor pelancar
bagi pertumbuhan pesat usaha penggilingan padi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel
5, jumlah penggilingan padi meningkat sangat pesat dari 46.236 unit pada tahun 1990
menjadi 79.568 unit pada tahun 1998. Kiranya patut dicatat, usaha kilang padi umumnya
bersifat multi-usaha, tidak hanya usaha jasa penggilingan padi tetapi juga usaha
perdagangan padi dan beras. Dengan demikian kilang padi merupakan simpul hilir yang
terpenting dalam sistem agribisnis padi.
Boleh dikatakan peranan pemerintah dalam pengembangan usaha penggilingan
padi praktis terbatas sebagai fasilitator dan regulator pengusaha swasta saja. Untuk
memfasilitasi perkembangannya, pemerintah mendorong swasta menyediakan kredit
investasi (skala kecil) dengan suku bunga murah. Pengaturan dilakukan melalui
instrumen perijinan. Setidaknya hingga pertengahan tahun 1990’an (sebelum krisis
ekonomi) kebijakan pemerintah cukup efektif untuk memacu pertumbuhan usaha jasa
375
penggilingan padi. Bahkan kemungkinan besar usaha jasa penggilingan padi sudah
menjurus over investment di beberapa wilayah, khususnya di Jawa.
Namun demikian, yang menjadi masalah ialah industri penggilingan padi
semakin didominasi oleh kilang berskala kecil jauh lebih rendah (hanya 59%) daripada
kilang berskala besar (mencapai 63%) (munsanto, et al, 1998; Nugraha, et al, 1998).
Lebih daripada itu, sejumlah besa kilang berskala kecil tersebut sudah terlalu tua
sehingga efisiensinya rendah. Inilah salah satu alasan pokok kenapa rendemen beras
menurun tajam (Simatupang, 2000). Peningkatan efisiensi industri penggilingan padi
merupakan salah satu agenda kebijakan guna meningkatkan produksi beras dan
sekaligus efisiensi sistem agribisnis padi.
2.2.7. Pengembangan Usaha Jasa Panen.
Secara selektif (terbatas untuk kegiatan usahatani tertentu) dan bertahap,
pemerintah Orde Baru melanjutkan kampanye mekanisasi usahatani padi dengan
mengembangkan usaha jasa panen padi (perontokan atu thresher) pada tahun 1980’an.
Strategi dan instrumen kebijakan yang ditempuh sama seperti program traktorisasi yaitu:
(a) diawali dengan pengembangan usaha perontokan padi mekanis melalui pemberian
peralatan secara hibah atau kredit bergulir; (b) mendorong perkembangan usaha jasa
swasta dengan fasilitas kredit murah. Program pengembangan usaha jasa panen padi
mekanis ini terbukti cukup berhasil. Jumlah alat perontok berkembang pesat dari 47.509
unit pada tahun 1990 menjadi 367.250 unit pada tahun 1998 (Tabel 4).
Pengembangan Usaha jasa panen padi mekanis telah berperan dalam
memperlonggar kendala tenaga kerja panen yang sampai menjadi kendala usahatani
padi dibeberapa wilayah sentra produksi pada tahun 1970’an. Perkembangan alat
perontok mekanis juga berperan dalam mendorong perubahan kelembagaan panen
seperti berkembangnya sistem panen borongan dan sistem tebasan menggeser sistem
bawon tradisional di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perontokan padi dengan
mesin terbukti lebih efisien dalam arti tingkat kehilangan gabah yang ditimbulkannya
lebih rendah daripada perontokan padi dengan cara banting (setyono dan Hasanudin,
1997). Tingkat kehilangan gabah pada sistem panen borongan juga lebih rendah
daripada sistem bawon. Dengan demikian, pengembangan usaha jasa panen mekanis
tidak hanya berfungsi sebagai penciptaan simpul agribisnis padi tetapi juga bermanfaat
mengurangi kehilangan panen yang berarti juga meningkatkan efisiensi sistem agribisnis
padi.
376
2.2.8. Penataan Kelembagaan dan Manajemen Operasional.
Untuk memperlancar dan ”mengamankan” kebijakan perberasan seperti yang
diuraikan di atas, pemerintah Orde Baru pun membangun pranata sosial dan
adminstrasi pelaksanaanya. Dalam bidang pranata sosial, pemerintah membentuk
kelompok tani, KUD dan sistem penyuluhan di tingkat desa. Semua ini dirancang dan
difungsikan sebagai elemen untuk melaksanakan program yang ditetapkan pemerintah.
Sementara itu, jajaran pemerintah daerah, mulai dari gubernur hingga kepala desa,
wajib pula untuk ”mengamankan” dan melaksanakan kebijakan pemerintah pusat
tersebut. Keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan, khususnya beras,
merupakan salah satu indikator kunci keberhasilan pejabat pemerintah daerah. Dengan
sistem yang demikian, pemerintah daerah senantiasa berusaha keras untuk memacu
produksi pangan (beras) di daerahnya. Kebijakan produksi pangan dilaksanakan dengan
pendekatan kekuasaan secara top down. Dengan organisasi yang demikian, petani
merupakan ”aprat” pelaksana yang paling lemah dan wajib mengikuti perintah,
menanam padi di lahan sawah merupakan suatu kewajiban bagi petani.
Tidak dapat dipungkiri, pendekatan kekuasaan dengan organisasi
sentralistik tersebut berhasil memaksa petani untuk memacu produksi beras maupun
bahan pangan lainnya. Namun, sistem ini jelas sangat feodalistik dan merugikan petani.
Petani benar-benar dieksploitasi demi untuk ”kepentingan nasional” yaitu pencapaian
swasembada beras/pangan. Pemerintah transisi Reformasi tidak lagi melakukan praktek
ini. Dewasa ini petani bebas memilih tanaman apa yang dianggapnya lebih
menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman.
Pelaksanaan pembangunan pertanian di tingkat petani dikelola pemerintah kabupaten
sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah. Ini jelas merupakan perubahan yang sangat
baik.
2.3 Evaluasi Hasil dan Dampak.
Tidak dapat dipungkiri, berkat komitmen politik yang tinggi, konsisten dan
berkelanjutan, dukungan anggaran pemerintah yang sangat besa, dan pengorbanan
patriotik para petani, program peningkatan produksi beras nsional sangat berhasil
secara kuantitatif sehingga Indonesia berubah status dari importir beras terbesar di
dunia menjadi berswasebada beras pada tahun 1984. Keberhasilan inilah salah satu
alasan utama kenapa Indonesia cukup berhasil dalam menjaga ketahanan pangan
377
sehingga tidak pernah terjadi insiden kelaparan skala besar. Disamping itu, peningkatan
produksi dalam negeri telah berhasil mengurangi ketergantungan terhadap impor beras
yang sangat penting untuk meningkatkan kemndirian dan mengurangi resiko pengadaan
beras akibat gejolak pasar dan politik luar negeri. Namun demikian, jika dilihat dari
perspektif pengadaan pangan berkelanjutan kebijakan yang dilakukan selama ini jelas
kurang berhasil.
Pertama, walaupun dengan ongkos besar, waktu yang dibutuhkan untuk meraih
swasembada beras ternyata sangat lama (lebih dari 25 tahun) dan praktis hanya dapat
dipertahankan sekitar lima tahun saja. Disamping itu, peningkatan derajat swasembada
beras diikuti dengan peningkatan defisit bahan pangan lain (kedelai dan jagung) karena
produksi ketiga tanaman pangan dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pangan secara berkelanjutan. Swasembada pangan tidak realistis dijadikan sebagai
tujuan kebijakan penyediaan pangan dalam rangka pemantapan ketahanan pangan
nasional, lebih-lebih di masa mendatang.
Kedua, kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produksi beras nasional
telah menyebabkan petani terperangkap dalam kemiskinan dan tidak kondusif pula bagi
pemantapan ketahanan pangan keluarga di pedesaan secara umum dan petani gurem
pada khusunya. Disamping itu, kebijakan yang ditempuh terfokus pada peningkatan
produksi beras di daerah persawahan sehingga bias negatif terhadap penduduk yang
bahan pangan pokoknya non-beras dan yang hidup di daerah lahan kering atau dataran
tinggi. Dalam konteks ini, kebijakan produksi yang ditempuh selama ini tidak sesuai
dengan kriteria perataan (equity). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kasus rawan
pangan atau kelaparan seperti Irian Jaya. Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya.
Ketiga, Internsifikasi usahatani dan penurunan kualitas irigasi telah membuat
usahatani pangan rentan terhadap serangan hama dan perubahan iklim sehingga
produksi pangan tidak stabil menurut waktu. Ancaman ketidakstabilan produksi ini
semakin berbahaya karena fenomena El-Nino telah menunjukkan gejala perubahan
menjadi semakin sering dan tidak menentu. Dengan demikian produksi domestik
semakin tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengadaan beras nasional.
Keempat, Kebijakan produksi beras telah menyebabkan overekstensifikasi
penggunaan lahan dan overintensifikasi penggunaan input kimia (pupuk dan pestisida)
sehingga menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. Fenomena
overekstensifikasi (Tabel 1) menyebabkan inefisiensi penggunaan lahan dan eksploitasi
lahan-lahan marjinal. Fenomena overekstensifikasi ditunjukkan oleh penggunaan pupuk
378
(Adiningsih, 1997;Roche, 1994) dan pestisida secara berlebihan. Overekstensifikasi dan
overintensifikasi ini juga merupakan faktor penyebab gejala penurunan produktivitas
total faktor produksi usahatani padi. Penurunan produktivitas total faktor produksi
merupakan indikator ketidak berlanjutan usahatani ( Simatupang, 1994; Simatupang et
al, 1996; Pinggali and Heisey, 1996).
Dari uraian di atas jelaslah kiranya bahwa kebijakan produksi beras yang
dilakukan tidak berhasil memacu produksi beras dan pendapatan petani secara
berkelanjutan, Disamping itu, kebijakan yang ditempuh memerlukan dukungan
pembiayaan yang sangat besar dari pemerintah serta dilaksanakan secara ”top-down”
dengan tanpa memperhatikan aspirasi petani. Hal ini jelas tidak sesuai dengan kondisi
obyektif ekonomi-politik Indonesia saat ini. Oleh karena itu kebijakan perberasan yang
dilakukan selama ini sudah harus segera dirancang ulang.
III. REORIENTASI ARAH DAN PENYESUAIAN KEBIJAKAN
3.1. Konteks kebijakan.
3.11. Krisis Ekonomi, Masalah Kemiskinan dan Kerawanan Pangan.
Oleh karena sudah menjelma menjadi spiral krisis ekonomi-sosial-politik, krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 merupakan yang
paling parah dan paling lambat pemulihannya dibandingkan dengan semua negara yang
terkena krisis ekonomi Asia. Hingga lima tahun mendatang. Pemulihan ekonomi
diperkirakan masih akan tetap merupakan agenda utama pembangunan ekonomi. Krisis
ekonomi tersebut telah pula menimbulkan kerawanan pangan dan peningkatan jumlah
penduduk miskin. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dan pengadaan jaring
pengaman ketahanan pangan keluarga haruslah tetap merupakan prioritas utama
pembangunan ekonomi dalam lima tahun ini. Disamping untuk mencegah insiden
kerawanan pangan yang berdampak buruk terhadap kesejahteraan hidup warga negara,
pemantapan ketahanan pangan juga sangat penting untuk menurunkan inflasi serta
mencegah gejala sosial ekonomi yang merupakan faktor kunci dalam pemulihan
ekonomi.
3.1.2. Keterbatasan Kebijakan Fiskal dan Moneter.
Krisis ekonomi jelas berdampak buruk terhadap penerimaan pemerintah
sehingga kemampuan pemerintah untuk membiayai investasi publik dan subsidi petani
379
akan menurun tajam. Dalam pad itu, krisis perbankan dan ancaman inflasi akan
memaksa pemerintah untuk membatasi pemberian kredit untuk sektor pertanian
maupun untuk seluruh perekonomian secara umum. Dengan demikian, kapasitas
kebijakan fiskal dan moneter untuk membantu pengembangan agribisnis padi akan
sangat terbatas paling tidak hingga perekonomian nasional stabil dan tumbuh kembali
pada kapasitas normalnya.
3.1.3 Liberalisasi Perdagangan.
Sesuai dengan kesepakatan WTO dan desakan kuat IMF, tidak ada pilihan lain
nampaknya pemerintah akan menerapkan kebijaksanaan pasar bebas untuk produk
maupun sarana produksi pertanian. Satu-satunya produk yang masih mungkin
dikecualikan ialah beras. Inipun tidak boleh dengan melakukan pembatasan volume
impor. Subsidi sarana produksi, termasuk pupuk, harus pula dihapuskan. Dengan
demikian, eksistensi dan pertumbuhan usahatani haruslah didasarkan pada keunggulan
kompetitif riilnya. Peningkatan produktivitas total faktor produksi haruslah dijadikan
prioritas dalam upaya peningkatan daya saing ini.
3.1.4. Integrasi Pasar.
Liberalisasi perdagangan, revolusi transportasi danteknologi informasi akan
menyebabkan usahatani padi mengalami proses globalisasi dalam artian terintegrasi
kuat dengan pasar global. Fluktuasi harga beras dan sarana produksi usahatani padi di
pasar global akan ditransmisikan dengan cepat dan hampir sempurna hingga ditingkat
petani. Hal ini juga akan meyebabkan terciptanya media transaksi bagi nilai tukar rupiah
untuk secara cepat dan kuat mempengaruhi harga produk gabah dan sarana produksi di
tingkat petani. Buku empiris menunjukkan bahwa harga gabah/beras dan sarana
produksi usahatani (pupuk, pestisida) bersifat fluktuatif. Sementara itu, selama proses
pemulihan ekonomi nilai tukar rupiah juga penuh dengan ketidakpastian. Dengan
demikian, pada masa mendatang petani akan menghadapi resiko dan ketakpastian
harga yang sangat besar sehingga manjemen usahatani semakin kompleks.
3.1.5. Ketimpangan Distribusi Pembangunan dan Masalah Marjinalisasi Pasar.
Mesti diakui bahwa distribusi spasial pembangunan infrastruktur dan tingkat
pendapatan di Indonesia masih sangat timpang. Hingga saat ini masih banyak terdapat
kawasan pemukiman terpencil yang dicirikan oleh prasarana transportasi dan
380
komunikasi yang buruk sehingga ongkos distribusi pemasaran ke atau dari daerah ini
realtif sangat tinggi. Di sisi lain, penduduk di daerah ini biasanya relatif jarang dan
tingkat pendapatannya pun rendah pula. Oleh karena itu, apabila distribusi sarana
produksi dan produksi tanaman pangan sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar maka
daerah-daerah yang terpencil akan mengalami kelangkaan pasokan sarana produksi
modern (benih, pupuk, pestisida), sementara hasil produksinya tidak dapat dijual ke luar
daerah. Di sisi lain, distribusi pangan akan cenderung menjauh kawasan terpencil dan
didominasi oleh penduduk miskin sehingga daerah-daerah yang tidak mampu
berswasembada akan mengalami ancman kekurangan pangan akut.
3.1.6. Desentralisasi Pembangunan.
Desentralisi pembangunan dengan memberikan otonomi yang lebih luas kepada
pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan akan
sangat berpengaruh terhadap kebijakan perberasan dan lebih-lebih terhadap kebijakan
pangan nasional. Produksi dan pengadaan pangan secara umum tidak dapat lagi
direncanakan secara sentralistik. Setiap propinsi akan menetapkan kebijakan produksi
pangan sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan komparatif daerahnya. Dalam kondisi
seperti ini koordinasi kebijakan dan manajemen sistem pengadaan pangan nasional
akan menjadi tantangan serius dalam upaya pemantapan sistem ketahanan pangan
nasional.
3.1.7. Perubahan Pola Iklim.
Fenomena El Nino-La Nina merupakan faktor resiko alam yang paling
berbahaya terhadap produksi pertanian secara umum dan produksi padi khusunya.
Perkembangan historis menunjukkan bahwa fenomena El Nino-La Nina telah
mengalami perubahan pola sehingga semakin tidak menentu dan frekuensinya semakin
tinggi. Fenomena inilah salah satu ancaman terbesar terhadap usahatani padi maupun
terhadap ketersediaan pangan secara nasional. Kemampuan untuk mengantisipasi
insiden El Nino-La Nina merupakan faktor kunci dalam mengatasi masalah ini. Namun,
hingga kini insiden El Nino-La Nina masih belum dapat diduga secara akurat.
3.2. Tantangan dan Hambatan Internal.
Disamping lingkungan strategis yang kurang kondusif, upaya pengembangan
agribisnis padi di masa mendatang akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala
381
internal yang sangat serius. Berdasarkan perkembangan historis hingga saat ini,
beberapa tantangan utama yang akan dihadapi ialah.
1. Kecenderungan penurunan daya saing: Hal ini ditunjukkan oleh gejala penurunan
produktivitas total faktor produksi dan profitabilitas usahatani padi. Jika hal ini
berlangsung terus maka usahatani padi dalam negeri akan kalah-saing dari produksi
pangan, khusunya beras, akan menurun.
2. Marjinalisasi kapaitas usahatani : Kecenderungan ini terjadi sebagai akibat dari
perpaduan antara marjinalisasi luas pemilikan lahan, penurunan laju pertumbuhan
produktivitas dan penurunan profitabilitas. Kecenderungan ini akan menyebabkan upaya
pemantapan ketahanan pangan dan penghapusan kemiskinan keluarga tani semakin
sulit dilakukan.
3. Kecenderungan penurunan laju pertumbuhan produksi: Gejala ini merupakan hasil
perpaduan antara perlambatan laju pertumbuhan luas panen dan produktivitas
usahatani padi. Kecenderungan ancaman serius terhadap perkembangan agribisnis
padi dan ketersediaan pangan nasional.
4. Kecenderungan peningkatan variabilitas produksi: Hal ini terjadi sebagai akibat
dari semakin rentannya usahatani padi terhadap perubahan iklim, sementara ancaman
perubahan iklim cenderung meningkat serta semakin tidak menentu pula. Pada masa
mendatang, peningkatan resiko dan ketidak pastian harga sebagai akibat liberalisasi
pasar akan semakin memperburuk masalah harga sebagai akibat liberalisasi pasar akan
semakin memperburuk masalah variabilitas produksi dan pendpatan usahatani padi.
Kecenderungan ini merupakan ancaman serius terhadap sistem agribisnis padi maupun
penyediaan pangan nasional.
Tantangan di atas jelas sangat berat, lebih-lebih karena adanya berbagai
hambatan internal sementara lingkungan eksternal tidak kondusif pula. Hambatan
internal yang paling mendasar diantarannya ialah:
1. Kendala sumberdaya lahan dan air: (a) Lahan sawah telah menunjukkan gejala
over ekstensifikasi dan over intensifikasi sehingga luas panen sulit ditingkatkan
sementara produktivitasnya akan cenderung menurun; (b) Luas baku lahan semakin
langka karena pembukaan lahan baru sangat lambat, sementara konversi fungsinya
cenderung meningkat; (c) Rata-rata luas pemilikan lahan pertanian cenderung turun; (d)
Pembangunan sistem irigasi berjalan lambat, sementara kapasitas sistem irigasi lama
cenderung menurun; (e) Sumber air untuk pertanian semakin langka sebagai akibat dari
382
kerusakan alam; dan (f) Degradasi lahan sawah intensif dan adanya cekaman biotik dan
abiotik, terutama air dananomali iklim.
2. Kendala teknologi: (a)Teknologi hijau nampaknya sudah mengalami saturasi
sehingga produktivitas potensialnya sudah sulit ditingkatkan; (b) Rendemen beras
cenderung menurun; (c) Usahatani makin sensitif terhadap perubahan iklim dan
serangan hama; (d) Belum semua VUB memiliki mutu beras tinggi; (e) Penguasaan
teknologi pengolahan dan pengembangan produk masih terbats; (f) Terbatasnya
penguasaan prasaran/sarana penyimpanan tingkat petani; dan (g) Lambat, diseminasi
dan promosi VUB.
3. Kendala modal dan sarana produksi; (a) Sebagian besar petani padi adalah,
keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok saat ini
daripada masa mendatang sehingga penggunaan modal untuk membiayai ongkos
usahatani dan investasi bukan merupakan prioritas utama; (b) Lambatnya proses
penyediaan dan penyebaran benih bermutu; (c) Terpatasnya partisipasi swasta dalam
produksi benih; (d) Keterbatasan tenaga kerja belum diimbangi dengan penyediaan
alsintan; dan (e) Beredarnya pupuk alternatif bermutu rendah dan pestisida palsu serta
lemahnya sistem pengendalian, mekanisme dan pelaksanaan sertifikasi.
3.3. Reorientasi Tujuan.
Telah dikemukakan bahwa masalah kemiskinan dan pemantapan jaring
pengaman ketahanan pangan keluarga merupakan masalah nasional yang perlu
mendapatkan prioritas penangan dalam beberapa tahun mendatang. Sejalan dengan itu
kebijakan penanganan nasional hendaklah diarahkan untuk mengatasi kedua masalah
tersebut. Dalam kaitan ini kiranya patut diingat bahwa sebagaian besar penduduk miskin
Indonesia hidup di pedesaan dan menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian,
khususnya agribisnis padi yang merupakan basis perekonomian sebagian besar
pedesaan. Dengan demikian peningkatan peningkatanproduksi dan pendapatan
usahatani padi merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan
pangan keluarga tani dan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Sementera itu, harus
pula diingat bahwa produksi beras domestik merupakan sumber pengadaan pangan
yang sangat penting untuk pemantapan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian,
kebijakan pengembangan agribisnis hendaklah diarahkan untuk tujuan ganda berikut:
(1) Meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan petani padi; (2) Memantapkan
ketahanan pangan nasional; dan (3) Mendinamisir perekonomian desa.
383
Tujuan ganda yang diusulkan di atas jelas sangat berbeda dari tujuan kebijakan
sebelumnya. Pada masa lalu kebijakan produksi pangan praktis hanya bertujuan untuk
memantapkan ketahanan pangan nasional dan kurang memperhatikan ketahanan
pangan maupun pendapatan keluarga tani. Peranan petani lebih difokuskan sebagai alat
untuk mencapai tujuan swasembada beras. Kedua tujuan tersebut haruslah dipandang
secara berjenjang. Tujuan pertama, merupakan sasaran prioritas, sedangkan tujuan
kedua, dan ketiga merupakan implikasi dari pencapaian tujuan pertama. Dengan
demikian, rancangan ini didasarkan pada prinsip ”apa yang baik bagi petani adalah juga
baik bagi negara”, sedangkan apa yang baik bagi negara belum tentu baik bagi petani”.
3.4. Strategi.
Dengan memperhatikan tujuan, kendala, dan konteks yang telah diuraikan
sebelumnya maka strategi peningkatan produksi beras yang dipandang cocok untuk
lima tahun mendatang ialah ”optimalisasi dan efisiensi” sisitem agribisnis padi yang
mencakup: (1) Optimalisasi penggunaan sumberdaya; (2) Efisiensi usahatani padi; dan
(3) Efisiensi pasaca panen.
Pada prinsipnya pendekatan ini tidak lain ialah bagaimana meningatkan produksi
dan pendapatan usahatani padi dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya
yang ada saat ini. Pilihan ini dilakukan karena bagaimanapun harus diakui bahwa
peningkatan produksi melalui peningkatan kapasitas produski dengan ekstensifikasi
sumberdaya lahan dan infrastruktur tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan dana
investasi, baik investasi swasta maupun investasi pemerntah. Dengan dana yang sangat
terbatas maka strategi investasi haruslah didasarkan pada prinsip quick impact-small
investment dapat memberikan hasil dengan cepat dan dengan dana yang relatif kecil.
Strategi tersebut juga sangat sesuai dari segi upaya untuk meningkatkan daya
saing melalui peningkatan produktivitas total faktor produksi. Di sisi lain efisiensi akan
menurunkan ongkos usahatani dan atau meningkatkan produksi yang berarti juga akan
menngkatkan laba usahatani (pendapatan petani) seraya meningkatkan produksi beras
nasional. Dengan demikian, strategi ini cocok untuk meraih tiga tujuan sekaligus:
memantapkan ketahanan pangan dan meningkatkan pedapatan keluarga tani,
memantapkan sistem pengadaan pangan nasional dan mendinamisir perekonomian
desa.
384
3.5. Paket Program dan Instrumen.
Sebagai implemantasi dari strategi, berikut ini diusulakn 10 paket program
beserta dengan komponen utama, instrumen dan atau langkah operasional. Usulan ini
dapat dipandang sebagai butir-butir pikiran yang tentunya masih harus diempurnakan
lebih lanjut oleh pihak-pihak berwenang.
1. Mendorong Rasionalisasi Manajemen Usahatani.
Komponen Utama.
a. Memberikan Kebebasan, Kesempatan dan kemampuan bagi petani untuk
mengelola usahataninya secara mandiri sesuai dengan UU No. 12 tahun 1992
tentang Sistem Budinaya Tanaman.
b. Mendorong differensiasi usahatni padi melalui pengembangan varietas padi
bernilai tinggi termasuk varietas lokal, varietas unggul aromatik, dsb.
c. Mndorong diversifikasi usahatani dengan mengembangkan cabang usaha non–
usahatani padi guna mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki keluarga tani.
d. Mendorong rasionalisasi penggunaan input, khususnya pupuk, pestisida dan
jasa alat mekanis, guna meningkatkan produktifitas dan atau menekan biaya
pokok produksi.
e. Mendorong percepatan adopso teknologi baru dan optimalisasi penerapan
teknologi yang ada.
Instrumen atau Langkah Operasional
a. Menerbitlkan dan mensosialisasikan petunjuk pelakanaan UU No. 12/1992.
b. Menyediakan informasi dan jasa penyuluhan sesuai kebutuhan petani.
c. Menyediakan alternatif benih varietas bernilai tinggi, termasuk non padi
d. Menyediakan fasilitas dan insentif guna percepatan difernsiasi dan diversifikasi
usahatni.
2. Rekonstruksi Lembaga Pelayanan dan Pemberdayaan Petani.
Komponen Utama
a. Menyedikan pelayanan lengkap dan terpadu di tingkat lokal.
b. Menumbuhkan-kembangkan usaha pertanian kooperatif
385
c. Menumbuhkan dan memperkuat organisasi petani untuk mengelola common
resources dan common interest seperti organisasi pengguna air, pemberantasan
hama, dsb.
d. Menumbuh-kembangkan organisasi advokasi kepentingan petani.
Instruman atau Langkah Opresional
A. membantu pemerintah daerah untuk membangun Pusat Pelayanan Agribisnis
Terpadu (P2AT) di pedesaan dengan merekonstruksi Balai Informasi dan
Penyuluhan Pertanian (BIPP) yang telah ada saat ini.
B. Memberikan bantuan teknis dan fasilitas pemberdayaan kepada petani dalam
rangka pengembangan usaha kooperatif.
C. Memberikan bimbingan teknis dalam penumbuhan dan pemberdayaan
organisasi petani.
D. Memberikan bantuan teknis dan fasilitas pemberdayaan guna menumbuhkan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bagi advokasi kepentingan petani.
3. Revitalisasi Sistem Inovasi Teknologi.
Komponen Utama
a. Menumbuh–kembangkan usaha penangkaran benih ditingkat lokal.
b. Revitalisasi Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi berorientasi
pada kebutuhan petani (demand driven research).
c. Mendorong penelitian dan pengembangan teknologi oleh lembaga swasta.
d. Membangun jaring inovasi (innovation network) yang interaktif antara petani
penyuluh-lembaga penelitian.
Instrumen atau Langkah Operasional
a. Melengkapi P2AT dengan kebun penangkaran benih
b. Memberikan bimbingan teknis, pasokan benih dasar dan fasilitas pemberdayaan
lain kepada penangkar benih.
c. Memberikan insentif fiskal bagi perusahaan swasta yang melakukan penelitian
dan pengembangan teknologi
d. Penajaman program, penyediaan dukungan dana dan sumberdaya penelitian
serta peningkatan perangsang bagi peneliti guna meningkatkan produktivitas
386
Lembaga Penelitian dan Pengembangan pemerintah dalam menghasilkan
teknologi terobosan sesuai kebutuhan petani
e. Membentuk jaring innovasi teknologi pertanian di bawah koordinasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian .
4. Pemulihan, Peningkatan dan Perluasan Infrastruktur.
Komponen Utama
a. Pemulihan dan peningkatan kualitas jaringan irigasi serta optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya air.
b. Pemulihan peningkatan kualitas dan perluasan jalan pedesaan
c. Pembangunan jaringan kelistrikan pedesaan
d. Pembangunan jaringan telepon pedesaan
Instrumen atau Langkah Operasional
a. Meningkatkan anggaran belanja pemerintah untuk peningkatan kualitas,
pemeliharaan dan perluasan jaringan irigasi dan transportasi pedesaan.
b. Mendorong PT. PLN dan PT. Telkom untuk meneruskan dan memperluas
program listrik dan telepon masuk desa.
c. Mendorong perkembangan usaha swasta di bidang jasa irigasi transportasi,
kelistrikan dan telekomunikasi pedesaan.
5. Rekonstruksi Sistem Penyedian Sarana Produksi dan Pemiayaan Usahatani.
Komponen Utama
a. Menjamin akases pupuk sesuai kebutuhan petani
b. Menumbuh kembangkan usaha jasa mekanisasi pertanian, khususnya di luar
jawa.
c. Mencegah dan memberantas peredaran pupuk dan pestisida palsu
d. Menjamin akses dana bagi petani guna membiayai usahatani
Instrumen atau Langkah Operasional
a. Memperbaiki mekanisasi distribusi pupuk dengan mewajibkan pabrik pupuk
menjamin pasokan pupuk hingga tingkat kecamatan
b. Mewajibkan labelsisasi mutu dari indentitas produsen pupuk dan pestisida yang
diperdagangkan di pasar bebas
387
c. Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan usaha jasa alat dan mesin
pertanian di luar jawa
d. Mengembangkan lembaga pembiayaan khusus bagi usaha pertanian
6. Rekonstruksi Paket Kebijakan Harga dan Perdagangan.
Komponen Utama.
a. Menjamin profitabilitas minimum usahatni padi guna melindungi petani dari
mekanisme pasar yang tidak sehat
b. Mengendalikan nilai tukar input (input term of trade) khususnya rasio harga
gabah dan pupuk, guna merangsang optimalisasi penggunaan sarana produksi
c. Mencegah lojakan harga beras ditingkat konsumen guna memantapkan
ketahanan pangan rumah tanggga.
Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional
a. Menetapkan kisaran harga gabah ditingkat petani dan harga beras ditingkat
konsumen (price band)
b. menetapkan harga acuan pupuk maksimum ditingkat petani sesuai dengan
patokan rasionya dengan harga gabah
c. menetapkan tarif impor beras sesuai dengan kebutuhan untuk mendukung
harga patokan gabah.
7. Revitalisasi Industri Pasca Panen.
Komponen Utama.
a. Mendorong renovasi mesin penggilingan padi guna meningkatkan efisiensinya
khususnya melalui minimalisasi kehilangan
b. Mendorong pembangunan lantai jemur dan investasi mesin pengering padi
c. Mendorong perkembangan usaha jasa perontokan padi mekanis
Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional
a. menetapkan standar minimum efiensi unjuk kerja mesin penggilingan padi dan
wajib uji kir setiap tahun
b. menyediakan kredit komersial untuk investasi pada industri pasca panen
c. membantu pertumbuhan usaha perintis dibidang jasa pengeringan dan
perontokan padi
388
8. Pengembangan Jaringan Pengaman Sosial Bagi Petani dan Penduduk Miskin
Komponen Utama.
a. Mengembangkan lumbung pangan di daerah terpencil rawan pangan.
b. Melaksanakan Operasi Pasar Khusus (OPK)
c. Membangun system deteksi dini dan rencana darurat antisipasi bencana gagal
panen.
Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional
a. Memberikan bantuan teknis dan finansial kepada masyarakat pedesaan di
kawasan terpencil rawan pangan guna membangun lumbung pangan lokal.
b. Meneruskan dan menyempurnakan program Operasional Pasar Khusus yang
sudah dilaksanakan beberapa tahun ini.
c. Membentuk dan membudayakan unit kerja yang bertugas untuk melakukan
deteksi dini dan rencana darurat antisipasi bencana gagal panen.
d. Desentralisasi dan Harmonisasi Manajemen Pembangunan.
9. Pemantapan Desentralisasi Pembangunan dan Harmonisasi Kebijakan
Komponen Utama.
a. Menyerahkan tugas dan wewenang pembimbingan dan pemberdayaan petani
kepada pemerintah daerah kabupaten
b. Desentralisasi operasi pengamanan kebijakan harga gabah/beras dan pupuk
c. Harmonisasi kebijakan nasional antar sektoral, antar propinsi dan antar
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional
a. merumuskan petunjuk pelaksanaan desentralisasi tugas dan wewenang
manajemen pembangunan pertanian
b. membentuk dewan kebijakan ketahanan pangan yang bertugas merumuskan
paket kwebijakan terpadu antar departemen
c. membentuk forum konsultasi kebijakan pembangunan pertanian antar
pemerintah pusat dan daerah
d. perluasan areal dan pemetaan kelembagaan agraria
389
10. Pembukaan dan optimalisasi serta pengendalian konservasi lahan pertanian.
Komponen Utama.
a. Optimalisasi pemanfaatan lahan gambut dan pasang surut
b. Pembukaan areal pertanian baru
c. Menghambat fragmantasi dan mendorong konsolidasi kepemilikan lahan
pertanian
d. Menghambat proses konversi lahan pertanian ke fungsi lainnya
Instrumen Kebijakan atau Langkah Operasional
a. mengkaji ulang proyek pengembangan lahan gambut dan pasng surut masa lalu
b. mengkaji merencanakan dan melaksanakan program perluasan areal pertanian
jangka panjang
c. mengkaji ulang dan merumuskan hukum dan peratutan agraia guna mencegah
fragmantasi dan mendorong konsolidasi lahan menghambat alih fungsi lahan
dan mencegah penelantaran lahan (lahan tidur)
390
IV. KESIMPULAN
Terlepas dari segala kekurangannya, mesti diakui bahwa Presiden Suharto
merupakan pemimpin pemerintahan Indonesai pertama yang memeiliki komitmen luar
biasa dalam membangun system agribisnis padi hingga swasembada beras dapat diraih
pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut dipandang sebagai prestasi luar baisa karena
beranjak dari kondisisistem agribisnis yang sangat parah dan volume impor yang sangat
besar (terbesar di dunia) serta dalam kurun waktu dimana permintaabn beras domestik
meningkat pesat sebagai akibat dari sangat tingginya laju pertumbuhan penduduk dan
tingkat pendapatan per kapita.
Pilar keberhasilan tersebut ialah: adanya kesempatan terobosan teknologi dan
paket kebijakan komprehensif. Pilar pertama ialah momentum perkembangan teknologi
“Revolusi Hijau” yang kebetulan pada fase percepatan pada tahun 1970’an. Pilar kedua
ialah paket “mega” kebijakan yang mencakup semua elemen penopang agribisnis yaitu
”Lima I”: Sistem Inovatif, Infrastruktur, invesatasi, insentif, dan institusi. Namun sejak
akhri tahun 1980’an kedua pilar ini mengalami pengurangan. Teknologi “Revolusi Hijau”
telah menunjukan gejala stagnasi, sementara paket kebijakan perberasan mengalami
dekontruksi.
Usahatani padi telah menunjukan gejala sindroma overintensifikasi yang
menyebabkan perlambatan pertumbuhan hasil dan total factor produksi. Ekstensifikasi
saweah semakin sulit dilakukan dan bahkan di Jawa luas sawah baku cenderung
menurun. Akibatnya ialah laju pertumbuhan produksi beras mengalami perlambatan
dan semakin tidak stabil pula. Hal inilah yang menyebabkan swasembada beras tidak
dapat dipertahankan. Sejak awal tahun 1990’an Indonesai telah kembali menjadi
importir beras dan bahkan menjadi importir terbesar di dunia sejak tahun 1990’an.
Revitalisasi system agribisnis merupakan Program mendesak guna menstabilkan
pertumbuhan produksi bera yang sangat strategis dalm pemantapan ketahanan
pangan, peningkatan pendapatan petani dan dinamisasi perekonomian desa (dalam
rangka penentasan kemiskinan dan pemeratan pembangunan). Untuk itu, kebijakan
perberasan nasional haruslah direkontruksi secara komprehensif. Kebijakan harga dasr
sudah kurang sesuai dengan tatanan perkenomian global dan tidak akan efektif untuk
391
revitalisasi system agribisnis. Oleh karena itu, pemerintah sudah harus memikirkan
suatu paket kebijakan komprehensif tidak hanya berkutat pada harga dasar gabah saja.
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, J.S. 1997. Peranan Efisiensi penggunaan Pupuk untuk Melestarikan
Swasembada Pangan. Proseding Simposium Nasional dan Kongres VI Peragi, hal. 65-85. Perhinpunan Agronomi Indonesia.
Casman and P.L. Pingali. 1995. Intensification of Irrigated Rice System: Learning from
the Past to Meet Future Challenges. Geojurnal 5(3):299-306. Christianto, L. 1997. Potensi dan Kendala Sumberdaya Tanah Menunjang Produksi
Pertanian di Indonesia. Proseding symposium Nasional dan Kongres VI Peragi, hal. 65-85. Perhinpunan Agronomi Indonesia.
Darwanto, DH. 1993. Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia,
Ph.D. Dissertation, University of the Philippines, Los Banos. Falcon, WP and CP Timmer. 1991. Food Security in Indonesia: Defining the Issues,.
Indonesian Food Jpurnal 2(3):8-20 Hossain, M. 1997. Rice Supply and Demand in Asia a Socioeconomic and Biophysical
analysis. In D.S. Teng (Eds.), Application of Systems Approaches at the Farm and Regional Levels. P265-279. Kluwer Academic Publisher, Netherlands.
Jatilaksono, T. 1998. Impact of Rice Research and Technology Dissemination in
Indonesia. In P.L. Pingali and M. Hossain (eds.). Impact of Rice Research, p.293-310. Thailand Development Research Institute, Bangkok and International Research Institute. Manila.
Munarso, US., A. Setyono, Susimono dan Jumali. 1998. Tinjauan tentang Rendemen
Beras Giling: Evaluasi Mutu dan Rendemen Beras Giling, di Tingkat Petani. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Nugrasa, US, SJ. Munarso, Susimono dan A. Setyono. 1998. Tinjauan tentang
Rendemen Beras Giling dan Susut Pasca Panen: Masalah Sekitar Rendemen Beras Giling, Susut dan pemecahannya. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Pearson, SR Naylor, and W. Falcon. 1991. Recent Police Influence of Rice Production.
In Pearson, et al. (Ed.) Rice Police in Indonesia, p 8-21 Cornell University Press, Ithaca.
Pingali, PL and PL Heisey. 1996. Cereal Crop Productivity in Developing Countries; Past
Trend and Future Prospects. Paper presented at the conference on Global Agricultural Science Police tc the 21st Century. Melbourne, Australia, 25-28 August.
392
Roche, FC. 1994. The Technical and Price Efficiency of fertilizer Use in Irrigated Rice Production. Bulletin of Indonesia Economic Studies 30(1):59-83.
Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indonesia
1969-1998. Agro ekonomika 29 (10:19-37. Setyono, A. dan A. Hasanudin. 1997. Teknologi Pasca Panen Padi, Pelatihan
Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan. BPLPP Cibitung, 21-25 Juli 1997.
Simatupang, P. 1994. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Total Faktor
Produksi Usahatani Padi di Indonesia. Pusat Peneltian Sosisl Ekonomi Pertanian. Bogor. Mimeo.
Simatupang, P. 1999. Sudaryanto, A. Purwanto, and Saptana. 1996. Projection and
Policy Implentaions of Medium and Long-term Rice Supply and Demand in Indonesia. Center for Agro-socioeconomic Research, Bogor-International Food Policy Reseacr Institute, Washington DC.
Simatupang, P. 2000. Fenomena Perlambatan dan instabilitas Pertumbuhan Produksi
Beras Nasional: Akar Penyebab dan Kebijakan pemulihannya. Makalah disampaikan pada Pra Seminar Nasional “Sektor Pertanian Tahun 2002: Kendala, Tantangan dan Prospek”. Bogor 4 Oktober 200, Pusat peneltian Sosial Ekonomi Pertanian.