3
Kebakaran Hutan Dan Lahan Stigma Masyarakat Lokal Oleh :HE Benyamine Musim kemarau telah tiba, yang berarti diikuti berbagai bentuk kebakaran. Seolah musim kemarau punya kembarannya yang gemuk dan besar, yang potensial menjadi musuh karena wujudnya api. Ada kebakaran perkampungan di perkotaan, karena tata ruang perkotaan untuk sebagian wilayahnya memang telah berkembang dan tumbuh menjadi wilayah yang rentan terhadap api. Kebakaran perkampungan sangat merisaukan dan memilukan, terlebih lagi biasanya perkampungan tersebut adalah bagian strata masyarakat menengah ke bawah sehingga kebakaran merupakan bentuk dehumanisasi. Namun demikian, kebakaran perkampungan itu hanya berita sedih dan pilu. Berbeda dengan kebakaran hutan dan lahan yang dengan cepat menjadi berita internasional. Kebakaran hutan dan lahan menjadi momok tersendiri setiap tahun pada musim kemarau. Ada yang menyatakan, sebab kebakaran itu hampir semuanya berasal dari aktivitas manusia (Acep Akbar, BPost, 10 Juli). Bahkan data Asian Development Bank menyatakan, hanya satu persen yang menyebabkan kebakaran akibat alami. Selebihnya, yang 99 persen adalah akibat perbuatan manusia. Manusia yang mana? Karena, hanya mengatakan manusia. Seolah terlalu menyederhanakan eksistensi kemajemukan manusia itu sendiri. Terlebih lagi, perlu dibedakan antara kebakaran hutan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan tentunya di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan sebaliknya. Tentu ada perbedaan manusia antara dalam kawasan hutan dengan yang di luarnya. Kebakaran hutan dapat terjadi seperti di areal HPH dan Hutan Lindung. Kebakaran lahan dapat terjadi seperti di areal Perkebunan Inti Rakyat, ladang dan kebun. O P I N I Kebakaran Hutan Dan Lahan Stigma Masyarakat Lokal Tajuk: Teroris Dan Terorisme Hotline Kedua macam kebakaran ini bisa terjadi secara bersamaan, karena lokasi hutan berdekatan dengan areal yang dinamakan lahan tersebut. Dengan adanya perbedaan itu, tentu ada perbedaan pandangan dan pengetahuan dimiliki manusia yang dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan.Pada kesempatan ini, manusia yang hidupnya masih menerapkan sistem lading berpindah perlu mendapat perhatian lebih adil dan berempati dengan system pengetahuan yang menjadi landasan dari tindakan dalam kehidupan mereka. Tidak Sama Sistem pengetahuan lokal (local knowledge) atau pengetahuan penduduk asli (indegenous knowledge) tentang berladang, menempatkan tahapan pembakaran sebagai bagian penting dan tidak bisa ditinggalkan. Salah satu petani ladang di Desa Belimbing Lama berujar: "Kada kawamun kada disalukut. Supaya tanah tu basagu, banih subur dapatnya habu. Jadi disalukut. Coba kita buang rabanya,kapinggirakan, misalnya kawa mambuanglah, jadi tanah mantah kalu kada di salukut tu, balajur banihnya kada baik, dasar kada baik mun kada dapat habu". Local knowledge atau indigenous knowledge, seperti ladang berpindah, sebenarnya tidak layak diposisikan sebagai bagian dari kegiatan manusia yang menyebabkan kebakaran hutan. Pengetahuan tradisional yang mempunyai ciri unik, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, diberikan melalui sistem oral dan melalui ujicoba (trial and error) dalam waktu cukup lama. Maka, tahapan

Kebakaran Hutan Dan Lahan

  • Upload
    arief

  • View
    39

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kebakaran Hutan Dan Lahan

Citation preview

Page 1: Kebakaran Hutan Dan Lahan

Kebakaran Hutan Dan Lahan Stigma Masyarakat Lokal Oleh :HE Benyamine

Musim kemarau telah tiba, yang berarti diikuti berbagai bentuk kebakaran. Seolah musim kemarau punya kembarannya yang gemuk dan besar, yang potensial menjadi musuh karena wujudnya api. Ada kebakaran perkampungan di perkotaan, karena tata ruang perkotaan untuk sebagian wilayahnya memang telah berkembang dan tumbuh menjadi wilayah yang rentan terhadap api. Kebakaran perkampungan sangat merisaukan dan memilukan, terlebih lagi biasanya perkampungan tersebut adalah bagian strata masyarakat menengah ke bawah sehingga kebakaran merupakan bentuk dehumanisasi. Namun demikian, kebakaran perkampungan itu hanya berita sedih dan pilu. Berbeda dengan kebakaran hutan dan lahan yang dengan cepat menjadi berita internasional. Kebakaran hutan dan lahan menjadi momok tersendiri setiap tahun pada musimkemarau. Ada yang menyatakan, sebab kebakaran itu hampir semuanya berasal dari aktivitas manusia (Acep Akbar, BPost, 10 Juli). Bahkan data Asian Development Bank menyatakan, hanya satu persen yang menyebabkan kebakaran akibat alami. Selebihnya, yang 99 persen adalah akibat perbuatan manusia. Manusia yang mana? Karena, hanya mengatakan manusia. Seolah terlalu menyederhanakan eksistensi kemajemukan manusia itu sendiri. Terlebih lagi, perlu dibedakan antara kebakaran hutan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan tentunya di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan sebaliknya. Tentu ada perbedaan manusia antara dalam kawasan hutan dengan yang di luarnya. Kebakaran hutan dapat terjadi seperti di areal HPH dan Hutan Lindung. Kebakaran lahan dapat terjadi seperti di areal Perkebunan Inti Rakyat, ladang dan kebun.

O P I N IKebakaran Hutan Dan Lahan Stigma Masyarakat Lokal Tajuk: Teroris Dan Terorisme

HotlineKedua macam kebakaran ini bisa terjadi secara bersamaan, karena lokasi hutan berdekatan dengan areal yang dinamakan lahan tersebut. Dengan adanya perbedaan itu, tentu ada perbedaan pandangan dan pengetahuan dimiliki manusia yang dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan.Pada kesempatan ini, manusia yang hidupnya masih menerapkan sistem lading berpindah perlu mendapat perhatian lebih adil dan berempati dengan system pengetahuan yang menjadi landasan dari tindakan dalam kehidupan mereka.

Tidak SamaSistem pengetahuan lokal (local knowledge) atau pengetahuan penduduk asli (indegenous knowledge) tentang berladang,menempatkan tahapan pembakaran sebagai bagian penting dan tidak bisa ditinggalkan. Salah satu petani ladang di Desa Belimbing Lama berujar: "Kada kawamun kada disalukut. Supaya tanah tu basagu, banih subur dapatnya habu. Jadi disalukut. Coba kita buang rabanya,kapinggirakan, misalnya kawa mambuanglah, jadi tanah mantah kalu kada di salukut tu, balajur banihnya kada baik, dasar kada baik mun kada dapat habu". Local knowledge atau indigenous knowledge, seperti ladang berpindah, sebenarnya tidak layak diposisikan sebagai bagian dari kegiatan manusia yang menyebabkan kebakaran hutan. Pengetahuan tradisional yang mempunyai ciri unik, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, diberikan melalui sistem oral dan melalui ujicoba (trial and error) dalam waktu cukup lama. Maka, tahapan pembakaran merupakan tindakan sadar dari petani yang mempunyai pertanggungjawaban sendiri. Sebagai tindakan sadar, tentu petani lading mempunyai cara dalam membakar. Hal ini dapat disimak dari perkataan petani lainnya: "Itu memperhatikan lalaran api, jangkauan api supaya jangan manular ka hutan lain.Nah, itu dibari ladangan sisi-sisinya nang bisa sampai lima meter. Ini harus dijaga basama, jadi supaya tahun dudi kada manabas nang samak-samak lagi. Sebab pabilanya kabakaran nang timbul tu samaksamak,sabat, jadi dijaga bukan bakar lepas,tidak kalau masyarakat tu".Dengan demikian, petani ladang pun sebenarnya tidak menginginkan terjadi kebakaran hutan. Mereka tahu akibatnya bagi mereka sendiri, yaitu kebakaran dapat menyebabkan hutan menjadi semak dan tidak baik untuk ladang tahun berikutnya. Artinya, kebakaran hutan adalah kehilangan lahan ladang potensial untuk tahun depan dan itu berakibat pada kehidupan selanjutnya, karena masih berada dalam ekonomi subsistem. Oleh sebab itu, pembakaran lahan bagi peladang sangat diperhatikan dan dijaga, bahkan pembakarannya dilaksanakan secara bahandip (bergotong royong), karena merupakan tanggungjawab

Page 2: Kebakaran Hutan Dan Lahan

sosial. Jadi, membakar lahan bagi peladang tidak jauh berbeda dengan orang membakar ikan di dalam rumah. Keduanya membakar dengan sadar dan mempunyai tujuan yang jelas. Peladang mempunyai keyakinan, abu pembakaran dapat menjadikan padi tumbuh subur sehingga tidak memerlukan input pertanian berupa pupuk kimia. Membakar adalah suatu kegiatan manusia, sedangkan kebakaran adalah akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran serta kelalaian manusia. Memang kegiatan membakar lahan mempunyai peluang menyebabkan kebakaran hutan, karena lalai dan ceroboh atau tidak disengaja. Tetapi hal itu dapat dieleminasi oleh adanya pengetahuan tradisional yang sangat mengerti sistem ekologi setempat. Begitu juga dengan lahan gambut. Harus ada pemisahan antara lahan gambut yang digunakan untuk sawah dengan yang bukan sawah. Karena, lahan gambut yang menjadi sawah mempunyai struktur berbeda dalam hal ketebalan gambut. Begitu juga dengan vegetasi dan tata airnya. Dengan demikian, petani dalam membersihkan lahan dari biomass pasca panen padi dengan cara membakar tidak serta merta diposisikan sebagai manusia yang menyebabkan kebakaran hutan.Pembersihan lahan gambut sawah dari vegetasi dan biomass pasca panen, merupakan tindakan sadar petani dan merupakan bagian dari sistem pengetahuan lokal yang berjalan sejak dahulu. Tentu petani mempunyai alasan, mengapa pembersihan lahan dilakukan dengan cara membakar. Cara membakar adalah yang paling murah dan ada keyakinan dapat menyuburkan tanaman. Lahan gambut untuk sawah sebenarnya tidak dapat dikatakan terjadi kebakaran, karena pembersihan dengan cara membakar tidak sama dengan kebakaran lahan. Di samping itu, masalah utama adalah asap yang disebabkan pembersihan vegetasi dan biomass dengan cara membakar di lahan gambut sawah, apabila dilakukan bersamaan akan menyebabkan kabut asap yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, cara bergiliran dapatmenjadi pilihan dalam pembakaran lahan sawah dan diupayakan dilakukan oleh masyarakat bersangkutan. Cara pembersihan tersebut dilakukan turuntemurun, sehingga yang dapat dilakukan adalah mengatur waktu pembakaran.

Kebakaran Hutan dan LahanSejak 1996, laju kehilangan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai dua juta hektare per tahun (Global Forest Watch, 2001). Sementara itu terdapat beberapa tantangan yang dihadapi sektor kehutanan di era otonomi daerah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2002), yakni 1) hutan yang semakin hari semakin rusak, 2) praktik pengelolaan hutan tidak menjamin kelestarian hutan, 3) pencurian kayu dan perambahan hutan, 4) permintaan kayu yang berlebih, 5) kebakaran hutan, 6) hak pengelolaan dan kepemilikan masyarakat tidak jelas, 7) kontribusi kehutanan terhadap perekonomian menurun, 8) partisipasi masyarakat belum terbangun dengan baik, 9) korupsi, kolusi dan nepotisme dalam sektor kehutanan.Dengan demikian, laju kehilangan hutan dan beberapa tantangan yang dihadapi sector kehutanan mengindikasikan, kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh manusia yang serakah, yang memacu greed revolution terhadap hutan. Oleh karena itu, patut dipertanyakan yang menyamakan petani lahan gambut sawahdan peladang ke dalam kelompok manusia yang menyebabkan kebakaran hutan. Apalagi mengatakan, mereka melakukan pembakaran disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Seolah-olah kesalahan kebijakan dalam sector kehutanan disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, yangtidak tahu bagaimana mengelola hutan secara lestari. Stigma terhadap masyarakat lokal akan terus berlanjut, apabila hak pengelolaan dan kepemilikan masyarakat tidak jelas. Terlebih lagi Hak Ulayat seperti pada masyarakat yang menghuni Pegunungan Meratus. Dengan hak masyarakat terhadap hutan yang tidak jelas, maka jangan berharap partisipasi masyarakat dapat terbangun dengan baik. Hutan adalah rumah besar, sehingga penghuninya dapat mendirikan tungku pembakaran (baca: membakar) untuk kegiatan ‘memasak dan merebus’.Tidak ada orang yang menginginkan rumahnya terbakar. Berladang adalah memasak yang memang harus dijaga agar tidak hangit (gosong).

Mahasiswa PS Pengelolaan SDAdan Lingkungan Unlam, Banjarbaru.