Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA DI GUA SIBEDAHAN,
GUA SIGAWIR, DAN GUA SIGINTUNG, KAWASAN KARST
KAMPUNG CIBUNTU, BOGOR, JAWA BARAT
SKRIPSI
ARMAN GAFFAR
1111095000025
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA DI GUA SIBEDAHAN,
GUA SIGAWIR, DAN GUA SIGINTUNG, KAWASAN KARST
KAMPUNG CIBUNTU, BOGOR, JAWA BARAT
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ARMAN GAFFAR
1111095000025
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
i
ABSTRAK
ARMAN GAFFAR. Kenekaragaman Arthropoda di Gua Sibedahan, Gua
Sigawir, dan Gua Sigintung, Kawasan Karst Kampung Cibuntu, Bogor,
Jawa Barat. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Dr. Cahyo
Rahmadi dan Narti Fitriana, M.Si. 2018
Gua merupakan ekosistem unik yang memiliki suhu relatif stabil serta tingkat
kelembapannya yang relatif tinggi. Kawasan karst Kampung Cibuntu, Bogor
memiliki banyak gua yang belum dipelajari para peneliti. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis,
jumlah jenis Arthropoda, perbandingan parameter lingkungan tanah, serta
mengetahui hubungan parameter lingkungan tanah dengan keanekaragaman
jenis Arthropoda gua. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan
teknik pengambilan sampel dengan koleksi langsung, perangkap sumuran, dan
pengambilan sampel tanah. Keanekaragaman jenis di Gua Sigawir dan Gua
Sibedahan tergolong tinggi, sedangkan Gua Sigintung sedang. Indeks
kemerataan jenis di Gua Sibedahan, Gua Sigawir, dan Gua Sigintung tergolong
tinggi. Jumlah jenis terbesar berada pada zona mulut gua di Gua Sibedahan
(41), Gua Sigawir (41), dan Gua Sigintung (32). Faktor lingkungan yang
diukur adalah suhu tanah berkisar 22,1-24,3 ⁰C, kelembapan tanah 100% atau
mendekati 100%. Pada uji Korelasi Pearson, semakin tinggi kelembapan tanah
semakin rendah keanekaragaman Arthropoda dan sebaliknya.
Kata Kunci: Kampung cibuntu, keanekaragaman Arthropoda, perangkap
sumuran
ii
ABSTRACT
ARMAN GAFFAR. Arthropod Diversity in Sibedahan Cave, Sigawir
Cave, and Sigintung Cave, Karst Area Kampung Cibuntu, Bogor, West
Java. Biology Studies Program. Faculty of Science and Technology. Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Guided by Dr. Cahyo
Rahmadi and Narti Fitriana, M.Si. 2018.
Cave is a unique ecosystem that has a relatively stable temperature and a
relatively high level of humidity. Karst Kampung Cibuntu area, Bogor has
many caves that have not been studied by researchers. This study aims to
determine the diversity and evenness index of species, the number of
Arthropods types, the comparison of soil environmental parameters, and
determine the relationship of soil environmental parameters with the diversity
of Arthropod cave types. The method used is survey method with sampling
technique with direct collection, pitfall trap, and soil sampling. Species
diversity in Sigawir Cave and Sibedahan Cave are high, while Sigintung Cave
is medium. The evenness type index in Sibedahan Cave, Sigawir Cave, and
Sigintung Cave are high. The largest number of species are in the cave mouth
zone in Sibedahan Cave (41), Sigawir Cave (41), and Sigintung Cave (32).
Environmental factors measured are soil temperature ranging from 22.1-24.3
⁰C, soil moisture 100% or close to 100%. In the Pearson Correlation test, the
higher the soil moisture the lower te Arthropod diversity and vice versa.
Keywords: Biodiversity Arthropod, cibuntu village, pitfall trap
iii
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.
Rasa syukur tak terhingga atas limpahan nikmat, karunia, serta
kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Penelitian ini dapat
berjalan tidak lain tidak bukan atas berkat-Nya. Shalawat serta salam tak lupa
terhaturkan pada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman
jahiliyah ke jaman yang penuh hidayah, dari jaman kegelapan ke jaman yang
terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.
Penelitian ini bertemakan tentang hidupan dalam gua dengan judul
“Keanekaragaman Arthropoda di Gua Sibedahan, Gua Sigawir, dan Gua
Sigintung, Kawasan Karst Kampung Cibuntu, Bogor, Jawa Barat”.
Penulis bersyukur mampu menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini juga
merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana
Sains di bidang Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini berisi tentang perlunya inventarisasi keanekaragaman
fauna di dalam gua, khususnya Arthropoda, guna pelestarian dan kelestarian
fauna dan habitatnya. Manfaat penelitian ini dapat memberikan data hasil
inventaris atau informasi mengenai Arthropoda yang ada di kawasan karst
Kampung Cibuntu, Bogor kepada peneliti terkait, pemerintah setempat, serta
pihak atau organisasi yang bergerak dalam pelestarian kawasan karst di daerah
tersebut, supaya ada pengelolaan yang tepat guna meminimalisir terganggunya
ekosistem tersebut. Semoga hasil penelitian ini menjadi landasan bagi
iv
pengelolaan sumber daya kawasan karst secara lestari oleh pihak yang
berwenang.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua
yang sejauh ini telah mendukung baik moril ataupun materil dan seluruh pihak
yang telah mendukung dan memberi arahan agar penelitian ini dapat
terselenggara dengan baik.
1. Kedua orang tua dan keluarga besar penulis yang selalu memberi motivasi
baik materil maupun moril, utamanya saat malas.
2. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Dr. Agus Salim M.Si beserta
jajarannya
3. Ketua Program Studi Biologi Dr. Dasumiati M.Si beserta jajarannya dan
segenap dosen di Program Studi Biologi
4. Dr. Cahyo Rahmadi dan Narti Fitriana M.Si selaku pembimbing yang
selalu membimbing penulis dengan penuh kesabaran hingga dapat
diselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Penguji Dr. Fahwa Wijayanti M.Si dan Dr. Iwan Aminudin M.Si yang
telah memberikan banyak masukan yang membangun pada skripsi ini
6. Sahabat tercinta Cencen, Babe, Singit, Boge, Depek, Basing, Kancing,
Udi, Putra, Mikhael, Febi, dan seluruh teman yang telah sangat membantu
dalam pengambilan, pengolahan, dan penyelesaian skripsi ini.
7. Unit Kegiatan Mahasiswa Arkadia yang penulis cintai beserta seluruh
saudara/i se-Arkadia yang telah mengajarkan dasar-dasar ilmu kehidupan
di alam
8. Linggih Alam yang telah memberikan informasi awal tentang lokasi
penelitian
v
9. Pak Muhidin yang telah mengijinkan dan memberikan fasilitas penginapan
di lokasi tempat penelitian
10. Segenap sahabat Program Studi Biologi yang telah menemani belajar dan
bermain selama menempuh program sarjana di UIN Jakarta
Seluruh pihak yang telah membantu penulisan ini tidak dapat dituliskan
satu per satu, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik atas segala
bantuan yang diberikan. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi seluruh alam semesta terutama dalam upaya konservasi
ekosistem karst yang berkelanjutan.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, Juli 2018
Penulis
vi
DAFTAR ISI
hlm
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Karst ................................................................................ 5
2.2 Pengertian Gua .................................................................................. 6
2.3 Morfologi Gua ................................................................................... 8
2.4 Arthropoda Gua ............................................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 13
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 14
3.3 Teknik Sampling ............................................................................. 14
3.4 Cara Kerja ........................................................................................ 14
3.4.1 Pengambilan Data Parameter Fisik Dan Kimia ................ 14
3.4.2 Pengambilan Sample .......................................................... 15
3.4.3 Identifikasi Arthoropoda .................................................... 17
3.5 Analisis Data ................................................................................... 17
vii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Gua ................................................................................. 19
4.1.1 Gambaran Gua Sibedahan .................................................. 19
4.1.2 Gambaran Gua Sigawir ...................................................... 20
4.1.3 Gua Sigintung .................................................................... 22
4.2 Indeks Keanekaragaman Jenis Arthropoda ..................................... 23
4.3 Indeks Kemerataan Jenis Arthropoda Ketiga Gua .......................... 25
4.4 Lingkungan Gua .............................................................................. 27
4.4.1 Suhu Tanah ........................................................................ 27
4.4.2 Kelembapan Tanah............................................................. 29
4.5 Hubungan Parameter Lingkungan Tanah Dengan
Keanekaragaman Jenis Ketiga Gua ............................................... 30
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 32
5.2 Saran ................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
viii
DAFTAR TABEL
hlm
Tabel 1. Pembagian zonasi gua dan ciri-cirinya ............................................... 23
Tabel 2. Rata-rata nilai suhu tanah berdasarkan zonasi gua ............................. 28
Tabel 3. Rata-rata nilai kelembapan tanah berdasarkan zonasi gua.................. 29
Tabel 4. Hubungan parameter lingkungan tanah dengan keanekaragaman jenis
menggunakan Korelasi Pearson .......................................................... 30
ix
DAFTAR GAMBAR
hlm
Gambar 1. Peta lokasi sampling ........................................................................ 13
Gambar 2. Denah tampak atas Gua Sibedahan ................................................. 19
Gambar 3. Denah tampak atas Gua Sigawir ..................................................... 20
Gambar 4. Denah tampak atas Gua Sigintung .................................................. 22
Gambar 5. Indeks keanekaragaman jenis Arthropoda pada Gua Sibedahan, Gua
Sigawir, dan Gua Sigintung .............................................................. 24
Gambar 6. Indeks kemerataan jenis Arthropoda pada Gua Sibedahan, Gua
Sigawir, dan Gua Sigintung .............................................................. 26
x
DAFTAR LAMPIRAN
hlm
Lampiran 1. Parameter lingkungan gua ............................................................ 37
Lampiran 2. Jenis berdasarkan zona ................................................................. 38
Lampiran 3. Jenis berdasarkan metode ............................................................. 43
Lampiran 4. Gambar Arthropoda yang ditemukan ........................................... 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem adalah unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya
mencakup organisme dan lingkungannya (biotik dan abiotik) dan di antara
keduanya saling mempengaruhi (Odum, 1998). Karst merupakan kawasan
bentang alam khusus yang dikenal sebagai kawasan batuan kapur (Suhardjono,
2012). Terdapat ekosistem yang mengatur kehidupan di kawasan tersebut.
Beragam biota hidup di kawasan karst, baik yang berada di permukaan (eksokarst)
maupun di dalam perut bumi (endokarst).
Karst di Indonesia sudah dikenal di mata dunia internasional karena luas
dan memiliki bentang alam yang khas dari setiap kawasan (Suhardjono, 2012).
Dalam karst sering juga ditemukan ekosistem khusus yang biasa disebut gua. Di
dalam gua terdapat zona yang membagi bagian gua yaitu, zona mulut gua,
remang-remang, gelap, dan gelap abadi (Vermeulen & Whitten,1999).
Keanekaragaman faunanya juga sangat kaya dan berbeda di setiap zonanya.
Karst adalah suatu kawasan yang memiliki ekosistem yang khas sehingga
tidak tergantikan dan juga merupakan bahan tambang untuk produksi semen yang
bernilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi benturan kepentingan
antara pihak yang mengeksploitasi kawasan karst dengan para penyelamat
lingkungan. Masalah yang timbul akibat kegiatan penambangan batu gamping di
karst adalah hilangnya vegetasi dan habitat bagi fauna (Djakamihardja dan
Mulyadi, 2013).
2
Arthropoda merupakan salah satu kelompok invertebrata yang sukses
bertahan hidup dan berkembangbiak dalam ekosistem gua. Dominansi yang
tinggi, baik kemelimpahan maupun keanekaragaman menyebabkan keberadaan
Arthropoda sangat menentukan dan berperan penting dalam jejaring makanan
(Suhardjono dkk., 2012). Arthropoda di dalam gua cenderung memiliki morfologi
yang unik, karena beradaptasi dan berevolusi dengan keadaan lingkungan yang
gelap gulita. Selain itu, filum ini juga beradaptasi dengan kelembapan dan suhu
yang relatif stabil, karena sirkulasi udara yang sangat minim (Suhardjono dkk.,
2012). Arthropoda dapat berperan sebagai pengurai bahan organik yang masuk ke
dalam gua, serasah maupun guano.
Beberapa Arthropoda memiliki tingkat endemisitas yang tinggi, dimana
beberapa spesies kadang kala ditemukan hidup disatu hidup di satu gua.
Contohnya udang Stenasellus javanicus yang ditemukan pada tahun 2004 di Gua
Cikaray, Bogor, kemungkinan spesies itu hanya ada di gua tersebut (Magniez dan
Rahmadi, 2006). Awal penemuannya berjumlah sepuluh individu, kemudian pada
tahun 2007 hanya tersisa dua individu. Temuan ini dimuat di salah satu majalah
terkemuka National Geographic Indonesia (2013). Hal tersebut membuktikan
bahwa fauna asli gua memiliki tingkat endemisitas yang tinggi dan sangat rentan
terhadap gangguan atau perubahan lingkungan dari dalam maupun luar gua.
Terganggunya keseimbangan ekosistem gua bisa menyebabkan kepunahan
spesies.
Vegetasi di permukaan karst merupakan penyumbang ketersedian zat
organik, sebagai sumber pakan Arthropoda dalam gua. Langkah awal yang paling
3
mungkin dilakukan peneliti adalah menginventarisasi keanekaragaman jenis yang
ada di dalam gua. Sampai sekarang informasi tentang kehidupan di dalam gua-gua
di Indonesia masih sangat terbatas (Suhardjono, 2012), padahal Arthropoda gua
berperan penting dalam ekosistem gua.
Penelitian ini berlokasi di Kampung Cibuntu, Desa Leuwikaret,
Kecamatan Klapanunggal, Bogor, Jawa Barat. Berbagai tipe gua terdapat di lokasi
tersebut, baik horizontal maupun vertikal. Kecamatan Citeurep yang bersebelahan
dengan Kecamatan Klapanunggal, memiliki kawasan karst yang cukup luas.
Namun kondisi terkini, sebagian kawasan tersebut secara sepintas sudah rusak dan
habis dikeruk penambang. Kampung Cibuntu belum terjadi kerusakan yang
signifikan dilihat dari vegetasi karst di sekitarnya, karena lokasi yang terpencil
dan akses yang sulit untuk menuju lokasi ini, sehingga karst di kampung ini belum
dieksploitasi secara besar-besaran.
Kampung Cibuntu memiliki lebih dari 10 gua yang sudah didata
wilayahnya (Palawa, 2014). Namun pendataan 10 gua tersebut tidak terfokus pada
pendataan keanekaragaman Arthropoda. Gua yang diteliti keanekaragamannya
adalah Gua Sibedahan, Gua Sigawir, dan Gua Sigintung. Pengambilan lokasi ini
berdasarkan bentukan gua yang horizontal dan keadaan gua yang masih aktif.
Pada lokasi ini, belum ada publikasi hasil penelitian terkait keanekaragamaan
Arthropoda. Untuk itu perlunya penelitian tentang keanekaragaman Arthropoda di
Gua Sibedahan, Gua Sigawir, dan Gua Sigintung, Kawasan Karst Kampung
Cibuntu untuk memperkaya pengetahuan keanekaragaman hayati yang dimiliki
Indonesia.
4
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimanakah keanekaragaman jenis Arthropoda Gua di Gua Sibedahan,
Gua Sigawir, dan Gua Sigintung, Kawasan Karst Kampung Cibuntu, Bogor, Jawa
Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
a) Mengetahui Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan jenis
Arthropoda gua
b) Mengetahui perbandingan parameter lingkungan tanah setiap zona gua
c) Mengetahui hubungan parameter lingkungan tanah dengan keanekaragaman
jenis Arthropoda gua
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan data hasil inventarisasi atau informasi
mengenai Arthropoda yang ada di kawasan karst Kampung Cibuntu kepada
peneliti terkait, pemerintah setempat yaitu Kecamatan Klapanunggal, organisasi
yang bergerak dalam pelestarian kawasan karst di daerah tersebut KPA Linggih
Alam, supaya ada pengelolaan yang tepat pada ekosistem gua. Hasil penelitian ini
dapat menjadi landasan bagi pengelolaan sumber daya kawasan karst secara
lestari oleh pihak yang terkait.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Karst
Kawasan karst di Indonesia memiliki luas sekitar 154.000 km² yang sudah
sangat terkenal di dunia baik bentukan maupun kandungan di dalamnya (Surono
dkk., 1999 dalam Suhardjono, 2012). Kawasan karst tersebar hampir di seluruh
pulau-pulau besar maupun kecil. Istilah karst sendiri mengandung makna sebagai
suatu bentang alam yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat akibat
proses karstifikasi selama ruang dan waktu geologi (Samodra, 2001 dalam
Suhardjono dkk., 2012). Batuan karbonat terdiri dari batu kapur dolomit serta
evaporit (Suhardjono dkk., 2012). Karstifikasi merupakan suatu proses
pembentukan karst dari batuan karbonat dengan bantuan pelarut air. Proses ini
bisa berlangsung ribuan bahkan jutaan tahun (Suhardjono, 2012).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), karst adalah daerah yang
terdiri atas batuan kapur yang berpori sehingga air di permukaan tanah selalu
merembes dan menghilang ke dalam tanah. Dari pengertian tersebut ciri kawasan
karst adalah batuannya yang cenderung berpori dan karena berpori kawasan karst
jadi kawasan yang sangat rapuh dan rentan terhadap gangguan yang disebabkan
campur tangan manusia yang dapat merusak ekosistem yang sudah ada.
Ilmu yang mempelajari tentang kawasan karst disebut karstologi. Disiplin
ilmu ini mempelajari tentang awal mula, proses, hingga terbentuknya kawasan
karst. Karstologi merupakan cabang ilmu dari ilmu geologi yang membahas
6
kondisi karst lebih spesifik. Karstologi juga memerlukan pendekatan dari berbagai
disiplin ilmu, antara lain hidrologi, speleogenesis, biospeleologi, geomorfologi,
sedimentologi, antropologi, arkeologi, dan paleontologi (Hikespi, 2013).
Kawasan karst biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu eksokarst apabila
terletak di atas permukaan dan endokarst yang berada di dalam perut bumi
(Suhardjono dkk., 2012). Eksokarst merupakan suatu bentang alam yang ada di
permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah vegetasi tumbuhan dan biota
yang tinggal di eksokarst. Menurut Samodra (2001) dalam Suhardjono dkk (2012)
kawasan eksokarst umumnya mempunyai lapisan tanah yang tipis, hampir tidak
ada air di permukaannya, tetapi kaya akan batuan kapur. Adapun endokarst adalah
suatu kawasan terbentuk akibat proses peralutan batuan oleh air ke dalam
permukaan karst sehingga terbentuk lubang-lubang atau lorong di dalam tanah
yang biasanya disebut dengan gua (Suhardjono dkk., 2012).
Air yang mengalir dalam gua membawa sampah-sampah organik ke dalam
gua sehingga ada sebuah ekosistem yang dapat berkembang dan bertahan di
dalamnya. Kekhasan karakter inilah kenapa kawasan karst dihuni oleh kehidupan
yang mampu bertahan dengan kondisi alam yang tersedia, baik di permukaan
maupun di dalam perut bumi dengan berbagai bentuk adaptasi (Suhardjono dkk.,
2012).
2.2 Pengertian Gua
Di daerah karst, umumnya ditemukan gua yang merupakan ruang di bawah
tanah yang dibentuk oleh proses kompleks baik kimiawi maupun fisik dengan
lorong-lorong yang berbeda luas dan bentuknya (Kamal, dkk., 2011). Gua
7
memiliki sifat yang khas dalam mengatur suhu udara di dalamnya, yaitu jika udara
di luar dingin, maka udara di dalam akan terasa hangat, begitu pula sebaliknya.
Tidak heran gua menjadi tempat tinggal bagi manusia pada zaman dahulu.
Berdasarkan peninggalan-peninggalan, berupa sisa makanan, tulang belulang, dan
juga lukisan-lukisan yang dapat disimpulkan bahwa dahulu pernah ada manusia
yang menempati gua sebagai tempat tinggal (Hikespi, 2013).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), gua berarti liang atau
lubang besar pada kaki gunung atau bukit-bukit. Gua yang dimaksud adalah
lubang yang terbentuk secara alami di lereng atau puncak bukit yang berlanjut
dengan ruangan di bawah tanah berupa lorong-lorong panjang (Suhardjono dkk.,
2012).
Seringkali di dalam gua sering kali ditemukan aliran, genangan atau
tetesan air yang turun melalui ujung-ujung stalaktit. Air merupakan sumber
kehidupan bagi makhluk hidup, termasuk yang tinggal di dalam gua. Berdasarkan
ada atau tidaknya air, gua dibedakan menjadi dua, yaitu gua fosil dan gua aktif.
a. Gua fosil merupakan gua yang sudah tidak dialiri air karena suatu proses yang
terjadi pada eksokarst, sehingga air sudah tidak lagi masuk ke dalam gua ini.
Proses karstologi yang membentuk ornament yang indah di dalam gua juga
berhenti, sehingga gua fosil cenderung tidak memilki keindahan
morfologinya. Ciri gua fosil selain tidak memiliki aliran air juga biasanya
hanya sedikit biota yang tinggal di dalamnya, karena air merupakan sumber
kehidupan bagi biota yang tinggal di dalamnya.
8
b. Gua aktif merupakan gua yang masih aktif dialiri air. Air masuk melalui
rembesan celah pori-pori karst yang turun dari eksokarst dan membentuk
ornament gua yang sangat indah seperti stalagtit dan stalagmit. Rembesan air
juga tidak jarang membentuk aliran sungai dalam tanah. Kadang-kadang di
dalam gua dapat ditemukan danau yang cukup lebar dan dalam. Dari hal itulah
mengapa gua atau kawasan karst dikatakan sebagai tangki raksasa penyimpan
cadangan air untuk kehidupan di atasnya (Suhardjono, 2012). Besarnya debit
air yang berada di dalam gua berfluktuasi tergantung pada lingkungan luar.
Misalnya jika terjadi hujan, aliran air di dalam gua bisa sangat deras. Dalam
gua aktif juga banyak dihuni oleh beragam biota, baik terestrial maupun
akuatik.
2.3 Morfologi Gua
Gua memiliki bentuk yang berbagai macam, ada yang besar dan kecil, ada
yang luas dan sempit, dan ada yang horizontal dan vertikal. Berdasarkan
posisinya, gua dapat dibedakan menjadi gua horizontal dan vertikal. Akan tetapi,
tidak jarang dapat dijumpai kombinasi horizoltal dan vertikal dalam satu gua
(Suhardjono dkk., 2012).
a. Gua horizontal adalah lorong-lorong mendatar yang panjangnya berbeda
setiap guanya. Namun tidak menutup kemungkinan terdapat gua vertikal di
dalamnya. Secara umum, bentuk mulut guanya tegak biasanya berada di
lereng bukit. Gua inilah yang lazim diteliti para penelusur gua karena tidak
memerlukan alat dan simpul tali-temali untuk masuk ke dalamnya.
9
b. Gua vertikal merupakan gua yang memiliki mulut seperti sumur dengan
kedalaman puluhan hingga ratusan meter. Perlu teknik khusus untuk
menelusuri gua tersebut. Di Indonesia teknik yang biasanya digunakan adalah
Single Rope Technique (SRT). Membutuhkan pelatihan yang khusus untuk
dapat menguasai teknik ini. Sama seperti gua horizontal, pada gua vertikal
kadang ditemui gua horizontal ketika sudah mencapai dasar gua.
Cahaya matahari merupakan salah satu komponen penentu kehidupan
biota di alam raya ini. Berdasarkan intensitas cahaya yang masuk, secara garis
besarnya gua dibagi menjadi empat zona, yaitu zona mulut gua, remang-remang,
gelap, dan gelap abadi (Vermeulen & Whitten, 1999).
a. Zona mulut gua adalah daerah yang berada di sekitar mulut gua. Pada zona ini
terkena sinar matahari langsung, sehingga kelembapan dan temperatur
cenderung mengikuti lingkungan luar. Keanekaragaman faunanya relatif sama
dengan lingkungan luar,
b. Zona remang-remang biasanya terdapat pada daerah di dalam gua, namun tidak
jauh dari mulut gua atau jendela gua yang menghubungkan lingkungan luar
dan lingkungan dalam gua. Pada zona ini sinar matahari masih bisa masuk
meski dengan intensitas rendah. Fluktuasi suhu dan kelembapan masih sangat
di pengaruhi lingkungan luar dan memiliki kandungan oksigen yang masih
banyak.
c. Zona gelap adalah zona yang sudah gelap abadi sepanjang masa. Suhu dan
kelembapan yang relatif stabil dengan fluktuasi yang sangat kecil. Kandungan
oksigen juga masih cukup banyak di zona ini.
10
d. Zona stagnan atau gelap abadi merupakan zona ujung gua yang gelap gulita
sepanjang masa. Pada zona ini suhu dan kelembapan udara relatif stabil.
Kandungan kadar oksigen sangat tipis dan karbondioksida yang tinggi. Zona
ini biasanya ditemukan setelah melalui lorong-lorong yang sempit dan
berkelok-kelok. (Rahmadi, 2012)
Di dalam gua, garis atau batas pembagian zona ini tidak nyata dan tidak
tegas (Suhardjono dkk., 2012). Kedalaman atau panjang masing-masing gua dari
mulut gua juga berbeda gua satu dengan yang lain. Terkadang bila menemukan
jendela gua pada pertengahan gua, itu juga bisa disebut zona remang-remang,
karena cahaya matahari masih bisa masuk ke dalamnya.
Gua memiliki organisme karena adanya kandungan bahan organik sebagai
sumber bahan pakan mereka. Menurut Gnaspini dan Trajano (2000) dalam
Suhardjono, dkk (2012) berdasarkan kandungan bahan organik, gua dibedakan
menjadi 5 tipe, yaitu:
a. Oligotrofik yaitu gua yang mempunyai ketersediaan bahan organik yang sangat
rendah. Di dalam gua tipe ini sumber bahan organik berasal dari hewan atau
tumbuhan yang ada di dalamnya.
b. Eutrofik adalah gua yang mempunyai kandungan bahan organik yang sangat
tinggi yang berasal dari binatang, contohnya guano kelelawar atau burung.
Biasanya pada habitat ini keanekaragaman fauna cukup melimpah, terutama
spesies-spesies yang hidup dari guano dan juga pemangsa mereka.
c. Distrofik yaitu gua yang bahan organiknya kebanyakan berasal dari bahan
organik tumbuhan yang berasal dari banjir. Gua ini biasanya memiliki sungai
11
bawah tanah yang berair sepanjang tahun, bahkan kadang-kadang sungai yang
ada cukup besar. Tidak jarang tipe gua semacam ini mempunyai dua mulut gua
sebagai tempat masuk dan keluarnya aliran air.
d. Mesotrofik adalah gua peralihan di antara ketiga tipe gua tersebut di atas
dicirikan dengan jumlah bahan organik dari hewan atau tumbuhan yang relatif
sedang.
e. Poesilotrofik adalah gua yang mempunyai bagian gua dengan pasokan bahan
organik yang berbeda-beda dari oligotrofik sampai eutrofik, yang terdapat di
dalam satu gua.
Kandungan bahan organik sangat mempengaruhi keberadaan ataupun
keanekaragaman organisme di dalam ekosistem gua. Ekosistem gua merupakan
salah satu ekosistem yang paling rentan di muka bumi dan merupakan tempat
berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi berbagai jenis organisme (Rahmadi,
2007). Arthropoda adalah salah satu filum yang sukses dalam beradaptasi dengan
berevolusi hingga mampu bersaing dalam lingkungan gua.
2.4 Arthropoda Gua
Arthropoda merupakan filum yang memiliki spesies dengan jumlah dan
keanekaragamannya terbesar di dalam gua. Dengan jumlah yang banyak, fungsi
dan peran mereka menjadi sangat menetukan. Arthropoda berperan dalam rantai
dan jaring–jaring makanan sehingga keberadaan mereka sangat menentukan dan
berpengaruh terhadap ekosistem sebagai pengendali ekosistem. Dalam habitatnya,
peran mereka dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai perombak bahan
organik, juga sebagai predator bagi fauna lainnya.
12
Dari segi biologi, Arthropoda gua memiliki kekhasan yaitu mempunyai
morfologi yang unik, populasi kecil, laju reproduksi rendah, rentan terhadap
perubahan lingkungan atau tingkat toleransi sangat rendah dan memiliki
kemampuan perpindahan antar gua yang sangat rendah (Rahmadi, 2012).
Arthropoda yang telah beradaptasi menunjukkan adanya perubahan morfologi
seperti mereduksi atau bahkan hilangnya organ penglihatan (mata),
berkembangnya organ peraba dan hilangnya pigmen tubuh (Rahmadi, 2012).
Berdasarkan tingkat adaptasinya, Arthropoda di gua dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu: (Moore & Sullivan, 1964 dalam Yayuk, 2012) (Rahmadi, 2012).
a. Troglosen adalah Arthropoda yang menggunakan gua sebagai tempat tinggal
dan secara periodik masih keluar gua dan mencari pakan di luar gua.
b. Troglofil adalah jenis-jenis yang sepanjang daur hidupnya dihabiskan di
dalam gua, namun juga masih mampu dan dapat ditemukan hidup di luar gua.
c. Troglobit adalah mereka yang hidupnya sangat tergantung pada lingkungan
gua dan sepanjang daur hidupnya berada di dalam gua dan tidak dapat
ditemukan di luar gua (Rahmadi, 2012).
Untuk Arthropoda akuatik berbeda penulisannya, walaupun dalam
pengertiaanya tetap sama. Untuk Arthropoda akuatik istilah troglosen diganti
dengan stigosen, troglofil dengan stigofil, dan terakhir troglobit menjadi stigobit.
Arthropoda akuatik hidup di dalam aliran atau sungai-sungai kecil dan di
dalam perkolasi air. Untuk menemukan Arthropoda ini perlu ketelitian karena
warnanya yang cenderung mirip dengan lingkungan serta dan ukurannya yang
kecil.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Maret – April 2016. Lokasi penelitian
terletak di kawasan karst Kampung Cibuntu, Desa Leuwikaret, Kecamatan
Klapanunggal, Kabupaten Bogor.
Gambar 1. Peta lokasi sampling
Gua yang diteliti adalah Gua Sibedahan, Gua Sigawir, dan Gua Sigintung.
Semua gua pada penelitian ini berbentuk horizontal. Pada survei awal di bulan
Oktober 2015, semua gua tidak ada aliran air di dalamnya, namun cenderung
berlumpur. Identifikasi spesimen akan dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu
(PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Museum Zoologicum Bogoriense
LIPI Cibinong.
14
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas plastik, plastik
ukuran 1 kg, kantung blacu, Global Position System, handcounter, soil tester (pH
dan kelembapan tanah), termometer tanah (suhu), sarung tangan, pinset, tali rafia,
skop, pacul kecil, saringan kecil, gunting, botol vial, kuas, meteran, kamera,
mikroskop stereo. Adapun bahan yang digunakan adalah air, alkohol 70%, gliserin
dan detergen.
3.3 Teknik Sampling
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei. Metode
ini dapat menggunakan beberapa teknik untuk pengkoleksiannya, yaitu koleksi
langsung, perangkap sumuran (pitfall trap), dan pengambilan sampel tanah atau
guano yang selanjutnya dimasukkan ke dalam Corong Berlese Tullgren. Titik
sampling dilakukan pada tiap zona atau secara purposive.
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Pengambilan Data Parameter Fisik Dan Kimia
Parameter lingkungan fisik dan kimia yang diamati adalah suhu tanah (˚C),
kelembapan tanah relatif (%). Pengukuran dilakukan di tiap zona pada setiap gua.
Pengambilan suhu dan kelembapan tanah dilakukan pada setiap lubang perangkap
sumuran.
15
3.4.2 Pengambilan Sample
a. Koleksi langsung
Koleksi langsung dilakukan dengan menelusuri sepanjang sudut gua
dengan teliti untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk Arthropoda
terestrial pengkoleksian dapat dilakukan secara langsung menggunakan sarung
tangan, kuas, dan pinset dan untuk Arthropoda akuatik dapat menggunakan
saringan kecil dan mencarinya di kolam-kolam atau sepanjang aliran sungai
bawah tanah. Hasil koleksi kemudian disimpan dalam botol koleksi yang sudah
diberi alkohol sebagai pengawet dan diberi label. Koleksi langsung digunakan
untuk Arthropoda yang berukuran besar di dinding dan permukaan gua juga di
sekitar lingkungan luar gua dengan pengulangan sebanyak tiga kali.
b. Perangkap sumuran/ Pitfall trap
Teknik koleksi yang kedua adalah dengan menggunakan perangkap
sumuran. Ukuran perangkap yang digunakan adalah gelas plastik dengan diameter
atas 7 cm, diameter bawah 5 cm, dan tinggi 10 cm. Kemudian gelas ditanam ke
dalam lantai gua yang bersubstrat tanah, lumpur, atau guano dengan ketinggian
mulut gelas sama dengan permukaan substrat, dan kemudian diisi air, gliserin dan
detergen sebanyak sepertiga gelas. Perangkap sumuran digunakan untuk
mengkoleksi Arthropoda yang berukuran kecil dan aktif bergerak di permukaan
lantai gua (Rahmadi, 2002).
Di dalam gua setiap zona dipasang 10 buah perangkap sumuran.
Perangkap tersebut kemudian didiamkan selama tiga hari, setelah itu baru
16
dikoleksi jenis yang masuk ke dalam perangkap untuk diidentifikasi di
laboratorium.
c. Pengambilan sampel tanah
Teknik koleksi yang ketiga adalah pengambilan sampel tanah yang
kemudian sampel tanah dipisahkan Arthropodanya menggunakan Corong Berlese
Tullgren. Sampel tanah yang diambil berupa substat tanah, serasah, dan guano.
Pengambilan contoh tanah dengan menggunakan sekop tanah sebanyak 1 liter
dengan luas permukaan 20 cm² dan kedalaman tanah 5 cm (Kaikan,. 2002),
kemudian contoh tanah dimasukkan ke dalam kantong blacu. Contoh tanah
dibawa ke luar gua dan segera diproses pada Corong Berlese Tullgren.
Sistem kerja Corong Berlese Tullgren adalah dengan memanfaatkan
karakteristik alamiah hewan tanah yang jika suhu dipermukaan tanah meningkat,
Arthropoda akan masuk ke dalam tanah lebih dalam yang akhirnya terjebak pada
botol penampungan yang sudah diberi alkohol sebagai pengawet.
Prinsip kerjanya, contoh tanah dimasukkan ke dalam saringan atau wadah
yang memiliki lubang-lubang, kemudian di bawahnya diletakkan corong yang
ujung corongnya diberi wadah kecil yang berisi alkohol 70%. Pada bagian atas
saringan dipasang lampu 5 watt untuk pemanas tanah agar Arthropoda masuk ke
dalam tanah lebih jauh lagi sehingga masuk ke dalam botol penampungan. Proses
pemisahan sampel tanah dengan fauna di dalamnya berlangsung selama tiga hari
atau sampai sampel tanah kering (Kaikan, 2002). Pengambilan sampel tanah
diambil 5 sampel pada tiap zona.
17
3.4.3 Identifikasi Arthoropoda
Arthoropoda yang telah dikoleksi, diidentifikasi di Laboratorium Ekologi
Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Jakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Cibinong. Spesimen diidentifikasi dengan beberapa buku
panduan identifikasi yaitu Pictorial Keys to Soil Animals of China (Wenying,
2000), Pengenalan Pelajaran Serangga, Edisi ke enam cetakan pertama (Borror,
1992). Arthropoda yang di dapat diidentifikasi dengan pendekatan morfospesies
berdasarkan pada kesamaan karakter morfologi di bawah mikroskop di
laboratorium.
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menghitung keanekaragaman dengan
menggunakan Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener) dan Indeks
Kemerataan Jenis (Evennes). Indeks Keanekaragaman berguna untuk mengetahui
keanekaragaman Arthropoda pada tiap gua yang diteliti. Indeks keanekaragaman
menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas memperlihatkan
keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis. Adapun rumusnya:
(Odum, 1998).
H’= -∑ (Pi ln Pi)
Keterangan:
H’= Indeks keanekaragaman jenis
Pi= ni/N
ni= Jumlah individu jenis ke 1
N= Jumlah individu semua jenis
Dengan kriteria sebagai berikut:
1) Nilai H’ > 3 indeks keanekaragaman tinggi
18
2) Nilai H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 indeks keanekaragaman sedang
3) Nilai H’ < 1 indeks keanekaragaman rendah (Odum, 1998)
Nilai Indeks Keanekaragaman digunakan untuk mendapatkan nilai Indeks
Kemerataan (Evenness) dengan rumus:
E =
Keterangan:
E= Indeks Kemerataan
H’=Indeks Keanekaragaman
S= Jumlah jenis
Dengan kriteria sebagai berikut:
E < 0,4 Kemerataan rendah
0,4 < E < 0,6 Kemerataan sedang
E > 0,6 – 1 Kemeretaan tinggi
Analisis hubungan faktor lingkungan terhadap keanekaragaman
Arthropoda digunakan Analisis Korelasi Pearson menggunakan software SPSS
20.
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Gua
Gua adalah lubang atau rekahan yang berada di bawah tanah yang
terbentuk secara alami dan bisa dimasuki oleh manusia. Berikut deskripsi tentang
gambaran gua yang dijadikan sebagai lokasi penelitian.
4.1.1 Gambaran Gua Sibedahan
Gambar 2. Denah tampak atas Gua Sibedahan
Gua Sibedahan berada pada koordinat S 06º31’12,97” dan E
106º57’26,85” pada ketinggian 447 mdpl. Gua Sibedahan memiliki panjang
lorong gua 104 meter dengan tipe horizontal yang sedikit menurun.
20
Akses untuk menuju mulut gua harus berjalan kaki sekitar 40 menit
melalui hutan dan bukit-bukit karst. Gua Sibedahan memiliki mulut gua yang
berukuran 0,58 x 0,38 meter terletak diantara celah-celah perbukitan karst. Gua ini
memiliki tiga zona.Kondisi di dalam Gua Sibedahan sudah terlihat kerusakan.
Banyak stalagtit dan stalagmit yang dipotong dan diambil oleh warga untuk dijual
dan dijadikan hiasan rumah. Namun kegiatan itu kini sudah dilarang oleh warga
setempat.
Bentuk lorong Gua Sibedahan menurun ke bawah dengan substrat lantai
gua berupa batuan dan tanah. Dalam ujung gua terdapat chamber yang di atasnya
terdapat beberapa sarang burung walet serta kotorannya dipermukaan tanah.
Dalam gua ini tidak terlihat adanya kelelawar. Gua ini tidak memiliki aliran
sungai di dalamnya melainkan hanya tetesan-tetesan air dari rekahan karst.
4.1.2 Gambaran Gua Sigawir
Gambar 3. Denah tampak atas Gua Sigawir
21
Gua Sigawir berada pada koordinat S 06º 31’ 07,64” dan E 106º 57’
24,13” dengan ketinggian 435 mdpl. Gua Sigawir memiliki panjang lorong gua
105 meter memiliki tipe horizontal.
Untuk menuju Gua Sigawir dilakukan dengan berjalan sekitar satu
kilometer melewati perkebunan dan sawah. Vegetasi di depan mulut gua adalah
sawah dan beberapa pohon bambu. Gua Sigawir terletak di bawah tebing karst
dengan ukuran mulut guanya 104 cm x 116 cm. Gua ini memiliki empat zona.
Gua Sigawir memiliki lorong horizontal terletak di lorong mulut gua dan
sedikit menurun. Pada pertengahan lorong terdapat lorong vertikal setinggi ± tiga
meter dan harus menggunakan alat bantu tali untuk menuruninya. Lorong
berikutnya terasa sangat kecil untuk dilalui manusia. Lantai Gua Sigawir
cenderung bersubstrat lumpur tebal bahkan bisa mencapai 30 cm. Di beberapa
sudut gua ditemukan lapisan tipis guano. Gua ini memiliki aliran air, yang lebar
alirannya ±30 cm.
Pada ujung lorong Gua Sigawir masih terdapat celah yang kecil tempat
aliran air. Namun sudah tidak bisa dijangkau karena ukuran lorong yang sangat
kecil. Gua Sigawir memiliki ornamen stalaktit, stalagmit, draperies, flowstone. Di
dalam gua ini terdapat koloni kelelawar dari kelompok Microchiroptera,
walaupun demikian populasinya tidak besar.
22
4.1.3 Gua Sigintung
Gambar 4. Denah tampak atas Gua Sigintung
Gua Sigintung berada pada S 06º 31’ 02,30” dan E 106º 57’ 36,30” dengan
ketinggian 439 mdpl. Gua Sigintung memiliki panjang lorong gua 68 meter
dengan tipe horizontal.
Akses untuk menuju mulut Gua Sigintung harus berjalan sekitar 800 meter
melewati sungai kecil dan kebun warga. Gua Sigintung merupakan gua yang
memiliki kedalaman paling pendek dibandingkan Gua Sibedahan dan Sigawir.
Gua ini tembus ke mulut gua sisi lainnya. Mulut gua pada Gua Sigintung
berukuran 475 cm x 112 cm yang terletak dibawah bukit karst dan diatasnya
ditanami padi oleh warga sekitar. Gua ini memiliki dua zona. Gua Sigintung
memiliki lorong yang terbesar di antara kedua gua di atas dengan chamber yang
berada setelah mulut gua dan sedikit menurun. Substrat pada lantai gua yaitu
23
batuan dan tanah. Dalam gua ini tidak terdapat aliran air namun di beberapa titik
terdapat tetesan-tetesan air yang membentuk kolam-kolam perkolasi kecil.
Gua Sigintung menjadi tempat tinggal bagi kelelawar yang jumlahnya
tidak terlalu besar. Pada substrat lantai gua yang terdapat lapisan tipis guano.
Dalam gua ini juga ditemukan jejak kaki dari landak yang kemungkinan
menjadikan gua sebagai tempat tinggalnya. Ornamen yang terdapat dalam gua ini
adalah stalaktit, stalagmit, draperies, flowstone.
Pembagian zona di dalam gua memang tidak angka yang mengatur secara
baku. Pembagian zona didasarkan atas ciri-ciri gua tersebut. Berikut tabel
pembagian zona di dalam gua.
Tabel 1. Pembagian zonasi gua dan ciri-cirinya
Zonasi Kelembapan
udara
Suhu udara Intensitas
cahaya
Kandungan
oksigen
Mulut gua Mengikuti
lingkungan
luar
Mengikuti
lingkungan
luar
Mengikuti
lingkungan
luar
Mengikuti
lingkungan
luar
Remang-
remang
Dipengaruhi
lingkungan
luar
Dipengaruhi
lingkungan
luar
Rendah Banyak
Gelap Relatif stabil Relatif stabil Tidak ada Cukup
Gelap abadi Relatif stabil Relatif stabil Tidak ada Sedikit
4.2 Indeks Keanekaragaman Jenis Arthropoda
Indeks keanekaragaman jenis digunakan untuk melihat keanekaragaman
jenis hewan yang berada di lokasi tertentu dengan menggunakan indeks Shannon-
Wiener (Odum, 1998). Indeks keanekaragaman jenis tiap gua berbeda, hal ini
dipengaruhi oleh rantai makanan. Melimpahnya bahan organik sebagai produsen
24
yang masuk melalui celah gua turut mempengaruhi keberadaan konsumen di
atanya. Semakin panjang rantai makanan di suatu ekosistem, semakin tinggi pula
indeks keanekaragaman jenis di ekosistem tersebut (Kamal dkk, 2011).
Masing-masing gua memiliki indeks keanekaragaman jenis yang berbeda.
Berikut adalah hasil indeks keanekaragaman jenis Arthropoda ketiga gua.
Gambar 5. Indeks keanekaragaman jenis Arthropoda pada Gua Sibedahan, Gua
Sigawir, dan Gua Sigintung
Hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa indeks
keanekaragaman tertinggi berada di Gua Sigawir yaitu di angka 3,26 artinya
keanekaragaman jenis Arthropoda di Gua Sigawir menurut Odum (1998)
termasuk kategori tinggi. Hal ini disebabkan karena Gua Sigawir merupakan gua
aktif yang memiliki aliran air di dalamnya. Sumber makanan utama di dalam gua
adalah bahan organik yang berasal dari luar gua melalui angin, tetesan air, banjir
dan sungai. Bahan organik tersebut seperti detritus, mikroorganisme, feses, dan
bangkai hewan (Hüppop, 2005). Aliran air yang masuk ke dalam gua membawa
bahan organik yang merupakan sumber makanan bagi Arthropoda perombak.
25
Menurut Culver, dkk (2006) sungai merupakan salah satu bagian terpenting dalam
ekosistem gua, karena sungai memasok bahan organik dari luar yang sangat
penting sebagai sumber pakan bagi Arthropoda di dalam gua. Selain itu juga
terdapat tetesan-tetesan air yang berasal dari rekahan batuan pada atap gua.
Indeks keanekaragaman jenis Arthropoda di Gua Sigintung menunjukkan
angka 2,83 yang masuk ke dalam golongan sedang. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya aliran air yang menyuplai sumber pakan organik bagi Arthropoda di
dalamnya. Pada gua ini di dalamnya hanya terdapat tetesan-tetesan air. Semua
organisme hidup membutuhkan air, melebihi semua zat lainnya (Campbell dan
Reece, 2008). Selain itu, kedalaman gua yang tergolong pendek sehingga tidak
terdapat zona gelap dan gelap abadi yang menyebabkan minimnya variasi jenis.
Dalam gua juga terdapat sedikit guano yang menjadi sumber pakan utama
Arthropoda perombak.
4.3 Indeks Kemerataan Jenis Arthropoda Ketiga Gua
Indeks kemerataan jenis digunakan untuk melihat persebaran jenis hewan
yang berada di semua lokasi dengan menggunakan indeks Evennes. Berikut
disajikan indeks kemerataan jenis.
26
Gambar 6. Indeks kemerataan jenis Arthropoda pada Gua Sibedahan, Gua
Sigawir, dan Gua Sigintung
Indeks kemerataan jenis tiap gua berbeda, hal ini di karenakan
keseimbangan komunitas pada suatu lokasi berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan tinggal komunitas tersebut (Suin, 2006).
Berdasarkan hasil nilai indeks kemerataan jenis, diketahui bahwa ketiga
gua memiliki tingkat kemerataan jenis yang tinggi. Hal tersebut didasarkan pada
kriteria menurut Krebs (1989), apabila nilai E<0,4 maka kemerataan rendah,
apabila nilai 0,4<E<0,6 maka kemerataan populasi sedang, dan apabila E>0,6
maka kemerataan tinggi. Nilai indeks kemerataan jenis merupakan ukuran
keseimbangan antara suatu komunitas satu dengan lainnya (Dendang, 2009).
Apabila nilai indeks kemerataan jenis suatu habitat rendah maka ada
kemungkinan terjadi ketidakseimbangan pada komunitas tersebut.
Ketidakseimbangan komunitas terjadi karena ada suatu jenis organisme yang
mendominasi suatu area. Hal itu bisa disebabkan karena adanya perubahan faktor
27
kimia-fisika ataupun ketersediaan sumber pakan. Kemerataan suatu jenis
tergantung pada keadaan faktor kimia-fisika dan pada sifat biologis organisme
tersebut (Suin, 2006). Organisme mencari habitat yang sesuai dengan yang
dibutuhkan dan ketersedian sumber makanan yang cukup.
Dalam hal ini, ketiga gua menunjukkan tingkat kemerataan yang tinggi.
Kemerataan jenis tertinggi berada pada Gua Sigawir yaitu dengan nilai 0,81 yang
berarti penyebaran Arthropoda tersebar merata. Tingginya nilai kemerataan jenis
ketiga gua dikarenakan komposisi kelimpahan jenis dan struktur komunitas pada
masing-masing gua merata. Hal ini dapat disebabkan oleh ketersediaan nutrisi
yang mencukupi terdapat pada masing-masing gua.
4.4 Lingkungan Gua
Ekosistem gua dapat menjadi tempat tinggal bagi berbagai macam
organisme. Arthropoda merupakan salah satu filum yang menempati relung gua.
Arthropoda dapat hidup dan berkembang karena telah beradaptasi dengan
lingkungan gua yang terisolasi dan berbeda dengan lingkungan di luar gua. Faktor
abiotik sangat berperan menunjang kelangsungan hidup Arthropoda di dalamnya.
Untuk itu dilakukan pengukuran terhadap faktor abiotik di tanah berupa suhu,
kelembapan dan pH tanah.
4.4.1 Suhu Tanah
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisik tanah yang berpengaruh
terhadap keberadaan Arthropoda sebagai tempat tinggal dan dalam menunjang
keberlangsungan hidupnya.
28
Tabel 2. Rata-rata nilai suhu tanah berdasarkan zonasi gua
Nama Gua Zonasi Suhu (⁰C)
Sibedahan Mulut gua 23,4 ± 0,25
Remang-remang 22,1 ± 0,74
Gelap 22,3 ± 0,95
Sigawir Mulut gua 23,1 ± 0,32
Remang-remang 23,2 ± 0,42
Gelap 24 ± 0
Gelap abadi 24,2 ± 0,42
Sigintung Mulut gua 24,3 ± 0,48
Remang-remang 24,1 ± 0,32
Pada tabel berikut terlihat bahwa suhu tanah yang paling tinggi terdapat
pada zona mulut gua di Gua Sigintung yaitu sebesar 24,3°C. Suhu tanah terendah
yaitu terdapat pada zona remang-remang di Gua Sibedahan yaitu sebesar 22,1 °C.
Perbedaan suhu tanah tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
waktu pengambilan data di pagi, siang, atau malam hari, dan bisa disebakan oleh
kedalaman gua dan ada tidaknya sumber air di sekitar tempat pengukuran sampel
tanah.
Pada Gua Sibedahan zona mulut gua memiliki suhu tanah lebih tinggi
dibandingkan zona remang-remang dan gelap gua. Perbedaan ini terjadi
dikarenakan pada zona mulut gua, suhu tanah sangat dipengaruhi oleh lingkungan
luar gua. Pada saat pengambilan data dilakukan di siang hari saat suhu lingkungan
luar gua sedang tinggi.
Pada Gua Sigawir suhu tanah semakin ke dalam memiliki kecenderungan
meningkat. Hal ini disebabkan karena di dalam gua ditemukan adanya aliran
sungai kecil yang membawa serasah atau bahan organik lainnya yang menjadi
makanan utaman bagi mikroorganisme tanah. Reaksi fermentasi dan oksidasi oleh
mikroorganisme dapat meningkatkan suhu tanah. (Culver dan Pipan, 2009).
29
Pada Gua Sigintung tidak terdapat perbedaan suhu tanah yang signifikan
antara zona mulut gua dan zona remang-remang. Hal ini disebabkan Gua
Sigintung memiliki ukuran mulut gua yang besar dan tembus di sisi yang lainnya,
sehingga suhu pada zona remang-remang dipengaruhi oleh suhu dari luar
lingkungan gua.
4.4.2 Kelembapan Tanah
Kelembapan tanah merupakan salah satu faktor fisik yang diperlukan
untuk Arthropoda hidup dan agar dapat berkembangbiak secara baik. Pada tabel
berikut terlihat bahwa kelembapan tanah menunjukkan angka yang relatif sama,
100% atau mendekati 100%. Menurut Michie (1997), gua biasanya memiliki
kelembapan yang tinggi. Hal ini terjadi karena kondisi di dalam gua relatif tidak
terpengaruh kelembapan di luar gua.
Tabel 3. Rata-rata nilai kelembapan tanah berdasarkan zonasi gua
Nama Gua Zonasi Kelembapan (%)
Sibedahan Mulut gua 22,5 ± 9,5
Remang-remang 100 ± 0
Gelap 100 ± 0
Sigawir Mulut gua 70,5 ± 22,91
Remang-remang 100 ± 0
Gelap 100 ± 0
Gelap abadi 100 ± 0
Sigintung Mulut gua 95 ± 15,81
Remang-remang 96,5 ± 11,07
Namun nilai yang berbeda signifikan terdapat pada zona mulut gua di Gua
Sigawir dan zona mulut gua di Gua Sibedahan yaitu sebesar 70,5% dan 22,5%.
Pada zona mulut gua di Gua Sigawir dan Sibedahan memiliki tekstur tanah yang
berpasir oleh karena itu tingkat kelembapan pada zona mulut gua di gua tersebut
juga rendah. Pada zona mulut gua di Gua Sigawir memiliki standar deviasi yang
30
cukup tinggi, hal tersebut disebabkan karena pengukuran kelembapan dilakukan
di dalam dan di luar mulut gua yang berbeda karakteristik tanahnya. Pada luar
mulut gua berpasir kering, sedangkan dalam mulut gua tanah sedikit basah dan
agak berlumpur.
4.5 Hubungan Parameter Lingkungan Tanah Dengan Keanekaragaman
Jenis Ketiga Gua
Suatu ekosistem terdiri dari semua organisme yang hidup dalam suatu
komunitas dan juga semua faktor-faktor abiotik yang berinteraksi dengan
ekosistem tersebut. Kehidupan organisme tidak sendiri, tetapi berinteraksi dengan
faktor lainnya, seperti dengan faktor fisika-kimia dari lingkungan tempatnya
hidup (Siun, 2006).
Faktor fisika-kimia yang dihubungkan dengan keanekaragaman adalah
suhu tanah, kelembapan tanah, dan pH tanah. Hubungan ini diuji dan diperoleh
hasil berdasarkan analisis statistika Korelasi Pearson menggunakan software
SPSS versi 20. Dari ketiga gua yang diteliti didapatkan hubungan
keanekaragaman jenis dengan parameter lingkungan. Adapun hasil uji tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Hubungan parameter lingkungan tanah dengan keanekaragaman jenis
menggunakan Korelasi Pearson
suhu_tanah kelembapan_tanah
Keanekaragaman Korelasi Pearson -,343 -,732*
Sig. (2-tailed) ,366 ,025
N 9 9
*. Korelasi signifikan pada level 0.05
Parameter lingkungan yang telah didapat menjadi faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman. Menurut Suin (1997), faktor lingkungan abiotik
31
sangat menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu
habitat. Kelembapan adalah parameter lingkungan yang memiliki korelasi negatif
(-0,732) dan paling berpengaruh secara signifikan (0,05) terhadap
keanekaragaman jenis. Suhu dan pH tanah memiliki hubungan korelasi yang
rendah terhadap keanekaragaman dan kemerataan Arthropoda.
Kelembapan merupakan salah satu faktor fisik penting dalam
mempengaruhi keanekaragaman Arthropoda. Kondisi khas gua adalah
kelembapan yang sangat tinggi. Variasi kelembapan ditemukan pada mulut gua.
Variasi tersebut yang memberikan keanekaragaman terbesar dalam keseluruhan
keanekaragaman Arthropoda gua. Kelembapan maksimum tanah yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup Collembola adalah 100%, sedangkan kelembapan
minimum adalah 50%. Kelembapan mempunyai peran penting dalam menentukan
pola distribusi Collembola (Christiansen, 1990). Fauna permukaan gua sering
ditemukan pada tepi air perkolasi atau tepi sungai. Salah satu bentuk adaptasi
hewan utama gua adalah dengan kemampuan hidup dalam kelembapan yang
tinggi (Ko, 2000).
Suhu tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang berpengaruh
terhadap proses-proses yang terjadi di dalam tanah, seperti pelapukan dan
penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme di dalamnya. Dari tabel di
atas, diketahui bahwa suhu berpengaruh sedang terhadap keanekaragaman jenis
Arthropoda.
32
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan didapat kesimpulan sebagai berikut.
1) Keanekaragaman jenis Arthropoda di Gua Sigawir dan Gua Sibedahan
tergolong tinggi, sedangkan Gua Sigintung sedang. Penyumbang
keanekaragaman jenis tertinggi terletak pada zona mulut gua. Metode yang
paling efektif untuk menilai keanekaragaman jenis adalah perangkap
sumuran. Tingkat kemerataan jenis Arthropoda ketiga gua adalah tinggi.
2) Suhu tanah ketiga gua bervariasi berkisar antara 22,1 – 24,3 °C. Kelembapan
tanah 100% atau mendekati 100% dan hanya zona mulut gua yang memiliki
kelembapan yang rendah mengikuti keadaan luar lingkungan gua.
3) Parameter yang paling berpengaruh terbalik secara signifikan terhadap
keanekaragaman jenis Arthropoda adalah kelembapan tanah.
5.2 Saran
Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa struktur komunitas
ekosistem tersebut stabil. Penulis menyarankan agar dilakukan penelitian tentang
pengelolaan kawasan karst secara hayati guna keberlangsungan kawasan
ekosistem karst.
33
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J. Triplehorn, C.A. dan Johnson, D.M. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi Enam, Cetakan Pertama. Partosoedjono, penerjemah.
UGM Press. Yogyakarta.
Borror, D.J dan White, R.E. 1970. A Field Guide to Insects America north of
Mexico. Houghton Mifflin Company. New York
Campbell, N.A dan Reece, J.B. 2008. Biologi. ed. 8. Jil. 1. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Coineau, N. 2000. Adaptations to interstitial groundwater life. In Subterranean
Ecosystems, edited by H.Wilkens, D.C.Culver & W.Humphreys,
Amsterdam and New York: Elsevier
Culver, D.C. 2005. Myriapods. Dalam Encyclopedia of Caves. Editor D.C.
Culver dan W.B. White, Elsevier Academic Press.
Culver, D.C., L. Deharveng, A. Bedos, J.J. Lewis, M. Madden, J.R. Redden, B.
Sket, P. Trontelj, and D. White,2006, The mid-latitude biodiversity ridge
in terrestrial cave fauna, Ecography, 29:120-128.
Culver, D. C dan T. Pipan. 2009. The Biology of Caves and Other Subterranean
Habitats. New York: Oxford University Press.
Djakamihardja, A. S dan Mulyadi, D. 2013. Implikasi Penambangan Batu
Gamping Terhadap Kondisi Hidrologi di Citeurep Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Jurnal RISET Geologi dan Pertambangan, Vol.23, No.1, Juni 2013,
49-60.
Ekinci. 2006. Effect of forest fire on some physical, chemical and biological
properties of soil in Canakkale, Turkey. International journal of agriculture
and biology 8 (1): 102-106.
Gibert, J., Danielopol, D.L. & Stanford, J.A. (editors) 1994. Groundwater
Ecology. London: Academic Press
Gnaspini, P. dan Trajano, E. 2000. Guano Communities in Tropical Caves. In
Ecosystem of The World, Vol. 30: Subterranean Ecosystem, edited by
Wilkens, H., Culver, D.C, & W.F. Humpreys. Amsterdam: Elsevier.
Hikespi, 2013. Kursus Dasar Kursus Lanjutan, Yogyakarta: 96 hlm.
Hoobs, H.H. 2005. Crustacea. Dalam Encyclopedia of Caves. Editor D.C. Culver
dan W.B. White, Elsevier Academic Press.
Humphreys, W.F. 1993. The significance of the subterranean fauna in
biogeographical reconstruction: examples from Cape Range peninsula,
34
Western Australia. In The Biogeographyof Cape Range, Western
Australia, edited by W.F.Humphreys, Perth: Western Australian Museum
(Records of the Western Australian Museum, Supplement 45)
Hüppop, K. 2005. Adaptation to Low Food. Dalam Encyclopedia of Caves.
Editor D.C. Culver dan W.B. White, Elsevier Academic Press.
Kaikan, K. 2002. Biodiversity Research Methods: IBOY in Western Pacific and
Asia. Kyoto University Press and Trans Pacific Press.
Kamal, M., Yustina, I dan Rahayu, S. 2011. Keanekaragaman Jenis Arthropoda di
Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Padang Bindu, OKU Sumatera
Selatan. Jurnal Penelitian Sains: Vol. 14 Nomer 1(D) 14108
Magniez G.J dan Rahmadi C. A new species of the genus Stenasellus (Crustacea,
Isopoda, Asellota, Stenasellidae). In: Bulletin mensuel de la Société
linnéenne de Lyon, 75ᵉ année, n°4, april 2006. pp. 173-177.
Michie NA. 1997. An Invstigation of The Climate, Carbon Dioxide and Dust in
Jenolan Caves NSW. [Thesis]. School of Earth Sciences, Macquarie
University.
Miura, H. 1991. Surface features and their relations to the caves in the Akiyoshi
Plateau in Japan. In Geography of Akiyoshi Karst, edited by H. Miura,
Shimonoseki, Yamaguchi: Shunhou- sha (paper in English, in mixed
Japanese and English book)
Moore, G.W dan Sullivan, G.N.. 1964. Speleology: the Biology of Caves. Zephrus
Press Inc. Teaneck.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Universitas Gajah Mada
Press. Yogyakarta.
Ota, M., Sugimura, A. & Haikawa, T. 1980. The Akiyoshi limestone group and
geologic structures (in Japanese). In Limestone Caves in Akiyoshi-dai:
Sciences of Limestone Caves, edited by M.Kawano, Shimonoseki,
Yamaguchi: Shunhou-sha
Palawa. 2014. Eksplorasi Karst Klapanunggal. Palawa Universitas Padjadjaran.
Semarang.
Parwez, H. dan N. Sharma. 2014. Effect of Edaphic Factors on the Population
Density of Soil Microarthropods in Agro Forestry Habitat. Journal of
Agroecology and Natural Resource Management 1(3): 187-190.
Peck, B. 1976 The effect of cave entrances on the distribution of cave-inhabiting
terrestrials arthropods. Speleol. pp.309-321
35
Prous, X., Ferreira R.L., Martins, R.P. 2004. Ecotone Delimination: Epigean-
Hypogean Transtition in Cave Ecosystems. Journal of Austral Ecology.
29: 374-382.
Rahmadi, C., Suhardjono, Y.R. dan Subagja, J. 2002. Komunitas Collembola
Guano Kelelawar di Gua Lawa Nusakambangan, Jawa Tengah. Biologi,
Vol.2, No.14 Desember 2002.
Rahmadi, C. 2007. Keajaiban Kecil Dari Gua Indonesia. Buletin of National
Geographic. 28 Oktober 2015: 121-124.
Rahmadi, C, 2007. Arthropoda Gua Karst Maros (Sulawesi) & Gunung Sewu
(jawa): Melintas Garis Wallace, Fauna Indonesia, vol 7 (2): 1-6
Rahmadi, C. 2012. Arthropoda Gua. Dalam Fauna Karst dan Gua Maros,
Sulawesi Selatan, editor Y.R. Suhardjono dan R. Ubaidillah. LIPI Press:
Jakarta.
Reddell, J.R. 2005. Spiders and Related Groups. Dalam Encyclopedia of Caves.
Editor D.C. Culver dan W.B. White, Elsevier Academic Press.
Ribeca, C. 2004. Arachnida. Dalam Encyclopedia of Cave and Karst Science.
Editor J. Gunn, Taylor & Francis Books: Great Britain
Ribera, C. & Juberthie, C. 1994. Araneae. In Encyclopaedia Biospeologica, vol. 1,
edited by C.Juberthie & V.Decu, Moulis and Bucharest: Société de
Biospéologie
Samodra, H. 2001. Nilai strategis kawasan karst di Indonesia. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi. Publikasi Khusus No. 25: 318pp.
Sikazwe, O. dan B. de Waele.2004. Assesment of The Quality and Reserves of
Bat Guano at Chipongwe and Kapongo Caves near Lusaka as Fertiliser
Material. UNZA Journal of Science and Technology Special Edition: 32-
42.
Suhardjono, Y.R. 2012. Pendahuluan. Dalam Fauna Karst dan Gua Maros,
Sulawesi Selatan, editor Y.R. Suhardjono dan R. Ubaidillah. LIPI Press:
Jakarta.
Suhardjono, Y.R., Rahmadi, C., Nugroho, H, dan Wiantoro, S. 2012. Karst dan
Gua. Dalam Fauna Karst dan Gua Maros, Sulawesi Selatan, editor Y.R.
Suhardjono dan R. Ubaidillah. LIPI Press: Jakarta.
Suin, N.M. 2006. Ekologi hewan tanah.ed. 1. Cet. 3. PT Bumi Aksara.: Jakarta
Sumartowo,O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Ed 7.
Penerbit Djambatan
36
Sumayku, R. 2013. Udang Purba itu Tinggal Dua Ekor. Buletin of National
Geographic. Juni 2013. http://www.nationalgeographic.co.id. Diakses
pada 29 Oktober 2015
Surono, R., Sukamto dan Samodra, H. 1999. Batuan Karbonat Pembentuk
Morfologi Karst di Indonesia. Kumpulan Makalah Lokakarya Kawasan
Karst, Jakarta 29-30 Sebtember 1999. Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed. 3.
cet. 2. Balai Pustaka: Jakarta
Vermeulen, J. dan Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the
Management of Limestones Resources. Washington: The World Bank
Wiantoro, S. dan Achmadi, A.S. 2011 kelimpahan dan keanekaragaman kelelawar
(chiroptera) dan mamalia kecil di pulau ternate: Ekologi ternate, lipi press.
Jakarta.
Wenying, Y. 2000. Pictorial Keys to Soil Animals of China. Science Press. New
York
Whriten, T., S.J. Damanik, J., Anwar, & Hisyam, 2000, The Ecology Of Indonesia
Series Volume I : The Ecology Of Sumatra, Periplus Edition (HK) Ltd.,
Singapore, xxxi + 478 hlm
37
Lampiran 1. Parameter lingkungan gua
Gua Zona Parameter PitfallTrap
PT 1 PT 10 PT 2 PT 3 PT 4 PT 5 PT 6 PT 7 PT 8 PT 9
Sibedahan gelap kelembapan tanah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
pH tanah 4 4 3,5 5 5 7 5 3 3 4
suhu tanah 23 22 23 23 23 23 23 21 21 21
mulut gua kelembapan tanah 15 40 10 20 25 25 25 15 15 35
pH tanah 7,5 8 7,5 6,5 7 7 7 7 7 7
suhu tanah 24 23 23 23 23 23 23 24 24 24
remang-
remang
kelembapan tanah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
pH tanah 4,5 6,5 4,5 5 6,5 5 4,5 6 6 6,5
suhu tanah 21 22 21 22 23 23 23 22 22 22
Sigawir gelap kelembapan tanah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
pH tanah 5,5 5 5 5 6 6,5 5 7 6 5
suhu tanah 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24
gelap abadi kelembapan tanah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
pH tanah 5,5 6 5,5 5 6 6 6 6 6 5
suhu tanah 24 24 24 24 24 25 25 24 24 24
mulut gua kelembapan tanah 55 45 65 75 55 100 100 70 40 100
pH tanah 6,5 6,5 6,5 6,5 6,5 7 6 7 7 6,5
suhu tanah 24 23 23 23 23 23 23 23 23 23
remang-
remang
kelembapan tanah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
pH tanah 5 6,5 6 5,5 6 5,5 7 6 7 5
suhu tanah 23 23 23 23 23 23 23 24 24 23
Sigintung mulut gua kelembapan tanah 100 100 100 100 100 100 100 100 50 100
pH tanah 7,5 7 8 8 8,5 8,5 8,5 8 7 7
suhu tanah 24 24 24 24 24 24 25 24 25 25
remang-
remang
kelembapan tanah 65 100 100 100 100 100 100 100 100 100
pH tanah 7 8 7 7 7 8 7 7,5 7 7,5
suhu tanah 25 24 24 24 24 24 24 24 24 24
38
Lampiran 2. Jenis berdasarkan zona
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies GE MG RE GE GA MG RE MG RE
Arachnida Acari Acari Acari sp.1 1 1
Acari sp.2 1
Acari sp.3 6
Dermanyssidae Dermanyssidae sp. 1
Ixodidae Ixodidae sp. 1
Trombidiidae Trombidiidae sp. 3 1 4
Amblypygi Charontidae Stygophrynus dammermani 6 4 8 2 7 7
Araneae Araneae Araneae sp.1 1 1 2
Araneae sp.2 1
Araneae sp.3 1
Araneae sp.4 3
Araneae sp.5 1
Araneae sp.6 5
Araneae sp.7 3
Araneae sp.8 1
Pholcidae Pholcidae sp.1 1
Pholcidae sp.2 1
Pholcidae sp.3 1
Sparassidae Heteropoda sp. 1
Opiliones Leiobunidae Leiobunidae sp. 1
Collembola Collembola Collembola Collembola sp.1 1 2
Collembola sp.2 2 1
Entomobryomorpha Entomobryidae Entomobryidae sp. 1 1
Entomobryomorpha Entomobryomorpha sp.1 1
Entomobryomorpha sp.2 3 1
Entomobryomorpha sp.3 3
39
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies GE MG RE GE GA MG RE MG RE
Entomobryomorpha sp.4 4
Entomobryomorpha sp.5 4
Entomobryomorpha sp.6 1 6
Entomobryomorpha sp.7 4
Isotomidae Folsomia octoculata 1 2 2 15 2
Poduromorpha Neanuridae Denismeria sp. 1
Onychiuridae Protaphorura sp. 1
Symphypleona Arrhopalites Arrhopalite sp. 1
Symphypleona Symphypleona sp. 1
Crustacea Isopoda Armadillidae Armadillidae sp. 1 1 1 3
Philoscidae Philoscidae sp. 1
Insecta Archaeognatha Archaeognatha Archaeognatha sp. 1
Coleoptera Carabidae Carabidae sp. 2
Pamborus macleayi 1
Chrysomelidae Chrysomelidae sp. 1
Coccinellidae Coccinellidae sp. 1
Coleoptera Coleoptera sp.1 7 1 1
Coleoptera sp.10 2
Coleoptera sp.2 2 2
Coleoptera sp.3 1
Coleoptera sp.4 1
Coleoptera sp.5 1 1
Coleoptera sp.6 1
Coleoptera sp.7 20 15 6 2
Coleoptera sp.8 2
Coleoptera sp.9 2
Coleoptera sp.11 1
40
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies GE MG RE GE GA MG RE MG RE
Scolytidae Scolytidae sp.1 1 6 1 23 3
Scolytidae sp.2 13 6 4
Staphylinidae Staphylinidae sp.1 12 30 11 3 1 6 3 2 4
Staphylinidae sp.2 11 20 7 6 3 2 10
Staphylinidae sp.3 4 1 1 3
Dermaptera Labiidae Labiida sp. 2
Dictyoptera Blattellidae Blattellidae sp. 1
Blattidae Blataria sp. 2
Blattidae sp. 2
Dictyoptera Dictyoptera sp. 2
Nocticolidae Nocticola sp. 9 4 1 4 1
Diplura Japygidae Japyx sp. 1
Diptera Chyromyidae Chyromyidae sp. 2 2
Diptera Diptera sp.1 5 1 2 1
Diptera sp.10 1
Diptera sp.2 15 1 2
Diptera sp.3 3 1 2
Diptera sp.4 1 1
Diptera sp.5 1
Diptera sp.6 1
Diptera sp.7 1
Diptera sp.8 6 2
Diptera sp.9 5 1
Drosophilidae Drosophilidae sp. 5 3 1
Muscidae Muscidae sp. 1
Hemiptera Anthocoridae Anthocoridae sp. 1
Hymenoptera Formicidae Camponotus sp. 52
41
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies GE MG RE GE GA MG RE MG RE
Dorylus sp. 2
Monomorium sp. 1 1
Odontomachus sp. 5
Odontoponera sp. 1
Pheidole sp.1 42
Pheidole sp.2 11
Pheidole sp.3 2 1 50
Tapinoma sp. 1
Insecta Insecta Insecta sp. 1
Isoptera Isoptera Isoptera sp. 1
Termitidae Termites sp. 1 2
Neuroptera Myrmeleontidae Myrmeleon sp. 1
Orthoptera Acrididae Acrididae sp.1 2 2
Acrididae sp.2 4
Acrididae sp.3 5
Acrididae sp.4 2
Gryllotalpidae Gryllotalpidae sp. 1
Rhaphidophorida Rhaphidophora sp. 19 2 5 3 2 1 6 7 9
Psocoptera Psocoptera Psocoptera sp.1 1 3 1
Psocoptera sp.2 1
Myriapoda Chilopoda Chilopoda Chilopoda sp. 1
Lithobiomorpha Lithobiomorpha sp. 1
Diplopoda Cambalopsidae Trachyjulus tjampeanus 52 10 4 5 18
Polydesmidae Polydesmida sp. 1 1
Pauropoda Pauropodidae Pauropodidae sp 1
Unidentified 1 Unidentified 1 Unidentified 1 Unidentified 1 1
Unidentified 2 Unidentified 2 Unidentified 2 Unidentified 2 3
42
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies GE MG RE GE GA MG RE MG RE
Unidentified 3 Unidentified 3 Unidentified 3 Unidentified 3 1
Grand Total 169 206 62 32 16 164 28 135 51
Keterangan:
➢ MG: Mulut Gua
➢ RE: Remang-Remang
➢ GE: Gelap
➢ GA: Gelap Abadi
43
Lampiran 3. Jenis berdasarkan metode
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies CB HC PS CB HC PS CB HC PS
Arachnida Acari Acari Acari sp.1 2
Acari sp.2 1
Acari sp.3 6
Dermanyssidae Dermanyssidae sp. 1
Ixodidae Ixodidae sp. 1
Trombidiidae Trombidiidae sp. 4 3 1
Amblypygi Charontidae Stygophrynus dammermani 9 1 17 7
Araneae Araneae Araneae sp.1 2 2
Araneae sp.2 1
Araneae sp.3 1
Araneae sp.4 3
Araneae sp.5 1
Araneae sp.6 5
Araneae sp.7 3
Araneae sp.8 1
Pholcidae Pholcidae sp.1 1
Pholcidae sp.2 1
Pholcidae sp.3 1
Sparassidae Heteropoda sp. 1
Opiliones Leiobunidae Leiobunidae sp. 1
Collembola Collembola Collembola Collembola sp.1 1 2
Collembola sp.2 2 1
Entomobryomorpha Entomobryidae Entomobryidae sp. 1 1
Entomobryomorpha Entomobryomorpha sp.1 1
Entomobryomorpha sp.2 4
44
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies CB HC PS CB HC PS CB HC PS
Entomobryomorpha sp.3 3
Entomobryomorpha sp.4 4
Entomobryomorpha sp.5 4
Entomobryomorpha sp.6 1 6
Entomobryomorpha sp.7 4
Isotomidae Folsomia octoculata 3 2 17
Poduromorpha Neanuridae Denismeria sp. 1
Onychiuridae Protaphorura sp. 1
Symphypleona Arrhopalites Arrhopalite sp. 1
Symphypleona Symphypleona sp. 1
Crustacea Isopoda Armadillidae Armadillidae sp. 1 2 3
Philoscidae Philoscidae sp. 1
Insecta Archaeognatha Archaeognatha Archaeognatha sp. 1
Coleoptera Carabidae Carabidae sp. 2
Pamborus macleayi 1
Chrysomelidae Chrysomelidae sp. 1
Coccinellidae Coccinellidae sp. 1
Coleoptera Coleoptera sp.1 7 1 1
Coleoptera sp.10 2
Coleoptera sp.2 2 2
Coleoptera sp.3 1
Coleoptera sp.4 1
Coleoptera sp.5 1 1
Coleoptera sp.6 1
Coleoptera sp.7 12 29 2
Coleoptera sp.8 2
Coleoptera sp.9 2
45
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies CB HC PS CB HC PS CB HC PS
Coleoptera sp.11 1
Scolytidae Scolytidae sp.1 2 6 23 3
Scolytidae sp.2 13 6 4
Staphylinidae Staphylinidae sp.1 53 13 6
Staphylinidae sp.2 38 11 10
Staphylinidae sp.3 5 4
Dermaptera Labiidae Labiida sp. 2
Dictyoptera Blattellidae Blattellidae sp. 1
Blattidae Blataria sp. 2
Blattidae sp. 2
Dictyoptera Dictyoptera sp. 2
Nocticolidae Nocticola sp. 13 5 1
Diplura Japygidae Japyx sp. 1
Diptera Chyromyidae Chyromyidae sp. 3 1
Diptera Diptera sp.1 8 1
Diptera sp.10 1
Diptera sp.2 16 2
Diptera sp.3 4 2
Diptera sp.4 2
Diptera sp.5 1
Diptera sp.6 1
Diptera sp.7 1
Diptera sp.8 6 2
Diptera sp.9 5 1
Drosophilidae Drosophilidae sp. 5 3 1
Muscidae Muscidae sp. 1
Hemiptera Anthocoridae Anthocoridae sp. 1
46
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies CB HC PS CB HC PS CB HC PS
Hymenoptera Formicidae Camponotus sp. 30 22
Dorylus sp. 2
Monomorium sp. 2
Odontomachus sp. 5
Odontoponera sp. 1
Pheidole sp.1 30 12
Pheidole sp.2 10 1
Pheidole sp.3 2 1 50
Tapinoma sp. 1
Insecta Insecta Insecta sp. 1
Isoptera Isoptera Isoptera sp. 1
Termitidae Termites sp. 1 2
Neuroptera Myrmeleontidae Myrmeleon sp. 1
Orthoptera Acrididae Acrididae sp.1 2 2
Acrididae sp.2 4
Acrididae sp.3 5
Acrididae sp.4 2
Gryllotalpidae Gryllotalpidae sp. 1
Rhaphidophorida Rhaphidophora sp. 1 11 14 7 5 7 9
Psocoptera Psocoptera Psocoptera sp.1 1 4
Psocoptera sp.2 1
Myriapoda Chilopoda Chilopoda Chilopoda sp. 1
Lithobiomorpha Lithobiomorpha sp. 1
Diplopoda Cambalopsidae Trachyjulus tjampeanus 1 60 1 6 3 17 1
Polydesmidae Polydesmida sp. 1 1
Pauropoda Pauropodidae Pauropodidae sp 1
Unidentified 1 Unidentified 1 Unidentified 1 Unidentified 1 1
47
TAKSON Sibedahan Sigawir Sigintung
Kelas Ordo Famili Spesies CB HC PS CB HC PS CB HC PS
Unidentified 2 Unidentified 2 Unidentified 2 Unidentified 2 3
Unidentified 3 Unidentified 3 Unidentified 3 Unidentified 3 1
Grand Total 25 154 258 15 73 152 50 84 52
Keterangan:
➢ CB : Corong Berlease
➢ HC : Hand Collecting
➢ PS : Perangkap Sumuran
48
Lampiran 4. Gambar Arthropoda yang ditemukan
Insecta
Acrididae sp.1 Acrididae sp.2 Acrididae sp.3
Acrididae sp.4 Anthocoridae sp. Archaeognatha sp.
Blataria sp. Blattellidae sp. Blattidae sp.
Camponotus sp. Carabidae sp.1 Pamborus macleayi
Chrysomelidae sp. Chyromyidae sp. Coccinellidae sp.
49
Coleoptera sp.1 Coleoptera sp.2 Coleoptera sp.3
Coleoptera sp.4 Coleoptera sp.5 Coleoptera sp.6
Coleoptera sp.7 Coleoptera sp.8 Coleoptera sp.9
Coleoptera sp.10 Coleoptera sp.11 Diptera sp.1
Diptera sp.2 Diptera sp.3 Diptera sp.4
Diptera sp.5 Diptera sp.6 Diptera sp.7
50
Diptera sp.8 Diptera sp.9 Diptera sp.10
Dorylus sp. Drosophilidae sp. Gryllotalpidae sp.
Dictyoptera sp. Insecta sp. Isoptera sp.
Japyx sp. Labiida sp. Monomorium sp.
Muscidae sp. Myrmeleon sp. Nocticola sp.
Odontomachus sp. Odontoponera sp. Pheidole sp.1
51
Pheidole sp.2 Pheidole sp.3 Psocoptera sp.1
Psocoptera sp.2 Rhaphidophora sp. Scolytidae sp.1
Scolytidae sp.2 Staphylinidae sp.1 Staphylinidae sp.2
Staphylinidae sp.3 Tapinoma sp. Termites sp.
Arachnida
Acari sp.1 Acari sp.2 Acari sp.3
52
Araneae sp.1 Araneae sp.2 Araneae sp.3
Araneae sp.4 Araneae sp.5 Araneae sp.6
Araneae sp.7 Araneae sp.8 Dermanyssidae sp.
Heteropoda sp. Ixodidae sp. Leiobunidae sp.
Pholcidae sp.1 Pholcidae sp.2 Pholcidae sp.3
53
Stygophrynus sp. Trombidiidae sp.
Collembola
Arrhopalite sp. Collembola sp.1 Collembola sp.2
Denismeria sp. Entomobryidae sp. Entomobryomorpha sp.1
Entomobryomorpha sp.2 Entomobryomorpha sp.3 Entomobryomorpha sp.4
Entomobryomorpha sp.5 Entomobryomorpha sp.6 Entomobryomorpha sp.7
54
Folsomia octoculata Protaphorura sp. Symphypleona sp.
Crustacea
Armadilida sp. Armadillidae sp.
Myriapoda
Chilopoda sp. Hypocambala sp. Lithobiomorpha sp.
Pauropodidae sp. Polydesmida sp.
Tidak teridentifikasi
Unidentified 1 Unidentified 2 Unidentified 3