Upload
phamtu
View
248
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN
PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI
PERJANJIAN UTANG-PIUTANG
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Bisnis
Oleh :
ABDUL KOHAR NIM : S. 320908001
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
Keadilan hukum oleh hakim atas tuntutan pembatalan akta
notaris mengenai perjanjian utang-piutang
(studi kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Bisnis
Oleh :
Abdul Kohar NIM : S. 320908001
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
i
KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA
NOTARIS MENGENAI PERJANJIAN UTANG-PIUTANG
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Disusun Oleh :
Nama : ABDUL KOHAR NIM : S. 320908001 Telah disetujui oleh Pembimbing : Dewan Pembimbing Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal Pembimbing I Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S ……………… ………….. NIP. 194405051969021001 Pembimbing II Pranoto, S.H., M.H ………………. .…………. NIP. 196412191989031002 Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S NIP. 194405051969021001
ii
KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA
NOTARIS MENGENAI PERJANJIAN UTANG-PIUTANG
(Studi kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Disusun Oleh :
Nama : ABDUL KOHAR NIM : S. 320908001 Telah disetujui oleh Tim Penguji : Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal Ketua : Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum. …………….. ..…………. NIP. 195702031985032001 Sekretaris : Dr. I Gusti Ayu Rahmi H, SH., MM. …………….. …………… NIP. 1972100820012001 Anggota Penguji : 1. Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. …………….. .………….. NIP. 194405051969021001 Anggota Penguji : 2. Pranoto, S.H., M.H. ……………... .…………. NIP. 196412191989031002 Mengetahui : Ketua Program Studi Prof. Dr.H. Setiono, S.H., M.S ………………….. Magister Ilmu Hukum NIP. 194405051969021001 Direktur Program Prof. Drs. Suranto, MSc. Ph.D ………………….. Pasca Sarjana NIP. 195708201985031004 iii
PERNYATAAN N a m a : Abdul Kohar N I M : S. 320908001 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis berjudul “KEADILAN HUKUM OLEH
HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI PER -
JANJIAN UTANG - PIUTANG (Studi kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)” ini
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis ini.
Surakarta , April 2010 Yang membuat pernyataan. ABDUL KOHAR iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, atas
selesainya tesis ini sebagai kelengkapan syarat guna mencapai derajat magister dalam ilmu
hokum pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang berjudul
KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS TUNTUTAN PEMBATALAN
AKTA NOTARIS MENGENAI PERJANJIAN UTANG - PIUTANG (Studi
kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan
hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr., SpKj (K), selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc. PhD, selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Prof. Dr.H. Setiono, S.H., M.S selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan juga
selaku Pembimbing I.
5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.MHum selaku Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Bapak Pranoto, S.H., M.Hum selaku Pembimbing II.
7. Bapak/Ibu Tim Penguji Tesis penulis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengampu dan Para Staf pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Bapak Subiharta, SH.MHum mantan Ketua Pengadilan Negri Sukoharjo yang telah
memberi ijin penulis melanjutkan Studi S2.
10. Bapak Binsar Siregar, SH.MH selaku Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo yang
memberi ijin penulis untuk melakukan research di Pengadilan Negeri Sukoharjo
dan Bapak/Ibu Hakim, serta seluruh Pegawai Pengadilan Negeri Sukoharjo.
v
11. Para Notaris dan teman-teman Lawyer di Sukoharjo yang membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
12. Teman-teman satu angkatan kelas Hukum Bisnis.
13. Istriku tercinta Dra. Yenny Dwi Rayaningsih dan buah hatiku satu-satunya Swasti
Nourmawati yang memberikan motivasi dan do’a.
Penulis menyadari bahwasanya tesis ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangannya, oleh karenanya kritik dan saran yang bersifat membangun sangan penulis
harapkan.
Surakarta, April 2010 ABDUL KOHAR
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam putusannya tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan, serta faktor apa yang mempengaruhi pikiran hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal (normatif) karena hukum diartikan sebagai keputusan-keputusan yang diciptakan oleh hakim (In konkreto). Akan tetapi penelitian yang penulis lakukan ini yang dikaji adalah perilaku hakim dalam memutus suatu perkara, sehingga penelitian ini merupakan penelitian sosiologis yang dapat diamati di dalam kehidupan sosial. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan dan studi kepustakaan guna mendapatkan data primer dan sekunder, dan teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan logika induksi.
Hasil penelitian kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa Majelis Hakim yudex factie telah mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam Pasal 178 ayat (2) HIR dengan tujuan ingin memberi keadilan yang substansif serta perlindungan hukum kepada tergugat selaku kreditur. Pengesampingan ketentuan hukum acara tersebut dikarenakan : 1). dilihat dari teori penyimpangan (deviant theory), hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai pemegang peran telah mengarahkan pikirannya untuk tidak menyesuaikan diri (non conform) dengan keharusan yang diberikan oleh norma yaitu ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR, 2). ditinjau dari teori interaksionisme simbolis, sikap majelis hakim tersebut lebih disebabkan karena adanya suatu pengetahuan majelis hakim yang diperoleh dari hasil sosialisasi dengan lingkungannya, yang diyakini bahwa pernyataan pengakuan utang oleh penggugat selaku debitur di dalam akta perjanjian utang piutang adalah sama dengan “pengakuan utang sepihak” yang dimaksud oleh pasal 224 HIR, sehingga majelis hakim berkesimpulan apabila pernyataan debitur tersebut digabung dalam satu akta maka akta tersebut menjadi cacat hukum dan batal. Oleh karenanya majelis hakim memilih jalan pintas untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat tersebut.
Ketentuan hukum acara perdata sebenarnya tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, karena ketentuan hukum acara merupakan kunci pembuka jalan untuk bisa menerapkan hukum materiil yang dipakai sebagai dasar untuk memberikan keadilan yang substansial bagi kedua belah pihak yang berperkara. Hakim boleh menyimpangi ketentuan hukum manakala hukum itu bila diterapkan akan menjadikan tidak adil, akan tetapi yang dapat disimpangi hanyalah hukum materiil. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi hakim guna memperluas pemikiran dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum suatu putusan pengadilan dengan tetap menegakkan ketentuan hukum acara, khususnya dalam sengketa hukum dalam hukum bisnis.
vii ABSTRACT
This study aims to find out why the judge of the Sukoharjo Public Court in the decision not to consider all the arguments the lawsuit of Plaintiff, and to know what factors influence the minds of the judges in that verdict. This research is a kind of doctrinal research (normative) because the law is defined as the decisions made by judges (in concreto). While this research by the author of this studied is the behavior of judges in deciding a case, so this research is a sociological study that can be observed in social life. Data collected by field research and literature studies in order to obtain primary and secondary data, and data analysis techniques using qualitative analysis techniques with the logic of induction. The results are then analyzed to produce conclusions that judges chamber yudex factie have ignored the Private Procedural Law Provision in Article 178 paragraph (2) HIR with the aim to provide substantive justice and legal protection to the defendant as a creditor. The ignoration of the private procedural law caused by : 1). the views of the theory of aberration (Deviant theory), the Judge of Sukoharjo Public Court as the holder of the role has been directing his mind to not adjust to (non-conform) with the requirement given by the norms of the provision of Article 178 paragraph (2) HIR. 2). in terms of symbolic interactionism theory, these judges attitude is due to the existence of a knowledge of the judges found from the socialization with their environment, which is believed that the plaintiff's statement as an acknowledgment of debt by the debtor in the deed of agreement is the same debts with 'debt recognition unilateral "referred to by Article 224 HIR, the judges concluded that the debtor if the statement were merged in the deed of agreement, accounts payable, the deed are to be legally flawed and invalid. Therefore, the judges select a shortcut for not considering the argument of the lawsuit plaintiffs. Terms of the private procedural law may not be ignored by the judge in examining and deciding the case, because the provision of procedural law is the key to open the way to apply the law as a basic material used to provide substantial justice for both parties. Judge may ignore legal provisions when the law will make it when applied unfairly, but that can only ignore material law. This research is expected to provide suggestions and input for the judge to extend the thinking in drafting the legal considerations of Verdict to keep enforcing the provisions of procedural law, particularly in legal disputes of business law. viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………....... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………… ii
HALAMAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI ……………………………………… iii
HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………... v
ABSTRAK ………………………………………………………………………… vi
ABSRACT ………………………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1
B. Perumusan Masalah …………………………………… 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………… 5
D. Manfaat Penelitian …………………………………………… 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………… 7
A. Landasan Teori …………………………………………… 7
1. Beberapa Istilah Penting dalam Judul …………………… 7
2. Teori Hukum Perjanjian …………………………… 9
3. Teori Hak Tanggungan …………………………… 27
4. Teori Hukum Pembuktian …………………………… 33
5. Teori Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) … 54
B. PENELITIAN YANG RELEVAN …………………… 59
C. KERANGKA BERPIKIR ………………………… 60
BAB III METODE PENELITIAN …………………………………… 62
A. Jenis Penelitian …………………………………………… 62
B. Lokasi Penelitian …………………………………………… 64
C. Jenis dan Sumber Data …………………………………… 64
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………… 66
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data …………………… 67
ix
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………… 70
A. Hasil Penelitian …………………………………………… 70
B. Pembahasan …………………………………………… 100
BAB V PENUTUP …………………………………………………… 112
A. Kesimpulan …………………………………………… 112
B. Implikasi …………………………………………………… 113
C. Saran …………………………………………………… 113
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 115
LAMPIRAN : 1. Putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh.
2. Akta Notaris No. 6 tentang Perjanjian Utang-piutang.
3. Surat Keterangan Penelitian dari PN Sukoharjo.
L A M P I R A N
MOTTO :
“Hidup adalah kegelapan jika tanpa
hasrat dan keinginan. Semua hasrat dan keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Pengetahuan adalah hampa, jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta”.
(Kahlil Gibran)
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan ekonomi untuk memperoleh kesejahtera-an hidup
maka kegiatan bisnis menjadi minat yang menjanjikan di masyarakat kita dewasa ini.
Untuk memulai berbisnis bagi perorangan, atau bagi badan hukum perusahaan
guna mengembangkan usahanya pasti membutuhkan uang atau dana. Untuk
mendapatkan dana tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya
adalah dengan meminjam kepada pihak lain dengan mengadakan hubungan hukum
utang-piutang atau yang lebih dikenal dengan istilah perjanjian kredit atau perjanjian
utang-piutang apabila dilakukan diantara orang perorangan.
Pinjaman uang tersebut lazimnya diperoleh dengan meminjam kepada lembaga
perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya seperti koperasi. Dalam arus globalisasi
ini, peningkatan dan proses pembangunan ekonomi berbanding searah dengan
pertumbuhan dan percepatan partisipasi pembiayaan. Hal tersebut sebagaimana
disebutkan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa : Era globalisasi membawa serta
meningkatkan perkembangan di segala bidang dan membutuhkan dana. Dana yang
tersedia baik yang berasal dari dalam dan luar negeri, lazimnya disalurkan melalui
perbankan/lembaga keuangan1.
Sejalan dengan urusan dana pembiayaan ini Daeng Naja menjelaskan jenis
pembiayaan yang sering dipergunakan perusahaan dalam menjalankan bisnisnya,
yaitu pembiayaan dengan modal pinjaman (kredit perbankan), pembiayaan dengan
modal penyertaan (penjualan saham dan modal ventura), pembiayaan dengan
pengalihan piutang (factoring),pembiayaan dengan sewa guna usaha (leasing), dan
pembiayaan dengan penerbitan surat berharga (commercial paper, promes, dan
obligasi)2. Dalam hal utang-piutang uang tersebut, pihak-pihaknya tidak hanya
terbatas antara bank saja yang bisa sebagai pihak kreditur, namun juga
dimungkinkan dan dibenarkan yang menjadi kreditur adalah orang perorangan3.
Para pelaku bisnis baik bank, koperasi maupun perseorangan selaku kreditur
akan berani melepaskan uangnya kepada debitur apabila mereka yakin akan
mendapat jaminan kepastian bahwa modal uang yang mereka tanamkan itu akan
kembali beserta bunganya pada waktu yang ditentukan dengan aman. Oleh
karenanya pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan modal
1 Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Hukum Jaminan Indonesia : dikutip dari Peter Mahmud Marzuki,
Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi, Elips, Jakarta, 1998, h. 59. 2 Daeng Naja, H.R., Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Cet-I, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, h. 42. 3 Mulyoto, Peranan pembuatan Akta pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam rangka perlindungan
Hukum terhadap Kreditur dan Debitur : dalam “Diperlukan Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum bagi Kreditur dan Debitur dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan”, Pusat Kajian Kebijakan Hukum dan Ekonomi (PK2HE) dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Sukoharjo, The Sunan Hotel, Solo, 20 Juni 2009, hal.2.
atas pemberian kredit tersebut4. Jaminan kepastian dan keamanan akan kembalinya
hak atas tagihan uang kreditur tersebut ada apabila dipenuhinya dua hal, yaitu
pertama adanya barang agunan yang dijaminkan, dan kedua adanya perlindungan
hukum yang kredibel dalam perjanjian kredit yang dibuat bersama debitur.
Hubungan pinjam-meninjam uang diawali dengan pembuatan kesepakatan
antara peminjam uang (debitur) dan yang meminjamkan uang (kreditur), yang
dituangkan dalam “perjanjian utang-piutang” bagi kreditur perorangan dan
“Perjanjian Kredit” bagi kreditur berupa bank atau koperasi. Perjanjian utang-
piutang/kredit dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Pada umumnya
perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, namun andaikan dibuat secara
tertulis, maka surat perjanjian itu akan berguna sebagai alat pembuktian apabila
terjadi perselisihan
Perjanjian Utang-piutang atau perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok di
samping perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai perjanjian ikutan, dan
perjanjian pokok ini biasa dibuat melalui bantuan notaris atas permintaan kreditur
yang dituangkan dalam bentuk akta otentik. Penuangan perjanjian dalam bentuk akta
notaris (akta otentik) tersebut bagi kreditur akan lebih memberikan jaminan
keamanan apabila dikemudian hari perjanjian itu diingkari oleh debitur. Perjanjian
Utang-piutang/Perjanjian Kredit sebagai perjanjian pokok dapat dibuat secara di
bawah tangan ataupun dibuat secara otentik di hadapan notaris, sedangkan untuk
Akta Pemberian Hak tanggungan (APHT) yang merupakan perjanjian ikutannya
(acesoir) harus dibuat dihadapan PPAT5.Perjanjian ikutan dalam perjanjian utang-
piutang antara lain berupa perjanjian pemberian hak tanggungan, dan keberadaan
perjanjian ikutan ini tergantung dari keberadaan perjanjian pokoknya. Apabila
perjanjian pokoknya batal maka perjanjian ikutannya ikut menjadi batal pula.
Akta otentik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah
suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat
oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat
dimana akta dibuatnya6. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
4 Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Ny, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, Cet-I, Liberty, Yogyakarta, 1980, h.1. 5 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan
dengan Tanah, Pasal 10 ayat 2. 6 Subekti. R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet-XIII, Pradnya Paramita, Jakarta,
1980, hal. 419.
sempurna, artinya bahwa isi akta tersebut oleh hakim harus dianggap benar kecuali
apabila diajukan bukti lawan, atau dengan perkataan lain bahwa apa yang termuat
dalam akta otentik itu harus dianggap benar selama ketidak-benarannya itu tidak
dibuktikan7. Perjanjian pokok berupa perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang
dituangkan dalam akta Notaris, agar akta tersebut sah selain isi perjanjiannya harus
memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, juga diperlukan syarat formal sahnya akta otentik dalam
pembuatannya.
Masalah keabsahan formalitas bentuk akta notaris yang berisi perjanjian utang-
piutang/perjanjian kredit ini dapat digunakan oleh debitur yang keberatan membayar
hutangnya sebagai alasan untuk mengajukan tuntutan pembatalan akta tersebut
melalui pengadilan, dengan tujuan agar perjanjian ikutannya berupa perjanjian
pemberian hak tanggungan ikut batal sehingga pinjaman tersebut oleh debitur tidak
akan dibayar lunas atau untuk menunda pembayaran sesuai jangka waktu yang telah
diperjanjikan. ntaFormalitas bentuk akta notaris dipakai sebagai alasan pembatalan
akta oleh debitur, karena debitur berpendapat bahwa akta notaris yang berisi tentang
perjanjian pokok utang-piutang/perjanjian kredit tersebut, tidak dapat dicampur
dengan perbuatan hukum lain, seperti pernyataan pengakuan hutang dari debitur atau
pernyataan pemberian jaminan dari debitur.
Adakalanya debitur dalam mengajukan gugatan pembatalan akta perjanjian ke
pengadilan memakai lebih dari satu alasan/dalil gugatan, misalnya alasan pertama
akta notaris tidak sah karena bentuknya menyalahi ketentuan hukum, dan alasan
kedua perjanjian pokok utang-piutang tidak sah karena tidak ada kesesuaian
kehendak atau karena telah terjadi penyesatan, dan lain sebagainya. Dalam
menghadapi gugatan demikian, hakim berkewajiban memeriksa dan
mempertimbangkan seluruh bagian dari alasan/dalil gugatan penggugat tersebut, agar
dapat memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara. Hakim
yang bersikap tidak mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan penggugat dapat
menjadikan pihak penggugat merasa tidak adil karena merasa dirugikan, yakni di
samping tuntutannya ditolak juga akan merasakan bahwa sikap hakim tersebut tidak
obyektif. Undang-undang Hukum Acara Perdata sendiri dalam hal ini Pasal 178 ayat
7 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Cet-VIII, CV. Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 66.
(2) HIR8 telah menentukan bahwa hakim harus mengadili semua bagian dari
gugatan/tuntutan penggugat.
Salah satu perkara yang menarik yaitu perkara perdata gugatan pembatalan akta
notaris yang berisi perjanjian utang-piutang yang diajukan oleh pihak debitur ke
Pengadilan Negeri Sukoharjo, dengan mendasarkan dalil : pertama, bahwa akta
notaris tersebut berisi dua perbuatan hukum yaitu perjanjian utang piutang dan
pengakuan utang, yang menurut pendapat penggugat seharusnya dibuat dalam dua
akta secara terpisah, dan oleh karena kedua perbuatan hukum tersebut dibuat dalam
satu akta maka akta perjanjian utang piutang tersebut cacat hokum ; Kedua, bahwa
perjanjian utang-piutang tersebut telah terjadi cacat kehendak yaitu adanya
penyesatan dan penipuan, karena ada ketidaksesuaian antara besarnya pinjaman yang
tertulis dalam akta dengan kenyataan jumlah uang yang diterima oleh penggugat
selaku debitur. Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo melalui
putusan Nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh telah menolak gugatan penggugat untuk
seluruhnya, sedangkan dalam pertimbangan hukumnya hakim tidak
mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang pertama tersebut. Sikap Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang tidak mempertimbangkan semua dalil
gugatan tersebut memunculkan permasalahan dalam memberikan keadilan bagi para
pihak, khususnya dalam perjanjian utang-piutang yang dituangkan dalam akta
notaris.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dasar
pemikiran Majelis Hakim ketika memutus perkara tersebut, dan menuliskan hasilnya
dalam tesis ini dengan judul: “KEADILAN HUKUM OLEH HAKIM ATAS
TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS MENGENAI
PERJANJIAN UTANG-PIUTANG (Studi kasus di Pengadilan Negeri
Sukoharjo)”.
B. Perumusan Masalah
8 Herziene Indlandsch Reglement (HIR Stb. 1941-44). Abdulkadir Muhammad, dalam “Hukum Acara
Perdata Indonesia”, Cet-VII, PT Citra Aditya Bakti , Bandung, 2000, hal. 13 mengatakan bahwa dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR (Herziene Indlandsch Reglement) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Sedangkan untuk perkara perdata tidak disinggung. Ini berarti bahwa untuk perkara perdata HIR dan Rbg bukan hanya sebagai pedoman, melainkan sebagai peraturan Hukum Acara Perdata yang harus diikuti dan diindahkan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengangkat
permasalahan sebagai berikut : Mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di
dalam putusannya tidak mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan pembatalan
akta notaris tentang perjanjian utang piutang ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang diharapkan sebagai pemecahan
masalah yang dihadapi. Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas,
maka tujuan penelitian ini selain untuk mengetahui fenomena yang telah terjadi, yakni
maksud dan tujuan majelis hakim dalam mempertimbangkan putusan Nomor
61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut di atas, juga untuk mengkaji faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi cara berpikir majelis hakim sehingga memberikan pertimbagan
putusan perkara pedata tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis.
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu
Hukum, dan khususnya hukum bisnis yang berkaitan dengan pemberian putusan
atas tuntutan pembatalan Akta Perjanjian Utang-piutang/perjanjian kredit yang
dibuat oleh notaris.
2. Manfaat Praktis.
Diharapkan dapat memberikan masukan bagi hakim dalam menyusun
pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusannya, khususnya yang berkaitan
dengan putusan perkara tuntutan pembatalan akta perjanjian utang piutang yang
dibuat oleh notaris.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. LANDASAN TEORI
1. Beberapa Istilah Penting dalam Judul
Sebelum melakukan pengkajian lebih lanjut, perlu diberikan batasan-batasan
terlebih dahulu untuk menghindari adanya kekeliruan pemahaman terhadap
beberapa istilah dalam judul tesis ini. Adapun kata ataupun kalimat yang perlu
diberi batasan adalah : keadilan, hukum, hakim, akta notaris, dan Pengadilan
Negeri Sukoharjo.
Kata “keadilan” menurut kamus bahasa Indonesia merupakan kata benda
yang berarti sifat atau perlakuan yang adil. Sedangkan kata “adil” artinya tidak
memihak, tidak condong pada salah satu pihak9. Aristoteles filsuf Yunani
termasyhur dalam tulisannya “Rhetorica” membedakan keadilan dalam dua macam 10 :
1. Keadilan distributif (Justitia distributiva), ialah keadilan yang memberikan
kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya, atau pembagian menurut
haknya masing-masing. Keadilan ini berperan dalam hubungan antara
masyarakat dengan perorangan ;
2. Keadilan kumulatif (Justitia Cummulativa), ialah suatu keadilan yang diterima
oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing.
Keadilan ini lebih menguasai hubungan antara perorangan, misalnya berperan
pada perjanjian tukar-merukar, antara barang yang ditukar hendaknya sama
banyaknya atau nilainya.
Carl Joachim Friedrich menyebut istilah keadilan kumulatif tersebut dengan
istilah “keadilan korektif”. Carl Joachim Friedrich mengatakan bahwa ketidak-
adilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau
telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan
tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah
peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah11.
Kata “hukum” yang dipakai penulis untuk membahas persoalan dalam
penulisan tesis ini adalah hukum dalam pengertian normatif. Dalam pengertian
normatif hukum dipandang sebagai apa yang diputuskan oleh hakim in concreto
dan tersistematisasi sebagai judge-made law12, karena ia mempunyai kekuatan
hukum sebagai manifestasi atau perwujudan peraturan para penegak hukum di
9 EM Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser, hal. 18. 10 Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet-X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 63-64. 11 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis : dikutip dari Ahmad Zaenal Fanani,
Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, hal. 4, http://www.badilag.net, 01 April 2010, 09.40.
12 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal.10.
dalam masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut merupakan petunjuk bagaimana
orang harus hidup bermasyarakat (levensvoorshriften)13.
Kata “hakim” menurut batasan yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 1 juncto
Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah pejabat negara
yang menjalankan fungsi yudikatif. Dalam memberikan keadilan menurut
pemikiran Bagir Manan yang disitir oleh Habiburrahman, menyatakan, bahwa :
Demi keadilan, hakim tidak dibenarkan hanya menerapkan hukum sebagai “legal
justice”, melainkan wajib mengutamakan “moral justice” atau “social justice”14.
Sehingga dalam kaitannya dengan judul ini, yang dimaksud dengan keadilan
hukum oleh hakim adalah sikap atau perlakuan yang seimbang dari hakim yang
diberikan melalui putusannya dalam suatu sengketa perkara perdata, dengan
memperhatikan nilai-nilai moral, kepastian, serta kemanfaatan sehingga dapat
dirasakan manfaatnya terhadap beberapa pihak yang terkait.
Kata “akta notaris” adalah merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan notaris. Pasal 1868 KUHPerdata memberi definisi akta otentik sebagai :
Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuatnya15.
Menurut A. Kohar kata authentiek itu artinya sah. Karena notaris itu adalah pejabat
yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris adalah
akta authentiek atau akta itu sah16.
Kata “Pengadilan Negeri Sukoharjo” menunjukkan suatu lokasi atau tempat,
merupakan salah satu unit pelaksana Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah
Agung RI, yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum sesuai dengan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2004 jo UU No. Tahun 2006, yang beralamat di Jalan
Jenderal Sudirman No. 193 Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah.
2. Teori Hukum Perjanjian.
a. Pengertian Perjanjian
13 Soeroso, R., op.cit., hal. 39. 14 Anonimus, Pak Bagir Patut menjadi Teladan : dikutip dari Bagir Manan, Ilmuwan & Penegak Hukum
(Kenangan Sebuah Pengabdian), Mahkamah Agung RI, 2008, hal.79. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum, dalam kutipan Habiburrahman diatas, Bagir Manan mengatakan bahwa hakim, bila perlu, wajib mengesampingkan atau meninggalkan hukum, demi memuaskan rasa keadilan masyarakat.
15 Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Cet-I, PT Intermasa, Jakarta, hal. 585. 16 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 3.
Perjanjian adalah suatu cara untuk menciptakan hubungan hukum yang
berupa perikatan antara seorang yang satu dengan orang lain. KUHPerdata dalam
memberi istilah perjanjian menyamakan dengan istilah persetujuan. Pasal 1313
KUHPerdata mendefinisikan perjanjian (dengan istilah lain “persetujuan”)
diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih17. Sedangkan penulis memandang lebih
tepat dipakai istilah “perjanjian”, karena persetujuan merupakan salah satu unsur
dari perjanjian itu sendiri.
Beberapa sarjana telah memberikan definisi perjanjian, antara lain :
Subekti, yang berpendapat bahwa “Perjanjian adalah suatu peristiwa seorang
berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal” 18. Pendapat lain datang dari R. Setiawan, yang
menyatakan pendapatnya bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”19. Sedangkan Sudikno Mertokusumo menyatakan,
bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menim-
bulkan akibat hukum”20.
Wiryono Prodjodikoro berpendapat, bahwa perjanjian merupakan
perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan suatu hal,
sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu 21.
Lain lagi dengan Abdukkadir Muhammad, yang merumuskan pengertian
perjanjian sebagai suatu persetujuan. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian
adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”. Abdulkadir
Muhammad memberi definisi demikian karena adanya rasa tidak puas dengan
pengertian yang tersebut dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata. Beliau
17 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet-XIII, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1980, hal.304. 18 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-VI, PT Intermasa, Jakarta, 1979, hal.1. 19 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 1986, hal. 49. 20 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, 1996, hal. 97. 21 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetuan-persetujuan Tertentu, PT Sumur, Bandung,
1981, hal.1.
berpendapat bahwa definisi dalam ketentuan pasal tersebut terdapat beberapa
kelemahan22, yaitu :
a) Hanya menyangkut sepihak saja
Dikatakan hanya menyangkut inisiatif dari sepihak saja ini dapat diketahui
dari perumusan yang berbunyi “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Seharusnya rumusan tersebut berbunyi “saling
mengikatkan diri”, sehingga terdapat konsensus antara dua pihak.
b) Pengertian perjanjian terlalu luas
Dikatakan terlalu luas, karena dalam pengertian menurut Pasal 1313
KUHPerdata tersebut didalamnya bias mencakup pula perjanjian kawin yang diatur
dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud perjanjian di sini
adalah hubungan hukum antara debitur dan
kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
c) Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan secara
jelas apa tujuan mengadakan perjanjian, sehingga maksud pihak-pihak
mengikatkan diri itu terlihat tidak jelas. Dengan mencermati berbagai pendapat
tentang definisi perjanjian tersebut diatas, menurut penulis akan lebih tepat bila
definisi perjanjian itu diambil dari gabungan antara pendapat Abdulkadir
Muhammad dan Sudikno Mertokusumo. Sehingga perjanjian dapat diartikan
sebagai suatu persetujuan dimana dua orang (pihak) atau lebih, saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu prestasi tertentu. Penulis berpendapat bahwa
perjanjian merupakan konsep umum, tidak hanya menyangkut harta kekayaan saja
sebagai obyeknya, karena obyek perjanjian dapat mengenai berbagai bidang
hukum seperti: bidang hukum keluarga, bidang hukum harta kekayaan, bidang
hukum publik, dan lain sebagainya.
Sedangkan definisi perjanjian yang diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata
yang fungsinya meliputi seluruh ketentuan hukum yang ada dalam Buku III
KUHPerdata, maka selayaknya definisi tersebut ditambahkan dengan kata “dalam
lapangan hukum harta kekayaan”, sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313
KUHPerdata akan berbunyi “Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang
(pihak) atau lebih, saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu prestasi 22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 225.
tertentu dalam lapangan hukum harta kekayaan”. Dari definisi seperti ini maka
akan terkandung unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :
1) Sedikitnya ada dua pihak ;
2) Adanya persetujuan atau kesepakatan diantara para pihak itu ;
3) Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk melaksanakan suatu prestasi ;
4) Adanya obyek perjanjian dalam hukum harta kekayaan.
Dengan adanya definisi perjanjian yang dituangkan dalam Pasal 1313
KUHPerdata, maka peristiwa persetujuan itu sendiri yang berupa titik bertemunya
suatu hubungan antara para pihak yang berujud kesepakatan untuk melaksanakan
suatu prestasi, oleh hukum diberi akibat hukum yang dinamakan “perikatan”.
Subekti memberi arti perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua pihak,
berdasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu23. Sedangkan menurut Riduan
Syahrani, istilah perikatan dari kata verbintenis dalam BW (Burgerlijk Wetboek)
diterjemahkan beda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia, ada yang
menterjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menterjemahkan dengan
perikatan. Dan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam
lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi
dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu24.
Menurut Subekti, terdapat perbedaan pengertian antara perjanjian
(overeenkomst) dan perikatan (verbintenis), dimana perjanjian adalah suatu hal
yang konkrit karena perjanjian dapat dilihat, dibaca ataupun didengarkan,
sedangkan perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak25. Dengan terjadinya
peristiwa hukum berupa perjanjian, maka menerbitkan suatu perikatan antara dua
pihak yang membuatnya, dan para pihak terikat satu sama lain, sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk memenuhi janji
tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan “kreditur”, pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan “debitur”, sedangkan barang yang
dapat dituntut dinamakan “prestasi”. Prestasi yang menjadi isi perikatan ini oleh
undang-undang ditentukan dalam Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa : a.
23 Subekti, op.cit., hal. 4. 24 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985, hal.203. 25 Subekti, op.cit., hal. 3.
memberikan sesuatu, b. melakukan sesuatu perbuatan, dan c. tidak melakukan
sesuatu perbuatan.
b. Pengertian kontrak
Istilah hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
contract of law, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeencomstrecht26. Henry Campbell Black dalam Black Law Dictionary
memberikan definisi pengertian kontrak, yaitu contract is an agreement between
two or more person which creates an obligation to or not to do particular things.
Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang
menimbulkan suatu kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
secara sebagian27.
Salim H.S memberi definisi hukum kontrak sebagai keseluruhan dari kaidah-
kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dan hukum kontrak
tersebut menurut Salim diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang terdiri atas 18
bab dan 631 pasal. Sedangkan Munir Fuady mengatakan28, bahwa kontrak menurut
Pasal 1313 KUHPerdata diartikan sebagai suatu perbuatan di mana 1 (satu) orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.
Baik Henry Campbell Black, Salim H.S maupun Munir Fuady diatas
memberikan pengertian istilah kontrak sama dengan pengertian perjanjian,
sedangkan Subekti berpendapat bahwa perkataan kontrak mempunyai arti yang
lebih sempit dari perjanjian, karena istilah kontrak hanya ditujukan kepada
perjanjian yang tertulis saja.
Menurut hemat penulis, pengertian kontrak yang lebih tepat adalah sesuai
dengan pendapat Subekti, yakni kontrak merupakan perjanjian yang berbentuk
tertulis saja karena dalam perkembangannya terutama dalam hukum bisnis banyak
perjanjian tertentu yang memerlukan syarat khusus seperti : syarat tertulis, syarat
harus dengan akta notaris, disamping syarat umum yang terdapat di dalam pasal
1320 KUHPerdata.
a). Syarat sahnya suatu perjanjian/kontrak.
26 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet-V, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3. 27 Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary USA : West Publising Co, 1991, 16 th Edition. 28 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global Edisi Revisi, Cet-II, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.10.
Secara umum suatu perjanjian atau kontrak dapat dikatakan sah, berlaku dan
mengikat para pihak apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata. Dalam pasal tersebut terbagi dalam
dua golongan :
1. Syarat subyektif, meliputi :
a. Adanya kesepakatan diantara mereka yang membuat perjanjian
(Concensus).
b. Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian (Capacity).
2. Syarat obyektif, meliputi :
a. Adanya sesuatu hal tertentu (a certain subject matter).
b. Adanya sebab yang diperbolehkan (legal cause).
Ad.1. Syarat subyektif :
a). Adanya kesepakatan diantara mereka yang membuat perjanjian
Kesepakatan adalah pernyataan persesuaian kehendak antara pihak yang satu
dengan pihak-pihak lainnya secara timbal balik mengenai po-
kok perjanjian yang diadakan. Ada lima cara untuk terjadinya kesepakatan menurut
Sudikno Mertokusumo29, yaitu dengan :
i. bahasa yang sempurna dan tertulis
ii. bahasa yang sempurna secara lisan
iii. bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
iv. bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan
v. diam atau membisu tetapi asal dapat dipahami atau diterima pihak lawan.
Mengenai inti perjanjian dan tecapainya kesepakatan ini Richard J. Bonnie
dan John Monahan, guru besar Sekolah Hukum Universitas Virginia mengatakan
sebagai berikut : The essence of contract is bargaining (see for example
Chirelstein, 2001). One party makes an offer to another. I will promise to do X if
you promise to do Y . The second party accepts this offer, or rejects the other, or
makes a counter-offer, in which case the bargaining continues. At the successful
conclusion of the bargaining, there has been a “manifestation of mutual assent”
29 Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Mata Kuliah hukum Perdata : Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Gajahmada, Liberty, Yogyakarta, 1987, hal. 7.
between the two parties to the conditions of agreement30. Bahwa inti perjanjian
adalah bertemunya kesepakatan, yang dimulai dengan penawaran dari salah satu
pihak dan dilanjutkan dengan kontra penawaran dari pihak lain sehingga terjadi
suatu kesepakatan atas sesuatu hal dalam suatu perjanjian.
Kesepakatan tersebut sifatnya harus bebas, betul-betul atas kemauan secara
sukarela dari pihak-pihak tersebut. Kesepakatan kehendak terhadap suatu
perjanjian atau kontrak, dimulai dari adanya penawaran (anbood, offer) oleh salah
satu pihak, kemudian diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak
lainnya, sehingga akhirnya terjadilah suatu perjanjian atau kontrak.
Subekti menyatakan, bahwa hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menganut azas konsensualisme, artinya ialah hukum perjanjian
dari KUHPerdata menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup
dengan sepakat saja, dan perjanjian itu (demikian pula “perikatan” yang
ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan, ada dan mengikat pada saat atau detik
konsensus tersebut terjadi, bukannya pada detik-detik yang lain yang terkemudian
atau yang sebelumnya.
Kesepakatan tersebut sifatnya harus bebas, betul-betul atas kemauan secara
sukarela dari pihak-pihak tersebut. Apabila pada waktu perjanjian atau kontrak
ditandatangani terjadi salah satu unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau
penipuan (bedrog), maka kesepakatan tersebut menjadi cacat. Ketentuan Pasal
1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan, kekhilafan atau
penipuan”. Yang dimaksud dengan paksaan (dwang) menurut ketentuan Pasal
1324 KUHPerdata adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang
berpikiran sehat, dimana orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul
ketakutan baik terhadap dirinya maupun kekayaannya dengan suatu
kerugian yang terang dan nyata.
Kekhilafan (dwaling, mistake) terjadi manakala seseorang waktu
mengadakan kesepakatan dalam pikirannya terjadi suatu salah pengertian
(misunderstanding) mengenai diri orang dengan siapa seseorang mengikatkan
30 Richard J. Bonnie dan John Monahan, From Coercion to Contract : Reframing the Debate on Mandated
Community for People with Mental Disorders, Law and Human Behavior, Vol.29, No. 4, August 2005, hlm. 487.
dirinya (error in persona), atau salah pengertian mengenai hakekat benda yang
menjadi obyek perjanjian (error in substanstia) ;
Sedangkan unsur penipuan (bedrog, fraud) sebagaimana diatur dalam pasal
1328 KUHPerdata terjadi apabila salah satu pihak yang ingin mengadakan
perjanjian atau kontrak melakukan tipu muslihat atau rangkaian perkataan bohong
kepada pihak lain, sehingga mengakibatkan pihak lain dalam perjanjian tersebut
mau menyetujui perjanjian itu, dan apabila tidak ada tipu muslihat dan kebohongan
tersebut pihak lain tidak akan menyetujuai perjanjian atau kontrak tersebut.
b). Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian (Capacity).
Syarat kedua ini adalah tentang kecakapan bertindak, yakni kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum.
Syarat kedua berlaku bagi subyek hukum dari perjanjian atau kontrak, setiap
subyek hukum harus memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para
pihak yang membuat perjanjian. Jika subyek hukumnya adalah “orang”
(natuurlijke persoon) maka orang tersebut harus sudah dewasa, namun jika subyek
hukumnya berupa “badan hukum” (recht persoon) maka harus memenuhi syarat
formal suatu badan hukum.
Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian atau
kontrak, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Dalam ketentuan
Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu
perjanjian atau kontrak adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa ;
b. Orang-orang dibawah pengampuan ; dan
c. Orang-orang perempuan yang sedang mempunyai suami.
Ketentuan hukum mengenai batas usia dewasa di Indonesia ada beberapa
peraturan, antara lain :
1. Ketentuan dalam KUHPerdata.
Pasal 330 KUHPerdata menentukan batas minimal usia dewasa dalam arti
yang luas, untuk dapat dianggap cakap melakukan tindakan hukum, yaitu :
a. Seseorang baru dikatakan dewasa jika ia :
i. Telah berusia 21 tahun ;
ii. Telah menikah.
b. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakan hukumnya diwakili oleh:
i. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah
kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama) ;
ii. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada dibawah kekuasaan
orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
2. Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Kecakapan dalam lapangan hukum keluarga diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut sebenarnya merupakan
peraturan hukum yang mengatur tentang hal ihkwal mengenai perkawinan saja,
akan tetapi didalamnya ditentukan pula mengenai ketentuan batas usia minimal
untuk dapat dianggap cakap melakukan tindakan dalam lapangan harta kekayaan,
dimana rumusan ketentuan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa :
i. Anak yang belum mencapai umur 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali ;
ii. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ini maka ketentuan mengenai
kedewasaan seseorang yang diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata menjadi tidak
berlaku lagi. sehingga kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut :
(1) Jika seorang :
a. Telah berumur 18 tahun; atau
b. Telah menikah ;
c. Seorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya
dibubarkan sebelum ia genap berusia 18 tahun tetap dianggap telah
dewasa.
(2) Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah,
dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh :
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada dibawah
kekuasaan orang tua, yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama ;
b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada dibawah kekuasaan
orang tuanya. Artinya hanya ada salah satu dari orang tua saja.
3. Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1951.
UU No. 51 Tahun 1951 tentang Ketenaga-kerjaan menentukan batas usia
kerja adalah 18 tahun.
4. Ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris ditentukan, bahwa usia penghadap sebagai pihak yang cakap untuk
melakukan perjanjian paling sedikit 18 tahun. Orang-orang yang berada dibawah
pengampuan (curatele), yaitu orang yang sudah dewasa atau telah berusia 21
tahun, akan tetapi : mempunyai sifat pemboros, sakit ingatan, pemabok, dll. pada
prinsipnya tidak cakap menurut hukum untuk membuat suatu perjanjian. Untuk itu
seorang yang berada dibawah pengampuan apabila akan melakukan perjanjian
harus diwakili oleh pengampu (kurator, orang yang mengawasinya), dan bila
dilakukan tanpa ijin dari kuratornya maka perjanjian tersebut cacat hukum.
Orang-orang perempuan yang sedang bersuami menurut ketentuan Pasal 108
KUHPerdata menjadi hilang kecakannya untuk melakukan tindakan hukum dalam
bidang harta kekayaan, dan dalam melakukan tindakan hukum (perjanjian)
memerlukan bantuan atau ijin (kuasa) tertulis dari suaminya. Namun ketentuan
tersebut sejak Tahun 1974, dengan diaturnya ketentuan Pasal 31 ayat 1 dan 2 maka
perempuan yang sedang bersuami (istri) mempunyai kedudukan yang sama dengan
suami, cakap melakukan perbuatan hukum, dan tidak perlu ijin pada suaminya.
Konsekuensi yuridis apabila perjanjian atau kontrak yang ternyata pihaknya
tidak cakap sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1330 KUHPerdata, maka
perjanjian atau kontrak tersebut cacat, oleh karenaya dapat dibatalkan oleh hakim
baik secara langsung oleh pihak yang tidak cakap atau melalui orang yang
mengawasinya.
Ad. 2. Syarat Obyektif
a. Adanya sesuatu hal tertentu (a certain subject matter).
Yang dimaksud dengan “sesuatu hal tertentu” dalam suatu perjanjian atau
kontrak adalah sesuatu yang menjadi obyek dari perjanjian. Sebagai contoh, dalam
perjanjian jual-beli Gas Alam Cair (LPG), maka obyek yang diperjual-belikan
adalah gas alam itu sendiri, sehingga gas tersebut harus dapat ditentukan.
Penentuan jumlah besaran Gas tersebut misalnya dengan ukuran beratnya setelah
dimasukkan ke dalam tabung.
Mengenai syarat obyek tertentu ini, jika obyek tersebut berupa barang maka
oleh KUHPerdata telah ditentukan sebagai berikut :
1. Barang yang menjadi obyek perjanjian harus berupa barang yang dapat
diperdagangkan (pasal 1332 KUHPerdata) ;
2. Pada saat perjanjian dibuat, barang tersebut harus sudah dapat ditentukan
jenisnya (Pasal 1333 ayat 1 KUHPerdata) ;
3. Jumlah barang yang menjadi obyek tersebut boleh tidak tertentu, asal saja
jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat 2
KUHPerdata) ;
4. Barang tersebut dapat juga berupa barang yang baru akan ada dikemudian hari
(Pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata) ;
5. Barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka dilarang untuk
dijadikan sebagai obyek perjanjian atau kontrak (Pasal 1334 ayat 2
KUHPerdata).
b. Adanya sebab yang diperbolehkan (legal cause).
Pengertian “sebab” dalam syarat obyektif dari sahnya suatu
perjanjian atau kontrak ini adalah suatu alasan yang menggambarkan tujuan yang
hendak dicapai oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian itu sendiri31. Suatu
perjanjian atau kontrak baru dianggap sah oleh hukum apabila memiliki sebab
yang diperbolehkan (kausa yang legal), hal ini untuk melindungi pihak ketiga yang
dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan dari adanya perjanjian yang dibuat
tersebut.
Oleh karenanya sebagai konsekuensi hukum, apabila syarat kausa yang legal
dalam suatu perjanjian atau kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320
KUHPerdata tidak terpenuhi, maka menurut ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata
perjanjian atau kontrak yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan kata lain, suatu perjanjian tanpa kausa yang legal menjadikan perjanjian
tersebut batal demi hukum.
Suatu perjanjian atau kontrak oleh hukum dianggap tidak mempunyai kausa
yang legal, apabila :
1. perjanjian atau kontrak tersebut sama sekali tanpa kausa atau sebab ;
2. perjanjian atau kontrak tersebut dibuat dengan kausa yang palsu ; 31 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 93.
3. perjanjian atau kontrak dibuat dengan kausa yang terlarang32, terdiri
dari :
a) kausa yang dilarang oleh perundang-undangan ;
b) kausa yang bertentangan dengan kesusilaan ;
c) kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum.
Syarat obyektif berupa harus adanya kausa yang legal ini juga sebagai filter
dari azas kebebasan berkontrak, agar asas tersebut tidak disalahgunakan oleh
pihak-pihak yang tidak beritikad baik. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi
dalam perjanjian, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), artinya bahwa
perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula. Namun jika yang tidak
terpenuhi adalah syarat subyektif, maka perjanjian bukan batal demi hukum
melainkan salah satu pihak dapat meminta pembatalannya atau dapat dibatalkan
(vernietighbaar). Jadi bila perjanjian tersebut tidak dibatalkan oleh hakim atau
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan, maka perjanjian yang telah
dibuat tersebut tetap mengikat.
Apabila suatu perjanjian atau kontrak telah memenuhi 4 (empat) syarat
diatas maka perjanjian tersebut lahir secara sah, dan sebagai konsekuensinya
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1338 KUHPerdata maka perjanjian tersebut :
a. Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ;
b. Tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena
alasan yang cukup menurut undang-undang ;
c. Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Jika ada salah satu pihak dalam perjanjian atau kontrak dianggap sama
dengan melanggar undang-undang yang punya akibat hukum tertentu yaitu sanksi
hukum. Jadi siapa yang melanggar perjanjian atau kontrak akan memperoleh
hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang33.
Walaupun pada umumnya perjanjian ataupun kontrak tidak dapat ditarik
kembali kecuali dengan persetujuan pihak lain, atau berdasarkan alasan yang
ditetapkan undang-undang, namun ada perjanjian yang walaupun kedua pihak telah
32 Subekti. R dan Tjitrosudibio, op.cit., hal. 307. Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan, bahwa suatu sebab
adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
33 Abdulkadir Muhammad, op.cit , hal 97
setuju mengakhirinya akan tetapi tetap tidak dapat ditarik kembali yaitu dalam
perjanjian perkawinan, sebagaimana diatur oleh pasal 149 KUHPerdata.
Pelaksanaan perjanjian harus dengan itikad baik, artinya pelaksanaannya itu
harus benar, dengan mengindahkan norma kepatutan, kesusilaan dan kebiasaan;
c. Pembatalan Perjanjian atau kontrak
Pada dasarnya suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu
pihak yang dirugikan. Perjanjian dapat dimintakan pembatalan, apabila :
- Terdapat alasan-alasan subyektif, antara lain :
1) Perjanjian itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, seperti :
belum dewasa, dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
2) Perjanjian itu terdapat cacad kehendak, karena waktu dibuat terdapat
kekhilafan, paksaaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata).
Alasan pembatalan yang terdapat dalam Pasal 1321 KUHPerdata merupakan
alasan yang mendasarkan adanya “Cacad kehendak dari pihak yang mengadakan
perjanjian, sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kesepakatan”. Pasal 1321
KUHPerdata menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Maksudnya kesepakatan yang diharuskan ada dalam suatu perjanjian itu
adalah kesepakatan yang bebas, bukan
karena ada tekanan atau paksaan, kehilafan, maupun penipuan.
- Karena adanya unsur paksaan
Paksaan (dwang) adalah perbuatan yang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan ketakutan seseorang yang berpikiran sehat bahwa diri atau
kekayaannya terancam oleh suatu kerugian yang terang dan nyata34. Pasal 1324
KUHPerdata menegaskan bahwa dikatakan ada paksaan, apabila seseorang
melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman, sehingga dengan demikian
orang tersebut terpaksa menyetujuai perjanjian itu.
- Karena adanya unsur kekhilafan
Kekhilafan (dwaling) pengertiannya adalah gambaran yang keliru
mengenai subyek atau obyek dengan siapa perjanjian itu dilaksanakan. Pasal 1322
KUHPerdata menentukan bahwa pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan
hanya dimungkinkan dalam dua hal, yaitu : 34 Subekti. R dan Tjitrosudibio, op.cit., hal. 305..
a. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok
perjanjian ;
b. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam perjanjian yang
dibuat, terutama mengingat dirinya orang tersebut.
- Karena adanya unsur penipuan
Penipuan (bedrog) adalah bujukan dengan menggunakan tipu
muslihat, atau rangkaian kata-kata bohong yang dilakukan oleh seseorang kepada
pihak lawannya supaya memberikan persetujuan untuk membuat perjanjian.
Menurut ketentuan pasal 1328 KUHPerdata penipuan merupakan suatu alasan
yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan suatu perjanjian.
- atau, terdapat adanya alasan obyektif, antara lain :
1) Perjanjian itu dibuat bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
ketertiban umum dan atau kesusilaan.
2) Pihak debitur melakukan wnprestasi.
3) Perjanjian yang dibuat merugikan pihak lawan.
Dalam perkembangannya, selain alasan adanya paksaan, kehilafan, maupun
penipuan diatas ada penyebab cacat kehendak dalam suatu perjanjian, yakni
adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden; undue
influence). Henry Pandapotan Panggabean mengatakan bahwa hukum perjanjian di
negeri Belanda telah mengalami perkembangan yang penting, yakni dengan
dimasukkannya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) ke
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang baru (Nieuw
Burgerlijk Wetboek/NBW). Henry Pandapotan Panggabean memberi contoh
ilustrasi tentang praktek perjanjian kredit bank di Indonesia, yang menggunakan
bentuk perjanjian “standaardcontract” atau perjanjian baku. Dalam bentuk
perjanjian baku ini, isi pokok perjanjian kredit bank dibagi dalam dua bagian, yaitu
bagian induk dan bagian tambahan. Pada bagian tambahan inilah dijumpai syarat-
syarat umum perjanjian yang lebih membebani pihak debitur mematuhi syarat-
syarat peminjaman uang dari bank kreditur. Oleh karena syarat umum perjanjian
kredit dibuat secara sepihak oleh pihak bank, dapat diperkirakan bahwa bank
memperoleh peluang melakukan “misbruik van omstandigheden” 35.
35 Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai alas an baru
untuk pembatalan perjanjian, Cet-I, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hal. 3-5.
Van Dunne membedakan dua bentuk penyalahgunaan keadaan, yakni karena
keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan, dengan persyaratan sebagai
berikut :
a. Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis :
1. satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain ;
2. pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.
b. Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan :
1. salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relative, seperti
hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami-istri,
dokter pasien, pendeta jemaat ;
2. salah satu pihak menyalahgunaan keadaan keadaan jiwa yang istimewa dari
pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah,
kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya36.
Untuk mengukur apakah dalam suatu perjanjian terdapat syarat yang dapat
dikualifisir atau dinilai telah terjadi penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian
tersebut, menurut van Dunne ada 4 pertanyaan yang dapat dipakai sebagai
pegangan penilaian, yaitu :
1. apakah pihak yang satu mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain ?
;
2. adakah kebutuhan mendesak untuk mengadakan kontrak dengan pihak yang
ekonomis lebih kuasa, mengingat akan pasaran ekonomi dan posisi pasaran
pihak lawan ? ;
3. apakah kontrak yang telah dibuat atau syarat yang telah disetujui tidak
seimbang dalam menguntungkan pihak yang ekonomis lebih kuasa dan dengan
demikian berat sebelah ?
4. apakah keadaan berat sebelah semacam itu dapat dibenarkan oleh keadaan
istmewa pada pihak ekonomis lebih kuasa ?
Jika dari tiga pertanyaan pertama dijawab dengan ya, dan yang terakhir
dengan tidak, diperkirakan sudah terjadi penyalahgunaan keadaan dan kontrak
yang telah dibuat atau syarat-syarat di dalamnya, sebagian atau seluruhnya dapat
dibatalkan37.
36 Ibid., hal. 44. 37 Ibid., hal. 50-51.
3. Perjanjian Kredit
Kata kredit berasal dari bahasa Yunani “credere”, yang berarti “percaya”.
Pihak yang memberikan pinjaman disebut kreditur percaya bahwa pihak penerima
pinjaman yang disebut debitur akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah
diperjanjikan, baik mengenai jangka waktunya, pretasi maupun kontra prestasinya.
Black’s Law Dictionary memberi pengertian kredit sebagai berikut : “The ability of
a business man to borrow money, or obtain goods on time inconsequence of the
favorable option held by the particular lender, as to his solvency and
rehabilitee”38.
Pengertian kredit menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1, menyatakan : “Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meninjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”. Istilah kredit merupakan istilah yang umum
bagi masyarakat, dan sepintas orang kalau mendengar istilah kredit akan berfikir
tentang pinjaman uang atau barang, yang kemudian akan dikembalikan dengan
uang disertai dengan bunga yang dibayarkan secara mencicil.
Dengan mengacu pada ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 diatas,
bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam, sehingga perjanjian dalam kredit mutlak diperlukan. Dalam perjanjian
kredit tersebut memuat bahwa seorang debitur (peminjam kredit) harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan. Sebaliknya pihak kreditur (pemberi kredit)
juga akan mematuhi aturan dalam perjanjian tersebut.
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan, bahwa perjanjian kredit bank
mempunyai tiga ciri yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang
bersifat riil. Ciri pertama, sifatnya konsensuil, dimana hak debitor untuk dapat
menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit masih tergantung kepada
telah terpenuhinya seluruh syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit. Ciri
kedua, kredit yang diberikan oleh bank kepada debitornya tidak dapat digunakan 38 Henry Black Campbell, op.cit, hal 367.
secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh debitor, tetapi harus
digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian kreditnya.
Ciri ketiga, kredit bank tidak selalu dengan penyerahan secara riil, akan tetapi
dapat menggunakan cek dan atau perintah pemindah bukuan. Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa perjanjian kredit bank bukan suatu perjanjian pinjam-
mengganti atau pinjam-meminjam uang sebagaimana yang dimaksud dalam
KUHPerdata. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang dilandaskan kepada
persetujuan atau kesepakatan antara bank dan calon debiturnya sesuai dengan
kebebasan berkontrak39.
Sebagaimana dilihat dari rumusan kredit dalam Undang-undang perbankan
diatas, maka perjanjian kredit merupakan bentuk perjanjian khusus dari perjanjian
pinjam menimnam yang diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang-undang hukum
Perdata, yang mengatakan : “Perjanjian pinjam-meninjam adalah perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian”.
Fungsi perjanjian kredit menurut Ch. Gatot Wardoyo adalah sebagai
perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan
batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, seperti Perjanjian
Pengikatan Jaminan40. Selain itu perjanjian kredit juga berfungsi sebagai alat bukti
mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta berfungsi
sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan
pengawasan pemberian kredit.
Judul dan isi Akta Perjanjian Kredit
Judul dan isi perjanjian kredit yang dituangkan dalam akta dalam praktek
yang dilaksanakan oleh kebanyakan Bank banyak berbeda dengan teori,
sebagaimana dikatakan oleh Hasanuddin Rahman, bahwa komposisi perjanjian
kredit pada umumnya terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu : a. Judul, b. Komparisi,
c. Isi, dan d. Penutup. Dalam praktek, judul yang dipergunakan oleh bank-bank
bermacam-macam dan setiap bank berlainan. Ada yang menyebutnya sebagai
39 Remy Sjahdeini, Sutan, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam
Perjanjian Kredit Bank di Indonesia : Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 159-161. 40 Gatot Wardoyo, Ch. dalam Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 151.
Perjanjian Kredit, Perjanjian Kredit dengan Jaminan, Perjanjian membuka Kredit,
Pengakuan Hutang dengan Jaminan, dan lain sebagainya41.
4. Teori Hak Tanggungan.
Kredit yang diberikan baik oleh lembaga keuangan Bank ataupun
perorangan selalu mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya harus
diperhatikan azas-azas perkreditan yang sehat, antara lain diperlukan jaminan
pemberian kredit akan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan. Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan menyatakan : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip Syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur
untuk melunasi utangnya mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan”.
Guna memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank
harus memberikan penilaian yang seksama yang lazim disebut dengan 5 C, yakni
Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition42. Character (watak),
yakni kreditur sebelum memberikan kredit kepada debitur harus memperhatikan
apakah calon debitur mempunyai kepribadian atau watak yang baik. Sehingga
diperkirakan akan sanggup memenuhi kewajiban melulasi hutangnya. Capacity
(kesanggupan), yakni kemampuan calon debitur dalam menggunakan fasilitas
kredit yang diberikan oleh kreditur. Capital (modal), yakni penilaian terhadap
modal usaha dari calon debitur yang telah tersedia atau telah ada sebelum
mendapatkan fasilitas kredit. Collateral (jaminan), adalah penilaian apakah calon
debitur mempunyai jaminan yang cukup untuk melunasi
utangnya. Dan Condition adalah keadaan ekonomi pada sektor usaha dan
keadaan ekonomi secara umum perusahaan calon debitur itu berada.
Dari 5 persyaratan diatas, penulis memfokuskan pada masalah syarat ke 4
yakni collateral atau jaminan. Jaminan menurut Hukum Perdata dapat
dibedakan dalam43 :
1) Jaminan perorangan (Personal Guarantee/Borgtocht), adalah jaminan berupa
pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang Pihak Ketiga yang 41 Ibid, hal. 158-159. 42 Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Pustaka Binawan Pressindo, Jakarta, 1997, hal. 3. 43 Gatot Wardoyo, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Nitro Institut of Banking , Jakarta, 1992, hal. 41.
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur, apabila debitur yang
bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Jaminan seperti ini diatur dalam
Pasal 1820 – 1850 KUHPerdata. Dalam perkembangannya, jaminan
perorangan juga dipraktekkan oleh perusahaan yang menjamin utang
perusahaan lainnya. Dalam hal ini bank selaku kreditur sering menerima
jaminan seperti ini yang disebut Corporate Guarantee ;
2) Jaminan kebendaan (Security Right in rem/Zakelijke zekerheid), yaitu
jaminan yang dikaitkan dengan harta kekayaan berupa benda-benda tertentu,
baik berupa benda bergerak maupun hak kebendaan milik debitur sendiri
atau milik pihak ketiga, yang secara suka rela diserahkan kepada kreditur
sebagai jaminan atas utang debitur. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya
dibagi menjadi :
(1). Jaminan dengan benda berwujud, berupa benda bergerak dan benda
tidak bergerak ;
(2). Jaminan dengan benda tidak berwujud, yang dapat berupa hak tagih
(cessie)44.
Ketentuan Pokok Hak Jaminan di Indonesia diatur dalam Pasal 1131 dan
Pasal 1332 KUHPerdata. Pasal 1331 KUHPerdata menentukan, bahwa segala
kebendaan pihak yang berutang (debitur), baik benda bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan Pasal 1332
KUHPerdatamenentukan, bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-
sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya (kreditur); pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Dari ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata tersebut maka lembaga jaminan
menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam :
a. Jaminan yang bersifat konkuren, yaitu jaminan kebendaan yang tidak
mempunyai hak saling mendahului dalam pelunasan utang antara
kreditor yang satu dengan lainnya ;
44 Mariam Darus Badrulzaman , Benda-benda yang Dapat Diletakkan Sebagai Obyek Hak Tanggungan,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 13.
b. Jaminan yang bersifat preferen, yaitu jaminan kebendaan yang memberikan
kepada seorang kreditor untuk memiliki hak untuk didahulukan dalam
pelunasan utang terhadap kreditor lainnya.
Pasal 1333 KUHPerdata lebih lanjut menentukan bagaimana praktek hak
untuk didahulukan tersebut dilaksanakan. Menurut ketentuan Pasal ini hak untuk
didahulukan diantara para kreditor dapat timbul dari :
a. Hak Istimewa ; b. Hak Gadai ; dan c. Hak Hipotek.
Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, Hak Istimewa ialah suatu hak yang oleh
Undang-undang diberikan kepada seorang kreditur, sehingga tingkatan kreditor
tersebut lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Sedangkan Gadai merupakan hak
jaminan atas suatu benda bergerak, dan Hipotek merupakan hak jaminan atas
sesuatu barang tetap.
a. Azas-azas yang berlaku bagi Hak jaminan
Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan ada beberapa azas dalam Hak
Jaminan, antara lain45 :
(1). Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda
tak bergerak ;
(2). Mempunyai sifat Hak Kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam
Pasal 528 KUHPerdata. Sifat dari Hak Kebendaan tersebut adalah : 1).
Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang; 2). Droit de suite,
yaitu Hak Kebendaan mengikuti benda pada siapapun dia berada ;
(3). Memiliki hak accesoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung pada
perjanjian pokoknya ( accessorium), seperti perjanjian kredit ;
(4). Adanya hak preferen, yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari
piutang lain (pasal 1133, 1134, dan 1198 KUHPerdata).
Sedangkan Sutan Remy Sjahdeini berpendapat ada beberapa azas
yang berlaku bagi Hak Jaminan, baik bagi Gadai, Fidusia, maupun Hak
Tanggungan, yakni46 :
1) Hak jaminnan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor
pemegang Hak Jaminan terhadap para Kreditor lainnya ;
45 Ibid., hal. 12. 46 Remy Sjahdeini, Sutan, Hak Jaminan dan Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11 Tahun 2000,
Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1996, hal. 7.
2) Hak jaminan merupakan hak accesoir terhadap perjanjian pokok yang dijamin
dengan jaminan tersebut ;
3) Hak Jaminan memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang Hak Jaminan
itu. Artinya, benda yang dibebani dengan Hak Jaminan itu bukan merupakan
harta pailit dalam hal Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan ;
4) Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya, Hak Jaminan itu akan selalu
melekat di atas benda tersebut (atau selalu mengikuti benda tersebut) kepada
siapapun juga benda beralih kepemilikannya. Sifat kebendaan dari Hak
Jaminan diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata ;
5) Kreditur pemegang Hak Jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan eksekusi atas Hak jaminannya. Artinya, Kreditur pemegang Hak
Jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan penetapan
pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan undang-undang,
atas benda yang dibebani dengan Hak Jaminan tersebut dan mengambil hasil
penjualan tersebut untuk melunasi piutangnya kepada Debitur.
6) Karena Hak Jaminan merupakan hak kebendaan, maka Hak Jaminan berlaku
bagi pihak ketiga. Oleh karena Hak Jaminan berlaku bagi pihak ketiga, maka
terhadap Hak Jaminan berlaku azas publisitas. Artinya, Hak jaminan tersebut
harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Hak Jaminan yang bersangkutan.
Azas publisitas tersebut dikecualikan bagi Hak Jaminan Gadai, dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
a. Bagi sahnya Hak Jaminan Gadai, benda yang dibebani Hak Jaminan Gadai
itu harus diserahkan kepada kreditur pemegang Hak Jaminan Gadai
tersebut, dan Hak Jaminan Gadai menjadi batal apabila benda yang
dibebani dengan Hak Jaminan Gadai itu terlepas dari penguasaan Kreditur
pemegang Hak Jaminan Gadai tersebut ;
b. Benda yang dapat dibebani Hak Jaminan Gadai hanya tebatas pada benda
bergerak saja ;
c. Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa : “Terhadap benda
bergerak yang tidak berupa bungan maupun piutang yang tidak harus
dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasai benda
bergerak tersebut dianggap sebagai pemiliknya”.
Sejalan dengan perkembangan dalam dunia bisnis, maka sekarang di
Indonesia terdapat sejumlah bentuk hak jaminan, yaitu :
1) Hak Tanggungan, diatur dalam UU No. 4 Tahun 1994 tentang Hak
Tanggungan atas tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah
(UUHT). Undang-undang ini mencabut ketentuan jaminan dalam Bentuk
hipotek yang diatur dalam KUHPerdata khusus yang berupa jaminan tanah.
2) Hipotek, diatur dalam Pasal 314 KUHD, UU No. 2 Tahun 1992 tentang
Pelayaran, serta PP No. 23 Tahun 1985 yang mengatur Hipotek bagi Kapal
Laut, serta Pasal 12 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1982 tentang Penerbangan,
yang mengatur Hipotek bagi Pesawat Terbang ;
3) Gadai (Pand), yang diatur dalam Pasal 1150-1160 UHPerdata ;
4) Fidusia, diatur dalam UU No. 42 Tahun l999 tentang Jaminan Fidusia
(UUJF); dan
5) Jaminan Pribadi (Personal Guarantee), diatur dalam Pasl 1820-1850
KUHPerdata.
Penciptaan instrument hukum hak tanggungan sebenarnya merupakan upaya
hukum kontrak untuk memberi jaminan kepada pihak kreditur dalam suatu
hubungan utang piutang47. Jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan
jaminan tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain.
Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan didaftarkan di Kantor Pertanahan
setempat, kemudian Kantor Pertanahan mencatat pendaftaran Akta tersebut ke
dalam Buku Tanah serta menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan (SHT), dan
bersamaan dicatatnya APHT ke dalam Buku Tanah tersebut maka sejak saat dan
tanggal itulah Hak Tanggungan lahir dan mulai berlaku yang melindungi Hak
Kreditur atas Jaminan Utang yang diberikan kepadanya. Sejak saat lahirnya hak
tanggungan tersebut maka kedudukan bank, koperasi atau seseorang yang menjadi
kreditur mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen, yang mempunyai hak
preferensi yaitu hak untuk didahulukan mendapat pelunasan piutang dari hasil
lelang benda yang menjadi obyek Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi.
47 Setiawan, Hak Tanggungan dan masalah eksekusinya, Majalah Hukum Varia Peradilan, IKAHI, Jakarta,
Agustus 1996, hal. 141.
Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan, yaitu48 :
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2. Obyek Hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi
dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu.
4. Uang yang dijamin harus satu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.
Menurut UUPA, tanah yang dapat dipakai sebagai obyek hak tanggungan
adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan saja, yang wajib
didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun dalam
perkembangannya, UUHT No. 4 Tahun 1996 dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)
nya menyebutkan bahwa hak pakai juga ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan.
Dengan demikian dapat dikatakan obyek Hak Tanggungan meliputi Hak Milik,
Hak guna Usaha, Hak Guna bangunan dan Hak pakai atas tanah Negara. Hak Pakai
atas tanah Negara menurut Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 juga
wajib didaftarkan. Karena perkembangan di bidang administrasi pertanahan, maka
disamping untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, hak Pakai atas Tanah Negera
tertentu yang memenuhi syarat telah didaftarkan dan dapat dipindahtangankan,
juga dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan49.
b. Hak Tanggungan bersifat Accessoir
Hak Tanggungan merupakan salah satu Hak jaminan, yang tunduk pada azas
yang bersifat “accessoir”, artinya keberadaannya terjadi karena adanya perjanjian
yang mengikuti perjanjian pokoknya. Dengan hapusnya perjanjian pokok, hapus
pula Hak Tanggungannya. Sedangkan kalau Hak Tanggungannya hapus, tidak
menyebabkan hutangnya hapus50.
5. Teori Hukum Pembuktian.
48 Remi Sjahdeini, Sutan., op.cit., hal. 54. 49 Maria SW. Sumardjono, Pemahaman Awal Prinsip-prinsip Undang-undang Hak Tanggungan, :
“Menyongsong Berlakunya UU Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah”, dalam Hajar Widianto, Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Berdasrkan Undang-undang Hak Tanggungan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis, UNS, 2005, hal 26.
50 Ibid, hal. 35.
a. Pengertian Pembuktian
Dalam proses perkara perdata gugatan di pengadilan, pihak penggugat akan
mendalilkan dasar tuntutannya, demikian pula sebaliknya pihak tergugat akan
mendalilkan dasar bantahannya. Bagi hakim selaku wasit yang netral dan obyektif
dalam menjatuhkan putusannya mempunyai tugas penting yaitu menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan maupun yang menjadi
dasar bantahan benar-benar ada atau tidak.
Para pihak yang berperkara bebas mengemukakan peristiwa-peristiwa hukum
yang berkenaan dengan perkaranya. Peristiwa yang mengakibatkan timbulnya
hubungan hukum inilah yang harus terbukti ada apabila penggugat menginginkan
gugatannya dikabulkan, dan apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil
yang menjadi dasar gugatannya maka gugatannya akan ditolak. Demikian pula
ditinjau dari sudut pandang tergugat, apabila berhasil membuktikan dalil
bantahannya dan tentunya penggugat gagal membuktikan gugatannya maka bagi
tergugat berada di pihak yang menang.
Untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa atau hubungan hukum
sungguh-sungguh telah terjadi, hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan
guna dapat menerapkan hukumnya secara tepat, benar, dan adil. Oleh karena itu,
para pihak yang berperkara wajib melakukan pembuktian secara yuridis, yaitu
memberikan keterangan tentang fakta-fakta yang telah terjadi disertai bukti sah
yang cukup menurut hukum.
Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau sangkalan dari pihak
lawan mengenai apa yang digugat, atau untuk membenarkan suatu hak. Pada
umumnya, yang menjadi sumber sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan
hukum yang mendukung adanya hak. Jadi, yang perlu dibuktikan adalah mengenai
peristiwa atau hubungan hukum, bukan mengenai hukumnya. Kebenaran peristiwa
atau hubungan hukum itulah yang wajib dibuktikan. Jika pihak lawan (tergugat)
sudah mengakui atau mengiyakan apa yang digugatkan oleh penggugat, maka
pembuktian tidak diperlukan lagi.51
Selain untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal,
masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau
keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai, yang dalam hukum 51 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, op.cit., hal. 115.
acara perdata disebut fakta notoir52(noticeable facts), karena kebenarannya sudah
diakui umum. Misalnya, bahwa pada hari minggu semua kantor pemerintah tutup.
b. Beban Pembuktian
Menentukan beban pembuktian bagi hakim tidaklah mudah, karena tidak ada
aturan formal secara tegas yang mengatur tentang pembagian beban pembuktian,
oleh karenanya hakim harus teliti dan bijaksana dalam menentukan pihak mana
yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Pasal 163 HIR,
283 Rbg menyebutkan, bahwa pihak yang mengatakan mempunyai hak, atau
menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, atau untuk membantah
hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Pasal 163 HIR, 283 Rbg tersebut tidak menentukan pihak mana yang harus
dibebani bukti lebih dahulu. Oleh karenanya dalam kaitannya dengan pembebanan
bukti maka Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa untuk menentukan pihak
mana yang perlu diberikan beban bukti terlebih dahulu, perlu diteliti dan dirinci
ketentuan pasal 163 HIR dan 283
Rbg tersebut menurut bunyi kalimatnya, sebagai berikut53 :
1) Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya itu.
Biasanya Penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka
Penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu.
2) Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus
membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang menyebutkan
peristiwa itu Penggugat, maka ia harus membuktikannya, beban pembuktian
ada pada Penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu
Tergugat, maka dia harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada
Tergugat.
3) Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang lain
harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang
menyebutkan peristiwa itu Penggugat, maka beban pembuktian ada pada
Penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu Tergugat,
maka beban pembuktian ada pada Tergugat.
c. Alat bukti dalam perkara perdata
52 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 58. 53 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 116.
Alat bukti dalam perkara perdata diperlukan untuk memperoleh kebenaran
dalil-dalil para pihak yang berperkara. Meskipun kebenaran yang dicari dalam
proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolute (ultimate truth),
tetapi bersifat kebenaran relative atau bahkan cukup bersifat kemungkinan
(probable), namun untuk mencari kebenaran
yang demikianpun, tetap menghadapi kesulitan. Kesulitan menemukan
kebenaran menurut Yahya Harahap disebabkan beberapa faktor54 :
- Pertama, faktor sistem adversarial (adversarial system). Sistem ini
mengharuskan memberi hak yang sama kepada para pihak yang berperkara
untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing, serta mempunyai hak
untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan
proses adversarial (adversarial proceeding).
- Kedua, pada prinsipnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian, sesuai
dengan system adversarial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan
menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para pihak
dalam persidangan. Kedudukan hakim dalam proses perdata sesuai dengan
system adversarial atau kontentiosa tidak boleh melangkah kea rah sistem
inkuisitorial (inquisitorial system). Hakim perdata dalam menjalankan fungsi
mencari kebenaran, dihalangi oleh berbagai tembok pembatasan. Misalnya,
tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat bukti yang
sempurna dan mengikat (akta otentik, pengakuan atau sumpah). Dalam hal itu,
sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk
menilainya.
- Ketiga, mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit,
disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai
oleh ahli (not analyzed and appraised by experts).
Alat bukti (bewijsmiddel) dalam perkara perdata ada beberapa macam
bentuk dan jenis. Hukum pembuktian dalam perkara perdata yang berlaku di
Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis alat bukti tertentu saja. Di
luar itu tidak dibenarkan diajukan alat bukti lain selain yang ditentukan oleh
undang-undang. Jenis alat bukti dalam perkara perdata yang diakui oleh Undang-
54 Yahya harahap.M, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Cet-VII, Sinar Grafika, Jakarta, April 2008, h. 496.
undang diatur secara enumeratif dalam pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR,
terdiri dari :
a. bukti tulisan ; c. persangkaan ; e. sumpah.
b. bukti dengan saksi ; d. pengakuan ;
Namun dalam praktek masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering
dipergunakan, ialah “pengetahuan hakim”. Yang dimaksud dengan “pengetahuan
hakim” adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam
sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan
setempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang dirusak oleh tergugat
dan seberapa jauh kerusakan itu. Mahkamah Agung dengan keputusannya
tertanggal 10 April 1957 No. 213 K/Sip/1955 berpendapat bahwa : “Hakim-hakim
berdasarkan Pasal 138 ayat 1 bersambung dengan Pasal 164 HIR tidak ada
keharusan mendengar penerangan seorang ahli. Sedangkan penglihatan hakim pada
suatu tandatangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan
sendiri di dalam usaha pembuktian55”. Dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan hakim merupakan alat bukti.
Sebaliknya, hal-hal atau keadaan yang diketahui oleh hakim di luar sidang,
bukanlah merupakan pengetahuan hakim, melainkan pengetahuan Bapak/Ibu
hakim pribadi yang secara kebetulan mengetahui hal atau keadaan tersebut.
d. Alat Bukti Tulisan
Alat bukti tulisan oleh undang-undang, yakni dalam Pasal 1866 KUHPerdata
ditempatkan pada urutan pertama. Hal tersebut karena secara nyata hamper semua
kegiatan yang menyangkut bidang perdata, seperti perjanjian jual-beli, sewa-
menyewa, asuransi, dan lain-lain sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau
akta. Bukti tulisan ini sering disebut dengan surat. Surat merupakan alat bukti
tertulis yang memuat tulisan
untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti.
Menurut bentuknya, alat bukti tertulis atau alat bukti tulisan diklasifikasikan
menjadi dua jenis lagi, yaitu surat akta dan bukan surat akta. Surat akta adalah
surat yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang digunakan untuk pembuktian.
Surat akta diklasifikasikan lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu surat akta otentik dan 55 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 61.
surat akta tidak otentik (dibawah tangan)56. Selain dalam pengertian di atas, ada
surat-menyurat yang diadakan antara 2 (dua) orang atau lebih, baik dilakukan
dalam hubungan bisnis ataupun dalam hubungan kasih saying antara dua remaja.
Retnowulan Sutantio mengatakan bahwa hukum acara perdata mengenal 3
macam surat, ialah57 : (a). surat biasa ; (b). akta otentik ; dan (c). Akta di bawah
tangan. Perbedaan antara surat biasa dan akta adalah terletak dari cara
pembuatannya, surat biasa sejak awal dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan
alat bukti, dan apabila di kemudian hari surat tersebut dijadikan bukti hal itu
merupakan suatu kebetulan saja, sedangkan akta sejak awal dibuat dengan sengaja
untuk dijadikan bukti. Sehelai kwitansi, faktur, nota pembayaran pembelian suatu
barang yang ditanda tangani merupakan akta, dan tergolong dalam kelompok akta
di bawah tangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian58. Dan menurut teori,
akta itu ada dua macam, yakni :
(1). Akta Otentik (authentic acta)
Akta otentik, menurut ketentuan Pasal 165 HIR, 285 Rbg adalah akta yang
dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, sebagai bukti yang
lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak
darinya tentang segala yang tersebut dalam surat itu dan bahkan tentang apa yang
tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan saja, sepanjang langsung mengenai
pokok dalam akta tersebut59. Sedangkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata
berbunyi : Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat akta dibuat60.
G.H.S Lumban Tobing dalam menanggapi ketentuan Pasal 1868
KUHPerdata mengatakan, bahwa apabila suatu akta hendak memperoleh stempel
56 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 119. 57 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 64. 58 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hal. 106. 59 Abdulkadir Muhammad, loc. cit. 60 Engelbrecht, loc.cit.
otentisitas, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan
berikut 61:
1. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (tenoverstaan) seorang
pejabat umum.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang ;
3. Pejabat umum yang dimaksud, harus mempunyai wewenang untuk membuat
akta itu.
Retnowulan Sutantio memberi contoh, bahwa akta otentik yang dibuat “oleh”
pejabat yang berwenang membuatnya, misalnya surat panggilan sidang di
pengadilan yang dibuat oleh Jurusita, dan Surat Putusan Hakim. Sedangkan akta
otentik yang dibuat “ di hadapan” pejabat yang berwenang membuatnya, misalnya
akta nikah atau akta perkawinan dibuat di hadapan pegawai pencatat nikah, dan
surat-surat perjanjian yang dibuat di hadapan notaris62.
Sedangkan Abdulkadir Muhammad dalam membedakan pembuatan akta
otentik tersebut dengan mengklasifikasikan akta otentik menjadi dua jenis, yaitu
akta ambtelijk dan akta partai63. Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat
oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dengan mana pejabat menerangkan
apa yang dilihat dan dilakukannya. Contohnya, akta cacatan sipil, akta protes pada
wesel. Akta Partai adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat, dengan mana
pejabat menerangkan apa yang dilihat dan dilakukannya dan pihak-pihak yang
berkepentingan mengakui keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan
tanda tangan mereka.
Dari penjelasan Pasal 1868 KUHPerdata di atas, akta otentik itu
harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang
atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata 64:
- akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik,
oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik ;
- namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan, dengan syarat apabila akta itu ditanda
61 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 42. 62 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hal. 65. 63 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 120. 64 Yahya Harahap, op.cit., hal. 566.
tangani para pihak.
1. Syarat sahnya Akta Otentik yang bersifat Partai
Yahya Harahap berpendapat bahwa untuk mendukung keabsahan akta otentik
atau akta notaris yang bersifat partai, diperlukan syarat formil
dan syarat materiil yang keduanya bersifat kumulatif, sebagai berikut65 :
a. Syarat Formil
Syarat formil pada akta otentik atau akta notaris ini bersifat kumulatif, artinya
satu saja syarat itu tidak dipenuhi, mengakibatkan akta otentik atau akta notaris
yang bersangkutan mengandung cacat formil. Akibatnya akta tersebut tidak sah
dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian perkara yang disengketakan.
Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari :
a). Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik untuk melakukan perbuatan
hukum khususnya dalam bidang harta kekayaan atau hukum bisnis pada umumnya
adalah notaris. Dalam pembuatan akta, notaris sebagai pejabat negara memang
memegang peranan penting mengenai masalah dokumen dalam kegiatan dunia
bisnis. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Malcolm L. Morris, Guru Besar pada
Fakultas Hukum Nothern Illinois University yang mengatakan bahwa "Notaries
public play a vital role in assuring the integrity of documents essential to
commercial and legal transactions”66.
Akan tetapi dalam perkembangannya dalam transaksi jual-beli tanah yang
telah bersertifikat dan perjanjian pemberian hak tanggungan berobyek tanah yang
berwenang membuat akta adalah PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Sedangkan
yang dimaksud Pejabat yang berwenang dalam hukum keluarga dalam pembuatan
akta nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA).
b). Dihadiri para pihak
Dalam hal akta otentik yang menerangkan adanya perjanjian antara dua
pihak, seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan lain-lain, maka kehadiran
kedua belah pihak mutlak diperlukan, karena akta otentik yang bersifat partai harus
memuat keterangan yang saling bersesuaian antara kedua belah pihak sebagai
65 Yahya Harahap, Ibid., 574. 66 Malcolm L. Morris, The Model Notary Act, National Notary Association, A Non-Profit Educational
Organization , September 1, 2002, v., http.: //www.Jurnal Internasional, 20 Maret 2010, 10.00.
landasan yang melahirkan persetujuan. Dari mana notaris atau PPAT mengetahui
adanya persesuaian pendapat antara para pihak, kalau yang dating memberi
keterangan di hadapan pejabat hanya satu pihak saja.
c). Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat
Syarat dikenal atau dikenalkan kepada pejabat ini pada kenyataannya hanya
bersifat formalitas saja, karena para pihak atang menghadap pegawai yang bekerja
pada pejabat pembuat akta sambil mengutarakan maksud mereka untuk membuat
akta. Dan selanjutnya berdasarkan keinginan tersebut pegawai itu memperkenalkan
para pihak kepada pejabat, dan pada saat pembuatan akta, pegawai yang
memperkenalkan itu bertindak sebagai saksi.67
d). Dihadiri oleh dua orang saksi
Saksi–saksi dalam hal ini bertindak menyaksikan kebenaran berlang-
sungnya pembuatan akta di hadapan pejabat yang bersangkutan. Akta otentik yang
dibuat tanpa dihadiri saksi adalah tidak memenuhi syarat formil, oleh karenanya
tidak sah sebagai akta otentik, dan derajatnya turun menjadi akta dibawah tangan.
e). Menyebut identitas Notaris (pejabat), penghadap dan para saksi.
Apabila syarat-syarat tersebut di atas tidak dipenuhi maka menurut ketentuan
Pasal 25 Peraturan Jabatan Notaris (PJN), akta tersebut tidak sah dan tidak
berkekuatan sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai Akta
Dibawah Tangan jika akta tersebut ditanda tangani oleh para penghadap.
f). Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta.
Ketentuan penyebutan data-data ini diatur dalam Pasal 25 huruf d Peraturan
Jabatan Notaris. Dan apabila lalai mencantumkan salah satu data tersebut,
mengakibatkan akta tidak sah sebagai akta otentik akan tetapi eksistensi dan
kekuatannya hanya sebagai Akta di bawah Tangan apabila para penghadap
menandatanganinya.
g). Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap dan saksi-saksi.
h). Ditandatangani semua pihak
Penandatanganan akta harus segera dilakukan setelah selesai pembacaan akta
kepada para pihak dan saksi. Pihak yang harus menandatangani akta terdiri dari :
Para Penghadap (para pihak), Para saksi, Notaris, dan Penterjemah (jika ada). Dan
atas apabila salah satu pihak lalai menandatangani akta tersebut, mengakibatkan 67 Yahya Harahap, Ibid., hal. 575.
akta tidak sah sebagai akta otentik akan tetapi eksistensi dan kekuatannya hanya
sebagai Akta di bawah Tangan apabila para penghadap menandatanganinya.
b. Syarat Materiil
Syarat materiil ini khusus untuk akta otentik yang bersifat partai ini ada tiga
hal sebagai berikut :
a). Berisi keterangan kesepakatan para pihak
Isi yang harus dicantumkan dan dirumuskan dalam akta adalah
keterangan tentang hal-hal yang disepakati para pihak, dengan ketentuan : Harus
persis sama, sesuai dengan yang diterangkan para pihak, tanpa mengurangi hak
konstatering yang dimiliki notaris. Dengan demikian notaries dilarang mengurangi,
menambah atau melebihi dari apa yang disepakati para pihak.
Notaris diperbolehkan merumuskan (mengkonstatering) keterangan yang
disampaikan para pihak menjadi ketentuan yang lebih pasti. Namun apabila
keterangan yang disampaikan para pihak bertentangan dengan undang-undang
maupun ketertiban umum, maka keterangan tersebut boleh diterima dan
dirumuskan sebagai kesepakatan. Ketika ada akta notaris yang isinya mencatat
adanya kesepakatan para pihak yang betentangan dengan undang-undang ataupun
ketertiban umum, isi akta notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.
b). Isi keterangan perbuatan hukum
Keterangan yang disampaikan oleh para pihak haruslah berupa :
- perbuatan atau tindakan hukum (rechtshandeling) yang bersegi dua
dua, seperti perjanjian jual-beli, utang-piutang, hibah, dan lain-lain ;
- hubungan hukum (rechtsbetrekking) di bidang harta kekayaan, atau hubungan
hukum di bidang perdangangan atau bisnis ;
M. Yahya Harahap mengatakan, bahwa akta yang berisi di luar perbuatan
hukum atau hubungan hukum tidak memenuhi syarat materiil, sehingga akta itu
tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Karena menurut hukum fungsi akta adalah
untuk membuktikan perbuatan atau hubungan hukum yang terjadi diantara pihak
yang membuatnya68.
(2). Akta di Bawah Tangan
Pengertian akta di bawah tangan menurut rumusan pasal 1874
KUHPerdata dan Pasal 286 Rbg adalah : 68 Yahya Harahap, Ibid., hal. 579.
- tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan ;
- tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang
(pejabat umum), seperti : surat-surat, surat-surat urusan rumah tangga, dan register-
register.
Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan kedua-duanya merupakan
alat bukti tertulis. Subekti mengatakan bahwa segala bentuk
tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan69.
Perbedaannya terletak pada kekuatannya, yaitu bahwa akta otentik memberikan
diatara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
pada pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat di dalamnya70.
Soepomo berpendapat, bahwa dari segi hukum pembuktian, agar suatu
tulisan bernilai sebagai akta di bawah tangan, diperlukan persyaratan pokok 71:
(1). Surat atau tulisan itu ditanda tangani ;
(2). Isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum
(rechtshandeling) atau hubungan hukum (rechts bettrekking) ;
(3). Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di
dalamnya.
e. Kekuatan Pembuktian suatu akta
- Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta Otentik
Pada dasarnya kekuatan pembuktian dari suatu akta itu dapat dibedakan atas
tiga, yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahir (keluar) ;
2. Kekuatan pembuktian formil, dan
3. Kekuatan pembuktian materiil.
1). Kekuatan pembuktian lahir (keluar).
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir (luar), ialah
berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau tidak. Bila
syarat-syarat formal dipenuhi maka bentuk yang tampaknya dari luar secara
lahiriah sebagai akta otentik dianggap akta otentik, sepanjang tidak dapat
69 Yahya Harahap, Ibid., hal. 590. 70 Komar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hal.205. 71 Yahya Harahap, loc.cit.
dibuktikan sebaliknya72. Akta otentik mempunyai kekuatan lahir, sesuai dengan
azas “acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya
tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,
maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya73.
Sedangkan menurut Subekti dalam Hasanuddin Rahman, bahwa kekuatan
pembuktian keluar ini selain membuktikan kepada antara para pihak juga
membuktikan terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta,
kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris)
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut74. Suatu kelebihan dari akta
otentik adalah mempunyai kekuatan pembuktian lahir ini. Dimana tanda tangan
dari pejabat yang
menandatangani akta otentik itu diterima keabsahannya, sampai dapat dibuktikan
sebaliknya. Dan yang menjadi persoalan untuk dibuktikan itu bukan isi dari akta
itu maupun wewenang dari pejabat itu, akan tetapi semata-mata mengenai tanda
tangan dari pejabat itu75. Serta beban pembuktian tentang otensitas dari akta
otentik diletakkan pada orang yang menyangkalnya, sebagaimana yang ditentukan
secara khusus dalam Pasal 138 HIR, 164 Rbg, serta 148 KUHPerdata.
2). Kekuatan pembuktian formil
Kekuatan pembuktian formil ini maksudnya adalah menyatakan bahwa
segala keterangan yang tertuang di dalam akta tersebut adalah benar adanya
diberikan dan disampaikan oleh penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya,
sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1871 KUHPerdata. Jadi, kekuatan pembuktian
formil ini didasarkan atas benar-tidaknya ada pernyataan oleh penanda tangan di
bawah akta itu. Atau dengan kata lain, kekuatan pembuktian formal ini
menyangkut pertanyaan : “Benarkah ada pernyataan dari para pihak seperti yang
tertuang dalam akta itu ?”. Sedangkan menurut Subekti dalam Hassanuddin
72 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 121. Abdulkadir Muhammad mengatakan, bila syarat-syarat formal
suatu akta otentik diragukan oleh pihak lawan, dia dapat minta kepada pengadilan untuk meneliti akta tersebut berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan oleh pihak lawan. Kemudian, hakim memutuskan apakah akta otentik itu boleh digunakan sebagai bukti atau tidak dalam perkara.
73 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 109.
74 Hasanuddin Rahman, op.cit., hal 157. 75 G.H.S Lumban Tobing, op.cit., hal. 48.
Rahman, kekuatan pembuktian formil adalah membuktikan antara para pihak,
bahwa mereka sudah menerangkan apa yang dityulis dalam akta tadi76.
Dalam pembuktian formil ini, hal yang sudah pasti kebenarannya adalah ;
tanggal pembuatan akta, tempat pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat
dan para pihak serta saksi-saksi yang turut menanda tangani akta tersebut, serta
para pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan dalam akta itu. Sedangkan
kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya
hanya pasti antara mereka sendiri.
3). Kekuatan pembuktian materiil
Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut permasalahan benar-tidaknya
keterangan yang tercantum dalam akta itu, atau menyangkut tentang kebenaran
materi suatu akta. Darwan Prinst mendefinisikan bahwa pembuktian material itu
membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut
telah terjadi77. Menurut Subekti dalam Hasanuddin Rahman, bahwa kekuatan
pembuktian materiil ini membuktikan anatara para pihak yang bersangkutan,
bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan
pembuktian materiil atau yang kita namakan kekuatan pembuktian mengikat)78.
Pada akta otentik para pihak (partij akten) menurut undang-undang (Pasal
165 HIR, Pasal 285 Rbg, Pasal 1870 dan 1871 KUHPerdata) merupakan bukti
sempurna bagi mereka, ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya,
karena isi keterangan yang dimuat dalam akta otentik itu berlaku sebagai yang
benar. Isi akta otentik para pihak mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya,
dengan pengertian :
a. bahwa akta itu, apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup, dan
bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya di
samping itu ;
b. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat
pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut
undang-undang79.
76 Hasanuddin Rahman, op.cit., hal 156. 77 Darwan Prinst, Strategi menyusun dan menangani gugatan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992, hal. 159. 78 Hasanuddin Rahman, op.cit., hal. 157. 79 G.H.S Lumban Tobing, op.cit., hal. 113-114.
- Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta di bawah Tangan
Akta di Bawah Tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir (luar).
Hal ini berarti bahwa akta di bawah tangan itu baru berlaku sah, jika yang
menandtanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu, artinya jika tanda
tangan telah diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan, barulah akta itu berlaku
sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan (Pasal 1875
KUHPerdata). Pasal 1876 KUHPerdata menentukan bahwa orang terhadap siapa
akta di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan membenarkan atau memungkiri
tanda tangannya, sedangkan bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa
ia tidak kenal akan tanda tangan tersebut. Dan oleh karena tanda tangan pada akta
di bawah tangan masih dapat dipungkiri oleh si penandatangan sendiri atau oleh
ahli warisnya tidak diakui, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian lahir. Untuk kekuatan pembuktian formil baru dimiliki oleh akta di
bawah tangan, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui atau tidak disangkal
kebenarannya. Dan apabila keaslian tanda tangan diakui, maka akta di bawah
tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil yang sama dengan kekuatan
pembuktian dari akta otentik.
Sedangkan mengenai kekuatan pembuktian materiil, apabila tanda tangan
di dalam akta di bawah tangan tidak dipungkiri keasliannya maka akta tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian materiil bagi yang menandatanganinya, ahli
warisnya, serta para penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1875 KUHPerdata. Sehingga isi keterangan di dalam akta di bawah tangan
yang diakui keaslian tanda tangannya itu bagi para pihak berlaku sebagai akta
otentik, dan merupakan alat bukti sempurna bagi mereka, para ahli warisnya, serta
bagi para menerima hak dari mereka. Alat bukti sempurna, artinya tidak
memerlukan alat bukti lain sebagai pelengkap (Pasal 1870 KUHPerdata,
Pasal 165 HIR, dan Pasal 285 Rbg)80.
6. Grosse Akta
Menurut Pasal 1 Reglement Jabatan Notaris (Stb. 1860 No. 3) disebutkan,
bahwa notaris adalah pejabat umum yang khusus berwenang membuat akta otentik 80 Sardjono R, Masalah Pembuktian, Ceramah/Kuliah disampaikan pada Penataran Hakim
diselenggarakan oleh Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Umum Dep.Kehakiman RI, Jakarta, 1983, hal. 140.
mengenai semua perbuatan, persetujuan dan ketetapan yang diperintahkan oleh
peraturan umum dan dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar dengan surat
otentik itu akan dinyatakan kepastian tentang tanggalnya, penyimpanan aktanya
dan memberikan grosse, kutipan dan salinannya, semuanya itu sejauh pembuatan
akta-akta tersebut dan peraturan umum tidak juga ditugaskan atau disediakan
untuk
lain pegawai atau orang lain81.
Adapun akta yang sering dibuat oleh notaris adalah :
1. Bidang hukum perorangan (personenrecht), antara lain :
§ Berbagai perjanjian kawin berikut perubanannya (harus otentik/pasal 147,
148 KUHPerdata) ;
§ Hibah berhubungan dengan perkawinan dan penerimaannya (harus
otentik/pasal 176, 177 KUHPerdata) ;
§ Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang
pemisahan harta (harus otentik/pasal 191 KUHPerdata) ;
§ Mengingkari sahnya anak (pasal 253-256 KUHPerdata) ;
§ Pengakuan anak luar kawin (harus otentik/pasal 281 KUHPerdata);
§ Pengangkatan wali (harus otentik/pasal 355 KUHPerdata) ;
§ Pengakuan terima perhitungan wali (pasal 412 KUHPerdata).
2. Bidang Hukum Kebendaan (Zakenrecht), yakni :
§ Berbagai jenis surat wasiat (termasuk penyimpangan wasiat umum, wasiat
pendirian yayasan, wasiat umum, wasiat pemisahan dan pembagian harta
peninggalan), fideicommis, pengangkatan pelaksana wasiat dan pengurus
harta peninggalan (pasal 874 KUHPerdata) ;
§ Berbagai kuasa yang menyangkut warisan (Kuasa keterangan menimbang,
menerima secara terbatas, menolak harta Peninggalan
/pasal 1023 dst, 1044 dst KUHPerdata) ;
§ Jaminan kebendaan gadai (pasal 1150 dst KUHPerdata) ;
§ Jaminan kebendaan hipotek (harus otentik/pasal 1162 dst, 1171, 1195 dan
1196 KUHPerdata).
3. Bidang Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht), yakni :
81 Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, op.cit. hal. 11.
§ Berbagai macam jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa (pasal 1457 dst,
pasal 1541 dst, pasal 1548 dst KUHPerdata) ;
§ Rupa-rupa pembentukan persekutuan(pasal 1618 dst KUHPerdata);
§ Berbagai jenis perkumpulan (pasal 1653 dst KUHPerdata) ;
§ Berbagai hibah (pasal 1666 dst KUHPerdata) ;
§ Perjanjian perdamaian (pasal 1851 dst KUHPerdata) ;
§ Berbagai macam kontrak nominat (atas dasar pasal 1338 KUHPerdata).
4. Bidang Hukum Perusahaan, yakni :
§ Berbagai perseroan (maatschap, Firma, komanditer, Perseroan Terbatas-
PMDN/PMA), baik pendirian, perubahan, pembekuan maupun
pembubaran, penggabungan) ;
§ Berbagai perantara dagang, seperti perjanjian keagenan dagang, kontrak
perburuhan ;
§ Berbagai akta yang berkaitan dengan badan-badan sosial, seperti yayasan,
perkumpulan, dan sebagainya.
Disamping kewenangan diatas, Notaris juga berwenang membuat akta yang
disebut dengan “Grosse Akta”. Ada kebiasaan dari notaris dalam membuat akta,
yakni akta aslinya ditulis dalam huruf kecil (minutes letteris) yang memuat isi akta
secara lengkap, dan akta tersebut ditanda tangani oleh para pihak dan saksi-
saksinya serta notaris sendiri, dan disimpannya di kantor notaris ; dan selanjutnya
stuk yang disimpan oleh notaris ini disebut “minuta”. Sedangkan intrumen atau
stuk yang diserahkan kepada para pihak ditulis dengan huruf yang lebih besar
(grossis letteris), yang hanya ditandatangani oleh notaris saja ; dan selan -
jutnya stuk ini disebut “grosse”.
7. Pengertian Grosse Akta
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang memberi definisi grosse
akta, adalah suatu salinan atau turunan dari akta otentik, yang memakai kepala di
atasnya kata-kata : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
dan pada bagian bawahnya harus dicantumkan sebagai “grosse pertama” dengan
menyebutkan nama orang yang atas permintaannya grosse itu diberikan, dan
tanggal pembe-
rian grosse itu82. Sedangkan Hasanuddin Rahman berpendapat, bah-
wa grosse akta ialah salinan atau kutipan (secara pengecualian) yang
pertama dari minuta akta (naskah asli), yang di atasnya memuat irah-irah : Atas
nama Raja (sekarang baca: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa) dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan sebagai Grosse Pertama
oleh saya …..Notaris/Pejabat di …..kepada dan atas permintaan ……. Pada hari ini
…..tanggal …….”. Dan untuk pengeluaran/pemberian suatu Grosse akta,
diperlukan adanya suatu akta otentik, dimana akta otentik inilah yang diberikan
Grosse. Hal ini berarti akta-akta di bawah tangan tidak dapat dikeluarkan Grosse-
nya83.
Jika grosse akta tidak memenuhi persyaratannya, yakni pada bagian kepala
akta tidak diberi judul title eksekutorial dan pada bagian akhir akta tidak diberi
kata-kata penutup seperti diatas, maka grosse yang demikian tidak dapat
dipergunakan untuk eksekusi. Selain grosse akta diatas juga dikenal “Salinan
biasa” dari akta otentik yang dapat diserahkan kepada para pihak dalam jumlah
eksemplar menurut permintaannya84. Salinan biasa ini adalah salinan dari akta
otentik, yang tidak diberi title eksekutorial. Antara Grosse akta dengan turunan
atau salinan atau petikan, terdapat perbedaan. Perbedaan mana terletak pada ‘titel
eksekutorial-nya”.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama
dibuatnya grosse akta itu adalah agar akta tersebut bagi kreditur dapat digunakan
untuk menagih piutangnya manakala debitur wanprestasi, dengan cara
melaksanakan penjualan secara paksa atas jaminan piutang yang diberikan oleh
pihak debitor kepada kreditur. Meskipun dalam suatu perjanjian ada dua pihak
yang berkepentingan, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur, namun dari suatu
grosse akta itu hanya bermanfaat bagi kreditur saja. Maka biasanya yang mau
meminta grosse akta hanyalah pihak kreditur serta orang-orang yang mendapatkan
hak dari kreditur tersebut.
Bentuk dan syarat Grosse Akta
Mengenai bentuk grosse akta ini berkaitan erat dengan materi grosse akta itu
sendiri. Sebagian sarjana hukum berpendapat luas, bahwa terhadap semua akta 82 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal. 40. 83 Hasanuddin Rahman, op.cit., hal. 231- 232. 84 M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, op.cit., hal. 19.
yang berisi perjanjian apapun yang dibuat di hadapan notaris, dapat dibuatkan atau
dikeluarkan grossenya. Dan sebagian sarjana hukum lain dan Mahkamah Agung RI
menganut pendapat yang sempit yang mendasarkan pada Pasal 224 HIR dan Pasal
440 Rv, bahwa grosse akta ini hanya dapat dibuat atas akta pengakuan utang dan
akta hipotek saja.
Grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotek merupakan akta yang
bersifat assesoir, yakni merupakan dampingan dari perjanjian pokok yakni
perjanjian utang piutang. Oleh karenaya tanpa perjanjian pokok tersebut tidak
mungkin terjadi ikatan grosse akta pengakuan utang atau grosse akta hipotek. Jadi
ikatan grosse akta adalah perjanjian tambahan yang bertujuan untuk memperkuat
perlindungan hukum terhadap pihak kreditur. Keberadaan grosse akta bersumber
dari perjanjian pokok tentang utang (kredit) yang mendahuluinya.
Bentuk grosse akta, dihubungkan dengan isi perjanjian pokoknya, yang
dibuat di hadapan pejabat tertentu berupa akta otentik dapat
dibedakan :
a. Grosse akta pengakuan utang, berbentuk akta notaris.
b. Grosse akta hipotek yang juga sama-sama berbentuk akta notaris. Dan khusus
untuk jaminan utang berupa tanah berbentuk akta PPAT. Akan tetapi setelah
berlakunya UU No. Tahun 2006 tentang Hak Tanggungan, khusus jaminan
berupa tanah maka sertifikat hak tanggungannya yang diberi title
eksekutorial, serta diterbitkan dan
dikeluarkan oleh Kantor BPN setempat.
Dahulu pengertian dan pengaturan Grosse akta hipotek identik
dengan Grosse akta pengakuan utang, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR
atau 258 Rbg. Akan tetapi setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria No. 15
Tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotek serta Creditverband,
serta Ketentuan Pasal 7 ayat 2 PMA No. 15/1961, maka ketentuan Grosse Akta
Hipotek tidak lagi identik dengan Grosse Akta Pengakuan Utang. Dari ketentuan-
ketentuan tersebut, title eksekutorialnya tidak terletak pada akta hipoteknya,
melainkan ada pada
“Grosse Sertifikat Hipotek”nya85.
85 Hasanuddin Rahman, op.cit. hal. 234.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 2006
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, khusus jaminan berupa tanah, menurut ketentuan pasal 14 ayat 2
Undang-undang tersebut ditentukan bahwa title eksekutorial diberikan pada
Sertifikat Hak Tanggungan, dan berlaku sebagai pengganti grosse akta Hipotek.
Sertifikat Hak Tanggungan tersebut diterbitkan serta dikeluarkan oleh Kantor BPN
(Badan Pertanahan Nasional) setempat, oleh karenanya bukan lagi berbentuk akta
notaris.
a). Grosse akta pengakuan utang.
Soetarno Soedja berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pengakuan
utang, adalah suatu pernyataan sepihak yang ditanda tangani, yang berisikan
pengakuan utang sejumlah uang, dengan syarat-syarat yang dibuat menurut
keinginan86. Akta yang demikian ini dibuat di hadapan
notaris dengan bentuk akta notariil.
Demikian pula Mahkamah Agung RI berpendapat melalui fatwanya No.
213/229/8511/Um-TU/Pdt tanggal 16 April 1985 menyebutkan : “Pengertian
grosse seperti yang dimaksudkan Pasal 224 RID ialah suatu akta otentik yang
berisi pengakuan utang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk
membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu”. Hal mana berarti bahwa dalam
suatu grosse tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, apalagi
persyaratan tersebut berbentuk perjanjian.
Dalam persoalan apakah dalam grosse akta diperbolehkan atau tidak apabila
didalamnya dimuat persyaratan-persyaratan yang berbentuk perjanjian, Penulis
setuju dengan pendapat yang memperbolehkan dimuatnya persyaratan-persyaratan
berbentuk perjanjian tersebut. Hal mana, dikarenakan pengertian akta pengakuan
utang dalam grosse akta berbeda dengan pengertian Akta Pengakuan Sepihak
(APS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1878 KUHPerdata dan Pasal 291 RBg.
b). Grosse akta hipotek
Sejak berlakunya UU No. Tahun 2004 tentang Hak Tanggungan, obyek
penjaminan melalui hipotek hanya berlaku atas benda bergerak selain tanah saja,
sedangkan obyek jaminan berupa tanah proses penjaminannya dibuat di hadapan
PPAT dengan produk aktanya berupa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). 86 M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal. 51.
Kemudian setelah APHT tersebut didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat baru
oleh Kantor Pertanahan dibuatkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang pada
bagian kepalanya diberi title eksekusi bertuliskan “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse akta notaris yang diakui mempunyai kekuatan eksekutorial, menurut
ketentuan Pasal 224 HIR hanya berlaku terhadap (2) dua macam grosse akta, yakni
: Grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotek. Kedua macam grosse akta
tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukup tetap87.
Dengan adanya ketentuan Pasal 224 HIR ini, maka Edhi Siswoko
berpendapat bahwa agar suatu grosse akta itu mempunyai kedudukan eksekutorial
harus memenuhi 4 (empat) syarat formal dan satu syarat material, yaitu :
- Syarat formal terdiri dari :
a. Grosse akta tersebut harus berkepala ““Demi Keadilan Berdasar
kan Ketuhanan Yang Maha Esa” ;
b. Dibawah grosse akta itu harus dicantumkan kata-kata “Diberikan sebagai
grosse pertama ………” ;
c. Dicantumkan pula nama orang yang mana atas permintaannya
grosse akta tersebut diberikan ;
d. Dicantumkan pula tanggal pemberian grosse akta.
- Sedangkan syarat materialnya adalah bahwa akta tersebut hanya berisi
“pengakuan utang” dan “hipotek” saja yang dapat mempunyai
kekuatan eksekutorial88.
Akibat dari adanya ketentuan Pasal 224 HIR diatas, maka isi dari akta-akta
lain selain akta hipotek dan akta pengakuan utang, meskipun diberi Titel
Eksekutorial, akta tersebut sama sekali tidak mempunyai kekuatan eksekutoral dan
tidak sama kedudukannya dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
8. Teori Ilmu HukumPerilaku (Behavioral Jurisprudence).
Kalau kita memasuki lembaga-lembaga pengadilan di Inggris, kita
87 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal. 22. 88 Edhi Siswoko, Media Notariat, dalam Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Ibid., hal.58.
akan menemukan motto yang berbunyi “Berikan aku hakim yang baik, meski di
tanganku ada hukum yang buruk”. Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim
yang akan memimpin sidang atau menangani perkara supaya dirinya tidak
dikalahkan oleh hukum yang didamnya terdapat kekurangan, ada pasal-pasal yang
kabur, atau norma-norma yang berkatagori lemah dan mengundang banyak
penafsiran (interprestasi)89 ;
Winner mengatakan, hukum itu merupakan pusat pengendalian
komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan.
Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan
perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan penerapan sanksi-
sanksi hukum terhadap suatu sengketa90.
Pendekatan tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan pengadilan atau
putusan hakim dari sudut pandang normatif semata. Pendekatan ini dilakukan oleh
mereka yang menganut ajaran legisme dan positivisme yuridis. Ajaran legisme
menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis (undang-undang);
di luar undang-undang tidak termasuk hukum. Sedangkan positivisme yuridis atau
ajaran hukum analitis (analytical jurisprudence) menekankan bahwa hukum
seyogyanya dipandang dari segi hukum positif yang dirintis oleh John Austin. Dan
yang dimaksud dengan pendekatan non-tradisional adalah suatu studi hukum dan
putusan hakim dari optik yang multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang
komrehensif tentang ekstensitas dan intensitas bekerjanya hukum positif dan
putusan hakim di dalam masyarakat91.
Pendekatan non-tradisional adalah studi sosiologis dan psikologis terhadap
hukum. Studi non-tradisional ini terdisi atas tiga jenis pendekatan, yakni
pendekatan yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence, aliran legal
realism, dan aliran behavioral jurisprudence. Penganut aliran realisme hukum
telah mengesampingkan sifat normatif hukum, karena hukum pada hakikatnya
adalah pola perilaku nyata (patterns of behavior) dari hakim di dalam persidangan.
Apa yang diputuskan oleh hakim adalah hukum. Sehingga lebih menekankan
bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam
89 Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Etika Profesi Hukum Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Cet-
I, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hal.253. 90 Lili Rasyidi dan LB Wiyasa Putra dalam Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Ibid, hal. 55. 91 Ibid, hal 27.
masyarakat dan peran hakim tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja,
tetapi harus mampu memnajdi pembentuk hukum guna merespon perkembangan
dalam masyarakat92.
Teori Ilmu Hukum Perilaku adalah studi yang mempelajari tingkah laku
aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam
interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap
dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat
perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal,
melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-
peranan sosial tertentu dalam pengambilan keputusan hukum93. Antonius Sudirman
mengatakan bahwa dalam pendekatan ilmu hukum perilaku fokus utamanya adalah
perilaku hakim dalam proses peradilan, namun mempelajari perilaku hakim
tersebut tidak bisa dilepas-pisahkan dari sikap-sikap individual yang melekat pada
pribadi hakim. Mengapa sikap para hakim itu berbeda-beda ? Dari sudut pandang
ilmu hukum perilaku karena pengaruh lingkungan sosial dan budaya yang selalu
bersentuhan atau berinteraksi dengan pribadi hakim94.
Hakim adalah orang yang menerapkan aturan hukum melalui putusannya,
dimana hukum itu sendiri tidak berdiri di ruang hampa yang dapat mengabaikan
sub system lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekwensi
logisnya seorang hakim akan dipengaruhi oleh sub sistem lain di luar hukum.
Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan
perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum, yakni nilai keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan95. Akan tetapi sebagai manusia biasa, hakim
juga memiliki sisi intern yang akan mempengaruhi kearah mana putusannya akan
dijatuhkan. Semula pengadilan dipandang sebagai institusi yang normatif dalam
penerapan hukum, atau hakim hanya sebagai corong undang-undang saja, namun
seiring dengan perkembangan jaman, terutama dengan berkembangnya kajian
92 Ibid, hal. 30-31. 93 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Cita Hukum
Nasional, Glendon Schubert, Human Jurisprudence, Public Law as Political Science, dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Bismar Siregar, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 32.
94 Ibid., Hal. 34. 95 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cet-I, PT. Suryandaru Utama, Semarang,
2005, hal. 13.
sosiologi hukum, muncul adanya ramalan terhadap putusan hakim yang akan
dijatuhkan. Kajian tersebut dilakukan oleh I.B. Curzon mengenai Realisme
Amerika, yang membahas
tentang konsep prediksi ilmiah terhadap perilaku hakim dan putusannya 96.
Mengenai ihwal putusan hakim, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
hakim sebagai manusia dalam mempertimbangkan putusannya. Faktor tersebut
antara lain faktor subyektif dari dalam diri hakim itu sendiri dan faktor obyektif
yang datang dari luar diri hakim. Faktor subyektif yang mendorong perilaku hakim
adalah karena adanya pandangan kebebasan yang dimiliki oleh seorang hakim
untuk mengarahkan tindakannya sesuai dengan kehendaknya. Kebebasan ini dapat
berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan. Teori yang tepat dalam
menerangkan perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim adalah
teori penyimpangan (deviant theory) yang dikemukakan oleh R.B Seidman.
Menurut Seidman, para pemegang peran (penulis: termasuk hakim) mampu
memberikan motivasi, baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan
norma (conform) maupun yang berkehendak untuk tidak menyesuaikan diri dengan
keharusan norma (nonconform)97. Dan untuk faktor obyektif salah satunya adalah
berupa hal-hal yang diketahui oleh hakim dari hasil sosialisasi dengan
lingkungannya, yang kemudian diinterpretasikan oleh hakim. Herbert Blumer,
salah seorang tokoh teori aliran interaksionisme simbolis memandang bahwa
tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya
dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan
hal tersebut98.
Dari sudut pandang lain, perilaku hakim itu berbeda-beda dalam sikap-
sikapnya, karena mendapat pengaruh lingkungan sosial dan budaya yang selalu
bersentuhan (berinteraksi) dengan pribadi hakim itu sendiri99. Adapun untuk
96 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Penerbit STIH IBLAM, Jakarta,
2004, hal. 267. 97 R.B Seidman dalam Soetandyo Wignyosoebroto dan satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat
(Kumpulan Bahan Bacaan), dikutip dari : Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Bismar Siregar, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 42.
98 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer : dikutip dari Antonius Sudirman, Ibid., hal. 38. 99 Antonius Sudirman, Ibid., hal 34.
mengetahui bagaimana interaksi tersebut berlangsung dapat dilihat dan
dibaca dari diagram gambar di bawah ini100 :
A Psysiological
1 Psychopsysiological
3
Psychocultural B Personality
Cultural 5 Sociopsysiological
C 4 2
Sociocultural D
Social
Behavioral View of the Subsystems of any political (Including any Judicial) System
Penjelasan diagram :
a. Segmen sosiopsikologis menggambarkan hasil interaksi antara sistem sosial dan
sistem atribut-atribut serta perilaku-perilakunya ;
b. Segmen psikokultural mendiskripsikan perpaduan antara sistem budaya dan system
kepribadian, mengednai pemahaman individu tentang perannya dan ideology-
ideologi yang diterimanya ;
c. Segmen sosiokultural menggambarkan hasil interaksi antara sistem sosial dan
budaya, berkaitan dengan pola-pola dari peran institusi dan fungsi-fungsi hasil dari
akomodasi dan peraturan tingkah laku orang lain.
Dari penjelasan diagram tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap
hakim berbeda-beda karena mendapat pengaruh dari pengalaman hidupnya, atau
pengaruh dari hasil interaksi sosialnya dengan orang lain, budaya dan keyakinan, serta
atribut yang dimilikinya. Dalam konteks Ilmu Hukum Perilaku, pekerjaan hakim
dalam mengadili suatu perkara dapat digambarkan seperti dibawah ini :
100 Glendon Schubert, dalam Antonius Sudirman, Ibid., hal 35.
Some Behavioral Parameters of Outputs
Standpoint Role
Consept
Output
Functions
Output
Structures
Feadback
Consepts
Psychological Individual Decision
Making
Vote and
Decision
Commitment
Sociological Group Accomodation
and Regulation
Decision Reinforcement
Cultural Institutional Policymaking Policies Norms
Dari bagan di atas terlihat ada tiga model alternatif dalam mengkonseptualisasi
beberapa hasil dari pengambilan keputusan individu, mulai dari sudut pandang yang
berfokus pada Individu, Kelompok dan Lembaga. Ketiga sudut pandang tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a) Dari sudut pandang psikologi, individu membuat keputusan yang berupa suara-
suara dan pendapat-pendapat, dan melibatkannya baik pada akibat maupun
umpan balik dari sebuah komitmen ;
b) Dari sudut pandang sosiologi, suatu kelompok mengakomodasi dan
mengatur minat-minat yang saling berbeda dengan membuat keputusan-
keputusan dimana umpan baliknya bagi kelompok berupa pengaturan ;
c) Dari sudut pandang budaya, lembaga mensponsori kebijakan-kebijakan dengan
menyediakan umpan balik bagi orang-orang yang tinggal dalam suatu budaya
tertentu dalam bentuk norma-norma.
Oleh karena Teori Ilmu Hukum Perilaku adalah studi yang mempelajari tingkah
laku aktual hakim dalam proses peradilan, maka yang diperlukan adalah pendekatan
psikologis pada individu sebagai unit analisis. Albert A.Ehrenzweig, dalam bukunya
berjudul “Psychoanalytic Jurisprudence” dalam Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa
dengan psykhologi dapat dilakukan pendekatan dalam ilmu hukum, yakni dengan
mengaitkan superego dapat digunakan untuk mengupas soal keadilan, kesalahan, dan
sebagainya101.
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
101 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal. 321.
Sekian lama penulis mengadakan pencarian terhadap karya-karya ilmiah, baik
pada perpustakaan program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta,
maupun pada perpustakaan Pengadilan Negeri Sukoharjo, serta di beberapa
perpustakaan di tempat lain, ternyata penulis tidak menemukan hasil penelitian
mengenai pemikiran hakim ketika menjatuhkan putusan yang tidak
mempertimbangkan semua dalil gugatan pembatalan akta notaris yang berisi perjanjian
utang-piutang dan pernyataan pengakuan utang oleh debitur.
C. KERANGKA BERPIKIR
Bermula dari adanya keinginan para Penggugat bernama Drs. JOKO BEKTI
HARYONO, M.Pd.DK yang meminjam uang kepada tergugat bernama RICKY
FAJAR ADIPUTRA yang akan digunakan untuk mengembangkan usaha penggugat
memperluas bangunan toko di Kota Sukoharjo. Selanjutnya tergugat bersedia memberi
pinjaman uang sebesar Rp.200.000.000,- kepada penggugat dan bersepakat
menuangkan perjanjian utang-piutangnya dalam Akta Notaris, kemudian terbitlah Akta
Perjanjian Utang-piutang No. 6 yang dibuat di hadapan Notaris Ninoek Poernomo,
SH., yang selain berisi perjanjian utang-piutang akta tersebut diisi pula dengan
pernyataan pengakuan hutang, serta janji untuk memberikan hak jaminan
berupa tanah dari debitur (penggugat).
Karena ada sesuatu hal, maka usaha bisnis penggugat mengalami kegagalan
sehingga penggugat tidak mampu membayar utangnya tepat waktu kepada tergugat
dan penggugat hanya mampu membayar bunga sebesar Rp.10.000.000,- setiap bulan
yang diminta tergugat, dan penggugat sudah memberikan bunga selama 5 bulan. Oleh
karena perjanjian tersebut sudah jalan selama satu tahun lebih lalu tergugat akan
melakukan lelang atas tanah jaminan yang diberikan oleh penggugat.
Penggugat yang tidak ingin tanah yang dijaminkan tersebut dilelang, lalu
mengajukan gugatan pembatalan Akta Nomor 6 tersebut dengan alasan akta tersebut
cacat hukum karena dengan dasar alasan bahwa akta perjanjian nomor 6 tersebut isinya
campur antara perjanjian utang-piutang dengan pernyataan utnag sepihak dari pihak
debitur, bentuk akta seperti tersebut menurut pikiran penggugat bertentangan dengan
maksud dari ketentuan Pasal 224 HIR. Dari pemikiran yang demikian itu selanjutnya
penggugat melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan pembatalan akta notaris
nomor 6 tersebut dengan tujuan agar tanah yang diserahkan sebagai jaminan kepada
tergugat dapat lolos dari penjualan lelang serta penggugat menghendaki hanya akan
membayar utang pokoknya saja. Selanjutnya hakim yang memeriksa perkara gugatan
penggugat tersebut menjatuhkan putusan yang menolak gugatan tanpa
mempertimbangkan dalil gugatan tentang keabsahan akta dari sudut bentuk
pembuatannya oleh notaris.
Kerangka berpikir tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
BAB
III
METODE PENELITIAN
DebiturKreditur
Notaris
Akta Notaris(akta otentik)
Yuridis Formal
Yuridis material
Debitur /Penggugat
Krediutur/Tergugat
Cacat Hukum
Pengadilan NegeriSukoharjo
Majelis hakim
Putusan
Pola PerilakuHakim
Penerapan hukum
Teori Pembuktian/Hukum Acara
Gugatan Ditolak
Penelitian dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa,
usaha mana dilakukan dengan metode ilmiah102. Penelitian hukum merupakan proses
kegiatan berpikir dan bertindak logis, metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis,
peristiwa hukum, atau fakta empiris yang terjadi di sekitar kita untuk direkonstruksi
guna mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan. Berpikir logis
adalah berpikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan guna
mengungkapkan kebenaran. Metodis adalah berpikir dan berbuat menurut metode
tertentu yang kebenarannya diakui menurut penalaran. Sistematis adalah berpikir dan
berbuat yang bersistem, yaitu runtun, berurutan, dan tidak tumpang tindih103.
Metodologi adalah suatu studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip
yang mengarahkan suatu penelitian104. Sedangkan metode itu sendiri adalah suatu alat
atau cara untuk mencari kebenaran dan merupakan bagian dari metodologi. Dengan
menggunakan metodologi dalam suatu penelitian akan diperoleh data yang akurat,
lengkap, serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebagai bagian dari tujuan
penelitian itu sendiri.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum metode yang digunakan tergantung pada konsep hukum
yang akan diteliti. Menurut pendapat Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono
sedikitnya ada 5 (lima) konsep hukum105, yaitu:
1. Hukum adalah azas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku
universal ;
2. Hukum adalah norma-norma positip di dalam system perundang-undangan
hukum nasional ;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi
sebagai judge made law ;
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variable sosial yang empirik ;
102 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Transito, Yogyakarta, 1990, hal. 131. 103 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, op.cit., hal. 2. 104 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana
UNS, Surakarta, 2005, hal. 3. 105 Ibid., h. 20.
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai
tampak dalam interaksi antar mereka.
Dengan berpijak dari latar belakang penulisan serta rumusan permasalahan
seperti terurai di depan, telah disebutkan bahwa permasalahan yang akan diteliti
adalah menganalisis dan memberikan jawaban secara realistis mengenai mengapa
Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam putusannya tidak mempertimbangkan
dalil pokok gugatan pembatalan akta notaris. Berdasarkan obyek yang akan diteliti
seperti demikian, maka hukum dikonsepsikan dengan konsep hukum yang ketiga,
yaitu sebagai norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judgements) pada
waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya
kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara106.
Setiap penelitian yang mendasarkan pada hukum perundang-undangan maupun
judge made law maka penelitian hukum ini disebut sebagai penelitian hukum normatif
atau doktrinal dan metodenya disebut metode doktrinal107. Akan tetapi penelitian yang
penulis lakukan ini yang dikaji penekanannya bukan mengenai isi putusan dari segi
normatifnya, namun dari segi pemikiran atau perilaku hakim ketika memutus suatu
perkara tersebut, sehingga disamping penelitian doktrinal, jenis penelitian ini juga
merupakan penelitian sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di
dalam kehidupan, dengan menggunakan metode penelitian non-doktrinal108. Peneliti
menggunakan pendekatan interaksional dengan analisis kualitatif dalam melakukan
penelitian, karena dimaksudkan untuk mengkaji pola pikir dari seorang hakim
dalam mempertimbangkan putusannya (court behaviour) dengan analisis
berdasarkan logika induksi109.
Dilihat dari segi bentuknya penelitian ini termasuk penelitian doktrinal dalam
bentuk diagnostik110. Penelitian diagnostik merupakan suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu
gejala atau beberapa gejala, yaitu untuk mengkaji apa yang menjadi tujuan hakim serta
faktor apa yang menyebabkan Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo ketika
menjatuhkan putusan atas gugatan pembatalan akta notaris tidak mempertimbangkan
106 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal.33. 107 Burhan Ashshofa, loc. Cit. 108 Ibid., hal.10. 109 Setiono, op.cit., hal.23. 110 Ibid, hal. 5.
semua dalil gugatan penggutat. Adapun metode pendekatannya melalui pendekatan
kualitatif karena bertujuan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus
terbatas dan kasuistis.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo serta di
Kantor-kantor Notaris di Kabupaten Sukoharjo. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan
pertimbangan adanya data yang berkaitan dengan berkas perkara tuntutan pembatalan
akta perjanjian utang-piutang oleh pihak debitur, di sisi lain penulis sendiri juga
bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo, sehingga memudahkan bagi
penulis untuk melakukan wawancara langsung dengan sumber data primer yaitu
majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut serta para hakim
lainnya. Selain itu di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo banyak dihadiri para
advokad/pengacara yang mewakili kliennya, sehingga wawancara dengan para
advokad cukup dilakukan di tempat ini. Sedangkan penelitian berupa wawancara
dengan para notaris penulis lakukan di kantor tempat kerjanya yang masih berada di
wilayah Kabupaten Sukoharjo.
3. Jenis dan sumber data
Jenis dan sumber data merupakan bahan yang diperoleh dan digunakan
untuk melakukan analisa atas permasalahan sebagaimana yang telah dirumuskan. Oleh
karena jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian non doktrinal atau sosiologis
empiris yang mempertimbangkan berbagai macam sumber data, maka jenis data yang
digunakan adalah berupa data kualitatif, yaitu data yang tidak berbentuk angka, yang
dapat diperoleh dari observasi dan wawancara, maupun bahan tertulis berupa
Peraturan Perundangan, buku-
buku, majalah, makalah, dan sebagainya.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber data primer.
Sumber data primer adalah sumber data yang didapatkan secara langsung dari
masyarakat, perilaku warga masyarakat atau hasil perilaku masyarakat111. Sumber data
primer ini diperoleh dari wawancara langsung di lapangan dengan narasumber yaitu
dari hakim-hakim pada Pengadilan Negeri Sukoharjo khususnya majelis hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara a quo, yang dilakukan dengan cara yang tidak 111 Ibid., hal. 18.
formal dan terstruktur yang terkait dengan permasalahan perilaku para hakim yang
memutus perkara tersebut.
b. Sumber data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yang diperoleh
dari bahan-bahan pustaka. Adapun data sekunder dalam penelitian ini antara lain
meliputi:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang mengikat secara yuridis,seperti :
a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
b) Herziene Indlandsch Reglement (HIR Stb. 1941-44).
c) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan.
d) UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
e) Putusan No.61/Pdt.G/2008/PN.Skh. tentang Gugatan Pembatalan Akta
Notaris No. 6.
f) Akta Notaris No. 6 tentang Perjanjian Utang-piutang.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mengikat, yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti :
a. Kepustakaan yang ada hubungannya dengan perjanjian/kontrak, Hak
tanggungan, akta otentik ;
b. Tulisan-tulisan atau makalah-makalah yang berhubungan dengan
pokok masalah, yang diambil dari berbagai sumber ;
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya : Kamus.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Seperti disebutkan dimuka bahwa penelitian ini menggunakan konsep hukum
yang ketiga menurut konsep dari Soetandyo Wignyosoebroto, akan tetapi jenis
penelitiannya menggunakan jenis penelitian sosiologis atau empiris. Peneliti terjun
langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan untuk
menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Dengan demikian untuk memperoleh
data, maka teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah :
1). Wawancara mendalam (in-depth interwiewing)
Wawancara adalah merupakan salah satu cara pengumpulan data dengan jalan
komunikasi yaitu melalui kontak atau hubungan pribadi antara
pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data/responden /narasumber112. Salah
satu bentuk instrument pengumpulan data dalam penelitian sosial dan psikologi adalah
wawancara (interview)113. Studi lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara
langsung dengan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo yang pernah
menyidangkan perkara perdata gugatan pembatalan perjanjian dimaksud, serta hakim-
hakim lain yang bertugas di Pengadilan Negeri Sokoharjo, para advokad serta para
notaris di Sukoharjo untuk memperoleh gambaran ada tidaknya gejala-gejala sosial
tertentu berpengaruh bagi hakim dalam menjatuhkan putusan tertentu.
2). Studi Kepustakaan
Studi ini sebagai pelengkap data primer untuk memperjelas pernyataan yang
tidak dimungkinkan ditanyakan melalui observasi atau wawancara. Penelitian ini
dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-
undangan, dokumen-dokumen, putusan-putusan pengadilan yang relevan dengan
masalah yang diteliti, baik di Perpustakaan maupun di Kepaniteraan Perdata dan
Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data-data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data.
Pengolahan data adalah kegiatan mensortir serta menata data sedemikian rupa
sehingga data-data tersebut dapat dibaca dan ditafsirkan dengan mudah. Sedangkan
analisis data adalah kegiatan yang dimulai dengan memilih atau mengidentifikasi,
mengelompokkan, menyajikan hingga menarik suatu kesimpulan.
Data yang diperoleh dipilih dan dikelompokkan menurut sumber perolehan
data, yaitu berdasarkan observasi, wawancara dan berdasarkan hasil dokumentasi. Dan
setelah dikelompokkan selanjutnya data tersebut disusun menurut katagori yang ingin
diungkapkan.
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data ini menyangkut kegiatan :
a. Reduksi Data
Dengan reduksi data maka dapat mempertegas, memilih dan membuat fokus
data sehingga dapat diperoleh kesimpulan akhir. Proses reduksi data dapat dilakukan
112 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005, hal. 72. 113 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Cet-IX, Yogyakarta, 2009, hal. 34.
dengan mengelompokkan data menurut sumber perolehannya, seperti hasil wawancara,
hasil observasi. Setelah dikelompokkan maka data tersebut disusun menurut katagori
yang ingin diungkapkan.
b. Penyajian Data
Penyajian data memberikan kemungkinan adanya penarikan ke-
simpulan dan pengambilan tindakan.
c. Menarik Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis lalu diambil kesimpulan. Kesimpulan yang
diambil tidak hanya berasal dari satu aspek pengamatan atau dari satu instrument
saja, akan tetapi merupakan hasil verifikasi dari beberapa perangkat instrument
yang digunakan.
Adapun analisa data di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengumpulandata
Reduksidata
Sajiandata
Penarikansimpulan/verifikasi
A. HASIL PENELITIAN
1. Sejarah dan Kondisi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dan Pengadilan
Negeri Sukoharjo
Dari laporan tahunan Pengadilan Negeri Sukoharjo Tahun 2009114 diketahui
bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo semula statusnya Kawedanaan
Sukoharjo kemudian menjadi Kabupaten Sukoharjo.
a. Letak Geografis Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo terletak di bagian tenggara Propinsi Jawa Tengah dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar ;
Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar ;
Sebelah Selatan : Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten
Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta ;
Sebelah Barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Posisi geografis Kabupaten Sukoharjo adalah 110º 42’6,79” Bujur Timur - 110º
57’33,7” Bujur Timur antara 7º 32’17” Lintang Selatan - 7º 49’32” Lintang
Selatan.
b. Topografi Kabupaten Sukoharjo
Berdasarkan kemiringan lereng yang dimiliki wilayah Kabupaten Sukoharjo
dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu daerah yang datar meliputi
Kecamatan Kartasura, Baki, Gatak, Grogol, Sukoharjo dan Mojolaban.
Sedangkan daerah yang miring meliputi Kecamatan Polokarto, Bendosari,
Nguter, Bulu, Tawangsari dan Weru. Sehingga daerah-daerah ini cenderung
berbukit-bukit. Tempat tertinggi
di atas permukaan air laut adalah di Kecamatan Bulu yaitu 350 m dpl
dan yang terendah adalah Kecamatan Grogol 89 m.dpl.
Seiring dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo tersebut
maka mulailah berdiri Pengadilan Negeri Sukoharjo. Sebelum Kabupaten
114 Pengadilan Negeri Sukoharjo, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
Sukoharjo terbentuk, wilayah hukum Kawedanaan Sukoharjo merupakan bagian
dari wilayah hukum Pengadilan Negeri Surakarta. Pada Tahun 1966 Pengadilan
Negeri Sukoharjo mulai dirintis dengan mendapat pinjaman gedung dan
perlengkapan yang sederhana dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten
Sukoharjo. Sehingga pada saat tersebut persidangan-persidangan mulai digelar di
Sukoharjo, meskipun administrasi perkantoran masih menjadi satu dengan
Pengadilan Negeri Surakarta.
Tahun 1967 Pengadilan Negeri Sukoharjo mendapat pinjaman gedung
untuk kegiatan sidang dan kantor yang terletak di desa Gayam Kecamatan
Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo dari Komando Distrik Militer (KODIM) 0726
Sukoharjo. Dengan adanya peminjaman gedung tersebut, maka mulai diresmikan
berdirinya Pengadilan Negeri Persiapan Sukoharjo. Tahun 1970 Pengadilan Negeri
Sukoharjo mendapat Daftar Isian Proyek (DIP) untuk pengadaan tanah seluas ±
6.369 M² (enam ribu tiga ratus enam puluh sembilan meter persegi) dan bangunan
seluas ± 653 M² (enam ratus lima puluh tiga meter persegi). Tempat Pengadilan
Negeri Sukoharjo sekarang berada di Kecamatan Bendosari (Jalan Jenderal
Sudirman No. 193) kabupaten Sukoharjo, yang selesai di bangun tahun 1972.
Tahun 1983 Pengadilan Negeri Sukoharjo mendapat DIP lagi untuk perluasan
gedung kantor seluas ± 729 M² (tujuh ratus dua puluh sembilan meter persegi), dan
pada Tahun 1996 ada penambahan gedung arsip dan perpustakaan seluas ± 96 M²
(sembilan puluh enam meter persegi), sehingga Pengadilan Negeri Sukoharjo
mempunyai luas gedung 1.382 M2.
Bahwa pada Tahun 2009 seiring dengan dinaikkannya status dari
Pengadilan Negeri Sukoharjo dari Kelas II menjadi Kelas I B, maka Pengadilan
Negeri Sukoharjo mendapatkan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) lagi
yang digunakan untuk pembangunan gedung dari lantai I (satu) menjadi lantai II
seluas + 1.450 M2, dengan jumlah nilai anggaran sebesar Rp.1.523.364.832.
Kabupeten Sukoharjo yang merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo dengan luas wilayah ± 466,27 km² (empat ratus enam puluh enam koma
dua puluh tujuh kilometer persegi), terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan, 150
(seratus lima puluh) desa, 17 (tujuh belas) kelurahan, 2.026 (dua ribu dua puluh
enam) dukuh, 1.438 (seribu empat ratus tiga puluh delapan) RW dan 4.428 (empat
ribu empat ratus dua puluh delapan) RT. Data Tahun 2006 jumlah penduduk
Kabupaten Sukoharjo sebanyak 826.289 (delapan ratus dua puluh enam ribu dua
ratus delapan puluh sembilan) jiwa, dengan jumlah 49.44 % laki-laki dan 50,56 %
perempuan.
Untuk melaksanakan beberapa pembaharuan-pembaharuan, Pengadilan
Negeri Sukoharjo sebagai bagian dari badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung, telah menetapkan visi dan misi organisasinya.115 Adapun visi
tersebut adalah :
Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efesien, serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat, serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.
Visi sebagaimana dimaksud di atas, kemudian dijabarkan melalui misi-misi
sebagai berikut :116
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta
memenuhi rasa keadilan masyarakat ;
2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas sari campur
tangan pihak lain ;
3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat ;
4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan ;
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efesien, bermartabat dan
dihormati ;
6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan
transparan.
1. Hasil Pengamatan dan Penelitian Dokumen
Dari hasil pengamatan dan penelitian berkas yang dilakukan oleh penulis di
Kepaniteraan Hukum Pengadilan Sukoharjo, dari data tahun 2008 dan 2009
diketahui bahwa jumlah perkara pidana, baik pidana biasa, singkat, cepat maupun
ringan relatif stabil. Hal ini dapat dilihat dari sajian tabel dibawah ini117 :
Tabel 1
115 Mahkamah Agung RI., Cetak Biru (Blue Ptint) Pembaruan Mahkamah Agung RI., Jakarta.Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 1-2. 116 Mahkamah Agung RI, Loc.cit. 117 Pengadilan Negeri Sukoharjo.2009, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
Jumlah perkara pidana Tahun 2008 dan 2009 yang masuk di Pengadilan Negeri
Sukoharjo
NO TAHUN BIASA SINGKAT CEPAT RINGAN
1 2 3 4 5 6
I
2008
Sisa Tahun 2007 30 - - -
Masuk 322 7 19.510 683
Putus 310 1 19.510 683
II
2009
Sisa Tahun 2008 42 - - -
Masuk 322 26 15.952 95
Putus 263 18 15.952 92
Tabel 2
Jumlah perkara perdata gugatan dan permohonan tahun 2008 dan 2009 yang masuk
di Pengadilan Negeri Sukoharjo.
NO TAHUN GUGATAN PERMOHONAN
1 2 3 4
I 2008
Sisa Tahun 2007 26 0
Masuk 73 50
Putus 73 48
II 2009
Sisa Tahun 2008 26 01
Masuk 68 73
Putus 78 70
Dari jumlah perkara perdata gugatan, dalam Tahun 2008 Pengadilan Negeri
Sukoharjo menerima 73 (tujuh puluh tiga) pengajuan perkara dengan 10 (sepuluh)
jenis gugatan. Dari 10 (sepuluh) jenis gugatan dimaksud, diantaranya terdapat
gugatan pembatalan perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaris
sebanyak 1 (satu) gugatan. Demikian pula dalam Tahun 2009, pengajuan gugatan
sejulah 68 (enam puluh delapan) gugatan, dari jumlah tersebut dapat dikatagorikan
sebanyak 10 (sepuluh) jenis gugatan, diantaranya gugatan pembatalan perjanjian
kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaris sebanyak 1 (satu) gugatan.
Dari jumlah perkara gugatan yang diterima oleh Pengadilan Negeri
Sukoharjo dalam kurun waktu 2008 dan 2009 dapat dilihat dari tabel di
bawah ini118 :
Tabel 3
Jenis dan jumlah perkara perdata gugatan tahun 2008 dan 2009 yang masuk di
Pengadilan Negeri Sukoharjo
TAHUN
NO
JENIS GUGATAN
2008 2009
1 Wanprestasi 15 14
2 Bantahan terhadap eksekusi 5 4
3 Perceraian 25 23
118 Pengadilan Negeri Sukoharjo.2009, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
4 Utang-piutang 3 -
5 Perbuatan Melawan Hukum 15 13
6 Pembatalan Perjanjian Kredit/Utang-
piutang
1 1
7 Warisan 3 9
8 Pengosongan Tanah dan Bangunan 1 2
9 Pembatalan Jual-beli Tanah 4 2
10 Bantahan terhadap Sita Jaminan 1 -
J u m l a h 73 68
Memperhatikan gugatan pembatalan perjanjian kredit/utang-piutang yang
diajukan oleh penggugat pada tahun 2008 dan 2009, diketahui bahwa 2 (dua)
gugatan sebagaimana pada tabel 3 di atas dengan para pihak serta nomor
registernya terlihat sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah ini :
Tabel 4 : Jumlah Gugatan Pembatalan Perjanjian Kredit pada Tahun 2008 dan
2009 di Pengadilan Negeri Sukoharjo
NO NOMOR
REGISTER
PENGGUGAT TERGUGAT
1 2 3 4
1 61/Pdt.G/2008/PN.Skh 1. Drs. JOKO BEKTI
HARYONO, M.Pd.
2. Dra.DYAH
PADMANINGSIH,
M.Hum.
1. RICKY FAJAR
ADIPUTRA.
2. NINOEK
POERNOMO, SH.
3. YULISTIKA
SETYADEWI, SH.
4. KANTOR
PERTANAHAN
KABUPATEN
P
emer
iksaa
n
perk
ara
guga
tan
yang
diaju
kan
oleh
Penggugat di Pengadilan Negeri Sukoharjo dilakukan oleh Majelis Hakim dengan
dibantu oleh seorang Panitera Pengganti.
Dari data bagian personalia diperoleh data Hakim Pengadilan Negeri
Sukoharjo sebagai berikut119 :
Tabel 5
Data Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo
dari bulan Desember Tahun 2009 hingga bulan Pebruari Tahun 2010
NO NAMA–NIP- PANGKAT
JABATAN PENDIDIKAN
1 2 3 4
1 BINSAR SIREGAR, SH.M.Hum.
040 049 685
Pembina TK. I ( IV/b )
Hakim Madya Muda
Ketua
Pengadilan
Negeri
Sukoharjo
- S.1 Ilmu Hukum,
USU Th.1985.
S.2 Ilmu Hukum
Universitas
Diponegoro Th 1999
119 Pengadilan Negeri Sukoharjo.2009, Laporan Tahunan Tahun 2009, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo, Tanggal 15 Januari 2010.
SUKOHARJO.
2 51/Pdt.G/2009/PN.Skh 1. G. AGUNG SASONGKO
2. Ny. MM SRI HASTUTI
1. SUBADI
2. SINDHU WARDANA
3. SUNARJO
DARMANTO al PITIK
4. SETYAWATI
WARDANA
5. DIDIK DARMAWAN
HARTONO
6. HERRY SANTOSO
7. EFFIE WIYANI
CANDRASA
2 ABDUL KOHAR, SH.
1959 1006 1988 031 002
Pembina TK. I ( IV/b )
Hakim Madya Muda
Wakil Ketua
Pengadilan
Negeri
Sukoharjo
-S.1 Ilmu Hukum
Universitas Airlangga
Th.1985.
3 DWI YANTO, SH.Mhum.
1966 0304 1992 031 003
Penata TK. I ( III/d )
Hakim Pratama Utama
Hakim -S.1 Ilmu Hukum
STIH Padang 1993
- S2 Ilmu Hukum
UNMER Malang, 2009
4 ASMINAH, SH.
1964 1006 1998 031 002
Penata TK. I ( III/d )
Hakim Pratama Utama
Hakim -S.1 Ilmu Hukum
Univ. Sebelas Maret
(UNS) Th. 1993.
5 M.IKHSAN FATHONI, SH.MH.
1969 0604 1996 031 001
Penata TK. I ( III/d )
Hakim Pratama Utama
Hakim - S.1.Ilmu Hukum
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta Th 1993.
S.2 Ilmu Hukum
UNILA Tanjung
Karang Th. 2008.
6 SUNARYANTO, SH.
040 070 180
Penata TK. I ( III/d )
Hakim Pratama Utama
Hakim -S.1 Ilmu Hukum Univ.
Sebelas Maret (UNS)
Surakarta Th. 1993.
7 BERLINDA URSULA
MAYOR, SH.
040 072 065
Penata ( III/c )
Hakim Pratama Madya
Hakim
- S.1. Ilmu Hukum
Universitas Merdeka
(UNMER) Malang
Th.1998
8 ETIK PURWANINGSIH,SH. MH
040 073 525
Hakim - S.2. Ilmu Hukum
Universitas Islam
Indonesia (UII)
Penata Muda TK.I(III/b)
H Hakim Pratama Muda
Yogyakarta Th 2004
Melihat kewenangan Pengadilan Negeri Sukoharjo meliputi seluruh
Kabupaten Sukoharjo, yang terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan, dan berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo
sebanyak 826.289 (delapan ratus dua puluh enam ribu dua ratus delapan puluh
sembilan) jiwa, maka bilamana di bandingkan dengan jumlah Hakim Pengadilan
Negeri Sukoharjo sebanyak 8 (delapan) orang, maka perbandingan 1 (satu) orang
Hakim melayani 103.286,125 (seratus tiga ribu dua ratus delapan puluh enam
seratus dua puluh lima per seribu) jiwa.
Tabel 6
Majelis Hakim yang mengadili
Perkara Perdata Nomor : 61/Pdt.G/2008/PN.Skh
NO NAMA-NIP-PANGKAT JABATAN PENDIDIKAN
1 2 3 4
SUBIHARTA,SH.MHum
040 049 655.
Pembina TK. I ( IV/b )
Hakim Madya Muda
Ketua
Pengadilan
Negeri
Sukoharjo
dari Th.2007
s/d Th.2009,
selaku Ketua
Majelis
- S.1 Hukum Pidana
Univ. Gajah Mada Th.
Lulus Th. 1984.
- S.2 Ilmu Hukum
Universitas
Diponegoro Th 1999
SAPTA DIHARJA, SH. MHum.
040 064 376
Penata TK. I ( III/d )
Hakim Pratama Utama
Hakim
Pengadilan
Negeri
Sukoharjo
dari Th.2006
s/d Th.2009,
selaku
- S.1 HTN UNAND
Padang Th. 1986.
- S.2 Ilmu Hukum
Univ. Ekasakti
(UNES) Padang Th
Lulus 2006
Anggota
Majelis
IKHWAN HENDRATO, SH.
040 069 324
Penata TK. I ( III/d )
Hakim Pratama Utama
Hakim
Pengadilan
Negeri
Sukoharjo
dari Th.2006
s/d Th.2009,
selaku
Anggota
- S.1 Ilmu Hukum
Universitas Sriwijaya
Lulus Th 1992
-S.2 Ilmu Hukum
Univ. Sebelas Maret
Surakarta Th. 2009
2. Hasil Wawancara
a. Data hasil wawancara dengan pejabat administrasi teknis yustisial dalam
perkara perdata di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo.
Pengajuan gugatan perkara perdata oleh masyarakat di Pengadilan Negeri
Sukoharjo dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya : pendaftaran,
sebagaimana diutarakan oleh Kris Sumedi, SH Panitera Muda Perdata, dan dari
hasil wawancara diketahui bahwa proses penerimaan berkas perkara perdata
sampai proses pemeriksaan perkara adalah dilakukan dengan cara sebagai
berikut120 :
1. Penggugat atau kuasanya datang ke Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri
dengan membawa surat gugatannya.
2. Panitera Muda selaku petugas meja I menafsir besarnya uang panjar biaya
perkara yang dibayarkan. Berdasarkan Keputusan Ketua Pengadilan Negeri
Sukoharjo Nomor W12.U32/404/PDT/ 04.01/III/2008 tanggal 26 Maret 2008
tentang uang panjar biaya perkara perdata, ditempelkan pada papan
pengumuman di depan kasir Kepaniteraan Muda Perdata. Sehingga masyarakat
mengetahui berapa jumlah panjar biaya perkara yang harus disetorkan kepada
Bank. Pembayaran biaya panjar perkara, oleh pihak penggugat disetorkan
120 Wawancara dengan Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 22 Januari 2010 di
Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo.
melalui Bank PT. BTN Kantor Cabang Pembantu Sukoharjo Rekening Nomor.
00000216-01-50-000546-0 atas nama Pengadilan Negeri Sukoharjo.
3. Setelah panjar biaya dibayarkan, bukti pembayaran yang asli diserahkan
kepada petugas meja I, selanjutnya bukti tersebut diteruskan kepada petugas
kasir untuk dibukukan kedalam buku jurnal dan buku induk keuangan.
Sedangkan surat gugatan oleh meja II diberikan nomor perkara gugatan sesuai
dengan urutannya dan dibukukan ke dalam buku register gugatan. Berkas
perkara gugatan tersebut dilengkapi dengan formulir penetapan
penunjukan Hakim,
Panitera Pengganti dan hari sidang.
4. Selanjutnya berkas perkara gugatan diteruskan kepada Wakil Panitera untuk
diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera.
5. Setelah Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim melalui penetapannya,
demikian pula Panitera menunjuk panitera pengganti, maka berkas perkara
gugatan tersebut oleh kepaniteran perdata diserahkan kepada hakim yang
ditunjuk untuk ditetapkan hari sidang pertama.
6. Setelah hari sidang ditetapkan, kemudian oleh kepaniteraan perdata (dalam hal
ini jurusita) memanggil penggugat untuk hadir di
persidangan.
7. Pada hari sidang pertama selanjutnya hakim mendamaikan para pihak melalui
mediator. Apabila mediasi untuk berdamai tersebut berhasil maka hakim akan
memberi putusan perdamaian, akan tetapi apabila mediasi tidak berhasil maka
mediator akan menyerahkan para pihak kepada majelis hakim untuk
dilanjutkan pemeriksaan perkaranya hingga putusan akhir.
b. Data hasil wawancara dengan Majelis hakim Pengadilan Negeri
Sukoharjo yang menjadi obyek penelitian.
Pokok bahasan yang menjadi perhatian penulis dalam pengambilan data
ini adalah untuk mengetahui mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo
memutus perkara perdata tidak mempertimbangkan dasar/alasan gugatan
penggugat kesatu mengenai tuntutan pembatalan Akta Notaris No. 6 tentang
Perjanjian Utang-piutang karena alasan formalitas pembuatan akta yang cacat
hukum, maka wawancara dilakukan terhadap Subiharta, SH.M.Hum Hakim
Pengadilan Negeri Medan/Mantan Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo yang
menjadi Ketua Majelis, serta Sapta Diharja, SH.MHum Hakim Pengadilan
Negeri Padang/mantan Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dan Ikhwan
Hendrato, SH.MH Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tobelo/mantan Hakim
Pengadilan Negeri Sukoharjo masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang
memeriksa dan mengadili perkara perdata Nomor Register :
61/Pdt.G/2008/PN.Skh dan diperoleh keterangan atau informasi sebagai
berikut :
1. Subiharta, SH.M.Hum, dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 22
Januari 2010 menyatakan :
- ”Pada dasarnya yang dimaksud dengan akta pengakuan hutang itu harus berisi pernyataan pengakuan utang murni sepihak, besarnya utang yang harus dibayar sudah pasti, dibayar dalam jangka tertentu, besaran bunga, dan tidak boleh ada tambahan persyaratan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR. Akta pengakuan utang itu di dalamnya tidak boleh dicampur dengan ”Perjanjian Utang-piutang”. Mengapa demikian, karena pada dasarnya akta pengakuan utang itu dibuat/timbul setelah ada akta perjanjian kredit/utang-piutang, dengan tujuan apabila debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat langsung minta salinan akta Pengakuan Hutang tersebut dalam bentuk grosse akta yang kepalanya bertitel eksekutorial (berkepala ”Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”), dan dengan grosse akta tersebut kreditur dapat minta kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk dilakukan eksekusi, tanpa harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Sedangkan pada akta notaris yang berisi perjanjian utang-piutang tidak boleh dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse akta yang digunakan untuk memohon eksekusi ke pengadilan negeri, akan tetapi harus diajukan gugatan terlebih dahulu. Dan bila dikeluarkan salinan Akta Perjanjian Utang-piutang selaku perjanjian pokok dalam bentuk grosse, maka hal tersebut menyalahi formalitas pembuatan akta dan akta tersebut menjadi cacat formal”.
- ” Sedangkan perjanjian pokok berupa (perjanjian kredit/perjan- jian utang piutang), di dalamnya dapat dimasukkan atau menyebutkan
pemberian hak tanggungan dan dapat pula tidak menyebutkan adanya pemberian hak tanggungan, karena pemberian hak tanggungan itu sendiri dapat dinilai sebagai bagian dari syarat perjanjian saja yang sejalan dengan perjanjian pokok dan selanjutnya perjanjian pemberian pembebanan hak tanggungan tersebut akan dibuatkan dalam akta khusus untuk itu dengan akta yang dibuat oleh PPAT sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1996. Akan tetapi, akta otentik yang berisi perjanjian kredit selaku perjanjian pokok tidak dapat dimasukkan/tidak dapat dicampuri dengan Pernyataan Pengakuan Hutang dari debitur, dan apabila pernyataan tersebut dimasukkan dalam akta perjanjian kredit maka akta tersebut akan menjadi tidak jelas dan cacat hukum karena bertentangan dengan
maksud dari ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg. Namun demikian perjanjian utang-piutangnya sendiri tetap sah”.
- ”Mengenai kenapa Majelis Hakim tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan penggugat, maka penulis seharusnya bisa membaca sendiri pertimbangan hukum pada putusan nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut dan saya tidak perlu menjawabnya”.
2. Sapta Diharja, SH.Mhum, dalam wawancara dengan penulis pada tanggal
23 Januari 2010 menyatakan :
- ”Yang dimaksud dengan akta pengakuan hutang itu adalah suatu akta notaris yang berisi pernyataan pengakuan utang murni sepihak, besarnya utang yang harus dibayar sudah pasti, dibayar dalam jangka tertentu, besaran bunga, dan tidak boleh ada tambahan persyaratan lain. Sebenarnya akta ini mengikuti perjanjian utang-piutang yang telah dibuat selumnya bersama kreditur. Akta pengakuan utang itu di dalamnya tidak boleh dicampur dengan ”perjanjian utang piutang”, karena sifatnya sudah berbeda. Dan perjanjian utang-piutang demikian pula, didalamnya juga tidak boleh berisi pernyataan pengakuan utang sepihak dari debitur, oleh karenanya pada akta perjanjian yang berisi perjanjian utang-piutang tidak boleh dikeluarkan salinan yang berbentuk grosse akta yang berkepala ”Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan bila terjadi seperti demikian maka akta tersebut menjadi cacat secara formil dan dapat dimintakan pembatalan kepada hakim”.
- ”Mengenai pertimbangan putusan perkara Perdata Register No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, saya selaku anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut sepakat tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan penggugat yang mendalilkan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 telah cacat hukum karena dicampur dengan pernyataan hutang dari debitur, serta akta tersebut dibuat dalam bentuk grosse, walaupun penggugat di persidangan juga telah mengajukan bukti berupa akta nomor 6 bertanda P-1 dan seorang saksi ahli, karena menurut pendapat saya apabila suatu akta notaris tentang perjanjian utang-piutang isinya dicampur dengan pernyataan hutang serta dibuat dalam bentuk grosse maka akta tersebut cacat hukum dan bisa dibatalkan, termasuk perjanjian ikutannya semua. Sedangkan di lain pihak, penggugat selaku debitur dalam perkara a quo telah menerima dan menikmati uang pinjaman dari kreeditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan belum membayar cicilannya sama sekali dan baru membayar bunganya saja. Sehingga apabila dalil pokok gugatan tersebut kami pertimbangkan dan saya harus membatalkan akta perjanjian kredit dalam bukti P-1 tersebut, maka hal tersebut jelas akan merugikan kreditur. Dan menurut pendapat saya, dalam melaksanakan aturan hukum, dalam hal ini ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR, manakala aturan tersebut diterapkan akan menghilangkan rasa keadilan pada pihak lain maka hakim tidak harus menerapkannya aturan itu. Oleh karena itu kami Majelis Hakim bersepakat untuk tidak menerapkan ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR itu”.
3. Ikhwan Hendrato, SH.M.H, dalam wawancara dengan penulis pada
tanggal 23 Januari 2010 menyatakan :
- ”Sepengetahuan saya yang dimaksud dengan akta pengakuan hutang itu adalah suatu akta notaris yang berisi pernyataan pengakuan utang murni sepihak, jumlah utang yang pasti yang harus dibayar, jangka waktu pembayaran, besarnya bunga bila ada, dan tidak boleh ada tambahan persyaratan lain. Akta pengakuan utang itu di dalamnya tidak boleh dicampur dengan ”perjanjian utang piutang”, karena keduanya mempunyai bentuk yang berbeda. Demikian pula pada akta perjanjian utang-piutang, didalamnya juga tidak boleh berisi pernyataan pengakuan utang sepihak dari debitur. Oleh karenanya pada akta perjanjian utang-piutang tidak boleh dikeluarkan salinan yang berbentuk grosse akta yang berkepala ”Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” yang melanggar ketentuan Pasal 224 HIR, karena jumlah utang yang tertulis dalam akta tersebut belum pasti, dan bila terjadi seperti demikian maka akta tersebut menjadi cacat hukum secara formil karena pembuatannya melanggar aturan”.
- ”Pada Akta Perjanjian Kredit/Perjanjian Utang piutang, didalamnya tidak dapat dimasukkan pernyataan pemberian hak tanggungan berupa tanah, karena pemberian hak tanggungan itu sendiri akan dibuatkan dalam akta khusus untuk itu dengan akta yang dibuat oleh PPAT sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No. 4 Tahun 1996. Juga, Akta notaris yang berisi perjanjian kredit tidak dapat dimasukkan/tidak dapat dicampuri dengan Pernyataan Pengakuan Hutang dari debitur, serta tidak dapat dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, dan apabila ada akta notaris berisi pernyataan pengakuan hutang dan berbentuk grosse maka akta tersebut akan menjadi tidak jelas bentuknya dan cacat hukum, karena bertentangan dengan maksud dari ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg”.
- ”Dalam putusan perkara perdata Register No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, saya selaku anggota Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan tersebut tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang mengatakan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 dalam bukti P-1 cacat hukum karena dicampur dengan pernyataan hutang dari debitur dan berbentuk grosse akta, sedangkan penggugat di persidangan juga telah mengajukan bukti akta No. 6 tersebut bertanda P-1 dan mengajukan seorang saksi ahli yang menerangkan bahwa akta nomor 6 tersebut celah cacat formil, karena saya berfikiran bahwa akta tersebut benar telah mengalami cacat hukum dan harus dibatalkan, dan karena akta tersebut merupakan perjanjian pokok maka apabila akta itu dibatalkan akan mengakibatkan batalnya seluruh akta ikutannya. Dan bila hal itu terjadi maka tergugat selaku kreditur akan kehilangan hak tanggungan yang dijaminkan kepadanya. Sedangkan debitur sendiri telah menerima dan menikmati uang pinjaman dari kreeditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan uang tersebut oleh debitur tidak diperhitungkan dalam gugatan.Sehingga apabila dalil gugatan pembatalan atas dasar formalitas bentuk akta tersebut saya pertimbangkan pasti akan bermuara pada batalnya perjanjian kredit itu sendiri, maka hal tersebut
jelas akan merugikan pihak kreditur, dan menurut pendapat saya dalam menegakkan hukum, ketika peraturan hukum, dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR, diterapkan akan tetapi tidak menunjukkan rasa keadilan dan tidak sesuai dengan hati nurani hakim, maka peraturan itu dapat dilanggar demi tercapainya keadilan substansi yang hakiki. Jadi pada prinsipnya, saya berpendapat bahwa dalam menegakkan hukum yang berkaitan dengan keabsahan formalitas akta notaris melalui putusan pengadilan ini hakim harus lebih mementingkan keadilan substansi dan perlingungan hukum kepada kreditur. Oleh karenanya maka saya tidak menerapkan ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR tersebut”.
c. Data hasil wawancara dengan para Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo
yang lain sebagai salah satu Pengambil Keputusan dalam sengketa
perkara perdata121.
Sebagai pembanding, penulis mengambil data dari beberapa hakim
yang bertugas di Pengadilan Negeri Sukoharjo sebagai responden, untuk
mengetahui pandangan mereka terhadap akta notaris yang berisi perjanjian
kredit selaku perjanjian pokok yang di dalamnya disisipkan pernyataan
pengakuan hutang dari debitur, serta bagaimana mereka bersikap apabila
memeriksa gugatan pembatalan terhadap akta notaris yang bentuknya seperti
demikian. Dari pertanyaan yang diajukan kepada para responden tersebut
telah diperoleh data sebagai berikut :
1. Binsar Siregar, SH.MHum. – Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut :
- ”Bahwa Pengakuan Hutang dan Perjanjian Utang-piutang keduanya merupakan istilah dalam hukum bisnis yang sudah dikenal sejak lama. Pengakuan Hutang adalah merupakan pernyataan pengakuan hutang yang dinyatakan sepihak oleh debitur saja tentang utang/kewajibannya kepada debitur, tanpa diembel-embeli dengan syarat-syarat lain, sehingga akta notaris yang memuat pengakuan hutang tersebut harus murni pernyataan dari debitur saja. Sedangkan Perjanjian Utang-piutang adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur tentang pinjaman serta syarat-syarat pelunasan utang, bunga, dal lain-lain. Perjanjian Utang-piutang ini merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dikeluarkannya grosse akta pengakuan utang maupun grosse akta hypotek atau sertifikat hak tanggungan”.
- ”Bahwa apabila suatu akta pengakuan hutang didalamnya dicantumkan syarat-syarat atau perjanjian kredit antara debitur dengan kreditur, maka pencantuman tersebut menghilangkan kemurnian akta pengakuan hutang tersebut dan sebagai konsekuensinya akta tersebut akan kehilangan
121 Wawancara dengan Ketua/Hakim-hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tanggal 01 Pebruari 2010 di
Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo.
kekuatan eksekutorialnya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 224 HIR”.
- ”Bahwa perjanjian pemberian Hak tanggungan dapat dicantumkan di dalam Akta Perjanjian Kredit yang dibuat oleh notaris (akta otentik), namun apabila perjanjian kredit/utang-piutang tersebut berupa perjanjian dibawah tangan maka pemberian hak tanggungan tersebut harus terpisah dan harus dibuat dengan akta notaris, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1171 BW jo PP No.10 Tahun 1961”.
- ”Bahwa saya berpendapat apabila suatu akta notaris berisi campuran antara perjanjian kredit, pengakuan hutang dan perjanjian pemberian hak tanggungan dengan jaminan berupa tanah, maka pencampuran tersebut mengakibatkan akta itu cacat dan tidak ada kepastian hukumnya, serta grosse akta yang bertitel eksekutorial pada akta tersebut kehilangan kekuatan eksekutorialnya. Namun demikian sifat perjanjian utang-piutangnya tetap sah berlaku sebagai perjanjian pokok, sedangkan pengakuan hutangnya berifat tambahan, sehingga apabila debitur wanprestasi maka untuk pelaksanaan perjanjiannya adalah melalui gugatan di pengadilan”.
- ”Bahwa saya berpendapat, sebagai hakim apabila ada perkara gugatan yang menuntut pembatalan akta yang berisi beberapa perbuatan hukum yang campur aduk dalam satu akta seperti tersebut di atas, saya tetap akan mempertimbangkannya dalam putusan, karena walaupun akta tersebut cacat, akan tetapi menurut pendapat saya perjanjian pokoknya berupa perjanjian kredit tetap sah berlaku”.
2. Asminah, SH,. – Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, menjelaskan sebagai
berikut :
- ”Bahwa menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan Pengakuan Hutang adalah sebuah surat berbentuk akta notaris yang dibuat oleh Debitur Perorangan/Badan Hukum, dirumuskan dengan kata-kata sederhana, yang isinya mengaku telah berhutang uang dengan jumlah tertentu kepada seorang kreditur, dan berjanji akan mengembalikannya dalam waktu tertentu disertai bunga, dan tidak dapat ditambah dengan pernyataan-pernyataan lain, dasarnya adalah Pasal 224 HIR/258 Rbg. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian utang-piutang adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yakni kreditur dengan debitur, dan apabila perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris maka di dalamnya boleh saja dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang obyeknya berupa tanah. Pemberian hak tanggungan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU No. 4 Tahun 1996, harus didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu”.
- ”Bahwa sebuah akta notaris yang berisi perjanjian kredit tidak dapat dicampur dengan pengakuan hutang, karena kedua perbuatan tersebut harus dalam akta notaris tersendiri, atau harus dibuat dalam dua akta yang masing-masing berisi perbuatan hukum tersendiri. Namun, apabila ada suatu akta notaris yang berisi perjanjian kredit atau utang-piutang, yang didalamnya ditambah dengan pernyataan pengakuan hutang dari debiturnya atas uang dengan jumlah tertentu kemdudian dikeluarkan
salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal, karena perjanjian tersebut telah dibuat memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata”.
- ”Menurut pendapat saya, apabila saya memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris yang berisi campuran dengan pernyataan hutang didalamnya, maka wajib mempertimbangkan seluruh materi atau alasan yang ada dalam gugatan tersebut, alasannya karena berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat 2 HIR telah ditentukan bahwa hakim wajib memberikan putusan terhadap semua bagian dari tuntutan, sedangkan ketentuan hukum acara merupakan tuntunan mutlak yang harus diikuti dan tidak bisa disimpangi oleh hakim dalam beracara di persidangan”.
3. Dwi Yanto, SH.M.Hum., – Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut :
- ”Bahwa menurut pendapat saya, akta pengakuan hutang itu merupakan akta otentik yang berisi pengakuan sepihak oleh debitur saja dan besarnya hutang sudah pasti, dimana yang bersangkutan mengaku berhutang sejumlah uang tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu; jadi dalam akta pengakuan hutang tidak boleh dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditanda tangani oleh dua pihak (debitur dan kreditur), dasarnya adalah Pasal 224 HIR”.
- ”Bahwa menurut pendapat saya, akta perjanjian hutang-piutang atau perjanjian kredit boleh saja didalamnya dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang obyeknya berupa tanah, karena perjanjian pemberian hak tanggungan itu harus didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutangnya, dan janji pemberian hak tanggungan tersebut dituangkan didalam perjanjian kredit dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan perjanjian pokok utang-piutang itu sendir (berdasar pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan)”.
- ”Menurut pendapat saya, apabila suatu akta notaris berisi Perjanjian Kredit/Utang-piutang, Pengakuan hutang, serta Penjaminan barang berupa tanah, maka akta tersebut cacat hukum, karena masing-masing perbuatan hukum tersebut seharusnya dibuat satu per satu akta dan tidak boleh dicampur dalam satu akta notaris (vide : ketentuan tentang Akta Pengakuan Hutang dalam Pasal 224 HIR, dan ketentuan tentang Penjaminan dalam Pasal 10 ayat (1), (2) UU No. 4 Tahun 1996). Namun, apabila suatu akta notaris berisi perjanjian kredit/utang-piutang, yang didalamnya ditambah dengan pernyataan pengakuan hutang dari debiturnya, serta perjanjian penjaminan berupa tanah, kemdudian dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal, karena perjanjian tersebut telah dibuat memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata”.
- ”Bahwa apabila saya memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris yang berisi campuran dengan pernyataan hutang didalamnya, maka menurut pendapat saya, maka saya harus mempertimbangkan seluruh materi atau alasan yang ada
dalam gugatan tersebut, walaupun dalil gugatan tersebut hanya mengenai formalitas cara pembuatan akta, alasannya karena berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat 2 HIR hakim harus mempertimbangkan seluruh bagian gugatan. Dimana ketentuan hukum acara seperti ketentuan tentang penerapan pembuktian adalah tidak dapat disimpangi. Sebaliknya bila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair dan tidak adil”.
4. M. Ikhsan Fathoni, SH.MH., Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut :
- ”Menurut pendapat saya, akta pengakuan hutang itu suatu akta yang berisi pengakuan sepihak oleh debitur saja dan besarnya hutang sudah pasti, dan bentuknya sederhana sekali dan tidak boleh dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditanda tangani oleh
dua pihak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR”. - ”Bahwa menurut pendapat saya, akta perjanjian hutang-piutang atau
perjanjian kredit boleh saja didalamnya dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang obyeknya berupa tanah, karena sifat dari perjanjian atau perikatan itu adalah terbuka sesuai dengan kehendak para pihak”.
- ”Menurut pendapat saya, apabila suatu akta notaris berisi Perjanjian Kredit/Utang-piutang, Pengakuan hutang, serta Penjaminan barang berupa tanah, maka akta tersebut tidak menjadikannya perjanjian kredit/utang-piutang cacat hukum, karena perjanjian kredit/utang-piutang itu adalah sebagai perjanjian pokok, sedangkan pernyataan pengakuan hutang maupun perjanjian penjaminan barang berupa tanah itu adalah hanya sebagai perjanjian asessoirnya saja”.
- ”Bahwa apabila saya memeriksa dan mengadili gugatan pemba-talan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris yang berisi campuran dengan pernyataan hutang didalamnya, maka menurut pendapat saya, saya wajib mempertimbangkan seluruh bagian gugatan, yang dalam hal ini masalah formalitas pembuatan akta oleh notaris tersebut, karena saya ingin mencari keadilan dan kepastian hukum atas sengketa hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak yang berperkara. Apabila tidak mempertimbangkan semua dalil gugatan maka putusan tersebut tidak tepat, karena ketentuan hukum acara seperti ketentuan tentang penerapan pembuktian tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Sebaliknya bila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair”.
5. Sunaryanto, SH., Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo, menjelaskan sebagai
berikut :
- ”Bahwa yang dimaksud dengan Akta Pengakuan Hutang adalah sebuah surat yang dibuat dihadapan notaris yang berisi pernyataan dari debitur yang mengaku berhutang uang sejumlah tertentu, dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, dan dasar dari aurat pengakuan hutang adalah Pasal 224 HIR/258 Rbg”.
- ”Menurut pendapat saya, di dalam akta perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang dibuat notaris boleh saja dimasukkan
Pernyataan Pengakuan hutang dan perjanjian hak tanggungan berobyek tanah, karena pemberian hak tanggungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian utang-piutang yang bersangkutan, dan selanjutnya pemberian hak tanggungan tersebut dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan di depan PPAT. Sebagai dasar pendapat saya adalah Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 4 tahun 1996”.
- ”Apabila ada suatu akta notaris Perjanjian Utang-piutang yang didalamnya berisi pula pernyataan pengakuan hutang dan penjaminan berupa tanah, atau isi akta tersebut beberapa macam perbuatan hukum, maka saya berpendapat akta tersebut tidak cacat hukum, karena hukum perjanjian itu menganut azas kebebasan berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dan apabila akta perjanjian yang demikian dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian utang-piutang/perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal, asalkan dalam perjanjian tersebut telah terpenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 1320 KUHPerdata”.
- ”Mengenai pertimbangan hukum, saya berpendapat bahwa dalam memeriksa perkara perdata gugatan hakim wajib mempertimbangkan alasan gugatan adanya cacat hukum mengenai formalitas pembuatan akta secara jelas dan terperinci, karena hal tersebut merupakan dalil pokok (posita) gugatan yang berkaitan dengan petitum gugatan tersebut. Kewajiban mempertimbangkan semua bagian gugatan ini adalah berdasarkan amanat yang diberikan oleh ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR. Apabila ada putusan yang tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan maka putusan tersebut adalah tidak tepat, karena ketentuan hukum formil seperti hukum acara, ketentuan penerapan pembuktian dan penjatuhan putusannya tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Apabila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair dan tidak adil, sedangkan ketentuan hukum materiil baik perkara pidana maupun perdata dapat disimpangi dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat”.
5. Berlinda Ursula mayor, SH., Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut :
- ”Menurut pendapat saya, ketentuan mengenai Pengakuan Hutang ini diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieter Ordonantie, Stb. 1938-523). Menurut ketentuan ordonasi tersebut, notaris dilarang membuat akta pengakuan hutang dan mengeluarkan drosse aktanya dari perjanjian hutang piutang dengan seorang pelepas uang (kreditur)”.
- ”Sedangkan Pasal 224 HIR/258 Rbg adalah mengatur mengenai Grosse Akta Pengakuan Hutang, dan Pasal tersebut memberi definisi akta Pengakuan Hutang yang dapat dikeluarkan grossenya, yaitu berupa adalah sebuah akta yang dibuat oleh notaris yang berisi pengakuan utang dari pribadi orang biasa atau Badan Hukum, dengan kata-kata sederhana mengaku berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan
mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan dan jumlah utangnya sudah pasti”.
- ”Di dalam suatu Akta notaris tentang Perjanjian Utang-piutang/perjanjia kredit boleh dimasukkan perjanjian pemberian hak tanggungan yang berobyek tanah, karena setiap pemberian Hak tanggungan selalu dibuat menajdi satu kesatuan dengan Perjanjian Kredit (perjanjian utang-piutang), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 4 tahun 2006”.
- ”Apabila ada satu akta notaris dibuat dalam bentuk grosse akta, dan berisi 3 (tiga) macam perbuatan hukum, yakni Perjanjian Utang Piutang, Pernyataan Pengakuan Hutang dan penjaminan barang berupa tanah, maka menurut pendapat saya akta notaris tersebut cacat hukum dari segi formalitas pembuatannya. Hal tersebut karena yang boleh dikeluarkan salinan dalam bentuk Grosse akta sebagaiumana diatur dalam Pasal 224 HIR hanyalah akta Pernyataan pengakuan hutang, sedangkan pada akta pernyataan pengakuan hutang itu sendiri tidak boleh ditambah dengan persyaratan-persyaratan lain, apalagi ditambah dengan perjanjian, maka bentuk akta campuran yang demikian adalah cacat hukum”.
- ”Apabila saya dihadapkan untuk memeriksa perkara gugatan atau tuntutan pembatalan atas suatu akta notaris yang berisi campuran seperti tersebut diatas, maka menurut pendapat saya hakim tidak ada kewajiban untuk mempertimbangkan posita gugatan tersebut (boleh mempertimbangkan dan boleh tidak mempertimbangkan), dan alasan saya ialah apabila hakim tersebut memutus dengan niat untuk mencari keadilan yang hakiki bagi kedua belah pihak, dan dalam benaknya ada pikiran bahwa apabila memeriksa formalitas pembuatan aktanya justru akan merugikan si kreditur karena akta tersebut cacat hukum, maka sebaiknya hakim tidak perlu mempertimbangkan dalil posita gugatan tersebut. Akan tetapi bisa juga mempertimbangkan posita tersebut, namun hakim cukup mempertimbangkan bahwa tidak dibenarkan penggabungan antara Pengakuan Hutang dengan Perjanjian Utang-piutang dalam sebuah akta saja, dan tidak perlu menyatakan bahwa akta perjanjian tersebut batal, karena penggugat pada waktu akta tersebut dibuat telah menyetujuinya”.
5. Etik Purwaningsih, SH.MH, Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo,
menjelaskan sebagai berikut :
- ”Menurut pendapat saya, bentuk akta pengakuan hutang itu bebas, tidak harus dibuat dalam bentuk akta pernyataan hutang sepihak, akan tetapi dapat pula dalam bentuk akta perjanjian kredit/utang piutang yang didalamnya diisi dengan pernyataan dari debitur bahwa dia telah berhutang uang kepada kreditur sejumlah tertentu. Demikian pula, perjanjian pemberian hak tanggungan boleh saja dimasukkan jadi satu ke dalam akta perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit, sebab hak tanggungan itu ada karena adanya perjanjian utang-piutang tersebut. Ada kebebasan bentuk akta tersebut karena kedua belah pihak bebas untuk menentukan isi maupun bentuk perjanjian. Hal ini karena Buku III
KUHPerdata bersifat terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata”.
- ”Apabila ada satu akta notaris dibuat dalam bentuk grosse akta, dan berisi 3 (tiga) macam perbuatan hukum, yakni Perjanjian Utang Piutang, Pernyataan Pengakuan hutang dan penjaminan barang berupa tanah, maka menurut pendapat saya akta notaris tersebut tidak cacat dan tidak batal, karena grosse akta itu dibuat akibat dari adanya perjanjian kredit yang tidak dilaksanakan oleh debitur, oleh karenanya bila perjanjian kredit tersebut diingkari maka perjanjian kredit yang berbentuk campuran tersebut boleh dikeluarkan salinannya dalam bentuk grosse akta”.
- ”Apabila saya dihadapkan untuk memeriksa perkara gugatan atau tuntutan pembatalan akta notaris yang berisi campuran seperti tersebut diatas, maka menurut pendapat saya, hakim harus mempertimbangkan terlebih dahulu gugatan pokok tentang formalitas akta tersebut, setelah itu baru mempertimbangkan dalil gugatan berikutnya yakni materi perjanjiannya. Mengapa saya berpendapat demikian dalam memeriksa gugatan, karena saya selalu berniat ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas kasus perkara tangani. Apabila tidak mempertimbangkan dalil pokok gugatan maka putusan tersebut tidak tepat, karena ketentuan hukum acara seperti ketentuan tentang penerapan pembuktian tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Sebaliknya bila ketentuan hukum acara disimpangi justru akan terjadi sikap yang tidak fair dan tidak adil”.
Selain mengambil data melalui pertanyaan-pertanyaan kepada para Hakim
Pengadilan Negeri Sukoharjo yang pernah memeriksa perkara tuntutan pembatalan
Akta notaris yang berisi perjanjian kredit selaku perjanjian pokok yang isinya
dicampuri dengan Pernyataan Pengakuan Hutang dari debitur, serta hakim-hakim
lainnya yang bertugas di Pengadilan Negeri Sukoharjo, penulis juga mengambil
data dari beberapa notaris dan beberapa Advokat/Pengacara yang berpraktek
hukum di Pengadilan Negeri Sukoharjo, yang dijadikan responden untuk
mengetahui pendapat mereka atas kasus tersebut di atas.
Dari pertanyaan yang diajukan kepada para responden diperoleh data sebagai
berikut :
a. Responden dari Para Notaris/PPAT :
1. Responden AMALIA ZURIA, SH.
Responden sebagai Notaris/PPAT, berkantor di Jl. Gatot Subroto Nomor 19 Sukoharjo. Penulis melakukan wawancara dengan responden di kantornya pada tanggal 23 Januari 2010. Responden mengatakan bahwa Pengakuan Utang (pernyataan pengakuan utang) itu adalah pernyataan dibuat oleh pihak debitur yang isinya menyatakan bahwa dirinya telah menerima uang pinjaman dari seseorang kreditur, sedangkan Perjanjian Utang-piutang itu dibuat oleh dua pihak dimana didalamnya ada pula
pernyataan dari pihak debitur bahwa dia telah menerima uang pinjaman dari kreditur. Antara keduanya ada perbedaan mengenai subyeknya akan tetapi esensi dari Pengakuan Utang adalah sama dengan Perjanjian Utang-piutang. Mengenai penjaminan tanah yang dicampur dengan perjanjian pokok (Perjanjian Utang-piutang) dan digabung dalam satu akta notaris, responden berpendapat bahwa hal tersebut boleh dilakukan dan tidak menjadikan akta notaris tersebut menjadi cacat hukum, karena pada perjanjian pokoknya sendiri sudah memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kemudian mengenai Grosse Akta, responden berpendapat bahwa grosse akta (Salinan akta bertitel eksekutorial) itu bisa dibuat atau dikeluarkan pada Perjanjian Utang-piutang/perjanjian kredit, dan tidak hanya harus dibuat atau diberikan pada Akta Pengakuan Utang sepihak saja, karena pada prinsipnya pengakuan itu adalah bagian dari perjanjian utang piutang. Oleh karenanya, Grosse yang dibuat dari akta notaris yang berisikan campuran antara perjanjian pokok, pemberian hak tanggungan dan pengakuan utang tidak membuat akta tersebut cacat hukum, dan perjanjian yang ada dalam akta tersebut tetap sah. Responden menerangkan bahwa dalam praktek yang terjadi memang sudah menjadi kebiasaan bahwa pihak kreditur dalam perjanjian kredit baik bank maupun perorangan sering meminta dibuatkan akta perjanjian yang berisikan perjanjian pokok utang-piutang dan pengakuan debitur telah menerima utang dari kreditur dalam jumlah tertentu, serta pemberian jaminan berupa tanah atau barang-barang lainnya.
2. Responden MURTINI, SH.
Responden sebagai Notaris/PPAT, berkantor di Jl. Jend. Sudirman No. 193 Sukoharjo. Penulis melakukan wawancara dengan responden di kantornya pada tanggal 23 Januari 2010. Responden mengatakan bahwa Akta Pengakuan Utang itu tidak harus dibuat oleh satu pihak saja yaitu pihak debitur, akan tetapi bisa dibuat dalam bentuk perjanjian Utang Piutang yang dibuat oleh dua pihak yakni kreditur dan debitur yang dituangkan dalam satu akta otentik. Bahkan kalau pengakuan utang itu hanya dibuat oleh satu pihak saja akan berbahanya bagi krediturnya, karena suatu ketika debitur dapat saja mencabut pernyataannya itu secara sepihak pula. Perjanjian pemberian hak tanggungan yang berobyek tanah, menurut responden dapat pula digabung dengan pengakuan utang serta perjanjian utang-piutang yang dikemas dalam satu akta otentik yang dibuat oleh notaris. Hanya saja, perjanjian hak tanggungan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat digunakan untuk mendaftarkan hak tanggungan tersebut ke Kantor BPN, juga tidak dapat digunakan untuk menjual lelang obyeknya, karena perjanjian pemberian hak tanggungan tersebut harus dibuat dihadapan PPAT, akan tetapi dengan dicampurnya perjanjian pemberian hak tanggungan ataupun pernyataan pengakuan utang dari debitur tersebut dalam satu akta tidak membatalkan perjanjian kredit selaku perjanjian pokoknya serta tidak membatalkan keabsahan akta notaris itu sendiri.
Responden juga mengatakan bahwa dari pelaku bisnis, yakni Bank Tabungan Negara Sukoharjo dalam memberikan kredit kepada nasabahnya selalu minta kepada responden untuk membuatkan akta pengakuan hutang sepihak dari debitur dalam bentuk akta otentik yang terpisah dari surat perjanjian kreditnya, dan perjanjian kreditnya sendiri oleh BTN Sukoharjo dibuat secara dibawah tangan dengan nasabah/debiturnya. Sedangkan untuk Bank-bank lainnya di Sukoharjo sudah biasa minta dibuatkan perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik yang didalamnya disisipkan pula pernyataan pengakuan hutang dari pihak debitur. Sedangkan mengenai grosse akta, responden berpendapat bahwa yang boleh dikeluarkan salinan akta otentik yang berbentuk grosse (akta yang bertitel eksekutorial) hanyalah akta yang murni berisi pengakuan utang saja. Dan apabila akta otentik tersebut berisi campuran antara pengakuan utang dan perjanjian kredit serta perjanjian pemberian hak tanggungan, kemudian salinannya dikeluarkan dalam bentuk grosse, maka salinannya itu cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, akan tetapi perjanjian pokok yakni perjanjian kreditnya sendiri tetap sah dan mengikat karena telah memenuhi syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
3. Responden KARTINI, SH.
Responden sebagai Notaris/PPAT, berkantor di Jl. Raya Telukan Nomor 58 Sukoharjo. Penulis melakukan wawancara dengan responden di kantornya pada tanggal 23 Januari 2010. Responden mengatakan bahwa Akta Pengakuan Utang itu tidak harus dibuat oleh satu pihak saja yaitu pihak debitur, akan tetapi bisa dibuat dalam bentuk perjanjian Utang Piutang yang dibuat oleh dua pihak yakni kreditur dan debitur yang dituangkan dalam satu akta otentik. Responden menerangkan bahwa dirinya selama menjadi notaris tidak pernah membuat Akta Pengakuan Hutang yang dibuat secara sepihak, karena khawatir akan bermasalah, karena apabila pengakuan hanya dibuat secara sepihak maka di kemudian hari debitur bisa saja mencabutnya secara sepihak tanpa persetujuan dari kreditur. Sepengetahuan responden, kebiasaan yang dilakukan oleh para notaris di Sukoharjo dalam membuat akta perjanjian kredit/utang-piutang selalu mengikuti kemauan para pihak yang akan membuat akta, dimana para kreditur lebih senang menggabungkan perjanjian kredit dengan pernyatan pengakuan hutang dari debitur, serta perjanjian pemberian jaminan baik berupa tanah maupun selain tanah ke dalam satu akta otentik. Hal tersebut tidak menjadikan cacatnya akta otentik tersebut, karena tidak ada aturan yang melarang dalam pembuatan akta seperti itu. Kemudian mengenai grosse akta, responden berpendapat bahwa grosse akta tidak harus hanya dibuat dalam salinan atas akta otentik/akta notaris yang berisikan pernyataan pengakuan utang saja, akan tetapi pada akta yang berisi perjanjian kredit salinan pertamanya juga boleh dibuat dalam bentuk grosse. Oleh karenanya salinan akta perjanjian kredit yang dikeluarkan dalam bentuk grosse tidaklah menjadikan akta notaris tersebut cacat hukum.
b. Responden dari Para Advokat/Pengacara122.
1. Putut Kuntadi, SH.
Responden mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akta Pengakuan Hutang itu adalah suatu akta yang berisi pengakuan hutang sepihak oleh debitur saja dan besarnya hutang sudah pasti, dan bentuknya sederhana sekali dan tidak boleh dibuat dalam bentuk perjanjian yang ditanda tangani oleh dua pihak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR.
Apabila ada salinan akta notaris dari akta yang berisi 3 (tiga) macam perbuatan hukum, yakni Perjanjian Utang Piutang, Pernyataan Pengakuan Hutang dan penjaminan barang berupa tanah, dibuat dalam bentuk grosse akta maka menurut pendapat Responden akta notaris tersebut cacat hukum dari segi formalitas pembuatannya. Mengapa demikian, karena grosse itu hanya boleh dibuat atas suatu akta pengakuan hutang saja yang dibuat secara sepihak oleh debitur, dan tidak boleh dibuat atas akta yang berisi perjanjian kredit/utang piutang. Dimana dalam akta Pengakuan Hutang sendiri itu tidak boleh dicampur dengan syarat-syarat apapun, oleh karenanya apabila kedua hal tersebut digabung akan menyebabkan akta perjanjian tersebut menjadi cacat dan batal. Mengenai pertimbangan putusan, responden mengatakan bahwa hakim yang tidak mempertimbangkan dalil gugatan baik dalil gugatan pokok maupun bagian-bagiannya adalah menyalahi aturan dalam hukum acara, yang mengakibatkan rasa tidak puas bagi pencari keadilan.
2. Sugiyono, SH.
Responden mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Akta Pengakuan Hutang adalah surat yang dibuat dihadapan notaris yang berisi pernyataan dari debitur yang mengaku berhutang uang sejumlah tertentu, dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 224 HIR/258 Rbg.
Menurut pendapat Responden, di dalam akta perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang dibuat notaris boleh saja dimasukkan Pernyataan Pengakuan hutang dan perjanjian hak tanggungan berobyek tanah, dengan syarat jumlah utang uang yang dinyatakan tersebut sama dengan jumlah utang yang yang diperjanjikan dalam Akta Perjanjian Kredit tersebut, dan bukan utang yang lain. Sedangkan perjanjian pemberian hak tanggungan berupa tanah juga boleh dimasukkan dalam akta tersebut, karena pemberian jaminan adalah sejalan dengan adanya perjanjian kredit itu sendiri.
Mengenai salinan akta yang dibuat dalam bentuk grosse, responden berpendapat bahwa grosse akta itu boleh saja dibuat dari perjanjian kredit/utang-piutang yang didalamnya tercantum pernyataan pengakuan hutang, dan hal tersebut tidak mengakibatkan salinan akta tersebut menjadi batal atau cacat. Sedangkan mengenai pertimbangan dalam putusan hakim
122 Wawancara dengan advokat/Pengacara Putut Kuntadi, SH., Sugiyono, SH., Sri Lestari Yuliana, SH.,
Sutarto, SH.M.Hum., Wijoyanto, SH., Andar Nugroho, SH., dan Kurniawan Adibroto, SH., Tanggal 27 Januari 2010 di Kantor Pengadilan Negeri Sukoharjo.
yang tidak mempertimbangkan pokok atau bagian dari posita gugatan, responden berpendapat bahwa pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan yang tidak sempurna karena tidak menyentuh pokok perkara dan dapat mencederai rasa keadilan bagi pencari keadilan, dalam hal ini penggugat.
3. Sri Lestari Yuliana, SH.
Responden melalui wawancara mengatakan bahwa yang dimaksud akta Pengakuan Hutang ialah suatu akta notaris yang berisi pernyataan sepihak secara sederhana yang mengatakan benar bahwa dirinya telah memupnayi utang sejumlah tertentu uang dari seseorang kreditur, bunga yang harus dibayar serta batas waktu kapan dia harus membayar utang tersebut kepada krediturnya. Akta pengakuan hutang tersebut tidak boleh dicampur tidak boleh ada syarat-syarat lain dalam bentuk perjanjian utang-piutang.
Demikian pula sebaliknya, dalam suatu perjanjian yang dituangkan oleh akta notaris tidak boleh isinya dicampur dengan pernyataan Pengakuan Hutang, dan sebagai konsekuensinya apabila suatu akta perjanjian kredit/utang-piutang didalamnya dicampur/dimasukkan dengan pernyataan pengakuan hutang maka akta notaris / akta perjanjian kredit tersebut cacat hukum yang dapat
dibatalkan oleh hakim. Responden berpendapat selaku advokad yang tugasnya membantu
kepentingan klien, maka apabila ada tuntutan/gugatan pembatalan Salinan akta perjanjian Utang-piutang yang dibuat notaris karena masalah formalitas pembuatan akta seharusnya hakim mempertimbangkan seluruh posita atau dasar gugatan tersebut agar responden merasa diperlakukan adil. Terlepas dasar gugatan tersebut diterima dan dikabulkan atau tidak oleh majelis hakim,dan apabila dasar gugatan atau tuntutan pembatalah tersebut dipertimbangkan maka hakim akan kelihatan fair, karena yang membutuhkan keadilan tidak hanya pihak tergugat selaku kreditur saja, akan tetapi penggugat mengajukan gugatan itu harus diperlakukan secara adil dan fair juga.
4. Sutarto, SH.M.Hum.
Responden melalui wawancara mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akta Pengakuan Hutang itu adalah suatu akta yang berisi pernyataan pengakuan sepihak oleh debitur dan besarnya hutang sudah pasti, serta bentuknya sederhana sekali, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR.
Demikian pula sebaliknya, dalam suatu perjanjian kredit dituangkan dalam akta notaris maka tidak boleh isinya dicampur dengan pernyataan Pengakuan Hutang, karena pada pokoknya Pengakuan Hutang itu harus dibuat secara sepihak saja dan bukan dibuat oleh dua pihak seperti surat perjanjian. Dan menurut pendapat responden apabila ada perjanjian kredit/pernajian utang-piutang yang didalamnya ditambahkan adanya pernyataan pengakuan hutang oleh debitur maka hal itu tidak membatalkan perjanjian utang-piutang/perjanjian kreditnya itu sendiri, asalkan bila dikembalikan pada syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
dan bila ternyata tidak melanggar maka perjanjiannya tetap sah dan aktanya tidak cacat hukum.
Bahwa mengenai pemeriksaan oleh hakim atas tuntutan pembatalan Salinan Akta perjanjian Utang-piutang yang dibuat berbentuk grosse akta, responden berpendapat bahwa hakim harus memeriksa seluruh bagian dari posita gugatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 178 HIR. Hal tersebut karena hakim bertugas memberikan keadilan bagi pencari keadilan, dalam hal ini penggugat.
5. Wijoyanto, SH.
Responden pada saat wawancara dengan penulis mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akta Pengakuan Hutang itu adalah suatu akta Notaris yang berisi pernyataan pengakuan hutang sepihak oleh debitur dan besarnya hutang sudah pasti, serta bentuknya sederhana sekali, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR.
Apabila ada suatu akta notaris Perjanjian Utang-piutang yang didalamnya berisi pula pernyataan pengakuan hutang dan penjaminan berupa tanah, atau akta tersebut berisi beberapa macam perbuatan hukum, maka Responden berpendapat bahwa akta tersebut tidak cacat hukum, karena hukum perjanjian itu menganut azas kebebasan berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dan apabila akta perjanjian yang demikian dikeluarkan salinan dalam bentuk grosse, maka perjanjian utang-piutang/perjanjian kreditnya selaku perjanjian pokok tidak batal dan salinan aktanya walaupun dalam bentuk grosse juga tidak menjadi batal.
Responden berpendapat bahwa hakim dalam memutus perkara gugatan harus mempertimbangkan semua bagian dasar dan tuntutan dalam gugatan, apabila ketentuan hukum acara tersebut dilanggar yang terjadi adalah ketidak-adilan.
6. Andar Nugroho, SH.
Responden adalah seorang advokat berkantor di Klaten. Melalui wawancara dengan penulis, Responden mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Akta Pengakuan Hutang adalah surat yang dibuat dihadapan notaris yang berisi pernyataan dari debitur yang mengaku berhutang uang sejumlah tertentu, dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 224 HIR/258 Rbg.
Di dalam suatu perjanjian yang dituangkan oleh akta notaris tidak boleh isinya dicampur dengan pernyataan Pengakuan Hutang, dan sebagai konsekuensinya apabila suatu akta perjanjian kredit/utang-piutang didalamnya dicampur/dimasukkan dengan pernyataan pengakuan hutang maka akta notaris/akta perjanjian kredit tersebut cacat hukum yang dapat dibatalkan oleh hakim.
Responden berpendapat, bahwa hakim apabila diajukan perkara tuntutan pembatalan Akta notaris yang cacat hukum karena berbentuk grosse, baik yang diajukan sebagai tuntutan pokok atau bagian dari tuntutan seharusnya mempertimbangkan dasar/posita tersebut beserta bukti-bukti yang diajukan ke persidangan, agar hasilnya dapat diketahui apakah salinan
akta tersebut valid atau tidak, sehingga rasa keadilan bagi penggugat selaku pencari keadilan dari masyarakat akan terpenuhi.
Responden mengatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan gugatan perdata harus memeriksa dan mempertimbangkan semua dasar dan tuntutan gugatan, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 178 HIR, dan bila hal tersebut dilanggar maka yang terjadi justru ketidak adilan khususnya bagi penggugat.
6. Kurniawan Adibroto, SH.
Responden adalah advokat/pengacara yang pernah mewaliki Drs. Joko Bekti Haryono, penggugat dalam perkara perdata No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh. Responden pada saat wawancara dengan penulis menerangkan bahwa dalam perkara tersebut klien responden benar-benar mencari keadilan, karena sebagai pihak yang lemah merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh tergugat atas pelaksanaan perjanjian utang-piutang yang dituangkan dalam akta notaris No. 6 dalam perkara tersebut, karenanya dalam kesepakatan lisan yang telah terjadi sebelum kesepakatan itu dibawa dan dicatatkan dalam akta disepakati bahwa dalam utang piutang tersebut penggugat selaku debitur tidak akan dikenakan bunga, akan tetapi dalam pelaksanaannya setelah akta tersebut dibuat ternyata dikenakan bunga serta dikenai denda pula atas keterlambatan pembayaran angsurannya.
Responden menerangkan bahwa kliennya, yakni penggugat bernama Drs. Joko Bekti Haryono M.Pd, selain bekerja sebagai dosen juga mempunyai usaha/bisnis. Dan dalam rangka mengembangkan usahanya itu penggugat memerlukan modal usaha yang cukup, yakni Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Untuk mencari pinjaman dana tersebut penggugat memilih pinjam kepada kreditur perorangan karena prosesnya cepat cukup menyerahkan jaminan berupa sertifikat tanah dan datang ke notaris untuk menandatangani perjanjian saja. Dalam perjanjian tersebut telah disepakati tanpa harus membayar bunga dan denda bila ada keterlambatan pembayaran utang. Dan dalam perjalanannya ternyata penggugat dipaksa untuk membayar bunga serta karena ada sesuatu hal maka penggugat tidak dapat membayar utangnya tetap waktu sampai mundur selama 2 tahun, lalu penggugat mengenakan denda dengan jumlah yang sangat besar. Sedangkan pengggugat terlambat membayar tersebut karena usaha bisnisnya gagal, dan karena tanah dan rumah yang dijaminkan penggugat merupakan harta satu-satunya maka ketika akan dijual lelang oleh tergugat maka penggugat datang kepada responden minta bantuan bagaimana cara menyelamatkan jaminan tersebut agar tidak sampai dijual lelang.
Selaku kuasa hukum penggugat, responden berusaha mengajukan pembatalan akta perjanjian No. 6 tersebut dari sisi formalitas pembuatan akta itu, karena Salinan Akta No. 6 tersebut digunakan sebagai dasar pembuatan perjanjian acessoir pembebanan hak tanggungan yang kemudian dijadikan dasar lahirnya Sertifikat Hak Tanggungan. Oleh karenanya harapan responden apabila Salinan/Grosse Akta Notaris No. 6 tersebut batal, maka batal pula beberapa perjanjian acessoirnya yakni Akta Pembebanan Hak Tanggungan serta Sertifikat Hak Tanggungannya, sehingga obyek utama gugatan responden adalah tuntutan pembatalan
Salinan Akta No. 6 berdasarkan formalitas pembuatannya, bukan tuntutan pembatalan perjanjiannya itu sendiri, sedangkan klien responden tidak berniat membatalkan perjanjian pokoknya itu sendiri karena klien sudah menerima uang pinjaman, akan tetapi hanya ingin membayar utang pokoknya saja tanpa membayar bunga dan denda keterlambatan.
Responden berpendapat bahwa Akta Otentik/akta notaris yang berisi perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit itu tidak dapat dicampur dengan perbuatan pernyataan pengakuan hutang, dan apabila Akta Perjanjian Kredit/Perjanjian Utang-piutang dikeluarkan salinan yang digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka salinan akta tersebut tidak boleh berbentuk Grosse, karena berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Salinan yang dapat dibuat dalam bentuk Grosse hanya salinan dari Akta Pengakuan Utang saja, bukan salinan dari Perjanjian Utang-piutang sebagaimana dalam Akta No. 6 dalam perkara No.61/Pdt.G/2008/PN.Skh ini. Sedangkan yang dimaksud Pengakuan Hutang menurut Responden adalah merupakan suatu Akta yang bersifat kurang bayar, yang dinyatakan oleh debitur secara sepihak saja. Misalnya ada perjanjian kredit/utang-piutang kemudian debitur telah mengangsur 30 %, maka sisa utang yang 70 % itulah yang dapat dimintakan Pembuatan Akta Pengakuan Hutang. Sehingga arti Akta Pengakuan Hutang itu sendiri adalah sebagai kelanjutan akta perjanjian Utang-piutang/perjanjian kredit yang telah ada sebelumnya, yang isinya menyatakan bahwa debitur mempunyai utang (sisa Utang) uang dengan jumlah tertentu yang sudah pasti. Dan dari Akta Pengakuan Utang inilah yang dapat dikeluarkan Salinan berbentuk Grosse Akta, sedangkan pada akta perjanjian kreditnya sendiri dilarang dikeluarkan salinannya dalam bentuk grosse. Dan apabila suatu salinan akta perjanjian kredit/utang-piutang dikeluarkan salinannya berbentuk grosse, maka Salinan Akta tersebut mengalami cacat dan batal demi hukum, dan Salinan Akta tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian hak Tanggungan.
Mengenai pertimbangan hakim atas putusan perkara No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh responden mengatakan bahwa putusan tersebut pertimbangannya melanggar ketentuan ketentuan hukum acara yang tercantum dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, yang seharusnya hukum acara itu ditaati oleh Majelis hakim tetapi oleh hakim justru dikesampingkan. Pelanggaran tersebut karena Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan dalil utama gugatan saya yakni masalah tidak sahnya Akta Notaris No. 6 berdasarkan formalitas pembuatannya oleh notaris, dimana oleh tergugat Salinan akta tersebut digunakan untuk membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No. 7 tanggal 4 Januari 2006 pada Notaris Nonoek Poernomo dan Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 9/BENDOSARI/2006 tanggal 11 Januari 2006 pada Yulistika Setyaudewi/PPAT di Sukoharjo, yang keduanya digunakan sebagai dasar diterbitkannya Buku Hak Tanggungan No.156/2006 tanggal 2 Pebruari 2006 oleh BPN Sukoharjo.
Responden mengatakan bahwa justru sebenarnya yang dijadikan dalil pokok gugatan dalam perkara No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut adalah tentang keabsahan Akta No. 6 itu sendiri dari sudut formalitas
pembuatannya, bukan keabsahan perjanjian utang-piutang yang ada didalamnya, akan tetapi Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya sama sekali tidak mengupas keabsahan formalitas pembuatan akta No. 6 itu, tetapi hakim hanya menilai dari segi materialnya saja.
Atas pertimbangan majelis Hakim tersebut, responden selaku advokat (Lawyer) mengatakan ”selaku advokat (Lawyer) saya merasakan tidak adil dan dirugikan atas putusan itu, karena secara professional saya telah mengajukan dasar gugatan yang jelas serta bukti berupa fotocopy akta No. 6 yang secara formal cacat serta dikuatkan dengan saksi ahli yang namun gugatan tersebut ditolak tanpa mempertimbangkan pokok gugatan utama, dan ditolaknya gugatan hanya dengan pertimbagan selain pokok yang saya ajukan sebagai dasar gugatan utama, sehingga orang yang tidak tahu hukum akan menganggap saya sebagai lawyer yang tidak profesional. Padahal seandainya ditolaknya gugatan saya itu setelah dalil gugatan pokok/utama mengenai keabsahan akta notaris nomor 6 dipertimbangkan, dan hakim menyatakan bahwa akta tersebut sah dan gugatan tidak beralasan sehingga gugatan ditolak, maka saya tidak merasa dirugikan dan saya akan menerima bahwa pertimbangan putusan tersebut baik dan fair”.
Dari pandangan klien menurut responden, klien merasa sangat dirugikan dan tidak adil putusan yang tidak mempertimbangkan dasar gugatan pokok tersebut, karena sebenarnya tujuan klien mengajukan gugtan tersebut adalah mencari keadilan yang hakiki, yakni ingin menegakkan Pasal 2 dari Akta Perjanjian No. 6 tersebut. Dimana menurut pasal tersebut debitur (penggugat) tidak diwajibkan membayar bunga, akan tetapi dalam pelaksanaannya penggugat ditarik bunga yang tinggi serta denda keterlambatan oleh tergugat, sehingga penggugat merasa sangat dirugikan.
B. PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian atas dokumen di Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo telah diketahui bahwa jumlah perkara perdata gugatan di Pengadilan
Negeri Sukoharjo dalam waktu 1 (satu) tahun berkisar antara 50 sampai 70 perkara
perdata Gugatan, dan dari jumlah tersebut dalam waktu satu tahun selama Tahun 2008
sampai dengan 2009 hanya ada 1 (satu) perkara gugatan pembatalan perjanjian
kredit/utang-piutang. Sehingga jumlah tersebut relatif sedikit.
Di Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri sukoharjo ini, penulis telah
mendapatkan data yang termuat dalam berkas perkara perdata No.
61/Pdt.G/2008/PN.Skh yang didalamnya antara lain terdapat putusan perkara No.
61/Pdt.G/2008/PN.Skh123 serta bukti P-1 berupa Fotocopy Akta Perjanjian Utang
piutang No.6 yang dibuat oleh Notaris Ninoek Poernomo, SH. Dari berkas perkara
tersebut, selanjutnya penulis melakukan pengamatan atas surat gugatan, latar
123 Fotocopy Putusan No. 61/Pdt.g/2008/PN.Skh ( terlampir dalam tesis), Kepaniteraan Hukum Pengadilan
Negeri Sukoharjo, Tanggal 19 Januari 2010.
belakang pengajuan gugatan, dasar gugatan/posita yang digunakan oleh kuasa hukum
penggugat, serta proses pemeriksaan dan pertimbangan putusan oleh Majelis hakim.
Dalam kasus ini berdasarkan keterangan dari responden Kurniawan Adibroto
(Advokat/kuasa hukum penggugat) serta dari uraian gugatan dalam perkara perdata
Nomor : 61/Pdt.g/2008/PN.Skh, diperoleh data bahwa mula-mula penggugat
memerlukan modal untuk mengembangkan usaha dan mengajukan pinjaman uang
sebesar 200 juta rupiah kepada tergugat. Semula dari perjanjian utang-piutang secara
lisan disepakati penggugat diberi pinjaman sebesar 200 juta rupiah dalam waktu 3
bulan dan tidak mensyaratkan adanya kewajiban membayar bunga dan denda, akan
tetapi selanjutnya setelah di notaris, dalam akta notaris ternyata tertulis penggugat
hanya diberi uang pinjaman sebesar 170 juta rupiah dengan alasan dipotong bunga
yang dibayar dimuka, selain itu penggugat setiap bulan juga disuruh membayar bunga
oleh tergugat dan setelah penggugat mengalami kelambatan membayar kepada
tergugat, penggugat juga dikenakan denda dengan jumlah yang besar, maka kemudian
ketika tanah jaminannya akan dijual lelang oleh tergugat, lalu penggugat melalui
kuasanya mencari keadilan ke Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan mengajukan
gugatan pembatalan akta perjanjian utang-piutang, dengan tujuan agar tanah jaminan
tersebut tidak dijual lelang dan utang pokoknya sebesar 200 juta rupiah akan dibayar
oleh penggugat tanpa bunga karena sudah dipotong bunga di muka.
Selanjutnya kuasa hukum penggugat mengajukan gugatan pembatalan Akta
Perjanjian Utang-Piutang No. 6 Tanggal 4 Januari 2006124 yang dibuat oleh Notaris
Ninoek Poernomo, SH. beserta akta-akta ikutan lainnya ke Pengadilan Negeri
Sukoharjo dan didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo dibawah
register No. 61/Pdt.G/2009/PN.Skh. Dan kemudian di Pengadilan Negeri Sukoharjo
perkara tersebut diperikasa oleh Majelis Hakim yang terdiri dari SUBIHARTA,
SH.MHum, SAPTA DIHARJA, SH.MHum serta IKHWAN HENDRATO, SH.MH.
Dari putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh pada halaman 3 dan 4 menge-
nai rumusan gugatan penggugat terlihat bahwa penggugat dalam gugatan poknya
mendalilkan bahwa Akta Perjanjian Utang-piutang No. 6 tanggal 4 Januari 2006
campur-aduk antara Pengakuan Utang dengan Perjanjian Utang-piutang, sehingga
penggugat berpendapat bahwa akta tersebut cacat hukum dan mohon agar akta
124 Fotocopy Akta Perjanjian No. 6 ( terlampir dalam tesis) , Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri
Sukoharjo, Tanggal 19 Januari 2010.
tersebut dinyatakan batal. Serta pada halaman 29 pada alinea ke dua putusan tersebut
diatas, hakim dalam pertimbangannya mengatakan ”Bahwa terhadap keterangan saksi
ahli yang menerangkan bahwa akta P-1 dimaksud merupakan cacat dalam bentuk
(formal), majelis tidak sependapat dan tidak melihat bukti P-1 hanya berdasar kepada
substansi formalitas semata”.
Dari pertimbangan putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut di atas terlihat
bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan dasar gugatan pokok apakah benar
akta No. 6 tersebut cacat hukum atau tidak, akan tetapi majelis hakim hanya melihat
dari sisi lain yakni dari kepentingan tergugat selaku kreditur apakah hutang penggugat
telah dibayar kembali kepada tergugat. Dalam pertimbangan pada halaman
sebelumnya yaitu pada halaman 28 pada alinea ketiga, majelis hakim
mempertimbangkan bahwa pada saat janji pembayaran seluruh hutang telah jatuh
tempo pada tanggal 04 April 2006 penggugat tidak mau mengembalikan utang, lalu
muncul keberatan terhadap bukti P-1, sehingga dengan pengajuan gugatan ini majelis
hakim menyatakan ”Patut diduga bahwa para Penggugat tidak mempunyai itikad baik
atas pelunasan hutangnya kepada tergugat”.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya langsung membahas masalah substansi
akta (dalil gugatan bagian kedua) dalam bukti P-1 tersebut dengan mengatakan bahwa
:
”Bilamana dalil gugatan para penggugat menyatakan bahwa bukti bertanda P-1 adalah cacat, perlu dipertimbangkan mengapa para penggugat menerima uang (pinjaman) dari tergugat seperti yang diperjanjikan ........dan di sisi lain, pada saat jatuh tempo tanggal 04 April 2006 penggugat tidak mau mengembalikan hutang dimaksud kepada tergugat, lalu muncul keberatan terhadap bukti P-1, sehingga patut diduga bahwa penggugat tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi hutangnya. Dan penggugat minta pembatalan akta perjanjian beserta akta ikutannya tanpa meminta agar sisa hutangnya atau pembayaran yang telah dilakukan penggugat untuk diperhitungkan jelas akan merugikan kepentingan hukum dan hak keperdataan dari tergugat. ........terhadap keterangan saksi ahli yang menerangkan bahwa akta dalam bukti P.1 cacat dalam bentuk (formal), Majelis Hakim tidak sependapat, karena Majelis tidak melihat akta dalam bukti P-1 hanya berdasarkan substansi formalitas semata, melainkan lebih dari itu apakah hak-hak hukum tergugat atas pelunasan hutang penggugat dapat dibayarkan kembali kepada tergugat”. Dan berdasarkan pertimbangan tersebut selanjutnya Majelis hakim menolak gugatan
penggugat. Dan selanjutnya atas putusan majelis hakim tersebut penggugat maupun
tergugat tidak mengajukan upaya hukum banding.
Dari penelitian atas putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh ini penulis telah
mendapatkan data bahwa majelis hakim yang membuat putusan tersebut tidak
mempertimbangkan salah satu dalil gugatan penggugat yang menyatakan bahwa Akta
Nomor 6 cacat hukum karena menyalahi aturan formalitas pembuatan akta. Dimana
majelis hakim tidak mempertimbangkan dalil gugatan tersebut berdasarkan bukti-bukti
yang ada di persidangan, akan tetapi setelah majelis hakim dalam pikirannya
memandang adanya itikad tidak baik dari penggugat, yakni menurut penilaian majelis
hakim penggugat hanya menghendaki batalnya akta perjanjian dalam bukti P-1 s/d P-3
serta TT.III-1 saja tanpa meminta perhitungan sisa hutang para penggugat (halaman 28
Putusan No. 61/Pdt.G/2008/PN.Skh), dan setelah mempertimbangkan substansi dalil
gugatan kedua dari penggugat, serta penggugat dinilai tidak dapat membuktikan dalil
kedua dari gugatannya, lalu majelis hakim menyatakan menolak gugatan penggugat.
Salah satu hakim Anggota Majelis bernama Sapta Diharja, yang penulis
wawancarai mengatakan bahwa ”Dalam putusan perkara perdata Register No.
61/Pdt.g/2008/PN.Skh, saya selaku anggota Majelis Hakim yang menjatuhkan putusan
tersebut tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang mengatakan bahwa
Akta Perjanjian Kredit No. 6 dalam bukti P-1 cacat hukum, karena saya berpendapat
bahwa akta dalam bentuk seperti itu adalah cacat hukum, dan apabila akta tersebut
dibatalkan akan mengakibatkan batalnya seluruh akta ikutannya, dan akibatnya bagi
tergugat selaku kreditur akan kehilangan hak tanggungan yang dijaminkan kepadanya.
Sedangkan penggugat sendiri selaku debitur telah menerima dan menikmati uang
pinjaman dari kreditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan uang
tersebut oleh penggugat tidak minta diperhitungkan dalam surat gugatannya. Dan
menurut pendapat saya dalam menegakkan hukum, ketika peraturan hukum, dalam hal
ini Pasal 178 ayat (2) HIR, diterapkan akan tetapi tidak menunjukkan rasa keadilan dan
tidak sesuai dengan hati nurani hakim, maka peraturan itu dapat dilanggar demi
tercapainya keadilan substansi yang hakiki. Jadi pada prinsipnya, saya berpendapat
bahwa dalam menegakkan hukum yang berkaitan dengan keabsahan formalitas bentuk
akta notaris melalui putusan pengadilan ini hakim harus lebih mementingkan keadilan
substansi”.
Pandangan hakim Sapta Diharja tersebut sama dengan pandangan hakim anggota
Ikhwan Hendrato, yang mengatakan ”Saya selaku anggota Majelis Hakim yang
menjatuhkan putusan tersebut tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat yang
mengatakan bahwa Akta Perjanjian Kredit No. 6 dalam bukti P-1 cacat hukum karena
dicampur dengan pernyataan hutang dari debitur dan berbentuk grosse akta, karena
saya berpikiran bahwa akta tersebut benar telah mengalami cacat hukum dan harus
dibatalkan, dan karena isi akta tersebut merupakan perjanjian pokok maka apabila akta
itu dibatalkan akan mengakibatkan batalnya seluruh akta ikutannya. Dan bila hal itu
terjadi maka tergugat selaku kreditur akan kehilangan hak tanggungan yang
dijaminkan kepadanya. Sedangkan debitur sendiri telah menerima dan menikmati uang
pinjaman dari kreditur sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan uang
tersebut oleh debitur tidak minta diperhitungkan dalam gugatan gugatannya. Sehingga
apabila dalil gugatan pembatalan atas dasar formalitas bentuk akta tersebut saya
pertimbangkan pasti akan bermuara pada batalnya perjanjian kredit itu sendiri, maka
hal tersebut jelas akan merugikan pihak kreditur, dan menurut pendapat saya dalam
menegakkan hukum, ketika peraturan hukum, dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR,
diterapkan akan tetapi tidak menunjukkan rasa keadilan, maka peraturan itu dapat
dilanggar demi ter-
capainya keadilan yang substansi”.
Dari hakim ketua majelis bernama Subiharta, dalam wawancara
dengan penulis mengatakan bahwa ”Kenapa majelis hakim tidak mempertimbangkan
semua dalil gugatan penggugat, maka penulis harus bisa membaca sendiri
pertimbangan hukum pada putusan nomor 61/Pdt.G/2008/PN.Skh tersebut dan saya
tidak perlu menjawab” ; yang maksudnya bahwa pendapat ketua majelis tersebut
adalah sama dengan pendapat dari kedua hakim anggota. Maksud dari kedua hakim
angggota di atas adalah adanya tujuan untuk melindungi kepentingan kreditur dari
usaha penggugat yang berusaha melemahkan posisi jaminan yang diberikan oleh
penggugat selaku debitur kepada tergugat selaku kreditur dengan cara mengajukan
pembatalan akta nomor 6, akan tetapi di sisi lain pikiran kedua hakim anggota tersebut
berpendapat bahwa Akta Notaris Nomor 6 tersebut cacat hukum karena di dalamnya
dimasukkan pernyataan debitur yang mengakui mempunyai utang kepada kreditur.
Sikap yang tidak mempertimbangkan salah satu dalil gugatan penggugat tersebut,
lebih disebabkan oleh situasi kondisional dari pikiran majelis hakim yang mempunyai
tujuan yang kuat untuk memberikan keadilan terhadap pihak tergugat. Pemberian rasa
adil oleh majelis hakim tersebut dilakukan dengan cara menyatakan bahwa akta notaris
No. 6 tersebut sah dan tidak cacat. Namun di sisi lain, pikiran majelis hakim
berpendapat bahwa bentuk akta (format isi) Akta Notaris Nomor 6 tersebut adalah
cacat hukum karena berisi beberapa perbuatan hukum, yakni perbuatan hukum
perjanjian utang-piutang dan perbuatan hukum pengakuan hutang sepihak, yang
seharusnya tiap perbuatan hukum tersersebut dibuat dalam masing-masing akta notaris
yang berbeda dan tidak boleh dibuat dalam satu akta seperti pada akta nomor 6 ini.
Oleh karena dalam pikiran majelis hakim terdapat pimikiran kontradiksi yang
demikian, dan majelis hakim memilih untuk memberikan rasa keadilan yang hakiki
terhadap masalah tuntutan pembatalan Akta Nomor 6 ini, sehingga majelis hakim lebih
memilih untuk tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat tentang formalitas
bentuk pembuatan Akta Nomor 6 oleh notaris Ninoek Poernomo, SH ini.
Selanjutnya untuk menjawab permasalahan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi cara berpikir majelis hakim sehingga majelis memilih bersikap untuk
tidak mempertimbangkan dalil gugatan penggugat, dan tidak memilih jalan lain dalam
memberikan pertimbagan putusan di atas, maka dengan data-data yang penulis
dapatkan tersebut penulis akan melakukan pembahasan dengan menggunakan teori
behavioral jurisprudence. Dari faktor subyektif, ditinjau dari teori penyimpangan
(deviant theory) dari R.B Seidman, hakim sebagai pemegang peran mampu
memberikan motivasi baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri (conform)
dengan norma, maupun yang berkehendak untuk tidak menyesuaikan diri dengan
keharusan norma (non-conform). Dalam kasus yang penulis teliti ini terlihat bahwa
majelis hakim di atas mempunyai pandangan kebebasan untuk mengarahkan
pikirannya dalam membuat pertimbangan putusan. Dan karena pikiran majelis hakim
telah dituntun oleh pemikiran yang bertujuan untuk memberikan keadilan kepada
pihak tergugat, maka pikiran majelis hakim mengarah bersikap untuk tidak
mempertimbangkan semua dalil dugatan penggugat, atau tidak menyesuaikan diri
dengan keharusan yang diberikan oleh ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR yang
mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan semua dalil atau bagian dari gugatan
yang diajukan oleh penggugat.
Sedangkan dari faktor obyektif, sikap majelis hakim yang tidak
mempertimbangkan dalil gugatan penggugat atas akta nomor 6 dari segi
pembuatannya itu, dilihat dari teori “interaksionisme simbolis” dari Herbert Blumer,
yang memandang tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang
diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas bagaimana mereka
menafsirkan hal tersebut, maka sikap majelis hakim tersebut lebih disebabkan karena
adanya suatu pengetahuan majelis hakim yang diperoleh dari hasil sosialisasi dengan
lingkungannya, dan dari pengetahuan yang diketahui dan diyakini tersebut lalu majelis
hakim berpendapat bahwa pernyataan pengakuan utang oleh penggugat selaku debitur
di dalam Akta Perjanjian Nomor 6 di atas adalah sama dengan “Pengakuan Utang
Sepihak” yang dimaksud oleh pasal 224 HIR, sehingga majelis hakim dalam benaknya
berkesimpulan apabila pernyataan debitur tersebut digabung dalam suatu akta
perjanjian hutang-piutang maka akta tersebut menjadi cacat hukum dan batal. Oleh
karenanya majelis hakim memilih jalan pintas untuk tidak mempertimbangkan dalil
gugatan penggugat tersebut.
Putusan yang diberikan oleh majelis hakim di atas, apabila dilihat dari sudut
pandang penggugat maka penggugat merasa tidak mendapat keadilan secara substansi,
dan Advokat Kurniawan Adibroto, SH., yang menjadi kuasa hukum penggugat juga
merasa diperlakukan tidak adil dan tidak puas terhadap perilaku majelis hakim yang
menjatuhkan putusan tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kurniawan
Adibroto, SH., yang mengatakan bahwa ”Selaku advokat (Lawyer) saya merasakan
tidak adil dan dirugikan atas putusan itu, karena secara profesional saya telah
mengajukan dasar gugatan yang jelas serta bukti berupa fotocopy Akta No. 6 yang
secara formal cacat, serta pendapat saya dikuatkan dengan saksi ahli, namun gugatan
tersebut ditolak tanpa mempertimbangkan pokok gugatan utama, dan ditolaknya
gugatan hanya dengan pertimbagan selain dalil utama yang saya ajukan sebagai dasar
gugatan, sehingga orang yang tidak tahu hukum akan menganggap saya sebagai lawyer
yang tidak profesional. Padahal seandainya ditolaknya gugatan saya itu setelah
dipertimbangkannya dalil gugatan utama mengenai keabsahan formalitas pembuatan
Akta Notaris Nomor 6, dan walaupun hakim menyatakan bahwa akta tersebut sah dan
gugatan tidak beralasan, lalu gugatan ditolak, maka saya tidak merasa dirugikan dan
saya akan menerima bahwa pertimbangan putusan tersebut fair (adil)”.
Selaku kuasa hukum, Kurniawan Adibroto mengatakan bahwa dirinya bertindak
di muka sidang pengadilan untuk membantu kliennya mencari keadilan melalui hakim
di Pengadilan Negeri Sukoharjo, untuk menghindarkan dan membebaskan diri
kliennya dari sikap tidak adil dan curang yang dilakukan oleh tergugat (Ricky Fajar
Adiputra) terhadap penggugat. Sikap tergugat terhadap penggugat yang curang dan
tidak adil tersebut menurut Kurniawan Adibroto terlihat ketika terjadi kesepakatan
perjanjian utang uang secara lisan sebelum dibuat perjanjian di notaris, tergugat
mengatakan bahwa penggugat tidak diharuskan membayar bunga atas pinjaman/utang
uang sebesar Rp.200 juta, akan tetapi setelah dibuat akta perjanjian di depan notaris
ternyata uang pinjaman penggugat itu dipotong sebesar Rp. 30 juta rupiah oleh
tergugat dengan alasan dipotong untuk pembayaran bunga di depan. Dan kemudian
setelah itu penggugat dipaksa disuruh membayar bunga setiap bulan sebesar Rp.10 juta
dan penggugat telah membayar bunga tersebut selama 5 bulan.
Selanjutnya menurut Kurniawan Adibroto, SH., karena penggugat tidak dapat
melunasi tepat waktu lalu penggugat dikenakan bunga dan denda yang jumlahnya
seluruhnya mencapai Rp. 400 juta lebih, dan karena pengembalian utang tidak bisa
dilakukan tepat waktu oleh penggugat maka tanah jaminan akan dijual lelang.
Kemudian selaku kuasa hukum penggugat, Kurniawan Adibroto bersama Abdullah Tri
Wahyudi yang bertindak atas nama penggugat, mengajukan gugatan pembatalan Akta
Perjanjian Utang-piutang Nomor 6 dengan alasan akta tersebut mengalami cacat
formalitas dalam pembuatannya. Harapan yang diinginkan adalah apabila Akta
Perjanian Utang-piutang No. 6 tersebut batal maka akta ikutannya berupa Akta
Pembebanan hak Tanggungan ikut batal dan barang jaminan tidak jadi dijual lelang,
dan penggugat rencananya akan membayar lunas hutangnya sebesar 200 juta rupiah
dikurangi bunga sebesar 30 juta rupiah. Demikianlah keadilan yang diharapkan
menurut pandangan penggugat melalui kuasa hukumnya.
Di sisi lain Sikap Majelis hakim tersebut juga dipengaruhi oleh faktor eksternal,
yakni adanya kebiasaan dalam praktek pembuatan akta perjanjian utang-piutang yang
disertai pernyataan pengakuan utang oleh debitur dalam akta perjanjian kredit/utang-
piutang yang dilakukan oleh notaris atas permintaan para kreditur, yang belum
diketahui oleh hakim. Kebiasaan tersebut terbentuk karena adanya faktor psikologis
dari para kreditor pemberi pinjaman yang lebih mantap apabila di dalam perjanjian
kredit/perjanjian utang-piutang yang mereka buat dengan debitur itu diselipkan kalimat
pernyataan pengakuan hutang, walaupun hal ini sebenarnya berlebihan. Keadaan
tersebut seperti dikatakan oleh Kartini, SH yang senada dengan Amalia Zuria, SH.,
notais di Sukoharjo, yang mengatakan bahwa ”Kebiasaan yang dilakukan oleh para
Notaris di Sukoharjo dalam membuat akta perjanjian kredit/utang-piutang selalu
mengikuti kemauan para pihak yang akan membuat akta, dimana para kreditur lebih
senang menggabungkan perjanjian kredit dengan pernyatann pengakuan hutang serta
perjanjian pemberian jaminan di dalam satu akta notaris. Hal tersebut tidak
menjadikan cacatnya akta otentik tersebut, karena tidak ada aturan yang melarang
dalam pembuatan akta seperti itu”. Praktek pembuatan akta seperti di atas akhirnya
menjadi kebiasaan para Notaris di Sukoharjo dalam membuat akta perjanjian
kredit/utang-piutang.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Murtini, SH (notaris), yang mengatakan
bahwa ”.... dari pelaku bisnis, yakni Bank Tabungan Negara (BTN) Sukoharjo dalam
memberikan kredit kepada nasabahnya selalu minta kepada responden untuk
membuatkan akta pengakuan hutang sepihak dari debitur dalam bentuk akta otentik
yang terpisah dari surat perjanjian kreditnya, dan perjanjian kreditnya sendiri oleh
BTN Sukoharjo dibuat secara dibawah tangan dengan nasabah/debiturnya. Sedangkan
untuk Bank-bank lainnya di Sukoharjo minta dibuatkan perjanjian kredit dalam
bentuk akta otentik yang didalamnya disisipkan pula pernyataan pengakuan hutang
dari pihak debitur. ......dengan dicampurnya perjanjian pemberian hak tanggungan
ataupun pernyataan pengakuan utang dari debitur tersebut dalam satu akta tidak
membatalkan perjanjian kredit selaku perjanjian pokoknya serta tidak membatalkan
keabsahan akta notaris itu sendiri”.
Kebiasaan membuat akta perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit yang di
dalamnya dimasukkan pernyataan pengakuan utang oleh debitur yang dilakukan oleh
para notaris di Sukoharjo tersebut, sebenarnya bisa saja oleh hakim diterima sebagai
sumber hukum. Sehingga bentuk akta seperti tersebut dianggap sebagai ”bentuk akta
notaris yang sah” berdasarkan kebiasaan, karena sumber hukum itu selain dari
peraturan perundangan juga berasal dari kebiasaan125. Dan apabila kebiasaan praktek
pembuatan akta notaris di lapangan tersebut telah diketahui dan diterima oleh hakim
sebagai hukum maka bentuk Akta Notaris Nomor 6 dalam kasus yang penulis teliti ini
oleh hakim dapat disimpulkan sebagai bentuk akta yang tidak menyalahi aturan dan
tidak cacat menurut hukum, sehingga hakim dalam putusannya tidak perlu lagi
menyimpangi ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR manakala hakim ingin memberikan
keadilan hukum yang substantif terhadap tergugat selaku kreditur maupun penggugat
selaku debitur. Penerimaan bentuk akta notaris yang terjadi karena kebiasaan sebagai
bentuk akta yang sah merupakan suatu kelonggaran bagi hakim yang mempunyai nilai
125 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hal. 10-11.
kemanfaatan. Hal ini sebenarnya bisa digunakan sebagai terobosan bagi hakim untuk
lebih memberikan keadilan secara substantif dari pada menyimpangi ketentuan
hukum acara.
Kelonggaran tersebut menurut Hari Purwadi, dosen Fakultas Hukum Universitas
Sebelas maret (UNS) Surakarta disebut sebagai ”ruang terbuka”. Dalam hukum ruang
terbuka tersebut akan bermakna positif apabila para hakim adalah orang-orang yang
memiliki profesionalitas, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap tegaknya hukum. Di
sisi lain apabila tidak adanya kejujuran dan tanggung jawab, maka ruang terbuka itu
menyediakan arena bagi hakim untuk menyalahgunakan kewenangan kekuasaannya126.
Terobosan mencari keadilan substansial memang sangat diperlukan bagi seorang
hakim, karena di benak dan di tangan hakim maka kebiasaan yang semula bukan
merupakan aturan dapat menjadi aturan yang berlaku bagi pencari keadilan manakala
kebiasaan tersebut dipersoalkan di depan pengadilan. Akan tetapi hendaknya
terobosan yang dapat dilakukan oleh hakim dengan cara menyimpangi aturan tersebut
sebatas aturan hukum materiil saja, dan apabila yang disimpangi itu aturan formal,
dalam hal ini ketentuan hukum acara perdata yakni Pasal 178 ayat (2) HIR, maka
hasilnya yang terjadi adalah adanya penilaian negatif yang tidak fair dari salah satu
pihak. Hal tersebut karena dengan tidak dipertimbangkannya semua pokok dasar
gugatan maka apa yang menjadi pokok persoalan penggugat tidak dapat tersentuh dan
terselesaikan, padahal apabila pokok gugatan dipertimbangkan oleh hakim maka
persoalan tersebut akan terjawab secara terbuka (fair), walaupun jawaban tersebut
mungkin tidak memuaskan pula bagi penggugat karena penggugat dikalahkan.
Pertimbangan yang lengkap atas semua dalil gugatan penggugat adalah penting,
karena hal itu merupakan suatu alasan-alasan bagi hakim dalam mempertanggung-
jawabkan amar putusannya kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil
putusan demikian (objektif)127.
Putusan majelis hakim di atas, dari sudut pandang responden lain yang terdiri
dari para hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo kecuali hakim BERLINDA URSULA
MAYOR, SH., serta para Advokat di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo,
semuanya menilai bahwa sikap Majelis Hakim yang mengadili perkara perdata
126 Hari Purwadi, Eksaminasi Putusan Antasari, Koran Harian “Jawa Post”, tanggal 15 Pebruari 2010, hal.
6. 127 Soeroso. R, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet-I, Sinar Grafika,
Edisi Kedua, hal. 135.
No.61/Pdt.G/2008/PN.Skh merupakan sikap yang tidak fair, karena ketentuan hukum
acara tidak dapat dilangkahi oleh hakim. Apabila ketentuan hukum acara disimpangi
justru akan terjadi sikap yang tidak adil bagi kedua belah pihak, sedangkan ketentuan
hukum materiil baik perkara pidana maupun perdata dapat disimpangi dengan
memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
B A B V
P E N U T U P
A. Kesimpulan.
Dari hasil penelitian baik berupa pengumpulan dan pengolahan data melalui
penelusuran data primer maupun sekunder serta dari hasil pembahasan dimuka,
maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
- Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memutus perkara perdata No.
61/Pdt.G/2008/PN.Skh di Pengadilan Negeri Sukoharjo tentang gugatan
pembatalan Akta Notaris Nomor 6 tentang Perjanjian Utang-piutang tidak
mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan penggugat disebabkan karena
hakim mempunyai pemikiran yang bermaksud ingin memberikan keadilan
yang substantif dalam penyelesaian perkara tersebut.
- Dalam rangka memberikan keadilan yang substantif, karena Hakim Pengadilan
Negeri Sukoharjo mengetahui bahwa tuntutan pembatalan akta perjanjian utang
piutang tersebut hanya sebagai sarana untuk menghapuskan hak tanggungan
yang dimiliki pihak tergugat selaku kreditur dengan cara mencari kelemahan
akta dari segi bentuk formalitasnya, sedangkan di sisi lain hakim berkeyakinan
bahwa Akta Notaris Nomor 6 tersebut mengandung cacat hukum, maka hakim
dalam putusannya mengambil sikap untuk tidak mempertimbangkan dalil
gugatan penggugat soal keabsahan akta perjanjian utang-piutang dari sisi
formalitas pembuatannya. Sebenarnya hakim mengetahui bahwa tidak
mempertimbangkan semua bagian dalil gugatan tersebut merupakan suatu
penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR, namun hakim
berpendirian bahwa guna mendapatkan keadilan hukum yang substantif,
apabila peraturan hukum dalam hal ini Pasal 178 ayat (2) HIR diterapkan akan
membuahkan rasa ketidak-adilan terhadap tergugat selaku kreditur dan tidak
sesuai dengan hati nurani hakim, maka peraturan itu dapat disimpangi atau
tidak diberlakukan.
- Keberanian hakim mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam Pasal 178
Ayat (2) HIR tersebut menurut teori dalam ilmu hukum perilaku lebih dise-
babkan karena Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memutus perkara di
atas mempunyai pandangan kebebasan mengarahkan pikirannya untuk tidak
menyesuaikan diri dengan keharusan norma (non conform).
B. Implikasi
Sebagai konsekuensi dari kesimpulan di atas, maka implikasi yang dapat terjadi
antara lain sebagai berikut :
- Tidak diimplementasikan ketentuan hukum acara, dalam hal ini ketentuan
Pasal 178 ayat (2) HIR yang mengatur tentang kewajiban hakim untuk
mengadili semua bagian dari tuntutan/gugatan penggugat, akan dapat
mengakibatkan pihak lain dalam perjanjian utang-piutang/perjanjian kredit
yang dituangkan dalam akta notaris, dalam hal ini pihak penggugat serta kuasa
hukumnya berprasangka negatif terhadap hakim yang menjatuhkan putusan
tersebut dan merasa diperlakukan tidak adil, karena masalah pokok yang
dikemukakan oleh penggugat tidak tersentuh dan tidak dapat diselesaikan
secara tuntas oleh hakim.
- Pandangan adanya kebebasan hakim mengarahkan pikirannya untuk tidak
menyesuaikan diri dengan keharusan norma (non-conform), akan dapat
mengakibatkan rusaknya sistem beracara di pengadilan manakala yang
disimpangi itu ketentuan hukum acara, serta dapat menjauhkan tercapainya
keadilan yang substantif, karena tujuan dibuat aturan hukum acara adalah untuk
menerapkan ketentuan hukum materiil.
C. Saran
- Hakim dalam memeriksa perkara gugatan seharusnya mempertimbangkan
semua bagian dari gugatan/tuntutan yang diajukan oleh penggugat, dan tidak
menyimpangi ketentuan hukum acara, agar semua pihak yang terkait merasa
diperlakukan secara adil dan tidak berat sebelah.
- Dalam rangka memberikan keadilan hukum hendaknya hakim tidak
mempunyai pandangan kebebasan yang tak terbatas dalam beracara di
persidangan. Hakim boleh melangkahi ketentuan hukum, akan tetapi yang
dapat dilangkahi itu hanyalah ketentuan hukum materiil, manakala ketentuan
hukum materiil itu diterapkan akan mengakibatkan rasa tidak adil bagi kedua
belah pihak yang berperkara. Namun apabila yang dilangkahi itu ketentuan
hukum acara (formil) maka yang terjadi pada para pihak yang bersangkut paut
dengan kasus perkara tersebut akan merasa diperlakukan tidak adil. Sedangkan
dalam kasus perkara yang penulis teliti ini yang diperlukan untuk mendapatkan
keadilan substantif bagi kreditur (tergugat) adalah agar Akta Perjanjian No.6
itu tidak dinyatakan batal, dan untuk mengarah pada keadaan tersebut bukan
tergantung pada diterapkan atau tidaknya ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR,
akan tetapi hakim dapat mencari jalan lain dengan menemukan hukum
(rehtsvinding) yang mendukung pendapat bahwa bentuk akta notaris tentang
perjanjian utang-piutang yang di dalamnya disertai pernyataan pengakuan
utang oleh debitur merupakan bentuk akta notaris yang sudah lazim dan sah
menurut hukum.
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000. __________, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. __________, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983. Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu pendekatan dari
Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Bismar Siregar, Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
. Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Etika Profesi Hukum Rekonstruksi Citra Peradilan di
Indonesia, Cet-I, Bayumedia Publishing, Malang, 2009. Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan, Penerbit STIH
IBLAM, Jakarta, 2004. Badrulzaman, Mariam Darus, Benda-benda yang Dapat Diletakkan Sebagai Obyek Hak
Tanggungan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Cet-I, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
Cet-I, 2009. Darwan Prinst, Strategi menyusun dan menangani gugatan Perdata, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1992. Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cet-I, PT. Suryandaru Utama,
Semarang, 2005. Gatot Wardoyo, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Nitro Institut of Banking, Jakarta, 1992. G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980. Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia,
Cet-I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai
alas an baru untuk pembatalan perjanjian, Cet-I, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2001.
Komar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni, Bandung,
1983.
Marzuki, Peter Mahmud, Hukum Jaminan Indonesia Seri Dasar Hukum Ekonomi, Elips, Jakarta, 1998.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global Edisi Revisi,
Cet-II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. ____________, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia : Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, Cet-VIII, CV. Mandar Maju, Bandung, 1997, Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005. Richard J. Bonnie dan John Monahan, From Coercion to Contract : Reframing the Debate
on Mandated Community for People with Mental Disorders, Law and Human Behavior, Vol.29, No. 4, August 2005.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Cet-IX, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet-V, Sinar Grafika,
Jakarta. Sardjono R, Masalah Pembuktian, Ceramah/Kuliah disampaikan pada Penataran Hakim
diselenggarakan oleh Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Umum Dep.Kehakiman RI, Jakarta, 1983.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta, 1986. Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu
Hukum Pascasarjana UNS, Surakarta, 2005. Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Pustaka Binawan Pressindo, Jakarta,
1997. Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet-X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. _________, Soeroso. R, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses
Persidangan, Cet-I, Sinar Grafika, Edisi Kedua. Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Ny, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, Cet- I. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-VI, PT Intermasa, Jakarta, 1979. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet-XIII, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1980.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Cet-I, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979. __________, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, 1996. __________, Rangkuman Mata Kuliah hukum Perdata : Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Gajahmada, Liberty, Yogyakarta, 1987. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan
Eksekusi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Transito, Yogyakarta, 1990. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetuan-persetujuan Tertentu, Penerbit
PT Sumur, Bandung. Yahya Harahap.M, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan, Cet-VII, Sinar Grafika, Jakarta, April 2008.
b. Undang-undang Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Cet-I, Internusa, Jakarta,
1992, hal. 585. Herziene Inlansch Reglement (HIR), Stb. No. 44 Tahun 1941. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, LN-RI Tahun 1996-42.
c. Tesis/Jurnal/majalah/Koran/Brosur
Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, http://www.badilagnet, 01 April 2010, 09.40.
Anonimus, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003. Anonimus, Pak Bagir Patut menjadi Teladan : Bagir Manan, Ilmuwan & Penegak Hukum
(Kenangan Sebuah Pengabdian), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008.
Hajar Widianto, Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Berdasrkan Undang-undang Hak Tanggungan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis, UNS, 2005.
Mahkamah Agung RI., Cetak Biru (Blue Ptint) Pembaruan Mahkamah Agung RI.,
Jakarta.Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003. Malcolm L. Morris, The Model Notary Act, National Notary Association, A Non-Profit
Educational Organization , September 1, 2002, v., http.: //www.Jurnal Internasional, 20 Maret 2010, 10.00.
Mulyoto, Peranan Notaris dalam pembuatan Akta pemberian Hak Tanggungan (APHT)
dalam rangka perlindungan Hukum terhadap Kreditur dan Debitur, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hak Tanggungan, kerjasama antara Pusat kajian kebijakan Hukum dan ekonomi (PK2HE) dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Sukoharjo, The Sunan Hotel, Solo, 20 Juni 2009.
Remy Sjahdeini, Sutan, Hak Jaminan dan Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11
Tahun 2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1996. Setiawan, Hak Tanggungan dan masalah eksekusinya, Majalah Hukum Varia Peradilan,
IKAHI, Jakarta, Agustus 1996. Bagir manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka, Varia Peradilan Majalah Hukum, Jakarta, Mei 2009. ___________, Hukum, Hakim, dan Masyarakat, Varia Peradilan Majalah Hukum, Jakarta,
Maret 2009. Hari Purwadi, Eksaminasi Putusan Antasari, Koran Harian “Jawa Post”, tanggal 15
Pebruari 2010.
d. Kamus EM Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publiser. Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary USA : West Publising Co, 1991, 16 th
Edition.