12
Kesederhanaan, Buah Iman dan Taqwa Publikasi: 19/05/2005 08:52 WIB eramuslim - Saya teringat ketika Dr. Hidayat Nurwahid terpilih menjadi Ketua MPR RI periode 2004 – 2009 pada tanggal 6 Oktober 2004 lalu, mengagetkan banyak pihak. Banyak yang menyangsikan dan tidak sedikit yang menentang. Tapi bagaimana pun juga, orang baik dan orang yang bersungguh-sungguh dalam perjuangannya tetap akan mendapatkan tempatnya sendiri sebagai pemimpin. Meskipun ada pihak-pihak yang tidak menyenanginya karena khawatir beliau akan mengubah Pasal 29 UUD 1945 (amandemen). Tapi tidak sedikit yang merindukannya karena beliau adalah tipikal pemimpin sederhana dari sedikit yang ada. Sebagai gebrakan moralnya, ketika baru menjabat beliau sudah menyampaikan rencana menolak jatah mobil Volvo mewah yang

Ke Seder Hana An

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sederhana

Citation preview

Kesederhanaan, Buah Iman dan Taqwa

Kesederhanaan, Buah Iman dan Taqwa

Publikasi: 19/05/2005 08:52 WIB

eramuslim - Saya teringat ketika Dr. Hidayat Nurwahid terpilih menjadi Ketua MPR RI periode 2004 2009 pada tanggal 6 Oktober 2004 lalu, mengagetkan banyak pihak. Banyak yang menyangsikan dan tidak sedikit yang menentang. Tapi bagaimana pun juga, orang baik dan orang yang bersungguh-sungguh dalam perjuangannya tetap akan mendapatkan tempatnya sendiri sebagai pemimpin.

Meskipun ada pihak-pihak yang tidak menyenanginya karena khawatir beliau akan mengubah Pasal 29 UUD 1945 (amandemen). Tapi tidak sedikit yang merindukannya karena beliau adalah tipikal pemimpin sederhana dari sedikit yang ada.

Sebagai gebrakan moralnya, ketika baru menjabat beliau sudah menyampaikan rencana menolak jatah mobil Volvo mewah yang akan diberikan kepadanya selaku pejabat tinggi negara. Sontak seluruh media menyiarkan berita tersebut. Pernyataan pro dan kontra pun bermunculan. Nah, bila sejenak kita berpikir, apa anehnya jika pejabat menolak sesuatu lalu diberitakan ramai-ramai oleh hampir seluruh media masa? Adakah yang salah?

Tidak ada yang salah. Media memberitakan yang seharusnya. Memberitakan perihal yang amat jarang terjadi kalau tidak mau disebut langka. Karena, lazimnya di negeri kita yang gemah ripah ini, kebanyakan pejabat sudah lumrah hidup mewah dan berfoya-foya. Jadi menjadi pejabat adalah kebanggaan yang dikejar-kejar karena akan beroleh segala macam fasilitas dan kemewahan di samping prestise yang melambung. Fasilitas mulai dari mobil, motor, perumahan dan antar jemput bahkan pengamanan yang ketat jika diperlukan. Jadi selama bertahun terakhir, pejabat di negeri korup ini sudah menjadi orang yang dipentingkan dan bukan yang mementingkan. Maka amat jarang dan langka ada orang yang menolak untuk hidup berlebihan dan bermewah-mewah.

Jika menjadi pejabat sangat menjanjikan kemapanan maka sangatlah bijaksana bila pada musim kampanye calon anggota DPRD dan DPR pada Pemilu yang baru lalu banyak yang berani bagi-bagi uang, beras, barang pecah belah dan sebagainya supaya terpilih duduk di kursi dewan yang terhormat. Tapi apa lacur setelah menduduki jabatan mereka berbalik 180 derajat mengambil yang bukan haknya dengan diam-diam dan terang-terangan uang rakyat agar balik modal atas sumbangan penuh pamrih yang telah mereka berikan. Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah, jika tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh atau berkhianat akan berakibat fatal di akhirat kelak, dimintakan pertanggunganjawabnya atas kepemimpinannya, disiksa dengan kerasnya.

Barangkali inilah sebabnya mengapa Pak Hidayat Nurwahid terkesan aneh dibandingkan dengan yang lainnya, mungkin beliau sadar bahwa ketika dirinya menjabat dan memimpin, bukan untuk berfoya-foya atau aji mumpung mendapat fasilitas melimpah dari negara. Mungkin beliau sadar kalau dirinya adalah pelayan yang harus selalu memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Beliau juga sadar hendak melakukan apa dan memulai dari mana. Ya, memulai dari yang kecil dan dari dirinya sendiri. Karena toh berangan-angan mengerjakan yang muluk-muluk, dengan target besar dan cakupan yang luas alias makro belum tentu akan terlaksana.

Buktinya banyak yang sudah menjabat berulang kali sebagai menteri atau anggota DPR hanya mampu memperkaya dirinya sendiri, sampai-sampai lupa diri bagaimana caranya melangkahkan kaki naik di bis kota karena sudah biasa naik mobil Volvo atau Toyota Camry. Lupa diri bahwa pejabat publik adalah melayani dan bukan minta dilayani. Lupa bahwa pejabat juga tidak boleh menerobos traffic light dengan seenaknya kalau sedang merah jadi harus sama-sama ngantri dalam kemaceten layaknya di Jakarta. Lupa kalau pejabat juga harus taat asas dan peraturan. Lupa, lupa dan lupa diri karena mabuk kemewahan dan mabuk jabatan.

Cukup beralasan kalau media mencium aroma yang berbeda dari pribadi Hidayat Nurwahid yang sederhana saat menolak fasilitas mewah dan mereka lalu menuliskannya ramai-ramai. Karena memang sudah tidak lazim ada pejabat yang mau menolak kemapanan di atas penderitaan orang lain. Fenomena Hidayat Nurwahid benar-benar menyimpan simbolisme dan makna (meminjam istilah Prof. Azyumardi Azra), setidaknya bagi kalangan media dan orang awam.

Rasanya tidak adil kalau saya menyebutkan nama Hidayat Nurwahid secara berulang-ulang, karena beliau pasti tidak ridha sebab tidak ingin dipuji berlebihan seperti ini. Beliau pasti tidak ingin terjebak riya, karena riya dapat melunturkan segala amal yang telah diperbuat bak rusaknya lumpur yang ditempelkan selama bertahun-tahun pada bongkahan batu yang licin tatkala tertimpa oleh hujan sehari. Cerminan amal dan perbuatan yang sia-sia belaka.

Tapi memang ini bukan maksud melebih-lebihkan, melainkan supaya kita sadar bahwa kepemimpinan itu memikul beban amanah yang amat beratnya. Karena logikanya ketika seseorang menjadi pemimpin pastilah akan mengalami kesusahan dan kesulitan melebihi orang biasa. Karena harus mencurahkan tenaga, pikiran, harta dan kekayaan pribadinya sekalipun untuk rakyat yang dipimpinnya.

Kalau mau contoh, lihatlah tokoh Abu Bakar As-Shiddiq setiap hari berlomba-lomba dengan Umar bin Khattab mendermakan hartanya. Ber-fastabiqul khairat, berlomba-lomba mengejar keutamaan dalam berbuat baik untuk rakyat, negara dan agama. Lihat juga contoh pada pribadi Abdurrahman bin Auf yang kunci-kunci brankasnya saja diangkut oleh beratus unta, teramat kaya, seluruhnya diabdikan buat rakyat jelata, untuk negara dan kepentingan perjuangan.

Masih tentang Umar bin Khattab, khalifah ke-2 dalam pemerintahan daulah Islam ini adalah pemimpin paling berkuasa pada zamannya, tapi sangat sederhana dan bijaksana dalam kepemimpinannya. Beliau, Umar bin Khattab, belum akan tertidur dengan lelap setiap malamnya jika belum berkeliling (tanpa pengawalan) untuk mencari tahu kondisi rakyat yang dipimpinnya. Hingga sampai pada suatu malam beliau mendengar tangis seorang anak karena kelaparan meminta makanan pada ibunya. Sang ibu mengatakan makanan yang direbusnya belum matang. Ketika Umar bertanya pada si ibu mengapa anaknya dibiarkan menangis sang ibu menjawab tidak ada makanan yang dapat disuguhkan buat anaknya. Dan yang direbus di perapian rupanya hanyalah batu agar anak yakin masih ada harapan akan makan jika telah matang karena sudah tiga hari menahan lapar.

Mengetahui keadaan seperti itu, Umar pulang dan mengambil sekarung gandum dari gudang, memikulnya sendiri, dan menyerahkan langsung kepada sang ibu sebagai bahan makanan. Ada yang mengatakan bahkan Umar sendirilah yang memasakkannya untuk ibu dan anak tadi.

Umar juga sangat detil memperhatikan hal sekecil apapun yang menjadi tanggung jawab dalam kepemimpinannya. Diriwayatkan ada seekor keledai yang tergelincir di jalan raya yang agak rusak (karena jalannya bolong-bolong) sampai patah kakinya. Mengetahui peristiwa ini Umar amat menyesal dan memohon ampunan kepada Allah karena takut dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat. Beliau merasa bersalah karena itu terjadi pada masa kepemimpinannya yang masih menyisakan sarana jalan yang tidak memadai sehingga mencelakakan, sekalipun hanya seekor keledai.

Dikisahkan pula sepulangnya Umar dari Madinah, sampailah Umar di suatu desa terpencil dan bertemu dengan seorang nenek. Umar bertanya tentang bagaimanakah kepemimpinan Amirul Muminin (sang pemimpin). Nenek menjawab, Celakalah Umar, karena sampai dengan hari ini dia belum pernah berkunjung dan mengetahui dan memperdulikan keadaan saya sebagai rakyatnya. Rupanya si nenek tidak tahu kalau yang pria di hadapannya itulah Umar (Amirul Muminin). Sampai ketika seorang sahabat lewat dan mengucapkan salam kepada Amirul Muminin si nenek baru sadar bahwa pria di hadapannya adalah pemimpin yang dimaksudkan. Akhirnya dengan perasaan rugi dan menyesali atas ketidakberesannya selama memimpin dengan disaksikan salah seorang sahabat tadi, Umar setelah bersepakat dengan si nenek- membayar semacam tebusan kepada nenek atas kelalaiannya selama memimpin, tidak memperhatikan seluruh wilayah kekuasaannya dengan adil. Tentu saja dengan bertekad untuk selanjutnya akan memperhatikan setiap jengkal tanah kekuasaannya, tidak ada yang dilupakan dan dibiarkan begitu saja.

Begitu pula riwayat Umar bin Abdul Aziz khalifah kelima- selama memimpin. Semasa kepemimpinannya tidak ada lagi orang yang mau menjadi penerima zakat karena rakyatnya sudah mencapai tingkat kemakmuran yang berlebih. Sikap sederhana dan kerja kerasnya terwujudkan dalam kemakmuran pada seluruh negeri kala itu. Sejak awal menjabat, beliau menanggalkan seluruh kemewahan yang dimilikinya dan memerintah dengan kesederhanaan. Seluruh warisan dari pejabat sebelumnya dimasukkan menjadi milik negara. Perhatikan ketika beliau harus mematikan lampu ketika menerima tamu dari keluarganya sendiri karena tidak mau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Menurutnya, urusan keluarga adalah urusan pribadi, sehingga ia menolak berbuat korup kecil-kecilan. Beliau juga tidak bersedia meminum madu yang dibelikan istrinya karena tahu bahwa madu itu dibeli di pasar dengan menggunakan fasilitas kereta kuda milik negara.

Bayangkan kalau seluruh pejabat di negeri kita berkelakuan seperti ini atau paling tidak sepersekiannya mewarisi sifat kepemimpinan sederhana ini. Kepentingan publik, kepentingan negara berbatas tegas dengan kepentingan pribadi. Tidak akan ada niat untuk melakukan korupsi maupun merugikan pihak lain walau sekecil apapun. Maka tidak akan ada korupsi sendiri-sendiri dan korupsi berjamaah.

Baik Umar bin Khattab maupun Umar bin Abdul 'Aziz keduanya memimpin dengan penuh rasa tanggung jawab, sederhana dan hati-hati. Semua ini adalah buah iman dan takwanya kepada Allah, karena kedekatannya kepada Allah. Sehingga ia paham benar apa arti di balik kepemimpinannya. Bahwa kepemimpinan akan dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Memang, pemimpin yang menjalankan agamanya dengan baik pasti akan membawa kemaslahatan bagi seisi alam.

Sampai diriwayatkan ketika Umar bin Abdul Aziz baru naik tahta, seorang penggembala di dataran tinggi yang amat tepencil bertanya pada orang kota yang kebetulan lewat tentang apakah telah terjadi pergantian kepemimpinan di kota. Pengembala melihat pertanda ini dengan melihat sekawanan serigala bersama dalam sekawanan kibas yang digembalakannya bertingkah tidak seperti biasanya. Dia yakin pastilah orang saleh yang telah memimpin negerinya ketika itu (dan memang benar Umar bin Abdul Aziz baru naik tahta). Suatu pertanda alam jika orang baik dan saleh yang memimpin maka seluruh makhluk dan alam akan berada dalam keserasian. Jika pemimpin berkhidmat kepada Allah maka seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi berkhidmat kepadanya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau hidup sederhana dan bersahaja demi khalayak yang dipimpinnya. Berkorban demi kepentingan dan kemakmuran orang banyak. Pemimpin yang tidak suka menyelewengkan kuasa kepemimpinannya kecuali hidup lurus dan penuh kehati-hatian. Pemimpin yang dekat kepada Allah Rabb-nya dan dekat di hati rakyat.

Sehingga benar jika pak Hidayat Nurwahid mengatakan, kalau pejabatnya mengamalkan agamanya dengan baik tentu tidak akan berani berbuat macam-macam alias nyeleweng. Mereka akan hidup lurus selamanya. Ini pantas untuk kita renungkan bersama.

Taichung, Taiwan 17 Mei 2005

Asiandi