Upload
amusahib
View
963
Download
51
Embed Size (px)
Citation preview
Kasus Lake Lanoux Tahun 1957 antara Perancis Vs Spanyol
A. Kasus Posisi
Kasus Lake Lanoux bermula dari rencana Perancis memanfaatkan potensi danau Lanoux untuk keperluan pendirian hydroelectric. Spanyol berkeberatan terhadap rencana itu, karena khawatir sungai-sungai Spanyol yang besumber pada danau itu mengalami pencemaran akibat limbah kimia dan perubahan suhu yang dihasilkan oleh teknologi yang digunakan, yang membahayakan kekayaan hayati sungai tersebut. Atas pertimbangan tersebut Spanyol mengajukan keberatan terhadap rencana Perancis. Dengan demikian terjadilah sengketa kepentingan antara kedua negara bersangkutan.
Arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa itu menggunakan asas good faith untuk menyelesaikan kasus tersebut. Arbitrase dalam keputusannya menyatakan antara lain : according to the rule of good faith, the state is under the obligation to take into consideration the various interest involved, to seek to give them every satisfaction compatible with the pursuit of its own interst..
Bahwa Negara hulu mempunyai kewajiban untuk mempertimbangan seluruh kepentingan yang terkait dengan setiap kegiatan yang ia lakukan didalam wilayahnya. Pertimbangan itu dimaksudkan untuk untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan kegiatan tersebut secara baik. Dalam perspektif prinsip good faith, setiap negara hendaknya hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan juga baik bagi dirinya. Apa yang bermanfaat dan baik bagi dirinya, hendaknya juga dirasakan sama oleh negara lain, dan apa yang dirasakan merugikan oleh negara lain hendaknya juga dirasakan merugikan oleh negara pelaku kegiatan. Dengan demikian suatu negara hendaknya tidak mengerjakan kegiatan yang hanya menguntungkan dirinya dan merugikan negara lain, atau setiap negara hendaknya mengerjakan kegiatan-kegiatan yang tidak merugikan semua pihak.
Prinsip diatas mengandung 2 (dua) makna, yang pertama, negara hulu wajib mepertimbangkan kepentingan negara hilir, yang kedua, negara hulu dalam menetapkan rencana-rencananya, atau bertindak didalam wilayahnya tidaklah perlu menunggu persetujuan-persetujuan negara hilir, namun demikian adalah wajib bagi negara hulu untuk mempertimbangkan kepentingan negara hilir, agar tindakan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian terhadap negara hilir.
B. Arbitrase
Bahwa kita dapat menemukan definisi tentang arbitase dari berbagai produk hukum, seperti dalam hukum positif Indonesia, yaitu Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ketentuan tentang Arbitrase juga diatur pada penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
Bahwa BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase bagai berikut:“Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan tingkat terakhir. Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah : Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.
C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah:
a.Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindaric. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukupmengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1.Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat2.Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. Disamping itu dapat juga ditarik beberapa kelemahan arbitrase yaitu:a.Hanya baik dan tersedia daengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafideb.Kurangnya unsur finality
c.Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
d.Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan lain-lain.
e.Kurangnya power untuk hal law enforcement dan eksekusi keputusan
f.Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif.
g.Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering disebut “An arbitration is as good as arbitrators”.
D. Pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Komersial Internasional Menurut Konvensi
Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langakh perbaikan dalam hal pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri, khusunya di antara negara anggota Konvensi.
Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi. Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara dapat mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua adalah persyaratan komersial (commercial-reservation). Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertma, yaitu bahwa negara yang bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.
Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa “komersial” menurut hukum nasionalnya. Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:
Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional. Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya. Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyedrhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi. Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.
Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V. Menurut pasal I, Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestic di suatu negara di mana pengakuan dan pelaksanaannya diminta.
Pasal III mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail. Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase, yaitu
1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku . 2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya . 3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau
4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau u
5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat
E. Prinsip Itikad Baik
Prinsip intikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara, prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Prinsip good faith ini tercantum dalam Manila Declaration Section 1 paragraph 1, yang berbunyi ; All state shall act in good faith and in conformity with the purpose and pinciples enshrired in the charter of the United Nations with a view to avoiding disputes among themselves…”
Prinsip selain good faith tercantum dalam Manila Declaration juga terdapat dalam Bali Concord 1976 Pasal 13, yang menyatakan : The high contracting parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. Dalam penyelesaian sengketa prinsip good faith tercermin dalam 2 (dua) tahap, yang pertama prinsip itikad baik diisyaratkan untuk mencegah timbulnya sengeketa yang dapat mempengaruhi hubungan baik antarnegara, yang kedua, bahwa prinsip good faith ini diisyaratkan harus ada ketika para pihak menyeleslam aikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional.
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya lahir (clause compromissoire).
Penggunaan arbitrase dalam arti modern dikenal pada waktu dikeluarkannyaThe Hague Convention for the Pacific Settlement of Internasional Disputes tahun 1899 dan 1907, dimana konvensi ini telah melahirkan suatu badan arbitrase internasional (Permanent Court of Arbitration).
Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak, biasanya arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta diharuskan untuk netral. Setelah arbitrator ditunjuk selanjutnya arbitrator menetapkan terms of reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan kerja. Terms of reference ini memuat tentang pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan yuridiksi arbitrator dan aturan-aturan (acara) sidang arbitrase, yang semua isinya teserbut harus disepakati oleh para pihak yang besengketa.
REKONSTRUKSI TATANAN DUNIA PASCA PERANG
Sementara perang masih belum usai antara pasukan koalisi dengan tentara
Irak, George W. Bush bersama Tony Blair secara intensif telah membicarakan masa
depan Irak ‘pasca Saddam’, hal yang sama juga akan segera dilakukan oleh Jerman,
Perancis dan Rusia—meskipun konteks pembicaraan kedua kubu tersebut berbeda.
Keyakinan Bush dan Tony Blair akan jatuhnya rezim Saddam Hussein dalam tempo
waktu yang tidak terlalu lama sepertinya masih bersifat prematur, sebab meskipun
secara faktual pasukan koalisi telah berhasil menguasi Baghdad, namun mereka
belum berhasil menangkap Saddam—bahkan keberadaannyapun masih misterius.
Terlepas dari ‘ambisi Bush bersama koalisi setianya’ Tony Blair untuk
sesegera mungkin mengganti rezim Saddam—hal yang subtansial sebenarnya yang
perlu menjadi perhatian bersama masyarakat dunia kedepan adalah bagaimana
menata tatanan dunia yang lebih humanis dan beradab—dengan agak ‘sedikit
revolusioner’ menegasikan hegemoni Amerika Serikat terhadap PBB sebagai
lembaga ‘independent’ dalam menangani masalah-masalah kemanusian antar bangsa
jika dipandang masih signifikan. Dalam konteks ini beberapa pertimbangan yang
perlu diperhatikan adalah, pertama bukan rahasia lagi di kalangan masyarakat dunia
—bahwa tindakan Amerika yang selalu ingin tampil sebagai polisi dunia,
mempersonifikasikan diri sebagai ‘tauladan’ demokrasi dan HAM—secara empiris
menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Rusaknya tatanan hukum dan moral
internasional dewasa ini ternyata banyak dilakukan oleh Amerika dan para
sekutunya. Sebagai misal, dalam kejadian mutakhir perang di Irak yang
menggunakan senjata pembunuh super canggih ternyata banyak memakan korban
sipil tak berdosa yang jumlahnya setiap saat semakin bertambah—dengan dalih salah
sasaran yang itu berarti telah merampas hak asasi warga sipil Irak untuk hidup.
Sebetulnya atas dasar dorongan nurani kemanusiaan inilah teriakan masyarakat dunia
untuk menghentikan peperangan di Irak disampaikan, bukan karena faktor negara
Irak itu sendiri. Kita memang tidak tahu, rahasia apa yang tersembunyi dalam hati
Bush dan Tony Blair yang dengan mudahnya ‘merampas nyawa’ warga sipil tersebut
atas dasar misi “gombal” untuk membebaskan warga Irak dari cengkeraman rezim
Saddam.
Kedua, ketidak berdayaan PBB selama ini sedikit banyak dipicu oleh menguatnya
kewenangan negara-negara adikuasa dalam lembaga PBB tersebut dengan hak veto
yang dimilikinya. Dalam konteks kasus-kasus tertentu—diluar alasan-alasan historis,
hak veto tersebut memang diperlukan semisal sebelum terjadinya kasus penyerangan
Irak oleh tentara koalisi di bawah komando Amerika, dimana beberapa negara
pemegang hak veto seperti Rusia akan memveto resolusi PBB bila ternyata
melegalkan tindakan agresi Amerika dan koalisinya terhadap Irak. Fakta semacam ini
meskipun ternyata tidak terjadi paling tidak hal itu merupakan pressure moral bagi
Amerika bahwa tindakan tersebut menyalahi nurani kemanusiaan dan melanggar
norma-norma hukum internasional—yang telah menjadi komitmen bersama antara
bangsa pasca perang dunia untuk tidak menggunakan kekuatan militer dalam
penyelesaian krisis antar negara, tapi harus menggunakan jalur diplomasi—meskipun
kenyataannya secara konvensional perang merupakan kelanjutan dari suatu diplomasi
yang gagal.
Selain itu, secara implementatif pengunaan hak veto tersebut hampir tidak
ada standar pertimbangan hukum yang definitif, tetapi lebih kepada vested interest
negara yang punya hak veto tersebut, artinya bila suatu resolusi PBB kurang
menguntungkan bagi negara yang bersangkutan, maka hak veto tersebut secara
otomatis akan digunakan. Dilain pihak, karena alasan historis juga negara-negara
pemegang hak veto tersebut merupakan negara-negara yang masuk kategori negara-
negara maju, sementara negara-negara berkembang dan bahkan negara-negara miskin
yang jumlahnya lebih banyak, menjadi obyek yang selalu kurang diuntungkan,
sehingga ‘kiblat’ pembangunan dan pengembangan negara-negara tersebut merujuk
kepada negara-negara pemegang hak veto tersebut—yang terkadang sebagian
menggunakan standar ganda semisal Amerika. Dan implikasi yang lebih jauh lagi
bahwa diantara negara-negara maju itu sendiri muncul friksi kepentingan yang dalam
konteks masa lalu melahirkan perang dingin antara Uni soviet sebagai representasi
negara-negara sosialis dengan Amerika sebagai jelmaan negara kapitalis—yang
mana hal itu berimplikasi terhadap laju pembangunan di negara-negara miskin dan
berkembang, akibat terjadinya tarik-menarik simpati oleh kedua kubu tersebut dalam
perebutan sumber daya alam untuk mensuplai negara maju itu sendiri.
Untuk mengantisipasi terjadinya ‘benturan kepentingan’ yang bisa memicu
timbulnya kontak senjata, maka munculnya istilah ‘penjahat perang’ yang
belakangan ini amat santer diteriakkan oleh sebagian masyarakat dunia—
mendapatkan payung hukum untuk mengadilinya berupa Statu Roma yang
dideklarasikan pada tahun 2000 yang lalu, namun anehnya Statuta Roma tersebut
ditolak oleh Amerika bersama China dan Irak. Sikap penolakan tersebut, kata Jerry
Fowler merupakan noktah yang mengotori keluhuran dari spirit hukum Statuta Roma
itu sendiri.
Ketiga, bila kedua pertimbangan tersebut tidak juga mampu menggugah
kesadaran para wakil negara di PBB, maka disinilah signifikansi peran negara-negara
yang tergabung dalam gerakan non blok untuk merevitalisasi diri diperlukan. Sikap
ini bukan dimaksudkan sebagai sebuah bentuk konspirasi apalagi konfrontasi
terhadap Amerika khususnya, melainkan sebagai salah satu ikhtiar untuk
merekonstruksi tatanan masyarakat dunia dengan mengeliminir hegemoni Amerika
terhadap PBB. Atau bukanlah hal yang utopis seandainya bila dipertimbangkan peran
PBB dalam kancah dinamika masyarakat dunia kedepan sudah tidak signifikan lagi
supaya lembaga tersebut ‘dibubarkan’ dengan membentuk lembaga Dunia baru yang
betul-betul representatif dalam memayungi kepentingan masyarakat dunia secara
menyeluruh. PBB lahir karena faktor sejarah dan dinamika masyarakat dunia yang
selalu diwarnai oleh anarkisme, serta keinginan masyarakat dunia yang tumbuh dari
kesadaran nurani untuk hidup secara damai ketika itu. Maka dengan pertimbangan-
pertimbangan yang hampir sama dengan sekarang ini mengapa tidak?
Modal kultural dalam upaya merekonstruksi tatanan dunia baru kedepan
sebenarnya sudah terlihat dari maraknya demontrasi masyarakat dunia dari berbagai
elemen untuk menghentikan perang. Hal itu berarti bahwa secara fitrah masyarakat
dunia punya keinginan bersama untuk hidup secara damai dan sudah sangat jenuh
menyaksikan drama krisi kemanusiaan dan anrkisme yang intensitasnya semakin
kerap terjadi, baik yang bersifat internasional maupun regional. Munculnya LSM
yang bergerak dibidang HAM bisa dimaknai bahwa dalam kehidupan masyakarat
dunia dewasa ini tengah tumbuh praktik pengebiran hak asasi manusia (HAM) baik
melibatkan aktor pemerintah sendiri maupun kekua negara lain yang menginvasi
negara tertentu, atau bisa jadi hal itu sebagai sarana penguatan dan penyadaran
masyarakat sendiri terhadap hak asasinya dari represi pemerintah yang berkuasa yang
dipicu faktor-faktor tersebut diatas. Maka konsekuensinya untuk mewujudkan
keinginan bersama tersebut diperlukan lembaga yang representatif dan sekaligus
instrument hukum yang aspiratif. Lemabga yang representatif tersebut merupakan
lembaga yang didirikan secara demokratis atas keinginan bersama dan tidak ada hak
previlege tertentu bagi salah satu anggotanya, tetapi sama baik dalam komitmen
melaksanakan program maupun menegakkan aturan yang menjadi kesepakatan
bersama (equality before the law). Adapun munculnya berbagai perbedaan
pandangan di dalam tubuh lembaga tersebut, bukanlah hal yang subtansial karena hal
itu bisa dijembatani bersama melalui forum musyawarah untuk mendebatkan ide-ide
yang ada secara intelek dan tetap denagn hati dingin, serta menjauhi sikap-sikap
arogan untuk memaksakan kehendak.
Sementara instrumen hukum yang aspiratif merupakan pengayaan artikulasi
aspirasi masyarakat kedalam suatu regulasi yang juga melalui mekanisme sharing ide
denagn cara-cara yang intelek. Hal yang terpenting lainnya adalah faktor masyarakat
itu sendiri sebagai salah satu variable terpenting dalam penegakan hokum, mereka
harus senantiasa diberdasarkan kehidupannya supaya matching antara idea yang
tertuang dalam regulasi tersebut dengan keinginan masyarakat itu sendiri untuk hidup
secara damai.
Berdasarkan keinginan yang luhur tersebut maka ide untuk mewujudkan
tatanan masyarakat dunia kedepan yang harmonis dan humanis akan mampu
direalisasikan bersama, tetapi semuanya perlu proses yang terkait dengan waktu dan
dinamika perkembangan masyarakat yang sangat kompleks, namun yang terpenting
adalah adanya iktikad baik bersama, dan setiap niat baik seyogyanya tidak perlu
ditunda-tunda.
PERISTIWA LAKE LONUX 1957
ANTARA PRANCIS DAN SPANYOL
DI SUSN OLEH KELOMPOK 3:
ABD RAZAK MUSAHIB
BESSE WULANDARI
RISKAWATI
CICI FAJAR NOVITA
MARTEN SOLEH
ARIATI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2011