Upload
chaterine-grace
View
23
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
ABSESFISTULA PERIANAL
DISUSUN OLEH:
Mayandra Mahendrasti
NIM 03009148
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
PEMBIMBING:
dr. Bajuadji, Sp. B, MARS
DEPARTEMEN ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
JAKARTA – OKTOBER 2013
1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Indra Setiawan
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki‐laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Supir pribadi
Status Perkawinan : Belum menikah
Tanggal Masuk RS : 6 Oktober 2013 di IGD RSUD Koja
B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 9 Oktober 2013 di bangsal bedah
lantai 5
1. Keluhan Utama
Bisul di bokong kanan sejak kurang lebih dua minggu sebelum masuk RS.
2. Keluhan Tambahan
• Badan terasa menggigil saat bisulnya nyeri, terutama saat sore dan
malam
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan adanya bisul di bokong kanan sejak
kurang lebih dua minggu sebelum dirawat di RS. Bisul disertai nyeri yang
hiilang timbul, terutama pagi dan malam hari, saat hendak buang air
besar dan saat duduk. Bisul muncul tiba‐tiba. Sebelumnya pasien
mengeluh memiliki ambeien (hemorrhoid) sejak kurang lebih seminggu
sebelum memiliki bisul. Ambeien kadang keluar sendiri saat defekasi
Pasien sempat berobat ke klinik dokter, Puskesmas, lalu ke pengobatan
alternatif. Pasien merasa benjolan ambeiennya mulai mengecil tetapi
malah mulai terasa sakit. Pasien juga sering merasa badannya menggigil
jika bisulnya nyeri. Kemarin, hari Selasa, 8 Oktober 2012, bisulnya pecah
dan mengeluarkan darah dan nanah. Keluhan yang dirasakan pasien
2
sekarang adalah rasa nyeri di lokasi bekas bisul dan rasa menggigil. Tidak
ada riwayat BAB berdarah. Pasien tidak ada riwayat alergi obat, riwayat
DM, ataupun riwayat hipertensi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang
sama seperti pasien.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, dan kanker dalam keluarga
disangkal oleh pasien.
6. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku terkadanga sulit buang air besar, kadang bisa
sampai 5 hari sekali. Pasien mengaku makan dengan porsi biasa 2‐
3x sehari, tetapi jarang mengonsumsi buah dan sayur.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS GENERALIS
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tekanan Darah : 100/60 mmHg
d. Frekuensi Napas : 20 x/menit
e. Frekuensi Nadi : 84x/menit
f. Suhu : 36,50C
g. Kepala
Normosefali, rambut hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
h. Mata
Konjungtiva anemis ‐/‐, sklera ikterik ‐/‐
i. Hidung
Normosepta, secret ‐/‐, hiperemis ‐/‐
j. Telinga
Normotia, secret ‐/‐
3
k. Mulut
Oral hygiene baik, faring tidak hiperemis.
l. Leher
Trakea lurus di tengah.
m. Thoraks
Paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru.
Perkusi : redup pada bagian superior kedua paru
Auskultasi: suara napas vesikuler, rhonki halus pada bagian superior
kedua paru, wheezing ‐/‐
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas jantung kanan: ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I, II regular, murmur (‐), gallop (‐)
n. Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (‐)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+)
o. Ekstremitas
Akral hangat, edema (‐)
2. SATUS LOKALIS
Regio anus
• Inspeksi : Pada posisi jam 8—11 terdapat benjolan di daerah
perianal dengan ukuran 5x3x2 cm, berbentuk oval, batas tegas,
tepi tidak teratur, dengan warna lebih hiperemis dari jaringan
sekitarnya.
4
• Palpasi : Nyeri tekan (+), suhu perabaan lebih hangat dan
konsistensi teraba padat‐lunak. Pada saat jari dimasukkan ke
lubang anus, teraba benjolan pada arah jam 9, konsistensi lunak,
mobilitas (+), sfingter anal baik, mukosa recti licin, ampulla recti
tidak kolaps,, tidak teraba pembesaan prostat, pada handscoen
tidak didapatkan lendir/feses/darah.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb : 12,5
Leukosit : 22.700
Ht : 36
Trombosit : 477.000
GDS :132
E. DIAGNOSIS
Abses perianal
Hemorhoid interna grade III
F. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD RL
Antibiotik spectrum luas
Antibiotik gram positif dan negatif
Analgesik
Non medikamentosa
Banyak makan makanan berserat
Banyak minum air putih
Banyak olahraga
G. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad malam
6
BAB II
ANALISIS KASUS
DAFTAR MASALAH HIPOTESIS
Bisul di bokong kanan dan terasa nyeri
hilang timbul
• Abses perianal
Disebabkan oleh infeksi kelenjar anus.
Biasanya bersifat sangat nyeri.
• Hemoroid eksterna
Hemoroid adalah pelebaran dan
inflamasi pembuluh darah vena di
daerah anus yang berasal dari pleksus
hemoroidalis. Hemoroid ekstern
merupakan pelebaran dan penonjolan
pleksus hemoroid inferior terdapat di
sebelah distal garis mukokutan di
dalam jaringan di bawah epitel anus.
Dapat menyebabkan nyeri.
Bisul kemudian pecah, mengeluarkan
darah dan nanah
Abses perianal
Nyeri muncul saat duduk atau BAB Pada saat duduk dan BAB terjadi
penekanan daerah perianal dan
anorektal yang akan mengiritasi saraf‐
saraf sensorik.
Pasien mengaku sering sulit BAB dan
sebelumya memiliki ambeien yang
tidak sakit dan tidak mengeluarkan
darah pada BAB. Ambeien sering
keluar sendiri dan harus didorong
masuk
Hemoroid interna grade III
Sering merasa menggigil Kecurigaan gejala sistemik akibat
abses perianal
7
Kean gizi pasien buruk Faktor risiko terjadi abses perianal
Pada posisi jam 8—11 terdapat
benjolan di daerah perianal dengan
ukuran 5x3x2 cm, berbentuk oval,
batas tegas, tepi tidak teratur, dengan
warna lebih hiperemis dari jaringan
sekitarnya.
Nyeri tekan (+), suhu perabaan lebih
hangat dan konsistensi teraba lebih
keras daripada jaringan sekitarnya
Gambaran adanya abses dan infeksi
dan peradangan pada daerah perianal
Pada saat jari dimasukkan ke lubang
anus, teraba benjolan pada arah jam 9
dengan diameter 1 cm,, konsistensi
lunak, mobilitas (+), mukosa recti licin,
ampulla recti tidak kolaps, tonus
sfingter anal baik, tidak teraba
pembesaan prostat, pada handscoen
tidak didapatkan lendir/feses/darah
Hemoroid interna
Hb 12,7; Ht 36 Adanya anemia, bisa disebabkan
kondisi fisik pasien yang menurun
sehingga pasien tidak nafsu makan.
Leukosit 22.700 Menunjukkan infeksi sistemik yang
dicurigai akibat abses
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Abses dan fistula anorektal adalah salah satu dari penyakit yang paling sering
didapatkan pada orang dewasa. Abses dan fistula dianggap merupakan suatu
fase kronik dan akut dari infeksi anorektal yang sama. Abses adalah infeksi dari
kelenjar anus yang menyebar ke ruang sekitarnya dan menyebabkan fistula
dalam 40% kasus. Penatalaksanaan dari abses anorektal adalah drainase dini
dan adekuat. Penatalaksanaan dari fistula, walaupun merupakan tindakan
pembedahan dalam semua kasus, lebih kompleks karena adanya kemungkinan
inkontinensia fecal sebagai akibat dari sphincterektomi. Fistulotomi primer dan
seton memiliki insidensi yang sama dari inkontinensia fekal yang bergantung
pada kompleksitas fistula. Jadi walaupun tujuan dari prosedur pembedahan
adalah untuk menyembuhkan fistula, penatalaksanaan konservatif berguna
untuk menghindari inkontinensia fekal.
Abses‐fistula anorektal memiliki keterkaitan dalam hal etiologi, anatomi,
patofisiologi, terapi, dan morbiditas, maka pantas keduanya dianggap menjadi
satu kesatuan; abses‐fistula. Selain itu, wajar jika abses dianggap sebagai fase
akut sedangkan fistula sebagai fase kronik dari supurasi anorektal.
ANATOMI DAN FISIOLOGI ANOREKTAL
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ectoderm,
sedangkan rectum berasal dari entoderm. Karena perbedaan asal anus dan
rectum ini, maka perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan limfnya
berbeda juga, demikian pula epitel yang menutupinya. Rectum dilapisi oleh
mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan
lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar. Tidak ada yang disebut mukosa anus.
Daerah batas rectum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel.
9
Kanalis analis dan kulit luar sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik
dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rectum mempunyai
persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal
pengidap karsinoma rectum, sementara fisura anus nyeri sekali. Daerah vena di
atas garis anorektum mengalir melalui system porta, sedangkan yang berasal
dari anus dialirkan ke system kava melalui cabang vena iliaka. Distribusi ini
menjadi penting dalam upaya memahami cara penyebaran keganasan dan
infeksi serta terbentuknya hemoroid. System limf dari rectum mengalirkan
isinya melalui pembuluh limf sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke
arah kelenjar limf paraaorta melalui kelenjar limf iliaka interna, sedangkan limf
yang berasal dari kanalis analis mengalir kea rah kelenjar inguinal.
Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 cm. Sumbunya mengarah ke
ventrokranial yaitu kea rah umbilicus dan membentuk sudut yang nyata ke
dorsal dengan rectum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi sudut ini
menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis
mukokutan, linea pektinata atau linea dentate. Di daerah ini terdapat kripta anus
dan muara kelenjar anus antara kolumna rectum. Infeksi yang terjadi disini
dapat menimbulkan abses anorektum yang dapat membentuk fistel. Lekukan
antar sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan
colok dubur, dan menunjukkan batas antara sfingter interna dan sfingter
eksterna (garis Hilton).
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan
sfingter ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter
intern, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis), dan
komponen m.sfingter eksternus. M.sfingter internus terdiri atas serabut otot
polos, sedangkan m.sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik.
10
Persarafan
Persarafan rectum terdiri atas system simpatik dan parasimpatik. Serabut
simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan dari system parasakral
yang terbentuk dari ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga dan keempat.
Unsure simpatis pleksus ini menuju kea rah struktus genital dan serabut otot
polos yang mengendalikan emisi air mani dan ejakulasi. Persarafan parasimpatik
(nervi erigentes) berasal dari sacral kedua, ketiga dan keempat. Serabut saraf ini
menuju ke jaringan erektil penis dan klitoris serta mengendalikan ereksi dengan
cara mengatur aliran darah ke dalam jaringan ini. Oleh karena itu, cedera saraf
yang terjadi pada waktu operasi radikal panggul seperti ekstirpasi radikal
rectum atau uterus dapat menyebabkan gangguan fungsi vesika urinaria dan
gangguan fungsi seksual.
Muskulus puborektal mempertahankan sudut anorektum; otot ini mempertajam
sudut tersebut bila meregang dan meluruskan usus bila mengendur.
11
ETIOLOGI
Abses anorektal berasal dari infeksi dari kelenjar anus. Pada tahun 1880,
Herman dan Desfosses mendemonstrasikan percabangan dari kelenjar anus di
dalam sfingter interna, submukosa, dan pembukaan dari kripta anus. Mereka
adalah yang pertama menunjukkan bahwa infeksi dari kelenjar anus berakibat
pada sepsis melalui ruang intersfingter sampai ke jaringan perianal. Tucker dan
Hellwig menunjukkan secara pasti bahwa sepsis anus berasal dari saluran anus,
yang memungkinkan infeksi terjadi dari lumen anus menuju dinding kanal anus.
Eisenhammer pada 1956 menyamakan hampir seluruh fistula anal adalah infeksi
kelenjar intermuskular. Infeksi dapa terjadi di antara sfingter internal dan
eksternal, mencapai tepi anus dan menjadi abses perianal.
Ada beberapa penyebab langka dari abses supralevator, yang diakibatkan dari
sepsis pelvic akibat appendicitis, diverticulitis, atau sepsis ginekologik. Hal
tersebut dapat menjalar ke rectum atau menyebar ke bawah melalui otot levator
ke fossa iskiorektal. Penyakit Crohn dari regio anorektal dapat menyebar secara
transmural menuju ruang perirektal atau perianal. Biasanya, supurasi dapat
terjadi dengan perforasi dari tauma tembus (luka tusuk atau tembak), kanker
rectal tingkat rendah atau kanker yang berasal dari kelenjar anus. Infeksi
spesifik yang berhubungan dengan oxyuris vermicularis, tuberculosis, atau
infeksi jamur biasanya relatif jarang.
Fistula anorektal muncul dari abses yang sudah ada pada kebanyakan kasus.
Abses yang sebelumnya telah didrainase dapat sembuh secara permanen,
sembuh dan muncul lagi pada lokasi yang sama, atau tetap tidak sembuh terus
menerus. Pada kedua kasus terakhir, diagnosis dari fistula anus hampir pasti.
Pada penelitian dari 100 kasus abses anorektal yang rekuren, terdapat 68%
pasien dengan fistula. Risiko fistula lebih rendah pada trauma, perforasi
iatrogenic, post‐hemoroidektomi, episiotomi yang terinfeksi atau perbaikan dari
robekan sfngter derajat 4 saat persalinan, fisura anus yang terinfeksi, atau
penyakit Crohn.
12
KLASIFIKASI DARI FISTULA
Setelah melalui bayak klasifikasi (letak rendah dan tinggi, simple dan kompleks,
dengan atau tanpa perpanjangan), kini, klasifikasi dari Park, Gordon, dan
Hardcastle adalah yang paling sering digunakan, tidak hanya karena dapat
mendeskripsikan secara akurat jalur anatomi dari fistula, tetapi juga penting
dalam menentukan kerumitan operasi, pentingnya berbagai derajat dari
sfingterektomi, dan potensi terjadinya inkontinensia.
Fistula intersfingterik bermula di linea dentate dan berakhir pada tepi anus,
dengan jalur di antara sfingter interna dan eksterna. Fistula transsfingterik
memiliki jalur melalui sfingter eksternal menuju fossa ischiorectal. Fistula
suprasfingterik berasal dari kripta anus dan mengelilingi seluruh mekanisme
sfingter sebelum berakhir pada fossa iskiorektal. Fistula ekstrasfingterik
biasanya berlokasi sangat tinggi, menembus seluruh mekanisme sfingter dan
juga otot levator, dan mungkin berasal dari manapun di daerah anorektum, tidak
hanya dari kripta anus.
Klasifikasi fisura Parks,
Gordon dan Hardcastle.
(a) Intersfingter;
(b) Transsfingter;
(c) suprasfingter;
(d) ekstrasfingter.
PATOFISIOLOGI
Berawal dari infeksi pada epitelium cryptoglanduler pada saluran anus Sfingter
anal interna biasanya berperan sebagai barrier terhadap infeksi dari lumen usus
ke daerah perirektal. Barrier ini dapat ditembus melalui kripta Morgagni
penetrasi melalui sfingter interna ke ruang intersphincter. Infeksi menyebar ke
13
jaringan dan ruangan sekitarnya. Penyebaran infeksi dapat melibatkan ruang
intersfingter (2‐5%), ruang ischiorektal (20‐25%), dan ruang supralevator
(2,5%)
DIAGNOSIS
Gejala utama dari abses anorektal adalah nyeri, tetapi harus dibedakan dari
hemoroid, fisura anus, spasme otot levator, penyakit menular seksual, proktitis,
dan kanker. Abses tingkat rendah (intersfingter, perianal, dan ischiorectal)
biasanya berkaitan dengan bengkak, selulit, dan nyeri tekan, tetapi memiliki
gejala sistemik yang sedikit. Abses tingkat tinggi (submukosa, supralevator)
memiliki gejala local yang sedikit tetapi gejala sistemik yang signifikan. Jika
abses dicurigai, tetapi tidak dapat didagnosis karena pasien, pemeriksaan di
bawah anastesi harus dilakukan secepat mungkin. Terkadang pemeriksaan
anjuran diperlukan untuk mendiagnosis abses akut.
Fistula dapat mudah didiagnosis dan anuskopi harus dilakukan untuk mencari
pembukaan dalam.
Aturan Goodsall masih dapat
dilakukan kecuali jika ada
perubahan anatomis akibat
operasi dan fibrosis. Aturan
Goodsall menyebutkan
bahwa (a) pintu luar di
anterior garis transversal
imajiner dan sekitar 3 cm
dari tepi anus akan
mengarah pada jalur yang
lurus ke arah tengah dalam;
(b) pintu luar di posterior garis transversal imajiner akan mengarahkan pada
jalur yang berkelok dan pada pintu dalam pada garis posterior tengah; (c) fistula
anterior yang panjang (>3 cm dari tepi anus) memiliki jalur yang berkelok dan
pintu dalam pada garis posterior tengah.
14
Menusuk fistula di lubangnya menyebabkan nyeri dan tidak perlu dilakukan.
Pada pasien dengan fistula yang berkepanjangan terdaat risiko untuk terjadinya
kanker. Pada satu penelitian, enam kanker ditemukan pada kasus fistula rata‐
rata 14 tahun.
TATALAKSANA
a. Medikamentosa
Nitrat topical, calcium channel blockers, dan botulinum toksin dianggap
sebagai terapi lini pertama. Obat‐obatan ini mengurani tonus sfingter anal
yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah anodermal. Antibiotik
dapat diperlukan teruatam jika pasien menunjukkan gejala sistemik.
b. Abses
Tujuan dari terapi pembedahan dari sebuah abses adalah untuk
mengeringkan abses, mengeringkan sepsis apapun yang berhubungan di
ruang anatomis sekitarnya, mengidentifikaasi jalur fistula dan apakah
melanjutkannya dengan fistulotomi primer untuk mencegah rekurensi (jika
sfingterektomi dianggap aman) atau menandai jalur fistula dengan seton
longgar untuk konsiderasi lanjut.
Drainase dari abses perianal dapat dilakukan di poli atau IGD, menggunakan
anastesi local. Pada pasien yang memiliki DM, immunocompromised atau
fistula kompleks, drainase harus dilakukan di ruang OK di bawah anastesi.
Pasien ini memiliki risiko yang lebih tinggi untuk fascitis nekrotik. Insisi kecil
berbentuk silang dibuat di atas daerah yang berfluktuansi yang bedekatan
dengan tepi anus. Pus dikumpulkan dan dikirim untuk kultur. Dilakukan
penekanan manual untuk hemostasis dan luka ditutup dengan kain kassa
steril + betadine Kain kasa dilepas setelah 24 jam dan pasien diinstruksikan
untuk melakukan mandi sitz 3x sehari.
c. Fistula
15
Tujuan dari terapi pembedahan dari fistula adalah untuk menentukan
anatominya secara akurat, mengeringkan sepsis yang berhubungan (abses
yang belum dibersihkan), membasmi jalur fistula jika memungkinkan,
mencegah rekurensi, dan menyelamatkan fungsi sfingter.
Untuk menentukan terapi pembedahan apa yang dipakai, kita harus membagi
fistula anorektal menjadi dua, yaitu simple dan kompleks. Fistula simple,
yaitu fistula yang berkaitan secara minimal dengan sfingter eksternal atau
otot puborektalis, contohnya intersfingterik, atau transsfingter tingkat
rendah. Sedangkan fistula compleks melibatkan lebih dari 30% sfingter
eksternal, suprasfingter, ekstrasfingter atau fistula letak tinggi (proksimal
dari linea dentate), fistula dengan jalur multiple, fistula yang rekuren, dan
fistula yang berkaitan dengan Inflammatory Bowel Disease, infeksi (TB, HIV),
dan radiasi.
Pada simple fistula akan dilakukan fistulotomi, yaitu kita membuka jalur
fistula dengan menggunakan insisi sepanjang jalur fistula menggunakan
probe sebagai penunjuk arah. Cara ini memiliki tingkat rekurensi 0‐20%.
Atau bisa juga dengan menggunakan fibrin plug, yaitu campuran antara
fibrinogen, trombin, dan Ca yang dapat menyebabkan sumbatan di jalur
fistula, dengan rekurensi sampai dengan 75%, tetapi memiliki keuntngan
tidak mengganggu fungsi sfingter.
Untuk fistula kompleks kita menggunakan seton, yaitu pengencangan seton
pada interval reguler yang memungkinkan drainase fistula pada saat yang
bersamaan bagi fistula untuk sembu, dengan disfungsi sfingter yang minimal.
Prosedur ini memiliki rekurensi 018% dan tingkat inkontinensia 0‐30%.
Caranya kita masukan benang silk ke dalam jalur fistula, ikat bersama di
luarnya. Insisi kulit hanya di atas jalur fistula, lalu kita kencangkan seton
pada interval yang reguler, secara perlahan memotong melalui sfingter.
Pemotongan yang bertahap menyebabkan perlukaan pada otot, sehingga
ujung‐ujungnya tidak akan bersatu kembali seperti pada fistulotomi, secara
perlahan membelah otot dan membiarkan jaringan penyembuhan luka
16
terbentuk pada tepinya (mencegah retraksi dari otot sebagai penyebab
inkontinensia).
PROGNOSIS
Fistula dapat kambuh jika lubang dalam tidak ikut dikeluarkan atau
dibersihkan, cabang fistel tidak dapat dibuka, kulit sudah menutup sebelum
jaringan granulasi mencapai permukaan.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Shrum R C. Anorectal pathology in 1000 consecutive patients with
suspected surgical disorders. Dis Colon Rectum. 1959;2:469–472.
2. Buda A M. General candidates of fistula in ano: the role of foreign bodies as
causative factors fistulas. Am J Surg. 1941;54:384–387.
3. Buie S L., Sr Practice Proctology. 2nd ed. Springfield, IL: Charles C Thomas;
1960.
4. Sainio P. Fistula in ano in a defined population: incidence and epidemiology
of patients. Ann Chir Gynaecol. 1984;73:219–224.
5. Nelson R L. Anorectal abscess fistula: what do we know? Surg Clin North
Am. 2002;82(6):1139–1151. v–vi.
6. Ramanujam P S, Prasad M L, Abcarian H, Tan A B. Perianal abscesses and
fistulas. A study of 1023 patients. Dis Colon Rectum. 1984;27(9):593–597.
7. Scoma J A, Salvati E P, Rubin R J. Incidence of fistulas subsequent to anal
abscesses. Dis Colon Rectum. 1974;17(3):357–359.
8. Vasilevsky C A, Gordon P H. The incidence of recurrent abscesses or fistula‐
in‐ano following anorectal suppuration. Dis Colon Rectum. 1984;27(2):126–
130.