Upload
mathildapanggabean
View
89
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
CEDERA KEPALA
Pendahuluan
Cedera kranioserebral sering di sebut cedera kepala merupakan suatu kedaruratan
neurologik yang perlu mendapat penanganan/penatalaksaan yang cepat, tepat dan cermat.
Cedera kranioserebral merupakan masalah kedaruratan neurologi yang sering ditemukan
dan umumnya terjadi pada pria atau wanita, dengan penyebab utama kecelakaan lalu
lintas (KLL) maupun jatuh dari ketinggian.Distribusi kasus cedera kepala terutama
melibatkan kelompok usia produktif antara 15 – 44 tahun dan lebih didominasi oleh
kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.cedera kepala lebih sering terjadi pada
usia muda yang sedang produktif dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi hingga
mengakibatkan kerugian karena kehilangan sumber daya menusia, kehilangan pekerjaan
dan produktifitas dan menimbulkan beban financial bagi penderita dan keluarganya.
Cedera pada kepala dan otak dapat berupa luka pada kulit kepala, fraktur pada tulang
tengkorak, robekan pada selaput otak, kerusakan pada pembuluh darah baik intra maupun
ekstra serebral dan kerusakan jaringan otaknya sendiri.
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas,
10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara
berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak
frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat.
Klasifikasi cedera kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dari berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan:
Mekanisme
Beratnya
Morfologi
1. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk
cedera tembus atau tumpul.
2. Beratnya cedera
Skala koma glassgow (SKG) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.juga dalam menilai tingkat kesadaran penderita akibat berbagai penyebab lain.
Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu melaksanakan perintah, tidak dapat
mengeluarkan suara, tidak dapat membuka mata, nilai SKG tersebut minimal
3.sebenarnya istilah koma tidak dapat dinyatakan dengan tepat apabila memakai SKG.
Namun sebanyak 90 % penderita dengan nilai SKG sama atau kurang dari 8 adalah dalam
keadaan koma, dan tidak satupun dengan nilai SKG di atas 9 dalam keadaan koma.
Berat ringannya cedera kranioserebral dapat di bagi berdasarkan patofosiologi, lokalisasi
dan gambaran klinis (SKG).
A. Klasifikasi patofisiologi cedera kranioserebral
1. komosio serebri : pada keadaan ini tidak ada jaringan otak yang rusak tapi hanya
kehilangan fungsi otak sesaat, berupa pingsan kurang dari 10 menit atau amnesia
pasca trauma.
2. kontusio serebri : kerusakan jaringan otak dengan defisit neurologis yang timbul
setara dengan kerusakan jaringan otak tersebut, pingsan > 10 menit.
3. laserasi otak : kerusakan otak yang luas dan jaringan otak robek yang umumnya
disertai fraktur tengkorak terbuka.
B. klasifikasi lokalisasi cedera kranioserebral
1. lesi difus : kerusakan akibat proses trauma akselerasi/deselerasi yang merusak
sebagian besar akson susunan saraf pusat akibat regangan.
2. lesi kerusakan vaskuler otak : disebabkan oleh lesi sekunder iskemik terutama
akibat hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi pada waktu selama perjalanan
ke rumah sakit atau selama perawatan.
3. lesi fokal :
a. kontusio dan laserasi otak : disebut kontusio bila pia subarachnoid masih
utuh dan jika robek disebut laserasi.
b. Hematom intrakranial : perdarahan intrakranial dapat terjadi ekstradural
atau epidural di mana pembuluh darah meningea atau cabang-cabangnya
pecah. Perdarahan intradural dapat berupa subarachnoid, intraserebral atau
intraserebelar.
C. klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran cedera kranioserebral.
Tabel I
Berdasarkan derajat kesadaran cedera kepala
Kategori SKG Gambaran klinis
Ringan 13 – 15 Pingsan <10 menit, komplikasi / defisit neurologis (-)
Sedang 9 – 12 Pingsan >10 menit s/d <6 jam, komplikasi / defisit neurologis (+)
Berat 3 - 8 Pingsan >6 jam, komplikasi /defisit neurologis (+)
Tabel II
GLASGOW COMA SCALE
Jenis pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon motorik terbaik (M)
Ikut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Flexi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
Flexi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada 1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
3. Morfologi cedera
CT- scan secara dramatis merubah klasifikasi cedera kepala dan penatalaksaannya.
Penderita cedera kepala yang mengalami perburukan yang cepat, baik neurologis maupun
hemodinamik dapat saja di operasi tanpa CT scan, namun mayoritas penderita akan
memerlukan CT Scan sebelum tindakan operatif. CC Scan yang berturut-turut sangatlah
penting karena penderita cedera kepala sering mengalami perubahan morfologis dalam
waktu beberapa jam, hari, minggu. Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas
fraktur kranium dan lesi intrakranial.
Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera kepala, yaitu:
1. Cedera kepala primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Kerusakan dapat lokal dan difus. Yang local berupa
kontusio maupun laserasi ditempat benturan dan bisa di seberangnya.kerusakan
difus berupa kerusakan aksonal difus ( DAI) atau kerusakan mikrovaskular
difus.Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal.
2. cedera kepala sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going
process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolic.Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses
alamiah. Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada
upaya untuk mencegah atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus
berkembang dan berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat
organ, ini akan berakhir dengan kematian/kegagalan organ. Cedera kepala
sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang merupakan beban metabolik
tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera (neuron-neuron yang
belum mati tetapi mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena penyebab
sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera kepala primer, banyak yang
bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak
sekunder.Penyebab cedera otak sekunder di antaranya :
Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia,
dan hiponatremia.
Penyebab intrakranial: tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.
Penatalaksaan cedera kepala
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan:
(1) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder
(2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Cedera kepala ringan ( GCS 13 – 15 )
Lakukan pemeriksaan fisik umum, perawatan luka, buat foto kepala, istirahat baring
dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien, di sertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan adanya hematom
intrakranial misalnya ada riwayat lucid interval, sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun, gejala-gejala laterasisasi (pupil anisokor, reflex patologis +), jika diperlukan
buat CT Scan. Penderita tidak perlu dirawat jika :
1. Orientasi waktu dan tempat masih baik
2. Tidak ada gejala fokal neurologis.
3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.
4. Tidak ada fraktur tulang kepala.
5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.
6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas
Cedera kepala sedang ( GCS 9 – 12)
pasien dalam keadaan ini mungkin mengalami gangguan kardiopulmonal, jika ada
gangguan tersebut maka :
a. segera lakukan resusitasi jantung paru (RJP) yaitu : bersihkan jalan nafas, perbaiki
pernafasan dan sirkulasi.
b. Periksa kesadaran, pupil, ganguan fokal neurologis, cedera organ lain, jika ada
jejas di leher pasang fiksasi leher.
c. Foto kepala, bila perlu foto organ tubuh lain yang mencurigakan.
d. CT Scan jika di duga adanya hematom intrakranial.
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil dan defisit neurologis.
Cedera kepala berat ( GCS 3 – 8)
Penderita dengan cedera kepala cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah-perintah sederhana walaupun status kardiopulmunalnya telah di stabilisasi.
A. primary survey dan resusitasi
cedera otak sering di perburuk akibat cedera sekunder. Dalam suatu penelitian
terhadap 100 orang yang berurutan dengan cedera kepala berat yang dilakukan
evaluasi pada saat tiba di UGD di peroleh data 30 % penderita dengan hipoksemia, 13
% dengan hipotensi, dan 12 % dengan anemia.penderita cedera kepala berat dengan
hipotensi mempunyai mortalitas 2 x lebih banyak daripada penderita tanpa hipotensi.
Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi akan menyebabkan
mortalitas mencapai 75 %. Oleh karena itu tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada
penderita cedera kepala berat harus dilaksanakan secepatnya.
B. secondary survey
Penderita dengan cedera kepala sering disertai cedera multipel. Dalam satu penelitian
penderita cedera kepala, lebih dari 50 % di sertai cedera sistemik mayor yang
memerlukan bantuan konsultasi dokter ahli lain.
C. pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung di lakukan segera setelah status kardiovaskular
penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya
pupil. Gerakan bola mata (Doll eye phenomena, reflex okulokardiak), tes kalori
(reflex okulovestibuler dan reflex kornea).
Pada penderita koma, respon motorik dapat di peroleh dengan memijat kuku atau
papila mamae. Bila penderita menunjukkan respon motorik yang bervariasi maka
yang di nilai adalah respon motorik terbaik, karena merupakan indikator prognosis
yang paling tepat.
namun untuk dapat mengikuti perkembangan penderita sebaiknya di catat respon
yang terbaik dan terburuknya. Dengan perkataan lain respon motorik extremitas
kanan dan kiri harus di catat dengan terpisah. Pemeriksaan serial harus terus di
lakukan karena respon penderita akan bervariasi menurut jalannya waktu. Hal ini juga
merupakan masukan yang baik bagi pemeriksa akan kestabilan penderita sehingga
dapat dideteksi adanya suatu perburukan sedini mungkin. Sebagai tambahan penilaian
GCS, dicatat pula respon reaksi pupilnya.
Pemeriksaan yang teliti tentang respon reaksi cahaya pupil dan ukuran diameter pupil
sangatlah penting dilakukan pada tahap awal pemeriksaan penderita dengan cedera
kepala berat. Tanda awal suatu herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil
atau reaksi cahaya pupil yang melambat.
D. pemeriksaan radiologi
Buat foto kepala dan leher, foto anggota tubuh yang lain tergantung indikasi. CT Scan
otak di buat jika ada fraktur kepala atau klinis di duga ada hematom intrakranial.
E. Medikamentosa
Penatalaksanaan tekanan intrakranial meninggi dilakukan sejak awal yaitu:
1. menjaga suhu tubuh tetap normal (<37,5°C) dapat diberikan kombinasi
asetaminofen, selimut dingin, lavage air es.
2. tinggikan kepala 30 °, aksis tubuh netral.
3. hiperventilasi ringan pertahankan Pa CO2±35 mmHg
4. jaga euvolemia
5. jaga CPP > 70 mmHg
6. profilaktis antikonvulsan, minimal sampai minggu pertama setelah cedera kepala,
misalnya pada cedera kepala dengan resiko kejang tinggi seperti impresi fraktur,
hematom intrakranial di berikan phenitoin dengan dosis 18 mg/Kg bb, bolus IV
atau oral.
Jika usaha tersebut diatas belum berhasil lakukan terapi primer yaitu:
1. drainase cairan cerebrospinal
2. terapi sedativa ( narkotik dan karbamazepim)
3. terapi blokade neuromuskular
lakukan terapi sekunder bila terapi primer belum berhasil yaitu:
1. bolus manitol, berikan 0.25 g/KgBB, pemberian manitol per hari maksimal 200
gram.
2. naikkan CPP
lakukan terapi tersier jika usaha terapi sekunder tidak berhasil yaitu: terapi supresif
metabolik dengan pemberian barbiturat dosis tinggi atau propofol.
Terapi cairan pada saat awal cedera kepala dibatasi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri, kecuali jika ada tanda-tanda syok hemoragik. Jumlah cairan di berikan
1500 – 2000 mL/hari berikan cairan kristaloid seperti NaCL 0.9 % atau ringer laktat,
jangan berikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena hiperglikemia dapat
menambah edema serebri, keseimbangan cairan tercapai jika tekanan darah stabil
normal, denyut jantung normal dan volume urine normal >30 mL/jam.
Kebutuhan energi pada cedera kepala meningkat rata-rata 40 % protein diberikan 1.5-
2 g/Kgbb/hari,lipid 10-40% dari kebutuhan kalori perhari, Zinc 12 mg/hari kadar gula
dipertahankan < 200 mg/hari.
Adanya selang waktu antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan.
Dapat diberikan neuroprotektan misalnya sitikolin dengan dosis 1 – 1.5 gram/hari IV.
PRESENTASI KASUS
Identitas pasienDiagnosis : Cedera kepala berat
Nama : Tn. B
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Supir
Pendidikan : STM
Agama : Islam
Alamat : Kemayoran
Masuk tanggal : 6 November 2010
Keluar tanggal :
Anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis)
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
Keluhan tambahan :
Riwayat perjalanan penyakit :
± 2 jam SMRS pasien sedang mengendarai sepeda motor di sekitar Pancoran tiba-tiba ada
pengendara motor lain memotong jalan, pasien mengerem mendadak dan terjatuh. Kepala
bagian kiri terbentur tiang listrik dengan keadaan memakai helm full face. Pasien
langsung hilang kesadaran, muntah (-), keluar darah dari telinga kiri. Lalu langsung
dibawa ke rumah sakit. Saat ini sudah perawatan hari ke 7.
Riwayat penyakit dahulu :
Jantung disangkal, hipertensi disangkal, diabetes melllitus disangkal.
Makan, minum , kebiasaan :
Kedudukan dalam keluarga :
Kepala keluarga
Lingkungan tempat tinggal :
Lokasi padat penghuni
Pemeriksaan fisik
Status generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Apatis
Tekanan darah : 120/70 mmhg
Nadi : 68 X/menit
Suhu : 36,7ºC
RR : 20 X/menit
Umur klinis : 50 - an
Bentuk badan : Atletikus
Gizi : cukup
Stigmata : -
Kulit : sawo matang
Kuku : tidak sianosis
KBG : tidak teraba
Turgor : baik
Status regional
Kepala : Tidak ada kelainan
Kalvarium : Tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : bentuk biasa, lapang +/+, sekret -/-
Mulut : tidak ada kelainan
Telinga : lapang +/+, Telinga kiri terdapat sisa darah yang mengering
Leher : jejas (-)
Toraks : pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri, retraksi –
Paru-paru : bunyi nafas dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : bunyi jantung I& II murni, gallop -, murmur –
Abdomen : datar, lemas, BU +5 x/m
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Vesica urinaria : tidak ada kelainan
Genitalia externa : tidak dilakukan
Extremitas : krusta pada genu dextra
Pemeriksaan neurologis
GCS E3V3M6 = 12
Rangsang meningeal
Kaku kuduk : -
Brudzinki I : -
Brudzinki II : -/-
laseque : <70° /<70º
kernig : +/+
Saraf kranial
N.I : Tidak dilakukan
N.II : funduskopi tidak dilakukan
N.III, IV,VI : Sikap bola mata: simetris
ptosis -/-
strabismus -/-
exophtalmus -/-
endophtalmus -/-
diplopia -/-
deviasi konjugae -/-
pergerakan bola mata:
lateral kanan :Tidak dilakukan
lateral kiri : Tidak dilakukan
atas : Tidak dilakukan
bawah : Tidak dilakukan
berputar : Tidak dilakukan
pupil:
bulat
isokor , 3mm/3mm
reflex cahaya langsung +/+
reflex cahaya tidak langsung +/+
reflex akomodasi +/+
N.V : motorik :
Tidak dilakukan
sensorik :
Tidak dilakukan
reflex :
reflex kornea +/+
reflex maseter +
N.VII : Wajah simetris
Lagoftalmus : Tidak ada
kembung pipi:Tidak dilakukan
Menyeringai : baik
angkat alis : Tidak dilakukan
kerut dahi : Tidak dilakukan
Rasa kecap : Tidak dilakukan
Chovstek : +
N.VIII : test gesek jari: Tidak dilakukan
test berbisik : Tidak dilakukan
nistagmus : –
N.IX, X : Arkus faring : simetris
Palatum mole : intak
Disfoni : tidak ada
Rinolali : tidak ada
Disfagi : Tidak dilakukan
Batuk : Tidak dilakukan
Menelan : Tidak dilakukan
Mengejan : Tidak dilakukan
Refleks faring : +
Refleks okulokardiak : +
Refleks sinuskarotikus : +
N. XI : Tidak dilakukan
N.XII : Sikap lidah dalam mulut : simetris
julur lidah : Tidak dilakukan
Gerakan lidah: Tidak dilakukan
Tremor : –
Fasikulasi : –
Tenaga otot lidah : Tidak dilakukan
Motorik
Derajat kekuatan otot : 5555 5555
5555 5555
Tonus otot : normotoni
Trofi otot : eutrofi
Gerakan spontan abnormal : tetani –
Kejang –
Tremor –
Khorea –
Atetosis –
Balismus –
Diskinesia –
Miokonik -
Test koordinasi
Statis : duduk : Tidak dilakukan
berdiri : Tidak dilakukan
Romberg : Tidak dilakukan
Dinamis : Telunjuk Hidung : Tidak dilakukan
Jari-jari : Tidak dilakukan
Tremor intensi : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
Dismetri : Tidak dilakukan
Bicara / disartri : Tidak dilakukan
Menulis : Tidak dilakukan
Reflex
Fisiologis
Biseps : Tidak dilakukan
Triseps : Tidak dilakukan
KPR : ++ / ++
APR : ++ / ++
Kulit :
Telapak kaki : +/+
Kulit perut : +
Kremaster : tidak di lakukan
Anus interna : tidak di lakukan
Anus externa : tidak di lakukan
Patologis
Babbinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaeffer : -/-
Sensibilitas
Exteroseptif
Rasa raba : tidak di lakukan
Rasa nyeri : tidak di lakukan
Propioseptif
Rasa sikap : tidak di lakukan
Rasa getar : tidak di lakukan
Vegetatif
Miksi : Terpasang kateter
Defekasi : tidak ada kelainan
Salivasi : tidak ada kelainan
Sekresi keringat: tidak ada kelainan
Fungsi luhur
Memori : tidak di lakukan
Bahasa : tidak di lakukan
Afek dan emosi: tidak di lakukan
Kognitif : tidak di lakukan
Visuospatial : tidak di lakukan
Resume
Pasien seorang laki- laki berusia 50an tahun datang ke RS Tebet dengan keluhan utama
penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas,muntah (-), keluar darah
dari telinga kiri.
Pemeriksaan fisik
Status generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : apatis E3V3M6
Tekanan darah : 120/70 mmhg
Nadi : 68 X/menit
Suhu : 36,7ºC
RR : 20 X/menit
Status regional
Telinga : lapang +/+, Telinga kiri terdapat sisa darah yang mengering
Pemeriksaan neurologis
GCS : E3V3M6
Rangsang meningeal : laseque : <70° /<70º
Saraf kranialis : defisit neurologis –
Motorik : 5555 5555
5555 5555
reflex fisiologis : +/+
reflex patologis : -/-
otonom : baik
Diagnosa
Klinis
Cedera kepala sedang
Topis
Subgaleal
Etiologis
Kontusio serebri, fraktur os temporal sinistra
Therapy
IVFD : RL I + 6 amp. Decynone / 24 jam
Mannitol 20% 1x 125cc
Triofusin E 1000 I/ 24 jam
Aminovel 600
Medikamentosa : Morcef 3x1 amp
Transamin 3x1 amp
Vit. K 3x1 amp
Neulin inj. 2x500
Pantozol inj. 2x1 Fl
N 5000 inj. 1x1 amp
Diazepam k/p
Serenace k/p
Lipantyl 1x60mg
Tanvit 3x3 gtt
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium darah lengkap
2. Foto thorax
3. Foto CT scan kepala
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Follow – up :
06 November 2010 (PH I)
S : -
O : Status generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : soporo koma
Tekanan darah : 118/64 mmhg
Nadi : 96 X/menit
Suhu : 36,3ºC
RR : 18 X/menit
Telinga : darah (+) pada telinga kiri
NGT : Stress ulcer
A. : Cedera Kepala berat
Perdarahan telinga kiri
Stress ulcer
P. : Konsul ke bagian penyakit dalam, THT dan bedah saraf
: IVFD : RL I + 6 amp. Decynone/ 24 jam
manitol 4x125cc
Triofusin E 1000 I
Triofusin 1600 I
Aminovel 600 I
mm/ : Ceftriaxon inj1x2gr (skin test)
Dexa inj 4x1amp
Ranitidine 2x1amp
Transamine 3x1amp
Neulin 2x500
Hasil laboratorium darah lengkap
LED : - mm/jam
Leukosit : 11.400 /ul* (3.800~11.000)
Hitung jenis : 1/4/1/52/38/6
Eritrosit : 5.550.000 /ul
Hemoglobin : 15.5 g/dl
Hematokrit : 47,3 %
MCV : 85,4 %
MCH : 27,9%
MCHC : 32,7%
Trombosit : 117.000 /ul* (150.000~440.000)
GDS : 110 mg/dl
BUN : 11,65 mg/dl
Kreatinin : 0,84 mg/dl
SGOT / SGPT : 30 U/L / 29 U/L
Na/K/Cl : 140,7/ 3,57/ 107,4 mmol/L
Hasil CT scan kepala
Terlihat multipel hematoma di frontal lobe dan temporal lobe kiri. Juga terlihat
cairan di sinus ethmoid kanan-kiri kemungkinan hematosinus. Tampak pula
fraktur os temporal kiri dan edema serebri. Brainstem dan serebelum normal.
Kesan : kontusio serebri
Konsul
Saran dari dr. Nuzuwar SpTHT : telinga yang berdarah dipasang tampon dengan kassa
steril.
07 November 2010
S : -
O : Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : soporo koma
Tekanan darah : 135/74 mmhg
Nadi : 82 X/menit
Suhu : 36,3ºC
RR : 20 X/menit
A : Cedera Kepala berat
Fraktur os temporal kiri
Hematosinus dengan perdarahan dari telinga kiri
Stress ulcer
P :IVFD : RL I + 6 amp. Decynone/ 24 jam
manitol 4x125cc
Triofusin E 1000 I
Triofusin 1600 I
Aminovel 600 I
mm/ : Morcef 3x1gr
( Ceftriaxon inj1x2gr (skin test) – Stop )
Dexa inj 4x1amp
( Ranitidine 2x1amp – stop )
Transamine 3x1amp
Vit K 3x1amp
Neulin 2x500
Panrozol 2x1fl
Konsul
Saran dari Prof. WH Sibuea SpPD : terapi PMZ – Pantozol 2x1amp
Dr Ananda SpBS : Keadaan pasien soporo komatous dengan CT scan kesan kontussio
serebri- terapi konservatif.
08 November 2010
S : -
O : Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : soporo koma
Tekanan darah : 130/80 mmhg
Nadi : 85 X/menit
Suhu : afebris
RR : 20 X/menit
A : Cedera Kepala berat
Fraktur os temporal kiri
Hematosinus dengan perdarahan dari telinga kiri
Stress ulcer
P : : IVFD : RL I + 6 amp. Decynone/ 24 jam
manitol 4x125cc
Triofusin E 1000 I
Triofusin 1600 I
Aminovel 600 I
mm/ :Morcef 3x1gr
Dexa inj 4x1amp
Transamine 3x1amp
Vit K 3x1amp
Neulin 2x500
Pantozol 2x1fl
Diazepam iv k/p
Konsul
Saran dari dr. Nuzuwar SpTHT : Terapi tambahkan Tarivid gtt 3x3 telinga kiri
10 November 2010
S : -
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : apatis
Tekanan darah : 120/60 mmhg
Nadi : 63 X/menit
Suhu : 36,80 C
RR : 20 X/menit
A : Cedera Kepala sedang
Fraktur os temporal kiri
Pasca stress ulcer – Aff NGT
P : IVFD : RL I + 6 amp. Decynone/ 24 jam
manitol 3x125cc
Triofusin E 1000 I
Triofusin 1600 I
Aminovel 600 I
mm/ : Morcef 3x1gr
Transamine 3x1amp
Vit K 3x1amp
Neulin 2x500
Pantozol 2x1fl
Tarivid 3x3 gtt
Diazepam k/p
Hasil laboratorium darah lengkap
LED : 22 mm/jam* (<15)
Leukosit : 16.300/ul* (3.800~11.000)
Hitung jenis : 1/0/0/85/7/7* (0~1/2~4/3~5/50~70/25~40/2~8)
Eritrosit : 5.220.000 /ul
Hemoglobin : 14,9 g/dl
Hematokrit : 44,4 %
MCV : 85,0 %
MCH : 28,5 %
MCHC : 33,5 %
Trombosit : 71.600 /ul* (150.000~440.000)
GD puasa : 95 mg/dl
Reduksi : Negatif
Albumin : 3,37 mg/dl* (3,80~5,40)
Cholesterol total : 194 mg/dl
Trigliserida : 254 mg/dl* (70~140)
HDL : 41 mg/dl
LDL : 102,1 mg/dl
UL : DBN
Instruksi
Dr Tumpal SpS : acc diet cair
Terapi tambah Lipanthyl S. 160mg 1x1 tab
12 November 2010
S : -
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : apatis
Tekanan darah : 132/70 mmhg
Nadi : 70 X/menit
Suhu : afebris
RR : 20 X/menit
A : Cedera Kepala sedang
Fraktur os temporal kiri
Dislipidemia
P : IVFD : RL I + 6 amp. Decynone/ 24 jam
manitol 3x125cc
Triofusin E 1000 I
Triofusin 1600 I
Aminovel 600 I
mm/ : Morcef 3x1gr
Transamine 3x1amp
Vit K 3x1amp
Neulin 2x500
Pantozol 2x1fl
Tarivid 3x3 gtt
Lipanthyl S. 1x60ug
Diazepam k/p
Instruksi
Dr Tumpal SpS : Hemodinamika baik, boleh pindah ruangan + serenase 2x1tab k/p
CT scan ulang 2 hari lagi
ANALISA KASUS
Diagnosis cedera kepala berat di tegakkan atas alloanamnesis di dapatkan bahwa pasien
mengalami kecelakaan motor dan terbentur di daerah kepala, kemudian pasien pingsan,
disertai dengan keluar darah dari telinga kiri. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan
kesadaran soporokoma dengan GCS E1V1M4, pada pemeriksaan telinga kiri didapatkan
adanya perdarahan menunjukkan adanya fraktur di sekitar os temporal atau basis cranii.
Saat pasien masuk dalam ruang perawatan pasien telah terpasang infuse ringer laktat, ,
telah di lakukan foto thorax dan CT scan kepala.
Pemberian infuse ringer laktat di sini sudah tepat, Karena RL merupakan cairan kristaloid
yang tidak mengandung glukosa oleh karena hiperglikemia dapat menyebabkan edema
serebri.
Pemberian OMZ (Pantozol) 2 x 1 fl di gunakan untuk mencegah strees ulcer yang dapat
menyebabkan perdarahan.
Pemberian manitol 25% bertujuan untuk mengurangi terjadinya edema serebri
bermanfaat baik dalam mengendalikan kenaikan tekanan intracranial maupun
memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera kepala berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdulbar Hamid. Penatalaksanaan non bedah pada cedera kepala :
paper bagian saraf FKUI/RSUPN. Jakarta. 2000
2. American college of surgeon. Trauma kapitis : dalam buku advanced
trauma life support. Ikatan ahli bedah Indonesia
(penerjemah).1997 :195 -227
3. Budi Ryanto. W.cermin dunia kedokteran. penatalaksaan fase akut
cedera kepala. Bogor 1992
4. Wim de jong., Sjamsuhidajat. R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi revisi,
penerbit EGC, Jakarta 1997: 1170-1171
5. asra alfauzi. Penanganan cedera kepal di puskesmas. Ilmu Bedah Saraf
FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
6. Yuda Turana, Jofizal Jannis. Perdarahan Intrakranial Akibat Cedera
Kranioserebral di RSCM. Bagian Neurologi FKUI / RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Jakarta. 2000
7. Mardjono. M, farmakologi dan terapi. Edisi 4. bagian farmakologi
fakultas kedokteran universitas indonesia,jakarta 2001
8. adelina yasmar alfa. Pendekatan diagnostik cedera kranio serebral.
SMF. Ilmu penyakit saraf FKUP – RSHS Bandung, Mei 2000
9. lyna. Soertidewi. N. K. Epidemiologi dan patofisiologi cedera kranio
serebral. Bagian neurologi RSCM. Jakatra, Mei 2000