18
Kartini satu impian kita Halaman 04 Halaman 05 Halaman 08 Mendengar keluh kesah akan kebosanan dia dalam bekerja, saya gerah juga. Saya mencoba memberi solusi untuk memulai usaha katering. Berawal dari keinginan sederhana, Aku pengen punya tempat ‘cangkruk’ gaya Yogja seperti masa kuliah dulu. Wisnugroho membuka usaha Angkringan .... Berawal dari itu semua kemudian terpikir untuk terus menghasilkan karya untuk kemudian dijual. KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 01 FEBRUARI 002 2010 VS Bikin Usaha Sendiri Melawan Rasa Takut VS Bikin Usaha Sendiri Melawan Rasa Takut

KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

  • Upload
    elcidli

  • View
    543

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bikin usaha sendiri kenapa takut? Simak cerita kawan-kawan lama yang melawan rasa takut untuk buka usaha sendiri.

Citation preview

Page 1: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Kartini satu impian kita

Halaman 04 Halaman 05 Halaman 08

Mendengar keluh kesah akan kebosanan dia dalam bekerja, saya gerah juga. Saya mencoba memberi solusi untuk memulai usaha katering.

Berawal dari keinginan sederhana, Aku pengen punya tempat ‘cangkruk’ gaya Yogja seperti masa kuliah dulu.Wisnugroho membuka usaha Angkringan ....

Berawal dari itu semua kemudian terpikir untuk terus menghasilkan karya untuk kemudian dijual.

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 01

FEBRUARI002 2010

VSBikin Usaha Sendiri

Melawan Rasa TakutVS

Bikin Usaha Sendiri

Melawan Rasa Takut

Page 2: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

!

Editor : Nino, Ninik, Yuyung, Elcid

Koordinator tulisan : Elcid

Kontributor edisi ini : Denny Unggul Rahardjo, Yulitha Safitri,

Abdi Christia, Maria Rosa Mystica, Adhitya

Christanto

Tata letak/disain : Lukas Heri Triwanta (Jenggot)

Pemasaran dan promosi : Anastasia Widya (Yuyung), Adhit dan Desta

E-mail redaksi : [email protected]

Kartini satu impian kita

Kartini satu impian kita

Tema Edisi Maret 2010

Kartika menerima catatan pengalaman teman-teman.

1. Panjang tulisan 750-1200 kata (diharapkan)2. Foto yang dikirim disertai keterangan 3. Tulisan paling lambat diterima tanggal 23

Maret 20104. Bentuk tulisan bebas, intinya mengalir, dan

menekankan pada berbagi pengalaman

Sedangkan, bagi teman-teman yang ingin mengusulkan tema, silahkan kirim e-mail ini: [email protected]

Kartika terbit satu bulan sekali, di tanggal 27 tiap bulannya. Doakan Kartika umur panjang dan tidak cemberut.

“Tema bulan depan”

Kerja Untuk Masyarakat, Bagaimana?

Untuk informasi Iklan silahkan hubungi Adhit: No HP: 081 7488 4000,

e-mail: [email protected]. Seluruh dana hasil iklan diserahkan kepada

Pavali untuk dimanfaatkan sesuai keperluan.

Tarif Iklan Kartika

Halaman 02 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

editorial

S elepas lulus dari SMA Van Lith, sudahkah

terbentuk bayangan di benak kita akan

bekerja apa kelak? Barangkali sudah, barangkali

belum. Gambaran bisa jadi kian jelas setelah kita

duduk di bangku kuliah tentang apa yang akan

dilakukan setelah lulus. Jadi guru, jadi peneliti,

jadi dokter, jadi PNS, jadi biarawan? Adakah yang

bercita-cita menjadi wirausahawan?

Apa esensinya orang bekerja? Untuk hidup

tentunya, walaupun ada beragam alasan yang

dikemukakan: cari uang, bersenang-senang,

aktulisasi diri, sebut saja. Alasan untuk hidup itu

tentunya yang mendorong orang memilih apa

yang dikerjakannya.

Demi alasan itu, kadang kala seseorang rela

bertahan melakukan apa yang tidak disukainya.

Tulisan ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk

menghakimi. Orang bebas memilih pekerjaannya

dengan alasan apa pun. Ini lebih untuk

menyatakan salut atas keberanian orang-orang

yang memilih untuk keluar dari zona nyaman dan

berdiri sendiri untuk menghidupi dirinya, bahkan

orang lain.

Kita hidup di Indonesia, negara sedang

berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari

200 juta jiwa. Berapa lapangan pekerjaan yang

bisa disediakan pemerintah dan swasta bagi

sedemikian banyak orang?

Betapa sering kita melihat antrian panjang

angkatan kerja di bursa lowongan kerja.

Bayangkan, dari 1.000 pendaftar, misalnya, hanya

akan diambil 50 orang untuk diseleksi lebih lanjut

dan disaring lagi menjadi hanya dua atau tiga

orang saja.

Dua jempol bagi mereka yang berani memutuskan

untuk memulai usaha sendiri. Bukan usaha yang

sangat besar sebagai permulaan, tetapi bukan hal

mustahil akan berkembang menjadi besar.

Kreativitas dan kejelian membaca peluang adalah

modal utama. Uang? Bisa dicari. Ngutang sana

ngutang sini tak masalah. Meminjam pepatah

lama: di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Atau

mungkin lebih suka: banyak jalan menuju ke

Roma?

Membuat langkah pertama adalah tahap paling

sulit. Namun, Anda punya teman, bukan? Nah,

jangan khawatir, ada banyak tangan akan

diulurkan kepada Anda, selama niat Anda

memang baik adanya.

Menjadi bos bagi diri sendiri memang

menggiurkan. Jika dilihat dari sisi finansial,

memang keuntungan yang diperoleh bisa jadi

lebih besar dibandingkan mereka yang bekerja

bagi orang lain (baca: karyawan). Kalau tidak,

minimal sama dengan yang kerja kantoran.

Tadi pagi, saya menonton televisi. Ada seorang

ibu yang berjualan rujak cingur di depan

rumahnya. Dalam sehari, dia bisa meraup

keuntungan sampai Rp 600.000. Berarti dalam

satu bulan dia bisa mengantongi Rp 18 juta!! Siapa

yang nggak mau??

Di atas semua itu, sebab maupun akibat, yang

harus dipastikan bahwa kita menyukai apa yang

kita kerjakan. Merujuk lagu apik, Hey, yang

dilantunkan KLA Project dan sepenggal liriknya

dicomot di atas, marilah kita menikmati pekerjaan

kita sekarang. Hanya dengan begitu kerja kita

menjadi berguna, bagi diri sendiri, bagi sesama,

bagi Tuhan…Selamat berkarya!

Kerja adalah cinta yang mengejawantahDan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan

Maka lebih baik jika kau meninggalkannyaDan mengambil tempat di depan gapura candi

Meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan suka cita(dari Sang Nabi, Kahlil Gibran)

{{

Jadi untuk ke depannya, materi 1/2 halaman (ukuran A4) per tayang akan dikenakan tarif Rp 250rb. J ika mengambil paket 6 bulan, Kartika akan mengenakan tarif Rp 200rb/tayang atau sama dengan Rp 1,2jt/ 6 bulan.

Untuk materi 1/4 halamanpertayang dikenakan tarif Rp 150rb

Untuk materi 1 halamanpertayang dikenakan tarif Rp 450rb.

1

23

Page 3: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 03

Kartini satu impian kita

M emutuskan untuk berwirausaha lawannya cuma rasa takut, dan batas rasa takut ya

rasa takut itu sendiri. Ini kesimpulan David K e n e n b u d i , y a n g m e m u t u s k a n u n t u k berwirausaha sejak tahun 1997, atau saat ia duduk sebagai mahasiswa semester empat di FE Atma Jaya Yogyakarta.

Dibandingkan dengan kenyataan keras yang ia dapat tiap hari, menurut David selalu saja ada ruang dimana ia bisa meloloskan diri dari rasa takut gagal.

“Sebenarnya setiap kenyataan keras yang kita dapat setiap hari adalah ide-ide baru untuk membuat mimpi kita semakin indah, dan memang butuh imajinasi yang sangat tidak masuk akal bagi bagi banyak orang, tapi itu seni bermimpi,” ujarnya.

David tekun memulai berbagai proses wirausaha, mulai dari membuka warung makan di sebuah pertigaan di Jogja, hingga kini mengelola toko yang sudah dimulai ayahnya di Kupang, Ibukota Provinsi NTT. Sebelum pulang ke Kupang, David sempat bekerja di Jawa Tengah. Ia harus pulang karena posisinya sebagai anak sulung dan Bapaknya yang sakit.

Ketika ditanya mengapa ia memilih wirausaha David ia menjawab kalau sederhananya ia ingin punya uang sendiri dan mengaturnya sendiri. Selain itu ia mengakui kalau ia sendiri adalah orang tipe pemberontak. Susah kerja dengan orang lain. Mungkin ini alasannya yang membuat ia semakin tekun dalam memulai usahanya sendiri.

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam berwirausaha adalah bagaimana seninya bertahan. Resistensi itu lah yang diperlukan. Sambil bergiat dengan kenyataan keras, David berujar kalau mimpinya lah yang membuatnya tetap kuat bertahan. Mimpi itu ia adakan dengan cara terus melakukan terobosan. Misalnya di tahun lalu, selain setia dengan Nabsu (Nasi Babi Sudi Mampir), ia juga menelurkan kue dengan bahan dasar jagung menjelang Natal tahun 2009.

“Bertahan sebagai wirausaha di zaman yang selalu

Tepis Rasa Takutberubah itu tantangan paling berat,” ujar David menutup pembicaraan dengan Kartika. David kini bermukim di Kupang, NTT dan menjadi salah satu pemain di usaha makanan. Tokonya, Toko Sudi Mampir, yang juga giat menelurkan beragam varian produk baru.

Dalam berwirausaha menurut AA.Kunto Anggora, editor dan salah satu pemikir di Galang Press, ada tiga hal penting yang perlu dipersiapkan: (1) komitmen, (2) permodalan, dan (3) konsep usaha plus pengembangannya.

Di tingkat awal menurutnya, pilihan antara mengajak orang lain untuk terlibat atau menjalankan sendiri itu tergantung kebutuhan. Tetapi, yang pasti menurut Kunto, kita sendiri harus terlibat langsung.

”Jika mempekerjakan orang lain, tentu sangat membantu kita dalam menjalankan usaha, dan Orang tersebut akan bisa kita minta mengerjakan teknis, sedangkan kita sendiri juga menaungi aspek konsepsi,” katanya.

Kiat untuk menangani karyawan menurutnya adalah dengan memperlakukan mereka secara profesional sesuai dengan kapasitas dan tugas mereka. “Sekaligus, menghargai mereka secara personal sehingga mereka pun merasa turut memiliki usaha kita,” katanya menjelaskan.

Untuk memulai usaha Kunto juga menyebut hal yang sama yang dialami David yakni 'tepis rasa takut' . “Ada banyak peluang didepan, pertimbangkan masak-masak sebelum mulai, dan segera wujudkan begitu sudah siap,” ujarnya berbagi kiat.

Kunto sendiri selain menjadi salah seorang penggerak di Galang Press juga seorang pengusaha rumah makan di Jogja, salah satunya Java Steak. Galang Press sendiri termasuk salah satu penerbit yang laris manis belakangan ini, salah satunya laris dengan Buku karya George Aditjondro dengan judul Membongkar Gurita Cikeas.

Lain Kunto, lain Aji. Aji Pratomo alias 'Genter' mengaku ia mulai berwirausaha karena kepepet alias terjepit.

“Saya merasa mentok di kantor, buat saya ini bukan pilihan, kalau memang kepepet ya memang harus cari jalan keluar,” katanya.

Aji memulai usaha sejak tahun 2000, tetapi belum benar-benar serius karena masih sempat juga ia bekerja sebagai karyawan di tempat lain.

“Yang serius, memang baru ini jalan 2 tahun,

Persiapan wirausaha

Burung saja dipelihara

seumur anak saya yang no satu, jadi ceritanya pas anak saya lahir cengeeer, hari itu juga saya resign dari kantor,” katanya sambil tertawa. Memilih berbisnis ia tahu risikonya, yaitu pasang surut bisnis yang memang tidak stabil.

Untuk bertahan, menurutnya tetap optimis. “Burung2 di udara saja di pelihara Tuhan,” katanya menimpali. Tetapi menurutnya itu tidak tanpa usaha, sebab riilnya ia terus mencari bentuk-bentuk baru dan kalau perlu bikin usaha lain. Ia menyatakan persoalan 'waktu' lah yang membuatnya banting stir.

“Waktu, saya tidak mau terlambat mencoba, dan kalau pun sudah mencoba dan gagal ya...saya masih berada di umur-umur produktif, kalau saya mencoba-coba di umur-umur yang senja, wah resikonya saya tak bisa mengukur, saya pikir ini justru saatnya, sebelum berada di wilayah kadung penak atau istilah kerenya orang sekarang comfort zone,” katanya menjelaskan mengapa ia sudah mulai wirausaha.

Ketika ditanya apakah bikin usaha sendiri merupakan panggilan hidupnya ia malah tertawa besar.

“Pertanyaanya kok susah ya, panggilan hidup saya cuma satu: berupaya biar terus hidup, jadi wiraswasta hanya salah satu cara untuk menjawab panggilan itu tadi, dan wiraswasta justru bukan panggilan hidup itu sendiri,” kata Aji pengusaha

yang berumah di Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. (el)www.rancanggrafis.org

Kunto

David

Aji

Page 4: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

M

Menu variatif, harga terjangkau

ungkin usaha kecil yang ingin saya paparkan ini sudah sering kita dengar.

Ya, usaha rumahan yang jamak disebut katering memang sudah menjamur sejak awal dekade 1990an. Namun tidak banyak usaha katering yang mampu bertahan, stagnan, bahkan gulung tikar.

Usaha katering ini bermula dari kebosanan teman saya dalam menjalani rutinitas kerja kantoran. Jangan salah, teman kerja saya itu bukan seorang wanita, tapi seorang pria. Kebetulan waktu itu dia masih melajang sehingga untuk keluar masuk kerja dari instansi satu ke instansi lain atau untuk memulai usaha sendiri yang menurut saya gambling, dia enjoy aja. Istilahnya aji mumpung. Mumpung belum punya kewajiban mencukupi kebutuhan anak istri.

Mendengar keluh kesah akan kebosanan dia dalam bekerja, saya gerah juga. Saya mencoba memberi solusi untuk memulai usaha katering. Pertimbangan saya waktu itu selain bisnis ini tidak memerlukan modal besar, perut saya pun setiap jam istirahat tidak akan ribet mencari-cari lahan kuliner baru yang sesuai selera saya. Toh saya bisa ikut langganan juga he…he… egois ya?!

Saran seorang teman ternyata mujarab. Dia resign dari perusahaan tempat saya bekerja di Jogja waktu itu, untuk mulai usaha katering. Modal yang dia miliki hanya sepeda motor, keranjang cucian, uang tunai Rp 1 juta, dan sedikit kenekatan. Saya sebut nekat karena teman saya itu sama sekali tidak bisa memasak.

Hari Jumat, saya ingat betul dia menyebar brosur di kantor. Tidak cuma di kantorku, tapi juga di kantor-kantor lain, bahkan di pabrik-pabrik. Yang menarik dari brosur itu, terpampang menu untuk satu bulan dan tidak ada menu yang sama dalam 25 hari! Dijamin pelanggan tidak akan bosan. Hal menarik kedua adalah harga, yang tidak kalah dahsyatnya. Seingat saya, harga katering dua tahun lalu rata-rata Rp 5.000 per porsi. Teman saya berani menjual dengan harga Rp

2.500 per bungkus. Tak heran para pekerja pabrik pun tergiur pesan karena harganya terjangkau. Hebatnya lagi, para pelanggan boleh membayar setelah seminggu menikmati makan siang, hari Sabtu atau Jumat bila lima hari kerja. Pas dengan uang makan yang umumnya diterima karyawan tiap akhir minggu.

Hari Senin kami mulai berlangganan. Jam 11.00, makanan sudah diantar. “Kok gasik?” Kata dia pesanan banyak, sampai 100 bungkus lebih,

sementara motor hanya ada satu. Jadi harus ada instansi yang dapat lebih awal dari jam makan siang. Saya lihat di atas jok motornya bertengger keranjang cucian yang sudah beralih fungsi. Di dalamnya terdapat banyak tas kresek berisikan pesanan katering.

Penasaran, saya dan teman-teman langsung membuka tas kresek. Kami tertawa geli, sekaligus salut dengan kreativitas temanku yang supernekat itu. Pantas harganya murah, karena makanan itu dibungkus dengan kertas nasi, persis seperti kalau kita membeli di warung. Pada waktu itu umumnya katering dikemas dengan dus makan, styrofoam, atau rantang plastik. Tapi begitu melihat nasi bungkus itu, saya sadar, memang temanku brilian, toh kita butuh makanannya, bukan kemasannya.

Satu bungkusan coba saya buka, hmmm… cukup higienis. Nasi putih porsinya cukup banyak, sup sayuran dibungkus plastik, sambal dibungkus plastik kecil, dan ayam goreng, tidak terlalu besar, juga dibungkus plastik tersendiri. Persis dengan daftar menu hari pertama yang dia buat. Oh ya, ada sendok bebek kelas murahan di dalamnya. Bisa langsung dibuang setelah dipakai.

Jam istirahat tiba, saya sungguh penasaran dengan rasa makanannya karena saya mengerti benar dia seorang teknisi, bukan koki. Saya mulai mencicipi supnya, lumayan. Sambalnya enak juga. Sayang ayamnya digoreng terlalu kering, saya tidak begitu suka. Tapi saya masih tidak percaya dia masak sendiri. Sambil makan, saya telpon temanku itu.”Jujur bro, siapa yang masak?” Akhirnya ngaku juga kalau dia

Dibungkus Kertas

BOSAN + NEKAT = KATERING mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga yang dia klaim sebagai juru masak.

Sabtu yang lalu, saya kembali menghubungi teman lama saya itu. Say hello, dan sedikit melakukan wawancara by phone, karena Elcid memberi saya tugas untuk menulis di Kartika edisi kali ini. Katanya mulai awal tahun ini, harganya sudah naik menjadi Rp.3.500 per bungkus dengan jumlah pesanan rata-rata 120 bungkus per hari. Wajar, menurut saya, karena saat ini rata-rata harga katering mencapai Rp.6.000 per porsi. Maklum, beras mahal.

U n t u k h a rg a R p 3 . 5 0 0 , t e m a n s a y a mengalokasikan Rp 2.000 untuk bahan baku dan kemasan, sisanya untuk biaya tenaga kerja, BBM, elpiji, dan keuntungan. Kita berandai-andai menjadi pemilik katering tersebut. Berapa ya keuntungan bersih yang kita dapat dalam sebulan? Mari kita hitung. Asumsikan pesanan yang kita peroleh rata-rata per hari 120 bungkus.

Ya, penghasilan per bulan sekitar Rp 3 juta. Kurang lebih sama dengan gaji karyawan kantoran, yang datang jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Perbedaannya, sebagai karyawan kantoran status kita ya cuma karyawan. Sedangkan sebagai usahawan status kita owner (hmm, jadi gaya donk di kartu nama…narcis ya).

Terlepas dari apapun status kita, pastinya kita semua adalah manajer bagi diri sendiri. Kita manage kinerja, waktu, keinginan dan usaha kita sehingga kita dapat mencapai planning dan tujuan kita.

Yulita Safitri, Magelang. [email protected]

Mulai Berhitung

Omset per bulan 120 bungkus x 3,500 x 25 hari 10,500,000Bahan baku satu bulan 120 bungkus x 2,000 x 25 hari 6,000,000Tenaga Kerja 1 orang juru masak 700,000Elpiji 1 tabung kecil per hari x 13,500 x 25 hari 337,500BBM kendaraan untuk antar pesanan 1,5 liter x 4,500 x 25 hari 168,750Biaya penyusutan peralatan dan perawatan kendaraan per bulan 75,000Biaya sewa ruang usaha (meskipun pakai rumah sendiri) 125,000Biaya pemakaian listrik dan air 80,000

( 7,486,250 )

Keutungan per bulan 3,013.750

Halaman 04 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

Kartini satu impian kita

Page 5: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Kartini satu impian kita

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 05

Masih ada “Sego Kucing’disini ...Berawal dari keinginan sederhana, Aku pengen punya tempat ‘cangkruk’ gaya Yogja seperti masa kuliah dulu.Wisnugroho membuka usaha Angkringan Jogja di Jakarta

Page 6: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Halaman 06 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

Kartini satu impian kita

Tidak semua jenis makanan yang dijual dia masak sendiri. Memasakpun baru

dipelajarinya saat itu juga.

Walaupun ini kelas makanan pinggir jalan Becak tetap menggunakan bahan-bahan

dengan kualitas nomor satu, ini dilakukan mengingat kondisi perutnya yang juga

masih pilih-pilih makanan. Becak tidak mau konsumen kecewa. Jadi belanja &

memasak awalnya dia lakukan sendiri.

Ternyata tidak mudah Becak (begitu dia lebih sering dipanggil) memulai usaha ini.

Saat memesan gerobak pun dia sudah ditipu, maklum belum pengalaman begitu

akunya. Gerobak tidak diselesaikan sesuai pesanannya, perabotan harus dia

belanjakan ke Yogja. Di Jakarta sudah sulit mencari perabotan traditional seperti

cangkir dan ceret lurik ini.

Page 7: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Kartini satu impian kita

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 07

Walaupun usahanya sudah berkembang. Alumni Van

Lith angkatan 7 ini masih terus mencari strategi

pemasaran dan pengelolaan yang lebih baik untuk

usahanya.

Mencari lokasi yang tepat adalah kesulitan berikutnya.

Hampir 3 bulan gerobak angkringan miliknya tidak

produktif karena lokasi yang semula diincar keburu

ditempati orang lain.

Sekarang sudah 1,5 tahun usaha ini berjalan. Becak

sudah bisa menambah jumlah gerobak angkringannya

menjadi 3 buah. Yang pertama di Tebet, kemudian

Duren Tiga dan terakhir ada di Kemang.

Naskah & Foto: Adhitya Christanto, Angkatan 2

Page 8: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Kartini satu impian kita

Mengasah Kreatifitas, Membuka Celah UsahaMengasah Kreatifitas, Membuka Celah UsahaP roses belajar itu dari mana saja dan tidak

terbatas didapatkan secara formal di l e m b a g a p e n d i d i k a n . B e r a n g k a t d a r i pemahaman tersebut maka dengan bekal pengetahuan dari pendidikan formal itulah saya berpikir untuk menciptakan sesuatu yang nyata, yang merupakan praktek langsung dari pembelajaran dan teori yang saya dapatkan. Proses ini juga saya katakan sebagai proses pembelajaran, namun dapat membuahkan hal lain yang berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Awalnya saya tidak pernah terpikirkan untuk mencari penghasilan sendiri apalagi membuka usaha. Satu hal yang saya inginkan hanya jika suatu saat mempunyai usaha itu adalah hasil karya sendiri. Sedikit flash back, saya memutuskan mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) karena ketertarikan saya pada bidang tersebut. Usaha ini berawal dari keterbatasan dana untuk membeli kado untuk teman yang ulang tahun dan kebetulan di saat yang sama ada kejenuhan mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk akhirnya coba-

coba membuat suatu desain kaos. Akhirnya terciptalah suatu karakter yang sesuai dengan kesukaan teman tersebut. Karakter itu akhirnya disablon di kaos. Semua proses pembuatan kaos ini saya kerjakan sendiri dengan bahan-bahan yang dimiliki sisa dari pembuatan tugas kuliah.

Berawal dari itu semua kemudian terpikir untuk terus menghasilkan karya untuk kemudian dijual. Memang orientasi saat ini bukan untuk mencari uang atau keuntungan semata, namun untuk mencari kepuasan dan kesenangan dari hasil karya sendiri yang disukai dan dinikmati oleh orang lain. Biasanya saya berkarya berdasarkan pesanan, namun sesekali bila ada waktu luang saya berpikir untuk menciptakan sesuatu yang menjual. Saat pembuatan kaos saya pun berpikir untuk mencetaknya di media lain, maka terciptalah bisnis pin. Akhirnya ide kreatif terus bergulir dan kali ini merambah pembuatan kartu ucapan dengan gambar dari tangan saya sendiri dan tidak lagi mengandalkan program komputer. Gambar tersebut dapat diberi warna atau hanya sekedar hitam putih.

Halaman 09 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010foto dengan gaya naive

Page 9: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Pengalaman lainnya saya dapatkan ketika mengadakan pameran fotografi di lingkungan kampus, ternyata hasil jepretan saya dan teman-teman komunitas tersebut dapat kami jual sehingga mendapat keuntungan. Biasanya yang banyak membeli dari kalangan dosen. Dari situ pula uang jajan saya dapat bertambah. Usaha lainnya berupa lukisan dan patung yang jarang saya hasilkan kecuali bila ada permintaan atau pesanan, karena membutuhkan modal lumayan besar. Dapat pula diciptakan karya mix media, yang memadukan beberapa bidang dalam satu karya, misalnya gambar manual dengan pewarnaan digital ditambah hasil fotografi.

Melalui usaha ini pula saya mengalami proses pembelajaran yang tidak didapatkan secara formal di bangku kuliah. Bagi saya pribadi, membuka usaha tidak melulu soal memikirkan uang dan keuntungan secara material namun yang penting adalah pembelajaran. Justru dengan membuka usaha membuat saya terus berlatih dan mengasah kemampuan saya agar terus menjadi lebih baik dari kemarin. Dua tahun sudah saya menggeluti bidang kreatif ini dan belum menenukan titik jenuhnya. Usaha ini juga memberikan kepuasan bagi diri saya

sendiri karena hasil karya saya dapat disukai dan dinikmati oleh orang lain.

Sebenarnya kita semua dapat menciptakan usaha sendiri. Hanya dibutuhkan tekad dan kemauan juga pemikiran yang selalu memunculkan ide-ide kreatif yang didasarkan dengan kemampuan kita masing-masing. Ketika semuanya sudah terwujud janganlah berhenti pada titik itu saja, namun teruslah maju dan berkembang. Peka akan potensi diri diri sendiri dan jeli melihat peluang pasar. Terus mengasah keterampilan dengan melihat dan mendengar untuk mengetahui trend yang berkembang sehingga dapat mencari celah untuk kemajuan usaha tersebut.

Ocha

Selamat berkarya!

Kartini satu impian kita

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 09

Patung yang dibentuk seperti jeruk dengn penambahan karakter

Lukisan

Kaos

Page 10: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Halaman 10 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

S emuanya berawal dari “pingin ke luar negeri”. Kalimat itu menjadi katalis,

hingga saat ini, puji Tuhan, saya memperoleh kesempatan dari Australian Development S c h o l a r s h i p ( A D S ) - A u s A I D u n t u k mengambil program S2 di University of Western Australia.

Terus terang, Australia bukan negeri incaran saya. Minat saya lebih tertuju ke Perancis, Belanda, Inggris, Kanada, atau Amerika Serikat. Alasannya sederhana. Selain mutu pendidikan, daya tarik negara-negara itu tidak berhenti pada kota-kota modernnya, tetapi pada bentang alam yang sudah terkenal ke pen juru dunia maya dan nya ta . Yang terpenting, cukup modal bahasa Inggris.

Alasan bahasa ini pula yang menyebabkan saya tidak mengincar negara-negara di Asia Timur. Meskipun berbahasa Inggris, Australia menjadi tidak menarik karena posisinya terlalu dekat dengan Indonesia, dan sepertinya t idak semenar ik Eropa a tau Amer ika . Ternyata, itu tidak sepenuhnya benar.

Kembali ke pingin ke luar negeri. Sudah lama bayangan ini ada, sejak masih cupu di Sulawesi, menimba ilmu di Jawa, sampai memilih pekerjaan sebagai guru di Papua. Pasti ada yang bertanya-tanya: kenapa pingin ke luar negeri? Alasan saya waktu di SD: wah, hebat bisa ke luar negeri. Waktu SMA dan kuliah, alasannya sedikit berubah: iri pada teman yang liburan bolak-balik Singapura-Indonesia. Alasan lain yang agak dibuat-buat

rubrik beasiswa

dan berkesan maksa setelah lebih dewasa: meskipun saya hobi membaca, rupanya melihat dari jendela dunia tidak cukup. Apalagi setelah teracuni cerita-cerita seru Pak Suntoro da lam pe la ja ran Se jarah dan Geografi.

P e r j a l a n a n s t u d i s a y a j a u h d a r i membanggakan. Di Van Lith bisa dibilang mediocre, lha wong sering tidur waktu pelajaran. Lulus dari Van Lith tahun 1995 l a n g s u n g m a s u k k e J u r u s a n Te k n i k Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta. Baru lulus tahun 2005, luar binasa!

Untung IPK saya tidak rendah-rendah banget sehingga dapat digunakan sebagai modal berburu beasiswa. Ini saran pertama: untuk pencari beasiswa, agar berpeluang lolos seleksi berkas, IPK minimal 3,00.

Di tengah “keluarbiasaan” saya di UPN “Veteran”, demi memperbaiki kemampuan bahasa Inggris dan meraih profesi petroleum engineer, saya mengambil program English Extension Course di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Menjalani program tersebut makin menguatkan “pingin ke luar negeri”. Rugi dong belajar English serius cuma di Indonesia aja. Setelah lulus dari UPN “Veteran”, saya sempat kerja serabutan di w a r u n g i n t e r n e t s e p u t a r a n Magelang–Yogyakarta.

Kali ini ada katalis lain sebagai akselerator. Waktu itu saya berpikir, “Nggak ada duit kok pingin ke luar negeri?” Lagipula, “Emang harus ada duit kalau pingin ke luar negeri?” Lha kok waktu itu pas ada tawaran lowongan guru PNS di Manokwari, Papua Barat.

Saya membaca situs-situs beasiswa luar negeri. Rata-rata peluang dari sektor publik ( P N S ) d a n k a w a s a n t i m u r I n d o n e s i a mendapatkan prioritas. Selain sesuai dengan ujar-ujar di lambang SMA Van Lith, Memardi Kartika Bangsa, salah satu alasan memilih menjadi kerlip kecil di daerah daripada menambah kejora di kota-kota besar adalah hal ini memperbesar peluang saya pergi ke luar negeri gratisan.

Di Manokwari, saya tetap terhubung lancar dengan internet. Saya menghabiskan tahun per tama sebagai guru kontrak . Tahun berikutnya diangkat menjadi CPNS. Butuh

satu tahun lagi untuk menjadi PNS. Syarat untuk mengajukan izin sekolah lanjut di tempat saya bekerja adalah harus bekerja selama dua tahun. Waktu saya sudah PNS mulailah saya apply beasiswa luar negeri.

Segala persyaratan saya tidak mengalami kendala, walaupun masih saja selalu jatuh dalam jurang English Grammar. Setelah tes TOEFL nilai saya tidak ada masalah. Ini saran kedua: hasil tes bahasa Inggris tidak selalu

Menjadi Kerlip Kecil di Daerah

Kartini satu impian kita

Page 11: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 11

berkorelasi dengan tingkat pemahaman English Grammar. Contoh nyatanya saya. Meskipun mungkin akan mengalami kendala di academic writing saat mulai kuliah, tapi bingungnya bisa belakangan saat beasiswa sudah di tangan.

Tahun 2007, saya fokus pada beasiswa S tude ren in Neder l and (S tuNed) dan EduFrance. Beasiswa ke Amerika Serikat seperti Ford Foundation tidak bisa karena saya dari latar belakang teknik. Fulbright sempat saya kirimi juga. Hasilnya, balasan sederhana, “Terimakasih untuk aplikasinya, tetapi maaf, anda kurang beruntung”.

Mendapatkan hasil seperti itu saya introspeksi diri, kurang dimana ya? Dari persyaratan tidak ada halangan. Kesimpulan saya, masalahnya pada content niat pada formulir aplikasi (cover letter). Setiap formulir beasiswa luar negeri, walaupun berbeda format, ada beberapa hal sama yang harus dijelaskan kepada sponsor beasiswa, seperti hubungan antara pilihan s tudi dengan focus area sponsorship , hubungan antara pekerjaan saat ini dengan pilihan studi, tanggung jawab peluang karir ke depan, dan research proposal untuk yang memilih research/doctorate. Untuk beasiswa yang berbasis kerjasama luar negeri seperti S t u N e d d a n A D S , b i a s a n y a d i m i n t a menjelaskan keuntungan yang akan diperoleh tempat bekerja, daerah sekitar, dan Indonesia secara umum. Untungnya saya punya sahabat yang mau membagikan pengalaman sekolah di luar negeri dan membuat cover letter.

Untung tak dapat diraih malang tak dapat dihindari, sekali lagi saya gagal mendapat beasiswa StuNed yang mati-matian saya kejar

karena kemecer ingin sekolah di TU Delft yang terkenal dengan engineering-nya. Selain tentunya iming-iming liburan keliling Eropa. Namun, badai pasti berlalu. Di tengah kegagalan, saya tetap mengirim aplikasi, kali ini ke ADS dan, atas saran sahabat, ke British Chevening. Saran ketiga: untuk beasiswa StuNed ada pre-registry untuk kawasan timur Indonesia. Gunakan peluang ini bagi yang berdomisili atau ber-KTP di kawasan timur Indonesia.Saran keempat: untuk beasiswa British Chevening, pertimbangkan waktu studi yang cuma satu tahun untuk S2.

Lha kok ndilalah, saat itu, OTO Bappenas Dikti Kementrian Pendidikan Indonesia mengadakan Tes Potensi Akademik (TPA) dan TOEFL di tempat saya kerja untuk beasiswa Dikti. Menggunakan hasil TPA dan TOEFL, saya dan beberapa kawan berkesempatan memperdalam keterampilan bahasa Inggris di Pusat Bahasa Univers i tas Hasanuddin Makassar. Harapannya, setelah selesai kursus, para peserta dapat studi keluar negeri melalui beasiswa Dikti. Sebelum berangkat kursus di Makassar, ADS meloloskan aplikasi beasiswa saya untuk kemudian menjadwalkan wawancara dan tes IELTS di Jayapura. Kebetulan lagi, Kepala Pusat Bahasa UNHAS adalah salah satu assessor ADS, sehingga seringkali di tengah kursus disampaikan juga cara-cara menjawab pertanyaan wawancara yang baik dan lugas.

Saya meminta i j in ke Jayapura untuk wawancara. Sekitar sebulan kemudian hasil wawancara dan IELTS keluar. Saya lulus dan waj ib mengikut i program English for Academic Purpose selama tiga bulan di Indonesia-Australia Language Foundation (IALF) di Bali.

Waktu itu saya jelas berbunga-bunga. Sudah dapat kesempatan gratis keluar negeri, dibayari liburan ke Bali selama tiga bulan pula. Beberapa minggu sebelum kursus di Makassar selesai, saya mendapat panggilan wawancara untuk British Chevening. “Kok untung datangnya bertubi-tubi, jangan-jangan belakangannya parah nih.” Mungkin karena usaha saya selama ini. Dan, jangan lupa berdoa. Saya tidak bingung antara Australia, Inggris, atau beasiswa Dikti. Ketika saya tidak lolos seleksi wawancara British Chevening, saya tambah yakin bahwa ke Australia saya akan pergi. Di sinilah saya sekarang, membagikan sepenggal kisah perburuan yang tidak terlalu berdarah-darah dari pinggiran Swan River di Perth, City of Lights, the most remote capital in the world.

Catatan kaki:

Julukan City of Light berasal dari astronot Amerika John Glenn ketika melintas di atas Perth (20 Februari 1965) sebagai orang Amerika pertama yang mengorbit Bumi. Penduduk Perth menyalakan lampu-lampu di seluruh kota sehingga terlihat dari wahana Friendship 7 tempat John Gleen mengorbit bumi.

Denny Unggul Rahardjo

Kartini satu impian kita

Page 12: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

kali lamat

M asyarakat Indones ia memahami pangan, sandang, dan papan sebagai

kebutuhan pokok. Kumpulan kata itu benar, manusiabutuh makanan, pakaian, dan tempat tinggal untuk hidup layak. Namun demikian, rasanya perlu ditambahkandua hal dalam daftar kebutuhan pokok di zaman ini: energi dan lingkungan.

Energi, contohnya listrik dan bahan bakar, telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Roda ekonomi Indonesia akan berhenti tanpa energi . Transportasi , pengolahan makanan dan m i n u m a n , b a h k a n p r o d u k s i l i s t r i k membutuhkan bahan bakar. Soal listrik tak perlu ditanya lagi, semua orang tahu betapa susahnya saat mati listrik di era elektronik ini. Sedangkan kebutuhan lingkungan, contohnya air dan udara bersih, kini semakin penting untuk diusahakan. Kenyataannya hari demi hari mutu lingkungan di berbagai tempat di Indonesia makin menurun. Penggundulan hutan dan berkurangnya daerah tangkapan air mengurangi debit mata air rakyat dan menambah resiko banjir. Banyaknya kendaraan bermotor dan asap sisa industri mengkorupsi mutu udara yang kita hirup. Maka timbul pertanyaan, ”Apa yang dapat kitalakukan untuk membawa perubahan yang lebih baik?”

Inspirasi muncul dari berbagai media. Sebagian be sa r nega ra d i dun i a s anga t s e r i u s mengusahakan energi yang terbarukan. Ada yang membuat target kemandirian energi yang dahsyat, misalnya Swedia, Norwegia, dan beberapa negara Eropa lain. Bahkan Amerika, konsumen minyak bumi terbesar di dunia, melangkahkan industrinya yang masif ke arah kemandirian energi. Di luar negeri sana juga d iber i takan bahwains t i tus i pendid ikan berlomba-lomba untuk jadi yang “paling hijau”. Kata hijau dalam konteks ini kurang lebih berarti efisien energi, nyaman bagi makhluk hidup, dan lestari (sustainable).

Aha! Jawaban pun datang: ”Mari memulai proyek hijau kecil yang berpotensi menjadi besar!”

SMA Pangudi Luhur Van Lith (selanjutnya disebut VL saja) menjadi pilihan memulai sebuah proyek hijau karena tiga alasan strategis: Pertama, visi dan misi VL mendukung siswi-siswanya menjadi tokoh perubahan yang baik, bahkan dalam sepenggal syair Mars Van Lith berbunyi begini, ”Jadilah perintis, jadilah pelopor, di masa pembangunan;” kedua, VL adalah sekolah yang mendidik anak-anak muda, yang lebih mudah menerima perubahan

dibanding orang tua; dan alasan terakhir adalah alasan praktis yang dekat di hati, saya adalah alumnus SMA Pangudi Luhur Van Lith. Aksi ini akan jadi bakti almamater yang berdampak luas pada waktunya nanti.Itu keyakinan saya waktu memulainya.

Pada akhir 2008, saya dan dua orang teman mampir keVL. Kami bertemu pengurus OSIS dan ngobrol tentang pengelolaan sampah di sana. Mereka punya keprihatinan yang sama, sampah masih belum dipilahkan dan dibuang kesungai. Saat itu yang bisa kami lakukan hanyalah menyemangati mereka membuat kampanye pengelolaan sampah di VL.

Waktu berlalu tanpa tahu perkembangan se l an ju tnya ka rena saya pe rg i un tuk mengerjakan skripsi. Baru di pertengahan 2009 saya mendengar kabar bahwa dalam OSIS VL dibentuk bidang baru yang memperhatikan lingkungan. Di dalamnya ada aksi bernama BageM (Bantargebang Mission), mereka mengusahakan pengelolaan sampah di VL. Menurut saya itu sungguh perkembangan yang menggembirakan.

Meskipun sampah seringkali dipandang sebagai titik akhir, namun dalam proyek hijau VL ini sampah menjadi titik mulanya. Saat ini siswa-siswi di VL tetap mengusahakan pengelolaan sampah. Berita baiknya, sekarang sampah sudah diambil oleh Dinas Lingkungan Hidup Muntilan, sehingga tidak lagi dibuang keKali Lamat.

Kemudian saya mencoba mengerjakan hal lain: efisiensi dan pemanfaatan energi,serta sumber daya lingkungan. Tentu saja kita harus memiliki informasi lengkap terlebih dulu untuk bisa mengetahui efisiensi dan pemanfaatan dari apa yang akan kita dilakukan. Oktober 2009 saya menghubungi rektor VL sekarang, Br. Albertus Suwarto, FIC. Beliau memberikan izin untuk menginap di asrama dan melihat kesana-kemari.

Pada November 2009 saya menginap dua hari di VL dan melakukan pengamatan. Pihak sekolah dan asrama memberikan data pengeluaran biaya listrik dan bahan bakar VL tahun 2008 sampai 2009. Pengamatan awal ini memang sederhana, saya tidak melakukan pengukuran atau penghitungan. Bantuan malah datang dari Kepala Bidang Lingkungan OSIS VL. Dia dan kawan-kawan mengumpulkan data ruangan dan kelistrikan. Berdasar pengamatan singkat itu saya membuat laporan dan usulan efisiensi dan pemanfaatan energi dan sumber daya lingkungan di VL.

Saya memberikan beberapa usulan yang dapat membuat VL lebih hemat dalam menggunakan energi dan sumber daya lingkungan. Memang semua usulan itu masih mentah karena perlu dikaji lebih lanjut biaya dan resikonya masing-masing. Namun saya percaya ini saat yang tepat bagi SMA Pangudi Luhur Van Lith untuk beraksi.

Abdi Christia

Memulai Proyek Hijau Kecildi Muntilan

Halaman 12 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

Kartini satu impian kita

Sampah di tepi Kali Lamat

Page 13: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

1. Apa gagasan utama pendidikan dasar

menurut Romo Mangun?

Konteks gagasan Mangun adalah sistem

pendidikan dasar era 90-an yang monolitik,

tanpa kemungkinan berbeda di tanah air

Indonesia tercinta; mulai dari plang nama

sekolah, tata ruang, pakaian siswa, buku

pelajaran, proses belajar hingga isi pikiran

anak hampir seluruhnya diseragamkan. Hidden

curriculum sistem itu adalah survival of the

fittest, yang cerdas pintar serba komplit

fasilitas dan bimbingan belajarnya sajalah

yang dijamin sukses hingga bangku jenjang

tertinggi, sedang selebihnya (yang sialnya

berjumlah lebih besar) harus rela menjadi

tumbal sistem, tergusur dan tersingkir pada

jenjang jenjang sebelumnya. Mereka yang

kalah itu selalu dan selalu kaum lemah papa

miskin. Ibarat meraut pencil, kebanyakan anak

dari kalangan bawah ini hanyalah terjatah

peran sebagai kulit teraut yang mesti terbuang,

Mas Nasar: Belajar itu Jantung Kehidupan

‘Mas Nasar’ itu panggilan singkatnya. Ini nama orang dengan suara dan mata tajam. Khas pemain watak.

Sewaktu SMA, kuingat, tampilannya dengan sepatu bot ketika berbicara di depan kelas. Komitmennya

untuk bekerja demi apa yang diyakininya kini ia lakukan. Sempat ia pakai beberapa saat jubah frater,

tetapi ia tinggalkan. Jika ada yang ingin tahu kenapa, silahkan tanya sendiri. Tetapi kali ini, Mas Nasar

diwawancarai berkaitan dengan pengalaman hidupnya terkait dunia pendidikan dasar. Ia kini aktif

melintasi pulau-pulau di Nusantara, untuk bertukar cerita dengan para guru, para pahlawan yang amat

sering dilupakan. Berikut ini wawancara tertulis Kartika dengan Nas(z)arius Sudaryono, gurunya para

guru SD yang hidup di DED (Dinamika Edukasi Dasar), Yogyakarta. DED adalah lembaga yang didirikan

Alm.Romo Mangun.

pecundang tersingkir dengan label baru tidak

berdarah biru cerdas alias drop out.

Bayangkan saja sebuah piramid atau caping.

Bagian besar di bawah adalah peserta

pendidikan paling dasar. Di atasnya adalah

jenjang lebih tinggi, yang sudah lebih

mengerucut karena seleksi , hingga di puncak

teratas adalah segelintir para terpilih. Di sisi

sisi yang terbuang demi beroleh kerucut itu

seberapa besar yang terbuang? Kemana

mereka? Dapat apa mereka dari bangku

sekolah? Benarkah sekolah bermakna bagi

mereka yang tak sampai menjejak di puncak?

Berpikirlah Mangun tentang perlunya sistem

dan model pendidikan alternatif, yang sistem

dan kurikulumnya lebih berpihak pada

mayoritas kalangan lemah miskin, yang tidak

akan mampu mencecap jenjang pendidikan

tinggi itu (tentu Deo Gratias! kalau ada yang

beruntung). Model pendidikan tersebut

haruslah bersifat terminal, artinya: jika anak

terpaksa hanya mampu mengecap pendidikan

hingga tingkat SD, maka modal yang didapat

selama di SD itu haruslah cukup sebagai

modal belajar mandiri seumur hidup; seperti

yang ditunjukkan oleh Adam Malik, tamatan

SD yang sukses jadi wapres bahkan ketua PBB

itu.

M a k a m u l a i l a h M a n g u n m e l a k u k a n

eksperimen di SD Mangunan itu, untuk

menemukan sistem pendidikan dan metode

belajar yang lebih berpihak pada orang miskin.

Idealisme yang dibangun pertama tama adalah

anak yang komunikatif; sebab penguasaan

bahasa adalah penguasaan budi budaya bangsa

pemilik bahasa tersebut. Yang kedua adalah

mekarnya daya kreatif, eksploratif dan

integral. Kebiasaan anak miskin untuk

“nggiwar” a l ias berpola la tera l harus

d i t ingka tkan dengan o lah k reas i dan

eksplorasi. Sedang integralnya dibutuhkan biar

tak gagap bingung menghadapi pluralitas yang

merupakan keniscayaan bangsa.

Implementasinya maka sekolahnya ndak lagi

hirau pada kepatutan gedung sekolah indah

mewah berpagar seperti umumnya citra

sekolah baik kala itu, tapi pakai rumah

kampung agar justru makin mendekatkan anak

pada aneka sumber belajar di sekitar. Tak ada

kata seragam, baik untuk pakaian, sepatu, cara

belajar dan buku pelajaran. Metoda belajarnya

meletakkan anak sebagai pusat belajar

dar ipada guru yang mengajar, supaya

terbangun ketrampilan anak untuk belajar

secara mandiri. Adapun kurikulumnya adalah

nasional minus (yang tak penting dibuang)

sekaligus plus (yang sungguh berguna bagi

anak ditambahkan seperti: cara bertanya,

perpektif, etos multikultur, membaca buku

bagus, musik kreatif, dll….)

D e n g a n c a r a - c a r a i t u M a n g u n i n g i n

mengembalikan belajar sebagai kegiatan utama

siswa (bdk: konstruktivisme sosio-kultural

Vygotsky), mengembalikan pembelaran

sebagai mediasi daya kritis siswa menyikapi

fenomen di sekitar hidupnya (bdk: pendidikan

hadap masalah Freirian). Gabungan semuanya

dia sebut pendidikan pemerdekaan. Intinya

memerdekakan bakat potensi siswa melalui

kegiatan belajar yang menghadapkan siswa

dengan masalah aktual yang dihadapinya.

Awal tahun 2000, setelah Romo berpulang dan hingar bingar reformasi mereda, pendidikan di tanah air berubah iklimnya. Pembaharuan justru mulai dari para pengambil kebijakan di atas. Didukung Unicef dan Unesco, Depdiknas mencari model model yang lebih tepat untuk memajukan sekolah. SD Mangunan menjadi salah satu model inspirasi sekolah yang

2. Bagaimana kiprah DED (Dinamika Edukasi Dasar) pasca Romo Mangun?

rubrik wawancara

Kartini satu impian kita

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 13

Page 14: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

metodologi belajarnya dianggap benar; sementara SD Kanisius Gowongan (yang menjadi represesntasi sekolah swasta yang hidup dari sumbangan masyarakat) menjadi inspirasi model pengelolaan sekolah. Lahirlah ideologi Manajemen Sekolah Berbasis Masyarakat (MBS) dan Pembelajaran Aktif Kreatif Menyenangkan (PAKEM). Sejak itu Mangunan jadi “model” yang banyak dikunjungi guru dari sekolah lain, seperti objek penggoncang kemamapanan pembelajaran di sekolah sekolah tradisional. Kami juga jadi sering diundang untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Selaras dengan perkembangan hal tersebut, Dinamika Edukasi Dasar (laboratorium yang memayungi SD Mangunan) lalu membuat seri-seri pelatihan pengembangan ketrampilan mengajar guru. Program itu dilakukan baik di kantor maupun di sekolah-sekolah yang mengundang. Dasar dari pilihan ini tak lain adalah cita-cita Mangun sendiri agar ada

sebanyak mungkin balai guru; semacam pusat animasi dan berbagi strategi dari dan untuk kalangan para guru sendiri.

Inti gerakannya sebenarnya belum banyak bergeser, yakni bagaimana meningkatkan k e t r a m p i l a n g u r u d a l a m m e n g h e l a pembelajaran yang berpusat pada anak. Maklum, banking system oleh berbagai pene l i t i an mas ih d is impulkan sebagai mainstream method dan pendekatan belajar di tanah air; terlebih ketika Ujian Nasional terbukti telah menjadi faktor penggertak utama Proses Belajar Mengajar di kelas menjadi sekadar teaching to test. Dulu guru pendidik dikritik merosot jadi sekadar guru pengajar, kini mungkin dah merosot lagi menjadi guru

3. Apa saja pengembangan gagasan yang terjadi di bidang pendidikan dasar yang telah dilakukan DED?

les buat sukses test belaka.

Point utamanya terletak pada perluasan gagasan dan gerakan agar menjangkau hingga ke pelosok timur kawasan indonesia (real marginal di tanah air). Jadi lebih perluasan pengaruh secara teritorial ketimbang perluasan gagasan.

Namun secara makro kami mensuport b e r k e m b a n g a n y a p e n d i d i k a n multikulturalisme melalui sejumlah diskusi dan seminar. Sekarang kami mulai bergeser ke pendidikan karakter yang terakhir disuarakn kepentingannya baik oleh Majelis Pendidikan Katolik, Konggres Muhamadiyah, Taman s iswa dan NU. Sedang kami eksplor kemungkinan-kemungkinanya agar siap terap dan tidak menambah beban siswa. Yang sementara dipikirkan ya pendidikan karakter yang tersirat dalam proses belajar mengajar.

Jadi ndak ada baru-baru amat lah.

The art of teaching. Era Bambang Sudibyo menyisakan tradisi guru untuk lebih berpikir administratif sertifikatif. Banyak seminar dihadiri guru, demi selembar sertifikat yang kelak terkumpul jadi point mendapat guna sertifikasi bernilai sekali gaji itu. Akibatnya gairah buat mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan mengajar dan mendidik itu tak lagi tumbuh sebagai pathos dari dalam diri. On going formation dalam proses “menjadi” guru yang sepanjang hayat itu lebih ditarik oleh iming-iming eksternal daripada motivasi internal. Ada implikasi proses pembelajaran dan interaksi pendidikan terkorosi jadi formalisme belaka. Banyak guru di atas kertas hebat dan berkelas, tapi proses mengajarnya di dalam kelas tetap biasa biasa saja. Tanpa hati, dapatkah seorang guru membuat peserta didik

4. Sebagai pendidik para guru, apa yang menjadi perhatian Mas Nasar utama saat ini?

memper-“hati”-kan apapun yang diajarkannya?

Menziarahi seni mengajar dan mendidik, dengan menghimbau tumbuhnya kecintaan pada “laku” seorang guru guna menuntun si muda agar keluar dari cangkang pembatas bakat minat potensinya, itulah yang jadi concern utama.

Masih mengakar di gagasan-gagasan dasar yang dikembangkan Mangun sih… Misalnya gambaran beliau tentang guru sejarah yang diibaratkan seorang kakek yang bertutur dengan hidup cerita seputar pengalamannya sebagi pengungsi di jaman penjajahan. Jadi bukan sekadar pendikte data nama, tanggal, dan tempat peristiwa yang jatuhnya diapal belaka. Menemukan praksis pendekatan naratif dalam pembelajaran, ini contoh eksplorasi yang apik mensolusi kebencian anak pada ilmu ilmu sosial.

Sekarang ini ada trend menarik di Indoensia, yakni para guru membuat riset tindakan kelas. Kalau di Mangunan, namanya forum Jumatan; tempat dan waktu membincang persoalan dan pengalaman yang didapat dalam seminggu, lalu bertukar saran menemukan kemungkinan-kemungkinan pemecahan dan jalan keluarnya. Kalau ini jadi tradisi, maka teretas jalan untuk menjadi guru kreatif yang kontekstual itu, karena kiblatnya tak kurikulum semata, melainkan seluruh problematik pembelajaran bahkan realitas masalah siswa.

Jika guru sadar masalah, ia sudah di depan pintu pencerahan akan jalan keluarnya. Dan kalau terus menerus berlangsung, pelan-pelan sekolah akan kembali menjadi jantung peradaban masyarakat dalam bertanya dan mencari jawaban cerdas. Bukankah itu bentuk konkret pendidikan kritis dengan hadap masalah? Selalu tak ada kemungkinanya seorang guru bakal berhasil mengajak anak berpikir kritis terhadap setiap masalah yang dijumpainya, kalau dia sendiri tak pernah menghisap sari madu pengetahuan yang lahir dari gairah bertanya dan mencari dalam budinya.

Berlipat lipatlah hambatan dan kesulitan buat saudara-saudari pengabdi budiman pendidikan di jauh pelosok negeri itu. Fasilitas, sarana, kemampuan guru, kemampuan siswa, budaya masyarakat, keuangan, dsb dsb…. Yang pertama jelas, jangan disamakan. Selalu dimanapun, anak yang paling lemah dan tempat tempat yang paling sulit, adalah ladang sesungguhnya bagi para ahli dan master pendidikan. Sayangnya justru yang lemah dan terbelakang itu dilayani oleh mereka yang nota bene juga pas-pasan. Repotnya lagi, ideologi yang tersamar pada umumnya adalah ambisi agar Atjeh, Mentawai, Sanggau, Asmat, Nabire, Alor, dan Galela segera sama dengan Jakarta. Ini sungguh tak masuk akal.

5 . Bagaimana sebaiknya para guru mengembangkan kapasitas diri?

6. Kemudian, bagaimana mereka (guru) y a n g d i p e d a l a m a n h a r u s b i s a mengembangkan diri, apa saja alternatif yang bisa mereka manfaatkan?

Halaman 14 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

Kartini satu impian kita

Page 15: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Saya sendiri kadang hampir tak punya solusi. Guru-guru d i pedalaman i tu ra ta- ra ta kemampuannya 15% saja dari guru-guru di kota-kota Jawa. Ada yang cuma lulus SMA, bahkan SMP, “dipaksa” keadaan untuk menjadi guru. Dapatkah mereka ditatar dan dibentuk dalam waktu singkat, kalau penguasaan bahasa dan logika dasarnya saja rendah?

Mungkin, jika dinas kabupaten berisi orang yang sungguh cerdas dan peduli, mereka akan mengamini strategi membikin buku yang kontekstual dan dijamin berpihak pada anak; lalu para guru di lapangan itu tinggal mengoperasikan saja (tidak usah mikir berat). Tapi ini belum mensolusi soal jam hadir anak yang minim; terlebih di saat musim panen gaharu atau menyadap karet, belum mensolusi masalah guru yang jengah tinggal di pedalaman karena tak ada tv dan sinyal hp, belum mensolusi masalah ruang dan bangku yang mengancam keselamatan anak ….. Ndak ada resep penyembuh segala penyakit pendidikan di pedalaman mas!

Waktu itu aku melatih guru-guru kampung di Surabaya. Seorang Ibu guru yang tua mendadak tengadah menatapku sembari

7. Apa ada cerita yang berkesan dalam mengajari para guru...

memperbaiki letak kerudungnya, seusai kubilang bahwa rancangan pembelajaran yang dibuatnya itu bagus dan pasti menyenangkan para murid. Kulihat matanya berkaca-kaca. Lalu dia berujar, “Seumur umur saya jadi guru, baru kali ini saya mendapat sapaan dan pujian yang meneguhkan dan membesarkan hati.”

Yahhh, bagaimana mungkin para guru dapat memberikan hatinya, kalau hati mereka sendiri haus, lapar dan kerontang…

Skill ; baik dalam mengajar maupun mendidik. Wawasan tentang segala yang baik-baik itu sudah terlampau sering didengar dan dipelajari melalui beragam seminar diskusi dan pelatihan. Penerapannya di lapangan, itulah y a n g t a k s e l a l a u m u d a h d i t e m u k a n jawabannya. Apalagi banyak guru muda yang b e r - I P m a k s i m a l C u m a d a l a m t e o r i kependidikan, bukan pada skill mendidik dan mengajar. Itulah lemahnya kurikulum LPTK sekarang; kebanyakan teori ketimbang praktek lapangan.

8. Apa kesulitan umum para guru saat ini?

9. Dari pengalaman keliling Indonesia, apa benang merah pendidikan Indonesia saat ini?

Multi konteks, multi ragam, multi potensi dan tak bisa disikapi dengan satu rumus yang sama. Selama pendekatan pendidikan itu content pusatnya masih dominan, maka selamanya pendidikan di Indoensia hanyalah serupa perlombaan untuk beroleh adipura di Jakarta, dengan bumbu aneka sulapan dan kegenitan administratif belaka. Pendidikan Indonesia harus diledakkan dari pusat-pusat kebudayaan yang macam ragam itu. Harus ada orang-orang cerdas dan berdaya di banyak tempat, untuk menganimasi dan mmberdayakan daerah di bidang pendidikan. Birokrasi yang mulai mengencang itu perlu dipijat dan “diinjak injak” agar lentur. Jakarta haruslah teramat sangat cerdas dalam memfasilitasi daerah. Tak boleh terlalu kaku dan “demen” menggenggam kendali kuasa saja, namun mesti punya visi dan cara cerdik cerdas memerdekakan setiap warga bangsa selaras dengan konteksnya.

Ujian nasional kalau untuk pemetaan ya ndak papa, tapi kalau untuk menentukan kelulusan ya sekarang ini rasanya kok tidak bijaksana, sebab standard proses belajarnya saja belumlah merata sama. Kalau dipaksakan, ya kembali seperti tadi, sekolah adalah mesin penyaring penjaring mereka yang berhak atas gelar darah biru cerdas dan pintar saja. Tapi pendidikan sebagai pemerdekaan bakat minat potensi warga bangsa???? Nanti dululah……… Kalau mau praktis kan sekolah itu diganti aja dengan bimbingan test, pasti UN-nya lebih bagus.

Karakter lokal itu kan masih sebatas wacana. Pada prakteknya ndak lulus UN ya good bye. Sebaliknya kalau UN ok, syarat kelulusan yang lain seperti lulus ujian sekolah, berperilaku baik, dan dan tidak memiliki nilai kurang pada bidang ajar tertentu itu bisa dibicarakan dengan hati damai. Semua proses belajar mengajar itu sekarang ukuran utamanya adalah UN dan UASBN. Teaching to test.

Pertama, memberdayakan daerah sebagai pusat-pusat esplorasi pendidikan dengan pusat selaku fasilitator.Okelah masih tetap harus ada sekian prosen content nasional yang kita sepakati sama sebagai satu bangsa, tapi mayoritas mestilah content lokal yang bernilai cerdas fungsional.

Kedua, membongkar mitos school smart sebagai syarat sukses hidup yang utama dan mengedepankan local wisdom yang selama ini terbukti dapat menghidupi setiap komunitas warga bangsa: ketrampilan melaut, mengolah tanah dan hutan dengan kebijaksanaan lokal yang konservatif, memanen ikan, membuat kapal, beternak dan berkebun, menyadap karet, mengolah rotan, mengukir dan membatik, dsb dsb… Pendekatan school smart itu tak jauh-jauh amat beda hasilnya dengan buah politik etik Belanda dulu yang mewariskan selapis

10. Dengan mengingat karakter lokal, bagaimana pandangan Mas Nasar tentang polemik Ujian Nasional?

11. Kalau misalnya, kita berandai-andai, Mas Nasar jadi Mendiknas, kira-kira apa yang akan diubah dalam pendidikan dasar kita

Kartini satu impian kita

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 15

Page 16: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Halaman 16 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

Kartini satu impian kita

administratur kelas menengah yang patuh dan b i s a b e k e r j a d e m i k e p e n t i n g a n penguasa/pemodal sahaja.

Ketiga, meletakkan dasar logika dan filsafat secara benar di pikiran anak. Coba lihat buku teks sekarang itu, apa ada yang memberikan logika? Semuanya sekadar untaian materi yang menumpuk tanpa makna. Hafal sebagi satu satunya ukuran keberhasilan, dan bukan nberkembangnya kemampuan berpikir logis.

Ke empat menyetiai esensi pendidikan dasar sebagai wahana untuk learning how to learn.

(berandai-andai jadi bebas ngomong to ini? Hehehehe)

Belajar itu jantung kehidupan budaya kita sehari-hari, baik pada ranah pribadi, domestik keluarga, komunitas maupun bangsa. Belajar itu bertanya dan mencari jawab, menemukan masalah mengkritisi dan mencipta kembali totalitas apapun agar menjadi baru demi hidup yang lebih baik dan sejahtera. Jadi tanggalkan pencitraan lama bahwa belajar itu adalah sekolah, anak-anak berseragam, setumpuk buku, dan ujian. Ledakkan gairah belajar di pusat-pusat perjumpaan, dengan mengolah apa-saja yang jadi masalah nyata sehari-hari… Niscaya masyarakat kita akan kembali cerdas tak terkungkung pada mitos bahwa kebenaran hanyalah milik mereka yang berhak bicara karena jabatan, kedudukan dan kuasa. Masyarakat kritis adalah suami idaman bunda d e m o k r a s i d a l a m k e h i d u p a n y a n g mengandalkan akal budi.

Wah, ini rumit. Terlalu banyak kelililing mintarkan orang, anak sendiri lebih sering ndak kebagian. Tapi minimal aku bikin komunikasi yang demokratis, menjamin intensitas dan kualitasnya meskipun kuantitasnya agak berkurang. Pola-pola kuciptakan bersama istri dan anak lalu dijagai bersama, dikritisi untuk diubah dan ditingkatkan. Ketrampilan yang pertama kuletakkan adalah berkomunikasi. Maka kuajak mereka untuk belajar kenal dan bicara dengan siapa saja. Alhamdulilah Deo gratias, mereka berdua tampak ndak canggung setiap ketemu orang baru, ndak minder dan clingus, tapi juga tidak nglonjak dan kurang ajar. Dengan kata lain fundamen ktrampilan sosialnya yang kubangun, selebihnya kan tinggal mengikuti tuntutan jaman; jamannya komputer ya blajar komputer, jamannya internet ya tahu internet,… Yang terpenting slalu kuusahakan mengenali perkembangan dan kegelisahan pikiran mereka, lalu kujalin komunikasi.

Hahaha… dapat bocoran darimana nih? Setiap

12. Mengingat kembali gagasan dasar pendidikan Romo Mangun, apa saja yang mungkin dikembangkan oleh siapa saja dalam hidup sehari-hari?

13. Sebagai seorang ayah, bagaimana Mas Nasar mendidik anak?

14. Mungkin bisa diceritakan, bagaimana Bayu ikut mengajari Mas Nasar soal hidup?

anak itu memiliki semacam kaca bening yang dapat memantulkan apa yang disaksikannya… dia juga memeiliki bahasa yang “masih lugas” tidak memuat banyak lipatan siasat di dalamnya… Jadi kita orang tua yang sering berpikir kompleks (banyak lipatan)dan berbelit itu sering mendadak tertampar oleh celetukan murni nan spontan tanpa tendensi itu… Yah, ini kan semacam bumerang budaya saja… saat kulemparkan kepadanya tradisi kritis dan keberanian bicara, memantulah kembali segala peristiwa sambil membawa sudut pandang mereka hehehe… Kalau pakai teorinya Freud yaa.. suara-suara dari super ego yang memantul-mantul hehe

Kemarin dia nyeletuk “kalau aku jadi presiden, daripada mbelikan mobil para mentri lebih baik kubuatkan lapangan kerja untuk orang-orang sehat yang ngemis di perempatan jalan itu”

Beberapa waktu yang lalu saat kami orang tuanya sedang marah, dia menulis puisi di selembar kertas

“ kapan hidup akan bahagia jika semua senang membesarkan amarahnya”

Yah, di satu sisi dia memang berbakat reflektif dan “titis” membidik dengan nuansa bijak, di sisi lain buah dari komunikasinya dengan semua orang dewasa membuatnya kaya bahasa…

Begitulah kami berusaha benar dan kokoh merentang busur saja, selebihnya terserah dia melesat kemana dan seperti apa.

Edward de Bono mewariskan kepada kita ketrampilan memecahkan masalah dengan berbagai cara. Konsep pasca Einstein Mangun itu menghimbau kita buat melihat sesuatu dari

15. Bagaimana Mas Nasar menafsirkan pesan Romo soal generasi Pasca Einstein?

beragam sudut pandang yang tersedia. Laju pesawat terbang misalnya, mungkin tidak kira rasakan melaju saat kita di dalamnya, terlihat berjalan pelan kalau kita lihat dari daratan, dan t e r a m a t k e n c a n g t e r l i h a t j i k a k i t a menyaksikannya dari pinggir landasan. So, tidak mutlak-mutlakan, tidak fanatik, tidak mersa paling benar…. Itulah modal hidup dalam pluralitas yang niscaya ini.

Sama-sama.

Awalnya kupikir kurangajar juga memberi PR bagi Mas Nasar untuk menjawab pertanyaan sebanyak ini , tetapi setelah membaca jawaban-jawabannya, kuyakin ia menulis dengan senang hati. Terima kasih Mas Nasar! (Elcid)

Web DED: Alamat: Jl. Gejayan Gg. Kuwera 14 Mrican, Yogyakarta 55281

Tlp./Fax: (0274)560330

E-mail: [email protected]

16. Terima kasih Mas sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini...

http://ded-mangunan.org/

Page 17: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Kartini satu impian kita

KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010 Halaman 17

Savic Alielha, pria berambut gondrong ini dikenal sebagai aktivis muda lintas kota di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Ketika para aktivis mahasiswa ramai-ramai ngomong politik di partai, Savic malah memulai usaha baru. Ia mendirikan http://Khatulistiwa.net, toko buku on line, sekaligus pendiri Fresh Book. Selain itu ia adalah penerjemah yang produkif. Berikut wawancara Kartika dengan Savic Alielha terkait minatnya berwiraswasta.

Apa sebenarnya yang membuat Bung memilih berwiraswasta?

Bagaimana Bung melihat perkembangan wiraswasta di kalangan muda?

Apa sebenarnya tantangan berwiraswasta?

Pertama, karena saya tidak bisa hidup rutin, berangkat kerja pagi pulang sore. Dengan wiraswasta, saya punya keleluasaan untuk mengatur waktu sendiri. Kedua, wiraswasta membuka peluang untuk mengembangkan kreativitas. misal dengan bikin penerbitan, toko online dll.

Perkembangan kewirausahaan di kalangan anak-anak muda lumayan bagus. Beberapa minggu lalu ada pameran Wirausaha Mandiri, dan yang datang ribuan orang yang sebagian besar anak-anak muda. Banyak anak muda yang kian bersemangat untuk terjun ke dunia kewirausahaan. Saya dalam satu tahun belasan kali diminta ngisi workshop kewirausahaan di sejumlah kampus. Itu menandakan minat dan perhatian yang cukup besar atas sektor satu ini.

Tantangannya adalah bagaimana bisa mengimplementasikan gagasan dan keinginan di level tindakan. Banyak orang pengen wirausaha, tapi tidak sedikit yang berhenti sebatas keinginan. Banyak orang yang masih tidak punya cukup tekad--dan juga keberanian--

Hasrat Mengubah Dunia Para Entrepreneur Muda

untuk menjalani kewirausahaan. Setelah itu, beberapa kendala sempat terjadi, mulai dari soal modal hingga network. Tapi akhirnya semua bisa diatasi. Banyak orang menganggap modal faktor utama, tapi jelas itu keliru. Karena dengan gagasan, perencanaan dan network yang memadai, modal mgk bisa didapatkan dari pihak ketiga.

Ya, karena saya selalu dikuasai hasrat untuk menc ip ta sesua tu , yang i tu hanya dimungkinkan kalau membangun usaha sendiri. Dengan wirausaha, kita bisa mengembangkan kreativitas, membantu memecahkan masalah orang lain (seperti

Bagaimana yakin bahwa jalan wiraswasta yang Bung pilih ini merupakan jalan hidup?

Savic: Saya Tidak Bisa Hidup RutinGoogle yang membantu pencarian data, di m a n a m i s a l n y a , d e n g a n

kami bisa membantu orang-orang di kota kecil agar tetap bisa mendapatkan buku), selain tentu saja menghasilkan uang. Untuk menangkap semangat ini, mungkin bisa baca Note-ku tentang Hasrat Mengubah Dunia Para Entrepreneur Muda.

Ya, tentu saja agar bisa tumbuh berkembang dan pertumbuhannya bisa dirasakan banyak orang. Saya berharap ekonomi indonesia bisa memberikan kesempatan bagi mereka yang belum beruntung.

http://www.facebook.com/l/0ae00;Khatulistiwa.net

Apa mimpi Bung soal perekonomian Indonesia?

"I've always had an interest in how we improve

people's ecosystems--wheter it's civic or

education or economics," demikian kata Reid

Hoffman, punggawa awal Paypal serta pendiri

situs social networking untuk kalangan

profesional dan entrepreneur, LinkedIn.

Apa yang bisa kita ambil dari perkataan tersebut?

Tak lain adalah hasrat untuk menjadi relevan bagi

kehidupan manusia, hasrat untuk memperbaiki

d a n m e n g u b a h d u n i a . M e n i l i k y a n g

mengucapkannya adalah seorang pebisnis,

entrepreneur, di telinga sejumlah orang barangkali

terdengar aneh. Karena pebisnis identik dengan

hasrat akan penumpukan kekayaan, yang menjadi

ciri kaum kapitalis.

Tapi jika kita perhatikan orang-orang IT Amerika

sekarang (yang rata-rata masih muda), mereka

s e p e r t i n y a b e r b e d a d e n g a n g e n e r a s i

pendahulunya. Anak-anak muda itu seolah

dipenuhi hasrat yang sangat besar untuk membuat

dunia lebih baik. Mereka ingin menjadi bagian

dari ikhtiar manusia untuk memperbaiki dan

meningkatkan kebudayaan, pengetahuan dan

peradaban. Mereka ingin memengaruhi dunia.

Dalam tingkat tertentu, cara berfikir dan

berperilaku mereka lebih tampak seperti aktivis

ketimbang pebisnis.

Oleh Savic Alielha*

Page 18: KARTIKA_Edisi 02Februari 2010

Halaman 18 - KARTIKA - kartini satu impian kita / 002 / Februari / 2010

Kartini satu impian kita

Tengok saja Larry Page dan Sergey Brin, duo

pendiri Google. Mereka mencipta mesin yang

membuat kita dengan mudah menemukan "apa

pun" yang kita cari, dan gratis! Gaya hidupnya pun

tak tampak seperti pebisnis. Mereka lebih sering

barpakaian casual ketimbang pakai jas dan dasi.

Meski milyuner, mereka tidak menggunakan

BMW, Mercy atau Jaguar, tetapi mencukupkan diri

dengan Toyota Prius, mobil ramah lingkungan

yang "hanya" berharga US$20-an ribu.

Bandingkan dengan orang-orang kaya Indonesia.

Begitu juga Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.

Facebook telah memainkan peran yang luar biasa

dalam menjembatani persahabatan dan hubungan

antar kita semua di dunia modern yang serba

terbatas waktu ini, dan meski dinobatkan sebagai

salah satu pemuda terkaya di dunia, ia lebih senang

tinggal di apartemen sewaan sederhana ketimbang

di kondominium mewah.

Ada juga Bram Cohen, penemu protokol

BitTorrent yang membuat kita bisa menikmati

sharing file lewat software semacam Limewire

atau Vuze. Anak muda yang mengidap sindrom

Asperger ini juga tak tampak seperti pebisnis,

tetapi lebih seperti aktivis--dan autis. Ia seolah

sengaja menciptakan BitTorrent untuk melawan

hegemoni dan monopoli industri musik dan film

Amerika. Ia merasa praktek saling-meminjamkan

adalah salah satu tonggak kehidupan bersama

umat manusia, dan itu tidak boleh dihapuskan

begitu saja atas nama copyright dan sejenisnya. Di

monitor komputernya sewaktu remaja, bahkan

tertempel kata-kata: Destroy Capitalism.

Selain duo Google, Mark Zuckerberg serta Bram

Cohen, masih ada Jimmy Wales, pendiri

Wikipedia, Linus Torvalds, penemu Linux, dan

masih banyak lagi. Secara bisnis dan finansial,

mereka boleh dikata sudah cukup sukses. Tetapi

mereka tidak pernah membanggakan kesuksesan

finansialnya. Dari sejumlah perkataan di berbagai

wawancara yang pernah aku baca, tampak bahwa

orang-orang ini tidak terobsesi pada uang dan

kekayaan, tetapi lebih terobsesi pada kreativitas

inovasi dan penciptaan, serta hasrat untuk

mengubah dunia. Dan sebagaimana pernah

dikatakan COO Facebook, Sheryl Sandberg, "The

right decision and the right investment in business

can change the world.”

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, banyak sekali

lahir orang-orang yang punya mimpi dan obsesi

seperti mereka. Diantaranya Reid Hoffman. Nama

yang terakhir ini bahkan unik, karena ia mahasiswa

jurusan filsafat, bidang yang sama sekali tak ada

kaitannya dengan dunia teknologi. Tetapi karena

hasrat untuk menjadi (lebih) relevan dengan

kehidupan manusia, ia menekuni IT (bergabung

dengan Paypal, bekerja di Apple dan Fujitsu) dan

lalu mendir ikan LinkedIn, yang telah

mempertemukan ribuan pebisnis dan entrepreneur

muda sehingga bisa saling bekerjasama

menggarap proyek-proyek bisnis yang punya

dampak bagi perbaikan perdaban manusia.

Hoffman, yang adalah mahasiswa S2 Oxford

merasa bahwa filsafat bukanlah bidang yang tepat

jika kita ingin bisa memengaruhi kehidupan orang

banyak. "When I was undergrad at Standford, I

thought the way to do that was to be an academic.

Then I saw that wasn't the right way. At Oxford

when studying philosophy, I decided software

entrepreneurship was the way," katanya.

Dan sepertinya, aku pun merasa begitu.

Huhuhuhuuu...

*Pendiri Fresh Book dan http://khatulistiwa.net

Savic Alielha