Upload
vudiep
View
247
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
i
KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU
GOMBONG DAN MAYAN
SATRIA PRAWIRA DIRGA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iii
ABSTRACT
Characteristics of Bamboo Strip and Bamboo
Culm on Gombong and Mayan Bamboo 1)
Satria Prawira Dirga, 2)
Naresworo Nugroho, 2)
Effendi Tri Bahtiar
INTRODUCTIONS. The availability of wood raw material for construction
materials is currently experiencing shortages that resulting in a lack of supply to
meet the development needs in the future. One of natural resources that is
promising as a wood substitute material is bamboo. This is because bamboo has
the advantages of a fast growing plant and a relatively short cycle (3-4 years). In
its use in society, bamboo as a construction material is widely used in the form of
whole round (reed). The purpose of this study are: 1) Identify the anatomical
properties providing the types of vascular bonding and vascular vast proportions,
2) To compare the physical and mechanical properties on the nodes and segments
(internodes), 3) To compare the result of mechanical properties of bamboo strips
of Gombong bamboo (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) and Mayan
bamboo (Gigantochloa robusta Kurz.) with bamboo culms, and 4) To know the
relationship between the anatomical properties as an estimation of the mechanical
strength of bamboo.
MATERIALS AND METHOD. Bamboo species that used in the experimen
were gombong bamboo and mayan bamboo those bamboo has been aged 3-4
years, and were cut from bamboo plantations at Dramaga IPB. Preparation the
mechanical properties of bamboo strips test specimen refered to the standard
ASTM D 143-94. While the mechanical properties of bamoo culm test specimen
was based on ISO 22157-1: 2004 that has been modified.
RESULTS AND DISCUSSION. The types of vessels in the Gombong bamboo
had III and IV bond types. Vascular distribution of the bond density of the
Gombong bamboo and Mayan bamboo in the horizontal direction tended to
decrease from the edge to the inside, whereas in the vertical direction had a
tendency to increase from the base to the top. Physical and mechanical properties
of Gombong bamboo and Mayan bamboo on the segment (internode) were better
than the physical and mechanical properties of Gombong bamboo and Mayan
bamboo in the node. Anatomical properties contributing to the stability and
strength was a good indicator in estimating the strength of bamboo.
Recommendation for further research is necessary to the appearance of
microscopic observation and chemical properties of Gombong bamboo and
Mayan bamboo on the nodes and segments bamboo in order to complement the
results of this study. Similar research on different species of bamboo is needed in
order to know the potential diversification of wood to bamboo viewed from
physical and mechanical properties.
Keywords: Bamboo, Gigantochloa verticillata,Gigantochloa robusta,
Mechanical Property.
1). Student of Forest Product Departement, Faculty of Forestry IPB;
2). Lecturer of Forest Product Departement, Faculty of Forestry IPB
E / THH
iv
RINGKASAN
Satria Prawira Dirga. E24070087. Karakteristik Bilah dan Buluh Bambu
Gombong dan Mayan. Dibimbing Oleh Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc dan
Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si.
Ketersediaan bahan baku kayu untuk bahan konstruksi saat ini mengalami
kelangkaan yang mengakibatkan kurangnya pasokan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan di masa yang akan datang. Salah satu sumberdaya alam yang cukup
menjanjikan sebagai bahan substitusi kayu adalah bambu. Karena bambu
memiliki keunggulan sebagai tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang
relatif pendek (3-4 tahun).
Dalam pemakaiannya di masyarakat, bambu sebagai bahan konstruksi
banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh (buluh). Sehubungan dengan hal tersebut
diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis bambu agar dapat
digunakan di lapangan. Dengan demikian diperlukan suatu terobosan yang dapat
membantu menetapkan suatu penggunaan bambu secara tepat melalui identifikasi
sifat-sifat dasar buluh bambu dalam penggunaan tertentu. Tujuan dari penelitian
ini adalah : 1.Indentifikasi sifat anatomi berupa tipe ikatan veskuler dan proporsi
luas vaskuler bagian tepi, inti, dan dalam dan pangkal, tengah dan ujung pada
buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan,
2.Membandingkan sifat fisis dan mekanis buku dan ruas bambu gombong dan
bambu mayan, 3.Membandingkan sifat mekanis bilah bambu gombong dan
mayan dengan buluh utuhnya, 4.Mengetahui hubungan antara sifat anatomi
sebagai pendugaan kekuatan mekanis suatu bambu.
Bambu diujikan sifat anatominya berupa tipe ikatan vaskuler dan proporsi
luas vaskuler, membandingkan sifat fisis dan mekanis pada bagian buku (node)
dan ruas (internode), dan membandingkan nilai hasil pengujian sifat mekanis
dengan buluh utuhnya dari bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.)
Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.). Informasi sifat fisis dan
mekanis bambu apabila digunakan di lapangan dapat dilakukan melalui pengujian
yang mengacu pada standar yang ada yaitu ASTM D 143-94 untuk bilah bambu
dan ISO 22157-1:2004 untuk pengujian buluh utuh (full scale) sehingga bisa
v
memberikan informasi pada masyarakat dalam pembangunan konstruksi dari
bambu.
Tipe ikatan pembuluh pada bambu gombong memiliki tipe ikatan III dan
IV. Distribusi kerapatan ikatan vaskuler bambu gombong dan bambu mayan pada
arah horizontal cenderung mengalami penurunan dari tepi ke bagian dalam,
sedangkan pada arah vertikal batang cenderung mngalami peningkatan dari
pangkal ke bagian ujung. Sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu
mayan pada bagian ruas (internode) cenderung lebih baik dibandingkan sifat fisis
dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node). Sifat
anatomi memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan dan merupakan
indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu.
Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengamatan
penampakan mikroskopis dan sifat kimia bambu gombong dan bambu mayan
pada bagian buku dan ruas bambu agar melengkapi hasil penelitian ini. Perlu
dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda agar diketahui
potensi diversivikasi kayu ke bambu dilihat dari sifat fisis dan mekanisnya.
Kata Kunci : Bambu, bambu gombong, bambu mayan, sifat fisis bambu, sifat
mekanis bambu.
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “KARAKTERISTIK
BILAH DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN MAYAN” adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2012
Satria Prawira Dirga
NIM E24070087
ii
KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH BAMBU
GOMBONG DAN MAYAN
SATRIA PRAWIRA DIRGA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
vii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Karakteristik Bilah dan Buluh Bambu Gombong dan
Mayan
Nama Mahasiswa : Satria Prawira Dirga
NIM : E24070087
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing,
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si
NIP. 19650122 198903 1 002 NIP. 19760212 200012 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc
NIP: 19660212 199103 1 002
Tanggal Lulus :
viii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dengan judul “KARAKTERISTIK BILAH DAN BULUH
BAMBU GOMBONG DAN MAYAN” bertujuan untuk memperoleh informasi
mengenai. Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan
efektifitas pemakaian bahan baku bambu sebagai substitusi bahan kayu dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kayu.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berguna bagi
pemanfaatan bambu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu
dikembangkan lagi bagi kesempurnaan penelitian selanjutnya. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, Mei 2012
Penulis
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Linggau pada tanggal 30 November 1989 dari
pasangan Ayahanda Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc dan Ibunda Ir. Anneke
Anggraeni, M.Si, Ph.D. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Penulis memulai pendidikan formal di SDN Polisi I pada tahun 1995 dan lulus
pada tahun 2001, kemudian melanjutkan di SMP-IT Nurul Fikri Anyer dan lulus
pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan
ke SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor. Penulis kemudian terdaftar sebagai
mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB).
Selama perkuliahan, selain mengikuti kegiatan akademis, penulis juga
berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan yaitu menjadi anggota organisasi
himpunan profesi mahasiswa (Himpro) DHH yang bernama Himpunan
Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) tahun 2009-2010 sebagai anggota. Pada
tahun 2008 penulis mengikuti kepanitiaan Bina Corps Rimbawan (BCR) dan
menjadi ketua Divisi PDD salah satu acara HIMASILTAN (KOMPAK). Penulis
melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) jalur Gunung
Burangrang-Cikeong Jawa Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di hutan
pendidikan Gunung Walat Jawa Barat. Selanjutnya, penulis mengikuti Praktek
Kerja Lapang (PKL) di PT. Barito Pacific, Kalimantan Selatan selama dua bulan
dari bulan Juli hingga bulan Agustus 2011.
Penulis melakukan penelitian dengan judul “KARAKTERISTIK BILAH
DAN BULUH BAMBU GOMBONG DAN BAMBU MAYAN” dengan
bimbingan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Efendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si.
x
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Effendi Tri Bachtiar, S.Hut, M.Si
selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan
memberikan banyak ilmu serta wawasan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Ahmad Hadjib, M.S selaku dosen penguji.
3. Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, M.S selaku dosen moderator.
4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB.
5. Orang tua tercinta, Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc dan Ibu Ir.
Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D atas semua dukungan dan kasih sayang yang
diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa
henti kepada penulis.
6. Kakak penulis, Anggi Mayang Sari, S.Si atas semangat dan dukungan serta
doa yang telah diberikan kepada penulis.
7. Hayya Maharatih Tegarini atas doa, bantuan, kasih sayang, semangat dan
dukungan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Teman-teman THH angkatan 44 terutama kepada Syamsi, Djayus, Harisfan,
Ridho, Renato, Punto, Mardiyanto, Fetri, Dina dan Esi serta seluruh
mahasiswa FAHUTAN angkatan 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu
atas dukungan, semangat dan kerjasamanya selama menempuh kuliah di
Fakultas Kehutanan IPB.
9. Teman-teman satu bimbingan: Azhar Anas dan Ria Leliana. Terima kasih atas
kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian.
10. Semua pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis baik selama
kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Mei 2012
Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA4
2. 1. Bambu ......................................................................................................... 4
2.1.1 Potensi Bambu ....................................................................................... 5
2.2 Sifat-sifat Bambu .......................................................................................... 6
2.2.1 Sifat Anatomis Bambu ........................................................................... 6
2.2.2 Sifat Fisis ............................................................................................... 9
2.2.3 Sifat Mekanis ....................................................................................... 11
2.3 Bambu Gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) .................. 12
2.4 Bambu Mayan ( Gigantochloa robusta Kurz.) ........................................... 13
BAB III METODOLOGI15
3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................................... 15
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 15
3.3 Metode Penelitian ....................................................................................... 15
3.3.1 Persiapan Bambu ................................................................................. 15
3.3.2 Pembuatan Contoh Uji ......................................................................... 17
3.3.3 Pengujian Contoh Uji ........................................................................... 22
3.4 Analisis Data ............................................................................................... 26
BAB IV PEMBAHASAN28
4. 1 Sifat Anatomi ............................................................................................. 28
xii
4. 1. 1 Bentuk Batang Bambu ....................................................................... 28
4. 1. 2 Tipe Ikatan Vaskuler .......................................................................... 29
4. 1. 3 Distribusi Ikatan Vaskuler ................................................................. 31
4. 2 Sifat Fisis ................................................................................................... 35
4. 2. 1 Kadar Air ........................................................................................... 35
4. 2. 2 Berat Jenis dan Kerapatan .................................................................. 36
4. 3 Sifat Mekanis ............................................................................................. 42
4. 3. 1 Modulus of Elasticity (MOE) ............................................................ 42
4. 3. 2 Modulus of Rupture (MOR) .............................................................. 45
4. 3. 3 Kekuatan Tarik ................................................................................... 48
4. 3. 4 Kekuatan Tekan Sejajar Serat ............................................................ 52
4. 3. 5 Kekuatan Geser Sejajar Serat ............................................................. 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN59
5. 1 Kesimpulan ................................................................................................ 59
5. 2 Saran .......................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60
LAMPIRAN .......................................................................................................... 63
xiii
DAFTAR TABEL
No Hal
1. Sifat fisis dan mekanis pada lima jenis bambu ................................................. 12
2. Skema pembagian batang bambu ...................................................................... 16
3. Pengukuran dimensi buluh dan taper................................................................ 29
4. Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Bambu Mayan .................... 30
5. Pengujian kadar air kering udara pada jenis Bambu Gombong dan Mayan ..... 35
6. Tabel pengujian berat jenis (BJ) ....................................................................... 36
7. Nilai pengujian kerapatan ................................................................................. 37
8. Pengujian statistik KA, BJ dan kerapatan ......................................................... 38
9. Hubungan korelasi antara faktor KA, BJ dan kerapatan ................................... 39
10. Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah ....... 41
11. Uji korelasi KA, BJ dan penyusutan dimensi ................................................. 42
12. Nilai MOE (kgf/cm2) rata-rata pada jenis Bambu Gombong dan Mayan....... 43
13. Nilai MOR (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan ............................. 45
14. Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah .......................... 46
15. Korelasi antara nilai KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah .............................. 47
16. Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh ............................ 47
17. Korelasi antara nilai MOE, MOR, KA, dan BJ pada buluh ............................ 48
18. Nilai keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan
Mayan ............................................................................................................... 48
19. Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat ................................. 51
20. Hubungan korelasi antara KA, BJ, dan tarik sejajar serat .............................. 52
21. Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada jenis Bambu
Gombong dan Mayan ....................................................................................... 53
22. Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah ....................... 54
xiv
23. Hasil analisa korelasi antara KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada bilah.......................................................................................................... 55
24. Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh ............................. 55
25. Hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan tekan sejajar serat buluh ...................... 56
26. Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2) ................................................ 56
27. Hasil analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat ....................... 57
28. Hasil analisa korelasi antara KA, BJ dan keteguhan geser sejajar serat ......... 58
xv
DAFTAR GAMBAR
No Hal
1. Potensi tanaman bambu di Indonesia .................................................................. 6
2. Tipe ikatan vaskuler pada bambu........................................................................ 8
3. Bagan pembagian batang bambu ...................................................................... 15
4. Contoh pengukuran diameter bambu pada setiap (a) ruas dan (b) buku ........... 17
5. Spesimen sifat anatomi ..................................................................................... 18
6. Spesimen KA, BJ, kerapatan dan penyusutan dimensi ..................................... 18
7. Spesimen pengujian pengembangan dimensi ................................................... 19
8. Pengambilan bilah contoh uji MOE dan MOR ................................................. 19
9. Contoh uji MOE dan MOR bilah ...................................................................... 20
10. Pengujian MOE dan MOR full scale .............................................................. 20
11. Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah ........................................................ 20
12. Contoh pengujian tekan sejajar pada buluh (a) ruas dan (b) buku .................. 21
13. Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping ................. 21
14. Contoh uji geser .............................................................................................. 22
15. Bentuk batang bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan (c)
ujung .............................................................................................................. 28
16. Bentuk batang Bambu Mayan (a) pangkal (b) tengah dan (c) ujung .............. 28
17. a) Ikatan Pembuluh Tipe IV pada bagian pangkal ruas tengah b) Ikatan
Pembuluh Tipe III pada bagian tengah ruas tengah c) Ikatan Pembuluh
Tipe III pada bagian ujung buku tengah ........................................................ 30
18. a) Ikatan Pembuluh Tipe III pada bagian pangkal ruas dalam b) Ikatan
Pembuluh Tipe III pada bagian tengah buku tengah c) Ikatan Pembuluh
Tipe III pada bagian ujung ruas tengah.......................................................... 31
19. (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah horizontal ....... 32
xvi
20. Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b)
buku pangkal Bambu Gombong .................................................................... 33
21. Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan (b)
buku pangkal Bambu Mayan ......................................................................... 33
22. (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal ........... 34
23. Diagram kadar air (%) pada bilah bambu ...................................................... 35
24. Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal .................. 37
25. Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm3) ................................ 37
26. Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu
Gombong dan Mayan ..................................................................................... 40
27. Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung .............................. 43
28. Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu ............................................ 44
29. Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung ......................... 45
30. Diagram keteguhan tarik sejajar serat ............................................................. 49
31. Contoh uji tarik sejajar serat ........................................................................... 50
32. Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat ...................................... 50
33. Keteguhan tekan sejajar serat .......................................................................... 53
34. Diagram kekuatan geser sejajar serat .............................................................. 56
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No Hal
1. Data bentuk buluh bambu ................................................................................. 64
2. Tipe ikatan vaskuler pada masing-masing bagian ............................................ 66
3. Pengujian sifat anatomi bambu ......................................................................... 69
4. Data pengujian kadar air (KA) kering udara ..................................................... 70
5. Data pengujian berat jenis (BJ) .......................................................................... 70
6. Data pengujian kerapatan (g/cm3) ..................................................................... 70
7. Output analisa statistik pengujian kadar air (KA) dan berat jenis (BJ) ............. 71
8. Output analisa statistik pengujian susut dimensi .............................................. 74
9. Analisa korelasi pengujian penyusutan volume dengan faktor KA dan BJ ....... 75
10. Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada bilah ..................................................... 76
11. Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada bilah .................................................... 76
12. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah ....................... 77
13. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOE dengan faktor KA dan BJ........... 80
14. Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada buluh ................................................... 81
15. Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada buluh ................................................... 81
16. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh .............. 82
17. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOR buluh dengan faktor KA dan
BJ ................................................................................................................... 85
18. Data pengujian tarik sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah .................................. 86
19. Gambar contoh uji tarik terserang oleh kumbang bubuk Anobium sp ............ 87
20 Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat ........................................ 88
21. Analisa korelasi pengujian tarik sejajar serat dengan faktor KA dan BJ ........ 89
22. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah ................................. 90
23. Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar serat .................... 91
xviii
24. Analisa korelasi pengujian tekan pada bilah dengan faktor KA dan BJ ......... 92
25. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh ................................. 93
26. Analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar pada buluh ..................... 94
27. Analisa korelasi pengujian keteguhan tekan buluh dengan faktor KA dan
BJ ................................................................................................................... 95
28. Data pengujian geser sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh ................................ 96
29. Analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat ............................... 97
30. Analisa korelasi pengujian keteguhan geser sejajar serat dengan faktor
KA dan BJ ...................................................................................................... 98
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini kayu merupakan salah satu bahan baku utama konstruksi.
Kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan serta bahan baku industri pada saat ini
cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk,
sedangkan pasokan kayu dari hutan alam tidak dapat mencukupi kebutuhan
tersebut karena eksploitasi hutan yang berlebihan, konversi lahan dan kebakaran
hutan. Pemakaian bahan baku kayu yang berlebihan berdampak terhadap
persediaan jumlah bahan baku berupa kayu untuk industri yang dipasok oleh
hutan alam selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan menyebabkan
jumlah kayu mencapai tingkat kelangkaan. Kelangkaan dan ketergantungan
terhadap kayu yang dipasok oleh hutan alam juga berdampak terhadap
ketersediaan kayu untuk bahan konstruksi, yang mengakibatkan kurangnya
pasokan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah material khusus sebagai bahan subtitusi kayu.
Salah satu sumberdaya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan
substitusi kayu adalah bambu, yang memiliki keunggulan sebagai tanaman cepat
tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun). Menurut Dransfield
dan Widjaja (1995) bambu merupakan salah satu jenis rumput-rumputan yang
termasuk famili Graminae yang berpotensi sebagai bahan baku pengganti kayu
untuk bahan bangunan dan mebel.
Bambu terbagi atas dua bagian yaitu bagian buku (node) dan ruas
(internode). Pada bagian buku diisi oleh diafragma yang membatasi rongga
bambu, diafragma ini menyusun bagian buku. Pada penelitian yang telah
dilakukan didapatkan bahwa kekuatan tertinggi terdapat pada bagian ruas
(internode) (Yap 1967). Dalam pemanfaatanya bambu dikenal sebagai bahan yang
hanya digunakan untuk peralatan sederhana, kerajinan, peralatan rumah-tangga,
dan adapun penggunaan konstruksi “outdoor” seperti jembatan. Bambu sebagai
bahan konstruksi banyak dipakai dalam bentuk bulat utuh (buluh). Sehubungan
dengan hal tersebut diperlukan suatu informasi mengenai sifat fisis dan mekanis
2
bambu agar dapat digunakan di lapangan, dengan demikian diperlukan suatu
terobosan yang dapat membantu menetapkan suatu penggunaan bambu secara
tepat melalui identifikasi sifat-sifat dasar buluh bambu dalam penggunaan
tertentu.
Informasi sifat fisis dan mekanis bambu apabila digunakan di lapangan
dapat dilakukan melalui pengujian yang mengacu pada standar yang ada yaitu
ASTM D 143-94 untuk bilah bambu dan ISO 22157-1:2004 untuk pengujian
buluh utuh (full scale) sehingga bisa memberikan informasi pada masyarakat
dalam pembangunan konstruksi dari bambu.
Penelitian mengenai sifat-sifat dasar bambu telah banyak dilakukan.
Namun sebagian besar menggunakan contoh uji berupa bilah. Oleh karena itu
diperlukan suatu terobosan konversi sifat-sifat bilah menjadi sifat bambu utuh,
terkait dengan bentuk yang khas yaitu seperti pipa yang disusun secara periodik.
Dalam penelitian yang dilakukan digunakan dua jenis bambu yaitu bambu
gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) dan bambu mayan
(Gigantochloa robusta Kurz) yang biasa digunakan sebagai bahan konstruksi oleh
masyarakat Indonesia.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Indentifikasi sifat anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dan proporsi luas
vaskuler bagian tepi, inti, dan dalam serta pangkal, tengah dan ujung pada
buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan bambu mayan.
b. Membandingkan sifat fisis dan mekanis buku (node) dan ruas (internode)
bambu gombong dan bambu mayan.
c. Membandingkan sifat mekanis bilah bambu gombong dan mayan dengan
buluh utuhnya.
d. Mengetahui hubungan antara sifat anatomi sebagai pendugaan kekuatan
mekanis bambu.
3
1.3 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi mengenai perbedaan sifat-sifat dasar (anatomi, fisis
dan mekanis) pada bagian buku (node) dan ruas (internode) bambu gombong dan
bambu mayan. Penelitian ini juga sangat penting untuk aplikasi engeneering
karena dapat digunakan untuk menentukan faktor koreksi dari sifat mekanis bilah
ke buluh utuhnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Bambu
Bambu merupakan tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Graminaeae
sub-famili Bambusoideae, dari suku Bambuceae. Bambu merupakan rumput-
rumputan berkayu yang tumbuh sangat cepat dibandingkan pohon. Bambu adalah
tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku,
berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daur buluh yang
menonjol (Dransfield dan Widjaja 1995). Selanjutnya, diameter batang bambu
tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempat tumbuh, dengan nilai bervariasi
antara 0,5–20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besar
diameter rebung bambu yang masih muda. Bambu dibagi menjadi bagian-bagian
kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Batang
bambu terdiri atas sel parenkim, serabut dan pembuluh (Liese 1980).
Tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai
pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 m dpl terutama di Jawa, Bali,
Sulawesi Selatan dan Sumatra (Reilingh 1921, Heyne 1950 dalam Sulthoni 1994).
Menurut Widjaja (2001), jumlah bambu di Indonesia terdiri atas 143 jenis, dengan
60 jenis diperkirakan tumbuh di Jawa. Pertumbuhan bambu di hutan alam
mencapai 400 kg/ha/tahun, bahkan di hutan hujan dapat mencapai 4-5 kalinya
apabila dilakukan manajemen pengelolaan yang baik (pengelolaan tanah,
pemupukan, dan penjarangan) serta terlindung dari penggembalaan (Adkoli
1994). Namun, data resmi adanya hutan bambu di Indonesia hampir tidak ada,
kecuali di dua lokasi di Jawa Timur seluas ± 30.000 ha dan di Sulawesi Selatan
seluas ± 25.000 ha (Widjaja 1980).
Selama ini, manfaat terhadap penggunaan bambu telah lama digunakan
untuk keperluan rumah tangga seperti kontainer, sumpit, tikar tenunan, pancing,
kerajinan tangan, dan mebel. Selain itu bambu juga telah banyak digunakan dalam
aplikasi bangunan, seperti lantai, langit-langit, dinding, jendela, pintu, pagar, atap
perumahan, gulungan, kasau dan purlin, bahkan digunakan dalam konstruksi
sebagai bahan struktural untuk jembatan, fasilitas transportasi air dan langit-langit
5
(Li 2004). Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan
produksi pulp dan barang kerajinan tangan. Umur 3 tahun, batang bambu
umumnya cocok dipanen sebagai bahan bangunan, furniture dan industri lainnya.
Menurut Martawijaya (1977) dalam Nandika et al. (1994) 80% bambu di
Indonesia digunakan untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% untuk bahan
pembungkus, 5% untuk bahan baku kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk
sarana pertanian dan lain-lain.
Janssen (1981) menyatakan bambu mempunyai sifat ramah lingkungan
(tidak terlalu banyak menghabiskan energi) sama seperti kayu, energi
regangannya seefisien baja dan ketahanannya terhadap lendutan serta lengkungan
sebagus kayu terutama saat gempa, mempunyai sifat mekanis lebih baik
dibanding dengan bata, beton, kayu, bahkan baja.
Bambu diperoleh dari tegakan alam dari hasil kegiatan budidaya yang
dilakukan oleh manusia melalui perbanyakan dengan berbagai metode, baik
secara generatif melalui biji dan perbanyakan bambu, maupun secara vegetatif
melalui pemotongan rimpang akar, stek batang, stek cabang, stump batang dalam
rumpun bambu, dan kultur jaringan.
Pemanenan bambu bergantung pada umur, musim, dan bagian yang
digunakan (batang atau rebung). Sulthoni (1987) dalam Dransfield dan Widjaja
(1995) mengatakan pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama
musim kemarau atau pada awal musim kemarau untuk mencegah bambu terserang
penggerek. Selama musim kemarau, kandungan pati juga sangat rendah.
Menurut Mc Clure (1953), sifat-sifat yang menentukan kegunaan bambu
adalah rata-rata dimensi batang, keruncingan batang, kelurusan batang, ukuran
dan distribusi cabang, panjang ruas batang, bentuk dan proporsi ruas, proporsi
relatif jaringan yang ada, kerapatan dan kekuatan kayu, serta kemudahan diserang
jamur dan serangga.
2.1.1 Potensi Bambu
Hasil penelitian Darmono (1963) dalam Sulthoni (1994) melaporkan
bahwa rata-rata produksi bambu apus di Jawa Timur adalah 7,5 ton/ha/tahun.
Hasil studi tim Fakultas Kehutanan UGM yang dilaporkan Sulthoni (1994)
menunjukkan taksiran potensi bambu di D.I. Yogyakarta 2.900.000 batang/tahun,
6
Jawa Barat 14.130.000 batang/tahun, Jawa Tengah 24.730.000 batang/tahun, dan
Jawa Timur 29.950.000 batang/tahun.
Hasil Sensus Pertanian 2003 dalam BPS (2004) menunjukkan bahwa di
Indonesia tercatat sekitar 4,73 juta rumah tangga yang mengusai tanaman bambu
dengan populasi yang dikuasai mencapai 37,93 juta rumpun atau rata-rata
penguasaan per rumah tangganya sebesar 8,03 rumpun. Dari total sebanyak 37,93
juta rumpun tanaman bambu, sekitar 27,88 juta rumpun atau 73,52 persen
diantaranya adalah merupakan tanaman bambu yang siap tebang.
Apabila diamati lebih lanjut pada Gambar 1, seperti halnya tanaman
akasia, tanaman bambu lebih banyak ditanam di Jawa yaitu mencapai 29,14 juta
rumpun atau sekitar 76,83% dari total populasi bambu Indonesia, sedangkan
sisanya sekitar 8,79 juta rumpun (23,17%) berada di luar Jawa. Tanaman bambu
di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi berturut-turut adalah di Jawa Barat
(28,09%), Jawa Tengah (21,59%), dan Jawa Timur (19,38%), sementara di luar
Jawa di Propinsi Sulawesi Selatan (3,69%) (BPS 2004).
Sumber: BPS 2004
Gambar 1 Potensi tanaman bambu di Indonesia.
2.2 Sifat-sifat Bambu
2.2.1 Sifat Anatomis Bambu
Batang bambu tersusun atas sel-sel parenkim yang membentuk jaringan
dasar dan ikatan vaskular (vascular bundle) yang mengandung pembuluh (vessel),
pembuluh tapis (sieve tubes) dan serat/sklerenkim (fibre). Batang bambu terdiri
dari 50% parenkim, 40% serat/sklerenkim dan 10% sel-sel penghubung
28%
22%19%
4%
27%
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Lainnya
7
(pembuluh dan pembuluh tapis). Parenkim dan sel-sel penghubung lebih banyak
ditemukan pada bagian dalam batang bambu, sedangkan pada bagian luar batang
persentase serat/sklerenkim lebih tinggi (Liese 1980).
Lebih lanjut, Liese (1980) menyatakan bahwa secara anatomis, bambu
sulit dilalui cairan karena struktur dinding selnya berlapis-lapis serta hanya terdiri
dari serat aksial pada bagian ruas. Bagian terluar batang bambu terbentuk dari
lapisan tunggal sel epidermis, dan sedikit ke bagian dalamnya ditutupi oleh
lapisan sel sklerenkim. Jaringan dasar pada bambu tersusun atas :
a. Parenkim
Jaringan dasar terdiri dari sel-sel parenkim yang pendek, umumnya
memanjang secara vertikal (100 x 20 μm) berbentuk seperti kubus yang saling
menyisip satu dengan lainnya. Sel-sel tipe ini memiliki dinding yang tebal serta
mengalami lignifikasi pada tahap awal pertumbuhan rebungnya. Sel-sel yang
berukuran lebih pendek dicirikan oleh sitoplasma tebal dan berdinding tipis, serta
tidak menunjukkan terjadinya lignifikasi walau batang menjadi dewasa dan
aktifitas sitoplasma tetap berlangsung sepanjang waktu. Sel-sel parenkim saling
berhubungan satu dengan lainnya melalui noktah sederhana berukuran kecil yang
terdapat pada dinding longitudinal (Liese 1980).
b. Ikatan Vaskular
Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), ikatan vaskular pada batang
bambu terdiri dari xylem dengan 1–2 elemen protoxylem berukuran kecil dan 2
pembuluh metaxylem berukuran besar (diameter 40–120 μm) dan floem yang
berdinding tipis, pembuluh tapis tidak berlignin yang saling berhubungan untuk
menggabungkan sel-sel. Jaringan floem dan pembuluh metaxylem dikelilingi oleh
selubung sklerenkim. Pada bagian luar batang, ikatan vaskular berukuran kecil
dalam jumlah banyak, sedangkan pada bagian dalam batang berukuran besar
dalam jumlah sedikit. Jumlah ikatan vaskular berkurang dari bagian luar ke
bagian dalam batang bambu, dan dari bawah ke ujung batang.
Lebih lanjut Tamolang et al. (1980) menjelaskan dengan rinci bahwa
ikatan vaskular beragam dalam formulasi (susunan), ukuran, jumlah, dan bentuk.
Bentuk formulasi ikatan vaskular antara lain peripheral, transisional, central, dan
inner. Peripheral memiliki ikatan vaskular berukuran kecil dalam jumlah banyak
8
yang tersusun secara tangensial, transisional membentuk ikatan yang tidak
sempurna, central membentuk ikatan yang sempurna, sedangkan inner umumnya
berukuran kecil, sederhana, dan sering tidak beraturan.
Menurut Liese dan Groser (1973) dalam Setiadi (2009), pada umumnya jenis
bambu mempunyai ikatan serabut (fibre bundle) yang terpisah pada sisi dalam
atau sisi luar ikatan vaskular pusat. Ada empat tipe ikatan pembuluh (Gambar 2),
yaitu:
Sumber: Liese dan Groser (1973) dalam Setiadi (2009)
Gambar 2 Tipe ikatan vaskuler pada bambu, (a) tipe I, (b) tipe II, (c) tipe III dan
(d) tipe IV.
1) Tipe I, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat
(central vascular strand) yang hanya didukung oleh jaringan selubung
sklerenkim dan ruang interseluler.
(a) (b)
(c)
(d)
9
2) Tipe II, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat
yang hanya didukung oleh jaringan seperti selubung sklerenkim dan selubung
ruang interseluler yang lebih besar dari ketiga tipe lainnya.
3) Tipe III, ikatan pembuluh terdiri atas dua bagian yaitu ikatan pembuluh pusat
dan satu ikatan serabut. Ikatan serabut terletak di sebelah dalam ikatan vaskular
pusat. Selubung ruang interseluler umumnya lebih kecil dari yang lain.
4) Tipe IV, ikatan pembuluh terdiri atas tiga bagian yaitu ikatan pembuluh pusat
dan dua ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam dan luar dari ikatan
vaskular pusat.
c. Serat
Serat bambu dicirikan oleh sel-sel sklerenkim yang mengelilingi ikatan
vaskular dan dipisahkan oleh parenkim. Panjang serat sangat beragam tergantung
jenis bambu. Panjang serat bertambah dari bagian luar batang bambu dan
mencapai maksimum pada bagian tengah batang, kemudian makin berkurang
hingga ke bagian dalam batang. Serat terpendek ditemukan disekitar buku
sedangkan serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu (Dransfield dan
Widjaja, 1995).
Di lain pihak, Liese (1980) menyatakan bahwa serat lebih banyak
ditemukan di sepertiga bagian luar, sedangkan parenkim dan sel-sel penghubung
(conducting cells) lebih banyak ditemukan di sepertiga bagian dalam. Pada arah
vertikal, jumlah serat meningkat dari bagian bawah ke atas, sebaliknya jumlah
parenkim menurun.
2.2.2 Sifat Fisis
Menurut Frick (2004), sifat fisis dan mekanis bambu tergantung pada jenis
bambu, tempat tumbuh, umur bambu, waktu penebangan, kelembaban udara
(kadar air kesetimbangan), dan bagian bambu yang diteliti (pangkal, tengah, atau
ujung serta bagian dalam, atau bagian tepi/luar).
2.2.2.1 Kadar Air
Menurut Haygreen dan Bowyer (1996) kadar air adalah berat air yang
dinyatakan sebagai persen berat kayu bebas air atau kering tanur (BKT). Kadar air
bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu.
10
Kadar air dari bambu dewasa segar berkisar antara 50–99% dan pada bambu
muda berkisar dari 80–150%, sedangkan kadar air bambu pada kondisi kering
udara berkisar antara 12–8%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke
atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur
lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan
dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaja 1995).
Perbedaan kadar air pada musim penghujan dan musim kemarau dapat
mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu mengandung hanya
kira-kira 50% air (Yap 1967). Tamolang et al. (1980) menyatakan bambu muda
mengalami penurunan kadar air lebih cepat daripada bambu dewasa selama proses
pengeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya pecah atau belah pada batang.
2.2.2.2 Berat Jenis (BJ)
Haygreen dan Bowyer (1996) mendefinisikan berat jenis sebagai
perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat pada kadar air tertentu dan
volume) dengan kerapatan air pada suhu 40ºC.
Menurut Tamolang et al. (1980), BJ bambu cenderung naik ke arah ujung.
Selanjutnya Liese (1980) menyatakan BJ bambu bervariasi dari 0,5–0,8, dengan
bagian luar (bagian tepi dinding batang) dari batang mempunyai BJ lebih besar
dari bagian dalamnya (bagian dalam dinding batang).
Hasil pengukuran BJ bambu menunjukkan BJ bambu pada tiap ruas
bertambah besar dengan bertambahnya ketinggian ruas batang, kemudian nilainya
konstan (Subiyanto et al. 1994). Menurut Brown (1952) dalam Ganie (2008)
pada dasarnya sifat-sifat fisik kayu ditentukan oleh faktor-faktor yang inheren
pada struktur kayu. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi tiga, yaitu :
a. Banyaknya zat dinding sel yang ada pada sepotong kayu.
b. Susunan dan arah mikrofibril dalam sel-sel dan jaringan-jaringan.
c. Susunan kimia zat dinding sel.
Kerapatan adalah perbandingan massa atau berat benda terhadap
volumenya. Berat kayu meliputi berat kayu sendiri, berat zat ekstraktif, berat air
yang konstan, sedangkan jumlah airnya berubah-ubah.
11
2.2.2.3 Penyusutan Dimensi
Penyusutan adalah penurunan dimensi akibat hilangnya sejumlah air pada
tangan-tangan OH di bawah titik jenuh serat. Tidak seperti kayu, bambu langsung
menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan
dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese 1985).
Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan
sebesar 4–14% pada tebal dinding dan 3–12% pada diameternya. Sebaliknya,
pengembangan merupakan proses saat air memasuki struktur dinding sel
(Haygreen dan Bowyer 1996). Menurut Prawiroatmodjo (1976) dalam Ganie
(2008), perubahan dimensi bambu tidak sama dari ketiga arah stuktur radial,
tangensial dan longitudinal sehingga bambu bersifat anisotropis. Angka
pengerutan total untuk kayu atau bambu normal berkisar antara 4,5% - 14% dalam
arah radial (tebal), 2,1% - 8,5% dalam arah tangensial (lebar) dan 0,1% - 0,2%
dalam arah longitudinal (panjang). Perbedaan penyusutan antara bagian dalam
dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah
longitudinal kurang dari 0,5% (Dransfield dan Widjaja 1995).
2.2.3 Sifat Mekanis
Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan kekuatan dan ketahanan
terhadap perubahan bentuk suatu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis.
Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang
mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya
bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang
mengenainya.
Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan
berhubungan erat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaja 1995). Kekuatan
maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen
dan Bowyer 1993).
Umur bambu, kondisi bambu, kadar air, bentuk dan ukuran contoh uji,
berbuku atau tidaknya, posisi dalam batang, dan lama pembebanan sangat
mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu (Janssen 1980 dalam Kurniawan
2002).
12
Lebih dalam, Janssen (1981) menyatakan kekuatan mekanis sangat
bergantung pada lapisan sklerenkim yang merupakan jaringan berdinding tebal
dan kuat terdiri dari sel-sel dewasa yang telah mati. Hal ini sejalan dengan Liese
(1980) yang menyatakan bahwa sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh
keberadaan ikatan vaskulernya (dimana sklerenkim terdapat didalamnya) dan
bukan pada parenkim.
Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang
mengandung silika, kehadiran silika meningkatkan kekuatan. Dransfield dan
Widjaja (1995) menyatakan kandungan silika batang bambu umumnya lebih
tinggi dari kayu sebesar sekitar 0,5-4,0 %.
Di samping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis
yang meliputi keteguhan lentur, keteguhan tarik dan keteguhan tekan yang
berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi’i (1984)
seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat fisis dan mekanis pada lima jenis bambu
Sifat yang diuji Jenis Bambu
Betung Gombong Kuning Tali Sembilang
1. BJ 0,61 0,55 0,52 0,65 0,71
2. Susut volume (%)
Basah – Kering Udara 10,62 12,36 11,29 12,45 11,05
Kering Udara – Kering Tanur 4,99 4,96 4,74 4,60 4,49
Susut tebal (%)
Basah – Kering Udara 6,02 7,94 4,31 5,83 3,04
Kering Udara – Kering Tanur 4,30 5,75 5,47 5,32 7,03
Susut lebar (%)
Basah – Kering 4,81 6,58 3,19 6,30 2,48
Kering Udara – Kering Tanur 4,83 5,96 4,19 3,60 7,57
3. MOR (kg/cm2) 1.638 1.356 1.148 -*) 627
4. MOE(kg/cm2) 131.192 98.294 76.205 -*) 143.207
5. Tekan sejajar serat(kg/cm2) 605 521 455 -*) 627
6. Tekan tegak lurus serat(kg/cm2) 2.127 1.914 1.322 2.004 1.907
Sumber: Syafi’i (1984)
2.3 Bambu Gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)
Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), bambu andong atau bambu
gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarundinaceae
(Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa
13
maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa Pring Sunda, Awi Andong
(Sunda), Buluh Batuang Danto (Padang, Sumatera). Sastrapradja et al. (1980)
mengemukakan bambu andong mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuning-
kuningan dengan garis-garis kuning yang sejajar dengan buluhnya dengan rumpun
yang tidak terlalu rapat. Daerah asalnya diduga Malaya Utara dan Burma.
Perbanyakannya dilakukan dengan akar rimpang atau potongan buluhnya. Bambu
andong perkembangbiakannya cukup cepat. Bambu andong terutama terdapat
pada daerah-daerah yang beriklim kering dengan ketinggian 0 sampai 700 m dpl.
Lebih lanjut Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bambu andong dapat
tumbuh pada tanah lempung berpasir atau tanah berlumpur (alluvial) pada
ketinggian hingga 1.200 m dpl dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2.350–
4.200 mm dan suhu rata-rata 20–32 oC.
Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan di Indonesia bambu andong
yang tumbuh pada lereng bukit (pada ketinggian 500 m dengan curah hujan
tahunan sebesar 4.200 mm) lebih kuat (memiliki berat jenis yang lebih tinggi,
kekuatan tarik dan lentur yang lebih tinggi) dibandingkan batang bambu yang
tumbuh pada daerah lembah. Bambu andong berbentuk simpodial, tinggi batang
7-30 m, dengan diameter sekitar 5-13 cm, dengan tebal dinding mencapai 2 cm,
panjang ruas lebih dari 40-45 atau kurang dari 60 cm.
Dimensi serat bambu andong meliputi : panjang 2,75-3,27 mm, diameter
24,55-37,97 μm, jumlah serat meningkat sekitar 10% dari bawah (pangkal) ke atas
(ujung) batang bambu. Berat jenis berkisar dari 0,5-0,7 (bagian ruas) dan 0,6-0,8
(bagian buku). Modulus elastisitas sebesar 19.836-29.177 kgf/cm2, modulus patah
sebesar 174-211 kgf/cm2, keteguhan tarik 130-195 kgf/cm
2.
2.4 Bambu Mayan ( Gigantochloa robusta Kurz.)
Bambu Mayan disebut juga awi mayan (Sunda) atau pring serit (Jawa)
merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di daerah tropis yang lembab dan
kering. Bambu mayan mempunyai rumpun yang simpodial, padat dan tegak.
Bambu mayan mempunyai rebung hijau muda tertutup bulu coklat hingga hitam.
Buluh bambu lurus dan tingginya mencapai 20 meter. Percabangannya terletak
jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang
lainnya, ujungnya melengkung. Bulu coklat ini melekat hingga buluh menjadi tua,
14
ruas panjangnya mencapai 40 cm, diameternya mencapai 7-9 cm, sedangkan
untuk ketebalan dindingnya mencapai 1,8 cm. Pelepah buluh tertutup bulu hitam,
mudah luruh pada buluh tua, sedangkan pada buluh muda pelepah masih melekat
terutama di bagian pangkal buluh, kuping pelepah buluh membulat dengan bulu
kejur yang mencapai 5 mm; ligulannya menggerigi dengan tinggi 1 mm dengan
bulu kejur yang panjangnya 3 mm.
Buluh bambu mayan banyak digunakan sebagai tempat air dan juga dapat
dimanfaatkan sebagai alat musik tradisional. Selain itu industri bambu juga
memanfaatkan buluh bambu mayan untuk industri sumpit.
15
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang
bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan
Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan elektronik,
desikator, oven, kaliper, mikroskop, UTM (Universal Testing Machine) merk
Instron, gergaji, mesin gergaji circular saw. Bahan baku yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan jenis bambu gombong (Giganthocloa verticillata
(Willd.) Munro) dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz.) yang berusia
sekitar 3-4 tahun berasal dari Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Persiapan Bambu
Bambu yang digunakan adalah bambu gombong dan bambu mayan dengan
panjang sekitar >10 m. Dari masing-masing jenis bambu dilakukan pengulangan
sebanyak 3 batang. Dari keseluruhan batang bambu disamakan panjangnya
sepanjang 9 meter. Kemudian bambu dibagi menjadi 3 bagian dengan panjang 3
meter yang dikelompokan sebagai bagian pangkal, tengah dan ujung seperti yang
terlihat pada Gambar 3.
Pengelompokan batang bambu menjadi pangkal, tengah dan ujung dilakukan
kearah vertikal batang yang dinotasikan dengan perbedaan posisi vertikal.
Selanjutnya masing-masing bagian dibagi lagi menjadi tiga bagian dengan
Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.
16
panjang 1 m. Setelah itu dilakukan dengan pembuatan contoh uji dari masing-
masing bagian (Tabel 2).
Tabel 2 Skema pembagian batang bambu
No Kode
Bilah Bambu Buluh Utuh
Anatomi, KA, BJ, Kerapatan,
Kembang, Penyusutan, MOE,
MOR, Tekan, dan Tarik
Geser Tekan MOE
dan
MOR Buku Ruas Buku Ruas Buku Ruas
1 P1 A X
2 P2 A X X
3 P3 A X X X X
4 T1 A X X X X
5 T2 A X X
6 T3 A X
7 U1 A X
8 U2 A X X
9 U3 A X X X X
10 P1 B X X X X
11 P2 B X X
12 P3 B X
13 T1 B X
14 T2 B X X
15 T3 B X X X X
16 U1 B X X X X
17 U2 B X X
18 U3 B X
19 P1 C X
20 P2 C X X
21 P3 C X X X X
22 T1 C X X X X
23 T2 C X X
24 T3 C X
25 U1 C X
26 U2 C X X
27 U3 C X X X X
Dengan angka di belakang kode sebagai jumlah ulangan ke-i
Bagian pangkal tengah (P2), tengah tengah (T2), dan ujung tengah (U2) dilakukan
pembuatan contoh uji bilah dengan pengelompokan buku (node) dan ruas
(internode) yang dinotasikan dengan perbedaan lokasi. Pembuatan contoh uji
bilah dilakukan dalam beberapa pengamatan yaitu : struktur anatomi, pengukuran
KA, BJ, kerapatan, penyusutan dimensi, pengembangan dimensi, Modulus of
Keterangan:
P1 : Bambu pangkal bagian pangkal
P2 : Bambu pangkal bagian tengah
P3 : Bambu pangkal bagian ujung
T1 : Bambu tengah bagian pangkal
T2: Bambu tengah bagian tengah
T3 : Bambu tengah bagian ujung
U1 : Bambu ujung bagian pangkal
U2 : Bambu ujung bagian tengah
U3 : Bambu ujung bagian ujung
17
Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR), kekuatan tekan dan kekuatan
tarik sejajar serat. Bambu yang tesisa dipisahkan kembali untuk dilakukan
pembuatan contoh uji buluh yang meliputi: kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan
geser sejajar serat pada bagian buku (node) dan bagian ruas (internode) dan
pengujian MOE dan MOR.
3.3.2 Pembuatan Contoh Uji
Pembuatan contoh uji sifat anatomi mengacu pada Pedoman Penuntun
Praktikum Anatomi dan Identifikasi Kayu yang disusun oleh Pandit (1991) dalam
Nuryatin (2000), sedangkan sifat fisis berdasarkan penelitian terdahulu (Sharma
dan Mehra dalam Syafi’i 1984). Contoh uji sifat mekanis pada bilah bambu
mengacu pada standar ASTM D 143-94. Sedangkan contoh uji sifat mekanis pada
buluh utuh penelitian ini berdasarkan pada ISO 22157-1: 2004 yang dimodifikasi.
3.3.2.1 Contoh Uji Sifat Anatomi
3.3.2.1.1 Pengamatan Penampakan Makroskopis
Penelitian sifat dasar ini dilakukan untuk bambu layak tebang. Pengamatan
dilakukan terhadap penampakan makroskopis bambu dari pangkal sampai ujung.
Variabel yang diukur antara lain:
a. Diameter bambu diukur pada setiap buku dan ruas
Keterangan:
Du : Diameter tepi luar bambu pada ujung spesimen (mm)
du : Diameter tepi dalam bambu pada ujung spesimen (mm)
Dp : Diameter tepi luar bambu pada pangkal spesimen (mm)
dp : Diameter tepi dalam bambu pada pangkal spesimen (mm)
Gambar 4 Contoh pengukuran diameter bambu pada setiap (a) ruas dan (b)buku.
18
Pengukuran diameter bambu dilakukan langsung terhadap batang bambu utuh.
Pengukuran menggunakan alat kaliper, besar diameter yang dicatat meliputi
diameter luar bambu dan diameter dalam bambu. Diameter bambu yang diukur
meliputi diameter bambu dengan buku dan tanpa buku (ruas).
3.3.2.1.1 Sayatan penampang distribusi ikatan vaskular
Contoh uji sifat anatomi berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm)
seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Spesimen sifat anatomi.
3.3.2.2 Contoh Uji Sifat Fisis
3.3.2.2.1 Pengujian KA, BJ, Kerapatan dan Susut Dimensi Bambu
Pembuatan contoh uji KA, BJ, kerapatan dan susut bambu menggunakan
contoh uji dengan ukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) ( Gambar 6).
Gambar 6 Spesimen KA, BJ, kerapatan dan penyusutan dimensi.
Pengujian dilakukan terhadap KA, BJ, kerapatan dan susut dimensi dengan
perbedaan lokasi (buku dan ruas).
3.3.2.2.2 Pengujian Pengembangan Dimensi
Pengujian pengembangan dimensi menggunakan contoh uji dengan ukuran
4 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) dengan ilustrasi pada Gambar 7.
Tebal bambu (cm)
2 cm
3 cm
19
Gambar 7 Spesimen pengujian pengembangan dimensi.
Sama seperti pengujian KA, BJ, Kerapatan dan susut dimensi, pengujian terhadap
kembang dimensi juga dilakukan dengan perbedaan lokasi (buku dan ruas).
3.3.2.3 Contoh Uji Sifat Mekanis
3.3.2.3.1 Pembuatan Contoh Uji MOE dan MOR
Bilah bambu untuk setiap spesimen diambil dari bagian ruas dan bukunya.
Spesimen untuk pengujian contoh uji bilah bambu utuh (full scale) diambil dari
bilah bambu utuh dengan panjang 100 cm, sehingga dalam setiap spesimen
terdapat bagian buku bambu. Contoh uji MOE dan MOR pada bilah bambu
berukuran 30 cm x 2 cm x tebal bambu (cm) seperti diilustrasikan pada Gambar 8
dan 9, sedangkan contoh uji MOE dan MOR pada buluh utuh yang seharusnya
berukuran tebal (diameter) dan panjang 15 kali diameter (± 150 cm), namun
dikarenakan panjang contoh uji tidak mencukupi, maka panjang contoh uji MOE
dan MOR pada buluh utuh dibuat menjadi 100 cm seperti pada Gambar 10.
Gambar 8 Pengambilan bilah contoh uji MOE dan MOR.
Tebal bambu
2 cm
4 cm
bagian ruas bambu
bagian buku bambu
20
Gambar 9 Contoh uji MOE dan MOR bilah.
Gambar 10 Pengujian MOE dan MOR full scale.
3.3.2.3.2 Contoh Uji Tekan Sejajar Serat
Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah berukuran 3 cm x 2 cm x tebal
bambu (cm), sedangkan contoh uji pada buluh utuh berbentuk tabung dengan
tinggi = diameter bambu.
Gambar 11 Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah.
Pada pengujian ini contoh uji buluh utuh terjadi modifikasi pada contoh
uji. Hal ini disebabkan alat UTM merk Instron hanya mampu memberi beban
maksimal kurang dari 5.000 kgf, sedangkan beban maksimal yang bisa ditahan
buluh utuh lebih dari 5.000 kgf.
21
Gambar 12 Contoh uji pengujian tekan sejajar pada buluh (a) ruas dan (b) buku.
3.3.2.3.3 Pembuatan Contoh Tarik Sejajar Serat
Contoh uji tarik sejajar serat didasarkan pada ASTM D 143 – 52. Contoh
uji tarik sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping.
3.3.2.3.4 Contoh Uji Geser Sejajar Serat
Pada pengujian ini, contoh uji geser sejajar serat dimodifikasi. Hal ini
dikarenakan ketidaktersediaan alat. Sehingga contoh uji geser sejajar serat dibagi
menjadi 2. Contoh uji geser sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 14.
10,133 cm 9,49 cm 6,33 cm 9,49 cm 10,133 cm
0,949 cm
0,474 cm 0,633 cm
10,133 cm 10,133 cm 9,49 cm 9,49 cm 6,33 cm
tebal
bambu
25,33 cm
(a)
(b)
22
Gambar 14 Contoh uji geser sejajar serat.
3.3.3 Pengujian Contoh Uji
3.3.3.1 Sifat Anatomi Bambu
Contoh uji berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm), baik bagian buku
ataupun ruas, disayat bagian cross sectionnya, kemudian diletakkan di atas
mikroskop. Sampel diamati dengan mikroskop perbesaran 10 kali, kemudian
difoto dengan software Motic Images Plus 2.0 ML yang sudah terinstal di
komputer.
Pengukuran yang dilakukan pada uji anatomi antara lain penentuan tipe
ikatan vaskuler bundel, jumlah vaskuler bundel/mm2, dan proporsi luas vaskuler
bundel pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan arah vertikal (pangkal,
tengah, dan ujung). Vaskular bundel yang terdapat pada sampel dihitung
jumlahnya dan diukur diameternya. Perhitungan dilakukan pada arah horizontal,
yaitu bagian tepi (dekat kulit), inti dan dalam, sedangkan pengukuran diameter
hanya diambil sebagian. Pengukuran diameter dilakukan untuk menghitung
luasnya dengan menggunakan rumus luas lingkaran. Hal ini dilakukan pada arah
vertikal (bagian pangkal, tengah dan ujung).
3.3.3.2 Sifat Fisis Bambu
a. Kadar Air
Contoh uji KA berukuran 3 x 2 x tebal bambu, ditimbang beratnya (BB)
dengan timbangan digital, selanjutnya dioven pada suhu 103 ± 2 oC hingga
mencapai berat konstan. Setelah pengovenan contoh uji diletakan dalam desikator
1,27 cm
5,06 cm
6,33 cm
23
hingga suhunya mencapai suhu ruangan, selanjutnya diukur berat kering tanurnya
(BKT). Nilai kadar air (KA) ini dihitung menggunakan rumus:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 % =𝐵𝐵 − 𝐵𝐾𝑇
𝐵𝐾𝑇 × 100
Keterangan :
BB = Berat basah (g)
BKT = Berat kering tanur (g)
b. Berat Jenis
Penentuan berat jenis bambu tali dan ampel dilakukan dengan contoh uji
berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Contoh uji diukur dimensi panjang,
lebar dan tebal, kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 oC hingga beratnya konstan,
lalu ditimbang berat kering tanur (BKT). Berat Jenis dihitung berdasarkan rumus :
𝐵𝐽 =𝐵𝐾𝑇
𝑝 × 𝑙 × 𝑡 𝑥 𝜌 𝑎𝑖𝑟
Keterangan :
BJ = Berat jenis
BKT = Berat kering tanur (g)
p = Panjang contoh uji (cm)
l = Lebar contoh uji (cm)
t = Tebal contoh uji (cm)
ρ air = 1 g/cm3
c. Kerapatan
Penentuan Kerapatan bambu tali dan ampel dilakukan dengan contoh uji
berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Contoh uji tersebut ditimbang pada
keadaan kering udara (BKU), kemudian diukur dimensi panjang, lebar dan tebal.
Kerapatan dihitung berdasarkan rumus :
Kerapatan (g/cm3) =𝐵𝐾𝑈
𝑝 × 𝑙 × 𝑡
Keterangan :
Kr = Kerapatan (g/cm3)
BKU = Berat kering udara (g)
p = Panjang contoh uji (cm)
l = Lebar contoh uji (cm)
t = Tebal contoh uji (cm)
24
d. Penyusutan Dimensi
Contoh uji diukur dimensi lebar (L1) dan tebal (T1) dalam keadaan kering udara
dengan kaliper. Kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 oC hingga beratnya konstan,
lalu diukur kembali dimensi lebar (L2) dan tebal (T2).
𝑆𝑇 =𝑇1 − 𝑇2
𝑇2𝑥 100% 𝑆𝐿 =
𝐿1 − 𝐿2
𝐿2𝑥 100%
Keterangan :
ST = Susut dimensi tebal (%)
T1 = Tebal saat BKU (cm)
T2 = Tebal saat BKT (cm)
SL = Susut dimensi lebar (%)
T1 = Lebar saat BKU (cm)
T2 = Lebar saat BKT (cm)
e. Pengembangan Dimensi
Contoh uji diukur dimensi tebal (T1) dan lebar (L1) dalam keadaan kering
udara dengan kaliper. Selanjutnya dilakukan perendaman selama 7 x 24 jam (satu
minggu). Setelah direndam, dimensi tebal (T2) dan lebar (L2) diukur kembali.
Nilai pengembangan dihitung menggunakan rumus :
𝑃𝑇 =𝑇2 − 𝑇1
𝑇1𝑥100% 𝑃𝐿 =
𝐿2 − 𝐿1
𝐿1𝑥100%
Keterangan :
PT = Pengembangan dimensi tebal (%)
T1 = Tebal saat kering udara (cm)
T2 = Tebal setelah perendaman (cm)
PL = Pengembangan dimensi lebar (%)
L1 = Lebar saat kering udara (cm)
L2 = Lebar setelah perendaman (cm)
3.3.3.3 Sifat Mekanis Bambu
a. Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR)
Pengujian ini dilakukan menggunakan UTM merk Instron. Sebelum
dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan pengukuran dimensi panjang,
lebar dan tebal. Laju pembebanan tidak melebihi 6 mm per menit. Nilai MOE
MOR pada contoh kecil dapat dihitung menggunakan rumus:
𝑀𝑂𝐸 = 𝛥𝑃𝐿3
4𝛥𝑌𝑏3 𝑀𝑂𝑅 =
3 𝑃𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐿
2𝑏2
25
Nilai MOE MOR pada contoh bambu utuh dapat dihitung menggunakan rumus:
𝑀𝑂𝐸 = 𝛥𝑃𝐿3
12𝛥𝑦𝜋(𝑅4 − 𝑟4) 𝑀𝑂𝑅 =
𝑃𝑚𝑎𝑘𝑠 𝐿 𝑅
𝜋(𝑅4 − 𝑟4)
Keterangan :
MOE = Keteguhan lentur (kgf/cm2)
MOR = Keteguhan patah (kgf/cm2)
∆P = Selisih beban (kgf)
∆y = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm)
Pmaks = Beban maksimum (kgf)
L = Panjang bentang (cm)
b = Lebar contoh uji (cm)
h = Tebal contoh uji (cm)
π = 3,14
R = Jari-jari luar (cm)
r = jari-jari dalam (cm)
b. Keteguhan Tekan Sejajar Serat (τtk)
Contoh uji kecil berukuran 3 cm x 2 cm x tebal bambu (cm). Lalu dicari
luas penampang cross sectionnya dengan mengalikan lebar dan tebal bambu.
Sedangkan pada pengujian tekan buluh, contoh uji seperti terlihat pada Gambar 6
(c) dan 6 (d). Contoh uji diambil dari bambu bulat yang dibelah empat. Untuk
menghitung besar keteguhan tekan sejajar serat menggunakan rumus:
𝜏𝑡𝑘//𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑔𝑓
𝑐𝑚2 =
𝑃
𝐴
Keterangan:
τtk// = Keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2)
P = Beban tekan maksimum (kgf)
A = Luas penampang (cm2)
c. Keteguhan Tarik Sejajar Serat (τtr//)
Bambu dibentuk seperti Gambar 13. Lalu dicari luas penampang
terkecilnya dengan mengalikan tebal terkecil dan lebar terkecil. Untuk
menghitung besar keteguhan tarik sejajar serat menggunakan rumus:
𝜏𝑡𝑟//𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑔𝑓
𝑐𝑚2 =
𝑃
𝐴
Keterangan:
τtr// = Keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm2)
P = Beban tarik maksimum (kgf)
A = Luas penampang terkecil (cm2)
26
d. Keteguhan Geser Sejajar Serat (σ//)
Bambu dibentuk seperti Gambar 14. Lalu dicari luas penampangnya
dengan mengalikan tebal bambu dan a (a =2
3 x tinggi). Untuk menghitung besar
keteguhan geser sejajar serat menggunakan rumus:
σ// =P
A
Keterangan:
σ// = Keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2)
P = Beban tarik maksimum (kgf)
A = Luas penampang terkecil (cm2)
3.4 Analisis Data
Peubah yang diamati dalam penelitian terdiri atas sifat anatomi, sifat fisis
dan sifat mekanis. Sifat anatomi yang terdiri atas kerapatan ikatan pembuluh, luas
ikatan pembuluh, persentase ikatan pembuluh dideskripsikan mengunakan
software Microsoft Excel 2007 berdasarkan jenis bambu (gombong dan mayan),
posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung) dan perbedaan lokasi (ruas dan buku).
Pengujian statistik terhadap sifat fisis terdiri dari Kadar Air (KA), Berat Jenis
(BJ), Kerapatan dan sifat mekanis yang terdiri dari MOE, MOR, tarik sejajar
serat, tekan sejajar serat, dan geser sejajar serat dilakukan menggunakan prosedur
Generalized Linear Model (GLM) menggunakan SAS software versi 9.1 dengan
tiga faktor, yaitu jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal,
tengah, dan ujung) dan lokasi (ruas dan buku).
Pengujian statistik terhadap MOE dan MOR pada buluh dilakukan
menggunakan prosedur GLM menggunakan SAS software versi 9.1 dengan dua
faktor, yaitu jenis bambu (gombong dan mayan), posisi vertikal (pangkal, tengah,
dan ujung). Model rancangan acak lengkap menggunakan tiga faktor disajikan
sebagai berikut :
Yijkl = μ + αi + βj + γk + αβij + αγik + βγjk + αβγijk + εijkl
Dimana :
Yijkl = Nilai pengamatan pada jenis ke-i,posisi vertikal ke-j, dan lokasi ke-k
μ = Rataan umum
α = Pengaruh aditif dari jenis bambu ke-i
β = Pengaruh aditif dari posisi vertikal ke-j
γ = Pengaruh aditif dari lokasi ke-k
ε = Galat eror
27
Pengujian korelasi peubah yang diamati dilakukan menggunatan Minitab
software versi 14 dengan persamaan sebagai berikut :
𝑟 =𝛴𝑋𝑌 −
𝛴𝑋 (𝛴𝑌)𝑛
𝛴𝑋2 − 𝛴𝑋 2
𝑛 𝛴𝑌2 −
𝛴𝑌 2
𝑛
Dimana :
r = Nilai koefisien korelasi
X = Nilai pengamatan peubah X
Y = Nilai pengamatan peubah Y
28
BAB IV
PEMBAHASAN
4. 1 Sifat Anatomi
4. 1. 1 Bentuk Batang Bambu
Bambu gombong (G. verticillata) dan bambu mayan (G. robusta)
termasuk kedalam genus yang sama yaitu Genus Gigantochloa. Pada umumnya
bambu dengan Genus Gigantochloa memiliki batang yang dapat tumbuh besar
sehingga disebut sebagai bambu raksasa. Gambaran tentang bentuk batang bambu
disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Bentuk batang Bambu Gombong bagian (a) pangkal (b) tengah dan
(c) ujung.
Gambar 16 Bentuk batang Bambu Mayan bagian (a) pangkal (b) tengah dan
(c) ujung.
(a) (b) (c)
(b) (a) (c)
29
Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Seperti halnya pada
kayu bentuk batang bambu terdapat perbedaan diameter pada bagian pangkal dan
ujungnya yang disebut taper. Batang bambu memiliki buku (node) yang
memisahkan anatara ruas (internode) yang satu dengan ruas lainnya. Pengukuran
dimensi buluh dan taper disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengukuran dimensi buluh dan taper
Jenis Posisi
Dimensi Taper
Diameter
(cm)
Jarak Antar
Buku (cm) Dalam Luar
Gombong
Pangkal 9,97 36,74 0,0055 0,0018
Tengah 9,05 43,21 0,0066 0,0017
Ujung 7,93 40,35 0,0053 0,0066
Mayan
Pangkal 9,25 39,17 0,0037 0,0014
Tengah 9,31 53,86 0,0051 0,0010
Ujung 7,90 45,02 0,0041 0,0060
Dilihat berdasarkan hasil pengamatan kedua jenis bambu memiliki
diameter yang hampir sama besar. Kecendrungan kesamaan dimensi tidak hanya
ditemukan dari diameternya saja, begitu juga dengan tebal dinding yang terdapat
pada masing-masing jenis bambu memiliki nilai tebal dinding yang hampir sama
besar. Bambu mayan memiliki nilai jarak antar buku yang lebih panjang daripada
bambu gombong.
Dari Tabel 3 diperoleh hasil pada bagian pangkal dan tengah bambu
gombong memiliki nilai taper yang lebih besar dibandingkan bambu mayan.
Sedangkan pada bagian ujung bambu mayan memiliki nilai taper yang lebih besar
daripada bambu gombong. Besar nilai taper erat kaitanya terhadap bentuk suatu
batang menyerupai bentuk kerucut. Semakin besar nilai taper maka semakin tidak
silindris suatu batang bambu mendekati bentuk kerucut. Nilai taper juga berguna
dalam pendugaan suatu volume batang.
4. 1. 2 Tipe Ikatan Vaskuler
Pengamatan berupa tipe ikatan vaskuler dilakukan pada arah horizontal
dan vertikal. Hasil pengamatan anatomi berupa tipe ikatan vaskuler dengan
mikroskop terhadap penampang melintang bambu gombong dan bambu mayan
pada bagian pangkal, tengah dan ujung dapat disajikan pada Tabel 4.
30
Tabel 4 Tipe ikatan vaskuler pada Bambu Gombong dan Mayan
Jenis
Bambu
Bagian
Horizontal
Bagian Vertikal
Pangkal Tengah Ujung
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Gombong
Tepi III III III III III III
Inti III dan IV III III III III IV
Dalam IV III III III III IV
Mayan
Tepi III III III III III III
Inti III III III IV III III dan IV
Dalam III III III IV III III dan IV
Pola ikatan vaskuler bambu gombong pada bagian pangkal ruas memiliki
dua tipe ikatan vaskuler berbeda, bagian tepi memiliki pola ikatan tipe III, bagian
inti memiliki pola ikatan peralihan dari tipe III ke tipe IV, dan bagian dalam
memiliki pola ikatan tipe IV. Sedangkan pola ikatan vaskuler ke arah vertikal
batang bagian tengah dan ujung, hampir semua memiliki pola ikatan vaskuler tipe
III terkecuali pada ujung buku, bagian inti dan dalam memiliki pola ikatan tipe
IV. Untuk membedakan ikatan vaskuler tipe III dan IV pada bambu gombong
dapat dilihat pada Gambar 17 (a), (b) dan (c).
Gambar 17 a) Ikatan vaskuler peralihan tipe III dan IV pada bagian pangkal ruas
inti
b) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian tengah ruas inti
c) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian ujung buku inti.
Untuk membedakan tipe ikatan vaskuler pada bambu mayan dapat dilihat
pada Gambar 18 (a), (b) dan (c).
31
Gambar 18 a) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian pangkal ruas dalam
b) Ikatan vaskuler tipe IV pada bagian tengah buku inti
c) Ikatan vaskuler tipe III pada bagian ujung ruas inti
Sama seperti bambu gombong, bambu mayan memiliki dua tipe ikatan vaskuler
berbeda, yaitu tipe III dan tipe IV. Hampir semua pola ikatan vaskuler pada
bambu mayan memiliki tipe III, terkecuali pada bagian tengah buku dan ujung
buku yang memiliki pola ikatan tipe IV.
Menurut Nuryatin (2012), BJ bambu dipengaruhi oleh kandungan
sklerenkim pada bambu. Vaskuler dengan ikatan bertipe III dan IV relatif
memiliki sklerenkim yang hampir sama, walaupun memiliki jumlah rantai serabut
yang berbeda. Sehingga vaskuler dengan tipe ikatan III dan IV tidak memiliki
perbedaan BJ yang signifikan. Pola ikatan tipe IV memiliki diameter batang yang
besar serta dinding batang yang tebal sehingga sesuai jika digunakan sebagai
bahan baku struktural.
Pola ikatan vaskuler bambu adalah variabel sifat anatomi selain dapat
digunakan sebagai kunci identifikasi juga menunjukan karakter yang mewakili
sifat-sifat suatu jenis bambu. Pola tersebut memiliki fungsi dan keterikaitan
dengan sifat-sifat dasar yang berguna dalam arah pemanfaatan bambu.
4. 1. 3 Distribusi Ikatan Vaskuler
Pengujian ikatan vaskuler mencakup pengamatan terhadap distribusi
kerapatan ikatan vaskuler, luas dimensi arah lebar ikatan vaskuler, proporsi luas
vakuler dan tipe ikatan pembuluh pada arah horizontal (tepi, inti dan dalam) dan
vertikal (pangkal, tengah dan ujung).
Jumlah vaskuler diperoleh dari perhitungan jumlah ikatan vaskuler yang
terdapat dalam suatu luasan foto, dengan kata lain distribusi ikattan vaskuler
adalah kerapatan ikatan vaskuler dalam satu luasan yang sama. Proporsi luas
32
ikatan vaskuler diperoleh dari perhitungan luas satu ikatan vaskuler di kali dengan
banyaknya jumlah ikatan vaskuler di bagi dengan luas foto. Luas dimensi arah
lebar ikatan vaskuler diperoleh berdasarkan pengukuran rata-rata diameter ikatan
vaskuler.
Distribusi ikatan vaskuler pada arah horizontal
Perbedaan jumlah vaskuler /mm2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu
arah horizontal Gambar 19.
(a)
(b)
Gambar 19 (a)Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah
horizontal.
Pada Gambar 19 (a) terlihat bahwa ikatan vaskuler pada bagian tepi
memiliki kerapatan yang sangat tinggi bila dibandingkan bagian inti dan dalam.
Semakin kearah dalam semakin sedikit/jarang jumlah ikatan vaskuler per satuan
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ju
mla
h V
ask
ule
r /m
m2
Jenis dan Bagian Bambu
Tepi
Inti
Dalam
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Pro
po
rsi
Lu
as
Ika
tan
Va
sku
ler
(%)
Jenis dan Bagian Bambu
Tepi
Inti
Dalam
33
luas. Gambar 19 (b) menunjukkan bahwa proporsi luas vaskuler bambu gombong
dan bambu mayan semakin kecil dari tepi ke dalam. Selain itu bagian ruas
memiliki jumlah vaskuler/mm2 dan proporsi luas vaskuler yang lebih tinggi bila
dibandingkan bagian buku. Sayatan distribusi ikatan vaskuler pada penampang
lintang bambu gombong (Gambar 20).
Gambar 20 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan
(b) buku pangkal Bambu Gombong.
Dari data hasil pengamatan (Lampiran 1), bagian ruas bambu gombong
memiliki nilai rata-rata kerapatan distribusi ikatan vaskuler yang lebih besar yaitu
1,156 buah/mm2 dari kerapatan distribusi ikatan vaskuler bagian buku dengan
nilai 0,887 buah/mm2. Besar nilai proporsi ikatan vaskuler rata-rata bagian ruas
(64,86%) memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan bagian buku
(55,41%).
Sayatan penampang lintang bambu dan distribusi kerapatan ikatan
pembuluh pada bambu mayan terlihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Sayatan mikro pada penampang lintang (a) ruas pangkal bambu dan
(b) buku pangkal Bambu Mayan.
(a) (b)
tepi tengah dalam tepi tengah dalam
(a) (b)
tepi tengah dalam tepi tengah dalam
34
Dari hasil pengamatan (Lampiran 2), menunjukan nilai distribusi
kerapatan ikatan vaskuler pada bagian ruas pangkal tepi (1,84 buah/mm2) lebih
tinggi bila dibandingkan bagian inti (0,68 buah/mm2) dan dalam (0,48 buah/mm
2).
Bagian ruas memiliki nilai distribusi ikatan yang lebih tinggi bila dibandingkan
bagian buku.
Distribusi ikatan vaskuler pada arah vertikal
Bila dibandingkan selisih nilai antara jumlah vaskuler/mm2 dengan proporsi
vaskuler pada bagian tepi ke dalam, jumlah vaskuler/mm2 memiliki nilai selisih
yang lebih besar. Hal ini dikarenakan bagian tepi memiliki ukuran vaskuler yang
lebih kecil dan berjumlah banyak, sedangkan bagian tengah dan dalam memiliki
ukuran vaskuler yang besar dengan jumlah sedikit. Perbedaan jumlah
vaskuler/mm2 bambu dan proporsi luas vaskuler bambu arah horizontal disajikan
pada Gambar 22.
(a)
(b)
Gambar 22 (a) Jumlah vaskuler/mm2 dan (b) proporsi luas vaskuler arah vertikal.
0,00,20,40,60,81,01,21,4
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong MayanJu
mla
h V
ask
ule
r /m
m2
Jenis dan Bagian Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
01020304050607080
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Pro
pors
i L
uas
Vask
ule
r
(%)
Jenis dan Bagian Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
35
Dari data hasil pengamatan pada kedua jenis bambu dapat dilihat adanya
kecenderungan meningkatnya jumlah vaskuler/mm2 dari pangkal ke ujung.
Semakin tinggi posisi bagian batang berbanding lurus tehadap kerapatan ikatan
vaskuler. Gambar 22 (b) menunjukan bahwa proporsi luas vaskuler pada kedua
jenis bambu cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Hal ini diduga karena
bagian tengah memiliki ukuran vaskuler yang lebih besar daripada bagian
pangkalnya dan mengecil ke bagian ujung.
4. 2 Sifat Fisis
4. 2. 1 Kadar Air
Pengujian penentuan kadar air terhadap banyaknya jumlah air yang
tersimpan dalam bambu per satuan volume dilakukan pada keadaan kering udara.
Jumlah kandungan kadar air pada kedua jenis bambu ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Pengujian kadar air (%) kering udara pada jenis Bambu Gombong dan
Mayan
Gambar 23 Diagram kadar air (%) pada bilah bambu.
Bambu gombong memiliki KA 12,7 – 14,8 % dengan rata – rata 13,82 %.
Sedangkan bambu mayan memiliki nilai KA 12,89 – 14,49 % dengan rata-rata
02
4
6
810
12
1416
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ka
da
r A
ir (
%)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 13,53 14,69 13,48 12,89
Tengah 14,80 12,85 14,49 13,43
Ujung 14,37 12,70 13,38 13,32
Rata-Rata 14,23 13,41 13,78 13,21
36
13,5 %. Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 23), terlihat bahwa kadar air kering
udara pada bambu bagian tengah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
bagian pangkal dan ujungnya, terkecuali pada jenis bambu gombong dengan
lokasi bagian buku. Jika dilihat berdasarkan persen kadar air rata-rata hasil ini
sedikit lebih besar dari dugaan Janssen (1981) yang memperkirakan bahwa pada
kelembaban relatif (RH) 90% kadar air kering udara bambu sekitar 12,7%. Nilai
perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh presentase sklerenkim yang terdapat
pada suatu bambu, yang dapat diduga dari nilai berat jenis (BJ). Semakin tinggi
nilai BJ maka semakin tinggi tingkat kestabilan dimensi bambu.
Kandungan air pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian
ujung atau ditunjukkan pula oleh perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung.
Kandungan air yang besar dapat menyebabkan tingkat kesetabilan dimensi lebih
rendah pada bagian pangkal dibanding bagian ujung (Mohmod et al. 1991).
Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi sebagian rongga-rongga sel
akan mengurangi nilai penyusutan. Adapun faktor lain yang diduga ikut
berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian pangkal ke
bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya penyusutan.
4. 2. 2 Berat Jenis dan Kerapatan
BJ bambu gombong berkisar 0,57 – 0,68 dengan rataan 0,62 dan BJ
bambu mayan berkisar 0,65 - 0,7 dengan rataan 0,67. Berdasarkan hasil
pengamatan, BJ bambu gombong cenderung meningkat dari bagian pangkal ke
bagian ujung. Sedangkan kecenderungan ini tidak tampak pada bambu mayan
dengan lokasi buku. Hasil pengujian BJ bilah pada bagian pangkal, tengah dan
ujung tersaji pada Tabel 6 dan Gambar 24.
Tabel 6 Tabel pengujian berat jenis (BJ)
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 0,61 0,66 0,66 0,70
Tengah 0,57 0,60 0,67 0,67
Ujung 0,64 0,68 0,65 0,67
Rata-rata 0,61 0,65 0,66 0,68
37
Gambar 24 Diagram pengujian berat jenis pada ketiga bagian posisi vertikal.
Perbedaan besarnya kerapatan pada masing-masing bagian disajikan pada
Tabel 7 dan Gambar 25.
Tabel 7 Nilai pengujian kerapatan (g/cm3)
Gambar 25 Diagram hasil pengukuran pengujian kerapatan (g/cm3).
Pengujian kerapatan bambu gombong dan bambu mayan yang berumur 4
tahun yang berasal dari daerah Hutan Tanaman Bambu IPB Dramaga dilakukan
terhadap volume kering udara dan berat kering tanur. Besar nilai kerapatan bambu
gombong berkisar antara 0,66 – 0,77 g/cm3 dengan rata-rata 0,72 g/cm
3 dan nilai
kerapatan pada bambu mayan berkisar antara 0,74 - 0,79 g/cm3 dengan rata – rata
0,76 g/cm3.
0
0,2
0,4
0,6
0,8
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ber
at
Jen
is
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ker
ap
ata
n (
g/c
m3)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 0,69 0,76 0,74 0,79
Tengah 0,66 0,68 0,77 0,76
Ujung 0,74 0,77 0,74 0,76
38
BJ dan kerapatan bambu gombong menunjukkan kecenderungan
meningkat dari pangkal ke ujung. Bila dikaitkan dengan struktur anatomi
kecenderungan ini berbanding lurus dengan nilai jumlah vaskuler/mm2 yang
meningkat dari pangkal ke bagian ujung. Sedangkan pada bambu mayan tidak
tampak adanya kecenderungan yang sama, nilai BJ dan kerapatan bambu mayan
cenderung menurun dari pangkal ke bagian ujung. Hal ini diduga nilai BJ dan
kerapatan tidak hanya dipengaruhi oleh nilai jumlah vaskuler/mm2, faktor
proporsi luas ikatan vaskuler merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi nilai BJ dan kerapatan. Nilai proporsi luas ikatan vaskuler bambu
mayan cenderung menurun dari pangkal ke ujung. Sedangkan pada lokasi buku
dan ruas, bagian buku memiliki nilai BJ yang lebih besar dari bagian ruasnya.
Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model
(GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor
yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas
dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Pengujian statistik KA, BJ dan kerapatan
Posisi Lokasi KA (%) BJ ρ (g/cm
3)
Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal
Buku 14,7 ± 0,45
(3,03)
12,9 ± 1,19
(9,23)
0,7 ± 0,02
(2,99)
0,7 ± 0,04
(6,23)
0,8 ± 0,02
(2,72)
0,8 ± 0,05
(6,01)
Ruas 13,5 ± 1,18
(8,69)
13,5 ± 1,33
(9,83)
0,6 ± 0,04
(6,79)
0,7 ± 0,05
(8,02)
0,7 ± 0,05
(7,11)
0,7 ± 0,06
(7,73)
Tengah
Buku 12,9 ± 1,10
X
(8,56)
13,4 ± 1,91
(14,18)
0,6 ± 0,03
(4,34)
0,7 ± 0,08
(12,04)
0,7 ± 0,03
(4,20)
0,8 ± 0,08
(10,86)
Ruas 14,8 ± 0,20
Y
(1,35)
14,5 ± 0,67
(4,61)
0,6 ± 0,08
(14,10)
0,7 ± 0,07
(10,06)
0,7 ± 0,09
(13,51)
0,8 ± 0,08
(9,75)
Ujung
Buku 8,5 ± 7,38
(87,16)
13,3 ± 0,35
(2,61)
0,5 ± 0,40
(86,78)
0,7 ± 0,04
(5,38)
0,5 ± 0,45
(86,87)
0,8 ± 0,04
(4,74)
Ruas 14,4 ± 0,94
(6,51)
13,4 ± 1,43
(10,68)
0,6 ± 0,07
(10,53)
0,7 ± 0,06
(8,66)
0,7 ± 0,07
(9,46)
0,7 ± 0,07
(9,54)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
39
Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan nyata KA oleh faktor
perbedaan lokasi (ruas dan buku) pada bagian tengah bambu gombong. Tidak ada
perbedaan nyata BJ dan kerapatan oleh faktor jenis, posisi vertikal batang, dan
lokasi (ruas dan buku). Hasil pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan kerapatan
yang diamati disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Hubungan korelasi antara faktor KA, BJ dan kerapatan
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Kerapatan
(g/cm3)
0,740 0,998
0,000 0,000
Berdasarkan hasil uji korelasi ditemukan hubungan yang erat antara ketiga
variabel. Semakin tinggi kadar air yang tekandung di dalam bambu maka semakin
tinggi nilai berat jenis dan kerapatan.
4. 2. 3 Kembang Susut Dimensi
Bambu sebagai hasil alam merupakan bahan anisotropis, oleh karena itu
penelitian terhadap stabilitas pengembangan dan penyusutan dimensi bambu
dilihat dari tiga arah, yaitu arah tebal, arah diameter dan arah arah longitudinal.
Seperti halnya kayu, penyusutan dan pengembangan bambu arah
longitudinal sangat kecil (tidak mencapai 1%), baik untuk bagian pangkal,
maupun bagian tengah. Melalui hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 26
a dan b, terlihat bahwa penyususutan dan pengembangan arah tebal paling besar
dibandingkan penyusutan arah lebar, sedangkan penyusutan dan pengembangan
arah longitudinal sangat kecil.
Besarnya nilai penyusutan arah tebal pada 2 jenis bambu cenderung lebih
besar dibanding susut arah lebar, diduga karena antara lain karena tidak
terdapatnya sel jari-jari sebagai penahan proses penyusutan ke arah tebal sehingga
penyusutan arah tebal lebih besar. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989)
pengembangan secara sederhana adalah kebalikan dari proses penyusutan.
40
(a)
(b)
Gambar 26 Nilai (a) penyusutan dan (b) pengembangan dimensi pada Bambu
Gombong dan Mayan.
Faktor lain yang diduga ikut berperan dalam penyusutan adalah adanya distribusi
ikatan vaskular yang tidak merata antara bagian luar, tengah dan dalam dinding
batang bambu. Sehingga nilai penyusutan tebal adalah total dari nilai penyusutan
bagian luar, tengah dan dalam sedangkan pada arah lebar nilai penyusutan
ditentukan oleh dua bagian baik terluar maupun bagian paling dalam dinding
batang yang relatif nilai susutnya lebih kecil karena umumnya mempunyai
kerapatan yang lebih tinggi sehingga nilai penyusutan ke arah lebar akan
mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan arah tebal.
Selain struktur anatomi perbedaan kadar air dan lignin serta zat ekstraktif
dapat mempengaruhi besar kembang susut pada bambu. Kandungan air pada
bagian pangkal lebih besar dibandingkan bagian ujung atau ditunjukkan pula oleh
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Tebal 3,98 4,14 4,22 4,38
Lebar 1,64 1,70 1,78 1,56
Panjang 0,16 0,33 0,11 0,18
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
Pen
yu
suta
n (
%)
Jenis Bambu
Tebal
Lebar
Panjang
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Tebal 2,87 3,47 3,26 3,01
Lebar 1,65 1,40 1,10 1,08
Panjang 0,30 0,17 0,13 0,15
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
Pen
gem
ban
ga
n (
%)
Jenis Bambu
Tebal
Lebar
Panjang
41
perbedaan nilai BJ antara pangkal dan ujung, yang dapat menyebabkan tingkat
kestabilan dimensi lebih rendah pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung
(Mohmod et al. 1991). Demikian pula dengan zat-zat ekstraktif yang mengisi
sebagian rongga-rongga sel akan mengurangi nilai penyusutan. Adapun faktor lain
yang diduga ikut berpengaruh adalah meningkatnya kandungan lignin dari bagian
pangkal ke bagian ujung sehingga akan berpengaruh pula terhadap besarnya
penyusutan.
Proses penyusutan pada bambu berbeda jika dibandingkan dengan kayu
karena pada bambu, penyusutan dimulai pada saat pengeringan atau di atas titik
jenuh serat (Liese 1985). Hal ini diduga karena adanya perbedaan dalam struktur
anatomi antara kayu dan bambu, dimana pada bambu strukturnya didominasi oleh
parenkim sebagai jaringan dasar yang dindingnya cukup tipis, sehingga pada saat
pengeringan (masih diatas titik jenuh serat) air bebas yang keluar dari rongga sel
parenkim mengakibatkan tahanan dalam lumen akan menjadi berkurang sehingga
dinding sel parenkim yang tipis akan melisut (collaps) dan proses penyusutan pun
akan dimulai sebelum dinding sel menyusut. Dengan demikian pada tanaman
bambu, besarnya penyusutan akan lebih besar bila dibandingkan dengan kayu.
Tabel 10 Hasil analisa statistik pengujian penyusutan dimensi bambu pada bilah
Posisi Lokasi KA (%) BJ Susut (%)
Gombong Mayan Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal
Buku 14,7 ± 0,45
(3,03)
12,9 ± 1,19
(9,23)
0,7 ± 0,02
(2,99)
0,7 ± 0,04
(6,23)
7,4 ± 0,25H
(3,37)
7,1 ± 0,28H
(3,88)
Ruas 13,5 ± 1,18
(8,69)
13,5 ± 1,33
(9,83)
0,6 ± 0,04
(6,79)
0,7 ± 0,05
(8,02)
7,0 ± 0,78H
(11,10)
7,1 ± 0,35H
(4,95)
Tengah
Buku 12,9 ± 1,10
X
(8,56)
13,4 ± 1,91
(14,18)
0,6 ± 0,03
(4,34)
0,7 ± 0,08
(12,04)
6,0 ± 0,40HI
(6,57)
6,1 ± 0,33I
(5,50)
Ruas 14,8 ± 0,20
Y
(1,35)
14,5 ± 0,67
(4,61)
0,6 ± 0,08
(14,10)
0,7 ± 0,07
(10,06)
5,8 ± 0,49H
(8,43)
6,1 ± 0,61H
(9,90)
Ujung
Buku 8,5 ± 7,38
(87,16)
13,3 ± 0,35
(2,61)
0,5 ± 0,40
(86,78)
0,7 ± 0,04
(5,38)
3,2 ± 2,80I
(86,73)
4,9 ± 0,33J
(6,58)
Ruas 14,4 ± 0,94
(6,51)
13,4 ± 1,43
(10,68)
0,6 ± 0,07
(10,53)
0,7 ± 0,06
(8,66)
4,4 ± 0,23I
(5,20)
4,9 ± 0,41I
(8,44)
Keterangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
42
Hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized Linear Model
(GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor
yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi (ruas
dan buku) diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 10. Dari hasil uji statistik
didapatkan adanya perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor posisi vertikal.
Tidak ada perbedaan nyata susut dimensi oleh faktor jenis dan lokasi (ruas dan
buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan susut volume yang diamati
diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Uji korelasi KA, BJ dan susut dimensi
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710
0,000
Susut
Volume (%)
0,621 0,603
0,000 0,000
Dari hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan susut dimensi ditemukan adanya
hubungan yang erat pada ketiga faktor. Semakin tinggi kadar air yang terdapat
pada bambu maka berpengaruh nyata terhadap besar nilai berat jenis suatu bambu.
Semakin tinggi nilai kadar air pada suatu bambu maka berhubungan erat terhadap
besar susut volume pada bambu. Semakin tinggi nilai BJ suatu bambu maka
berhubungan erat terhadap besar nilai penyusutan bambu.
4. 3 Sifat Mekanis
4. 3. 1 Modulus of Elasticity (MOE)
Nilai MOE bilah bambu gombong berkisar antara 108.413 – 212.493
kgf/cm2 dengan rata- rata 145.557 kgf/cm
2, sedangkan MOE buluh utuh berkisar
antara 47.418 – 83.327 kgf/cm2 dengan rata – rata 60.287 kgf/cm
2. Nilai MOE
bilah bambu mayan berkisar antara 121.960 – 150.203 kgf/cm2 dengan rata – rata
134.400, sedangkan untuk buluh utuh berkisar antara 54.370 – 61.728 kgf/cm2
dengan rata – rata 57.409 kgf/cm2 (Tabel 12 dan Gambar 27).
43
Tabel 12 Nilai MOE rata-rata (kgf/cm2) pada jenis Bambu Gombong dan Mayan
Gambar 27 Posisi nilai MOE pada bagian pangkal, tengah dan ujung.
Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa nilai MOE bilah bambu gombong
dan bambu mayan meningkat dari bagian pangkal ke bagian tengah lalu menurun
ke bagian ujung. Kecenderungan ini juga terlihat pada lokasi (ruas dan buku) yang
berbeda. Janssen (1981) mengemukakan perbedaan nilai MOE terjadi karena
perbedaan persentase skelerenkim. Jika dilihat sifat anatominya, bagian pangkal
ruas bambu gombong terjadi peningkatan nilai proporsi luas vaskular bundel ke
bagian tengah lalu mengalami penurunan ke bagian ujung (Lampiran 3). Selain itu
hal ini diduga karena adanya perbedaan fase tumbuh pada kedua jenis bambu.
Pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh
maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban.
Perbedaan nilai MOE juga diduga karena pengaruh jumlah lignin dan
dimensi panjang sel serabut. Kandungan lignin pada bagian pangkal mengalami
peningkatan ke bagian ujung. Liese (1980) menyatakan bahwa, secara
keseluruhan ukuran panjang serat semakin bertambah panjang dari posisi pangkal
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
ruas buku ruas buku
bilah buluh bilah buluh
Gombong mayan
MO
E x
10
4(k
g/c
m2)
Jenis Bambu
pangkal
tengah
ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal bilah 108.413 120.677 147.857 126.827
buluh 47.418 54370
Tengah bilah 212.493 160.652 150.203 135.907
buluh 50116 56.129
Ujung bilah 158.531 112.578 123649 121960
buluh 83.327 61.729
44
batang menuju ke ujung batang bambu tersebut (Liese 1980). Panjang serabut
berkorelasi sangat kuat terhadap nilai MOE (Liese et al. 2003). Serabut tersusun
atas sejumlah lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel
serabut akan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu.
Dari hasil pengamatan nilai MOE pada kedua jenis bambu, terlihat bahwa
bambu gombong memiliki nilai MOE yang lebih tinggi daripada bambu mayan
baik pada lokasi ruas maupun buku. Selain itu, terdapat perbedaan nilai MOE
yang berbeda pada lokasi (ruas dan buku), dengan nilai MOE pada bagian buku
lebih kecil dari bagian ruas. Hal ini disebabkan serabut tersusun atas sejumlah
lapisan/lamella dengan berbagai orientasi mikofibril. Susunan sel serabut akan
memberikan kontribusi yang tinggi terhadap fleksibilitas bambu. Dransfield dan
Widjaja (1995) menyatakan serat terpendek ditemukan di sekitar buku sedangkan
serat terpanjang berada di bagian tengah ruas bambu. Hal ini diperkuat oleh
Bachtiar (2008) yang mengemukakan arah serat pada daerah buku tidak semua
lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke
keluar. Hal ini diduga yang mempengaruhi perbedaan nilai MOE pada kedua
lokasi yang berbeda dengan nilai MOE pada lokasi buku lebih rendah dari ruas.
Berdasarkan hasil uji MOE, pada Gambar 27 terlihat bahwa terdapat
perbedaan nilai MOE pada buluh utuh lebih kecil dibandingkan dengan bilah
bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh tahanan geser bambu pada buluh yang
sangat lemah, sehingga menyebabkan defleksi akibat geser menjadi besar
dibandingkan akibat momen.
Gambar 2817 Diagram elastisitas bilah dan buluh utuh bambu.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
0 1 2 3 4
Beb
an
(k
gf)
Defleksi (mm)
Buluh Utuh 1
Buluh Utuh 2
Bilah 1
bilah 2
45
Sehingga kerusakan beban maksimal pada buluh terjadi bukan karena patah tapi
disebabkan karena contoh uji mengalami kerusakan belah terlebih dahulu yang
menyebabkan terjadinya penurunan grafik.
4. 3. 2 Modulus of Rupture (MOR)
Tegangan pada batas patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu
bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya
kerusakan. Hasil pengujian nilai MOR selengkapnya tercantum dalam lampiran
sedangkan nilai rata-rata disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 29.
Tabel 13 Nilai MOR (kg/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal bilah 899 1.288 1.189 1.233
buluh 464 313
Tengah bilah 1.406 1.637 1.341 1.303
buluh 361 238
Ujung bilah 1.252 1.171 1.265 1.300
buluh 520 258
Nilai MOR bilah bambu gombong berkisar 899 – 1.637 kgf/cm2 dengan
rata- rata 1.276 kgf/cm2, sedangkan MOR buluh utuh berkisar antara 361 – 520
kgf/cm2 dengan rata – rata 448 kgf/cm
2. Nilai MOR bilah bambu mayan berkisar
antara 1.189 – 1.341 kgf/cm2 dengan rataan 1.271 kgf/cm
2, sedangkan untuk
buluh utuh berkisar antara 238 – 313 kgf/cm2 dengan rata – rata 269 kgf/cm
2.
Gambar 2918 Diagram nilai MOR pada bagian pangkal, tengah dan ujung.
0
500
1000
1500
2000
ruas buku ruas buku
bilah buluh bilah buluh
Gombong mayan
MO
R (
kgf/
cm2)
Jenis Bambu
pangkal
tengah
ujung
46
Pada Gambar 29 terlihat bahwa MOR bambu gombong dan bambu mayan
cenderung meningkat pada bagian pangkal ke bagian tengah namun terjadi
penurunan pada bagian tengah ke bagian ujung. Hasil penelitian Subyakto (1995)
menunjukkan bahwa nilai MOR dari bagian pangkal ke bagian ujung mengalami
peningkatan. Adanya penurunan nilai MOR dari bagian tengah ke bagian ujung
diduga pada bagian ujung kedua jenis bambu diduga telah melewati fase tumbuh
maksimal, sehingga mengalami penurunan nilai dalam menahan suatu beban.
Selain itu berdasarkan hasil uji korelasi yang dilakukan terdapat hubungan yang
erat antara nilai MOE dan MOR, sehingga pendugaan MOR dengan MOE dapat
dilakukan.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan lokasi (ruas dan buku) (Tabel 14).
Tabel 14 Uji statistik terhadap pengujian MOE dan MOR pada bilah
Posisi Lokasi MOE (kgf/cm
2) MOR (kgf/cm
2)
Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal
Buku 120677,0 ± 10760,00
(8,92)
126828,0 ± 12252,00
(9,66)
1288,9 ± 57,40X
(4,46)
1233,1 ± 114,60
(9,29)
Ruas 108413,0 ± 6952,00
B
(6,41)
147857,0 ± 18368,00A
(12,42)
899,2 ± 46,10Y
(5,13)
1190,0 ± 200,00
(16,84)
Tengah
Buku 160653,0 ± 64654,00
(40,24)
135907,0 ± 20843,00
(15,34)
1638,0 ± 540,00
(32,97)
1304,0 ± 110,10
(8,44)
Ruas 212493,0 ± 116371,00
(54,76)
150203,0 ± 12776,00
(8,51)
1407,0 ± 467,00
(33,22)
1341,0 ± 179,00
(13,31)
Ujung
Buku 112579,0 ± 26811,00
(23,82)
121960,0 ± 19268,00
(15,80)
1171,0 ± 253,00
(21,57)
1300,2 ± 164,70
(12,67)
Ruas 158532,0 ± 57767,00
(36,44)
123650,0 ± 16611,00
(13,43)
1253,0 ± 275,00
(21,95)
1266,0 ± 174,00
(13,78)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Hasil analisa statistik menunjukan terdapat perbedaan nyata nilai MOE akibat
faktor jenis bambu, dengan nilai MOE pada bambu mayan lebih besar daripada
47
bambu gombong. Nilai MOR tidak dipengaruhi oleh jenis bambu dan posisi
vertikal. Terdapat perbedaan nyata MOR akibat perbedaan lokasi.
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah
bambu yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Korelasi antara nilai KA, BJ, MOE dan MOR pada bilah
Korelasi MOE
(kgf/cm2)
MOR
(kgf/cm2)
KA (%)
MOR
(kgf/cm2)
0,781 - -
0,000 - -
KA (%) 0,270 0,222 -
0,111 0,193 -
BJ -0,017 0,128 0,710
0,924 0,456 0,000
Terdapat hubungan yang kuat antara MOE dan MOR. Semakin tinggi nilai
MOE yang didapatkan maka nilai MOR yang didapatkan semakin tinggi juga.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 2 faktor yaitu jenis bambu dan posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung)
diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil pengujian statistik nilai MOE dan MOR pada buluh
Posisi MOE (kgf/cm
2) MOR (kgf/cm
2)
Gombong Mayan Gombong Mayan
Pangkal 47418,0 ± 561,00
(1,18)
54370,0 ± 19028,00
(35,00)
464,3 ± 65,40A
(14,08)
313,2 ± 11,55B
(3,69)
Tengah 50116,0 ± 14300,00
(28,53)
56129,0 ± 23508,00
(41,88)
361,6 ± 21,80A
(6,02)
238,3 ± 68,00B
(28,52)
Ujung 83328,0 ± 25781,00
(30,94)
61729,0 ± 11507,00
(18,64)
520,0 ± 261,00
(50,09)
258,2 ± 47,30
(18,31)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Dari hasil uji statistik didapatkan ada perbedaan nyata nilai MOR akibat faktor
jenis. Perbedaan MOR terlihat pada bagian pangkal dan tengah kedua jenis
48
bambu, dengan nilai yang lebih besar pada jenis bambu gombong. Tidak ada
perbedaan nyata nilai MOE oleh faktor jenis, posisi vertikal. Tidak ada perbedaan
nilai MOR akibat faktor posisi vertikal.
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, MOE da MOR pada buluh yang
diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Korelasi antara nilai MOE, MOR, KA, dan BJ pada buluh
Korelasi MOE
(kgf/cm2)
MOR
(kgf/cm2)
KA (%)
MOR (kgf/cm2)
0,459 - -
0,056 - -
KA (%) 0,223 0,571 -
0,374 0,013 -
BJ 0,023 -0,513 -0,549
0,928 0,029 0,018
Terdapat hubungan erat MOR dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai MOR semakin
tinggi pula.
4. 3. 3 Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik sejajar serat bambu gombong adalah 885 – 2.768 kgf/cm2
dengan rata – rata 1.761 kgf/cm2. Sedangkan pada bambu mayan berkisar 853 –
2.734 kgf/cm2 dengan rata – rata 1.584 kgf/cm
2. Hasil pengujian keteguhan tarik
sejajar serat selengkapnya dalam Lampiran 18 dan nilai rata-ratannya tercantum
dalam Tabel 18 dan ilustrasinya dalam Gambar 30.
Tabel 18 Nilai keteguhan tarik (kgf/cm2) pada Bambu Gombong dan Mayan
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 1.696 1.483 2.223 853
Tengah 2.548 885 2.734 980
Ujung 2.768 1.189 1.772 941
49
Gambar 3019 Diagram keteguhan tarik sejajar serat.
Pada Gambar 30 terlihat kecenderungan nilai tarik sejajar serat meningkat
dari bagian pangkal ke bagian ujung. Hal yang berbeda terjadi pada bambu
mayan, kekuatan tarik menurun dari bagian tengah ruas ke bagian ujung ruas.
Wangaard (1950) menyatakan bahwa keteguhan tarik sejajar serat sangat
tergantung kepada kekuatan serabut (sifat kohesi) dan dipengaruhi oleh dimensi
kayu, elemen penyusun dan susunannya dalam kayu. Kekuatan tarik terbesar akan
diperoleh spesimen dengan serabut yang tersusun secara lurus serta berdinding
tebal. Serat melintang akan mengurangi kekuatan tarik. Sedangkan Janssen (1981)
mengemukakan bahwa kekuatan tarik tergantung kepada persentase sklerenkeim
(serabut) yang dimiliki bambu. Hal ini diperkuat oleh Wang (1970) yang
mengemukakan bahwa skelerenkim memberikan kontribusi dalam stabilitas
kekuatan, sementara Li (2004) menyatakan bahwa kerapatan serabut dalam
jaringan skelerenkim adalah indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan
bambu.
Jika ditinjau berdasarkan struktur anatominya bagian ujung ruas memiliki
distribusi penyebaran ikatan vaskuler yang lebih rapat dari bagian tengah dan
pangkalnya. Kecendrungan ini dicerminkan dengan nilai kekuatan tarik pada
bambu gombong. Sedangkan kecenderungan yang berbeda pada bambu mayan
terjadi penurunan nilai kekuatan tarik dari bagian tengah ruas ke bagian ujung
ruas. Hal ini diduga karena proporsi luas vaskuler pada bagian tengah lebih besar
daripada bagian ujungnya.
Pada kedua kelompok sampel nampak bahwa nilai tegangan tarik bambu
akan berkurang lebih dari 50% pada bagian buku (Gambar 30). Menurut sumbu
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ket
egu
ha
n T
arik
(k
g/c
m2)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
50
longitudinal, serat pada internodia yang berada di dekat nodia selalu mempunyai
ukuran yang paling pendek. Ukuran panjang serat tersebut semakin bertambah
panjang dari posisi di dekat nodia menuju kepertengahan nodia dan mencapai
ukuran terpanjang pada bagian tengah internodia. Disamping itu arah serat pada
daerah buku tidak semua lurus, karena bagian serat berbelok ke dalam, dan
sebagian kecil berbelok ke keluar (Bachtiar 2008).
Dalam pembuatan sampel uji tarik dibuat daerah kritis yang luas
penampangnya kecil (Gambar 31). Diharapkan, kerusakan akibat beban tarik
terjadi pada daerah kritis, yaitu sampel putus pada daerah tersebut. Pada pengujian
yang dilakukan, putusnya sampel pada daerah kritis seperti pada Gambar 32 (a)
tidak terjadi semua pada sampel.
Gambar 31 Contoh uji tarik sejajar serat.
keterangan :
(a) contoh uji tarik rusak pada daerah kritis
(b) contoh uji tarik rusak bukan pada daerah kritis
Gambar 32 Contoh kerusakan pada pengujian tarik sejajar serat.
(a) (b)
51
Kuat tarik bambu bagian dalam yang lebih kecil akan mengakibatkan rusaknya
sampel tidak seragam, seperti terlihat pada Gambar 32 (b), dimana pada daerah
kritis sebelah dalam sudah putus, sementara bagian luar belum.
Besarnya variasi mengakibatkan permasalahan dalam pengujian tarik.
Kerusakan yang terjadi tidak selalu pada daerah kritis, seperti yang diharapkan.
Kerusakan dapat terjadi pada daerah buku mengarah pada buku, seperti pada
Gambar 32 (b). Pada keadaan ini, kerusakan pada daerah kritis terjadi, bukan
karena tarik, tetapi karena geser.
Dari diagram kekuatan tarik (Gambar 30) terlihat pada bagian pangkal
ruas dan tengah ruas bambu mayan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan
bambu gombong. Hal ini diduga karena adannya perbedaan struktur anatomi
terhadap persentase serabut. Kekuatan suatu bahan dapat pula diduga melalui sifat
fisik terutama BJ karena BJ dapat digunakan sebagai penduga kekuatan suatu
bahan. Dengan demikian semakin besar nilai BJ maka semakin tinggi pula nilai
kekuatan suatu bahan.
Tabel 19 Hasil analisa statistik pada pengujian tarik sejajar serat
Posisi Lokasi Tarik (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 1484,0 ± 458,00
(30,85)
853,4 ± 86,20X
(10,10)
Ruas 1696,0 ± 327,00
BH
(19,29)
2224,0 ± 284,00AYHI
(12,77)
Tengah
Buku 1484,0 ± 458,00
X
(30,85)
980,4 ± 132,20X
(13,48)
Ruas 1696,0 ± 327,00
YIJ
(19,29)
2734,2 ± 19,90YH
(0,73)
Ujung
Buku 1190,0 ± 193,00
X
(16,20)
941,6 ± 80,80X
(8,58)
Ruas 2768,0 ± 397,00
AYJ
(14,33)
1772,0 ± 457,00BYI
(25,76)
Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
52
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan lokasi (ruas dan buku) diperoleh hasil analisa statistik pengujian tarik yang
disajikan pada Tabel 19.
Uji statistik mengindikasikan terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik
akibat perbedaan jenis bambu, yaitu pada sampel pangkal ruas bambu gombong
dan mayan, dengan nilai kekuatan tarik pada bambu gombong lebih besar dari
mayan. Nilai kekuatan tarik di pengaruhi oleh perbedaan jenis pada sampel ujung
ruas dengan nilai bambu mayan lebih besar dari bambu gombong. Terdapat
perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat perbedaan posisi arah vertikal, pada
pangkal ruas bambu, tengah ruas bambu dan ujung ruas bambu pada kedua jenis
bambu. Terdapat perbedaan nyata nilai kekuatan tarik akibat faktor lokasi (ruas
dan buku) pada sampel bambu gombong bagian tengah ruas dan tengah buku,
ujung ruas dan ujung buku. Pada bambu mayan terdapat perbedaan
nyata/pengaruh terhadap nilai kekuatan tarik oleh faktor lokasi pada sampel
bagian pangkal ruas dan buku, tengah ruas dan buku, ujung ruas dan buku.
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tarik sejajar serat
yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil uji
korelasi tidak terdapat hubungan yang erat nilai kteguhan tarik sejajar serat
dengan nilai KA dan BJ.
Tabel 20 Hubungan korelasi antara KA, BJ, dan tarik
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Tarik
(kgf/cm2)
0,307 0,050
0,068 0,771
4. 3. 4 Kekuatan Tekan Sejajar Serat
Kekuatan tekan sejajar serat bilah bambu gombong berkisar 391 – 491
kgf/cm2 dengan rata – rata 434 kgf/cm
2, pada bambu mayan berkisar 430 – 533
kgf/cm2 dengan rata – rata 469 kgf/cm
2. Kekuatan tekan sejajar serat buluh bambu
gombong berkisar 458 – 665 kgf/cm2 dengan rata – rata 525 kgf/cm
2, pada bambu
53
mayan berkisar 366 – 524 kgf/cm2 dengan rata – rata 466 kgf/cm
2 (Tabel 21 dan
Gambar 33).
Tabel 21 Nilai keteguhan tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada jenis Bambu
Gombong dan Mayan
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal bilah 391 426 489 477
buluh 491 459 492 465
Tengah bilah 452 428 444 445
buluh 458 494 509 524
Ujung bilah 491 415 533 430
buluh 665 580 436 366
Gambar 33 Keteguhan tekan sejajar serat.
Pada Gambar 33 terlihat bahwa nilai tekan sejajar serat pada kedua jenis
bambu cenderung menaik dari pangkal ke ujung. Hasil pengamatan struktur sel
penampang lintang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan distribusi
jumlah ikatan vaskular/mm2 dari bagian pangkal ke bagian ujung, sehingga akan
meningkatkan nilai keteguhan tekan dari pangkal ke ujung batang. Hal yang
berbeda terjadi pada bambu mayan bagian bilah buku dan buluh ruas dan buku.
Hal ini disebabkan pada sampel posisi ujung bambu mayan terserang oleh
kumbang bubuk, yang diindikasikan dengan berkurangnya volume sampel dan
berubah menjadi butiran serbuk yang banyak. Selain itu disebabkan adanya
penurunan proporsi luas ikatan vaskuler dari bagian tengah ke ujung.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
bilah buluh bilah buluh
gombong mayan
Ket
egu
han
Tek
an
//
Ser
at
(kg/c
m2)
Jenis Bambu
pangkal
tengah
ujung
54
Berdasarkan hasil pehitungan rata-rata keteguhan tekan sejajar serat pada
bilah, meunjukan bahwa nilai keteguhan tekan bambu mayan lebih tinggi daripada
bambu gombong. Sedangkan pada bagian buluh, bambu gombong memiliki
keteguhan tekan sejajar serat yang lebih tinggi daripada bambu mayan.
Dari Gambar 33 terlihat bahwa kekuatan tekan bilah pada kedua jenis
bambu lebih kecil dibandingkan kekuatan tekan buluh utuhnya. Hal ini
dikarenakan pada buluh utuh bambu memiliki angka kelangsingan yang lebih
besar sehingga menyebabkan kekuatan lebih besar.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung), dan lokasi
(ruas dan buku) (Tabel 22).
Tabel 22 Hasil analisa statistik pada pengujian tekan sejajar serat bilah
Posisi Lokasi Tekan Bilah (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 426,8 ± 13,93
(3,26)
477,1 ± 67,00
(14,05)
Ruas 391,1 ± 100,70
(25,74)
489,1 ± 46,90
(9,58)
Tengah
Buku 428,6 ± 71,70
(16,73)
587,0 ± 246,00
(41,88)
Ruas 452,1 ± 135,30
(29,93)
444,7 ± 75,50
(16,98)
Ujung
Buku 415,7 ± 65,90
(15,86)
430,5 ± 64,10
(14,89)
Ruas 491,5 ± 61,20
(12,45)
533,1 ± 140,40
(26,34)
Keterangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama pada lokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah akibat
faktor jenis bambu, posisi vertikal dan lokasi (ruas dan buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada bilah yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 23.
55
Tabel 23 Hasil analisa korelasi antara KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada bilah
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Tekan
(kgf/cm2)
0,086 0,397
0,616 0,017
Terdapat hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bilah
dengan BJ. Semakin tinggi BJ nilai keteguhan tekan sejajar serat semakin tinggi
pula.
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 24).
Tabel 24 Hasil analisa statistik keteguhan tekan sejajar serat buluh
Posisi Lokasi Tekan Buluh (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 443,9 ± 27,60
(6,21)
465,8 ± 16,88
(3,62)
Ruas 491,7 ± 57,00
(11,59)
492,4 ± 40,00
(8,13)
Tengah
Buku 494,7 ± 66,60
(13,46)
525,0 ± 147,50
(28,09)
Ruas 458,0 ± 54,60
(11,92)
509,8 ± 67,60
(13,26)
Ujung
Buku 580,9 ± 99,10
(17,06)
366,6 ± 163,50
(44,59)
Ruas 665,7 ± 132,10
(19,84)
437,0 ± 232,00
(53,16)
Keterangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan tekan akibat faktor jenis, posisi
vertikal dan lokasi (ruas dan buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan tekan sejajar serat
pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 25.
56
Tabel 25 Hasil uji korelasi antara KA, BJ, dan tekan sejajar serat buluh
Korelasi KA (%) BJ
BJ 0,710 -
0,000 -
Tekan
(kgf/cm2)
-0,058 0,135
0,739 0,433
Tidak ada hubungan yang erat antara nilai keteguhan tekan sejajar pada
buluh dengan KA dan BJ.
4. 3. 5 Kekuatan Geser Sejajar Serat
Kekuatan geser sejajar serat rata – rata bambu gombong dan bambu mayan
adalah 86,03 kgf/cm2 dan 91,16 kgf/cm
2 (Tabel 26 dan Gambar 34).
Tabel 26 Nilai keteguhan geser sejajar serat (kgf/cm2)
Gambar 34 Diagram kekuatan geser sejajar serat.
Dari hasil pengujian kekuatan geser sejajar serat pada Gambar 34
menunjukan kekuatan geser cenderung meningkat dari arah pangkal ke arah ujung
pada kedua jenis bambu. Hal ini diduga disebabkan oleh distribusi jumlah ikatan
pembuluh per satuan luas yang semakin besar dari bagian pangkal ke bagian
ujung.
0
20
40
60
80
100
120
140
Ruas Buku Ruas Buku
Gombong Mayan
Ku
at
Ges
er (
kg/c
m2)
Jenis Bambu
Pangkal
Tengah
Ujung
Posisi Gombong Mayan
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 81,79 76,87 74,09 84,55
Tengah 89,57 88,84 84,31 98,93
Ujung 90,76 88,32 93,91 111,16
57
Perbedaan lokasi pada bambu mayan menyebabkan hasil kekuatan geser
pada lokasi buku lebih besar nilainnya dari lokasi ruas. Hal ini diduga bahwa pada
buku-buku (node), serat-serat ini saling bertautan dan sebagian memasuki
diafragma dan cabang-cabang dapat meningkatkan nilai ketahan terhadap
pembebanan geser sejajar serat. Sedangkan pada bambu gombong tidak terlihat
perbedaan yang jelas terhadap nilai kekuatan geser sejajar serat pada kedua lokasi
(ruas dan buku).
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan prosedur Generalized
Linear Model (GLM) diukur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor yaitu jenis bambu, posisi vertikal (pangkal, tengah dan ujung),
dan likasi (ruas dan buku) (Tabel 27).
Tabel 27. Hasil Analisa Statistik Pengujian Keteguhan Geser Sejajar Serat
Posisi Lokasi Geser (kgf/cm
2)
Gombong Mayan
Pangkal
Buku 76,9 ± 7,68
(9,99)
84,6 ± 12,89
(15,24)
Ruas 81,8 ± 6,98
(8,53)
74,1 ± 12,19
(16,45)
Tengah
Buku 88,9 ± 13,95
(15,70)
98,9 ± 11,15
(11,27)
Ruas 89,6 ± 11,49
(12,82)
84,3 ± 15,66
(18,57)
Ujung
Buku 88,3 ± 18,56
(21,02)
111,2 ± 26,70
(23,99)
Ruas 90,8 ± 10,43
(11,49)
93,9 ± 16,24
(17,29) Ketrangan :
superscript (A,B) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berpengaruh/berbeda
nyata (p<0,05)
superscipt (X, Y) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
supersrcipt (H, I, J) yang berbeda pada kolom yang sama padalokasi yang sama dan
posisi yang berbeda menunjukkan berpengaruh/berbeda nyata (p<0,05)
Dari hasil uji analisis statistik tidak ada perbedaan nyata nilai keteguhan geser
akibat faktor jenis, posisi vertikal batang dan lokasi (ruas dan buku).
Dari pengujian korelasi peubah KA, BJ, dan keteguhan geser sejajar serat
pada buluh yang diamati diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 28.
58
Tabel 28 Hasil analisa korelasi antara KA, BJ dan keteguhan geser sejajar serat
Korelasi KA BJ
BJ 0,710
0,000
Geser 0,039 0,292
0,822 0,084
Tidak ada hubungan yang erat antara keteguhan geser sejajar serat dengan
KA dan BJ.
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan
1. Tipe ikatan pembuluh pada bambu gombong memiliki tipe ikatan III dan
IV. Distribusi kerapatan ikatan vaskuler bambu gombong dan bambu
mayan pada arah horizontal cenderung mengalami penurunan dari tepi ke
bagian dalam, sedangkan pada arah vertikal batang cenderung mngalami
peningkatan dari pangkal ke bagian ujung.
2. Sifat fisis dan mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian
ruas (internode) cenderung lebih baik dibandingkan sifat fisis dan
mekanis bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node).
3. Sifat mekanis bilah pada bambu gombong dan bambu mayan cenderung
lebih baik dibandingkan sifat mekanis buluh utuhnya.
4. Sifat anatomi memberikan kontribusi dalam stabilitas kekuatan dan
merupakan indikator yang baik dalam pendugaan kekuatan bambu.
5. 2 Saran
1. Perlu dilakukan pengamatan penampakan mikroskopis dan sifat kimia
bambu gombong dan bambu mayan pada bagian buku (node) dan ruas
(internode) bambu agar melengkapi hasil penelitian ini.
2. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda
agar diketahui potensi diversivikasi kayu ke bambu dilihat dari sifat fisis
dan mekanisnya.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adkoli NS. 1994. Bamboo in the Indian Pulp Industry. In: Bamboo in Asia and
the Pacific. Proceedings of the fourth International Bamboo Workshop,
Chiangmai, Thailand, 27-30 Nov. 1994. International Development
Research Centre and Food & Agriculture Organizations of the United
Nations.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2007. D 143-94 Standard
Methods of Testing Small Clear Speciments of Timber (Secondary
Methods). USA.
Badan Pusat Statistik. 2004. Potensi Hutan Rakyat 2003. Jakarta: Pusat
Inventarisasi dan Statistik Kehutanan & Direktorat Statistik Pertanian, BPS.
Bachtiar G. 2008. Pemanfaatan Buluh Bambu Tali Sebagai Komponen Pada
Konstruksi Rangka Batang Ruang. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor.
Dransfield S, Widjaja EA. 1995. PROSEA, Plant Resource of South East Asia 7:
Bamboos. Leiden: Backhuys Publisher.
Frick H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi Arsitektur 7.
Yogyakarta : Kanesius.
Ganie CN. 2008. Pengaruh Isian Mortar Terhadap Kuat Tekan Bambu Wulung
[skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Habib. 2010. Bambu. [internet]. [diunduh 16 Maret 2012]. Dapat diunduh dari:
http://habib00ugm.wordpress.com/2010/06/05/bambu/
Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu pengantar
(terjemahan). Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Janssen JJA. 1981a. The Relationship Between the Mechanical Properties and The
Biological and Chemical Composition of Bamboo. Dalam Higuchi, T.
(Ed.), Proceedings of the Congress Group 5.3, Productions and Utilization
of Bamboo and Related Species, XVII International Union Forest
Research Organization Word Congress Kyoto, Japan. (hlm : 27-32).
Janssen JJA. 1981b. Bamboo in Building Structures, Doktor of Technical Science
Thesis, Eindhoven University of Technology, Eindhoven, Netherlands.
ISO 22157-1: 2004 (E). laboratory Manual on Testing Methods for Determination
of Physical and Mechanical Properties of Bamboo. Published Switzerland.
61
Kurniawan H. 2002. Sifat Mekanis Laminasi Lengkung Bambu Betung
(Dendrocalamus asper (Schultes.f) Backer ex Heyne) Menggunakan
Perekat PVAc [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Li XB. 2004. Physical, Chemical and Mechanical Properties of Bamboo and Its
Utilization Potential for Fibreboard Manufacturing [tesis]. Chinese
Academy of Forestry.
Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Bamboo Reasearch in Asia, Proceedings of a
Workshop. Singapore: 28-30 May 1980. Singapore: International
Development Research Center and the International Union of Forestry
Research Organizations. hlm 161-164.
Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo Proceedings Workshop Bamboo Research in
Asia, Singapore 28-30 May 1980. International Development Research
Center. Ottawa.
Liese W, Kumar S. 2003. Bamboo Preservation Compendium. India: Centre for
Indian Bamboo Resource and Technology.
Maulana AC. 2011. Aplikasi Kurva Respon Cahaya Sinusoidal Untuk Pengukuran
Daya Serap Karbondioksida Pada Bambu Betung [skripsi]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor.
McClure FA. 1953. Bambu as a Bulding Material. In Bamboo in Buliding
Contructions.
Mohmod AL, Hamid NH, Sulaiman O. 1991. Variation in Physical Properties of
Two Malaysian Bamboos. Dalam Bamboo in the Asia Pacific, pp. 232-
236.
Nandika D, Dharma IGKT, Matangaran JR. 1994. Keawetan dan Pengawetan
Bambu, Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek
Serpong. Bogor : Yayasan Bambu Lestari.
Noermalicha. 2001. Rekayasa Rancangan Bangunan Laminasi Lengkungan
Bambu [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Nuryatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-sifat Dasar Bambu Pada Beberapa Tujuan
Penggunaan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
. 2012. Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan
Bambu. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Sastrapradja SA, Widjaja, Prawiroatmojo S, Soenarko S. 1980. Beberapa Jenis
Bambu. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor.
Setiadi A. 2009. Sifat Kimia Beberapa Jenis Bambu pada Empat Tipe Ikatan
Pembuluh. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
62
Subiyanto B, Sudijono, Gopar M. 1994. Pengembangan Papan Bambu Komposit.
Dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari.
Subyakto. 1995. Variation on Specific Gravity and Bending Properties of
Dendrocalamus asper Culm Grown in Bogor. Dalam Engineering and
Utilization, pp. 185-192.
Sulthoni A. 1994. Permasalahan Sumberdaya Bambu di Indonesia. Dalam
Strategi Penelitian Bambu Indonesia, hal : 30-36.
Syafi’i LI. 1984. Pengujian Sifat-sifat Fisis dan Mekanis Contoh Kecil Bebas
Cacat Beberapa Jenis Bambu. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor.
Tamolang EN. Lopez FR. Seamana JA. Casin RF. Espiloy ZB. 1980. Properties
and Utilization Phillipine Bamboo. Proceeding: Workshop Bamboos
Research Center, Ottawa. Canada.
Wang CK. 1970. Matriks Methods of Structural Analysis, American Publishing,
Wisconsin.
Wangaard FF. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Willey & Sons,
Inc. New york, Chapman & Hill Limited, London.
Widjaja EA. 1980. Indonesia. Dalam Bamboo Research in Asia, hal : 63-68.
Widjaja, EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulaan Sunda Kecil. Pusat
Penelitian dan Pengembangan LIPI. Balai Penelitian Botani Herbarium
Bogoriense. Bogor.
Yap F. 1967. Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Bandung: Lembaga Penyelidikan
Masalah Bangunan.
63
LAMPIRAN
64
64
Lampiran 1. Data bentuk buluh bambu
No Kode
Pangkal Ujung øPangkal-øUjung Panjang
Taper Jarak
Antar Buku Diameter
Luar
Diameter
dalam
Tebal
Kulit
Diameter
Luar
Diameter
Dalam
Tebal
Kulit Luar Dalam Luar Dalam
Gombong
Pangkal
1 GBP1 11,69 7,89 1,90 11,27 7,77 1,75 0,41 0,11 302,0 0,0014 0,0004 39,80
2 GBP2 9,08 5,28 1,90 8,28 5,98 1,15 0,80 2,30 301,0 0,0026 0,0076 36,66
3 GBP3 10,03 6,48 1,78 9,62 7,07 1,28 0,41 2,55 303,5 0,0014 0,0084 33,77
Rata-rata
0,0018 0,0055 36,74
Tengah
4 GBT1 11,15 8,30 1,43 10,51 7,91 1,30 0,64 2,60 300,5 0,0021 0,0087 45,13
5 GBT2 6,91 5,46 0,73 6,37 4,97 0,70 0,54 1,40 301,0 0,0018 0,0047 40,88
6 GBT3 9,39 6,74 1,33 9,01 7,06 0,98 0,38 1,95 301,0 0,0013 0,0065 43,63
Rata-rata
0,0017 0,0066 43,21
Ujung
7 GBU1 9,87 7,67 1,10 8,50 6,50 1,00 1,37 2,00 300,8 0,0046 0,0066 42,00
8 GBU2 8,12 6,17 0,98 4,30 3,05 0,63 3,82 1,25 300,0 0,0127 0,0042 37,25
9 GBU3 8,89 7,39 0,75 8,15 6,60 0,78 0,73 1,55 305,5 0,0024 0,0051 41,80
Rata-rata
0,0066 0,0053 40,35
Mayan
Pangkal
1 MYP1 10,03 5,78 2,13 9,71 7,21 1,25 0,32 -1,43 305,0 0,0010 -0,0047 38,10
2 MYP2 8,66 5,46 1,60 8,34 6,29 1,03 0,32 2,05 300,0 0,0011 0,0068 39,50
3 MYP3 9,87 5,62 2,13 9,24 6,59 1,33 0,64 2,65 300,3 0,0021 0,0088 39,90
Rata-rata
0,0014 0,0037 39,17 64
65
Tengah
4 MYT1 10,19 7,99 1,10 9,94 8,34 0,80 0,25 1,60 301,8 0,0008 0,0053 50,83
5 MYT2 8,60 6,70 0,95 8,15 6,75 0,70 0,45 1,40 287,0 0,0016 0,0049 57,50
6 MYT3 9,55 7,35 1,10 9,36 7,86 0,75 0,19 1,50 300,1 0,0006 0,0050 53,25
Rata-rata
0,0010 0,0051 53,86
Ujung
7 MYU1 9,65 8,00 0,83 7,26 5,81 0,73 2,39 1,45 302,0 0,0079 0,0048 37,40
8 MYU2 7,10 5,75 0,68 5,48 4,33 0,58 1,62 1,15 301,8 0,0054 0,0038 46,50
9 MYU3 9,14 7,59 0,78 7,71 6,56 0,58 1,43 1,15 301,5 0,0048 0,0038 51,17
Rata-rata
0,0060 0,0041 45,02
Lampiran 1 (Lanjutan). Data bentuk buluh bambu
65
66
66
Lampiran 2. Tipe ikatan vaskuler pada masing – masing bagian
Gombong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro)
Bagian : Pangkal
No Tepi Inti Dalam
lokasi : Ruas I
Tipe Ikatan III III dan IV IV
Lokasi : Buku II
Tipe Ikatan III III III
Bagian : Tengah
Lokasi : Ruas III
Tipe Ikatan III III III
Lokasi : Buku IV
Tipe Ikatan III III III
67
Bagian : Ujung
Lokasi : Ruas V
Tipe Ikatan III III III
Lokasi : Buku VI
Tipe Ikatan III IV IV
Mayan (Gigantochloa robusta Kurz.)
Bagian : Pangkal
No Tepi Inti Dalam
lokasi : Ruas I
Tipe Ikatan III III III
Lokasi : Buku II
Tipe Ikatan III III III
Lampiran 2 (Lanjutan). Tipe ikatan vaskuler pada masing – masing
bagian
68
Bagian : Tengah
Lokasi : Ruas III
Tipe Ikatan III III III
Lokasi : Buku IV
Tipe Ikatan III IV IV
Bagian : Ujung
Lokasi : Ruas V
Tipe Ikatan III III III
Lokasi : Buku VI
Tipe Ikatan III III dan IV III dan IV
Lampiran 2 (Lanjutan). Tipe ikatan vaskuler pada masing – masing bagian
69
Lampiran 3. Pengujian sifat anatomi bambu
Posisi
Vertikal Lokasi
Posisi
Horizontal
Buah/mm2
Luas Ikatan
Vaskuler (mm2)
Proporsi Luas
Ikatan Vaskuler
GB MY GB MY GB MY
Pangkal Ruas Tepi 2,10 1,84 31,58 35,24 87,68% 85,34%
Tengah 0,80 0,67 20,88 28,60 57,97% 69,26%
Dalam 0,55 0,48 17,62 27,15 48,92% 65,76%
Rata-rata
1,15 1,00 0,67 0,94 64,86% 73,45%
Buku Tepi 1,75 1,55 43,44 33,60 80,25% 76,91%
Tengah 0,61 0,48 28,39 17,54 52,45% 40,16%
Dalam 0,29 0,36 18,15 11,78 33,53% 26,97%
Rata-rata
0,88 0,80 0,81 0,68 55,41% 48,01%
Tengah Ruas Tepi 2,15 1,77 21,36 23,32 80,84% 84,36%
Tengah 0,79 0,61 16,85 18,68 63,77% 67,60%
Dalam 0,56 0,39 14,80 15,93 56,03% 57,63%
Rata-rata
1,17 0,92 0,72 1,00 66,88% 69,86%
Buku Tepi 2,04 1,78 24,59 21,48 62,91% 57,98%
Tengah 0,53 0,56 17,25 13,03 44,12% 35,17%
Dalam 0,28 0,16 9,82 4,13 25,12% 11,16%
Rata-rata
0,95 0,83 0,67 0,54 44,05% 34,77%
Ujung Ruas Tepi 2,27 2,53 15,20 10,30 84,45% 70,46%
Tengah 0,88 0,88 10,03 9,10 55,77% 62,28%
Dalam 0,50 0,41 6,29 4,77 34,99% 32,64%
Rata-rata
1,22 1,27 0,56 0,59 58,40% 55,13%
Buku Tepi 1,97 2,05 14,99 12,89 61,53% 63,11%
Tengah 0,65 0,48 10,29 6,00 42,27% 29,35%
Dalam 0,32 0,14 6,74 1,51 27,66% 7,40%
Rata-rata
0,98 0,89 0,59 0,47 43,82% 33,29%
70
Lampiran 4. Data pengujian kadar air (KA) dari keadaan kering udara
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 12,96 15,17 GBT1 14,64 14,06 GBU1 13,76 13,54
2 GBP2 14,89 14,62 GBT2 14,76 12,61 GBU2 15,45 -
3 GBP3 12,76 14,29 GBT3 15,03 11,90 GBU3 13,91 11,87
Rata-Rata 13,54 14,70
14,81 12,86
14,38 12,70
Stdev 1,17 0,44
0,20 1,10
0,94 1,18
1 MYP1 14,12 12,04 MYT1 14,70 14,96 MYU1 12,08 13,40
2 MYP2 14,37 12,38 MYT2 13,75 11,30 MYU2 13,15 12,94
3 MYP3 11,96 14,25 MYT3 15,04 14,05 MYU3 14,91 13,62
Rata-Rata 13,48 12,89
14,50 13,44
13,38 13,32
Stdev 1,33 1,19
0,67 1,90
1,43 0,35
Lampiran 5. Data pengujian berat jenis (BJ)
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 0,60 0,65 GBT1 0,62 0,59 GBU1 0,70 0,71
2 GBP2 0,58 0,67 GBT2 0,48 0,60 GBU2 0,57 -
3 GBP3 0,66 0,69 GBT3 0,62 0,64 GBU3 0,67 0,66
Rata-Rata 0,61 0,67
0,58 0,61
0,65 0,69
Stdev 0,05 0,02
0,08 0,03
0,07 0,04
1 MYP1 0,60 0,67 MYT1 0,60 0,64 MYU1 0,61 0,63
2 MYP2 0,68 0,75 MYT2 0,73 0,77 MYU2 0,72 0,70
3 MYP3 0,70 0,68 MYT3 0,70 0,62 MYU3 0,64 0,68
Rata-Rata 0,66 0,70
0,68 0,68
0,66 0,67
Stdev 0,05 0,04
0,07 0,08
0,06 0,04
Lampiran 6 Data pengujian kerapatan (g/cm3)
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 0,67 0,75 GBT1 0,72 0,67 GBU1 0,79 0,81
2 GBP2 0,66 0,76 GBT2 0,56 0,67 GBU2 0,66
3 GBP3 0,75 0,79 GBT3 0,71 0,72 GBU3 0,77 0,74
Rata-Rata 0,70 0,77
0,66 0,69
0,74 0,78
Stdev 0,05 0,02
0,09 0,03
0,07 0,05
1 MYP1 0,68 0,75 MYT1 0,69 0,74 MYU1 0,68 0,72
2 MYP2 0,78 0,84 MYT2 0,83 0,86 MYU2 0,82 0,79
3 MYP3 0,78 0,77 MYT3 0,81 0,70 MYU3 0,73 0,77
Rata-Rata 0,75 0,79
0,77 0,77
0,74 0,76
Stdev 0,06 0,05
0,08 0,08
0,07 0,04
71
Lampiran 7. Output analisa statistik pengujian kadar air (KA) dan berat jenis (BJ)
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GB MY
Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: KA
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 34.8005278 8.7001319 1.40 0.2562
Error 31 192.2838944 6.2027063
Corrected Total 35 227.0844222
R-Square Coeff Var Root MSE KA Mean
0.153249 18.70855 2.490523 13.31222
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 1.28444444 1.28444444 0.21 0.6522
Posisi Vertikal 2 15.82003889 7.91001944 1.28 0.2936
Lokasi 1 17.69604444 17.69604444 2.85 0.1012
Dependent Variable: BJ
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 0.07276111 0.01819028 1.24 0.3142
Error 31 0.45451389 0.01466174
Corrected Total 35 0.52727500
R-Square Coeff Var Root MSE BJ Mean
0.137995 19.09367 0.121086 0.634167
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 0.05522500 0.05522500 3.77 0.0614
Posisi Vertikal 2 0.01706667 0.00853333 0.58 0.5648
Lokasi 1 0.00046944 0.00046944 0.03 0.8592
Duncan's Multiple Range Test for KA
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 6.202706
Number of Means 2
Critical Range 1.693
72
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 13.5011 18 MY
A
A 13.1233 18 GB
Duncan's Multiple Range Test for BJ
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 0.014662
Number of Means 2
Critical Range .08232
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 0.67333 18 MY
A
A 0.59500 18 GB
Duncan's Multiple Range Test for KA
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 6.202706
Number of Means 2 3
Critical Range 2.074 2.179
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 13.900 12 Tengah
A
A 13.651 12 Pangkal
A
A 12.386 12 Ujung
Duncan's Multiple Range Test for BJ
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
ErrorDegreesofFreedom 31
ErrorMeanSquare 0.014662
73
NumberofMeans 2 3
CriticalRange .1008 .1060
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Vertikal
A 0.66083 12 Pangkal
A
A 0.63417 12 Tengah
A
A 0.60750 12 Ujung
Duncan's Multiple Range Test for KA
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 6.202706
NumberofMeans 2
CriticalRange 1.693
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 14.0133 18 Ruas
A
A 12.6111 18 Buku
Duncan's Multiple Range Test for BJ
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 0.014662
Number of Means 2
Critical Range .08232
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 0.63778 18 Ruas
A
A 0.63056 18 Buku
74
Lampiran 8. Output analisa statistik pengujian penyusutan dimensi
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GB MY
Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: Susut
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 48.88614778 12.22153694 15.63 <.0001
Error 31 24.24521497 0.78210371
Corrected Total 35 73.13136275
R-Square Coeff Var Root MSE Susut Mean
0.668470 15.16988 0.884366 5.829750
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 1.52646025 1.52646025 1.95 0.1723
Posisi Vertikal 2 47.30500950 23.65250475 30.24 <.0001
Lokasi 1 0.05467803 0.05467803 0.07 0.7932
Duncan's Multiple Range Test for Susut
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 0.782104
Number of Means 2
Critical Range .6012
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 6.0357 18 MY
A
A 5.6238 18 GB
Duncan's Multiple Range Test for Susut
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 0.782104
75
Number of Means 2 3
Critical Range .7364 .7739
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 7.1438 12 Pangkal
B 5.9950 12 Tengah
C 4.3505 12 Ujung
Duncan's Multiple Range Test for Susut
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 0.782104
Number of Means 2
Critical Range .6012
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 5.8687 18 Ruas
A
A 5.7908 18 Buku
Lampiran 9. Analisa korelasi pengujian susut volume dengan faktor KA dan BJ
Correlations: Susut Volume, KA, BJ
Volume KA
KA 0.621
0.000
BJ 0.603 0.710
0.000 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
76
Lampiran 10 Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada bilah
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 115576 108495 GBT1 143162 120458 GBU1 112063 130002
2 GBP2 101693 128882 GBT2 346844 235233 GBU2 223209 81705
3 GBP3 107969 124655 GBT3 147473 126268 GBU3 140322 126030
Rata-Rata 108413 120677
212493 160653
158532 112579
Stdev 6952 10760
116371 64654
57767 26811
1 MYP1 144470 122228 MYT1 138701 112171 MYU1 108440 104663
2 MYP2 167683 140714 MYT2 163954 144328 MYU2 141376 142727
3 MYP3 131418 117541 MYT3 147955 151223 MYU3 121132 118490
Rata-Rata 147857 126828
150203 135907
123650 121960
Stdev 18368 12252
12776 20843
16611 19268
Lampiran 11 Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada bilah
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 952 1355 GBT1 1093 1431 GBU1 998 1280
2 GBP2 876 1262 GBT2 1944 2250 GBU2 1544 882
3 GBP3 870 1250 GBT3 1183 1231 GBU3 1216 1351
Rata-Rata 899 1289
1407 1638
1253 1171
Stdev 46 57
467 540
275 253
1 MYP1 1331 1228 MYT1 1149 1178 MYU1 1156 1189
2 MYP2 1278 1350 MYT2 1501 1381 MYU2 1467 1490
3 MYP3 961 1121 MYT3 1375 1353 MYU3 1174 1222
Rata-Rata 1190 1233
1341 1304
1266 1300
Stdev 200 115
179 110
174 165
77
Lampiran 12. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada bilah
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GB MY
PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: MOE
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 16039239200 4009809800 2.12 0.1019
Error 31 58601667610 1890376375
Corrected Total 35 74640906810
R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean
0.214885 31.06062 43478.46 139979.4
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 1120301622 1120301622 0.59 0.4472
Posisi Vertikal 2 11164709106 5582354553 2.95 0.0670
Lokasi 1 3754228471 3754228471 1.99 0.1687
Dependent Variable: MOR
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 532986.935 133246.734 2.03 0.1147
Error 31 2035617.201 65665.071
Corrected Total 35 2568604.136
R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean
0.207501 20.11065 256.2520 1274.210
Source DF Type III SS Mean
Square
F Value Pr > F
Jenis 1 120.1145 120.1145 0.00 0.9662
Posisi Vertikal 2 448946.7380 224473.3690 3.42 0.0455
Lokasi 1 83920.0830 83920.0830 1.28 0.2669
Duncan's Multiple Range Test for MOE
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 1.8904E9
78
Number of Means 2
Critical Range 29558
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 145558 18 GB
A
A 134401 18 MY
Duncan's Multiple Range Test for MOR
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 65665.07
Number of Means 2
Critical Range 174.2
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 1276.04 18 GB
A
A 1272.38 18 MY
Duncan's Multiple Range Test for MOE
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 1.8904E9
NumberofMeans 2 3
CriticalRange 36202 38047
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 164814 12 Tengah
A
B A 129180 12 Ujung
B
B 125944 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for MOR
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Lampiran 12 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR
pada bilah
79
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 65665.07
NumberofMeans 2 3
CriticalRange 213.4 224.2
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 1422.4 12 Tengah
A
B A 1247.4 12 Ujung
B
B 1152.8 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for MOE
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 1.8904E9
Number of Means 2
Critical Range 29558
Means with the same letter are not significantly different.
DuncanGrouping Mean N Lokasi
A 150191 18 Ruas
A
A 129767 18 Buku
Duncan's Multiple Range Test for MOR
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 65665.07
Number of Means 2
Critical Range 174.2
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 1322.49 18 Buku
A
A 1225.93 18 Ruas
Lampiran 12 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR
pada bilah
80
Lampiran 13. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOE dengan faktor KA dan
BJ
Correlations: MOE, MOR, KA, BJ
MOE MOR KA
MOR 0.781
0.000
KA 0.270 0.222
0.111 0.193
BJ -0.017 0.128 0.710
0.924 0.456 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
81
Lampiran 14. Data pengujian MOE (kgf/cm2) pada buluh
NO Kode Nilai Kode Nilai Kode Nilai
1 GBP1 48025 GBT1 33811 GBU1 60242
2 GBP2 46917 GBT2 56017 GBU2 111149
3 GBP3 47313 GBT3 60522 GBU3 78592
Rata-Rata
47418
50116
83328
St.Dev
561
14300
25781
1 MYP1 39378 MYT1 35627 MYU1 50463
2 MYP2 75776 MYT2 50973 MYU2 73462
3 MYP3 47956 MYT3 81787 MYU3 61261
Rata-Rata
54370
56129
61729
St.Dev
19028
23508
11507
Lampiran 15 Data pengujian MOR (kgf/cm2) pada buluh
NO KODE Nilai
Nilai
Nilai
1 GBP1 525 GBT1 343 GBU1 334
2 GBP2 395 GBT2 357 GBU2 818
3 GBP3 473 GBT3 385 GBU3 408
Rata-Rata
464
362
520
St.Dev
65
22
261
1 MYP1 314 MYT1 293 MYU1 248
2 MYP2 301 MYT2 162 MYU2 217
3 MYP3 325 MYT3 259 MYU3 310
Rata-Rata
313
238
258
St.Dev
12
68
47
82
Lampiran 16. Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR pada buluh utuh
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GB MY
PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: MOE
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 16039239200 4009809800 2.12 0.1019
Error 31 58601667610 1890376375
Corrected Total 35 74640906810
R-Square Coeff Var Root MSE MOE Mean
0.214885 31.06062 43478.46 139979.4
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 1120301622 1120301622 0.59 0.4472
Posisi Vertikal 2 11164709106 5582354553 2.95 0.0670
Lokasi 1 3754228471 3754228471 1.99 0.1687
Dependent Variable: MOR
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 532986.935 133246.734 2.03 0.1147
Error 31 2035617.201 65665.071
Corrected Total 35 2568604.136
R-Square Coeff Var Root MSE MOR Mean
0.207501 20.11065 256.2520 1274.210
Source DF Type III SS Mean
Square
F Value Pr > F
Jenis 1 120.1145 120.1145 0.00 0.9662
Posisi Vertikal 2 448946.7380 224473.3690 3.42 0.0455
Lokasi 1 83920.0830 83920.0830 1.28 0.2669
Duncan's Multiple Range Test for MOE
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 1.8904E9
Number of Means 2
83
Critical Range 29558
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 145558 18 GB
A
A 134401 18 MY
Duncan's Multiple Range Test for MOR
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 65665.07
Number of Means 2
Critical Range 174.2
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 1276.04 18 GB
A
A 1272.38 18 MY
Duncan's Multiple Range Test for MOE
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 1.8904E9
NumberofMeans 2 3
CriticalRange 36202 38047
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 164814 12 Tengah
A
B A 129180 12 Ujung
B
B 125944 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for MOR
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Lampiran 16 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR
pada buluh utuh pada bilah
84
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 65665.07
NumberofMeans 2 3
CriticalRange 213.4 224.2
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 1422.4 12 Tengah
A
B A 1247.4 12 Ujung
B
B 1152.8 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for MOE
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 1.8904E9
Number of Means 2
Critical Range 29558
Means with the same letter are not significantly different.
DuncanGrouping Mean N Lokasi
A 150191 18 Ruas
A
A 129767 18 Buku
Duncan's Multiple Range Test for MOR
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 65665.07
Number of Means 2
Critical Range 174.2
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 1322.49 18 Buku
A
A 1225.93 18 Ruas
Lampiran 16 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian MOE dan MOR
pada buluh utuh pada bilah
85
Lampiran 17. Analisa korelasi pengujian MOE dan MOR buluh dengan faktor KA
dan BJ
Correlations: MOE, MOR, KA, BJ
MOE MOR KA
MOR 0.459
0.056
KA 0.223 0.571
0.374 0.013
BJ 0.023 -0.513 -0.549
0.928 0.029 0.018
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
86
Lampiran 18. Data pengujian tarik sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 2050 1391 GBT1 2566 1258 GBU1 3051 1152
2 GBP2 1404 1981 GBT2 2500 325 GBU2 2315 1019
3 GBP3 1635 1080 GBT3 2579 1075 GBU3 2939 1398
Rata-Rata
1696 1484
2548 886
2768 1190
Stdev
327 458
43 494
397 193
1 MYP1 2403 820 MYT1 2754 1132 MYU1 2155 962
2 MYP2 2372 789 MYT2 2715 921 MYU2 1895 852
3 MYP3 1896 951 MYT3 2734 888 MYU3 1267 1010
Rata-Rata
2224 853
2734 980
1772 942
Stdev
284 86
20 132
457 81
87
Lampiran 19. Gambar contoh uji tarik terserang oleh kumbang bubuk Anobium sp
88
Lampiran 20. Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GB MY
PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: Tarik
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 14303956.21 3575989.05 19.12 <.0001
Error 31 5796877.12 186996.04
Corrected Total 35 20100833.33
R-Square Coeff Var Root MSE Tarik Mean
0.711610 25.84546 432.4304 1673.139
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 284179.89 284179.89 1.52 0.2269
PosisiVertikal 2 298238.55 149119.28 0.80 0.4595
Lokasi 1 13721537.77 13721537.77 73.38 <.0001
Duncan's Multiple Range Test for Tarik
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 186996
Number of Means 2
Critical Range 294.0
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 1762.0 18 GB
A
A 1584.3 18 MY
Duncan's Multiple Range Test for Tarik
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 186996
Number of Means 2 3
Critical Range 360.1 378.4
89
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 1787.1 12 Tengah
A
A 1668.0 12 Ujung
A
A 1564.3 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for Tarik
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 186996
Number of Means 2
Critical Range 294.0
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 2290.5 18 Ruas
B 1055.8 18 Buku
Lampiran 21. Analisa korelasi pengujian tarik sejajar serat dengan faktor KA dan
BJ
Correlations: KA, BJ, Tarik
KA BJ
BJ 0.710
0.000
Tarik 0.307 0.050
0.068 0.771
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Lampiran 20 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian tarik sejajar serat
90
Lampiran 22. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada bilah
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 499 426 GBT1 500 505 GBU1 483 419
2 GBP2 375 413 GBT2 299 363 GBU2 435 348
3 GBP3 300 441 GBT3 557 418 GBU3 557 480
Rata-Rata
391 427
452 429
492 416
Stdev
101 14
135 72
61 66
1 MYP1 484 544 MYT1 358 438 MYU1 377 357
2 MYP2 538 477 MYT2 484
MYU2 573 464
3 MYP3 445 410 MYT3 492 453 MYU3 649 471
Rata-Rata
489 477
445 445
533 431
Stdev
47 67
76 11
140 64
91
Lampiran 23. Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar serat
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GBMY
Posisi Vertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: TekanCKBC
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 38508.3557 9627.0889 0.88 0.4873
Error 31 339189.2226 10941.5878
Corrected Total 35 377697.5783
R-Square Coeff Var Root MSE Tekan CKBC Mean
0.101956 22.54478 104.6020 463.9746
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 31727.14101 31727.14101 2.90 0.0986
Posisi Vertikal 2 6463.24078 3231.62039 0.30 0.7463
Lokasi 1 317.97388 317.97388 0.03 0.8657
Duncan's Multiple Range Test for TekanCKBC
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 10941.59
Number of Means 2
Critical Range 71.11
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 493.66 18 MY
A
A 434.29 18 GB
Duncan's Multiple Range Test for TekanCKBC
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 10941.59
Number of Means 2 3
Critical Range 87.10 91.53
92
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 478.19 12 Tengah
A
A 467.72 12 Ujung
A
A 446.02 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for TekanCKBC
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 10941.59
Number of Means 2
Critical Range 71.11
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 466.95 18 Ruas
A
A 461.00 18 Buku
Lampiran 24. Analisa korelasi pengujian tekan pada bilah dengan faktor KA dan
BJ
Correlations: KA, BJ, Tekan Bilah
KA BJ
BJ 0.710
0.000
Tekan 0.086 0.397
0.616 0.017
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Lampiran 23 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan
sejajar serat
93
Lampiran 25. Data pengujian tekan sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
1 GBP1 466 466 GBT1 451 480 GBU1 558 631
2 GBP2 452 452 GBT2 407 436 GBU2 813 467
3 GBP3 557
GBT3 516 567 GBU3 625 645
Rata-Rata
492 459
458 495
666 581
Stdev
57 10
55 67
132 99
1 MYP1 450 473 MYT1 433 362 MYU1 479 318
2 MYP2 530 478 MYT2 560 648 MYU2 645 549
3 MYP3 496 447 MYT3 536 565 MYU3 186 233
Rata-Rata
492 466
510 525
437 367
Stdev
40 17
68 147
232 163
94
Lampiran 26. Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan sejajar (kgf/cm2)
pada buluh
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GB MY
PosisiVertikal 3 Pangkal Tengah Ujung
Lokasi 2 Buku Ruas
Number of Observations Read 36
Number of Observations Used 36
Dependent Variable: TekanFS
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 45821.9707 11455.4927 0.81 0.5259
Error 31 436209.5205 14071.2749
Corrected Total 35 482031.4911
R-Square Coeff Var Root MSE Tekan FS Mean
0.095060 24.00107 118.6224 494.2380
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 28700.02352 28700.02352 2.04 0.1632
Posisi Vertikal 2 9252.89304 4626.44652 0.33 0.7223
Lokasi 1 7869.05411 7869.05411 0.56 0.4602
Duncan's Multiple Range Test for TekanFS
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 14071.27
Number of Means 2
Critical Range 80.64
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 522.47 18 GB
A
A 466.00 18 MY
Duncan's Multiple Range Test for TekanFS
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
95
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 14071.27
NumberofMeans 2 3
CriticalRange 98.8 103.8
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 512.43 12 Ujung
A
A 496.86 12 Tengah
A
A 473.42 12 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for TekanFS
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 31
Error Mean Square 14071.27
NumberofMeans 2
CriticalRange 80.64
Means with the same letter are not significantly different.
DuncanGrouping Mean N Lokasi
A 509.02 18 Ruas
A
A 479.45 18 Buku
Lampiran 27. Analisa korelasi pengujian keteguhan tekan buluh dengan faktor
KA dan BJ
Correlations: KA, BJ, Tekan Buluh
KA BJ
BJ 0.710
0.000
Tekan -0.058 0.135
0.739 0.433
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Lampiran 26 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian keteguhan tekan
sejajar (kgf/cm2) pada buluh
96
Lampiran 28. Data pengujian geser sejajar serat (kgf/cm2) pada buluh
No Kode Nilai
Kode Nilai
Kode Nilai
TB B TB B TB B
1 GBP1 80 70 GBT1 77 101 GBU1 82 81
76 74
80 96
89 81
2 GBP2 81 70 GBT2 90 68 GBU2 86 77
74 86
85 76
82 69
3 GBP3 90 74 GBT3 105 92 GBU3 98 115
90 87
101 101
108 107
Rata-Rata 82 77
90 89
91 88
Stdev 7 8
11 14
10 19
1 MYP1 79 62 MYT1 66 83 MYU1 86 102
59 84
67 94
95 104
2 MYP2 87 88 MYT2 101 106 MYU2 117 124
88 95
100 111
107 153
3 MYP3 66 80 MYT3 91 108 MYU3 73 111
65 98
81 91
85 73
Rata-Rata 74 85
84 99
94 111
Stdev 12 13
16 11
16 27
97
Lampiran 29. Output analisa statistik pengujian keteguhan geser sejajar serat
The SAS System
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
Jenis 2 GBMY
PosisiVertikal 3 PangkalTengahUjung
Lokasi 2 BukuRuas
Number of Observations Read 72
Number of Observations Used 72
Dependent Variable: Geser
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 4531.68764 1132.92191 5.17 0.0011
Error 67 14676.14355 219.04692
Corrected Total 71 19207.83119
R-Square Coeff Var Root MSE Geser Mean
0.235929 16.70489 14.80023 88.59820
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Jenis 1 474.398077 474.398077 2.17 0.1458
Posisi Vertikal 2 3471.499751 1735.749876 7.92 0.0008
Lokasi 1 585.789815 585.789815 2.67 0.1067
Duncan's Multiple Range Test for Geser
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 67
Error Mean Square 219.0469
Number of Means 2
Critical Range 6.963
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis
A 91.165 36 MY
A
A 86.031 36 GB
Duncan's Multiple Range Test for Geser
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
98
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 67
Error Mean Square 219.0469
Number of Means 2 3
Critical Range 8.528 8.972
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Posisi Vertikal
A 96.043 24 Ujung
A
A 90.421 24 Tengah
B 79.330 24 Pangkal
Duncan's Multiple Range Test for Geser
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 67
Error Mean Square 219.0469
Number of Means 2
Critical Range 6.963
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Lokasi
A 91.451 36 Buku
A
A 85.746 36 Ruas
Lampiran 30. Analisa korelasi pengujian keteguhan geser sejajar serat dengan
faktor KA dan BJ
Correlations: KA, BJ, Geser
KA BJ
BJ 0.710
0.000
Geser 0.039 0.292
0.822 0.084
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Lampiran 29 (Lanjutan). Output analisa statistik pengujian keteguhan geser
sejajar serat