Upload
tanty-syifa-nugraha
View
309
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah, penyusun panjatkan kehadiran Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kami sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah “PENGELOLAAN PENDIDIKAN DASAR PADA
ABAD MODERN”.
Penyusunan makalah ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Suparno M.MPd, selaku dosen mata kuliah Kapita Selekta.
2. Rekan-Rekan penyusun yang telah memberikan bantuan, baik berupa ide,
waktu maupun tenaga demi terselesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini banyak kekurangan, baik
menyangkut isi maupun penulisan. Karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat diharapakan oleh penulis untuk menyempurnakan makalah ini. Namun
dalam penulisan makalah ini memiliki tujuan agar makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca, serta diridlai oleh Allah SWT amin.
Cirebon, Novermber 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGHANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 2
B. Rumusan Masalah..................................................................... 2
C. Tujuan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 3
A. Tantangan dan problema pendidikan pada abad modern.......... 3
B. Pembaharuan pendidikan pada abad modern............................ 5
C. Pengelolaan pendidikan sekolah dasar...................................... 9
D. Permasalahan guru pada abad modern...................................... 13
E. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan................ 15
BAB III PENUTUP................................................................................. 18
A. Kesimpulan............................................................................... 18
B. Saran......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. iii
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya
negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan
dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian
merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik
pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja
dari segala strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi
pembangunan. Dari aspek non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan
semangat dan jiwa modern, yang diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang
tinggi pada "akal" dan teknologi, memandang masa depan dengan penuh
semangat dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri
mereka mempunyai kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa
depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah
terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para
pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian
yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil
mengantarkan negara-negara maju (dvelopped countries) dari kemiskinan dan
keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang
bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula
mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat
pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka
pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang.
Biaya dan tenaga diarahkan unuk mengembangkan pendidikan. Anggaran
belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga
ahli dari barat dan mengirim tenaga domestik ke Barat mendapatkan prioritas
4
yang tinggi. Hasil angka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net
enrollment ratio naik, educationachievement dari penduduk semakin tinggi.
Persoalan-persoalan pendidikan dan pembangunan yang terjadi di negara
sedang berkembang, termasuk di Indonesia, secara mendasar berbeda dengan
problema yang ada di negara-negara Barat. Persoalan pendidikan di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan falsafah dan budaya bangsa, apalagi di masa
modern ini. Winarno Surachmad (1986) memperingatkan "... bahwa ilmu
kependidikan yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya
tidak akan pernah mampu melahirkan potensi untuk menangani masalah yang
tumbuh di bumi ini". (h.5).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah
sebagi berikut:
1. Bagaimana tantangan dan problema pendidikan pada abad modern?
2. Bagaimana pembaharuan pendidikan pada era modern?
3. Bagaimana pengelolaan sekolah dasar?
4. Apa saja permasalahan guru pada abad modern?
5. Bagaimana kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuanya adalah untuk:
1. Mengetahui tantangan dan problema pendidikan pada abad modern.
2. Mengetahui pembaharuan pendidikan pada abad modern.
3. Mengetahui apa saja yang harus di kelola pendidikan dasar pada abad
modern.
4. Mengetahui permasalahan guru pada abad modern?
5. Mengetahui kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan?
5
BAB II
PEMBAHASAN
F. Tantangan dan problema pendidikan pada abad modern
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor
pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan
prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada
asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan
berhasil dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka
perkembangan sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat
dilaksanakan pada tingkatyang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan
judul buku paket dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas
guru diselenggarakan. Dan hasilnya secara statistik perkembangan pendidikan
di Indonesia sangat menggembirakan.
Namun, dibalik angka-angka di atas, dunia pendidikan di Indonesia masih
menghadapi problema yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi:
1. internal in-efficiency, dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk
tingginya angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama).
2. external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh
pasar tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang
dilakukan berbeda dengan pendidikan yang diperoleh. External in-
efficiency pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor
yang lain, khususnya sektor ekonomi dan politik. Sebagaimana telah
disinggung di atas modernisasi di bidang ekonomi jauh lebih cepat dari
pada modernisasi di bidang pendidikan. Perubahan-perubahan bidang
ekonomi dan teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia
pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan pada sistem dan
kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena adanya
suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat
luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Pengalaman
pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan
6
dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan
proyeksi keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun pada era
teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak
mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat. Akibat
dari ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi
di masa mendatang, pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan
tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi dan industri.
3. Ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan memperoleh
kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota
dan penduduk desa dan antara kaya dan miskin. Ketidakmerataan ini bisa
dilihat menurut sektor tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial
ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani
jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah
banyak mendapatkan kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency,
dengan bukti bukti empiris dari dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru
pendidikan memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri
pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan
Halsey, 1977).
Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sektor
desa/kota, sudah mulai dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan
pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian dengan
ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya.
Perbedaan pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin
masih sulit untuk dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas
sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan menentukan
status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa
memperoleh sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu,
sedang keluarga yang relatif miskin akan memperoleh sekolah yang juga
relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan, karena anak didik
yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian
7
besar adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang memang secara
riil lebih pandai.
G. Pembaharuan pendidikan pada abad modern
Kesadaran bahwa pendidikan harus senantiasa tanggap terhadap kemajuan
telah mendorong para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan
untuk terus menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan pendidikan
secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di atas:
internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan pendapatan.
Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya,
perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan
instructional delivery system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi
agent of development yang canggih.
Namun pembaharuan-pembaharuan yang telah dilaksanakan tidak jarang
mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah
dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai bahwa
pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang
mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi
baru dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World
Bank (1980) yang ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara
berkembang, termasuk sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan
pendidikan di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan
yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan pengetahuan
pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan
cenderung bersifat "technocratic perspective", artinya pembaharuan
cenderung menekankan pada adopsi dari suatu perubahan daripada
implementasi pada level kelas (Verspoar&Reno, 1986). Di samping itu
pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang
telah berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang
dilaksanakan bersifat "metropolitan sentris". Karena bersifat "metropolitan
sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan akan mengakibatkan
8
perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa
dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan
yang dilaksanakan.
Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan
merupakan pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang
berarti dan mempertanyakan secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang
pokok yang ada pada ide yang akan diambil tersebut. Dengan
mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat
diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya
pembaharuan pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada What
ought to be; pembaharuan harus cocok dengan realitas ruang-ruang kelas.
Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh pembaharuan pada
metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok
bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda
yang harus digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi"
pendidikan di Amerika pada tahun-tahun 1960-an. Metoda CBSA
mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan lain dari
metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic
motivation dan memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri
siswa (Bruner, 1961). Namun perlu diingat bahwa metoda ini memerlukan
persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan
metoda CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu formal
dan fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri
murid sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin
tahu, menghargai pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan
bersifat toleransi.
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang
strategis, sebab merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level
kelas. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak
dilihat sebagai objek dalam pembaharuan pendidikan. Sehingga setiap
kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat
9
instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru
untuk berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang
perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan
sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan kesadaran para guru.
Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap usaha pembaharuan
yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan
memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam
proses pembaharuan tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan
pendidikan seharusnya menjadikan guru sebagai partisipan yang aktif, tidak
hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan pendidikan yang
cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima
pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam
kaitan ini perlu untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan
pembaharuan pendidikan tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru.
Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di
negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang
mengevaluasi dan mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal di luar
kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum dan
kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis;
sekolah merupakan "a mini society".
Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari
masyarakat dimana sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di
masyarakat, pada dasarnya terujud juga dalam sekolah. Di sekolah terdapat
aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak didik maupun guru.
Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi
antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konflik-
konflik interes baik nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi akan
dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar tatanan yang ada. Hak-hak dan
kewajiban guru dan murid diakui.
Dalam proses "transfer of culture", termasuk di dalamnya proses
pembentukan kepribadian, sikap, rasa dan juga intelektualitas, aspek sekolah
10
sebagai "a mini society" sangat penting artinya. Model sekolah
Muhammadiyah dengan memadukan antara Masjid dan gedung sekolah,
merupakan bentuk pengakuan pentingnya aspek sekolah sebagai masyarakat
kecil tersebut.
Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang berkaitan dengan sekolah
sebagai masyarakat kecil ini. Pertama, sekolah tempat melatih dan
mempersiapkan anak didik untuk terjun pada kehidupan mereka di masa
mendatang. Kedua, sekolah merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri,
bukannya tempat mempersiapkan anak didik. "School is not preparation for
life, but life it self" (Dewey, 1944).
Implikasi praktis dari teori pertama, anak didik dalam proses pendidikan
diberlakukan sebagai objek pendidikan. Mereka merupakan objek yang tengah
digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi kehidupan di kemudian hari.
Mereka bukanlah subjek di dunia sekolah yang ada ini. Sayangnya, kemajuan
yang pesat di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan
yang berlangsung di masyarakat sangat cepat dan sulit itu bisa diramalkan
dengan tepat (lihatToffler, 1974, 1981).
Teori kedua, menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan sedemikian
rupa sehingga betul-betul merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri.
Implikasi dari teori ini adalah anak didik merupakan subjek dari proses
pendidikan. Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat kecil tersebut
merupakan dasar dan sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling
penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada mata pelajaran yang
diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu sendiri.
Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan di negara kita di masa
mendatang harus pula memperhitungkan aspek sekolah sebagai "a mini
society" ini. Pembaharuan pendidikan tidak berarti harus mengambil salah
satu teori pendidikan secara murni. Yang penting adalah bagaimana
pembaharuan pendidikan bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan
agar pendidik bisa memanfaatkan variasi interaksi dan pengalaman riil yang
11
diperoleh anak didik di sekolah sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan
pendidikan.
Ada tiga hal yang telah dikemukakan dalam pembahasan tentang
pembaharuan pendidikan: kurikulum, guru dan sekolah sebaga "a mini
society". Pengembangan sekolah di masa depan di mana perubahan-perubahan
yang terjadi di masyarakat sangat cepat dan unpredictabfe, ketiga hal tersebut
tidak bisa ditinggalkan.
H. Pengelolaan pendidikan sekolah dasar
Dalam proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat
vital dan strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melaksanakan
pendidikan di tingkat dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat
selanjutnya. Sebaliknya, keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan
membuahkan keberhasilan pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai
pihak justru menempatkan pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat
pendidikan yang lain, terbukti antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji
guru sekolah dasar yang berbeda dengan sekolah lanjutan.
Usaha-usaha meningkatkan kualitas sekolah dasar sudah sangat mendesak.
Tanpa ada peningkatan kualitas sekolah dasar yang mendasar, usaha-usaha
peningkatan kualitas sekolah lanjutan menengah pertama dan atas tidak akan
berhasil dengan maksimal. Di samping itu kondisi-kondisi yang ada
menunjukkan bahwa secara kuantitas penyediaan fasilitas sekolah dasar sudah
memadai. Pada tahun 1986, sudah lebih dari 94% anak umur sekolah dasar
(umur 7 - 12) telah tertampung di sekolah-sekolah. Malahan sebagai hasil dari
program pengendalian penduduk, pertambahan murid sekolah dasar kelas satu
sudah mulai menurun. Untuk tahun-tahun mendatang ini, gejala-gejala
menurunnya murid kelas satu akan semakin nampak jelas terasa. Oleh karena
itu, problema sekolah dasar akan bergeser dari bagaimana menyediakan
fasilitas bergerak kepada bagaimana mengorganisir sekolah dasar yang
semakin kecil tetapi bisa semakin berkualitas. Bagi sekolah negeri barangkali
12
problema ini tidak begitu terasa, tetapi bagi swasta yang terjadi adalah
sebaliknya.
Dalam hubungan dengan usaha peningkatan kualitas sekolah dasar, Beeby
(1983) mengidentifikasi dua bentuk usaha peningkatan kualitas sekolah.
Bentuk pertama, peningkatan kualitas sistem dan manajemen sekolah. Hal ini
berhubungan dengan "the flow of students". Kedua, peningkatan kualitas
berkenaan dengan proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas.
Usaha peningkatan kualitas yang berhubungan "the flow of students" pada
dasarnya bertujuan untuk menghilangkan pemborosan sebagai akibat internal
in-efficiency in education. Kebijaksanaan apa yang dapat dikembangkan
sehingga tingkat anak didik mengulang kelas dan putus sekolah bisa ditekan,
bahkan kalau mungkin dihilangkan. Wajib Belajar Pendidikan Dasar, untuk
anak umur 7-15 tahun dan pembebasan uang SPP merupakan kebijaksanaan
yang penting dan tepat untuk mengurangi tingkat putus sekolah ini.
Untuk menghilangkan "repeaters" nampaknya lebih sulit. Apalagi
informasi berkenaan dengan sebab-sebab ulang kelas ini sangat sedikit. Salah
satu usaha untuk menghilangkan ulang kelas adalah dengan menetapkan
"automaticclass promotion system". Dengan sistem ini anak didik setiap tahun
secara otomatis akan naik kelas. Sehingga nanti umur anak didik akan
menunjukkan kelasnya. Sudah barang tentu kebijaksanaan ini harus diiringi
dengan kebijaksanaan "remedial programs". Anak didik yang tidak bisa
mengikuti pelajaran atau tertinggal harus mengikuti pelajaran tambahan.
Kebijaksanaan ini untuk negara kita tidaklah mustahil, mengingat jumlah
murid sekolah dasar semakin kecil sebaliknya jumlah guru berlebihan. Dengan
semakin kecilnya rasio murid-guru, maka guru akan bisa mengenal dengan
tepat perkembangan anak didik.
Dalam peningkatan mutu SD, masalah kurikulum, kualitas guru dan
lingkungan keluarga perlu mendapat perhatian. Pada level nasional,
pengembangan kurikulum merupakan proses politik, administrasi dan
birokrasi, serta sekaligus proses profesionalisme. Proses ini mengandung
negosiasi antara harapan-harapan dan sumber-sumber yang tersedia. Apabila
13
dalam proses pengembangan kurikulum ini masalah-masalah yang riil ada di
kelas diperhitungkan maka kurikulum akan memberikan sumbangan yang
besar pada peningkatan kualitas sekolah. Dua hal yang perlu mendapatkan
perhatian adalah kebutuhan lingkungan dan kemampuan guru.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu yang lalu melontarkan
ide perlunya warna lokal pada kurikulum pendidikan kita. Ide tersebut
sangatlah tepat dan perlu untuk mendapatkan support dan partisipasi dari para
pendidik. Kebhinekaan masyarakat kita yang tercermin dalam banyak aspek
kehidupan: lingkungan fisik, sosial dan budaya, perlu untuk diperhitungkan
dalam pengembangan kurikulum. Realitas kebhinekaan ini, merupakan dasar
yang logis untuk mengembangkan kurikulum nasional yang berwarna lokal.
Kurikulum yang "murni bersifat nasional" sulit untuk bisa diterima.
Kurikulum yang demikian itu akan menghasilkan keterasingan pada sementara
anak didik, sebab apa yang dipelajari di sekolah tidak relevan dengan
lingkungan sekelilingnya.
Proses pengembangan kurikulum berwarna lokal dalam kurikulum
nasional hendaknya lebih banyak menarik partisipasi para pendidik. Kalau di
tingkat nasional pengembangan kurikulum lebih banyak dilakukan oleh para
"perencana dan administrator pendidikan", maka pengembangan kurikulum
lokal seyogyanya lebih banyak ditentukan oleh pendidik sendiri.Usaha-usaha
pengembangan kreatifitas anak didik dan kecintaannya pada tanah air dapat
dilaksanakan pula lewat proses interaksi yang terjadi di sekolah. Sebagaimana
yang telah disinggung di depan, sekolah adalah merupakan"a mini society".
Guru harus bisa memanipulasi aktifitas dan interaksi anak didik untuk
mengembangkan kreatifitas anak dan kecintaan pada tanah air. Misalnya,
bagaimana guru bisa memberikan kesempatan pada anak didik untuk
menentukan kegiatan olah raga yang akan dilaksanakan, apa yang harus
dilakukan pada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, membuat
peraturan-peraturan di kelas ataupun di luar kelas.
Hasil pendidikan di sekolah dasar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Penelitian-penelitian yang dilakukan baik di negara Barat maupun di negara
14
kita membuktikan statement di atas (lihat Sudarsono, 1984; Johnstone &
Jiyono, 1983; Simmons, 1980). Ada lima aspek dari lingkungan keluarga yang
berpengaruh terhadap hasil pendidikan sekoiah dasar. Pertama, pola perilaku
anak dan orang tua; kedua, bantuan dan petunjuk orang tua dalam belajar;
ketiga, diskusi antara orang tua dan anak; dan, keempat, penggunaan bahasa di
rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua.
Kegiatan belajar anak pada hakekatnya tidak hanya berlangsung di sekolah
atau di ruang-ruang kelas. Di luar sekolah pun proses ini berlangsung. Orang
tua bisa menggunakan kesempatan kumpul sebagai media bagi anak untuk
belajar. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana sering melakukan
diskusi antara anggota keluarga menunjukkan prestasi yang lebih baik
daripada anak yang di rumah tidak pernah berbincang-bincang dengan orang
tua atau saudaranya.
Prestasi anak yang datang dari keluarga di mana komunikasi sehari-
harinya menggunakan bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan di sekolah)
lebih tinggi daripada prestasi anak yang di rumah tidak menggunakan bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa Indoensia di rumah akan memperkaya
kemampuan bahasa anak. Secara langsung anak mengembangkan kemampuan
bahasa Indonesia di rumah.
Keluarga merupakan tempat di mana anak bisa mendapatkan motivasi
untuk belajar dan mengembangkan harapan-harapan pendidikan dan gaya
hidup di masa depan. Orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam
mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anak. Orang tua
seyogyanya mempunyai informasi yang jelas tentang aktifitas anak di sekolah,
mata pelajaran apa yang membuat anak senang dan tidak senang, di mana
kelebihan dan kekurangan anak dalam belajar. Orang tua di samping
memberikan support seyogyanya juga memberikan standar yang harus dicapai
oleh anak. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana orang tua
mengembangkan motivasi dan aspirasi belajar anak, memiliki prestasi yang
lebih tinggi dari pada anak yang datang dari keluarga di mana orang tua tidak
pemah mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anaknya.
15
Melihat hasil-hasil penelitian di atas, maka usaha peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah dasar, khususnya, bisa dipisahkan dari lingkungan
keluarga. Orang tua tidak bisa menyerahkan secara 100% agar anaknya
dididik di sekolah. Perlu ada kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam
usaha meningkatkan kualitas sekolah. Orang tua perlu mendapatkan informasi
apa yang harus dilakukan di rumah untuk menunjang keberhasilan anak di
sekolah. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Indoensia bisa
dijadikan bahan untuk diinformasikan kepada orang tua.
Sekolah-sekolah mempunyai lembaga Badan Pembantu Penyelenggaraan
Pendidikan (BP3). Sampai saat ini lembaga tersebut belum dimanfaatkan
secara maksimal, baru terbatas untuk menghubungkan dana pembangunan
gedung. Sesungguhnya BP3 ini bisa ditingkatkan peranannya, dari pengumpul
uang pembangunan gedung menjadi pemegang peran mempertemukan apa
yang terjadi di sekolah dan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya di rumah, dalam kaitannya dengan proses belajar anak di
sekolah.
Dengan kata, lain untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar
perlu ada kerjasama yang erat antara orang tua dan guru, antara sekolah dan
rumah. Orang tua tahu apa yang terjadi di sekolah, sebaliknya guru bisa
memberikan pengarahan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua
terhadap anak dalam rangka menunjang keberhasilan anak di sekolah.
I. Permasalahan guru pada abad modern
Permasalahan pendidikan dapat didekati dengan pendekatan macrocosmics
dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji
dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini
adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping muncul dari
keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-faktor luar guru.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain:
1. Penguasaan guru atas bidang studi
2. Penguasaan guru atas metode pengajaran,
16
3. Kualitas pendidikan guru,
4. Rekrutmen guru,
5. Kompensasi guru,
6. Status guru di masyarakat,
7. Manajemen sekolah,
8. Dukungan masyarakat, dan
9. Dukungan pemerintah.
Penguasaan guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa
merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi
tidak saja guru akan mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa,
tetapi lebih daripada itu, dengan materi bidang studi itu guru akan
menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong
kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri
pada diri siswa.
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima
dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa
dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu negara. Artinya, perbandingan gaji
guru antar negara akan tidak pas kalau tidak ditimbang dengan kemakmuran
bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji
guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda
manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita
negara masing-masing. Oleh karena itu, bukan hanya gaji yang penting
melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi
kesejahteraan dan status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
sangat mulia dan terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu
tersebut diperdengarkan, dan hadirin terbuai dengan kesyahduan. Namun,
barangkali bagi guru sendiri akan lebih senang kalau lagu diubah menjadi
"Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa”. Barangkali, sudah masanya untuk
dipikirkan mobilisasi dana pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang
berasal dari masyarakat. Kalau untuk keperluan lain dana mudah diperoleh
17
misalnya untuk prestasi olah raga, mengapa tidak bagi prestasi guru? Di
sinilah letaknya, partisipasi orang tua dan dukungan masyarakat mutlak
diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru.
Kualitas guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja tidak dapat dilepaskan
dari manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis, dengan
menempatkan pengambilan keputusan di tangan-tangan yang jauh dari guru
tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru. Oleh
karena itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab
lebih besar kepada guru. Rasa tanggung jawab ini mutlak diperlukan dalam
meningkatkan kualitas guru.
Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics dan microcosmics,
menunjukkan bahwa persoalan guru dapat dikategorikan ke dalam berbagai
kelompok. Mengikuti model analisis yang dikembangkan Boediono
mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8 kelompok berdasarkan
kemampuan ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru dapat
dikategorikan berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan
kurang, kemampuan dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable
dedikasi dengan predikat penuh dedikasi dan kurang dedikasi
Sudah barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru
dalam melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik
mendasarkan pada kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori
tersebut perlu untuk direnungkan dalam membenahi dan menata guru dewasa
ini. Paling tidak, upaya peningkatan kualitas guru dengan penataran untuk
meningkatkan kemampuan tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain yang
perlu sentuhan, yakni semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya.
J. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan
proses belajar mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana
dikemukakan di atas: aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi, dan
18
aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup
ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan.
Kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru harus banyak bertumpu pada
inisiatif dan kemauan yang datang dari pihak guru sendiri. Dengan kata lain
guru sebagai subjek bukannya objek. Untuk pengembangan kemampuan guru
untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting. Kemampuan belajar mencakup
kemampuan untuk membaca dan mengkaji fenomena masyarakat secara
efisien, kemampuan untuk menentukan bahan yang relevan dan perlu untuk
dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Dalam kaitan ini
suatu mekanisme atau prosedur untuk munculnya umpan balik bagi guru
sangat penting artinya. Salah satu yang mungkin dilaksanakan adalah
membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self reflection, lewat
action research.
Sekolah, termasuk guru harus menyusun program dan target kegiatan yang
jelas dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat. Hasil kerja
sekolah atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas oleh orang
tua dan masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat
sebagai konsumen. Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas
paling tinggi. Untuk itu, sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus
dapat bekerja secara mandiri. Sekolah harus dijiwai watak ekonomi, kerja
efektif dan efisien. Dalam kaitan inilah, school site based management
merupakan suatu tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah.
Dengan sistem manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk
tanggung jawab memajukan sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung
jawab ini pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk
memberikan yang terbaik bagi siswanya.
Upaya peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan
harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site
based management menuntut partisipasi dari pihak orang tua siswa dan
masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama berkaitan dengan upaya
mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas mereka
19
dalam ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama
orang tua dan sekolah perlu dikembang-suburkan.
Usaha yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha
untuk meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan
padahakekatnya apa yang dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara
yang sudah sedemikian maju pun, seperti Jepang, Jerman dan Amerika
Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras untuk mencapai tingkat
kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang
berkembang, nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya
meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara-
negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah bisa mengambil
pelajaran dari apa yang dialami oleh negara-negara yang sudah terdahulu
mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini, dalam upaya meningkatkan
kemakmuran bangsanya, kiranya negara-negara sedang berkembang patut
menyimak peringatan Task Force on Teaching as a Profession on the
Carnegie Forum on Education and the Economy bahwa "Dalam usaha
kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua kebenaran yang
fundamental yaitu keberhasilan usaha mencapai kemajuan tergantung pada
keberhasitan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada
sebelumnya, dan kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan
tergantung pada keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru
yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru
untuk merencanakan sekolah masa depan.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor
pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan
prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada
asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan
berhasil dengan baik.
Kesadaran bahwa pendidikan harus senantiasa tanggap terhadap kemajuan
telah mendorong para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan
untuk terus menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan pendidikan
secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di atas
yakni: internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan
pendapatan.
Permasalahan pendidikan dapat didekati dengan pendekatan macrocosmics
dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji
dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini
adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping muncul dari
keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-faktor luar guru.
Dalam proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat
vital dan strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melaksanakan
pendidikan di tingkat dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat
selanjutnya. Sebaliknya, keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan
membuahkan keberhasilan pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai
pihak justru menempatkan pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat
pendidikan yang lain, terbukti antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji
guru sekolah dasar yang berbeda dengan sekolah lanjutan.
Permasalahan pendidikan dapat didekati dengan pendekatan macrocosmics
dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji
21
dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini
adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping muncul dari
keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-faktor luar guru.
Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan
proses belajar mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana
dikemukakan di atas: aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi, dan
aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup
ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan.
B. Saran
Anggaran pendidikan yang diamanatkan Undang-Undang sekurang-
kurangnya 20% dari APBN dan APBD hendaknya segera direalisasikan
mengingat tugas pendidikan yang sangat berat dan komplek. Tugas ini antara
lain pertama, menyangkut upaya memperluas pemerataan partisipasi
masyaarakat dalam pendidikan, karena sampai saat in “masih ada sekitar 1
juta anak usia SD belum mempunyai sekolah maupun guru tetap, dan 2,7 juta
anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah ataupun guru.
Kedua, untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang meliputi penataan
manajemen, sarana pra-sarana pendidikan, pelatihan guru, kesejahteraan guru,
buku, media pendidikan, dan sumber belajar lainnya yang terkait dengan
teknologi informasi dan pendidikan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Yadi, 2001, makalah: Manajemen Modul Latihan? PT. Cendekia
Informatika, Jakarta
Ardian Syam, Konsep Manajemen, Author, Http://www.pembelejar.com.
Her Suharyanto, Bergabung dengan organisasi profesi, Cetakan Tahun 2002.
http://www.sarjanaku.com/2011/01/makalah-manajemen.html
http://renggani.blogspot.com/2008/03/makalah-perencanaan-pendidikan.html
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2077094-pengertian-dan-
sejarah-perencanaan-pendidikan/
http://desiwidiasari.wordpress.com/2011/05/05/teori-perencanaan-pendidikan/
http://attawijasa20.wordpress.com/2011/05/06/jenis-jenis-perencanaan-
pendidikan/
http://simpangmahar.blogspot.com/2010/05/konsep-perencanaan-pendidikan.html
Diposkan oleh Tugas Kampus di 01:22
http://tkampus.blogspot.com/2012/01/perencanaan-pendidikan.html
http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen.html
23