Upload
paulus-panjaitan
View
100
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
efasdfdfhfhdfghdfghdfghdfghdf
Citation preview
SEMINAR ARSITEKTUR
RA 091372
SERAMBI TENUN NUSANTARATEMA : NATORAS TO DIANAKHON
MAHASISWA
FREDERIKSON TARIGAN
3210100085
DOSEN KOORDINATOR
Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT.
DOSEN PEMBIMBING
Ir. Andy Mappajaya, MT.
PROGRAM SARJANA
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2013
BAB IV
KAJIAN TEMA
4.1 Pengertian Tema Dalam Arsitektur
Tema dalam sebuah perancangan memberikan acuan atau landasan bagi seorang
perancang dalam proses berfikir sehingga dapat diperoleh perwujudan bangunan yang
bermakna. Baik secara eksplisit maupun implisit pada rancangan. Melalui hal tersebut
bangunan berbicara kepada pengamat melalui dirinya sendiri, menginformasikan
tentang dirinya, bagaimana tampilannya, serta berfungsi sebagai apa sesungguhnya
bangunan tersebut. Menggunakan tema sebagai pengarah selama proses perancangan
yang akan membantu kita dalam menuangkan ide-ide terhadap sebuah bangunan.
Keberadaan tema sangatlah penting dalam proses perancangan, karena akan membuat
kita sebagai arsitek lebih terarah selama proses perwujudan bangunan. Tema merupakan
titik awal pemecahan masalah dalam merancang yang emudian dijabarkan melalui
konsep yang mendukung tema.
Menurut Gunadi, 2009
Ruh sebuah perancangan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah dasar pemikiran dalam sebuah
kegiatan perancangan arsitektur. Sebagai sebuah pedoman, landasan, acuan,
kerangka berfikir dalam menciptakan konsep perancangan dimana nantinya akan
membuahkan sebuah wujud bagi bangunan yang syarat akan makna dan warna.
Lahir sebuah karakter atau jiwa tertentu pada masing – masing bangunan yang
mampu mengekspresikan bengunan tersebut maupun keinginan sang perancang
kepada pengamat.
Menurut Gunawan Tjahyono, 2000
“ Something which is said on and expressed. And is use as a basisi for
designing.”
Tema merupakan sebuah dasar dalam perancangan, hal ini diungkapkan
oleh Gunawan Tjahyono dalam Kilas Jurnal Arsitek FTUI vol.2 no.1/ Januari 2000
bahwa tema juga sebagai titik tolak sebelum melangkah. Tema juga selalu melekat
dalam sebuah bangunan, namun tidak semua tema dapat terlihat secara eksplisit
sehingga tidak mudah untuk mengenali dan bahkan untuk menafsirkan.
Tema yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar dalam proses
perancangan hendaknya memiliki latar yang mencerminkan kumpulan dari
berbagai permasalahan yang ada sehingga memudahkan perancang dalam melihat
problematika dan mencari solusinya. Timbul sebuah perkiraan mengenal solusi
terhadap permasalahan yang ada. Bermula dari tahap inilah arsitek akan
memperoleh citra awal terhadap sesuatu dan mampu memberikan warna bagi
karyanya.
Melalui tema yang telah terpilih akan dikaji terlebih lanjut secara
arsitektural sehingga menghasilkan prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai
asas didalam perancangan.
Masih menurut Gunawan Tjahjono, ada lima hal yang harus melandasi
setiap perancang, yaitu:
1. Fakta; adalah fakta yang mengindikasikan masalah dalam suatu konteks
2. Deontik; suatu yang dapat menjadi soslusi dari masalah.
3. Instrumentasi; alat untuk menyelesaikan maslah
4. Penjelasan; suatu uraian mengenai langkah yang harus diambil untuk
menyelesaikan masalah.
5. Konseptual; suatu pernyataan dalam proses merancang
Menurut Arsitek Muda Indonesia
Arsitektur adalah dunia yang tidak bisa dilepaskan dari tema, karena dengan
tema itulah kehadirannya dapat lebih bermakna. Lebih daripada itu arsitektur
adalah dunia yang di dalamnya terdapat semangat untuk terus mencari sesuatu
yang baru dan semangat untuk mencari jawaban.” (AMI – Arsitek Muda
Indonesia, Penjelajahan 1990 – 1995, Subur, Jakarta, 1995 ).
Menurut Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch
- Gagasan yang memiliki sejuta kemungkinan perwujudan
- Gagasan yang sudah dikemukakan dengan menggunakan perspektif atau
sudut tinjau arsitektur tertentu
- Gagasan yang sudah diterjemahkan menjadi pernyataan yang telah
ditentukan disiplin sub-ilmu arsitekturnya.
- Pedoman, pengatur, dan pengendali sehingga proses merancang merupakan
kegiatan yang bersifat ilmiah dan tidak acak – acakan, namun sekaligus
bersifat seni yang subjektif atau puitik.
- Tema dalam arsitektur adalah ide yang harus dieksplor dan
memasukkannya ke dalam desain untuk menciptakan karakteristik atau
makna pada bangunan tersebut.
- Merancang dengan tema berarti mengusulkan salah satu kemungkinan
perwujudan dari gagasan.
- Merancang dengan tema menghasilkan arsitektur sebagai seni, namun
setelah itu dipertanggungjawabkan secara ilmiah baru disebut arsitektur
sebagai ilmu.
- Karena rancangan arsitektur itu adalah racikan ruang dan bentuk,
‘merancang dengan tema’ adalah merekayasa racikan ruang dan bentuk.
Kesimpulannya, tema merupakan ide awal yang menjadi dasar suatu kegiatan
perancangan dalam arsitektur, dan dapat menjadi sebuah langkah awal pemecahan
masalah, yang selanjutnya lahir konsep-konsep konkrit dalam menyelesaikan masalah
yang lebih kompleks yang diangkat dalam sebuah perancangan, sehingga wujud
bangunan hasil rancangan memiliki makna dan jiwa yang mampu mendeskripsikan apa
yang dimaksudkan perancang kepada sasaran yang dituju.
4.2 Pemilihan Tema
Tema yang digunakan terkait objek rancang Serambi Tenun adalah Natoras To
Ianakhon (dari orangtua kepada anak).
4.3 Latar Belakang Pemilihan Tema
Latar belakang pemilihan tema yang diambil, turun dari latar belakang
permasalahan yang diangkat dalam objek rancang dan spesifikasi di dalam objek yang
diangkat yakni kain tenun itu sendiri dan hubungan antara tenun dan manusia. Ditinjau
dari latar belakang permasalahan objek rancang, yakni perancang ingin menyelesaikan
masalah mengenai hampir punahnya salah satu warisan budaya Indonesia yaitu kain
tenun, seperti contohnya kain tenun Batak yaitu ulos Batak mengalami kelesuan drastis
selama 30 tahun terakhir, hal ini sudah diteliti oleh Antopolog Belanda, Sandra Niessen
yang sudah mempelajari mengenai kebudayaan Batak sejak tahun 1979 hingga beliau
berhasil menuangkan hasil penelitiannya selama 30 tahun dalam wujud buku yaitu
Legacy in cloth: Batak textiles of Indonesia. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa
punahnya kain tenun ini karena menyangkut beberapa faktor, yang pertama mengenai
kebutuhan masyarakat akan kain tenun sebagai alat dalam suatu tradisi kedaerahan
menurun dan yang kedua tidak adanya penerus generasi penenun dalam memproduksi
kain tenun itu sendiri, dari permasalahan ini juga dapat disimpulkan bahwa perlunya
regenerasi dari penenun sehingga masalah mengenai terancam punahnya tradisi
menenus dapat terselesaikan. Kain tenun dan hubungan antara kain tenun dan manusia,
ditinjau dari proses pembuatan kain tenun itu sendiri merupakan proses pengerjaan yang
panjang dan memerlukan kesabaran dan perjuangan, motif yang diulang-ulang memiliki
filosofi tersendiri dan motif keseluruhan dapat dikembangkan sehingga memiliki corak
yang berbeda namun tidak merubah karakteristik motif awal tenun. Dalam Tradisi
masyarakat batak Kain tenun (ulos) menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua
orang kapan saja dan dimana saja. Hingga akhirnya ulos memiliki nilai yang tinggi di
tengan-tengah masyarakat Batak, sehingga ada aturan adat bahwa ulos hanya diberikan
kepada kerabat dibawah kita.
Warisan terus-menerus (pengulangan), berkelanjutan , mengalami perubahan dan
beradaptasi terhadap jaman, mungkin itulah singkatnya agar kain tenun tetap ada dan
berkembang di Indonesia. Dari latar belakang ini perancang mengambil tema Natoras To
Ianakhon ( dalam bahasa Batak ) yang artinya dari orangtua ke anak, yang dapat mewakili
identitas kain tenun yang harusnya dapat diwariskan tidak hanya kain tenunnya
melainkan kemampuan, perjuangan dan kesabaran penenun terdahulu kepada generasi
selanjutnya.
4.4 Pengertian Tema Natoras To Ianakhon
Natoras To Ianakhon dalam bahasa Indonesia memiliki arti dari orangtua kepada
anak. Natoras to Ianakhon merupakan istilah dalam budaya suku Batak, yakni tradisi
memberikan kain tenun mereka (orang tua) kepada anaknya atau kerabat yang berada di
bawahnya (umurnya lebih muda atau dalam adat statusnya lebih muda). Tradisi ini yang
di kalangan suku Batak menjadi sangat penting sebab dengan tradisi ini salah satu
kerajinan asli suku Batak dapat diwariskan ke generasi selanjutnya disamping itu banyak
filosofi lain yang terkandung dalam tradisi ini contohnya, tradisi memberikan kain ulos ini
berarti memberikan kehidupan ke generasi dibawahnya karena dalam budaya Batak ada
3 hal yang diyakini nenek moyang orang Batak yang memberikan kehidupan bagi
manusia yakni : darah, nafas, dan kehangatan. Sehingga rasa hangat menjadi suatu
kebutuhan. Ada 3 sumber kehangatan yang diyakini suku Batak yaitu : matahari, api dan
ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat di nyalakan
setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh, misalnya
besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu
halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.
(Wikipedia.org)
Dalam perancangan ini tema Natoras To Dianakhon diartikan sebagai suatu proses
yang berkelanjutan, jika dalam tradisi merupakan proses berkelanjutan antara Orangtua
kepada anak namun dalam perancangan ini proses berkelanjutan/sustainable itu
diartikan sebagai suatu proses beradaptasi terhadap lingkungan, di dalam beradaptasi
terdapat pola proses seperti transformasi dan perubahan-perubahan, diproses inilah
yang ingin ditekankan perancang di dalam merancang, dimana sebuah objek rancang
dapat membaur dengan lingkungan, tidak mendominasi ,transparan namun terasa
keberadaan dan manfaatnya. Disitulah letak berkelanjutan/sustainable dalam objek
rancang.
4.5 Karakteristik Tema “Natoras To Dianakhon”
Melalui definisi dari tema, karakter yang teradapat pada tema Natoras To
Dianakhon adalah yang bias dikaitkan dengan objek rancang, Serambi Tenun yaitu :
Adaptasi terhadap lingkungan
Berkelanjutan: juxtaposition membaur
Pengulangan: pola
Perubahan secara tepat guna
- Adaptasi tingkah laku
- Adaptasi morfologi
4.6 Pendekatan Tema Dengan Teori
Juxtaposition is an architecture term that means “the state or position of being
placed close together or side-by-side, so as to permit comparison or contrast”.
(Architecture Term Of Week : Juxtaposition)
Juxtaposition adalah suatu metoda desain untuk menciptakan contrast antara
yang lama dengan yang baru. Namun tetap memperhatikan link diantara keduanya, agar
tetap tercipta harmony dan keseimbangan. Salah satu cara untuk menyesuaikan
bangunan baru pada bangunan yang lama adalah dengan menggunakan metoda
juxtaposition.
Pada tema Natoras To Dianakhon ini tradisi yang bekelanjutan dari yang lama ke
yang baru atau antara lama dan baru dapat diterapkan prinsip adaptasi dan
berkelanjutan antara yang lama ke yang baru pada objek rancang. Sesuai dengan teori
tersebut dimana yang lama dan yang baru dapat dileburkan dalam satu lingkungan
namun tetap ada integrasi dan adaptasi pada bangunan sehingga tercipta bangunan yang
berkelanjutan/sustainable.
4.7 Pendekatan Arsitektural
Secara arsitektural, penjabaran dan pemahaman dari tema Natoras To Dianakhon
yang diambil bisa bermakna sebagai beberapa pendekatan, dan pendekatan ini kelak
dapat digunakan untuk dijadikan sebagai panduan merancang pada konsep dan skematik
desain. Pendekatan tema tersebut antara lain:
Adaptasi terhadap lingkungan
Pengertian adaptasi bisa diartikan sebagai kemampuan suatu benda untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya (kamus besar bahasa Indonesia). Dalam
arsitektur beradaptasi terhadap lingkungan berarti menyesuaikan bangunan
anatomi maupun morfologinya dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Secara
anatomi bangunan dapat di apalikasikan melalui sirkulasi dalam ruangan, dan
interior yang mendukung dengan lingkungan, jika ditinjau dari morfologi dapat
diaplikasikan melalui fasad bangunan, bentukan yang disesuaikan dan
bersimbiosis dengan lingkungan. Adaptasi yang dimaksudkan dalam hal ini yakni
meminimalkan dampak kerusakan atau ganguan pada lahan dan bangunan
bersejarah lainnya di sekitar site.
Berkelanjutan
Pengertian berkelanjutan dalam hal ini dapat diartikan sebagai satu proses
perkembangan menuju suatu hal yang baru dan dapat beradaptasi dengan jaman,
di sisi lain berkelanjutan juga dapat berarti membaur, menempatkan sesuatu
dengan yang lama atau lingkungan yang sebelumnya sudah ada namun tidak
mendominasinya dan tidk merusaknya justru mendukungsesuatu yang lama,
bersifat transparan namun terasa keberadaan dan manfaatnya.
Pengulangan : Pola
Dalam menenun terdapat proses pembuatan yang berurutan dapat dijelaskan
singkat dimulai dari pembuatan benang, pewarnaan, pembuatan motif ,
pewarnaan kembali/pencerahan benang, penguntaian, dan menenun. Disini
terdapat pengulangan pada proses, pengulanganterdapat pada warna, wujud yang
terdapat penambahan dan pengurangan. Dari proses ini memetaforakan fasad
objek rancang adalah hasil dari setiap tahapan proses.
Perubahan secara tepat guna
Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga
sampai pada tahap ultimate, perubahan dilakukan dengan cara memberi respon
terhadap pengaruh unsur eksternal & internal yang akan mengarahkan perubahan
dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui secara berulang-ulang atau
melipat gandakan (Antoniades,1990)
Kamuflase adalah metode penyembunyian atau penyamaran suatu benda untuk
tetap tanpa diketahui dengan cara pencampuran dengan lingkungannya atau
dengan menyerupai sesuatu yang lain.
4.8 Pendekatan Tema – Metaphor
4.8.1 Metafora dalam Arsitektur
Menurut James C. Snyder dan Anthony J. Cattanese dalam “Introduction of
Architecture”
“Metafora mengidentifikasikan pola-pola yang mungkin terjadi dari
hubungan-hubungan parallel dengan melihat keabstrakannya, berbeda
dengan analogi yang melihat secara literal.”
Menurut Charles Jenks, dalam “ The Language of Post Modern Architecture”,
1991
“Metafora sebagai kode yang ditangkap pada suatu saat oleh pengamat dari
suatu obyek dengan mengandalkan obyek lain dan bagaimana melihat suatu
bangunan sebagai suatu yang lain karena adanya kemiripan.”
Menurut Geoffrey Broadbent,1995 dalam buku “Design in Architecture”
“Metafora sebagai penerjemah bentuk dari sesuatu. Memakai istilah
tranferming ( figure of speech in which a name of description term is
transferred to some object different from).”
Menurut Leone Batista Alberti ( Antoniades, 1990)
“Kita akan melakukan perbuatan atau tindakan secara metafora ketika :
- Sedang berusaha untuk mentransfer referensi dari sebuah subyek
kedalam bentuk yang lainnya.
- Memindahkan fokus penelitian kita dari sebuah area konsentrasi atau
dari sebuah penyelidikan kepada yang lainnya (dengan harapan bahwa
dengan adanya perbandingan atau melalui perluasan, kita dapat
menjelaskan maksud subject kita dengan cara yang baru).”
4.8.2 Prinsip-prinsip Metafora
Menurut Anthony C. Antoniades, Poetics Architecture, prinsip – prinsip
metafora dalam arsitektur adalah sebagai berikut :
Berusaha memindahkan referensi - referensi dari satu objek (konsep atau
obyek ) ke yang lain.
Berusaha untuk “melihat” sebuah subjek (konsep atau obyek) seolah itu
sesuatu yang lain.
Memindahkan fokus penelitian kita dengan cermat dari satu area
konsentrasi atau satu pemeriksaan ke yang lainnya (dengan harapan melalui
perbandingan tersebut atau melalui perluasan tadi kita dapat menerangkan
subyek perenungan kita dalam cara yang baru).
Kegunaan penerapan Metafora dalam Arsitektur sebagai salah satu cara
atau metode sebagai perwujudan kreativitas arsitektural, yakni sebagai berikut :
Memungkinkan untuk melihat suatu karya arsitektural dari sudut pandang
yang lain
Mempengaruhi untuk timbulnya berbagai interprestasi pengamat.
Mempengaruhi pengertian terhadap sesuatu hal yang kemudian dianggap
menjadi hal yang tidak dapat dimengerti ataupun belum sama sekali ada
pengertiannya.
Dapat menghasilkan arsitektur yang ekspresif.
4.8.3 Kategori Metafora dalam Arsitektur
Menurut Anthony C. Antoniades, 1990 dalam “ Poethic of Architecture”
Suatu cara memahami suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain
sehingga dapat mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topic
pembahasan. Dengan kata lain menerangkan suatu obyek dengan subyek lain,
mencoba untuk melihat suatu subyek sebagai suatu yang lain.
Ada tiga kategori dari metafora :
Intangible Metaphor ( metafora yang tidak diraba)
Yang termasuk dalam kategori ini misalnya suatu konsep, sebuah ide,
kondisi manusia atau kualitas-kualitas khusus (individual, naturalistis,
komunitas, tradisi dan budaya)
Tangible Metaphors (metafora yang diraba)
Dapat dirasakan dari suatu karakter visual material
Combined Metaphors (penggabungan antara keduanya)
Dimana secara konsep dan visual saling tumpang-tindih sebagai awal
tindakan methapor dan visualisasi sebagai pernyataan untuk mendapatkan
esensi kebenaran, kualitas dan dasar-dasar dari isi visual tersebut.
4.8.4 Perbedaan Metafora dengan Analogi
Metafora
Pada pendekatan tema melalui proses metafora, didapat penggunaan
bentuk yang tidak mempunyai arti sebenarnya, namun melukiskan sebuah
benda tertentu melalui persamaannya atau perbandingannya sehingga
maksud dari bentuk dapat mempunyai tanggapan yang berbeda antara satu
sama lain, cara mengidentifikasikan hubungan diantara benda-benda yang
bersifat abstrak daripada nyata.
Analogi
Terdapat sebuah cara mengidentifikasikan hubungan senyata mungkin
antara benda-benda serta mempunyai sifat serta ciri khas yang diinginkan.
BAB V
STUDI KASUS (Pendekatan Tema)
5.1 STUDI KASUS 1 – CARRÉ D'ART
Arsitek : Norman Foster
Lokasi : Nimes, France
Proyek tahun : 1984-1993
Area : 20 400 m²
Capacity : 33,000 visitors per month or 396,000 per year
Mediathèques adalah kota yang paling terkenal di Perancis . Kota ini mencakup majalah
dan buku serta musik , video dan bioskop. Carre d’art mengintegrasi dua budaya yaitu seni visual
dan teknologi informasi. Konteks urban dari kota Nimes memiliki pengaruh yang kuat . Letak site
Carre d’art bersebrangan dengan Maison Carree , sebuah kuil Romawi. Tantangannya adalah
bagaimana menghubungkan sesuatu yang baru dengan yang lama , tetapi pada saat yang sama
untuk membuat sebuah bangunan yang mewakili bangunan modern masa kini namun berintegrasi
dengan yang lama.
5.1.1 Penerapan Tema dengan Studi Kasus
Beradaptasi dengan Lingkungan
Care D’art adalah bangunan 9 lantai , namun 5 lantai berada di bawah tanah
sehingga hanya 4 lantai yang terlihat membuat bangunan ini terlihat lebih low
profile, beradaptasi dan
menyesuaikan dengan
skala bangunan yang ada di
sekitarnya. Carre d’art
merupakan “bangunan
yang merakyat” terbuka,
namun sangat dipengaruhi
oleh pengguna dan kota
kuno yang yang berada
disana.- Christ Abbel.
“The line of the roof relates to the building’s domestic scaled neighbours, and by
expressing the individual galleries, each with its own roof, the composition is
discreetly tied into historic fabric of Nîmes.”- Norman Foster . Garis atap berelasi
dengan bangunan lokal di sekitarnya, masing masing galeri memiliki atap sendiri,
secara tidak langsung membuat bangunan ini unity dengan bangunan kuno di
Nimes.
Berkelanjutan
“Sober and simple the Carré d'Art
perfectly counterpoints the
Mexican Caréé. This is not shocking
juxtaposition but an elegant
cohabitation of antiquity and
modernity. The elemental simplicity
of Foster’s building works to
enhance the Roman monument
and in this way the new building rolls out a red carpet to the antique temple.”
Francis Rambert, Le Figaro, 7 May 1993.
Berkelanjutan dimaksudkan disini bagaimana bangunan baru dapat membaur
dengan yang lama bukan mendominasi pada lingkungan site, namun mendukung
keberadaan bangunan kuno yang ada disekitarnya. Dalam hal ini museum Carre
d’art berada di kawasan kota kuno Nimes, yang me-museumkan bangunan
Romawi yang berada tepat di sebrang jalan museum ini. Konsep yang diterapkan
pada museum ini yakni membuat Carre d’art menjadi bangunan yang low profile,
menjadikan museum ini transparan dan mendukung bangunan Romawi yang ada
di depannya , membuat frame terhadap bangunan romawi, jika dilihat dari dalam
museum .
Pengulangan
Fasad bangunan yang terdiri dari frame-frame metal membuat pattern atau pola-
pola persegi. Sehingga fasad tidak terlihat polos namun memberikan tekstur
persegi. Bangunan ini terlihat mengkinikan dari bangunan Romawi dapat dilihat
dari kolom-kolom carre d’art.
Perubahan secara tepat guna
Norman Foster memutuskan untuk menggunakan kaca untuk merefleksikan
dengan tujuan memberi rasa hormat kepada daerah bersejarah sekitarnya.
Karena dengan dengan membaurkan bangunan dengan lingkungannya berarti
arsitek tidak membuat sesuatu yang kontras dan merusak pemandangan kota
kuno yang ada di sekitarnya.
5.2 STUDI KASUS 2 – CHAIRNS BOTANICAL GARDENS VISITORS CENTRE
Arsitek : Charles Wright Architect
Lokasi : Cairns, Australia
Proyek tahun : 2011
Terletak di Far North Queensland Cairns Botanic Gardens Visitors Centre adalah
penerima penghargaan Eddie 2012 Oribin untuk Building of the Year dari Australian
Institute of Architectcs (AIA). Meskipun bangunan kecil, pengunjung memiliki kehadiran
visual yang jauh melebihi skala fisik. Berdiri di tengah hutan hujan Australia yang rimbun,
aspek cermin menghadirkan kamuflase bangunan tehadap lahan konservasi di sekitar,
membuat bangunan melebur ke dalam lahan.
Cairns Botanic Gardens Visitors Centre merupakan gerbang yang unik untuk masuk
ke dalam empat kawasan yang ada di belakangnya yaitu :
Flecker Gardens, sebuah kebun yang mencakup beberapa tanaman flora tropis
langka yang jarang ditemukan di tempat lain di dunia.
Centenary Lakes , danau air tawar yang dikelilingi oleh taman berumput. rumah
bagi satwa liar termasuk ikan, kura-kura dan burung air. Juga terdapat sebuah
danau air asin yang menampilkan keragaman padang gurun termasuk lumpur-
kepiting dan spesies mangrove .
Mt. Whitfield Taman Konservasi , adalah 300 hektar hutan gunung cadangan
terletak di belakang Botanic Gardens Flecker.
Tank Art Centre, merupakan salah satu dari seni utama Cairns dan Tropical North
Queensland. Tank Art Centre salah satu tempat yang menampilkan berbagai seni
pertunjukan dan visual.
5.2.1 Penerapan Tema pada Studi Kasus
Beradaptasi dengan lingkungan
Bangunan dirancang untuk beradaptasi
dengan lingkungan sekitar. Berusaha
meleburkan lingkungan menjadi bagian
dari bangunan. Visitors Centre
menunjukkan arsitektur naungan yang
mendalam, gerakan udara yang banyak,
efisiensi lingkungan, kekuatan material
dan daya tahan yang cukup dengan
bentuk yang berbeda dan yang paling menonjol meleburkan fasad dengan
lingkungan. Dalam segala hal, Charles Wright Architect telah memenuhi keinginan
untuk berinovasi dan merevolusi pemikiran saat ini dalam arsitektur tropis.
Perubahan
Klien menginginkan bangunan
menjadi panjang, rendah dan
pencampuran yang mulus
dengan lingkungan sekitarnya
(idealnya tak terlihat). Arsitek
mengusulkan desain yang
secara harfiah mencerminkan
kebun sebagai kamuflase untuk bangunan. Arsitek menggunakan kaca cermin
untuk merefleksikan dengan tujuan memberi rasa hormat kepada daerah
bersejarah sekitarnya. Karena dengan dengan membaurkan bangunan dengan
lingkungannya berarti arsitek tidak membuat sesuatu yang kontras dan merusak
pemandangan hutan yang dilindungi disekitarnya.
Adaptasi terhadap iklim
Cahaya
Penggunaan material cermin finishing stainless steel
pada overhang atap menciptakan refleksi dari
permukaan tanah sekitarnya. sinar matahari langsung
tercermin ke bawah, tersebar dan menjadi kolam sinar
matahari didalamnya. Hal ini mencerminkan tampilan
permukaan bangunan dipengaruhi oleh cahaya yang
ada.
Suhu
Prinsip-prinsip lingkungan untuk desain di daerah tropis basah yang sederhana
namun ketat. Iklim membutuhkan overhang atap untuk mengurangi paparan
rendah sinar matahari pagi dan sore, bukaan besar untuk memaksimalkan ventilasi
silang, langit-langit tinggi, atap ventilasi konvektif.
Koridor ventilasi alami melayani
urutan linier ruang kantor yang
semuanya terbuka keluar ke arah
teras staf bersama di selatan.
Konfigurasi tipis mendorong
penggunaan maksimum lintas-
ventilasi pasif, ditambah dengan kipas langit-langit yang efisien dan cerobong asap
panas konvektif dengan volume atap.
Pada gambar disamping terlihat, pada saat membelakangi matahari fasad akan terlihat lebih
Pengulangan : Pola
Fasad bangunan yang terdiri dari kaca-kaca
refleksi memperlihatkan pattern atau pola-
pola persegi. Sehingga fasad tidak terlihat
polos melainkan memiliki pattern persegi.
Berkelanjutan
Dalam proyek ini berkelanjutan yang dimaksud ialah menempatkan bangunan
baru dilahan konservasi namun tidak merusak keberadaan lingkungan di lahan
konservasi, dalam hal ini dapat berupa view. Bangunan membaur dengan
lingkungannya sehingga yang terlihat adalah refleksi dari pohon-pohon yang ada di
site. Arsitek menjadikan phon-pohon di lahan sebagai gambaran/ corak fasad.Di
sini terlihat bangunan bersimbiosis dengan lingkungan konservasi.
5.3 STUDI KASUS 3 - REICHSTAG, NEW GERMAN PARLIAMENT
Arsitek : Norman Foster
Lokasi : Berlin, Jerman
Proyek tahun : 1992-1999
Gedung Reichstag merupakan bangunan bersejarah di Berlin , Jerman , dibangun untuk
parlemen Kekaisaran Jerman . Dibuka pada tahun 1894 dan bertempat Reichstag sampai tahun
1933 , ketika itu rusak parah akibat kebakaran . Selama era Nazi , beberapa pertemuan anggota
Reichstag diadakan di Opera House Kroll . Setelah Perang Dunia Kedua gedung Reichstag jatuh dan
tidak digunakan sebagai parlemen Republik Demokratik Jerman dengan di Istana Republik di Berlin
Timur dan parlemen Republik Federal Jerman di Bundeshaus di Bonn .
Bangunan ini dibuat dari bahan yang aman dan sebagian diperbaharui pada tahun 1960 ,
tetapi tidak ada upaya pemulihan penuh dibuat sampai setelah reunifikasi Jerman pada tanggal 3
Oktober 1990, ketika menjalani rekonstruksi yang dipimpin oleh arsitek internasional terkenal
Norman Foster . Setelah selesai pada tahun 1999, Menjadi tempat pertemuan parlemen Jerman
modern, Bundestag .
5.3.1 Penerapan Tema pada Studi Kasus
Beradaptasi dengan lingkungan
Rekonstruksi memilih untuk mengambil material asli, lapisan sejarah yang
Ditelusuri lebih dalam untuk mengungkapkan jejak mencolok dari masa lalu -
tanda tukang batu dan grafiti Rusia – bekas luka yang mereka punya diawetkan
sebagai 'hidup museum' . Pada gedung perlemen yang sudah di restorasi ini
terdapat kubah kaca yang membaur dengan gedung parlemen lama yang
berlanggam klasik. Kubah kaca yang modern merupakan simbol dari transparasi
pemerintahan kepada rakyat dan pantulan bahwa parlemen adalah rakyat Jerman
juga artinya tidak akan ada korupsi, kolusi dan nepotisme yang akan dilakukan
anggota parlemen karena kegiatan mereka akan langsung diawasi oleh rakyat
Jerman.
Perubahan secara tepat guna
Transformasi Reichstag berakar dalam empat isu-isu terkait : signifikansi
Bundestag sebagai forum demokrasi , sebuah pemahaman sejarah , komitmen
untuk aksesibilitas dan giatnya agenda lingkungan .
Norman Foster memilih mempertahankan kubah kaca , namun membuat
bagaimana sentuhan modern ini tidak mengganggu bangunan lama yang
ditempatinya. Material yang dipakai yaitu kaca
menjadikan kubah ini terlihat ringan dan transparan sehingga seolah-olah
tersembunyi keberadaannya.
Pengulangan : Pola
Massa yang simetris merupakan ciri khas bangunan klasik dimana struktur vertikal
lebih dominan, dimana kolom-kolom dan jendela memberikan irama dan pola
pada bangunan. Kubah yang terbuat dari rangka baja yang berbentuk persegi
dengan ukuran yang sesuai agar dapat membentuk dome.
Berkelanjutan
“Norman Foster had successfully connected new and old, past and present so that
the Reichstag’s
new interiors
meet our
expectations of
this epic
building, but at
the same time
are welcoming
not
forbidding.”- Wolfgang Thierse
Dalam pengupasan kembali rekonstruksi sebelumnya untuk bangunan , jejak
mencolok dari masa lalu digali , Termasuk grafiti yang ditinggalkan oleh tentara
Soviet. Menciptakan ruang berbentuk kubah transparan berusaha menjadikan
'museum hidup' sejarah Jerman . cahaya yang diteruskan ke jantung
bangunan ,membantu untuk menciptakan sebuah platform terbuka dan terlihat
untuk proses demokrasi Jerman .
5.4 KESIMPULAN
Penerapan tema Natoras to dianakhon pada bangunan diinterpretasikan dan di wujudkan
dalam bentuk yang berbeda-beda oleh perancang. Hal ini sesuai dengan pendekatan
metaphor.
Studi kasus
Unsur temaCARRÉ D'ART CAIRNS BOTANIC
GARDENS VISITORS CENTRE
REICHSTAG, NEW GERMAN
PARLIAMENT
Adaptasi lingkungan
Care D’art adalah bangunan 9 lantai , namun 5 lantai berada di bawah tanah sehingga hanya 4 lantai yang terlihat
Menyesuaikan dengan konteks berupa taman dan hutan konservasi, bangunan mencerminkan
Pada gedung perlemen yang sudah di restorasi ini terdapat kubah kaca yang membaur dengan gedung parlemen lama yang
membuat bangunan ini terlihat lebih low profile, beradaptasi dan menyesuaikan dengan skala bangunan yang ada di sekitarnya.
lingkungan ke dalam fasad bangunan agar tidak merusak visual keberadaan hutan disekitarnya.
berlanggam klasik.
Perubahan (kamuflase)
menggunakan kaca untuk merefleksikan dengan tujuan memberi rasa hormat kepada daerah bersejarah sekitarnya. Karena dengan dengan membaurkan bangunan dengan lingkungannya berarti arsitek tidak membuat sesuatu yang kontras dan merusak pemandangan kota kuno yang ada di sekitarnya.
Kamuflase atau penyamaran bangunan dengan merefleksikan hutan disekitarnya pada fasad bangunan sehingga keberadaannya tersamarkan
Norman Foster memilih mempertahankan kubah kaca , namun membuat bagaimana sentuhan modern ini tidak mengganggu bangunan lama yang ditempatinya. Material yang dipakai yaitu kaca menjadikan kubah ini terlihat ringan dan transparan sehingga seolah-olah tersembunyi keberadaannya.
Pengulangan : pola
Fasad bangunan yang terdiri dari frame-frame metal membuat pattern atau pola-pola persegi. Sehingga fasad tidak terlihat polos namun memberikan tekstur persegi. Bangunan ini terlihat mengkinikan dari bangunan Romawi dapat dilihat dari kolom-kolom carre d’art.
Detail pada fasad yang berupa persegi-persegi cermin yang disusun
struktur vertikal lebih dominan, dimana kolom-kolom dan jendela memberikan irama dan pola pada bangunan. Kubah yang terbuat dari rangka baja yang berbentuk persegi dengan ukuran yang sesuai agar dapat membentuk dome.
Berkelanjutan menjadikan museum ini transparan dan mendukung bangunan Romawi yang ada di depannya , membuat frame terhadap bangunan romawi, jika dilihat dari dalam museum .
Bangunan membaur dengan lingkungannya sehingga yang terlihat adalah refleksi dari pohon-pohon yang ada di site. Arsitek menjadikan phon-pohon di lahan sebagai gambaran/ corak fasad.Di sini terlihat bangunan bersimbiosis
Menciptakan ruang berbentuk kubah transparan berusaha menjadikan 'museum hidup' sejarah Jerman . cahaya yang diteruskan ke jantung bangunan ,membantu untuk menciptakan sebuah platform terbuka dan terlihat untuk proses
dengan lingkungan konservasi. demokrasi Jerman .
Dari tiga studi kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tema Natoras To dianakhon/
“sebagai warisan” di dalam objek rancang di methaporkan menjadi berbagai ciri arsitektural
antara lain beradaptasi dengan lingkungan, perubahan tepat guna, pengulangan dan
berkelanjutan. Desain rancangan pada bangunan juga memperhatikan konteks atau
lingkungan di sekitarnya. Dimana konteks dipertahankan , hal yang baru simasukkan namun
dapat melebur ke dalam lingkungan lama.
DAFTAR LITERATUR
AMI – Arsitek Muda Indonesia, Penjelajahan 1990 – 1995, Subur, Jakarta, 1995
Gunawan Tjahjono, “Merancang dengan Tema sebagai Titik Awal Penyelesaian” dalam KILAS Jurnal Arsitektur FTUI Vol. 2 no. 1/Januari 2000
Jenkins, David, “ Norman Foster Works 2” , Prestel, UK, 2006
www.archdaily.com
www.fosterandpartners.com
www.wikipedia.com