Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2019
Penanggungjawab:
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Reviewer:
Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Budidaya dan Produksi Tanaman, BBP2TP) Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari
I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jana Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)
Redaksi Pelaksana
Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Tata Letak
Agung Susakti Alamat Redaksi
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id
ISSN-2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 5 Nomor 2, Tahun 2019 BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 5 Nomor 2, Tahun 2019
TINGKAT EFISIENSI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI JAMBI Yardha dan Adri……………………………………………………………………………………….. 109-123
UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI DI LAHAN DATARAN MEDIUM KABUPATEN GARUT Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti………………………………………………… 125-130
APLIKASI PUPUK MIKRO PADA PERTANAMAN CABAI MERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU Annisa Dhienar Alifia dan Mizu Istianto……………………………………………………………. 131-140
PROSPEK AMPEK ANGKEK SEBAGAI VARIETAS UNGGUL SPESIFIK LOKASI PADI DATARAN TINGGI DI SUMATERA BARAT
Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti………………………………………………………… 141-148
INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADIDI LAHAN PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
Puspita Harum Maharani, Eni Siti Rohaeni Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina…………… 149-158
ANALISIS EKONOMI MODEL PERTANIAN BIO INDUSTRI BERKELANJUTAN BERBASIS TANAMAN KELAPA DI KABUPATEN MAJENE, SULAWESI BARAT
Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky ……………………………………………… 159-168
EFEKTIVITAS PUPUK ANORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI DI LAHAN KERING SULAWESI TENGGARA
Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab…………………………………………………………..
ANALISIS USAHATANI DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO DI KABUPATEN BOYOLALI Dewi Sahara, Chanifah dan Ekaningtyas Kushartanti……………………………………………..
PERAN BIMBINGAN TEKNIS DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN TEKNOLOGI PRODUKSI KEDELAI KEPADA PETANI DAN PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi………………………………………………………………
169-180
181-191
193-207
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
109
TINGKAT EFISIENSI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI JAMBI
Yardha dan Adri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi
Jl. Samarinda Paal V Kotabaru 36128 Jambi
Email: [email protected]
ABSTRACT
Level of Efficiency of Soybean Production Technology in Jambi Province. Quality seed is one component of
technology that significantly increases yields, therefore availability must be sustainable. Extention seeds that will be
planted by farmers on a large scale are derivatives of the seed class above it. The availability of scattered seeds is very
dependent on the availability of seed sources. In connection with this, the Seed Sources Management Unit (UPBS) of
the Soybean Institute for Agricultural Technology Assessment (IAAT) Jambi has conducted an assessment of
production technology and engineering of soybean seed breeder groups Harapan Mulya in Dusun Baru Village, VII
Koto District, Tebo District, Jambi Province in 2017- 2018. The breed variety is Anjasmoro variety with the Breeder
Seed (BS) seed class and Foundation Seed (FS) class. The results of the study obtained seeds graduation rates labeled
75.0% - 87.5%. The benefits of farming produce seeds higher than Rp. 8.350.000,-/ha/planting season compared to the
benefits of soybean farming consumption. Distribution of technology adoption is 76.7% - 85.6%. FS grade seed yield
was obtained as much as 2.6 tons and SS class seed yield was 53.7 tons. Production Break Even Point (TIP) 977.91 kg
/ ha, Break Even Point Price (TIH) Rp 9779.2 / kg and R / C 1.63
. Keywords: soybean, seed breeder, technology, institution
ABSTRAK
Benih bermutu salah satu komponen teknologi yang dengan nyata meningkatkan hasil, untuk itu ketersediaan benih
bermutu di tingkat petani harus berkesinambungan. Benih sebar yang dibutuhkan petani untuk konsumsi sangat erat
kaitannya dengan ketersediaan benih sumber, baik kelas benih Breeder Seed (BS), Foundation Seed (FS), maupun Stock
Seed (SS). Berkaitan dengan hal tersebut Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) kedelai Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Jambi telah melakukan suatu pengkajian teknologi produksi dan rekayasa kelompok tani penangkar
benih kedelai Harapan Mulya di Desa Dusun Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Varietas
yang ditangkarkan adalah Varietas Anjasmoro dengan kelas benih Breeder Seed (BS) dan Foundation Seed (FS). Hasil
kajian diperoleh tingkat kelulusan benih berlabel 75,0 % - 87,5%. Keuntungan usahatani memproduksi benih lebih tinggi Rp 8.350.000,- dibandingkan dengan keuntungan usahatani kedelai konsumsi. Sebaran adopsi teknologi 76,7 %
- 85,6 %. Hasil FS 2,6 ton dan hasil SS 53,7 ton. TIP 977,91 kg/ha, TIH Rp 9779,2 / ha dan R/C 1,63
Kata Kunci: Kedelai, Penangkaran Benih, Tekonologi, Kelembagaan
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
110
PENDAHULUAN
Benih unggul kedelai bermutu merupakan
salah satu komponen teknologi yang nyata dapat
meningkatkan hasil dan pendapatan petani.
Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun terus
meningkat seiiring dengan program peningkatan
produksi kedelai nasional.
Produksi dalam negeri belum mampu
mencukupi kebutuhan tersebut sehingga
diperkirakan terjadi import 1,9 juta ton setiap tahun.
Untuk itu, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jambi melalui UPBS telah melakukan
pembinaan dan pendampingan penangkar benih
kedelai sejak tiga tahun yang lalu sampai sekarang
(Yardha dkk. 2013; Valerina D. 2016; Yardha dan
Novita. 2016).
Di sisi lain produktivitas kedelai di Provinsi
Jambi masih rendah (sekitar 1,3 ton/ha), disebabkan
beberapa hal antara lain; 1) kurangnya benih
bermutu. 2) Penyediaan benih seringkali kurang
tepat pada saat dibutuhkan; (3) Teknik budidaya
masih kurang baik; (4) Serangan organisme
pengganggu, dan (5) Faktor sosial ekonomi
(Dirjentan. 2005; Balitbangtan. 2013).
Beberapa tahun terakhir pemerintah telah
mencanangkan untuk swasembada kedelai, namun
masih belum terwujud. Terhambatnya atau
tertundanya pencapaian swasembada kedelai,
disebakan oleh ketersediaan benih unggul bermutu
ditingkat petani tidak tersedia dalam 6 tepat, harga
jual tingkat petani masih rendah. Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya dan langkah-langkah
strategis agar ketersediaan benih unggul bermutu
terjamin kesinambungnnya (BNN. 2005;
Balitbangtan. 2013).
Provinsi Jambi merupakan salah satu sentra
kedelai di pulau Sumatera, saat ini Pemerintah
Provinsi Jambi berusaha menjadikan daerahnya
sebagai sentra produksi kedelai Nasional (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Jambi, 2007; Departemen Pertanian.
2009). Namun, hingga saat ini Provinsi Jambi
belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan
akan benih dan konsumsi kedelai. Masih sedikit
penangkar benih kedelai yang eksis dan
berkesinambungan secara mandiri, padahal ini
menjadi faktor penentu. Perbanyakan benih kedelai
berjalan apabila ada program dari Pemerintah
(Sumarno. 1998).
Makalah ini bertujuan untuk membahas
kelembagaan dan teknologi produksi benih kedelai
di Jambi yang diangkat dari hasil kajian Tekonologi
Produksi dan Rekayasa Kelompok Penangkar Brnih
Kedelai di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung
Jabung T imur, Provinsi Jambi.
METO DO LO GI / PRO SEDUR PENGKAJIAN
Lokasi dan Waktu Pengkajian
Pengkajian dilaksanakan di Desa Dusun
Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo,
Provinsi Jambi pada tahun 2017 dan 2018.
Kabupaten Tebo dipilih karena merupakan daerah
sentra produksi kedelai, baik kedelai untuk
konsumsi maupun untuk benih di Provinsi Jambi.
Rancangan Pengkajian
Teknologi yang diterapkan adalah paket
teknologi perbanyakan benih kedelai yang berasal
dari Balitkabi dan PTT Kedelai (Deptan, 2009)
dengan penyesuaian spesifik lokasi. Varietas yang
diperbanyak adalah Varietas Anjasmoro kelas benih
BS dan FS.
Penyiapan lahan secara minimum tillage
yaitu dengan menggunakan herbisida, setelah gulma
kering dan mati dilakukan pembabatan dan
pembersihan dari sisa-sisa gulma dilahan yang akan
ditanam.
Sebelum dilakukan penanaman, maka
dilakukan persiapan benih. Benih yang digunakan
adalah benih yang memiliki; t ingkat kemurnian
tinggi, daya tumbuh minimal 80%, benih harus
sehat, bernas, mengkilat, t idak keriput , t idak
terinfeksi cendawan, bakteri atau virus, tidak
tercampur biji tanaman lain atau biji rerumputan.
Benih sumber Anjasmoro dengan kelas BS (label
kuning) berasal dari Balai Penelitian Kacang-
kacangan dan ubi-ubian (Balitkabi) Malang.
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
111
Perlakuan Dalam Pengkajian
Tanam dilakukan dengan cara menugal.
Jarak tanam 40 cm x 20 cm, 2-3 biji/lubang tanam.
Penjarangan dilakukan pada umur 2 minggu setelah
tanam (mst), yaitu dengan meninggalkan 2 tanaman
terbaik per rumpun. Pemeliharaan tanaman
mencakup; pengelolaan gangguan biotik dan
abiotik, seperti pemupukan, pengendaliaan gulma
dan hama penyakit . Pemupukan diberikan setelah
tanaman berumur 2-3 mst dengan mengunakan
pupuk NPK Phonska plus dengan dosis 200 kg/ha
ditambah 50 kg Urea. Pupuk diberikan secara
ditugal disebelah lubang tanam. Penggunaan pupuk
hayati seperti bakteri penambat N (Rhizobium)
disesuaikan dengan kebutuhan. Pemupukan
dilakukan dengan sistem tugal disamping lubang
tanam, dengan jarak 5-7 cm dari tanaman,
kemudiaan lubang pupuk dengan tanah.
Hama dan penyakit merupakan faktor
penting yang menyebabkan suatu varietas tidak
mampu menghasilkan seperti yang diharapkan.
Karena itu, pengendalian hama dan penyakit harus
dilakukan secara terpadu. Guna menghindari
kompentisi pengambilan hara, air dan udara oleh
gulma, maka dilakukan penyiangan dilakukan
secara intensif agar tanaman tidak terganggu oleh
gulma. Secara optimal, sehingga pertanaman tidak
mengalami gangguan (minimal 2x, yaitu umur 10–
14 hst dan 21–28 hst). Penyiangan ke-2, ikuti dg
penggemburan tanah. Jika perlu penyiangan setelah
berbunga, lakukan dengan cara mencabut atau
memotong gulma.
Seleksi / Rouging Seleksi atau roguing adalah salah satu tahap
atau proses yang sangat penting dalam penangkaran
benih kedelai, karena pada tahapan ini dilakukan
identifikasi dan membuang tanaman yang
menyimpang daripada deskripsi varietas
Anjasmoro. Dengan roguing akan didapatkan
kemurnian dan mutu genetik Varietas Anjasmoro
yang ditangkarkan.
Tahapan rouging diajarkan kepada petani
penangkar agar petani dapat membedakan tipe
simpang dengan tipe normal Varietas Anjasmoro.
Disamping itu, petani juga dapat mengenali dan
mengetahui karakteristik dari Varietas Anjasmoro
dengan baik. Salah satu yang membedakan dengan
tipe simpang ketika berbunga melihat warna
epikotil putih langsung dicabut dan dibuang.
Rouging dilakukan tiga kali yaitu pada fase
juvenil (tanaman muda) yang dilakukan pada umur
15-20 hst. Hal-hal yang perlu dijadikan pedoman
adalah :
Warna hipokotil, kedelai hanya memiliki warna
hipokotil hijau dan ungu. Hipokotil hijau akan
diikuti dengan warna bunga putih, sedangkan
hipokotil ungu akan memiliki warna bunga ungu.
Rouging kedua pada fase berbunga. Apabila pada
fase juvenil belum seluruh campuran varietas
dibuang, maka pengamatan dapat dilakukan lagi
pada saat berbunga. Pedoman yang dapat dipakai
adalah :
Warna bunga. Seperti pada hipokotil, warna bunga
kedelai hanya terdiri atas putih dan ungu. Saat
berbunga. Saat keluar bunga yang menyimpang
dari tanaman dominan maka tanaman tersebut perlu
segera dibuang.
Warna dan kerapatan bulu pada tangkai
daun. Posisi dan bentuk daun. Bentuk daun
seringkali cukup sulit digunakan sebagai parameter
penilai. Parameter yang cukup menentukan adalah
ketegapan batang dan posisi daun pada batang
secara keseluruhan. Reaksi terhadap penyakit.
Varietas kedelai yang memiliki warna putih,
misalnya Galunggung dan Lokon, cukup peka
terhadap penyakit virus. Hal ini dapat digunakan
sebagai parameter penilai. Terakhir rouging ketiga
pada fase masak fisiologi Pada fase ini
pertumbuhan tanaman telah mendekati optimal.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rouging fase
ini adalah keragaan tanaman secara keseluruhan.
Posisi daun, polong, dan bentuk daun merupakan
parameter yang dapat digunakan untuk konfirmasi
terhadap penilaian pada fase sebelumnya.
Variable yang diamati
Variabel yang diamati antara lain; persentase
tanamaan tumbuh, tinggi tanaman, umur
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
112
berbunga,jumlah cabang, jumlah polong bernas,
berat 1000 biji, t ingkat kelulusan calon benih
menjadi benih, produksi benih per hektar, input -
otput usahatani, persepsi petani dan dinamika
kelompok penangkar.
Untuk melihat kelayakan usahatani
perbenihan kedelai dilakukan dengan pendekatan
analisis nisbah atau rasio penerimaan terhadap biaya
yang biasa dikenal analisis R/C (Revenue Cost
Ratio), kemudiaan dilanjutkan dengan analisis TIP
dan TIH.
R/C = TR/TC = (Q.pQ) / (∑n
i=1 Xi.pXi)
TR = totsl revenue=total penerimaan (Rp)
Q = Quantum = jumlah produksi (kg)
pQ = harga produksi (Rp/kg)
TC = Total Cost = Biaya pembeliaan input (Rp)
Xi = jenis input X ke I (I = 1,2,3 ..n)
pXi = harga X ke I ( i=1,2,3)
Analisis tit ik impas digunakan untuk
mentolerir penurunan produksi atau harga produk
sampai batas tertentu dimana usaha yang dilakukan
masih memberikan tingkat keuntungan normal.
Nilai tit ik impas produksi (TIP) dan titik impas
harga (TIH) dihitung dengan rumus (Hendayana,
2016a; Hendayana, 2016b):
Titik Impas Produksi = ∑ XiPXi / Pq
∑ XiPXi merupakan total biaya usahatani
penangkaran benih kedelai dimana Xi
menggambarkan jenis input ke i (i = 1,2,3, ....n)
dan Pq adalah harga produk benih kedelai per
kg.
Titik Impas Harga = ∑ XiPXi / Q
∑ XiPXi merupakan total biaya usahatani
penangkaran benih kedelai dimana Xi
menggambarkan jenis input ke i (i = 1,2,3, ....n)
dan Q adalah produk per satuan luas (kg/ha)
Sebaran adopsi benih kedelai:
n
SA = ------- x 100 %
N
SA = Sebaran adopsi teknologi penangkaran kedelai
(%)
n = Jumlah adopter
N = Jumlah anggota kelompok
Analisis data
Data yang dikumpulkan ditabulasi disusun
dalam bentuk table dianalisis secara deskriptif.
Usahatani dianalisis secara finansial untuk
mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh
petani penangkar digunakan R/C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Umum Wilayah Pengkajian
Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di
Desa Dusun Baru Kecamatan VII Koto, Kabupaten
Tebo. Kabupaten ini merupakan daerah sentra
produksi kedelai bagi Provinsi Jambi. Pertanaman
kedelai di Kabupaten ini dapat dilakukan 2 s/d 3 kali
dalam satu tahun, usahatani kedelai pada umumnya
tidak monokultur tetapi diusahakan diantara
tanaman karet, kelapa sawit, jeruk yang belum
menghasilkan. Jenis tanah di VII Koto ini ada yang
alluvial ada juga yang Podzolik Merah Kuning dan
pertanaman bias dilaksanakan 2-3 kali setahun.
Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Kedelai di
Provinsi Jambi Luas tanam kedelai di Provinsi Jambi seluas
10.314 ha. Berdasarkan luas tanam tersebut , maka
diperlukan benih kedelai sebanyak 412.560 kg.
Pada tahun 2015 kemampuan memproduksi benih
90.780 kg, sehingga terjadi defisiit sebanyak
321.780 kg atau kemampuan menyediakan benih
hanya 22% saja. Guna memenuhi kebutuhan bagi pertanaman kedelai seluas 10.314 ha, maka
78% defisit benih didatangkan dari luar Provinsi
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
113
Jambi sepert i dari Jawa T imur atau Lampung.
Dampak negatif mendatangkan benih dari luar
tersebut antara lain: datangnya benih tidak sesuai
saat akan tanam, daya tumbuh dan vigor benih
menurun dan tidak sesuai varietas yang disukai
petani. Kabupaten lain yang juga cukup luas
penanaman kedelainya selain Kabupaten Tebo,
Kabupaten Tanjung Jabung T imur adalah
Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo.
Kurangnya pasok benih kedelai dalam
Provinsi Jambi disebabkan oleh kurangnya
kelompok atau petani penangkar benih kedelai. Saat
ini jumlah kelompok tani penangkar yang terus
menerus memproduksi benih kedelai tidak lebih
dari 6 (enam) kelompok. Kebanyakan kelompok
tani atau petani penangkar melakukan penangkaran
benih apabila ada proyek perbanyakan benih dari
program pemerintah
Sistem Perbenihan Kedelai di Provinsi Jambi Sistem perbenihan kedelai di Provinsi
Jambi saat ini yang masih lemah, terutama pada
subsistem penunjang seperti kelembagaan,
infrastruktur, sarana prasarana, sumberdaya
manusia, dan Permodalan. Sedangkan pada
subsistem lainnya seperti penelitian yang
menghasilkan varietas unggu dan benih sumber,
pengawasan mutu dan sertifikasi benih sudah
berjalan baik.
Langkah operasional pengembangan
perbenihan di Provinsi Jambi dimulai dari program
yang dilaksanakan pemerintah pusat dan program
Dinas Pertanian Hortikultura dan Peternakan
Provinsi Jambi yang diteruskan ke kabupaten/kota
dibawah pengawasan UPTD Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih Tanaman Pangan (BPSB-PT),
baik yang dilakukan oleh BBI, BBU dan kelompok
penangkar benih. Teknologi untuk perbenihan dan
budidaya konsumsi kedelai berasal dari BPTP
Jambi.
Dinas Pertanian Provinsi menggerakkan
BPSB-PT, BBU, BBI, dan Kasubdin Produksi
berkoordinasi dengan kabupaten guna menyusun
peta penggunaan varietas yang memiliki
produktivitas tinggi, sedang hingga rendah serta
varietas lokal; (2) Membuat rencana peningkatan
produktivitas melalui penggantian varietas dan
penggunaan benih berlabel; (3) Membuat rencana
kebutuhan benih berdasarkan varietas yang
dibutuhkan, (4) Melaksanakan perbanyakan benih
sumber BD dan BP melalui kegiatan Balai Benih
kerjasama dengan BPTP Jambi dan Balitkabi; (5)
Meningkatkan pengawasan mutu benih dalam
proses produksi, distribusi dan peredaran benih; (6)
Mengevaluasi setiap saat potensi produksi dan daya
Tabel 1. Profil Kelembagaan Kelompoktani Kooperator
Indikator Keterangan
Jumlah anggota 90
Jumlah anggota aktif 34 (37,8%)
Aktivitas pertemuan rutin kelompok 2 kali/bulan
Aktivitas kerjasama dalam usahatani Gotong royong
Cara penjualan hasil Kelompok
Sumberdana Pinjaman kelompok
Norma dan aturan main kelompok Iyuran Rp 2000/bulan
Sumber : data primer (2018)
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
114
adaptasi setiap varietas di lapangan; (7) Mengamati
dan mengiventarisasi varietas lokal provinsi
berpotensi untuk dikembangkan/dilepas sebagai
varietas unggul
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam
perbenihan antara lain: 1) Kebijakan pemerintah
dengan peraturan perundang–undangan yang belum
mendorong makin kondusifnya industri perbenihan;
2) Rendahnya kesadaran dan daya beli petani dalam
penggunaan benih unggul bermutu; 3) Belum
berfungsinya institusi penyedia benih (BBI) akibat
keterbatasan dalam tenaga profesional, fasilitas
(sarana) penunjang dan sumber dana pendukung
kegiatan perbenihan; 4) Kurang terjaminnya
pemasaran benih (Ilyas dkk. 2008 dan Yardha dkk.
2013). Dengan demikian kegiatan penangkaran
benih memerlukan biaya dan resiko yang tinggi
dibandingkan dengan usahatani untuk konsumsi.
Beberapa hal yang mempengaruhi terhadap
tingginya biaya produksi pada penangkaran benih
antara lain 1) input produksi seperti benih sumber,
pupuk, pestisida 2). biaya tenaga kerja seperti
roguing, panen dan pasca panen 3) sertifikasi dan
pelabelan.
Beberapa permasalahan yang berpotensi
menghambat perkembangan sistem perbenihan
yang memerlukan langkah-langkah perbaikan agar
berpihak terhadap upaya penumbuhan dan
pengembangan industri benih antara lain
penyelarasan peraturan dan kebijakan pusat dan
daerah yang mendorong perkembangan industri
benih, adanya program perbenihan yang terintegrasi
dengan peningkatan kerjasama dan koordinasi antar
institusi perbenihan (Dirjen Pangan, 2005; Yardha
dan Novita N. 2016).
Sistem produksi benih informal dalam
komoditas kedelai dikenal dengan nama Jalinan
Arus Benih Antar Lapang Antar Musim (Jabalsim).
Jabalsim adalah salah satu pola pengadaan dan
penyaluran benih kedelai yang berlangsung secara
alami dan diperkirakan pola tersebut sudah lama
digunakan (Sumarno.1998; Novita Nugraihaeni.
2013). Faktor yang membentuk adanya sistem
Jabalsim di suatu wilayah adalah karena adanya
perbedaan agroekosistem seperti musim, pola
tanama, tipe ekologi (lahan sawah, lahan kering)
dan adanya perbedaan waktu tanam antar daerah.
Sumarno (1998); Novita Nugraihaeni (2013)
menyampaikan beberapa faktor pendorong
terjadinya Jabalsim, yaitu: 1) benih kedelai mudah
rusak dan cepat mengalami kemunduran sehingga
memerlukan cara penyimpanan yang khusus, 2)
benih kedelai yang baru dipanen memiliki daya
tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan benih yang
sudah disimpan, 3) petani di lahan kering dengan
ekonomi yang rendah cenderung cepat menjual
hasil panen, 4) harga benih Jabalsim lebih
terjangkau dan 5) benih hasil Jabalsim dapat
tersedia tepat waktu.
Selanjutnya Valeriana D. (2016)
menerangkan bahwa kedelai disamping memiliki
berbagai keunggulan seperti daya tumbuh yang
tinggi, harga terjangkau dan mudah didapat, benih
yang dihasilkan dari sistem Jabalsim juga memiliki
kelemahan, antara lain asal usul benih tidak jelas,
mutu beragam, penyediaan benih tidak dapat
dipastikan serta produksi dan pengolahan benih
yang tidak sesuai standar. Kebiasaan petani yang
telah mengakar dalam menggunakan benih hasil
Jabalsim yang bermutu rendah, membuat motivasi
untuk menggunakan benih berlabel menjadi
rendah).
Sumarno (1998), Adie MM (2008)
mengemukakan beberapa penyebab sistem
perbenihan formal pada komoditas kedelai di
Indonesia mengalami stagnasi, yaitu:
1. Usahatani kedelai bersifat tanaman sampingan,
sehingga petani belum memikirkan
penggunaan benih bermutu sebagai komponen
utama,
2. Skala usahatani kedelai oleh petani sempit dan
tersebar dalam areal yang terpencar dan waktu
tanam yang tidak serempak, sehingga tidak
kondusif untuk pasar industri benih kedelai,
3. Musim tanam kedelai bersamaan dengan
musim hujan (MH) yang umumnya merupakan
musim paceklik, sehingga petani memiliki modal yang terbatas dan lebih suka
menggunakan benih sendiri,
4. Harga benih kedelai yang diproduksi secara
formal dinilai mahal oleh petani, dan
5. Jaminan mutu benih kedelai yang diproduksi
secara formal belum dapat meyakinkan petani.
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
115
Profil Kelembagaan Petani
Anggota aktif adalah anggota yang selalu
mengikuti kegiatan kelompok seperti pertemuan,
gotong royong dan membayar iuran bulanan. Jika
dilihat jumlah anggota keseluruhan dengan jumlah
anggota aktif dapat disimpulkan bahwa keberadaan
kelompok belum lagi berjalan disiplin dan tidak
adanya aturan sanksi terhadap anggota yang kurang
aktif.
Banyaknya jumlah anggota di Tebo
diransang juga oleh cara penjualan hasil. Hasil
kedelai baik berbentuk kedelai konsumsi maupun
benih dijual secara berkelompok. Ketua kelompok
tani lebih aktif dalam hal pencarian inovasi
teknologi terutama benih sumber varietas unggul
dan mencari peluang pasar. Penjualan hasil petani di
Tebo sudah sampai ke provinsi tetangga seperti
Sumatera Barat dan Riau. Uang iuuran kebanyakan
dipakai untuk kelancaran aktivitas kelompok, jadi
bukan untuk insentif atau honor pengurus.
Kelembagaan penangkaran benih kedelai oleh
kelompoktani Harapan Mulya ini juga membauat
aturan main dalam kelompoknya baik aturan tertulis
maupun tidak tertulis, sebagaimana yang dikatakan
oleh Dove (1985) dalam Syahyuti (2003) bahwa
kelembagaan adalah sebagai aturan dan norma yang
dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat itu
sendiri.
Keberhasilan Tebo sebagai daerah sentra
produksi benih kedelai tidak terlepas dari peran
kelembagaan kelompoktani Harapan Mulya yang
terus berkembang dan mengalami perubahan
perbaikan kinerja internak dan eksternal
kelembagaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Sarasutha (2004) bahwa kelembagaan yang
dibentuk secara terus menerus mengalami
perubahan dan penyempurnaan sesuai dinamika
masyarat . Kelembagaan yang sudah eksis ini perlu
dikembangka secara terus menerus.
Merujuk kepada Hendayana (2016a), maka
sebaran teknologi adopsi teknologi penangkaran
benih kedelai dengan teknologi yang diintroduksi
pada tahun 2016 dan 2017 sebanyak 77 orang dari
jumlah anggota 90 orang atau sebesar 85,6 %.
Sistem Perbenihan Kedelai
Sistem perbenihan dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu nonformal dan formal. Sistem
perbenihan nonformal sudah lama berkembang
tanpa melibatkan pemerintah dan produksen secara
resmi. Petani menggunakan benih tidak bersertifikat
dengan kualitas yang tidak terjamin. Sistem ini
sudah berlansung lama dan berkembang karena
pemerintah sulit menjangkau petani kecil untuk
mendistribusikan benih unggul.
Sistem perbenih formal dimulainya dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden No. 27 Tahun
1971 sebagai dasar pembentukan Badan Benih
Nasional (BBN). Badan ini berfungsi membantu
perencanaan dan penyiapan kebijakan perbenihan.
Ciri-ciri perbenihan formal adalah produksi
dan pemasaran terencana, penggunaan varietas
dengan nama yang jelas dan berasal dari sumber
yang diketahui (bersertifikat), benih dipasarkan
dalam kemasan teridentifikasi dengan informasi
mutu yang jelas, mekanisme pengendalian mutu
jelas, dan pemasaran dilakukan oleh lembaga yang
menangani perbenihan. Pada kondisi ini,
karakteristik petani antara lain berorientasi
komersial, banyak diantara mereka memiliki lahan
lebih dari 0,5 hektar, preferensi dan dan akses
terhadap VUB sangat tinggi, serta tingkat
penggunaan benih bersertifikat cukup tinggi.
Sistem perbenih formal dan informal
tersebut diatas Ini hampir sejalan sebagaimana yang
dikatakan oleh mazanilla, et all (2013) yaitu sistem
perbenihan formal meliputi mekanisme produksi
dan pasokan benih yang diatur dengan metodologi
yang sudah didefinisikan dalam setiap tahapan
perbanyakannya, pengolahan, distribusi,
transportasi dan penyimpanan benih serta didukung
dan diatur oleh undang-undang atau peraturan
pemerintah (Kementerian Pertanian) dan
metodologi standardisasi internasional. Sementara
sistem perbenihan informal adalah sistem dimana
petani sendiri yang menghasilkan benih (bagian
tertentu dari hasil panen mereka sendiri),
menyebarkan atau mengakses benih benih secara
langsung melalui pertukaran/barter, atau membeli
dari dalam komunitas mereka atau desa terdekat
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
116
melalui keluarga, teman, dan tetangga. Kualitas
benihnya berbeda-beda dan perbedaan antara benih
dan calon benih tidak selalu jelas.
Status penangkaran benih kedelai disebut
formal apabila ikut dalam kegiatan pemerintah
melalui produsen benih PT Pertani atau PR Sang
Yang Seri. Sebaliknya dikatakan nonformal apabila
menghasilkan benih hanya untuk kelebihan sendiri
atau terbatas untuk petani dalam kelompoknya.
Pada umumnya pelaksanaan penangkar
benih bermitra dengan produsen karena usaha ini
membutuhkan biaya yang relative besar, selain ada
pendampingan teknologi dari produsen akan
mendampingi penangkar dalam penggunaan benih
sumber dan budidaya, berupa jenis dan dosis pupuk
serta jenis pestisida yang tepat dan efisien. Calon
benih yang dihasilkan penangkar memperoleh
sertifikat melalui pengawalan BPSB TPH, mulai
dari pemilihan lokasi, penanaman, pemeliharaan,
panen hingga pembuatan label sertifikasi.
Pelatihan dan Pemberdayaan Petani
Pemenuhan kebutuhan benih kedelai
bermutu dapat dilakukan salah satunya dengan
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan serta
meningkatkan kapasitas penangkar benih lokal.
Penyediaan benih melalui penangkar benih lokal
diharapkan akan mampu mempercepat diseminasi
dan distribusi varietas unggul baru dan benih
bermutu. Peningkatan keterampilan dan
pengetahuan petani dilakukan melalui kerjasama
produksi benih bersama petani-petani kooperator
serta melalui pelatihan-pelatihan dengan
mendatangkan narasumber yang kompeten
dibidang perbenihan. Analisis usahatani
perbanyakan benih dilakukan untuk melihat
keuntungan usaha yang dapat diterima oleh petani
penangkar dalam produksi benih. Pelatihan petani
penangkar dilakukan tidak hanya di lokasi kajian
tetapi petani penangkar juga dilatih di Balitkabi
Malang.
Preferensi Petani terhadap Varietas Anjasmoro
Analisis preferensi sebaran dan tingkat
adopsi teknologi perbanyakan benih kedelai
dilakukan dengan survey terhadap konsumen
kedelai, petani kedelai, serta pedagang benih
kedelai. Survey dilakukan dengan metode purposive
dengan melibatkan 50 orang responden. Data yang
dikumpulan meliputi faktor-faktor yang
mempengaruhi preferensi petani terhadap varietas
kedelai.
Kinerja Kelompok Memproduksi Benih Sumber
Kedelai Kegiatan Unit Pengelolaan Benih Sumber
(UPBS) Kedelai FS mengunakan varietas
Anjasmoro seluas 3 hektar yang dilaksanakan
sebanyak 3 orang petani penangkar (Tabel 1).
Kegiatan berlokasi pada kelompok tani Harapan
Mulya, Desa Dusun Baru Kecamatan VII Koto,
Tabel 2. Penampilan penangkaran benih kedelai di Desa Dusun Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten
Tebo, Provinsi Jambi, 2017
No Nama Penang-kar
Persentase
tumbuh
(%)
T inggi
Tanaman
(cm)
Umur
Bunga
(hr)
Jumlah
Cabang
(bh)
Jumlah
polong
bernas
(bh)
1 Blok I 89,0 79,0 31 5 90
2 Blok II 90,0 78,5 30 5 111
3 Blok III 88,0 77,3 30 4 97
Rata-rata 89,0 78,3 30,3 4,6 99,3
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
117
Kabupaten T ebo. Pelaksanaan kegiatan melibatkan
dua kelompok tani, yang bertangggung jawab
melakukan pekerjaan mulai penyiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen
sesuai dengan teknologi yang diterapkan. Pemilihan
lokasi yang sesuai merupakan langkah awal yang
menetukan keberhasilan kegiatan penangkaran
benih kedelai. Agar resiko kegagalan dapat
dihindari atau diperkecil, maka lokasi diarahkan
pada kondisi yang sesuai untuk budidaya tanaman
kedelai.
Keragaan pertanaman kedelai yang dikelola
dengan teknik budidaya anjuran jauh lebih baik
dibandingkan pertumbuhan kedelai pet ani,
meskipun sudah dipupuk dengan Urea, SP -36, dan
kadang-kadang disertai juga dengan KCl dengan
dosis yang sama dengan yang dianjurkan.
Penggunaan benih yang berkualitas baik, serta
adanya penambahan pupuk kandang dan dolomit
menjadi penyebab utama perbedaan keragaan
pertumbuhan tanaman (Tabel 2).
Penampilan tanaman kedelai varietas
Anjasmoro pada saat awal pertumbuhan umur 7 hari
setelah tanam memperlihatkan pertumbuhan yang
baik dan bagus, dengan penampilan yang menarik,
alur dan barisan tanaman yang lurus dan jelas.
Penampilan tanaman terhadap serangan hama ulat
gerayak masih dibawah ambag ekonomis/masih
relatif rendah (>15%), sehingga petani cukup
dibimbing dengan pengendalian secara mekanis,
apabila serangan melebihi ambang batas maka
pengendalian akan dilakukan dengan menggunakan
insektisida, sehingga tidak mempengaruhi masa
pengisian polong. Pada perkembangan selanjutnya
terjadi staknasi, tanaman memanjang dan menjalar
sehingga pengisian polong tidak sempurna. Hal ini
diduga varietas Anjasmoro pada saat penanaman
cuaca banyak mendung/kurang cahaya akibatnya
tanaman pertumbuhannya tidak sempurna.
Pengamatan terhadap umur berbunga
terlihat tanaman mengeluarkan bunga dengan
kisaran umur 33 - 35 HST hal ini sesuai dengan
deskripsi dari varietas Anjasmoro.
Anjasmoro berkisar antara 79,5 – 81,3 cm, hal ini
terlihat bahwa dengan pemupukan P dan
pengelolaan bahan organik dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai
secara berkelanjutan. Sebagian besar tanah-tanah di
daerah tropik membutuhkan P dalam jumlah besar
yang diperlukan tanaman kedelai relatif kecil
dibanding kebutuhan terhadap unsur N, K dan Ca,
tetapi beberapa hasil penelitian P menunjukkan
adanya peningkatan hasil pada tanaman kedelai.
Disamping itu pemberian kapur akan meningkatkan
kebutuhan tanaman terhadap unsur makro maupun
mikro. Oleh sebab itu pemupukan N, P dan K sangat
diperlukan. Penerapan teknologi yang sesuai
dengan anjuran akan memberikan hasil yang
maksimal terhadap kemurnian benih kedelai.
Pemeliharaan mutu genetik varietasnya
dilakukan dengan cara rouging pada saat tanaman
berumur 15-20 HST, fase berbuga dan fase masak
fisiologi yaitu membuang tanaman yang ciri-ciri
morfologisnya menyimpang dari ciri-ciri varietas
tanaman yang benihnya diproduksi. Pada umur 15-
20 hst komponen yang diamati adalah warna
hipokotil, hipokotil hijau akan menghasikan bunga
berwarna putih, sedangkan hipokotil ungu akan
menghasilkan bunga berwarna ungu. Pada fase
Table 3. Produksi benih di Desa Dusun Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi,
2017
No. Perlakuan Luas Tanam
(ha)
Berat 100 biji
(grm)
Produksi (kg) % lulus
Uji Lulus
1. Blok A 1,0 13,5 1,400 1.000 71,4
2. Blok B 1,0 12,8 1,200 700 58,3
3. Blok C 1,0 13,6 1,300 900 69,2
Rata-rata 1,0 13,2 1,300 867 66,3
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
118
berbunga, bunga yang terlalu menyimpang dari
tanaman dominan maka tanaman tersebut segera
dibuang. Demikian juga pada fase masak fisiologis,
tanaman yang menyimpang dari tanaman dominan
segera dicabut. Jumlah cabang per rumpun berkisar
antara 5 – 6 buah, sedangkan jumlah polong bernas
berkisar antara 101 - 119 biji. Terjadinya perbedaan
antara blok pertanaman ini disebabkan oleh
perbedaan kondisi lingkungan tumbuh tanaman.
Hasil Pengamatan rata-rata umur panen, jumlah
polong bernas dan jumlah polong bernas sangat
ditentukan oleh karakter varietas yang ditanam .
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa perbedaan
lingkungan tumbuh sangat berpengaruh terhadap
jumlah polong perumpun tanaman kedelai. Rata-
rata jumlah polong per rumpun dan jumlah polong
bernas diduga akibat keseragaman unsur hara pada
setiap lingkungan tumbuh tanaman kedelai. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah terintegrasi
dengan peningkatan kerjasama dan
koordinasi antar institusi perbenihan (Dirjen
Pangan, 2005; Yardha dan Novita N. 2016).
Sistem produksi benih informal dalam
komoditas kedelai dikenal dengan nama Jalinan
Arus Benih Antar Lapang Antar Musim (Jabalsim).
Jabalsim adalah salah satu pola pengadaan dan
penyaluran benih kedelai yang berlangsung secara
alami dan diperkirakan pola tersebut sudah lama
digunakan (Sumarno.1998; Novita Nugraihaeni.
2013). Faktor yang membentuk adanya sistem
Jabalsim di suatu wilayah adalah karena adanya
perbedaan agroekosistem seperti musim, pola
tanama, tipe ekologi (lahan sawah, lahan kering)
dan adanya perbedaan waktu tanam antar daerah.
Sumarno (1998); Novita Nugraihaeni (2013)
menyampaikan beberapa faktor pendorong
terjadinya Jabalsim, yaitu: 1) benih kedelai mudah
rusak dan cepat mengalami kemunduran sehingga
memerlukan cara penyimpanan yang khusus, 2)
benih kedelai yang baru dipanen memiliki daya
tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan benih yang
sudah disimpan, 3) petani di lahan kering dengan
ekonomi yang rendah cenderung cepat menjual
hasil panen, 4) harga benih Jabalsim lebih
terjangkau dan 5) benih hasil Jabalsim dapat
tersedia tepat waktu.
Tabel 1. Profil Kelembagaan Kelompoktani Kooperator
Indikator Keterangan
Jumlah anggota 90
Jumlah anggota aktif 34 (37,8%)
Aktivitas pertemuan rutin kelompok 2 kali/bulan
Aktivitas kerjasama dalam usahatani Gotong royong
Cara penjualan hasil Kelompok
Sumberdana Pinjaman kelompok
Norma dan aturan main kelompok Iyuran Rp 2000/bulan
Sumber : data primer (2018)
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
119
polong per rumpun dan berat biji kering per hektar Tabel 4. Analisa biaya usaha penangkaran benih kedelai per hektar pada Kelompoktani
Harapan Mulya, 2018
Uraian Jumlah Harga/unit Nilai
% (HOK, kg) (Rp) (Rp.)
Benih Sumber (BD) 40 25.000 1.000.000 8,52
Pupuk 1.635.000 13,93
Pupuk NPK Ponska 200 3.000 600.000
Pupuk SP-36 50 3.000 150.000
Herbisida (ltr) 4 75.000 300.000
Insektisida (kg) 2 250.000 500.000
Fungisida (kg) 1 85.000 85.000
Tenaga Kerja 6.500.000 55,39
Persiapan lahan (pria) 10 75.000 750.000
Tanam (pria) 4 75.000 300.000
Tanam (Putri) 10 50.000 500.000
Pemupukan 4 75.000 300.000
Pengendaliah H & P 12 75.000 900.000
Penyiangan dan Roguing 30 75.000 2.250.000
Pemeriksaan oleh BPSPT 6 75.000 450.000
Panen, jemur, angkut (pria) 10 75.000 750.000
Panen, jemur dan angkut 6 50.000 300.000
Pengolahan benih 2.250.000 19,17
Perontokan dan jemur 6 75.000 450.000
Pengeringan 18 75.000 1.350.000
Pengepakan 5 75.000 375.000
Pelabelan 1 75.000 75.000
Biaya lainnya 350.000 2,98
Uji laboratorium (paket) 1 50.000 50.000
Cetak label (paket) 1 300.000 300.000
Jumlah 11.735.000 100,00
Produksi Benih 1300 12.000 15.600.000
Produksi Konsumsi 433 6.000 2.598.000
Jumlah 18.198.000
Keuntungan 6.463.000
TIP (kg/ha) 977,9
TIH (Rp / kg) 9.799,2
R/C 1,63
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
120
tertinggi Rata-rata tinggi tanaman varietas
tergantung dapat pada yang diusaahakan
(Yardha. dkk. 2013) (Tabel 2).
Hasil pengamatan terhadap berat 100 butir
biji kering menunjukkan rata-rata 13,2 gram per 100
biji. Berat biji dipengaruhi factor genetik dan oleh
lingkungan pada saat pembentukan biji (Tabel 2).
Hasil pengamatan terhadap berat biji kering
kedelai per hektar terlihat bahwa perbedaan antar
blok pertanaman sangat dipengaruhi oleh blok
pertanaman yang diusahakan. Berat biji kering
kedelai per hektar terlihat ada perbedaan, di mana
berat biji kering benih pada blok A sebesar 1.000
kg/ha, sedangkan blok B sebesar 700 kg/ha
sedangkan Blok C sebesar 900 kg/ha. Perbedaan
antra Blok pertanaman disebabkan oleh habitus
tanaman dan keadaan faktor lingkungan. Salah satu
yang diperhatikan didalam membudidayakan
tanaman kedelai terutama dalam hubungannya
untuk peningkatan produksi antara lain adalah
melalui penggunaan lokasi tumbuh. Hasil kegiatan
menunjukkan bahwa masing-masing Blok
memperlihatkan pertumbuhan dan hasil yang
berbeda.
Pada kedua usahatani ini, upah merupakan
pengeluaran usahatani yang lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran biaya untuk
pembelian bahan. Pada usahatani konsumsi biaya
yang harus dikeluarkan untuk upah sebesar 73,04%
, sedangkan biaya untuk pembeliaan bahan sarana
produksi hanya sebesar 26,96%. Sama halnya
dengan usahatani produksi benih, dimana biaya
yang dikeluarkan untuk upah sebesar 63,87%,
sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian
sarana produksi sebesar 36,13%. Besarnya upah
yang dikeluarkan pada usahatani eksisting
dibandingkan dengan usahatani teknologi
introduksi disebabkan rendahnya efisiensi usahatani
pada teknologi eksisting, terutama pada
pengeluaran biaya persemaian yang dua kali pindah.
Berdasarkan latar belakang, kondisi dan
permasalahan perbenihan kedelai di Provinsi Jambi,
maka untuk ketersediaan benih secara 5 (lima) tepat
perlu dilakukan implikasi kebijakan mengenai: 1)
rekayasa dan dan penerapan aturan main (rule of
game), , 2) Pengembangan dan rekayasa
kelembagaan penangkar benih kedelai, peningkatan
pengetahuan dan keterampilan petani dalam
teknologi perbanyakan benih, morfologi dan sayarat
tumbuh kedelai,, 3) Ketua kelompok penangkar
harus mempunyai pemikiran dan wawasan bisnis
yang kuat, 4) Kecukupan ktersediaan benih sumber
dari lembaga penelitian atau balai benih, dan 5)
Penumbuhan dan pengembangan penangkar baru
dan peningkatan kapasitas produksi benih dari
penangkar yang telah ada..
Sumberdaya lahan yang dimiliki kelompok
ini adalah lahan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Pertanaman kedelai tidak monokultur tetapi
melainkan sebagai tumpangsari pada tanaman
coklat, jeruk, karet dan kelapa sawit yang belum
menghasilkan. Setiap tahunnya sebagian
lahan pertanaman kedelai terkena banir luapan
sungai Batang Hari. Bagi petani banjir dianggap
menambah kesuburan lahannya karena membawa
lumpur dan humus. Petani dapat melakukan
penanaman kedelai 2-3 kali setahun. Hasil
pengkajian oleh Adri dan Yardha (2010) didapatkan
perbedaan musim tanam dengan Agroekosistem
lahan pasang surut lahan hanya dapat ditanami satu
kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei – Juni
setiap tahunnya.
Upaya pengembangan kelembagaan
penangkar benih kedelai salah satunya melalui
pemanfaatan sistem informasi baik berbasis web
ataupun SMS dengan tujuan memperlancar dan
mempercepat serta mengurangi biaya pemasaran.
Kebutuhan pengguna sistem informasi perbenihan
dalam kegiatan pemasaran didorong oleh semakin
tingginya tuntutan akses terhadap infromasi yang
cepat, mudah dan hemat biaya. Beberapa informasi
dasar yang dapat dimuat dalam web untuk promosis
benih antara lain ; ketersediaan benih, kelas benih,
varietas, harga dan kontak person.
Kelompok tani penangkar benih kedelai
harapan Mulya yang menjadi andalan untuk
memproduksi benih perlu terus ditingkatkan atau
mengadakan perubahan kearah yang lebih
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
121
produktif. Perubahan aspek organisasi sosial dengan
kata lain perlu mengintroduksikan unsur-unsur
kelembagaan baru yaitu dengan strukturisasi
organisasi. Merujuk kepada Uphoff (1986) dalam
Syahyuti (2003) bahwa suatu organisasi baru
dimulai dimulai dengan perubahan peran, untuk
kemudiaan mengharapkan diikuti oleh perubahan
nilai-nilai baru
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian ini dapat diambil
beberapa kesimpulan antara lain;
Provinsi Jambi sebagai salah satu sentra
produksi kedelai nasional belum mampu mandiri
dalam hal penyediaan benih bermutu dan
berlabel. Selama ini benih didatangkan dari luar
daerah terutama dari Jawa dan Lampung.
Rendahnya produktivitas kedelai di tingkat
petani disebabkan penggunaan benih yang
kurang bermutu dan tidak berlabel serta tidak
menerapkan teknologi budidaya rekomendasi
BPTP Jambi melalui UPBS melakukan
akselerasi percepatan mandiri benih benih kedelai tingkat prvinsi sekaligus sebagai upaya meningkatkan produktivitas kedelai
Hasil kajian UPBS kedelai tahun 2018 menghasilkan benih Foundation Seed (FS)
sebanyak 2,6 ton dan kemudiaan ditangkarkan lagi sehingga memperoleh benih Stock Seed (SS) sebanyak 53,7 ton.
Secara finansial usahatani penangkaran benih
kedelai layak dengan indicator R/C 1,63, TIP
977,91 kg/ha, dan TIH Rp 9779,2 / kg.
Keuntungan usahatani memproduksi benih lebih
tinggi Rp 8.350.000,-/ha/musim tanam
dibandingkan dengan keuntungan usahatani
kedelai konsumsi.
Difusi teknologi budidaya penangkaran benih
kedelai 76,7 % - 85,6 %.
DAFTAR PUSTAKA
Adie. M.M., 2013. Varietas unggul kedelai di
Indonesia. Makalah disampaikan pada
Worshop Teknik Produksi Benih Kedelai
Bagi Petugas UPBS dan Penangkar Benih.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Balitkabi
Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.
Adie. M.M., dan Yardha. 2008. Pengembangan
Kedelai di Provinsi Jambi Melalui
Penyediaan Varietas Spesifik Lokasi.
Prosiding Lokakarya Nasional Percepatan
Penerapan IPTEK dan Inovasi Teknologi
Mendukung Ketahanan Pangan dan
Revitaslisasi Pembangunan Pertanian Jambi, 11-12 Desember 2007.
Adri dan Yardha. 2010. Kajian usahatani benih
kedelai (Glizyn max. L) lahan pasang surut.
Prosiding Seminar Nasional. Teknologi
Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan dan
Agribisnis Perdesaan. Buku II. Kerjasama
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Pertanian dengan Pemerintah Daerah
Provinsi Papua. Jayapura, 7-8 Oktober 2010. ISBN : 978-979-1415-57-6.
Badan Benih Nasional (BBN). 2012. Prosedur
Pelepasan Varietas Tanaman Pangan. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum
Produksi Benih Sumber Kedelai. Badan
Peneitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih. 2009.
Realisasi Sertifikasi dan Produksi Benih
Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang
Tanah.Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi.
Balitbangtan. 2013. Inovasi Benih Mendukung
Sukses Usahatani Kedelai. Booklet Agro
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123
122
Inovasi. Sinar Tani Edisi 3-9 April 2013; 16
hlm.
Darman M. dkk. 2007. Pemberdayaan Kelompok
Tani Sebagai Penangkar Benih Padi dan
Palawija. Proseding Lokakarya Nasional
Akselerasi Diseminasi Inovasi Teknologi
Pertanian Mendukung Pembangunan
Berawal Dari Desa. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dep.Pertanian. 2007.
Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Umum
PTT Kedelai. Departe-men Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dinas Pertanian Provinsi Jambi. 2014. Sasaran Produksi Tanaman Pangan Tahun 2014.
Ditjentan Pangan. 2005. Kebijakan Perbenihan
Tanaman Pangan. Seminar Nasional: Peran
Perbenihan dalam Revitalisasi Pertanian.
Kerjasama Departemen Pertanian dan
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 23 November 2006. Bogor.
Harnowo, D., Hidaya, JR., dan Suyamto. 2007.
Kedelai: Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Hendayana R,. 2016 a. Persepsi dan Adopsi
Teknologi. Pandangan Teoritis dan Praktek
Pengukuran. Penerbit: IAARD Press. Badan
litbang Pertanian. Jl. Ragunan No. 29 Pasar
Minggu Jakarta Selatan, 12540. Anggota IKAPI No. 4451/DKI/2012.
Hendayana R,. 2016 b. Analisis Data Pengkajian.
Cerdas dan Cermat Menggunakan Alat
Analisis Data Untuk Karya Tulis Ilmiah..
Penerbit: IAARD Press. Badan itbang
Pertanian. Jl. Ragunan No. 29 Pasar Minggu
Jakarta Selatan, 12540. Anggota IKAPI No. 4451/DKI/2012.
Ilyas, Satrias, Memen Surahmen, Suwarto, Sriani
Sujiprihati, Y. R. Hidayat, dan Adi Wijono.
2008. Evaluasi Kinerja Sistem Perbenihan.
Seminar Nasional Perbenihan dan Kelembagaan. II-32 – 42.
International Seed Testing Association. 2007.
International Rules for Seed Testing . Ed 2007. ISTA. Zurich. Switzerland.
Manzanilla, Digna O., Joel D, Janiya., and David E.
Jhonson. 2013. Penterjemah Zulkifli Zaini,
Hermanto dan Diah Wurjandari. Membangun
Sistem Perbenihan Berbasis Masyarakat.
Manual Pelatihan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Marwoto, 2013. Hama kedelai dan
pengendaliannya. Makalah disampaikan pada
Worshop Teknik Produksi Benih Kedelai
Bagi Petugas UPBS dan Penangkar Benih.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Balitkabi Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.
Novita Nugrahaeni. 2013. Produksi Benih Sumber
Kedelai. Makalah disampaikan pada
Worshop Teknik Produksi Benih Kedelai
Bagi Petugas UPBS dan Penangkar Benih.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Balitkabi Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.
Puslitbangtan. 2015. Hama, Penyakit, dan Masalah
Hara pada Tanaman Kedelai. Identifikasi dan
Pengendaliaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IAARD PRESS
Sarasutha, IGP. 2004. Inovasi Teknologi Padi dan
Kelembagaan Pendukung (Upaya dan
Masalah Penerapannya). Orasi Pengukuhan
Ahli Peneliti Utama. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor 29 Maret 2004.
Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)
123
Sumarno. 1998. Penyediaan benih berdasarkan
adaptasi varietas kedelai pada agroklimat
spesifik. Dalam : Roesmiyanto, Sumarno dan
Takhesi Nabeta, editor. Prosiding Lokakarya
Sistem Produksi dan Peningkatan Mutu
Benih Kedelai di Jawa Timur; Malang, 27 Juli 1998. Malang. 1-12.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan.
Strategi Pengembangan dan Penerapannya
dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Taufiq Abdullah, 2013. Masalah hara dan
pemupukan spesifik lokasi pada tanaman
kedelai. Makalah disampaikan pada Worshop
Teknik Produksi Benih Kedelai Bagi Petugas
UPBS dan Penangkar Benih. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Puslitbangtan Bogor. Balitkabi Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.
Taufiq, A dan H. Kuntiyastuti, 2005. Pemupukan
dan pengapuran pada verietas kedelai toleran
lahan masam di Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24(3):6-11.
Valeriana Darwis. 2016. Industri Perbenihan dan
Peluan Usaha Penangkaran Benih Kedelai.
Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Volume 38, Nomor 1 Tahun 2016.
ISSN 2016-4427.
Wahyuni, Sri. 2010. Integritas Kelembagaan Petani
Gapoktan dan P3A. Iptek Tanaman Pangan
Volume 5 Nomor 1 Juli 2010. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal : 89-101
Yardha dan Novita N 2016 Kedelai. Teknologi
Perbanyakan Benih Kedelai. Penerbit Kristal Multimedia. ISBN: 978-602-71644-4-4.
Yardha dan Nur Asni. 2011. Peningkatan kapasitas
penangkaran benih kedelai melalui teknologi
budidaya di lahan pasang surut Provinsi
Jambi. Prosiding Seminar Nasional
Akselerasi Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan Berbasis Inovasi dan Sumberdaya
Lokal. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 2011. ISBN:978-979-1415-72-9.
Yardha, Erwan Wahyudi dan Adri. 2016. St rategi
Pengembangan Kawasan Kedelai di
Kabupaten Tebo. Dalam Bunga Rampai
Menguak Potensai Teknologi Spesifik Lokasi
Guna Mencapai Kesejahteraan Petani.
Pendekatan Pengkajian, dan Pendukung
Teknologi Untuk Ketahanan Pangan.
Diterbitkan oleh CV. Kristal Media. Anggota
IKAPI No. 005/SBA/04. Cetakan Pertama
Mei 2016. ISBN : 978-602-74371-1-1.
124
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019
Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
125
UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI DI LAHAN DATARAN MEDIUM KABUPATEN GARUT
Irma Noviana , Yati Haryati , dan Bebet Nurbaeti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,
Jl. Kayu Ambon No.80 Lembang Indonesia. varietas, padi, dataran medium
Email : [email protected]
ABSTRACT
Performance and Production Potential of New Superior Rice Variety in Medium Land of Garut District Superior
varieties is a very important cultivation component for increasing rice production. The aim of the study is to know
growth performanced and potential production of several varieties of rice in medium land of Garut District. The
experiment was conducted in Garut district on May to August 2016 in irrigated rice fields. Eight varietie used were
Inpari 7, Inpari 28, Inpari 29, Inpari 30, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, and Situ Patenggang. The applied technology was Integrated Crop Management (PTT) of rice. Observed variables: agronomic characteristics of the crop (plant height,
productive seedlings, productivity, length of panicles), and yield components (number of grain content and hollow per
panicle, weight of 1000 grains). The results showed that several varieties has good performance of high number of
productive seedling and good yield components that support to high potential production. They are Inpago 7 for raifed
varieties and Inpari 7, 28, 29 and 30 for irrigated land varieties.
Keywords : rice, variety, medium land
ABSTRAK
Varietas unggul merupakan komponen budidaya yang sangat penting bagi peningkatan produksi padi. Tujuan
pengkajian adalah mengetahui keragaan pertumbuhan dan potensi hasil beberapa VUB padi di lahan dataran medium
Kabupaten Garut. Pengkajian dilaksanakan di desa Cikembulan Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut pada Bulan
Mei hingga Agustus 2016 di lahan sawah irigasi. Varietas padi yang digunakan terdiri dari 8 varietas yaitu Inpari 7,
Inpari 28, Inpari 29, Inpari 30, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, dan Situ Patenggang. Teknologi yang diterapkan adalah
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. Peubah yang diamati: Karakteristik agronomis tanaman (tinggi tanaman,
jumlah anakan produktif, produktivitas, dan panjang malai) serta komponen hasil (jumlah gabah isi dan hampa per
malai, bobot 1.000 butir). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa VUB yang diuji memiliki karakter yang
cocok untuk dikembangkan di dataran medium Kabupaten Garut karena memiliki jumlah anakan produktif yang banyak
dengan komponen hasil yang baik menunjang terhadap potensi produksi yang tinggi seperti varietas Inpago 7 untuk
padi gogo dan varietas Inpari 7, 28, 29 dan 30 untuk padi sawah.
Kata kunci : padi, varietas, dataran medium
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:125-130
126
PENDAHULUAN
Tanaman padi merupakan komoditas
strategis tanaman pangan yang berperan penting
dalam ketahanan pangan nasional. Propinsi Jawa
Barat merupakan salah penyumbang besar bagi
produksi padi nasional. Produksi padi Jawa Barat
pada tahun 2015 mencapai 11.373.234 ton GKG.
Produksi padi Jawa Barat pada tahun 2015
mengalami penurunan sebanyak 271.665 ton GKG
atau turun sebesar 2,33% dibandingkan tahun 2014.
Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh
penurunan luas panen sebesar 6,17%, sedangkan
produktivitas mengalami peningkatan sebesar
4,08% (BPS Jawa Barat 2016).
Di Jawa Barat, sektor pertanian dalam
struktur perekonomian menempati posisi ketiga
terbesar setelah sektor industri dan perdagangan.
Namun demikian, Provinsi Jawa Barat merupakan
salah satu sentra produksi padi dengan kontribusi
terbesar terhadap produksi beras nasional dengan
kontribusi rata-rata 17,6% selama kurun waktu
2001-2010 (BPS Jawa Barat, 2010; Diperta Provinsi
Jawa Barat, 2010).
Namun akhir-akhir ini laju peningkatan
produktivitas padi semakin lambat sehingga
pertumbuhan produksi padi juga semakin lambat.
Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi
ketahanan pangan nasional karena berdampak pada
kekurangan beras dimasa yang akan datang,
mengingat kebutuhan beras nasional terus
meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk dan meningkatnya konsumsi beras per
kapita.
Secara agronomis, peningkatan produktivitas
padi disebabkan dua faktor, yaitu : (1)
meningkatnya penggunaan varietas padi yang
berdaya produksi lebih tinggi, dan (2)
meningkatnya mutu usahatani yang dilakukan
petani, seperti cara pengolahan tanah, cara
penanaman, cara pemupukan dan sebagainya.
Penggunaan varietas padi berdaya produksi tinggi
sangat menentukan produktivitas potensial atau
potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi
petani menjadi produktivitas aktual. Berdasarkan
pengamatan di lapangan bahwa selama ini varietas
padi yang masih dominan berkembang di Jawa
Barat adalah varietas IR 64, Ciherang dan
Mekongga dengan rata-rata produktivitas 5,88 t ha-
1(BPS Jawa Barat 2016).
Hingga saat ini Balitbangtan melalui Balai
Besar Penelitian Padi (BB Padi) Sukamandi telah
merakit berbagai varietas Inpari yang memiliki
karakter ketahanan terhadap hama penyakit dan
berdaya hasil t inggi. Potensi hasil setiap VUB akan
berbeda-beda tergantung dari kesesuaian kondisi
lingkungan (spesifik lokasi). Pengkajian bertujuan
melakukan uji adaptasi beberapa VUB padi di
sentra padi Jawa Barat di lahan dataran medium
Kabupaten Garut.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilaksanakan pada musim tanam
kedua bulan Juni hingga September 2016 di Desa
Cikembulan Kecamatan Kadungora Kabupaten
Garut (650-700 mdpl). Kegiatan dilaksanakan
dalam bentuk demplot teknologi Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) padi seluas 2 hektar.
Percobaan dilaksanakan dengan
menggunakan metode pengujian lapang (field
experiment). Rancangan lingkungan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Perlakuan yang diuji terdiri dari 8 varietas
padi yaitu 4 varietas padi gogo (Inpago 7, Inpago 8 ,
Inpago 9, dan Situ Patenggang) serta 4 varietas padi
sawah (Inpari 7, Inpari 28, Inpari 29, dan Inpari 30)..
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga
kali, sehingga jumlah kombinasi perlakuan yang
diuji sebanyak 24 petak perlakuan.
Pelaksanaan kegiatan:
1. Sebelum disemai, benih padi direndam terlebih
dulu selama 24 jam pada air mengalir,
kemudian dikecambahkan selama 2 malam.
Benih yang baik akan memunculkan radikula
berwarna putih pada benih yang berkecambah.
2. Pupuk kandang sebanyak ±2 ton/Ha
diaplikasikan saat pengolahan tanah. Pupuk
kandang diberikan untuk memperbaiki struktur
tanah, sehingga memudahkan penyerapan hara
tanah oleh tanaman padi. Selain itu, untuk
mengetahui tingkat kesuburan dan status hara
tanah, maka dilakukan analisis sampel tanah
sebagai bahan rekomendasi dosis pupuk N, P,
dan K yang akan diberikan pada tanaman padi.
Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
127
Analisis sampel tanah dilakukan menggunakan
perangkat uji tanah sawah (PUTS). Hasil uji
PUTS dan rekomendasi pemupukan yang
diberikan disajikan selengkapnya pada Tabel
1.
3. 4. Benih ditanam pada umur 17 hari setelah semai
(hss).
5. Pemupukan diberikan sebanyak tiga kali yaitu
pada umur 10 hari setelah tanam (hst) dengan
dosis 1/3 urea + 2/3 NPK phonska, pemupukan
kedua umur 30 hst dengan dosis 1/3 urea + 1/3
NPK phonska, pemupukan ketiga umur 45 hst
pemberian urea sesuai dengan pengamatan
Bagan Warna Daun (BWD). Pupuk
diaplikasikan dengan cara disebar merata di
antara rumpun legowo padi.
6. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan adalah
penyiangan dan pengendalian OPT sesuai
dengan tingkat serangan di lapangan.
Pengamatan agronomis tanaman padi
dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman (cm)
dan jumlah anakan. Sedangkan karakter hasil dan
komponen hasil yang diamati meliputi :
produktivitas (t ha-1), jumlah malai per rumpun,
jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per
malai, bobot 1000 butir.
Selanjutnya data dianalisis menggunakan
Anova dan uji DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah
Desa Cikembulan Kecamatan Kadungora
Kabupaten Garut terletak pada ketinggian tempat
650-700 m dpl dengan topografi kemiringan lahan
sekitar 8-25%, memiliki jenis tanah andosol,
podsolik dan regosol, pH tanah agak masam (5,5-
6,5). Rata-rata curah hujan pada 10 tahun terakhir
mencapai 2.589 mm/tahun, dan kisaran suhu 24oC-
27 oC.
Karakter Agronomis Tanaman
Tinggi tanaman dan jumlah anakan
Hasil analisis varians terhadap karakter agronomis
tanaman yang diamati bahwa karakter tinggi
tanaman dan jumlah anakan dari 8 varietas yang
diuji berbeda (P<0.05) (Tabel 2). T inggi tanaman
merupakan salah satu karakter yang dijadikan
sebagai indikator pertumbuhan. T inggi tanaman
berkaitan dengan tingkat kerentanan tanaman
terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman
merupakan salah satu karakter morfologis tanaman
yang mudah diturunkan dan tidak berubah dalam
waktu singkat dan nilai heritabilitasnya tinggi
(Austin, 1993).
Sejalan dengan pendapat Mildaerizanti (2008) dan
Sutaryo (2012) bahwa perbedaan tinggi tanaman
lebih ditentukan oleh faktor genetik, di samping
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh
tanaman. Berdasarkan Standard Evaluation System
for Rice (SES) bahwa tinggi tanaman digolongkan
menjadi 3 kriteria, yaitu pendek (<110 cm untuk
padi sawah dan <90 cm untuk padi gogo), sedang
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Lahan Sawah di Desa Cikembulan Kecamatan Kadungora Kabupaten
Garut, MT 2 2016.
Hara Kategori Rekomendasi
Nitrogen Rendah NPK Phonska (15-15-15) : 250 kg/ha + urea
100 kg/ha
Phospor T inggi SP 36 : 50-75 kg / Ha
Kalium Tinggi KCl : 50 kg /ha (5 ton jerami/ha)
pH Agak masam (5-6) Sistem drainase konvensional
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:125-130
128
(110-130 cm untuk padi sawah dan 90-125 cm
untuk padi gogo), dan tinggi (>130 cm untuk padi
sawah dan >125 cm untuk padi gogo) (IRRI, 2013).
Rata-rata tinggi tanaman padi dari 8 varietas yang
diuji berkisar antara 85 cm sampai >100 cm. Pada 4
varietas padi gogo yaitu Inpago 7, 8, 9, dan Situ
Patenggang tinggi tanaman padi tergolong sedang
(99 - 119 cm). Sedangkan untuk varietas padi sawah
yaitu Inpari 7, 28, 29, dan 30 memiliki tinggi
tanaman yang tergolong pendek berkisar antara 83 -
99 cm.
Produktivitas tanaman padi antara lain diukur
dari jumlah anakan produktif yang terbentuk.
Berdasarkan data hasil pengamatan di lapangan,
bahwa rata-rata jumlah anakan produktif varietas
padi gogo (Inpago 7, 8, 9, dan Situ Patenggang)
lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata jumlah
anakan produktif varietas padi sawah. Data jumlah
anakan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas
padi gogo memiliki jumlah anakan produktif <15
batang, sedangkan varietas padi sawah memiliki
jumlah anakan produktif > 15 batang dan terbanyak
adalah varietas Inpari 28 sebanyak 32 batang.
Menurut Silitonga et al., (2003), kriteria jumlah
anakan padi dapat digolongkan dalam 5 tipe,
yaitu sangat banyak (>25 anakan/tanaman), banyak
(20-25 anakan/tanaman) sedang (10-19
anakan/tanaman), sedikit (5-9 anakan/tanaman) dan
sangat sedikit (< 5 anakan/tanaman). Berdasarkan
kriteria tersebut di atas, maka dapat dikatakan
bahwa 8 vaietas yang dikaji memiliki kriteria tinggi
sebagai berikut, varietas padi gogo (Inpago 7, 8, 9,
dan Situ Patenggang) serta Inpari 29 memiliki
jumlah anakan sedang, sedangkan Inpari 7, Inpari
28, dan Inpari 30 memiliki jumlah anakan banyak.
Tabel 3. Rata-rata T inggi Tanaman, Jumlah Anakan, dan Panjang Malai 8 Varietas Padi di
Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut Pada MT 2 Tahun 2016
No Varietas T inggi Tanaman
(cm)
Jumlah Anakan
(batang) Panjang Malai (cm)
1 INPAGO 7 118.9 a 13.0 d 28.5 a
2 INPAGO 9 106.7 c 11.1 d 23.8 cd
3 INPAGO 8 112.1 b 10.9 d 24.8 bcd
4 INPARI 29 85.8 e 16.4 c 25.5 bc
5 INPARI 7 83.9 e 22.6 b 24.6 bcd
6 ST.PATENGGANG 99.3 d 11.7 d 24.3 bcd
7 INPARI 28 99.44 d 32.8 a 25.8 b
8 INPARI 30 85.32 e 21.9 b 23.1 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5%
Tabel 2. Hasil Analisis Varians Karakter T inggi Tanaman dan Jumlah Anakan Padi di Kecamatan
Kadungora Kabupaten Garut, MT2 2016.
No Variabel Varietas KK (%)
1 T inggi Tananaman * 3,38
2 Jumlah Anakan Produktif * 13,5
3 Panjang Malai * 5,17
*) Menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf 95% menurut uji Duncan
Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
129
Karakter panjang malai merupakan parameter
yang dapat menentukan tinggi rendahnya
produktivitas tanaman padi. Malai yang panjang
berpeluang untuk menghasilkan jumlah gabah yang
lebih banyak. Klasifikasi panjang malai menurut
Diptaningsari (2013) dikutip Mulyaningsih et al.,
(2016) dibedakan atas malai pendek (<20 cm),
sedang (21-30 cm), dan panjang (>30 cm). Dengan
demikian, 8 varietas yang dikaji memiliki criteria
panjang malai sedang. Berdasarkan hasil
pengamatan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
Inpago 7 memiliki malai paling panjang (28,5 cm)
dan paling pendek yaitu Inpari 30 (23,1 cm).
Hasil dan Komponen Hasil
Komponen hasil merupakan parameter yang
sangat berkaitan erat dengan tinggi rendahnya
produksi padi. Hasil analisis varians terhadap
karakter hasil dan komponen hasil pada Tabel 2
menunjukkan bahwa karakter hasil dan semua
komponen hasil dari 8 varietas yang diuji berbeda
(P < 0.05).
Performa suatu tanaman termasuk karakter
hasil dan komponen hasil dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan (Fatimaturrohmah et al.,
2016). Karakter hasil merupakan karakter yang
kompleks yang dikendalikan oleh sejumlah besar
gen-gen kumulatif, duplikat, dan atau dominan, dan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan
(Reddi et al., 1986 dalam Satoto dan Suprihatno;
1998). Rata-rata produktivitas dari 8 varietas padi
yang diuji umumnya cukup tinggi (>7 t ha-1) kecuali
2 varietas padi gogo yaitu Inpago 9 dan Situ
Patenggang (< 6 t ha-1).
Komponen hasil yang berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya hasil adalah jumlah gabah isi dan
hampa per malai. Berdasarkan Tabel 5, persen
gabah hampa dari jumlah total keseluruhan gabah
per malai 8 varietas padi yang dikaji diketahui
Tabel 4. Hasil Analisis Varians Karakter Hasil dan Komponen Hasil Padi di Kecamatan Kadungora
Kabupaten Garut, MT2 2016.
No Variabel Varietas KK (%)
1 Produktivitas * 10,99
2 Jumlah Gabah Isi per Malai * 15,37
3 Jumlah Gabah Hampa per Malai * 16,54
4 Bobot 1000 butir * 3,78
*) Menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf 95% menurut uji Duncan
Tabel 5. Rata-rata Hasil dan Komponen Hasil 8 Varietas Padi di Kecamatan Kadungora Kabupaten
Garut Pada MT 2 Tahun 2016
No Varietas Produktivita
s (t/ha)
Gabah
Isi/malai
Gabah
Hampa/malai
% Gabah
Hampa
Bobot 1000
butir (g)
1 INPAGO 7 7.0 a 189.5 a 37.0 ab 16.3 bc 28.0 a
2 INPAGO 9 5.2 b 173.2 ab 22.7 b 11.6 bc 26.5 b
3 INPAGO 8 6.6 a 155.8 ab 34.1 ab 18.0 b 25.5 b
4 INPARI 29 7.3 a 163.0 ab 35.2 ab 17.8 b 26.0 b
5 INPARI 7 7.3 a 145.2 b 25.8 b 15.1 bc 26.5 b
6 ST.PATENGGANG 4.8 b 171.1 ab 51.7 a 23.2 a 23.1 c
7 INPARI 28 7.2 a 170.0 ab 27.0 b 13.7 bc 22.3 c
8 INPARI 30 7.3 a 142.9 b 15.7 b 9.9 c 26.0 b
Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5%
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:125-130
130
bahwa varietas Situ Patenggang memiliki persen
gabah hampa paling tinggi (23.2%) dibandingkan
varietas lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap
produktivitas padi yang dihasilkan sangat rendah.
Persentase gabah hampa dapat dikurangi atau hasil
gabah isi masih berpotensi untuk ditingkatkan lagi
melalui optimalisasi takaran pemupukan (Rustiati
dan Abdulrachman, 2011), atau melalui perbaikan
teknik budidaya karena faktor lingkungan memiliki
andil yang besar dalam menekan jumlah gabah
hampa (Venkaterwaslu vesperas, 1987).
Bobot gabah berpengaruh teradap tinggi
rendahnya hasil padi. Pengamatan terhadap karakter
Bobot 1000 butir bahwa varietas Inpago 7 memiliki
bobot gabah lebih berat (28.0 g per 1000 butir)
dibandingkan varietas lainnya, meskipun memiliki
jumlah anakan yang lebih rendah dibandingkan
varietas Inpari 7, 28, dan 30, namun varietas Inpago
7 mampu memberikan produktivitas hasil yang
sama dengan ketiga varietas tersebut . Dengan
demikian semakin banyak varietas yang berdaya
hasil t inggi dan adaptasinya luas dapat
memudahkan diseminasi varietas (Rohaeni dan
Ishaq, 2015).
KESIMPULAN
Varietas Inpago 7, Inpari 7, 28, 29, dan 30
cocok untuk dikembangkan di dataran medium
Kabupaten Garut karena memiliki jumlah anakan
produktif yang banyak dengan komponen hasil yang
baik menunjang terhadap potensi produksi yang
tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para
teknisi litkayasa yang telah banyak membantu
dalam pelaksanaan pengkajian.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Jawa Barat
dalam Angka. Badan Pusat Statistik.
Austin, R.B. 1993. Augmenting yield-base
selection. In: Plant breeding-Principles and
prospects, edited by M.D. Hyward, N.O.
Basemark and I. Romagosa, Chapman and
Hall, p. 391 - 405.
Fatimaturrohmah, S., Rumanti, I.A., Soegianto, A.,
dan Damanhuri. 2016. Uji Daya Hasil
Lanjutan Beberapa Genotip Padi (Oryza
sativa L.) Hibrida Di Dataran Medium.
Jurnal Produksi Tanaman , vol. 4, no. 2 hh :
129-136.
International Rice Research Institute (IRRI). 2013.
Standard Evaluation System for Rice (SES).
5th edition. Manila, Philippines.
Mildaerizanti. 2008. Keragaan Beberapa Varietas
Padi Gogo di Daerah Aliran Sungai
Batanghari, http:/katalog Online Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Diakses tanggal 20 Nopember 2017.
Mulyaningsih, E.S., Perdani, A.Y., Indrayani, S.,
dan Suwarno. 2016. Seleksi Fenotipe Padi
Gogo untuk Hasil T inggi, Toleran alumunium
dan Tahan Blas pada tanah Masam.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan , vol.
35, no. 3, hh : 191 - 197.
Rohaeni, W., dan Ishaq, I. 2015. Evaluasi Varietas
Padi Sawah Pada Display Varietas Unggul
Baru (VUB) di Kabupaten Karawang, Jawa
Barat, Agric, vol. 27, no. 1, hh
: 1 - 7.
Rustiati, T . dan Abdulrachman, S. 2011.
Komparatif beberapa Metode Penetapan
Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi.
Satoto dan B. Suprihatno. 1998. Heterosis dan
Stabilitas Hasil Hibrida-Hibrida Padi
Turunan Galur Mandul Jantan IR62829A dan
IR58025A. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, vol. 17, no. 1, hh :33-37.
Silitonga, T .S., Somantri, I.H., Darajat, A.A., dan
Kurniawan, H. 2003. Panduan Sistem
Karakterisasi dan Evaluasi Tanaman Padi.
Komisi Plasma Nutfah. Balitbangtan. Deptan.
58 hal.
Sutaryo, B. 2012. Ekspresi Daya Hasil dan
Beberapa Karakter Agronomi Enam Padi
Hibrida Indica di Lahan Sawah Berpengaran
Teknis. Ilmu Pertanian, vol. 15, no. 2, hh : 19-
29.
Venkateswarlu, B., R.M. Visperas., 1987. Source-
sink Relationships in Crop Plants.
International Rice Research instititute.
Manila, Philippnes.
131 Aplikasi Pupuk Mikro pada Pertanaman Cabai Merah di Provinsi Kepulauan Riau (Annisa Dhienar Alifia
dan Mizu Istianto)
APLIKASI PUPUK MIKRO PADA PERTANAMAN CABAI MERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Annisa Dhienar Alifia dan Mizu Istianto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kepulauan Riau
Jalan Sungai Jang No. 38, Bukit Bestari, Tanjungpinang 29124
Telepon (0771)22153 Faximili (0771) 26285
Email: [email protected]
ABSTRACT
Red pepper (Capsicum annuum L.) demand in Riau Islands Province was still unable to be fulfilled by local
production. There needs an effort to increased red pepper production in the Riau Islands through cultivation
development on Bintan Island. One of the means to improve plant growth and production is by ful filling its needs of
nutrients, whether macronut rients or micronutri ents. Some of the obstacles met to cultivat e red pepper in Bintan Island
soil are its limiting factors, which can affect its micronut rient content. Application of micronut rient fertilizer on
several kinds of plants, including red peppers proved to be effective in increasing the plants growth and productivities.
The technology to apply micronutrients fertili zer to increase productivities of red pepper in Bintan Island is fit to be
studied further as an effort to identi fy components for red pepper cultivation technology which will be able to give
maximum result for local farmers.
Keywords: red pepper cultivations, micronutrients, Riau Islands
ABSTRAK
Permintaan terhadap komoditas cabai merah (Capsicum annuum L.) di Provinsi Kepulauan Riau masih belum dapat
dipenuhi oleh produksi lokal. Perlu ada upaya peningkatan produksi cabai di Kepulauan Riau melalui pengembangan budidaya di Pulau Bintan. Salah satu upaya pengembangan adalah melalui perbaikan pertumbuhan tanaman dengan
mencukupi kebutuhan unsur hara, baik makro maupun mikro. Kendala budidaya cabai di pulau Bintan adalah adanya
faktor pembatas yang dapat mempengaruhi ket ersediaan hara mikro. Aplikasi pupuk unsur hara mikro tel ah
dilaporkan mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivit as melalui perbaikan metabolisme berbagai t anaman,
termasuk cabai. Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas t eknologi pemberi an pupuk unsur hara mikro sebagai
bagian dari komponen teknologi budidaya cabai merah yang dapat meningkatkan produktivitas cabai sehingga
memberi hasil maksimal bagi petani Pulau Bintan.
Kata kunci: budidaya cabai merah, hara mikro, Kepulauan Riau
132
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140
PENDAHULUAN
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan
salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi
tinggi den gan nilai konsumsi domestik yang
diproyeksikan meningkat 0,75% setiap tahunnya,
dari 400,91 ribu ton pada tahun 2016 menjadi
432,82 ribu ton di 2020. Estimasi konsum si cabai
di Kepulauan Riau sen diri pada tahun 2010 adalah
4.706 ton (Farid dan Subekti 2012). Sementara itu,
produksi cabai di Kepulauan Riau sen diri pada
tahun 2017 baru mencapai 3005 ton (BPS 2018).
Kebutuhan cabai Kepulauan Riau masih dipenuhi
dengan men datangkan cabai dari daerah lain
(Ikhsan 2018). Selain itu, provinsi Kepulauan Riau
memiliki potensi ekspor cabai sebagai daerah yang
berbatasan den gan Malaysia dan Singap ura yang
merupakan negera tujuan ekspor cabai Indonesia
(Pusdatin Kementan 2016). Untuk itu perlu adanya
upaya meningkatkan produksi cabai di Kepulauan
Riau.
Salah satu cara memperbaiki pertumbuhan
tanaman adalah dengan mencuk upi kebutuhan
unsur hara. Cabai mem butuhkan hara makro dan
mikro yang cuk up (Boslan d dan Votava 2012).
Defisiensi unsur mikro dapat mengurangi hasil
panen walaupun tanaman hanya menyerapnya
dalam jumlah yang sedikit (Martens dan
Westermann 1991). Aplikasi pupuk yang
mengandung n utrisi mikro biasa dilakukan untuk
menghindari defisiensi (Weil dan Brady 2017).
Patil et al. (2008) melaporkan bahwa aplikasi
campuran beberapa unsur hara mikro pada tomat
dapat meningkatkan jumlah buah per tanaman dan
bobot buah. Aplikasi p upuk komersil yang
mengandung beberapa un sur hara mikro juga dapat
meningkatkan produktivitas cabai hijau (Baloch et
al. 2008).
Pulau Bintan yang menjadi bagian dari
provinsi Kepulauan Riau merupakan lokasi yang
berpotensi untuk pengembangan cabai merah
menurut Paket Rekomendasi Pengelolaan Lahan
yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sum ber Daya
Lahan Pertanian (BBSDLP) pada tahun 2017.
Sum ber daya lahan Pulau Bintan memiliki faktor
pembatas seperti pH tanah yang rendah (masam),
kandungan bahan organik rendah, kandungan P 2O5
dan K2O rendah, serta beberapa lokasi memiliki
topografi berlereng.
Kondisi tanah yang masam kurang optimal
untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu
aplikasi kapur untuk meningkatkan pH.
menyebutkan pengapuran akan mengurangi
ketersediaan beberapa unsur hara mikro (Weil dan
Brady 2017). Topografi tanah yang berlereng juga
menimbulkan potensi pencucian pada tanah dan
juga potensi kurangnya ketersediaan unsur hara
mikro (Jones 2012). Berdasar hal tersebut, lahan di
Pulau Bintan terindikasi memiliki kandungan
unsur hara mikro yang rendah yang mungkin
menjadi salah satu penyebab masih rendahnya
produktivitas cabai merah di Pulau Bintan.
Tulisan ini memuat beberapa hasil penelitian
tentang pengaruh aplikasi unsur hara mikro
terhadap peningkatan pertumbuhan dan
produktivitas cabai sebagai upaya untuk
mengidentifikasi komponen teknologi penanaman
cabai merah di Provinsi Kepulauan Riau,
khususnya di Pulau Bintan.
UNSUR HARA MIKRO
Arti Penting Unsur Hara Bagi Tanaman
Unsur kimia yang dibutuhkan agar tanaman
dapat tumbuh secara normal disebut unsur hara.
Unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah cukup
besar (biasanya 50 mg/kg tanaman) untuk
pertumbuhan tanaman disebut hara makro, yang
terdiri dari karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O),
nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), dan sulfur (S). Unsur hara yang
dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit (<50
mg/kg tanaman) disebut hara mikro, seperti boron
(B), klorin (Cl), tembaga (Cu), besi (Fe), mangan
(Mn), seng (Zn), dan molibdenum (Mo) (Weil dan
Brady 2017). Unsur hara tersedia di alam dalam
bentuk organik dan anorganik. Bentuk organik didapatkan dari sisa-sisa pembusukan tanaman
dan bahan organik lain, serta dari mikroorganisme. Bentuk anorganik biasanya didapat dari proses penambahan mineral ke tanah
133 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
melalui pengapuran atau pemberian p upuk kimia
(Jones 2012).
Meski dibutuhkan dalam jumlah san gat
sedikit unsur hara mikro memiliki dampak yang
signifikan pada tanaman, Unsur B diyakini penting
dalam sintesis salah satu basa pembentuk RNA,
membantu perkembangan serbuk sari, dan
berperan dalam aktivitas sel seperti pembelahan,
diferensiasi, dll. Unsur Cl terlibat di antaranya
dalam proses fotosintesis, meningkatkan tekanan
osmosis sel, dan mengatur stomata. Unsur Cu
berfun gsi di antaranya dalam membentuk protein
kloroplas, dalam transport elektron, metabolisme
protein dan karbohidrat, fiksasi nitrogen, dll. Besi
(Fe) diantaranya berfungsi sebagai komponen
berbagai enzim, berperan dalam asimilasi nitrogen
dan produksi energi, sebagai katalis, dll (Jones
2012)
Unsur Mn menyusun enzim dekarboksilase,
dehydrogenase, dan oksidase, penting pada proses
fotosintesis, serta metabolisme dan asimilasi
nitrogen. Unsur Mo adalah komponen enzim
nitrogenase dan nitrat reduktase, penting dalam
fiksasi dan asimilasi nitrogen. Sen g (Zn)
merupakan komponen pada beberapa enzim
dehydrogenase, proteinase, dan pepsidase,
meningkatkan pembentukan hormon pertumbuhan
dan pati, membantu produksi dan pemasakan benih
(Weil dan Brady 2017). Dimkpa dan Bindraban
(2016) juga menyebutkan bahwa hara mikro
berkontribusi dalam memperbaiki ketahanan
tanaman terhadap serangan penyakit.
Tanaman juga terpengaruh kekurangan unsur
hara mikro. Contohnya: defisiensi boron dapat
menyebabkan kematian titik tumbuh akar dan
tunas serta kegagalan pembentukan bun ga;
defisiensi klorin (Cl) dapat membuat daun
beruk uran kecil, mengalami nekrosis, dan
menghambat pertumbuhan akar dan rambut akar ;
defisiensi Cu menyebabkan daun muda
mengunin g, menggulun g, berukuran kecil dan
menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, serta
defisiensi Mo ditandai den gan warna daun yang
memudar dan layu, pertumbuhan terhambat, dan
mengurangi produksi benih (Fageria et al. 2002).
Ketersediaan Hara Mikro
Faktor yang mempengaruhi ketersediaan
hara mikro di alam antara lain adalah pH tanah,
dimana pH tanah yang rendah (masam) membuat
kation hara mikro menjadi mudah terlarut dan
tersedia sehingga toksisitas bisa terjadi jika pH
tanah terlalu rendah. Pengapuran untuk
meningkatkan pH dapat mengurangi ketersediaan
unsur mikro Namun pengap uran yang berlebihan
dapat menyebabkan defisiensi unsur Fe, Mn, Zn,
Cu, dan B. Untuk unsur Mo, pH yang rendah
memembuatnya terikat oleh oxida Fe dan Al,
sehingga pengapuran akan meningkatkan
ketersediaan Mo. Selain pH, pencucian juga
mempengaruhi ketersediaan un sur seperti B yang
sangat mudah ik ut tercuci. Unsur Cu dan Mn juga
ditemukan kurang tersedia di tanah yang tidak
memiliki drainase yang baik dan memiliki
kandungan bahan organik tinggi (Weil dan Brady
2017).
Defisiensi unsur hara mikro pada tanaman
budidaya semakin serin g terjadi di beberapa tahun
terakhir akibat praktik budidaya yang semakin
intensif, hilangnya lapisan top soil akibat erosi,
hilangnya hara mikro akibat pencucian ( leaching),
dan pengapuran tanah masam. Penyebab lain
adalah semakin meningkatnya kemurnian pupuk
kimia komersil (NPK) yang menyebabkan
berkurangnya kontaminan dalam bentuk unsur hara
mikro, berkurangnya aplikasi kotoran hewan
sebagai sum ber unsur hara mikro untuk tanah
akibat semakin intensifnya penggunaan pupuk
kimial, dan juga penggunaan lahan marjinal untuk
praktik budidaya tanaman (Fageria et al. 2002).
SUMBER DAYA LAHAN DI PULAU BINTAN
Kondisi Lahan Jenis tanah di daerah Kepulauan Riau terdiri
dari podsolik merah kuning, organosol, glei
humus, latosol dan alluvial. Geomorfologi Pulau
Bintan berupa perbukitan granit yang terletak
dibagian selatan pulau dan dataran yang terletak di
bagian kaki. Pulau-pulau kecil di sebelah timur dan
tenggara Pulau Bintan juga disusun oleh granit
berum ur Trias (Trg) sebagai penghasil bauksit
134
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140
(Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi Kepulauan Riau 2016).
Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian
(BBSDLP) pada tahun 2017 mengeluarkan peta
kesesuaian lahan sekaligus paket rekomendasi
pengolahan lahan untuk pengembangan dan
peningkatan produksi komoditas pertanian strategis
untuk berbagai provinsi di Indonesia. Arahan
komoditas ditentukan oleh kelas kesesuaian lahan
dan faktor komoditas unggulan atau prioritas,
kelayakan usahatani, preferensi petani, dan
program pemerintah (pusat/ daerah). Dalam
petunjuk teknis penilaian kesesuaian lahan
(BBSDLP 2016), kriteria kesesuaian lahan untuk
komoditas cabai merah dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan kriteria pada tabel, Pulau
Bintan yang terdiri dari Kabupaten Bintan dan
Kota Tanjungpinang memiliki wilayah yang dapat
menjadi tempat pengembangan cabai melalui
praktik intensifikasi maupun diversifikasi. Masing-
masing lokasi memiliki faktor pembatas yang perlu
diatasi agar potensi hasil panen maksimal bisa
tercapai. Faktor pembatas di Kabupaten Bintan dan
Kota Tanjungpinang antara lain drainase lahan
yang terhambat, pH lahan rendah, kandungan total
P2O5 dan K2O rendah, kandun gan bahan organik
rendah, dan topografi beberapa area yang berlereng
(BBSDLP 2017). Kandungan hara mikro pada
tanah sendiri t idak diketahui karena tidak termasuk
pada aspek yang dievaluasi dalam penentuan
kesesuaian lahan ini.
Berdasarkan literatur, faktor pembatas di
Pulau Bintan akan mempengaruhi ketersediaan
hara mikro di wilayah tersebut. Sebelumnya telah
disebutkan bahwa pH yang rendah membuat hara
mikro lebih tersedia (Weil dan Brady 2017).
Kondisi tanah di daerah Bintan sendiri umumnya memiliki pH rendah (masam) yang kurang sesuai untuk budidaya tanaman, sehingga
perlu diberi kap ur untuk menaikan pH. Pengapuran
tersebut dapat mengurangi ketersediaan hara
mikro. Kondisi tanah yang masam juga
menguran gi ketersediaan unsur Mo. Selain itu,
topografi beberapa area yang berlereng
menimbulkan resiko pencucian yang berpot ensi
menimbulkan defisiensi unsur B (Weil dan Brady
2017). Untuk mengetahui secara pasti tentang
kandungan hara mikro tanah di Pulau Bintan, perlu
adanya pengkajian lebih lanjut.
APLIKASI HARA MIKRO PADA TANAMAN
Pengaruh Aplikasi Hara Mikro terhadap
Pertumbuhan Tanaman
Hara mikro yang diaplikasikan kepada tanaman
memberi pengaruh yang nyata mulai dari tahap
perkecambahan. Benih cabai yan g direndam
dengan memiliki daya berkecam bah 93%, lebih
tinggi dari kontrol yang hanya 75%. Hara mikro
juga dapat memperlambat laju penurunan daya
berkecambah benih. Benih dengan perlakuan 1%
seng sulfat dan disimpan dalam plastik polietilen
(PE) ketebalan 700 gauge selama 6 min ggu
mengalami penurunan daya berkecambah menjadi
80%, sementara benih dengan perlakuan kontrol
mengalami penurunan daya berkecambah menjadi
36% (Pal et al. 2018). Pengaruh hara mikro juga
terlihat pada beberapa parameter pertumbuhan
tanaman, seperti t inggi tanaman dan jumlah daun.
Baloch et al. (2008) melaporkan peningkatan rata-
rata tinggi tanaman cabai yang diberi pupuk
komersil yang mengandun g campuran hara makro
N, Mg, K, P, dan Ca serta hara mikro Fe, Mn, B,
Cu, Mo sebanyak 7 ml produk/L air dari 63,46 cm
menjadi 68,00 cm. Hal serupa juga dilaporkan oleh
Bhalekar et al. (2009) yang mengaplikasikan
Boron (240 ppm) pada tanaman cabai. Perlakuan
tersebut meningkatkan tinggi tanaman dari 51,58
cm menjadi 61,36 cm.
Penyemprotan daun tanaman cabai hijau dengan
larutan asam humat (0,05%) + Zn (0,05%) dan B
(0,02%) meningkatkan rata-rata jumlah daun dari
30,56 daun/tanaman menjadi 58,57 daun/tanaman.
Luas area per daun juga tercatat meningkat, dari
1,19 cm2 menjadi 1,80 cm
2. Datir et al. (2012)
juga melaporkan hasil serupa pada tanaman cabai
yang diberi aplikasi unsur Zn, Fe, Cu, Mn, dan Mo.
135 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
Tabel 1 Kriteria kesesuaian lahan komoditas pertanian strategis cabai merah (Capsicum annuum)
Persyaratan penggunaan/
karakteristik lahan
Kelas kesesuaian lahan
S1 S2 S3 N Temperatur (tc)
Temperatur Rata-rata
Tahunan (°C)
24 – 28 >28 – 30
21 – <24
>30 – 32
18 – <21
>32
<18
Ketersediaan air (wa)
Curah Hujan Tahunan
(mm/th)
1.200 – 2.000 1.000 –<1.200
>2000 – 2.500
800 – <1.000
>2.500 –
3.000
<800
>3.000
Jumlah Bulan Basah (>200
mm/bl)
5 – 6 3 – <5
>6 – 8
<3
>8
- -
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, agak
terhambat
agak cepat,agak
baik
terhambat Sangat terhambat,
cepat
Media perakaran (rc)
Tekstur agak halus,
sedang
halus agak kasar Kasar
Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 – 55 > 55
Kedalaman tanah (cm) > 75 50 - 75 30 – 50 < 30
Gambut:
Ketebalan (cm) < 50 50 - 100 100 – 150 >150
Kematangan Saprik saprik, hemik Hemik Fibrik
Retensi hara (nr)
KTK tanah (cmol/kg) > 16 5-16 < 5
Kejenuhan basa (%) > 35 20 - 35 < 20
pH H2O 6,0 - 7,5 5,5 - 6,0
7,5 - 8,0
< 5,5
> 8,0
C-organik (%) > 2,0 0,8 – 2,0 < 0,8
Hara Tersedia (na)
N total (%) Sedang rendah sgt rendah -
P2O5 (mg/100 g) Tinggi sedang rendah-sgt rendah -
K2O (mg/100 g) Sedang rendah sgt rendah - Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m) < 3 3 - 5 5-7 > 7
Sodisitas (xn)
Alkalinitas/ESP (%) < 15 15 - 20 20 – 25 > 25
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 – 75 < 40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) < 3 3 - 8 8 - 15 > 15
Bahaya erosi sgt ringan ringan- sedang berat-sgt berat
Bahaya banjir/genangan
pada masa tanam (fh)
- Tinggi (cm) - - 25 >25
- Lama (hari) - - <7 >7
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) < 5 5 - 15 15 – 40 > 40
Singkapan batuan (%) < 5 5 - 15 15 – 25 > 25
Keterangan: S1 = sangat sesuai; S2 = cukup sesuai; S3 = sesuai marjinal; N = tidak sesuai (Sumber: BBSDLP, 2016)
136
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140
Jumlah daun tanaman meningkat dari 177,12
daun/tanaman menjadi 212 daun/ tanaman, dengan
luas area daun per tanaman yang meningkat dari
2137,56 cm2 menjadi 2866,73 cm2. Perbaikan
tersebut dapat disebabkan oleh meningkatnya
fotosintesis dan aktivitas metabolik lain yang
berperan dalam pembelahan dan pemanjangan sel
karena aplikasi hara mikro (Manas et al. 2014).
Pengaruh Aplikasi Hara Mikro terhadap
Produksi Tanaman
Aplikasi hara mikro untuk meningkatkan
produktivitas sudah banyak diuji pada berbagai
jenis tanaman. Pada bawang merah, aplikasi un sur
B dengan konsentrasi 0.25% pada 30 dan 45 hari
setelah transplant (HST) meningkatkan
produktivitas dari 10 ton/ha menjadi 15,9 ton/ha,
sementara aplikasi seng sulfat sebagai sum ber Zn
dengan konsentrasi 0,5% pada 30 dan 45 HST
meningkatkannya menjadi 16 ton/ha (Acharya et al
2015). Pengaruh pemberian boron terhadap hasil
panen brokoli varietas Green Harmony dengan
dosis 1 kg/ha yang dibuktikan dengan
meningkatnya produktivitas dari 14,7 ton/ha
menjadi 18,9 ton/ha (Firoz et al. 2008).
Tanaman chickpea (Cicer arietinum L.) yang
diberi perlakuan unsur Mo den gan do sis 1
mg/tanaman mengalami peningkatan jumlah
polong per tanaman dari rata-rata 16,44
polong/tanaman menjadi 20,57 polong/tanaman,
dan meningkatkan bobot kering polongnya dari
6,92 g/tanaman menjadi 8,75 g/tanaman
(Valenciano et al. 2011). Patil et al. (2008)
meneliti pengaruh aplikasi unsur hara mikro
melalui penyemprotan daun pada produksi rata-
rata tanaman tomat selama dua tahun. Pemberian
unsur Mn (100 ppm) meningkatkan hasil panen
dari 18,23 ton/ha menjadi 19,73 ton/ha, campuran
unsur B, Zn, Mo, Cu, Fe, dan Mn den gan dosis
masing-masing 100:100: 100:100:100:50 ppm
meningkatkan produktivitasnya menjadi 27,98
ton/ha, sementara aplikasi pupuk mikro komersil
yang mengandung Zn, Mn, B, dan Fe (100 ppm
produk) meningkatkan produkt ivitas menjadi 27,20
ton/ha.
Salah satu komponen hasil adalah jumlah
buah. Patil et al. (2010) melaporkan pengaruh
pemberian boron (B), besi (Fe), dan seng (Zn) pada
pembun gaan dan pembentukan buah tanaman
tomat. Kombinasi pemberian hara mikro B:Fe:Zn
dengan konsentrasi masing-masing 50:100:100
ppm dapat meningkatkan jumlah bun ga yang
terbentuk dari rata-rata 45,45 bunga per tanaman
menjadi 50,00 bunga per tanaman, serta
meningkatkan persen pembentukan buah dari
45,76% menjadi 47,76%. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh meningkatnya kandungan gula di
kepala putik yang kemudian meningkatkan daya
tumbuh serbuk sari dan pertumbuhan buluh sari
(pollen tube) karena unsur B.
Peningkatan pembentukan bunga juga dapat
disebabkan karena biosintesis auksin yang lebih
baik den gan adanya un sur Zn. Dengan
meningkatnya jumlah bun ga dan presentase buah
yang terbentuk dari bunga, maka berat hasil per
tanaman akan semakin besar, sehingga
produktivitasnya meningkat (Patil et al 2010). Hal
serupa dilaporkan oleh Awalin et al. (2017) yang
menguji pengaruh penyemprotan hara mikro pada
daun tanaman paprika (Capsicum annuum ).
Tanaman paprika yang dipangkas tunas airnya dan
diberi hara mikro (B, Zn, Cu, dan Mn masing-
masing 100 ppm) memiliki presentase
pembentukan buah 41,34%, lebih tinggi
dibandin gkan den gan kontrol yang hanya 30,38%.
Perlakuan tersebut juga mempersingkat periode
dari saat pemindahan tanaman ke lahan hingga
panen, yakni dari 129,67 hari menjadi 107,33 hari.
Pengaruh aplikasi unsur hara mikro terhadap
komponen produksi tanaman cabai dapat dilihat
pada tabel 2.
137 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
Penyemprotan daun cabai dengan larutan FeSO4
0.2% + CaNO3 0.2% + Boron 0.1% + Sulphur
0.3% menghasilkan rata-rata jumlah buah per
tanaman tertinggi, yakni 305,67 buah/tanaman,
diik uti dengan perlakuan FeSO4 0.2% + Bo 0.1%
yang menghasilkan 249,33 buah/tanaman,
meningkat diban dingkan kontrol yang
menghasilkan 212 buah/tanaman. Rata-rata berat
per buah tertinggi juga dihasilkan perlakuan FeSO4
0.2% + CaNO3 0.2% + Boron 0.1% + Sulphur
0.3% dengan hasil 5.33 gr/buah. Peningkatan
tersebut dapat disebabkan oleh ak umulasi
karbohidrat yang lebih baik dengan adanya un sur
hara mikro (Maske 2018).
Peningkatan hasil cabai akibat aplikasi hara
mikro ini juga dilaporkan pada hasil penelitian
lain. Penyemprotan daun cabai den gan larutan
ZnSO4 meningkatkan produktivitas cabai dari
239,7 kwintal/ha menjadi 272,37 kwintal/ha,
sedan gkan aplikasi larutan Zn + Mn + Cu + Fe + B
dapat meningkatkan produktivitas menjadi 290,73
kwintal/ha (Patil et al. 2013). Aplikasi pupuk
mikro komersil yang mengandung Cu, Zn, Mn, dan
Fe pada tanaman cabai merah di tanah gambut
meningkatkan produktivitas dari 40,5 ton/ha
menjadi 49,1 ton/ha (Navrot dan Levin 1976).
Pemberian unsur mikro B (280 ppm)
meningkatkan produktivitas cabai hijau dari 23,41
kwintal/ha menjadi 44,29 kwintal/ha, dan un sur Zn
(0,25%) meningkatkannya menjadi 32,23
kwintal/ha (Bhalekar et al. 2009). Aplikasi pupuk
komersil yang mengandun g campuran hara makro
N, Mg, K, P, dan Ca serta hara mikro Fe, Mn, B,
Cu, Mo sebanyak 7 ml produk/L air meningkatkan
produktivitas cabai hijau dari 10.525 kg/ha
menjadi 14.562,33 kg/ha (Baloch et al. 2008).
Aplikasi Fe (1000 ppm), Cu (10 ppm), Mn (
100 ppm), Zn (50 ppm), dan B (100 ppm)
sebanyak 5 ml larutan per tanaman cabai dapat
meningkatkan jumlah buah per tanamannya dari
rata-rata 11 buah menjadi 26 buah per tanaman
(Askari et al. 1995). Aplikasi pupuk dasar NPK
(100:50:50 kg/ha) yang dikombinasikan dengan
pupuk yang mengandun g Ca, S, dan Fe dengan
dosis 50:50:20 kg/ha dapat meningkatkan rata-rata
hasil panen cabai selama 3 musim tanam
dibandin gkan dengan yang hanya diberi NPK, dari
853 kg/ha menjadi 1189 kg/ha. Perubahan tersebut
dapat diasosiasikan den gan meningkatnya aktifitas
fotosintesis akibat aplikasi unsur Ca, S, dan Fe,
sehingga produksi serta akumulasi karbohidrat dan
auksin esensial meningkat (Shivaprasad et al.
2009).
Tabel 2 Respon tanaman cabai terhadap aplikasi beberapa unsur mikro
Perlakuan Jumlah buah / tanaman (buah) Bobot buah (gram)
Kontrol 212.00 4.00
FeSO4 0.2% + CaNO3 0.2% 216.33 5.36
FeSO4 0.2% + B 0.1% 249.33 4.93
FeSO4 0.2% + S 3% 237.00 4.95
CaNO3 0.2% + B 0.1% 212.33 4.81
CaNO3 0.2% + S 0.3% 209.67 4.97
B 0.1% + S 0.3% 220.00 5.08
FeSO4 0.2%+ CaNO3 0.2% +
Boron 0.1% + Sulfur 0.3% 305.67 5.33
Sumber: Maske (2018)
138
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140
PENUTUP
Tanaman dapat tumbuh den gan normal
apabila kebutuhan hara makro dan mikronya
terpenuhi. Hara mikro berperan penting dalam
pertumbuhan tanaman walaup un dibutuhkan hanya
dalam jumlah sedikit. Kesadaran akan pentingnya
unsur hara mikro bagi praktik budidaya tanaman
juga terus berkemban g. Ketersediaan hara mikro di
lahan sangat tergantung dengan karakteristik lahan
itu sendiri. Salah satu pulau di provinsi Kepulauan
Riau, yakni Pulau Bintan memiliki potensi sebagai
daerah pengemban gan cabai merah dengan
memperhatikan beberapa faktor pembatas. Faktor
pembatas tersebut dan cara penangannnya
mengakibatakan sum ber daya lahan di Pulau
Bintan terindikasi memiliki ketersediaan hara
mikro yang rendah.
Kekurangan tersebut mun gkin menjadi salah
satu penyebab rendahnya produktivitas cabai di
Pulau BIntan, sehingga perlu dilakukan identifikasi
pengaruh aplikasi hara mikro pada produktivitas
cabai. Hara mikro dapat diaplikasikan ke
pertanaman baik melalui tanah maupun dengan
disemprot ke daun. Kerja hara mikro dalam
memperbaiki pertumbuhan tanaman umumnya
melalui perbaikan metabolisme. Perbaikan
pertumbuhan dan produksi berbagai tanaman,
termasuk cabai telah dilaporkan. Hal ini berarti
teknologi pemberian pupuk unsur hara mikro untuk
meningkatkan produktivitas cabai telah terbukti
dan layak diaplikasikan di Pulau Bintan sebagai
upaya untuk mengidentifikasi komponen teknologi
budidaya cabai merah yang dapat memberi hasil
maksimal bagi petani setempat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Dr. Ir. Haris Syahbuddin,
DEA. yang telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk ikut dalam program Workshop
Peningkatan Kinerja dan Kapasitas Peneliti BPTP.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan pada
Prof. Dr. Ir. Rubiyo, M.Si. yang telah membimbing
dalam proses penulisan karya tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya U, Venkatesan K, Saraswathi T , dan
Subramanian KS. 2015. Effect of zinc and
boron application on growth and yield
parameters of multiplier onion (Allium cepa
L. var aggregatum Don.) var. CO (On) 5.
Intl. J. of Res. 2(1): 757-765
Askari A., Siddiqui IH, Yasmin A, Qadiruddin M,
Jafri R, Zaidi SAH. 1995. Studies on the
essential trace elements on the growth and
yield of two solanaceous plants. J. of Islamic
Acad. of Sci. 8(1): 9-14.
Awalin S, Shahjahan M, Roy AC, Akter A, Kabir
MH. 2017. Response of Bell Pepper
(Capsicum annuum ) to foliar feeding with
micronutrients and shoot pruning. J. of Agri.
Ecol. Res. Intl. 11(3):1-8
[BAPPEDA PROVINSI KEPRI] Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi
Kepulauan Riau. 2016. Profil Geologi
Provinsi Kepulauan Riau. [internet]
Tersedia pada:
http://bappeda.kepriprov.go.id/index.php/dat
a-informasi/potensi-daerah/47-potensi-
daerah /197-profil-geologi. Diakses pada: 10
November 2018.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Provinsi
Kepulauan Riau dalam An gka. [Internet].
Tersedia pada https://kepri.bps.go.id/
publication/2018/08/16/067191cfe01885859
6646c64/provinsi-kepulauan-riau-dalam-
angka-2018.html. Diakses pada: 18
September 2018.
[BBSDLP] Balai Besar Sum ber Daya Lahan
Pertanian. 2017. Paket RPL: Rekomendasi
Pengelolaan Lahan untuk Pengembangan
dan Peningkatan Produksi Komoditas
Pertanian Strategis Berbasis Agroekosistem
dan Kesesuaian Lahan Kabupaten Bintan
139 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut
(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)
Kepulauan Riau. Bogor (ID): Balai Besar
Sumber Daya Lahan Pertanian
_________. 2017. Paket RPL: Rekomendasi
Pengelolaan Lahan untuk Pengembangan
dan Peningkatan Produksi Komoditas
Pertanian Strategis Berbasis Agroekosistem
dan Kesesuaian Lahan Kabupaten Bintan
Kepulauan Riau. Bogor (ID): Balai Besar
Sumber Daya Lahan Pertanian
Baloch QB, Chachar QI, dan Tareen MN. 2008.
Effect of foliar application of macro and
micro nutrients on production of green
chilies (Capsicum annum L.). J. Agric. Tech.
4(2): 177-184
Bhalekar MN, Kadam VM, Shinde US, Patil RS,
dan Asane GB. 2009. Effect of plant growth
regulator and micronutrients on growth and
yield of chilli (Capsicum annum L.) during
summer season. Advances in Plant
Sci.22(1):111-113
Boslan d PW dan Votava EJ. 2012. Peppers:
Vegetable an d Spice Capsicums. Ed ke-2.
Volume 22. Crop Production Science in
Agriculture. Oxfordshire (UK): CAB
International
Datir RB, Apparao BJ, dan Laware SI. 2012.
Application of amino acid chelated
micronutrients for enhancing growth and
productivity in chili (Capsicum annum L.).
Plant Sci. Feed 2(7): 100-105.
Dimkpa CO, Bindraban PS. 2016. Fortification of
micronutrients for efficient agronomic
production: a review. Agron. Sustain. Dev.
36 (1), pp.7.
Dursun A, Turan M, Ekinci M, Gunes A, Ataoglu
N, Esringu A, dan Yildirim E. 2010. Effects
of boron fertilizer on tomato, pepper, and
cucumber yields and chemical composition.
Comm in Soil Sci. and Plant Analyisis.
41(13):1576-1593
Fageria NK, Baligar V, dan Clark RB. 2002.
Micronutrients in Crop Production.
Advances in Agronomy. Volume 7. Sparks
DL. Editor. San Diego (USA): Elsevier
Science.
Farid M dan Subekti NA. 2012. T injauan terhadap
produksi, konsumsi, distribusi dan dinamika
harga cabe di In donesia. Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan 6(2):211-233
Firoz ZA, Jaman MM, Alam, MS, dan Alam MK.
2008. Effect of boron application on the
yield of different varieties of broccoli in hill
valley. Bangladesh J. Agri. Res.33(3):655-
657
Ikhsan M. 2018. Kebutuhan cabai Batam 10 ton
per hari, DKP coba swasem bada. [Internet].
Tersedia pada: http://batamnews.co.id/
berita-32352-kebutuhan-cabai-batam-10-
ton-per-hari-dkp-coba-swasem bada-.html.
Diakses pada: 22 September 2018.
Manas D, Bandopadhyay PK, Chakravarty A, Pal
S, Bhattacharya A. 2014. Effect of foliar
application of humic acid, zinc and boron on
biochemical changes related to productivity
of pungent pepper (Capsicum annuum L.).
Afr J. Plant Sci. 8(6):320-335.
Martens DC dan Westerman DT. 1991. Fertilizer
application for correcting micronutrient
deficiencies. Di dalam: Micronutrients in
Agriculture. Ed ke-2. Madison (USA):
SSSA Book
Maske G. 2018. Effect of foliar application of
micronutrient on growth and seed yield of
chilli (Capsicum annum L.) [tesis].
Jabalpur(IN): Jawaharlal Nehru Agricultural
University.
140
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140
Navrot J dan Levin I. 1976. Effect of
micronutrients on pepper (Capsicum
annuum ) grown in peat soil un der
greenhouse and field condition. Expl. Agric.
12(1976):129-133
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
2016. Outlook Cabai. Jakarta (ID): Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian
Pal AK, Bara BM, dan Chaurasia AK. 2018.
Influence of different micronutrient on seed
viability and vigour parameters in chilli
(Capsicum annum L.) under storage
condition. Int. J. Pure App. Biosci. 6(5).
377-383.
Patil BC, Hosamani RM, Ajjapalavara PS, Naik
BH, Smitha RP, dan Ukkund KC. 2008.
Effect of foliar application of micronutrients
on growth and yield components of tomato
(Lycopersicon esculentum Mill.). Karnataka
J. Agric. Sci. 21(3):428-430
Patil AD, Patil DS, Dhumal SS, dan Ghode PB.
2013. Effect of micro-nutrients sprays on
gro wth and yield parameters of capsicum
(Capsicum annuum var. grossum). Asian J.
Hort. 8(1): 379-380
Patil VK, Yadlod SS, Tambe TB, dan Narsude PB.
2010. Effect of foliar application of
micronutrients on flowering an d fruit set of
tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) cv.
Phule Raja. International J. agric.
Sci.6(1):161-166
Shivaprasad M, Mohankumar HD, Astaputre SA,
Chittapur BM, Tatagar MH, Mesta RK.
2009. Yield and quality of chilli (cv.Bydagi
dabbi ) as influenced by secondary and
micronutrients. Karnataka. J. Agric. Sci.
22(5): 1090-1092
Valenciano JB, Boto JA, dan Marcelo V. 2011.
Chickpea (Cicer arietinum L.) response to
zinc, boron, and molybdenum application
under fie ld conditions. NZ J. of Crop and
Hort. Sci. 39(4): 217-229
Weil RR dan Brady NC. 2017. The Natures and
Properties of Soils. 15 th Edition. Global
Edition. Harlow (UK): Pearson
141 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera
Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)
PROSPEK AMPEK ANGKEK SEBAGAI VARIETAS UNGGUL SPESIFIK LOKASI PADI
DATARAN TINGGI DI SUMATERA BARAT
Novi Aldi 1)
dan Catur O ktivian Indri Hastuti 2)
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
2)Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jln. Raya Padang-Solok KM.40 Gunung Talang Kab. Solok, Sumatera Barat
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
Email: [email protected]
ABSTRACT
Prospect Of Local Ampect Angkek Varieties For Specific Variety Of Highly Rice Plantation In West
Sumatera.Agam Regency is one of rice production centers in West Sumatera, where its development potential can be
done in lowland and highland areas.The main obstacle on agro-ecosystem in Agam Regency found the main obstacle is
limited availability of superior quality seeds, therefore farmers choose varieties Ampek Angkek and Kuriak Kusuik
variety. Varieties Ampek Angkek has a high yield potential, the texture of rice is favored by the community. The
purpose of this research is to test the growth of local varieties Ampek Angkek compared with other local rice variates; to
test its resistance to disease and to evaluate the rice quality. The research was carried out in two locations which were
the dominant production centers of cultivating the rice field of Ampek Angkek variety in Nagari Kapau, Talang District
and Nagari Balai Gurah, IV Angkek District on Planting season 2013-2014.Testing using five varieties of rice fields
namely Ampek Angkek varieties, Saratuih Hari, Kusuik Putiah, Kuriak Kusuik and Saganggam Panuah. The test was
arranged by Group Random Design (RAK) and Data Analysis Method using ANOVA. The parameters observed were
pest resistance, characteristic evaluation, rice quality, chemical physics and consumer preference. The results of the
research in two locations showed that Ampek Angkek rice varieties have some advantages such as high adaptation in
elevation up to 1,000 m asl, and yield, rendement of rice, milled rice, and rice head higher than other local rice varieties.
Varieties Ampek Angkek resistant to race blas 073 disease and rather resistant to race 133, rather resistant to bacterial
leaf blight patotype III in the nursery and generative phases and consumer preferences are quite high .
Keywords : Rice, Ampek Angkek, Highland, Agam Regency, West Sumatera
ABSTRAK
Kabupaten Agam merupakan salah satu sentra produksi padi sawah di Sumatera Barat, dimana potensi
pengembangannya dapat dilakukan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Pada agroekosistem dataran tinggi di
Kabupaten Agam ditemui kendala utama yaitu terbatasnya ketersediaan benih unggul bermutu, sehingga petani memilih
varietas Ampek Angkek dan Kuriak Kusuik. Varietas Ampek Angkek mempunyai potensi hasil tinggi, tekstur nasinya
sangat disukai oleh masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah menguji pertumbuhan varietas lokal Ampek Angkek
dibandingkan dengan variates padi lokal lain; menguji ketahanannya terhadap penyakit dan mengevaluasi karakteristik
mutu berasnya. Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang merupakan daerah sentral produksi yang dominan
membudidayakan padi sawah varietas Ampek Angkek di Nagari Kapau, Kec. Talang dan Nagari Balai Gurah, Kec. IV
Angkek pada musim tanam (MT) 2013-2014. Pengujian menggunakan lima varietas padi sawah yaitu varietas Ampek
Angkek, Saratuih Hari, Kusuik Putiah, Kuriak Kusuik dan Saganggam Panuah. Pengujian dilakukan dengan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dan Metode Analisis Data mengunakan ANOVA. Parameter yang diamati adalah ketahanan
terhadap hama penyakit, evaluasi karakteristik, mutu beras, fisiko kimia dan preferensi konsumen. Hasil penelitian di
dua lingkungan yang berbeda menunjukkan bahwa padi sawah varietas Ampek Angkek memiliki beberapa keunggulan
yakni daya adaptasi baik pada elevasi dataran tinggi sampai ketinggian 1.000 m dpl, serta daya hasil, rendemen beras
pecah kulit, beras giling, dan beras kepala yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi lokal lainnya. Varietas
Ampek Angkek tahan terhadap penyakit blas ras 073 dan agak tahan ras 133, agak tahan terhadap hawar daun bakteri
patotipe III pada fase pembibitan dan generatif dan preferensi konsumen yang cukup tinggi
Kata kunci: Padi sawah, Ampek Angkek, Dataran Tinggi
142 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148
PENDAHULUAN
Kabupaten Agam merupakan salah satu
sentra produksi padi sawah di Sumat era Barat,
yang mana potensi pengembangannya dapat
dilakukan di dataran rendah maupun dataran tinggi
(Anonim, 2014). Pada beberapa varietas padi lokal
Sumatera Barat telah di identifikasi ada 21 varietas
yang memberi hasil t inggi (>7 t/ha), namun hanya
empat varietas di antaranya yang juga memiliki
umur dan tinggi tanaman sedang ( Syarif dan Zen,
2013).Varietas-varietas ini merupakan varietas
dataran rendah.Selama ini untuk pengembangan
padi sawah lebih dominan pada lahan dataran
rendah, dengan dukungan sarana dan prasarana
produksi cukup memadai seperti ketersediaan
benih dari beragam varietas unggul, sarana irigasi
dan kelembagaan petani. Dilain pihak pada
agroekosistem dataran tinggi di Kabupaten Agam
ditemui kendala utama yaitu terbatasnya
ketersediaan benih unggul bermutu, sehingga
petani memilih varietas Ampek Angkek disamping
varietas Kuriak Kusuik. Padi varietas lokal di
Sumatera Barat terbukti memiliki keunggulan
kompetitif relatif t inggi daripada VUB,
ditunjukkan oleh luasnya sebaran tanam padi
varietas lokal, didukung persepsi sebagian besar
petani yang tinggi terhadap padi varietas lokal
(Nurnayetti dan Atman, 2013). Varietas Ampek
Angkek mempunyai potensi hasil t inggi, tekstur
nasinya sangat disukai oleh masyarakat.
Padi sawah Ampek Angkek mempunyai
keunggalan lainnya adalah produktifitasnya relatif
cukup tinggi bila dibandingkan dengan padi sawah
lainnya di daerah dataran tinggi yang berkembang
di Kabupaten Agam yaitu berkisar 6 – 7 ton / ha
(Anonim, 2014).Berdasarkan keunggulan tersebut ,
varietas Padi Ampek Angkek sangat berpeluang
untuk dapat ditingkatkan mutunya menjadi benih
unggul bermutu pada daerah dataran tinggi
Kabupaten Agam. Varietas unggul spesifik
wilayah dianjurkan untuk dilepas dan
akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses
pelepasan varietas, serta akan mampu
membentuk “regional buffering” yang
akan meredam penyebaran hama dan penyakit
(Baihaki dan Wicaksana, 2005). Selanjutnya
masyarakat petani Kabupaten Agam pada daerah
dataran tinggi mempunyai alternatif pilihan benih
padi yang lebih banyak. Disamping Kabupaten
Agam, varietas padi sawah Ampek Angkek juga
berkembang di berbagai daerah di Provinsi
Sumatera Barat (Anonim, 2014).
Permasalahan yang ditemukan dalam
pengembangan padi sawah Ampek Angkek di
Kabupaten Agam khususnya dan Sumatera Barat
karena belum tersedianya benih padi sawah
varietas Ampek Angkek yang bermutu karena
belum dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai
varietas unggul dan varietas lokal Ampek Angkek
belum dapat dimasukan dalam program
pengembangan benih unggul bermutu melalui
benih berbantuan sehubungan varietas tersebut
belum termasuk benih bina.
Sehubungan dengan hal tersebut maka
varietas lokal Ampek Angkek sangat berpeluang
besar untuk dilepas menjadi varietas unggul oleh
Menteri Pertanian. Padi sawah lokal Ampek
Angkek merupakan varietas unggul lokal milik
Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.
Sebelum dilepas menjadi varietas unggul sesuai
dengan Undang-undang RI No.29 tahun 2000
tentang perlindungan varietas, berkenaan dengan
hal tersebut padi sawah varietas lokal Ampek
Angkek sudah terdaftar di Pusat Perlindungan
Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian dengan
No. 62/PVL/2013 tanggal 18 November 2013.
Keragaman varietas unggul yang sudah dilepas
yang sesuai dengan selara konsumen Kabupaten
Agam khususnya dan Sumatera Barat umumnya
untuk daerah dataran tinggi sangat terbatas.
Adapun varietas unggul yang beredar di Kabupaten
Agam yaitu PB-42, Cisokan, Ir-66, Ir-64, Batang
Piaman, Kuruik Kusuik, Ampek Angkek, 1000
Gantang, Pulut , Padi Putiah, 100 Hari, Bendang
Baru, Singkam, Kapau, Bandang Pulau, Bandang
Sarumpun, Palo Batu, IR Payung, Sokan Putiah,
Adil (Anonim, 2014).
Tujuan penelitian ini adalah menguji
pertumbuhan varietas lokal Ampek Angkek
dibandingkan dengan variates padi lokal lain;
143 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera
Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)
menguji ketahanannya terhadap penyakit dan
mengevaluasi karakteristik mutu berasnya.
METO DE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang
merupakan daerah sentral produksi yang dominan
membudidayakan padi sawah varietas Ampek
Angkek di Nagari Kapau, Kec. Talang dan Nagari
Balai Gurah, Kec.IV Angkek pada MT 2013-2014.
Pengujian menggunakan lima varietas padi
sawah yaitu varietas Ampek Angkek, Saratuih
Hari, Kusuik Putiah, Kuriak Kusuik dan
Saganggam Panuah yang telah dlepas sebagai
varietas unggul spesifik lokasi (Zen et al, 2010).
Pengujian dengan Rancangan Acak Kelompok
(RAK), ukuran plot 3 x 4.2 meter, jarak tanam 30 x
30 cm, jumlah tanaman 3 batang per rumpun .
Sampel untuk karakter tinggi tanaman dan
anakan diambil lima rumpun secara acak pada
barisan kedua dan tiga rumpun untuk anakan
produktif tersebut dihitung semua jumlah gabah
per malai dan gabah bernas. Pengamatan tersebut
meliputi: t inggi tanaman (cm), umur berbunga
(hari), anakan produktif (batang), anakan produktif
(batang), jumlah gabah dan gabah bernas
(butir/malai), umur panen (hari), bobot 1000 Butir
Gabah, hasil (ton/ha).
Analisis data pada semua parameter
dianalisis ANOVA (ANSIRA) menurut Gomez
dan Gomez (1984). Pengujian ketahanan terhadap
hama dan penyakit meliputi : Pengujian ketahanan
terhadap hama Wereng Coklat , penyakit Hawar
Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv oryzae),
penyakit Tungro, penyakit Blas. Dan evaluasi
karakteristik mutu beras dan fisiko kimia meliputi:
Persentase Rendemen Beras Rendemen Beras
Giling (%), persentase Beras Kepala (BG),
Persentase Beras Patah (BP) dan Preferensi
Konsumen/Masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produktivitas varietas Ampek Angkek dibandingkan dengan varietas lain Hasil pengujian observasi varietas Ampek
Angkek bersama Varietas Kuriak Kusuik dan tiga
varietas lokal dataran tinggi lainnya didapatkan
varietas Ampek Angkek mempunyai produktivitas
yang tertinggi pada kedua lingkungan masing-
masing adalah 7,95 t/ha di Kapau dan 7,92 t/ha di
Balai Gurah dengan rata-rata 7,93 t/ha kemudian
diikuti varietas Kuriak Kusuik dengan rata-rata
6,91 t/ha. Varietas Inpari 28 adaptaif untuk
lahan dataran tinggi sampai ketinggian 1.110 m
dpl, dimana Inpari 28 mampu berproduksi 7,84
t/ha (Adri dan Yardha, 2014). Produktivitas yang
terendah ditemui pada varietas Saratuih Hari
masing-masing adalah 4,31 t/ha di Kapau dan 5,99
t/ha di Balai Gurah dengan rata-rata 5,15 t/ha.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa varietas
Ampek Angkek memiliki hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Kuriak Kusuik dan
tiga varietas lokal lainnya.
pengamatan umur berbunga pada
pengujian observasi padi sawah Ampek Angkek
bersama empat varietas lokal lainnya menunjukkan
bahwa tiga varietas berturut -turut Saganggam
Panuah, Saratuih Hari dan Kusuik Putiah lebih
genjah dibandingkan varietas Kuriak Kusuik dan
Ampek Angkek.
Tapi pada pengamatan anakan produktif
pada pengujian observasi padi sawah Ampek
Angkek dan beberapa varietas lokal lainnya di dua
lokasi yang berbeda menunjukkan bahwa rata-rata
anakan produktif pada kedua lingkungan yang
paling banyak ditemui pada varietas Ampek
Angkek dan menunjukkan varietas Ampek Angkek
bersama Saganggam Panuah dan Kusuik Putiah
memiliki jumlah anakan produktif dengan varietas
Kuriak Kusuik. Varietas Saratuih Hari berbeda
nyata lebih sedikit anakan produktifnya hampir
sama dibandingkan dengan varietas Kuriak Kusuik
dan Ampek Angkek dan dua varietas lainnya.
144 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148
Tabel 1. Hasil Pengujian varietas padi sawah Ampek Angkek dibandingkan dengan varietas
lainnya di Kabupaten Agam Tahun 2014.
Parameter Ampek
Angkek
Kuriak
Kusuik (cek)
Saganggam
Panuah (cek)
Kusuik
Putiah
Saratuih
Hari
Potensi Hasil (ton /
ha)
7,95 7,32 6,6 6,82 5,99
Rata – Rata Hasil (ton/ha)
7,93 6,91 6,28 6,64 5,15
Umur Tanaman
(HSS)
162-174 145 – 158 130 - 135 137-142 130-135
Rendemen BPK
(%)
78,39 72,71 75,67 74,19 72,36
Rendemen Beras
Giling (%) 68,47 62,43 62,77 65,86 64,25
Beras Kepala 86,06 77,54 72,65 75,95 79,99
Butir patah 12,29 17,00 23,76 17,16 16,32
Butir mengapur 1,20 3,40 2,70 1,97 2,41
Butir Kuning 0,10 1,10 0,10 0,26 0,15
Butir menir 0,44 0,96 0,88 1,65 1,28
Preferensi
Konsumen
Sangat menarik,
enak
Menarik Menarik Menarik Menarik
Tekstur Nasi Pera Pera Pera Pera Pera
Anakan produktif
(batang/rumpun) 28-31 27-30 26-27 26-27 24-25
Tinggi Tanaman
(cm)
121-122 124-125 119-122 119-120 137-140
Jumlah gabah per
malai (butir) 207-211 202-207 175-179 197-200 109-116
Persentase gabah isi
per malai (%) 79-85 71-75 69-76 72-81 74-75
Berat 1.000 butir
(gram) 23,63 24,58 23,40 24,00 23,37
Tekstur Nasi Pera Pera Pera Pera Pera
Kadar Amilosa (%) 27,00 27,00 26,50 - -
Keterangan : Tulisan tebal : Lebih unggul dari Varietas Cek/sama dengan cek
T inggi tanaman pada pengujian observasi
padi sawah Ampek Angkek dan beberapa varietas
lokal lainnya di dua lokasi hasil pengujian
menunjukkan varietas Ampek Angkek bersama
varietas Kuriak Kusuik sebagai pembanding dan
dua varietas lainnya memiliki karakter tinggi
tanaman yang hampir sama pada kedua
lingkungan, kecuali varietas Saratuih Hari lebih
tinggi dengan keempat varietas lainnya. Umur
masak panen pada pengujian observasi padi sawah
145 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera
Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)
varietas Ampek Angkek bersama empat varietas
lokal lainnya di dua lokasi, menunjukkan varietas
Ampek Angkek miliki umur panen lebih panjang
dibandingkan dengan Kuriak Kusuik dan tiga
varietas lainnya.
Keadaan yang demikian juga dilaporkan oleh
Nishiyama (1976), bahwa suhu rendah yang
ditemui pada elevasi yang lebih tinggi
menyebabkan umur tanaman bertambah
panjang. Selanjutnya Kaneda dan Beachel (1974);
Vergara dan Visperas (1976) menyatakan suhu
rendah menyebabkan umur masak bertambah
panjang. (Tabel 1)
Keragaman jumlah gabah per malai
masing-masing varietas dalam lokasi yang sama
dan dengan lokasi yang berbeda relatif kecil, hal
ini menunjukkan bahwa bawaan faktor genetik
terhadap karakter jumlah gabah per malai lebih
dominan. Hasil pengujian pada kedua lingkungan
menunjukkan varietas Ampek Angkek dan Kusuik
Putiah tidak berbeda banyak terhadap jumlah
gabah per malai dibandingkan dengan Kuriak
Kusuik. Namun, lebih banyak dibandingkan
varietas Saganggam Panuah dan Saratuih Hari.
Persentase gabah bernas per malai di
Kapau berkisar 69,37-79,39% dan di Balai Gurah
74,62 - 84.65%. Varietas Ampek Angkek
mempunyai persentase gabah per malai yang
tertinggi pada kedua lingkungan yaitu rata-rata
82,02% dan yang terendah varietas Saganggam
Panuah dengan rata-rata 72,49%.persentase gabah
bernas varietas Ampek Angkek lebih tinggi
dibandingkan dengan Kuriak Kusuik, sedangkan
tiga varietas lainnya yaitu Saganggam Panuah,
Saratuih Hari dan Kusuik Putiah hamper sama
dengan varietas Kuriak Kusuik.
Bobot 1.000 butir di Kapau berkisar 23,26-
24,93 gram dan di Balai Gurah 23,23-24,24 gram.
Hasil pengujian pada kedua lingkungan
menunjukkan bahwa bobot 1.000 butir varietas
Ampek Angkek lebih rendah dibandingkan
dengan Kuriak Kusuik, sedangkan tiga varietas
lainnya yaitu Saganggam Panuah, Saratuih Hari
dan Kusuik Putiah sama (Tabel 1).
Ketahanan Terhadap Hama Penyakit
Ketahanan Varietas Ampek Angkek terhadap hama
dan penyakit dibanding varietas lainnya dapat
dilihat pada Tabel 2. Ampek Angkek bersama
empat varietas lokal lainnya yang berkembang
pada lingkungan dataran tinggi Agam diuji t ingkat
ketahanannya terhadap wereng coklat biotipe 1, 2,
dan 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
varietas Ampek Angkek bersama varietas Kuriek
Kusuik, Saganggam Panuah yang telah dilepas
sebagai unggul spesifik lokasi (Zen et all, 2011)
dan varietas lokal Saratuih hari dan Kusuik Putiah
diuji ketahanannya terhadap hama wereng coklat
biotipe 1, 2, dan 3. Berdasarkan hasil skrining
(penapisan) diperoleh hasil bahwa tingkat
ketahanan kelima varietas tersebut dalam kategori
agak rentan dan rentan dibandingkan dengan
vatietas kontrol yaitu TN1 yang bereaksi sangat
rentan, sedangkan untuk varietas Rat hu Henati dan
PTB 33 bereaksi tahan dan agak tahan.
Ketahanan Galur Terhadap Penyakit
Tungro berdasar hasil skrining terhadap penyakit
tungro yang dilakukan di rumah kaca Inlitpa
Sukamandi menunjukkan, bahwa secara umum
keempat varietas lokal yang diuji ketahanannya
terhadap penyakit tungro menunjukkan tidak ada
yang tahan terhadap penyakit tungro namun hanya
sebatas agak tahan untuk varietas Ampek Angkek,
Kuriek Kusuik dan Kusuik Putiah.
Ketahanan Galur Terhadap Hawar Daun
Bakteri (HDB) pada Fase pembibitan saat 4
minggu setelah inokulasi (MSI), hasil skrining
terhadap hawar daun bakteri pada fase pembibitan
saat 4 MSI di rumah kaca Inlitpa Sukamandi
menunjukkan bahwa varietas Ampek Angkek yang
dipersiapkan untuk diusulkan dilepas sebagai
varietas unggul spesifik lokasi memberikan respon
yang sama dengan varietas pembanding tahan
(Wase Aikoku dan Java 14). Kalau pada fase
generatif saat 4 MSI, hasil pengamatan pada empat
minggu MSI pada fase generatif menunjukkan
bahwa varietas Ampek Angkek bereaksi agak
tahan terhadap patotipe III dan empat varietas
lainnya berekasi agak rentan. Terhadap patotipe IV
dan VII semua varietas bereaksi rentan.
146 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148
Ketahanan terhadap penyakit blas
(Pyricularia grisea) di rumah kaca Inlitpa Muara
menunjukkan bahwa secara umum varietas Kuriek
Kusuik dan Kusuik Putieh agak tahan terhadap
kempat ras blas dan Ampek Angkek tahan
terhadap ras 073 dan agak tahan ras 133.
Pengujian mutu gabah dan beras
Hasil analisis mutu gabah dan beras
varietas padi Ampek Angkek bersama varietas
lokal lainnya terhadap lima komponen mutu fisik
lainnya varietas Ampek Angkek juga menampilkan
nilai yang terbaik berturut -turut adalah beras
kepala 86,06%, butir patah 12,29%, butir
mengapur 1,20%, butir kuning 0,10% dan menir
0,44%.
Hasil kajian Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Barat varietas lokal Ampek
Angkek mempunyai Amylosa 27 %. Kandungan
amylosa merupakan faktor utama yang
menentukan mutu dan tekstur nasi (Juliano, 1979
dan Thayumanavan, 1987). Selanjutnya Khush
et al., (1979) mengklasi-fikasikan kadar amylosa:
Tabel 2. Ketahanan Varietas Ampek Angkek terhadap hama dan penyakit dibanding varietas lainnya.
Parameter Ampek
Angkek
Kuriak
Kusuik (cek)
Saganggam
Panuah (cek)
Kusuik
Putiah
Saratuih
Hari
Wereng Coklat
- Biotipe I Agak Rentan Agak Rentan - Agak Rentan
Agak Rentan
- Biotipe II Agak Rentan Agak Rentan - Agak Rentan Agak Rentan
- Biotipe III Agak Rentan Rentan - Agak Rentan Agak Rentan
Hawar Daun
Bakteri
a.Fase
Pembibitan
- Patotipe III Agak Tahan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan
- Patotipe IV Rentan Rentan Rentan Agak Rentan Rentan
- Patotipe VIII Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan
b. Generatif 2
MSI
- Patotipe III Tahan Agak Tahan Agak Tahan Agak Tahan Tahan
- Patotipe IV Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan
- Patotipe VIII Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan
c. Generatif 4
MSI
- Patotipe III Agak Tahan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan
- Patotipe IV Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan
- Patotipe VIII Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan
Tungro
Strain Garut Agak Tahan Rentan - Rentan Rentan
Strain Purwakarta Agak Tahan Agak Tahan - Agak Tahan Rentan
Blast Tidak
Terserang
Tidak
Terserang Tidak Terserang
Tidak
Terserang
Tidak
Terserang - Ras 033 Rentan Agak Tahan - Agak Tahan -
- Ras 073 Tahan Agak Tahan - Agak Tahan -
- Ras 133 Agak Tahan Agak Tahan - Agak Tahan -
- Ras 173 Rentan Agak Tahan - Agak Tahan -
147 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera
Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)
10%-20% (rendah); 20%-25% (sedang) dan 25%-
30% (tinggi). Mengacu kriteria yang dikemukakan
sebelumnya maka varietas Ampek Angkek
termasuk kelompok amylosa tinggi dengan tekstur
nasi pera yang merupakan rasa nasi yang disukai
oleh masyarakat Sumatera Barat . Hasil penilain
preferensi konsumen / masyarakat adalah
penampilan beras skoring 3,46; rasa nasi skoring
3,3; harga jual skoring 3 terhadap beras Ampek
Angkek (kuisoner preferensi konsumen /
masyarakat tahun, 2014) (Tabel 1).
Perbedaan morfologi varietas padi sawah
Ampek Angkek dibandingkan dengan varietas
lokal yang sudah dilepas (Tabel 3.)
Berdasarkan pengamatan dan pengujian
observasi di beberapa lokasi, varietas padi sawah
Ampek Angkek sebagai calon varietas unggul
spesifik lokasi untuk dilepas mempunyai
keunggulan dan ketahanan terhadap hama
penyakit. Varietas padi sawah Ampek Angkek
tidak ditemukan kelemahan kecuali umur masak
panen dalam yaitu dengan kisaran 162 – 173 HSS.
Tabel 3. Perbedaan Morfologi varietas padi sawah Ampek Angkek dengan varietas yang sudah dilepas
Karakteristik Varietas
Ampek Angkek Anak Daro Kuriak
Kusuik
Ceredek
Merah
Saganggam
Panuah
Umur tanaman
(HSS)
162-174 135 – 145 155 140 141
Bentuk tanaman Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak
Tinggi tanaman
(cm)
121-123 105 – 121 105 111 130
Anakan produktif 28-31 btg 20 – 27 btg 36 btg 19 btg 22 btg
Warna kaki Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Warna batang Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Warna telinga
daun
Tidak Berwarna Tidak Berwarna Tidak
Berwarna
Hijau Hijau
Warna lidah daun Tidak Berwarna Tidak Berwarna Tidak
Berwarna
Tidak
Berwarna
Tidak berwarna
Warna helai daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Muka daun Kasar Kasar Kasar Kasar Kasar
Posisi daun Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak
Daun bendera Agak tegak – tegak Tegak Miring –
Tegak
Tegak Tegak
Bentuk gabah Ramping Ramping Sedang Ramping Agak Ramping
Warna gabah Jerami Kuning Jerami Kuning emas dengan jalur
coklat pada
dasar gabah
Coklat
kekuningan Kecoklatan
Kerontokan Mudah rontok Sedang Sedang Sedang Sedang
Kerebahan Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan
Rata-rata hasil
(KA biji 14%)
7.93 t/ha 5.55 t/ha 5.5 t/ha 5.2 t/ha 6.2 t/ha
Potensi hasil 7,95 t/ha 6.4 t/ha 6.5 t/ha 7.2 t/ha 7.8 t/ha
Bobot 1000 butir 23.63 gr 22.43 gr 24.98 gr 19.00 gr 25.40 gr
Tekstur Nasi Pera Pera Pera Pera Pera
Kadar Amilosa 27% 27% 27.0% 26% 26.50%
Dilepas tahun 2007 2009 2010 2011
148 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148
KESIMPULAN
Hasil pengujian observasi di dua lingkungan yang
berbeda menunjukkan bahwa padi sawah varietas
Ampek Angkek memiliki beberapa keunggulan
yakni daya adaptasi baik pada elevasi dataran
tinggi sampai ketinggian 1.000 m dpl, serta daya
hasil, rendemen beras pecah kulit , beras giling, dan
beras kepala yang lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas padi lokal lainnya. Varietas
Ampek Angkek tahan terhadap penyakit blas ras
073 dan agak tahan ras 133, agak tahan terhadap
hawar daun bakteri patotipe III pada fase pembibitan dan generatif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Pemerintahan Kabupaten Agam yang telah
memfasilitasi dan mendukung kegiatan ini serta
kepada Syahrul Zen, Indra Catri, Djoni, Edyarman,
Afdhal, Abrar Hamdy yang membantu penelitian
ini . Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Prof.Dr.Ir Subyakto M.Sc dan Ir. Syahrul Zen yang
telah membimbing terhadap penulisan karya tulis
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adri dan Yardha. 2014. Upaya Peningkatan
Produktifitas Padi Melalui Varietas Unggul
Baru Mendukung Swasembada
Berkelanjutan Di Provinsi Jambi. Jurnal
Agroekoteknologi 6 (1) : 1 – 11
Anonim. 2014. Data Varietas Lokal Sumatera
Barat. Laporan UPTD BPSB Provinsi
Sumatera Barat .
Baihaki, A. dan Wicaksana, N. 2015. Interaksi
Genotip × Lingkungan, Adaptabilitas, dan
Stabilitas Hasil, Dalam Pengembangan
Tanaman Varietas unggul di Indonesia.
Zuriat, 6, (1 ) :1 - 10
Gomez, K. A and Gomez A.A. 1984. Statistical
procedures fo agricultural research . New
York: Jhon Wiley & Son. Inc.
Juliano. B.O. 1979. The chemical basis of rice
grain quality. Proc. Workshop Chemical
Aspects of grain quality. Rice Res. Inst.
Los Banos, Philippines. Pp. 69-90.
Kaneda, C. and Beachell, H. M. 1974. Response of
indica- japonica rice hybrids to low
temperature. SABRAO J. 6 (1): 17-32.
Khush, G.S., C.M. Paule and N.M. De La Crue.
1979. Rice grain quality evaluation and
improvement. In: Proc. of the workshop
on Rice Grain Quality. Int. Rice Res. Inst.
Los Banos. Philippines. P. 21-23.
Nishiyama, I. 1976. Effects of temperature on
the growth of rice plant. Pp. 159-185.
In: Proc. Symp. Climate and Rice. IRRI,
Los Banos, Philippines.
Nurnayetti dan Atman. 2013. Keunggulan
Kompetitif Padi Sawah Varietas Lokal Di
Sumatera Barat. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 16 (2)
:102-110
Syarif, A.A. dan Zen, S. 2013. Keragaman
Karakter Varietas Lokal Padi Sawah
Sumatera Barat . Prosiding Seminar
Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-33
"Optimalisasi Sumberdaya Lokal Melalui
Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian
Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat
Menyongsong Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015" 2013:720-729
Vergara, B.S and R.M.Visperas, 1976. Effects at
temperature on the rice plant to
photoperiod. Third Edition IRRI Los
Banos Laguna Philippines.
Thayumanavan, B. 1987. Physicochemical
properties as a basis for identifying
preferred cooking quality. IRRI. Los
Banos, Philippines 18 p.
Yoshida, S. 1981. Foundamentals of rice crop
science. IRRI Los Banos, Philippines
Zen, S.,Syarief, A.A dan Yufdi, P. 2010. Varietas
unggul lokal padi sawah dengan rasa pera
spesifik Sumatera Barat. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sumatera Barat. 34
hal.
149 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum
Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)
INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADIDI LAHAN PASANG SURUT
KALIMANTAN SELATAN
Puspita Harum Maharani1, Eni Siti Rohaeni
1, Rina Dirgahayu Ningsih
1 dan Erythrina
2
1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
2. )Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jalan Panglima Batur Barat No 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Email : [email protected]
ABSTRACT
Technology Innovation in Rice Cultivation in the Swampy Areas, South Kalimantan. The technological
innovations that have been produced need to be disseminated to users so that they can be adopted and utilized to
improve the competitiveness of agricultural businesses. The purpose of this paper is to provide information on the
performance of Jajar Legowo Super carried out on the technological innovation expose in the World Food Day event
in tidal swampy land, Barito Kuala Regency, South Kalimantan. The typology of land and the type of water overflow
have a very important meaning in determining the suitability of the area for lowland rice farming. Jajar Legowo Super
rice cultivation is a technology package that implements several innovations from different research institutions under
IAARD. This technology package aims to increase the productivity and competitiveness of rice plants. The results
showed that productivity of rice variety Inpara 2 6,5 t GKP/ha, Inpara 3 4,16 t GKP/ha and Inpara 8 4,16 t GKP/ha.
Rice variety Inpara 2 with technology package Jajar Legowo Super produces 6,5 t GKP/ha, higher than the level of
productivity of farmers practices at the location of 4.4 t/ha. This shows that the Jarwo Super technology on tidal land
has been shown to be able to increase rice productivity by up to 67,69% or with a delta increase in productivity of 2.1
t/ha.
Key words: Swampy land, technology innovation expose, jajar legowo super
ABSTRAK
Lahan rawa pasang surut ibarat raksasa tidur yang perlu dibangunkan menjadi lahan pertanian yang produktif, salah satunya melalui penerapan teknologi yang memadai. Inovasi teknologi yang telah dihasilkan perlu
disebarluaskan kepada stakeholder agar dapat diadopsi untuk meningkatkan daya saing usaha pertanian. Salah satu
cara untuk mendiseminasikannya melalui gelar inovasi teknologi yang dilaksanakan pada acara Hari Pangan Sedunia
Ke-38. Tujuan dari makalah ini adalah ini untuk memberikan informasi inovasi teknologi budidaya padi Jajar Legowo
Super yang dilaksanakan pada gelar teknologi Hari Pangan Sedunia di lahan rawa pasang surut, Kalimantan Selatan.
Lokasi gelar teknologi dalam rangka Hari Pangan Sedunia Ke-38 berada di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan
Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala. Pada lokasi gelar teknologi ditampilkan sistem usaha pertanian terpadu berbasis
budidaya padi dengan sistem jajar legowo super. Tipologi lahan dan tipe luapan air mempunyai arti yang sangat
penting dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk usahatani padi sawah. Budidaya jajar legowo super merupakan
paket teknologi yang mengimplementasikan berbagai inovasi lingkup Balitbangtan berbasis cara tanam jajar legowo.
Paket teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tanaman padi. Hasil penerapan gelar
inovasi teknologi Jajar Legowo Super di lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan pada kegiatan Hari Pangan
Sedunia tahun 2018 menunjukkan produktivitas padi varietas Inpara 2 sebesar 6,5 t /ha, Inpara 3 sebesar 4,16 t/ha dan
Inpara 8 sebesar 4,16 t/ha. Produktivitas Inpara 2 lebih tinggi dibandingkan tingkat produktivitas padi unggul petani di
lokasi 4,4 t/ha Hal ini menunjukkan bahwa teknologi jarwo super di lahan pasang surut untuk varietas Inpara 2
terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi hingga 67,69 % atau dengan delta peningkatan produktivitas sebesar
2,1 t/ha.
Kata kunci: Lahan rawa, gelar inovasi teknologi, jajar legowo super
150
150 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158
PENDAHULUAN
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS)
Ke-38 tahun 2018 diperingati oleh sekitar 150
negara yang tergabung dalam Food Agriculture
Organization (FAO) dengan tema “ Our Action Are
Our Future: A #ZeroHunger World by 2030 is
Possible”. Tema HPS ke-38 dipilih dengan
harapan masalah kelaparan dapat tuntas sehingga
tidak ada lagi kelaparan dan kemiskinan di dunia
pada tahun 2030. Indonesia merupakan salah satu
negara anggota FAO yang mendapatkan predikat
negara berswasembada pangan, menjadi negara
yang concern dalam hal pangan.
Menurut hasil survei dan pemetaan Balai
Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP,
2015) Badan Litbang Pertanian, luas lahan rawa di
Indonesia tercatat sekitar 34,13 juta ha terdapat di
Kalimantan, Sumatera, Papua, dan sebagian kecil
di Sulawesi yang tersebar di 22 Provinsi. Lahan
rawa terdiri dari rawa pasang surut seluas 8,92 juta
ha, dan rawa lebak 25,21 juta (Tabel 1). Lahan
rawa paling luas berada di Provinsi Papua
mencapai 7,61 juta ha, kemudian Riau 4,91 juta ha,
Kalimantan Tengah 4,11 juta ha, Sumatera Selatan
3,36 juta ha dan Kalimantan Barat 3,10 juta ha.
Berdasarkan luas rawa 34,14 juta ha, sekitar 14,8
juta ha atau 43,4% berpotensi untuk
mengembangkan budidaya padi sawah.
Lahan pasang surut dan rawa lebak ibarat
raksasa tidur yang perlu dibangunkanmenjadi
lahan pertanian yang produktif, salah satunya
melalui penerapan teknologi yang memadai.
Beberapa inovasi teknologi yang telah
dikembangkan secara luas, terbukti menjadi
pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan
usaha dan sistem agribisnis berbagai komoditas
pertanian yang ramah lingkungan. Inovasi
teknologi tersebut diantaranya varietas baru
berumur pendek dengan dukungan teknologi
perbenihan dan sistem penanaman, inovasi tata air
dan ameliorasi lahan, pemupukan, teknologi panen
dan pascapanen, serta pengolahan hasil dan
pemasaran (Hartatik dan Suriadikarta, 2006;
Haryono, 2013).
Teknologi yang telah dihasilkan perlu
disebarluaskan kepada stakeholder agar dapat
diadopsi untuk meningkatkan daya saing usaha
pertanian. Salah satu cara untuk
mendiseminasikannya melalui gelar inovasi
teknologi. Gelar inovasi teknologi yang
Tabel 1. Luas rawa pasang surut dan lebak di Indonesia
Pulau
Luas Rawa (Juta ha) Jumlah (Juta
ha) Rawa Pasang
Surut Rawa Lebak
Sumatera 3.03 9.91 12.93
Kalimantan 2.99 7.04 10.03
Papua 2.43 7.44 9.87
Sulawesi 0.32 0.73 1.05
Maluku 0.07 0.09 0.16
Jawa 0.09 0 0.09
Jumlah 8.92 25.21 34.13
Sumber: BBSDLP (2015)
151 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum
Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)
dilaksanakan merupakan rangkaian acara Hari
Pangan Sedunia Ke-38. Inovasi teknologi yang
dihasilkan dapat dilihat dari dekat oleh para
pengguna teknologi dan bertemu langsung
`komunikasi dan umpan balik untuk perbaikan dan
pengembangan inovasi kedepan.
Peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-38
yang melibatkan berbagai stakeholder menjadi
salah satu sarana yang tepat untuk
mensosialisasikan pengembangan inovasi
teknologi di bidang pangan, khususnya dalam
pengembangan lahan rawa pasang surut yang
mempunyai potensi besar dalam meningkatkan
produksi pangan nasional, serta meningkatkan
kesejahteraan petani. Tujuan dari makalah ini
adalah untuk memberikan informasi keragaan
inovasi teknologi budidaya padi Jajar Legowo
Super (Jarwo Super) yang dilaksanakan pada gelar
teknologi Hari Pangan Sedunia ke-38 di lahanrawa
pasang surut di Kalimantan Selatan.
KARAKTERISTIK LAHAN RAWA PASANG
SURUT
Lahan rawa pasang surut terlet ak pada
topografi datar, sehingga sering terluapi dan
tergenang air secara periodik. Berdasarkan
jangkauan pasang surutnya air, Widjaja-Adhi et al.
(1992) membagi lahan rawa pasang surut menjadi
dua zona, yaitu: (1) zona pasang surut payau/salin,
dan (2) zona pasang surut air tawar. T ipologi lahan
yang terdapat pada zona pasang surut air payau
yaitu tipologi lahan salin, mempunyai ciri unsur Na
tukar yang cukup tinggi (>8 me/100g tanah), dan
berada dekat dengan pantai. Lahan tersebut pada
umumnya telah dimanfaatkan oleh petani untuk
usahatani padi, juga telah banyak yang
mengkombinasikan padi di tabukan dan tanaman
kelapa di surjan atau tukungan.
Pengelompokan tipologi lahan pada zona
air tawar, berdasarkan pada kedalaman
bahan sulfidik, tingkat oksidasi pirit dan ketebalan
gambut. Atas dasar itu ditemukan delapan tipologi
lahan yang terdiri atas: (1) lahan sulfat masam
aktual (SMA), (2) lahan sulfat masam potensial
(SMP), (3) lahan sulfat masam bergambut
(SMPG), (4) lahan potensial (P), (5) lahan gambut
dangkal (GDK), (6) lahan gambut sedang (GSD),
(7) lahan gambut dalam (GDL), dan (8) lahan
gambut sangat dalam (GSDL) (Abdurachman et al.
2006).
Selain tipologi lahan, tipe luapan air
mempunyai arti yang sangat penting dalam
menentukan kesesuaian wilayah untuk usaha
pertanian. Berdasarkan tipe luapan air pasang,
lahan rawa pasang surut dapat dibagi dalam empat
kategori, yaitu: (1) T ipe luapan A, yaitu suatu
wilayah yang dapat diluapi oleh air pasang baik
oleh pasang besar maupun oleh pasang kecil, (2)
T ipe luapan B, yaitu wilayah yang hanya dapat
diluapi oleh air pasang besar saja, sedang pada
pasang kecil air tidak dapat meluap ke petak
sawah, (3) T ipe luapan C, yaitu wilayah yang tidak
terluapi air pasang, tetapi air pasang
mempengaruhi kedalaman muka air tanah kurang
dari 50 cm dari permukaan tanah, dan (4) T ipe
luapan D, yaitu wilayah yang sama sekali t idak
dipengaruhi oleh air pasang, namun demikian air
pasang mempengaruhi kedalam muka air tanah
pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan
tanah (Ar-Riza dan Alkasuma, 2008).
Penataan lahan dengan tipe luapan A dan
B umumnya disawahkan, sedang tipe luapan C
umumnya ditata dengan sistem surjan. Hal ini
berhubungan dengan kedalaman pirit pada tipe A
dan B yang dimungkinkan dangkal, sedangkan tipe
luapan C jauh pada jeluk lebih dari 100 cm dari
permukaan tanah, sehingga aman dengan
pembuatan sistem surjan (Noor, 2004;
Kusumowarno, 2014).
HASIL PENELITIAN DAN PENGKAJIAN
INO VASI TEKNO LO GI
Inovasi teknologi budidaya padi sistem
jajar legowo super di lahan rawa pasang surut
dikembangkan dari inovasi teknologi jajar legowo.
152 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158
A. Inovasi Teknologi Sistem Tanam Jajar
Legowo
Salah satu cara untuk meningkatkan
produktivitas tanaman padi adalah dengan
pengaturan jarak tanam (Magfiroh et al. 2017).
Jarak tanam optimum akan memberikan
pertumbuhan bagian atas tanaman yang lebih baik
sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya
matahari serta pertumbuhan perakaran dapat
memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Jarak
tanam yang terlalu rapat akan mengakibatkan
terjadinya kompetisi antar tanaman dalam
pemanfaatan cahaya matahari, air dan unsur hara
(Hatta, 2011).
Cara tanam padi jajar legowo merupakan
perubahan teknologi jarak tanam padi yang
dikembangkan dari sistem tanam tegel yang telah
berkembang di masyarakat (Pahruddin, 2004).
Sistem tanam jajar legowo di artikan sebagai cara
tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan
dan diselingi satu barisan kosong
(Wahyunindyawati, 2010).
Manfaat dari sistem tanam jajar legowo
adalah menjadikan lebih banyak tanaman
mendapat pengaruh tanaman pinggir yang
memperoleh sinar matahari lebih banyak dan
sirkulasi udara yang lebih baik, unsur hara lebih
merata, serta pemeliharaan tanaman lebih mudah
(Mujisihono et. al. 2001). Penerapan sistem jajar
legowo juga memiliki beberapa keunggulan yaitu
pemupukan dan pengendalian organisme
penganggu tanaman menjadi lebih mudah
dilakukan di dalam lorong-lorong dan
meningkatkan populasi tanaman (Anggraini et al.
2013). Sistem tanam legowo adalah pola bertanam
yang berselang-seling antara dua atau lebih
(biasanya dua sampai empat) baris tanaman padi
dan satu baris kosong sedangkan dalam barisan
menjadi setengah jarak tanam antar baris. Istilah
Legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal
dari kata ”lego” berarti luas dan ”dowo” berarti
memanjang.
Pada awalnya tanam jajar legowo
diterapkan untuk daerah yang banyak serangan
hama dan penyakit, atau terjadinya keracunan besi.
Jarak tanam dua baris terpinggir pada tiap unit
legowo lebih rapat daripada baris yang di tengah
(setengah jarak tanam antar baris), dengan maksud
untuk mengkompensasi populasi tanaman pada
baris yang dikosongkan. Pada baris kosong, di
antara unit legowo, dapat dibuat parit dangkal.
Parit berfungsi untuk mengumpulkan keong mas,
menekan tingkat keracunan besi pada tanaman
padi, atau untuk pemeliharaan ikan kecil
(Pahruddin et al. 2004).
Cara tanam padi sistem legowo merupakan
rekayasa teknologi yang ditujukan untuk
memperbaiki produktivitas usaha tani padi.
Penggunaan sistem legowo, tanaman padi tumbuh
lebih baik dan hasilnya lebih tinggi karena luasnya
pengaruh tanaman pinggir (border effect) akibat
adanya lorong di antara beberapa barisan tanaman
padi sawah sehingga menghasilkan bulir gabah
yang lebih bernas (Pahruddin et al. 2004). Hasil
penelitian di Kabupaten Lampung Tengah
menunjukkan produktivitas padi jajar legowo lebih
tinggi dibandingkan sistem tegel karena jumlah
rumpun atau populasi tanaman per ha meningkat
sebesar 37,5-45% dan produktivitas bertambah 7-
15% dengan nilai B/C rasio >1 (Permata et al.
2017). Hal yang sama dikemukakan oleh
Diraatmaja (2002) dan Diraatmaja (2002),
diperoleh rasio B/C pada sistem tanam jajar
legowo sebesar 1,8 dan pada sistem tanam tegel
sebesar 1,5 sehingga sistem tanam jajar legowo
layak untuk diusahakan dan memberikan manfaat.
Hasil penelitian di Provinsi Jambi menunjukkan
bahwa rumpun padi yang berada di barisan pinggir
mempunyai hasil 1.5-2 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan rumpun yang berada di bagian
dalam. Sistem jajar legowo meningkatkan hasil
panen sebesar 1,4 t/ha GKP atau sebesar 26 ,9%
bila dibandingkan sistem tanam tegel (Babihoe,
2013).
Keuntungan lain dari sistem tanam padi
jajar legowo yaitu dapat mengurangi dampak
serangan hama dan penyakit tanaman. Adanya
jarak tanam yang lebar tiap dua baris menyebabkan
rendahnya kelembababan mikro, sehingga
menghambat pertumbuhan wereng cokelat,
penyakit blas dan hawar daun bakteri (Darajat et
153 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum
Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)
al. 1996). Sistem tanam padi jajar legowo
menyebabkan pergerakan hama wereng hijau lebih
rendah, sehingga infeksi virus tungro menjadi lebih
lambat (Widiarta et al. 2003). Banyaknya
intensitas cahaya yang masuk di antara barisan
tanaman legowo menyebabkan serangan tikus
berkurang karena serangan tikus terjadi di tengah
petakan (Nayak et al. 2014).
B. Inovasi Teknologi Sistem Jajar Legowo
Super
Teknologi Jajar Legowo Super (Jarwo
Super) di lahan sawah irigasi pertama kali
diujicobakan dalam demarea 50 ha di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat pada musim tanam 2016.
Berdasarkan ubinan hasil panen, varietas Inpari-30
Ciherang Sub-1, Inpari-32 HBD, dan Inpari-33
mempunyai potensi produksi 12,4-14,4 t/ha GKP.
Produktivitas padi varietas Ciherang yang
diusahakan petani di luar demarea hanya 7 t/ha
GKP. Jarwo super memberikan B/C rasio 2,66
lebih tinggi disbanding cara petani 1,48
(Balitbangtan, 2016). Budidaya jarwo super
merupakan paket teknologi yang
mengimplementasikan berbagai inovasi lingkup
Balitbangtan, Kementerian Pertanian berbasis cara
tanam jajar legowo (Jamil et al. 2016).
Paket teknologi jarwo super adalah
rekayasa teknologi yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas dan daya saing
tanaman padi. Teknologi jarwo super merupakan
modifikasi dari teknologi jajar legowo dengan
masukan teknologi yang dikembangkan oleh
Badan Litbang Kementerian Pertanian, mencakup:
1. Penggunaan varietas unggul baru dengan
potensi hasil t inggi;
2. Biodekomposer, diberikan saat pengolahan
tanah;
3. Pupuk hayati, diaplikasikan sebagai seed
treatment;
4. Pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat
Uji Tanah Sawah (PUTS);
5. Pengendalian organisme penganggu tanaman
(OPT) menggunakan pestisida anorganik
berdasarkan ambang kendali, serta
6. Alat dan mesin pertanian, khususnya untuk
tanam (transplanter) dan panen (combine
harvester) (Balitbangtan, 2016).
GELAR INO VASI TEKNO LO GI
Lokasi gelar teknologi dalam rangka Hari
Pangan Sedunia Ke-38 berada di Desa Jejangkit
Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito
Kuala. Pada lokasi gelar teknologi ditampilkan
sistem usaha pertanian terpadu:
1. Tata kelola air
Pengelolaan air dilakukan pada skala
mikro, yaitu dari saluran air tersier, kuarter, sampai
ke petak-petak sawah. Pada masing-masing muara
saluran tersier (inlet) maupun pengeluaran (outlet)
dipasang pintu air yang semi otomatis, yaitu pintu
yang membuka apabila terjadi pasang pada saluran
inlet dan penutup apabila surut pada saluran outlet.
Pada saluran outlet juga dipasang tabat konservasi
sehingga sewaktu-waktu air dapat ditahan
(dikonservasi). Oleh karena air yang masuk
melalui pintu inlet dan keluar melalui pintu outlet,
maka terjadi sirkulasi air yang mengalir searah.
Sistem pengelolaan air ini disebut dengan tata air
satu arah (one flow system ) (Ar-Riza dan
Alkasuma, 2008).
2. Tata kelola lahan
Kegiatan pengelolaan lahan rawa yang
pertama kali dilakukan yaitu dengan pemberian
ameliorasi lahan. Ameliorasi ditujukan untuk
memperbaiki sifat kimia tanah di lahan rawa yang
umumnya masam sampai sangat masam (pH <4),
ketersediaan hara makro (N,P,K) dan mikro (Cu,
Zn) yang rendah, serta kelarutan Al, Fe, Mn dan
asam-asam organik yang tinggi (Noor dan Jumberi,
2008). Bahan amelioran yang digunakan pada areal
gelar teknologi berupa kapur dolomit dengan
takaran 2 t/ha, kemudian setelah 2-3 hari dilakukan
pemberian pupuk hayati Biotara 25 kg/ha.
Pengolahan tanah di lahan rawa dilakukan
dengan bajak singkal kemudian rotary satu hingga
154 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158
dua kali, tergantung pada kondisi lahan. Agar
mempercepat perombakan bahan organik yang ada
di permukaan tanah ditambahkan MDec dan
Biotara yang merupakan decomposer atau
perombak bahan organik secara cepat. MDec
mengandung Trichodema, sp., Aspergilus, sp.
Trametes, sp dengan takaran 2 kg/ha. Kenggulan
MDec adalah mempercepat proses pengomposan
bahan organik, baik pada pada tunggul jerami
bekas pertanaman sebelumnya maupun rumput
atau semak hasil dari pembersihan lahan sehingga
Mdec dapat memperpendek masa persiapan tanam
(Haryati dan Liferdi, 2017).
3. Varietas Varietas padi yang digunakan dalam gelar
teknologi Hari Pangan Sedunia Ke-38 adalah tiga
varietas unggul baru yang sudah diidentifikasi
sebagai varietas adaptif di lahan rawa: varietas
Inpara 2, Inpara 3 dan Inpara 8 ditanam
menggunakan inovasi teknologi budidaya jarwo
super (Balitbangtan, 2016).
4. Pemupukan
Teknologi jajar legowo super merupakan
sistem optimalisasi produksi padi sawah hasil
inovasi yang mengimplementasikan teknologi
budidaya padi secara terpadu berbasis cara tanam
jajar legowo. Berdasarkan status hara tanah yang
dianalisis menggunakan Perangkat Uji Tanah
Rawa (PUTR). Dosis pemberian pupuk yang
diperlukan adalah 400 kg/ha NPK dan 100 kg/ha
urea yang diberikan 2 kali pada 7 hari setelah
tanam (HST) dan 30 HST. Agar meningkatkan
pertumbuhan dan daya tahan tanaman dilakukan
penyemperotan pupuk mikro (Cu dan Zn) yang
diperkaya dengan mikroba dan untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan
mencegah tanaman rebah diberikan Biosilika.
Pemberian pupuk hayati Agrimeth dengan dosis 50
g/5 kg benih padi digunakan sebagai seed
treatment yang dapat menghasilkan fitohormon
(pemacu pertumbuhan tanaman), menambat
nitrogen dan melarutkan fosfat yang sukar larut
serta meningatkan kesuburan dan kesehatan tanah.
Gambar 1. Produktivitas panen 3 varietas padi di lahan pasang surut Kalsel
155 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum
Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)
5. Pengendalian hama dan penyakit Konsep teknologi Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) adalah membatasi penggunaan
insektisida sintesis dengan memperkenalkan
pengamatan ambang ekonomi sebagai dasar
penetapan pengendalian hama, mendorong
penggantian pestisida kimia dengan teknologi
pengendalian alternatif yang lebih banyak
memanfaatkan musuh alami, trap barrier system
(TBS), pestisida hayati, dan feromon. Di sekitar
lokasi Gelar Teknologi dan di pematang sawah
ditanam bunga refugia. Bunga refugia selain
bermanfaat sebagai konservasi musuh alami,
menampilkan keindahan, dan estetika. Tanaman
refugia yang ditanam adalah bunga matahari,
bunga tahi kotok, kenikir, bunga kertas, dan bunga
jengger ayam.
Areal Gelar Teknologi dilengkapi lampu
perangkap yang merupakan alat untuk menarik
serangga yang tertarik cahaya pada waktu malam
hari. Alat ini berfungsi untuk mengetahui
keberadaan atau jumlah populasi serangga di lahan
pertanian. Di bawah lampu diberikan sebuah
wadah air yang sudah dicampur dengan sabun.
Ketika hama mendekati lampu dengan sendirinya
hama tersebut akan jatuh ke dalam air (Alamsyah
et al. 2017).
6. Alat dan mesin pertanian Optimalisasi usaha tani pada lahan rawa
tidak terlepas dari penggunaan alat dan mesin
pertanian (alsintan). Penggunaan alsintan hampir
pada seluruh tahapan budidaya, dimulai dari
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
pengairan hingga pada saat panen. Alat tanam yang
digunakan adalah (a) Rice transplanter Jajar
Legowo Prototipe II dan alat tanam benih langsung
jajar legowo, (b) Penyiang gulma padi sawah
bermotor (power weeder), dan (c) combine
harvester.
KERAGAAN GELAR INO VASI TEKNO LO GI
Hasil penerapan gelar inovasi teknologi
jajar legowo super di lahan rawa pasang surut di
tipe luapan B di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan
Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala dalam
peringatan Hari Pangan Sedunia ke-38
menunjukkan hasil sebagai berikut: produktivitas
rata rata gabah kering panen varietas Inpara 2
sebesar 6,5 t/ha, Inpara 3 sebesar 4,16 t /ha dan
inpara 8 sebesar 4,16 t/ha (BPTP KalSel, 2018).
Pada hasil penerapan inovasi jajar legowo super di
lahan pasang surut di Kalimantan Tengah
(Susilawati, 2017), produktivitas Inpari 42
dihasilkan 8,64 t/ha GKP. Rata-rata tingkat
Tabel 2. Analisa usaha tani padi jajar legowo super di lahan pasang surut, Barito Kuala.
No URAIAN
JUMLAH (Rp)
Jarwo super Tegel (kebiasaan
petani)
A. Pengeluaran/input
1. Sarara produksi (benih, pupuk, pestisida) 3.955.000 2.170.000
2. Tenaga Kerja 8.175.000 7.575.000
Jumlah Biaya 12.130.000 9.745.000
B. Penerimaan/output
- Hasil GKP padi unggul 5.400 kg x Rp. 4.500, 24.300.000 - Hasil GKP padi unggul 3.980 kg x Rp. 4.500, 17.910.000
C. Pendapatan 12.170.000 8.165.000
D. R/C Ratio 2,00 1,84 Sumber : BPTP KalSel, 2018.
156 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158
produktivitas padi unggul petani di lokasi ini tanpa
inovasi teknologi jarwo super adalah 4,4 t/ha GKP.
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi jarwo super
di lahan pasang surut terbukti mampu
meningkatkan produktivitas padi hingga 60,69%
atau dengan delta peningkatkan produktivitas
sebesar 2.7 t/ha GKP. Kelayakan usaha tani karena
penerapan satu teknologi secara ekonomi dinilai
dari revenue cost ratio (R/C). Bila R/C lebih dari 1
berarti teknologi tersebut menguntungkan. Ratio
R/C dari penggunaan teknologi jarwo super
memberikan keuntungan yang lebih tinggi
daripada cara kebiasaan petani, dapat dilihat dari
Tabel 2. Berdasarkan table 2 didapatkan nilai R/C
ratio Jarwo super diperoleh 2,0 dan lebih tinggi
0,16 dari usaha tani sistem tegel (kebiasaan
petani), sehingga usaha tani jajar legowo super
dikatakan lebih mengutungkan dari sistem usaha
tani tegel (kebiasaan petani).
KESIMPULAN
Tipologi lahan dan tipe luapan air
mempunyai arti yang sangat penting dalam
menentukan kesesuaian wilayah untuk usahatani
padi sawah. Budidaya jajar legowo super
merupakan paket teknologi yang
mengimplementasikan berbagai inovasi lingkup
Balitbangtan berbasis cara tanam jajar legowo.
Paket teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas dan daya saing tanaman padi. Hasil
penerapan gelar inovasi teknologi Jajar Legowo
Super di lahan rawa pasang surut di Kalimantan
Selatan pada kegiatan Hari Pangan Sedunia tahun
2018 menunjukkan produktivitas padi varietas
Inpara 2 sebesar 6,5 t /ha GKP, Inpara 3 sebesar
4,16 t /ha GKP dan inpara 8 sebesar 4,16 t/ha GKP.
Produktivitas Inpara 2 lebih tinggi dibandingkan
tingkat produktivit as padi unggul petani di lokasi
4,4 t/ha GKP. Hal ini menunjukkan bahwa
teknologi jarwo super di lahan pasang surut untuk
varietas Inpara 2 terbukti mampu meningkatkan
produktivitas padi hingga 67,69 % atau dengan
delta peningkatan produktivitas sebesar 2 ,1 t/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih pada
pada Ir. Erythrina untuk bimbingannya dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., K. Subagyono, dan M. AlJabri.
2006. Konservasi dan rehabilitasi lahan
rawa. Hlm. 250. Dalam D.A. Suriadikarta,
U. Kurnia, Mamat H.S., W. Hartatik, dan
D. Setyorini (Eds.). Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian. Bogor
Alamsyah, W., O. Nurhilal, J. Y. Mindara, A.
Saad, Setianto, dan S. Hidayat. 2017. Alat
Perangkap hama dengan metode caharya
UV dan sumber listrik panel surya. Jurnal
Ilmu dan Inovasi Fisika 1(1): 37-44
Anggraini, F., A. Suryanto., dan A. Nurul. 2013.
Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman
Padi Sawah (Oryza sativa L.) varietas
INPARI 13. Jurnal Produksi Tanaman
Vol.1 No 2 ISSN: 2338-3976.
Ar-Riza, I., dan Alkasuma. 2008. Pertanian lahan
rawa pasang surut dan strategi
pengembangannya dalam era otonomi
daerah. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(2):
95-104
Babihoe, Julistia. 2013. Sistem Tanam Padi Jajar
Legowo. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jambi. Jambi.
Balitbangtan. 2016. Petunjuk Teknis Budidaya
Jajar Legowo Super. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
BBSDLP. 2015. Sumberdaya lahan pertanian
Indonesia: luas, penyebaran dan potensi
ketersediaan. Laporan Teknis, Bogor.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian.
157 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum
Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)
BPTP Kalimantan Selatan. 2018. Laporan
Tahunan Kegiatan Gelar Teknologi HPS
2018 (belum publikasi). BPTP Kalimantan
Selatan. Banjarbaru.
Daradjat, A., S. K Triny dan Sadeli. 1996.
Keparahan Patogen Penyebab Penyakit
pada Pertanaman Padi Dengan Cara
Legowo. TAJUK: Majalah Ilmiah
Pertanian 2(4):19-26.
Diraatmaja, IGPA. 2002. Keragaan Teknologi Cara
Tanam Padi Sistem Legowo dalam
Mendukung Sistem Usaha tani Terpadu di
Kabupaten Sukabumi. Prosiding
Lokakarya Pengembangan Usaha Tani
Terpadu Berwawasan Agribisnis
Menunjang Pemanfaatan Sumberdaya
Pertanian Jawa Barat.
Hartatik, W. dan D. A. Suriadikarta. 2006.
Teknologi pengelolaan hara lahan
gambut. hlm. 151-180. Dalam D.A.
Suriadikarta, U. Kurnia, Mamat H. S.,
Hartatik, W dan Setyorini, D. (Ed.).
Karakteristik dan Pengelolaan Lahan
Rawa. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
pertanian, Bogor.
Haryati, Y dan Liferdi. 2017. Kajian teknologi
jajar legowo super dalam mendukung
peningkatan produksi padi. Agrin
21(2)169-175.
Hatta, M. 2011. Pengaruh tipe jarak tanam
terhadap anakan, komponen hasil, dan
hasil dua varietas Padi pada metode SRI.
Jurnal. Floratek 6:104-113.
Haryono. 2013. Lahan Rawa: Lumbung Pangan
Masa Depan Indonesia. IAARD Press,
Jakarta.
Jamil, A., S. Abdulrachman, P. Sasmita, Z. Zaini,
Wiratno, R. Rachmat, R. Saraswati, L.R.
Widowati, E. Pratiwi, Satoto, Rahmini, D.
D. Handoko, L. M. Zarwazi, M. Y.
Samaullah, A. Maolana, dan A. D.
Subagyo. 2016. Budidaya Padi Jajar
Legowo Super. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 35 hal.
Kusumowarno, S. 2014. Percepatan Peningkatan
Produksi dan Produktivitas Padi di Lahan
Rawa Berkelanjutan dan Lestari. Prosiding
Seminar Nasional “Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi” Banjarbaru 6-7
Agustus 2014. Hal 37-43.
Magfiroh, N., M. I. Lapanjang, U. Made. 2017.
Cara tanam padi jajar legowo merupakan
perubahan teknologi jarak tanam padi yang
dikembangkan dari sistem tanam tegel
yang telah berkembang di masyarakat.
Journal Agrotekbis 5(2):212-221.
Mujisihono, R. dan T . Santosa. 2001. Sistem
Budidaya Teknologi Tanam Benih
Langsung (TABELA) dan Tanam Jajar
Legowo (TAJARWO). Makalah Seminar
Perekayasaan Sistem Produksi Komoditas
Padi dan Palawija. Dinas Pertanian
Provinsi D.I. Yogyakarta.
Nayak, B., M.M Khan, K. Moshaand dan P.P.
Rani. 2014. Plant spacing and weed
management techniques influence weed
competitiveness of drum seed rice (Oriza
sativa L.). Int. J. Appl. Biol.Pharm.
Technol. 5(3):13-22.
Noor, M., 2004. Lahan Rawa; Sifat dan
Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Noor, M. dan A. Jumberi. 2008. Potensi,
kendala, dan peluang pengembangan
teknologi budi daya padi di lahan rawa
pasang surut, hlm. 223-244. Dalam A.A.
Daradjat, A. Setyono, A.K. Makarim, A.
Hasanuddin (Ed.). Padi, Inovasi Teknologi
Produksi.Buku 2. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, Sukamandi, Subang.
Pahruddin, A., Maripul dan P. Rido. 2004. Cara
tanam padi sistem Legowo mendukung
usaha tani di Desa Bojong, Cikembar
Sukabumi. Buletin Teknik Pertanian 9(1):
9-12.
158 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158
Permata, A.L., S. Widjaya, dan A. Soelaiman.
2017. Analisis perbandingan usaha tani
pada sistem tanam jajar legowo dengan
sistem tegel di Kecamatan Seputih
Mataram Kabupaten Lampung Tengah.
JIIA 5(1):9-14.
Susilawati. 2017. Paket Teknologi Jarwo Super di
Lahan Pasang Surut, BPTP Kalimantan
Tengah.
https://kalteng.litbang.pertanian.go.id/ind/in
dex.php/publikasi-mainmenu-47-
47/teknologi/728-paket-teknologi-jarwo-
super-di-lahan-pasang-surut. Diakses 18
November 2018.
Wahyunindyawati. 2010. Pengaruh faktor-faktor
produksi terhadap keuntungan usahatani
padi. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa T imur.
Widiarta, I.N., D. Kusdiaman dan A. Hasanuddin.
2003. Pemencaran wereng hijau dan
keberadaan tungro pada pertanaman padi
dengan beberapa cara tanam. Jurnal
Penelitian Tanaman Pangan Vol 22:129-
133.
Widjaja-Adhi I P.G., K. Nugroho, D.A.
Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
Sumber daya lahan rawa: Potensi,
Kebutuhan dan Pemanfaatan. Dalam.
Risalah Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4
Maret 1992. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
159 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)
ANALISIS EKONOMI MODEL PERTANIAN BIO INDUSTRI BERKELANJUTAN BERBASIS TANAMAN KELAPA DI KABUPATEN MAJENE, SULAWESI BARAT
Ketut Indrayana1)
, Endro Gunawan2)
, dan Muh. Ricky1)
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat
Jl. Abdul Malik Pattana Endeng Mamuju, Sulbar 2)Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Jl. Tentara Pelajar 3B, 70 Bogor 16161
Email: [email protected]
ABSTRACT
Economic Analysis Of Sustainable Industry-Based Bio Industry Agricultural Models In Coconut Plants In
Majene District, West Sulawesi. Deep coconut plants are a leading commodity in the province of West Sulawesi and
have great potential to be developed. Coconut waste in the form of coir and coconut water has not been utilized.
Agriculture bioindustry is an agricultural model with the concept of zero waste management by integrating
environmental and socio-economic aspects to maintain healthy ecosystems of agriculture, preserve environmental
quality, and conserve natural resources. Through the concept of zero waste, waste from plant cultivation is converted
into animal feed, and other derivative products. Conversely, livestock waste can be used as fertilizer / compost, biogas
and biourine which allows increased value added in each production chain. This study aims to analyze the economic
potential of coconut bioindustry farming models in Majene District, West Sulawesi in 2016 using primary and secondary
data collected through structured interviews with coconut farmers, copra traders and coconut shell charcoal traders. The
study found that the coconut-livestock integration model has the potential to be developed. Based on the results of the
study, there is a positive synergy in the development of coconut bioindustry with livestock, namely the efficiency in
coconut farming, increased crop productivity due to the availability of organic fertilizer produced by cattle. On the other
hand, for cattle, there is a guarantee of the availability of feed supplies sourced from coconut water waste and coconut
pulp. Analysis of copra processing business in Majene district provides a profit of Rp. 1,470 / kg with an R / C value of
0.25. The low R / C value is due to the lack of production capacity and simple copra processing technology so that the
copra produced does not have good quality.
Keywords: Coconut, Animal, Bioindustry, Integrating
ABSTRAK
Tanaman kelapa dalam merupakan komoditas unggulan di provinsi Sulawesi Barat dan mempunyai potensi yang besar
untuk dikembangkan. Limbah tanaman kelapa yang berupa sabut dan air kelapa belum dimanfaatkan. Pertanian
bioindustri merupakan model pertanian dengan konsep zero waste management dengan mengintegrasikan aspek
lingkungan dengan sosial ekonomi untuk mempertahankan ekosistemalami lahan pertanian yang sehat, melestarikan
kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam. Melalui konsep zero waste, limbah dari budidaya tanaman
diubah menjadi pakan ternak, dan produk turunan lainnya. Sebaliknya, limbah peternakan dapat digunakan sebagai
pupuk/kompos, biogas dan biourine yang memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap rantai produksi. Kajian ini
bertujuan untuk menganalisis potensi ekonomi model pertanian bioindustri kelapa di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat
pada tahun 2016 dengan mengunakan Data primer dan Sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur
terhadap petani kelapa, pedagang kopra dan pedagang arang tempurung kelapa. Hasil kajian didapat bahwa model
integrasi kelapa-ternak berpotensi untuk dikembangkan.. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sinergi positif dalam
pengembangan bioindustri kelapa dengan ternak yaitu terjadinya efisiensi dalam usahatani kelapa, peningkatan
produktivitas tanaman karena tersedianya pupuk organik yang dihasilkan oleh sapi. Sebaliknya untuk ternak sapi
adanya jaminan ketersediaan suplai pakan yang bersumber dari limbah air kelapa dan ampas kelapa. Analisis usaha
pengolahan kopra di kabupaten Majene memberikan keuntungan Rp. 1.470/kg dengan nilai R/C sebesar 0.25. Nilai
160 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168
R/C yang masih rendah disebabkan karena kapasitas produksi yang masih sedikit dan teknologi pengolahan kopra yang
masih sederhana sehingga kopra yang dihasilkan belum mempunyai kualitas yang baik.
Kata Kunci: Kelapa, Ternak, Bioindustri, Integrasi
PENDAHULUAN
Tanaman kelapa merupakan salah satu
komoditas strategis di Indonesia dan mempunyai
potensi yang besar untuk dikembangkan. Peran
strategis itu terlihat dari total luas perkebunan
kelapa di Indonesia yang mencapai 3.712 juta hektar
(31.4%) dan merupakan luas areal perkebunan
kelapa terbesar didunia. Produksi kelapa di
Indonesia menempati urutan kedua didunia yakni
sebesar 12.915 milyar butir (24.4% produksi dunia)
(Alamsyah, A. N, 2005). Namun permasalahan dari
komoditas tersebut antara lain produk yang
dihasilkan terbatas pada bentuk produk primer
sehingga tidak kompetitif. Pemanfaatan tanaman
kelapa saat ini hanya untuk pembuatan kopra dan
minyak kelapa. Limbah tanaman kelapa yang
berupa sabut kelapa, air kelapa dan tempurung
kelapa belum banyak dimanfaatkan.
Di Sulawesi Barat, Kelapa dalam termasuk
salah satu komoditas perkebunan yang sangat
prospektif dan potensial untuk pengembangan
bioindustri berkelanjutan, karena memiliki peranan
yang sangat penting dalam menumbuhkan
perekonomian daerah. Ini terlihat dari luas areal
pertanaman kelapa dalam di Provinsi Sulawesi
Barat yaitu 47.504 hektar dengan total produksi
terus mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke
2012 yakni dari 37.524 ton naik menjadi 43.645 ton
(BPS Sulawesi Barat, 2013). Produk yang
dihasilkan oleh petani kelapa dalam di Sulawesi
Barat berupa kelapa butiran, kopra dan minyak
goreng yang diolah secara tradisional, sedangkan
limbah berupa tempurung, sabut, dan air kelapa
belum dimanfaatkan secara optimal (Dinas
Perkebunan dan Kehutanan provinsi Sulawesi
Barat, 2013). Struktur industri kelapa tersebut
menyebabkan nilai tambah yang diperoleh dari
proses pengolahan kelapa tidak maksimal dan tidak
memberi peluang petani ikut menikmati nilai
tambah yang tercipta dalam proses pengolahan hasil
kelapa. Disamping itu kendala utama yang dihadapi
petani adalah rendahnya harga kelapa butiran, serta
keterbatasan modal. Produk olahan kelapa seperti
kopra dan minyak goreng kualitasnya masih sangat
rendah. Hal ini disebabkan penguasaan teknologi
pengolahan hasil masih tradisional, dan kurang
memperhatikan faktor sanitasi. Disamping itu
produk olahan kelapa belum dilakukan secara
komersial dan belum memenuhi standar mutu yang
dikehendaki pasar.
Untuk meningkatkan mutu/kualitas hasil
dan nilai tambah produk olahan kelapa dalam perlu
dilakukan berbagai terobosan untuk mendorong
berkembangnya struktur bio-industri yang kuat
mulai dari hulu hingga hilir dalam kerangka
agribisnis berbasis kelapa. Terobosan inovasi
diperlukan baik dari aspek teknologi, sosial
ekonomi (kelembagaan dan kebijakan) dalam
mengembangkan industri kelapa dalam dari hulu
sampai hilir. Teknologi tersebut sudah banyak
dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian.
Pertanian bioindustri merupakan model
pertanian dengan konsep zero waste
managementdengan mengintegrasikan aspek
lingkungan dengan sosial ekonomi
untuk mempertahankan ekosistem alami lahan
pertanian yang sehat, melestarikan kualitas
lingkungan, dan melestarikan sumber daya
alam.Melalui konsep zero waste, limbah dari
budidaya tanaman diubah menjadi pakan ternak,
dan produk turunan lainnya. Sebaliknya, limbah
peternakan dapat digunakan sebagai
pupuk/kompos, biogas dan biourine yang
memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap
rantai produksi.
Sistem pertanian - bioindustri berkelanjutan
memungkinkan pengem-bangan konsep zero waste
management, serta pengembangan konsep
pertanian berkelanjutan dengan mengintegrasikan
161 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)
aspek lingkungan dengan social ekonomi
masyarakat pertanian untuk mempertahankan
ekosistem alami lahan pertanian yang sehat,
melestarikan kualitas lingkungan, dan melestarikan
sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan harus
dapat memenuhi kriteria keuntungan ekonomi,
keuntungan sosial, dan konservasi lingkungan
secara berkelanjutan pula. Pertanian berkelanjutan
juga merupakan tulang punggung bagi terwujudnya
ketahanan dan kedaulatan pangan.
Kementerian Pertanian telah menyusun
Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian
(SIPP) 2015-2045. Konsep ini dapat dipandang
sebagai awal pencanangan pengembangan
bioekonomi berbasis pertanian, landasan strategis
dalam pembangunan pertanian jangka panjang, dan
mainstreaming perspektif bioekonomi di
Indonesia. Implementasi konsep bioekonomi
melalui pengembangan Sistem Pertanian-
Bioindustri Berkelanjutan secara luas namun
bertahap.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas,
maka perlu dikaji potensi ekonomi kelapa dalam di
Sulbar dalam kerangka bio industri berkelanjutan
sehingga semua produk berbasis kelapa dan
turunannya dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin oleh petani untuk meningkatkan nilai
tambah. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis potensi ekonomi model pertanian
bioindustri kelapa di Kabupaten Majene, Sulawesi
Barat.
METO DO LO GI
Tempat dan Waktu Pelaksanan Penelitian dilakukan di desa Lombong
T imur, kecamatan Malunda, mulai bulan januari
sampai dengan bulan desember 2016.
Metode Penelitian Metode dasar yang digunakan diskriftif
analitif. Analisis ekonomi yang dilakukan pada
penelitian ini meliputi analisis biaya pengolahan
kopra dan tempurung kelapa yang meliputi analisis
biaya, penerimaan, profit dan R/C ratio. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan
menggunakan kuesioner terstruktur terhadap petani
kelapa, pedagang kopra dan pedagang arang
tempurung kelapa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Desa Lombong Timur Desa Lombong T imur Kecamatan
Malunda, Kabupaten Majene merupakan desa
pemekaran dari Desa Lombong pada tahun 2010,
dihuni oleh sekitar 250 KK mempunyai mata
pencaharian utama sebagai petani kelapa. Desa
Lombong T imur terdiri dari empat dusun : dusun
Mosso T imur, dusun Mosso Barat, dusun
Karalembang Barat dan dusun Karalembang
T imur.Selain sebagai pekebun usaha tani lain
masyarakat desa Lombong T imur adalah sebagai
petani padi sawah, peternak dan nelayan. Terdapat
9 kelompok tani dengan bidang kegiatan yang
beraneka ragam, yaitu padi, kelapa, kakao, pisang
dan ternak.
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Majene Nomor 7 Tahun 2010 Tentang
Pembentukan Desa Di Wilayah Kabupaten Majene
Pada Bab IV Batas Wilayah Desa Pasal 35 ayat 24
disebutkan bahwa Desa Lombang T imur
mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lombang
Kecamatan Malunda, sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Kabiraan Kecamatan Ulumanda,
sebelah timur berbatasan dengan Desa Ulumanda
Kecamatan Ulumanda, dan sebelah barat berbatasan
dengan Desa Lombang Kecamatan Malunda.
Total luas Desa Lombong T imur sekitar
3.42 km2, merupakan desa pemekaran dari Desa
Lombong pada tahun 2010. Jarak Desa Lombong
T imur ke kota Mamuju ( ibu kota Provinsi Sulawesi
Barat ) berjarak 40 km. Perkembangan disektor
pertanian yang dominan adalah perkebunan ( kelapa
dalam, sawit dan kakao), sedangkan di tanaman
pangan adalah padi, jagung, hortikultura (pisang,
mangga) dan sektor peternakan (sapi). Jumlah
kelompok tani yang ada dalam melaksanakan
fungsinya ada 9 kelompok tani yaitu kelompok tani
Busa Kaweni, Pare Dewanta, Matauran 1, Matauran
162 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168
2, Pandai-pandai, Galung-galung, Sinar Kadita,
Tunas Kelapa, dan Samu Sengakna.
Di Desa Lombong T imur tidak ada
kelompok tani yang khusus kelompok tani kelapa
dalam, karena dari kelompok tani tersebut
merangkap seluruh tanaman, seperti padi, kelapa,
kakao, pisang, jagung, hortikultura dan ternak sapi.
Jumlah anggota kelompok tani rata-rata berjumlah
25 orang anggota yang memiliki kebun kelapa
dalam dengan rata-rata seluas 1 hektar, sebagian
kecil ( 4-5 petani ) yang memiliki lahan kebun
kelapa dalam seluas 10 ha. Secara total luas
tanaman kelapa dalam sekitar 400 ha ( 80% ) dari
total luas tanaman perkebunan, dan sisanya tanaman
kelapa hibrida 20 %. Awalnya tanaman kelapa
hibrida mendapat bantuan dari dinas perkebunan
kabupaten sekitar tahun 1989. Sedangkan umur
kelapa dalam rata-rata sekitar 30 – 45 tahun,
sehingga tanaman kelapa dalam ini relatif sudah
cukup tua dan perlu ada peremajaan, karena mulai
terilat produksi setiap tahunnya menurun. Pada
tahun 1990 luas lahan kebun kelapa dalam di
Lombong T imur sekitar 300 ha, dan pada tahun
2000 an terdapat peningkatan luas kebun menjadi
400 ha sampai tahun 2015. Informasi dari kepala
desa , bahwa pada tahun 2016 ada pencetakan
sawah seluas 11 ha yang merupakan alih fungsi
komoditas dari lahan kelapa dalam dan kebun
kakao.
B. Model Pertanian Bio Industri Berbasis
Tanaman Kelapa
Konsep pertanian bioindustri tanpa limbah
merupakan salah satu strategi untuk peningkatan
nilai tambah dan daya saing serta kesejahteraan
petani. Model ini menuntut setiap lini produk
mempunyai nilai jual, sehingga penggunan sumber
daya menjadi efisien dan dapat menekan biaya
produksi. Melalui model bio industri kelapa limbah
dari budidaya tanaman diubah menjadi pakan
`
Gambar 1.Model Pertanian Bio-Industri Kelapa di Kabupaten Majene
163 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)
ternak, dan produk turunan lainnya. Sebaliknya,
limbah peternakan dapat digunakan sebagai
pupuk/kompos, biogas dan biourine yang
memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap
rantai produksi. Usaha yang semula dinilai tidak
layak, dapat menghasilkan produk berdaya saing,
ramah lingkungan. Dengan demikian petani akan
memperoleh tambahan pendapatan. Sistem ini
sangat ramah lingkungan dan mampu memperluas
sumber pendapatan dan menekan risiko kegagalan.
Model pengembangan pertanian bio industri kelapa
di kabupaten Majene dapat dilihat pada Gambar 1.
.Luas areal perkebunan kelapa rakyat di
kabupaten Majene sekitar 5.000 ha dan didominasi
oleh kelapa dalam (80%) dengan poduksi rata-rata
perbulan sekitar 2,5 juta butir kelapa/bulan.
Komponen utama kelapa terdiri dari daging kelapa,
sabut, tempurung dan air kelapa. Daging kelapa
diolah menjadi kopra dengan produk akhir berupa
minyak goreng dan ampas kelapa. Ampas kelapa
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang
kemudian dari ternak ini dapat diambil kotoran dan
urinenya untuk dikembalikan sebagai pupuk
tanaman kelapa.
Tempurung kelapa dapat dimanfaatkan
sebagai arang kelapa (charcoal) dan penghasil asap
cair. Tempurung kelapa merupakan bahan pembuat
briket, dimana briket ini dapat digunakan sebagai
biofuel bersama dengan kotoran ternak, terutama
sapi. Limbah kelapa yang berupa sabut dapat
digunakan sebagai bahan coco dust dan coco fiber .
Coco dust ini dapat digunakan sebagai kompos
tanaman sekaligus sebagai media tanaman untuk
Tabel 1. Analisis Usaha Pengolahan Kopra di Desa Lombong T imur, Kabupatan Majene.2016
No Komponen Vol Harga Satuan
(Rp) Total
I Biaya
1 Kelapa segar (kg) 500 5,000 2,500,000
2 Tenaga Kerja
- angkut dan packing (HOK) 2 50,000 100,000
- mengupas kelapa (HOK) 2 50,000 100,000
- membakar dan mencungkil kelapa
(HOK) 4 50,000 200,000
3 Alat dan bangunan (sewa) 1 50,000 50,00
Total Biaya (Rp) 2,950,000
II Penerimaan
1 Penjualan Kopra (kg) 335 11,000 3,685,000
III Pendapatan (Rp) 735,000
Keuntungan (Rp) 1,470
IV R/C 0,25
164 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168
pembibitan kelapa. Sedangkan air kelapa dapat
dimanfaatkan sebagai bahan nata decoco, venegar
dan minuman ringan.
Model pertanian bio industri kelapa yang
sudah berkembang di kabupaten Majene baru pada
pengolahan kelapa menjadi kopra, pengolahan
minyak kelapa dan pengolahan tempurung menjadi
arang aktif. Limbah kelapa yang berupa sabut dan
air kelapa belum dapat dimanfaatkan karena belum
tersedianya teknologi dan peralatan untuk mengolah
sabut dan air kelapa.
A. Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio
Industri Kelapa
Analisis ekonomi pertanian bio industri
yang akan dibahas meliputi usaha pengolahan kopra
dan arang tempurung di desa Lombong T imur,
kecamatan Malunda. Rata-rata Tanaman kelapa
dipanen 4 bulan sekali, sehingga selama satu tahun
petani mampu memanen kelapa selama 3 kali.
Untuk sekali panen petani kelapa mampu memanen
kelapa rata-rata sekitar500 kg/ha. Satu kg kelapa
rata-rata terdiri 3-4 butir sehingga dalam 1 ha bisa
menghasilkan 1500 - 2000 butir kelapa sekali
panen. Petani kelapa lazim menjual kelapa per kg
bukan per butir, hal ini untuk menghindari kelapa
dalam ukuran kecil yang tidak dibeli oleh pedagang.
Satu pohon kelapa dapat menghasilkan sekitar 25
butir kelapa untuk sekali panen. Ukuran dan tingkat
ketuaan kelapa yang dipanen masih belum seragam.
Harga kelapa per butir ditingkat petani sekitar Rp.
2500.
Agribisnis berbasis kelapa yang sudah
berkembang adalah pembuatan kopra, minyak
kelapa dan pembuatan arang tempurung kelapa.
Pembuatan kopra masih dilakukan sendiri-sendiri
oleh petani dengan metode yang masih sederhana.
Pembakaran kopra dilakukan secara manual dengan
dua kali pembakaran menggunakan tungku
pembakaran permanen dan semi permanen. Tungku
pembakaran permanen terbuat dari beton dan
Tabel 2. Analisis Biaya Pengolahan Tempurung Kelapa di Desa Lombong T imur
Kabupaten Majene. 2016
No Komponen Vol Harga Satuan
(Rp) Total
I Biaya
1 Tempurung (kg) 50 400 20,000
2 Tenaga Kerja
- angkut dan packing (HOK) 1 30,000 30,000
- membakar tempurung kelapa (HOK) 1 30,000 30,000
3 Alat dan bahan (paket) 1 20,000 20,000
Total Biaya (Rp) 100,000
II Pemasukan
1 Penjualan Arang tempurung (kg) 45 3,300 148,500
III Pendapatan (Rp) 48,500
Keuntungan (Rp) 97
IV R/C 0.49
165 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)
merupakan milik bersama dengan kapasitas sekitar
1000 butir kelapa dengan bahan bakar tungku
adalah sabut kelapa. Terdapat 3 tempat pembakaran
kopra permanen di desa Lombong T imur. Waktu
pembuatan kopra dari saat kelapa butiran dibuang
sabut dan airnya sampai menghasilkan kopra kering
dibutuhkan waktu sekitar 2 hari pengolahan. Satu
kg kopra kering dihasilkan dari sekitar 4 butir
kelapa. Biaya yang dikeluarkan petani dalam
pengolahan kopra ini hanya berupa biaya tenaga
dalam keluarga dan biaya peralatan untuk
mengupas dan mencungkil . Kalau menggunakan
tenaga kerja upahan sistem pembayarannya
menggunakan sistem bagi hasil.
Di desa Lombong T imur terdapat 4 orang pedagang
pengumpul kopra dan mampu menjual kopra
seminggu sekali sebanyak 1 ton untuk
setiappedagang. Pedagang membeli kopra dari
petani kelapa dengan harga kopra Rp. 9.500/kg dan
menjual ke pedagang besar di Makassar seharga Rp.
11.000/kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang
pengumpul terdiri dari biaya transport Rp. 40
ribu/kuintal kopra, harga karung Rp. 3.500/buah
dan ongkos timbang Rp. 1000/karung. Terdapat
ikatan bisnis antara pedagang kopra dengan petani
kelapa sehingga petani tidak bisa menjual
kelapanya ke pedagang lain.Pedagang biasa
memberikan pinjaman berupa uang kepada petani
yang membutuhkan, selanjutnya petani akan
membayar dari hasil kopra. Hal ini menyebabkan
petani tidak punya posisi tawar karena harga kopra
sepenuhnya ditentukan oleh pedagang. Harga kopra
di tingkat petani Rp. 9.500/kg dengan kadar air
maksimal 10% dan akan dipotong lagi jika kadar
airnya lebih dari 10%. Penentuan kadar air
dilakukan oleh pabrik (pedagang besar) setelah
kopra disetor dan akan berpengaruh terhadap
pemotongan harga dilevel petani.
Penggunaan tenaga kerja untuk pembuatan kopra
dilakukan dengan 2 sistem, yaitu tenaga kerja dalam
keluarga dan tenaga kerja upahan. Untuk tenaga
upahan sistem pembayaran yang dilakukan adalah
sistem bagi hasil Analisis usaha pengolahan kopra
di desaLombong T imur, Kab. Majene masih
memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,470/kg
(Tabel 1).
Sesuai dengan kapasitas alat pemanggang, untuk
sekali membuat kopra dibutuhkan sekitar 500 kg
kelapa segar dengan waktu pemanggangan 2 hari
Total biaya yang dibutuhkan untuk membeli kelapa,
upah tenaga kerja dan peralatan untuk sekali
pengolahan sebesar Rp. 2,950,000. Dari 500 kg
kelapa segar dapat dihasilkan kopra sebanyak 335
kg dengan harga jual Rp. 11,000/kg
sehingga total penerimaan pengolahan kopra
sebesar Rp. 3,685,000. Keuntungan yang diperoleh
sebesar Rp 1,470/kg kopra dengan nilai R/C ratio =
0,25. Nilai R/C ini masih terlalu kecil sebagai
akibat kapasitas produksi yang masih sedikit, dan
pengolahan yang masih tidak efisien sehingga
kualitas kopra yang dihasilkan masih mengandung
kadar air yang > 10%. Hal ini akan berpengaruh
terhadap harga jual kopra
Agribisnis berbasis kelapa lainya adalah
pembuatan minyak kelapa dan arang tempurung.
Pembuatan minyak kelapa belum dilakukan secara
kontinyu dan baru merupakan usaha sampingan
berdasarkan pesanan. Minyak kelapa yang dikenal
sebagai”minyak mandar” mempunyai prospek yang
bagus karena mempunyai keunggulan aroma
minyak kelapa yang khas. Pembuatan minyak
kelapa mandar masih dilakukan secara tradisional,
sehingga kurang higienis, t idak awet dan
mempunyai kadar kolesterol yang tinggi. Satu liter
minyak kelapa dihasilkan dari sekitar 7-8 butir
kelapa dengan harga Rp. 10.000/liter. Biaya
pembuatan minyak kelapa terdiri dari komponen
tenaga kerja dalam keluarga, peralatan dan bahan
bakar. Total biaya pembuatan minyak kelapa
sekitar Rp. 5000/liter. Di desa Lombong T imur
terdapat tiga orang yang memproduksi arang
tempurung
kelapa. Pedagang arang tempurung mendapatkan
pasokan arang tempurung dari petani kelapa
setempat dengan harga Rp. 400/kg. Setiap hari
pengrajin arang tempurung mampu mengolah
tempurung kelapa sebanyak 50 kg/hari (setara 1
drum).Selain dari desa Lombong T imur pedagang
arang mendapatkan pasokan bahan baku tempurung
166 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168
dari tetangga desa dengan harga Rp. 350/kg
ditambah biaya transportasi Rp. 50 ribu per mobil
pick up. Pedagang arang tempurung menjual
arangnya melalui pedagang dari luar kabupaten.
Setiap minggu pedagang dari kab. Polman akan
datang ke Lombong T imur untuk mengambil arang
yang diproduksi untuk dibawa ke Mamuju dan
Makasar. Harga jual arang tempurung dilevel
pedagang Rp. 3.300/kg. Biaya pembuatan arang
tempurung kelapa terdiri dari biaya tenaga kerja
dalam keluarga, drum dan minyak tanah. Arang
tempurung digunakan sebagai bahan bakar dan
media tanam.
Ada dua cara membuat arang tempurung,
yaitu dengan menggunakan drum dan dengan
mengunakan lubang tanah sebagai tempat
pembakaran. Keuntungan menggunakan drum hasil
arangnya lebih bersih, dan tahan sekitar 2 tahun.
Kapasitas drum untuk sekali membakar sebanyak
50 kg dan harga drum sekitar Rp. 100 – 150 ribu.
Keuntungan usaha pembuatan arang per kg hanya
sebsar Rp. 97/kg dengan R/C ratio hanya 0.49.
Produk lain yang belum dimanfaatkan adalah air
kelapa dan sabut kelapa. Kelompok tani
mengharapkan ada teknologi untuk pemanfaatan
limbah sabut kelapa mengingat ketersediaan bahan
bakunya melimpah
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengembangan bio industri berbasis
tanaman kelapa di kabupaten Majene masih
dilakukan secara tradisional dan baru sebagian yang
dimanfaatkan, yaitu olahan kopra, minyak kelapa
dan arang tempurung. Sabut dan air kelapa belum
dimanfaatkan sehingga menjadi limbah pertanian.
Pengembangan agribisnis kelapa masih
terkendala teknologi dan diversifikasi produk.
Terdapat hubungan bisnis antara petani dan penjual
kopra, sehingga petani tidak mempunyai posisi
tawar untuk menentukan harga produk. Informasi
harga dan kualitas kopra dikendalikan oleh
pedagang pengumpul dan pedagang
besar.Agribisnis kopra mempunyai prospek untuk
dikembangan dengan pengolahan yang lebih
modern sehingga kopra yang dihasilkan lebih
berkualitas.
Usa pengolahan kopra masih memberikan
keuntungan Rp. 1.470/kg dengan nilai R/C ratio
sebesar 0.25. Nilai R/C ratio yang kecil ini
disebabkan karena kapasitas produksi yang masih
terbatas dan kualitas kopra masih rendah sehingga
harga jualnya murah. Nilai keuntungan kopra akan
meningkat jika ada introduksi teknologi pengolahan
dan efisiensi pengolahan.
Disarankan untuk implementasi model bio
industri kelapa di kabupaten Majene perlu masukan
teknologi terkait budidaya kelapa dan pengolahan
produk turunannya sehingga usaha tani menjadi
lebih efisiien.Perlu kelembagaan pengolahan dan
pemasaran kopra dalam bentuk kelompok usaha,
sehingga petani mempunyai posisi tawar dam
penentuan harga kopra.Perlu bantuan modal usaha
dan introduksi peralatan pengolahan kopra,
sehingga produk yang dihasilkan mempunyai daya
saing.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimkasih kepada Muh. Ricky yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian sampai
terwujudnya tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. 2005. Pengembangan sistem
integrasi tanaman-ternak bebas limbah di
KP Muara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Adnyana, M.O., A.K. Makarim, U.D.Djaenudin, I
G.M. Subiksa, B. Haryanto,Marwan, dan
R. T jahjohutomo. 2007. Master Plan dan
Business Plan Merauke Integrated Rice
Estate (MIRE), Kabupaten Merauke,
Papua.
Bamualim, A., Kuswandi, A. Azahari, dan B.
Haryanto. 2008. Sistem Usahatani
Tanaman-Ternak. hlm 19-33. Dalam
Sistem Integrasi Tanaman Pangan-Ternak
167 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)
Bebas Limbah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan,Bogor.
Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian,
2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kelapa.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat, 2013.
Sulawesi Barat dalam Angka. Badan
Pusat Statistik. Mamuju.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene, 2013.
Majene Barat dalam Angka. Badan Pusat
Statistik. Majene.
BALITKA, 2004. Pascapanen Kelapa. Monograf.
Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain
Manado, C.V. Kunci Berkat -Manado. 116
hal.
Brotosunaryo, O.A.S. 2003. Pemberdayaan petani
kelapa. Prosiding Konfrensi Nasional
Kelapa V. Tembilahan, 22-24 Oktober
2002. Hal 10-16
Damanik, S. 2007. Strategi Pengembangan
Agribisnis Kelapa (Cocos nucifera)
untukMeningkatkan Pendapatan Petani di
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.Jurnal
PerspektifVolume 4 Nomor 2, Desember
2005 : 71 – 78. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat. 2013.
Statistik Perkebunan. Pemerintah Provinsi
Sulawesi Barat.
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat. 2013.
Profil Potensi Pengolahan Hasil
Komoditas Unggulan Perkebunan
Provinsi Sulawesi Barat
Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 1999. Pembangunan
pertanian ramah lingkungan: Prospek
pengembangan ternak pola integrasi
(Suatu konsep pemikiran dan bahan
diskusi). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan,Bogor.
Diwyanto, K. Bambang, RP. Dan Darwinsyah, L.
2001. Integrasi Tanaman Ternak Dalam
Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya
Saing Berkelanjutan Dan Berkerakyatan.
Disampaikan Pada Seminar Nasional
teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbangnak. Bogor.
Hamdani, M. 2008. Sistem Pertaninan Terpadu
untuk peningkatan produktivitas lahan
dan kesejahteraan petani. Makalah.
Workshop Teknologi unutuk Masyarakat.
Gedung KORPRI Serang-Banten, 24
Desember 008. Guntoro S. 2011. Saatnya
Menerafkan Pertanian Tekno-Ekologis.
Sebuah Model Pertanian Masa Depan
untuk Menyikapi Perubahan Iklim. PT.
Agromedia Pustaka
Haryanto Budi, I Inounu., Artsana. B dan K.
Diwyanto. 2002. Panduan teknis Sistem
Integrasi Padi-Ternak. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryanto, B., B. Hasan, D. Sisriyenni, A. Batubara,
dan Bestina. 2005. Penerapan teknologi
pemanfaatan jerami padi dan pembuatan
pupuk organik dari usaha pengembangan
sapi potong di Kabupaten Kampar. hlm. 45-
53. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil
Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian, BPTP Riau
Haryono 2014. Dukungan Program Bioindustri dari
Balitbangtan untuk Sukseskan SIPP. Info
Aktual Adm/27 Jan 2014)
Indrajit . L. W., 2008. Pemanfaatan Limbah Ternak
untuk Biogas, Pupuk Cair dan Bahan
Pakan. Fakultas Pertanian Udayana Bali
Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-
Ternak dalam perspektif reorientasi
kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan
pendapatan petani. Analisis Kebiajkan
Pangan. Vol 3 No. 1, Maret 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial
168 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Kusnadi, U. 2007. Inovasi Teknologi Peternakan
Dalam Sistem Integrasi Tanaman dan
Ternak (SITT) Untuk Menunjang
Swasembada Daging Tahun 2010. Orasi
pengukuhan profesor riset Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Nitis, I.M. 1995. Research methodology for
semiarid crop-animal systems in Indonesia.
Crop-Animal Interaction. In C. Devendra
and C. Sevilla (Eds.). IRRI. Discussion
Paper Series No. 6. IRRI, Manila,
Philippines
Makka,D. 2004. Prospek Pengembangan system
integrasi peternakan yang berdaya saing.
Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak. Dempasar, 20-22 Juli
2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama
dengan BPTP Bali dan CASREN.hlm.18-
31.
Pantjar Simatupang 2014. Pengembangan program
bioindustri mendukung strategi induk
pembangunan pertanian. |Informasi
BBalitvet |Kamis, 06 Pebruari 2014)
Suswono 2014a. Sektor Pertanian Akan Menjadi
Bio IndustriSabtu, 25 Januari 2014 16:32
wib Dani Jumadil Akhir –
economy.Okezone.com
Tarigans, D. Dekok. 2005. Diversifikasi Usahatani
Kelapa Sebagai UpayaUntuk
Meningkatkan Pendapatan Petani.
Perspektif Volume 4 Nomor 2, Desember
2005 : 71 – 78. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor
169 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)
EFEKTIVITAS PUPUK ANORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI DI LAHAN KERING SULAWESI TENGGARA
Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jalan Prof. Muh. Yamin No. 89, Kotak Pos 55, Kendari 93114
Email: [email protected]
ABSTRACT
Soybean is one of the national strategic superior commodities after rice and corn. Constraints experienced in the
planting area in Southeast Sulawesi are generally the type of soil is Ultisol or Red Yellow Podzolic (RYP). This soil
type is a land with low soil fertility in the form of high acidity, low organic matter content, macro nutri ent deficiency,
high Al saturation, very high Fe content, alkaline saturation and low CEC. Therefore, to get optimal results, soybean
planting in Southeast Sulawesi needs to get additional fertilizer, especially inorganic fertilizers. Based on the results of
the study showed that NPK fertilizer application can increase the height and total dry weight of soybean plants. In
Konawe Selatan, grobogan varieties that were given NPK fertilizer 200 kg/ha produced higher productivity of 1,293
kg/ha compared to the average soybean yield of 1,051 kg/ha. Soybean yields affect the yield of the number of pods
/clumps, the number of empty pods /clumps, the percentage of empty pods weighing 100 seeds and the yield of seeds.
This paper presents how the effect of inorganic fertilizer application on soybean cultivation in Southeast Sulawesi.
Key words: Soybean, inorganic fertilizer, dry land.
ABSTRAK
Kedelai merupakan salah satu komoditas unggulan strategis nasional setelah padi dan jagung. Kendala yang dialami
pada areal penanaman di Sulawesi Tenggara adalah umumnya jenis tanahnya adalah Ultisol atau Podzolik Merah
Kuning (PMK). Jenis tanah ini merupakan tanah dengan kesuburan yang rendah berupa kemasaman yang tinggi,
kandungan bahan organik rendah, kahat hara makro, kejenuhan Al yang tinggi, kadar Fe sangat tinggi, kejenuhan basa
dan KTK rendah. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil optimal, penanaman kedelai di Sulawesi Tenggara perlu
mendapatkan tambahan pupuk terutama pupuk anorganik. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
pupuk NPK dapat meningkatkan tinggi dan bobot kering total tanaman kedelai. Di Konawe Selatan, varietas grobogan
yang diberi pupuk NPK 200 kg/ha menghasilkan produktivitas lebih tinggi sebesar 1.293 kg/ha dibandingkan rata-rata
hasil kedelai yang hanya 1.051 kg/ha. Tulisan ini menyajikan bagaimana pengaruh aplikasi pupuk anorganik dalam
budidaya kedelai di Sulawesi Tenggara.
Kata kunci: Kedelai, pupuk anorganik, lahan kering.
170 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:169-180
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas
unggulan strategis nasional setelah padi dan jagung.
Sampai saat ini kedelai merupakan salah satu
sumber protein utama dalam gizi masyarakat
Indonesia, karena biji kedelai memiliki kadar
protein lebih dari 40% danharga yang relatifmurah.
Kondisi demikian yang menyebabkan permintaan
terhadap kedelai setiap tahun terus meningkat.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2017 kebutuhan
nasional diperkirakan mencapai 2,7 juta ton atau
naik 15% dari kebutuhan tahun 2016 sekitar 2,85
juta ton. Sementara produksi nasional tahun 2016
telah mencapai 860 ribu ton berat kering dan di
tahun berikutnya 2017 mencapai 786 ton berat
kering. Di sisi lain, produksi kedelai dalam negeri
tidak banyak mengalami peningkatan, tidak mampu
mengimbangi pertumbuhan kebutuhan konsumsi
kedelai, sehingga impor menjadi solusi untuk
menutupi kebutuhan tersebut . Menurut data FAO,
dalam periode 52 tahun terakhir bahwa laju nilai
impor mencapai rata-rata 200%, hal ini
menyebabkan sampai saat ini, swasembada kedelai
belum tercapai (Aldillah, 2015). Tahun 2018 telah
dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia
dalam hal ini Kementerian Pertanian sebagai tahun
swasembada kedelai.
Wilayah sentra produksi kedelai saat ini
tersebar di beberapa provinsi. Pada periode 2010-
2015, ada 7 provinsi kontributor utama produksi
kedelai nasional (Pusdatin, 2015), yakni Jawa
T imur (351,92 ribu ton = 39,74%), Jawa Tengah
(124,23 ribu ton = 14,03%), Nusa Tenggara Barat
(94,33 ribu ton = 10,65%), Jawa Barat (77,55 ribu
ton = 8,76%), Aceh (52,78 ribu ton = 5,96%),
Sulawesi Selatan (44,80 ribu ton = 5,06%) dan DI
Yogyakarta (28,41 ribu ton = 3,21%). Hal ini sangat
wajar karena kondisi agroekologi di ke 7 sentra
produksi tersebut cukup sesuai untuk
pengembangan kedelai. Saat ini provinsi Sulawesi
Tenggara bukan merupakan sentra produksi kedelai,
namun secara potensial provinsi ini cukup sesuai
untuk pengembangan kedelai.
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki luas
wilayah 38.067,7 km2 yang terdiri dari lahan kering
seluas 562,263 ha. Luas panen tanaman kedelai di
Sulawesi Tenggara pada tahun 2015 adalah sebesar
7888 ha, dengan produksi 12 799 ton dan
produktivitas sebesar 16,23 kw/ha. Nilai produksi
dan produktivitas tersebut masih jauh dari
kebutuhan nasional (BPS, 2017). Kontribusi
Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap nasional
cenderung berfluktuatif dari 1,62 persen pada tahun
2013, menjadi 0,60 persen pada tahun 2014, dan
meningkat lagi menjadi 0,82 persen pada tahun
2015 (Putra, 2015). Akan tetapi, kontribusi provinsi
Sulawesi Tenggara masih kurang dari 2%. Hal ini
terjadi karena produksi kedelai masih menemui
banyak kendala. Salah satu kendala yang dialami
pada areal penanaman di Sulawesi Tenggara adalah
umumnya jenis tanahnya adalah Ultisol atau
Podzolik Merah Kuning (PMK). Jenis tanah ini
merupakan tanah dengan kesuburan tanah yang
rendah berupa kemasaman yang tinggi, kandungan
bahan organik rendah, kahat hara makro, kejenuhan
Al yang tinggi (Sujana dan Pura, 2015), kadar Fe
sangat tinggi, kejenuhan basa dan KTK rendah
(Sudaryono et al., 2011). Selain itu, terbatasnya
ketersediaan air pada lahan kering menjadi faktor
penghambat yang sangat perlu diperhatikan dalam
pemanfaatan lahan pertanian untuk menunjang
produksi yang optimal.
Melihat kondisi kesuburan lahan tersebut,
secara umum kedelai sangat membutuhkan
tambahan pupuk untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Untuk menghasilkan 1 ton biji kedelai
dibutuhkan sebanyak 70 kg N, 7 kg P dan 43 kg K
per hektar (Manshuri,2012). Dengan mem-
perhitungkan kondisi kesuburan tanah di Sultra,
maka dosis pupuk anorganik NPK yang optimal
pada tanaman kedelai adalah 200 kg per hektar
(Nugroho dan Sarjoni, 2013) atau 225 kg per hektar
(Wahab et al., 2017).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
melihat pengaruh dan efektivitas pemupukan
anorganik dalam meningkatkan produktivitas
kedelai di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil
penelitian Nugroho dan Sarjoni (2013)
menunjukkan bahwa beberapa varietas kedelai
diantaranya varietas Detam 2, Detam 1, Kaba,
Tanggamus, Grobogan dan Argomulyo yang diberi
171 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)
pemupukan dengan dosis pupuk NPK 200 kg/ha
yang ditanam di Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara dapat mempengaruhi terhadap
respon hasil berupa jumlah polong/rumpun, jumlah
polong hampa/rumpun, persentase polong hampa,
bobot 100 biji dan hasil biji.
Tujuan penulisan ini adalah untuk
membahas efektivitas pupuk anorganik dalam
meningkatkan produktivitas kedelai di lahan kering
Sulawesi Tenggara, dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
DESKRIPSI TANAMAN KEDELAI
Tanaman kedelai (Glycine max L.) dapat
memberikan respons positif dan negatif terhadap
perubahan lingkungan tumbuh baik di atas tanah
maupun di dalam tanah. Respons tersebut dapat
diketahui dari perubahan fenotipik dan fisiologis
tanaman. Kondisi lingkungan di dalam tanah yang
berperan terhadap pertumbuhan kedelai terutama
diantaranya kadar air tanah dan unsur hara, unsur-
unsur toksik, suhu tanah, kemasaman tanah dan
salinitas. Kebutuhan air tanaman kedelai pada fase
generatif lebih tinggi dibandingkan pada fase
vegetatif, sehingga pada fase generatif lebih peka
terhadap kekeringan terutama pada fase
pembungaan hingga pengisian polong. Kandungan
air optimal adalah 70–85% dari kapasitas lapangan.
Kandungan unsur hara tanah harus di atas batas
kekahatan agar tanaman tumbuh optimal. Nilai
kritis suatu unsur hara dalam tanah beragam
tergantung jenis tanah dan metode analisis yang
digunakan. Pengaruh suhu tanah terutama pada fase
perkecambahan, dan suhu tanah optimal adalah 24,2–32,8°C.
Tabel 1. Beberapa varietas unggul baru (VUB) kedelai berdaya hasil t inggi (2,5 t/ha) dan
biji besar (10 g).
No. Nama Varietas Tahun
Dilepas
Potensi Hasil
(t/ha)
Ukuran Biji
(g/100 butir)
Umur Panen
(hari)
1 Kawi 1998 2,80 10,50 88
2 Burangrang 1999 2,50 17,00 82
3 Merubetiri 2002 3,00 14,00 95
4 Baluran 2002 3,50 17,00 80
5 Ratai 2004 2,70 10,50 90
6 Rajabasa 2004 3,90 15,00 85
7 Argopuro 2005 3,05 17,80 84
8 Arjasari 2005 4,68 22,00 100
9 Deta-1 2008 3,45
14,84 84
10 Detam-2 2008 2,96 13,54 82
11 Grobogan 2008 3,40 18,00 76
12 Kipas Merah Bireuen 2008 3,50 12,00 90
13 Mitani 2008 3,20 12,80 90
14 Mutiara 1 2010 4,10 23,20 82
Sumber: Suhartina, 2010.
172 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180
Kedelai agak sensitif terhadap kemasaman tanah,
unsur-unsur toksik, dan salinitas. Nilai kritis pH, Al,
Mn, dan salinitas berturut -turut adalah pH 5,5, Al-
dd 1,33 me/100g, Mn 3,3 ppm, dan 1,3 dS/m (Taufiq dan Sundari, 2012).
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian telah melepas beberapa varietas unggul
baru (VUB) kedelai yang mempunyai ukuran biji
besar dan potensi hasil t inggi serta kualitas
kandungan protein dan lemak cukup baik (Tabel 1
dan 2). Hasil uji adaptasi beberapa VUB kedelai
memperlihatkan bahwa beberapa varietas (Kawi,
Burangrang, Merubetiri, Baluran, Ratai, Rajabasa,
Argopuro, Arjasari, Deta-1, Detam-2, Grobogan,
Kipas Merah Bireuen, Mitani dan Mutiara 1) cukup
adaptif untuk dibudidayakan di Sulawesi Tenggara
dengan produktivitas antara 2,5-4,68 ton/ha
(Suhartina, 2010; Nugroho dan Sarjoni, 2013;
Wahab et al., 2017). Hasil ini menunjukkan bahwa
secara umum kedelai dapat dikembangkan di lahan
kering Sulawesi Tenggara.
Potensi Lahan Kering Sulawesi Tenggara untuk
Pengembangan Kedelai
Sulawesi Tenggara merupakan lahan
suboptimal bagi pengembangan tanaman kedelai.
Namun, tergolong lahan potensial untuk penanaman
tanaman pangan lahan kering. Luas lahan kering di
Sulawesi Tenggara adalah 562 263 ha. Lahan kering
pada tahun 2016 di Sulawesi Tenggara, tercatat
80,74 persen penggunaan lahan pertanian dan 19,26
persen lahan bukan pertanian. Dari lahan pertanian
tersebut, 3,33 persen merupakan lahan sawah dan
77,41 persen merupakan lahan pertanian bukan
sawah. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan
bahwa ketersediaan areal penanaman cukup luas
terutama bagi budidaya tanaman kedelai. Hal ini
ditunjang dengan peta sebaran lahan potensial untuk
pengembangan padi, jagung dan kedelai di Sulawesi
Tenggara (Gambar 2). Kendala utama bagi
pengembangan kedelai di Sulawesi Tenggara
adalah rendahnya kesuburan tanah dan ketersediaan
air bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman
kedelai. Umumnya lahan pertanian di Sulawesi
Tabel 2. Komposisi kimia tepung dari varietas unggul baru (VUB) kedelai berdaya hasil
t inggi (2,5 t/ha) dan biji besar (10 g)
No. Nama Varietas Kadar (%)
Lemak Protein
1 Kawi 17,50 38,50
2 Burangrang 20,00 39,00
3 Merubetiri 22,00 40,00
4 Baluran 22,00 40,00
5 Ratai 11,70 42,20
6 Rajabasa 19,93 39,62
7 Argopuro 25,10 28,10
8 Arjasari 18,65 43,15
9 Deta-1 33,06 45,36
10 Detam-2 14,83 45,58
11 Grobogan 18,40 43,90
12 Kipas Merah Bireuen 20,00 30,00
13 Mitani 20,48 42,56
14 Mutiara 1 13,80 37,70
Sumber: Suhartina, 2010.
173 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)
Tenggara didominasi oleh Ultisol. Tanah Ultisol
memiliki pH tanah masam, miskin hara, kejenuhan
Al tinggi, dan miskin cadangan mineral mudah
lapuk, karena proses pencucian yang intensif.
Kesuburan alami tanah ini hanya bergantung pada
kadar bahan organik lapisan atas (Hikmatullah dan
Suryani, 2014). Salah satu cara yang
direkomendasikan oleh pemerintah dan
Kementerian Pertanian adalah inovasi teknologi.
Pemberian pupuk dengan dosis yang tepat
merupakan salah satu bagian dari inovasi teknologi
dalam berusahatani kedelai. Akan tetapi, paket
pemupukan dengan respon terbaik bagi
pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai
pada lahan kering di Sulawesi Tenggara belum
banyak dilakukan, sehingga petani belum banyak
mengadopsi inovasi teknologi yang ada.
Lahan-lahan potensial di Sulawesi
Tenggara telah banyak dimanfaatkan baik untuk
pertanian maupun non pertanian sehingga peluang
peningkatan produksi tanaman kedelai melalui
perluasan areal penanaman sudah sulit untuk
dilakukan. Dapat dilihat sebaran lahan potensial
Gambar 2. Peta sebaran lahan potensial untuk pengembangan padi, jagung
dan kedelai di Sulawesi Tenggara (Hikmatullah dan Suryani, 2014)
174 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180
padi, jagung dan kedelai di Sulawesi Tenggara
(Gambar 2), sehingga sentra penanaman kedelai
tersebar di beberapa kabupaten seperti Kabupaten
Konawe Selatan, Buton Utara, Konawe dan Kolaka
dengan produksi pada masing-masing kabupaten
adalah 4526, 3239, 1719 dan 1667 ton, sedangkan
luas panen terdiri dari 2439, 2273, 892 dan 891 ha.
Sementara produktivitas pada Kabupaten Konawe
Selatan, Buton Utara, Konawe dan Kolaka adalah
18.56, 14.25, 19.27 dan 18.71 kw/ha.
Tenggara (Hikmatullah dan Suryani, 2014)
Kedelai memerlukan syarat tumbuh
tertentu dari unsur-unsur lingkungan diantaranya
iklim, ketersediaan air, dan kondisi tanah. Kriteria
Tabel 3. Kriteria kesesuaian lahan tanaman kedelai
Karakteristik
Tingkat Kesesuaian Lahan
S1
(sangat sesuai)
S2
(sesuai)
S3
(agak sesuai)
N
(tidak sesuai)
Suhu
Suhu rata-rata oC
23-28
29-30
22-20
21-32
19-18
>32
<18
Ketersediaan air
Bulan kering (<75 mm) 3-7,5 7,6-8,5 8,6-9,5 >9,5
Curah hujan
Rata-rata (mm/th)
1000-1500
1500-2500
1000-700
2500-3500
700-500
>3500
<500
Lingkungan akar
Drainase Cukup baik
Baik
Agak berlebihan Jelek - >Jelek Sangat jelek
Tekstur tanah lapisan atasX) L, S, CL, SiL,
Si, CL, SiCL
SL, SC LS, SiC, C G, S, Mass. C
Kedalaman tanah (cm) >50 30-49 15-29 <15
Retensi hara
KTK (me/100 g) >25 25-15 15-5 <5
Ph 6,0-7,0 7,1-7,5
5,9-5,5
7,6-8,5
5,4-5,0
>8,5
<20
Ketersediaan hara
N total (%) >1,0-0,5 0,5-0,2 0,2-0,1 <0,1
P2O5 tersedia (Bray 4) (ppm) >50 50-15 <15 <5
P2O5 tersedia (Olsen 3) (ppm) >15 15-5 <5 <2
K tersedia (me/100 g) 0,8-0,4 0,4-0,2 0,2-0,03 <0,03
Salinitas/keragaman
(mmhos/cm)
Lapis tanah bawah <2,5 2,5-4 4-8 >8
Kemiringan lahan (%) 0-5 5-15 15-20 >20
Kejenuhan Al (Al/KTK) % <20 20-30 30-40 >40
Sumber CSR-FAO, 1983; Landon, 1984 dalam Sudaryono, 2007 Keterangan: X) Tekstur : Clay © = lempung, Clay loam (CL) = geluh berlempung, Loam (L) = geluh, Sandy clay loam (SCL)
= geluh lempung berpasir, Sandy clay (SC) = lempung berpasir, Sandy loam (SL) = geluh berpasir, Silt (Si) =
debu, Silty Clay (SiC) = lempung berdebu, Silt loam (SiL) = geluh berdebu, Sand (S) = pasir, Gravels (G) =
berbatu, Massive clay (Mass. C) = lempung pejal.
175 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)
kesesuaian lahan untuk usahatani kedelai dibagi
menjadi empat, yaitu: sangat sesuai (S1), sesuai
(S2), kurang sesuai (S3) dan tidak sesuai (N) (Tabel
3).
Tabel 3. Kriteria kesesuaian lahan tanaman kedelai
Berdasarkan Tabel 3. menunjukkan bahwa
lahan kering di Sultra termasuk kategori S3 dengan
ketentuan perlu adanya input untuk menaikkan
tingkatan kesesuaian lahan. Hal ini disebabkan oleh
bentuk topografi Sulawesi Tenggara umumnya
memiliki permukaan tanah yang bergunung,
bergelombang dan berbukit -bukit (BPS, 2017;
Hikmatullah dan Suryani, 2014). Namun, diantara
gunung dan bukit -bukit, terbentang dataran-dataran
yang merupakan daerah potensial untuk
pengembangan sektor pertanian. Permukaan tanah
pegunungan telah banyak digunakan untuk usaha.
Tanah ini sebagian besar berada pada ketinggian
100-500 meter di atas permukaan laut dan pada
kemiringan tanah yang mencapai 40 derajat (BPS,
2017). Selain itu, lahan kering Sultra memiliki nilai
KTK tanah berkisar 15-5 me/100 g tanah yang
tergolong rendah (Asmin dan Syamsiar, 2005) dan
N-Total yang tergolong rendah yakni berkisar 0,2-
0,1% (Zulfikar, 2013) serta suhu rata-rata di
Sulawesi Tenggara yang berkisar 21-320C (Tabel
4.).
Tabel 4. Suhu, kelembapan udara, tekanan udara, kecepatan angin, curah hujan, dan zona agroklimat
provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010-2016
Periode Stasiun
Suhu
udara
rata-
rata
(0C)
Kelembaban
udara rata-
rata
(%)
Tekanan
udara
(mb)
Kecepata
n Angin
(knot)
Curah
hujan
tahunan
(mm)
Jumlah bulan berturut-turut
Zona
Agrokli
mat
Basah
(>200 mm)
Lembab
(100-200 mm)
Kering
(<100 mm)
2016 Kendari 27,60 84 1010,0 - 2113,3 4 4 4 D2
Bau-Bau 28,06 79 1013,8 - 2063,8 5 3 4 D2
Ranomeeto 27,01 86 1010,5 - 2570,9 4 7 1 D2
2015 Kendari 26,91 82,58 1012,98 - 1595 5 2 5 D2
Bau-Bau 27,70 76,00 1014,6 3,2 1468,7 2 4 6 E3
Lanud Wolter
Monginsidi
- 78,5 1008,0 3,7 2183,7 5 2 5 C3
2014 Kendari 26,8 74,7 1010,1 - 2263,6 5 2 5 D3
2013 Kendari 27,04 84,41 1009,74 5,85 2618,4 5 4 3 D2
2012 Kendari 27 83 1010 6 1549 - - - -
Bau-Bau 28 81 1014 8 1833 - - - -
Ranomeeto 27 78 1009 4 2053 - - - - Pomalaa 28 74 1007 - 1940 - - - -
2011 Kendari 27,5 84 1007 2 1511 2 5 5 E3
Bau-Bau - - - - 2114,80 5 3 4 D2
Buton - - - - 2705 7 1 3 B2 Raha - - - - 970 - 4 8 E3
Pomalaa - - - - 1580,50 3 5 4 E3
Andoolo - - - - 2427 5 7 - E3
2010 Kendari 28 85 1011,2 2 2859,30 8 4 - B1
Bau-Bau - - - - 3149,60 7 4 1 C2 Buton - - - - 3432 7 4 1 D3
Raha - - - - 2602 4 5 3 D3
Pomalaa - - - - 3951,80 9 3 - B1
Sumber: BPS (2011-2017), Lakitan (1994).
176 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180
Kebutuhan air untuk tanaman kedelai pada
lahan kering, Lakitan (1994) menyusun zone
agroklimat menurut metode Oldeman berdasarkan
jumlah bulan basah dan bulan kering yang terjadi
secara berturut -turut. Zona A, B1, B2, C1, C2, C3,
D1, D2 yang tergolong beriklim basah, sedangkan
zona D3, D4, E3 dan E4 yang tergolong beriklim
kering. Periode bulan basah dengan curah hujan
berkisar > 200 mm/bulan dan bulan lembab berkisar
100-200 mm/bulan air merupakan periode dengan
kategori air yang cukup terutama bagi tanaman
kedelai. Pada curah hujan < 100 mm/bulan air atau
bulan kering merupakan periode tidak tersedia
(tidak mencukupi) air bagi tanaman kedelai, kecuali
dengan menggunakan fasilitas irigasi atau air tanah
dangkal. Oleh karena itu, dengan mengetahui
periode ketersediaan air maka dapat merancang
musim tanam/kalender tanam. Daerah yang
potensial untuk pengembangan tanaman kedelai
berdasarkan Tabel 4. adalah wilayah Ranomeeto
dan Buton. Hal ini ditandai dengan besarnya curah
hujan yang dimiliki dengan intensitas bulan kering
yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan
wilayah lainnya.
Peran Pupuk Anorganik dalam Pertumbuhan
dan Produksi Kedelai
Pemberian pupuk anorganik dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Nainggolan et al.
(2017) bahwa pupuk NPK memberikan
pertumbuhan terbaik terutama dapat meningkatkan
tinggi tanaman dan bobot kering total tanaman
kedelai. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Subhan
et al. (2009) bahwa penambahan serapan N, P dan
K melalui NPK (15-15-15) per ha memberikan
tingkat pertumbuhan tanaman tertinggi.
Aplikasi pupuk NPK pada saat tanam
merupakan cara yang efektif dan efisien dalam
peningkatan hasil kedelai (Kuntyastuti dan
Sutrisno, 2017). Akan tetapi, penggunaan pupuk
NPK dalam jangka panjang tidak mampu mengatasi
permasalahan kekurangan gizi bagi tanaman. Hal
ini disebabkan oleh penggunaan pupuk NPK dapat
menyebabkanpenurunan kapasitas penampungan
air, mempengaruhi stabilitas makro-agregat tanah,
dan kemampuan tanah berkurang dalam
mempertahankan kelembaban tanah (Liu et al.
2013), pH tanah menurun (Belay et al. 2002),
danbahan organik dan nutrisi (total N) konten juga
ikut menurun (Zhang et al. 2008, 2012). Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk
kimia secara terus menerus dapat menurunkan
populasi mikroba tanah (Qin et al. 2015) dan
aktivitas cacing tanah (Guo et al. 2016), yang pada
akhirnya kualitas kesuburan tanah menjadi menurun
(Kuntyastuti dan Sutrisno, 2017).
Pemberian pupuk dengan kandungan fosfor
225 kg/ha mampu meningkatkan pertumbuhan dan
hasil tanaman kedelai pada lahan ultisol Bengkulu.
Pupuk fosfor dapat memberikan nilai terbaik pada
variabel pengamatan tinggi tanaman, jumlah polong
bernas, bobot polong total dan bobot polong bernas
(Bertham, 2002).
Peranan nitrogen bagi tanaman adalah
memperbesar ukuran daun dan meningkatkan
presentase protein. Besarnya ukuran daun dan
banyaknya protein akan meningkatkan berat kering
berat kering tanaman, namun jika terjadi tanaman
kehilangan air yang banyak maka dapat
menurunkan berat kering tanaman (Meitasari dan
Wicaksono, 2017).
Efektivitas Pupuk Anorganik dalam
Meningkatkan Produksi Kedelai
Pengembangan kedelai di lahan kering
masam tidak dapat lepas dari kendala kemasaman
tanah yang bersumber dari aluminium (Al) dan
senyawa besi (Fe). Komponen pemupukan terutama
penambahan hara P dan K perlu mendapat perhatian
karena ketersediaan P dan K di lahan kering masam
umumnya rendah (Sudaryono, 2007). Tanaman
kedelai membutuhkan unsur hara berupa N, P, dan
K dalam jumlah yang banyak untuk meningkatkan
produksi tanaman. Penentuan status hara P dan K
tanah dapat menggunakan analisis tanah dengan
metode Bray-1. Sedangkan untuk penambahan hara
177 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)
N dapat menggunakan dosis pupuk antara 54- 80 kg
N/ha (Permadi, 2014).
Pemupukan pada tanaman kedelai pada
lahan kering masam dianjurkan dengan pemakaian
50-100 kg Urea + 50-150 kg SP36 + 50-100 KCl/ha
diberikan pada saat tanam dengan ditabur menurut
barisan tanaman. Selain itu, dianjurkan menambah
2-5 ton pupuk kandang/ha dan diberikan dengan
cara disebar merata. Jenis dan takaran pupuk dapat
berubah sesuai dengan tingkat kesuburan tanah
(Sudaryono, 2007). Selain itu, kebutuhan pupuk
kalium untuk mencapai hasil maksimum pada
tanaman kedelai di lahan ultisol Deli Serdang,
Sumatera Utara adalah 210, 190, dan 150 kg
KCl/ha, sedangkan untuk mencapai hasil optimum
hanya 85, 2, dan 0 kg KCl/ha masing-masing untuk
kelas K tanah rendah, sedang, dan tinggi
(Nursyamsi, 2006).
Penggunaan varietas unggul merupakan
salah satu keberhasilan dalam sistem usahatani
kedelai. Varietas Grobogan dan Argomulyo mampu
beradaptasi dengan baik pada lahan kering Podzolik
Merah Kuning dengan kondisi cekaman kekeringan,
dibandingkan varietas Detam 2, Detam 1, Kaba dan
Tanggamus. Dengan dosis pupuk NPK yang
diberikan sebesar 200 kg/ha produktivitas varietas
Grobogan adalah 1.293 kg/ha, lebih tinggi dari rata-
rata hasil kedelai di Konawe Selatan yang hanya
1.051 kg/ha.(Tabel 5) (Nugroho dan Sarjoni, 2013)
Pemberian aplikasi pupuk 60 kg Urea/ha +
60 kg TSP/ha + 20 ton pupuk kandang /ha +
Azospirillum 108 cfu/g tanah + Glomus fasiculatum
3000 spora/g tanah menunjukkan pertumbuhan dan
hasil tertinggi dibanding paket pemupukan lainnya.
Selain itu, paket ini memberikan hasil yang lebih
tinggi dibandingkan dengan paket resmi
rekomendasi (100 kg Urea/ha + 100 kg TSP /ha +
Rhizobium) (Astiko, 2018).
Penggunaan pupuk kimia dapat
meningkatkan produksi kedelai.Namun,
penggunaan pupuk anorganik tidak terlepas dari
penggunaan pupuk organik yang berperan dalam
melestarikan lingkungan dan untuk pertanian yang
berkelanjutan. Penggunaan aplikasi pupuk dengan
perbandingan komposisi 50% pupuk kascing + 50%
pupuk kimia dapat membantu meningkatkan
produksi kedelai, tetapi tidak dapat menggantikan
Tabel 5. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong, jumlag polong hampa, persentase
polong hampa, bobot 100 biji dan hasil bibi beberapa varietas kedelai di Kecamatan Kolono,
Kabupaten Konawe Selatan tahun 2012.
Variabel Varietas
Grobogan Tanggamus Kaba Argomulyo Detam 1 Detam 2
T inggi tanaman
(cm)
40,0 a 41,8 a 44,4 a 45,0 a 50,0 a 58,0 a
Jumlah cabang 2,7 a 1,8 a 1,2 b 2,3 a 1,7 ab 2,4 a
Jumlah polong/
rumpun (buah)
74,2 a 63,1 a 31,5 b 65,5 a 35,3 b 64,4 a
Jumlah polong
hampa/ rumpun
(buah)
6,5 a 5,3 a 14,8 b 8,3 a 4,6 a 13,0 a
Persentase polong
hampa
8,8 a 8,4 a 47,1 c 12,7 a 13,0 a 20,2 b
Bobot 100 biji
(gram)
17,0 a 10,9 b 12,5 b 14,7 a 16,3 a 14,1 a
Hasil biji (kg/ ha) 1293,0 a 633,7 ab 266,5 b 852,0 b 509,6 b 756,7 ab Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNT
Sumber: Nugroho dan Sarjoni, 2013.
178 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180
kebutuhan pupuk kimia sepenuhnya (Damanik et
al., 2013).
Upaya pengenalan budidaya kedelai
dilakukan melalui program Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT), dimana komponen teknologi yang
diperkenalkan termasuk juga pemupukan. Kegiatan
SL-PTT kedelai dilakukan di salah satu sentra
pengembangan kedelai Sulawesi Tenggara pada
tahun 2014, yakni Kabupaten Buton Utara.
Produktivitas kedelai hasil display VUB di
Kabupaten Buton Utara yaitu: Anjasmoro 16,7
ku/ha, Argomulyo 11,3 ku/ha, Burangrang 15,2
ku/ha, Grobogan 16,3 ku/ha dan Wilis 12,9 ku/ha.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil pendampingan
PTT kedelai spesifik lokasi 2014 dapat dijadikan
sebagai acuan untuk rekomendasi dalam usahatani
kedelai di Sulawesi Tenggara. Jika dibandingkan
dengan produktivitas kedelai secara umum di
Sulawesi Tenggara yaitu 0,5–1,05 t/ha, berarti
dengan penerapan PTT spesifik lokasi,
produktivitas kedelai di Sulawesi Tenggara bisa
ditingkatkan menjadi 1,1–1,67 t/ha atau 45-64%
(Rusdi, 2014).
KESIMPULAN
Dari hasil t injauan ini dapat disimpulkan bahwa
lahan kering di Sulawesi Tenggara cukup potensial
untuk pengembangan tanaman kedelai. Peningkatan
pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai
memerlukan tambahan input pupuk anorganik yang
tepat untuk mencapai produktivitas kedelai yang
maksimal. Pemberian pupuk NPK dapat
meningkatkan tinggi dan bobot kering total tanaman
kedelai. Di Konawe Selatan, varietas grobogan
yang diberi pupuk NPK 200 kg/ha menghasilkan
produktivitas lebih tinggi sebesar 1.293 kg/ha
dibandingkan rata-rata hasil kedelai yang hanya
1.051 kg/ha. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan produktivitas tanaman kedelai antara
lain faktor iklim, tanah dan teknologi budidaya
tanaman kedelai (pemupukan anorganik spesifik
lokasi lahan kering di Sulawesi Tenggara).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk ikut dalam program
pembinaan penulisan karya tulis ilmiah dan Dr. Ir.
Muchamad Yusron, M.Phil yang telah membimbing
dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aldillah R. 2015. Proyeksi Produksi dan Konsumsi
Kedelai Indonesia. Jurnal Ekonomi
Kuantitatif Terapan. 8(1): 9-23.
Asmin dan Syamsiar. 2005. Pemanfaatan lahan
kering dengan pemanfaatan cropping system .
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian.
Hal. 50-58.
Astiko, W. 2018. Pengaruh paket pemupukan
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai di lahan kering. Crop Agro, Scientific
Journal of Agronomy. 2(2):115-122.
Belay, A., Claassens, A., dan F. Wehner. 2002.
Effect of direct nitrogen and potassium and
residual phosphorus fertilizers on soil
chemical properties, microbial components
and maize yield under long-term crop
rotation. Biol Fert Soils 35 (6): 420-427.
Bertham, R.Y.H. 2002. Respon tanaman kedelai
[Glycine max(L.) Merril] terhadap
pemupukan fosfor dan kompos jerami pada
tanah ultisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian
Indonesia. 4(2):78-83.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2011. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2012. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2013. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2014. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2015. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
179 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering
Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2016. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
[BPS] Badan Pusat Stat istik, 2017. Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Damanik, B.S.J, Satwiko, T ., dan R.R. Lahay. 2013.
Tanggap pertumbuhan dan produksi beberapa
varietas kedelai (Glycine max L.) terhadap
perbandingan komposisi pupuk. Jurnal
Online Agroekoteknologi. 1(4):1413-1423.
Guo, L., Wu, G., Li, Y., Li, C., Liu, W., Meng, J.,
and G. Jiang. 2016. Effects of cattle manure
compost combined with chemical fertilizer on
topsoil organic matter, bulk density and
earthworm activity in a wheat -maize rotation
system in Eastern China. Soil T ill Res
156:140-147.
Hikmatullah dan E. Suryani. 2014. Potensi
Sumberdaya Lahan Pulau Sulawesi
Mendukung Peningkatan Produksi Padi,
Jagung, dan Kedelai. Jurnal Sumberdaya
Lahan Edisi Khusus: 41-56.
Kuntyastuti, H., dan Sutrisno. 2017. Effect of
manure, Phosphate Solubilizing Bacteria, and
chemical fertilizer application on the growth
and yield of soybean. Nusantara Bioscience.
9(2): 126-132. DOI:
10.13057/nusbiosci/n090203.
Lakitan, B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Liu, C.A., Li, F.R., Zhou, L.M., Zhang, R.H., Yu,
J., Lin, S.L., and F.M. Li. 2013. Effect of
organic manure and fertilizer on soil water
and crop yields in newly-built terraces with
loess soils in a semi-arid environment. Agric
Water Manag 117: 123-132.
Manshuri, A.G. 2012. Optimasi Pemupukan NPK
pada Kedelai untuk Mempertahankan
Kesuburan Tanah dan Hasil T inggi di Lahan
Sawah. Iptek Tanaman Pangan . 7(1): 38-46.
Meitasari A.D., dan K.P. Wicaksono. 2017.
Inokulasi rhizobium dan perimbangan
nitrogen pada tanaman kedelai (Glycine max
(L.) Merril) varietas Wilis. Plantropica
Journal of Agricultural Science. 2(1): 55-63.
Nainggolan, A., Guritno, B., dan T . Islami. 2017.
Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaamn
kedelai (Glycine max (L.) Merill). Jurnal
Produksi Tanaman5(6): 999-1006.
Nugroho, C., dan Sarjoni. 2013. Pertumbuhan dan
hasil beberapa varietas kedelai pada lahan
kering podzolik merah kuning di kabupaten
Konawe Selatan. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan
Umbi. Hal 67-72.
Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan hara kalium
tanaman kedelai di tanah ultisol. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan .6(2): 71-81.
Permadi, K. 2014. Implementasi Pupuk N, P, dan K
untuk Mendukung Swasembada Kedelai.
Agrotrop. 4(1): 1-6.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Kementerian Pertanian. 2015.
Outlook Komoditas Pertanian Subsektor
Tanaman Pangan, Kedelai. Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian Kementerian
Pertanian.
Putra, A.A. 2015. Seri analisis pembangunan
wilayah provinsi Sulawesi Tenggara 2015.
Hal. 1-
40.http://www.academia.edu/34459322/Anal
isis_Provinsi_Sulawesi_Tenggara _2015_ok.
Rusdi, 2014. Pendampingan SL-PTT Kedelai di
Sulawesi Tenggara. Laporan Tahunan BPTP
Sultra TA. 2014. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tenggara. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Hal 72-74.
Subhan, Nurtika N., dan Gunadi. 2009. Respons
tanaman tomat terhadap penggunaan pupuk
majemuk NPK 15-15-15 pada tanah Latosol
pada musim kemarau. J. Hortikultura. 19 (1):
46-47.
Sudaryono. 2007. Inovasi Rekayasa Teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai.
Buletin Palawija. 13:16-28.
Sudaryono, Wijanarko, A., dan Suyamto. 2011.
Efektivitas kombinasi ameliorant dan pupuk
kandang dalam meningkatkan hasil kedelai
180 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180
pada tanah ultisol. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. 30(1):43-51.
Suhartina. 2010. Deskripsi Varietas Unggul
Kacang-Kacangan dan Ubi-Ubian. Balitkabi.
179 hal.
Sujana, I.P., dan I.N.L.S. Pura. 2015. Pengelolaan
tanah ultisol dengan pemberian pembenah
organik biochar menuju pertanian
berkelanjutan. Agrimeta. 5(9):1-9.
Taufiq, A., dan T . Sundari. 2012. Respons Tanaman
Kedelai terhadap Lingkungan Tumbuh.
Buletin Palawija. 23: 13-26.
Qin, H., Lu, K., Strong, P.J., Xu, Q., Wu, Q., Xu,
Z., and H. Wang. 2015. Long-term fertilizer
application effects on the soil, root arbuscular
mycorrhizal fungi and community
composition in rotation agriculture. Appl Soil
col 89: 35-43.
Wahab, A., Baharuddin, Asmin, Sarjoni, Dahya,
Basri, Qodri, A., dan A.R. Sery. 2017. Kajian
perbaikan usahatani teknologi kedelai pada
lahan kering di Sulawesi Tenggara. Laporan
Akhir Tahun 2017. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian 2017.
Zhang, Q.C., Shamsi, I.H., Xu, D.T ., Wang, G.H.,
Lin, X.Y., Jilani, G., and A.N. Chaudhry.
2012. Chemical fertilizer and organic manure
inputs in soil exhibit a vice versa pattern of
microbial community structure. Appl Soil
Eco l57: 1-8.
Zhang, W., Xu, M., Wang, B., and X. Wang. 2008.
Soil organic carbon, total nitrogen and grain
yields under long-term fertilizations in the
upland red soil of southern China. Nutr Cycl
Agroecosyst 84 (1): 59-69.
Zulfikar, 2013. Efek Residu Bahan Organik dan
Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Kacang Buncis (Phaseolus vulgaris
L.) pada Tanah Ultisol. Tesis. Program
Pascasarjana, UHO. Kendari.
181Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)
ANALISIS USAHATANI DAN PERSEPSI PETANI TERHADAPVARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO DI KABUPATEN BOYOLALI
Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa TengahJalan Soekarno-Hatta Km. 26 No. 10 Bergas, Kab. Semarang Jawa Tengah
Email :[email protected]
ABSTRACT
Farm Analysis and Farmers’ Perception Towards High Yielding Varieties of Upland Rice in BoyolaliDistrict.Upland rice productivity is still low so it needs to be improved using new high yielding varieties (HYVs). TheHYVs of upland rice already known by farmers are Inpago7, Inpago 8, Inpago 9 and Slegreng (local varieties). Thestudy aims to know the feasibility farming and the farmer’s perceptions of the performance of Inpago 7, Inpago 8 andInpago 9. The study was conducted in Singosari Village, Mojosongo Subdistrict, Boyolali District in April - June 2017.The data were collected through survey methods on 30 farmers. To determine the the feasibility of upland rice farmingwith of the approach of cost and income structure, the perceptions and preferences of farmers were analyzed usingscoring techniques and descriptive analysis. The results of the analysis showed that the highest of upland riceproductivity was obtained in Inpago 9, followed by Inpago 8, Slegreng and Inpago 7. From the performance of plants,farmers had high perceptions of Inpago 9 varieties because they had the highest productivity and early maturity whilefarmer preferences highest in Inpago 8 because it has a fluffy rice flavor, bright color and fragrant. Therefore, Inpago 8and Inpago 9 varieties are feasible to be developed in Boyolali District.
Keywords: upland rice varieties, farming system, perception
ABSTRAK
Produktivitas padi gogo yang masih rendah dapat ditingkatkan menggunakan varietas unggul baru (VUB).VUB padi gogo yang sudah dikenal petani adalah Inpago7, Inpago 8 dan Inpago 9. Kajian ini bertujuan untukmengetahui kelayakan usahatani dan persepsi petani terhadap keragaan VUB padi gogo Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9dan varietas lokal (Slegreng). Kajian dilaksanakan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali padabulan April – Juni 2017. Pengumpulan data melalui metode survei pada 30 petani padi. Untuk mengetahui kelayakanusahatani dengan pendekatan struktur biaya dan pendapatan, sedangkan persepsi dan preferensi petani dengan teknikskoring dan analisis deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa produktivitas padi gogo tertinggi diperoleh padavarietas Inpago 9, diikuti Inpago 8, Slegreng dan Inpago 7. Dari keragaan tanaman, petani mempunyai persepsi yangtinggi terhadap varietas Inpago 9 karena mempunyai produktivitas tertinggi dan berumur genjah, sedangkan preferensipetani tertinggi pada Inpago 8 karena rasa nasi yang pulen, berwarna cerah dan beraroma harum. Oleh karena itu,varietas Inpago 8 dan Inpago 9 layak dikembangkan di Kabupaten Boyolali.
Kata kunci: varietas padi gogo, usahatani, persepsi
182 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191
PENDAHULUAN
Kebutuhan pangan pokok bagi pendudukIndonesia, terutama beras sebagian besardipenuhi dari produksi lahan sawah. Kebutuhanberas setiap tahun meningkat, sementara lahansawah sulit diperluas karena terjadinya alih fungsilahan dan adanya indikasi pelandaian produksipadi sawah (Tarigan et al., 2013). Untukmenyikapi persoalan tersebut makapengembangan dan pemanfaatan lahan keringdapat digunakan untuk menunjang kecukupanpangan masyarakat.
Lahan kering merupakan salah satusumber daya lahan yang potensial untukpengembangan beberapa jenis tanaman pangan.Berdasarkan data Pusdatin (2017), potensi lahankering di Kabupaten Boyolali dalam kurun waktu5 tahun terakhir (2012-2016) rata-rata meningkat0,46%/tahun, yaitu dari 29.024 ha pada tahun2012 menjadi 29.840 ha pada tahun 2016. Potensilahan kering tersebut masih dapat dimanfaatkanuntuk mengembangkan tanaman padi gogo.
Nazirah dan Damanik (2015)menyebutkan bahwa lahan kering dapatdimanfaatkan untuk memperluas areal tanam padimelalui pengembangan padi gogo.Pengembangan padi gogo di lahan kering dapatsecara monokultur maupun tumpangsari dengantanaman pangan lainnya. Pemanfaatan lahankering untuk pengembangan dan peningkatanproduksi padi gogo sangat prospektif mengingatpola pengembangan padi gogo oleh petani relatifmasih sederhana sehingga tingkat produksi yangdiperoleh masih cukup rendah, yaitu 2,56 ton/ha(Fitria dan Ali, 2014; Munawwarah dan Nurbani,2016). Dengan masih rendahnya implementasiteknologi di tingkat petani maka peningkatanproduksi padi gogo masih dapat ditingkatkan.
Sumbangan dan peranan padi gogoterhadap pemenuhan kebutuhan panganmasyarakat masih bisa ditingkatkan. Sampai saatini masih terdapat kesenjangan hasil antaraproduktivitas padi gogo tingkat petani dengan
potensi hasilnya. Produktivitas padi gogo diKabupaten Boyolali rata-rata 2,71 ton/ha lebihrendah dari rata-rata produktivitas padi gogo diJawa Tengah, yaitu 4,28 ton/ha (BPS, 2017),sedangkan potensi hasil padi gogo 8 – 9 ton/ha.Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padigogo, selain kondisi lahan suboptimal sepertikekeringan dan kekurangan unsur hara,disebabkan juga varietas yang digunakan petaniadalah varietas lokal yang sudah ditanam secaraturun temurun (Pasolon et al., 2017).
Salah satu upaya meningkatkanproduktivitas padi gogo dengan menggunakanVarietas Unggul Baru (VUB) yang mempunyaipotensi hasil lebih tinggi. VUB merupakan salahsatu komponen teknologi yang berperan pentinguntuk meningkatkan produksi baik dari segikuantitas maupun kualitas. Hal ini terkait dengansifat-sifat varietas unggul padi gogo yang berdayahasil tinggi, tahan terhadap penyakit utama, umurgenjah, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadarprotein relatif tinggi (Hambali dan Lubis, 2015).
VUB padi gogo yang telah dilepas danberpotensi hasil tinggi adalah Inpago 7, Inpago 8dan Inpago 9. Pengenalan dan demplotpercontohan VUB padi gogo telah dilakukankepada petani di Kabupaten Boyolali pada tahun2016/2017. Dengan melihat potensi hasil VUByang diperoleh, maka petani mempunyai pilihanuntuk mengembangkan varietas sesuai dengankondisi agroklimat dan kesukaan petani (Minarsihet al., 2013). Oleh karena itu untuk mengetahuipotensi VUB padi gogo di Kabupaten Boyolaliperlu dilakukan kajian keragaan hasil dan responpetani terhadap VUB padi gogo dengan tujuanmengetahui struktur biaya dan keuntunganusahatani padi gogo, mengetahui persepsi sertapreferensi petani terhadap keragaan tanaman danrasa nasi VUB padi gogo.
183Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Kegiatan dilaksanakan di Desa Singosari,Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali padabulan April-Juni 2017. Penentuan lokasidilakukan secara sengaja (purposive) denganpertimbangan Desa Singosari pernah menjadipercontohan penanaman VUB padi gogo padaMH 2016/2017.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah dataprimer dan data sekunder. Data primerdikumpulkan dengan metode survei terhadap 30petani yang menanam padi gogo varietas Inpago7, Inpago 8, Inpago 9 dan varietas lokal(Slegreng). Jenis data primer yang dikumpulkanmeliputi: 1) data input dan output usahatani padigogo, 2) persepsi petani terhadap keragaantanaman VUB padi gogo, dan 3) preferensi petaniterhadap keragaan tanaman dan rasa nasi. Datasekunder diperoleh dari BPS Provinsi JawaTengah dan Pusdatin Kementerian Pertanian danbeberapa hasil penelitian sebelumnya.
Metode Analisis Data
Struktur Biaya dan Pendapatan UsahataniPadi Gogo
Untuk mengetahui struktur biaya danpendapatan usahatani padi gogo denganpendekatan penggunaan input produksi, biayausahatani dan pendapatan dari setiap VUB padigogo. Pendapatan usahatani padi gogo dianalisisdengan analisis finansial (Darus et al., 2015;Asnawi dan Ratna, 2016; Asaad et al., 2017)sebagai berikut:
ߨ = ݔ) ) − ∑( ݔ ௐ )
Keterangan:
ߨ = keuntungan usahatani (Rp/ha)Q = jumlah gabah yang dihasilkan (Rp/kg GKG)Pq = harga gabah yang dihasilkan (Rp/kg GKG)W = jumlah input produksi ke-i (kg, HOK)
PWi = harga input produksi ke-i (Rp/kg,Rp/HOK)
Kelayakan usahatani padi gogo dihitungdengan formula sebagai berikut (Rusdi danAsaad, 2016):
ܥܤ =൫ ݔ ൯−∑( ݔ ௐ )
∑(ݔ ௐ )
Dari nilai yang diperoleh, apabila BCR > 1 berartiinovasi VUB padi gogo layak dikembangkan danapabila BCR < 1 berarti inovasi VUB padi gogotidak layak dikembangkan.
Persepsi dan Preferensi Petani TerhadapInovasi VUB Padi Gogo
Respon petani terhadap inovasi VUBpadi gogo dilihat dengan cara mengetahuipersepsi dan preferensi petani. Persepsi petanidata yang dikumpulkan merupakan data ordinaldan dianalisis dengan teknik skoring. Teknikskoring juga digunakan oleh Hendrawati et al.(2012) untuk mengukut tingkat persepsi petaniterhadap penggunaan benih padi unggul diKabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dataordinal yang diperoleh selanjutnya dianalisissecara deskriptif.
Persepsi petani terhadap introduksi VUBpadi gogo dinilai dengan 8 indikator, yaitu: i)tingkat produksi, ii) tinggi tanaman, iii) umurtanaman, iv) jumlah anakan produktif, v) jumlahgabah/malai, vi) ketahanan terhadap hama danpenyakit, vii) ketahanan terhadap kerebahan sertaviii) tingkat kepulenan nasi. Penentuan nilai rata-rata skor dari setiap pernyataan dan interval kelasdigunakan rumus sebagai berikut:
Rata-rata skor = total skor/jumlah responden
Interval kelas = (nilai tertinggi – nilaiterendah)/jumlah kelasinterval
184 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191
Persepsi petani terhadap introduksi VUBpadi gogo dikategorikan dalam 3 (tiga) kelas,yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kategori tingkatpersepsi tersebut menggunakan skala interval,yaitu persepsi tinggi (skala 50,67 – 65,00),persepsi sedang (skala 33,33 – 50,66), danpersepsi rendah (skala 22,00 – 36,32). Keragaanpersepsi petani terhadap indikator introduksiVUB padi gogo menggunakan teknik PerceptualMapping, yaitu dengan membuat grafik saranglaba-laba yang merupakan nilai jumlah dalam
bentuk grafik dua dimensi (Theresia et al., 2016).
Evaluasi preferensi petani terhadapinovasi VUB padi gogo dilaksanakan denganmendapatkan data/informasi preferensi petaniterhadap keragaan tanaman dan keragaan beraspadi gogo VUB Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, danvarietas lokal Slegreng. Data yang dikumpulkanmerupakan data ordinal menggunakan teknikskoring, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
Preferensi petani terhadap keragaantanaman dinilai dengan 10 indikator, yaitu: i)hasil panen/produktivitas, ii) tinggi tanaman, iii)umur tanaman, iv) daun bendera, v) jumlahanakan produktif, vi) jumlah gabah/malai, vii)ketahanan terhadap hama dan penyakit, viii)ketahanan terhadap kerebahan, ix) bentuk gabah,dan x) warna gabah. Preferensi petani terhadapkeragaan beras dinilai dengan lima indikator,yaitu: i) warna nasi, ii) bentuk nasi, iii) aromanasi, iv) tekstur/kepulenan nasi, dan v) rasa nasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Usahatani Padi Gogo
Petani padi gogo di lokasi kegiatanmengembangkan 4 varietas yang ditanam padaMH 2016/2017, yaitu varietas lokal (Slegreng),dan VUB padi gogo, yaitu Inpago 7, Inpago 8 danInpago 9. Rata-rata penggunaan input produksiuntuk usahatani padi gogo ditampilkan padaTabel 1.
Penggunaan benih padi pada usahatanipadi gogo varietas Inpago 7, Inpago 8 dan Inpago9 adalah 30 kg/ha, sedangkan varietas Slegrengbenih yang digunakan petani sebanyak 40 kg/ha.Perbedaan ini disebabkan adanya kekhawatiranpetani terhadap daya tumbuh benih dan adanyakebutuhan bibit untuk mengganti tanaman yangrusak (penyulaman). Pemakaian benih Slegrengini sama dengan pemakaian benih petani diKabupaten Morowali (Sari, 2010) dan diKabupaten Banjar Kalimantan Selatan (Zuraida,2014), yaitu sebanyak 40 kg/ha.
Petani yang menanam VUB padi gogo dilokasi kegiatan menggunakan pupuk Ureasebanyak 120 kg/ha dan pupuk Phonska sebanyak400 kg/ha. Penggunaan pupuk tersebut berbedajika dibandingkan dengan varietas lokal(Slegreng), yaitu pupuk Urea 550 kg/ha, Phonskasebanyak 250 kg/ha dan ZA sebanyak 100 kg/ha.
Perbedaan yang mencolok yaitu padapenggunaan pupuk Urea antara varietas Slegrengdan VUB padi gogo Inpago, yaitu berbeda
Tabel 1. Penggunaan input produksi per hektar pada usahatani padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2016/2017
Jenis Input ProduksiVarietas Padi Gogo
Slegreng Inpago 7 Inpago 8 Inpago 91. Benih (kg) 40 30 30 302. Pupuk (kg):
a. Urea 550 120 120 120b. Phonska 250 400 400 400c. ZA 100 - - -
3. Tenaga kerja (HOK) 69 69 65 65Sumber: Data primer, 2017
185Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)
sebanyak 430 kg/ha. Pemupukan padi gogomenggunakan Urea dan Phonska juga dilaporkanoleh Fitria dan Ali (2014) bahwa petani diKabupaten Aceh Besar menggunakan 100 kgUrea dan 300 kg Phonska pada sistem usahatanipadi gogo.
Penggunaan tenaga kerja relatif samapada keempat varietas, yaitu berkisar antara 65 –69 HOK. Penggunaan tenaga kerja tersebut sesuaidengan penggunaan tenaga kerja pada usahatanipadi gogo di Kabupaten Banjar, Kaliman Selatansebanyak 60 HOK (Zuraida, 2014). Tenaga kerjadigunakan untuk kegiatan pembersihan danpengolahan lahan, tanam, penyulaman,penyiangan, pemupukan dan pengendalianhama/penyakit tanaman serta panen. Tenaga kerjayang digunakan berasal dari luar keluarga,terutama untuk kegiatan pengolahan lahan, tanamdan panen, sedangkan kegiatan pemeliharaan(penyulaman, pemupukan, penyiangan danpengendalian hama/penyakit tanaman) dikerjakanoleh tenaga kerja dalam keluarga.
Berbeda dengan usahatani padi ladang diKecamatan Sidomulyo, Kabupaten LampungSelatan penggunaan tenaga kerja sebanyak 51,17HOK. Perbedaan pemakaian tenaga kerja dapatdisebabkan adanya perbedaan penggunaan inputproduksi dan sistem usahatani yang dilakukanpetani (Noer et al., 2018).
Adanya pemakaian input produksi yangberbeda menyebabkan terjadinya perbedaandalam biaya usahatani. Besar kecilnya biayausahatani ditentukan oleh jumlah dan jenis inputyang digunakan. Biaya usahatani padi gogodisajikan pada Tabel 2.
Dilihat dari biaya input produksi padausahatani padi gogo terlihat bahwa upah tenagakerja menduduki proporsi tertinggi dari strukturbiaya usahatani, yaitu lebih dari 65% (68,45 –71,4 %), diikuti dengan biaya pemupukan antara15,89 – 24,00%. Demikian pula proporsi upahtenaga kerja pada penelitian Fitria dan Ali (2014)sebesar 39,77 – 41,42% dari total biaya usahatani,sedangkan proporsi biaya pemupukan berkisarantara 24,48 – 25,49%. Secara keseluruhan biayatertinggi diperoleh pada usahatani padi gogovarietas lokal (Slegreng), yaitu Rp 7.560.000,diikuti varietas Inpago 7 sebesar Rp 7.478.000,varietas Inpago 8 sebesar Rp 6.913.000, danInpago 9 sebesar Rp 6.823.000.
Produktivitas gabah yang diperoleh darikeempat varietas tersebut, yaitu Inpago 9sebanyak 4,71 ton/ha GKG, Inpago 8 sebanyak4,48 ton/ha GKG, Slegreng sebanyak 2,62 ton/haGKG dan Inpago 7 sebanyak 2,47 ton/ha GKG(Tabel 3). Rendahnya produktivitas varietasInpago 7 dikarenakan pada saat tanamanmemasuki fase generatif ditemukan gejala
Tabel 2. Rata-rata biaya per hektar usahatani padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2017
Jenis Input ProduksiBiaya Varietas Padi Gogo (Rp)
Slegreng Inpago 7 Inpago 8 Inpago 91. Benih (kg) 200.000 (2,65) 270.000 (3,61) 360.000 (5,21) 270.000 (3,96)2. Pupuk (kg):
a. Urea 1.045.000 (13,82) 228.000 (3,05) 228.000 (3,30) 228.000 (3,34)b. Phonska 600.000 (7,94) 960.000 (12,84) 960.000 (13,89) 960.000 (14,07)c. ZA 170.000 (2,25) - - -
3. Pestisida 370.000 (4,89) 545.000 (7,29) 490.000 (7,09) 490.000 (7,18)4. Tenaga kerja (HOK) 5.175.000 (68,45) 5.175.000 (69,20) 4.875.000 (70,52) 4.875.000
(71,45)Jumlah 7.560.000 7.478.000 6.913.000 6.823.000
Keterangan: *) Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap biaya total usahataniSumber: Data primer, 2017
186 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191
serangan hama dan penyakit dengan intensitasserangan yang lebih tinggi dibandingkan varietaslainnya. Supriyo et al. (2014) menyatakan bahwasalah satu kendala yang dihadapi petani diKabupaten Boyolali untuk meningkatkanproduktivitas padi gogo adalah tingginyaserangan penyakit blas. Padi gogo Inpago 7ditengarai kurang tahan terhadap seranganpenyakit blas sehingga produksi yang dihasilkanlebih rendah.
Berbeda dengan penelitian Yuliani et al.(2017) bahwa padi gogo varietas Inpago 7memiliki ketahanan yang lebih baik terhadapserangan penyakit dibandingkan Inpago 8 danInpago 9. Perbedaan ini dapat disebabkan olehfactor lingkungan yang berbeda bagiperkembangan dan pertumbuhan padi gogoInpago 7. Meskipun lebih tahan terhadapserangan penyakit, produktivitas Inpago 7 yangdiperoleh lebih rendah dibandingkanproduktivitas Inpago 8 dan Inpago 9, yaitu 4,6ton/ha dibandingkan 5,2 ton/ha.
Rata-rata produktivitas padi gogo yangdiperoleh dari hasil kegiatan di KabupatenBoyolali masih lebih rendah dari produktivitaspadi gogo di Kabupaten Aceh Besar, yaitu rata-rata 4,93 ton/ha GKG (Fitria dan Nasir, 2014),namun lebih tinggi dari produktivitas padi gogoyang diperoleh di Kabupaten Pandeglang, Bantenyaitu rata-rata 2,60 ton/ha GKG (Yuniarti, 2015).Tinggi rendahnya produktivitas padi gogo dapat
dipengaruhi oleh tingkat kesuburan lahan,perbedaan iklim dan cuaca serta perbedaan dalammenggunakan input produksi (Nazirah danDamanik, 2015).
Pada tingkat harga yang berlaku pada saatkegiatan, yaitu Rp 4.000/kg GKG makakeuntungan yang diperoleh petani bervariasiantara Rp 2.382.000 – Rp 12.592.000. Dari sisikelayakan usahatani, usahatani padi gogo varietasInpago 9 mempunyai nilai BCR tertinggi, yaitu1,76, diikuti Inpago 8 dengan BCR = 1,59,varietas Slegreng dengan BCR = 0,39 dan varietasInpago 7 dengan BCR = 0,32. Dari nilai BCRyang diperoleh mengindikasikan bahwa varietasInpago 9 dan Inpago 8 mempunyai kelayakanyang tinggi untuk dikembangkan di daerahkegiatan. Nilai BCR > 1 juga diperoleh padapenelitian Noer et al. (2018) pada usahatani padiladang di Lampung Selatan sebesar 1,15.
Persepsi Petani terhadap Keragaan VUB PadiGogo
Varietas Unggul padi gogo (Inpago 7,Inpago 8 dan Inpago 9) merupakan varietas padigogo unggul baru yang diperkenalkan kepadapetani. Padi gogo yang diperkenalkan akanditerapkan/digunakan petani apabila petanimempunyai persepsi yang baik (positif/tinggi)terhadap VUB padi gogo. Persepsi yang baik akanmempengaruhi petani dalam mengambilkeputusan untuk mengembangkan VUB padi
Tabel 3. Rata-rata keuntungan per hektar usahatani padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2017
UraianVarietas Padi Gogo
Slegreng Inpago 7 Inpago 8 Inpago 91. Produksi:
a. Jumlah (kg GKG) 2.620 2.465 4.475 4.710b. Harga (Rp/kg) 4.000 4.000 4.000 4.000c. Nilai (Rp) 10.480.000 9.860.000 17.900.000 18.840.000
2. Biaya (Rp/ha) 7.560.000 7.478.000 6.913.000 6.823.0003. Keuntungan (Rp) 2.920.000 2.382.000 10.987.000 12.017.0004. BCR 0,39 0,32 1,59 1,76
Sumber: Data primer, 2017
187Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)
gogo pada musim tanam berikutnya (Rohaeni etal., 2012; Pratama dan Swastika, 2016).
Persepsi petani terhadap keragaan VUBPadi Inpago 7, Inpago 8 dan Inpago 9 disajikanpada Gambar 1. Petani memiliki persepsi yangtinggi terhadap Inpago 8 dan Inpago 9 karenasebagian besar parameter dinilai oleh petanidengan skala lebih dari 71. Varietas Inpago 8
yang ditunjukkan oleh garis warna merahdipersepsikan tinggi oleh petani karena memilikihasil/produksi padi yang tinggi. Produksi gabahyang tinggi pada VUB Inpago 8 didukung olehjumlah anakan produktif banyak, jumlah gabahper malainya tinggi, serta tahan terhadap hamadan penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapatNazirah dan Damanik (2015) yang mendapatkanjumlah dan panjang malai padi gogo Inpago 8terbanyak dibandingkan jumlah malai pada padigogo Inpago 4 dan Inpago 5.
Dari segi tingkat kepulenan nasi, petanimemiliki persepsi yang tinggi terhadap VUBInpago 8 karena memiliki tekstur nasi pulendibandingkan VUB Inpago 9. Namun dari sisiumur tanaman petani memiliki persepsi yang
rendah terhadap Inpago 8 karena memiliki umurpaling panjang, yaitu ± 119 hari. Pada umumnyapetani lebih memilih varietas dengan umur genjahagar cepat panen. Varietas Inpago 8 jugadipersepsikan rendah pada keragaan tinggitanaman yang rata-rata mencapai 122 cm,keragaan tanaman yang terlalu tinggi tersebutmenyebabkan Inpago 8 dipersepsikan palingmudah rebah (roboh).
Varietas Inpago 9 yang ditunjukkan olehgaris warna hijau dipersepsikan tinggi oleh petanikarena hasil/produksi gabah tinggi, keragaantinggi tanaman sangat disukai oleh petani karenakokoh dan tidak terlalu tinggi atau terlalu pendekyaitu tinggi tanaman rata-rata 115 cm sehinggatanaman tidak mudah rebah, umur tanaman palinggenjah yaitu 109 hari, jumlah anakan produktifpaling banyak, jumlah gabah per malai tinggiserta paling tahan terhadap hama/penyakit.Namun, petani memiliki persepsi yang rendahterhadap tingkat kepulenan nasi karena rasa nasidari beras Inpago 9 memiliki rasa lebih pera.
Varietas Inpago 7 yang ditunjukkan olehgaris warna biru secara umum dipersepsikan lebihrendah oleh petani dengan penilaian pada skala 30
Gambar 1. Persepsi petani terhadap keragaan VUB padi inpago di Kabupaten Boyolali, 2017
188 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191
– 50 dibandingkan Inpago 8 dan inpago 9. Petanimemiliki persepsi bahwa Inpago 7 memilikiproduksi yang rendah akibat jumlah anakanproduktifnya sedikit dan jumlah gabah per malairendah, bahkan dipersepsikan lebih rendahdibandingkan varietas eksisting (Slegreng).Inpago 7 dipersepsikan paling tidak tahanterhadap serangan hama dan penyakit sehinggapertumbuhan tanaman tidak optimal danproduktivitasnya rendah. Namun petani memilikipersepsi yang tinggi pada ketahanannya terhadapkerebahan. Hal ini sangat sesuai dengan deskripsivarietas Inpago 7 yang memiliki keragaan tinggitanaman hanya 107 cm. Berdasarkan kedelapanparameter yang diuji, petani masih menganggappenting parameter hasil/produksi padi, ketahananterhadap hama/penyakit serta umur tanaman.
Preferensi Petani terhadap KeragaanTanaman dan Keragaan Beras Padi Gogo
Preferensi petani terhadap VUB padiInpago 7, Inpago 8 dan Inpago 9 menjadi dasarpetani dalam memilih varietas mana yang palingdisukai (preferensi). Tingkat kesukaan (preferensipetani) terhadap keragaan tanaman maupunkeragaan beras padi gogo disajikan pada Gambar2 dan Gambar 3.
Berdasarkan keragaan tanaman padigogo, secara berurutan petani paling menyukaivarietas Inpago 9, kemudian Inpago 8, Inpago 7dan terakhir varietas Slegreng (varietas lokal).Tingkat kesukaan petani yang tinggi terhadapInpago 9 dan Inpago 8 tersebut terbentuk darihasil persepsi yang tinggi terhadap Inpago 9 danInpago 8.
Preferensi petani terhadap sampel nasidari beberapa varietas padi dilakukan melaluipengujian menggunakan alat indra yang bersifatsubjektif. Preferensi responden terhadap karakternasi dari beberapa VUB padi gogo secarakeseluruhan sulit untuk mendapatkan penilaianyang objektif, karena preferensi adalah selerasehingga preferensi masyarakat akan berbeda-beda di setiap daerah. Setiap VUB padi gogomemiliki karakteristik tersendiri dan berbedaantar varietas. Karakteristik dan perbedaan yangunik tersebut mencakup cita rasa, aroma, warna,zat gizi, dan komposisi kimia (Yang et al., 2010).
Gambar 3 memperlihatkan preferensipetani/tingkat kesukaan petani terhadap keragaannasi yang pertama adalah Inpago 8, diikuti Inpago9, Inpago 7 dan varietas lokal (Slegreng). Inpago8 memiliki warna nasi cerah, aroma harum danrasa nasi enak dengan tekstur pulen. Inpago 9
Gambar 2. Preferensi petani terhadap keragaan VUB padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2017
189Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)
memiliki warna nasi cerah, rasa nasi enak dengantekstur nasi lebih pera (keras) dibanding Inpago 7dan Inpago 8 dan aroma harum. Inpago 7memiliki warna nasi cerah, rasa nasi enak dengantekstur paling pulen, aroma harum namun teksturberas agak pecah (banyak beras patah). Slegrengmemiliki warna nasi cerah, aroma harum, rasanasi enak dengan tekstur lebih pera (keras). Rasanasi ini sama dengan pendapat Yuliani et al.(2017) bahwa Inpago 9 memiliki tekstur nasisedang, sedangkan Inpago 7 dan Inpago 8memiliki tekstur nasi pulen.
Preferensi responden terhadap variabelrasa secara keseluruhan sangat dipengaruhi olehpreferensi responden terhadap variable yang lain,warna dan aroma. Hal ini sejalan denganSetyowati dan Kurniawati (2015) bahwakesukaan terhadap rasa terutama ditentukan olehtingkat kepulenan, kemekaran, tekstur, warna,rasa, dan aroma nasi.
KESIMPULAN
Varietas padi gogo yang memilikiproduktivitas tertinggi, adalah Inpago 9, yaitu4,71 ton/ha GKG dengan keuntungan Rp12.017.000, sedangkan produktivitas terendah
adalah Inpago 7 dengan produktivitas 2,47 ton/haGKG dan keuntungan Rp 2.382.000. Darikeragaan tanaman, petani mempunyai persepsiyang tinggi terhadap varietas Inpago 9 karenaproduktivitas tinggi dan berumur genjah. Padaaspek rasa nasi, petani mempunyai preferensiyang tinggi pada Inpago 8 karena nasi yangberwarna cerah, beraroma harum dan rasa nasiyang lebih enak/pulen. Oleh karena itu padi gogovarietas Inpago 9 dan Inpago 8 layak untukdikembangkan di Kabupaten Boyolali.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepadaIr. Tri Budi S sebagai PPL Desa Singosari,kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali atasperan sertanya dalam pengambilan data sertawawancara kepada petani responden.
DAFTAR PUSTAKA
Asaad, M., Sri Bananiek S., Warda, dan Z.Abidin. 2017. Analisis petani terhadappenerapan tanam jajar legowo padi sawahdi Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajiandan Pengembangan Teknologi Pertanian,20(3): 197 – 207.
Gambar 3. Preferensi Petani terhadap Keragaan Nasi VUB Padi Gogo di Kabupaten Boyolali, 2017
190 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191
Asnawi, R dan W.A. Ratna. 2016. Kajian jajartanam jejer manten dan pupuk hayatipada usahatani padi sawah di KabupatenPesawaran Provinsi Lampung. JurnalPengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian, 19(2): 93 – 102.
Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi JawaTengah dalam angka 2017. Badan PusatStatistik Provinsi Jawa Tengah.
Darus, S. Bahri, dan U. Paman. 2015. Analisisusahatani padi sawah di KecamatanRambah Samo Kabupaten Rokan Hulu.Jurnal Dinamika Pertanian, XXX(2): 171– 176.
Fitria, E dan M.N. Ali. 2014. Kelayakan usahatanipadi gogo dengan pola pengelolaantanaman terpadu (PTT) di KabupatenAceh Besar, Provinsi Aceh. Widyariset,17(3): 425 – 434.
Hambali, A dan I. Lubis. 2015. Evaluasiproduktivitas beberapa varietas padi.Buletin Agrohorti, 3(2): 137-145.
Hendrawati, E., E. Yurisnthae, dan Radian. 2012.Analisis persepsi petani dalampenggunaan benih padi unggul diKecamatan Muara Pawan, KabupatenKetapang. Jurnal Social Economic ofAgriculture, 3(1): 53 – 57.
Minarsih, A., B. Prayudi, dan Warsito. 2013.Keragaan beberapa varietas unggul barupadi sawah irigasi dengan menerapkanpengelolaan tanaman terpadu (PTT) diKabupaten Klaten. Prosiding SeminarNasional Menggagas KebangkitanKomoditas Unggulan Lokal Pertaniandan Kelautan. Fakultas PertanianUniversitas Trunojoyo Madura. p. 582 –587.
Munawwarah, T dan Nurbani. 2016. AdaptasiVUB padi gogo pada agroekosistemlahan kering dataran rendah diKalimantan Timur. Prosiding Seminar
Nasional Hasil_Hasil PPM IPB 2016. p.112 - 122.
Nazirah, L dan B.S.J. Damanik. 2015.Pertumbuhan dan hasil tiga varietas padigogo pada perlakuan pemupukan. J.Floratek, 10: 54 – 60.
Noer, S.C., W.A. Zakaria, K. Murniati. 2018.Analisis efisiensi produksi usahatani padiladang di Kecamatan Sidomulyo,Kabupaten Lampung Tengah. JIIA, 6(1):17 – 24.
Pasolon, Y.B., C. Gago, D. Boer, F. S. Rembon,Muhidin, M. Kikuta, dan Y. Yamamoto.2017. Growth of upland rice in variablesoil water-holding capacity. ResearchJournal of Pharmaceutical, Biological andChemical Sciences, 8(2): 1608 – 1614.
Pratama, D dan S. Swastika. 2016. Persepsipetani terhadap teknologi budidayabawang merah pada lahan kering diKecamatan Tapung, Kampar, ProvinsiRiau. Buletin Inovasi Pertanian, 2(1): 6 –12.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2017.Statistik lahan pertanian tahun 2012-2016. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Rohaeni, W.R., A. Sinaga, dan M.I. Ishaq. 2012.Preferensi responden terhadap keragaantanaman dan kualitas produk beberapavarietas unggul baru padi. InformatikaPertanian, 21(2): 107 – 115.
Rusdi dan M. Asaad. 2016. Uji adaptasi empatvarietas bawang merah di KabupatenKolaka Timur, Sulawesi Tenggara.Jurnal Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian, 19(3): 243 – 252.
Sari, N. 2010. Efisiensi pemanfaatan inputproduksi usahatani padi ladang diKecamatan Bungku Utara KabupatenMorowali. J. Agroland, 17(2): 154 – 161.
Setyowati, I dan S. Kurniawati. 2015. Preferensimasyarakat terhadap karakter nasivarietas unggul baru padi: kasus diKecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak,
191Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)
Banten. Prosiding Seminar NasionalMasyarakat Biodiversitas Indonesia,1(4): 880-893
Supriyo, S., S. Minarsih, dan B. Prayudi. 2014.Efektivitas pemberian pupuk hayatiterhadap pertumbuhan dan hasil padigogo pada tanah kering. Agritech, 11(1):1 – 12.
Tarigan, E.E., J. Ginting, dan Meiriani. 2013.Pertumbuhan dan produksi beberapavarietas padi gogo terhadap pemberianpupuk cair. Jurnal Online Agroteknologi,2(1): 113 – 120.
Theresia, V., A. Fariyanti, dan N. Tinaprilla.2016. Analisis persepsi petani terhadappenggunaan benih bawang merah lokaldan impor di Kabupaten Cirebon, JawaBarat. Jurnal Penyuluhan, 12(1): 74 – 88.
Yang, D.S., K.S. Lee, dan S.J. Kays. 2010.Characterization and discrimination ofpremium-quality, waxy and blackpigmented rise based on odor-activecompounds. Journal of the Science ofFood and Agriculture, 90(15): 2595 –2601.
Yuliani, D., J. Amirullah dan Sudir. 2017.Keragaan penyakit padi pada varietasunggul baru untuk agroekosistem rawadan lahan kering. Agric, 29(1): 21 – 30.
Yuniarti, S. 2015. Respon pertumbuhan dan hasilvarietas unggul baru (VUB) padi gogo diKabupaten Pandeglang, Banten.Prosiding Seminar Nasional MasyarakatBiodiversitas Indonesia, 1(4): 848 – 851.
Zuraida, R. 2014. Usahatani padi gogo di selatanaman karet pada lahan kering bukaanbaru di Kalimantan Selatan (Kasus diDesa Kiram Kabupaten BanjarKalimantan Selatan). Prosiding SeminarNasional Inovasi Teknologi PertanianSpesifik Lokasi. p. 159 – 264.
192
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019
193 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
PERAN BIMBINGAN TEKNIS DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN TEKNOLOGI PRODUKSI KEDELAI KEPADA PETANI DAN PENYULUH PERTANIAN
LAPANGAN DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR
Yovita Anggita Dewi1), Achmad Subaidi2)
1)Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
2)Balai Besar Litbang Pasca Panen
Jl. Tentara Pelajar 10 Cimanggu, Bogor 16114
Email: [email protected]
ABSTRACT
The Role of Technical Guidance in Increasing Technology Knowledge of Soybean Production to Farmers
and Field Extension Officers in Lamongan District, East Java. Soybean farming is one of the mainstays in Lamongan
District, East Java Province, yet it is still faced various obstacles including the level of knowledge of farmers and
extension agents. This paper aimed to express the knowledge status of farmers and extension workers and analyze
efforts to improve them through the implementation of technical guidance. The study was conducted in October 2017
in Lamongan Sub District, East Java Province involving 41 respondents who were selected purposively, namely farmers
and soybean field extension workers. Data were analyzed descriptive and supplemented by simple statistical analysis
in the form of tables and graphs. Paired t-test was also conducted to compare the level of knowledge and application
of respondents before and after technical guidance. The analysis showed that the level of knowledge on soybean
varieties technology before the technical guidance was around 2.4 - 95.1%. The level of knowledge and application of
production technology prior to technical training averaged 47.7% and 44.5%, while related to other information
between 22.0 - 65.9%. The technical guidance increased respondents' knowledge of variety technology around 18.7 -
52.6% as well as on production technology the level of knowledge and application on average increased by 20.0% and
26.7%. The results of the paired different test analysis also showed an increase in knowledge and implementation after
the technical guidance was significant at = 5%. Technical guidance is also expected to not only be able to improve
the knowledge and skills of participants but also support efforts to accelerate the dissemination of soy technology.
Keywords: soybean, farming technologies, knowledge, implementation, technical guidance
ABSTRAK
Usahatani kedelai merupakan salah satu andalan di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur, namun
pengusahaannya masih dihadapkan pada berbagai kendala termasuk tingkat pengetahuan pelaku usahatani baik petani
maupun penyuluh. Tulisan ini bertujuan mengemukakan status pengetahuan petani dan penyuluh lapang serta
menganalisis upaya peningkatannya melalui pelaksanaan bimbingan teknis. Penelitian dilaksanakan pada Bulan
Oktober tahun 2017 di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur melibatkan responden sebanyak 41 orang yang
dipilih secara sengaja (purposive) yaitu petani dan penyuluh lapang usahatani kedelai. Data dianalisis deskriptif dan
dilengkapi analisis statistik sederhana berupa tabel dan grafik. Uji beda berpasangan (paired t-test) juga dilakukan untuk
membandingkan tingkat pengetahuan dan penerapan responden sebelum dan sesudah bimbingan teknis. Hasil analisis
menunjukkan tingkat pengetahuan pada teknologi varietas kedelai sebelum bimtek sekitar 2,4 – 95,1%. Tingkat
pengetahuan dan penerapan teknologi produksi sebelum bimtek rata-rata 47,7% dan 44,5%, sedangkan terkait informasi
lainnya antara 22,0 – 65,9%. Bimtek meningkatkan pengetahuan responden terhadap teknologi varietas sekitar 18,7 –
52,6% demikian halnya pada teknologi produksi tingkat pengetahuan dan penerapan rata-rata meningkat 20,0% dan
26,6%. Hasil analisis uji beda berpasangan juga menunjukkan peningkatan pengetahuan dan penerapan setelah bimtek
194 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
signifikan nyata pada = 5%. Bimtek juga diharapkan tidak hanya dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
peserta, namun juga mendukung upaya percepatan diseminasi teknologi kedelai.
Kata kunci: kedelai, teknologi usahatani, pengetahuan, penerapan, bimbingan teknis
PENDAHULUAN
Usahatani kedelai di wilayah Lamongan
umumnya dilakukan pada pematang lahan sawah
tadah hujan dengan lebar satu meter. Apabila mutu
kedelai hasil usahatani ini berkualitas baik,
sebagian hasil tersebut akan digunakan untuk
benih pada musim selanjutnya di lahan yang sama.
Pada lahan tegalan, kedelai yang ditanam musim
hujan produksinya benihnya akan diusahakan
pada Musim Kemarau I di lahan sawah (Santoso
dan Andri, 2011). Tahun 2011 – 2015, realisasi
luas tanam kedelai di Kabupaten Lamongan
mencapai 21.711 ha/tahun dengan rata-rata
produktivitas 1,435 ton/ha (Dinas Pertanian
Kabupaten Lamongan, 2016). Capaian ini sedikit
lebih rendah dibandingkan dengan rerata
produktivitas kedelai nasional yaitu 1,447 ton/ha
pada periode yang sama. Produktivitas kedelai di
Kabupaten Lamongan namun demikian, memiliki
rata-rata trend tingkat pertumbuhan lebih baik
dibandingkan nasional.
Peningkatan produktivitas kedelai di
wilayah ini sebesar 3,79%/tahun lebih tinggi dari
rata-rata provinsi bahkan nasional, karena data
Kementan (2016) menunjukkan rata-rata
pertumbuhan tingkat nasional hanya bergerak di
kisaran <1%/tahun. Pengembangan produksinya
di sisi lain, juga masih dihadapkan pada berbagai
tantangan karena meskipun laju pertumbuhan
produktivitas meningkat, namun luas tanamnya
cenderung menurun sekitar (-) 1,08%/tahun.
Secara keseluruhan, trend produksi kedelai juga
berada pada pertumbuhan negatif yaitu sebesar (-
) 5,06 persen/tahun (Dinas Pertanian Kabupaten
Lamongan, 2016). Dikaitkan dengan kebutuhan
benih, untuk Kabupaten Lamongan, pada tahun
2011 – 2015 rata-rata membutuhkan benih kedelai
sekitar 868 ton hingga 977 ton dengan asumsi
penggunaan benih per hektar antara 40 – 45 kg.
Peningkatan produktivitas kedelai di
Kabupaten Lamongan masih berpeluang
ditingkatkan. Salah satu upayanya dengan
penerapan teknologi secara lebih baik utamanya
benih dan pupuk karena hasil penelitian Nugraha
dan Muhaimin (2018) menunjukkan bahwa kedua
faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap
kenaikan produksi kedelai di Lamongan dan di
tingkat petani masih perlu diperbaiki.
Pengetahuan petani kedelai juga masih perlu
ditingkatkan karena menurut Hadi dan Wijaya
(2016) petani kedelai cenderung belum
sepenuhnya paham usahatani kedelai.
Mengacu pada kondisi tersebut dalam
upaya peningkatan produksi kedelai perlu
dilakukan kajian tingkat pengetahuan petani dan
penyuluh pertanian terkait dengan usahatani
kedelai? Upaya peningkatannya melalui
bimbingan teknis (bimtek) serta sejauhmana peran
bimtek terhadap peningkatan pengetahuan
teknologi usahatani kedelai. Tulisan ini
difokuskan pada penelahaan status pengetahuan
teknologi usahatani kedelai pada petani dan
penyuluh pertanian lapang (PPL) serta analisis
perbandingan tingkat pengetahuan sebelum dan
sesudah bimtek.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan pada Bulan
Oktober tahun 2017 di Desa Banyubang,
Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan,
Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan
wilayah ini merupakan salah satu sentra produksi
kedelai di Provinsi Jawa Timur. Penelitian
melibatkan 41 orang responden yang dipilih
secara sengaja (purposive) yaitu penyuluh lapang
yang mengetahui dan paham teknologi komoditas
kedelai serta petani kedelai baik petani penangkar
benih maupun petani bukan penangkar.
Responden ini sekaligus menjadi peserta bimtek
teknologi produksi kedelai.
195 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
Bimtek dilaksanakan di kelas dan dalam
bentuk tatap muka yang terdiri dari pengisian
kuesioner pre-test, penyampaian materi oleh
narasumber, diskusi/tanya jawab, dan diakhiri
dengan pengisian kuesioner post-test. Materi yang
disampaikan dalam bimtek mencakup: 1)
Pengenalan VUB Kedelai Balitbangtan, 2)
Pengendalian Hama/Penyakit Kedelai, 3)
Prossesing dan Penyimpanan Benih Kedelai, 4)
Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung
Swasembada Kedelai Nasional, 5) Prosedur
Sertifikasi Benih Kedelai, dan 5) Kelembagaan
Perbenihan Kedelai.
Data-data yang dikumpulkan adalah data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui kuesioner terstruktur mencakup data
karakteristik responden seperti umur, lama
pendidikan (formal), jenis pekerjaan, dan lama
waktu bekerja serta tingkat pengetahuan teknologi
produksi kedelai baik sebelum maupun setelah
bimtek. Tes diagnostik menggunakan kuesioner
terstruktur digunakan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan eksisting peserta, mencakup tingkat
pengetahuan dan penerapan varietas kedelai,
tingkat pengetahuan teknologi rekomendasi
produksi kedelai, dan aspek lain terkait perbenihan
kedelai. Harapannya, melalui keterlibatan dalam
bimtek, pengetahuan peserta dapat meningkat,
yang nantinya akan diukur melalui tes setelah
pelaksanaan (post-test). Data sekunder diperoleh
dari laporan dinas terkait dan Badan Pusat
Statistik.
Analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif kualitatif menggunakan tabel
dan grafik serta analisis kuantitatif berupa uji beda
berpasangan (paired t-test) untuk membandingkan
tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi
sebelum dan sesudah bimtek.
Tabel 1. Karakteristik peserta bimbingan teknis teknologi produksi kedelai Kab. Lamongan, Provinsi Jawa
Timur, 2017
No Uraian Rata-rata
1 Rata-rata umur (tahun) 43,4
2 Persentase menurut jenis kelamin (%)
- Laki-laki 75,0
- Perempuan 25,0
3 Lama pendidikan formal (tahun) 14,0
4 Peserta menurut pendidikan (%)
- SD 5,3
- SLTP 10,5
- SLTA 18,4
- Diploma 10,5
- S1 52,6
- S2 2,6
5 Jenis pekerjaan (%)
- Petani 21,9
- PPL 63,4
- Penangkar 4,9
- Penyuluh BPTP 9,8
6 Lama bekerja (%)
- <5 tahun 3,0
- 5-10 tahun 54,6
- >10 tahun 42,4
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
196 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik
Karakteristik responden sangat menarik
untuk diungkap karena dapat digunakan untuk
menggambarkan potensi dampak dari suatu
kegiatan. Terkait dengan tujuan bimbingan teknis
(bimtek), karakteristik responden peserta
dipandang sebagai potensi dalam menduga
dampak kegiatan bimtek yang merupakan salah
satu bentuk pelatihan.
Secara umum peserta bimtek masih
tergolong dalam usia produktif yaitu rata-rata
43,39 tahun. Usia produktif menciptakan peluang
terjadinya transfer pengetahuan dan menerapkan
hasil pelatihan. Beberapa studi menyebutkan
bahwa faktor usia tidak berpengaruh signifikan
(Tai, 2006) atau justru berpengaruh signifikan
negatif terhadap efektivitas proses transfer dalam
sebuah training atau pelatihan (Warr dan Bunce,
1995). Berdasarkan kategori jenis kelamin, peserta
bimtek didominasi peserta laki-laki terutama
kelompok peserta petani dan petani penangkar
yaitu 75% (Tabel 1). Kondisi ini menunjukkan
bahwa tenaga kerja bidang pertanian khususnya
pada komoditas kedelai didominasi tenaga kerja
laki-laki.
Rata-rata lama pendidikan peserta adalah
14 tahun atau lebih dari tamat sekolah lanjutan
tingkat atas (SLTA). Lebih dari separuh (52,6%)
peserta berpendidikan sarjana strata 1 (S-1),
diikuti peserta dengan jenjang pendidikan SLTA
yaitu 18,4%. Meskipun pendidikan tidak selalu
menjadi jaminan keberhasilan penyelenggaraan
pelatihan namun menjadi unsur yang cukup
penting. Semakin tinggi pendidikan peserta,
diharapkan akan mempermudah dalam menerima
materi-materi yang disampaikan dalam pelatihan.
Menurut Warr dan Bunce (1995) dan Mathieu et
al. (1992), unsur pendidikan menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas
pelatihan.
Tabel 1 menunjukkan peserta yang
mengikuti bimtek didominasi kelompok penyuluh
lapang (PPL) dengan persentase 63,41%, peserta
dari kelompok petani dan petani penangkar
masing-masing 21,95% dan 4,88%. Masing-
masing peserta juga memiliki pengalaman bekerja
bervariasi. Berdasarkan klasifikasi lama bekerja,
hampir 55% peserta sudah bekerja selama 5 – 10
tahun, diikuti kelompok peserta dengan
pengalaman kerja cukup lama atau lebih dari 10
tahun sebanyak 42,4%, dan hanya 3% peserta
dengan pengalaman kerja kurang dari 5 tahun. Hal
ini mengindikasikan bahwa peserta bimtek rata-
rata sudah cukup memiliki pengalaman bekerja di
bidangnya masing-masing dan bekal pengetahuan
Tabel 2. Varietas-varietas kedelai yang diketahui peserta sebelum bimtek perbenihan kedelai di Kab. Lamongan, Jawa
Timur, 2017
No. Varietas Persentase (%)
1. Grobogan 95,1
2. Anjasmoro 78,1
3. Argomulyo 46,3
4. Wilis 41,5
5. Burangrang 29,3
6. Gepak Ijo, Gepak Kuning 19,5
7. Gema 14,6
8. Dena-1, Argopuro 12,2
9. Panderman 9,8
10. Detam-1, Dering-1, Devon-1 7,3
11. Dega-1, Detam-2, Detam-3, Detam-4 4,9
12. Mutiara-1, Mutiara-2, Mutiara-3, Demas-1, Deja-1, Deja-2 2,4
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
197 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
cukup memadai terkait topik pelatihan. Menurut
Lim dan Morris (2006), pengalaman bekerja
seseorang tidak berpengaruh terhadap proses
penerimaan saat belajar dan transfer pengetahuan
dalam training.
Peserta yang bekerja sebagai penyuluh rata-
rata membina 2,57 desa dengan kisaran desa
binaan antara 1 – 6 desa per penyuluh dan rata-rata
jumlah kelompok tani binaan sekitar 13,37
kelompok tani untuk setiap penyuluhnya. Peserta
petani memiliki jumlah anggota dalam kelompok
tani cukup tinggi, rata-rata mencapai 96 orang per
kelompok tani. Asumsi masing-masing kelompok
tani beranggotakan 96 orang, maka jumlah
kelompok tani yang dibina setiap penyuluh cukup
banyak, mencapai ratusan petani. Kondisi tersebut
menggambarkan cukup besarnya tanggungjawab
penyuluh.
Kelompok petani penangkar masih
menggunakan varietas kedelai yang dirilis cukup
lama seperti Grobogan, Wilis, dan Anjasmoro.
Varietas-varietas unggul baru (VUB) Balitbangtan
terbaru seperti Detam, Deja, Dena, Dering, dan
Mutiara belum dikenal dan dibudidayakan petani.
Dari 6 kelompok petani penangkar, rata-rata luas
lahan yang digarap sekitar 29,60 ha dan jumlah
anggota setiap kelompok penangkar hampir 49
petani. Dikaitkan dengan potensi produksi dan
tingkat penyebaran benih, kelompok penangkar
benih tersebut diperkirakan dapat memenuhi
kebutuhan benih kedelai untuk lahan sekitar 700 –
1.500 ha atau masih di bawah total kebutuhan
benih Kabupaten Lamongan. Kondisi ini sekaligus
dapat dipandang sebagai peluang untuk terus
mendorong perbenihan kedelai di wilayah ini
karena, masih adanya senjang produksi dan
kebutuhan.
Tingkat Pengetahuan dan Penerapan Varietas
Kedelai Sebelum Bimbingan Teknis
Keragaan pengetahuan eksisting peserta
terkait VUB menunjukkan bahwa beberapa VUB
kedelai yang dirilis Balitbangtan sudah dikenal
pengguna, baik pengguna antara maupun
pengguna akhir, namun demikian banyak VUB
yang juga belum diketahui terutama varietas-
varietas yang belum lama dirilis. Varietas yang
paling banyak diketahui peserta adalah Grobogan,
sekitar 95% peserta menjawab tahu varietas ini.
Varietas Grobogan memang sudah biasa ditanam
oleh petani kedelai di Kabupaten Lamongan
secara turun temurun. Varietas berikutnya yang
cukup dikenal peserta adalah Anjasmoro,
Argomulya, dan Wilis. Varietas Panderman,
Dering, seri Detam, seri Mutiara, dan seri Deja
diketahui kurang dari 10% peserta, sedangkan
untuk varietas NS sama sekali tidak dikenal oleh
peserta (Tabel 2).
Tingkat pengetahuan varietas akan lebih
menarik apabila dikaitkan dengan penerapan atau
varietas yang ditanam. Pengetahuan terhadap
suatu teknologi belum menjamin diterapkannya
Tabel 3. Varietas-varietas kedelai yang ditanam peserta bimtek perbenihan kedelai di Kab. Lamongan,
Jawa Timur, 2017
No. Varietas Persentase ditanam (%)
1. Grobogan 73,2
2. Anjasmoro 53,7
3. Argomulyo 22,0
4. Wilis 41,5
5. Burangrang 7,3
6. Panderman, Gema, Gepak Kuning, Dena-1 4,9
7. Gepak Ijo, Demas-1, Dering-1, Devon-1 2,4
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
198 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
atau diadopsinya teknologi tersebut, termasuk
teknologi varietas. Hasil analisis varietas yang
ditanam secara umum menggambarkan masih
belum beranjaknya tingkat adopsi varietas dari
varietas-varietas lama.
Hasil analisis data menggambarkan hanya
sekitar 13 varietas yang ditanam oleh peserta atau
59% dari total 22 varietas yang diketahui. Varietas
Grobogan, seperti halnya pada tingkat
pengetahuan adalah varietas yang paling banyak
ditanam dengan persentase mencapai 73% dengan
senjang tingkat pengetahuan dan penerapan
hampir 22%. Varietas berikutnya adalah
Anjamoro, dengan tingkat penerapan 53,7% atau
selisih 24,4% dari persentase pengetahuan.
Varietas Argomulyo yang diketahui lebih dari
46% peserta bahkan hanya ditanam oleh sekitar
22% atau 24% peserta meskipun mengetahui
varietas ini, namun tidak menanamnya di lahan.
Varietas Argopuro, Panderman, dan Mutiara-1-2-
3, sama sekali tidak ditanam walaupun sebagian
peserta sudah mengenal varietas-varietas tersebut
(Tabel 3).
Berbagai faktor mempengaruhi penerapan
inovasi teknologi di tingkat pengguna. Menurut
Douthwaite et al. (2000), faktor motivasi dari
penerima manfaat teknologi dan penghasil
teknologi mempengaruhi tingkat adopsi. Teori
klasik tentang inovasi yang dijelaskan oleh Rogers
(1983) menyebutkan bahwa keputusan menerima
atau menolak suatu teknologi baru erat kaitannya
dengan lima sifat inovasi tersebut yaitu aspek
keuntungan relatif (relative advantage), aspek
kompatibilitasnya (compatibility), aspek
kekomplekkan (complexity) teknologi, aspek
kemudahan untuk mencobanya (trialability), dan
aspek observability. Mengacu pada teori tersebut,
pada pelaksanaan bimtek kedelai juga digali
faktor-faktor yang mempengaruhi peserta
menanam varietas kedelai tertentu.
Aspek produksi tinggi menjadi alasan
utama dalam memilih varietas kedelai yang akan
ditanam, yaitu sebanyak 85,4%. Alasan ini
merupakan keputusan yang sangat rasional,
karena produksi tinggi juga terkait dengan tingkat
pendapatan petani. Semakin tinggi produksi, maka
diharapkan pendapatan yang diterima petani juga
akan lebih besar. Faktor selanjutnya yang
mendorong pengguna dalam menanam varietas
kedelai adalah benihnya mudah didapatkan (61%).
Penyediaan benih tepat waktu sering menjadi
persoalan di tingkat pengguna, sehingga seringkali
adopsi tidak dapat berkelanjutan karena sistem
logistik utamanya penyediaan benih belum
dibangun secara baik. Ketahanan terhadap hama
dan penyakit juga menjadi salah satu pendorong
peserta dalam memilih varietas kedelai. Sebanyak
53,7% peserta menyatakan pentingnya aspek
tersebut dalam suatu varietas. Pertimbangan
tersebut sangat wajar mengingat serangan hama
dan penyakit menjadi salah satu penyebab
kegagalan panen dan turunnya produksi. Alasan
selanjutnya yang diungkap oleh peserta adalah
varietas tersebut mudah diterapkan atau
dibudidayakan, yaitu sebesar 43,9%. Teknologi
yang sulit diterapkan atau lebih kompleks
memang akan cenderung membutuhkan waktu
lebih lama untuk diadopsi (Douthwaite et al.,
2000). Alasan terakhir menanam varietas kedelai
Tabel 4. Pertimbangan dalam pemilihan varietas kedelai yang ditanam menurut peserta bimtek perbenihan kedelai di
Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017
No. Alasan Persentase (%)
1. Mudah didapatkan 61,0
2. Mudah digunakan 43,9
3. Tahan hama dan penyakit 53,7
4. Produksi tinggi 85,4
5. Lainnya (sesuai dengan kondisi setempat) 26,8
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
199 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
tertentu, menurut peserta adalah kesesuaian
dengan kondisi setempat atau bersifat spesifik
lokasi. Alasan tersebut dipilih sekitar 26,8%
peserta (Tabel 4).
Tingkat Pengetahuan dan Penerapan
Teknologi Produksi Kedelai Sebelum
Bimbingan Teknis
Mengacu pada panduan teknologi produksi
kedelai, terdapat 13 komponen teknologi yang
direkomendasikan Balitkabi sebagai sumber
invensi kedelai mulai jumlah kebutuhan benih,
teknik pengendalian hama dan penyakit, fase
pengamatan, saat panen, suhu ideal untuk
penyimpanan benih, dan cara penyimpanan benih
(Balitkabi, 2008).
Berdasarkan analisis data, tingkat
pengetahuan peserta yang tertinggi pada
komponen teknologi kebutuhan benih kedelai
sebanyak 40 kg/ha, yaitu sebanyak 78% peserta.
Panen saat mutu benih maksimal merupakan
komponen teknologi berikutnya yang juga banyak
diketahui peserta yaitu sebesar 75,6%. Komponen
teknologi pengeringan hingga kadar air 14% dan
pengendalian hama secara hayati/biologis
berturut-turut diketahui 58,5% dan 51,2% peserta.
Komponen teknologi lainnya hanya dikenal
kurang dari 50% peserta. Pengamatan rouging
pada beberapa fase dan pengemasan benih
menggunakan karung benih hanya diketahui
sekitar 48,8%, pengendalian hama secara kultur
teknis, pengendalian penyakit dari vektor virus,
dan penyimpanan benih pada suhu rendah
diketahui 41,5% peserta. Komponen teknologi
yang paling sedikit dikenal peserta adalah
kebutuhan benih lebih dari 40 kg/ha, karena
kurang dari 20% yang mengetahuinya. Secara
agregat, komponen teknologi produksi kedelai
rata-rata hanya diketahui oleh 47,7% atau kurang
dari separuh peserta (Tabel 5).
Tabel 5. Tingkat pengetahuan dan penerapan peserta terkait rekomendasi teknologi produksi kedelai sebelum
bimtek, Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017
No. Komponen teknologi produksi kedelai Persentase tingkat
pengetahuan (%)
Persentase tingkat
penerapan (%)
1 Kebutuhan benih kedelai sebanyak 40 kg/ha 78,1 73,2
2 Kebutuhan benih kedelai lebih dari 40 kg/ha 19,5 21,9
3 Pengendalian hama secara kultur teknis 41,5 51,2
4 Pengendalian hama secara hayati/biologis 51,2 48,8
5 Pengendalian penyakit dari vektor virus pada saat
tanaman 40, 50, dan 60 hari
41,5 39,0
6 Fase pengamatan rouging yaitu fase tanaman
muda, berbunga, dan masak fisiologis
48,8 53,7
7 Panen saat mutu benih maksimal (95% polong
berwarna coklat atau kehitaman)
75,6 68,3
8 Pengeringan hingga KA 14% 58,5 46,3
9 Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu
rendah
41,5 29,3
10 Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu
sedang
29,3 29,3
11 Pengemasan benih menggunakan karung kecil
bening
48,8 43,9
12 Pengemas kedap udara tertutup rapat 39,0 29,3
13 Penyimpanan benih dengan KA 9-10% 46,3 43,9
Rata-rata 47,7 44,5
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
200 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
Mengacu pada Tabel 5, dapat dilihat
persentase komponen teknologi yang diterapkan
peserta. Sejalan dengan pengetahuan dan
penerapan teknologi varietas, tingkat penerapan
komponen teknologi produksi tidak selalu linier
dengan tingkat pengetahuan peserta. Kebutuhan
benih kedelai sebanyak 40 kg/ha, diterapkan
sebanyak 73,2% atau terdapat senjang 4,88% dari
persentase tingkat pengetahuan. Panen saat mutu
benih maksimal menurut hasil identifikasi,
diterapkan 68,3% peserta atau selisih 7,32% dari
pengetahuan. Teknologi pengeringan hingga
kadar air 14% diterapkan sekitar 46,3% atau
terdapat perbedaan 12,2%.
Komponen teknologi dengan tingkat
penerapan kurang dari 30% antara lain kebutuhan
benih lebih dari 40 kg/ha, penyimpanan benih
pada suhu rendah dan sedang, serta penyimpanan
menggunakan tutup rapat kedap udara. Secara
umum, perbedaan antara tingkat penerapan dan
pengetahuan bervariasi antara 2,44 – 12,2%.
Namun demikian, terdapat fenomena menarik,
karena terdapat dua komponen teknologi yang
tingkat penerapannya lebih tinggi dari tingkat
pengetahuannya, yaitu kebutuhan benih kedelai
lebih dari 40 kg/ha meskipun hanya diketahui oleh
19,5% peserta namun tingkat penerapannya
sedikit lebih tinggi yaitu 21,9%. Demikian halnya
dengan teknologi pengendalian hama secara kultur
teknis, tingkat penerapannya lebih tinggi 9,8%
dari persentase tingkat pengetahuan. Hal ini dapat
disebabkan karena faktor kebiasaan atau bersifat
turun temurun, sehingga bukan karena mengikuti
teknologi anjuran atau rekomendasi.
Informasi lain yang penting adalah tingkat
pengetahuan terhadap lembaga sertifikasi benih
dan mekanisme sertifikasi, karena keberhasilan
perbenihan kedelai sangat terkait dengan
sertifikasi benih. Proses sertifikasi adalah
persyaratan wajib yang harus dipenuhi untuk
benih-benih yang diedarkan, sebagai bagian dari
pengendalian mutu dan diatur undang-undang
(Harnowo et al., 2007). Menurut Hartono dalam
Harnowo et al. (2007), sertifikasi benih dapat
diberikan setelah melalui proses pemeriksaan,
pengujian, pengawasan, dan memenuhi
persyaratan yang ditentukan.
Empat informasi yang dikumpulkan yaitu
pengetahuan tentang lembaga sertifikasi benih,
proses sertifikasi benih, peran perguruan tinggi
dalam mendukung perbenihan kedelai, dan peran
PPL dalam produksi kedelai. Dari hasil analisis
data, pengetahuan peserta tentang lembaga
sertifikasi benih tidak terlalu baik. Hanya 48,8%
atau kurang dari setengah peserta yang hadir
mengetahui lembaga-lembaga terkait sertifikasi
benih (Tabel 6).
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
keberadaan lembaga tersebut atau kebutuhan
sertifikasi benih belum dianggap penting dalam
produksi kedelai. Kelembagaan penangkar benih
informal dengan metode diseminasi dari petani ke
petani umumnya lebih banya berkembang dan
tidak melewati jalur lembaga sertifikasi resmi
tersebut. Menurut Santoso dan Andri (2011),
sistem perbenihan di Kabupaten Lamongan secara
informal lebih menonjol yang dicirikan dari lebih
besarnya luas tanam untuk areal perbenihan (2 kali
luas tanam areal perbenihan sistem formal).
Tabel 6. Tingkat pengetahuan peserta sebelum bimtek terkait informasi lainnya dalam mendukung perbenihan
kedelai di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017
No. Uraian Persentase peserta mengetahui (%)
1. Lembaga sertifikasi benih 48,8
2. Proses sertifikasi benih 22,0
3. Peran perguruan tinggi dalam mendukung
perbenihan kedelai
31,7
4. Peran PPL dalam produksi kedelai 65,9
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
201 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
Sistem perbenihan informal biasanya melibatkan
sub sistem yang cukup sederhana, yaitu
penggandaan benih, pemasaran, dan pengguna.
Dari Tabel 6, proses sertifikasi benih hanya
diketahui kurang dari 22% peserta sedangkan
sisanya sebanyak 78% peserta belum mengetahui
proses yang harus dilalui dalam sertifikasi benih,
padahal proses sertifikasi sangat krusial dalam
menghasilkan benih unggul dan bermutu.
Kementan (2013) menyebutkan bahwa sertifikasi
benih kedelai dapat dilakukan baik oleh
pemerintah yaitu Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih (BPSB) di setiap provinsi
maupun lembaga sertifikasi sistem mutu (LSSM)
perbenihan yang diberi kewenangan pemberian
sertifikasi sistem mutu pada industri atau
perusahaan benih.
Pelaksanaan dan pengembangan program
perbenihan membutuhkan dukungan banyak pihak
termasuk perguruan tinggi. Dalam upaya
mensinergikan peran Balitbangtan dan Perguruan
Tinggi, pada bimtek juga menghadirkan
narasumber dari perguruan tinggi. Untuk melihat
tingkat pemahaman dan pengetahuan peserta,
digali pertanyaan terkait perguruan tinggi dan
perannya dalam mendukung perbenihan kedelai.
Dari seluruh peserta yang menjawab, hanya 31,7%
yang mengetahui peran perguruan tinggi dan
sisanya (hampir 70%) tidak tahu. Ketidaktahuan
peserta dimungkinkan disebabkan karena belum
banyaknya keterlibatan perguruan tinggi dalam
kegiatan perbenihan kedelai di lapang. Selain
perguruan tinggi, peran dan keberadaan PPL juga
sangat diperlukan karena PPL merupakan
pendamping langsung petani, sehingga kinerjanya
akan turut mempengaruhi keberhasilan
perbenihan. Sebagian peserta yaitu 65,85% sudah
mengetahui peran PPL dalam perbenihan kedelai
serta mengungkapkan bahwa PPL menjalankan
fungsi pendampingan dan pembinaan kepada
petani.
Tabel 7. Tingkat pengetahuan peserta tentang teknologi produksi kedelai sebelum dan sesudah bimtek, dan persentase
peningkatannya di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017
No. Komponen teknologi produksi kedelai Sebelum
bimtek (%)
Sesudah
bimtek (%)
Peningkatan (%)
1. Kebutuhan benih kedelai sebanyak 40 kg/ha 78,05 82,93 4,88
2. Kebutuhan benih kedelai lebih dari 40 kg/ha 19,51 46,34 26,83
3. Pengendalian hama secara kultur teknis 41,46 70,73 29,27
4. Pengendalian hama secara hayati/biologis 51,22 80,49 29,27
5. Pengendalian penyakit dari vektor virus pada saat
tanaman 40, 50, dan 60 hari
41,46 65,85 24,39
6. Fase pengamatan rouging yaitu fase tanaman
muda, berbunga, dan masak fisiologis
48,78 85,37 36,59
7. Panen saat mutu benih maksimal (95% polong
berwarna coklat atau kehitaman)
75,61 85,37 9,76
8. Pengeringan hingga KA 14% 58,54 56,10 -2,44
9. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu
rendah
41,46 53,66 12,20
10. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu
sedang
29,27 53,66 24,39
11. Pengemasan benih menggunakan karung kecil
bening
48,78 75,61 27,83
12. Pengemasan kedap udara tertutup rapat 39,02 43,90 4,88
13. Penyimpanan benih dengan KA 9-10% 46,34 78,05 31,71
Rata-rata 47,65 67,54 19,96
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
202 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
Tingkat Pengetahuan Peserta Sebelum dan
Sesudah Bimbingan Teknis
Tujuan dari bimtek adalah meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan peserta yang
nantinya diharapkan dapat berdampak perbaikan
penerapan produksi benih kedelai. Hasil evaluasi
di akhir bimtek (post-test) diterapkan untuk
mengidentifikasi ada tidaknya peningkatan
pengetahuan. Berdasarkan hasil analisis data post-
test, terjadi peningkatan pengetahuan terhadap
varietas-varietas kedelai termasuk VUB yang
belum lama dirilis. Varietas-varietas kedelai yang
sudah cukup lama dikenal, peningkatan
pengetahuan tidak terlalu banyak, sebagai contoh
persentase peserta yang mengetahui varietas
Grobogan dan Wilis sebelum dan sesudah bimtek
tidak mengalami perubahan atau penambahan.
Varietas lainnya yaitu Anjasmoro dan Argomulyo,
setelah bimtek diketahui masing-masing sebanyak
92,7% dan 70,7% peserta atau meningkat 18,7%
dan 52,6%.
Tingkat pengenalan peserta terhadap VUB
Balitbangtan meningkat cukup besar. Varietas
Gema, Gepak Ijo, dan Gepak Kuning pada saat
sebelum bimtek masing-masing hanya diketahui
oleh 14,6%, 19,5%, dan 19,5%, sementara setelah
bimtek peserta yang mengenal varietas-varietas
tersebut bertambah menjadi 48,8%, 56,1%, dan
58,5% atau meningkat antara 34,2 – 39%. Varietas
seri Deja, Demas-1, seri Mutiara, dan seri Detam
sebelum pelaksanaan bimtek hanya diketahui
antara 2,44% – 4,88%. Melalui pembelajaran
bimtek, semakin banyak dan ditunjukkan dari
peningkatan jumlah peserta (meningkat 2 – 20 kali
lipat).
Peningkatan pengetahuan tersebut
mengindikasikan bahwa materi yang
disampaikan, terutama pengenalan VUB
Balitbangtan dari Balitkabi cukup efektif
disampaikan dan diterima dengan baik oleh
peserta. Bimtek dapat digunakan sebagai salah
satu metode diseminasi dalam menyampaikan
Tabel 8. Tingkat penerapan teknologi produksi kedelai sebelum dan sesudah bimtek, dan persentase peningkatannya
di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017
No. Komponen teknologi produksi kedelai Sebelum
bimtek (%)
Sesudah
bimtek (%)
Peningkatan (%)
1. Kebutuhan benih kedelai sebanyak 40 kg/ha 73,17 85,37 12,20
2. Kebutuhan benih kedelai lebih dari 40 kg/ha 21,91 43,90 21,99
3. Pengendalian hama secara kultur teknis 51,22 80,49 29,27
4. Pengendalian hama secara hayati/biologis 48,78 85,37 36,59
5. Pengendalian penyakit dari vektor virus pada saat
tanaman 40, 50, dan 60 hari
39,02 68,29 29,27
6. Fase pengamatan rouging yaitu fase tanaman
muda, berbunga, dan masak fisiologis
53,66 85,37 31,73
7. Panen saat mutu benih maksimal (95% polong
berwarna coklat atau kehitaman)
68,29 87,80 19,51
8. Pengeringan hingga KA 14% 46,34 56,10 9,76
9. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu
rendah
29,27 58,54 29,27
10. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu
sedang
29,27 60,98 31,71
11. Pengemasan benih menggunakan karung kecil
bening
43,90 78,05 34,15
12. Pengemasan kedap udara tertutup rapat 29,27 48,78 19,51
13. Penyimpanan benih dengan KA 9-10% 43,90 85,37 41,47
Rata-rata 44,47 71,11 26,64
Sumber: Data primer, 2017 (diolah)
203 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
teknologi varietas. Capaian peningkatan
pengetahuan dapat dijadikan sebagai langkah awal
untuk menggantikan varietas-varietas lama yang
masih bertahan dan ditanam di tingkat petani
kedelai.
Pengetahuan peserta tentang teknologi
produksi kedelai diharapkan juga meningkat
dengan adanya bimtek. Tingkat pengetahuan
sebelum bimtek pada teknologi produksi kedelai
sebesar 47,65% atau kurang dari separuh peserta
bimtek yang sudah mengetahui komponen-
komponen teknologi rekomendasi produksi
kedelai. Hasil analisis data menunjukkan, setelah
bimtek, secara umum terjadi peningkatan
pengetahuan peserta dalam teknologi produksi.
Keseluruhan komponen teknologi, 67,54% peserta
mengetahuinya atau terdapat peningkatan jumlah
peserta sebesar 50,98%, artinya setiap komponen
teknologi produksi kedelai pada akhir bimtek telah
dikenal oleh sekitar 27 orang, dari sebelumnya
hanya 19 orang (Tabel 7).
Tabel 7 menunjukkan peningkatan
pengetahuan yang cukup tinggi pada komponen
teknologi kebutuhan benih lebih dari 40 kg/ha,
yaitu meningkat 137,5%. Komponen teknologi
lainnya dengan persentase peningkatan cukup baik
adalah teknik penyimpanan benih pada suhu
sedang, fase pengamatan rouging, pengendalian
hama secara kultur teknis, dan penyimpanan benih
pada kadar air 9 – 10% berturut-turut dengan
persentase peningkatan sebesar 83,3%, 75%,
70,6%, dan 68,4%. Komponen teknologi
kebutuhan benih sebanyak 40 kg/ha, panen saat
mutu benih maksimal, pengeringan dengan kadar
air 14%, dan pengemasan pada tempat tertutup
rapat tingkat pengetahuan peserta relatif kurang
meningkat (persentase peningkatan kurang dari
15%). Hal dapat disebabkan karena materi-materi
tersebut belum dijelaskan secara lengkap pada saat
bimtek.
Persentase tingkat penerapan juga perlu
dianalisis untuk melihat potensi adopsi di tingkat
pengguna. Peningkatan penerapan diharapkan
dapat mendorong adopsi dan berdampak pada
membaiknya kinerja produktivitas dan produksi
kedelai. Tujuan bimtek relatif tercapai pada
beberapa komponen teknologi karena perubahan
tingkat penerapan yang cukup besar, yaitu teknik
penyimpanan benih pada suhu sedang dan rendah,
penyimpanan benih dengan kadar air 9 – 10%,
serta kebutuhan benih lebih dari 40 kg/ha.
Persentase peningkatan penerapan pada teknologi-
teknologi tersebut berkisar antara 94,4% – 108,3%
atau dua kali lipat dibandingkan sebelum bimtek
(Tabel 8).
Faktor yang menyebabkan membaiknya
tingkat penerapan dimungkinkan karena
sebelumnya belum cukup banyak peserta yang
Tabel 9. Hasil uji beda (paired T-test) tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi produksi kedelai sebelum dan
sesudah bimbingan teknis, Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017
Uraian Pengetahuan Penerapan
1. Frekuensi
Sebelum – sesudah Negative differencesa 1 0
Positive differencesb 12 13
Tiesc 0 0
Total 13 13
a. Sebelum < sesudah
b. Sebelum > sesudah
c. Sebelum = sesudah
2. Test statistics
Sebelum – sesudah Exact Sig. (2 tailed) 0,003b 0,000b
a. Sign test
b. Binomial distribution used
Keterangan: Paired T-Test dengan α = 5%
204 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
menerapkan. Transfer pengetahuan melalui
bimtek mendorong potensi penerapan. Tabel 8
juga menunjukkan bahwa upaya meningkatkan
penerapan teknologi dengan pendekatan bimtek
tidak selalu mudah dan berhasil. Sebagai contoh,
potensi penerapan teknologi rekomendasi
penggunaan benih 40 kg/ha, pengeringan hingga
kadar air 14% dan panen saat mutu maksimal
hanya meningkat kurang dari 30%.
Efektivitas pelaksanaan bimtek dapat
dianalisis lebih lanjut dengan uji beda
berpasangan (paired t-test) untuk melihat
signifikansi perubahan tingkat pengetahuan dan
penerapan sebelum dan sesudah bimtek. Dari hasil
analisis statistik terlihat bahwa terjadi peningkatan
pengetahuan sebelum dan sesudah bimtek secara
nyata dan signifikan pada α = 5%, yang
ditunjukkan dari koefisien sebesar 0,003. Hasil
serupa juga ditunjukkan pada aspek tingkat
penerapan. Secara statistik, terjadi peningkatan
tingkat penerapan secara nyata dan signifikan
(0,000) (Tabel 9).
Berdasarkan Tabel 9, pendekatan bimtek
dapat digunakan untuk mendorong perbaikan
tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi
kedelai. Hasil perbandingan secara umum pada
perubahan tingkat pengetahuan dan penerapan
sebelum dan sesudah bimtek capaiannya cukup
baik meskipun belum optimal, mengingat waktu
pelaksanaan bimtek yang cukup singkat. Metode
yang digunakan dalam bimtek masih terbatas
dalam bentuk mendengar dan berbicara/diskusi.
Lunandi dalam Rozi dan Subandi (2012)
menyatakan metode pembelajaran seperti bimtek
sebaiknya juga dikombinasikan dengan
demonstrasi dan latihan/praktek untuk
meningkatkan efektivitas transfer pengetahuan.
Tingkat pengetahuan peserta tentang
informasi lembaga sertifikasi benih setelah bimtek
meningkat 22%. Peserta umumnya mulai
memahami bahwa terdapat lembaga yang
memiliki kewenangan dan bertugas untuk
memproses sertifikasi benih. Lembaga yang
disebutkan oleh peserta antara lain BPSB dan
Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Benih Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Pengetahuan proses
sertifikasi benih meningkat sangat besar 53,7%.
Membaiknya tingkat pengetahuan peserta dalam
hal proses sertifikasi benih, diharapkan dapat
berdampak pada perbaikan teknik budidaya dan
pasca panen benih, sehingga benih-benih yang
dihasilkan dapat disertifikasi dan layak diedarkan
(Grafik 1). Capaian tersebut diharapkan dapat
mendorong suksesnya perbenihan kedelai
khususnya di Kabupaten Lamongan.
Grafik 1 menggambarkan peran perguruan
tinggi dalam mendukung perbenihan kedelai
nasional semakin dipahami peserta. Peserta yang
Grafik 1. Tingkat pengetahuan peserta terkait informasi lainnya dalam mendukung perbenihan kedelai sebelum dan
sesudah bimtek di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 2017 (Sumber: data primer, 2017 (diolah))
22,0
53,7
46,3
19,5
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00
Lembaga sertifikasi benih
Proses sertifikasi benih
Peran perguruan tinggi dalam
mendukung perbenihan kedelai
Peran PPL dalam produksi kedelai
Persentase (%)
Info
rmas
i pen
dukung
Peningkatan (%)
Sesudah bimtek
(%)
Sebelum bimtek
(%)
205 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
mengetahui peran perguruan tinggi setelah
bimtek, meningkat sebesar 46,3%. Sebagian
peserta menyebutkan bahwa perguruan tinggi
berperan pada membantu mengubah pola pikir
petani tradisional menuju petani yang berwawasan
wirausaha, mendampingi petani, dan memberikan
informasi teknologi. Peserta juga semakin
mengetahui peran PPL khususnya terkait
pendampingan dan pembinaan kepada petani
khususnya dalam budidaya kedelai. Melalui
bimtek, peserta yang mengetahui peran PPL
meningkat sekitar 19,5%.
Bimtek diharapkan tidak hanya dapat
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
peserta, namun juga mendukung upaya percepatan
diseminasi utamanya perbenihan kedelai.
Percepatan diseminasi dapat diprediksi dari
intensitas adopsi yaitu perkiraan luas lahan yang
mengadopsi teknologi perbenihan kedelai oleh
kelompok peserta penangkar. Asumsi sekitar 50%
peserta bimtek akan mengadopsi dan menerapkan
teknologi, maka percepatan diseminasi melalui
bimtek diharapkan dapat mencapai luasan sekitar
417.925 ha. Luasan tersebut diprediksi dari total
luas lahan penangkar yang menjadi peserta bimtek
sebesar 730 ha dan jumlah anggota kelompok
penangkar mencapai 1.145 orang petani.
Percepatan diseminasi selain melalui petani
penangkar diharapkan juga dapat dilakukan oleh
kelompok peserta penyuluh. Keterlibatan
penyuluh, teknologi perbenihan kedelai,
meningkatkan peluang penyebaran teknologi ke
586 desa dan 3.583 kelompok petani binaan. Hasil
penerapan bimtek diharapkan juga dapat
berkontribusi pada peningkatan produksi kedelai,
semisal diasumsikan produktivitas rata-rata
kedelai antara 1,3 – 1,5 ton/ha, maka diharapkan
kontribusinya terhadap peningkatan produksi
kedelai sekitar 543 – 620 ribu ton. Meskipun
belum sepenuhnya dapat mencukupi kekurangan
produksi kedelai dalam negeri, namun setidaknya
dapat berkontribusi pada pengurangan pasokan
kedelai impor
KESIMPULAN
Peserta belum sepenuhnya mengetahui dan
menerapkan teknologi varietas dan teknologi
produksi kedelai sebelum pelaksanaan bimbingan
teknis. Tingkat pengetahuan peserta terhadap
varietas kedelai kurang dari 100% bahkan untuk
varietas-varietas unggul baru kedelai baru
diketahui kurang dari 20%. Komponen-komponen
teknologi produksi rata-rata diketahui kurang dari
50% peserta sedangkan informasi lainnya terkait
kedelai diketahui sekitar 21 – 65% peserta.
Tingkat penerapan pada teknologi produksi
sebelum adanya bimbingan teknis juga di bawah
50%.
Bimbingan teknis meningkatkan
pengetahuan dan penerapan peserta bimtek pada
teknologi usahatani kedelai seperti pengetahuan
varietas, teknologi produksi, dan informasi
lainnya dengan rata-rata peningkatan sekitar 18 –
53%. Pelaksanaan bimbingan teknis secara nyata
dan signifikan berpengaruh dalam meningkatkan
pengetahuan dan penerapan peserta sehingga
dapat dijadikan salah satu metode dalam
peningkatan kapasitas petani dan penyuluh
pertanian lapang. Bimtek juga mendorong
terjadinya penyebarluasan informasi dan
percepatan diseminasi teknologi. Namun
demikian, kemanfaatan bimtek sebagai metode
diseminasi penyebarluasan teknologi perlu
dibarengi dengan upaya tindak lanjut seperti
praktek atau percobaan lapang oleh peserta,
sehingga peserta dapat terus menguasai teknologi
tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian yang memberikan dan dan
ijin untuk melakukan bimbingan teknis dan
penelitian.
206 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207
DAFTAR PUSTAKA
Balitkabi. 2008. Benih kedelai: sistem dan
teknologi produksi. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 30(1): 2008.
Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan. 2016.
Sasaran dan realisasi luas tanam, panen,
produktivitas dan produksi padi dan
palawija keadaan s/d akhir Desember 2015.
Douthwaite, B, J.D.H. Keatinge, dan J.R. Park.
2001. Why promising technologies fail: the
neglected role of user innovation during
adoption. Research Policy, 30(2001): 819 –
836.
Hadi, S. dan I. Wijaya. 2016. Penyebab
melemahnya respons petani terhadap
usahatani kedelai di Kabupaten Jember.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.
Balitkabi. p. 355 – 363.
Harnowo, D., J.R. Hidayat, dan Suyamto. 2007.
Kebutuhan dan teknologi produksi benih
kedelai. p. 383-415. Dalam: Sumarno,
Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H.
Kasim (eds.). Kedelai: Teknik Produksi dan
Pengembangan. Puslitbang Tanaman
Pangan. Bogor.
Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman umum
produksi dan distribusi benih sumber
kedelai. Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2016. Basisdata statistik
pertanian.
https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newko
m.asp.
Lim, D.H. dan M.L. Morris. 2006. Influence of
trainee characteristics, instructional
satisfaction, and organizational climate on
perceived learning and training transfer.
Human Resource Development Quarterly,
17(1): 85 – 115. DOI: 10.1002/hrdq.
Mathieu, J.E, S.I. Tannenbaum, dan E. Salas.
1992. Influences of individual and
situational characteristics on measures of
training effectiveness. The Academy of
Management Journal, 35 (4): 828 – 847.
Nugraha, D.A. dan A.W. Muhaimin. 2018.
Analisis faktor-faktor produksi dan
pendapatan usahatani kedelai peserta
program bantuan kerjasama Bank Indonesia
kedelai Grobogan (studi kasus di Desa
Takeranklating, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan). Jurnal Ekonomi
Pertanian dan Agribisnis, 2(3): 211 – 224.
Rogers, E. M. 1983. Diffussion of innovation.
Canada: The Free Press of Macmillan
Publishing Co.
Rozi, F. dan Subandi. 2012. Efektivitas pola
pembimbingan perbenihan kedelai untuk
meningkatkan kapasitas petani dan petugas.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 5 Juli
2012. Balitkabi: Malang.
Santoso, P. dan K.B. Andri. 2011. Sistem
penyediaan benih kedelai dalam
mendukung peningkatan produksi di
Kabupaten Lamongan dan Ngawi.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 15
November 2011. Balitkabi: Malang.
Tai, W.T. 2006. Effects of training framing,
general self-efficacy and training
motivation on trainees’ training
effectiveness. Personnel Review, 35(1): 51
– 65.
Warr, P. dan Bunce, D. 1995. Trainee
characteristics and the outcomes of open
learning. Personnel Psychology, Inc, 48:
347 – 375
Jeyarani, S. 2004. Population dynamics of brown
plant hopper, Nilaparvata lugens and its
relationship with weather factors and light
trap catches. Journal of Ecobiology, 16: 475
- 477.
Li, X.Z., Y. Zou, H.Y. Yang, H.J. Xiao, dan J.G.
Wang. 2017. Meteorological driven factors
of population growth in brown planthopper,
207 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai
Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)
Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera:
Delpachidae) in rice paddies.
Entomological Research, 47(5): 309 - 3017.
Porter, J.H., M.L. Perry, dan T.R. Carter. 1991.
The potential effects of climate change on
agricultural pests. Agricultural and Forest
Meteorology, 57(1): 221 - 240.
Prasannakumar, N.R. dan S. Chander. 2014.
Weather-based brown planthopper
prediction model at Mandya, Karnataka.
Journal of Agrometeorology,16: 126 - 129.
Reddy, P.P. 2013. Biointensive integrated pest
mangement in Recent advances in crop
protection. Springer, India.
Shimoda, M. dan K. Honda. 2013. Insect reaction
to light and its applications to pest
management. Applied Entomology and
Zoology, 48: 413 – 421.
Yunus, M., E. Martono, A. Wijonarko, dan R.C.H.
Soesilohadi. 2011. Aktivitas ngengat
Scirpophaga incertulas di wilayah
kabupaten Klaten. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, 17(1): 18 - 25.
PEDOMAN BAGI PENULIS
NASKAH. Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain.
BENTUK NASKAH. Naskah diketik dengan Microsoft Word, jenis huruf Arial, 2 spasi termasuk abstrak. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel, gambar, perhitungan dan literatur.
Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul Naskah, Nama Penulis beserta instansi dan alamat, Abstrak beserta Kata Kunci (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Untuk tulisan review, urutannya: Pendahuluan, Sub-sub Topik Bahasan, Kesimpulan, dan ditutup dengan Daftar Pustaka. Untuk tulisan naskah hasil Litkaji setelah Pendahuluan dilanjutkan dengan Metodologi, dilanjutkan dengan Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.
BAHASA. Gunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baku. Pemakaian istilah-istilah asing hendaknya dikurangi/disesuaikan dengan Pedoman Bahasa Indonesia.
JUDUL NASKAH. Judul merupakan ungkapan yang mencerminkan isi naskah, tidak lebih dari 15 kata.
ABSTRAK. Naskah dalam bahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris ditulis ringkas dan jelas tidak lebih dari 250 kata. Abstrak dituangkan dalam satu paragraf, mencakup latar belakang, tujuan, metode penelitian, hasil pembahasan dan kesimpulan.
KATA KUNCI. Pemilihan kata kunci mengacu pada deskriptor yang tercantum dalam AGROVOC. Apabila istilah yang dipilih tidak terdapat dalam AGROVOC, maka Thesaurus lain atau kamus istilah dapat dipakai sebagai rujukan. Maksimal 4 kata kunci
PENDAHULUAN. Memuat alur pikir serta justifikasi perlunya penelitian/pengkajian atau penulisan dilakukan, perumusan tujuan secara rinci dan spesifik mengacu pada permasalahan yang akan diteliti atau ditulis
METODE. Memuat unsur lokasi dan waktu, rancangan penelitian/pengkajian meliputi penentuan/penetapan parameter/peubah; metode pengumpulan data (sampling method), metode pengolahan dan analisis data. Penyajian metode memerlukan acuan pustaka. Uraian agar mencantumkan rumusan matematis yang hasil numeriknya dapat divalidasi. Penyajian metode harus cukup terperinci sehingga dapat diulangi (repeatability). Untuk naskah berupa ulasan/review, setelah Pendahuluan langsung pada uraian Pembahasan
HASIL DAN PEMBAHASAN. Memuat tampilan dalam bentuk tabulasi data; analisis dan evaluasi terhadap data sesuai formula hasil kajian teoritis yang dilakukan; dan interpretasi hasil analisis
KESIMPULAN. Harus mengakomodasi semua tujuan yang telah ditetapkan, dan secara substantif mampu mengaitkan temuan pokok penelitian dan pengkajian dengan permasalahan yang dihadapi, azas manfaat penelitian, dilengkapi implikasinya dan bukan merupakan pengulangan atau ringkasan dari hasil dan pembahasan
TABEL. Tabel diberi judul singkat, jelas dan diikuti keterangan tempat dan waktu pengambilan data.
GAMBAR DAN GRAFIK. Gambar dan grafik dibuat ukuran besar sehingga memungkinkan direduksi antara 50-60% dari gambar dan grafik asli. Judul gambar dan grafik diletakkan di bawahnya tanpa mempengaruhi bagian gambar atau grafik.
SATUAN PENGUKURAN. Satuan pengukuran dalam teks, grafik dan gambar memakai sistem metrik misalnya kg, g, cm, km, l, ha dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA. Menyajikan semua pustaka yang dikutip (sebaiknya terbitan 10 tahun terakhir), Minimal 80% dari tulisan jurnal primer, disusun menurut abjad dengan urutan nama pengarang, tahun terbit, judul karangan, nama publikasi, volume dan nomor jurnal serta halaman.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka:
Gonzales, N.J., T.W. Sullivan, J.H. Douglas, and M.M. Beck. 1993. Effect on inorganic sulfate on bone mineralization in broilers. Poultry Science 72(3):135-174.
Sutriadi, M.T., dan B. Rochayati. 2002. Pengkayaan P dengan phosphat alam pada lahan kering masam. Dalam Suptapto, Hartono (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering. Banjarbaru, 18-19 Desember 2002. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: hal. 47-58.
Chute, H.L. 1984. Fungal infections. In Hofstad, M.S (Eds). Diseases of Poultry. 8th ed. Iowa State Uvinersity Press. Iowa, USA: p. 309-322.
Cooper, M. McG. and R. J. Thomas. 1982. Profitable Sheep Farming. 5th ed. Farming Press Ipswich, UK.
Sutrisno, P.S. 2005. Integrasi Padi dan Ternak. http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=abstak [28 Mei] 2006.
BPTP Kalteng. 2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Eks PLG Kalimantan Tengah. BPTP Kalteng. Palangkaraya.
PENYERAHAN NASKAH. Naskah (hard copy) diserahkan ke Dewan Redaksi rangkap 3 (tiga) bersama dengan file naskah (soft copy) dengan dilengkapi surat pengantar dari kepala unit kerja/instansi.
WAKTU PENERBITAN. Buletin diterbitkan satu kali setahun. Urutan naskah yang diterbitkan didasarkan pada kelancaran proses pemeriksaan oleh Dewan Redaksi dan perbaikan oleh Penulis.