17
ISSN 1978-838X Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 4 KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA RESEARCH PROCESSING ART KUTAI CULTURE IN KUTAI KARTANEGARA REGENCY Muhammad Soleh Pulungan Peneliti Madya Balitbangda Kab. Kutai Kartanegara Provinsi Kaltim Jl. WR. Mongonsidi Komplek Kantor Bupati Gedung Bappeda Lt. 4 Tenggarong 75511 Email: [email protected] No. HP. 0852 5025 3454 ABSTRACT The nation of Indonesia as a country of diverse cultures as well as a characteristic and asset of the Indonesian nation. The art of Indonesian culture is the whole of local cultural arts that existed before the establishment of the State of Indonesia in 1945. The objectives of the research are; (1). Documenting and compiling the potential profile of Kutai Cultural Art in Kutai Kartanegara Regency which includes dance, sound art, music art, traditional clothing / tradisiponal, art objects and custom house. (2). To examine alternative pattern of preservation and development of Kutai Cultural Art in Kutai Kartanegara Regency to be sustainable. Methods This study is descriptive qualitative to describe the various art and culture that still exist in the community with the support of data or documentation. The results show that Kutai ethnic actually has a high and varied art and cultural richness, both dance art, music art, drama art and other cultural arts. The art is generally practiced in the Kutai Kartanegara Sultanate in Tenggarong city, and conducted by Adat Stakeholders and ordinary people in the villages. The problem is the lack of routine guidance by the local government and the lack of traditional dance instructor and music instructor Kutai, thus becoming an issue in preserving Kutai art and culture. Keywords: Art, Culture, Kutai, Potential, Sustainable ABSTRAK Bangsa Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka ragam budaya sekaligus merupakan ciri khas dan aset bangsa Indonesia. Seni budaya Indonesia merupakan seluruh seni budaya lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Negara Indonesia tahun 1945. Tujuan Penelitian adalah; (1). Mendokumentasikan dan menyusun profil potensi Seni Budaya Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara yang meliputi seni tari, seni suara, seni musik, pakaian adat/tradisional, benda-benda seni dan rumah adat. (2). Mengkaji pola alternatif pelestarian dan pengembangan Seni Budaya Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara agar tetap lestari. Metode Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif untuk menggambarkan berbagai macam seni budaya yang masih eksis di tengah masyarakat dengan dukungan data atau dokumentasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Etnis Kutai sebenarnya memiliki kekayaan seni dan budaya yang cukup tinggi dan beragam, baik seni tari, seni musik, seni drama dan seni budaya lainnya. Seni tersebut umumnya dipraktekkan dilingkungan Kesultanan Kutai Kartanegara di kota Tenggarong, dan dilakukan oleh Pemangku Adat maupun masyarakat biasa di desa-desa. Permasalahannya adalah tidak adanya pembinaan secara rutin oleh Pemerintah Daerah dan minimnya tenaga instruktur seni tari dan musik tradisional Kutai, sehingga menjadi tantangan dalam melestarikan seni budaya Kutai. Kata Kunci: Seni, Budaya, Kutai, Potensi, Lestari PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat kaya akan seni budaya. Seni budaya bangsa di Indonesia sangat beragam, hampir tiap suku yang lebih dari 300 suku bangsa mempunyai seni budaya tersendiri.

KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 4

KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI

DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

RESEARCH PROCESSING ART KUTAI CULTURE

IN KUTAI KARTANEGARA REGENCY

Muhammad Soleh Pulungan

Peneliti Madya Balitbangda Kab. Kutai Kartanegara Provinsi Kaltim

Jl. WR. Mongonsidi Komplek Kantor Bupati Gedung Bappeda Lt. 4 Tenggarong 75511

Email: [email protected] No. HP. 0852 5025 3454

ABSTRACT

The nation of Indonesia as a country of diverse cultures as well as a characteristic and asset of the Indonesian nation. The art of Indonesian culture is the whole of local cultural arts that existed before the establishment of the State of Indonesia in 1945. The objectives of the research are; (1). Documenting and compiling the potential profile of Kutai Cultural Art in Kutai Kartanegara Regency which includes dance, sound art, music art, traditional clothing / tradisiponal, art objects and custom house. (2). To examine alternative pattern of preservation and development of Kutai Cultural Art in Kutai Kartanegara Regency to be sustainable. Methods This study is descriptive qualitative to describe the various art and culture that still exist in the community with the support of data or documentation. The results show that Kutai ethnic actually has a high and varied art and cultural richness, both dance art, music art, drama art and other cultural arts. The art is generally practiced in the Kutai Kartanegara Sultanate in Tenggarong city, and conducted by Adat Stakeholders and ordinary people in the villages. The problem is the lack of routine guidance by the local government and the lack of traditional dance instructor and music instructor Kutai, thus becoming an issue in preserving Kutai art and culture.

Keywords: Art, Culture, Kutai, Potential, Sustainable

ABSTRAK

Bangsa Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka ragam budaya sekaligus merupakan ciri khas dan aset bangsa Indonesia. Seni budaya Indonesia merupakan seluruh seni budaya lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Negara Indonesia tahun 1945. Tujuan Penelitian adalah; (1). Mendokumentasikan dan menyusun profil potensi Seni Budaya Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara yang meliputi seni tari, seni suara, seni musik, pakaian adat/tradisional, benda-benda seni dan rumah adat. (2). Mengkaji pola alternatif pelestarian dan pengembangan Seni Budaya Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara agar tetap lestari. Metode Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif untuk menggambarkan berbagai macam seni budaya yang masih eksis di tengah masyarakat dengan dukungan data atau dokumentasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Etnis Kutai sebenarnya memiliki kekayaan seni dan budaya yang cukup tinggi dan beragam, baik seni tari, seni musik, seni drama dan seni budaya lainnya. Seni tersebut umumnya dipraktekkan dilingkungan Kesultanan Kutai Kartanegara di kota Tenggarong, dan dilakukan oleh Pemangku Adat maupun masyarakat biasa di desa-desa. Permasalahannya adalah tidak adanya pembinaan secara rutin oleh Pemerintah Daerah dan minimnya tenaga instruktur seni tari dan musik tradisional Kutai, sehingga menjadi tantangan dalam melestarikan seni budaya Kutai. Kata Kunci: Seni, Budaya, Kutai, Potensi, Lestari

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu Negara

yang sangat kaya akan seni budaya. Seni

budaya bangsa di Indonesia sangat beragam,

hampir tiap suku yang lebih dari 300 suku

bangsa mempunyai seni budaya tersendiri.

Page 2: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 5

Mulai dari seni tari, seni musik, adat istiadat,

tradisi, pakaian adat, rumah adat, makanan

khas dan masih banyak lagi, tiap suku

berbeda. Seni budaya bangsa tercipta dari

suatu perbedaan tapi memberi warna

tersendiri bagi seni budaya Indonesia.

Walaupun seni budaya di Indonesia

sangatlah beragam tetapi banyak masyarakat

Indonesia yang tidak mengenal budayanya

sendiri, padahal sangat diperlukan untuk

melestarikan sejarah nenek moyang kita.

Untuk itu sangat diperlukan peran serta

masyarakat dalam melestarikan seni budaya

lokal. Masih lekat dalam ingatan kita ketika

beberapa saat lalu negara tetangga kita

Malaysia mengklaim angklung sebagai alat

musik tradisional mereka. Tidak hanya

berhenti sampai disitu mereka kemudian juga

mengakui Reog serta lagu Rasa Sayange

sebagai kesenian tradisional Malaysia. Apa

yang telah dilakukan Malaysia tentu saja

telah melanggar batas-batas kedaulatan

Negara Republik Indonesia. Akan tetapi,

respon Pemerintah terhadap hal ini

nampaknya kurang menunjukan komitmen

mereka terhadap pelestarian seni budaya

Indonesia sendiri. Hal ini tentunya sangat

memprihatinkan karena semakin merugikan

citra bangsa Indonesia di mata dunia

Internasional.

Kita tentunya prihatin terhadap

“pencurian” hak-hak atas kekayaaan

intelektual yang menyangkut karya-karya seni

asli Indonesia. Sebagai contoh, batik

Indonesia, baik pola maupun processing dan

juga berbagai kearifan lokal yang terkandung

dalam seni perhatikan, tiba-tiba dipatenkan

oleh pihak luar negeri. Lama sebelumnya,

kita telah mendengar tentang adanya

pelanggaran terhadap hak-hak atas

kekayaaan intelektual yang terkandung dalam

hasil-hasil karya para seniman pemahat Bali.

Bahkan akhir-akhir ini kita mendengar pula

bahwa makanan tradisional Indonesia seperti

tempe dan juga jamu-jamu tradisional

Indonesia yang penuh dengan kandungan

kearifan lokal dan keunikan tradisi-tradisi

lokal sebagai kekayaan intelektual Indonesia,

juga mulai makin terancam dan diakui

sebagai kekayaan intelektual dan kekayaan

budaya asing. Demikian pula, hal-hal yang

berkaitan dengan genitic resources asli

Indonesia mengalami nasib yang sama.

Terjadinya kasus ini tentunya

tamparan yang keras bagi kita bangsa

Indonesia. Salah satu faktor penyebab

terjadinya hal ini kemungkinan disebabkan

oleh tingkat kesadaran serta kecintaan

masyarakat Indonesia terhadap seni budaya

yang relatif masih rendah. Datangnya

berbagai seni budaya asing yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai Falsafah Pancasila semakin

melunturkan budaya nasional. Kurangnya

apresiasi masyarakat terhadap seni budaya

nasional menyebabkan seni budaya nasional

bangsa Indonesia terancam punah. Padahal,

seni budaya merupakan identitas suatu

bangsa sehingga jika seni budaya tersebut

dirampas maka hilanglah identitas kita

sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia.

Pelestarian menurut A. Wijaya dalam

(Ranjabar, 2006:115) adalah suatu kegiatan

yang dilakukan secara terus menerus,

terarah, dan diterpa guna mewujudkan tujuan

tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu

yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes

dan selektif. Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Eko: 2006) menyatakan bahwa pelestarian

berasal dari kata lestari, yang artinya adalah

tetap selama-lamanya tidak berubah. Jadi

berdasarkan kata kunci lestari ditambah

awalan ke- dan akhiran –an, maka yang

dimaksud dengan pelestarian adalah upaya

untuk membuat sesuatu tetap selama-

lamanya tidak berubah. Bisa juga

didefenisikan sebagai upaya untuk

mempertahankan sesuatu supaya tetap

sebagaimana adanya.

Bangsa Indonesia sebagai negara

yang memiliki beraneka ragam budaya harus

mengakui bahwa para generasi muda banyak

yang tidak mengenal budaya bangsanya

sendiri. Mestinya tidak demikian, meskipun

banyak dipengaruhi perkembangan zaman

dan pengaruh dari budaya barat tetapi akar

budaya sebagai jati diri bangsa harus tetap

jadi panutan.

Page 3: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 6

Seni budaya Indonesia walau

beraneka ragam, namun pada dasarnya

terbentuk dan dipengaruhi oleh seni budaya

besar lainnya seperti seni budaya Tionghoa

(dari Cina), seni budaya India dan seni

budaya Arab. Seni budaya India terutama

masuk dari penyebaran Agama Hindu dan

Budha di Nusantara jauh sebelum Indonesia

terbentuk. Kerajaan - kerajaan yang

bernafaskan agama Hindu dan Budha

sempat mendominasi Nusantara pada abad

ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya

kerajaan tertua di Nusantara, yaitu Kerajaan

Kutai Kartanegara, sampai pada penghujung

abad ke-15 Masehi. Penduduk yang

bermukim diwilayah Kutai Kartanegara terdiri

dari penduduk asli, seperti; Suku kutai, suku

dayak benuaq, suku dayak tunjung, suku

dayak bahau, suku dayak modang, suku

dayak kenyah, suku dayak punan, dan suku

dayak kayan. Suku asli tersebut di atas

masing-masing memiliki seni budaya yang

memiliki ciri khas tersendiri dan adat istiadat

yang berbeda-beda.

Seni menurut Ki Hajar Dewantara

merupakan hasil dari keindahan yang dapat

menggerakkan perasaan seseorang tentang

keindahan bagi yang melihatnya. Oleh

karenanya, perbuatan manusia bisa

mempengaruhi dalam menumbuhkan

perasaan yang indah itulah seni.

Sudarmaji dalam Bob Susanto (2015)

menyatakan bahwa Seni merupakan segala

bentuk manifestasi batin & pengalaman

estetis dengan menggunakan berbagai media

seperti berbagai bidang, tekstur, garis,

tekstur, warna volume dan sebagainya. Seni

juga bisa berarti ungkapan perasaan sang

pencipta yang disampaikan kepada manusia

supaya mereka bisa merasakan apa yang

dirasakan oleh pelukis atau para pencipta

seni. Sementara itu R. Linton dalam buku:

The Cultural backround of personality, bahwa

kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah

laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku,

yang unsur-unsur pembentukannya didukung

dan diteruskan oleh anggota masyarakat

tertentu.

Disisi lain, salah satu tujuan

diadakannya pelestarian budaya adalah

untuk melakukan revitalisasi budaya

(penguatan). Mengenai revitalisasi

kebudayaan menurut Alwasiah (2006)

mengatakan ada 3 (tiga) langkah, yaitu; (1)

pemahaman untuk menimbulkan kesadaran,

(2) perencanaan secara kolektif, dan (3)

pembangkitan kreatifitas kebudayaan.

Revitalisasi kebudayaan dapat didefenisikan

sebagai upaya yang terencana, sinambung,

dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan

hanya oleh para pemiliknya, melainkan juga

membangkitkan segala wujud kreativitas

dalam kehidupan sehari-hari dan dalam

menghadapi berbagai tantangan. Demi

revitalisasi maka ayat-ayat kebudayaan perlu

dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru

akan mencerahkan manakala ada kaji

banding secara kritis dengan berbagai

budaya asing (Alwasilah, 2006: 18).

Seni budaya lokal yang menjadi

pondasi budaya nasional bangsa Indonesia

hendaknya dipelihara dan diwariskan kepada

generasi penerus bangsa. Dengan semakin

berkembangnya bidang Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi, dapat dimanfaatkan oleh

segenap warga negara Indonesia untuk

memperkenalkan semua keanekaragaman

budaya lokal kepada seluruh dunia agar seni

budaya nasional Indonesia dapat dikenal dan

mendapat pengakuan.

Seni budaya tradisional Kutai

Kartanegara tersimpan dan tersebar pada

beberapa sumber di beberapa daerah atau

kecamatan baik di pedalaman maupun di

daerah pesisir. Di antara sekian banyak

kesenian tradisional tersebut ada yang masih

dipraktekkan, namun tentunya ada yang

menuju arah kepunahan karena tidak lagi

dikenal oleh generasi muda dan tidak ada lagi

yang berminat untuk melestarikannya. Jika

hal ini dibiarkan maka dikhawatirkan seni

budaya Kutai akan punah perlahan-lahan,

atau dapat diklaim atau “dirampas” oleh

orang lain, baik dari Indonesia sendiri

maupun oleh pihak luar negeri. Untuk

mempertahankan dan mengembangkannya

perlu ada kajian khusus untuk menggali

Page 4: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 7

kembali seni budaya Kutai agar dapat

muncul kepermukaan untuk kemudian

dikembangkan dan dipertahankan.

Tujuan Penelitian yang akan dibahas

berikut ini adalah; (1). Mendokumentasikan

dan menyusun profil potensi seni budaya

Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara yang

meliputi seni tari, seni suara, seni musik,

pakaian adat/tradisional, benda-benda seni

dan rumah adat. (2). Mengkaji pola alternatif

pelestarian dan pengembangan seni budaya

Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara agar

tetap lestari.

Manfaat Penelitian yakni; (1). Bagi

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara

dapat dijadikan sebagai rujukan untuk

mengenal berbagai macam jenis kesenian

tradisional yang ada di Kabupaten Kutai

Kartanegara, dan dapat dijadikan sebagai

pedoman dalam usaha pelestarian dan

pengembangan kesenian tradisional. (2).

Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai

rujukan dan pembanding awal untuk mengkaji

kesenian tradisional secara lebih mendalam.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian bersifat deskriptif

kualitatif. Penelitian kualitatif mengutamakan

makna yang diungkap berkisar pada persepsi

orang mengenai suatu peristiwa. Studi

dokumen merupakan pelengkap dari

penggunaan metode observasi dan

wawancara dalam penelitian kualitatif.

Penelitian dilakukan selama 6 (enam)

bulan efektif yaitu dari Februari sampai

dengan Juli 2015. Lokasi penelitian yang

dipilih secara purposive sampling dengan

pertimbangan historis bahwa kecamatan

sampling ini merupakan kecamatan yang

sudah berumur tua, dan dianggap dapat

mewakili kecamatan lainnya. Lokus penelitian

meliputi 8 (delapan) Kecamatan meliputi: (1).

Kecamatan Kota Bangun, (2). Kecamatan

Muara Kaman, (3). Kecamatan Kembang

Janggut, (4). Kecamatan Kenohan, (5).

Kecamatan Muara Wis, (6). Kecamatan

Muara Muntai, (7). Kecamatan Sanga-sanga,

dan (8). Kecamatan Anggana.

Teknik pengumpulan data

menggunakan teknik dokumentasi dan

wawancara. Menurut Sugiyono (2013)

dokumen merupakan catatan peristiwa yang

sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk

tulisan, gambar, atau karya-karya

monumental dari seseorang. Dokumen yang

berbentuk tulisan misalnya catatan harian,

sejarah kehidupan (life histories), cerita,

biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang

berbentuk gambar misalnya foto, gambar

hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang

berbentuk karya misalnya karya seni, yang

dapat berupa gambar, patung, film dan lain-

lain.

Data dan informasi yang diperlukan

terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer diperolah dengan mewawancarai

semua pihak yang terlibat dalam kegiatan

kesenian tradisional di Kabupaten Kutai

Kartanegrara. Data sekunder berupa

dokumen yang juga berkaitan dengan

kesenian tradisional di Kutai Kartanegara.

Tabel 1. Data Primer

No. Jenis Data Sumber Data

1 Tarian tradisional Ketua/Pembina Kelompok Tari, Praktisi seni tari dan ukiran, penyanyi,pemusik dan pencipta alat musik tradisional, kolektor benda-benda seni

2 Lagu-lagu tradisional khas Kukar

3 Pakaian adat

4 Pakaian tradisional/Pakaian tari

5 Motif-motif tradisional, batik,ukiran

6 Alat musik tradisional

7 Benda-benda seni

8 Kelompok-kelompok tari atau sanggar Tari atau seni yang masih aktif Ketua Kelompok, atau dari Dinas Pariwisata Kukar 9 Identifikasi dan profil kegiatan seni yang masih aktif, masalah yang

dihadapi dalam pelestarian dan pengembangannya

10 Masalah: Keterlibatan generasi muda, ada tidaknya pelatihan/pembina, kesempatan tampil, dana.

Page 5: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 8

Tabel 2. Data Sekunder

No. Jenis Data Sumber Data

1 Informasi umum tentang Kukar KDA Kukar

2 Kelompok Seni Tradisional di Kukar Dinas Pariwisata Kukar

3 Program pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional di Kukar

Dinas Pariwisata Kukar

4 Masalah pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional

Analisis Data dilakukan dengan

menghimpun data-data dalam penelitian ini

yang pada umumnya berupa data kualitatif

yaitu informasi dan profil seni budaya Kutai

yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Karena data yang terkumpul bersifat kualitatif,

maka analisis dilakukan secara kualitatif pula

yaitu dengan cara:

1) Menyusun Profil dari semua jenis seni budaya Kutai yang teridentifikasi di Kabupaten Kutai Kartanegara.

2) Data atau informasi tentang jenis-jenis kesenian tradisional: Kelompok seni tari, seni musik, seni ukir/pahat/motif hiasan, benda seni, pakaian tradisional dan rumah adat dikelompokan sesuai dengan Kecamatan.

3) Dari masing-masing Jenis Kesenian Tradisional tersebut kemudian dikelompokan profil masing-masing yang terdiri dari praktik dan praktisi masing-masing, permasalahan yang dihadapi dalam pelestarian dan pengembangannya, serta harapan pada PemKab Kutai Kartanegara dalam pengembangannya.

4) Dari profil kesenian tradisional dan permasalahan yang dihadapi, akan dibuat pembahasan dan akhirnya menghasilkan kesimpulan dan Rekomendasi pada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian berikut adalah

rangkuman hasil wawancara dengan

berbagai narasumber yaitu Tokoh Adat,

Tokoh Masyarakat dan Praktisi Seni Budaya

dibeberapa Kecamatan di Kabupaten Kutai

Kartanegara. Informasi yang disampaikan

dirumuskan sedemikian rupa agar lebih

mudah dipahami oleh pembaca. Disadari

bahwa informasi lisan yang disampaikan oleh

narasumber sangat bervariasi sehingga

setiap versi dapat berbeda satu dengan yang

lainnya, atau mungkin berbeda dengan fakta

yang sebenarnya. Tujuan penulisan ini

adalah sekedar memunculkan kembali seni

budaya Kutai yang dahulu pernah ada dan

dipraktekkan dilingkungan masyarakat atau

sampai sekarang masih ada sebagian seni

budaya yang masih ditampilkan. Selain itu,

pada bagian berikut juga dikutip beberapa

dokumen yang berkaitan dengan seni budaya

Kerajaan Kutai dengan maksud untuk

menambah referensi bagi para pengamat dan

pencinta seni dan budaya.

A. Simbol dan Seni Tari Kerajaan Kutai Seni Budaya Kutai terdiri dari simbol-

simbol yang berkaitan dengan Kesultanan

Kutai Kartanegara atau Keraton, seni tari dan

budaya yang dimainkan atau ditampilkan

dalam lingkungan Keraton, maupun seni tari

dan budaya yang ada dan hidup serta

dipraktekkan dilingkungan masyarakat biasa.

1.Lembuswana

Bentuk tubuh Lembuswana memang

dilihat aneh namun berwibawa dengan arti

yang sangat luas. Pertama kali menjelmanya

Putri Karang Melenu yang muncul dari

permukaan air di tengah-tengah sungai

Mahakam di dalam gumpalan buyah yang

meanak gunung, terlihatlah seekor

Lembuswana yang berpijak di atas batu

menjunjung Gong Papar yang di dalamnya

terbaring seorang bayi perempuan yang

kemudian diberi nama Putri Karang Melenu.

Cerita purba mengisahkan Lembuswana

tersebut dapat hidup didua alam yaitu di

dalam air dan di daratan serta dapat terbang

bagaikan burung Garuda. Antara lain

Lembuswana pernah digunakan atau

membawa Adji Betara Agung Dewa Sakti

terbang ke Majapahit dengan keanehan

bentuk tubuh yang dimiliki oleh Lembuswana

tersebut maka Lembu Suana disebut dan

disanjung seperti berikut: Bergading

berbelalai seperti gajah, bertaring seperti

Page 6: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 9

rupa macan, bersisik seperti ikan, bentuk

tubuhnya seperti kuda, berekor gada seperti

rupa naga, bersayap seperti rupa burung

garuda, berketopong seperti raja, berbicara

seperti manusia, genggam kakinya seperti

serigala.

2.Festival Erau

Historis Erau pertama kali

dilaksanakan pada upacara Tijak Tanah dan

mandi ketepian ketika Aji Batara Agung Dewa

Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan

diangkat menjadi raja Kutai Kartanegara yang

pertama (1300-1325), juga diadakan upacara

ERAU. Sejak itulah ERAU selalu diadakan

setiap terjadi penggantian atau penobatan

Raja-Raja Kerajaan Kutai Kartanegara

(Sianipar, 2011).

Erau secara etimologi berasal dari

bahasa Kutai atau disebut pula Eroh yang

berarti ramai, hilir mudik, bergembira,

berpesta ria yang dilaksanakan secara adat

istiadat oleh kesultanan/kerabat kerajaan

dengan maksud atau hajat tertentu dan diikuti

oleh masyarakat umum di wilayah

administrasi kesultanan Kutai Kartanegara.

Sedangkan ERAU adat yang

dilaksanakan dilingkup Keraton Kutai

Kartanegara terdapat tiga Jenis Pelaksanaan

yaitu: (1). Erau Tepong Tawar, (2). Erau

Pelas Tahun, dan (3). Erau Beredar di Kutai.

Erau Tepong Tawar merupakan Erau

adat yang dilaksanakan oleh kerabat Keraton

pada waktu tertentu yang ditetapkan

berdasarkan keinginan (hajat) terhadap suatu

pekerjaan. Dalam pelaksanaan ini Raja

bergerak bebas, artinya tidak melakukan

batasan-batasan tertentu yang disebut

Tuhing.

Erau Pelas Tahun merupakan Erau

adat yang dilaksanakan oleh kerabat Keraton,

dan berhubungan dengan aktifitas kehidupan

rakyat (masyarakat) yang bertujuan untuk

membersihkan segala macam hal yang

mengganggu sumber-sumber kehidupan

dipermukaan bumi dalam suatu wilayah

Kerajaan.

Pesta Erau yang dilangsungkan di

Kutai merupakan Erau adat yang

dilaksanakan oleh Kerabat Keraton dalam

rangka pengukuhan, pengangkatan,

penambalan dan segala yang berkaitan

ketahtaan di Kerajaan. Dalam pelaksanaan

ini Raja Besar melakukan Tuhing yaitu tidak

menginjak tanah pada waktu tertentu, kecuali

diatas kain ALAS Bumi yang dihampar

ketempat tujuan.

Subyek yang melaksanakan ERAU

ADAT adalah kerabat keraton, bahwa yang di

ERAU-kan adalah Raja, sedangkan yang

melaksanakan ERAU adalah rakyat. ERAU

dimulai dengan acara “Mendirikan Ayu” dan

diakhiri dengan “Merebahkan Ayu”.

3.Tari Topeng

Tari Topeng menurut adat Kutai asal

mulanya mempunyai hubungan dengan seni

tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri,

namun gerak tariannya tampak sedikit

berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan

Singosari dan Kediri demikian pula dengan

irama gamelan yang mengiringi. Sedangkan

cerita yang dibawakan dalam tarian ini,

menurut orang-orang tua tidak begitu banyak

perbedaannya, demikian pula dengan

pakaiannya. Tari Topeng Kutai hanya

disajikan untuk kalangan Kraton saja, sebagai

hiburan keluarga dengan penari-penari

tertentu. Tarian ini juga biasanya

dipersembahkan pada acara Penobatan

Raja, perkawinan, kelahiran, dan

penyambutan tamu Kraton. Jenis Topeng

Kutai adalah : Penambe, Kemindhu, Patih,

Temenggung, Kelana, Wirun, Gunung Sari,

Panji, Rangga, Togoq, Bota, Tambam.

Pakaian Topeng terdiri atas : Garuda

Mungkur, Kalong Simbar, Kalong Rantai,

Kalong Beranak, Tengkang, Lolaq, Celana,

Dodot (Belangkon), Ubat-ubat, Selepe

(Pendeng), Kalibun, Keris, Giring-giring,

Sampur.

4.Tari Temenggung

Tari ini melukiskan seorang

Temenggung yang selalu berdampingan

dengan sang Raja. Pada suatu hari

Temenggung diperintahkan untuk mencari

seorang patih, karena telah beberapa lama

tidak hadir, sedangkan ia tidak minta izin

kepada raja untuk kepergiannya itu. Rupa-

rupanya sang patih memang telah lama

Page 7: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 10

bermaksud hendak mengadakan

pemberontakan, tetapi dukungan terhadap

maksudnya sangat sedikit sekali, sehingga

sang patih memutuskan untuk

menghindarkan diri dari kerajaan tersebut.

Temenggung telah mendapatkan berita-berita

dari penduduk yang pernah diminta dukungan

oleh sang patih. Mereka tidak menyetujui

karena maksudnya hanya untuk kepentingan

sang Patih sendiri dengan beberapa

golongan kecil. Perintah raja, kalau

Temenggung belum dapat

menangkap/membunuh sang Patih

hendaknya Temenggung jangan kembali ke

istana. Kalau tidak dapat menawannya hidup-

hidup, maka boleh dibunuh tetapi harus ada

buktinya bahwa sang Patih itu benar-benar

sudah mati. Oleh karena itu sebagai tanda

sudah terbunuhnya sang Patih oleh

Temenggung, maka pada muka topeng itu

yakni diatas hidungnya terdapat bekas darah

sang Patih.

5.Tari Kelana

Tari ini melukiskan suatu kerajaan

yang diperintah oleh seorang Raja bernama

Kelana Swandono, yang mempunyai

Penakawan Togoq dan Tembam. Sebagai

penjaga pribadi adalah seorang Bota. Pada

suatu hari sang Raja duduk di singgasana.

Dihadapannya hadir para Pembesar Istana

dan para Penakawan serta bota. Sang raja

sedang menanyakan tentang keadaan

Kerajaan selama dibawah pimpinannya.

Semua yang hadir menjawab, bahwa tiada

kurang suatu apa-apa.

Setelah itu para Pembesar Istana

kembali masing-masing kerumahnya,

sedangkan yang tinggal hanya raja bersama

Togoq dan Bota. Telah menjadi kebiasaan,

setelah selesai dihadap oleh para pembesar

istana, Bota dan Tagoq mengadakan

pembicara sambil bersanda gurau. Tetapi

rupanya saat itu sang Raja telah terlena

(tertidur) diatas kursi singgasana. Melihat

keadaan demikian, maka sang Bota

meninggalkan ruang tersebut lalu menuju ke

pintu istana untuk berjaga-jaga, sedang

Togoq menemani sang Raja di ruangan.

Selang tidak beberapa lama sang Raja

tertidur, maka dengan sangat terkejut sekali

Togoq melihat sang Raja terbangun dengan

keadaan yang agak berlainan dari biasanya.

Sang Raja kelihatan berjalan

berkeliling dalam ruangan istana sambil

menyebut-nyebut nama seorang putri yang

bernama Dewi Sekartaji. Akibatnya seluruh isi

istana gaduh mendengar keadaan sang Raja

demikian itu. Syukurlah tidak beberapa lama

sang Raja sadar kembali dan pada akhirnya

sang Raja dikawinkan dengan putri Dewi

Sekartaji.

6.Tari Ganjur

Tari Ganjur merupakan tarian pria

istana yang ditarikan secara berpasangan

dengan menggunakan alat yang bernama

Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan

memiliki tangkai untuk memegang). Tari

ganjur adalah sebuah tarian yang melukiskan

seorang tengah mendayung perahu ke

tengah sungai. Tarian ini muncul untuk

mengenangkan peristiwa, ketika Petinggi

Hulu Dusun beserta istrinya Babu Jaruma

mengayuh perahu ke tengah sungai untuk

menjemput Putri Karang Melenu, yang

muncul dari buih Sungai Mahakam. Putri ini

adalah permaisuri pertama dari Raja Kutai

Kartanegara yang pertama yaitu Aji Betara

Agung Dewa Sakti yang memerintah pada

tahun 1300-1325. (menurut catatan Amir

Hassan Kiai Bondan dari Banjarmasin masa

pemerintahan Raja pertama dari Kutai itu

ialah pada tahun 1380-1410)

Demikianlah setelah selesai tarian

menyabung ayam lalu diteruskan dengan tari

kanjar. Tarian ini menggambarkan seseorang

sedang melonjak-lonjak kesenangan, karena

mendapatkan sesuatu yang diidam-idamkan.

Tarian ini dimaksudkan untuk mengenang

kembali peristiwa yang sangat

mengembirakan penduduk kampung Jaitan

Layar, Hulu Dusun, Sembaran dan Binalu

ketika pertama kali mendapatkan seorang

Raja, yaitu Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Karena kegembiraan yang luar biasa itu

penduduk lalu bergembira melonjak-lonjak

kesenangan. Setelah Dewa-dewa selesai

melakukan tarian-tarian tersebut, barulah

para tamu terhormat dan para undangan

Page 8: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 11

lainnya diperbolehkan melakukan Tari Kanjar

laki, kemudian kanjar perempuan. Tarian

kanjar tersebut dilakukan setiap malam

sebagai acara pertama dengan cara-cara

yang sama. Tarian ini diiringi oleh musik

gamelan dan ditarikan pada upacara

penobatan raja, pesta perkawinan,

penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan

khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak

mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak

tari Jawa (gaya Yogya dan Solo).

7.Seni Musik Tingkilan

Musik Kutai banyak dipengaruhi oleh

kebudayaan Melayu dan Islam. Diantaranya

musik Tingkilan dan Hadrah. Selain seni

musik (kesenian) suku Kutai juga memiliki

seni drama tradisional yang disebut

Mamanda.

Musik Tingkilan adalah seni musik

khas suku Kutai. Kesenian ini memiliki

kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu.

Alat musik yang digunakan adalah Gambus

(sejenis gitar berdawai enam), Ketipung

(semacam kendang kecil), Kendang (sejenis

rebana yang berkulit sebidang dan besar)

dan Biola.

Musik Tingkilan disertai pula dengan

nyanyian yang disebut betingkilan.

Betingkilan sendiri berarti bertingkah-

tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu

sering dibawakan oleh dua orang penyanyi

pria dan wanita sambil bersahut-sahutan. Isi

lagu berupa nasihat-nasihat,

percintaaan,saling memuji, atau bahkan

saling menyindir atau saling mengejek

dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan

ini sering digunakan untuk mengiringi tari

pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.

Sedangkan hadrah adalah kesenian

yang mempergunakan alat musik Terbang

atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil

menabuh Terbang tersebut disertai nyanyian

dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab

Barzanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan

untuk mengarak pengantin pria menuju

kerumah mempelai wanita, selain itu juga

sering ditampilkan pada perayaan hari-hari

besar Islam.

B.Sejarah Kerajaan Kutai

1. Putri Junjung Buih atau Junjung Buyah

Sejarah Kutai telah disusun dalam

bermacam-macam versi sesuai dengan

informasi dari narasumber. Tanpa bermaksud

menilai versi yang benar dan salah, bagian ini

diharapkan menambah versi lain tentang

Puteri Junjung Buih yaitu: Dua orang

kakek nenek tinggal di desa Kutai Lama

(Anggana). Selanjutnya, terjadi hujan terus

menerus selama 7 hari 7 malam sehingga

tidak lagi memiliki kayu yang kering untuk

dijadikan sebagai bahan bakar untuk

memasak. Karena tidak ada lagi kayu kering,

terpaksa kasau rumah yang terbuat dari kayu

bulat dibelah untuk dijadikan kayu api untuk

memasak. Pada hari ketujuh, kasau sudah

semakin sedikit, nenek membelah salah satu

kasau. Ternyata ketika kayu terbelah,

terdapat sejenis ulat kayu, mirip ulat sutera

putih. Sang kakek ingin membuang ulat itu

karena dianggap tidak ada gunanya, dan juga

tidak bisa dimakan, tetapi nenek secara diam-

diam menyimpannya dalam tempat

peminangan. Beberapa hari kemudian,

ketika tempat peminangan dibuka ternyata

ulat itu sudah semakin besar dan hampir

tidak muat lagi ditempat tersebut. Ulat itu

kemudian disimpan didalam gentong, namun

beberapa hari kemudian ulat itu juga semakin

besar dan memenuhi gentong. Sang kakek

mulai tidak sabar dengan ulat yang semakin

besar dan mulai merepotkan. Ulat yang

makin besar ini dipindahkan kekotak

(kerangkeng padi) yang terbuat dari kulit

kayu. Namun besoknya, ulat ini sudah

berubah menjadi ulat yang bersisik. Nenek

akhirnya mulai takut mengambil padi karena

ular mulai bersisik dan menakutkan.

Dalam sebuah mimpi, sang nenek

diberitahukan supaya tidak usah takut

mengambil padi dalam kerangkeng karena

ular yang bersisik itu tidak akan mematuknya.

Lama-kelamaan, ular bersisik itu mulai

ditumbuhi tangan, tanduk, dan mulai

menunjukkan bentuk seperti seekor naga.

Semakin hari bentuknya memang sudah

menjadi seekor naga. Dalam mimpi yang lain,

sang kakek diminta membuat jembatan dari

Page 9: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 12

pondok mereka menuju ke Sungai Kutai

Lama agar Naga dapat meluncur dengan

aman karena kakek nenek ini tidak mungkin

lagi mengangkatnya menuju sungai karena

sudah menjadi seekor Naga besar. Ketika

terbangun , kakek membuat jembatan seperti

yang diperintahkan dalam mimpi. Agar

jembatan kuat dan tidak patah, dia memakai

kayu telihan (ulin). Setelah jembatan pupus

(selesai), Naga itu mulai meluncur. Namun

begitu dagu naga menyentuh ujung jembatan,

jembatan itu langsung rubuh, hancur karena

naga ini sangat berat dan sakti. Kakek

kemudian memperbaiki jembatan tersebut

untuk mengulur naga ke sungai sekali lagi.

Lagi-lagi jembatan yang terbuat dari kayu

terlihat hancur, akibatnya kakek menjadi

bingung karena sudah membuat jembatan

dari kayu paling kuat tetapi masih rubuh.

Di tengah kebingungan, kakek sekali

lagi mendapat mimpi. Dalam mimpinya, sang

kakek diminta membuat jembatan lain yang

terbuat dari kayu lempung Suit dan diikat

dengan sejenis paku (pakis) retek

(lembiding). Setelah jembatan yang terbuat

dari kayu lemah dan diikat dengan pakis

lembiding yang rapuh dan mudah putus, naga

ini kemudian diulurkan lagi ke sungai Kutai

Lama. Kakek sangat ragu akan kekuatan

jembatan karena hanya terbuat dari kayu

lemah dan diikat hanya dengan paku retek.

Ternyata jembatan ini sangat kuat, tidak

rebah pada saat dilewati naga yang bertubuh

panjang dan berat.

Begitu Naga sampai dan turun di

sungai Kutai Lama, bersemburlah buih/buyah

yang sangat dahsyat, bagaikan ombak besar

di lautan. Begitu buih itu mulai redah,

muncullah sesosok wanita cantik jelita,

namun begitu polos tanpa busana

sehelaipun. Sang kakek lalu melempar

surbannya pada putri yang muncul di antara

buih itu untuk menutupi tubuhnya yang polos.

Sorban dililitkan pada tubuh polos wanita

cantik. Putri ini dibawa ke pondok, dan di

rawat layaknya anaknya sendiri hingga

dewasa. Karena putri ini muncul dari antara

buih, maka dia diberi nama “Putri Junjung

Buih” atau „Putri Junjung Buyah”.

Namun jauh di hulu Mahakam di

Sendawar (Melak) saat ini menjadi daerah

Kutai Barat, tinggalah dua orang kakek-nenek

suku Tunjung. Pada waktu musim ketam

(panen) padi, turun hujan panas. Hujan

panas bagi suku Tunjung menandakan akan

ada satu peristiwa aneh dan ajaib. Ketika

hujan turun di tengah panas matahari terjadi,

timbul petir yang saling sambar menyambar.

Kakek ini pulang dari ladang ke rumah karena

hujan petir yang hebat da merasa ketakutan.

Besoknya meraka pergi ke ladang untuk

panen, namun kejadian serupa terjadi lagi.

Hujan panas disertai petir, malam harinya

mereka berdua berdiskusi, kalau besoknya

ada kejadian serupa etam (kita) tidak usah

pulang tetapi kita tetap di ladang menunggu

apa yang akan terjadi. Besoknya ketika akan

mengetam di ladang , hujan pasang dan petir

terjadi lagi. Namun meraka berdua

memutuskan tidak pulang, melainkan

menunggu apa yang akan terjadi di tengah

petir dan hujan, tiba-tiba turunlah dari langit

sebuah kelengkeng (baskom) yang terbuat

dari besi, turun sampai setinggi dada, dan di

dalamnya ada seorang anak laki-laki, dan di

sampingnya ada sebutir telur ayam. Ketika

sang kakek akan mengambil anak tersebut,

tiba-tiba terdengar suara dari langit : “diambil

mati mama tidak diambil mati bapak”. Dia

dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.

Pada saat kebingungan menentukan pilihan,

tiba-tiba kakek melihat ada parang terletak di

tanah, dia mengambil parang itu, lalu

menebas tali besi tempat baskom itu

tergantung. Sekali tebas, tali yang terbuat

dari besi itu putus, lalu mengambil anak itu.

Sesuai dengan bisikan yang diterima kakek

nenek ini, ternyata anak ini adalah Maharaja

Batara Agung Dewa Sakti. Anak ini kemudian

dirawat hingga dewasa.

Setelah Maharaja sampai di Kutai

Lama, manuk atau “ayam putih kemudi besi”

yang ikut serta dalam rakit langsung terbang

ke daratan. Karena manuk itu terbang,

Maharaja kemudian berfikir dan berkata

dalam hati “disinilah aku akan menemukan

jodohku”. Maharaja kemudian turun dari rakit

menuju daratan, dan dia bertemu dengan

Page 10: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 13

kakek nenek yang memelihara Putri Junjung

Buih. Maharaja kemudian berpura-pura minta

air minum sambil bertanya “berapa orang

yang tinggal di pondok ini”. Kakek menjawab

hanya berdua yang tinggal disini karena dia

tidak ingin memberitahukan pada Maharaja

bahwa Putri Junjung Buih ada dalam pondok.

Karena tidak percaya Maharaja bertanya lagi

kepada kakek “berapa orang yang tinggal

disini ?”. Sekali lagi kakek menjawab “hanya

saya dengan istri saya yang tinggal disini”.

Karena Maharaja yakin bahwa ada seorang

Putri disembunyikan oleh kakek nenek ini, dia

berkata “manuku-ayam putih kemudi besi

sudah menikah dengan manuk betina punya

kakek yaitu ayam hitam kemudi perak berarti

ada seorang Putri di sini yang akan menjadi

istriku”.

Akhirnya, kakek ini tidak lagi bisa

membantah bahwa memang ada seorang

wanita cantik bernama Putri Junjung Buih,

tinggal di dalam pondok. Maharaja kemudian

mendekati sang putri. Singkat cerita, mereka

menikah. Keturunan mereka kemudian

disebut suku Kutai. Namun beberapa

narasumber menyatakan bahwa sebetulnya

suku kutai tidak ada, karena berasal dari suku

Tunjung. Karena Maharaja Betolak dari

Pinang Sendawar Melak, maka dalam

sejarahnya, tidak pernah ada Raja Kutai yang

berani mudik ke hulu Mahakam melewati

batas Melak karena bisa kena bencana,

misalnya muntah darah.

2. Awal nama “Perjiwa”

Perjiwa adalah satu tempat bersejarah

yang terletak sangat jauh dengan pusat

Kerajaan Kutai di Tenggarong. Perjiwa

adalah satu kelurahan di Kecamatan

Tenggarong Seberang. Konon, dulu jika ada

yang berzina dan melahirkan anak, maka

pihak yang berzina dan anak hasil perbuatan

zina dimasukkan dalam kurungan yang

terbuat dari sembilu bambu yang sangat

tajam. Kurungan ini kemudian digantung agar

mudah diguncang. Kurungan yang sudah

berisi pelaku zina ini kemudian diguncang-

guncang dengan kuat. Karena terguncang

maka orang yang terkurung di dalamnya

tersayat sembilu dan menyebabkan luka

parah. Karena luka parah dan pendarahan

hebat, maka orang itu akan mati karena

kehabisan darah. Jadi arti perjiwa adalah

“Gantungan Jiwa”.

3. Kecamatan Kota Bangun

Sejarah Kota Bangun

Sebelum adanya Kerajaan Kutai yang

merupakan keturunan Maharaja Dewa Sakti,

konon tiap kecamatan sudah ada Rajanya.

Namun setelah Maharaja Dewa Sakti turun

gelar raja diturunkan menjadi Pangeran.

Untuk daerah Sri Bangun sendiri adalah

Pangeran Indra Jaya, sekitar tahun 1847.

Lokasi kerajaan ini adalah Gunung TAD di

Tanjung Beringin. Pada saat yang sama,

hidup Sultan Salehuddin I (Pertama) di

Tenggarong. Pada tahun 1805, Sultan

Salehuddin I melarikan diri dari Tenggarong

ke Kota Bangun karena di kejar oleh Belanda.

Seorang pahlawan Kutai bernama Awang

Long dan kakaknya bernama Siti Mariyam

tidak melarikan diri tetapi bersembunyi

(bekalam) secara gaib di Tenggarong

sehingga tidak bisa di tangkap oleh Belanda.

Siti Mariyam sendiri memakai ikat kepala dari

kain yang disebut Setekong. Di dalam

setekong ini tersimpan senjata rahasia yang

dinamakan petunang yang terbuat dari besi

bulat sebesar telur ayam. Jika petunang

dilemparkan pada musuh maka musuh akan

terpental atau hancur. Karena Sultan

Salehuddin tidak bisa ditangkap Belanda,

maka Belanda menangkap anaknya sebagai

sandera. Syarat yang ditawarkan Belanda

pada Sultan Salehuddin I adalah agar Sultan

menandatangani surat tersebut. Belanda

sangat memaksa Sultan untuk bisa masuk ke

Kutai karena mereka tidak berhasil masuk

kerajaan Banjar karena ternyata Raja Banjar

adalah seorang perempuan. Jadi hanya

Kerajaan Kutai yang bisa dimasuki Belanda

kerena Rajanya laki-laki. Untuk masuk ke

Banjar, Belanda membujuk pasukan Kutai

untuk menyerang Kerajaan Banjar. Pasukan

Kutai memang berangkat untuk memerangi

kerajaan Banjar. Namun karena tidak saling

membunuh sesama Kutai dan Banjar, maka

Raja Kutai dan Raja Banjar membuat

perjanjian atau sandi rahasia agar pasukan

Page 11: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 14

mereka tidak saling membunuh karena

sebenarnya Banjar dan Kutai adalah sepupu.

Sandi atau tanda rahasia adalah Himus.

Himus adalah semacam ikat kepala yang

terbuat dari kain yang harus dipakai oleh

semua pasukan sehingga mereka saling

mengenal. Jika seseorang memakai sandi ini

di medan pertempuran, maka mereka tidak

saling membunuh.

4. Desa Kutai Adat Lawas di Kedang Ipil

Kedang Ipil adalah satu desa yang

memiliki potensi wisata yang cukup potensial.

Secara etnis, diperkirakan suku ini berasal

dari suku Basap Melanun ditambah dengan

Suku Sumping Layang. Namun dalam

kehidupan sehari-hari berbahasa kutai dan

masih mempraktekkan beberapa ritual

tradisional yang tidak ada lagi di desa lain.

Itulah sebabnya mengapa desa ini disebut

Kutai Adat Lawas. Jumlah penduduk Kedang

Ipil 1.363 jiwa, dan komposisi penduduk

berdasarkan Agama adalah : Muslim 40%

Protestan 40% dan Katolik 20%. Potensi

wisata itu antara lain Air Terjun Kandua Raya

yang berjarak 2 km dari desa Kedang Ipil,

Pohon Madu yang sering dihinggapi madu,

dan kehidupan tradisional masyarakat.

Beberapa Jenis Erau di Kedang Ipil :

1. Erau Tepung Tawar biasanya dilaksanakan selama 12 hari.

2. Erau Bayar Hajat biasanya dilaksanakan selama 15 hari.

3. Erau Arwah (Kalungan) biasanya dilaksanakan selama selama 21-22 hari. Erau Arwah (Kalungan) ini terakhir dilaksanakan pada tahun 2010 yang lalu.

4. Erau Pelas, hanya dilakukan jika terjadi hubungan terlarang (zina), misalnya anak dengan paman, dll. Yang berzina biasanya diasingkan ke tempat lain di luar desa. Dahulu yang berzina langsung dikorbankan atau dicemeti hingga mati, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan yaitu diganti dengan babi. Setelah yang bersangkutan punya babi untuk dikorbankan dalam Erau, barulah yang bersangkutan bisa kembali ke kampung. Dalam aturannya, semua Erau hanya boleh dilakukan di rumah yang dibuat secara khusus yang disebut Pelampak. Erau tidak boleh dilakukan di rumah warga. Karena Erau ini sangat

sakral dan tidak ada lagi yang berani melaksanakannya, maka Erau ini terakhir dilaksanakan pada tahun 1991. Selain karena sakral, alasan lain Erau Pelas tidak lagi dilaksanakan karena “Memang” atau “Pawang” sudah tidak ada atau sudah meninggal semua.”Memang” adalah orang tua (lanjut usia) yang telah melalui tahap adat untuk bisa melaksanakan Erau Pelas. Sebetulnya di Kedang Ipil masih ada “memang” yang masih hidup yaitu Tajuddin Noor (90 tahun) dan Jondon (70 tahun) namun mereka sudah tidak berani bertindak sebagai Memang lagi karena takut kualat. Kalau dipaksakan bisa timbul korban manusia. Sebagai contoh, pada tahun 1923 pernah dilakukan ritual untuk tepung Tawari Musium Tenggarong tapi yang melaksanakan meninggal, karena ternyata beliau yang masih terlalu muda yaitu 30 tahun. Beberapa properti selama upacara Erau antara lain Seriding terbuat dari daun pinang, lanjak daun haur, Bungawan-haur yang terbuat 7 tingkat, janur aren, batang panen, rotan dan mayang pinang. Pelaksanaan Belian akan mengitari property selama ritual berlangsung.

Selain Erau tersebut, terdapat juga beberapa

ritual yang bersifat seremonial berkaitan

dengan tahapan pekerjaan masyarakat

sebagai petani.

1. Nutuk Padi Bahan adalah perayaan sukacita menyambut padi yang hampir masak (perayaan sebelum panen). Caranya, padi dengan bulir yang masih muda (belum masak) dipanen, direndam dalam air selama 3 hari, lalu disangrai, dan kemudian ditumbuk di lesung. Hasilnya adalah emping beras dengan aroma yang sangat harum, dan bisa dikunyah karena masih lembek. Ritualnya dilaksanakan oleh seorang Menang. Tujuannya adalah agar ada rejeki berupa padi yang melimpah pada tahun berikutnya. Seperti ritual lainnya, nutuk padi juga harus dilaksanakan di tempat terbuka (tempat khusus), tidak boleh dalam rumah warga.

2. Bayar niat. Seorang yang sudah sembuh dari sakit yang lama melakukan ritual pada Sanghyang Widhi atas kesembuhan yang diterima, dan supaya selalu mendapat kesehatan di masa yang akan datang.

Erau dilaksanakan dengan beberapa

tujuan antara lain untuk

Page 12: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 15

pengangkatan/penobatan pejabat baru.

Pejabat yang akan dilantik dikumpulkan,

kemudian diperciki dengan air tawar diiringi

dengan pembacaan mantra-mantra

(Punggeriq Bubuhana) yang berisi agar

pejabat tersebut dihormati warga karena

sudah dilantik secara adat, supaya pejabat ini

bertutur kata yang dapat mempengaruhi

orang yang mendengar. Dalam bahasa

setempat, Punggeriq Bubuhana dilakukan

pada pejabat agar suara mereka dihormati

oleh yang mendengar, masyarakat respek

pada pemimpin yang sudah dilantik secara

adat. Di Kedang Ipil, tinggal 2 orang saja

yang bisa membacakan mantra ini yang

berumur 90 dan 50 tahun. Memang tidak

boleh sembarangan orang membacakan

mantra, harus orang yang sudah senior. Jika

dibacakan oleh orang muda bisa kualat.

Orang yang boleh melaksanakan Punggeriq

Bubuhana ini haruslah orang yang sudah

diangkat secara adat. Dalam proses

pengangkatan ini ada tiga tingkatan yaitu : (1)

beangkat, (2) bertemah-ditetapkan oleh adat,

(3) beterus-hanya orang sudah sampai

tingkatan ini yang boleh melaksanakan Erau

dan membacakan mantra tadi.

Pakaian dan asesoris yang digunakan

selama Erau antara lain topi labung, pakaian

tape belian berwarna putih, merah, oren,

hitam, kuning (warna sisik naga), giring-giring

dari kuningan yang dipasang di kaki dan

dipinggang. Sedangkan alat musik yang

digunakan adalah gendang berukuran

pendek dan panjang, klentangan atau

gamelan dan gong.

5. Seni Arsitektur atau Rumah Adat Kutai

Salah satu rumah adat khas Kutai

yang ditemukan selama kajian dilapangan

adalah rumah Tua Pak Aso yang disebut

Harimau Tidur. Rumah ini terletak di Kota

Bangun Seberang (KBS), dibangun sebelum

jaman penjajahan Jepang, diperkirakan tahun

1920 an. Desain rumah ini sangat khas,

terbuat dari kayu yang diukir sedemikian rupa

sehingga terlihat menonjol diantara rumah

lainnya. Di atas bumbungan rumah terdapat

sebuah kerucut terbuat dari kayu yang di

sebut patra. Arsitektur tradisional Kutai

lainnya adalah rumah tradisional yang disebut

Gajah Menyusu atau Merahong, yang

terdapat di Muara Kaman. Bentuk rumah

lainnya adalah Rumah Sambu berbentuk

Lamin.

6. Kecamatan Muara Kaman

Desa Sabintulung

Konon Desa Sabintulung di zaman Aji

Pangeran Mangkunegoro bernama Benua

Tuha, Kerajaan tertua Kutai. Nama

Sabintulung berasal dari kata “Sabin” atau

“Saban” yang artinya “sering” dan “tulung”

yang artinya “tolong”. Disebut desa

Sabintulung karena Raja Kutai sering

meminta tolong pada Benua Tuha setiap kali

mendapat masalah. Menurut sejarah

berdirinya Kerajaan Kutai yang paling tua

adalah Kerajaan Benua Tuha, diikuti

Kerajaan Mulawarman dan Kutai Lama.

Konon, Kerajaan Benua Tuha dipimpin

seorang yang bertubuh raksasa Buki Halu

bergelar Temenggung Dinurung. Ukuran

keliling dadanya 7 jengkal, dan diameter

cincinnya berdasarkan temuan artefak sekitar

5 cm. Dia dianggap sebagai manusia raksasa

dengan kekuatan dahsyat, dan konon

kekuatan ini masih bisa didapatkan oleh

keturunannya pada saat ini melalui ritual

tertentu.

1. Tari Kanjar : dilakukan oleh 21 penari laki-laki dan 21 perempuan pada saat upacara Adat Keraton. Tari Kanjar Sabintulung berbeda dengan Tari Kanjar dari daerah lain termasuk di Tenggarong yaitu pada cengkoknya. Di Sabintulung, pada saat Gong besar dibunyikan maka telapak tangan penari terbuka keluar. Sedangkan di Tenggarong, pada saat Gong besar dibunyikan, telapak tangan tertutup atau menghadap ke dalam. Alat musik yang digunakan adalah Gong, kelentangan. Kostum penari adalah pakaian adat Kutai, biru bedodot dan memakai ikat kepala. Karena tarian ini sangat sakral, maka terakhir kali ditampilkan adalah pada tahun 1958, dan pada tahun 1959 PKI menghancurkan Patung Sultan Sulaiman. Pada tahun 1960 PKI masuk di Benua Tuha atau Sabintulung dan menghancurkan benda-benda seni seperti alat-alat musik Kutai, serta benda seni lainnya.

Page 13: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 16

2. Acara Buka Palang Pintu: sebuah acara pada waktu pernikahan. Ketika mempelai pria mau masuk kerumah mempelai wanita, dilakukan acara berbalas pantun antara rombongan mempelai pria dengan mempelai wanita, biasanya dilakukan oleh sesepuh adat diiringi Rebana. Setelah mempelai pria masuk, lalu dilakukan Tarsul, berupa nasehat kepada mempelai bagaimana seharusnya menjalani hidup sesuai ajaran Agama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kutai. Sayangnya, acara ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1970 an. Setelah itu, tidak ada lagi yang melestarikannya.

3. Tari Jepen : dimainkan 7 laki-laki dan 7 perempuan dengan kostum bedodot yaitu celana panjang, sarung, baju Kutai. Alat musik yang digunakan adalah tingkilan (gendang, cello, gambus, biola). Tari ini biasanya ditampilkan Perayaan besar pernikahan, dll. Tarian ini ditampilkan sekitar 15 menit atau lebih tergantung pada syair-syair yang disampaikan dalam bentuk nyanyian.

7. Kecamatan Kahala

Sejarah Desa Kahala

Deskripsi berikut adalah ringkasan

dari dokumen tua yang ditulis oleh Pemangku

Adat Penjunjung Setia Kerajaan Kutai

Mulawarman H. Pangeran Pateh

Ardiwansyah Perana Widjaya. Untuk

melestarikan, maka dokumen tersebut diketik

ulang dan diformat ulang sehingga mudah

dipahami. Kahala adalah suatu desa di

Kecamatan Kenohan Kabupaten Kutai, yang

terletak diantara dua sungai yaitu sungai

Mahakam dan sungai Belayan. Oleh sebab

itu diberi nama Kahala yang berarti halla atau

antara.

Silsilah Pemangku Adat Penyunjung Setia

Asal Usul Desa Kahala Turunan

Adipati Tanjung Limbun bernama Batara

Gogoh yang Mewariskan Tanah Tinjiak

Pengepung Hulaya Adat. Bermula dari silsilah

Adipati bernama Batara Gogoh keturunan

dari pekawinan Mahaputri Nila Perkastiawati

Dewi anak Maharaja Prabu Mula Tanggal

Dewa Raja Kutai Martapura (Muara Kaman),

dengan Hing Giling Wesi yang bergelar Prabu

Wisnu Dewata Murti Raja Pakwan Padjajaran

(Jawa Barat), di tahun 1.030 Masehi,

membuat Benua Tanjung Limbun di Muara

Sungai Monggoh di Wilayah Kecamatan

Kenohan sekarang.

Kabarnya Adipati Batara Gogoh,

berangkat dari Demak menuju Kerajaan

Martapura tahun 1077 M, Batara Gogoh

kawin dengan Putri Raden Baroh (Adipati

Jelau di Kedang Pahu), melahirkan seorang

putra yang beristrikan Maharatu Mayang

Mulawarni menjadi Raja Kutai Martapura

memerintah dalam tahun (1117-1166), putri

ini dikenal juga dengan nama Adji Putri

Pidara Putih, Putri Maharaja Nala Indra

Dewa, Raja Kutai Martapura memerintah

dalam tahun (1069-1117), yang melahirkan

anak antara lain :

1. Maharaja Indra Mulia Tungga Warman Dewa menjadi Raja Kutai Martapura memerintah dalam tahun (1166-1214).

2. Adipati Batara Singla menjadi Adipati Tanjung Limbun di wilayah Sungai Monggoh. Dan Batara Singla yang kemudian menurunkan Baratu Naga, yang menurunkan Demong Bongso , dan keturunannya bernama Pelangut Gunting yang pada tahun 1227 M, pindah berdiam di Sungai Empenang membuat kampong di Loa Buta dab menurunkan Singga Bentung, Singa Boga, Singa Ditanya. Dan Singa Ditanya memindahkan kampong ke daerah Sebongkok, dan menurunkan Setia Nenda, menurunkan Setia Ginah, dan menurunkan Setia Dana yang memindahkan kampong ke Selengah dan menurunkan Setia Dana yang memindahkan kampung ke Selengah dan menurunkan Dana Gendang,menurunkan :

a. Dana Besar gelar Empok Bara, melahirkan Jaya menetap di Belayan.

b. Dana Jehede menetap di Ngunak melahirkan : 1) Popok Ayu (Pertama kali memeluk

agama Islam) 2) Laca Gelar Perana, diangkat kepala

adat pada tahun 1727 M 3) Boyok Ekol (tidak ada turunan) 4) Boyok Bu‟ung (tidak ada turunan) 5) Boyok Japar (tidak ada turunan) 6) Boyok Kale menurunkan Arpan gelar

Marta. Sepanjang perjalanannya yang sangat

panjang sejak tahun 1.077 sampai tahun

2010, Desa Kahala sudah beberapa kali

Page 14: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 17

berpindah tempat yang disebabkan oleh

berbagai faktor, baik faktor alam maupun

kebijakan dari Raja yang sedang memerintah.

Tabel 3. Perpindahan Desa Kahala

No. KAMPUNG KE- NAMA DESA TEMPAT TAHUN

1. Pertama Tanjung Limbun Di Sungai Monggoh 1077-1227 M.

2. Kedua Luah Buta Di Sungai Ampanang 1227-1415 M.

3. Ketiga Sebangkok - -

4. Keempat Nggunak Di Sungai Ampanang 1415-1727 M.

5. kelima Turunan Di Pinggir Sungai Kahala 1727-1777 M.

6. Keenam Penyundjung - -

7. Ketujuh Kahala - 1777-2010 M.

Sumber : Dokumen milik Pemangku Adat Kahala (2014)

Pengertian Erau (Versi Pemangku Adat

Kahala)

Erau menurut istilah di Kahala berarti:

ramai, limpah ruah, riuh rendah, ceroh atau

cerau. Angin keras dan menimbulkan suara

dan kegaduhan akibat gesekan pohon

bamboo dan riuh rendahnya suara hempasan

daun bambu. Suara itulah yang menimbulkan

ceroh, cerau, reme, boleh ceroh tapi tetap

terkendali dalam suatu ikatann/rumpun

seperti kokohnya rumpun bamboo tersebut.

Erau di Kahala ada dua macam yaitu erau

adat Pelas tahun dan erau adat Pelas Banga

Padi, atau dengan kata lain Erau Urang

Halok. Halok adalah orang-orang yang

tadinya agama animisme karena adanya

dakwah dan tabligh, akhirnya masuk Agama

Islam.

Erau Adat Pelas Tahun biasanya

dilaksanakan satu bulan lebih melihat situasi

dan kondisi serta pembiayaan yang tersedia

yang dimulai sejak dari perapen sampai

dengan pembuatan remukun. Sedangkan era

Adat Pelas Bunga Padi waktunya relatif

singkat paling lama belas hari yang dimulai

dari perapen dan diakhiri dengan pembuatan

lanjek.

8. Kecamatan Kembang Janggut

Seni Musik dan Alat-alat Musik Tradisional

Kutai

Musik tradisional Kutai banyak

dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan

Islam. Diantaranya music Tingkilan dan

Hadrah. Selain seni musik (kesenian) suku

Kutai juga memiliki seni drama tradisional

yang disebut Mamanda. Musik Tingkilan

adalah seni musik khas suku Kutai. Kesenian

ini memiliki kesamaan dengan kesenian

rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan

adalah Gambus (sejenis gitar berdawai

enam), Ketipung (semacam kendang kecil),

Kendang (sejenis rebana yang berkulit

sebidang dan besar) dan Biola. Musik

Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang

disebut Betingkilan. Betingkilan sendiri berarti

bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan.

Dahulu sering dibawakan oleh dua orang

penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-

sahutan. Isi lagu berupa nasihat-nasihat,

percintaan, saling memuji, atau bahkan saling

menyindir atau saling mengejek dengan kata-

kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering

digunakan untuk mengiringi tari pergaulan

rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.

Sedangkan hadrah adalah kesenian

yang mempergunakan alat musik Terbang

atau Rebana. Kesenian ini dibawakan sambil

menabuh Terbang tersebut disertai nyanyian

dalam bahas Arab yang diambil dari kitab

Barzanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan

untuk mengarak pengantin pria menuju

kerumah mempelai wanita, selain itu juga

sering ditampilkan pada perayaan hari-hari

besar Islam.

Selain alat-alat musik di atas terdapat

juga alat musik Kutai lainnya seperti alat

musik untuk Belian atau Erau misalnya;

klentengan, gong, gendang, ketipung.

Beberapa alat musik lainnya untuk menari

antara lain String Bas, ukulele (memiliki 3

senar terbuat dari nilon), juk (memiliki 3 senar

terbuat dari kawat), gambus (memiliki 9 senar

terbuat dari nilon), ketipung (gendang kecil

terbuat dari kulit sapi).

Pecinta seni Kutai, Mulyanto, telah

mencurahkan waktunya untuk membina

Page 15: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 18

kesenian Kutai di Kembang Janggut sejak

tahun 1995. Selain melatih di Sanggar Seni,

beliau juga melatih seni tari Kutai di sekolah-

sekolah walau tanpa bayaran. Biasanya

setiap 17 Agustus ada Pentas Seni Budaya di

Kecamatan, dan setiap acara besar selalu

disisipkan kesenian. Namun sekarang

perhatian Pemerintah pada seni seperti di

atas sudah sangat kurang. Permasalahan

yang dihadapi dalam membina seni adalah

tidak adanya dana pembinaan dari

pemerintah atau swasta, alat musik dan

kostum yang sudah tua dan hampir rusak dan

penghargaan pada Pelatih seni budaya/tari

tidak ada.

1. Rudat: Tari/upacara penyambutan tamu penting atau peringatan 17 Agustus sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Repubik Indonesia. Alat musik yang digunakan adalah Kelintangan dan Lesung. Tari ini dilakukan sambil memukul lesung.

2. Tari Jepen: dimainkan 6-8 laki dan perempuan. Biasanya tampil di acara perpisahan dari perusahaan dan masyarakat. Tari ini masih mau ditampilkan oleh anak muda asal mereka diberi kesempatan untuk mengisi acara besar atau penting sehinga merasa dihargai.

9. Kecamatan Muara Muntai

Hadrah

Ritual pengarakan pengantin,

menyambut tamu penting, dan acara

pernikahan. Arakan ini terdiri dari 20 orang,

dan kalau terdiri dari laki-laki dan perempuan

dinamakan berudat. Di antara 20 orang tadi

terdapat 8 orang pemukul gendang. Dalam

versi lain disebutkan bahwa Hadrah

merupakan kesenian Islam yang ditampilkan

dengan iring-iringan rebana/terbang (alat

perkusi) sambil melantunkan syair-syair serta

pujian terhadap akhlak mulia Nabi

Muahmmad SAW, yang disertai dengan

gerak tari. Terdiri dari 2 kelompok, kelompok

penabuh hadrah dan kelompok yang

melantunkan syair berjanji. Hadrah biasa

dipakai pada acara perkawinan, mengantar

orang berangkat haji, hari-hari besar Islam

dan lain sebagainya.

Kuda Pepang

Ritual menyambut tamu seperti

Bupati, Camat atau tamu penting lainnya.

Acara ini dibawakan oleh 20 orang Prajurit

(masing-masing 10 Prajurit di sebelah kiri dan

10 Prajurit sebelah kanan tamu), pemain

musik 3 orang. Alat masik terdiri dari Gong,

Gamelan dan Gendang. Pakaian yang

digunakan adalah Berumbai (sama dengan

kostum Tingkilan), atau memakai Miskat (baju

adat Kutai).

Trasulan

Merupakan acara khas berbalas

pantun antara laki-laki dan perempuan.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kutai

atau bahasa Indonesia. Inti dari pantun

adalah bebas sesuai dengan topik/jenis acara

yang berlangsung. Misalnya, jika yang datang

adalah seorang pejabat Pemerintah, maka isi

pantun adalah pujian/sanjungan, sindiran

bahkan permintaan pada Pejabat tersebut.

Jika dilakukan pada saat pernikahan, maka

isi pantun adalah nasehat pada kedua

mempelai.

Salah satu pecinta dan praktisi seni

Kutai Suryadi, memiliki tekad untuk

menghidupkan Tari Jepen dan musik

Tingkilan yang merupakan tradisi turun-

temurun dari nenek moyang di bawah

Sanggar Tari Mutiara. Minat generasi muda

untuk memainkan Tari Jepen dan musik

Tingkilan sebetulnya masih kuat asal ada

yang membina dengan serius. Tantangan

yang dihadapi adalah minimnya dukungan

dari Pemerintah, sehingga untuk pengadaan

perlengkapan seperti; kostum, alat musik,

dan kurangnya tenaga instruktur menjadi

kendala dalam melestarikan dan

mengembangkan budaya Kutai.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Etnis Kutai sesungguhnya memiliki

kekayaan seni dan budaya yang cukup tinggi

dan beragam, baik seni tari, seni musik, seni

drama dan seni budaya lainnya. Seni tersebut

umumnya dipraktekkan dilingkungan

Kesultanan Kutai Kartanegara di kota

Tenggarong, juga dilakukan oleh Pemangku

Adat di desa-desa maupun lingkungan

masyarakat biasa di desa.

Page 16: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 19

Hingga saat ini, sebagian seni tari

dan seni musik khususnya tari jepen dengan

musik tingkilan masih eksis di desa-desa,

namun seni drama sudah hampir hilang

karena para praktisi/guru yang yang handal

hampir tidak ada, kesulitan alat musik

tertentu, kostum dan semakin kurangnya

peminat karena pengaruh budaya modern

yang semakin maju.

Tidak ada pembinaan rutin dan

bantuan dari pemerintah terhadap kelompok-

kelompok tari atau seni budaya yang ada di

desa-desa. Kelompok seni tari dan musik

hanya diperhatikan secara insidentil oleh

Pemkab Kutai Kartanegara pada event

tertentu misalnya perayaan 17 Agustus atau

Acara Erau.

Kesulitan dalam pengembangan seni

budaya di desa-desa adalah semakin

berkurangnya, bahkan tidak adanya pelatih

koreografer professional, tidak tersedianya

alat musik yang memadai, kostum yang

sudah rusak, serta pekerja dan pelaku seni

dan budaya Kutai merasa kurang sekali

diperhatikan dan dihargai oleh Pemerintah.

Rekomendasi yang dapat diberikan

dari hasil penelitian ini dilihat dari kondisi seni

pertunjukan tradisional di perdesaan yang

sangat terabaikan memerlukan aksi nyata

dari Pemerintah untuk melestarikannya

melalui pembinaan rutin dan ditampilkan

dalam event-event di tingkat Kecamatan atau

Kabupaten bahkan di tingkat nasional.

Festival Erau yang diagendakan

setiap tahun seharusnya menjadi ajang untuk

menampilkan semua seni ragam budaya

Kutai baik dari lingkungan Kraton maupun

dari desa-desa yang selama ini sudah

terabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adham, D. 1981. Salasiah Kebudayaan

Kutai; Proyek Penerbitan Buku Sastra

Indonesia dan Daerah, Jakarta

Alwasilah, A, Chaedar. 2006. Pokoknya

Sunda; Interpretasi Untuk Aksi, Kiblat:

Bandung

Badan Penelitian dan Pengembangan

Daerah Kutai Kartanegara, 2010, Studi

tentang tanah adat dan Ulayat di wilayah

Kutai Kartanegara, PT. Inasha Sakha

Kirana, Bandung

Badan Penelitian dan Pengembangan

Daerah Kutai Kartanegara, 2011, Studi

tentang Keberadaan dan Pelestarian

Budaya Asli di Kabupaten Kutai

Kartanegara

Bennedict, Ruth, 1980. Patterns of Culture,

Houghton Mifflin, Co., Boston, USA

HR., Syaukani, 2002, Kerajaan Kutai

Kartanegara, Pustaka Pulau Kumala,

Tenggarong

Irhandi., 2011, Musik Tingkilan Warisan

Budaya yang perlu dilestarikan,

Kabupaten Kutai Kartanegara.Com

Jakobus, Ranjabar, 2006, Sistem Sosial

Budaya Indonesia, Ghalia Indonesia,

Bogor

Soekanto, Soerdjono, 2003, Sosiologi Suatu

Pengantar, Rajawali Press, Jakarta

Page 17: KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI DI KABUPATEN …

ISSN 1978-838X

Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 20