Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 4
KAJIAN PELESTARIAN SENI BUDAYA KUTAI
DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
RESEARCH PROCESSING ART KUTAI CULTURE
IN KUTAI KARTANEGARA REGENCY
Muhammad Soleh Pulungan
Peneliti Madya Balitbangda Kab. Kutai Kartanegara Provinsi Kaltim
Jl. WR. Mongonsidi Komplek Kantor Bupati Gedung Bappeda Lt. 4 Tenggarong 75511
Email: [email protected] No. HP. 0852 5025 3454
ABSTRACT
The nation of Indonesia as a country of diverse cultures as well as a characteristic and asset of the Indonesian nation. The art of Indonesian culture is the whole of local cultural arts that existed before the establishment of the State of Indonesia in 1945. The objectives of the research are; (1). Documenting and compiling the potential profile of Kutai Cultural Art in Kutai Kartanegara Regency which includes dance, sound art, music art, traditional clothing / tradisiponal, art objects and custom house. (2). To examine alternative pattern of preservation and development of Kutai Cultural Art in Kutai Kartanegara Regency to be sustainable. Methods This study is descriptive qualitative to describe the various art and culture that still exist in the community with the support of data or documentation. The results show that Kutai ethnic actually has a high and varied art and cultural richness, both dance art, music art, drama art and other cultural arts. The art is generally practiced in the Kutai Kartanegara Sultanate in Tenggarong city, and conducted by Adat Stakeholders and ordinary people in the villages. The problem is the lack of routine guidance by the local government and the lack of traditional dance instructor and music instructor Kutai, thus becoming an issue in preserving Kutai art and culture.
Keywords: Art, Culture, Kutai, Potential, Sustainable
ABSTRAK
Bangsa Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka ragam budaya sekaligus merupakan ciri khas dan aset bangsa Indonesia. Seni budaya Indonesia merupakan seluruh seni budaya lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Negara Indonesia tahun 1945. Tujuan Penelitian adalah; (1). Mendokumentasikan dan menyusun profil potensi Seni Budaya Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara yang meliputi seni tari, seni suara, seni musik, pakaian adat/tradisional, benda-benda seni dan rumah adat. (2). Mengkaji pola alternatif pelestarian dan pengembangan Seni Budaya Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara agar tetap lestari. Metode Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif untuk menggambarkan berbagai macam seni budaya yang masih eksis di tengah masyarakat dengan dukungan data atau dokumentasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Etnis Kutai sebenarnya memiliki kekayaan seni dan budaya yang cukup tinggi dan beragam, baik seni tari, seni musik, seni drama dan seni budaya lainnya. Seni tersebut umumnya dipraktekkan dilingkungan Kesultanan Kutai Kartanegara di kota Tenggarong, dan dilakukan oleh Pemangku Adat maupun masyarakat biasa di desa-desa. Permasalahannya adalah tidak adanya pembinaan secara rutin oleh Pemerintah Daerah dan minimnya tenaga instruktur seni tari dan musik tradisional Kutai, sehingga menjadi tantangan dalam melestarikan seni budaya Kutai. Kata Kunci: Seni, Budaya, Kutai, Potensi, Lestari
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu Negara
yang sangat kaya akan seni budaya. Seni
budaya bangsa di Indonesia sangat beragam,
hampir tiap suku yang lebih dari 300 suku
bangsa mempunyai seni budaya tersendiri.
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 5
Mulai dari seni tari, seni musik, adat istiadat,
tradisi, pakaian adat, rumah adat, makanan
khas dan masih banyak lagi, tiap suku
berbeda. Seni budaya bangsa tercipta dari
suatu perbedaan tapi memberi warna
tersendiri bagi seni budaya Indonesia.
Walaupun seni budaya di Indonesia
sangatlah beragam tetapi banyak masyarakat
Indonesia yang tidak mengenal budayanya
sendiri, padahal sangat diperlukan untuk
melestarikan sejarah nenek moyang kita.
Untuk itu sangat diperlukan peran serta
masyarakat dalam melestarikan seni budaya
lokal. Masih lekat dalam ingatan kita ketika
beberapa saat lalu negara tetangga kita
Malaysia mengklaim angklung sebagai alat
musik tradisional mereka. Tidak hanya
berhenti sampai disitu mereka kemudian juga
mengakui Reog serta lagu Rasa Sayange
sebagai kesenian tradisional Malaysia. Apa
yang telah dilakukan Malaysia tentu saja
telah melanggar batas-batas kedaulatan
Negara Republik Indonesia. Akan tetapi,
respon Pemerintah terhadap hal ini
nampaknya kurang menunjukan komitmen
mereka terhadap pelestarian seni budaya
Indonesia sendiri. Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan karena semakin merugikan
citra bangsa Indonesia di mata dunia
Internasional.
Kita tentunya prihatin terhadap
“pencurian” hak-hak atas kekayaaan
intelektual yang menyangkut karya-karya seni
asli Indonesia. Sebagai contoh, batik
Indonesia, baik pola maupun processing dan
juga berbagai kearifan lokal yang terkandung
dalam seni perhatikan, tiba-tiba dipatenkan
oleh pihak luar negeri. Lama sebelumnya,
kita telah mendengar tentang adanya
pelanggaran terhadap hak-hak atas
kekayaaan intelektual yang terkandung dalam
hasil-hasil karya para seniman pemahat Bali.
Bahkan akhir-akhir ini kita mendengar pula
bahwa makanan tradisional Indonesia seperti
tempe dan juga jamu-jamu tradisional
Indonesia yang penuh dengan kandungan
kearifan lokal dan keunikan tradisi-tradisi
lokal sebagai kekayaan intelektual Indonesia,
juga mulai makin terancam dan diakui
sebagai kekayaan intelektual dan kekayaan
budaya asing. Demikian pula, hal-hal yang
berkaitan dengan genitic resources asli
Indonesia mengalami nasib yang sama.
Terjadinya kasus ini tentunya
tamparan yang keras bagi kita bangsa
Indonesia. Salah satu faktor penyebab
terjadinya hal ini kemungkinan disebabkan
oleh tingkat kesadaran serta kecintaan
masyarakat Indonesia terhadap seni budaya
yang relatif masih rendah. Datangnya
berbagai seni budaya asing yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Falsafah Pancasila semakin
melunturkan budaya nasional. Kurangnya
apresiasi masyarakat terhadap seni budaya
nasional menyebabkan seni budaya nasional
bangsa Indonesia terancam punah. Padahal,
seni budaya merupakan identitas suatu
bangsa sehingga jika seni budaya tersebut
dirampas maka hilanglah identitas kita
sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia.
Pelestarian menurut A. Wijaya dalam
(Ranjabar, 2006:115) adalah suatu kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus,
terarah, dan diterpa guna mewujudkan tujuan
tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu
yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes
dan selektif. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Eko: 2006) menyatakan bahwa pelestarian
berasal dari kata lestari, yang artinya adalah
tetap selama-lamanya tidak berubah. Jadi
berdasarkan kata kunci lestari ditambah
awalan ke- dan akhiran –an, maka yang
dimaksud dengan pelestarian adalah upaya
untuk membuat sesuatu tetap selama-
lamanya tidak berubah. Bisa juga
didefenisikan sebagai upaya untuk
mempertahankan sesuatu supaya tetap
sebagaimana adanya.
Bangsa Indonesia sebagai negara
yang memiliki beraneka ragam budaya harus
mengakui bahwa para generasi muda banyak
yang tidak mengenal budaya bangsanya
sendiri. Mestinya tidak demikian, meskipun
banyak dipengaruhi perkembangan zaman
dan pengaruh dari budaya barat tetapi akar
budaya sebagai jati diri bangsa harus tetap
jadi panutan.
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 6
Seni budaya Indonesia walau
beraneka ragam, namun pada dasarnya
terbentuk dan dipengaruhi oleh seni budaya
besar lainnya seperti seni budaya Tionghoa
(dari Cina), seni budaya India dan seni
budaya Arab. Seni budaya India terutama
masuk dari penyebaran Agama Hindu dan
Budha di Nusantara jauh sebelum Indonesia
terbentuk. Kerajaan - kerajaan yang
bernafaskan agama Hindu dan Budha
sempat mendominasi Nusantara pada abad
ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya
kerajaan tertua di Nusantara, yaitu Kerajaan
Kutai Kartanegara, sampai pada penghujung
abad ke-15 Masehi. Penduduk yang
bermukim diwilayah Kutai Kartanegara terdiri
dari penduduk asli, seperti; Suku kutai, suku
dayak benuaq, suku dayak tunjung, suku
dayak bahau, suku dayak modang, suku
dayak kenyah, suku dayak punan, dan suku
dayak kayan. Suku asli tersebut di atas
masing-masing memiliki seni budaya yang
memiliki ciri khas tersendiri dan adat istiadat
yang berbeda-beda.
Seni menurut Ki Hajar Dewantara
merupakan hasil dari keindahan yang dapat
menggerakkan perasaan seseorang tentang
keindahan bagi yang melihatnya. Oleh
karenanya, perbuatan manusia bisa
mempengaruhi dalam menumbuhkan
perasaan yang indah itulah seni.
Sudarmaji dalam Bob Susanto (2015)
menyatakan bahwa Seni merupakan segala
bentuk manifestasi batin & pengalaman
estetis dengan menggunakan berbagai media
seperti berbagai bidang, tekstur, garis,
tekstur, warna volume dan sebagainya. Seni
juga bisa berarti ungkapan perasaan sang
pencipta yang disampaikan kepada manusia
supaya mereka bisa merasakan apa yang
dirasakan oleh pelukis atau para pencipta
seni. Sementara itu R. Linton dalam buku:
The Cultural backround of personality, bahwa
kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah
laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku,
yang unsur-unsur pembentukannya didukung
dan diteruskan oleh anggota masyarakat
tertentu.
Disisi lain, salah satu tujuan
diadakannya pelestarian budaya adalah
untuk melakukan revitalisasi budaya
(penguatan). Mengenai revitalisasi
kebudayaan menurut Alwasiah (2006)
mengatakan ada 3 (tiga) langkah, yaitu; (1)
pemahaman untuk menimbulkan kesadaran,
(2) perencanaan secara kolektif, dan (3)
pembangkitan kreatifitas kebudayaan.
Revitalisasi kebudayaan dapat didefenisikan
sebagai upaya yang terencana, sinambung,
dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan
hanya oleh para pemiliknya, melainkan juga
membangkitkan segala wujud kreativitas
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
menghadapi berbagai tantangan. Demi
revitalisasi maka ayat-ayat kebudayaan perlu
dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru
akan mencerahkan manakala ada kaji
banding secara kritis dengan berbagai
budaya asing (Alwasilah, 2006: 18).
Seni budaya lokal yang menjadi
pondasi budaya nasional bangsa Indonesia
hendaknya dipelihara dan diwariskan kepada
generasi penerus bangsa. Dengan semakin
berkembangnya bidang Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi, dapat dimanfaatkan oleh
segenap warga negara Indonesia untuk
memperkenalkan semua keanekaragaman
budaya lokal kepada seluruh dunia agar seni
budaya nasional Indonesia dapat dikenal dan
mendapat pengakuan.
Seni budaya tradisional Kutai
Kartanegara tersimpan dan tersebar pada
beberapa sumber di beberapa daerah atau
kecamatan baik di pedalaman maupun di
daerah pesisir. Di antara sekian banyak
kesenian tradisional tersebut ada yang masih
dipraktekkan, namun tentunya ada yang
menuju arah kepunahan karena tidak lagi
dikenal oleh generasi muda dan tidak ada lagi
yang berminat untuk melestarikannya. Jika
hal ini dibiarkan maka dikhawatirkan seni
budaya Kutai akan punah perlahan-lahan,
atau dapat diklaim atau “dirampas” oleh
orang lain, baik dari Indonesia sendiri
maupun oleh pihak luar negeri. Untuk
mempertahankan dan mengembangkannya
perlu ada kajian khusus untuk menggali
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 7
kembali seni budaya Kutai agar dapat
muncul kepermukaan untuk kemudian
dikembangkan dan dipertahankan.
Tujuan Penelitian yang akan dibahas
berikut ini adalah; (1). Mendokumentasikan
dan menyusun profil potensi seni budaya
Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara yang
meliputi seni tari, seni suara, seni musik,
pakaian adat/tradisional, benda-benda seni
dan rumah adat. (2). Mengkaji pola alternatif
pelestarian dan pengembangan seni budaya
Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara agar
tetap lestari.
Manfaat Penelitian yakni; (1). Bagi
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
mengenal berbagai macam jenis kesenian
tradisional yang ada di Kabupaten Kutai
Kartanegara, dan dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam usaha pelestarian dan
pengembangan kesenian tradisional. (2).
Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai
rujukan dan pembanding awal untuk mengkaji
kesenian tradisional secara lebih mendalam.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian bersifat deskriptif
kualitatif. Penelitian kualitatif mengutamakan
makna yang diungkap berkisar pada persepsi
orang mengenai suatu peristiwa. Studi
dokumen merupakan pelengkap dari
penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif.
Penelitian dilakukan selama 6 (enam)
bulan efektif yaitu dari Februari sampai
dengan Juli 2015. Lokasi penelitian yang
dipilih secara purposive sampling dengan
pertimbangan historis bahwa kecamatan
sampling ini merupakan kecamatan yang
sudah berumur tua, dan dianggap dapat
mewakili kecamatan lainnya. Lokus penelitian
meliputi 8 (delapan) Kecamatan meliputi: (1).
Kecamatan Kota Bangun, (2). Kecamatan
Muara Kaman, (3). Kecamatan Kembang
Janggut, (4). Kecamatan Kenohan, (5).
Kecamatan Muara Wis, (6). Kecamatan
Muara Muntai, (7). Kecamatan Sanga-sanga,
dan (8). Kecamatan Anggana.
Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik dokumentasi dan
wawancara. Menurut Sugiyono (2013)
dokumen merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen yang
berbentuk tulisan misalnya catatan harian,
sejarah kehidupan (life histories), cerita,
biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang
berbentuk gambar misalnya foto, gambar
hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang
berbentuk karya misalnya karya seni, yang
dapat berupa gambar, patung, film dan lain-
lain.
Data dan informasi yang diperlukan
terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperolah dengan mewawancarai
semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
kesenian tradisional di Kabupaten Kutai
Kartanegrara. Data sekunder berupa
dokumen yang juga berkaitan dengan
kesenian tradisional di Kutai Kartanegara.
Tabel 1. Data Primer
No. Jenis Data Sumber Data
1 Tarian tradisional Ketua/Pembina Kelompok Tari, Praktisi seni tari dan ukiran, penyanyi,pemusik dan pencipta alat musik tradisional, kolektor benda-benda seni
2 Lagu-lagu tradisional khas Kukar
3 Pakaian adat
4 Pakaian tradisional/Pakaian tari
5 Motif-motif tradisional, batik,ukiran
6 Alat musik tradisional
7 Benda-benda seni
8 Kelompok-kelompok tari atau sanggar Tari atau seni yang masih aktif Ketua Kelompok, atau dari Dinas Pariwisata Kukar 9 Identifikasi dan profil kegiatan seni yang masih aktif, masalah yang
dihadapi dalam pelestarian dan pengembangannya
10 Masalah: Keterlibatan generasi muda, ada tidaknya pelatihan/pembina, kesempatan tampil, dana.
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 8
Tabel 2. Data Sekunder
No. Jenis Data Sumber Data
1 Informasi umum tentang Kukar KDA Kukar
2 Kelompok Seni Tradisional di Kukar Dinas Pariwisata Kukar
3 Program pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional di Kukar
Dinas Pariwisata Kukar
4 Masalah pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional
Analisis Data dilakukan dengan
menghimpun data-data dalam penelitian ini
yang pada umumnya berupa data kualitatif
yaitu informasi dan profil seni budaya Kutai
yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Karena data yang terkumpul bersifat kualitatif,
maka analisis dilakukan secara kualitatif pula
yaitu dengan cara:
1) Menyusun Profil dari semua jenis seni budaya Kutai yang teridentifikasi di Kabupaten Kutai Kartanegara.
2) Data atau informasi tentang jenis-jenis kesenian tradisional: Kelompok seni tari, seni musik, seni ukir/pahat/motif hiasan, benda seni, pakaian tradisional dan rumah adat dikelompokan sesuai dengan Kecamatan.
3) Dari masing-masing Jenis Kesenian Tradisional tersebut kemudian dikelompokan profil masing-masing yang terdiri dari praktik dan praktisi masing-masing, permasalahan yang dihadapi dalam pelestarian dan pengembangannya, serta harapan pada PemKab Kutai Kartanegara dalam pengembangannya.
4) Dari profil kesenian tradisional dan permasalahan yang dihadapi, akan dibuat pembahasan dan akhirnya menghasilkan kesimpulan dan Rekomendasi pada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berikut adalah
rangkuman hasil wawancara dengan
berbagai narasumber yaitu Tokoh Adat,
Tokoh Masyarakat dan Praktisi Seni Budaya
dibeberapa Kecamatan di Kabupaten Kutai
Kartanegara. Informasi yang disampaikan
dirumuskan sedemikian rupa agar lebih
mudah dipahami oleh pembaca. Disadari
bahwa informasi lisan yang disampaikan oleh
narasumber sangat bervariasi sehingga
setiap versi dapat berbeda satu dengan yang
lainnya, atau mungkin berbeda dengan fakta
yang sebenarnya. Tujuan penulisan ini
adalah sekedar memunculkan kembali seni
budaya Kutai yang dahulu pernah ada dan
dipraktekkan dilingkungan masyarakat atau
sampai sekarang masih ada sebagian seni
budaya yang masih ditampilkan. Selain itu,
pada bagian berikut juga dikutip beberapa
dokumen yang berkaitan dengan seni budaya
Kerajaan Kutai dengan maksud untuk
menambah referensi bagi para pengamat dan
pencinta seni dan budaya.
A. Simbol dan Seni Tari Kerajaan Kutai Seni Budaya Kutai terdiri dari simbol-
simbol yang berkaitan dengan Kesultanan
Kutai Kartanegara atau Keraton, seni tari dan
budaya yang dimainkan atau ditampilkan
dalam lingkungan Keraton, maupun seni tari
dan budaya yang ada dan hidup serta
dipraktekkan dilingkungan masyarakat biasa.
1.Lembuswana
Bentuk tubuh Lembuswana memang
dilihat aneh namun berwibawa dengan arti
yang sangat luas. Pertama kali menjelmanya
Putri Karang Melenu yang muncul dari
permukaan air di tengah-tengah sungai
Mahakam di dalam gumpalan buyah yang
meanak gunung, terlihatlah seekor
Lembuswana yang berpijak di atas batu
menjunjung Gong Papar yang di dalamnya
terbaring seorang bayi perempuan yang
kemudian diberi nama Putri Karang Melenu.
Cerita purba mengisahkan Lembuswana
tersebut dapat hidup didua alam yaitu di
dalam air dan di daratan serta dapat terbang
bagaikan burung Garuda. Antara lain
Lembuswana pernah digunakan atau
membawa Adji Betara Agung Dewa Sakti
terbang ke Majapahit dengan keanehan
bentuk tubuh yang dimiliki oleh Lembuswana
tersebut maka Lembu Suana disebut dan
disanjung seperti berikut: Bergading
berbelalai seperti gajah, bertaring seperti
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 9
rupa macan, bersisik seperti ikan, bentuk
tubuhnya seperti kuda, berekor gada seperti
rupa naga, bersayap seperti rupa burung
garuda, berketopong seperti raja, berbicara
seperti manusia, genggam kakinya seperti
serigala.
2.Festival Erau
Historis Erau pertama kali
dilaksanakan pada upacara Tijak Tanah dan
mandi ketepian ketika Aji Batara Agung Dewa
Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan
diangkat menjadi raja Kutai Kartanegara yang
pertama (1300-1325), juga diadakan upacara
ERAU. Sejak itulah ERAU selalu diadakan
setiap terjadi penggantian atau penobatan
Raja-Raja Kerajaan Kutai Kartanegara
(Sianipar, 2011).
Erau secara etimologi berasal dari
bahasa Kutai atau disebut pula Eroh yang
berarti ramai, hilir mudik, bergembira,
berpesta ria yang dilaksanakan secara adat
istiadat oleh kesultanan/kerabat kerajaan
dengan maksud atau hajat tertentu dan diikuti
oleh masyarakat umum di wilayah
administrasi kesultanan Kutai Kartanegara.
Sedangkan ERAU adat yang
dilaksanakan dilingkup Keraton Kutai
Kartanegara terdapat tiga Jenis Pelaksanaan
yaitu: (1). Erau Tepong Tawar, (2). Erau
Pelas Tahun, dan (3). Erau Beredar di Kutai.
Erau Tepong Tawar merupakan Erau
adat yang dilaksanakan oleh kerabat Keraton
pada waktu tertentu yang ditetapkan
berdasarkan keinginan (hajat) terhadap suatu
pekerjaan. Dalam pelaksanaan ini Raja
bergerak bebas, artinya tidak melakukan
batasan-batasan tertentu yang disebut
Tuhing.
Erau Pelas Tahun merupakan Erau
adat yang dilaksanakan oleh kerabat Keraton,
dan berhubungan dengan aktifitas kehidupan
rakyat (masyarakat) yang bertujuan untuk
membersihkan segala macam hal yang
mengganggu sumber-sumber kehidupan
dipermukaan bumi dalam suatu wilayah
Kerajaan.
Pesta Erau yang dilangsungkan di
Kutai merupakan Erau adat yang
dilaksanakan oleh Kerabat Keraton dalam
rangka pengukuhan, pengangkatan,
penambalan dan segala yang berkaitan
ketahtaan di Kerajaan. Dalam pelaksanaan
ini Raja Besar melakukan Tuhing yaitu tidak
menginjak tanah pada waktu tertentu, kecuali
diatas kain ALAS Bumi yang dihampar
ketempat tujuan.
Subyek yang melaksanakan ERAU
ADAT adalah kerabat keraton, bahwa yang di
ERAU-kan adalah Raja, sedangkan yang
melaksanakan ERAU adalah rakyat. ERAU
dimulai dengan acara “Mendirikan Ayu” dan
diakhiri dengan “Merebahkan Ayu”.
3.Tari Topeng
Tari Topeng menurut adat Kutai asal
mulanya mempunyai hubungan dengan seni
tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri,
namun gerak tariannya tampak sedikit
berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan
Singosari dan Kediri demikian pula dengan
irama gamelan yang mengiringi. Sedangkan
cerita yang dibawakan dalam tarian ini,
menurut orang-orang tua tidak begitu banyak
perbedaannya, demikian pula dengan
pakaiannya. Tari Topeng Kutai hanya
disajikan untuk kalangan Kraton saja, sebagai
hiburan keluarga dengan penari-penari
tertentu. Tarian ini juga biasanya
dipersembahkan pada acara Penobatan
Raja, perkawinan, kelahiran, dan
penyambutan tamu Kraton. Jenis Topeng
Kutai adalah : Penambe, Kemindhu, Patih,
Temenggung, Kelana, Wirun, Gunung Sari,
Panji, Rangga, Togoq, Bota, Tambam.
Pakaian Topeng terdiri atas : Garuda
Mungkur, Kalong Simbar, Kalong Rantai,
Kalong Beranak, Tengkang, Lolaq, Celana,
Dodot (Belangkon), Ubat-ubat, Selepe
(Pendeng), Kalibun, Keris, Giring-giring,
Sampur.
4.Tari Temenggung
Tari ini melukiskan seorang
Temenggung yang selalu berdampingan
dengan sang Raja. Pada suatu hari
Temenggung diperintahkan untuk mencari
seorang patih, karena telah beberapa lama
tidak hadir, sedangkan ia tidak minta izin
kepada raja untuk kepergiannya itu. Rupa-
rupanya sang patih memang telah lama
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 10
bermaksud hendak mengadakan
pemberontakan, tetapi dukungan terhadap
maksudnya sangat sedikit sekali, sehingga
sang patih memutuskan untuk
menghindarkan diri dari kerajaan tersebut.
Temenggung telah mendapatkan berita-berita
dari penduduk yang pernah diminta dukungan
oleh sang patih. Mereka tidak menyetujui
karena maksudnya hanya untuk kepentingan
sang Patih sendiri dengan beberapa
golongan kecil. Perintah raja, kalau
Temenggung belum dapat
menangkap/membunuh sang Patih
hendaknya Temenggung jangan kembali ke
istana. Kalau tidak dapat menawannya hidup-
hidup, maka boleh dibunuh tetapi harus ada
buktinya bahwa sang Patih itu benar-benar
sudah mati. Oleh karena itu sebagai tanda
sudah terbunuhnya sang Patih oleh
Temenggung, maka pada muka topeng itu
yakni diatas hidungnya terdapat bekas darah
sang Patih.
5.Tari Kelana
Tari ini melukiskan suatu kerajaan
yang diperintah oleh seorang Raja bernama
Kelana Swandono, yang mempunyai
Penakawan Togoq dan Tembam. Sebagai
penjaga pribadi adalah seorang Bota. Pada
suatu hari sang Raja duduk di singgasana.
Dihadapannya hadir para Pembesar Istana
dan para Penakawan serta bota. Sang raja
sedang menanyakan tentang keadaan
Kerajaan selama dibawah pimpinannya.
Semua yang hadir menjawab, bahwa tiada
kurang suatu apa-apa.
Setelah itu para Pembesar Istana
kembali masing-masing kerumahnya,
sedangkan yang tinggal hanya raja bersama
Togoq dan Bota. Telah menjadi kebiasaan,
setelah selesai dihadap oleh para pembesar
istana, Bota dan Tagoq mengadakan
pembicara sambil bersanda gurau. Tetapi
rupanya saat itu sang Raja telah terlena
(tertidur) diatas kursi singgasana. Melihat
keadaan demikian, maka sang Bota
meninggalkan ruang tersebut lalu menuju ke
pintu istana untuk berjaga-jaga, sedang
Togoq menemani sang Raja di ruangan.
Selang tidak beberapa lama sang Raja
tertidur, maka dengan sangat terkejut sekali
Togoq melihat sang Raja terbangun dengan
keadaan yang agak berlainan dari biasanya.
Sang Raja kelihatan berjalan
berkeliling dalam ruangan istana sambil
menyebut-nyebut nama seorang putri yang
bernama Dewi Sekartaji. Akibatnya seluruh isi
istana gaduh mendengar keadaan sang Raja
demikian itu. Syukurlah tidak beberapa lama
sang Raja sadar kembali dan pada akhirnya
sang Raja dikawinkan dengan putri Dewi
Sekartaji.
6.Tari Ganjur
Tari Ganjur merupakan tarian pria
istana yang ditarikan secara berpasangan
dengan menggunakan alat yang bernama
Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan
memiliki tangkai untuk memegang). Tari
ganjur adalah sebuah tarian yang melukiskan
seorang tengah mendayung perahu ke
tengah sungai. Tarian ini muncul untuk
mengenangkan peristiwa, ketika Petinggi
Hulu Dusun beserta istrinya Babu Jaruma
mengayuh perahu ke tengah sungai untuk
menjemput Putri Karang Melenu, yang
muncul dari buih Sungai Mahakam. Putri ini
adalah permaisuri pertama dari Raja Kutai
Kartanegara yang pertama yaitu Aji Betara
Agung Dewa Sakti yang memerintah pada
tahun 1300-1325. (menurut catatan Amir
Hassan Kiai Bondan dari Banjarmasin masa
pemerintahan Raja pertama dari Kutai itu
ialah pada tahun 1380-1410)
Demikianlah setelah selesai tarian
menyabung ayam lalu diteruskan dengan tari
kanjar. Tarian ini menggambarkan seseorang
sedang melonjak-lonjak kesenangan, karena
mendapatkan sesuatu yang diidam-idamkan.
Tarian ini dimaksudkan untuk mengenang
kembali peristiwa yang sangat
mengembirakan penduduk kampung Jaitan
Layar, Hulu Dusun, Sembaran dan Binalu
ketika pertama kali mendapatkan seorang
Raja, yaitu Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Karena kegembiraan yang luar biasa itu
penduduk lalu bergembira melonjak-lonjak
kesenangan. Setelah Dewa-dewa selesai
melakukan tarian-tarian tersebut, barulah
para tamu terhormat dan para undangan
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 11
lainnya diperbolehkan melakukan Tari Kanjar
laki, kemudian kanjar perempuan. Tarian
kanjar tersebut dilakukan setiap malam
sebagai acara pertama dengan cara-cara
yang sama. Tarian ini diiringi oleh musik
gamelan dan ditarikan pada upacara
penobatan raja, pesta perkawinan,
penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan
khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak
mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak
tari Jawa (gaya Yogya dan Solo).
7.Seni Musik Tingkilan
Musik Kutai banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan Melayu dan Islam. Diantaranya
musik Tingkilan dan Hadrah. Selain seni
musik (kesenian) suku Kutai juga memiliki
seni drama tradisional yang disebut
Mamanda.
Musik Tingkilan adalah seni musik
khas suku Kutai. Kesenian ini memiliki
kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu.
Alat musik yang digunakan adalah Gambus
(sejenis gitar berdawai enam), Ketipung
(semacam kendang kecil), Kendang (sejenis
rebana yang berkulit sebidang dan besar)
dan Biola.
Musik Tingkilan disertai pula dengan
nyanyian yang disebut betingkilan.
Betingkilan sendiri berarti bertingkah-
tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu
sering dibawakan oleh dua orang penyanyi
pria dan wanita sambil bersahut-sahutan. Isi
lagu berupa nasihat-nasihat,
percintaaan,saling memuji, atau bahkan
saling menyindir atau saling mengejek
dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan
ini sering digunakan untuk mengiringi tari
pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
Sedangkan hadrah adalah kesenian
yang mempergunakan alat musik Terbang
atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil
menabuh Terbang tersebut disertai nyanyian
dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab
Barzanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan
untuk mengarak pengantin pria menuju
kerumah mempelai wanita, selain itu juga
sering ditampilkan pada perayaan hari-hari
besar Islam.
B.Sejarah Kerajaan Kutai
1. Putri Junjung Buih atau Junjung Buyah
Sejarah Kutai telah disusun dalam
bermacam-macam versi sesuai dengan
informasi dari narasumber. Tanpa bermaksud
menilai versi yang benar dan salah, bagian ini
diharapkan menambah versi lain tentang
Puteri Junjung Buih yaitu: Dua orang
kakek nenek tinggal di desa Kutai Lama
(Anggana). Selanjutnya, terjadi hujan terus
menerus selama 7 hari 7 malam sehingga
tidak lagi memiliki kayu yang kering untuk
dijadikan sebagai bahan bakar untuk
memasak. Karena tidak ada lagi kayu kering,
terpaksa kasau rumah yang terbuat dari kayu
bulat dibelah untuk dijadikan kayu api untuk
memasak. Pada hari ketujuh, kasau sudah
semakin sedikit, nenek membelah salah satu
kasau. Ternyata ketika kayu terbelah,
terdapat sejenis ulat kayu, mirip ulat sutera
putih. Sang kakek ingin membuang ulat itu
karena dianggap tidak ada gunanya, dan juga
tidak bisa dimakan, tetapi nenek secara diam-
diam menyimpannya dalam tempat
peminangan. Beberapa hari kemudian,
ketika tempat peminangan dibuka ternyata
ulat itu sudah semakin besar dan hampir
tidak muat lagi ditempat tersebut. Ulat itu
kemudian disimpan didalam gentong, namun
beberapa hari kemudian ulat itu juga semakin
besar dan memenuhi gentong. Sang kakek
mulai tidak sabar dengan ulat yang semakin
besar dan mulai merepotkan. Ulat yang
makin besar ini dipindahkan kekotak
(kerangkeng padi) yang terbuat dari kulit
kayu. Namun besoknya, ulat ini sudah
berubah menjadi ulat yang bersisik. Nenek
akhirnya mulai takut mengambil padi karena
ular mulai bersisik dan menakutkan.
Dalam sebuah mimpi, sang nenek
diberitahukan supaya tidak usah takut
mengambil padi dalam kerangkeng karena
ular yang bersisik itu tidak akan mematuknya.
Lama-kelamaan, ular bersisik itu mulai
ditumbuhi tangan, tanduk, dan mulai
menunjukkan bentuk seperti seekor naga.
Semakin hari bentuknya memang sudah
menjadi seekor naga. Dalam mimpi yang lain,
sang kakek diminta membuat jembatan dari
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 12
pondok mereka menuju ke Sungai Kutai
Lama agar Naga dapat meluncur dengan
aman karena kakek nenek ini tidak mungkin
lagi mengangkatnya menuju sungai karena
sudah menjadi seekor Naga besar. Ketika
terbangun , kakek membuat jembatan seperti
yang diperintahkan dalam mimpi. Agar
jembatan kuat dan tidak patah, dia memakai
kayu telihan (ulin). Setelah jembatan pupus
(selesai), Naga itu mulai meluncur. Namun
begitu dagu naga menyentuh ujung jembatan,
jembatan itu langsung rubuh, hancur karena
naga ini sangat berat dan sakti. Kakek
kemudian memperbaiki jembatan tersebut
untuk mengulur naga ke sungai sekali lagi.
Lagi-lagi jembatan yang terbuat dari kayu
terlihat hancur, akibatnya kakek menjadi
bingung karena sudah membuat jembatan
dari kayu paling kuat tetapi masih rubuh.
Di tengah kebingungan, kakek sekali
lagi mendapat mimpi. Dalam mimpinya, sang
kakek diminta membuat jembatan lain yang
terbuat dari kayu lempung Suit dan diikat
dengan sejenis paku (pakis) retek
(lembiding). Setelah jembatan yang terbuat
dari kayu lemah dan diikat dengan pakis
lembiding yang rapuh dan mudah putus, naga
ini kemudian diulurkan lagi ke sungai Kutai
Lama. Kakek sangat ragu akan kekuatan
jembatan karena hanya terbuat dari kayu
lemah dan diikat hanya dengan paku retek.
Ternyata jembatan ini sangat kuat, tidak
rebah pada saat dilewati naga yang bertubuh
panjang dan berat.
Begitu Naga sampai dan turun di
sungai Kutai Lama, bersemburlah buih/buyah
yang sangat dahsyat, bagaikan ombak besar
di lautan. Begitu buih itu mulai redah,
muncullah sesosok wanita cantik jelita,
namun begitu polos tanpa busana
sehelaipun. Sang kakek lalu melempar
surbannya pada putri yang muncul di antara
buih itu untuk menutupi tubuhnya yang polos.
Sorban dililitkan pada tubuh polos wanita
cantik. Putri ini dibawa ke pondok, dan di
rawat layaknya anaknya sendiri hingga
dewasa. Karena putri ini muncul dari antara
buih, maka dia diberi nama “Putri Junjung
Buih” atau „Putri Junjung Buyah”.
Namun jauh di hulu Mahakam di
Sendawar (Melak) saat ini menjadi daerah
Kutai Barat, tinggalah dua orang kakek-nenek
suku Tunjung. Pada waktu musim ketam
(panen) padi, turun hujan panas. Hujan
panas bagi suku Tunjung menandakan akan
ada satu peristiwa aneh dan ajaib. Ketika
hujan turun di tengah panas matahari terjadi,
timbul petir yang saling sambar menyambar.
Kakek ini pulang dari ladang ke rumah karena
hujan petir yang hebat da merasa ketakutan.
Besoknya meraka pergi ke ladang untuk
panen, namun kejadian serupa terjadi lagi.
Hujan panas disertai petir, malam harinya
mereka berdua berdiskusi, kalau besoknya
ada kejadian serupa etam (kita) tidak usah
pulang tetapi kita tetap di ladang menunggu
apa yang akan terjadi. Besoknya ketika akan
mengetam di ladang , hujan pasang dan petir
terjadi lagi. Namun meraka berdua
memutuskan tidak pulang, melainkan
menunggu apa yang akan terjadi di tengah
petir dan hujan, tiba-tiba turunlah dari langit
sebuah kelengkeng (baskom) yang terbuat
dari besi, turun sampai setinggi dada, dan di
dalamnya ada seorang anak laki-laki, dan di
sampingnya ada sebutir telur ayam. Ketika
sang kakek akan mengambil anak tersebut,
tiba-tiba terdengar suara dari langit : “diambil
mati mama tidak diambil mati bapak”. Dia
dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
Pada saat kebingungan menentukan pilihan,
tiba-tiba kakek melihat ada parang terletak di
tanah, dia mengambil parang itu, lalu
menebas tali besi tempat baskom itu
tergantung. Sekali tebas, tali yang terbuat
dari besi itu putus, lalu mengambil anak itu.
Sesuai dengan bisikan yang diterima kakek
nenek ini, ternyata anak ini adalah Maharaja
Batara Agung Dewa Sakti. Anak ini kemudian
dirawat hingga dewasa.
Setelah Maharaja sampai di Kutai
Lama, manuk atau “ayam putih kemudi besi”
yang ikut serta dalam rakit langsung terbang
ke daratan. Karena manuk itu terbang,
Maharaja kemudian berfikir dan berkata
dalam hati “disinilah aku akan menemukan
jodohku”. Maharaja kemudian turun dari rakit
menuju daratan, dan dia bertemu dengan
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 13
kakek nenek yang memelihara Putri Junjung
Buih. Maharaja kemudian berpura-pura minta
air minum sambil bertanya “berapa orang
yang tinggal di pondok ini”. Kakek menjawab
hanya berdua yang tinggal disini karena dia
tidak ingin memberitahukan pada Maharaja
bahwa Putri Junjung Buih ada dalam pondok.
Karena tidak percaya Maharaja bertanya lagi
kepada kakek “berapa orang yang tinggal
disini ?”. Sekali lagi kakek menjawab “hanya
saya dengan istri saya yang tinggal disini”.
Karena Maharaja yakin bahwa ada seorang
Putri disembunyikan oleh kakek nenek ini, dia
berkata “manuku-ayam putih kemudi besi
sudah menikah dengan manuk betina punya
kakek yaitu ayam hitam kemudi perak berarti
ada seorang Putri di sini yang akan menjadi
istriku”.
Akhirnya, kakek ini tidak lagi bisa
membantah bahwa memang ada seorang
wanita cantik bernama Putri Junjung Buih,
tinggal di dalam pondok. Maharaja kemudian
mendekati sang putri. Singkat cerita, mereka
menikah. Keturunan mereka kemudian
disebut suku Kutai. Namun beberapa
narasumber menyatakan bahwa sebetulnya
suku kutai tidak ada, karena berasal dari suku
Tunjung. Karena Maharaja Betolak dari
Pinang Sendawar Melak, maka dalam
sejarahnya, tidak pernah ada Raja Kutai yang
berani mudik ke hulu Mahakam melewati
batas Melak karena bisa kena bencana,
misalnya muntah darah.
2. Awal nama “Perjiwa”
Perjiwa adalah satu tempat bersejarah
yang terletak sangat jauh dengan pusat
Kerajaan Kutai di Tenggarong. Perjiwa
adalah satu kelurahan di Kecamatan
Tenggarong Seberang. Konon, dulu jika ada
yang berzina dan melahirkan anak, maka
pihak yang berzina dan anak hasil perbuatan
zina dimasukkan dalam kurungan yang
terbuat dari sembilu bambu yang sangat
tajam. Kurungan ini kemudian digantung agar
mudah diguncang. Kurungan yang sudah
berisi pelaku zina ini kemudian diguncang-
guncang dengan kuat. Karena terguncang
maka orang yang terkurung di dalamnya
tersayat sembilu dan menyebabkan luka
parah. Karena luka parah dan pendarahan
hebat, maka orang itu akan mati karena
kehabisan darah. Jadi arti perjiwa adalah
“Gantungan Jiwa”.
3. Kecamatan Kota Bangun
Sejarah Kota Bangun
Sebelum adanya Kerajaan Kutai yang
merupakan keturunan Maharaja Dewa Sakti,
konon tiap kecamatan sudah ada Rajanya.
Namun setelah Maharaja Dewa Sakti turun
gelar raja diturunkan menjadi Pangeran.
Untuk daerah Sri Bangun sendiri adalah
Pangeran Indra Jaya, sekitar tahun 1847.
Lokasi kerajaan ini adalah Gunung TAD di
Tanjung Beringin. Pada saat yang sama,
hidup Sultan Salehuddin I (Pertama) di
Tenggarong. Pada tahun 1805, Sultan
Salehuddin I melarikan diri dari Tenggarong
ke Kota Bangun karena di kejar oleh Belanda.
Seorang pahlawan Kutai bernama Awang
Long dan kakaknya bernama Siti Mariyam
tidak melarikan diri tetapi bersembunyi
(bekalam) secara gaib di Tenggarong
sehingga tidak bisa di tangkap oleh Belanda.
Siti Mariyam sendiri memakai ikat kepala dari
kain yang disebut Setekong. Di dalam
setekong ini tersimpan senjata rahasia yang
dinamakan petunang yang terbuat dari besi
bulat sebesar telur ayam. Jika petunang
dilemparkan pada musuh maka musuh akan
terpental atau hancur. Karena Sultan
Salehuddin tidak bisa ditangkap Belanda,
maka Belanda menangkap anaknya sebagai
sandera. Syarat yang ditawarkan Belanda
pada Sultan Salehuddin I adalah agar Sultan
menandatangani surat tersebut. Belanda
sangat memaksa Sultan untuk bisa masuk ke
Kutai karena mereka tidak berhasil masuk
kerajaan Banjar karena ternyata Raja Banjar
adalah seorang perempuan. Jadi hanya
Kerajaan Kutai yang bisa dimasuki Belanda
kerena Rajanya laki-laki. Untuk masuk ke
Banjar, Belanda membujuk pasukan Kutai
untuk menyerang Kerajaan Banjar. Pasukan
Kutai memang berangkat untuk memerangi
kerajaan Banjar. Namun karena tidak saling
membunuh sesama Kutai dan Banjar, maka
Raja Kutai dan Raja Banjar membuat
perjanjian atau sandi rahasia agar pasukan
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 14
mereka tidak saling membunuh karena
sebenarnya Banjar dan Kutai adalah sepupu.
Sandi atau tanda rahasia adalah Himus.
Himus adalah semacam ikat kepala yang
terbuat dari kain yang harus dipakai oleh
semua pasukan sehingga mereka saling
mengenal. Jika seseorang memakai sandi ini
di medan pertempuran, maka mereka tidak
saling membunuh.
4. Desa Kutai Adat Lawas di Kedang Ipil
Kedang Ipil adalah satu desa yang
memiliki potensi wisata yang cukup potensial.
Secara etnis, diperkirakan suku ini berasal
dari suku Basap Melanun ditambah dengan
Suku Sumping Layang. Namun dalam
kehidupan sehari-hari berbahasa kutai dan
masih mempraktekkan beberapa ritual
tradisional yang tidak ada lagi di desa lain.
Itulah sebabnya mengapa desa ini disebut
Kutai Adat Lawas. Jumlah penduduk Kedang
Ipil 1.363 jiwa, dan komposisi penduduk
berdasarkan Agama adalah : Muslim 40%
Protestan 40% dan Katolik 20%. Potensi
wisata itu antara lain Air Terjun Kandua Raya
yang berjarak 2 km dari desa Kedang Ipil,
Pohon Madu yang sering dihinggapi madu,
dan kehidupan tradisional masyarakat.
Beberapa Jenis Erau di Kedang Ipil :
1. Erau Tepung Tawar biasanya dilaksanakan selama 12 hari.
2. Erau Bayar Hajat biasanya dilaksanakan selama 15 hari.
3. Erau Arwah (Kalungan) biasanya dilaksanakan selama selama 21-22 hari. Erau Arwah (Kalungan) ini terakhir dilaksanakan pada tahun 2010 yang lalu.
4. Erau Pelas, hanya dilakukan jika terjadi hubungan terlarang (zina), misalnya anak dengan paman, dll. Yang berzina biasanya diasingkan ke tempat lain di luar desa. Dahulu yang berzina langsung dikorbankan atau dicemeti hingga mati, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan yaitu diganti dengan babi. Setelah yang bersangkutan punya babi untuk dikorbankan dalam Erau, barulah yang bersangkutan bisa kembali ke kampung. Dalam aturannya, semua Erau hanya boleh dilakukan di rumah yang dibuat secara khusus yang disebut Pelampak. Erau tidak boleh dilakukan di rumah warga. Karena Erau ini sangat
sakral dan tidak ada lagi yang berani melaksanakannya, maka Erau ini terakhir dilaksanakan pada tahun 1991. Selain karena sakral, alasan lain Erau Pelas tidak lagi dilaksanakan karena “Memang” atau “Pawang” sudah tidak ada atau sudah meninggal semua.”Memang” adalah orang tua (lanjut usia) yang telah melalui tahap adat untuk bisa melaksanakan Erau Pelas. Sebetulnya di Kedang Ipil masih ada “memang” yang masih hidup yaitu Tajuddin Noor (90 tahun) dan Jondon (70 tahun) namun mereka sudah tidak berani bertindak sebagai Memang lagi karena takut kualat. Kalau dipaksakan bisa timbul korban manusia. Sebagai contoh, pada tahun 1923 pernah dilakukan ritual untuk tepung Tawari Musium Tenggarong tapi yang melaksanakan meninggal, karena ternyata beliau yang masih terlalu muda yaitu 30 tahun. Beberapa properti selama upacara Erau antara lain Seriding terbuat dari daun pinang, lanjak daun haur, Bungawan-haur yang terbuat 7 tingkat, janur aren, batang panen, rotan dan mayang pinang. Pelaksanaan Belian akan mengitari property selama ritual berlangsung.
Selain Erau tersebut, terdapat juga beberapa
ritual yang bersifat seremonial berkaitan
dengan tahapan pekerjaan masyarakat
sebagai petani.
1. Nutuk Padi Bahan adalah perayaan sukacita menyambut padi yang hampir masak (perayaan sebelum panen). Caranya, padi dengan bulir yang masih muda (belum masak) dipanen, direndam dalam air selama 3 hari, lalu disangrai, dan kemudian ditumbuk di lesung. Hasilnya adalah emping beras dengan aroma yang sangat harum, dan bisa dikunyah karena masih lembek. Ritualnya dilaksanakan oleh seorang Menang. Tujuannya adalah agar ada rejeki berupa padi yang melimpah pada tahun berikutnya. Seperti ritual lainnya, nutuk padi juga harus dilaksanakan di tempat terbuka (tempat khusus), tidak boleh dalam rumah warga.
2. Bayar niat. Seorang yang sudah sembuh dari sakit yang lama melakukan ritual pada Sanghyang Widhi atas kesembuhan yang diterima, dan supaya selalu mendapat kesehatan di masa yang akan datang.
Erau dilaksanakan dengan beberapa
tujuan antara lain untuk
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 15
pengangkatan/penobatan pejabat baru.
Pejabat yang akan dilantik dikumpulkan,
kemudian diperciki dengan air tawar diiringi
dengan pembacaan mantra-mantra
(Punggeriq Bubuhana) yang berisi agar
pejabat tersebut dihormati warga karena
sudah dilantik secara adat, supaya pejabat ini
bertutur kata yang dapat mempengaruhi
orang yang mendengar. Dalam bahasa
setempat, Punggeriq Bubuhana dilakukan
pada pejabat agar suara mereka dihormati
oleh yang mendengar, masyarakat respek
pada pemimpin yang sudah dilantik secara
adat. Di Kedang Ipil, tinggal 2 orang saja
yang bisa membacakan mantra ini yang
berumur 90 dan 50 tahun. Memang tidak
boleh sembarangan orang membacakan
mantra, harus orang yang sudah senior. Jika
dibacakan oleh orang muda bisa kualat.
Orang yang boleh melaksanakan Punggeriq
Bubuhana ini haruslah orang yang sudah
diangkat secara adat. Dalam proses
pengangkatan ini ada tiga tingkatan yaitu : (1)
beangkat, (2) bertemah-ditetapkan oleh adat,
(3) beterus-hanya orang sudah sampai
tingkatan ini yang boleh melaksanakan Erau
dan membacakan mantra tadi.
Pakaian dan asesoris yang digunakan
selama Erau antara lain topi labung, pakaian
tape belian berwarna putih, merah, oren,
hitam, kuning (warna sisik naga), giring-giring
dari kuningan yang dipasang di kaki dan
dipinggang. Sedangkan alat musik yang
digunakan adalah gendang berukuran
pendek dan panjang, klentangan atau
gamelan dan gong.
5. Seni Arsitektur atau Rumah Adat Kutai
Salah satu rumah adat khas Kutai
yang ditemukan selama kajian dilapangan
adalah rumah Tua Pak Aso yang disebut
Harimau Tidur. Rumah ini terletak di Kota
Bangun Seberang (KBS), dibangun sebelum
jaman penjajahan Jepang, diperkirakan tahun
1920 an. Desain rumah ini sangat khas,
terbuat dari kayu yang diukir sedemikian rupa
sehingga terlihat menonjol diantara rumah
lainnya. Di atas bumbungan rumah terdapat
sebuah kerucut terbuat dari kayu yang di
sebut patra. Arsitektur tradisional Kutai
lainnya adalah rumah tradisional yang disebut
Gajah Menyusu atau Merahong, yang
terdapat di Muara Kaman. Bentuk rumah
lainnya adalah Rumah Sambu berbentuk
Lamin.
6. Kecamatan Muara Kaman
Desa Sabintulung
Konon Desa Sabintulung di zaman Aji
Pangeran Mangkunegoro bernama Benua
Tuha, Kerajaan tertua Kutai. Nama
Sabintulung berasal dari kata “Sabin” atau
“Saban” yang artinya “sering” dan “tulung”
yang artinya “tolong”. Disebut desa
Sabintulung karena Raja Kutai sering
meminta tolong pada Benua Tuha setiap kali
mendapat masalah. Menurut sejarah
berdirinya Kerajaan Kutai yang paling tua
adalah Kerajaan Benua Tuha, diikuti
Kerajaan Mulawarman dan Kutai Lama.
Konon, Kerajaan Benua Tuha dipimpin
seorang yang bertubuh raksasa Buki Halu
bergelar Temenggung Dinurung. Ukuran
keliling dadanya 7 jengkal, dan diameter
cincinnya berdasarkan temuan artefak sekitar
5 cm. Dia dianggap sebagai manusia raksasa
dengan kekuatan dahsyat, dan konon
kekuatan ini masih bisa didapatkan oleh
keturunannya pada saat ini melalui ritual
tertentu.
1. Tari Kanjar : dilakukan oleh 21 penari laki-laki dan 21 perempuan pada saat upacara Adat Keraton. Tari Kanjar Sabintulung berbeda dengan Tari Kanjar dari daerah lain termasuk di Tenggarong yaitu pada cengkoknya. Di Sabintulung, pada saat Gong besar dibunyikan maka telapak tangan penari terbuka keluar. Sedangkan di Tenggarong, pada saat Gong besar dibunyikan, telapak tangan tertutup atau menghadap ke dalam. Alat musik yang digunakan adalah Gong, kelentangan. Kostum penari adalah pakaian adat Kutai, biru bedodot dan memakai ikat kepala. Karena tarian ini sangat sakral, maka terakhir kali ditampilkan adalah pada tahun 1958, dan pada tahun 1959 PKI menghancurkan Patung Sultan Sulaiman. Pada tahun 1960 PKI masuk di Benua Tuha atau Sabintulung dan menghancurkan benda-benda seni seperti alat-alat musik Kutai, serta benda seni lainnya.
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 16
2. Acara Buka Palang Pintu: sebuah acara pada waktu pernikahan. Ketika mempelai pria mau masuk kerumah mempelai wanita, dilakukan acara berbalas pantun antara rombongan mempelai pria dengan mempelai wanita, biasanya dilakukan oleh sesepuh adat diiringi Rebana. Setelah mempelai pria masuk, lalu dilakukan Tarsul, berupa nasehat kepada mempelai bagaimana seharusnya menjalani hidup sesuai ajaran Agama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kutai. Sayangnya, acara ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1970 an. Setelah itu, tidak ada lagi yang melestarikannya.
3. Tari Jepen : dimainkan 7 laki-laki dan 7 perempuan dengan kostum bedodot yaitu celana panjang, sarung, baju Kutai. Alat musik yang digunakan adalah tingkilan (gendang, cello, gambus, biola). Tari ini biasanya ditampilkan Perayaan besar pernikahan, dll. Tarian ini ditampilkan sekitar 15 menit atau lebih tergantung pada syair-syair yang disampaikan dalam bentuk nyanyian.
7. Kecamatan Kahala
Sejarah Desa Kahala
Deskripsi berikut adalah ringkasan
dari dokumen tua yang ditulis oleh Pemangku
Adat Penjunjung Setia Kerajaan Kutai
Mulawarman H. Pangeran Pateh
Ardiwansyah Perana Widjaya. Untuk
melestarikan, maka dokumen tersebut diketik
ulang dan diformat ulang sehingga mudah
dipahami. Kahala adalah suatu desa di
Kecamatan Kenohan Kabupaten Kutai, yang
terletak diantara dua sungai yaitu sungai
Mahakam dan sungai Belayan. Oleh sebab
itu diberi nama Kahala yang berarti halla atau
antara.
Silsilah Pemangku Adat Penyunjung Setia
Asal Usul Desa Kahala Turunan
Adipati Tanjung Limbun bernama Batara
Gogoh yang Mewariskan Tanah Tinjiak
Pengepung Hulaya Adat. Bermula dari silsilah
Adipati bernama Batara Gogoh keturunan
dari pekawinan Mahaputri Nila Perkastiawati
Dewi anak Maharaja Prabu Mula Tanggal
Dewa Raja Kutai Martapura (Muara Kaman),
dengan Hing Giling Wesi yang bergelar Prabu
Wisnu Dewata Murti Raja Pakwan Padjajaran
(Jawa Barat), di tahun 1.030 Masehi,
membuat Benua Tanjung Limbun di Muara
Sungai Monggoh di Wilayah Kecamatan
Kenohan sekarang.
Kabarnya Adipati Batara Gogoh,
berangkat dari Demak menuju Kerajaan
Martapura tahun 1077 M, Batara Gogoh
kawin dengan Putri Raden Baroh (Adipati
Jelau di Kedang Pahu), melahirkan seorang
putra yang beristrikan Maharatu Mayang
Mulawarni menjadi Raja Kutai Martapura
memerintah dalam tahun (1117-1166), putri
ini dikenal juga dengan nama Adji Putri
Pidara Putih, Putri Maharaja Nala Indra
Dewa, Raja Kutai Martapura memerintah
dalam tahun (1069-1117), yang melahirkan
anak antara lain :
1. Maharaja Indra Mulia Tungga Warman Dewa menjadi Raja Kutai Martapura memerintah dalam tahun (1166-1214).
2. Adipati Batara Singla menjadi Adipati Tanjung Limbun di wilayah Sungai Monggoh. Dan Batara Singla yang kemudian menurunkan Baratu Naga, yang menurunkan Demong Bongso , dan keturunannya bernama Pelangut Gunting yang pada tahun 1227 M, pindah berdiam di Sungai Empenang membuat kampong di Loa Buta dab menurunkan Singga Bentung, Singa Boga, Singa Ditanya. Dan Singa Ditanya memindahkan kampong ke daerah Sebongkok, dan menurunkan Setia Nenda, menurunkan Setia Ginah, dan menurunkan Setia Dana yang memindahkan kampong ke Selengah dan menurunkan Setia Dana yang memindahkan kampung ke Selengah dan menurunkan Dana Gendang,menurunkan :
a. Dana Besar gelar Empok Bara, melahirkan Jaya menetap di Belayan.
b. Dana Jehede menetap di Ngunak melahirkan : 1) Popok Ayu (Pertama kali memeluk
agama Islam) 2) Laca Gelar Perana, diangkat kepala
adat pada tahun 1727 M 3) Boyok Ekol (tidak ada turunan) 4) Boyok Bu‟ung (tidak ada turunan) 5) Boyok Japar (tidak ada turunan) 6) Boyok Kale menurunkan Arpan gelar
Marta. Sepanjang perjalanannya yang sangat
panjang sejak tahun 1.077 sampai tahun
2010, Desa Kahala sudah beberapa kali
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 17
berpindah tempat yang disebabkan oleh
berbagai faktor, baik faktor alam maupun
kebijakan dari Raja yang sedang memerintah.
Tabel 3. Perpindahan Desa Kahala
No. KAMPUNG KE- NAMA DESA TEMPAT TAHUN
1. Pertama Tanjung Limbun Di Sungai Monggoh 1077-1227 M.
2. Kedua Luah Buta Di Sungai Ampanang 1227-1415 M.
3. Ketiga Sebangkok - -
4. Keempat Nggunak Di Sungai Ampanang 1415-1727 M.
5. kelima Turunan Di Pinggir Sungai Kahala 1727-1777 M.
6. Keenam Penyundjung - -
7. Ketujuh Kahala - 1777-2010 M.
Sumber : Dokumen milik Pemangku Adat Kahala (2014)
Pengertian Erau (Versi Pemangku Adat
Kahala)
Erau menurut istilah di Kahala berarti:
ramai, limpah ruah, riuh rendah, ceroh atau
cerau. Angin keras dan menimbulkan suara
dan kegaduhan akibat gesekan pohon
bamboo dan riuh rendahnya suara hempasan
daun bambu. Suara itulah yang menimbulkan
ceroh, cerau, reme, boleh ceroh tapi tetap
terkendali dalam suatu ikatann/rumpun
seperti kokohnya rumpun bamboo tersebut.
Erau di Kahala ada dua macam yaitu erau
adat Pelas tahun dan erau adat Pelas Banga
Padi, atau dengan kata lain Erau Urang
Halok. Halok adalah orang-orang yang
tadinya agama animisme karena adanya
dakwah dan tabligh, akhirnya masuk Agama
Islam.
Erau Adat Pelas Tahun biasanya
dilaksanakan satu bulan lebih melihat situasi
dan kondisi serta pembiayaan yang tersedia
yang dimulai sejak dari perapen sampai
dengan pembuatan remukun. Sedangkan era
Adat Pelas Bunga Padi waktunya relatif
singkat paling lama belas hari yang dimulai
dari perapen dan diakhiri dengan pembuatan
lanjek.
8. Kecamatan Kembang Janggut
Seni Musik dan Alat-alat Musik Tradisional
Kutai
Musik tradisional Kutai banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan
Islam. Diantaranya music Tingkilan dan
Hadrah. Selain seni musik (kesenian) suku
Kutai juga memiliki seni drama tradisional
yang disebut Mamanda. Musik Tingkilan
adalah seni musik khas suku Kutai. Kesenian
ini memiliki kesamaan dengan kesenian
rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan
adalah Gambus (sejenis gitar berdawai
enam), Ketipung (semacam kendang kecil),
Kendang (sejenis rebana yang berkulit
sebidang dan besar) dan Biola. Musik
Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang
disebut Betingkilan. Betingkilan sendiri berarti
bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan.
Dahulu sering dibawakan oleh dua orang
penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-
sahutan. Isi lagu berupa nasihat-nasihat,
percintaan, saling memuji, atau bahkan saling
menyindir atau saling mengejek dengan kata-
kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering
digunakan untuk mengiringi tari pergaulan
rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
Sedangkan hadrah adalah kesenian
yang mempergunakan alat musik Terbang
atau Rebana. Kesenian ini dibawakan sambil
menabuh Terbang tersebut disertai nyanyian
dalam bahas Arab yang diambil dari kitab
Barzanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan
untuk mengarak pengantin pria menuju
kerumah mempelai wanita, selain itu juga
sering ditampilkan pada perayaan hari-hari
besar Islam.
Selain alat-alat musik di atas terdapat
juga alat musik Kutai lainnya seperti alat
musik untuk Belian atau Erau misalnya;
klentengan, gong, gendang, ketipung.
Beberapa alat musik lainnya untuk menari
antara lain String Bas, ukulele (memiliki 3
senar terbuat dari nilon), juk (memiliki 3 senar
terbuat dari kawat), gambus (memiliki 9 senar
terbuat dari nilon), ketipung (gendang kecil
terbuat dari kulit sapi).
Pecinta seni Kutai, Mulyanto, telah
mencurahkan waktunya untuk membina
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 18
kesenian Kutai di Kembang Janggut sejak
tahun 1995. Selain melatih di Sanggar Seni,
beliau juga melatih seni tari Kutai di sekolah-
sekolah walau tanpa bayaran. Biasanya
setiap 17 Agustus ada Pentas Seni Budaya di
Kecamatan, dan setiap acara besar selalu
disisipkan kesenian. Namun sekarang
perhatian Pemerintah pada seni seperti di
atas sudah sangat kurang. Permasalahan
yang dihadapi dalam membina seni adalah
tidak adanya dana pembinaan dari
pemerintah atau swasta, alat musik dan
kostum yang sudah tua dan hampir rusak dan
penghargaan pada Pelatih seni budaya/tari
tidak ada.
1. Rudat: Tari/upacara penyambutan tamu penting atau peringatan 17 Agustus sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Repubik Indonesia. Alat musik yang digunakan adalah Kelintangan dan Lesung. Tari ini dilakukan sambil memukul lesung.
2. Tari Jepen: dimainkan 6-8 laki dan perempuan. Biasanya tampil di acara perpisahan dari perusahaan dan masyarakat. Tari ini masih mau ditampilkan oleh anak muda asal mereka diberi kesempatan untuk mengisi acara besar atau penting sehinga merasa dihargai.
9. Kecamatan Muara Muntai
Hadrah
Ritual pengarakan pengantin,
menyambut tamu penting, dan acara
pernikahan. Arakan ini terdiri dari 20 orang,
dan kalau terdiri dari laki-laki dan perempuan
dinamakan berudat. Di antara 20 orang tadi
terdapat 8 orang pemukul gendang. Dalam
versi lain disebutkan bahwa Hadrah
merupakan kesenian Islam yang ditampilkan
dengan iring-iringan rebana/terbang (alat
perkusi) sambil melantunkan syair-syair serta
pujian terhadap akhlak mulia Nabi
Muahmmad SAW, yang disertai dengan
gerak tari. Terdiri dari 2 kelompok, kelompok
penabuh hadrah dan kelompok yang
melantunkan syair berjanji. Hadrah biasa
dipakai pada acara perkawinan, mengantar
orang berangkat haji, hari-hari besar Islam
dan lain sebagainya.
Kuda Pepang
Ritual menyambut tamu seperti
Bupati, Camat atau tamu penting lainnya.
Acara ini dibawakan oleh 20 orang Prajurit
(masing-masing 10 Prajurit di sebelah kiri dan
10 Prajurit sebelah kanan tamu), pemain
musik 3 orang. Alat masik terdiri dari Gong,
Gamelan dan Gendang. Pakaian yang
digunakan adalah Berumbai (sama dengan
kostum Tingkilan), atau memakai Miskat (baju
adat Kutai).
Trasulan
Merupakan acara khas berbalas
pantun antara laki-laki dan perempuan.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kutai
atau bahasa Indonesia. Inti dari pantun
adalah bebas sesuai dengan topik/jenis acara
yang berlangsung. Misalnya, jika yang datang
adalah seorang pejabat Pemerintah, maka isi
pantun adalah pujian/sanjungan, sindiran
bahkan permintaan pada Pejabat tersebut.
Jika dilakukan pada saat pernikahan, maka
isi pantun adalah nasehat pada kedua
mempelai.
Salah satu pecinta dan praktisi seni
Kutai Suryadi, memiliki tekad untuk
menghidupkan Tari Jepen dan musik
Tingkilan yang merupakan tradisi turun-
temurun dari nenek moyang di bawah
Sanggar Tari Mutiara. Minat generasi muda
untuk memainkan Tari Jepen dan musik
Tingkilan sebetulnya masih kuat asal ada
yang membina dengan serius. Tantangan
yang dihadapi adalah minimnya dukungan
dari Pemerintah, sehingga untuk pengadaan
perlengkapan seperti; kostum, alat musik,
dan kurangnya tenaga instruktur menjadi
kendala dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya Kutai.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Etnis Kutai sesungguhnya memiliki
kekayaan seni dan budaya yang cukup tinggi
dan beragam, baik seni tari, seni musik, seni
drama dan seni budaya lainnya. Seni tersebut
umumnya dipraktekkan dilingkungan
Kesultanan Kutai Kartanegara di kota
Tenggarong, juga dilakukan oleh Pemangku
Adat di desa-desa maupun lingkungan
masyarakat biasa di desa.
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 19
Hingga saat ini, sebagian seni tari
dan seni musik khususnya tari jepen dengan
musik tingkilan masih eksis di desa-desa,
namun seni drama sudah hampir hilang
karena para praktisi/guru yang yang handal
hampir tidak ada, kesulitan alat musik
tertentu, kostum dan semakin kurangnya
peminat karena pengaruh budaya modern
yang semakin maju.
Tidak ada pembinaan rutin dan
bantuan dari pemerintah terhadap kelompok-
kelompok tari atau seni budaya yang ada di
desa-desa. Kelompok seni tari dan musik
hanya diperhatikan secara insidentil oleh
Pemkab Kutai Kartanegara pada event
tertentu misalnya perayaan 17 Agustus atau
Acara Erau.
Kesulitan dalam pengembangan seni
budaya di desa-desa adalah semakin
berkurangnya, bahkan tidak adanya pelatih
koreografer professional, tidak tersedianya
alat musik yang memadai, kostum yang
sudah rusak, serta pekerja dan pelaku seni
dan budaya Kutai merasa kurang sekali
diperhatikan dan dihargai oleh Pemerintah.
Rekomendasi yang dapat diberikan
dari hasil penelitian ini dilihat dari kondisi seni
pertunjukan tradisional di perdesaan yang
sangat terabaikan memerlukan aksi nyata
dari Pemerintah untuk melestarikannya
melalui pembinaan rutin dan ditampilkan
dalam event-event di tingkat Kecamatan atau
Kabupaten bahkan di tingkat nasional.
Festival Erau yang diagendakan
setiap tahun seharusnya menjadi ajang untuk
menampilkan semua seni ragam budaya
Kutai baik dari lingkungan Kraton maupun
dari desa-desa yang selama ini sudah
terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adham, D. 1981. Salasiah Kebudayaan
Kutai; Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah, Jakarta
Alwasilah, A, Chaedar. 2006. Pokoknya
Sunda; Interpretasi Untuk Aksi, Kiblat:
Bandung
Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Kutai Kartanegara, 2010, Studi
tentang tanah adat dan Ulayat di wilayah
Kutai Kartanegara, PT. Inasha Sakha
Kirana, Bandung
Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Kutai Kartanegara, 2011, Studi
tentang Keberadaan dan Pelestarian
Budaya Asli di Kabupaten Kutai
Kartanegara
Bennedict, Ruth, 1980. Patterns of Culture,
Houghton Mifflin, Co., Boston, USA
HR., Syaukani, 2002, Kerajaan Kutai
Kartanegara, Pustaka Pulau Kumala,
Tenggarong
Irhandi., 2011, Musik Tingkilan Warisan
Budaya yang perlu dilestarikan,
Kabupaten Kutai Kartanegara.Com
Jakobus, Ranjabar, 2006, Sistem Sosial
Budaya Indonesia, Ghalia Indonesia,
Bogor
Soekanto, Soerdjono, 2003, Sosiologi Suatu
Pengantar, Rajawali Press, Jakarta
ISSN 1978-838X
Jurnal “Gerbang Etam” Balitbangda Kab. Kukar Vol. 11 No. 2 Tahun 2017 | 20