Upload
dinhduong
View
252
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS
PADA RUMAH KUDUS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana
Program Studi Kajian Budaya
Minat Utama : Seni Rupa
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS
PADA RUMAH KUDUS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana
Program Studi Kajian Budaya
Minat Utama : Seni Rupa
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS
PADA RUMAH KUDUS
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing:
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof.Dr. Nanang Rizali, MSD ……………… ……………..
NIP. 19500709 198003 1 003
Pembimbing II Dr. Nooryan Bahari, MSn ……………….. …………….
NIP. 19650220 199003 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum
NIP. 19640918 198903 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM
HIAS PADA RUMAH KUDUS
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
Telah disetujui oleh Dewan Penguji:
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum …………… ……………..
NIP. 19640918 198903 1 001
Sekretaris Dr. Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch …………. ……….........
NIP. 19680609 199402 1 001
Penguji I Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD ...……….. …………….
NIP. 19500709 198003 1 003
Penguji II Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ………… …………….
NIP. 19650220 199003 1 001
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum
NIP. 19610717 198601 1 001 NIP. 19640918 198903 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : Zainul Arifin MA
NIM : S.701008018
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Kajian Gebyok Dan
Makna Simbol Ragam Hias Pada Rumah Kudus, adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditujukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis
tersebut.
Kudus, April 2012
Penulis,
Zainul Arifin MA
S.701008018
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan kepada :
1. Istri dan anak-anak ku tercinta.
2. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Kajian Budaya,
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Angkatan 2010,
3. Civitas Akademika dan pembaca yang budiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“ Hidup itu Indah “
“ Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Mencintai Keindahan “ (Hadist)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRAK
Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias
pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana F
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai
budaya masyarakat Kudus, terutama dalam kerangka budaya yang melatarbelakangi
ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya,
terutama perkembangan gebyok, ragam hias dan maknanya. Berdasarkan pada
perspektif budaya, bentuk dan corak ungkapan kesenian tidak semata hanya untuk
pemenuhan keindahannya saja, melainkan juga terkait dengan pemenuhan
lainnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan
keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan
ragam hias biasanya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat
Melihat letaknya, Kudus termasuk dalam akar budaya Jawa pesisir yang
mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya,
akses untuk berhubungan dengan dunia luar mengakibatkan adanya kontak budaya.
Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran
kebudayaan. Hubungan yang semula sekedar hubungan perdagangan
akhirnya berkembang menjadi hubungan yang saling mempengaruhi antar
budaya masing-masing, terjadilah proses akulturasi budaya yang pada akhirnya ikut
membentuk budaya Jawa Kudus. Akulturasi budaya ini tidak hanya terbatas pada
nilai-nilai dan pengetahuan saja, tetapi juga berpengaruh kepada artefak budayanya.
Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji, dan tujuan
yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna
simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosio kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang
multi aspek, yang merupakan paradigma kualitatif, maka metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam
penelitian ini, yaitu lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan
gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka
penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan
temuan penelitian yang akurat.
Di dalam motif hias tersebut terdapat suatu arti simbolis yang mengandung
nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus
dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan
dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel,
nanasan, mahkota, daun pisang. Selain untuk memenuhi fungsi estetik, ragam
hiasnya juga bermakna simbol yang berfungsi sebagai media rupa untuk
menyampaikan pesan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang menjadi
pedoman hidup masyarakat setempat. Perubahan pada gebyok yang meliputi perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan
fungsi akibat adanya permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada
rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan
baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya
Kata Kunci : Gebyok, Ragam Hias, Makna Simbol, Perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ABSTRACT
Zainul Arifin MA, 2012: Study of Gebyok and Meaning of Symbol of
Ornament in Kudus House. Program thesis of cultural studies, Sebelas Maret
University of Surakarta.
Ornament in gebyok of Kudus house closely related to cultural value of
Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to
understand ornament of gebyok so far, especially the outgrowth of gebyok,
ornament, and meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression
motive not only for the fulfillment of its beauty, but also relate to other. Ornament
seen as one way the grateful of wonderfulness whose existence filled diverse symbol
element of ornament. Making of the ornament usually closely related to view of
society life
According the location, including the cultural roots of the Kudus coast of
Java that relies on the trade to support its economy, access to get in touch with the
outside world results in cultural contacts. Cultural contacts through trade paves the
way of coexistence of cultures. The relationship is a mere trade relations eventually
evolved into a relationship that interplay between their respective culture,
acculturation process that ultimately join the cultural forms of javanese culture.
Acculturation of culture not only limited to the values and knowledge, but also
influential to cultural artifacts.
According to the object of research, issues, and objectives of the research, so
its need to choose right strategy. Gebyok and meaning of symbol of Kudus house is
a phenomenon artifacts that can not be separated from socio cultural context and
process that have a background art in multi aspect, the research method that used is
descriptive method. Then this study is emphasized on descriptive qualitative
research to obtain accurate research finding.
In ornament motive there is a symbolic meaning, containing an advice, a
message, and its philosophy to society. Ornament in gebyok Kudus affected by
Hindus and Budhists culture, China, Islam, and Europe which are realized in motif
bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota,
daun pisang. In addition to meet estetic function, ornament also has meaning as a
symbol that serve as a media to convey messages related to cultural values to be a
guidance of society life.
Changes in gebyok which includes changes in size, materials, decoration and
function as a result of requests from users gebyok to be applied in residences and
public facilities, so that the decoration on gebyok to change both the quality of
workmanship and the meaning of various symbols of ornament.
Key Word: Gebyok, Ornament, Meaning of Symbol, Change
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
tesis yang berjudul “Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah
Kudus” pada tahun 2012 ini dapat selesai. Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagai
persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Kajian Budaya (minat utama
Seni Rupa), Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Menyadari bahwa penulisan tesis ini banyak sekali hambatan, tetapi berkat
bantuan, dukungan, dan bimbingan dari beberapa pihak, maka hambatan tersebut
dapat teratasi. Oleh sebab itu, sepantasnya penulis dengan penuh rasa hormat
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Kajian Budaya,
Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD., selaku pembimbing utama dalam proses
penelitian hingga tahap penulisan.
5. Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., selaku pembimbing II yang banyak memberikan
masukan dan koreksi.
6. Dr, Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch, selaku sekretaris Dewan Penguji.
7. Seluruh Bapak / Ibu dosen pengampu Program Studi Kajian Budaya
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Civitas Akademika Program Studi Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
9. Seluruh teman seperjuangan angkatan tahun 2010 Program Studi Kajian Budaya
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Seluruh nara sumber yaitu : Bapak Sundoro Witjaksono budayawan Kudus,
Bapak Bintong Mohammad Room Ketua Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat
Kudus, Bapak Norhadi sebagai Perajin Gebyok Avia Antiq, Bapak Ali Imron,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
SE., Ketua Asmindo Komda Kudus, Bapak Drs. Sutiyono, M.Pd Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, dan Bapak Hendrix Marantek
Kepala Desa Sidorekso, Kaliwunggu yang memunculkan program
”gebyokisasi”, telah banyak memberi informasi dan data-data yang dibutuhkan
untuk penulisan tesis ini
Penulis menyadari bahwa dengan adanya keterbatasan yang ada, menjadikan
tesis ini masih perlu untuk ditindaklanjuti dalam penelitian dan kajian yang lebih
mendalam, meskipun demikian diharapkan tesis ini sudah dapat memenuhi
persyaratan akademik sebagaimana semestinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kajian budaya pada
khususnya.
Kudus, April 2012
Zainul Arifin MA
S.701008018
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
Hal
JUDUL............................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI .................................................................... iii
PERNYATAAN ............................................................................................. iv
PERSEMBAHAN .......................................................................................... v
MOTTO .......................................................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
ABSTRACT ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Masalah ................................................................................................ 4
1.2.1. Identifikasi Masalah ................................................................... 4
1.2.2. Pembatasan Masalah .................................................................. 5
1.2.3. Perumusan Masalah ................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
1.4.1. Manfaat Teoritis ......................................................................... 6
1.4.2. Manfaat Praktis .......................................................................... 7
1.5. Susunan Penulisan ................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .. 9
2.1. Kajian Pustaka ....................................................................................... 9
2.2. Kajian Budaya Jawa ............................................................................. 12
2.2.1. Wujud Kebudayaan ...................................................................... 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
2.2.2. Kebudayaan Jawa ......................................................................... 13
2.2.3. Religi Orang Jawa ........................................................................ 18
2.2.4. Akulturasi Budaya ....................................................................... 19
2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa ................................................. 20
2.2.6. Kesenian Jawa ............................................................................. 23
2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa ................................................ 23
2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa ................................................. 24
2.2.7. Ragam Hias sebagai Bentuk Rupa dan Simbol ............................ 26
2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias ............................................ 26
2.2.7.2. Pengertian Ragam Hias .................................................. 31
2.2.7.3. Bentuk Ragam Hias dan Simbol .................................... 33
2.2.7.4. Ragam Hias Prasejarah ................................................. 39
2.2.8. Perkembangan Ragam Hias Indonesia .................................... 47
2.2.8.1. Pengaruh Ragam Hias Hindu, Budha ........................... 47
2.2.8.2. Pengaruh Ragam Hias Cina .......................................... 52
2.2.8.3. Pengaruh Ragam Hias Islam ......................................... 52
2.2.8.4. Pengaruh Ragam Hias Eropa ........................................ 55
2.3. Konsep ................................................................................................ 56
2.3.1. Kajian Gebyok ........................................................................... 56
2.3.2. Makna Simbol ........................................................................... 56
2.3.3. Ragam Hias Gebyok Kudus ...................................................... 58
2.4. Landasan Teori ................................................................................. 68
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 71
3.1 Bentuk dan Strategi Penelitian ............................................................. 71
3.2. Lokasi Penelitian .................................................................................. 72
3.3. Sumber Data ......................................................................................... 73
3.4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 74
3.4.1. Instrumen Penelitian ................................................................... 74
3.4.2. Observasi .................................................................................... 75
3.4.3. Wawancara Mendalam ............................................................... 76
3.4.4. Studi Dokumen ........................................................................... 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
3.5. Validitas Data ....................................................................................... 77
3.6. Teknik Analisis .................................................................................... 79
BAB IV. PERUBAHAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM
HIAS GEBYOK ......................................................................... 84
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Kudus ................................................... 84
4.1.1. Kondisi Geografis Kudus .......................................................... 84
4.1.2. Sejarah Kudus ........................................................................... 86
4.1.3. Budaya Masyarakat Kudus ....................................................... 89
4.1.3.1. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kudus ....................... 90
4.1.3.2. Falsafah dan Sikap Hidup Masyarakat Kudus .............. 92
4.1.3.3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Kudus ....................... 96
4.2. Rumah Kudus ....................................................................................... 97
4.2.1. Bentuk Rumah Kudus .............................................................. 102
4.2.2. Ragam Hias Rumah Kudus ...................................................... 105
4.2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Ragam Hias Kudus . 125
4.2.2.2. Struktur Ragam Hias Tradisional Kudus ..................... 128
4.2.2.3. Karakteristik Ragam Hias Kudus ................................. 130
4.3. Ragam Hias Pada Gebyok Kudus ........................................................ 134
4.3.1. Ragam Hias pada Gebyok bagian Bawah ............................... 136
4.3.2. Ragam Hias pada Gebyok bagian Tengah .............................. 137
4.3.3. Ragam Hias pada Gebyok bagian Atas ................................... 141
4.4. Perubahan Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Gebyok .......... 142
4.5. Peran Lembaga Budaya ....................................................................... 142
4.6. Perubahan Gebyok Kudus dan Ragam Hias sebagai Benda Budaya .. 152
4.6.1. Perubahan Gebyok Kudus sebagai Benda Budaya .............. 152
4.6.1.1 Perubahan Ukuran ........................................................... 152
4.6.1.2 Perubahan Bahan ........................................................... 153
4.6.1.3 Perubahan Ragam Hias .................................................. 155
4.6.1.4 Perubahan Fungsi ........................................................... 156
4.6.2. Ragam Hias pada Gebyok sebagai Sistem Simbol Masyarakat
Kudus ...................................................................................... 157
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
4.7. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias
Dalam Kehidupan Masyarakat Kudus ....................................... 170
4.7.1. Pengaruh Perubahan Gebyok Terhadap Kehidupan
Ekonomi Masyarakat ..................................................... 170
4.7.2. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam
Hias Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat .............. 173
4.7.3. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam
Hias Terhadap Kehidupan Budaya Masyarakat Kudus .. 178
BAB VI. PENUTUP .................................................................................... 181
6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 181
6.2. Saran ..................................................................................................... 183
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 185
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel IV.1 Penerapan Ragam Hias Sebagai Sistem Simbol Ragam Hias pada
Gebyok Kudus .............................................................................. 158
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar II.1 Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa .................................. 17
Gambar II.2 Ragam Hias corak Manusia .......................................................... 40
Gambar II.3 Ragam Hias Kedok / topeng ........................................................ 40
Gambar II.4 Ragam Hias corak Tumpal ............................................................ 41
Gambar II.5 Ragam Hias Pilin Berganda ........................................................ 42
Gambar II.6 Ragam Hias corak Meander ........................................................ 42
Gambar II.7 Ragam Hias corak Swastika ....................................................... 43
Gambar II.8 Ragam Hias corak kunci/kait yang digabung dengan corak jalinan. 43
Gambar II.9 Ragam Hias Corak Katak, Ular & Buaya ..................................... 44
Gambar II.10 Ragam Hias corak Kerbau ........................................................... 45
Gambar II.11 Ragam Hias corak Gajah ........................................................... 46
Gambar II.12 Ragam Hias corak Ular pada pancuran air ................................. 46
Gambar II.13 Ragam Hias corak Makara ......................................................... 48
Gambar II.14 Ragam hias burung .................................................................... 49
Gambar II.15 Ragam hias Wayang .................................................................. 49
Gambar II.16 Ragam Hias corak Garuda ........................................................ 50
Gambar II.17 Motif tumbuh-tumbuhan sebagai lambang kesuburan terdapat
di candi kalasan ......................................................................... 51
Gambar II.18 Bentuk pot yang memuntahkan sulur-suluran daun dan bunga 51
Gambar II.19 Ragam hias corak Pohon Hayat .............................................. 51
Gambar II.20 Ragam Hias corak Cina ........................................................... 52
Gambar II.21 Ragam Hias corak Arabes ....................................................... 54
Gambar II.22 Ragam Hias corak Geometris ................................................... 54
Gambar II.23 Hiasan berbentuk Medalion di masjid Mantingan, Jepara ........ 55
Gambar II.24 Ragam Hias corak Eropa pada elemen arsitektur ..................... 55
Gambar IV.1 Letak Kota Kudus ................................................................... 84
Gambar IV.2 Masjid Menara Kudus ............................................................ 88
Gambar IV.3 Rumah Tradisional Kudus ........................................ ............. 103
Gambar IV 4 Tampak muka .......................................................................... 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
Gambar IV.5 Tampak samping kiri .............................................................. 103
Gambar IV.6 Struktur konstruksi bangunan rangka dinding rumah
tradisional Kudus ..................................................................... 104
Gambar IV.7 Ukiran konsol .......................................................................... 107
Gambar IV.8 Ragam hias pada pintu kerai (sorong) ................................... 108
Gambar IV.9 Kleweran pada pintu depan .................................................... 109
Gambar IV.10 Sabukan .................................................................................. 110
Gambar IV.11 Gebyok dinding dalam ruang Jagasatru .................................. 110
Gambar IV.12 Ragam hias pada panel-panel dinding .................................... 112
Gambar IV.13 Tiang ruang Jagasatru .............................................................. 113
Gambar IV.14 Penerapan ragam hias ukiran pada sampar banyu dan
tiang pracik ............................................................................... 114
Gambar IV.15 Pintu antara ruang Jagasatru dan Sentong .............................. 115
Gambar IV.16 Motif Lunglungan dan buah nanas pada konstruksi dada peksi 116
Gambar IV.17 Hiasan kleweran dan plengkung pada pintu masuk ruang sentong 117
Gambar IV.18 Saka geder di ruang jagasatru .................................................... 118
Gambar IV.19 Ukiran pada tebeng dinding ruang sentong dan balok blandar
pada ruang jagasatru ............................................................... 118
Gambar IV.20 Ancik-ancik (tangga) ............................................................... 119
Gambar IV.21 Ukiran pada pintu ruang gedongan ......................................... 120
Gambar IV.22 Ukiran pada dinding ruang gedongan ..................................... 121
Gambar IV.23 Uleng atap tumpangsari .......................................................... 122
Gambar IV.24 Sampar banyu dalam ruang Jagasatru ................................... 122
Gambar IV.25 Angin-angin ruang jagasatru samping .................................. 123
Gambar IV.26 Hiasan pada tiang utama(saka guru) ...................................... 123
Gambar IV.27 Pintu ruang dapur menuju ruang jagasatru / sebaliknya ...... 124
Gambar IV.28 Ragam hias pada perabung/bubungan atap ............................ 124
Gambar IV.29 Pengaruh budaya Hindu pada Ragam Hias tumbuh-tumbuhan
menjalar yang berpangkal atau keluar dari jambangan
(vas bunga) yang menyerupai pola hias ukir pada
bangunan candi Hindu ............................................................. 132
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
Gambar IV.30 Pengaruh budaya Islam pada Ragam Hias motif Persia/Islam,
digambarkan dalam bentuk bunga yang terdapat pada ruang
Jogosatru ................................................................................... 133
Gambar IV.31 Pengaruh budaya Cina pada Ragam Hias motif binatang gajah
yang disamarkan pada konsol ................................................... 133
Gambar IV.32 Pengaruh budaya Eropa pada Motif Mahkota pada gerbang
masuk ke gedongan .............................................................. 134
Gambar IV.33 Gebyok Kudus ................................................................... 136
Gambar IV.34 Gebyok Kudus .................................................................... 136
Gambar IV.35 Gebyok dengan ukuran 4 m yang ada di Balai Desa
Sidorekso, Kecamatan Kaliwungu, Kudus ........................ 153
Gambar IV.36 Gebyok yang menggunakan kayu jati kualitas
jelek (jati kampung).............................................................. 155
Gambar IV.37 Motif tumbuhan menjalar diganti dengan kaligrafi arab ....... 156
Gambar IV.38 Gebyok yang diterapkan pada Rumah Tinggal .................. 157
Gambar IV.39 Ragam hias tumbuhan, vas bunga ...................................... 158
Gambar IV.40 Ragam hias ukel / besusulan ............................................... 159
Gambar IV.41 Ragam hias Plengkung Kubah Masjid ............................... 160
Gambar IV.42 Ragam hias Kala pada dinding gebyok ............................... 161
Gambar IV.43 Ragam hias daun pisang/banbanan ................................... 162
Gambar IV.44 Ragam hias tumpal ............................................................ 163
Gambar IV.45 Ragam hias wajikan ........................................................... 164
Gambar IV.46 Ragam hias jalinan ............................................................ 165
Gambar IV.47 Ragam hias kerang ........................................................... 166
Gambar IV.48 Ragam hias ceplokan lintangan ........................................ 167
Gambar IV.49 Ragam hias kawung ......................................................... 168
Gambar IV.50 Ragam hias nanas .............................................................. 169
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Format Kuesioner / Wawancara
Lampiran 2. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Rumah Kudus
Lampiran 3. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Avia Antik”
Lampiran 4. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Bintong
MR”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias
pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai
budaya masyarakat Kudus, yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami
lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, yaitu perkembangan gebyok,
ragam hias dan makna. Berdasarkan pada perspektif kajian budaya, bentuk dan
corak ungkapan seni tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahan, melainkan
juga terkait dengan pedukungnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara
pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen
hias. Peciptaan ragam hiasnya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat.
Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji dan tujuan yang
akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol
ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari
konteks sosio-kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi
aspek. Hal ini merupakan paradigma kualitatif. Oleh karena itu, metode penelitian
yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam
penelitian ini lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan
menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian
ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan
penelitian yang akurat.
Hasil penelitian mengenai Kajian gebyok dan makna simbol ragam hias,
menunjukkan adanya perubahan pada gebyok yang diproduksi oleh perajin gebyok
di Kudus, meliputi perubahan ukuran, bahan baku, ragam hias dan fungsi. Perubahan
ini terjadi karena adanya permintaan konsumen yang menempatkan gebyok pada
rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hiasnya mengalami perubahan,
baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya.
Motif hias yang ada pada gebyok Kudus terdapat arti simbolis yang
mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di
gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa
yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang,
sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Pada perkembangannya, untuk
memenuhi kebutuhan konsumen makna simbol yang melekat menjadi bias, yang
semula mengandung pesan moral dan pedoman hidup dalam tatanan kehidupan
masyarakat Kudus, akhirnya berubah menjadi makna estetik untuk memenuhi
tututan komersial. Sehingga makna simbol yang melekat pada ragam hias gebyok
sudah mengalami perubahan makna.
Kata Kunci : Gebyok, Ragam Hias, Makna Simbol, Perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Zainul Arifin MA, 2012: Study of Gebyok and Meaning of Symbol of
Ornament in Kudus House. Program thesis of cultural studies Sebelas Maret
University of Surakarta
Ornament in gebyok of Kudus house closely related to cultural value of
Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to
understand ornament of gebyok itself. They are the development of gebyok, the
ornament, and the meaning. Based on perspective culture, form, and artistic
expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but it also relates to
others. The Ornament is seen as one way for people feel satisfied to the beauty since
the existence full of symbol of element decoration. Ornament creation is usually
related to society view.
Based on the condition of research object, it is needed to choose an
appropriate strategy to investigate the problem of research and the purpose of the
study. Gebyok and the meaning of ornament Kudus symbol constitute phenomena of
artefact cannot be separated with socio-cultural contexts and an art process of
multiaspect background. It is qualitative paradigm. Therefore, the use of research
method is qualitative method. Based on the aim of research, it is focused to the effort
how to reveal development of Gebyok and to find out the meaning of symbol from a
complex phenomenal. Then, this research is focused on descriptive qualitative
research to get an accurate research finding.
The result of the study is about Gebyok study and the meaning of ornament
symbol, showed that there is a changing of Gebyok producted by craftman of
Gebyok in Kudus. It consists of changing of size, raw material, ornament, and
function. The changing happened due to the consumers demand that placed Gebyok
of the house and public facility become changing different either quality or the
meaning of ornament symbol.
In the motif of decoration, there is a meaning of symbolic that contains
advice, message, and the meaning of philosophy for society. An ornament in geyok
Kudus is influenced by the culture of Hindu, Buddha, China, Islam, and Europe are
shaped in flower motif, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel,
nanasan, mahkota, and daun pisang. In the development, finally, to fulfill consumer
need, the meaning of symbol that adheres firstly it contains a moral message and the
way of life in a rule of Kudus society. But now it has an aesthetic meaning to fulfill
commodities that the meaning of symbol in Gebyok ornament is changing.
Keywords: Gebyok, ornament, meaning of symbol, changing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah Kudus sering disebut sebagai “joglo pencu”, merupakan rumah
tradisional yang berada di wilayah Kabupaten Kudus sebagai rumah khas Kudus.
Rumah Kudus mempunyai keistimewaan tersendiri, yakni selain bentuknya joglo,
semua elemen arsitekturnya dipenuhi dengan ragam hias. Penggunaan ragam hias
sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia sejak lama. Ragam hias tersebut
bukan hanya sebagai penghias, tetapi mempunyai makna simbol yang melekat
pada masyarakat Kudus.
Rumah sebagai bangunan fisik tidak hanya dapat dilihat dan diperlakukan
sebagai material fisik, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan status sosial
penghuninya. Hal ini karena pemilik rumah memberi isi pada bangunannya
dengan makna-makna simbol tertentu yang mencerminkan jati dirinya. Dalam
kehidupan masyarakat, rumah bisa berarti identitas seseorang atau sebagai
lambang status sosial, pendidikan, ekonomi para pemiliknya (Triyanto, 2001: 5).
Keanekaragaman bentuk fisik atau kekhasan suatu bentuk rumah dan ragam
hiasnya, akan semakin nyata kehadirannya apabila dikaitkan dengan makna
simbol yang ingin dikaji.
Menurut Soegeng Toekio (1987:9) disebutkan bahwa ragam hias hadir di
tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang
diwujudkan dalam bentuk visual, yang proses penciptanya tidak lepas dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pengaruh lingkungan. Ragam hias ini ditujukan sebagai pelengkap rasa keindahan
dan kemegahan bangunan fisik rumah. Demikian juga dalam berbagai bentuk
ragam hias, terdapat pula makna simbol tertentu yang berlaku syah secara
konvensional, di lingkungan masyarakat pendukungnya. Selanjutnya dalam buku
yang sama Soegeng Toekio (1987:10) juga mengatakan bahwa ragam hias untuk
suatu benda pada dasarnya merupakan sebuah penghias yang diterapkan guna
mendapatkan keindahan atau kemolekan yang dipadukan. Ragam hias ini
berperan sebagai media untuk mempercantik atau menganggunkan sesuatu karya.
Ragam hias pada bangunan rumah Kudus, berkaitan erat dengan budaya
tradisi yang perwujudannya merupakan simbolisasi dari budaya yang tetap
dilestarikan dan diteruskan sebagai tradisi. Demikian juga penciptaan ragam hias
pada gebyok sangat berhubungan erat dengan maksud-maksud simbol tersebut.
Penciptaannya dipertimbangkan dengan baik dan cermat, sehingga kehadiran
ragam hias tersebut di samping memenuhi kebutuhan fungsi dan tuntutan
keindahan juga mengandung makna yang selaras dengan harapan hidup.
Kesejahteraan dan kedamaian hidup tampaknya merupakan tujuan utama yang
hendak dicapai (Gustami, 2000:64).
Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, dengan adanya budaya
mengakibatkan bentuk rumah menjadi berbeda. Selain bentuk yang berbeda juga
sangat dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam yang tersedia dan teknologi
yang dimiliki, juga berkaitan dengan struktur dan kehidupan sosial budaya
masyarakat (Triyanto, 2001:4). Demikian juga keberadaan rumah Kudus dalam
lingkup kebudayaan Jawa, kekhasan bentuk rumahnya sering disebut sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
rumah gebyok (Triyanto, 2001:8), kehadirannya tentu tidak terlepas dari pengaruh
budaya masyarakat Kudus yang tercermin pada bentuk joglo dan ragam hias yang
diterapkan pada bangunan rumah.
Sejalan dengan perkembangan zaman, timbul fenomena baru bahwa nilai-
nilai yang dianut oleh masyarakat Kudus khususnya budaya setempat yang
berkaitan dengan ragam hias mengalami perubahan. Masyarakat Kudus sudah
banyak yang tidak memperhatikan adat-istiadat dan karya-karya peninggalan
leluhurnya. Sebagai contoh, rumah Kudus yang dipenuhi dengan ragam hias
diseluruh elemen arsitekturnya hanya tinggal beberapa yang bertahan, rumah
Kudus yang dibangun dengan teknik knock down memudahkan untuk dipindahkan
ke tempat lain, dan dengan mudah dapat dijual sebagai komoditas.
Perkembangan sekarang, gebyok Kudus banyak yang diproduksi oleh
perajin, secara keseluruhannya masih menyerupai bentuk dan ragam hias aslinya
seperti yang ada di gebyok rumah Kudus, sedangkan untuk ukurannya sudah
mengikuti keinginan konsumen, motif ukirannya masih menyerupai aslinya dan
dianggap masih memiliki makna simbol yang berisi ajaran-ajaran tentang
pandangan hidup dan sikap hidup manusia Jawa. Namun ada yang sudah
mengalami perubahan terutama pada ukuran gebyok, penggunaan ragam hias dan
fungsi yang tidak mengikuti ”pakem” gebyok Kudus.
Berubahnya gebyok yang dulunya sebagai penyekat ruang jogosatru
dengan ruang tengah, menjadi gebyok yang diproduksi secara terpisah untuk
keperluan nilai keindahan rumah tinggal maupun fasilitas umum atau sebagai
interior ruang modern, telah membawa pengaruh bagi masyarakat Kudus secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
khusus maupun masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan kenyataan tersebut
Gustami (1991:103) mengatakan.
Pergeseran nilai memang sudah terjadi sesuai dengan perubahan dan
perkembangaan zaman. Suatu realitas yang tidak mungkin dihindari, dan itu
berpengaruh langsung terhadap eksistensi seni kriya dan kerajinan. Kondisi-
kondisi alam dan sosio-kultural yang membentuk seni kriya dewasa ini,
sangat berbeda dengan kondisi-kondisi masa lampau ketika norma-norma dan
sistem nilai telah berkembang secara kompleks dalam struktur yang rumit
oleh spesifikasi disiplin yang khas.
Perubahan yang terjadi di pengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi yang semakin canggih, dan perubahan seni itu sendiri. Hal ini sesuai
dengan pendapat J.W.M. Bakker SJ dalam Filsafat Kebudayaan, Sebuah
Pengantar mengatakan “perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan
baru, teknologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan
kepada situasi baru” (Bakker, 1984:113)..
1.2. Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Dengan adanya perkembangan pembuatan gebyok yang dilakukan oleh
perajin gebyok Kudus, menyebabkan adanya produk replika (tiruan) baik yang
disamakan bentuk, ukuran, ragam hiasnya tetapi ada juga yang dengan sengaja
dikerjakan sesuai pesanan, sehingga terjadi perubahan pada gebyok dan ragam
hiasnya. Dengan adanya perubahan tersebut, menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk, ciri-ciri ragam hias, pengaruh yang ditimbulkannya, dan makna simbol
yang tersimpan dalam motif ragam hias perlu dikaji lebih mendalam. Makna
simbol ragam hias terjadi bukan disebabkan dari segi kebahasaan saja atau
terjadinya perubahan ragam hias, pergantian ragam hias dan kombinasi ragam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
hias, tetapi juga disebabkan oleh latar belakang sosial, pengaruh luar dan
perkembangan pola fikir masyarakat.
Dalam mengkaji gebyok Kudus sesuai dengan paparan tersebut dapat
diidentifikasi permasalahan yang disajikan dalam pernyataan sebagai berikut:
Perkembangan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus harus
tetap dipahami oleh masyarakat, karena makna simbol ragam hias pada gebyok
Kudus mengantarkan ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus sebagai suatu sistem
simbol masyarakat Kudus yang dalam perkembangan masa sekarang membawa
pengaruh terhadap kehidupan budaya masyarakat Kudus.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ada supaya tidak meluas
permasalahan perlu dibatasi pada obyek kajian yaitu gebyok pada rumah Kudus
dan perkembangan gebyok yang diproduksi perajin Kudus, ragam hias pada
gebyok dan pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya makna simbol ragam hias
yang ada pada gebyok terhadap masyarakat Kudus. Pembatasan permasalahn ini
dilakukan untuk lebih fokus dalam mengkaji permasalahan lebih mendalam.
1.2.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan, maka perumusan
masalahnya adalah :
1.2.3.1.Bagaimana bentuk gebyok dan ragam hias pada gebyok Kudus saat ini,
yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1.2.3.2.Bagaimana ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang
merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus?
1.2.3.3.Bagaimana pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias
pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap perubahan gebyok
dan makna simbol ragam hias saat ini pada gebyok Kudus, sehingga tujuannya
adalah :
1.3.1. Mendikripsikan gebyok dan perubahannya serta ragam hias pada gebyok
Kudus saat ini yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus
1.3.2. Mengkaji ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang merupakan
simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus.
1.3.3. Merumuskan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias
pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pokok- pokok
kepentingan antara lain sebagai berikut :
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan
pengetahuan dalam pengembangan ilmu kajian budaya, khususnya pengaruh
perubahan ragam hias Kudus pada masyarakat Kudus saat ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan
evaluasi dan pengambilan kebijakan bagi kegiatan pelestarian budaya di Kudus
serta dapat menjadi rujukan bagi peminat gebyok Kudus dan masyarakat pada
umumnya, mengingat peninggalan budaya yang berupa rumah Kudus dan gebyok
Kudus semakin berkurang, sehingga perlu untuk mewacanakan gebyok hasil
produksi perajin sebagai alternatifnya
1.5. Susunan Penulisan
Penyajian hasil penelitian ini merupakan suatu uraian mengenai susunan
penulisan yang dibuat secara teratur dan rinci. Susunan penulisan yang dimaksud
adalah untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh
dengan jelas dari isi penelitian tersebut, yaitu:
Bab I . Menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi titik tolak perlunya
dilakukan penelitian dan merupakan landasan bagi pembahasan bab-bab
selanjutnya. Pembahasannya mengenai latar belakang masalah, masalah yang
terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan susunan penulisan hasil
penelitian
Bab II. Berisi uraian secara teoritis tentang kajian budaya Jawa yang
meliputi : Kajian pustaka, kajian budaya jawa, konsep dan landasan teori
Bab III Secara umum berisi tentang metodologi penelitian yang
didalamnya diuraikan mengenai bentuk dan strategi penelitian, lokasi penelitian ,
sumber data, teknik pengumpulan data, validitas data dan teknik analisa data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Bab IV Perubahan gebyok dan makan simbol ragam hias gebyok. berisi
tentang perubahan bentuk dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus,
didalamnya membahas tentang gambaran umum Kabupaten Kudus, rumah Kudus,
kajian ragam hias pada gebyok Kudus yang mengkaji tentang penerapan ragam
hias pada gebyok. Kajiannya meliputi ragam hias pada gebyok Kudus sebagai
sistem simbol masyarakat Kudus, perubahan gebyok Kudus sebagai benda budaya
dan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias dalam kehidupan
masyarakat Kudus.
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran, yaitu hasil akhir dari
analisa data penelitian yang telah dilakukan. Pandangan hidup orang Jawa yang
sinkretistik telah mewarnai masyarakat Kudus untuk menerima sesuatu yang
datang dari luar, termasuk dalam hal ini adalah perwujudan ragam hias yang
kemudian disesuaikan dengan pandangan hidupnya yang sinkretistik itu. Ragam
hias yang diterapkan pada gebyok Kudus merupakan kompilasi dari ragam hias
yang sudah ada sebelumnya. Ragam hias tersebut berfungsi sebagai elemen
estetik dan bermakna simbol sebagai media bertutur. Sedangkan perubahan pada
gebyok meliputi : perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya
permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal
dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik
kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
Kajian gebyok dan ragam hias gebyok Kudus, dilakukan dalam disiplin
ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Kajian ini tidak hanya ditujukan untuk memahami gebyok dan ragam hias gebyok
Kudus sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni rupa saja. Dalam kajian ini
gebyok dan ragam hias gebyok Kudus merupakan objek material dari sebuah
kajian mengenai gebyok dan ragam hias. Penelitian yang memfokuskan kajian
pada gebyok dan ragam hias gebyok Kudus untuk merumuskan bentuk gebyok
dan makna simbol ragam hias yang ada di dalamnya, adalah banyaknya
permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni
rupa secara umum dan/atau perwujudan ragam hias semata-mata, tetapi harus
dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan
teori-teori yang digunakan.
Hasil penelitian tentang arsitektur rumah Kudus yang dilakukan oleh
Triyanto (1992) dalam bukunya yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya
Dalam Arsitektur Rumah Kudus” pada tahun 2001. Dalam penelitian yang
menjadi pokok perhatian adalah makna ruang dan penempatannya dalam
arsitektur rumah Kudus. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ruang dan juga
penataannya dapat dilihat sebagai simbol ekspresi gaya hidup warga masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Kudus sebagai orang Jawa yang taat, patuh atau tunduk dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama Islam yang menjadi pedoman dan bersifat normatif dalam
kehidupan mereka. Penelitian ini cukup banyak memberikan informasi tentang
rumah Kudus beserta budayanya yang dapat dijadikan sumber data sekunder
dalam penelitian ini.
Hasil penelitian lain dari Bayu Widiantoro (2003) dalam tesisnya yang
berjudul “Peranan Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional
Kudus Joglo Pencu” , menyimpulkan bahwa dilihat pola proporsi yang muncul
dan budaya yang berlaku dikalangan masyarakat Kudus, maka pola proporsi yang
diterapkan dalam rumah tradisional Kudus Joglo Pencu ini bukan sebagai suatu
hal yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi muncul sebagai suatu bentuk warisan
budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Rumah tradisional
Kudus mempergunakan suatu pola proporsi tertentu untuk membentuk keindahan
di dalam bangunannya. Kendati dalam penelitian Bayu Widiantoro tentang
Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional Kudus Joglo Pencu
hanya ditempatkan pada objek arkeologi-budaya yang pengungkapan makna
simboliknya hanya berdasar informasi sepihak dari penulisnya, tetapi hasil
penelitian tersebut paling tidak dapat dijadikan data sekunder dalam penelitian ini
Hasil penelitian tesis lain yang lebih fokus pada gebyok oleh Yusuf Istanto
(2008) penelitiannya adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan
kerajinan gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta dan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai
peranan pemerintah kabupaten Kudus dalam pendaftaran Hak Cipta kerajinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Penelitian ini menunjukan bahwa masih banyak perajin gebyok yang setia
memakai pakem ukir dalam membuat gebyok Kudus meskipun tak jarang perajin
membuat gebyok Kudus dengan motif hasil kreasi sendiri sesuai dengan
permintaan dari pemesan gebyok Kudus. Gebyok Kudus sebagai kerajinan yang
didapat secara turun temurun merupakan salah satu kerajinan yang dapat
dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional akan tetapi UUHC 2002 belum
cukup memberikan perlindungan terhadap Hak Cipta gebyok Kudus. Pemerintah
Kabupaten Kudus menyadari bahwa kerajinan gebyok Kudus merupakan aset
daerah yang berharga dan merupakan salah satu produk unggulan Kudus. Untuk
itu Pemkab Kudus melalui klinik HKI Universitas Diponegoro Semarang untuk
mendaftarkan Hak Cipta gebyok Kudus. Dari penelitiannya Yusuf Istanto (2008)
dapat memberikan informasi tentang gebyok Kudus yang dapat dijadikan data
sekunder dalam penelitian ini.
Dari tiga hasil penelitian mengenai rumah tradisional dan gebyok Kudus di
atas dapat dicatat dua hal penting. Pertama, ketiga kajian di atas memiliki
persamaan dalam memposisikan rumah tradisional Kudus maupun gebyok Kudus
sebagai objek rekayasa yang mencerminkan falsafah hidup Jawa yang berinti pada
pencapaian kesempurnaan hidup. Kedua, ketiga kajian di atas memiliki kesamaan
dalam memposisikan rumah adat Kudus dan gebyok serta mitos-mitos yang
melekat sebagai arkeologi-budaya sehingga rumah tradsional Kudus yang selama
ini dianggap mempunyai makna simbol yang tinggi, tanpa sadar hanya dipandang
sebagai peninggalan budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2.2. Kajian Budaya Jawa
2.2.1. Wujud Kebudayaan
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas
dan Pembangunan (1992:5) menulis bahwa kebudayaan manusia mengandung
tiga wujud. Pertama, kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan-
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat.
Ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ia bisa berupa
kebudayaan nyata, tampak fisiknya, karena merupakan hasil karya masyarakat
yang bersangkutan. Selanjutnya Koentjaraningrat (1992:2) menganalisis budaya
manusia, yang terdiri dari unsur-unsur universal kebudayaan. Unsur-unsur
universal itu, merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia ini, yakni : (1)
Sistem religi dan upacara keagamaan. (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
(3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian
hidup dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur kebudayaan
tersebut menjadikan budaya manusia terwujud karena perkembangan lingkungan
serta norma-norma hidupnya. Norma hidup ini terwujud dalam bentuk alam
pikiran, alam budi, karya, tata susila dan seni.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda-
beda tersebut mempunyai kebudayaan khas yang merupakan ciri-ciri kebudayaan
daerah. Ciri penting dalam kebudayaan daerah adalah unsur tradisi yang berakar
dan turun temurun pada masyarakat kesukuan misalnya unsur religi, etika, adat
istiadat dan sebagainya. Sebagai kebudayaan daerah yang menjadi dasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
munculnya kebudayaan nasional merupakan potensi yang sangat strategis untuk
dilestarikan, sehingga ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1992:107-111) bahwa
kebudayaan nasional adalah sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang
memberi identitas kepada warga Indonesia. Dalam rangka menunjang fungsi
kebudayaan nasional, tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan
kebudayaan daerah, karena kebudayaan nasional tetap berorientasi pada
kebudayaan daerah di samping peradaban masa kini. Kebudayaan daerah sebagai
penghayatan masyarakat mampu memberikan benih serta berbagai unsur yang
perlu ditingkatkan ditaraf kebudayaan nasional. Pelestarian dan pengembangan
kebudayaan daerah sangat perlu, kemudian dilakukan penyeleksian nilai positif
yang bisa ditingkatkan sebagai kebudayaan nasional.
2.2.2. Kebudayaan Jawa
Secara umum kebudayaan Jawa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
”kebudayaan pedalaman” dan ”kebudayaan pesisir”. Daerah pedalaman Jawa
yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta atau yang bisa disebut wilayah
kebudayaan Jawa Negarigung, sedangkan ”Kebudayaan Pesisir” meliputi daerah
– daerah pesisir pantai utara Jawa yang berpusat di wilayah Blambangan, Pati,
Tegal (Sukmawati, 2004:12).
Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup atau falsafah dalam
memahami makna kehidupan, sehingga mempunyai pedoman dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Demikian juga kebudayaan Jawa mempunyai pengertian,
norma, nilai, tata aturan, gagasan, ide, etika, estetika dan hasil karya yang
dihasilkan oleh masyaraka Jawa dan berlaku dalam kehidupan sehari-hari, dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
demikian dapat menimbulkan cara pandang masyarakat Jawa terhadap
kehidupannya serta menciptakan kaidah kehidupan masyarakat Jawa, yaitu prinsip
rukun dan hormat demi terciptanya keselarasan.
Kebudayaan Jawa memiliki ciri khas yang terletak pada kemampuan untuk
menerima pengaruh kebudayaan lain dan tetap mempertahankan kebudayaan
aslinya. Selain menemukan jati diri dan berkembang kekhasannya dari pengaruh
luar, identitasnya semakin berwarna setelah masuknya budaya Islam di pulau
Jawa. Pelaku budaya Jawa adalah orang Jawa, berdasarkan masuknya agama di
Jawa maka dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : Jawa pra Islam, Jawa Abangan,
dan Jawa Santri ( Jawa – Islam ). Meskipun demikian orientasi mereka terarah
pada satu budaya yang dipegang erat, sebab itu orang Jawa sebagai penduduk
terbesar di Indonesia mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya
Indonesia (Koentjaraningrat, 1993:15).
Istilah orang Jawa dan masyarakat Jawa memiliki perbedaan dalam
konteks cakupan dan jumlah. Orang Jawa atau manusia Jawa cakupannya sempit
dan menyangkut individu atau orang per orang , sedangkan masyarakat Jawa lebih
luas dan mencakup komunitas yang hidup di pulau Jawa. Orang Jawa sendiri
membedakan dua golongan sosial , yaitu wong cilik atau orang kecil yang terdiri
dari sebagian petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. Golongan
dua adalah kaum priyayi, termasuk didalamnya para pegawai dan para intelektual
(Koentjaraningrat, 1993:20).
Koentjaraningrat berpendapat bahwa seperangkat nilai-nilai yang
terkandung pada kebudayaan terurai pada dimensi atau wujud dan unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
kebudayaan. Kebudayaan manusia mengandung tiga dimensi, yakni kebudayaan
sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma
peraturan dan pikiran manusia, terdapat pada alam pikir manusia, berupa tulisan-
tulisan serta karangan-karangan. Wujud pertama ini disebut pula sistem budaya,
sebab bagian-bagian ide, gagasan atau pikiran yang ada di dalam kepala tidak
terlepas-lepas, melainkan saling berkaitan menjadi satu sistem yang relatif mantap
dan berkesinambungan. Apabila ide seseorang tidak merupakan suatu sistem,
maka jiwa orang itu seperti terganggu , pikirannya tidak mantap berubah-ubah,
tidak konsisten dan tidak berkelanjutan. Kebudayaan sebagai kompleks aktivitas
yang sudah terpola dalam masyarakat, berupa sistem sosial dalam masyarakat.
Kompleknya aktivitas manusia disebut pula sebagai sistem sosial sebab,
terjadinya aktivitas itu karena adanya saling berkomunikasi dan berinteraksi
sesama manusia. Sistem sosial telah ditata dan diatur oleh gagasan atau tema
berpikir tertentu, sehingga mewujudkan aktivitas dan produktivitas yang positif.
Aktivitas interaksi berupa pertemuan-pertemuan atau persekutuan yang hasilnya
positif, walaupun wujudnya ada yang berupa pertengkaran, akibat positif yang
sering muncul adalah gagasan atau konsep yang menguntungkan. Kebudayaan
sebagai hasil karya suatu masyarakat, berupa benda-benda berukuran besar
maupun kecil, tampak fisiknya maupun kasat mata, dan benda-benda bergerak
maupun tidak bergerak. Kebudayaan fisik lahir karena aktivitas manusia dalam
bentuk interaksi yang memerlukan sarana berupa benda yang dihasilkan manusia
(Koentjaraningrat, 1992:6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup
manusia, karena tidak ada manusia yang dapat hidup di luar ruang lingkup
kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan, makhluk budaya merupakan
suatu fakta historis yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun sebagai pencipta
kebudayaan. Holt (2000:xxi) mengatakan bahwa pada sebagian besar studi
tentang Indonesia, tak dapat dihindari bahwa Jawa tetap merupakan pusat
perhatian. Hal ini bukan karena Jawa sepanjang sejarah merupakan fokus paling
penting dari kekuasaan dan perdagangan antar pulau dan antar bangsa yang
memusat, tetapi Jawa juga menyediakan sejumlah besar rekaman-rekaman
sejarah.
Pulau Jawa berdasarkan tipe sosial budaya masyarakatnya dapat dibagi
dua, yaitu: masyarakat yang bertempat tinggal di daerah sepanjang pantai/dataran
rendah, sering disebut masyarakat pesisir dengan karakter sosial yang lebih
terbuka, dan masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah pegunungan/dataran
tinggi yang sering disebut sebagai masyarakat pedalaman, cenderung lebih
tertutup terhadap segala perubahan yang bertentangan dengan budaya aslinya.
Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan
Kediri. Yogyakarta dan Surakarta, merupakan pusat dari kebudayaan tersebut
(Kodiran, 2002:329). Kebudayaan Jawa yang hidup di Yogyakarta dan Surakarta
merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton. Peradaban ini
menghasilkan kesenian yang tinggi dan ditandai dengan kehidupan keagamaan
yang sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam.
Daerah istana-istana Jawa ini sering disebut dengan Negarigung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
(Koentjaraningrat, 1994:26).
Gambar II.1 : Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa (sumber: Koentjaraningrat, 1994:27)
Di antara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai
variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur
kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa
dan lain-lainnya, namun masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistem
kebudayaan Jawa. Lebih rinci Koentjaraningrat (1994:26) membagi peta wilayah
kebudayaan Jawa menjadi 12 daerah kebudayaan Jawa meliputi Banten, Sunda,
Banyumas, Bagelen, Pesisir Kilen, Pesisir Wetan, Negarigung, Mancanegari,
Surabaya, Madura, Tanah Sabrang Wetan dan Blambangan.
Kebudayaan Jawa yang hidup di pesisir pantai Utara Jawa biasa disebut
dengan kebudayaan pesisir. Kebudayaan ini meliputi daerah dari Indramayu-
Cirebon di sebelah Barat, sampai ke Gresik di sebelah Timur. Koentjaraningrat,
(1994:26) menyarankan untuk memecah kebudayaan pesisir ke dalam sub daerah
pesisir Barat yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Pekalongan, sub bagian
tengah yang meliputi kota Kudus, Demak dan daerah di sekitarnya, dan sub
bagian Timur yang berpusat di Gresik. Sedangkan Koentjaraningrat sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
hanya membedakan antara suatu sub daerah Barat yang pusatnya di Cirebon, dan
suatu sub daerah Timur yang berpusat di Demak. Penduduk daerah pesisir ini
pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang juga mempengaruhi
kehidupan sosial budaya mereka.
2.2.3. Religi Orang Jawa
Masyarakat Jawa sudah sejak lama telah mengenal adanya kekuatan yang
dimiliki oleh benda-benda bertuah maupun pada arwah leluhur. Pemujaan pada
kekuatan benda-benda bertuah disebut dinamisme dan pemujaan pada arwah
leluhur disebut animisme. Religi Jawa semacam ini masih berlangsung sampai
sekarang, yaitu dengan adanya ritual-ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah
bentuk negosiasi supranatural, agar kekuatan adikodrati, mau diajak
kerjasama. (Sudarso SP, 1990:14) mengatakan bahwa ritual magis digunakan
sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara yang irrasional
misalnya dipergunakan untuk mencari persahabatan dengan sesuatu di luar
manusia, mencari perlindungan ataupun secara magis diharapkan mempengaruhi
keadaan. Animisme dan dinamisme adalah religi Jawa kuno yang mewarnai
keyakinan orang Jawa. Wujud nyata dalam pemujaan roh dan kekuatan benda
melalui permohonan berkah. Roh dan benda-benda di sekitar manusia dianggap
memiliki kekuatan sakti dan dapat mendatangkan kebahagiaan atau sebaliknya.
Orang Jawa mengenal orang sakti yang kekuatannya diperoleh dari perewangan
yang tak lain merupakan bantuan roh leluhur atau nenek moyang dan
jimat dari benda-benda bertuah.
Wujud dari keyakinan pemujaan roh tercermin pada upacara selamatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
orang meninggal. Dalam tradisi Jawa, selamatan memperingati roh orang yang
meninggal dilaksanakan sesuai dengan hari keberapa selamatan itu dilaksanakan,
yaitu slametan surtanah (geblag), nelung dina, pitung dina, matang puluh,
nyatus, mendak pisan, mendak pindho, dan nyewu. Pada waktu selamatan sesaji
selalu ada yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal. Keyakinan
terhadap kekuatan benda sakti nampak pada kebiasaan untuk melaksanakan ritual
kutukan dan siraman benda pusaka. Ritual kutukan dilaksanakan setiap malem
Selasa Kliwon dan malem Jemuwah Kliwon. Caranya dengan membakar
kemenyan pada sebuah dupa, lalu benda pusaka tersebut dilambai-lambaikan
di atas pedupaan. Hal ini merupakan tindakan memberi makan kepada benda
pusaka tersebut. Sedangkan pembersihan benda pusaka dilaksanakan setahun
sekali pada bulan Sura, dengan cara dijamasi (dicuci).
Orang Jawa percaya bahwa rumah yang mereka tempati dijaga oleh roh
halus, sehingga pemberian sesaji juga diberikan kepada dhanyang merkayangan,
sing mbaurekso, yaitu roh leluhur yang menjaga tidak saja rumah tempat tinggal,
tetapi juga desa mereka. Tempat-tempat yang dianggap wingit (sakral) juga tidak
luput dari pemberian sesaji, karena dianggap ada penunggunya, seperti pohon
besar, perempatan jalan, jembatan dan sebagainya. Penunggu tersebut harus diberi
sesaji agar mau membantu hidup manusia.
2.2.4. Akulturasi Budaya
Kota Kudus yang terletak di pesisir utara Jawa, masyarakatnya
mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya. Akses
untuk berhubungan dengan dunia luar mengakibatkan adanya kontak budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran
kebudayaan, yang tidak didasarkan pada keinginan untuk menyebarkan
kebudayaan tetapi penyebaran kebudayaan merupakan akibat dari perdagangan.
Hubungan dagang yang membentuk masyarakat dagang itu di pusat-
pusat perdagangan sekaligus memungkinkan penyebaran kebudayaan baru yang
berasal dari para pedagang pendatang. Terjadilah apa yang disebut dengan
akulturasi budaya. Yudoseputro (1993:30) mengatakan bahwa akulturasi
budaya adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling
mempengaruhi. Bertemunya dua kebudayaan tersebut disebabkan adanya
penyebaran kebudayaan yaitu kebudayaan asing dengan kebudayaan dari suatu
masyarakat atau bangsa tertentu. Akibat dari bertemunya kebudayaan itu timbul
proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Pada tingkat awal proses
percampuran kebudayaan tersebut, pihak peneriman cenderung untuk menerima
kebudayaan asing seperti apa adanya.
2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa
Sinkretisme dalam budaya Jawa dianggap ciri paling menonjol dalam
religi orang Jawa, sehingga pembahasan tentang sinkretisme dalam budaya
Jawa berkaitan dengan religi orang Jawa, mengingat hasil-hasil kesenian
seringkali berhubungan dengan ritual keagamaan. Aryono dalam Sujamto
(2000:13) berpendapat bahwa sinkretisme sering diartikan sebagai kombinasi
segala unsur dari berbagai agama yang berbeda-beda, kemudian terpadu
menjadi satu yang kemudian dijadikan sebagai agama dalam versi baru.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sinkretisme sebagai paham (aliran)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk
mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Dalam KBBI juga
menjelaskan kata sinkretisasi sebagai penyerasian (penyesuaian, penyeimbangan,
dan sebagainya) antara dua aliran (agama dan sebagainya), ada sinkretisasi Budha
dan Syiwa menjadi Budha Mahayana. Dari pengertian sinkretisme di atas dapat
disimpulkan bahwa sinkretisme dalam budaya Jawa adalah kecenderungan
budaya Jawa yang melakukan suatu proses pertemuan atau perpaduan dua
atau lebih aliran.
Ketika Hindu dan Budha masuk ke Jawa, terjadilah proses sinkretisasi.
Kepercayaan animisme dan dinamisme berbaur dengan Hinduisme dan Budhisme.
Sinkretisme memadukan, mencampur, menyelaraskan dua keyakinan atau lebih
menjadi suatu keyakinan yang baru. Pengaruh Hindu diterima secara kreatif
karena terdapat suatu pemahaman yang sejajar tentang religi animisme dinamisme
yaitu manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan dewa-dewa dan roh
halus. Bahkan dengan laku Tarak Brata manusia bisa jadi sakti dan mengalami
bersatu dengan dewanya (Simuh dalam Dhanu, 2004:19). Wujud yang paling
menonjol dari sinkretisme Jawa dengan Hindu, Budha adalah Mistik Kejawen
(Suwardi, 2003:63).
Keadaan seperti itu terjadi pula ketika Islam masuk pada abad 15 dan
menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di kepulauan Nusantara pada
abad 15 dan 16. Ajaran Islam yang masuk melalui jalur perdagangan di pesisir
pantai Utara Jawa menghadapi budaya lokal yang sudah banyak diresapi oleh
unsur-unsur Hindusime dan Budhisme. Jadi di Jawa telah terjadi proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
sinkretisasi antara agama Hindu, Budha, dan Islam diramu menjadi bentuk
Kebatinan Jawa. Sinkretisme di Jawa telah diolah dan disesuaikan dengan adat
istiadat Jawa, lalu dinamakan agama Jawa atau Kejawen, Koentjaraningrat
(1994:341) menyebutnya dengan Agami Jawi. Sinkretisme yang selanjutnya
dipelopori oleh kaum abangan, semakin kental dan sulit dikenali mana budaya
yang terkena pengaruh dan mana budaya asli. Bahkan manusia Jawa sendiri tidak
begitu mempersoalkan antara yang asli dan tidak asli. Manusia Jawa
menerima kontak budaya spritual dan selanjutnya hasil sinkretisme itu diakui
sebagai miliknya. Proses sinkretisasi yang terjadi pada kehidupan religi Jawa
juga berpengaruh pada hasil-hasil kesenian Jawa pada umumnya. Kesenian
Jawa prasejarah yang animisme-dinamisme tidak serta merta hilang dengan
datangnya agama Hindu dan Budha. Peninggalan keseniannya menunjukkan
fenomena ini, seperti yang terdapat pada candi-candi yang merupakan puncak
hasil kesenian jaman Hindu dan Budha. Bahkan yang terjadi adalah berpadunya
konsep religi Jawa kuno dan Hindu tersebut menumbuhkan kebudayaan Hindu
Jawa yang menghasilkan seni ukir dengan kekayaan motif-motifnya beserta
perlambangan-perlambangan yang terkandung didalamnya. Demikian juga ketika
Islam datang, ciri-ciri artefak yang telah ada tidak dihilangkan, tetapi disesuaikan
dengan kepentingan Islam. Sebagai contoh dapat dilihat pada hiasan ukiran yang
terdapat pada dinding masjid Mantingan Jepara. Motif ukiran masjid Mantingan
yang didirikan pada masa kejayaan Islam di Jawa, menunjukkan ciri-ciri
peninggalan kebudayaan masa Hindu Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2.2.6. Kesenian Jawa
2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa
Dalam membahas kesenian Jawa tidak bisa dilepas dari masyarakat
pendukungnya, keberadaannya menyatu dengan masyarakat pendukungnya,
karena kesenian Jawa merupakan bagian yang integral dari masyarakatnya.
Demikian halnya dengan kesenian Jawa tentu mempunyai jiwa sesuai dengan
zaman ketika kesenian Jawa diciptakan. Seni tradisi Jawa tampaknya selalu
melekat dengan budaya Jawa, sehingga manusia terpengaruh dengan kekuatan-
kekuatan supranatural yang ada di luar dirinya.
Seni juga bukan sebagai kegiatan pertunjukan atau hiburan, melainkan
sebagai acara ritual yang sifatnya sakral untuk menanggapi keadaan alam, yang
dipengaruhi kepercayaan animisme dan dinamisme serta adanya pengaruh dari
agama Hindu, di masyarakat Jawa banyak yang menyatu dalam kegiatan
keseniannya. Apabila akan membicarakan sejarah kesenian (seni) Jawa, harus
mengungkap konsep kesenian Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari estetika.
Di Jawa, orang mengenal konsep adi luhung, Adi mempunyai makna
linuwih, melebihi segalanya atau mempunyai nilai lebih, sedangkan luhung
mempunyai makna luhur, tinggi melebihi yang lain. Para seniman tradisi
menempatkan adi luhung sebagai cita-cita yang diharapkan dan diyakini akan
terwujud. Dalam seni masyarakat tradisi Jawa yang sudah mengakar ini pun tidak
bisa lepas dari pandangan seniman dan masyarakatnya yang sampai sekarang
masih bisa kita rasakan dan masih tampak jelas pada kesenian Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa
Kesenian di Jawa begitu beragam macamnya, adapun jenis-jenis kesenian
yang menggunakan ragam hias di antaranya adalah :
a. Wayang Kulit.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, terutama berkembang
di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi
narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh suara gamelan yang
dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para
pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang
terbuat dari kain putih, Sementara dibelakangnya disorotkan blencong (lampu
minyak) atau lampu listrik, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari
layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat
memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan
tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Secara umum wayang
mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi
hanya dengan pakem (standar) tersebut, Ki Dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan).
b. Batik
Batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling
tua di Indonesia. Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa
Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain
dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam yang dituangkan ke atas kain
dengan canting untuk menahan masuknya bahan pewarna. Di lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain
batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan
untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk
menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari
tutup kepala (blangkon), nyamping, semuanya berupa kain batik. Begitu pula
dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik. Batik
merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung
makna filosofis pada setiap motifnya.
c. Seni Ukir
Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian
cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun
suatu gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai
seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau
bahan-bahan lain. Seiring dengan perkembangan zaman, yaitu saat agama
Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, seni ukir di Jawa mengalami
perkembangan. Puncak keemasan seni ukir dengan menggunakan media batu
terjadi sekitar abad ke 10, yaitu pada zaman kerajaan Hindu dan Budha di
Jawa. Pada zaman inilah seni ukir disebut seni ukir klasik. Bentuk seni ukir
tersebut dapat dilihat di relief-relief candi yang banyak tersebar di Jawa
Tengah. Bentuk motif yang ada pada relief tersebut di antaranya tumbuhan,
manusia, hewan, garis, titik, lingkaran dan sebagainya (Warsino, 2005:25).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
2.2.7. Ragam Hias Sebagai Bentuk Rupa dan Simbol
2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias
Manusia mempunyai kebutuhan yang bersifat jasmani dan rohani.
Kebutuhan jasmaniah menimbulkan upaya-upaya untuk memenuhinya, yang
dapat dilihat pada benda-benda yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
jasmani tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, manusia berburu dan
menciptakan alat-alat untuk berburu. Kebutuhan rohani, manusia mempunyai
kebutuhan rohani yang beraneka ragam, salah satunya adalah kebutuhan akan
rasa keindahan. Perwujudan dari kebutuhan ini diekspresikan dalam bentuk yang
beraneka ragam pula, dalam bentuk gerak, nyanyian dan keinginan manusia untuk
menghias benda-benda yang diciptakannya.
Berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang
tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena
adanya dorongan dari dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin
merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan
berperasaan. Kebutuhan estetik, secara langsung maupun tidak langsung, terserap
dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan lainnya, baik dalam pemenuhan
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya,
yang berkaitan dengan perasaan baik dan benar, adil dan tidak adil, serta masuk
akal atau tidak masuk akal (Rohidi, 2000:9)
Menurut Herbert Read dalam Haryanto (2004:124), manusia pada
dasarnya memiliki kebutuhan untuk menghias terhadap segala sesuatu yang
dipakainya dan tempat yang ditinggalinya, keinginan kreatif tersebut timbul dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
setiap periode dan peradaban. Pada manusia terdapat perasaan yang dinamakan
horror vacui, yaitu perasaan yang tidak dapat membiarkan tempat atau bidang
kosong. Perasaan ini terutama terdapat pada suku primitif tertentu dan
pada periode suatu peradaban.
Dalam kebudayaan Indonesia, seni hias merupakan aspek yang sangat
penting, mengingat peninggalan-peninggalan yang ditemukan hampir selalu
menyertakan hiasan pada artefak-artefaknya. Keinginan kuat pada seni hias ini,
dalam beberapa hal diekspresikan dengan keterampilan yang tinggi. Potensi
alamiah dalam seni hias senantiasa merupakan ciri karakteristik bangsa Indonesia.
Kreatifitas artistik dalam seni Indonesia masa silam bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan ritual keagamaan dan magis, sehingga ragam hias mempunyai makna
simbolik.
Kepercayaan terhadap kekuasaan alam yang memberi kehidupan,
kebahagiaan serta ketentraman batin, telah melahirkan keinginan yang kuat untuk
memujanya. Manusia primitif percaya adanya kekuatan lain yang menciptakan
alam ini. Namun dengan alam pikiran yang masih sederhana dan keinginan
memuja sesuatu yang lebih kongkrit, maka alam pikiran ini menjelma menjadi
wujud lambang. Lambang-lambang kesuburan dan kebahagiaan, kekuasaan, bumi,
air, matahari dan sebagainya adalah bentuk pernyataan lahir dari alam pikiran
yang religi–magis. Kultur nenek moyang dengan segala kepercayaan yang
terkandung di dalamnya melahirkan karya seni prasejarah dan merupakan dasar
perkembangan dari segala perwujudan seni dalam ajaran Hindu dan Islam di
Indonesia. Pikiran-pikiran lama ini hidup terus, tetapi bentuk dan artinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
mengalami perubahan. Pada bangunan candi masih terlihat hasrat manusia untuk
memuja arwah nenek moyang. Arwah dewa-dewa Hindu dan Budha merupakan
bentuk kelanjutan dari perwujudan terhadap kepala suku dan raja. Ajaran tauhid
dalam Islam yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah dan larangan
menggambarkan mahluk bernyawa mempengaruhi corak perwujudan ragam
hias yang diterapkan pada beberapa artefak yang dihasilkan.
Ragam hias sebagai elemen pokok dari gambar dalam penerapannya di
samping sebagai unsur penghias semata, sering pula ditemui adanya makna
simbolik atau maksud–maksud tertentu yang sesuai dengan falsafah hidup
penciptanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini Gustami
(1980:7) menerangkan sebagai berikut :
….di dalam ornamen sering ditemukan pula nilai – nilai simbolik atau
maksud – maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup
manusia atau masyarakat penciptanya, sehingga benda – benda yang dikenai
oleh suatu gambar akan mempunyai arti yang lebih jauh dengan disertai
harapan – harapan yang tertentu pula.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Sumaryono (1999:30), bahwa :
makna, secara khusus diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada
suatu objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh
perhatian atas benda itu. Makna diberikan kepada objek oleh subjek sesuai dengan
cara pandang subjek. Jika tidak demikian maka objek menjadi tidak bermakna
sama sekali (Sumaryono, 1999:30).
Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Makna tidak melekat
pada obyek melainkan diberi oleh manusia (subyek) yang menafsirkan simbol itu,
artinya makna simbol tidak berada pada simbol itu sendiri, melainkan berada pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
manusia itu sendiri (Heddy Shri Ahimsa Putra dalam Subiyantoro, 2011:21).
Simbol setidak-tidaknya dapat dibedakan dengan empat peringkat, yaitu
(1) simbol konstruktif, yaitu simbol yang berkaitan dengan kepercayaan atau
keyakinan terhadap Sang Pencipta; (2) simbol evaluasi, yaitu simbol yang
berkaitan dengan nilai-nilai, norma atau aturan-aturan; (3) simbol kognitif, yaitu
simbol yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan manusia
untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan, dan (4) simbol
ekspresif, simbol yang berkaitan dengan pengungkapan perasaan (Subiyantoro,
2011:22)
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, pada dasarnya penciptaan suatu
ragam hias tidak lepas dari makna simbolik yang terkadung didalamnya. Hal ini
sudah dapat dijumpai pada zaman Mesir kuno, yaitu gambar dari dewa – dewa, di
India dengan gambar sapi sebagai dewa Syiwa atau gambar Naga di China sangat
terkenal. Di Jawa arti gambar juga sudah dikenal sejak zaman dulu, baik
diwujudkan dalam ragam hias, patung atau relief, benda – benda pusaka, batik,
pewayangan dan lain – lain. Jadi segala sesuatu yang diciptakan manusia tersebut
pada umumnya mempunyai arti simbolik.
Dalam masyarakat Jawa, terdapat semacam pendidikan humaniora yang
mengajukan nilai – nilai kemanusiaan dan pernyataan – pernyataan simbolis yang
merupakan bagian integral dari sistem budaya. Berdasar kandungan nilai – nilai
sub kultur, kelompok gambar dan pelembagaan pendidikan humaniora dapat
digolongkan menjadi tiga tipe pendidikan humaniora dalam masyarakat
tradisional Jawa, yaitu istana, pesantren dan perguruan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Salah satu hal yang menarik dalam ragam hias adalah makna simbol yang
terdapat dalam ragam hias tersebut, di samping hiasan-hiasan yang terdapat
didalamnya. Penciptaan suatu ragam hias banyak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan dan pandangan hidup penciptanya, jadi ragam hias tersebut sebagai
visualisasi kondisi masyarakat pada waktu itu. Soegeng Toekio (1987:9 ) dalam
bukunya, menguraikan bahwa ragam hias yang ada di kehidupan masyarakat
sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual yang
proses penciptaamya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Ragam hias
tersebut ditujukan sebagai pelengkap rasa estetika yang biasanya dalam ragam
hias tersebut terdapat pula makna simbolik tertentu di lingkungan masyarakat
pendukungnya (Soegeng Toekio,1987:9).
Mengenai pengertian ragam oleh Gustami (1980:176) dijelaskan sebagai
berikut :
……..Bahwa ragamlah yang menjadi pangkal atau pokok dari suatu pola, di
mana setelah ragam itu mengalami gambar penyusunan dan ditebarkan
secara berulang-ulang akan memperoleh sebuah pola. Kemudian setelah
pola tersebut diterapkan pada benda lain maka jadilah suatu ornamen.
Selanjutnya dalam Kamus Indonesia Modern dijelaskan bahwa kata hias
mempunyai arti sesuatu untuk menambah indah. Dengan demikian pengertian
kata hias yang dimaksud adalah sesuatu untuk menambah indah, baik terdiri dari
unsur – unsur hias berupa ragam maupun unsur – unsur hias lainnya. Ragam hias
adalah bentuk atau elemen dasar yang bertujuan untuk suatu keindahan dalam
kesenian. Ornamen merupakan suatu bentuk yang tidak lepas dari ragam hias.
Ornamen dibuat pada suatu bentuk dasar dari hasil kerajinan tangan
(perabot, pakaian dan sebagainya) dan arsitektur. Faktor yang mendorong
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
timbulnya ornamen adalah dari dalam manusia sendiri dan dorongan dari luar
yang meliputi lingkungan masyarakat dan lingkungan alam. Dorongan dari alam
meliputi segala bentuk tuntutan rohani, sedangkan dorongan dari luar suatu
keterikatan manusia sebagai makhluk sosial terhadap alam sekitarnya (Sutan
Muhammad Zain, 1958:609).
2.2.7.2. Pengertian Ragam Hias
Padanan kata dari ragam hias adalah ornamen, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ornamen diartikan sebagai hiasan yang dibuat pada arsitektur,
kerajinan tangan, lukisan, perhiasan dan sebagainya. Ragam hias setidaknya
adalah sebagai sebuah bentuk hasrat sang seniman untuk mengeksplorasi
kenyataan dalam bentuk abstrak dan geometri, seperti lekukan sederhana
berbentuk bujur sangkar (meander) atau abstraksi tumbuhan yang melingkar atau
binatang yang lebih rumit bentuknya yang banyak ditemui dalam karya seni atau
produk lainnya (Susanto, 2003:222). Pendapat lain mengatakan bahwa ragam
hias adalah elemen-elemen dekorasi yang diperoleh dengan meniru atau
mengembangkan bentuk-bentuk yang ada di alam dan divisualkan pada
permukaan suatu benda. Pada dasarnya ragam hias berperan sebagai media untuk
memperindah sesuatu karya. Ia dapat memperindah benda pakai secara lahiriah,
satu atau dua darinya memiliki nilai simbolik atau mengandung makna tertentu.
Dalam penciptaan ragam hias tidak dapat dilepaskan unsur-unsur apa yang
menjadi pendukung terjadinya bentuk-bentuk visual tersebut, diantaranya peran
garis, bidang, tekstur dan warna (Toekio, 1987:10).
Spelt (1996:1) mengatakan bahwa kesesuaian ragam hias itu selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dihubungkan dengan bentuk dan struktur objek yang dihiasi, sebagai pelengkap
dari objek itu, dan tidak pernah melemahkan bahkan menambah nilai estetis
dengan berbagai variasi bentuknya. Seni ragam hias bukan sesuatu yang bersifat
sewenang-wenang; di samping tergantung kepada bentuk produk, ia juga
dipengaruhi oleh sifat alami material yang dibuat, demikian juga halnya gaya atau
cara di mana produk alami dibuat untuk ornamentasi oleh orang yang berbeda
pada waktu yang berbeda. Seni ragam hias berkaitan erat dengan material,
tujuan, bentuk, dan gaya. Bentuk ragam hias yang paling tua terdiri dari gambar
geometris, lingkaran-lingkaran kecil, pita, garis lurus/lengkung dan sebagainya.
Dengan kemajuan intelektual umat manusia, seniman memperoleh lebih banyak
kecakapan teknis, dan mencoba untuk menggunakan obyek binatang,
tumbuhan, dan akhirnya menggambarkan dirinya sendiri, untuk seni ragam
hiasnya.
Tumbuhan dan binatang sering dijadikan sebagai produk ragam hias yang
dapat ditempuh dengan dua cara, pertama; dibentuk sesuai dengan wujud aslinya,
yang disebut dengan ragam hias naturalistik, dan yang kedua, dalam suatu bentuk
yang mencerminkan spirit waktu, religius atau gagasan politis dari suatu
masyarakat tertentu disebut dengan Stylistic Ornament. Masing-masing gaya
memperlihatkan corak berbeda. Masing-masing mempunyai bentuk-bentuk ragam
hias yang lebih disukai oleh masyarakat di mana ragam hias itu berkembang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ragam hias pada
dasarnya adalah sesuatu yang ditambahkan dengan maksud menambah keindahan
pada suatu benda, dengan mengutamakan keserasian antara corak ragam hias
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
dengan benda yang dihias sehingga dapat menambah nilai estetis benda yang
dihias. Pada kesenian Indonesia ragam hias juga bermakna simbolik, ragam hias
tidak sekedar untuk memperindah suatu permukaan saja, tetapi juga mempunyai
muatan-muatan simbolik yang berfungsi sebagai media bertutur untuk
menyampaikan pesan tertentu yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan
filosofi hidup masyarakatnya.
2.2.7.3. Bentuk Ragam Hias dan Simbol
Ragam hias merupakan hasil budaya sejak masa pra sejarah dan berlanjut
sampai sekarang. Ragam hias memiliki pengertian secara umum, yaitu keinginan
manusia untuk menghias benda – benda di sekelilingnya, kekayaan bentuk yang
menjadi sumber ragam hias dari masa lampau yang berkembang di Istana Raja –
Raja dan Bangsawan, baik yang ada di Bangsa Barat maupun Bangsa Timur.
Istilah lain yang berkaitan dengan ragam hias adalah ragam. Ragam
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “pola” atau “corak”,sedangkan
corak berarti bunga atau gambar – gambar (Hasan Shadly,1980:593). Dalam
Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa, hiasan adalah ornamen, dibidang seni
bangunan dikenal beberapa jenis hiasan, antara lain hiasan aktif, yaitu hiasan yang
keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari bangunan utama, karena kalau hiasan
itu dipisahkan akan merusak konstruksi bangunan tersebut. Sedangkan hiasan
pasif adalah hiasan yang lepas dari bangunan utama, yang dapat dihilangkan tanpa
mempengaruhi konstruksi bangunan. Adapun hiasan teknis adalah hiasan yang
fungsinya sebagai hiasan dan juga punya fungsi lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Ragam hias untuk suatu benda pada dasarnya merupakan sebuah
pelengkap untuk mendapatkan nilai lebih dari sebelumnya yaitu barang tersebut
menjadi lebih bagus dan menarik. Di Indonesia banyak sekali bentuk maupun
ragam hias, bahkan sulit mengenali secara jelas dari mana sumbernya. Tetapi
dapat dikelompokkan dalam motif hias sebagai berikut :
a. Kelompok motif hias geometris
Kelompok ragam hias geometris ini selalu memanfaatkan kaidah- kaidah
dalam mewujudkan motif-motif atau memanfaatkan pola-pola geometris dalam
penyusunan pola-pola hiasnya. Ide dasar lebih banyak mengungkapkan unsur-
unsur beraturan yang tidak bertitik tolak dari bentuk nyata atau mengalihkan
bentuk-bentuk alam. Menurut Soegeng Toekio (1987: 53) berbagai macam motif
dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok yaitu :
1). Kaki silang, berupa bentuk persilangan garis yang bertumpu pada satu
titik, ini dapat berupa : silang dua, silang tiga dan silang empat, ini dapat
berbentuk garis tegak ataupun lengkung.
2). Pilin ( spiral ); berupa relung-relung yang saling bertumpuk atau
bertumpang membentuk pilin berupa huruf “S” atau sebaliknya. Bentuk
pilin ini dapat diperkaya dengan pengulangan pilin ganda atau kombinasi
yang dibuat dengan ukuran yang berbeda.
3). Kincir, bertitik tolak dari mata angin yang mempunyai gerak ke kiri atau
ke kanan. Pada garisnya membentuk putaran yang berakhir dalam susunan
melingkar dengan putaran (spill).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
4). Bidang, pada kelompok ini dapat terdiri atas bidang segitiga, bundar,
empat persegi dan gumpalan ( blob) yang tak beraturan.
Dari keempat kelompok tadi dapat dibentuk bermacam-macam variasi baik
bentuk tunggalnya sebagai ragam hias, maupun bentuk perulangan dan
kombinasinya sebagai pola hias ( Soegeng Toekio, 1987 : 53 ).
b. Motif hias tumbuh-tumbuhan.
Kelompok motif hias ini merupakan motif hias yang terdiri dari tumbuh-
tumbuhan sebagai sumber penciptaanya. Dalam perwujudannya terdiri dari
bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah dan ranting. Teknik stilasi
sangat dominan mempunyai peranan penting dalam ragam hias kelompok ini di
Indonesia. Menurut Soegeng Toekio (1987:81-82) motif hias kelompok tumbuh-
tumbuhan dibedakan menjadi dua, yaitu :
1). Bentuk Naturalis,
Bentuk ini tidak banyak mengalami perubahan dari bentuk asal, dapat
dicapai dengan pewarnaan yang mewakili warna aslinya, yaitu dengan
gambar-gambar bentuk yang sempurna.
2). Bentuk Stilasi Tumbuh-Tumbuhan
Ragam hias ini dibuat dengan penyederhanaan bentuk-bentuk yang
diambil dari alam, obyek asalnya sebenarnya masih bertitik tolak dari
alam tumbuh-tumbuhan dengan mengambil intinya saja. Dari penjelasan
ini, motif hias tumbuh-tumbuhan bisa terjadi dari bentuk naturalis yang
tidak banyak mengalami perubahan dari bentuk asalnya. Bisa juga bentuk
stilasi dari penyederhanaan bentuk-bentuk dari alam dengan mengambil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
intinya saja tetapi masih ada sifat-sifat dari tumbuh-tumbuhan itu. Cara
pengungkapannya merupakan hasil kreasi dari penciptanya yang tidak
melupakan unsur-unsur pokok di dalamnya (Soegeng Toekio, 1987:81-
82).
c. Kelompok Motif Hias Mahluk Hidup
Dalam kelompok ini motif hias mahluk hidup seperti hewan dan mahluk
gaib menjadi sumber inspirasi penciptanya. Perwujudannya dengan bentuk yang
realis seperti pahatan pada relief candi. Hewan banyak menjadi sumber penciptaan
motif hias. Menurut Soegeng Toekio (1987: 115) motif hias motif binatang dapat
dikelompokkan menjadi :
1). Binatang yang hidup di darat ( termasuk binatang melata)
2). Binatang yang hidup di air
3). Binatang bersayap yang bisa terbang
Dari tiga jenis binatang ini dapat diperoleh penggambaran dan setiap jenis
dapat memberikan contoh berlainan yang penciptaanya ada yang dikaitkan dengan
kepercayaan (Soegeng Toekio, 1987 :115 ).
d. Kelompok Motif Hias Dekoratif
Kelompok motif hias dekoratif menurut Soegeng Toekio (1987: 137)
adalah banyak ragam hias yang tidak mengambil unsur alam maupun bentuk
geometris seperti kaligrafi dan jalinan garis. Jenis motif hias ini dikenal dengan
nama motif dekoratif.
Dari pendapat ini yang dimaksud motif hias dekoratif adalah motif-motif
hias yang mengambil obyek selain dari unsur-unsur alam maupun bentuk-bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
geometris atau ilmu ukur. Jenis motif hias dekoratif ini banyak ditemukan di
seluruh Indonesia, pada hasil karya masa lampau, banyak diciptakan manusia
bermula untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih dari itu untuk pelengkap
upacara adat dan sebagai benda pusaka ( Soegeng Toekio, 1987 :137 ).
Perkembangan ragam hias Indonesia terbagi dalam dua masa, yaitu masa
pra sejarah dan sejarah. Masa pra sejarah masih terbagi lagi menjadi zaman
paleolitikum, mesolitikum, dan neolitikum. Pada zaman paleolitikum manusia
Indonesia belum meninggalkan jejak-jejak peninggalan yang bermuatan seni.
Peninggalan bermuatan seni baru pada masa neolitikum dan mesolitikum
akhir. Sedangkan zaman sejarah dimulai sejak datangnya pengaruh kebudayaan
India ke Indonesia, yang dilanjutkan dengan pengaruh Islam, Cina dan Eropa.
Zaman pra sejarah Indonesia sudah mengenal seni, walaupun tulisan
belum dikenal. Kesenian Indonesia primitif selalu dikaitkan dengan nilai religi,
artefak yang dihasilkan selalu diciptakan untuk maksud pemujaan. Dalam
kesenian primitif akan ditemukan kekuatan batin dan dasar-dasar rohani,
sehingga arti ragam hias zaman ini lebih penting dari pada cara-cara kesenian
yang kemudian lebih mementingkan kepandaian hias menghias. Pada zaman batu
muda atau neolithikum sudah mengenal penanaman padi, maka dapat ditemukan
pada zaman itu pembuatan cangkul yang dibuat dari batu, memelihara kerbau
sebagai binatang ternak. Sangat mungkin telah mampu membuat tenun dan
membakar gerabah, membuat barang-barang dari kayu dan menghiasinya dengan
ukir-ukiran dan membuat perahu. Dari situ adanya beliung (kampak) batu,
pahat lengkuk dan sebagainya. Di samping itu ditemukan arca-arca leluhur untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
upacara pemujaan leluhur (Hoop, 1949:13).
Pada zaman neolithikum, kesenian Indonesia kuno bersifat monumental
dan simbolik. Pada waktu itu orang telah membangun tempat pemujaan dari batu
besar yang tidak atau sedikit bertatah dan membubuhinya dengan simbol-
simbol tertentu untuk menolak bahaya dan mendatangkan kebahagiaan dan
kesuburan. Jadi ragam hias tidak hanya sekedar berfungsi sebagai hiasan, tetapi
menjadi simbol magis.
Pada sekitar tahun 500 – 300 SM, mulai masuk kebudayaan logam
terutama perunggu dan sedikit besi dari Tongking, bagian utara Indo Cina.
Kebudayaan ini membawa kepandaian mengerjakan logam yang disebut
kebudayaan perunggu atau kebudayaan Dong Son. Barang-barang yang terbuat
dari perunggu telah dihiasi dengan ragam hias yang bagus. Dalam seni Dong Son
niat menghias semakin tampil. Bagian tepi dan bidang-bidang dihias dengan
ragam hias yang merupakan simbol-simbol tertentu. Ragam hias yang banyak
diterapkan seperti motif pilin bentuk “S” atau pilin berganda, swastika dan
meander, ragam hias ini melambangkan peredaran matahari, yang berhubungan
dengan pemujaan matahari pada zaman itu (Hoop, 1949:12).
Gaya yang terdapat dalam ragam hias Indonesia cukup beragam. Salah
satu hal yang menyebabkannya adalah religi primordial yang berbeda-beda antara
satu daerah dengan daerah lain. Di mana religi primordial suku-suku di Indonesia
dipengaruhi ekologinya. Perbuatan manusia merubah lingkungannya dan
lingkungan sebaliknya mempengaruhi tingkah laku manusia. Demikian terjadi
secara berulang yang setiap kali akan merubah pola dan nilai yang sudah ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
secara perlahan. Hubungan antara manusia dengan lingkungannya ini terjadi
sebagai pencerminan dari kebutuhan asasi manusia sebagai mahluk hidup, yang
kemudian akan menghasilkan sebuah budaya. Di Indonesia dapat ditemukan
berbagai macam corak ragam hias, tiap daerah mempunyai kekhasan masing-
masing sesuai dengan daerah di mana ragam hias berkembang. Berbagai corak
ragam hias yang terdapat di Indonesia, dipengaruhi pula kebudayaan yang
berasal dari luar, seperti dari India, Arab, Cina dan Eropa.
2.2.7.4. Ragam Hias Prasejarah
Beberapa corak ragam hias Indonesia yang berkembang pada zaman
prasejarah antara lain sebagai berikut :
Corak Manusia, muncul dalam berbagai bentuk, baik secara keseluruhan maupun
sebagian. Mempunyai dua fungsi sebagai penolak kejahatan dan melambangkan
nenek moyang yang mengandung makna pelindung dari bahaya (Hoop,
1949:92). Banyak ditemukan pada hiasan alat-alat perunggu seperti: nekara dan
genderang perang yang terdapat pada songket di Sumatra Selatan dan Sumba,
seni tato Dayak dan perisai perang Irian. Di samping itu juga banyak ditemukan
pada hiasan hulu keris.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Gambar II.2 Ragam Hias corak Manusia (sumber : Hoop, 1949:95)
Corak Kedok (topeng), bagian badan manusia yang dianggap mempunyai
kesaktian paling besar oleh orang primitif adalah wajah. Maka orang membuat
ragam hias yang dipengaruhi bentuk wajah banyak ditemukan. Kedok diyakini
sebagai penangkal pengaruh jahat ( Hoop, 1949:100). Benda-benda yang
dihiasi dengan raga-raga mini dapat ditemukan di Sulawesi, Sumba, Papua dan
tempat-tempat lain di Indonesia.
Gambar II.3 Ragam Hias Kedok / topeng (sumber : Hoop, 1949:105)
Corak Tumpal, ragam hias tumpal berbentuk deretan segitiga sama kaki, sering
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dijumpai dalam tenunan atau batik juga barang anyaman, nekara zaman pra
sejarah, seni hias bangunan Hindu seperti di candi Naga dekat Blitar. Pada ukiran
kayu rumah Minangkabau, corak tumpal diisi dengan hiasan tumbuh--
tumbuhan, juga ditemukan pada ukiran rumah Batak dan Toraja (Hoop,1949:24).
Corak tumpal ini hampir merata ada di seluruh Indonesia
Gambar II.4 Ragam Hias corak Tumpal (sumber : Hoop, 1949:25)
Corak Pilin atau Pilin Berganda mempunyai bentuk huruf “S”, terdapat hampir
di seluruh Indonesia. Corak pilin berganda ini munculnya bersamaan dengan
kebudayaan perunggu. Dihiaskan pada nekara perunggu zaman pra sejarah
berasal dari Jawa Barat. Corak ini juga merupakan ragam hias sebagai
pengisi bidang dan pinggir haluan perahu, juga banyak digunakan pada rumah
Toraja, Batak, dan perisai Irian (Hoop,1949:36)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Gambar II.5 Ragam Hias Pilin Berganda (sumber : Hoop, 1949:37)
Corak Meander berasal dari zaman Perunggu, merupakan bentuk huruf “T” yang
tegak lurus serta terbalik yang disusun bergantian dan bersambungan. Dalam
teknik batik sering disebut dengan corak banji. Jenisnya bermacam-macam,
meander dalam bentuk bundar, mengalir yang kemudian berubah menjadi
pinggiran bentuk awan seperti yang terdapat di Cirebon (Hoop,1949:56).
Gambar II.6 Ragam Hias corak Meander
(sumber : Hoop, 1949:57)
Corak Swastika melambangkan peredaran bintang-bintang, khususnya lambang
matahari sebagai pembawa kemujuran. Di Indonesia ragam hias swastika dipakai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
sebagai pengisi bidang yang terdiri dari gambar-gambar bergaris lurus dan
seluruhnya dinamakan sebagai banji (Hoop,1949:64).
Gambar II.7 Ragam Hias corak Swastika (sumber : Hoop, 1949:65)
Corak Kait atau Kunci. Ragam hias ini erat kaitannya dengan ragam hias
banji (swastika dan meander), dapat dianggap sebagai kaki swastika atau kait
meander. Banyak terdapat pada tenunan, seperti kain tenun dari Minangkabau.
Kain itu ditenun dalam berbagai warna dengan benang sutera, di pinggir sebelah
bawah yang lebih lebar dan lebih muda warnanya dihiasi dengan serat emas
(Hoop,1949:312).
Gambar II.8 Ragam Hias corak kunci/kait yang digabung dengan corak jalinan. (sumber : Hoop, 1949:313)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Corak Binatang, penggambaran binatang seperti biawak, buaya, kadal, merupakan
penggambaran roh nenek moyang. Binatang tersebut diyakini sebagai penjelmaan
roh nenek moyang (Hoop, 1949:218).
Gambar II.9 Ragam Hias Corak Katak, Ular & Buaya (sumber : Hoop, 1949:219)
Binatang lain yang sering digambarkan dalam corak ragam hias pra sejarah adalah
Kerbau, nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman Neolitikum sudah
mengenal kerbau sebagai binatang ternak dan memujanya sebagai binatang
'keramat'. Melambangkan kesuburan dan penolak bahaya. Dalam alam pikiran
Indonesia dikenal sistem pembedaan yang terbagi dua, yaitu dunia atas dan dunia
bawah. Kerbau termasuk dunia bawah seperti halnya bumi, bulan, air, bawah, kiri,
dan lain-lain. Sedangkan matahari, burung, langit, api, atas, dan kanan termasuk
dunia atas. Corak kerbau terdapat pada rumah Batak yang dipasang diujung
atap, rumah adat Minangkabau dan Toraja. Dalam perkembangannya, tanduk
kerbau menjadi bentuk bulan sabit seperti yang terlihat pada pikulan tukang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
sate orang Madura, pada hiasan puncak rumah adat Jawa, bahkan mengandung
arti lain sebagai lambang penghormatan pada kelahiran bulan yang baru terbit
(Hoop, 1949:130).
Gambar II.10 Ragam Hias corak Kerbau (sumber : Hoop, 1949:131)
Corak Gajah sudah ada di Indonesia sejak dulu sebagai kendaraan untuk
berperang dan untuk orang mati. Selain itu, juga terdapat pada hiasan
keris, cincin, barang emas di Bali dan Hindu Jawa (Hoop, 1949:138).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gambar II.11 Ragam Hias corak Gajah (sumber : Hoop, 1949:139)
Corak Ular, sudah lama dikenal sejak zaman pra sejarah pada tutup peti mati. Di
Jawa, Madura dan Bali digunakan sebagai hiasan ukiran kayu seperti naga pada
pukulan, pegangan, hiasan gamelan dan keris.
Gambar II.12 Ragam Hias corak Ular pada pancuran air (sumber : Hoop, 1949:211)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
2.2.8. Perkembangan Ragam Hias Indonesia
2.2.8.1. Pengaruh Ragam Hias Hindu, Budha
Perkembangan ragam hias di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh ragam hias Hindu dan Budha yang datang dari India. Kebudayaan
India bercampur dengan kebudayaan tradisional Indonesia. Hasil dari akulturasi
budaya ini menimbulkan babakan baru dalam perkembangan kesenian Indonesia.
Karya utama seni Indonesia Hindu ialah bangunan candi, bangunan kuil tempat
menyelenggarakan upacara agama. Di Indonesia fungsi candi tidak hanya untuk
upacara keagamaan saja, tetapi juga sebagai monumen atau bangunan peringatan
dari raja yang sudah meninggal. Pada bangunan candi di samping terdapat patung-
patung raja juga dihiasi dengan relief cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana
yang seringkali diselingi dengan kisah raja yang memerintah.
Ragam hias yang dihasilkan dari percampuran antara budaya India dan
budaya Indonesia tercermin dari ragam hias yang menunjukkan ciri-ciri ragam
hias prasejarah yang diterapkan pada hiasan candi. Ada dua jenis pahatan, yaitu
relief timbul dan dan relief datar. Relief timbul adalah hiasan pahatan yang timbul
di atas permukaan bidang pahatan, sedang relief datar pahatan itu rata dengan
bidang permukaan pahatan. Sebagai contoh adalah motif hias Kala Makara, sering
tampil sebagai hiasan pada pintu kamar candi atau relung. Hiasan ini dimasukkan
ke dalam hiasan struktur karena penampilannya sangat menonjol di atas
permukaan dinding yang hampir menyerupai hiasan patung tempelan.
Corak Makara, masuk ke Indonesia melalui kebudayaan Hindu. Corak ini
merupakan binatang khayalan dengan bentuk ikan dan belalai Gajah. Paduan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kala atau naga makara sering ditemukan pada ruang masuk candi. Corak ini juga
terdapat pada hiasan topi, perhiasan emas, pada pelita dengan bahan 'makara'
sebagai tempat minyak
Gambar II.13 Ragam Hias corak Makara (sumber : Hoop, 1949:163)
Corak Burung, di seluruh dunia motif burung ini memegang peranan penting
sebagai lambang. Di Indonesia melambangkan roh yang telah meninggal. Burung
Merak, berasal dari kebudayaan Hindu sebagai binatang kendaraan dewa perang
dan kesenian di Cina. Dari kedua sumber ini kemudian datang ke Indonesia.
Ditemukan pada kain Bali. Burung Nuri dalam kebudayaan Hindu melambangkan
dewa Kama atau dewa Asmara. Sebagai contoh, terdapat pada talam perunggu dan
arca penjelmaan dewa Kama yang sedang duduk (di Jawa Timur). Corak ini juga
digambarkan sebagai pembawa surat cinta, dilukiskan dengan membawa surat
pada paruhnya seperti terlihat pada hiasan batu bata untuk bangunan di Jawa
Timur dan Palembang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Gambar II.14 Ragam hias burung (sumber : Hoop, 1949:193)
Corak Wayang, ragam hias wayang ini menggambarkan tokoh-tokoh pewayangan
dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Dipahatkan pada dinding candi berupa
relief atau dipahatkan pada senjata kuno seperti keris. Corak wayang ini juga
ditemukan pada tenunan dan barang-barang dari logam.
Gambar II.15 Ragam hias Wayang (sumber : Hoop, 1949:129)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Corak Garuda, dalam mitologi Hindu melambangkan kendaraan Wisnu dan
burung Rajawali. Motif ini sering dipakai dalam seni Hindu Jawa dan masih
berkembang, pada hiasan lampu di Jawa Barat, batik dan ujung tombak di Jawa.
Gambar II.16 Ragam Hias corak Garuda (sumber : Hoop, 1949: 179)
Corak Flora. Corak flora tidak ada pada jaman pra sejarah, baru muncul pada
jaman Hindu, dan selanjutnya menjadi bagian yang utama dalam seni ragam
hias di Indonesia. Ragam ini mempunyai sifat magis seperti: sulur, gulung, lidah
api, karangan, pegunungan, pohon hayat dan lainnya. Corak flora digunakan
pada hiasan ukiran kayu dan bambu, tersirat religi magis yang berhubungan
dengan kesuburan tanah. Corak suluran yang di kembangkan secara artistik
terlihat pada hiasan rumah adat Jawa. Pada Hindu Jawa, corak ini digunakan
dalam upacara keagamaan. Corak pohon 'hayat' melambangkan ketuhanan yang
meliputi dunia atas dan bawah; sebagai keesaan tertinggi yang merupakan sumber
dari segala kehidupan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Gambar II.17 Motif tumbuh-tumbuhan sebagai lambang kesuburan terdapat di candi kalasan
(sumber : Gustami, 2000:166)
Gambar II.18 Bentuk pot yang memuntahkan sulur-suluran daun dan bunga (sumber : Gustami, 2000:166)
Gambar II.19 Ragam hias corak Pohon Hayat (sumber : Hoop, 1949:279)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2.2.8.2. Pengaruh Ragam Hias Cina
Pengaruh kebudayaan Cina pada kesenian Indonesia sudah ada sejak
zaman pra sejarah, tepatnya pada zaman perunggu. Di mana pengaruh kebudayaan
Dong Son terlihat pada ragam hias yang diterapkan pada peninggalan-peninggalan
seperti Nekara dan Moko dari Nusa Tenggara Timur. Pengaruh kebudayaan Dong
Son ini bersamaan dengan gelombang perpindahan orang dari daratan Asia
ke Indonesia yang datang pada 500 tahun sebelum Masehi. Pengaruh kebudayaan
Cina ini dilanjutkan dengan terjalinnya hubungan perdagangan antara Kerajaan
Sriwijaya dengan kerajaan yang ada di daratan Cina.
Gambar: II.20 Ragam Hias corak Cina (Sumber: Gustami, 2000: 169)
2.2.8.3. Pengaruh Ragam Hias Islam
Ragam hias dalam dunia Islam merupakan hasil karya seni rupa Islam
yang sangat penting, mengingat seni ragam hias ini hampir pasti dapat ditemukan
pada kebanyakan hasil seni rupa Islam, baik pada benda-benda kerajinan, senjata,
topi perang, permadani, keramik sampai pada peninggalan-peninggalan arsitektur.
Gaya abstrak dan dekoratif dalam Islam dipengaruhi adanya larangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
penggambaran mahluk yang bernyawa. Hal ini mempengaruhi bentuk-bentuk
tertentu perkembangan estetik yang mengarah pada suatu penekanan terhadap
ragam hias, yang terwujud dalam tiga bentuk, yakni kaligrafi, arabes, dan bentuk
geometris.
Kaligrafi adalah jalinan huruf-huruf hijaiyah yang dirangkai menjadi
sebuah bentuk yang indah. Sebagai hiasannya seringkali dirangkai dengan bentuk
tumbuh-tumbuhan. Dapat pula kaligrafi dijalin dengan motif-motif geometris,
atau bahkan sekaligus berupa bentuk-bentuk yang geometris. Arabes merupakan
jenis ragam hias yang dibentuk dengan cara menempatkan pola-pola hias secara
beraturan sedemikian rupa sehingga terbentuk irama yang berulang-ulang dan
terus menerus. Secara struktural arabes terbentuk karena pengolahan garis
lengkung dengan segala kemungkinan dan yang paling berperan dalam seni rupa
Islam ialah garis-garis pilin (spiral) dengan berbagai ubahan.
Ragam hias geometri yang paling banyak diolah ialah bentuk-bentuk
poligonal yang pada dasarnya merupakan jalinan dari bentuk-bentuk segi tiga,
segi empat, segi lima atau segi banyak lainnya. Ragam hias geometri ini dapat
tampil secara dua dimensional maupun tiga dimensional, kadangkala
merepresentasikan bentuk-bentuk yang ada di alam seperti tumbuh-tumbuhan.
Tetapi lebih banyak bentuk-bentuk abstrak. Seringkali pula dipadukan dengan
kaligrafi dari ayat-ayat Alqur’an.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Gambar II.21 Ragam Hias corak Arabes (sumber : George Michell, )
Gambar II.22 Ragam Hias corak Geometris (sumber : George Michell)
Ragam hias yang muncul pada masa kerajaan Islam antara lain
terdapat pada Masjid Mantingan berupa bentuk medalion sebagai unsur hias yang
ditambahkan pada dinding masjid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Gambar II.23 Hiasan berbentuk Medalion di masjid Mantingan, Jepara. (dokumentasi : Zainul, 2011)
2.2.8.4. Pengaruh Ragam Hias Eropa
Sejak kedatangannya ke Indonesia pada awal abad ke16 (Ricklefs,
1989:31), bangsa Eropa telah ikut andil memperkaya khasanah budaya Indonesia.
Masuknya unsur-unsur budaya asing dari Eropa Barat seperti Ionia, Doria,
Korinthia, Renaisans, Barok, Rokoko, Gotik, Georgian, Klasik dan lain-lain,
bercampur dengan budaya lokal Indonesia telah menghantarkan terciptanya ragam
hias baru dalam khasanah ragam hias Indonesia. Pengaruh ragam hias Eropa Barat
nampak pada peninggalan-peninggalan masa penjajahan Belanda yang berupa
arsitektur maupun produk kerajinan seperti kursi dan produk furniture lainnya.
(Gustami, 2000:165).
Gambar II.24 Ragam Hias corak Eropa pada elemen arsitektur
(Sumber: Gustami, 2000:170)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
2.3. Konsep
Penjelasan dan batasan tentang penelitian ini perlu dijelaskan konsep-
konsep yang digunakan. Untuk itu, urutan konsep yang dipaparkan terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu (1) kajian gebyok (2) makna simbol (3) ragam hias
gebyok pada rumah Kudus.
2.3.1. Kajian gebyok
Satuan konsep kajian gebyok terdiri atas dua unsur, yaitu kajian dan
gebyok. Keduanya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
dalam Kamus Bahasa Indonesia kajian diterjemahkan sebagai hasil
mempelajari, menelaah, menyelidiki (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008:618). Kedua, gebyok diterjemahkan sebagai pembatas atau
penyekat antara ruang tamu (jogosatru) dengan ruang keluarga.
Kajian gebyok merupakan salah satu bagian dalam pembahasan
penelitian ini. Dari paparan di atas dapat dirumuskan konsep kajian gebyok
sebagai berikut. Kajian gebyok adalah hasil menelaah terhadap keadaan yang
bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkret yang merupakan pengantar
pemahaman terhadap objek, yaitu gebyok pada rumah Kudus.
2.3.2. Makna simbol
Satuan konsep makna simbol terdiri atas dua unsur, yaitu makna dan
simbol. Keduanya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
makna. Secara khusus “makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang
diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah hubungan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
korelatif atau saling menghubungkan diri satu dengan yang lain. Tanpa
subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan
subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Makna diberikan kepada objek
oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian maka
objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1999:30).
Menurut Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis, makna hadir selalu
didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat
diperoleh, bila subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan
memaknai sesuatu pada dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir,
2008:98). Interpretasi adalah mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat
interpretasi orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun
keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu,
melainkan bersifat alamiah. Menurut kenyataannya, bila seorang mengerti, ia
sebenarnya telah melakukan interpretasi.
Kedua, simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai. Makna tidak
melekat pada obyek melainkan diberi oleh manusia (subyek) yang
menafsirkan simbol itu, artinya makna simbol tidak berada pada simbol itu
sendiri, melainkan berada pada manusia itu sendiri (Heddy Shri Ahimsa Putra
dalam Subiyantoro, 2011:21). Simbol setidak-tidaknya dapat dibedakan
dengan empat peringkat, yaitu (1) simbol konstruktif, yaitu simbol yang
berkaitan dengan kepercayaan atau keyakinan terhadap sang pencipta; (2)
simbol evaluasi, yaitu simbol yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma atau
aturan-aturan; (3) simbol kognitif, yaitu simbol yang berkaitan dengan ilmu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan
tentang realitas dan keteraturan, dan (4) simbol ekspresif, simbol yang
berkaitan dengan pengungkapan perasaan (Subiyantoro, 2011:22)
Makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus merupakan
salah satu bagian dalam pembahasan penelitian ini, Dari paparan di atas dapat
dirumuskan konsep makna simbol sebagai berikut. Makna simbol adalah
persepsi terhadap pengertian yang diberikan subjek kepada suatu hal atau
keadaan yang bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkret yang merupakan
pengantar pemahaman terhadap objek, yaitu ragam hias pada gebyok rumah
Kudus.
2.3.3. Ragam Hias Gebyok Kudus
Padanan kata dari ragam hias adalah ornamen, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ornamen diartikan sebagai hiasan yang dibuat
pada arsitektur, kerajinan tangan, lukisan, perhiasan dan sebagainya. Ragam
hias setidaknya adalah sebagai sebuah bentuk hasrat sang seniman untuk
mengeksplorasi kenyataan dalam bentuk abstrak dan geometri, seperti
lekukan sederhana berbentuk bujur sangkar (meander) atau abstraksi
tumbuhan yang melingkar atau binatang yang lebih rumit bentuknya yang
banyak ditemui dalam karya seni atau produk lainnya (Susanto, 2003:222).
Pendapat lain mengatakan bahwa ragam hias adalah elemen-elemen dekorasi
yang diperoleh dengan meniru atau mengembangkan bentuk-bentuk yang
ada di alam dan divisualkan pada permukaan suatu benda. Pada dasarnya
ragam hias berperan sebagai media untuk memperindah suatu karya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Ia dapat memperindah benda pakai secara lahiriah, satu atau dua darinya
memiliki nilai simbolik atau mengandung makna tertentu. Dalam penciptaan
ragam hias tidak dapat dilepaskan unsur-unsur apa yang menjadi pendukung
terjadinya bentuk-bentuk visual tersebut, di antaranya peran garis, bidang,
tekstur dan warna (Toekio, 1987:10).
Spelt (1996:1) mengatakan bahwa kesesuaian ragam hias itu selalu
dihubungkan dengan bentuk dan struktur objek yang dihiasi, sebagai
pelengkap dari objek itu, dan tidak pernah melemahkan bahkan menambah
nilai estetis dengan berbagai variasi bentuknya. Seni ragam hias bukan
sesuatu yang bersifat sewenang-wenang; di samping tergantung kepada
bentuk produk, ia juga dipengaruhi oleh sifat alami material yang dibuat,
demikian juga halnya gaya atau cara di mana produk alami dibuat untuk
ornamentasi oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda. Seni ragam
hias berkaitan erat dengan material, tujuan, bentuk, dan gaya. Bentuk ragam
hias yang paling tua terdiri dari gambar geometris, lingkaran-lingkaran
kecil, pita, garis lurus/lengkung dan sebagainya. Dengan kemajuan intelektual
umat manusia, seniman memperoleh lebih banyak kecakapan teknis, dan
mencoba untuk menggunakan obyek binatang, tumbuhan, dan akhirnya
menggambarkan dirinya sendiri, untuk seni ragam hiasnya.
Tumbuhan dan binatang sering dijadikan sebagai produk ragam hias
yang dapat ditempuh dengan dua cara, pertama; dibentuk sesuai dengan
wujud aslinya, yang disebut dengan ragam hias naturalistik, dan yang kedua,
dalam suatu bentuk yang mencerminkan spirit waktu, religius atau gagasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
politis dari suatu masyarakat tertentu disebut dengan stylistic ornament.
Masing-masing gaya memperlihatkan corak berbeda dan mempunyai bentuk
ragam hias yang lebih disukai oleh masyarakat di mana ragam hias itu
berkembang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ragam hias
pada dasarnya adalah sesuatu yang ditambahkan dengan maksud menambah
keindahan pada suatu benda, dengan mengutamakan keserasian antara corak
ragam hias dengan benda yang dihias sehingga dapat menambah nilai estetis
benda yang dihias. Pada kesenian Indonesia, ragam hias juga bermakna
simbolik, ragam hias tidak sekedar untuk memperindah suatu permukaan
saja, tetapi juga mempunyai muatan-muatan simbolik yang berfungsi sebagai
media bertutur untuk menyampaikan pesan tertentu yang berkaitan dengan
sistem kepercayaan dan filosofi hidup masyarakatnya.
Ragam hias tradisional Kudus banyak terdapat pada peninggalan-
peninggalan sejarah terutama pada peninggalan arsitektur tradisional.
Penerapan ragam hias banyak ditemukan pada bangunan rumah ibadah,
makam-makam dan tempat tinggal. Penelusuran terhadap obyek-obyek yang
masih ada dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya pendalaman dan
pemahaman tentang ragam hias dan penerapannya pada gebyok rumah
Kudus. Gebyok rumah Kudus merupakan warisan budaya tradisional yang
pada saat sekarang jumlahnya di Kudus sudah sangat berkurang dibandingkan
dengan jaman masa kejayaannya dulu pada sekitar abad 18 M. Gebyok rumah
Kudus beserta bagian-bagiannya yang sarat dengan ukiran tersebut, terus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
diincar oleh para kolektor dalam dan luar negeri sehingga satu demi satu
gebyok tersebut berpindah dari tempat asalnya di Kudus.
Gebyok Kudus yang asli dahulunya hanya sebagai unsur arsitektur
rumah adat Kudus yang berlokasi atau berada di Kudus Kulon di sekeliling
Masjid Menara Kudus. Seiring dengan berjalannya waktu, karena adanya
penjualan rumah Kudus, sehingga gebyoknya pun ikut terjual. Di samping
itu, faktor lain seperti faktor usia gebyok, kondisi ekonomi pemiliknya
sekarang dan kondisi sosial budaya yang sudah tidak sama lagi dengan waktu
dulu semakin mempercepat kemungkinan punahnya keberadaan gebyok
rumah Kudus tersebut. Berkurangnya gebyok rumah Kudus yang berukiran
(ragam hias) dengan penuh makna simbol bagi kehidupan masyarakat Kudus,
bisa mengakibatkan terjadinya kepunahan, sedangkan yang banyak dijumpai
di Kudus sekarang ini merupakan hasil replika yang dibuat oleh para perajin
gebyok.
Ragam hias merupakan komponen produk seni yang ditambahkan
atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. Di samping sebagai penghias
yang secara implisit menyangkut segi-segi keindahan, misalnya untuk
menambah keindahan suatu barang supaya lebih bagus dan menarik, di
samping itu dalam ragam hias sering ditemukan pula nilai-nilai simbol atau
maksud-maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup
(falsafah hidup ) dari manusia atau masyarakat pembuatnya, sehingga benda-
benda yang diterapinya memiliki arti dan makna yang mendalam, dengan
disertai harapan-harapan tertentu. Artinya bahwa ketika misalnya membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
patung, mereka menganggap patung itu sebagai benda sakral dan menjadi
benda untuk ritual atau pemujaan. Ada juga yang membuat sebuah gunungan
wayang yang merupakan landasan dari hubungan kehidupan makrokosmos
dan mikrokosmos yang mempunyai arti bahwa dalam hidup kita harus bisa
menyeimbangkan kedua hubungan tersebut supaya kehidupan berjalan baik
tanpa adanya ketimpangan di suatu saat nanti.
Banyak tulisan yang membahas tentang ragam hias oleh sebagian ahli.
Ragam hias pada dasarnya identik dengan keindahan yang diterapkan pada
suatu benda atau bangunan tertentu. Ragam hias adalah motif yang menjadi
pangkal atau pokok dari suatu pola, di mana setelah motif itu mengalami
proses penyusunan dan ditebarkan secara berulang-ulang akan memperoleh
sebuah pola, kemudian setelah pola tersebut diterapkan pada benda lain maka
jadilah suatu bentuk ornamen (Gustami, 1980:25).
Tampilan ragam hias pada suatu benda bukan sekedar bentuk yang
lebih indah dan menarik, tetapi di dalam ornamen mempunyai peranan lain,
yaitu sebagai simbol tertentu yang unsur di dalamnya mengisyaratkan pesan-
pesan adat yang mencerminkan kepercayaan, pengabdian kepada nenek
moyang dan ruh leluhur mereka (Gustami, 1980: 28). Secara umum peranan
ragam hias sangat besar sekaligus sebagai sarana untuk kebutuhan manusia.
Hal ini dapat dilihat melalui penerapannya diberbagai benda, kesemuanya itu
untuk kebutuhan jasmani dan rohani manusia.
Dalam perwujudannya, ragam hias memiliki bentuk yang berbeda-
beda tergantung benda apa yang dihiasnya. Ragam hias akan memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
nilai tambah pada benda yang dihiasinya, sehingga benda tersebut menjadi
indah dan menarik. Terbentuknya ragam hias tentunya tidak akan terlepas
dengan unsur pola dan motif. Dengan demikian dengan segala penerapannya
akan selalu berhubungan dengan istilah pola dan motif yang bentuknya sesuai
perkembangan jaman. Ragam hias selalu bersinggungan dengan istilah pola
dan motif. Pola merupakan wujud dasar yang dipakai pedoman untuk
menyusun suatu ragam hias. Pola mengandung pengertian hasil susunan dari
motif tertentu dalam bentuk dan komposisi yang tertentu pula (Toekio,
1987:147).
Dalam ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa motif merupakan
pangkal bagi tema kesenian. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka motif
merupakan pokok pikiran dan bentuk dasar dalam penciptaan ragam hias
yang meliputi segala bentuk yang ada di alam semesta ciptaan Tuhan dan
hasil daya kreasi atau imajinasi manusia (Toekio, 1987: 12), sesuai dengan
pendapat tadi, secara visual motif tersebut dapat meliputi ; bentuk manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, bentuk garis, lautan, awan, mahluk imajinatif,
dan lain-lain.
Motif juga merupakan unsur pokok dari suatu pola, sebab pola
terbentuk akibat penyusunan dan pengorganisasian motif secara berulang-
ulang, dengan demikian susunan motif yang berulang-ulang disebut pola.
Jadi pola yang sudah diperoleh kemudian diterapkan dan dijadikan penghias
(hiasan pada suatu benda) disebut dengan istilah ragam hias.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dalam pembuatan ragam hias terdapat berbagai bentuk, diantaranya
ada beberapa yang sudah mempunyai bentuk-bentuk baku. Bentuk demikian
itu nampaknya merupakan sesuatu yang tepat dan memiliki kedudukan
tertentu di dalam penerapannya serta pembuatannya. Ragam hias ini, proses
pengalihan atau penciptanya tidak selalu sama. Dalam pembuatan atau
penciptaan produk baru maka susunan maupun ukuran dibuat dengan pola
ulang tertentu. Kenyataan demikian ini rupanya masih mampu bertahan di
dalam lingkungan kehidupan masyarakat yang bertumpu pada tradisi.
Menurut Soegeng Toekio dalam bukunya ”Mengenal Ragam Hias
Indonesia”, (1987: 146-147) melihat tiga hal yang menonjol dalam proses
ulang untuk ragam hias antara lain :
Pertama : bentuk pola dengan susunan maupun ukuran yang dibuat tanpa
pembubuhan bentuk lain dan berdiri sendiri (pola ulang tunggal), bisa
ditemukan dalam relung candi, rumah adat atau benda magis lainnya.
Kedua : bentuk lain dalam cara reproduksi untuk ragam hias ini dapat kita
perhatikan yang tiap bagian merupakan suatu kelompok dan merupakan
himpunan untuk pola ulang yang terdiri atas beberapa bentuk atau unsur
namun masih bersifat satu kesatuan pokok. Ini biasa dinamakan sebagai
pola ulang himpunan. Pola ini dapat dijumpai di benda-benda pusaka,
karya monumental, tata ruang bangunan adat, dan lainnya.
Ketiga : pengulangan berproduksi dari ragam hias dengan kombinasi-
kombinasi ulangan. Pengulangan di sini disertai membubuhkan bentuk
lain yang tidak tercakup pada kelompoknya tanpa merusak atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
mengganggu bagian atau bentuk pokok itu sendiri. Biasa digunakan dalam
benda-benda permukaan lebar atau luas. Pengulangan yang demikian ini
disebut pola ulang menyeluruh.
Beberapa uraian di atas dapat disebutkan bahwa ragam hias didasari
dengan unsur pola dan motif. Sedangkan faktor penerapan ragam hias
terhadap suatu benda atau bangunan senantiasa mempertimbangkan beberapa
hal yaitu mengenai bentuk, komposisi, keseimbangan, serta makna yang
terkandung di dalam ragam hias itu sendiri, sehingga tercipta sebuah karya
seni yang mempunyai nilai estetis.
Bentuk ragam hias terdiri dari beberapa jenis yaitu ragam hias
geometris, tumbuh-tumbuhan dan binatang (Bastomi, 1987: 26). Adapun
pendapat lain mengatakan ragam hias dibedakan menjadi lima jenis yaitu :
1. Ragam hias Geometris
Ragam hias geometris tergolong ragam hias paling tua, bentuk ragam
hias ini sangat sederhana yaitu berupa goresan-goresan yang tajam
seperti garis lurus dan lengkung. Kemudian berkembang bentuk-bentuk
baru seperti pilin, meander, tumpal, dan swastika. Kemudian
berkembang lagi menjadi pilin berganda, meander tegak, dan meander
miring. Pada jaman dulu bentuk ini banyak ditemukan pada benda-
benda kuno yang isiannya berupa goresan-goresan yang cukup
sederhana (Guntur, 2009: 4).
2. Ragam hias Tumbuh-tumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Ragam hias ini biasanya mengambil pola-pola pokok yang berasal dari
alam, yaitu berupa tumbuh-tumbuhan atau flora yang dalam
penampilannya setiap ragam hias ini diwakili bagian dari tumbuh-
tumbuhan tersebut, misalnya; daun-daunan, buah-buahan, dan bunga.
Bentuk ragam hias ini banyak digunakan pada hiasan meja, vas bunga
dan lampion (Guntur,2009: 5)
3. Ragam hias Binatang
Ragam hias ini sering menggunakan binatang sebagai motif hiasnya,
bagian tubuh binatang dianggap mempunyai nilai tersendiri. Dalam
penggambarannya sering menggunakan bentuk binatang secara utuh
maupun bagian-bagian tubuhnya, dan biasanya bentuk binatang sudah
di stilasi (Guntur, 2009: 6).
4. Ragam hias Manusia
Manusia sering dijadikan motif hiasan, bagian tubuh manusia dianggap
mempunyai nilai tertentu. Dalam penggambarannya bentuk manusia
seringkali dikombinasikan dengan bentuk-bentuk lain seperti geometris,
tumbuh-tumbuhan, dan binatang (Guntur,2009: 7)
5. Ragam hias Imajinatif
Ragam hias jenis ini berbeda dengan ragam hias jenis lainnya (ragam
hias yang jelas objeknya). Ragam hias imajinatif merupakan hasil kreasi
manusia yang penciptaan objeknya tidak ada di alam semesta, artinya
terdapat keanehan dalam ragam hias tersebut, meskipun dasar pokok
penciptaan mengambil bentuk alam semesta (Guntur, 2009: 8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Dari pendapat Guntur tersebut, jenis-jenis ragam di atas merupakan
hasil kreasi manusia sepanjang hidupnya yang bersumber pada alam.
Keindahan alam seringkali menjadi tema dalam perwujudan ragam hias,
semakin maju cara berpikir manusia akan berkembang pula penciptaan
berbagai bentuk ragam hias. Perkembangan berpikir manusia akan
menentukan perkembangan bentuk ragam hias beserta fungsi ragam hias itu
sendiri.
Adapun fungsi ragam hias itu sendiri sebagai penghias suatu objek,
sehingga apabila ragam hias diletakkan atau diterapkan pada benda lain akan
menambah nilai benda yang dikenainya, apakah menjadi antik, indah, angker,
ataupun predikat yang lain lagi (Guntur, 2004: 14). Ragam hias sebagai seni
hias dalam kehidupan masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai elemen
untuk memperindah barang atau benda, melainkan juga memiliki fungsi lain
seperti fungsi sakral, simbolik, dan sosial. Adapun fungsi dan terapannya
ragam hias pada suatu benda dapat dipilih menjadi :
1. Fungsi Ragam Hias Aktif/Konstruktif
Ragam hias yang digunakan pada elemen-elemen bangunan yang
berfungsi sebagai konstruksi dan menambah kekuatan suatu benda
sebagai hiasan. Dengan demikian perwujudannya tidak terbatas sebagai
penambah indah tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh dengan struktur
dan konstruksi bangunan
2. Fungsi Ragam Hias Pasif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Ragam hias yang melekat pada bangunan dengan fungsi sebagai hiasan
saja, dengan demikian bentuk ragam hias pun dapat lepas, artinya
ragam hias yang melekat pada benda apabila dihilangkan tidak
berpengaruh terhadap konstruksi benda tersebut.
3. Fungsi Ragam Hias sebagai Simbol
Ragam hias yang berfungsi sebagai hiasan sekaligus mempunyai makna
simbolis atau perlambang (Guntur, 2004: 10).
2.4. Landasan Teori
Landasan teori merupakan suatu perangkat untuk penelitian dalam rangka
mengkaji masalah yang diteliti, menyusun bahan yang diperoleh, mengadakan
analisis data dan hasil temuan di lapangan.
Membicarakan gebyok rumah Kudus sebagai salah satu fakta budaya
merupakan produk yang tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai pihak untuk
mewujudkannya, yaitu perajin sebagai orang yang mengerjakannya, lembaga-
lembaga yang terlibat dalam perkembangan gebyok, dan masyarakat sebagai
pengguna, maka untuk mengkaji gebyok dan makna simbol ragam hias pada
gebyok rumah Kudus secara kontekstual diperlukan pendekatan sosiologi dan
antropologi, karena berkaitan dengan pengungkapan fenomena perkembangan
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal dalam masyarakat
pendukungnya.
Melihat perkembangan produk gebyok yang ada di Kudus, maka
masyarakat ingin terus menggarap potensi yang ada dan harus mengembangkan
usaha gebyok yang akhirnya dapat dikatakan sebagai sarana untuk melestarikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
dan memasyarakatkan gebyok rumah Kudus di masa datang. Berhubungan
dengan hal tersebut di atas maka digunakan teori utama untuk menganalisis kajian
gebyok dan makna simbol ragam hias gebyok rumah Kudus, yaitu teori dari
Raymond Williams (1981: 17) yang dimuat dalam buku Culture: “Three useful
kinds of study can then be distinguished, of (i) the social and economic institutions
of culture and, as alternative definitions of their „products‟, of (ii) their content
and (iii) their efects” (1981: 17). Selanjutnya untuk memperjelas pemahaman
teori tersebut Kuntowijoyo (2006: 6) dalam bukunya Budaya dan Masyarakat
menjelaskan sebagai berikut.
Williams menyebutkan bahwa dalam sosiologi budaya kita dapat menemukan
adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga-lembaga budaya, isi budaya,
dan efek budaya atau norma-norma. Dengan kata lain lembaga budaya
menanyakan siapa yang menghasilkan produk budaya, siapa mengontrol dan
bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan
atau simbol-simbol apa yang diusahakan; dan efek budaya menanyakan
konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.
Dengan menggunakan ketiga komponen pokok tersebut, yaitu lembaga,
isi, dan efek, maka pembahasan mengenai kajian gebyok dan makna simbol
ragam hias pada gebyok rumah Kudus dapat terkuak dengan jelas. Teori ini
dipakai untuk menjelaskan peranan dan dukungan lembaga-lembaga budaya
terhadap perkembangan produk gebyok Kudus, seperti komponen paguyuban
perajin gebyok, konsumen, dan pasar, serta peran lembaga-lembaga pemerintah
maupun swasta, seperti Dinas Perindustrian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Asmindo serta Klaster Ukir Gebyok & Rumah Adat Kudus. Isi (content) budaya
yang menjelaskan produk gebyok antara lain menyangkut kajian gebyok dan
makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus. Efek budaya secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
kontekstual menjelaskan berbagai pengaruh yang ditimbulkan dengan kajian
gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok rumah Kudus terhadap
lingkungan sosial, budaya, dan masyarakat pendukungnya.
Sehubungan dengan pengaruh sosial masyarakat Kudus dalam mengkaji
gebyok dan makna simbol ragam hias gebyok rumah Kudus, akan diurai
berdasarkan analisis Jean Duvignaut dalam bukunya The Sociologi of Art yang
pada hakekatnya menyatakan, bahwa ”kebudayaan itu sangat dipengaruhi oleh
peran serta masyarakat pendukungnya” (Duvignaut, 1972: 64). Teori bantu ini
digunakan untuk menganalisis peranan lembaga budaya dalam membina dan
memotivasi perajin, sehingga produk yang dihasilkan bervariasi dan mampu
menembus pasar yang luas.
Berdasarkan teori yang sudah diungkapkan di atas, untuk membahas
semua permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini, tidak tertutup
kemungkinan untuk menggunakan teori bantu lain yang dirasa perlu. Menurut SP.
Gustami (2000: 34), mengatakan bahwa pendekatan multidisiplin merupakan cara
pandang untuk mengembangkan analisis melalui perpaduan dua atau lebih disiplin
ilmu. Selanjutnya R.M. Soedarsono (1999: 192) dalam Metodologi Penelitian
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, mengatakan bahwa pendekatan multidisiplin
dalam penelitian ini sangat mungkin diterapkan, karena objek penelitian
berhubungan langsung dengan budaya masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan berdasarkan permasalahannya
menggunakan penelitian diskriptif kualitatif, sedangkan hasil penelitiannya adalah
data deskriptif yang berupa kata-kata tentang kajian gebyok dan makna simbol
ragam hias pada rumah Kudus. Artinya data yang dianalisis di dalamnya
berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian
kuantitatif (Moleong, 2002:3).
Penelitian yang mengambil obyek ragam hias pada gebyok Kudus, baik
yang ada di rumah Kudus maupun yang dikerjakan oleh perajin di Kudus, maka
strategi penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus, hal ini
disebabkan karena permasalahan dan fakus penelitian sudah ditentukan
sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan analisis data secara
diskriptif kualitatif. Secara umum penelitian yang menggunakan analisis data
kualitatif, didefinisikan sebagai penelitian yang dapat menghasilkan data
deskriptif, berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya
tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pada pengembangan
konsep yang ada pada data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
3.2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah.
Dipilihnya Kudus sebagai lokasi penelitian adalah karena nilai-nilai lokal
masyarakatnya masih dipegang teguh. Masyarakat Kudus memiliki karakteristik
khas yang membedakan dengan daerah lainnya. Salah satu karakteristik Kudus
terkenal dengan ajaran Islam yang cukup kuat karena merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Jawa dengan Sunan yang terkenal adalah Sunan
Kudus.
Masyarakat Kudus juga terkenal sebagai pedagang dan pengusaha yang
ulung. Dalam sejarahnya masyarakat Kudus terkenal dengan industri rokok yang
dulu dipelopori oleh Nitisemito, dan sampai sekarang industri rokok di Kudus
masih penyumbang pajak terbesar di Jawa Tengah. Selain bergelut di bidang
industri rokok, masyarakat Kudus juga ada yang berprofesi sebagai perajin
gebyok yang menyebar di kecamatan Kota, Jati, Mejobo, Kaliwungu dan Besito
Obyek penelitian khususnya adalah rumah tradisional Kudus, workshop
produksi gebyok dan tumah tinggal yang menggunakan gebyok di Kabupaten
Kudus, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan Kudus ini menjadi lokasi penelitian
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
a. Kudus sebagai kota yang mempunyai hasil budaya rumah tradisional yang
sangat khas arsitektur dan ragam hiasnya.
b. Gebyok Kudus mempunyai ragam hias unik, khas dan sudah diproduksi oleh
perajin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
3.3. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data kualitatif tentang
gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus, yang digali dari hasil
observasi ke obyek penelitian baik di rumah Kudus maupun ke perajin,
wawancara dengan informan, naskah-naskah yang berhubungan dengan obyek
penelitian dan pustaka yang relevan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
3.3.1. Informan
Informan merupakan seseorang yang diwawancarai untuk mendapatkan
keterangan dan data untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1997:130).
Sedangkan nara sumber yang dijadikan informan adalah : Bapak. Sundoro
Wicaksono selaku budayawan Kudus, Bapak Bintong Mohammad Room Ketua
Klaster Ukir Gebyok dan Rumah Adat Kudus, Bapak Norhadi sebagai perajin
gebyok Avia Antiq, Bapak Ali Imron, SE. Ketua Asmindo Komda Kudus, Bapak
Drs. Sutiyono, MM. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dan
Bapak Hendrix Marantek Kepala Desa Sidorekso Kaliwungu yang mempunyai
program Gebyokisasi, di mana desa Sidorekso sebagai Central Gebyok di
Kabupaten Kudus.
3.3.2. Tempat dan peristiwa/aktivitas
Tempat yang dijadikan sebagai sumber data dalam observasi penelitian
adalah. (1) rumah tradisional Kudus di Museum Kretek Kudus, Rumah Bapak
Umar (2) workshop produksi gebyok Avia Antiq milik Bapak Norhadi, workshop
milik Bapak Bintong MR, workshop milik Bapak Ali Imron, SE dan (3) rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
tinggal yang menggunakan gebyok Kudus sebagai elemen estetik milik Bapak
Norhadi, Bapak Hendrik Marantex, Bapak H. Masrukan dan Bapak H. Mashudi.
3.3.3. Arsip dan Dokumen
Arsip dan dokumen yang menjadi sumber data untuk mengetahui makna
simbol ragam hias Kudus berupa referensi yang ada di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Kudus baik sebagai pustaka, hasil telaah dan hasil
penelitian sebelumnya.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Kajian terhadap gebyok dan makna simbol ragam hias memberikan
peluang berkembangnya pemahaman yang lebih mendalam tentang gebyok dan
makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus. Oleh karena itu, pengumpulan data
tentang makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus lebih mengutamakan
penggunaan teknik observasi dan wawancara, di samping studi dokumen dan studi
kepustakaan. Adapun detail kerja secara teknik masing-masing dapat dijelaskan
sebagai berikut.
3.4.1. Instrumen Penelitian
Dalam mengumpulkan data, peneliti sebagai instrumen utama penelitian
ditunjang dengan penggunakan alat-alat bantu sebagai berikut.
a. Pedoman wawancara. Alat bantu ini digunakan sebagai panduan dalam
melakukan wawancara dengan informan agar diperoleh data yang
diperlukan dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah
penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
b. Alat perekam gambar (kamera) dan alat perekam suara. Alat perekam
gambar digunakan untuk memperoleh data visual dari obyek-obyek
pengamatan, sedangkan alat perekam suara digunakan dalam upaya
merekam informasi yang didapat dari wawancara dengan informan.
c. Alat tulis. Alat ini banyak digunakan dalam proses pencatatan sebagai
bagian proses pengumpulan data, yaitu dalam wawancara, observasi, dan
kepustakaan.
3.4.2. Observasi
Peneliti melakukan pengamatan langsung di lapangan, yaitu di rumah
tradisional Kudus, workshop perajin gebyok Kudus dan rumah tinggal yang
memanfaatkan gebyok sebagai elemen estetik. Dalam penelitian ini, hasil
pengamatan diposisikan sebagai data primer. Kegunaan observasi ini adalah
sebagai berikut.
a. Untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam mengamati ragam hias
pada gebyok Kudus yang hasilnya dapat digunakan sebagai alat untuk
mengecek ulang kebenaran informasi yang diperoleh dari teknik-teknik
lain yang digunakan, yaitu wawancara, studi kepustakaan dan studi
dokumen.
b. Untuk memperoleh pengalaman langsung dari sebuah pengamatan
terhadap ragam hias gebyok Kudus yang hasilnya dapat dituangkan dalam
suatu catatan atas suatu kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan
sebenarnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
3.4.3. Wawancara Mendalam.
Wawancara digunakan untuk mengetahui perubahan bentuk gebyok
dan ragam hias pada gebyok, ciri-ciri ragam hias gebyok dan makna simbol
ragam hias gebyok Kudus, pengaruh perkembangan gebyok dan makna
simbol ragam hias pada gebyok Kudus dalam kehidupan budaya masyarakat
Kudus. Teknik wawancara ini tidak dilakukan dengan struktur yang ketat dan
formal, agar informasi yang dikumpulkan memiliki kedalaman yang cukup
(Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 17).
Cara ini mampu mengorek kejujuran informan untuk memberikan
informasi yang sebenarnya, terutama tentang bentuk gebyok, ragam hias,
makna simbol, perubahan gebyok dan ragam hiasnya serta pengaruhnya
dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus
Manfaat penggunaan teknik ini adalah untuk mengkaji perubahan
gebyok dan ragam hiasnya, pengaruh perubahan gebyok dan ragam hiasnya
yang terjadi pada kehidupan budaya masyarakat Kudus dari para informan.
Hasil yang diperoleh dari wawancara diposisikan sebagai data primer
penelitian. Wawancara mendalam dilaksanakan dalam tahapan sebagai
berikut:
a. menentukan atau menyeleksi informan yang diwawancarai;
b. pendekatan informan terpilih untuk diwawancarai;
c. mempersiapkan alat bantu, yaitu (1) alat perekam suara; (2) alat tulis, (3)
kamera dan (4) pedoman atau materi wawancara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
d. melakukan wawancara agar tetap kondusif dan produktif; serta dapat
merangkum hasilnya.
3.4.4. Studi Dokumen
Pengumpulan data yang bersumber dari berita media cetak dan
laporan resmi. Selain itu, dalam penelitian ini termasuk di dalamnya analisis
terhadap dokumen-dokumen berupa foto-foto.. Dengan demikian, peneliti
dituntut melakukan kerja pengumpulan keseluruhan dokumen yang memuat
informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan gebyok Kudus dari
perpustakaan, data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan
sebagai data sekunder penelitian.
Dalam penelitian ini, semua teknik pengumpulan data tersebut tidak
saja digunakan untuk memperoleh data, tetapi sekaligus sebagai bagian dari
proses keabsahan data, karena untuk mendapatkan keabsahan data peneliti
menggunakan teknik implementasi yang disebut dengan triangulasi data,
yang memiliki tiga prosedur, yaitu pertama, membandingkan data observasi
dengan data hasil interview; kedua, membandingkan informasi dari sumber
satu dengan yang lainnya; dan ketiga, membandingkan hasil interview dengan
dokumen yang terkait (Moleong, 1989:178).
3.5. Validitas Data
Guna menjamin validitas data dalam penelitian ini maka peningkatan
validitas data dilakukan dengan cara yang disebut triangulasi data ( data
triangulation ) yaitu penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis atau sama (Sutopo. HB,
1988:21).
Validitas data merupakan faktor yang penting dalam sebuah penelitian
karena sebelum data dianalisis terlebih dahulu harus mengalami pemeriksaan.
Validitas membuktikan hasil yang diamati sudah sesuai dengan kenyataan dan
memang sesuai dengan sebenarnya ada atau kejadiannya (Nasution, 2003 : 105).
Validitas data berguna untuk menentukan tingkat kepercayaan data yang
diperoleh. Adanya tingkat kepercayaan yang tinggi menjadikan data yang
digunakan semakin baik karena telah teruji kebenarannya dan merupakan jaminan
bagi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian (Sutopo,
2006 : 92). Untuk menguji validitas data dalam penelitian ini dipergunakan teknik
trianggulasi. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data yang
menggunakan pandangan multiperspektif, sehingga untuk menarik kesimpulan
yang mantap diperlukan tidak hanya dari satu cara pandang. Patton (dalam
Sutopo, 2006:92) menyatakan ada empat macam teknik trianggulasi, yakni (1)
trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi metodologis, dan (4)
trianggulasi teoretis. Namun dalam penelitian ini hanya digunakan trianggulasi
data dan trianggulasi metode. Trianggulasi data disebut juga trianggulasi sumber
(Sutopo, 2006 :93). Teknik trianggulasi sumber yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan penggunaan sumber, yaitu
menggunakan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui beberapa sumber yang berbeda. Data diambil dari beberapa
sumber, seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus, Ketua Klaster Ukir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Gebyok dan Rumah Adat Kudus secara kelembagaan serta perajin gebyok, secara
personal data diambil dari perajin gebyok dan pengguna gebyok. Dengan adanya
pembandingan sumber inilah maka akan diketahui tingkat validitas dari data.
3.6. Teknik Analisis
Pada penelitian kualitatif, analisis data bersifat induktif, artinya penarikan
simpulan yang bersifat umum dibangun dari data-data yang diperoleh di lapangan.
Dalam prosesnya, analisis penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga macam
kegiatan, yakni (1) analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan
data, (2) analisis dilakukan dalam bentuk interaktif, sehingga perlu adanya
perbandingan dari berbagai sumber data untuk memahami persamaan dan
perbedaannya, dan (3) analisis bersifat siklus, artinya proses penelitian dapat
dilakukan secara berulang sampai dibangun suatu simpulan yang dianggap
mantap. Dengan demikian, analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan
upaya yang berlanjut, berulang, dan terus menerus (Milles dan Huberman dalam
Cecep Rohidi, 1992: 20).
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis model
interaktif. Analisis interaktif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi
(Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Sedangkan reduksi data
diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan. Setelah data dikumpulkan dengan teknik wawancara,
observasi, dan analisis dokumen, dilakukanlah reduksi data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Reduksi data dalam penelitian ini terdiri atas beberapa langkah, yaitu (1)
menajamkan analisis, (2) menggolongkan atau pengkategorisasian, (3)
mengarahkan, (4) membuang yang tidak perlu dan (5) mengorganisasikan data
sehingga simpulan-simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Milles dan
Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992: 20). Selanjutnya dari buku yang sama
dijelaskan reduksi data adalah, pengumpulan data ditempatkan sebagai komponen
yang merupakan bagian integrasi dari kegiatan analisis data. Prosesnya
berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian, dimulai sebelum proses
pengumpulan data dimulai sampai bentuk laporan akhir penelitian selesai ditulis.
Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam analisis interaktif adalah
penyajian data. Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian
kualitatif adalah dalam bentuk teks naratif, yang merupakan rangkaian kalimat
yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga mampu menyajikan
permasalahan dengan fleksibel, tidak “kering”, dan kaya data. Namun demikian,
pada penelitian ini data tidak hanya disajikan secara naratif, tetapi juga melalui
berbagai matriks dan tabel. Penyajian data dalam penelitian kualitatif dirancang
guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan
mudah diraih, sehingga peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi. Dengan
demikian, peneliti lebih mudah dalam menarik simpulan. (Milles dan Huberman
dalam Cecep Rohidi, 1992: 20).
Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik simpulan atau verifikasi.
Langkah awal dalam penarikan simpulan atau verifikasi dimulai dari penarikan
simpulan sementara. Penarikan simpulan hasil penelitian diartikan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
penguraian hasil penelitian melalui teori yang dikembangkan. Dari hasil temuan
ini kemudian dilakukan penarikan simpulan teoretik (Milles dan Huberman dalam
Cecep Rohidi, 1992: 20). Kemudian simpulan perlu diverifikasi agar cukup
mantap dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
tinjauan ulang pada catatan di lapangan atau simpulan dapat ditinjau sebagai
makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohan, dan
kecocokannya. Namun demikian, jika kesimpulan masih belum mantap, maka
peneliti dapat melakukan proses pengambilan data dan verifikasi, sebagai
landasan penarikan kesimpulan akhir. Ketiga alur dalam analisis data kualitatif
apabila digambarkan adalah sebagai berikut,
Gambar 3.1. Skema komponen-komponen data model interaktif
Sumber : Milles dan Huberman dalam Cecep Rohidi, 1992
Anselm Strauss & Juliet Corbin (2007: 4) dalam bukunya yang berjudul
Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, mengatakan bahwa ”penelitian ini termasuk
dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuannya tidak
PENGUMPULAN
DATA
SAJIAN DATA
REDUKSI DATA
PENARIKAN KESIMPULAN
VERIFIKASI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya”. Dalam
menentukan metode yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh,
perlu dipertimbangkan rumusan masalah, kerangka teori dan bentuk data yang
dikumpulkan. Data akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam
bentuk deskriptif analitik.
Prosedur yang ditempuh dalam analisis data, yaitu lebih menyerupai
lingkaran kerja, karena setiap tahapan tidaklah dapat dipisahkan. Mula-mula hasil
pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan
memilah-milah ke dalam satuan konsep-konsep, kategori-kategori, dan tema
penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk sketsa,
sinopsis, dan matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan
penegasan simpulan.
Semua data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder yang
telah diperoleh baik melalui wawancara maupun inventarisasi data tertulis yang
ada, kemudian diolah dan disusun secara sistematis untuk dianalisa secara
kualitatif. Sehingga analisis ini diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan
dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang dapat disampaikan dalam bentuk
deskriptif.
Proses analisis data dalam penelitian ini meliputi berbagai tahapan.
Pertama identifikasi data, yaitu mengumpulkan data primer, sekunder, dan data
visual, baik yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi, wawancara maupun
data dokumentasi. Setelah identifikasi data diselesaikan, dilanjutkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
tahapan ke dua, klasifikasi data yaitu memilih atau mengelompokkan data
penelitian yang telah diidentifikasi sesuai dengan jenis dan sifat data.
Tahap ke tiga adalah seleksi data, yaitu menyisihkan data yang kurang
relevan dan tidak berkontribusi kebutuhan data pada pokok bahasan. Tahapan ke
empat dilakukan analisis data sesuai dengan teori-teori yang sudah ditetapkan
sebelumnya, baik menggunakan analisis tekstual maupun kontekstual.
Selain itu dapat dijelaskan pula hubungan saling ketergantungan, dan
sebab akibatnya (kausalitas), terutama keterkaitan antara produk yang dihasilkan
dengan faktor konsumen, pasar, lembaga budaya dan masyarakat pendukung juga
dapat dijelaskan. Tahap berikutnya adalah interpretasi data yang sudah terseleksi
dirangkai dengan faktor-faktor menjadi satu kesatuan analisis yang harmonis dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Model analisa diskriptif kualitatif yang digunakan ada tiga komponen
analis, yaitu reduksi data, penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan
atau verifikasinya, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data, sebagai suatu proses siklus.