140
KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS OLEH AMALIA AYUNINGTYAS H14051325 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Kajian Empiris Integrasi Ekonomi Asean 3 Analisis

Embed Size (px)

Citation preview

  • KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS

    OLEH AMALIA AYUNINGTYAS

    H14051325

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

  • RINGKASAN

    AMALIA AYUNINGTYAS, Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI).

    Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum. Negara-negara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single Market (ASM). Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia (De Rato dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui ASM ini pula lalu lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas negara anggota ASM. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negara-negara anggota ASM.

    Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, diyakini bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi ini lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2000).

    Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di kawasan ASEAN+3 yang direalisasikan dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota. Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia pada tahun 1997-1998 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Kedua, keterbukaan dan volume perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah common currency sehingga dapat memfasilitasi perdagangan internasional yang dapat mengurangi biaya transaksi. Ketiga, keberhasilan Euro yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar

  • keuangan telah membuat negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka

    Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli ekonomi negara-negara Asia Timur. Mereka telah melakukan beberapa langkah untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negara-negara ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ini mulai membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar menukar guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis.

    Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi ini (Bayoumi dan Mauro, 2001). Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang fenomena integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi dengan base country Singapura dan Jepang (Partisiwi, 2008) dan konvergensi kurs di ASEAN+3 dengan menggunakan G-PPP Test. G-PPP Test yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country. Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan.

    Hasil empiris menunjukkan bahwa melalui analisis pertumbuhan ekonomi ditemukan bahwa Singapura lebih layak dijadikan sebagai negara acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 lainnya daripada Jepang. Hasil ini diperoleh dari hasil IRF dan FEVD yang mencerminkan kondisi optimal negara ASEAN+3. Sedangkan dari analisis konvergensi kurs dihasilkan bahwa Indonesia lebih cocok dengan mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura daripada terhadap Dollar AS. Dengan hasil ini maka sangat perlu dilakukan kebijakan yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi di antara negara ASEAN+3 sehingga dapat membentuk OCA. Terlebih lagi bagi Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan keunggulan komparatif industri-industri di Indonesia agar lebih mampu bersaing nantinya dan mempersiapkan tenaga kerja yang lebih terampil. Perlu juga dilakukan upaya menjaga kestabilan kurs masing-masing negara terhadap guncangan yang terjadi, khususnya rupiah yang masih rentan dan lemah. Masih harus pula ditingkatkan keterbukaan perekonomian di antara negara-negarar tersebut agar OCA yang terbentuk adalah sebuah kondisi yang benar-benar siap untuk menjadi kutub ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Pada penelitian ini belum dilakukan pemecahan periode penelitian (penggunaan dummy krisis Asia), karenanya untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memecah periode penelitian berkaitan dengan adanya krisis Asia.

  • KAJIAN EMPIRIS INTEGRASI EKONOMI ASEAN+3 : ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KONVERGENSI KURS

    OLEH AMALIA AYUNINGTYAS

    H14051325

    Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

    pada Departemen Ilmu Ekonomi

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

  • INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

    Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Amalia Ayuningtyas

    Nomor Registrasi Pokok : H14051325 Departemen : Ilmu Ekonomi

    Judul : Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan

    Konvergensi Kurs

    dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

    Menyetujui, Dosen Pembibmbing

    Noer Azam Achsani, Ph.D NIP : 19681229 199203 1 016

    Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

    Rina Oktaviani, Ph.D NIP : 19641023 198903 2 002

    Tanggal disetujui :

  • PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

    PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

    Bogor, Agustus 2009

    Amalia Ayuningtyas H14051325

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama Amalia Ayuningtyas lahir pada tanggal 16 Agustus 1987 di Bogor yang merupakan kota hujan sekaligus kota satelit dari Ibu Kota Indonesia ini. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan

    Djufronny Zakaria dan Titie Sri Suprapti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Panaragan 2 Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2005.

    Penulis tidak pernah meninggalkan kota Bogor tercinta dari pertama lahir hingga saat ini. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan dan organisasi seperti UKM Lises Gentra Kaheman dan HIPOTESA.

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs ini dengan baik. Integrasi Asia Timur merupakan topik yang sangat menarik dan sedang menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan ahli-ahli ekonomi dunia, khususnya Asia. Proses integrasi ini diharapkan akan membawa dampak positif terhadap kesejahteraan negara-negara di kawasan tersebut. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

    membantu dalam proses penulisan skripsi ini, antara lain : 1. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

    memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Bapak

    juga telah membuka wawasan penulis mengenai integrasi ekonomi. Terlebih lagi, Bapak bukan hanya menjadi dosen pembimbing, melainkan juga orang tua.

    2. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi banyak saran yang membangun demi kebaikan karya ini.

    3. Jaenal Effendi, MA selaku komisi pendidikan yang telah memberi saran mengenai tata cara penulisan yang baik.

    4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku dosen yang senantiasa membantu dan

    memberikan dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Ade Holis, SE dan Heni Hasanah, SE atas ilmu dan diskusi yang telah

    diberikan selama penyusunan skripsi ini. 6. Kedua orang tua penulis, Djufronny Zakaria dan Titie Sri Suprapti (Alm.),

    serta kedua adik tersayang, Ghita Dwi Kartika dan Mahardian Tamma, yang selalu setia memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Kepada

  • almarhumah Ibunda tersayang, penulis akan selalu cinta, sayang, dan

    mendoakan agar senantiasa menjadi ahli surga di akhirat. 7. Sahabat-sahabat penulis dari masa kecil hingga saat ini, Mba Iie, Mba Pipit,

    Mba Dila, dan Ulya yang sudah seperti keluarga sendiri bagi penulis dan selalu memberikan doa dan dukungan serta selalu menjadi semangat hidup penulis.

    8. Inna, Riri, Ginna, Renny, Dian, dan Anggi, sahabat-sahabat penulis yang selalu menemani hari-hari penulis selama di IE 42 dan senantiasa berbagi kesenangan, keceriaan, juga kesedihan bersama.

    9. Gerry, Dewinta, Inna, dan Arisa, yang telah setia menjadi keluarga dan mengisi hari-hari dengan mengerjakan tugas minor bersama di LSI.

    10. Sahabat-sahabat sepermainan penulis yang lain, Adit, Lukman, Gerry, Riza, Vagha, Adrian, dan Made, yang selalu senantiasa menghabiskan waktu

    bersama untuk melepaskan penat dan mengisi hari-hari penulis dengan penuh keceriaan.

    11. Sahabat-sahabat penulis di Gentra Kaheman dan HIPOTESA yang telah memberikan warna baru dalam kehidupan penulis.

    12. Teman-teman satu bimbingan, Putri, Tia, dan Suryarisman, yang selalu menjadi tempat bertukar pikiran dan berdiskusi dalam proses penyusunan skripsi ini.

    13. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

    dapat disebutkan satu per satu. Penulisan skripsi ini tidak akan sempurna tanpa kritik dan saran dari para

    peserta seminar dan dosen penguji. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

    Bogor, Agustus 2009

    Amalia Ayuningtyas

    H14051325

  • DAFTAR ISI

    Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

    DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xv I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1

    1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 11 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 12

    1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................... 14 2.1. Integrasi Ekonomi ........................................................................... 14

    2.1.1. Optimum Currency Areas (OCA) ......................................... 17 2.1.2. Asian Currency Unit (ACU) ................................................. 19

    2.2. Konvergensi Kurs ............................................................................ 20 2.3. Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Theory ................... 21

    .............................................................................................................

    2.4. Sistem Kurs ..................................................................................... 22

    2.5. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 24 2.6. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 29 III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 31 3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 31

    3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 32 3.3. Analisis Vector Autoregression (VAR) ........................................... 33 3.4. Analisis Vector Error Correction Model (VECM) .......................... 36 3.5. Analisis Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) ................. 37 3.6. Pengujian Pra-Estimasi ................................................................... 40 3.6.1. Metode Moving Average ..................................................... 40

  • 3.6.2. Uji Stasioneritas Data .......................................................... 41 3.6.3. Penentuan Lag Optimal ....................................................... 43 3.6.4. Uji Kointegrasi .................................................................... 44 3.6.5. Uji Kausalitas Granger ....................................................... 45 3.6.6. Uji Matriks Korelasi ............................................................ 45 3.7. Analisis Impulse Response Function (IRF) ....................................... 46 3.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ......... 47

    3.9. Model Penelitian .............................................................................. 48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN I .............................................................. 52 4.1. Uji Stasioneritas Variabel GDP ........................................................ 52 4.2. Penentuan Lag Optimal Variabel GDP ............................................. 53 4.3. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP .................................................... 55 4.4. Uji Kointegrasi Variabel GDP ......................................................... 56 4.5. Uji Kausalitas Granger Variabel GDP ............................................. 57 4.6. Uji Matriks Korelasi Variabel GDP ................................................. 58 4.7. Analisis Impulse response Function Perekonomian Negara

    ASEAN+3 ....................................................................................... 59 4.7.1. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Singapura ................................... 60 4.7.2. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Jepang ........................................ 62 4.7.3. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Perekonomian Indonesia .................................... 65 4.7.4. Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian Negara ASEAN+3 ...................... 67 4.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Perekonomian Negara ASEAN+3 .................................................... 70

    V. HASIL DAN PEMBAHASAN II ............................................................. 76 5.1. Uji Stasioneritas Variabel Kurs ........................................................ 76 5.2. Penentuan Lag Optimal Variabel Kurs ............................................. 77 5.3. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs .................................................... 80 5.4. Uji Kointegrasi Variabel Kurs .......................................................... 80

  • 5.5. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs ............................................. 81 5.6. Uji Matriks Korelasi Variabel Kurs ................................................. 82 5.7. Analisis Impulse response Function Kurs Negara ASEAN+3 .......... 83 5.7.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 ............................................................................ 84 5.7.2. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah ............................................................................... 90 5.8. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Kurs Negara ASEAN+3 ........................................... 9 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 103 6.1. Kesimpulan ................................................................................... 103 6.2. Saran .......................................................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 107

    LAMPIRAN ................................................................................................... 111

  • DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman 1.1. Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007) ......................................... 3 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore .................................................... 15 2.2. Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit .......... 20 3.1. Data dan Sumber Data ........................................................................... 31 4.1. Uji Stasioneritas Variabel GDP ............................................................. 53 4.2. Uji Lag Optimal Variabel GDP ............................................................. 54 4.3. Johansen Cointegration Test Variabel GDP .......................................... 57 4.4. Uji Kausalitas Granger Variabel GDP ................................................... 58 4.5. Matriks Korelasi Variabel GDP ............................................................. 59 5.1. Uji Stasioneritas Data Kurs .................................................................... 76 5.2. Uji Lag Optimal Variabel Kurs .............................................................. 77 5.3. Johansen Cointegration Test Variabel Kurs ........................................... 81 5.4. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs dengan Base Country Singapura 81 5.5. Uji Kausalitas Granger Variabel Kurs dengan Base Country Amerika Serikat ................................................................................................... 82 5.6. Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Singapura ......................... 83 5.7. Matriks Korelasi Kurs dengan Base Country Amerika Serikat ............... 83

  • DAFTAR GAMBAR

    Nomor Halaman 2.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 30 4.1. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan

    Perekonomian Singapura ....................................................................... 61 4.2. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan

    Perekonomian Jepang ............................................................................ 63 4.3. Respon Perekonomian Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan

    Perekonomian Indonesia ........................................................................ 66 4.4. Respon Perekonomian Indonesia terhadap Guncangan Perekonomian

    Negara ASEAN+3 ................................................................................ 68 4.5. Variance Decomposition Perekonomian Negara ASEAN+3 .................. 71 5.1. Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Singapura ........................................................................ 85 5.2 Respon Rupiah terhadap Guncangan Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Amerika Serikat .............................................................. 88 5.3 Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan Base Country Singapura ........................................................................ 92 5.4. Respon Kurs Negara ASEAN+3 terhadap Guncangan Rupiah dengan Base Country Amerika Serikat .............................................................. 93 5.5. Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country

    Singapura ............................................................................................. 96 5.6. Variance Decomposition Kurs Negara ASEAN+3 dengan Base Country Amerika Serikat .................................................................................... 99

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Halaman 1. Uji Stabilitas VAR Variabel GDP ............................................................. 112 2. Impulse Response Function GDP Indonesia ............................................. 112

    3. Impulse Response Function GDP Malaysia ............................................... 113 4. Impulse Response Function GDP Singapura ............................................. 113 5. Impulse Response Function GDP Filipina ................................................. 114 6. Impulse Response Function GDP Thailand ............................................... 114 7. Impulse Response Function GDP Jepang ................................................... 115 8. Impulse Response Function GDP Korea Selatan ........................................ 115

    BASE COUNTRY SINGAPURA

    9. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs .............................................................. 116 10. Impulse Response Function Rupiah ........................................................... 117

    11. Impulse Response Function Ringgit .......................................................... 117 12. Impulse Response Function Peso ............................................................... 118 13. Impulse Response Function Baht ............................................................... 118 14. Impulse Response Function Yen ................................................................ 119 15. Impulse Response Function Won ............................................................... 119

    BASE COUNTRY AMERIKA SERIKAT

    16. Uji Stabilitas VAR Variabel Kurs .............................................................. 120 17. Impulse Response Function Rupiah ........................................................... 121 18. Impulse Response Function Ringgit .......................................................... 121

    19. Impulse Response Function SDollar .......................................................... 122 20. Impulse Response Function Peso ............................................................... 122 21. Impulse Response Function Baht ............................................................... 123 22. Impulse Response Function Yen ................................................................ 123

    23. Impulse Response Function Won ............................................................... 124

  • DAFTAR ISTILAH

    1. Optimum Currency Area (OCA) Sebuah kawasan yang terdiri dari negara-negara yang berintegrasi dengan

    menggunakan mata uang yang sama.

    2. Contagion effect Efek penularan yang diberikan oleh suatu negara yang terkena guncangan

    kepada negara lainnya.

    3. Purely flexible rates Sistem kurs yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh

    kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut

    dalam kaitannya dengan mata uang negara lain.

    4. Hard peg Sistem mata uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya

    terhadap mata uang negara lain yang dijadikan sebagai peg atau patokan.

    5. Common Currency / Single Currency Mata uang tunggal yang digunakan oleh negara-negara yang berintegrasi.

    6. Base Country / Peg Country Negara yang dijadikan sebagai acuan bagi negara-negara lainny dalam

    integrasi ekonomi. Biasanya negara yang kuat dan stabil yang dijadikan sebagai acuan.

    7. Common trend Tren bersama yang diperlihatkan oleh negara-negara yang optimal membentuk

    suatu integrasi ekonomi.

  • I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah

    menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai

    belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea

    Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum (Girardin

    dan Steinherr, 2008). Negara-negara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk

    mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single

    Market atau Pasar Tunggal Asia.

    Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini

    akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil.

    Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi

    negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik

    manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk

    mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang

    tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya

    perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, peningkatan proses integrasi

    ekonomi dan keuangan ini pada dasarnya dilandasi oleh alasan bahwa manfaat

    yang diperoleh dari proses integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan

    biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut

    (Rose, 2000). Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan

    Optimum Currency Areas (OCA) di kawasan ASEAN+3 yang direalisasikan

  • dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk

    menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota.

    Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini

    dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di

    kawasan Asia pada tahun 1997. Krisis ini diawali dengan gejolak finansial yang

    melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan)

    ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis

    (AFC). Peristiwa ini menimbulkan kesadaran dari berbagai pihak mengenai

    pentingnya memperkuat kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan Asia

    sehingga diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi krisis pada waktu yang

    akan datang serta untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan

    stabilitas politik.

    Krisis Finansial Asia tahun 1997 silam telah membuat para ahli ekonomi

    negara-negara ASEAN+3 berpikir untuk membentuk suatu integrasi ekonomi di

    kawasan ini guna menjaga kestabilan kurs jika terjadi guncangan pada negara

    luar. Krisis ini menyebabkan penurunan output dan standar hidup secara

    signifikan di negara-negara Asia. Krisis Asia ini menunjukkan bahwa softly peg

    regime yang rentan krisis tidak sesuai seiring dengan tingginya mobilitas modal

    sekarang ini. Sistem yang dianggap sesuai pada kondisi saat ini adalah purely

    flexible rates dan hard peg (Eichengreen dalam Ahn et al, 2005). Berdasarkan

    pandangan tersebut, setiap negara harus memilih salah satu dari dua sistem kurs

    (two corner bipolar solutions), yaitu sistem kurs mengambang bebas dengan

    independensi kebijakan moneter dan sistem kurs tetap dengan tidak adanya

  • independensi kebijakan moneter. Purely flexible rates adalah sistem kurs yang

    membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya

    permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan

    mata uang negara lain. Sedangkan hard peg diartikan sebagai suatu sistem mata

    uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya terhadap mata uang

    negara lain yang dijadikan sebagai peg atau patokan. Negara yang dijadikan

    sebagai patokan adalah negara maju atau negara industri besar, seperti Amerika

    Serikat. Berikut disajikan tabel tentang sistem kurs negara ASEAN+3 secara

    lengkap.

    Tabel 1.1. Sistem Kurs Negara ASEAN+3 (Tahun 2007) Negara Mata Uang Sistem Kurs Indonesia Rupiah Mengambang Bebas

    Jepang Yen Mengambang Bebas

    Filipina Peso Mengambang Bebas

    Kamboja Riel Mengambang Terkendali China Yuan Mengambang Terkendali

    Korea Selatan Won Mengambang Terkendali

    Laos Kip Mengambang Terkendali

    Myanmar Kyat Mengambang Terkendali

    Singapura Dollar Singapura Mengambang Terkendali

    Thailand Baht Mengambang Terkendali

    Vietnam Dong Mengambang Terkendali

    Malaysia Ringgit Tetap/peg

    Brunai Dollar (BRD) Currency Board/pegged terhadap Dollar Singapura

    Sumber : IMF, Annual Report 2006

  • Faktor kedua yang melatarbelakangi ide pembentukan kerjasama ekonomi

    dan keuangan di kawasan Asia adalah kecenderungan bertumbuhnya perdagangan

    atau arus investasi dan integrasi ekonomi di kawasan ini. Pertumbuhan tersebut

    telah memicu berkembangnya ide bahwa Asia Timur memerlukan suatu mata

    uang bersama (common currency). Seiring dengan globalisasi di pasar uang dan

    modal dunia, hampir di semua negara ASEAN aliran masuk dan keluar modal

    menjadi semakin terbuka. Mundell (1961) berpendapat bahwa currency union

    dapat memfasilitasi perdagangan internasional dan single medium dari kurs

    mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan regional. Rezim baru ini akan

    mendorong arus modal dan investasi, meningkatkan pertumbuhan dan kesempatan

    kerja, dan mengembangkan performa balance of payment (BOP). Madhur (2002)

    berpendapat bahwa single currency meningkatkan perdagangan diantara negara-

    negara yang termasuk dalam kawasan, oleh karena itu, keterbukaan dan volume

    perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah single

    currency.

    Ketiga, keberhasilan Euro. Pengalaman Eropa dalam membangun

    European Unit of Account (EUA) di awal tahun 1970, kemudian dapat

    membentuk European Monetary System (EMS) dan European Currency Unit

    (ECU) pada tahun 1979, dan membentuk European Monetary Union (EMU)

    dengan lahirnya mata uang Euro sebagai mata uang regional baru di tahun 1999,

    memberikan pelajaran dan pengalaman yang relevan untuk membentuk OCA.

    Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang dapat melindungi mata uang

    mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar keuangan telah membuat

  • negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama

    terhadap mata uang mereka.

    Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli

    ekonomi negara-negara ASEAN+3. Mereka telah melakukan beberapa langkah

    untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang

    disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di

    Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk

    membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini

    merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin

    hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negara-negara

    ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan

    kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah

    krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ASEAN+3 mulai

    membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka

    pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar-menukar

    guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis.

    Akan tetapi, proses integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA

    mengalami banyak kendala karena besarnya perbedaan struktur ekonomi serta

    tahapan liberalisasi perdagangan dan keuangan yang menyebabkan tingkat

    disparitas yang tinggi dalam kemajuan ekonomi dan sistem keuangan antar negara

    di kawasan ASEAN+3. Perbedaan struktur ekonomi di antara negara-negara

    ASEAN+3 dicerminkan dari perbedaan pertumbuhan ekonomi masing-masing

    negara. Dalam kawasan ASEAN+3 masih terdapat kesenjangan antara negara

  • maju dan berkembang. Selain itu, negara ASEAN+3 menerapkan rezim kurs yang

    berbeda-beda yang menjadi tantangan tersendiri dalam proses penyatuan mata

    uang ini (Kurniati, 2007). Keragaman rezim kurs ini dapat menyebabkan

    kegagalan kerjasama dalam memilih rezim kurs itu sendiri (Ogawa dan Ito, 2002).

    Otoritas moneter harus menetapkan sebuah kebijakan kurs untuk mengatasi

    kegagalan ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan

    kebijakan kurs bersama. Kebijakan ini harus dapat menciptakan stabilitas kurs

    intra-regional di antara mata uang negara-negara ASEAN+3 (Ogawa dan

    Kawasaki, 2006). Agar kebijakan kurs bersama ini berhasil diterapkan, maka

    negara-negara ASEAN+3 harus menjadi OCA.

    Penelitian ini akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi

    melalui pembentukan OCA di negara-negara ASEAN+3 dengan segala potensi

    dan kendala yang ada melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi

    (economic growth analysis) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate

    convergence analysis). Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia,

    Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan.

    1.2. Perumusan Masalah

    Negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+3, seperti Indonesia

    termasuk dalam perekonomian terbuka kecil yang perekonomian dan pola

    perdagangannya tidak terlepas dari pengaruh negara lain dalam perekonomian

    global dan perdagangan internasional, khususnya perekonomian negara yang

    besar dan kuat seperti Amerika Serikat dan Jepang, dimana kedua negara tersebut

  • tergolong ke dalam negara industri maju yang memiliki tingkat pertumbuhan

    ekonomi yang tinggi, perekonomian yang kuat dan mantap serta didukung oleh

    teknologi dan sumberdaya manusia yang produktif. Selain itu, nrgara-negara

    tersebut pun memiliki kestabilan kurs yang mantap. Oleh karena itu, jika terjadi

    gejolak dalam perekonomian negara yang besar dan kuat, negara dengan

    perekonomian terbuka kecil seperti Indonesia akan terpengaruh.

    Masing-masing negara mempunyai karakteristik kebijakan yang berbeda,

    baik itu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Tujuan akhir dari integrasi

    ekonomi yang dicita-citakan di Asia adalah diadopsinya kebijakan moneter dan

    fiskal yang serupa oleh negara-negara anggota. Membentuk sebuah OCA

    diperlukan beberapa syarat. Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA

    menyebutkan ada tiga kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency

    union, yaitu :

    1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama.

    2. Ukuran guncangan, baik guncangan permintaan maupun guncangan

    penawaran yang kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di

    antara negara-negara dalam kawasan.

    3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-

    negara dalam kawasan.

    Ketika faktor-faktor fundamental dalam ekonomi di antara negara-negara

    ASEAN+3 sudah cukup saling berhubungan dan terintegrasi satu sama lain, maka

    mereka dapat memperlihatkan share common trend dan memiliki hubungan

    kointegrasi jangka panjang yang memungkinkan membentuk sebuah OCA

  • (Enders dan Hurn, 1994). Kondisi ini dikenal dengan teori Generalized

    Purchasing Power Parity (G-PPP).

    Negara-negara anggota ASEAN berkomitmen akan tetap melanjutkan

    proses integrasi ekonomi regional meski krisis global tengah membayangi

    perekonomian dunia. Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah

    mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih

    dari PDB dunia dan memberi kontribusi besar pada pertumbuhan global (De Rato

    dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi

    PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui MEA ini pula lalu

    lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas

    negara anggota MEA. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini

    akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan

    produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negara-

    negara anggota MEA. Selain negara-negara ASEAN, ikut serta pula tiga negara

    Asia Timur dalam usaha pembentukan integrasi ekonomi ini, yaitu Jepang, China,

    dan Korea Selatan sebagai penyandang dananya, sehingga kawasan ini lebih

    dikenal sebagai ASEAN+3. Rencana penyatuan kawasan ini menjadi single

    market pada 2015 ini akan menjadikan kawasan ini sebagai salah satu kutub

    utama ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa.

    Dalam literatur-literatur ekonomi, kajian tentang integrasi ekonomi dengan

    pembentukan OCA dengan analisis pertumbuhan ekonomi sudah cukup banyak

    dilakukan, misalnya Xu, et al (2006), Ogawa dan Kawasaki (2006), Ahn, et al

    (2005) dan Bayoumi dan Eichengreen (1994). Akan tetapi, semua penelitian

  • tersebut tidak membahas secara lebih rinci bagaimana mengenai respon dan peran

    perekonomian masing-masing negara dalam kawasan ASEAN+3 tersebut dapat

    saling mempengaruhi dan negara mana yang pantas dijadikan sebagai negara

    dasar (peg) bagi negara-negara lainnya. Oleh karena itu, dirasa sangat perlu

    dilakukan penelitian tentang topik sejenis yang menganalisis tentang hal tersebut.

    Begitu pun kajian tentang pembentukan OCA dengan menggunakan

    analisis konvergensi kurs melalui pendekatan Generalized Purchasing Power

    Parity Test (G-PPP Test) sudah cukup banyak dilakukan dalam literatur-literatur

    ekonomi,, misalnya Nevez, et al (2008), Lee (2003), Bernstein (2000), serta

    Enders dan Hurn (1997). Akan tetapi, untuk kajian tentang pembentukan OCA

    dengan menggunakan G-PPP Test ini sebagian besar terfokus pada negara-negara

    maju, khususnya negara-negara Uni Eropa, New Zealand, Australia, Amerika

    Serikat, dan Amerika Selatan. Mayoritas dari penelitian tersebut menggunakan

    Jepang dan Amerika Serikat sebagai base country. Oleh karena itu, dirasa masih

    sangat perlu dilakukan penelitian sejenis yang menggunakan G-PPP Test di

    negara berkembang, khususnya ASEAN+3 dengan base country yang berbeda.

    Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting

    bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi. Oleh karena itu,

    penelitian ini akan membahas tentang fenomena pembentukan OCA melalui dua

    analisis. Pertama, analisis pertumbuhan ekonomi (economic growth analysis)

    dengan base country Singapura dan Jepang. Pemilihan dua negara ini

    berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Partisiwi (2008).

    Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa dengan asumsi negara anggota ASEAN

  • sebagai leader, maka Singapura yang paling layak untuk menjadi acuan (peg) bagi

    negara ASEAN+3 dan dengan asumsi negara di luar ASEAN sebagai leader,

    maka Jepang yang paling layak.

    Kedua, analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis) di

    ASEAN+3 dengan menggunakan G-PPP Test. G-PPP Test yang dilakukan dalam

    analisis ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country.

    Dasar pemilihan dua negara ini adalah karena Amerika Serikat merupakan negara

    besar dan kuat, dimana semua negara ASEAN+3 saat ini masih menjadikan Dollar

    AS sebagai kurs acuan mereka. Singapura dipilih karena berdasarkan hasil

    penelitian Partisiwi (2008), negara ini paling layak untuk menjadi acuan (peg)

    bagi negara ASEAN+3 dengan asumsi negara anggota ASEAN sebagai leader.

    Selain itu juga saat ini dalam melakukan hubungan perdagangan internasional,

    Dollar Singapura pun sudah cukup banyak digunakan sebagai standar oleh negara-

    negara ASEAN+3 lainnya.

    Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat

    dirumuskan sebagai berikut :

    Dari analisis pertumbuhan ekonomi :

    1. Bagaimana respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan

    perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian

    Indonesia terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3?

    2. Bagaimana peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam

    menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran

  • perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas

    perekonomian Indonesia?

    Sedangkan dari analisis konvergensi kurs :

    1. Bagaimana respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan

    sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat?

    2. Bagaimana peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas

    Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat?

    Dari kedua analisis ini akan terlihat negara mana yang lebih cocok dijadikan base

    country oleh Indonesia agar memiliki kondisi optimal dalam membentuk OCA.

    1.3. Tujuan Penelitian

    Terkait dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

    penelitian ini adalah untuk :

    1. Menganalisis respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan

    perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon perekonomian

    Indonesia terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3.

    2. Menganalisis peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam

    menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran

    perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas

    perekonomian Indonesia.

    3. Menganalisis respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan

    sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.

  • 4. Menganalisis peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas

    Rupiah dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.

    1.4. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

    1. Memberikan wawasan kepada kalangan akademisi lain dan masyarakat luas

    mengenai fenomena pembentukan Optimum Cuirrency Areas (OCA) atau

    integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+3

    2. Manambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi untuk

    membuat penelitian-penelitian selanjutnya.

    3. Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan, baik di tingkat

    nasional maupun internasional.

    1.5. Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini akan mengkaji secara empiris proses integrasi ekonomi

    melalui pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di negara-negara

    ASEAN+3 melaui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic

    growth analysis) dengan menggunakan variabel Real Gross Domestik Product

    (GDP Riil) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence analysis)

    dengan menggunakan variabel Real Exchange Rate (RER) dan Consumer Price

    Index (CPI). Fokus penelitian adalah pada tujuh negara yang terdiri dari lima

    negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand) dan dua

    negara Asia Timur (Jepang dan Korea Selatan). China tidak diikutsertakan pada

  • penelitian ini karena keterbatasan data yang tersedia sehingga sulit untuk

    melakukan penelitian jika menyertakan China sebagai negara yang diteliti.

    Dari analisis pertumbuhan ekonomi, penelitian ini hanya terfokus pada

    respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap guncangan perekonomian

    Singapura, Jepang, dan Indonesia saja serta respon perekonomian Indonesia

    secara khusus terhadap guncangan perekonomian negara ASEAN+3. Fokus

    berikutnya pada peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia terhadap

    variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran perekonomian negara

    ASEAN+3 terhadap variabilitas perekoinomian Indonesia secara khusus.

    Sedangkan dari analisis konvergensi kurs, fokus penelitian ini hanya pada respon

    Rupiah terhadap guncangan kurs negara ASEAN+3 dan sebaliknya serta peran

    kurs negara ASEAN+3 terhadap variabilitas Rupiah dan sebaliknya.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

    Dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka beberapa teori yang

    mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk mengkaji secara empiris proses

    integrasi ekonomi melalui pembentukan Optimum Currency Area (OCA) di

    negara-negara ASEAN+3 adalah sebagai berikut :

    2.1. Integrasi Ekonomi

    Kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai penggabungan.

    Menurut Tinbergen dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan

    struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan

    semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya

    perdagangan bebas dan dengan jalan mengintroduksi semua bentuk-bentuk

    kerjasama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses

    pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk

    meningkatkan kesejahteraan nasional.

    Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi mengacu kepada suatu

    kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif

    menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di

    antara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi

    ekonomi terbatas. Maksudnya, di lingkungan negara-negara yang menjadi

    anggota, berbagai bentuk hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif sengaja

    diturunkan atau bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negara-

    negara luar yang bukan merupakan anggota, masing-masing negara anggota masih

  • berhak untuk menerapkan kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak

    memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau non-tarif) atau tidak.

    Salvatore menyebutkan bahwa tingkatan integrasi ekonomi bervariasi

    mulai dari pengaturan perdagangan preferensial (preferential trade

    arrangements), yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan

    kawasan/area perdagangan bebas (free trade area), kemudian menjadi

    persekutuan pabean (customs union), pasaran bersama (common market), dan

    pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh

    (economic union).

    Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore

    Tahapan Keterangan

    Preferential Trade Arangements

    Dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di

    antara mereka, dan membedakannya dengan yang diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang paling longgar.

    Free Trade Area (FTA)

    Bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota

    tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar yang bukan

    anggota.

  • Customs Union Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas menentukan kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.

    Common Market Pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan

    barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal. Uni Eropa telah mencapai status common market pada akhir tahun 1992.

    Economic Union Pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan dilakukan lebih jauh, bahkan dengan menyeragamkan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini merupakan tipe kerja sama yang paling tinggi.

    Sumber : Salvatore, 1997

    Perkembangan terbaru yang menarik untuk dianalisis berdasarkan konsep-

    konsep di atas adalah kecenderungan dibentuknya zona bebas pajak (duty-free

    zones) atau zona ekonomi bebas (free economic zones). Ini merupakan sebuah

    wilayah kecil yang menjadi bagian dari suatu negara yang sengaja dibebaskan dari

    berbagai macam pajak untuk memikat investasi asing (di Indonesia contohnya

    adalah Pulau Batam). Setiap barang modal atau bahan-bahan mentah yang

    memasuki wilayah tersebut dibebaskan sama sekali dari berbagai tarif atau

    pungutan. Tujuannya jelas adalah agar perusahaan-perusahaan internasional mau

    menempatkan fasilitas produksinya di wilayah tersebut yang selanjutnya akan

  • menciptakan banyak lapangan kerja baru dan memunculkan dampak-dampak

    positif yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah sekitarnya.

    Berikut ini dijabarkan teori-teori yang termasuk dalam integrasi ekonomi

    yang menjadi landasan tentang pembentukan Optimum Currency Areas (OCA).

    Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

    2.1.1. Teori Optimum Currency Areas (OCA)

    Teori tentang Optimum Currency Areas pertama kali dikemukakan oleh

    Robert A. Mundell dengan papernya yang berjudul A Theory of Optimum

    Currency Areas. Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Areas (OCA)

    mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply

    dan demand yanng simetrik dan memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria

    tersebut meliputi :

    1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external

    factor mobility yang rendah.

    2. Memiliki upah dan harga yang stabil.

    3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional (budaya,

    bahasa, perundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut

    tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national

    borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor

    pendukung.

    Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori

    Optimum Currency Areas. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa

    sebuah currency area dibentuk dari negara-negara yang memproduksi dan

  • mengekspor barang-barang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur

    yang sama. Kenen menyebutkan bahwa kriteria-kriteria untuk membentuk sebuah

    currency area adalah :

    1. Mempunyai sedikit guncangan asimetrik.

    2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat melawan

    guncangan asimetrik.

    Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah optimum currency

    area dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan

    yang tinggi.

    Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA menyebutkan ada tiga

    kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency union, yaitu :

    1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama.

    2. Ukuran guncangan, baik guncangan permintaan maupun guncangan

    penawaran kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di antara

    negara-negara dalam kawasan.

    3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-

    negara dalam kawasan.

    Kelompok negara yang memiliki guncangan simetrik cenderung akan

    memiliki respon kebijakan yang sama pula, sehingga besar peluangnya untuk

    dapat membentuk common currency area. Selain itu, jika negara-negara yang

    berada dalam kawasan memiliki guncangan makroekonomi yang kecil maka

    negara tersebut tidak akan terbebani dengan biaya yang besar untuk melepaskan

    otonomi kebijakannya untuk membentuk common currency area. Kemudian, jika

  • keseimbangan awal dari permintaan dan penawaran dapat diperbaiki dengan cepat

    maka guncangan makroekonomi yang terjadi tidak akan membebani negara

    tersebut dengan biaya yang besar.

    2.1.2. Asian Currency Unit (ACU)

    Asian Currency Unit (ACU) merupakan mata uang paralel yang dibentuk

    dari sekeranjang mata uang (basket currency) negara anggota di kawasan Asia

    Timur untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam kawasan (Girardin dan Steinherr,

    2008). ACU dijadikan sebagai mata uang untuk transaksi perdagangan dan

    keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap menggunakan mata

    uang domestik. Dalam hal ini, masing-masing negara anggota tetap memiliki

    kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya.

    Eichengreen (2005) berpendapat bahwa pembentukan ACU dapat

    memelihara integrasi finansial dan moneter di Asia, mempercepat Asian bond

    markets, dan menerapkan sistem nilai tukar Asia seperti sistem nilai tukar Eropa.

    Proses pembentukan ACU memiliki manfaat dan biaya. Para ahli ekonomi

    berpandangan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses ini lebih besar

    dibandingkan dengan biayanya. Adapun manfaat dan biaya dari mata uang

    tunggal atau ACU secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.2. berikut ini.

  • Tabel 2.2. Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit

    Manfaat Biaya 1. Mengurangi biaya

    pertukaran/transaksi dan cadangan

    devisa serta koordinasi kebijakan yang lebih efektif antara negara anggota.

    2. Mencegah persaingan devaluasi.

    3. Mengurangi serangan yang bersifat spekulatif.

    4. Meningkatkan efisiensi mikro

    karena penggunaan uang yang

    lebih luas. 5. Perbaikan stabilisasi makro dan

    pertumbuhan karena stabilitas harga dan akses dana yang lebih

    besar daari integrasi finansial. 6. Memperkecil volatilitas dan

    ketidakpastian nilai tukar. 7. Meningkatkan perdagangan dan

    investasi karena biaya transaksi yang rendah.

    8. Memberikan suatu jangkar (anchor) nominal untuk kebijakan moneter.

    1. Setiap negara yang tergabung harus menyerahkan kekuasaan

    dan kewenangan kebijakan moneternya secara individual kepada Bank Sentral bersama untuk merespon masalah ekonomi

    dalam negerinya. 2. Beberapa kelemahan di tingkat

    mikro, terutama pada tahap awal integrasi.

    3. Terbatasnya pilihan instrumen kebijakan untuk stabilitas ekonomi makro.

    4. Permasalahan disiplin, yaitu ada

    insentif bagi negara anggota untuk melakukan deviasi dari traktat ekonomi bersama.

    5. Kehilangan seignorage (penciptaan uang) untuk negara-negara dengan inflasi tinggi.

    Sumber : Eudey, 1998 ; Warjiyo dalam Ariefianto, 2006 ; Lee dan Barro, 2006 ; dan Bean, 1992

    2.2. Konvergensi Kurs

    Konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan

    dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama.

  • Konvergensi kurs adalah pergerakan searah atau menuju ke suatu titik yang sama

    pada kurs suatu negara. Dengan tercapainya konvergensi kurs berarti apa yang

    terjadi pada kurs suatu negara akan berdampak pada kurs negara lainnya demikian

    pula sebaliknya (Angeloni et al, 2005).

    2.3. Teori Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP)

    Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) Theory sangat erat

    kaitannya dengan teori Purchasing Power Parity (PPP). Menurut Batiz (1994),

    teori PPP atau paritas daya beli menggambarkan hubungan antara tingkat harga

    umum dan kurs pada waktu tertentu. Versi dasar dari PPP dapat dipandang

    sebagai generalisasi dari Hukum Satu Harga (The Law of One Price).

    Implikasinya adalah bahwa harga komoditi yang diperdagangkan antar negara

    haruslah sama walaupun didenominasikan dalam mata uang negara yang berlaku.

    Teori tentang Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) pertama kali

    dikemukakan oleh Walter Enders dan Stan Hurn pada tahun 1994 dalam karya

    mereka yang berjudul Theory and Tests of Generalized Purchasing Power Parity :

    Common Trends and Real Exchange Rates in the Pacific Rim. Ide ini diajukan

    kepada negara-negara Pacific Rim dimana G-PPP ditolak pada saat itu dan

    negara-negara Pacific Rim tidak membentuk sebuah optimum currency area

    (OCA).

    Teori ini melihat bagaimana kurs bilateral di antara negara-negara

    didasarkan pada sebuah mata uang yang dijadikan sebagai peg dapat

    memperlihatkan share common trend yang ditunjukkan oleh hubungan kointegrasi

  • di antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila di antara negara-negara

    tersebut dapat memperlihatkan share common trend maka mereka dapat

    membentuk sebuah optimum currency area (OCA).

    2.4. Sistem Kurs

    Sistem Kurs mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam

    meminimalisasi risiko dari fluktuasi kurs yang akan mempunyai pengaruh

    terhadap perekonomian negara tersebut. Saat ini sistem kurs yang dapat

    diandalkan dalam era keuangan global hanya berkisar pada dua pola, karena itu

    disebut sebagai bipolar system. Dua sistem pengelolaan kurs tersebut adalah

    sistem kurs tetap (fixed exchange rate system) dan sistem kurs mengambang bebas

    ( floating exchange rate system).

    Pada sistem kurs tetap, besarnya nilai mata uang suatu negara ditentukan

    nilainya secara tetap terhadap alat tukar lain yang dianggap kuat. Sistem nilai

    yang disepakati di dalam perjanjian, yang kemudian dikenal menjadi sistem

    Bretton Woods, adalah penentuan kurs mata uang negara secara tetap kepada mata

    uang kuat (Dollar AS) dengan suatu mekanisme penyesuaian. Sistem kurs Bretton

    Woods disusun untuk dua tujuan. Di satu sisi untuk meghindarkan diri dari

    kemungkinan terlalu berfluktuasinya kurs mata uang negara yang menganut

    sistem mengambang bebas. Di lain sisi, sistem ini juga disusun untuk

    menghindarkan diri dari kemungkinan negara-negara melakukan devaluasi nilai

    mata uangnya guna menyelesaikan masalah ketidakseimbangan neraca

    pembayaran yang dihadapinya.

  • Dalam sistem ini, suatu negara mengumumkan suatu tingkat kurs tertentu

    mata uangnya. Dalam menjaga kurs ini, bank sentral dapat menyetujui untuk

    membeli atau menjual valuta asing dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut.

    Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sempit.

    Pada sistem ini, otoritas moneter tidak memiliki keleluasaan dalam

    mengendalikan kondisi moneter domestik. Bank sentral dalam upayanya

    mempertahankan kurs, akan melakukan intervensi di pasar valuta asing dan

    mengurangi jumlah cadangan devisa yang berarti akan mengurangi jumlah uang

    beredar dan mendorong kenaikan suku bunga domestik, masing-masing

    mendekati tingkat semula. Setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing

    yang diinginkan dan untuk mempertahankan kursnya maka bank sentral juga

    melakukan jual beli valuta asing. Oleh karena itu, bank sentral harus memegang

    sejumlah cadangan devisa untuk membiayai ketidakseimbangan neraca

    pembayaran sehingga kurs dapat dipertahankan. Walaupun demikian, kebaikan

    dari sistem kurs tetap ini adalah adanya kepastian akan kurs mata uang domestik

    dengan negara lain, sehingga para eksportir dan importir dapat memperhitungkan

    transaski perdagangan dengan pihak luar negeri.

    Sedangkan sistem kurs mengambang bebas adalah sistem yang

    membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya

    permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan

    mata uang negara lain. Dengan kata lain, bank sentral tidak menargetkan besarnya

    kurs dan tidak melakukan intervensi langsung ke pasar valuta asing. Di Indonesia,

    kurs Rupiah akan tergantung kepada permintaan dan penawaran Dollar AS. Jika

  • permintaan terhadap Dollar AS lebih besar dari penawarannya, maka harga Dollar

    AS yang diukur dengan Rupiah menjadi meningkat, atau sebaliknya nilai Rupiah

    menurun. Jika penawaran Dollar AS lebih besar dibandingkan permintaan

    terhadapnya, maka harga Dollar AS yang diukur dengan Rupiah menjadi

    menurun, atau sebaliknya nilai Rupiah meningkat. Sistem kurs mengambang

    bebas banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan sistem

    ini memiliki beberapa kekuatan, yaitu :

    1. Sistem ini memungkinkan suatu negara mengisolasikan kebijakan makronya

    dari dampak kebijakan dari luar sehingga suatu negara mempunyai kebebasan

    untuk mengeluarkan kebijakan yang independen. Kebijakan yang dapat

    dilakukan misalnya adalah penyesuaian yang lebih baik apabila terjadi defisit

    atau surplus neraca pembayaran.

    2. Dalam penetapan sistem kurs ini bank sentral tidak perlu memegang cadangan

    devisa yang banyak untuk menjaga likuiditas agar kurs dapat dipertahankan.

    Akan tetapi sistem ini juga mempunyai kelemahan, yaitu penetapan kurs

    berdasarkan pasar dapat mengakibatkan kurs berfluktuasi. Depresiasi nilai tukar

    dapat meningkatkan harga barang-barang impor dan pada akhirnya akan memicu

    inflasi di dalam negeri (Simorangkir dan Suseno dalam Partisiwi, 2008).

    2.5. Penelitian Terdahulu

    Partisiwi (2008) menganalisis kemungkinan penyatuan mata uang

    (currency unification) di ASEAN+3 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Flipina,

    Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan) dengan menggunakan pendekatan

  • keragaman exchange rate. Peneliti menghitung OCA indeks dari delapan negara

    yang diteliti dengan Amerika Serikat sebagai negara peg. Semakin rendah nilai

    OCA indeks, maka semakin meningkat keuntungan untuk membentuk currency

    union dibanding dengan biaya yang harus ditanggung, dan sebaliknya.

    Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh negara dengan nilai OCA indeks

    yang terkecil yang akan menjadi negara peg selanjutnya adalah Singapura (asumsi

    negara ASEAN sebagai leader) dan Jepang (asumsi negara di luar negara ASEAN

    sebagai leader). Kemudian, penyatuan mata uang diawali dengan Jepang,

    Singapura, dan Malaysia (Tahap I). Hal ini akan dilanjutkan dengan penyatuan

    mata uang negara Korea, China, Thailand, dan Filipina (Tahap II).

    Xu, et al (2006) menganalisis kemungkinan pembentukan single currency

    untuk negara-negara ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan

    Thailand) dengan menjadikan konvergensi ekonomi dan guncangan simetri pada

    permintaan dan penawaran sebagai pra syarat dari OCA menggunakan metode

    SVAR (data tahunan dari 1970-2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    terjadi kecenderungan konvergensi inflasi dan nilai tukar di Singapura, Malaysia,

    dan Thailand dan guncangan permintaan dan penawaran di Singapura, Malaysia,

    dan Thailand bersifat simetrik yang menjadikan ketiga negara ini memiliki

    kemungkinan membentuk currency union.

    Ahn, et al (2005) menganalisis kemungkinan pembentukan Optimum

    Currency Area (OCA) di Asia Timur dengan menggunakan metode SVAR dan G-

    PPP (data tahunan). Dalam penelitian ini yang dijadikan base country adalah

    Jepang. Hasil penelitian dengan metode SVAR menunjukkan bahwa tujuh negara

  • (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Korea, dan Taiwan)

    memenuhi syarat untuk menjadi anggota OCA. Kemudian, hasil dari metode G-

    PPP menunjukkan bahwa delapan negara (Indonesia, Singapura, Thailand, Hong

    Kong, Jepang, Korea, dan Taiwan) yang memenuhi syarat untuk membentuk

    OCA.

    Falianty (2006) dalam disertasinya meneliti kemungkinan currency area di

    wilayah ASEAN-5 dengan menggunakan pendekatan endogenitas upah, OCA,

    indeks, dan asymmetric shock. Dengan menggunakan model OLS dan SVAR

    (data tahunan) ditemukan bahwa hanya negara Thailand, Malaysia, dan Singapura

    saja yang mempunyai kemungkinan membentuk currency area.

    Bayoumi dan Eichengreen (1994) menganalisis kemungkinan

    pembentukan monetary unification pada berbagai belahan dunia. Mereka

    menganalisis wilayah Eropa Barat, Asia Timur dengan metode SVAR (data

    tahunan) dan menjadikan ukuran guncangan, cross correlation antara negara

    anggota, dan kecepatan penyesuaian terhadap guncangan yang terjadi sebagai

    syarat pembentukan OCA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk wilayah

    Eropa Barat, negara-negara yang memenuhi syarat adalah Belgia, Denmark,

    Perancis, Jerman, dan Belanda; wilayah Asia Timur adalah Jepang, Korea, dan

    Taiwan serta Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand; dan

    wilayah Amerika adalah Kanada-Meksiko dan Kanada-Amerika Serikat saja yang

    memenuhi syarat. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa monetary unification

    lebih kondusif di Asia Timur daripada di Amerika.

  • Nevez, et al (2008) menganalisis pembentukan Optimum Currency Area

    pada negara-negara Mercosur (kelompok dagang Amerika Selatan), yang terdiri

    dari Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, Venezuela, Bolivia, dan Chile dengan

    Amerika Serikat sebagai benchnark country dengan metode Generalized

    Purchasing Power Parity (G-PPP). Penelitian ini menggunakan data consumer

    price index (CPI) dan exchange rate kuartalan dari tahun 1973:Q3 sampai

    2006:Q3. Data-data ini diperoleh dari IMFs International Financial Statistics.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan negara-negara

    Mercosur menunjukkan parameter vektor kointegrasi yang signifikan untuk

    membentuk OCA pada taraf satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa Amerika

    Serikat harus dilibatkan dalam pembentukan potential currency area ini dan

    negara-negara Mercosur sangat tergantung pada kebijakan fundamental Amerika

    Serikat. Akan tetapi, hasil ini tidak dapat disimpulkan lebih jauh bahwa Mercosur

    benar-benar siap untuk pembentukan mata uang tunggal karena dalam penelitian

    ini pun ditemukan perbedaan-perbedaan yang besar di antara negara-negara

    Mercosur ini.

    Ogawa dan Kawasaki (2006) melakukan analisis G-PPP untuk negara-

    negara ASEAN+3 dengan menggunakan common currency basket sebagai mata

    uang dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ASEAN 5 (Indonesia,

    Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dan China dapat membentuk sebuah

    common currency basket area.

    Lee (2003) menganalisis tentang eksistensi common trend diantara nilai

    tukar bilateral Australia dan Selandia Baru dengan dua negara mitra dagang

  • terbesar mereka, yaitu Jepang dan Amerika Serikat sebagai base country.

    Penelitian ini juga menggunakan metode G-PPP dengan data time series kuartalan

    untuk nominal spot exchange rates dan consumer price index (CPI) dari tahun

    1975:Q1 sampai 2000:Q3. Data diperoleh dari IFS CD-ROM (International

    Monetary Fund, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurs bilateral

    Australia dan Selandia Baru dengan Jepang sebagai base country memiliki share

    common trend yang dapat diinterpretasikan mampu membentuk optimum

    currency area, tetapi tidak untuk Amerika Serikat sebagai base country. Hal ini

    mengindikasikan bahwa karakter Australia dan Selandia Baru lebih mirip dengan

    Jepang daripada dengan Amerika Serikat. Dengan begitu, akan ada keuntungan

    komparatif dalam perdagangan antara Australia, Selandia Baru, dan Jepang dalam

    lingkungan liberal.

    Bernstein (2000) melakukan G-PPP test untuk negara-negara Euro dan

    ditemukan bahwa tidak terdapat kointegrasi diantara negara-negara tersebut. Hong

    (1999) juga menganalisis pembentukan OCA dengan menggunakan metode G-

    PPP untuk China, Hong Kong, Jepang, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa negara-negara tersebut dapat membentuk sebuah optimum

    currency area.

    Enders dan Hurn (1997) juga melakukan G-PPP test kepada negara-

    negara yang tergabung dalam kelompok G7 pada tahun 1997. Penelitian ini

    menemukan vektor kointegrasi signifikan pada taraf lima persen, yang berarti kurs

    riil negara-negara kelompok G7 menunjukkan hubungan keseimbangan jangka

    panjang yang optimal dalam membentuk sebuah optimum currency area. Dan

  • guncangan terhadap satu kurs akan mempengaruhi kurs yang lain pada jangka

    panjang.

    2.6. Kerangka Pemikiran

    Skema alur berpikir pada Gambar 2.1. digunakan untuk menganalisis

    permasalahan dalam penelitian ini. Guncangan makroekonomi negara dalam

    kawasan yang simetrik dan berkorelasi tinggi, pola perdagangan yang sama di

    antara negara-negara dalam kawasan yang dicerminkan oleh share common trend,

    dan kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-

    negara dalam kawasan, merupakan kriteria utama pembentukan Optimum

    Currency Areas (OCA) (Bayoumi dan Mauro, 2001 dan Lee, 2003).

    Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menganalisis kriteria pertama dan

    kedua melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi (economic

    growth analysis) dan analisis konvergensi kurs (exchange rate convergence

    analysis).

  • Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

    ASEAN+3

    Kriteria utama pembentukan Optimum Currency Area

    (OCA)

    Guncangan makroekonomi negara dalam

    kawasan yang simetrik

    dan berkorelasi tinggi

    Pola perdagangan yang sama di

    antara negara-

    negara dalam kawasan

    yang dicerminkan oleh share common

    trend

    Kesamaan pembangunan ekonomi dan

    sistem keuangan di

    antara negara dalam

    kawasan

    Base Country

    Singapura Amerika

    Konvergensi Kurs

    Share Common Trend

    Optimal membentuk OCA

    Kurs

    GDP

    Perekonomian

    Base Country

    Singapura

    Kesamaan Ekonomi

    Jepang

    Keterangan : : fokus

  • III. METODE PENELITIAN

    3.1. Jenis dan Sumber Data

    Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tujuh

    negara ASEAN+3, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, dan

    Korea Selatan dalam bentuk data deret waktu kuartalan (quarterly time series)

    untuk variabel GDP Riil dari Q1:1993 sampai Q3:2008 serta data deret waktu

    bulanan (monthly time series) untuk variabel Consumer Price Index (CPI) dan

    Real Exchange Rate dari bulan Januari 1996 sampai bulan Oktober 2008. Negara-

    negara ASEAN lainnya dan China tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena

    tidak tersedianya data secara lengkap. Semua data diolah dalam bentuk logaritma

    natural. Dalam penelitian ini negara yang dijadikan negara dasar (base country)

    pada analisis pertumbuhan ekonomi adalah Singapura dan Jepang (Partisiwi,

    2008) dan pada analisis konvergensi kurs adalah Singapura dan Amerika Serikat.

    Penulis pun melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet, dan

    literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

    Adapun data yang digunakan pada penelitian ini tersaji dalam Tabel 3.1 di

    bawah ini.

    Tabel 3.1 Data dan Sumber Data

    No. Variabel Sumber 1. Real Gross Domestic Product (GDP Riil) CEIC 2. Consumer Price Index (CPI) CEIC 3. Real Eexchange Rate (RER) Sauder School of Business

    PACIFIC Exchange Rate

    Service

  • 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

    Integrasi ekonomi dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA)

    di negara-negara ASEAN+3 melalui analisis pertumbuhan ekonomi akan

    dianalisis dengan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) untuk

    mengidentifikasi besarnya respon perekonomian negara ASEAN+3 terhadap

    guncangan perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia serta respon

    perekonomian Indonesia khususnya terhadap guncangan perekonomian negara

    ASEAN+3 dan peran perekonomian Singapura, Jepang, dan Indonesia dalam

    menjelaskan variabilitas perekonomian negara ASEAN+3 serta peran

    perekonomian negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas perekonomian

    Indonesia khususnya. Kemudian jika data yang digunakan stasioner pada first

    difference, maka model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi

    kesalahan (error correction model) menjadi Cointegrated VAR atau biasa dikenal

    dengan istilah Vector Error Correction Model (VECM).

    Selain itu, penelitian ini juga akan mengkaji secara empiris proses

    integrasi ekonomi dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di

    negara-negara ASEAN+3 melalui analisis konvergensi kurs yang akan dianalisis

    dengan menggunakan metode Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP)

    untuk mengidentifikasi besarnya respon Rupiah terhadap guncangan kurs negara

    ASEAN+3 dan sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat

    serta peran kurs negara ASEAN+3 dalam menjelaskan variabilitas Rupiah dan

    sebaliknya dengan base country Singapura dan Amerika Serikat.

  • Untuk mempermudah pengolahan data dalam penelitian ini maka data

    dikelompokkan untuk dapat dilakukan perhitungan, kemudian untuk mendapatkan

    hasil analisis yang lebih valid dan konsisten maka semua data diubah ke dalam

    bentuk logaritma natural (ln). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian

    ini adalah Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.1.

    3.3. Analisis Vector Autoregression (VAR)

    Penelitian ini akan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR),

    yaitu suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi

    dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag yang lain dari

    peubah lain yang ada dalam sistem itu sendiri. Jika data yang digunakan stasioner

    di level atau I(0), maka metode VAR yang digunakan. Jika data yang digunakan

    tidak stasioner/stasioner di first difference atau I(1) dan tidak terkointegrasi, maka

    metode VAR first difference yang digunakan. Akan tetapi, jika data yang

    digunakan tidak stasioner/stasioner di first difference atau I(1) namun

    terkointegrasi, maka metode yang digunakan adalah Vector Error Correction

    Model (VECM).

    Menurut Arsana (2005), VAR tidak berbeda dengan tahapan persamaan

    simultan. VAR juga perlu melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan

    estimasi model. Kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang

    dimilki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi. Jika jumlah informasi

    yang dimiliki sama dengan jumlah parameter, akan diperoleh kondisi exactly

    identified atau just identified. Sementara jika jumlah informasi kurang dari jumlah

  • parameter yang diestimasi akan tercipta kondisi underidentified. Hasil identifikasi

    pada sebuah sistem persamaan simultan menjadi penting karena pengaruhnya

    pada proses estimasi. Proses estimasi hanya dapat dilakukan pada kondisi

    overidentified dan just identified.

    Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk

    multivariate time series. Model VAR pertama kali dikembangkan oleh Cristopher

    A. Sims pada tahun 1980 terutama sebagai solusi atas kritiknya terhadap model

    persamaan simultan (Amisano dan Giannini, 1997), yaitu :

    1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan agregasi dari

    model keseimbangan parsial tanpa adanya fokus untuk menghasilkan

    hubungan yang hilang (omitted interrelations).

    2. Struktur dinamis dari model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk

    memberikan restriksi yang perlu dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk

    struktural.

    Oleh karena itu untuk mengatasi kritik di atas, berikut dijelaskan beberapa

    kelebihan metode VAR menurut Nachrowi dan Usman (2006), yaitu :

    1. Model VAR adalah model yang sederhana dan tidak perlu membedakan mana

    variabel yang bersifat endogen dan mana yang bersifat eksogen. Semua

    variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen.

    2. Cara estimasi model VAR sangat mudah, yaitu dengan menggunakan OLS

    pada setiap persamaan secara terpisah.

    3. Peramalan menggunakan model VAR pada beberapa hal lebih baik dibanding

    menggunakan model dalam persamaan simultan yang lebih kompleks.

  • 4. Metode VAR dapat menangkap hubungan-hubungan yang mungkin terjadi di

    antara variabel-variabel yang dianalisis karena VAR mengembangkan model

    secara bersamaan dalam suatu sistem yang multivariat.

    Sekalipun memiliki banyak kelebihan, model VAR tetap memiliki sisi

    lemah. Adapun beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain :

    1. Model VAR lebih bersifat a-theory karena tidak memanfaatkan informasi atau

    teori terdahulu. Oleh karena itu, model tersebut sering disebut sebagai model

    yang tidak struktural.

    2. Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR

    kurang cocok untuk analisis kebijakan.

    3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat

    menimbulkan permasalahan. Misalnya kita memiliki tiga variabel bebas yang

    masing-masing memiliki lag sebanyak delapan, maka parameter yang harus

    diestimasi sebanyak 24 buah. Untuk kepentingan tersebut maka data atau

    pengamatan yang harus dimiliki relatif lebih banyak.

    Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang

    (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan metodologi Sims (1980),

    variabel yang digunakan di dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan model

    ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan memanfaatkan

    kriteria informasi seperti Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion

    (SC) maupun Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam penelitian ini kriteria

    informasi yang digunakan adalah Akaike Info Criterion (AIC).

  • Model umum VAR dengan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t dan

    dengan ordo i dalam penelitian ini dapat dituliskan dalam model persamaan

    berikut : (1) dimana :

    Yt = vektor variabel endogen berukuran n x 1

    At = vektor intersep masing-masing variabel endogen berukuran n x 1

    i = matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i = 1, 2, ...

    Yt-i = vektor autoregressive dengan lag operator t-i t = vektor white noise

    3.4. Analisis Vector Error Correction Model (VECM)

    Ketika dua atau lebih variabel yang terlibat dalam suatu persamaan pada

    data level tidak stasioner, maka kemungkinan terdapat kointegrasi pada persamaan

    tersebut (Verbeek, 2000). Jika setelah dilakukan uji kointegrasi terdapat

    persamaan kointegrasi dalam model yang kita gunakan maka dianjurkan untuk

    memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan.

    Kebanyakan data time series memiliki I(1) atau stasioner pada first difference.

    Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang dalam

    penelitian ini akan digunakan model VECM jika ternyata data yang digunakan

    I(1). VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke

    dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut sebagai desain VAR

    bagi series non-stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi.

  • Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel

    endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap

    membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal

    juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang

    dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek.

    Adapun persamaan VECM secara matematis ditunjukkan oleh persamaan

    berikut (Verbeek, 2000) :

    dimana : = koefisien hubungan jangka pendek = koefisien hubungan jangka panjang = kecepatan menuju keseimbangan (speed adjustment)

    3.5. Analisis Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP)

    Menurut teori Purchasing Power Parity (PPP), kurs riil yang didefinisikan

    sebagai rasio dari tingkat harga antara dua negara, harus sama untuk semua negara

    pada setiap waktu. Bagaimana menjelaskan perbedaan antara PPP dengan nilai

    tukar? Salah satu penjelasan teoritik yang penting dalam menjelaskan perilaku

    kurs riil adalah teori Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) yang

    dibangun oleh Walter Enders dan Stan Hurn pada tahun 1994. Ide dari teori ini

    adalah PPP jangka panjang mengimplikasikan bahwa kurs riil itu stasioner. Akan

    tetapi, beberapa studi teoritikal dan empirikal seperti Adler dan Lehman, 1983;

  • Corbae dan Ouliaris, 1988; Enders, 1988; Patel, 1990; serta Kim dan Enders, 1991

    menyatakan bahwa kurs riil itu non-stasioner. Hal ini terjadi karena variabel-

    variabel fundamental makroekonomi yang menentukan kurs riil seperti

    pendapatan, terms of trade, konsumsi pemerintah dan yang lainnya biasanya non-

    stasioner dan kurs itu sendiri pun non-stasioner. Walaupun kurs bilateral secara

    umum biasanya non-stasioner, hipotesis G-PPP menyatakan bahwa negara-negara

    dapat memperlihatkan share common trend jika faktor-faktor fundamental dalam

    ekonomi di antara negara-negara tersebut saling berhubungan.

    Oleh karena itu, pentingnya analisis G-PPP ini adalah karena metode ini

    dapat menghubungkan variabel makroekonomi, kurs riil, dan konsep PPP.

    Analisis G-PPP dapat menunjukkan hubungan kointegrasi di antara kurs riil

    negara-negara dalam kawasan yang mengindikasikan common trend dalam

    fundamental makroekonomi mereka. Apabila di antara negara-negara tersebut

    dapat memperlihatkan share common trend, maka mereka dapat membentuk

    sebuah OCA.

    Enders dan Hurn (1994) pertama kali menggunakan pendekatan G-PPP

    untuk menganalisis kemungkinan penyatuan mata uang. Negara-negara yang

    berpotensi membentuk mata uang tunggal adalah negara-negara yang memiliki

    guncangan simetrik terhadap variabel-variabel makroekonominya. Faktor-faktor

    fundamentalnya pun secara rata-rata harus bergerak bersama-sama. G-PPP pun

    menyebutkan bahwa kurs riil antara kedua negara harus terkointegrasi. Kemudian,

    Enders dan Hurn (1997, p. 437) telah menyarankan bahwa multivariate

    cointegration test seharusnya menjelaskan eksistensi dari common trend di antara

  • kurs riil yang non-stasioner ini jika variabel tersebut dibawa oleh variabel

    stokastik trend yang sama.

    Berdasarkan PPP jangka panjang menurut Enders dan Hurn (1994), kurs

    riil bilateral dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

    + (3) dimana : = kurs riil bilateral masing-masing negara = logaritma natural dari kurs nominal masing-masing negara = logaritma natural dari tingkat harga/CPI base country = logaritma natural dari tingkat harga/CPI domestik Perlu diperhatikan di sini bahwa naiknya kurs bilateral mengindikasikan

    terdepresiasinya nilai mata uang domestik.

    Model umum G-PPP dengan n buah variabel tak bebas pada waktu ke-t

    dan dengan ordo i dalam penelitian ini dapat dituliskan dalam model persamaan

    berikut : (4) dimana : = kurs bilateral pada waktu t antara negara 1 (base country) dan negara i At = vektor intersep masing-masing variabel endogen berukuran n x 1 = matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i = 1, 2, ... = vektor autoregressive dengan lag operator t-i = vektor white noise

  • Tahap-tahap pengujian pra-estimasi seperti uji stasioneritas data,

    penentuan lag optimal, pengujian kointegrasi, uji Granger Causality, dan uji

    matriks korelasi, termasuk metode moving average yang dilakukan pada G-PPP

    Test ini sama seperti yang dilakukan pada metode VAR pada analisis

    pertumbuhan ekonomi pada bagian sebelumnya.

    3.6. Pengujian Pra-Estimasi

    Sebelum melakukan estimasi VAR/VECM, maka ada beberapa tahapan

    yang harus dilakukan, yaitu pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut

    antara lain uji stasioneritas data, penentuan lag optimal, uji kointegrasi, uji

    Granger Causality, dan uji matriks korelasi. Akan tetapi, sebelum masuk ke

    pengujian pra-estimasi ini, dilakukan terlebih dahulu metode moving average.

    Adapun penjelasannya sebagai berikut :

    3.6.1. Metode Moving Average

    Hal pertama yang dilakukan sebelum masuk ke analisis VAR adalah

    membersihkan data dengan mengisolir pengaruh musiman sehingga tidak

    menyebabkan misleading dan indeks yang diperoleh tidak volatile. Di banyak

    negara faktor musim biasanya bersifat fix (tetap), seperti Natal dan Tahun Baru,

    musim hujan dan kemarau, musim dingin dan panas. Namun untuk kasus

    Indonesia, selain faktor musim yang tetap, terdapat juga faktor musim