Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENYELESAIAN PERMOHONAN PERKARA WALI
‘ADHAL DI PENGADILAN AGAMA BEKASI
(Analisa Putusan Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.Bks) Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Achdi Gufron 204044103013
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA PENCATATAN PERKAWINAN
(ANALISA PUTUSAN HAKIM NOMOR 002/PDT.P/2008/PA.BKS
PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI) Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
ACHDI GUFRON
NIM : 204044103013
Di Bawah Bimbingan:
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIFHIDAYATULLAH
J A K A R T A 1430 H / 2009 M
PENYELESAIAN PERMOHONAN PERKARA WALI
‘ ADHAL DI PENGADILAN AGAMA BEKASI
(Analisis putusan nomor.042/Pdt.P/2008/PA.Bks)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Achdi Gufron 204044103013
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Ahmad Bisyri Abd. Somad, Lc. MA NIP : 196 803 202 000 031 001
Pembimbing II Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag,.MA NIP : 150 326 896
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH J A K A R T A
1430H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DALAM RANGKA PENCATATAN PERKAWINAN (ANALISIS PUTUSAN HAKIM NOMOR 002/PDT.P/2008/PA.BKS PADA PENGADILAN AGAMA BEKASI) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 03 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah. Jakarta, 03 Maret 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dah Hukum
Prof.DR.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM
NIP.150210422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey,SH,MA (................................) NIP : 130 789 745 2. Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA (................................)
NIP : 150 269 678
3. Pembimbing : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH,MA (................................) NIP : 150 169 102
4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag (................................) NIP : 150 282 403
5. Penguji II : Drs. H. Burhanuddin Yusuf, MM (................................) NIP : 150 203 012
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta ,17 Nopember 2009
Achdi Gufron
ii
بسم اهللا الر حمن الر حيمKATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian puji dan
syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayat-Nya yang senantiasa
berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta
ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa
penulis haturkan kepada Revolusioner Besar junjungan Nabi Muhammad SAW, yang
senantiasa membawa cahaya dan syafa’at bagi seru sekalian alam.
Kini tiba saat yang dinanti-nantikan, sebuah perjalanan panjang yang penuh
dengan perjuangan, walaupun dengan raga yang tertatih-tatih dan melelahkan
akhirnya penulis mampu menyelesaikan studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan
hambatan yang dihadapi, serta saat ini juga masih jauh dari kesempurnaan dalam hal
ini tidak terlepas dari sifat manusia yaitu tempatnya salah dan lupa.
Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapkan ribuan terima kasih yang tiada
tara dan tiada terhingga atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis, yaitu kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M. sebagai dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu
iii
Dekan I, II, dan III yang telah membimbing dan memberikan ilmu serta waktunya
di tengah-tengah kesibukan beliau.
2. Bapak Drs.H.A. Basiq Djalil, SH. MA., sebagai Ketua Jurusan Al-Ahwâl Al-
Syakhsiyyah fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan pembimbing akademik penulis yang senantiasa selalu
sabar dalam membimbing serta memberikan pengarahan kepada penulis.
3. Bapak Kamarusdiana SH, MH. Selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah
yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.
4. Bapak Ahmad Bisyri Abd. Somad, Lc. MA dan Bapak Dr. Ahmad Tholabi
Kharlie, S.Ag,. MA sebagai dosen pembimbing skripsi dengan kesabaran yang
tulus senantiasa meluangkan waktunya untuk bimbingan, pengarahan, saran-saran
selama penulisan skripsi.
5. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey. SH. MA., dan Bapak. Drs. Ahmad Yani, M. Ag.,
sebagai Ketua Kortek dan sekertaris Kortek program Non Reguler beserta staf
(Mufida SH.i dan Mohammad Syafi’I SE.i), penulis banyak mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya yang senantiasa sabar memberikan banyak bantuan
dan masukan serta do’a yang tak kunjung henti, semoga Allah SWT membalas
dengan ganjaran yang berlipat. (Amiiin)
6. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif HIdayatullah
Jakarta, serta kepada karyawan dan Staf Perpustakaan yang telah memfasilitasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
iv
7. Yang sangat teristimewa dan sangat penulis cintai dan sayangi orang tua ku H.
Abd Rozak dan Hj. Syamsiah yang selalu setia dan sabar memberikan biaya dan
do’a serta motivasi yang tak henti-hentinya, karenanya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih atas cinta dan kasih sayang dan segala
bimbingan baik moril maupun materil.
8. Sahabat-sahabatku satu perjuangan (Zaenuddin, Muhasim, Ma’mun, Agus
Khaeroni) yang senantiasa selalu sabar dan berjuang untuk menggapai cita-cita.
Semoga apa yang kalian lakukan selalu diridhoi oleh Allah SWT.
9. Sahabat-sahabatku yang tiada bosan selalu memberikan do’a dan motivasi
(Mirzan Ghulam Ahmad SH.i, SS, Hamzah Iwat SH.i, Saiful Bahri SH.i, Soriadi
SH.i) semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan rahmat kepada kalian.
10. Sahabat-sahabatku para personil Central Group yang selalu membantu dalam
pengerjaan skripsi ini (Uda Iwan beserta isteri, Aldi Wandra Hasan, Jack Sammy,
Benny Marco Anderson, Ari Luis Nani, Rahmat Septrio, Nana, Nanu , Saiban)
terima kasih semuanya.
11. Sahabat-sahabat satu kelasku dan teman-teman yang lain yang tidak bisa saya
sebutkan namanya satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada
kalian.
12. Rekan-rekan SAS Non-Regular angkatan 2004, semoga kalian semua selalu
dalam kesuksesan.
v
vi
Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung, hingga terselesaikan skripsi ini, hanya ucapan terima kasih yang penulis
haturkan. Semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah
SWT, dan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda (Amin). Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat, bagi penulis khususnya dan pembaca umum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta : 17 Nopember 2009 M 29 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Kajian Terdahulu................................................................... 7
E. Metode Penelitian . ............................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 11
BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG WALI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah............................ 13
B. Syarat-syarat Wali Nikah ...................................................... 18
C. Macam-macam Wali Dalam Pernikahan .............................. 23
D. Wali ‘Adhal ........................................................................... 29
E. Acara Permohonan Penetapan Wali ‘Adhal .......................... 32
vii
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA BEKASI
A. Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi.......................... 36
B. Kedudukan Pengadilan Agama............................................. 39
C. Wewenang dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi 41
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA TENTANG WALI ‘ADHAL
A. Duduk Perkara Wali ‘Adhal No.042/Pdt.P/2008/PA.Bekasi
di Pengadilan Agama Bekasi ............................................... 50
B. Analisis terhadap Penetapan Hukum yang Digunakan
Pengadilan Agama Dalam Perkara Wali ‘Adhal ................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 80
B. Saran ........................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 83
LAMPIRAN.................................................................................................... 85
viii
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG WALI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah
1. Pengertian Wali
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari kata al-wali (الولي), dengan
bentuk jamak auliya (اولياء), yang berarti pecinta, saudara, penolong.1
Menurut istilah wali adalah orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan
perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya menurut
ketentuan syari’at. Sayyid Sabiq mengatakan wali adalah sesuatu ketentuan
hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang
hukumnya.2
Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan
penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian
disebut “wali”.3 Perwalian ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat
khusus. Kewalian bersifat umum ialah mengenai orang banyak dalam suatu
wilayah atau negara. Sedangkan kewalian yang bersifat khusus ialah
menyangkut pribadi seseorang atau hartanya. Dalam pembahasan skripsi ini
1 Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: Darul Masyriq, 1975), h. 919. 2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT Al-Ma’arif, 1997), Cet Ke-13, Jilid 7, h. 7. 3 Kamal Muhtar, Azaz-Azaz Dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,
1987), Cet ke-2, h. 92.
13
14
adalah wali menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan atau biasa disebut
menjadi Wali Nikah. Menurut kamus istilah fiqih, Wali Nikah adalah mereka
yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang menikah, karena keturunan
atau kekuasaan.4
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Wali Nikah adalah
orang-orang yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah
dan hak perwalian diperoleh berdasarkan garis keturunan dari pihak laki-laki
atau berdasarkan kekuasaan.
2. Dasar Hukum Wali Nikah
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Karena perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah mawaddah warrahmah, maka perlu diatur dengan syarat dan
rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.
Sahnya suatu perkawinan dalam Hukum Islam adalah dengan
terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Dalam
4 M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet ke-3, h. 416. 5 Departemen Agama R.I, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag R.I., 2004), h. 14.
15
kaitannya dengan rukun nikah, Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun nikah
terdiri atas :6
a. Adanya calon suami;
b. Adanya calon istri;
c. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita ;
d. Adanya dua orang saksi;
e. Siqhat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali / wakilnya
dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Dari rukun tersebut diatas, wali termasuk faktor yang menentukan
dalam sebuah pernikahan. Adanya wali bagi seorang wanita dalam akad
nikahnya merupakan rukun akad tersebut. Adapun dasarnya adalah :
a. Firman Allah swt
1) Surat al-Baqarah ayat 232
⌧
)232: البقرة.(
“....maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf ...”
6 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet.
Ke-1, h. 89. lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU. No 1/74 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-3, h. 8.
16
Ayat ini ditujukan kepada wali, jika mereka tidak mempunyai
hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-
halangi.7
2) Surat Al-Baqarah ayat 221
وال☺
)221: البقرة (
“...dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman...”
Ayat ini juga ditujukan kepada wali supaya mereka tidak
menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang musrik. Seandainya
wanita mempunyai hak secara langsung untuk menikahkan dirinya
tanpa wali, maka tidak ada artinya ayat tersebut ditunjukan kepada
wali dan semestinya ditunjukan kepada wanita. Akan tetapi karena
akad nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditunjukan
kepada wali bukan kepada wanita. Ini menunjukkan bahwa urusan
nikah terletak kepada Wali Nasab. Jika tidak demikian, tentulah
larangan tersebut tidak ditunjukkan kepada para wali.8
b. Hadis Nabi Muhammad Saw.
7 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (terj), (Semarang; CV. Asy-Syifa, 1990), Cet. Ke-1, h. 336. 8 Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah Thalaq, Rujuk dan Kewarisan,
(Jakarta : Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971), h. 1761.
17
: الق ملسو هيلع اهللا ىلص يبالن أن ىسوم أبي نع ةدرب يبأ نع 9)وددا ابو رواه( يلوبالإ حكانال
“Dari Abu Burdah R.A dari Abi Musa R.A, Rasulullah SAW Bersabda : Tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang wali.” (HR Abu Daud)
ةاراامميأ :ملسو هيلع اهللا ىلص اهللا لوسر الق تلقا ةشئ اع نع اهب لخد نإف ،اترم ثالث لطبا اهاحكنف اهلي اوم نذإ ريغب تحكن يلو ال نم يلو انلطالسف واراجشت نإف هنم ابصأ امب اهلرهمالف )ابوداود رواه ( هل
“Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda: barang siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (H.R. Abu Daud)
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 dijelaskan bahwa wali
nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.10
Mengingat pentingnya wali dalam perkawinan dan dengan
pertimbangan bahwa perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu
tidak hanya menggabungkan hubungan dua individu tapi juga
menghubungkan dua keluarga besar sehingga tercipta keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah. Maka untuk menciptakan tujuan mulia itu
dapat diatarik ketegasan bahwa wali dalam pernikahan itu merupakan
9 Imam Abu Daud Sulaiman Al-Assy’ats As-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), juz II, h. 193.
10 Departemen Agama R.I., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 132.
18
“rukun”, artinya wali harus ada di dalam setiap pernikahan. Tanpa adanya
Wali Nasab maupun Wali Hakim maka pernikahan itu dianggap tidak sah.
B. Syarat-Syarat Wali Nikah
Orang yang akan menjadi wali harus memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum maka perwaliannya tidak sah. Oleh karena itulah persyaratan menjadi wali
harus dipenuhi. Imam Taqiyuddin dalam bukunya berjudul Kifayatul Akhyar
menyatakan beberapa persyaratan tentang Wali Nikah, diantaranya adalah :
1. Islam;
2. Baligh;
3. Sehat akalnya;
4. Merdeka;
5. Laki-Laki;
6. Adil.11
Dalam buku lain juga disebutkan oleh karena wali sudah ditentukan sebagai
rukun bagi sahnya nikah, maka syariat telah menentukan pula syarat-syarat untuk
boleh menjadi wali. Syarat-Syarat tersebut adalah :
a. Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali);
b. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali);
11 Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar (Terj),
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. Pertama, h. 371-39.
19
c. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali);
d. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).12
Persyaratan tentang wali lebih rinci telah dijelaskan dalam buku Pedoman
Pembantu Pencatat Nikah, yaitu :
1. Beragama Islam;
2. Baligh;
3. Berakal;
4. Tidak dipaksa;
5. Terang laki-lakinya;
6. Adil (bukan fasik);
7. Tidak sedang ihram;
8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh Pemerintah;
9. Tidak rusak pikirannya;
10. Merdeka.13
Pada perinsipnya dari beberapa pendapat-pendapat tersebut tidak ada
perbedaan yang mendasar. Dari ketiga pendapat tersebut dapat diambil
kesimpulan, bahwa syarat untuk menjadi wali adalah :
1. Orang yang Mukallaf
12 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang
Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 28. 13 Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1985/1986)., h. 12.
20
Karena orang yang Mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum
dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya. Anak-anak tidak sah menjadi
wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berfikir dan
bertindak secara sadar dan baik.14
Sabda Nabi SAW
عفر :الق ملسو هيلع اهللا ىلص يبالن نع علي نع ى،حالض يبا نع نعو ،ملتحي ىتح يبالص نعو ظقيتسي ىتح مائالن نع :الةث نع ملقال 15)داود ابو رواه (لقعي ىتح نونجمال
“Dari Abu Dhuha, dari Ali RA, Rasulullah Saw. Bersabda Diangkatlah hukum itu dari tiga perkara : dari orang yang tidur sehingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa), dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (H.R. Abu Daud)
2. Muslim
Disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang kawin itu orang muslim
juga, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 28 :
☺
☺
⌧
ال (☺ )28: عمران
14 Abdurahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1986), Cet ke-1, h. 48 15 Imam Abu Daud Sulaiman Al-Asy’ars As-Sajastani, Sunan Abu Daud, h. 193
21
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.
Ayat diatas sebagai landasan bahwa umat Islam jika ingin menikah atau
menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan Muslim. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa beragama Islam merupakan syarat yang harus dipenuhi
oleh Wali Nikah.
3. Laki-Laki
Laki-laki merupakan syarat perwalian. Demikian merupakan pendapat
seluruh ulama karena dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap
mempunyai kekurangan. Wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya sendiri
apalagi orang lain.16
4. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang
yang bertanggung jawab, karena orang yang menjadi wali harus orang yang
berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila tidak memenuhi syarat
untuk menjadi wali.
5. Adil (cerdas)
Salah satu syarat lain yang harus dimiliki oleh wali adalah adil. Adil yang
dimaksud adalah berbuat adil, tidak fasik. Menurut Imam Syafi’i yang dimaksud
16 Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Ke-1, h. 50.
22
dengan adil itu adalah cerdas.17 Cerdas yang dimaksud adalah dapat atau mampu
menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
النكاح : ملسو هيلع اهللا ىلص اهللا لوسر الق :قالت عائشة عن 18)الدارقطنى رواه (عدل وشاهدى إالبولي
“Dari Aisyah, dari Nabi SAW bersabda : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.(H.R. Ad-Daaruquthni)
Berdasarkan hadist tersebut, maka orang yang tidak cerdas atau tidak
mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan. Ini berarti jika
wali ingin berbuat fasik, maka wali itu harus digantikan oleh orang lain yang
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Pernyataan tersebut di atas memberikan pengertian bahwa syarat utama
yang harus ada pada wali dalam pernikahan adalah Islam, dewasa, dan laki-laki.
Tentang persyaratan lain seperti berakal dan adil dapat diambil pengertian baligh
karena balig menunjukan bahwa orang itu telah berakal dan muslim atau
beragama Islam menunjukkan bahwa orang tersebut pasti dapat berbuat adil.
Dengan demikian tiga persyaratan tersebut pada dasarnya telah mencakup lima
persyaratan yang banyak dibahas dalam berbagai buku fikih atau Hukum Islam.
C. Macam-Macam Wali Dalam Penikahan
17 Kamal Mukhtar, Azaz-Azaz Dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan. h.92. 18 Daaruquthni, Sunan Daaruquthni, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), Jilid III, h. 139.
23
Secara umum wali dalam perkawinan digolongkan menjadi dua macam,
yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim.19 Kedua macam wali tersebut akan diuraikan
lebih lanjut di bawah ini.
1. Wali Nasab
Nasab artinya bangsa. Wali Nasab adalah Wali Nikah karena ada
hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.20 Wali
ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib mulai dari orang yang paling
berhak, yaitu orang yang paling dekat / aqrab, lebih kuat hubungan darahnya.
Jumhur Ulama mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari
garis ayah, bukan ibu.21
Urutan Wali Nasab yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
pada pasal 21 dan 22, adalah sebagai berikut :
Pasal 21 :
a) Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
19 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet ke-4,
h. 80. 20 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 89. 21 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000) Cet ke-1. h 63.
24
b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
c) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
d) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.22
Apabila diuraikan lebih rinci lagi susunan wali adalah sebagai berikut:
a. Ayah kandung;
b. Kakek (dari garis ayah) seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;
c. Saudara laki-laki sekandung;
d. Saudara laki-laki seayah;
e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
i. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman):
j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman ayah);
k. Anak laki-laki paman sekandung;
l. Anak laki-laki paman seayah;
m. Saudara laki-laki kakek sekandung;
n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;
22 Departemen Agama R.I., Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, h 135-136.
25
o. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.23
Wali yang paling berhak dan paling utama menjadi Wali Nikah adalah
ayah, karena sangat dekat kekerabatannya dengan mempelai wanita dan ayah
adalah orang yang mempunyai keutamaan dibandingkan dengan Wali Nikah
yang lain. Oleh karena itu ayah disebut wali yang dekat atau Wali Aqrab, dan
wali lain disebut wali yang jauh atau wali ab’ad (Saudara terdekat atau yang
agak jauh).
Pasal 22 KHI menjelaskan bahwa apabila Wali Nikah yang paling
berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena
Wali Nikah rungu atau sudah udzur, maka yang menjadi wali bergeser kepada
Wali Nikah yang lain menurut derajat berikutnya.24
Mengenai perpindahan wali dari yang dekat kepada yang lebih jauh
urutannya yaitu apabila wali yang dekat ada atau karena sesuatu hal dianggap
tidak ada, yaitu:
1. Wali aqrab-nya tidak ada sama sekali;
2. Wali aqrab ada, tetapi belum baligh;
3. Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila;
4. Wali aqrab ada, tetapi pikun karena tua;
5. Wali aqrab ada, tetapi bisu dan tidak dapat dimengerti isyaratnya;
23 Selamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 90-91. Lihat juga, Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, h. 87. 24 Departemen Agama R.I., Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, h. 135-136.
26
6. Wali aqrab ada, tetapi tidak beragama Islam.25
Wali Nasab terbagi menjadi dua, yaitu Pertama Wali Nasab yang
berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang
perempuan mesti kawin. Wali Nasab yang berhak memaksa ini disebut Wali
Nasab yang mujbir dipendekan dengan sebutan Wali Mujbir. Wali Mujbir
terdiri dari bapak, kakek dan ayah dari kakek seterusnya ke atas. Mujbir
artinya orang yang memaksa.26 Walaupun Wali Mujbir dapat memaksa tetapi
ia harus memenuhi persyaratan :
1. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis;
2. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya;
3. Calon suami itu mampu membayar mas kawin;
4. Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia.27
Apabila keempat syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi oleh wali yang
memaksa menikahkan anaknya (Wali Mujbir) maka wanita yang dipaksa
menikah dapat meminta fasakh ke pengadilan.
Kedua Wali Nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau
Wali Nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapa, paman yaitu
saudara laki-laki kandung atau sebapa, dari bapa dan seterusnya anggota
keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinear.
25 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 88. 26 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet ke-1 h. 69. 27 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, (Jakarta Hudakarya
Agung , 1996), Cet ke-15, h 55
27
2. Wali Hakim
Wali Hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang
dalam bidang perkawinan. Biasanya Penghulu atau petugas lain dari
Departemen Agama. Dalam hal ini ditemui kesulitan untuk hadirnya Wali
Nasab atau ada halangan-halangan dari Wali Nasab atas suatu perkawinan,
maka seorang calon pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan Wali
Hakim baik melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur
yang dapat ditempuh.28
Rasulullah S.A.W. bersabda :
ملسو هيلعصلى اهللا اهللا لوسر لاق :تلقا :ةئشاع نع ،ةورع نع 29)ماجه ابن رواه (هل يلو ال نم يلو انطلالسف ....
“....Maka Hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (H.R. Ibnu Majah).
Dalam prakteknya Wali Hakim yang diangkat oleh Pemerintah pada
saat ini adalah Pegawai Pencatat Pernikahan (Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan). Ketentuan tentang Wali Hakim diatur dalam Peraturan Menteri
Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim khususnya pada
Bab III pasal 4 dan pasal 5 mengenai Wali Hakim yang berbunyi :
Pasal 4 1) Kepala Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk
menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
28 Ibid., 29 Abi Abdullah Muhammad Ibni Yaziida Quzwiini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut : Dar Al-Fikr),
Jilid I, h. 605.
28
2) Apabila si wilayah kecamatan, kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Kantor Departeman Agama kabupaten/kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi kewenangan untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Untuk dapat menggunakan Wali Hakim, diperlukan alasan-alasan kuat
bagi calon pengantin perempuan, yaitu :
1. Tidak ada Wali Nasab;
2. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad.
3. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ±92.5 km atau dua
hari perjalanan;
4. Wali aqrab-nya dipenjara dan tidak bisa ditemui;
5. Wali aqrab-nya ‘adhal;
6. Wali aqrab-nya berbelit-belit;
7. Wali aqrab-nya sedang ihram;
8. Wali aqrab-nya sendiri yang akan menikah;
9. Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan Wali Mujbir
tidak ada.30
Wali Hakim tidak berhak menikahkan:
1. Wanita yang belum balig;
30 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 92.
29
2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekufu;
3. Tanpa seizin wali yang akan menikahkan;
4. Di luar daerah kekuasaannya.31
D. Wali ‘Adhal
Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab, yaitu
yang artinya mencegah atau menghalang-halangi.32 (عضل – يعضيل عضل)
Wali ‘adhal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig
dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak
menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.33
Seorang wali dapat dikatakan ‘adhal apabila:
a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu
dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik
penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya
maupun tidak;
b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan
dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya
menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya.34
31 Ibid, h. 93. 32 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet ke-14, n. 441. 33 Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993). Cet.
Ke-1, h. 1339. 34 Ibid,
30
Dalam bukunya yang berjudul 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap
Anak, M. Thalib mengemukakan ada beberapa alasan mengapa orang tua
berusaha menghalangi perkawinan anaknya, yaitu:
1. Orang tua melihat calon menantunya orang miskin, karena kemiskinannya
orang tua khawatir anaknya hidup dalam kesengsaraan;
2. Orang tua mendapat calon menantu dari kalangan rendahan atau kalangan
orang tuanya tidak terpelajar. Orang tua merasa khawatir kelak keturunannya
menjadi orang bodoh atau tidak memiliki sopan santun dalam tata pergaulan
keluarga Bangsawan;
3. Orang tua melihat calon menantunya dari keluarga yang dahulunya pernah
bermusuhan dengan dirinya, karena itu merasa malu dan direndahkan harga
dirinya oleh anaknya yang kini hendak menjalin ikatan suami istri dengan
keluarga semacam ini.35
Memang tidak diragukan lagi bahwa pangkat, status sosial, kedudukan yang
tinggi dan beberapa pertimbangan lainnya merupakah hal-hal yang dituntut dan
tidak dikesampingkan dalam mencarikan dan memilihkan pasangan untuk wanita,
maka adanya berbagai pertimbangan bukanlah perbuatan yang tercela.
Jika seluruh pertimbangan di atas sudah dijadikan prioritas utama di dalam
menjatuhkan pilihan, tanpa melihat pertimbangan agama dan akhlak, maka
perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela. Sehingga apabila terdapat orang
35 M. Thalib, 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung : Irsyad Baitus Salam,
1996), Cet. ke-12, h. 90-91.
31
tua yang menolak menikahkan anaknya yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak
syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’, maka wali tersebut
disebut wali ‘adhal.
Firman Allah SWT:
⌧
)232: البقرة.(
“ maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah : 232) Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak
kewaliannya berpindah kepada Wali Hakim. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW.
اةرام اميأ :ملسو هيلع اهللا ىلص اهللا لوسر الق تلقا ةشئ اع نع اهب لخد نإف ،اترم ثالث لاطب اهاحكنف اهيالوم .نذإ ريغب تحكن هل يلو ال نم يلو انطلالسف واراجشت نإف هنم ابصاأمب اهلرهمالف 36)ابوداود رواه(
“Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda : barang siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud).
Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan (‘adhal) juga
diatur dalam peraturan yang berlaku di Negara kita yaitu Peraturan Menteri
36 Imam Abu Daud Sulaiman Al-Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud, h. 193.
32
Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim pada BAB II,
yang berbunyi:
Pasal 2 1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di
luar negeri/wilayah Ekstra Teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
2) Untuk menyatakan ‘adhalnya wali sebagaimana tersebut ayat (1), pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.
E. Acara Permohonan Penetapan Wali ‘Adhal
a. Terjadinya Wali ‘Adhal
Penetapan ‘adhalnya wali diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 1987 tanggal 28 Oktober 1987 tentang Wali Hakim.
Wali ‘adhal ialah Wali Nasab yang mempunyai kekuasaan untuk
menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi ia
enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.
b. Tata cara penyelesaian wali ‘adhal
Mengenai tatacara penyelesaian wali ‘adhal diatur sebagai berikut:
1. Untuk menetapkan ‘adhalnya wali harus ditetapkan dengan keputusan
Pengadilan Agama.
33
2. Calon mempelai wanita yang bersangkutan mengajukan permohonan
penetapan ‘adhalnya wali dengan “Surat Permohonan”.
3. Surat Permohonan tersebut memuat:
a. Identitas calon mempelai wanita sebagai “Pemohon”.
b. Uraian tentang pokok perkara.
c. Petitum, yaitu mohon ditetapkan ‘adhalnya wali dan ditunjuk Wali
Hakim untuk menikahkannya.
4. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal calon
mempelai wanita (Pemohon).
5. Perkara penetapan ‘adhalnya wali berbentuk Voluntair.
6. Pengadilan Agama menetapkan hari sidangnya dengan memanggil
Pemohon dan memanggil pula wali Pemohon tersebut untuk didengar
keterangannya.
7. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya wali dengan
acara singkat.
8. Apabila pihak wali sebagai saksi utama telah dipanggil secara resmi dan
patut namun tetap tidak hadir sehingga tidak dapat didengar keterangannya,
maka hal ini dapat memperkuat ‘adhalnya wali.
9. apabila pihak wali telah hadir dan memberikan keterangannya maka harus
dipertimbangkan oleh Hakim dengan mengutamakan kepentingan
Pemohon.
34
10. Untuk memperkuat ‘adhalnya wali, maka perlu didengar keterangan saksi-
saksi.
11. Apabila wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai alasan-alasan
yang kuat menurut hukum perkawinan dan sekiranya perkawinan tetap
dilangsungkan justru akan merugikan Pemohon atau terjadi pelanggaran
terhadap larangan pekawinan, maka permohonan Pemohon akan ditolak.
12. Apabila Hakim berpendapat bahwa wali telah benar-benar ‘adhal dan
Pemohon tetap pada permohonannya maka Hakim akan mengabulkan
permohonan Pemohon dengan menetapkan ‘adhalnya wali dan menunjuk
kepada KUA Kecamatan, selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN), di tempat
tinggal Pemohon untuk bertindak sebagai Wali Hakim.
13. Terhadap penetapan tersebut dapat dimintakan banding.
14. Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali Hakim meminta kembali kepada
Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah
ada penetapan Pengadilan Agama tentang ‘adhalnya wali.
15. Apabila Wali Nasabnya tetap ‘adhal, maka akad nikah dilangsungkan
dengan Wali Hakim.
16. Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya wali bagi calon mempelai wanita
Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Luar Negeri dilakukan
oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
17. Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat
ditunjuk pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali Hakim, oleh
35
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji atas
nama Menteri Agama.37
37 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1996), h. 238-239.
BAB III
GAMBARAN UMUM
PENGADILAN AGAMA BEKASI
A. Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi
Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang diakui di
Indonesia berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau ”judicial
power” khususnya di lingkungan Pengadilan Agama yang secara yuridis telah
diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dalam pasal 63 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan kembali tentang kedudukan dan
fungsi serta lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa mengadili sengketa
perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan.1
Untuk menghapus segala anggapan dan suasana dilematis tersebut UU No.7
Tahun 1989 menegaskan kembali kedudukan lingkungan Peradilan Agama agar
benar-benar berfungsi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman.
Penegasan yang terdapat dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun penegasan yang
terdapat dalam Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta
penegasan ulang yang terdapat dalam Pasal 44 UU No.14 Tahun 1985 tentang
1 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
45.
36
37
Keberadaan Lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman, rupanya dianggap pembuat undang-undang belum
memadai. Maka, untuk lebih meratakan penyebaran kesadaran dan kepercayaan
masyarakat tentang kedudukan lingkungan Peradilan Agama yang sebenarnya,
UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menganggap perlu
mempertegasnya. Sekaligus dalam penegasan tersebut diatur susunan, kekuasaan,
dan hukum acara yang diberlakukan dalam lingkungan Peradilan Agama.2
Dari satu segi, mungkin penegasan yang berulang kali ini, agak berlebihan.
Sebab kalau dibaca dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, secara tegas disebut, lingkungan
peradilan yang berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau judicial
power terdiri dari lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara3
Kemudian dalam Pasal 63 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
kembali ditegaskan tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan Peradilan
2 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun
1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 10. 3 Ibid, h. 10.
38
Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa perkara yang timbul dalam
hukum kekeluargaan. 4
Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan Hakim
atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara
Hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, ”
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini ”.
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan
selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini
meliputi kewenangan Relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan,
pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaa putusan. Hakim harus menguasai
hukum acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum
materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.5
Letak Pengadilan Agama Bekasi bertempat di jalan Jenderal Ahmad Yani
No. 10, Komplek Perkantoran Kota Bekasi. Wilayah administratif daerah tingkat
4 Ibid, h. 10. 5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 9.
39
II Kota Bekasi berada di lokasi yang sangat strategis letak geografisnya, terutama
pengembangan ekonomi, wilayah dan penduduknya secara umum.6
Secara geografis, Kota Bekasi terletak pada peta dengan posisi antara 106
55 – Bujur Timur dan antara 67-615 Lintang Selatan dengan memilki markaz
kiblat 64 51 29,87 dari Utara ke Barat atau 25 08 30,13 dari Barat ke Utara. Kota
Bekasi memiliki area seluas kurang lebih 16.175,21 Ha dengan batas-batas
wilayah :
1. Sebelah Barat, berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta.
2. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Taruma Jaya dan Kecamatan
Babelan Kabupaten Bekasi.
3. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Tambun dan Kecamatan Setu
Kabupaten Bekasi.
4. Sebelah Selatan, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor.7
B. Kedudukan Pengadilan Agama
Pengadilan Agama Bekasi bertempat di jalan Jenderal Ahmad Yani No. 10,
Komplek Perkantoran Kota Bekasi wilayah administratif Daerah tingkat II Kota
6 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi. 7 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi.
40
adalah merupakan Pengadilan Agama Kelas 1 B yang berada di wilayah hukum
Pengadilan Tinggi Agama Bandung Jawa Barat.8
Pengadilan Agama Bekasi di bangun diatas tanah seluas 1080 M2 dengan
status Kantor milik Pengadilan Agama Bekasi Hak Guna Bangunan sertikikat
Nomor.13 tanggal 06 juli 1991.9
Bekasi setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus dirubah
menurut struktur pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi
Kewedanan yang masih tetap dalam wilayah Kabupaten yang dahulu disebut Ken
Jatinegara. Selanjutnya pada tanggal 17 Februari 1950 masyarakat Bekasi
melakukan unjuk rasa yang antara lain menuntut kepada Pemeritah agar
Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi yang mewilayahi 4
(empat) Kewedanan, 13 (tiga belas) Kecamatan dan 95 (sembilan puluh lima)
Desa yang terungkap secara simbolis dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan
Motto ”Swatantra Wibawa Mukti”. Selanjutnya pada tahun 1960 Kantor
Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi tepatnya di jalan Ir. H. Juanda
Bekasi yang selanjutnya agar pelayanan dapat dilakukan secara maksimal,
efesien, dan efektif. Maka pada tahun 1982 Komplek Perkantoran Pemerintah
8 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi. 9 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi.
41
Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi di pindahkan ke lokasi baru yaitu tepatnya di
Jl. Jenderal Ahmad Yani Nomor 1 Bekasi.10
Adanya tuntutan masyarakat perkotaan dengan perkembangan kehidupan
masyarakat Bekasi yang semakin padat, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 48 tahun 1981 Kabupaten Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota
Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat) Kecamatan yaitu: Kecamatan
Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan yang secara
keseluruhan mencakup 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan) Desa.
Selanjutnya dengan adanya kebijakan konsep Botabek yang merupakan pelaksana
Inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh terhadap perkembangan Kota
Administratif Bekasi sebagai penyangga Ibukota Negara, maka Kota
Administratif Bekasi dan kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada dalam
wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat
sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan serta sarana dan prasarana
sebagai pengelolaan.11
C. Wewenang dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama
Tugas pokok Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman ialah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
10 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi. 11 Panitera Pengadilan Agama Bekasi, Data Yuridiksi dan Populasi Geografi dan Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Bekasi.
42
setiap perkara yang diajukan kepadanya (Ps. 2 ayat (1) UU. No. 14/1970),
termasuk didalamnya menyelesaikan perkara Voluntair (penjelasan ps.2 (1)
tersebut).12
Berdasarkan ketentuan UU. No. 7/1989 tentang Peradilan Agama,
khususnya pasal 1, 2, 49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain: UU No. 1/1974, PP No.
28/1977, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag.
No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam bidang
hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang beragama Islam,
berdasarkan Hukum Islam.13
Bidang hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menjadi kekuasaan Peradilan Agama, dan disebutkan
dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat 2 adalah :
1. Izin beristeri lebih dari seorang.
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat.
3. Dispensasi Kawin.
12 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 1. 13 Ibid,, h. 1-2.
43
4. Pencegahan Perkawinan.
5. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6. Pembatalan Perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.
8. Perceraian karena talak.
9. Gugatan Perceraian.
10. Penyelesaian Harta Bersama.
11. Mengenai Pengusaan Anak-anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan.
16. pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya.
44
20. Penetapan asal-usul seorang anak.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.14
Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi meliputi seluruh wilayah
daerah Tingkat II Kota Bekasi yang terdiri dari 12 (Dua Belas) Kecamatan dan
55 (Lima Puluh lima) Kelurahan.
Yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama adalah terdapat pada
Pasal 49, ayat (1) yang berbunyi Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan,
Wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, Wakaf dan
Shadaqah. Pada ayat (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat 1 huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku. Kemudian pada ayat (3) Bidang kewarisan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa
14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amandemen undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 86-87.
45
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peniggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan.15
15 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet.ke 1,(Jakarta: Rajawali Press, 1991),
h. 29.
BAB IV
ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BEKASI
TENTANG WALI ‘ADHAL
A. Duduk Perkara Wali ‘Adhal No.042/Pdt.P/2008/PA.Bekasi di Pengadilan
Agama Bekasi
Dengan mencermati jalan perkara berbagai kasus yang pernah diangkat
dalam beberapa tulisan, terutama kasus yang berkaitan dengan masalah
permohonan penetapan Wali ‘Adhal, penulis semakin berkesimpulan betapa
pentingnya sosialisasi Hukum Islam ke dalam masyarakat yang bukan saja bentuk
rumusan hukum normatifnya, tetapi juga terutama tentang aspek tujuan hukum
yang dalam kajian Hukum Islam dikenal dengan maqasid al-syari’ah. Secara
teoretis, Hukum Islam dirumuskan oleh perumusnya (Allah SWT). Secara umum
tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan
kemadaratan.1
Dalam pembahasan ini penulis akan melakukan analisa yurisprudensi
terhadap masalah ketetapan Pengadilan Agama Bekasi yang mengabulkan
permohonan Wali ‘Adhal yang diajukan oleh Fabri Anita binti Suyoto yang
selanjutnya disebut Pemohon dengan maksud untuk melangsungkan pernikahan
dengan seorang pria pilihannya yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi
1 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 29.
50
51
Budiarto, namun ayah kandung dari perempuan tidak menyetujui dan tidak
bersedia menjadi wali pernikahan antara Pemohon dengan calon suami dengan
alasan masalah pribadi calon suami.
1. Duduk Perkaranya
Bahwa pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 31 Oktober
2008 yang telah terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:
042/Pdt.P/2008/PA.BKS, mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa, Pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan
seorang laki-laki pilihan yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi
Budiarto, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat
tinggal di Jl. Pemuda no. 5 RT 002/04, Kelurahan Kranji, Kecamatan
Bekasi Barat, Kota Bekasi.
2. Bahwa, antara Pemohon dengan calon suami sudah saling mencintai,
sehingga Pemohon berniat untuk melangsungkan pernikahan.
3. Bahwa, Pemohon dengan calon suami telah menyampaikan maksud
tersebut kepada ayah kandung Pemohon bernama Suyoto bin Karto Kardi,
umur 54 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat
tinggal di Penggilingan Jl. Dr. Sumarno RT 011/08, Kelurahan Pulo
Gebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, namun ayah kandung
tersebut tidak menyetujui dan tidak bersedia menjadi wali pernikahan
antara Pemohon dengan calon suami dengan alasan masalah pribadi calon
suami.
52
4. Bahwa, calon suami dan keluarga calon suami sudah pernah datang secara
baik-baik kepada ayah kandung dua kali dan terakhir 02 Agustus 2008
dan diterima dengan baik, dimana ayah masih keberatan dan tidak setuju
dengan alasan pribadi calon suami maka atas pertimbangan itulah
Pemohon mengajukan permohonan tersebut.
5. Bahwa, antara Pemohon dengan calon suami merasa sudah kafaah/sekufu
dan tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan serta semua
syarat untuk pernikahan telah terpenuhi.
6. Bahwa, Pemohon bertempat tinggal di daerah Bekasi Barat maka
pelaksanaan pernikahan tersebut diadakan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Bekasi Barat dengan Wali Hakim/Kepala Kantor Urusan
Agama.
7. Bahwa, berdasarkan uraian-uraian dan penjelasan tersebut diatas maka
dengan ini Pemohon mengajukan permohonan kepada Bapak Ketua
Pengadilan Agama Bekasi untuk dapat mengabulkan permohonan
Pemohon sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menetapkan Suyoto bin Karto Kardi sebagai wali yang ‘adhal.
3. Mengizinkan kepada Pemohon untuk melakukan pernikahan dengan
Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto dengan menggunakan Wali
Hakim.
53
4. Menetapkan menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bekasi Barat sebagai Wali Hakim untuk menikahkan Fabri Anita
Rachman bin Suyoto dengan Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto.
5. menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.2
Bilamana Pengadilan Agama Bekasi berpendapat lain mohon putusan
seadil-adilnya.
Bahwa pada persidangan Pengadilan Agama yang telah ditetapkan,
ayah kandung Pemohon selaku Wali Hadir.
Bahwa majelis hakim telah menasehati Pemohon untuk tidak
melanjutkan permohonan sambil berusaha melakukan pendekatan kepada
ayah kandung Pemohon.
Bahwa ketua majelis telah membacakan surat permohonan Pemohon
tersebut, atas pertanyaan majelis hakim, Pemohon menyatakan tetap pada
dalil-dalil permohonannya.
Bahwa ayah Pemohon (Sutoyo bin Karto Kardi) telah mengajukan
keterangan bahwa tidak keberatan serta tidak menghalangi Pemohon untuk
menikah.
Bahwa Pemohon telah menghadirkan calon suami Pemohon yang
bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto, menerangkan sebagai berikut.
Selanjutnya calon suami Pemohon menjelaskan tentang keinginannya
untuk menikahi Pemohon dengan menerangkan, sebagai berikut:
2 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
54
1. Bahwa, benar bahkan kami sudah bertunangan dan sudah pernah
menentukan waktu pernikahan tetapi ternyata waktu yang ditentukan oleh
Bapak Pemohon itu, ibu Pemohon tidak tahu dan ternyata waktu itu ibu
Pemohon tidak bisa karena ada kegiatan di tempat kerjanya akhirnya tidak
jadi dan sampai sekarang waktu pernikahan itu belum juga ditentukan
lagi.
2. Bahwa, keluarga saya sudah dua kali menemui bapak Pemohon tetapi
tidak ada tanggapan positif dan pembicaraan tidak berfokus kearah
pernikahan malah muter-muter tidak jelas.
3. Bahwa, saya tetap mau menikahi Pemohon dan saya akan bertanggung
jawab terhadap Pemohon walaupun kondisi bapaknya seperti itu.
4. Bahwa, tidak ada larangan menikah dengan Pemohon.3
Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonan Pemohon, maka
Pemohon dibebani pembuktian, selanjutnya di persidangan Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti berupa:
1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon nomor
10.5504.680282. 1016 tertanggal 30-11-2006 ditandatangani Camat
Bekasi Barat, selanjutnya ditandai Bukti P.1.
2. Foto copy Kartu Keluarga atas nama Kepala Keluarga Suyoto nomor
10.5504/01/28968 tertanggal 17-04-2007 dari Camat Bekasi Barat,
selanjutnya ditandai Bukti P.2.
3 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
55
3. Foto copy Surat Keterangan untuk nikah Model N1.Nomor
474.2/257/KL.JKSPNII/08 tertanggal 14 Juli 2008 dari Kelurahan
Jakasampurna, selanjutnya ditandai Bukti P.3.
4. Foto copy Surat Keterangan asal-usul Model N2.Nomor
474.2/257/KL.JKSPMI/08 tertanggal 14 Juli 2008 dari Kelurahan
Jakasampurna, selanjutnya ditandai Bukti P.4.
5. Foto copy Surat Keterangan tentang orang tua Model N4.Nomor
474.2/257/KL.JKSPNII/08 tertanggal 14 Juli 2008 dari Kelurahan
Jakasampurna, selanjutnya ditandai Bukti P.5.
6. Foto copy Surat perihal Pemberitahuan Kehendak Nikah Model N7
tertanggal 15 Juli 2008 dari yang memberitahukan Siti Rochmani,
selanjutnya ditandai Bukti P.6.4
Bahwa selain bukti tersebut diatas Pemohon menghadirkan 2 (dua)
orang saksi yang mengangkat sumpah lalu memberikan saksi di persidangan
sebagai berikut:
Saksi Pertama, Siti Rohmani binti Sainan Darsowiryono, selanjutnya
menerangkan sebagai berikut:
1. Bahwa saksi adalah ibu kandung Pemohon.
2. Bahwa benar dengan Rudi sudah tunangan tetapi sampai sekarang belum
juga dilaksanakan pernikahannya.
4 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
56
3. Bahwa ayah Pemohon sebagai walinya tidak memberikan jawaban kapan
perrnikahan itu dilaksanakan padahal beberapa waktu setelah pertunangan
mereka bapak Pemohon sudah menentukan waktu pernikahan mereka
namun saat itu saya tidak setuju karena saksi ada pelatihan di tempat saya
bekerja akhirnya waktu yang sudah ditentukan itu batal dan sampai saat
ini jika ditanyakan tidak ada jawaban hanya meminta agar Pemohon
meminta maaf kepadanya dan itu sudah Pemohon laksanakan dan
memerintahkan Pemohon agar tetap melaksanakan sholat 5 waktu.
4. Bahwa tidak ada masalah antara Pemohon dengan bapaknya dan dengan
calon suami Pemohon sehingga sampai saat ini bapak Pemohon belum
memastikan waktu untuk menikahkan Pemohon dengan calon suaminya.
5. Bahwa ada masalah bisnis antara ayah Pemohon dengan calon suami
Pemohon, diduga sebab penyebab tertundanya pernikahan Pemohon
tersebut.
6. Bahwa saksi selaku ibu kandung Pemohon merestui pernikahan Pemohon
dengan calon suaminya, sebab keduanya sudah saling mencintai.5
Saksi Kedua, Neneng Siti Khodijah binti Khoharudin, menerangkan
sebagai berikut:
1. Bahwa saksi kenal Pemohon dan calon suami Pemohon.
2. Bahwa Pemohon telah bertunangan dengan sdr. Rudi, bahkan pernah
ditetapkan pelaksanaannya, namun karena bertepatan dengan kegiatan
5 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS
57
kantor ibu Pemohon sehingga dibatalkan untuk waktu yang belum
ditentukan.
3. Bahwa Pemohon telah bertunangan dengan sdr. Rudi, namun penentuan
hari pernikahan belum ditentukan sebab ayah Pemohon tidak bersedia
menjadi Wali Nikah.
4. Bahwa pihak keluarga dari calon suami pemohon telah mengunjungi
orang tua Pemohon menindaklanjuti rencana pernikahan, namun belum
memberikan kepastian hanya terkesan mengulur-ngulur waktu tanpa
alasan yang jelas.6
Bahwa atas kesaksian kedua orang saksi di persidangan Pemohon
membenarkan, selanjutnya Pemohon tidak akan mengajukan bukti lagi hanya
mohon putusan.
Bahwa untuk singkatnya putusan ini maka semua berita acara
persidangan harus dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan ini.
2. Tentang Hukumnya
Bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon sebagaimana
diuraikan diatas.
Bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan dalil-dalil sebagai
berikut:
6 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS
58
1. Bahwa Pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan
seorang laki-laki pilihan yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi
Budiarto, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta.
2. Bahwa antara Pemohon dengan calon suami sudah saling mencintai,
sehingga pemohon berniat untuk melangsungkan pernikahan.
3. Bahwa Pemohon dan calon suami telah menyampaikan maksud tersebut
kepada ayah kandung Pemohon, namun ayah kandung Pemohon tersebut
tidak meyetujui dan tidak bersedia menjadi wali pernikahan antara
Pemohon dengan calon suami dengan alasan masalah pribadi calon suami.
4. Bahwa calon suami dan keluarga calon suami sudah pernah datang secara
baik-baik kepada ayah kandung dua kali dan terakhir 2 Agustus 2008 dan
diterima dengan baik, dimana ayah masih keberatan dan tidak setuju
dengan alasan pribadi calon suami maka atas pertimbangan itulah
Pemohon mengajukan permohonan tersebut.
5. Bahwa antara Pemohon dengan calon suami merasa sudah kafaah/sekufu
dan tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan serta semua
syarat untuk pernikahan telah terpenuhi.
6. Bahwa Pemohon bertempat tinggal di daerah Bekasi Barat maka
pelaksanaan pernikahan tersebut diadakan di Kantor Urusan Agama
59
Kecamatan Bekasi barat dengan Wali Hakim/Kepala Kantor Urusan
Agama.7
Bahwa ayah Pemohon bernama Suyoto bin Karto kardi, pada saat
mengajukan jawaban dalam persidangan menyatakan bahwa tidak keberatan
dengan pernikahan Pemohon dengan lelaki tersebut.
Meskipun permohonan Pemohon tersebut bersifat Voluntair, namun
karena perkara ini termasuk perkara perdata khusus, maka seluruh alasan
yang menjadi dasar permohonan Wali ‘Adhal, seluruh dalil permohonan
dipandang sebagai pokok masalah dalam perkara ini sebagai berikut:
Apakah permohonan Wali ‘Adhal memenuhi syarat dan rukun
‘adhalnya wali?
Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonan tersebut, maka
Pemohon dibebani wajib bukti atas pokok masalah tersebut.
Bahwa Pemohon telah mengajukan bukti prosedur pelaksanaan akad
nikah, bukti P1, P2, P3, P4, P5, dan bukti P6, selanjutnya bukti tersebut
dijadikan landasan hukum untuk memeriksa perkara tersebut.
Bahwa kedua orang saksi Pemohon di persidangan telah memberikan
kesaksian dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut.
Bahwa Pemohon telah dipinang oleh seorang pria bernama Rudi,
bahkan orang tua Pemohon telah merestui, namun pada saat pihak calon
7 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
60
suami Pemohon meminta kepastian pelaksanaan akad nikah, ayah Pemohon
menyatakan tidak bersedia mejadi Wali Nikah, sehingga pelaksanaan akad
nikah tertunda tanpa alasan yang jelas dari ayah Pemohon.
Bahwa pihak keluarga calon suami Pemohon telah meminta restu
kepada ayah Pemohon, namun ayah Pemohon menolak dengan alasan yang
tidak rasional.8
Bahwa Majelis Hakim menganalisis kesaksian kedua orang saksi
Pemohon yang berkaitan dengan keengganan ayah Pemohon menjadi wali
sebagai berikut:
Bahwa keengganan ayah Pemohon menjadi Wali Nikah, pada
dasarnya merupakan sikap yang tidak tepat, sebab tidak satupun alasan yang
dikemukakan oleh ayah Pemohon berdasar hukum, hanya karena luapan
kebencian terhadap calon suami Pemohon karena tidak menyukai
perilakunya, hal mana perilaku tersebut tidak dapat dikatogerikan sebagai
alasan untuk sebuah penolakan atas keinginan tulus calon suami Pemohon
menikah dengan Pemohon.
Bahwa berdasarkan keterangan ayah Pemohon dalam persidangan
yang menerangkan bahwa tidak keberatan dengan pernikahan Pemohon
bersama lelaki tersebut, namun dalam kenyataannya ayah Pemohon selaku
Wali Nikah dari Pemohon tidak menunjukkan adanya kepastian ayah
8 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
61
Pemohon bersedia menjadi Wali Nikah tentang rencana pelaksanaan akad
nikah, dapat dipahami sebuah penolakan dari ayah Pemohon untuk bertindak
sebagai Wali Nasab atas keinginan calon suami Pemohon untuk menikah
dengan Pemohon, hal mana penolakan dari sikap ayah Pemohon yang
ditegaskan dalam menentukan rencana akad nikah Pemohon.9
Bahwa berdasarkan analisa terhadap bukti-bukti tersebut, Majelis
Hakim telah menemukan fakta sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon tidak terhalang baik secara syar’i maupun peraturan lain
untuk menikah dengan calon suami pilihan yang bernama Rudi Budiarto.
2. Bahwa ayah kandung Pemohon tidak memberikan kepastian secara tegas
tentang kesediaannya menjadi wali atas rencana pernikahan Pemohon
dengan pria bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto.
3. Bahwa Pemohon telah melakukan langkah-langkah prosedur nikah
melalui Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, Majelis Hakim
mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
Bahwa Wali Nikah merupakan rukun dari perkawinan, yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan
sebagaimana maksud Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam karena itu
keengganan wali yang berhak menikahkan Pemohon suatu hal yang perlu
9 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
62
disikapi dengan arif, sebab secara nasab ayah kandung Pemohon selaku wali
yang paling berhak karena itu tanpa alasan yang sangat berdasar hukum
perwalian itu tidak dapat dialihkan, namun berdasarkan fakta-fakta
persidangan secara nyata ayah kandung Pemohon meskipun telah menyatakan
tidak keberatan untuk berlangsungnya pernikahan putrinya namun dalam
kenyataannya tidak memberikan sikap yang tegas, hal ini diperkuat dengan
keterangan para saksi tentang keengganan (‘adhal) untuk menjadi wali,
sementara antara Pemohon dan calon suami tidak terhalang secara Syar’i
maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa Wali Hakim
baru dapat bertindak sebagai Wali Nikah apabila Wali Nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
ghaib atau ‘adhal atau enggan sebagaimana maksud Pasal 1 ayat (2) Peraturan
Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1952 yang menyatakan jikalau seorang
Wali Nasab ‘adhal (menolak, tidak mau menikahkan), maka nikah dari
mempelai itu boleh dilangsungkan dengan Wali Hakim, setelah diadakan
pemeriksaan seperlunya kepada yang berkepentingan.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti dalil-dalil
permohonan Pemohon dan telah memenuhi maksud Pasal 23 ayat (1) dan (2)
Kompilasi Hukum Islam, karena itu berdasar dan beralasan hukum
permohonan Pemohon dikabulkan sesuai petitum pertama.
Bahwa dengan terpenuhi alasan permohonan Pemohon, maka Majelis
Hakim berpendapat oleh karena Wali Nasab telah dinyatakan ‘adhal maka
63
secara yuridis Wali Nikah dialihkan kepada Wali Hakim dalam hal ini Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat atau Pejabat yang ditunjuk
oleh Departemen Agama sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1952 sesuai petitum kedua.
Bahwa oleh karena perkara ini masih ruang lingkup perkawinan maka
berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006, biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.10
4. Tentang Putusan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menyatakan wali dari Pemohon (Sutoyo bin Karto Kardi) sebagai Wali
Nasab yang ‘adhal.
3. Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Barat
sebagai Wali Hakim dan menunjuk untuk menikahkan Pemohon (Fabri
Anita Rachman binti Suyoto) dengan seorang laki-laki bernama Rudi
Budiarto bin Kusnadi Budiarto.
4. Mengizinkan Pemohon (Fabri Anita Rachman binti Suyoto) untuk
melangsungkan pernikahan dengan Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto
dengan Wali Hakim.
5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 344.000,- (tiga ratus empat puluh empat ribu rupiah).
10 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
64
Putusan ini dijatuhkan pada hari Rabu tanggal 11 Nopember 2008 M
bertepatan dengan tanggal 13 Zulqaidah 1429 H oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Bekasi, Dra. Sarbiati SH sebagai Ketua Majelis, Drs.
Humaidi Yusuf, dan Dra. Hj. Nurwathon SH, sebagai Hakim Anggota. Pada
hari itu juga putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan
dibantu Enjang Zaenal Hasan SH, sebagai Panitera Pengganti dihadiri oleh
Pemohon tanpa hadirnya Termohon.11
3. Analisisa Kasus
Setelah membaca duduk perkara tersebut di atas dan mempelajari
berkas perkaranya, dengan mencermati argumentasi-argumentasi yang
diajukan oleh Pemohon, serta pertimbangan hukum oleh Pengadilan Agama
Bekasi, ada beberapa hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti lebih
jauh seperti akan dibahas sebagai berikut.
Dalam perkara ini, secara gamblang telah dapat dibuktikan bahwa
Pemohon bermaksud akan melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-
laki pilihan bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto, umur 31 tahun
beragama Islam dan memiliki pekerjaan sebagai Wiraswasta, bertempat
tinggal di Jl. Pemuda No. 5 RT 002/04, Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi
Barat Kota Bekasi.
Antara Pemohon dengan calon suami sudah saling mencintai sehingga
Pemohon berniat untuk melangsungkan pernikahan. Pemohon dan calon
11 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
65
suami telah menyampaikan maksud tersebut kepada ayah kandung Pemohon
yang bernama Suyoto bin Karto Kardi, umur 54 tahun bergama Islam,
pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Penggilingan Jl. Dr.
Sumarno RT 011/08, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta
Timur, namun ayah kandung Pemohon tidak menyetujui dan tidak bersedia
menjadi wali pernikahan antara Pemohon dengan calon suami dengan alasan
masalah pribadi yaitu masalah bisnis antara ayah kandung Pemohon dengan
calon suami Pemohon.
Antara Pemohon dan calon suami merasa sudah kafaah/sekufu dan
tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan serta semua syarat
pernikahan telah terpenuhi. Pemohon dan calon suami sudah bertunangan, ini
diperkuat dengan 2 orang saksi yang dihadirkan oleh Pemohon yaitu Siti
Rochmani binti Sainan Darsowiryono sebagai ibu kandung Pemohon yang
mengatakan bahwa benar Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah
bertunangan tetapi sampai sekarang belum dilaksanakan pernikahannya
karena ayah kandung Pemohon enggan atau menolak (‘adhal) untuk
menikahkan dan ayah Pemohon sebagai walinya tidak memberikan jawaban
kapan pernikahan itu dilaksanakan. Saksi selanjutnya yaitu Neneng Siti
Khodijah binti Khoharudin yang mengenali Pemohon dan calon suami
Pemohon mengatakan hal yang sama.12
12 Putusan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.BKS.
66
Bilamana terbukti telah terjadi hal seperti itu, tidak ada alasan ayah
kandung tersebut untuk menolak menikahkan. Karena alasan tersebut tidak
bisa diterima untuk dijadikan sebagai penolakan pernikahan dan pernikahan
yang dilaksanakan tanpa adanya seorang wali itu tidak sah. Faktor-faktor
yang dominan menjadi alasan seorang wali atau orang tua menolak
menikahkan anaknya (‘adhal) adalah faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor
dendam. Faktor ekonomi disini melingkupi kekhawatiran seorang wali
dimana apabila anaknya menikah dengan orang yang ekonominya kurang
mampu atau miskin disebabkan pekerjaannya yang dirasa oleh wali belum
sukses atau mapan sehingga apabila pernikahan itu tetap dilakukan maka akan
membuat keturunannya sengsara. Padahal untuk mengukur kesuksesan
seseorang atau kemapanan seseorang adalah bersifat relatif. Faktor sosial,
biasanya dilatarbelakangi oleh status sosial misalnya saja seorang Perwira
TNI tidak mau anaknya menikah selain dengan Perwira TNI juga, karena
dirasa Perwira TNI lebih mempunyai kelas tersendiri, masalah pendidikan
seorang menolak menikahkan karena calon menantunya didapati
berpendidikan formal di bawah pendidikan anaknya misalnya saja calon
menantunya berpendidikan sampai tingkat SMA, sedangkan anaknya
berpendidikan sarjana. Faktor dendam biasanya dilatarbelakangi oleh
permusuhan yang terjadi antara wali dengan keluarga calon mempelai laki-
laki atau permusuhan yang terjadi antara wali dengan calon pengantin wanita
(anaknya) dengan sebab-sebab tertentu. Faktor yang terakhir ini yang menurut
67
penulis sama dengan faktor kasus yang sedang penulis bahas, di dalam sebab
kasus tersebut ada faktor dendam dalam hal bisnis yang terjadi antara ayah
kandung Pemohon (Suyoto bin Karto Kardi) dengan calon suami Pemohon
(Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto).
B. Analisis Terhadap Penetapan Hukum Yang Digunakan Pengadilan Agama
Dalam Perkara Wali ‘Adhal
Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al qadha’u (Arab), yaitu produk
Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara,
yaitu “Penggugat” dan “Tergugat”. Produk Pengadilan Agama semacam ini
biasanya diistilahkan dengan “produk Peradilan Agama yang sesungguhnya” atau
jurisdictio contentiosa.13
Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata)
selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk
melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu,
atau menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu bersifat comdemnatoir artinya
menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan.14
Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, mulai dari halaman
pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama
secara singkat adalah sebagai berikut:
13 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1998),h.193. 14 Ibid,h.193.
68
a. Bagian kepala putusan
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara
c. Identitas pihak-pihak
d. Duduk perkaranya (bagian posita)
e. Tentang pertimbangan hukum
f. Dasar hukum
g. Diktum atau amar putusan
h. Bagian kaki putusan
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya15
Sebagaimana diketahui bahwa kehadiran Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melahirkan
lembaga “pengukuhan” terhadap “keputusan” atau “putusan” Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Umum dalam jenis-jenis perkara yang terdapat dalam Undang-
undang dan Peraturan Pemerintah tersebut.
Selain itu sudah pula menunggu sejak dulu, bahwa untuk pelaksanaan
paksa keputusan Peradilan Agama diperlukan “fiat eksekusi” atau executoir
verklaaring” oleh Peradilan Umum. Karenanya, pada kesempatan pembahasan
tentang produk Peradilan Agama yang dinamakan putusan atau penetapan ini,
15 Ibid, 199-120.
69
perlu kita bahas pula kaitannya dengan pengukuhan dan fiat eksekusi tersebut
sebagai berikut.16
1. Baik putusan atau penetapan Pengadilan Agama baru mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (in kracht) adalah setelah lampau waktu 14 hari sejak
salinan lengkap putusan atau penetapan diterimakan kepada para pihak. Jadi
bukan 14 hari sejak diputus atau sejak diberitahukan ikhtisar putusan.
2. Putusan Pengadilan Agama sebagaimana juga putusan Pengadilan Negeri
yang lengkap, memuat tiga macam kekuatan, yaitu kekuatan mengikat
(bindende kracht), kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi
(executoriale kracht). 17
Perkara Voluntair ialah perkara yang sifatnya permohonan dan
didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya
perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan undang-undang
menghendaki demikian. Perkara voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama
seperti :
a) Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk
melakukan tindakan hukum.
b) Penetapan pengangkatan wali.
c) Penetapan pengangkatan anak.
d) Penetapan pengesahan nikah (itsbat nikah).
16 Roihan A.Rosyid, Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama,Cet.1 (Jakarta:
CV.Pedoman Ilmu Jaya,1989),h.16-17. 17 Ibid,h.18.
70
e) Penetapan wali ‘adhal.18
Pada prinsipnya, tidak terhadap semua hal atau keadaan dapat diajukan
gugat voluntair. Permintaan sesuatu gugat Voluntair harus berdasar ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Artinya Undang-Undang telah menentukan
sendiri bahwa tentang suatu hal dapat diajukan gugat Voluntair. Umpamanya,
permohonan pengangkatan wali terhadap seseorang yang belum dewasa yang
tidak ada lagi orang tuanya berdasar pada Pasal 50 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974. apalagi terhadap sesuatu yang menimbulkan hak pemilikan atau hak
mewarisi sesuatu barang, tidak boleh dilakukan melalui gugat voluntair.19
C. Prosedur Permohonan Penetapan Wali ‘Adhal
Sebelum mengajukan permohonan, seseorang harus terlebih dahulu
mengetahui Pengadilan mana yang berhak mengadili, memeriksa dan memutus
perkaranya. Dalam bahasa hukumnya disebut kekuasaan absolut (kompetensi
absolut) dalam hal perkawinan yang diajukan oleh orang Islam yang berhak
mengadili adalah Pengadilan Agama.
Selanjutnya dalam hal pembagian kekuasaan berdasarkan wilayah hukum
disebut (kompetensi relatif). Hal ini secara umum dalam Pasal 112 HIR/142 RBG
dan secara khusus diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Pada
18 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar 1996), h. 41. 19 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), h. 189.
71
dasarnya gugatan diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal Tergugat oleh
pihak yang berkepentingan dan mempunyai ikatan hukum. Sedangkan
permohonan diajukan ke Pengadilan Agama tempat tinggal Pemohon, kecuali
Undang-Undang menentukan lain.20
Dari peraturan di atas cukup jelas bahwa seseorang harus mengerti
tatacara pengajuan perkara dengan memperhatikan dan memahami istilah tersebut
di atas yaitu kompetensi absolut dan relatif yang bertujuan agar gugatan dapat
diterima dan terhindar dari eksepsi.
Secara garis besar perkara yang masuk ke Pengadilan Agama ada 2 (dua)
macam, yaitu:
1. Perkara yang sifatnya permohonan yang di dalamnya tidak dapat sengketa
disebut juga dengan Voluntair. Perkara Voluntair yang diajukan ke
Pengadilan Agama diantaranya:
a. Penetapan pengangkatan anak
b. Penetapan pengangkatan wali
c. Penetapan pengesahan nikah (Isbat Nikah)
d. Penetapan dispensasi nikah.
2. Perkara yang sifatnya gugatan (Contentiosa), yaitu perkara yang di dalamnya
terdapat sengketa antara pihak-pihak contohnya saja pada perkara cerai gugat,
cerai talak, permohonan poligami, sengketa waris, dan sebagainya.
20 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar 1996), Cet ke-4, h. 45.
72
Dalam kasus pengajuan Wali ‘Adhal ini berarti bentuk pengajuannya
adalah berupa permohonan (Voluntair). Surat permohonan adalah suatu
permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang
berkepentingan terhadap suatu hal yang dianggap sebagai suatu proses peradilan
yang bukan sebenarnya.21
Dalam prosedur berperkara dalam mengajukan permohonan Wali ‘Adhal,
penulis akan membagi dua bagian, yaitu proses penerimaan pekara dan proses
pemeriksaan sampai putusan perkara yang rincinya adalah sebagai berikut:
1. Proses Penerimaan Perkara
Sebelum mengajukan permohonan penetapan Wali ‘Adhal maka
seorang Pemohon harus membuat surat permohonan yang isinya:22
a. Identitas para pihak (Pemohon) mencakup.
1. Nama (beserta binti dan aliasnya);
2. Umur;
3. Agama;
4. Pekerjaan;
5. Tempat tinggal;
6. Kewarganegaraan (jika diperlukan).
b. Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan / perisiwa dan penjelasan yang
berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar / alasan. Posita memuat:
21 Adam Iskandar, Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Bekasi, wawancara
Pribadi, Bekasi 20 Mei 2009. 22 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 40-41.
73
1. Alasan yang berdasarkan fakta / peristiwa hukum;
2. Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan
keharusan. Hakimlah yang harus melengkapi dalam putusan nanti.
c. Petitum, yaitu isi tuntutan yang ingin diminta untuk dikabulkan oleh
Hakim.23
d. Memasuki kawasan proses penerimaan perkara pada Pengadilan Agama,
pertama-pertama si Penggugat atau Pemohon membawa surat gugatan
atau permohonan, ditujukan langsung ke Pengadilan agama, kemudian
menghadap pada ruang kasir untuk membayar Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dan dilanjutkan datang menghadap pada ruang
kepaniteraan untuk mendaftarkan perkaranya. Namun untuk lebih
khususnya lagi tentang proses penerimaan perkara adalah sebagai berikut:
1). Pengajuan perkara di kepaniteraan (Meja I)
Untuk mengajukan suatu perkara, baik perkara permohonan
maupun perkara gugatan, si Penggugat atau Pemohon harus membawa
surat gugatan atau permohonan yang telah dibubuhi tanda tangan
Penggugat atau Pemohon, dan langsung dibawa pada bagian
kepaniteraan. Masing-masing surat tersebut diberikan pada sub.
Gugatan jika bentuknya contentiosa dan sub. Permohonan jika bentuk
23 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Cet. Ke-10, h. 61.
74
suratnya permohonan. Setelah itu menghadap pada kasir untuk
membayar panjar biaya perkara.
2). Pembayaran panjar biaya perkara (Kasir)
Pembayaran panjar biaya perkara dilakukan oleh pihak yang
akan berperkara dengan menaksir beban biaya harus mencukupi untuk
melangsungkan persidangan. Kemudian Penggugat atau Pemohon
membawa surat gugatan atau permohonannya yang diserahkan Surat
Kuasa Untuk Menbayar (SKUM) yang ditujukan kepada bagian kasir
untuk melunasi seluruh beban biaya tersebut dan dicatat pada buku
register jurnal biaya perkara, selanjutnya kasir menandatangani dan
memberi nomor perkara dengan tanda lunas pada SKUM tersebut dan
dilanjutkan untuk didaftarkan pada bagian pendaftaran perkara.
3). Pendaftaran perkara (Meja II)
Untuk mendaftarkan perkara hendaknya Penggugat atau
Pemohon harus menandatangani Panitera Muda Gugatan, jika bentuk
contentiosa dan Penitera Muda Permohonan, apabila bentuknya
Voluntair. Setelah itu masing-masing Panitera Muda tersebut akan
memberikan nomor pada surat gugatan atau permohonan, dan
membubuhi tandatangan sebagai bukti.
4). Penetapan Majelis Hakim (PMH)
75
Dalam jeda waktu minimal 7 (tujuh) hari Ketua Pengadilan
Agama menunjuk Majelis Hakim untuk melakukan pemeriksaan dan
mengadili perkara dalam sebuah “Penetapan” Majelis Hakim (Pasal
121 HIR jo 93 UU PA), kemudian Ketua memberikan tugas kepada
Majelis Hakim untuk menyelesaikan surat-surat yang berhubungan
dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama.
Kemudian setelah itu Ketua Pengadilan Agama menetapkan
perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, akan tetapi jika
ada perkara yang menyangkut kepentingan umum, maka perkara itu
harus didahulukan seiring dengan Pasal 94 Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, penetapan Majelis Hakim
dibuat dalam bentuk penetapan dan ditandatangani oleh Ketua
Pengadilan Agama dan dicatat dalam Buku Register Perkara yang
bersangkutan.24
5). Penunjukan Panitera Sidang (PPS)
Agar persidangan dapat berjalan dengan lancar dan epektif
maka dalan hal ini ditunjuklah seorang Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Pengganti untuk membantu Hakim dalam menghadiri guna
mencatat jalannya persidangan, membuat berita persidangan dan
melaksanakan semua perintah Hakim dalam menyelesaikan suatu
perkara.
24 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 59.
76
6). Penetapan hari Sidang oleh Ketua Majelis (PHS)
Setelah Ketua Majelis menerima berkas perkara tersebut
bersama Hakim Anggotanya, maka kemudian ditetapkanlah hari dan
tanggal serta jam kapan perkara tersebut dapat disidangkan juga
memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk datang pada hari,
tanggal dan jam yang telah ditentukan.
7). Pemanggilan Pihak-Pihak
Langkah selanjutnya dalam proses penerimaan perkara di
Pengadilan Agama, adalah pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan
oleh Jurusita, sebagaimana tugas dan wewenang Jurusita dan Jurusita
Pengganti adalah menyampaikan Relaas (panggilan) kepada pihak
yang berperkara.
2. Proses Pemeriksaan Dalam Persidangan pada Perkara Wali ‘Adhal
Adanya proses pemeriksaan dalam persidangan tentunya harus
melewati tahap-tahap proses penerimaan perkara pada Pengadilan Agama,
kemudian barulah sampai pada proses pemeriksaan akan berlangsungnya,
untuk itu penulis akan mencoba menjelaskan mengenai langkah-langkah
proses pemeriksaan perkara dalam persidangan, antara lain yaitu :
77
a. Perdamaian
Pertama-pertama setiap awal persidangan Majelis Hakim selalu
membacakan surat gugatan atau permohonan wajib mengadakan upaya
perdamaian diantara kedua belah pihak, dimaksudkan agar kedua belah
pihak kiranya terjadi perdamaian (islah).
b. Pembacaan Permohonan.
c. Apabila pihak wali sebagai saksi utama telah dipanggil secara resmi dan
patut namun tetap tidak hadir sehingga tidak dapat didengar
keterangannya, maka hal ini dapat memperkuat ‘Adhalnya Wali.
d. Apabila para wali telah hadir dan memberikan keterangannya maka harus
dipertimbangkan oleh Hakim dengan mengutamakan Pemohon.
e. Untuk memperkuat ‘adhalnya maka perlu didengar keterangan saksi-
saksi.
f. Pembuktian.
Pada tahap ini, pihak yang berperkara diberikan kesempatan untuk
mengajukan bukti-bukti, sebagaimana dalam Pasal 164 HIR.
g. Apabila wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai alasan-alasan
yang kuat menurut Hukum Perkawinan dan sekiranya perkawinan tetap
dilangsungkan justru akan merugikan Pemohon atau terjadinya
pelanggaran terhadap larangan perkawinan, maka permohonan Pemohon
akan ditolak.
78
h. Kesimpulan Para Pihak
Pada tahap ini, pihak yang berperkara diberikan kesempatan untuk
mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil
persidangan. Apabila Hakim berpendapat bahwa wali benar-benar ‘adhal
dan Pemohon tetap pada permohonannya maka Hakim akan mengabulkan
permohonan Pemohon dengan menetapkan ‘adhalnya wali dan menunjuk
Kepala Kantor urusan Agama Kecamatan setempat, selaku Pegawai
Pencatat Nikah (PPN), di tempat tinggal Pemohon untuk bertindak
sebagai Wali Hakim.
i. Putusan
Setelah Majelis Hakim memeriksa isi gugatan atau permohonan yang
diajukan dan berkesimpulan bahwa alasan yang digunakan cukup
beralasan dan dapat diterima terbukti serta tidak dimungkinkan lagi
tercapainya perdamaian antara keduanya, maka Peradilan Agama dapat
memutuskan dengan putusan dalam bentuk penetapan.
j. Terhadap penetapan tersebut dapat dimintakan upaya hukum kasasi.
k. Memeberitahukan kepada Meja II dan Kasir yang bertalian dengan tugas
mereka.
l. Meja III
1) Menerima berkas yang telah dimutasi dari Majelis Hakim.
2) Memberitahukan isi putusan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
79
3) Memberitahukan ke Meja II dan Kasir yang bertalian dengan tugas
mereka.
4) Menetapkan Kekuatan Hukum.
5) Mennyerahkan salinan kepada Penggugat dan Tergugat / Pemohon
dan Instansi terkait.
6) Menyerahkan berkas yang telah dimutasi kepada Panitera Muda
Hukum.
m. Panitra Muda Hukum
1) Mendata Perkara.
2) Melaporkan Perkara.
3) Mengarsipkan Berkas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Penulis, dalam hal pelaksanaan
permohonan Wali ‘Adhal yang terjadi di Pengadilan Agama Bekasi, Penulis
mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Status pernikahan wanita yang walinya enggan untuk menikahkan (Wali
’Adhal) adalah sah. Hal ini disebabkan karena adanya penetapan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Bekasi Nomor
042/Pdt.P/2008/PA.Bekasi tentang ‘adhalnya seorang wali yang bernama
Suyoto bin Karto Kardi sebagai Termohon. Sehingga dengan adanya
penetapan itu maka pihak calon pengantin wanita yang bernama Fabri Anita
binti Suyoto sebagai Pemohon dapat melangsungkan pernikahan dengan
menggunakan Wali Hakim.
2. Sebab-sebab orang tua atau wali enggan (‘adhal) menikahkan anaknya adalah
karena calon yang akan menjadi menantunya adalah beda agama, akhlaknya
kurang baik, status sosialnya tidak sederajat baik pendidikan, keturunan
maupun ekonominya. Dan alasan yang tidak dibenarkan seorang wali
menolak menikahkan anaknya dengan calon suaminya adalah masalah status
sosial, pendidikan, keturunan dan ekonomi. Sedangkan yang terjadi di
Pengadilan Agama Bekasi adalah karena ayah calon pengantin tersebut
80
81
mempunyai masalah pribadi dengan calon suami Pemohon dalam hal bisnis
antara keduanya.
3. Penyelesaian perkara Wali ‘Adhal, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah melakukan pendekatan kekeluargaan, Apabila dengan jalan
kekeluargaan permasalahan tersebut belum dapat diselesaikan, maka
sebaiknya permasalahan tersebut diselesaikan melalui Pengadilan Agama
melalui proses persidangan. Seperti yang dilakukan oleh calon suami
Pemohon yang bernama Rudi Budiarto bin Kusnadi Budiarto dengan
melakukan pendekatan kepada keluarga secara terus menerus melalui ayah
kandung Pemohon, sehingga Hakim Pengadilan Agama Bekasi mengabulkan
permohonan Pemohon dengan mngeluarkan Putusan
Nomor.042/Pdt.P/2008/PA.Bks.
B. Saran
1. Sebelum melangsungkan pernikahan hendaknya dilakukan proses pengenalan
(ta’aruf) keluarga yaitu keluarga dari pihak wanita dan dari pihak laki-laki.
Hali ini dimaksudkan untuk mengenal lebih jauh tentang pribadi dan asal-usul
masing-masing keluarga agar tidak terjadi kesalah pahaman.
2. Bagi para orang tua, jangan khawatir untuk menikahkan anaknya walaupun
laki-laki itu belum mempunyai pekerjaan tetap. Para orang tua hendaknya
jangan menjadi penghalang bagi anaknya untuk menikah jika memang
anaknya sudah sangat ingin menikah dan takut terjatuh ke dalam jurang
82
kemaksiatan. Terlebih lagi karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan oleh
Agama.
3. Bagi pihak-pihak terkait seperti para Pejabat Kantor Urusan Agama dan
Praktisi-Praktisi Hukum Islam agar mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang Wali ‘Adhal melalui kajian-kajian, seminar-seminar, ceramah-
ceramah di majlis ta’lim, khutbah jum’at, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1990.
Aminuddin dan Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999,
Cet. Ke-1. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003, Cet. Ke-4. Ayyub, Syaikh Hasan. Fiqih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Dahlan, Abdul Aziz., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Ke-1.
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta:
Proyek Pembinaan sarana Keagamaan Islam, 1985/1986. Departemen Agama RI, Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Depag R.I, 2004.
Ghazali, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarata: Kencana, 2003 Cet. Ke-1.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. Ke-1.
Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7
Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Husen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalak, Rujuk dan
Kewarisan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971. Ibn Rusyd. Bidayatul Mujtahid, (Terj.), Semarang: CV. As-Syifa, 1990, Cet. Ke-1.
Imam Abu Daud Sulaiman, Al- Asy’ats As-Sajastani, Sunnan Abi Daud, Beirut: Dar
al-Fikr, 1994, Juz II.
83
84
Al-Imam Taqiyuddin, Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini. Khifayatul Akhyar (Terj.), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. Pertama.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid, Beirut: Darul Masyriq, 1975.
Mubarok, Jaih. Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004. Muchtar, Kamal. Azaz-azaz Dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1987, Cet. Ke-II. Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-
3. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000,
Cet. Ke-4. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Alih Bahasa: Mohammad Tholib. Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1997, Cet. Ke-13, Jilid-7. Sukarja, Ahmad dan Bakri A. Rahman. Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
Undang Perkawinan Dan hukum Perdata. Jakarta: Hidakarya Agung, 1981. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesi Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkaiwinan. Jakarta: Prenada Media, 2006. Thalib, M. 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1996, Cet. Ke-12. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1974, Cet. Ke-1.
Umar, Abdurrahman. Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, Jakarta:
Hudakarya Agung, 1996.
HASIL WAWANCARA
Nama : Drs. Abdurrahman Masykur, SH
Aktif di lembaga : Pengadilan Agama
Jabatan : Hakim
Waktu wawancara : 26 Desember 2008
Tempat wawancara : Kantor Pengadilan Agama Bekasi
1. Bagaimana proses persidangan untuk perkara wali ‘Adhal ?
Jawab: wali adhal merupakan jenis perkara voluntair dimana tidak ada pihak
lawan, acara persidangannya cukup singkat. Pertaman kita periksa
permohonannya kemudian Pemohon yaitu calon mempelai wanita setelah itu kita
buat alasan-alasan penolakan wali sehingga adhal, selanjutnya kita periksa saksi-
saksi dan dilengkapi dengan mendengarkan keterangan calon mempelai laki-laki.
Dalam proses persidangan wali adhal biasanya tidak memerlukan waktu terlalu
lama untuk penyelesaiannya.
2. Bagaimana jika wali yang adhal tersebut tidak pernah menghadiri persidangan ?
Jawab : jika wali tersebut tidak pernah menghadiri persidangan, dapat saja diputus
dengan ketentuan telah dipanggil secara patut oleh pihak pengadilan, karena wali
dianggap bukan merupakan pihak, tetapi dia didudukan sebagai orang yang
didengar kesaksiannya.
3. Bagaimana upaya hukum jika salah satu pihak keberatan atas keputusan hakim
yang telah ditetapkan ?
Jawab : apabila terdapat pihak yang keberatan terhadap putusan hakim maka
upaya hukum yang dapat dilakukan wali adalah mengajukan kasasi.
4. alasan seperti apakah perkara permohonan wali adhal dapat dikabulkan dan tidak
dapat dikabulkan ?
Jawab : kita mengacu kepada fiqh Islam, seseorang yang akan menikah itu harus
sekufu. Lalu kita lihat apa saja yang menjadi syarat dalam kafaah itu. Kemudian
kita periksa si wali yang adhal ini. Penyebab penolakan wali untuk
menikahkannya karena alasan apa. Jika adhalnya itu karena alasan kulitnya tidak
sama, calon suaminya miskin, atau tidak sederajat pendidikannya, itu tidak bisa
diterima dan majelis hakim dapat saja mengabulkan pemohon. Tetapi jika adalnya
wali karena alasan yang di benarkan syari’at seperti ketidaksekufuan masalah
keimanan, perangai calon suami yang jelek seperti pemabuk, berjudi,
pengkonsumsi narkoba, mempunyai penyakit yang membahayakan, mungkin saja
permohonan dari pemohon itu dapat ditolak.
Bekasi, 26 Desember 2008
Hakim Pengadilan Agama Bekasi
(Drs. Abdurrahman Masykur, SH)