Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Vo
lum
e 13 N
om
or 2
, Juli 2
008
Pengaruh Hutang terhadap Laba Usaha pada Perusahaan
Barang Konsumsi yang Ada di Bursa Efek Indonesi (BEI)
RENI OKTAVIA
FITRA DHARMA
Diterbitkan oleh:
JURNAL AKUNTANSI DAN
KEUANGANT h e J o u r n a l o f A c c o u n t i n g a n d F i n a n c e
Analisis Pengaruh Negative Reward terhadap
Return on Net Asset dan Residual Income terhadap Return Saham
Studi Komparatif antara Evonomic Value Added, Cash Flow from Operation,
Penggunaan Diskriminan Altman Sebagai Alat Prediksi Kebangkrutan
NIKEN KUSUMAWARDANI
NURDIONO
HARSONO EDWIN PUSPITAHANI YANIATI
Perbandingan Keakuratan Model Arus Kas Metode Langsung dan
MEYKA VOLTALINA
KIAGUS ANDI
The Power of Ambiguity Leadership
Volume 13 Nomor 2 Juli 2008
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS LAMPUNG
Jurnal Ilmiah Berkala Enam Bulanan ISSN 1410 - 1831
YENI AGUSTINA
Tingkat Eskalasi Komitmen pada Level Keputusan Investasi
SUDRAJAT
pada Perusahaan Agroindustri
Tidak Langsung dalam Memprediksi Dividen Masa Depan
Dampak Emisi Obligasi terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan
Jurnal Ilmiah Berkala Enam Bulanan ISSN 1410 - 1831
JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN
T h e J o u r n a l o f A c c o u n t i n g a n d F i n a n c e
Volume 13 Nomor 2, Juli 2008
Redaksi ………………………………………………………………………………………...…………… i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………...……………. ii
YENI AGUSTINA
Analisis Pengaruh Negative Reward terhadap
Tingkat Eskalasi Komitmen pada Level Keputusan Investasi..………….………….. 154-164
SUDRAJAT
Studi Komparatif antara Evonomic Value Added, Cash Flow from Operation,
Return on Net Asset dan Residual Income terhadap Return Saham
pada Perusahaan Agroindustri…………………………………………..…….. 165-177
KIAGUS ANDI
Pengaruh Hutang terhadap Laba Usaha pada Perusahaan
Barang Konsumsi yang Ada di Bursa Efek Indonesia (BEI)…………………... 178-186
HARSONO EDWIN PUSPITA
HANI YANIATI
Perbandingan Keakuratan Model Arus Kas Metode Langsung
dan Tidak Langsung dalam Memprediksi Dividen Masa Depan…………………………………. 187-202
RENI OKTAVIA
MEYKA VOLTALINA
Dampak Emisi Obligasi terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan………………………………….. 203-218
FITRA DHARMA
NIKEN KUSUMAWARDANI
Penggunaan Diskriminan Altman Sebagai Alat Prediksi Kebangkrutan……….. 219-241
NURDIONO
The Power of Ambiguity Leadership………………………………………………….. 242-249
ANALISIS PENGARUH NEGATIVE REWARD TERHADAP TINGKAT
ESKALASI KOMITMEN PADA LEVEL KEPUTUSAN INVESTASI
Yenni Agustina1
ABSTRACT
This research aims to analyze the negative rewards effect on the escalation of commitment levels at the
investment decision levels. This research used the accounting students of University of Lampung as the subject
of experiment. The design of this research used the factorial design 2 x 2 between subjects. The instrument
for collecting the data is adopted from Cuellar et al. (2006), Keil et al. (2007), and Koroy (2008) which is
adjusted with the real conditions. The research findings show that negative rewards affect the escalation of
commitment. Besides, there are differences in the escalation of commitment at all levels. This research also
shows that negative reward is different at gender conditions.
Keywords: negative rewards, escalation of commitment, motivation, incentives and agency theory
A. PENDAHULUAN
Dalam persaingan bisnis yang semakin maju, perusahaan sebagai unit bisnis berusaha untuk
meningkatkan penghasilan yang akan diperoleh dengan melakukan berbagai keputusan
strategi, yang salah satunya dengan melakukan investasi pada proyek yang akan dijalankan.
Setiap keputusan strategi yang diambil harus bersumber dari informasi yang valid atau
informasi yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan. Salah satu informasi yang
dibutuhkan yaitu informasi akuntansi, yang dalam hal ini akuntan dituntut untuk menyajikan
informasi yang berguna bagi manajer dalam mengambil keputusan karena keputusan yang 1 Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Lampung
akan diambil sangat terkait dengan bentuk penyajian dari informasi tersebut (Chang et al.,
2002).
Dalam menjalankan proyek yang telah diputuskan, system reward pun tak pelak digunakan
dalam perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk memicu semangat kerja karyawan agar dapat
mencapai tujuan yang diinginkan. Sistem berupa bonus maupun kenaikan jabatan
merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh perusahaan untuk mendorong semangat
kerja mereka. Hal ini pun didukung oleh bukti empiris bahwa pihak manajemen akan
menggunakan uang untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi karyawan agar dapat
tercapainya tujuan perusahaan (Milkovic and Newman, 2002 dalam Tang and Chiu, 2003, p.
14).
Kegagalan dalam menjalankan proyek yang telah diputuskan, tak jarang sering ditemui yang
kemudian hal tersebut dapat berdampak pada kondisi perusahaan. Kegagalan tersebut
berkaitan erat dengan keputusan yang akan maupun telah diambil oleh perusahaan, yang
secara tidak langsung hal ini berkaitan dengan informasi yang diperoleh. Dalam situasi yang
demikian tak jarang para pengambil keputusan dihadapkan pada keadaan yang dilematis yaitu
melanjutkan atau menghentikan proyek yang sudah dijalankan. Namun, bukanlah suatu
fenomena yang mengherankan lagi jika banyak manajer tetap bertahan pada keputusan awal
ketika investasi yang mereka tanam ternyata menghadapi kegagalan yang kemudian dikenal
dengan istilah eskalasi komitmen.
Eskalasi komitmen berdasarkan teori keagenan merupakan suatu tindakan yang rasional,
yang berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh pembuat keputusan tidak terbatas dan
umumnya berusaha untuk memaksimalkan utility function yang tentu saja terdapat asimetri
informasi yang terkait di dalamnya. Asimetri terjadi disebabkan oleh manajer yang berperan
sebagai agen mempunyai informasi yang real mengenai investasi yang ditanam yang
informasi tersebut tidak dimiliki oleh prinsipal. Sehingga, muncul akan adanya
ketidakseimbangan dalam informasi. Hal ini didukung penelitian empiris bahwa eskalasi
komitmen akan menjadi sesuatu yang rasional bagi manajer karena manajer berusaha untuk
melindungi reputasi yang dimiliki (Chulkov, 2007). Tindakan tersebut merupakan salah satu
upaya manajer sebagai pihak agen untuk mempertahankan diri. Hal ini menggambarkan
bahwa eskalasi komitmen berkaitan dengan faktor psikologi yang dimiliki oleh seseorang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikolog, yang menyatakan bahwa
pertahanan akan muncul disaat adanya pertentangan antara pandangan hidup dengan realitas
yang harus dihadapi (Boeree, 2008; p.89). Sekali seseorang memimpin berhasil mencapai
puncak kekuasaan akan secara naluriah terdorong mempertahankan kekuasaan tersebut.
Dalam hal ini tujuan mudah bergeser dari berusaha mencapai tujuan organisasi menjadi
mempertahankan kekuasaan (Gudono, 2009; p.7). Upaya untuk mempertahankan kekuasaan
tersebut pada umumnya dipicu oleh insentif yang telah diperoleh baik berupa bonus maupun
kepuasan akan kekuasaan yang dimiliki. Sehingga para pengambil keputusan berupaya untuk
tetap bertahan pada keputusan awal yang telah ditetapkan. Hal tersebut menjadi ketertarikan
sendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pengaruh terhadap eskalasi
komitmen ketika negative reward diterapkan dalam perusahaan.
B. TINJAUAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Motivasi berasal dari kata movere yang berarti dorongan atau daya penggerak (Hasibuan, 2008;
p.92). Motivasi merupakan kunci untuk memotivasi karyawan agar bertindak sesuai dengan
tujuan perusahaan. Salah satu bentuk penerapan dari motivasi yaitu adanya sistem reward dan
punishment. Reward merupakan suatu keluaran yang dapat meningkatkan kepuasan atas
kebutuhan individu. Sedangkan negative reward atau punishment merupakan suatu keluaran yang
dapat menurunkan kepuasan atas kebutuhan individu (Anthony and Govindarajan, 2007).
Dengan kata lain, penerapan motivasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan komitmen
pada diri seseorang.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, komitmen diberikan dalam bentuk
pemahaman yang bervariasi (Angle dan Perry, 1981). Namun, komitmen dalam penelitian ini
ditekankan pada tingkat keterikatan individu pada suatu proyek yang sedang dijalankan.
Maka, ketika individu memutuskan untuk terlibat pada suatu proyek, secara otomatis letak
kesuksesan proyek menjadi tanggung jawabnya.
Komitmen penting untuk mengikat individu dalam perkembangan tugas lebih lanjut yang
ternyata tidak atau kurang menyenangkan dengan tingkat kesulitan yang relatif tinggi.
Namun, di sisi lain, komitmen memberi pengaruh negatif. Komitmen mengarahkan individu
untuk berperilaku dysfunctional, atau dengan kata lain mengarah pada tindakan eskalasi
komitmen (Effriyanti, 2005).
Menurut Brockner (1992) eskalasi komitmen merupakan kecenderungan pengambil
keputusan untuk bertahan atau mengeskalasi komitmennya pada serangkaian tindakan yang
gagal. Bazerman (1994) mendefinisi eskalasi sebagai tindakan yang tidak rasional (nonrational
escalation of commitment) yaitu derajat yang dalam hal ini individu mengeskalasi komitmen untuk
tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan sebelumnya sampai satu titik yang melewati model
pengambilan keputusan yang rasional. Individu atau manajer umumnya mempunyai kesulitan
dalam memisahkan keputusan yang diambil sebelumnya dengan keputusan yang
berhubungan ke masa depan. Sebagai konsekuensinya, individu akan cenderung membiaskan
keputusannya oleh karena tindakan di masa lalu dan mempunyai tendensi untuk
mengeskalasi komitmen terutama bila menerima umpan balik negatif (Bazerman, 1994).
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Chulkov (2007) bahwa eskalasi
komitmen merupakan suatu tindakan yang rasional hal ini pun senada dengan yang
dinyatakan oleh Kanodia et al. (1989). Tindakan tersebut akan menjadi sesuatu yang rasional
jika:
1. Bertujuan untuk melindungi atau mempertahankan reputasi 2. Game theoretic 3. Option value Berkaitan dengan usaha untuk mempertahankan reputasi, maka hal ini terkait dengan teori
Michels (Gudono, 2009; p.7). Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa sekali seorang
pemimpin berhasil mencapai puncak kekuasaan, maka akan secara naluriah terdorong
mempertahankan kekuasaan.
Berdasarkan ilmu keorganisasian, yang menyatakan bahwa beberapa metoda yang sering
digunakan untuk mengubah perilaku moral seseorang melalui penguatan (reinforcement)
dengan memakai hadiah dan hukuman (Gudono, 2009; p.75). Gudono mengemukakan
bahwa hukuman yang diberikan tentu saja akan menimbulkan rasa defensif pada diri
seseorang untuk menjauhkan dirinya dari ketidakstabilan yang sedang ia hadapi. Tekanan
berupa hukuman nonmaterial berupa hilangnya kepercayaan dari prinsipal yang kemudian
akan menyebabkan munculnya rasa malu pada diri seseorang akan mendorong seseorang
untuk mempertahankan ego yang ada dalam diri seseorang. Begitupun jika sanksi material
tersebut diberikan kepada seorang manajer, maka ketidakstabilan kondisi yang dimiliki oleh
seseorang akan mendorong seseorang untuk menstabilkan kondisi tersebut.
Berdasarkan teori harapan yang dikemukakan oleh Victor H. Vroom (Hasibuan, 2008; p.116)
yang menyatakan bahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam
mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang ia inginkan
dan butuhkan dari hasil pekerjaan itu. Berapa besar ia yakin perusahaan akan memberikan
pemuasan bagi keinginannya sebagai imbalan atas usaha yang dilakukannya itu. Bila
keyakinan yang diharapkan cukup besar untuk memperoleh kepuasannya, maka ia akan
bekerja keras pula, dan sebaliknya. Dalam teori ini juga mencakup mengenai nilai atau valence
yaitu akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat tertentu (daya atau nilai
motivasi) bagi setiap individu bersangkutan. Misalnya, peluang untuk dipindahkan ke posisi
dengan gaji yang lebih besar di tempat lain, mungkin mempunyai nilai (valensi) rendah bagi
orang lain yang mempunyai ikatan kuat dengan kawan, tetangga, dan kelompok kerjanya.
Valensi ini ditentukan oleh individu dan tidak merupakan kualitas objek dari akibat itu
sendiri.
Dalam model sumber daya manusia bahwa karyawan di motivasi oleh banyak faktor,
sehingga karyawan bukanlah berprestasi baik karena merasa puas melainkan termotivasi oleh
rasa tanggung jawab yang lebih luas untuk membuat keputusan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Pada dasarnya setiap individu mempunyai motif tertentu atas usaha yang mereka
lakukan. Definisi motif sendiri menurut Hasibuan (2008) adalah suatu peransang keinginan
dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang, karena setiap motif mempunyai tujuan
tertentu yang ingin dicapai. Sehingga, tingkah laku seseorang dipengaruhi serta diransang
oleh keinginan, kebutuhan, tujuan, dan kepuasannya.
Berdasarkan teori-teori yang berkembang tersebut, maka pada dasarnya manusia mempunyai
sifat naluriah untuk berusaha melindungi sesuatu yang telah dimilikinya terutama disaat
hukuman diberikan jika seseorang telah gagal dalam melakukan sesuatu. Hal ini disebabkan
karena adanya persaingan dalam dunia bisnis. Namun, besarnya usaha seseorang untuk
mempertahankan egonya dengan cara melakukan eskalasi komitmen semua tergantung dari
tingkat motif serta timbal balik yang akan diterima oleh seseorang. Seseorang yang sudah
berada dalam tingkat kemapanan yang cukup, maka sanksi berupa material tidak begitu
berpengaruh terhadap upayanya untuk mengeskalasi komitmen dibanding dengan seseorang
yang mempunyai tingkat kebutuhan akan material yang tinggi. Berdasarkan penalaran logis
tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
H1 : Terdapat pengaruh negative reward terhadap tingkat eskalasi komitmen
H2 : Terdapat perbedaan tingkat eskalasi komitmen pada penerapan negative reward
antarkelompok
Eskalasi komitmen dapat ditinjau dari sudut psikologi. Pada dasarnya terdapat perbedaan
psikologi antara wanita dan pria, hal ini dibuktikan dengan penelitian empiris yang dilakukan
oleh Eaghly (1987, dalam Trisnaningsih, 2003) bahwa dalam lingkungan pekerjaan apabila
terjadi masalah, pegawai pria mungkin akan merasa tertantang untuk menghadapinya
dibandingkan untuk menghindarinya. Perilaku pegawai wanita akan lebih cenderung untuk
menghindari konsekuensi konflik dibanding perilaku pegawai pria. Meskipun dalam banyak
situasi wanita lebih banyak melakukan kerjasama dibanding pria, tetapi apabila akan ada
resiko yang timbul, pria cenderung lebih banyak membantu dibanding wanita. Hal senada
juga diungkapkan oleh Ruegger dan King (1992, dalam Jamilah et al., 2007) bahwa wanita
umumnya memiliki tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi daripada pria. Maka,
berdasarkan hal tersebut RQ : Apakah tingkat eskalasi komitmen yang disebabkan oleh
negative reward berbeda dalam kondisi gender?
C. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian yang diajukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Sanksi Material
Sanksi non material
Eskalasi Komitmen
D. METODA PENELITIAN
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan metoda eksperimen, dengan design
faktorialnya yaitu 2 x 2. Desain eksperimen secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Desain Eksperimen Between Subject
Sanksi non Material
Ya Tidak
Sanksi
Material
Ya A B
Tidak C D
Tugas-tugas yang diberikan untuk partisipan disesuaikan dengan treatment (kondisi perlakuan)
yang diperoleh. Penempatan acak (random assignment) partisipan pada setiap treatment dilakukan
dengan tujuan agar masing-masing kelompok (kondisi perlakuan) dapat dibandingkan
dengan variabel dependen. Sanksi material dan nonmaterial merupakan variabel independen
dalam penelitian ini, sedangkan eskalasi komitmen merupakan variabel dependen.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengembangan dari
instrumen yang diambil dari berbagai penelitian. Instrumen ini mengacu pada penelitian
yang dilakukan oleh Cuellar et al. (2006), Keil et al. (2007), dan Koroy (2008) dengan
melakukan berbagai penyesuaian agar sesuai dengan tujuan penelitian. Instrumen didesain
dalam bentuk skenario dengan manipulasi berupa budaya kerja di perusahaan yaitu
menerapkan sistem kerja sama yang baik dan tidak menerapkan sistem kerja sama yang baik
dengan menggunakan skala likert dengan kisaran nilai 1 yaitu menghentikan proyek hingga
nilai 8 yang berarti melanjutkan sesuai rencana.
Subjek dari penelitian ini yaitu mahasiswa akuntansi yang telah menempuh mata kuliah
manajemen keuangan sebagai subjek yang berjumlah 125 orang. Pengelompokan responden
kedalam kelompok dilakukan secara random, hal ini dilakukan untuk mengontrol faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi hubungan sebab akibat antara variabel independen
yang dimanipulasi dengan variabel dependen, yang terbagi atas empat kelompok dengan
ketentuan sebagai berikut, yaitu: kelompok A mendapatkan sanksi material dan non material,
kelompok B mendapatkan sanksi non material, kelompok C mendapatkan sanksi material,
dan kelompok D tidak mendapatkan sanksi keduanya. Sebelum instrumen dibagikan,
responden diberikan arahan mengenai pengisian instrumen serta deskripsi singkat mengenai
keadaan perusahaan.
Dalam eksperimen setiap partisipan diminta untuk bertindak seolah-olah sebagai seorang
manajer. Sebelum instrumen dibagikan partisipan terlebih dahulu diperkenalkan mengenai
latar belakang perusahaan, kondisi perusahaan, dan keadaan keuangan perusahaan dimasa
yang akan datang. Baru setelah itu partisipan akan diuji dengan menggunakan instrumen
yang telah disiapkan. Penelitian dilakukan selama dua hari dengan waktu yang sama dan
kondisi ruang yang tidak berbeda hal ini bertujuan untuk menghindari bias yang disebabkan
oleh faktor lain yang dapat menyebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhi variabel
dependen selain variabel independen yang ditetapkan. Penelitian ini melibatkan 5 orang yang
terlibat dalam tim penelitian dengan tujuan untuk menghindari pengaruh dari sipeneliti yang
dapat mengakibatkan hasil penelitian semakin bias.
Dalam proses eksperimen, eksperimen dilakukan selama 20 menit dengan masing-masing
skenario dikerjakan dalam waktu 10 menit. Setelah eksperimen dilakukan, responden
diminta untuk mengisi cek manipulasi yang telah ditetapkan selama 5 menit. Dari hasil uji
manipulasi ditetapkan bahwa responden yang mempunyai tingkat kesalahan sebesar 25%
atau 1 soal dari 4 soal yang diujikan , maka responden tersebut layak dimasukkan dalam uji
statistika selanjutnya. Sehingga berdasarkan persyaratan tersebut , maka responden yang
memenuhi kriteria yaitu berjumlah 91 orang dengan sebaran masing-masing kelompok antara
lain yaitu: 22 orang dikelompok A, 23 orang kelompok B, 24 orang kelompok C, dan sisanya
sebesar 22 orang dikelompok D. Setelah cek manipulasi dilakukan yang merupakan tahapan
akhir dari proses eksperimen, responden diberikan buah tangan berupa cendera mata sebagai
wujud terima kasih dari peneliti atas kesediaan responden untuk bekerjasama dalam
penelitian tersebut. Kemudian, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis
one way anova yang kemudian diolah dengan menggunakan software SPSS versi 16.
E. HASIL PENELITIAN
Pengujian data dilakukan dengan menggunakan analisa anava satu arah dengan tingkat
kepercayaan sebesar 95%. Berdasarkan hasil pengujian pada masing-masing kelompok
dengan manipulasi adanya penerapan etika kerja sama dan prinsip kebersamaan serta sikap
saling menghargai , maka hasil yang diperoleh yaitu:
Tabel 2. Hasil Pengujian dengan Manipulasi Penerapan Etika Kerja
Sum of
Squares
df Mean Squares F Sign.
Between Groups 20.803 3 6.934 4.017 .010
Within Groups 150.186 87 1.726
Total 170.989 90
Tabel 3. Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
5.168 3 87 .002
Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa tingkat probabilita sebesar 0,01 yaitu < 0,05 berarti bahwa
negative reward mempengaruhi tingkat eskalasi komitmen yang secara statistis signifikan dan
hal ini pun menggambarkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat eskalasi komitmen yang
secara statistis perbedaan secara keseluruhan tersebut terjadi signifikan. Hal ini
menggambarkan bahwa hipotesis telah terdukung atau yang berarti pula bahwa Ho tidak
terdukung. Walaupun berdasarkan uji levene menunjukkan nilai F test yaitu sebesar 5,168
dan tingkat signifikansi pada 0,002 (p < 0,05) yang menyatakan bahwa tingkat varians tidak
sama atau asumsi anova telah dilanggar namun hal ini tidak fatal untuk anova dan analisis
masih dapat diteruskan (Ghozali, 2006, p.63).
Tabel 4. Deskripsi Sampel.
N
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Min
Max
Lower
Bound
Upper
Bound
Kel
1
22 6.4545 1.81861 .38773 5.6482 7.2609 2.00 8.00
Kel
2
23 7.4348 .50687 .10569 7.2156 7.6540 7.00 8.00
Kel
3
24 6.6250 1.71471 .35001 5.9009 7.3491 1.00 8.00
Kel
4
22 7.5455 .59580 .12703 7.2813 7.8096 6.00 8.00
Total 91 7.0110 1.37836 .14449 6.7239 7.2980 1.00 8.00
Berdasarkan tabel 4 di atas terlihat bahwa dalam prinsip kebersamaan tingkat eskalasi
komitmen akan semakin tinggi pada kelompok yang tidak menerapkan negative reward baik
secara material dan non material hal ini menggambarkan hubungan dalam arah yang negatif.
Sedangkan pada skenario yang menerapkan etika kerja namun kurang menerapkan prinsip
kebersamaan terlihat bahwa:
Tabel 5. Pengujian Penerapan Etika Kerja
Sum of
Squares
df Mean Squares F Sign.
Between Groups 72.564 3 24.188 6.005 .001
Within Groups 350.425 87 4.028
Total 422.989 90
Tabel 6. Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
10.504 3 87 .000
Berdasarkan tabel 5 di atas terlihat bahwa nilai F hitung yaitu sebesar 6,005 dengan
probabilita sebesar 0,001 (p < 0,05) yang berarti bahwa secara statistis telah terdapat
perbedaan pada kelompok tingkat eskalasi komitmen, yang berarti juga bahwa terdapat
pengaruh penerapan negative reward terhadap tingkat eskalasi komitmen. Sedangkan
berdasarkan hasil tabel 6, terlihat juga bahwa dalam sebuah organisasi yang menerapkan etika
kerja namun kurang menerapkan prinsip kebersamaan penerapan negative reward akan
berpengaruh negatif terhadap tingkat eskalasi komitmen. Hal ini dapat terlihat dari nilai mean
yang terdapat dalam kelompok 4 yaitu kelompok yang tidak menerapkan negative reward
sebesar 6,68 yang kemudian disusul dengan kelompok 2 yaitu kelompok yang menerapkan
negative reward berupa sanksi non material sebesar 6,52 dan kelompok 1 yang menerapkan
kedua sanksi yaitu material dan non material yaitu sebesar 4,95. Maka, dengan demikian
hipotesis terdukung atau yang berarti bahwa Ho tidak terdukung.
Tabel 7. Deskripsi Sampel penelitian
N
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Min
Max
Lower
Bound
Upper
Bound
Kel 1 22 4.9545 2.60909 .55626 3.7977 6.1114 1.00 8.00
Kel 2 23 6.5217 1.53355 .31977 5.8586 7.1849 2.00 8.00
Kel 3 24 4.7083 2.19642 .44834 3.7809 5.6358 2.00 8.00
Kel 4 22 6.6818 1.46015 .31130 6.0344 7.3292 2.00 8.00
Total 91 5.7033 2.16792 .22726 5.2518 6.1548 1.00 8.00
Sumber : data diolah
Dalam uji beda berdasarkan gender terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
secara statistik pada tingkat eskalasi komitmen sehingga dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa negative reward tidak mempengaruhi secara statistik signifikan pada tingkat eskalasi
komitment dalam kondisi gender. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan mean pada kondisi
penerapan prinsip kebersamaan yaitu sebesar 0,5849 dan dalam kondisi kurang menerapkan
prinsip kebersamaan yaitu sebesar -5.6785. Berikut penjabaran dalam tabel dibawah ini.
Tabel 8. Statistik Grup Organisasi dengan menerapkan prinsip kebersamaan
Gender N Mean Std.
Deviation
Std.Error
Mean
Skor Pria 22 7.4545 .96250 .20521
Wanita 69 6.8696 1.46441 .17629
Tabel 9. Statistik Grup Organisasi yang tidak menerapkan prinsip kebersamaan
Gender N Mean Std.
Deviation
Std.Error
Mean
Skor Pria 22 5.2727 2.52948 .53929
Wanita 69 5.8406 2.04093 .24570
F. KESIMPULAN DAN SARAN
Eskalasi komitmen merupakan suatu fenomena yang tak jarang lagi ditemui. Hal ini
disebabkan karena adanya umpan balik negatif yang tidak pasti dari apa yang diharapkan.
Menurut Brockner (1992) eskalasi komitmen merupakan suatu tindakan yang tidak rasional,
karena para pengambil keputusan tetap mempertahankan keputusan awalnya atas
serangkaian tindakan yang gagal. Namun, berbeda dengan yang diungkapkan oleh Chulkov
(2007) bahwa eskalasi komitmen merupakan suatu tindakan yang rasional sebagai upaya
untuk melindungi reputasi yang dimilikinya. Hal ini pun mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Kanodia et al. (1989).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat hal yang cukup menarik. Pada hasil
tersebut terlihat bahwa negative reward memiliki pengaruh yang negatif ketika kedua sanksi
diterapkan secara bersamaan yaitu sanksi material maupun non material. Begitupun ketika
sanksi non material berupa hilangnya kepercayaan diterapkan , maka akan mempengaruhi
tingkat eskalasi komitmen. Keterunikkan tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain misalnya tingkat kebutuhan, salah satunya yaitu kebutuhan autonomy. Berdasarkan teori
human motivation bahwa autonomy merupakan persepsi individu yang bertindak sesuai dengan
ketertarikkan mereka, nilai, dan sensibilitas (Decy and Ryan, 2000 dalam Downie et al., 2008)
Selain itu kecilnya mean dari eskalasi komitmen ketika kedua sanksi diterapkan , maka hal ini
dimungkinkan bahwa pada umumnya sebagian besar responden memilih untuk menghindari
resiko atas adanya ketidak pastian akan umpan balik yang akan diterima. Karena pada
dasarnya secara psikis, eskalasi komitmen juga dapat didukung oleh faktor-faktor lain yaitu
diantaranya: keberanian untuk menanggung resiko, komitmen, melindungi reputasi dan
banyak hal lainnya. Tak ubahnya dalam menjalankan suatu kegiatan tentu masih terdapat
kekurangan dalam penelitian ini. Penggunaan responden yang bukan sesungguhnya menjadi
kelemahan dalam penelitian ini. Sehingga, hasil dari penelitian ini tidak dapat digeneralisasi
pada semua keadaan. Disamping itu desain instrumen yang masih sederhana mengakibatkan
masih adanya informasi yang belum terkuak secara gamblang dalam penelitian ini, yang
mengakibatkan responden menjadi kurang menghayati.
Maka, untuk penelitian yang lebih lanjut disarankan untuk melibatkan responden yang telah
berpengalaman, dan desain instrumen yang lebih informatif lagi. Penggunaan seperti strategi
perusahaan, pengetahuan, dengan latar belakang pengambilan keputusan yang sama pun
dapat ditambahkan dalam pendesainan instrumen yang selanjutnya. Hal ini dimaksudkan
untuk mengambil keseragaman sehingga dengan tujuan untuk menghindari bias yang
disebabkan oleh perbedaan tingkat kompleksitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai akibat
latar belakang yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Angle, H.L., dan J.L. Perry. 1981. An empirical assessment of organizational
Commitment and Organizational Effectiveness. Administrative Science Quarterly. Vol.
26 p: 1- 13.
Anthony, Robert N., dan Vijay Govindarajan. 2007. Management Control System. New
York: McGraw-Hil.
Bazerman, M.H. 1994. Judgment in Managerial Decision Making. Singapore: OHN Wiley
and Sons.
Boeree, George. 2008. Psikologi Sosia. Yogyakarta: Prismasophie.
Brockner, J, 1992. The Escalation of Commitment to a Failing Course of Action: Toward
Theoretical Progress. Academy of Management Review. Volume 17 (1): 39-61.
Chang, Janie C., Sin-Hui Yen, dan Rong-Ruey Duh. 2002. An Empirical
Examination of Competing Theories to Explain the Framing Effect in
Accounting-Related Decisions. Behavioral Research In Accounting.
Volume 14.
Cuellar, Keil, and Johnson. 2006. The Deaf Effect Response to Bad News Reporting in
Information System Projects. E-Service Journal.
Downie, Michelle., Genevieve A. Mageau, dan Richard Koesnert. 2008. What
Makes for a Pleasant Social Interaction? Motivational Dynamics of
Interpersonal Relations. The Journal of Social Psychology. 148(2). xxx–xxx
Effriyanti, 2005. Pemanfaatan Informasi Akuntansi untuk Menghindari Eskalasi Komitmen
Dalam Level Pengambilan Keputusan. SNA VIII. Solo.
Ghozali Imam, 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang
Gudono, 2009. Teori Organisasi. Pensil. Yogyakarta
Hasibuan, Malayu, 2008. Organisasi dan Motivasi (Dasar-dasar Peningkatan Produktivitas).
Bumi Aksara. Jakarta.
Jamilah, Fanani, dan Chandrarin. 2007. Pengaruh Gender, Tekanan Ketaatan, dan
Kompleksitas Tugas Terhadap Audit Judgment. Simponsium Nasional Akuntansi X.
Makasar.
Kanodia, C., R. Bushman dan J. Dickhaut. 1989. Escalation errors and the sunk cost effect:
an explanation based on reputation and information asymmetries. Journal of
Accounting Research. 27: 59-77.
Keil, Depledge, dan Rai. 2007. Escalation: The Role of Problem Recognition and Cognitive
Bias. Journal Compilation. Vol. 38: No.3
Koroy, Tri Ramaraya. 2008. Pengujian Efek Pembingkaian Sebagai Determinan
Eskalasi Komitmen Dalam Keputusan Investasi: Dampak Dari Pengalaman Kerja.
SNA
Tang dan Chiu, Income, Money Ethic, Pay Satisfaction, Commitment, and Unethical
Behavior: Is the Love of Money the Root of Evil for Hong Kong Employees?. 2003.
Journal of Business Ethics. Vol. 46. No. 1 (Aug. 2003). pp. 13-30
Trisnaningsih, 2003. Perbedaan Kinerja Auditor Dilihat dari Segi Gender.
Simponsium Nasional Akuntansi VI. Surabaya
STUDI KOMPARATIF ANTARA EVONOMIC VALUE ADDED, CASH FLOW
FROM OPERATION, RETURN ON NET ASSET DAN RESIDUAL INCOME
TERHADAP RETURN SAHAM PADA PERUSAHAAN AGROINDUSTRI
Sudrajat
ABSTRACT
Investor’s behaviors in capital market in making a decision are influenced by various factors. One of the
factors is financial information which can be used to measure company performance. The measure of company
performance which can be used are financial ratios and EVA.
The purpose of this research is to investigate the effect of economic value added, cash from operation, return
on net asset (RONA) and residual income (RI) towards stock return by using multiple regression analysis.
The samples used are agro industry company which are listed in Indonesia stock exchange with period
research for five years. The results of this research show that cash from operation, earning per share, and
economic value added are positively and significantly related to Stock Return in Agro Industry companies
during period research.
Keywords: EVA, RONA, RI, stock returns
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak menentu mendorong para pelaku bisnis untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan berkaitan dengan investasi. Bagi perusahaan, pihak manajemen menghadapi situasi yang semakin kompetitif dan kompleks sehingga memerlukan alat pengukuran kinerja yang akurat. Penilaian kinerja pada perusahaan ini memiliki keterkaitan dengan tingkat kewajaran harga saham yang diperdagangkan di bursa
Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Lampung
efek, efektifitas komunikasi manajemen dengan investor dan juga untuk menentukan apakah perusahaan memerlukan restrukturisasi secara menyeluruh. Abdeen dan Haight (2002) menyatakan bahwa metode pengukuran kinerja berdasarkan akuntansi tradisional yang sudah ada selama ini kurang efektif apabila dikaitkan dengan perubahan kondisi perekonomian secara global. Perusahaan membutuhkan cara untuk melakukan penilaian yang menghubungkan antara earning dan investasi. Bukan hanya untuk kepentingan perusahaan secara keseluruhan tetapi juga untuk kepentingan masing-masing individu atau dapat berarti perusahaan mencoba untuk mencari cara menghubungkan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan para pemegang saham. Penilaian terhadap kinerja perusahaan yang mendasarkan pada catatan akuntansi saja belum dapat mencerminkan kemampuan kinerja perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan karena kelemahan dalam laporan keuangan terutama pada perhitungan laba rugi, tidak memperhitungkan biaya modal ekuitas sehingga pengukuran kinerja yang mendasarkan pada laporan laba rugi dapat menyebabkan distorsi dan bias. Kelemahan-kelemahan dalam penilaian kinerja secara konvensional tersebut di atas di atasi dengan alat penilaian kinerja lain yaitu economic value added (EVA), residual income dan earning. Residual income dapat digunakan sebagai sebuah alat ukur internal untuk penilaian kinerja untuk entitas bisnis. Stern Steward & Co sudah mengukuhkan bahwa varian dari residual income adalah economic value added (EVA) yang digunakan bersama-sama dengan earning (cash from operation ) sebagai sebuah alat pengukuran kinerja baik internal maupun exsternal (Biddle et al. 1997). Chen dan Dodd 2001 dalam Sudrajat, 2006 menyatakan bahwa EVA berbeda dengan Earning, karena EVA memperhitungkan total biaya modal baik biaya modal hutang maupun biaya modal ekuitas. Sedangkan Earning hanya memperhitungkan beban bunga yang merupakan bagian dari biaya modal hutang. Biaya modal dalam hal ini merupakan biaya yang timbul karena adanya kesempatan yang hilang akibat pemegang saham menginvestasikan dananya keperusahaan tertentu. Perilaku investor dipasar modal dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah analisa mengenai kinerja keuangan perusahaan (Hamilton, 1777 dan Marshal, 1890 dalam Biddle et at, 1997). Krisis keuangan global yang terjadi belakangan ini menuntut perusahaan-perusahaan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan biaya modal yang berasal dari hutang (cost of debt) dan modal sendiri (equity capital). Investor pada saat menganalisa laporan keuangan untuk pengambilan keputusan investasi dapat menggunakan berbagai macam alat untuk menilai saham yang layak untuk dibeli. Analisa investor dapat berupa analisa fundamental yang akan menilai kinerja internal dan eksternal dari perusahaan yang didasarkan pada berbagai karakteristiknya. Penelititan ini diharapkan dapat memberikan alat penilaian kinerja keuangan yang paling efektif dan berpengaruh terhadap return saham perusahaan, terutama untuk perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Apakah terdapat pengaruh antara economic value added (EVA), cash flow from operating
return on net asset (RONA), Earnings dan residual income (RI) terhadap return saham perusahaan-perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2004-2008
b. Variabel manakah diatara kelima variabel tersebut yang paling dominan pengaruhnya terhadap return saham?
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas maka dikembangkan hipotesis:
Ha1 : Cash flow from operating (CFO) berpengaruh positif terhadap return saham.
Ha2 : Return on net asset (RONA) berpengaruh positif terhadap return saham.
Ha3 : Earnings per share (EPS) berpengaruh positif terhadap return saham.
Ha4 : Residual income (RI) berpengaruh positif terhadap return saham.
Ha5 : Economics value added (EVA) berpengaruh terhadap return saham.
Sebelum hipotesis diuji dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas nilai variabel-variabel
independen dan dependen yaitu : cash flow from operating (CFO), return on net asset (RONA),
earnings per share (EPS), residual income (RI) dan return saham.
Setelah nilai-nilai variabel independen dan dependen diketahui, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan alat analisis regresi berganda. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada usaha untuk mengetahui bagaimana alat ukur kinerja keuangan perusahaan berpengaruh terhadap perilaku investor yang tercermin dalam perubahan harga saham perolehan return saham perusahaan yang bersangkutan di pasar modal. Periode penelitian adalah mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, hal ini disebabkan sampai saat ini laporan keuangan yang sudah dipublikasikan adalah laporan keuangan sampai dengan tahun 2008, sedangkan supaya penelitian ini tidak bias pada saat diambil kesimpulan maka dilakukan pengamatan mudur selama 5 tahun yaitu sampai dengan tahun 2004. Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh economic value added (eva), cash flow from operation, return on net assets, earnings dan residual income terhadap return bagi perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2004 – 2008.
2. Untuk memberikan bukti empiris mengenai alat ukur kinerja keuangan yang paling berpengaruh terhadap return saham di Bursa Efek Indonesia.
B. LANDASAN TEORI
Sebelum ditemukan EVA, pengukuran kinerja keuangan perusahaan dilakukan dengan menggunakan beberapa alat analisis diantaranya adalah analisis dengan menggunakan Du Pons. Alat analisis ini dirasa kurang relevan karena belum memperhitungkan biaya modal. Dari kelemahan tersebut, G. Bennet Stewart dan Joel M.Stern yang merupakan analisis keuangan dari perusahaan konsultas Stern Steward and Co mengukur nilai tambah perusahaan dengan menghitung seluruh biaya modal, baik setoran modal yang berasal dari pemegang saham maupun dari pinjaman. Dalam hal ini perusahaan dapat dikatakan mampu memberikan nilai tambah bagi pemegang saham jika keuntungan (return) yang dihasilkan lebih tinggi dari biaya modalnya. Menurut Abdeen dan Haight (2002) bahwa EVA merupakan sisa laba setelah semua biaya
modal yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut dibebankan. Young dan O’Byrne
(2001) menyatakan bahwa sebagai alat pengukur kinerja EVA memiliki beberapa keunggulan
jika dibandingkan dengan metode lain yaitu :
1. EVA memiliki peran penting sebagai suatu sistem yang berbasis pada value compensation dan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan utamanya yaitu menciptakan nilai untuk pemegang saham.
2. EVA menjembatani konflik yang terjadi antara manajer dengan perusahaan berkaitan dengan pemberian bonus. Dalam hal ini EVA menyediakan insentif bagi manajer yang berperan mencari dan mengimplemantasikan investasi yang menciptakan nilai.
3. EVA merupakan alat komunikasi yang efektif dalam penciptaan nilai dengan melibatkan semua elemen di dalam organisasi untuk ikut berperan serta.
4. EVA merupakan kerangka kerja manajemen yang mencakup berbagai fungsi, seperti perencanaan strategis (strategic planning), pengukuran kinerja (performance measurement), serta komunikasi internal maupun eksternal (internal/external sommunication).
Return on net asset (RONA) merupakan perbandingan antara net income dengan total asset (Riyanto, 2001). RONA mengukur berapa persen laba bersih yang dapat dihasilkan dari setiap rupiah yang dinvestasikan dalam bentuk aktiva perusahaan. Dengan demikian RONA akan menggambarkan kemampuan modal yang diinvestasikan dalam seluruh aktiva yang akan digunakan untuk menghasilkan laba bagi semua investor (pemegang saham). Young dan O’Bryne (2001) menyatakan bahwa saat ini banyak perusahaan yang menggunakan RONA berkaitan dengan EVA. Selama pengembalian yang diperoleh dari aktiva bersih melebihi jumlah biaya modal yang diinvestasikan, maka EVA adalah positif.
Earning per Share (EPS) merupakan laba yang dibagikan untuk setiap lembar saham umum dalam satu periode akuntansi. EPS digunakan oleh investor untuk menganalisis kemampuan perusahaan dalam mencetak laba berdasarkan saham ayng dimiliki.
Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai hubungan alat ukur kinerja dengan retun saham, telah banyak
dilakukan, diantaranya adalah Worthington dan Tracey (2004) yang melakukan penelitian
terhadap 110 perusahaan di Australia periode 1992–1998 dengan mengunakan tiga alternatif
formulasi pengumpulan data dengan menggunakan metode polling yaitu common effects, fixed
effects dan random effects. Hasil penelitian menunjukkan EVA mempunyai relative information
content yang lebih tinggi dalam menjelaskan return saham dibandingkan dengan pengukuran
akuntansi yang biasa digunakan.
Sartono dan Kusdhianto (1999) melakukan penelitian pada perusahaan publik yang terdaftar
di BEJ periode 1994-1997 dan menyimpulkan bahwa secara keseluruhan tidak ditemukan
hubungan antara perubahan EVA dengan MVA dan tidak terdapat pengaruh antara EVA
dengan MVA serta antara perubahan EVA dengan perubahan MVA. Farsio et. al (2000)
dengan menggunakan sampel dari saham yang terdaftar di S&P sebanyak 500 dan Dow
Jones Industrial Average sebanyak 1.000 perusahaan untuk periode 1994-1998, menemukan
bahwa EVA bukan merupakan indikator yang baik untuk menilai kinerja saham. Sementara
Dodd dan Chen (2001) menyimpulkan bahwa EVA tidak memiliki kandungan informasi
relatif yang lebih baik atau tinggi dibandingkan residual income dan operating income, EVA
hanya mampu menjelaskan variasi return saham sebesar 0, 006, sedangkan untuk residual
income sebesar 0, 078 dan operating income sebesar 0, 094.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut diketahui bahwa beberapa hasil
penelitian menyimpulkan EVA merupakan alat ukur penilaian kinerja keuangan yang cukup
baik, akan tetapi penelitian yang lain menunjukkan hal yang berbeda. Oleh karena itu
penelitian ini dilakukan dengan memasukan variabel lain (selan EVA) sebagai bahan
pembanding yaitu cash flow from operation, return on net asset, earning dan residual income.
C. METODOLOGI PENELITIAN
1. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari laporan keuangan perusahaan yang
terdiri atas : total aktiva, beban bunga, kewajiban jangka pendek, kewajiban jangka panjang,
modal sendiri, net operating income, net income atau net operating after tax (NOPAT), aktiva
lancar, arus kas dari aktivitas operasi dan jumlah lembar saham yang beredar, harga saham
perusahaan.
2. Pengukuran Variabel Variabel dalam penelitian ini terdiri atas : cash flow from operating (CFO), return on net asset (roa),
earning, residual income (ri), economic value added (EVA) dan return saham. Variabel-variabel
tersebut diukur sebagai berikut :
1. Menghitung Biaya Ekuitas Biaya ekuitas (BE) atau biaya modal sendiri dihitung dengan menggunakan pendekatan Capital Assets Pricing Model (CAPM)
2. Menghitung Struktur Modal Perusahaan Struktur modal yang digunakan adalah proporsi hutang dan proporsi modal sendiri (ekuitas) dalam bentuk prosentase dari jumlah hutang dan ekuitas.
3. Menghitung Biaya Modal Rata-Rata (WACC) WACC dihitung dengan rumus : (Bu x Wu) + (Be x We)
4. Menghitung NOPAT NOPAT = profit after tax + Interest after tax
5. Menghitung Capital Capital dihitung dengan menjumlahkan total hutang dengan ekuitas.
6. Menghitung Variabel EVA EVA = NOPAT – (WACC x Capital)
7. Menghitung Variabel Residual Income RI = Income – (WACC x Investment)
8. Menghitung Variabel Return on Net Asses (RONA) RONA = NOPAT Aktiva Bersih rata-rata
9. Menghitung Variabel Earning per Share (EPS) EPS = Net Income Jumlah saham beredar
10. Mengitung Variabel Return saham Return saham = Pt – Pt-1 + D1 Pt-1 Pt-1 P = harga saham dan D = Deviden.
3. Metode Analisis dan Pengujian Hipotesis
Analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah dengan menggunakan metode regresi berganda. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan asumsi klasik yang terdiri atas : a. Uji Heteroskedastisitas b. Uji Multikolinearitas c. Uji Autokorelasi Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan analisis regresi multivariat dengan persamaan
sebagai berikut :
Ri = α + β1CFO + β2RONA + β3EPS + β4RI + β5EVA
Ri : return saham (dependent variable)
β1 : Variabel Cash Flow from Operation (CFO)
β2 : Variabel Return On Net Assets (RONA)
β3 : Variabel Earning Per Share (EPS)
β4 : Variabel Residual Income (RI)
β5 : Variabel Economic Value Added (EVA)
D. PEMBAHASAN
1. Data Penelitian dan Uji Asumsi Kalsik
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang berasal dari laporan
keuangan tahunan perusahaan agroindustri selama tahun 2004-2008. Perusahaan yang
menjadi objek penelitian sebanyak 8 perusahaan karena perusahaan-perusahaan tersebut
memenuhi kritetia yang telah ditentukan.
Setelah data diperoleh kemudian dianalisis untuk dapat menentukan kriteria pengujian
hipotesis. Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan alat analisis berupa regresi berganda
oleh karena itu sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlabih dahulu harus dilakukan
pengujian asumsi klasik. Uji asumsi kalsik dalam penelitian ini terdiri atas uji normalitas, uji
autokorelasi, uji multikolinearitas dan uji heterokedastisitas. Uji asumsi klasik dilakukan agar
data yang digunakan memenuhi kriteria Best, Linear, Unbiased Estimator (BLUE). Hasil
pengujian asumsi kalsik adalah sebagai berikut :
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2005). Ada 2 cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan uji statistic dan analisis grafik. Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual, dengan melihat grafik normal probability plot yang membandingkan distribsusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal dan ploting data residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data yang sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Uji normalitas dengan grafik dapat menyesatkan kalau tidak hati-hati secara visual kelihatan normal, padahal secara statistik bisa sebaliknya. Maka dianjurkan disamping uji grafik dilengkapi dengan uji statistik. Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat kurtosis dan skweness dari residual. Uji statistik lain yang dapat digunakan untuk menguji normalitas adalah uji statistik One sample Kolmogorov-Smirnov (K-S). Dalam penelitian ini untuk melakukan uji normalitas digunakan analisis grafik dan uji statistik One sample Kolmogorov-Smirnov (K-S). Jika nilai Asymp.sig suatu variabel yang dihasilkan oleh uji One sample Kolmogorov-Smirnov > α (0, 01), dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal. Nilai asymp.sig hasil Pengujian normalitas pada masing-masing kabupaten/kota ditunjukkan dalam tabel berikut :
Gambar 1. Gafik Uji Normalitas
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
C
FO
R
ON
A
E
PS
R
I
E
VA
R
S
N 4
0
4
0
4
0
4
0
4
0
4
0
Normal
Parametersa
M
ean
6
.89
525
50
E1
1
4
,
348.
425
000
0
3
.025
000
0E2
2
.10
375
70
E1
2
-
1.2
907
576
E1
0
4
2,
439
.20
000
00
St
d.
Devi
ation
1
.95
478
918
E1
2
6
,
202.
743
581
91
5
.084
514
45E
2
2
.95
847
642
E1
2
2
.57
399
174
E1
1
9
0,
186
.16
776
629
Most Extreme
Differences
A
bsolu
te
.
327
.
231
.
198
.
238
.
381
.
092
Po
sitive
.
314
.
231
.
198
.
175
.
381
.
092
N
egati
ve
-
.32
7
-
.217
-
.136
-
.23
8
-
.31
0
-
.07
6
Kolmogorov-Smirnov Z 2
.06
9
1
.461
1
.255
1
.50
8
2
.40
8
.
584
Asymp. Sig. (2-tailed) .
708
.
628
.
886
.
721
.
934
.
884
Dari dua pengujian di atas dapat diketahui bahwa nilai residual dalam penelitian ini
terdistribusi secara normal. Hal ini dibuktikan dengan menyebarnya nilai residual pada garis
diagonal seperti terlihat pada gambar 1. Disamping itu normalitas nilai residual juga terlihat
pada tabel 1 yang menunjukkan nilai Asym.Sig yang lebih besar dari α yaitu 5%.
b. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi tidak terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada suatu periode (t) dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya (t-1). Pada penelitian ini, uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin Watson. Ketentuan yang menjadi acuan adalah jika du < d < 4-du tercapai maka dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi positif maupun negatif. Dengan n = 40, k=4 dan level signifikan= 0, 05 maka berdasarkan tabel Durbin Watson diperoleh nilai dl = 1, 285 dan du= 1, 721. Dari data tersebut maka variabel akan terbebas dari autokorelasi jika 1, 285 < d < 2, 279 (4 -1, 721). Hasil pengujian autokorelasi pada penelitian ini adalah :
Tabel 2. Hasil Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1
.816a .890 .853
90,
319.1573930
9
1.552
a. Predictors: (Constant), RI, CFO, RONA, EPS
b. Dependent Variable: RS
Dari pengujian di atas menunjukkan bahwa data dalam penelitian ini terbebas dari masalah
autokorelasi.
c. Uji Multikolinearitas. Uji multikolinearitas untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Dalam model regresi yang baik seharusnya tidak terdapat hubungan antar variabel independen, jika terdapat hubungan berarti terjadi masalah
multikol. Pedoman untuk sesuatu yang belum bebas multikolinearitas dapat dilihat dari nilai TOL yang < 0, 10 dan nila VIF > 10. Hasil pengujian multikolinearitas adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas
Model
Unstandardized
Coefficients Collinearity Statistics
B Std. Error Tolerance VIF
1 (Constant) 46065.189 21311.670
CFO -1.191E-9 .000 .951 1.051
RONA -1.372 2.548 .837 1.194
EPS 46.376 31.397 .821 1.218
RI -5.165E-9 .000 .820 1.220
a. Dependent Variable: RS
Berdasarkan hasil pengujian di atas diketahui bahwa semua variabel independen terbebas dari
masalah multikolinearitas. Hal ini dibuktikan oleh nilai Tol > 0, 01 dan VIF < 10 pada semua
variabel independen.
d. Uji Heterokedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi ketidaksaman varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka hal tersebut disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas (Ghozali, 2005). Uji heterokedastisitas pada penelitian ini dilakukan dengan analisis grafik sebagai berikut :
Gambar 2. Hasil Uji Heterokedastisitas
Dari grafik di atas terlihat bahwa data menyebar dan tidak membentuk suatu pola tertentu.
Hal ini mengindikasikan bahwa data dalam penelitian ini terbebas dari masalah
heterokedastisitas.
2. Pengujian Hipotesis Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi linier berganda untuk menguji hipotesis. Persamaan regresi sebagaimana terdapat pada pembahasan sebelumnya adalah sebagai berikut :
Ri = α + β1CFO + β2RONA + β3EPS + β4RI + β5EVA
Ri : Return saham (dependent variable)
β1 : Variabel cash flow from operation (CFO)
β2 : Variabel return on net assets (RONA)
β3 : Variabel earning per share (EPS)
β4 : Variabel residual income (RI)
β5 : Variabel economic value added (EVA)
Dengan me-run secara bersama-sama seluruh variabel diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4. Model Summary Uji Regresi
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .816a .890 .853
90,
319.15739309 1.552
a. Predictors: (Constant), EVA, RI, CFO, RONA,
EPS
b. Dependent Variable: RS
Tabel 5. Hasil Uji Regresi Berganda
ANOVAb
Model
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 3.169E10 4 7.923E9 85.971 0.036a
Residual 2.855E11 35 8.158E9
Total 3.172E11 39
a. Predictors: (Constant), EVA, RI, CFO, RONA,
EPS
b. Dependent Variable: RS
Tabel 5. Hasil Uji Regresi Sederhana
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 35987.506 23695.658 1.519 .138
CFO 1.481E-9 .000 -.032 -.195 .047
RONA -.288 2.782 -.020 -.103 .918
EPS 49.448 31.576 .279 1.566 .027
RI -3.369E-9 .000 -.111 -.590 .559
EVA 6.611E-8 .000 -.189 -.976 .036
a. Dependent Variable: RS
Berdasarkan tabel 4 diperoleh nilai R square yang merupakan koefisien determinasi yaitu
hasil penguadratan dari nilai R (koefisien korelasi). Koefisien determinasi berada pada kisaran
nilai 0 dan 1, dengan makin kecil r square maka makin lemah hubungan pada variabel
independennya. Nilai R square sebesar 0, 890 berarti 89% dari return saham dapat dijelaskan
oleh CFO, RONA, RI dan EVA sedangkan sisanya sebesar 11% dijelaskan oleh factor yang
lain.
Pada tabel 5, dengan menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0, 036. Hal ini menunjukkan bahwa return saham secara bersama-sama
dipengaruhi oleh seluruh variabel independent. Apabila dilakukan pengujian lebih lanjut
seperti pada tabel 6, menunjukkan bahwa diantara variabel-variabel independent yang diuji
pengaruhnya terhadap return saham hanya variabel CFO, EPS dan EVA yang berpengaruh
signifikan. Sedangkan variabel lain tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa para
investor selama memutuskan untuk melakukan investasi atau tidaknya pada saham-saham
perusahaan yang dijadikan penelitian menggunakan informasi berkaitan dengan CFO, EPS
dan EVA hal ini juga ditunjukkan oleh hasil pengujian stasistik yang menunjukkan
unstandardized coefficients untuk ketiga variabel adalah positif. Berarti apabila terjadi kenaikkan
nilai CFO, EPS dan EVA maka Return Saham juga akan mengalami kenaikan. Demikian
juga sebaliknya. Fenomena lain dari hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa CFO, EPS
dan EVA merupakan alat ukur indikator kinerja yang cukup baik untuk memprediksi return
saham.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : perilaku investor dipasar modal
dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah
informasi keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan. Pengukuran
kinerja perusahaan dengan menggunakan EVA akan lebih baik dibandingkan hanya
melakukan perhitungan dengan rasio keuangan karena EVA telah memperhitungkan biaya
modal.
Hasil pengujian menunjukkan variabel CFO, EPS dan EVA memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap Return Saham pada perusahaan Agroindustri selama tahun pengamatan.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh O’Byrne (1997) dan
Worthington (2004) yang menyatakan bahwa EVA lebih baik dari NOPAT dalam
menjelaskan perubahan terhadap nilai pasar dan EVA memiliki hubungan yang lebih tinggi
terhadap stock return dibandingkan dengan pengukuran berdasarkan akuntansi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdeen, M.Adnan., G.Timothy Haight, 2002, A Fresh Look At Economic Value Added : Empirical Study of the fortune five hundres companies, Journal of Applied Business Research, Vol 18, No.2
Ball, R.J..P.Brown, 1968 An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers, Journal of
Accounting, January-March, Vol 25. Biddle, C, Gray., Robert M.Bowen, James S. Wallace, 1997, Does EVA Beat Earnings ?
Evidence on Associations With Stock Returns and Firm Values, Journal of Accounting and Economics 24.
Farsio, Farzad, Joe Degel, Julia Degner, 2000, Economic Value Added and Stock Returns, The Financier, No. 1-4
Ghozali, Imam.2005, Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang :Badan
Penerbit Undip James, L.Dodd, Chen Shimin, Operating Income, Residual Income, and EVA:Which matric is
More Relevant ?, Journal of Managerial, Spring, 2001, Vol 3. Munawir, S, 2002, Analisis Informasi Keuangan, Lyberty, Yogyakarta O’Byrne, Stephen F., 1997, EVA and Shareholder Return, Financial Practice and education,
Spring/summer. Riyanto, Bambang, 2001, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, BPFE, Yogyakarta Sartono, Agus, Kusdhianto Setiawan, 1999, Adakah Pengaruh EVA Terhadap Nilai
Perusahaan dan Kemakmuran Pemegang Saham pada Perusahaan Publik, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 14
Sudrajat, 2006, Analisis Kinerja Keuangan dengan Economic Value Added (EVA) pada PT.
Hanjaya Mandala Sampoerna.Tbk.
Worthington, Andrew C, Tracy West, 2004, Australian Evidence Concerning The Information
Content of Economic Value Added, Australian Journal of Management, Vol 29, December.
Young, S., David, Sthepen F.O’Byrne, 2001, EVA and Value Based Management: A
Practical Guide To Implementation , Irwin, Mc Graw-Hill.
PENGARUH HUTANG TERHADAP LABA USAHA PADA PERUSAHAAN BARANG KONSUMSI YANG TERDAFTAR
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Kiagus Andi
ABSTRACT Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Lampung
The purpose of this research is to empirically study the effect of liabilities on operating income. This research is
classified as causal research and replication of former researches. Population of this research are manufacturing
firms consumer goods sector on BEI which go public during the period of 2007 to 2008. The samples are
obtained by using purposive sampling method. As the result, from 35 go public firms, 33 are used as the
samples of this study.
The statistic method being used is multiple linear regression with the model being tested previously in classic
assumptions. The result indicates that partially current liabilities (CL) and noncurrent liabilities (NCL)
variable has significantly influenced the operating income (OP), as well as simultaneously both current
liabilities (CL) variable and noncurrent liabilities (NCL) variable have significantly influenced the operating
income (OP) variable of manufacturing firms consumer goods sector on BEI.
Keywords: current liabilities, noncurrent liabilities, operating income
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini perusahaan dituntut untuk memiliki manajemen yang baik agar dapat tetap
menjalankan kegiatan operasinya, hal ini dikarenakan perkembangan dunia usaha yang
semakin meningkat dan banyaknya persaingan dalam dunia usaha. Perkembangan suatu
perusahaan dititikberatkan pada bagaimana cara perusahaan tersebut mencapai tujuan
utamanya, yaitu tercapainya laba perusahaan yang telah ditetapkan. Besar kecilnya laba yang
diperoleh perusahaan merupakan ukuran keberhasilan perusahaan dalam mengelola
usahanya. Laporan keuangan dijadikan acuan oleh manajemen dalam membuat keputusan
yang akan dijalankan oleh perusahaan serta digunakan oleh pihak kreditor untuk menentukan
apakah kerjasama yang telah dijalankan dapat terus dijalankan atau tidak.
Faktor yang mempengaruhi besar kecilnya laba usaha yang diterima perusahaan adalah
modal. Bagi beberapa perusahaan yang memiliki modal besar, tidak akan mengalami
kesulitan dalam mengembangkan usahanya, namun tidak sedikit perusahaan yang memiliki
keterbatasan modal, sehingga mereka sulit untuk mengembangkan usahanya, agar dapat
mengatasi hal tersebut, pada umumnya pihak manajemen perusahaan memiliki dua pilihan,
yaitu menerbitkan saham baru atau melakukan pinjaman dari pihak luar baik dalam hutang
jangka pendek maupun hutang jangka panjang, apabila manajemen memilih hutang sebagai
alternatif sumber modal, maka manajemen perusahaan dituntut untuk bekerja keras agar
penggunaan modal tersebut dapat memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan,
sehingga perusahaan dapat berkembang dengan baik dan mampu membayar hutang tersebut
kepada kreditor, baik pokok maupun bunganya.
B. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Hutang
Hutang sering disebut juga sebagai kewajiban, dalam pengertian sederhana dapat diartikan
sebagai kewajiban keuangan yang harus dibayar oleh perusahaan kepada pihak lain. Untuk
menentukan suatu transaksi sebagai hutang atau bukan sangat tergantung pada kemampuan
untuk menafsirkan transaksi atau kejadian yang menimbulkannya, seperti yang dikemukakan
oleh FASB berikut ini dalam Statement of Financial Accounting Concept No.6 yang terdapat pada
buku Chariri dan Ghozali (2005: 157), yaitu “hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi
yang mungkin terjadi di masa yang mendatang yang mungkin timbul dari kewajiban sekarang
dari suatu entitas untuk menyerahkan aktiva atau memberikan ke entitas lain dimasa
mendatang sebagai akibat transaksi di masa lalu”.
Munawir (2004: 18) berpendapat bahwa “hutang adalah semua kewajiban keuangan
perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana hutang ini merupakan sumber
dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor”, sedangkan dalam hal ini Hongren, et
al. (2006: 505) menyatakan bahwa “hutang merupakan suatu kewajiban untuk memindahkan
harta atau memberikan jasa di masa yang akan datang”. Berdasarkan definisi-definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa hutang adalah kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain
yang harus dibayar dengan uang, barang, atau jasa pada saat jatuh tempo.
2.2. Hutang Jangka Pendek
Kadang kala perusahaan meminjam uang dalam jangka pendek untuk kegiatan operasi
perusahaan yang biasa disebut dengan hutang (kewajiban) jangka pendek atau lancar. Yusuf
(2005: 230) mendefinisikannya sebagai berikut “kewajiban lancar adalah hutang yang
diharapkan akan dibayar (1) dalam jangka waktu satu tahun atau siklus akuntansi operasi
normal perusahaan, (2) dengan menggunakan aktiva lancar atau hasil pembentukan
kewajiban lancar yang lain”. Lebih jelas lagi Niswonger, et al. (2000: 441) berpendapat bahwa
“kewajiban lancar adalah kewajiban yang harus dibayar dengan aktiva lancar serta jatuh
tempo dalam jangka pendek, biasanya satu tahun”. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa hutang jangka pendek adalah kewajiban yang akan jatuh tempo
dalam waktu satu tahun atau siklus operasi normal perusahaan dan harus dilunasi dengan
menggunakan aktiva lancar, serta kewajiban tersebut berdasarkan transaksi yang telah terjadi.
2.3. Hutang Jangka Panjang
Hutang jangka panjang menurut Kieso (2002: 242) “terdiri dari pengorbanan manfaat
ekonomi yang sangat mungkin di masa depan akibat kewajiban sekarang yang tidak
dibayarkan dalam satu tahun atau siklus operasi perusahaaan, mana yang lebih lama”.
Pengertian hutang jangka panjang oleh Dyckman, et al. (2000: 218) adalah “kewajiban
dengan jangka waktu yang melebihi satu tahun dari tanggal neraca atau siklus operasi, mana
yang lebih lama”.
Baridwan (2000: 365) mengatakan bahwa “hutang jangka panjang digunakan untuk
menunjukkan hutang-hutang yang pelunasannya akan dilakukan dalam waktu lebih dari satu
tahun atau akan dilunasi dari sumber-sumber yang bukan dari kelompok aktiva lancar”.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Gunadi (2005: 83) bahwa “kewajiban
jangka panjang merupakan hutang yang tidak akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun atau
yang pengeluarannya tidak menggunakan sumber aktiva lancar”. Berdasarkan definisi dan
penjelasan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hutang jangka panjang
merupakan pinjaman yang diperoleh perusahaan dari pihak ketiga atau kreditor, yang jatuh
temponya lebih dari satu tahun, dan dilunasi dengan sumber-sumber yang bukan dari aktiva
lancar, serta jumlah hutang jangka panjang tersebut tidak boleh melebihi jumlah modal
sendiri.
2.4. Laba Usaha
Setiap perusahaan dalam menjalankan usahanya bertujuan untuk memperoleh laba seoptimal
mungkin. Informasi mengenai laba sebuah perusahaan dapat diperoleh dalam laporan
keuangan yaitu, laporan laba/rugi. Informasi tersebut digunakan oleh pihak intern maupun
ekstern perusahaan untuk membuat keputusan. Suatu perusahaan dikatakan akan berhasil
apabila dalam kegiatan operasionalnya memperoleh laba. Pengertian laba secara konsep yang
terdapat di dalam buku Harnanto (2002: 91), “laba adalah suatu pengembalian dari dan
dalam jumlah di atas investasinya”.
Secara umum laba diperoleh setelah pendapatan dikurangi biaya, seperti yang dikemukakan
oleh Soemarso (2005: 230), “laba adalah selisih lebih pendapatan atas beban sehubungan
dengan kegiatan usaha”. Menurut Gade dan Wasif (2000: 11), “laba yang diperoleh
perusahaan adalah selisih antara pendapatan dan biaya”, apabila pendapatan melebihi biaya
yang dikeluarkan berarti perusahaan mendapatkan laba dan sebaliknya jika biaya melebihi
pendapatan berarti perusahaan menderita rugi. Oleh karena itu, laba adalah hasil
pengurangan antara pendapatan dengan biaya, maka manajemen perusahaan harus dapat
menentukan jumlah pendapatan yang akan dihasilkan dan jumlah biaya yang akan terjadi
dalam periode yang bersangkutan.
Semua perusahaan membutuhkan modal pada saat pendiriannya dan juga memerlukan dana
setelah perusahaan itu berdiri untuk pengoperasiannya serta untuk mengembangkan
usahanya. Dana tersebut ada yang berasal dari pemilik atau modal sendiri ataupun yang
berasal dari pihak luar atau modal asing yang disebut dengan hutang, apabila manajemen
memilih hutang sebagai alternatif sumber modal, maka manajemen perusahaan dituntut
untuk bekerja keras agar penggunaan modal tersebut dapat memberikan keuntungan yang
besar bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat berkembang dengan baik dan mampu
membayar hutang tersebut kepada kreditor, baik pokok maupun bunganya.
Faktor yang mempengaruhi besar kecilnya laba usaha yang diterima perusahaan adalah
modal. Modal bagi perusahaan merupakan sumber dana yang mendukung dan menjamin
kelangsungan kegiatan perusahaan, dengan tersedianya modal yang cukup, diharapkan dapat
menjamin kelancaran aktivitas perusahaan, sehingga perusahaan dapat mengembangkan
kegiatan usahanya dan meningkatkan jumlah pendapatan yang akhirnya akan meningkatkan
laba.
2.5. Hipotesis
Hipotesisnya yang diangkat adalah: hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang
berpengaruh signifikan terhadap laba usaha baik secara parsial maupun simultan.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain kausal atau hubungan sebab akibat. Desain kausal
berguna untuk mengukur hubungan-hubungan antar variabel riset atau berguna untuk
menganalisis bagaimana satu variabel mempengaruhi variabel lain. (Umar, 2003: 30).
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan barang konsumsi yang terdaftar di BEI
pada tahun 2007-2008, yaitu sebanyak 35 perusahaan, dari populasi yang ada, maka
perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 perusahaan. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004: 78). Beberapa pertimbangan sebagai sampel
yang ditentukan oleh peneliti sebanyak 66 sampel adalah sebagai berikut:
1. perusahaan tersebut terdaftar di BEI pada tahun 2007-2008,
2. perusahaan tersebut memiliki laba usaha positif yang konsisten pada tahun 2007-
2008,
3. perusahaan tersebut memiliki laporan keuangan yang telah diaudit pada tahun 2007-
2008.
Penelitian ini, penulis menggunakan data kuantitatif, yaitu data yang diukur dalam suatu skala numerik (Kuncoro, 2003: 124). Menurut jenisnya, data yang digunakan adalah data sekunder. Data diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD) 2006-2008.
C. ANALISIS DATA
Pengujian Asumsi Klasik
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis statistik
dengan menggunakan SPSS versi 16.0. Peneliti melakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu
sebelum melakukan pengujian hipotesis. Pengujian asumsi klasik yang dilakukan terdiri atas
uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedasitas, dan uji autokorelasi.
4.1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu
atau residual memiliki distribusi normal, seperti diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan
bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Pengujian normalitas dilakukan dengan uji
Kolmogorov-Smirnov, dimana data yang berdistribusi normal akan memiliki nilai yang lebih
besar dari 0,05. Hasil pengolahan data diperoleh bahwa data dalam penelitian ini tidak
terdistribusi secara normal, dimana ketiga variabel memiliki nilai signifikansi yang lebih kecil
dari 0,05 yaitu variabel CL sebesar 0,000, variabel NCL sebesar 0,000, dan variabel OP
sebesar 0,000. Ada beberapa cara mengubah model regresi menjadi normal menurut Erlina
(2007: 106), yaitu:
a. lakukan transformasi data ke bentuk lainnya,
b. lakukan trimming, yaitu membuang data outlier,
c. lakukan winsorizing, yaitu mengubah nilai data yang outlier ke suatu nilai tertentu.
Untuk mengubah nilai residual agar berdistribusi normal, penulis melakukan transformasi data ke model logaritma natural (Ln) yaitu dari persamaan OP = f(CL, NCL) menjadi LN_OP = f(LN_CL, LN_NCL), setelah itu, data diuji ulang berdasarkan asumsi normalitas. Hasilnya ketiga variabel mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu CL sebesar 0,442, NCL sebesar 0,492, dan OP sebesar 0,424, disimpulkan bahwa data dalam model regresi telah terdistribusi secara normal 4.2. Uji Multikolinieritas
Uji multikolineritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya
korelasi antar variabel bebas (independen). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya
multikolineritas dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) variance inflation factor
(VIF). Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa angka tolerance CL (X1) dan NCL (X2) > 0,10
yaitu sebesar 0,441 dan VIFnya < 10 yaitu sebesar 2,268. Ini mengindikasikan bahwa tidak
terjadi multikolinearitas diantara variabel independen dalam penelitian.
4.3. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan variabel dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain dalam model regresi. Setelah diuji dengan
grafik scatterplot, terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tidak membentuk pola
tertentu atau tidak teratur. Hal ini mengindikasikan tidak terjadi heteroskedastisitas pada
model regresi sehingga model regresi layak dipakai.
4.4. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model regresi linear ada
korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1.
Tabel Durbin-Watson memperlihatkan nilai statistik sebesar 1,853. Angka ini terletak
diantara -2 dan +2, dari pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi
positif maupun autokorelasi negatif.
Pengujian Hipotesis
Untuk mengetahui apakah masing-masing variabel yaitu CL dan NCL yang dianggap sah
secara parsial berpengaruh terhadap OP, dilakukan uji statistik t. Berdasarkan hasil
pengolahan data dengan program SPSS, maka diperoleh hasil uji t digunakan untuk menguji
signifikansi konstanta dan setiap variabel independennya, terlihat bahwa CL (X1) mempunyai
angka signifikansi sebesar 0,000 berada di bawah 0,05 yang menunjukkan bahwa CL secara
individual mempengaruhi OP; uji t digunakan untuk menguji signifikansi konstanta dan
setiap variabel independennya, terlihat bahwa NCL (X2) mempunyai angka signifikansi
sebesar 0,001 berada di bawah 0,05 yang menunjukkan bahwa NCL secara individual
mempengaruhi OP; berdasarkan hasil model tersebut diketahui bahwa CL (X1) mempunyai
koefisien regresi dan nilai t hitung yang paling besar dibandingkan koefisien regresi dan nilai t
hitung NCL (X2). Berdasarkan hasil tersebut dapat diidentifikasi bahwa CL memiliki
pengaruh yang lebih nyata dan signifikan terhadap OP.
Untuk menguji pengaruh CL dan NCL secara bersama terhadap OP digunakan uji statistik F.
Hasil uji statistik F dengan program SPSS dapat diperoleh nilai F hitung sebesar 83,959
dengan tingkat signifikansi 0,000 (< 0,05). Signifikansi F sebesar 0,000 menunjukkan tingkat
kesalahan model yang diajukan. Nilai ini menunjukkan tingkat kesalahan yang akan
ditanggung sebagai peneliti bila menolak hipotesa nol. Dengan demikian, maka tingkat
kesalahan yang akan ditanggung kalau peneliti mengatakan bahwa X1 sampai X2 mampu
menjelaskan Y adalah 0,000. Tingkat kesalahan ini sangat jauh di bawah nilai α yang sudah
ditetapkan di muka yaitu 5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa CL (X1)
dan NCL (X2), secara bersama berpengaruh terhadap OP. Persamaan regresi yang dapat
disusun untuk variabel LN_CL dan LN_NCL adalah (dalam jutaan rupiah): LN_OP = 0,839
+ 0,585 LN_CL + 0,319 LN_NCL
Pembahasan Hasil Analisis
Dari hasil pengujian variabel penelitian secara parsial, didapati bahwa variabel independen
yaitu Hutang Jangka Panjang (NCL) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen
yaitu Laba Usaha (OP). Hal ini sesuai dengan nilai signifikansi t sebesar 0,001, nilai ini jauh
lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Proborini (2007) yang menemukan bahwa informasi Hutang
Jangka Panjang memiliki pengaruh terhadap Laba Usaha.
Hasil pengujian variabel penelitian secara parsial, didapati bahwa variabel independen, yaitu
Hutang Jangka Pendek (CL) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen yaitu Laba
Usaha (OP). Hal ini sesuai dengan nilai signifikansi t sebesar 0,000, nilai ini jauh lebih kecil
dari nilai probabilitas 0,05. Signifikansi t untuk variabel CL menunjukkan nilai yang terkecil
dari variabel NCL. Selain itu pula, nilai t hitung dan koefisien regresi CL juga menunjukkan
nilai yang terbesar dari variabel NCL. Ini mengindikasikan bahwa CL paling berpengaruh
terhadap OP.
Hasil pengujian variabel penelitian secara bersama, CL dan NCL berpengaruh signifikan
terhadap OP yang ditunjukkan oleh signifikansi F < 0,05. Nilai R square atau koefisien
determinasi menunjukkan angka 0,727 yang mengindikasikan bahwa 72,7% variasi atau
perubahan dalam OP dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel CL dan NCL. Sedangkan
sisanya sebesar 27,3% dijelaskan oleh sebab-sebab lain yang tidak dimasukkan dalam model
penelitian.
CL memiliki koefisien regresi bertanda positif sebesar 0,585. Hal ini mengandung arti bahwa
apabila nilai koefisien regresi variabel lainnya tetap (tidak berubah) maka perubahan variabel
CL sebesar 1 akan menaikkan OP sebesar 0,585 atau 58,5%. NCL memiliki koefisien regresi
bertanda positif sebesar 0,319. Hal ini mengandung arti bahwa apabila nilai koefisien regresi
variabel lainnya tetap (tidak berubah) maka perubahan variabel NCL sebesar 1 akan
menaikkan OP sebesar 0,319 atau 31,9%.
E. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini, diperoleh beberapa simpulan, yaitu NCL berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependen, yaitu OP, hal ini sesuai dengan nilai signifikansi t sebesar 0,001,
nilai ini jauh lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05. CL berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen, yaitu OP, hal ini sesuai dengan nilai signifikansi t sebesar 0,000, nilai ini
jauh lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05. Variabel CL menunjukkan nilai signifikansi yang
terkecil sebesar 0,000 dari variabel NCL sebesar 0,001, selain itu, nilai t hitung dan koefisien
regresi CL juga menunjukkan nilai yang terbesar yaitu 5,520 dari variabel NCL yaitu 3,658,
hal ini mengindikasikan bahwa CL paling berpengaruh terhadap OP. CL dan NCL secara
simultan (bersama-sama) mempunyai pengaruh signifikan untuk α = 5% terhadap OP.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian
ini, antara lain penelitian hanya mengambil dua variabel yaitu hutang jangka pendek &
hutang jangka panjang sebagai variabel independen, namun masih banyak variabel lain yang
dapat mempengaruhi laba usaha dan periode pengamatan dalam penelitian ini hanya
mencakup 2 tahun yaitu 2007-2008.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mencoba memberikan saran baik bagi pihak peneliti
selanjutnya, yaitu disarankan agar lebih banyak menggunakan variabel independen yang turut
mempengaruhi laba usaha dan dapat menambah tahun pengamatan sehingga hasil yang
diperolah dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan bagi manajemen dalam menetapkan
besarnya hutang.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Soekrisno, 2002. Auditing, Edisi 3, Cetakan 2, Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Baridwan, Zaki, 2000. Intermediate Accounting, Edisi 7, Cetakan 1, Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, Yogyakarta.
Chariri, Anis dan Imam Gozali, 2006. Teori Akuntansi, Edisi 3, Cetakan 1, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Dyckman, Thomas R., Roland E. Dukes, Charles J. Davis, 2000. Akuntansi Intermediate, Edisi
3, Cetakan 2, Penerjemah Munir Ali, Erlangga, Jakarta.
I. Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi 3, Cetakan 5, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Gunadi, 2005. Akuntansi Pajak, Edisi 1, Cetakan 1, PT Gramedia Widia Sarana Indonesia,
Jakarta.
Harnanto, 2002. Akuntansi Keuangan Menengah, Edisi 1, Cetakan 1, Buku 1, Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.
Haryono Yusup, AL., 2005. Dasar-dasar Akuntansi, Edisi 6, Cetakan 1, STIE YKPN,
Yogyakarta.
Hongren, Charles, T., Walter T. Harison, Michael A. Robinson, 2006. Akuntansi di Indonesia,
Edisi 3, Cetakan 5, Buku 1, Penerjemah Thomas H. Secokusumo, Salemba Empat,
Jakarta.
Husnan, Suad, 1998. Manajemen Keuangan, Edisi 3, Cetakan 1, Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, Yogayakarta.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 2002. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan
Manajemen, Edisi 1, Cetakan 2, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta.
II. Institute for Economic and Financial Research, 2006. Indonesia Capital Market Directory, Jakarta.
III. Jogiyanto, H. M., 2004. Metodologi Penelitian Bisnis, Edisi 2004/2005, Cetakan 1, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.
Kieso, Donald, E., Jerry J. Weygandt, Terry D. Warfield, 2002. Akuntansi Intermediate, Edisi
10, Cetakan ke-1, Jilid 1, Penerjemah Gina Gania dan Ichsan Setyo Budi, Erlangga,
Jakarta.
Munawir, S., 2004. Analisa Laporan Keuangan, Edisi 4, Cetakan 13, Liberty, Yogyakarta.
Niswonger, Rollin, C., Carl S. Warren, James M. Reeve, Philip E. Fess, 2000. Prinsip-Prinsip
Akuntansi, Edisi 19, Cetakan 1, Jilid 2, Penerjemah Alfonsus Sirait dan Helda
Gunawan, Erlangga, Jakarta
Sugiyono, 2005. Metode Penelitian Bisnis, Edisi 3, Cetakan 1, CV Alfabeta, Bandung.
Supranto, J., 2000. Statistik Teori dan Aplikasi, Edisi 6, Cetakan 1, Jilid 1, Erlangga, Jakarta.
Umar, Husein, 2003. Metode Riset Akuntansi Terapan, Edisi 1, Cetakan 3, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Warren, Carl, S., James M. Reeve, Philip E. Fess, 2006. Pengantar Akuntansi, Edisi 21,
Cetakan 1, Buku 1, Penerjemah Aria Farahmita, Amanugrahani., dan Taufik
Hendrawan, Salemba Empat, Jakarta.
PERBANDINGAN KEAKURATAN MODEL ARUS KAS
METODE LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG DALAM
MEMPREDIKSI DIVIDEN MASA DEPAN
Harsono Edwin Puspita
Hani Yaniati
Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
ABSTRACT
The cash flow provide information about revenue and expense information, which was classified based
operation activity, investment and funding in an accounting period. The company should report cash flow from
operating activityby one of cash flow reporting methods, which are direct method and indirect method.
The objective of study is to know wheter the difference impact of these method for future devidend prediction is.
The object of this study is manufacturing companies which had been listed in indonesian stock exchange from
2000-2006. We use purposive judgement samplin method to choose the sample. We also use statistical
method, which are multilinear regression for predicting and paired sample T-Test for comparing error value
prediction fot these accounting method.
The result show that Ha are accepted. The implication is the predictibility the accounting method is different.
We can see from the error of value prediction which is smaller in direct method than indirect method. So, the
direct method is better than indirect method for future dividend prediction.
Keywords: model arus kas langsung, model arus kas tidak langsung, prediksi dividen
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peraturan tentang laporan arus kas yang merupakan salah satu bagian dari laporan keuangan,
usianya relatif lebih muda jika dibandingkan dengan peraturan neraca dan laporan laba rugi,
Alumni Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
karena baru pada 7 September 1994 IAI mengeluarkan PSAK No.2 yang menandai
diwajibkannya Laporan Arus Kas dalam pelaporan keuangan. Adanya kemungkinan
bangkrutnya suatu perusahaan yang mempunyai laba bersih yang cukup tetapi memiliki kas
yang rendah, menyebabkan diperlukannya informasi arus kas. Arus kas yang sehat begitu
vital karena perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya perusahaan membutuhkan kas,
bukan laba bersih.
Statements of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1 menyatakan bahwa laporan keuangan
harus dapat menyediakan informasi untuk membantu investor sekarang, investor potensial,
kreditor, dan pengguna lain dalam menilai jumlah, waktu, ketidakpastian prospek penerimaan
kas dari dividen atau bunga dan pendapatan dari penjualan, pelunasan dari sekuritas atau
utang (FASB, 1987). Sedangkan PSAK No. 2 (IAI, 2008) menjelaskan bahwa jumlah arus kas
yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah dari
operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman,
memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen dan melakukan investasi
baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar.
Perusahaan harus melaporkan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan salah satu dari metode pelaporan arus kas, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung (IAI, 2002). Statements of Financial Accounting Standards (SFAS) 95, Statement of Cash Flows (FASB, 1987) mengizinkan perusahaan menggunakan 2 metode pelaporan arus kas tersebut. Namun Financial Accounting Standards Board (FASB) berkeyakinan bahwa metode langsung menyajikan informasi yang lebih berguna dan mendorong perusahaan untuk menerapkannya. Metode ini dianggap dapat menghasilkan informasi yang berguna dalam mengestimasi arus kas masa depan yang tidak dapat dihasilkan dengan metode tidak langsung. Pernyataan ini didukung oleh Surat Keputusan Bapepam No. 06/PM/2000 mengenai Pedoman Penyajian Laporan Keuangan tanggal 13 Maret 2000. Peraturan ini mewajibkan perusahaan publik atau emiten untuk menerapkan metode langsung dalam penyusunan laporan arus kas. Sebelumnya emiten diberi kebebasan untuk memilih format penyajian arus kas, sehingga hanya beberapa perusahaan saja yang memilih metode langsung. Penelitian mengenai informasi arus kas sudah banyak dilakukan. Thiono (2006) menunjukkan bahwa keakuratan model dengan komponen arus kas metode langsung lebih akurat dibandingkan model dengan komponen arus kas metode tidak langsung untuk memprediksi arus kas masa depan. Sedangkan dalam memprediksi dividen masa depan, model dengan komponen arus kas metode langsung tidak lebih akurat dibandingkan metode tidak langsung. Penelitian Haryadi (2002) menunjukkan bahwa kekuatan prediksi metode arus kas langsung tidak berbeda secara signifikan daripada kekuatan metode arus kas tidak langsung dalam memprediksi dividen masa depan. Hasil penelitian Isnaini (2007
menunjukkan bahwa arus kas operasi metode langsung terbukti memiliki kemampuan yang berbeda secara signifikan dengan metode tidak langsung sebagai prediktor arus kas operasi, laba, dan dividen masa depan.
Dalam penyajian laporan arus kas, baik FASB maupun Bapepam, khususnya, sebagai pihak
otoritas di pasar modal Indonesia, lebih mengutamakan metode langsung dibandingkan
metode tidak langsung. Pemakaian metode langsung dianjurkan agar dapat menghasilkan
informasi yang berguna untuk mengestimasi dividen masa depan, yang tidak dapat dilakukan
melalui metode tidak langsung.
Penelitian Haryadi (2002) pada 47 perusahaan manufaktur dalam periode 1995-1996,
menunjukkan kekuatan prediksi metode arus kas langsung tidak berbeda signifikan daripada
kekuatan metode arus kas tidak langsung dalam memprediksi dividen masa depan. Namun
penelitian Haryadi ini tidak mempertimbangkan pooled data yang efisien untuk membangun
model prediksi dividen masa depan. Begitu juga dengan penelitian Thiono (2006) pada 25
perusahaan manufaktur (1999-2004), menunjukkan kekuatan prediksi metode arus kas
langsung tidak berbeda signifikan daripada kekuatan metode arus kas tidak langsung dalam
memprediksi dividen masa depan. Hal ini disebabkan terdapat banyak faktor yang
menentukan kebijakan pembayaran dividen, salah satunya rencana investasi. Dari uraian
yang dikemukakan diatas, maka peneliti ingin mendapatkan bukti empiris mengenai:
“Apakah model dengan arus kas metode langsung berbeda signifikan dengan model arus kas
metode tidak langsung untuk memprediksi dividen masa depan”.
Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan pengujian empiris mengenai kemampuan
laporan keuangan khususnya informasi arus kas metode langsung dan tidak langsung untuk
memprediksi dividen masa depan. Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi teori dan metodologi bagi peneliti lain untuk mengembangkan teori atau penelitian lain khususnya manfaat metode pelaporan arus kas.
2. Penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi praktik bagi pengguna laporan keuangan mengenai kemampuan informasi arus kas metode langsung dan tidak langsung untuk membuat keputusan ekonomi.
3. Penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi kebijakan bagi perusahaan dan investor untuk membuat suatu kebijakan yang berhubungan dengan informasi laporan arus kas.
B. LANDASAN TEORI
Laporan arus kas dinilai banyak memberikan informasi tentang kemampuan perusahaan
dalam mendapatkan laba dan kondisi likuiditas perusahaan di masa yang akan datang.
Dengan melakukan analisis arus kas ini, kita dapat mengetahui kemungkinan keadaan arus
masuk dan keluar, arus kas bersih perusahaan, termasuk kemampuan membayar dividen di
masa yang akan datang (Harahap, 2002). SFAS No. 95 (FASB, 1987) menyatakan bahwa
informasi yang disajikan dalam laporan arus kas berguna bagi para investor, kreditor, dan
pihak-pihak lain, salah satunya untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya, kemampuan perusahaan membayar dividen, dan kebutuhan pendanaan
eksternal.
Tujuan utama laporan arus kas adalah menyediakan informasi tentang penerimaan-penerimaan kas (cash receipts) dan pembayaran kas (cash payment) dari suatu entitas selama periode tertentu. PSAK No.2 menyatakan perusahaan wajib menyajikan arus kas dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan dengan cara yang paling sesuai dengan bisnis perusahaan tersebut dan juga menyatakan perusahaan harus melaporkan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan salah satu dari metode pelaporan arus kas yaitu metode langsung dan metode tidak langsung.
Drtina dan Largay (1985) menyatakan bahwa pada prinsipnya metode langsung dan tidak
langsung menghasilkan arus kas operasi yang sama, namun terdapat masalah praktik yang
dapat mengurangi validitas metode tidak langsung, yaitu: ambiguitas definisi mengenai
operasi, diversitas dalam praktik pelaporan, pengaruh perubahan entitas pelaporan terhadap
akun lancar nonkas, masalah yang terkait dengan penggunaan absorption costing dalam
persediaan perusahaan manufaktur, reklasifikasi antara akun lancar dan tidak lancar.
FASB (1987) mengungkapkan keuntungan metode langsung dibandingkan dengan metode tidak langsung adalah menunjukkan penerimaan dan pembayaran kas operasi. Penyajian laporan arus kas dengan menggunakan metode tidak langsung hanya dapat memberikan informasi mengenai arus kas bersih dari aktivitas operasi, tanpa dapat memberikan berapa jumlah arus kas masuk dan jumlah arus kas keluar, sedangkan dengan metode langsung, informasi mengenai bagaimana aktivitas arus kas dapat memberikan arus kas masuk maupun keluar dapat diketahui dengan rinci, sehingga analisa tentunya dapat dilakukan dengan lebih tajam. Pengembangan Hipotesis
SFAS No. 95 (FASB, 1987) menyatakan bahwa informasi yang disajikan dalam laporan arus
kas berguna bagi para investor, kreditor, dan pihak-pihak lain, salah satunya untuk menilai
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya, kemampuan perusahaan membayar
dividen, dan kebutuhan pendanaan eksternal. FASB menegaskan bahwa metode langsung
lebih konsisten dengan tujuan laporan arus kas, yaitu menyediakan informasi penerimaan dan
pengeluaran kas daripada metode tidak langsung (FASB, 1987). Dengan kata lain, bahwa
informasi arus kas metode langsung lebih baik dalam menilai kemampuan perusahaan
membayar dividen.
Hasil penelitian Isnaini (2007) pada perusahaan industri tahun 2000-2003 yang digunakan sebagai tahun prediksi menunjukkan bahwa arus kas operasi metode langsung terbukti memiliki kemampuan yang berbeda secara signifikan dengan metode tidak langsung sebagai prediktor arus kas operasi, laba, dan dividen masa depan. Penelitian yang dilakukan oleh Finger (1994), Krishnan & Largay (2000) menunjukkan bahwa arus kas metode langsung memiliki kemampuan prediksi sebagai prediktor arus kas operasi, laba dan dividen masa depan.
Apabila penyajian laporan arus kas dengan menggunakan metode langsung, maka informasi
mengenai bagaimana aktivitas arus kas dapat memberikan arus kas masuk maupun keluar
dapat diketahui dengan rinci, sedangkan dengan metode tidak langsung hanya dapat
memberikan informasi mengenai arus kas bersih dari aktivitas operasi, tanpa dapat
memberikan berapa jumlah arus kas masuk dan jumlah arus kas keluar, sehingga terdapat
perbedaan dalam memprediksi dividen masa depan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
Ha : Model arus kas metode langsung berbeda signifikan dibandingkan dengan model arus
kas tidak langsung dalam memprediksi dividen masa depan
C. METODE PENELITIAN
1. Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah data laporan keuangan tahunan perusahaan
manufaktur selama periode 2000-2006 dan dividen pada tahun 2004-2006, yang diperoleh
dari Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) di Bursa Efek Indonesia, Indonesian Capital Market
Directory (ICMD), dan home-page BEI.
2. Sampel Penelitian Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Judgement Sampling,
yaitu:
a. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dan mempublikasikan laporan keuangan auditan secara konsisten dan lengkap dari tahun 2000-2006.
b. Periode laporan keuangan perusahaan berakhir setiap 31 Desember. c. Laporan keuangan perusahaan menggunakan mata uang Indonesia. d. Perusahaan membayar dividen kas dari laba tahun berjalan sepanjang tahun 2004-2006.
Tabel 1.1 Proses Pemilihan Sampel
No
Kriteria Jumlah
1. Jumlah perusahaan manufaktur terdaftar di BEI periode 2000-2006
148
2. Perusahaan tidak membagikan dividen sepanjang periode 2004-2006 (109)
3. Laporan keuangan perusahaan tidak dalam mata uang Indonesia (Rp)
(7)
4. Data laporan keuangan tidak lengkap (2)
Jumlah perusahaan sampel akhir (untuk model prediksi dividen)
30
3. Model Penelitian
Metode Langsung
Arus Kas Masuk
Operasi
Arus Kas Keluar
Operasi
Laba Bersih
Dividen
Masa Depan
Akrual
4. Operasionalisasi Variabel a. Variabel Dependen
Penelitian ini menggunakan variabel dependen, yaitu: Dividen sebagai jumlah dividen kas yang dibayarkan oleh perusahaan pada periode 2004, 2005, 2006.
b. Variabel Independen Penelitian ini menggunakan beberapa variabel independen, yaitu:
1) Arus kas masuk operasi adalah jumlah arus kas masuk yang diterima dari jumlah arus kas masuk yang diterima dari aktivitas operasi.
2) Arus kas keluar operasi adalah jumlah arus kas keluar yang dibayarkan perusahaan untuk aktivitas operasi.
3) Laba bersih adalah total laba perusahaan baik yang terkait atau tidak terkait dengan aktivitas utama perusahaan. Komponen laba bersih adalah laba perusahaan sebelum item operasi yang tidak berlanjut, item-item khusus, dan pos luar biasa.
4) Akrual adalah item didalam dan atau dari laba yang tidak mempengaruhi kas pada periode berjalan. Komponen akrual merupakan pengurangan laba bersih dengan arus kas (Thiono, 2006). Komponen akrual tersebut terdiri dari perubahan persediaan dan piutang usaha serta hutang usaha selama periode berjalan, pos bukan kas seperti penyusutan, penyisihan, pajak ditangguhkan, keuntungan dan kerugian valuta asing yang belum direalisasi, laba perusahaan asosiasi yang belum dibagikan dan hak minoritas dalam laba rugi konsolidasi, dan semua pos lain yang berkaitan dengan arus kas investasi dan pendanaan.
Semua variabel penelitian dibagi dengan total aktiva perusahaan. Total aktiva digunakan
sebagai proxy ukuran perusahaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maddala (2001) dalam
Thiono (2006), yang menyarankan penggunaan size sebagai deflator untuk mengurangi
heteroskedastisitas.
5. Alat Analisis
a. Pembentukan model prediksi dividen
Dalam pembentukan model ini, alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier
berganda.
1. Metode Langsung Model penelitian yang digunakan dalam memprediksi dividen dengan komponen arus kas
metode langsung, dirumuskan sebagai berikut:
Y = a + a1X1 + a2X2 + e
Keterangan:
Y : Dividen perusahaan i
X1: Arus kas masuk operasi perusahaan i
X2: Arus kas keluar operasi perusahaan i
a : Koefisien konstanta
e : Error
a1 dan a2: Koefisien regresi
2. Metode Tidak Langsung Model penelitian yang digunakan dalam memprediksi dividen dengan komponen arus kas
metode tidak langsung, dirumuskan sebagai berikut:
Y = b + b1Z1 + b2Z2 + e
Keterangan:
Y : Dividen perusahaan i
Z1 : Laba bersih perusahaan i
Z2 : Jumlah akrual perusahaan i
b : Koefisien Konstanta
e : Error
b1 dan b2: Koefisien regresi
b. Pengujian Asumsi Regresi Linier Berganda
Model regresi linier berganda perlu menghindari penyimpangan asumsi klasik.
Penjelasan pengujian asumsi klasik adalah sebagai berikut :
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu
atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2007). Model yang baik adalah memiliki
distribusi normal atau mendekati normal. Untuk mengujinya akan digunakan alat uji
normalitas, yaitu One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Dasar pengambilan keputusan One-Sample
Kolmogorov-Smirnov adalah
Jika p-value > 0,05 maka data berdistribusi normal
Jika p-value < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal
Uji autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah di setiap suatu model regresi ada korelasi
antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode sebelumnya atau
t-1. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Untuk mengetahui
apakah terjadi atau tidak terjadi autokorelasi dalam suatu model regresi, digunakan Durbin-
Watson test (Uji Durbin-Watson).
Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedasitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi masih terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Untuk
mengetahui apakah terjadi atau tidak terjadi heteroskedastisitas dalam suatu model regresi,
digunakan White test. Jika n. R2 lebih kecil dari X2df (nilai table chi square), maka regresi tidak
mengalami gangguan heteroskedastisitas.
Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas dilakukan untuk melihat adanya keterkaitan antarvariabel independen.
Untuk melihat apakah ada kolinearitas dalam penelitian ini, maka akan dilihat dari Variance
Inflation Factor multikolinearitas (VIF). Batas nilai VIF yang diperkenankan adalah maksimal
10.
c. Penghitungan dan Pengujian Nilai Kesalahan Prediksi (APE)
Perbandingan keakuratan model prediksi dilakukan dengan membandingkan kesalahan prediksi dan menggunakan ukuran kesalahan prediksi berupa absolute percentage error (APE). Nilai kesalahan prediksi (APE) merupakan selisih antara nilai realisasi dividen masa depan dengan nilai dividen prediksian, yang selanjutnya dinyatakan dalam nilai absolut. Semakin rendah nilai APE maka semakin tinggi kemampuan informasi arus kas dalam memprediksi dividen masa depan. APE dihitung untuk masing-masing model (Thiono, 2006).
APE = A - Â
A
Keterangan: APE
: Absolute percentage error.
A : Nilai realisasi. Â : Nilai prediksian model.
Selanjutnya APE masing-masing model diuji menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (Emory dan Cooper, (1991)) untuk menentukan apakah pengujian hipotesis menggunakan uji parametrik atau nonparametrik. Penggunaan APE ini telah digunakan dalam penelitian terdahulu (Sugiri (2003) dan Thiono (2006)). d. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan APE dari metode langsung dengan APE metode tidak langsung. Dalam menentukan alat analisis yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis penelitian ini, maka dilakukan uji normalitas data terhadap APE dari metode langsung dan APE metode tidak langsung. Pengujian normalitas data APE menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Apabila APE berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji parametrik menggunakan Paired Sampled t Test dengan tingkat keyakinan 95% dan tingkat kesalahan analisis (α) 5%, sedangkan jika APE tidak berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji non parametrik menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test. Dasar pengambilan keputusan pengujian hipotesis dengan uji beda rata-rata untuk dua sampel berpasangan adalah:
Jika probabilitas < 0,05 maka Ha diterima.
Jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak.
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Pembentukan Model Prediksi Dividen Penelitian ini membentuk model prediksi dividen masa depan dengan komponen arus kas
metode langsung dan metode tidak langsung. Data arus kas tahun 2000-2003 akan digunakan
untuk memprediksi dividen tahun 2004, data arus kas tahun 2001-2004 akan digunakan
untuk memprediksi dividen tahun 2005, dan data arus kas tahun 2002-2005 akan digunakan
untuk memprediksi dividen tahun 2006. Model prediksi yang terbentuk dengan
menggunakan analisis regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Model Prediksi Dividen
MODEL PREDIKSI PERSAMAAN REGRESI
Model 1.1 Y = 0,247 + 0,085X1 - 0,163X2
Model 2.1 Y = -1,654+ 0,741Z1 + 0,723Z2
Model 1.2 Y = 0,071+ 0,132X1 – 0,177X2
Model 2.2 Y = -2,243 + 2,149Z1 + 0,78Z2
Model 1.3 Y = -1,985 + 0,422X1 - 0,259X2
Model 2.3 Y = -0.21 + 1,232Z1 - 0,199Z2
Sumber: Data diolah
Model 1.1 adalah model prediksi dividen tahun 2004 dengan komponen arus kas metode
langsung, menggunakan data arus kas masuk dan arus kas keluar tahun 2000-2003. Model 2.1
adalah model prediksi dividen tahun 2004 dengan komponen arus kas metode tidak
langsung, menggunakan data laba bersih dan jumlah akrual tahun 2000-2003.
Model 1.2 adalah model prediksi dividen tahun 2005 dengan komponen arus kas metode
langsung menggunakan data arus kas masuk dan arus kas keluar tahun 2001-2004. Model 2.2
adalah model prediksi dividen tahun 2005 dengan komponen arus kas metode tidak langsung
menggunakan data laba bersih dan jumlah akrual tahun 2001-2004.
Model 1.3 adalah model prediksi dividen tahun 2006 dengan komponen arus kas metode
langsung menggunakan data arus kas masuk dan arus kas keluar tahun 2002-2005. Model 2.3
adalah model prediksi dividen tahun 2006 dengan komponen arus kas metode tidak langsung
menggunakan data laba bersih dan jumlah akrual tahun 2002-2005.
2. Pengujian Asumsi Regresi Linier Berganda a. Uji Normalitas Pengujian asumsi ini menggunakan alat uji One Sample Kolmogorof-Smirnov Test yang berguna untuk menguji apakah residual model regresi memiliki distribusi normal ataukah tidak.
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Model Prediksi Metode Langsung
M. Prediksi Div. K-Smirnov Test (Z) p-value Keterangan
1.1 0,961 0,314 Distribusi Normal
1.2 1,229 0,098 Distribusi Normal
1.3 0,770 0,594 Distribusi Normal
Sumber: Data diolah
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Model Prediksi Metode Tidak Langsung
M. Prediksi Div. K-Smirnov Test (Z) p-value Keterangan
2.1 1.145 0,145 Distribusi Normal
2.2 1,232 0,096 Distribusi Normal
2.3 0,589 0,879 Distribusi Normal
Sumber: Data diolah Hasil pengujian menunjukkan p-value semua model regresi tidak signifikan secara statistik pada α 5%, yang berarti bahwa residual semua model regresi berdistribusi normal. b. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi ini menggunakan Durbin-Watson statistic (DW). Model bebas autokorelasi jika
nilai d terletak diantara du dan 4-du (Umar, 2000).
Tabel 5. Hasil Uji Autokorelasi
Model Prediksi (d) du≤DW≤4-du Keterangan
1.1 2,287 1,533≤DW≤2,467 Bebas Autokorelasi
2.1 2,437 1,533≤DW≤2,467 Bebas Autokorelasi
1.2 2,361 1,533≤DW≤2,467 Bebas Autokorelasi
2.2 2,446 1,533≤DW≤2,467 Bebas Autokorelasi
1.3 2,466 1,533≤DW≤2,467 Bebas Autokorelasi
2.3 2,196 1,533≤DW≤2,467 Bebas Autokorelasi
Sumber: Data diolah c. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas menggunakan White test (Gujarati, 2003) yaitu: 1) Lakukan regresi model yang kita miliki dan kita dapatkan nilai residual untuk estimasi
error. 2) Lakukan regresi auxiliary yaitu :
Model Langsung :
e2 = α + α1X1 + α2X2 + α3X12 + α4X2
2 + α5X1X2 + e
Model Tidak Langsung :
e2 = β + β1X1 + β2X2 + β3X12 + β4X2
2 + β5X1X2 + e
Dari masing-masing model tersebut kita dapatkan nilai R² dari regresi ini.
3) Ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat dari: a. Jika n. R2 > X2
df, maka regresi mengalami gangguan heteroskedastisitas. b. Jika n. R2 < X2
df, maka regresi tidak mengalami gangguan heteroskedastisitas. Keterangan :
n merupakan jumlah observasi dan X2df merupakan nilai tabel chi square yaitu 11,0705.
Pada penelitian ini terdapat 5 regressor sehingga df=5 dan menggunakan chi square kritis
level 5%.
Tabel 6. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Model
Prediksi R2 n. R2 n. R2< X2
df Keterangan
1.1 0,054 6,48 6,048<11,07 Bebas Heteroskedastisitas
2.1 0,06 7,2 6,72<11,07 Bebas Heteroskedastisitas
1.2 0,067 8,04 7,504<11,07 Bebas Heteroskedastisitas
2.2 0,085 10,2 9,52<11,07 Bebas Heteroskedastisitas
1.3 0,087 10,44 10,304<11,0
7 Bebas Heteroskedastisitas
2.3 0,090 10,8 10,416<11,0
7 Bebas Heteroskedastisitas
Sumber: Data diolah d. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cut off yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0.10 atau sama dengan nilai VIF diatas 10 (Ghozali, 2007).
Tabel 7. Hasil Uji Multikolinearitas Model Prediksi Metode Langsung
Variabel Model 1.1 Model 1.2 Model 1.3
Tolerance VIF Tolerance VIF Tolerance VIF
Akm 0,139 7,209 0,196 5.109 0.390 2.563
Akk 0,139 7,209 0,196 5.109 0.390 2.563
Sumber: Data diolah
Tabel 8. Hasil Uji Multikolinearitas Model Prediksi Metode Tidak Langsung
Variabel Model 2.1 Model 2.2 Model 2.3
Tolerance VIF Tolerance VIF Tolerance VIF
Lb 0,475 2,105 0,878 1,139 0,272 3,678
Akrl 0,475 2,105 0,878 1,139 0,272 3,678
Sumber: Data diolah 3. Penghitungan dan Pengujian Nilai Kesalahan Prediksi (APE) Penghitungan nilai dividen prediksian dilakukan dengan memasukkan kembali data arus kas tahun 2003 ke model prediksi dividen 2004, data arus kas tahun 2004 ke model prediksi dividen 2005, dan data arus kas tahun 2005 ke model prediksi dividen 2006 yang telah terbentuk. Nilai dividen prediksian ini digunakan untuk penghitungan nilai kesalahan prediksi (APE), yaitu selisih antara nilai realisasi dividen masa depan dengan nilai prediksian dibagi dengan nilai realisasi dividen masa depan. 4. Uji Normalitas Data APE Pengujian normalitas data terhadap APE dari metode langsung dan APE metode tidak langsung menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test.
Tabel 9. Hasil Uji Normalitas APE
APE K-Smirnov Test (Z) p-value Keterangan
Metode Langsung 0,917 0,370 Berdistribusi normal
Metode Tidak Langsung 0,915 0,373 Berdistribusi normal
Sumber: Data diolah Pengujian normalitas APE menunjukkan p-value model-model prediksi signifikan secara statistik pada α 5%, sehingga pengujian Ha menggunakan statistik parametrik yaitu Paired sampled t-test. 5. Analisis Statistik Deskriptif APE Penggunaan analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi dari APE metode langsung dan APE metode tidak langsung.
Tabel 10. Statistik Deskriptif APE
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata dan standar deviasi APE metode
langsung lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata APE metode tidak langsung, dengan
selisih sebesar 0,651 dan 2,57051. Nilai APE metode langsung yang lebih kecil tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan prediksi arus kas metode langsung lebih baik jika
dibandingkan dengan kemampuan prediksi arus kas metode langsung karena semakin rendah
nilai APE maka semakin tinggi kemampuan informasi arus kas dalam memprediksi dividen
masa depan.
6. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan APE dari metode langsung dengan APE metode tidak langsung.
Tabel 11. Hasil Pengujian Ha (Paired Sampled t Test)
Descriptive Statistics
90 .30 17.00 4.0931 3.09506
90 .04 29.70 4.7441 5.66557
90
APE ML
APE MTL
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Dev iation
t hitung Sig (2-tailed)
APE 2,023 0.046
Hasil pengujian berdasarkan Paired Sampled t Test pada kolom Sig (2-tailed) untuk uji dua sisi
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.046, maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima
yaitu model arus kas metode langsung berbeda signifikan dibandingkan dengan model arus
kas tidak langsung dalam memprediksi dividen masa depan.
7. Pembahasan
Hasil pengujian membuktikan bahwa model arus kas metode langsung berbeda signifikan
dibandingkan dengan model arus kas tidak langsung dalam memprediksi dividen masa
depan. Jika dilihat dari rata-rata nilai kesalahan prediksi (APE) metode langsung yang lebih
kecil dibandingkan rata-rata nilai kesalahan prediksi (APE) metode tidak langsung,
menunjukkan bahwa kemampuan dari komponen arus kas metode langsung lebih baik
dibandingkan dengan kemampuan arus kas metode langsung untuk memprediksi dividen
masa depan. Hasil ini mendukung pernyataan FASB yang menyatakan bahwa informasi arus
kas metode langsung lebih baik dalam menilai kemampuan perusahaan membayar dividen.
Selain itu, hasil pengujian ini juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnaini
(2007) yang menunjukkan bahwa arus kas operasi metode langsung terbukti memiliki
kemampuan secara signifikan sebagai prediktor dividen masa depan. Hal tersebut
dikarenakan penyajian laporan arus kas dengan menggunakan metode tidak langsung hanya
dapat memberikan informasi mengenai arus kas bersih dari aktivitas operasi, tanpa dapat
memberikan berapa jumlah arus kas masuk dan jumlah arus kas keluar, sedangkan dengan
metode langsung, informasi mengenai bagaimana aktivitas arus kas dapat memberikan arus
kas masuk maupun keluar dapat diketahui dengan rinci, sehingga analisa tentunya dapat
dilakukan dengan lebih tajam.
E. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 1. Simpulan Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan paired sampled t test dengan
membandingkan APE dari metode langsung dengan APE metode tidak langsung. Nilai
kesalahan prediksi (APE) merupakan selisih antara nilai realisasi dividen masa depan dengan
nilai dividen prediksian, yang selanjutnya dinyatakan dalam nilai absolut. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa nilai probabilitas sebesar 0.046, maka Ha diterima.
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai perbandingan
kemampuan laporan arus kas metode langsung dan metode tidak langsung dalam
memprediksi dividen masa depan, maka simpulan yang dapat diambil yaitu:
Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kemampuan dari komponen arus kas metode
langsung berbeda signifikan dibandingkan dengan kemampuan arus kas metode tidak
langsung untuk memprediksi dividen masa depan. Jika dilihat dari rata-rata nilai kesalahan
prediksi (APE) metode langsung yang lebih kecil dibandingkan rata-rata nilai kesalahan
prediksi (APE) metode tidak langsung, menunjukkan bahwa kemampuan dari komponen
arus kas metode langsung lebih baik dibandingkan dengan kemampuan arus kas metode
langsung untuk memprediksi dividen masa depan. Hal ini mendukung pernyataan FASB dan
penelitian Isnaini (2007) yang menyatakan bahwa informasi arus kas metode langsung lebih
baik dibandingkan metode tidak langsung dalam menilai kemampuan perusahaan membayar
dividen.
2. Implikasi Penelitian Implikasi dari temuan penelitian ini mencakup pada empat hal, yaitu implikasi teori,
metodologi, praktik dan kebijakan.
1. Implikasi Teori Implikasi teori penelitian ini berkaitan dengan informasi laporan arus kas yang terdiri dari
metode langsung dan tidak langsung dan kontribusinya bagi peneliti lain untuk
mengembangkan teori atau penelitian ini. Penelitian ini telah berhasil membuktikan
bahwa laporan arus kas metode langsung berbeda signifikan dengan metode tidak
langsung dalam memprediksi dividen masa depan, dan metode langsung lebih akurat
dibandingkan metode tidak langsung dalam memprediksi dividen masa depan. Hal ini
sesuai dengan teori yang terdapat pada FASB (1987).
2. Implikasi Metodologi Implikasi metodologi ini berhubungan dengan uraian tentang metode yang dipakai dalam
penelitian ini dalam mendukung hasil penelitian, sehingga bisa digunakan untuk
metodologi peneliti lainnya. Penelitian ini telah menghasilkan suatu model prediksi
dividen dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dan paired sampled t test
untuk pengujian hipotesis.
3. Implikasi Praktik Implikasi praktik dalam penelitian ini berlaku bagi para pengguna laporan keuangan,
investor, masyarakat, dan pemerintah. Penelitian ini memberikan informasi mengenai
kemampuan laporan arus kas dalam memprediksi dividen masa depan, sehingga mereka
dapat membuat keputusan ekonomi.
4. Implikasi Kebijakan Implikasi ini berhubungan dengan kontribusinya bagi para investor, pengguna laporan
keuangan, dan perusahaan dalam membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan
kemampuan informasi arus kas. Berdasarkan hasil penelitian ini, mereka dapat
memperoleh gambaran mengenai informasi arus kas metode langsung dan tidak langsung
yang lebih akurat dalam memprediksi pembayaran dividen masa depan, sehingga mereka
dapat mengambil suatu kebijakan.
3. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat dikemukakan dari penelitian ini yaitu:
1. Bagi perusahaan, jika perusahaan ingin membentuk model prediksi dividen masa depan, lebih baik jika menggunakan komponen arus kas dengan metode langsung, untuk memperoleh model prediksi yang efisien atau menghasilkan nilai kesalahan prediksi yang lebih kecil.
2. Bagi penelitian selanjutnya, penulis mengharapkan dapat meneliti tingkat keakuratan model prediksi dengan menambah sampel penelitian dan memperpanjang tahun periode pengamatan untuk memperoleh model prediksi yang lebih efisien.
3. Penelitian selanjutnya juga dapat mempertimbangkan model prediksi dividen masa depan diantara ukuran perusahaan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
FASB. 1987. Statement of Cash Flow (SFAS No. 95). November.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. BPFE. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Mc Graw Hill. Singapore.
Harahap, Sofyan Safri. 2002. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Harahap, Sofyan S. 2004. Teori Akuntansi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2008. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia No. 2.
Buku Satu. Salemba Empat : Jakarta.
Isnaini, Zuhrotul. 2007. Kemampuan Arus Kas Operasi Metode Langsung Sebagai Prediktor Arus
Kas Operasi, Laba, dan Dividen Masa Depan. Thesis. Universitas Airlangga. Surabaya.
Thiono, Handri. 2006. Perbandingan Keakuratan Model Arus Kas Metode Langsung dan Tidak
Langsung dalam Memprediksi Arus Kas dan Deviden Masa Depan. Simposium Nasional
Akuntansi IX.
Umar, Husein. 2006. Research Methods in Finance and Banking. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Sampel Perusahaan
No. Nama Perusahaan Tanda Listing
1 PT Aqua Golden Mississipi Tbk AQUA
2 PT Asahimas Flat Glass Tbk AMFG
3 PT Astra Graphia Tbk ASGR
4 PT Astra Internasional Tbk ASII
5 PT Astra Otoparts Tbk AUTO
6 PT Delta Djakarta Tbk DLTA
7 PT Ekadharma Internasional Tbk EKAD
8 PT Goodyear Indonesia Tbk GDYR
9 PT Gudang Garam Tbk GGRM
10 PT Hexindo Adiperkasa Tbk HEXA
11 PT HM Sampoerna Tbk HMSP
12 PT Indofood Sukses Makmur Tbk INDF
13 PT Intanwijaya Internasional Tbk INCI
14 PT Kageo Igar Jaya Tbk IGAR
15 PT Lion Mesh P. Tbk LMSH
16 PT Lion Metal Works Tbk LION
17 PT Mayora Indah Tbk MYOR
18 PT Multi Bintang Indonesia Tbk MLBI
19 PT Pan Brothers Tbk PBRX
20 PT Selamat Sempurna Tbk SMSM
21 PT Semen Gresik Tbk SMGR
22 PT Sepatu Bata Tbk BATA
23 PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk SOBI
24 PT Surya Toto Indonesia Tbk TOTO
25 PT Tempo Scan Pacific Tbk TSPC
26 PT Tigaraksa Satria Tbk TGKA
27 PT Trias Sentosa Tbk TRST
28 PT Tunas Ridean Tbk TURI
29 PT Unilever Indonesia Tbk UNVR
30 PT United Tractors Tbk UNTR
Sumber: data diolah
DAMPAK EMISI OBLIGASI TERHADAP KINERJA KEUANGAN
PERUSAHAAN
Reni Oktavia
Meyka Voltalina
ABSTRACT
Emission bonds is one way in which to obtain funding sources. Bonds for the company is one of the alternative
funding relatively cheaper compared bank loans or bank loans. Investors in the bonds can not affect the
company's activities. However, purchases of bonds has limited the company's financial condition must be in
Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung Alumni Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
satisfactory condition to provide security for bondholders. Issuance of bonds by the company will affect net
profit in the income statement, especially when the company made interest payments of bonds.
Bond interest will be recorded as interest expense is automatically lowered net profit in the period. Issuance of
bonds by the company will affect net profit in the income statement, especially when the company made interest
payments of bonds. Bond interest will be recorded as interest expense is automatically lowered net profit in the
period. This study aims to provide empirical evidence whether there are differences in manufacturing the
company's financial performance before and after the emission of bonds as measured by the method of
Economic Value Added.
Hypothesis in this study is that there is a difference whether or not the company's financial performance before
and after the emission of bonds. The hypothesis was tested with Wilcoxon Signed Rank Test through
software SPSS.versi 15 with 95% confidence level. The sample used in this study is that manufacturing
companies have to go public in Indonesia Stock Exchange on December 31, 2007 and to the emission of
bonds between the years 1999-2006. EVA value of test results the company for a period of one year before
and one year after the emission of bonds indicates that significant value can be concluded that there are
differences in financial performance among manufacturing companies before and after the emission of bonds.
Keywords: EVA, Emisi Obligasi, kinerja keuangan
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan persaingan di dunia usaha melatarbelakangi perusahaan untuk memperluas
sektor usahanya. Perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya menggunakan
berbagai alternatif untuk menghimpun dana jangka panjang. Salah satu cara yang ditempuh
untuk memperoleh dana jangka panjang adalah dengan emisi obligasi (penerbitan saham).
Penerbitan obligasi oleh perusahaan akan mempengaruhi laba bersih pada laporan laba rugi,
terutama pada saat perusahaan telah melakukan pembayaran bunga obligasi. Pembayaran
bunga obligasi harus dilunasi dari pendapatan yang diperoleh dari laba perusahaan. Bunga
obligasi akan dicatat sebagai beban bunga yang otomatis menurunkan nilai laba bersih pada
periode berjalan. Emisi obligasi yang dilakukan perusahaan diharapkan nantinya dapat
meningkatkan kinerja perusahaan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dalam bentuk
laba.
Pembayaran bunga dan pokok pinjaman tidak melihat apakah perusahaan menderita untung atau rugi. Penerbitan obligasi oleh perusahaan akan mempengaruhi laba bersih perusahaan terutama pada saat perusahaan melakukan pembayaran bunga obligasi. Bunga harus dibayar tanpa memperhatikan laba dan posisi laporan keuangan perusahaan. Perusahaan ketika hendak mencari tambahan dana dengan penerbitan obligasi, kondisi perusahaan harus dalam keadaan memuaskan dan mempunyai kemampuan dalam membayar bunga dan pokok pinjaman. Apabila perusahaan menderita rugi dan tidak mampu memperoleh uang kas yang memadai, hal ini tentu mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Dari uraian yang dikemukakan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian atas perbedaan kinerja keuangan perusahaan setelah dilakukannya emisi obligasi dengan metode Economic Value Added (EVA).
B. LANDASAN TEORI
Definisi dan Karakteristik Obligasi
Perusahaan selain menerbitkan saham untuk memperoleh dana jangka panjang dalam rangka ekspansi dan restrukturisasi modal dapat menerbitkan obligasi. Munandar (1996:4) mendefinisikan obligasi sebagai surat tanda pengakuan berhutang oleh perusahaan yang mengeluarkan surat tersebut kepada pemegang atau pemilik surat itu, dengan kesanggupan membayar kembali pada suatu saat tertentu (dalam jangka lebih dari satu tahun) dan kesanggupan membayar bunga dalam jumlah prosentase tertentu pada setiap waktu tertentu.
Karakteristik obligasi menurut Keown, dkk. (1998) dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: 1. Nilai Par (Nilai Nominal)
Nilai par atau nilai nominal adalah jumlah yang tertera pada lembaran obligasi. Nilai par berbeda dengan nilai pasar obligasi.
2. Kupon Suku Bunga Kupon suku bunga (coupon interest rate) dari suatu obligasi menunjukkan berapa persentase dari nilai per obligasi yang akan dibayarkan per tahun sebagai bunga.
3. Periode Jatuh Tempo (Maturity) Periode jatuh tempo adalah lamanya waktu hingga penerbit obligasi membayarkan kembali nilai nominal kepada pemilik obligasi yang sekaligus mengakhiri keberadaannya.
4. Indenture Indenture adalah perjanjian legal antara perusahaan penerbit obligasi dengan dewan atau wali obligasi yang mewakili para pemilik atau pembeli obligasi tersebut.
Laporan Keuangan Definisi Laporan Keuangan
Analisis laporan keuangan sangat diperlukan dalam menilai kinerja suatu perusahaan. Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama satu tahun buku yang bersangkutan (Baridwan, 1992:17). Sedangkan pengertian laporan keuangan menurut IAI- Ikatan Akuntan Indonesia (2004:7) dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan yaitu:
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian yang integral dari laporan keuangan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.
Kinerja Keuangan
Pengertian kinerja keuangan menurut Menteri Keuangan RI berdasarkan Keputusan No 740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 adalah prestasi yang dicapai oleh perusahaan dalam periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan dari perusahaan tersebut. Sedangkan pengukuran kinerja menurut Mardiasmo (2002) memiliki berbagai tujuan antara lain:
a. Mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down and bottom up). b. Untuk mengukur kinerja finansial dan non finansial secara berimbang sehingga dapat
ditelusuri perkembangan pencapaian strategi. c. Untuk mengakomodasikan pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah
serta memotivasi untuk mencapai tujuan. d. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan
kemampuan kolektif yang rasional.
EVA (Economic Value Added)
EVA adalah pendapatan residu (keuntungan ekonomis) yang tersisa setelah mengurangi laba operasi dengan biaya modal. EVA merupakan satu satunya ukuran kinerja yang secara menyeluruh konsisten dengan aturan Standart Capital Budgeting dan dianggap lebih tepat untuk mengukur kinerja perusahaan (Steward, 1993:118).
Secara matematis, EVA dapat dinyatakan sebagai berikut (Stewart, 1993: 224):
EVA = Operating Profits - ( c* x Capital )
Keterangan:
EVA : Economic Value Added
Operating profits : Laba operasi bersih setelah pajak
c* : Biaya modal yang dihitung dengan
Capital : Modal, terdiri dari ekuitas dan hutang
WACC = ( Kd* x WD ) + ( Ke x WE )
Biaya Modal
Menurut Young & O’Byrne (2001) Biaya modal (Cost of capital ) dinyatakan sebagai tingkat
pengembalian yang diharapkan oleh penyedia dana jika modal itu diinvestasikan di tempat
lainnya, dalam suatu proyek, aktiva atau perusahaan dengan tingkat sebanding. Dengan kata
lain, biaya modal merupakan suatu biaya kesempatan (opportunity cost).
Cost of capital merupakan konsep yang sangat penting dalam kegiatan operasi perusahaan
karena menyangkut tiga hal yaitu (Shim & Siegel 1996:268):
a. Berkaitan dengan struktur penganggaran modal yang memerlukan perkiraan biaya modal untuk penganggaran yang tepat.
b. Berkaitan dengan struktur keuangan perusahaan yang mempengaruhi tingkat risiko dan besamya arus pendapatan, sehingga mempengaruhi pula penetapan biaya modal.
c. Berkaitan dengan keputusan-keputusan lain yang memerlukan perkiraan biaya modal, misalnya leasing, pendanaan kembali obligasi kebijksanaan modal kerja dan lain-lain.
Penelitian Terdahulu dan Hipotesis
Penelitian Fitranti (2004) menguji lima rasio keuangan yaitu ROA, NPM, OPM, TATO, ROE pada perusahaan food and beverages yang melakukan emisi obligasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kinerja perusahaan manufaktur antara sebelum emisi obligasi dan sesudah emisi obligasi berbeda secara signifikan.
Khamsah (2007) melakukan pengujian 12 rasio keuangan yaitu CAR, QR, CR, TDER, TDAR, TATO, ITO, GPM, NPM, OPM, ROA, ROE. Pada rasio profitabilitas yaitu NPM dan ROA berbeda signifikan antara sebelum dan sesudah emisi obligasi. Akan tetapi, pada 10 rasio keuangan lainnya tidak berbeda secara signifikan, sehingga secara keseluruhan disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan manufaktur antara sebelum dan sesudah emisi tidak berbeda secara signifikan.
EVA memperbaiki kekurangan dengan memperhitungkan biaya modal ekuitas. Biaya modal
perusahaan dipengaruhi oleh kebijakan pembiayaan dan investasi.
Diperlukannya suatu alat ukur kinerja yang menunjukkan prestasi manajemen sebenarnya
dengan tujuan untuk mendorong aktivitas atau strategi yang menambah nilai ekonomis (value
added activities) dan menghapuskan aktivitas yang merusak nilai (non-value added activities).
Economic Value Added (EVA) sangat relevan dalam hal ini karena EVA dapat mengukur
kinerja (prestasi) manajemen berdasarkan besar kecilnya nilai tambah yang diciptakan selama
periode tertentu, sehingga hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Terdapat perbedaan kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah emisi obligasi yang diukur dengan metode Economic Value Added
C. METODE PENELITIAN
Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang berasal dari: Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) di Bursa Efek Indonesia yang menyediakan laporan keuangan perusahaan yang go public, Bapepam (www.bapepamlk.go.id), www.bei.co.id.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI hingga tahun 2007. Selanjutnya penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling atau pemilihan sampel bertujuan, merupakan teknik pengambilan sampel secara acak (non probability) yang informasinya diperoleh dengan menggunakan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
Kriteria yang diterapkan terhadap pengambilan sampel adalah sebagai berikut:
1. Sampel adalah perusahaan manufaktur yang telah go public di Bursa Efek Indonesia hingga tahun 2007. Penentuan perusahaan manufaktur disesuaikan dengan pengklasifikasian industri yang ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia.
2. Perusahaan melakukan emisi obligasi pertama antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2006. Alasan dipilih periode ini karena ketidaktersediaan data laporan keuangan.
3. Tersedia laporan keuangan auditan untuk periode pengamatan yaitu tahun 1999 sampai dengan tahun 2007.
Dari jumlah populasi sebanyak 95 perusahaan yang melakukan emisi obligasi pertama
periode 1999-2006, dengan menggunakan teknik purposive judgment sampling maka diperoleh
sampel sebanyak 20 perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian. Proses
pemilihan sampel dan sampel penelitian disajikan pada tabel 1 dan lampiran.
Tabel 1. Proses Pemilihan Sampel
No Keterangan Jumlah
Sampel
1 Perusahaan yang melakukan emisi obligasi pertama
antara tahun 1999 s/d 2006 95
2 Perusahaan yang tidak memenuhi kriteria:
Perusahaan bukan bidang manufaktur :
Agriculture, forestry, fishing 4
Construction and real estate 3
Mining and mining service 1
Transportation service 4
Comunication 10
Whole Sale, investment and Retail Trade 8
Credits agencies other than bank, securities and
insurance 18
Hotel and travel service 1
Banking 20
Jumlah perusahaan bukan manufaktur (69)
Delisting/belum tercatat di Bursa Efek Indonesia (5)
Laporan keuangan tidak lengkap (1)
Total perusahaan yang tidak memenuhi kriteria (75)
Jumlah sampel penelitian 20
Variabel Penelitian dan Penjelasan Variabel
Variabel kinerja keuangan sebelum dan sesudah emisi obligasi diukur dengan metode
Economic Value Added.
EVA = NOPAT (laba bersih setelah pajak) – Biaya Modal
Menghitung Biaya Ekuitas (Ke)
Biaya ekuitas adalah biaya yang terjadi karena perusahaan menggunakan dana ekuitas atau
dana yang berasal dari pemegang saham. Biaya ekuitas merupakan pengembalian yang
diharapkan oleh investor atau investasi yang mereka tanamkan dalam perusahaan. Dalam
penelitian ini biaya ekuitas dihitung dengan model CAPM. Biaya ekuitas dihitung dengan
(Jogianto, 2003)
Ke = krf + beta ( km-krf)
Keterangan:
Ke = biaya ekuitas
Krf = return aktiva bebas resiko
ß = beta sekuritas
Km = return pasar
Menentukan Struktur Modal di Neraca
Proporsi hutang terhadap total hutang dan ekuitas dinotasikan dengan WD .
WD = (total hutang / jumlah hutang dan ekuitas) x 100%
Proporsi ekuitas terhadap total hutang dan ekuitas dinotasikan WE .
WE = (total ekuitas / jumlah utang dan ekuitas) x 100%
Menghitung Biaya Modal (WACC)
Biaya modal dihitung dengan pendekatan rata-rata tertimbang WACC (Weighted Average
Cost of Capital). Penggunaan rata-rata tertimbang ini dikarenakan masing-masing sumber
dana yang digunakan memiliki biaya yang berbeda-beda. Besarnya WACC dihitung dengan
formula (Aji:2003):
WACC = (Kd* x WD) + (Ke x WE)
Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan EVA sebelum emisi obligasi dan sesudah emisi obligasi. Dalam menentukan alat analisis yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis penelitian ini, maka dilakukan uji normalitas data terhadap EVA sebelum dan sesudah emisi obligasi. Pengujian normalitas data EVA menggunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Apabila EVA berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji parametrik menggunakan Paired Sampled t Test dengan tingkat keyakinan 95% dan tingkat kesalahan analisis (α) 5%, sedangkan jika EVA tidak berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji non parametrik menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test.
Dasar pengambilan keputusan pengujian hipotesis dengan uji beda rata-rata untuk dua sampel berpasangan adalah:
Jika probabilitas ≤ 0,05/2 maka Ha diterima.
Jika probabilitas > 0,05/2 maka Ha ditolak.
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Laporan keuangan yang digunakan adalah laporan keuangan auditan
selama tahun 1998 sampai tahun 2007 yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal
(PRPM) di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam teknik
penentuan sampel diperoleh 20 sampel dari perusahaan manufaktur yang masih tercatat di
Bursa Efek Indonesia hingga 31 Desember 2007. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan Software Statistical Package for the Social Science (SPSS) 15
Uji Asumsi Klasik
Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan statistik Kolmogorov –Smirnov.
Dimana nilai Asymp.Sig. (2-tailed) dibandingkan dengan tingkat alpha () 5%. Dasar
pengambilan keputusan One Sample Kolmogorof-Smirnov Test adalah jika nilai Sig. > 0,05 maka
data berdistribusi normal. Jika nilai Sig. < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal. Berikut
ini adalah hasil perhitungan statistiknya:
Tabel 2. Hasil Penghitungan Kolmogorov Smirnov
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa nilai signifikan yang dihasilkan lebih kecil dari
0,05 menunjukkan variabel EVA sebelum dan sesudah emisi tidak normal. Dengan
demikian, hasil pengujian normalitas menggunakan One Sample Kolmogorof-Smirnov Test, grafik
normal plot dan grafik histogram menunjukkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian
ini tidak memenuhi asumsi normalitas.
Economic Value Added
Cost of debt adalah tarif yang dibayar perusahaan untuk memperoleh tambahan hutang baru
jangka panjang di pasar sekarang. Dalam penelitian ini biaya hutang diproxy dengan suku
bunga investasi yang diperoleh dari publikasi Bank Indonesia. Biaya hutang dihitung dengan
rumus (Aji: 2003): Kd* = (1-t) Kd
Tabel 3. Biaya Hutang
Emiten Sebelum Emisi Setelah Emisi
INKP 25.27% 23.05%
ULTJ 25.27% 23.05%
HMSP 23.05% 12.63%
INDF 23.05% 12.63%
SUBA 23.05% 12.63%
BUDI 23.05% 12.63%
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
20 20
-3443313828 165707687.2
12343409865 2072947437
.465 .409
.327 .228
-.465 -.409
2.080 1.830
.000 .002
N
Mean
Std. Dev iat ion
Normal Parameters a,b
Absolute
Positive
Negativ e
Most Extreme
Dif f erences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
EVA Sebelum
Emisi
EVA Sesudah
Emisi
Test distribution is Normal.a.
Calculated f rom data.b.
SMSM 23.05% 12.63%
RICY 23.05% 12.63%
DNKS 23.05% 12.63%
MTDL 23.05% 12.63%
SMGR 12.63% 12.81%
MYOR 12.81% 9.74%
CPIN 12.81% 9.74%
SMRA 12.81% 9.74%
GRIV 12.81% 9.74%
ASGR 12.81% 9.74%
NIC 12.81% 9.74%
BRAM 11.03% 11.36%
BRNA 11.03% 11.36%
KLBF 11.36% 9.18%
Sumber: data diolah
Biaya Ekuitas
Perhitungan biaya ekuitas dengan cara pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM). Model
ini tidak menggunakan estimasi arus pembayaran dividen yang akan datang untuk
menghitung biaya modal sendiri, melainkan mencoba langsung mengestimasi tingkat hasil
yang dikehendaki itu sendiri. Biaya ekuitas dihitung dengan (Jogianto, 2003):
Ke = krf + beta ( km-krf)
Keterangan:
Ke = biaya ekuitas
Krf = return aktiva bebas resiko
ß = beta sekuritas
km = return pasar
Return atas aktiva diproxy dengan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang
diperoleh dari publikasi BI. Beta merupakan pengukur risiko sistematik dari suatu sekuritas
atau portofolio relatif terhadap resiko pasar. Beta yang digunakan adalah beta yang telah
dikoreksi yang didapat dari Pusat Pengembangan Akuntansi UGM, sedangkan return pasar
diproksi dengan return IHSG dengan rumus:
IHSGt - IHSG t -1
IHSG t -1
Keterangan:
IHSGt : Indeks Harga Saham Gabungan pada tahun t
IHSGt -1 : Indeks Harga Saham Gabungan pada tahun t-1
Hasil penghitungan biaya ekuitas disajikan pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Biaya Ekuitas
Emiten Sebelum Emisi Setelah Emisi
INKP -53.37% -117.34%
ULTJ -55.12% -115.18%
HMSP 168.01% -12.33%
INDF 169.23% -12.36%
SUBA 200.15% -4.20%
BUDI 169.11% -15.58%
SMSM 174.64% -9.57%
RICY 162.37% -15.68%
DNKS 168.13% -13.54%
MTDL 169.35% -11.85%
SMGR -130.22% 0.11%
MYOR -0.04% 5.67%
CPIN 4.84% 30.30%
SMRA 0.75% 7.13%
GRIV 0.77% -24.28%
ASGR 1.07% 9.76%
UNIC 1.65% 20.43%
BRAM 59.17% 12.95%
BRNA 74.49% 12.87%
KLBF 12.66% 10.89%
Struktur Modal di Neraca
Proporsi hutang terhadap total hutang dan ekuitas dinotasikan dengan WD .
WD = (total hutang / jumlah hutang dan ekuitas) x 100%
Proporsi ekuitas terhadap total hutang dan ekuitas dinotasikan WE .
WE = (total ekuitas / jumlah utang dan ekuitas) x 100%
Hasil penghitungan proporsi hutang terhadap total hutang dan ekuitas (WD) dan proporsi
ekuitas terhadap total utang dan ekuitas (WE) sebelum dan setelah emisi obligasi:
Tabel 6. WD dan WE Sebelum dan Sesudah Emisi Obligasi
Emiten Wd sebelum Wd Setelah We Sebelum We Setelah
INKP 50.52% 58.65% 49.48% 41.35%
ULTJ 41.36% 32.61% 58.64% 67.39%
HMSP 52.30% 56.06% 47.70% 43.94%
INDF 77.38% 72.56% 22.62% 27.44%
SUBA 87.03% 29.05% 12.97% 70.95%
BUDI 70.26% 86.72% 29.74% 13.28%
SMSM 26.31% 41.61% 73.69% 58.39%
RICY 65.35% 95.05% 34.65% 4.95%
DNKS 70.71% 64.56% 29.29% 35.44%
MTDL 65.01% 49.32% 34.99% 50.68%
SMGR 60.26% 52.85% 39.74% 47.15%
MYOR 43.80% 32.12% 56.20% 67.88%
CPIN 55.04% 77.78% 44.96% 22.22%
SMRA 54.09% 56.19% 45.91% 43.81%
GRIV 56.89% 62.49% 43.11% 37.51%
ASGR 58.72% 42.02% 41.28% 57.98%
UNIC 57.61% 62.09% 42.39% 37.91%
BRAM 58.81% 51.91% 41.19% 48.09%
BRNA 48.14% 64.85% 51.86% 35.15%
KLBF 49.48% 34.08% 50.52% 65.92%
Sumber: data diolah
Biaya Modal
Biaya modal dihitung dengan pendekatan rata-rata tertimbang WACC (Weighted Average Cost
of Capital). Penggunaan rata-rata tertimbang ini dikarenakan masing-masing sumber dana
yang digunakan memiliki biaya yang berbeda-beda. Besarnya WACC dihitung dengan
formula (Aji : 2003):
WACC = ( Kd* x WD ) + ( Ke x WE )
Hasil penghitungan WACC sebelum dan setelah emisi obligasi disajikan sebagai berikut:
Tabel 7. WACC (Weigted Average Cost of Capital)
Emiten WACC sebelum WACC setelah
INKP -13.64% -35.00%
ULTJ -21.87% -70.10%
HMSP 92.20% 1.66%
INDF 56.12% 5.77%
SUBA 46.02% 0.69%
BUDI 66.49% 8.88%
SMSM 134.75% -0.33%
RICY 71.32% 11.23%
DNKS 65.54% 3.36%
MTDL 74.24% 0.22%
SMGR -44.13% 6.82%
MYOR 5.59% 6.98%
CPIN 9.23% 14.31%
SMRA 7.27% 8.59%
GRIV 7.62% -3.02%
ASGR 7.96% 9.75%
UNIC 8.08% 13.79%
BRAM 30.86% 12.13%
BRNA 43.93% 11.89%
KLBF 12.02% 10.31%
Sumber: data diolah
Penghitungan EVA
EVA = NOPAT – (WACC x Invested Capital)
NOPAT = laba usaha (operating income)+ penghasilan bunga (interest income)+
beban/penghasilan pajak penghasilan (income taxes)+beban bunga (tax shield on
interest expense)+ bagian atas laba/rugi bersih perusahaan asosiasi (equity gain/loss in
associated companies)+ laba/rugi kurs (forex gain/loss).
Modal yang diinvestasikan adalah jumlah seluruh keuangan perusahaan, terlepas dari
kewajiban jangka pendek, pasiva yang tidak menanggung bunga ditambah hutang dan
kewajiban jangka panjang.
Modal yang diinvestasikan:
Ekuitas + Kewajiban Jangka panjang + Total utang+ jangka pendek yang menanggung
bunga + Hak Minoritas + Pinjaman Jangka Pendek
Hasil penghitungan EVA sebelum dan sesudah emisi obligasi disajikan sebagai berikut:
Tabel 8. Nilai EVA Sebelum dan Sesudah Emisi Obligasi
(dalam ribuan rupiah)
Emiten
EVA Sebelum
Emisi
EVA Sesudah
Emisi Perbedaan Keterangan
INKP 948,214,098 1,471,998,280 523,784,182 bertambah
ULTJ 93,648,235 542,672,454 449,024,219 bertambah
HMSP -14,901,086,364 3,209,675,969 18,110,762,333 bertambah
INDF -1,422,631,442 383,689,743 1,806,321,185 bertambah
SUBA -17,806,025 -9,585,596 8,220,429 bertambah
BUDI -404,977,048 -22,108,412 382,868,636 bertambah
SMSM -293,839,252 112,997,994 406,837,245 bertambah
RICY -150,663,465 -7,666,139,961 -7,515,476,496 berkurang
DNKS -101,114,640 134,374,379 235,489,019 bertambah
MTDL -194,231,743 50,475,342 244,707,086 bertambah
SMGR 2,089,973,144 143,875,761 -1,946,097,382 berkurang
MYOR -53,866,133,022 64,877,346 53,931,010,368 bertambah
CPIN 77,383,830 2,619,910,916 2,542,527,086 bertambah
SMRA 86,620,299 50,440,512 -36,179,787 berkurang
GRIV -724,759,001 103,929,039 828,688,041 bertambah
ASGR 33,710,335 -20,389,023 -54,099,358 berkurang
UNIC 16,448,140 4,697,995 -11,750,146 berkurang
BRAM -330,495,813 -47,015,011 283,480,802 bertambah
BRNA -90,101,081 322,809,673 412,910,754 bertambah
KLBF 287,384,824 1,863,084,735 1,575,699,911 bertambah
Sumber: data diolah
Jika perbedaan nilai EVA atau ∆ (delta) EVA memenuhi nilai berikut: 1. Nilai EVA > 0 artinya manajemen perusahaan telah berhasil menciptakan nilai tambah
untuk perusahaan. 2. Nilai EVA = 0 artinya titik impas perusahaan. 3. Nilai EVA < 0 berarti tidak terjadi proses nilai tambah pada perusahaan yang artinya laba
yang dihasilkan tidak bisa memenuhi harapan para kreditur dan penyandang dana.
Perusahaan yang memiliki EVA positif terbesar sebelum emisi obligasi adalah Indah Kiat
Pulp sedangkan EVA negatif terbesar adalah Mayora Indah. Perusahaan yang memiliki EVA
positif terbesar setelah emisi obligasi adalah Charoen Phokphand, sedangkan perusahaan
yang memiliki EVA negatif terbesar setelah emisi obligasi adalah Ricy Globalindo.
Perusahaan Semen Gresik, Sumarecoen Agung, Astra Graphia, Unggul Indah Cahaya serta
Ricy Globalindo mengalami penurunan kinerja setelah melakukan emisi obligasi. Akan
tetapi, pada 15 perusahaan lainnya setelah melakukan emisi obligasi mengalami kenaikan
kinerja yang cukup besar.
Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan EVA sebelum emisi obligasi dengan EVA setelah emisi obligasi. Hasil uji normalitas EVA sebelum dan setelah emisi obligasi data tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji non parametrik yaitu menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test dengan hasil pada tabel berikut ini:
Tabel 9. Pengujian Statistik
EVA Sesudah Emisi - EVA
Sebelum Emisi
Z -2.315(a)
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
a Based on negative ranks.
b Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil pengujian dengan Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan nilai sig.0,021< taraf
nyata (α = 0,05/2) maka dapat disimpulkan dapat menerima Ha.
Hasil pengujian membuktikan bahwa terjadi perbedaan kinerja keuangan sebelum dan setelah emisi obligasi.
Ha : Terdapat perbedaan kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah emisi obligasi yang diukur dengan metode Economic Value Added.
Hal ini diketahui dengan melihat nilai probabilitas 0.021 dibawah 0.025 (0.05/2) sehingga Ha
diterima. Kinerja keuangan setelah emisi obligasi mengalami peningkatan. Hal ini sesuai
harapan bagi perusahaan penerbit obligasi yang menginginkan peningkatkan kinerja
perusahaan ketika melakukan emisi obligasi. Pembayaran bunga obligasi yang dilakukan oleh
penerbit obligasi tidak menyebabkan terjadi penurunan kinerja keuangan pada perusahaan
manufaktur.
Pengukuran berdasarkan rasio keuangan ini sangatlah bergantung pada metode atau
perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan,
sehingga seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat sehingga kinerja tidak
mengalami peningkatan dan bahkan menurun. Jumlah pendapatan seringkali mempengaruhi
metode akuntansi yang diterapkan (Kieso dan Weygant, 1998:147). Perbedaan metode
penilaian persediaan dan penyusutan aktiva tetap antar periode akan menghasilkan hasil laba
yang berbeda pula.
Penelitian ini menunjukkan hasil yang konsisten dengan penelitian Fitranti (2004) yang menguji lima rasio keuangan yaitu ROA, NPM, OPM, TATO, ROE pada perusahaan food and beverages yang melakukan emisi obligasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kinerja perusahaan manufaktur antara sebelum emisi obligasi dan sesudah emisi obligasi berbeda secara signifikan akan tetapi pada penelitian tersebut terjadi penurunan kinerja keuangan. Hal ini disebabkan terlalu kecilnya sampel perusahaan yaitu empat perusahaan food and beverage sehingga kurang mewakili populasi yang ada.
Akan tetapi, hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten dengan penelitian Khamsah (2007) yang melakukan pengujian 12 rasio keuangan pada 10 perusahaan manufaktur yaitu CAR, QR, CR, TDER, TDAR, TATO, ITO, GPM, NPM, OPM, ROA, ROE pada 10 perusahaan manufaktur menyatakan bahwa kinerja keuangan perusahaan manufaktur antara sebelum dan sesudah emisi tidak berbeda secara signifikan. Hal ini disebabkan perbedaan penggunaan alat analisis kinerja yaitu dalam penelitian dengan menggunakan metode EVA sedangkan pada penelitian Khamsah (2007) menggunakan alat
analisis rasio keuangan dan juga pada periode pengamatan yang mengikutkan sampel perusahaan yang emisi tahun 1997 sehingga terpengaruh pada krisis ekonomi.
E. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test dengan
membandingkan EVA sebelum emisi obligasi dengan EVA setelah emisi obligasi. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa nilai probabilitas sebesar 0.021, maka Ha diterima.
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai perbandingan kinerja
keuangan sebelum dan sesudah emisi obligasi maka simpulan yang dapat diambil yaitu:
pengujian hipotesis menunjukkan perbedaan kinerja keuangan setelah emisi obligasi, terdapat
kenaikan kinerja setelah perusahaan melakukan emisi obligasi yang diukur dengan
menggunakan Economic Value Added.
Implikasi Penelitian
5. Implikasi Metodologi dan Praktik Implikasi metodologi ini berhubungan dengan uraian tentang metode yang dipakai dalam
penelitian ini dalam mendukung hasil penelitian, sehingga bisa digunakan untuk
metodologi peneliti lainnya. Penelitian ini telah menghasilkan suatu model pengukuran
kinerja perusahaan yang melakukan emisi obligasi dengan metode EVA yang pada
penelitian sebelumnya memakai rasio keuangan. Pengujian hipotesis dengan
menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test. Implikasi praktik dalam penelitian ini berlaku
bagi manajer yang ingin mengukur, memonitor dan mengevaluasi target kinerja yang
ingin dicapai sebelum melakukan emisi obligasi dan setelah melakukan emisi obligasi agar
dapat menciptakan nilai tambah yang maksimal bagi perusahaan.
2. Implikasi Kebijakan
Implikasi ini berhubungan dengan kontribusinya bagi para investor yang ingin
menginvestasikan dananya, dan juga perusahaan yang ingin melakukan emisi obligasi
dalam membuat suatu kebijakan untuk mencari dana jangka panjang. Berdasarkan hasil
penelitian ini, mereka dapat memperoleh gambaran mengenai informasi kinerja
perusahaan setelah melakukan emisi obligasi, sehingga mereka dapat mengambil suatu
kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Sapto Bayu. 2003. “Rasionalitas Investor di Bursa Efek Didasarkan Pada Pengaruh Economic Value Added (EVA) Terhadap Return Saham”. Wahana Journal , 6 no 2, Agustus 2003.
Baridwan, Zaki. 1997. Intermediate Accounting. Edisi Tujuh. BPFE. Yogyakarta.
Fitranti, Yulita Swastika. 2004. “Analisis Kinerja Perusahaan (Food and Beverage) Sebelum
dan Sesudah Emisi Obligasi”. Skripsi. Universitas Lampung.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Indonesia. Salemba Empat. Jakarta.
Jogianto, H.M. 2003. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Tiga. BPFE. Yogyakarta. Keown, Arthur., John Martin, David Petty, Scott William. 1998. Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan. Alih Bahasa Haris Munandar. PT Raja Grafindo. Jakarta.
Khamsah, Siti. 2007. “Analisis Kinerja Keuangan Sebelum dan Sesudah Emisi Obligasi Pada
Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ”. Skripsi. Unila. Lampung.
Kieso, Donald E. dan Jerry J. Weygant (1998), Intermediate Accounting, Ninth
Edition, Toronto, Canada: John Wiley & Sons Inc.
Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Munandar, M. 1996. Pokok-Pokok Intermediate Accounting. Gajah mada University Press. Yogyakarta.
Shim, Jae K dan J.G.Siegel. 1996. Financial Management,Second edition. Mc Graw Hill. United State of America.
Stewart, G. Bennet (1993), The Economic Value Added: The Quest for Value, A Guide for
Senior Managers: Harper Collins. USA
Young, S David dan Stephen O’Byrne. 2001. EVA dan Manajemen Berdasarkan Nilai.
Salemba Empat. Jakarta.
Sampel Perusahaan
No Nama Perusahaan Listing Kode Emiten
1 PT Indah Kiat Pulp 20/10/99 INKP
2 PT Ultra jaya 29/12/99 ULTJ
3 PT HM. Sampoerna 18/02/00 HMSP
4 PT Indofood Sukses Makmur 24/07/00 INDF
5 PT Suba Indah 24/07/00 SUBA
6 PT Budi Acid Jaya 28/07/00 BUDI
7 PT Selamat Sempurna I 31/07/00 SMSM
8 PT Ricky Putra Global 31/07/00 RICY
9 PT Dankoes Laboratories 24/10/00 DNKS
10 PT Metrodata 12/12/00 MTDL
11 PT Semen Gresik 17/07/01 SMGR
12 PT Mayora Indah I 27/06/03 MYOR
13 PT Charoen Phokphand 02/07/03 CPIN
14 PT Sumarecoen Agung 08/07/03 SMRA
15 PT Great River International I 14/10/03 GRIV
16 PT Astra Graphia 28/10/03 ASGR
17 PT Unggul Indah Jaya 29/10/03 UNIC
18 PT Branta Mulia 20/04/04 BRAM
19 PT Berlina 00/00/04 BRNA
20 PT Kalbefarma 00/00/06 KLBF
Sumber: www.ksei.co.id
PENGGUNAAN DISKRIMINAN ALTMAN SEBAGAI ALAT PREDIKSI
KEBANGKRUTAN
Fitra Dharma
Niken Kusumawardani
ABSTRACT
Altman discriminant model is a method used to predict the occurrence of bankruptcy on a company consisting
of several financial ratios namely, working capital to total assets, retained earnings to total assets, earnings
before interest and tax to total assets, market value of equity to bookvalue debt and the ratio of sales to total
assets. In connection with this, then the phenomenon to be proved in this study is the delisting of banking
institutions due to bankruptcy.
From the results of data analysis of two sample groups, namely the ten samples of national private banks and
the ten categories of delisting national private bank sample of non-delisting categories of differences in values
obtained Z-Score between the two categories of banks. Financial ratios banks delisting categories is much
smaller compared with other categories of non-delisting. From these results can then be concluded that the
model can be used Altman's discriminant in predicting the possibility of delisting the national private
banking.
This research may provide a model extension of the concept of the use of discriminant Altman. Therefore, this
study has provided a picture that Altman's discriminant model can be used in predicting the occurrence of
delisting the company's banking.
Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung Alumni Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
Keywords: Discriminant Altman, delisting, banking, bankruptcy prediction
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perusahaan merupakan pelaku ekonomi yang berada pada lingkungan persaingan yang terus
berkembang sehingga selalu berupaya melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan.
Dalam kegiatan ekonomi kita ambil contoh diantaranya adalah jenis perusahaan berdasarkan
kegiatannya, yang dapat dibedakan menjadi perusahaan jasa, perusahaan dagang hingga
perusahaan manufaktur. Masing-masing perusahaan menjalankan kegiatan operasinya sesuai
dengan jenis yang telah ditetapkan oleh perusahan. Perusahaan jasa bergerak dalam bidang
penyediaan jasa tertentu. Perusahaan manufaktur dapat kita kenal dari jenis kegiatannya, yaitu
perusahaan yang mengolah bahan baku melalui suatu proses produksi tertentu menjadi
barang jadi yang siap untuk dijual, sedangkan perusahaan dagang mempunyai jenis kegiatan
yang berbeda dengan perusahaan jasa, maupun perusahaan manufaktur. Kegiatan utama
perusahaan dagang adalah membeli barang kemudian menjual kembali barang tersebut untuk
memperoleh laba.
Perkembangan ekonomi yang semakin pesat menuntut kemampuan manajer untuk
mengalokasikan sumber daya secara efektif dan efisien kemampuan ini memerlukan
informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting dalam pengambilan keputusan alokasi
sumber daya. Informasi akuntansi pada perusahaan yang utama adalah laporan keuangan
yang merupakan sarana komunikasi antara manajer, dengan pihak-pihak berkepentingan atas
laporan keungan tersebut. Bagi pihak manajemen selaku pihak internal perusahaan yang
berperan sebagai penyedia informasi, laporan keuangan merupakan media penyampaian
bentuk pertanggungjawaban terhadap alokasi berbagai sumber daya perusahaan secara efektif
dan efisien, sehingga perusahaan dapat berkembang dan mencapai tujuan guna
meningkatkan kinerja perusahaan, sedangkan bagi pihak eksternal perusahaan seperti,
investor, kreditor, pedagang besar, masyarakat umum, karyawan, supplier, pelanggan,
pemerintah, analis pasar modal dan LSM menggunakan laporan keuangan sesuai dengan
kepentingan masing-masing dalam rangka pengambilan suatu keputusan bisnis dan non
bisnis terhadap entitas usaha tersebut.
Perbankan merupakan salah satu perusahaan jasa yang memiliki peranan penting dalam
pembangunan perekonomian. Perbankan di Indonesia antara lain berperan menjaga
kestabilan moneter yang disebabkan atas kebijakannya terhadap simpanan masyarakat serta
sebagai lalu lintas pembayaran. Bank sendiri merupakan suatu badan usaha yang tujuannya
menghasilkan keuntungan atau laba. Dari dua tujuan utama perusahaan tersebut, maka pihak
manajemen harus dapat menghasilkan keuntungan yang optimal serta pengendalian yang
seksama terhadap kegiatan operasional terutama yang berkaitan dengan keuangan
perusahaan. Setelah terjadinya krisis, pada bulan Juli 1998 nilai mata uang rupiah mengalami
penurunan, pengangguran mengalami peningkatan, suku bunga melonjak dan nilai impor
menurun. Di samping itu, sejak bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi banyak bank
yang dilikuidasi. Bank yang dilikuidasi berjumlah 16 bank. Bank-bank tersebut dilikuidasi
oleh pemerintah dikarenakan bank-bank tersebut mengalami ketidakmampuan atau
kegagalan dalam ekonomi dan keuangan. Kegagalan ekonomi berkaitan dengan
ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Sementara itu, kegagalan keuangan
disebabkan oleh biaya modal perusahaan yang lebih besar daripada tingkat laba biaya historis
investasi. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran kesulitan keuangan yang akan
dihadapi oleh perusahaan, sehingga dapat mengarah pada kebangkrutan.
Laporan keuangan secara singkat adalah neraca, laporan perhitungan laba/rugi, laporan
perubahan modal dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan yang diterbitkan
oleh suatu perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai kondisi keuangan
perusahaan, kinerja perusahaan, serta perubahan posisi keuangan yang sangat berguna dalam
proses pengambilan keputusan bagi pihak-pihak berkepentingan. Laporan tersebut dibuat
oleh suatu perusahaan biasanya pada akhir periode atau pada akhir tahun buku, dibuat secara
bulanan, triwulanan, semesteran dan tahunan. Tujuan dari laporan keuangan adalah
menyajikan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar pemakai laporan keuangan
dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi. Data keuangan harus dikonversi menjadi
informasi yang lebih berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Hal ini ditempuh
dengan cara melakukan analisis terhadap laporan keuangan.
Pengertian analisis laporan keuangan berarti: “menguraikan pos-pos laporan keuangan
menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan
atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif
maupun non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang
sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat”. (Harahap, 2001).
Bernstein dan Foster dalam Munawir (2004) mengemukakan pengertian analisis laporan
keuangan sebagai berikut: “mempelajari hubungan-hubungan di dalam suatu laporan
keuangan pada suatu saat tertentu dan kecenderungan-kecenderungan dari hubungan ini
sepanjang waktu”. Dari hasil analisis laporan keuangan tersebut dapat dilihat kinerja yang
telah dicapai perusahaan. Kinerja suatu perusahaan disebabkan banyaknya faktor diantaranya
produk-produk yang dihasilkan banyak menggunakan bahan yang memiliki kandungan impor
tinggi sehingga produk yang dihasilkan harus dibiayai dengan dollar yang semakin menguat.
Sementara pasar, terutama pasar domestik sudah tidak mampu menyerap karena
melemahnya daya beli yang ada. Akibatnya, likuiditas perusahaan menjadi terganggu.
Penyebab melemahnya kinerja yang lain adalah sebagian besar perusahaan memiliki hutang
luar negeri dalam bentuk valuta asing (valas). Turunnya nilai mata uang rupiah yang diikuti
dengan kenaikan suku bunga telah melambungkan hutang perusahaan. Akibatnya solvabilitas
perusahaan terganggu karena besarnya hutang valas ketika dikurskan ke dalam rupiah.
Dengan keadaan seperti ini memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut mengalami
kondisi rawan terjadinya kebangkrutan perusahaan. Pada saat suatu perusahaan memasuki
tahap-tahap akhir menjelang kegagalan atau kebangkrutan ada suatu pola perubahan profil
finansial, meskipun kebangkrutan tidak dapat diramalkan secara pasti.
Kebangkrutan merupakan masalah yang sangat esensial yang harus diwaspadai oleh
perusahaan, karena jika perusahaan sudah terkena bangkrut, maka perusahaan tersebut
benar-benar mengalami kegagalan usaha. Untuk itu perusahaan harus sedini mungkin
melakukan berbagai analisis terutama analisis yang menyangkut kebangkrutan perusahaan.
Dengan analisis ini, maka sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk melakukan antisipasi
yang diperlukan.
Analisis kebangkrutan dilakukan untuk memperoleh peringatan dini kebangkrutan(tanda-
tanda bangkrut). Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan tersebut, semakin baik bagi pihak
manajemen karena pihak manajemen dapat melakukan perbaikan-perbaikan (Mamdur dan
Halim, 2002), agar kebangkrutan tersebut benar-benar tidak terjadi pada perusahaan dan
perusahaan dapat mengantisipasi atau membuat strategi untuk menghadapi jika kebangkrutan
benar-benar menimpa perusahaan. Prediksi kekuatan keuangan suatu perusahaan pada
umumnya dilakukan oleh pihak eksternal. Untuk memperkirakan adanya kebangkrutan
diperlukan adanya kesiapan manajemen dalam menghadapinya. Dengan mengetahui kondisi
tersebut, perusahaan diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi
kondisi perusahaan yang mengarah pada kebangkrutan. Untuk memperkirakan adanya gejala
kebangkrutan diperlukan suatu cara untuk memperkirakannya guna menghindari adanya
kerugian dalam investasi.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Adnan & Taufiq (2001), yang
bertujuan untuk mengetahui keakuratan model Altman dalam memprediksi tingkat
kebangkrutan pada perusahaan perbankan dalam kasus likuidasi perbankan Indonesia tahun
1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil perhitungan rasio-rasio keuangan pada
setiap sampel bank, dapat terlihat bahwa semua bank yang terlikuidasi mempunyai nilai Z-
Score yang rendah, antara lain, Bank Aken, Bank Alfa, Bank Asia Pasific, Bank Bahari, Bank
Baja Internasional, Bank Bapede, Bank Budi Internasional, Bank Bumi Raya Utama, Bank
Central Dagang, Bank Ciputra, Bank Dagang Industri, Bank Dharmala, Bank Ficorinvest,
Bank Hastin, Bank Indonesia Raya, Bank Indotrade, Bank Khasrisma, Bank Lautan Berlian,
Bank Mashill Utama, Bank Metropolitan, Bank Namura Internusa, Bank Putra Surya
Perkasa, Bank Sahid Gajah Perkasa, Bank Sino dan Bank Sewu Internasional. Nilai Z-Score
merupakan rasio yang dipergunakan model Altman untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya kebangkrutan, dalam hal ini kasus likuidasi perbankan.
Penelitian ini juga didasarkan pada penelitian oleh Fakhrurozie (2007), yang bertujuan
melihat pengaruh potensi kebangkrutan bank dengan metode Altman terhadap harga saham
yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh
kebangkrutan bank dengan metode Z-Score Altman terhadap harga saham pada perusahaan
perbankan di Bursa Efek Jakarta.
Dari pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang menganalisa
kemungkinan kebangkrutan pada perusahaan perbankan dengan mengguna metode Atman.
Perumusan Masalah
Kebangkrutan ditandai adanya kerugian, tidak dapat membayar kewajiban atau tidak likuid dan lainnya, sehingga perusahaan memerlukan perbaikan untuk menghindari kebangkrutan. Untuk itu, diperlukan beberapa tindakan oleh pihak manajemen sebagai langkah antisipasi, salah satunya adalah melakukan analisis kondisi keuangan perusahaan dengan model prediksi kebangkrutan. Berdasarkan latar belakang dan judul yang diambil, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana analisis diskriminan Altman dalam memprediksi kemungkinan kebangkrutan perbankan swasta nasional di Indonesia?”.
B. LANDASAN TEORI
Pengertian Fungsi Bank
Bank adalah lembaga perantara dana (financial intermediary) dengan tugas pokok menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk
kredit. Bank memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional, yang memerlukan
kepercayaan dari masyarakat sehingga dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik.
Kepercayaan dari masyarakat terhadap bank hanya dapat timbul apabila bank dalam kegiatan
usahanya mampu melindungi keamanan dana masyarakat yang disimpan di bank, karena
dana yang terhimpun dari masyarakat merupakan tulang pungggung suatu bank dalam
pengelolaan usahanya.
Menurut Susilo (2000) secara spesifik fungsi bank adalah :
1. Agent of trust, yaitu kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan
disalahgunakan oleh bank, bank tidak akan bangkrut, dan juga percaya bahwa pada saat
yang telah dijanjikan masyarakat dapat menarik lagi simpanan uangnya di bank.
2. Agent of development, yaitu kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan
investasi, distribusi dan juga konsumsi barang dan jasa. Mengingat semua kegiatan
investasi, distribusi dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan
perekonomian masyarakat.
3. Agent of services, yaitu bank memberikan penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada
masyarakat. Jasa-jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan
perekonomian masyarakat secara umum, antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang,
jasa penitipan barang berharga, jasa pemberian jaminan bank, dan jasa penyelesaian
jaminan.
Definisi dan Kriteria Delisting
Delisting adalah kebijakan yang dilakukan oleh bursa efek untuk mengeluarkan emiten dari
bursa, artinya saham-saham emiten tersebut sudah tidak tercatat lagi di bursa efek. Pada
dasarnya delisting berhubungan dengan fakta yang menunjukkan bahwa perusahaan tercatat
(di bursa efek) sesungguhnya memiliki kondisi ekonomi, likuiditas dan kepatuhan terhadap
peraturan pasar modal yang lebih buruk dari kondisi sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa
perusahaan yang terkena delisting memiliki masalah serius.
Terdapat beberapa indikator yang dijadikan pegangan dalam menilai kondisi delisting.
Misalnya, dalam hal laporan perkembangan usaha setiap bulan, indikator yang perlu
diperhatikan mulai dari kepatuhan melakukan kewajiban dalam bentuk laporan keuangan dan
laporan kejadian-kejadian penting perusahaan, frekuensi dan volume transaksi, jumlah
pemegang saham, hingga kapitalisasi pasar. (Infobank, 2000).
Kriteria Delisting
Bursa menghapus pencatatan saham emiten sesuai dengan ketentuan peraturan ini apabila
emiten mengalami minimal satu kondisi di bawah ini :
1. Selama 3 tahun berturut-turut menderita kerugian atau terdapat saldo rugi sebesar 50% atau lebih dari modal disetor dalam neraca perusahaan pada tahun terakhir.
2. Selama 3 tahun berturut-turut tidak membayar dividen tunai (untuk saham), melakukan 3 kali cidera janji (untuk obligasi).
3. Jumlah modal sendiri kurang dari Rp 3 miliar. 4. Jumlah pemegang saham kurang dari 100 pemodal (orang/badan) selama 3 bulan
berturut-turut berdasarkan laporan bulanan emiten/BAE (1 pemidal sekurang-kurangnya memiliki 1 satuan perdagangan/500 saham).
5. Selama 6 bulan berturut-turut tidak terjadi transaksi. Laporan keuangan disusun tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan ketentuan yang ditetapkan BAPEPAM.
6. Melanggar ketentuan bursa pada khususnya dan ketentuan Pasar Modal pada umumnya. 7. Melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kepentingan umum berdasarkan
keputusan instansi berwenang. 8. Emiten dilikuidasi baik karena merger, penggabungan, bangkrut, dibubarkan (reksadana)
atau alasan lainnya. 9. Emiten dinyatakan pailit oleh pengadilan. 10. Emiten menghadapi gugatan/perkara/peristiwa yang secara material mempengaruhi
kondisi dan kelangsungan hidup perusahaan. 11. Khusus untuk emiten reksadana, NAV turun menjadi kurang dari 50% dari nilai perdana
yang disebabkan kerugian operasional.
Prosedur Delisting
Bila emiten mengalami minimal satu kali kondisi delisting, yaitu :
a. Pernyataan pendaftarannya dibatalkan atau dibekukan oleh Bapepam. b. Emiten mengalami merger atau c. Akuisisi atau d. Emiten dilikuidasi maka Bursa paling lambat pada hari Bursa berikutnya mengumumkan
di lantai Bursa tentang pengumuman penghapusan pencatatan saham tersebut.
Multiple Discriminant Analysis
Pada dasarnya Multiple Discriminant Analysis (MDA) dapat dipergunakan untuk mengetahui
variabel-variabel penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada, juga dapat
dipergunakan sebagai kriteria pengelompokkan. MDA dilakukan berdasarkan perhitungan
statistik terhadap pengelompokkan yang terlebih dahulu diketahui secara jelas dan mantap
dalam pengelompokkan. MDA secara umum adalah Z = V1(X1) + V2(X2) + …..+ Vn(Xn)
dimana V1 dan V2 adalah parameter sedangkan X1, X2 ,…. Xn merupakan rasio-rasio keuangan
yang berkontribusi pada model prediksi.
2. Multiple Discriminant Analysis Altman
Multiple Discriminant Analysis Altman atau yang biasa disebut Z-Score Model Altman
menggunakan rasio keuangan yang mencakup rasio likuiditas perusahaan seperti rasio lancar,
rasio leverage perusahaan seperti rasio hutang terhadap modalnya, rasio profitabilitas seperti
rasio laba bersih terhadap modal atau akumulasi laba ditahan. Dengan mendasarkan rasio
kepada rasio keuangan tersebut, Z-Score Model Altman berhasil dipergunakan untuk
mengklasifikasikan perusahaan kedalam kelompok yang memiliki kemungkinan tinggi untuk
mengalami kebangkrutan atau kelompok perusahaan yang memiliki kemungkinan mengalami
kebangkrutan rendah. Z-Score Model Altman memungkinkan untuk memperkirakan
kebangkrutan sampai dua tahun sebelum tiba saatnya. Menurut (Altman, 1968: 19), Z-Score
Model Altman adalah sebagai berikut :
Z=0.012X1+0.014X2+0.033X3+0.006X4+0.999X5 Keterangan:
X1 = Working Capital/Total Assets
X2 = Retained Earnings/Total Assets
X3 = Earnings Before Interest and Taxes/Total Assets
X4 = Market Value Equity/book value of total liabilities
X5 = Sales/Total Assets
Z = overall index (Z-Score)
Z = overall index
Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z yang diperoleh, yaitu
:
Apabila Z > 2,67 maka termasuk perusahaan sehat.
Apabila Z < 1,81 maka termasuk dalam perusahaan bangkrut.
Apabila nilai 1,81 < Z < 2,67 maka termasuk dalam grey area atau dapat dikatakan perusahaan berada dalam zona rawan kebangkrutan.
Berdasakan penelitian lebih lanjut persamaan Z-Score Model Altman
mengalami revisi dan membentuk persamaan baru, yaitu:
Z’ = 0.717(X1) + 0.847(X2) + 3.107(X3) + 0.420(X4) + 0.998(X5)
Keterangan:
X1 = Working Capital/Total Assets
X2 = Retained Earnings/Total Assets
X3 = Earnings Before Interest and Taxes/Total Assets
X4 = Market Value Equity/book value of total liabilities
X5 = Sales/Total Assets
Z = overall index (Z-Score)
Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z yang diperoleh, yaitu
:
Bila nilai Z > 2,9 maka perusahaan dapat dikatakan masuk dalam kategori sehat.
Bila nilai Z < 1,21 maka perusahaan masuk dalam kategori bangkrut.
Bilai 1,21 < Z < 2,9 maka termasuk dalam zona grey area (perusahaan berada dalam zona rawan kebangkrutan). (Altman, 1983).
3. Rasio Keuangan Dalam Z-Score Model Altman
Secara ringkas rasio-rasio keuangan dalam Multiple Discriminant Analysis Altman ditunjukkan
oleh tabel berikut :
Tabel 1. Ringkasan Multiple Discriminant Analysis Altman
Nama Rasio Metode Perhitungan
Rasio Likuiditas Working Capital/Total Assets
Rasio Profitabilitas Retained Earnings/Total Assets
Earnings Before Interest and Taxes/Total Assets
Rasio Leverage Market Value Equity/book value of total liabilities
Rasio Aktivitas Sales/Total Assets
Klasifikasi Pengamatan Dengan Multiple Discriminant Analysis
Pengklasifikasian kesehatan keuangan perusahaan berdasarkan nilai Z-Score sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Z-Score Altman
Nilai Z Kelompok (Peluang Besar)
> 2,9 Berpeluang sehat
1,2 < Z <2,9 Berpeluang di ambang kebangkrutan
< 1,2 Berpeluang bangkrut
Sumber: Altman, 1983
Pengertian Kebangkrutan
Kebangkrutan/bankruptcy menurut Downes dan Goodman (2000: 41), merupakan situasi
dimana kewajiban perusahaan lebih besar daripada nilai aktivannya dengan kata lain tidak
mampu untuk membayar kewajibannya/ hutang. Kebangkrutan ada dua jenis yaitu:
1. Equity Insolvency yang berarti ketidakmampuan untuk membayar ketika jatuh tempo. 2. Bankruptcy Insolvency yang berarti memiliki total utang yang melebihi nilai wajar asetnya.
Perusahaan debitor yang mengalami equity insolvency memiliki kemungkinan untuk menghindari kebangkrutan dengan menegosiasikan perjanjian secara langsung dengan kreditornya. Sedangkan perusahaan debitor yang mengalami bankruptcy insolvency akan dilikuidasi dibawah pengawasan pengadilan.
Komponen Prediksi Kebangkrutan
Salah satu penelitian prediksi kebangkrutan dilakukan oleh Beaver (1966) dengan
menggunakan enam kelompok rasio keuangan yang dianalisa dengan menggunakan metode
univariate. Tiap rasio dilihat kekuatan prediksinya. Adapun rasio yang digunakan yaitu cash flow
ratios (4 rasio), net income ratios (4 rasio), debt to total assets ratios (3 rasio) dan turnover ratios (11
rasio). Hasilnya menunjukkan bahwa cash flow ratio merupakan predictor yang paling kuat.
Kemudian penelitian prediksi kebangkrutan juga dilakukan oleh Edward Altman (1968)
dengan menggunakan metode Multiple Discryminant Analysis (MDA). Altman mengambil
sampel 66 perusahaan yang dibagi menjadi 2 kelompok perusahaan yang bangkrut dan tidak
bangkrut. Digunakan lima rasio keuangan yaitu : working capital/total assets, retained
earnings/total assets, earnings before interest and taxes/total assets, market value equity/book value of total
liabilities, dan sales/total assets.
Hasil pengamatan Altman (1968) yang menggunakan data-data keuangan dari 66 perusahaan
manufaktur menghasilkan data yang menunjukkan bahwa 33 perusahaan diantaranya
mengalami kebangkrutan. Berdasarkan hasil perhitungannya, Altman mendapatkan 22 rasio
keuangan dan 5 diantaranya merupakan rasio keuangan yang paling memberi kontribusi pada
model prediksinya, yaitu rasio X1, rasio X2, rasio X3, rasio X4, dan rasio X5.
Kondisi perbankan Indonesia saat ini sedang dalam tahap uji ketahanan terhadap krisis
keuangan global yang melanda. Sejak krisis keuangan tahun 1998 terjadi Bank Indonesia
selaku pengawas kegiatan perbankan mengeluarkan beberapa kebijakan perbankan guna
menghindarkan krisis serupa di masa yang akan datang, antara lain mencegah kredit macet
sektor perbankan yang akan menyebabkan likuiditas terganggu. Akibat dari krisis moneter
1998 yang lalu pemerintah harus melikuidasi 16 bank. Tindakan ini merupakan salah satu
langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah selaku otoritas moneter guna menyehatkan
sektor keuangan, khususnya perbankan. Likuidasi asset perbankan bermasalah tentu
mempengaruhi kegiatan di Bursa Saham. Otoritas Bursa akan segera melakukan
penghapusan saham terhadap perbankan yang dinyatakan terlikuidasi oleh Bank Indonesia,
delisting atau penghapusan saham akan diumumkan di lantai bursa sehari setelah keputusan
likuidasi/bangkrut diumumkan.
Altman menggunakan beberapa rasio keuangan yang dianggap penting dan menggabungkannya dengan nilai diskriminan, sehingga sering disebut discriminant analysis Altman atau analisis diskriminan Altman. Analisis ini akan menghasilkan nilai Z atau Z-Score yang akan menentukan ambang batas (cut off) suatu perusahaan. Analisis Z-Score Altman digunakan untuk memprediksi kebangkrutan yang dapat memperkirakan kondisi keuangan perusahaan dan memiliki kemampuan peramalan dua tahun sebelum terjadinya kebangkrutan. Dengan beberapa rasio keuangan yang dianggap dapat memberikan gambaran kinerja perusahaan, seperti likuiditas, aktivitas, leverage dan profitabilitas yang telah digabungkan dengan alat analisis diskriminan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat akurasi prediksi kebangkrutan model Altman pada rentang 72%-80%. Sehingga diharapkan dua tahun sebelum terjadinya kebangkrutan pihak manajemen dapat segera mengambil tindakan guna meningkatkan kinerja perusahaan sehingga terhindar dari kebangkrutan. Penelitian mengenai prediksi kebangkrutan perbankan di Indonesia dengan analisis
diskriminan Altman yang lain dilakukan oleh Muhammad Akhyar dan Muhammad Iman
Taufiq (2001). Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan perbankan yang mengalami
likuidasi periode Maret 1999 yang berjumlah 25 lembaga perbankan dengan sampel
pembanding berjumlah sama yang masuk dalam kategori perbankan tidak terlikuidasi pada
periode Maret 1999. Hasil penelitian menggunakan analisis diskriminan Altman
menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara perbankan kategori terlikuidasi
dan perbankan kategori tidak terlikuidasi. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari
nilai-nilai rasio keuangan maupun hasil perhitungan nilai Z-Score dari hasil perhitungan
dengan model diskriminan Altman. Penelitian prediksi kebangkrutan menggunakan analisis
diskriminan Altman dengan sampel perbankan di Indonesia juga dilakukan oleh Fakhrurozie
(2007). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kebangkrutan perbankan dengan
analisis Z-Score Altman terhadap harga saham perbankan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia yang berjumlah 22 perusahaan perbankan dengan periode penelitian dari tahun
2003-2005. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh kebangkrutan bank dengan
model diskriminan Altman terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek
Jakarta.
Sedangkan penelitian yang dilakukan sebagai pembeda dengan penelitian sebelumnya adalah
berdasarkan kriteria pengambilan sampel perusahaan perbankan, yaitu sampel penelitian ini
adalah perbankan swasta nasional yang masuk dalam kategori delisting karena mengalami
kebangkrutan yang juga menjadi salah satu alasan Bursa Efek menghapus emiten dari bursa
saham, kemudian jumlah sampel perbankan delisting berjumlah 10 yang terjadi selama periode
2000-2005, dengan data penelitian yang diambil dari tiga tahun sebelum terjadi delisting, dan
sebagai variabel pembanding diambil sampel perusahaan perbankan swasta nasional kategori
non-delisting dengan jumlah sampel dan juga periode yang disesuaikan dengan kategori
perbankan delisting. Hasil penelitian menggunakan analisis diskriminan Altman menunjukkan
adanya perbedaan kondisi keuangan pada perbankan kategori delisting dan non-delisting,
sedangkan berdasarkan hasil uji analisis dengan alat uji Independent sample t-test, atau alat uji dua
sampel yang tidak saling berhubungan menunjukkan adanya perbedaan kondisi keuangan
yang cukup signifikan antara kedua kategori sampel penelitian, yaitu perbankan swasta
nasional kategori delisting dan non-delisting.
Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah asumsi atau dugaan mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk
menjelaskan hal yang memerlukan pengecekannya (Sudjana, 2002: 219). Dalam penelitian
komparasi diajukan hipotesis yang merupakan dugaan ada tidaknya perbedaan secara
signifikan nilai-nilai dua kelompok atau lebih.
Hipotesis yang diajukan adalah:
Ho : µ0 = µ1
Ha : µ0 ≠ µ1
Atau,
Ho : Tidak ada perbedaan kondisi keuangan perbankan swasta nasional kategori delisting dan
non-delisting menggunakan diskriminan Altman.
Ha : Terdapat perbedaan kondisi keuangan perbankan swasta nasional kategori delisting dan
non-delisting menggunakan diskriminan Altman.
C. METODE PENELITIAN
Data Dan Sampel
Populasi penelitian terdiri dari dua group perusahaan perbankan :
a. Perbankan swasta nasional yang delisting dari Bursa Efek Indonesia dan dinyatakan bangkrut periode 2000-2005.
b. Perbankan swasta nasional non-delisting dan masuk kategori perbankan sehat menurut Bank Indonesia selaku pengawas kegiatan perbankan jumlahnya disesuaikan dengan perbankan yang telah delisting.
Teknik Penarikan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan non probability random sampling dengan
metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan kriteria-kriteria:
1. Perbankan swasta nasional delisting dari Bursa Efek Indonesia dari tahun 2000-2005 karena telah dinyatakan bangkrut yang menurut data pengamatan dari berbagai sumber yang relevan berjumlah 10 bank dengan laporan keuangan 3 periode sebelum delisting.
2. Perbankan swasta nasional kategori non-delisting yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan masuk dalam kategori sehat dengan laporan keuangan berada dalam tahun dan jumlah yang sama dengan perbankan delisting karena dinyatakan bangkrut. Perusahaan ini merupakan sampel pembanding (control group).
3. laporan keuangan perusahaan yang digunakan tersedia lengkap selama periode sebelum delisting/bangkrut.
Berdasarkan teknik penarikan sampel diatas yang dianggap dapat mewakili
populasi dan memenuhi syarat adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Perbankan swasta nasional kategori delisting karena telah dinyatakan
bangkrut dan kategori non-delisting sebagai perbankan tidak bangkrut:
Bank Swasta Nasional Kategori
Delisting Tahun Bank Swasta Nasional
Kategori Non-Delisting
Bank Global 2005 Bank BCA
Bank Danpac 2004 Bank Artha Niaga
Bank Pikko 2004 Bank Bumiputera
Bank Asiatik 2004 Bank Nusantara
Bank Dagang Bali 2004 Bank Victoria
Bank Universal 2002 Bank Swadesi
Bank Rama 2000 Bank Buana
Bank Tamara 2000 Bank Mega
Bank Tiara Asia 2000 Bank NISP
Bank PDFCI 2000 Bank Pan Indonesia
(idx.co.id)
Variabel Penelitian
Variabel independen (X)
Variabel independen adalah variabel yang mem
pengaruhi variabel lain. Variabel independen dalam penelitian ini adalah nilai rasio keuangan
Z-Score Altman yang dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan kebangkrutan pada
perusahaan.
Variabel dependen (Y)
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, yaitu dipengaruhi oleh
variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kondisi keuangan
perusahaan perbankan kategori delisting dan non-delisting.
Teknik Analisis Data
Analisis Diskriminan Altman
Model yang digunakan untuk menganalisis kondisi keuangan perusahaan adalah Z-Score
Altman dengan rumusan :
Dimana:
X1 = Working Capital/Total Assets
X2 = Retained Earnings/Total Assets
X3 = Earnings Before Interest and Taxes/Total Assets
X4 = Market Value Equity/book value of total liabilities
X5 = Sales/Total Assets
Z = overall index (Z-Score)
D. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Analisis Diskriminan Altman
Z’ = 0.717(X1) + 0.847(X2) + 3.107(X3) + 0.420(X4) + 0.998(X5)
1. Multiple Discriminant Analysis Altman
Sebagai langkah awal proses analisis data dilakukan analisis diskriminan dengan
menggunakan Z-Score model Altman untuk menghitung nilai Z-Score perusahaan perbankan
swasta nasional yang delisting karena mengalami kebangkrutan pada periode 3 tahun sebelum
kebangkrutan dan perusahaan perbankan swasta nasional non-delisting yang masuk dalam
kategori sehat.
Metode perhitungan Multiple Discriminant Analysis Altman adalah sebagai berikut
Keterangan:
X1 = Working Capital/Total Assets
X2 = Retained Earnings/Total Assets
X3 = Earnings Before Interest and Taxes/Total Assets
X4 = Market Value Equity/book value of total liabilities
X5 = Sales/Total Assets
Z = overall index (Z-Score)
Tabel 5. Klasifikasi Z-Score Altman
Z’ = 0.717(X1) + 0.847(X2) + 3.107(X3) + 0.420(X4) + 0.998(X5)
Nilai Z Kelompok (Peluang Besar)
> 2,9 Berpeluang sehat
1,2 < Z <2,9 Berpeluang di ambang kebangkrutan
< 1,21 Berpeluang bangkrut
2. Uji variabel
Tahap selanjutnya adalah menganalisis variabel-variabel yang dominan mendeskripsikan
kedua group (delisting dan non-delisting) dari 10 (sepuluh) perusahaan perbankan swasta
nasional kategori delisting dari Bursa Efek Indonesia karena mengalami kebangkrutan sejak
tahun 2000 hingga 2005 dan
10 (sepuluh) perusahaan perbankan swasta nasional non-delisting sebagai kategori perbankan
tidak bangkrut serta melakukan uji beda t-test untuk dua sampel independen terhadap hasil
perhitungan nilai Z-Score dari kedua kategori sampel perbankan swasta nasional.
3. Analisis Deskriptif
Hasil dan Pembahasan Perbankan Swasta Nasional Kategori Delisting Dengan
Diskriminan Altman
Berdasarkan analisis data perusahaan pebankan swasta nasional kategori delisting di Bursa
Efek Indonesia diperoleh hasil perhitungan rasio-rasio keuangan pada setiap sampel bank,
yaitu untuk rasio working capital tertinggi diperoleh dapat terlihat bahwa semua bank yang
delisting karena dinyatakan bangkrut mempunyai nilai Z-Score yang sangat rendah yaitu hanya
sekitar -11.09 sampai dengan 0.26. Rendahnya nilai Z-Score ini disebabkan oleh rendahnya
nilai dari variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan model Altman yaitu variabel
Working Capital/Total Assets, Retained Earning/Total Assets, Earning Before Taxes/Total Assets,
Market Value Equity/Book Value Of Total Debt dan variabel Sales/Total Assets. Dari kelima
variabel yang terdapat dalam formula Altman, nilai Working Capital/Total Assets yang
menunjukkan rasio likuiditas merupakan variabel terpenting yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya.
Bank Tiara Asia yang mengalami nilai Working Capital/Total Assets yang negatif selama tiga
tahun berturut-turut pada tahun 1997,1998, dan 1999 yaitu, -0.0022, -1.116 dan -0.034,
sedangkan Bank Tamara dan Bank Rama mengalami nilai rasio likuiditas negatif selama dua
tahun berturut-turut masing-masing, -1.96, -0.58, -0.185, -0.0932 untuk tahun 1998 dan 1999.
Kedua bank mengalami rasio likuiditas yang negatif, sebelum dua tahun dinyatakan bangkrut
dan delisting. Bank Pikko juga mengalami nilai rasio likuiditas yang didapat dari Working
Capital/Total Assets negatif pada tahun 2002 dan 2003, yaitu masing-masing -0.014, -0.102.
Bank Danpac hanya mengalami satu kali rasio likuiditas bernilai negatif pada tahun 2001
sebesar -0.21 , Bank Universal pada tahun 2001 yaitu, sebesar -0. 019, dan Bank PDFCI
sebesar -1.03 pada tahun 1998, sedangkan Bank Global tidak pernah mengalami rasio
likuiditas bernilai negatif, namun terlalu rendah sebesar 0.0082, 0.01, dan 0.08 pada tahun
2002, 2003 dan 2004. Bank Asiatik memiliki rasio likuiditas pada tahun 2001, 2002, dan 2003
sebesar, 0.07, 0.08 dan 0.14. Bank Dagang Bali memiliki rasio likuiditas pada tahun 2001,
2002, dan 2003 sebesar 0.029, 0.03 dan 0.03. Dari nilai Z-Score yang diperoleh oleh setiap
bank, pada umumnya kelompok bank yang mengalami delisting cenderung fluktuatif atau
tidak konsisten untuk setiap periode yang berbeda karena terkadang mengalami kenaikan dan
kemudian mengalami penurunan.
Perbankan delisting yang mempelihatkan kecenderungan nilai Z-Score yang tidak terlalu
memiliki perbedaan yang signifikan hanyalah Bank Asiatik Tbk sebesar 0.18, 0.20 dan 0.16,
sedangkan untuk bank lainnya seperti Bank Global Bank Danpac, Bank Pikko, Bank Dagang
Bali, Bank Universal, Bank Tiara Asia, Bank PDFCI, Bank Tamara dan Bank Rama
cenderung tidak stabil dan mengalami penurunan. Bank Tiara Asia, Bank PDFCI, Bank
Tamara dan Bank Rama, keempat bank yang mengalami kecenderungan ketidakstabilan nilai
Z-Score ini dikarenakan keempat bank mengalami krisis moneter tahun 1998, yang
diperlihatkan hasil negatif nilai Z2 yang menunjukkan hasil perhitungan Z-Score pada tahun
1998, masing-masing sebesar -11.09, -9.59, -9.47 dan -1.34. Selain keempat bank tersebut,
untuk nilai Z2 yang bernilai negatif adalah Bank Universal yang dialami pada tahun 2000,
sebesar -0.32. Untuk nilai Z3 keempat bank tersebut tetap memiliki nilai Z-Score yang negatif,
bahkan Bank Tiara Asia mengalami kenaikan nilai negatif pada tahun 1999 sebesar -11.65.
Bank PDFCI sebesar -3.72, Bank Tamara sebesar -7,35, dan Bank Rama sebesar -0.42. Selain
keempat bank tersebut, yang mengalami negatif nilai Z3 adalah Bank Pikko pada tahun 2003
sebesar -0.05 dan juga Bank Universal pada tahun 2001 sebesar -0.33.
Nilai Z-Score tertinggi dicapai oleh Bank Global Internasional Tbk pada tahun 2003 sebesar
0.26 sedangkan nilai terendah dialami oleh Bank Tiara Asia Tbk pada tahun 1999 sebesar -
11.65. Sedangkan untuk kombinasi nilai Z-Score tertinggi adalah Bank Asiatik dengan nilai
0.18, 0.20 dan 0.16, dan kombinasi
Z-Score terendah karena mengalami tiga tahun berturut-turut nilai Z-Score yang negatif adalah
Bank Universal dengan nilai masing-masing Z-Score adalah sebesar -0.07, -0.32 dan -0.33.
Jika melihat titik terendah dan titik tertinggi dari nilai Z-Score yang dicapai oleh perbankan
delisting tersebut sangat jelas adanya perbedaan nilai-nilai yang cukup besar untuk mencapai
titik tertinggi atau nilai terendah dalam Z-Score yang dimaksudkan oleh formula Altman yaitu
1.21.
Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai Z-Score yang dicapai oleh semua perbankan yang
delisting masih lebih kecil dari 1.21 yang berarti semua bank tersebut berada dalam kondisi
kesulitan keuangan yang sudah cukup parah yang berujung pada akan terjadinya
kebangkrutan terhadap bank-bank tersebut.
Hasil dan Pembahasan Perbankan Swasta Nasional Kategori Non-Delisting Dengan
Diskriminan Altman
Hasil analisis dan perhitungan rasio-rasio keuangan pada setiap sampel bank swasta nasional
yang masuk dalam kategori non-delisting memiliki nilai Z-Score yang bervariasi . Secara umum
nilai Z-Score dari bank-bank yang masuk kategori non-delisting tersebut, memiliki tingkat
perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan nilai-nilai Z-Score dari kelompok
bank delisting. Bila dari kelompok bank delisting nilai Z-Score tertinggi adalah 0.26, maka pada
kelompok bank yang masuk kategori non-delisting nilai Z-Score terendah adalah 0.20 yang
dialami oleh Bank Victoria Tbk pada tahun 2003 sedangkan nilai Z-Score tertinggi sebesar
0.93 yang dicapai oleh Bank Mega pada tahun 1998.
Kondisi rasio likuiditas yang didapat dari Working Capital/Total Assets juga tidak ada yang
bernilai negatif. Hal lain yang juga menarik perhatian adalah hasil perhitungan Z-Score
menunjukkan hasil yang stabil bahkan cenderung mengalami peningkatan pada bank
kelompok non-delisting. Bank yang mencapai nilai Z-Score yang stabil antara lain, Bank Central
Asia Tbk sebesar 0.35, 0.34, 0.34 pada tahun 2002, 2003 dan 2004, dan Bank NISP Tbk
sebesar 0.60, 0.67 dan 0.67 pada tahun 1997, 1998 dan 1999, sedangkan bank yang
mengalami peningkatan nilai Z-Score adalah Bank Artha Niaga Tbk sebesar 0.55, 0.56, 0.57
pada tahun 2001, 2002, 2003, Bank Swadesi Tbk sebesar 0.49, 0.52, 0.55 pada tahun 1999,
2000, dan 2001, dan Bank Pan Indonesia 0.59, 0.63, 0.67 pada tahun 1997, 1998 dan 1999.
Bank yang mengalami variasi nilai Z-Score adalah, Bank Bumiputera Tbk sebesar 0.46, 0.26
dan 0.30 pada tahun 2001, 2002 dan 2003, Bank Victoria Tbk sebesar 0.22, 0.34, 0.20 pada
tahun 2001, 2002 dan 2003, Bank Buana Tbk sebesar 0.37, 0.49, 0.42 pada tahun 1999,
2000, 2001 dan Bank Mega Tbk 0.61, 0.93 dan 0.53. Bank yang mengalami penurunan nilai
Z-Score adalah Bank Nusantara Tbk sebesar 0.24, 0.23, dan 0.22 pada tahun 2001, 2002 dan
2003.
Jika melihat titik tertinggi dan titik terendah nilai Z-Score yang dicapai oleh
kelompok bank kategori non-delisting, sangat jelas adanya perbedaan nilai
Z-Score yang dicapai dari kelompok bank kategori non-delisting. Apalagi jika dibandingkan
dengan nilai Z-Score perbankan pada masa krisis ekonomi 1998. Perbankan kategori non-
delisting bahkan mampu mencapai nilai tertinggi pada tahun tersebut, yaitu Bank Mega
meskipun harus mengalami penurunan pada tahun berikutnya, bahkan Bank Pan Indonesia
tidak begitu terpengaruh karena pada tahun berikutnya justru mengalami kenaikan nilai Z-
Score. Walaupun demikian, nilai-nilai Z-Score dari kelompok bank kategori non-delisting masih
berada dibawah nilai Z-Score 1,21 yang berarti bahwa bank-bank tersebut masih mungkin
mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi pada kebangkrutan.
Jika diperhatikan kebanyakan rata-rata nilai Z-Score mengalami kenaikan ataupun penurunan
yang tidak terlalu signifikan, hal ini dapat dianggap sebagai indikator adanya keinginan pihak
manajemen bank berusaha memperbaiki kinerjanya.
Pada wilayah grey area ini memang dituntut adanya tindakan perbaikan untuk membawa
perusahaan kepada kondisi yang lebih menguntungkan. Meskipun demikian, perbankan yang
masuk dalam kategori non-delisting tetap mampu menjalankan kegiatan usahanya, walau
secara keseluruhan berada dalam zona potensi bangkrut, yaitu nilai Z-Scorenya berada
dibawah 1,20. Hal ini dikarenakan pemerintah dengan kebijakan Bank Indonesia sebagai
pengawas kegiatan perbankan tidak menggunakan rasio keuangan model diskriminan
Altman, melainkan menggunakan rasio keuangan model lain yang telah ditetapkan, tetapi
berdasarkan analisis data uji statistik dengan dua sampel tidak saling berhubungan dapat
dilihat kondisi keuangan lembaga perbankan yang menggunakan analisis diskriminan Altman
memiliki perbedaan yang signifikan antara kategori delisting dan non-delisting, sehingga analisis
diskriminan Altman dapat juga digunakan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan
perbankan swasta nasional.
Tabel 6. Hasil Perhitungan Nilai Z-Score Perbankan Swasta Nasional Kategori
Delisting dan Non-delisting
Hasil Perhitungan
Nilai Z-Score
No Nama Bank Keterangan Tahun Z1 Z2 Z3
1 Bank Global
Delisting
(bangkrut) 2005 0,24 0,26 0,07
2 Bank Central Asia
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2005 0,35 0,34 0,34
3 Bank Danpac
Delisting
(bangkrut) 2004 0,10 0,04 0,17
4 Bank Pikko
Delisting
(bangkrut) 2004 0,03 0,10 -0,05
5 Bank Asiatik
Delisting
(bangkrut) 2004 0,18 0,20 0,16
6 Bank Dagang Bali
Delisting
(bangkrut) 2004 0,09 0,08 0,02
7 Bank Artha Niaga
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2004 0,55 0,56 0,57
8 Bank Bumiputera
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2004 0,46 0,26 0,30
9 Bank Nusantara
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2004 0,24 0,23 0,22
10 Bank Victoria
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2004 0,27 0,34 0,20
11 Bank Universal
Delisting
(bangkrut) 2002
-
0,07 -0,32 -0,33
12 Bank Swadesi
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2002 0,49 0,52 0,55
13 Bank Tiara Asia
Delisting
(bangkrut) 2000 0,08
-
11,09
-
11,65
14 Bank Pdfci
Delisting
(bangkrut) 2000 0,11 -9,59 -3,72
15 Bank Tamara
Delisting
(bangkrut) 2000 0,22 -9,47 -7,35
16 Bank Rama
Delisting
(bangkrut) 2000 0,21 -1,34 -0,42
17 Bank Buana
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2000 0,37 0,49 0,42
18 Bank Mega
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2000 0,61 0,93 0,53
19 Bank Nisp
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2000 0,60 0,67 0,67
20 Bank Pan Indonesia
Non-delisting
(tidak
bangkrut) 2000 0,59 0,63 0,67
Analisis Statistik
Berdasarkan hipotesis yang diajukan, yaitu terdapat perbedaan kondisi keuangan perbankan
swasta nasional kategori delisting dan kategori non-delisting dengan menggunakan diskriminan
Altman, maka Ha : µ1 ≠ µ2. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan dari dua sampel
penelitian maka dilakukan analisis statistik sebagai berikut:
Uji Normalitas Data
Uji normalitas data merupakan hal yang lazim dilakukan sebelum sebuah metode statistik
diterapkan. Uji normalitas data diperuntukkan untuk melihat apakah terdapat beberapa
sampel yang telah diambil berasal dari populasi yang sama (populasi data berdistribusi
normal) dan juga untuk melihat apakah sampel-sampel tersebut memiliki varians yang sama.
Output hasil uji normalitas data ini akan menjelaskan distribusi data normal atau tidak.
Pedoman pengambilan keputusan :Jika nilai Sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas <
0.05, maka distribusi adalah tidak normal. Jika nilai Sig. atau signifikansi atau nilai
probabilitas > 0.05, maka distribusi adalah normal.
Tabel 7. Hasil uji normalitas untuk nilai Z-Score tiga tahun sebelum delisting
Tests of Normality
Kondisi
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Z1 delisting .143 10 .200* .939 10 .543
non-
delisting .158 10 .200* .909 10 .272
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true
significance.
Tabel 8. Hasil uji normalitas untuk nilai Z-Score dua tahun sebelum delisting
Tests of Normality
Kondisi
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Z2 delisting .343 10 .200* .983 10 .625
non-
delisting .167 10 .200* .944 10 .594
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true
significance.
Tabel 9. Hasil uji normalitas untuk nilai Z-Score satu tahun sebelum delisting
Tests of Normality
Kondisi
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Z3 delisting .378 10 .200* .981 10 .623
non-
delisting .186 10 .200* .907 10 .262
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true
significance.
Dari ketiga uji normalitas yang dilakukan pada masing-masing periode delisting, yaitu tiga
tahun sebelum delisting, dua tahun sebelum delisting dan satu tahun sebelum delisting, dapat
dilihat bahwa setiap sampel data terdistribusi secara normal, seperti pada tiga tahun sebelum
delisting atau ditunjukkan pada Z1, uji Kolmogorov Smirnov didapat baik perbankan dengan
kondisi delisting dan non-delist masing-masing memiliki tingkat signifikansi diatas 0.05
(0.200 dan 0.200 lebih besar dari 0.05), maka dapat dikatakan distribusi kedua sampel adalah
normal. Sedangkan untuk uji Shapiro Wilk, baik untuk kondisi perbankan delisting dan non-
delisting tingkat signifikansi juga berada diatas 0.05
( 0.543 dan 0.272). Begitu pula pada periode dua tahun sebelum terjadi delisting, distribusi
data hasil uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan tingkat signifikansi pada kondisi
perbankan delisting dan non-delisting masing-masing sebesar 0.200 dan 0.200, sedangkan untuk
hasil uji Shapiro Wilk baik untuk kondisi perbankan delisting dan non-delisting tingkat
signifikansi sebesar 0.625 dan 0.594, keduanya berada diatas tingkat signifikansi 0.05 yang
mengindikasikan bahwa sampel data pada dua tahun sebelum delisting adalah berdistribusi
normal.
Untuk satu tahun sebelum terjadi delisting pada hasil uji Kolmogorov Smirnov tidak terjadi
perubahan pada tingkat signifikansi masing-masing kondisi perbankan baik delisting maupun
non-delisting sama-sama sebesar 0.200, hasil ini masih berada diatas tingkat signifikansi data
berdistribusi normal yaitu > 0.05. Hasil uji Shapiro Wilk untuk satu tahun sebelum delisting
pada kategori perbankan non-delisting tingkat signifikansi sebesar 0.623 dan untuk perbankan
kategori delisting tingkat signifikansi sebesar 0.26, keduanya berada diatas syarat tingkat
signifikansi data berdistribusi normal, yaitu 0.05.
2. Uji Beda Dua Sampel Tidak Berhubungan (Independent Sample t-test)
Setelah melakukan uji normalitas maka dapat dilakukan uji statistik berikutnya, berdasarkan
hipotesis penelitian atau dugaan penelitian sementara pada penelitian ini adalah, Ha : µ1 ≠ µ2
yang artinya terdapat perbedaan antara dua sampel penelitian yang tidak saling berhubungan
dalam hal ini sampel penelitian adalah perbankan delisting dan non-delisting, maka untuk
melihat apakah terdapat perbedaan pada dua rata-rata sampel yang tidak saling berhubungan
(independent) maka dilakukan uji beda dua sampel tidak berhubungan atau Independent Sampel t-
test. Tujuan dilakukan uji beda dua sampel independen adalah untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan rata-rata antara dua sampel. Uji beda yang dilakukan adalah dengan
menggunakan uji beda t-test karena sampel penelitian memiliki jumlah < 30 (n < 30),
tepatnya n = 20, dengan sebaran sampel perbankan swasta nasional kategori delisting dan
non-delisting masing-masing berjumlah 10.
Tabel 10. Hasil uji statistik Independent sample t-test nilai Z-Score tiga tahun
sebelum terjadi delisting
Group Statistics
Kondisi N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Z1 delisting 10 .1290 .09803 .03100
non-
delisting 10 .4530 .13833 .04374
Tabel 11. Hasil uji statistik Independent sample t-test nilai Z-Score dua tahun
sebelum terjadi delisting
Group Statistics
Kondisi N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Z2 delisting 10 -3.1130 4.82762 1.52663
non-
delisting 10 .4970 .21510 .06802
Tabel 12. Hasil uji statistik Independent sample t-test nilai Z-Score satu tahun
sebelum terjadi delisting
Group Statistics
Kondisi N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Z3 delisting 10 -2.3100 4.09023 1.29345
non-
delisting 10 .4420 .17925 .05668
Hasil Uji Variabel dengan mengunakan Independent t-test terhadap nilai Z-Score dari perbankan
delisting dan non-delisting menunjukkan adanya perbedaan. Hasil uji statistik untuk nilai Z1,
yaitu tiga tahun sebelum delisting menunjukkan mean sebesar 0.1290 dan diperoleh p-value
(probabilitas signifikansi) adalah sebesar 0.001 (two tail) lebih kecil dari α = 0.05. Hasil ini
menunjukkan bahwa adanya perbedaan kondisi keuangan yang signifikan antara perbankan
kategori delisting dan non-delisting dengan analisis diskriminan model Altman. Untuk nilai Z2,
yaitu dua tahun sebelum delisting menunjukkan mean sebesar -3.1130 dengan hasil p-value
(probabilitas signifikansi) adalah sebesar 0.030 (two tail) lebih kecil dari α = 0.05. Hasil ini
menunjukkan bahwa adanya perbedaan kondisi keuangan yang signifikan antara perbankan
delisting dan non-delisting dengan analisis diskriminan model Altman. Sedangkan untuk nilai
Z3 yaitu setahun sebelum delisting menunjukkan mean sebesar 2.3100 dengan hasil p-value
(probabilitas signifikansi) adalah sebesar 0.048 (two tail) lebih kecil dari α = 0.05. Hasil ini
menunjukkan bahwa adanya perbedaan kondisi keuangan yang signifikan antara perbankan
delisting dan non-delisting dengan analisis diskriminan model Altman.
Atas dasar analisis kondisi keuangan dengan model diskriminan Altman dan uji statistik
dengan alat uji independent sample t-test yang dilakukan, ternyata ditemukan adanya fenomena
perbedaan rata-rata yang signifikan kondisi keuangan perbankan swasta nasional kategori
delisting dan non- delisting. Indikasi ini menunjukkan kecenderungan perbankan swasta
nasional yang mengalami delisting akan mengalami kebangkrutan yang lebih tinggi
dibandingkan perbankan swasta nasional kategori non-delisting. Asumsi yang dapat juga
mempercepat kemungkinan kebangkrutan adalah adanya
variabel-veriabel lain diluar penelitian ini antara lain :
1. Krisis ekonomi tahun 1998. 2. Pembelian dollar yang melebihi kebutuhan pasar, sehingga menggoyang nilai tukar
rupiah. 3. Keadaan pasar saham finansial khususnya perbankan yang cenderung fluktuatif dan
unpredictable (sulit diprediksi). 4. Adanya ras atau isu-isu yang terjadi berkaitan dengan kegiatan operasional perusahaan
perbankan sehingga kepercayaan masyarakat pada bank mulai terganggu mengakibatkan penarikan simpanan secara berlebihan.
E. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap laporan keuangan tiap kelompok bank, baik
kelompok bank swasta nasional kategori delisting maupun kelompok bank kategori non-
delisting, terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut dapat dilihat
dari nilai-nilai rasio keuangan yang dihasilkan oleh perhitungan nilai Z-Score model Altman
dan juga uji beda variabel independent sample t-test. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka
dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan :
1. Model diskriminan Altman dapat digunakan untuk mengetahui kondisi keuangan perbankan swasta nasional dengan nilai rasio keuangan sebagai alat bantu perhitungan dan juga dapat diimplementasikan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya delisting karena masalah kebangkrutan pada lembaga perbankan swasta nasional di Indonesia .
2. Hasil perhitungan Z-Score Altman berada di bawah nilai 1,2 namun untuk perbankan swasta nasional kategori delisting nilai tersebut cenderung mengalami penurunan sedangkan perbankan swasta nasional kategori non-delisting cenderung mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena perbankan swasta nasional melakukan perbaikan kinerja perusahaan, selain itu metode Altman tidak dijadikan sebagai acuan dalam menilai kinerja perbankan swasta nasional di Indonesia. Sedangkan dari hasil analisis uji statistik dengan alat uji independent sample t-test juga memperlihatkan perbedaan kondisi keuangan lembaga perbankan swasta nasional kategori delisting dan non-delisting. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang mencapai 0.001 pada dua tahun dan setahun sebelum periode delisting terjadi.
Saran
Berdasarkan simpulan diatas saran yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dalam menentukan prediksi kebangkrutan perbankan swasta nasional dengan menggunakan diskriminan Altman.
2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam menentukan kebijakan perencanaan perbankan swasta nasional.
3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi manajemen dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan yang dituntut selalu peka dalam berbagai perubahan iklim ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. Akhyar dan M. Taufiq. 2001. Analisis Ketepatan Prediksi Metode Altman
terhadap Terjadinya Likuidasi pada Lembaga Perbankan. Jurnal Akuntansi Vol. 5.
Jakarta.
Altman, Edward. 1986. Handbook of Corporate Finance. Chapter 19. New York.
________, Edward. 1983. Predicting Financial Distress of Companies: Revisiting The Z-
Score and Zeta Models. New York.
Djarwanto, Ps. 2001. Pokok-Pokok Analisis Laporan Keuangan. BPFE UGM. Yogyakarta.
Fakhrurozie. 2007. Analisis Pengaruh Kebangkrutan Bank Dengan Metode Z-Score Altman
terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Jakarta. Skripsi.
Semarang.
Ghazali, Imam.2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Badan Penerbit
Undip. Semarang.
Harahap, Sofyan Syafri. 2006. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo.2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan Manajemen. BPFE. Yogyakarta.
Mamduh M, Hanafi dan Abdul Halim. 2000. Analisis Laporan Keuangan, Edisi Pertama,
cetakan keempat. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Munawir, S. 2004. Analisa Laporan Keuangan, Edisi Keempat. Liberty.
Sundjaja, Ridwan dan Inge Barlian.2003. Manajemen Keuangan I Edisi Kelima. Gramedia.
Jakarta.
THE POWER 0F AMBIGUITY LEADERSHIP
Nurdiono
ABSTRACT
Motivated by the DanG,2008 article, this paper examines “the power of ambiguity leadership”. The subject
appointed from bad boss and god boss ambiguity that formed by leadership. A leader became ambiguous as
bad boss dan good boss because their competence and behavior. Effective leader has a capability to admit when
the difference exactly affect, and competence to bring influence effectively.
A. PENDAHULUAN
Makalah ini dibuat karena termotivasi oleh suatu artikel di majalah Leadership (Mei 2008)
topik yang diangkat berupa suatu observasi dari seorang pelanggan di suatu lokasi bengkel
kendaraan berikut ini cuplikan dari artikel tersebut (DanG, 2008):
Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Lampung
Breakfast Si Bad Boss
Rutin setiap bulan sekali, saya antre di sebuah bengkel besar dan terkenal untuk chek up
mobil baru saya. Saua senang dengan aktifitas rutin bengkel ini, pas dengan selera saya
mencintai mobil. Tetapi tidak hanya karena cinta pada mobil saya sehingga saya senang
berkunjung ke bengkel ini, tetapi karena saya senang mengamati! Obyek yang sedang saya
amati kali ini adalah aktifitas seorang manajer operasional di bengkel itu.
Setiap pagi hari sebelum masuk ruang kerja, saya lihat si manajer meraba setiap ujung meja
ruang tunggu tamu. Ia tidak pernah tidak menerawang satu persatu gelas-gelas air minum
yang berjejer rapid an kemudian selalu melongok ke bawah kursi-kursi. Ia menghabiskan dua
menit untuk memarahi office boy bila menemukan ada satu noda di gelas, ia menjewer pelan
telinga seorang perempuan staff resepsion sambil menunjuk beberapa kertas bekas yang
berserak di bawah meja kerjanya. Padahal kertas-kertas itu tidak terlihat oleh pandangan
tamu.
Hampir jam 8 pagi, sebelum jam bengkel buka, ia keluar ruang kerjanya dan berjalan pelan-
pelan kesetiap sisi paddock perawatan mobil. Ia mengambil beberapa kunci pas dan obeng
dari tool box. Sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku celannya, si manajer melap alat-
alat itu. Ia kemudian memanggil salah satu teknisi dari padock itu dan memarahinya. Seluruh
tehnisi bengkel yang sedang mempersiapkan peralatan kerjanya menyaksikan hal itu.
Sang manajer kemudian berjalan ke padhock berikutnya, dan kembali memeriksa satu persatu
peralatan dan ia tidak menemukan alat kotor. Saya tersenyum memperhatikan bahwa ia tidak
punya bahan apapun untuk marah-marah. Tetapi saya lihat kemudian ia menekan tombol
dongkrak elektrik dan menyaksikan dongkrak itu terangkat ke atas perlahan-lahan dengan
suara mendecit yang tidak biasa. Buru-buru ia mematikan tombol itu dan ia melihat si tehnisi
dengan kepala tertunduk malu menerima amarah pagi itu. Sang manajer itu kemudian
menepuk pundak si tehnisi, dan berjalan menuju paddock berikutnya.
Gaya si manajer yang mengherankan. Di depan seluruh staff ia bisa begitu keras dan tegas
tidak mentolerir satupun kesalahan kecil, tetapi bias sekaligus begitu ramah dan
menyenangkan bagi tamu-tamunya. Apakah si manajer ini termasuk golongan Bad Boss?
Apakah ia pemain sinetron yang bias memainkan dua karakter sekaligus?
Terlepas dari yang manapun pendapat anda, sebaiknya anda memiliki sebuah pemahaman
mengenai bagaimana cara pimpinan bekerja itu ditentukan oleh target yang lebih besar.
Sebuah investasi ditanamkan untuk membangun bengkel itu harus dikembalikan dalam
bentuk keuntungan dalam waktu yang sudah ditargetkan. Beban tanggung jawab pimpinan
lebih besar dari pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak ia lakukan sendiri. Maka dibentuklah
sebuah sistem yang mendelegasikan bagian-bagian pekerjaan kepada setiup unit atau staff-
staff bengkel, tetapi tanggung jawab sepenuhnya tetap pada si manajer.
Manajer bisa menerapkan model-model kepemimpinan yang bias berbeda-beda pada
kelompok orang yang berbeda, dan pada situasi yang berbeda pula. Para manajer
diidentikkan sebagai seorang yang disegani. Soalnya ia bertengger dilevel kekuasaan yang
tidak mudah dijangkau sembarang orang. Bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin,
entah karena warisan atau perjuangan, tetaplah ia seorang yang hareus mampu
mengendalikan.
Dalam tugasnya, seorang manajer bias menerapkan berbagai model kepemimpinan. Ia bisa
menjadi pengayom bagi anak buahnya. Seorang pemimpin terkadang perlu menjadi diktator,
tetapi kadang kala menjadi sangat egaliter. Inilah yang disebut situational leadership. Maka
seorang manajer dapat menjadi bad Boss, sekaligus menjadi nice Boss. Tergantung sudut
pandang anda.
Cuplikan artikel di atas selaras dengan pendapat dari Pfeffer, 1977 tentang polemik
ambiguitas seorang leadership, hal ini menimbulkan permasalahan bagaimana ambiguitas dari
seorang bad boss dan seorang good boos dapat terbentuk dari seorang leadership?
B. PENGEMBANGAN TEORI
Dengan masuknya konsep efisiensi dalam leadership model maka proses pengambilan
keputusan menjadi lebih sulit dan lebih kompleks. Logika efisiensi dapat diaplikasikan pada
level bawahan dan pada level ini dapat diperoleh penggunaan peralatan dengan efektif untuk
meningkatkan efisiensi dan control. Logika efisiansi keuntungan kekuatannya ketika
mencapai level pimpinan (top level of the pyramid) banyak expert yang teristance to change.
Pendekatan administrasi (karena awalnya, masalah leadership berhubungan dengan tehnik
administrasi) akhirnya mengarahkan perhatian pada “human relation”. Perhatian ini
berkembang menjadi pemahaman yang luas tentang mengapa orang bekerja dan bagaimana
mereka bias bekerja bersama terutama dalam setiap organisasi skala kecil. Dalam organisasi
seperti ini aspek psikologis dari komunikasi dan persepsi menempati penekanan yang utama.
Untuk melihat organisasi dalam skala yang lebih besar diperlukan pemahaman komprehensif
tentang organisasi social yaitu melihat organisasi sebgai suatu mefitasi.
Power tidak cukup untuk menjelaskan kefektifan leader dalam mempengaruhi orang-orang.
Leader berpengaruh pada prilaku dan keahlian yang harus dipertimbangkan juga jika kita
menginginkan untuk membuat pengaruh dalam pemahaman mengapa leader mempengaruhi
orang-orang. Leader yang efektif mempunyai kemampuan untuk mengakui ketika tipe
perbedaan berusaha mempengaruhi secara tepat, dan keahlian untuk membawa pengaruh
dengan cara yang efektif (Yukl, 1989)
The Ambiguity of the Concept
Kelley 1971 menyatakan bahwa individual akan berusaha untuk mengembangkan atribut
yang memberikan mereka perasaan untuk mengkontrol, kemudian penekanan atas leadership
dapat mengarah secara parsial dari arah kepercayaan yang efektif dan penting dari tindakan
individu sejak tindakan individu dapat lebih dikontrol dibandingkan variabel yang
konstekstual. Leader yang sukses dipersepsikan oleh anggota dari sistem sosial yang dapat
memisahkan diri sendiri dari kegagalan organisasi dan berhubungan dengan mereka sendiri
dari keberhasilan organisasi. Paling tidak ada tiga alasan mengapa dampak observasi terhadap
leader pada organisasi menghasilkan hasil yang sedikit:
1. posisi leadership itu diseleksi dan bisa jadi hanya yang pasti, gaya yang terbatas dari perilaku yang dapat dipilih.
2. Posisi leadership hanya sekali, terpisah dan perilaku leader dibatasi. 3. leader secara tipikal berdampak hanya pada sedikit variable yang dapat berakibat pada
kinerja organisasi
Homogeneity of Leaders
Orang-orang diseleksi untuk posisi leader. Sebagai konsekuensi dari proses seleksi perilaku
dirangking atau karakteritik ditunjukkan oleh leader yang dikurangi, hal ini membuat makin
banyak masalah yang secara empiris ditemukan sebagai dampak dari leadership. Begitu banyak
tipe yang membatasi proses seleksi, literature menunjukkan bahwa tendensi untuk orang-
orang yang menyukai mereka mempunyai persepsi yang sama.
Thompson dalam Yukl 1989 menyatakan leader dapat dipilih untuk mereka yang mempunyai
kapasitas yang menjanjikan dengan berbagai kemungkinan organisasi. Akhirnya penyeleksian
orang untuk posisi leadership berdampak terhadap proses seleksi itu sendiri. Organisasi dan
perannya menyediakan informasi tentang karakteristik mereka. Orang lebih menyukai untuk
menyeleksi diri mereka sendiri ke organisasi dan berperan atas dari dasar pilihan mereka
untuk dimensi organissasi dan kerekteristik peran yang dipersepsikan mereka sesuai dengan
keinginannya. Penyeleksian sendiri dari orang yang mempunyai keinginan untuk bekerja
dalam waktu yang lama dengan seleksi organisasi untuk membatasi kemampuan dan perilaku
dimana organisasi berperan.
Constraints on Leader Behavior
Analisis terhadap leader sering mengasumsikan bahwa gaya leader atau perilaku leader
merupakan variabel independen yang diseleksi atau ditraining untuk menyesuaikan dengan
hasil research apa yang optimal. Kemungkinan penggambaran tepatnya perilaku leadership
diasumsikan dengan training yang baik, secara tepat perilaku dapat dihasilkan. Tetapi leader
merupakan sistem sosial yang melekat, yang dibatasi oleh perilaku. Leader berperan
menyusunnya dimana anggota mempunyai ekspektasi untuk perilaku yang tepat dan orang-
orang dapat berusaha untuk memodifikasi perilaku leader. Tekanan untuk mengkonfirmasi
ekspektasi dari peer, bawahan dan atas semuanya relevan dalam penentuan perilaku aktual.
Tipe Perilaku Mempengaruhi
Bentuk prilaku mempengaruhi yang paling umum dalam organisasi adalah “permintaan yang
sederhana” yang didasarkan pada kekuasaan yang memiliki legitimasi Yukl (1989).
Kepatuhan target hanya terhadap permintaan yang sederhana dan jelas legitimasinya, relevan
untuk pekerjaan, dan sesuatu di mana seorang target tahu bagaimana cara mengerjakannya.
Akan tetapi, jika tindakan yang diminta tersebut tidak menyenangkan, menyulitkan, tidak
relevan, atau sulit untuk dikerjakan, reaksi target akan berupa perlawanan. Komitmen target
akan menjadi hasil yang tidak diinginkan untuk permintaan yang sederhana, kecuali dalam
kondisi yang menguntungkan. Untuk berbagai tipe upaya mempengaruhi perlu menggunakan
bentuk lain perilaku mempengaruhi yang disebut “taktik mempengaruhi proaktif”.
Berbagai studi telah mengidentifikasikan beberapa tipe berbeda dari taktik mempengaruhi
proaktif (Kipnis, Schmidt & Wilkinson, 1980 ; Mowday, 1978; Porter, Allen & Angel, 1981;
Yukl & Falbe, 1990) dalam Yukl (1989). Berdasarkan studi terakhirnya, Yukl dan para
koleganya telah mengidentifikasi-kan 11 taktik mempengaruhi proaktif yang relevan untuk
mempengaruhi bawahan, rekan sejawat dan atasan pada organisasi besar.
C. PEMBAHASAN
Persuasi Rasional
Persesuaian rasional harus menggunakan penjelasan, argument yang logis dan bukti yang
faktual untuk menunjukkan bahwa sebuah permintaan atau proposal memungkinkan dan
relevan untuk mencapai tujuan pekerjaan. Bentuk lemah dari persuasi rasional bisa meliputi
penjelasan singkat tentang alas an permintaan itu, atau penegasan yang tidak terdokumentasi
bahwa usulan perubahan itu diinginkan dan memungkinkan. Bentuk persuasi rasional yang
lebih kuat berisi penjelasan rinci mengenai alasan mengapa permintaan atau perubahan yang
diusulkan tersebut penting dan memperlihatkan bukti yang kuat bahwa proposal itu
memungkinkan.
Persuasi rasional sangatlah tepat bila target memiliki tujuan yang sama dengan manajer, tetapi
tidak mengetahui bahwa proposal itu adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan. Jika agen
dan target memiliki tujuan yang berbeda, maka persuasi rasional tidak akan berhasil untuk
mendapatkan komitmen target atau kepatuhannya. Bersama fakta dan logika, pertimbangan
rasional biasaya merupakan beberapa pendapat atau kesimpulan yang diharapkan agen agar
target mau menerima nilai yang dihadapinya karena tidak cukup bukti untuk memverikasinya.
Jadi, keberhasilan dalam mempengaruhi juga tergantung pada bagimana target merasa agen
itu merupakan sumber informasi, kesimpulan dan prediksi yang kredibel dan dapat dipercaya.
Memberi Penilaian
Dengan taktik ini agen menjelaskan mengapa permintaan atau proposal akan memberikan
keuntungan kepada target secara individual. Salah satu tipe keuntungan yang ditawarkan
adalah karier target, yang membantu memberikan kesempatan mempelajari ketrampilan baru,
bertemu dengan orang penting, atau meningkatkan kemampuan dan reputasi yang lebih baik.
Tipe keuntungan lainnya adalah membuat pekerjaan target itu menjadi lebih mudah atau
lebih menarik. Seperti persuasi rasional dan memberi penilaian sering menggunakan fakta
dan bukti logis, tetapi keuntungan yang dijelaskan lebih banyak bagi target dari pada bagi
organisasi. Tidak seperti taktik pertukaran, keuntungan yang akan diperoleh oleh target
adalah produk sampingan dari apa yang diminta agen, bukan yang akan agen berikan.
Menggunakan pemberian penilaian akan berhasil jika agen memahami kebutuhan target dan
bagaimana permintaan atau proposal itu relevan untuk memuaskan mereka. Kredibilitas agen
juga dibutuhkan untk keberhasilan penggunaan taktik ini.
Memberi Inspirasi
Taktik ini melibatkan emosi atau nilai yang didasarkan oleh daya tarik, berbeda dengan
argument logis yang digunakan dalam persuasi rasional. Memberi inspirasi adalah upaya
untuk membangun antusiasme dan komitmen dengan membentuk emosiyang kuat dan
menghubungkan sebuah permintaan atau proposal dengan kebutuhan, nilai, harapan, dan
idealism bagi seseorang.
Dasar untuk memberi inspirasi orang lain adalah keinginan orang itu untuk menjadi orang
penting, merasa berguna, mengembangkan dan menggunakan ketrampilan mereka,
menyelesaikan sesuatu yang berharga, memperlihatkan prestasi yang terbaik, menjadi anggota
tim terbaik, atau berpartisipasi dengan dukungan penuh untuk membuat segala sesuatunya
lebih baik. Beberapa hal yang ideal dapat menjadi dasar untuk memberi inspirasi seperti
patriotism, loyalitas, kemerdekaan, kebebasan, kepuasan diri, keadilan, kejujuran, persamaan,
cinta, toleransi, kesempurnaan, humanism dan kemajuan. Sebagai contoh, tentara yang
diminta secara sukarela untuk misi yang berbahayasebagai ekspresi dari patriotism, atau
kelompok pekerja yang diminta untuk bekerja lembur untuk proyek khusus karena proyek itu
akan menyelamatkan banyak nyawa. Tidak ada imbalan yang nyata yang dijanjikan, hanya
prospek bahwa orang akan merasa senang sebagai hasil dari mengerjakan sesuatu yang mulia
dan adil, memberikan kontribusi yang penting, melakukan prestasi yang luar biasa atau
melayani Tuhan dan Negara.
Memberi inspirasi sangatlah kompleks, dari penjelasan singkat tentang keuntungan ideologis
pada proposal proyek atau perubahan, hingga menyampaikan pidato yang berisi tantang visi
yang menarik tentang apa yang dapat dicapai organisasi. Untuk menformulasikan pemberian
inspirasi yang efektif, agen harus memiliki wawasan terhadap nilai, harapan, dan ketakutan.
Efektifitas juga tergantung pada keterampilan komunikasi Yukl (1989).
Konsultasi
Konsultasi terjadi ketika target diajak berpartisipasi dalam merencanakan bagaimana
melaksanakan permintaan atau menerapkan perubahan yang diusulkan. Tujuan utama
konsultasi adalah untuk mempengaruhi target agar mendukung keputusan yang telah dibuat
agen. Salah satu bentuk umum dari konsultasi adalah manajer mengajukan usulan kebijakan
atau rencana kepada orang yang akan terlibat dalam penerapannya untuk mengetahui jika ada
orang yang memiliki keraguan atau kekhawatiran. Dalam variasi lainya, manajer mengajukan
strategi umum atau tujuannya bagi orang lain bukannya proposal yang rinci dan meminta
kepada orang lain untuk menyarankan langkah tindakan khusus untuk menerapkannya Yukl
(1989).
Pertukaran
Tipe ini merupakan taktik mempengaruhi yang secara eksplisit dan implicit menawarkan
untuk memberikan sesuatu yang target inginkan sebagai imbalan bila mau melaksanakan
sebuah permintaan. Taktik pertukaran merupakan sebuah cara untuk meningkatkan
keuntungan yang cukup berharga agar target mau menyelesaikan permintaan itu. Kondisi
yang esensial agar efektif dalam penggunaan taktik ini adalah kendali terhadap sesuatu yang
sangat diinginkan oleh target agar penyelesaian tugas dapat dipastikan. Insentif yang
ditawarkan haruslah bermacam-macam manfaat baik sesuatu yang nyata maupun yang tidak
nyata.
Kolaborasi
Ini adalah taktik mempengaruhi yang menawarkan sumber yang diperlukan atau bantuan jika
target mau melaksanakan permintaan atau menyetuji proposal. Taktik kolaborasi mempunyai
persamaan dengan pertukaran yaitu menawarkan untuk melakukan sestau kepada target.
Adapun perbedaannya dalam penekanan pada proses motivasi yang menjadi dasar dan
kondisi yang ada. Pertukaran berkaitan dengan meningkatkan keuntungan yang akan
diperoleh bila permintaan dilaksanakan. Sedangkan kolaborasi melibatkan pengurangan
kesulitan atau biaya dalam melaksanakan permintaan. Pertukaran biasanya berkaitan dengan
pertukaran impersonal, sementara kolaborasi biasanya berkaitan dengan upaya bersama
untuk menyelesaikan tugas atau tujuan.
Daya Tarik Personal
Daya tarik personal melibatkan meminta kepada seseorang agar mau melakukan kebaikan
demi persahabatan atau kesetiaan terhadap agen. Taktik mempengaruhi ini tidak dapat
dilakukan bila target tidak menyukai agen atau tidak tertarik dengan yang terjadi pada agen.
Mengambil Hati
Mengambil hati adalah perilaku yang membuat target merasa lebih baik terhadap agen.
Contohnya memberi pujian, melakukan kebaikan. Seorang pemimpin dengan attitude akan
merupakan salah satu karakter unggul yang akan menjadi gerbong utama sukses
kepemimpinan di masa depan. Attitude lebih banyak dimaknai sebagai sifat atau karakter
profesionalisme dalam mengemban tugas atau kewajiban. Attitude lebih menekankan ke
dalam jiwa atau hati nurani dalam menjalankan segala perilaku yang berhubungan dengan
tugas tersebut.
Attitude erat sekali hubungannya dengan status atau profesi.
Seseorang bersikap sopan santun, belum tentu memiliki Attitude bagus jika prestasi kerjanya
buruk. Sebaliknya, seseorang memiliki attitude tinggi, belum tentu juga memiliki sikap sopan
santun. Attitude lebih tampak dalam sikap mempertanggung-jawabkan atau menjunjung tinggi
nilai-nilai profesionalisme. Orang yang memiliki Attitude tinggi sangat memperhatikan
tindakan-tindakan untuk menjaga tanggung jawab profesinya, tidak saja dengan cara yang
benar, tapi juga niat yang benar.
Selain itu senantiasa bekerja dalam berkarya dengan hati nurani, dengan kecintaan yang tinggi
pada profesinya, serta tanggung jawab yang besar akan hasil dan pengaruhnya kepada
masyarakat. Rendahnya kualitas Attitude akan menyebabkan rendah pula kualitas kinerja dan
prestasi. Sehingga menjadikan hasil pekerjaan menjadi tidak optimal. Attitude pribadi
kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dihentikan oleh siapapun, tetapi bila
anda malas untuk merawat, menjaga, dan memeliharanya secara konsisten, sikap positif
pribadi kepemimpinan anda akan hilang bersama hilangnya identitas anda sebagai panutan
hidup orang-rang lain.
D. KESIMPULAN
Topik yang diangkat dalam makalah ini adalah the power of ambiguity leadership. Permasalahan
yang diangkat adalah : bagaimana ambiguitas dari seorang bad boss dan seorang good boss dapat
terbentuk dari seorang leadership?
Dari teori yang dan permasalahan yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Seorang leader menjadi ambigu sebagai seorang bad boss dan seorang good boss karena prilaku dan keahliannya harus dipertimbangkan juga jika leader dapat mempengaruhi
orang-orang. Leader yang efektif mempunyai kemampuan untuk mengakui ketika terdapat perbedaan mempengaruhi secara tepat, dan keahlian untuk membawa pengaruh secara efektif.
2. Kepatuhan target hanya terhadap permintaan yang sederhana dan jelas legitimasinya, relevan untuk pekerjaan, dan sesuatu di mana seorang target tahu bagaimana cara mengerjakannya. Akan tetapi, jika tindakan yang diminta tersebut tidak menyenangkan, menyulitkan, tidak relevan, atau sulit untuk dikerjakan, reaksi target akan berupa perlawanan. Komitmen target akan menjadi hasil yang tidak diinginkan untuk permintaan yang sederhana, kecuali dalam kondisi yang menguntungkan.
3. Attitude lebih banyak dimaknai sebagai sifat atau karakter profesionalisme dalam mengemban tugas atau kewajiban. Attitude lebih menekankan ke dalam jiwa atau hati nurani dalam menjalankan segala perilaku yang berhubungan dengan tugas tersebut.Attitude erat sekali hubungannya dengan status atau profesi.
DAFTAR PUSTAKA
DanG, 2008, Bad Boss, Breakfast si Bad Boss, Majalah Leadership, Edisi Mei.
Pfeffer, Jeffrey, (1977), The Ambiguity of Leadership, Academy of Management Review, 2.
_____, 1982, Organization and Organization Theory, Pitman Publishing Inc.
Thomas, A.B., (1988), Does Leadership: Make a Difference to Organizational Performance?
Administrative Science Quarterly.
Vroom, Victor H., 1967, Work and Motivation, Third Edition, John Willey & Sons, Inc.
Yukl, Gary A, 1989, Leadership in Organizations, Prentice Hall, Second Edition.