82
STUDI ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ HANAFIYYAH TENTANG STATUS MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah Oleh: M. SAEFUDIN ZUHRI 062111016 JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012

JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH FAKULTAS …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/135/jtptiain... · TENTANG STATUS MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA SKRIPSI ... dan informasi

  • Upload
    vannga

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

STUDI ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ HANAFIYYAH

TENTANG STATUS MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh:

M. SAEFUDIN ZUHRI

062111016

JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

ii

iii

iv

MOTTO

dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu

(punya) keturunan dan mushaharah(hubungan kekeluargaan yang berasal dari

perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.1

Qs. Al Furqon : 54

1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahannya,

Jakarta: Depag RI., 1995, hlm. 567.

v

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan yang pertama sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT, Tuhan

bagi sekalian alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. dan kepada

baginda Nabi Muhammad SAW sang pembawa risalah, pemberi cahaya bagi

segenap ummat.

Dengan segenap kerendahan hati, persembahkan ini untuk:

1. Untuk kedua orang tua tercinta H. Masrokhan dan Ibu Hj. Siti Fatimah

yang tidak henti-hentinya selalu mendo’akan dan memberi dukungan, baik

moril maupun materil.

2. Untuk Syaikhi wa Murabbi Ruhi Maemun Zubair Karramahullah yang

telah melimpahkan lautan ilmu dan pesan moralnya.

3. Untuk adik-adikku Nurul Khakim, Malikhah dan Nur Khamidah, yang

selalu turut mendo’akan.

4. Untuk istriku tercinta Nurul Hidayah beserta keluarga besarnya dengan

kesabarannya yang tidak lelah dan bosan mendampingiku dalam susah dan

senang.

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran serta rasa tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa

skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain.

Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai rujukan.

Semarang, 05 Juni 2012

Deklarator

ttd

M. SAEFUDIN ZUHRI

062111016

vii

ABSTRAK

Anak perempuan hasil zina semua Ulama’ sepakat tentang tidak

berlakunya hak waris, hak nafkah serta hak wali nikah bagi bapak biologisnya.

Yang kemudian menimbulkan perdebatan adalah mengenai status mahram anak

perempuan tersebut sehingga boleh atau tidak dinikahi oleh bapak biologisnya.

Ulama’ Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat boleh dinikahi. Sedang Ulama’

Hanafiyyah dan Ulama’ Hanabillah meski sama-sama berpendapat tidak boleh

dinikahi namun keduanya berselisih paham mengenai pengertian zina itu sendiri.

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1)

Bagaimana pendapat Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan

hasil zina. 2) Apa landasan hukum yang digunakan Ulama’ Hanafiyyah tentang

status mahram anak perempuan hasil zina.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library

research), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah secara dokumentatif.

Sumber data primernya yaitu: kitab Al Mabsuth, Syarh Fath al Qadir dan Bada’i

al Shana’i. Adapun metode pendekatan yang penulis gunakan adalah, metode

pendekatan penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka belaka, atau disebut juga penelitian hukum

kepustakaan yaitu suatu penelitian kepustakaan dengan cara mengumpulkan data

dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di ruang

kepustakaan untuk dikaji, seperti buku-buku, majalah,dan naskah. Dalam

menganalisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Ulama’ Hanafiyyah

menetapkan adanya hubungan mahram anak perempuan hasil zina dengan bapak

biologisnya meskipun diantara keduanya tidak terdapat hak waris, hak nafkah dan

wali nikah. Pendapat ini didasarkan pada tiga hal yaitu: Pertama, bahwa segala

bentuk hubungan seksual baik yang halal maupun haram berakibat pada hubungan

mahram, sebagaimana hubungan seksual pada saat ihram, atau disaat puasa.

Kedua, secara biologis laki-laki tersebut merupakan bapaknya karena keberadaan

anak adalah berasal dari dua air yang bercampur, meskipun secara syar’i tidak

diperbolehkan nasabnya disandarkan kepada laki-laki tersebut. Ketiga, dengan

ditetapkannya hubungan mahram tersebut dapat sebagai hukuman tambahan agar

diketahui bahwa akibat dari zina yang dilakukan adalah bahwa spermanya

menjadi sia-sia. Sedang istinbath hukum yang digunakan oleh Ulama’ Hanafiyyah

adalah umumnya nash al Qur’an pada surat an Nisa’ ayat 23 dan dari segi bahasa

mengartikan lafadz nikah dengan hubungan seksual secara hakiki dan

mengartikan akad secara majazi.

viii

KATA PENGANTAR

Asslamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah Wasyukrulillah, senantiasa penulis panjatkan ke hadirat

Allah tuhan sekalian alam yang telah melimpahkan Rahmat dan Nikmat kepada

semua hamba-Nya, sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan

Iman dan Islam.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan

nabi Muhammad SAW pembawa risalah bagi makhluk sekian alam, keluarga,

sahabat dan para tabi’in serta kita umatnya, semoga kita senantiasa mendapatkan

syafa’at dari beliau kelak di hari pembalasan.

Pada penyusunan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh

karena itu penulis menyampaikan terima kasih sebagai penghargaan atau peran

sertanya dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo

Semarang.

2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

3. Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

4. Ibu Antin Lathifah, M.Ag selaku ketua jurusan al Ahwal al Syakhsiyyah.

5. Bapak Drs. H. Slamet Hambali, M.S.I selaku dosen pembimbing I dan Bapak

DR. H. Ali Imron, M.Ag selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

membantu, dengan meluangkan waktu dan tenaganya yang sangat berharga

semata-mata demi mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan

skripsi ini.

6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah yang telah banyak memberikan ilmunya

kepada penulis dan senantiasa mengarahkan serta memberi motivasi selama

penulis menjalani kuliah sehingga penulis mampu menyelasaikan penulisan

skripsi ini.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah mengasuh dan selalu memberi

dorongan moril dan materil.

8. Adik-adik tersayang Khakim, Malikhah dan Khamidah yang selalu memberi

motivasi tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Istri tercinta Nurul Hidayah dan seluruh keluarga besarnya, ayahanda dan

ibunda, yang senantiasa memberi dukungan kepada penulis.

ix

10. Teman-teman seperjuangan Samidi, Sanip, Caboel, Pu’es, Muner, Om Huda,

Om Habibi, tidak lupa om Fuad serta teman-teman di HMI komisariat

Syari’ah yang telah memberi banyak pengalaman hidup bermasyarakat.

11. Seluruh kader dan simpatisan HMI IAIN Walisongo Semarang yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu, terimakasih telah serta membantu dan

mensupport serta menjalin tali silaturrahim dengan penulis dalam menimba

ilmu di IAIN Walisongo ini.

12. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung turut

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan

yang lebih dari yang mereka berikan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa

skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi bahasa, isi maupun

analisisnya, sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan demi

kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang , 05 Juni 2012

M. SAEFUDIN ZUHRI

062111016

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................... iii

HALAMAN MOTTO .................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................... v

HALAMAN DEKLARASI ............................................................ vi

HALAMAN ABSTRAK ................................................................. vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ........................................................ 5

D. Telaah Pustaka............................................................ 5

E. Metode Penulisan........................................................ 8

F. Sistematika Penulisan................................................... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG MAHRAM

A. Pengertian Mahram Nikah ......................................... 14

B. Dasar Hukum Mahram Nikah .................................... 15

C. Macam-macam Mahram Nikah ................................. 18

D. Mahram Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam........ 26

E. Status Nasab Anak Hasil Zina .................................... 31

BAB III : PENDAPAT ULAMA’ HANAFIYYAH TENTANG STATUS

MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA

A. Golongan Ulama’ Hanafiyyah ....................................... 40

B. Pendapat Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status Mahram Anak

Perempuan Hasil Zina ................................................... 45

xi

C. Landasan Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status Mahram Anak

Perempuan Hasil Zina ………………… ….................. 49

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ HANAFIYYAH TENTANG

STATUS MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA

A. Analisis Terhadap Pendapat Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status

Mahram Anak Perempuan Hasil Zina ...…………….... 53

B. Analisis Terhadap Landasan Hukum Ulama’ Hanafiyyah Tentang

Status Mahram Anak Perempuan Hasil Zina ……….. 59

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................... 63

B. Saran-saran ...................................................................... 64

C. Penutup .………………………………………………. 65

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seks dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang suci.1 Penyaluran

kebutuhan seksual merupakan salah satu bentuk saling membutuhkan antara

makhluk yang berpasangan. Penyaluran kebutuhan seksual bagi manusia

berguna untuk menyehatkan tubuh, meningkatkan kualitas jantung,

merangsang paru-paru, membersihkan pikiran dari problema yang

mengganggu, serta menimbulkan ketenangan dan kepuasan batin.2 Di sisi lain

adanya perzinaan maka seks menjadi sesuatu yang kotor, menjijikkan dan

menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan kehidupan manusia.

Berdasarkan keterangan itu, pantaslah semua agama samawi mengharamkan

dan memerangi perzinaan. Terakhir adalah agama Islam, yang dengan sangat

keras melarang dan mengancam pelakunya. Yang demikian itu karena zina

menyebabkan simpang siurnya keturunan, terjadinya kejahatan terhadap

keturunan, dan berantakannya keluarga. Bahkan hingga menyebabkan

tercerabutnya akar kekeluargaan, menyebarnya penyakit menular,

merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan moral.3

Islam memang telah menetapkan cara terbaik untuk menyalurkan

kebutuhan biologis, tetapi pada saat yang sama ia melarang umatnya untuk

1 Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004, hlm. 2.

2 Ruqyah Waris Maqsood, Mengantar Remaja ke Syurga, Bandung: al-Bayan, 1997,

hlm. 342. 3 Yusuf Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986,

hlm. 134.

2

menyalurkan kebutuhan itu dengan cara yang tidak benar. Islam juga

melarang umatnya untuk merangsang hasrat seks dengan segala cara. Hal itu

agar hasrat itu tidak keluar dari jalan yang telah ditetapkan. Karena itu pula,

Islam melarang umatnya untuk melakukan pergaulan bebas antar lawan jenis

yang dapat merangsang syahwat, melihat segala sesuatu yang dapat

menimbulkan gairah seks, serta semua hal yang dapat mepengaruhi hasrat

seks seseorang, atau memancingnya untuk melakukan zina. Hal itu dilakukan

agar dapat mencegah faktor- faktor yang dapat melemahkan pundi-pundi

kehidupan rumah tangga, yang sekaligus menjadi faktor penyebab kerusakan

moral.4

Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin

banyak kehilangan nilai- nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin

dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran.

Budaya yang serba terbuka menjebak manusia hingga berkubang di dunia

kemaksiatan. Pergaulan bebas hingga kebebasan seks melanda kalangan

muda-mudi hingga resiko kehamilan di luar nikah. Berdasarkan survei yang

dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 51 persen remaja dikota-kota besar

telah melakukan hubungan seks pranikah yang berujung pada kehamilan.5

Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha untuk menutupi kehamilan

4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 1983, hlm. 231.

5http://berita.liputan6.com/read/310436/survei_seks_pranikah_jangan_pojokkan_per

empuan.

3

di luar nikah tersebut dengan terpaksa mengawinkan anak perempuannya

dengan laki- laki yang menghamili maupun yang bukan menghamili.6

Salah satu hal yang sangat penting dalam tujuan pernikahan adalah

untuk memenuhi kebutuhan seksual, namun sisi yang lain seperti pembinaan

hubungan psikis secara baik dan timbal balik antara suami istri dan orang tua

dengan anak merupakan hal yang tidak kalah penting dalam pernikahan.

Bahkan hubungan yang lebih luas lagi dari itu, yakni hubungan antara

keluarga pihak suami dan pihak istri, maksudnya, melalui pernikahan,

hubungan keluarga antara pihak suami dan istri dapat diwujudkan dalam satu

konteks hubungan kekeluargaan, hubungan kekeluargaan karena pernikahan

dalam fiqih disebut mushaharah.7 Larangan-larangan pada diri wanita

tersebut ada dua bagian, yang pertama menyebabkan keharaman selama-

lamanya, sedangkan yang kedua hanya bersifat sementara.8

Sementara itu, dalam konsep hukum Islam mengenai larangan wanita

yang akan dinikahi ini terdapat perbedaan pendapat tentang status mahram

anak hasil zina.

Ulama’ Syafi’iyyah dan Malikiyyah dalam riwayat yang masyhur

membolehkan menikah dengan anak perempuan dari hasil zinanya, dengan

alasan bahwa anak tersebut secara syar’i tidak mempunyai hubungan nasab

dengannya.

6 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 232.

7 Al-Azim Ma’ani dan Ahmad al-Jumbur, Hukum-Hukum Dari Al-Qur‟an Dan

Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 240. 8 Muhasmmad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, diterjemahkan oleh Afif

Muhammad dari al Fiqh „Ala Madzahib al khamsah, Jakarta: Kencana, 1994, cet. I, hlm. 30-

31.

4

Imam Qalyubi dalam kitab Hasyiyatani Syarh Minhaj al Thalibin juga

menyatakan bahwa anak perempuan yang diciptakan dari air maninya karena

zina maka halal untuk dia nikahi, karena tidak ada kemuliaan bagi air mani

sebab zina.

Sedangkan Ulama’ Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa

anak perempuan hasil zina adalah menjadi mahram bagi laki-laki yang

menjadi bapak biologisnya, namun berbeda pendapat mengenai pengertian

zina. Ulama’ Hanafiyyah mengemukakan defenisi zina dengan persetubuhan

yang dilakukan pada faraj (qubul) perempuan yang bukan miliknya dan

bukan pula menyerupai milik (syubhat)9, sementara Ulama’ Hanabilah

mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah orang yang

melakukan perbuatan jahat (fahisyah) dengan cara menyetubuhi pada qubul

ataupun anus (dubur).10

Dari uraian di atas sangat jelas perbedaan pendapat antara Ulama’

Hanafiyyah dengan yang lainnya mengenai status mahram anak perempuan

hasil zina, yang dalam hal ini penulis batasi pada tiga kitab yang menjadi

referensi primer dalam penulisan ini, yakni Badai‟ al-Shanai‟ karangan

Ala‟uddin Ibnu Mas‟ud al Kasani, al-Mabsuth karangan Syams al Din al

Syarkhasi dan Syarh Fath al Qadir karangan Ibnu al Himam al Hanafiy. Dari

sini penulis tergerak untuk meneliti dan menelusuri lebih detail berkaitan

dengan hal tersebut.

9 Abd Qadir Audah, al- Tasyri‟ wa al-Jana‟I al-Islamiy, Kairo: Dar al-Qurubah,

1963, Juz II, hlm. 349. 10

Ibn Qudamah, al-Mughniy, Riyadh: Maktabah al-Riyadah al-Hadisah, tt.., Jilid X,

hlm. 181.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat penulis rumuskan beberapa

pokok permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Pokok permasalahan

tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan11

sebagai

berikut :

1. Bagaimana pendapat para Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak

perempuan dari hasil zina ?

2. Apa landasan hukum yang digunakan Ulama’ Hanafiyyah tentang status

mahram anak perempuan dari hasil zina ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk memahami pendapat Ulama’ Hanafiyah tentang status mahram

anak perempuan dari hasil zina.

2. Untuk menganalisis landasan hukum yang digunakan Ulama’ Hanafiyyah

tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina.

D. Telaah Pustaka

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pendapat Ulama’

Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina, penulis

juga menelaah beberapa hasil penelitian maupun karya ilmiah yang berkaitan

dengan apa yang sedang penulis kaji untuk dijadikan sebagai referensi,

sumber, acuan, dan perbandingan dalam penulisan skripsi ini. Sehingga akan

11

Didi Al-Madilaga, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: CV. Pionerjaya,

1997, hlm. 87.

6

terlihat letak perbedaan antara skripsi ini dengan penelitian atau karya ilmiah

yang sudah ada.

Beberapa hasil penelitian maupun karya ilmiah tersebut, diantaranya

adalah:

1. Ruslan (2103047) dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Pemikiran

Imam Ahmad Ibn Hanbal Tentang Muhrim Mushaharah Sebab Liwath

(sodomi)” Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2008.

dalam skripsi ini dibahas mengenai perbedaan pendapat Ulama’ tentang

liwath (sodomi) apakah menyebabkan mahram nikah karena mushaharah

atau tidak. Kemudian dijelaskan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal

berpendapat tentang liwath (sodomi) termasuk yang menyebabkan

mahrom mushoharoh.

2. Faiz Rokhman (042111084) dengan judul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Hak Waris Anak Zina (studi analisis pasal 869 kuh perdata)”,

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2009. Dalam skripsi

ini membahas tentang Kedudukan waris anak zina dalam Hukum Islam

dan Pasal 869 KUH perdata terdapat adanya persamaan dan.perbedaan.

Persamaanya adalah sama-sama dilahirkan di luar perkawinan, yang tidak

mempunyai nasab ke bapaknya dan imbasnya tidak ada waris bagi anak

yang mempunyai setatus anak zina. Dan perbedaan dalam Hukum Islam

dan Pasal 869 KUH Perdata yaitu dalam Hukum Islam anak zina

dinasabkan kepada ibunya, dan juga akan mendapatkan waris dari pihak

ibunya. Dalam Pasal 869 KUH Perdata "Apabila bapak atau ibunya

7

sewaktu hidupnya telah mengadakan jaminan nafkah seperlunya guna

anak yang di benihkan dalam zinah atau dalam sumbang tadi, maka anak

itu tidak mempunyai tuntutan lagi terhadap warisan bapak dan ibunya".

Jadi dalam pengertian anak zina, antara hukum Islam dan KUH Perdata

dalam hal pewarisan mempunyai pengertian dan akibat sendiri-sendiri.

3. Syarif Hidayatullah (2104063) dengan judul “Nikah Paksa Akibat Zina

(Studi Kasus Di Desa Kebongembong Kecamatan Pageruyung Kabupaten

Kendal)” Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2006.

Dalam skripsi ini membahas tentang Praktek nikah paksa akibat zina yang

terjadi Desa Kebongembong Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal.

Kemudian langkah yang dilakukan masyarakat ialah dengan menikahkan

pasangan yang melakukan zina, biasanya dari pihak laki-laki awalnya

tidak mau menikahi gadis yang dihamilinya dengan berbagai alasan,

namun dengan desakan dan paksaan yang masyarakat lakukan, akhirnya si

laki-laki mau bertanggungjawab. Paksaan yang dilakukan keluarga dan

masyarakat adalah dalam rangka penegakan keadilan, disamping itu juga

sebagai bentuk tanggungjawab atas perbuatannya.

Adapun kaitannya dengan penelitian yang penulis bahas adalah sama-

sama mengulas tentang persoalan mahram dan zina, akan tetapi dari beberapa

penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian tersebut berbeda dengan saat

ini, karena penelitian terdahulu belum ada yang meneliti tentang pendapat

Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina,

dan bagaimana mereka menggunakan landasan hukum yang berkaitan dengan

8

tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina. Hal ini menegaskan

bahwa belum pernah dijumpai penelitian terdahulu yang Sama dengan

penelitian ini.

Di samping penelitian-penelitian di atas, ada beberapa buku dan jurnal

yang juga membahas tentang larangan-larangan bagi wanita yang akan

dinikahi (mahram), diantaranya ialah jurnal Asy Syariah memuat judul

tulisan siapa saja mahram itu, yang ditulis oleh Ustad Abu Abdillah

Muhammad Sarbini.

E. Metode Penulisan

Agar dalam penulisan skripsi ini memenuhi kriteria sebagai karya

ilmiah serta mengarah kepada obyek kajian dan sesuai dengan tujuan yang

dimaksud, maka penulis menggunakan metode, antara lain :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research)12

. Jenis penelitian ini bertujuan untuk

mengumpulkan data dan informasi tentang status mahram seorang laki-

laki terhadap anaknya dari hasil zina menurut Ulama’ Hanafiyyah dengan

bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di perpustakaan, seperti;

kitab, buku-buku, majalah, dan lain-lainnya.13

12

Masyhuri dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian, Bandung:Refika Aditama,

2008, hlm.50. 13

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta:Bumi Aksara,

1999, hlm. 28.

9

2. Metode pendekatan

Dalam kaitannya dengan pembahasan ini penulis mencoba

menggunakan metode pendekatan penelitian hukum normatif yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

belaka.14

Atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan yaitu suatu

penelitian kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dan informasi

dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di ruang

kepustakaan untuk dikaji, seperti kitab, buku, majalah, dokumen, dan

lain-lain. Penelitian ini juga merupakan sebuah penelitian kualitatif, yaitu

penelitian yang menekankan kepada pustaka-pustaka yang berkaitan.15

3. Sumber data

Sumber data16

dalam penelitian ini sesuai dengan jenisnya

digolongkan ke dalam penelitian kepustakaan (library research), maka

sudah dapat dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah

dokumen, yang berupa data-data yang diperoleh dari perpustakaan

melalui penelusuran terhadap buku-buku literatur, baik yang bersifat

primer ataupun yang bersifat sekunder.

a. Data primer

Sumber data primer adalah data otentik atau data langsung dari

tangan pertama tentang masalah yang di ungkapkan. Secara sederhana

14

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, cet. II, hlm. 15. 15

Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju,

1996, hlm. 33. 16

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.

Rineka Cipta,2006, hlm.107.

10

data ini disebut juga data asli.17

Sumber primer dalam penelitian ini

adalah kitab-kitab fiqih Madzhab Hanafi yang memuat gagasan

tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina, seperti Badai‟

al-Shanai‟ karangan Ala‟uddin Ibnu Mas‟ud al Kasani, al-Mabsuth

karangan Syams al Din as Syarkhasi dan Syarh Fath al Qadir

karangan Ibnu al Himam al Hanafiy.

b. Data sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber

lain sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber

kedua atau ketiga.18

Sumber data sekunder dari penelitian ini diperoleh

dari kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer, dan juga beberapa

literatur dan sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan topik

yang sedang penulis kaji sehingga dapat melengkapi pembahasan yang

lebih detail.

4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

(library research) maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

secara dokumentatif .19

Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan

data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan, baik sumber primer

maupun sumber sekunder, yaitu dengan cara menghimpun beberapa

pendapat Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan dari

17

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, cet II,

hlm. 91. 18

Ibid. 19

Suharsimi Arikunto, op, cit, hlm 206.

11

hasil zina dan penjelasan yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini

peneliti lakukan dengan cara menelusuri literatur-literatur yang ada baik

yang berbahasa Arab maupun terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Sumber-sumber data yang penulis gunakan didapat melalui

pencarian di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan perpustakaan institut

IAIN Walisongo, ada pula yang penulis dapatkan dengan cara membeli di

toko buku. Tetapi ada beberapa buku, jurnal atau kitab fiqih yang

dijadikan sumber data tidak penulis dapatkan di perpustakaan ataupun di

toko buku dikarenakan buku tersebut adalah buku terbitan lama. Untuk

mensiasatinya maka penulis berusaha meminjam kepada orang yang

memilikinya, browsing di internet, ada beberapa buku dan kitab yang

merupakan e-book yang penulis download gratis dari situs-situs di internet

atapun penulis beli melalui toko buku online di internet.

5. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif analitis, yakni penelitian yang tertuju pada pemecahan

masalah yang dihubungkan dengan pendapat para Imam dan kitab yang

lain.20

Metode deskriptif analisis dimaksudkan untuk menggambarkan

pendapat Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan dari

hasil zina, kemudian dianalisis dan dihubungkan sebagaimana mestinya.

Dengan metode ini dapat membantu penulis untuk memahami filosofi

aturan hukum dari waktu ke waktu, selain itu juga dapat menjadikan

20

Winarna Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik,

Bandung: Taarsito, 1999, hlm. 139.

12

penulis memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi

aturan hukum tersebut. Penelitian dengan metode ini bertujuan untuk

membuat rekonstruksi masa lampau secara objektif dan sistematis dengan

mengumpulkan, mengevaluasikan serta menjelaskan bukti-bukti untuk

menegakkan fakta dan menarik kesimpulan secara tepat.21

Di sini penulis menganalisis pendapat dan teori para Ulama’ fiqh

terutama pendapat Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak

perempuan dari hasil zina.

F. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, pada bab pertama

berisi tentang pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, dan sistematika penulisan. Semua

sub-sub bab tersebut dimaksud sebagai gambaran awal dari bahasan yang

akan dikaji oleh penulis. Pada bab dua penulis mulai dengan membahas

tinjauan umum tentang mahram nikah, yang berisi tentang pengertian

mahram nikah, dasar hukum mahram nikah, macam-macam mahram nikah,

mahram nikah perspektif hukum Islam di Indonesia, dan status nasab anak

hasil zina. Pada bab tiga berisi pendapat Ulama’ Hanafiyyah tentang status

mahram anak perempuan dari hasil zina. Bab ini terdiri dari tiga sub yaitu

siapa saja golongan Ulama’ Hanafiyyah, pendapat Ulama’ Hanafiyyah

tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina, dan landasan hukum

21

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.

126.

13

Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina.

Selanjutnya bab empat memuat dua sub yakni analisis terhadap pendapat

Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan dari hasil zina,

dan analisis terhadap landasan hukum Ulama’ Hanafiyyah tentang status

mahram anak perempuan dari hasil zina. Terakhir bab lima merupakan bab

penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MAHRAM DALAM NIKAH

A. Pengertian Mahram Nikah

Mahram atau yang biasa disebut dengan istilah muhrim di Indonesia

berasal dari kata harama yang artinya mencegah bentuk mashdar dari kata

harama yang artinya yang diharamkan atau dilarang.

Dengan demikian, maka mahram secara istilah adalah orang yang

haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi.1

Imam Ibnu Qudamah menyatakan, mahram adalah semua orang yang

haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan

pernikahan.2

Sedangkan Imam Ibnu Atsir berkata, mahram adalah orang-orang yang

haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman,

dan lain-lain.

Selain itu mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus

yaitu orang-orang yang haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan

dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.

1 Qomarudin Sholeh, Ayat-Ayat Larangan Dan Perintah, Bandung: CV Diponegoro,

2002, hlm. 146. 2 Imam Ibnu Qudamah, al Mughniy, Beirut: Dar al Kitab al Arabiy, Juz VII, tt., hlm.

470

15

B. Dasar Hukum Mahram Nikah

Dalam kaitannya tentang mahram, didalam al-Qur‟an telah disebutkan

beberapa ayat yang menjadi dasar dari pemberlakuan mahram, diantaranya

pada surat an-Nisa‟ ayat 23 :

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-

anakmu yang perempuan3; saudara-saudaramu yang

perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;

saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak

perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-

anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara

perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-

anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang

telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur

dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak

berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)

isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan

menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang

bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;

3 Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud

dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah,

demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang

dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur Ulama‟ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam

pemeliharaannya.

16

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”4

Selain itu di terangkan juga dalam ayat 24 :

Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang

bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah

telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas

kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian

(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini

bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu

nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada

mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu

kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap

sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah

menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Bijaksana.”5

Juga terdapat dalam hadist dari beberapa riwayat yang menjelaskan

tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, diantaranya yaitu:

:

4 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahannya,

Jakarta: Depag RI., 1995, hlm. 120. 5 Ibid., hlm. 120-121.

17

6

Artinya : “Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, ia berkata:

aku mendapatkan dari Malik, dari Ubaidillah bin Abi

Bakar, dari „Amrah, dari Aisyah, sesungguhnya ia berkata:

pada waktu turunnya al-Qur‟an batas susuan adalah

sepuluh kali yang tertentu, kemudian dinasakhkan dengan

lima kali, kemudian Nabi SAW wafat jumlah tersebut

adalah sepeti apa yang terbaca dalam al- Qur‟an”

(H.R.Muslim)

:

7

Artinya : “Ia menceritakan kepadaku dari Malik, dari Tsaur bin Zaid

ad-Dili, dari Abdullah bin Abbas, penyusuan anak yang

masih dibawah umur dua tahun adalah mengharamkan

walaupun hanya satu isapan” (H.R.Malik bin Anas)

:

8

Artinya : “Telah menceritakan kepadaku dari Abdullah bin Maslamah

al-Qa‟naby, menceritakan kepadaku Malik dari Abi az-

Zinadi dari al- A‟raj, dari Abi Hurairah ia berkata: asulullah

bersabda: dilarang mengumpulkan antara seorang

perempuan dengan bibi dari ayah dan bibi dari

ibunya"(H.R.Muslim)

6 Imam Muslim, Shahih Muslim II, Beirut-Libanon: Dar al-Maktabah al-„Ilmiah,

1992, hlm.167. 7 Imam Malik bin Anas, Al-Muwatta‟, Beirut-Libanon: Dar al-fikr, 1989, hlm. 387,

hadist no. 1280. 8 Imam Muslim, op.cit, hlm.135.

18

:

:

9

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, dia

berkata: Kudapatkan dari Malik dari Nafi‟ dari Nubaih bin

Wahab dari Umar bin Abdullah ketika Thalhah bin Umar

ingin menikahi anak perempuan Syaibah bin Jabir, maka

telah mengirimkan kabar kepada Aban bin Usman yang

hadir ketika itu dan dia adalah pemimpin Jama‟ah Haji,

Aban Berkata aku mendengar usman bin Affan berkata

Rasulullah SAW. Bersabda orang yng sedang ihram tidak

boleh menikah, dinikahkan atau melamar ”(H.R. Muslim)

C. Macam-Macam Mahram Nikah

Mahram nikah dalam fiqih dibagi menjadi dua, yaitu; mahram

mu‟abbad dan mahram ghairu muabbad.

1. Mahram Mu‟abbad

Mahram mu‟abbad adalah orang-orang yang haram melakukan

pernikahan untuk selamanya.10

Ada tiga kelompok mahram mu‟abbad

menurut fiqih, yaitu karena adanya hubungan nasab/kekerabatan, adanya

hubungan pernikahan dan hubungan persusuan.11

a. Mahram karena adanya hubungan nasab/kekerabatan

9 Imam Abi Husain Muslim, op.cit, hlm. 137.

10 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam: Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, Jakarta:Kencana, 2009, hlm. 110. 11

Zainuddin bin „Abdul „Aziz, Fatkh al Mu‟in Bi al Syarh al Qurrat al „Ain,

Indonesia: Dar Ihya‟i al-Kutub al-„Arabiyah, tt., hlm. 100-101. Dapat juga dilihat pada Sayid

Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 6, terjemah Fiqhussunnah, Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1980, hlm.

103-104.

19

Berikut ini orang-orang yang tidak boleh dinikahi seorang laki-

laki karena ada hubungan kekerabatan :

1) Ibu

2) Anak perempuan

3) Saudara perempuan

4) Saudara perempuan ibu

5) Anak perempuan dari saudara laki-laki

6) Anak perempuan dari saudara perempuan

b. Mahram karena hubungan pernikahan

Perempuan-perempuan yang menjadi mahram bagi laki-laki

untuk selamanya sebab ada hubungan pernikahan antara lain adalah :

1) Ibu tiri, atau perempuan yang telah dinikahi oleh ayah

2) Menantu

3) Mertua

4) Anak dari istri yang telah digauli

Ulama‟ empat mazhab sepakat mengenai keharaman menikahi

wanita-wanita diatas, baik yang dikarenakan hubungan nasab maupun

karena hubungan perkawinan.12

c. Mahram karena hubungan persusuan

Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka

air susu yang diminumnya akan menjadi daging dan darah dalam

12

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Al-Fiqh „Ala al-

Mazahib al-Khamsah, Jakarta: Kencana, 2001, hlm. 326-328. Keterangan tersebut juga dapat

dibaca di Abdurrahman al-Jaziri, Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh „ala al-Madzahib al-

Arba‟ah, Juz IV, Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, tt., hlm. 61-62.

20

tubuhnya sehingga perempuan tersebut sudah seperti ibunya sendiri.

Perempuan itu sendiri dapat menyusui karena kehamilan dari

hubungannya dengan suaminya, maka anak yang menyusu kepadanya

juga terhubung dengan suaminya layaknya seorang anak terhubung

kepada ayah kandungnya. Selanjutnya keharaman-keharaman

melakukan perkawinan berlaku sebagaimana hubungan nasab.13

Semua Ulama sepakat mengenai keharaman menikahi seseorang

yang memiliki hubungan sesusuan, tetapi berbeda pendapat dalam

menentukan terjadinya hubungan sesusuan.

Ulama‟ Syi‟ah berpendapat bahwa air susu yang diberikan harus

berasal dari wanita yang hamil dari perkawinan sah, sedangkan Hanafi,

Maliki dan Syafi‟i berpendapat bahwa air susu itu boleh berasal dari

gadis atau janda, menikah atau belum.14

Jumhur Ulama‟ berpendapat bahwa hubungan susuan dapat

terjadi jika bayi yang menyusu berumur tidak lebih dari dua tahun,

pendapat lain berasal dari Ulama‟ Zahiriyah yang mengatakan bahwa

sesusuan juga berlaku bagi anak berusia lebih dari dua tahun, bahkan

yang sudah dewasa. Zahiriyah mendasarkan pendapatnya pada

zahiriyah ayat dan keumumannya, sedangkan hadis mengenai batas

usia dua tahun tidak cukup kuat untuk membatasi keumuman nash.15

13

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 115-116. Keterangan yang sama juga terdapat pada

Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz IV, Beirut-Libanon:

Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, tt., hlm. 61. 14

Muhammad Jawad Mughiyah, op.cit., hlm. 340-341. 15

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 116.

21

Bila si anak telah berhenti menyusu sebelum dua tahun dan

tidak memerlukan susu lagi, kemudian ia disusui maka menurut Imam

Malik hal itu tidak dapat menyebabkan hubungan susuan, tetapi Abu

Hanifah dan Syafi‟i menyatakan hal tersebut menyebabkan terjadinya

susuan dengan berdasar pada hadist tentang batas usia susuan dua

tahun.16

Dalam hal kadar susuan Imam Malik berpendapat bahwa

hubungan susuan dapat terjadi tanpa melihat berapa banyak si anak

menyusu, asal jelas sudah menyusu maka timbullah hubungan susuan.

Jumhur Ulama‟ berpendapat bahwa hubungan susuan terjadi jika si

bayi menyusu paling sedikit lima susuan.17

Menurut sebagian Ulama Syi‟ah kadar susuan adalah lima belas

kali karena dalam jumlah itulah susu akan berguna bagi pertumbuhan

anak sebagian yang lain menyebut tentang lamanya susuan adalah

sehari semalam.

Mengenai cara menyusui, Jumhur Ulama‟ berpendapat bahwa

apapun cara yang ditempuh asalkan susu perempuan itu sampai

dikerongkongan anak maka terjadilah hubungan susuan, sedangkan

Zahiriyah mengharuskan susuan dilakukan dengan cara anak menyusu

langsung dari perempuan lain yang bukan ibunya untuk dapat

menimbulkan hubungan susuan.

16

Ibid., hlm. 116. 17

Ibid., hlm. 116-117.

22

Berkaitan dengan kemurnian air susu, Imam Abu Hanifah

berpendapat bahwa susu yang telah bercampur dengan zat lain tidak

dapat menimbulkan hubungan susuan. Imam Syafi‟i dan sebagian

pengikut madzhab malik berpendapat bahwa hubungan susuan tetap

terjadi meski susu tidak murni selama tidak menghilangkan sifat dan

bentuk air susu tersebut.18

2. Mahram Ghairu Mu‟abbad

Mahram ghairu mu‟abbad adalah orang-orang yang haram

melakukan pernikahan untuk sementara dikarenakan hal tertentu, bila hal

tersebut sudah tidak ada maka larangan itu tidak berlaku lagi.19

Beberapa

sebab yang menimbulkan hubungan mahram ghairu mu‟abbad antara lain

adalah :

a. Larangan menikahi dua orang saudara dalam satu masa

Mengumpulkan dua orang bersaudara yang dimaksud dalam

ayat tersebut adalah menikahi dua orang perempuan bersaudara

sekaligus dalam satu masa. Larangan tersebut melahirkan ketentuan

sebagai berikut:

Jika keduanya dinikahi sekaligus dengan satu akad, maka

pernikahan dengan kedua perempuan tersebut menjadi batal. Jika

pernikahan dilakukan secara berurutan maka pernikahan pertama sah

sedangkan yang kedua batal.20

18

Ibid., hlm. 118-119. Dapat juga dibaca pada Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih

Lima Mazhab, terj. Al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Khamsah, Jakarta: Kencana, 2001, hlm. 343. 19

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 124. 20

Ibid, hlm. 124-125.

23

Bersaudara yang dimaksud dalam al-Qur‟an surat an Nisa‟ ayat

23 adalah seorang wanita dengan saudara kandungnya, dengan bibi

dari ayah atau ibunya, dengan anak dari saudara perempuan atau laki-

lakinya.21

Mengenai dua orang yang bersaudara kandung semua

Ulama mazhab sepakat tentang keharaman mengumpulkan keduanya.

Akan tetapi mengenai dua orang yang berhubungan sebagai bibi dan

keponakan para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat

bahwa hukumnya haram mengumpulkan antara seorang perempuan

dengan bibi dari ayahnya maupun dari ibunya.

Ulama‟ Syi‟ah menetapkan hukum makruh mengumpulkan

seorang perempuan dengan bibinya, dan demi kebaikan bersama

ditentukan bahwa jika yang dinikahi pertama adalah kemenakan maka

tidak perlu izin untuk menikahi bibi tetapi sebaliknya jika yang

dinikahi lebih dulu adalah bibi, maka harus minta izinnya untuk

menikahi kemenakan.22

Semua Ulama‟ mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki dilarang

menikahi saudara perempuan dari istri yang telah dicerainya dengan

talak raj‟i sampai masa iddahnya berakhir, adapun jika talaknya adalah

talak ba‟in para ulama berbeda pendapat.

Ulama‟ Hanafiyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa selama

istri sedang dalam masa „iddah maka haram hukumnya laki-laki

menikahi saudara istrinya tersebut baik talaknya berupa talak raj‟i

21

Sayid Sabiq, op.cit., hlm. 131-132. 22

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 125.

24

maupun talak ba‟in. Ulama‟ Syi‟ah, Maliki dan Syafi‟i berpendapat

bahwa seorang laki-laki boleh menikahi saudara dari istri yang telah

ditalaknya jika talak yang jatuh adalah talak ba‟in baik sebelum masa

„iddah istri berakhir ataupun belum.23

b. Larangan poligami di luar batas

Batas poligami dalam Islam adalah empat orang, maka seorang

laki-laki yang telah memiliki istri empat tidak boleh menikah dengan

perempuan untuk yang kelima, kecuali sudah menceraikan istrinya

dengan talak ba‟in. Batasan poligami ini terdapat pada al-Qur‟an surat

an- isa‟ ayat 3.

c. Larangan karena adanya ikatan perkawinan

Islam melarang keras seorang laki-laki menikahi perempuan

yang masih bersuami sehingga menutup peluang terjadinya poliandri.

Ketentuan ini ditegaskan dalam al-Qur‟an surat an- Nisa‟ ayat 24.

d. Larangan karena sedang dalam masa „iddah

Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya harus

menahan diri dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Masa ini

disebut „iddah. Bagi perempuan yang dicerai dan masih haid, iddahnya

adalah tiga kali suci, yang tidak haid tiga bulan, yang bercerai karena

mati iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sedangkan yang

ditinggal mati dalam keadaan hamil „iddahnya sampai melahirkan.24

e. Larangan karena talak tiga

23

Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., hlm. 479. 24

Ibid, hlm. 464. Keterangan yang sama juga terdapat pada Amir Syarifudin, op.cit.,

hlm. 304-305.

25

Semua Ulama‟ mazhab sepakat bahwa seorang perempuan yang

dicerai dengan talak tiga oleh suaminya maka haram bagi bekas

suaminya tersebut sebelum ada muhallil.25

Hal ini berdasarkan pada al-

Qur‟an surat al-Baqarah ayat 230.

f. Larangan karena ihram

Mazhab Malik, Syafi‟i, Imam al-Auza‟i dan Imam Ahmad

melarang seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang ihram.

Sedang Ulama‟ Hanafiyyah berpendapat bahwa seorang perempuan

yang sedang ihram boleh menikah berdasarkan hadist dari Ibnu Abbas.

Artinya : “Bahwasanya Nabi SAW mengawini Maimunah yang saat itu

sedang ihram” (H.R.Muslim)26

g. Larangan menikahi pezina

Perzinaan adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki

dewngan seorang perempuan diluar ikatan pernikahan yang sah.

Larangan menikahi pezina sampai ia berhenti melakukannya dan

bertaubat tertuang dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 3.27

h. Larangan karena beda agama

Semua Ulama‟ mazhab sepakat mengenai keharaman seorang

perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim, akan tetapi

25

Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., hlm. 453. 26

Zaki al-Din Abd. Azhim al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Mukhtashar

Shahih Muslim, Jakarta: Mizan, 2002, hlm.438, hadist no. 815. 27

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 129-130.

26

mereka berbeda pendapat dalam hal hukum seorang laki-laki muslim

menikahi perempuan non muslim. Berdasarkan al-Qur‟an surat al-

Ma‟idah ayat 5, empat mazhab Sunni sepakat bahwa perempuan ahli

kitab dari golongan Nasrani dan Yahudi halal bagi laki-laki muslim

sedangkan Syi‟ah melarang hal itu.28

D. Mahram Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam

Hukum Islam yang dimaksud dalam penulisan ini adalah perundang-

undangan maupun peraturan-peraturan tertulis tentang perkawinan yang

diberlakukan di Indonesia.

1. Undang-undang No. I Tahun 1974

Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan

diundangkan pada tanggal 02 januari 1974 dan masuk dalam Lembar

Negara dengan No. I Tahun 1974. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.9

tahun 1975, undang-undang perkawinan No. I Tahun 1974 diberlakukan,

dan dapat berlaku secara efektif sejak tanggal 01 Oktober 1975.29

Ketentuan undang-undang perkawinan No. I tahun 1974 pasal I

ayat I menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum agamanya masing-masing” Dengan demikian orang Islam

harus menggunakan tata cara menurut hukum Islam ketika melakukan

pernikahan. Meskipun demikian beberapa ketentuan perkawinan tetap

28

Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., hlm. 336. Baca juga keterangan tersebut

pada Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 133. 29

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 86.

27

dimuat dalam undang-undang tersebut, diantaranya adalah masalah

mahram.

Masalah mahram dibahas dalam pasal 8, 9, 10 dan 11 undang-

undang perkawinan No. I Tahun 1974 dengan istilah larangan perkawinan.

a. Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974

Dilarang melangsungkan perkawinan antara dua orang yang :

1) Berhubungan darah dalam satu garis keturunan lurus keatas atau

kebawah.

2) Berhubungan darah dalam satu garis keturunan menyamping, yaitu

antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tuanya atau

neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan

ibu/bapak tiri.

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan.30

5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari

satu.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang

berlaku dilarang kawin.31

b. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974

30

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 135-136. 31

Ibid., hlm. 137.

28

Seseorang yang masih terikat hubungan perkawinan dengan

orang lain tidak boleh kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut

dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini (pengecualian

poligami untuk laki-laki).

c. Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974

Antara suami istri yang telah dua kali bercerai tidak boleh

menikah lagi, sepanjang tidak ada ketentuan lain dalam agama dan

kepercayaannya.32

d. Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974

Perempuan yang bercerai atau ditinggal mati suaminya

mempunyai masa tunggu tertentu yang diatur oleh negara melalui

hakim jika tidak ada ketentuan dalam agama.

2. Kompilasi Hukum Islam

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974

telah menyebutkan bahwa sahnya perkawinan adalah bila dilakukan

menurut hukum Islam. Pasal 49 ayat I UU No. 7 Tahun 1989 menyebutkan

bahwa dalam masalah perkawinan, kewarisan, wakaf dan sedekah yang

dilakukan berdasarkan hukum Islam maka Pengadilan Agama yang berhak

menyelesaikan jika terjadi sengketa. Hukum Islam termuat dalam berbagai

bentuk kitab fiqh yang memberi peluang perbedaan sangat besar. Oleh

karena itulah loka karya para Ulama‟ pada tanggal 2-5 Februari 1988

dikukuhkan dengan Inpres No. I Tahun 1991 menghasilkan Kompilasi

32

Ibid., hlm. 138.

29

Hukum Islam yang dipakai sebagai hukum materiil di Pengadilan Agama

seluruh Indonesia. Kompilasi Hukum Islam tetap dapat disebut sebagai

salah satu hukum positif meskipun tidak/belum sampai pada tingkat

undang-undang.33

Kompilasi Hukum Islam membahas mahram dengan istilah

Larangan Kawin yang ketentuannya termuat pada bab VI pasal 39, 40, 41,

42, dan 43, berikut adalah kutipannya:

a. Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki

dengan perempuan karena;

1) Pertalian Nasab, yaitu ibu, nenek dan seterusnya dalam garis lurus

ke atas;saudara kandung, seayah, seibu; bibi.

2) Pertalian Kerabat Semenda, yaitu mertua, ibu tiri, anak tiri kecuali

belum terjadi percampuran dengan istri, menantu.

3) Pertalian Sesusuan, yaitu ibu susuan dan seterusnya dalam garis

lurus ke atas; saudara sesusuan dan seterusnya dalam satu garis

lurus ke bawah; saudara perempuan dari saudara sesusuan dan

seterusnya dalam garis lurus ke bawah; bibi susuan, nenek susuan

dan seterusnya dalam garis lurus ke atas; anak yang disusui

istrinya dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.34

b. Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam

33

A. Basiq Djalil, op.cit., hlm. 121-130. 34

Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 136-137.

30

Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan yang masih dalam ikatan pernikahan

dengan orang lain, seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah

dari perceraiannya dengan orang lain dan seorang perempuan yang

tidak beragama Islam.35

c. Pasal 41 Kompilasi Hukum Islam

Seorang laki-laki dilarang memadu istrinya dengan

perempuan yang berhubungan saudara sesusuan atau nasab dengan

istrinya, baik sekandung, seayah, maupun seibu serta keturunannya;

juga bibi atau kemenakannya.

d. Pasal 42 Kompilasi Hukum Islam

Seorang laki-laki dilarang menikahi istri kelima, dalam hal

salah satu istri yang empat sudah dicerai dengan talak raj‟i harus

menunggu masa „iddahnya.

e. Pasal 43 Kompilasi Hukum Islam

Seorang laki-laki dilarang menikahi istri yang sudah ditalak

tiga sebelum ada penyela dan dengan bekas istri yang dili‟an.36

f. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam

35

Ibid., hlm. 138. 36

Ibid., hlm. 137-138.

31

Seorang perempuan Islam tidak boleh menikah dengan

seorang laki-laki yang tidak beragama Islam.37

E. Status Nasab Anak Hasil Zina

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua

masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal,

anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-

tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk,

tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang

tuanya.38

Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka

Allah SWT mensyari‟atkan adanya perkawinan. Pensyari‟atan perkawinan

memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik,

memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan

kaluarga yang sakinah.39

Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam

memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat

mengakibatkan ketidakjelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai

akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya.

37

Ibid., hlm. 140. 38

Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1976, hlm. 256-158. 39 Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, Jilid IX, Beirut: Dar al-

Fikr, 1997, cet. Ke-2, hlm. 114.

32

Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami,

mutlak menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuan darinya.40

1. Pengertian Nasab

Istilah nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan

atau menetapkan keturunan,41

sedangkan menurut istilah ada beberapa

definisi tentang nasab, diantaranya yaitu :

a. Nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak

menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau

keturunan.42

b. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah

sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab

merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membinan suatu

kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan

kesatuan darah.

c. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai

suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan

kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertibangan bahwa yang

satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah

bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya.

40

Yusuf al-Qardhawi, op.cit., hlm. 304-306. 41 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973,

hlm. 449. 42 M. Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi‟i AM, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka

Firdaus,1994, hlm. 59.

33

Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-

orang yang satu pertalian darah.43

d. Sedangkan menurut Ibnu Arabi nasab didefinisikan sebaga ibarat dari

hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita

menurut keturunan-keturunan syar‟i.44

Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil

kesimpulan bahwa nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang

berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah,

atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah

pengakuan syara‟ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan

ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota

keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak

mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.

2. Dasar-dasar nasab menurut fiqh Islam

Para Ulama‟ sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya

terjadi disebabkan karena kehamilan karena adanya hubungan seksual

yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan

berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan.45

Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada

bapaknya dapat terjadi dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Melalui pernikahan yang sah.

43

Wahbah al-Zuhaili, op.cit, hlm. 7247. 44

Ibid., hlm.7247. 45

Wahbah al-Zuhaili, op.cit., hlm. 7249.

34

Para Ulama‟ fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami

dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya dinasabkan

kepada suaminya itu.

Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang

melahirkan dengan syarat antara lain :

1) Menurut Ulama‟ Hanafiyyah anak itu dilahirkan paling tidak enam

bulan setelah perkawinan. Dan jumhur Ulama‟ menambahkan

dengan syarat suami isteri itu telah melakukan senggama. Jika

kelahiran itu lebih dari enam bulan sejak pernikahan, maka anak

itu dapat dinasabkan kepada suami si wanita.46

Batasan enam bulan

ini didasarkan pada kesepakatan para Ulama‟, bahwa masa

minimal kehamilan adalah enam bulan.47

Kesimpulan ini mereka

ambil dari pemahaman beberapa ayat al-Qur‟an, di antaranya

firman Allah SWT dalam surat al-Ahqaf ayat 15 dan dalam surat

Luqman ayat 4.

Dalam surat al-Ahqaf dijelaskan bahwa masa kehamilan dan

menyusui adalah 30 bulan, tanpa ada perincian berapa masa

menyusui dan berapa masa kehamilan. Sedang surat Luqman ayat

14 menjelaskan masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 bulan. Dari

ini dapat dipahami masa minimal kehamilan adalah enam bulan.

2) Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebut haruslah seseorang

yang memungkinkan memberikan keturunan, yang menurut

46

Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hlm.7257. 47

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz IV, Beirut: Dar al- Fikr, tt., hlm. 348.

35

kesepakatan ulama adalah laki-laki yang sudah baligh. Oleh karena

itu, anak yang dilahirkan oleh seorang wanita dengan suami yang

belum baligh, yang menurut kebiasaan belum bisa berketurunan,

atau yang tidak bisa melakukan senggama tidak bisa dinasabkan

kepada suaminya, meskipun anak itu lahir setelah enam bulan dari

perkawinan.48

3) Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad nikah.

Hal ini disepakati oleh ulama. Namun mereka berbeda dalam

mengartikan kemungkinan bertemu, apakah pertemuan tersebut

bersifat lahiriyah atau bersifat perkiraan. Ulama‟ Hanafiyyah

berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan menurut

logika bisa terjadi. Oleh sebab itu, apabila wanita itu hamil selama

enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya, maka

anak yang lahir dari kandungannya itu dinasabkan kepada

suaminya, namun argumentasi ini ditolak oleh jumhur Ulama‟.49

b. Nasab yang ditetapkan melalui pernikahan fasid.

Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam

keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih

dalam masa „iddah. Menurut kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab

anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab

anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi Ulama‟ fiqh

48

Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,hlm. 7256. 49

Ibid., hlm.7258.

36

mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak anak dalam

pernikahan fasid tersebut :

1) Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu

seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa

menyebabkan isterinya tidak hamil.

2) Hubungan senggama bisa dilaksanakan.

3) Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah

terjadinya akad fasid (menurut jumhur Ulama) dan sejak hubungan

senggama (menurut Ulama Hanafiyah). Apabila anak itu lahir

sebelum waktu enam bulan setelah akad nikah atau melakukan

hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada

suami wanita tersebut.

Apabila anak lahir setelah pasangan suami isteri melakukan

senggama dan berpisah, dan anak itu lahir sebelum masa maksimal

masa kehamilan, maka anak itu dinasabkan kepada suami wanita

tersebut. Namun jika anak itu lahir setelah masa maksimal kehamilan,

maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.50

c. Nasab yang disebabkan karena senggama subhat.

Senggama subhat maksudnya terjadinya hubungan seksual

antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam

keyakinannya adalah isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan

karena terjadinya pernikahan yang sah dan bukan pula karena adanya

50

Ibid., hlm. 7263.

37

senggama dalam akad nikah yang fasid dan bukan pula dari perbutana

zina, tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan. Misalnya; dalam

keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang

wanita didalam kamarnya yang menurut keyakinannya adalah

isterinya. Dalam kasus seperti ini jika wanita itu hamil dan melahirkan

setelah enam bulan sejak terjadinya senggama subhat dan sebelum

masa maksimal kehamilan, maka anak yang lahir itu dinasabkan

kepada laki-laki yang menyenggamainya. Akan tetapi jika anak itu

lahir setelah masa maksimal masa kehamilan maka anak itu tidak dapat

dinasabkan kepada laki-laki itu.51

3. Status nasab anak diluar pernikahan.

Mengenai status anak diluar pernikahan, para Ulama‟ sepakat

bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun

spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pula dengan hak

waris-mewaris.52

Dalam hal anak diluar pernikahan ini, terbagi ke dalam dua

kategori :

a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan

dalam pernikahan yang sah.

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi‟i, anak yang lahir setelah

enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan

51

Ibid.,hlm.7264. 52

Ibn Rusyd, op.cit., hlm. 357.

38

kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka

anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu,

menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap

dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.53

Perbedaan

pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan Ulama‟ dalam

mengartikan lafaz firasy, dalam hadist nabi :

54

Artinya: “Dan menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi‟ dan Abd

bin Humaid bahwa ibnu Rafi‟ berkata menceritakan kepada

kami Abd Razzaq: memberitakan pada kami Mu‟ammar dari al

Zuhri dari Ibnu al Musayyab dan Abi Salamah dari Abi

Hurairah bahwasnya Rasulullah SAW bersabda: anak bagi

pemilik firasy (perempuan) dan bagi pezina adalah rajam.

Mayoritas Ulama‟ mengartikan lafadz firasy menunjukkan

kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk

berlutut). Namun ada juga Ulama‟ yang mengartikan kepada laki-laki

(bapak).55

b. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah.

Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan

statusnya dengan anak zina dan anak li‟an, oleh karena itu maka

mempunyai akibat hukum sebagai berikut :

53

M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm. 81. 54

Imam Muslim, op.cit, hlm. 768. Hadist no.6750 55

Jalaluddin al-Mahalli, al-Qalyuby wa Amirah, Juz III, Semarang: Maktabah Putra

Semarang, tt., hlm. 31.

39

1) Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib

memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia

tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara

manusiawi, bukan secara hukum.

2) Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan

nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan.

3) Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila

anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah

dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh

bapak biologisnya.56

56

Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2002,

hlm.195.

40

BAB III

PENDAPAT ULAMA’ HANAFIYYAH TENTANG STATUS MAHRAM

ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA

A. Ulama’ Mazhab Hanafiy

1. Pendiri Mazhab Hanafiy

Mazhab Hanafiy yang merupakan salah satu dari beberapa aliran

fiqh yang berlandaskan ahl al sunnah wa al jama‟ah didirikan oleh

Ulama‟ besar pada zamannya, yaitu an-Nu‟man bin Tsabit bin Zutha yang

terkenal dengan sebutan Abu Hanifah. Beliau merupakan seorang

keturunan Persia. Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H dan hidup

di sana sampai wafatnya. Ayahnya seorang pedagang besar, pernah

berjumpa dengan Ali ibn Abi Thalib. Karenanya sebelum beliau

memusatkan perhatian pada keilmuannya, beliau turut berdagang di pasar.

Kecerdasan yang dimilikinya menjadikan banyak orang tertarik, maka al

Sya‟bi menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya

kepada ilmu. Dengan anjuran tersebut mulailah Abu Hanifah terjun ke

dunia ilmu. Namun demikian, Abu Hanifah tidak melepaskan usahanya

sama sekali.1

Dalam kehidupan sehari-hari Abu Hanifah adalah seorang yang

hidup berkecukupan. Walaupun beliau seorang pedagang, beliau tidak

tamak dan mengambil keuntungan sedikit dari dagangannya. Namun,

1 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang:

PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 441-442.

41

walaupun begitu keuntungan yang didapat tetap melimpah. Keuntungan

tersebut beliau pergunakan untuk penghidupan para ulama‟ dan ahli

hadits, dan juga untuk memelihara muru‟ah para Ulama‟ dan memenuhi

kebutuhan mereka.

Abu Hanifah pernah menimba ilmu pada Zaid ibn Ali, Ja‟far al

Shadiq, dan Abdullah ibn Hasan ibn Hasan. Abu Hanifah menghubungi

para tabi‟in yang berguru kepada sahabat-sahabat besar, sahabat-sahabat

yang terkemuka dalam bidang fiqh dan ijtihad, seperti Umar, Ali, Ibnu

Mas‟ud dan Ibnu Abbas.2

Seluruh perawi mengatakan bahwa Abu Hanifah berguru kepada

Hammad ibn Abi Sulaiman, pemuka fiqh di Irak. Beliau berguru

kepadanya selama 18 tahun sejak berusia 22 tahun. Beliau belajar fiqh

Ulama‟ Irak yang tidak lain dari saripati fiqh Ali, Ibn Mas‟ud, dan fatwa-

fatwa al Nakha-i.3

Dalam bidang ilmu fiqh, walaupun perhatiannya terpusat pada

bidang ilmu tersebut, namun tidak ditemukan satu kitab pun dalam bidang

ilmu fiqh yang ditulis beliau. Hal ini dikarenakan pada zaman beliau

belum ada percetakan, sehingga murid-muridnya lah yang meneruskan

dan membukukannya.4

Dalam kitab Radd al Mukhtar disebutkan bahwa Abdullah ibn al

Mubarak berkata bahwa beliau (Abu Hanifah) adalah inti dari ilmu. Imam

2 Ibid., hlm. 443-444.

3 Ibid., hlm. 448.

4 Ibid., hlm. 457.

42

Malik pun berpendapat tentang Abu Hanifah setelah menanyakan masalah

perbedaan dalam ilmu bahwa beliau benar-benar ahli fiqh.5

2. Pengikut Mazhab Hanafiy

Abu Hanifah memiliki banyak murid. Banyak di antaranya yang

meneruskan fiqhnya, seperti Abu Yusuf dan Zufar. Namun, ada juga yang

memiliki pemikiran sendiri dan mengeluarkan fiqh sendiri, seperti Imam

Syafi‟i. Penerus-penerus Abu Hanifah yang telah membukukan fiqh-fiqh

yang diajarkan beliau. Mereka juga merupakan tenaga pokok dalam

perkembangan Madzhab Hanafi.6

Muridnya yang lain adalah Muhammad ibn al Hasan al

Syaibani. Dia tidak belajar kepada Abu Hanifah dalam waktu yang lama,

akan tetapi dia menyempurnakannya dengan belajar kepada Abu Yusuf.7

Selain itu, di dalam Madzhab Hanafi terdapat pembagian tingkatan-

tingkatan Ulama‟. Disebutkan di dalam kitab Syarh Fath al Qadir, bahwa

tingkatan-tingkatan tersebut terbagi ke dalam enam tingkatan, yaitu

sebagai berikut :8

a. Tingkatan Mujtahid didalam mazhab

Tingkatan ini adalah tingkatan yang terdiri atas orang-orang

yang mampu mengeluarkan hukum dengan ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah. Seperti Abi Yusuf, Muhammad

5 Muhammad Amin, Radd al Mukhtar, juz I, Beirut-Lebanon: Dar al Kutub al

„Ilmiyyah, 1994, hlm. 33. 6 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, loc.cit.

7 Muhammad Amin, op. cit., hlm 39.

8 Ibnu al Himam al Hanafiy, Syarh Fath al Qadir, juz I, Beirut-Lebanon: Dar al

Kutub al „Ilmiyyah, 1995, hlm. د .

43

Ibn al Hasan. Tingkatan ini merupakan tingkatan ijtihad yang kedua,

karena tingkatan ijtihad yang pertama berada pada guru mereka atau

Imam Abu Hanifah.

b. Tingkatan Mujtahid di dalam masalah-masalah yang tidak ada

riwayatnya.

Tingkatan ini terdiri atas orang-orang yang tidak boleh

bertentangan dengan Imam Abu Hanifah di dalam masalah furu‟

ataupun ushul, akan tetapi mereka beristinbath hukum yang tidak ada

riwayatnya dengan melihat ushul-nya. Seperti al Khasshaf, al

Thahawiy, al Halwaniy, al Bazdawiy.

c. Tingkatan Ulama‟ yang men-takhrij.

Tingkatan orang-orang yang mampu merincikan pendapat-

pendapat yang masih global dan menyempurnakan pendapat-pendapat

yang sudah ditetapkan tanpa adanya kemampuan untuk berijtihad,

seperti al Razi.

d. Tingkatan Ulama‟ yang men-tarjih.

Tingkatan orang-orang yang mampu dalam mengutamakan

sebagian riwayat dibandingkan dengan sebagian riwayat yang lain

karena lebih baik dirayah-nya. Seperti Abi al Husain al Qadwariy.

Tingkatan ini adalah orang-orang yang mengatakan “ini merupakan

pendapat yang lebih utama, ini yang lebih sah.”9

9 Muhammad Amin, op. cit., hlm 30.

44

e. Tingkatan muqallid.

Tingkatan yang terdiri atas orang-orang yang mampu untuk

membedakan antara pendapat yang kuat (قوي), lemah (ضعيف),

diunggulkan (مرجح), dan dilemahkan (سخيف). Seperti Ulama‟

mutaakhirin dari Mazhab Hanafi yang mengarang kitab-kitab

mu‟tabarah, seperti Syaikh Sayid al Halabi yang mengarang kitab

Durr al Mukhtar. Di dalam kitabnya mereka tidak mengambil

pendapat-pendapat yang ditolak dan riwayat-riwayat yang lemah.10

f. Tingkatan Ulama‟ selain dari lima tingkatan sebelumnya.

Tingkatan orang-orang selain dari tingkatan sebelumnya yang

tidak bisa membedakan antara yang berisi dan tidak berisi, antara

yang kiri dan yang kanan. Akan tetapi, mereka hanya mengumpulkan

apa yang mereka temukan.11

Sedangkan keterangan yang terdapat di dalam kitab Radd al

Mukhtar bahwa tingkatan tersebut terbagi ke dalam tujuh tingkatan. Kitab

tersebut hanya menambahi satu tingkatan yang berada di tingkat yang

paling atas, yaitu tingkatan mujtahid di dalam syari‟at. Mereka adalah

orang-orang yang menetapkan kaidah-kaidah pokok dalam penggalian

hukum, seperti Imam-Imam mazhab.12

10

Ibid. 11

Ibnu al Himam al Hanafiy, loc. cit. 12

Muhammad Amin, op. cit., hlm 29.

45

B. Pendapat Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status Mahram Anak Perempuan

Hasil Zina

Penulis menjadikan Ulama‟ Hanafiyyah sebagai batasan analisa,

karena dalam literatur fiqh tidak ditemukan bahwa Imam Abu Hanifah

menulis buku yang berhubungan dengan fiqh. Selain itu, banyak murid-murid

dari Imam Abu Hanifah yang kemudian meneruskan dan menulis kitab-kitab

yang berhubungan dengan fiqh yang disesuaikan dengan ajaran dari Imam

Abu Hanifah. Dengan demikian, maka penulis bermaksud memaparkan

bagaimana pendapat Ulama‟ Hanafiyyah berkaitan dengan status mahram

anak perempuan hasil zina.

Selain itu yang penulis maksud dengan Ulama‟ Hanafiyyah disini

adalah terbatas pada Ulama‟ fiqh mazhab Hanafiy pada kitab yang penulis

jadikan bahan primer penulisan, yakni kitab al Mabsuth karya Syams al Din

al Sarkhasi, kitab Bada‟i al Shana‟i karya „Alauddin al Kasaniy, dan kitab

Syarh Fath al Qadir karangan Ibnu al Himam al Hanafiy.

Disebutkan dalam kitab al Mabsuth karangan Syams al Din al

Sarkhasi bahwa anak perempuan hasil zina pada dasarnya menetapi

kedudukan nasab dengan bapak biologisnya hanya saja anak tersebut tidak

boleh disandarkan kepadanya. Karena memutus nasab secara syar‟i disini

dimaksudkan agar diketahui bahwa air spermanya menjadi sia-sia sehingga

mengandung arti mencegah perbuatan zina.

46

13

“Adapun menurut kami terjadi ketetapan hukum nasab akan tetapi

tidak terdapat ketetapan menasabkan/menyandarkan (anak hasil

zina kepada bapaknya) tersebut, karena menasabkan (seseorang

kepada orang lain) adalah bertujuan kemuliaan sedang tidak ada

kemuliaan bagi orang yang melakukan zina.”

Karena pada dasarnya asal muasal terciptanya anak adalah hasil dari

hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan perempuan

atau karena bertemunya dua air yakni ovum dan spermatozoa. Sehingga

masing-masing merupakan bagian dari sebagian yang lain yang tidak dapat

terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lain, karena perbuatan zina

tersebut sebab yang menjadikan benih timbulnya anak. Demikian yang

menjadikan ketetapan mahram anak perempuan hasil zina dengan bapak

biologisnya.

14

“Sifat sebagian menjadi alasan yang patut untuk menetapkan

hubungan mahram, karena manusia sebagaimana ia tidak dapat

bersenggama dengan dirinya sendiri ia juga tidak dapat

bersenggama dengan sebagian darinya. Perlu diingat bahwasanya

tiadanya ketetapan hubungan nasab disini adalah bukan karena

tidak adanya sifat/makna sebagian akan tetapi karena

keserupaan”

13

Syams al Din al Sarkhasi, al Mabsuth, juz IV, Beirut-Lebanon: Dar al Ma‟rifah,

tt., hlm. 205. 14

Ibid, hlm. 207.

47

Dari kitab tersebut juga dituliskan:

15

“Dan sebagian dari cabang-cabang permasalahan ini adalah anak

perempuan dari laki-laki yang berzina, yakni laki-laki tersebut

melakukan zina dengan perempuan yang masih perawan dan

membiarkannya hingga ia melahirkan anak perempuan maka

diharamkan baginya menikahi anak tersebut menurut kami.”

Sebagaimana keterangan diatas, dalam kitab Bada‟i al Shana‟i

karangan Imam „Ala‟ al Din Abi Bakr ibn Mas‟ud al Kasani al Hanafiy

disebutkan bahwa status mahramnya anak perempuan hasil zina adalah

karena anak tersebut secara biologis merupakan sebutan untuk perempuan

yang diciptakan dari air maninya. Hanya saja anak tersebut tidak boleh

disandarkan kepada laki-laki tersebut secara syar‟i karena jika demikian maka

dapat menimbulkan kesan menyebarkan perbuatan keji yang dilarang syari‟at.

Hal tersebut sebagaimana yang tertulis, yaitu:

16

“Anak perempuan ( ) seseorang adalah sebutan untuk anak

perempuan yang diciptakan dari air (sperma)nya secara biologis,

dan ini topik yang sedang dibahas, maka anak perempuan tersebut

secara biologis merupakan anak perempuannya hanya saja tidak

boleh disandarkan (nasabnya) kepadanya secara syar‟i karena

terdapat kesan menyebarkan perbuatan tercela. Dan hal ini bukan

berarti meniadakan nasab secara biologis/hakiki.”

15

Ibid. hlm. 206. 16

„Alauddin Ibnu Mas‟ud al Kasani, Badai‟ al-Shanai‟, Beirut-Lebanon: Dar al

Kutub al Ilmiyah, 1986, juz.II, hlm. 257.

48

Keterangan dalam kitab Syarh Fath al Qadir karangan Ibnu al

Himam al Hanafiy juga menguatkan penjelasan tersebut diatas bahwa

ketentuan secara hakiki/biologis menjadi sebab penetapan status mahram

nikah bagi anak perempuan hasil zina terhadap bapak biologisnya.

17

“Dan perempuan yang tercipta dari air spermanya adalah anak

perempuannya secara bahasa dan biologis/hakiki, dan tidak

terdapat ketetapan secara syar‟i memindah sebutan anak

perempuan dan anak.”

Dalam kitab tersebut juga disampaikan:

18

“Maka kami nyatakan bahwasanya hukum haram (menikahi)

tersebut berdasar atas apa yang menjadi pertimbangan secara

hakiki, kemudian hal inilah yang berlaku yang dikenali sebagai

bentuk hati-hati dalam perintah untuk keluar dari perbedaan

pendapat”

Lebih jelasnya dituliskan dalam kitab tersebut:

19

“Jika seorang perempuan melahirkan anak (perempuan) darinya,

yakni jika seorang laki-laki melakukan zina dengan perempuan

yang masih perawan dan membiarkannya hingga ia melahirkan

anak (perempuan) maka diharamkan baginya menikahi anak

tersebut karena pada hakikatnya ia adalah anak perempuannya

meski ia tidak saling mewarisi, dan tidak wajib memberi nafkah

kepadanya.”

17

Imam Ibnu al Himam al Hanafiy, Syarh Fath al Qadir, Beirut-Lebanon: Dar al

Kutub al Ilmiyah, t.t., juz.III, hlm. 211. 18

Ibid. 19

Ibid, hlm. 210.

49

Selain itu, menurut Ulama‟ Hanafiyyah, hubungan seksual dengan

jalan zina juga menjadi penyebab terjadinya hubungan mahram mushaharah.

Hal ini karena Ulama‟ Hanafiyyah tidak membedakan bentuk hubungan

seksual baik yang halal maupun yang haram, sehingga hubungan seksual

karena zina juga berakibat pada ketetapan hubungan mahram ashlu dan far‟u

dari perempuannya begitu juga sebaliknya.

20

“Kemudian diketahui bahwa yang menjadi pertimbangan pada

pokoknya yaitu hubungan seksual itu sendiri dengan tanpa

memandang apakah seks yang dilakukan halal atau haram.”

Dari uraian literatur-literatur Hanafiyyah diatas, penulis menarik

kesimpulan bahwa di dalam permasalahan yang sedang penulis bahas,

Ulama‟ Hanafiyyah memberikan penjelasan bahwa anak perempuan hasil

zina menjadi mahram bagi laki-laki yang bersenggama dengan wanita yang

melahirkannya, meski bagi keduanya tidak terjadi penetapan hubungan nasab

secara syar‟i, hak saling mewarisi dan kewajiban memberi nafkah.

C. Landasan Hukum Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status Mahram Anak

Perempuan Hasil Zina

Dalam menetapkan ketentuan tentang ketetapan status mahram anak

perempuan hasil zina Ulama‟ Hanafiyyah menggunakan landasan hukum

berupa:

20

Ibid., hlm. 211

50

1. Al-Qur‟an

Dalam permasalahan yang penulis kaji, berdasarkan kitab-kitab

Hanafiyyah yang penulis teliti, tidak terdapat landasan dalil atau nash

baik dari al-Qur‟an maupun Sunnah yang menerangkan tentang

permasalahan status mahram anak perempuan hasil zina. Namun

demikian Ulama‟ Hanafiyyah yang dikenal ahlu al ra‟yu dalam istinbath

hukumnya beralasan bahwa nash al-Qur‟an tentang muharramat al nisa‟

adalah lafadz yang umum.

21

“Dan anak pemempuannya menjadi mahram baginya sebab nash,

yakni firman Allah SWT: dan anak-anak perempuan kalian, baik

anak tersebut hasil dari pernikahan maupun jalan yang tidak

benar karena umumnya nash.”

Dijelaskan pula dalam kitab tafsirnya Imam Abu Bakar Ahmad al

Razi al Jasshos bahwa ayat tahrim pada surat an-Nisa‟ ayat 23 adalah

termasuk lafadz yang umum yang berfungsi untuk semua sebutan yang

terkandung didalamnya secara hakiki, dan tidak terdapat perbedaan

pendapat bahwa nenek dan keatasnya adalah menjadi mahram.

22

“Syaikh Abu Bakar berkata: firman Allah (hurrimat „alaikum)

merupakan lafadz yang umum mengandung semua makna/sebutan

yang terkandung secara hakiki.”

21

„Alauddin Ibnu Mas‟ud al Kasani, op.cit., hlm. 257. 22

Abu Bakar Ahmad al Razi al Jasshos, Ahkam al Qur‟an, juz II, tt., Beirut-

Lebanon: Dar al Fikr, hlm. 176.

51

Hal tersebut karena Ulama‟ Hanifiyyah berpendapat bahwa

penunjukan lafadz yang umum terhadap satuan makna yang termasuk

dalam pengertiannya tergolong qath‟i dalalah bila dalam lafadz tersebut

tidak terdapat kemungkinan lain yang timbul karena adanya dalil lain.

Sedang menurut Golongan Maliki, Syafi‟i dan golongan Hanbali bahwa

lafadz yang umum tersebut tidak dapat menunjukkan semua makna

cakupannya secara qath‟i, tetapi sebaliknya, ia hanya menunjukkan

secara zhanny. Karena dari segi lahiriah lafadz tersebut masih terdapat

kemungkinan untuk ditakhsis. 23

Sedang Ulama‟ Hanafiyyah mendefinisikan lafadz umum („am)

sebagai suatu lafadz yang mencakup arti secara keseluruhan, baik

menggunakan lafadz seperti rijal, atau menggunakan isim maushul yang

menunjukkan arti jamak.24

2. Kebahasaan

Dari segi bahasa ini terdapat perbedaan yang mendasar antara

golongan Ulama‟ Hanafiyyah dengan golongan Syafi‟i.

Perbedaan tersebut terdapat pada pengertian lafadz nikah atau

nakaha. Menurut Ulama‟ Hanafiyyah lafadz nikah secara

etimologi/kebahasaan hakikatnya bermakna jima‟ yang berasal dari

makna berkumpul lalu diartikan sebagai akad secara majazi karena dua

23 M. Abu Zahrah, op.cit., hlm. 237. 24 Ibid., hlm. 236.

52

hal, pertama karena akad menjadi sebab syar‟i menuju jima‟, kedua

karena dalam akad sendiri mengandung arti berkumpul.25

Sehingga dengan pengertian tersebut Ulama‟ Hanafiyyah

berpendapat jika terdapat seorang perempuan menikah dengan seorang

laki-laki lalu keduanya sudah melakukan hubungan seksual, maka

perempuan tersebut menjadi mahram bagi anak laki-lakinya. Apabila

belum melakukan hubungan seksual maka tidak menjadi mahram.

Sedangkan golongan Syafi‟i mengartikan lafadz nakaha sebagai

akad secara hakikat dan syar‟i dan bermakna jima‟ secara majazi, yakni

termasuk menyebut sesuatu yang menyebabkan atas yang disebabkan

karena boleh meniadakan jima‟ dari nikah sebagai akad.26

Dikatakan pengertian nikah sebagai jima‟ secara majazi adalah

karena hal ini termasuk menyebutkan sesuatu yang disebabkan atas

sesuatu yang menyebabkan. Karena jima‟ adalah sesuatu yang terjadi

sebab akad yang telah berlangsung.

Dengan pendapat yang demikian lalu golongan Syafi‟i

menetapkan bahwa seorang perempuan yang menikah secara sah dengan

laki-laki (yang sudah mempunyai anak laki-laki) baik keduanya sudah

berhubungan seksual atau belum maka perempuan tersebut menjadi

mahram nikah bagi anak laki-lakinya.

25

Syams al Din al Sarkhasi, op.cit., hlm. 192. 26

Abdullah ibn hajaziy, Hasyiyah al Syarqawi, juz II, 1996, cet.I, Beirut Lebanon:

Dar al Fikr, hlm. 206.

53

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ HANAFIYYAH TENTANG STATUS

MAHRAM ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA

A. Analisis Terhadap Pendapat Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status Mahram

Anak Perempuan Hasil Zina

Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini,

seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki,

seperti hubungan seks luar nikah dan hamil luar nikah. Hal ini disebabkan

oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala

dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa

adanya ikatan perkawinan.

Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat

sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak,

walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari

perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil

luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak

biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum.

Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “barang siapa

menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui

bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.

54

Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh

menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa

ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang yang

tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang

menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu

bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa.

Berbicara mengenai status mahram anak perempuan hasil zina maka

penulis mendapati perbedaan pendapat diantara Ulama fiqh. Ulama‟ Syafi‟i

dan sebagian ulama‟ Malikiyyah berpendapat bahwa status anak perempuan

yang lahir tersebut tidak menjadi mahram nikah bagi laki-laki yang telah

berzina dengan ibunya. Sedangkan Ulama‟ Hanafiyyah dan Hanabillah

berpendapat bahwa anak perempuan yang dihasilkan sebab hubungan zina

adalah haram baginya.1

Selain itu Ulama‟ Hanafiyyah juga menetapkan bahwa pada dasarnya

laki-laki yang berzina dengan perempuan yang kemudian melahirkannya itu

pada hakekatnya mempunyai hubungan nasab dengannya hanya saja tidak

secara syar‟i.2

Dari masalah yang berkaitan dengan status mahram anak hasil zina

tersebut penulis melihat bahwa Ulama‟ Hanafiyyah dalam berpendapat

tentang anak perempuan hasil zina tidak boleh dinikahi oleh ayah biologisnya,

1 Imam Ibnu al Himam al Hanafiy, Syarh Fath al Qadir, Beirut-Lebanon: Dar al

Kutub al Ilmiyah, t.t., juz.III, hlm. 211. 2 Ala‟uddin Ibnu Mas‟ud al Kasani, Badai‟ al-Shanai‟, Beirut-Lebanon: Dar al

Kutub al Ilmiyah, 1986, juz.II, hlm. 257.

55

adalah karena beralasan bahwa dengan diharamkan maka dimaksudkan dapat

mencegah dari perbuatan zina karena sekaligus sebagai hukuman tambahan.3

Penulis melihat bahwa dalam masalah tentang status mahram anak

perempuan hasil zina, Ulama‟ Hanafiyyah menyamakannya dengan anak

perempuan dari jima‟ yang halal. Hal ini dikarenakan walau bagaimanapun

anak tersebut berasal dari dua air yang menjadi satu, sehingga ia merupakan

bagian darinya. Karena tidak mungkin ia berasal dari satu air saja. Jadi,

Ulama‟ Hanafiyyah menyamakan status mahram anak yang dilahirkan dari

zina dengan dari jima‟ yang halal dengan arti bahwa Ulama‟ Hanafiyyah tidak

memandang jenis jima‟ apakah itu halal atau haram akan tetapi Ulama‟

Hanafiyyah menyatakan bahwa yang menjadi dasar adalah jima‟ yang

menyebabkan lahirnya anak. Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut

selain menetapkan nasab secara biologis Ulama‟ Hanafiyyah juga menetapkan

hubungan semenda (mahram mushaharah) ibu keatas dari perempuan yang

berzina dengannya, anak perempuannya kebawah, saudara perempuannya, dan

seterusnya sesuai urutan mahram.

Meskipun pendapat ini terkesan tidak sejalan dengan pendapat bahwa

anak hasil zina tidak wajib dinafkahi dan tidak memiliki hak waris terhadap

bapak biologisnya. Namun mereka mendasari hal tersebut dengan mengatakan

bahwa ( ) anak perempuan seseorang hakekatnya berarti sebutan untuk

perempuan yang diciptakan dari air spermanya, hal inilah yang menjadi pokok

3 Syams al Din al Sarkhasi, al Mabsuth, juz IV, Beirut-Lebanon: Dar al Ma‟rifah, tt.,

hlm. 207.

56

dalam persoalan mahram hanya saja secara syar‟i anak tersebut tidak boleh

disandarkan padanya, tanpa menafikan status biologis anak dengan bapak.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri mengenai mahram

nikah sebenarnya telah diatur, hanya saja tidak terdapat keterangan tentang

status maham anak perempuan hasil zina. Dalam KHI hanya disebutkan

larangan kawin karena pertalian nasab, semenda dan susuan dimana tidak

ditemukan keterangan mengenai larangan kawin sebab zina. Maka apabila

dilihat ketentuan tersebut masih umum bila dibandingkan dengan pendapat

Ulama‟ Hanafiyyah dan cenderung mendukung pendapat Ulama‟ Syafi‟iyyah

dan Malikiyyah yang membolehkan menikahi anak perempuan hasil zinanya.

Sedang pendapat Ulama‟ Hanafiyyah tentang haramnya seorang laki-

laki menikahi anak perempuan hasil zinanya karena masih sebagai anak

biologisnya, penulis setuju dengan pendapat tersebut. Karena dengan status

haram tersebut dapat berpengaruh terhadap psikologi kedewasaan anak

sehingga menurut penulis hal ini lebih berdampak positif mengingat

pentingnya menjaga keturunan sebagaimana yang disyari‟atkan oleh agama.

Selain itu, dari paparan kitab-kitab Hanafiyyah yang penulis

ketemukan, melihat adanya kesamaan pendapat yang dikeluarkan walaupun

masa dari kitab-kitab Hanafiyyah tersebut berbeda-beda. Seperti yang telah

penulis jabarkan di dalam bab III bahwa dalam fiqh Hanafi terdapat tingkatan-

tingkatan ahli fiqh. Mulai dari mujtahid sampai dengan muqallid. Penulis

melihat ketetapan hukum yang telah ditetapkan dari mujtahid tidak akan

berubah kecuali akan menjadi pertentangan bagi mujtahid-mujtahid yang lain.

57

Dari kitab-kitab tersebut, penulis menemukan kitab al Mabsuth yang

merupakan karangan Muhammad ibn Hasan yang terkenal dengan Syams al

Din al Sarkhasi atau murid dari Abu Hanifah merupakan kitab yang

menduduki karya dari mujtahid dalam madzhab. Hal ini dikarenakan

pengarang dari kitab tersebut adalah murid langsung dari Imam Abu Hanifah.

Sehingga di dalam kitab tersebut terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dari

para mujtahid. Terlebih dalam masalah yang sedang penulis kaji, yaitu status

mahram anak perempuan hasil zina. Penulis beranggapan bahwa pendapat

tentang status haramnya dinikahi anak perempuan tersebut merupakan

pendapat yang lebih unggul, demikian karena kitab-kitab hanafiyyah yang lain

juga mendukung pendapat tersebut, seperti kitab Fath al Qadir, al Bahr ar

Ra‟iq dan Bada-i‟ al Sahanai‟.

Jadi, penulis berkesimpulan bahwa dalam permasalahan yang sedang

penulis kaji Ulama‟ Hanafiyyah menetapkan hubungan mahram nikah anak

perempuan hasil zina dengan laki-laki yang berbuat zina dengan perempuan

yang melahirkannya karena hakekatnya merupakan anak biologisnya

sangatlah tepat, bahkan bila diterapkan pada saat sekarang di mana era

globlasasi sering dimaknai berlebihan dan saat pergaulan remaja muda-mudi

begitu bebas.

Kesimpulan penulis diatas, sesuai dengan pendapat dari Ibnu

Taimiyyah ketika ditanya mengenai anak perempuan hasil zina apakah boleh

menikah dengan bapaknya, beliau menjawab bahwa jumhur Ulama‟

berpendapat tidak boleh laki-laki tersebut menikahinya. Ibnu taimiyyah

58

mengutarakan alasan yang sama dengan pendapat dari Ulama‟ Hanafiyyah

dengan mengatakan bahwasanya firman Allah SWT pada surat an Nisa‟ ayat

23 sebagaimana diatas mencakup setiap orang yang terkandung pada lafadz

tersebut baik secara hakiki maupun majazi, tanpa memandang apakah terdapat

hak waris maupun hak-hak yang lain atau tidak, karena yang jadi

pertimbangan adalah khusus status mahram.

4

“Dan ditanyakan kepada syaikh al Islam ibnu Taimiyyah tentang

anak perempuan hasil zina apakah boleh menikah dengan bapaknya?

Lalu ibnu Taimiyyah menjawab: puji syukur bagi Allah. Kebanyakan

Ulama‟ madzhab menyatakan bahwa tidak boleh menikahinya dan ini

merupakan pendapat yang dapat dipastikan kebenarannya.”

5

“Adapun hujjah Jumhur Ulama‟ yaitu dengan dikatakan: bahwa

firman Allah SWT (diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu kalian

dan anak-anak perempuan kalian) dst. Memuat setiap orang yang

terkandung dari lafadz tersebut baik secara hakiki maupun majazi,

menetapkan hak waris atau hak-hak yang lain atau tidak, kecuali

khusus persoalan mahram.”

4 Abdurrahman Ibnu Muhammad Qasim al Hanbaly, Majmu‟ Fatawa Syaikh al

Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, Jilid XXXII, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t., hlm. 134. 5 Ibid., hlm. 135.

59

B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ulama’ Hanafiyyah Tentang Status

Mahram Anak Perempuan Hasil Zina

Di dalam Madzhab Hanafi, landasan pokok yang digunakan dalam

beristimbath adalah al Quran dan al Sunnah. Apabila di dalam keduanya tidak

diketemukan, maka akan beralih kepada pendapat sahabat, ijma‟, qiyas,

istihsan, dan „uruf secara berurutan. Ulama‟ Hanafiyyah juga dikenal dengan

sebutan sebagai ahli ra‟yi dalam penentuan hukum suatu masalah, jadi

meskipun mereka menggunakan al Quran dan al Sunnah, mereka juga

menggunakan nalar pikir atau rasio mereka sehingga dalam metode

istinbathnya juga terdapat istihsan dan istishhab yang tidak digunakan oleh

madzhab selain Hanafi.

1. Landasan al Qur‟an

Dalam permasalahan yang sedang penulis kaji, di dalam

keterangan al Quran surat an Nisa‟ ayat ayat 23 sebagaimana penulis

paparkan pada bab III bahwa seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi

ibu, anak yang perempuan, saudara yang perempuan, saudara bapak yang

perempuan, saudara ibu yang perempuan, anak perempuan dari saudara

yang laki-laki, anak perempuan dari saudara yang perempuan, ibu yang

menyusui, saudara perempuan sepersusuan, ibu isteri (mertua), anak isteri

yang dalam pemeliharaan dari isteri yang telah dicampuri. Akan tetapi,

dari penjelasan dalam al Qur‟an tersebut tidak ada penjelasan tentang

status mahram akibat zina. Dari ayat tersebut Ulama‟ Hanafiyyah

menyatakan bahwa kalimat anak-anak perempuan kalian ( ) yang

60

terdapat pada surat an Nisa‟ ayat 23 adalah termasuk lafadz umum

sehingga mencakup semua yang dinamakan anak, baik ia berasal dari

pernikahan yang sah, wat‟i syubhat, atau zina.

Menurut penulis terdapat perbedaan cara pandang dimana

ketentuan mengenai umumnya lafadz adalah berkaitan dengan penetapan

nasab yang berkaitan dengan status anak yang dapat dihukumi secara

syar‟i sehingga anak perempuan hasil zina tidak termasuk dalam khitab

ayat waris dan nafkah.

Namun demikian Ulama‟ Hanafiyyah memandang bahwa meski

secara syar‟i anak tersebut tidak boleh disandarkan nasabnya kepada bapak

biologisnya, hal tersebut tidak menafikan keberadaan nasab secara hakiki

bahwa anak tersebut merupakan benih yang lahir dari air spermanya. Dan

dalam permasalahan mahram hal inilah yang sudah seharusnya menjadi

dasar pertimbangan dalam penetapan hubungan mahram seseorang dengan

orang lain. Penulis setuju dengan pendapat ini karena secara psikologis

apabila diketahui anak tersebut lahir dari benihnya sendiri sangat jarang

ada yang tega menikahinya. Disamping secara medis menikahi seseorang

yang masih punya hubungan darah rentan terhadap penyakit.

Dari sudut pandang lain pendapat ini terkesan ambigu mengingat

Ulama‟ Hanafiyyah disatu sisi menyatakan secara syar‟i tidak terdapat

hubungan nasab antara anak perempuan hasil zina dengan bapaknya

namun disisi lain menetapkan hubungan mahram keduanya.

61

Selain itu, penulis juga menemukan bahwa untuk memperkuat

argumentasinya Ulama‟ Hanafiyyah menjelaskan tentang upaya menutup

kemungkinan terulangnya perbuatan zina. Hal ini menurut penulis sesuai

dengan salah satu kaidah dalam pengambilan hukum yang disebut dengan

sad al adzara‟i (upaya pencegahan), yaitu upaya untuk menutup semua

pintu yang berpeluang untuk dijadikan jalan masuk menuju perbuatan

maksiat. Maka sebagai upaya pencegahan dari perbuatan itu

diberlakukanlah keharaman menikahi ashl (ibu, nenek, dst.) dan far‟u

(anak, cucu, dst.) dari perempuan yang berzina dan begitu sebaliknya.

2. Landasan kebahasaan

Secara bahasa atau lughowiy terdapat perbedaan pendapat yang

mendasar antara Ulama‟ Hanafiyyah dan golongan Syafi‟i tentang

pengertian lafadz nikah, dimana perbedaan tersebut berimplikasi terhadap

pendapat keduanya tentang muharramat an nisa‟.

Dari segi bahasa ini Ulama‟ Hanafiyyah berpendapat bahwa

apabila lafadz nikah berdiri sendiri tanpa ada petunjuk lain yang

mengarahkan untuk dipindah maknanya, maka nikah tersebut

dimaksudkan sebagai hubungan seksual.

Hal ini karena akad secara syar‟i menjadi sebab terjadinya

hubungan seksual, karena makna asal dari nikah adalah berkumpul

kemudian dipinjamkan untuk makna akad. Sehingga Ulama‟ Hanafiyyah

berpendapat bahwa seorang perempuan maka apabila sudah melakukan

hubungan seksual seorang laki-laki baik dengan cara yang halal maupun

62

dengan cara yang diharamkan, maka perempuan tersebut menjadi mahram

bagi anak laki-lakinya.

Menurut penulis dari segi bahasa ini, pendapat Ulama‟ Hanafiyyah

berusaha menunjukkan asal makna lafadz nikah itu sendiri. Hal ini

sangatlah tepat mengingat al Qur‟an sendiri diturunkan di Makkah dan

Madinah dengan menggunakan bahasa arab. Selain itu penggunaan lafadz

nikah telah digunakan oleh orang arab jauh sebelum al Qur‟an turun.

Sehingga ketentuan makna nikah sebagai jima‟ adalah berasal dari

orang arab sendiri yang memang mengartikan demikian. Dengan arti

apabila terdapat dalam al Qur‟an lafadz nikah selama tidak terdapat dalil

yang memalingkan dari makna aslinya maka diartikan sebagai jima‟.

Meskipun sebenarnya pendapat tersebut tidak kuat mengingat

biasanya dalam al Qur‟an sendiri lafadz nikah selalu diartikan dengan akad

sebagaimana yang penulis ketahui dari kitab al Syarqowi, sedangkan

bersandar pada kebiasaan yang sudah umum adalah lebih diutamakan.

63

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis uraikan atas apa yang menjadi pokok permasalahan

dalam pembahasan yang penulis kaji, penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa Ulama’ Hanafiyyah berpendapat tentang laki-laki yang berzina

dengan perempuan lalu melahirkan anak perempuan maka haram baginya

menikahi anak tersebut, Ulama’ Hanafiyyah berpendapat demikian

karena: pertama, adanya jima’ (hubungan seksual), dengan bukti bahwa

semua jenis jima’ yang halal adalah sebab timbulnya keharaman. Begitu

juga akad nikah dengan seorang janda tidak serta merta mengharamkan

akad nikah dengan anaknya selama belum terjadi hubungan seksual.

Kedua, karena dengan diharamkan dapat menjadi hukuman bagi para

pelaku zina dan peringatan keras bagi yang hendak melakukannya bahwa

perbuatan itu adalah termasuk perbuatan keji dan dosa besar. Maka

sebagai hukuman tambahan bagi pelaku adalah diharamkan menikahi ashl

dan far’u dari perempuan zinanya dan sebaliknya.

2. Ulama’ Hanafiyyah dalam menetapkan hukum tentang status mahram

anak perempuan hasil zina adalah dengan melihat umumnya lafadz pada

surat an-Nisa’ ayat 23 yang mencakup semua makna yang terkandung

dalam lafadz tersebut dengan menafikan status anak dari jima’ halal atau

tidak. Selain itu Ulama’ Hanafiyyah juga menggunakan metode istinbath

hukum sad ad dzara’i sebagai upaya mencegah perbuatan zina. Mereka

menggunakan metode ini sebagai hukuman tambahan kepada pelaku zina,

karena dengan demikian agar dapat diketahui bahwa spermanya menjadi

sia-sia.

B. Saran-saran

Pemikiran-pemikiran Ulama’ Hanafiyyah baik mengenai soal ibadah

maupun muamalah, sebenarnya masih banyak yang belum tergali. Pemikiran

Ulama’ Hanafiyyah mengenai status mahram anak perempuan hasil zina

hanyalah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan utuh pemikiran Ulama’

Hanafiyyah. Walaupun demikian, pemikiran Ulama’ Hanafiyyah yang

dibahas penulis ini terasa memberi kontribusi yang cukup berharga. Untuk itu

segala yang penulis simpulkan bukanlah jawaban akhir yang menutup untuk

dilakukan kajian ulang, melainkan sebagaimana tulisan-tulisan yang ada

masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya kemampuan, watak,

tenaga dan lain sebagainya.

Setelah penulis menyelesaikan pembahasan skripsi ini, penulis

menemukan beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan mengenai pendapat

Ulama’ Hanafiyyah tentang status mahram anak perempuan hasil zina.

Adapun hal-hal yang perlu penulis sampaikan diantaranya sebagai berikut:

1. Hendaknya kita menyadari realitas zaman yang semakin cepat berubah

dan maju serta modern, dimana syari’at Islam dengan segala aspeknya

dihadapkan pada persoalan-persoalan baru dan semakin modern

sedangkan literatur kita di bidang hukum hampir semuanya adalah hasil

karya Ulama’ terdahulu yang sudah berbeda jauh kondisinya dengan

keadaan sekarang, oleh karena itu untuk menjawab tantangan zaman yang

berorientasi kekinian diperlukan untuk mengkaji kembali pendapat

Ulama’ terdahulu yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan keadaan

sekarang.

2. Namun, syari’at Islam itu mempunyai nilai yang universal, oleh karena itu

masih banyak khazanah intelektual Islam yang masih relevan dengan

kondisi sekarang. Maka kita perlu berprinsip menggunakan ketentuan

lama yang masih relevan dan menggali ketentuan baru yang lebih baik.

3. Dengan mengadakan kajian ilmiah dan berfikir yang kritis analitis yang

menjauhkan kita dari sikap fanatisme madzhab, akan memberikan

wawasan yang luas tentang berbagai pendapat tentang hukum Islam.

Sehingga diharapkan dapat menjadi bahan referensi menjawab persoalan

kontemporer.

C. Penutup

Segala puji bagi Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penelitian ini

bisa berakhir dengan tuntas. Meski telah selesai dikerjakan penulis tetap

menyadari banyaknya kesalahan yang muncul baik dalam materi yang

dikumpulkan maupun dalam segi penulisan yang ada dalam karya ini.

Namun, sudah pasti dari setiap manusia mempunyai kelemahan.

Untuk itu, pastilah karya penulis ini tidak luput dari kekurangan itu. Maka

dari itu, penulis mengharapkan dengan sangat atas kritik yang konstruktif dan

sarannya demi perbaikan skripsi ini. itu penulis memohon dengan sangat

adanya layangan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan karya

berikutnya.

Akhir kata penulis sangat berterima kasih atas segenap perhatian dan

dukungan baik moril maupun spirituil serta penulis mohon maaf atas semua

kesalahan yang telah dilakukan dalam penyusunan tulisan ini. Baik karena

kesengajaan maupun yang tidak sengaja akibat kelemahan dan kekurangan

penulis dalam segi kualitas keilmuan.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : M. Saefudin Zuhri

Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 27 September 1984

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Lengkong Sayung RT 03 RW 07 Kec.

Sayung Kab. Demak 59563

Kewarganegaraan : Indonesia

Pendidikan Formal : 1. SD Negeri Sayung IV lulus tahun 1996

2. SMP Negeri Sayung I lulus tahun 1999

3. MA Futuhiyyah I lulus tahun 2002

4. IAIN Walisongo masuk tahun 2006

Pendidikan Non Formal : Ponpes Futuhiyyah Mranggen Demak

Demikian daftar riwayat hidup penulis dibuat dengan sebenar-benarnya.

Semarang, 05 Juni 2012

M. SAEFUDIN ZUHRI

NIM: 062111016

DAFTAR PUSTAKA

„Abdul „Aziz, Zainuddin bin, Fatkh al Mu’in Bi al Syarh al Qurrat al ‘Ain,

Indonesia: Dar Ihya‟i al-Kutub al-„Arabiyah, tt.

Al Khallaf, „Abd al Wahhab , ‘Ilmu Ushul al Fiqh, Kairo: tp., 1986, Cet. XX

Al Sarkhasi, Syams al Din, al Mabsuth, Beirut-Lebanon: Dar al Fikr, 2000, juz I

-------------------, al Mabsuth, Beirut-Lebanon: Daar al Ma‟rifah, tt.,

juz IV

Al-Mundziri, Abd. Azhim Zaki al-Din, Ringkasan Shahih Muslim, terj.

Mukhtashar Shahih Muslim, Mizan, Jakarta, 2002

Al Hanafiy, Ibnu al Himam , Fath al Qadir, Beirut-Lebanon: Dar al Kutub al

„Ilmiyyah, 1995, juz III

-------------------, Fath al Qadir, Beirut-Lebanon: Dar al Kutub al „Ilmiyyah, 1995,

juz I

Al Hanafiy, Ala‟uddin Abi Bakr ibn Mas‟ud al Kasani, Bada-i’ al Shanai’, Kairo:

Dar al Hadist, 2005, juz I

-------------------, Bada-i’ al Shanai’, Beirut-Lebanon: Dar al Kutub al Ilmiyah,

1986, juz III

Al-Jumbur, al-Azim Ma‟ani dan Ahmad, Hukum-Hukum Dari Al-Qur’an Dan

Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus

Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitabu al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz IV,

Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, tt.

Al-Mahalli, Jalaluddin, al-Qulyuby wa Umarah, Semarang: Maktabah Putra

Semarang, tt., Juz III

Al-Madilaga, Didi, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Bandung: CV. Pionerjaya,

1997

Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997,

cet. Ke-2

Al-Qadhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1976

Ali, M. Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1997

Amin, Muhammad, Radd al Mukhtar, Beirut-Lebanon: Dar al Kutub al „Ilmiyyah,

1994, juz I

Anas, Imam Malik bin, Al-Muwatta’, Beirut-Libanon: Dar al-fikr, 1989

---------------------, Shahih Muslim, Riyadh: Dar al-Mughni, 1998, cet. I

---------------------, Shahih Muslim II, Beirut-Libanon: Dar al-Maktabah al-„Ilmiah,

1992

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:

PT. Rineka Cipta,2006

Audah, Abd Qadir, al- Tasyri’ wa al-Jana’I al-Islamiy, Kairo: Dar al-Qurubah,

1963, Juz II

Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, cet II

Ash Shiddiqy, T.M. Hasbi, Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab,

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001

----------------------, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra, 1997

Al Hanbaly, Abdurrahman Ibnu Muhammad Qasim, Majmu’ Fatawa Syaikh al

Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, Jilid XXXII, Beirut: Dar al Kutub al

Ilmiyah, t.t.

Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006

Ibnu Majjah, Imam Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majjah, Beirut-Lebanon: Dar al

Ma‟rifah, tt.

Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju,

1996

M. Zainuddin, Masyhuri dan, Metodologi Penelitian, Bandung: Refika Aditama,

2008

Mahmud, Peter, Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005

Maqsood, Waris, Ruqyah, Mengantar Remaja ke Syurga, Bandung: al-Bayan,

1997

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta:Bumi Aksara,

1999

Mughniyah, Muhasmmad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, diterjemahkan oleh

Muhammad, Afif dari al Fiqh ‘Ala Madzahib al khamsah, Jakarta:

kencana, 1994, cet. I

Mujieb, Abdul, M., Mabruri, AM, Syafi‟i, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka

Firdaus,1994

Penterjemah al-Qur‟an, Yayasan Penyelenggara, al-Qur’an dan Terjemahannya,

Jakarta: Depag RI., 1995

Qardawi, Yusuf, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986

Qudamah, Imam Ibnu, al Mughniy, Beirut: Dar al Kitab al Arabiy, tt., Juz VII

----------------------, al-Mughniy, Riyadh: Maktabah al-Riyadah al-Hadisah, tt.,

Jilid X

Rahman, Abdul, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika

Presindo, 1992

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid, Juz IV, Beirut: Dar al- Fikr, tt.

Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah Jilid 6, terjemah Fiqhussunnah, Bandung: PT. al-

Ma‟arif, 1980

Sholeh, Qomarudin, Ayat-Ayat Larangan Dan Perintah, Bandung: CV

Diponegoro, 2002

Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, cet. II

Surakhmad, Winarna, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung: Taarsito, 1999

Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2002

---------------------, Hukum Perkawinan Islam: Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, Jakarta:Kencana, 2009

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973

Zahrah, M. Abu, Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟shum dkk. dari

“Ushul al Fiqh” Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, cet. IX

SUMBER LAIN

http://berita.liputan6.com/read/310436/survei_seks_pranikah_jangan_pojokkan_

perempuan

http://translate.google.co.id/translate?js=y&prev=_t&hl=id&ie=UTF8&layout=1

&eotf=1&u=http%3%2F%2Fen.wikipedia.org%2Fweki%2FHanafi&sl=en

&tl=id

Shihab, M. Quraish, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004