31
1 PENGARUH TEMPERATUR POST-CURING TERHADAP KEKUATAN TARIK KOMPOSIT EPOKSI RESIN YANG DIPERKUAT WOVEN SERAT PISANG Oleh Bodja Suwanto Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang Jalan Prof. H. Sudharto,S.H. Semarang Abstrak Curing is a process between resin and hardener (for epoxy resin) or catalyst where resin will begin to become more viscous until it reaches a state when it no longer a liquid and has lost its ability to flow(gel point) the resin will continue to harden after it has gelled, until, at some time later, has obtained its full hardness and properties, this reaction itself is accompanied by the generation of exothermic heat, which in turn, speed the reaction. Post curing itself is a next step process to curing process where resin is re-heated with various temperatures in order to increases the natural of resin mechanical properties. This paper addresses the problem of determining the effect of post-curing to one layer plain type woven banana fiber reinforced epoxy resin composite tensile strength at various temperatures (70 o C, 80 o C, 90 o C, and 100 o C ) with 60 minutes holding time curing temperature. After the test, the one layer plain type composite show the increase of tensile strength with maksimum tensile strength of 40.26 % occure at 100 0 C post-curing composite if compared to non treatment composite.. It happen because the curing process have reached the glass transition temperature ( Tg ) Key Words : composite, , glass transition temperature. post-curing, woven

jurnal_wahana_1332646817

Embed Size (px)

Citation preview

1

PENGARUH TEMPERATUR POST-CURING TERHADAP KEKUATAN

TARIK KOMPOSIT EPOKSI RESIN YANG DIPERKUAT WOVEN

SERAT PISANG

Oleh

Bodja Suwanto

Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang

Jalan Prof. H. Sudharto,S.H. Semarang

Abstrak

Curing is a process between resin and hardener (for epoxy resin) or catalyst

where resin will begin to become more viscous until it reaches a state when it no

longer a liquid and has lost its ability to flow(gel point) the resin will continue to

harden after it has gelled, until, at some time later, has obtained its full hardness

and properties, this reaction itself is accompanied by the generation of exothermic

heat, which in turn, speed the reaction. Post curing itself is a next step process to

curing process where resin is re-heated with various temperatures in order to

increases the natural of resin mechanical properties. This paper addresses the

problem of determining the effect of post-curing to one layer plain type woven

banana fiber reinforced epoxy resin composite tensile strength at various

temperatures (70oC, 80

oC, 90

oC, and 100

oC ) with 60 minutes holding time curing

temperature. After the test, the one layer plain type composite show the increase

of tensile strength with maksimum tensile strength of 40.26 % occure at 1000 C

post-curing composite if compared to non treatment composite.. It happen

because the curing process have reached the glass transition temperature ( Tg )

Key Words : composite, , glass transition temperature. post-curing, woven

2

PENDAHULUAN

Dengan perkembangan dunia industri sekarang ini, kebutuhan material untuk

sebuah produk bertambah. Penggunaan material logam pada berbagai komponen

produk semakin berkurang. Hal ini diakibatkan oleh beratnya komponen yang

terbuat dari logam, proses pembentukannya yang relatif susah, dapat mengalami

korosi dan biaya produksinya mahal. Oleh karena itu, banyak dikembangkan

material lain yang mempunyai sifat karekteristik yang sesuai dengan karakteristik

material logam yang diinginkan. Salah satu material yang banyak dikembangkan

saat ini adalah komposit. Komposit adalah bahan kombinasi antara dua atau lebih

komponen atau material yang memiliki sejumlah sifat yang tidak mungkin

dimiliki oleh masing–masing komponen tersebut.

Secara umum komposit tersusun dari material pengikat (matriks) dan material

penguat (reinforce). Logam, keramik, dan polimer dapat digunakan sebagai

material pengikat pada pembuatan komposit tergantung dari sifat yang ingin

dihasilkan. Namun, polimer merupakan material yang paling luas digunakan

sebagai matriks dalam komposit modern yang lebih dikenal dengan reinforced

plastic.

Plastik banyak digunakan sebagai matrik dalam komposit dikarenakan plastik

memiliki sifat utama ketahanan kimia yang baik. Plastik sangat ringan dan

memiliki kekuatan tarik yang cukup baik. Akan tetapi memiliki kekurangan yaitu

memiliki sifat getas. Penguatan yang paling banyak digunakan pada plastik adalah

penguatan serat. Di antara serat–serat alam yang ada saat ini, serat Abaca

memiliki kekuatan tarik yang cukup tinggi dan bahkan telah mulai digunakan

dalam dunia produksi sebagai bahan pembuat uang dan kertas manila di Filipina,

juga mulai digunakan sebagai bahan serat tekstil untuk pakaian. Sebagai family

dari Abaca, serat pisang juga memiliki potensi untuk dikembangkan

penggunaannya di dalam dunia produksi. Selain itu, serat pisang yang berasal dari

tumbuhan pisang banyak terdapat di seluruh kawasan Indonesia.

3

Dalam pengujian yang dilakukan oleh Nurcahyo et all (2004) menguji variasi

temperatur curing, yang dapat membuat kekuatan tarik komposit menjadi optimal.

Dalam pengujian yang dilakukan oleh Bernard Korompis (2005) didapatkan

variasi jumlah serat meningkatkan kekuatan tariknya. Dengan melakukan

pengujian berdasarkan variasi temperatur curing dan pemakaian serat dengan

model woven pada komposit yang diperkuat dengan serat pisang diharapkan akan

diperoleh kekuatan tarik yang jauh lebih baik. Hal ini dikarenakan beberapa

model komposit yang digunakan di pasaran dunia industri menggunakan model

woven.

Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah menjelaskan kekuatan tarik

komposit epoksi resin yang diperkuat dengan woven serat pisang dan

menganalisis pengaruh perlakuan panas terhadap komposit epoksi resin model

woven terhadap kekuatan tarik dan perpanjangannya.

Dalam penelitian ini dibuat batasan masalah yang meliputi serat yang digunakan

adalah serat alam yang berupa serat pisang sebagai material pengisi (filler), serat

pisang diambil dari batang pohon pisang kapok, plastik yang digunakan adalah

dari jenis thermosetting, yaitu epoksi resin dipilih sebagai matriks, drientasi serat

yang digunakan adalah woven atau serat yang dianyam, temperatur curing

dilakukan pada suhu ruangan berkisar 250C, variasi temperatur curing yang

digunakan adalah 700 C, 80

0C, 90

0C, dan 100

0C, bentuk spesimen berdasarkan

standar pengujian tarik JIS, dan model woven adalah satu model dengan bentuk

anyaman seperti anyaman saling silang.

Komposit merupakan campuran dari dua atau lebih material penyusun atau fase

yang berbeda. Namun, definisi ini saja belum lengkap dan masih ada dua kriteria

lain yang harus dipenuhi bagi material untuk dapat dikatakan sebagai komposit.

Pertama, material penyusun komposit harus mempunyai proporsi jumlah yang

jelas, katakanlah lebih besar dari 5 %. Kedua, material penyusunan memiliki sifat

yang berbeda, dan juga sifat dari komposit yang terbentuk berbeda dari sifat-sifat

material penyusunan.

4

Dalam komposit terdapat dua atau lebih fase yang dipisahkan oleh lapisan

pembatas, Lapisan ini penting untuk membedakan material penyusunnya. Material

penyusun yang mempunyai sifat kontinu dan sering memiliki jumlah yang lebih

besar pada komposit disebut matriks. Sifat-sifat matriks inilah yang biasanya

meningkat ketika digabungkan dengan material penyusun lain untuk membentuk

komposit. Sebuah komposit bisa memiliki matriks dalam bentuk keramik, logam,

maupun polimer, sedangkan material penyusun lainnya adalah material penguat

(reinforcement) yang bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari

matriks tersebut. Geometri material penguat merupakan salah satu parameter

utama dalam menentukan efektivitas penguatan, dangan kata lain sifat-sifat

mekanik dari komposit sangat bergantung kepada bentuk dan dimensi dari

material penguatnya. Geometri tersebut meliputi konsentrasi penguat, ukuran,

tebal lapisan penguat, jarak penyusunan dan orientasinya. [Matthews, F.L,

1999:.3]

Ada dua hal yang harus diperhatikan pada komposit yang diperkuat agar dapat

efektif yaitu yang pertama komponen penguat harus memiliki modulus elastisitas

yang lebih tinggi daripada komponen matriksnya. Yang kedua harus ada ikatan

permukaan yang kuat antara komponen penguat dan matriksnya. Fungsi matriks

adalah untuk mendukung dan mengikat reinforcement, mentransfer beban antar

reinforcement, dan melindungi reinforcement dari perubahan eksternal.

Klasifikasi material komposit secara umum dapat digambarkan seperti pada

Gambar 1). Pada skema tersebut, komposit yang diperkuat dengan partikel

(particle reinforced composites) memiliki penguatan yang sama dalam semua

arahnya. Bentuk partikel penguat dapat berupa bola, kubus atau dalam geometri

yang beraturan atau tak beraturan. Pengaturan arah orientasi pada komposit dapat

secara acak (random orientation) atau pada arah tertentu (preferred orientation).

Namun, kebanyakan orientasi yang digunakan dalam penyusunan partikel penguat

adalah secara acak (random orientation), dengan alasan adalah lebih praktis.

5

Karakteristik penguatan pada komposit yang diperkuat serat (fiber reinforced

composites) ditentukan oleh perbandingan panjang serat dengan diameternya atau

lebih dikenal dengan aspect ratio. Komposit dengan satu lapisan (single layer

composite), serat penguatnya dapat berupa serat panjang (continuous fiber) atau

serat pendek (discontinuous fiber). Arah orientasi serat panjang dapat berupa satu

arah (unidirectional) dan dua arah (bidirectional) atau sering disebut juga

penguatan tenun (woven reinforcement ), sedangkan pada serat pendek, arah

seratnya dapat secara random atau pada arah tertentu (preferred orientation).

Gambar 3.1 Skema Klasifikasi Material Komposit

[Matthews, F.L, 1999. Composite Material: Engineering and Science]

LAMINATES HYBRIDS

MULTILAYERED

(ANGLE-PLY

COMPOSITES) SINGLE-LAYER

COMPOSITES

PREFERRED

ORIENTATION

RANDOM

ORIENTATION

FIBER REINFORCED COMPOSITES

(FIBROUS COMPOSITES)

COMPOSITE MATERIAL

PARTICLE REINFORCED COMPOSITES (PARTICLE

COMPOSITES)

RANDOM

ORIENTATION

PREFERRED

ORIENTATION

BIDIRECIONAL REINFORCEMENT

(WOVEN

REINFORCEMENT)

UNIDIRECTIONAL

REINFORCEMENT

DISCONTINUOUS FIBER

REINFORCED

COMPOSITES

CONTINUOUS FIBER

REINFORCED

COMPOSITES

6

Material matrik yang paling banyak digunakan adalah dari jenis polimer maupun

plastik yang lebih dikenal dengan istilah reinforceed plastics. Kelebihan matrik

polimer atau plastik jika dibandingkan dengan logam adalah plastik mempunyai

densitas yang jauh lebih kecil. Keuntungan ini semakin terlihat ketika modulus

young per unit massa E/ρ (modulus spesifik) maupun tegangan tarik per unit

massa σ/ρ (tegangan spesifik) mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini berarti berat

dari komponen dapat dikurangi. Pengurangan berat ini akan mengakibatkan

pengurangan kebutuhan energi dan biaya. Pada reinforceed plastics dapat dipilih

matriks dari jenis thermoplastic atau thermosetting.

Karakteristik dari komposit FRP bergantung dari bermacam-macam faktor

diantaranya ikatan antara serat dan matriks, fraksi volume dari serat, aspek rasio

serat, orientasi serat, efisiensi transfer tegangan, dan sifat resin. Karena FRP

menggabungkan antara resin yang diperkuat oleh serat, maka sifat komposit yang

dihasilkan merupakan sifat gabungan antara sifat resin sendiri dan sifat serat

penguatnya, seperti yang tampak pada gambar berikut:

Gambar 2 Ilustrasi deformasi pada serat, resin dan komposit

(Project, Seecom. Composite Engineering Materials)

Serat merupakan bagian penting dalam penyusunan komposit, karena fungsi serat

sebagai penguat komponen material dasar (matriks).

7

Komposit tipe woven adalah komposit yang tidak mudah dipengaruhi pemisahan

antar lapisan karena susunan seratnya juga mengikat antar lapisan, tetapi susunan

serat memanjangnya yang tidak begitu lurus mengakibatkan kekuatan tidak sebaik

tipe continuous fiber. (Gibson, F. R, 1994: 5)

Gambar 3 Woven fiber composite

Serat yang digunakan kali ini adalah serat pisang yang termasuk dalam jenis

vascular fibers, berasal dari batang tanaman pisang (Musa x Paridasiaca). Selain

mudah diperoleh, serat pisang juga memiliki potensi untuk digunakan bahkan di

dalam dunia industri sekalipun. Salah satu family dari tanaman pisang yaitu abaca

telah lama digunakan dalam pembuatan uang, kantung teh, dan kertas manila yang

terkenal. Bahkan, kekuatan tariknyapun termasuk salah satu yang tertinggi di

antara serat-serat alam lainnya.

Tabel 1 Sifat mekanik beberapa jenis serat alam

[Biagiotti Jerico. Mechanical Properties of Same Natural Fibers]

FIBERS TENSILE STRENGTH (MPa)

YOUNG MODULUS (MPa)

Cotton 264 - 654 4980 – 10920

Wool 120 – 174 2340 – 3420

Silk 252 – 528 7320 – 11220

Coir 220 6000

Hemp 550 – 900 70000

Flex 300 – 900 24000

Abaca 980 -

Jute 342 – 672 43800

Sisal 444 – 552 -

8

Ramie 348 – 816 53400

E-Glass 2500 74000

Aramid 2900 134000

Carbon HR 3200 230000

Keluarga besar epoksi resin memiliki beberapa resin berkemampuan tinggi yang

tersedia dewasa ini. Epoksi biasanya memiliki sifat mekanik dan ketahanan

terhadap pengaruh akibat lingkungan dimana hampir semuanya sesuai untuk

aplikasi dalam komponen–komponen pesawat terbang.

Sebagai resin yang terlaminasi, peningkatan kemampuan penyerapan (ahesive)

dan ketahanan terhadap air membuat epoksi resin cocok untuk digunakan untuk

membuat badan kapal. Di ini epoksi banyak digunakan sebagai material

konstruksi utama untuk perahu kemampuan tinggi atau dipakai sebagai pelapis

dinding atau pengganti polyester resin atau pelapis gel yang rusak oleh pengaruh

air.

Kata epoksi berasal dari grup kimia yang terdiri dari atom oksigen yang diikat

dengan dua atom karbon yang sudah diikat dengan cara tertentu. Bentuk epoksi

yang paling sederhana adalah struktur cincin dengan tiga anggota yang disebut

“alpha–epoksi” atau “1.2–epoksi”. Struktur kimia yang ideal (Gambar 4)

merupakan karakteristik dari molekul epoksi yang paling mudah diidentifikasikan.

Gambar 4. Struktur ideal epoksi yang paling sederhana

[Net composites. Epoksi Resin]

Biasanya mudah diidentifikasikan dengan pewarnaan amber atau coklat epoksi

resin memiliki baberapa kegunaan. Baik resin dalam bentuk cair dan agen curing

memiliki viskositas rendah sehingga mudah diproses. Epoksi resin mudah dan

9

cepat dicuring pada temperature mulai dari 5oC sampai dengan 150

oC, bergantung

dengan pemakaian agen curing. Salah satu sifat epoksi yang paling penting adalah

kecilnya penyusutan bentuk selama curing untuk mengurangi tegangan dalam.

Kekuatan penyerapan yang tinggi dan sifat mekanik yang tinggi juga

meningkatkan sifat isolator listrik, dan ketahanan kimia yang baik. Epoksi

biasanya digunakan sebagai bahan pengikat (adhsives), campuran caulking,

campuran pengecoran, sealant, pernis dan cat, juga resin laminasi yang

diaplikasikan dalam beberapa industri.

Epoksi resin dibentuk dari rangkaian panjang struktur molekul mirip vinylester

dengan titik reaktif pada kedua sisi. Akan tetapi, pada epoksi resin titik reaktif ini

bukannya terdiri dari grup ester melainkan terdiri dari grup epoksi. Ketiadaan

grup ester berarti resin epoksi memiliki ketahanan yang baik terhadap air.

Molekul epoksi juga menyimpan dua grup cincin pada titik tengahnya yang dapat

menyerap baik tekanan maupun temperatur lebih baik dibandingkan grup linier

sehingga epoksi resin memiliki ketangguhan, kekakuan, dan ketahanan terhadap

panas yang sangat baik.

Gambar berikut manunjukkan suatu struktur kimia ideal dari epoksi resin.

Perhatikan ketiadaannya grup ester dalam ikatan molecular.

Gambar 5. Struktur kimia ideal untuk epoksi

[Net composites. Epoksi Resin]

Epoksi berbeda dengan polyester resin dimana epoksi di curing dengan pengeras

(hardener) sedangkan polyester mengunakan katalis. Bahan pengeras, biasanya

amine, biasanya digunakan untuk meng-curing epoksi dengan reaksi tambahan

dimana kedua material diletakan dalam suatu reaksi kimia. Reaksi kimiawi dari

10

kedua bahan ini biasanya terjadi dimana dua atom epoksi diikat oleh sebuah atom

amine. Hal ini akan membentuk struktur komplek molekular tiga dimensi.

Karena molekul amine ikut bereaksi dengan molekul epoksi dalam perbandingan

yang tetap (1:1 atau 2:1) sangatlah penting untuk memastikan rasio pencampuran

antara resin dan pengeras tepat untuk memastikan reaksi dapat sempurna yang

terjadi apabila amine dan epoksi tidak dicampur dengan rasio yang benar, resin

atau pengeras yang tidak ikut akan bereaksi akan tertinggal dalam matriks yang

akan mempengaruhi hasil akhir setelah dicuring. Untuk membantu pencampuran

yang akurat antara resin dengan pengeras, produsen biasanya memformulasi

komponen–komponen untuk memberikan rasio sederhana dimana dapat mudah

dicapai dengan mengukur volume atau berat dari masing–masing komponen.

METODE PENELITIAN

Hand lay-up atau contact molding adalah proses yang paling tua dan paling

mudah untuk membentuk plastik yang diperkuat serat. Serat dan resin

ditempatkan pada cetakan dan udara yang terperangkap dihilangkan dengan alat

penyapu atau roller (Gambar 6). Lapisan-lapisan serat dan resin ditambahkan

sebagai penambah untuk ketebalan. Jika lapisan dengan kualitas tinggi yang

diinginkan, gel coat (resin dengan permukaan yang diberi pewarna) ditambahkan

pada cetakan sebelum lay-up. Lay-up biasanya dilakukan pada temperatur kamar,

tetapi panas bisa digunakan untuk mempercepat curing. Resin yang biasanya

digunakan dalam hand lay-up adalah polyesters dan epoxies. Polyesters disukai

karena biaya yang rendah, luas penggunaannya, dan kemudahan dalam

penanganannya. Sedangkan epoxies lebih mahal dan lebih sukar dalam

perumusannya. [Schwartz,: 4)

11

Gambar 6 Metode hand lay-up

Proses hand lay-up biasanya dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut.

a. Persiapan cetakan

Bagian-bagian cetakan dibuat dari cairan pelepas (release film) dipoles di

permukaan cetakan.

b. Gel coating

Tahapan ini meliputi pelapisan resin yang nantinya akan menjadi lapisan luar

laminate ketika telah terbentuk. Lapisan ini hanya dibutuhkan ketika

diinginkan hasil akhir permukaan yang baik.

c. Hand lay-up

Serat dimasukkan. Resin dan hardener (sebagai pengeras) kemudian akan

bercampur. Dan untuk memastikan bahwa udara telah dihilangkan, digunakan

roller untuk menekan material agar rata dengan cetakan.

d. Finishing

Pada tahap ini komposit dapat sepenuhnya dikeraskan dan dapat dilakukan

proses machining.

12

Diagram alir dari penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada gambar di

bawah ini.

Gambar 7. Diagram alir penelitian

MULAI

PEMBUATAN

SERAT PISANG

PEMBUATAN

CETAKAN

PEMBUATAN

SPESIMEN

POST-CURING

TERHADAP

SPESIMEN

PENGUJIAN TARIK

SPESIMEN

KEKUATAN TARIK

ANALISA DATA

DAN KESIMPULAN

SELESAI

13

Serat pisang yang digunakan dalam pembuatan spesimen diperoleh dari

beberapa tanaman pisang di daerah Tembalang, Semarang dan diproses

menjadi serat secara manual (Gambar 8).

Gambar 8. Serat yang telah dipotong

Untuk mendapatkan serat pisang bisa diperoleh dari batang pohon pisang tersebut

dan masih menggunakan metode secara manual dan masih sangat sederhana,

tetapi sangat mudah untuk dilakukan. Tahapan proses untuk mendapatkan serat

dari batang pohon pisang yang terdiri dari lapisan-lapisan pelepah pohon pisang

berikut, yaitu:

a. memilih dan memotong batang pohon pisang yang diperkirakan sudah tua dan

terlihat agak menguning atau kelihatan sudah layu;

b. memilih batang pohon pisang yang masih dalam keadaan yang masih bagus,

lembab, dan belum mongering; membersihkan batang dari pelepah-pelepah

yang telah rusak dan mengering pada bagian tepi atau bagian paling luar pada

batang pohon pisang; memisahkan batang pohon pisang yang terdiri dari

lapisan-lapisan pelepah dengan melepaskan tiap lapisan pelepah secara

terpisah dari lapisan yang lain;

c. memotong pelepah-pelepah batang pohon sesuai bagian pelepah dengan

ukuran-ukuran yang seragam di antara pelepah-pelepah yang satu dengan yang

lain ;

d. memsaukkan potongan-potongan pelepah ke dalam air untuk proses

perendaman dalam jangka waktu tertentu

14

e. memisahkan pelepah batang yang sudah kelihatan membusuk dari pelepah

yang lain untuk dilakukan proses selanjutnya, yaitu proses pemisahan antar

bagian serat yang masih mengelompok menjadi satu bagian..

f. menjepitkan pelepah pisang yang sudah membusuk sebagai hasil dari proses

perendaman dengan alat penjepit dan menggeser-geserkannya yang dilakukan

secara berulang-ulang hingga serat pelepah batang pohon pisang benar-benar

terpisah antara satu dan yang lain.

g. Menjemurnya yang dilakukan di tempat teduh yang tidak terkena sinar

matahari secara lansung.

Serat pisang yang dihasilkan berwarna putih atau kuning dan kelebihan serat

pisang adalah tidak kaku walaupun sudah dalam kondisi mengering. Serat yang

sudah diproses tersebut dipotong dengan panjang sekitar 300 mm dan ditimbang

menggunakan timbangan digital.

Untuk memudahkan pemasangan serat sewaktu penganyaman serat, cetakan

dibuat dari bahan kaca berbentuk persegi panjang berukuran panjang 250 mm

dengan lebar 250 mm dengan tebal masing–masing cetakan 50 mm (Gambar 9),

yang dapat dibagi dua (meminjam istilah pengecoran sistem cetakan “male and

female”). Cetakan dasar digunakan sebagai landasan buat spesimen, sedangkan

cetakan kedua (Gambar 10) digunakan sebagai tempat merekatkan anyaman serat

pisang sebagai bahan komposit yang dimaksud.

Gambar 9. Cetakan yang digunakan

15

Gambar 10. Spesimen Benda Uji Berdasarkan JIS

Keterangan (satuan mm) A: verall length 175; B :Width at ends 20 ± 0,5;C:

Length of narrow parallel portion 60 ± 0,5; D: Width of narrow parallel

portion 10 ± 0,5; E: Radius of fillets (min.) 60; F :Thickness 1 sampai 10; G:

Gauge length 50 ± 0,5; H:Distance between grips 115 ± 5

Gambar 11. Contoh spesimen yang dihasilkan

Epoksi resin yang digunakan adalah tipe general purpose (Bisphenol A-

epichlorohydrin) Bakelite EPR 174, Diperoleh dari toko bahan kimia PT Justus

Kimia Raya, Jalan Indraprasta Semarang. Dengan data–data spesifikasi epoksi

resin yang dipergunakan adalah sebagai berikut.

a. Viskositas pada 25o C 13.000 + 2.000 mPa .s

16

b. Nomor Epoksi 22.7 + 0.6 %

c. Ekuivalen Epoksi 189 + 5 g/equiv

d. Nilai Epoksi 0.53 + 0.01 equiv /100g

e. Total kandungan klorin < 0.2 %

f. Kandungan klorin hydrolysable < 0.05 %

g. Warna < 1 Gardner

h. Densitas pada 25o C 1.17 + 0.01 g/cm

3

Tipe serat yang digunakan adalah serat panjang yang dianyam (woven) dengan

variasi suhu curing, di mana jumlah serat dalam tiap–tiap spesimen relatif sama.

Fraksi berat

a. Rata – rata massa 1 spesimen tanpa serat = 49 gram

b. Massa serat = 0, 200 gram

c. ρresin = ρr = 1180 kg/ m3

d. ρfiber = ρf = 1500 kg/ m3

Fraksi massa : 004.049

2.0

gram

gramW

cc

f

cWV

610.66,2

1500004.0

VVVV rfrrfc 1

VVc 111801500

ccc 66 1066,2111801066,21500

ccc 33 101388.3118010990.3

1180101388.310990.3 33

ccc

118099914.0 c

0052.1181c

Didapat massa jenis komposit : 3/0052.1181 mkgc

sehingga , V = 2,66 . 10-6

. ρc . Jadi, V = 2,66 . 10 -6

. 1181.0052

Fraksi Volume : V = 0.00314147 = 0.31 %

17

Diameter serat pisang yang digunakan pada pengujian adalah 0.2 mm. Untuk

mengetahui kekuatan tarik serat pisang kemudian dilakukan pengujian kekuatan

tarik menggunakan mesin uji tarik. Dari hasil pengujian tarik didapatkan data

sebagai berikut.

Tabel 2. Pengujian Kekuatan Tarik Serat Pisang.

Pengujian Kekuatan Tarik (gram)

1 240

2 320

3 370

Rata – rata 310

sehingga didapatkan kekuatan tarik serat pisang :

σ =

MPa

A

F70.96

1.0

81.93100.02

Pemasangan serat dilakukan dengan cara meletakan serat diatas cetakan kaca yang

sebelumnya sudah dilapisi perekat untuk memudahkan dalam pemasangan dengan

jarak tertentu pada spesimen yang akan dibuat menggunakan jarak 3 mm. Setelah

serat tersebut terpasang rapi di atas kaca, maka bagian kaca yang akan

bersentuhan dengan resin yang akan dicetak diolesi dengan vaseline/MAA untuk

memudahkan dalam pelepasan cetakan dan spesimen.

Gambar 12 Model Woven yang Digunakan

Keuntungan menggunakan model woven ini (Gambar 12) adalah simetris,

memiliki stabilitas yang bagus dan porositas yang dapat ditolelir. Akan tetapi,

18

memiliki sifat mekanis yang lebih rendah bila dibandingkan dengan model woven

yang lain.

Spesimen komposit dibuat dengan metode pengecoran hand lay-up dengan

langkah–langkah pencetakan berikut.

a. Setelah cetakan bagian dasar yang sudah dilapisi vaseline, materi epoksi resin

dituang ke dalam cetakan, di mana perbandingan campuran antara epoksi resin

dengan hardenernya berbanding 2 : 1.

b. Penuangan ini harus hati–hati untuk menghindari terbentuknya gelembung–

gelembung udara.

c. Setelah dituang langkah selanjutnya adalah menempelkan cetakan kaca yang

ditempeli oleh serat ke atas cetakan bagian dasar.

d. Selanjutnya permukaan serat diratakan dengan roler, yang bertujuan untuk

menghilangkan laminasi antara serat dengan epoksi resin juga untuk

mengurangi timbulnya gelembung–gelembung udara.

e. Setelah serat dianggap cukup rata, sisa dari materi epoksi resin kemudian

dituang ke atas cetakan sampai mencapai ketinggian tertentu yang diinginkan,

dalam hal ini mencapai ketinggian 10 mm.

f. Langkah selanjutnya spesimen didinginkan dalam suhu ruangan kurang lebih

selama 8 jam, sampai spesimen tersebut benar–benar kering.

g. Setelah kering, spesimen tersebut kemudian dilepas dari cetakan lalu

dilakukan proses finishing. Langkah tersebut adalah menghaluskan permukaan

spesimen yang masih kasar setelah dilepas dari cetakan. Proses perataan

permukaan ini dilakukan dengan mesin pemoles.

Setelah proses pemolesan selesai dan dimensi masing–masing spesimen sudah

relatif seragam, maka dilakukan proses curing terhadap material tersebut dengan

temperatur 700, 80

0, 90

0, 100

0 C. Setelah itu didinginkan pada temperatur ruangan

pada udara terbuka. Proses post-curing ini dilakukan selama 60 menit. Untuk

setiap temperatur post-curing terdapat 3 buah spesimen, sehingga nantinya

terdapat 12 spesimen yang mengalami post-curing.

19

Pengujian dilakukan di Laboratorium Bahan Teknik Mesin Politeknik Negeri

Semarang. menggunakan mesin uji tarik dengan spesifikasi sebagai berikut:

Merk : Controllab

Kapasitas maksimum : 1000 kg

Kecepatan penarikan dapat divariasi dari 1 mm/menit sampai dengan 300

mm/menit. Untuk pengujian ini kecepatan penarikan yang digunakan 2 mm/menit.

Pada mesin (Gambar 13) angka yang ditunjukan oleh display adalah gaya tarik

dalam Newton, dimana grafik hasil penarikan dapat langsung dicetak lewat

komputer.

σ = A

F

keterangan : σ = kekuatan tarik ( MPa ), F = gaya tarik ( Newton ), dan

A = luas penampang ( mm2

).

(a) (b)

Gambar 13 (a) adalah Mesin Uji Tarik dengan Kapasitas Maksimum 1.000 kg, dan (b) adalah

ekstensiometer dengan ketelitian 0,05 mm.

HASIL

Tujuan dari dilakukan proses curing adalah memperbaiki sifat–sifat yang dimiliki

oleh komposit. Proses curing dilakukan dengan cara memanaskan material benda

uji tersebut pada temperatur tertentu, tetapi temperatur tersebut tidak boleh

20

melebihi glass transition temperature, karena jika melebihi temperatur tersebut

akan menyebabkan material tersebut menjadi lunak dan jika temperatur tersebut

ditingkatkan lagi material akan menjadi cair (flow). Pada waktu dilakukan curing

material mencapai glass transition temperature dimana pada kondisi ini molekul–

molekul resin menerima lebih banyak energi dan meningkatkan pergerakan

molekul–molekul tersebut. Molekul–molekul tersebut tersusun ulang dan

membentuk ikatan crosslink. Hal ini menyebabkan material menjadi lebih

fleksibel. Ketika material tersebut didinginkan maka mobilitas dari molekul akan

turun kembali dan menyebabkan material menjadi kaku kembali. Fenomena ini

menyebabkan material mengalami peningkatan kekuatan tarik.

Temperatur curing tidak boleh melewati batas melting temperature karena jika

telah melebihi temperatur ini maka material akan menjadi leleh dan mencair

sehingga berubah menjadi liquid. Untuk komposit yang tanpa mengalami proses

perlakuan panas, kekuatan tariknya dapat dilihat pada tabel 3 dan Gambar 14. .

Tabel. 3. Kekuatan tarik komposit pemanasan 700 C

Variasi Komposit Tanpa Pemanasan

1 28.18 Mpa

2 30.00 Mpa

3 32.14 MPa

Rata – rata 30.106 MPa

21

26

27

28

29

30

31

32

33

TE

GA

NG

AN

TA

RIK

(MP

a)

1 2 3

VARIASI

Tanpa Pemanasan

Gambar 14. Grafik kekuatan tarik komposit tanpa pemanasan

Yang dimaksud dengan proses curing adalah spesimen yang dipanaskan pada

suhu 70oC (Tabel 4), dan dilakukan variasi waktu pemanasan sehingga akan

didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan.

Tabel. 4. Kekuatan tarik komposit pemanasan 700C

variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 700C

1 28.18 Mpa 34.54 Mpa

2 30.00 Mpa 31.818 Mpa

3 32.14 MPa 35.576 MPa

Rata – rata 30.106 MPa 33.979 MPa

22

0

5

10

15

20

25

30

35

40

TE

GA

NG

AN

TA

RIK

(M

Pa)

1 2 3

VARIASI

Tanpa Pemanasan

Pemanasan 70

derajat celcius

Gambar .15. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 700 C

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 700

C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik

apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa

pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk

komposit setelah proses pemanasan 700 C adalah sebagai berikut.

%86.12%100106.30

873.3%100

106.30

106.30979.33

xx

Proses curing disini adalah spesimen yang dipanaskan pada suhu 80oC, dan

dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan data kekuatan tarik

spesimen setelah mengalami proses pemanasan ( Tabel 5 dan Gambar 16) .

Tabel. 5. Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 800 C

variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 800C

1 28.18 Mpa 37.383 Mpa

2 30.00 Mpa 45.918 Mpa

3 32.14 MPa 34.545 Mpa

Rata – rata 30.106 MPa 39.282 Mpa

23

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

TE

GA

NA

GA

N T

AR

IK (

MP

a)

1 2 3

VARIASI

Tanpa pemanasan

Pemanasan 80

derajat celcius

Gambar 16. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 800C

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 800C

pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik

apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa

pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk

komposit setelah proses pemanasan 800C adalah sebagai berikut:

%04.30%100106.30

176.9%100

106.30

106.30282.39

xx

Yang dimaksud dengan proses curing disini adalah spesimen yang dipanaskan

pada suhu 90oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan

didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan

(Tabel 6 dan Gambar 17).

Tabel. 6 Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 900 C

variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 900C

1 28.18 Mpa 42.857 Mpa

2 30.00 Mpa 43.636 Mpa

3 32.14 MPa 37.391 Mpa

Rata – rata 30.106 MPa 41.294 Mpa

24

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

TE

GA

NG

AN

TA

RIK

(M

Pa)

1 2 3

VARIASI

Tanpa pemanasan

Pemanasan 90 derajat

celcius

Gambar 17. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 900C

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 900

C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik

apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa

pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk

komposit setelah proses pemanasan 900C adalah sebagai berikut:

%16.37%100106.30

188.11%100

106.30

106.30294.41

xx

Yang dimaksud dengan proses curing adalah spesimen yang dipanaskan pada

suhu 100oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan

data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan (Tabel 7 dan

Gambar 18).

Tabel. 7. Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 1000 C

variasi Komposit tanpa pemanasan Komposit pemanasan 1000C

1 28.18 Mpa 45.454 Mpa

2 30.00 Mpa 40.00 Mpa

3 32.14 MPa 41.228 MPa

Rata – rata 30.106 MPa 42.227 MPa

25

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

TE

GA

NG

AN

TA

RIK

(M

Pa)

1 2 3

VARIASI

Tanpa pemansan

Pemanasan 100 derajat

celcius

Gambar 18. Grafik Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 1000C

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 1000

C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik

apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa

pemanasan. Besarnya peningkatanrata-rata kekuatan tarik maksimum untuk

komposit setelah proses pemanasan 1000C adalah sebagai berikut ( Tabel 8, 9, 10,

dan Gambar 19).

%26.40%100106.30

121.12%100

106.30

106.30227.42

xx

Tabel 8. Hasil Pengujian Tarik Spesimen Dengan Serat Woven

No PERLAKUAN

HASIL UJI TARIK

(Newton)

A

( mm2 )

σ

( MPa )

Rata - rata

( MPa )

1

Non perlakuan

3100 110 28.18

30.106 2 3300 110 30.00

3 3600 112 32.14

4

Pemanasan 70oC

3800 110 34.54

33.979 5 3500 110 31.818

6 3700 104 35.576

26

7

Pemanasan 80oC

4000 107 37.383

39.282 8 4500 98 45.918

9 3800 110 34.545

10

Pemanasan 90oC

4500 105 42.857

41.294 11 4800 110 43.636

12 4300 115 37.391

13

Pemanasan 100oC

5000 110 45.454

42.227 14 4400 110 40.00

15 4700 114 41.228

Tabel 9. Hasil Pengujian Tarik Spesimen Tanpa Serat

No PERLAKUAN HASIL UJI TARIK

(Newton)

A

( mm2 )

σ

( MPa )

Rata - rata

( MPa )

1

Non perlakuan

2800 100 28.00

30.081 2 3000 105 28.57

3 3300 98 33.67

4

Pemanasan 70oC

3000 100 30.00

32.231 5 3400 105 32.38

6 3500 102 34.31

7

Pemanasan 80oC

3800 105 36.19

37.063 8 4000 110 36.36

9 4250 110 38.63

10

Pemanasan 90oC

4000 116 34.48

39.518 11 4200 104 40.38

12 4500 103 43.68

13

Pemanasan 100oC

4500 108 41.66

42.825 14 4600 105 43.80

15 4300 100 43.00

27

Tabel 10. Hasil Pengujian Serat Pisang

NO SPESIMEN F ( kgf ) R (mm) σ

( MPa )

Rata – rata

( MPa )

1

Serat Pisang

0.240 0.10 74.94

97.84 2 0.320 0.10 99.92

3 0.380 0.10 118.66

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

TE

GA

NG

AN

TA

RIK

(M

Pa)

Non

perlakuan

70 80 90 100

PEMANASAN (DERAJAT CELCIUS)

tanpa serat

serat woven

Gambar 19. Grafik Kekuatan Tarik Spesimen Tanpa Serat dengan Spesimen Menggunakan Serat

Woven

Perhitungan kekuatan tarik komposit (TS)c secara teoritis

(TS)m = Rata – rata kekuatan tarik matriks = 30.081 MPa

(TS)f = Rata – rata kekuatan tarik serat pisang 97.84 MPa

(TS)c = (TS)m . V m + (TS)f . V f

= (30.081 MPa ).(0.9911) + (97.84 MPa). (0.0089)

= 29.81 + 0.8707

= 30.680 MPa

28

PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian ternyata didapatkan rata–rata kekuatan tarik yang lebih

rendah dibandingkan dengan hasil perhitungan secara teoritis. Hal ini dapat

dijelaskan sebagai berikut.

Secara teori komposit dengan serat panjang yang di anyam (woven) dapat

menyalurkan tegangan atau beban yang diterima ke sepanjang serat. Akan tetapi,

dalam penerapannya hampir tidak mungkin terjadi karena a) tidak setiap serat

dalam anyaman komposit memiliki kekuatan tarik optimum yang sama dan b)

tidak pernah didapat dalam kenyataan bahwa setiap serat ketika menerima

tegangan akan mendapatkan tegangan yang sama untuk serat masing – masing.

Beberapa serat bisa mendapatkan tegangan yang berlebih (highly stressed) dan

serat lain tidak menerima tegangan sama sekali ( unstressed ).

Dalam pembuatan komposit menggunakan proses hand lay-up, porus yang

terbentuk ditengah–tengah spesimen dapat dikurangi, dengan menggunakan alat

penyapu atau roller, tetapi sisa–sisa porus yang tersisa tersebut terjebak disisi

bagian atas dari spesimen tersebut, sehingga menyebabkan spesimen tidak

memiliki keseragaman kekuatan pada setiap sisinya.

Dari tabel-tabel dapat dilihat bahwa pada spesimen yang mendapatkan perlakuan

panas sampai. 700C, 80

0C, dan 100

0C, material tersebut mengalami peningkatan

kekuatan tarik karena telah mencapai glass transition temperature, menyebabkan

mobilitas molekul meningkat cukup berarti, molekul–molekul dalam komosit

bergerak secara kontinyu dan tersusun. Dengan melakukan curing juga terjadi

penambahan jumlah ikatan cross-link pada komposit sehingga meningkatkan sifat

mekaniknya.

Dari hasil pengujian komposit ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian

spesimen matriks tanpa serat, di mana hasilnya dapat dilihat pada grafik-grafik di

atas. Di sini terlihat perbedaan kekuatan tarik rata-rata antara spesimen tanpa serat

29

dengan spesimen komposit dengan serat pisang tidak begitu signifikan. Hal ini

disebabkan antara lain karena kurang besarnya volume serat pisang yang

digunakan sehingga untuk selanjutnya dapat digunakan komposisi serat yang

lebih besar.

Terjadi penurunan kekuatan tarik rata-rata untuk spesimen komposit dengan

pemanasan 1000C apabila dibandingkan dengan spesimen matrik tanpa serat dapat

difahami karena terdapat hasil spesimen dengan nilai yang bervariasi sehingga

menghasilkan nilai rata-rata yang kurang memuaskan. Nilai yang bervariasi ini

disebabkan antara lain kesalahan pada proses pengujian spesimen dan

kemungkinan terdapat cacat pada spesimen hasil pengecoran.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut. Kekuatan tarik maksimum yang terjadi pada komposit yang mengalami

proses post-curing pada temperatur 1000 C sebesar 42.82 MPa, sehingga terjadi

peningkatan kekuatan tarik sebesar 40.26% apabila dibandingkan dengan

komposit tanpa pemanasan. Kekuatan tarik yang terjadi pada komposit terlihat

lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan tarik dua material penyusunnya.

Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu porositas yang cukup tinggi

pada komposit, kondisi serat yang kurang seragam, terjadinya delaminasi antara

serat dan matriks, dan ikatan permukaan yang rendah antara serat dengan matriks.

Saaran yang dapat diberikan sehingga dicapai hasil yang lebih baik adalah sebagai

berikut. Sebaiknya dilakukan penelitian tentang cara pemisahan serat pisang yang

lebih baik, sehingga didapatkan serat pisang yang lebih seragam dan bisa

digunakan untuk produksi dalam jumlah yang relatif lebih besar. Dalam proses

penganyaman serat harus sedemikian teliti sehingga tidak ada serat yang putus,

atau terlalu kendur sehingga akan mempengaruhi dalam hasil uji tarik. Dalam

pembuatan spesimen, perlu diperhatikan untuk menjaga ketelitian mulai dari

penyiapan alat dan bahan, pembuatan spesimen, hingga uji tarik, yang bertujuan

30

agar diperoleh hasil yang lebih baik. Proses pengecoran dengan proses hand lay-

up harus dilakukan dengan hati–hati untuk menghindari terjadinya porus pada

spesimen yang dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik. Hendaknya dalam

proses finishing atau pengamplasan terhadap spesimen dilakukan sehalus mungkin

dan ukuran spesimen perlu diperhatikan keseragamannya agar tidak terjadi

kegagalan pada permukaan spesimen dan didapatkan spesimen yang seragam.

Oleh karena itu perlu dilakukan post-curing dengan rentang variasi temperatur

yang lebih kecil lagi agar diperoleh nilai temperatur yang maksimal dan perlu

dilakukan pengujian terhadap komposit yang memiliki jumlah serat yang lebih

banyak untuk mengetahui nilai kekuatan tarik yang maksimal.

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini saya tidak henti-hentinya bersyukur kepada Allah SWT yang

telah meridhai dan merahmati penulis sehingga berhasil dalam penulisan karya

ilmiah ini. Tak lupa pula saya ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak

yang terkait dalam tulisan ini yang dapat membantu dalam tulisan ini. Semoga

Allah SWT senantiasa membantu pemulis dengan penuh rahmat dan karuniaNya

kepada kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, Nurcahyo Herwin, 2004 Pengaruh Temperature Curing Terhadap

Kekuatan Tarik Komposit Serat Bamboo Fiber Reinforced Plastic.

Semarang: Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip.

Encarta Microsoft, 2000. Fiber. http://www.encarta.msn.com/, US.

Encarta Microsoft, 2000.“Plastic. http://www.encarta.msn.com/, US.

Gibson, F Ronald, 1994. Plastics Engineering, Second Edition, pergamon

Press,UK.

Korompis, Bernard, 2005. Pengaruh Temperature Curing Terhadap Kekuatan

Tarik Komposit Unsaturated Polyester Resin Yang Diperkuat Serat Pisang.

Semarang: Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip.

31

1. Laporan Praktikum metalurgi Fisik, 2000, Jurusan teknik Mesin Universitas

Diponegoro Semarang.

2. Matthews, FL, 1999, “Compositre Material : Engineering and Science”,

Woodhead Publishing Limited, England.

3. van vlack, L. H, 1983, “Ilmu dan Teknologi Bahan”, Edisi ke-4, Erlangga.