61

jurnal_Vol.1.No.1.2007

  • Upload
    karoeng

  • View
    3.065

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: jurnal_Vol.1.No.1.2007
Page 2: jurnal_Vol.1.No.1.2007

ANDRAGOGIJURNAL PENELITIAN DAN PENGKAJIAN

PENDIDIKAN NON FORMAL

Susunan Redaksi :

Pembina :Drs. Erman Syamsuddin, M.Pd

Penanggung Jawab :Ir. Djajeng Baskoro M.Pd

Dewan Redaksi :Drs. H. Hasan MamuDrs. Hazairin Ali, M.Si

Hj. A. Nurhidayah, A.S, S.SosMuhammad Hasbi, S.Sos, M.Pd

Editor Ahli :Prof. Dr. Tawany Rahamma, M.AProf. Dr. A. Mansyur Hamid, M.Pd

Prof. Dr. Arismunandar, M.PdDrs. Agus Mursidi, M.Pd

Editor Pelaksana:Drs. M. Ali Latief Amri, M.Pd

Drs. Syamsul Bahri Gaffar, MSiSuardi, S.Pd, M.PdKartini, S.Pd, M.Pd

Pemimpin Redaksi :Dwi Sarmulyanto, S.T

Anggota Redaksi :Drs. Arman Agung

Irhandi Amirin, S.KomAmirullah, S.Kom

Penyusun Desain:Amirullah, S.Kom

Alamat Redaksi :Gedung Utama Lantai 1

Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal(BPPNFI) Regional V Makassar

Jl. Adhyaksa, No. 2 Makassar 90231, Sulawesi SelatanTelp. (0411) 421460

Email : [email protected]

Page 3: jurnal_Vol.1.No.1.2007

DAFTAR ISI

Andrgogi Suatu Orientasi Baru Dalam Pembelajaran, Oleh Syamsul Bahri Gaffar (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar dan Tim Akademisi BPPNFI Regional V Makassar) ............................................................................................................................................... 1

Kajian Tentang Perlunya Mengembangkan Kelompok Belajar Pendidikan Luar Sekolah ( Studi Kasus Pada Kelompok Belajar Paket B di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan oleh Kartini Marzuki (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar) .......................................... 6Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Tugas Pamong Belajar di Kota Makassar oleh Istiyani Idrus (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar) .......................................... 10Konsep dan Metode Pembelajaran Bagi Orang Dewasa oleh Agus Marsidi (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar dan Tim Akademisi BPPNFI Regional V Makassar) ............................................................................................................................................ 13Hubungan Latar Belakang Pendidikan, Usia dan Masa Jabatan dengan Keberhasilan Melaksanakan Tugas Penilik oleh Ali Latief Amri (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar dan Tim Akademisi BPPNFI Regional V Makassar) ........ ............................................. 23Analisis Sumberdaya Lokal Pendidikan Non Formal oleh Suardi (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar dan Tim Akademisi BPPNFI Regional V Makassar) .... 28Pendidikan Profesi PTK-PNF Sebagai Salahsatu Strategi Penyiapan Tenaga Pendidik/ Kependidikan Yang Profeional oleh Mustafa (Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Makassar dan Tim Akademisi BPPNFI Regional V Makassar) ................................................................... 32Sertifikasi dan Kompetensi Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal Oleh H. Syamsuddin (Dosen Universitas Negeri Makassar ) ........................................................... 36

Pendekatan Analisis SWOT Dalam Perencanaan Pendidikan Non Formal Oleh Sitti Hasnah (Pemerhati Pendidikan Non Formal/ Alumni Jurusan PLS Fakultas Ilmu Pendidikan Uneversitas Negeri Makassar) ............................................................................................................................................... 46Pendidikan Kesetaraan Unggulan (Sebuah Paradigma Baru Pendidikan Non Formal) oleh Ibrahim (Tenaga Fungsional Pamong Belajar Pada Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal BPPNFI Regional V Makassar).............................................................................................................. 50

iiAndragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 4: jurnal_Vol.1.No.1.2007

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb.Mengetahui dan menguasai banyak informasi adalah salah satu ciri seorang “Pemimpin”, tanpa pengetahuan yang memadai dan penguasaan informasi, maka kita hanya akan menjadi seorang “Pemimpi”. Betapa pentingnya informasi dewasa ini tidak terbantahkan lagi, olehnya itu kita perlu membuka kran seluas-luasnya untuk mendukung penyebaran informasi khususnya informasi pendidikan terhadap seluruh lapisan masyarakat.

Khusus terhadap bidang penelitian dan pengkajian Pendidikan Non Formal dan Informal, kebaradaan Jurnal “Andragogi” ini merupakan suatu bentuk usaha positif dalam rangka usaha publikasi terhadap berbagai hasil penelitian dan pengkajian di jalur Pendidikan Non Formal di lingkup wilayah BP-PNFI Regional V. Hal ini adalah suatu hal yang penting, karena disamping fungsinya sebagai media informasi bagi para pemangku kebijakan juga bahan referensi dan parameter sejauh mana usaha yang telah dilakukan dalam hal penelitian dan pengkajian di bidang Pendidikan Non Formal dan Informal, juga akan menjadi media informasi edukatif bagi semua stakeholder.

Naskah yang dimuat dalam Jurnal ini adalah merupakan tulisan dari para PTK-PNF termasuk Tim Akademisi dan pemerhati pendidikan non formal dan informal di wilayah regional V, menyangkut berbagai kajian, baik yang telah dan sedang dilaksanakan maupun kajian yang masih bersifat wacana ilmiah yang berupa solusi alternatif yang perlu ditindaklanjuti demi memecahkan masalah-masalah disekitar penyelenggaraan pendidikan non formal dan informal di Indonesia pada umumnya dan di wilayah regional V pada khususnya.

Ucapan terimakasih dan penghargaan saya kepada seluruh jajaran Redaksi Jurnal Pendidikan Non Formal “Andragogi” yang dengan izin Allah SWT dan atas kerja kerasnya, sehingga Jurnal edisi perdana ini dapat terealisasikan. Akhirnya, semoga Jurnal ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dunia pendidikan, Amin

WassalamKepala BP-PNFI Regional V

Ir. Djajeng Baskoro, M.PdNIP 131877267

iiiAndragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 5: jurnal_Vol.1.No.1.2007

ANDRAGOGI SUATU ORIENTASI BARUDALAM PEMBELAJARAN

Andragogi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “andr” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin atau membimbing. Dengan demikian andragogi dirumuskan sebagai suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.

Oleh : Syamsul Bakhri Gaffar

Abstract: Istilah Pedagogi nampaknya tidak cocok dipakai untuk menjelaskan tentang ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Hal ini memunculkan suatu masalah yang tidak disadari bahwa dalam istilah pedagogi terdapat kata “Paid” yang berarti anak. Demikian juga dalam istilah pedagogi tentang konsep tujuan pendidikan, yaitu penyampaian pengetahuan pada anak-anak. Atas dasar itulah sehingga pendidikan kemudian diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan. Mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyampaian ternyata kurang sesuai dengan perkembangan dan kehidupan manusia. Oleh karena itu dewasa ini telah muncul suatu teori baru cara membelajarkan orang dewasa yang dikenal dengan istilah Andragogi, yaitu suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar, yang secara prinsip asumsi yang digunakan berbeda dengan Pedagogi, terutama mengenai konsep diri, pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi terhadap belajar.

Kata kunci: Andragogi, orientasi baru, Pembelajaran

Pengetahuan tentang belajar kebanyakan diperoleh dari pengalaman atau penelitian tentang belajar pada anak-anak ataupun binatang. Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang pengajaran, kebanyakan diperoleh dari pengalaman pengajaran anak-anak dalam situasi di mana anak-anak tersebut diwajibkan untuk mengikuti suatu proses belajar-mengajar yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal. Pelaksanaan proses belajar-mengajar tersebut didasarkan pada definisi pendidikan sebagai suatu proses penyampaian kebudayaan.

Definisi pendidikan tersebut pada dasarnya bersumber dari suatu istilah pendidikan yaitu Pedagogi. Istilah pedagogi ini berasal dari bahasa Yunani “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children).

Manusia yang juga telah ditulis dalam buku-buku pendidikan dan kamus, di mana istilah pedagogi diartikan sebagai seni dan ilmu mengajar. Bahkan dalam buku-buku tentang

pendidikan orang dewasa ditemukan istilah “Pedagogy of Adult Education” . Orang rupanya tidak menyadari bahwa dalam istilah pedagogi terdapat kata “paid” yang berarti anak, sehingga istilah pedagogi sangat tidak cocok dipakai untuk menjelaskan tentang ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Masalah lain yang muncul sehubungan dengan pengertian yang ditarik dari istilah pedagogi ialah tentang konsep tujuan pendidikan, yaitu penyampaian pengetahuan pada anak-anak. Atas dasar itu pendidikan kemudian diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan. Mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyampaian ternyata kurang sesuai dengan perkembangan dan kehidupan manusia.

Selain itu masalah yang timbul dalam pengertian pedagogi adalah adanya pandangan yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam

Andragogi Suatu Orientasi..

1Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 6: jurnal_Vol.1.No.1.2007

kondisi seperti ini pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 20 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 40 tahun. Jika demikian halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan modern. Oleh karena itu pendidikan sekarang tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui.

Dewasa ini di kalangan para ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika, suatu teori mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan pedagogi, maka teori baru tersebut di kenal dengan nama Andragogi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “andr” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin atau membimbing. Dengan demikian andragogi dirumuskan sebagai suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.

A S U M S I A N D R A G O G I D A N PEDAGOGI Ada perbedaan mendasar mengenai asumsi yang digunakan oleh Andragogi dan Pedagogi terutama dari aspek konsep diri, pengalaman, kesiapan belajar dan orientasi terhadap belajar. Asumsi itu dapat dikemukakan sebagai berikut:• Konsep Diri. Menurut Knowles, dalam pendekatan pedagogi peranan peserta didik bergantung pada guru. Dalam hal ini guru diharapkan oleh masyarakat memegang tanggungjawab penuh untuk menentukan apa yang akan dipelajari oleh pada peserta didik, kapan waktunya belajar, bagaimana cara mempelajarinya, dan apakah suatu bahan telah selesai dipelajari atau belum. Sedangakan dalam pendekatan andragogi, proses pematangan manusia merupakan kewajaran bagi seorang individu untuk bergerak dari ketergantungan ke arah kemandirian. Perpindahan ini secara bertahap dan dengan kecepatan yang berbeda-beda sesuai dengan orang dan dimensi kehidupannya. Para guru orang dewasa bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara gerakan ini. Orang dewasa mempunyai kebutuhan

psikologis yang dalam untuk mandiri, meskipun dalam situasi-situasi tertentu bergantung pada pihak lain.• Pengalaman. Peranan pengalamn yang dibawa peserta didik ke situasi belajar kurang bernilai. Hal itu mungkin hanya sebagai titik tolak. Pengalaman yang akan menjadi sumber belajar yang utama bagi peserta didik adalah pengalaman para guru, penulis buku, pencipta Audio-Visual Aids dan ahli-ahli lainnya. Karena itu teknik utama yang digunakan adalah teknik penerusan atau pemindahan (ceramah, tugas dan sebagainya). Dalam andragogi, selama manusia tumbuh dan berkembang mereka menyimpan banyak pengalaman dan karena itu akan menjadi sumber yang tak habis-habisnya untuk belajar, baik bagi mereka secara pribadi maupun bagi orang lain. Lagi pula orang memberikan arti yang lebih besar kepada pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman daripada yang diperoleh secara pasif. Karena itu teknik utama yang digunakan adalah teknik pengalaman (eksperimen, laboratorium, diskusi, pemecahan persoalan, pengalaman lapangan dan sebagainya).• Kesiapan Belajar. Orang siap mempelajari apapun yang dikehendaki masyarakat terutama sekolah untuk mereka pelajari, asalkan tekanan ini cukup berat bagi mereka. Sebagian orang yang sebaya siap untuk mempelajari bahan yang sama. Karena itu pelajaran hendaknya diatur ke dalam suatu kurikulum yang benar-benar baku, dengan suatu penjenjangan yang seragam bagi semua peserta didik. Dalam andragogi, orang menjadi siap untuk mempelajari sesuatu bila mereka merasakan kebutuhan untuk mempelajari hal itu. dengan tujuan agar dapat menyelesaikan tugas atau persoalan hidup mereka dengan yang lebih memuaskan. Pendidik memegang tanggungjawab menciptakan kondisi dan menyediakan alat-alat serta prosedur untuk membantu para peserta didik menemukan kebutuhan atau keingintahuan mereka. Dengan demikian program belajar hendaknya disusun menurut kategori penerapan hidup dan diurutkan sesuai dengan kesiapan belajar peserta didik. • Orientasi Terhadap Belajar. Para peserta didik melihat pendidikan sebagai

suatu proses untuk memperoleh bahan

2

Andragogi Suatu Orientasi..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 7: jurnal_Vol.1.No.1.2007

pelajaran, yang sebagian besar mereka anggap hanya akan berguna di kemudian hari. Karena itu kurikulum seharusnya diatur menjadi satuan-satuan pelajaran yang mengikuti urutan logika mata pelajaran bersangkutan. Jadi orientasi mereka berpusat pada mata pelajaran. Sebaliknya dalam andragogi, para peserta didik memandang pendidikan sebagai suatu proses pengembangan kemampuan untuk mencapai potensi kehidupan yang paripurna. Mereka ingin dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan apapun yang mereka peroleh saat ini untuk kehidupan esok yang lebih efektif. Karena itu, pengalaman belajar seharusnya disusun menurut kategori-kategori pengembangan kemampuan. Jadi orientasi mereka terhadap belajar berpusat pada karya atau prestasi. Dari asumsi dasar tersebut di atas

dapat dikemukakan bahwa:1). Orang dewasa mempunyai konsep diri,

yaitu suatu pribadi yang tidak tergantung kepada orang lain yang mempunyai kemampuan mengarahkan dirinya sendiri dan kemampuan mengambil keputusan,

2) Orang dewasa mempunyai kekayaan pengalaman yang merupakan sumber yang penting dalam belajar,

3) Kesiapan belajar orang dewasa berorientasi kepada tugas-tugas perkembangannya sesuai dengan peranan sosialnya

4) Orang dewasa mempunyai perspektif waktu dalam belajar, dalam arti secepatnya mengaplikasikan apa yang dipelajarinya.

UNSUR PEDAGOGI ANDRAGOGI

Iklim Belajar Berorientasi pada otoritasFormal dan Kompetitif

Berorientasi Pada KerjasamaSaling Menghormati

Perencanaan Direncanakan oleh guru Direncanakan Bersama antaraPelatih dan Peserta

Diagnosis Kebutuhan Belajar Dilakukan oleh guru Dilakukan Bersama Pelatih danPeserta

Perumusan Tujuan Dilakukan oleh guru Dirumuskan Bersama Pelatih danPeserta

Orientasi Pada mata pelajaran Pada Masalah

Kegiatan Belajar Mengunakan Teknik Transmisi Menggunakan Teknik Inquiriterhadap Penglaman

Evaluasi Oleh Guru Evaluasi Bersama oleh Pelatih danPeserta

Perbedaan rancangan proses belajar mengajar antara Pedagogi dan Andragogi dapat digambarkan sebagai berikut:

F U N G S I P E N D I D I K O R A N G DEWASA.

Pendidik orang dewasa mempunyai fungsi antara lain:a. Menilai kebutuhan belajar individu, lembaga

dan masyarakat untuk pendidikan orang dewasa yang sesuai dengan lingkungan organisasinya (fungsi diagnostik).

b. Menetapkan dan mengelola struktur organisasi untuk pengembangan dan pelaksanaan yang

efektif dari suatu program pendidikan orang dewasa (fungsi organisasi).

c. Merumuskan tujuan yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang telah ditetapkan, dan merencanakan suatu program kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut (fungsi perencanaan).

3

Andragogi Suatu Orientasi..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 8: jurnal_Vol.1.No.1.2007

F U N G S I P E N D I D I K O R A N G DEWASA. Pendidik orang dewasa dapat digambarkan dengan mengai tkan antara kebutuhan dan tujuan individu. Misi setiap pendidik orang dewasa adalah membantu individu untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, membantu individu untuk mengembangkan sikap bahwa belajar itu adalah kegiatan yang berlangsung sepanjang hayat, dan dengan pendidikan itudapat diperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja secara mandiri serta dapat mengembangkan potensi-potensi yang kita miliki. Dalam proses belajar ini dapat dimanfaatkan oleh orang dewasa untuk mengembangkan dirinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama dengan orang dewasa lainnya.Pendidik orang dewasa dalam merencanakan program pembelajarannya hendaknya didasarkan pada kebutuhan belajar yang diinginkan oleh orang dewasa, tanpa demikian pendidikan orang dewasa akan mengalami kegagalan.

TEKNIK DAN METODE PEMBELAJARAN ORANG DEWASA

Penjabaran rancangan belajar ke dalam urutan kegiatan belajar memerlukan adanya pengambilan keputusan mengenai teknik dan bahan belajar apa yang paling bermanfaat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajarn. Dan selanjutnya menentukan strategi pembelajaran dengan mengikutsertakan peserta. Posisi pelatih dalam proses ini hanyalah sebagai pemberi saran dan sebagai narasumber. Ada beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan untuk membantu orang dewasa belajar, antara lain:

IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN ORANG DEWASADari asumsi-asumsi yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa ketiga pendapat tersebut di atas memiliki kesamaan di dalam memandang pebelajar, baik dalam pembelajaran pedagogi maupun andragogi terutama dalam konsep diri, pengalaman, kesiapan untuk belajar, dan orientasi belajar. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam pembelajaran orang dewasa perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Iklim belajar perlu diciptakan sesuai dengan

keadaan orang dewasa. Baik ruangan yang digunakan maupun peralatan (kursi, meja, dan sebagainya) diatur sesuai dengan selera orang dewasa agar dapat memberi kenyamanan bagi mereka. Selain itu, dalam iklim belajar tersebut, perlu diciptakan kerjasama yang saling menghargai antara para peserta dengan peserta lain maupun dengan para pelatih/fasilitator. Ini berarti bahwa setiap peserta diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengemukakan pandangannya tanpa ada rasa takut dihukum maupun dipermalukan. Iklim belajar seperti ini akan sangat tergantung kepada pelatih/fasilitator.

2. Peserta diikutsertakan dalam mendiagnosa kebutuhan belajarnya. Mereka akan merasa terlibat dan termotivasi untuk belajar apabila apa yang akan dipelajarinya itu sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipelajari.

d. Menciptakan dan mengawasi prosedur yang diperuntukan bagi pelaksanaan suatu program secara efektif, termasuk memilih dan melatih ketua-ketua kelompok belajar, tutor, mengatur fasilitas dan proses administrasi, seleksi dan penerimaan pebelajar, dan pembiayaan (fungsi administrasi).

e. Menilai efektivitas program pendidikan yang dilaksanakan (fungsi evaluasi).

1. Presentasi. Teknik ini meliputi antara lain: ceramah, debat, dialog, wawancara, panel, demonstrasi, film, slide, pameran, darmawisata, dan membaca.

2. Teknik Partisipasi peserta. Teknik ini meliputi antara lain: tanyajawab, permainan peran, kelompok pendengar panel reaksi, dn panel yang diperluas.

3. Teknik Diskusi. Teknik ini terdidi atas diskusi terpimpin, diskusi yang bersumberkan dari buku, diskusi pemecahan masalah, dan diskusi kasus.

4. Teknik Simulasi. Teknik ini terdiri atas: permainan peran, proses insiden kritis, metode kasus, dan permainan.

4

Andragogi Suatu Orientasi..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 9: jurnal_Vol.1.No.1.2007

3. Peserta dilibatkan dalam proses perencanaan belajarnya. Dalam perencanaan ini fasilitator lebih banyak berfungsi sebagai pembimbing dan manusia sumber.

4. Dalam proses belajar-mengajar merupakan tanggungjawab bersama antara pelatih/failitator dan peserta. Kedudukan pelatih/fasilitator lebih banyak berperan sebagai manusia sumber, pembimbing, dan katalist dari pada sebagai guru.

5. Evaluasi belajar lebih menekankan pada cara evaluasi diri sendiri dalam mengetahui kemajuan belajar peserta.

6. Karena orang dewasa merupakan sumber belajar yang lebih kaya dibandingkan anak-anak, maka proses belajarnya lebih ditekankan kepada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman mereka seperti: kelompok diskusi, metode kasus, simulasi, permainan peran, latihan praktek, demonstrasi, bimbingan konsultasi, seminar, dan sebagainya.

7. Penekanan dalam proses belajar bagi orang dewasa adalah pada aplikasi praktis dan atas dasar pengalaman mereka.

8. Urutan kurikulum dalam proses belajar orang dewasa disusun berdasarkan tugas perkembangannya dan bukan atas dasar urutan logik mata pelajaran atau

kebutuhan kelembagaan. Misalnya suatu program latihan orientasi untuk para pekerja baru, bukan dimulai dengan sejarah atau filsafat perusahaan, tetapi dimulai dengan kehidupan nyata yang menjadi perhatian para pekerja baru, seperti: di mana saya harus bekerja, dengan siapa saya bekerja, apa yang diharapkan dari saya, dan sebagainya.

9. Adanya konsep mengenai tugas-tugas perkembangan pada orang dewasa akan memberi petunjuk dalam belajar secara kelompok. Untuk tugas-tugas perkembangan, maka belajar secara kelompok yang anggota kelompoknya bersifat homogen akan lebih efektif.

10. Pendidik orang dewasa tidak boleh berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.

11. Kurikulum dalam pendidikan untuk orang dewasa tidak berorientasi kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasi kepada masalah. Hal ini karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada masalah dalam orientasi belajarnya.

12. Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi kepada masalah, maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula pada masalah atau perhatian yang ada dalam benak mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Amalius Sahide. 1990. Pendidikan Orang Dewasa. Ujungpandang: FIP IKIP Knowles, Malcolm. 1977. The Modern Practice of Adult Education, Andragogy Versus Pedagogy. New York:

Assosiation Press. Zainuddin Arif. 1984. Andragogi. Bandung: Angkasa.

Penulis adalah - Dosen Jurusan PLS FIP UNM - Tim Akademisi BPPLSP Regional V Makassar

5

Andragogi Suatu Orientasi..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 10: jurnal_Vol.1.No.1.2007

KAJIAN TENTANG PERLUNYA MENGEMBANGKAN KELOMPOK BELAJAR PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH(Studi Kasus pada Kelompok Belajar Paket B Di Kabupaten Gowa)

Oleh : Kartini Marzuki

Bruner (1985) mengemukakan asumsinya bahwa proses belajar mengajar pengetahuan (cognitive learning) seharusnya didasarkan sepenuhnya atas tiga hal. Pertama, adanya dorongan yang tumbuh dari dalam peserta didik. Kedua, adanya kebebasan peserta didik untuk memilih dan berbuat dalam kegiatan belajar. Ketiga, peserta didik tidak merasa terikat oleh pengaruh ganajaran dan hukuman yang datang dari luar dirinya yaitu dari anak didik.

Abstract: Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari solusi dalam upaya mengembangkan kelompok belajar Paket B sebagai satuan Pendidikan Luar Sekolah. Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) Menganalisis keadaan kelompok belajar paket B di Kabupaten Gowa, (2) Mengungkap dan menganalisis upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kelompok belajar Pendidikan Luar Sekolah, (3) Mengungkap dan menganalisis peran yang dapat dilakukan oleh tenaga PLS dalam mengembangkan kelompok belajar Paket B. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui angket, wawancara dan studi kepustakaan. Informan berjumlah 16 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Kelompok Belajar Paket B di Kabupaten Gowa mengalami peningkatan dari segi kualitas. Upaya pengelolaan dalam mengembangkan kelompok belajar Paket B dilakukan dengan cara pemberian motivasi kepada warga belajar, sumber belajar dan masyarakat sekitar. Demikian pula dengan meningkatkan mutu pengelola, sumber belajar dan pengadaan sarana dan prasarana. Adapun peran yang dapat dilakukan oleh tenaga PLS adalah sebagai motivator, fasilitator, dinamisator dan sebagai komunikator.

1. PENDAHULUAN

Pendekatan kelompok muncul karena pendekatan individual dan pendekatan massal mengandung banyak kelemahan. Pendekatan individual yang intensif karena kekuatan komunikasi langsung, face to face ternyata kurang luas jangkauannya, sehingga terlampau mahal dan banyak waktu yang diperlukan. Sebaliknya pendekatan massal mampu menjangkau daerah dan sasaran yang luas karena bantuan kekuatan media massa, akan tetapi seringkali menampakkan kelemahan karena efeknya kurang intensif disertai alur komunikasi yang sepihak saja. Pendekatan kelompok banyak dipilih karena diangap bisa mengambil kekuatan kedua pendekatan tersebut di atas dengan

menekan kelemahannya. Kelompok belajar (learning Group/i) dapat dianggap sebagai perujudan pendekatan kelompok dalam dunia pendidikan. Kelompok belajar dalam maknanya yang lebih luas berarti setiap kelompok yang memungkinkan para warganya bisa belajar secara efektif dan efisien. Batasan operasional tentang kelompok belajar ini bermakna luas, sehingga dengan sendirinya tidak semata-mata merujuk pada kelompok

6

Kajian Tentang .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 11: jurnal_Vol.1.No.1.2007

belajar dari Direktorat Pendidikan Masyarakat saja. Kelompok tani yang dibina oleh Departemen Pertanian sepintas seperti sekumpulan petani saja, akan tetapi bila ditelaah secara seksama ternyata juga merupakan kelompok belajar. Kelompok belajar bukan sekedar merupakan kelompok sasaran informasi atau pesan, juga bisa berfungsi sebagai wahana pembelajaran yang bisa diandalkan dalam pendidikan luar sekolah. Dalam kelompok belajar dapat terjadi tukar menukar pengetahuan, pengalaman, bahkan keterampilan antara sesama warga belajar. Suasana kelompok belajar yang tidak kaku bisa mendorong keberaanian untuk berperan serta berpartisipasi dalam proses belajar. Br uner (1985) mengemukakan asumsinya bahwa proses belajar mengajar pengetahuan (cognitive learning) seharusnya didasarkan sepenuhnya atas tiga hal. Pertama, adanya dorongan yang tumbuh dari dalam peserta didik. Kedua, adanya kebebasan peserta didik untuk memilih dan berbuat dalam kegiatan belajar. Ketiga, peserta didik tidak merasa terikat oleh pengaruh ganajaran dan hukuman yang datang dari luar dirinya yaitu dari anak didik. Dengan kata lain, peserta didik akan merasa bahwa belajar itu adalah merupakan bagian dari kehidupannya, dilakukan atas dorongan dari dalam dirinya bila kegiatan belajar ini sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan dirinya dan penghargaan akan datang dari peserta didik sendiri, antara lain adanya kepuasan atas kemampuan diri untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu yang dipelajari (the autonomy of self reward). Kelompok belajar bisa berkembang menjadi kelompok kerja (working group) manakala para warganya merasa perlu merealisasikan hasil belajar mereka dalam bentuk kegiatan usaha bersama. Pengalaman belajar bersama dapat membina rasa kegotongroyongan yang bisa menjadi modal yang penting bagi pembangunan masyarakat. Kelompok belajar pendidikan luar sekolah lebih didasarkan pada kemauan dan kemampuan masyarakat pada umumnya dan warga belajar pada khususnya serta bersifat fleksibel. Karena hal tersebut maka pada umumnya kelompok belajar PLS terkesan “asal ada” dan tidak terawat jika dibandingkan dengan

pendidikan sekolah, maka keadaannya jauh tertinggal. Kajian tentang upaya mengembangkan kelompok belajar PLS sangat diperlukan. Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pemantapan kompetensi para lulusan Jurusan PLS khususnya serta pembinaannya selaku lembaga kependidikan pada umumnya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana keadaan kelompok belajar Paket B di Kabupaten Gowa?, (2) Bagaimana upaya yang diakukan untuk mengembangkan Kelompok Belajar Paket B di Kabupaten Gowa? dan (3) Peran apa yang dapat dilakukan oleh tenaga PLS dalam mengembangkan kelompok belajar Paket B di Kabupaten Gowa ?

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data meliputi: (1) Angket, yang disebarkan pada pengelola kelompok belajar, (2) Observasi, teknik ini dimaksudkan untuk mengadakan pengamatan langsung mengenai proses pembelajaran yang dilakukan oleh setiap kelompok belajar. Pengamatan terutama ditentukan kepada interaksi belajar mengajar antara tutor dan warga belajar termasuk penggunaan alat dan fasilitas belajar lainnya, (3) Wawancara, teknik ini dimaksudkan untuk memperoleh data penunjang dari responden, baik dari sumber belajar maupun warga belajar, (4) Studi kepustakaan, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan teori-teori atau konsep-konsep erat hubungannya dengan masalah yang diteliti.

3. HASIL PENELITIAN

Ditinjau dari asprk program belajar, kelompok belajar paket B merupakan paket yang diatur oleh pemerintah yang terdiri dari dua bagian yaitu pendidikan dasar umum dan pendidikan keterampilan. Untuk pendidikan keterampilan, peng embang an prog ram d iupayakan kerelevansian kebutuhan warga belajar dan kebutuhan masyarakat. Hal ini berimplikasi bagi para pengelola dan penanggung jawab secara

7

Kajian Tentang .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 12: jurnal_Vol.1.No.1.2007

langsung terhadap pelaksanaan kelompok belajar paket B untuk menyusun program belajar keterampilan yang relevan dengan kebutuhan warga belajar dan masyarakat. Peran kelompok belajar sebagai salah satu satuan pendidikan luar sekolah baru bisa dilihat dari cara pengelolaaannya saja, sebab jika ditinjau dari segi hasil belum maksimal. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor, antara lain adalah masalah pembiayaan yang dirasa belum mencukupi untuk membiayai seluruh kegiatan penyelenggaraan. Selain itu sarana dan prasarana yang dipergunakan terbatas hanya yang dimiliki oleh sekolah yang dipergunakan sebagai tempat kegiatan pembelajaran. Program kejar paket B yang merupakan program pendidikan setara SLTP yang dilaksanakan melalui jalur pendidikan luar sekolah merupakan suatu kewajaran apabila sarana dan prasarana belajar harus pula disetarakan dengan sarana dan prasarana yang bisa dipergunakan setingkat SLTP. Adanya keterbukaan dari pihak sekolah yang dipergunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Hal ini akan memberikan motivasi tersendiri bagi para penyelenggara untuk memanfaatkan sarana dan parasarana secara maksimal. Disamping kondisi masyarakat yang menurut ukuran kriteria pendidikan masih banyak yang belum mencapai batas pendidikan dasar sembilan tahun terutama mereka yang telah melewati batas usia pendidikan sekolah dasar. Berdasarkan data yang dideskripsikan sebelumnya bahwa warga belajar mempunyai tingkat partisipasi yang tinggi dalam kegiatan belajar. Kondisi iniperlu dimanfaatkan secara maksimal dan menjadi pendorong bagi penyelenggaraan/ pengelola untuk meningkatkan pengelolaan kelompok belajar paket B di daerahnya. Peran serta yang telah dilakukan oleh penilik dikmas dan tenaga lapangan dikmas dalam mengembangkan kelompok belajar paket B telah dapat dibuktikan. Peran serta ini dilakukan dengan cara memotivasi sumber belajar warga belajar serta pelaksana. Perlakuan seperti ini diharapkan kelompok belajar yang menjadi binaannya dapat terus berkembang sesuai dengan garis program yang direncanakan. Dalam rangka mengembangkan kelompok belajar penilik dikmas dan tenaga lapangan dikmas melakukan berbagai kegiatan

d iantaranya meningkatkan komponen pembelajaran baik itu tutor (sumber belajar) pengelola melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan oleh kelompok belajar tersebut serta lebih mengintensifkan pemantauan. Peran yang bisa dilakukan oleh seorang tenaga pendidikan luar sekolah menurut data yang terkumpul dari responden diketahui bahwa peran tersebut adalah sebagai motivator, fasilitator, dinamisator dan peran sebagai komunikator. Sebagai motivator, seorang tenaga pendidikan luar sekolah harus menyiapkan diri dengan berbagai strategi yang memungkinkan warga belajar akan merasa termotivasi, baik motivasi menerima program, melaksanakan maupun untuk mengembangkan program. Pemberian motivasi oleh tenaga PLS bisa dilakukan terhadap para pelaksana program (pengelola), warga belajar, tutor, sumber belajar, atau terhadap masyarakat. Masyarakat dipandang penting karena merupakan basis aktivitas pelaksana kegiatan. Kemampuan memotivasi harus didukung kemampuan mengidentif ikasi kebutuhan belajar warga belajar dan masyarakat, mengidentifikasi potensi yang bisa dikembangkan serta mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh kelompok belajar. Hal ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan oleh seorang tenaga PLS dan benar merupakan hal yang bermanfaat dalam rangka membantu pemenuhan kebutuhan belajar masyarakat. Identifikasi kebutuhan belajar akan melahirkan suatu alternatif program yang mesti dikembangkan. Peran ini cenderung dikelompokkan sebagai peran seorang tenaga PLS sebagai fasilitator. Peran sebagai dinamisator adalah untuk mempercepat terjadinya perubahan kearah positif dari suatu program. Peran ini sangat strategis, mengingat sebagai dinamisator akan memberikan dinamika kearah yang terfokus pada sasaran. Dalam hal ini mempercepat penerimaan program oleh warga belajar, proses pemberian arahan, bimbingan dan bantuan serta proses pengendalian dari hal-hal yang dianggap dapat mengurangi akses kelompok belajar. Peran sebagai komunikator lebih diarahkan pada penyamapaian informasi berkenaan dengan kebijakan tentang kelompok belajar, informasi tentang hal-hal yang baru baik ke dalam maupun ke luar kelompok belajar, atau

8

Kajian Tentang .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 13: jurnal_Vol.1.No.1.2007

4. KESIMPULAN

Pelaksanaan kelompok belajar paket B di kabupaten Gowa sudah mengalami perkembangan terutama dari segi kualitas. Perkembangan tersebut diharapkan menjadi tolok ukur dan proyeksi yang positif untuk mengembangkan kelompok belajar paket B pada masa-masa selanjutnya. Dalam pelaksanaan program paket B merupakan salah satu program yang dipaketkan oleh pemerintah, sehingga untuk pendidikan dasar umum semua daerah disamakan. Untuk program keterampilan diharapkan dikembangkan oleh warga belajar disesuaikan dengan muatan local yang dimingkinkan menjadi keterampilan yang dapat diamnfaatkan oleh warga belajar

setelah menyelesaikan pendidikannya. U p a y a p e n g e l o l a d a l a m mengembangkan kelompok belajar paket B harus dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui pemberian motivasi kepada warga belajar, sumber belajar (tutor) ataupun masyarakat sekitar. Selain itu dilakukan pula dengan cara penataan, perlindungan terhadap informasi-informasi yang tidak menguntungkan serta menjaga kerelevansian dengan kebutuhan warga belajar dan masyarakat. Hal lain adalah meningkatkan mutu para pengelola, sumber belajar serta pengadaan sarana dan prasarana yang dimungkinkan sangat berpengaruh terhadap jalannya kegiatan. Adapun peran yang bisa dilakukan oleh seorang tenaga PLS yaitu sebagai motivator, fasilitator, dinamisator dan sebagai komunikator. Peran-peran tersebut erat kaitannya dengan profesi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang tenaga PLS.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Suryadi. 1988. Proses Belajar Mengajar dalam Kelompok. Mandar Maju. Bandung. Alisi, Albert. 1980. Perspectives on Social Work Practice. The Free Press. A Devision of MacMillan

Publishing Co. Inc, New YorkAnwas Iskandar. 1991. Petunjuk Teknis Program Kejar Paket B. Asona, JakartaFiere, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Terjemahan. LP3ES, JakartaKnowles, Malcolm S. 1995. Informal Adult Eduation, Assosiation Press, New York Kuntoro, Sodiq. S. 1985.Dimensi Manusia dalam Pemikiran Pendidikan. Nurcahaya, YogyakartaNasution S. 1986. Didaktik dan Asas-asas Mengajar. Jemmars, BandungOrlich, Donald C. 1985. Teaching Strategies. Lexington. MassachussetsPeraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991, tentang Pendidikan Luar Sekolah. Sinar Grafika,

JakartaSudjana D. 1983. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah. Nusantara Press. Bandung————. 1983 Metodologi dan Teknik Kegiataan Belajar Partisipatif. Theme 76 Bandung

bahkan pula sebagai penghubung antara pihak yang berwenang dengan para pelaksanan di lapangan. Komunikasi yang teratur, terbuka dan terarah dimungkinkan melahirkan suatu keterbukaan dari berbagai pihak atau bahkan pula dapat menghilangkan persepsi negatif dari masyarakat tentang keberadaan kelompok belajar.

Penulis adalah - Dosen Jurusan PLS FIP UNM

9

Kajian Tentang .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 14: jurnal_Vol.1.No.1.2007

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN TUGAS PAMONG BELAJAR DI KOTA MAKASSAR

Tugas Pamong Belajar SKB telah dikemukakan dalam SK Menpan nomor 127 tahun 1989, yang bersangkut paut dengan ketentuan angka kredit bagi mereka. Salah satu tugasnya adalah menyelenggarakan pembelajaran masyarakat. Nampaknya dengan tugas ini, Pamong Belajar SKB harus bekerja lebih ulet secara profesional dengan memanfaatkan waktu kerja seefisien mungkin.Pamong Belajar SKB sebagai tenaga pendidik, diaharapkan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, namun dengan keterbatasan kemampuan profesional dan banyaknya hambatan yang ditemukan dalam melaksanakan tugasnya mereka kurang berhasil melaksanakan tugas

Dra. Istiyani Idrus, M.Si

AbstrakPopulasi penelitian ini adalah Pamong Belajar yang bekerja pada Sanggar Kegiatan Belajar di Makassar, jumlahnya 20 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket. Dari hasil analisis data diketahui bahwa ada delapan hambatan yang dialami Pamong Belajar dalam melaksanakan tugasnya, yaitu kekurangan dana operasional, terbatasnya sarana belajar, kurangnya kesadaran warga belajar, kurangnya kemampuan tenaga pendidik PNF, kurangnya respon pejabat setempat, kurangnya respon masyarakat setempat, kurangnya kemampuan Pamong belajar, dan terbatasnya waktu kerja.

PENDAHULUAN

Pendidikan nonformal mempunyai kedudukan yang sama dengan pendidikan formal dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal ini telah menjadi kesepakatan nasional, seperti yang disebutkan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.Kesepakatan tersebut ditindak lanjuti dengan penyelenggaraan berbagai program PNF, seperti Kejar Paket A,B,C, Magang, dan berbagai latihan keterampilan dan kejuruan masyarakat dalam berbagai jenis keahlian, serta kegiatan PNF lainnya, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta.Salah satu instansi pemerintah di bawah naungan Depdiknas, secara teknis diberi wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan program PNF adalah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). SKB terdapat disetiap kabupaten/ kota mempunyai pegawai yang bertugas menangani layanan PNF yang disebut Pamong Belajar. Kedudukan Pamong Belajar dalam Sisdiknas disebut tenaga

pendidik PNF.Tugas Pamong Belajar SKB telah dikemukakan dalam SK Menpan nomor 127 tahun 1989, yang bersangkut paut dengan ketentuan angka kredit bagi mereka. Salah satu tugasnya adalah menyelenggarakan pembelajaran masyarakat. Nampaknya dengan tugas ini, Pamong Belajar SKB harus bekerja lebih ulet secara profesional dengan memanfaatkan waktu kerja seefisien mungkin.Pamong Belajar SKB sebagai tenaga pendidik, diaharapkan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, namun dengan keterbatasan kemampuan profesional dan banyaknya hambatan yang ditemukan dalam melaksanakan tugasnya mereka kurang berhasil melaksanakan tugas (Kemma, dkk,.1995)Kota Makassar merupakan salah satu Dati II, mempunyai karakteristik tersendiri dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai daerah perkotaan dan pusat ibukota propinsi Sulawesi Selatan memiliki banyak perbedaan dibanding

Faktor faktor Penghambat ....

10 Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 15: jurnal_Vol.1.No.1.2007

daerah lainnya. Masyarakat kota ini memiliki keragaman status ekonomi, sosial, suku dan ekonomi, sehingga diperlukan cara tersendiri bagi Pamong Belajar SKB dalam membelajarkan masyarakatnya. Berdasarkan kenyataan di atas, peneliti terdorong untuk mencaritahu hambatan-hambatan apakah yang dialami Pamong Belajar dalam melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi dalam pembinaan Pamong Belajar SKB, terutama dalam mengatasi hambatan tugasnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Variabel yang diselidiki adalah faktor-faktor penghambat pelaksanaan tugas oleh Pamong Belajar SKB di Kota Makassar.Populasi penelitian adalah Pamong Belajar SKB yang bertugas di Kota Makassar, jumlahnya 20 orang. Untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan angket, yang dijawab Pamong Belajar SKB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif (persentase) sebagai dasar dalam membuat kesimpulan.

H A S I L P E N E L I T I A N D A N

PEMBAHASANDari hasil analisis data diperoleh ada delapan jenis hambatan yang dialami Pamong Belajar SKB dalam bertugas, yaitu: kekurangan dana operasional (20 %), terbatasnya sarana belajar (18 %), kurangnya kesadaran belajar warga belajar (16 %), kurangnya kemampuan tenaga pendidik/ tutor PNF (15 %), kurangnya respon pejabat setempat (14 %), kurangnya respon masyarakat setempat (13 %), kurangnya kemampuan profesional Pamong Belajar (12 %) dan kurang waktu kerja (10 %).Hambatan pertama adalah kekurangan dana operasional. Hal ini berarti bahwa Pamong Belajar SKB dalam melaksanakan tugasnya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kekurangan dana hendaknya jangan dijadikan alasan oleh Pamong Belajar SKB untuk malas melaksanakan tugasnya, tetapi disini dituntut kereativitas mencari pemecahannya.Hambatan yang kedua adalah terbatasnya sarana belajar. Sarana belajar yang lengkap dan memadai ikut pula menentukan keberhasilan

dalam bertugas. Jika sarana belajar kurang atau tidak ada maka ada diantara program PNF yang macet bahkan gagal. Untuk itu diperlukan sarana belajar yang memadai dan berkualitas dari berbagai pihak atau dari yang berwenang.Hambatan yang ketiga adalah kurangnya kesadaran warga belajar. Hal ini menunjukkan bahwa warga belajar masih kurang menyadari betapa pentingnya belajar bagi kehidupannya. Kesadaran warga belajar perlu ditumbuhkan sebelum melibatkan mereka dalam program pembelajaran PNF, karena dengan kesadaran menjadi pendorong untuk berpartisipasi dalam program pembelajaran yang diprogramkan oleh Pamong Belajar SKB.Hambatan yang keempat adalah kurangnya kemampuan tenaga pendidikan PNF. Hal ini menunjukkan bahwa tutor/fasilitator belum semuanya profesional. Oleh sebab itu, Pamong Belajar SKB perlu menyeleksi seteliti mungkin sebelum memanfaatkannya. Di samping itu, para tenaga pendidik PNF perlu terus dibimbing agar lebih profesional, percaya diri dan sukarela membantu sesamanya.Hambatan yang kelima adalah kurangnya respon pejabat setempat. Jika Pamong Belajar SKB ingin mendapatkan respon positif dari pejabat setempat, maka senantiasalah berkonsultasi dengannya, dan selalu melakukan pendekatan dengan maksud mensosialisasikan program PNF.Hambatan yang keenam adalah kurangnya respon masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dalam setiap program pembelajaran PNF dapat terjadi, jika masyarakat memahami dan memperoleh nilai tambah dari kegiatan pembelajaran tersebut. Oleh sebab itu, Pamong Belajar SKB pada priode awal programnya harus mampu memperlihatkan kemanfaatannya, sehingga untuk program selanjutnya dapat diperoleh dukungan dari mereka. Sifat solidaritas dikalangan masyarakat harus tetap dijaga dan dikembangkan, dengan cara melibatkan mereka dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan program pembelajaran.Hambatan yang ketujuh adalah kurangnya k e m a m p u a n Pa m o n g B e l a j a r S K B. Kekurangmampuan Pamong Belajar SKB merupakan suatu hal yang tidak sepantasnya ter jadi , karena kalau itu ter jadi dapat dipastikan

Faktor faktor Penghambat ....

11Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 16: jurnal_Vol.1.No.1.2007

kewajiban mereka terabaikan, yang akan berdampak pada kinerja dan kenaikan pangkat mereka. Untuk dapat mengembangkan kemampuan profesional mereka, perlu diberi peluang untuk mengikuti pendidikan dalam jabatan (diklat teknis, seminar, lokakarya) dan pendidikan lanjut.Hambatan kedelapan adalah kurangnya waktu kerja. Untuk mengatasi hal tersebut, Pamong Belajar SKB perlu membuat rencana kerja yang menggambarkan prioritas program yang harus dilakukan. Hal ini sangat penting agar Pamong Belajar SKB tidak banyak terlibat dalam kegiatan lintas sektoral yang menyebabkan tugas pokok terabaikan. Dengan pembagian waktu yang baik, akan memperoleh manfaat yang berarti dalam membelajarkan masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat delapan hambatan pokok yang ditemui Pamong Belajar SKB dalam melaksanakan tugasnya di kota Makassar, yaitu: kurangnya dana operasional, terbatasnya sarana belajar, kurangnya sarana belajar, kurangnya kesadaran belajar warga belajar, kurangnya kemampuan tenaga pendidik PNF, kurangnya respon pejabat pemerintah setempat, kurangnya respon masyarakat setempat, kurangnya kemampuan profesional Pamong Belajar, dan kurangnya waktu kerja.Sebagai implikasi dari kesimpulan disarankan agar kiranya pihak yang berwenang (Depdiknas dan pemerintah setempat) memberikan perhatian, pembinaan dan kerjasama, terutama dalam mengatasi hambatan dalam bertugas. Bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/ PT dan lembaga Diklat lainnya perlu melakukan langkah-langkah pengembangan kurikulum sesuai kebutuhan lapangan/ pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud R.I., 1988, Petunjuk Teknis Program Paket A dan Kejar Usaha, JakartaIshak Abdulhak, 1986, Strategi Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta: KarunikaKaufman Roger, 1987, Pemantauan dan Penilaian Dampak Pelatihan Pamong Belajar SKB dan Penilik

Diklusepora (laporan Penelitian), Jurusan PLS IKIP UjungpandangPeraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional,

Sekjen Depdikbud, JakartaS.K. Menpan RI nomor 127 tahun 1989 tentang Angka Kredit Bagi Pamong Belajar SKB, diperbanyak

BPKB UjungpandangSudjana,H.D., 1991, Pendidikan Luar Sekolah Wawasan Sejarah Perkembangan Sejarah dan Teori

Pendukung Asas, Bandung: Nusantara PressUndang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Semarang:

Aneka Ilmu.

12

Faktor faktor Penghambat ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 17: jurnal_Vol.1.No.1.2007

KONSEP DAN METODE PEMBELAJARANUNTUK ORANG DEWASAPendidikan orang dewasa dapat. diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasi-kan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya Oleh: Agus Marsidi

Abstrak. Membangun manusia pembangunan dapat terjadi kalau diberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pendidikan orang dewasa, sebab proses pembe1ajaran ini harus dikembangkan dengan cepat sesuai dengan lajunya pembangunan bangsa. Ulasan di seputar pendidikan di sekolah sudah sangat sering didiskusikan dengan herbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerinah, akan tetapi di lapangan, tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik melalui pendidikan melalui jalur sekolah maupun pendidikan luar sekolah, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya. Untuk membelajarkan orang dewasa melalui pendidikan orang dewasa dapat dilakukan dengan berhagai metoda dan strategi yang diperlukannya. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. OIeh sebab ilu, harus dipahaini bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.

Kata kunci: Cara pembelajaran orang dewasa, pendidikan sekolah, pendidikan luar sekolah, kemandirian, pengarahan diri sendiri.

1. PENDAHULUAN

Salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini yang penlu mendapat perhatian adalah mengenai konsep pendidikan untuk orang dewasa. Tidak selamanya kita berbicara dan mengulas di seputar pendidikan murid sekolah yang relatif berusia muda. Kenyataan di lapangan, hahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya. Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa yang notabene tidak menduduki bangku sekolah. Dalam hal ini, orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan helajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa yang tumbuh

sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri. Kematangan psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak senang.

13

Konsep dan Metode ......

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 18: jurnal_Vol.1.No.1.2007

Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong hagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaininya, apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya (Lunandi, 1987). Pemahaman terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para pendidik atau fasilitator dalam mnenghadapi orang dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa sebagai siswa. Kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu masalah dalam pengertian andragogi adalah adanya pandangan yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilisasi penduduk, perubahan sistem ekonomi, dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 40 tahun. Apabila demikian

halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan modem (Arif, 1994). Oleh karena itu, tujuan dan kajian/tulisan ini adalah untuk mengkaji berbagai aspek yang mungkin dilakukan dalam upaya membelajarkan orang dewasa (andragogi) sebagai salah satu altematif pemecahan masalah kependidikan, sebab pendidikan sekarang ini tidak lagi dirumuskan hanya sekedar sebagai upaya untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses pendidikan sepanjang hayat (long life education).

2. KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian Andragogi

Andragogi berasal dan bahasa Yunani andros artinya orang dewasa, dan agogus artinya memimpin. lstilah lain yang kerap kali dipakai sebagai perbandingan adalah pedagogi yang ditarik dan kata paid artinya anak dan agogus artinya memimpin. Maka secara harfiah pedagogi herarti seni dan pengetahuan mengajar anak. Karena itu, pedagogi berarti seni atau pengetahuan mengajar anak, maka apabila memakai istilah pedagogi untuk orang dewasa jelas kurang tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Sementara itu, menurut (Kartini Kartono, 1997), bahwa pedagogi (lebih baik disebut sebagai androgogi, yaitu ilmu menuntun/mendidik manusia; aner, andros = manusia; agogus = menuntun, mendidik) adalah ilmu membentuk manusia; yaitu membentuk kepribadian seutuhnya, agar ia mampu mandiri di tengah lingkungan sosialnya.Pada banyak praktek, mengajar orang dewasa dilakukan sama saja dengan mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu difinisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang

14

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 19: jurnal_Vol.1.No.1.2007

dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai kebutuhan dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya.Kalau ditarik dari pengertian pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang dapat mengarahkan diri sendiri, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari peserta didik bukan kegiatan mengajar guru. Oleh karena itu, dalam memberikan definisi andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa.

2. 2. Kebutuhan Belajar Orang

DewasaPendidikan orang dewasa dapat. diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu mengem-bangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonoini, dan teknologi secara bebas, seimbang dan berkesinambungan. Dalam hal ini , terl ihat adanya tekanan rangkap bagi perwujudan yang ingin dikembangankan dalam aktivitas kegiatan di lapangan, pertama untuk mewujudkan pencapaian perkemhangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dan setiap individu yang bersangkutan. Begitu pula pula, bahwa pendidikan orang dewasa mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan oleh orang dewasa baik pria maupun wania, sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya masing-masing. Dengan demikian hal tersebut dapat

berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran orang dewasa yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar hersama dengan penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil dan adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi peruhahan kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan penilaku terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubalian sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan orang dewasa tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dihekali juga dengan rasa percaya yang kuat dalam prihadiriya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif herupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan berkesinambungam Perubahan perilaku bagi orang dewasa terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disehabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi orang dewasa pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih kearah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih diperlukannya sebagai penyempumaan hidupnya.Setiap individu wajib terpenuhi kebutuhannya yang paling dasar (sandang dan pangan), sebelum ia mampu merasakan kehutuhan yang lebih tinggi sebagai penyempumaan kebutuhan dasar tadi, yakni kehutuhan keamanan, penghargaan, harga diri, dan aktualisasi dirinya. Bilamana kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan papan belum terpenuhi, maka setiap individu

15

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 20: jurnal_Vol.1.No.1.2007

belum membutuhkan atau merasakan apa yang dinamakan sebagai harga diri. Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka setiap individu perlu rasa aman jauh dan rasa takut, kecemasan, dan kekhawatiran akan keselamatan dirinya, sebab ketidakamanan hanya akan melahirkan kecemasan yang herkepanjangan. Kemudian kalau rasa aman telah terpenuhi, maka setiap individu butuh penghargaan terhadap hak azasi dirinya yang diakui oleh setiap individu di luar dirinya. Jika kesemuanya itu terpenuhi barulah individu itu merasakan mempunyai harga diri. Dalam kaitan ini, tentunya pendidikan orang dewasa yang memiliki harga diri dan dirinya membutuhkan pengakuan, dan itu akan sangat berpengaruh dalam proses belajamya. Secara psikologis, dengan mengetahui kebutuhan orang dewasa sebagai peserta kegiatan pendidikan/pelatihan, maka akan dapat dengan mudah dan dapat ditentukan kondisi belajar yang harus disediakan, isi materi apa yang harus diberikan, strategi, teknik serta metode apa yang cocok digunakan. Menurut Lunandi (1987) yang terpenting dalam pendidikan orang dewasa adalah: Apa yang dipetajari pelajar, bukan apa yang diajarkan pengajar. Artinya, hasil akhir yang dinilai adalah apa yang diperoleh orang dewasa dan pertemuan pendidikan/pelatihan, bukan apa yang dilalukukan pengajar, pelatih atau penceramah dalam pertemuannya.2.3. Prinsip Pendidikan Orang

DewasaPertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai prihadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin kelentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan,

pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya. Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar alau pendidikan orang dewasa tentunya lehih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri,— istilah Rogers dalam Knowles (1979), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atan pendidikan merupakan prosess of becoining a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-uchuslizatiun). Seperti telah dikemukakan diatas hahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebuluhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dan kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berlikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitamya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara

16

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 21: jurnal_Vol.1.No.1.2007

dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan. Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengahan masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan “pengertian diri” (sense of identity). S e l a n j u t n y a , K n ow l e s ( 1 9 7 0 ) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut. Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dan ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak. Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai. Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dain orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono,

1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang dilentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lehih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya.

2.4. Kondisi Pembelajaran Orang Dewasa

Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pcngajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendoininasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan altematif-altematif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekalnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itn, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadiriya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan

17

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 22: jurnal_Vol.1.No.1.2007

ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka. Oleh karena sifat belajar hagi orang dewasa adalah hersifat subjektif dan unik, maka terlepas dan benar atari salahnya, segala pendapat perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dart pembimbingnya, dan pada akhimya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut maka suasana belajar yang kondusif tak akan pemah terwujud. Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berheda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling herbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang hagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll). Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadiriya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan pisis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau diperma1ukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai altematif kebebasan mengemukakan ide/ gagasan dapat diciptakan. Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan bahwa orang dewasa belajar sccara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribad i orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu

harus sama dalam prihadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersehut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar helakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi wama yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil. Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, herani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dan belajar. Pada akhimya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya herharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dan orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan2.5. Pengaruh Penurunan Faktor

Proses belajar manusia berlangsung hingga ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara pertarubahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut Vemer dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan

18

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Fisik Orang Dewasa dalam Belajar

Page 23: jurnal_Vol.1.No.1.2007

3. Kadangkala proses pembelajaran orang dewasa kurang kondusif, hal ini dikarenakan belajar hanya diorientasikan terhadap peruhahan tingkah laku, sedang perubahan perilaku saja tidak cukup, kalau perubahan itu tidak mampu menghargai hudaya bangsa yang luhur yang harus dipelihara, di samping metode berpikir tradisional yang sukar diubah.

4. Proses pembelajaran orang dewasa merupakan hal yang unik dan khusus serta bersifat individual. Setiap individu orang dewasa memiliki kiat dan strategi sendiri untuk memperlajari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran tersebut. Dengan adanya peluang untuk mengamati kiat dan strategi individu lain dalam belajar, diharapkan hal itu dapat memperbaiki dan menyempurnakan caranya sendiri dalam belajar, sebagai upaya koreksi yang lebih efeklif.

5. Faktor pengalaman masa lampau sangat berpengaruh pada setiap

demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan hunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d. Ada beberapa ha l yang per lu diperhatikan orang dewasa dalam situasi belajar mempunyai sikap tertentu, maka purlu diperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini:

1. Terciptanya proses belajar adalah suatu prose pengalaman yang ingin diwujudkan oleh setiap individu orang dewasa. Proses pembelajaran orang dewasa berkewajiban memotivasi/m e n d o r o n g u n t u k m e n c a r i pengetahuan yang lebih tinggi.

2. Setiap individu orang dewasa dapat belajar secara efektif bila setiap individu mampu menemukan makna pribadi bagi dirinya dan memandang makna yang baik itu berhubungan dengan keperluan pribadinya.

psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:

1. Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglilhatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai hergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh fahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.

2. Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan penggunaan bahan dan alat pendidikan.

3. Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya1 maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.

4. Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya komea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna lenmbut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras untuk alat-alat peraga.

5. Pendeng a ran a t au kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11 persen dan orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dan orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.

6. Pemhedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin

19

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 24: jurnal_Vol.1.No.1.2007

tindakan yang akan dilakukan, sehingga pengalaman yang baik perlu digali dan ditumbuhkembangkan ke arah yang lebih bermanfaat.

6. Pengembangan inte lektua l i tas seseorang melalui suatu proses pengalaman secara bertahab dapat diperluas. Pemaksimalan hasil belajaran dapat dicapai apabila setiap individu dapat memperluas jangkauan pola herpikimya

Di satu sisi, helajar dapat diartikan sebagai suatu proses evolusi. Artinya penerimaan ilmu tidak dapat dipaksakan sekaligus begitu saja, tetapi dapat dilakukan secara bertahap melalui suatu urutan proses tertentu. Dalam kegiatan pendidikan, umumnya pendidik menentukan secara jauh mengenai materi pengetahuan dan keterampilan yang akan disajikan. Mereka mengatur isi (materi) ke dalam unit-unit, kemudian memilih alat yang paling efisien untuk menyanipaikan unit-unit dan materi tersebut, misalnya ceramah, membaca, pekerjaan laboratorium, film,, mendengar kaset dan lain-lain. Selanjutnya mengembangkan suatu rencana untuk menyampaikan unit-unit isi ini dalam suatu hentuk urutan. Dalam andragogi, pendidik atau fasilitator mempersiapkan secara jauh satu perangkat prosedur untuk melibatkan siswa, untuk selanjutnya dalam prosesnya melibatkan elemen-elemen sebagai berikut: (a) menciptakan iklim yang mendukung

belajar, (b) menciptakan mekanisme untuk perencanaan

bersama, (c) diagnosis kehutuhan-kebutuhan belajar,(d) merumuskan tujuan-tujuan program yang

memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, (e) merencanakan pola pengalaman

helajar, (f) melakukan pengalaman helajar ini dengan

teknik-teknik dan materi yang memadai, dan

(g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosa kembali kebutuhan kebutuhan belajar.

2.6. Metode Pendidikan

Dalam pembelajaran orang dewasa banyak metode yang diterapkan. Untuk memberhasilkan pembelajaran semacam ini, apapun metode

yang diterapkan seharusnya mempertimbangkan faktor sarana dan prasarana yang tersedia untuk mencapaiMerupakan suatu kekeliruan besar bilamana dalam hal ini, pembimbing secara kurang wajar menetapkan pemanfaatan metode hanya karena faktor pertimbangannya sendiri yakni menggunakan metode yang dianggapnya paling mudah, atau hanya disebabkan karena keinginannya dikagumi oleh peserta di kelas itu ataupun mungkin ada kecenderungannya hanya menguasai satu metode tertentu saja. Penetapan pemilihan metode seharusnya guru mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai, yang dalam hal ini mengacu pada garis besar program pengajaran yang dibagi dalam dua jenis:

1. Rancangan proses untuk mendorong orang dewasa mampu menata dan mengisi pengalaman baru dengan memmedomani masa lampau yang pernah dialami, misalnya dengan latihan keterampilan, melalui tanya jawab, wawancara, konsultasi, latihan kepekaan, dan lain-lain, sehingga mampu memberi wawasan baru pada masing-masing individu untuk dapat memanfaatkan apa yang sudah diketahuinya.

2. Proses pembelajaran yang dirancang untuk tujuan meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, keterampilan baru, untuk mendorong masing-masing individu orang dewasa dapat meraih semaksimal mungkin ilmu pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhannya, keterampilan yang diperlukannya, misalnya belajar menggunakan program komputer yang dibutuhkan di tempat ia bekerja.

Sejalan dengan itu, orang dewasa belajar lebih efektif apabila ia dapat mendengarkan dan berbicara. Lebih baik lagi kalau di samping itu ia dapat melihat pula, dan makin efektif lagi kalau dapat juga mengerjakan. Fnngsi bicara hanya sedikit terjadi pada waktu tanya jawab. Untuk metode diskusi bicara dan mendengarkan adalah seimbang. Dalam pendidikan dengan cara demonstrasi, peserta sekaligus mendengar, melihat dan berbicara. Pada saat latihan praktis peserta dapat mendengar, berbicara, melihal dan mengerjakan sekaligus,

20

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Orang Dewasa

Page 25: jurnal_Vol.1.No.1.2007

2.7. Implikasi Terhadap

Usaha-usaha ke arah penerapan teori andragogi dalam kegiatan pendidikan orang dewasa telah dicobakan oleh beberapa ahli, berdasarkan empat asumsi dasar orang dewasa seperti telah dijelaskan di atas yaitu: konsep diri, akumulasi pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Asumsi dasar tersebut dijabarkan dalam proses perencanaan kegiatan pendidikan dengan langkah-langkah sehagai berikut:

1. Menciptakan suatu struktur untuk perencanaan bersama. Secara ideal struktur semacam ini seharusrwa melibatkan semua pihak yang akan terkenai kegiatan pendidikan yang direncanakan, yaitu termasuk para peserta kegiatan belajar atau siswa, guru atau fasilitator, wakil-wakil lembaga dan masyarakat.

2. Menciptakan iklim belajar yang mendukung untuk orang dewasa belajar. Adalah sangat penting menciptakan iklim kerjasama yang menghargai antara guru dan siswa. Suatu iklim belajar orang dewasa dapat dikembangkan dengan pengaturan lingkungan phisik yang memberikan kenyamanan dan interaksi yang mudah, misalnya mengatur kursi atau meja secara melingkar, bukan berbaris-berbaris ke helakang. Guru lebih bersifat membantu bukan menghakimi.

3. Diagnosa sendiri kebutuhan belajamya. Diagnosa kebutuhari harus melibatkan semua pihak, dan hasilnya adalah kehutuhan bersama.

4. For mulas i tu juan. Agar secara operasional dapat dikerjakan maka perumusan tujuan itu hendaknya diker jakan bersama-sama dalam deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas.

5. Mengembangkan model umum. ini merupakan aspek seni dan perencanaan

program, dimana harus disusun secara harmonis kegiaan belajar dengan membuat ke lompok-ke lompok belajar baik kelompok besar maupun kelompok kecil.

6. Perencanaan evaluasi. Seperi halnya dalam diagnosa kebutuhan, dalam evaluasi harus sejalan dengan prinsip-prinsip orang dewasa, yaitu sebagai pribadi dan dapat mengarahkan diri sendiri. Maka evaluasi lebih bersifat evaluasi sendiri atau evaluasi hersama.

Aplikasi yang diuaraikan di atas sebenamya lebih bersifat prinsip-prinsip atau rambu-rambu sebagai kendali tindakan membelajarkan orang dewasa. Oleh karena itu, keberhasilannya akan lebih benyak lergantung pada setiap pelaksanaan dan tentunya juga tergantung kondisi yang dihadapi. Tapi, implikasi pengembangan teknologi atau pendekatan andragogi dapat dikaitkan terhadap penyusunan kurikulum atau cara mengajar terhadap mahasiswa. Namun, karena keterikatan pada sistem lembaga yang biasanya berlangsung, maka penyusunan program atau kurikulum dengan menggunakan andragogi akan banyak lebih dikembangkan dengan menggunakan pendekatan andragogi ini.

tujuan akhir pembelajaran, yakni agar peserta dapat memiliki suatu pengalaman belajar yang bermutusehingga dapat diperkirakan akan menjadi paling efektif,.

3. Kesimpulan dan Saran3.1. Kesimpulan

Pendidikan atau belajar adalah sebagai proses menjadi dirinya sendiri (process of becoining) bukan proses untik dibentuk (proces of beings Imped) nunurut kehendak orang lain, maka kegiatan belajar harus melihatkan individu atau client dalam proses pemikiran apa yang mereka inginkan, mencari apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan itu, menentukan tindakan apa yang harus dilaku-kan, dan merencanakan serta melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keputusan itu. Dapat dikatakan disini tugas pendidik pada umumnya adalah menolong orang be1ajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri dan mempertimhangkan pandangan dan interest orang lain. Dengan singkat menolong orang lain untuk

21

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Pembelajaran Orang Dewasa

Page 26: jurnal_Vol.1.No.1.2007

berkemhang dan matang. Dalam andragogi, keterlibatan orang dewasa dalam proses helajar jauh lehih besar, sebab sejak awal harus diadakan suatu diagnosa kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta mengimplementasikannya secara bersama-sama

3.2. SaranPengembangan teknologi andragogi hanya dapat dilakukan apabila diyakini bahwa orang dewasa sebagai pribadi yang matang sudah dapat mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya. Tanpa ada keyakinan semacam itu kiranya tidak akan tumbuh pendekatan andragogi. Dengan kata lain andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Bagi pengambil kebijakan dalam hal pembelajaran orang dewasa diharapkan mampu memberikan pertimbangan holistik ke arah pengembangan keterampilan dan pemngkatan sumber daya orang dewasa yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmuddiputra, Enuh, & Atmaja, Bisar, Suyatna. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Karunika.

Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa.Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: Gramedia.Kartono, Kartini. (1992 ). Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih Diperlukun?.

Bandung: Mandar Maju.di- - - - ,(1997). Tinjauan Politik Mengenni Sistem Pendikan Nasional: Beberapa Kritik Dan Sugesti. Jakarta:

Pradriya ParamtraKnowles, Malcolm S. (1970). “The modetn practiesof adult aduce education, andragogy versus pedagogi”, New

York : Association Press..Piaget, J. (1 959) “The growth of logical thinking Jmm ehildood fo adolescence”. New York: Basic Books.Tamat, Tisnowati. (1 984) Dari Pedagogik ke Andragogik, Jakarta: Pustaka Dian.Drost, S.J.,(1998), Sekolah Mengajar atau Mendidik?, Kanisius, Yogyakarta———, (2005), Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah),

Penerbit Buku Kompas, JakartaDurkheim, Emile, (1990), Pendidikan Moral (Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan), Erlangga,

Jakarta.Gie, The Liang (2004), Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta

Penulis adalah - Dosen Jurusan PLS FIP UNM - Tim Akademisi BPPLSP Regional V Makassar

22

Konsep dan Metode ........

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 27: jurnal_Vol.1.No.1.2007

HUBUNGAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN, USIA DAN MASA JABATAN DENGAN

KEBERHASILAN MELAKSANAKAN TUGAS PENILIK.

Berbagai faktor diduga dapat mempengaruhi keberhasilan Penilik dalam melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah tingkat pendidikan formal, pendidikan dalam jabatan, usia dan masa jabatan. Penilik sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan nonformal harus memiliki keahlian, kemampuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil.

Oleh : Drs. M.Ali Latif Amri, M.Pd.

ABSTRAK, Populasi penelitian adalah Penilik di wilayah Kabupaten Dati II Malang, jumlahnya 31 orang. Dari hasil analisis data diketahui bahwa tingkat pendidikan formal, pendidikan dalam jabatan, usia dan masa jabatan Penilik mempunyai peranan penting dalam mencapai keberhasilan tugasnya. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sering mengikuti pendidikan dalam jabatan, semakin tua usia, dan semakin lama memangku jabatan Penilik, semakin berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya.

PENDAHULUAN

Terselenggaranya pendidikan nonformal tidak dapat dipisahkan dengan berfungsi tidaknya komponen-komponen yang mendukungnya. Salah satu komponen yang mendukung penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan nonformal adalah Penilik.Penilik adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan penilikan pendidikan luar sekolah/ pendidikan nonformal, yang meliputi pendidikan masyarakat, kepemudaan, pendidikan anak usia dini dan keolahragaan ( pasal 1 ayat 1 KepMenPan nomor 15 tahun 2002).Dengan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Penilik, dapat diperkirakan bahwa jabatan Penilik harus diduduki oleh orang yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional.Berbagai faktor diduga dapat mempengaruhi keberhasilan Penilik dalam melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah tingkat pendidikan formal, pendidikan dalam jabatan, usia dan masa jabatan. Penilik

sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan nonformal harus memiliki keahlian, kemampuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil. Hal ini dapat diperoleh melalui pendidikan, baik pendidikan formal, maupun pendidikan dalam jabatan, pengalaman jabatan.Mandolang (1991:62), dalam penelitiannya menyimpulkan adanya hubungan kemampuan petugas dengan tingkat pendidikan formal yang dimilikinya. Sejaln dengan itu, Sulaiman (1984) menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan Penilik dalam melaksanakan tugasnya adalah tingkat pendidikan formal yang telah ditempuhnya.Untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya bagi pegawai negeri, maka pemerintah menyelenggarakan pendidikan in-service atau pendidikan dalam jabatan, yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan keterampilan siap pakai (Widjaya, 1986:193). Hal ini dapat dipahami karena pegawai negeri yang menduduki jabatan tertentu memerlukan penyesuaian-

23

Hubungan Latar Belakang Pendidikan ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 28: jurnal_Vol.1.No.1.2007

penyesuaian dalam pekerjaannya, disebabkan perkembangan ipteks dan kebijakan yang senantiasa berubah. Dalam kaitan dengan pendidikan in-service atau pendidikan dalam jabatan, Herrick (1957) dalam evaluasinya terhadap peserta pendidikan in-service, menemukan adanya perubahan positif pada diri peserta dalam (1) pengetahuan dan keterampilan, (2) sikap dan niali, (3) hubungan individu dalam kelompok, (4) kedalaman persaan, motivasi dan aspirasi individu (Henry, 1957: 172).Pegawai negeri seperti Penilik dalam melaksanakan tugasnya banyak memrlukan tenaga fisik dan ketahanan mental, karena mereka langsung berhadapan dengan permasalahan masyarakat, terutama masalah pendidikan yang memerlukan pemecahan secepatnya. Dengan demikian faktor usia dapat menjadi pertimbangan dalam pengangkatan dan mempertahankan jabatan. Menurut Saksono (1988), pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik dan ketahanan mental cenderung dapat dilakukan dengan berhasil oleh orang yang berusia cukup. Hasil survei yang dilakukan oleh National Manufactures membuktikan bahwa lebih 93 % pegawai usia lanjut lebih baik dari pegawai usia muda. Pegawai berusia lanjut mempunyai rasa berbakti, tanggung jawab dan tidak sering mengalami kecelakaan, dibandingkan dengan pegawai berusia muda.Pengalaman yang diperoleh dari pekerjaan sebelumnya dan yang sedang dijabatnya, dapat pula meningkatkan kemampuan kerja Penilik. Menurut Soeroto (1983), bahwa makin lama dalam pekerjaan dan bervariasi kegiatan, serta semakin intensif pengalaman kerja yang diperoleh orang yang bersangkutan. Demikian pula, makin banyak kesulitan atau tantangan yang dihadapi semakin cepat pula pengembangan kemampuan dan keterampilannnya. Dengan semakin berkembangnya kemampuan dan keterampilan seorang petugas, maka akan semakin sering dia melakukan tugasnya.Dalam melaksanakan tugas Penilik memerlukan dukungan pemimpin formal.dan pemimpin informal seperti camat, kepala desa/ lurah, tokoh masyarakat, mereka adalah merupakan mitra dan penentu kebijakan lokal, tanpa dukungan dari mereka, maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan dalam tugas. Ketersediaan data seperti data sasaran, data

sumberdaya lokal pendidikan, merupakan salah satu faktor penentu dalam kepenilikan. Data yang lengkap dan aktual dan akurat akan mempermudah bagi setiap orang termasuk Penilik mamanfaatkannya. Dalam melaksanakan tugas Penilik dituntut lebih profesional, namun ketersediaan dana operasional yang cukup, sering menjadi hambatan, ketika seorang petugas ingin menjangkau daerah-daerah yang cukup jauh dan terpencil dalam melakukan tugas penilikan.Dipilihnya faktor tingkat pendidikan foram. Latar pendidikan dalam jabatan, masa jabatan, usia, dukungan pemimpin formal dan informal, ketersediaan data dan dana pendukung, untuk diteliti karena diduga bahwa faktor-faktor tersebut lebih dominan berpengaruh pada keberhasilan melaksanakan tugas Penilik. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran ada-tidaknya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pelaksanaan tugas Penilik.Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan tugas-tugas kepenilikan dan pengangkatan Penilik, serta menjadi bahan kajian bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Nonformal dan Lembaga yang melakukanDiklat pendidikan nonformal seperti Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) dan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), demi pengembangan pendidikan nonformal.

METODE PENELITIAN

Sasaran (populasi) penelitian ini adalah seluruh Penilik di wilayah Kentor Dinas Pendidikan Kabupaten Daerah Tingkat II Malang. Keseluruhan anggota populasi berjumlah 31 orang yang tersebar di 31 kecamatan. Data tentang tingkat pendidikan formal, latar belakang pendidikan dalam jabatan, masa jabatan, usia, dukungan pemimpin formal dan informal, ketersediaan data dan dana pendukung operasional, serta data pelaksanaan tugas Penilik diperoleh dengan menggunakan angket. Jawaban dari setiap butir pertanyaan/ pernyataan yang diajukan diberi skor, untuk memmpermudah mengolah dan menganalisis datanya.

24

Hubungan Latar Belakang Pendidikan ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 29: jurnal_Vol.1.No.1.2007

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Keberhasilan Penilik dalam Melaksanakan TugasnyaHasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar Pnilik mencapai tingkat keberhasilan sedang di dalam melaksanakan tugasnya. Tugas yang dimaksud adalah pelaksanaan kepenil ikan, pelaksanaan bimbingan peningkatan mutu PLS/PNF, penilaian dan pelaporan hasil penilikan PLS/PNF. Dengan tingkat keberhasilan yang dicapai tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Penilik telah melaksanakan sebagian besar dari tugas-tugas mereka sebagaimana yang tertuang pada pasal 5 ayat 2 KepMenPan nomor 15/ 2002. Hal ini mengisyaratkan pula perlunya Penilik meningkatkan kemampuan kerja serta bekerja lebih giat lagi, agar dimasa mendatang dapat mencapai tingkat keberhasilan tinggi dalam melaksanakan tugasnya.Tingkat keberhasi lan Peni l ik dalam melaksanakan tugasnya mendapat pengaruh dari variabel prediktornya yang cukup kuat, dengan kontribusi 90,247 %. Pengaruh tersebut terdiri dari variasi tingkat pendidikan formal, latar belakang pendidikan dalam jabatan, masa jabatan dan usia Penilik. Selain pengaruh tersebut, diduga dipengaruhi pula oleh faktor lain, yaitu (1) hampir semua Penilik mempunyai tugas rangkap sebagai tokoh masyarakat (pengurus organisasi kemasyarakatan) dan terlibat dalam berbagai kegiatan keasyarakatan, (2) tdak jarang dijumpai sarana perhubungan di tem;at tugas yang kurang memadai, (3) beratnya beban tugas mereka sebagai petugas pendidikan nonformal, karena Penilik di samping sebagai tenaga kependidikan juga sebagai tenaga administrasi di bidang pendidikan nonformal (Depdikbud, 1988).

2. Hubungan tingkat pendidikan Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugas

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya.

3. Hubungan latar belakang pendidikan dalam jabatan Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara latar belakang pendidikan dalam jabatan Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain, semakin sering Penilik mengikuti pendidikan dalam jabatan semakin berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya. Temuan penelitian ini, sejalan dengan tinjauan teoretik, bahawa pendidikan dalam jabatan diberikan dengan maksud agar kemampuan profesional pesertanya dapat ditingkatkan, sehingga mereka selalu up to date dan dapat bekerja lebih baik (Nurtain 1979). Penilik yang sering mengikuti pendidikan dalam jabatan, seperti mengikuti diklat teknis dan fungsional, seminar, lokakarya dan aktifitas pendidikan lainnya, akan menambah kemampuan kerja dan kualitas kerjanya, sehingga dapat dicapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas.

4. Hubungan usia Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya

Dalam penelitian ini ditemukan, bahaw ada hubungan positif yang signifikan antara usi Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya. Denag kata lain, semakin tua usia Penilik semakin berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya. Temuan penelitian

Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan Penilik, semakin berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Penilik yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan wawasan yang luas dalam berbagai hal, dibandingkan dengan Penilik yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan tinggi hendaknya menjadi syarat diangkatnya seseorang menjadi penilik. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, mengenai syarat menjadi tenaga kependidikan (termasuk tenaga kependidikan nonformal) yaitu minimal tamat Strata satu atau memiliki akta IV.

25

Hubungan Latar Belakang Pendidikan ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 30: jurnal_Vol.1.No.1.2007

2. H u b u n g a n m a s a j a b a t a n Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara masa jabatan Penilik dengan keberhasilan melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain, semakin lama Penilik dalam jabatannya, semakin berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya. Temuan penelitain ini, sejalan dengan tinjauan teoretik, bahwa Penilik yang mempunyai banyak pengalaman dalam jabatannya lebih mudah memcahkan masalah yang ditemukan, dibanding dengan yang sedikit pengalamannya. Senada dengan itu, Saroja (1990) mengemukakan bahwa seorang pegawai yang memiliki kematangan kerja (kecakapan) tinggi dalam bidangnya, memiliki pula pengalaman yang cukup dalam

KESIMPULAN DAN SARANAda hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan dalam jabatan, usia dan masa jabatan Penilik dengan keberhasilan me;aksanakan tugasnya. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sering mengikuti pendidikan dalam jabatan, semakin tua usia, dan semakin lama dalam jabatan Penilik, semakin berbasil pula dalam melaksanakan tugasnya.Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan (1) perlunya Penilik meningkatkan pendidikan formalnya ke jenjang lebih tinggi sampai menjadi sarjana/ S1 sebagaimana yang diamanatkan dalam PP.no/19 tahun 2005. (2) Penilik hendaknya diberi peluang untuk menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai diklat teknis dan fungsional, seminar , lokakarya, dan pendidikan lainnya, (3) Jabatan Penilik hendaknya dapat dipertahankan tanpa melihat usia, dan merupakan alasan yang rasional untuk mengusulkan perpanjangan usia pensiun bagi Penilik. (4) Penilik yang telah memiliki pengalaman kerja dalam jabatannya mengisyaratkan jangan dimutasi ke jabatan lain karena dengan pengelaman dalam jabatan akan mempermudah melaksanakan tugasnya.

ini, sesuai dengan tinjauan teoretik, bahwa pegawai berusia tua cenderung lebih baik dibandingkan dengan pegawai usia muda. Pegawai yang berusia muda pada umumnya belum mempunyai kedewasaan berfikir dan rasa tanggung jawab yang justru diperlukan untuk setiap jenis pekerjaan yang dilakukan; sedangkan pegawai yang berusia lebih tua cenderung mampu berfikir secara dewasa dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menjadi tugasnya (Saksono, 1988). Dengan kemampuan berfikir secara dewasa dan rasa tanggung jawab yang dimiliki Penilik yang berusia lebih tua, dapat menjadikan mereka lebih berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu alasan yang mendukung keinginan sebagian dari Penilik untuk memperpanjang usia pensiun mereka.

melakukan tugasnya, tanpa tergantung pada orang lain. Semakin lama pegawai dalam jabatannya, maka semakin cakap ia untuk tetap dalam pekerjaannya (Moekijat 1988). Hasil penelitian ini memberi arti bahwa Penilik yang telah lama dalam jabatannya, jangan cepat-cepat diganti atau dimutasi, karena mereka dapat melakukan tugasnya dengan baik dan berhasil.

26

Hubungan Latar Belakang Pendidikan ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 31: jurnal_Vol.1.No.1.2007

DAFTAR PUSTAKA

Henry, Nelson.B, 1957, Inservice Education For Teachers, Supervisor, and Administrator, Chicago: University Chicago Press, Illinous.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara R.I, nomor 15 tahun 2002 tentang Jabatan Fungsional Penilik dan Angka Kreditnya

Moekijat, 1986, Perencanaan dan Pengembangan Karier Pegawai, Bandung: Remaja KaryaNurtain, 1989, Pengajaran Teoridan Praktek, Jakarta: Proyek PLPTK, Dirjen DiktiSaksono, Slamet, 1983, Administrasi Kepegawaian, Yogyakarta: KanisiusSarojo, Riyadi, 1990, Kepemimpinan Organisasi (Pandangan Barat) Pidato Ilmiah Disnatalis VIII

Universitas Katolik Widya Karya Malang, tanggal 9 Mei 1990Sulaeman, Inam, 1984, Hubungan antara Status Sosial Ekonomi, Kreativitas dan Human Relatian dengan

upaya Mengikutsertakan Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kabupaten Malang, PPS IKIP Malang

Widjaya, 1988, Administrasi Kepegawaian Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali

Penulis: Staf Pengajar Jurusan PLS Universitas Negeri Makassar Tim Akademisi BPPLSP Regional V

27

Hubungan Latar Belakang Pendidikan ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 32: jurnal_Vol.1.No.1.2007

ANALISIS SUMBERDAYA LOKAL PENDIDIKAN NONFORMAL

Menganalisis sumberdaya lokal pendidikan nonformal, merupakan bagian dari aktifitas dalam men-caritahu dan menentukan seberapa banyak dan bervariasinya sumberdaya lokal, sehingga menjadi dasar dukungan dalam pelaksanaan program pendidikan nonformal.

ABSTRAK; Sumberdaya lokal pendidikan merupakan segenap kemampuan yang dimiliki suatu wilayah atau komunitas tertentu. Sumberdaya dibagi menjadi sumberdaya manusia dan sumberdaya non manusia. Sumberdaya lokal pendidikan nonformal, seharusnya dianalisis keberadaan dan kemampuannya sehingga secara optimal dapat didayagunakan dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal

Oleh: Suardi, SPd, M.Pd

PENGERTIAN

Sumberdaya lokal pendidikan adalah segenap potensi atau kemampuan yang ada di suatu wilayah/ lokasi, yang dapat dijadikan daya dukung dalam pelaksanaan program pendidikan nonformalPotensi atau kemampuan tersebut jika dikelola dan dimanfaatkan secara baik sesuai dengan fungsinya, maka dapat menjadi kekuatan atau masukan yang berarti pada pelaksanaan program pendidikan. Keberadaan sumberdaya pada suatu wilayah atau daerah (seperti pada tingkat kecamatan,desa/ kelurahan, dusun/ RK/RT}, dimana program-program pendidikan nonformal akan dilaksanakan merupakan indikator yang akan mendatangkan keberhasilan pada program pendidikan tersebut.Menganalisis sumberdaya lokal pendidikan nonformal, merupakan bagian dari aktifitas dalam mencaritahu dan menentukan seberapa banyak dan bervariasinya sumberdaya lokal, sehingga menjadi dasar dukungan dalam pelaksanaan program pendidikan nonformal.

MENGENAL SUMBERDAYA PENDIDIKAN NONFORMALDalam proses pelaksanaan pendidikan memerlukan berbagai masukan atau dukungan dari berbagai komponen, komponen-komponen tersebut sebagai sumberdaya yang meliputi

1. Sumberdaya manusiaa. Calon warga belajar, yaitu mereka yang

memiliki persyaratan untuk menjadi peserta didik pada program pendidikan nonformal. Diperlukan data minimal tentang jumlah, nama, jenis kelamin, alamat lengkap

b. Calon tutor/ nara sumber teknis, yaitu mereka yang memiliki persyaratan untuk menjadi pendidik program pendidikan nonformal Diperlukan data minimal Jumlah, nama, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keahlian, alamat lengkap,

2. Sumberdaya non manusiaa. Lembaga sosial kemasyarakatan.

Yaitu organisasi sosial kemasyarakatan yang dapat berpartisipasi sebagai penyelenggara dan pelaksana program pendidikan nonformal, seperti PKK, Majlis ta’lim, Remaja masjid, Karang taruna, organisasi keagamaan, dsb.

b. Lembaga/ yayasan pendidikan non pemerintah. Yaitu lembaga/ yayasan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang bergerak dalam

manusia dan non manusia. Berbagai sumberdaya lokal yang dapat mendukung proses pendidikan nonformal dikemukakan sebagai berikut

28

Analisis Sumber Daya Lokal ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 33: jurnal_Vol.1.No.1.2007

pendidikan, seperi PKBM, lembaga Kursus, dsb.

c. Lembaga/ instans i pendidikan pemerintah. Yaitu lembaga atau instansi pemerintah yang bertugas dalam menangani pendidikan, seperti SKB, Sekolah, dsb.

d. Lembaga bisnis dan keuangan. Yaitu lembaga-lembaga yang bergerak dalam urusan bisnis/ perdagangan dan keuangan, seperti koperasi, usaha kecil, perbankan, dsb.

e. Keadaan budaya dan adat istiadat. Yaitu

LANGKAH-LANGKAH ANALISIS SUMBER DAYA PNF

1. Menetapkan kisi-kisi tentang sumberdaya lokal Kisi-kisi sumberdaya lokal merupakan rincian komponen-komponen yang perlu diidentifikasi atau dicari, yang selanjutnya mengisi format atau daftar pertanyaan dalam instrumen/ alat pengumpul data.

2. Menyusun instrumen identifikasi sumberdaya lokal Contoh 1:

dalam bentuk format isianTujuan : untuk mendapatkan data tentang sumber daya manusia yang berkaitan dengan ketersediaan calon tutor Paket A di suatu wilayah.

suatu kondisi atau keadaan yang terjadi dan disepakati oleh warga masyarakat, seperti gotong royong, kebijakan yang menunjang pendidikan, persepsi tentang waktu dan kerja, kekuatan pemangku adat/ tokoh masyarakat, dsb.

f. Komunikasi dan penerangan. Yaitu ketersediaan sarana kominikasi dan sarana penerangan di suatu lokasi. Seperti ketersediaan pesawat televisi, radio, telepon, alat transportasi (jenisnya), sarana jalan, listrik, dsb.

No Nama Umur L/P Tkt Pend Keahlian Alamat Keter.

Contoh 2. dalam bentuk format isianTujuan: untuk mendapatkan data tentang sumberdaya non manusia yang berkaitan dengan ketersediaan lembaga sosial kemasyarakatan di suatu wilayah.

No Nama Lembaga Alamat Nama Pimpinan

3. Pelaksanaan, Kegiatan-kegiatan yang dilakukan:

a. Sosialisasi. Kegiatan identifikasi sumberdaya lokal perlu disosialisasikan kepada segenap komponen yang ada dalam masyarakat, untuk mendapatkan dukungan moral dan fasilitas, sehingga proses identifikasi dan analisis sumberdaya lokal pendidikan dapat berjalan lancar dan tercapai sesuatu tujuan. Hal ini dapat dilakukan melalui persuratan, kunjungan, pertemuan/rapat, pengumuman di media.

b. Melakukanidentifikasisumnberdayalokal, sebagai upaya menjaring data dengan

29

Analisis Sumber Daya Lokal ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 34: jurnal_Vol.1.No.1.2007

cara/ instrumen:1) Mengedarkan angket (daftar pertanyaan)2) Wawancara (pedoman wawancara)3) Observasi (pedoman observasI)4) Daftar isian / format isian5) Dokumnentasi (dokumen)

Dengan responden/ informan:1) Aparat pemerintah setempat (Kepala Desa/ Lurah)2) Pimpinan informal (tokoh masyarakat, ketua RW/Dusun/RK/ RT)3) Pimpinan lembaga/ instansi/ yayasan4) Warga masyarakat dan pihak lain yang dianggap dapat memberi informasi

4. Pengolahan dan Analisis dataPengolahan dan analisis data sumberdaya lokal pendidikan merupakan langkah penting dari langkah sebelumnya, dalam upaya menentukan kondisi dan keadaan sumberdaya yang ada berdasarkan bidang atau unsur-unsur secara detail dan terinci.

Contoh 3. Pengolahan dan analisis data Tujuan: untuk mengolah dan menganalisis data yang berkaitan dengan

ketersediaan calon tutor Paket A Tabel ...Keadaan calon tutor berdasarkan tingkat pendidikan dan dusun

tempat tinggalnya.

1

Nama Dusun Tingkat Pendidikan Jumlah

ASLTPSLTA

S1

2 BSLTPSLTA

S1

3 CSLTPSLTA

S1

Berdasarkan tabel .... diatas menunjukkan bahwa di desa .... kecamatan....... terdapat ...... orang calon turor Paket A yang dapat dimanfaatkan mendukung pelaksanaan program Paket A setara SD, dengan rincian ..... orang di dusun ........,, yang terdiri dari ..... orang berpendidikan SLTP, .... orang berpendidikan SLTA, ..... orang berpendidikan Diploma, dan ..... orang berpendidikan Sarjana (S1); ....... orang di dusun .........., yang terdiri dari ............................... dst (dikemukakan seperti penjelasan sebelumnya). Untuk memanfaatkannya dapat menghubungi penyelenggara program Paket A (nama dan alamat calon tutor terlampir).

30

Analisis Sumber Daya Lokal ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 35: jurnal_Vol.1.No.1.2007

Contoh 4. Pengolahan dan analisis data Tujuan: untuk mengolah dan menganalisis data yang ber-kaitan dengan ketersediaan

lembaga sosial kemasyarakatan Tabel ... Keadaan lembaga sosial kemasyarakatan berdasarkan Dusun di

Desa............Kecamatan ......... tahun 2007

Nama Dusun Jumlah

TOTAL

Berdasarkan tabel ........ diatas, menunjukkan bahwa di desa ......... kecamatan .......... terdapat ........ lembaga sosial kemasyarakatan yang dapat dimanfaatkan atau mendukung pelaksanaan pendidikan kesetaraan, dengan rincian ....... lembaga di dusun ....., ..... lembaga di dusun ................... .,...........lembaga di dusun ......... dan ...... lembaga di dusun ......... . Untuk dapat memanfaatkannya dapat menghubungi para pimpinan lembaga sosial kemasyarakatan (nama dan alamat terlampir).

PENUTUP

Sumberdaya lokal sebagai kekuatan atau potensi lokal yang diharapkan menjadi daya dukung dalam penyelenggaraan pendidikan kesetaraan, perlu terus diidentifikasi dan dianalisis keberadaan dan kemampuannya. Analisis sumberdaya lokal pendidikan nonformal berguna bagi perencana, penyelenggara dan PTK-PNF dalam upaya pelaksanaan dan pengembangan program pendidikan nonformal di suatu wilayah tertentu menurut karakteristik yang ada.

Penulis adalah Staf Pengajar PLS UNM/ Pengurus Forum PAUD Sulawesi Selatan

31

Analisis Sumber Daya Lokal ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 36: jurnal_Vol.1.No.1.2007

PENDIDIKAN PROFESI PTK-PNF SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI PENYIAAPAN TENAGA PENDIDIK/KEPENDIDIKAN YANG PROFESIONAL

Mungkin juga PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang masih kurang profesional itu, bahkan sudah lulusan jurusan PLS, tapi tetap masih kurang profesional. Oleh karena itu, diperlukan Pendidikan Profesi Pamong/Tutor sebagai salah satu cara untuk peningkatan mutu profesinya sebagai PTK - PNF (Pamong/Tutor) di balai/sanggar. Bagi PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang bukan lulusan jurusan PLS, sebaiknya menyesuaikan pendidikannya dengan tugas profesinya sebagai PTK - PNF (Pamong/Tutor). Mereka diberi kesempatan untuk mengambil program S1 program studi PLS (disesuaikan pendidikan prajabatannya), setelah itu melanjutkan ke program pendidikan profesi

Oleh: Drs. Mustafa , M.Si.

A. PENDAHULUAN

Berdasar pengalaman penulis ketika diskusi tentang PTK-PNF (Pamong/Tutor) dengan warga belajar di balai/sanggar, hasilnya ada yang menggembirakan dan ada juga yang tidak menggembirakan. Menggembirakan sewaktu warga belajar menyatakan bahwa dia sangat terbantu oleh PTK - PNF (Pamong/Tutor) dalam pemecahan masalahnya dengan kegiatan bimbingan dan tutorial yang dilaksanakan oleh PTK - PNF (Pamong/Tutor)nya di balai/sanggar. Tidak menggembirakan ketika warga belajar mengatakan bahwa adanya PTK - PNF (Pamong/Tutor) di balai/sanggar tidak ada manfaat apa-apa bagi mereka. Mereka merasa terpaksa untuk mengisi modul atau sejenisnya, setelah itu tidak ada tindak lanjutnya. PTK - PNF (Pamong/Tutor) tidak memperlihatkan perilaku bersahabat dengan warga belajar, kadang-kadang cerewet kepada warga belajar. Lebih baik tidak ada PTK - PNF (Pamong/Tutor) di balai/sanggar, karena tidak ada manfaatnya bagi mereka. Keadaan yang tidak menggembirakan ini mungkin disebabkan ketidaksesuaian antara harapan terhadap PTK - PNF (Pamong/Tutor) dan kenyataan yang ditemui di balai/sanggar. Masih ada praktek bantuan bimbingan dan tutorial yang dilakukan oleh PTK - PNF (Pamong/Tutor) menunjukkan kelemahan, tidak sesuai dengan apa yang semestinya dilakukan. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja kalau kita

mau PTK - PNF (Pamong/Tutor) memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga belajar. Dengan demikian, perubahan ke arah pelayanan yang lebih baik perlu segera dilakukan. Perlu adanya sesegera mungkin peningkatan mutu PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang bergerak dalam profesi pendidikan non-formal.

B. PENDIDIKAN PRAJABATAN

Berdasarkan penjelasan pada bagian pendahuluan, dapat dijelaskan bahwa sebagian PTK-PNF (Pamong/Tutor) masih kurang profesional. Kita perlu mempelajari lebih jauh, apakah PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang kurang profesional tersebut berlatar belakang pendidikan prajabatan dari jurusan Non-Formal atau Pendidikan Luar Sekolah (PLS)? Di balai/sanggar ada PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang berasal dari PTK-PTK mata pelajaran lain, dan bukan barasal dari jurusan PNF/PLS, diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan Non-Formal. Seperti PTK-PTK Balai yang dialihfungsikan menjadi PTK - PNF di BPKB/SKB/PKBM, PTK-PTK yang kurang jam tugasnya diberi tugas tambahan untuk melaksanakan kegiatan PLS di balai/sanggar lain. Mungkin juga PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang masih kurang profesional itu,

32

Pendidikan Profesi PTK - PNF ...

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 37: jurnal_Vol.1.No.1.2007

bahkan sudah lulusan jurusan PLS, tapi tetap masih kurang profesional. Oleh karena itu, diperlukan Pendidikan Profesi Pamong/Tutor sebagai salah satu cara untuk peningkatan mutu profesinya sebagai PTK - PNF (Pamong/Tutor) di balai/sanggar. Bagi PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang bukan lulusan jurusan PLS, sebaiknya menyesuaikan pendidikannya dengan tugas profesinya sebagai PTK - PNF (Pamong/Tutor). Mereka diberi kesempatan untuk mengambil program S1 program studi PLS (disesuaikan pendidikan prajabatannya), setelah itu melanjutkan ke program pendidikan profesi pendidikan non-formal.

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai PTK, dosen, Pamong/Tutor, pamong belajar, widyaiswara, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”. PTK - PNF (Pamong/Tutor) adalah pendidik yang dididik dan dihasilkan oleh program studi Pendidikan Non-Formal di Perguruan Tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Upaya peningkatan profesionalisme PTK - PNF (Pamong/Tutor) sangat erat kaitannya dengan peran LPTK sebagai lembaga yang melaksanakan pendidikan prajabatan.

Pendidikan prajabatan PTK-PNF (Pamong/Tutor) dilaksanakan melalui pendidikan di perguruan tinggi yang secara khusus membina calon PTK - PNF (Pamong/Tutor) untuk memperoleh wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang terpadu untuk melaksanakan kegiatan Non-Formal dan tutorial di balai/sanggar. Program pendidikan PTK - PNF (Pamong/Tutor) mulai jenjang S1, S2, S3, dan Pendidikan Profesi Pamong/Tutor yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Di samping hal tersebut di atas, program studi PLS yang dimasuki hendaklah program studi PNF/PLS yang ada di LPTK, program studi yang terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga Pamong/Tutor profesional. Lembaga penyelenggara pendidikan Pamong/Tutor yang layak, didasarkan pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)

bersama-sama dengan Asosiasi Profesi PNF/PLS. Hal ini sesuai dengan PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bab XIII, pasal 86, ayat 1, 2, dan 3 yang berbunyi:

(1) Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.

(2) Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi.

(3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk akuntabilitas, dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.

LPTK yang terakreditasi dan berwenang diperkirakan dapat mewujudkan dan membantu terlaksananya dasar standardisasi profesi tutorial. Dengan demikian diharapkan mutu pelayanan profesi tutorial pada masa yang akan datang lebih meningkat.

C. PENINGKATAN MUTU PTK - PNF (PAMONG/TUTOR)

Kompetensi pendidik menurut PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bab VI, pasal 28, ayat 3, kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi yang berhubungan dengan pelaksanaan Non-Formal dan tutorial merupakan salah satu dimensi dari profesionalisme PTK-PNF (Pamong/Tutor). Kompetensi ini ditunjukkan dari unjuk kerja PTK-PNF (Pamong/Tutor) dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi dan melaksanakan tindak lanjut kegiatan Non-Formal dan tutorial yang menjadi tanggung jawabnya. Pelaksanaan kegiatan Non-Formal dan tutorial yang dirancang PTK-PNF (Pamong/Tutor) hendaklah berdasarkan kebutuhan (need

33

Pendidikan Profesi PTK - PNF ...

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 38: jurnal_Vol.1.No.1.2007

assessment) warga belajar, sehingga pelayanan yang diberikan kepada warga belajar betul-betul terasa manfaatnya bagi warga belajar. Hal ini perlu dipelajari dan dilatih dalam pendidikan prajabatan, dan lebih dimantapkan dalam program Pendidikan Profesi PNF/PLS. Profesionalisme PTK-PNF (Pamong/Tutor) merupakan keharusan yang perlu dipenuhi dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan Non-Formal dan tutorial. Salah satu upaya dalam meningkatkan profesionalisme PTK-PNF (Pamong/Tutor) adalah dengan menetapkan persyaratan jenjang pendidikan minimal dan standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh PTK - PNF (Pamong/Tutor). Ada ahli yang berpendapat bahwa program studi akademik dengan misi pengembangan ilmu dilaksanakan terpisah dari pendidikan profesi yang misinya adalah pendidikan tenaga profesi dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, kedua jenis program studi tersebut dikembangkan masing-masing. Misalnya pendidikan keilmuan tutorial dikembangkan dan diselenggarakan terpisah dari program pendidikan akademik.

Unjuk kerja PTK - PNF (Pamong/Tutor) dapat dilihat dari keberhasilannya dalam mengerjakan tugas di balai/sanggar. PTK-PNF (Pamong/Tutor) hendaklah mendapat kesempatan untuk memperbaharui kemampuan dan keterampilannya. Kompetensi yang terkait dengan penguasaan substansi Non-Formal dan tutorial merupakan salah satu tuntutan kompetensi PTK-PNF (Pamong/Tutor). Keberhasilan PTK-PNF (Pamong/Tutor) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat dari kesesuaian antara kebutuhan warga belajar dan cara dia memberikan pelayanan dengan tepat. Dalam peningkatan mutu pelayanan Non-Formal dan tutorial, PTK-PNF (Pamong/Tutor) harus dapat merubah dirinya sendiri ke arah yang lebih profesional. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara selalu belajar melalui berbagai media, baik melalui belajar secara informal dengan cara belajar sendiri maupun melalui pendidikan formal. Pendidikan non-formal dapat mempertimbangkan atau mengambil keputusan dengan memilih dan menyesuaikan dengan keadaan yang mereka hadapi. Cara peningkatan mutu mana yang lebih sesuai dengan kondisi mereka di balai/sanggar.

D. PENDIDIKAN PROFESI

Dari gejala yang tampak di balai/sanggar dewasa ini, Sarjana PLS sebagai PTK - PNF (Pamong/Tutor) yang bekerja di balai/sanggar, ada yang menjadi “luntur idealismenya” dalam melaksanakan tugas, sehingga mutu pelayanannya kepada warga belajar menjadi rendah. Hal ini mungkin disebabkanan terbawa oleh arus lingkungan masyarakat balai/sanggar, tidak ada tuntutan yang tegas dari Kepala Balai/sanggar atau Pengawas Balai/sanggar, keadaan ekonomi keluarga yang lemah, wawasan, pengetahuan, dan keterampilan profesi yang dimiliki sudah tidak memadai untuk menghadapi tuntutan yang semakin kompleks. Oleh karena itu perlu peningkatan mutu, pencerahan kompetensi profesi, dan pembaharuan komitmen kembali melalui pendidikan profesi. Program pendidikan profesi secara umum bertujuan untuk menyiapkan para sarjana PLS untuk meraih kompetensi profesi dengan kewenangan melakukan pelayanan profesi pada berbagai latar, seperti balai/sanggar, instansi atau lembaga pemerintah atau swasta, keluarga, dunia usaha, dan dunia industri, serta lembaga atau organisasi sosial kemasyarakatan. Sama halnya dalam penyiapan Profesi, seperti sarjana psikologi disiapkan menjadi Psikolog, sarjana farmasi disipkan menjadi Apoteker, sarjana kedokteran, disiapkan menjadi Dokter, sarjana akuntansi disipkan menjadi Akuntan, begitu pula sarjana PNF/PLS dipersiapkan menjadi Profesi Spesialis. Penyelenggaraan program pendidikan profesi PNF/PLS diharapkan dapat diorientasikan kepada peningkatan mutu profesional sesuai dengan standar Nasional bahkan Internasional. Kurikulum pendidikan profesi berbobot 36 SKS dengan praktik pengalaman lapangannya minimal setara 600 jam nyata.

Lembaga/program studi perguruan tinggi yang dapat menyelenggarakan pendidikan profesi adalah jurusan/program studi PLS yang terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga PNF/PLS profesional di LPTK.. Program pendidikan profesi dapat dilaksanakan dalam bentuk perkuliahan reguler selama satu tahun dengan mengambil mata kuliah antara 36 – 38 SKS. Dapat juga dilaksanakan dalam bentuk program berlapis, diambil 12 SKS dalam masa libur secara intensif, kemudian praktek di

34

Pendidikan Profesi PTK - PNF ...

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 39: jurnal_Vol.1.No.1.2007

balai/sanggar dan/atau di luar balai/sanggar, selanjutnya ambil lagi 12 SKS pada waktu libur berikutnya, demikian selanjutnya sampai selesai program yang diikuti. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan kerjasama antara LPTK, balai/sanggar dan Dinas Diknas.

E. KESIMPULAN

Warga belajar mempunyai harapan tertentu terhadap PTK-PNF di balai/sanggar. Harapan terhadap pribadi dan perilaku profesionalismenya dalam melakukan kegiatan pendidikan Non-Formal. Profesionalisasi PTK-PNF dimulai dari pendidikan prajabatan pada jenjang (S1) jurusan/program studi PLS, dilanjutkan dengan program pendidikan profesi di LPTK. Kemudian dilaksanakan dengan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi. LPTK yang terakreditasi dan berwenang diperkirakan dapat mewujudkan dan membantu terlaksananya dasar standardisasi profesi PTK-PNF.

Salah satu cara dalam meningkatkan mutu profesionalisme PTK-PNF adalah dengan menetapkan persyaratan jenjang pendidikan minimal dan standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh PTK-PNF. Oleh karena itu, PTK-PNF hendaklah mendapat kesempatan untuk memperbaharui kemampuan dan keterampilannya. Kompetensi yang terkait dengan penguasaan substansi Pendidikan Non-Formal merupakan salah satu tuntutan kompetensi PTK-PNF.

Tujuan program pendidikan profesi PTK-PNF adalah untuk meningkatkan Standar Layanan Minimal serta kualitas dan relevansi Jurusan/ program Studi PNF/PLS, dan mempercepat pertumbuhan profesi tutorial melalui pendidikan profesi berdasarkan kompetensi, sehingga tida pilar pembangunan pendidikan (perluasan akses, peningkatan mutu dan manajemen, akutabilitas dan pencitraan publik) dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. (2004). Dasar Standardisasi Profesi Tutorial. Jakarta: Direktorat P2TK dan Ketenagaan PT.

PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional PendidikanSelebaran Program Pendidikan Profesi Jurusan Non-Formal, 2005.Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Kartono, Kartini. (1992 ). Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih Diperlukun?.

Bandung: Mandar Maju.di- - - - ,(1997). Tinjauan Politik Mengenni Sistem Pendikan Nasional: Beberapa Kritik Dan Sugesti. Jakarta:

Pradriya ParamtraDrost, S.J.,(1998), Sekolah Mengajar atau Mendidik?, Kanisius, Yogyakarta———, (2005), Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah),

Penerbit Buku Kompas, JakartaDurkheim, Emile, (1990), Pendidikan Moral (Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan), Erlangga,

Jakarta.Gie, The Liang (2004), Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, YogyakartaJadman, Darmanto (1986), Sekitar Masalah Kebudayaan, Alumni, Bandung

1 Penulis adalah : Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UNM, Tim Akademisi BPPLSP Regional V Makassar.

35

Pendidikan Profesi PTK - PNF ...

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 40: jurnal_Vol.1.No.1.2007

SERTIFIKASI DAN KOMPETENSI PROFESI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN NON FORMALSertifikasi yang dibicarakan dalam makalah ini difokuskan kepada sertifikasi profesi yaitu keahlian sebagai PTK-PNF yang dapat diperoleh di jalur pendidikan formal, non-formal, maupun lembaga kerja yang terakreditasi, pengalaman kerja atau bahkan campuran dari keempatnya sekaligus

H. Syamsuddin

Abstaract; Hasil penelitian mutakhir telah merubah paradigma lama tentang pentingnya kualitas Pendidik Tenaga Kependidikan Pendidikan Non-Formal (PTK-PNF) dalam meningkatkan mutu pendidikan. Paradigma yang mengandalkan kualitas PTK-PNF dilihat semata-mata dari sertifikasi ijazahnya ternyata keliru, karena yang lebih penting adalah tingkat kopetensinya dan seberapa besar kompetensi yang dimiliki itu benar-benar dipraktekkan dalam sejumlah jam secara efektif di kelas. Ini berarti peran PTK-PNF yang profesional dari kacamata kompetensi profesi sangat diperlukan. Sayangnya, seperti juga sebagian besar profesi lainnya, PTK-PNF sebagai profesi masih dalam taraf perkembangan. Oleh sebab itu, sertifikasi profesi PTK-PNF menjadi sangat penting dikembangkan dan ditata karena tidak hanya untuk mendorong perkembangan profesi PTK-PNF tetapi juga berperan dalam meningkatat kualitas, efektivitas dan ketertiban dalam proses pendidikan. Karena penegakan profesi PTK-PNF tidak hanya menjamin mutu, tetapi juga melindungi pendidikan dari malpraktek dalam proses dan materi PTK-PNFan, mendorong kinerja profesi PTK-PNF, dan memberikan perlindungan hukum dan renumerasi bagi profesi PTK-PNF secara berkelayakan. Dalam rangka menuju sertifikasi profesi PTK-PNF yang mapan dan akuntabel perlu dilakukan langkah sistemik yang meliputi: perumusan standar kompetensi PTK-PNFan dan body of knowledge yang mendukungnya, rincian jenis dan jenjang profesi PTK-PNF, kode etik profesi, standar penyelenggaraan pendidikan dan latihan PTK-PNF, sistem dan mekanisme sertifikasi profesi, sistem dan mekanisme lisensi dan akreditasi penyelenggaraan PTK-PNFan dan pelatihan profesi, sistem pengendalian profesi, sistem sanksi terhadap pelanggaran profesi, perlindungan profesi, dan manajemen sertifikasi profesi.Pemerintah sebagai regulator, distributor, dan resource allocator perlu secara integratif mengatur sertifikasi profesi PTK-PNF dengan mengikutsertakan organisasi profesi, lembaga pendidikan tinggi, orang tua dan warga belajar. Bekerja sama dengan akademisi, praktisi, dan orang tua peserta didik, organisasi profesi perlu ambil inisiatif dalam gerakan menegakkan dan mengembangkan sertifikasi profesi PTK-PNF. Perpamongan tinggi dapat ambil bagian dalam pengembangan konsep dan regulasi baik secara kelembagaan maupun individual melalui akademisinya, serta dalam menyelenggarakan pre-service dan in-service training bagi pembentukan salah satu kompetensi profesi PTK-PNF.

Katakunci:sertifikasi;kompetensi;profesi;PTK-PNF.

36

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 41: jurnal_Vol.1.No.1.2007

A. SERTIFIKASI DAN LISENSI

Istilah sertifikasi dipergunakan dalam pengertian yang bervariasi tergantung kepada konteksnya. Di dunia perbankan misalnya, sertifikasi diartikan sebagai “process by which a bank or other financial insititution guarantees a signature in the request for payment on a savings bond, a request for reissue, or other application or request relating to savings bonds”. Dalam arti yang lain, sertifikasi merupakan proses dimana pengakuan resmi (keabsahan) terhadap orang, produk, proses, kepemilikan, atau keterangan, dan biasanya diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sertifikasi produk misalnya diujudkan dalam bentuk sertifikasi halal terhadap produk makanan tertentu atau sertifikasi komputer yang kompatibel terhadap sejumlah program tertentu. Sedangkan sertifikasi yang berupa kepemilikan adalah sertifikat tanah. Sertifikasi keterangan misalnya adalah sertifikasi kelahiran atau adopsi anak. Sertifikasi untuk orang biasanya diberikan karena yang bersangkutan mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan atau kemampuan yang diakui oleh lembaga yang memberikan sertifikat. Sebagai bentuk pengakuan keabsahan dan keauntentikan, biasanya sertifikasi itu diterbitkan secara resmi yang dikuatkan dengan stempel atau meterai (seal). Dalam makalah ini, istilah sertifikasi yang dimaksud merupakan pengakuan resmi terhadap orang yang karena kepemilikan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuannya diberikan pengakuan resmi. Pengakuan itu diberikan oleh lembaga yang mempunyai wewenang untuk memberikan sertifikasi. Karena untuk memperolehnya diperlukan persyaratan tertentu dan proses tertentu yang harus dilalui, maka sertifikasi juga diartikan sebagai proses yang harus ditempuh untuk memperoleh pengakuan resmi, yang antara lain berupa pengujian (testing).

Dalam beberapa penggunaan di bidang pendidikan, sertifikasi (certification) sering disamakan dengan lisensi (licensure), seperti yang dipakai oleh beberapa peraturan perundangan Dewan Pendidikan di Amerika Serikat yang diberlakukan bagi balai negeri (dalam bentuk Public School Code and statutes). Sementara itu menurut Balasa (2003), perbedaan antara sertifikasi dan lisensi terletak pada sifat pemberlakuannya, sertifikasi diberlakukan secara sukarela (volutarity) sedangkan lisensi bersifat keharusan (mandatory). Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, program

sertifikasi untuk PTK-PNF yang bersifat voluntary ditingkatkan menjadi mandatory dalam bentuk lisensi seperti contoh yang dilakukan Ohio State Amerika Serikat. Lisensi menunjukkan ijin untuk praktek yang dapat terbatas dalam artian lokasi, jangka waktu, dan dapat diberikan atas dasar hasil evaluasi.

Di peraturan perudangan-undangan yang berlaku menyangkut pendidikan di Indonesia, istilah lisensi belum dipergunakan, yang dipakai adalah sertifikasi, akreditasi, dan standar nasional. Menurut UU No. 30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sertifikasi dapat berbentuk dua macam, yaitu dalam bentuk ijazah dan sertifikasi kompetensi, sedang istilah yang digunakan dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sertifikasi kompetensi kerja atau sertifikasi profesi.1 Ijazah diberikan sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jejang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Menurut peraturan perundangan tersebut, sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Sedangkan sertifikasi kompetensi kerja diberikan kepada tenaga kerja yang telah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan baik pemerintah maupun swasta, atau pelatihan di tempat kerja. Jadi kompetensi disini adalah kualifikasi kemampuan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sesuai dengan standar yang disepakati. Sertifikasi profesi biasa diberikan oleh lembaga profesi sebagai bentuk pengakuan penguasaan kinerja seseorang di lapangan dengan berbasis body of knowledge, pengalaman kerja, dan berdasarkan kode etik profesi. Membedakan antara sertifikasi ijazah dan sertifikasi kompetensi sebenarnya kurang tepat, karena yang berupa ijazah maupun sertifikasi kompetensi kerja, semuanya membutuhkan landasan ilmu pengetahuan (body of knowledge), keterampilan dan pengalaman lapangan yang harus memenuhi standar kompetensi. Oleh sebab itu, sertifikasi yang dibicarakan dalam

37

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 42: jurnal_Vol.1.No.1.2007

B. Sertifikasi Profesi

Profesi merupakan bagian dari, tetapi tidak sama dengan okupasi (jabatan). Seperti dijelaskan dalam The American College Dictionary, bahwa “the term occupation as one’s business or trade and notes that the term profession implies an occupation requiring special knowledge and training”. Ini mengandung makna bahwa okupasi adalah apa yang dikerjakan oleh seseorang sedangkan profesi adalah jabatan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan spesifik. Tidak semua okupasi memerlukan sertifikasi profesi. Jabatan bersifat pilah sedang profesi bersifat kontinum dari yang paling rendah tingkatannya, para-profesional, sampai dengan profesional.1 Jadi dalam pengertian ini, kepala balai adalah okupasi, ahli manajemen balai adalah profesi. Begitu pula pamong balai adalah okopasi, tetapi pamong pembina adalah profesi. Yang ideal adalah okupasi kepala balai didukung dengan salah satu jenis dan tingkatan profesi di bidang manajemen pendidikan, begitu pula untuk menduduki salah satu okupasi pamong misalnya, diperlukan tingkat profesi pamong tertentu. Jadi bisa saja seseorang mempunyai sertifikasi ijazah yang tinggi tetapi masih mempunyai kualifikasi sertifikasi profesi yang masih rendah karena masih rendahnya pengalaman di lapangan. Sebaliknya seseorang bisa saja memiliki sertifikasi profesi yang tinggi walaupun sertifikasi ijazahnya lebih rendah karena tingginya tingkat kompetensi yang diperoleh dari lamanya pelatihan dan pengalaman di lapangan yang diakui oleh lembaga profesi. Profesi tidak cukup dengan body of knowledge saja, karena profesi juga harus dibuktikan dengan penerapannya di lapangan yang hanya bisa diujudkan di dunia kerja yang dilakukan berdasarkan kode etik profesi. Oleh sebab itu, sertifikasi ijazah yang hanya diperoleh di jalur PTK-PNFan formal belum tentu serta merta menjamin terbentuknya profesi secara utuh. Uji kompetensi profesi masih diperlukan untuk memperoleh sertifikasi kompetensi profesi. Misalnya, di Inggris seseorang sarjana ilmu perpustakaan yang baru lulus bisa memperoleh ijazah Master di bidang Ilmu Perpustakaan, tetapi untuk memperoleh sertifikat profesi pustakawan orang itu harus bekerja di perpustakaan minimal dua tahun dan lulus uji kompetensi yang diselenggarakaan oleh Associate Library Association

(Asosiasi Pustakawan).

Sertifikasi kompetensi profesi menjadi penting karena jurisdiksi pelaksanaan suatu jabatan dapat dilindungi dan dikontrol dari orang-orang yang tidak mempunyai kompetensi profesi di bidangnya sehingga publik dapat dilindungi dari kemungkinan malpraktek di bidang profesi tersebut. Dan jurisdiksi profesi secara langsung berhubungan dengan sistem ilmu pengetahuan yang mendasarinya yang diakui dan didukung dengan pendidikan/pelatihan sebagai dasar terbentuknya profesi.2. Dengan sertifikasi profesi maka keandalan kinerja dari jabatan yang dipegang oleh seseorang akan dijamin, paling tidak pada tingkat kualifikasi kompetensi minimal. Dan dalam tatanan masyarakat global yang semakin terbuka dan kompetitif, tuntutan akan kebutuhan sertifikasi profesi ini semakin besar.

Selain itu, sertifikasi profesi juga merupakan pengakuan legal terhadap kemampuan kinerja seseorang yang juga dapat dipergunakan untuk:

1) Penyusunan basis data (data base) sumber daya manusia berkeahlian profesional;

2) Bencmarking tenaga profesional;3) Pember i an peng akuan te rhadap

kemampuan yang diperoleh dar i pengalaman kerja;

4) Mendorong terjadinya peningkatan kemampuan profesional baik dalam aspek pengetahuan, ketrampilan, maupun kemampuan teknis;

5) Memberikan insentif kepada munculnya spesialisasi profesi;

6) Menciptakan lingkungan kerja yang profesional, ini semakin diperlukan dalam iklim pemerintahan yang lebih menganut desentralisasi,

7) Dapat dipergunakan sebagai pedoman skala renumerasi dan karier;

8) Membuka akses ke pasar tenaga kerja baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.3

C. PTK-PNF Sebagai Profesi

Baik di negara maju maupun di negara yang se-dang berkembang, baru profesi di bidang kedok-teran dan hukum yang sudah terbentuk, kuat dan ditaati dalam pengisian okupasi. Misalnya untuk mengisi jabatan kepala Puskesanggars seseorang harus memiliki sertifikasi profesi sebagai dokter.

38

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 43: jurnal_Vol.1.No.1.2007

Demikian pula untuk mengisi jabatan penasehat hukum seseorang harus mempunyai sertifikasi advokat. Di Indonesia beberapa profesi masih pada taraf sedang dikembangkan, termasuk profesi PTK-PNF. Dalam praktek di lapangan, tidak semua okupasi didukung dengan kemam-puan profesi, karena kondisi pasar tenaga kerja, belum dirumuskannya standar profesi, lemahnya organisasi profesi dalam mengontrol pengisian okupasi, dan penerapan pengetahuan dan ke-trampilan yang lebih dikontrol oleh profesi lain.1 Kondisi semacam ini akan semakin berbahaya apabila dibiarkan karena tidak ada kepastian kemampuan minimal yang harus dipenuhi dalam mengisi okupasi, jeleknya layanan publik, dan biasanya cenderung berdampak kepada peny-alahgunaan kewenangan (malpraktek). Suatu jabatan dapat termasuk kategori profesi apabila memenuhi setidak-tidaknya lima syarat, yaitu:

1) Didasarkan atas sosok ilmu pengatahuan teoritik (body of theoretical knowledge) yang disepakati bersama;

2) Komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek secara otonom dan berkekuatan monopoli;

3) Adanya kode etik profesi sebagai instrumen untuk memonitor tingkat ketaatan anggotanya dan sistem sanksi yang perlu diterapkan;

4) Adanya organisasi profesi yang mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi;

5) Sistem sertifikasi bagi individu yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat menjalankan profesi tersebut.

Bagaimanakah dengan profesi PTK-PNF? Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional jelas membedakan antara PTK-PNF dan tenaga kependidikan. PTK-PNF dipastikan merupakan tenaga profesional, yaitu yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dn pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Karena sebagai

tenaga profesional, PTK-PNF harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajarnya.1 Dari pengertian di atas maka disimpulkan bahwa tidak semua tenaga kependidikan merupakan jabatan yang memerlukan keahlian profesional, karena termasuk dalam pengertian ini adalah tenaga administrasi dan penyelenggara pendidikan. Selain kelima ciri profesi pada umumnya di atas, PTK-PNF sebagai profesi juga bercirikan sebagai layanan sosial yang esensial dan unik, berbasis kepada teknik-teknik ilmiah diterima oleh teman sejawat, dan titik berat tugasnya adalah memberikan layanan dan bukannya semata-mata tujuan komersiil. Seperti diungkapkan oleh Robin Ann Martin (2000)1 yang mengembangkan pemikiran Myron Lieberman (1956), bahwa ciri profesi itu meliputi hal-hal sbb.:

(1) Offering aunique,definite,andessential social service. For teaching, this service is the facilitation of learning, though, how that is accomplished and what teachers (as well as parents and community members) believe needs to be learned may vary based on the beliefs, needs, and practices of each community and each individual.

(2) An emphasis upon intellectual techniques in performing its service. While health and legal professions (for example) may use physical techniques in varying degrees, they also require complex intellectual operations, as does teaching.

(3) A long period of specialized training. Just how much training is needed is debated within every profession.

(4) A broad range of autonomy for both the individual practitioner and the occupational group as a whole. While this has arguably been reached within many full professions, it still is a primary point of contention between teachers and their governing bodies (which are state and local Boards of Education in the United States).

39

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 44: jurnal_Vol.1.No.1.2007

(5) An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility for judgments made and acts performed within the scope of professional autonomy. This is another tricky issue within education because the results of more humanistic teaching are often long-term, where the most important outcomes of teaching (such as the development of the learner’s lifelong curiosity to learn) are often immeasurable as well as being influenced by many others than simply the teachers.

(6) An organizational emphasis upon the service to be rendered, rather than economic gain for the occupational group. This is what distinguishes many professions from businesses that serve people, though it does not refer to personal motivations of any individual professional.

(7) A comprehensive self-governingorganization of practitioners. While teaching now has an untold number of national and local organizations to support its development, they are seldom self-governing of teaching itself (even if they govern their own organization), especially within the public domains of education.

(8) A code of ethics which has been clarified and interpreted at its ambiguous points by concrete cases. Returning to the NEA code of ethics, coming from an alternative education perspective, I find that statement about as vague and ambiguous as it can be. While both traditional and alternative educators might agree with the statement, what they’re agreeing to would refer to quite different (and sometimes opposite) means and ends for education.

Di Amerika Serikat, profesi kependidikan sudah lebih diakui oleh pemerintah dan masyarakat sehingga untuk mencapainya benar-benar dilakukan secara ketat dengan kendali mutu

profesional yang memadai dan semuanya didasarkan kepada kode etik profesi sebagai pendidik yang oleh NEA dirumuskan sebagai berikut: The educator, believing in the worth and dignity of each human being, recognizes the supreme importance of the pursuit of truth, devotion to excellence, and the nurture of the democratic principles. Essential to these goals is the protection of freedom to learn and to teach and the guarantee of equal educational opportunity for all. The educator accepts the responsibility to adhere to the highest ethical standardsDi Indonesia profesi PTK-PNF masih pada taraf dikembangkan sehingga masih memerlukan perjuangan berat baik dari sisi internal maupun eksternal untuk mewujudkannya. Setidak-tidaknya ada dua hal yang menjadi masalah dalam mengembangkan profesi PTK-PNFan di Indonesia, yaitu tantangan yang dihadapi dan tuntutan kebijakan pemerintah akan mutu pendidikan. Secara internal, tantangan yang dihadapi adalah masih bervariasinya kualitas dasar keilmuan yang dimiliki oleh PTK-PNF, sebagaian besar belum memenuhi standard minimum tingkat pendidikan yang diharapkan, dan masih besarnya salah kamar (miss-match) antara kompetensi PTK-PNF dan peran PTK-PNF yang ditugaskan di balai. Secara eksternal, penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap profesi PTK-PNF juga masih rendah. Akibatnya masih banyak terjadi malpraktek pendidikan dalam melaksanakan tugasnya. Banyak kesalahan terjadi pada peserta didik yang merupakan akibat dari malpraktek yang dilakukan oleh seorang PTK-PNF, baik disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya, salah satu keluhan diutarakan oleh teman yang mengelola bimbingan belajar warga belajar Balai menemukan bahwa salah konsep dan rendahnya tingkat pemahaman konsep dasar Matematika banyak terjadi pada warga belajar sanggar, seperti: setengah dibagi setengah sama dengan seperempat; kalau 5x5 sama dengan 25, tetapi nxn sama dengan 2n; kalau dalam bejana dituangi air dengan suhu 20 derajad celcius dan air mendidih yang suhunya 100 derajad celsius maka suhu air campuran dalam bejana menjadi 120 derajad celsius.1 Belum kesalahan di bidang bahasa dan logika. Kesalahan-kesalahan akibat malpraktek PTK-PNF seperti ini tidak hanya mempengaruhi tingkat kelulusan, tetapi

40

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 45: jurnal_Vol.1.No.1.2007

kebih jauh juga mempengaruhi masa depan kehidupannya. Malpraktek yang lain adalah maraknya program bimbingan belajar di balai oleh pamong sebagai kegiatan non-kurikuler disatu sisi dan tidak intensifnya kegiatan pamong mengajar di kelas di sisi yang lain. Hasil ujian nasional yang menunjukkan banyak warga belajar yang tidak lulus hanya dengan standar kelulusan 4,26 saja, merupakan salah satu akibat dari telah terjadinya malprakatek di antara para PTK-PNF. Apabila standar kelulusan dinaikkan pada taraf kewajaran yaitu 6,0, dapat dibayangkan semakin besar proporsi warga belajar yang tidak lulus ujian nasional. Terjadinya seorang warga belajar yang gantung diri karena mempunyai persoalan di balai, merupakan salah satu kegagalan dari peran seorang konselor di balai yang sangat diperlukan, yang selama ini malah dianggap sebagai tugas seorang pamong yang tidak memperoleh penugasan mengajar. Sementara itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan maraknya desakan diselenggarakannya manajemen berbasis balai, peran dan keahlian yang dituntut dari seorang PTK-PNF profesional semakin meningkat. Seperti analisis yang dilakukan oleh The Teacher Center, tanggung jawab profesi pamong di masa kini cakup hal-hal sbb.:

1) Diagnosing learner needs, 2) Consulting with colleagues to plan

individualized/personalized programs for all learners,

3) Creating and maintaining learner-centered environments,

4) Aligning curriculum with instructional strategies,

5) Planning lessons, 6) Modifying content and instructional

activities to meet the needs of individual learners,

7) Facilitating learning, 8) Assessing learning outcomes, and 9) Involving parents or other caregivers in

all aspects of their child’s education. Hasil penelitian yang mutakhir menunjukkan bahwa bukannya latar belakang ijazah dan ting-ginya PTK-PNFan yang dimiliki oleh PTK-PNF yang memberikan kontribusi kepada kualitas luaran pendidikan, tetapi lebih kepada seberapa jauh tingkat penguasaan kompetensi yang dimiliki dan seberapa intensive kompetensi itu diterapkan dalam praktek mengajar sehari-hari di dalam kelas

D. Menuju Sertifikasi Profesi PTK-

Dalam rangka menuju sertifikasi profesi PTK-PNF yang mapan dan akuntabel perlu dilakukan langkah sistemik yang meliputi setidak tidaknya komponen sbb: perumusan standar kompetensi PTK-PNF dan body of knowledge yang mendukungnya, rincian jenis dan jenjang profesi PTK-PNF, kode etik profesi, standar penyelenggaraan pendidikan dan latihan PTK-PNF, sistem dan mekanisme sertifikasi profesi, sistem dan mekanisme lisensi dan akreditasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi, sistem pengendalian profesi, sistem sanksi terhadap pelanggaran profesi, perlindungan profesi, dan manajemen sertifikasi profesi.

Pertama, standar kompetensi profesi disusun dengan menggunakan pendekatan competency-based approach yang dimulai dari identifikasi profil keahlian PTK-PNF yang ideal dengan mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis baik yang bersifiat internal maupun internal, serta identifikasi faktor-faktor yang mendukung terbentuknya standar kompetensi tersebut. Kompetensi tidak hanya menyangkut bidang ilmu dan pengetahuan metodologi mengajarkannya, tetapi tak kalah pentingnya adalah sikap dan keyakinan akan nilai-nilai sosok PTK-PNF yang baik dan berpenampilan. Oleh sebab itu, stadar kompetensi profesi lebih berorentasi kepada kualitas kinerja sehingga setidak-tidaknya menggambarkan kinerja seperti apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kompetensi itu, dasar keilmuan dan kode etik yang mana yang diperlukan untuk menghasilkan kinerja tersebut, seberapa jauh tingkat kesempurnaan pelaksanaan pekerjaan yang diharapkan, dan seperti apa indikator penilaian yang dapat dipergunakan untuk menilai kinerja profesi. Pengembangan standar kompetensi ini dapat dilakukan dengan pendekatan benckmarking, adopt dari standar yang sudah ada baik di bidang profesi lain maupun di bidang profesi yang sama dari luar negeri, pendekatan “field research”, atau kombinasi keduanya.1 Produk dari standar kompetensi ini dapat bertaraf nasional maupun internasional. Pendekatan fourpartiet antara

41

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 46: jurnal_Vol.1.No.1.2007

birokrat, organisasi profesi, penyelenggaran pendidikan dan pelatihan profesi, dan pemakai profesi sangat diperlukan untuk memperoleh rumusan yang sempurna.

Hasil rumusan kompetensi tersebut dijabarkan lebih lanjut untuk mengidentifikasi kompetensi dasar (core competence), body of knowledge yang mendukungnnya, kompetensi pendukung, kompetensi yang sudah dibawa sejak lahir (askriptif), kompetensi yang dapat diperoleh di jenjang pendidikan formal, kompetensi yang hanya dapat diperoleh di tempat kerja, dan kompetensi yang menyangkut nilai, budaya, dan sikap yang pembentukannya diperlukan cara khusus.

Kedua, karena profesi itu bersifat kontinum, maka perlu dirinci jenjang profesi PTK-PNF mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi untuk menunjukkan tingkat kualitas kompetensi yang dimiliki oleh seseorang dan jejang okupasi yang sesuai. Rincian profesi PTK-PNF juga dapat dilakukan menurut jenisnya untuk memberikan variasi spesialisasi keahlian. Misalnya dibedakan antara profesi PTK-PNF untuk pamong kelas di balai dasar dan untuk pamong bidang studi di balai menengah, dsb.

Ketiga, kode etik profesi perlu dikembangkan sebagai pedoman norma dalam menjalankan profesi sehari-hari, yang dilengkapi dengan indikatornya, dan sekaligus juga sebagai alat kontrol untuk menghindari terjadinya malpraktek dalam melaksanakan profesi. Dengan memperoleh masukan dari berbagai pihak yang berkaitan terutama klien, organisasi profesi bertanggungjawab merumuskan kode etik profesi ini.

Keempat, sesuai dengan peraturan perudangan yang berlaku, pendidikan dan pelatihan profesi dapat diselenggarakan baik oleh satuan pendidikan atau lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui oleh Pemerintah.2 Guna menghasilkan produk yang diharapkan, perlu ditetapkan persyarataan dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi PTK-PNF, yang tidak hanya berorientasi kepada inputs tetapi tidak kalah pentingnya juga kepada proses. Walaupun persyaratan dan standar ini secara resmi ditetapkan

oleh Pemerintah demi legitimasi, dalam proses perumusannya harus mendayagunakan oganisasi profesi sehingga setiap perkembangan profesi dapat diintegrasikan di dalamnya. Kemudian, regulasi tentang persyaratan dan standar lembaga pendidikan dan latihan profesi PTK-PNF ini dilengkapi dengan sistem dan mekanisme sertifikasi yang harus dirumuskan sebagai lisensi sehingga bersifat mandatory, dan akreditasi untuk menetapkan kualitasnya.

Kelima, untuk menghindari ter jadinya malpraktek dalam pelaksanaan tugas PTK-PNF maka regulasi tentang pengendalian dan sanksi terhadap pelanggaran profesi PTK-PNF perlu dirumuskan dan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjabarkan pasal 35 UU NO. 30/2003, yaitu tentang sertifikasi profesi. Dengan demikian ada kepastian hukum, mendorong peningkatan profesionalisme kinerja profesi, dan perlindungan terhadap dampak malpraktek di kalangan PTK-PNF.

Keenam, regulasi tentang sertifikasi profesi tidak hanya mengatur kewajiban akan dipenuhinya persyaratan dan standar, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap profesi terutama dari ancaman terhadap otonomi dan akuntabilitas profesi, ancaman hukum, dan penghasilan berdasarkan kinerja dan jenjang profesi. Dengan perlindungan ini maka semua orang merasa aman dan nyaman dalam mengotimalkan kinerja profesi PTK-PNF guna mendukung peningkatan mutu pendidikan.E. Aktor Pengembangan Profesi

Setidak-tidaknya ada empat aktor besar yang seharusnya berperan dalam mengembangkan, melaksanakan dan menjaga profesi PTK-PNF, yaitu: pemerintah, pendidikan tinggi, organisasi profesi, dan konsumen, yaitu peserta didik dan orang tua. Keempat aktor tersebut harus memberikan peran dan kontribusinya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing sehingga tidak perlu terjadi tumpang-tindih.

Dalam masyarakat madani yang demokratis, Pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai regulator, distributor, dan resource

42

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 47: jurnal_Vol.1.No.1.2007

allocator. Sebagai regulor, Pemerintah secara legitimate menyusun dan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dapat mengikat semua unsur masyarakat, baik negeri maupun swasta. Peraturan tentang persyaratan, standar, dan prosedur dalam memperoleh sertifikasi dan lisensi profesi PTK-PNF serta perangkat teknis lainnya perlu diterbitkan oleh Pemerintah. Yang menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundangan adalah bahwa peraturan itu bukan untuk mempersulit tetapi untuk mempermudah dan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya harus cukup detail, self explanatory, dan tidak lagi dapat ditafsirkan ganda. Dari segi substansi, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan ini harus melibatkan ketiga aktor yang lain. Kontribusi terbesar yang harus diberikan oleh organisasi profesi PTK-PNF adalah konsep tentang profile profesi, rincian kompetensi, standar kompetensi, serta mekanisme untuk memperoleh kompetensi tersebut baik yang melalui pendidikan formal maupun pengalaman praktek, serta evaluasi dan sertifikasinya. Rumusan seperti ini hanya akan dapat dirumuskan dengan baik apabila dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah melaksanakan profesi di lapangan. Konsep yang dihasilkan oleh organisasi profesi inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.Organisasi profesi memegang kunci dalam pengembangan profesi PTK-PNF, karena organisasi inilah yang dapat merumuskan kompetensi profesi. Rumusan kompetensi profesi tidak hanya menyangkut profile PTK-PNF dan kompetensinya, tetapi juga norma dan kode etik profesi sebagai pedoman dalam melaksanakan pelaksanaan tugas profesi. Organisasi profesi juga bertanggung jawab terhadap penetapan, pemberdayaan, pengendalian, penilaian, perlindungan, dan melakukan sosialisasi dan promosi tentang profesi PTK-PNF, serta pemberian sanksi terhadap setiap bentuk pelanggaran profesi. Oleh sebab, organisasi profesi harus aktif memberikan masukan konsep dan pemberdayaan kepada aktor lainnya, terutama pemerintah dan perpamongan tinggi.

Peran perpamongan tinggi dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu secara kelembagaan melalui anggotanya (akademisi) dan secara kelembagaan. Sebagai pemikir, akademisi di perguruan tinggi, termasuk LPTK (FIP/JIP), secara individual sangat besar perannya dalam memberikan kontribusi kepada organisasi profesi bagi tersusunnya konsep kompetensi yang akan dituangkan dalam peraturan perudang-udangan Pemerintah. Secara kelembagaan, perpamongan tinggi mempunyai tugas utama menyiapkan orang untuk memperoleh kompetensi atau sebagian dari kompentensi profesi melalui pendidikan formal. Rincian kompetensi yang dapat dididikan seperti yang dirumuskan oleh organisasi profesi, dijabarkan menjadi program pendidikan dan pengajaran baik untuk program akademik maupun profesional, melalui program pra-jabatan (pre-service training) maupun dalam-jabatan (in-service training). Karena pembentukan profesi PTK-PNF tidak dapat lepas dari pengalaman praktek dan bimbingan para praktisi, maka mulai dari penyusunan kurikulum sampai dengan pelaksanaan program pengajarannya, pendidikan tinggi perlu mendayagunakan peran praktisi dan lembaga balai dimana lulusannya akan bekerja. Untuk pengembangan model pendidikannya, tersedianya balai laboratorium menjadi sangat signifikan.Warga belajar dan masyarakat yang akan menjadi konsumen perlu dilibatkan dalam setiap proses baik yang dilakukan oleh Pemerintah, organisasi profesi, maupun pendidikan tinggi. Maksudnya agar selera, kebutunan, dan harapan mereka dapat diakomodasikan sejalan dengan terjadinya pergeseran sistem sosial, pergeseran peran keluarga, pergeseran nilai dan norma, dan harapan masyarakat akan peran PTK-PNF dalam konteks perubahan masyarakat dan teknologi yang sangat cepat.Dalam mengkoordinasikan peran masing-masing aktor, suatu lembaga independen yang sehari-harinya mengevaluasi, mengembangkan dan menpamongsi layanan untuk profesi PTK-PNF ini perlu dibentuk. Forum untuk mempertemukan keempat aktor tersebut dapat diujudkan dalam bentuk Badan Sertifikasi Profesi pendidikan yang independen.

43

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 48: jurnal_Vol.1.No.1.2007

F. Penutup

Menutup uraian ini dapat disimpulkan bahwa sertifikasi (baca lisensi) profesi PTK-PNF sangat perlu guna meningkatkan mutu PTK-PNFan, menghidari malpraktek dalam pelaksanaan tugas PTK-PNF, meningkatkan kinerja profesional PTK-PNF, dan meningkatkan peluang kerja di luar negeri dalam era kompetisi global. Untuk itu pemerintah sebagai badan regulator bertugas untuk mengatur secara legal melalui peraturan perundang-undangan sehingga bersifat mandatory dan mengikat. Pengembangan konsepnya dapat diserahkan kepada kombinasi antara organisasi profesi, akademisi, dan praktisi, sedang penyelenggaraaannya dapat diserahkan kepada organisasi non-pemerintah yang memperoleh lisensi karena memenuhi persyaratan dan standar yang ditetapkan.

Masalah klasik yang dihadapi adalah terjadinya tumpang tindih pengaturan dan regulasi yang dikeluarkan dari berbagai badan pengelola sertifikasi oleh berbagai insititusi pemerintah, menjadikan pengelolaan sertifikasi profesi menjadi birokrasi yang tidak efisien dan rumit,

dan ini dapat menghambat upaya peningkatan kinerja profesi PTK-PNF dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Propenas Tahun 2001. Oleh sebab itu, koordinasi dalam peraturan perundang-undangan dan antar instansi pemerintah perlu dilakukan sehingga hanya ada satu peraturan perudangan dan institusi perintah yang menangani profesi PTK-PNF ini.

Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Ikatan Sarjana di bidang spesialisasi pendidikan lainnya sebagai organisasi profesi, mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama dengan pemerintah. Oleh karena itu, dengan bekerjasama dengan akademisi, praktisi, dan birokrasi, ISPI dan forum pertemuan FIP/JIP harus siap dengan konsep-konsepnya untuk membantu pemerintah dalam mengembangkan konsep sertifikasi PTK-PNF di Indonesia baik pada tataran nasional maupun internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Balasa, Donald A. (2003). “Cetification and Licensure: Fact You Should Know.” In American Association of Medical Assistants, Chicago, p. 108.

Barnett, Ronald (1992). Improving Higher Education: total Quality Care. Buckingham: SRHE and Open University Press.

Bishop, Lou Don (2002). Definition, Regulation, and Licence of Paralegals in The United States, Dissertation submitted to the Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State Univesity.

Chapman, David and Don Adams (2002). The Quality of Eduction: Dimensions And Strategies. Hoghkong: ADB and Comparative Education Research Centre.

Chapman, Judith D. et.al. (1996). The Reconstruction on Education: Quality, Equality, and Control. New York: Cessell Welington House.

Komisi Sertifikasi Ikatan Geologi Indonesia (http://sertifikasi.iagi.or.id/manfaaat.prinsip. html)Meylina Djafar (2005). “Standar Kompetensi Kesehatan Dalam Rangka Pengembangan Kualitas

Diknaker”. Media Pengembangan SDM Kesehatan, Volume. 1 No. 1 Januari 2005. pp.1-2.Nurhadi, Muljani A. (2003). Sistem Manajemen Yang efektif Untuk Menunjang Mutu PTK-PNFan Dalam

Iklim Desentralisasi (Makalah disampaikan dan dibahas pada Seminar Nasional Tentang Peningkatan Mutu Manajemen dan Kepemimpinan PTK-PNFan, di Program Pasca Sarjana Univeritas Negeri Semarang, tanggal 4 Oktober 2003).

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional PTK-PNFanRakesh, Khurana, Nitin Nohria, and Daniel Penrice (2005). Is Business Management a profesion?.

Harvard: Harvard Business School, Special to SearchCIO.com (Rakesh Khurana, Nitin Nohria, and Daniel Penrice, “Management as a Profession,” reprinted from Restoring Trust in American Business, editors Jay W. Lorsch, Leslie Berlowitz, and Andy Zelleke, produced by the American Academy of Arts & Sciences and published by The MIT Press, 2005).

44

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 49: jurnal_Vol.1.No.1.2007

Robin Ann Martin (2000). Teaching as a Profession: Historic, Public, Union, and AlternativePerceptions, Prepared for: HPC 690: Special Topics on U.S. History and Redefining Public Education

with Chris Lubienski, Iowa State University; also a possible background paper for facilitating dialogue in an NEA Online Conference, Fall 2000.

Silvers, Julia Rutherford (2004). Certified Special Events ProfessionalSeminar Internasional “Menggali Manajemen PTK-PNFan Yang Efektif” diselenggarakan oleh ISanggarPI,

tanggal 30 dan 31 Agustus 2004 di Jakarta.Sertifikasi Insinyur Profesional (http://www.pii.or.id/sertifikasi/). Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembvangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-

2004.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2003 Tentang Sistem PTK-PNFan Nasional. .http://www.investordictionary.com/definition/Certification.aspxhttp://www.investorwords.com/813/certification.html, dan http://www.advfn.com/money-

words_term_813_certification.html[11-14-98; 6.60.2.7 NMAC - Rn, 6 NMAC 4.2.4.1.7, 10-31-01] cidis dalam http://www.lse.co.uk/financeglossary.asp?searchTerm=&iArticleID=474&definition=certificati

onEDUCATOR\social_educator.htmEDUCATOR\codenea.htmEDUCATOR\kyepsb.htmThe NEA 1975 Representative Assembly; full Preamble at: http://www.nea.org/aboutnea/code.

html.Changing_teaching_profession.htm

45

Sertifikasi dan Kompetensi .....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 50: jurnal_Vol.1.No.1.2007

PENDEKATAN ANALISIS SWOTDALAM PERENCANAAN PENDIDIKAN NON FORMAL

Perencanaan hanya akan dapat dilakukan apabila perencana megenal, mamahami dengan benar kekua-tan dan kelemahan sebagai aspek internal aspek eksternal dari organisasi/ lembaga atau perencana, sehingga dapat diungkap tantangan yang akan timbul di masa depan dan peluang yang mungkin terbuka untuk diraih untuk kebaikan/ peningkatan kinerja. Tanpa mengetahui aspek-aspek tersebut rencana yang disusun hanya merupakan angan-angan yang tidak berdasar

Dra. Sitti Hasnah

Abstract :Pengambilan keputusan tentang program Pendidikan nonformal yang akan dilaksanakan, sebagian ditentukan oleh perencanaan yang baik. Salah satu pendekatan perencanaan pendidikan nonformal yang dilakukan disebut Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, opportunities, threats = kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman). Melalui analisis SWOT akan melahirkan program Pendidikan nonformal yang realistiK dan sesuai kebutuhan sasaran.

PENDAHULUAN

Perencanaan adalah proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Disebut sistematis karena perencanaan itu dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip tertentu di dalam proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik/ pendekatan secara ilmiah, serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi.Perencanaan dilakukan untuk menyusun rangkaian kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Tujuan tersebut dapat mencakup tujuan umum (goals) dan tujuan khusus (objectives) suatu kegiatan/ program. Dalam menyusun rencana sebaiknya mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau dapat disediakan. Sumber-sumber itu meliputi sumber manusia dan sumber non-manusia. Sumber manusia mencakup antara lain pamong belajar, fasilitator, tutor, warga belajar, pimpinan lembaga dan masyarakat. Sumbernon-manusiameliputi fasilitas, alat-alat, waktu, biaya, lingkungan sosial budaya, lingkungan fisik, dsb.

Dengan perencanaan diharapkan dapat dihindari penyimpangan sekecil mungkin dalam penggunaan sumber-sumber tersebut.Perencanaan hanya akan dapat dilakukan apabila perencana megenal, mamahami dengan benar kekuatan dan kelemahan sebagai aspek internal aspek eksternal dari organisasi/ lembaga atau perencana, sehingga dapat diungkap tantangan yang akan timbul di masa depan dan peluang yang mungkin terbuka untuk diraih untuk kebaikan/ peningkatan kinerja. Tanpa mengetahui aspek-aspek tersebut rencana yang disusun hanya merupakan angan-angan yang tidak berdasar, karena itulah diperlukan data yang cermat dan akurat dan terbaru dari semua lini/ komponen terkait.Perencanaan yang tidak didukung data, sering menimbulkan adanya rencana yang tidak akan pernah tercapai, walaupun didukung oleh sumberdaya yang cukup memadai.Perencanaan memerlukan adanya data dasar yang diterima dan diakui oleh semua pihak termasuk disemua jenjang organisasi/lembaga terkait. Setiap ada perubahan harus dilakukan secara serentak, disemua tingkatan organisasi/ lembaga

46

Pendekatan Analisisi SWOT ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 51: jurnal_Vol.1.No.1.2007

terkait. Data dasar harus diperbaiki setiap tahun perencanaan. Sering suatu rencana sudah disusun tanpa si perencana memahami apa yang ada dan sudah terjadi dan apa penghambat yang dihadapi. Dalam keadaan seperti ini, tujuan yang disusun dalam rencana tersebut hampir dapat dipastikan tidak akan dapat dicapai.Perencanaan sering dianggap sebagai tugas rutin semata, pada hal perencanaan adalah sesuatu yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Perencanaan tidak pasif dan statis, karena itulah diperlukan kereasi dan rasa memiliki (sense of ownership) dari para perencana serta rasa malu apabila rencana yang disusun ternyata tidak realistis dan tidak dapat diwujudkan.Pada setiap setiap perencanaan, hindarilah ungkapan “perencanaan untuk perencanaan” yang mengandung makna ketidakpeduliaan akan tujuan yang dirancang tetapi hanya asal ada kegiatan.Untuk menyusun rencana yang dapat direalisasikan dalam kegiatan nyata dan berhasil, diperlukan bebagai pendekatan untuk mengetahui atau memahami sejumlah informasi yang diperlukan, baik aspek internal maupun aspek ekternal. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah analisis “SWOT” (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Sejanjutnya, pendekatan ini akan dibahas pada bagian lain tulisan ini.

KONSEP ANALISIS SWOT

SWOT merupakan singkatan dari kata Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Menurut Sihombing (2000), kata Threats mengandung unsur yang negatif, sehingga lebih cenderung menggunakan kata yang mengandung unsur positif yaitu tantangan (Challenges). Pengubahan ancaman menjadi tantangan karena dia melihat bahwa ancaman kalau dikelola dengan tepat dapat berubah menjadi peluang, sedangkan tantangan selalu berisi peluang. Sehingga pendekatannya menjadi SWOC.1. Kekuatan Maksud kekuatan dalam analisis ini

adalah faktor-fakor yang mendukung penyelenggaraan program, serta diakui

eksistensinya oleh semua pihak (masyarakat). Contoh kekuatan-kekuatan yang ada pada program pendidikan luar sekolah antara lain dapat menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada di masyarakat tanpa harus memenuhi persyaratan tertentu/ ketat, yang tidak mungkin dipenuhi oleh masyarakat. Fasilitas-fasilitas tersebut, antara lain, balai desa, gedung SD dan Puskesmas yang kosong, gedung milik Yayasan ataupun rumah-rumah penduduk. Penilik PLS dapat melakukan bimbingan kepada penyelenggara program PLS kapan saja tanpa terikat oleh jam kantor.

2. KelemahanMaksud kelemahan dalam analisis ini adalah permasalahan yang timbul dari penyelenggaraan program dan hasilnya.Permasalahan merupakan kelemahan yang dapat berubah menjadi tantangan kelancaran pelaksanaan tugas/ program. Sebagai contoh disebutkan bahwa maasih banyak gedung-gedung yang ada , baik milik pemerintah maupun milik yayasan/ swasta belum semua termanfaatkan sebagai tempat belajar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (a) rendahnya kesungguhan petugas (penilik/tenaga TLD/ penyelenggara program) dalam mendekati pihak-pihak yang memiliki gedung kosong, untuk dapat dimanfaatkan, (b) masyarakat belum memahami secara baik dan benar tentang penting dan keuntungan, jika program PLS diberikan tempat belajar, (3) rendahnya perhatian pemerintah pada penyediaan tempat belajar program PLS

3. Peluang Maksud peluang dari analisis ini adalah hal-hal atau faktor-faktor dari luar program yang kalau dicermati dan dimanfaatkan dengan baik dapat menjadi tumpuan harapan dimasa depan. Contoh hingga saat ini masih cukup banyak tenaga terdidik yang belum mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keinginannya; sehingga mereka masih menganggur dan dapat dimanfaatkan sebagai tenaga pendidik (tutor/ fasilitator) dalam program-pogram PLS.

4. Tantangan Maksud tantangan dalam analisis ini adalah hal-hal yang harus diatasi, direbut, diperbaiki

47

Pendekatan Analisisi SWOT ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 52: jurnal_Vol.1.No.1.2007

dan ditingkatkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dalam usaha mencapai tujuan. Tantangan bukan penghambat, tetapi perangsang untuk mendorong perencana pendidikan luar sekolah untuk lebih kreatif dan dinamis. Tantangan dapat berubah menjadi peluang bagi perencana yang tidak berperilaku apatis, statis dan mudah puas.Contoh tantangan, penyebaran pemukiman baik warga belajar maupun tenaga kependidikan, serta mobilitas warga belajar merupakan tantangan besar dalam pembentukan dan dalam mempertahankan kelangsungan kegiatan/ program PLS. Untuk itu, tantangan-tantangan yang dihadapi adalah (a) menempatkan kelompok belajar yang dapat terjangkau baik oleh warga belajar maupun tenaga kependidikan /tutor, dan (b) menemukan strategi-strategi untuk

STRATEGI PENYUSUNAN RENCANAApabila petugas PLS ingin kegiatan/ programnya terlaksana, dicintai dan dirindukan oleh semua orang termasuk atasan, maka dalam penggalian faktor kekuatan, kelemahan yang dimiliki dan peluang dan tantangan yang dihadapi, dapat disusun pola dasar penyusunan rencana kegiatan/ program sebagai berikut

mempertahankan keutuhan kelompok minimal sampai mereka menyelesaikan satu program pembelajaran.

Pola dasar seperti di atas dapat dijadikan panduan untuk melihat kemungkinan apa yang harus diperbuat atau rencana program apa yang akan dilakukan dengan mengaitkan faktor kekuatan (K), kelemahan (KL) (internal) dengan faktor peluang (P) dan tantangan (T) (eksternal).Apabila faktor kekuatandikaitkandenganpeluang, maka akan dapat dilihat 3 kemungkinan: (1) faktorkekuatan lebih besar dari peluang yang ada. Pada situasi ini program/ kegiatan dapat mengkonsentrasikan diri pada pemantapan program dan menghindari penurunan kualitas. (2) Faktorkekuatanlebihkecildaripeluang. Disini program/ kegiatan dapat memanfaatkan peluang dengan mengadakan penyeragaman garis program dan penganekaragaman mutu program. Sehingga peluang-peluang yang terbuka dapat dimanfaatkan. (3) Faktor kekuatan

samadenganfaktorpeluang. Dalam situasi ini program/ kegiatan memfokuskan diri pada peningkatan kualitas dan mencari peluang yang baru.Apabila kekuatan dikaitkan dengan tantangan, situasi yang dihasilkan akan menggambarkan: (1) Fakorkekuatan lebihbesardari faktortantangan. Disini program/ kegiatan dapat memperkenalkan program-program baru karena tidak akan ada hambatan yang berarti. (2) Faktor kelemahan lebih sedikit darifaktor tantangan. Pada situasi ini program/ kegiatan akan memperhemat programnya agar mampu mengubah tantangan menjadi peluang; (3) Faktor kekuatan sama dengan faktortantangan. Disini dapat diperkenalkan program baru, karena tantangan harus dikendalikan dengan program-program yang berkualitas.

Faktor eksternal

Faktor internal Peluang Tantangan

Kekuatan Rencana Rencana

Kelemahan Rencana Rencana

48

Pendekatan Analisisi SWOT ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 53: jurnal_Vol.1.No.1.2007

Secara singkat uraian di atas dapat diiingkas dalam bentuk gambar berikut:

Keterangan : K = Kekuatan KL = Kelemahan P = Peluang T = Tantangan

Contoh: Lembar Analisis SWOT

No Faktor Situasi Strategi rencana

1 K dan P K > P K < P K = P

2 K dan T K > T K < T K = T

3 KL dan P KL > P KL < P KL = P

4 KL dan T KL > T KL < T KL = T

Pemantapan program, mencegah penurunan kualitas.Penganekaragaman programPeningkatan kualitas program

Buat program baruMemperkuat program yang adaPerkenalkan program baru

Tambal sulam atau mengganti dgn program baruMemanfaatkan situasi dan perkuat programPerkuat program,

Ganti program atau hapus program yang lemahUbah tantangan menjadi peluangHilangkan kelemahan/ kurangi kelemahan

Bidang Tugas Kekuatan Kelemahan Peluang Tantangan Program

1

2

Dst

DAFTAR PUSTAKA

Aditya Prabhaswara, Peti Savitri, 2002, Dasar Penyusunan Project Proposal, Yogyakarta: AndiH.D. Sudjana, 2005, Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Falah

ProductionUmberto Sihombing, 2000, Pendidikan Luar Sekolah Manajemen Strategi, Jakarta: PD

Mahkota.

Penulis adalah pemerhati Pendidikan Nonformal/ Alumni Jurusan PLS FIP UNM

49

Pendekatan Analisisi SWOT ....

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 54: jurnal_Vol.1.No.1.2007

PENDIDIKAN KESETARAAN UNGGULAN (Sebuah Paradigma Baru Dalam Pendidikan Non Formal)

Arifin (2005) Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pengwilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Bukan hanya berkaitan dengan kurikulum yang merupakan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.

Oleh : Ibrahim

AbstractPendidikan kesetaraan adalah pendidikan nonformal bagi warga Negara Indonesia usia sekolah yang berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada pengetahuan akademik dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan keperibadian professional. Penyelenggaraan pendidikan kesetaraan unggulan dapat dilaksanakan dengan target pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah bagaimana warga belajar memiliki keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi lulusan Paket A, bagaimana warga belajar memiliki pengetahuan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja bagi lulusan Paket B, sedangkan untuk Paket C diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk berwirausaha. yang mengacu pada akumulasi dari tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) pendidikan kesetaraan yang bekualitas, singkronisasi kebutuhan warga belajar dengan analisis potensi local daerah, Partisipasi orang tua warga belajar dan masyarakat di lingkungan pembelajaran serta penyediaan anggaran pendidikan kesetaraan yang memadai.

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Pendidikan Kesetaraan merupakan pendidikan nonformal bagi warga Negara Indonesia usia sekolah yang berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan sudah mulai dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat yang selama ini termarginalkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan pendidikan kesetaraan sudah ada yang menjadikan sebagai alternatif disebabkan oleh kurangnya jaminan yang pasti bahwa pendidikan persekolahan dapat membawa perubahan ekonomi dan kesejahteraan keluarga. (Yulaelawati, 2006:6) Model-model penyelenggaraan pendidikan kesetaraan sudah

mulai bermunculan, antara lain Houm schooling, mobile sckhooling, e-learning dan bentuk-bentuk lain. Kesemuanya ini adalah merupakan dinamika perkembangan kemajuan pendidikan kesetaraan.Di sisi lain, penyelenggaraan pendidikan kesetraan dewasa ini yang berlangsung secara reguler tidak diiringi oleh penyediaan Sumber Daya Manusia yang unggul, mengakibatkan berbagai perkembangan tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Secara faktual, SDM pendidikan kesetaraan ditinjau dari beberapa aspek antara lain: (1) kualifikasi dan kompetensi Pendidik dan Tenaga Kepependidikannya belum terstandar (2) analisis kebutuhan warga belajar sering tidak disinkronisasikan dengan analisis potensi lokal (3) kompetensi lulusan diukur dengan kemampuan akademik melalui UAN, sedangkan pendidikan keterampilan hidup (life skill) belum jelas pengukurannya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan dana penyelenggaraan pendidikan kesetaraan yang serba tanggung, berakibat pada kompetensi lulusan tidak sesuai dengan harapan. Perlu diketahui bahwa warga belajar pada

50

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 55: jurnal_Vol.1.No.1.2007

pendidikan kesetaraan adalah orang-orang yang memiliki permasalahan dalam mengikuti pendidikan, jika pemeblajaran pendidikan kesetaraan hanya menekankan pada kesetaraan akademik, maka warga belajar akan berhenti di tengah jalan. Akan tetapi yang harus dipahami pula bahwa warga belajar pada umumnya ikut belajar sambil memikirkan tentang apa yang akan dikerjakan nantinya. Artinya setelah selesai mengikuti pendidikan, warga belajar ingin memperbaiki kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan kecakapan hidup (life skill) harus lebih dominan dibandingkan dengan pendidikan akademik. Senada dengan hal tersebut di atas, menurut Sihombing (1999: 47), bahwa “Program pendidikan masyarakat janganlah diciptakan hanya sekedar belajar untuk belajar, tetapi harus belajar untuk hidup”. Dengan demikian kurikulum pendidikan kesetaraan, khususnya program Paket A, Paket B dan Paket C hendaknya mengutamakan sinkronisasi antara kebutuhan warga belajar dengan potensi sumberdaya lokal, sehingga dapat menciptakan luaran Pendidikan Kesetaraan yang fungsional dan diunggulkan untuk mengolah kompetensi lokal daerahnya.Penyelenggaraan program Pendidikan Kesetaraan Paket A, Paket B dan Paket C dengan mengacu pada pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah bagaimana warga belajar memiliki keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi lulusan Paket A, bagaimana warga belajar memiliki pengetahuan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja bagi lulusan Paket B, sedangkan untuk Paket C diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk berwirausaha. Oleh karena itu penyelenggaraan pembelajaran untuk Paket A, Paket B dan Paket C harus betul-betul menerapkan pembelajaran keterampilan yang berbasis kompetensi lokal, bukan hanya penguatan pembelajarannya ditekankan untuk pembelajaran akademik komvensional.Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pengwilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dan basis keunggulan lokal. Bukan hanya berkaitan dengan kurikulum yang merupakan juga muatan

lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.

B. PermasalahanPendidikan kesetaraan yang dilaksanakan selama ini belum dapat diukur dengan jelas tentang kuantitas dan kualitasnya, mengingat permasalahan yang sangat kompleks. Mulai dari keberadaan komunitas warganya, siapa penyelenggaranya, bagaimana kualifikasi tenaga pendidiknya, dan bagaimana kompetensi lokal sumberdayanya, serta alokasi pendanaanya yang serba tanggung. Untuk penyelenggaraan pendidikan Kesetaraan unggulan perlu data yang akurat tentang warga belajar dan potensi sumberdaya lokal. Demikian pula kualifikasi dan standar kompetensi pengelola/penyelenggara, tenaga pendidiknya, serta alokasi dana yang tersedia. Oleh karena itu yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan karya ini adalah; dapatkah program pendidikan Kesetaraan diunggulkan?

PEMBAHASAN

A. PengertianSudah kita ketahui bersama bahwa kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) kita dibandingkan dengan Negara-negara Asia adalah selalu terdepan dari sisi ketertinggalan. Segala daya dan upaya pemerintah dan masyarakat telah dilaksanakan, terutama di sektor pendidikan.Dewasa ini peningkatan mutu SDM dituangkan dalam bentuk pendidikan sekolah-sekolah unggulan, terutama di sektor pendidikan formal. Namun dalam pelaksanannya sekolah tersebut hanya menerima warga belajar yang sudah berprestasi. Jadi sesungguhnya hanyalah sekolah dengan kumpulan warga belajar yang cerdas sehingga dengan memilih input yang baik, secara logika akan mmenghasilkan out put yang baik. Lalu bagaimana dengan pendidikan nonformal yang nota bene warga belajarnya adalah orang-orang yang bermasalah? Tentu tidak menciplak secara kongkrit penyelenggaraan pendidikan formal, melainkan dengan metode pembelajaran

51

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 56: jurnal_Vol.1.No.1.2007

tertentu, yang mengarah pada teknik pembelajaran pedagogik/andragogik yang lazim dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan Kesetaraan. Bukan berarti harus sama dengan pendidikan formal, akan tetapi kesetaraan yang dimaksudkan adalah sepadan dalam pengakuan, bobot, nilai, ukuran/kadar, pengaruh, kedudukan, fungsi, dan kewenangan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pendidikan kesetaraan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Merupakan salah satu jenis pendidikan Nonformal yang berstruktur dan berjenjang

2. Memiliki kesamaan standar kompetensi minimal bidang akademik dengan pendidikan formal pada level atau jenjang tertentu

3. Diperkaya dengan keterampilan yang lebih berorientasi pada kecakapan hidup (Paparan Direktur Kesetaraan th 2006)

Pendidikan kesetaraan sebenarnya sebelum dicetuskan ide sekolah unggulan sudah memiliki nilai-nilai keunggulan, yakni dengan adanya pengayaan keterampialan yang lebih berorientasi pada kecakapan hidup. Namun demikian pendidikan kesetaraan unggulan, penekanannya adalah bagaimana membina warga belajar agar dapat memiliki pengetahuan akademik setara dengan pendidikan formal dan unggul dalam mengelola potensi sumberdaya ekonomi lokal yang dapat bermanfaat bagi warga belajar dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu defenisi program pendidikan kesetaraan unggulan adalah suatu kelompok belajar pendidikan kesetaraan yang mampu membawa setiap warga belajarnya mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu menunjukkan prestasinya tersebut, baik secara akademik maupun keterampilan hidup

B. Penyelenggaraan Pendidikan KesetaraanPendidikan kesetaraan unggulan adalah sebuah paradigma bar u pendidikan nonformal, khususnya pendidikan kesetaraan yang dapat dilaksanakan dengan mengacu pada beberapa kriteria, antara lain:

1. Pemetaan wilayah sasaran pendidikan kesetaraan

Profil pendidikan di Indonesia kompleks dan sangat beragam oleh karena perbedaan yang sangat mencolok antar daerah, khususnya perbedaan antara pulau Jawa dan yang lainnya, perbedaan antar kota dan desa, perbedaan antar daerah maju dan daerah terpencil di Papua. Kesemuanya ini adalah bukti bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia belum mampu diwujudkan secara merata akibat berbagai macam keterbatasan. Pemerataan pembangunan pendidikan sering diukur dengan banyaknya sekolah formal yang dibangun disetiap daerah. Sementara sekolah formal belum bisa menampung semua aspirasi pendidikan masyarakat sehingga pemerataan pendidikan dilaksanakan dengan sistem pendididkan formal, nonformal dan informal. Penyelenggaraan pendidikan dengan sistem pendidikan nonformal dengan sasaran peserta didik usia sekolah yang dikenal dengan istilah pendidikan kesetaraan dapat dilaksanakan untuk memberikan jaminan memperoleh pendidikan bagi warga Negara, khususnya siswa yang bermasalah. Siswa bermasalah di sini adalah :

a. Tidak mengikuti pendidikan formal karena; malas mengikuti pembelajaran. Nakal dan sering mengganggu lingkungan, anak jalanan, dan korban penyalah gunaan narkoba (sering terjadi di kota-kota)

b. Tidak mengikuti pendidikan formal karena; tidak punya waktu, alasan ekonomi, korban keluarga berantakan, dan korban bencana alam. (sering terjadi di kota-kota dan di desa)

c. Tidak mengikuti pendidikan formal karena; tidak ada sekolah formal di daerahnya, alasan geografis seperti di kepulauan dan pesisir, daerah terpencil, pegunungan, daerah terisolasi, dan alasan budaya. (sering terjadi di desa-desa)

Berdasarkan masalah yang dialami oleh warga belajar tersebut di atas, juga mencerminkan wilayah sasaran pendidikan kesetaraan yang dapat didata, dianalisis dan dikelompokkan untuk merencanakan penyelenggaraan pendidikan kesetaraan sesuai dengan kondisi

52

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 57: jurnal_Vol.1.No.1.2007

wilayah tempat tinggalnya masing-masing. Dengan demikian maka sasaran pendidikan kesetaraan menjadi jelas pengwilayahannya, yakni perkotaan, pedesaan, pesisir, kepulauan, daerah terpencil/terisolasi dan suku terasing.

Daerah perkotaan sebagai sasaran pendidikan kesetaraan juga memiliki karakter yang berbeda sesuai kondisi lokal sasaran, sehingga penyelenggaraan pendidikan kesetaraan mengikuti karakter sumberdaya lokal. Demikian pula daerah pedesaan dan daerah lain.

2. Analisis sumberdaya lokalSumberdaya lokal yang dimaksudkan di dalam tulisan ini adalah sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), dan sumberdaya ekonomi lokal yang dapat mendukung penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Oleh karena itu sumberdaya lokal pendidikan adalah segenap potensi atau kemampuan yang ada di suatu wilayah/lokasi, yang dapat dijadikan daya dukung dalam pelaksanaan program pendidikan kesetaraan (Ali Latif, 2007:1). Lebih lanjut dikatakan bahwa keberadaan sumberdaya pendidikan di suatu wilayah dapat dijadiikan indikator keberhasilan penyelenggaraan pendidikan kesetaraan.Menganalisis sumberdaya lokal pendidikan, merupakan bagian dari aktifitas mencari tahu dan menentukan seberapa banyak dan bervariasinya sumberdaya lokal pendidikan, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya non manusia sehingga menjadi dasar dukungan dalam pelaksanaan program pendidikan kesetaraan.

3.Kualifikasi/KompetensipenyelenggaraUntuk Pendidikan Nonformal yang dimaksud tenaga kependidikan adalah pengelola kelompok belajar, tenaga administrasi, dan tenaga perpustakaan (Pasal 35 ayat 1 bagian f). Akan tetapi dalam penyusunan karya tulis ini, yang dimaksud tenaga kependidikan adalah penyelenggara program pendidikan kesetaraan, yakni orang yang memgorganisir dan melaksanakan kegiatan pembelajaran.Penyelenggaraan pendidikan kesetaraan unggulan, khususnya Paket A, Paket B dan

Paket C, dibutuhkan sosok penyelenggara yang memiliki kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Undang-undang dan memahami hakekat penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan. Oleh karena itu penyelenggara program pendidikan kesetaraan diharapkan memiliki standar kompetensi minimal sebagai berikut: a. Kompetensi akademikKompetensi akademik yang dimaksudkan adalah pemahaman terhadap konsep pendidikan kesetaraan secara umum, sasaran pendidikan kesetaraan, dan program pendidikan kesetaraan.b. Kompetensi teknisPenguasaan terhadap teknis penyelenggaraan pendidikan kesetaraan, menyangkut teknik koordinasi, pelaksanaan, kemitraan, evaluasi dan pelaporan, serta tindak lanjut.c. Kompetensi kepribadian, adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berahlak mulia, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi komunitas pembelajar tenaga kependidikan, masyarakat dan peserta didik.d. Kompetensi sosial, adalah kemampuan penyelenggara untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, Tutor, orangtua peserta didik dan masyarakat, serta kemampuan untuk memahami perubahan sosial yang terjadi

4. Analisis kebutuhan warga belajarManusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak lahir selalu dihadapkan dengan kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhannya itu sangat bergantung pada lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, teman sepermainan, teman sekolah dan sebagainya. Dalam lingkungan itu manusia dihadapkan dengan benda-benda, anggapan-anggapan, dan nila-nilai. Kebutuhan manusia banyak sekali ragamnya, akan tetapi tidak semua kebutuhan itu dapat dikategorikan sebagai kebutuhan belajar (learning needs). Salah satu penyebab timbulnya kebutuhan belajar karena adanya perubahan dalam masyarakat sebagai konsekuensi akan adanya

53

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 58: jurnal_Vol.1.No.1.2007

perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi yang semakin pesat.Dalam diri individu, kelompok atau masyarakat sering suatu kebutuhan belajar perlu untuk disadari, tetapi karena mereka tidak memiliki kemampuan bagaimana menyadarinya sehingga kebutuhan itu tidak disadari. Sebaliknya ada kebutuhan yang dianggap kebutuhan belajar dan bisa disadari akan tetapi individu, keompok atau masyarakat itu sendiri belum merasakan bahwa itu adalah suatu kebutuhan belajar yang penting untuk disadari menjadi suatu kebutuhan belajar yang nyata (Syamsul Bahkri, 2007:1). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka analisis kebutuhan belajar pada suatu daerah sasaran penyelenggaraan dibutuhkan analisis kebutuhan belajar dan diawali dengan identifikasi. Untuk melakukan identifikasi kebutuhan belajar dapat digunakan berbagai instrumen, baik dalam bentuk format isian maupun dalam bentuk wawancara.Contoh.FormatIsianKebutuhanBelajar

a) Nama : b) Umur : c) Jenis Kelamin :d) Pendidikan/Kelas terakhir :e) Alamat :f) Keterampilan yang dimikili : 1)............................................................. 2)............................................................. 3).............................................................g) Keterampilan yang dibutuhkan : 1)............................................................. 2)............................................................. 3)............................................................. 4)............................................................. 5).............................................................h. Harapan/cita-cita setelah tamat:

Contoh 1: format Analisis Kebutuhan

No Jenis F Keterangan Kebutuhan

1 2 3 4

Dari ...................jenis kebutuhan belajar yang dinyatakan oleh calon peserta didik, ada.............atau.......% yang menyatakan butuh belajar keterampiln........................,...........atau ... . . . .% menyatakan butuh belajar ke te rampi l an . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . , . . . . . . . . . . .atau ... . . . .% menyatakan butuh belajar ke te rampi l an . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . , . . . . . . . . . . .atau ........% menyatakan butuh belajar ke te rampi l an . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . , . . . . . . . . . . .atau .........% menyatakan butuh belajar keterampilan.........................Dari hasil pengolahan data tersebut, nampak bahwa kebutuhan belajar keterampilan yang paling dibutuhkan oleh calon warga belajar adalah jenis kebutuhan belajar keterampilan............dan jenis kebutuhan Keterampilan...............Namun oleh karena di sekitar lokasi kelompok belajar tersebut tidak terdapat sumber belajar keterampilan (1)........................dan sulit untuk mengadakannya, maka keterampilan tersebut sulit dilaksanakan, sehingga yang dapat menjadi alternatif adalah jenis kebutuhan belajar keterampilan...............................

5. Kompetensi tutorTutor adalah merupakan ujung tombak kegiatan pembelajaran karena berhadapan langsung dengan warga belajar. Tutor hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan dan standar kompetensi minimal sebagai tenaga pendidik, yakni berkualifikasi minimal S1 atau D IV, mengacu pada PP No. 19 tahun 2005. Standar kompetensi minimal yang harus dimiliki bagi seorang Tutor adalah kompetensi kepribadian, pedagogik/andragogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Tutor yang professional adalah yang mampu mewujudkan keinginan warga belajar untuk senantiasa mau belajar dan mampu mewujudkan harapan-harapan orang tua, penyelenggara dan masyarakat pada umumnya di mana ia melaksanakan tugasnya.

6. MemilikitujuanpencapaianfilosofisyangjelasTujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi seluruh kegiatan program satuan pembelajaran. Tidak hanya itu visi dan misi dapat dicerna dan dilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen kelompok pembelajaran.

54

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 59: jurnal_Vol.1.No.1.2007

7.Lingkunganyangkondusif untuk pembelajaran

Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah sawah, di bawah pohon, di bawah kolom rumah atau di berbagai tempat yang dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kon-dusif. Yang jelas lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang dapat memberikan dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi warga belajar.

8. Jaringan organisasi yang baikOrganisasi yang baik dan solid akan menambah wawasan dan kemampuan anggotanya untuk belajar dan terus berkembang. Serta perlu pula dialog dan komunikasi antar organisasi tersebut. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah jaringan kemitraan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan kesetaraan unggulan; baik hubungan antar forum Tutor, PKBM, Instansi terkait maupun jaringannya dengan orang tua warga belajar dan masyarakat sekitarnya.

9. Kurikulum yang jelas Permasalahan yang umum ditemui adalah

kurikulum yang sentralistik, dimana Diknas membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional. Dengan memuat sedikit muatan lokal, sehingga potensi daerah dan kemampuan mengajar bagi Tutor dan potensi warga belajar terpasung. Sebaiknya kurikulum dirancang oleh setiap daerah dengan mengacu pada potensi unggulan daerah masing-masing, sehingga muncul program pendidikan kesetaraan unggulan dari masing-masing daerah yang memiliki keragaman dan corak masing-masing. Oleh karena itu, kurikulum yang dapat dipergunakan adalah mengacu pada kurikulum baru, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

10. Evaluasi Evaluasi belajar yang baik adalah berdasarkan acuan patokan atau acuan norma untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai. Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat terukur target pencapaian pembelajaran sehingga evaluasi belajar yang diadakan mampu mempetakan kemampuan warga belajar

11.Partisipasi orang tua dan masyarakat

Di sekolah formal terutama sekolah unggulan selalu melibatkan partisipasi orang tua dalam kegiatannya. Konstribusi minimal adalah memberikan pengawasan secara suka rela. Jika penyelenggaraan pendidikan kesetaraan juga dapat melibatkan orang tua warga belajar, otomatis memuluskan harapan untuk pencapaian target tujuan pembelajaran, terutama adanya sinkronisasi antara pola pembelajaran dengan kebutuhan hidup bagi keluarga warga belajar. Pada akhirnya Program Pendidikan Kesetaraan adalah merupakan program bersama dengan masyarakat.

12. Dukungan Pendanaan yang MemadaiKinerja pendidikan kesetaraan dapat pula ditingkatkan jika dukungan pendanaannya memadai dan konsisten sesuai bentuk dan jenis pendidikan yang didanai. Jika pendanaan pendidikan kesetaraan memadai, maka program penguatan dalam bidang pendidikan keterampilan bisa dioptimalkan. Hal ini seiring dengan apa yang diungkapkan oleh Ki Supriyono dalam Editorial Toni d, Widiastono (2004,434) “Komitmen untuk memajukan pendidikan melalui penerapan sistem pembiayaan pendidikan secara konsisten dan inovatif merupakan kunci kemajuan pendidikan pada khususnya dan kemajuan bangsa Indonesia umumnya.

C. Administrasi Pendidikan Kesetaraan

Sistem administrasi Pendidikan Kesetaraan adalah juga merupakan syarat mutlak. Untuk sosialisasi penyelenggaraan tentu dilihat dari sistem administrasi, terutama dalam hal penilaian penyelenggaraannya.

Administrasi yang dibutuhlan adalah:1. Papan nama lelompok belajar2. Papan struktur organisasi penyelenggara3. Kelengkapan administrasi penyelenggaraan

a. Buku Induk Warga Belajarb. Buku Induk Tenaga Pendidik (Tutor dan Nara sumber Teknis)c. Buku daftar hadir warga belajar d. Buku Keungan/Kas umum

55

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 60: jurnal_Vol.1.No.1.2007

e. Buku daftar inventarisf. Buku agenda pembelajarang. Buku agenda surat masuk dan keluarh.Buku laporan bulanan Tutor/Nara sumber teknisi. Buku daftar nilai warga belajarj. Buku tanda terima ijazah

4. Buku daftar tamu5. Buku daftar hadir pengelola6. Slogam visi dan misi penyelenggaraan dan

7. Atribut lainnya yang dapat menunjang program pembelajaran pendidikan

kesetaraan unggulan.

PENUTUPA. Kesimpulan

Pendidikan kesetaraan yang terdiri dari program Paket A, Paket B dan Paket C dapat dikatakan unggul jika outputnya dapat setara dengan pendidikan formal, ditinjau dari segi akademik dan kompetensi luarannya dapat langsung mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilannya dalam rangka mengelolah sumberdaya lokal untuk peningkatan mutu dan taraf hidupnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat kesimpulan

B. Saran-sarana. Penyelenggaraan program pendidikan

kesetaraan senantiasa disosialisasikan secara massal kepada masyarakat, baik pada tingkat bawah maupun pada tingkat penentu kebijakan agar kompetensi lulusan program pendidikan kesetaraan benar-benar setara dalam civil effect.

b. Perlunya ada jaminan hukum bagi Tutor pendidikan kesetaraan sehingga jelas keberadaannya.

c. Pendanaan pendidikan kesetaraan perlu ditinjau dalam rangka penyelenggaraan yang lebih efektif dan efesien.

berikut:1. Penyelenggaraan pendidikan kesetaraan

unggulan adalah merupakan paradigma baru pendidikan nonformal

2. Pendidikan kesetaraan unggulan dapat dikatakan unggul jika penyelenggaraannya terdiri dari akumulasi SDM pendidikan yang unggul disinkronkan dengan analisis kompetensi lokal sebagai kebutuhan belajar dan pendanaan yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. 2005. Format Baru Pengelolaan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Indonesia.Gaffar, Syamsul B. 2007. Analisis Sumber Belajar dan Kebutuhan Belajar. Disajikan pada Diklat

Penyelenggara Pendidikan Kesetaraan. Maros, 26 April Latif, M. Ali 2007. Analisis Sumber Daya Lokal Pendidikan. Disajikan pada Diklat Penyelenggara

Pendidikan Kesetaraan. Maros, 25 AprilDaud, Marwah. 2002. Mengelola Hidup Merencanakan Masa Depan, Sukses Bangsa Adalah Akumulasi

Sukses Individu. Jakarta; Simpul MadaniDitjen PLSP Diktentis, 2005. Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan. Jakarta: Depdiknas.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2004. Standar Kompetensi Lulusan pendidikan Luar Sekolah (SKL

PLS). Jakarta: Dedinas.Sihombing, Umberto. 1999. Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan Konsep, Kiat, dan Pelaksanaan.

Jakarta: PD MahkotaTonny D, Widiastono. 2004, Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta:Buku Kompas.Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Citra Umbara Yulaelawati, Ella. 2006, Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak Bangsa, Jakarta; Depdiknas———————————. 2006, Komunitas Sekolah Rumah Sebagai Satuan Pendidikan Kesetaraan,

Jakarta; Depdiknas

Penulis : Tenaga Fungsional pada Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal BP-PNFI Reg. V Makassar Kelompok Kerja Pendidikan Kesetaraan

56

Pendidikan Kesetaraan Unggulan ..

Andragogi Vol.1 No.1. 2007

Page 61: jurnal_Vol.1.No.1.2007