Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
REPRESENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA DALAM
PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA
(Studi Kualitatif Analisis Wacana tentang Representasi Nilai-Nilai
Demokrasi Pancasila dalam Pagelaran Wayang Kulit Purwa Lakon “Petruk
Dadi Ratu” versi Ki MPP Bayu Aji Pamungkas)
Oleh:
Muhammad Sinung Andan Jatmiko
D0215071
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
1
REPRESENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PANCASILA DALAM
PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA
(Studi Kualitatif Analisis Wacana tentang Representasi Nilai-Nilai
Demokrasi Pancasila dalam Pagelaran Wayang Kulit Purwa Lakon “Petruk
Dadi Ratu” versi Ki MPP Bayu Aji Pamungkas)
Muhammad Sinung Andan Jatmiko
Deniawan Tommy Chandra Wijaya
Program Studi Ilmu Komunikasi Falkutas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Lakon Petruk dadi Ratu is a carangan play in a wayang kulit (shadow
puppet) show which the content tells the story of Punakawan figure named
Petruk, who is a symbol of ordinary people who have reached the peak of
power. That's where a lot of social criticism made, especially regarding the
chaotic power and political intrigue that exists in government. This play was
originally made in the era of Sinuhun Paku Buwana X, King of the Surakarta
Hadiningrat Kingdom, at the end of the 19th century. In accordance with the
formulation of the problem in this study, the writer is interested in studying
what the critical discourse contained in the play "Petruk Dadi Ratu " Ki MPP
Bayu Aji Pamungkas version, especially from the perspective of the
implication of Pancasila democracy to criticize the ideal conditions of
government according to Pancasila. This study uses qualitative research
methods documen study with discourse analysis and whit data collection
techniques which are carried out by means of documentation. The purpose is
to explain how the discourse of critical representation of the values of
Pancasila democracy in the shadow puppet show in the play "Petruk Dadi
Ratu" in the version of Ki MPP Bayu Aji Pamungkas. The result of this study
is that in the play of "Petruk dadi Ratu", there is a global discourse that is a
good and ideal government in accordance with the Pancasila democracy. It is
shown in the play of "Petruk dadi Ratu" that the government is willing to
listen to the aspirations of the people, respect the opinions, be able to provide
guarantee of social justice for all people. If there is abuse and injury to the
principle of social justice, there is an imbalance between rights and
obligations, there will be chaos, because decisions are only made unilaterally
and it can threaten national unity and a sense of kinship.
Keywords: Pancasila Democracy, Wayang Kulit (shadow puppet),
Government Power, The play of.
2
Pendahuluan
Wayang dipandang sebagai suatu bahasa simbol dari hidup dan kehidupan
yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah. Orang melihat wayang seperti
halnya melihat kaca rias. Jika orang melihat pergelaran wayang, yang dilihat
bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat di dalam lakon wayang itu.
Seperti halnya kalau kita melihat ke kaca rias, kita bukan melihat tebal dan jenis
kaca rias itu, melainkan melihat apa yang tersirat di dalam kaca tersebut. Kita
melihat bayangan di dalam kaca rias itu, oleh karenanya kalau kita melihat
wayang dikatakan bahwa kita bukan melihat wayangnya, melainkan melihat
bayangan (lakon) diri kita sendiri (Sri Mulyono, 1983:18).
Pakeliran wayang kulit purwa sebagai sebuah seni pertunjukan yang masih
terus hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sejak kemunculan hingga
sekarang memiliki fungsi yang fleksibel untuk mewadahi berbagai kepentingan,
dari kepentingan estetik murni, maupun ekonomi. Sebagai sebuah seni yang
bersumber dari dalam lingkungan keraton sebagai pusat pemerintahan tidak
dipungkiri bahwa pakeliran wayang kulit purwa sangatlah dekat dengan dunia
politik dan kekuasaan.Tidak hanya sebagai alat politisi yang digunakan sebagai
alat berkampanye bagi elit politisi namun sebaliknya juga sebagai media kritik
sosial politik baik kepada masyarakat dan pelaku politisi. Kritik merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial politik suatu sistem
politik, masyarakat dan negara. Lakon Petruk Dadi Ratu yang pada dasarnya
lakon yang memiliki satu pesan yang sangat menarik dalam kaitannya kritik sosial
politik dan bagaimana dalang dalam menyampaikan pesan-pesan moralnya
melalui pagelaran wayang kulit.
Lakon Petruk dadi Ratu merupakan lakon carangan dalam sebuah
pagelaran wayang kulit yang isi ceritanya membahas mengenai bagaimana kisah
tokoh Punakawan bernama Petruk, yang merupakan simbolisasi rakyat jelata yang
berhasil mencapai puncak kekuasaan. Disitulah banyak kritik sosial dilontarkan,
terutama mengenai carut marut kekuasaan dan intrik politik yang ada dalam
pemerintahan. Lakon ini awalnya dibuat pada era Sinuhun Paku Buwana X, Raja
3
dari Kerajaan Surakarta Hadiningrat, pada akhir abad 19 M. Lakon ini dibuat
sebagai bentuk auto kritik terhadap sistem pemerintahan pada saat jaman tersebut
yang menurut penulis masih relevan untuk diterapkan di era sekarang. Di Era
Kerajaan, Raja yang dikenal absolut kekuasannya saja sudah mempunyai
paradigma yang berbeda dengan beliau membuat Lakon Petruk Dadi Ratu. Lakon
yang berbentuk kritik memang begitu banyak, namun yang berhubungan dengan
auto kritik pemerintahan khsusnya demokratisasi hanya terdapat dalam lakon
Petruk Dadi Ratu Dan dari sinilah maka penulis tertarik untuk mengkaji apa saja
wacana yang terkandung dalam lakon “Petruk Dadi Ratu” versi Ki MPP Bayu Aji
Pamungkas, terutama dari sisi perspektif penerapan demokrasi Pancasila untuk
mengkritisi kondisi pemerintahan yang ideal menurut Pancasila. Ki MPP Bayu
Aji Pamungkas merupakan salah satu dalang millenial, dia kelahiran dekade 80-an
dia termasuk generasi millenial.
Rumusan Masalah
Bagaimana wacana nilai-nilai Demokrasi Pancasila disampaikan Ki MPP
Bayu Aji Pamungkas dalam pagelaran wayang kulit pada lakon "Petruk Dadi
Ratu"?
Landasan Teori
1. Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media
massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas,
siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop (Effendy, 2007: 79). Menurut (Berger,
1995: 12) dalam buku komunikasi massa mendefiniskan secara tegas bahwa:
Mass communication involves the use of print or electronic
media, such as newspapers, magazines, film, radio, or
television, to communicate to large numbers of people who
are located in various places -- often scattered all over the
country or world. The people reached may be in groups of varying
sizes or may be lone individuals. A number of different elements
4
make up mass communication media; images, spoken
language, printed language, sound effect, music, color,
lighting and a variety of other techniques are used to
communicate messages and obtain particular effects.
Although i have separated mass media from the process of
mass communication in the discussion above, some people tie
them together and talk about "mass media of
communication". The two are closely linked, though i will continue to
separate them, reserving the term mass media for the instruments by
which mass communication is achieved.
Secara garis besar pemahaman konsep tentang Berger yaitu bahwa
komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan dengan
menggunakan media massa seperti televisi dan radio yang ditujukan kepada
khalayak yang luas, heterogen dan anonim. Ilmu komunikasi massa yaitu
merupakan kajian yang berusaha untuk memahami simbol-simbol yang dibuat,
diproses dalam sebuah sistem yaitu dengan media sehingga menimbuklkan
efek dan diuji dalam sebuah teori yang digeneralisasikan yang menjadi
fenomena terkait dengan proses komunikasi secara luas. Artinya komunikator
dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud
mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau
mengetahui satu sama lain.
Sifat heterogen dalam komunikasi massa yaitu bahwa khalayak adalah
terdiri dari orang-orang yang berasal dari jenis pekerjaan yang berbeda satu
dengan lainnya, usia adat, kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda satu dengan
lainnya. Sedangkan anonim adalah bahwa khalayak yang ada terdiri dari orang-
orang yang masing-masing tidak saling mengenal dengan yang lainnya.
2. Wayang
Asal asul wayang dikatakan bahwa wayang adalah kreasi orang Jawa
atau pengaruh kebudayaan Hindu, sehingga timbul istilah asing. Setelah
5
diadakan penelitian ternyata wayang merupakan hasil kreasi kebudayaan asli
orang Jawa (bangsa Indonesia). Menurut pendapat Dr Hazeu dalam
Mertosedono (1994: 6) menjelaskan bahwa pada zaman Raja Erlangga pada
abad ke sebelas, wayang telah dipertunjukkan dikerajaan Kahuripan yang saat
itu mengalami kejayaan. Wayang tersebut dibuat dari kulit yang diukir
(walulung inukir), serta menimbulkan bayangan pada kelir.
Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wayang adalah
pertunjukan boneka bayangan yang bergerak. Boneka bayangan ini sudah lama
ada sejak nenek moyang kerajaan Majapahit yang terbuat dari pahatan kulit
atau kayu. Selain itu boneka bayangan ini dimanfaatkan untuk memperkuat
adegan yang ada dalam pertunjukan dan biasanya boneka wayang dimainkan
oleh seorang dalang.
3. Demokrasi Pancasila
Demokrasi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani “demos” yang
berarti rakyat dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Khususnya di
Athena, kata “demos” biasanya merujuk pada seluruh rakyat tetapi kadangkala
juga berarti orang-orang pada umumnya atau hanya rakyat miskin, kata
demokrasi pada mulanya kadangkala digunakan oleh kalangan aristokrat
sebagai sindiran untuk merendahkan orang-orang kebanyakan (Yudi
Latif,2011:395).
Dari pengertian mengenai demokrasi tersebut dapat ditarik bahwa
substansi demokrasi itu sendiri merupakan kekuasaan Yudikatif, Eksekutif, dan
Legislatif berasal dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan. Substansi tersebut membentuk struktur dalam demokrasi, yakni
adanya infrastruktur dan suprastruktur yang menhghasilkan keputusan dan
kapabilitas.
Demokrasi merupakan pemusatan kekuasaan ditangan rakyat. Menurut
Cholisin demokrasi di Indonesia memegang prinsip Teo-Demokratis dimana
segala keputusan dan kebijakkan diatur sepenuhnya untuk kepentingan rakyat
6
namun tidak melanggar peraturan Tuhan. Inilah perbedaan mendasar dari
demokrasi yang khas di Indonesia dibandingkan dengan demokrasi di negara
lainnya. Prinsip Teo-demokratis merupakan hasil demokrasi yang mendasarkan
Pancasila terutama sila pertama yakni Ketuhanan yang maha Esa.
Demokrasi bukan hanya suatu sistem yang ada dalam suatu
pemerintahan, namun juga suatu proses yang dilakukan untuk menuju kepada
kesejahteraan rakyat dalam negara tersebut. Demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi yang khas dari bangsa Indonesia sendiri merupakan
hasil dari pendiri negara ini yang memiliki keinginan mulia untuk melepaskan
segala kesulitan masyarakat Indonesia. Proses menuju kesejahteraan
tersebutlah yang kadang dalam perjalanannya ada beberapa negara yang
mampu melaksanakannya dengan baik namun tidak jarang juga banyak negara
yang tidak mampu untuk melakukannya.
4. Analisis Wacana Model A. Van Dijk
Dari beberapa model analisis wacana yang berkembang, model analisis
wacana Teun A. van Dijk merupakan model yang paling banyak dijadikan
kajian. Model analisis wacana van Dijk juga dikembangkan oleh para ahli.
Menurut Eriyanto, hal ini kemungkinan karena van Dijk mengelaborasi
elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara
praktis (Eriyanto, 2012:221).
Penelitian suatu wacana, lanjut van Dijk, tidak cukup bila hanya
didasarkan pada teks semata karena pada kenyataannya teks hanyalah hasil dari
suatu praktik produksi yang juga harus diamati. Jadi, harus dilihat pula
bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses
yang disebut sebagai kognisi sosial. Atas dasar inilah model analisis wacana
yang dipakai van Dijk sering disebut dengan “kognisi sosial” (Eriyanto,
2012:221). Istilah tersebut diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial
yang menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks.
5. Kebudayaan Jawa
7
Berbicara masalah kebudayaan Jawa, seperti diketahui, bahwa
kebudayaan Jawa telah tua umurnya sepanjang orang Jawa ada sejak itu pula
orang Jawa memiliki citra progresif dengan mengekspresikan karyanya lewat
budaya. Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia
Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide dan semangat dalam mencapai
kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin (Endraswara,
2005: 1).
Budaya Jawa lahir dan berkembang, pada awalnya, di pulau Jawa yaitu
suatu pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km dan lebarnya 500 km bila
diukur dari ujung-ujungnya yang terjauh. Letaknya di tepi sebelah selatan
kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat di sebelah selatan garis
khatulistiwa (Endraswara, 2005: 6).
6. Tingkat Tutur Jawa
Tingkat tutur atau ungah-ungguh menurut Harimurti Kridalaksana
adalah sistem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara; secara kasar
terjadi dari ngoko, krama dan madya (1993 : 223). Sistem ragam bahasa itu
merupakan bentuk–bentuk yang diungkapkan dalam situasi formal maupun non
formal. Tingkat tutur yang diungkapkan dalam situasi formal adalah krama,
sedangkan dalam situasi nonformal digunakan bentuk ngoko.
7. Konsep Manusia Power menurut Nietszche
Bagi Nietzsche, menilai manusia berkehendak (kebebasan manusia)
tanpa ada unsur keterkaitan dengan Tuhan, sebab bagi Nietzsche ”Tuhan sudah
mati”. Tuhan menurut Nietzsche itu tidak sama seperti yang ada dalam
pandangan Agama. Dalam agama yang monoteistis, seperti agama Yahudi,
Kristen dan Islam, Tuhan dimengerti sebagai Pribadi yang transenden terhadap
semesta alam. Oleh karena itu orang disebut ateis, jika mereka itu tidak
mengakui adanya Pribadi yang transenden itu. Seandainya suatu agama
bercorak panteisme atau monisme, seseorang disebut ateis, yang mengambil
sikap profan terhadap semesta alam.(Nietzsche, 1986:60). Tetapi Tuhan yang
8
di maksud Nietzsche adalah kebenaran-kebenaran yang diciptakan, seperti
rasio, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu Tuhan harus dimatikan
supaya tidak menghambat potensi manusia dalam kehendak berkreasi.
8. Stratifikasi Sosial
Menurut J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto cara yang paling mudah
untuk memahami pengertian konsep stratifikasi sosial adalah dengan berpikir
membanding-bandingkan kemampuan dan apa yang dimiliki anggota
masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya, sadar atau
tidak pada saat kita mulai membedakan kemampuan antara anggota masyarakat
yang satu dengan yang lainnyannya kedalam suatu golongan tertentu pada saat
itu pula kita sudah dapat membagi masyarakat ke dalam golongan lapisan-
lapisan sosial tertentu. (Dwinarwoko, 2010:35).
Metodologi
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk
mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, persepsi dan orang secara individual maupun kelompok (Nana
Syaodih, Sukmadinata, 2009: 53-60). Dalam penelitian ini teknik sampling
yang digunakan yaitu nonprobability sampling dengan teknik purposive
sampling. Menurut Sugiyono (2016:85) bahwa “purposive sampling adalah
teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.”
Populasi dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 70 adegan. Dari
total jumlah populasi 70 adegan, peneliti menemukan 23 adegan yang
selanjutnya dijadikan sampel dengan sebagai indikator yaitu prinsip-prinsip
demokrasi pancasila. 23 adegan tersebut adalah sebagai berikut:
Adegan Penindasan rakyat Nuswarukmi; Adegan Petruk melihat dan
mendengarkan keluh kesah rakyat; Adegan Monolog Petruk; Adegan
bertemunya Petruk dengan Prabu Jaya Sentika; Adegan adu mulut antara
Petruk dengan Prabu Jaya Sentika; Adegan Petruk berhasil mengalahkan Prabu
9
Jaya Sentika; Adegan Petruk menasihati Prabu Jaya Sentika; Adegan Petruk
menasihati Prabu Jaya Sentika untuk yang ke-2 kali; Adegan Petruk menjadi
Raja; Adegan Petruk menasihati Prabu Jaya Sentika; Adegan Petruk bertemu
dengan Prabu Basukarna; Adegan Petruk bertemu dengan Prabu Baladewa;
Adegan kemarahan Petruk terhadap Prabu Duryudana; Adegan Petruk bertemu
dengan Patih Sengkuni; Adegan Gareng berbincang dengan Bagong; Adegan
Perbincangan mengenai hilangnya Jimat Jamus Kalimasada; Adegan
Bertemunya Prabu Kresna dengan Prabu Puntadewa; Adegan Perbincangan
tentang kembalinya Jimat Jamus Kalimasada; Adegan bertemunya Petruk
dengan Raden Werkudara; Adegan bertemunya Petruk dengan Semar; Adegan
penjelasan Petruk kepada Semar; Adegan Semar mengingatkan Prabu
Duryudana dan Patih Sengkuni; Adegan bertemunya Semar dengan Prabu
Puntadewa.
Sajian dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk.
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang
masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga
tingkatan. Pertama, struktur makro. Struktur makro ini merupakan makna
global atau makna umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat
topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur.
Superstruktur yang dimaksud adalah struktur wacana yang berhubungan
dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian kecil dari suatu teks
tersusun ke dalam berita secara utuh. Dan yang ketiga adalah struktur mikro,
yakni makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni
kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar (Eriyanto,
2012:226).
1. Adegan 1 (Adegan di salah satu desa di Kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Kesewenang-wenangan seorang Raja.
- Makro Struktur: Patih Kerajaan menagih apa yang menjadi kewajiban
rakyat.
10
- Mikro Struktur: Rakyat diharuskan memberikan upeti atau hasil tanah
kepada raja, apabila tidak bisa anaknya diculik dan akan dibunuh sebagai
penebus tidak dapat memberikan upeti kepada sang raja.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Patih kerajaan Nuswarukmi
- Komunikan : Rakyat, dalam hal ini Ki Naya
- Wacana yang muncul: Kesewenang-wenangan seorang Raja.
2. Adegan 2 (Adegan di salah satu desa di Negara Nuswarukmi)
- Super Struktur: Kesewenang-wenangan seorang Raja.
- Makro Struktur: Seorang pendatang bertanya kepada penduduk sekitar
tentang perkara yang terjadi.
- Mikro Struktur: Seorang anak putri dari warga diculik prajurit kerajaan,
karena tidak bisa memberikan upeti kepada sang raja
- Suasana: Menegangkan.
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Ki Naya
- Wacana yang muncul: Penyalahgunaan Kekuasaan.
3. Adegan 3 (Adegan di salah satu desa Kerajaan Nuswarukmi, Monolog
Petruk)
- Super Struktur: Ungkapan Hati.
- Makro Struktur: Keresahan Petruk terhadap sikap/tingkah laku raja
Nuswarukmi, Prabu Jaya Sentika
- Mikro Struktur: Keinginan untuk mengingatkan raja agar tidak semena-
mena atau menindas terhadap rakyatnya.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Wacana yang muncul: Kesewenang-wenangan seorang Raja.
4. Adegan 4 (Adegan di pendapa Kerajaan Nuswarukmi)
- Makro Struktur: Seorang Raja memberikan perintah kepada patihnya.
11
- Mikro Struktur: Menanyakan tentang ada kericuhan apa. Mengapa orang
asing bisa masuk begitu saja.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Patih kerajaan Nuswarukmi
- Komunikan : Rakyat, dalam hal ini Ki Naya
- Wacana yang muncul: Keangkuhan.
5. Adegan 5 (Adegan di pendapa Kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Wejangan/Nasihat mengenai kehidupan.
- Makro Struktur: Wejangan yang berisi tentang hal kemanusiaan dan
ketuhanan.
- Mikro Struktur: Wejangan yang berisi tentang bagaimana manusia bisa
saling menghormati dan tidak membeda-bedakan, karena di hadapan
Tuhan semua sama.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Patih kerajaan Nuswarukmi
- Wacana yang muncul: Kesewenang-wenangan seorang Raja.
6. Adegan 6 (Adegan di pendapa Kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Wejangan/Nasihat mengenai bagaimana negara bisa
berdiri secara kuat.
- Makro Struktur: Wejangan yang berisi tentang ajaran-ajaran yang sesuai
dengan moralitas dan agama.
- Mikro Struktur: Berbicara tentang prinsip demokrasi.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Jaya Sentika
- Wacana yang muncul: Sindiran pemerintahan yang ideal.
7. Adegan 7 (Adegan di pendapa kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Ketuhanan.
12
- Makro Struktur: Orang asing dari luar kerajaan dalam hal ini Petruk
mengingatkan bahwasannya tiada daya dan kekuatan melainkan dari
Tuhan.
- Mikro Struktur: Wejangan untuk percaya kepada Tuhan.
- Suasana: Damai.
- Komunikator: Petruk.
- Komunikan : Prabu Jaya Sentika.
- Wacana yang muncul: Sindiran untuk ingat kepada Sang Pencipta.
8. Adegan 8 (Adegan di pendapa kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Wejangan/Nasihat mengenai bagaimana menjadi raja atau
pemimpin yang baik.
- Makro Struktur: Wejangan berisi tentang hal-hal yang harus dilakukan
untuk menjadi pemimpin yang baik.
- Mikro Struktur: Berbicara mengenai pakem atau dasar menjadi seorang
pemimpin.
- Suasana: Damai.
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Jaya Sentika
- Wacana yang muncul: Sindiran tentang kepemimpinan.
9. Adegan 10 (Adegan di Pendapa Kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Memberi pengertian mengenai nama kerajaan.
- Makro Struktur: Menjelaskan mengenai arti nama dari kerajaan yang baru.
- Mikro Struktur Berbicara tentang arti nama sebuah kerajaan/negara dan
niat baik yang akan dilakukan.
- Suasana: Damai.
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Jaya Sentika
- Wacana yang muncul: Sindiran tentang adil terhadap sesama.
10. Adegan 11 (Adegan di Pendapa Nuswarukmi)
- Super Struktur: Wejangan/Nasihat untuk beribadah.
13
- Makro Struktur: Mengingatkan untuk merubah perilaku dengan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan, sesuai dengan ajaran agama.
- Mikro Struktur: Berbicara tentang Ketuhanan.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Jaya Sentika
- Wacana yang muncul: Sindiran untuk beribadah.
11. Adegan 14 (Adegan di Kerajaan Ngastina)
- Super Struktur:Nasihat untuk mengingatkan.
- Makro Struktur: Perdebatan/ adu mulut orang asing yang masuk ke sebuah
kerajaan.
- Mikro Struktur: Niat baik belum tentu diterima baik pula.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Basukarna
- Wacana yang muncul: Sindiran untuk bersikap adil dan tidak membeda-
bedakan.
12. Adegan 15 (Adegan di Kerajaan Ngastina)
- Super Struktur: Sebuah keprihatinan.
- Makro Struktur: Keprihatinan seseorang terhadap keadaan di sebuah
Kerajaan/Negara.
- Mikro Struktur: Keprihatinan terhadap Kerajaan yang mengalami
kemunduran.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Baladewa
- Wacana yang muncul: Sindiran untuk bersikap adil dan tidak membeda-
bedakan.
13. Adegan 16 (Adegan di Kerajaan Nuswarukmi)
14
- Super Struktur: Nasihat untuk mengingatkan suatu hal.
- Makro Struktur: Mengingatkan seorang Raja yang tindakannya salah atau
keliru.
- Mikro Struktur: Mengingatkan untuk kebaikan, tidak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya sendiri.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Duryudana
- Wacana yang muncul: Penyalahgunaan kekuasaan.
14. Adegan 18 (Adegan di Kerajaan Nuswarukmi)
- Super Struktur: Nasihat untuk mengingatkan suatu hal.
- Makro Struktur: Mengingatkan seorang Raja yang tindakannya salah atau
keliru.
- Mikro Struktur: Mengingatkan untuk kebaikan.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Prabu Jaya Sentika
- Wacana yang muncul: Perilaku manusia seperti hewan.
15. Adegan 22 (Adegan di Karang Kadempel)
- Super Struktur: Curahan hati/ Uneg-uneg.
- Makro Struktur: Kegelisahan atau kekhawatiran seorang adik kepada
kakaknya.
- Mikro Struktur: Curahan hati seorang adik terhadap kakaknya yang tak
kunjung pulang, apalagi membawa barang yang amat berharga.
- Suasana: Gelisah/Gundah Gulana.
- Komunikator: Gareng
- Komunikan : Bagong
- Wacana yang muncul: Berserah kepada Sang Pencipta.
16. Adegan 23 (Adegan di Kerajaan Ngamarta)
- Super Struktur: Kehilangan barang yang amat sangat berharga.
15
- Makro Struktur: Misteri hilangnya sebuah barang berharga di sebuah
Kerajaan yang tak kunjung ditemukan.
- Mikro Struktur: Memecahkan permasalahan bersama.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Janaka
- Komunikan : Semar, Gareng, dan Bagong.
- Wacana yang muncul: Musyawarah untuk mufakat.
17. Adegan 24 (Adegan di Kerajaan Ngamarta)
- Super Struktur: Sebuah cobaan dari Tuhan.
- Makro Struktur: Hilangnya sesuatu barang/hal yang berharga dianggap
sebagai cobaan dari Tuhan.
- Mikro Struktur: Cobaan atau ujian sebagai pengingat.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Prabu Kresna.
- Komunikan : Puntadewa dan Werkudara.
- Wacana yang muncul: Cobaan sebagai pengingat kepada Tuhan.
18. Adegan 25 (Adegan di kerajaan Ngamarta)
- Super Struktur: Berdiskusi tentang suatu hal genting.
- Makro Struktur: Membicarakan tentang keadaan sebuah kerajaan yang
kehilangan pusaka/barang berharga dan belum kembali.
- Mikro Struktur: Mulai meninggalkan sebuah ajaran luhur.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Janaka.
- Komunikan : Puntadewa dan Werkudara.
- Wacana yang muncul: Sindiran tentang nilai dan norma yang ada mulai
luntur.
19. Adegan 28 (Adegan di Kerajaan Ngastina)
- Super Struktur: Perdebatan tentang membedah/menjajah kerajaan.
16
- Makro Struktur: Kesalahpahaman mengenai niatan seseorang yang belum
tau kebenarannya.
- Mikro Struktur: Menjelaskan apa niatan seseorang datang ke sebuah
kerajaan, niatan baik untuk mengingatkan tidak menjajah.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Petruk
- Komunikan : Werkudara.
- Wacana yang muncul: Mengingatkan kebaikan, hal ini yang dimaksud
mengingatkan raja untuk tidak sewenang-wenang kepada rakyat.
20. Adegan 30 (Adegan di kerajaan Ngastina)
- Super Struktur:Nasihat/Wejangan mengenai bagaimana proses menjadi
raja/pemimpin.
- Makro Struktur: Nasihat yang berisi tentang cara seseorang untuk bisa
menjadi pemimpin harus dari nol atau bawah dulu. Tidak tiba-tiba menjadi
raja/pemimpin.
- Mikro Struktur: Berbicara mengenai proses menjadi seorang pemimpin.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Semar.
- Komunikan : Petruk.
- Wacana yang muncul: Sindiran jangan menjadi pemimpin instan, semua
perlu proses.
21. Adegan 31 (Adegan di Kerajaan Ngastina)
- Super Struktur: Penjelasan mengenai niatan yang baik.
- Makro Struktur:Menjelaskan bahwa niat yang baik harus dengan cara yang
baik juga.
- Mikro Struktur: Berisi tentang nasihat untuk menggunakan cara yang baik,
walaupun memang niatnya sudah baik.
- Suasana: Menegangkan
- Komunikator: Semar.
- Komunikan : Petruk.
17
- Wacana yang muncul: Menegakkan keadilan sosial.
22. Adegan 34 (Adegan di Kerajaan Ngastina)
- Super Struktur: Nasihat mengenai ingat kepada Tuhan.
- Makro Struktur: Nasihat yang berisi perintah untuk bertindak adil dan
ingat kepada Tuhan.
- Mikro Struktur: Semar memanusiakan kembali Prabu Duryudana dan Patih
Sengkuni dan mengingatkan untuk tidak berbuat semena-mena terhadap
sesama ciptaan Tuhan.
- Suasana: Damai.
- Komunikator: Semar.
- Komunikan : Prabu Duryudana dan Patih Sengkuni
- Wacana yang muncul: Bertindak adil.
23. Adegan 35 (Adegan di Kerajaan Ngamarta)
- Super Struktur: Permohonan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan.
- Makro Struktur: Permohonan maaf atas kesalahan anaknya yang
membawa barang berharga kerajaan.
- Mikro Struktur: Permohonan maaf dan mengembalikan barang yang bukan
haknya.
- Suasana: Damai.
- Komunikator: Semar.
- Komunikan : Prabu Puntadewa.
- Wacana yang muncul: Maaf sebagai wujud manusia yang adil dan
beradab.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Lakon Petruk dadi Ratu versi Ki MPP Bayu Aji Pamungkas cukup
merepresentasikan wacana nilai-nilai demokrasi pancasila. Wacana global
dalam lakon tersebut adalah bahwa sebuah pemerintahan yang bagus dan
ideal sesuai dengan demokrasi pancasila yang diwacanakan dalam lakon
“Petruk dadi Ratu” adalah Pemerintahan yang mau mendengarkan aspirasi
18
rakyat, menghargai yang namanya pendapat, mampu memberikan jaminan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jika terjadi kesewenang-wenangan dan
pencideraan terhadap prinsip keadilan sosial, tidak seimbang antara hak
dan kewajiban maka akan terjadi kericuhan, karena keputusan hanya
dilakukan secara sepihak dan itu dapat mengancam persatuan nasional dan
rasa kekeluargaan.
2. Wacana-wacana yang disampaikan adalah:
a. Lakon ini menyuarakan tentang penegakkan keadilan seorang rakyat
kecil yang dia ingin mendapatkan keadilan dari pemimpinnya. Hal ini
ditunjukkan dalam adegan 1,2, 3, 4, 15, 16, 18, 28, 31 dan 34.
b. Lakon ini menyuarakan tentang kemanusiaan. Hal ini ditunjukkan
dalam adegan 5, 10, 14, 25, 30, 35.
c. Lakon ini menyuarakan tentang ketuhanan. Hal ini ditunjukkan dalam
adegan 7, 11, 22, 24, dan 34.
d. Lakon ini tidak begitu banyak menyuarakan tentang musyawarah
mufakat. Hal ini ditunjukkan dalam adegan 23.
e. Lakon ini sedikit menyinggung tentang persatuan. Hal ini ditunjukkan
dalam adegan 6 dan 8.
19
Daftar Pustaka:
Berger, A. A. (1995). Essentials of Mass Communication Theory. London: SAGE
Publications.
Endraswara, Suwardi. (2005). Tradisi Lisan Jawa : Warisan Abadi Budaya
Leluhur. Yogyakarta : Narasi. Kasemin, Kasiyanto.
Eriyanto. (2012). Analisis Framing: Konstruksi Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: Lkis.
Kridalaksana, Harimurti. (1993). Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta:
Gramedia.
Mertosedono, Amir. (1994). Sejarah Wayang Asal Usul Jenis dan Cirinya.
Semarang: Dahara Prize.
Mulyono, Sri. (1983). Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung.
Nana Syaodih, Sukmadinata. (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Nietzshe, Friedrich. (1986). Nietzshe. Yogykarta: LkiS Yogyakarta.
Yudi Latif. (2011).“Negara Paripurna (historisitas, rasionalitas, dan aktualitas”).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.