81
57-64 65-72 73-79 80-86 87-94 95-102 103-109 110-119 120-126 127-134 Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artifcial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya Muhammad Nizar Habibi, Mas Sulung Wisnu Jati, Novie Ayub Windarko, dan Anang Tjahjono Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar Adrianti, Muhammad Nasir, dan Muhammad Rivaldi Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID Adhi Kusmantoro dan Margono Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya Wahmisari Priharti, Sony Sumaryo, Desri Kristina Silalahi, dan Yendi Surya Agung Desain dan Implementasi Antena Quadriflar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF Heru Wijanarko, M. Hanif, Siti Aisyah, dan Kamarudin Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot Aulia Rahman, Mohd. Syaryadhi, dan Hubbul Walidainy Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier Ihwan Dwi Wicaksono, Agus Indra Gunawan, dan Bima Sena Bayu Dewantara Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi Helmy Fitriawan, Roviq Cholifatul Rohman, Herlinawati, dan Sri Purwiyanti Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Nazli Ismail, Nela Wirja, Deviyani R. Putri, Muhammad Nanda, dan Faisal VOLUME 16 NOMOR 2 Jurnal Re k ayasa Elektrika Agustus 2020 JRE Vol. 16 No. 2 Hal 57-134 Banda Aceh, Agustus 2020 ISSN. 1412-4785 e-ISSN. 2252-620X TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016

Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

57-64

65-72

73-79

80-86

87-94

95-102

103-109

110-119

120-126

127-134

Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya Muhammad Nizar Habibi, Mas Sulung Wisnu Jati, Novie Ayub Windarko, dan Anang Tjahjono

Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim

Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit TersebarAdrianti, Muhammad Nasir, dan Muhammad Rivaldi

Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID Adhi Kusmantoro dan Margono

Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel SuryaWahmisari Priharti, Sony Sumaryo, Desri Kristina Silalahi, dan Yendi Surya Agung

Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHFHeru Wijanarko, M. Hanif, Siti Aisyah, dan Kamarudin

Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada TurtlebotAulia Rahman, Mohd. Syaryadhi, dan Hubbul Walidainy

Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi FourierIhwan Dwi Wicaksono, Agus Indra Gunawan, dan Bima Sena Bayu Dewantara

Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi Helmy Fitriawan, Roviq Cholifatul Rohman, Herlinawati, dan Sri Purwiyanti

Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, AcehNazli Ismail, Nela Wirja, Deviyani R. Putri, Muhammad Nanda, dan Faisal

VOLUME 16 NOMOR 2

Jurnal Rekayasa Elektrika

Agustus 2020

JRE Vol. 16 No. 2 Hal 57-134Banda Aceh,

Agustus 2020

ISSN. 1412-4785

e-ISSN. 2252-620X

TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016

Page 2: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

JURNAL

REKAYASA ELEKTRIKA

Penerbit

Jurusan Teknik Elektro dan Komputer

Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

Penasehat

Ketua LPPM Universitas Syiah Kuala

Penanggung Jawab

Ketua Jurusan Teknik Elektro dan Komputer

Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

Ketua Editor

Fitri Arnia

Editor Ahli

Dadang Gunawan (Universitas Indonesia)

Fitri Yuli Zulkifli (Universitas Indonesia)Yuwaldi Away (Universitas Syiah Kuala)

Khairul Munadi (Universitas Syiah Kuala)

Syafii (Universitas Andalas)Ardian Ulvan (Universitas Lampung)

Rusdha Muharar (Universitas Syiah Kuala)

Redaksi Pelaksana

Elizar

Editor Tata Letak

Zulhelmi

Mohd. Syaryadhi

Editor Publikasi

Roslidar

Muhammad Irhamsyah

Alamat Redaksi

Jurusan Teknik Elektro dan Komputer

Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Banda Aceh 23111

Telp/Fax: 0651-7554336

e-mail: [email protected]

Website: http://jurnal.unsyiah.ac.id/JRE

Jurusan Teknik Elektro dan Komputer

Page 3: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Energi terbarukan merupakan sektor terbaik untuk

bisa memenuhi permintaan kebutuhan energi dengan

keunggulan dalam segi ramah lingkungan dan bebas

polusi. Energi surya, angin, air adalah beberapa contoh

energi terbarukan yang tersedia di Indonesia. Pemanfaatan

energi surya memiliki keunggulan dalam hal ketersediaan,

kapasitas yang melimpah, aksesibilitas yang mudah,

efisiensi dan efektivitas biaya dalam segi perakitan sistem, pengoperasian, dan pemeliharaan jika dibandingkan

dengan pemanfaatan energi angin dan air [1].

Akan tetapi, panel surya juga memiliki kelemahan yaitu

efisiensi rasio konversi energi yang masih rendah [2], [3], sehingga sering kali panel surya tidak selalu mengeluarkan

daya yang maksimal ketika terjadi perubahan radiasi

matahari. Ada banyak inovasi dan metode yang sudah diteliti dan diterapkan agar panel surya selalu mengeluarkan

daya yang maksimal pada setiap terjadi perubahan radiasi

matahari seperti Solar Tracker [4], Maximum Power Point

Tracking (MPPT) [5], pemberian sistem pendinginan untuk

panel surya [6], dan pemberian kaca pada panel surya [7].

Hal tersebut dilakukan supaya panel surya yang digunakan

selalu mengeluarkan daya maksimal dan efisiensi konversi energi menjadi naik. Metode MPPT adalah metode yang

paling unggul di antara metode-metode yang lain, karena

Maximum Power Point Tracking Menggunakan

Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya

Muhammad Nizar Habibi, Mas Sulung Wisnu Jati, Novie Ayub Windarko, dan Anang TjahjonoPoliteknik Elektronika Negeri Surabaya

Kampus PENS, Jalan Raya ITS Sukolilo, Surabaya 60111e-mail: [email protected]

Abstrak—Konversi energi surya menjadi energi listrik dapat dimanfaatkan dengan menggunakan panel surya,

tetapi rasio konversi energi masih rendah. Maximum Power Point Tracking (MPPT) adalah metode yang digunakan

untuk meningkatkan produksi energi pada proses konversi energi listrik pada panel surya. Artificial Neural Network

(ANN) adalah salah satu metode soft-computing yang bisa diterapkan sebagai MPPT dengan keunggulan memiliki

proses pembelajaran, unggul dalam kestabilan saat tracking, cepat, tidak memerlukan pemodelan matematika yang

rumit, serta memiliki performa yang baik untuk segala jenis kondisi cuaca dan permasalahan perubahan radiasi.

MPPT ANN diajukan dengan masukan hanya berasal dari arus hubung singkat dari panel surya dan digunakan

sebagai referensi ANN untuk bisa mencapai daya maksimum dari panel surya. Proses deteksi arus hubung singkat

ditandai dengan turun sesaat nilai daya yang dihasilkan oleh panel surya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa

algoritma yang diajukan dapat mencapai titik operasi daya maksimum dari panel surya meskipun terjadi perubahan

radiasi. Ketika sudah berada pada titik operasi daya maksimum, ANN bisa menjaga nilai yang didapatkan, sehingga

nilai yang dihasilkan tidak berubah-ubah dan tidak mengandung osilasi daya. Pada kondisi radiasi sebesar 1000

W/m2 dan menggunakan panel surya 100 WP, ANN dapat menghasilkan daya maksimum sebesar 99,97 Watt

dengan waktu 0,063 detik.

Kata kunci: maximum power point tracking, artificial neural network, arus hubung singkat

Abstract—The conversion of solar energy into electrical can be utilized by using the solar panel, but the energy

conversion ratio is still low. Maximum Power Point Tracking (MPPT) is a method used to increase energy production

in the process of converting electrical to the solar panel. Artificial Neural Network (ANN) is one of the soft-computing methods that can be applied as MPPT with the advantage of having a learning process, very stable, fast, doesn’t

require complicated mathematical modeling, and has good performance . ANN is proposed with input from the short

circuit current of the solar panel and is used as a reference for the ANN to reach the maximum power. The process

of detecting a short circuit current is indicated by a momentary decrease of the power by the solar panel. The results

show the proposed algorithm can reach the maximum power operating point of the solar panel despite the change of

radiation. When at maximum power operating point, ANN can hold the value, so the resulting value doesn’t change

and doesn’t generate ripple. At radiation of 1000 W/m2 and using 100 WP, ANN can produce a maximum power of

99.97 Watts with a time of 0.063 seconds.

Keywords: maximum power point tracking, artificial neural network, short circuit currentCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 57-64ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.14860

Received 18 October 2019; Revised 28 April 2020; Accepted 02 May 2020

57

Page 4: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

58

MPPT memiliki keakuratan data yang lebih baik dan tepat,

mudah dalam pengoperasian dan lebih fleksibel karena tidak memerlukan komponen-komponen penyusun yang

besar dan rumit, serta dapat beradaptasi dengan perubahan

kondisi radiasi matahari sehingga tetap bisa mencari daya

maksimum dari panel surya.

Ada dua macam jenis metode MPPT secara umum,

yaitu MPPT konvensional dan MPPT soft-computing.

Metode MPPT konvensional adalah metode MPPT yang memiliki perhitungan yang sangat sederhana dan tanpa

suatu pemodelan terlebih dahulu. Beberapa contoh metode MPPT konvensional adalah Curve-Fitting [8], Fractional

Short-Circuit Current (FSCI) [9], Fractional Open-Circuit

Voltage (FOCV) [10], Look-Up Table [11]. Fractional

Short Circuit Current (FSCC) memiliki keunggulan dalam

hal kecepatan dalam mencapai daya maksimum dari panel

surya dan tidak mengunakan persamaan yang rumit. Metode

tersebut menggunakan sifat hubungan yang linier antara

arus hubung singkat dengan arus pada daya maksimum.

Metode MPPT konvensional yang lain adalah Perturb

and Observe (P&O) [12], Incremental Conductance (IC)

[13], dan Incremental Resistance [14]. Ketiga metode

MPPT ini disebut sebagai metode konvensional karena ketiga metode MPPT tersebut bekerja berdasarkan

perubahan nilai tegangan, arus, serta daya yang dihasilkan

dan perubahannya tergantung dari masing-masing sifat

algoritma. Ketiga metode MPPT tersebut tidak memiliki

pemodelan untuk proses komputasinya sehingga masih

dikategorikan dalam metode MPPT konvensional. Ketiga metode MPPT tersebut masih memiliki kekurangan dalam

hal masih adanya osilasi daya saat berada pada daya

maksimum atau Maximum Power Point (MPP) dari panel

surya yang diakibatkan oleh nilai step size yang digunakan.

Semakin besar nilai step size yang digunakan maka akan

semakin cepat mencapai MPP, tetapi osilasi daya saat

berada di MPP akan semakin besar. Jika step size bernilai

kecil maka akan semakin lama menuju daerah MPP dan

osilasi daya yang dihasilkan lebih sedikit.

Metode MPPT soft-computing merupakan metode

MPPT yang memiliki komputasi berdasarkan pemodelan.

Beberapa contohnya adalah algoritma Firefly [2], Grey

Wolf Optimization [5], Fuzzy Logic [15], Algoritma

Genetika [16], dan Artificial Neural Network (ANN) [17]. Firefly, Grey Wolf Optimization, dan Algoritma Genetika

merupakan tiga metode soft-computing yang pemodelan

matematika berdasarkan kebiasaan dari perilaku makhluk

hidup. Sehingga bentuk pemodelannya lebih rumit dan

respon awal yang dihasilkan juga nilainya berubah secara

cepat dan bisa signifikan. Fuzzy Logic adalah metode

soft-computing yang membutuhkan masukan berupa

parameter dan disertai dengan logika atau rule yang

harus dibuat sendiri. Sehingga pekerjaan yang dilakukan

juga semakin banyak. Artificial Neural Network (ANN) adalah metode MPPT yang mengadopsi cara bekerja

jaringan saraf pada tubuh manusia, dan metode berbasis

soft-computing yang berbeda jika dibandingkan dengan

algoritma yang lain. Perbedaannya yaitu adanya proses

pembelajaran (learning) yang memungkinkan algoritma

mengetahui pola karakteristik dari panel surya yang

digunakan sehingga mengakibatkan hasil pencarian daya

maksimum dari panel surya yang lebih baik dan akurat.

Selain itu ANN memiliki keunggulan lain di antaranya memiliki kestabilan saat tracking, cepat menuju MPP,

tidak memerlukan perhitungan matematika atau komputasi

yang rumit, serta memiliki performa yang baik untuk

segala jenis kondisi dan permasalahan [17], [18], [19].

MPPT ANN dapat mencapai daya maksimum atau MPP dari panel surya tanpa ada proses pencarian di area titik

daya yang optimal [20].Dari beberapa permasalahan yang sudah dipaparkan

maka dirancang suatu metode MPPT dengan menggunakan

algoritma ANN. Parameter masukan dari ANN menggunakan satu parameter saja yaitu menggunakan

arus hubung singkat dari panel surya. Parameter keluaran

dari ANN merupakan nilai duty cycle dari posisi MPP dari

panel surya. Sehingga dengan arsitektur ANN yang sangat sederhana yaitu satu masukan dan satu keluaran, algoritma

yang diajukan bisa mencapai MPP dengan cepat, tepat,

dan tidak mengandung osilasi daya.

II. StudI PuStaka

Metode MPPT dengan menggunakan nilai arus

hubung singkat dari panel surya adalah suatu metode yang

menerapkan pendekatan secara linier hubungan antara

arus hubung singkat dari panel surya dengan nilai arus

pada daya maksimum (IMPP

) pada panel surya [21], [22]. Persamaan matematika yang dapat digunakan untuk bisa

mencapai arus pada daya maksimum (IMPP

) adalah sebagai

berikut:

. (1, )MPP SCI k I≈

dimana k merupakan konstanta yang nilainya mengikuti

karakteristik panel surya yang digunakan. Hal tersebut

bersifat tidak pasti dan dapat menyebabkan pengujian

secara trial dan error, sehingga akan sangat membutuhkan

waktu juga untuk bisa menyesuaikan nilai konstanta yang

sesuai. Hadeed Ahmed Sher, dkk. [23], telah melakukan penelitian dengan menggabungkan prinsip kerja dari

MPPT arus hubung singkat dengan MPPT Perturb

and Observe. Proses pendeteksian arus hubung singkat

digunakan sebagai posisi awal tracking dari MPPT

Perturb and Observe agar lebih cepat mencapai daerah

MPP. Akan tetapi ketika berada pada daerah MPP, masih

terjadi osilasi daya pada daerah MPP. Dengan berbagai

penelitian yang dilakukan, arus hubung singkat dari panel

surya bisa digunakan sebagai parameter input dari ANN untuk mencapai titik operasi daya maksimum.

III. Metode

A. Karakteristik Panel Surya dan Proses Pengambilan

Data Learning

Algoritma Artificial Neural Network (ANN) diimplementasikan sebagai Maximum Power Point

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 5: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

59

Tracking (MPPT) untuk mendapatkan daya maksimum

dari panel surya dengan referensi arus hubung singkat

panel surya. Gambar 1 merupakan skema MPPT ANN yang dilengkapi dengan deteksi arus hubung singkat dari

panel surya. Terdapat dua sensor yang terpasang pada

panel surya, yaitu sensor arus yang digunakan untuk

membaca nilai arus yang dihasilkan oleh panel surya

dan juga digunakan untuk membaca nilai arus hubung

singkat dari panel surya. Sensor tegangan digunakan untuk

membaca nilai tegangan yang dihasilkan oleh panel surya.

Konverter daya yang digunakan merupakan konverter daya dengan tipe Buck-Boost. Arus hubung singkat terjadi

ketika sistem memberikan nilai duty cycle sebesar 100% pada G2, sehingga MOSFET akan terhubung dan berlaku seperti saklar. Kemudian nilai arus akan terbaca oleh

sensor dan dikirim ke sistem untuk dikalkulasi besar nilai

duty cycle pada daerah MPP.

Nilai duty cycle yang dihasilkan oleh MPPT ANN dikirim melalui G1 menuju ke konverter daya. Kemudian nilai arus dan tegangan terbaca oleh sensor, dan dikalkulasi

besar daya yang bisa dihasilkan oleh algoritma. Modul

surya yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

modul surya dengan kapasitas 100 WP pada radiasi 1000 W/m2, spesifikasi dari modul surya ditunjukkan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 didapatkan kurva karakteristik dari modul surya terhadap perubahan radiasi

matahari seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(a), dan terhadap perubahan suhu seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2(b).

Gambar 2(a) menunjukkan bahwa hubungan arus hubung singkat pada modul surya memiliki pendekatan

secara linier terhadap arus pada daya maksimum (IMPP).

Gambar 2 juga menunjukkan bahwa pengaruh terbesar terhadap perubahan arus dan tegangan yang dihasilkan

oleh panel surya disebabkan oleh perubahan nilai radiasi.

Nilai arus berubah secara signifikan jika terjadi perubahan radiasi. Sehingga dalam penelitian ini, nilai yang

digunakan pada data learning dan nilai yang diamati pada

pengujian MPPT dilakukan pada kondisi perubahan radiasi

saja. Untuk proses mendapatkan arus hubung singkat pada

setiap kondisi radiasi matahari yang berbeda dan digunakan

untuk data learning dilakukan proses sesuai pada Gambar

3. Pada setiap nilai radiasi matahari akan dicatat nilai arus hubung singkat yang dihasilkan dan nilai duty cycle pada

daerah MPP. Duty cycle pada konverter daya akan diatur secara manual untuk mengetahui berapa nilai duty cycle

yang tepat pada daerah MPP. Nilai arus hubung singkat akan digunakan sebagai parameter nilai input serta nilai

duty cycle pada daerah MPP akan digunakan sebagai

parameter nilai output pada arsitektur ANN.

B. Arsitektur Artificial Neural Netwok (ANN) dan Hasil Learning

ANN yang digunakan merupakan ANN yang terdiri dari satu latyer input, satu layer hidden, dan satu layer output,

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Satu layer input

yang merupakan arus hubung singkat dari panel surya,

satu layer hidden dan satu layer output yang merupakan

nilai duty cycle pada daerah MPP dari panel surya yang

digunakan. Layer hidden tersusun dari lima neuron

yang merupakan hasil dari pengujian neural network

regression pada software MATLAB. Penentuan jumlah neuron dilakukan mulai dari jumlah neuron sebanyak

satu, sampai sepuluh neuron. Pengujian dilakukan dengan

menggunakan software MATLAB yang merupakan layer input adalah nilai-nilai arus hubung singkat dan layer

output adalah nilai-nilai duty cycle pada daerah MPP. Hasil

pengujian pada software MATLAB untuk menentukan jumlah neuron yang digunakan ditunjukkan sebagaimana

Tabel 1. Spesifikasi dari modul surya

Gambar 1. Skema MPPT ANN dengan deteksi arus hubung singkat

POLYCRYSTALLINE

Maximum Power Pmax 100 W

Maximum Power Voltage Vmp 17.6 V

Maximum Power Current Imp 5.69 A

Open Circuit Voltage Voc 22.6 V

Short Circuit Current Isc 6.09 A

Standard Test Condition : Temp = 25 °C ; AM = 1.5 ; Irradiance = 1000 W/m2

Muhammad Nizar Habibi dkk.: Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya

Page 6: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

60

pada Gambar 5 dengan nilai maksimal terdapat pada

neuron kelima dengan nilai 0,99969.Penggunaan parameter pada layer input hanya

menggunakan arus hubung singkat dari panel surya.

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(a) tentang kurva karakteristik I-V dari panel surya dengan tiga nilai variasi radiasi matahari. Pada radiasi 1000 W/m2 nilai

arus hubung singkat bernilai 6,09 A, pada radiasi 700 W/m2 nilai arus hubung singkat bernilai 4.26 A, dan pada radiasi 400 W/m2 nilai arus hubung singkat bernilai 2,44 A. Hal ini menunjukkan bahwa nilai arus hubung singkat

memiliki hubungan linier dengan nilai radiasi matahari.

Secara perhitungan matematis, nilai arus hubung singkat

merupakan hasil perbandingan searah dari nilai radiasi

matahari. Sehingga nilai arus hubung singkat bisa

merepresentasikan nilai dari radiasi matahari.

Pada layer input dari ANN, nilai-nilai dari arus hubung singkat dari panel surya membutuhkan normalisasi

terlebih dahulu sebelum masuk pada persamaan ANN yang digunakan. Persamaan yang digunakan untuk proses

normalisasi ditunjukkan pada (2).

( )( )

min

max min

-1, (2)SC SC

SC SC

I IZ

I I

−=

dimana Z adalah normalisasi untuk masukan ANN, adalah nilai arus hubung singkat yang terukur pada panel surya,

dengan dan adalah nilai arus hubung singkat terbesar dan

terkecil berdasarkan data learning yang digunakan.

Pada layer hidden yang terdiri dari lima neuron

menggunakan aktivasi logsig dengan persamaan yang

ditunjukkan pada (3).

( )( )( )(, )

1

13

in inn Z w b

Le− + +

=+

dimana n adalah jumlah neuron yang digunakan, adalah

nilai weight, dan adalah nilai bias dari ANN. Nilai weight

dan bias didapatkan dari proses learning atau pada saat

penentuan nilai neuron terbaik pada software MATLAB. Pada layer hidden digunakan masing-masing lima nilai

weight dan bias yang tercantum pada proses inisiasi.

Pada layer output menggunakan aktivasi tansig dengan

persamaan yang ditunjukkan pada (4).

Gambar 3. Flowchart untuk mendapatkan data learning

Gambar 2. Kurva karakteristik I-V modul surya (a) Terhadap perubahan radiasi matahari (b) Terhadap perubahan suhu

(a)

(b)

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 7: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

61

( )( )521

(2

- 41,

1

)Z w bin inn

Tan

e

− + + +∑ =

= +

dimana Tan adalah nilai tansig yang dihasilkan oleh (4).

Nilai weight dan bias yang digunakan merupakan hasil

dari proses learning dan menginisiasi masing-masing

sebanyak lima nilai. Nilai weight dan bias pada layer

hidden dan layer ouput sifatnya tidak menentu atau acak

karena menyesuaikan bentuk arsitektur yang digunakan.

Pada layer output juga terdapat normalisasi yang

ditunjukkan pada (5).

( )( )1

2, (5)

max min

min

Tan D DD D

+ −= +

dimana D merupakan duty cycle MPP, dan merupakan

nila duty cycle MPP tertinggi dan terendah berdasarkan

data learning yang digunakan. Hasil dari (5) akan dikirim

ke konverter daya untuk mendapatkan daya maksimum dari panel surya.

Gambar 6 merupakan flowchart untuk sistem

dari algoritma MPPT yang diajukan. Sebelum sistem

mengukur nilai arus dan tegangan dari panel surya yang

didapatkan dari sensor, sistem melakukan hubung singkat

terlebih dahulu untuk mendapatkan arus hubung singkat.

Proses pendeteksian arus hubung singkat ditandai dengan

nilai daya yang akan turun atau bernilai nol. Kemudian

arus hubung singkat tersebut dikalkulasi dengan ANN untuk mendapatkan nilai duty cycle pada daerah MPP

dari panel surya. Pada penelitian ini, nilai arus hubung

singkat yang digunakan untuk data learning tidak hanya

menggunakan nilai pada kondisi Standard Test Condition

(STC) saja. Akan tetapi menggunakan 28 data variasi nilai arus hubung singkat mulai dari arus hubung singkat

pada radiasi 1000 W/m2 sampai 100 W/m2 beserta nilai

duty cycle pada daerah MPP. Sehingga ada 28 data variasi data untuk input dan output yang digunakan sebagai data

learning pada software MATLAB.Pada penelitian ini digunakan algoritma pembanding

untuk mengetahui lebih jelas karakteristik performa dari

algoritma MPPT yang diajukan. Algoritma pembanding

yang digunakan merupakan algoritma MPPT Perturb and

Observe (P&O). Algoritma MPPT P&O digunakan sebagai

algoritma pembanding karena memiliki kesederhanaan

dalam susunan algoritma tetapi algoritma tersebut masih

Gambar 4. Arsitektur algortima ANN untuk MPPT

Gambar 6. Flowchart algortima MPPT ANNGambar 5. Grafik perbandingan jumlah neuron pada neural network

training regresion test

Muhammad Nizar Habibi dkk.: Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya

Page 8: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

62

bisa mendapatkan nilai daya maksimum dari panel surya

dalam berbagai kondisi radiasi matahari. Kedua algoritma

akan dibandingkan dengan kondisi radiasi yang sama

sehingga akan terlihat apakah algoritma yang diajukan

memiliki karakteristik yang berbeda dengan algoritma

MPPT P&O. Pembahasan lebih detail tertera pada bab

hasil dan pembahasan.

IV. haSIl dan PeMbahaSan

Pengujian sistem dilakukan secara simulasi dengan

menggunakan software Power Simulation (PSIM).

Spesifikasi panel surya yang digunakan disesuaikan pada Tabel 1. Pengujian dilakukan dengan menggunakan dua

kondisi radiasi matahari, yaitu untuk radiasi matahari

berubah-ubah, dan untuk kondisi radiasi matahari tetap.

Pengujian MPPT dengan nilai radiasi berubah dilakukan

untuk mengetahui respon MPPT ketika terjadi nilai radiasi

berubah-ubah, dan pengujian MPPT dengan kondisi

radiasi tetap dilakukan untuk mengetahui respon awal saat

MPPT melakukan tracking. ANN diimplementasikan pada simplified c block di PSIM dan menggunakan konverter daya buck-boost.

Gambar 7 merupakan proses terjadinya deteksi arus

hubung singkat dari panel surya, yang terdiri dari Isc_

Command, Arus, dan Tegangan. Isc_Command merupakan

kondisi ketika sistem melakukan pendeteksian arus hubung

singkat dari panel surya, ditandai dengan nilai awal nol (0) kemudian berubah menjadi satu (1). Pada saat kondisi ini

nilai arus mendeteksi nilai arus hubung singkat, dan nilai

tegangan berubah menjadi 0 (nol) atau turun sementara. Lama dari nilai tegangan menjadi nol tergantung dari

lamanya sistem mendeteksi nilai arus hubung singkat dari

panel surya. Dalam penelitian ini, sistem mendeteksi arus

hubung singkat selama 1 ms. Ketika nilai referensi arus

hubung singkat didapatkan, secara langsung ANN dapat menentukan berapa nilai duty cycle yang sesuai untuk bisa

mencapai daya maksimum dari panel surya.

Gambar 8 merupakan respon dari MPPT P&O ketika

nilai radiasi matahari berubah-ubah. Nilai pertama radiasi sebesar 800 W/m2, berubah dengan kenaikan 50 W/m2

dan sampai pada nilai 1000 W/m2.Pada kurva terlihat bahwa MPPT P&O dapat mencapai Maximum Power

Point (MPP) dari panel surya akan tetapi masih terjadi

osilasi daya. Kondisi ini akan merugikan jika MPPT

diimplementasikan ke dalam hardware karena akan

mengurangi lifetime dari komponen power konverter daya terutama komponen switching.

Gambar 9 merupakan kurva MPPT ANN untuk kondisi radiasi matahari yang berubah-ubah. Perubahan nilai

radiasi memiliki nilai yang sama dengan pengujian pada

MPPT P&O. Pada kurva menunjukkan bahwa pada saat terjadi perubahan nilai radiasi, MPPT ANN mendeteksi ulang nilai arus hubung singkat dari panel surya untuk

didapatkan nilai MPP dari panel surya.

Gambar 8. Kurva MPPT P&O dengan kondisi nilai radiasi berubah-ubah

Gambar 7. Proses deteksi arus hubung singkat dari panel surya

Gambar 9. Kurva MPPT ANN dengan kondisi nilai radiasi berubah-ubah

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 9: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

63

Pada saat awal tracking, MPPT mengalami osilasi daya

terlebih dahulu yang merupakan respon dari konverter daya. Hal yang paling membedakan dari kedua metode

MPPT tersebut adalah terletak pada saat awal sistem

running kemudian melakukan tracking MPP dari panel

surya, dan ketika MPPT sudah mendapatkan nilai MPP

dari panel surya. MPPT P&O membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk bisa mencapai MPP dan ketika MPPT

sudah mencapai MPP, sistem masih terus mencari ulang

dan MPPT tidak dapat mengunci nilai MPP. MPPT ANN dengan cepat dapat mencapai MPP dari panel surya dan

MPPT ANN bisa mengunci nilai dan tidak melakukan proses tracking ulang. Ketika awal nilai duty cycle untuk

daerah MPP sudah didapatkan ANN, akan tetapi ketika nilai tersebut diberikan ke konverter timbul respon awal sehingga hal tersebut yang membuat tidak secara

langsung berada pada daerah MPP. Pengujian selanjutnya

merupakan pengujian MPPT pada radiasi tetap, untuk bisa

melihat secara detail respon yang dihasilkan oleh masing-

masing algoritma.

Gambar 10 merupakan pengujian MPPT P&O dengan nilai radiasi tetap, yaitu 1000 W/m2. MPPT P&O

memerlukan waktu 0,08 detik untuk bisa mencapai MPP dari panel surya. Nilai awal yang naik merupakan respon awal dari konverter daya. Ketika berada di daerah MPP, masih terdapat osilasi daya. Besar osilasi daya yang

dihasilkan tergantung dari penambahan atau pengurangan

nilai duty cycle yang diatur pada algoritma atau yang

sering disebut step size. Semakin besar nilai step size maka

nilai osilasi daya pada daerah MPP akan semakin besar.

Pada Gambar 11 terlihat respon untuk MPPT Artificial Nerual Network (ANN) untuk kondisi radiasi matahari sebesar 1000 W/m2. Ketika MPPT ANN sudah mencapai MPP atau daya maksimum dari panel surya, MPPT tidak

mendeteksi ulang nilai daya yang didapatkan. ANN secara otomatis mendeteksi nilai duty cycle untuk konverter yang nilainya bisa menghasilkan daya maksimum atau

Maximum Power Point (MPP) dari panel surya yang

digunakan. Osilasi daya awal yang dihasilkan disebabkan

oleh respon dari konverter daya yang digunakan. Saat

sudah mencapai daya maksimum tidak terjadi osilasi

daya atau tidak terjadi perubahan daya karena nilai duty

cycle yang dihasilkan tidak berubah. Nilai duty cycle yang

didapatkan berasal dari MPPT ANN dengan referensi nilai arus hubung singkat dari panel surya.

Tabel 2 merupakan tabel pengujian MPPT pada kondisi radiasi 1000 W/m2. Pengujian dilakukan dengan

membandingkan dua jenis MPPT, yaitu Artificial Neural Network (ANN) dengan Perturb and Observe (P&O).

Baik MPPT ANN maupun MPPT P&O, kedua jenis MPPT tersebut dapat mencapai dan mendekati nilai

daya maksimum dari panel surya. Kedua MPPT tersebut

juga memiliki nilai daya yang hampir sama. Akan tetapi,

untuk MPPT ANN tidak mengalami kondisi osilasi daya

saat MPPT sudah mencapai MPP, hal ini berbeda dengan

MPPT P&O.

MPPT P&O mengalami kondisi osilasi daya saat sudah

mencapai Maximum Power Point (MPP) dengan nilai

kesalahan bisa mencapai 11,5%. Hal ini menunjukkan bahwa MPPT P&O tidak bisa berada dalam kondisi steady

ketika sudah mencapai atau mendekati nilai MPP dari panel

surya. Kecepatan tracking dari MPPT ANN juga lebih cepat jika dibandingkan dengan MPPT P&O. MPPT ANN membutuhkan waktu 0,063 detik untuk mencapai MPP dari panel surya. Nilai 0,063 detik merupakan hasil yang sebabkan oleh respon dari konverter saat digunakan, akan tetapi nilai duty cycle yang dihasilkan sudah didapatkan

sesaat setelah mendapatkan arus hubung singkat dari panel

surya.

Gambar 11. Kurva MPPT ANN dengan Kondisi Nilai Radiasi TetapGambar 10. Kurva MPPT P&O dengan kondisi nilai radiasi tetap

Tabel 2. Hasil pengujian MPPT pada radiasi 1000 W/m2

Metode MPPT ANN P&O

PMAX (Watt) 100

PMPPT (Watt) 99.97 99.28

Osilasi Daya Tidak Ya

Error Osilasi Daya (%) 0 11.5

Kecepatan Tracking (s) 0.063 0.08

Muhammad Nizar Habibi dkk.: Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya

Page 10: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

64

V. keSIMPulan

Maximum Power Point Tracking (MPPT) dengan

algoritma Artificial Neural Network (ANN) diajukan untuk meningkatkan daya yang dihasilkan oleh panel

surya. Arus hubung singkat pada panel surya digunakan

sebagai referensi algoritma ANN untuk bisa mendapatkan Maximum Power Point (MPP) atau daya maksimum

dari panel surya. Proses pendeteksian nilai arus hubung

singkat dibuktikan dengan menurunnya secara sesaat nilai

tegangan yang dihasilkan oleh panel surya. Dikarenakan

secara sesaat MOSFET menghubungkan terminal positif

dan negatif dari panel surya dan tidak ada aliran daya

yang menuju ke sistem. Nilai arus hubung singkat dibaca sensor dan digunakan ANN untuk mendapatkan nilai duty cycle pada daerah MPP. Sehingga kondisi tersebut

mengakibatkan nilai daya menjadi nol ketika MPPT

mendeteksi arus hubung singkat dari panel surya. Pada

radiasi berubah-ubah, MPPT ANN masih bisa mencapai titik operasi daya maksimum dari panel surya, mulai

radiasi 800 W/m2 sampai 1000 W/m2 dengan penambahan

50 W/m2. Pada radiasi matahari tetap sebesar 1000 W/m2,

MPPT ANN mendapatkan daya maksimum sebesar 99,97 Watt untuk panel surya dengan kapasitas 100 WP dengan waktu 0,063 detik, dan tidak terjadi osilasi daya ketika

MPPT sudah mencapai MPP dari panel surya.

RefeRenSI

[1] N. Kannan and D. Vakeesan, “Solar energy for future world: - A review,” Renewable and Sustainable Energy Reviews -

ELSEVIER, vol. 62, pp. 1092-1105, 2016.

[2] N. A. Windarko, A. Tjahjono, D. O. Anggriawan and M. H. Purnomo, “Maximum Power Point Tracking of Photovoltaic System Using Adaptive Modified Firefly Algorithm,” in 2015 International Electronics Symposium (IES), Surabaya, 2015.

[3] R. Arshad, S. Tariq, M. U. Niaz and M. Jamil, “Improvement in Solar Panel Efficiency Using Solar Concentration by Simple Mirrors and by Cooling,” in 2014 International Conference on

Robotics and Emerging Allied Technologies in Engineering

(iCREATE), Islamabad, 2014.

[4] Y. Yao, Y. Hu, S. Gao, G. Yang and J. Du, “A multipurpose dual-axis solar tracker with two tracking strategies,” Renewable

Energy - ELSEVIER, vol. 72, pp. 88-98, 2014.

[5] S. Mohanty, B. Subudhi and P. K. Ray, “A New MPPT Design Using Grey Wolf Optimization Technique for Photovoltaic System Under Partial Shading Conditions,” IEEE TRANSACTIONS ON SUSTAINABLE ENERGY, vol. 7, no. 1, pp. 181-188, 2016.

[6] A. Sahay, V. K. Sethi, A. C. Tiwari and M. Pandey, “A review of solar photovoltaic pane lcooling systems with special reference to Ground coupled central panel cooling system (GC-CPCS),” Renewable and Sustainable Energy Reviews - ELSEVIER, vol. 42, pp. 306-312, 2015.

[7] S. M. S. Alam and A. N. M. M. Rahman, “Performance comparison of mirror reflected solar panel with tracking and cooling,” in 4th International Conference on the Development in the in Renewable

Energy Technology (ICDRET), Dhaka, 2016.

[8] A. M. Faraloya, A. N. Hasan and A. Ali, “Curve Fitting Polynomial Technique Compared to ANFIS Technique for Maximum Power Point Tracking,” in 8th International Renewable Energy Congress

(IREC), Amman, 2017.

[9] H. A. Sher, A. F. Murtaza, A. Noman, K. E. Addoweesh and M. Chiaberge, “An intelligent control strategy of fractional short circuit current maximum power point tracking technique for photovoltaic applications,” Journal of Renewable and Sustainable

Energy, vol. 7, pp. 1-15, 2015.

[10] K. Siddhant, “Implementation of Fractional Open Circuit Voltage Mppt Algorithm in A Low Cost Microcontroller,” National Institute of Technology, Rourkela, 2014.

[11] S. Malathy and R. Ramaprabha, “Maximum Power Point Tracking Based on Look up Table Approach,” Advanced Materials

Research, vol. 768, pp. 124-130, 2013.

[12] M. Kamran, M. Mudassar, M. R. Fazal, M. U. Asghar, M. Bilal and R. Asghar, “Implementation of improved Perturb & Observe MPPT technique with confined search space for standalone photovoltaic system,” Journal of King Saud University –

Engineering Sciences, pp. 1-10, 2018.

[13] R. I. Putri, S. Wibowo and M. Rifa’i, “Maximum power point tracking for photovoltaic using incremental conductance method,” in 2nd International Conference on Sustainable Energy

Engineering and Application, ICSEEA 2014, Bandung, 2014.

[14] Q. Mei, M. Shan, L. Liu and J. M. Guerrero, “A Novel Improved Variable Step-Size Incremental-Resistance MPPT Method for PV Systems,” IEEE Transactions on Industrial Electronics, vol. 58, no. 6, pp. 2427-2434, 2011.

[15] A. S. Samosir, H. Gusmedi, S. Purwiyanti and E. Komalasari,

“Modeling and Simulation of Fuzzy Logic based Maximum Power Point Tracking (MPPT) for PV Application,” International

Journal of Electrical and Computer Engineering (IJECE), vol. 8, no. 3, pp. 1315-1323, 2018.

[16] S. Hadji, J.-P. Gaubert and F. Krim, “Theoretical and Experiment Analysis of Genetic Algorithms Based MPPT for PV Systems,” in International Conference on Technologies and Materials for

Renewable Energy, Environment and Sustainability, TMREES15,

Beirut, 2015.

[17] P. Q. Dzung, L. D. Khoa, H. H. Lee, L. M. Phuong and N. T. Dan Vu, “The New MPPT Algorithm using ANN-Based PV,” in International Forum on Strategic Technology (IFOST), Ulsan,

2010.

[18] S. Messalti, A. Harrag and A. Loukriz, “A new variable step size neural networks MPPT controller: Review, simulation and hardware implementation,” Renewable and Sustainable Energy

Reviews - ELSEVIER, vol. 68, pp. 221-233, 2017.

[19] L. M. Elobaid, A. K. Abdelsalam and E. E. Zakzouk, “Artificial neural network-based photovoltaic maximum power point tracking techniques: a survey,” IET Renewable Power Generation, vol. 9, no. 8, pp. 1043-1063, 2015.

[20] M. Seyedmahmoudian, B. Horan, T. K. Soon, R. Rahmani, A. M. Than Oo, S. Mekhilef and A. Stojcevski, “State of the art artificial intelligence-based MPPT technique sfor mitigating partials hading effects on PV systems – A review,” Renewable and Sustainable

Energy Reviews, vol. 64, pp. 435-455, 2016.

[21] N. A. Kamarzaman and C. W. Tan, “A comprehensive review of maximum power point tracking algorithms for photovoltaic systems,” Renewable and Sustainable Energy Reviews -

ELSEVIER, vol. 37, pp. 585-598, 2014.

[22] H. A. Sher, K. E. Addoweesh and K. Al-Haddad, “An Efficient and Cost-Effective Hybrid MPPT Method for a Photovoltaic Flyback Micro-Inverter,” IEEE Transactions on Sustainable

Energy, vol. 9, no. 3, pp. 1137-1144, 2018.

[23] H. A. Sher, A. F. Murtaza, A. Noman, K. E. Addoweesh, K. Al-Haddad and M. Chiaberge, “A New Sensorless Hybrid MPPT Algorithm Based on Fractional Short-Circuit Current Measurement and P&O MPPT,” IEEE Transactions on

Sustainable Energy, vol. 6, no. 4, pp. 1426-1434, 2015.

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 11: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Pemanfaatan energi terbarukan seperti: energi

matahari dan angin saat ini menjadi alternatif dalam

upaya pemenuhan terhadap kebutuhan energi listrik

yang telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Energi

matahari sebagai sumber energi yang melimpah dan ramah

lingkungan dapat dikonversi menghasilkan energi listrik

menggunakan modul photovoltaic (PV) atau sel surya.

Tegangan listrik yang dihasilkan oleh sel surya ini berupa

tegangan arus searah atau Direct Curent (DC)

Dalam implementasinya terdapat tiga tipe sistem PV

yaitu: a) tipe stand-alone; b) tipe hibrida and; c) tipe

grid connected. [1] Pada sistem PV yang berdiri sendiri

(stand alone) beban listrik hanya ditopang oleh array sel

surya sehingga memiliki kehandalan rendah. Sistem PV

dapat dipadukan dengan pembangkit lain sebagai sistem

hibrida atau dihubungkan dengan jala-jala utilitas guna

memperbaiki kehandalannya. Sistem PV tipe hibrida

memadukan beberapa sumber energi baru dan terbarukan,

sehingga diharapkan dapat menyediakan catu energi listrik

yang lebih efisien dan kontinu. Sedangkan sistem PV terhubung jala menggunakan jala-jala daya listrik utilitas

sebagai backup [1] sehingga memiliki tingkat kehandalan

yang paling tinggi.

Pada sistem PV stand alone yang mana hanya

menggunakan teknologi PV dan tidak terhubung ke

grid utilitas, tegangan luaran DC dari modul PV dapat

digunakan secara langsung untuk mengoperasikan

beban DC sedangkan bank baterai dimanfaatkan sebagai

penyimpan energi yang akan dipakai saat ada permintaan

[2]. Keunggulan tipe sistem PV stand-alone off grid ini

adalah dapat beroperasi mandiri untuk memasok beban DC

atau AC sehingga sangat cocok digunakan sebagai sumber

energi listrik di daerah terpencil yang sulit terjangkau

oleh jaringan listrik nasional. Akan sistem PV off grid

Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah

Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali

Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim

Jurusan Teknik Elektro Universitas Jenderal Soedirman

Jalan Mayjen Sungkono km 5 Kalimanah, Purbalingga, Jawa Tengah 53371

e-mail: [email protected]

Abstrak—Sistem photovoltaic (PV) dapat dihubungkan dengan jala utilitas untuk menjamin kehandalan dan

kontinuitas suplai energi listrik. Meskipun luaran modul PV dan banyak beban listrik berupa arus searah (DC),

akan tetapi kebanyakan sistem PV terhubung jala menggunakan grid arus bolak-balik (AC) melalui inverter.

Penelitian ini menyajikan analisis sistem PV mikrogrid beban DC yang terhubung ke jala utilitas Perusahaan Listrik

Negara (PLN) menggunakan penyearah terkendali. Rangkaian penyearah terkendali menggunakan thyristor yang

dapat dikontrol sudut penyalaannya untuk mengatur luaran tegangan dan arus yang dicatu dari utilitas. Simulasi

konfigurasi sistem PV yang diusulkan dilakukan menggunakan software PSIM. Sistem menyuplai beban resistif berupa lampu DC. Simulasi dilakukan pada variasi resistansi beban dan sudut penyalaan thyristor. Hasil simulasi

menunjukkan rangkaian penyearah memiliki ripple tegangan 1,57 V (6,47%). Sedangkan efisiensi sistem pada berbagai kondisi pembebanan dan sudut penyalaan bervariasi pada nilai antara 95,08%–97,72%. Efisiensi sistem tertinggi diperoleh pada kondisi sudut penyalaan thyristor tinggi.

Kata kunci: sistem photovoltaic, terhubung jala, mikrogrid dc, penyearah terkendali, efisiensi

Abstract—Photovoltaic (PV) systems can be connected to the utility grid to ensure the reliability and continuity of the electrical energy supply. Although the output of the PV modules and many electrical loads are direct current (DC), most grid connected PV systems use alternating current (AC) grid through the inverter. This study presents an

analysis of DC microgrid PV system connected to PLN utility grid using controlled rectifier. The controlled rectifier circuit uses a thyristor which can be controlled at its ignition angle to regulate the output voltage and current supplied from utility. The proposed PV system configuration simulations are performed using PSIM software. The system supplies resistive loads in the form of DC lights. Simulations are carried out with variations in load resistance and the thytistor ignition angle. The simulation results show the rectifier circuit has a voltage ripple of 1.57 V (6.47%). While the efficiency of the system under various loading conditions and ignition angle varies between 95.08%–97.72%. The highest system efficiency is obtained under high thyristor ignition conditions.

Keywords: photovoltaic, grid connected, dc microgrid, controlled rectifier, efficiencyCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 65-72ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15698

Received 31 January 2020; Revised 22 May 2020; Accepted 30 May 2020

65

Page 12: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

66

sangat tergantung pada ketersediaan cahaya matahari [3].

Modul PV juga tidak dapat menyimpan energi, sehingga

diperlukan baterai untuk menyeimbangkan energi sistem

PV. Guna mendapatkan tingkat kehandalan yang tinggi,

Sistem PV stand alone membutuhkan sejumlah banyak

beterai penyimpan energi untuk mengantisipasi kondisi

cuaca buruk dimana PV hanya membangkitkan sedikit

energi listrik. Hal ini tentu saja berdampak pada biaya

investasi dan biaya energi (cost of energy) yang tinggi.

Koneksi sistem PV ke jala-jala listrik dapat menjamin

kehandalan sistem dengan kebutuhan baterai yang

minimal. Sebuah sistem terhubung jala listrik umumnya

terdiri atas modul PV dan inverter untuk mengkonversi

arus searah menjadi arus bolak-balik yang disinkronkan

dengan sumber listrik utama sehingga kelebihan energi

listrik yang dibangkitkan dapat dikirimkan ke jala-jala

listrik. Samir Kouro [4] dan Mahela [5] memberikan

gambaran ikhtisar komprehensif sistem PV terhubung

jala-jala.

Salah satu permasalahan sistem PV terhubung

jala adalah pada inverter yang merupakan komponen

utama pada sistem PV terhubung jala-jala arus bolak

balik. Eltawil [6] menyajikan review tentang masalah

teknis dan potensial pada sistem PV terhubung jala-jala.

Berdasarkan hasil survei, didapatkan bahwa inverter

pada PV terhubung jala memiliki efisiensi dan faktor daya di atas 90% dengan THD harmonik arus dibawah

5%. Sementara Ekici menyajikan rugi-rugi energi pada

sistem PV terhubung jala-jala dimana komponen inverter

memberikan sumbangan rugi daya sebesar 3% [7].

Koneksi dengan grid arus bolak-balik sebagai mikrogrid

AC juga dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti

kebutuhan untuk sinkronisasi pembangkit, arus inrush

pada transformer, aliran daya reaktif, arus harmonik, dan

ketidaksetimbangan tegangan [8].

Pendekatan lain yang dikembangkan adalah sistem

pembangkit terhubung grid DC sebagai sebuah mikrogrid

DC. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan

beban elektronik pada instalasi rumah tinggal adalah

beban arus searah. Penyaluran langsung energi listrik

yang dihasilkan oleh PV ke beban dalam bentuk DC

memberikan keuntungan berupa pengurangan rugi

daya pada piranti inverter. Naoki Ayai [9] menyebutkan

beberapa tujuan microgrid DC yaitu: meningkatkan

pemakaian unit PV terdistribusi dan mengurangi disipasi

energi dan biaya fasilitas untuk konversi dari DC ke AC.

Beberapa kelebihan dari sistem microgrid DC antara lain:

rugi energi lebih rendah, kehandalan lebih tinggi dan biaya

investasi lebih rendah

Makalah ini menyajikan analisis sistem PV dengan

grid beban DC yang terhubung jala-jala listrik utilitas

pada instalasi rumah tinggal melalui rangkaian penyearah

terkendali. Dibandingkan dengan sistem PV terhubung

jala listrik yang umumnya menggunakan bus beban arus

bolak- balik, model sistem yang diusulkan menggunakan

bus beban arus searah yang lebih efisien. Koneksi dengan jala-jala utilitas bertujuan untuk menjamin kehandalan

sistem. Beban DC yang disuplai adalah beban penerangan

lampu DC LED yang sekarang ini banyak dikembangkan

karena lebih hemat energi, dan beban peralatan elektronik

yang sebenarnya merupakan beban DC.

II. StudI PuStaka

A. Sistem PV terhubung jala

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan

suatu pembangkit listrik yang memanfaatkan energi sinar

matahari melalui sel surya (photovoltaic/PV). Sel surya

mengkoversikan radiasi sinar matahari menjadi energi

listrik. Sel surya merupakan lapisan-lapisan tipis terbuat

dari bahan semikonduktor silikon (Si) murni, atau bahan

semikonduktor lainnya, yang kemudian tersusun menjadi

modul surya.

Beberapa modul sel surya dihubungkan secara seri dan

atau paralel membentuk array sel surya untuk mencapai

nilai tegangan dan daya listrik yang diinginkan. Daya

sel surya merupakan perkalian antara tegangan dan arus

yang dihasilkan. Daya output modul modul sel surya

sendiri merupakan fungsi intensitas cahaya matahari dan

dipengaruhi oleh temperatur sel surya.

Sebuah sistem PV dapat dihubungkan dengan jala-

jala listrik agar mendapatkan kontinuitas dan kehandalan

yang tinggi. Grid-connected PV merupakan sistem PV

yang terhubung dengan jaringan PLN. Berdasarkan pola

operasinya sistem ini dapat berupa: sistem PV terhubung

jala dengan backup penyimpan baterai (Grid-connected

PV with a battery backup) dan sistem PV terhubung jala

tanpa backup baterai (Grid connected PV without a battery

backup). Sistem PLTS on grid konvensional umumnya

tersusun atas array sel surya dan inverter yang berfungsi

mengubah arus searah (DC) luaran PV dan baterai menjadi

arus bolak-balik (AC), kemudian disinkronkan dengan

sumber listrik utama untuk menyuplai beban AC [10].

Sistem PV juga dapat terhubung grid DC sebagai

sebuah mikrogrid DC. Dalam sebuah sistem mikrogrid

DC, daya AC dari utilitas dikonversi menjadi DC ketika

memasuki bus DC menggunakan penyearah berefisiensi tinggi, kemudian daya listrik didistribusikan secara

langsung ke peralatan DC yang dilayani oleh grid DC

[11]. Umumnya sistem mikrogrid DC dilengkapi dengan

komponen penyimpan energi agar dapat menyediakan catu

daya yang stabil. Sumber DC juga harus membagi output

dayanya untuk menstabilkan tegangan grid DC [12].

Gambar 1 menyajikan sistem mikrogrid DC dengan

PV terhubung jala-jala listrik. Beberapa kelebihan dari

sistem mikrogrid DC antara lain: rugi energi lebih rendah,

kehandalan lebih tinggi dan biaya investasi lebih rendah.

Fregosi menyajikan studi komparatif sistem mikrogrid

pada gedung komersial menunjukkan sistem mikrogrid

DC menggunakan energi PV 6–8 persen lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan sistem tradisional

AC [13]. Dari sisi rugi energi, sistem mikrogrid DC

mengurangi rugi konversi AC ke DC dari rugi rata-rata

32% turun menjadi 10% [11]. Selain itu pada mikrogrid

DC modul photovoltaic dapat langsung menyuplai secara

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 13: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

67

langsung beban DC tanpa rugi konversi berulang (DC ke

AC ke DC) [11].

B. Penyearah Terkendali

Penyearah terkendali (controlled rectifier) atau sering

juga disebut dengan konverter merupakan rangkaian

elektronika daya yang berfungsi untuk mengubah

tegangan sumber masukan arus bolak-balik dalam bentuk

sinusoida menjadi tegangan luaran dalam bentuk tegangan

searah yang dapat diatur atau dikendalikan. Komponen

semikonduktor daya yang digunakan umumnya berupa

Silicon Controlled Rectifier (SCR) yang beroperasi sebagai

sakelar, pengubah, dan pengatur.

Jenis sumber tegangan masukan untuk mencatu

rangkaian konverter dapat digunakan tegangan bolak-balik

satu fasa maupun tiga fasa. Konverter satu fasa merupakan

rangkaian penyearah daya dengan sumber masukan

tegangan bolak-balik satu fasa, sedangkan konverter

tiga fasa rangkaian penyearah daya dengan sumber

masukan tegangan bolak-balik tiga fasa. Berbeda dengan

penyearah daya, penyearahan dalam rangkaian konverter

dapat dilakukan dalam bentuk penyearahan terkendali

setengah gelombang (halfwave), penyearah gelombang

penuh (fullwave), dan semikonverter. Pembebanan pada

rangkaian penyearah terkendali juga dipasang beban

resistif atau beban resistif induktif.

Gambar 2 menunjukkan penyearah jembatan

gelombang penuh: (a) terkontrol penuh (b) terkontrol

sebagian. Proses pemicuan pada SCR T1 dan T

2 dilakukan

secara serempak selama gelombang positif sumber

tegangan. Sedangkan komponen SCR T3 dan T

4 harus

dipicu secara simultan pada periode gelombang negatif

[14]. Gelombang luaran rangkaian penyearah terkendali

diperlihatkan pada Gambar 3.

Jika SCR T1 dan T

2 dipicu sebesar α, maka nilai tegangan

searah rerata (Vdc) dapat ditentukan menggunakan

persamaan berikut:

2cos .maksV

VD απ

=

III. Metode

A. Model Sistem PV

Gambar 4 menyajikan model sistem PV yang

diusulkan dengan bus beban DC terhubung jala-jala utilitas

dilengkapi dengan baterai sebagai penyimpan energi.

Sistem PV grid beban DC terhubung jala utilitas pada

penelitian ini tersusun atas array PV, DC–DC Converter

dengan Maximum Power Point Tracking (MPPT), baterai

sebagai penyimpan energi, jala-jala utilitas, dan konverter

berupa penyearah terkendali menggunakan thyristor untuk

mengubah tegangan bolak-balik dari utilitas menjadi

tegangan searah. Hubungan rangkaian dari PV, baterai,

beban dan luaran penyearah menggunakan kabel yang

direpresentasikan dengan resistansi kabel.

Array PV menggunakan 4 modul PV dengan kapasitas

Gambar 4. Model sistem PV grid beban DC terhubung jala utilitas

Gambar 3. Cara kerja penyearah terkendali [14]

Gambar 1. Struktur mikrogrid DC terhubung jala utilitas [8]

Gambar 2. Rangkaian penyearah terkendali [14]

(a) (b)

Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim.: Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali

Page 14: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

68

total 200 Wp, dengan dua modul disusun secara seri untuk

mendapatkan tegangan yang lebih tinggi. Spesifikasi array

PV yang digunakan pada simulasi dan pengujian mengacu

pada modul PV yang terpasang pada Laboratorium

Konversi Energi Fakultas Teknik UNSOED diperlihatkan

pada Tabel 1.

Simulasi sistem PV menggunakan bus DC dengan

tegangan nominal 24V pada baterai. Sistem terhubung

dengan jala-jala PLN dengan tegangan nominal 220

V rms dan mencatu Beban DC berupa lampu DC 24 V

yang terhubung secara paralel. Untuk simulasi, beban DC

divariasi pada resistansi antara 3–12 Ohm (daya beban

antara 48 W–192 W).

Gambar 5 menyajikan rangkaian simulasi sistem PV

yang diusulkan. Sumber arus bolak-balik dari grid PLN

dihubungkan ke bus DC melalui trafo penurun tegangan

dan penyearah terkontrol sebagian. Sedangkan array PV

dihubungkan melalui konverter tipe buck.

B. Rangkaian Penyearah Terkendali

Rangkaian penyearah terkendali tersusun atas: (1) trafo

step down, penyearah gelombang penuh dengan thyristor

terkendali dan kapasitor sebagai filter untuk mengurangi ripple tegangan penyearah. Paramater rangkaian penyearah

terkendali disajikan pada Tabel 2.

C. Konverter DC

Konverter DC–DC pada PV dengan Maximum Power

Point Tracking (MPPT) untuk menyesuaikan tegangan

pada PV agar beroperasi pada titik maksimalnya, dan

tegangan luaran konverter sesuai dengan tegangan untuk

pengisian baterai atau menyuplai beban. Deskripsi

rangkaian konverter disajikan pada Tabel 3.

IV. haSIl dan PeMbahaSan

Simulasi dan analisis dilakukan terhadap rangkaian

sistem PV diusulkan yang terhubung dengan buck

converter, baterai dan jala-jala listrik. Rangkaian simulasi

sistem PV dengan bus beban DC yang terhubung dengan

jala-jala AC PLN melalui rangkaian penyearah terkendali

Tabel 1. Parameter modul PV

Tabel 2. Paramater rangkaian penyearah

Tabel 3. Parameter rangkaian konverter DC

ParameterData modul

PV

Data Array

PV

Daya maksimum 50 Wp 200Wp

Tegangan maksimum

(Vmaks)16,7 V 33,4 V

Arus maksimum (Imaks) 2,88 A 5,76 A

Tegangan hubung buka (Voc) 20,1 V 40,2 V

Arus hubung singkat 3,1 A 6,2 A

Uraian Deskripsi / nilai

Rasio trafo 10 : 1

Jenis penyearah Gelombang penuh terkendali

Kendali thyristor Alpha controller

Filter Kapasitor 0,47 mF

Uraian Deskripsi / nilai

Jenis converter Buck converter

Duty cycle 0,73

Frekuensi swiching 25 kHz

Kapasitor 47 µF

Induktor 1 mH

Algoritma MPPT Pertub and Observe

Gambar 5. Rangkaian simulasi sistem PV

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 15: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

69

disajikan pada Gambar 7.

Array PV 200 Wp terhubung ke baterai dan beban DC

melalui konverter DC–DC dan saluran PV. Sedangkan

sumber PLN terhubung ke baterai dan beban melalui

rangkaian penyearah terkendali dan saluran kabel.

Pengendalian rangkaian penyearah menggunakan alpha

controller. Sedangkan pengoptimalan daya PV dilakukan

oleh konverter DC–DC.

Simulasi sistem dilakukan menggunakan software

PSIM pada beberapa skenario simulasi sebagai berikut:

1) beban hanya disuplai oleh PV dan baterai, 2) beban

disuplai oleh jala PLN dan baterai dan 3) beban disuplai

oleh jala PLN dan baterai.

A. Simulasi beban disuplai oleh PV dan baterai

Untuk mengetahui unjuk kerja dari konverter DC–

DC dan rangkaian MPPT pada sisi PV, beban divariasi

pada nilai 3 hingga 12 Ω. Gambar 6 menyajikan bentuk gelombang tegangan PV (Vpv), luaran buck converter

(Voutbuck), baterai (Vbat), dan beban (Vload).

Rangkaian buck converter menjaga tegangan luaran

PV pada nilai mendekati nilai tegangan maksimumnya

(Vmpp) agar daya yang dihasilkan PV menjadi maksimal.

Tegangan PV memiliki ripple tegangan 0,54 V (1,61%)

karena proses pensaklaran di konverter. Akan tetapi

tegangan luaran buck converter memiliki ripple yang

sangat kecil yaitu 0,01 V (0,05%) karena sisi luaran

konverter terhubung dengan baterai.

Pada simulasi variasi perubahan beban, menunjukkan

tegangan dan arus luaran PV relatif konstan pada 33,6 V

dan 2,7 A. Kenaikan nilai resistansi beban berpengaruh

terhadap kenaikan tegangan pada sisi beban akibat

berkurangnya arus beban. Rangkaian buck converter

memiliki efisiensi yang sangat baik yaitu 99%. Sedangkan efisiensi sistem bervariasi antara 97,1%–97,6% dipengaruhi oleh aliran daya pada komponen dan saluran

(Gambar 8). Efisiensi sistem tertinggi diperoleh pada saat arus pengisian atau pengosongan yang mengalir di baterai

pada kondisi minimal.

B. Simulasi beban disuplai oleh PLN dan baterai

Gambar 9 menunjukkan bentuk gelombang tegangan

dan arus pada sistem pada saat beban hanya disuplai oleh

jala-jala PLN dan baterai. Tegangan keluaran penyearah

memiliki ripple tegangan yang cukup besar yaitu 1,57 V

(6,47%). Hal ini berdampak pada nilai ripple arus yang

tinggi yang menyebabkan pengisian dan pengosongan

baterai secara periodik. Faktor yang menyebabkan

adalah nilai kapasitor yang digunakan masih relatif kecil

dibandingkan konsumsi arus yang diserap oleh beban dan

baterai.

Gambar 6. Tegangan PV, buck converter, baterai dan beban pada kondisi

beban disuplai PV dan baterai

Gambar 8. Efisiensi sistem pada variasi resistansi beban

Gambar 7. Arus PV, buck converter, baterai, dan beban

Gambar 9. (a) tegangan dan (b) arus sistem pada kondisi beban disuplai

PLN dan baterai

(a)

(b)

Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim.: Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali

Page 16: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

70

Gambar 10–11 menyajikan tegangan dan aliran daya

pada sistem ketika sudut penyalaan thyristor diubah dari

0° hingga 150°, dengan resistansi beban pada 3 Ohm dan

6 Ohm. Pada kondisi beban 3 Ohm, tegangan beban pada

kisaran 23,43 V hingga 23,3 V dengan daya beban antara

183,06–180,98 W. Sedangkan penyearah memberikan catu

daya sebesar 165,95 W pada saat sudut penyalaan thyristor

sebesar 0° dengan nilai yang berkurang hingga 0,72 W

pada sudut penyalaan thyristor sebesar 120°. Kekurangan

kebutuhan daya beban diambilkan dari baterai. Baterai

menyuplai daya sebesar 22,06 W saat sudut penyalaan

thyristor sebesar 0° hingga 185,2 W saat penyearah tidak

mencatu daya listrik ke sistem.

Pada kondisi resistansi beban yang lebih tinggi sebesar

6 Ohm, daya beban adalah lebih rendah diantara 94,17

sampai 93,18 W. Pada sudut penyalaan rendah, penyearah

mengalirkan arus listrik dengan daya lebih besar dari

kebutuhan beban, sehingga sebagian daya listriknya

digunakan untuk melakukan pengisian pada baterai. Hal ini

diperlihatkan pada arus baterai yang bernilai positif. Saat

sudut penyalaan thyristor dinaikkan, arus dari penyearah

berkurang hingga lebih kecil dari kebutuhan daya listrik

beban. Pada kondisi ini baterai mengalirkan daya listrik ke

beban ditunjukkan dengan nilai arus baterai yang negatif.

C. Simulasi beban disuplai oleh PV, PLN dan baterai

Pada simulasi ini, beban dicatu oleh PV, baterai

dan luaran penyearah. Gambar 12 menyajikan bentuk

gelombang tegangan PV, tegangan output buck converter

pada PV, tegangan baterai, tegangan penyearah dan

tegangan beban pada kondisi sudut penyalaan thyristor

0° dan resistansi beban 3 Ohm. Tegangan penyearah

memiliki ripple yang masih tinggi (1,5V), meskipun ripple

tegangan pada sisi beban adalah relatif kecil akibat nilai

tegangan baterai dan output konverter DC pada PV yang

nilainya relatif tetap. Ripple tegangan luaran penyearah

ini menyebabkan fluktuasi besaran arus yang disuplai oleh penyearah dan baterai. Sementara arus listrik yang

disuplai dari PV bernilai konstan karena rangkaian MPPT

pada konverter DC mempertahankan operasi PV pada nilai

daya maksimalnya.

Tegangan dan aliran daya pada sistem pada variasi

sudut penyalaan diperlihatkan pada Gambar 13. Arus yang

disuplai dari PV relatif tetap. Kenaikan sudut penyalaan

thyristor berpengaruh pada penurunan tegangan dan aliran

daya dari jala-jala PLN melalui rangkaian penyearah.

Dibandingkan dengan pada simulasi sebelumnya ketika

sistem PV belum dihubungkan, pada sudut penyalaan yang

sama daya listrik yang dicatu dari rangkaian penyearah

lebih rendah. Penurunan ini lebih disebabkan kenaikan

tegangan pada sisi baterai karena pengaruh luaran

konverter DC PV, sehingga aliran arus dari penyearah

menjadi lebih kecil. Pada saat sudut penyalaan thyristor

dinaikkan arus yang dicatu dari rangkaian penyearah

terkendali mengalami penurunan.

Pada sudut penyalaan rendah, suplai daya dari penyearah

dan PV lebih besar dari kebutuhan beban sehingga aliran

daya sistem adalah dari PV dan penyearah menyuplai daya

beban dan melakukan pengisian ke baterai. Penurunan

nilai arus penyearah ketika sudut penyalaan dinaikkan

Gambar 12. Tegangan sistem pada kondisi beban disuplai PV, PLN dan

bateraiGambar 11. Daya penyearah dan baterai pada berbagai sudut penyalaan

(a) beban 3 Ohm, (b) beban 6 Ohm

Gambar 10. Tegangan pada sudut penyalaan thyristor yang berbeda(a)

(b)

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 17: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

71

memperkecil arus pengisian ke baterai, hingga saat total

daya arus PV dan penyearah lebih kecil dari kebutuhan

daya beban maka aliran daya pada baterai akan berbalik

bersama-sama menyuplai kebutuhan daya listrik beban.

Pada kondisi sudut penyalaan di atas 120° tegangan luaran

penyearah lebih rendah dari tegangan sistem sehingga

rangkaian penyearah tidak lagi menyuplai daya listrik ke

beban.

Hasil simulasi sistem PV beban DC terhubung jala pada

variasi beban dan sudut penyalaan thyristor menunjukkan

sistem memiliki efisiensi yang baik (Gambar 14). Efisiensi sistem terendah sebesar 95,02% pada

saat sudut penyalaan thyristor rendah. Kenaikan sudut

penyalaan thyristor berpengaruh pada kenaikan efisiensi sistem. Efisiensi tertinggi sistem sebesar 97,72% pada sudut penyalaan tinggi dimana rangkaian penyearah tidak

mencatu daya listrik ke beban.

V. keSIMPulan

Sistem PV terhubung jala dengan grid beban DC yang

diusulkan menggunakan rangkaian penyearah terkendali

dengan modul thyristor untuk mengkonversi tegangan arus

bolak-balik dari jala-jala PLN menjadi tegangan searah

pada nilai yang dapat diatur dengan mengubah sudut

penyalaan thyristor. Berdasarkan hasil simulasi, pengaturan

sudut pemicuan thyristor berpengaruh pada aliran daya

dari jala PLN. Rangkaian penyearah memberikan suplai

daya yang lebih besar saat sudut penyalaan thyristor

rendah. Sebaliknya saat sudut penyalaan tinggi, arus dari

rangkaian penyearah akan menurun bahkan dapat tidak

mencatu arus listrik. Karakteristik ini dapat dimanfaatkan

untuk mengatur aliran daya listrik dari jala-jala PLN ke

beban menyesuaikan kondisi beban dan energi listrik yang

dihasilkan oleh PV. Hasil simulasi juga menunjukkan

rangkaian yang diusulkan memiliki efisiensi yang baik antara 95%–97,7%. Efisiensi tertinggi diperoleh saat penyearah tidak mencatu daya listrik ke sistem saat sudut

penyalaan tinggi.

RefeRenSI

[1] J.R. Balfour, M. Shaw, and N.B. Nash. Introduction to

Photovoltaic System Design. USA: Jones & Bartlett Publishers,

2011.

[2] M. Ishaq, U.H. Ibrahim, and H. Abubakar, “Design of An Off Grid

Photovoltaic System: A Case Study of Government Technical

College, Wudil, Kano State,” International Journal of Scientific & Technology Research, vol. 2, issue 12, pp.175-181, Dec 2013.

[3] Syafii, Y. Mayura, dan Muhardika, “Strategi Pembebanan PLTS Off Grid untuk Peningkatan Kontinuitas Suplai Energi Listrik,”

Jurnal Rekayasa Elektrika, vol. 15, no. 3, pp. 167-151, Desember

2019.

[4] S. Kouro, J.I. Leon, D. Vinnikov and L.G. Franquelo, “Grid-

Connected Photovoltaic Systems: An Overview of Recent

Research and Emerging PV Converter Technology,” IEEE

Industrial Electronics Magazine, vol. 9, no. 1, pp. 47-61, March

2015.

[5] O.P. Mahela, and A.G. Shaik, “Comprehensive Overview of

Grid Interfaced Solar Photovoltaic Systems,” Renewable and

Sustainable Energy Reviews, vol. 68, part 1, pp. 316-332, Feb

2017.

[6] M.A. Eltawil, Z. Zhao, “Grid-Connected Photovoltaic Power

Systems: Technical and Potential Problems - A Review”.

Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 4, issue 1, pp.

112-129, Jan 2010.

[7] S. Ekici, and M.A. Kopru, “Investigation of PV System Cable

Losses,” International Journal of Renewable Energy Research,

vol.7, no.2, 2017.

[8] M.S. Neves, M.A. Aredes, H. Khezri, E.T.H. Ida, and M. Aredes,

“Advantages of Grid Tied DC Micro Grid,” 2017 Brazilian Power

Electronics Conference (COBEP), Nov 2017.

[9] N. Ayai, T. Hisada, T. Shibata, H. Miyoshi, T. Iwasaki, and K.

Kitayama, “DC Micro Grid System,” SEI Technical Review

Number 75 October 2012.

[10] Winasis, Suroso, H. Prasetijo, A. Noviana, “Analisis Sistem

Mikrogrid DC Photovoltaic Terhubung Jala-jala,” Prosiding

Seminar Nasional Teknik Elektro, Malang, Oktober 2018.

Gambar 13. (a) tegangan dan (b) daya sistem disuplai PV, PLN dan

baterai pada variasi sudut penyalaan thyristor

Gambar 14. Efisiensi sistem pada variasi sudut penyalaan thyristor

(a)

(b)

Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim.: Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali

Page 18: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

72

[11] D.R. Prasad, B.R. Kamath, K.R Jagadisha, and S.K. Girish,

“Smart DC Micro-Grid for Effective Utilization of Solar Energy,”

International Journal of Scientific & Engineering Research, vol.

3, Issue 12, Dec 2012.

[12] P. John, and B.K. Mathew, “Operation and Control of Solar

PV Based DC Microgrid,” International Journal of Current

Engineering and Scientific Research, vol. 2, Issue 9, 2015.

[13] D. Fregosi, et all. “A Comparative Study of DC and AC

Microgrids in Commercial Buildings Across Different Climates

and Operating Profiles”. IEEE First International Conference on

DC Microgrids (ICDCM), Jun 2015.

[14] M.H. Rashid, Power Electronics Handbook, Devices Circuits and

Applications: Elsevier, 2011.

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 19: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Penggunaan pembangkit tersebar (DG) pada jaringan

distribusi telah menjadi tren dalam pemanfaatan energi

terbarukan. Penempatan pembangkit di sisi beban ini

memiliki sejumlah manfaat yang diantaranya adalah

memperkecil rugi-rugi saluran karena daya listrik dikirim

dari pembangkit yang lokasinya dekat dengan beban.

Akan tetapi, pemasangan DG membawa efek negatif

bagi kerja peralatan proteksi saluran distribusi. Saluran

distribusi umumnya dilindungi oleh peralatan proteksi

arus lebih. Perubahan arah dan besar arus pada saluran

distribusi karena hidup dan matinya DG maupun grid,

menyebabkan penyetingan proteksi arus lebih sulit

dilakukan [1-3]. Relai dengan kemampuan adaptif dapat

menjadi solusi permasalahan ini. Namun kemampuan

adaptif membutuhkan perangkat tambahan seperti fasilitas

komunikasi [1]. Biaya perangkat tambahan ini tidak

Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral

untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan

Pembangkit Tersebar

Adrianti, Muhammad Nasir, dan Muhammad Rivaldi

Jurusan Teknik Elektro, Universitas Andalas

Kampus Limau Manih, Padang, Sumatera Barat 25163

e-mail: [email protected]

Abstrak—Pembangkit tersebar (DG) membawa banyak manfaat akan tetapi DG merubah jaringan distribusi yang

awalnya radial dengan satu suplai daya, menjadi sistem dengan banyak suplai. Sehingga besar dan arah arus pada

saluran distribusi mengalami perubahan. Akibatnya proteksi berbasiskan arus lebih yang selama ini menjadi

andalan pada saluran distribusi mengalami kemerosotan kemampuan dalam mendeteksi gangguan. Karena itu,

relai jarak yang bekerja berbasiskan nilai impedansi, dicoba diaplikasikan pada saluran distribusi untuk mengatasi

permasalahan relai arus lebih tersebut. Akan tetapi, saluran distribusi yang umumnya pendek menyebabkan

impedansi saluran menjadi kecil. Sehingga resistansi gangguan akan mendominasi impedansi yang terlihat oleh

relai jarak dengan karakteristik mho. Karena itu pada penelitian ini, karakteristik quadrilateral menjadi pilihan

karena memiliki fasilitas setting jangkauan dan setting resistansi yang diset terpisah. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kemampuan deteksi relai jarak quadrilateral untuk pengamanan saluran distribusi yang memiliki DG.

Penelitian menggunakan metoda simulasi dengan software Digsilent Powerfactory. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa relai jarak quadrilateral mengalami kesalahan dalam mendeteksi gangguan yang melalui resistansi akibat

tingginya nilai Sistem Impedance Ratio (SIR) dari DG. DG umumnya berkapasitas kecil dan merupakan sumber

arus gangguan yang lemah. Kecilnya suplai arus dari DG menyebabkan impedansi yang dilihat oleh relai menjadi

besar dan berada jauh diluar zona operasi relai.

Kata kunci: relai jarak quadrilateral, pembangkit tersebar, proteksi saluran distribusi, resistansi gangguan

Keywords: quadrilateral distance relay, distributed generation, distribution line protection, fault resistance

Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 73-79ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15734

Received 02 February 2020; Revised 09 June 2020; Accepted 18 June 2020

73

Abstract—Installation of distributed generations (DGs) in distribution network bring benefits for power system operation. However, DGs change the distribution network topologies from radial with one source into multi-sources

network, hence magnitude and direction of the current will also change. Consequently, the existing distribution line

protection i.e. current based protection, experience performances deterioration. To overcome this problem, distance

relays, which work based on calculated impedance is proposed. However, since mho distance relays fail to detect

faults through resistance in previeus research, quadrilateral characteristic of distance relay is chosen. Quadrilateral

distance relays have separate setting for reach and resistance; hence it is expected it will accommodate fault

resistance. Therefore, this research aims to identify the performance of quadrilateral distance relay in protecting

distribution lines that having DG. The research method is computer simulation where quadrilateral distance relays

performance is tested for various faults and system conditions in a test system. The software for the simulation is

Digsilent Power factory. The results conclude that the quadrilateral distance relays experienced failures to detect

faults in correct zone operation due to a weak source of DG. DG generates less fault current, as consequences, the

relays see large impedances.

Page 20: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

74 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

ekonomis bagi DG dengan kapasitas kecil.

Relai jenis lain yang bekerja bukan berdasarkan besar

arus adalah relai jarak. Relai jarak mengukur impedansi ke

titik gangguan. Relai Jarak dengan karakteristik mho yang

sudah umum dipakai untuk perlindungan saluran transmisi,

telah dicoba untuk aplikasi pada saluran distribusi yang

memiliki DG [4]. Permasalahan utama relai jarak dengan

karakteristik mho untuk aplikasi pada saluran distribusi

adalah resistansi gangguan dapat menyebabkan relai gagal

mendeteksi gangguan atau mendeteksi di zona yang salah

[4]. Hal ini disebabkan karena saluran distribusi relatif

pendek jika dibandingkan dengan saluran transmisi.

Sehingga impedansi saluran cukup rendah. Akibatnya

impedansi gangguan akan mendominasi impedansi yang

terlihat oleh relai [4].

Relai jarak dengan karakteristik quadrilateral memiliki

fasilitas setting yang terpisah untuk nilai resistansi dan

nilai impedansinya (jangkauannya), sehingga mampu

mengakomodir gangguan melalui resistansi [5]. Karena

itu, relai jarak dengan karakteristik quadrilateral dicoba

diaplikasikan pada saluran distribusi yang memiliki

DG. Aplikasi relai jarak dengan karakteristik mho dan

quadrilateral untuk proteksi pada jaringan distribusi

yang memiliki DG sebenarnya sudah dibahas pada [6-8].

Namun pada ketiga artikel tersebut, operasi relai jarak

yang dibahas tidak diperuntukkan untuk kondisi operasi

grid terputus. Akan tetapi, dimasa mendatang operasi DG

saat grid terputus menjadi kondisi operasi yang diharapkan

karena akan secara signifikan menaikkan tingkat keandalan jaringan distribusi [9]. Salah satu permasalahan

yang menjadi penghalang operasi saat grid terputus secara

otomatis pada jaringan distribusi yang memiliki DG

adalah peralatan proteksi yang ada pada jaringan distribusi

belum dirancang untuk kondisi grid terputus [10].

Sehingga operasi jaringan distribusi saat grid terputus

tidak didukung oleh peralatan proteksi yang memadai.

Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kemampuan relai jarak dengan karakteristik quadrilateral

untuk memberikan perlindungan pada saluran distribusi

yang memiliki DG untuk tiga kondisi sistem, yaitu kondisi

grid dan DG terhubung ke sistem distribusi, kondisi grid

terputus tetapi DG terhubung (islanding) serta kondisi grid

terhubung tetapi DG terputus. Jika pada ketiga kondisi

tersebut relai dapat bekerja dengan baik, maka DG akan

tetap dapat beroperasi saat grid terputus, sehingga tingkat

keandalan jaringan distribusi akan menjadi lebih baik.

II. Metode

Pengujian kemampuan relai jarak quadrilateral dalam

memproteksi saluran distribusi dilakukan dengan metoda

simulasi. Simulasi menggunakan software Digsilent

Powerfactory untuk sebuah sistem uji yang ditunjukkan

pada Gambar 1. Sistem uji merupakan suatu jaringan

distribusi radial yang memiliki 4 saluran 20 kV[4] . Beban

dan jaringan tegangan rendah dimodelkan menjadi titik

beban pada bus di ujung saluran 20 kV. Sebuah DG 2 MW

bergenerator sinkron dipasang pada salah satu bus di ujung

saluran yaitu bus 6. Data saluran sistem uji dapat dilihat

pada Tabel 1. Grid memiliki MVA hubung singkat sebesar

619 MVA.

Akibat penempatan DG pada bus 6, maka arus saluran

antara bus 2 dan bus 3 (saluran 1) serta arus saluran antara

bus 3 dan bus 6 (saluran 2) menjadi sangat bervariasi besar

dan arahnya tergantung on-off DG dan grid. Sehingga

dibutuhkan relai yang bekerja bukan berdasarkan besar

arus. Karena itu pada masing-masing ujung dan pangkal

saluran tersebut dipasang relai jarak quadrilateral yaitu

R1, R2, R3 dan R4, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Relai jarak quadrilateral yang digunakan dalam

simulasi adalah relai P44x yang terdapat pada library

Digsilent Powerfactory. Relai tersebut merupakan relai

yang dibangun untuk meniru karakteristik relai jarak

Areva P443, P445 dan P446. Relai ini dirancang untuk

dapat beroperasi pada tegangan menengah, tinggi dan

ekstra tinggi baik saluran berupa kabel maupun saluran

udara [11]. Pada penelitian ini, semua fasilitas tambahan

relai P44x yang bukan sifat relai jarak quadrilateral di set

tidak aktif (out of service) sehingga hanya karakteristik

quadrilateral saja yang berfungsi dalam pengamanan

saluran.

Simulasi dilakukan untuk 4 jenis gangguan hubung

singkat yaitu gangguan satu fasa ke tanah, gangguan antar

fasa, gangguan dua fasa ke tanah dan gangguan tiga fasa.

Disamping itu kerja relai juga dicek saat kondisi normal

tanpa gangguan dan berada pada beban puncak. Untuk

setiap jenis gangguan, titik gangguan disimulasikan

berlokasi pada titik batas setting zona 1, 2 dan 3. Guna

menguji kemampuan karakteristik quadrilateral ini

terhadap resistansi gangguan, resistansi gangguan dengan

besar 1, 10, 50 dan 100 Ohm disimulasikan pada berbagai

posisi dan jenis gangguan.

Gambar 1. Diagram satu garis sistem uji: Jaringan distribusi 20 kV

Tabel 1. Data saluran sistem uji [4]

No saluran Z1 (Ohm) Z0 (Ohm) Panjang (km)

1 1.77642,24° 5.259 + j4,775 10,72

2 4,2361 ∠2,24° 12,55 + j11,39 24,5

3 4,2361 ∠42,24° 12,55 + j11,39 24,5

4 2,6247 ∠42,24 7,774 + j7,058 15,18

Page 21: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

75Adrianti dkk.: Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar

Variasi jenis gangguan, posisi gangguan dan resistansi

gangguan juga ujikan pada semua kemungkinan kondisi

sistem. Kondisi sistem yang mungkin yaitu grid-DG

terhubung, Grid terhubung-DG terputus dan grid terputus-

DG terhubung. Keberhasilan relai dalam mendeteksi

gangguan dengan tepat pada ketiga kondisi ini merupakan

tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini.

Impedansi yang dibaca oleh relai ditunjukkan pada

diagram R-X seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 2.

Tiga zona digunakan pada penelitian ini. Jika impedansi

yang dibaca oleh relai berada dalam kurva di zona tertentu

maka relai akan beroperasi sesuai setting waktu zona

tersebut.

III. Resistansi Gangguan

Gangguan yang umum terjadi pada jaringan distribusi

adalah gangguan melalui resistansi. Penyebab timbulnya

resistansi gangguan umumnya adalah busur api (arc flash)

untuk gangguan antar fasa, dan busur api serta resistansi

ke tanah untuk gangguan tanah [12]. Resistansi ke tanah

disebabkan oleh resistansi kaki menara dan resistansi

objek yang menjadi penyebab gangguan (misalnya

tanaman). Besar resistansi gangguan yang mungkin terjadi

pada jaringan distribusi sulit untuk diprediksi. Akan

tetapi rumus resistansi gangguan akibat busur api yang

diturunkan oleh Warrington dapat dijadikan acuan untuk

menghitung resistansi busur api yang mungkin terjadi.

Rumus Warrington, diberikan pada (1) [5, 12].

1,4

28710 ( 1)arcR L

I=

Dimana L adalah panjang dari busur api dalam satuan

meter dan I adalah arus gangguan dalam ampere.

Berdasarkan rumus (1) terlihat bahwa besar arus

gangguan berbanding terbalik dengan besar resistansi

busur api. Untuk system uji yang digunakan, arus

gangguan sangat bervariasi tidak saja berdasarkan jenis

gangguan tapi juga kondisi terhubung atau terputusnya

DG dan grid. Arus gangguan berkisar dari 236 A saat

kondisi grid terputus hingga 5 kA saat kondisi grid dan

DG terhubung. Dengan mengambil tipikal arus gangguan

1000 A diperoleh besar resistansi arc 1,8 ohm untuk

panjang arc 1 meter. Dengan juga menggunakan (1) dan

nilai arus gangguan terkecil akan diperoleh besar resistansi

arc terbesar yaitu 13,68 ohm.

Resistansi ke tanah sangat bervariasi tergantung

objek apa yang menjadi penghubung titik gangguan ke

tanah. Jika resistansi gangguan sangat besar, maka arus

gangguan akan sangat kecil bahkan setara dengan arus

kondisi normal. Kondisi seperti ini, sudah berada diluar

kemampuan peralatan proteksi biasa dan butuh peralatan

proteksi khusus, sehingga berada di luar lingkup penelitian.

Salah satu cara mempertimbangkan resistansi

gangguan yang mungkin terjadi adalah dengan menghitung

impedansi beban puncak. Dengan asumsi impedansi beban

sepenuhnya dianggap resistif, maka akan dapat digunakan

persentase beban tersebut dalam pengambilan nilai

resistansi gangguan maksimum. Perhitungan impedansi

beban akan dibahas pada bagian IV.

IV. Setting Relai

Setting relai jarak quadrilateral terbagi atas setting

jangkauan relai dan setting resistansinya. Setting jangkauan

relai sama dengan setting untuk relai dengan karakteristik

mho. Pada penelitian ini setting jangkauan untuk masing-

masing zona menggunakan (2) – (4).

1 1 0.8 (2)zona LZ Z= ×

2 1 2 0.5 (3)zona L LZ Z Z= + ×

3 1 2 (4)zona L LZ Z Z= +

Dimana ZL1

adalah impedansi saluran dimana relai berada

dan ZL2

adalah impedansi saluran berikutnya. Untuk relai

R2 dan R3, zona 2 hanya sampai 100% panjang saluran

dan tidak memiliki zona 3.

Setting untuk komponen resistansinya dibedakan atas

setting gangguan phasa dan gangguan tanah. Nilai setting

resistansi ini didasarkan kepada persentase terhadap

impedansi beban puncak [5]. Impedansi beban puncak

dihitung menggunakan rumus (5).

1000

3 (5)nom

load

CT

KVZ

I

×=

Dimana KVnom

adalah tegangan nominal saluran dalam

kV dan ICT

adalah rating arus primer trafo arus yang

digunakan pada proteksi jarak tersebut Sebagai setting

resistansi gangguan tanah diambil nilai 80% dan sebagai

setting resistansi gangguan phasa 60% [5]. Nilai setting

ini berlaku bagi semua zona. Impedansi beban puncak

sistem uji yang dihitung menggunakan (5) adalah sebesar

96 Ohm. Nilai-nilai setting relai jarak quadrilateral yang

digunakan pada saluran 1 dan 2 ditunjukkan pada Tabel

2. Nilai setting yang diberikan pada Tabel 2 adalah nilai-

nilai primer. Untuk aplikasi pada relai, digunakan nilai sisi

sekunder yang diperoleh dengan mengalikan nilai primer

dengan rasio CT dan dibagi rasio PT. Pada penelitian ini

digunakan rasio CT 120:1 dan rasio PT 20000:110. Setting

Z adalah setting jangkauan relai, setting Rp adalah setting

resistansi fasa, Re adalah setting resistansi tanah. Nilai

Gambar 2. Diagram R-X relai jarak dengan karakteristik quadrilateral

Page 22: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

76 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Rp dan Re untuk setiap zona dibuat sama. Setting waktu

dibuat sama pada semua relai seperti ditunjukkan pada

Tabel 2.

Karena setting resistansi gangguan tanah adalah 57,73

Ohm, maka resistansi gangguan yang disimulasikan

maksimum 50 Ohm. Nilai resistansi yang diujikan yaitu

1, 10 dan 50 Ohm.

V. Hasil dan Analisa

Dari simulasi diperoleh bahwa relai jarak quadrilateral

dapat mendeteksi dengan baik semua jenis gangguan

hubung singkat dengan resistansi gangguan nol, untuk

ketiga jenis kondisi sistem (grid-DG terhubung, grid

terputus-DG terhubung, Grid terhubung-DG terputus).

Akan tetapi permasalahan muncul jika gangguan terjadi

melalui resistansi gangguan. Detail hasil simulasi untuk

gangguan melalui resistansi gangguan akan dibahas pada

sub bab berikut.

A. Kondisi Grid dan DG terhubung

Hasil simulasi untuk kondisi grid dan DG terhubung

menunjukkan bahwa gangguan tiga fasa dapat dideteksi

oleh semua relai jarak quadrilateral, baik saat resistansi

gangguan kecil maupun besar (disimulasikan sampai 100

Ohm). Hal yang sama juga diperoleh untuk gangguan dua

fasa ke tanah. Untuk gangguan satu fasa ke tanah dan

gangguan antar fasa, relai-relai menunjukkan kemampuan

deteksi yang sama, yaitu relai-relai yang membelakangi

grid (R1 dan R3) beroperasi dengan benar sedangkan,

relai-relai yang membelakangi DG (R2 dan R4) mengalami

salah zona deteksi untuk resistansi gangguan kecil (1 ohm)

dan gagal mendeteksi gangguan untuk resistansi yang

lebih besar. Saat resistansi diperbesar menjadi 50 Ohm

semua relai jarak (termasuk R1 dan R3) gagal mendeteksi

gangguan.

B. Kondisi Grid Terhubung dan DG Terputus

Untuk kondisi grid terhubung tetapi DG terputus, arus

gangguan hanya disuplai dari grid, tidak arus dari arah

hilir saluran, sehingga R2 dan R4 tidak akan mendeteksi

adanya gangguan. Untuk gangguan tiga fasa dan gangguan

dua fasa ke tanah, relai R1 dan R3 bekerja dengan baik

untuk resistansi gangguan yang besar sekalipun (100

Ohm). Untuk gangguan antar fasa dan satu fasa ke tanah,

relai-relai bekerja dengan benar untuk resistansi gangguan

sampai 10 Ohm tetapi gagal mendeteksi untuk resistansi

gangguan 50 Ohm.

C. Kondisi Grid Terputus dan DG Terhubung

Kondisi grid terputus, dimana sistem hanya disuplai

oleh DG, menyebabkan gangguan hanya akan terlihat

oleh relai yang membelakangi DG (R2 dan R4). R1 dan

R3 tidak akan dapat mendeteksi gangguan. Hasil simulasi

yang diperoleh masih konsisten dengan dua kondisi

sebelumnya, yaitu relai-relai bekerja dengan baik untuk

gangguan tiga fasa dan gangguan dua fasa ke tanah

walaupun melalui resistansi yang besar. Untuk gangguan

satu fasa ke tanah, R4 bekerja dengan baik saat gangguan

melalui resistansi 10 Ohm untuk gangguan pada saluran

2 dan saluran 1, tetapi R2 salah mendeteksi zona operasi

untuk tipe gangguan yang sama pada saluran 1. Kedua

relai salah mendeteksi gangguan antar fasa dan satu fasa

ke tanah saat resistansi gangguan 50 Ohm.

D. Analisa

Pendeteksian oleh relai R1, R2, R3 dan R4 untuk

berbagai jenis gangguan dan resistansi gangguan yang

disimulasikan ditunjukkan pada Tabel 3. Dari Tabel 3

terlihat bahwa saat terjadi gangguan tiga fasa dan dua fasa

ke tanah melalui resistansi gangguan, semua relai dapat

mendeteksi gangguan dengan baik walaupun melalui

resistansi yang besar. Hal ini disebabkan karena gangguan

tiga fasa dan dua fasa ke tanah memiliki arus yang lebih

besar dibandingkan gangguan antar fasa dan satu fasa ke

tanah. Karena dengan arus gangguan yang besar, maka

impedansi yang terlihat relai akan lebih kecil. Untuk

gangguan antar fasa dan satu fasa ke tanah, relai R2 dan

R4 mulai mengalami salah mendeteksi pada resistansi

gangguan yang jauh lebih rendah dari pada saat R1 dan R3

mulai mengalami salah deteksi. Hal ini disebabkan karena

R2 dan R4 mendeteksi arus gangguan yang disuplai dari

DG yang nilainya lebih kecil dari pada arus gangguan

yang disuplai dari grid. Akibatnya impedansi yang terbaca

oleh R2 dan R4 menjadi lebih besar dan berada jauh di luar

zona operasi relai.

Pada Tabel 3, terdapat isian yang diberi tanda ?, yang

artinya deteksi relai dapat benar atau salah tergantung

pada kondisi sistem. Terdapat perbedaan kinerja relai saat

kondisi grid-DG terhubung dengan kondisi grid terputus-

DG terhubung, untuk gangguan satu fasa ke tanah dan

antar fasa. Pada semua sel yang berisi tanda tanya hasil

Tabel 2. Setting relai jarak pada sistem uji

ZonaJenis

Seting

Setting Relai Jarak Quadrilateral (Ohm

primer)

R1 R2 R3 R4

1 Z 1,42∠42,24°

1,42∠42,24°

3,39∠42,24°

3,39∠42,24°

Rp 76,98 76,98 76,98 76,98

Re 57,73 57,73 57,73 57,73

2 Z 3,89∠42,24°

1,78∠42,24°

4,23∠42,24°

5,12∠42,24°

Rp 76,98 76,98 76,98 76,98

Re 57,73 57,73 57,73 57,73

3 Z 6,01∠42,24°

- - 6,01∠42,24°

Rp 76,98 - - 76,98

Re 57,73 - - 57,73

Faktor Kompensasi residual, K = 0,0145∠0,015°

Setting waktu: zona 1= 0 detik, zona 2 = 0,4 detik, zona 3 = 1,2 detik.

Page 23: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

77Adrianti dkk.: Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar

simulasinya adalah relai mendeteksi dengan baik saat

sistem dalam kondisi grid terputus-DG terhubung dan

salah mendeteksi saat kondisi grid-DG terhubung ke

sistem. Dari simulasi diperoleh bahwa arus gangguan

yang dilihat oleh relai R2 dan R4 saat kondisi grid terputus

sedikit lebih besar dibandingkan saat kondisi grid-DG

terhubung.

Jika berbagai impedansi gangguan yang dideteksi oleh

relai untuk berbagai resistansi gangguan, diplot pada satu

diagram R-X, akan diperoleh hasil seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5. Simbol petir

berwarna merah menunjukkan besar impedansi (r dan x)

yang terlihat oleh relai. Nilai ohm yang ditulis di dekat

simbol petir tersebut merupakan besar resistansi gangguan

yang diberikan untuk simulasi tersebut. Pada Gambar 3

ditunjukkan impedansi yang terlihat oleh relai R1 saat

gangguan antar fasa pada saluran 1 yang lokasinya tepat

dibatas setting jangkauan relai R1. Resistansi gangguan

(Rf) yang diberikan yaitu 0, 10 dan 50 Ohm. Terlihat

bahwa kenaikan resistansi gangguan menyebabkan

impedansi yang terlihat relai juga menaik searah dengan

sumbu R seperti yang diharapkan. Dari Gambar 3

tersebut terlihat bahwa karakteristik quadrilateral benar

mampu mengantisipasi gangguan yang melalui resistansi

gangguan.

Pada Gambar 4 diperlihatkan impedansi yang dilihat

relai R2 saat gangguan satu fasa ke tanah pada saluran 1

dengan kondisi grid-DG terhubung. Pada gambar tersebut

hanya resistansi gangguan 0 dan 1 Ohm saja yang terlihat,

resistansi gangguan yang lebih besar berada terlalu

jauh untuk dapat diperlihatkan pada diagram. Gambar

5 menunjukkan impedansi yang dilihat relai R2 saat

Tabel 3. Deteksi gangguan oleh relai jarak quadrilateral pada sistem uji

Jenis gangguanResistansi

gangguan (Ω)Deteksi oleh relai

R1 R2 R3 R4

Lokasi gangguan: saluran 1, 80% panjang saluran dari bus 2

Satu fasa ke tanah

0 √ √ √ √

1 √ ? √ ?

10 √ X √ ?

50 X X X X

Antar fasa

0 √ √ √ √

1 √ ? √ ?

10 √ ? √ ?

50 X X X X

Dua fasa ke tanah ≤ 50 √ √ √ √

Tiga fasa ≤ 50 √ √ √ √

Lokasi gangguan: saluran 2, 80% panjang saluran dari bus 2

Satu fasa ke tanah

0 √ √ √ √

1 √ √ √ √

10 √ √ √ X

50 X X X X

Antar fasa

0 √ √ √ √

1 √ √ √ ?

10 √ √ √ ?

50 X X X X

Dua fasa ke tanah ≤ 50 √ √ √ √

Tiga fasa ≤ 50 √ √ √ √

√ = terdeteksi dengan benar X = salah deteksi

? = relai mendeteksi dengan baik saat sistem dalam kondisi grid terputus-

DG terhubung dan salah mendeteksi saat kondisi grid-DG terhubung

Gambar 3. Diagram R-X relai R1 untuk gangguan antar fasa dengan

resistansi gangguan 0, 10 dan 50 Ohm pada saluran 1

Gambar 4. Diagram R-X relai R2 untuk gangguan 1 fasa ke tanah dengan

resistansi gangguan 0 dan 1 Ohm pada saluran 1

Gambar 5. Diagram R-X relai R2 untuk gangguan antar fasa dengan

resistansi gangguan 0, 1, 5 dan 10 Ohm pada saluran 1

Page 24: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

78 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

gangguan antar fasa dengan kondisi dan lokasi yang sama

dengan Gambar 4. Terlihat impedansi yang terbaca oleh

relai saat resistansi gangguan 0, 1, 5, dan 10 Ohm. Dari

kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa saat resistansi

gangguan meningkat, impedansi yang terbaca oleh R2

tidak hanya meningkat nilai nya searah sumbu R tapi juga

kearah sumbu X. Ini menunjukkan bahwa impedansi yang

terbaca oleh relai tidak lagi mencerminkan impedansi

saluran ke titik gangguan ditambah resistansi gangguan.

Relai membaca impedansi yang salah karena arus yang

terbaca oleh relai menjadi sangat kecil akibat pemberian

resistansi gangguan tersebut.

Besar arus yang dilihat oleh relai R1 dan R2 untuk

gangguan yang berlokasi pada saluran 1 dengan jarak 80%

panjang saluran diukur dari bus 2 ditunjukkan pada Tabel

4. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 4 diperoleh dari

simulasi untuk kondisi grid-DG terhubung. R1 melihat

arus gangguan yang lebih besar karena disuplai dari

sumber yang kuat yaitu grid, sedangkan R2 melihat arus

gangguan yang lebih kecil karena disuplai dari sumber

yang lemah yaitu DG. Besar resistansi gangguan tentu

saja berpengaruh kepada besar arus gangguan yang terjadi

seperti ditunjukkan Tabel 4. Saat resistansi gangguan 50

Ohm, arus gangguan yang dilihat oleh relai R1 masih

beberapa puluh kali lebih besar dari pada kondisi normal,

tetapi arus gangguan yang terlihat oleh relai R2 sama atau

lebih kecil dari arus kondisi normal. Arus yang kecil ini

akan menyebabkan impedansi yang terbaca oleh relai R2

menjadi besar.

Kondisi dimana R2 dan R4 mengalami salah deteksi

karena sumber arus yang lemah dalam terminologi relai

jarak sering disebut rasio impedansi sumber terhadap

saluran (Zs/Z

L) atau disebut juga SIR (Source Impedance

Ratio) [5]. DG sebagai sumber arus gangguan yang dilihat

oleh R2 dan R4 memiliki nilai SIR yang tinggi. Umumnya

permasalahan ini timbul jika pembangkit/generator tidak

cukup kuat (memiliki Zs yang tinggi).

Berdasarkan temuan diatas, permasalahan aplikasi

relai jarak pada saluran distribusi yang memiliki DG

bukan saja disebabkan oleh pendeknya saluran, tetapi juga

lemahnya sumber (dalam hal ini DG). Sehingga solusi yang

diajukan yaitu memanfaatkan relai dengan karakteristik

quadrilateral belum berhasil mengatasi kegagalan relai

dalam mendeteksi gangguan yang melalui resistansi.

Karakteristik quadrilateral merupakan gabungan tiga

komponen setting yaitu reaktansi, resistansi dan arah

(directional). Pemisahan setting komponen resistansi

dan reaktansi memungkinkan setting resistansi dibuat

lebih besar dari pada setting berdasarkan panjang saluran

(reaktansi), sehingga jangkauan relai untuk gangguan

melalui resistansi menjadi lebih baik Penambahan nilai

setting resistansi tersebut berhasil menaikkan kemampuan

deteksi relai jika arus gangguan disuplai dari sumber

yang kuat (grid), namun tidak berhasil meningkatkan

kemampuan relai dalam mendeteksi gangguan melalui

resistansi jika arus gangguan berasal dari sumber yang

lemah. Selain itu, mengingat arus gangguan disuplai

dari kedua sisi relai (grid dan DG), dibutuhkan setting

arah agar relai hanya bekerja untuk gangguan pada

saluran yang berada didepannya saja. Setting arah akan

memudahkan penyusunan koordinasi antar relai namun

juga memiliki efek negatif. Efek negatif dari setting arah

yaitu menghalangi kontribusi arus gangguan dari arah

yang tidak sesuai setting namun disuplai dari sumber yang

kuat bagi pendeteksian gangguan.

Jika dibandingkan hasil simulasi gangguan di saluran

1 dengan gangguan di saluran 2, ketidakberhasilan relai

R2 dan R4 dalam mendeteksi gangguan melalui resistansi

semakin buruk untuk gangguan di saluran 1. Hal ini karena

saluran 1 semakin menjauhi DG, sehingga arus gangguan

menjadi semakin kecil dibandingkan dengan arus saat

gangguan di saluran 2.

VI. Kesimpulan

Studi penggunaan relai jarak quadrilateral untuk

proteksi pada saluran distribusi yang memiliki DG

memberikan kesimpulan sebagai berikut. Gangguan yang

menghasilkan arus besar (gangguan tiga fasa dan dua fasa

ke tanah) menyebabkan relai dapat mendeteksi gangguan

sampai nilai resistansi gangguan yang lebih besar dari

pada resistansi saat gangguan yang menghasilkan arus

gangguan kecil (gangguan satu fasa ke tanah dan dua fasa).

Karakteristik quadrilateral memperbesar kemampuan

relai mendeteksi resistansi gangguan tapi dengan syarat

sumber arus yang berada di belakang relai cukup kuat.

DG merupakan pembangkit berskala kecil dan merupakan

sumber yang lemah. Akibatnya relai yang mendeteksi arus

gangguan yang disuplai dari DG mengalami kegagalan

dalam mendeteksi gangguan melalui resistansi.

Performansi yang buruk pada relai-relai yang melihat

arus gangguan berasal dari DG disebabkan DG sehingga

memiliki SIR yag tinggi, sehingga impedansi yang terlihat

relai tidak lagi sesuai dengan impedansi saluran ke titik

gangguan ditambah resistansi gangguan. Impedansi yang

dibaca relai akan menjadi besar dan berada di luar zona

operasi yang seharusnya.

Penelitian ini akan dilanjutkan dengan melakukan

pengembangan terhadap relai jarak sehingga kelemahan

Tabel 4. Arus yang dilihat relai jarak untuk kondisi Grid dan DG

terhubung

Jenis gangguanResistansi

gangguan (Ω)

Arus terdeteksi relai

(A primer)

R1 R2

Satu fasa ke tanah

0 3644 167

10 975 45

50 396 22

Antar fasa

0 4800 277

10 1559 87

50 234 3

Normal (tidak ada

gangguan)

- 12 22

Posisi gangguan: 80% panjang saluran 1 dari bus 2

Page 25: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

79Adrianti dkk.: Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar

yang dimiliki untuk memproteksi saluran distribusi yang

memiliki DG, dapat diatasi.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Universitas

Andalas atas pembiayaan penelitian ini dengan Skim Riset

Dasar (RD) nomor T/52/UN.16.17/PT.01.03/RD-Inovasi

Sains/2019 tahun anggaran 2019.

Referensi

[1] F. Coffele, C. Booth, and A. Dyśko, "An Adaptive Overcurrent Protection Scheme for Distribution Networks," IEEE Transactions

on Power Delivery, vol. 30, pp. 561-568, 2015.

[2] P. Gupta, R. S. Bhatia, and D. K. Jain, "Adaptive protection schemes for the microgrid in a Smart Grid scenario: Technical

challenges," in Innovative Smart Grid Technologies - Asia (ISGT Asia), 2013 IEEE, 2013, pp. 1-5.

[3] P. Mahat, Z. Chen, B. Bak-Jensen, and C. L. Bak, "A Simple Adaptive Overcurrent Protection of Distribution Systems With

Distributed Generation," IEEE Transactions on Smart Grid, vol.

2, pp. 428-437, Sept. 2011.

[4] A. Adrianti, A. R. Sijabat, and M. Nasir, "Analyzing Performance of Distance Relay in Protecting Distribution Lines with

Distributed Generation," in 3rd International Conference on

Electrical Engineering and Computer Science (ICECOS), Batam,

Indonesia, 2019.

[5] Alstom-Grid, Network Protection & Automation Guide. Alstom,

2011, Accessed: Jun. 25, 2014 Available: http://www.alstom.

com/grid/products-and-services/Substation-automation-system/

protection-relays/Network-Protection-Automation-Guide-NEW-

2011-Edition/

[6] K. Pandakov, H. K. Høidalen and J. I. Marvik, "Implementation of distance relaying in distribution network with distributed

generation," in 13th International Conference on Development in Power System Protection 2016 (DPSP), Edinburgh, pp. 1-7, 2016.

[7] V. C. Nikolaidis, C. Arsenopoulos, A. S. Safigianni, and C. D. Vournas, "A distance based protection scheme for distribution systems with distributed generators," in 2016 Power Systems

Computation Conference (PSCC), pp. 1-7, 2016.

[8] V. C. Nikolaidis, A. M. Tsimtsios, and A. S. Safigianni, "Investigating Particularities of Infeed and Fault Resistance Effect on Distance Relays Protecting Radial Distribution Feeders With

DG," IEEE Access, vol. 6, pp. 11301-11312, 2018.

[9] A. Heidari, V. G. Agelidis, H. Zayandehroodi, J. Pou, and J.

Aghaei, "On Exploring Potential Reliability Gains Under Islanding Operation of Distributed Generation," IEEE Transactions on

Smart Grid, vol. 7, pp. 2166-2174, 2016.

[10] M. H. Bollen and F. Hassan, Integration of distributed generation

in the power system vol. 80: John Wiley & Sons, 2011.

[11] DIgSILENT_Powerfactory,"Technical Reference Documentation, Protection device: Areva P44x, Model Version:

V14.1," DIgSILENT GmbH, Gomaringen, July 2017.

[12] A. R. v. C. Warrington, Protective relays, their theory and practice vol. 1. London: Chapman and Hall, 1962.

Page 26: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Kebutuhan energi saat ini sebagai penggerak

kehidupan semakin lama semakin meningkat. Hal ini

sejalan dengan lonjakan jumlah populasi manusia,

sehingga dibutuhkan suatu sumber energi terbarukann [1].

Energi surya dinilai tepat untuk menjadi salah satu sumber

energi listrik alternatif yang dapat digunakan. Sistem

pembangkit listrik menggunakan panel surya hanya efektif

digunakan pada siang hari. [2].

Setiap modul memiliki titik operasi optimalnya

masing-masing yang dikenal dengan Maximum Power

Point (MPP) [3]. Karakteristik Maximum Power Point ini

akan berubah sesuai dengan sinar matahari dan temperatur

[4]. MPPT merupakan sistem elektronis yang secara

keseluruhan mengubah-ubah titik operasi elektronis

modul sel surya sehingga dapat mengirim daya maksimal

yang tersedia [5]. Salah satu keuntungan penggunaan

MPPT adalah cepat terpenuhinya kondisi equilibrium

photovoltaic untuk kondisi yang diperlukan oleh beban

[6].

Beberapa metode kontrol pada MPPT untuk

meningkatkan daya keluaran konverter telah dilakukan.

Desain maximum power point tracking (MPPT) pada

panel surya menggunakan metode sliding mode control,

terjadi kenaikan rata-rata nilai tegangan keluaran setelah

pemasangan sistem MPPT saat kondisi iradiasi matahari

dan temperatur yang berubah-ubah, dan juga dapat

mempertahankan tegangan keluaran dari modul panel

surya disekitar nilai maksimum yang diinginkan [7].

Algoritma penjejak perturb and observe (P&O) juga

telah digunakan. Sebuah algoritma yang mencari dP/dV

yang bernilai nol sebagai tanda puncak suatu kurva [8].

Efisiensi MPPT yang dicapai adalah 86% [9]. Algoritma MPPT pada panel surya juga telah dilakukan dengan

menggunakan fuzzy logic. Hasil pengujian menunjukkan

bahwa MPPT dengan fuzzy logic dapat menghasilkan

daya maksimum daripada direct-coupled. Efisiensi yang dicapai MPPT menggunakan fuzzy logic adalah 74,25743

% [10]. Sedangkan implementasi maximum power point

tracking pada photovoltaic berbasis P&O-Fuzzy juga

mampu meningkatkan efisiensi daya listrik dari PV. Hasil penelitian memperlihatkan MPPT menggunakan

algoritma kendali P&O-Fuzzy memiliki efisiensi 89%

Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan

Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID

Abstrak—Pemanfaatan sinar matahari menggunakan panel surya sebagai pembangkit listrik mulai dikembangkan

untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Tujuan penelitian ini adalah merancang model MPPT dengan

sumber PV. Pengendali PID digunakan untuk meningkatkan kinerja MPPT dalam mengatur boost converter,

sedangkan nilai PID diatur dengan fuzzy logic. Metode penelitian meliputi rancangan simulasi, hardware,

perhitungan kapasitas beban, dan rancangan fuzzy logic. Uji coba dilakukan menggunakan beban listrik yang ada

dalam rumah tinggal. Hasil penelitian sebelumnya, dengan menggunakan kontrol PID dihasilkan efisiensi 88,77%. Hasil penelitian dengan menggunakan kontrol PID yang diatur dengan fuzzy logic menghasilkan efifiensi 95,79%. Metode ini juga mampu memperbaiki keluaran tegangan boost converter, sehingga dengan metode ini tegangan

keluaran boost converter lebih bagus jika dibandingkan dengan metode lain.

Kata kunci: boost converter, kontrol pid, kontrol fuzzy logic, photovoltaic

Abstract—Utilization of sunlight using solar panels as power plants began to be developed to reduce the use of fossil

fuels. The purpose of this study is to design an MPPT model with PV sources. The PID controller is used to improve

MPPT performance in regulating the boost converter, while the PID value is set with fuzzy logic. Research methods

include simulation design, hardware, load capacity calculation, and fuzzy logic design. The trial was conducted using

an electric load in the house. The results of previous studies, using PID control generated 88.77% efficiency. The results of the study using PID control that is regulated by fuzzy logic produces 95.79% efficiency. This method is also able to improve the output of the boost converter voltage, so that with this method the boost converter output voltage

is better when compared to other methods.

Keywords: boost converter, pid control, fuzzy logic controller, photovoltaic

Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 80-86ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.16220

Received 22 March 2020; Revised 19 April 2020; Accepted 27 April 2020

80

Adhi Kusmantoro dan Margono

Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik dan Informatika Universitas PGRI Semarang

Jl. Sidodadi Timur No. 24 – Dr. Cipto, Semarang 50232e-mail: [email protected]

Page 27: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

81Adhi Kusmantoro dan Margono: Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID

[11]. Dalam sebuah penelitian MPPT menggunakan

kontrol PID menghasilkan efisiensi keluaran daya panel surya sebesar 88,77% [12]. Demikian pula penelitian pengoptimalan daya menggunakan metode kontrol Self-

Tuning PID Dengan JST Jenis Perceptron menghasilkan

kenaikan energi sebesar 4,981% [13].Terlihat bahwa besarnya efisiensi daya listrik yang

dihasilkan masih di bawah 90%, sehingga perlu dilakukan peningkatan metode kontrol baru agar terjadi peningkatan

efisiensi. Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efisiensi keluaran daya panel surya di atas 90%. Hal ini dilakukan dengan merancang MPPT (Maximum power point tracking)

dengan sumber PV, menggunakan kontrol PID yang ditala

dengan fuzzy logic, yang berfungsi untuk mengatur nilai

PID. Jadi metode baru sistem hybrid kontrol Fuzzy-PID

digunakan untuk meningkatkan kinerja MPPT.

II. Studi Pustaka

Sistem photovoltaic yang menggunakan energi surya

menawarkan sumber energi yang ramah lingkungan. Kunci

dasar solar cell adalah nilai efisiensi konversi energinya yang merupakan kemampuan sebuah konverter untuk

mengekstraksi energi dan mendistribusikannya kepada

beban. Peningkatan nilai efisiensi ini akan mempengaruhi daya yang dibangkitkan oleh sistem dimana daya akan

naik. Hal ini mempunyai efek pada biaya yang harus

dikeluarkan yang akan lebih murah untuk tiap KWh

energi yang dihasilkan. Efisiensi sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor: efisiensi solar panel (8%–15%), efisiensi inverter (95%–98%) dan efisiensi Maximum Power

Point Tracking (±98%) [14]. Peningkatan efisiensi solar panel dan inverter tidak biasa dilakukan disebabkan

ketergantungan terhadap teknologi yang tersedia dan

memerlukan komponen dengan spesifikasi yang lebih tinggi yang akan menaikkan biaya instalasi. Sementara

itu improvisasi efisiensi melalui Maximum Power Point

Tracking (MPPT) menggunakan algoritma pada kontrol

yang digunakan lebih mudah dilakukan, tidak mahal serta

dapat diaplikasikan pada pembangkitan dengan solar

cell yang sudah ada tanpa merubah sistem. Peningkatan

nilai efisiensi ini merujuk pada kurva karakteristik arus-tegangan sel surya yang tergantung pada nilai radiasi

dan temperatur yang diterimanya [15]. Setiap modul

memiliki titik operasi optimalnya masing-masing yang

dikenal dengan Maximum Power Point Tracking (MPPT).

Karakteristik Maximum Power Point Tracking ini akan

berubah sesuai dengan sinar matahari dan temperatur [9]. Ketergantungan terhadap cuaca menjadikan MPPT tidak

mudah untuk menjaga titik operasi tetap dalam kondisi

maksimal dengan mengacu pada kurva karakteristik

tegangan-daya yang juga bervariasi. Untuk menyelesaikan

permasalahan ini, beberapa algoritma MPPT diajukan

sebagaimana yang telah di-review oleh Jaiswal dan Mahor

[16]. Kesadaran untuk menggunakan sumber energi baru

terbarukan menjadikan algoritma untuk MPPT ini menjadi

sangat penting.

Model matematik dikembangkan untuk menirukan

sel surya. Gambar 1 menunjukkan rangkaian persamaan

sel surya, dimana I dan V adalah arus dan tegangan sel

surya, kemudian, IL adalah cell’s photocurrent. R

sh dan R

s

adalah tahanan shunt dan tahanan seri dari sel surya.

Persamaan dari rangkaian ekivalen sel surya pada

Gambar 1, dinyatakan dengan (1):

(exp 1 (1) s s

L O

SH

q V IR V IRI I I

nkT R

+ + = − − −

Dimana IO adalah arus reverse saturasi (Ampere), n faktor

ideal dioda, q adalah muatan elektron (1,602·10-19 C),

K konstanta boltzman (1,3806.10-23 J.K-1), dan T adalah

temperatur solar cell (oK)

Kurva ini menunjukkan sangat jelas bahwa

karakteristik keluaran sel surya adalah non-linier dan

sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari, temperatur

dan kondisi pembebanan [17]. Untuk mendekati kinerja

dari panel surya, suatu modul metematis dikembangkan

untuk menirukan karakteristik dari panel surya yang

digunakan [18].

Maximum Power Point Tracking (MPPT) merupakan

sebuah metode untuk menentukan titik dimana daya

maksimum dihasilkan oleh panel surya. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan, salah satu keuntungan

penggunaan MPPT adalah cepat terpenuhinya kondisi

equilibrium photovoltaic untuk kondisi yang diperlukan

oleh beban dan yang dapat dipenuhi panel surya.

MPPT memerlukan dua komponen pendukung dalam

pengoperasiannya: arus input (I) dan tegangan input

(V) seperti tampak pada Gambar 2. Dua komponen ini

dikombinasikan untuk mendapatkan nilai daya P seperti

dengan persamaan P = V × I [19]. Dalam kondisi suhu dan radiasi berbeda, diperoleh nilai MPPT yang berbeda.

Metode yang tepat diperlukan untuk memperoleh nilai

Gambar 1. Rangkaian ekivalen sel surya

Gambar 2. Karakteristik P-V untuk level radiasi yang berbeda. Tiap titik

mewakili MPP dari masing-masing kurva

Page 28: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

82 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

daya maksimum yang dihasilkan oleh panel surya seperti

pada Gambar 3 [20]. Maximum Power Point Tracking atau yang biasa

disingkat MPPT, adalah sebuah sistem elektronis yang

mengoperasikan modul photovoltaic (PV) atau modul

sel surya agar dapat menghasilkan daya maksimal

yang bisa diproduksi oleh modul sel surya [21]. MPPT

bukan merupakan sistem tracking mekanis yang secara

fisik menggerakkan modul agar mengarah langsung ke matahari. MPPT merupakan sistem elektronis yang secara

keseluruhan mengubah-ubah titik operasi elektronis

modul sel surya sehingga dapat mengirim daya maksimal

yang tersedia. Dari daya tambahan yang terkumpul yang

berasal dari modul sel surya, sehingga arus pengisian

baterai dapat ditingkatkan. MPPT dapat juga dihubungkan

dengan sistem tracking mekanis, tetapi kedua sistem ini

benar-benar sangat berbeda [22], [23].

III. Metode

Sistem MPPT dalam penelitian ini terdiri atas panel

surya (photovoltaic), boost converter, baterai, beban

resistif dan induktif, dan controller PID. Sedangkan

tahapan dalam penelitian ini sebagai berikut:

A. Rancangan Simulasi

Untuk panel surya dalam simulasi ini (Gambar 4)

menggunakan tipe TSM-230PD05.10. Jumlah PV yang digunakan dua panel surya yang terhubung secara seri.

Untuk mengetahui kinerja PV dilakukan dengan perubahan

irradiance energi matahari dan suhu (Irradiance 1000 W/m2, suhu 35 OC dan Irradiance 500 W/m2, suhu 35 OC.

B. Rancangan Hardware

Untuk rancangan hardware terdapat dua jenis hardware

yang digunakan untuk menaikkan tegangan keluaran

PV. Hardware yang digunakan adalah hardware boost

converter (Gambar 5) dan kontrol MPPT menggunakan

Fuzzy-PID BTC-8300 (Gambar 6).

C. Perhitungan Kapasitas Beban

Dalam pembahasan ini sesuai dengan kebutuhan

daya listrik rumah tinggal sebesar 1300 Watt atau konumsi energi per-jam sebesar 1,3 KWh. Beban listrik ini akan

menyala pada jam 08.00 s/d 18.00, artinya beban listrik ini akan mengkonsumsi tenaga listrik selama 10 jam. Maka total energi yang dikonsumsi perharinya adalah 1,3 KWh.

Untuk sistem penyimpanan energi listrik digunakan empat

buah baterai 12 Volt dengan kapasitas masing-masing 60 Ah.

D. Rancangan Fuzzy Logic

Dalam rancangan ini fuzzy logic mempunyai dua

masukan, yaitu perubahan tegangan dan perubahan radiasi

matahari. Untuk keluarannya adalah duty cycle berupa

PWM dan digunakan untuk mengatur boost converter.

Fuzzy rule based (Tabel 1) yang digunakan tipe mamdani.

Untuk mencapai nilai MPPT, perubahan tegangan yang

terletak disebelah kiri atau kanan MPPT berfungsi untuk

menentukan besarnya tegangan, sedangkan perubahan

radiasi berfungsi untuk mengetahui perubahan tegangan.

Jumlah fungsi keanggotaan yang digunakan pada

Gambar 3. Karakteristik I-V pada temperatur permukaan sel surya yang

berbeda

Gambar 4. Simulink MPPT Fuzzy-PID

Gambar 5. Boost converter

Gambar 6. Fuzzy-PID BTC 830

Page 29: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

83Adhi Kusmantoro dan Margono: Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID

masukan dan keluaran berjumlah tiga buah fungsi

keanggotaan, yaitu fungsi keanggotaan trapezium dan

segitiga. Pada masukan delta tegangan (∆V) (Gambar 7) mempunyai rentang nilai mulai dari 0 hingga 3 dengan fungsi keanggotaan antara lain Negatif (N), Zero (ZE),

dan Positif (P). Sedangkan untuk delta radiasi (∆r) mempunyai rentang nilai mulai dari 0 hingga 10 dengan nama fungsi keanggotaan sama dengan variabel delta

tegangan (Gambar 8). Sedangkan keluaran fuzzy berupa

variabel pengaturan nilai kontrol PID. Variabel keluaran

PID berupa duty cycle yang mempunyai rentang nilai 0 hingga 1. Fungsi keanggotaan keluaran terlihat pada

Gambar 9. Keluaran ini berupa gelombang PWM (Pulse

Width Modulation) dengan besarnya amplitudo antara 0 hingga 5 volt. Flowchart penelitian MPPT menggunakan

kontrol Fuzzy-PID terlihat pada Gambar 10.

IV. Hasil dan Pembahasan

Sistem kendali MPPT yang dirancang terdiri dari

photovoltaic (panel surya) 500 Wp sebanyak tiga buah, boost converter yang berfungsi menaikkan tegangan DC

dari 24 V hingga 300 V, baterai 60 AH yang berfungsi untuk menyimpan energi, inverter yang berfungsi

mengubah tegangan keluaran boost converter menjadi

tegangan AC 220 V. Beban yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

beban yang digunakan dalam rumah tinggal, yaitu beban

lampu, beban induktif (beban pompa air, beban kipas

angin, beban AC). Untuk pengujian boost converter

terlihat pada Tabel 2.

Pada pengujian duty cycle PWM, nilai self-tuning PID

yang di berikan, yaitu KP = 110, K

I = 54, K

D = 78 dengan

nilai duty cycle 90% menghasilkan tegangan keluaran boost converter 299 V DC. Pengujian ini dilakukan pada siang hari jam 12.00.

Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa daya keluaran

panel surya mampu menghasilkan efisiensi 95,79%. Nilai efisiensi yang dicapai cukup tinggi karena sistem yang digunakan merupakan panel surya yang siap digunakan

untuk kebutuhan listrik cadangan pada rumah tinggal.

Hasil efisiensi yang diperoleh lebih baik dari penelitian sebelumnya, dengan efisiensi daya keluaran panel surya di bawah 90%.

Tabel 1. Rule fuzzy

∆r/∆V

N ZE P

N N ZE P

ZE ZE ZE ZE

P P ZE N

Gambar 7. Fungsi keanggotaan input perubahan tegangan

Gambar 8. Fungsi keanggotaan input perubahan radiasi matahari

Gambar 9. Fungsi keanggotaan output PID

Tabel 2. Pengujian boost converter

Daya Beban (Watt) Vin (V) Vout (V) Duty Cycle (%)

10 24 32 30

200 24 86 40

400 24 127 50

600 24 164 60

800 24 189 70

100 24 238 80

1200 24 299 90

Page 30: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

84 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Selain mengetahui nilai efisiensi yang dihasilkan, maka juga diperlihatkan nilai peningkatan dan perbandingan

kapasitas daya keluaran panel surya berdasarkan pada

tabel 4. Daya keluaran panel surya dengan MPPT kontrol

PID yang diberikan secara statik, dengan nilai KP = 119,

KI = 36, K

D = 94. Daya rata-rata yang dihasilkan dengan

kontrol PID adalah 919,57 watt, sedangkan daya rata-rata yang dihasilkan menggunakan Fuzzy-PID adalah 998,286 watt. Terjadi selisih daya rata-rata sebesar 78,72 watt dan

peningkatan daya 7,9% menggunakan kontrol Fuzzy-PID.

Dalam pengujian kontrol MPPT menggunakan panel surya

(photovoltaic) terlihat pada Gambar 11 dan 12. Dalam

gambar terlihat komponen atau perangkat yang digunakan

untuk menghasilkan daya keluaran yang optimum.

Dalam penelitian ini digunakan inverter 1500 watt sinusoidal dengan tipe YulongNE. Inverter yang digunakan

merupakan inverter yang menghasilkan tegangan listrik

AC satu fasa. Inverter yang digunakan dapat menghasilkan

tegangan keluaran 220 V AC dengan bentuk gelombang sinusoidal (Gambar 13) dan besarnya tegangan ini sesuai

dengan tegangan beban yang digunakan dalam rumah

tinggal. Berdasarkan hasil simulasi, Gambar 14 dan 15

memperlihatkan daya dan tegangan keluaran dengan

Mulai

Variabel ∆V, ∆r, Duty Cycle

Fuzifikasi

Variabel

Defuzifikasi

Inferensi

Fuzzy

Kontrol PID

Tegangan

Konverter?

Selesai

Gambar 10. Flowchart kontrol PID berbasis fuzzy logic

Gambar 11. Pengujian sistem MPPT

Tabel 3. Efisiensi daya keluaran

Pin (Watt) P

out (Watt) Efisiensi (%)

297 395 75.18

536 689 77.79

824 897 91.86

852 992 85.88

1114 1223 91.08

1215 1294 93.89

1435 1498 95.79

Tabel. 4 Perbandingan daya keluaran Photovoltaic

Daya MPPT dengan

PID (watt)

Daya MPPT dengan

Fuzzy-PID (watt)

307 395

610 689

814 897

913 992

1187 1223

1198 1294

1408 1498

Gambar 12. Pengujian photovoltaic

Page 31: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

85Adhi Kusmantoro dan Margono: Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID

kontrol PID. Sedangkan pada Gambar 16 dan Gambar

17 memperlihatkan penggunaan fuzzy logic untuk menala

nilai PID untuk menghasilkan tegangan dan daya keluaran

panel surya yang lebih baik, jika hanya menggunakan

kontrol PID.

V. Kesimpulan

Penggunaan kontrol hubrid Fuzzy-PID menghasilkan

peningkatan kinerja MPPT, sehingga efisiensi daya keluaran panel surya meningkat. Metode kontrol MPPT

menggunakan Fuzzy-PID menghasilkan efisiensi maksimum yang diperoleh adalah 95,79%, lebih besar dari penelitian sebelumnya yang menggunakan kontrol

PID, kontrol Fuzzy maupun kontrol lainnya. Berdasarkan

data tabel dan gambar penggunaan kontrol Fuzzy-PID

dapat mengoptimalkan daya keluaran panel surya. Selain

itu juga terjadi peningkatan daya 7,9%. Metode yang telah digunakan sangat diperlukan untuk memaksimalkan daya

keluaran panel surya atau boost converter.

Referensi

[1] A.Kusmantoro, “Use Of Inverter Off Grid 2000 Watt For Household With Battery Storage Use Of Inverter Off Grid 2000 Watt For Household With Battery Storage,” Journal of Physics:

Conference Series, pp.1-7, 2019.

[2] W.B. Pramono, D.A.R. Wati, M.V.T. Yadaka, “Simulasi

Maximum Power Point Tracking pada Panel Surya Menggunakan

Simulink MATLAB,” Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa

Teknologi Industri dan Informasi, Vol. 1, pp. 176–183, 2013.

[3] C. Sharma, A. Jain, "Modeling of Buck Converter Models in

MPPT using PID and FLC," TELKOMNIKA, Vol. 13, No. 4,

pp.1270 – 1280, 2015.

[4] C. S. Chin, Y. K. Chin, B. L. Chua, A. Kiring, and K. T. K.

Teo, “Fuzzy logic based MPPT for pv array under partially

shaded conditions,” 2012 International Conference on Advanced

Computer Science Applications and Technologies Fuzzy, 2013, pp. 133–138.

[5] R. K. Pachauri and Y. K. Chauhan, “Fuzzy logic controlled

MPPT assisted PV-FC power generation for motor driven water

pumping system,” 2014 IEEE Students’ Conference on Electrical,

Electronics and Computer Science, 2014, pp.1-6.

[6] Z. Xiaoe, W. Jinmei, and L. Jinsong, “Simulation Research on

the MPPT of the PV Cells Based on Fuzzy Control,” 2013 Fourth

International Conference On Intelligent System Design and

Engineering Applications, 2013, pp. 561–564.

[7] A. Faizal and B. Setyaji, “Desain Maximum Power Point Tracking

( MPPT) pada Panel Surya Menggunakan Metode Sliding Mode

Control,” Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, Vol. 14, No. 1,

pp. 22–31, 2016.

[8] M.F.Salam, S.I. Haryudo, “Simulasi Maximum Power Point

Tracking (MPPT) Panel Surya Menggunakan Perturb And

Observe Sebagai Kontrol Buck-Boost Converter.,” Jurnal Teknik

Elektro, Vol.06, No.01, 2017.

[9] Sri Utami, Implementasi Algoritma Perturb and Observe untuk

Mengoptimasi Daya Keluaran Solar Cell Menggunakan MPPT

(Studi Kasus di Laboratorium Energi Baru Terbarukan di Jurusan

Teknik Konversi Energi Politeknik Negeri Bandung),” Jurnal

Infotel, Vol. 9, No. 1, pp. 92–99, 2017.

[10] B.P.J. Putra, A.S. Aisjah, S. Arifin, “Rancang Bangun Maximum Power Point Tracking pada pada Panel Photovoltaic Berbasis

Logika Fuzzy di Buoy Weather Station,” Jurnal Teknik Pomits,

Vol. 2, No. 2, pp. 209-304, 2013.

[11] M. Effendy, N.A. Mardiyah, K. Hidayat, “Implementasi Maximum Power Point Tracking pada Photovoltaic Berbasis

P&O-Fuzzy,” JNTETI, Vol. 6, No. 1, pp. 2–7, 2017.

Gambar 13. Gelombang keluaran inverter

Gambar 14. Daya keluaran panel surya dengan kontrol PID

Gambar 15. Tegangan keluaran konverter dengan kontrol PID

Gambar 16. Daya keluaran panel surya dengan kontrol PID di-tuning

fuzzy logic

Gambar 17. Tegangan keluaran konverter dengan kontrol PID di-tuning

fuzzy logic

Page 32: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

86 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

[12] A.N. Hidayanti, P.Handayani, I. Chandra, “Pemanfaatan Metode

Single Axis Tracker dan Maximum Power Point Tracker (MPPT)

PID untuk Mengoptimalkan Daya Keluaran Panel Surya,” 10th

Industrial Research Workshop And National Seminar, 2018, pp.149-155.

[13] A.U. Azmy, Sumardi, M.A. Riyadi, “Sistem Tracking Panel

Surya Untuk Pengoptimalan Daya Menggunakan Metode Kontrol

Self-Tuning PID Dengan JST Jenis Perceptron,” Transmisi,

Vol.1, pp.35-41, 2015.

[14] L. Piegari and R. Rizzo, “Adaptive perturb and observe algorithm

for photovoltaic maximum power point tracking,” Renewable

Power Generation, IET, vol. 4, no. 4, pp. 317-328, 2010.

[15] Rayjansof Chairi. Fitria Hidayanti. Idris Kusuma, Perancangan

Sistem Kendali Cascade pada Deaerator Berbasis Adaptive Neuro

Fuzzy Inference System (ANFIS), Jurnal Ilmiah GIGA, Volume

18 (2). Pp.94-101, November 2015

[16] P. Jaiswal and A.Mahor, “Review on MPPT Techniques in

Solar Photovoltaic System,” International Journal of Advanced

Technology in Engineering and Science, Vol. 02, No. 07, pp. 245-252, July 2014.

[17] R.T. Widodo, Rugianto, Asmuniv, dan P. Sejati, “Maximum

Power Point Tracker Sel Surya Menggunakan Algoritma Perturb

and Observe,” 10th Industrial Electronics Seminar, 2009, pp.1-4.

[18] Selva S., “Modeling and Simulation of Incremental Conductance

MPPT Algorithm for Photovoltaic Applications,” International

Journal of Scientific Engineering and Technology, 2013, Vol. 2, pp. 681-684.

[19] Z. Xiaoe, W. Jinmei, and L. Jinsong, “Simulation Research on

the MPPT of the PV Cells Based on Fuzzy Control,” 2013 Fourth

International Conference Intelligent System Des. Eng. Appl.,

2013, pp. 561–564.

[20] A. K. Verma, B. Singh, and D. T. Shahani, “Fuzzy-logic based

MPPT control of grid interfaced PV generating system with

improved power quality,” IEEE 5th Power India Conference

(PICONF 2012), 2012, pp.1-7.

[21] S. Chin, Y. K. Chin, B. L. Chua, A. Kiring, and K. T. K. Teo,

“Fuzzy logic based MPPT for pv array under partially shaded

conditions’, 2012 International Conference on Advanced Computer Science Applications and Technologies (ACSAT),

2012, pp. 133–138.

[22] Hamad, M.S, Fahmy, A.M, and Abdel-Geliel, M., ‘Power Quality

Improvement of a Single-Phase GridConnected PV System with

Fuzzy MPPT Controller’, IEEE, pp.1839- 1844, 2013.

[23] Syafii, Y. Mayura, Muhardika, “Strategi Pembebanan PLTS Off Grid Untuk Peningkatan Kontinuitas Suplai Energi Listrik,” Jurnal Rekayasa Elektrika, Vol. 15, No.2, pp. 157-161, 2019.

Page 33: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Kebutuhan energi listrik di Indonesia dari tahun

ke tahun semakin meningkat yang disebabkan oleh

perkembangan ekonomi dan industri yang begitu cepat.

Namun, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia

masih memanfaatkan sumber energi yang berasal dari

fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam yang

jumlahnya terbatas. Selain itu, sumber energi fosil

tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap

kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah

giat mencanangkan penggunaan sumber energi baru dan

terbarukan (EBT) untuk mengatasi permasalahan ini.

Sumber EBT merupakan sumber energi yang ramah

lingkungan dan jumlahnya tak terbatas. Di Indonesia,

pemerintah menargetkan penggunaan EBT dari sumber

energi air, angin, panas bumi, biomassa dan surya sebesar

45 MW pada tahun 2025. Energi surya sendiri memiliki

potensi yang sangat besar yaitu hingga 207,8 GWp namun

baru 0,085 GWp (0,04%) yang telah dimanfaatkan [1].

Selain itu, energi surya dapat diakses dimanapun bahkan

di daerah terpencil yang tidak memiliki akses terhadap

jaringan transmisi dan distribusi listrik dari Perusahaan

Listrik Negara (PLN).

Pemanfaatan energi surya menjadi energi listrik

dapat dilakukan menggunakan instrumen yang disebut

sel surya. Sel surya merupakan suatu alat yang tersusun

dari material semikonduktor yang dapat mengubah sinar

matahari menjadi energi listrik menggunakan prinsip

fotovoltaik. Sel surya fotovoltaik ini dipercaya merupakan

solusi pemanen energi terbarukan yang menjanjikan

karena pemasangannya mudah, dapat diandalkan,

hanya memerlukan perawatan yang minimal dan tidak

membutuhkan bahan bakar [2].

Akan tetapi, suatu sel surya hanya dapat menghasilkan

keluaran energi yang kecil. Oleh karena itu dalam

prakteknya, beberapa sel surya dirangkai menjadi suatu

panel untuk mendapatkan keluaran energi yang lebih

besar. Keluaran energi yang dihasilkan oleh panel surya

ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak

Jauh bagi Panel Surya

Wahmisari Priharti, Sony Sumaryo, Desri Kristina Silalahi, dan Yendi Surya Agung

Universitas Telkom

Jl. Telekomunikasi, Bandung, Jawa Barat 40257

e-mail: [email protected]

Abstrak—Pemantauan kinerja panel surya dapat dilakukan secara langsung atau lokal (local monitoring) untuk

keperluan pengujian panel surya. Namun dalam prakteknya, pemantauan secara tidak langsung atau jarak jauh

(remote monitoring) juga dibutuhkan karena panel surya biasanya dipasang di tempat yang tinggi, jauh atau sulit

dicapai. Penelitian ini merancang suatu sistem pemantauan panel surya ganda yang dapat melakukan pemantauan

secara lokal maupun jarak jauh. Sistem lokal terdiri dari sensor tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya yang

diintegrasikan dalam suatu kit/perangkat yang disebut PVmeter. Data pada sistem lokal dapat ditampilkan langsung

pada LCD atau pada monitor PC oleh data logger. Sedangkan pada sistem jarak jauh, data dikirimkan ke internet

dan ditampilkan pada website Thinkspeak sehingga data dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Pada sistem

lokal, data yang dipantau berhasil ditampilkan bentuk file *.txt setiap 5 menit sekali. Sedangkan pada sistem jarak jauh, data berhasil ditampilkan pada website Thinkspeak dengan rata-rata kecepatan pengiriman data 52,5 detik.

Kata kunci: data logger, internet of things, local monitoring, pvmeter, remote monitoring

Abstract—Solar photovoltaic monitoring system can be directly conducted locally for the experimental purposes. However, indirect or remote monitoring is also needed since the solar panel are often installed in a a high place,

rural location, or remote area. This study offers a dual solar panel monitoring system i.e. local and remote. Local monitoring system consists of voltage, current, temperature and light intensity sensors that were integrated in a kit

called PVmeter. The data in the local monitoring system were displayed on a LCD or on a PC monitor using data

logger. While in the remote monitoring system, the data were uploaded to the internet and displayed on Thinkspeak

website hence the data are accessible whenever and wherever needed. In the local system, monitored data were

succesfully displayed on *.txt file format for every 5 minutes. While in the remote system, the data were succesfully displayed on Thinkspeak website with a mean transfer rate of 52.5 seconds.

Keywords: data logger, internet of things, local monitoring, photovoltaic, remote monitoring

Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 87-94ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.16352

Received 31 March 2020; Revised 05 May 2020; Accepted 09 May 2020

87

Page 34: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

88 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

besarnya iradiasi, sudut datang dan durasi penyinaran

cahaya matahari, suhu panel dan juga beberapa kondisi

lingkungan seperti cuaca, angin dan debu [3].

Faktor-faktor ini menyebabkan keluaran energi yang

dihasilkan panel surya sangat fluktuatif. Oleh karena itu, pemantauan kinerja panel surya diperlukan untuk

mengetahui bahwa panel surya telah terpasang dengan

benar dan menghasilkan keluaran sesuai dengan yang

diharapkan. Pemantauan ini dapat dilakukan dengan

mengukur besar tegangan dan arus yang dihasilkan oleh

panel surya dengan menggunakan multimeter atau sensor

tegangan dan arus. Beberapa penelitian telah melaporkan

hasil pemantauan ini menggunakan beberapa alat ukur

yang berbeda seperti ditampilkan pada Tabel 1.

Dari Tabel 1, terlihat beberapa penelitian masih

menggunakan multimeter dan perekaman data manual.

Perekaman dengan cara manual ini tidak dapat memberikan

data yang menyeluruh karena data hanya dapat diambil pada

waktu-waktu tertentu dan memungkinkan juga terjadinya

kesalahan dalam perekaman data. Oleh karena itu, pada

beberapa penelitian terakhir, pengukuran dan perekaman

data sudah dilakukan secara otomatis menggunakan sensor

dan data logger. Hal ini memungkinkan pengambilan

data yang lebih tepat, real-time dan terus menerus. Selain

itu, untuk memastikan kinerja panel secara menyeluruh,

faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh juga turut

diukur selain tegangan dan arus, yaitu intensitas cahaya,

suhu, dan kelembapan.

Sistem pemantauan yang sudah ada ini, sesuai

digunakan untuk memantau kinerja panel surya pada

waktu pengujian atau skala lab dimana akuisisi data

dapat dilakukan secara langsung yaitu ditampilkan pada

LCD atau ditampilkan dalam bentuk grafik menggunakan aplikasi PLX-DAQ. Namun dalam prakteknya, panel

surya seringkali diletakkan di tempat yang tinggi dan sulit

dicapai seperti pada atap atau di tempat terpencil. Hal

ini tentu akan menyulitkan pengguna untuk melakukan

pemantauan secara langsung. Teknologi komunikasi

yang disebut Internet of Things (IoT) dipercaya mampu

menyelesaikan masalah ini. Melalui IoT, perangkat

pemantauan yang sudah ada dapat dihubungkan kepada

internet sehingga data kinerja panel surya dapat diakses

oleh pengguna kapan saja dan dari mana saja [9].

Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian

ini dirancang suatu sistem pemantauan (monitoring

system) kinerja panel surya dengan dua cara: (a) lokal

(local), artinya sistem digunakan seperti multimeter

secara langsung di tempat peletakan panel surya (sistem

tidak memerlukan koneksi internet, data ditampilkan

secara langsung pada LCD dan dapat disimpan dalam

SD card memory oleh data logger serta dapat juga

ditampilkan dalam bentuk grafik dalam Microsoft Excel oleh PLX-DAQ) dan (b) jarak jauh (remote), artinya

sistem terintegrasi dengan internet sehingga bisa diakses

dimana saja dan kapan saja (data ditampilkan pada website

Thinkspeak sebagai platform IoT dengan menggunakan

NodeMCU ESP8266 sebagai wireless transceiver).

II. Metode

A. Diagram Blok Sistem

Gambar 1 menampilkan diagram blok dari sistem

pemantauan kinerja panel surya. Sistem ini terdiri dari

sensor tegangan DC yang digunakan untuk membaca

tegangan listrik keluaran panel surya dan sensor INA219

untuk membaca arus listrik keluaran panel surya. Sinar

matahari yang menyinari panel surya akan dibaca nilai

intensitasnya dengan menggunakan sensor GY-49 dalam

bentuk satuan lux serta suhu di sekitar panel surya akan dibaca oleh sensor LM35DZ. Semua nilai pembacaan

sensor dikirim ke mikrokontroler Arduino ATMega2560

untuk diolah. Powerbank berkapasitas 3800 mAh

digunakan sebagai penyuplai daya bagi sistem agar sistem

pemantauan ini dapat bekerja secara mandiri.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem ini

dirancang untuk dapat melakukan pemantauan melalui

dua cara, yaitu: (a) lokal dan (b) jarak jauh. Pada sistem

(a), nilai bacaan tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya

dalam bentuk digital ditampilkan secara langsung pada

LCD. RTC DS3231 digunakan sebagai patokan waktu

untuk data logger yang akan menyimpan data pada SD

card memory. Program PLX-DAQ digunakan sebagai

antarmuka untuk menghubungkan mikrokontroller

terhadap penampil data pada Microsoft Excel melalui

Gambar 1. Diagram blok sistem pemantauan kinerja panel surya

Tabel 1. Penelitian mengenai pemantauan kinerja panel surya

No Parameter

penelitianAlat ukur

Penampil dan

perekam dataRef

1 Tegangan, arus

dan intensitas

cahaya

Multimeter dan

luxmeter LCD, Manual [4]

2 Tegangan, arus

dan intensitas

cahaya

Voltmeter,

amperemeter dan

luxmeterLCD, Manual [5]

3Tegangan dan

arus

Sensor tegangan

dan sensor arus

PLX-DAQ

+ Ms.Excel, Data logger

[6]

4T e g a n g a n ,

arus, suhu dan

kelembaban

Sensor tegangan,

sensor arus,

sensor suhu dan

kelembaban

LCD, Data

logger [7]

5 T e g a n g a n ,

arus, suhu

dan intensitas

cahaya

Sensor tegangan,

sensor arus, sensor

suhu dan sensor

intensitas cahaya

PLX-DAQ

+ Ms.Excel, Data logger

[8]

Page 35: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

89Wahmisari Priharti dkk.: Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya

komunikasi serial. Data pada Microsoft Excel ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga lebih memudahkan pengguna untuk mengevaluasi kinerja panel surya.

Pada sistem (b), data yang merupakan hasil bacaan

sensor dikirim dari mikrokontroller ke cloud menggunakan

wireless transceiver NodeMCU ESP8266. Thinkspeak

digunakan sebagai platform IoT dimana data kemudian

diolah, dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Thinkspeak website. Untuk menggunakan fitur ini, pengguna harus memiliki satu akun atau alamat IP tertentu

yang memiliki beberapa jalur berbeda bagi parameter-

parameter yang dipantau oleh sistem.

B. Perancangan perangkat keras

Perangkat keras sistem pemantauan kinerja panel surya

dirancang sedemikian rupa dalam bentuk suatu kit agar

mudah digunakan pengguna. Kit ini bersifat praktis dan

portabel seperti halnya multimeter sehingga dapat juga

disebut sebagai PVmeter. Kit ini berdimensi (15,5×9×8,5)

cm3 seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Pada Gambar

2(a), terdapat lubang positif dan negatif bagi masukan

panel surya di bagian kiri kit, sedangkan pada Gambar

2(b), terdapat lubang positif dan negatif keluaran dari kit.

Kedua lubang ini dapat langsung dihubungkan kepada

beban. Selain itu, lubang input arduino juga disediakan

untuk memudahkan pengguna menghubungkan sistem ke

komputer.

Di dalam kit ini terdapat sensor tegangan dan arus yang

berfungsi untuk mengukur tegangan dan arus keluaran

panel surya. Selain itu, terdapat juga sensor intensitas

cahaya yang diletakkan pada depan kit, agar sensor dapat

membaca nilai intensitas cahaya matahari ketika proses

pengambilan data dilakukan. Sensor suhu diletakkan di

atas kit agar perubahan suhu pada bagian belakang panel

surya dapat terdeteksi.

LCD sebagai penampil data diletakkan pada depan

bagian depan kit. LCD ini akan menampilkan nilai-nilai

dari olahan mikrokontroler, yaitu tegangan, arus, intensitas

cahaya, suhu dan juga waktu pembacaan. Tombol switch

on/off disertakan pada bagian depan sehingga pengguna

tidak kesulitan untuk mengaktifkan sistem. Pada bagian

kanan dan kiri kit juga terdapat lubang ventilasi yang

berfungsi untuk mengalirkan sirkulasi udara di dalam kit

agar sistem tidak overheat.

Pada pemakaiannya, kit ini dipasang melekat pada

bagian belakang panel surya seperti ditunjukkan pada

Gambar 3. Oleh karena itu pada bagian kiri dan kanan

atas kit ini, disediakan dua lubang tempat memasang

mur dan baut agar kit dapat dilekatkan pada panel surya.

Selama pemantauan, sistem tidak berpindah tempat untuk

mencegah terjadinya kesalahan pembacaan oleh sistem

karena kabel sensor yang longgar atau terlepas akibat

gerakan/perpindahan.

Panel surya yang digunakan dalam pengujian

sistem ini merupakan jenis polycrystalline berdimensi

(485×360×25) mm3 dengan spesifikasi daya maksimum, P

max 20 W, arus daya maksimum, I

mp 1.08 A, tegangan daya

maksimum, Vmp

18,5 V, arus short circuit, Isc 1,16 A dan

tegangan open circuit, Voc

22,14 V. Agar arus listrik dapat

mengalir melalui rangkaian, suatu resistor dengan rating

20 W 20 Ω digunakan sebagai beban.

C. Perancangan Perangkat Lunak

Gambar 4 merupakan diagram alir perancangan

perangkat lunak dari sistem pemantauan panel surya. Ketika

proses dimulai, mikrokontroler akan menginisialisasi

port yang digunakan seperti sensor intensitas cahaya,

sensor arus, sensor tegangan, sensor suhu, LCD, RTC

dan SD Card Memory. setelah penginisialisasian selesai,

sensor akan membaca tegangan listrik, arus listrik, suhu

dan intensitas cahaya pada panel surya. Sensor tegangan

dan sensor suhu akan memberikan input analog bagi

mikrokontroler, nilai input analog akan diubah menjadi

nilai ADC oleh mikrokontroler dan nilai ADC akan diolah

dengan menggunakan rumus hingga mendapatkan nilai

(a)

(b)

Gambar 2. Kit sistem pemantauan kinerja panel surya (PVmeter): (a)

tampak kiri, (b) tampak kanan.

Gambar 3. Kit sistem pemantauan kinerja panel surya (PVmeter)

dipasang pada bagian belakang panel surya

Page 36: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

90 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

pengukuran yang diinginkan, sedangkan sensor intensitas

cahaya dan sensor arus yang menggunakan IC yang telah

diprogram sehingga pengguna tidak harus mencantumkan

rumus untuk mendapatkan nilai pengukuran yang

diinginkan. Pada sistem (a), setelah nilai pembacaan sensor

diolah, mikrokontroler akan memberikan data olahan ke

sistem data logger untuk diakuisisi, mikrokontroler juga

memberikan data ke aplikasi penampil atau LCD untuk

mencetak nilai pengukuran sensor dari data yang telah

diolah oleh mikrokontroler. Sedangkan pada sistem (b),

setelah nilai pembacaan sensor diolah, mikrokontroler

akan mengirim data olahan ke cloud melalui platform

Thinkspeak, selanjutnya Thinkspeak mengolah dan

menampilkan data tersebut pada website.

D. Kalibrasi Sensor

Kalibrasi sensor bertujuan untuk mengecek dan

mengatur tingkat performa dari sensor, dengan cara

membandingkan nilai pembacaan sensor dan nilai

pembacaan instrumen pembanding yang telah memiliki

standar pabrikasi dengan tingkat keakurasian yang lebih

tinggi, sehingga sensor dapat dipastikan memiliki standar

yang sama dengan instrumen pembanding. Kalibrasi

dilakukan dengan dua metode, yaitu:

1) Input berulang: Memberikan input yang konstan pada

sensor dan alat pembanding secara bersamaan untuk

mendapatkan hasil nilai eror dan akurasi sensor.

2) Input tak berulang/berubah-ubah: Memberikan input

naik (dari nilai terkecil hingga terbesar) dan input

turun (nilai terbesar hingga terkecil) pada sensor dan

instrumen pembanding untuk mendapatkan grafik histerisis sensor.

Akurasi atau ketelitian adalah beda maksimum antara

penunjukan instrumen dengan nilai sebenarnya. Akurasi

sering disebut juga dengan eror maksimum. Persamaan

untuk mendapatkan nilai akurasi ditunjukkan pada (1).

1 00% (1)Vr Va

AkurasiVa

− = ×

dimana Vr adalah hasil pengukuran dan V

a adalah harga

atau nilai sebenarnya dari besaran yang diukur [10].

Eror atau kesalahan dalam pengukuran dapat dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu kesalahan statis dan dinamis.

Kesalahan statis disebabkan oleh pembatasan-pembatasan

alat ukur atau hukum-hukum fisika yang mengatur tingkah laku alat ukur tersebut, sedangkan kesalahan-kesalahan

dinamis disebabkan oleh ketidakmampuan instrumen

untuk memberikan respons (tanggapan) yang cukup cepat

bila terjadi perubahan-perubahan dalam variabel ukur.

Salah satu cara untuk menentukan kesalahan-

kesalahan acak secara statis pada suatu alat ukur ialah

dengan menggunakan standar deviasi atau σ. deviasi

merupakan akar dari penjumlahan semua penyimpangan

(deviasi, d) setelah dikuadratkan dibagi dengan banyaknya

pembacaan. Secara matematis dituliskan seperti pada (2):

2 2 2 2² 1 2 3 2) (

dt d d d dn

n nσ Σ + + +…+= =

Sedangkan kesalahan dinamis dapat dicitrakan dengan

menggunakan grafik histerisis, yang di mana histerisis merupakan perbedaan antara nilai output pengukuran bila

diberi input naik dan input turun secara bertahap.

E. Pengujian Sistem

Pengujian kit sistem pemantauan kinerja panel surya

dilakukan selama 3 hari, dengan durasi pengujian 8 jam

dimulai dari pukul 08:00 hingga pukul 16:00. Lokasi

pengujian adalah di rooftop Gedung N kampus Universitas

Telkom Bandung dengan koordinat latitude S 6°58'36.71''

(-6.97687°) dan longitude E 107°37'45.45'' (107.62929°).

Pengujian ini menggunakan sistem penyangga tetap

(fixed) namun sudut pemasangan panel disesuaikan

dengan arah datangnya matahari yang dibagi kepada tiga

kategori waktu. Pada pukul 08.00-10.30, panel di pasang

menghadap kearah utara dengan sudut altitude 48,83°;

pada pukul 10.30-13.30 sudut altitude 90°; serta pada

pukul 13.30-16.00 sudut altitude 50,69°. Data nilai sudut

didapat dari kompilasi bulanan sudut datang matahari

yang diambil dari website suncalc.org dan dikalkulasikan

dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel.Dari tiap pengujian, nilai tegangan V, arus I, suhu T

dan intensitas cahaya Iv direkam. Hasil dari nilai tegangan

dan arus ini digunakan untuk menghitung besar daya yang

dihasilkan panel surya melalui (3).

(3) .P V I=

Sedangkan besar energi yang dihasilkan oleh panel surya

Gambar 4. Diagram alir perancangan perangkat lunak sistem pemantauan

kinerja panel surya

Page 37: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

91Wahmisari Priharti dkk.: Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya

pada waktu t tertentu dihitung menggunakan (4).

(4 . . . )W P t V I t= =

Besar daya yang dihasilkan panel surya, Pout

dibandingkan dengan besar daya yang diterima dari

pancaran radiasi matahari, Pin

untuk mendapatkan nilai

efisiensi panel surya, η seperti pada (5).

1 00% 1 00

5% (

)

max max

radiasi matahari

Pout I V

Pin I Luas Panelη ×= × = ×

×

dimana Imax

dan Vmax

masing-masing adalah besarnya nilai

arus dan tegangan maksimum panel surya.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Analisis Kalibrasi Sensor

Kalibrasi sensor dilakukan menggunakan dua metode

yaitu input berulang dan input tak berulang. Kalibrasi input

berulang digunakan untuk memperoleh nilai akurasi dan

eror/kesalahan statis sensor melalui perhitungan standar

deviasi. Sedangkan kalibrasi input tak berulang naik

dan turun digunakan untuk memperoleh citra kesalahan

dinamis sensor melalui grafik histeresis. Nilai akurasi dan standar deviasi bagi setiap sensor (tegangan, arus, suhu dan

intensitas cahaya) ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan

grafik histeresis bagi keempat sensor tersebut ditunjukkan oleh masing-masing Gambar 5 (a), (b), (c) dan (d).

Nilai akurasi dalam pengujian ini merepresentasikan

nilai eror maksimum suatu sensor. Dapat dilihat dari Tabel

2, nilai akurasi atau eror maksimum bagi keempat sensor

lebih kecil dari 5%, artinya semua sensor berfungsi dengan

baik dan layak digunakan dalam pengujian.

Gambar 5 (a), (b) dan (c) menunjukkan bahwa

hasil kalibrasi sensor tegangan, arus dan suhu tidak

menunjukkan gejala histeresis. Tidak wujudnya histeresis

berarti bahwa respon atau tanggapan sensor tegangan, arus

dan suhu tetap sama ketika diberikan input naik maupun

turun.

Hasil berbeda ditunjukkan oleh grafik tanggapan sensor intensitas cahaya seperti ditunjukkan oleh Gambar

5 (d). Dari grafik ini terlihat adanya perbedaan tanggapan sensor ketika diberikan input naik dan input turun. Namun

berdasarkan analisis regresi linear, grafik ini masih memiliki nilai koefisien determinasi yang baik yaitu 0,85 dan 0,89 bagi masing-masing input naik dan turun.

B. Analisis Kapasitas SD Card Memory

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. Grafik kalibrasi input tak berulang naik dan turun bagi sensor: (a) tegangan, (b) arus, (c) suhu dan (d) intensitas cahaya

Tabel 2. Hasil kalibrasi sensor

Jenis sensor Nilai akurasi dan eror (µ ±

σ %)

Tegangan 0,52 ± 0,081

Arus 2,00 ± 0,001

Suhu 3,72 ± 0.290

Intensitas

cahaya

0,91 ± 0.000

Page 38: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

92 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Modul SD card memory digunakan sebagai media

penyimpanan data pada sistem pemantauan on site. Semua

hasil pembacaan sensor dan waktu dari RTC akan disimpan

setiap 5 menit sekali dengan menggunakan format file.txt. Gambar 6 merupakan tampilan dari file.txt dimana pada file tersebut terdapat hari, tanggal, jam dari RTC serta nilai pembacaan dari semua sensor.

Setelah dilakukan pengujian penyimpanan data pada

modul SD card memory, diperoleh rata-rata penyimpanan

data pada SD card sebesar 7 KB selama 10 menit. Jika

sistem pemantauan kinerja panel surya hanya dihidupkan

selama 8 jam per hari, maka hanya akan menghabiskan

ruang penyimpanan memori sebesar 336 KB per harinya.

Apabila sistem logger ini menggunakan memory card

sebesar 8 MB yang memiliki kapasitas penyimpanan data

maksimal sebesar 7,20 MB, maka kartu memori dapat

menyimpan data akuisisi selama lebih kurang 61 tahun.

C. Analisis Kinerja Sistem Pemantauan

Hasil pengujian sistem pada hari pertama ditampilkan

pada Gambar 7 (a) dan (b). Gambar 7 (a) menunjukkan

besar tegangan yang dihasilkan panel surya dibandingkan

dengan besar intensitas cahaya matahari. Tegangan

maksimum dihasilkan pada pukul 14.00 sebesar 16,79

V dengan suhu pada panel sebesar 46,58°C, sedangkan

tegangan minimum dihasilkan pada pukul 16.00 sebesar

8,76 V dengan suhu 27,84°C.

Gambar 7 (b) menunjukkan nilai arus ang dihasilkan

panel surya dibandingkan dengan intensitas cahaya

matahari yang menyinari panel. Intensitas cahaya

maksimum berada pada pukul 14.00 sebesar 223120 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar

731,55 mA, sedangkan intensitas cahaya minimum berada

pada pukul 16.00 sebesar 78910 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 370,63 mA.

Hasil pengujian sistem pada hari kedua ditampilkan

pada Gambar 8 (a) untuk besar tegangan yang dihasilkan

panel surya dibandingkan dengan besar intensitas cahaya

matahari dan (b) untuk nilai arus ang dihasilkan panel

surya dibandingkan dengan intensitas cahaya matahari

yang menyinari panel. Tegangan maksimum dihasilkan

pada pukul 10.00 sebesar 17,45 V dengan suhu pada

panel sebesar 39,96°C, sedangkan tegangan minimum

dihasilkan pada pukul 16.00 sebesar 9,66 V dengan suhu

27,76°C. Intensitas cahaya maksimum berada pada pukul

10.00 sebesar 210762 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 755,4 mA, sedangkan intensitas

Gambar 6. Tampilan file.txt data logger

(a)

(b)

Gambar 7. Hasil pengujian hari pertama: (a) tegangan vs suhu, (b) arus

vs intensitas cahaya

(a)

(b)

Gambar 8. Hasil pengujian hari kedua: (a) tegangan vs suhu, (b) arus vs

intensitas cahaya

Page 39: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

93Wahmisari Priharti dkk.: Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya

cahaya minimum pada pukul 16.00 sebesar 75240 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar

400,92 mA.

Besar tegangan yang dihasilkan panel surya

dibandingkan dengan besar intensitas cahaya matahari dan

besar nilai arus yang dihasilkan panel surya dibandingkan

dengan intensitas cahaya matahari yang menyinari panel

pada hari ketiga ditunjukkan masing-masing pada Gambar

9 (a) dan (b). Tegangan maksimum dihasilkan pada pukul

10.00 sebesar 17,64 V dengan suhu pada panel sebesar

42,32°C, sedangkan tegangan minimum dihasilkan

pada pukul 16.00 sebesar 6,00 V dengan suhu 28,14°C.

Intensitas cahaya maksimum berada pada pukul 10.00

sebesar 222822 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 721,25 mA, sedangkan intensitas cahaya

minimum pada pukul 16.00 sebesar 55705 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 253,23 mA.

Berdasarkan hasil pembacaan sensor yang didapat

selama tiga hari, rata-rata penyinaran cahaya matahari

maksimal berada pada pukul 10.00 hingga 14.30 WIB.

Data yang ditampilkan oleh grafik pada Gambar 7, 8 dan 9 menunjukkan karakteristik panel surya yang apabila

intensitas cahaya pada keadaan yang maksimal, maka

suhu serta daya keluaran pada panel juga ikut meningkat,

sedangkan jika intensitas cahaya matahari berkurang,

maka suhu dan daya keluaran pada panel ikut berkurang.

Jika dilihat pada pada grafik perbandingan suhu terhadap tegangan keluaran panel surya, suhu dapat mempengaruhi

tegangan keluaran pada panel surya, dimana bila suhu

panel mengalami peningkatan maka tegangan keluaran

menurun, namun ketika suhu panel menurun, maka

tegangan keluaran akan mengalami peningkatan. Hasil

ini sesuai dengan pengujian yang dilakukan oleh El-Shaer

dkk pada tahun 2014 [11].

Melalui grafik perbandingan intensitas cahaya terhadap arus keluaran panel surya, dapat diperhatikan bahwa

perubahan intensitas cahaya matahari akan mempengaruhi

arus keluaran pada panel surya, dimana bila intensitas

cahaya semakin tinggi maka arus keluaran juga semakin

tinggi, sedangkan jika intensitas cahaya yang menyinari

panel surya semakin rendah maka arus keluaran panel

surya juga semakin rendah.

Kesimpulan hasil pengujian sistem pada hari 1,2 dan

3 ditunjukkan pada Tabel 3. Dari tabel ini dapat dilihat

bahwa kinerja panel surya tidak persis sama setiap harinya

namun nilai maksimum yang direkam memiliki kemiripan.

Nilai energi yang dihasilkan dipengaruhi oleh suhu dan

intensitas cahaya pada hari tersebut. Nilai tertinggi energi

total maksimum yang dihasilkan panel surya selama satu

hari dicatatkan pada hari kedua, yaitu sebesar 799,58 Wh.

Sedangkan energi rata-rata dari total tiga hari pengujian

sebesar 746,60 Wh dengan lama pengujian masing-masing

8 jam per hari.

Sesuai dengan data yang ditampilkan pada Tabel 3,

diperoleh daya rata-rata maksimum yang dihasikan per

hari sebesar 12.73 W, dengan bidang panel surya sebesar

0.167 m2 dan iradiasi rata-rata yang dipancarkan matahari

per hari sebesar 1000 W/m2 (pada keadaan cuaca cerah).

Maka dapat diperoleh nilai efisiensi, η rata-rata panel

surya sebagai berikut:

17,23 1 00% 1 00% 8%

167

Pout

Pinη = × = × =

Panel surya yang dipasang pada sudut tetap merupakan

salah satu penyebab rendahnya efisiensi yang dicapai pada pengujian ini. Peletakan panel pada sudut tetap ini

mengakibatkan matahari tidak selalu berada tegak lurus

terhadap panel surya sehingga daya yang dihasilkan

menjadi berkurang. Walaupun begitu, nilai efisiensi ini dianggap cukup baik, sebagaimana yang dilaporkan

oleh Shukhla et. al. bahwa efisiensi panel surya jenis polycrystalline dapat berkisar antara 7,15–11,19% [12].

Penggunaan pelacak surya dengan axis tunggal atau ganda diyakini dapat meningkatkan energi yang dihasilkan panel

surya sebesar masing-masing 22% dan 60% [13], [14].

(a)

(b)

Gambar 9. Hasil pengujian hari ketiga: (a) tegangan vs suhu, (b) arus vs

intensitas cahaya

Tabel 3. Hasil Pengujian Sistem

Hari

ke-Jam

Vmax (V)

Imax (mA)

Pmax (W)

Tmax (oC)

Ev max (lux)

Total

Emax (Wh)

1 14.00 16,79 731,55 12.28 46,58 223120 745,07

2 10.00 17,45 755,40 13.18 39,86 210762 799,58

3 10.00 17,64 721,25 12.72 42,32 222822 695,16

Mean - 17.29 736.07 12.73 42.92 218901 746,60

Ket: Vmax

: Tegangan maksimum, Imax

: Arus maksimum, Pmax

: Daya maksimum, Tmax

: Suhu

maksimum, Ev max

: Intensitas cahaya maksimum, Emax

: Keluaran energi maksimum (dalam sehari)

Page 40: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

94 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

D. Analisis Kecepatan Pengiriman Data

Waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan data

sensor dari mikrokontroller hingga ditampilkan ke website

Thinkspeak cukup bervariasi tergantung pada kecepatan

internet. Pada kecepatan 7,3 Mbps, waktu yang dibutuhkan

hanya 32 detik sedangkan jika kecepatan kurang dari 7,3

Mbps, waktu yang dibutuhkan hingga 100 detik. Rata-rata

kecepatan pengiriman data dalam pengujian ini adalah

52,5 detik. Contoh tampilan data pada website Thinkspeak

ditunjukkan pada Gambar 10.

IV. Kesimpulan

Sistem pemantauan lokal dan jarak jauh yang terdiri

dari sensor tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya

berhasil dirancang dan diimplementasikan dalam

pengujian ini. Hasil kalibrasi bagi sensor tegangan, arus,

suhu dan intensitas cahaya memberikan nilai akurasi

sebesar masing-masing 0,52, 2,00, 3,72 dan 0,91%. Data

nilai tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya berhasil

direkam oleh data logger dan ditampilkan bentuk file *.txt setiap 5 menit sekali pada sistem pemantauan lokal. Sedangkan pada sistem pemantauan jarak jauh, data

berhasil ditampilkan pada website Thinkspeak dengan

rata-rata kecepatan pengiriman data 52,5 detik.

Hasil pengujian kinerja panel surya polycristalline 20

Wp selama tiga hari diperoleh rata-rata energi total yang

dapat dihasilkan sebesar 746,60 Wh dengan efisiensi sebesar 8%. Nilai energi total dipengaruhi oleh tegangan

dan arus yang dihasilkan panel surya. Tegangan yang

dihasilkan pula berbanding terbalik terhadap suhu panel

surya sedangkan arus berbanding lurus terhadap intensitas

cahaya.

Berdasarkan data-data yang telah dihasilkan dapat

disimpulkan bahwa sistem pemantauan kinerja panel

surya ini bekerja dengan baik dan panel surya memberikan

keluaran sesuai dengan yang diharapkan.

Referensi

[1] ESDM, “Kejar Target Bauran Energi 2025, Dibutuhkan Investasi

EBT Hingga USD36,95 Miliar,” 2019.

[2] C. A. Mellit, A. M. Pavan, and S. A. Kalogirou, “Fault detection

method for grid-connected photovoltaic plants,” Renew. Energy,

vol. 66, p. 99, 2014.

[3] S. Irvine, “Solar Cells and Photovoltaics,” in Springer Handbook

of Electronic and Photonic Materials, Canada: Springer, 2017.

[4] A. Hasyim Asy’ari, Jarmiko, “Intensitas Cahaya Matahari

Terhadap Daya Keluaran Panel Sel Surya,” Simp. Nas. RAPI XI

FT UMS, p. 57, 2012.

[5] S. Yuliananda, “Pengaruh Perubahan Intensitas Matahari

Terhadap Daya Keluaran Panel Surya,” J. Pengabdi. LPPM

Untag Surabaya, vol. 1, no. 2, pp. 193 – 202, 2015.

[6] M. R. Fachri, I. D. Sara, Y. Away, M. R. Fachri, I. D. Sara,

and Y. Away, “Pemantauan Parameter Panel Surya Berbasis

ArduinoArduino secara Real Time,” J. Rekayasa Elektr., vol. 11,

no. 4, pp. 123-128, 2015.

[7] H. Suryawinata, D. Purwanti, and S. Sunardiyo, “Sistem

Monitoring pada Panel Surya Menggunakan Data logger Berbasis

ATmega 328 dan Real Time Clock DS1307,” J. Teknik Elektro,

vol. 9, no. 1, 2017.

[8] Putriani, M. Basyir, and Muhaimin, “Sistem Monitoring Alat Uji

Karakteristik Panel Surya Berbasis Mikrokontroler,” J. Tektro,

vol. 3, no. 2, pp. 1–10, 2019.

[9] W. Priharti, A. F. K. Rosmawati, and I. P. D. Wibawa, “IoT based

photovoltaic monitoring system application,” J. Phys. Conf. Ser.,

vol. 1367, no. 1, 2019.

[10] W. D. Cooper, Instrumentasi Elektronik dan Teknik Pengukuran.

Jakarta: Erlangga, 1994.

[11] A. El-Shaer, M. T. Tadros, and M. A. Khalifa, “Effect of Light intensity and Temperature on Crystalline Silicon Solar Modules

Parameters.,” Int. J. Emerg. Technol. Adv. Eng., vol. 4, no. 8, pp.

311–318, 2014.

[12] K. N. Shukla, S. Rangnekar, and K. Sudhakar, “A comparative

study of exergetic performance of amorphous and polycrystalline solar PV modules,” Int. J. Exergy, vol. 17, no. 4, pp. 433–455,

2015.

[13] I. H. Rosma, I. M. Putra, D. Y. Sukma, E. Safrianti, A. A. Zakri,

and A. Abdulkarim, “Analysis of single axis sun tracker system to increase solar photovoltaic energy production in the tropics,”

Proc. - 2018 2nd Int. Conf. Electr. Eng. Informatics Towar. Most

Effic. W. Mak. Deal. with Futur. Electr. Power Syst. Big Data Anal. ICon EEI 2018, pp. 183–186, 2018.

[14] I. H. Rosma, J. Asmawi, S. Darmawan, B. Anand, N. D. Ali,

and B. Anto, “The implementation and analysis of dual axis sun tracker system to increase energy gain of solar photovoltaic,”

Proc. - 2018 2nd Int. Conf. Electr. Eng. Informatics Towar. Most

Effic. W. Mak. Deal. with Futur. Electr. Power Syst. Big Data Anal. ICon EEI 2018, pp. 187–190, 2018.

Gambar 10. Contoh tampilan data pada website Thinkspeak

Page 41: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah

kepulauan yang terdiri dari banyak pulau kecil dengan

luas daratannya sebesar 8.201,72 km2. Berdasarkan

data Badan Pusat Statistik Kepulauan Riau, terdapat

1.800 pulau di wilayah Kepualauan Riau [1]. Secara

geografis, Kepulauan Riau berbatasan langsung dengan pusat bisnis dan keuangan Singapura dan menjadi

pintu masuk Selat Malaka dari sebelah Timur. Kondisi

geografis ini menimbulkan banyak ancaman, tetapi juga terdapat banyak peluang untuk peningkatan kesejahteraan

penduduk dan kemajuan hinterland. Dukungan teknologi

sangat diperlukan untuk mempermudah eksplorasi potensi

tiap pulau. Teknologi informasi dan komunikasi jarak jauh

nirkabel diyakini paling cocok untuk pemantauan remote

area. Banyak hal yang dapat dipantau jika teknologi ini

diterapkan, diantaranya pemantauan hutan mangrove [2],

pemantauan area laut [3], kondisi perubahan parameter

lingkungan (suhu, kelembaban, tekanan udara, ketinggian,

koordinat lokasi dan tingkat CO2) [4], dan identifikasi bencana [5].

Antena merupakan salah satu perangkat yang penting

untuk mendukung proses komunikasi jarak jauh nirkabel.

Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF

Heru Wijanarko, M. Hanif, Siti Aisyah, dan KamarudinJurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Batam

Jl. Ahmad Yani, Batam Centre, Batam 29461

e-mail: [email protected]

Abstrak—Kepulauan Riau yang terdiri dari ribuan pulau dan terletak di daerah terluar Indonesia memiliki tantangan

tersendiri. Berdasarkan letak geografis yang strategis ini, terdapat ancaman dan peluang untuk mengembangkan sistem informasi antarpulau. Komunikasi jarak jauh nirkabel dianggap yang paling cocok untuk kondisi tersebut. Antena merupakan salah satu bagian penting dalam komunikasi nirkabel. Dilakukan penelitian dan fabrikasi

antena Quadrifilar Helix dengan memanfaatkan kelebihan serta pertimbangan material sederhana, ringan dan murah, sebagai antena penerima pada sistem komunikasi antarpulau. Pada penilitian ini telah dilakukan proses desain, fabrikasi, dan pengujian antena. Desain dilakukan dengan bantuan software Antenna Magus, pengukuran dilakukan menggunakan instrumen Vector Network Analyzer, dan pengujian dilaksanakan pada kondisi lingkungan LOS. Hasil fabrikasi antena terdapat pergeseran frekuensi optimum dari 433 MHz menjadi 452.5 MHz, dengan persentase error 5,88 %. Hasil fabrikasi antena yang diukur pada frekuensi 433 MHz, memiliki nilai return loss

sebesar -13,06 dB dan VSWR 1,5, dimana masih memenuhi kriteria 1 ≤ VSWR ≤ 2. Antena Quadrifilar Helix hasil fabrikasi juga dapat menerima data dari sensor GPS, suhu, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angin hingga 9 kilometer. Sehingga antena ini layak digunakan sebagai antena untuk komunikasi antarpulau

pada pita UHF.

Kata kunci: Quadrifilar Helix, return loss, VSWR, 433 MHz, RSSI, penerima

Abstract— Riau Islands, which consists of thousands of islands and is located in the border area of Indonesia, has its own challenges. Based on this strategic geographical location, there are threats and opportunities to develop inter-island information systems. Wireless long-range communication is considered the most suitable for these conditions. Antennas are an important part of wireless communication. Research and fabrication of the Helix Quadrifilar antenna by utilizing the advantages and consideration of simple, lightweight and inexpensive materials, as the receiver antenna in inter-island communication systems. In this research, the design was carried out with the assist of the Antenna Magus software, measurements were using a Vector Network Analyzer instrument, and testing accomplished under the LOS conditions. The results are fabricated antenna optimum frequency shift of 433 MHz to 452.5 MHz, within 5.88% error percentage. The antenna fabrication which is measured at a frequency of 433 MHz, obtained return loss -13.06 dB and VSWR 1.5, that meets the criteria of 1 ≤ VSWR ≤ 2. Quadrifilar Helix Antenna fabricated results can receive data from GPS sensors, temperature, humidity, air pressure, wind speed and wind direction of up to 9 kilometers. So that this antenna is suitable to be used as an antenna for inter-island UHF communication.

Keywords: Quadrifilar Helix, return loss, VSWR, 433 MHz, RSSI, receiverCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

*Permohonan paten sederhana (S00201911528) yang merupakan

bagian dari artikel ini telah diajukan

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 95-102ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15486

Received 15 January 2020; Revised 13 May 2020; Accepted 16 May 2020

95

Page 42: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

96

Teknologi komunikasi radio yang banyak digunakan

untuk pemantauan remote area adalah komunikasi radio

433 MHz dan 2,4 GHz, masuk dalam rentang frekuensi pita Ultra High Frequency (UHF), dikarenakan frekuensi ini legal dan tidak berbayar. Penelitian ini menggunakan

modul radio 433 MHz, dimana jangkauan lebih jauh dibanding dengan modul radio 2,4 GHz.

Pada artikel ini, penulis akan membahas tentang

desain dan kinerja antena Quadrifilar Helix yang dirancang untuk komunikasi antarpulau pada pita UHF. Sebelumnya, telah dilakukan beberapa penelitian untuk

mendukung komunikasi antarpulau. Suatu penelitian

[4] telah melakukan akuisisi data parameter lingkungan

yang fokus pada kecepatan pemrosesan data yang

dikirim, namun belum menggunakan antena. Penelitian

lainnya [6] memanfaatkan modul GSM sebagai penanda koordinat lokasi pada hinterland. Selanjutnya telah

dilakukan penelitian untuk mentransmisikan data

gambar secara real time pada kanal UHF menggunakan modul radio transceiver 3DR [7]. Data gambar belum

dapat ditransmisikan pada jarak yang jauh karena hanya

memanfaatkan antena internal dari modul radio yang

digunakan. Sehingga, sebagai kelanjutan dari penelitian

yang telah dilakukan, antena Quadrifilar Helix dirancang agar jangkauan komunikasi dapat optimal.

Antena Quadrafilar Helix merupakan salah satu jenis dari antena heliks yang biasanya digunakan pada ground

segment sebagai antena penerima untuk komunikasi satelit,

karena pola radiasi hemispheric, ideal untuk penerimaan

di darat [8]. Antena ini juga memiliki banyak kelebihan

yaitu: ringan, gain yang besar dan, pola radiasi yang

terarah [9]. Berbeda dengan penelitian yang telah ada,

dengan memanfaatkan kelebihan yang dimiliki oleh antena

Quadrifilar Helix, penulis mendesain dan memfabrikasi antena berbiaya dan berbahan murah yang dapat

digunakan untuk komunikasi antarpulau pada frekuensi

kerja 433MHz. Setelah antena difabrikasi, dilakukan pengukuran dan pengujian pada lingkungan dimana

payload dapat berkomunikasi dengan perangkat penerima

secara Line of Sight (LOS), serta membandingkan hasil

simulasi dengan hasil pengukuran dan pengujian.

II. StudI PuStaka

Antena Quadrifilar Helix merupakan antena yang berbentuk seperti pegas, yang terdiri dari empat pegas

yang digabungkan menjadi satu, dimana diameter lilitan

dan jarak lilitan diatur sedemikian rupa untuk memenuhi

aspek kebutuhan dari antena tersebut. Oleh karena itu,

penerimaan data dapat terpenuhi secara optimal dari

payload ke perangkat penerima. Penulis menggunakan

antena Quadrifilar Helix sebagai alat transmisi yang digunakan untuk menghubungkan antara payload dan

perangkat penerima. Terdapat beberapa parameter dasar

yang perlu diperhatikan dalam mendesain sebuah antena

untuk mendapat hasil optimal seperti dipaparkan berikut

ini.

A. Pola Radiasi (Radiation Pattern)

Pola radiasi merupakan plot tiga dimensi yang

berbentuk fungsi matematika atau representasi grafik dari distribusi sinyal yang diterima antena sebagai fungsi

koordinat ruang. Pola radiasi antena berdasarkan bidang

irisan terbagi menjadi dua buah pola radiasi, yaitu pola

radiasi dengan arah elevasi (pola elevasi) dan azimut (pola azimut) [10]. Ada beberapa bagian yang penting dalam pola radiasi antena, ditunjukkan pada Gambar 1, yaitu:

1. Main/major lobe, adalah berkas radiasi yang

dimana terdapat kekuatan pancaran radiasi terbesar.

2. Minor lobe, adalah berkas radiasi yang pancaran

radiasinya kecil. Minor lobe dibagi dua berdasarkan

posisinya, side lobe dan back lobe.

3. Half Power Beamwidth (HPBW), adalah sudut yang dibentuk oleh pancaran antena.

B. Impendansi Input

Impedansi input adalah rasio perbandingan antara

tegangan dan arus pada sebuah terminal di antena atau

rasio komponen dari medan listrik ke medan magnet pada

suatu titik. Impedansi input antena umumnya merupakan

fungsi frekuensi. Dengan demikian antena akan

disesuaikan dengan interkoneksi saluran transmisi dan

perangkat. Selain itu, impedansi input antena tergantung

pada banyak faktor termasuk geometri, metode eksitasi,

dan jarak dengan objek di sekitarnya [10].

C. Voltage Standing Wave Ratio (VSWR)

Perbandingan antara gelombang maksimum dengan

gelombang minimum yang sering disebut dengan

Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) merupakan salah satu parameter yang menjadi penentu dalam matching-

nya sebuah antena dengan transmitter. Kondisi yang

paling diharapkan untuk nilai VSWR adalah bernilai 1, dimana merupakan kondisi ideal, sehingga nilai toleransi

Gambar 1. Koordinat sistem untuk analisis antena [10]

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 43: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

97

maksimum VSWR yaitu bernilai 2.Transmisi memiliki dua komponen gelombang

tegangan, yaitu tegangan yang dikirimkan (v+) dan

tegangan yang direfleksikan (v-). Perbandingan antara

kedua tegangan tersebut disebut sebagai koefisien refleksi tegangan (Γ).

0

0

, (1)L

L

z zv

v z z

+

−=

+

Koefisien refleksi tegangan (Γ) mempunyai nilai kompleks, yang menggambarkan besarnya magnitudo

dan fasa dari refleksi, dimana ZL adalah impedansi beban

(load) dan Z0 adalah impedansi saluran lossless. Nilai

VSWR dapat dihitung menggunakan persamaan berikut [10],

_

max_

min

(21

1, )

v

v

+ Γ=

− Γ

dimana Γ= −1 adalah refleksi negatif maksimum, ketika saluran terhubung singkat, Γ= 0 menunjukkan tidak ada refleksi, ketika saluran dalam keadaan matched sempurna, dan Γ = + 1 merupakan refleksi positif maksimum, ketika saluran dalam rangkaian terbuka.

D. Directivity

Directivity merupakan suatu rasio intensitas radiasi

yang mengarah pada arah tertentu sehingga radiasi

menjadi rata pada semua arah. Nilai intensitas radiasi rata-

rata merupakan total daya yang dipancarkan oleh antena

dibagi dengan 4π, untuk mengetahui ukuran konsentrasi radiasi directivity ke arah maksimum [10],

max

0

max radiation intensity.

avg radiation intensity(3)directivity

µµ

= =

E. Return Loss

Return loss merupakan sebuah acuan untuk

menentukan banyaknya daya yang hilang pada beban yang

disebabkan oleh tidak kembalinya daya sebagai pantulan.

Return loss ditentukan dari sebuah nilai perbandingan

antara amplitudo dan gelombang yang direfleksikan serta yang dikirim. Antara return loss dan VSWR memiliki kaitan yang erat dimana kedua parameter atau acuan

penentu matching suatu perangkat transmitter dengan

antena [11]. Berikut persamaan return loss jika koefisien refleksi diketahui.

Return loss = 20 log Г, (4)

dimana Г adalah koefisien refleksi.

F. Penguatan (Gain)

Gain adalah rasio intensitas pada arah tertentu yang

dipancarkan secara isotropik. Gain juga merupakan

kemampuan antena mengarahkan radiasi sinyal atau

penerimaan sinyal dari arah tertentu. Gain diukur dengan

satuan kuantitas yang berbentuk perbandingan dengan

satuan desibel.

Semakin besar nilai gain pada sebuah antena, maka nilai

Surface Area of Sphere dan Illuminated Area on Sphere

(beamwidth) akan semakin kecil. Hal ini menyebabkan radiasi dari antena tersebut akan mengarah kesuatu titik

tertentu, sehingga gain sangatlah berpengaruh sebagai

pengarah antena atau directional antenna [12].

G. Received Signal Strength Indicator (RSSI)

RSSI merupakan indikator yang dapat menunjukkan

nilai indeks yang dapat diterima oleh interface dari antena

penerima. Analisis nilai RSSI diperlukan agar kita dapat

memahami fitur yang menjadi dasar dari pola posisi [13]. Dengan menggunakan nilai RSSI, posisi dapat diprediksi

dan dapat membantu mengetahui apakah antena penerima

masih dapat berkomunikasi dengan pengirim.

Dengan menggunakan indeks RSSI, kekuatan sinyal

sebuah antena dalam dBm dapat diketahui. Indeks RSSI

yang didapatkan dari pengukuran dikonversi menjadi dBm

dengan menggunakan (5),

( ) -127,1

(59

).dBm

RSSIsignal =

nilai RSSI dalam dBm, menurut [13], dapat diprediksi dan

dimodelkan berdasarkan kuat sinyal rata-rata dari jarak

radius penerima dengan (6),

10 log (6),dBmRSSI A n d= −

sehingga nilai path loss exponent dapat dihitung dengan

menggunakan (7),

,10

(7)log

dBmA RSSIn

d

−=

dimana n adalah konstanta propagasi sinyal atau eksponen

(path loss exponent), d jarak dari pengirim, dan A kekuatan

sinyal yang diterima dalam jarak 1 meter dengan satuan

dBm.

Nilai n (path loss exponent) juga dapat diasumsikan

berdasarkan kondisi lingkungan, seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 1.

Enviroment PathLoss Exponent, n

Free Space 2

Urban area cellular radio 2,7 – 3,5

Shadowed urban cellular radio 3 – 5

In Building line of sight 1,6 – 1,8

Obstructed in building 4 – 6

Obstructed in factories 2 – 3

Tabel 1. PathLoss Exponent (n) [14]

Heru Wijanarko dkk.: Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF

Page 44: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

98

III. Metode

A. Perancangan Antena

Penelitian ini diawali dengan desain antena Quadrifilar Helix dengan bantuan software untuk memudahkan

perhitungan dan untuk menemukan nilai-nilai parameter

yang tepat untuk sebuah antena. Adapun software yang

digunakan dalam perancangan antena ini adalah Antenna

Magus.

Komponen utama dari antena ini adalah kawat tembaga

solid yang berdiameter 3,965 mm dan tiang penyangga dari

pipa plastik atau pvc berdiameter 20 mm. Untuk mekanik

dari antena, ditunjukkan pada Gambar 2(a), memiliki ukuran dengan rincian:

1. Tinggi dari bifilar 0 (Hh0) adalah 229,7 mm; 2. Tinggi dari bifilar 1 (Hh1) adalah 244,6 mm.

Antena ini memiliki belokan dari setiap heliksnya

adalah 0,25 turn.

Pada Gambar 2 (b), dapat dilihat bahwa setiap heliks memiliki radius, untuk heliks 0 (Rh0) memiliki radius

58,91 mm dan heliks 1 (Rh1) 62,72 mm. Elemen tembaga

disolder dengan kabel coaxial, dan center conductor dari

kabel tersebut akan dihubungkan dengan dengan heliks

yang besar dan kecil pertama. Ground-nya dihubungkan

dengan heliks besar dan kecil lainnya. Pada ujung sisi lain

kabel ini didukung dengan konektor rp sma female untuk

memudahkan penyambungan pada radio.

A. Fabrikasi Antena

Fabrikasi dilakukan sesuai dengan nilai atau ukuran yang didapat dari desain menggunakan software Antenna Magus.

Antena Quadrifilar Helix ini difabrikasi menggunakan material pipa plastik sebagai tiang penyangga dan kawat

tembaga. Biaya yang dihabiskan untuk fabrikasi antena

ini kurang lebih 120 ribu rupiah, sehingga masih dianggap

murah dan terjangkau bagi siapa yang ingin membuatnya.

Hasil fabrikasi antena dapat dilihat pada Gambar 3 (a) untuk tampak depan, dan (b) untuk tampak atas.

B. Pengujian Antena

Pada pengujian antena Quadrifilar Helix terdapat dua metode yang digunakan, yaitu:

1. Pengujian menggunakan instrumen

Instrumen pengukuran yang digunakan ialah

Keysight M9371A PXIe Vector Network Analyzer, 300 kHz to 6,5 GHz. Perangkat ini bekerja berdasarkan S-Parameters yang memancarkan gelombang dengan

frekuensi 300 kHz–6,5 GHz dan dapat mengukur karakteristik antena berdasarkan gelombang yang

dipantulkan kembali ke port, sehingga dapat

menampilkan grafik VSWR, impedansi dan return loss.

2. Pengujian langsung (Outdoor)

Pengujian ini dilakukan menggunakan Graphic

User Interface (GUI) Radiosonde pada lingkungan rooftop Gedung Prof. Mohammad Nasir lantai 13, Ocarina Batam Center dan Nongsa dengan kondisi

LOS. GUI digunakan untuk mendapatkan nilai RSSI antena dan data dari sensor GPS, suhu, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angin.

IV. haSIl dan PeMbahaSan

A. Pengukuran return loss antena Quadrifilar Helix

Pengukuran yang pertama kali dilakukan adalah

pengukuran return loss. Hasil dari simulasi dan pengukuran tersebut dapat dilihat dari Gambar 4 dan 5 di atas.

Berdasarkan data grafik return loss simulasi yang

Gambar 4. Grafik return loss Antena Quadrifilar Helix hasil simulasi

Gambar 3. Fabrikasi Antena Quadrifilar Helix; (a) Tampak samping, dan (b) Tampak atas

Gambar 2. Desain Antena Quadrifilar Helix; (a) Tampak samping, (b) Tampak atas

(a)

(a)

(b)

(b)

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 45: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

99

terdapat pada Gambar 4 dan grafik return loss pengukuran

dengan instrument Gambar 5, didapatkan perbedaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi. Perbedaan

tersebut adalah pergeseran frekuensi yang secara langsung

berpengaruh pada return loss. Untuk frekuensi kerja 433

MHz, frekuensi hasil pengukuran bergeser ke arah kanan atau menjadi 452,5 MHz atau bergeser sekitar 20,5 MHz pada hasil pengukuran antena. Nilai return loss pada

frekuensi 452,5 MHz adalah -29,69dB.Dengan bergesernya frekuensi tersebut maka nilai

return loss itu sendiri akan berubah. Berikut nilai return

loss pada Frekuensi kerja 433 MHz yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Perubahan nilai return loss adalah dari nilai -29,69 dB

menjadi -13,06 dB. Berdasarkan return loss, persentase

error dari hasil fabrikasi adalah 5,88%. Terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran frekuensi

yang menyebabkan perbedaan hasil pengukuran antena

dengan hasil simulasi antena, faktor tersebut antara lain:

hasil fabrikasi yang kurang akurat dengan ukuran simulasi,

pengelasan dan penyolderan antena yang kurang baik.

B. Pengukuran VSWR Antena Quadrifilar Helix

Berikut adalah hasil pengukuran VSWR dalam fungsi frekuensi yang menggunakan Vector Network Analyzer sebagai instrumen pengukurannya.

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai VSWR yang terukur pada Vector Network Analyzer untuk

frekuensi 433 MHz adalah 1,5. Hasil tersebut mendekati nilai perhitungan VSWR menggunakan (1) yaitu 1,57. Sedangkan jika dibandingkan dengan hasil simulasi

menggunakan software Antenna Magus, yang ditunjukkan

pada Gambar 8, pada frekuensi 433 MHz didapat nilai VSWR sebesar 1,3. Apabila melihat nilai pada frekuensi optimum antena (452.5 MHz), maka diperoleh nilai 1,09. Sehingga, setelah dibandingkan, antena Quadrifilar Helix yang telah difabrikasi masih masuk dalam kriteria nilai 1

≤ VSWR ≤ 2.

C. Pengukuran Impedansi Antena Quadrifilar Helix

Grafik impedansi antena dalam fungsi frekuensi dapat diperoleh dengan perhitungan matematis. Berikut gambar

hasil pengukuran impedansi dalam bentuk smithchart

yang didapat dari Vector Network Analyzer.Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai impedansi

yang pada frekuensi 433 MHz yaitu 51,80-j24,50 Ω.

Gambar 6. Grafik return loss Antena Quadrifilar Helix hasil pengukuran untuk frekuensi 433MHz

Gambar 8. Nilai VSWR yang didesain dengan software Antenna Magus

Gambar 5. Grafik return loss Antena Quadrifilar Helix hasil pengukuranGambar 7. Grafik VSWR Antena Quadrifilar Helix

Gambar 9. Smithchart Antena Quadrifilar Helix pada frekuensi 433 MHz

Heru Wijanarko dkk.: Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF

Page 46: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

100

Sedangkan nilai impedansi pada frekuensi optimum antena

(452,5 MHz), yang ditunjukkan pada Gambar 10, adalah 46,96+j7,75 Ω. Hasil perbandingan pengukuran tersebut menunjukkan bahwa nilai impedansi terdapat selisih yang

kecil dibandingan impedansi yang yang diharapkan yaitu

(50Ω + j0). Hal ini dapat menyebabkan banyak daya yang dipantulkan kembali (reflected), sehingga nilai return

loss akan bergeser (missmatch). Permasalahan selisih

impedansi tersebut dapat diatasi dengan menambahkan

rangkaian matching impedance.

D. Pengujian Jarak jangkauan

Proses pengujian jarak jangkauan sistem antena

dilakukan secara langsung (outdoor). Pengujian ini

bertujuan untuk mengetahui jarak jangkauan maksimum

dari antena Quadrifilar Helix. Nilai RSSI yang didapat dari radio menjadi parameter yang diukur dalam proses

pengujian ini. Berikut beberapa data RSSI antena

Quadrifilar Helix.

1. Pengukuran RSSI dengan jarak 0–100 meter

Proses pengujian antena dengan jarak 0–100 meter

ini dilakukan dengan mengambil data RSSI setiap jarak

5 meter. Grafik hasil pengukurannya ditunjukkan pada Gambar 11. Data RSSI diambil dengan tiga kali percobaan, dimana pengiriman data dilakukan oleh radio 3DR pada

frekuensi 433 MHz. Radio 3DR menggunakan antena Monopole sebagai antena pemancar dan antena Quadrifilar Helix hasil fabrikasi sebagai antena penerima.

Data grafik dari pengukuran RSSI dengan jarak 0–100 meter ditunjukkan pada Gambar 11. Dari grafik ini dapat dilihat bahwa nilai RSSI masih berada pada

rentang 50–150. Nilai RSSI menurun pada saat antena

diukur bergerak menjauh. Hal lain yang mempengaruhi perubahan nilai RSSI ini adalah adanya pegesaran sudut

saat mengarahkan antena ke antena pemancar. Untuk jarak

100 meter, komunikasi antara Radio 3DR dan penerima

yang menggunakan antena Quadrifilar Helix tidak terdapat kendala, 100% data dari sensor GPS dapat diterima.

2. Pengukuran RSSI dengan jarak 0–700 meter

Pada pengujian ini, dilakukan pengambilan data RSSI

secara kontinyu bergerak menjauh hingga 700 meter.

Grafik hasil pengukuran dengan jarak 0 – 700 meter ditunjukkan pada Gambar 12. Dari grafik pada Gambar 12, dapat dilihat hingga jarak 700 meter, nilai RSSI masih

berada di atas 50. Hingga jarak 700 meter, data dari sensor GPS masih dapat diterima dengan baik oleh radio yang menggunakan antena Quadrifilar Helix.

3. Pengukuran nilai RSSI pada jarak 9 kilometer

Untuk mencari seberapa jauh jangkauan dari antena

yang telah difabrikasi, dilakukan pengukuran nilai

RSSI hingga receiver tidak lagi dapat menerima data.

Pengukuran dilakukan pada titik pemancar rooftop Gedung Prof. Mohammad Nasir (Tower A) lantai 13 Politeknik

Gambar 10. Smithchart Antena Quadrifilar Helix pada frekuensi optimum

Gambar 13. Peta titik pengukuran RSSI dari Tower A Politeknik Negeri

Batam hingga Nongsa

Gambar 12. Grafik pengukuran RSSI dengan jarak 0 – 700 meter

Gambar 11. Grafik pengukuran RSSI dengan jarak 0–100 meter

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 47: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

101

Negeri Batam dan kondisi sistem penerima dengan antena

Quadrifilar Helix bergerak menjauh hingga ke daerah Nongsa (Gambar 13). Didapatkan hasil pengukuran terjauh yaitu 9 kilometer dengan kondisi lingkungan LOS.

Selain nilai RSSI, beberapa data lingkungan seperti:

GPS, sensor suhu, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angina, juga diambil setiap

dua detik pada pengukuran ini. Jarak terjauh diasumsikan

didapat pada saat terakhir kali penerima dapat menerima

data. Nilai RSSI diambil pada titik terjauh agar dapat

menentukan pola atau kurva kecenderungannya. Berikut

Gambar 14 yang menunjukkan grafik RSSI local dan

remote. Yang menjadi acuan sebagai kekuatan sinyal

dari antena Quadrifilar Helix adalah data RSSI local.

Sedangkan data RSSI remote merupakan kekuatan siyal

dari antena pemancar. Dari grafik pada Gambar 14, data diambil pada jarak 9 kilometer antara pemancar dan

penerima. Data diambil selama 80 detik dan menunjukkan

nilai RSSI local (penerima) masih bernilai di atas 50.

Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa antena Quadrifilar Helix hasil fabrikasi dapat menerima data hingga jarak 9 kilometer. Hal tersebut cukup layak apabila antena digunakan sebagai bagian dari perangkat

komunikasi antarpulau yang menggunakan frekuensi kerja

433MHz. Optimalisasi masih dapat dilakukan dengan mempertimbagkan bahan, manufacturing dan tentuanya

biaya pada saat fabrikasi.

4. Perhitungan kurva kecenderungan

Dari data telah didapat saat pengukuran, dapat

ditentukan pola atau kecenderungan nilai dBm terhadap

jarak. Penulis mengasumsikan pada pengukuran jarak

0–700 meter tidak LOS karena adanya pengaruh dari

kendaraan yang melintas dan banyaknya gedung pada

lingkungan pengukuran. Sehingga dari (7), didapatkan

nilai n = 2,425. Sedangkan untuk pengukuran jarak 9 kilometer, Tower A lantai 13 ke Nongsa, diasumsikan

dalam kondisi LOS. Berdasarkan Tabel 1, maka nilai

PathLoss yang digunakan adalah n = 2. Dari hasil kedua asumsi di atas, didapatkan (8) untuk melihat pola atau

kurva kecenderungan nilai dBm terhadap jarak (Gambar 15).

2,425 log , untuk 700( ) .

2 log , untuk(8)

9000

A d df x

A d d

− ≤= − ≤

E. Pengukuran Pola Radiasi

Pola radiasi diukur agar dapat mengetahui seberapa

baik hasil fabrikasi antena jika dibandingkan dengan hasil

simulasi. Gambar 16 merupakan pola radiasi antena hasil simulasi software Antenna Magus, sedangkan Gambar 17 adalah pola radiasi hasil pengukuran.

Berdasarkan perbandingan pola radiasi antara hasil

simulasi dengan pengukuran, didapatkan pola radiasi

horizontal yang mirip. Pengukuran pola radiasi dilakukan dengan cara mengambil data kuat sinyal dBm persudut

mulai dari 0° hingga 360° pada radius 15 meter. Hasil pola radiasi ini menunjukkan bahwa fabrikasi antena dapat

dianggap sesuai dengan desain hasil simulasi.

V. keSIMPulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini

adalah desain antena Quadrifilar Helix telah berhasil difabrikasi. Hasil fabrikasi antena menunjukkan adanya pergeseran frekuensi ke arah kanan dengan persentase

error 5,88%. Dari hasil pengukuran, frekuensi optimum

antena adalah 452,5 MHz, dengan nilai return loss -29,69

Gambar 14. Nilai RSSI antena Quadrifilar Helix pada jarak 9 kilometer

Gambar 15. Kurva kecendrungan nilai dBm terhadap jarak

Gambar 16. Pola radiasi antena pada simulasi

Heru Wijanarko dkk.: Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF

Page 48: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

102

dB dan VSWR 1,09. Apabila antena tersebut bekerja pada frekuensi 433 MHz, maka memiliki nilai return loss sebesar

-13,06 dB dan VSWR 1,5. Nilai ini dianggap baik untuk sebuah antena penerima karena masih memenuhi nilai

kriteria VSWR yaitu ≤ 2. Nilai impedansi yang terukur pada

frekuensi kerja 433 MHz adalah sebesar 51,80 – j24,50 Ω. Nilai impedansi tersebut masih belum ideal, namun dapat

dilakukan optimalisasi dengan menambahkan rangkaian

matching impedance. Dalam kondisi LOS, antena hasil

fabrikasi ini mampu menjangkau jarak maksimum hingga

9 kilometer. Secara umum, desain antena Quadrifilar Helix berhasil difabrikasi dengan menggunakan material sederhana, ringan, dan murah, serta layak untuk digunakan

sebagai antena komunikasi antarpulau pada pita UHF.

RefeRenSI

[1] Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau, “Provinsi

Kepulauan Riau Dalam Angka 2020,” Badan Pusat Statistik

Provinsi Kepulauan Riau, 2020. [Online]. Available: https://kepri.

bps.go.id/publication/2020/04/27/b8c13b368fd57df2ec706440/

provinsi-kepulauan-riau-dalam-angka-2020.html. [Accessed:

May. 07, 2020].

[2] J. R. Balbin and M. J. S. delos Reyes, “Development and

implementation of low cost salinity and temperature monitoring

system for mangrove forest,” in 2017IEEE 9th International

Conference on Humanoid, Nanotechnology, Information Technology, Communication and Control, Environment and

Management (HNICEM), Dec. 2017, pp. 1–6.

[3] Z. M. Loni, H. G. Espinosa, and D. V. Thiel, “Floating Monopole Antenna on a Tethered Subsurface Sensor at 433 MHz for Ocean Monitoring Applications,” IEEE Journal of Oceanic Engineering,

vol. 42, no. 4, pp. 818–825, Oct. 2017.

[4] S. Aisyah, D. Untari, H. Wijanarko, and Y. Harini, “Design of Data Acquisition System of Environmental Parameters Implemented in Riau Islands using myRIO,” in 2019 International Conference on

Applied Engineering (ICAE), Oct. 2019.

[5] M. Lu, X. Zhao, and Y. Huang, “Fast localization for emergency monitoring and rescue in disaster scenarios based on WSN,” in 2016 14th International Conference on Control, Automation,

Robotics and Vision (ICARCV), Nov. 2016, pp. 1–6.

[6] S. Aisyah, A. F. Daulay, Kamarudin, D. S. Pamungkas, and H. Wijanarko, “IoT-Based Transceiver Location Tracking System,” in 2019 International Conference on Applied Engineering

(ICAE), Oct. 2019.

[7] S. Aisyah, M. L. P. Nugroho, Kamarudin, and H. Wijanarko, “Image Transmission Performance Over UHF Channel Using Real Time Processing in LOS and NLOS Transmission,” in 2019

International Conference on Applied Engineering (ICAE), Oct.

2019.

[8] M. Šekelja, J. Jurica, and Z. Blaževiü, “Designing and Testing the Quadrafilar Helical Antenna,” presented at the 2009 International Conference on Software, Telecommunications and Computer

Networks: (SoftCOM 2009), Hvar, Croatia, Sep. 2009.

[9] S. Shoaib, W. A. Shah, A. Fahim Khan, and M. Amin, “Design and Implementation of Quadrifilar Helix Antenna for Satellite Communication,” in 2010 6th International Conference on

Emerging Technologies (ICET), Islamabad, Pakistan, Oct. 2010,

pp. 230–233.

[10] C. A. Balanis, Antenna Theory: Analysis and Design. John Wiley & Sons, 2016.

[11] A. Elrashidi and K. Elleithy, Hassan Bajwa, “Input Impedance, VSWR and Return Loss of a Conformal Microstrip Printed Antenna for TM01 mode Using Two Different Substrates,” IJNC,

vol. 2, no. 2, pp. 13–19, Aug. 2012.

[12] J. L. Volakis, Ed., Antenna Engineering Handbook, 4. ed. New

York, NY: McGraw-Hill, 2007.

[13] S. Joana Halder and W. Kim, “A Fusion Approach of RSSI and LQI for Indoor Localization System Using Adaptive Smoothers,” Journal of Computer Networks and Communications, vol. 2012,

pp. 1–10, 2012.

[14] F. J. Casadevall Palacio et al., “Radio environmental maps:

information models and reference model. Document number

D4.1,” Apr, 2011. [Online]. Available: https://upcommons.upc.

edu/handle/2117/14940. [Accessed: May. 11, 2020].

Gambar 17. Pola radiasi antena dengan nilai dBm pada jarak 15 meter

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 49: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Robot pintar dan otonom merupakan area teknologi

yang semakin berkembang dan banyak digunakan

untuk berbagai bidang. Salah satu area penelitian yang

berkembang pesat adalah mobil pengemudi mandiri (self-

driving car) seperti yang terdapat pada [1–3]. Mobil ini

dapat mengantarkan penumpang ke tujuannya secara

otonom dan berjalan otomatis. Pada bidang pertanian

teknologi robotika telah banyak digunakan antara lain

pada [4] yang menggunakan robot untuk membantu proses

panen pada rumah kaca khususnya panen bunga. Robot

digunakan untuk membawa wadah berisi air sebagai

tempat bunga yang baru dipetik agar tidak layu. Robot ini

memiliki kemampuan untuk mengikuti pekerja rumah kaca

secara otomatis dan memetakan area sekitarnya. Robot

juga dapat mengantar bunga yang telah dipetik ketempat

stasiun pengumpul bunga jika wadahnya telah penuh.

Robot pemetik apel dikembangkan pada [5] dimana

robot memanen apel secara otomatis menggunakan

pembelajaran mendalam (deep learning). Buah apel

dideteksi dan dilokalisasi menggunakan pengolahan citra

kemudian apel tersebut dipetik dengan lengan robot. Robot

pemotong rumput seperti pada [6] dikembangkan dengan

mengendalikan alat pemotong rumput dan gerakan robot

menggunakan logika fuzzy. Robot dilengkapi sensor warna

sehingga dapat membedakan rumput atau bukan rumput.

Robot cerdas bergerak dibidang kebencanaan antara

lain dikembangkan oleh Team Hector (Heterogeneous

Cooperating Team of Robots) dari TU Darmstadt [7] dimana

beberapa robot mampu melakukan eksplorasi terkoordinasi

secara otonom pada daerah bencana sekaligus mengenali

korban atau objek lainnya. Team ini mengembangkan

modul dengan sumber terbuka (open source) yang dikenal

dengan nama hector_slam yang melakukan lokalisasi

posisi robot serta pemetaan untuk daerah bencana. Robot

kebencanaan lainnya yang telah dikembangkan terdapat

pada [8]. Robot kebencanaan ini memiliki kemampuan

untuk mendeteksi korban dengan memanfaatkan sensor

PIR, memetakan rintangan di sekitar robot dengan sensor

Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot

Operating System Menggunakan Laser Scanner

pada Turtlebot

Aulia Rahman

Jurusan Teknik Elektro dan Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala

Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Banda Aceh 2311

e-mail: [email protected]

Abstrak—Kemampuan untuk berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan aman untuk melakukan tugas

yang diberikan merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh mobile robot. Untuk memenuhi keperluan

tersebut maka robot harus mampu mengindera lingkungan disekitarnya dan juga mengetahui lokasi dirinya relatif

terhadap lingkungan tersebut. Penginderaan lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan laser scanner untuk

menghasilkan peta dua dimensi (2D), sementara untuk mengestimasi posisi relatif robot pada peta (lokalisasi)

menggunakan particle filter. Penerapan pemetaan dan lokalisasi secara bersamaan ini diimplementasikan

menggunakan algoritma Simultaneous Localization and Mapping (SLAM) Gmapping berbasis Robot Operating

System (ROS) pada turtlebot 3. Hasil yang diperoleh berupa peta probabilistik 2D occupancy grid map dalam skala

abu-abu. Selain mengimplementasikan SLAM gmapping dengan pada turtlebot 3. Artikel ini juga memperlihatkan

simulasi 3D menggunakan gazebo.

Kata kunci: Robot Operating System (ROS), Gmapping slam, Laser scanner, Turtlebot

Abstract—The manouver ability from one place to another in order to accomplish some tasks safely is a basic

requirement of mobile robotics. Current robotic’s navigation systems require a ’real world’ map data, acquired

by on-board sensors, to carry out simultaneous localisation and navigation (SLAM) algorithm. There are several

SLAM algorithms. In this article we used SLAM gmapping using robot operating system (ROS) and laser scanner.

The gmapping slam algorithm used particle filter method to localize robot pose within the environment and generate 2D occupancy grid map. The map is in gray-scale informed the free space, wall, and unexplored space. The

implementation of gmapping slam conducted with turtlebot 3 from Robotics as well as 3D simulation using gazebo.

Keywords: Robot Operating System (ROS), Gmapping slam, Laser scanner, Turtlebot

Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 103-109ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529//jre.v16i2.16491

Received 21 April 2020; Revised 15 May 2020; Accepted 27 June 2020

103

Page 50: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

104 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

ultrasonik, serta kemampuan untuk mengetahui posisi

robot menggunakan GPS.

Dari beberapa contoh penerapan teknologi robotika

di berbagai bidang seperti yang telah dijelaskan diatas,

salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki robot

untuk scenario-skenario diatas adalah kemampuan

untuk mengestimasi posisi relatif robot terhadap

lingkungan atau peta dan secara bersamaan melakukan

pemetaan. Kemampuan ini dikenal dengan Simultaneous

Localization and Mapping (SLAM). SLAM merupakan

suatu istilah yang menggunakan berbagai algoritma untuk

menggabungkan beberapa sensor data untuk menghasilkan

peta lingkungan yang secara secara simultan juga dapat

menentukan lokasi robot. Dulunya masalah ini adalah

paradoks yang sulit dipecahkan karena untuk mengetahui

posisi robot, robot harus memiliki peta yang akurat. Dan

untuk membuat peta yang akurat, robot harus mengetahui

posisinya. Paradoks ini dijelaskan dengan baik pada [9].

Solusi dari permasalahan SLAM ini disajikan oleh

Choset dan Nagatani pada tahun 2001 [10] menggunakan

generalized Voronoi graph (GVG). Metode ini

merepresentasikan lingkungan dengan peta topologi GVG

yang mengandung informasi tentang lingkungan sekitar

robot. Peta topologi GVG ini semakin lama semakin

berkembang seiring bertambahnya edges dan nodes baru

dari sensor. Sehingga robot pada akhirnya dapat melakukan

proses eksplorasi pada lingkungannya secara parsial dan

bertahap.

Salah satu metode untuk mencari solusi SLAM adalah

dengan particle filter [11]. Particle filter menggunakan

sampel atau particle set secara random dan merata untuk

merepresentasikan distribusi awal kondisi awal lingkungan

robot. Kemudian seiring dengan informasi baru dari sensor

robot, state robot diperbarui. Dan proses dilakukan secara

terus menerus sehingga diperoleh posisi robot dengan

probabilitas tinggi. Algoritma SLAM gmapping yang

digunakan dalam artikel ini menggunakan teknik particle

filter. Metode lain dalam memecahkan masalah SLAM

adalah dengan Kalman Filter [9].

Selain particle filter dan Kalman filter, salah satu

algoritma yang banyak digunakan untuk memecahkan

SLAM saat ini adalah solusi berbasis grafis (graph-based SLAM) [12]. Metoda ini menggunakan teori optimisasi

grafik.Dari sisi sensor yang digunakan, penggunaan kamera

juga banyak digunakan untuk mendapatkan informasi

tiga dimensi (3D) dari lingkungan sekitar robot dan untuk

melakukan algoritma SLAM. Secara umum sensor kamera

yang digunakan dibagi menjadi dua kategori yaitu kamera

stereo dan monocular. Kamera stereo yang diintegrasikan

dengan sensor depth dikenal dengan RGBD (Red, Green,

Blue, and Depth) kamera [13]. Kelebihan kamera RGBD

adalah informasi jarak objek didepan kamera dapat

diketahui secara langsung sedangkan kamera stereo [14]

tidak.

Sementara itu untuk monocular SLAM memerlukan

proses tambahan untuk memperoleh menghitung jarak

objek terhadap sensor. Prinsip kerja monocular SLAM

[15], [16] adalah dengan mengidentifikasi fitur dari objek dan landmarks sekitar robot.

II. Metode

A. Gambaran umum sistem

Platform robot yang digunakan dalam artikel ini

adalah turtlebot 3 dari Robotis. Robot ini memiliki 2 roda

dan motor penggerak serta sebuah roda penyangga. Untuk

melakukan manuver, robot ini memvariasikan kecepatan

putar motornya. Mekanisme penggerak dengan sistem ini

dikenal dengan differential drive [17].

Modul Software menggunakan Robot Operating

System (ROS) sebagai robot middleware. ROS merupakan

middleware dalam penelitian robotika. ROS menyediakan

modul-modul yang dapat diimplementasikan langsung oleh

peneliti robotika ataupun komunitas dan memungkinkan

pengembangan modul-modul baru.

Untuk menyelesaikan permasalahan SLAM,

pada artikel ini digunakan teknik partikel filter dan

diimplementasikan dengan ROS dalam modul SLAM

gmapping [18]. Robot dilengkapi dengan laser scanner

sebagai sensor untuk pembuatan peta denah arena indoor

yang dijelaskan lebih rinci pada bagian berikutnya. ROS

diinstal pada Single Board Computer (SBC) odroid XU-4

sebagai pengganti Raspberry Pi 3 yang merupakan SBC

standar yang terpasang pada turtlebot 3. Sistem operasi

utama menggunakan Linux Ubuntu versi 16.04 dan versi

ROS yang digunakan adalah kinetic kame.

B. ROS

Robot Operating System (ROS) merupakan suatu

framework berbasis open source yang berisi tools dan

library yang berguna dalam mengembangkan program atau

aplikasi untuk sistem robot [19]. Struktur ROS bersifat

modular sehingga memudahkan proses integrasi antara

program yang telah dikembangkan sebelumnya dengan

program yang sedang dikembangkan. Komunikasi antar

proses dalam ROS dilakukan dengan menghubungkan

program atau yang disebut dengan node yang saling

berkomunikasi via topic. Node merupakan program yang

ditulis untuk melakukan berbagai fungsi atau tugas tertentu.

Sedangkan topic adalah bus yang digunakan dalam

transmisi pesan (message) antar node. Node dapat mem-

publish data (misanya data laser scanner) yang disebut

dengan publisher dan node dapat pula berfungsi menerima

dan menampilkan data yang disebut dengan subscriber.

Streaming data (message) via topic tersebut dilakukan

dalam jaringan lokal TCP yang disebut dengan jaringan

ROS atau ROS network.

Kumpulan dari nodes yang saling berkomunikasi dior-

ganisir menjadi paket atau package. Package terdiri dari

node dan library lainnya. Sistem komunikasi pada ROS

dengan node publisher dan subscriber diilustrasikan dalam

Gambar 1.

Bentuk elips pada Gambar 1 merupakan node terdiri dari

Page 51: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

105Aulia Rahman: Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot

dua jenis yaitu publisher dan subscriber. Secara umum node

tidak mengetahui dengan node mana dia berkomunikasi.

Akan tetapi node dapat mem-publish informasi kesuatu

topic. Sedangkan node yang memerlukan informasi

tersebut akan men-subscribe informasi pada topic. Node

yang mem-publish informasi disebut publisher sedangkan

node yang mem-subscribe informasi disebut dengan

subscriber. Bentuk kotak menunjukkan topic diinatasikan

dengan /topic_name. Topic digunakan sebagai saluran

komunikasi data berbasis TCP atau UDP. Setiap topik

mempunyai tipe message dengan format tertentu [20].

Message adalah tipe data dalam ROS.

C. Perangkat Keras Robot

Saat ini tersedia banyak sekali robot atau komponen

robot yang didukung oleh ROS. Daftar lengkap robot dan

komponen lainnya dapat dilihat lebih lanjut pada (https://

robots.ros.org). Pada artikel ini penulis menggunakan

platform robot dari Robotis yaitu turtlebot 3 waffle.Turtlebot 3 ini merupakan versi terbaru dari keluarga

turt- lebot 1 yang diciptakan oleh salah seorang pendiri

Willow Garage yang juga pengembang ROS. Turtlebot

1 dikembangkan pada tahun 2010 dan pertama kali

dipasarkan pada tahun 2011. Pada tahun 2012, Yujin

Robot mengembangkan turtlebot 2 berbasis pada platform

robot yang dikenal dengan nama kobuki. Kemudian pada

tahun 2017 turtlebot 3 dikembangkan dengan mengadopsi

aktuator cerdas Dynamixel dari Robotis. Versi ini

dilengkapi dengan fitur-fitur yang lebih lengkap dari pendahulunya. Dan merupakan platform standar yang

telah terintegrasi dengan ROS.

Turtlebot 3 adalah platform robot dengan biaya relatif

terjangkau dan tersedia dalam bentuk kit yang langsung

dapat digunakan dengan perangkat lunak sumber terbuka

(open-source). Turtlebot kit terdiri dari robot base dengan

mekanisme sistem penggerak differential drive, sensor

jarak 2D/3D, dan sebuah Single Board Computer (SBC),

serta kit penunjang lainnya. Turtlebot didesain agar mudah

dirakit dan komponennya dapat disesuaikan dengan

keinginan pengguna. Pengguna dapat menggunduh cara

merakit dan menggunakan turtlebot ini dengan yang

tersedia dari Turtlebot SDK.

Sebagai platform robot level pemula, robot ini memiliki

dan mengadopsi teknologi pada platform robot yang lebih

besar. Dan tidak sedikit robot-robot komersil seperti robot

penghisap debu yang awalnya dikembangkan dari platform

turtlebot. Salah satu teknologi utama dari turtlebot adalah

Simultaneous Localization and Mapping (SLAM) dan

navigasi, sehingga robot ini cocok dikembangkan sebagai

robot layanan rumah (home service robot). Turtlebot

dapat menjalankan algoritma SLAM untuk membuat peta

sekelilingnya dan berjalan di ruangan secara otomatis

tanpa menabrak dinding atau objek lainnya.

Banyak laboratorium penelitian dan universitas

menggunakan platform ini untuk penelitian tentang

SLAM, penelitian multi- robot, dan penelitian interaksi

manusia robot. Selain untuk penelitian, robot ini juga

banyak digunakan untuk mengajarkan mahasiswa terutama

pada mata kuliah dan teknologi robotika (daftar yang

cukup komprehensif tersedia pada http://wiki.ros.org/

Courses). Robot ini dapat dikendalikan dari jarak jauh

menggunakan laptop, joystick maupun telepon genggam.

Gambar plafform turtlebot 3 waffle pi standar dapat dilihat pada Gambar 3.

Spesifikasi lengkap kit standar turtlebot 3 dapat dilihat pada Tabel 1. Platform turtlebot 3 ini bersifat

modular. Dalam artikel ini, penulis melakukan beberapa

modifikasi komponen robot ini untuk meningkatkan kinerja dan agar robot lebih responsif untuk melakukan

tugas dengan komputasi yang intensif. Beberapa pilihan

tersedia untuk SBC yaitu yang berbasis prosesor Intel

atau ARM. Salah satu kelebihan SBC berbasis Intel adalah

banyaknya tersedia berbagai sistem operasi berbasis Linux

yang pre-installed dengan paket binary ROS yang bisa

langsung dioperasikan. Hal ini tentu saja mempermudah

proses instalasi. Akan tetapi di sisi lain, arsitektur Intel

biasanya memiliki konsumsi power yang lebih tinggi

jika diimplentasikan langsung pada robot sedangkan

robot memiliki kapasitas baterai terbatas. Selain itu CPU

berbasis Intel harganya relatif lebih tinggi dibandingkan

sistem ARM.

SBC dari turtlebot 3 kit adalah raspberry pi 3 dengan

quadcore. Untuk meningkatkan performa dari SBC maka

dalam artikel ini penulis memilih SBC Odroid XU4 yang

memiliki jumlah core yang lebih besar yaitu 8 core.

Gambar 1. Ilustrasi komunikasi antar node pada ROS via topik

Tabel 1. Spesifikasi standar kit turtlebot 3 waffle pi

Items Turtlebot Waffle Pi

Max translational vel 0.26 m/s

Max rotational vel 1.82 rad/s

Max. payload 30 Kg

Size (LxWxH) (281 x 306 x 141) mm

Weight 1.89 Kg

Operating time ± 2 Hours

Charging time ± 2.5 Hours

Actuator Dynamixel

XM430-W210-T

Embedded board OpenCR 1.0

SBC Raspberry Pi 3

Lidar LDS-01

120 - 3500 mm

Sensors 3-axis (gyroscope, accelero-

meter, magnetometer)

Page 52: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

106 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Hal ini diperlukan karena kita dapat mendistribusikan

implementasi tugas dalam ROS node pada kedelapan core

dari CPU, terutama untuk menjalankan algoritma SLAM

pada turtlebot 3 ini yang membutuhkan komputasi intensif

dan diharapkan algoritma SLAM dapat berjalan mulus.

D. Laser Scanner

Laser scanner atau sering juga disebut dengan LiDAR

(Light Detection and Ranging) merupakan komponen

penting dalam turtlebot 3. Lidar menggunakan laser

untuk memindai halangan atau dinding agar robot dapat

bermanuver dengan aman. Penggunaan lidar sangat

pupoler dewasa ini untuk berbagai keperluan terutama

semakin populer setelah semakin banyak digunakan mobil

mengemudi otomatis (self driving cars) seperti pada [21]

dan [1].

Cara kerja sensor ini adalah dengan memproyeksikan

sinar laser atau sinyal sumber kemudian menghitung

lamanya (waktu) sinyal pantul yang diterima oleh receiver

lidar [17]. Pada lidar 360 derajat, proses ini berlangsung

secara berkesinambungan. Hasil scan atau pemindaian

lidar ini berupa titik-titik awan (point clouds) dalam

bidang 2 dimensi, karena sensor ini hanya menindai

bidang horizontal. Jika lidar memindai bidang vertikal

dan horizontal maka point clouds yang dihasilkan berupa

ruang 3 dimensi. Point clouds 3 dimensi memungkinkan

pemetaan lebih detail tentang lingkungan robot tapi

membutuhkan komputasi yang lebih powerful.

Turtlebot 3 dilengkapi dengan 3600 lidar. Lidar ini

memiliki jangkauan antara 12–350 cm dengan resolusi

angular sebesar 10. Pada penelitian ini, lidar kit standar

diganti dengan 2D lidar dari SICK yaitu SICK TIM571.

Lidar SICK TIM571 dipilih karena memiliki jangkauan

yang lebih besar yaitu antara 5–2500 cm dan resolusi

angular yang lebih baik yaitu 0,33. Data laser scanner

ini dihubungkan ke SBC Odroid XU4 untuk diproses lebih

lanjut oleh ROS dalam menjalankan algoritma SLAM

gmapping.

E. Algoritma SLAM

SLAM merupakan algoritma komputasi untuk

membuat peta lingkungan sekitar robot dan memperbarui

peta berdasarkan informasi dari sensor serta disaat yang

sama merekam jejak lintasan robot [9]. Ada berbagai

macam teknik yang bisa digunakan untuk menerapkan

algoritma SLAM antara lain hector_slam, gmapping, dan

cartographer [22]. Semua algoritma SLAM ini tersedia

dalam paket standar ROS.

Dalam artikel ini, penulis menggunakan SLAM

gmapping untuk melakukan proses lokalisasi dan

pemetaan. Metode SLAM dengan gmapping mirip dengan

metode SLAM lainnya seperti hector_slam dimana metode

ini dapat membuat peta meskipun tidak ada informasi

odometry pada robot dan mengimplementasikan algoritma

lingkar terbuka (open loop algorithm) dan sebagai

konsekuensinya error akibat ketidakpastian sensor akan

bertambah besar selama proses pemetaan dilakukan.

Gmapping disisi lain menggunakan pendekatan lingkar

tertutup (closed loop approach) dimana jika robot kembali

pada posisi awal lagi, peta yang dibentuk akan diperbarui

[18]. Gmapping relatif lebih ringan dan membutuhkan

sumber daya komputasi lebih sedikit dibandingkan dengan

cartographer. Sehingga metode ini cocok diterapkan pada

turtlebot 3. Metode gmapping membutuhkan informasi dari

lidar dan data odometry robot. Lokalisasi pada gmapping

menggunakan metode Monte Carlo Localization (MCL)

atau sebut juga dengan filter partikel (particle filter).

Pemetaan dengan gmapping menggunakan teknik

occupancy grid map. Peta ini merupakan peta dua dimensi

Gambar 2. Node dan Topic ROS pada algoritma SLAM gmapping

Gambar 3. Turtlebot 3 waffle pi

Page 53: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

107Aulia Rahman: Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot

(2D) yang sering digunakan pada ROS. Occupancy

grid map merupakan peta atau citra greyscale yang

direpresentasikan dalam rentang nilai dari 0 sampai

dengan 255. Nilai ini diperoleh dari probabilitas posterior

menggunakan teorema Bayes. Peta hasil algoritma SLAM

dengan gmapping seperti terlihat pada Gambar 8 . Warna

putih pada peta adalah area dimana robot bisa bergerak

bebas. Warna hitam merepresentasikan dinding atau area

okupansi dimana robot tidak bisa bergerak. Dan terakhir

warna abu-abu merupakan daerah yang belum dieksplorasi

oleh robot. Peta ini nantinya digunakan sebagai informasi

bagi robot untuk bermanuver dan bernavigasi.

Pembuatan peta 2D occupancy grid map didasarkan

informasi dari odometry robot, modul transformasi

koordinat (TF), dan informasi dari sensor lidar (laser scan)

ketika robot bergerak. Data ini dapat divisualisasikan

pada ROS dengan RViz. Peta 2D yang dihasilkan disimpan

oleh map_server dalam map.pgm dan map.yaml. Peta ini

digunakan oleh robot untuk mendeteksi rintangan atau

objek di sekitar robot sehingga robot dapat bermanuver

dengan aman. Alur proses algoritma gmapping SLAM

dan node-node ROS yang diperlukan diilustrasikan dalam

Gambar 4.

F. Lingkungan pengujian pada arena buatan

Lingkungan pengujian dalam pembuatan peta indoor

ruangan oleh robot dilakukan pada arena buatan dengan

ukuran panjang arena 600 cm, lebar 400 cm, dan tinggi

60 cm. Bahan pembuatan arena terbuat dari kayu dengan

permukaan yang telah dilapisi dengan high pressure

laminate agar permukaan dinding arena menjadi rata

sehingga pantulan sinar laser dari lidar dapat terbaca

dengan baik dan presisi. Arena indoor ini dibuat untuk

mensimulasikan kondisi ruangan dengan ukuran kecil dan

besar, jalur yang sempit serta jalur yang besar. Ilustrasi

arena indoor buatan terlihat pada Gambar 5.

III. HASIL

Turtlebot 3 yang telah dimodifikasi tampak pada Gambar 6. Pada bagian depan terlihat kotak biru,

webcam, dan usb-hub. Sementara pada bagian belakang

terdapat lidar SICK Tim 571, baterai lipo, dan antena wifi. Didalam kotak warna biru adalah odroid XU-4 dimana

sistem ROS terinstal. ROS yang digunakan adalah versi

kinetic kame dan Linux versi 16.04 LTS. Selain itu untuk

menjalankan simulator gazebo diperlukan PC desktop

karena membutuhkan kartu grafis dengan ukuran 4 GB agar simulasi dengan gazebo berjalan mulus.

Node dan topic yang dieksekusi pada turtlebot 3 seperti

pada Gambar 2. Package pada turtlebot 3 untuk menjalankan

algoritma SLAM gmapping antara lain adalah turtlebot_

core, TF_tree, teleoperation, dan gmapping. Node

teleoperation mem-publish /cmd_vel dan di-subscribe oleh

turtlebot_core. Node gmapping memperoleh informasi

lingkungan dari sensor lidar kemudian dioleh menjadi peta

probabilistik 2D occupancy grid map. Peta 2D disimpan

oleh package map_server. Untuk melihat hasilnya pada PC

desktop, perlu dijalankan RViz. Sementara untuk keperluan

simulasi dengan Gazebo, langkah yang harus dijalankan

adalah dengan menjalankan Gazebo, teleoperation,

gmapping dan Rviz. Rangkuman langkah yang dieksekusi

dapat dilihat pada Tabel 2.

Proses gmapping slam pada arena pengujian terlihat

pada Gambar 7 dimana terlihat data laser scanner disekitar

Gambar 4. Diagram alir algoritma SLAM gmapping pada turtlebot 3 [20]

Gambar 5. Arena pengujian indoor

(a)

(b)

Gambar 6. Turtlebot 3 yang digunakan, (a) tampak depan; (b) tampak

belakang

Page 54: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

108 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

robot. Kemudian ketika robot bergerak, data disekeliling

robot juga diperbaharui sekaligus terlihat posisi dan

orientasi robot yang direpresentasikan dalam sumbu

koordinat kartesian. SLAM gmapping pada Gambar 7

ditampilkan menggunakan RViz.

Hasil peta 2D occupancy grid map terlihat pada

Gambar 8. Terlihat area putih yang berarti area tersebut

dapat dilalui oleh robot. Garis hitam merupakan dinding-

dinding pada ruang pengujian. Sedangkan warna abu-abu

berarti bahwa area tersebut merupakan area yang tidak

diekplorasi oleh robot.

Sementara itu kita juga dapat membuat simulasi area

pengujian dengan menggunakan simulator yang bernama

gazebo. Hasil pembuatan area pengujian SLAM gmapping

dengan gazebo ditunjukkan pada Gambar 9.

IV. Pembahasan

Dari hasil pembahasan diatas dapat diperoleh

beberapa hal yang dapat didiskusikan. Melihat hasil

peta 2D dengan occupancy grip map yang dihasilkan

dari algoritma SLAM gmapping terlihat bahwa hasilnya

dapat merepresentasikan area pengujian. Hal ini terlihat

dari segmentasi warna dalam skala abu-abu grey scale

bahwa warna putih merupakan area terbuka, warna hitam

merupakan dinding-dinding arena, dan warna abu-abu

merupakan area yang tidak dieksplorasi oleh turtlebot 3.

Peta 2D yang dihasilkan cukup akurat Simulasi dengan

gazebo menunjukkan bahwa simulator ini cukup baik

untuk melakukan simulasi.

V. KESIMPULAN

Artikel ini telah membahas tentang bagaimana membuat

peta di sekitar robot menggunakan algoritma SLAM

gmapping meng- gunakan laser scanner. Peta 2D berupa

occupancy grid map yang dihasilkan sudah menyerupai

area pengujian sebenarnya. Peta yang dihasilkan di-publish

oleh ROS sebagai informasi bagi topic cmd_vel untuk

mengendalikan kecepatan robot bermanuver menuju area

yang aman. Peta hasil SLAM gmapping berupa citra 2D

dalam skala abu-abu yang dibedakan menjadi tiga kategori

yaitu: warna hitam adalah dinding, warna putih adalah area

kosong atau bebas penghalang, dan terakhir warna abu-

abu merupakan area yang belum dieksplorasi oleh robot.

Selain menjalankan algoritma SLAM gmapping pada

hardware turtlebot 3 yang telah dimodifikasi, penulis juga menggunakan simulator gazebo untuk mensimulasikan

area pengujian dan algoritma SLAM gmapping. Simulator

dijalankan pada PC desktop karena gazebo membutuhkan

kartu grafis dengan kapasitas minimum 4 GB agar simulasi dapat berjalan dengan baik.

REFERENSI

[1] C. Badue, R. Guidolini, R. V. Carneiro, P. Azevedo, V. B. Cardoso,

A. Forechi, L. F. R. Jesus, R. F. Berriel, T. M. Paixão, F. W.

Mutz, T. Oliveira-Santos, and A. F. de Souza, “Self-driving cars:

A survey,” CoRR, vol. abs/1901.04407, 2019.

[2] S. Verghese, “Self-driving cars and lidar,” in Conference on Gambar 7. Proses gmapping slam pada arena pengujian

Gambar 8. Peta 2D tampak atas arena pengujian dengan gmapping slam

Gambar 9. Gambar perspektif simulasi 3D area pengujian dengan gazebo

Tabel 2. Langkah-langkah dalam menjalankan gmapping slam pada

Turtlebot 3 dan simulator Gazebo

Turtlebot 3 Simulasi Gazebo

Turtlebot core Simulator Gazebo

TF tree Teleoperation

Laser scanner Gmapping

Teleoperation RVz Gmapping

RViz (pada PC Desktop)

Page 55: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

109Aulia Rahman: Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot

Lasers and Electro-Optics. Optical Society of America, 2017,

p. AM3A.1.

[3] R. W. Wolcott and R. M. Eustice, “Visual localization within

lidar maps for automated urban driving,” in 2014 IEEE/RSJ

International Conference on Intelligent Robots and Systems, Sep.

2014, pp. 176–183.

[4] H. Masuzawa, J. Miura, and S. Oishi, “Development of a mobile

robot for harvest support in greenhouse horticulture — person

following and mapping,” in 2017 IE- EE/SICE International

Symposium on System Integration (SII), Dec 2017, pp. 541–546.

[5] Y. Onishi, T. Yoshida, H. Kurita, T. Fukao, H. Arihara, and A. Iwai,

“An automated fruit harvesting robot by using deep learning,”

ROBOMECH Journal, vol. 6, no. 1, pp. 13-20, Nov 2019.

[6] M. Firdaus, M. Syaryadhi, and A. Rahman, “Pengendalian robot

mobil otonom pemotong rumput menggunakan metode logika

fuzzy,” Karya Ilmiah Teknik Elektro, vol. 2, no. 2, 2017.

[7] S. Kohlbrecher, J. Meyer, T. Graber, K. Petersen, U. Kli- ngauf,

and O. von Stryk, “Hector open source modules for autonomous

mapping and navigation with rescue robots,” in RoboCup 2013:

Robot World Cup XVII, S. Behnke, M. Veloso, A. Visser, and

R. Xiong, Eds. Berlin, Hei- delberg: Springer Berlin Heidelberg,

2014, pp. 624–631.

[8] S. Sausan, B. Sakti, H. Leo, A. Yuliani, I. Permatasari, A. Rahman,

and M. Syaryadhi, “Robot pointer sebagai penunjuk jalan tim sar

untuk mempermudah pencarian korban bencana gempa,” Jurnal

Rekayasa Elektrika, vol. 13, no. 2, p. 112-118, Aug 2017.

[9] J. J. Leonard and H. F. Durrant-Whyte, “Simultaneous map

building and localization for an autonomous mobile robot,” in

Proceedings IROS ’91: IEEE/RSJ International Workshop on

Intelligent Robots and Systems ’91, Nov 1991, vol.3, pp. 1442–

1447.

[10] H. Choset and K. Nagatani, “Topological simultaneous

localization and mapping (slam): toward exact localiza- tion

without explicit localization,” IEEE Transactions on Robotics and

Automation, vol. 17, no. 2, pp. 125–137, April 2001.

[11] G. Grisetti, C. Stachniss, and W. Burgard, “Improving grid-based

slam with rao-blackwellized particle filters by adaptive proposals and selective resampling,” in Pro- ceedings of the 2005 IEEE

International Conference on Robotics and Automation, April

2005, pp. 2432–2437.

[12] W. Lin, J. Hu, H. Xu, C. Ye, X. Ye, and Z. Li, “Graph-based slam in

indoor environment using corner feature from laser sensor,” 2017

32nd Youth Academic Annual Conference of Chinese Association

of Automation (YAC), May 2017.

[13] F. Endres, J. Hess, J. Sturm, D. Cremers, and W. Burgard, “3-d

mapping with an rgb-d camera,” IEEE Transactions on Robotics,

vol. 30, no. 1, pp. 177–187, Feb 2014.

[14] C. Brand, M. J. Schuster, H. Hirschmuller, and M. Suppa, “Stereo-

vision based obstacle mapping for indoor/outdoor slam,” 2014

IEEE/RSJ International Conference on Intelligent Robots and

Systems, Sep 2014, pp. 1846-1853.

[15] R. Mur-Artal, J. M. M. Montiel, and J. D. Tardós, “Orb- slam: A

versatile and accurate monocular slam system,” IEEE Transactions

on Robotics, vol. 31, no. 5, pp. 1147– 1163, Oct 2015.

[16] R. Mur-Artal and J. D. Tardos, “Orb-slam2: An open-source

slam system for monocular, stereo, and rgb-d cameras,” IEEE

Transactions on Robotics, vol. 33, no. 5, pp. 1255–1262, Oct 2017.

[17] P. Corke, Robotics, vision and control: fundamental algorithms in

MATLAB® second, completely revised. Springer, 2017.

[18] G. Grisetti, C. Stachniss, and W. Burgard, “Improved techniques

for grid mapping with rao-blackwellized particle filters,” IEEE

transactions on Robotics, vol. 23, no. 1, pp. 34–46, 2007.

[19] M. Quigley, K. Conley, B. P. Gerkey, J. Faust, T. Foote, J. Leibs,

R. Wheeler, and A. Y. Ng, “Ros: an open-source robot operating

system,” in ICRA Workshop on Open Source Software, 2009.

[20] Y. Pyo, H. Cho, L. J. Jung, and D. Lim, ROS Robot Programming

(English). ROBOTIS, 12 2017. [Online]. Available: http://

community.robotsource.org/t/download-the-ros-robot-

programming-book-for-free/ 51.

[21] E. Yurtsever, J. Lambert, A. Carballo, and K. Takeda, “A survey

of autonomous driving: Common practices and emerging

technologies,” CoRR, vol. abs/1906.05113, 2019.

[22] S. Thrun, W. Burgard, and D. Fox, Probabilistic robotics. MIT

press Cambridge, 2000.

Page 56: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Dengan berkembangnya zaman, kebutuhan akan

teknik pengukuran terus berkembang. Salah satunya

adalah pengukuran dengan teknik non-invasive yaitu

teknik pengukuran tanpa menyentuh, tanpa merusak, dan

tanpa merubah bahan yang akan diukur. Salah satu teknik

non-invasive ini dapat dilakukan dengan menggunakan

ultrasonik. Perkembangan pengukuran dengan ultrasonik

ini sangat berkembang akhir-akhir ini, diantaranya

adalah penggunaan ultrasonik dalam bidang robotik yang

berfungsi sebagai sensor untuk menghindari halangan

pada intelligent mobile robot [1] dan dibidang medis yang

berfungsi untuk penggambaran 2D dari sel [2].

Pada penelitian ini digunakan Range Finder Ultrasonic

(RFU) yang merupakan salah satu jenis transduser

ultrasonik yang menggunakan medium udara sebagai

media transmisinya dan digunakan untuk pengukuran

jarak. Kelebihan dari ultrasonik jenis ini adalah sangat

mudah didapatkan di pasar dan dengan harga yang

sangat murah. Pada penelitian sebelumnya, pengukuran

berbagai cairan sinyal echo yang didapatkan dari RFU

ini memiliki sensitifitas yang sangat tinggi. Apabila ada pergeseran sedikit saja dalam proses pengukurannya,

Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan

Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode

Transformasi Fourier

Ihwan Dwi Wicaksono, Agus Indra Gunawan, dan Bima Sena Bayu DewantaraPoliteknik Elektronika Negeri Surabaya

Jl. Raya ITS. Keputih, Kec. Sukolilo, Surabaya, 60111

e-mail: [email protected]

Abstrak—Pada paper ini kami melakukan karakterisasi larutan garam dengan memanfaatkan Range Finder

Ultrasonic (RFU). RFU merupakan salah satu jenis transduser ultrasonik yang memanfaatkan udara sebagai media

transmisinya dan biasa digunakan untuk menentukan jarak. Kelebihan dari transduser ini adalah harganya yang

murah dan mudah didapatkan di pasar. Karena menggunakan medium udara, sinyal yang dihasilkan oleh transduser

ini mudah berubah bentuk dan memiliki ekor noise gelombang yang sangat panjang. Fenomena ini terlihat pada

penelitian sebelumnya, ketika posisi transduser sedikit bergeser, bentuk sinyal echo yang dihasilkan menjadi sangat

berbeda. Pada paper ini, kami melakukan modifikasi pada sinyal input dari teknik di paper sebelumnya untuk memperbaiki sinyal echo. Beberapa modifiksi sinyal trigger dari transmiter dilakukan, kemudian menghitung

sinyal echo untuk memastikan sinyal echo memiliki Signal to Noise Ratio (SNR) dan ekor noise gelombang yang

terkecil. Selanjutnya, dilakukan proses filtering dari sinyal echo dan dilakukan perhitungan menggunakan

Transformasi Fourier untuk mendapatkan informasi magnitude FFT sinyal echo tepat pada frekuensi 40 KHz. Dari

hasil percobaan ini didapatkan perbaikan kurva kalibrasi eror rata-rata sebesar 0,1224221 (Vrms) dan 0,14383881

(Vpeak). Sedangkan eror rata-rata dari hasil normalized magnitude Transformasi Fourier frekuensi 40 KHz adalah

sebesar 0,096973114.

Kata kunci: rfu, transformasi fourier, sinyal echo, kurva kalibrasi

Abstract— In this paper we characterize the saline solution using Range Finder Ultrasonic (RFU). RFU is one kind

of ultrasonic transducer that requires air as a transmission medium and commonly are used to determine distances.

The advantages of this transducer are cheap and common in local market. Since it uses air as medium, the signal

which is produced by transducer are easy to shape shift and has a very long noise tail wave. This phenomenon was

seen in previous studies, when the transducer position was slightly shifted, the shape of the echo signal became

very different. In this paper, we modified the input signal from the technique in the previous paper to improve the echo signal. Some modification of trigger signal from transmitter models were done, then calculate the echo signal to ensure the signal have smallest Signal to Noise Ratio (SNR) and noise tail wave. Furthermore, we did

filtering process from echo signal and calculating using Fourier Transform which are performed to obtain accurate echo signal information of 40 KHz frequency. The results of this experiment is an improvement in the average

error of calibration curve 0.1224221 (Vrms) and 0.14383881 (Vpeak). While the average error of the results of the

normalization of the magnitude Fourier Transform of 40 KHz frequency is equal to 0.096973114.

Keywords: rfu, fourier transform, echo signal, calibration curve, modulation

Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 110-119ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15371

Received 06 January 2020; Revised 14 June 2020; Accepted 18 June 2020

110

Page 57: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

111

akan menyebabkan hasil yang berubah dari sebelumnya

dan sinyal echo yang dihasilkan memiliki banyak noise

sehingga hasil pengukuran yang dihasilkan tidak akurat

[3]. Pada pengukuran menggunakan transduser ultrasonik

memerlukan faktor koreksi karena sangat sulit untuk

dilakukan secara akurat [4]. Pada penelitian sebelumnya

[3] juga dapat diketahui bahwa terdapat banyak noise

yang terjadi pada sinyal echo yang diperoleh dari hasil

pengukuran dan terdapat “noise tail” atau ekor noise

yang terjadi pada sinyal echo tersebut karena panjangnya

fibrasi yang terdeteksi oleh transduser receiver yang

menyebabkan ketidakakuratan hasil pengukuran yang

dilakukan.

Perbedaan kopling yang digunakan dapat merubah

hasil dari pengukuran yang dilakukan. Hal ini dapat

diketahui dari penelitian [3] yang terdapat perbedaan

sangat signifikan pada proses pembuatan kurva kalibrasi larutan garam. Larutan garam digunakan sebagai acuan

dalam menentukan nilai dari impedansi akustik dari

berbagai jenis cairan sehingga, sangat penting untuk

mendapatkan hasil kurva kalibrasi larutan garam yang sesuai. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode

transformasi fourier maka dapat dicari nilai magnitude

dari masing-masing frekuensi yang berada pada sinyal

yang digunakan.

Pada penelitian ini dilakukan perbaikan sinyal echo

dan membuat kurva kalibrasi impedansi akustik dari larutan garam. Untuk memperbaiki hal tersebut, dilakukan

proses filtering pada sinyal echo, modifikasi sinyal trigger

transmiter untuk mengurangi “noise tail” dan pada

bagian analisa sinyal echo digunakan transformasi fourier

untuk mendapatkan magnitude transformasi fourier

dari frekuensi yang digunakan yaitu 40 KHz sehingga,

menghasilkan kurva kalibrasi yang lebih baik dari hasil penelitian sebelumnya.

II. StudI PuStaka

Pada [2] dilakukan penelitian tentang pembuatan

metode baru pencitraan akustik untuk melakukan

pengamatan mikroskopis terhadap lapisan tissue dari otak

tikus dengan menggunakan ultrasonik dengan frekuensi

30-100 Mhz. Kurva kalibrasi yang telah di verifikasi secara eksperimental dengan larutan garam digunakan

sebagai acuan nilai dari impedansi akustik dari material

bagian tissue dari otak tikus. Pada tahun 2017 dilakukan

penelitian [3] mengenai karakterisasi impedansi akustik

dari berbagai jenis larutan garam dengan memanfaatkan

Range Finder Ultrasonic (RFU). Impedansi akustik

berhasil dipresentasikan korelasinya dengan intensitas

dari sinyal echo, dengan cara membangun kurva kalibrasi. Namun demikian, eror yang dibangkitkan dari hasil

penelitian tersebut masih terlalu tinggi.

Sinyal echo pada ultrasonik perlu dilakukan proses

filtering. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu, pada penelitian [4] tentang peningkatan pulsa echo dari

sinyal ultrasonik menggunakan filter adaptif dengan algoritma adaptif Normalized least-mean-squares

(NLMS). Sinyal echo yang mengandung noise perlu

dilakukan filtering. Filtering dengan menggunkan metode bandpass filter konvensional tidak dapat bekerja secara efektif karena frekuensi tengah dan bandwith dari sinyal

echo ultrasonik merupakan time-variying. Adaptif filter dengan menggunkan NLMS mampu meningkatkan

SER (Signal Error Ratio) sekitar 8 dB. Kemudian, pada [6] dilakukan penelitian tentang pengukuran atenuasi

gelombang menggunakan metode pulse-echo tidak bisa

menghasilkan pengukuran yang akurat. Analis model gelombang menggunakan sinyal echo dengan jelas

menunjukkan bahwa konstanta atenuasi yang diperoleh

dari eksponensial fitting dari ketinggian echo pada metode

pulse-echo berbeda dari nilai pelemahan intrinsik atenuasi

pada media yang digunakan bahkan pada saat kondisi ideal

dari propagasi gelombang plane tanpa adanya difraksi dan

dispersi atau hamburan.

Faktor yang mempengaruhi sinyal echo dari ultrasonik

salah satunya adalah suhu. Pada [7] dilakukan penelitian

tentang studi akustik tentang interaksi minyak kelapa

berbasis tembaga oksida nanofluida. Pada penelitian ini didapatkan bahwa studi ultrasonik yang telah dilakukan

untuk nanofluida pada suhu berbeda menghasilkan interaksi molekuler yang berbeda terhadap perubahan

akustik. Dan pada [8] dilakukan penelitian tentang

pengukuran distribusi suhu bahan padat dengan

menggunakan ultrasonik sehingga dapat dilakukan

pengukuran non-invasive pada suhu yang sangat tinggi.

Dengan menggunakan pendekatan jalur propagasi

gelombang ultrasonik dengan fitur ekogenik sehingga dapat menghasilkan gelombang echo. Waktu perambatan

gelombang ultrasonik ini berbeda beda dalam setiap suhu

bagian bahan padat sehingga dapat ditentukan besarnya

distribusi suhu pada setiap bahan padat.

III. Metode

Pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian dalam

pengerjaannya yaitu : ruang pengukuran, modifikasi sinyal trigger dan analisis sinyal echo. Skema diagram

sistem penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Suhu

dalam ruang pengukuran harus dalam kondisi yang stabil.

Oleh karena itu, sensor suhu akan mengirimkan data

suhu menuju analog to digital converter (ADC) yang ada didalam mikrokontroller. Kemudian, data suhu akan

diteruskan menuju komputer. Komputer akan melakukan

pengontrollan suhu dengan menggunakan metode kontrol

PID. Dari hasil kontrol PID, didapatkan nilai pulse width

modulation (PWM). Komputer akan memerintahkan

mikrokontroller untuk mengeluarkan nilai PWM tadi.

Selanjutnya, nilai PWM digunakan untuk sinyal masukan

driver dan driver akan memerintahkan peltier untuk

aktif. Komputer juga memberikan sinyal kepada signal

generator untuk melakukan modifikasi sinyal trigger

yang digunakan sebagai sinyal input transduser transmiter

(Tx). Sinyal dari signal generator akan diambil oleh

modul data acquisition yang diteruskan ke komputer

untuk melihat sinyal trigger yang dihasilkan oleh signal

Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier

Page 58: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

112

generator. Kemudian, Tx akan menembakkan sinyal

menuju cairan uji (liquid) yang berupa berbagai macam

larutan garam dan dari pantulan sinyal yang ditembakkan

tadi, akan menghasilkan sinyal echo yang diterima oleh

transduser receiver (Rx). Sinyal echo tersebut akan difilter dulu sebelum diambil oleh modul data acquisition dan

dilakukan analisis data oleh komputer untuk mendapatkan

nilai Vpeak, Vrms, dan magnitude FFT pada frekuensi 40

KHz yang digunakan sebagai kurva kalibrasi dari larutan garam.

A. Ruang Pengukuran

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan ruang

pengukuran untuk menjaga suhu dan menghindari kontak

dari luar selama proses pengukuran. Karena, seperti pada

penelitian [3] dan [7] sinyal echo akan terpengaruh oleh

pergeseran transduser dan perubahan suhu.

Ruang pengukuran didesain dan dibuat dengan ukuran

20 cm x 20 cm yang digunakan sebagai tempat untuk

dilakukan proses pengukuran larutan garam. Pada ruang

pengukuran ini digunakan 4 buah peltier untuk menjaga

suhu tetap pada range 20–30 oC dengan menggunakan kontroller PID dengan flowchart seperti pada Gambar 2.

Pada ruang pengukuran ini diperlukan masing-masing

1 buah kipas dan 2 buah heatsink pada setiap peltier yang

digunakan. Hal ini digunakan karena, peltier memiliki 2

sisi panas dan dingin sehingga diperlukan penyalur suhu

pada setiap sisi. Untuk board elektrikal dan modul akuisisi

data terletak pada bagian box hardware. Desain lengkap

ruang pengukuran dapat dilihat pada Gambar 3.

B. Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter

Pada bagian kedua adalah modifikasi sinyal trigger

dengan proses yang ditunjukkan pada Gambar 4. Pada

bagian ini dilakukan pembangkitan gabungan dua buah

dan tiga buah sinyal kotak dengan modifikasi tegangan dan fasenya. Pada proses ini, spesimen harus berada

pada posisi dan kondisi yang sama pada setiap percobaan

pengukuran.

Pada bagian selanjutnya, dilakukan analisa sinyal echo

dari hasil modulasi transmiter tersebut dengan melihat

nilai dari Vpeak, Vrms dan nilai SNR. Sebelum dilakukan

analisa sinyal echo ini, diperlukan sebuah data akuisisi

yang baik supaya dapat membaca sinyal echo dengan

baik. Kemudian, dilakukan pembuatan software untuk

mengolah data sinyal echo dan proses visualisasi dari sistem yang telah diperoleh.

1. Perhitungan SNR

Signal-to-noise ratio (disingkat SNR atau S/N) adalah

ukuran yang digunakan dalam sains dan teknik yang

membandingkan tingkat dari sinyal yang diinginkan

dengan tingkat noise.

SNR didefinisikan sebagai rasio daya sinyal asli dengan daya sinyal noise (sinyal yang tidak diinginkan).

Gambar 4. Modifikasi sinyal trigger transmiter

Gambar 3. Desain ruang pengukuran tiga dimensi tampak samping

Gambar 1. Gggggggggggggg

Gambar 2. Flowchart algoritma sistem PID

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 59: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

113

SNR sering dinyatakan dalam desibel. Sebuah rasio yang

lebih tinggi dari 1:1 (lebih besar dari 0 dB) menunjukkan sinyal noise. SNR dapat digambarkan dengan (1).

, (1)signal

noise

PSNR

P=

dimana, SNR adalah signal to noise ratio dari sinyal yang

diukur, Psignal adalah daya rata-rata sinyal asli dan Pnoise

adalah daya rata-rata noise.

Jika sinyal dan noise diukur dengan impedansi yang

sama, SNR dapat diperoleh dengan menghitung kuadrat

dari rasio amplitude seperti pada (2).

2

, (2)signal signal

noise noise

P ASNR

P A

= =

dimana, Asignal

adalah tegangan RMS dari sinyal asli dan

Anoise

adalah tegangan RMS dari noise.

Dengan menggunakan cara yang sama, SNR dapat

dinyatakan dalam bentuk desibel seperti pada (3).

10 1010 20 . (3)signal signal

dB

noise noise

P ASNR log log

P A

= =

C. Metode Pembuatan Kurva Kalibrasi

Proses terakhir dari metode ini adalah membangun

kurva kalibrasi untuk mengubah nilai intensitas gelombang ultrasonik kedalam impedansi akustik. Kurva kalibrasi ini dibangun dengan melakukan pengukuran terhadap

beberapa larutan garam. Hasil dari pengukuran kemudian

dibandingkan dengan nilai perhitungan secara teori.

1. Perhitungan Analisa Gelombang Echo

Gelombang ditransmisikan dari transduser ke target

melalui udara dan terpantul kembali dan diterima oleh

receiver. Diasumsikan gelombang yang terpantul tegak

lurus dari transduser [5].

Ketika gelombang ini di transmisikan tegak lurus

dengan target, maka kita dapat memanfaatkan persamaan

4 untuk menghitung sinyal echo dari target. Namun,

beberapa sudut defleksi terjadi ketika sinyal echo diterima

oleh transduser. Pada penelitian ini, kita abaikan efek dari

sudut defleksi ini karena nilai dari sudut defleksi yang dihasilkan kecil. Dengan cara yang sama, sinyal echo dari

bahan referensi dapat diperoleh dengan menggunakan (5).

, (4)Ref Udara

Ref S

Ref Udara

Z ZS S

Z Z

−=

+

, (5)Tar UdaraTar S

Tar Udara

Z ZS S

Z Z

−=

+

Dengan SS adalah intensitas sinyal yang dipancarkan

oleh transduser transmiter, SRef

adalah intensitas gelombang

sinyal echo dari referensi, STar adalah Intensitas gelombang

sinyal echo dari target (larutan garam), ZUdara

adalah

impedansi akustik dari udara dan ZTar adalah impedansi

akustik dari target. Dengan menggabungkan Persamaan

4 dan Persamaan 5, kita dapat menghitung nilai dari

impedansi akustik dari target yang di tunjukkan pada (6).

1 1

(6)

1 1

.

Udara RefTarTar

S Udara RefS

Tar Udara UdaraTar Udara RefTar

S S Udara Ref

Z ZSS

S Z ZSZ Z Z

S Z ZS

S S Z Z

−−+

+=

−− +

+

=

Untuk menghitung nilai dari impedansi akustik target,

beberapa parameter harus diketahui, yaitu impedansi

akustik dari udara (= 4.3x10-4 MNs/m3), nilai impedansi

akustik dari referensi (pure water, Zref = 1.49 MNs/m3),

dengan sinyal echo dari referensi dan sinyal echo dari target.

Dengan satuan m adalah meter dan N adalah Newton dan s

adalah waktu. Gambar 5 menunjukkan teknik pengukuran

echo. Target dan referensi diletakkan dalam wadah. Level ketinggian target dan referensi dipertahankan sama,

sehingga jarak antara target-transduser dan referensi-

transduser tetap sama.

Saat perhitungan nilai impedansi akustik dari target

referensi sudah didapatkan maka, kita dapat membuat

sebuah kurva kalibrasi dengan memanfaatkan tabel hasil perhitungan akustik impedan dari referensi yang

berupa kandungan air garam dengan konsentrasi tertentu

yang ditunjukkan pada Tabel 1. Dengan menggunakan

perbandingan rasio dari perhitungan dan pengukuran,

maka diperoleh kurva kalibrasi dari larutan garam.

2. Transformasi Fourier

Transformasi Fourier merupakan metode yang

digunakan untuk melakukan transformasi sinyal

dalam domain waktu menuju dalam domain frekuensi.

Transformasi fourier mendeskripsikan spektrum kontinyu

dari sinyal non periodik. Transformasi Fourier dari sinyal

Salinity

(w%)SS ZUdara ZTar STar Normalisasi

0 1 0,00043 1,480000 0,999419 1,000000000

2 1 0,00043 1,530958 0,999438 1,000019342

4 1 0,00043 1,575329 0,999454 1,000035164

6 1 0,00043 1,621331 0,999470 1,000050654

8 1 0,00043 1,668880 0,999485 1,000065768

10 1 0,00043 1,711649 0,999498 1,000078645

Tabel 1. Hasil perhitungan rasio akustik impedan larutan garam dengan

asumsi sinyal yang di transmisikan =1

Gambar 5. Ilustrasi pengukuran echo

Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier

Page 60: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

114

waktu kontinyu dapat diperoleh dengan menggunakan (7).

( ) ( )

( ) ( )

2

2

. (7)

i ft

i ft

u f x e dt

f x e du

F

F u

π

π

∞−

−∞

−∞

=

=

Agar Transformasi Fourier dapat digunakan untuk mengolah operasi digital, maka harus digunakan sampel-

sampel pada domain frekuensi dan waktu. Sampel-sampel

sinyal kontinyu pada domain waktu akan menggambarkan

keseluruhan dari sinyal kontinyu tersebut. Sampel-sampel

ini dapat merubah sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit

sehingga dibutukan Discreate Fourier Transform (DFT)

yang dapat dicari dengan menggunakan Fast Fourier

Transform (FFT) yang dapat di rumuskan pada (8).

( ) ( )21

0

0,1, , 1 (8, )i utN

N

n

F u f x e dt u Nπ− −

=

= = … −∑Transformasi fourier memberitahu kita informasi

magnitude dari frekuensi yang diinginkan. Pada penelitian

ini digunakan magnitude pada frekuensi 40 KHz. Nilai N

yang digunakan adalah 1000 dengan frekuensi sampling

500 KHz sesuai dengan panjang sinyal echo yang

didapatkan.

3. Analisa Transmisi dan Refleksi antara Dua Bidang Perambatan

Ketika terdapat dua buah bidang perambatan yang

dilalui oleh gelombang, maka akan terdapat bidang batas

diantara kopling yang digunakan dan substrat. Pada saat

gelombang melalui kedua buah bidang tersebut maka

akan terjadi perubahan arah propagasi gelombang yang

dipancarkan sesuai dengan hukum Snellius yang dapat

dilihat pada (9).

sin, (9)

sin

i i

t t

v

v

qq

=

dimana, vi adalah cepat rambat gelombang pada media

kopling atau pada insiden dan vt adalah cepat rambat

gelombang pada media substrat. Kemudian, qi adalah

sudut dari insiden dan qt adalah sudut dari gelombang

yang di transmisikan dalam substrat.

Gelombang yang dipancarkan dari suatu medium

menuju medium yang berbeda akan dipantulkan dan

diteruskan. Dimana, gelombang yang dipancarkan dan

dipantulkan memiliki amplitudo R dan T. Pada setiap

gelombang yang dihasilkan masing-masing memiliki

potensial cepat rambat gelombang yang dapat dilihat pada

(10).

( )

( )

( )

(10)

,

i ix z

r rx z

t tx z

j t k x k zi

j t k x k zr

j t k x k zt

e

Re

Te

ω

ω

ω

ϕ

ϕ

ϕ

− +

− −

− +

=

=

=

dimana, i untuk gelombang datang, r untuk gelombang

yang direfleksikan dan t untuk gelombang yang di teruskan. Gelombang pressure dapat dicari dengan (11).

( )

( )

( )

1

1

1

(

,

11)

i ix z

r rx z

t tx z

j t k x k zi

j t k x k zr

j t k x k zt

p j e

p j Re

p j Te

ω

ω

ω

ωρ

ωρ

ωρ

− +

− −

− +

= −

= −

= −

dan kecepatan gelombang normal (normal velocity) dapat

dicari dengan (12).

(12

.

)

i i i

z z

r r r

z z

t t t

z z

v jk

v jk

v jk

ϕ

ϕ

ϕ

=

= −

=

Pada saat interface z = 0 terjadi kesinambungan antara

pressure wave dan normal velocity pada (13) dan hubungan

yang terjadi antar keduanya dapat dilihat pada (14).

(13, )

i r t

i r t

z z z

p p p

v v v

+ =

+ =

sehingga,

( )( )

1 21

1 . (14)i t

z z

R T

k R k T

ρ ρ+ =

− =

Berdasarkan (13) dan (14), magnitudo dari R dan T dapat diperoleh dengan menggunakan (15).

2 2 1 1

2 1

2 2 1 1

2 1

1 2

2

2 2 1 1

2 1

2

, (15)

V V

cos cosR

V V

cos cos

V

cosTV V

cos cos

ρ ρq q

ρ ρq qρq

ρ ρq q

−=

+

=+

dimana, qi = 1 dan q

t= q

2.

IV. haSIl dan PeMbahaSan

A. Sinyal Echo Prosessing dan Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter

1. Hardware Filter AnalogPada penelitian ini, digunakan filter analog High Pass

Filter (HPF). Gambar rangkaian filter ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Filter high pass yang digunakan merupakan filter aktif dikarenakan penggunaan op-amp dalam filter. Frekuensi cut-off dari rangkaian filter ini adalah 31 KHz yang didapatkan dengan menggunakan rumus:

1

2 3 4 1 2

1 31.847

2 10 1 0 500 500

FcR R C C

KHzk k pf pf

π

π

=

= =Ω× Ω× ×

Pada proses selanjutnya, sinyal dikuatkan 7 kali

dengan menggunakan op-amp dengan perhitungan seperti

berikut ini:

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 61: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

115

2 60 1 1 7.

1 10

R kgain

R k

Ω= + = + =

Ω

Data pengukuran sebelum dilakukan filtering dengan

frekuensi sampling 500 KHz dapat dilihat pada Gambar

7. Disini terlihat bahwa terdapat sinyal dengan frekuensi

rendah yang tercampur dalam sinyal echo. Filter yang telah

dibuat mampu menghilangkan noise frekuensi rendah dari

sinyal echo, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 7.

Dari hasil FFT yang telah dibuat dari kedua sinyal

diatas dapat diketahui sinyal tanpa proses filtering

memiliki noise pada frekuensi rendah hal ini dapat dilihat

pada Gambar 8.

Setelah dilakukan proses filtering, didapatkan hasil

frekuensi rendah yang berada pada sinyal echo sudah

berkurang dapat dilihat pada Gambar 9. Nilai signal to

noise ratio (SNR) sebelum dilakukan filtering adalah

10,06 dB dan setelah dilakukan filtering nilai SNR sinyal

echo sebesar 20,10 dB sehingga, dapat dikatakan filter high pass berjalan dengan baik.

2. Modifikasi Sinyal Trigger TransmiterPada bagian modifikasi sinyal trigger transmiter, disini

digunakan mikrokontroller STM32F4 DISCOVERY untuk membangkitkan sinyal trigger tersebut. Selanjutnya,

dilakukan proses pengujian data dengan membangkitkan

beberapa variasi modifikasi sinyal trigger yaitu,

menggunakan 2 buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V

dan gabungan antara 1 buah sinyal kotak amplitudo 3 V

dan 1 buah sinyal kotak 1,5 V dapat dilihat pada Gambar

10 dan Gambar 11.

Pada penggunaan dua sinyal kotak penuh dengan

amplitudo yang sama 3 V, didapatkan hasil yang lebih

besar dibandingkan dengan sinyal echo dari penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya [3]. Pada penelitian

sebelumnya [3] dengan menggunakan larutan 0 persen

garam, tanpa penggunaan penguatan sinyal didapatkan

hasil Vpeak sebesar 0,0547 V, namun dalam percobaan ini

dengan menggunakan larutan yang sama, telah didapatkan

nilai Vpeak sebear 1,38 V dengan penguatan sebesar 7

kali.

Selain menggunakan kedua buah modifikasi amplitudo diatas, dilakukan juga modifikasi pergesaran waktu (t) yang merupakan waktu delay ditambahkan kedalam

sinyal modifikasi diatas. Hasil modifikasi sinyal trigger

Gambar 6. Rangkaian filter aktif high pass filterGambar 8. Hasil FFT dari sinyal tanpa filter

Gambar 7. Sinyal echo sebelum dan setelah dilakukan filtering

Gambar 9. Hasil FFT dari sinyal setelah filter

Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier

Page 62: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

116

transmiter gabungan dua buah sinyal kotak dengan

amplitudo 3V menghasilkan sinyal echo seperti pada

Gambar 12 dan hasil modifikasi sinyal trigger transmiter

gabungan dua buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V dan

1,5 V menghasilkan sinyal echo seperti pada Gambar 13.

Semakin kecil sinyal trigger yang ditambahkan

kedalam sinyal input dari transduser transmiter maka,

sinyal echo yang dihasilkan juga akan semakin kecil.

Hal ini dapat diperoleh dari hasil percobaan dengan

penambahan dua sinyal kotak dengan Vpeak sebesar 3 V

menghasilkan sinyal echo sebesar 1,38 V untuk Vpeak,

420,91 mV untuk Vrms, dan 31,31 dB untuk nilai SNRnya dibandingkan dengan satu sinyal amplitudo 3 V dan sinyal

kotak dengan amplitudo 1,5 V menghasilkan sinyal echo

sebesar 0,974 V untuk Vpeak, 314,57 mV untuk Vrms,

dan 28,27 untuk nilai SNRnya. Untuk hasil selengkapnya

dari percobaan yang telah dilakukan dengan merubah

delay dari masing-masing trigger input untuk transduser

transmiter dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Berdasarkan data yang telah diperoleh diatas dapat dilakukan analisa berupa, penggunaan sinyal kotak penuh

dengan tegangan transmiter sebesar 3 V dan dengan

frekuensi 40 KHz dapat digunakan untuk melakukan trigger

Gambar 12. Hasil sinyal echo dengan modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V

Gambar 11. Modifikasi sinyal trigger dengan gabungan dua buah sinyal

kotak dengan amplitudo 3 V dan 1,5 VGambar 10. Modifikasi sinyal trigger dengan gabungan dua buah sinyal

kotak dengan amplitudo 3 V

Perco-

baan

Jenis Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter

Peak

(V)

RMS

(mV)

SNR

(dB)

12 Sinyal kotak amplitudo

sama 3 V dengan delay 0 µs1,380 420,91 31,31

22 Sinyal kotak amplitudo

sama 3 V dengan delay 4 µs1,200 365,02 30,27

32 Sinyal kotak amplitudo

sama 3 V dengan delay 8 µs0,712 217,11 24,79

42 Sinyal kotak amplitudo

sama 3 V dengan delay 20 µs1,180 353,29 28,87

52 Sinyal kotak amplitudo

sama 3 V dengan delay 40 µs0,553 168,70 23,21

Tabel 2. Pengukuran Vpeak dan VRMS dari sinyal echo dengan variasi modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak

dengan amplitudo 3 V

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 63: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

117

terhadap transduser transmiter sehingga, diperoleh sinyal

echo yang diterima oleh transduser receiver. Penggunaan

dua sinyal kotak penuh menyebabkan pembesaran sinyal

echo. Hal ini dikarenakan adanya penambahan sinyal

yang terjadi. Namun penambahan sinyal ini tergantung

dari waktu sinyal ter-trigger. Hal ini dikarenakan, rumus

sinyal yaitu , apabila sinyal kedua memiliki beda fase yang

berbeda, yang menyebabkan nilai dari amplitude sinyal

kedua menjadi negatif maka, kedua sinyal echo yang

diperoleh akan saling meniadakan. Namun, apabila kedua

sinyal memiliki nilai yang sama-sama positif maka, sinyal

tadi akan dikuatkan. Vpeak dan Vrms dari sinyal echo

menjadi semakin besar dengan penambahan sinyal. Hal ini

ditunjukkan pada hasil percobaan dengan menggabungkan

dua buah sinyal kotak amplitudo 3 V dengan 1 buah sinyal

kotak amplitudo 3 V dan 1 buah sinyal kotak amplitudo

1,5 V terdapat perbedaan sebesar 0,406 V untuk Vpeak

dan 106,34 mV untuk Vrms dan 3,04 dB untuk SNRnya.

Gambar 13. Hasil sinyal echo dengan modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V dan 1,5 V

Gambar 14. Hasil pengukuran sinyal echo dari larutan garam

Tabel 3. Pengukuran Vpeak dan Vrms dari sinyal echo dengan variasi modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak

dengan amplitudo 3 V dan 1,5 V

Perco-

baan

Jenis Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter

Peak

(V)

RMS

(mV)

SNR

(dB)

1

1 Sinyal kotak amplitudo 3 V

dan 1 sinyal kotak amplitudo

1,5 V dengan delay 0 µs

0,974 314,57 28,27

2

1 Sinyal kotak amplitudo 3 V

dan 1 sinyal kotak amplitudo

1,5 V dengan delay 4 µs

1,030 289,70 27,12

3

1 Sinyal kotak amplitudo 3 V

dan 1 sinyal kotak amplitudo

1,5 V dengan delay 8 µs

0,999 303,75 29,72

4

1 Sinyal kotak amplitudo 3 V

dan 1 sinyal kotak amplitudo

1,5 V dengan delay 20 µs

0,757 225,41 27,21

5

1 Sinyal kotak amplitudo 3 V

dan 1 sinyal kotak amplitudo

1,5 V dengan delay 40 µs

0,810 241,91 25,80

Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier

Page 64: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

118

Sehingga, dapat dikatakan sinyal dengan dua trigger kotak

penuh menghasilkan sinyal echo yang lebih baik.

B. Hasil Pengukuran Sinyal Echo

Hasil dari pengukuran sinyal echo dari larutan garam

yang telah dilakukan proses filtering dapat dilihat pada

Gambar 14. Kemudian, didapatkan hasil Vpeak dan Vrms

dari sinyal echo dan hasil FFT sinyal echo tersebut dapat

dilihat pada Gambar 15 dan nilainya dapat dilihat pada

Tabel 4 untuk RMS, Tabel 5 untuk Vpeak dan Tabel 6

untuk hasil magnitude FFT pada frekuensi 40 KHz. FFT

dapat mengubah sinyal dalam domain waktu ke domain

frekuensi maka, dapat diperoleh magnitude dari frekuensi

40 KHz yang merupakan frekuensi transduser ultrasonik

yang digunakan. Dengan menggunakan magnitude hasil

FFT pada frekuensi tersebut dapat diperoleh nilai intensitas

yang lebih akurat dan sehingga, dapat digunakan untuk

memperbaiki kurva kalibrasi.Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan kurva

Gambar 15. . Hasil FFT sinyal echo dari larutan garam

Tabel 4. Hasil perhitungan RMS sinyal echo

Tabel 5. Hasil perhitungan Vpeak sinyal echo

Tabel 6. Hasil perhitungan magnitude FFT pada frekuensi 40 KHz

sinyal echo

Tabel 7. Perbedaan hasil Normalized Vrms, Vpeak, dan Magnitude FFT pada frekuensi 40 KHz sinyal echo terhadap Normalized Teori

Salinity Data (mv) Pembagi (mv) Normalized

RMS

0% 352,57 352,57 1

2% 377,59 352,57 1,070965

4% 381,60 352,57 1,082338

6% 399,26 352,57 1,132428

8% 416,28 352,57 1,180702

10% 447,17 352,57 1,268316

Salinity Vpeak (V) Pembagi (V)Normalized

Vpeak

0% 1,17 1,17 1

2% 1,28 1,17 1,070965

4% 1,30 1,17 1,082338

6% 1,33 1,17 1,132428

8% 1,40 1,17 1,180702

10% 1,55 1,17 1,268316

Gambar 16. Kurva kalibrasi sinyal echo

SalinityMagnitude

FFT

Pembagi

FFT

Normalized

Magnitude

FFT

0% 0,00031512 0,00031512 1

2% 0,00034103 0,00031512 1,082217

4% 0,00034250 0,00031512 1,086868

6% 0,00034912 0,00031512 1,107885

8% 0,00035893 0,00031512 1,139028

10% 0,00037061 0,00031512 1,176070

Normalized Vrms

(Nr)

Normalized Vpeak

(Np)

Normalized

Magnitude FFT

(NFFT)

Normalized Teori

(Nt)Nr-Nt Np-Nt Nfft-Nt

1 1 1 1 0 0 0

1,070965 1,070965 1,082217 1,000014 0,070951 0,094003 0,076921

1,082338 1,082338 1,086868 1,000029 0,082309 0,111082 0,081864

1,132428 1,132428 1,107885 1,000044 0,132384 0,136708 0,110128

1,180702 1,180702 1,139028 1,000057 0,180645 0,196524 0,143813

1,268316 1,268316 1,17607 1,000071 0,268245 0,324715 0,169112

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 65: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

119

kalibrasi yang dapat dilihat pada Gambar 16 dan hasil

perbedaan normalized Vrms, Vpeak, magnitude FFT

pada frekuensi 40 KHz dan normalized teori dari Tabel

1 di Tabel 7, dapat dikatakan bahwa penggunaan metode

transformasi fourier dapat memperbaiki hasil dari kurva kalibrasi dikarenakan eror rata-rata dari Vrms sebesar

0,1224221 dan eror Vpeak sebesar 0,14383881 sedangkan

untuk eror rata-rata dari hasil normalized magnitude FFT

pada frekuensi 40 KHz sebesar 0,096973114.

V. keSIMPulan

Pada penelitian yang telah dilakukan, filter HPF dapat memperbaiki sinyal echo yang didapat sebesar 49,95 %.

Penggunaan perbedaan modifikasi sinyal trigger transmiter

dapat berpengaruh terhadap Vrms, Vpeak, dan amplitudo

dari hasil transformasi fourier gelombang. Penggunaan 2

buah gelombang kotak penuh (2 full square wave signal)

didapatkan hasil gelombang echo yang terbaik dengan

nilai Vpeak sebesar 1,38 V, Vrms sebesar 420,91 mV dan

SNR sebesar 31,31 dB. Penggunaan metode transformasi fourier dapat memperbaiki perbedaan antara percobaan

dengan teori yang dihasilkan hal ini dikarenakan eror rata-

rata dari Vrms sebesar 0,1224221 dan eror Vpeak sebesar

0,14383881 yang digunakan pada penilitian [3] sedangkan

untuk eror rata-rata dari hasil normalized magnitude FFT

pada frekuensi 40 KHz yang digunakan pada penelitian ini

sebesar 0,096973114.

RefeRenSI

[1] D. Yang, J. Xia and L. Xi’ang, ”The Research on Intelligent Mobile Robot’s Avoiding Obstacle by Ultrasound,” in International Conference on Artificial Intelligence and Computational Intelligence, Sanya, vol. 1, pp. 77-79, 2010.

[2] A. I. Gunawan, N. Hozumi, S. Yoshida, Y. Saijo, K. Kobayashi, and S. Yamamoto, “Numerical analysis of ultrasound propagation and reflection intensity for biological acoustic impedance microscope,” Ultrasonics, vol. 61, pp. 79–87, 2015.

[3] A. I. Gunawan, B. S. B. Dewantara, T. B. Santoso, I. D. Wicaksono, E. B. Prastika, and C. E. Prianto, “Characterizing Acoustic Impedance of Several Saline Solution Utilizing Range Finder Acoustic Sensor,” in IES International Electrionics Symposium, vol. 64. 2017.

[4] D. Li, H. Wang, J. Deng, Z. Zheng, and Z. Bu, “The enhancement of pulse-echo ultrasound signal using adaptive filter with NLMS,” Proc. - 2010 3rd Int. Conf. Biomed. Eng. Informatics, BMEI 2010, vol. 3, no. Bmei, pp. 1050–1053, 2010.

[5] K. Kobayashi, S. Yoshida, Y. Saijo, N. Hozumi, “Acoustic impedance microscopy for biological tissue characterization,”

Ultrasonics Journal, vol. 54, pp. 1922-1928, 2014.

[6] B. Pal, “Pulse-echo method cannot measure wave attenuation accurately,” Ultrasonics, vol. 61, pp. 6–9, 2015

[7] M. N. Rashin and J. Hemalatha, “Acoustic Study on the Interactions of Coconut Oil Based Copper Oxide Nanofluid,” Int. J. Math. Comput. Phys. Electr. Comput. Eng., vol. 6, no. 4, pp. 386–390, 2012.

[8] Y. Jia, V. Chernyshev, and M. Skliar, “Ultrasound measurements of segmental temperature distribution in solids: Method and its

high-temperature validation,” Ultrasonics, vol. 66, pp. 91–102, 2016.

Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier

Page 66: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Perkembangan terkini teknologi komunikasi nirkabel

dan elektronika mendorong pengembangan aplikasi

mikro dan nanosensor pada jaringan komunikasi

nirkabel. Sejumlah sensor berukuran kecil yang dapat

berkomunikasi secara nirkabel yang disebut dengan

Jaringan Sensor Nirkabel (JSN) dapat digunakan untuk

memantau lingkungan pada area yang luas [1]. JSN

merupakan jaringan multihop yang bersifat adhoc dan

dapat mengatur sendiri (self-configured) [2]. JSN dapat

dirancang sedemikian rupa untuk bekerja secara otonom

membaca parameter lingkungan seperti suhu, kelembaban,

cahaya, tekanan, suara, dan sebagainya. Sehingga JSN

dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi mulai dari

rumah tangga [3], infrastruktur bangunan [4], industri

[5], pertanian [6], kesehatan [7], lingkungan [1] sampai

dengan militer [8]. Nodal sensor pada JSN membaca dan

mengumpulkan data untuk kemudian dikirimkan ke nodal

pengumpul (nodal koordinator) melalui kanal komunikasi

nirkabel.

JSN membutuhkan konsumsi energi yang rendah,

sehingga protokol IEEE 802.11 [9] pada jaringan LAN

nirkabel (wifi) yang digunakan untuk perangkat dengan

konsumsi daya tinggi tidak sesuai untuk implementasi JSN.

IEEE 802.15.4 [10] merupakan standar yang ditujukan

untuk bekerja pada jaringan WPAN (wireless personal area networks) dengan kecepatan rendah. Standar ini

menjelaskan spesifikasi lapisan fisik (physical layer/PHY)

dan kendali akses media (medium access control/MAC)

untuk jaringan WPAN. Standar ini merupakan dasar

bagi lapisan PHY dan MAC di ZigBee yang kemudian

ditambahkan oleh ZigBee pada lapisan atas yang tidak

didefinisikan di IEEE.802.15 [11], [12]. ZigBee bekerja

Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel

Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi

Helmy Fitriawan, Roviq Cholifatul Rohman, Herlinawati, dan Sri Purwiyanti

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Lampung

Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung, 35145

e-mail: [email protected]

Abstrak—Untuk mendapatkan sebuah kinerja yang baik dari suatu jaringan sensor nirkabel maka perlu dilakukan

pengukuran parameter jaringan. RSSI (Received Signal Strength Indicator) merupakan salah satu parameter

jaringan yang menyatakan kuat sinyal yang diterima suatu perangkat radio pada modul komunikasi. Pada

penelitian ini dilakukan eksperimen pengukuran RSSI pada jaringan sensor nirkabel dengan protokol ZigBee.

Pengukuran dilakukan dengan berbagai topologi yaitu point-to-point, star, dan mesh baik di dalam (indoor) dan luar

ruangan (outdoor). Kondisi pengukuran di dalam ruangan dilakukan di dalam laboratorium dengan partisi dinding

beton, sementara pengukuran di luar ruangan dilakukan di lapangan terbuka dengan kondisi line-of-sight (LOS).

Perangkat lunak XCTU digunakan untuk mengukur parameter RSSI, dengan cara melakukan pengiriman 100

paket data berukuran 64-byte dengan interval pengiriman 1 detik. Hasil penelitian memperlihatkan semakin jauh

jarak pengiriman data maka nilai RSSI relatif akan menurun dikarenakan adanya hambatan dan berkurangnya

kekuatan sinyal radio. Kemudian nilai RSSI pada topologi mesh sedikit lebih besar dibanding pada dua topologi

lainnya, disebabkan adanya router yang memperkuat sinyal terkirim.

Kata kunci: rssi, zigbee, jaringan sensor nirkabel, xbee

Abstract— In order to get a good performance from a wireless sensor network, it is necessary to measure parameters

of the network. RSSI (Received Signal Strength Indicator) is one of the network parameters that measure the signal

strength received by a radio receiver in communication module. In this study the RSSI measurement experiment

was performed in a wireless sensor network with the ZigBee protocol. Measurements were accomplished in three

topologies, i.e. point-to-point, star, and mesh, both indoor and outdoor scenarios. Indoor measurements are carried

out within the laboratory with concrete wall partition, while outdoor measurements are carried out in open space

with the line-of-sight (LOS) conditions. XCTU software is used to measure RSSI measurements, by sending 100 data

packets of 64 bytes with 1 second delivery intervals. Results show that the farther the data transmission distance, the

RSSI value relatively decrease due to obstacles and reduced radio signal strength. While, in the mesh topology the

addition of a router will also cause a slightly increase in the RSSI value.

Keywords: rssi, zigbee, wireless sensor network, xbee

Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 120-126ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15750

Received 04 February 2020; Revised 28 April 2020; Accepted 05 May 2020

120

Page 67: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

121Helmy Fitriawan dkk.: Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi

pada pita frekuensi 2,4 GHz dengan kecepatan data 250

Kbps. ZigBee mempunyai karakteristik konsumsi daya

rendah, implementasi jaringan mudah dan sederhana,

biaya instalasi murah, serta transmisi data yang andal.

Teknologi ini juga mendukung kemampuan komunikasi

multihop sehingga sangat ideal untuk kebutuhan JSN yang

dikembangkan pada cakupan wilayah yang luas.

Teknologi ZigBee banyak diterapkan pada JSN di

dalam dan luar ruangan seperti pada bidang transportasi,

pemantauan gas, otomasi sistem penerangan, pemantauan

kualitas air, dan pemantauan cuaca [13]-[17]. Tetapi

aplikasi ZigBee sangat banyak dipengaruhi oleh

karakteristik kuat sinyal terutama di luar ruangan yang

tergantung dengan kondisi lingkungan tempat jaringan

tersebut diimplementasikan [18]. RSSI (Received Strength Signal Indicator) merupakan parameter yang

menunjukkan seberapa kuat sinyal yang diterima suatu

penerima sinyal pada suatu titik tertentu. Oleh karena itu,

RSSI dengan parameter kualitas jaringan lainnya seperti

signal-to-noise ratio (SNR), delay, throughput, packet loss, dan network efficiency diperlukan dalam melakukan

perencanaan dan optimasi jaringan sensor nirkabel [19].

Penelitian yang terkait dengan pengukuran parameter

RSSI pada JSN dapat ditemukan disini [20]. Parameter

RSSI dan waktu pengiriman pada JSN berbasis ZigBee

diukur dan dianalisis pada berbagai kondisi lingkungan.

Sementara pada penelitian [21] dan [22] kuat sinyal RSSI

digunakan untuk identifikasi lokasi di dalam ruangan yang akan digunakan untuk penyediaan berbagai layanan dan

pengendalian berbasis lokasi. Sementara pengukuran dan

analisis kinerja protokol ZigBee modul komunikasi XBee

Seri 2 [23] dan Xbee Pro S2 [24] dilakukan di dalam dan

luar ruangan tapi masih dengan skenario topologi terbatas.

Dengan latar belakang yang telah dijelaskan, maka pada

penelitian ini dilakukan pengukuran dan analisis RSSI

(Received Strength Signal Indicator) yang merupakan

salah satu parameter penting pada suatu jaringan

komunikasi. Eksperimen pengukuran dilakukan pada

berbagai topologi jaringan yaitu topologi point-to-point, star, serta mesh dengan skenario di dalam ruangan (indoor)

dan luar ruangan (outdoor). Data yang dikumpulkan pada

eksperimen ini digunakan sebagai studi kasus dalam

menentukan kinerja suatu jaringan JSN. Hasil penelitian

memberikan gambaran kinerja protokol ZigBee yang

nantinya diimplementasikan sebagai jaringan nirkabel

baik yang terpasang di dalam ataupun luar ruangan.

Pada penelitian ini, eksperimen pengukuran dilakukan

pada prototipe jaringan yang telah dikembangkan

sebelumnya [25]. Pada penelitian tersebut telah dilakukan

pengembangan prototipe JSN yang digunakan untuk

mengukur suhu dan kelembaban. Nodal sensor yang

dikembangkan pada JSN tersebut diimplementasikan

menggunakan Arduino Uno, XBee Shield, XBee S2C,

serta sensor LM35DZ dan DHT11. Pada prototipe tersebut

juga telah dilakukan eksperimen pengukuran parameter

kualitas jaringan berupa parameter delay, throughput dan

packet loss [26].

II. Metode

A. Setup Eksperimen

Pengukuran RSSI pada JSN dilakukan menggunakan

nodal sensor dan nodal koordinator yang sudah

dikembangkan di sini [25]. Nodal sensor berperan

sebagai end device berfungsi untuk membaca data

suhu dan kelembaban yang kemudian mengirimkannya

secara nirkabel ke nodal lainnya yang berfungsi sebagai

router atau langsung ke nodal koordinator. Gambar 1

memperlihatkan susunan platform perangkat keras yang

digunakan untuk membangun nodal sensor. Seperti terlihat

pada gambar tersebut, nodal sensor diimplementasikan

secara modular menggunakan papan mikrokontroler

berbasis Arduino Uno [27], XBee Shield, XBee S2C, serta

sensor LM35DZ [28] dan DHT11 [29]. Sementara nodal

koordinator terdiri dari modul XBee S2C, XBee adapter

yang kemudian terhubung ke PC sebagai pengolah dan

penampil data.

Seperti terlihat pada Gambar 2, modul XBee S2C

digunakan sebagai perangkat komunikasi berbasis ZigBee

yang secara nirkabel menghubungkan antara nodal sensor

dan nodal koordinator. XBee S2C merupakan salah

satu jenis modul XBee yang dikembangkan oleh Digi

International [30] yang mendukung protokol komunikasi

ZigBee. XBee S2C dapat digunakan untuk jaringan

komunikasi dengan topologi point-to-point, star dan

mesh. Modul ini mempunyai kecepatan data 250 Kbps,

bekerja pada pita frekuensi ISM (industrial, scientific and medical) 2,4 GHz, dengan jangkauan sampai dengan 60 m

di dalam ruangan dan 1200 m untuk luar ruangan (LOS/

line of sight). Terdapat 5 (lima) operasi pada Xbee, yaitu

idle mode, transmit mode, received mode, sleep mode dan

command mode.

B. Pengukuran RSSI

Gambar 1. Platform perangkat keras nodal sensor

Gambar 2. Diagram blok nodal sensor dan nodal koordinator yang

berkomunikasi melalui modul XBee S2C dengan protokol ZigBee

Page 68: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

122 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

RSSI merupakan salah satu parameter untuk

menentukan kualitas kanal komunikasi. Faktor-faktor

seperti pantulan, hamburan dan penghalang fisik lainnya dapat mempengaruhi nilai RSSI yang terukur [31]. Nilai

RSSI merupakan indikator seberapa kuat sinyal yang

diterima suatu penerima sinyal pada suatu titik tertentu.

RSSI didefinisikan sebagai rasio kuat sinyal yang diterima pada suatu titik tertentu dibandingkan terhadap kuat sinyal

di suatu titik referensi. Sehingga secara matematis RSSI

dapat dinyatakan melalui persamaan,

e

10log ( 1)R

R ff

PRSSIP

=

PR merupakan kuat daya, dalam watt, yang diterima

penerima pada suatu titik tertentu, sementara PReff adalah

kuat daya, dalam watt, yang diterima pada titik referensi.

Karena RSSI merupakan rasio maka tidak mempunyai

satuan. Jika Pr dan Preff dinyatakan dalam dB maka

( ) ( ) ( ) (2) R ReffRSSI dBm P dBm P dBm= −

Kuat sinyal yang dinyatakan dalam RSSI sangat

berperan penting didalam menentukan estimasi jarak.

Besar daya yang diterima di suatu titik dianggap sebagai

pemancar ke segala arah (omnidirectional), sehingga

apabila titik penerima diasumsikan dengan pusat bola

sementara pemancarnya ada di permukaan bola, maka

didapatkan persamaan berikut,

. . . (3) 4

n

RX TX TX RXP P G Gd

λπ

=

dengan PRX

adalah daya pada penerima (watt), PTX

daya

pada pengirim (watt), GTX

penguatan pada pengirim, GRX

penguatan pada penerima, λ panjang gelombang (m), d

jarak pengirim dan penerima (m), dan n eksponen path loss.

Apabila (3) disubstitusikan ke (1), maka didapatkan:

. . .4

10log (4)

. .4

.

n

TX TX RX

n

TX TX RX

o

P G GdRSSI

P G Gd

λπ

λπ

=

Persamaan (4) kemudian disederhanakan menjadi:

10log ( 5)

n

odRSSId

=

10log (6 )

n

o

dRSSId

= −

dengan do adalah jarak dari pemancar ke titik referensi.

C. Topologi Pengukuran

Pada jaringan ZigBee, suatu nodal terhubung dengan

nodal lainnya dengan arsitektur atau topologi jaringan

yang berbeda. Topologi jaringan mengindikasikan

bagaimana modul komunikasi pada satu nodal terhubung

secara logika dengan modul komunikasi pada nodal

lainnya. Pada penelitian ini, pengukuran RSSI dilakukan

dengan beberapa skenario topologi, yaitu topologi point-to-point, topologi star, topologi mesh dengan satu router

dan topologi mesh dengan dua router yang masing-masing

dilakukan di dalam (indoor) dan luar ruangan (outdoor).

Pada setiap skenario pengukuran, dilakukan dengan

baud rate pada 9600 bps, paket data berukuran 64 byte,

dengan jumlah 100 paket data dengan interval pengiriman

setiap 1 detik. Perangkat lunak XCTU digunakan untuk

mengirimkan paket data dan kemudian mengumpulkannya

[32]. Perangkat ini menghitung jumlah paket data yang

dikirimkan dan diterima serta kemudian mengukurnya

dalam bentuk parameter RSSI. Jarak setiap nodal sensor

terhadap nodal koordinator diatur dari 5 sampai dengan 40

m untuk skenario di dalam ruangan (indoor) dan dari jarak

10 sampai dengan 120 m untuk skenario luar ruangan

(outdoor).

III. Hasil Dan Pembahasan

A. Topologi point-to-point

Jaringan point-to-point merupakan topologi jaringan

yang paling sederhana karena hanya melibatkan dua nodal

saja. Gambar 3 memperlihatkan denah pengujian JSN

dengan topologi point-to-point pada lokasi indoor yang

hanya melibatkan satu nodal koordinator dengan satu nodal

sensor. Pada skenario yang diperlihatkan pada Gambar

4 nodal sensor mengirimkan data hasil pengukuran ke

nodal koordinator dengan jarak 5 sampai dengan 40 m

untuk skenario indoor. Sementara untuk skenario outdoor

dengan topologi komunikasi yang sama dilakukan dengan

jarak yang lebih jauh yaitu 10 sampai dengan 120 m.

Gambar 5 dan 6 memperlihatkan hasil pengukuran

RSSI untuk jaringan ZigBee pada topologi point-to-point masing-masing pada skenario di dalam dan luar ruangan.

Dari grafik pada gambar tersebut terlihat nilai RSSI relatif

Gambar 3. Denah lokasi pengujian point-to-point pada kondisi indoor

Gambar 4. Skenario pengujian dengan topologi point-to-point

Page 69: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

123Helmy Fitriawan dkk.: Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi

turun sebagai fungsi jarak nodal sensor terhadap nodal

koordinator, baik untuk skenario indoor dan outdoor.

Apabila hasil pengukuran pada skenario indoor dan

outdoor dibandingkan, maka terlihat bahwa nilai RSSI

pada skenario outdoor sedikit lebih kecil dibandingkan

nilai RSSI pada skenario indoor pada jarak yang sama. Hal

ini disebabkan pada pengujian ini dua skenario sama-sama

dilakukan secara line-of-sight (LOS), tetapi pada skenario

di luar ruangan relatif mendapat pengaruh angin dan cuaca

dibandingkan skenario di dalam ruangan.

B. Topologi Star

Topologi star merupakan jaringan yang membentuk

konvergensi dari masing-masing nodal sensor (end device)

ke nodal koordinator. Denah lokasi pengujian JSN dengan

topologi star yang melibatkan satu nodal koordinator dan

empat nodal sensor pada skenario indoor diperlihatkan

pada Gambar 7. Sementara Gambar 8 memperlihatkan

skema pengujian tersebut dengan empat nodal sensor yang

terhubung secara langsung ke satu nodal koordinator.

Pada skenario indoor, jarak masing-masing nodal sensor

ke nodal koordinator diatur sama dari 4 m sampai dengan

40 m, sementara untuk skenario outdoor digunakan jarak

yang lebih jauh, setiap nodal sensor mempunyai jarak

yang sama yaitu 10 m sampai dengan 120 m terhadap

nodal koordinator.

Gambar 9 dan 10 memperlihatkan hasil pengukuran

RSSI untuk jaringan ZigBee dengan topologi star masing-

masing pada skenario di dalam dan luar ruangan. Dari

hasil pengujian terlihat bahwa nilai RSSI turun sebagai

Gambar 5. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi point-to-point

pada kondisi di dalam ruangan

Gambar 6. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi point-to-point

pada kondisi di luar ruangan

Gambar 7. Denah lokasi pengujian topologi star pada kondisi indoor

Gambar 8. Skenario pengujian dengan topologi star

Gambar 9. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi star pada

kondisi di dalam ruangan

Gambar 10. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi star pada

kondisi di luar ruangan

Page 70: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

124 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

fungsi dari jarak nodal sensor terhadap nodal koordinator.

Dengan empat nodal yang disertakan pada pengujian,

dengan jarak yang sama masing-masing mempunyai

nilai RSSI yang relatif sama. Sedikit perbedaan hasil

pengukuran memperlihatkan bahwa keempat nodal sensor

tersebut mendapatkan hambatan atau pantulan yang

berbeda-beda, dan hal ini lebih jelas terlihat pada hasil di

skenario indoor. Hal ini disebabkan pada skenario indoor,

terdapat dua nodal sensor yang terhalang dinding ketika

berkomunikasi dengan nodal koordinator.

C. Topologi Mesh dengan satu Router dan dua Router

Topologi mesh adalah suatu jaringan dimana masing-

masing nodal dapat terhubung secara langsung dengan

nodal lainnya yang kemudian meneruskannya ke nodal

koordinator. Gambar 11 memperlihatkan denah lokasi

penempatan nodal-nodal pada pengujian jaringan mesh

dengan satu buah router pada lokasi indoor. Sementara

skema pengujian jaringan tersebut dapat dilihat pada

Gambar 12. Pada pengujian ini digunakan jarak antara

nodal sensor dan koordinator yang sama seperti halnya

pengujian sebelumnya yaitu 5 m sampai dengan 40 m.

Sementara untuk skenario di luar ruangan (outdoor)

menggunakan jarak 10 m sampai dengan 120 m antara

nodal sensor dan nodal koordinator. Pada topologi mesh

ini terdapat nodal router yang ditempatkan di tengah-

tengah antara nodal sensor dan nodal koordinator.

Gambar 13 dan 14 memperlihatkan hasil pengukuran

RSSI jaringan ZigBee dengan topologi mesh satu

router masing-masing di dalam dan luar ruangan. Hasil

pengukuran pada kedua skenario memperlihatkan

semakin jauh nodal sensor dari nodal koordinator maka

nilai RSSI semakin turun. Penurunan ini semakin jelas

terjadi pada skenario di dalam ruangan, yang disebabkan

adanya halangan dan pantulan dibandingkan di skenario

luar ruangan.

Pengujian jaringan ZigBee dengan topologi mesh

juga dilakukan dengan menggunakan dua router, yang

artinya data pengiriman dari nodal sensor akan melalui

dua router sebelum sampai di nodal koordinator. Denah

lokasi pengujian topologi mesh dengan dua router pada

lokasi indoor diperlihatkan pada Gambar 15 dengan

skema pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

Terdapat nodal router yang berfungsi meneruskan data

hasil pengukuran dari nodal sensor ke router lainnya

yang kemudian diteruskan kembali ke nodal koordinator

diletakkan di tengah-tengah antara nodal sensor dan nodal

koordinator. Nodal sensor 1 dan 2 mempunyai jarak yang

sama terhadap nodal koordinator yaitu 5 m sampai 40 m

untuk skenario di dalam ruangan dan dari 10 m sampai

Gambar 11. Denah lokasi pengujian topologi mesh dengan satu router

pada kondisi indoor

Gambar 12. Skema penempatan nodal sensor dengan topologi mesh

dengan satu router

Gambar 13. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan

satu router pada kondisi di dalam ruangan

Gambar 14. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan

satu router pada kondisi di luar ruangan

Gambar 15. Denah lokasi pengujian topologi mesh dengan dua router

pada kondisi indoor

Page 71: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

125Helmy Fitriawan dkk.: Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi

dengan 120 m untuk skenario di luar ruangan.

Gambar 17 dan 18 memperlihatkan hasil pengukuran

RSSI jaringan ZigBee dengan topologi mesh dua router masing-masing di dalam dan luar ruangan. Sama halnya

dengan hasil pengujian pada topologi point-to-point dan star, disini nilai RSSI yang terukur akan semakin

kecil seiring menjauhnya jarak nodal sensor dari nodal

koordinator. Nilai RSSI yang didapat pada pengujian

topologi mesh dengan dua router relatif sama dengan

nilai RSSI yang didapatkan pada pengujian topologi mesh

dengan satu router. Hal ini disebabkan, jarak antara nodal

sensor dan nodal koordinator pada dua kasus pengujian

tersebut sama. Sementara apabila kita bandingkan dengan

hasil dari dua topologi sebelumnya, nilai RSSI terukur

pada topologi mesh sedikit lebih besar baik pada skenario

di dalam maupun luar ruangan. Sebagai contoh, RSSI

terukur pada pengujian pada topologi mesh dengan satu

router dibandingkan dengan RSSI pada topologi point-to-

point, terdapat kenaikan dari 16 s.d. 24 dB pada skenario

di dalam ruangan dan kenaikan -4 s.d. 16 dB pada skenario

di luar ruangan. Hal ini disebabkan terdapat router yang

memperkuat sinyal yang dikirim dari nodal sensor ke

nodal koordinator.

IV. Kesimpulan

Dengan karakteristik yang efisien dan dapat diandalkan, ZigBee merupakan teknologi yang paling sesuai dan

banyak digunakan untuk jaringan sensor nirkabel. Ketika

komunikasi berlangsung, kuat sinyal ZigBee sangat

terpengaruh oleh efek eksternal. Untuk menganalisa

pengaruh tersebut terhadap kuat sinyal, maka dilakukan

serangkaian eksperimen pengukuran RSSI pada berbagai

topologi jaringan dengan skenario di dalam dan luar

ruangan. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa nilai

RSSI semakin turun ketika jarak nodal sensor semakin jauh

dari nodal koordinator untuk semua skenario pengukuran.

Penurunan nilai RSSI semakin jelas terjadi pada skenario

di dalam ruangan dimana hal ini disebabkan adanya

halangan dan pantulan dibandingkan pada skenario di luar

ruangan. Kemudian nilai RSSI terukur pada topologi mesh

sedikit lebih besar dibanding pada dua topologi lainnya.

RSSI terukur pada pengujian pada topologi mesh dengan

satu router dibandingkan dengan RSSI pada topologi

point-to-point, terdapat kenaikan dari 16 s.d. 24 dB pada

skenario di dalam ruangan dan kenaikan -4 s.d. 16 dB pada

skenario di luar ruangan. Perbedaan tersebut disebabkan

terdapat router yang memperkuat sinyal yang dikirim dari

nodal sensor ke nodal koordinator.

Referensi

[1] M. F. Othman and K. Sazali, “Wireless sensor networks

applications: A study in environment monitoring system”, in

Proc. International Symposium on Robotics and Intelligent Sensors (IRIS 2012), Sep. 2012, pp. 1204-1210.

[2] H. Karl and A. Willig, Protocol and Architectures for Wireless

Sensor Networks, John Wiley Sons, 2005.

[3] N. Vikram, K. S. Harish, M. S. Nihaal, R. Umesh, and S. A. A.

Kumar, “A low cost home automation system using Wi-fi based wireless sensor network incorporating internet of things (IoT)”,

in Proc. IEEE 7th International Advance Computing Conference (IACC 2017), Jul. 2017, pp. 174-178.

[4] J. P. Amezquita-Sanchez, M. Valtierra-Rodriguez, and H. Adeli,

“Wireless smart sensors for monitoring the health condition of

civil infrastructure,” Scientia Iranica A, vol. 25, no. 6, pp. 2913-

2925, Nov-Dec. 2018.

[5] L. D. Xu, W. He, and S. Li, “Internet of Things in Industries: A

Gambar 16. Skema penempatan nodal sensor dengan topologi mesh

dengan dua router

Gambar 17. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan

dua router pada kondisi di dalam ruangan

Gambar 18. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan

dua router pada kondisi di luar ruangan

Page 72: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

126 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

survey,” IEEE Trans. Industrial Informatics, vol. 10, no. 4, pp.

2233-2243, Nov. 2014.

[6] T. Ojha, S. Misra, and N. S. Raghuwanshi, “Wireless sensor

networks for agriculture: The state-of-the-art in practice and

future challenges,” Computer and Electronics in Agriculture, vol.

118, pp. 66-84, Oct. 2015.

[7] H. Alemdar and C. Ersoy, “Wireless sensor networks for

healthcare: A survey,” Computer Networks, vol. 54, no. 15, pp.

2688-2710, Oct. 2010.

[8] C. V. K. Mahamuni, “A military surveillance system based on

wireless sensor networks with extended covaergae life”, in Proc. International Conference on Global Trends in Signal Processing, Information Computing and Communication (ICG TSPICC 2016), Dec. 2016, pp. 375-381.

[9] IEEE 802.11: Wireless LAN Medium Access Control (MAC) and

Physical Layer (PHY) specifications. (2016 revision). IEEE-SA. 14 Dec. 2016.

[10] L. D. Nardis and M. D. Benedetto, “Overview of the IEEE

802.15.4/4a standards for low data rate wireless personal data

networks”, in Proc. 4th Workshop on Positioning, Navigation and Navigation (WPNC 2007), Mar. 2007, pp. 285-289.

[11] ZigBee Alliance. “ZigBee and Wireless Radio Frequency

Coexistence”, White paper, Jun. 2007.

[12] W. Wang, G. He, and J. Wan, “Research on zigbee wireless

communication technology”, in Proc. International Conference on Electrical and Control Engineering (ICECE 2011), Sep. 2011,

pp. 1245-1249.

[13] X. C. Heredia, C. H. Barriga, D. I. Piedra, G. D. Oleas, and A.

C. Flor, “Monitoring system for intelligent transportation system

based in zigbee”, in Proc UNSA International Symposium on Communication (UNSA ISCOMM 2019), Mar. 2019, pp. 1-6.

[14] J. Xuguang, S. Fan, G. Yongxing, T. Shoufeng, and T. Minming,

“Zigbee-based wireless gas monitoring sensor alarm system in

coal mine”, in Proc 5th International Conference on Advances in Energy Resources and Environmental Engineering (ICAESEE 2019), Dec. 2019, pp. 1-6.

[15] S. G. Varghese, C. P Kurian, V. I. George, A. John, V. Nayak, and

A. Upadhyay, “Comparative study of zigbee topologies for IoT-

based lighting automation,” IET Wireless Sensor Systems, vol. 9,

no. 4, pp. 201-207, Aug. 2019.

[16] Z. Rasin and M. R. Abdullah, “Water quality monitoring system

using zigbee based wireless sensor network,” Int. Journal of

Engineering & Technology, vol. 9, no. 10, pp. 24-28, May 2012.

[17] Z. K. Hussein, H. J. Hadi, M. R. Abdul-Mutaleb, and Y. S.

Mezaal, “Low cost smart weather station using arduino and

zigbee,” Telkomnika Telecommunication Computing Electronics

and Control, vol. 18, no. 1, pp. 282-288, Feb. 2020.

[18] N. T. Le and W. Benjapolakul, “Received signal strength data of

ZigBee technology for on-street environment at 2.4 GHz band and

the interruption of vehicle to link quality,” Data in Brief, vol. 22,

pp. 1036-1043, Feb. 2019.

[19] D. Yuan, S. S. Kanhere, and M. Hollick, “Instrumenting wireless

sensor networks – A survey on the metrics that matter,” Pervasive

and Mobile Computing, vol. 37, pp. 45-62, Jun. 2017.

[20] H. H. R. Sherazi, R. Iqbal, S. U. Hasan, M. H. Chaudary, and S. A.

Gilani, “ZigBee’s received signal strength and latency evaluation

under varying environments,” Journal of Computer Networks and

Communciations, vol 2016, pp. 1-8, Jun. 2016.

[21] K. Subaashini, G. Dhivya, and R. Pitchiah, “Zigbee RF signal

strength for indoor location sensing - experiments and results”,

in Proc. International Conference on Advance Communications Technology (ICACT 2013), Jan. 2013, pp. 50-57.

[22] K. Benkic, M. Malajner, P. Planinsic and Z. Cucei, “Using RSSI

value for distance estimation wireless Sensor networks based

on Zigbee,” in Proc. 15th International Conference on Systems, Signals and Image Processing (IWSSIP 2008), Aug. 2008, pp.

303-306.

[23] I. N. R. Hendrawan and I. G. N. W. Arsa, “Eksperimen pengukuran

parameter RSSI dan troughput protokol ZigBee pada perangkat

XBee Seri 2,” Sains dan Teknologi Informasi, vol. 2, no. 2, pp.

13-16, Dec. 2016.

[24] I. N. B. Hartawan and I. G. M. N Desnanjaya, “Analisis kinerja

protokol ZigBee di dalam dan di luar ruangan sebagai media

komunikasi data pada wireless sensor network,” Jurnal Rekayasa

Sistem Komputer, vol. 1, no. 2, pp. 65-72, Oct. 2018.

[25] H H. Fitriawan, D. Mausa, A. S. Arifin, and A. Trisanto, “Realization of Zigbee wireless sensor networks for temperature

and humidity monitoring”, in Proc. The International Conference on Electrical Engineering, Computer Science and Informatics (EECSI 2015), Aug. 2015, pp. 102-107.

[26] H. Fitriawan, M. Susanto, A. S. Arifin, D. Mausa, and A. Trisanto, “Zigbee based wireless networks and performance analysis in

various environments”, in Proc. The 15th International Conference on Quality in Research (QIR 2017), Aug. 2017, pp. 272-275.

[27] Arduino Uno. [Online]. Available: https://www.arduino.cc/en/

main/arduinoBoardUno/. [Accessed October 11, 2018].

[28] LM35DZ Datasheet. “LM35 Precision Centigrade Temperature

Sensors”.

[29] Aosong. “DHT Product Manual”.

[30] Digi International Inc. 2014. “Xbee/Xbee-Pro ZB RF Modules

Product Manual”.

[31] R. A. Alawi, “RSSI based location estimation in wireless sensor

network”. In Proc. 17th IEEE International Conference on Networks (ICON 2011), Dec. 2011, pp. 118-122.

[32] XCTU Tool. [Online] https://www.digi.com/products/embedded-

systems/digi-xbee/digi-xbee-tools/xctu. [Accessed October 13,

2018]

Page 73: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

I. Pendahuluan

Pada wilayah vulkanik aktif, gradien geotermal ekstrem

dan suhu tanah yang sangat tinggi pada kedalaman dangkal

biasanya berkorelasi dengan sistem hidrotermal entalpi

tinggi [1]. Sistem hidrotermal mampu mengubah mineral

batuan yang ada di sekelilingnya yang dibawa oleh aliran

fluida pada daerah discharged flow. Fluida hidrotermal

mengubah mineralogi dan sifat kimia batuan sehingga

menghasilkan mineral-mineral yang berbeda berdasarkan

lokasi, tingkat dan lamanya proses perubahan tersebut.

Ubahan mineral-mineral batuan ini disebut juga mineral

teralterasi hidrotermal. Beberapa mineral utama yang

terbentuk dari proses alterasi di daerah panas bumi yaitu

mineral yang mengandung potasium (potassic), Phyllic, argilic, propylitic, dan pembentukan silika. Mineral yang

dihasilkan dipengaruhi oleh suhu, permeabilitas, tekanan,

komposisi batuan, dan komposisi fluida [2].

Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi

Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat

8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong,

Kabupaten Bener Meriah, Aceh

Nazli Ismail1, Nela Wirja1, Deviyani R. Putri2, Muhammad Nanda2, dan Faisal1

1Magister Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala

Jl. Tgk. Sych Abdur Rauf No. 3, Darussalam, Banda Aceh 231112Doktor Matematika dan Aplikasi Sains, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Jl. Tgk Chik Pante Kulu No.5 Komplek Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111e-mail: [email protected]

Abstrak—Pemetaan sebaran vegetasi dan mineral teralterasi hidrotermal berdasarkan analisis data satelit Landsat

8 telah dilakukan di Gunung Api Bur Ni Geurudong, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Transformasi

Normalized Different Vegetation Index (NDVI) menggunakan band 5 dan band 4 untuk pemetaan sebaran vegetasi,

sedangkan pemetaan mineral ferric oxide dan clay/lempung menggunakan komposisi band rasio 6/5 dan 6/7. Hasil

perhitungan menunjukan sebaran kerapatan vegetasi di sekitar area manifestasi berada pada tingkat klasifikasi sedang (0,2-0,5) di Wih Pesam dan Pante Raya Barat dan kelas kerapatan vegetasi tinggi (0,50-0,88) di Silih Nara

dan Pinto Rime Gayo. Nilai sebaran mineral ferric oxide maksimal (1,98-2,23) di Bur Ni Telong dan sebagian

kecil sebaran mineral ini berada di lokasi manifestasi sulfur Pinto Rime Gayo. Mineral ini juga ditemukan di titik

manifestasi Silinara. Sedangkan untuk mineral clay/lempung memiliki sebaran maksimal (2,33-8,88) merata di

Gunung Api Bur Ni Geureudong dan sangat sedikit di kawasan Bur Ni Telong. Oleh karena itu, citra satelit Landsat

8 dapat dijadikan dalam memetakan mineral ferric oxide dan mineral clay/lempung. Pemetaan mineral ferric oxide

dan mineral clay/lempung dapat memberikan informasi mengenai jenis mineral yang ada di Gunung Api Bur Ni

Geurudong, serta dapat memberikan informasi awal tentang tipe batuan reservoir panas bumi di kawasan tersebut.

Kata kunci: lapangan panas bumi bur ni geureudong, band rasio, citra landsat, mineral teralterasi hidrotermal

Abstract—Vegetation area and altered mineral by hydrothermal mapping using Landsat 8 satellite data has been

done at Bur Ni Geurudong Volcano, Bener Meriah Regency, Aceh Province. Bands 5 and 4 data were used for

Normalized Different Vegetation Index (NDVI) transformation technique. Band composition ratio of 6/5 and 6/7

were used for band ratio technique to interprete ferric oxide and clay minerals. The results show moderate (0.2-0.5)

distribution of vegetation density found at Wih Pesam and Pante Raya Barat. The high density (0.50-0.88) vegetation

areas are found at Silih Nara and Pinto Rime Gayo. The maximum distribution (1.98-2.23) of ferric oxide minerals

found at Bur Ni Telong and few at Pinto Rime Gayo with sulfur content manifestation. This mineral is also founded

on Silinara manifestation area. Maximum (2.33-8.88) distribution of clay mineral was found at Bur Ni Geureudong

Volcano, few seen at Bur Ni Telong area. Based on the results, the Landsat 8 satellite imagery is effectively used

for mapping of ferric oxide and clay minerals. Mapping of ferric oxide and clay minerals rovide information about

the types of minerals that exist in Bur Ni Geurudong Volcano as a preliminary information about the types of

geothermal reservoir rocks in the region.

Keywords: bur ni geureudong geothermal field, band ratio, kandsat imagery, hydrothermal altered mineralsCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 127-134ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.14907

Received 30 October 2019; Revised 19 May 2020; Accepted 28 May 2020

127

Page 74: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

128

Perubahan mineral ini menghasilkan mineral dengan

kandungan yang beragam serta memiliki tingkat sebaran

yang berbeda pula. Penyebaran mineral teralterasi

hidrotermal dapat diidentifikasikan dengan menggunakan pendekatan teknik penginderaan jauh, salah satunya

dengan menggunakan data citra satelit dan citra airbone [2]–[5]. Pada eksplorasi panas bumi, pemetaan hidrotermal diterapkan untuk mendeteksi keberadaan patahan di

wilayah vulkanik yang biasanya zona alterasi berkorelasi

dengan aliran dischared dari reservoir vulkanik dan dengan

struktur utama yang mengontrol permeabilitas reservoir

dan batuan penutup. Jadi, pemetaan batuan teralterasi

hidrotermal di permukaan dapat membantu untuk

menentukan keberadaan aliran dari reservoir vulkanik [2]. Pada paper ini, kami melakukan pemetaan mineral

teralterasi hidrotermal di wilayah Gunung api Bur Ni

Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Indonesia.

Sebagian besar sistem panas bumi di Indonesia merupakan

sistem hidrotermal yang berasosiasi dengan keberadaan

gunung api. Gunung api Bur Ni Geureudong diduga

berpotensi sebagai sumber energi panas bumi yang

mencapai 160 Mwe [6]. Namun, penelitian panas bumi

di wilayah Gunung Api Bur Ni Geureudong hingga saat

ini masih minim dilakukan [7]–[9], sehingga penelitian lanjutan terkait panas bumi di wilayah ini dapat membantu

pemerintah dalam melakukan studi eksplorasi.

Penelitian ini memanfaatkan teknik penginderaan

jauh yaitu menggunakan data citra satelit Landsat 8 untuk

mengidentifikasi sebaran vegetasi dan sebaran mineral teralterasi hidrotermal di Gunung Api Bur Ni Geureudong,

Provinsi Aceh. Teknik yang digunakan berupa teknik

Transformasi Normalized Different Vegetation Index

(NDVI) untuk mendapatkan nilai sebaran vegetasi dan

teknik analisis band rasio untuk mendapatkan nilai sebaran

mineral teralterasi hidrotermal. Sebaran mineralogi

tersebut juga memberikan informasi mengenai jenis

batuan reservoir panas bumi pada lapangan panas bumi

sehingga mendukung kajian eksplorasi awal terhadap

reservoir panas bumi di wilayah ini.

II. StudI PuStaka

A. Geologi dan Morfologi Gunung Api Bur Ni Geureudong

Gunung Api di Indonesia rata-rata terbentuk akibat

zona subduksi. Salah satunya Bukit Barisan yang berada

di sepanjang Pulau Sumatera akibat subduksi lempeng

Indo-Australia (lempeng samudera) menunjam ke bawah

lempeng Eurasia (lempeng benua) di kerak bumi yang

bertemperatur tinggi [10]. Hal tersebut menyebabkan

lempeng samudra meleleh dengan densitas lelehan lebih

rendah dari sumber asalnya sehingga lelehan tersebut

cenderung bergerak naik ke atas menjadi magma.

Secara geografi, Gunung Api Bur Ni Geureudong terletak di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh,

Indonesia. Daerah ini ditunjukkan oleh kolom merah

pada Peta Provinsi aceh yang ditampilkan dalam

Gambar 1. Gunung Api Bur Ni Geuredong merupakan

sebuah komplek gunung besar berdiameter sekitar 30 km.

dan memiliki dua kerucut parasit muda, yaitu Gunung

Api Bur Ni Telong dan Gunung Pepanyi, yang terdapat

di lereng bagian selatan (Gambar 1). Gunung Api Bur Ni

Geureudong adalah gunung api bertipe strato yang berumur

Pleistocene dan terletak sekitar 50 km ke arah Timur Laut

dari Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) [11]. Adanya beberapa manifestasi panas bumi tersebar di

sekitar gunung Bur Ni Geureudong yang sebagian besar

berupa sumber mata air panas dan solfatara serta fumarol

yang berasap tipis [12].

B. Aplikasi teknik Penginderaan Jauh dalam Pemetaan Mineral Teralterasi Hidrotermal

Penginderaan jauh dapat diartikan sebuah seni dan ilmu

pengetahuan dengan tujuan memperoleh informasi tanpa

menyentuhnya atau tanpa mengalami kontak langsung

dengan objek yang dikaji [5]. Informasi yang diperoleh

berupa gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dan

dipantulkan kemudian direkam oleh sensor satelit. Hasil

rekaman dalam bentuk citra yang kemudian dianalisis

serta diinterpretasikan sesuai dengan hal yang akan

diaplikasikan. Citra satelit memuat setiap piksel dari

informasi tentang warna, ukuran dan lokasi dari sebuah

objek di permukaan bumi.

Salah satu aplikasi metode penginderaan jauh yaitu

memetakan mineral teralterasi hidrotermal di Gunung

Api Bur Ni Geureudong Kabupaten Bener Meriah.

Pemetaan tersebut memanfaatkan nilai kanal-kanal

spektral dari sensor Landsat 8. Land Satellites (Landsat)

merupakan satelit milik National Aeronautics and

Gambar 1. Peta lokasi komplek Gunung Api Bur Ni Geureudong

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 75: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

129

Space Administration (NASA) yang digunakan untuk

mendapatkan citra permukaan bumi. Satelit Landsat 8

diluncurkan 11 Februari 2003. Landsat 8 memilikisensor yaitu sensor The Landsat Operational Land Imager (OLI)

dan The Landsat Thermal Infra-Red Scanner (TIRS).

Sensor tersebut memiliki klasifikasi yang lebih detail dapat dilihat pada Tabel 1.

Citra Satelit Landsat 8 diklasifikasi atas 11 band, artinya tiap 1-pixel data citra satelit Landsat menyimpan

11 Digital Number (DN) yang berbeda. Setiap saluran band

citra satelit memiliki respon/kepekaan terhadap mineral

yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan karakteristik

dan komposisi dari masing-masing mineral.

III. Metode

Penelitian dilakukan di daerah Gunung Api Bur Ni

Geureudong yang terletak di Kabupaten Bener Meriah,

Provinsi Aceh, Indonesia dan terletak pada koordinat

96040’0”E - 96055’0”E dan 4040’0”N - 4055’0”N. Data ang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Citra Landsat 8 OLI/TIRS yang diunduh dari situs web

USGSEarth Explorer dengan alamat https://earthexplorer.

usgs.gov/. Data tersebut kemudian diolah dengan

menggunakan perangkat lunak ArcGis. Pada penelitian ini

citra Landsat 8 yang digunakan berupa rekaman tanggal

12 Februari 2015, path / Row 130 / 57 yang mana telah dikoreksi geometris. Ada 6 titik manifestasi yang ditinjau

di penelitian ini.Lokasi titik-titik manifestasi dan jenis

manifestasi di Gunung Api Bur Ni Geureudong terlihat

di Tabel 2. Ada beberapa tahapan utama yang dilakukan

dalam penelitian ini sesuai Gambar 2.

A. Peta sebaran kerapatan vegetasi

Gunung Api Bur Ni Geureudong merupakan kawasan

hutan lebat sehingga perlu dilakukan pemetaan penutupan

lahan dan kerapatan vegetasi di daerah penelitian dengan

transfromasi Normalized Different Vegetation Index (NDVI). Pada Landsat 8, gelombang Near Infrared

terdapat pada band 5 dan gelombang red terdapat pada

band 4 digunakan untuk menghitung nilai NDVI. Band 4 dan band 5 masih berupa nilai digital number atau DN,

sehingga perlu dikalibrasi ke dalam top of atmosphere (TOA) reflectance. Kalibrasi ini disebut koreksi

radiometrik yang dihitung dengan menggunakan (1) [13].

+ )' (1,calM Q Aρ ρρλ = ×

ρλ’ merupakan TOA Reflectance tanpa dilakukan koreksi

terhadap sudut matahari (tidak ada satuan), Qcal merupakan

nilai pixel dalam digital number, Mρ merupakan faktor skala perkalian reflektan, dan Aρ merupakan faktor skala penambah reflektan. Kemudian setiap band dilakukan koreksi sudut elevasi matahari dengan menggunakan (2).

Tabel 1. Spesifikasi kanal-kanal spektral sensor Citra Landsat 8 [13] Tabel 2. Lokasi titik-titik manifestasi dan jenis manifestasi di Gunung

Api Bur Ni Geureudongg

Gambar 2. Diagram alir penelitian

Nomor

KanalKanal

Kisaran

Spektral

(nm)

Penggunaan

Data

Resolusi

Spasial

1 Biru 433-453 Aerosol/coastal

zone30 m

2 Biru 450-515 Pigments/

scatter/coastal

30 m

(kanal

turunan

dari TM)

3 Hijau 525-600 Pigments/

coastal

4 Merah 630-680Pigments/

coastal

5Infra merah

(NIR)845-885 Foliage/coastal

6 SWIR 1 1560-1660 Foliage

7 SWIR 2 2100-2300 Minerals/litter/

no scatter

8 PAN 500-680Image

sharpening15 m

9 SWIR 1360-1390 Cirruscloud

detection30 m

10 TIRS 110300-

13900

Pemetaan panas

dan perkiraan

kelembaban

100 m

11 TIRS 2 11500-

12500

Pemetaan panas

dan perkiraan

kelembaban

100 m

Nama

titikLokasi

Ketinggian dari

permukaan laut

(mdpl)

Jenis

Manifestasi

1 Kecamatan Silinara 1431 m Mata air panas

2Desa Uning Bertih

Kec. Pante Raya

Barat

1318 m Mata air panas

3Kec. Pintu Rime

Gayo988 m Mata air panas

4 Simpang Balek Satu

Kec. Wih Pesam1217 m Mata air panas

5Desa Batugantung

Kec.Wih Pesam1268 m Mata air panas

6 Pintu Rime Gayo 1386 m Sulfur

Nazli Ismail dkk.: Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh

Page 76: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

130

(2)si )

'' ,

n(θρλρλ =

ρλ’ merupakan reflectance hasil koreksi sudut elevasi

matahari dan θ merupakan sudut elevasi matahari lokal (nilainya dapat dilihat di metadata).

Setelah band 4 dan band 5 dikoreksi dengan (1) dan (2), selanjutnya dihitung nilai kerapatan vegetasi menggunakan

metode analisis NDVI dengan menggunakan (3).

( )( )

. (3)NIR REDNIR RED

NDVI−

=+

Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga 1 [14]. Wilayah yang memiliki nilai indeks vegetasi 1 merupakan wilayah

bervegetasi rapat, sedangkan wilayah berindeks -0,9 adalah wilayah tidak bervegetasi atau kawasan perairan.

Nilai NDVI yang dihasilkan dibagi menjadi empat kelas

untuk tipe tutupan lahan yang berbeda: tutupan lahan

dengan vegetasi yang sepenuhnya sehat (NDVI> 0,5),

lahan campuran (NDVI =0,2-0,5), lahan kosong (NDVI = 0-0,2), dan air atau lahan basah (NDVI<0). Nilai NDVI juga digunakan untuk mengestimasi emisivitas pada

wilayah penelitian ini dengan menggunakan metode

NDVI-threshold.

B. Peta sebaran mineral teralterasi hidrotermal

Data citra yang digunakan dalam analisis mineral

teralterasi hidrotermal yaitu data band-band satelit Landsat

8 yang perlu dikalibrasi dengan menggunakan (1). Setelah

nilai band-band dikalibrasi, selanjutnya dilakukan analisis

menggunakan metode komposisi band rasio. Teknik

komposisi band rasiodilakukan dengan pembagian nilai

digital number (DN) dari salah satu band terhadap nilai

DN band lainnya [8]. Dimana nilai band-bandnya telah

dilakukan koreksi terlebih dahulu menggunakan (1).

Pada penelitian ini mineral besi (ferric oxide) dan

mineral clay diidentifikasi dengan memanfaatkan band pada spektrum cahaya tampak, spektrum Near-Infrared

(NIR) dan spektrum Short-Wave-Infrared (SWIR), yang

ada pada citra Landsat 8.

Mineral ferric oxide (Fe2O3) berupa mineral

(hematite dan magnnetite) dapat diidentifikasikan dengan menggunakan band rasio 6/5. Band 6 memiliki panjang

gelombang (1,57–1,65µm) merupakan gelombang SWIR 1 dan band 5 memiliki panjang gelombang (0,85–0,88µm) yang merupakan gelombang NIR. Karakteristik mineral

ferric oxide (hematite dan magnetite), memiliki spektral

reflektansi elektromagnetik minimum pada 0,48 µm dan 0,85 µm [10]. Hal ini disebabkan oleh proses transisi elektron di kulit terluar dari atom Fe3+. Kemudian terlihat

mineral ini memiliki nilai spektral reflektansi maksimum pada panjang gelombang 0,5–0,72 µm [10].

Mineral Clay/Lempung diidentifikasikan dengan meggunakan band rasio 6/7. Pada umumnya, untuk pemetaan mineral lempung dan penambang karbonat

lebih sensitif menggunakan band rasio 6/7 Landsat 8 OLI yaitu band 6 memiliki panjang gelombang 1,56–1,66 µm dan band 7 memiliki panjang gelombang 2,1–2,3 µm. Karakteristik mineral lempung sangat terlihat pada spektral reflektansi panjang gelombang elektromagnetik 2.1–2.3 µm, karena untuk objek (green vegetation, geothite, dry vegetation dan air) mengalami absorbs [15].

Sedangkan mineral lempung memiliki spektral reflektansi maksimal, sehingga mineral lempung terlihat berwarna

cerah dan jelas.

IV. haSIl dan PeMbahaSan

A. Peta sebaran kerapatan indeks vegetasi

Interpretasi citra satelit berdasarkan sebaran kerapatan

vegetasi perlu dilakukan karena megingat kawasan

Gambar 3. Peta Normallized Different Vegetation Index (NDVI) pada

enam titik manifestasi panas bumi, di Kawasan Gunung Api Bur Ni

Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh

Tabel 3. Kelas nilai indek NDVI di Gunung Api Bur Ni Geureudong

Kabupaten Bener Meriah

NoKisaran

Nilai NDVIWarna

Kelas

Kerapatan

Vegetasi

Jenis Penggunaan

Lahan (-0.7 - 0)

Tidak

Bervege-

tasi

Daerah air /Danau

Laut Tawar atau

Lahan Basah

2 0 - 0.2 Tidak

Rapat

Lahan kosong,

mukim padat,

Kawasan Bandara

Rembele, daerah

mineral teralterasi

hidrotermal

3 0.2 - 0.5 Sedang

Lahan Campuran

Perkebunan, sawah

kering, semak

belukar, daerah

geothermal

4 0.5 - 0.88 Rapat

Vegetasi

Lahan Sehat

Vegetasi, Hutan lebat

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 77: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

131

Gunung Api ini memiliki hutan lebat yang dapat menjadi

tantangan tersendiri dalam melihat kerapatan vegetasi dan

mineral teralterasi hidrotermal.

Dalam penelitian ini tinjauan sebaran vegetasi

difokuskan kepada lokasi yang terdapat manifestasi panas

bumi dan mineral teralterasi hidrotermal yang terlihat pada

Gambar 3. Titik-titik manifestasi yang ditampilkan pada

Gambar 3 merupakan lokasi manifestasi yang diketahui

melalui tinjauan langsung ke lapangan (site visit) dan

ditemukan 6 titik manifestasi panas bumi yang berupa

hotsprings dan solfata.

Gambar 3 menunjukkan nilai indek sebaran vegetasi

yang memiliki nilai -0,71 sampai 0,88. Nilai indek tersebut dibagi dalam empat kelas sesuai jenis penggunaan

lahan yaitu air, lahan kosong, lahan campuran dan lahan

bervegetasi sehat, dapat dilihat dalam Tabel 3 nilai indek

NDVI tersebut menunjukkan jenis penggunaan lahan

berdasarkan tingkat kerapatan vegetasi yaitu lahan basah

atau daerah air yang tidak bervegetasi seperti daerah

Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah dengan

rentang nilai -0,7 sampai 0 dan ditandai oleh warna biru tua. Lahan kosong dengan tingkat kerapatan vegetasinya

yang tidak rapat terdapat di daerah Bandara Rembele,

pemukiman padat penduduk, dan area yang memiliki

mineral teralterasi hidrotermal dengan rentang nilai

0 sampai 0,2 yang ditandai oleh warna coklat muda. Lahan campuran yang memiliki tingkat vegetasinya

sedang terdapat di daerah perkebunan, sawah kering,

semak belukar dan daerah geothermal dengan rentang

nilai 0,2 sampai 0,5 yang ditandai oleh warna biru muda. Sedangkan lahan sehat vegetasi dengan tingkat kerapatan

vegetasi yang rapat di tandai oleh daerah hutan yang lebat

dengan rentang nilai 0,5 sampai 0,88 yang ditandai oleh

warna hijau tua.

Lokasi ke enam titik manifestasi merupakan kawasan

hutan sedang dan hutan rapat, ditandai oleh warna hijau

tua dan terlihat pada Gambar 4. Di sekitar area dari ke-lima titik manifestasi (titik 1, titik 2, titik 3, titik 4 dan titik 5), jikadiperbesarterlihatbewarnabirumuda. Hal ini

disebabkan oleh adanya sumber air panas dikawasan

tersebut. Sedangkan untuk titik 6 terlihat sedikit coklat

karena memiliki sumber manifestasi berupa sulfur.

Namun jika diamati dengan menggunakan google map,

untuk kawasan yang berada jauh dari titik manifestasi

1 dan 2 terdapat manifestasi yang diduga sulfur. Pada peta manifestasi tersebut ditandai oleh simbul persegi

serta berwarna coklat muda. Di titik manifestasi 2, 3, 4, 5 dan 6 merupakan kawasan perumahan penduduk yang

ditandai oleh warna coklat. Adanya kesamaan warna

antara kawasan penduduk dengan manifestasi sulfur,

diduga karena pantulan dari material rumah. Kawasan

yang terdapat perkebunan ada di titik 1, 2, 4, 5, dan 6 yang ditandai oleh segitiga serta bewarna hijau muda,

sedangkan di titik 3 tidak terdeteksi adanya perkebunan

meskipun titik tersebut berada dalam kawasan pemukiman

penduduk. Hal ini disebabkan kawasan tersebut tepat

berada di kaki gunung yang di penuhi rawa-rawa.

Berdasarkan penjelasan mengenai lokasi titik manifestasi,

maka wilayah yang memiliki kelas kerapatan vegetasi

sedang berada di sekitar lokasi titik manifestasi 2, 4 dan 5 (Kecamatan Pante Raya Barat dan Kecamatan Wih Pesam)

sedangkan kelas kerapatan vegetasi rapat/tinggi berada di

lokasi titik manifestasi 1, 3 dan 6 (Kecamatan Silih Nara

dan Kecamatan Pinto Rime Gayo).

Sisi sebelah Batar dan Selatan Bur Ni Geureudong

memiliki kelas kerapatan vegetasi sedang (Gunung Api Bur

Ni Telong, disekitar daerah Simpang Tiga Redelong dan di

sekitar Takengon) yang merupakan kawasan perkebunan

Gambar 4. Peta NDVI di titik manifestasi 1 (A) Titik manifestasi 2,4,5 dan 6 (B) di titik manifestasi 3 (C) di titik kawasan Bur Ni Telong (D)

Nazli Ismail dkk.: Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh

Page 78: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

132

dan semak belukar. Untuk kawasan di arah Selatan dari

Gunung Api Bur Ni Telong, juga terlihat adanya kawasan

urban atau perkotaan, lahan pacuan kuda, lahan kosong,

perkebunan,Yonif 114/SM dan Bandara Rembele yang memiliki tingkat kerapatan vegetasi jarang/tidak rapat.

Kawasan ini ditandai oleh warna coklat. Untuk yang arah

Timur dan Utara dari Gunung Api Bur Ni Geureudong

masih memiliki hutan yang cukup lebat.

B. Peta sebaran mineral teralterasi hidrotermal

Hasil pemetaan sebaran mineral teralterasi hidrotermal

menggunakan metode band rasio di wilayah panas bumi

Kabupaten Bener Meriah terlihat pada Gambar 5 Pemetaan

mineral ferric oxide dan mineral lempung terlihat lebih jelas

jika menggunakan metode band rasio. Karena komposisi

band rasio mampu menginterpretasikan sebaran mineral

lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan satu band

saja. Hal ini disebabkan nilai range panjang gelombang

dari hasil teknik band rasio lebih pendek dibandingkan

nilai panjang gelombang menggunakan satu band saja.

Sehingga informasi mineral yang diperoleh lebih padat,

jelas, dan baik. Mineral ferric oxide tersebar di Gunung

Api Bur Ni Geureudong, dengan nilai sebaran yaitu

0,00–2,23 ditandai oleh warna biru tua. Sebaran mineral tersebut ada di kawasan urban/kota Takengon, Bandara

Rembele dan sekitarnya yang berlokasi di Simpang Tiga

Redelong, kawasan sebelah Timur dan Barat dari Gunung

Api Bur Ni Geureudong dan kawasan Gunung Api Bur

Ni Telong, sebaran mineral tersebut terlihat hampir

merata di kawasan Gunung Api Bur Ni Geureudong,

namun dalam jumlah sebaran berbeda-beda. Mineral ini

tersebarmaksimal di Kota Takengon, BandaraRembele

dan sekitarnya yang berlokasi di Simpang Tiga Redelong.

Karena material-material besi seperti pesawat yang ada

di Bandara Rembele serta material-material perumahan

penduduk yang ada di Kota Takengon. Hal tersebut justru

membantu peneliti untuk melihat adanya kesamaan warna

mineral ferric oxide dengan kawasan material yang ada

di Bandara Rembele yaitu sama-sama memiliki sebaran

mineral besi atau ferric oxide. Mineral clay atau mineral lempung memiliki

tingkat sebaran yang cukup tinggi yaitu kurang lebih 80%

di dominasi oleh mineral ini. Mineral ini memiliki nilai

sebaran 1,19–8,88, dimana nilai sebaran maksimal 2,33–8,88 yang ditandai oleh warna coklat pekat. Untuk warna

biru muda yang ada di semua peta merupakan kawasan

bervegetasi sedang. Untuk melihat sebaran mineral

teralterasi hidrotermal di titik manifestasi dapat dilihat

pada Gambar 6 dan 7. Sebaran mineral ferric oxide di sekitar titik

manifestasi 2, 4, 5 dan 6, hanya terlihat di sebelah Timur menuju arah Selatan dari titik manifestasi 2 dan di sebelah Barat menuju arah Selatan dari titik manifestasi 4. Kedua area tersebut berada di kawasan pemukiman penduduk

yang ditandai oleh simbol pentagonal (segilima). Sebaran

minimum juga terlihat di titik manifestasi 6 yang berada

di bukit dan merupakan kawasan manifestasi sulfur.

Sedangkan pada kawasan ke-empat titik manifestasi ini

juga di dominasi oleh mineral clay terlihat pada Gambar 6.

Sebaran mineral ferric oxide di titik manifestasi 3 terlihat

di sekitar kawasan pemukiman penduduk dan di kelilingi

oleh sebaran mineral clay/lempung yang sangat dominan

di kawasan tersebut. kawasan tersebut merupakan rawa-

Gambar 5. Peta sebaran mineral ferric oxide menggunakan band rasio 6/5 ditandai oleh warna biru tua (A), dan peta sebaran mineral clay/lempun

menggunakan band rasio 6/7 yang ditandai oleh warna coklat tua (B)

A B

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 79: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

133

rawa atau semak belukar yang ada di kaki gunung.

Sebaran maksimal mineral ferric oxide berada di

Gunung Api Bur Ni Telong yang ditandai oleh warna

biru tua. Kawasan Gunung Api Bur Ni Telong memiliki

kelas kerapatan vegetasi sedang. Namun di kawasan yang

memiliki mineral ini tidak terlihat adanya sebaran mineral

clay/lempung. Sedangkan sebaran maksimal mineral clay/

lempung berada selain di kawasan sebaran mineral ferric oxide terlihat pada Gambar 7.

V. keSIMPulan

Penelitian menggunakan data citra satelit Landsat

8 menunjukkan hasil yang optimal dalam memetakan

kerapatan vegetasi dan mineral teralterasi hidrotermal.

Hasil dari penelitian di Gunung Api Bur Ni Geureudong,

Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, didapatkan nilai

indeks vegetasinya berkisar dari -0,71 sampai 0,87. Tingkat kerapatan vegetasinya termasuk dalam klasifikasi tidak bervegetasi (-0,7–0), tidak rapat (0–0,02), sedang (0,2–

Gambar 6. Peta sebaran mineral ferric oxide menggunakan band rasio 6/5 (A), dan peta sebaran mineral clay (mineral lempung) menggunakan band

rasio 6/7 (B) di titik manifestasi Gunung Api Bur Ni Geureudong

Nazli Ismail dkk.: Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh

Page 80: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

134

0,5), dan rapat (0,50–0,88). Namun khusus untuk daerah

penelitian yang memiliki maifestasi berada pada klasifikasi kelas sedang hingga rapat/tinggi. Kelas kerapatan vegetasi

sedang berada di sebelah Barat dan Selatan Bur Ni

Geureudong (Gunung Api Bur Ni Telong, daerah Simpang

Tiga Redelong dan Takengon). Kelas kerapatan vegetasi

tinggi/rapat berada di arah Timur dan Utara dari Gunung

Api Bur Ni Geureudong. Lokasi manifestasi panas bumi

berada pada kelas kerapatan vegetasi sedang (Kecamatan

Wih Pesam dan Kecamatan Pante Raya Barat) sedangkan

kelas kerapatan vegetasi rapat/tinggi (Kecamatan Silih

Nara dan Kecamatan Pinto Rime Gayo).

Sebaran mineral teralterasi hidrotermal seperti ferric oxide dan mineral clay / lempung terlihat jelas dengan

menggunakan komposisi band rasio 6/5 dan 6/7. Nilai sebaran mineral ferric oxide yaitu 0,00–2,23 ditandai oleh warna biru tua. Sebaran maksimal mineral ini berada di

Gunung Api Bur Ni Telong yaitu 1,98–2,23 dan sebagian kecil sebaran mineral ini berada di Desa Uning Bertih yaitu

kawasan Pinto Rime Gayo yang memiliki titik manifestasi

berupa kandungan sulfur. Mineral ini juga ditemukan

di lereng Gunung Api Bur Ni Telong, yang berdekatan

dengan titik manifestasi yang berada di wilayah Silinara.

Sedangkan untuk mineral clay/lempung memiliki sebaran

hampir seluruh Gunung Api Bur Ni Geureudong dengan

nilai sebaran 1,19–8,88 ditandai oleh warna coklat tua.

Sebaran maksimal adalah 2,33–8,88. Namun sebaran mineral clay tidak terlihat atau sangat sedikit di kawasan

Gunung Api Bur Ni Telong.

RefeRenSI

[1] I. Stobe and K. Bucher, Geothermal Energy. Springer Berlin

Heidelberg, 2013.

[2] B. Mia and Y. Fujimitsu, “Mapping hydrothermal altered mineral

deposits using Landsat 7 ETM+ image in and around Kuju volcano, Kyushu, Japan,” J. Earth Syst. Sci., vol. 121, no. 4, pp. 1049–1057, 2012.

[3] T. Han and J. Nelson, “Mapping hydrothermally altered rocks

with Landsat 8 imagery: A case study in the KSM and Snowfield zones, northwestern British Columbia,” Br. Columbia Geol. Surv. Pap., vol. 2005–1, pp. 103–112, 2015.

[4] B. Hu, Y. Xu, B. Wan, X. Wu, and G. Yi, “Hydrothermally altered

mineral mapping using synthetic application of Sentinel-2A MSI, ASTER and Hyperion data in the Duolong area, Tibetan Plateau,

China,” Ore Geol. Rev., vol. 101, no. July, pp. 384–397, 2018.

[5] A. B. Pour and M. Hashim, “Hydrothermal alteration mapping

from Landsat-8 data, Sar Cheshmeh copper mining district, south-

eastern Islamic Republic of Iran,” J. Taibah Univ. Sci., vol. 9, no. 2, pp. 155–166, 2015.

[6] Ministry of Energy and Mineral Resources, Geothermal Potensial of Indonesia Chapter 1. Jakarta, 2017.

[7] N. Ismail, D. R. Putri, T. Arifan, and A. B. C. Hutapea,

“Interpretation Of Gravity And Magnetic Data To Delineate

Local Fault Structures In Bur Ni Geureudong Geothermal Field

, Aceh Province , Indonesia,” in The 11th Asian Geothermal Symposium, 2016.

[8] G. S. Nugraha, Marwan, O. Ikhramullah, S. Alawiyah, and

Sutopo, “Analysis Of The Geothermal Potential Based Fault

Zone In Burni Telong Bener Meriah , Aceh , Indonesia,” in The 1st IBSC: Towards the Extended Use Of Basic Science For Enhancing Health, Environment, Energy And Biotechnology,

2017, pp. 239–242.

[9] L. Hakim, N. Ismail, and F. Abdullah, “Kajian Awal Penentuan

Daerah Prospek Panas Bumi di Gunung Bur Ni Telong

Berdasarkan Analisis Data DEM SRTM dan Citra Landsat 8,” J. Rekayasa Elektr., vol. 13, no. February 2018, pp. 125–132, 2017.

[10] B. G. N. Page et al., “A review of the main structural and

magmatic features of northern Sumatra,” Geol. Soc., vol. 136, pp.

569–579, 1979.

[11] R. Van Bemmelen, Geology of Indonesia Vol-IA General General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago. The Hague:

Goverment Printing Office, 1949.

[12] N. R. Cameron et al., “Geologic map of the Takengon quadrangle,

Sumatra.” Geological Research and Development Center, 1983.

[13] D. of the I. U. S. G. Survey, Landsat 8 (L8) Data Users Handbook,

vol. 8. Department of the Interior U.S. Geological Survey, 2016.

[14] B. Mia, J. Nishijima, and Y. Fujimitsu, “Exploration and

monitoring geothermal activity using Landsat ETM+images. A

case study at Aso volcanic area in Japan.,” J. Volcanol. Geotherm. Res., vol. 275, no. August 2007, pp. 14–21, 2014.

[15] A. B. Pour and M. Hashim, “Regional hydrothermal alteration

mapping using Landsat-8 data,” Int. Conf. Sp. Sci. Commun. Iconsp., vol. 2015–Septe, no. September, pp. 199–202, 2015.

Gambar 7. (A) Peta sebaran mineral ferric oxide menggunakan band

rasio 6/5 ditandai oleh warna biru tua dan (B) mineral clay (mineral

lempung) menggunakan band rasio 6/7 ditandai oleh warna coklat pekat di kawasan Gunung Api Bur Ni Telong

Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020

Page 81: Jurnal Rekayasa Elektrika - e-repository.unsyiah.ac.id

Penerbit:

Jurusan Teknik Elektro dan Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala

Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh 23111

website: http://jurnal.unsyiah.ac.id/JRE

email: [email protected]

Telp/Fax: (0651) 7554336