Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
57-64
65-72
73-79
80-86
87-94
95-102
103-109
110-119
120-126
127-134
Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya Muhammad Nizar Habibi, Mas Sulung Wisnu Jati, Novie Ayub Windarko, dan Anang Tjahjono
Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim
Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit TersebarAdrianti, Muhammad Nasir, dan Muhammad Rivaldi
Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID Adhi Kusmantoro dan Margono
Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel SuryaWahmisari Priharti, Sony Sumaryo, Desri Kristina Silalahi, dan Yendi Surya Agung
Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHFHeru Wijanarko, M. Hanif, Siti Aisyah, dan Kamarudin
Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada TurtlebotAulia Rahman, Mohd. Syaryadhi, dan Hubbul Walidainy
Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi FourierIhwan Dwi Wicaksono, Agus Indra Gunawan, dan Bima Sena Bayu Dewantara
Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi Helmy Fitriawan, Roviq Cholifatul Rohman, Herlinawati, dan Sri Purwiyanti
Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, AcehNazli Ismail, Nela Wirja, Deviyani R. Putri, Muhammad Nanda, dan Faisal
VOLUME 16 NOMOR 2
Jurnal Rekayasa Elektrika
Agustus 2020
JRE Vol. 16 No. 2 Hal 57-134Banda Aceh,
Agustus 2020
ISSN. 1412-4785
e-ISSN. 2252-620X
TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016
JURNAL
REKAYASA ELEKTRIKA
Penerbit
Jurusan Teknik Elektro dan Komputer
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
Penasehat
Ketua LPPM Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
Ketua Jurusan Teknik Elektro dan Komputer
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
Ketua Editor
Fitri Arnia
Editor Ahli
Dadang Gunawan (Universitas Indonesia)
Fitri Yuli Zulkifli (Universitas Indonesia)Yuwaldi Away (Universitas Syiah Kuala)
Khairul Munadi (Universitas Syiah Kuala)
Syafii (Universitas Andalas)Ardian Ulvan (Universitas Lampung)
Rusdha Muharar (Universitas Syiah Kuala)
Redaksi Pelaksana
Elizar
Editor Tata Letak
Zulhelmi
Mohd. Syaryadhi
Editor Publikasi
Roslidar
Muhammad Irhamsyah
Alamat Redaksi
Jurusan Teknik Elektro dan Komputer
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Banda Aceh 23111
Telp/Fax: 0651-7554336
e-mail: [email protected]
Website: http://jurnal.unsyiah.ac.id/JRE
Jurusan Teknik Elektro dan Komputer
I. Pendahuluan
Energi terbarukan merupakan sektor terbaik untuk
bisa memenuhi permintaan kebutuhan energi dengan
keunggulan dalam segi ramah lingkungan dan bebas
polusi. Energi surya, angin, air adalah beberapa contoh
energi terbarukan yang tersedia di Indonesia. Pemanfaatan
energi surya memiliki keunggulan dalam hal ketersediaan,
kapasitas yang melimpah, aksesibilitas yang mudah,
efisiensi dan efektivitas biaya dalam segi perakitan sistem, pengoperasian, dan pemeliharaan jika dibandingkan
dengan pemanfaatan energi angin dan air [1].
Akan tetapi, panel surya juga memiliki kelemahan yaitu
efisiensi rasio konversi energi yang masih rendah [2], [3], sehingga sering kali panel surya tidak selalu mengeluarkan
daya yang maksimal ketika terjadi perubahan radiasi
matahari. Ada banyak inovasi dan metode yang sudah diteliti dan diterapkan agar panel surya selalu mengeluarkan
daya yang maksimal pada setiap terjadi perubahan radiasi
matahari seperti Solar Tracker [4], Maximum Power Point
Tracking (MPPT) [5], pemberian sistem pendinginan untuk
panel surya [6], dan pemberian kaca pada panel surya [7].
Hal tersebut dilakukan supaya panel surya yang digunakan
selalu mengeluarkan daya maksimal dan efisiensi konversi energi menjadi naik. Metode MPPT adalah metode yang
paling unggul di antara metode-metode yang lain, karena
Maximum Power Point Tracking Menggunakan
Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya
Muhammad Nizar Habibi, Mas Sulung Wisnu Jati, Novie Ayub Windarko, dan Anang TjahjonoPoliteknik Elektronika Negeri Surabaya
Kampus PENS, Jalan Raya ITS Sukolilo, Surabaya 60111e-mail: [email protected]
Abstrak—Konversi energi surya menjadi energi listrik dapat dimanfaatkan dengan menggunakan panel surya,
tetapi rasio konversi energi masih rendah. Maximum Power Point Tracking (MPPT) adalah metode yang digunakan
untuk meningkatkan produksi energi pada proses konversi energi listrik pada panel surya. Artificial Neural Network
(ANN) adalah salah satu metode soft-computing yang bisa diterapkan sebagai MPPT dengan keunggulan memiliki
proses pembelajaran, unggul dalam kestabilan saat tracking, cepat, tidak memerlukan pemodelan matematika yang
rumit, serta memiliki performa yang baik untuk segala jenis kondisi cuaca dan permasalahan perubahan radiasi.
MPPT ANN diajukan dengan masukan hanya berasal dari arus hubung singkat dari panel surya dan digunakan
sebagai referensi ANN untuk bisa mencapai daya maksimum dari panel surya. Proses deteksi arus hubung singkat
ditandai dengan turun sesaat nilai daya yang dihasilkan oleh panel surya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
algoritma yang diajukan dapat mencapai titik operasi daya maksimum dari panel surya meskipun terjadi perubahan
radiasi. Ketika sudah berada pada titik operasi daya maksimum, ANN bisa menjaga nilai yang didapatkan, sehingga
nilai yang dihasilkan tidak berubah-ubah dan tidak mengandung osilasi daya. Pada kondisi radiasi sebesar 1000
W/m2 dan menggunakan panel surya 100 WP, ANN dapat menghasilkan daya maksimum sebesar 99,97 Watt
dengan waktu 0,063 detik.
Kata kunci: maximum power point tracking, artificial neural network, arus hubung singkat
Abstract—The conversion of solar energy into electrical can be utilized by using the solar panel, but the energy
conversion ratio is still low. Maximum Power Point Tracking (MPPT) is a method used to increase energy production
in the process of converting electrical to the solar panel. Artificial Neural Network (ANN) is one of the soft-computing methods that can be applied as MPPT with the advantage of having a learning process, very stable, fast, doesn’t
require complicated mathematical modeling, and has good performance . ANN is proposed with input from the short
circuit current of the solar panel and is used as a reference for the ANN to reach the maximum power. The process
of detecting a short circuit current is indicated by a momentary decrease of the power by the solar panel. The results
show the proposed algorithm can reach the maximum power operating point of the solar panel despite the change of
radiation. When at maximum power operating point, ANN can hold the value, so the resulting value doesn’t change
and doesn’t generate ripple. At radiation of 1000 W/m2 and using 100 WP, ANN can produce a maximum power of
99.97 Watts with a time of 0.063 seconds.
Keywords: maximum power point tracking, artificial neural network, short circuit currentCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 57-64ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.14860
Received 18 October 2019; Revised 28 April 2020; Accepted 02 May 2020
57
58
MPPT memiliki keakuratan data yang lebih baik dan tepat,
mudah dalam pengoperasian dan lebih fleksibel karena tidak memerlukan komponen-komponen penyusun yang
besar dan rumit, serta dapat beradaptasi dengan perubahan
kondisi radiasi matahari sehingga tetap bisa mencari daya
maksimum dari panel surya.
Ada dua macam jenis metode MPPT secara umum,
yaitu MPPT konvensional dan MPPT soft-computing.
Metode MPPT konvensional adalah metode MPPT yang memiliki perhitungan yang sangat sederhana dan tanpa
suatu pemodelan terlebih dahulu. Beberapa contoh metode MPPT konvensional adalah Curve-Fitting [8], Fractional
Short-Circuit Current (FSCI) [9], Fractional Open-Circuit
Voltage (FOCV) [10], Look-Up Table [11]. Fractional
Short Circuit Current (FSCC) memiliki keunggulan dalam
hal kecepatan dalam mencapai daya maksimum dari panel
surya dan tidak mengunakan persamaan yang rumit. Metode
tersebut menggunakan sifat hubungan yang linier antara
arus hubung singkat dengan arus pada daya maksimum.
Metode MPPT konvensional yang lain adalah Perturb
and Observe (P&O) [12], Incremental Conductance (IC)
[13], dan Incremental Resistance [14]. Ketiga metode
MPPT ini disebut sebagai metode konvensional karena ketiga metode MPPT tersebut bekerja berdasarkan
perubahan nilai tegangan, arus, serta daya yang dihasilkan
dan perubahannya tergantung dari masing-masing sifat
algoritma. Ketiga metode MPPT tersebut tidak memiliki
pemodelan untuk proses komputasinya sehingga masih
dikategorikan dalam metode MPPT konvensional. Ketiga metode MPPT tersebut masih memiliki kekurangan dalam
hal masih adanya osilasi daya saat berada pada daya
maksimum atau Maximum Power Point (MPP) dari panel
surya yang diakibatkan oleh nilai step size yang digunakan.
Semakin besar nilai step size yang digunakan maka akan
semakin cepat mencapai MPP, tetapi osilasi daya saat
berada di MPP akan semakin besar. Jika step size bernilai
kecil maka akan semakin lama menuju daerah MPP dan
osilasi daya yang dihasilkan lebih sedikit.
Metode MPPT soft-computing merupakan metode
MPPT yang memiliki komputasi berdasarkan pemodelan.
Beberapa contohnya adalah algoritma Firefly [2], Grey
Wolf Optimization [5], Fuzzy Logic [15], Algoritma
Genetika [16], dan Artificial Neural Network (ANN) [17]. Firefly, Grey Wolf Optimization, dan Algoritma Genetika
merupakan tiga metode soft-computing yang pemodelan
matematika berdasarkan kebiasaan dari perilaku makhluk
hidup. Sehingga bentuk pemodelannya lebih rumit dan
respon awal yang dihasilkan juga nilainya berubah secara
cepat dan bisa signifikan. Fuzzy Logic adalah metode
soft-computing yang membutuhkan masukan berupa
parameter dan disertai dengan logika atau rule yang
harus dibuat sendiri. Sehingga pekerjaan yang dilakukan
juga semakin banyak. Artificial Neural Network (ANN) adalah metode MPPT yang mengadopsi cara bekerja
jaringan saraf pada tubuh manusia, dan metode berbasis
soft-computing yang berbeda jika dibandingkan dengan
algoritma yang lain. Perbedaannya yaitu adanya proses
pembelajaran (learning) yang memungkinkan algoritma
mengetahui pola karakteristik dari panel surya yang
digunakan sehingga mengakibatkan hasil pencarian daya
maksimum dari panel surya yang lebih baik dan akurat.
Selain itu ANN memiliki keunggulan lain di antaranya memiliki kestabilan saat tracking, cepat menuju MPP,
tidak memerlukan perhitungan matematika atau komputasi
yang rumit, serta memiliki performa yang baik untuk
segala jenis kondisi dan permasalahan [17], [18], [19].
MPPT ANN dapat mencapai daya maksimum atau MPP dari panel surya tanpa ada proses pencarian di area titik
daya yang optimal [20].Dari beberapa permasalahan yang sudah dipaparkan
maka dirancang suatu metode MPPT dengan menggunakan
algoritma ANN. Parameter masukan dari ANN menggunakan satu parameter saja yaitu menggunakan
arus hubung singkat dari panel surya. Parameter keluaran
dari ANN merupakan nilai duty cycle dari posisi MPP dari
panel surya. Sehingga dengan arsitektur ANN yang sangat sederhana yaitu satu masukan dan satu keluaran, algoritma
yang diajukan bisa mencapai MPP dengan cepat, tepat,
dan tidak mengandung osilasi daya.
II. StudI PuStaka
Metode MPPT dengan menggunakan nilai arus
hubung singkat dari panel surya adalah suatu metode yang
menerapkan pendekatan secara linier hubungan antara
arus hubung singkat dari panel surya dengan nilai arus
pada daya maksimum (IMPP
) pada panel surya [21], [22]. Persamaan matematika yang dapat digunakan untuk bisa
mencapai arus pada daya maksimum (IMPP
) adalah sebagai
berikut:
. (1, )MPP SCI k I≈
dimana k merupakan konstanta yang nilainya mengikuti
karakteristik panel surya yang digunakan. Hal tersebut
bersifat tidak pasti dan dapat menyebabkan pengujian
secara trial dan error, sehingga akan sangat membutuhkan
waktu juga untuk bisa menyesuaikan nilai konstanta yang
sesuai. Hadeed Ahmed Sher, dkk. [23], telah melakukan penelitian dengan menggabungkan prinsip kerja dari
MPPT arus hubung singkat dengan MPPT Perturb
and Observe. Proses pendeteksian arus hubung singkat
digunakan sebagai posisi awal tracking dari MPPT
Perturb and Observe agar lebih cepat mencapai daerah
MPP. Akan tetapi ketika berada pada daerah MPP, masih
terjadi osilasi daya pada daerah MPP. Dengan berbagai
penelitian yang dilakukan, arus hubung singkat dari panel
surya bisa digunakan sebagai parameter input dari ANN untuk mencapai titik operasi daya maksimum.
III. Metode
A. Karakteristik Panel Surya dan Proses Pengambilan
Data Learning
Algoritma Artificial Neural Network (ANN) diimplementasikan sebagai Maximum Power Point
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
59
Tracking (MPPT) untuk mendapatkan daya maksimum
dari panel surya dengan referensi arus hubung singkat
panel surya. Gambar 1 merupakan skema MPPT ANN yang dilengkapi dengan deteksi arus hubung singkat dari
panel surya. Terdapat dua sensor yang terpasang pada
panel surya, yaitu sensor arus yang digunakan untuk
membaca nilai arus yang dihasilkan oleh panel surya
dan juga digunakan untuk membaca nilai arus hubung
singkat dari panel surya. Sensor tegangan digunakan untuk
membaca nilai tegangan yang dihasilkan oleh panel surya.
Konverter daya yang digunakan merupakan konverter daya dengan tipe Buck-Boost. Arus hubung singkat terjadi
ketika sistem memberikan nilai duty cycle sebesar 100% pada G2, sehingga MOSFET akan terhubung dan berlaku seperti saklar. Kemudian nilai arus akan terbaca oleh
sensor dan dikirim ke sistem untuk dikalkulasi besar nilai
duty cycle pada daerah MPP.
Nilai duty cycle yang dihasilkan oleh MPPT ANN dikirim melalui G1 menuju ke konverter daya. Kemudian nilai arus dan tegangan terbaca oleh sensor, dan dikalkulasi
besar daya yang bisa dihasilkan oleh algoritma. Modul
surya yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
modul surya dengan kapasitas 100 WP pada radiasi 1000 W/m2, spesifikasi dari modul surya ditunjukkan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 didapatkan kurva karakteristik dari modul surya terhadap perubahan radiasi
matahari seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(a), dan terhadap perubahan suhu seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2(b).
Gambar 2(a) menunjukkan bahwa hubungan arus hubung singkat pada modul surya memiliki pendekatan
secara linier terhadap arus pada daya maksimum (IMPP).
Gambar 2 juga menunjukkan bahwa pengaruh terbesar terhadap perubahan arus dan tegangan yang dihasilkan
oleh panel surya disebabkan oleh perubahan nilai radiasi.
Nilai arus berubah secara signifikan jika terjadi perubahan radiasi. Sehingga dalam penelitian ini, nilai yang
digunakan pada data learning dan nilai yang diamati pada
pengujian MPPT dilakukan pada kondisi perubahan radiasi
saja. Untuk proses mendapatkan arus hubung singkat pada
setiap kondisi radiasi matahari yang berbeda dan digunakan
untuk data learning dilakukan proses sesuai pada Gambar
3. Pada setiap nilai radiasi matahari akan dicatat nilai arus hubung singkat yang dihasilkan dan nilai duty cycle pada
daerah MPP. Duty cycle pada konverter daya akan diatur secara manual untuk mengetahui berapa nilai duty cycle
yang tepat pada daerah MPP. Nilai arus hubung singkat akan digunakan sebagai parameter nilai input serta nilai
duty cycle pada daerah MPP akan digunakan sebagai
parameter nilai output pada arsitektur ANN.
B. Arsitektur Artificial Neural Netwok (ANN) dan Hasil Learning
ANN yang digunakan merupakan ANN yang terdiri dari satu latyer input, satu layer hidden, dan satu layer output,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Satu layer input
yang merupakan arus hubung singkat dari panel surya,
satu layer hidden dan satu layer output yang merupakan
nilai duty cycle pada daerah MPP dari panel surya yang
digunakan. Layer hidden tersusun dari lima neuron
yang merupakan hasil dari pengujian neural network
regression pada software MATLAB. Penentuan jumlah neuron dilakukan mulai dari jumlah neuron sebanyak
satu, sampai sepuluh neuron. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan software MATLAB yang merupakan layer input adalah nilai-nilai arus hubung singkat dan layer
output adalah nilai-nilai duty cycle pada daerah MPP. Hasil
pengujian pada software MATLAB untuk menentukan jumlah neuron yang digunakan ditunjukkan sebagaimana
Tabel 1. Spesifikasi dari modul surya
Gambar 1. Skema MPPT ANN dengan deteksi arus hubung singkat
POLYCRYSTALLINE
Maximum Power Pmax 100 W
Maximum Power Voltage Vmp 17.6 V
Maximum Power Current Imp 5.69 A
Open Circuit Voltage Voc 22.6 V
Short Circuit Current Isc 6.09 A
Standard Test Condition : Temp = 25 °C ; AM = 1.5 ; Irradiance = 1000 W/m2
Muhammad Nizar Habibi dkk.: Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya
60
pada Gambar 5 dengan nilai maksimal terdapat pada
neuron kelima dengan nilai 0,99969.Penggunaan parameter pada layer input hanya
menggunakan arus hubung singkat dari panel surya.
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(a) tentang kurva karakteristik I-V dari panel surya dengan tiga nilai variasi radiasi matahari. Pada radiasi 1000 W/m2 nilai
arus hubung singkat bernilai 6,09 A, pada radiasi 700 W/m2 nilai arus hubung singkat bernilai 4.26 A, dan pada radiasi 400 W/m2 nilai arus hubung singkat bernilai 2,44 A. Hal ini menunjukkan bahwa nilai arus hubung singkat
memiliki hubungan linier dengan nilai radiasi matahari.
Secara perhitungan matematis, nilai arus hubung singkat
merupakan hasil perbandingan searah dari nilai radiasi
matahari. Sehingga nilai arus hubung singkat bisa
merepresentasikan nilai dari radiasi matahari.
Pada layer input dari ANN, nilai-nilai dari arus hubung singkat dari panel surya membutuhkan normalisasi
terlebih dahulu sebelum masuk pada persamaan ANN yang digunakan. Persamaan yang digunakan untuk proses
normalisasi ditunjukkan pada (2).
( )( )
min
max min
-1, (2)SC SC
SC SC
I IZ
I I
−=
−
dimana Z adalah normalisasi untuk masukan ANN, adalah nilai arus hubung singkat yang terukur pada panel surya,
dengan dan adalah nilai arus hubung singkat terbesar dan
terkecil berdasarkan data learning yang digunakan.
Pada layer hidden yang terdiri dari lima neuron
menggunakan aktivasi logsig dengan persamaan yang
ditunjukkan pada (3).
( )( )( )(, )
1
13
in inn Z w b
Le− + +
=+
dimana n adalah jumlah neuron yang digunakan, adalah
nilai weight, dan adalah nilai bias dari ANN. Nilai weight
dan bias didapatkan dari proses learning atau pada saat
penentuan nilai neuron terbaik pada software MATLAB. Pada layer hidden digunakan masing-masing lima nilai
weight dan bias yang tercantum pada proses inisiasi.
Pada layer output menggunakan aktivasi tansig dengan
persamaan yang ditunjukkan pada (4).
Gambar 3. Flowchart untuk mendapatkan data learning
Gambar 2. Kurva karakteristik I-V modul surya (a) Terhadap perubahan radiasi matahari (b) Terhadap perubahan suhu
(a)
(b)
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
61
( )( )521
(2
- 41,
1
)Z w bin inn
Tan
e
− + + +∑ =
= +
dimana Tan adalah nilai tansig yang dihasilkan oleh (4).
Nilai weight dan bias yang digunakan merupakan hasil
dari proses learning dan menginisiasi masing-masing
sebanyak lima nilai. Nilai weight dan bias pada layer
hidden dan layer ouput sifatnya tidak menentu atau acak
karena menyesuaikan bentuk arsitektur yang digunakan.
Pada layer output juga terdapat normalisasi yang
ditunjukkan pada (5).
( )( )1
2, (5)
max min
min
Tan D DD D
+ −= +
dimana D merupakan duty cycle MPP, dan merupakan
nila duty cycle MPP tertinggi dan terendah berdasarkan
data learning yang digunakan. Hasil dari (5) akan dikirim
ke konverter daya untuk mendapatkan daya maksimum dari panel surya.
Gambar 6 merupakan flowchart untuk sistem
dari algoritma MPPT yang diajukan. Sebelum sistem
mengukur nilai arus dan tegangan dari panel surya yang
didapatkan dari sensor, sistem melakukan hubung singkat
terlebih dahulu untuk mendapatkan arus hubung singkat.
Proses pendeteksian arus hubung singkat ditandai dengan
nilai daya yang akan turun atau bernilai nol. Kemudian
arus hubung singkat tersebut dikalkulasi dengan ANN untuk mendapatkan nilai duty cycle pada daerah MPP
dari panel surya. Pada penelitian ini, nilai arus hubung
singkat yang digunakan untuk data learning tidak hanya
menggunakan nilai pada kondisi Standard Test Condition
(STC) saja. Akan tetapi menggunakan 28 data variasi nilai arus hubung singkat mulai dari arus hubung singkat
pada radiasi 1000 W/m2 sampai 100 W/m2 beserta nilai
duty cycle pada daerah MPP. Sehingga ada 28 data variasi data untuk input dan output yang digunakan sebagai data
learning pada software MATLAB.Pada penelitian ini digunakan algoritma pembanding
untuk mengetahui lebih jelas karakteristik performa dari
algoritma MPPT yang diajukan. Algoritma pembanding
yang digunakan merupakan algoritma MPPT Perturb and
Observe (P&O). Algoritma MPPT P&O digunakan sebagai
algoritma pembanding karena memiliki kesederhanaan
dalam susunan algoritma tetapi algoritma tersebut masih
Gambar 4. Arsitektur algortima ANN untuk MPPT
Gambar 6. Flowchart algortima MPPT ANNGambar 5. Grafik perbandingan jumlah neuron pada neural network
training regresion test
Muhammad Nizar Habibi dkk.: Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya
62
bisa mendapatkan nilai daya maksimum dari panel surya
dalam berbagai kondisi radiasi matahari. Kedua algoritma
akan dibandingkan dengan kondisi radiasi yang sama
sehingga akan terlihat apakah algoritma yang diajukan
memiliki karakteristik yang berbeda dengan algoritma
MPPT P&O. Pembahasan lebih detail tertera pada bab
hasil dan pembahasan.
IV. haSIl dan PeMbahaSan
Pengujian sistem dilakukan secara simulasi dengan
menggunakan software Power Simulation (PSIM).
Spesifikasi panel surya yang digunakan disesuaikan pada Tabel 1. Pengujian dilakukan dengan menggunakan dua
kondisi radiasi matahari, yaitu untuk radiasi matahari
berubah-ubah, dan untuk kondisi radiasi matahari tetap.
Pengujian MPPT dengan nilai radiasi berubah dilakukan
untuk mengetahui respon MPPT ketika terjadi nilai radiasi
berubah-ubah, dan pengujian MPPT dengan kondisi
radiasi tetap dilakukan untuk mengetahui respon awal saat
MPPT melakukan tracking. ANN diimplementasikan pada simplified c block di PSIM dan menggunakan konverter daya buck-boost.
Gambar 7 merupakan proses terjadinya deteksi arus
hubung singkat dari panel surya, yang terdiri dari Isc_
Command, Arus, dan Tegangan. Isc_Command merupakan
kondisi ketika sistem melakukan pendeteksian arus hubung
singkat dari panel surya, ditandai dengan nilai awal nol (0) kemudian berubah menjadi satu (1). Pada saat kondisi ini
nilai arus mendeteksi nilai arus hubung singkat, dan nilai
tegangan berubah menjadi 0 (nol) atau turun sementara. Lama dari nilai tegangan menjadi nol tergantung dari
lamanya sistem mendeteksi nilai arus hubung singkat dari
panel surya. Dalam penelitian ini, sistem mendeteksi arus
hubung singkat selama 1 ms. Ketika nilai referensi arus
hubung singkat didapatkan, secara langsung ANN dapat menentukan berapa nilai duty cycle yang sesuai untuk bisa
mencapai daya maksimum dari panel surya.
Gambar 8 merupakan respon dari MPPT P&O ketika
nilai radiasi matahari berubah-ubah. Nilai pertama radiasi sebesar 800 W/m2, berubah dengan kenaikan 50 W/m2
dan sampai pada nilai 1000 W/m2.Pada kurva terlihat bahwa MPPT P&O dapat mencapai Maximum Power
Point (MPP) dari panel surya akan tetapi masih terjadi
osilasi daya. Kondisi ini akan merugikan jika MPPT
diimplementasikan ke dalam hardware karena akan
mengurangi lifetime dari komponen power konverter daya terutama komponen switching.
Gambar 9 merupakan kurva MPPT ANN untuk kondisi radiasi matahari yang berubah-ubah. Perubahan nilai
radiasi memiliki nilai yang sama dengan pengujian pada
MPPT P&O. Pada kurva menunjukkan bahwa pada saat terjadi perubahan nilai radiasi, MPPT ANN mendeteksi ulang nilai arus hubung singkat dari panel surya untuk
didapatkan nilai MPP dari panel surya.
Gambar 8. Kurva MPPT P&O dengan kondisi nilai radiasi berubah-ubah
Gambar 7. Proses deteksi arus hubung singkat dari panel surya
Gambar 9. Kurva MPPT ANN dengan kondisi nilai radiasi berubah-ubah
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
63
Pada saat awal tracking, MPPT mengalami osilasi daya
terlebih dahulu yang merupakan respon dari konverter daya. Hal yang paling membedakan dari kedua metode
MPPT tersebut adalah terletak pada saat awal sistem
running kemudian melakukan tracking MPP dari panel
surya, dan ketika MPPT sudah mendapatkan nilai MPP
dari panel surya. MPPT P&O membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk bisa mencapai MPP dan ketika MPPT
sudah mencapai MPP, sistem masih terus mencari ulang
dan MPPT tidak dapat mengunci nilai MPP. MPPT ANN dengan cepat dapat mencapai MPP dari panel surya dan
MPPT ANN bisa mengunci nilai dan tidak melakukan proses tracking ulang. Ketika awal nilai duty cycle untuk
daerah MPP sudah didapatkan ANN, akan tetapi ketika nilai tersebut diberikan ke konverter timbul respon awal sehingga hal tersebut yang membuat tidak secara
langsung berada pada daerah MPP. Pengujian selanjutnya
merupakan pengujian MPPT pada radiasi tetap, untuk bisa
melihat secara detail respon yang dihasilkan oleh masing-
masing algoritma.
Gambar 10 merupakan pengujian MPPT P&O dengan nilai radiasi tetap, yaitu 1000 W/m2. MPPT P&O
memerlukan waktu 0,08 detik untuk bisa mencapai MPP dari panel surya. Nilai awal yang naik merupakan respon awal dari konverter daya. Ketika berada di daerah MPP, masih terdapat osilasi daya. Besar osilasi daya yang
dihasilkan tergantung dari penambahan atau pengurangan
nilai duty cycle yang diatur pada algoritma atau yang
sering disebut step size. Semakin besar nilai step size maka
nilai osilasi daya pada daerah MPP akan semakin besar.
Pada Gambar 11 terlihat respon untuk MPPT Artificial Nerual Network (ANN) untuk kondisi radiasi matahari sebesar 1000 W/m2. Ketika MPPT ANN sudah mencapai MPP atau daya maksimum dari panel surya, MPPT tidak
mendeteksi ulang nilai daya yang didapatkan. ANN secara otomatis mendeteksi nilai duty cycle untuk konverter yang nilainya bisa menghasilkan daya maksimum atau
Maximum Power Point (MPP) dari panel surya yang
digunakan. Osilasi daya awal yang dihasilkan disebabkan
oleh respon dari konverter daya yang digunakan. Saat
sudah mencapai daya maksimum tidak terjadi osilasi
daya atau tidak terjadi perubahan daya karena nilai duty
cycle yang dihasilkan tidak berubah. Nilai duty cycle yang
didapatkan berasal dari MPPT ANN dengan referensi nilai arus hubung singkat dari panel surya.
Tabel 2 merupakan tabel pengujian MPPT pada kondisi radiasi 1000 W/m2. Pengujian dilakukan dengan
membandingkan dua jenis MPPT, yaitu Artificial Neural Network (ANN) dengan Perturb and Observe (P&O).
Baik MPPT ANN maupun MPPT P&O, kedua jenis MPPT tersebut dapat mencapai dan mendekati nilai
daya maksimum dari panel surya. Kedua MPPT tersebut
juga memiliki nilai daya yang hampir sama. Akan tetapi,
untuk MPPT ANN tidak mengalami kondisi osilasi daya
saat MPPT sudah mencapai MPP, hal ini berbeda dengan
MPPT P&O.
MPPT P&O mengalami kondisi osilasi daya saat sudah
mencapai Maximum Power Point (MPP) dengan nilai
kesalahan bisa mencapai 11,5%. Hal ini menunjukkan bahwa MPPT P&O tidak bisa berada dalam kondisi steady
ketika sudah mencapai atau mendekati nilai MPP dari panel
surya. Kecepatan tracking dari MPPT ANN juga lebih cepat jika dibandingkan dengan MPPT P&O. MPPT ANN membutuhkan waktu 0,063 detik untuk mencapai MPP dari panel surya. Nilai 0,063 detik merupakan hasil yang sebabkan oleh respon dari konverter saat digunakan, akan tetapi nilai duty cycle yang dihasilkan sudah didapatkan
sesaat setelah mendapatkan arus hubung singkat dari panel
surya.
Gambar 11. Kurva MPPT ANN dengan Kondisi Nilai Radiasi TetapGambar 10. Kurva MPPT P&O dengan kondisi nilai radiasi tetap
Tabel 2. Hasil pengujian MPPT pada radiasi 1000 W/m2
Metode MPPT ANN P&O
PMAX (Watt) 100
PMPPT (Watt) 99.97 99.28
Osilasi Daya Tidak Ya
Error Osilasi Daya (%) 0 11.5
Kecepatan Tracking (s) 0.063 0.08
Muhammad Nizar Habibi dkk.: Maximum Power Point Tracking Menggunakan Algoritma Artificial Neural Network Berbasis Arus Hubung Singkat Panel Surya
64
V. keSIMPulan
Maximum Power Point Tracking (MPPT) dengan
algoritma Artificial Neural Network (ANN) diajukan untuk meningkatkan daya yang dihasilkan oleh panel
surya. Arus hubung singkat pada panel surya digunakan
sebagai referensi algoritma ANN untuk bisa mendapatkan Maximum Power Point (MPP) atau daya maksimum
dari panel surya. Proses pendeteksian nilai arus hubung
singkat dibuktikan dengan menurunnya secara sesaat nilai
tegangan yang dihasilkan oleh panel surya. Dikarenakan
secara sesaat MOSFET menghubungkan terminal positif
dan negatif dari panel surya dan tidak ada aliran daya
yang menuju ke sistem. Nilai arus hubung singkat dibaca sensor dan digunakan ANN untuk mendapatkan nilai duty cycle pada daerah MPP. Sehingga kondisi tersebut
mengakibatkan nilai daya menjadi nol ketika MPPT
mendeteksi arus hubung singkat dari panel surya. Pada
radiasi berubah-ubah, MPPT ANN masih bisa mencapai titik operasi daya maksimum dari panel surya, mulai
radiasi 800 W/m2 sampai 1000 W/m2 dengan penambahan
50 W/m2. Pada radiasi matahari tetap sebesar 1000 W/m2,
MPPT ANN mendapatkan daya maksimum sebesar 99,97 Watt untuk panel surya dengan kapasitas 100 WP dengan waktu 0,063 detik, dan tidak terjadi osilasi daya ketika
MPPT sudah mencapai MPP dari panel surya.
RefeRenSI
[1] N. Kannan and D. Vakeesan, “Solar energy for future world: - A review,” Renewable and Sustainable Energy Reviews -
ELSEVIER, vol. 62, pp. 1092-1105, 2016.
[2] N. A. Windarko, A. Tjahjono, D. O. Anggriawan and M. H. Purnomo, “Maximum Power Point Tracking of Photovoltaic System Using Adaptive Modified Firefly Algorithm,” in 2015 International Electronics Symposium (IES), Surabaya, 2015.
[3] R. Arshad, S. Tariq, M. U. Niaz and M. Jamil, “Improvement in Solar Panel Efficiency Using Solar Concentration by Simple Mirrors and by Cooling,” in 2014 International Conference on
Robotics and Emerging Allied Technologies in Engineering
(iCREATE), Islamabad, 2014.
[4] Y. Yao, Y. Hu, S. Gao, G. Yang and J. Du, “A multipurpose dual-axis solar tracker with two tracking strategies,” Renewable
Energy - ELSEVIER, vol. 72, pp. 88-98, 2014.
[5] S. Mohanty, B. Subudhi and P. K. Ray, “A New MPPT Design Using Grey Wolf Optimization Technique for Photovoltaic System Under Partial Shading Conditions,” IEEE TRANSACTIONS ON SUSTAINABLE ENERGY, vol. 7, no. 1, pp. 181-188, 2016.
[6] A. Sahay, V. K. Sethi, A. C. Tiwari and M. Pandey, “A review of solar photovoltaic pane lcooling systems with special reference to Ground coupled central panel cooling system (GC-CPCS),” Renewable and Sustainable Energy Reviews - ELSEVIER, vol. 42, pp. 306-312, 2015.
[7] S. M. S. Alam and A. N. M. M. Rahman, “Performance comparison of mirror reflected solar panel with tracking and cooling,” in 4th International Conference on the Development in the in Renewable
Energy Technology (ICDRET), Dhaka, 2016.
[8] A. M. Faraloya, A. N. Hasan and A. Ali, “Curve Fitting Polynomial Technique Compared to ANFIS Technique for Maximum Power Point Tracking,” in 8th International Renewable Energy Congress
(IREC), Amman, 2017.
[9] H. A. Sher, A. F. Murtaza, A. Noman, K. E. Addoweesh and M. Chiaberge, “An intelligent control strategy of fractional short circuit current maximum power point tracking technique for photovoltaic applications,” Journal of Renewable and Sustainable
Energy, vol. 7, pp. 1-15, 2015.
[10] K. Siddhant, “Implementation of Fractional Open Circuit Voltage Mppt Algorithm in A Low Cost Microcontroller,” National Institute of Technology, Rourkela, 2014.
[11] S. Malathy and R. Ramaprabha, “Maximum Power Point Tracking Based on Look up Table Approach,” Advanced Materials
Research, vol. 768, pp. 124-130, 2013.
[12] M. Kamran, M. Mudassar, M. R. Fazal, M. U. Asghar, M. Bilal and R. Asghar, “Implementation of improved Perturb & Observe MPPT technique with confined search space for standalone photovoltaic system,” Journal of King Saud University –
Engineering Sciences, pp. 1-10, 2018.
[13] R. I. Putri, S. Wibowo and M. Rifa’i, “Maximum power point tracking for photovoltaic using incremental conductance method,” in 2nd International Conference on Sustainable Energy
Engineering and Application, ICSEEA 2014, Bandung, 2014.
[14] Q. Mei, M. Shan, L. Liu and J. M. Guerrero, “A Novel Improved Variable Step-Size Incremental-Resistance MPPT Method for PV Systems,” IEEE Transactions on Industrial Electronics, vol. 58, no. 6, pp. 2427-2434, 2011.
[15] A. S. Samosir, H. Gusmedi, S. Purwiyanti and E. Komalasari,
“Modeling and Simulation of Fuzzy Logic based Maximum Power Point Tracking (MPPT) for PV Application,” International
Journal of Electrical and Computer Engineering (IJECE), vol. 8, no. 3, pp. 1315-1323, 2018.
[16] S. Hadji, J.-P. Gaubert and F. Krim, “Theoretical and Experiment Analysis of Genetic Algorithms Based MPPT for PV Systems,” in International Conference on Technologies and Materials for
Renewable Energy, Environment and Sustainability, TMREES15,
Beirut, 2015.
[17] P. Q. Dzung, L. D. Khoa, H. H. Lee, L. M. Phuong and N. T. Dan Vu, “The New MPPT Algorithm using ANN-Based PV,” in International Forum on Strategic Technology (IFOST), Ulsan,
2010.
[18] S. Messalti, A. Harrag and A. Loukriz, “A new variable step size neural networks MPPT controller: Review, simulation and hardware implementation,” Renewable and Sustainable Energy
Reviews - ELSEVIER, vol. 68, pp. 221-233, 2017.
[19] L. M. Elobaid, A. K. Abdelsalam and E. E. Zakzouk, “Artificial neural network-based photovoltaic maximum power point tracking techniques: a survey,” IET Renewable Power Generation, vol. 9, no. 8, pp. 1043-1063, 2015.
[20] M. Seyedmahmoudian, B. Horan, T. K. Soon, R. Rahmani, A. M. Than Oo, S. Mekhilef and A. Stojcevski, “State of the art artificial intelligence-based MPPT technique sfor mitigating partials hading effects on PV systems – A review,” Renewable and Sustainable
Energy Reviews, vol. 64, pp. 435-455, 2016.
[21] N. A. Kamarzaman and C. W. Tan, “A comprehensive review of maximum power point tracking algorithms for photovoltaic systems,” Renewable and Sustainable Energy Reviews -
ELSEVIER, vol. 37, pp. 585-598, 2014.
[22] H. A. Sher, K. E. Addoweesh and K. Al-Haddad, “An Efficient and Cost-Effective Hybrid MPPT Method for a Photovoltaic Flyback Micro-Inverter,” IEEE Transactions on Sustainable
Energy, vol. 9, no. 3, pp. 1137-1144, 2018.
[23] H. A. Sher, A. F. Murtaza, A. Noman, K. E. Addoweesh, K. Al-Haddad and M. Chiaberge, “A New Sensorless Hybrid MPPT Algorithm Based on Fractional Short-Circuit Current Measurement and P&O MPPT,” IEEE Transactions on
Sustainable Energy, vol. 6, no. 4, pp. 1426-1434, 2015.
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
I. Pendahuluan
Pemanfaatan energi terbarukan seperti: energi
matahari dan angin saat ini menjadi alternatif dalam
upaya pemenuhan terhadap kebutuhan energi listrik
yang telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Energi
matahari sebagai sumber energi yang melimpah dan ramah
lingkungan dapat dikonversi menghasilkan energi listrik
menggunakan modul photovoltaic (PV) atau sel surya.
Tegangan listrik yang dihasilkan oleh sel surya ini berupa
tegangan arus searah atau Direct Curent (DC)
Dalam implementasinya terdapat tiga tipe sistem PV
yaitu: a) tipe stand-alone; b) tipe hibrida and; c) tipe
grid connected. [1] Pada sistem PV yang berdiri sendiri
(stand alone) beban listrik hanya ditopang oleh array sel
surya sehingga memiliki kehandalan rendah. Sistem PV
dapat dipadukan dengan pembangkit lain sebagai sistem
hibrida atau dihubungkan dengan jala-jala utilitas guna
memperbaiki kehandalannya. Sistem PV tipe hibrida
memadukan beberapa sumber energi baru dan terbarukan,
sehingga diharapkan dapat menyediakan catu energi listrik
yang lebih efisien dan kontinu. Sedangkan sistem PV terhubung jala menggunakan jala-jala daya listrik utilitas
sebagai backup [1] sehingga memiliki tingkat kehandalan
yang paling tinggi.
Pada sistem PV stand alone yang mana hanya
menggunakan teknologi PV dan tidak terhubung ke
grid utilitas, tegangan luaran DC dari modul PV dapat
digunakan secara langsung untuk mengoperasikan
beban DC sedangkan bank baterai dimanfaatkan sebagai
penyimpan energi yang akan dipakai saat ada permintaan
[2]. Keunggulan tipe sistem PV stand-alone off grid ini
adalah dapat beroperasi mandiri untuk memasok beban DC
atau AC sehingga sangat cocok digunakan sebagai sumber
energi listrik di daerah terpencil yang sulit terjangkau
oleh jaringan listrik nasional. Akan sistem PV off grid
Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah
Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali
Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim
Jurusan Teknik Elektro Universitas Jenderal Soedirman
Jalan Mayjen Sungkono km 5 Kalimanah, Purbalingga, Jawa Tengah 53371
e-mail: [email protected]
Abstrak—Sistem photovoltaic (PV) dapat dihubungkan dengan jala utilitas untuk menjamin kehandalan dan
kontinuitas suplai energi listrik. Meskipun luaran modul PV dan banyak beban listrik berupa arus searah (DC),
akan tetapi kebanyakan sistem PV terhubung jala menggunakan grid arus bolak-balik (AC) melalui inverter.
Penelitian ini menyajikan analisis sistem PV mikrogrid beban DC yang terhubung ke jala utilitas Perusahaan Listrik
Negara (PLN) menggunakan penyearah terkendali. Rangkaian penyearah terkendali menggunakan thyristor yang
dapat dikontrol sudut penyalaannya untuk mengatur luaran tegangan dan arus yang dicatu dari utilitas. Simulasi
konfigurasi sistem PV yang diusulkan dilakukan menggunakan software PSIM. Sistem menyuplai beban resistif berupa lampu DC. Simulasi dilakukan pada variasi resistansi beban dan sudut penyalaan thyristor. Hasil simulasi
menunjukkan rangkaian penyearah memiliki ripple tegangan 1,57 V (6,47%). Sedangkan efisiensi sistem pada berbagai kondisi pembebanan dan sudut penyalaan bervariasi pada nilai antara 95,08%–97,72%. Efisiensi sistem tertinggi diperoleh pada kondisi sudut penyalaan thyristor tinggi.
Kata kunci: sistem photovoltaic, terhubung jala, mikrogrid dc, penyearah terkendali, efisiensi
Abstract—Photovoltaic (PV) systems can be connected to the utility grid to ensure the reliability and continuity of the electrical energy supply. Although the output of the PV modules and many electrical loads are direct current (DC), most grid connected PV systems use alternating current (AC) grid through the inverter. This study presents an
analysis of DC microgrid PV system connected to PLN utility grid using controlled rectifier. The controlled rectifier circuit uses a thyristor which can be controlled at its ignition angle to regulate the output voltage and current supplied from utility. The proposed PV system configuration simulations are performed using PSIM software. The system supplies resistive loads in the form of DC lights. Simulations are carried out with variations in load resistance and the thytistor ignition angle. The simulation results show the rectifier circuit has a voltage ripple of 1.57 V (6.47%). While the efficiency of the system under various loading conditions and ignition angle varies between 95.08%–97.72%. The highest system efficiency is obtained under high thyristor ignition conditions.
Keywords: photovoltaic, grid connected, dc microgrid, controlled rectifier, efficiencyCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 65-72ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15698
Received 31 January 2020; Revised 22 May 2020; Accepted 30 May 2020
65
66
sangat tergantung pada ketersediaan cahaya matahari [3].
Modul PV juga tidak dapat menyimpan energi, sehingga
diperlukan baterai untuk menyeimbangkan energi sistem
PV. Guna mendapatkan tingkat kehandalan yang tinggi,
Sistem PV stand alone membutuhkan sejumlah banyak
beterai penyimpan energi untuk mengantisipasi kondisi
cuaca buruk dimana PV hanya membangkitkan sedikit
energi listrik. Hal ini tentu saja berdampak pada biaya
investasi dan biaya energi (cost of energy) yang tinggi.
Koneksi sistem PV ke jala-jala listrik dapat menjamin
kehandalan sistem dengan kebutuhan baterai yang
minimal. Sebuah sistem terhubung jala listrik umumnya
terdiri atas modul PV dan inverter untuk mengkonversi
arus searah menjadi arus bolak-balik yang disinkronkan
dengan sumber listrik utama sehingga kelebihan energi
listrik yang dibangkitkan dapat dikirimkan ke jala-jala
listrik. Samir Kouro [4] dan Mahela [5] memberikan
gambaran ikhtisar komprehensif sistem PV terhubung
jala-jala.
Salah satu permasalahan sistem PV terhubung
jala adalah pada inverter yang merupakan komponen
utama pada sistem PV terhubung jala-jala arus bolak
balik. Eltawil [6] menyajikan review tentang masalah
teknis dan potensial pada sistem PV terhubung jala-jala.
Berdasarkan hasil survei, didapatkan bahwa inverter
pada PV terhubung jala memiliki efisiensi dan faktor daya di atas 90% dengan THD harmonik arus dibawah
5%. Sementara Ekici menyajikan rugi-rugi energi pada
sistem PV terhubung jala-jala dimana komponen inverter
memberikan sumbangan rugi daya sebesar 3% [7].
Koneksi dengan grid arus bolak-balik sebagai mikrogrid
AC juga dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti
kebutuhan untuk sinkronisasi pembangkit, arus inrush
pada transformer, aliran daya reaktif, arus harmonik, dan
ketidaksetimbangan tegangan [8].
Pendekatan lain yang dikembangkan adalah sistem
pembangkit terhubung grid DC sebagai sebuah mikrogrid
DC. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan
beban elektronik pada instalasi rumah tinggal adalah
beban arus searah. Penyaluran langsung energi listrik
yang dihasilkan oleh PV ke beban dalam bentuk DC
memberikan keuntungan berupa pengurangan rugi
daya pada piranti inverter. Naoki Ayai [9] menyebutkan
beberapa tujuan microgrid DC yaitu: meningkatkan
pemakaian unit PV terdistribusi dan mengurangi disipasi
energi dan biaya fasilitas untuk konversi dari DC ke AC.
Beberapa kelebihan dari sistem microgrid DC antara lain:
rugi energi lebih rendah, kehandalan lebih tinggi dan biaya
investasi lebih rendah
Makalah ini menyajikan analisis sistem PV dengan
grid beban DC yang terhubung jala-jala listrik utilitas
pada instalasi rumah tinggal melalui rangkaian penyearah
terkendali. Dibandingkan dengan sistem PV terhubung
jala listrik yang umumnya menggunakan bus beban arus
bolak- balik, model sistem yang diusulkan menggunakan
bus beban arus searah yang lebih efisien. Koneksi dengan jala-jala utilitas bertujuan untuk menjamin kehandalan
sistem. Beban DC yang disuplai adalah beban penerangan
lampu DC LED yang sekarang ini banyak dikembangkan
karena lebih hemat energi, dan beban peralatan elektronik
yang sebenarnya merupakan beban DC.
II. StudI PuStaka
A. Sistem PV terhubung jala
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan
suatu pembangkit listrik yang memanfaatkan energi sinar
matahari melalui sel surya (photovoltaic/PV). Sel surya
mengkoversikan radiasi sinar matahari menjadi energi
listrik. Sel surya merupakan lapisan-lapisan tipis terbuat
dari bahan semikonduktor silikon (Si) murni, atau bahan
semikonduktor lainnya, yang kemudian tersusun menjadi
modul surya.
Beberapa modul sel surya dihubungkan secara seri dan
atau paralel membentuk array sel surya untuk mencapai
nilai tegangan dan daya listrik yang diinginkan. Daya
sel surya merupakan perkalian antara tegangan dan arus
yang dihasilkan. Daya output modul modul sel surya
sendiri merupakan fungsi intensitas cahaya matahari dan
dipengaruhi oleh temperatur sel surya.
Sebuah sistem PV dapat dihubungkan dengan jala-
jala listrik agar mendapatkan kontinuitas dan kehandalan
yang tinggi. Grid-connected PV merupakan sistem PV
yang terhubung dengan jaringan PLN. Berdasarkan pola
operasinya sistem ini dapat berupa: sistem PV terhubung
jala dengan backup penyimpan baterai (Grid-connected
PV with a battery backup) dan sistem PV terhubung jala
tanpa backup baterai (Grid connected PV without a battery
backup). Sistem PLTS on grid konvensional umumnya
tersusun atas array sel surya dan inverter yang berfungsi
mengubah arus searah (DC) luaran PV dan baterai menjadi
arus bolak-balik (AC), kemudian disinkronkan dengan
sumber listrik utama untuk menyuplai beban AC [10].
Sistem PV juga dapat terhubung grid DC sebagai
sebuah mikrogrid DC. Dalam sebuah sistem mikrogrid
DC, daya AC dari utilitas dikonversi menjadi DC ketika
memasuki bus DC menggunakan penyearah berefisiensi tinggi, kemudian daya listrik didistribusikan secara
langsung ke peralatan DC yang dilayani oleh grid DC
[11]. Umumnya sistem mikrogrid DC dilengkapi dengan
komponen penyimpan energi agar dapat menyediakan catu
daya yang stabil. Sumber DC juga harus membagi output
dayanya untuk menstabilkan tegangan grid DC [12].
Gambar 1 menyajikan sistem mikrogrid DC dengan
PV terhubung jala-jala listrik. Beberapa kelebihan dari
sistem mikrogrid DC antara lain: rugi energi lebih rendah,
kehandalan lebih tinggi dan biaya investasi lebih rendah.
Fregosi menyajikan studi komparatif sistem mikrogrid
pada gedung komersial menunjukkan sistem mikrogrid
DC menggunakan energi PV 6–8 persen lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan sistem tradisional
AC [13]. Dari sisi rugi energi, sistem mikrogrid DC
mengurangi rugi konversi AC ke DC dari rugi rata-rata
32% turun menjadi 10% [11]. Selain itu pada mikrogrid
DC modul photovoltaic dapat langsung menyuplai secara
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
67
langsung beban DC tanpa rugi konversi berulang (DC ke
AC ke DC) [11].
B. Penyearah Terkendali
Penyearah terkendali (controlled rectifier) atau sering
juga disebut dengan konverter merupakan rangkaian
elektronika daya yang berfungsi untuk mengubah
tegangan sumber masukan arus bolak-balik dalam bentuk
sinusoida menjadi tegangan luaran dalam bentuk tegangan
searah yang dapat diatur atau dikendalikan. Komponen
semikonduktor daya yang digunakan umumnya berupa
Silicon Controlled Rectifier (SCR) yang beroperasi sebagai
sakelar, pengubah, dan pengatur.
Jenis sumber tegangan masukan untuk mencatu
rangkaian konverter dapat digunakan tegangan bolak-balik
satu fasa maupun tiga fasa. Konverter satu fasa merupakan
rangkaian penyearah daya dengan sumber masukan
tegangan bolak-balik satu fasa, sedangkan konverter
tiga fasa rangkaian penyearah daya dengan sumber
masukan tegangan bolak-balik tiga fasa. Berbeda dengan
penyearah daya, penyearahan dalam rangkaian konverter
dapat dilakukan dalam bentuk penyearahan terkendali
setengah gelombang (halfwave), penyearah gelombang
penuh (fullwave), dan semikonverter. Pembebanan pada
rangkaian penyearah terkendali juga dipasang beban
resistif atau beban resistif induktif.
Gambar 2 menunjukkan penyearah jembatan
gelombang penuh: (a) terkontrol penuh (b) terkontrol
sebagian. Proses pemicuan pada SCR T1 dan T
2 dilakukan
secara serempak selama gelombang positif sumber
tegangan. Sedangkan komponen SCR T3 dan T
4 harus
dipicu secara simultan pada periode gelombang negatif
[14]. Gelombang luaran rangkaian penyearah terkendali
diperlihatkan pada Gambar 3.
Jika SCR T1 dan T
2 dipicu sebesar α, maka nilai tegangan
searah rerata (Vdc) dapat ditentukan menggunakan
persamaan berikut:
2cos .maksV
VD απ
=
III. Metode
A. Model Sistem PV
Gambar 4 menyajikan model sistem PV yang
diusulkan dengan bus beban DC terhubung jala-jala utilitas
dilengkapi dengan baterai sebagai penyimpan energi.
Sistem PV grid beban DC terhubung jala utilitas pada
penelitian ini tersusun atas array PV, DC–DC Converter
dengan Maximum Power Point Tracking (MPPT), baterai
sebagai penyimpan energi, jala-jala utilitas, dan konverter
berupa penyearah terkendali menggunakan thyristor untuk
mengubah tegangan bolak-balik dari utilitas menjadi
tegangan searah. Hubungan rangkaian dari PV, baterai,
beban dan luaran penyearah menggunakan kabel yang
direpresentasikan dengan resistansi kabel.
Array PV menggunakan 4 modul PV dengan kapasitas
Gambar 4. Model sistem PV grid beban DC terhubung jala utilitas
Gambar 3. Cara kerja penyearah terkendali [14]
Gambar 1. Struktur mikrogrid DC terhubung jala utilitas [8]
Gambar 2. Rangkaian penyearah terkendali [14]
(a) (b)
Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim.: Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali
68
total 200 Wp, dengan dua modul disusun secara seri untuk
mendapatkan tegangan yang lebih tinggi. Spesifikasi array
PV yang digunakan pada simulasi dan pengujian mengacu
pada modul PV yang terpasang pada Laboratorium
Konversi Energi Fakultas Teknik UNSOED diperlihatkan
pada Tabel 1.
Simulasi sistem PV menggunakan bus DC dengan
tegangan nominal 24V pada baterai. Sistem terhubung
dengan jala-jala PLN dengan tegangan nominal 220
V rms dan mencatu Beban DC berupa lampu DC 24 V
yang terhubung secara paralel. Untuk simulasi, beban DC
divariasi pada resistansi antara 3–12 Ohm (daya beban
antara 48 W–192 W).
Gambar 5 menyajikan rangkaian simulasi sistem PV
yang diusulkan. Sumber arus bolak-balik dari grid PLN
dihubungkan ke bus DC melalui trafo penurun tegangan
dan penyearah terkontrol sebagian. Sedangkan array PV
dihubungkan melalui konverter tipe buck.
B. Rangkaian Penyearah Terkendali
Rangkaian penyearah terkendali tersusun atas: (1) trafo
step down, penyearah gelombang penuh dengan thyristor
terkendali dan kapasitor sebagai filter untuk mengurangi ripple tegangan penyearah. Paramater rangkaian penyearah
terkendali disajikan pada Tabel 2.
C. Konverter DC
Konverter DC–DC pada PV dengan Maximum Power
Point Tracking (MPPT) untuk menyesuaikan tegangan
pada PV agar beroperasi pada titik maksimalnya, dan
tegangan luaran konverter sesuai dengan tegangan untuk
pengisian baterai atau menyuplai beban. Deskripsi
rangkaian konverter disajikan pada Tabel 3.
IV. haSIl dan PeMbahaSan
Simulasi dan analisis dilakukan terhadap rangkaian
sistem PV diusulkan yang terhubung dengan buck
converter, baterai dan jala-jala listrik. Rangkaian simulasi
sistem PV dengan bus beban DC yang terhubung dengan
jala-jala AC PLN melalui rangkaian penyearah terkendali
Tabel 1. Parameter modul PV
Tabel 2. Paramater rangkaian penyearah
Tabel 3. Parameter rangkaian konverter DC
ParameterData modul
PV
Data Array
PV
Daya maksimum 50 Wp 200Wp
Tegangan maksimum
(Vmaks)16,7 V 33,4 V
Arus maksimum (Imaks) 2,88 A 5,76 A
Tegangan hubung buka (Voc) 20,1 V 40,2 V
Arus hubung singkat 3,1 A 6,2 A
Uraian Deskripsi / nilai
Rasio trafo 10 : 1
Jenis penyearah Gelombang penuh terkendali
Kendali thyristor Alpha controller
Filter Kapasitor 0,47 mF
Uraian Deskripsi / nilai
Jenis converter Buck converter
Duty cycle 0,73
Frekuensi swiching 25 kHz
Kapasitor 47 µF
Induktor 1 mH
Algoritma MPPT Pertub and Observe
Gambar 5. Rangkaian simulasi sistem PV
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
69
disajikan pada Gambar 7.
Array PV 200 Wp terhubung ke baterai dan beban DC
melalui konverter DC–DC dan saluran PV. Sedangkan
sumber PLN terhubung ke baterai dan beban melalui
rangkaian penyearah terkendali dan saluran kabel.
Pengendalian rangkaian penyearah menggunakan alpha
controller. Sedangkan pengoptimalan daya PV dilakukan
oleh konverter DC–DC.
Simulasi sistem dilakukan menggunakan software
PSIM pada beberapa skenario simulasi sebagai berikut:
1) beban hanya disuplai oleh PV dan baterai, 2) beban
disuplai oleh jala PLN dan baterai dan 3) beban disuplai
oleh jala PLN dan baterai.
A. Simulasi beban disuplai oleh PV dan baterai
Untuk mengetahui unjuk kerja dari konverter DC–
DC dan rangkaian MPPT pada sisi PV, beban divariasi
pada nilai 3 hingga 12 Ω. Gambar 6 menyajikan bentuk gelombang tegangan PV (Vpv), luaran buck converter
(Voutbuck), baterai (Vbat), dan beban (Vload).
Rangkaian buck converter menjaga tegangan luaran
PV pada nilai mendekati nilai tegangan maksimumnya
(Vmpp) agar daya yang dihasilkan PV menjadi maksimal.
Tegangan PV memiliki ripple tegangan 0,54 V (1,61%)
karena proses pensaklaran di konverter. Akan tetapi
tegangan luaran buck converter memiliki ripple yang
sangat kecil yaitu 0,01 V (0,05%) karena sisi luaran
konverter terhubung dengan baterai.
Pada simulasi variasi perubahan beban, menunjukkan
tegangan dan arus luaran PV relatif konstan pada 33,6 V
dan 2,7 A. Kenaikan nilai resistansi beban berpengaruh
terhadap kenaikan tegangan pada sisi beban akibat
berkurangnya arus beban. Rangkaian buck converter
memiliki efisiensi yang sangat baik yaitu 99%. Sedangkan efisiensi sistem bervariasi antara 97,1%–97,6% dipengaruhi oleh aliran daya pada komponen dan saluran
(Gambar 8). Efisiensi sistem tertinggi diperoleh pada saat arus pengisian atau pengosongan yang mengalir di baterai
pada kondisi minimal.
B. Simulasi beban disuplai oleh PLN dan baterai
Gambar 9 menunjukkan bentuk gelombang tegangan
dan arus pada sistem pada saat beban hanya disuplai oleh
jala-jala PLN dan baterai. Tegangan keluaran penyearah
memiliki ripple tegangan yang cukup besar yaitu 1,57 V
(6,47%). Hal ini berdampak pada nilai ripple arus yang
tinggi yang menyebabkan pengisian dan pengosongan
baterai secara periodik. Faktor yang menyebabkan
adalah nilai kapasitor yang digunakan masih relatif kecil
dibandingkan konsumsi arus yang diserap oleh beban dan
baterai.
Gambar 6. Tegangan PV, buck converter, baterai dan beban pada kondisi
beban disuplai PV dan baterai
Gambar 8. Efisiensi sistem pada variasi resistansi beban
Gambar 7. Arus PV, buck converter, baterai, dan beban
Gambar 9. (a) tegangan dan (b) arus sistem pada kondisi beban disuplai
PLN dan baterai
(a)
(b)
Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim.: Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali
70
Gambar 10–11 menyajikan tegangan dan aliran daya
pada sistem ketika sudut penyalaan thyristor diubah dari
0° hingga 150°, dengan resistansi beban pada 3 Ohm dan
6 Ohm. Pada kondisi beban 3 Ohm, tegangan beban pada
kisaran 23,43 V hingga 23,3 V dengan daya beban antara
183,06–180,98 W. Sedangkan penyearah memberikan catu
daya sebesar 165,95 W pada saat sudut penyalaan thyristor
sebesar 0° dengan nilai yang berkurang hingga 0,72 W
pada sudut penyalaan thyristor sebesar 120°. Kekurangan
kebutuhan daya beban diambilkan dari baterai. Baterai
menyuplai daya sebesar 22,06 W saat sudut penyalaan
thyristor sebesar 0° hingga 185,2 W saat penyearah tidak
mencatu daya listrik ke sistem.
Pada kondisi resistansi beban yang lebih tinggi sebesar
6 Ohm, daya beban adalah lebih rendah diantara 94,17
sampai 93,18 W. Pada sudut penyalaan rendah, penyearah
mengalirkan arus listrik dengan daya lebih besar dari
kebutuhan beban, sehingga sebagian daya listriknya
digunakan untuk melakukan pengisian pada baterai. Hal ini
diperlihatkan pada arus baterai yang bernilai positif. Saat
sudut penyalaan thyristor dinaikkan, arus dari penyearah
berkurang hingga lebih kecil dari kebutuhan daya listrik
beban. Pada kondisi ini baterai mengalirkan daya listrik ke
beban ditunjukkan dengan nilai arus baterai yang negatif.
C. Simulasi beban disuplai oleh PV, PLN dan baterai
Pada simulasi ini, beban dicatu oleh PV, baterai
dan luaran penyearah. Gambar 12 menyajikan bentuk
gelombang tegangan PV, tegangan output buck converter
pada PV, tegangan baterai, tegangan penyearah dan
tegangan beban pada kondisi sudut penyalaan thyristor
0° dan resistansi beban 3 Ohm. Tegangan penyearah
memiliki ripple yang masih tinggi (1,5V), meskipun ripple
tegangan pada sisi beban adalah relatif kecil akibat nilai
tegangan baterai dan output konverter DC pada PV yang
nilainya relatif tetap. Ripple tegangan luaran penyearah
ini menyebabkan fluktuasi besaran arus yang disuplai oleh penyearah dan baterai. Sementara arus listrik yang
disuplai dari PV bernilai konstan karena rangkaian MPPT
pada konverter DC mempertahankan operasi PV pada nilai
daya maksimalnya.
Tegangan dan aliran daya pada sistem pada variasi
sudut penyalaan diperlihatkan pada Gambar 13. Arus yang
disuplai dari PV relatif tetap. Kenaikan sudut penyalaan
thyristor berpengaruh pada penurunan tegangan dan aliran
daya dari jala-jala PLN melalui rangkaian penyearah.
Dibandingkan dengan pada simulasi sebelumnya ketika
sistem PV belum dihubungkan, pada sudut penyalaan yang
sama daya listrik yang dicatu dari rangkaian penyearah
lebih rendah. Penurunan ini lebih disebabkan kenaikan
tegangan pada sisi baterai karena pengaruh luaran
konverter DC PV, sehingga aliran arus dari penyearah
menjadi lebih kecil. Pada saat sudut penyalaan thyristor
dinaikkan arus yang dicatu dari rangkaian penyearah
terkendali mengalami penurunan.
Pada sudut penyalaan rendah, suplai daya dari penyearah
dan PV lebih besar dari kebutuhan beban sehingga aliran
daya sistem adalah dari PV dan penyearah menyuplai daya
beban dan melakukan pengisian ke baterai. Penurunan
nilai arus penyearah ketika sudut penyalaan dinaikkan
Gambar 12. Tegangan sistem pada kondisi beban disuplai PV, PLN dan
bateraiGambar 11. Daya penyearah dan baterai pada berbagai sudut penyalaan
(a) beban 3 Ohm, (b) beban 6 Ohm
Gambar 10. Tegangan pada sudut penyalaan thyristor yang berbeda(a)
(b)
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
71
memperkecil arus pengisian ke baterai, hingga saat total
daya arus PV dan penyearah lebih kecil dari kebutuhan
daya beban maka aliran daya pada baterai akan berbalik
bersama-sama menyuplai kebutuhan daya listrik beban.
Pada kondisi sudut penyalaan di atas 120° tegangan luaran
penyearah lebih rendah dari tegangan sistem sehingga
rangkaian penyearah tidak lagi menyuplai daya listrik ke
beban.
Hasil simulasi sistem PV beban DC terhubung jala pada
variasi beban dan sudut penyalaan thyristor menunjukkan
sistem memiliki efisiensi yang baik (Gambar 14). Efisiensi sistem terendah sebesar 95,02% pada
saat sudut penyalaan thyristor rendah. Kenaikan sudut
penyalaan thyristor berpengaruh pada kenaikan efisiensi sistem. Efisiensi tertinggi sistem sebesar 97,72% pada sudut penyalaan tinggi dimana rangkaian penyearah tidak
mencatu daya listrik ke beban.
V. keSIMPulan
Sistem PV terhubung jala dengan grid beban DC yang
diusulkan menggunakan rangkaian penyearah terkendali
dengan modul thyristor untuk mengkonversi tegangan arus
bolak-balik dari jala-jala PLN menjadi tegangan searah
pada nilai yang dapat diatur dengan mengubah sudut
penyalaan thyristor. Berdasarkan hasil simulasi, pengaturan
sudut pemicuan thyristor berpengaruh pada aliran daya
dari jala PLN. Rangkaian penyearah memberikan suplai
daya yang lebih besar saat sudut penyalaan thyristor
rendah. Sebaliknya saat sudut penyalaan tinggi, arus dari
rangkaian penyearah akan menurun bahkan dapat tidak
mencatu arus listrik. Karakteristik ini dapat dimanfaatkan
untuk mengatur aliran daya listrik dari jala-jala PLN ke
beban menyesuaikan kondisi beban dan energi listrik yang
dihasilkan oleh PV. Hasil simulasi juga menunjukkan
rangkaian yang diusulkan memiliki efisiensi yang baik antara 95%–97,7%. Efisiensi tertinggi diperoleh saat penyearah tidak mencatu daya listrik ke sistem saat sudut
penyalaan tinggi.
RefeRenSI
[1] J.R. Balfour, M. Shaw, and N.B. Nash. Introduction to
Photovoltaic System Design. USA: Jones & Bartlett Publishers,
2011.
[2] M. Ishaq, U.H. Ibrahim, and H. Abubakar, “Design of An Off Grid
Photovoltaic System: A Case Study of Government Technical
College, Wudil, Kano State,” International Journal of Scientific & Technology Research, vol. 2, issue 12, pp.175-181, Dec 2013.
[3] Syafii, Y. Mayura, dan Muhardika, “Strategi Pembebanan PLTS Off Grid untuk Peningkatan Kontinuitas Suplai Energi Listrik,”
Jurnal Rekayasa Elektrika, vol. 15, no. 3, pp. 167-151, Desember
2019.
[4] S. Kouro, J.I. Leon, D. Vinnikov and L.G. Franquelo, “Grid-
Connected Photovoltaic Systems: An Overview of Recent
Research and Emerging PV Converter Technology,” IEEE
Industrial Electronics Magazine, vol. 9, no. 1, pp. 47-61, March
2015.
[5] O.P. Mahela, and A.G. Shaik, “Comprehensive Overview of
Grid Interfaced Solar Photovoltaic Systems,” Renewable and
Sustainable Energy Reviews, vol. 68, part 1, pp. 316-332, Feb
2017.
[6] M.A. Eltawil, Z. Zhao, “Grid-Connected Photovoltaic Power
Systems: Technical and Potential Problems - A Review”.
Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 4, issue 1, pp.
112-129, Jan 2010.
[7] S. Ekici, and M.A. Kopru, “Investigation of PV System Cable
Losses,” International Journal of Renewable Energy Research,
vol.7, no.2, 2017.
[8] M.S. Neves, M.A. Aredes, H. Khezri, E.T.H. Ida, and M. Aredes,
“Advantages of Grid Tied DC Micro Grid,” 2017 Brazilian Power
Electronics Conference (COBEP), Nov 2017.
[9] N. Ayai, T. Hisada, T. Shibata, H. Miyoshi, T. Iwasaki, and K.
Kitayama, “DC Micro Grid System,” SEI Technical Review
Number 75 October 2012.
[10] Winasis, Suroso, H. Prasetijo, A. Noviana, “Analisis Sistem
Mikrogrid DC Photovoltaic Terhubung Jala-jala,” Prosiding
Seminar Nasional Teknik Elektro, Malang, Oktober 2018.
Gambar 13. (a) tegangan dan (b) daya sistem disuplai PV, PLN dan
baterai pada variasi sudut penyalaan thyristor
Gambar 14. Efisiensi sistem pada variasi sudut penyalaan thyristor
(a)
(b)
Winasis dan Muhammad Syaiful Aliim.: Analisis Sistem Photovoltaic Beban Arus Searah Terhubung Jala PLN dengan Penyearah Terkendali
72
[11] D.R. Prasad, B.R. Kamath, K.R Jagadisha, and S.K. Girish,
“Smart DC Micro-Grid for Effective Utilization of Solar Energy,”
International Journal of Scientific & Engineering Research, vol.
3, Issue 12, Dec 2012.
[12] P. John, and B.K. Mathew, “Operation and Control of Solar
PV Based DC Microgrid,” International Journal of Current
Engineering and Scientific Research, vol. 2, Issue 9, 2015.
[13] D. Fregosi, et all. “A Comparative Study of DC and AC
Microgrids in Commercial Buildings Across Different Climates
and Operating Profiles”. IEEE First International Conference on
DC Microgrids (ICDCM), Jun 2015.
[14] M.H. Rashid, Power Electronics Handbook, Devices Circuits and
Applications: Elsevier, 2011.
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
I. Pendahuluan
Penggunaan pembangkit tersebar (DG) pada jaringan
distribusi telah menjadi tren dalam pemanfaatan energi
terbarukan. Penempatan pembangkit di sisi beban ini
memiliki sejumlah manfaat yang diantaranya adalah
memperkecil rugi-rugi saluran karena daya listrik dikirim
dari pembangkit yang lokasinya dekat dengan beban.
Akan tetapi, pemasangan DG membawa efek negatif
bagi kerja peralatan proteksi saluran distribusi. Saluran
distribusi umumnya dilindungi oleh peralatan proteksi
arus lebih. Perubahan arah dan besar arus pada saluran
distribusi karena hidup dan matinya DG maupun grid,
menyebabkan penyetingan proteksi arus lebih sulit
dilakukan [1-3]. Relai dengan kemampuan adaptif dapat
menjadi solusi permasalahan ini. Namun kemampuan
adaptif membutuhkan perangkat tambahan seperti fasilitas
komunikasi [1]. Biaya perangkat tambahan ini tidak
Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral
untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan
Pembangkit Tersebar
Adrianti, Muhammad Nasir, dan Muhammad Rivaldi
Jurusan Teknik Elektro, Universitas Andalas
Kampus Limau Manih, Padang, Sumatera Barat 25163
e-mail: [email protected]
Abstrak—Pembangkit tersebar (DG) membawa banyak manfaat akan tetapi DG merubah jaringan distribusi yang
awalnya radial dengan satu suplai daya, menjadi sistem dengan banyak suplai. Sehingga besar dan arah arus pada
saluran distribusi mengalami perubahan. Akibatnya proteksi berbasiskan arus lebih yang selama ini menjadi
andalan pada saluran distribusi mengalami kemerosotan kemampuan dalam mendeteksi gangguan. Karena itu,
relai jarak yang bekerja berbasiskan nilai impedansi, dicoba diaplikasikan pada saluran distribusi untuk mengatasi
permasalahan relai arus lebih tersebut. Akan tetapi, saluran distribusi yang umumnya pendek menyebabkan
impedansi saluran menjadi kecil. Sehingga resistansi gangguan akan mendominasi impedansi yang terlihat oleh
relai jarak dengan karakteristik mho. Karena itu pada penelitian ini, karakteristik quadrilateral menjadi pilihan
karena memiliki fasilitas setting jangkauan dan setting resistansi yang diset terpisah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan deteksi relai jarak quadrilateral untuk pengamanan saluran distribusi yang memiliki DG.
Penelitian menggunakan metoda simulasi dengan software Digsilent Powerfactory. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa relai jarak quadrilateral mengalami kesalahan dalam mendeteksi gangguan yang melalui resistansi akibat
tingginya nilai Sistem Impedance Ratio (SIR) dari DG. DG umumnya berkapasitas kecil dan merupakan sumber
arus gangguan yang lemah. Kecilnya suplai arus dari DG menyebabkan impedansi yang dilihat oleh relai menjadi
besar dan berada jauh diluar zona operasi relai.
Kata kunci: relai jarak quadrilateral, pembangkit tersebar, proteksi saluran distribusi, resistansi gangguan
Keywords: quadrilateral distance relay, distributed generation, distribution line protection, fault resistance
Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 73-79ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15734
Received 02 February 2020; Revised 09 June 2020; Accepted 18 June 2020
73
Abstract—Installation of distributed generations (DGs) in distribution network bring benefits for power system operation. However, DGs change the distribution network topologies from radial with one source into multi-sources
network, hence magnitude and direction of the current will also change. Consequently, the existing distribution line
protection i.e. current based protection, experience performances deterioration. To overcome this problem, distance
relays, which work based on calculated impedance is proposed. However, since mho distance relays fail to detect
faults through resistance in previeus research, quadrilateral characteristic of distance relay is chosen. Quadrilateral
distance relays have separate setting for reach and resistance; hence it is expected it will accommodate fault
resistance. Therefore, this research aims to identify the performance of quadrilateral distance relay in protecting
distribution lines that having DG. The research method is computer simulation where quadrilateral distance relays
performance is tested for various faults and system conditions in a test system. The software for the simulation is
Digsilent Power factory. The results conclude that the quadrilateral distance relays experienced failures to detect
faults in correct zone operation due to a weak source of DG. DG generates less fault current, as consequences, the
relays see large impedances.
74 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
ekonomis bagi DG dengan kapasitas kecil.
Relai jenis lain yang bekerja bukan berdasarkan besar
arus adalah relai jarak. Relai jarak mengukur impedansi ke
titik gangguan. Relai Jarak dengan karakteristik mho yang
sudah umum dipakai untuk perlindungan saluran transmisi,
telah dicoba untuk aplikasi pada saluran distribusi yang
memiliki DG [4]. Permasalahan utama relai jarak dengan
karakteristik mho untuk aplikasi pada saluran distribusi
adalah resistansi gangguan dapat menyebabkan relai gagal
mendeteksi gangguan atau mendeteksi di zona yang salah
[4]. Hal ini disebabkan karena saluran distribusi relatif
pendek jika dibandingkan dengan saluran transmisi.
Sehingga impedansi saluran cukup rendah. Akibatnya
impedansi gangguan akan mendominasi impedansi yang
terlihat oleh relai [4].
Relai jarak dengan karakteristik quadrilateral memiliki
fasilitas setting yang terpisah untuk nilai resistansi dan
nilai impedansinya (jangkauannya), sehingga mampu
mengakomodir gangguan melalui resistansi [5]. Karena
itu, relai jarak dengan karakteristik quadrilateral dicoba
diaplikasikan pada saluran distribusi yang memiliki
DG. Aplikasi relai jarak dengan karakteristik mho dan
quadrilateral untuk proteksi pada jaringan distribusi
yang memiliki DG sebenarnya sudah dibahas pada [6-8].
Namun pada ketiga artikel tersebut, operasi relai jarak
yang dibahas tidak diperuntukkan untuk kondisi operasi
grid terputus. Akan tetapi, dimasa mendatang operasi DG
saat grid terputus menjadi kondisi operasi yang diharapkan
karena akan secara signifikan menaikkan tingkat keandalan jaringan distribusi [9]. Salah satu permasalahan
yang menjadi penghalang operasi saat grid terputus secara
otomatis pada jaringan distribusi yang memiliki DG
adalah peralatan proteksi yang ada pada jaringan distribusi
belum dirancang untuk kondisi grid terputus [10].
Sehingga operasi jaringan distribusi saat grid terputus
tidak didukung oleh peralatan proteksi yang memadai.
Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan relai jarak dengan karakteristik quadrilateral
untuk memberikan perlindungan pada saluran distribusi
yang memiliki DG untuk tiga kondisi sistem, yaitu kondisi
grid dan DG terhubung ke sistem distribusi, kondisi grid
terputus tetapi DG terhubung (islanding) serta kondisi grid
terhubung tetapi DG terputus. Jika pada ketiga kondisi
tersebut relai dapat bekerja dengan baik, maka DG akan
tetap dapat beroperasi saat grid terputus, sehingga tingkat
keandalan jaringan distribusi akan menjadi lebih baik.
II. Metode
Pengujian kemampuan relai jarak quadrilateral dalam
memproteksi saluran distribusi dilakukan dengan metoda
simulasi. Simulasi menggunakan software Digsilent
Powerfactory untuk sebuah sistem uji yang ditunjukkan
pada Gambar 1. Sistem uji merupakan suatu jaringan
distribusi radial yang memiliki 4 saluran 20 kV[4] . Beban
dan jaringan tegangan rendah dimodelkan menjadi titik
beban pada bus di ujung saluran 20 kV. Sebuah DG 2 MW
bergenerator sinkron dipasang pada salah satu bus di ujung
saluran yaitu bus 6. Data saluran sistem uji dapat dilihat
pada Tabel 1. Grid memiliki MVA hubung singkat sebesar
619 MVA.
Akibat penempatan DG pada bus 6, maka arus saluran
antara bus 2 dan bus 3 (saluran 1) serta arus saluran antara
bus 3 dan bus 6 (saluran 2) menjadi sangat bervariasi besar
dan arahnya tergantung on-off DG dan grid. Sehingga
dibutuhkan relai yang bekerja bukan berdasarkan besar
arus. Karena itu pada masing-masing ujung dan pangkal
saluran tersebut dipasang relai jarak quadrilateral yaitu
R1, R2, R3 dan R4, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Relai jarak quadrilateral yang digunakan dalam
simulasi adalah relai P44x yang terdapat pada library
Digsilent Powerfactory. Relai tersebut merupakan relai
yang dibangun untuk meniru karakteristik relai jarak
Areva P443, P445 dan P446. Relai ini dirancang untuk
dapat beroperasi pada tegangan menengah, tinggi dan
ekstra tinggi baik saluran berupa kabel maupun saluran
udara [11]. Pada penelitian ini, semua fasilitas tambahan
relai P44x yang bukan sifat relai jarak quadrilateral di set
tidak aktif (out of service) sehingga hanya karakteristik
quadrilateral saja yang berfungsi dalam pengamanan
saluran.
Simulasi dilakukan untuk 4 jenis gangguan hubung
singkat yaitu gangguan satu fasa ke tanah, gangguan antar
fasa, gangguan dua fasa ke tanah dan gangguan tiga fasa.
Disamping itu kerja relai juga dicek saat kondisi normal
tanpa gangguan dan berada pada beban puncak. Untuk
setiap jenis gangguan, titik gangguan disimulasikan
berlokasi pada titik batas setting zona 1, 2 dan 3. Guna
menguji kemampuan karakteristik quadrilateral ini
terhadap resistansi gangguan, resistansi gangguan dengan
besar 1, 10, 50 dan 100 Ohm disimulasikan pada berbagai
posisi dan jenis gangguan.
Gambar 1. Diagram satu garis sistem uji: Jaringan distribusi 20 kV
Tabel 1. Data saluran sistem uji [4]
No saluran Z1 (Ohm) Z0 (Ohm) Panjang (km)
1 1.77642,24° 5.259 + j4,775 10,72
2 4,2361 ∠2,24° 12,55 + j11,39 24,5
3 4,2361 ∠42,24° 12,55 + j11,39 24,5
4 2,6247 ∠42,24 7,774 + j7,058 15,18
75Adrianti dkk.: Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar
Variasi jenis gangguan, posisi gangguan dan resistansi
gangguan juga ujikan pada semua kemungkinan kondisi
sistem. Kondisi sistem yang mungkin yaitu grid-DG
terhubung, Grid terhubung-DG terputus dan grid terputus-
DG terhubung. Keberhasilan relai dalam mendeteksi
gangguan dengan tepat pada ketiga kondisi ini merupakan
tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini.
Impedansi yang dibaca oleh relai ditunjukkan pada
diagram R-X seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 2.
Tiga zona digunakan pada penelitian ini. Jika impedansi
yang dibaca oleh relai berada dalam kurva di zona tertentu
maka relai akan beroperasi sesuai setting waktu zona
tersebut.
III. Resistansi Gangguan
Gangguan yang umum terjadi pada jaringan distribusi
adalah gangguan melalui resistansi. Penyebab timbulnya
resistansi gangguan umumnya adalah busur api (arc flash)
untuk gangguan antar fasa, dan busur api serta resistansi
ke tanah untuk gangguan tanah [12]. Resistansi ke tanah
disebabkan oleh resistansi kaki menara dan resistansi
objek yang menjadi penyebab gangguan (misalnya
tanaman). Besar resistansi gangguan yang mungkin terjadi
pada jaringan distribusi sulit untuk diprediksi. Akan
tetapi rumus resistansi gangguan akibat busur api yang
diturunkan oleh Warrington dapat dijadikan acuan untuk
menghitung resistansi busur api yang mungkin terjadi.
Rumus Warrington, diberikan pada (1) [5, 12].
1,4
28710 ( 1)arcR L
I=
Dimana L adalah panjang dari busur api dalam satuan
meter dan I adalah arus gangguan dalam ampere.
Berdasarkan rumus (1) terlihat bahwa besar arus
gangguan berbanding terbalik dengan besar resistansi
busur api. Untuk system uji yang digunakan, arus
gangguan sangat bervariasi tidak saja berdasarkan jenis
gangguan tapi juga kondisi terhubung atau terputusnya
DG dan grid. Arus gangguan berkisar dari 236 A saat
kondisi grid terputus hingga 5 kA saat kondisi grid dan
DG terhubung. Dengan mengambil tipikal arus gangguan
1000 A diperoleh besar resistansi arc 1,8 ohm untuk
panjang arc 1 meter. Dengan juga menggunakan (1) dan
nilai arus gangguan terkecil akan diperoleh besar resistansi
arc terbesar yaitu 13,68 ohm.
Resistansi ke tanah sangat bervariasi tergantung
objek apa yang menjadi penghubung titik gangguan ke
tanah. Jika resistansi gangguan sangat besar, maka arus
gangguan akan sangat kecil bahkan setara dengan arus
kondisi normal. Kondisi seperti ini, sudah berada diluar
kemampuan peralatan proteksi biasa dan butuh peralatan
proteksi khusus, sehingga berada di luar lingkup penelitian.
Salah satu cara mempertimbangkan resistansi
gangguan yang mungkin terjadi adalah dengan menghitung
impedansi beban puncak. Dengan asumsi impedansi beban
sepenuhnya dianggap resistif, maka akan dapat digunakan
persentase beban tersebut dalam pengambilan nilai
resistansi gangguan maksimum. Perhitungan impedansi
beban akan dibahas pada bagian IV.
IV. Setting Relai
Setting relai jarak quadrilateral terbagi atas setting
jangkauan relai dan setting resistansinya. Setting jangkauan
relai sama dengan setting untuk relai dengan karakteristik
mho. Pada penelitian ini setting jangkauan untuk masing-
masing zona menggunakan (2) – (4).
1 1 0.8 (2)zona LZ Z= ×
2 1 2 0.5 (3)zona L LZ Z Z= + ×
3 1 2 (4)zona L LZ Z Z= +
Dimana ZL1
adalah impedansi saluran dimana relai berada
dan ZL2
adalah impedansi saluran berikutnya. Untuk relai
R2 dan R3, zona 2 hanya sampai 100% panjang saluran
dan tidak memiliki zona 3.
Setting untuk komponen resistansinya dibedakan atas
setting gangguan phasa dan gangguan tanah. Nilai setting
resistansi ini didasarkan kepada persentase terhadap
impedansi beban puncak [5]. Impedansi beban puncak
dihitung menggunakan rumus (5).
1000
3 (5)nom
load
CT
KVZ
I
×=
Dimana KVnom
adalah tegangan nominal saluran dalam
kV dan ICT
adalah rating arus primer trafo arus yang
digunakan pada proteksi jarak tersebut Sebagai setting
resistansi gangguan tanah diambil nilai 80% dan sebagai
setting resistansi gangguan phasa 60% [5]. Nilai setting
ini berlaku bagi semua zona. Impedansi beban puncak
sistem uji yang dihitung menggunakan (5) adalah sebesar
96 Ohm. Nilai-nilai setting relai jarak quadrilateral yang
digunakan pada saluran 1 dan 2 ditunjukkan pada Tabel
2. Nilai setting yang diberikan pada Tabel 2 adalah nilai-
nilai primer. Untuk aplikasi pada relai, digunakan nilai sisi
sekunder yang diperoleh dengan mengalikan nilai primer
dengan rasio CT dan dibagi rasio PT. Pada penelitian ini
digunakan rasio CT 120:1 dan rasio PT 20000:110. Setting
Z adalah setting jangkauan relai, setting Rp adalah setting
resistansi fasa, Re adalah setting resistansi tanah. Nilai
Gambar 2. Diagram R-X relai jarak dengan karakteristik quadrilateral
76 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
Rp dan Re untuk setiap zona dibuat sama. Setting waktu
dibuat sama pada semua relai seperti ditunjukkan pada
Tabel 2.
Karena setting resistansi gangguan tanah adalah 57,73
Ohm, maka resistansi gangguan yang disimulasikan
maksimum 50 Ohm. Nilai resistansi yang diujikan yaitu
1, 10 dan 50 Ohm.
V. Hasil dan Analisa
Dari simulasi diperoleh bahwa relai jarak quadrilateral
dapat mendeteksi dengan baik semua jenis gangguan
hubung singkat dengan resistansi gangguan nol, untuk
ketiga jenis kondisi sistem (grid-DG terhubung, grid
terputus-DG terhubung, Grid terhubung-DG terputus).
Akan tetapi permasalahan muncul jika gangguan terjadi
melalui resistansi gangguan. Detail hasil simulasi untuk
gangguan melalui resistansi gangguan akan dibahas pada
sub bab berikut.
A. Kondisi Grid dan DG terhubung
Hasil simulasi untuk kondisi grid dan DG terhubung
menunjukkan bahwa gangguan tiga fasa dapat dideteksi
oleh semua relai jarak quadrilateral, baik saat resistansi
gangguan kecil maupun besar (disimulasikan sampai 100
Ohm). Hal yang sama juga diperoleh untuk gangguan dua
fasa ke tanah. Untuk gangguan satu fasa ke tanah dan
gangguan antar fasa, relai-relai menunjukkan kemampuan
deteksi yang sama, yaitu relai-relai yang membelakangi
grid (R1 dan R3) beroperasi dengan benar sedangkan,
relai-relai yang membelakangi DG (R2 dan R4) mengalami
salah zona deteksi untuk resistansi gangguan kecil (1 ohm)
dan gagal mendeteksi gangguan untuk resistansi yang
lebih besar. Saat resistansi diperbesar menjadi 50 Ohm
semua relai jarak (termasuk R1 dan R3) gagal mendeteksi
gangguan.
B. Kondisi Grid Terhubung dan DG Terputus
Untuk kondisi grid terhubung tetapi DG terputus, arus
gangguan hanya disuplai dari grid, tidak arus dari arah
hilir saluran, sehingga R2 dan R4 tidak akan mendeteksi
adanya gangguan. Untuk gangguan tiga fasa dan gangguan
dua fasa ke tanah, relai R1 dan R3 bekerja dengan baik
untuk resistansi gangguan yang besar sekalipun (100
Ohm). Untuk gangguan antar fasa dan satu fasa ke tanah,
relai-relai bekerja dengan benar untuk resistansi gangguan
sampai 10 Ohm tetapi gagal mendeteksi untuk resistansi
gangguan 50 Ohm.
C. Kondisi Grid Terputus dan DG Terhubung
Kondisi grid terputus, dimana sistem hanya disuplai
oleh DG, menyebabkan gangguan hanya akan terlihat
oleh relai yang membelakangi DG (R2 dan R4). R1 dan
R3 tidak akan dapat mendeteksi gangguan. Hasil simulasi
yang diperoleh masih konsisten dengan dua kondisi
sebelumnya, yaitu relai-relai bekerja dengan baik untuk
gangguan tiga fasa dan gangguan dua fasa ke tanah
walaupun melalui resistansi yang besar. Untuk gangguan
satu fasa ke tanah, R4 bekerja dengan baik saat gangguan
melalui resistansi 10 Ohm untuk gangguan pada saluran
2 dan saluran 1, tetapi R2 salah mendeteksi zona operasi
untuk tipe gangguan yang sama pada saluran 1. Kedua
relai salah mendeteksi gangguan antar fasa dan satu fasa
ke tanah saat resistansi gangguan 50 Ohm.
D. Analisa
Pendeteksian oleh relai R1, R2, R3 dan R4 untuk
berbagai jenis gangguan dan resistansi gangguan yang
disimulasikan ditunjukkan pada Tabel 3. Dari Tabel 3
terlihat bahwa saat terjadi gangguan tiga fasa dan dua fasa
ke tanah melalui resistansi gangguan, semua relai dapat
mendeteksi gangguan dengan baik walaupun melalui
resistansi yang besar. Hal ini disebabkan karena gangguan
tiga fasa dan dua fasa ke tanah memiliki arus yang lebih
besar dibandingkan gangguan antar fasa dan satu fasa ke
tanah. Karena dengan arus gangguan yang besar, maka
impedansi yang terlihat relai akan lebih kecil. Untuk
gangguan antar fasa dan satu fasa ke tanah, relai R2 dan
R4 mulai mengalami salah mendeteksi pada resistansi
gangguan yang jauh lebih rendah dari pada saat R1 dan R3
mulai mengalami salah deteksi. Hal ini disebabkan karena
R2 dan R4 mendeteksi arus gangguan yang disuplai dari
DG yang nilainya lebih kecil dari pada arus gangguan
yang disuplai dari grid. Akibatnya impedansi yang terbaca
oleh R2 dan R4 menjadi lebih besar dan berada jauh di luar
zona operasi relai.
Pada Tabel 3, terdapat isian yang diberi tanda ?, yang
artinya deteksi relai dapat benar atau salah tergantung
pada kondisi sistem. Terdapat perbedaan kinerja relai saat
kondisi grid-DG terhubung dengan kondisi grid terputus-
DG terhubung, untuk gangguan satu fasa ke tanah dan
antar fasa. Pada semua sel yang berisi tanda tanya hasil
Tabel 2. Setting relai jarak pada sistem uji
ZonaJenis
Seting
Setting Relai Jarak Quadrilateral (Ohm
primer)
R1 R2 R3 R4
1 Z 1,42∠42,24°
1,42∠42,24°
3,39∠42,24°
3,39∠42,24°
Rp 76,98 76,98 76,98 76,98
Re 57,73 57,73 57,73 57,73
2 Z 3,89∠42,24°
1,78∠42,24°
4,23∠42,24°
5,12∠42,24°
Rp 76,98 76,98 76,98 76,98
Re 57,73 57,73 57,73 57,73
3 Z 6,01∠42,24°
- - 6,01∠42,24°
Rp 76,98 - - 76,98
Re 57,73 - - 57,73
Faktor Kompensasi residual, K = 0,0145∠0,015°
Setting waktu: zona 1= 0 detik, zona 2 = 0,4 detik, zona 3 = 1,2 detik.
77Adrianti dkk.: Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar
simulasinya adalah relai mendeteksi dengan baik saat
sistem dalam kondisi grid terputus-DG terhubung dan
salah mendeteksi saat kondisi grid-DG terhubung ke
sistem. Dari simulasi diperoleh bahwa arus gangguan
yang dilihat oleh relai R2 dan R4 saat kondisi grid terputus
sedikit lebih besar dibandingkan saat kondisi grid-DG
terhubung.
Jika berbagai impedansi gangguan yang dideteksi oleh
relai untuk berbagai resistansi gangguan, diplot pada satu
diagram R-X, akan diperoleh hasil seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5. Simbol petir
berwarna merah menunjukkan besar impedansi (r dan x)
yang terlihat oleh relai. Nilai ohm yang ditulis di dekat
simbol petir tersebut merupakan besar resistansi gangguan
yang diberikan untuk simulasi tersebut. Pada Gambar 3
ditunjukkan impedansi yang terlihat oleh relai R1 saat
gangguan antar fasa pada saluran 1 yang lokasinya tepat
dibatas setting jangkauan relai R1. Resistansi gangguan
(Rf) yang diberikan yaitu 0, 10 dan 50 Ohm. Terlihat
bahwa kenaikan resistansi gangguan menyebabkan
impedansi yang terlihat relai juga menaik searah dengan
sumbu R seperti yang diharapkan. Dari Gambar 3
tersebut terlihat bahwa karakteristik quadrilateral benar
mampu mengantisipasi gangguan yang melalui resistansi
gangguan.
Pada Gambar 4 diperlihatkan impedansi yang dilihat
relai R2 saat gangguan satu fasa ke tanah pada saluran 1
dengan kondisi grid-DG terhubung. Pada gambar tersebut
hanya resistansi gangguan 0 dan 1 Ohm saja yang terlihat,
resistansi gangguan yang lebih besar berada terlalu
jauh untuk dapat diperlihatkan pada diagram. Gambar
5 menunjukkan impedansi yang dilihat relai R2 saat
Tabel 3. Deteksi gangguan oleh relai jarak quadrilateral pada sistem uji
Jenis gangguanResistansi
gangguan (Ω)Deteksi oleh relai
R1 R2 R3 R4
Lokasi gangguan: saluran 1, 80% panjang saluran dari bus 2
Satu fasa ke tanah
0 √ √ √ √
1 √ ? √ ?
10 √ X √ ?
50 X X X X
Antar fasa
0 √ √ √ √
1 √ ? √ ?
10 √ ? √ ?
50 X X X X
Dua fasa ke tanah ≤ 50 √ √ √ √
Tiga fasa ≤ 50 √ √ √ √
Lokasi gangguan: saluran 2, 80% panjang saluran dari bus 2
Satu fasa ke tanah
0 √ √ √ √
1 √ √ √ √
10 √ √ √ X
50 X X X X
Antar fasa
0 √ √ √ √
1 √ √ √ ?
10 √ √ √ ?
50 X X X X
Dua fasa ke tanah ≤ 50 √ √ √ √
Tiga fasa ≤ 50 √ √ √ √
√ = terdeteksi dengan benar X = salah deteksi
? = relai mendeteksi dengan baik saat sistem dalam kondisi grid terputus-
DG terhubung dan salah mendeteksi saat kondisi grid-DG terhubung
Gambar 3. Diagram R-X relai R1 untuk gangguan antar fasa dengan
resistansi gangguan 0, 10 dan 50 Ohm pada saluran 1
Gambar 4. Diagram R-X relai R2 untuk gangguan 1 fasa ke tanah dengan
resistansi gangguan 0 dan 1 Ohm pada saluran 1
Gambar 5. Diagram R-X relai R2 untuk gangguan antar fasa dengan
resistansi gangguan 0, 1, 5 dan 10 Ohm pada saluran 1
78 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
gangguan antar fasa dengan kondisi dan lokasi yang sama
dengan Gambar 4. Terlihat impedansi yang terbaca oleh
relai saat resistansi gangguan 0, 1, 5, dan 10 Ohm. Dari
kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa saat resistansi
gangguan meningkat, impedansi yang terbaca oleh R2
tidak hanya meningkat nilai nya searah sumbu R tapi juga
kearah sumbu X. Ini menunjukkan bahwa impedansi yang
terbaca oleh relai tidak lagi mencerminkan impedansi
saluran ke titik gangguan ditambah resistansi gangguan.
Relai membaca impedansi yang salah karena arus yang
terbaca oleh relai menjadi sangat kecil akibat pemberian
resistansi gangguan tersebut.
Besar arus yang dilihat oleh relai R1 dan R2 untuk
gangguan yang berlokasi pada saluran 1 dengan jarak 80%
panjang saluran diukur dari bus 2 ditunjukkan pada Tabel
4. Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 4 diperoleh dari
simulasi untuk kondisi grid-DG terhubung. R1 melihat
arus gangguan yang lebih besar karena disuplai dari
sumber yang kuat yaitu grid, sedangkan R2 melihat arus
gangguan yang lebih kecil karena disuplai dari sumber
yang lemah yaitu DG. Besar resistansi gangguan tentu
saja berpengaruh kepada besar arus gangguan yang terjadi
seperti ditunjukkan Tabel 4. Saat resistansi gangguan 50
Ohm, arus gangguan yang dilihat oleh relai R1 masih
beberapa puluh kali lebih besar dari pada kondisi normal,
tetapi arus gangguan yang terlihat oleh relai R2 sama atau
lebih kecil dari arus kondisi normal. Arus yang kecil ini
akan menyebabkan impedansi yang terbaca oleh relai R2
menjadi besar.
Kondisi dimana R2 dan R4 mengalami salah deteksi
karena sumber arus yang lemah dalam terminologi relai
jarak sering disebut rasio impedansi sumber terhadap
saluran (Zs/Z
L) atau disebut juga SIR (Source Impedance
Ratio) [5]. DG sebagai sumber arus gangguan yang dilihat
oleh R2 dan R4 memiliki nilai SIR yang tinggi. Umumnya
permasalahan ini timbul jika pembangkit/generator tidak
cukup kuat (memiliki Zs yang tinggi).
Berdasarkan temuan diatas, permasalahan aplikasi
relai jarak pada saluran distribusi yang memiliki DG
bukan saja disebabkan oleh pendeknya saluran, tetapi juga
lemahnya sumber (dalam hal ini DG). Sehingga solusi yang
diajukan yaitu memanfaatkan relai dengan karakteristik
quadrilateral belum berhasil mengatasi kegagalan relai
dalam mendeteksi gangguan yang melalui resistansi.
Karakteristik quadrilateral merupakan gabungan tiga
komponen setting yaitu reaktansi, resistansi dan arah
(directional). Pemisahan setting komponen resistansi
dan reaktansi memungkinkan setting resistansi dibuat
lebih besar dari pada setting berdasarkan panjang saluran
(reaktansi), sehingga jangkauan relai untuk gangguan
melalui resistansi menjadi lebih baik Penambahan nilai
setting resistansi tersebut berhasil menaikkan kemampuan
deteksi relai jika arus gangguan disuplai dari sumber
yang kuat (grid), namun tidak berhasil meningkatkan
kemampuan relai dalam mendeteksi gangguan melalui
resistansi jika arus gangguan berasal dari sumber yang
lemah. Selain itu, mengingat arus gangguan disuplai
dari kedua sisi relai (grid dan DG), dibutuhkan setting
arah agar relai hanya bekerja untuk gangguan pada
saluran yang berada didepannya saja. Setting arah akan
memudahkan penyusunan koordinasi antar relai namun
juga memiliki efek negatif. Efek negatif dari setting arah
yaitu menghalangi kontribusi arus gangguan dari arah
yang tidak sesuai setting namun disuplai dari sumber yang
kuat bagi pendeteksian gangguan.
Jika dibandingkan hasil simulasi gangguan di saluran
1 dengan gangguan di saluran 2, ketidakberhasilan relai
R2 dan R4 dalam mendeteksi gangguan melalui resistansi
semakin buruk untuk gangguan di saluran 1. Hal ini karena
saluran 1 semakin menjauhi DG, sehingga arus gangguan
menjadi semakin kecil dibandingkan dengan arus saat
gangguan di saluran 2.
VI. Kesimpulan
Studi penggunaan relai jarak quadrilateral untuk
proteksi pada saluran distribusi yang memiliki DG
memberikan kesimpulan sebagai berikut. Gangguan yang
menghasilkan arus besar (gangguan tiga fasa dan dua fasa
ke tanah) menyebabkan relai dapat mendeteksi gangguan
sampai nilai resistansi gangguan yang lebih besar dari
pada resistansi saat gangguan yang menghasilkan arus
gangguan kecil (gangguan satu fasa ke tanah dan dua fasa).
Karakteristik quadrilateral memperbesar kemampuan
relai mendeteksi resistansi gangguan tapi dengan syarat
sumber arus yang berada di belakang relai cukup kuat.
DG merupakan pembangkit berskala kecil dan merupakan
sumber yang lemah. Akibatnya relai yang mendeteksi arus
gangguan yang disuplai dari DG mengalami kegagalan
dalam mendeteksi gangguan melalui resistansi.
Performansi yang buruk pada relai-relai yang melihat
arus gangguan berasal dari DG disebabkan DG sehingga
memiliki SIR yag tinggi, sehingga impedansi yang terlihat
relai tidak lagi sesuai dengan impedansi saluran ke titik
gangguan ditambah resistansi gangguan. Impedansi yang
dibaca relai akan menjadi besar dan berada di luar zona
operasi yang seharusnya.
Penelitian ini akan dilanjutkan dengan melakukan
pengembangan terhadap relai jarak sehingga kelemahan
Tabel 4. Arus yang dilihat relai jarak untuk kondisi Grid dan DG
terhubung
Jenis gangguanResistansi
gangguan (Ω)
Arus terdeteksi relai
(A primer)
R1 R2
Satu fasa ke tanah
0 3644 167
10 975 45
50 396 22
Antar fasa
0 4800 277
10 1559 87
50 234 3
Normal (tidak ada
gangguan)
- 12 22
Posisi gangguan: 80% panjang saluran 1 dari bus 2
79Adrianti dkk.: Studi Pemanfaatan Relai Jarak Quadrilateral untuk Proteksi Saluran Distribusi dengan Pembangkit Tersebar
yang dimiliki untuk memproteksi saluran distribusi yang
memiliki DG, dapat diatasi.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Universitas
Andalas atas pembiayaan penelitian ini dengan Skim Riset
Dasar (RD) nomor T/52/UN.16.17/PT.01.03/RD-Inovasi
Sains/2019 tahun anggaran 2019.
Referensi
[1] F. Coffele, C. Booth, and A. Dyśko, "An Adaptive Overcurrent Protection Scheme for Distribution Networks," IEEE Transactions
on Power Delivery, vol. 30, pp. 561-568, 2015.
[2] P. Gupta, R. S. Bhatia, and D. K. Jain, "Adaptive protection schemes for the microgrid in a Smart Grid scenario: Technical
challenges," in Innovative Smart Grid Technologies - Asia (ISGT Asia), 2013 IEEE, 2013, pp. 1-5.
[3] P. Mahat, Z. Chen, B. Bak-Jensen, and C. L. Bak, "A Simple Adaptive Overcurrent Protection of Distribution Systems With
Distributed Generation," IEEE Transactions on Smart Grid, vol.
2, pp. 428-437, Sept. 2011.
[4] A. Adrianti, A. R. Sijabat, and M. Nasir, "Analyzing Performance of Distance Relay in Protecting Distribution Lines with
Distributed Generation," in 3rd International Conference on
Electrical Engineering and Computer Science (ICECOS), Batam,
Indonesia, 2019.
[5] Alstom-Grid, Network Protection & Automation Guide. Alstom,
2011, Accessed: Jun. 25, 2014 Available: http://www.alstom.
com/grid/products-and-services/Substation-automation-system/
protection-relays/Network-Protection-Automation-Guide-NEW-
2011-Edition/
[6] K. Pandakov, H. K. Høidalen and J. I. Marvik, "Implementation of distance relaying in distribution network with distributed
generation," in 13th International Conference on Development in Power System Protection 2016 (DPSP), Edinburgh, pp. 1-7, 2016.
[7] V. C. Nikolaidis, C. Arsenopoulos, A. S. Safigianni, and C. D. Vournas, "A distance based protection scheme for distribution systems with distributed generators," in 2016 Power Systems
Computation Conference (PSCC), pp. 1-7, 2016.
[8] V. C. Nikolaidis, A. M. Tsimtsios, and A. S. Safigianni, "Investigating Particularities of Infeed and Fault Resistance Effect on Distance Relays Protecting Radial Distribution Feeders With
DG," IEEE Access, vol. 6, pp. 11301-11312, 2018.
[9] A. Heidari, V. G. Agelidis, H. Zayandehroodi, J. Pou, and J.
Aghaei, "On Exploring Potential Reliability Gains Under Islanding Operation of Distributed Generation," IEEE Transactions on
Smart Grid, vol. 7, pp. 2166-2174, 2016.
[10] M. H. Bollen and F. Hassan, Integration of distributed generation
in the power system vol. 80: John Wiley & Sons, 2011.
[11] DIgSILENT_Powerfactory,"Technical Reference Documentation, Protection device: Areva P44x, Model Version:
V14.1," DIgSILENT GmbH, Gomaringen, July 2017.
[12] A. R. v. C. Warrington, Protective relays, their theory and practice vol. 1. London: Chapman and Hall, 1962.
I. Pendahuluan
Kebutuhan energi saat ini sebagai penggerak
kehidupan semakin lama semakin meningkat. Hal ini
sejalan dengan lonjakan jumlah populasi manusia,
sehingga dibutuhkan suatu sumber energi terbarukann [1].
Energi surya dinilai tepat untuk menjadi salah satu sumber
energi listrik alternatif yang dapat digunakan. Sistem
pembangkit listrik menggunakan panel surya hanya efektif
digunakan pada siang hari. [2].
Setiap modul memiliki titik operasi optimalnya
masing-masing yang dikenal dengan Maximum Power
Point (MPP) [3]. Karakteristik Maximum Power Point ini
akan berubah sesuai dengan sinar matahari dan temperatur
[4]. MPPT merupakan sistem elektronis yang secara
keseluruhan mengubah-ubah titik operasi elektronis
modul sel surya sehingga dapat mengirim daya maksimal
yang tersedia [5]. Salah satu keuntungan penggunaan
MPPT adalah cepat terpenuhinya kondisi equilibrium
photovoltaic untuk kondisi yang diperlukan oleh beban
[6].
Beberapa metode kontrol pada MPPT untuk
meningkatkan daya keluaran konverter telah dilakukan.
Desain maximum power point tracking (MPPT) pada
panel surya menggunakan metode sliding mode control,
terjadi kenaikan rata-rata nilai tegangan keluaran setelah
pemasangan sistem MPPT saat kondisi iradiasi matahari
dan temperatur yang berubah-ubah, dan juga dapat
mempertahankan tegangan keluaran dari modul panel
surya disekitar nilai maksimum yang diinginkan [7].
Algoritma penjejak perturb and observe (P&O) juga
telah digunakan. Sebuah algoritma yang mencari dP/dV
yang bernilai nol sebagai tanda puncak suatu kurva [8].
Efisiensi MPPT yang dicapai adalah 86% [9]. Algoritma MPPT pada panel surya juga telah dilakukan dengan
menggunakan fuzzy logic. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa MPPT dengan fuzzy logic dapat menghasilkan
daya maksimum daripada direct-coupled. Efisiensi yang dicapai MPPT menggunakan fuzzy logic adalah 74,25743
% [10]. Sedangkan implementasi maximum power point
tracking pada photovoltaic berbasis P&O-Fuzzy juga
mampu meningkatkan efisiensi daya listrik dari PV. Hasil penelitian memperlihatkan MPPT menggunakan
algoritma kendali P&O-Fuzzy memiliki efisiensi 89%
Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan
Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID
Abstrak—Pemanfaatan sinar matahari menggunakan panel surya sebagai pembangkit listrik mulai dikembangkan
untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Tujuan penelitian ini adalah merancang model MPPT dengan
sumber PV. Pengendali PID digunakan untuk meningkatkan kinerja MPPT dalam mengatur boost converter,
sedangkan nilai PID diatur dengan fuzzy logic. Metode penelitian meliputi rancangan simulasi, hardware,
perhitungan kapasitas beban, dan rancangan fuzzy logic. Uji coba dilakukan menggunakan beban listrik yang ada
dalam rumah tinggal. Hasil penelitian sebelumnya, dengan menggunakan kontrol PID dihasilkan efisiensi 88,77%. Hasil penelitian dengan menggunakan kontrol PID yang diatur dengan fuzzy logic menghasilkan efifiensi 95,79%. Metode ini juga mampu memperbaiki keluaran tegangan boost converter, sehingga dengan metode ini tegangan
keluaran boost converter lebih bagus jika dibandingkan dengan metode lain.
Kata kunci: boost converter, kontrol pid, kontrol fuzzy logic, photovoltaic
Abstract—Utilization of sunlight using solar panels as power plants began to be developed to reduce the use of fossil
fuels. The purpose of this study is to design an MPPT model with PV sources. The PID controller is used to improve
MPPT performance in regulating the boost converter, while the PID value is set with fuzzy logic. Research methods
include simulation design, hardware, load capacity calculation, and fuzzy logic design. The trial was conducted using
an electric load in the house. The results of previous studies, using PID control generated 88.77% efficiency. The results of the study using PID control that is regulated by fuzzy logic produces 95.79% efficiency. This method is also able to improve the output of the boost converter voltage, so that with this method the boost converter output voltage
is better when compared to other methods.
Keywords: boost converter, pid control, fuzzy logic controller, photovoltaic
Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 80-86ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.16220
Received 22 March 2020; Revised 19 April 2020; Accepted 27 April 2020
80
Adhi Kusmantoro dan Margono
Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik dan Informatika Universitas PGRI Semarang
Jl. Sidodadi Timur No. 24 – Dr. Cipto, Semarang 50232e-mail: [email protected]
81Adhi Kusmantoro dan Margono: Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID
[11]. Dalam sebuah penelitian MPPT menggunakan
kontrol PID menghasilkan efisiensi keluaran daya panel surya sebesar 88,77% [12]. Demikian pula penelitian pengoptimalan daya menggunakan metode kontrol Self-
Tuning PID Dengan JST Jenis Perceptron menghasilkan
kenaikan energi sebesar 4,981% [13].Terlihat bahwa besarnya efisiensi daya listrik yang
dihasilkan masih di bawah 90%, sehingga perlu dilakukan peningkatan metode kontrol baru agar terjadi peningkatan
efisiensi. Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan efisiensi keluaran daya panel surya di atas 90%. Hal ini dilakukan dengan merancang MPPT (Maximum power point tracking)
dengan sumber PV, menggunakan kontrol PID yang ditala
dengan fuzzy logic, yang berfungsi untuk mengatur nilai
PID. Jadi metode baru sistem hybrid kontrol Fuzzy-PID
digunakan untuk meningkatkan kinerja MPPT.
II. Studi Pustaka
Sistem photovoltaic yang menggunakan energi surya
menawarkan sumber energi yang ramah lingkungan. Kunci
dasar solar cell adalah nilai efisiensi konversi energinya yang merupakan kemampuan sebuah konverter untuk
mengekstraksi energi dan mendistribusikannya kepada
beban. Peningkatan nilai efisiensi ini akan mempengaruhi daya yang dibangkitkan oleh sistem dimana daya akan
naik. Hal ini mempunyai efek pada biaya yang harus
dikeluarkan yang akan lebih murah untuk tiap KWh
energi yang dihasilkan. Efisiensi sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor: efisiensi solar panel (8%–15%), efisiensi inverter (95%–98%) dan efisiensi Maximum Power
Point Tracking (±98%) [14]. Peningkatan efisiensi solar panel dan inverter tidak biasa dilakukan disebabkan
ketergantungan terhadap teknologi yang tersedia dan
memerlukan komponen dengan spesifikasi yang lebih tinggi yang akan menaikkan biaya instalasi. Sementara
itu improvisasi efisiensi melalui Maximum Power Point
Tracking (MPPT) menggunakan algoritma pada kontrol
yang digunakan lebih mudah dilakukan, tidak mahal serta
dapat diaplikasikan pada pembangkitan dengan solar
cell yang sudah ada tanpa merubah sistem. Peningkatan
nilai efisiensi ini merujuk pada kurva karakteristik arus-tegangan sel surya yang tergantung pada nilai radiasi
dan temperatur yang diterimanya [15]. Setiap modul
memiliki titik operasi optimalnya masing-masing yang
dikenal dengan Maximum Power Point Tracking (MPPT).
Karakteristik Maximum Power Point Tracking ini akan
berubah sesuai dengan sinar matahari dan temperatur [9]. Ketergantungan terhadap cuaca menjadikan MPPT tidak
mudah untuk menjaga titik operasi tetap dalam kondisi
maksimal dengan mengacu pada kurva karakteristik
tegangan-daya yang juga bervariasi. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, beberapa algoritma MPPT diajukan
sebagaimana yang telah di-review oleh Jaiswal dan Mahor
[16]. Kesadaran untuk menggunakan sumber energi baru
terbarukan menjadikan algoritma untuk MPPT ini menjadi
sangat penting.
Model matematik dikembangkan untuk menirukan
sel surya. Gambar 1 menunjukkan rangkaian persamaan
sel surya, dimana I dan V adalah arus dan tegangan sel
surya, kemudian, IL adalah cell’s photocurrent. R
sh dan R
s
adalah tahanan shunt dan tahanan seri dari sel surya.
Persamaan dari rangkaian ekivalen sel surya pada
Gambar 1, dinyatakan dengan (1):
(exp 1 (1) s s
L O
SH
q V IR V IRI I I
nkT R
+ + = − − −
Dimana IO adalah arus reverse saturasi (Ampere), n faktor
ideal dioda, q adalah muatan elektron (1,602·10-19 C),
K konstanta boltzman (1,3806.10-23 J.K-1), dan T adalah
temperatur solar cell (oK)
Kurva ini menunjukkan sangat jelas bahwa
karakteristik keluaran sel surya adalah non-linier dan
sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari, temperatur
dan kondisi pembebanan [17]. Untuk mendekati kinerja
dari panel surya, suatu modul metematis dikembangkan
untuk menirukan karakteristik dari panel surya yang
digunakan [18].
Maximum Power Point Tracking (MPPT) merupakan
sebuah metode untuk menentukan titik dimana daya
maksimum dihasilkan oleh panel surya. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, salah satu keuntungan
penggunaan MPPT adalah cepat terpenuhinya kondisi
equilibrium photovoltaic untuk kondisi yang diperlukan
oleh beban dan yang dapat dipenuhi panel surya.
MPPT memerlukan dua komponen pendukung dalam
pengoperasiannya: arus input (I) dan tegangan input
(V) seperti tampak pada Gambar 2. Dua komponen ini
dikombinasikan untuk mendapatkan nilai daya P seperti
dengan persamaan P = V × I [19]. Dalam kondisi suhu dan radiasi berbeda, diperoleh nilai MPPT yang berbeda.
Metode yang tepat diperlukan untuk memperoleh nilai
Gambar 1. Rangkaian ekivalen sel surya
Gambar 2. Karakteristik P-V untuk level radiasi yang berbeda. Tiap titik
mewakili MPP dari masing-masing kurva
82 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
daya maksimum yang dihasilkan oleh panel surya seperti
pada Gambar 3 [20]. Maximum Power Point Tracking atau yang biasa
disingkat MPPT, adalah sebuah sistem elektronis yang
mengoperasikan modul photovoltaic (PV) atau modul
sel surya agar dapat menghasilkan daya maksimal
yang bisa diproduksi oleh modul sel surya [21]. MPPT
bukan merupakan sistem tracking mekanis yang secara
fisik menggerakkan modul agar mengarah langsung ke matahari. MPPT merupakan sistem elektronis yang secara
keseluruhan mengubah-ubah titik operasi elektronis
modul sel surya sehingga dapat mengirim daya maksimal
yang tersedia. Dari daya tambahan yang terkumpul yang
berasal dari modul sel surya, sehingga arus pengisian
baterai dapat ditingkatkan. MPPT dapat juga dihubungkan
dengan sistem tracking mekanis, tetapi kedua sistem ini
benar-benar sangat berbeda [22], [23].
III. Metode
Sistem MPPT dalam penelitian ini terdiri atas panel
surya (photovoltaic), boost converter, baterai, beban
resistif dan induktif, dan controller PID. Sedangkan
tahapan dalam penelitian ini sebagai berikut:
A. Rancangan Simulasi
Untuk panel surya dalam simulasi ini (Gambar 4)
menggunakan tipe TSM-230PD05.10. Jumlah PV yang digunakan dua panel surya yang terhubung secara seri.
Untuk mengetahui kinerja PV dilakukan dengan perubahan
irradiance energi matahari dan suhu (Irradiance 1000 W/m2, suhu 35 OC dan Irradiance 500 W/m2, suhu 35 OC.
B. Rancangan Hardware
Untuk rancangan hardware terdapat dua jenis hardware
yang digunakan untuk menaikkan tegangan keluaran
PV. Hardware yang digunakan adalah hardware boost
converter (Gambar 5) dan kontrol MPPT menggunakan
Fuzzy-PID BTC-8300 (Gambar 6).
C. Perhitungan Kapasitas Beban
Dalam pembahasan ini sesuai dengan kebutuhan
daya listrik rumah tinggal sebesar 1300 Watt atau konumsi energi per-jam sebesar 1,3 KWh. Beban listrik ini akan
menyala pada jam 08.00 s/d 18.00, artinya beban listrik ini akan mengkonsumsi tenaga listrik selama 10 jam. Maka total energi yang dikonsumsi perharinya adalah 1,3 KWh.
Untuk sistem penyimpanan energi listrik digunakan empat
buah baterai 12 Volt dengan kapasitas masing-masing 60 Ah.
D. Rancangan Fuzzy Logic
Dalam rancangan ini fuzzy logic mempunyai dua
masukan, yaitu perubahan tegangan dan perubahan radiasi
matahari. Untuk keluarannya adalah duty cycle berupa
PWM dan digunakan untuk mengatur boost converter.
Fuzzy rule based (Tabel 1) yang digunakan tipe mamdani.
Untuk mencapai nilai MPPT, perubahan tegangan yang
terletak disebelah kiri atau kanan MPPT berfungsi untuk
menentukan besarnya tegangan, sedangkan perubahan
radiasi berfungsi untuk mengetahui perubahan tegangan.
Jumlah fungsi keanggotaan yang digunakan pada
Gambar 3. Karakteristik I-V pada temperatur permukaan sel surya yang
berbeda
Gambar 4. Simulink MPPT Fuzzy-PID
Gambar 5. Boost converter
Gambar 6. Fuzzy-PID BTC 830
83Adhi Kusmantoro dan Margono: Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID
masukan dan keluaran berjumlah tiga buah fungsi
keanggotaan, yaitu fungsi keanggotaan trapezium dan
segitiga. Pada masukan delta tegangan (∆V) (Gambar 7) mempunyai rentang nilai mulai dari 0 hingga 3 dengan fungsi keanggotaan antara lain Negatif (N), Zero (ZE),
dan Positif (P). Sedangkan untuk delta radiasi (∆r) mempunyai rentang nilai mulai dari 0 hingga 10 dengan nama fungsi keanggotaan sama dengan variabel delta
tegangan (Gambar 8). Sedangkan keluaran fuzzy berupa
variabel pengaturan nilai kontrol PID. Variabel keluaran
PID berupa duty cycle yang mempunyai rentang nilai 0 hingga 1. Fungsi keanggotaan keluaran terlihat pada
Gambar 9. Keluaran ini berupa gelombang PWM (Pulse
Width Modulation) dengan besarnya amplitudo antara 0 hingga 5 volt. Flowchart penelitian MPPT menggunakan
kontrol Fuzzy-PID terlihat pada Gambar 10.
IV. Hasil dan Pembahasan
Sistem kendali MPPT yang dirancang terdiri dari
photovoltaic (panel surya) 500 Wp sebanyak tiga buah, boost converter yang berfungsi menaikkan tegangan DC
dari 24 V hingga 300 V, baterai 60 AH yang berfungsi untuk menyimpan energi, inverter yang berfungsi
mengubah tegangan keluaran boost converter menjadi
tegangan AC 220 V. Beban yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
beban yang digunakan dalam rumah tinggal, yaitu beban
lampu, beban induktif (beban pompa air, beban kipas
angin, beban AC). Untuk pengujian boost converter
terlihat pada Tabel 2.
Pada pengujian duty cycle PWM, nilai self-tuning PID
yang di berikan, yaitu KP = 110, K
I = 54, K
D = 78 dengan
nilai duty cycle 90% menghasilkan tegangan keluaran boost converter 299 V DC. Pengujian ini dilakukan pada siang hari jam 12.00.
Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa daya keluaran
panel surya mampu menghasilkan efisiensi 95,79%. Nilai efisiensi yang dicapai cukup tinggi karena sistem yang digunakan merupakan panel surya yang siap digunakan
untuk kebutuhan listrik cadangan pada rumah tinggal.
Hasil efisiensi yang diperoleh lebih baik dari penelitian sebelumnya, dengan efisiensi daya keluaran panel surya di bawah 90%.
Tabel 1. Rule fuzzy
∆r/∆V
N ZE P
N N ZE P
ZE ZE ZE ZE
P P ZE N
Gambar 7. Fungsi keanggotaan input perubahan tegangan
Gambar 8. Fungsi keanggotaan input perubahan radiasi matahari
Gambar 9. Fungsi keanggotaan output PID
Tabel 2. Pengujian boost converter
Daya Beban (Watt) Vin (V) Vout (V) Duty Cycle (%)
10 24 32 30
200 24 86 40
400 24 127 50
600 24 164 60
800 24 189 70
100 24 238 80
1200 24 299 90
84 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
Selain mengetahui nilai efisiensi yang dihasilkan, maka juga diperlihatkan nilai peningkatan dan perbandingan
kapasitas daya keluaran panel surya berdasarkan pada
tabel 4. Daya keluaran panel surya dengan MPPT kontrol
PID yang diberikan secara statik, dengan nilai KP = 119,
KI = 36, K
D = 94. Daya rata-rata yang dihasilkan dengan
kontrol PID adalah 919,57 watt, sedangkan daya rata-rata yang dihasilkan menggunakan Fuzzy-PID adalah 998,286 watt. Terjadi selisih daya rata-rata sebesar 78,72 watt dan
peningkatan daya 7,9% menggunakan kontrol Fuzzy-PID.
Dalam pengujian kontrol MPPT menggunakan panel surya
(photovoltaic) terlihat pada Gambar 11 dan 12. Dalam
gambar terlihat komponen atau perangkat yang digunakan
untuk menghasilkan daya keluaran yang optimum.
Dalam penelitian ini digunakan inverter 1500 watt sinusoidal dengan tipe YulongNE. Inverter yang digunakan
merupakan inverter yang menghasilkan tegangan listrik
AC satu fasa. Inverter yang digunakan dapat menghasilkan
tegangan keluaran 220 V AC dengan bentuk gelombang sinusoidal (Gambar 13) dan besarnya tegangan ini sesuai
dengan tegangan beban yang digunakan dalam rumah
tinggal. Berdasarkan hasil simulasi, Gambar 14 dan 15
memperlihatkan daya dan tegangan keluaran dengan
Mulai
Variabel ∆V, ∆r, Duty Cycle
Fuzifikasi
Variabel
Defuzifikasi
Inferensi
Fuzzy
Kontrol PID
Tegangan
Konverter?
Selesai
Gambar 10. Flowchart kontrol PID berbasis fuzzy logic
Gambar 11. Pengujian sistem MPPT
Tabel 3. Efisiensi daya keluaran
Pin (Watt) P
out (Watt) Efisiensi (%)
297 395 75.18
536 689 77.79
824 897 91.86
852 992 85.88
1114 1223 91.08
1215 1294 93.89
1435 1498 95.79
Tabel. 4 Perbandingan daya keluaran Photovoltaic
Daya MPPT dengan
PID (watt)
Daya MPPT dengan
Fuzzy-PID (watt)
307 395
610 689
814 897
913 992
1187 1223
1198 1294
1408 1498
Gambar 12. Pengujian photovoltaic
85Adhi Kusmantoro dan Margono: Peningkatan Kinerja MPPT Menggunakan Kontrol PWM Fuzzy dengan Tuning PID
kontrol PID. Sedangkan pada Gambar 16 dan Gambar
17 memperlihatkan penggunaan fuzzy logic untuk menala
nilai PID untuk menghasilkan tegangan dan daya keluaran
panel surya yang lebih baik, jika hanya menggunakan
kontrol PID.
V. Kesimpulan
Penggunaan kontrol hubrid Fuzzy-PID menghasilkan
peningkatan kinerja MPPT, sehingga efisiensi daya keluaran panel surya meningkat. Metode kontrol MPPT
menggunakan Fuzzy-PID menghasilkan efisiensi maksimum yang diperoleh adalah 95,79%, lebih besar dari penelitian sebelumnya yang menggunakan kontrol
PID, kontrol Fuzzy maupun kontrol lainnya. Berdasarkan
data tabel dan gambar penggunaan kontrol Fuzzy-PID
dapat mengoptimalkan daya keluaran panel surya. Selain
itu juga terjadi peningkatan daya 7,9%. Metode yang telah digunakan sangat diperlukan untuk memaksimalkan daya
keluaran panel surya atau boost converter.
Referensi
[1] A.Kusmantoro, “Use Of Inverter Off Grid 2000 Watt For Household With Battery Storage Use Of Inverter Off Grid 2000 Watt For Household With Battery Storage,” Journal of Physics:
Conference Series, pp.1-7, 2019.
[2] W.B. Pramono, D.A.R. Wati, M.V.T. Yadaka, “Simulasi
Maximum Power Point Tracking pada Panel Surya Menggunakan
Simulink MATLAB,” Seminar Nasional ke – 9: Rekayasa
Teknologi Industri dan Informasi, Vol. 1, pp. 176–183, 2013.
[3] C. Sharma, A. Jain, "Modeling of Buck Converter Models in
MPPT using PID and FLC," TELKOMNIKA, Vol. 13, No. 4,
pp.1270 – 1280, 2015.
[4] C. S. Chin, Y. K. Chin, B. L. Chua, A. Kiring, and K. T. K.
Teo, “Fuzzy logic based MPPT for pv array under partially
shaded conditions,” 2012 International Conference on Advanced
Computer Science Applications and Technologies Fuzzy, 2013, pp. 133–138.
[5] R. K. Pachauri and Y. K. Chauhan, “Fuzzy logic controlled
MPPT assisted PV-FC power generation for motor driven water
pumping system,” 2014 IEEE Students’ Conference on Electrical,
Electronics and Computer Science, 2014, pp.1-6.
[6] Z. Xiaoe, W. Jinmei, and L. Jinsong, “Simulation Research on
the MPPT of the PV Cells Based on Fuzzy Control,” 2013 Fourth
International Conference On Intelligent System Design and
Engineering Applications, 2013, pp. 561–564.
[7] A. Faizal and B. Setyaji, “Desain Maximum Power Point Tracking
( MPPT) pada Panel Surya Menggunakan Metode Sliding Mode
Control,” Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, Vol. 14, No. 1,
pp. 22–31, 2016.
[8] M.F.Salam, S.I. Haryudo, “Simulasi Maximum Power Point
Tracking (MPPT) Panel Surya Menggunakan Perturb And
Observe Sebagai Kontrol Buck-Boost Converter.,” Jurnal Teknik
Elektro, Vol.06, No.01, 2017.
[9] Sri Utami, Implementasi Algoritma Perturb and Observe untuk
Mengoptimasi Daya Keluaran Solar Cell Menggunakan MPPT
(Studi Kasus di Laboratorium Energi Baru Terbarukan di Jurusan
Teknik Konversi Energi Politeknik Negeri Bandung),” Jurnal
Infotel, Vol. 9, No. 1, pp. 92–99, 2017.
[10] B.P.J. Putra, A.S. Aisjah, S. Arifin, “Rancang Bangun Maximum Power Point Tracking pada pada Panel Photovoltaic Berbasis
Logika Fuzzy di Buoy Weather Station,” Jurnal Teknik Pomits,
Vol. 2, No. 2, pp. 209-304, 2013.
[11] M. Effendy, N.A. Mardiyah, K. Hidayat, “Implementasi Maximum Power Point Tracking pada Photovoltaic Berbasis
P&O-Fuzzy,” JNTETI, Vol. 6, No. 1, pp. 2–7, 2017.
Gambar 13. Gelombang keluaran inverter
Gambar 14. Daya keluaran panel surya dengan kontrol PID
Gambar 15. Tegangan keluaran konverter dengan kontrol PID
Gambar 16. Daya keluaran panel surya dengan kontrol PID di-tuning
fuzzy logic
Gambar 17. Tegangan keluaran konverter dengan kontrol PID di-tuning
fuzzy logic
86 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
[12] A.N. Hidayanti, P.Handayani, I. Chandra, “Pemanfaatan Metode
Single Axis Tracker dan Maximum Power Point Tracker (MPPT)
PID untuk Mengoptimalkan Daya Keluaran Panel Surya,” 10th
Industrial Research Workshop And National Seminar, 2018, pp.149-155.
[13] A.U. Azmy, Sumardi, M.A. Riyadi, “Sistem Tracking Panel
Surya Untuk Pengoptimalan Daya Menggunakan Metode Kontrol
Self-Tuning PID Dengan JST Jenis Perceptron,” Transmisi,
Vol.1, pp.35-41, 2015.
[14] L. Piegari and R. Rizzo, “Adaptive perturb and observe algorithm
for photovoltaic maximum power point tracking,” Renewable
Power Generation, IET, vol. 4, no. 4, pp. 317-328, 2010.
[15] Rayjansof Chairi. Fitria Hidayanti. Idris Kusuma, Perancangan
Sistem Kendali Cascade pada Deaerator Berbasis Adaptive Neuro
Fuzzy Inference System (ANFIS), Jurnal Ilmiah GIGA, Volume
18 (2). Pp.94-101, November 2015
[16] P. Jaiswal and A.Mahor, “Review on MPPT Techniques in
Solar Photovoltaic System,” International Journal of Advanced
Technology in Engineering and Science, Vol. 02, No. 07, pp. 245-252, July 2014.
[17] R.T. Widodo, Rugianto, Asmuniv, dan P. Sejati, “Maximum
Power Point Tracker Sel Surya Menggunakan Algoritma Perturb
and Observe,” 10th Industrial Electronics Seminar, 2009, pp.1-4.
[18] Selva S., “Modeling and Simulation of Incremental Conductance
MPPT Algorithm for Photovoltaic Applications,” International
Journal of Scientific Engineering and Technology, 2013, Vol. 2, pp. 681-684.
[19] Z. Xiaoe, W. Jinmei, and L. Jinsong, “Simulation Research on
the MPPT of the PV Cells Based on Fuzzy Control,” 2013 Fourth
International Conference Intelligent System Des. Eng. Appl.,
2013, pp. 561–564.
[20] A. K. Verma, B. Singh, and D. T. Shahani, “Fuzzy-logic based
MPPT control of grid interfaced PV generating system with
improved power quality,” IEEE 5th Power India Conference
(PICONF 2012), 2012, pp.1-7.
[21] S. Chin, Y. K. Chin, B. L. Chua, A. Kiring, and K. T. K. Teo,
“Fuzzy logic based MPPT for pv array under partially shaded
conditions’, 2012 International Conference on Advanced Computer Science Applications and Technologies (ACSAT),
2012, pp. 133–138.
[22] Hamad, M.S, Fahmy, A.M, and Abdel-Geliel, M., ‘Power Quality
Improvement of a Single-Phase GridConnected PV System with
Fuzzy MPPT Controller’, IEEE, pp.1839- 1844, 2013.
[23] Syafii, Y. Mayura, Muhardika, “Strategi Pembebanan PLTS Off Grid Untuk Peningkatan Kontinuitas Suplai Energi Listrik,” Jurnal Rekayasa Elektrika, Vol. 15, No.2, pp. 157-161, 2019.
I. Pendahuluan
Kebutuhan energi listrik di Indonesia dari tahun
ke tahun semakin meningkat yang disebabkan oleh
perkembangan ekonomi dan industri yang begitu cepat.
Namun, sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia
masih memanfaatkan sumber energi yang berasal dari
fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam yang
jumlahnya terbatas. Selain itu, sumber energi fosil
tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah
giat mencanangkan penggunaan sumber energi baru dan
terbarukan (EBT) untuk mengatasi permasalahan ini.
Sumber EBT merupakan sumber energi yang ramah
lingkungan dan jumlahnya tak terbatas. Di Indonesia,
pemerintah menargetkan penggunaan EBT dari sumber
energi air, angin, panas bumi, biomassa dan surya sebesar
45 MW pada tahun 2025. Energi surya sendiri memiliki
potensi yang sangat besar yaitu hingga 207,8 GWp namun
baru 0,085 GWp (0,04%) yang telah dimanfaatkan [1].
Selain itu, energi surya dapat diakses dimanapun bahkan
di daerah terpencil yang tidak memiliki akses terhadap
jaringan transmisi dan distribusi listrik dari Perusahaan
Listrik Negara (PLN).
Pemanfaatan energi surya menjadi energi listrik
dapat dilakukan menggunakan instrumen yang disebut
sel surya. Sel surya merupakan suatu alat yang tersusun
dari material semikonduktor yang dapat mengubah sinar
matahari menjadi energi listrik menggunakan prinsip
fotovoltaik. Sel surya fotovoltaik ini dipercaya merupakan
solusi pemanen energi terbarukan yang menjanjikan
karena pemasangannya mudah, dapat diandalkan,
hanya memerlukan perawatan yang minimal dan tidak
membutuhkan bahan bakar [2].
Akan tetapi, suatu sel surya hanya dapat menghasilkan
keluaran energi yang kecil. Oleh karena itu dalam
prakteknya, beberapa sel surya dirangkai menjadi suatu
panel untuk mendapatkan keluaran energi yang lebih
besar. Keluaran energi yang dihasilkan oleh panel surya
ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak
Jauh bagi Panel Surya
Wahmisari Priharti, Sony Sumaryo, Desri Kristina Silalahi, dan Yendi Surya Agung
Universitas Telkom
Jl. Telekomunikasi, Bandung, Jawa Barat 40257
e-mail: [email protected]
Abstrak—Pemantauan kinerja panel surya dapat dilakukan secara langsung atau lokal (local monitoring) untuk
keperluan pengujian panel surya. Namun dalam prakteknya, pemantauan secara tidak langsung atau jarak jauh
(remote monitoring) juga dibutuhkan karena panel surya biasanya dipasang di tempat yang tinggi, jauh atau sulit
dicapai. Penelitian ini merancang suatu sistem pemantauan panel surya ganda yang dapat melakukan pemantauan
secara lokal maupun jarak jauh. Sistem lokal terdiri dari sensor tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya yang
diintegrasikan dalam suatu kit/perangkat yang disebut PVmeter. Data pada sistem lokal dapat ditampilkan langsung
pada LCD atau pada monitor PC oleh data logger. Sedangkan pada sistem jarak jauh, data dikirimkan ke internet
dan ditampilkan pada website Thinkspeak sehingga data dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Pada sistem
lokal, data yang dipantau berhasil ditampilkan bentuk file *.txt setiap 5 menit sekali. Sedangkan pada sistem jarak jauh, data berhasil ditampilkan pada website Thinkspeak dengan rata-rata kecepatan pengiriman data 52,5 detik.
Kata kunci: data logger, internet of things, local monitoring, pvmeter, remote monitoring
Abstract—Solar photovoltaic monitoring system can be directly conducted locally for the experimental purposes. However, indirect or remote monitoring is also needed since the solar panel are often installed in a a high place,
rural location, or remote area. This study offers a dual solar panel monitoring system i.e. local and remote. Local monitoring system consists of voltage, current, temperature and light intensity sensors that were integrated in a kit
called PVmeter. The data in the local monitoring system were displayed on a LCD or on a PC monitor using data
logger. While in the remote monitoring system, the data were uploaded to the internet and displayed on Thinkspeak
website hence the data are accessible whenever and wherever needed. In the local system, monitored data were
succesfully displayed on *.txt file format for every 5 minutes. While in the remote system, the data were succesfully displayed on Thinkspeak website with a mean transfer rate of 52.5 seconds.
Keywords: data logger, internet of things, local monitoring, photovoltaic, remote monitoring
Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 87-94ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.16352
Received 31 March 2020; Revised 05 May 2020; Accepted 09 May 2020
87
88 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
besarnya iradiasi, sudut datang dan durasi penyinaran
cahaya matahari, suhu panel dan juga beberapa kondisi
lingkungan seperti cuaca, angin dan debu [3].
Faktor-faktor ini menyebabkan keluaran energi yang
dihasilkan panel surya sangat fluktuatif. Oleh karena itu, pemantauan kinerja panel surya diperlukan untuk
mengetahui bahwa panel surya telah terpasang dengan
benar dan menghasilkan keluaran sesuai dengan yang
diharapkan. Pemantauan ini dapat dilakukan dengan
mengukur besar tegangan dan arus yang dihasilkan oleh
panel surya dengan menggunakan multimeter atau sensor
tegangan dan arus. Beberapa penelitian telah melaporkan
hasil pemantauan ini menggunakan beberapa alat ukur
yang berbeda seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1, terlihat beberapa penelitian masih
menggunakan multimeter dan perekaman data manual.
Perekaman dengan cara manual ini tidak dapat memberikan
data yang menyeluruh karena data hanya dapat diambil pada
waktu-waktu tertentu dan memungkinkan juga terjadinya
kesalahan dalam perekaman data. Oleh karena itu, pada
beberapa penelitian terakhir, pengukuran dan perekaman
data sudah dilakukan secara otomatis menggunakan sensor
dan data logger. Hal ini memungkinkan pengambilan
data yang lebih tepat, real-time dan terus menerus. Selain
itu, untuk memastikan kinerja panel secara menyeluruh,
faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh juga turut
diukur selain tegangan dan arus, yaitu intensitas cahaya,
suhu, dan kelembapan.
Sistem pemantauan yang sudah ada ini, sesuai
digunakan untuk memantau kinerja panel surya pada
waktu pengujian atau skala lab dimana akuisisi data
dapat dilakukan secara langsung yaitu ditampilkan pada
LCD atau ditampilkan dalam bentuk grafik menggunakan aplikasi PLX-DAQ. Namun dalam prakteknya, panel
surya seringkali diletakkan di tempat yang tinggi dan sulit
dicapai seperti pada atap atau di tempat terpencil. Hal
ini tentu akan menyulitkan pengguna untuk melakukan
pemantauan secara langsung. Teknologi komunikasi
yang disebut Internet of Things (IoT) dipercaya mampu
menyelesaikan masalah ini. Melalui IoT, perangkat
pemantauan yang sudah ada dapat dihubungkan kepada
internet sehingga data kinerja panel surya dapat diakses
oleh pengguna kapan saja dan dari mana saja [9].
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian
ini dirancang suatu sistem pemantauan (monitoring
system) kinerja panel surya dengan dua cara: (a) lokal
(local), artinya sistem digunakan seperti multimeter
secara langsung di tempat peletakan panel surya (sistem
tidak memerlukan koneksi internet, data ditampilkan
secara langsung pada LCD dan dapat disimpan dalam
SD card memory oleh data logger serta dapat juga
ditampilkan dalam bentuk grafik dalam Microsoft Excel oleh PLX-DAQ) dan (b) jarak jauh (remote), artinya
sistem terintegrasi dengan internet sehingga bisa diakses
dimana saja dan kapan saja (data ditampilkan pada website
Thinkspeak sebagai platform IoT dengan menggunakan
NodeMCU ESP8266 sebagai wireless transceiver).
II. Metode
A. Diagram Blok Sistem
Gambar 1 menampilkan diagram blok dari sistem
pemantauan kinerja panel surya. Sistem ini terdiri dari
sensor tegangan DC yang digunakan untuk membaca
tegangan listrik keluaran panel surya dan sensor INA219
untuk membaca arus listrik keluaran panel surya. Sinar
matahari yang menyinari panel surya akan dibaca nilai
intensitasnya dengan menggunakan sensor GY-49 dalam
bentuk satuan lux serta suhu di sekitar panel surya akan dibaca oleh sensor LM35DZ. Semua nilai pembacaan
sensor dikirim ke mikrokontroler Arduino ATMega2560
untuk diolah. Powerbank berkapasitas 3800 mAh
digunakan sebagai penyuplai daya bagi sistem agar sistem
pemantauan ini dapat bekerja secara mandiri.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem ini
dirancang untuk dapat melakukan pemantauan melalui
dua cara, yaitu: (a) lokal dan (b) jarak jauh. Pada sistem
(a), nilai bacaan tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya
dalam bentuk digital ditampilkan secara langsung pada
LCD. RTC DS3231 digunakan sebagai patokan waktu
untuk data logger yang akan menyimpan data pada SD
card memory. Program PLX-DAQ digunakan sebagai
antarmuka untuk menghubungkan mikrokontroller
terhadap penampil data pada Microsoft Excel melalui
Gambar 1. Diagram blok sistem pemantauan kinerja panel surya
Tabel 1. Penelitian mengenai pemantauan kinerja panel surya
No Parameter
penelitianAlat ukur
Penampil dan
perekam dataRef
1 Tegangan, arus
dan intensitas
cahaya
Multimeter dan
luxmeter LCD, Manual [4]
2 Tegangan, arus
dan intensitas
cahaya
Voltmeter,
amperemeter dan
luxmeterLCD, Manual [5]
3Tegangan dan
arus
Sensor tegangan
dan sensor arus
PLX-DAQ
+ Ms.Excel, Data logger
[6]
4T e g a n g a n ,
arus, suhu dan
kelembaban
Sensor tegangan,
sensor arus,
sensor suhu dan
kelembaban
LCD, Data
logger [7]
5 T e g a n g a n ,
arus, suhu
dan intensitas
cahaya
Sensor tegangan,
sensor arus, sensor
suhu dan sensor
intensitas cahaya
PLX-DAQ
+ Ms.Excel, Data logger
[8]
89Wahmisari Priharti dkk.: Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya
komunikasi serial. Data pada Microsoft Excel ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga lebih memudahkan pengguna untuk mengevaluasi kinerja panel surya.
Pada sistem (b), data yang merupakan hasil bacaan
sensor dikirim dari mikrokontroller ke cloud menggunakan
wireless transceiver NodeMCU ESP8266. Thinkspeak
digunakan sebagai platform IoT dimana data kemudian
diolah, dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Thinkspeak website. Untuk menggunakan fitur ini, pengguna harus memiliki satu akun atau alamat IP tertentu
yang memiliki beberapa jalur berbeda bagi parameter-
parameter yang dipantau oleh sistem.
B. Perancangan perangkat keras
Perangkat keras sistem pemantauan kinerja panel surya
dirancang sedemikian rupa dalam bentuk suatu kit agar
mudah digunakan pengguna. Kit ini bersifat praktis dan
portabel seperti halnya multimeter sehingga dapat juga
disebut sebagai PVmeter. Kit ini berdimensi (15,5×9×8,5)
cm3 seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Pada Gambar
2(a), terdapat lubang positif dan negatif bagi masukan
panel surya di bagian kiri kit, sedangkan pada Gambar
2(b), terdapat lubang positif dan negatif keluaran dari kit.
Kedua lubang ini dapat langsung dihubungkan kepada
beban. Selain itu, lubang input arduino juga disediakan
untuk memudahkan pengguna menghubungkan sistem ke
komputer.
Di dalam kit ini terdapat sensor tegangan dan arus yang
berfungsi untuk mengukur tegangan dan arus keluaran
panel surya. Selain itu, terdapat juga sensor intensitas
cahaya yang diletakkan pada depan kit, agar sensor dapat
membaca nilai intensitas cahaya matahari ketika proses
pengambilan data dilakukan. Sensor suhu diletakkan di
atas kit agar perubahan suhu pada bagian belakang panel
surya dapat terdeteksi.
LCD sebagai penampil data diletakkan pada depan
bagian depan kit. LCD ini akan menampilkan nilai-nilai
dari olahan mikrokontroler, yaitu tegangan, arus, intensitas
cahaya, suhu dan juga waktu pembacaan. Tombol switch
on/off disertakan pada bagian depan sehingga pengguna
tidak kesulitan untuk mengaktifkan sistem. Pada bagian
kanan dan kiri kit juga terdapat lubang ventilasi yang
berfungsi untuk mengalirkan sirkulasi udara di dalam kit
agar sistem tidak overheat.
Pada pemakaiannya, kit ini dipasang melekat pada
bagian belakang panel surya seperti ditunjukkan pada
Gambar 3. Oleh karena itu pada bagian kiri dan kanan
atas kit ini, disediakan dua lubang tempat memasang
mur dan baut agar kit dapat dilekatkan pada panel surya.
Selama pemantauan, sistem tidak berpindah tempat untuk
mencegah terjadinya kesalahan pembacaan oleh sistem
karena kabel sensor yang longgar atau terlepas akibat
gerakan/perpindahan.
Panel surya yang digunakan dalam pengujian
sistem ini merupakan jenis polycrystalline berdimensi
(485×360×25) mm3 dengan spesifikasi daya maksimum, P
max 20 W, arus daya maksimum, I
mp 1.08 A, tegangan daya
maksimum, Vmp
18,5 V, arus short circuit, Isc 1,16 A dan
tegangan open circuit, Voc
22,14 V. Agar arus listrik dapat
mengalir melalui rangkaian, suatu resistor dengan rating
20 W 20 Ω digunakan sebagai beban.
C. Perancangan Perangkat Lunak
Gambar 4 merupakan diagram alir perancangan
perangkat lunak dari sistem pemantauan panel surya. Ketika
proses dimulai, mikrokontroler akan menginisialisasi
port yang digunakan seperti sensor intensitas cahaya,
sensor arus, sensor tegangan, sensor suhu, LCD, RTC
dan SD Card Memory. setelah penginisialisasian selesai,
sensor akan membaca tegangan listrik, arus listrik, suhu
dan intensitas cahaya pada panel surya. Sensor tegangan
dan sensor suhu akan memberikan input analog bagi
mikrokontroler, nilai input analog akan diubah menjadi
nilai ADC oleh mikrokontroler dan nilai ADC akan diolah
dengan menggunakan rumus hingga mendapatkan nilai
(a)
(b)
Gambar 2. Kit sistem pemantauan kinerja panel surya (PVmeter): (a)
tampak kiri, (b) tampak kanan.
Gambar 3. Kit sistem pemantauan kinerja panel surya (PVmeter)
dipasang pada bagian belakang panel surya
90 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
pengukuran yang diinginkan, sedangkan sensor intensitas
cahaya dan sensor arus yang menggunakan IC yang telah
diprogram sehingga pengguna tidak harus mencantumkan
rumus untuk mendapatkan nilai pengukuran yang
diinginkan. Pada sistem (a), setelah nilai pembacaan sensor
diolah, mikrokontroler akan memberikan data olahan ke
sistem data logger untuk diakuisisi, mikrokontroler juga
memberikan data ke aplikasi penampil atau LCD untuk
mencetak nilai pengukuran sensor dari data yang telah
diolah oleh mikrokontroler. Sedangkan pada sistem (b),
setelah nilai pembacaan sensor diolah, mikrokontroler
akan mengirim data olahan ke cloud melalui platform
Thinkspeak, selanjutnya Thinkspeak mengolah dan
menampilkan data tersebut pada website.
D. Kalibrasi Sensor
Kalibrasi sensor bertujuan untuk mengecek dan
mengatur tingkat performa dari sensor, dengan cara
membandingkan nilai pembacaan sensor dan nilai
pembacaan instrumen pembanding yang telah memiliki
standar pabrikasi dengan tingkat keakurasian yang lebih
tinggi, sehingga sensor dapat dipastikan memiliki standar
yang sama dengan instrumen pembanding. Kalibrasi
dilakukan dengan dua metode, yaitu:
1) Input berulang: Memberikan input yang konstan pada
sensor dan alat pembanding secara bersamaan untuk
mendapatkan hasil nilai eror dan akurasi sensor.
2) Input tak berulang/berubah-ubah: Memberikan input
naik (dari nilai terkecil hingga terbesar) dan input
turun (nilai terbesar hingga terkecil) pada sensor dan
instrumen pembanding untuk mendapatkan grafik histerisis sensor.
Akurasi atau ketelitian adalah beda maksimum antara
penunjukan instrumen dengan nilai sebenarnya. Akurasi
sering disebut juga dengan eror maksimum. Persamaan
untuk mendapatkan nilai akurasi ditunjukkan pada (1).
1 00% (1)Vr Va
AkurasiVa
− = ×
dimana Vr adalah hasil pengukuran dan V
a adalah harga
atau nilai sebenarnya dari besaran yang diukur [10].
Eror atau kesalahan dalam pengukuran dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu kesalahan statis dan dinamis.
Kesalahan statis disebabkan oleh pembatasan-pembatasan
alat ukur atau hukum-hukum fisika yang mengatur tingkah laku alat ukur tersebut, sedangkan kesalahan-kesalahan
dinamis disebabkan oleh ketidakmampuan instrumen
untuk memberikan respons (tanggapan) yang cukup cepat
bila terjadi perubahan-perubahan dalam variabel ukur.
Salah satu cara untuk menentukan kesalahan-
kesalahan acak secara statis pada suatu alat ukur ialah
dengan menggunakan standar deviasi atau σ. deviasi
merupakan akar dari penjumlahan semua penyimpangan
(deviasi, d) setelah dikuadratkan dibagi dengan banyaknya
pembacaan. Secara matematis dituliskan seperti pada (2):
2 2 2 2² 1 2 3 2) (
dt d d d dn
n nσ Σ + + +…+= =
Sedangkan kesalahan dinamis dapat dicitrakan dengan
menggunakan grafik histerisis, yang di mana histerisis merupakan perbedaan antara nilai output pengukuran bila
diberi input naik dan input turun secara bertahap.
E. Pengujian Sistem
Pengujian kit sistem pemantauan kinerja panel surya
dilakukan selama 3 hari, dengan durasi pengujian 8 jam
dimulai dari pukul 08:00 hingga pukul 16:00. Lokasi
pengujian adalah di rooftop Gedung N kampus Universitas
Telkom Bandung dengan koordinat latitude S 6°58'36.71''
(-6.97687°) dan longitude E 107°37'45.45'' (107.62929°).
Pengujian ini menggunakan sistem penyangga tetap
(fixed) namun sudut pemasangan panel disesuaikan
dengan arah datangnya matahari yang dibagi kepada tiga
kategori waktu. Pada pukul 08.00-10.30, panel di pasang
menghadap kearah utara dengan sudut altitude 48,83°;
pada pukul 10.30-13.30 sudut altitude 90°; serta pada
pukul 13.30-16.00 sudut altitude 50,69°. Data nilai sudut
didapat dari kompilasi bulanan sudut datang matahari
yang diambil dari website suncalc.org dan dikalkulasikan
dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel.Dari tiap pengujian, nilai tegangan V, arus I, suhu T
dan intensitas cahaya Iv direkam. Hasil dari nilai tegangan
dan arus ini digunakan untuk menghitung besar daya yang
dihasilkan panel surya melalui (3).
(3) .P V I=
Sedangkan besar energi yang dihasilkan oleh panel surya
Gambar 4. Diagram alir perancangan perangkat lunak sistem pemantauan
kinerja panel surya
91Wahmisari Priharti dkk.: Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya
pada waktu t tertentu dihitung menggunakan (4).
(4 . . . )W P t V I t= =
Besar daya yang dihasilkan panel surya, Pout
dibandingkan dengan besar daya yang diterima dari
pancaran radiasi matahari, Pin
untuk mendapatkan nilai
efisiensi panel surya, η seperti pada (5).
1 00% 1 00
5% (
)
max max
radiasi matahari
Pout I V
Pin I Luas Panelη ×= × = ×
×
dimana Imax
dan Vmax
masing-masing adalah besarnya nilai
arus dan tegangan maksimum panel surya.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Analisis Kalibrasi Sensor
Kalibrasi sensor dilakukan menggunakan dua metode
yaitu input berulang dan input tak berulang. Kalibrasi input
berulang digunakan untuk memperoleh nilai akurasi dan
eror/kesalahan statis sensor melalui perhitungan standar
deviasi. Sedangkan kalibrasi input tak berulang naik
dan turun digunakan untuk memperoleh citra kesalahan
dinamis sensor melalui grafik histeresis. Nilai akurasi dan standar deviasi bagi setiap sensor (tegangan, arus, suhu dan
intensitas cahaya) ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan
grafik histeresis bagi keempat sensor tersebut ditunjukkan oleh masing-masing Gambar 5 (a), (b), (c) dan (d).
Nilai akurasi dalam pengujian ini merepresentasikan
nilai eror maksimum suatu sensor. Dapat dilihat dari Tabel
2, nilai akurasi atau eror maksimum bagi keempat sensor
lebih kecil dari 5%, artinya semua sensor berfungsi dengan
baik dan layak digunakan dalam pengujian.
Gambar 5 (a), (b) dan (c) menunjukkan bahwa
hasil kalibrasi sensor tegangan, arus dan suhu tidak
menunjukkan gejala histeresis. Tidak wujudnya histeresis
berarti bahwa respon atau tanggapan sensor tegangan, arus
dan suhu tetap sama ketika diberikan input naik maupun
turun.
Hasil berbeda ditunjukkan oleh grafik tanggapan sensor intensitas cahaya seperti ditunjukkan oleh Gambar
5 (d). Dari grafik ini terlihat adanya perbedaan tanggapan sensor ketika diberikan input naik dan input turun. Namun
berdasarkan analisis regresi linear, grafik ini masih memiliki nilai koefisien determinasi yang baik yaitu 0,85 dan 0,89 bagi masing-masing input naik dan turun.
B. Analisis Kapasitas SD Card Memory
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Grafik kalibrasi input tak berulang naik dan turun bagi sensor: (a) tegangan, (b) arus, (c) suhu dan (d) intensitas cahaya
Tabel 2. Hasil kalibrasi sensor
Jenis sensor Nilai akurasi dan eror (µ ±
σ %)
Tegangan 0,52 ± 0,081
Arus 2,00 ± 0,001
Suhu 3,72 ± 0.290
Intensitas
cahaya
0,91 ± 0.000
92 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
Modul SD card memory digunakan sebagai media
penyimpanan data pada sistem pemantauan on site. Semua
hasil pembacaan sensor dan waktu dari RTC akan disimpan
setiap 5 menit sekali dengan menggunakan format file.txt. Gambar 6 merupakan tampilan dari file.txt dimana pada file tersebut terdapat hari, tanggal, jam dari RTC serta nilai pembacaan dari semua sensor.
Setelah dilakukan pengujian penyimpanan data pada
modul SD card memory, diperoleh rata-rata penyimpanan
data pada SD card sebesar 7 KB selama 10 menit. Jika
sistem pemantauan kinerja panel surya hanya dihidupkan
selama 8 jam per hari, maka hanya akan menghabiskan
ruang penyimpanan memori sebesar 336 KB per harinya.
Apabila sistem logger ini menggunakan memory card
sebesar 8 MB yang memiliki kapasitas penyimpanan data
maksimal sebesar 7,20 MB, maka kartu memori dapat
menyimpan data akuisisi selama lebih kurang 61 tahun.
C. Analisis Kinerja Sistem Pemantauan
Hasil pengujian sistem pada hari pertama ditampilkan
pada Gambar 7 (a) dan (b). Gambar 7 (a) menunjukkan
besar tegangan yang dihasilkan panel surya dibandingkan
dengan besar intensitas cahaya matahari. Tegangan
maksimum dihasilkan pada pukul 14.00 sebesar 16,79
V dengan suhu pada panel sebesar 46,58°C, sedangkan
tegangan minimum dihasilkan pada pukul 16.00 sebesar
8,76 V dengan suhu 27,84°C.
Gambar 7 (b) menunjukkan nilai arus ang dihasilkan
panel surya dibandingkan dengan intensitas cahaya
matahari yang menyinari panel. Intensitas cahaya
maksimum berada pada pukul 14.00 sebesar 223120 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar
731,55 mA, sedangkan intensitas cahaya minimum berada
pada pukul 16.00 sebesar 78910 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 370,63 mA.
Hasil pengujian sistem pada hari kedua ditampilkan
pada Gambar 8 (a) untuk besar tegangan yang dihasilkan
panel surya dibandingkan dengan besar intensitas cahaya
matahari dan (b) untuk nilai arus ang dihasilkan panel
surya dibandingkan dengan intensitas cahaya matahari
yang menyinari panel. Tegangan maksimum dihasilkan
pada pukul 10.00 sebesar 17,45 V dengan suhu pada
panel sebesar 39,96°C, sedangkan tegangan minimum
dihasilkan pada pukul 16.00 sebesar 9,66 V dengan suhu
27,76°C. Intensitas cahaya maksimum berada pada pukul
10.00 sebesar 210762 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 755,4 mA, sedangkan intensitas
Gambar 6. Tampilan file.txt data logger
(a)
(b)
Gambar 7. Hasil pengujian hari pertama: (a) tegangan vs suhu, (b) arus
vs intensitas cahaya
(a)
(b)
Gambar 8. Hasil pengujian hari kedua: (a) tegangan vs suhu, (b) arus vs
intensitas cahaya
93Wahmisari Priharti dkk.: Perancangan Sistem Pemantauan Lokal dan Jarak Jauh bagi Panel Surya
cahaya minimum pada pukul 16.00 sebesar 75240 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar
400,92 mA.
Besar tegangan yang dihasilkan panel surya
dibandingkan dengan besar intensitas cahaya matahari dan
besar nilai arus yang dihasilkan panel surya dibandingkan
dengan intensitas cahaya matahari yang menyinari panel
pada hari ketiga ditunjukkan masing-masing pada Gambar
9 (a) dan (b). Tegangan maksimum dihasilkan pada pukul
10.00 sebesar 17,64 V dengan suhu pada panel sebesar
42,32°C, sedangkan tegangan minimum dihasilkan
pada pukul 16.00 sebesar 6,00 V dengan suhu 28,14°C.
Intensitas cahaya maksimum berada pada pukul 10.00
sebesar 222822 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 721,25 mA, sedangkan intensitas cahaya
minimum pada pukul 16.00 sebesar 55705 lux dengan arus yang dihasilkan oleh panel surya sebesar 253,23 mA.
Berdasarkan hasil pembacaan sensor yang didapat
selama tiga hari, rata-rata penyinaran cahaya matahari
maksimal berada pada pukul 10.00 hingga 14.30 WIB.
Data yang ditampilkan oleh grafik pada Gambar 7, 8 dan 9 menunjukkan karakteristik panel surya yang apabila
intensitas cahaya pada keadaan yang maksimal, maka
suhu serta daya keluaran pada panel juga ikut meningkat,
sedangkan jika intensitas cahaya matahari berkurang,
maka suhu dan daya keluaran pada panel ikut berkurang.
Jika dilihat pada pada grafik perbandingan suhu terhadap tegangan keluaran panel surya, suhu dapat mempengaruhi
tegangan keluaran pada panel surya, dimana bila suhu
panel mengalami peningkatan maka tegangan keluaran
menurun, namun ketika suhu panel menurun, maka
tegangan keluaran akan mengalami peningkatan. Hasil
ini sesuai dengan pengujian yang dilakukan oleh El-Shaer
dkk pada tahun 2014 [11].
Melalui grafik perbandingan intensitas cahaya terhadap arus keluaran panel surya, dapat diperhatikan bahwa
perubahan intensitas cahaya matahari akan mempengaruhi
arus keluaran pada panel surya, dimana bila intensitas
cahaya semakin tinggi maka arus keluaran juga semakin
tinggi, sedangkan jika intensitas cahaya yang menyinari
panel surya semakin rendah maka arus keluaran panel
surya juga semakin rendah.
Kesimpulan hasil pengujian sistem pada hari 1,2 dan
3 ditunjukkan pada Tabel 3. Dari tabel ini dapat dilihat
bahwa kinerja panel surya tidak persis sama setiap harinya
namun nilai maksimum yang direkam memiliki kemiripan.
Nilai energi yang dihasilkan dipengaruhi oleh suhu dan
intensitas cahaya pada hari tersebut. Nilai tertinggi energi
total maksimum yang dihasilkan panel surya selama satu
hari dicatatkan pada hari kedua, yaitu sebesar 799,58 Wh.
Sedangkan energi rata-rata dari total tiga hari pengujian
sebesar 746,60 Wh dengan lama pengujian masing-masing
8 jam per hari.
Sesuai dengan data yang ditampilkan pada Tabel 3,
diperoleh daya rata-rata maksimum yang dihasikan per
hari sebesar 12.73 W, dengan bidang panel surya sebesar
0.167 m2 dan iradiasi rata-rata yang dipancarkan matahari
per hari sebesar 1000 W/m2 (pada keadaan cuaca cerah).
Maka dapat diperoleh nilai efisiensi, η rata-rata panel
surya sebagai berikut:
17,23 1 00% 1 00% 8%
167
Pout
Pinη = × = × =
Panel surya yang dipasang pada sudut tetap merupakan
salah satu penyebab rendahnya efisiensi yang dicapai pada pengujian ini. Peletakan panel pada sudut tetap ini
mengakibatkan matahari tidak selalu berada tegak lurus
terhadap panel surya sehingga daya yang dihasilkan
menjadi berkurang. Walaupun begitu, nilai efisiensi ini dianggap cukup baik, sebagaimana yang dilaporkan
oleh Shukhla et. al. bahwa efisiensi panel surya jenis polycrystalline dapat berkisar antara 7,15–11,19% [12].
Penggunaan pelacak surya dengan axis tunggal atau ganda diyakini dapat meningkatkan energi yang dihasilkan panel
surya sebesar masing-masing 22% dan 60% [13], [14].
(a)
(b)
Gambar 9. Hasil pengujian hari ketiga: (a) tegangan vs suhu, (b) arus vs
intensitas cahaya
Tabel 3. Hasil Pengujian Sistem
Hari
ke-Jam
Vmax (V)
Imax (mA)
Pmax (W)
Tmax (oC)
Ev max (lux)
Total
Emax (Wh)
1 14.00 16,79 731,55 12.28 46,58 223120 745,07
2 10.00 17,45 755,40 13.18 39,86 210762 799,58
3 10.00 17,64 721,25 12.72 42,32 222822 695,16
Mean - 17.29 736.07 12.73 42.92 218901 746,60
Ket: Vmax
: Tegangan maksimum, Imax
: Arus maksimum, Pmax
: Daya maksimum, Tmax
: Suhu
maksimum, Ev max
: Intensitas cahaya maksimum, Emax
: Keluaran energi maksimum (dalam sehari)
94 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
D. Analisis Kecepatan Pengiriman Data
Waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan data
sensor dari mikrokontroller hingga ditampilkan ke website
Thinkspeak cukup bervariasi tergantung pada kecepatan
internet. Pada kecepatan 7,3 Mbps, waktu yang dibutuhkan
hanya 32 detik sedangkan jika kecepatan kurang dari 7,3
Mbps, waktu yang dibutuhkan hingga 100 detik. Rata-rata
kecepatan pengiriman data dalam pengujian ini adalah
52,5 detik. Contoh tampilan data pada website Thinkspeak
ditunjukkan pada Gambar 10.
IV. Kesimpulan
Sistem pemantauan lokal dan jarak jauh yang terdiri
dari sensor tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya
berhasil dirancang dan diimplementasikan dalam
pengujian ini. Hasil kalibrasi bagi sensor tegangan, arus,
suhu dan intensitas cahaya memberikan nilai akurasi
sebesar masing-masing 0,52, 2,00, 3,72 dan 0,91%. Data
nilai tegangan, arus, suhu dan intensitas cahaya berhasil
direkam oleh data logger dan ditampilkan bentuk file *.txt setiap 5 menit sekali pada sistem pemantauan lokal. Sedangkan pada sistem pemantauan jarak jauh, data
berhasil ditampilkan pada website Thinkspeak dengan
rata-rata kecepatan pengiriman data 52,5 detik.
Hasil pengujian kinerja panel surya polycristalline 20
Wp selama tiga hari diperoleh rata-rata energi total yang
dapat dihasilkan sebesar 746,60 Wh dengan efisiensi sebesar 8%. Nilai energi total dipengaruhi oleh tegangan
dan arus yang dihasilkan panel surya. Tegangan yang
dihasilkan pula berbanding terbalik terhadap suhu panel
surya sedangkan arus berbanding lurus terhadap intensitas
cahaya.
Berdasarkan data-data yang telah dihasilkan dapat
disimpulkan bahwa sistem pemantauan kinerja panel
surya ini bekerja dengan baik dan panel surya memberikan
keluaran sesuai dengan yang diharapkan.
Referensi
[1] ESDM, “Kejar Target Bauran Energi 2025, Dibutuhkan Investasi
EBT Hingga USD36,95 Miliar,” 2019.
[2] C. A. Mellit, A. M. Pavan, and S. A. Kalogirou, “Fault detection
method for grid-connected photovoltaic plants,” Renew. Energy,
vol. 66, p. 99, 2014.
[3] S. Irvine, “Solar Cells and Photovoltaics,” in Springer Handbook
of Electronic and Photonic Materials, Canada: Springer, 2017.
[4] A. Hasyim Asy’ari, Jarmiko, “Intensitas Cahaya Matahari
Terhadap Daya Keluaran Panel Sel Surya,” Simp. Nas. RAPI XI
FT UMS, p. 57, 2012.
[5] S. Yuliananda, “Pengaruh Perubahan Intensitas Matahari
Terhadap Daya Keluaran Panel Surya,” J. Pengabdi. LPPM
Untag Surabaya, vol. 1, no. 2, pp. 193 – 202, 2015.
[6] M. R. Fachri, I. D. Sara, Y. Away, M. R. Fachri, I. D. Sara,
and Y. Away, “Pemantauan Parameter Panel Surya Berbasis
ArduinoArduino secara Real Time,” J. Rekayasa Elektr., vol. 11,
no. 4, pp. 123-128, 2015.
[7] H. Suryawinata, D. Purwanti, and S. Sunardiyo, “Sistem
Monitoring pada Panel Surya Menggunakan Data logger Berbasis
ATmega 328 dan Real Time Clock DS1307,” J. Teknik Elektro,
vol. 9, no. 1, 2017.
[8] Putriani, M. Basyir, and Muhaimin, “Sistem Monitoring Alat Uji
Karakteristik Panel Surya Berbasis Mikrokontroler,” J. Tektro,
vol. 3, no. 2, pp. 1–10, 2019.
[9] W. Priharti, A. F. K. Rosmawati, and I. P. D. Wibawa, “IoT based
photovoltaic monitoring system application,” J. Phys. Conf. Ser.,
vol. 1367, no. 1, 2019.
[10] W. D. Cooper, Instrumentasi Elektronik dan Teknik Pengukuran.
Jakarta: Erlangga, 1994.
[11] A. El-Shaer, M. T. Tadros, and M. A. Khalifa, “Effect of Light intensity and Temperature on Crystalline Silicon Solar Modules
Parameters.,” Int. J. Emerg. Technol. Adv. Eng., vol. 4, no. 8, pp.
311–318, 2014.
[12] K. N. Shukla, S. Rangnekar, and K. Sudhakar, “A comparative
study of exergetic performance of amorphous and polycrystalline solar PV modules,” Int. J. Exergy, vol. 17, no. 4, pp. 433–455,
2015.
[13] I. H. Rosma, I. M. Putra, D. Y. Sukma, E. Safrianti, A. A. Zakri,
and A. Abdulkarim, “Analysis of single axis sun tracker system to increase solar photovoltaic energy production in the tropics,”
Proc. - 2018 2nd Int. Conf. Electr. Eng. Informatics Towar. Most
Effic. W. Mak. Deal. with Futur. Electr. Power Syst. Big Data Anal. ICon EEI 2018, pp. 183–186, 2018.
[14] I. H. Rosma, J. Asmawi, S. Darmawan, B. Anand, N. D. Ali,
and B. Anto, “The implementation and analysis of dual axis sun tracker system to increase energy gain of solar photovoltaic,”
Proc. - 2018 2nd Int. Conf. Electr. Eng. Informatics Towar. Most
Effic. W. Mak. Deal. with Futur. Electr. Power Syst. Big Data Anal. ICon EEI 2018, pp. 187–190, 2018.
Gambar 10. Contoh tampilan data pada website Thinkspeak
I. Pendahuluan
Provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah
kepulauan yang terdiri dari banyak pulau kecil dengan
luas daratannya sebesar 8.201,72 km2. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik Kepulauan Riau, terdapat
1.800 pulau di wilayah Kepualauan Riau [1]. Secara
geografis, Kepulauan Riau berbatasan langsung dengan pusat bisnis dan keuangan Singapura dan menjadi
pintu masuk Selat Malaka dari sebelah Timur. Kondisi
geografis ini menimbulkan banyak ancaman, tetapi juga terdapat banyak peluang untuk peningkatan kesejahteraan
penduduk dan kemajuan hinterland. Dukungan teknologi
sangat diperlukan untuk mempermudah eksplorasi potensi
tiap pulau. Teknologi informasi dan komunikasi jarak jauh
nirkabel diyakini paling cocok untuk pemantauan remote
area. Banyak hal yang dapat dipantau jika teknologi ini
diterapkan, diantaranya pemantauan hutan mangrove [2],
pemantauan area laut [3], kondisi perubahan parameter
lingkungan (suhu, kelembaban, tekanan udara, ketinggian,
koordinat lokasi dan tingkat CO2) [4], dan identifikasi bencana [5].
Antena merupakan salah satu perangkat yang penting
untuk mendukung proses komunikasi jarak jauh nirkabel.
Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF
Heru Wijanarko, M. Hanif, Siti Aisyah, dan KamarudinJurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Batam
Jl. Ahmad Yani, Batam Centre, Batam 29461
e-mail: [email protected]
Abstrak—Kepulauan Riau yang terdiri dari ribuan pulau dan terletak di daerah terluar Indonesia memiliki tantangan
tersendiri. Berdasarkan letak geografis yang strategis ini, terdapat ancaman dan peluang untuk mengembangkan sistem informasi antarpulau. Komunikasi jarak jauh nirkabel dianggap yang paling cocok untuk kondisi tersebut. Antena merupakan salah satu bagian penting dalam komunikasi nirkabel. Dilakukan penelitian dan fabrikasi
antena Quadrifilar Helix dengan memanfaatkan kelebihan serta pertimbangan material sederhana, ringan dan murah, sebagai antena penerima pada sistem komunikasi antarpulau. Pada penilitian ini telah dilakukan proses desain, fabrikasi, dan pengujian antena. Desain dilakukan dengan bantuan software Antenna Magus, pengukuran dilakukan menggunakan instrumen Vector Network Analyzer, dan pengujian dilaksanakan pada kondisi lingkungan LOS. Hasil fabrikasi antena terdapat pergeseran frekuensi optimum dari 433 MHz menjadi 452.5 MHz, dengan persentase error 5,88 %. Hasil fabrikasi antena yang diukur pada frekuensi 433 MHz, memiliki nilai return loss
sebesar -13,06 dB dan VSWR 1,5, dimana masih memenuhi kriteria 1 ≤ VSWR ≤ 2. Antena Quadrifilar Helix hasil fabrikasi juga dapat menerima data dari sensor GPS, suhu, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angin hingga 9 kilometer. Sehingga antena ini layak digunakan sebagai antena untuk komunikasi antarpulau
pada pita UHF.
Kata kunci: Quadrifilar Helix, return loss, VSWR, 433 MHz, RSSI, penerima
Abstract— Riau Islands, which consists of thousands of islands and is located in the border area of Indonesia, has its own challenges. Based on this strategic geographical location, there are threats and opportunities to develop inter-island information systems. Wireless long-range communication is considered the most suitable for these conditions. Antennas are an important part of wireless communication. Research and fabrication of the Helix Quadrifilar antenna by utilizing the advantages and consideration of simple, lightweight and inexpensive materials, as the receiver antenna in inter-island communication systems. In this research, the design was carried out with the assist of the Antenna Magus software, measurements were using a Vector Network Analyzer instrument, and testing accomplished under the LOS conditions. The results are fabricated antenna optimum frequency shift of 433 MHz to 452.5 MHz, within 5.88% error percentage. The antenna fabrication which is measured at a frequency of 433 MHz, obtained return loss -13.06 dB and VSWR 1.5, that meets the criteria of 1 ≤ VSWR ≤ 2. Quadrifilar Helix Antenna fabricated results can receive data from GPS sensors, temperature, humidity, air pressure, wind speed and wind direction of up to 9 kilometers. So that this antenna is suitable to be used as an antenna for inter-island UHF communication.
Keywords: Quadrifilar Helix, return loss, VSWR, 433 MHz, RSSI, receiverCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
*Permohonan paten sederhana (S00201911528) yang merupakan
bagian dari artikel ini telah diajukan
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 95-102ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15486
Received 15 January 2020; Revised 13 May 2020; Accepted 16 May 2020
95
96
Teknologi komunikasi radio yang banyak digunakan
untuk pemantauan remote area adalah komunikasi radio
433 MHz dan 2,4 GHz, masuk dalam rentang frekuensi pita Ultra High Frequency (UHF), dikarenakan frekuensi ini legal dan tidak berbayar. Penelitian ini menggunakan
modul radio 433 MHz, dimana jangkauan lebih jauh dibanding dengan modul radio 2,4 GHz.
Pada artikel ini, penulis akan membahas tentang
desain dan kinerja antena Quadrifilar Helix yang dirancang untuk komunikasi antarpulau pada pita UHF. Sebelumnya, telah dilakukan beberapa penelitian untuk
mendukung komunikasi antarpulau. Suatu penelitian
[4] telah melakukan akuisisi data parameter lingkungan
yang fokus pada kecepatan pemrosesan data yang
dikirim, namun belum menggunakan antena. Penelitian
lainnya [6] memanfaatkan modul GSM sebagai penanda koordinat lokasi pada hinterland. Selanjutnya telah
dilakukan penelitian untuk mentransmisikan data
gambar secara real time pada kanal UHF menggunakan modul radio transceiver 3DR [7]. Data gambar belum
dapat ditransmisikan pada jarak yang jauh karena hanya
memanfaatkan antena internal dari modul radio yang
digunakan. Sehingga, sebagai kelanjutan dari penelitian
yang telah dilakukan, antena Quadrifilar Helix dirancang agar jangkauan komunikasi dapat optimal.
Antena Quadrafilar Helix merupakan salah satu jenis dari antena heliks yang biasanya digunakan pada ground
segment sebagai antena penerima untuk komunikasi satelit,
karena pola radiasi hemispheric, ideal untuk penerimaan
di darat [8]. Antena ini juga memiliki banyak kelebihan
yaitu: ringan, gain yang besar dan, pola radiasi yang
terarah [9]. Berbeda dengan penelitian yang telah ada,
dengan memanfaatkan kelebihan yang dimiliki oleh antena
Quadrifilar Helix, penulis mendesain dan memfabrikasi antena berbiaya dan berbahan murah yang dapat
digunakan untuk komunikasi antarpulau pada frekuensi
kerja 433MHz. Setelah antena difabrikasi, dilakukan pengukuran dan pengujian pada lingkungan dimana
payload dapat berkomunikasi dengan perangkat penerima
secara Line of Sight (LOS), serta membandingkan hasil
simulasi dengan hasil pengukuran dan pengujian.
II. StudI PuStaka
Antena Quadrifilar Helix merupakan antena yang berbentuk seperti pegas, yang terdiri dari empat pegas
yang digabungkan menjadi satu, dimana diameter lilitan
dan jarak lilitan diatur sedemikian rupa untuk memenuhi
aspek kebutuhan dari antena tersebut. Oleh karena itu,
penerimaan data dapat terpenuhi secara optimal dari
payload ke perangkat penerima. Penulis menggunakan
antena Quadrifilar Helix sebagai alat transmisi yang digunakan untuk menghubungkan antara payload dan
perangkat penerima. Terdapat beberapa parameter dasar
yang perlu diperhatikan dalam mendesain sebuah antena
untuk mendapat hasil optimal seperti dipaparkan berikut
ini.
A. Pola Radiasi (Radiation Pattern)
Pola radiasi merupakan plot tiga dimensi yang
berbentuk fungsi matematika atau representasi grafik dari distribusi sinyal yang diterima antena sebagai fungsi
koordinat ruang. Pola radiasi antena berdasarkan bidang
irisan terbagi menjadi dua buah pola radiasi, yaitu pola
radiasi dengan arah elevasi (pola elevasi) dan azimut (pola azimut) [10]. Ada beberapa bagian yang penting dalam pola radiasi antena, ditunjukkan pada Gambar 1, yaitu:
1. Main/major lobe, adalah berkas radiasi yang
dimana terdapat kekuatan pancaran radiasi terbesar.
2. Minor lobe, adalah berkas radiasi yang pancaran
radiasinya kecil. Minor lobe dibagi dua berdasarkan
posisinya, side lobe dan back lobe.
3. Half Power Beamwidth (HPBW), adalah sudut yang dibentuk oleh pancaran antena.
B. Impendansi Input
Impedansi input adalah rasio perbandingan antara
tegangan dan arus pada sebuah terminal di antena atau
rasio komponen dari medan listrik ke medan magnet pada
suatu titik. Impedansi input antena umumnya merupakan
fungsi frekuensi. Dengan demikian antena akan
disesuaikan dengan interkoneksi saluran transmisi dan
perangkat. Selain itu, impedansi input antena tergantung
pada banyak faktor termasuk geometri, metode eksitasi,
dan jarak dengan objek di sekitarnya [10].
C. Voltage Standing Wave Ratio (VSWR)
Perbandingan antara gelombang maksimum dengan
gelombang minimum yang sering disebut dengan
Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) merupakan salah satu parameter yang menjadi penentu dalam matching-
nya sebuah antena dengan transmitter. Kondisi yang
paling diharapkan untuk nilai VSWR adalah bernilai 1, dimana merupakan kondisi ideal, sehingga nilai toleransi
Gambar 1. Koordinat sistem untuk analisis antena [10]
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
97
maksimum VSWR yaitu bernilai 2.Transmisi memiliki dua komponen gelombang
tegangan, yaitu tegangan yang dikirimkan (v+) dan
tegangan yang direfleksikan (v-). Perbandingan antara
kedua tegangan tersebut disebut sebagai koefisien refleksi tegangan (Γ).
0
0
, (1)L
L
z zv
v z z
−
+
−=
+
Koefisien refleksi tegangan (Γ) mempunyai nilai kompleks, yang menggambarkan besarnya magnitudo
dan fasa dari refleksi, dimana ZL adalah impedansi beban
(load) dan Z0 adalah impedansi saluran lossless. Nilai
VSWR dapat dihitung menggunakan persamaan berikut [10],
_
max_
min
(21
1, )
v
v
+ Γ=
− Γ
dimana Γ= −1 adalah refleksi negatif maksimum, ketika saluran terhubung singkat, Γ= 0 menunjukkan tidak ada refleksi, ketika saluran dalam keadaan matched sempurna, dan Γ = + 1 merupakan refleksi positif maksimum, ketika saluran dalam rangkaian terbuka.
D. Directivity
Directivity merupakan suatu rasio intensitas radiasi
yang mengarah pada arah tertentu sehingga radiasi
menjadi rata pada semua arah. Nilai intensitas radiasi rata-
rata merupakan total daya yang dipancarkan oleh antena
dibagi dengan 4π, untuk mengetahui ukuran konsentrasi radiasi directivity ke arah maksimum [10],
max
0
max radiation intensity.
avg radiation intensity(3)directivity
µµ
= =
E. Return Loss
Return loss merupakan sebuah acuan untuk
menentukan banyaknya daya yang hilang pada beban yang
disebabkan oleh tidak kembalinya daya sebagai pantulan.
Return loss ditentukan dari sebuah nilai perbandingan
antara amplitudo dan gelombang yang direfleksikan serta yang dikirim. Antara return loss dan VSWR memiliki kaitan yang erat dimana kedua parameter atau acuan
penentu matching suatu perangkat transmitter dengan
antena [11]. Berikut persamaan return loss jika koefisien refleksi diketahui.
Return loss = 20 log Г, (4)
dimana Г adalah koefisien refleksi.
F. Penguatan (Gain)
Gain adalah rasio intensitas pada arah tertentu yang
dipancarkan secara isotropik. Gain juga merupakan
kemampuan antena mengarahkan radiasi sinyal atau
penerimaan sinyal dari arah tertentu. Gain diukur dengan
satuan kuantitas yang berbentuk perbandingan dengan
satuan desibel.
Semakin besar nilai gain pada sebuah antena, maka nilai
Surface Area of Sphere dan Illuminated Area on Sphere
(beamwidth) akan semakin kecil. Hal ini menyebabkan radiasi dari antena tersebut akan mengarah kesuatu titik
tertentu, sehingga gain sangatlah berpengaruh sebagai
pengarah antena atau directional antenna [12].
G. Received Signal Strength Indicator (RSSI)
RSSI merupakan indikator yang dapat menunjukkan
nilai indeks yang dapat diterima oleh interface dari antena
penerima. Analisis nilai RSSI diperlukan agar kita dapat
memahami fitur yang menjadi dasar dari pola posisi [13]. Dengan menggunakan nilai RSSI, posisi dapat diprediksi
dan dapat membantu mengetahui apakah antena penerima
masih dapat berkomunikasi dengan pengirim.
Dengan menggunakan indeks RSSI, kekuatan sinyal
sebuah antena dalam dBm dapat diketahui. Indeks RSSI
yang didapatkan dari pengukuran dikonversi menjadi dBm
dengan menggunakan (5),
( ) -127,1
(59
).dBm
RSSIsignal =
nilai RSSI dalam dBm, menurut [13], dapat diprediksi dan
dimodelkan berdasarkan kuat sinyal rata-rata dari jarak
radius penerima dengan (6),
10 log (6),dBmRSSI A n d= −
sehingga nilai path loss exponent dapat dihitung dengan
menggunakan (7),
,10
(7)log
dBmA RSSIn
d
−=
dimana n adalah konstanta propagasi sinyal atau eksponen
(path loss exponent), d jarak dari pengirim, dan A kekuatan
sinyal yang diterima dalam jarak 1 meter dengan satuan
dBm.
Nilai n (path loss exponent) juga dapat diasumsikan
berdasarkan kondisi lingkungan, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1.
Enviroment PathLoss Exponent, n
Free Space 2
Urban area cellular radio 2,7 – 3,5
Shadowed urban cellular radio 3 – 5
In Building line of sight 1,6 – 1,8
Obstructed in building 4 – 6
Obstructed in factories 2 – 3
Tabel 1. PathLoss Exponent (n) [14]
Heru Wijanarko dkk.: Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF
98
III. Metode
A. Perancangan Antena
Penelitian ini diawali dengan desain antena Quadrifilar Helix dengan bantuan software untuk memudahkan
perhitungan dan untuk menemukan nilai-nilai parameter
yang tepat untuk sebuah antena. Adapun software yang
digunakan dalam perancangan antena ini adalah Antenna
Magus.
Komponen utama dari antena ini adalah kawat tembaga
solid yang berdiameter 3,965 mm dan tiang penyangga dari
pipa plastik atau pvc berdiameter 20 mm. Untuk mekanik
dari antena, ditunjukkan pada Gambar 2(a), memiliki ukuran dengan rincian:
1. Tinggi dari bifilar 0 (Hh0) adalah 229,7 mm; 2. Tinggi dari bifilar 1 (Hh1) adalah 244,6 mm.
Antena ini memiliki belokan dari setiap heliksnya
adalah 0,25 turn.
Pada Gambar 2 (b), dapat dilihat bahwa setiap heliks memiliki radius, untuk heliks 0 (Rh0) memiliki radius
58,91 mm dan heliks 1 (Rh1) 62,72 mm. Elemen tembaga
disolder dengan kabel coaxial, dan center conductor dari
kabel tersebut akan dihubungkan dengan dengan heliks
yang besar dan kecil pertama. Ground-nya dihubungkan
dengan heliks besar dan kecil lainnya. Pada ujung sisi lain
kabel ini didukung dengan konektor rp sma female untuk
memudahkan penyambungan pada radio.
A. Fabrikasi Antena
Fabrikasi dilakukan sesuai dengan nilai atau ukuran yang didapat dari desain menggunakan software Antenna Magus.
Antena Quadrifilar Helix ini difabrikasi menggunakan material pipa plastik sebagai tiang penyangga dan kawat
tembaga. Biaya yang dihabiskan untuk fabrikasi antena
ini kurang lebih 120 ribu rupiah, sehingga masih dianggap
murah dan terjangkau bagi siapa yang ingin membuatnya.
Hasil fabrikasi antena dapat dilihat pada Gambar 3 (a) untuk tampak depan, dan (b) untuk tampak atas.
B. Pengujian Antena
Pada pengujian antena Quadrifilar Helix terdapat dua metode yang digunakan, yaitu:
1. Pengujian menggunakan instrumen
Instrumen pengukuran yang digunakan ialah
Keysight M9371A PXIe Vector Network Analyzer, 300 kHz to 6,5 GHz. Perangkat ini bekerja berdasarkan S-Parameters yang memancarkan gelombang dengan
frekuensi 300 kHz–6,5 GHz dan dapat mengukur karakteristik antena berdasarkan gelombang yang
dipantulkan kembali ke port, sehingga dapat
menampilkan grafik VSWR, impedansi dan return loss.
2. Pengujian langsung (Outdoor)
Pengujian ini dilakukan menggunakan Graphic
User Interface (GUI) Radiosonde pada lingkungan rooftop Gedung Prof. Mohammad Nasir lantai 13, Ocarina Batam Center dan Nongsa dengan kondisi
LOS. GUI digunakan untuk mendapatkan nilai RSSI antena dan data dari sensor GPS, suhu, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angin.
IV. haSIl dan PeMbahaSan
A. Pengukuran return loss antena Quadrifilar Helix
Pengukuran yang pertama kali dilakukan adalah
pengukuran return loss. Hasil dari simulasi dan pengukuran tersebut dapat dilihat dari Gambar 4 dan 5 di atas.
Berdasarkan data grafik return loss simulasi yang
Gambar 4. Grafik return loss Antena Quadrifilar Helix hasil simulasi
Gambar 3. Fabrikasi Antena Quadrifilar Helix; (a) Tampak samping, dan (b) Tampak atas
Gambar 2. Desain Antena Quadrifilar Helix; (a) Tampak samping, (b) Tampak atas
(a)
(a)
(b)
(b)
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
99
terdapat pada Gambar 4 dan grafik return loss pengukuran
dengan instrument Gambar 5, didapatkan perbedaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi. Perbedaan
tersebut adalah pergeseran frekuensi yang secara langsung
berpengaruh pada return loss. Untuk frekuensi kerja 433
MHz, frekuensi hasil pengukuran bergeser ke arah kanan atau menjadi 452,5 MHz atau bergeser sekitar 20,5 MHz pada hasil pengukuran antena. Nilai return loss pada
frekuensi 452,5 MHz adalah -29,69dB.Dengan bergesernya frekuensi tersebut maka nilai
return loss itu sendiri akan berubah. Berikut nilai return
loss pada Frekuensi kerja 433 MHz yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Perubahan nilai return loss adalah dari nilai -29,69 dB
menjadi -13,06 dB. Berdasarkan return loss, persentase
error dari hasil fabrikasi adalah 5,88%. Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran frekuensi
yang menyebabkan perbedaan hasil pengukuran antena
dengan hasil simulasi antena, faktor tersebut antara lain:
hasil fabrikasi yang kurang akurat dengan ukuran simulasi,
pengelasan dan penyolderan antena yang kurang baik.
B. Pengukuran VSWR Antena Quadrifilar Helix
Berikut adalah hasil pengukuran VSWR dalam fungsi frekuensi yang menggunakan Vector Network Analyzer sebagai instrumen pengukurannya.
Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai VSWR yang terukur pada Vector Network Analyzer untuk
frekuensi 433 MHz adalah 1,5. Hasil tersebut mendekati nilai perhitungan VSWR menggunakan (1) yaitu 1,57. Sedangkan jika dibandingkan dengan hasil simulasi
menggunakan software Antenna Magus, yang ditunjukkan
pada Gambar 8, pada frekuensi 433 MHz didapat nilai VSWR sebesar 1,3. Apabila melihat nilai pada frekuensi optimum antena (452.5 MHz), maka diperoleh nilai 1,09. Sehingga, setelah dibandingkan, antena Quadrifilar Helix yang telah difabrikasi masih masuk dalam kriteria nilai 1
≤ VSWR ≤ 2.
C. Pengukuran Impedansi Antena Quadrifilar Helix
Grafik impedansi antena dalam fungsi frekuensi dapat diperoleh dengan perhitungan matematis. Berikut gambar
hasil pengukuran impedansi dalam bentuk smithchart
yang didapat dari Vector Network Analyzer.Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai impedansi
yang pada frekuensi 433 MHz yaitu 51,80-j24,50 Ω.
Gambar 6. Grafik return loss Antena Quadrifilar Helix hasil pengukuran untuk frekuensi 433MHz
Gambar 8. Nilai VSWR yang didesain dengan software Antenna Magus
Gambar 5. Grafik return loss Antena Quadrifilar Helix hasil pengukuranGambar 7. Grafik VSWR Antena Quadrifilar Helix
Gambar 9. Smithchart Antena Quadrifilar Helix pada frekuensi 433 MHz
Heru Wijanarko dkk.: Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF
100
Sedangkan nilai impedansi pada frekuensi optimum antena
(452,5 MHz), yang ditunjukkan pada Gambar 10, adalah 46,96+j7,75 Ω. Hasil perbandingan pengukuran tersebut menunjukkan bahwa nilai impedansi terdapat selisih yang
kecil dibandingan impedansi yang yang diharapkan yaitu
(50Ω + j0). Hal ini dapat menyebabkan banyak daya yang dipantulkan kembali (reflected), sehingga nilai return
loss akan bergeser (missmatch). Permasalahan selisih
impedansi tersebut dapat diatasi dengan menambahkan
rangkaian matching impedance.
D. Pengujian Jarak jangkauan
Proses pengujian jarak jangkauan sistem antena
dilakukan secara langsung (outdoor). Pengujian ini
bertujuan untuk mengetahui jarak jangkauan maksimum
dari antena Quadrifilar Helix. Nilai RSSI yang didapat dari radio menjadi parameter yang diukur dalam proses
pengujian ini. Berikut beberapa data RSSI antena
Quadrifilar Helix.
1. Pengukuran RSSI dengan jarak 0–100 meter
Proses pengujian antena dengan jarak 0–100 meter
ini dilakukan dengan mengambil data RSSI setiap jarak
5 meter. Grafik hasil pengukurannya ditunjukkan pada Gambar 11. Data RSSI diambil dengan tiga kali percobaan, dimana pengiriman data dilakukan oleh radio 3DR pada
frekuensi 433 MHz. Radio 3DR menggunakan antena Monopole sebagai antena pemancar dan antena Quadrifilar Helix hasil fabrikasi sebagai antena penerima.
Data grafik dari pengukuran RSSI dengan jarak 0–100 meter ditunjukkan pada Gambar 11. Dari grafik ini dapat dilihat bahwa nilai RSSI masih berada pada
rentang 50–150. Nilai RSSI menurun pada saat antena
diukur bergerak menjauh. Hal lain yang mempengaruhi perubahan nilai RSSI ini adalah adanya pegesaran sudut
saat mengarahkan antena ke antena pemancar. Untuk jarak
100 meter, komunikasi antara Radio 3DR dan penerima
yang menggunakan antena Quadrifilar Helix tidak terdapat kendala, 100% data dari sensor GPS dapat diterima.
2. Pengukuran RSSI dengan jarak 0–700 meter
Pada pengujian ini, dilakukan pengambilan data RSSI
secara kontinyu bergerak menjauh hingga 700 meter.
Grafik hasil pengukuran dengan jarak 0 – 700 meter ditunjukkan pada Gambar 12. Dari grafik pada Gambar 12, dapat dilihat hingga jarak 700 meter, nilai RSSI masih
berada di atas 50. Hingga jarak 700 meter, data dari sensor GPS masih dapat diterima dengan baik oleh radio yang menggunakan antena Quadrifilar Helix.
3. Pengukuran nilai RSSI pada jarak 9 kilometer
Untuk mencari seberapa jauh jangkauan dari antena
yang telah difabrikasi, dilakukan pengukuran nilai
RSSI hingga receiver tidak lagi dapat menerima data.
Pengukuran dilakukan pada titik pemancar rooftop Gedung Prof. Mohammad Nasir (Tower A) lantai 13 Politeknik
Gambar 10. Smithchart Antena Quadrifilar Helix pada frekuensi optimum
Gambar 13. Peta titik pengukuran RSSI dari Tower A Politeknik Negeri
Batam hingga Nongsa
Gambar 12. Grafik pengukuran RSSI dengan jarak 0 – 700 meter
Gambar 11. Grafik pengukuran RSSI dengan jarak 0–100 meter
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
101
Negeri Batam dan kondisi sistem penerima dengan antena
Quadrifilar Helix bergerak menjauh hingga ke daerah Nongsa (Gambar 13). Didapatkan hasil pengukuran terjauh yaitu 9 kilometer dengan kondisi lingkungan LOS.
Selain nilai RSSI, beberapa data lingkungan seperti:
GPS, sensor suhu, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angina, juga diambil setiap
dua detik pada pengukuran ini. Jarak terjauh diasumsikan
didapat pada saat terakhir kali penerima dapat menerima
data. Nilai RSSI diambil pada titik terjauh agar dapat
menentukan pola atau kurva kecenderungannya. Berikut
Gambar 14 yang menunjukkan grafik RSSI local dan
remote. Yang menjadi acuan sebagai kekuatan sinyal
dari antena Quadrifilar Helix adalah data RSSI local.
Sedangkan data RSSI remote merupakan kekuatan siyal
dari antena pemancar. Dari grafik pada Gambar 14, data diambil pada jarak 9 kilometer antara pemancar dan
penerima. Data diambil selama 80 detik dan menunjukkan
nilai RSSI local (penerima) masih bernilai di atas 50.
Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa antena Quadrifilar Helix hasil fabrikasi dapat menerima data hingga jarak 9 kilometer. Hal tersebut cukup layak apabila antena digunakan sebagai bagian dari perangkat
komunikasi antarpulau yang menggunakan frekuensi kerja
433MHz. Optimalisasi masih dapat dilakukan dengan mempertimbagkan bahan, manufacturing dan tentuanya
biaya pada saat fabrikasi.
4. Perhitungan kurva kecenderungan
Dari data telah didapat saat pengukuran, dapat
ditentukan pola atau kecenderungan nilai dBm terhadap
jarak. Penulis mengasumsikan pada pengukuran jarak
0–700 meter tidak LOS karena adanya pengaruh dari
kendaraan yang melintas dan banyaknya gedung pada
lingkungan pengukuran. Sehingga dari (7), didapatkan
nilai n = 2,425. Sedangkan untuk pengukuran jarak 9 kilometer, Tower A lantai 13 ke Nongsa, diasumsikan
dalam kondisi LOS. Berdasarkan Tabel 1, maka nilai
PathLoss yang digunakan adalah n = 2. Dari hasil kedua asumsi di atas, didapatkan (8) untuk melihat pola atau
kurva kecenderungan nilai dBm terhadap jarak (Gambar 15).
2,425 log , untuk 700( ) .
2 log , untuk(8)
9000
A d df x
A d d
− ≤= − ≤
E. Pengukuran Pola Radiasi
Pola radiasi diukur agar dapat mengetahui seberapa
baik hasil fabrikasi antena jika dibandingkan dengan hasil
simulasi. Gambar 16 merupakan pola radiasi antena hasil simulasi software Antenna Magus, sedangkan Gambar 17 adalah pola radiasi hasil pengukuran.
Berdasarkan perbandingan pola radiasi antara hasil
simulasi dengan pengukuran, didapatkan pola radiasi
horizontal yang mirip. Pengukuran pola radiasi dilakukan dengan cara mengambil data kuat sinyal dBm persudut
mulai dari 0° hingga 360° pada radius 15 meter. Hasil pola radiasi ini menunjukkan bahwa fabrikasi antena dapat
dianggap sesuai dengan desain hasil simulasi.
V. keSIMPulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah desain antena Quadrifilar Helix telah berhasil difabrikasi. Hasil fabrikasi antena menunjukkan adanya pergeseran frekuensi ke arah kanan dengan persentase
error 5,88%. Dari hasil pengukuran, frekuensi optimum
antena adalah 452,5 MHz, dengan nilai return loss -29,69
Gambar 14. Nilai RSSI antena Quadrifilar Helix pada jarak 9 kilometer
Gambar 15. Kurva kecendrungan nilai dBm terhadap jarak
Gambar 16. Pola radiasi antena pada simulasi
Heru Wijanarko dkk.: Desain dan Implementasi Antena Quadrifilar Helix untuk Komunikasi Antarpulau pada Pita UHF
102
dB dan VSWR 1,09. Apabila antena tersebut bekerja pada frekuensi 433 MHz, maka memiliki nilai return loss sebesar
-13,06 dB dan VSWR 1,5. Nilai ini dianggap baik untuk sebuah antena penerima karena masih memenuhi nilai
kriteria VSWR yaitu ≤ 2. Nilai impedansi yang terukur pada
frekuensi kerja 433 MHz adalah sebesar 51,80 – j24,50 Ω. Nilai impedansi tersebut masih belum ideal, namun dapat
dilakukan optimalisasi dengan menambahkan rangkaian
matching impedance. Dalam kondisi LOS, antena hasil
fabrikasi ini mampu menjangkau jarak maksimum hingga
9 kilometer. Secara umum, desain antena Quadrifilar Helix berhasil difabrikasi dengan menggunakan material sederhana, ringan, dan murah, serta layak untuk digunakan
sebagai antena komunikasi antarpulau pada pita UHF.
RefeRenSI
[1] Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau, “Provinsi
Kepulauan Riau Dalam Angka 2020,” Badan Pusat Statistik
Provinsi Kepulauan Riau, 2020. [Online]. Available: https://kepri.
bps.go.id/publication/2020/04/27/b8c13b368fd57df2ec706440/
provinsi-kepulauan-riau-dalam-angka-2020.html. [Accessed:
May. 07, 2020].
[2] J. R. Balbin and M. J. S. delos Reyes, “Development and
implementation of low cost salinity and temperature monitoring
system for mangrove forest,” in 2017IEEE 9th International
Conference on Humanoid, Nanotechnology, Information Technology, Communication and Control, Environment and
Management (HNICEM), Dec. 2017, pp. 1–6.
[3] Z. M. Loni, H. G. Espinosa, and D. V. Thiel, “Floating Monopole Antenna on a Tethered Subsurface Sensor at 433 MHz for Ocean Monitoring Applications,” IEEE Journal of Oceanic Engineering,
vol. 42, no. 4, pp. 818–825, Oct. 2017.
[4] S. Aisyah, D. Untari, H. Wijanarko, and Y. Harini, “Design of Data Acquisition System of Environmental Parameters Implemented in Riau Islands using myRIO,” in 2019 International Conference on
Applied Engineering (ICAE), Oct. 2019.
[5] M. Lu, X. Zhao, and Y. Huang, “Fast localization for emergency monitoring and rescue in disaster scenarios based on WSN,” in 2016 14th International Conference on Control, Automation,
Robotics and Vision (ICARCV), Nov. 2016, pp. 1–6.
[6] S. Aisyah, A. F. Daulay, Kamarudin, D. S. Pamungkas, and H. Wijanarko, “IoT-Based Transceiver Location Tracking System,” in 2019 International Conference on Applied Engineering
(ICAE), Oct. 2019.
[7] S. Aisyah, M. L. P. Nugroho, Kamarudin, and H. Wijanarko, “Image Transmission Performance Over UHF Channel Using Real Time Processing in LOS and NLOS Transmission,” in 2019
International Conference on Applied Engineering (ICAE), Oct.
2019.
[8] M. Šekelja, J. Jurica, and Z. Blaževiü, “Designing and Testing the Quadrafilar Helical Antenna,” presented at the 2009 International Conference on Software, Telecommunications and Computer
Networks: (SoftCOM 2009), Hvar, Croatia, Sep. 2009.
[9] S. Shoaib, W. A. Shah, A. Fahim Khan, and M. Amin, “Design and Implementation of Quadrifilar Helix Antenna for Satellite Communication,” in 2010 6th International Conference on
Emerging Technologies (ICET), Islamabad, Pakistan, Oct. 2010,
pp. 230–233.
[10] C. A. Balanis, Antenna Theory: Analysis and Design. John Wiley & Sons, 2016.
[11] A. Elrashidi and K. Elleithy, Hassan Bajwa, “Input Impedance, VSWR and Return Loss of a Conformal Microstrip Printed Antenna for TM01 mode Using Two Different Substrates,” IJNC,
vol. 2, no. 2, pp. 13–19, Aug. 2012.
[12] J. L. Volakis, Ed., Antenna Engineering Handbook, 4. ed. New
York, NY: McGraw-Hill, 2007.
[13] S. Joana Halder and W. Kim, “A Fusion Approach of RSSI and LQI for Indoor Localization System Using Adaptive Smoothers,” Journal of Computer Networks and Communications, vol. 2012,
pp. 1–10, 2012.
[14] F. J. Casadevall Palacio et al., “Radio environmental maps:
information models and reference model. Document number
D4.1,” Apr, 2011. [Online]. Available: https://upcommons.upc.
edu/handle/2117/14940. [Accessed: May. 11, 2020].
Gambar 17. Pola radiasi antena dengan nilai dBm pada jarak 15 meter
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
I. Pendahuluan
Robot pintar dan otonom merupakan area teknologi
yang semakin berkembang dan banyak digunakan
untuk berbagai bidang. Salah satu area penelitian yang
berkembang pesat adalah mobil pengemudi mandiri (self-
driving car) seperti yang terdapat pada [1–3]. Mobil ini
dapat mengantarkan penumpang ke tujuannya secara
otonom dan berjalan otomatis. Pada bidang pertanian
teknologi robotika telah banyak digunakan antara lain
pada [4] yang menggunakan robot untuk membantu proses
panen pada rumah kaca khususnya panen bunga. Robot
digunakan untuk membawa wadah berisi air sebagai
tempat bunga yang baru dipetik agar tidak layu. Robot ini
memiliki kemampuan untuk mengikuti pekerja rumah kaca
secara otomatis dan memetakan area sekitarnya. Robot
juga dapat mengantar bunga yang telah dipetik ketempat
stasiun pengumpul bunga jika wadahnya telah penuh.
Robot pemetik apel dikembangkan pada [5] dimana
robot memanen apel secara otomatis menggunakan
pembelajaran mendalam (deep learning). Buah apel
dideteksi dan dilokalisasi menggunakan pengolahan citra
kemudian apel tersebut dipetik dengan lengan robot. Robot
pemotong rumput seperti pada [6] dikembangkan dengan
mengendalikan alat pemotong rumput dan gerakan robot
menggunakan logika fuzzy. Robot dilengkapi sensor warna
sehingga dapat membedakan rumput atau bukan rumput.
Robot cerdas bergerak dibidang kebencanaan antara
lain dikembangkan oleh Team Hector (Heterogeneous
Cooperating Team of Robots) dari TU Darmstadt [7] dimana
beberapa robot mampu melakukan eksplorasi terkoordinasi
secara otonom pada daerah bencana sekaligus mengenali
korban atau objek lainnya. Team ini mengembangkan
modul dengan sumber terbuka (open source) yang dikenal
dengan nama hector_slam yang melakukan lokalisasi
posisi robot serta pemetaan untuk daerah bencana. Robot
kebencanaan lainnya yang telah dikembangkan terdapat
pada [8]. Robot kebencanaan ini memiliki kemampuan
untuk mendeteksi korban dengan memanfaatkan sensor
PIR, memetakan rintangan di sekitar robot dengan sensor
Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot
Operating System Menggunakan Laser Scanner
pada Turtlebot
Aulia Rahman
Jurusan Teknik Elektro dan Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Banda Aceh 2311
e-mail: [email protected]
Abstrak—Kemampuan untuk berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan aman untuk melakukan tugas
yang diberikan merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh mobile robot. Untuk memenuhi keperluan
tersebut maka robot harus mampu mengindera lingkungan disekitarnya dan juga mengetahui lokasi dirinya relatif
terhadap lingkungan tersebut. Penginderaan lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan laser scanner untuk
menghasilkan peta dua dimensi (2D), sementara untuk mengestimasi posisi relatif robot pada peta (lokalisasi)
menggunakan particle filter. Penerapan pemetaan dan lokalisasi secara bersamaan ini diimplementasikan
menggunakan algoritma Simultaneous Localization and Mapping (SLAM) Gmapping berbasis Robot Operating
System (ROS) pada turtlebot 3. Hasil yang diperoleh berupa peta probabilistik 2D occupancy grid map dalam skala
abu-abu. Selain mengimplementasikan SLAM gmapping dengan pada turtlebot 3. Artikel ini juga memperlihatkan
simulasi 3D menggunakan gazebo.
Kata kunci: Robot Operating System (ROS), Gmapping slam, Laser scanner, Turtlebot
Abstract—The manouver ability from one place to another in order to accomplish some tasks safely is a basic
requirement of mobile robotics. Current robotic’s navigation systems require a ’real world’ map data, acquired
by on-board sensors, to carry out simultaneous localisation and navigation (SLAM) algorithm. There are several
SLAM algorithms. In this article we used SLAM gmapping using robot operating system (ROS) and laser scanner.
The gmapping slam algorithm used particle filter method to localize robot pose within the environment and generate 2D occupancy grid map. The map is in gray-scale informed the free space, wall, and unexplored space. The
implementation of gmapping slam conducted with turtlebot 3 from Robotics as well as 3D simulation using gazebo.
Keywords: Robot Operating System (ROS), Gmapping slam, Laser scanner, Turtlebot
Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 103-109ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529//jre.v16i2.16491
Received 21 April 2020; Revised 15 May 2020; Accepted 27 June 2020
103
104 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
ultrasonik, serta kemampuan untuk mengetahui posisi
robot menggunakan GPS.
Dari beberapa contoh penerapan teknologi robotika
di berbagai bidang seperti yang telah dijelaskan diatas,
salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki robot
untuk scenario-skenario diatas adalah kemampuan
untuk mengestimasi posisi relatif robot terhadap
lingkungan atau peta dan secara bersamaan melakukan
pemetaan. Kemampuan ini dikenal dengan Simultaneous
Localization and Mapping (SLAM). SLAM merupakan
suatu istilah yang menggunakan berbagai algoritma untuk
menggabungkan beberapa sensor data untuk menghasilkan
peta lingkungan yang secara secara simultan juga dapat
menentukan lokasi robot. Dulunya masalah ini adalah
paradoks yang sulit dipecahkan karena untuk mengetahui
posisi robot, robot harus memiliki peta yang akurat. Dan
untuk membuat peta yang akurat, robot harus mengetahui
posisinya. Paradoks ini dijelaskan dengan baik pada [9].
Solusi dari permasalahan SLAM ini disajikan oleh
Choset dan Nagatani pada tahun 2001 [10] menggunakan
generalized Voronoi graph (GVG). Metode ini
merepresentasikan lingkungan dengan peta topologi GVG
yang mengandung informasi tentang lingkungan sekitar
robot. Peta topologi GVG ini semakin lama semakin
berkembang seiring bertambahnya edges dan nodes baru
dari sensor. Sehingga robot pada akhirnya dapat melakukan
proses eksplorasi pada lingkungannya secara parsial dan
bertahap.
Salah satu metode untuk mencari solusi SLAM adalah
dengan particle filter [11]. Particle filter menggunakan
sampel atau particle set secara random dan merata untuk
merepresentasikan distribusi awal kondisi awal lingkungan
robot. Kemudian seiring dengan informasi baru dari sensor
robot, state robot diperbarui. Dan proses dilakukan secara
terus menerus sehingga diperoleh posisi robot dengan
probabilitas tinggi. Algoritma SLAM gmapping yang
digunakan dalam artikel ini menggunakan teknik particle
filter. Metode lain dalam memecahkan masalah SLAM
adalah dengan Kalman Filter [9].
Selain particle filter dan Kalman filter, salah satu
algoritma yang banyak digunakan untuk memecahkan
SLAM saat ini adalah solusi berbasis grafis (graph-based SLAM) [12]. Metoda ini menggunakan teori optimisasi
grafik.Dari sisi sensor yang digunakan, penggunaan kamera
juga banyak digunakan untuk mendapatkan informasi
tiga dimensi (3D) dari lingkungan sekitar robot dan untuk
melakukan algoritma SLAM. Secara umum sensor kamera
yang digunakan dibagi menjadi dua kategori yaitu kamera
stereo dan monocular. Kamera stereo yang diintegrasikan
dengan sensor depth dikenal dengan RGBD (Red, Green,
Blue, and Depth) kamera [13]. Kelebihan kamera RGBD
adalah informasi jarak objek didepan kamera dapat
diketahui secara langsung sedangkan kamera stereo [14]
tidak.
Sementara itu untuk monocular SLAM memerlukan
proses tambahan untuk memperoleh menghitung jarak
objek terhadap sensor. Prinsip kerja monocular SLAM
[15], [16] adalah dengan mengidentifikasi fitur dari objek dan landmarks sekitar robot.
II. Metode
A. Gambaran umum sistem
Platform robot yang digunakan dalam artikel ini
adalah turtlebot 3 dari Robotis. Robot ini memiliki 2 roda
dan motor penggerak serta sebuah roda penyangga. Untuk
melakukan manuver, robot ini memvariasikan kecepatan
putar motornya. Mekanisme penggerak dengan sistem ini
dikenal dengan differential drive [17].
Modul Software menggunakan Robot Operating
System (ROS) sebagai robot middleware. ROS merupakan
middleware dalam penelitian robotika. ROS menyediakan
modul-modul yang dapat diimplementasikan langsung oleh
peneliti robotika ataupun komunitas dan memungkinkan
pengembangan modul-modul baru.
Untuk menyelesaikan permasalahan SLAM,
pada artikel ini digunakan teknik partikel filter dan
diimplementasikan dengan ROS dalam modul SLAM
gmapping [18]. Robot dilengkapi dengan laser scanner
sebagai sensor untuk pembuatan peta denah arena indoor
yang dijelaskan lebih rinci pada bagian berikutnya. ROS
diinstal pada Single Board Computer (SBC) odroid XU-4
sebagai pengganti Raspberry Pi 3 yang merupakan SBC
standar yang terpasang pada turtlebot 3. Sistem operasi
utama menggunakan Linux Ubuntu versi 16.04 dan versi
ROS yang digunakan adalah kinetic kame.
B. ROS
Robot Operating System (ROS) merupakan suatu
framework berbasis open source yang berisi tools dan
library yang berguna dalam mengembangkan program atau
aplikasi untuk sistem robot [19]. Struktur ROS bersifat
modular sehingga memudahkan proses integrasi antara
program yang telah dikembangkan sebelumnya dengan
program yang sedang dikembangkan. Komunikasi antar
proses dalam ROS dilakukan dengan menghubungkan
program atau yang disebut dengan node yang saling
berkomunikasi via topic. Node merupakan program yang
ditulis untuk melakukan berbagai fungsi atau tugas tertentu.
Sedangkan topic adalah bus yang digunakan dalam
transmisi pesan (message) antar node. Node dapat mem-
publish data (misanya data laser scanner) yang disebut
dengan publisher dan node dapat pula berfungsi menerima
dan menampilkan data yang disebut dengan subscriber.
Streaming data (message) via topic tersebut dilakukan
dalam jaringan lokal TCP yang disebut dengan jaringan
ROS atau ROS network.
Kumpulan dari nodes yang saling berkomunikasi dior-
ganisir menjadi paket atau package. Package terdiri dari
node dan library lainnya. Sistem komunikasi pada ROS
dengan node publisher dan subscriber diilustrasikan dalam
Gambar 1.
Bentuk elips pada Gambar 1 merupakan node terdiri dari
105Aulia Rahman: Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot
dua jenis yaitu publisher dan subscriber. Secara umum node
tidak mengetahui dengan node mana dia berkomunikasi.
Akan tetapi node dapat mem-publish informasi kesuatu
topic. Sedangkan node yang memerlukan informasi
tersebut akan men-subscribe informasi pada topic. Node
yang mem-publish informasi disebut publisher sedangkan
node yang mem-subscribe informasi disebut dengan
subscriber. Bentuk kotak menunjukkan topic diinatasikan
dengan /topic_name. Topic digunakan sebagai saluran
komunikasi data berbasis TCP atau UDP. Setiap topik
mempunyai tipe message dengan format tertentu [20].
Message adalah tipe data dalam ROS.
C. Perangkat Keras Robot
Saat ini tersedia banyak sekali robot atau komponen
robot yang didukung oleh ROS. Daftar lengkap robot dan
komponen lainnya dapat dilihat lebih lanjut pada (https://
robots.ros.org). Pada artikel ini penulis menggunakan
platform robot dari Robotis yaitu turtlebot 3 waffle.Turtlebot 3 ini merupakan versi terbaru dari keluarga
turt- lebot 1 yang diciptakan oleh salah seorang pendiri
Willow Garage yang juga pengembang ROS. Turtlebot
1 dikembangkan pada tahun 2010 dan pertama kali
dipasarkan pada tahun 2011. Pada tahun 2012, Yujin
Robot mengembangkan turtlebot 2 berbasis pada platform
robot yang dikenal dengan nama kobuki. Kemudian pada
tahun 2017 turtlebot 3 dikembangkan dengan mengadopsi
aktuator cerdas Dynamixel dari Robotis. Versi ini
dilengkapi dengan fitur-fitur yang lebih lengkap dari pendahulunya. Dan merupakan platform standar yang
telah terintegrasi dengan ROS.
Turtlebot 3 adalah platform robot dengan biaya relatif
terjangkau dan tersedia dalam bentuk kit yang langsung
dapat digunakan dengan perangkat lunak sumber terbuka
(open-source). Turtlebot kit terdiri dari robot base dengan
mekanisme sistem penggerak differential drive, sensor
jarak 2D/3D, dan sebuah Single Board Computer (SBC),
serta kit penunjang lainnya. Turtlebot didesain agar mudah
dirakit dan komponennya dapat disesuaikan dengan
keinginan pengguna. Pengguna dapat menggunduh cara
merakit dan menggunakan turtlebot ini dengan yang
tersedia dari Turtlebot SDK.
Sebagai platform robot level pemula, robot ini memiliki
dan mengadopsi teknologi pada platform robot yang lebih
besar. Dan tidak sedikit robot-robot komersil seperti robot
penghisap debu yang awalnya dikembangkan dari platform
turtlebot. Salah satu teknologi utama dari turtlebot adalah
Simultaneous Localization and Mapping (SLAM) dan
navigasi, sehingga robot ini cocok dikembangkan sebagai
robot layanan rumah (home service robot). Turtlebot
dapat menjalankan algoritma SLAM untuk membuat peta
sekelilingnya dan berjalan di ruangan secara otomatis
tanpa menabrak dinding atau objek lainnya.
Banyak laboratorium penelitian dan universitas
menggunakan platform ini untuk penelitian tentang
SLAM, penelitian multi- robot, dan penelitian interaksi
manusia robot. Selain untuk penelitian, robot ini juga
banyak digunakan untuk mengajarkan mahasiswa terutama
pada mata kuliah dan teknologi robotika (daftar yang
cukup komprehensif tersedia pada http://wiki.ros.org/
Courses). Robot ini dapat dikendalikan dari jarak jauh
menggunakan laptop, joystick maupun telepon genggam.
Gambar plafform turtlebot 3 waffle pi standar dapat dilihat pada Gambar 3.
Spesifikasi lengkap kit standar turtlebot 3 dapat dilihat pada Tabel 1. Platform turtlebot 3 ini bersifat
modular. Dalam artikel ini, penulis melakukan beberapa
modifikasi komponen robot ini untuk meningkatkan kinerja dan agar robot lebih responsif untuk melakukan
tugas dengan komputasi yang intensif. Beberapa pilihan
tersedia untuk SBC yaitu yang berbasis prosesor Intel
atau ARM. Salah satu kelebihan SBC berbasis Intel adalah
banyaknya tersedia berbagai sistem operasi berbasis Linux
yang pre-installed dengan paket binary ROS yang bisa
langsung dioperasikan. Hal ini tentu saja mempermudah
proses instalasi. Akan tetapi di sisi lain, arsitektur Intel
biasanya memiliki konsumsi power yang lebih tinggi
jika diimplentasikan langsung pada robot sedangkan
robot memiliki kapasitas baterai terbatas. Selain itu CPU
berbasis Intel harganya relatif lebih tinggi dibandingkan
sistem ARM.
SBC dari turtlebot 3 kit adalah raspberry pi 3 dengan
quadcore. Untuk meningkatkan performa dari SBC maka
dalam artikel ini penulis memilih SBC Odroid XU4 yang
memiliki jumlah core yang lebih besar yaitu 8 core.
Gambar 1. Ilustrasi komunikasi antar node pada ROS via topik
Tabel 1. Spesifikasi standar kit turtlebot 3 waffle pi
Items Turtlebot Waffle Pi
Max translational vel 0.26 m/s
Max rotational vel 1.82 rad/s
Max. payload 30 Kg
Size (LxWxH) (281 x 306 x 141) mm
Weight 1.89 Kg
Operating time ± 2 Hours
Charging time ± 2.5 Hours
Actuator Dynamixel
XM430-W210-T
Embedded board OpenCR 1.0
SBC Raspberry Pi 3
Lidar LDS-01
120 - 3500 mm
Sensors 3-axis (gyroscope, accelero-
meter, magnetometer)
106 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
Hal ini diperlukan karena kita dapat mendistribusikan
implementasi tugas dalam ROS node pada kedelapan core
dari CPU, terutama untuk menjalankan algoritma SLAM
pada turtlebot 3 ini yang membutuhkan komputasi intensif
dan diharapkan algoritma SLAM dapat berjalan mulus.
D. Laser Scanner
Laser scanner atau sering juga disebut dengan LiDAR
(Light Detection and Ranging) merupakan komponen
penting dalam turtlebot 3. Lidar menggunakan laser
untuk memindai halangan atau dinding agar robot dapat
bermanuver dengan aman. Penggunaan lidar sangat
pupoler dewasa ini untuk berbagai keperluan terutama
semakin populer setelah semakin banyak digunakan mobil
mengemudi otomatis (self driving cars) seperti pada [21]
dan [1].
Cara kerja sensor ini adalah dengan memproyeksikan
sinar laser atau sinyal sumber kemudian menghitung
lamanya (waktu) sinyal pantul yang diterima oleh receiver
lidar [17]. Pada lidar 360 derajat, proses ini berlangsung
secara berkesinambungan. Hasil scan atau pemindaian
lidar ini berupa titik-titik awan (point clouds) dalam
bidang 2 dimensi, karena sensor ini hanya menindai
bidang horizontal. Jika lidar memindai bidang vertikal
dan horizontal maka point clouds yang dihasilkan berupa
ruang 3 dimensi. Point clouds 3 dimensi memungkinkan
pemetaan lebih detail tentang lingkungan robot tapi
membutuhkan komputasi yang lebih powerful.
Turtlebot 3 dilengkapi dengan 3600 lidar. Lidar ini
memiliki jangkauan antara 12–350 cm dengan resolusi
angular sebesar 10. Pada penelitian ini, lidar kit standar
diganti dengan 2D lidar dari SICK yaitu SICK TIM571.
Lidar SICK TIM571 dipilih karena memiliki jangkauan
yang lebih besar yaitu antara 5–2500 cm dan resolusi
angular yang lebih baik yaitu 0,33. Data laser scanner
ini dihubungkan ke SBC Odroid XU4 untuk diproses lebih
lanjut oleh ROS dalam menjalankan algoritma SLAM
gmapping.
E. Algoritma SLAM
SLAM merupakan algoritma komputasi untuk
membuat peta lingkungan sekitar robot dan memperbarui
peta berdasarkan informasi dari sensor serta disaat yang
sama merekam jejak lintasan robot [9]. Ada berbagai
macam teknik yang bisa digunakan untuk menerapkan
algoritma SLAM antara lain hector_slam, gmapping, dan
cartographer [22]. Semua algoritma SLAM ini tersedia
dalam paket standar ROS.
Dalam artikel ini, penulis menggunakan SLAM
gmapping untuk melakukan proses lokalisasi dan
pemetaan. Metode SLAM dengan gmapping mirip dengan
metode SLAM lainnya seperti hector_slam dimana metode
ini dapat membuat peta meskipun tidak ada informasi
odometry pada robot dan mengimplementasikan algoritma
lingkar terbuka (open loop algorithm) dan sebagai
konsekuensinya error akibat ketidakpastian sensor akan
bertambah besar selama proses pemetaan dilakukan.
Gmapping disisi lain menggunakan pendekatan lingkar
tertutup (closed loop approach) dimana jika robot kembali
pada posisi awal lagi, peta yang dibentuk akan diperbarui
[18]. Gmapping relatif lebih ringan dan membutuhkan
sumber daya komputasi lebih sedikit dibandingkan dengan
cartographer. Sehingga metode ini cocok diterapkan pada
turtlebot 3. Metode gmapping membutuhkan informasi dari
lidar dan data odometry robot. Lokalisasi pada gmapping
menggunakan metode Monte Carlo Localization (MCL)
atau sebut juga dengan filter partikel (particle filter).
Pemetaan dengan gmapping menggunakan teknik
occupancy grid map. Peta ini merupakan peta dua dimensi
Gambar 2. Node dan Topic ROS pada algoritma SLAM gmapping
Gambar 3. Turtlebot 3 waffle pi
107Aulia Rahman: Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot
(2D) yang sering digunakan pada ROS. Occupancy
grid map merupakan peta atau citra greyscale yang
direpresentasikan dalam rentang nilai dari 0 sampai
dengan 255. Nilai ini diperoleh dari probabilitas posterior
menggunakan teorema Bayes. Peta hasil algoritma SLAM
dengan gmapping seperti terlihat pada Gambar 8 . Warna
putih pada peta adalah area dimana robot bisa bergerak
bebas. Warna hitam merepresentasikan dinding atau area
okupansi dimana robot tidak bisa bergerak. Dan terakhir
warna abu-abu merupakan daerah yang belum dieksplorasi
oleh robot. Peta ini nantinya digunakan sebagai informasi
bagi robot untuk bermanuver dan bernavigasi.
Pembuatan peta 2D occupancy grid map didasarkan
informasi dari odometry robot, modul transformasi
koordinat (TF), dan informasi dari sensor lidar (laser scan)
ketika robot bergerak. Data ini dapat divisualisasikan
pada ROS dengan RViz. Peta 2D yang dihasilkan disimpan
oleh map_server dalam map.pgm dan map.yaml. Peta ini
digunakan oleh robot untuk mendeteksi rintangan atau
objek di sekitar robot sehingga robot dapat bermanuver
dengan aman. Alur proses algoritma gmapping SLAM
dan node-node ROS yang diperlukan diilustrasikan dalam
Gambar 4.
F. Lingkungan pengujian pada arena buatan
Lingkungan pengujian dalam pembuatan peta indoor
ruangan oleh robot dilakukan pada arena buatan dengan
ukuran panjang arena 600 cm, lebar 400 cm, dan tinggi
60 cm. Bahan pembuatan arena terbuat dari kayu dengan
permukaan yang telah dilapisi dengan high pressure
laminate agar permukaan dinding arena menjadi rata
sehingga pantulan sinar laser dari lidar dapat terbaca
dengan baik dan presisi. Arena indoor ini dibuat untuk
mensimulasikan kondisi ruangan dengan ukuran kecil dan
besar, jalur yang sempit serta jalur yang besar. Ilustrasi
arena indoor buatan terlihat pada Gambar 5.
III. HASIL
Turtlebot 3 yang telah dimodifikasi tampak pada Gambar 6. Pada bagian depan terlihat kotak biru,
webcam, dan usb-hub. Sementara pada bagian belakang
terdapat lidar SICK Tim 571, baterai lipo, dan antena wifi. Didalam kotak warna biru adalah odroid XU-4 dimana
sistem ROS terinstal. ROS yang digunakan adalah versi
kinetic kame dan Linux versi 16.04 LTS. Selain itu untuk
menjalankan simulator gazebo diperlukan PC desktop
karena membutuhkan kartu grafis dengan ukuran 4 GB agar simulasi dengan gazebo berjalan mulus.
Node dan topic yang dieksekusi pada turtlebot 3 seperti
pada Gambar 2. Package pada turtlebot 3 untuk menjalankan
algoritma SLAM gmapping antara lain adalah turtlebot_
core, TF_tree, teleoperation, dan gmapping. Node
teleoperation mem-publish /cmd_vel dan di-subscribe oleh
turtlebot_core. Node gmapping memperoleh informasi
lingkungan dari sensor lidar kemudian dioleh menjadi peta
probabilistik 2D occupancy grid map. Peta 2D disimpan
oleh package map_server. Untuk melihat hasilnya pada PC
desktop, perlu dijalankan RViz. Sementara untuk keperluan
simulasi dengan Gazebo, langkah yang harus dijalankan
adalah dengan menjalankan Gazebo, teleoperation,
gmapping dan Rviz. Rangkuman langkah yang dieksekusi
dapat dilihat pada Tabel 2.
Proses gmapping slam pada arena pengujian terlihat
pada Gambar 7 dimana terlihat data laser scanner disekitar
Gambar 4. Diagram alir algoritma SLAM gmapping pada turtlebot 3 [20]
Gambar 5. Arena pengujian indoor
(a)
(b)
Gambar 6. Turtlebot 3 yang digunakan, (a) tampak depan; (b) tampak
belakang
108 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
robot. Kemudian ketika robot bergerak, data disekeliling
robot juga diperbaharui sekaligus terlihat posisi dan
orientasi robot yang direpresentasikan dalam sumbu
koordinat kartesian. SLAM gmapping pada Gambar 7
ditampilkan menggunakan RViz.
Hasil peta 2D occupancy grid map terlihat pada
Gambar 8. Terlihat area putih yang berarti area tersebut
dapat dilalui oleh robot. Garis hitam merupakan dinding-
dinding pada ruang pengujian. Sedangkan warna abu-abu
berarti bahwa area tersebut merupakan area yang tidak
diekplorasi oleh robot.
Sementara itu kita juga dapat membuat simulasi area
pengujian dengan menggunakan simulator yang bernama
gazebo. Hasil pembuatan area pengujian SLAM gmapping
dengan gazebo ditunjukkan pada Gambar 9.
IV. Pembahasan
Dari hasil pembahasan diatas dapat diperoleh
beberapa hal yang dapat didiskusikan. Melihat hasil
peta 2D dengan occupancy grip map yang dihasilkan
dari algoritma SLAM gmapping terlihat bahwa hasilnya
dapat merepresentasikan area pengujian. Hal ini terlihat
dari segmentasi warna dalam skala abu-abu grey scale
bahwa warna putih merupakan area terbuka, warna hitam
merupakan dinding-dinding arena, dan warna abu-abu
merupakan area yang tidak dieksplorasi oleh turtlebot 3.
Peta 2D yang dihasilkan cukup akurat Simulasi dengan
gazebo menunjukkan bahwa simulator ini cukup baik
untuk melakukan simulasi.
V. KESIMPULAN
Artikel ini telah membahas tentang bagaimana membuat
peta di sekitar robot menggunakan algoritma SLAM
gmapping meng- gunakan laser scanner. Peta 2D berupa
occupancy grid map yang dihasilkan sudah menyerupai
area pengujian sebenarnya. Peta yang dihasilkan di-publish
oleh ROS sebagai informasi bagi topic cmd_vel untuk
mengendalikan kecepatan robot bermanuver menuju area
yang aman. Peta hasil SLAM gmapping berupa citra 2D
dalam skala abu-abu yang dibedakan menjadi tiga kategori
yaitu: warna hitam adalah dinding, warna putih adalah area
kosong atau bebas penghalang, dan terakhir warna abu-
abu merupakan area yang belum dieksplorasi oleh robot.
Selain menjalankan algoritma SLAM gmapping pada
hardware turtlebot 3 yang telah dimodifikasi, penulis juga menggunakan simulator gazebo untuk mensimulasikan
area pengujian dan algoritma SLAM gmapping. Simulator
dijalankan pada PC desktop karena gazebo membutuhkan
kartu grafis dengan kapasitas minimum 4 GB agar simulasi dapat berjalan dengan baik.
REFERENSI
[1] C. Badue, R. Guidolini, R. V. Carneiro, P. Azevedo, V. B. Cardoso,
A. Forechi, L. F. R. Jesus, R. F. Berriel, T. M. Paixão, F. W.
Mutz, T. Oliveira-Santos, and A. F. de Souza, “Self-driving cars:
A survey,” CoRR, vol. abs/1901.04407, 2019.
[2] S. Verghese, “Self-driving cars and lidar,” in Conference on Gambar 7. Proses gmapping slam pada arena pengujian
Gambar 8. Peta 2D tampak atas arena pengujian dengan gmapping slam
Gambar 9. Gambar perspektif simulasi 3D area pengujian dengan gazebo
Tabel 2. Langkah-langkah dalam menjalankan gmapping slam pada
Turtlebot 3 dan simulator Gazebo
Turtlebot 3 Simulasi Gazebo
Turtlebot core Simulator Gazebo
TF tree Teleoperation
Laser scanner Gmapping
Teleoperation RVz Gmapping
RViz (pada PC Desktop)
109Aulia Rahman: Penerapan SLAM Gmapping dengan Robot Operating System Menggunakan Laser Scanner pada Turtlebot
Lasers and Electro-Optics. Optical Society of America, 2017,
p. AM3A.1.
[3] R. W. Wolcott and R. M. Eustice, “Visual localization within
lidar maps for automated urban driving,” in 2014 IEEE/RSJ
International Conference on Intelligent Robots and Systems, Sep.
2014, pp. 176–183.
[4] H. Masuzawa, J. Miura, and S. Oishi, “Development of a mobile
robot for harvest support in greenhouse horticulture — person
following and mapping,” in 2017 IE- EE/SICE International
Symposium on System Integration (SII), Dec 2017, pp. 541–546.
[5] Y. Onishi, T. Yoshida, H. Kurita, T. Fukao, H. Arihara, and A. Iwai,
“An automated fruit harvesting robot by using deep learning,”
ROBOMECH Journal, vol. 6, no. 1, pp. 13-20, Nov 2019.
[6] M. Firdaus, M. Syaryadhi, and A. Rahman, “Pengendalian robot
mobil otonom pemotong rumput menggunakan metode logika
fuzzy,” Karya Ilmiah Teknik Elektro, vol. 2, no. 2, 2017.
[7] S. Kohlbrecher, J. Meyer, T. Graber, K. Petersen, U. Kli- ngauf,
and O. von Stryk, “Hector open source modules for autonomous
mapping and navigation with rescue robots,” in RoboCup 2013:
Robot World Cup XVII, S. Behnke, M. Veloso, A. Visser, and
R. Xiong, Eds. Berlin, Hei- delberg: Springer Berlin Heidelberg,
2014, pp. 624–631.
[8] S. Sausan, B. Sakti, H. Leo, A. Yuliani, I. Permatasari, A. Rahman,
and M. Syaryadhi, “Robot pointer sebagai penunjuk jalan tim sar
untuk mempermudah pencarian korban bencana gempa,” Jurnal
Rekayasa Elektrika, vol. 13, no. 2, p. 112-118, Aug 2017.
[9] J. J. Leonard and H. F. Durrant-Whyte, “Simultaneous map
building and localization for an autonomous mobile robot,” in
Proceedings IROS ’91: IEEE/RSJ International Workshop on
Intelligent Robots and Systems ’91, Nov 1991, vol.3, pp. 1442–
1447.
[10] H. Choset and K. Nagatani, “Topological simultaneous
localization and mapping (slam): toward exact localiza- tion
without explicit localization,” IEEE Transactions on Robotics and
Automation, vol. 17, no. 2, pp. 125–137, April 2001.
[11] G. Grisetti, C. Stachniss, and W. Burgard, “Improving grid-based
slam with rao-blackwellized particle filters by adaptive proposals and selective resampling,” in Pro- ceedings of the 2005 IEEE
International Conference on Robotics and Automation, April
2005, pp. 2432–2437.
[12] W. Lin, J. Hu, H. Xu, C. Ye, X. Ye, and Z. Li, “Graph-based slam in
indoor environment using corner feature from laser sensor,” 2017
32nd Youth Academic Annual Conference of Chinese Association
of Automation (YAC), May 2017.
[13] F. Endres, J. Hess, J. Sturm, D. Cremers, and W. Burgard, “3-d
mapping with an rgb-d camera,” IEEE Transactions on Robotics,
vol. 30, no. 1, pp. 177–187, Feb 2014.
[14] C. Brand, M. J. Schuster, H. Hirschmuller, and M. Suppa, “Stereo-
vision based obstacle mapping for indoor/outdoor slam,” 2014
IEEE/RSJ International Conference on Intelligent Robots and
Systems, Sep 2014, pp. 1846-1853.
[15] R. Mur-Artal, J. M. M. Montiel, and J. D. Tardós, “Orb- slam: A
versatile and accurate monocular slam system,” IEEE Transactions
on Robotics, vol. 31, no. 5, pp. 1147– 1163, Oct 2015.
[16] R. Mur-Artal and J. D. Tardos, “Orb-slam2: An open-source
slam system for monocular, stereo, and rgb-d cameras,” IEEE
Transactions on Robotics, vol. 33, no. 5, pp. 1255–1262, Oct 2017.
[17] P. Corke, Robotics, vision and control: fundamental algorithms in
MATLAB® second, completely revised. Springer, 2017.
[18] G. Grisetti, C. Stachniss, and W. Burgard, “Improved techniques
for grid mapping with rao-blackwellized particle filters,” IEEE
transactions on Robotics, vol. 23, no. 1, pp. 34–46, 2007.
[19] M. Quigley, K. Conley, B. P. Gerkey, J. Faust, T. Foote, J. Leibs,
R. Wheeler, and A. Y. Ng, “Ros: an open-source robot operating
system,” in ICRA Workshop on Open Source Software, 2009.
[20] Y. Pyo, H. Cho, L. J. Jung, and D. Lim, ROS Robot Programming
(English). ROBOTIS, 12 2017. [Online]. Available: http://
community.robotsource.org/t/download-the-ros-robot-
programming-book-for-free/ 51.
[21] E. Yurtsever, J. Lambert, A. Carballo, and K. Takeda, “A survey
of autonomous driving: Common practices and emerging
technologies,” CoRR, vol. abs/1906.05113, 2019.
[22] S. Thrun, W. Burgard, and D. Fox, Probabilistic robotics. MIT
press Cambridge, 2000.
I. Pendahuluan
Dengan berkembangnya zaman, kebutuhan akan
teknik pengukuran terus berkembang. Salah satunya
adalah pengukuran dengan teknik non-invasive yaitu
teknik pengukuran tanpa menyentuh, tanpa merusak, dan
tanpa merubah bahan yang akan diukur. Salah satu teknik
non-invasive ini dapat dilakukan dengan menggunakan
ultrasonik. Perkembangan pengukuran dengan ultrasonik
ini sangat berkembang akhir-akhir ini, diantaranya
adalah penggunaan ultrasonik dalam bidang robotik yang
berfungsi sebagai sensor untuk menghindari halangan
pada intelligent mobile robot [1] dan dibidang medis yang
berfungsi untuk penggambaran 2D dari sel [2].
Pada penelitian ini digunakan Range Finder Ultrasonic
(RFU) yang merupakan salah satu jenis transduser
ultrasonik yang menggunakan medium udara sebagai
media transmisinya dan digunakan untuk pengukuran
jarak. Kelebihan dari ultrasonik jenis ini adalah sangat
mudah didapatkan di pasar dan dengan harga yang
sangat murah. Pada penelitian sebelumnya, pengukuran
berbagai cairan sinyal echo yang didapatkan dari RFU
ini memiliki sensitifitas yang sangat tinggi. Apabila ada pergeseran sedikit saja dalam proses pengukurannya,
Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan
Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode
Transformasi Fourier
Ihwan Dwi Wicaksono, Agus Indra Gunawan, dan Bima Sena Bayu DewantaraPoliteknik Elektronika Negeri Surabaya
Jl. Raya ITS. Keputih, Kec. Sukolilo, Surabaya, 60111
e-mail: [email protected]
Abstrak—Pada paper ini kami melakukan karakterisasi larutan garam dengan memanfaatkan Range Finder
Ultrasonic (RFU). RFU merupakan salah satu jenis transduser ultrasonik yang memanfaatkan udara sebagai media
transmisinya dan biasa digunakan untuk menentukan jarak. Kelebihan dari transduser ini adalah harganya yang
murah dan mudah didapatkan di pasar. Karena menggunakan medium udara, sinyal yang dihasilkan oleh transduser
ini mudah berubah bentuk dan memiliki ekor noise gelombang yang sangat panjang. Fenomena ini terlihat pada
penelitian sebelumnya, ketika posisi transduser sedikit bergeser, bentuk sinyal echo yang dihasilkan menjadi sangat
berbeda. Pada paper ini, kami melakukan modifikasi pada sinyal input dari teknik di paper sebelumnya untuk memperbaiki sinyal echo. Beberapa modifiksi sinyal trigger dari transmiter dilakukan, kemudian menghitung
sinyal echo untuk memastikan sinyal echo memiliki Signal to Noise Ratio (SNR) dan ekor noise gelombang yang
terkecil. Selanjutnya, dilakukan proses filtering dari sinyal echo dan dilakukan perhitungan menggunakan
Transformasi Fourier untuk mendapatkan informasi magnitude FFT sinyal echo tepat pada frekuensi 40 KHz. Dari
hasil percobaan ini didapatkan perbaikan kurva kalibrasi eror rata-rata sebesar 0,1224221 (Vrms) dan 0,14383881
(Vpeak). Sedangkan eror rata-rata dari hasil normalized magnitude Transformasi Fourier frekuensi 40 KHz adalah
sebesar 0,096973114.
Kata kunci: rfu, transformasi fourier, sinyal echo, kurva kalibrasi
Abstract— In this paper we characterize the saline solution using Range Finder Ultrasonic (RFU). RFU is one kind
of ultrasonic transducer that requires air as a transmission medium and commonly are used to determine distances.
The advantages of this transducer are cheap and common in local market. Since it uses air as medium, the signal
which is produced by transducer are easy to shape shift and has a very long noise tail wave. This phenomenon was
seen in previous studies, when the transducer position was slightly shifted, the shape of the echo signal became
very different. In this paper, we modified the input signal from the technique in the previous paper to improve the echo signal. Some modification of trigger signal from transmitter models were done, then calculate the echo signal to ensure the signal have smallest Signal to Noise Ratio (SNR) and noise tail wave. Furthermore, we did
filtering process from echo signal and calculating using Fourier Transform which are performed to obtain accurate echo signal information of 40 KHz frequency. The results of this experiment is an improvement in the average
error of calibration curve 0.1224221 (Vrms) and 0.14383881 (Vpeak). While the average error of the results of the
normalization of the magnitude Fourier Transform of 40 KHz frequency is equal to 0.096973114.
Keywords: rfu, fourier transform, echo signal, calibration curve, modulation
Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 110-119ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15371
Received 06 January 2020; Revised 14 June 2020; Accepted 18 June 2020
110
111
akan menyebabkan hasil yang berubah dari sebelumnya
dan sinyal echo yang dihasilkan memiliki banyak noise
sehingga hasil pengukuran yang dihasilkan tidak akurat
[3]. Pada pengukuran menggunakan transduser ultrasonik
memerlukan faktor koreksi karena sangat sulit untuk
dilakukan secara akurat [4]. Pada penelitian sebelumnya
[3] juga dapat diketahui bahwa terdapat banyak noise
yang terjadi pada sinyal echo yang diperoleh dari hasil
pengukuran dan terdapat “noise tail” atau ekor noise
yang terjadi pada sinyal echo tersebut karena panjangnya
fibrasi yang terdeteksi oleh transduser receiver yang
menyebabkan ketidakakuratan hasil pengukuran yang
dilakukan.
Perbedaan kopling yang digunakan dapat merubah
hasil dari pengukuran yang dilakukan. Hal ini dapat
diketahui dari penelitian [3] yang terdapat perbedaan
sangat signifikan pada proses pembuatan kurva kalibrasi larutan garam. Larutan garam digunakan sebagai acuan
dalam menentukan nilai dari impedansi akustik dari
berbagai jenis cairan sehingga, sangat penting untuk
mendapatkan hasil kurva kalibrasi larutan garam yang sesuai. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode
transformasi fourier maka dapat dicari nilai magnitude
dari masing-masing frekuensi yang berada pada sinyal
yang digunakan.
Pada penelitian ini dilakukan perbaikan sinyal echo
dan membuat kurva kalibrasi impedansi akustik dari larutan garam. Untuk memperbaiki hal tersebut, dilakukan
proses filtering pada sinyal echo, modifikasi sinyal trigger
transmiter untuk mengurangi “noise tail” dan pada
bagian analisa sinyal echo digunakan transformasi fourier
untuk mendapatkan magnitude transformasi fourier
dari frekuensi yang digunakan yaitu 40 KHz sehingga,
menghasilkan kurva kalibrasi yang lebih baik dari hasil penelitian sebelumnya.
II. StudI PuStaka
Pada [2] dilakukan penelitian tentang pembuatan
metode baru pencitraan akustik untuk melakukan
pengamatan mikroskopis terhadap lapisan tissue dari otak
tikus dengan menggunakan ultrasonik dengan frekuensi
30-100 Mhz. Kurva kalibrasi yang telah di verifikasi secara eksperimental dengan larutan garam digunakan
sebagai acuan nilai dari impedansi akustik dari material
bagian tissue dari otak tikus. Pada tahun 2017 dilakukan
penelitian [3] mengenai karakterisasi impedansi akustik
dari berbagai jenis larutan garam dengan memanfaatkan
Range Finder Ultrasonic (RFU). Impedansi akustik
berhasil dipresentasikan korelasinya dengan intensitas
dari sinyal echo, dengan cara membangun kurva kalibrasi. Namun demikian, eror yang dibangkitkan dari hasil
penelitian tersebut masih terlalu tinggi.
Sinyal echo pada ultrasonik perlu dilakukan proses
filtering. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu, pada penelitian [4] tentang peningkatan pulsa echo dari
sinyal ultrasonik menggunakan filter adaptif dengan algoritma adaptif Normalized least-mean-squares
(NLMS). Sinyal echo yang mengandung noise perlu
dilakukan filtering. Filtering dengan menggunkan metode bandpass filter konvensional tidak dapat bekerja secara efektif karena frekuensi tengah dan bandwith dari sinyal
echo ultrasonik merupakan time-variying. Adaptif filter dengan menggunkan NLMS mampu meningkatkan
SER (Signal Error Ratio) sekitar 8 dB. Kemudian, pada [6] dilakukan penelitian tentang pengukuran atenuasi
gelombang menggunakan metode pulse-echo tidak bisa
menghasilkan pengukuran yang akurat. Analis model gelombang menggunakan sinyal echo dengan jelas
menunjukkan bahwa konstanta atenuasi yang diperoleh
dari eksponensial fitting dari ketinggian echo pada metode
pulse-echo berbeda dari nilai pelemahan intrinsik atenuasi
pada media yang digunakan bahkan pada saat kondisi ideal
dari propagasi gelombang plane tanpa adanya difraksi dan
dispersi atau hamburan.
Faktor yang mempengaruhi sinyal echo dari ultrasonik
salah satunya adalah suhu. Pada [7] dilakukan penelitian
tentang studi akustik tentang interaksi minyak kelapa
berbasis tembaga oksida nanofluida. Pada penelitian ini didapatkan bahwa studi ultrasonik yang telah dilakukan
untuk nanofluida pada suhu berbeda menghasilkan interaksi molekuler yang berbeda terhadap perubahan
akustik. Dan pada [8] dilakukan penelitian tentang
pengukuran distribusi suhu bahan padat dengan
menggunakan ultrasonik sehingga dapat dilakukan
pengukuran non-invasive pada suhu yang sangat tinggi.
Dengan menggunakan pendekatan jalur propagasi
gelombang ultrasonik dengan fitur ekogenik sehingga dapat menghasilkan gelombang echo. Waktu perambatan
gelombang ultrasonik ini berbeda beda dalam setiap suhu
bagian bahan padat sehingga dapat ditentukan besarnya
distribusi suhu pada setiap bahan padat.
III. Metode
Pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian dalam
pengerjaannya yaitu : ruang pengukuran, modifikasi sinyal trigger dan analisis sinyal echo. Skema diagram
sistem penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Suhu
dalam ruang pengukuran harus dalam kondisi yang stabil.
Oleh karena itu, sensor suhu akan mengirimkan data
suhu menuju analog to digital converter (ADC) yang ada didalam mikrokontroller. Kemudian, data suhu akan
diteruskan menuju komputer. Komputer akan melakukan
pengontrollan suhu dengan menggunakan metode kontrol
PID. Dari hasil kontrol PID, didapatkan nilai pulse width
modulation (PWM). Komputer akan memerintahkan
mikrokontroller untuk mengeluarkan nilai PWM tadi.
Selanjutnya, nilai PWM digunakan untuk sinyal masukan
driver dan driver akan memerintahkan peltier untuk
aktif. Komputer juga memberikan sinyal kepada signal
generator untuk melakukan modifikasi sinyal trigger
yang digunakan sebagai sinyal input transduser transmiter
(Tx). Sinyal dari signal generator akan diambil oleh
modul data acquisition yang diteruskan ke komputer
untuk melihat sinyal trigger yang dihasilkan oleh signal
Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier
112
generator. Kemudian, Tx akan menembakkan sinyal
menuju cairan uji (liquid) yang berupa berbagai macam
larutan garam dan dari pantulan sinyal yang ditembakkan
tadi, akan menghasilkan sinyal echo yang diterima oleh
transduser receiver (Rx). Sinyal echo tersebut akan difilter dulu sebelum diambil oleh modul data acquisition dan
dilakukan analisis data oleh komputer untuk mendapatkan
nilai Vpeak, Vrms, dan magnitude FFT pada frekuensi 40
KHz yang digunakan sebagai kurva kalibrasi dari larutan garam.
A. Ruang Pengukuran
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan ruang
pengukuran untuk menjaga suhu dan menghindari kontak
dari luar selama proses pengukuran. Karena, seperti pada
penelitian [3] dan [7] sinyal echo akan terpengaruh oleh
pergeseran transduser dan perubahan suhu.
Ruang pengukuran didesain dan dibuat dengan ukuran
20 cm x 20 cm yang digunakan sebagai tempat untuk
dilakukan proses pengukuran larutan garam. Pada ruang
pengukuran ini digunakan 4 buah peltier untuk menjaga
suhu tetap pada range 20–30 oC dengan menggunakan kontroller PID dengan flowchart seperti pada Gambar 2.
Pada ruang pengukuran ini diperlukan masing-masing
1 buah kipas dan 2 buah heatsink pada setiap peltier yang
digunakan. Hal ini digunakan karena, peltier memiliki 2
sisi panas dan dingin sehingga diperlukan penyalur suhu
pada setiap sisi. Untuk board elektrikal dan modul akuisisi
data terletak pada bagian box hardware. Desain lengkap
ruang pengukuran dapat dilihat pada Gambar 3.
B. Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter
Pada bagian kedua adalah modifikasi sinyal trigger
dengan proses yang ditunjukkan pada Gambar 4. Pada
bagian ini dilakukan pembangkitan gabungan dua buah
dan tiga buah sinyal kotak dengan modifikasi tegangan dan fasenya. Pada proses ini, spesimen harus berada
pada posisi dan kondisi yang sama pada setiap percobaan
pengukuran.
Pada bagian selanjutnya, dilakukan analisa sinyal echo
dari hasil modulasi transmiter tersebut dengan melihat
nilai dari Vpeak, Vrms dan nilai SNR. Sebelum dilakukan
analisa sinyal echo ini, diperlukan sebuah data akuisisi
yang baik supaya dapat membaca sinyal echo dengan
baik. Kemudian, dilakukan pembuatan software untuk
mengolah data sinyal echo dan proses visualisasi dari sistem yang telah diperoleh.
1. Perhitungan SNR
Signal-to-noise ratio (disingkat SNR atau S/N) adalah
ukuran yang digunakan dalam sains dan teknik yang
membandingkan tingkat dari sinyal yang diinginkan
dengan tingkat noise.
SNR didefinisikan sebagai rasio daya sinyal asli dengan daya sinyal noise (sinyal yang tidak diinginkan).
Gambar 4. Modifikasi sinyal trigger transmiter
Gambar 3. Desain ruang pengukuran tiga dimensi tampak samping
Gambar 1. Gggggggggggggg
Gambar 2. Flowchart algoritma sistem PID
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
113
SNR sering dinyatakan dalam desibel. Sebuah rasio yang
lebih tinggi dari 1:1 (lebih besar dari 0 dB) menunjukkan sinyal noise. SNR dapat digambarkan dengan (1).
, (1)signal
noise
PSNR
P=
dimana, SNR adalah signal to noise ratio dari sinyal yang
diukur, Psignal adalah daya rata-rata sinyal asli dan Pnoise
adalah daya rata-rata noise.
Jika sinyal dan noise diukur dengan impedansi yang
sama, SNR dapat diperoleh dengan menghitung kuadrat
dari rasio amplitude seperti pada (2).
2
, (2)signal signal
noise noise
P ASNR
P A
= =
dimana, Asignal
adalah tegangan RMS dari sinyal asli dan
Anoise
adalah tegangan RMS dari noise.
Dengan menggunakan cara yang sama, SNR dapat
dinyatakan dalam bentuk desibel seperti pada (3).
10 1010 20 . (3)signal signal
dB
noise noise
P ASNR log log
P A
= =
C. Metode Pembuatan Kurva Kalibrasi
Proses terakhir dari metode ini adalah membangun
kurva kalibrasi untuk mengubah nilai intensitas gelombang ultrasonik kedalam impedansi akustik. Kurva kalibrasi ini dibangun dengan melakukan pengukuran terhadap
beberapa larutan garam. Hasil dari pengukuran kemudian
dibandingkan dengan nilai perhitungan secara teori.
1. Perhitungan Analisa Gelombang Echo
Gelombang ditransmisikan dari transduser ke target
melalui udara dan terpantul kembali dan diterima oleh
receiver. Diasumsikan gelombang yang terpantul tegak
lurus dari transduser [5].
Ketika gelombang ini di transmisikan tegak lurus
dengan target, maka kita dapat memanfaatkan persamaan
4 untuk menghitung sinyal echo dari target. Namun,
beberapa sudut defleksi terjadi ketika sinyal echo diterima
oleh transduser. Pada penelitian ini, kita abaikan efek dari
sudut defleksi ini karena nilai dari sudut defleksi yang dihasilkan kecil. Dengan cara yang sama, sinyal echo dari
bahan referensi dapat diperoleh dengan menggunakan (5).
, (4)Ref Udara
Ref S
Ref Udara
Z ZS S
Z Z
−=
+
, (5)Tar UdaraTar S
Tar Udara
Z ZS S
Z Z
−=
+
Dengan SS adalah intensitas sinyal yang dipancarkan
oleh transduser transmiter, SRef
adalah intensitas gelombang
sinyal echo dari referensi, STar adalah Intensitas gelombang
sinyal echo dari target (larutan garam), ZUdara
adalah
impedansi akustik dari udara dan ZTar adalah impedansi
akustik dari target. Dengan menggabungkan Persamaan
4 dan Persamaan 5, kita dapat menghitung nilai dari
impedansi akustik dari target yang di tunjukkan pada (6).
1 1
(6)
1 1
.
Udara RefTarTar
S Udara RefS
Tar Udara UdaraTar Udara RefTar
S S Udara Ref
Z ZSS
S Z ZSZ Z Z
S Z ZS
S S Z Z
−−+
+=
−− +
+
=
Untuk menghitung nilai dari impedansi akustik target,
beberapa parameter harus diketahui, yaitu impedansi
akustik dari udara (= 4.3x10-4 MNs/m3), nilai impedansi
akustik dari referensi (pure water, Zref = 1.49 MNs/m3),
dengan sinyal echo dari referensi dan sinyal echo dari target.
Dengan satuan m adalah meter dan N adalah Newton dan s
adalah waktu. Gambar 5 menunjukkan teknik pengukuran
echo. Target dan referensi diletakkan dalam wadah. Level ketinggian target dan referensi dipertahankan sama,
sehingga jarak antara target-transduser dan referensi-
transduser tetap sama.
Saat perhitungan nilai impedansi akustik dari target
referensi sudah didapatkan maka, kita dapat membuat
sebuah kurva kalibrasi dengan memanfaatkan tabel hasil perhitungan akustik impedan dari referensi yang
berupa kandungan air garam dengan konsentrasi tertentu
yang ditunjukkan pada Tabel 1. Dengan menggunakan
perbandingan rasio dari perhitungan dan pengukuran,
maka diperoleh kurva kalibrasi dari larutan garam.
2. Transformasi Fourier
Transformasi Fourier merupakan metode yang
digunakan untuk melakukan transformasi sinyal
dalam domain waktu menuju dalam domain frekuensi.
Transformasi fourier mendeskripsikan spektrum kontinyu
dari sinyal non periodik. Transformasi Fourier dari sinyal
Salinity
(w%)SS ZUdara ZTar STar Normalisasi
0 1 0,00043 1,480000 0,999419 1,000000000
2 1 0,00043 1,530958 0,999438 1,000019342
4 1 0,00043 1,575329 0,999454 1,000035164
6 1 0,00043 1,621331 0,999470 1,000050654
8 1 0,00043 1,668880 0,999485 1,000065768
10 1 0,00043 1,711649 0,999498 1,000078645
Tabel 1. Hasil perhitungan rasio akustik impedan larutan garam dengan
asumsi sinyal yang di transmisikan =1
Gambar 5. Ilustrasi pengukuran echo
Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier
114
waktu kontinyu dapat diperoleh dengan menggunakan (7).
( ) ( )
( ) ( )
2
2
. (7)
i ft
i ft
u f x e dt
f x e du
F
F u
π
π
∞−
−∞
∞
−∞
=
=
∫
∫
Agar Transformasi Fourier dapat digunakan untuk mengolah operasi digital, maka harus digunakan sampel-
sampel pada domain frekuensi dan waktu. Sampel-sampel
sinyal kontinyu pada domain waktu akan menggambarkan
keseluruhan dari sinyal kontinyu tersebut. Sampel-sampel
ini dapat merubah sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit
sehingga dibutukan Discreate Fourier Transform (DFT)
yang dapat dicari dengan menggunakan Fast Fourier
Transform (FFT) yang dapat di rumuskan pada (8).
( ) ( )21
0
0,1, , 1 (8, )i utN
N
n
F u f x e dt u Nπ− −
=
= = … −∑Transformasi fourier memberitahu kita informasi
magnitude dari frekuensi yang diinginkan. Pada penelitian
ini digunakan magnitude pada frekuensi 40 KHz. Nilai N
yang digunakan adalah 1000 dengan frekuensi sampling
500 KHz sesuai dengan panjang sinyal echo yang
didapatkan.
3. Analisa Transmisi dan Refleksi antara Dua Bidang Perambatan
Ketika terdapat dua buah bidang perambatan yang
dilalui oleh gelombang, maka akan terdapat bidang batas
diantara kopling yang digunakan dan substrat. Pada saat
gelombang melalui kedua buah bidang tersebut maka
akan terjadi perubahan arah propagasi gelombang yang
dipancarkan sesuai dengan hukum Snellius yang dapat
dilihat pada (9).
sin, (9)
sin
i i
t t
v
v
=
dimana, vi adalah cepat rambat gelombang pada media
kopling atau pada insiden dan vt adalah cepat rambat
gelombang pada media substrat. Kemudian, qi adalah
sudut dari insiden dan qt adalah sudut dari gelombang
yang di transmisikan dalam substrat.
Gelombang yang dipancarkan dari suatu medium
menuju medium yang berbeda akan dipantulkan dan
diteruskan. Dimana, gelombang yang dipancarkan dan
dipantulkan memiliki amplitudo R dan T. Pada setiap
gelombang yang dihasilkan masing-masing memiliki
potensial cepat rambat gelombang yang dapat dilihat pada
(10).
( )
( )
( )
(10)
,
i ix z
r rx z
t tx z
j t k x k zi
j t k x k zr
j t k x k zt
e
Re
Te
ω
ω
ω
ϕ
ϕ
ϕ
− +
− −
− +
=
=
=
dimana, i untuk gelombang datang, r untuk gelombang
yang direfleksikan dan t untuk gelombang yang di teruskan. Gelombang pressure dapat dicari dengan (11).
( )
( )
( )
1
1
1
(
,
11)
i ix z
r rx z
t tx z
j t k x k zi
j t k x k zr
j t k x k zt
p j e
p j Re
p j Te
ω
ω
ω
ωρ
ωρ
ωρ
− +
− −
− +
= −
= −
= −
dan kecepatan gelombang normal (normal velocity) dapat
dicari dengan (12).
(12
.
)
i i i
z z
r r r
z z
t t t
z z
v jk
v jk
v jk
ϕ
ϕ
ϕ
=
= −
=
Pada saat interface z = 0 terjadi kesinambungan antara
pressure wave dan normal velocity pada (13) dan hubungan
yang terjadi antar keduanya dapat dilihat pada (14).
(13, )
i r t
i r t
z z z
p p p
v v v
+ =
+ =
sehingga,
( )( )
1 21
1 . (14)i t
z z
R T
k R k T
ρ ρ+ =
− =
Berdasarkan (13) dan (14), magnitudo dari R dan T dapat diperoleh dengan menggunakan (15).
2 2 1 1
2 1
2 2 1 1
2 1
1 2
2
2 2 1 1
2 1
2
, (15)
V V
cos cosR
V V
cos cos
V
cosTV V
cos cos
ρ ρq q
ρ ρq qρq
ρ ρq q
−=
+
=+
dimana, qi = 1 dan q
t= q
2.
IV. haSIl dan PeMbahaSan
A. Sinyal Echo Prosessing dan Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter
1. Hardware Filter AnalogPada penelitian ini, digunakan filter analog High Pass
Filter (HPF). Gambar rangkaian filter ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Filter high pass yang digunakan merupakan filter aktif dikarenakan penggunaan op-amp dalam filter. Frekuensi cut-off dari rangkaian filter ini adalah 31 KHz yang didapatkan dengan menggunakan rumus:
1
2 3 4 1 2
1 31.847
2 10 1 0 500 500
FcR R C C
KHzk k pf pf
π
π
=
= =Ω× Ω× ×
Pada proses selanjutnya, sinyal dikuatkan 7 kali
dengan menggunakan op-amp dengan perhitungan seperti
berikut ini:
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
115
2 60 1 1 7.
1 10
R kgain
R k
Ω= + = + =
Ω
Data pengukuran sebelum dilakukan filtering dengan
frekuensi sampling 500 KHz dapat dilihat pada Gambar
7. Disini terlihat bahwa terdapat sinyal dengan frekuensi
rendah yang tercampur dalam sinyal echo. Filter yang telah
dibuat mampu menghilangkan noise frekuensi rendah dari
sinyal echo, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 7.
Dari hasil FFT yang telah dibuat dari kedua sinyal
diatas dapat diketahui sinyal tanpa proses filtering
memiliki noise pada frekuensi rendah hal ini dapat dilihat
pada Gambar 8.
Setelah dilakukan proses filtering, didapatkan hasil
frekuensi rendah yang berada pada sinyal echo sudah
berkurang dapat dilihat pada Gambar 9. Nilai signal to
noise ratio (SNR) sebelum dilakukan filtering adalah
10,06 dB dan setelah dilakukan filtering nilai SNR sinyal
echo sebesar 20,10 dB sehingga, dapat dikatakan filter high pass berjalan dengan baik.
2. Modifikasi Sinyal Trigger TransmiterPada bagian modifikasi sinyal trigger transmiter, disini
digunakan mikrokontroller STM32F4 DISCOVERY untuk membangkitkan sinyal trigger tersebut. Selanjutnya,
dilakukan proses pengujian data dengan membangkitkan
beberapa variasi modifikasi sinyal trigger yaitu,
menggunakan 2 buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V
dan gabungan antara 1 buah sinyal kotak amplitudo 3 V
dan 1 buah sinyal kotak 1,5 V dapat dilihat pada Gambar
10 dan Gambar 11.
Pada penggunaan dua sinyal kotak penuh dengan
amplitudo yang sama 3 V, didapatkan hasil yang lebih
besar dibandingkan dengan sinyal echo dari penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya [3]. Pada penelitian
sebelumnya [3] dengan menggunakan larutan 0 persen
garam, tanpa penggunaan penguatan sinyal didapatkan
hasil Vpeak sebesar 0,0547 V, namun dalam percobaan ini
dengan menggunakan larutan yang sama, telah didapatkan
nilai Vpeak sebear 1,38 V dengan penguatan sebesar 7
kali.
Selain menggunakan kedua buah modifikasi amplitudo diatas, dilakukan juga modifikasi pergesaran waktu (t) yang merupakan waktu delay ditambahkan kedalam
sinyal modifikasi diatas. Hasil modifikasi sinyal trigger
Gambar 6. Rangkaian filter aktif high pass filterGambar 8. Hasil FFT dari sinyal tanpa filter
Gambar 7. Sinyal echo sebelum dan setelah dilakukan filtering
Gambar 9. Hasil FFT dari sinyal setelah filter
Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier
116
transmiter gabungan dua buah sinyal kotak dengan
amplitudo 3V menghasilkan sinyal echo seperti pada
Gambar 12 dan hasil modifikasi sinyal trigger transmiter
gabungan dua buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V dan
1,5 V menghasilkan sinyal echo seperti pada Gambar 13.
Semakin kecil sinyal trigger yang ditambahkan
kedalam sinyal input dari transduser transmiter maka,
sinyal echo yang dihasilkan juga akan semakin kecil.
Hal ini dapat diperoleh dari hasil percobaan dengan
penambahan dua sinyal kotak dengan Vpeak sebesar 3 V
menghasilkan sinyal echo sebesar 1,38 V untuk Vpeak,
420,91 mV untuk Vrms, dan 31,31 dB untuk nilai SNRnya dibandingkan dengan satu sinyal amplitudo 3 V dan sinyal
kotak dengan amplitudo 1,5 V menghasilkan sinyal echo
sebesar 0,974 V untuk Vpeak, 314,57 mV untuk Vrms,
dan 28,27 untuk nilai SNRnya. Untuk hasil selengkapnya
dari percobaan yang telah dilakukan dengan merubah
delay dari masing-masing trigger input untuk transduser
transmiter dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Berdasarkan data yang telah diperoleh diatas dapat dilakukan analisa berupa, penggunaan sinyal kotak penuh
dengan tegangan transmiter sebesar 3 V dan dengan
frekuensi 40 KHz dapat digunakan untuk melakukan trigger
Gambar 12. Hasil sinyal echo dengan modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V
Gambar 11. Modifikasi sinyal trigger dengan gabungan dua buah sinyal
kotak dengan amplitudo 3 V dan 1,5 VGambar 10. Modifikasi sinyal trigger dengan gabungan dua buah sinyal
kotak dengan amplitudo 3 V
Perco-
baan
Jenis Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter
Peak
(V)
RMS
(mV)
SNR
(dB)
12 Sinyal kotak amplitudo
sama 3 V dengan delay 0 µs1,380 420,91 31,31
22 Sinyal kotak amplitudo
sama 3 V dengan delay 4 µs1,200 365,02 30,27
32 Sinyal kotak amplitudo
sama 3 V dengan delay 8 µs0,712 217,11 24,79
42 Sinyal kotak amplitudo
sama 3 V dengan delay 20 µs1,180 353,29 28,87
52 Sinyal kotak amplitudo
sama 3 V dengan delay 40 µs0,553 168,70 23,21
Tabel 2. Pengukuran Vpeak dan VRMS dari sinyal echo dengan variasi modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak
dengan amplitudo 3 V
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
117
terhadap transduser transmiter sehingga, diperoleh sinyal
echo yang diterima oleh transduser receiver. Penggunaan
dua sinyal kotak penuh menyebabkan pembesaran sinyal
echo. Hal ini dikarenakan adanya penambahan sinyal
yang terjadi. Namun penambahan sinyal ini tergantung
dari waktu sinyal ter-trigger. Hal ini dikarenakan, rumus
sinyal yaitu , apabila sinyal kedua memiliki beda fase yang
berbeda, yang menyebabkan nilai dari amplitude sinyal
kedua menjadi negatif maka, kedua sinyal echo yang
diperoleh akan saling meniadakan. Namun, apabila kedua
sinyal memiliki nilai yang sama-sama positif maka, sinyal
tadi akan dikuatkan. Vpeak dan Vrms dari sinyal echo
menjadi semakin besar dengan penambahan sinyal. Hal ini
ditunjukkan pada hasil percobaan dengan menggabungkan
dua buah sinyal kotak amplitudo 3 V dengan 1 buah sinyal
kotak amplitudo 3 V dan 1 buah sinyal kotak amplitudo
1,5 V terdapat perbedaan sebesar 0,406 V untuk Vpeak
dan 106,34 mV untuk Vrms dan 3,04 dB untuk SNRnya.
Gambar 13. Hasil sinyal echo dengan modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak dengan amplitudo 3 V dan 1,5 V
Gambar 14. Hasil pengukuran sinyal echo dari larutan garam
Tabel 3. Pengukuran Vpeak dan Vrms dari sinyal echo dengan variasi modifikasi sinyal trigger transmiter gabungan dua buah sinyal kotak
dengan amplitudo 3 V dan 1,5 V
Perco-
baan
Jenis Modifikasi Sinyal Trigger Transmiter
Peak
(V)
RMS
(mV)
SNR
(dB)
1
1 Sinyal kotak amplitudo 3 V
dan 1 sinyal kotak amplitudo
1,5 V dengan delay 0 µs
0,974 314,57 28,27
2
1 Sinyal kotak amplitudo 3 V
dan 1 sinyal kotak amplitudo
1,5 V dengan delay 4 µs
1,030 289,70 27,12
3
1 Sinyal kotak amplitudo 3 V
dan 1 sinyal kotak amplitudo
1,5 V dengan delay 8 µs
0,999 303,75 29,72
4
1 Sinyal kotak amplitudo 3 V
dan 1 sinyal kotak amplitudo
1,5 V dengan delay 20 µs
0,757 225,41 27,21
5
1 Sinyal kotak amplitudo 3 V
dan 1 sinyal kotak amplitudo
1,5 V dengan delay 40 µs
0,810 241,91 25,80
Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier
118
Sehingga, dapat dikatakan sinyal dengan dua trigger kotak
penuh menghasilkan sinyal echo yang lebih baik.
B. Hasil Pengukuran Sinyal Echo
Hasil dari pengukuran sinyal echo dari larutan garam
yang telah dilakukan proses filtering dapat dilihat pada
Gambar 14. Kemudian, didapatkan hasil Vpeak dan Vrms
dari sinyal echo dan hasil FFT sinyal echo tersebut dapat
dilihat pada Gambar 15 dan nilainya dapat dilihat pada
Tabel 4 untuk RMS, Tabel 5 untuk Vpeak dan Tabel 6
untuk hasil magnitude FFT pada frekuensi 40 KHz. FFT
dapat mengubah sinyal dalam domain waktu ke domain
frekuensi maka, dapat diperoleh magnitude dari frekuensi
40 KHz yang merupakan frekuensi transduser ultrasonik
yang digunakan. Dengan menggunakan magnitude hasil
FFT pada frekuensi tersebut dapat diperoleh nilai intensitas
yang lebih akurat dan sehingga, dapat digunakan untuk
memperbaiki kurva kalibrasi.Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan kurva
Gambar 15. . Hasil FFT sinyal echo dari larutan garam
Tabel 4. Hasil perhitungan RMS sinyal echo
Tabel 5. Hasil perhitungan Vpeak sinyal echo
Tabel 6. Hasil perhitungan magnitude FFT pada frekuensi 40 KHz
sinyal echo
Tabel 7. Perbedaan hasil Normalized Vrms, Vpeak, dan Magnitude FFT pada frekuensi 40 KHz sinyal echo terhadap Normalized Teori
Salinity Data (mv) Pembagi (mv) Normalized
RMS
0% 352,57 352,57 1
2% 377,59 352,57 1,070965
4% 381,60 352,57 1,082338
6% 399,26 352,57 1,132428
8% 416,28 352,57 1,180702
10% 447,17 352,57 1,268316
Salinity Vpeak (V) Pembagi (V)Normalized
Vpeak
0% 1,17 1,17 1
2% 1,28 1,17 1,070965
4% 1,30 1,17 1,082338
6% 1,33 1,17 1,132428
8% 1,40 1,17 1,180702
10% 1,55 1,17 1,268316
Gambar 16. Kurva kalibrasi sinyal echo
SalinityMagnitude
FFT
Pembagi
FFT
Normalized
Magnitude
FFT
0% 0,00031512 0,00031512 1
2% 0,00034103 0,00031512 1,082217
4% 0,00034250 0,00031512 1,086868
6% 0,00034912 0,00031512 1,107885
8% 0,00035893 0,00031512 1,139028
10% 0,00037061 0,00031512 1,176070
Normalized Vrms
(Nr)
Normalized Vpeak
(Np)
Normalized
Magnitude FFT
(NFFT)
Normalized Teori
(Nt)Nr-Nt Np-Nt Nfft-Nt
1 1 1 1 0 0 0
1,070965 1,070965 1,082217 1,000014 0,070951 0,094003 0,076921
1,082338 1,082338 1,086868 1,000029 0,082309 0,111082 0,081864
1,132428 1,132428 1,107885 1,000044 0,132384 0,136708 0,110128
1,180702 1,180702 1,139028 1,000057 0,180645 0,196524 0,143813
1,268316 1,268316 1,17607 1,000071 0,268245 0,324715 0,169112
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
119
kalibrasi yang dapat dilihat pada Gambar 16 dan hasil
perbedaan normalized Vrms, Vpeak, magnitude FFT
pada frekuensi 40 KHz dan normalized teori dari Tabel
1 di Tabel 7, dapat dikatakan bahwa penggunaan metode
transformasi fourier dapat memperbaiki hasil dari kurva kalibrasi dikarenakan eror rata-rata dari Vrms sebesar
0,1224221 dan eror Vpeak sebesar 0,14383881 sedangkan
untuk eror rata-rata dari hasil normalized magnitude FFT
pada frekuensi 40 KHz sebesar 0,096973114.
V. keSIMPulan
Pada penelitian yang telah dilakukan, filter HPF dapat memperbaiki sinyal echo yang didapat sebesar 49,95 %.
Penggunaan perbedaan modifikasi sinyal trigger transmiter
dapat berpengaruh terhadap Vrms, Vpeak, dan amplitudo
dari hasil transformasi fourier gelombang. Penggunaan 2
buah gelombang kotak penuh (2 full square wave signal)
didapatkan hasil gelombang echo yang terbaik dengan
nilai Vpeak sebesar 1,38 V, Vrms sebesar 420,91 mV dan
SNR sebesar 31,31 dB. Penggunaan metode transformasi fourier dapat memperbaiki perbedaan antara percobaan
dengan teori yang dihasilkan hal ini dikarenakan eror rata-
rata dari Vrms sebesar 0,1224221 dan eror Vpeak sebesar
0,14383881 yang digunakan pada penilitian [3] sedangkan
untuk eror rata-rata dari hasil normalized magnitude FFT
pada frekuensi 40 KHz yang digunakan pada penelitian ini
sebesar 0,096973114.
RefeRenSI
[1] D. Yang, J. Xia and L. Xi’ang, ”The Research on Intelligent Mobile Robot’s Avoiding Obstacle by Ultrasound,” in International Conference on Artificial Intelligence and Computational Intelligence, Sanya, vol. 1, pp. 77-79, 2010.
[2] A. I. Gunawan, N. Hozumi, S. Yoshida, Y. Saijo, K. Kobayashi, and S. Yamamoto, “Numerical analysis of ultrasound propagation and reflection intensity for biological acoustic impedance microscope,” Ultrasonics, vol. 61, pp. 79–87, 2015.
[3] A. I. Gunawan, B. S. B. Dewantara, T. B. Santoso, I. D. Wicaksono, E. B. Prastika, and C. E. Prianto, “Characterizing Acoustic Impedance of Several Saline Solution Utilizing Range Finder Acoustic Sensor,” in IES International Electrionics Symposium, vol. 64. 2017.
[4] D. Li, H. Wang, J. Deng, Z. Zheng, and Z. Bu, “The enhancement of pulse-echo ultrasound signal using adaptive filter with NLMS,” Proc. - 2010 3rd Int. Conf. Biomed. Eng. Informatics, BMEI 2010, vol. 3, no. Bmei, pp. 1050–1053, 2010.
[5] K. Kobayashi, S. Yoshida, Y. Saijo, N. Hozumi, “Acoustic impedance microscopy for biological tissue characterization,”
Ultrasonics Journal, vol. 54, pp. 1922-1928, 2014.
[6] B. Pal, “Pulse-echo method cannot measure wave attenuation accurately,” Ultrasonics, vol. 61, pp. 6–9, 2015
[7] M. N. Rashin and J. Hemalatha, “Acoustic Study on the Interactions of Coconut Oil Based Copper Oxide Nanofluid,” Int. J. Math. Comput. Phys. Electr. Comput. Eng., vol. 6, no. 4, pp. 386–390, 2012.
[8] Y. Jia, V. Chernyshev, and M. Skliar, “Ultrasound measurements of segmental temperature distribution in solids: Method and its
high-temperature validation,” Ultrasonics, vol. 66, pp. 91–102, 2016.
Ihwan Dwi Wicaksono dkk.: Karakterisasi dari Properti Larutan Garam dengan Range Finder Ultrasonik Menggunakan Metode Transformasi Fourier
I. Pendahuluan
Perkembangan terkini teknologi komunikasi nirkabel
dan elektronika mendorong pengembangan aplikasi
mikro dan nanosensor pada jaringan komunikasi
nirkabel. Sejumlah sensor berukuran kecil yang dapat
berkomunikasi secara nirkabel yang disebut dengan
Jaringan Sensor Nirkabel (JSN) dapat digunakan untuk
memantau lingkungan pada area yang luas [1]. JSN
merupakan jaringan multihop yang bersifat adhoc dan
dapat mengatur sendiri (self-configured) [2]. JSN dapat
dirancang sedemikian rupa untuk bekerja secara otonom
membaca parameter lingkungan seperti suhu, kelembaban,
cahaya, tekanan, suara, dan sebagainya. Sehingga JSN
dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi mulai dari
rumah tangga [3], infrastruktur bangunan [4], industri
[5], pertanian [6], kesehatan [7], lingkungan [1] sampai
dengan militer [8]. Nodal sensor pada JSN membaca dan
mengumpulkan data untuk kemudian dikirimkan ke nodal
pengumpul (nodal koordinator) melalui kanal komunikasi
nirkabel.
JSN membutuhkan konsumsi energi yang rendah,
sehingga protokol IEEE 802.11 [9] pada jaringan LAN
nirkabel (wifi) yang digunakan untuk perangkat dengan
konsumsi daya tinggi tidak sesuai untuk implementasi JSN.
IEEE 802.15.4 [10] merupakan standar yang ditujukan
untuk bekerja pada jaringan WPAN (wireless personal area networks) dengan kecepatan rendah. Standar ini
menjelaskan spesifikasi lapisan fisik (physical layer/PHY)
dan kendali akses media (medium access control/MAC)
untuk jaringan WPAN. Standar ini merupakan dasar
bagi lapisan PHY dan MAC di ZigBee yang kemudian
ditambahkan oleh ZigBee pada lapisan atas yang tidak
didefinisikan di IEEE.802.15 [11], [12]. ZigBee bekerja
Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel
Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi
Helmy Fitriawan, Roviq Cholifatul Rohman, Herlinawati, dan Sri Purwiyanti
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Lampung
Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung, 35145
e-mail: [email protected]
Abstrak—Untuk mendapatkan sebuah kinerja yang baik dari suatu jaringan sensor nirkabel maka perlu dilakukan
pengukuran parameter jaringan. RSSI (Received Signal Strength Indicator) merupakan salah satu parameter
jaringan yang menyatakan kuat sinyal yang diterima suatu perangkat radio pada modul komunikasi. Pada
penelitian ini dilakukan eksperimen pengukuran RSSI pada jaringan sensor nirkabel dengan protokol ZigBee.
Pengukuran dilakukan dengan berbagai topologi yaitu point-to-point, star, dan mesh baik di dalam (indoor) dan luar
ruangan (outdoor). Kondisi pengukuran di dalam ruangan dilakukan di dalam laboratorium dengan partisi dinding
beton, sementara pengukuran di luar ruangan dilakukan di lapangan terbuka dengan kondisi line-of-sight (LOS).
Perangkat lunak XCTU digunakan untuk mengukur parameter RSSI, dengan cara melakukan pengiriman 100
paket data berukuran 64-byte dengan interval pengiriman 1 detik. Hasil penelitian memperlihatkan semakin jauh
jarak pengiriman data maka nilai RSSI relatif akan menurun dikarenakan adanya hambatan dan berkurangnya
kekuatan sinyal radio. Kemudian nilai RSSI pada topologi mesh sedikit lebih besar dibanding pada dua topologi
lainnya, disebabkan adanya router yang memperkuat sinyal terkirim.
Kata kunci: rssi, zigbee, jaringan sensor nirkabel, xbee
Abstract— In order to get a good performance from a wireless sensor network, it is necessary to measure parameters
of the network. RSSI (Received Signal Strength Indicator) is one of the network parameters that measure the signal
strength received by a radio receiver in communication module. In this study the RSSI measurement experiment
was performed in a wireless sensor network with the ZigBee protocol. Measurements were accomplished in three
topologies, i.e. point-to-point, star, and mesh, both indoor and outdoor scenarios. Indoor measurements are carried
out within the laboratory with concrete wall partition, while outdoor measurements are carried out in open space
with the line-of-sight (LOS) conditions. XCTU software is used to measure RSSI measurements, by sending 100 data
packets of 64 bytes with 1 second delivery intervals. Results show that the farther the data transmission distance, the
RSSI value relatively decrease due to obstacles and reduced radio signal strength. While, in the mesh topology the
addition of a router will also cause a slightly increase in the RSSI value.
Keywords: rssi, zigbee, wireless sensor network, xbee
Copyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 120-126ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.15750
Received 04 February 2020; Revised 28 April 2020; Accepted 05 May 2020
120
121Helmy Fitriawan dkk.: Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi
pada pita frekuensi 2,4 GHz dengan kecepatan data 250
Kbps. ZigBee mempunyai karakteristik konsumsi daya
rendah, implementasi jaringan mudah dan sederhana,
biaya instalasi murah, serta transmisi data yang andal.
Teknologi ini juga mendukung kemampuan komunikasi
multihop sehingga sangat ideal untuk kebutuhan JSN yang
dikembangkan pada cakupan wilayah yang luas.
Teknologi ZigBee banyak diterapkan pada JSN di
dalam dan luar ruangan seperti pada bidang transportasi,
pemantauan gas, otomasi sistem penerangan, pemantauan
kualitas air, dan pemantauan cuaca [13]-[17]. Tetapi
aplikasi ZigBee sangat banyak dipengaruhi oleh
karakteristik kuat sinyal terutama di luar ruangan yang
tergantung dengan kondisi lingkungan tempat jaringan
tersebut diimplementasikan [18]. RSSI (Received Strength Signal Indicator) merupakan parameter yang
menunjukkan seberapa kuat sinyal yang diterima suatu
penerima sinyal pada suatu titik tertentu. Oleh karena itu,
RSSI dengan parameter kualitas jaringan lainnya seperti
signal-to-noise ratio (SNR), delay, throughput, packet loss, dan network efficiency diperlukan dalam melakukan
perencanaan dan optimasi jaringan sensor nirkabel [19].
Penelitian yang terkait dengan pengukuran parameter
RSSI pada JSN dapat ditemukan disini [20]. Parameter
RSSI dan waktu pengiriman pada JSN berbasis ZigBee
diukur dan dianalisis pada berbagai kondisi lingkungan.
Sementara pada penelitian [21] dan [22] kuat sinyal RSSI
digunakan untuk identifikasi lokasi di dalam ruangan yang akan digunakan untuk penyediaan berbagai layanan dan
pengendalian berbasis lokasi. Sementara pengukuran dan
analisis kinerja protokol ZigBee modul komunikasi XBee
Seri 2 [23] dan Xbee Pro S2 [24] dilakukan di dalam dan
luar ruangan tapi masih dengan skenario topologi terbatas.
Dengan latar belakang yang telah dijelaskan, maka pada
penelitian ini dilakukan pengukuran dan analisis RSSI
(Received Strength Signal Indicator) yang merupakan
salah satu parameter penting pada suatu jaringan
komunikasi. Eksperimen pengukuran dilakukan pada
berbagai topologi jaringan yaitu topologi point-to-point, star, serta mesh dengan skenario di dalam ruangan (indoor)
dan luar ruangan (outdoor). Data yang dikumpulkan pada
eksperimen ini digunakan sebagai studi kasus dalam
menentukan kinerja suatu jaringan JSN. Hasil penelitian
memberikan gambaran kinerja protokol ZigBee yang
nantinya diimplementasikan sebagai jaringan nirkabel
baik yang terpasang di dalam ataupun luar ruangan.
Pada penelitian ini, eksperimen pengukuran dilakukan
pada prototipe jaringan yang telah dikembangkan
sebelumnya [25]. Pada penelitian tersebut telah dilakukan
pengembangan prototipe JSN yang digunakan untuk
mengukur suhu dan kelembaban. Nodal sensor yang
dikembangkan pada JSN tersebut diimplementasikan
menggunakan Arduino Uno, XBee Shield, XBee S2C,
serta sensor LM35DZ dan DHT11. Pada prototipe tersebut
juga telah dilakukan eksperimen pengukuran parameter
kualitas jaringan berupa parameter delay, throughput dan
packet loss [26].
II. Metode
A. Setup Eksperimen
Pengukuran RSSI pada JSN dilakukan menggunakan
nodal sensor dan nodal koordinator yang sudah
dikembangkan di sini [25]. Nodal sensor berperan
sebagai end device berfungsi untuk membaca data
suhu dan kelembaban yang kemudian mengirimkannya
secara nirkabel ke nodal lainnya yang berfungsi sebagai
router atau langsung ke nodal koordinator. Gambar 1
memperlihatkan susunan platform perangkat keras yang
digunakan untuk membangun nodal sensor. Seperti terlihat
pada gambar tersebut, nodal sensor diimplementasikan
secara modular menggunakan papan mikrokontroler
berbasis Arduino Uno [27], XBee Shield, XBee S2C, serta
sensor LM35DZ [28] dan DHT11 [29]. Sementara nodal
koordinator terdiri dari modul XBee S2C, XBee adapter
yang kemudian terhubung ke PC sebagai pengolah dan
penampil data.
Seperti terlihat pada Gambar 2, modul XBee S2C
digunakan sebagai perangkat komunikasi berbasis ZigBee
yang secara nirkabel menghubungkan antara nodal sensor
dan nodal koordinator. XBee S2C merupakan salah
satu jenis modul XBee yang dikembangkan oleh Digi
International [30] yang mendukung protokol komunikasi
ZigBee. XBee S2C dapat digunakan untuk jaringan
komunikasi dengan topologi point-to-point, star dan
mesh. Modul ini mempunyai kecepatan data 250 Kbps,
bekerja pada pita frekuensi ISM (industrial, scientific and medical) 2,4 GHz, dengan jangkauan sampai dengan 60 m
di dalam ruangan dan 1200 m untuk luar ruangan (LOS/
line of sight). Terdapat 5 (lima) operasi pada Xbee, yaitu
idle mode, transmit mode, received mode, sleep mode dan
command mode.
B. Pengukuran RSSI
Gambar 1. Platform perangkat keras nodal sensor
Gambar 2. Diagram blok nodal sensor dan nodal koordinator yang
berkomunikasi melalui modul XBee S2C dengan protokol ZigBee
122 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
RSSI merupakan salah satu parameter untuk
menentukan kualitas kanal komunikasi. Faktor-faktor
seperti pantulan, hamburan dan penghalang fisik lainnya dapat mempengaruhi nilai RSSI yang terukur [31]. Nilai
RSSI merupakan indikator seberapa kuat sinyal yang
diterima suatu penerima sinyal pada suatu titik tertentu.
RSSI didefinisikan sebagai rasio kuat sinyal yang diterima pada suatu titik tertentu dibandingkan terhadap kuat sinyal
di suatu titik referensi. Sehingga secara matematis RSSI
dapat dinyatakan melalui persamaan,
e
10log ( 1)R
R ff
PRSSIP
=
PR merupakan kuat daya, dalam watt, yang diterima
penerima pada suatu titik tertentu, sementara PReff adalah
kuat daya, dalam watt, yang diterima pada titik referensi.
Karena RSSI merupakan rasio maka tidak mempunyai
satuan. Jika Pr dan Preff dinyatakan dalam dB maka
( ) ( ) ( ) (2) R ReffRSSI dBm P dBm P dBm= −
Kuat sinyal yang dinyatakan dalam RSSI sangat
berperan penting didalam menentukan estimasi jarak.
Besar daya yang diterima di suatu titik dianggap sebagai
pemancar ke segala arah (omnidirectional), sehingga
apabila titik penerima diasumsikan dengan pusat bola
sementara pemancarnya ada di permukaan bola, maka
didapatkan persamaan berikut,
. . . (3) 4
n
RX TX TX RXP P G Gd
λπ
=
dengan PRX
adalah daya pada penerima (watt), PTX
daya
pada pengirim (watt), GTX
penguatan pada pengirim, GRX
penguatan pada penerima, λ panjang gelombang (m), d
jarak pengirim dan penerima (m), dan n eksponen path loss.
Apabila (3) disubstitusikan ke (1), maka didapatkan:
. . .4
10log (4)
. .4
.
n
TX TX RX
n
TX TX RX
o
P G GdRSSI
P G Gd
λπ
λπ
=
Persamaan (4) kemudian disederhanakan menjadi:
10log ( 5)
n
odRSSId
=
10log (6 )
n
o
dRSSId
= −
dengan do adalah jarak dari pemancar ke titik referensi.
C. Topologi Pengukuran
Pada jaringan ZigBee, suatu nodal terhubung dengan
nodal lainnya dengan arsitektur atau topologi jaringan
yang berbeda. Topologi jaringan mengindikasikan
bagaimana modul komunikasi pada satu nodal terhubung
secara logika dengan modul komunikasi pada nodal
lainnya. Pada penelitian ini, pengukuran RSSI dilakukan
dengan beberapa skenario topologi, yaitu topologi point-to-point, topologi star, topologi mesh dengan satu router
dan topologi mesh dengan dua router yang masing-masing
dilakukan di dalam (indoor) dan luar ruangan (outdoor).
Pada setiap skenario pengukuran, dilakukan dengan
baud rate pada 9600 bps, paket data berukuran 64 byte,
dengan jumlah 100 paket data dengan interval pengiriman
setiap 1 detik. Perangkat lunak XCTU digunakan untuk
mengirimkan paket data dan kemudian mengumpulkannya
[32]. Perangkat ini menghitung jumlah paket data yang
dikirimkan dan diterima serta kemudian mengukurnya
dalam bentuk parameter RSSI. Jarak setiap nodal sensor
terhadap nodal koordinator diatur dari 5 sampai dengan 40
m untuk skenario di dalam ruangan (indoor) dan dari jarak
10 sampai dengan 120 m untuk skenario luar ruangan
(outdoor).
III. Hasil Dan Pembahasan
A. Topologi point-to-point
Jaringan point-to-point merupakan topologi jaringan
yang paling sederhana karena hanya melibatkan dua nodal
saja. Gambar 3 memperlihatkan denah pengujian JSN
dengan topologi point-to-point pada lokasi indoor yang
hanya melibatkan satu nodal koordinator dengan satu nodal
sensor. Pada skenario yang diperlihatkan pada Gambar
4 nodal sensor mengirimkan data hasil pengukuran ke
nodal koordinator dengan jarak 5 sampai dengan 40 m
untuk skenario indoor. Sementara untuk skenario outdoor
dengan topologi komunikasi yang sama dilakukan dengan
jarak yang lebih jauh yaitu 10 sampai dengan 120 m.
Gambar 5 dan 6 memperlihatkan hasil pengukuran
RSSI untuk jaringan ZigBee pada topologi point-to-point masing-masing pada skenario di dalam dan luar ruangan.
Dari grafik pada gambar tersebut terlihat nilai RSSI relatif
Gambar 3. Denah lokasi pengujian point-to-point pada kondisi indoor
Gambar 4. Skenario pengujian dengan topologi point-to-point
123Helmy Fitriawan dkk.: Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi
turun sebagai fungsi jarak nodal sensor terhadap nodal
koordinator, baik untuk skenario indoor dan outdoor.
Apabila hasil pengukuran pada skenario indoor dan
outdoor dibandingkan, maka terlihat bahwa nilai RSSI
pada skenario outdoor sedikit lebih kecil dibandingkan
nilai RSSI pada skenario indoor pada jarak yang sama. Hal
ini disebabkan pada pengujian ini dua skenario sama-sama
dilakukan secara line-of-sight (LOS), tetapi pada skenario
di luar ruangan relatif mendapat pengaruh angin dan cuaca
dibandingkan skenario di dalam ruangan.
B. Topologi Star
Topologi star merupakan jaringan yang membentuk
konvergensi dari masing-masing nodal sensor (end device)
ke nodal koordinator. Denah lokasi pengujian JSN dengan
topologi star yang melibatkan satu nodal koordinator dan
empat nodal sensor pada skenario indoor diperlihatkan
pada Gambar 7. Sementara Gambar 8 memperlihatkan
skema pengujian tersebut dengan empat nodal sensor yang
terhubung secara langsung ke satu nodal koordinator.
Pada skenario indoor, jarak masing-masing nodal sensor
ke nodal koordinator diatur sama dari 4 m sampai dengan
40 m, sementara untuk skenario outdoor digunakan jarak
yang lebih jauh, setiap nodal sensor mempunyai jarak
yang sama yaitu 10 m sampai dengan 120 m terhadap
nodal koordinator.
Gambar 9 dan 10 memperlihatkan hasil pengukuran
RSSI untuk jaringan ZigBee dengan topologi star masing-
masing pada skenario di dalam dan luar ruangan. Dari
hasil pengujian terlihat bahwa nilai RSSI turun sebagai
Gambar 5. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi point-to-point
pada kondisi di dalam ruangan
Gambar 6. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi point-to-point
pada kondisi di luar ruangan
Gambar 7. Denah lokasi pengujian topologi star pada kondisi indoor
Gambar 8. Skenario pengujian dengan topologi star
Gambar 9. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi star pada
kondisi di dalam ruangan
Gambar 10. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi star pada
kondisi di luar ruangan
124 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
fungsi dari jarak nodal sensor terhadap nodal koordinator.
Dengan empat nodal yang disertakan pada pengujian,
dengan jarak yang sama masing-masing mempunyai
nilai RSSI yang relatif sama. Sedikit perbedaan hasil
pengukuran memperlihatkan bahwa keempat nodal sensor
tersebut mendapatkan hambatan atau pantulan yang
berbeda-beda, dan hal ini lebih jelas terlihat pada hasil di
skenario indoor. Hal ini disebabkan pada skenario indoor,
terdapat dua nodal sensor yang terhalang dinding ketika
berkomunikasi dengan nodal koordinator.
C. Topologi Mesh dengan satu Router dan dua Router
Topologi mesh adalah suatu jaringan dimana masing-
masing nodal dapat terhubung secara langsung dengan
nodal lainnya yang kemudian meneruskannya ke nodal
koordinator. Gambar 11 memperlihatkan denah lokasi
penempatan nodal-nodal pada pengujian jaringan mesh
dengan satu buah router pada lokasi indoor. Sementara
skema pengujian jaringan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 12. Pada pengujian ini digunakan jarak antara
nodal sensor dan koordinator yang sama seperti halnya
pengujian sebelumnya yaitu 5 m sampai dengan 40 m.
Sementara untuk skenario di luar ruangan (outdoor)
menggunakan jarak 10 m sampai dengan 120 m antara
nodal sensor dan nodal koordinator. Pada topologi mesh
ini terdapat nodal router yang ditempatkan di tengah-
tengah antara nodal sensor dan nodal koordinator.
Gambar 13 dan 14 memperlihatkan hasil pengukuran
RSSI jaringan ZigBee dengan topologi mesh satu
router masing-masing di dalam dan luar ruangan. Hasil
pengukuran pada kedua skenario memperlihatkan
semakin jauh nodal sensor dari nodal koordinator maka
nilai RSSI semakin turun. Penurunan ini semakin jelas
terjadi pada skenario di dalam ruangan, yang disebabkan
adanya halangan dan pantulan dibandingkan di skenario
luar ruangan.
Pengujian jaringan ZigBee dengan topologi mesh
juga dilakukan dengan menggunakan dua router, yang
artinya data pengiriman dari nodal sensor akan melalui
dua router sebelum sampai di nodal koordinator. Denah
lokasi pengujian topologi mesh dengan dua router pada
lokasi indoor diperlihatkan pada Gambar 15 dengan
skema pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.
Terdapat nodal router yang berfungsi meneruskan data
hasil pengukuran dari nodal sensor ke router lainnya
yang kemudian diteruskan kembali ke nodal koordinator
diletakkan di tengah-tengah antara nodal sensor dan nodal
koordinator. Nodal sensor 1 dan 2 mempunyai jarak yang
sama terhadap nodal koordinator yaitu 5 m sampai 40 m
untuk skenario di dalam ruangan dan dari 10 m sampai
Gambar 11. Denah lokasi pengujian topologi mesh dengan satu router
pada kondisi indoor
Gambar 12. Skema penempatan nodal sensor dengan topologi mesh
dengan satu router
Gambar 13. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan
satu router pada kondisi di dalam ruangan
Gambar 14. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan
satu router pada kondisi di luar ruangan
Gambar 15. Denah lokasi pengujian topologi mesh dengan dua router
pada kondisi indoor
125Helmy Fitriawan dkk.: Pengukuran RSSI Jaringan Sensor Nirkabel Berbasis ZigBee pada Berbagai Topologi
dengan 120 m untuk skenario di luar ruangan.
Gambar 17 dan 18 memperlihatkan hasil pengukuran
RSSI jaringan ZigBee dengan topologi mesh dua router masing-masing di dalam dan luar ruangan. Sama halnya
dengan hasil pengujian pada topologi point-to-point dan star, disini nilai RSSI yang terukur akan semakin
kecil seiring menjauhnya jarak nodal sensor dari nodal
koordinator. Nilai RSSI yang didapat pada pengujian
topologi mesh dengan dua router relatif sama dengan
nilai RSSI yang didapatkan pada pengujian topologi mesh
dengan satu router. Hal ini disebabkan, jarak antara nodal
sensor dan nodal koordinator pada dua kasus pengujian
tersebut sama. Sementara apabila kita bandingkan dengan
hasil dari dua topologi sebelumnya, nilai RSSI terukur
pada topologi mesh sedikit lebih besar baik pada skenario
di dalam maupun luar ruangan. Sebagai contoh, RSSI
terukur pada pengujian pada topologi mesh dengan satu
router dibandingkan dengan RSSI pada topologi point-to-
point, terdapat kenaikan dari 16 s.d. 24 dB pada skenario
di dalam ruangan dan kenaikan -4 s.d. 16 dB pada skenario
di luar ruangan. Hal ini disebabkan terdapat router yang
memperkuat sinyal yang dikirim dari nodal sensor ke
nodal koordinator.
IV. Kesimpulan
Dengan karakteristik yang efisien dan dapat diandalkan, ZigBee merupakan teknologi yang paling sesuai dan
banyak digunakan untuk jaringan sensor nirkabel. Ketika
komunikasi berlangsung, kuat sinyal ZigBee sangat
terpengaruh oleh efek eksternal. Untuk menganalisa
pengaruh tersebut terhadap kuat sinyal, maka dilakukan
serangkaian eksperimen pengukuran RSSI pada berbagai
topologi jaringan dengan skenario di dalam dan luar
ruangan. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa nilai
RSSI semakin turun ketika jarak nodal sensor semakin jauh
dari nodal koordinator untuk semua skenario pengukuran.
Penurunan nilai RSSI semakin jelas terjadi pada skenario
di dalam ruangan dimana hal ini disebabkan adanya
halangan dan pantulan dibandingkan pada skenario di luar
ruangan. Kemudian nilai RSSI terukur pada topologi mesh
sedikit lebih besar dibanding pada dua topologi lainnya.
RSSI terukur pada pengujian pada topologi mesh dengan
satu router dibandingkan dengan RSSI pada topologi
point-to-point, terdapat kenaikan dari 16 s.d. 24 dB pada
skenario di dalam ruangan dan kenaikan -4 s.d. 16 dB pada
skenario di luar ruangan. Perbedaan tersebut disebabkan
terdapat router yang memperkuat sinyal yang dikirim dari
nodal sensor ke nodal koordinator.
Referensi
[1] M. F. Othman and K. Sazali, “Wireless sensor networks
applications: A study in environment monitoring system”, in
Proc. International Symposium on Robotics and Intelligent Sensors (IRIS 2012), Sep. 2012, pp. 1204-1210.
[2] H. Karl and A. Willig, Protocol and Architectures for Wireless
Sensor Networks, John Wiley Sons, 2005.
[3] N. Vikram, K. S. Harish, M. S. Nihaal, R. Umesh, and S. A. A.
Kumar, “A low cost home automation system using Wi-fi based wireless sensor network incorporating internet of things (IoT)”,
in Proc. IEEE 7th International Advance Computing Conference (IACC 2017), Jul. 2017, pp. 174-178.
[4] J. P. Amezquita-Sanchez, M. Valtierra-Rodriguez, and H. Adeli,
“Wireless smart sensors for monitoring the health condition of
civil infrastructure,” Scientia Iranica A, vol. 25, no. 6, pp. 2913-
2925, Nov-Dec. 2018.
[5] L. D. Xu, W. He, and S. Li, “Internet of Things in Industries: A
Gambar 16. Skema penempatan nodal sensor dengan topologi mesh
dengan dua router
Gambar 17. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan
dua router pada kondisi di dalam ruangan
Gambar 18. Grafik RSSI sebagai fungsi jarak pada topologi mesh dengan
dua router pada kondisi di luar ruangan
126 Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
survey,” IEEE Trans. Industrial Informatics, vol. 10, no. 4, pp.
2233-2243, Nov. 2014.
[6] T. Ojha, S. Misra, and N. S. Raghuwanshi, “Wireless sensor
networks for agriculture: The state-of-the-art in practice and
future challenges,” Computer and Electronics in Agriculture, vol.
118, pp. 66-84, Oct. 2015.
[7] H. Alemdar and C. Ersoy, “Wireless sensor networks for
healthcare: A survey,” Computer Networks, vol. 54, no. 15, pp.
2688-2710, Oct. 2010.
[8] C. V. K. Mahamuni, “A military surveillance system based on
wireless sensor networks with extended covaergae life”, in Proc. International Conference on Global Trends in Signal Processing, Information Computing and Communication (ICG TSPICC 2016), Dec. 2016, pp. 375-381.
[9] IEEE 802.11: Wireless LAN Medium Access Control (MAC) and
Physical Layer (PHY) specifications. (2016 revision). IEEE-SA. 14 Dec. 2016.
[10] L. D. Nardis and M. D. Benedetto, “Overview of the IEEE
802.15.4/4a standards for low data rate wireless personal data
networks”, in Proc. 4th Workshop on Positioning, Navigation and Navigation (WPNC 2007), Mar. 2007, pp. 285-289.
[11] ZigBee Alliance. “ZigBee and Wireless Radio Frequency
Coexistence”, White paper, Jun. 2007.
[12] W. Wang, G. He, and J. Wan, “Research on zigbee wireless
communication technology”, in Proc. International Conference on Electrical and Control Engineering (ICECE 2011), Sep. 2011,
pp. 1245-1249.
[13] X. C. Heredia, C. H. Barriga, D. I. Piedra, G. D. Oleas, and A.
C. Flor, “Monitoring system for intelligent transportation system
based in zigbee”, in Proc UNSA International Symposium on Communication (UNSA ISCOMM 2019), Mar. 2019, pp. 1-6.
[14] J. Xuguang, S. Fan, G. Yongxing, T. Shoufeng, and T. Minming,
“Zigbee-based wireless gas monitoring sensor alarm system in
coal mine”, in Proc 5th International Conference on Advances in Energy Resources and Environmental Engineering (ICAESEE 2019), Dec. 2019, pp. 1-6.
[15] S. G. Varghese, C. P Kurian, V. I. George, A. John, V. Nayak, and
A. Upadhyay, “Comparative study of zigbee topologies for IoT-
based lighting automation,” IET Wireless Sensor Systems, vol. 9,
no. 4, pp. 201-207, Aug. 2019.
[16] Z. Rasin and M. R. Abdullah, “Water quality monitoring system
using zigbee based wireless sensor network,” Int. Journal of
Engineering & Technology, vol. 9, no. 10, pp. 24-28, May 2012.
[17] Z. K. Hussein, H. J. Hadi, M. R. Abdul-Mutaleb, and Y. S.
Mezaal, “Low cost smart weather station using arduino and
zigbee,” Telkomnika Telecommunication Computing Electronics
and Control, vol. 18, no. 1, pp. 282-288, Feb. 2020.
[18] N. T. Le and W. Benjapolakul, “Received signal strength data of
ZigBee technology for on-street environment at 2.4 GHz band and
the interruption of vehicle to link quality,” Data in Brief, vol. 22,
pp. 1036-1043, Feb. 2019.
[19] D. Yuan, S. S. Kanhere, and M. Hollick, “Instrumenting wireless
sensor networks – A survey on the metrics that matter,” Pervasive
and Mobile Computing, vol. 37, pp. 45-62, Jun. 2017.
[20] H. H. R. Sherazi, R. Iqbal, S. U. Hasan, M. H. Chaudary, and S. A.
Gilani, “ZigBee’s received signal strength and latency evaluation
under varying environments,” Journal of Computer Networks and
Communciations, vol 2016, pp. 1-8, Jun. 2016.
[21] K. Subaashini, G. Dhivya, and R. Pitchiah, “Zigbee RF signal
strength for indoor location sensing - experiments and results”,
in Proc. International Conference on Advance Communications Technology (ICACT 2013), Jan. 2013, pp. 50-57.
[22] K. Benkic, M. Malajner, P. Planinsic and Z. Cucei, “Using RSSI
value for distance estimation wireless Sensor networks based
on Zigbee,” in Proc. 15th International Conference on Systems, Signals and Image Processing (IWSSIP 2008), Aug. 2008, pp.
303-306.
[23] I. N. R. Hendrawan and I. G. N. W. Arsa, “Eksperimen pengukuran
parameter RSSI dan troughput protokol ZigBee pada perangkat
XBee Seri 2,” Sains dan Teknologi Informasi, vol. 2, no. 2, pp.
13-16, Dec. 2016.
[24] I. N. B. Hartawan and I. G. M. N Desnanjaya, “Analisis kinerja
protokol ZigBee di dalam dan di luar ruangan sebagai media
komunikasi data pada wireless sensor network,” Jurnal Rekayasa
Sistem Komputer, vol. 1, no. 2, pp. 65-72, Oct. 2018.
[25] H H. Fitriawan, D. Mausa, A. S. Arifin, and A. Trisanto, “Realization of Zigbee wireless sensor networks for temperature
and humidity monitoring”, in Proc. The International Conference on Electrical Engineering, Computer Science and Informatics (EECSI 2015), Aug. 2015, pp. 102-107.
[26] H. Fitriawan, M. Susanto, A. S. Arifin, D. Mausa, and A. Trisanto, “Zigbee based wireless networks and performance analysis in
various environments”, in Proc. The 15th International Conference on Quality in Research (QIR 2017), Aug. 2017, pp. 272-275.
[27] Arduino Uno. [Online]. Available: https://www.arduino.cc/en/
main/arduinoBoardUno/. [Accessed October 11, 2018].
[28] LM35DZ Datasheet. “LM35 Precision Centigrade Temperature
Sensors”.
[29] Aosong. “DHT Product Manual”.
[30] Digi International Inc. 2014. “Xbee/Xbee-Pro ZB RF Modules
Product Manual”.
[31] R. A. Alawi, “RSSI based location estimation in wireless sensor
network”. In Proc. 17th IEEE International Conference on Networks (ICON 2011), Dec. 2011, pp. 118-122.
[32] XCTU Tool. [Online] https://www.digi.com/products/embedded-
systems/digi-xbee/digi-xbee-tools/xctu. [Accessed October 13,
2018]
I. Pendahuluan
Pada wilayah vulkanik aktif, gradien geotermal ekstrem
dan suhu tanah yang sangat tinggi pada kedalaman dangkal
biasanya berkorelasi dengan sistem hidrotermal entalpi
tinggi [1]. Sistem hidrotermal mampu mengubah mineral
batuan yang ada di sekelilingnya yang dibawa oleh aliran
fluida pada daerah discharged flow. Fluida hidrotermal
mengubah mineralogi dan sifat kimia batuan sehingga
menghasilkan mineral-mineral yang berbeda berdasarkan
lokasi, tingkat dan lamanya proses perubahan tersebut.
Ubahan mineral-mineral batuan ini disebut juga mineral
teralterasi hidrotermal. Beberapa mineral utama yang
terbentuk dari proses alterasi di daerah panas bumi yaitu
mineral yang mengandung potasium (potassic), Phyllic, argilic, propylitic, dan pembentukan silika. Mineral yang
dihasilkan dipengaruhi oleh suhu, permeabilitas, tekanan,
komposisi batuan, dan komposisi fluida [2].
Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi
Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat
8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong,
Kabupaten Bener Meriah, Aceh
Nazli Ismail1, Nela Wirja1, Deviyani R. Putri2, Muhammad Nanda2, dan Faisal1
1Magister Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Sych Abdur Rauf No. 3, Darussalam, Banda Aceh 231112Doktor Matematika dan Aplikasi Sains, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk Chik Pante Kulu No.5 Komplek Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111e-mail: [email protected]
Abstrak—Pemetaan sebaran vegetasi dan mineral teralterasi hidrotermal berdasarkan analisis data satelit Landsat
8 telah dilakukan di Gunung Api Bur Ni Geurudong, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Transformasi
Normalized Different Vegetation Index (NDVI) menggunakan band 5 dan band 4 untuk pemetaan sebaran vegetasi,
sedangkan pemetaan mineral ferric oxide dan clay/lempung menggunakan komposisi band rasio 6/5 dan 6/7. Hasil
perhitungan menunjukan sebaran kerapatan vegetasi di sekitar area manifestasi berada pada tingkat klasifikasi sedang (0,2-0,5) di Wih Pesam dan Pante Raya Barat dan kelas kerapatan vegetasi tinggi (0,50-0,88) di Silih Nara
dan Pinto Rime Gayo. Nilai sebaran mineral ferric oxide maksimal (1,98-2,23) di Bur Ni Telong dan sebagian
kecil sebaran mineral ini berada di lokasi manifestasi sulfur Pinto Rime Gayo. Mineral ini juga ditemukan di titik
manifestasi Silinara. Sedangkan untuk mineral clay/lempung memiliki sebaran maksimal (2,33-8,88) merata di
Gunung Api Bur Ni Geureudong dan sangat sedikit di kawasan Bur Ni Telong. Oleh karena itu, citra satelit Landsat
8 dapat dijadikan dalam memetakan mineral ferric oxide dan mineral clay/lempung. Pemetaan mineral ferric oxide
dan mineral clay/lempung dapat memberikan informasi mengenai jenis mineral yang ada di Gunung Api Bur Ni
Geurudong, serta dapat memberikan informasi awal tentang tipe batuan reservoir panas bumi di kawasan tersebut.
Kata kunci: lapangan panas bumi bur ni geureudong, band rasio, citra landsat, mineral teralterasi hidrotermal
Abstract—Vegetation area and altered mineral by hydrothermal mapping using Landsat 8 satellite data has been
done at Bur Ni Geurudong Volcano, Bener Meriah Regency, Aceh Province. Bands 5 and 4 data were used for
Normalized Different Vegetation Index (NDVI) transformation technique. Band composition ratio of 6/5 and 6/7
were used for band ratio technique to interprete ferric oxide and clay minerals. The results show moderate (0.2-0.5)
distribution of vegetation density found at Wih Pesam and Pante Raya Barat. The high density (0.50-0.88) vegetation
areas are found at Silih Nara and Pinto Rime Gayo. The maximum distribution (1.98-2.23) of ferric oxide minerals
found at Bur Ni Telong and few at Pinto Rime Gayo with sulfur content manifestation. This mineral is also founded
on Silinara manifestation area. Maximum (2.33-8.88) distribution of clay mineral was found at Bur Ni Geureudong
Volcano, few seen at Bur Ni Telong area. Based on the results, the Landsat 8 satellite imagery is effectively used
for mapping of ferric oxide and clay minerals. Mapping of ferric oxide and clay minerals rovide information about
the types of minerals that exist in Bur Ni Geurudong Volcano as a preliminary information about the types of
geothermal reservoir rocks in the region.
Keywords: bur ni geureudong geothermal field, band ratio, kandsat imagery, hydrothermal altered mineralsCopyright © 2020 Jurnal Rekayasa Elektrika. All right reserved
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020, hal. 127-134ISSN. 1412-4785; e-ISSN. 2252-620X, Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016DOI: 10.17529/jre.v16i2.14907
Received 30 October 2019; Revised 19 May 2020; Accepted 28 May 2020
127
128
Perubahan mineral ini menghasilkan mineral dengan
kandungan yang beragam serta memiliki tingkat sebaran
yang berbeda pula. Penyebaran mineral teralterasi
hidrotermal dapat diidentifikasikan dengan menggunakan pendekatan teknik penginderaan jauh, salah satunya
dengan menggunakan data citra satelit dan citra airbone [2]–[5]. Pada eksplorasi panas bumi, pemetaan hidrotermal diterapkan untuk mendeteksi keberadaan patahan di
wilayah vulkanik yang biasanya zona alterasi berkorelasi
dengan aliran dischared dari reservoir vulkanik dan dengan
struktur utama yang mengontrol permeabilitas reservoir
dan batuan penutup. Jadi, pemetaan batuan teralterasi
hidrotermal di permukaan dapat membantu untuk
menentukan keberadaan aliran dari reservoir vulkanik [2]. Pada paper ini, kami melakukan pemetaan mineral
teralterasi hidrotermal di wilayah Gunung api Bur Ni
Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Indonesia.
Sebagian besar sistem panas bumi di Indonesia merupakan
sistem hidrotermal yang berasosiasi dengan keberadaan
gunung api. Gunung api Bur Ni Geureudong diduga
berpotensi sebagai sumber energi panas bumi yang
mencapai 160 Mwe [6]. Namun, penelitian panas bumi
di wilayah Gunung Api Bur Ni Geureudong hingga saat
ini masih minim dilakukan [7]–[9], sehingga penelitian lanjutan terkait panas bumi di wilayah ini dapat membantu
pemerintah dalam melakukan studi eksplorasi.
Penelitian ini memanfaatkan teknik penginderaan
jauh yaitu menggunakan data citra satelit Landsat 8 untuk
mengidentifikasi sebaran vegetasi dan sebaran mineral teralterasi hidrotermal di Gunung Api Bur Ni Geureudong,
Provinsi Aceh. Teknik yang digunakan berupa teknik
Transformasi Normalized Different Vegetation Index
(NDVI) untuk mendapatkan nilai sebaran vegetasi dan
teknik analisis band rasio untuk mendapatkan nilai sebaran
mineral teralterasi hidrotermal. Sebaran mineralogi
tersebut juga memberikan informasi mengenai jenis
batuan reservoir panas bumi pada lapangan panas bumi
sehingga mendukung kajian eksplorasi awal terhadap
reservoir panas bumi di wilayah ini.
II. StudI PuStaka
A. Geologi dan Morfologi Gunung Api Bur Ni Geureudong
Gunung Api di Indonesia rata-rata terbentuk akibat
zona subduksi. Salah satunya Bukit Barisan yang berada
di sepanjang Pulau Sumatera akibat subduksi lempeng
Indo-Australia (lempeng samudera) menunjam ke bawah
lempeng Eurasia (lempeng benua) di kerak bumi yang
bertemperatur tinggi [10]. Hal tersebut menyebabkan
lempeng samudra meleleh dengan densitas lelehan lebih
rendah dari sumber asalnya sehingga lelehan tersebut
cenderung bergerak naik ke atas menjadi magma.
Secara geografi, Gunung Api Bur Ni Geureudong terletak di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh,
Indonesia. Daerah ini ditunjukkan oleh kolom merah
pada Peta Provinsi aceh yang ditampilkan dalam
Gambar 1. Gunung Api Bur Ni Geuredong merupakan
sebuah komplek gunung besar berdiameter sekitar 30 km.
dan memiliki dua kerucut parasit muda, yaitu Gunung
Api Bur Ni Telong dan Gunung Pepanyi, yang terdapat
di lereng bagian selatan (Gambar 1). Gunung Api Bur Ni
Geureudong adalah gunung api bertipe strato yang berumur
Pleistocene dan terletak sekitar 50 km ke arah Timur Laut
dari Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) [11]. Adanya beberapa manifestasi panas bumi tersebar di
sekitar gunung Bur Ni Geureudong yang sebagian besar
berupa sumber mata air panas dan solfatara serta fumarol
yang berasap tipis [12].
B. Aplikasi teknik Penginderaan Jauh dalam Pemetaan Mineral Teralterasi Hidrotermal
Penginderaan jauh dapat diartikan sebuah seni dan ilmu
pengetahuan dengan tujuan memperoleh informasi tanpa
menyentuhnya atau tanpa mengalami kontak langsung
dengan objek yang dikaji [5]. Informasi yang diperoleh
berupa gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dan
dipantulkan kemudian direkam oleh sensor satelit. Hasil
rekaman dalam bentuk citra yang kemudian dianalisis
serta diinterpretasikan sesuai dengan hal yang akan
diaplikasikan. Citra satelit memuat setiap piksel dari
informasi tentang warna, ukuran dan lokasi dari sebuah
objek di permukaan bumi.
Salah satu aplikasi metode penginderaan jauh yaitu
memetakan mineral teralterasi hidrotermal di Gunung
Api Bur Ni Geureudong Kabupaten Bener Meriah.
Pemetaan tersebut memanfaatkan nilai kanal-kanal
spektral dari sensor Landsat 8. Land Satellites (Landsat)
merupakan satelit milik National Aeronautics and
Gambar 1. Peta lokasi komplek Gunung Api Bur Ni Geureudong
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
129
Space Administration (NASA) yang digunakan untuk
mendapatkan citra permukaan bumi. Satelit Landsat 8
diluncurkan 11 Februari 2003. Landsat 8 memilikisensor yaitu sensor The Landsat Operational Land Imager (OLI)
dan The Landsat Thermal Infra-Red Scanner (TIRS).
Sensor tersebut memiliki klasifikasi yang lebih detail dapat dilihat pada Tabel 1.
Citra Satelit Landsat 8 diklasifikasi atas 11 band, artinya tiap 1-pixel data citra satelit Landsat menyimpan
11 Digital Number (DN) yang berbeda. Setiap saluran band
citra satelit memiliki respon/kepekaan terhadap mineral
yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan karakteristik
dan komposisi dari masing-masing mineral.
III. Metode
Penelitian dilakukan di daerah Gunung Api Bur Ni
Geureudong yang terletak di Kabupaten Bener Meriah,
Provinsi Aceh, Indonesia dan terletak pada koordinat
96040’0”E - 96055’0”E dan 4040’0”N - 4055’0”N. Data ang digunakan dalam penelitian ini yaitu data
Citra Landsat 8 OLI/TIRS yang diunduh dari situs web
USGSEarth Explorer dengan alamat https://earthexplorer.
usgs.gov/. Data tersebut kemudian diolah dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGis. Pada penelitian ini
citra Landsat 8 yang digunakan berupa rekaman tanggal
12 Februari 2015, path / Row 130 / 57 yang mana telah dikoreksi geometris. Ada 6 titik manifestasi yang ditinjau
di penelitian ini.Lokasi titik-titik manifestasi dan jenis
manifestasi di Gunung Api Bur Ni Geureudong terlihat
di Tabel 2. Ada beberapa tahapan utama yang dilakukan
dalam penelitian ini sesuai Gambar 2.
A. Peta sebaran kerapatan vegetasi
Gunung Api Bur Ni Geureudong merupakan kawasan
hutan lebat sehingga perlu dilakukan pemetaan penutupan
lahan dan kerapatan vegetasi di daerah penelitian dengan
transfromasi Normalized Different Vegetation Index (NDVI). Pada Landsat 8, gelombang Near Infrared
terdapat pada band 5 dan gelombang red terdapat pada
band 4 digunakan untuk menghitung nilai NDVI. Band 4 dan band 5 masih berupa nilai digital number atau DN,
sehingga perlu dikalibrasi ke dalam top of atmosphere (TOA) reflectance. Kalibrasi ini disebut koreksi
radiometrik yang dihitung dengan menggunakan (1) [13].
+ )' (1,calM Q Aρ ρρλ = ×
ρλ’ merupakan TOA Reflectance tanpa dilakukan koreksi
terhadap sudut matahari (tidak ada satuan), Qcal merupakan
nilai pixel dalam digital number, Mρ merupakan faktor skala perkalian reflektan, dan Aρ merupakan faktor skala penambah reflektan. Kemudian setiap band dilakukan koreksi sudut elevasi matahari dengan menggunakan (2).
Tabel 1. Spesifikasi kanal-kanal spektral sensor Citra Landsat 8 [13] Tabel 2. Lokasi titik-titik manifestasi dan jenis manifestasi di Gunung
Api Bur Ni Geureudongg
Gambar 2. Diagram alir penelitian
Nomor
KanalKanal
Kisaran
Spektral
(nm)
Penggunaan
Data
Resolusi
Spasial
1 Biru 433-453 Aerosol/coastal
zone30 m
2 Biru 450-515 Pigments/
scatter/coastal
30 m
(kanal
turunan
dari TM)
3 Hijau 525-600 Pigments/
coastal
4 Merah 630-680Pigments/
coastal
5Infra merah
(NIR)845-885 Foliage/coastal
6 SWIR 1 1560-1660 Foliage
7 SWIR 2 2100-2300 Minerals/litter/
no scatter
8 PAN 500-680Image
sharpening15 m
9 SWIR 1360-1390 Cirruscloud
detection30 m
10 TIRS 110300-
13900
Pemetaan panas
dan perkiraan
kelembaban
100 m
11 TIRS 2 11500-
12500
Pemetaan panas
dan perkiraan
kelembaban
100 m
Nama
titikLokasi
Ketinggian dari
permukaan laut
(mdpl)
Jenis
Manifestasi
1 Kecamatan Silinara 1431 m Mata air panas
2Desa Uning Bertih
Kec. Pante Raya
Barat
1318 m Mata air panas
3Kec. Pintu Rime
Gayo988 m Mata air panas
4 Simpang Balek Satu
Kec. Wih Pesam1217 m Mata air panas
5Desa Batugantung
Kec.Wih Pesam1268 m Mata air panas
6 Pintu Rime Gayo 1386 m Sulfur
Nazli Ismail dkk.: Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh
130
(2)si )
'' ,
n(θρλρλ =
ρλ’ merupakan reflectance hasil koreksi sudut elevasi
matahari dan θ merupakan sudut elevasi matahari lokal (nilainya dapat dilihat di metadata).
Setelah band 4 dan band 5 dikoreksi dengan (1) dan (2), selanjutnya dihitung nilai kerapatan vegetasi menggunakan
metode analisis NDVI dengan menggunakan (3).
( )( )
. (3)NIR REDNIR RED
NDVI−
=+
Nilai NDVI berkisar antara -1 hingga 1 [14]. Wilayah yang memiliki nilai indeks vegetasi 1 merupakan wilayah
bervegetasi rapat, sedangkan wilayah berindeks -0,9 adalah wilayah tidak bervegetasi atau kawasan perairan.
Nilai NDVI yang dihasilkan dibagi menjadi empat kelas
untuk tipe tutupan lahan yang berbeda: tutupan lahan
dengan vegetasi yang sepenuhnya sehat (NDVI> 0,5),
lahan campuran (NDVI =0,2-0,5), lahan kosong (NDVI = 0-0,2), dan air atau lahan basah (NDVI<0). Nilai NDVI juga digunakan untuk mengestimasi emisivitas pada
wilayah penelitian ini dengan menggunakan metode
NDVI-threshold.
B. Peta sebaran mineral teralterasi hidrotermal
Data citra yang digunakan dalam analisis mineral
teralterasi hidrotermal yaitu data band-band satelit Landsat
8 yang perlu dikalibrasi dengan menggunakan (1). Setelah
nilai band-band dikalibrasi, selanjutnya dilakukan analisis
menggunakan metode komposisi band rasio. Teknik
komposisi band rasiodilakukan dengan pembagian nilai
digital number (DN) dari salah satu band terhadap nilai
DN band lainnya [8]. Dimana nilai band-bandnya telah
dilakukan koreksi terlebih dahulu menggunakan (1).
Pada penelitian ini mineral besi (ferric oxide) dan
mineral clay diidentifikasi dengan memanfaatkan band pada spektrum cahaya tampak, spektrum Near-Infrared
(NIR) dan spektrum Short-Wave-Infrared (SWIR), yang
ada pada citra Landsat 8.
Mineral ferric oxide (Fe2O3) berupa mineral
(hematite dan magnnetite) dapat diidentifikasikan dengan menggunakan band rasio 6/5. Band 6 memiliki panjang
gelombang (1,57–1,65µm) merupakan gelombang SWIR 1 dan band 5 memiliki panjang gelombang (0,85–0,88µm) yang merupakan gelombang NIR. Karakteristik mineral
ferric oxide (hematite dan magnetite), memiliki spektral
reflektansi elektromagnetik minimum pada 0,48 µm dan 0,85 µm [10]. Hal ini disebabkan oleh proses transisi elektron di kulit terluar dari atom Fe3+. Kemudian terlihat
mineral ini memiliki nilai spektral reflektansi maksimum pada panjang gelombang 0,5–0,72 µm [10].
Mineral Clay/Lempung diidentifikasikan dengan meggunakan band rasio 6/7. Pada umumnya, untuk pemetaan mineral lempung dan penambang karbonat
lebih sensitif menggunakan band rasio 6/7 Landsat 8 OLI yaitu band 6 memiliki panjang gelombang 1,56–1,66 µm dan band 7 memiliki panjang gelombang 2,1–2,3 µm. Karakteristik mineral lempung sangat terlihat pada spektral reflektansi panjang gelombang elektromagnetik 2.1–2.3 µm, karena untuk objek (green vegetation, geothite, dry vegetation dan air) mengalami absorbs [15].
Sedangkan mineral lempung memiliki spektral reflektansi maksimal, sehingga mineral lempung terlihat berwarna
cerah dan jelas.
IV. haSIl dan PeMbahaSan
A. Peta sebaran kerapatan indeks vegetasi
Interpretasi citra satelit berdasarkan sebaran kerapatan
vegetasi perlu dilakukan karena megingat kawasan
Gambar 3. Peta Normallized Different Vegetation Index (NDVI) pada
enam titik manifestasi panas bumi, di Kawasan Gunung Api Bur Ni
Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh
Tabel 3. Kelas nilai indek NDVI di Gunung Api Bur Ni Geureudong
Kabupaten Bener Meriah
NoKisaran
Nilai NDVIWarna
Kelas
Kerapatan
Vegetasi
Jenis Penggunaan
Lahan (-0.7 - 0)
Tidak
Bervege-
tasi
Daerah air /Danau
Laut Tawar atau
Lahan Basah
2 0 - 0.2 Tidak
Rapat
Lahan kosong,
mukim padat,
Kawasan Bandara
Rembele, daerah
mineral teralterasi
hidrotermal
3 0.2 - 0.5 Sedang
Lahan Campuran
Perkebunan, sawah
kering, semak
belukar, daerah
geothermal
4 0.5 - 0.88 Rapat
Vegetasi
Lahan Sehat
Vegetasi, Hutan lebat
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
131
Gunung Api ini memiliki hutan lebat yang dapat menjadi
tantangan tersendiri dalam melihat kerapatan vegetasi dan
mineral teralterasi hidrotermal.
Dalam penelitian ini tinjauan sebaran vegetasi
difokuskan kepada lokasi yang terdapat manifestasi panas
bumi dan mineral teralterasi hidrotermal yang terlihat pada
Gambar 3. Titik-titik manifestasi yang ditampilkan pada
Gambar 3 merupakan lokasi manifestasi yang diketahui
melalui tinjauan langsung ke lapangan (site visit) dan
ditemukan 6 titik manifestasi panas bumi yang berupa
hotsprings dan solfata.
Gambar 3 menunjukkan nilai indek sebaran vegetasi
yang memiliki nilai -0,71 sampai 0,88. Nilai indek tersebut dibagi dalam empat kelas sesuai jenis penggunaan
lahan yaitu air, lahan kosong, lahan campuran dan lahan
bervegetasi sehat, dapat dilihat dalam Tabel 3 nilai indek
NDVI tersebut menunjukkan jenis penggunaan lahan
berdasarkan tingkat kerapatan vegetasi yaitu lahan basah
atau daerah air yang tidak bervegetasi seperti daerah
Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah dengan
rentang nilai -0,7 sampai 0 dan ditandai oleh warna biru tua. Lahan kosong dengan tingkat kerapatan vegetasinya
yang tidak rapat terdapat di daerah Bandara Rembele,
pemukiman padat penduduk, dan area yang memiliki
mineral teralterasi hidrotermal dengan rentang nilai
0 sampai 0,2 yang ditandai oleh warna coklat muda. Lahan campuran yang memiliki tingkat vegetasinya
sedang terdapat di daerah perkebunan, sawah kering,
semak belukar dan daerah geothermal dengan rentang
nilai 0,2 sampai 0,5 yang ditandai oleh warna biru muda. Sedangkan lahan sehat vegetasi dengan tingkat kerapatan
vegetasi yang rapat di tandai oleh daerah hutan yang lebat
dengan rentang nilai 0,5 sampai 0,88 yang ditandai oleh
warna hijau tua.
Lokasi ke enam titik manifestasi merupakan kawasan
hutan sedang dan hutan rapat, ditandai oleh warna hijau
tua dan terlihat pada Gambar 4. Di sekitar area dari ke-lima titik manifestasi (titik 1, titik 2, titik 3, titik 4 dan titik 5), jikadiperbesarterlihatbewarnabirumuda. Hal ini
disebabkan oleh adanya sumber air panas dikawasan
tersebut. Sedangkan untuk titik 6 terlihat sedikit coklat
karena memiliki sumber manifestasi berupa sulfur.
Namun jika diamati dengan menggunakan google map,
untuk kawasan yang berada jauh dari titik manifestasi
1 dan 2 terdapat manifestasi yang diduga sulfur. Pada peta manifestasi tersebut ditandai oleh simbul persegi
serta berwarna coklat muda. Di titik manifestasi 2, 3, 4, 5 dan 6 merupakan kawasan perumahan penduduk yang
ditandai oleh warna coklat. Adanya kesamaan warna
antara kawasan penduduk dengan manifestasi sulfur,
diduga karena pantulan dari material rumah. Kawasan
yang terdapat perkebunan ada di titik 1, 2, 4, 5, dan 6 yang ditandai oleh segitiga serta bewarna hijau muda,
sedangkan di titik 3 tidak terdeteksi adanya perkebunan
meskipun titik tersebut berada dalam kawasan pemukiman
penduduk. Hal ini disebabkan kawasan tersebut tepat
berada di kaki gunung yang di penuhi rawa-rawa.
Berdasarkan penjelasan mengenai lokasi titik manifestasi,
maka wilayah yang memiliki kelas kerapatan vegetasi
sedang berada di sekitar lokasi titik manifestasi 2, 4 dan 5 (Kecamatan Pante Raya Barat dan Kecamatan Wih Pesam)
sedangkan kelas kerapatan vegetasi rapat/tinggi berada di
lokasi titik manifestasi 1, 3 dan 6 (Kecamatan Silih Nara
dan Kecamatan Pinto Rime Gayo).
Sisi sebelah Batar dan Selatan Bur Ni Geureudong
memiliki kelas kerapatan vegetasi sedang (Gunung Api Bur
Ni Telong, disekitar daerah Simpang Tiga Redelong dan di
sekitar Takengon) yang merupakan kawasan perkebunan
Gambar 4. Peta NDVI di titik manifestasi 1 (A) Titik manifestasi 2,4,5 dan 6 (B) di titik manifestasi 3 (C) di titik kawasan Bur Ni Telong (D)
Nazli Ismail dkk.: Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh
132
dan semak belukar. Untuk kawasan di arah Selatan dari
Gunung Api Bur Ni Telong, juga terlihat adanya kawasan
urban atau perkotaan, lahan pacuan kuda, lahan kosong,
perkebunan,Yonif 114/SM dan Bandara Rembele yang memiliki tingkat kerapatan vegetasi jarang/tidak rapat.
Kawasan ini ditandai oleh warna coklat. Untuk yang arah
Timur dan Utara dari Gunung Api Bur Ni Geureudong
masih memiliki hutan yang cukup lebat.
B. Peta sebaran mineral teralterasi hidrotermal
Hasil pemetaan sebaran mineral teralterasi hidrotermal
menggunakan metode band rasio di wilayah panas bumi
Kabupaten Bener Meriah terlihat pada Gambar 5 Pemetaan
mineral ferric oxide dan mineral lempung terlihat lebih jelas
jika menggunakan metode band rasio. Karena komposisi
band rasio mampu menginterpretasikan sebaran mineral
lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan satu band
saja. Hal ini disebabkan nilai range panjang gelombang
dari hasil teknik band rasio lebih pendek dibandingkan
nilai panjang gelombang menggunakan satu band saja.
Sehingga informasi mineral yang diperoleh lebih padat,
jelas, dan baik. Mineral ferric oxide tersebar di Gunung
Api Bur Ni Geureudong, dengan nilai sebaran yaitu
0,00–2,23 ditandai oleh warna biru tua. Sebaran mineral tersebut ada di kawasan urban/kota Takengon, Bandara
Rembele dan sekitarnya yang berlokasi di Simpang Tiga
Redelong, kawasan sebelah Timur dan Barat dari Gunung
Api Bur Ni Geureudong dan kawasan Gunung Api Bur
Ni Telong, sebaran mineral tersebut terlihat hampir
merata di kawasan Gunung Api Bur Ni Geureudong,
namun dalam jumlah sebaran berbeda-beda. Mineral ini
tersebarmaksimal di Kota Takengon, BandaraRembele
dan sekitarnya yang berlokasi di Simpang Tiga Redelong.
Karena material-material besi seperti pesawat yang ada
di Bandara Rembele serta material-material perumahan
penduduk yang ada di Kota Takengon. Hal tersebut justru
membantu peneliti untuk melihat adanya kesamaan warna
mineral ferric oxide dengan kawasan material yang ada
di Bandara Rembele yaitu sama-sama memiliki sebaran
mineral besi atau ferric oxide. Mineral clay atau mineral lempung memiliki
tingkat sebaran yang cukup tinggi yaitu kurang lebih 80%
di dominasi oleh mineral ini. Mineral ini memiliki nilai
sebaran 1,19–8,88, dimana nilai sebaran maksimal 2,33–8,88 yang ditandai oleh warna coklat pekat. Untuk warna
biru muda yang ada di semua peta merupakan kawasan
bervegetasi sedang. Untuk melihat sebaran mineral
teralterasi hidrotermal di titik manifestasi dapat dilihat
pada Gambar 6 dan 7. Sebaran mineral ferric oxide di sekitar titik
manifestasi 2, 4, 5 dan 6, hanya terlihat di sebelah Timur menuju arah Selatan dari titik manifestasi 2 dan di sebelah Barat menuju arah Selatan dari titik manifestasi 4. Kedua area tersebut berada di kawasan pemukiman penduduk
yang ditandai oleh simbol pentagonal (segilima). Sebaran
minimum juga terlihat di titik manifestasi 6 yang berada
di bukit dan merupakan kawasan manifestasi sulfur.
Sedangkan pada kawasan ke-empat titik manifestasi ini
juga di dominasi oleh mineral clay terlihat pada Gambar 6.
Sebaran mineral ferric oxide di titik manifestasi 3 terlihat
di sekitar kawasan pemukiman penduduk dan di kelilingi
oleh sebaran mineral clay/lempung yang sangat dominan
di kawasan tersebut. kawasan tersebut merupakan rawa-
Gambar 5. Peta sebaran mineral ferric oxide menggunakan band rasio 6/5 ditandai oleh warna biru tua (A), dan peta sebaran mineral clay/lempun
menggunakan band rasio 6/7 yang ditandai oleh warna coklat tua (B)
A B
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
133
rawa atau semak belukar yang ada di kaki gunung.
Sebaran maksimal mineral ferric oxide berada di
Gunung Api Bur Ni Telong yang ditandai oleh warna
biru tua. Kawasan Gunung Api Bur Ni Telong memiliki
kelas kerapatan vegetasi sedang. Namun di kawasan yang
memiliki mineral ini tidak terlihat adanya sebaran mineral
clay/lempung. Sedangkan sebaran maksimal mineral clay/
lempung berada selain di kawasan sebaran mineral ferric oxide terlihat pada Gambar 7.
V. keSIMPulan
Penelitian menggunakan data citra satelit Landsat
8 menunjukkan hasil yang optimal dalam memetakan
kerapatan vegetasi dan mineral teralterasi hidrotermal.
Hasil dari penelitian di Gunung Api Bur Ni Geureudong,
Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, didapatkan nilai
indeks vegetasinya berkisar dari -0,71 sampai 0,87. Tingkat kerapatan vegetasinya termasuk dalam klasifikasi tidak bervegetasi (-0,7–0), tidak rapat (0–0,02), sedang (0,2–
Gambar 6. Peta sebaran mineral ferric oxide menggunakan band rasio 6/5 (A), dan peta sebaran mineral clay (mineral lempung) menggunakan band
rasio 6/7 (B) di titik manifestasi Gunung Api Bur Ni Geureudong
Nazli Ismail dkk.: Pemetaan Endapan Mineral Teralterasi Hidrotermal Menggunakan Analisis Citra Landsat 8 di Sekitar Gunung Api Bur Ni Geureudong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh
134
0,5), dan rapat (0,50–0,88). Namun khusus untuk daerah
penelitian yang memiliki maifestasi berada pada klasifikasi kelas sedang hingga rapat/tinggi. Kelas kerapatan vegetasi
sedang berada di sebelah Barat dan Selatan Bur Ni
Geureudong (Gunung Api Bur Ni Telong, daerah Simpang
Tiga Redelong dan Takengon). Kelas kerapatan vegetasi
tinggi/rapat berada di arah Timur dan Utara dari Gunung
Api Bur Ni Geureudong. Lokasi manifestasi panas bumi
berada pada kelas kerapatan vegetasi sedang (Kecamatan
Wih Pesam dan Kecamatan Pante Raya Barat) sedangkan
kelas kerapatan vegetasi rapat/tinggi (Kecamatan Silih
Nara dan Kecamatan Pinto Rime Gayo).
Sebaran mineral teralterasi hidrotermal seperti ferric oxide dan mineral clay / lempung terlihat jelas dengan
menggunakan komposisi band rasio 6/5 dan 6/7. Nilai sebaran mineral ferric oxide yaitu 0,00–2,23 ditandai oleh warna biru tua. Sebaran maksimal mineral ini berada di
Gunung Api Bur Ni Telong yaitu 1,98–2,23 dan sebagian kecil sebaran mineral ini berada di Desa Uning Bertih yaitu
kawasan Pinto Rime Gayo yang memiliki titik manifestasi
berupa kandungan sulfur. Mineral ini juga ditemukan
di lereng Gunung Api Bur Ni Telong, yang berdekatan
dengan titik manifestasi yang berada di wilayah Silinara.
Sedangkan untuk mineral clay/lempung memiliki sebaran
hampir seluruh Gunung Api Bur Ni Geureudong dengan
nilai sebaran 1,19–8,88 ditandai oleh warna coklat tua.
Sebaran maksimal adalah 2,33–8,88. Namun sebaran mineral clay tidak terlihat atau sangat sedikit di kawasan
Gunung Api Bur Ni Telong.
RefeRenSI
[1] I. Stobe and K. Bucher, Geothermal Energy. Springer Berlin
Heidelberg, 2013.
[2] B. Mia and Y. Fujimitsu, “Mapping hydrothermal altered mineral
deposits using Landsat 7 ETM+ image in and around Kuju volcano, Kyushu, Japan,” J. Earth Syst. Sci., vol. 121, no. 4, pp. 1049–1057, 2012.
[3] T. Han and J. Nelson, “Mapping hydrothermally altered rocks
with Landsat 8 imagery: A case study in the KSM and Snowfield zones, northwestern British Columbia,” Br. Columbia Geol. Surv. Pap., vol. 2005–1, pp. 103–112, 2015.
[4] B. Hu, Y. Xu, B. Wan, X. Wu, and G. Yi, “Hydrothermally altered
mineral mapping using synthetic application of Sentinel-2A MSI, ASTER and Hyperion data in the Duolong area, Tibetan Plateau,
China,” Ore Geol. Rev., vol. 101, no. July, pp. 384–397, 2018.
[5] A. B. Pour and M. Hashim, “Hydrothermal alteration mapping
from Landsat-8 data, Sar Cheshmeh copper mining district, south-
eastern Islamic Republic of Iran,” J. Taibah Univ. Sci., vol. 9, no. 2, pp. 155–166, 2015.
[6] Ministry of Energy and Mineral Resources, Geothermal Potensial of Indonesia Chapter 1. Jakarta, 2017.
[7] N. Ismail, D. R. Putri, T. Arifan, and A. B. C. Hutapea,
“Interpretation Of Gravity And Magnetic Data To Delineate
Local Fault Structures In Bur Ni Geureudong Geothermal Field
, Aceh Province , Indonesia,” in The 11th Asian Geothermal Symposium, 2016.
[8] G. S. Nugraha, Marwan, O. Ikhramullah, S. Alawiyah, and
Sutopo, “Analysis Of The Geothermal Potential Based Fault
Zone In Burni Telong Bener Meriah , Aceh , Indonesia,” in The 1st IBSC: Towards the Extended Use Of Basic Science For Enhancing Health, Environment, Energy And Biotechnology,
2017, pp. 239–242.
[9] L. Hakim, N. Ismail, and F. Abdullah, “Kajian Awal Penentuan
Daerah Prospek Panas Bumi di Gunung Bur Ni Telong
Berdasarkan Analisis Data DEM SRTM dan Citra Landsat 8,” J. Rekayasa Elektr., vol. 13, no. February 2018, pp. 125–132, 2017.
[10] B. G. N. Page et al., “A review of the main structural and
magmatic features of northern Sumatra,” Geol. Soc., vol. 136, pp.
569–579, 1979.
[11] R. Van Bemmelen, Geology of Indonesia Vol-IA General General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelago. The Hague:
Goverment Printing Office, 1949.
[12] N. R. Cameron et al., “Geologic map of the Takengon quadrangle,
Sumatra.” Geological Research and Development Center, 1983.
[13] D. of the I. U. S. G. Survey, Landsat 8 (L8) Data Users Handbook,
vol. 8. Department of the Interior U.S. Geological Survey, 2016.
[14] B. Mia, J. Nishijima, and Y. Fujimitsu, “Exploration and
monitoring geothermal activity using Landsat ETM+images. A
case study at Aso volcanic area in Japan.,” J. Volcanol. Geotherm. Res., vol. 275, no. August 2007, pp. 14–21, 2014.
[15] A. B. Pour and M. Hashim, “Regional hydrothermal alteration
mapping using Landsat-8 data,” Int. Conf. Sp. Sci. Commun. Iconsp., vol. 2015–Septe, no. September, pp. 199–202, 2015.
Gambar 7. (A) Peta sebaran mineral ferric oxide menggunakan band
rasio 6/5 ditandai oleh warna biru tua dan (B) mineral clay (mineral
lempung) menggunakan band rasio 6/7 ditandai oleh warna coklat pekat di kawasan Gunung Api Bur Ni Telong
Jurnal Rekayasa Elektrika Vol. 16, No. 2, Agustus 2020
Penerbit:
Jurusan Teknik Elektro dan Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh 23111
website: http://jurnal.unsyiah.ac.id/JRE
email: [email protected]
Telp/Fax: (0651) 7554336