67
JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693- 4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER 2013 Teaching English Grammar to the Second Semester Student of the English Department Of FKIP Serambi Mekkah University Banda Aceh Razali Abdullah (Hal 70 - 76) Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD Melalui Pendekatan Kontekstual dan Metode Permainan Budiman (Hal 77 - 85) Manajemen Kelas dalam Proses Pembelajaran Sejarah di SMA N 8 Kota Banda Aceh Irwansyah, Cut Zahri Harun, dan Sakdiah Ibrahim (Hal 86 - 91) Penerapan Metode Tanya Jawab dan Demonstrasi dalam Pembelajaran Fiqih Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di Kelas X IPA pada MAN Kuala Makmur Kabupaten Simeulue Abusmar (Hal 92 - 97) Model Pengembangan Metode Quantum Teaching dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Pada Guru SMP Kota Banda Aceh Sariakin (Hal 98 - 105) Dampak Keberadaan Kedai Kopi Bagi IPK Mahasiswa di Kota Banda Aceh Ruhadi dan Herlina (Hal 106 - 118) Meningkatkan Pemahaman Siswa tentang Konsep Pecahan Melalui Benda Manipulatif Muhamad Saleh (Hal 119 - 124) Pendidikan Berbasis Kompetensi Pada Sekolah Menengah Kejuruan Syaifuddin Yana (Hal 131135) Pembelajaran Administrasi Pemerintah Untuk Dosen Ilmu Sosial politi Badaruddin (Hal 131135) Diterbit Oleh FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu Volume 14 Nomor 2 Hal 70 - 124 Banda Aceh September 2013

JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU

ISSN 1693-4849

(Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan)

VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER 2013

• Teaching English Grammar to the Second Semester Student of the English Department

Of FKIP Serambi Mekkah University Banda Aceh

Razali Abdullah (Hal 70 - 76)

• Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD Melalui Pendekatan Kontekstual dan Metode

Permainan

Budiman (Hal 77 - 85)

• Manajemen Kelas dalam Proses Pembelajaran Sejarah di SMA N 8 Kota Banda Aceh

Irwansyah, Cut Zahri Harun, dan Sakdiah Ibrahim (Hal 86 - 91)

• Penerapan Metode Tanya Jawab dan Demonstrasi dalam Pembelajaran Fiqih Meningkatkan

Motivasi Belajar Siswa di Kelas X IPA pada MAN Kuala Makmur Kabupaten Simeulue

Abusmar (Hal 92 - 97)

• Model Pengembangan Metode Quantum Teaching dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Pada Guru SMP Kota Banda Aceh

Sariakin (Hal 98 - 105)

• Dampak Keberadaan Kedai Kopi Bagi IPK Mahasiswa di Kota Banda Aceh

Ruhadi dan Herlina (Hal 106 - 118)

• Meningkatkan Pemahaman Siswa tentang Konsep Pecahan Melalui Benda Manipulatif

Muhamad Saleh (Hal 119 - 124)

· Pendidikan Berbasis Kompetensi Pada Sekolah Menengah Kejuruan

Syaifuddin Yana (Hal 131–135)

· Pembelajaran Administrasi Pemerintah Untuk Dosen Ilmu Sosial politi Badaruddin (Hal 131–135)

Diterbit Oleh

FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

Jurnal

Pendidikan

Serambi Ilmu

Volume 14

Nomor 2 Hal

70 - 124

Banda Aceh

September

2013

Page 2: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

70

TEACHING ENGLISH GRAMMAR TO THE SECOND SEMESTER STUDENT OF THE

ENGLISH DEPARTMENT OF FKIP SERAMBI MEKKAH UNIVERSITY BANDA ACEH

Oleh

*Razali Abdullah

Abstract: Era modernisasi, komunikasi, globalisasi, informasi dan media massa

berkembang dengan pesat. Penggunaan bahasa perlu ditingkatkan agar ketrampilan

berbahasa mahasiswa memiliki ketrampilan memadai. Kajian ini bertujuan untuk

mengetahui kemampuan English grammar mahasiswa semester dua pada FKIP Program

Studi Bahasa Inggris. Seberapa besar penguasaan English grammar mahasiswa. Sampel

yang diambil sebanyak 40 orang mahasiswa. Instrument yang digunakan untuk

pengambilan data 3 model written test yaitu: Multiple choice, Matching items dan Error

Corrections. Semua data dianalisis untuk mengetahui nilai rata-rata, tertinggi dan

terendah. Dari hasil analisis menunjukkan nilai rata-rata yang dicapai mahasiswa 76,5,

nilai tertinggi 96, dan nilai terendah 30. Nilai tersebut digolongkan dalam katagori

sedang (ideal). Berdasarkan grading system yang dikeluarkan depdiknas (1982/1983:52).

Secara umum hasil pengajaran bahasa Inggris dan penguasaan English grammar pada

semua jenjang pendidikan sangat perlu ditingkatkan secara terus-menerus. Berdasarkan

hasil analisis data penelitian, English grammar mahasiswa semester dua masih dalam

katagori sedang (ideal).

Key words: Teaching, Grammar, Error

1. Introduction

Whatever else people do when they

come together-whether they play, fight, work,

or make automobiles-they talk. We live in a

world of language. We talk to our friends, our

associates, our wives and husbands, our lovers,

our teachers, our parents, our rivals, and even

our enemies. We talk to bus drivers and total

strangers. We talk face-to-over the telephone,

and everyone responds with more talk.

Television and radio further swell this torrent

of words. Hardly a moment of our working

lives is free from words, and even in our

dreams we talk and are talked to. We also

talked when there is no one to answer. Some of

us talk aloud in our sleep. We talk to our pets

and sometimes to ourselves. The possession of

language, perhaps more than any other

attribute, distinguishes humans from other

animals. To understand our humanity, one must

understand the nature of language that makes

us human. According to the philosophy

expressed in the myths and religions of many

peoples, language is the source of human life

and power. When we know language, we can

speak and be understood by others who know

that language. This means that we have the

capacity to produce sounds that signify certain

meanings and to understand or interpret the

sounds produced by others.

English is still very important to be

learnt because it is an international language.

As an international language it has been also

used in many different fields such as

economics, industry, politics, and

technology. Really, a great deal of

scientific readings are also written in English (

Valdes, 1999 : 23 ).

In Indonesia English is regarded as a

foreign language and a compulsory subject

which is first learned at the SLTP up to the

university level. This means that all students in

Indonesia formally start studying at the SLTP (

Junior High School). Teaching English at the

* Dr. Razali Abdullah, M.Pd adalah Dosen Kopertis Wil I DPK pada FKIP Universitas Serambi Mekkah

Page 3: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

71

college is focused on improving the students

ability to grammar. Because after graduating

from the college, the students are aimed to

continue their study to master degree level.

That is why English teaching is intended to

improve the ability of college students in

grammar.

Also, grammar in this case, is very

important since it shows us the relationship of

one word to another. So that the grammar is an

order of language. In connection with the

importance of grammar, Bondman ( 1951: 35 )

states as follows grammar is essentially the

analytical approach to a language. It will help

to learn the language, but it will not teach us

everything about the language idiom or

pronunciation.

The university students are also

expected to have learned all important structure

likes English grammar, tense, part of speech,

and the like, one of the grammatical items that

the students of English department should have

learned is the advanced grammar.*English at

the university is emphasized more to master

the four

language skills, which are provided as an

integrated unit. Garis- Garis Besar Program

Pengajaran ( GBPP 1994 : 1 ) also states that :

Tujuan pengajaran bahasa Inggris di

Indonesia adalah pada akhir sekolah

lanjutan tingkat pertama siswa memiliki

ketrampilan mambaca, menjawab,

berbicara, dan menulis dalam bahasa

Inggris melalui tema yang dipilih,

berdasarkan tingkat perkembangan dan

minat mereka, tingkat penguasaan kosa

kata ( lebih kurang 1000 kata ) dan tata

bahasa ( grammar ) yang sesuai.

The statement above shows that the

need for vocabulary item is an important point

as well as grammar and become the main key

to understanding in various kinds of

communication process. Allen and Robecca (

1978 : 150 ) confirm that :

Regardless of specific target language

and condition of an interaction,

vocabulary and grammar are very

important in all language teachings.

Students must continually be learning

words as they learn structures and they

practice the sound system.

Research shows that there is

substantial evidence that university students in

different places in Indonesia have a poor

mastery of English vocabulary as well as

grammar while vocabulary and grammar are a

dominant factor for reading, writing, speaking,

and translating skill ( Rootya, 2005 : 20 ). To

put it in another way, this evidence has not

obtained the target of sufficient level of

grammar as it is expected in guide lines of

teaching program ( GBPP Junior High School,

1994 ).

Since vocabulary and grammar are very

important in language learning there is no

wonder why numerous methods and techniques

have been made and tried in order to present

them to students. New method or technique

seem to have more advantages than the old

ones. Despite this, new method or technique

take into account the human psychology. A

method or technique should be interesting,

challenging, and useful. Various visual aids

have divided as to help students learn the

vocabulary and grammar, at the same time,

arouse their interest to do so.

Even though, grammar is crucially

important in teaching a foreign language,

particularly English, it is not plausible to

neglect another component of language, that is

tense. A large number of words which are

incorrectly constructed into sentences will be

useless for communication because a reader or

a listener cannot understanding them well (

Anderson, 1998 : 15 ).

2. Research problem.

It is not necessary to do a kind of

research without having the problem to be

solved. In accordance with the background of

this study, the research question is formulated

as follows :

Do the students of English department

of FKIP Serambi Mekkah University

master the English grammar

sufficiently ?

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 4: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

72

3. Objective of research.

The goal of study is to obtain current

evidence on the English grammar mastery of

second year students of FKIP Serambi Mekkah

University.

4. Research Hypothesis

Based on the problem mentioned, the

general hypothesis can be formulated as

follows : The second year students of English

department master the English grammar

sufficiently.

5. The Significance of Research.

The result of the proposed study will

also be expected to use as the samples to make

and develop the curriculum materials,

particularly pertinent to the theory and the

English grammar mastery.

This research will be useful to provide

scientific reference for next research to

contribute the improvement of the teaching and

other form of grammar as well.

This research result should be used as an

important source of the teaching grammar skill

as a part of teaching learning process.

6. Review of Related Literature.

It deal with tense, the simple present,

the present perfect, the past perfect, the past

continuous, and the future tense. Tense is a

form taken by a verb to show the time of the

action or state such as :

· She goes ( the simple present tense)

· She went ( the simple past tense)

· She has gone ( the present perfect

tense )

· She is going ( the present continuous

tense ) ( Hornby, 1960 : 1326 )

Sentence Modifier

A sentence is an advervial which

modifiers, as its head, all the rest of the

sentence, and often set apart by terminals –

rising, sustained or falling.

7. Research Methodology It includes the research design,

population and sample, research instrument,

data collection, and data analysis technique.

Research Design.

This research was conducted by using

a descriptive quantitative approach. Because its

aim is to answer question concerning with

current status of the subject of the study, i.e.

English grammar mastery in daily

communication ( Gay, 1987 : 191 ).

Population and Sample

The target population of this research

was the second semester students of English

department of FKIP. They have studied

English grammar two semesters. That is, those

students who were registered in the academic

year 2003/2004. there were 40 students,

because the number of students was relatively

quite small, the researcher used them all as the

subject of the research. The sample for a

quantitative research should be selected

carefully and, if possible, randomly, thereby,

the minimum acceptable sample size for this

research was considered by most researchers to

be no less than forty ( Ary, 1988 : 26 ; Crocks,

1976 : 44 ; Taylor, 1996 : 13 ).

Otherwise, data obtained from a

sample smaller than fourty may give an

inaccurate estimate of the degree of scores that

exist.

Whereas, samples larger than fourty

are much more likely to provide meaningful

result.

Instrument of Data Collection

Instrument used in this research was

written test. There was the English grammar.

And it was also considered as a test on the

productive level of English grammar. To put it

in another way this research is called

standardized test of performance. Nevertheless,

the approach of interviews were also used to

obtain supporting data which were helpful in

drawing conclusions.

Procedure of Data Collection

The English grammar tests were

employed to 40 students of research subjects.

The tests conducted to the English department

students. The schedule of the tests was required

90 minutes. To collect the real data of the

research, scoring system used was rating rates

Razali Abdullah, Teaching English Grammar to the Second Semester Student

Page 5: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

73

scale model developed by Heaton, et al. 1975 :

16.

All of these data can also be used as

the correct input for the level of the teaching

English grammar at the English department of

FKIP. In addition, these data can be used for

the English lecturers especially, lecturers of

English grammar and other lecturers in general

as well.

Data analysis Technique

Tests of English grammar were

conducted by giving the score to the correct

answers. There were converted in percentages.

In computation of the scores, the incorrect

answers of the items were not judged. The

score, however, determined from 01 through

100 point the level of score obtained truly

reflected the total number of correct answer of

each student significant the member ( research

subject ).

Besides, the scores were also tabulated from

highest score to the lowest ones, because in this

research the writer deliberately to find out the

mean, the highest, and the lowest score of the

subject.

The scores were analyzed by the Criterion

Referenced Interpretation ( CRI ). The

students scores obtained from English grammar

were classified according to the grading system

issued by the Department of National

Education. Their scores ranged from 01

through 100 point with five qualifications, that

is, from the level of excellent to the very poor

ones. The classification of their score can be

seen as in the following figure below.

The Grading System for the Students Scores

No Degree of Mastery Qualification Letter Grade Number

Grade

1. 90 - 100 Excellent A 4

2. 80 - 89 Good B 3

3. 65 - 79 Fair C 2

4. 55 - 64 Poor D 1

5. 0 - 54 Very Poor E 0

Source: Adapted from Depdiknas, (1982 / 1983 : 50 )

A student was categorized as “ Pass” when he could obtain at least 55, because this score was

a passing score at FKIP.

8. Research Finding and Discussion

Referring to the research statement

specified, i.e., do the students of English

department of FKIP master the English

grammar sufficiently ?

The research finding showed us

current evidence. The computation of the

primary data can be done by using the

simple statistic and also using the following

formula (Heaton, 1975 : 106).

T

M = X 100 %

N

Where :

M = The percentage of correct answers of

English grammar

N = The number of test items

To get a clear and overall picture

about the students mastery of English grammar

, below is the table of frequency distribution.

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 6: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

74

Table I

Frequency Distributions of Students English Grammar Mastery

No Degree of Mastery Frequency

Interval Point F.X

F %

1 2 3 4 5 6

1 90 - 100 11 27,5 94,9 1043,9

2 80 - 89,9 13 32,5 84,9 1103,7

3 65 - 79,9 9 22,5 71,9 647,1

4 55 - 64,9 3 7,5 59,9 179,7

5 0 - 54,9 4 10 27,9 111,6

40 100% 3086

Source: Appendix 1

Based on the table I above, it shows that

11 (27,5 %) out of 40 students mastered

English grammar test, i.e., between the range

90 – 100. This means that more students had

sufficient mastery of English grammar.

Furthermore, 13 (32,5 %) out of 40 students

mastered English grammar between 80, 00 –

89, 00 of the range. Also, 9 ( 22,5 %) out of 40

students mastered English grammar between

the range 65,0 – 79,9. and 3 ( 7,5 % ) out of

them mastered English grammar test between

the range 55,0 – 64,9.

On the contrary, it also reveals that

students who obtained lower score on the

whole of English grammar test was 4 ( 10 % ) .

to put it in another way, those students

mastered English grammar only in the range of

0,0 – 54,9.

Therefore, 4 ( 10 % ) out of the total students

did not have enough knowledge of this matter.

In addition, as can be seen in the table above

the mean score percentage of the English

grammar test can also be calculated by using

simple statistic and this mean formula below (

Heaton, 1975 :16), that is :

∑f X 3060

X = = = 76,5

∑f 40

Next, from this calculation, it can

reflect that the level mastery of English

department students of English grammar test

was 76,5.

Referring to the result of the analysis

it was found that the level mastery of students

was at the level fair, which according to the

standard of performance issued by the

Department of National Education the students

scores fell within the range of 65.0 – 79.9. it

means that according to the standard the

students mastery of English grammar was

ideal. Yet it was still far from expectation,

although 55.0 was a passing grade.

However, it was important to note that

the mean score of the English grammar was

somewhat at the level of average. This finding

confirms Clark and Clark’s opinion stating that

people understand many things that they cannot

produce, but they rarely produce anything they

do not understand (Clark and Clark, 1977 :

298).

Razali Abdullah, Teaching English Grammar to the Second Semester Student

Page 7: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

75

For further information, the illustrated figure was also presented as follows :

Histogram Distribution of Students Mastery of English Grammar

Y

15

13

11

10 9

9

5

4 3

0 X

0.0 – 54.9 55.0 – 64.9 65.0 - 79.9 80.0 – 89.9 90.0 - 100

Score of English Grammar

As can be seen, the figure above

shows the level mastery of students of English

grammar in qualification. We can see that the

higher bar in figure for English grammar

which mark of B on the X axis that related to

13 on the Y axis. This means that the majority

of students got B score in English grammar

test ability. and mark A consecutively which

related to 11 on the Y axis. Meanwhile, mark C

lies at the level of average score of the students

which also pertinent to 9 of Y axis. Still mark

D, in this case, was the lower bar that relates to

3 on the Y axis. On the other hand, mark E

only relates to 4 on the Y axis. Therefore , 4

(10 %) out of 40 students who took English

grammar test were firmly failed.

In addition, the inadequate mastery of

English grammar as indicated by the students

score should be increased. This is because low

knowledge of grammar presents a major

difficulty for a student of English department

in his communicative approach. In relation to

the importance of communicative approach, in

this matter, the most useful grammar for our

students are also deep grammar of English

language (Diane, 2000 : 16).

9. Conclusions

In reference to the research result and

discussions of the findings, some conclusions

were drawn as follows:

The level mastery of the second semester

students of English department of English

grammar was still ideal. The mean score of

their English grammar fell within the fair

range of the score. The mean score obtained

was 76,5, which also reflected the English

grammar mastery of the students.

The highest score of the English department

students of the English grammar was 96. The

mastery of students of whole items fell within

the excellent range of score. Nevertheless, it

was extremely important to note that more

students have ability to do the English

grammar.

The lowest score of the English department

students of the English grammar test was 30.

The score of students fell within the very poor

range of the score. consequently, in accordance

with the qualifications level, only 4 (10 %) out

of 40 students were failed. This score indicated

that there were some students still shortage of

their knowledge of English grammar.

E D

C

B

A

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 8: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

76

References

Allen, V.F. 1983. Technique in Teaching

Grammar, London: Teaching

English Grammar. London:

Longman Group,Ltd.

Clark and Clark. 1977. Psychology and

Language. San Diego: Harcout

Brace Javanovich, publishers.

Clark, Virginia P., et al. 2003. Language:

Introductory Readings. New

York: St. Martin’s Press, Inc.

Diana. 2000. Teaching English Tense for

Senior High School Students.

London: Longman Group, Ltd.

Heaton, J.H.,1975. Writing English Language

Test Harlow: Logman Group Limited.

Hornby, et. al., 1960. English Dictionary:

Longman Group,Ltd.

Krohn, Robert. 1990. English Sentence

Structure. New York: Harcoart,

Brake & World, Inc.

Gay, L.R. 1987. Educational Research

Competencies for Analysis and

Application. Columbus: Merill

Publishing

Osman, N. 1973. Modern English. A self –

Tutor Class Text for foreign

Students. Canberra: Angus and

Roberton, Ltd.

Rivers, W.M. 1998. Teaching Foreign

Language Skill. New Jersey: The

University of Chicago Press.

Warriner, John E., et al. 2007. English

Grammar and Composition. New

York: Harcoart, Brake & World,

Inc.

Razali Abdullah, Teaching English Grammar to the Second Semester Student

Page 9: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

77

PEMBELAJARAN PECAHAN DI KELAS III SD MELALUI PENDEKATAN

KONTEKSTUAL DAN METODE PERMAINAN

Oleh

*Budiman

Abstrak: Matematika merupakan objek abstrak, dengan ciri utamanya adalah penalaran

deduktif. Dalam kegiatan pembelajaran di SD, objek-objek abstrak matematika itu harus

dapat disajikan dalam bentuk yang kongkrit, kontekstual dan menyenangkan. Melalui

penelitian ini dicoba diimplementasikan pendekatan kontekstual dan metode permainan,

dengan bahan ajar (1) Mengenal pecahan sederhana, dan (2) Membandingkan dua pecahan.

Sampel penelitian diambil secara purposif yaitu kelas III SD Negeri 16 Banda Aceh yang

semuanya ada dua kelas. Dari dua kelas tersebut, telah terpilih secara random kelas +++怠

sebagai kelas eksperimen, dan kelas +++態 sebagai kelas kontrol. Pada kelas eksperimen,

kegiatan belajar dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kontekstual dan metode

permainan. Sementara di kelas kontrol, kegiatan belajar dilaksanakan dengan metode

konvensional. Setelah dua kali pertemuan masing-masing selama 3x35 menit, kedua

kelompok diberikan tes akhir. Hasil pengolahan data menunjukkan untuk kelas yang

menggunakan pendekatan kontekstual dan metode permainan, telah mencapai nilai rata-rata

77,88 dan untuk kelas yang menggunakan metode konvensional (kelompok kontrol)

diperoleh nilai rata-rata 59,94. Data tersebut menunjukkan bahwa implementasi pendekatan

kontekstual dan metode permainan memberikan efek positif terhadap pemahaman pecahan

sederhana dan perbandingan dua pecahan. Analisis data dengan menggunakan uji Man-

Whitney U pada taraf signifikansi 糠 噺 ど┸どの menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan

dengan menggunakan pendekatan kontekstual dan metode permainan memperoleh prestasi

belajar yang lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan metode konvensional.

Kata kunci: Pendekatan Kontekstual, Metode Permainan, Metode Konvensional, Pecahan.

Pendahuluan

Analisis mengenai kualitan output

pendidikan, dua faktor utama sering menjadi

diskusi yang menarik bagi para ahli, yaitu (1)

kualitas guru, dan (2) sarana yang tersedia

disekolah khususnya kelengkapan fasilitas

laboratorium serta media dan alat pembelajaran

lainnya. Guru yang berkualitas akan mampu

berperan secara efektif sebagai agen

pembelajaran, dan tingkat keefektifan peran

mereka tergantung pada tingkat kompetensi

yang dimiliki yang mencakup (1) kompetensi

kepribadian, (2) kompetensi pedagogik, (3)

kompetensi sosial dan, (4) kompetensi

profesional (Depdiknas, 2009:3).

Matematika adalah objek abstrak yang

sering ditakuti oleh siswa. Objek abstrak yang

juga sering disebut objek dasar itu meliputi

fakta, konsep, operasi, ataupun relasi, dan

prinsip. Dari objek dasar itulah disusun suatu

pola dan struktur matematika (Depdiknas,

2004:9). Guru perlu memahami wawasan

matematika diatas sebelum mengajarkan

konsep dan prosedur matematika kepada

siswanya. Di samping itu, pembelajaran

matematika hendaknya dilaksanakan dalam

suasana yang menyenangkan dan terhindar dari

rasa takut siswa. Hal ini berarti guru harus kaya

dengan metode, pendekatan, model, dan

strategi pembelajaran yang digunakan secara

tepat mulai pra pembelajaran, kegiatan inti,

dan penutup, sebagaimana diharapkan pada

salah satu kompetensi pedagogik guru SD/MI

yaitu “Menguasai teori belajar dan prinsip-

prinsip pembelajaran yang mendidik”, dengan

riciannya (1) Memahami berbagai teori belajar

dan prinsip-prinsip pembelajaran yang

mendidik terkait dengan lima mata pelajaran

SD/MI; (2) Menerapkan berbagai pendekatan,

strategi, metode dan teknik pembelajaran yang

mendidik secara kreatif dalam lima mata

pelajaran SD/MI; dan (3) Menerapkan

pendekatan pembelajaran tematis, khususnya di

kelas-kelas awal SD/MI (Permendiknas No.16

Tahun 2007).

*Drs. Budiman, M.Si. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah

Page 10: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

78

Salah satu kompetensi kepribadian

guru yang tercermin pada kegiatan pra

pembelajaran adalah “Menampilkan diri

sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia,

dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat”

(Permendiknas No.16 Tahun 2007).

Manifestasi dari kompetensi ini yang dapat

membawa pada suasana pembelajaran yang

menyenangkan sekaligus dapat menarik

perhatian siswa sebagai awal dari motivasi

belajar, adalah memberi salam yang sesuai

dengan ajaran islam ketika akan masuk

keruang kelas, yaitu “Assalamu’alaikum

warahmatullahi wabarakatuh”. Kemudian

bacalah sepotong hadis atau ayat Al-Quran,

misalnya (yang terjemahannya) “Allah

mengangkat (derajat) orang-orang yang

beriman diantara kamu dan yang diberi ilmu

pengetahuan beberapa derajat” (QS 58:11).

Pada kegiatan inti, guru dapat

menerapkan pendekatan kontekstual dengan

cara membuat kelompok belajar 4-6 orang.

Kelompok belajar ini merupakan kelompok

heterogen yang terdiri dari campuran siswa

yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.

Menurut Nurhadi (2002: 1) pendekatan

kontekstual merupakan konsep belajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa

dan mendorong siswa membuat hubungan

antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

penerapannya dalan kehidupan sehari-hari. Inti

dari komponen kontekstual adalah

konstruktivis, dan menurut Zahorik (Nurhadi,

2002: 7), terdapat lima elemen belajar

konstruktivis yang harus diperhatikan dalam

pengimplementasian pendekatan kontekstual,

yaitu (1) pengaktivan pengetahuan sebelumnya,

(2) pemerolehan pengetahuan baru, (3)

pemahaman pengetahuan, (4) mempraktekkan

pengetahuan dan pengalaman tersebut, dan (5)

melakukan refleksi.

Untuk memperdalam pemahaman

siswa dengan kegiatan yang menggembirakan

selama metode konvensional, guru secara

simultan dapat menerapkan metode permainan.

Metode permainan merupakan salah satu

metode diantara 10 metode yang dianjurkan

Silberman (2008:42) untuk mendapatkan

partisipasi aktif siswa pada saat kapan saja

selama pembelajaran. Lebih lanjut Silberman

(2008:44) mengatakan: “Permainan juga dapat

membantu memecahkan suasana dramatis yang

kelak akan terus diingat oleh siswa. Dalam

kaitannya dengan pembelajaran matematika,

Sudjana W (1986:18) menjelaskan bahwa

permainan matematika dapat meningkatkan

keterampilan, penanaman konsep, pemahaman

dan pemantapannya, meningkatkan

kemampuan menemukan dan memecahkan

masalah. Permainan matematika juga dapat

menciptakan suasana yang menggembirakan

sehingga memungkinkan tercapainya tujuan

pembelajaran dalam ketiga aspek: kognitif,

psikomotor, dan afektif.

Sebelum melaksanakan permainan,

guru bersama siswa mendiskusikan terlebih

dahulu mengenai konsep dan prosedur

matematika yang telah direncanakan. Dalam

penelitian ini, yang didiskusikan adalah tentang

“(1) Mengenal pecahan sederhana, dan (2)

Membandingkan dua pecahan” selama dua kali

pertemuan masing-masing 3x35 menit, dan tes

akhir selama 1x35 menit. Disini juga dituntut

kreativitas guru untuk menggunakan media,

sehingga secara kontekstual siswa mudah

memahami pengertian 怠態 " ┸ 怠戴 " ┸ 怠替 " ┸ 泰腿"┸ dan

sebagainya. Misalnya semangka dipotong

menjadi 2 bagian yang sama besar, masing-

masing disebut “satu perdua” atau “seperdua”

dengan lambangnya “"怠態 g. Pepaya yang dibelah

menjadi 4 bagian yang sama besar, masing-

masing bagian disebut “satu perempat” atau

“seperempat”, dua bagiannya disebut

“duaperempat”, tiga bagiannya disebut

“tigaperempat”, dan empat bagiannya disebut

“empatperempat”, yang masing-masing

dilambangkan dengan 1

4┸ 2

4┸ 3

4┸ 穴欠券"g 替替 g

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 11: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

79

Gambar 1. Pengertian pecahan diajarkan secara kontekstual

Membandingkan dua pecahan didiskusikan dengan memanfaatkan benda konkret berikut.

Gambar 2. Membandingkan Dua Pecahan dengan Benda Kongkret.

(Sumber gambar:http://cara-membuat.org/manfaat-apel-merah, dan http://pangeran45cahaya.blogspot

.com/2012/06/khasiat-apel-hijau.html)

Budiman, Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD

Page 12: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

80

Pendalaman pemahaman konsep pada tahap

kegiatan inti, dilakukan dengan memanfaatkan

media model kartu domino. Media ini terdiri

dari 20-28 lembar kartu (lihat lampiran). Cara

permainannya adalah sebagai berikut:

· Pembelajaran Pengenalan Pecahan

sederhana

Siswa memasangkan gambar dengan

angka atau angka dengan angka atau

gambar dengan gambar yang senilai

atau ekivalen.

Gambar 3. Contoh permainan pengenalan

pecahan sederhana.

· Pembelajaran Perbandingan Dua

Pecahan yang Nilainya Lebih Besar.

Siswa memasangkan suatu gambar

dengan angka atau angka dengan

angka atau gambar dengan gambar

yang nilainya lebih besar.

Gambar 4. Contoh permainan membandingkan

dua pecahan yang nilainya lebih besar

Pada contoh permainan di atas, 怠戴 >

怠泰 , 怠態 > 怠戴

, dan 態戴 >

怠替 .

· Pembelajaran Perbandingan Dua

Pecahan yang Nilainya Lebih Kecil.

Aturan permainannya yaitu siswa

memasangkan suatu gambar dengan

angka atau angka dengan angka atau

gambar dengan gambar yang nilainya

lebih kecil.

Gambar 5. Contoh permainan membandingkan

dua pecahan yang nilainya lebih kecil.

Pada permainan di atas, 怠替 <

態替 , 怠戴 < 態戴 , dan

態滞 <

戴滞 .

Aturan permainannya sebenarnnya

banyak sekali, tergantung tujuan yang ingin

dicapai, minat, dan kondisi siswa. Permainan

dapat dilaksanakan secara perorangan (satu

lawan satu) atau berkelompok masing-masing

dua siswa atau lebih (biasanya 4 pemain, dua

lawan dua). Aturan permainannya untuk empat

pemain dapat dilaksanakan sebagai berikut:

(1) Kocok semua kartu dan bagikan setiap

pemain 4 kartu.

(2) Buka 1 kartu dari tumpukan kartu sisa

diatas meja.

(3) Secara bergantian pemain menyambung

kartu yang terbuka dengan nilai pecahan

yang sesuai.

(4) Nilai pecahan yang sesuai dapat

disambung antara gambar dengan gambar,

gambar dengan angka, dan angka dengan

angka hanya saja angka dengan angka

tidak boleh terbalik.

(5) Bila pada gilirannya, pemain tidak

memilih kartu yang sesuai maka ia harus

mengambil dari tumpukan kartu sisa

sampai memperoleh kartu yang sesuai.

(6) Bila kartu siswa habis dan pemain tidak

mempunyai kartu yang sesuai maka

dilewati oleh pemain berikutnya.

(7) Pemenang adalah pemain (atau kelompok

pemain) yang pertama kali kartunya habis

atau yang memiliki kartu yang sedikit.

Antusiasme belajar-mengajar sesama

siswa dalam kelompok dapat terus

dibangkitkan dengan meyakinkan mereka

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 13: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

81

bahwa musyarawah (disini berbentuk belajar

secara kelompok) sangat dianjurkan,

sebagaimana firman Allah: Dan (bagi) orang

beriman (mematuhi) seruan Tuhan dan

melaksanakan shalat, sedang urusan mereka

(diputuskan) dengan musyarawah antara

mereka... “(QS,42:38).

Perlunya penggunaan media dalam

pembelajaran dapat disimak dari pendapat para

ahli pendidikan. Nana Sudjana dan Ahmad

Rifai (1991:2), mengatakan bahwa penggunaan

media dalam proses belajar mengajar dapat

menarik perhatian dan menambah aktivitas

belajar siswa. Sirodjuddin (dalam

http://ardansirodjuddin.blogspot.com/2007/10/

kartu-domino-unsur.html.2008/11)

menambahkan bahwa dengan menggunakan

media pembelajaran akan lebih menarik karena

siswa bisa melihat, mencoba, berbuat dan

berfikir.

Permainan dalam pembelajaran akan

menimbulkan suasana yang menyenangkan.

Menurut Sadiman (2008:140) permainan dapat

menunjukkan kegembiraan dan tidak

melelahkan dalam belajar. Pada permainan

matematika seperti yang disebutkan diatas,

secara tidak langsung siswa dituntut harus

mengerti tentang kosep pecahan. Pada saat

siswa bermain, keterlibatan antar siswa sangat

tinggi dimana siswa akan membangun

pengetahuan sendiri lewat keterlibatan aktif

dan interaksi sesama mereka. Apabila dalam

kelompok belajar ada anggotanya kurang

memahami materi tersebut maka anggota

lainnya yang lebih pandai akan memberikan

informasi mengenai konsep pecahan sehingga

terjadi pengajaran teman sebaya. Pada akhir

pembelajaran, siswa diberi ulangan untuk

mengetahui tingkat kemampuan akademik

secara individu.

Berdasarkan uraian diatas, pada

penelitian ini ingin dikaji, apakah prestasi

belajar siswa kelas III SD pada materi pecahan

yang diajarkan dengan pendekatan kontekstual

dan metode permainan lebih baik daripada

prestasi mereka yang diajarkan dengan metode

konvensional.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah

dasar (SD) Negeri 16 Banda Aceh. Pelaksanaan

pembelajaran (eksperimen) berlangsung pada

tanggal 27 Januari sampai dengan 4 Pebruari

2011. Sampel penelitian ini ditetapkan secara

purposif, yaitu seluruh siswa kelas +++怠 dan

kelas +++態 (sebab di SD tersebut kelas III hanya

mempunyai 2 kelas saja). Selanjutnya secara

random ditetapkan kelas eksperimen dan kelas

kontrol, dan terpilih masing-masing kelas +++怠

dengan banyak siswa 37 orang dan kelas +++態

dengan jumlah siswa 34 orang. Kelas +++怠

merupakan kelas yang diajarkan dengan

pendekatan kontekstual dan metode permainan,

dan kelas +++態 merupakan kelas yang hanya

menggunakan metode konvensional tanpa

permainan matematika.

Penelitian ini dilaksanakan oleh

seorang guru yang telah diberi pembekalan

sebelumnya. Pada saat berlangsungnya

kegiatan inti, siswa dikelas eksperimen

melaksanakan kegiatan belajar dalam

kelompok dilanjutkan dengan permainan

matematika, dan setelah itu diberikan LKS

(lembar kerja siswa). Sementara dikelas

kontrol, kegiatan belajar hanya berlangsung

secara klasikal saja dan dilanjutkan dengan

mengerjakan LKS.

Data dikumpulkan dengan

menggunakan instrumen tes. Untuk

membandingkan hasil belajar siswa pada

materi pecahan antara siswa yang diajarkan

dengan menerapkan pendekatan kontekstual

dan metode permainan dengan yang hanya

menggunakan metode konvensional tanpa

permainan matematika, digunakan uji Mann

Whitney U (Siegel,1986:150-151).

Budiman, Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD

Page 14: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

82

Hasil Peneliitian

Data yang diperoleh dari hasil tes dapat dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Prestasi Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

INTERVAL Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kategori

Absolut Relatif Absolut Relatif

40 - 49 2 5,41 9 26,47 Sangat kurang

50 - 59 2 5,41 12 35,29 Kurang

60 - 69 5 13,51 5 14,71 Cukup

70 - 79 11 29,73 5 14,71 Baik

80 - 89 10 27,03 2 5,88 Sangat baik

90 - 99 7 18,92 1 2,94 Istimewa

100,00 100,00

Keterangan: KKM = 60.

Data tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelas

eksperimen atau kelas yang diajarkan dengan

menerapkan pendekatan kontekstual dan

metode permainan, hanya 10,81% siswa belum

mencapai nilai tuntas (kategori “sangat kurang”

dan “kurang”), sedangkan 89,19% lainnya

tuntas, yaitu masing-masing 13,51% pada

kategori “cukup”, 29,73% pada kategori

“baik”, 27,03% pada kategori “sangat baik”

dan 18,92% pada kategori “istimewa”. Pada

kelas kontrol, yaitu kelas yang menggunakan

metode konvensional, terdapat 61,76% siswa

belum tuntas atau belum mencapai kriteria

ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan

sekolah, sehingga yang tuntas hanya 38,24%.

Diagram berikut menggambarkan situasi yang

dideskripsikan diatas.

Pembahasan

Kenyataan menunjukkan bahwa masih

banyak siswa SD belum mampu memahami

matematika. Lebih parah lagi, sebagian mereka

menganggap bahwa matematika itu kurang

bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Salah

satu penyebabnya adalah, metode atau

pendekatan pembelajaran yang digunakan guru

belum mengaitkan dengan kehidupan

keseharian siswa atau tidak kontekstual dan

kurang menyenangkan. Upaya mengatasi

masalah diatas adalah, guru hendaknya

berusaha menguasai matematika yang akan

diajarkannya serta bagaimana cara

mengajarkannya kepada siswa (Depdiknas,

2004:3-4).

Telah disebutkan bahwa matematika

itu bersifat abstrak, dan ciri utamanya adalah

penalaran deduktif. Dalam kegiatan

pembelajaran di SD, objek-objek abstrak

matematika itu harus dapat disajikan dalam

bentuk yang kongkrit, kontekstual dan

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99

5.41 5.41

13.51

29.73 27.03

18.92

26.47

35.29

14.71 14.71

5.88

2.94

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Persen siswa

Interval nilai

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 15: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

83

menyenangkan. Kongkretisasi objek-objek

matematika sangat diperlukan oleh siswa SD,

sehingga mereka mudah memahami konsep,

prosedur dan algoritma perhitungannya.

Penelitian ini dicoba

mengimplementasikan pendekatan kontekstual

dan metode permainan, dengan bahan ajar (1)

Mengenal pecahan sederhana, dan (2)

Membandingkan dua pecahan. Dalam

pelaksanaannya, siswa dikelompokkan 4-5

siswa perkelompok. Sesuai dengan disain

penelitiannya, telah dipilih secara random kelas +++怠 sebagai kelas eksperimen dan kelas +++態

sebagai kelas kontrol. Pada kelas eksperimen,

telah diimplementasikan pendekatan

kontekstual dan metode permainan, dan setelah

itu diberikan LKS (lembar kerja siswa).

Sementara dikelas kontrol, kegiatan belajar

berlangsung dengan metode konvensional dan

dilanjutkan dengan mengerjakan LKS. Setelah

dua kali pertemuan masing-masing selama

3x35 menit, kedua kelompok deiberikan tes

akhir.

Hasil pengolahan data menunjukkan

pada kelas eksperimen telah mencapai nilai

ketuntasan yaitu rata-rata 77,88, sementara di

kelompok kontrol diperoleh rata-rata 59,94.

Data tersebut menunjukkan bahwa pendekatan

kontekstual dan metode permainan

memberikan efek positif terhadap pemahaman

pecahan sederhana dan perbandingan pecahan.

Hal ini antara lain disebabkan kegiatan belajar

konstruktivis pada pendekatan kontekstual

dilaksanakan siswa antara lain melalui

penyusunan konsep sementara, kemudian

melakukan sharing kepada temannya untuk

mendapat tanggapan atau validasi dan

berdasarkan validasi ini, konsep tersebut

direvisi dan dikembangkan serta pengetahuan

tersebut dipraktekkan (Nurhadi, 2002: 7), yaitu

dipraktekkan melalui permainan pecahan.

“Permainan dapat menunjukkan kegembiraan

dan tidak melelahkan dalam belajar”, ujar

Sudjana (2001:140). Lebih lanjut, analisis data

dengan menggunakan uji Mann-Whitney U

menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan

dengan mengimplementasikan pendekatan

kontekstual dan metode permainan

memperoleh prestasi yang lebih baik daripada

siswa yang diajarkan dengan metode

konvensional. Data ini menunjukkan bahwa

penggunaan pendekatan kontekstual dan

metode permainan dapat membuat suasana

kelas menyenangkan (dan mungkin) belajar

matematika tidak membosankan, sehingga

dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

Selama berlangsungnya permainan,

keterlibatan antar siswa sangat tinggi dimana

siswa akan membangun pengetahuan sendiri

lewat keterlibatan aktif dalam permainan.

Apabila dalam kelompok belajar ada anggota

yang kurang memahami materi tersebut maka

anggota lainnya yang lebih pandai akan

memberikan informasi mengenai kosep

pecahan sehingga terjadi interaksi berupa

pengajaran teman sebaya. Keadaan ini

didukung oleh data pengamatan bahwa selama

permaianan matematika, siswa menunjukkan

keaktifan yang lebih tinggi. Data pengamatan

ini juga sesuai dengan yang disebutkan Hudojo

(1980:11) bahwa jika suatu konsep matematika

disajikan melalui permainan, pengertian

terhadap konsep diharapkan akan mantap,

sebab belajar dengan cara bermain sesuai

dengan nalurinya anak. Penelitian yang

dilakukan oleh Isoelsoleh (2008) menunjukkan

bahwa pembelajaran melalui permainan

menggunakan media model kartu domino dapat

meningkatkan hasil belajar siswa SMP. Hal ini

menunjukkan bahwa pembelajaran matematika

melalui permainan dapat mendorong siswa

memahami konsep matematika.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pengolahan dan

analisis data, dapat diambil simpulan berikut:

1) Untuk kelas yang mengimplementasikan

pendekatan kontekstual dan metode

permainan telah mencapai nilai rata-rata

77,88, dan untuk kelas yang hanya

menggunakan metode konvensional

diperoleh nilai 59,94.

2) Bahwa siswa yang diajarkan dengan

pendekatan kontekstual dan metode

permainan memperoleh prestasi yang

lebih baik daripada siswa yang diajarkan

dengan metode konvensional.

Data penelitian telah menunjukkan

bahwa pendekatan kontekstual memberikan

efek positif terhadap penguasaan konsep

pecahan. Lebih lanjut, penggunaan metode

permainan dapat membuat suasana kelas aktif

dan menyenangkan. Berdasarkan hal tersebut,

berikut ini diajukan beberapa saran.

1) Guru hendaknya memahami dan mampu

mengimplementasikan bermacam metode

dan pendekatan pembelajaran sesuai

dengan karakteristik materi matematika

Budiman, Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD

Page 16: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

84

dan siswa sehingga dapat meningkatkan

prestasi belajar matematika siswa

disekolah.

2) Diharapkan kepada guru-guru

matematika, khususnya guru matematika

SD untuk dapat mengimplementasikan

pendekatan kontekstual dan metode

permainan ketika mengajar “pecahan

sederhana dan perbandingan pecahan”

sehingga suasana kelas lebih aktif dan

menyenangkan.

3) Guru matematika hendaknya dapat

memodifikasi media permainan

matematika yang digunakan pada topik

pecahan ini untuk digunakan dalam

pembelajaran topik matematika lainnya.

Daftar Pustaka

Depag. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Jakarta.

Depdikans. 2004. Materi Pelatihan

Terintegrasi Matematika, Jilid 1. Jakarta

Depdiknas. 2007. Permendiknas N0.16 Tahun

2007

Depdiknas. 2009. Sertifikasi Guru dalam

Jabatan. Buku 3. Jakarta

Hudojo, Herman. 1980. Metode Mengajar

Matematika. Jakarta: Prospek

Pengembangan Pendidikan Guru.

http://cara-membuat.org/manfaat-apel-merah.

Diunduh Januari 2013.

http://pangeran45cahaya.blogspot.com/2012/06

/khasiat-apel-hijau.html. Diunduh

Januari 2013

Isoelsoleh. 2008. Pembelajaran Kartu Domino

pada Siswa Kelas VII di SMP Negeri I

Purwodadi 2007/2008 Tersedia:

http://one.indoskripsi.com/judul-

skripsi/pendidikan-matematika/

Pembelajaran-matematika-

menggunakan-media-pembelajaran-

kartu-domino-pada-siswa-ke las-vii-

/200811/

Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual.

Jakarta: Depdiknas

Siegel, Sidney. 1998. Statistik Untuk Ilmu-Ilmu

Sosial. Terjemahan oleh Zanzawi

Suyuti dan Landung Simatupang

dari Nonparametric Statistic for the

Behavioral Sciences. Jakarta:

Gramedia

Sirodjuddin, Kukuh Ardan. 2008. Unsur Kartu

Domino. Tersedia:

http://ardansidrodju

ddin.blogspot.com/2007/10/kartu-

domino-unsur.html/ 2008/11).

Sadiman, 2008. Media Pendikan. Jakarta:

PT.Rajagrafindo Persada

Silberman, Melvin L. 2008. Active Learning.

MN: Interaction Book Company

Sudjana, Nana dan Rifai, Ahmad. 1991. Media

Pengajaran. Bandung: Sinar Baru

Algensindo

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 17: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

85

LAMPIRAN: Contoh kartu permainan matematika

Budiman, Pembelajaran Pecahan di Kelas III SD

Page 18: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

86

MANAJEMEN KELAS DALAM PROSES PEMBELAJARAN SEJARAH

DI SMAN 8 KOTA BANDA ACEH

Oleh

*Irwansyah, **Cut Zahri Harun, dan **Sakdiah Ibrahim

Abstrak:Manajemen kelas cara untuk mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang: pengelolaan, usaha-usaha, dan faktor

pendukung serta hambatan dalam pelaksanaan manajemen kelas yang dilakukan oleh guru

sejarah pada SMAN 8 Kota Banda Aceh. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif destriptif. Tehnik pengumpulan data melalui wawancara,

observasi, dan studi dokumen. Tehnik analisa data adalah reduksi data, display data, dan

verifikasi. Subjek penelitian adalah kepala sekolah, waka kurikulum, waka sarana prasarana,

serta guru bidang studi sejarah. Hasil penelitian menunjukkan kegiatan pembelajaran sejarah

sudah sesuai dengan aspek-aspek manajemen kelas. Pelaksanaan manajemen kelas

melibatkan kegiatan antara lain : melihat kondisi kelas, menata ruangan kelas, mengatur

tempat duduk, ventilasi Udara yang baik. Usaha-usaha yang dilakukan, persiapan

administratif, penggunaan metode dan media yang bervariasi, serta pendekatan pluralistik.

Adapun faktor penghambat,: kurangnya motivasi siswa, kurangnya disiplin guru dan orang

tua. Kurangnya fasilitas lab, dan buku studi sejarah sehingga siswa kurang fokus dalam

proses belajar mengajar.

Kata Kunci: Manajemen kelas dan Pembelajaran Sejarah

Pendahuluan

Keberhasilan siswa dalam belajar

sangat ditentukan strategi pembelajaran.Guru

dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,

dan mengevaluasi peserta didik pada jalur

pendidikan formal. Guru dituntut untuk

memahami komponen-komponen dasar dalam

melaksanakan kegiatan pembelajaran, salah

satu hal yang berkaitan erat dengan

peningkatan kualitas

proses belajar mengajar secara operasional

yang berlangsung di dalam kelas. Guru yang

hebat adalah guru yang kompeten secara

metodologi pembelajaran dan keilmuan.

Tautan antara keduanya tercermin dalam

kinerjanya selama tranformasi pembelajaran.

Pada konteks tranformasi inilah guru harus

memiliki kompetensi dalam mengelola semua

sumber daya kelas, seperti ruang kelas,

fasilitas pembelajaran, suasana kelas, siswa

dan interaksi sinergisnya. Disinilah esensi

bahwa guru harus kompeten di bidang

manajemen kelas atau lebih luas lagi disebut

sebagai manajemen pembelajaran, (Danim &

Yunan, 2010:66-67).

Manajemen Kelas dan Faktor yang

Mempengaruhinya

A. Pengertian manajemen kelas

Sementara, manajemen berasal dari

bahasa Inggris, management, yang berarti

ketatalaksanaan, tata pimpinan dan

pengelolaan Secara peristilahan, yang

dimaksud dengan pengelolaan adalah suatu

proses pengawasan yang dilakukan terhadap

semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan

kebijakan dan pencapaian tujuan, Rusydie(

2011 : 24- 25). Kelas menurut Arikunto (2011:

3), ” kelas bukan wujud ruangan , tetapi

sekelompok peserta didik yang sedangbelajar”.

B. Tujuan Manajemen Kelas

Secara umum manajemen kelas

bertujuan untuk menciptakan suasana kelas

yang nyaman untuk tempat berlangsungnya

proses belajar-mengajar. Dengan pengelolaan

kelas Guru mudah melihat melihat dan

mengamati setiap kemajuan/perkembangan

yang dicapai siswa, terutama siswa yang

lamban.

*Irwansyah adalah Magister Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

**Cut Zahri Harun. adalah Dosen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

**Sakdiah Ibrahim adalah Dosen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Page 19: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

87

C. Prinsip-Prinsip Manajemen Kelas

Prinsip-prisip Manajemen kelas

merupakan konsep-konsep yang harus

diterapkan di dalam proses belajar mengajar.

Menurut Rusydie (2011: 35-45) bahwa

prinsip-prinsip Manajemen kelas adalah

sebagai berikut:

1. Guru harus hangat dan antusias

2. Guru harus mampu memberi

tantangan

3. Guru harus bersikap luwes

4. Penekanan pada hal-hal yang positif

5. Penanaman pada disiplin diri

Tujuan akhir dari pengelolaan kelas

adalah anak didik dapat mengembangkan

disiplin dengan baik.

D. Aspek-Aspek Manajemen Kelas

Dalam kelas untuk menciptakan

kondisi kelas yang terarah ,pengelola kelas

perlu menjalani tindakan manajemen

administrasi; yang meliputi perencanaan,

pengorganisasian, ,pengarahan,

pengkoordinasian, pengkomunikasian, dan

pengontrolan.

Agar seluruh program kelas dapat

direalisasikan secara efektif mencapai tujuan,

maka kegiatan administratif manajemen diatas

harus ditunjang oleh kegiatan operatif

manajemen berikut ini: 1) Tata Usaha Kelas 2)

Perbekalan Kelas 3) Keuangan Kelas 4)

Personal Kelas 5) Kehumasan. Serta

Kepemimpinan Guru dan Wali Kelas

Tim Dosen Administrasi UPI

(2009:126), bahwa ”kepemimpinan

pendidikan merupakan kemampuan

menggerakkan pelaksanaan pendidikan,

sehingga tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan

efesien”.

E. Pendekatan Dalam manajemen Kelas

Pendekatan yang dapat dijadikan

sebagai alternatif pertimbangan dalam upaya

menciptakan disiplin kelas yang efektif,

Menurut Rusydie (2011: 48-56) antara lain

sebagai berikut :a) Pendekatan Kekuasaan b)

Pendekatan ancaman c) Pendekatan

Kebebasan d) Pendekatan Resep e)

Pendekatan Pengajaran f) Pendekatan

Perubahan Tingkah Laku g) Pendekatan Sosio-

emosional h) Pendekatan Proses Kelompok i)

Pendekatan Pluralistik

F. Faktor-Faktor Pendukung dan

Penghambat Dalam Manajemen Kelas

a. Faktor-Faktor Pendukung

Manajemen Kelas

Kurikulum, Kunandar, (2010:113)

bahwa: “kurikulum harus di rancang dalam

rangka lebih mengembangkan segala

potensi yang ada pada peserta didik. Oleh

karena itu, kurikulum jangan sampai

membebani peserta didik, seperti beban belajar

yang terlalu berat”.

Perencanaan dalam membangun

sebuah gedung untuk sebuah sekolah harus

berkenaan dengan jumlah dan luas setiap

ruangan, letak dan dekorasinya yang harus

disesuaikan dengan kurikulum yang

dipergunakan.

Program kelas tidak akan berarti

bilamana tidak diwujudkan menjadi kegiatan.

Untuk itu peranan guru sangat menentukan

karena kedudukannya sebagai pemimpin

pendidikan diantara murid-murid dalam suatu

kelas.

Murid merupakan potensi kelas yang

harus dimanfaatkan guru dalam mewujudkan

proses belajar mengajar yang efektif.

b. Faktor-Faktor Penghambat

manajemen kelas

Menurut R. Dreikus dan P. Cassel

(Rohani, 2010: 145-146) bahwa, masalah

pengelolaan kelas individual dibedakan

menjadi 4 macam yaitu:

1. Perilaku suka mencari perhatian (Attention

Getting Behaviors).

2. Perilaku sok Berkuasa (Power Seeking

Behaviors).

3. Perilaku Suka membalas dendam (Revenge

Seeking Behaviors).

4. Perasaan Tidak berdaya (Helplessness).

Rusydie (2011:73) mengemukakan dua

kategori dalam masalah kelompok pada

manajemen kelas yaitu:

1. Sentimen Ras

Siswa terkadang tidak dapat

memanfaatkan tujuan belajar kelompoknya

dengan baik karena kondisi kelas yang kurang

nyaman. Masalah ini biasanya di pengaruhi

oleh alasan-alasan yang kurang rasional,

seperti perbedaan jenis kelamin, suku, tingkat

sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Reaksi yang berlebihan

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 20: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

88

Reaksi bisa disebabkan oleh berbagai

faktor, seperti adanya rasa tidak senang,

sentiment, dan semacamnya.

G. Usaha preventif Masalah

Manajemen kelas

Menurut Rohani (2010: 148-150),

dimensi pencegahan dapat merupakan

tindakan guru dalam mengatur lingkungan

belajar, mengatur peralatan , dan lingkungan

sosio-emosional.

H. Efektivitas Manajemen Kelas

Efektivitas adalah kemampuan untuk

memilih sasaran yang tepat. menurut Peter F.

Drucker (Siswanto, 2011:19), bahwa prestasi

seorang manajer dapat diukur berdasarkan dua

konsep, yaitu efesiensi (efficiency) dan

efektivitas (effectivity). Efisiensi berarti

menjalankan pekerjaan dengan benar,

sedangkan efektifivas berarti menjalankan

pekerjaan yang benar. Menurut Bogue &

saunders (Syafaruddin, 2008: 47) bahwa,

”tugas pertama dan utama manajer pendidikan

adalah menjamin bahwa sasaran dari

organisasi pendidikan secara jelas dinyatakan

dan dipahami, mengusahakan sumber daya

dan mengalokasikan, mengintegrasikan

sumber daya personel dengan organisasi, dan

melaksanakan program dan evaluasi personel

organisasi”.

I. Pembelajaran Sejarah

Dimyati & Mudjiono ( 2006: 7)

menyatakan bahwa: mengajar adalah upaya

dalam memberikan stimulus, bimbingan,

pengarahan dan dorongan kepada siswa

agar terjadi proses belajar. Belajar sebagai

perubahan tingkah laku pada diri individu

berkat adanya interaksi antara individu dengan

individu dan individu dengan lingkungannya

sehingga mereka mampu berinteraksi dengan

lingkungannya.

2. Faktor-faktor Interaksi dalam

pembelajaran

Menurut Rohani (2010: 122-140),

Dalam aktivitas pendidikan ada lima faktor

pendidikan yang dapat membentuk pola

interaksi atau saling mempengaruhi namun

faktor integratirnya terutama terletak pada

pendidikan dengan segala kemampuan dan

keterbatasannya, yaitu:

a. Faktor tujuan

b. Faktor materi/isi

c. Faktor guru dan peserta didik

d. Faktor metode

e. Faktor situasi

3. Pembelajaran sejarah Menurut Hugiono dan Poerwantana (

Isnaeni & Apid, 2008: 1) mendefinisikan

“Sejarah sebagai gambaran tentang peristiwa

masa lampau yang dialami manusia, disusun

secara ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi

tafsiran dan analisis kritis, sehingga mudah

dimengerti dan dipahami”. Sementara itu

menurut Sartono kartodirdjo ( Isnaeni & Apid

2008: 1) secara singkat mengkonsepkan

”sejarah sebagai bentuk penggambaran

pengalaman kolektif pada masa lampau”.

Metode Penelitian

A.Pendekatan penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan

kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.

Satori & Komariah (2010: 25), mendefinisikan

penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan

penelitian yang mengungkap situasi sosial

tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan

secara benar, dibentuk oleh kata-kata

berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis

data yang relevan yang diperoleh dari situasi

yang alamiah.

B.Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA

Negeri 8 kota Banda Aceh yang beralamat di

Jalan. TGK. Chik DiPineung Raya. Gp.

Pineung Banda Aceh. Waktu penelitian antara

tanggal 9 september sampai dengan 4

November 2013.

C.Subjek penelitian

Sesuai dengan fokus penelitiaan ini,

maka yang dijadikan subjek dalam penelitian

ini adalah kepala sekolah, waka kurikulum,

waka sarana prasarana, serta guru sejarah pada

kelas X pada SMAN 8 Kota Banda Aceh.

D. Instrumen penelitian

Meleong (Satori & Komariah,

2010:70), menyatakan ”Orang sebagai

instrument memiliki senjata dalam

memutuskan yang secara luwes dapat

digunakannya. Ia senantiasa dapat menilai

keadaan dan dapat mengambil keputusan”.

Irwansyah, Cut Zahri Harun, dan Sakdiah Ibrahim, Manajemen Kelas dalam Proses Pembelajaran

Page 21: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

89

Qualitative research has the natural setting as

the direct source of data and the researcher is

the key instrument. (Penelitian kualitatif

mempunyai setting yang alami sebagai

sumber langsung dari data dan peneliti itu

adalah instrumen kunci), Bogdan dan Biklen

(Satori & Komariah, 62 : 2010).

E. Uji kredibilitas Uji kredibilitas ( derajat kepercayaan)

dilakukan untuk menyakinkan bahwa data

yang ditampilkan benar-benar kredibel dan

valid, sehingga tidak diragukan lagi tingkat

kebenarannya, yaitu berupa hasil wawancara

dengan sejumlah narasumber informan antara

satu dengan yang lainnya dibandingkan, dan

kemudian dianalisa serta disesuaikan dengan

data dokumentasi dan pada akhirnya diambil

suatu kesimpulan.

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi (Pengamatan)

Sutrisno (Sugiyono, 2009: 145)

mengemukakan bahwa, observasi merupakan

suatu proses yang komplek, suatu proses yang

tersusun dari berbagai proses biologis dan

psikologis. Satori dan Komariah ( 2010:105)

berpendapat bahwa, “Observasi adalah

pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti

baik seecara langsung maupun tidak langsung

untuk memperoleh data yang harus

dikumpulkan dalam penelitian. Metode ini

digunakan untuk memperoleh data tentang

bagaimana guru dalam manajemen kelas

sehingga dapat meningkatkan proses belajar

mengajar mata pelajaran Sejarah kelas X di

SMAN 8 Banda Aceh.

2. Interview (Wawancara)

Peneliti melakukan wawancara

bermaksud untuk mengungkap data dan

informasi dari sumber langsung yang sifat

datanya berhubungan dengan makna-makna

yang berada dibalik

perilaku atau situasi sosial yang terjadi, Satori

dan Komariah ( 2010: 131-132).

Metode ini penulis gunakan agar

mendapat informasi dari kepala sekolah,

waka kurikulum kurikulum, waka sarana dan

prasarana guru Sejarah, kelas X berkaitan

dengan Manajemen kelas dalam proses belajar

mengajar mata pelajaran Sejarah kelas X di

SMAN 8 Kota Banda Aceh.

3. Dokumentasi

Tehnik pengumpulan data yang

juga berperan besar dalam penelitian

kualikualitatif naturalistik adalah dokumen.

Gottschalk (Satori & Komariah,

2010:147),mengungkapkan bahwa para ahli

sering mengartikan dokumen dalam dua

pengertian, yaitu: pertama, sumber tertulis

bagi informasi sejarah sebagai kebalikan dari

pada kesaksian lisan, artefak, peninggalan-

peninggalan tertulis dan petilasan-petilasan

arkeologis. Kedua diperuntukkan bagi surat-

surat resmi dan surat-surat Negara seperti surat

perjanjian, undangan-undangan, hibah, konsesi

dan lainnya.

G. Teknik Analisis Data Analisis data adalah suatu metode

yang digunakan untuk menganalisa data yang

diperoleh dari penelitian. Menurut Miles and

Huberman ( Sugiyono, 2009 : 252) langkah

ketiga dalam analisis data adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi. merupakan

rangkaian analisis data puncak. Meskipun

begitu, kesimpulan juga membutuhkan

verifikasi selama penelitian berlangsung.

Verifikasi dimaksudkan untuk menghasilkan

suatu kesimpulan yang valid.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Hasil Penelitian

1) Pengelolaan kelas yang dilakukan oleh

Guru sejarah dalam Proses Pembelajaran

Guru menciptakan dan mempertahankan

kondisi kelas agar siswa dapat mencapai

tujuan pengajaran secara efisien dan

memungkinkan untuk mereka belajar dengan

baik. Dengan demikian pengelolaan kelas

yang efektif adalah pengelolaan kelas yang

baik. Pelaksanaan pengelolaan kelas yang

dilakukan oleh guru yaitu: a) Membuat

perencanaan Pembelajaran. b) Memperhatikan

Keadaan kelas. c) Penyampaian motivasi serta

tujuan pembelajaran. d) Menggunakan metode

dan media pembelajaran yang telah di

persiapkan. e) Mengkonfirmasi dan

Mengontrol kelas

2) Usaha Yang dilakukan guru, Pertama

mengkondisikan kelas oleh guru sebelum

mulai pembelajaran di kelas. Kedua, memberi

motivasi kepada siswa sebelum, saat pelajaran

dimulai dan setelah pembelajaran berakhir.

Menegur siswa yang berprilaku menyimpang.

Menggunakan fasilitas yang ada. Usaha-usaha

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 22: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

90

lain yang dilakukan oleh guru adalah:

membuat perencanaan pembelajaran, memilih

metode dengan memperlihatkan kondisi

siswa, materi dan lingkungan. Metode

bervariasi. Menggunakan media pembelajaran

yang sesuai dengan metode pembelajaran.

Menggunakan fasilitas yang ada. Pendekatan

pluralistik, oleh guru dengan menanyakan

kesulitan yang dihadapi dalam pembelajaran

sejarah

3) Faktor penghambat pelaksanaan

pengelolaan kelas adalah faktor dari peserta

didik yang kurang kesadaran untuk

melakukan efektifitas pembelajaran, faktor

lingkungan mendominasi dalam cara bersikap

siswa di sekolah. Kurangnya fasilitas dari

sekolah khususnya mata pelajaran sejarah.

B. Pembahasan

Seorang guru dikatakan kompoten

jika ia telah mencapai tahap keahlian, terutama

kemampuan menggunakan pengetahuan ,

pemahaman dan kecakapan berfikir teoretis

dan praktis. Adanya silabus dan RPP berarti

kurikulum siap diimplementasikan dalam

kegiatan pembelajaran, dan kualifikasi itu

dimiliki oleh guru sejarah yang ada di SMAN

8 Kota Banda aceh. Penyusunan program

pembelajaran akan bermuara pada rencana

pelaksanaan pembelajaran (RPP), sebagai

produk program pembelajaran jangka pendek,

yang mencakup komponen program kegiatan

belajar dan proses

Usaha untuk mengurangi atau

menghilangkan hambatan dalam belajar dan

partisipasi siswa, diperlukan pengetahuan

mendalam tentang dari mana asal muasal

hambatan ini dan bagaimana dan kapan

hambatan ini muncul. Penting bagi guru untuk

memahami latar belakang sosial ekonomi dan

keluarga siswa agar dapat memahami faktor

nonakademis. Guru yang baik menganggap ini

tantangan pribadi dan professional

Dalam pelaksanaan pengelolaan

kelas, guru dalam proses belajar mengajar

diperlukan pemahaman awal tentang

perbedaan siswa satu sama lain sehingga

pengelolaan kelas memang harus ada.

Kemampuan dalam bidang manajemen kelas

menjadi prasyarat bagi guru untuk dapat

tampil optimal di kelas. Merujuk pada

bermacam sumber daya kelas, bahwa

manajemen kelas yang efektif menuntut

partisipasi semua pihak yang ada di sekolah,

seperti kepala sekolah, wali kelas, sejawat,

laboran, tenaga tata usaha, teknisi sumber

belajar, dan sebagainya.

Penutup dan Saran

A. Kesimpulan

1.Pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru

sejarah dalam meningkatkan proses

pembelajaran mata pelajaran sejarah SMAN 8

Kota Banda Aceh, yaitu berupa perencanaan

pembelajaran, pengarahan, penggunaan

metode pembelajaran yang bervariasi,

menggunakan media pembelajaran, mengatur

ruang kelas, komunikasi, dan kontrol

2.Usaha-usaha yang dilakukan oleh guru

dalam pengelolaan kelas sehingga dapat

meningkatkan efektifitas proses belajar

mengajar mata pelajaran sejarah di SMAN 8

Kota Banda Aceh antara lain: Mempersiapkan

tugas administratif, penggunaan metode

pembelajaran dan media pembelajaran yang

bervarisi, dan melaksanakan pendekatan

pluralistik.

3. Sedangkan faktor-faktor penghambat yaitu;

kurang kesadaran siswa dalam melaksanakan

efektifitas proses belajar mengajar,

kurangnya kedisiplinan guru, kurangnya

perhatian orang tua terhadap perkembangan

anaknya, tidak mencukupinya buku paket

khususnya buku sejarah dan keterbatasan

persediaan fasilitas yang tersedia di sekolah.

B. Saran

1. Kepala Sekolah Mendukung dan

menghimbau kepada setiap guru sejarah

khususnya untuk berkreasi dan inovasi

dalam pengelolaan kelas agar proses

belajar mengajar mata pelajaran

sejarah berjalan efektif, efesien dan

maksimal.

2. Kepada guru Sejarah khusus pengajar

sejarah, bahwa pembelajaran yang

bermakna harus dinamis dan memerlukan

kreativitas dari pengajar agar pembelajaran

sejarah tidak hanya sekedar transfe of

knowlenge melainkan lebih mendalam lagi

transfer of value. Guru tidak adaktif

terhadap perubahan jaman maka guru

sejarah akan ketinggalan. Berusahalah

terus menerus dalam proses belajar

mengajar mata pelajaran sejarah melalui

pelaksanaan pengelolaan kelas yang baik

Irwansyah, Cut Zahri Harun, dan Sakdiah Ibrahim, Manajemen Kelas dalam Proses Pembelajaran

Page 23: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

91

dan menggunakan pendekatan pengelolaan

kelas.

3. Kepada Siswa

Rajin belajar dan meningkatkan kesadaran

dalam belajar mata pelajaran sejarah

supaya proses belajar mengajar mata

pelajaran sejarah berhasil maksimal

Daftar Kepustakaan

Arikunto,Suhardjono & Supardi, 2011.

Penelitian tindakan kelas. Jakarta:

PT Bumi Aksara

Danim, Sudarwan &Yunan Danim,

2010.Administrasi sekolah &

Manajemen Kelas, Strategi

Membangun disiplin kelas dan

Suasana edukatif di Sekolah.

Bandung: CV Pustaka setia

Rusydie, Salman, 2011. Prinsip- prinsip

Manajemen Kelas. Jogyakarta:

Diva Press.

Tim Dosen UPI, 2010. Manajemen

pendidikan, Best Seller.

Bandung: Alfabeta

Kunandar, 2009. Guru Professional ,

Implementasi Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) dan

Sukses dalam Sertifikasi. Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada

Rohani, Ahmad, 2010. Pengelolaan

Pengajaran, Sebuah pengantar

Menuju Guru professional, Jakarta: Rineka Cipta

Siswanto, 2011. Pengantar Manajemen.

Jakarta: PT Bumi Aksara

Syafaruddin, 2008. Efektivitas Kebijakan

Pendidikan. Konsep, Srategi, dan

Aplikasi Kebijakan Menuju

Organisasi Sekolah Efektif. Jakarta: Rineka Cipta

Dimyati & Mudjiono, 2006. Belajar dan

Pembelajaran. Jakarta: Rineka

Cipta

Isnaeni,Hendri F. & Apid, 2008. Romusa,

sejarah yang terlupakan.

Yogyakarta: Ombak

Satori,Djam’an & Komariah, Aan 2010.

Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sugiyono, 2008. Metode penelitian

kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 24: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

92

PENERAPAN METODE TANYA JAWAB DAN DEMONSTRASI DALAM

PEMBELAJARAN FIQIH MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA DI KELAS X

IPA PADA MAN KUALA MAKMUR KABUPATEN SIMEULUE

Oleh

*Abusmar

Absrak : Peran guru dalam kegiatan pembelajaran sangat penting untuk memotivasi siswa

tentunya tidak telepas adanyan metode yang diterapkan. Peneliti membahas tentang

“Penerapan metode tanya jawab dan demonstrasi dalam pembelajaran fiqih untuk

meningkatkan motivasi belajar Siswa di kelas x ipa pada MAN Kuala Makmur

Kabupaten Simeulue.Permasalahannya adalah Apakah dengan metode tanyajawab dan

demontrasi dalam pembelajaran fiqih dapat meningkatkan motivasi belajar siswa pada

MAN Kuala Makmur dpat meningkat?. Palaksanaan Penelitian dapat dilakukan dengan

3(tiga) siklus secara kualitatif dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari

siklus 1 s/d 3 menunjukkan bahwa dengan penerapan metode tanyajawab dan demontrasi

dapat meningkatkan motivasi siswa khususnya pada pembelajaran fiqih. Tindakan ini pada

pembelajaran sebelumnya siswa tidak menujukan kreatif malah membosankan.

Kata Kunci: Metode Tanya Jawab, Metode Demostran, Pembelajaran Fiqih

Pendahuluan

Pendidikan merupakan pemegang

peranan penting yang menyangkut kemajuan

dan masa depan bangsa, tanpa pendidikan

yang baik mustahil suatu bangsa akan maju.

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-

Undang Sistem Pendidikan Nasional

menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional

berfungsi untuk mengembangkan kemampuan

serta meningkatkan mutu kehidupan dan

martabat manusi Indonesia dalam rangka

upaya mewujudkan tujuan Nasional”.

Berhasil atau tidak suatu pendidikan

dalam suatu negara salah satunya adalah

karena guru. Guru mempunyai peranan yang

sangat penting dalam perkembangan dan

kemajuan anak didiknya. Dari sinilah guru

dituntut untuk dapat menjalankan tugas

dengan sebaik-baiknya. Untuk dapat mencapai

tujuan pengajaran yang diharapkan. Guru

harus pandai memilih metode yang tepat dan

sesuai dengan kebutuhan anak didik. Supaya

anak didik merasa senang dan nyaman dalam

belajar.

Dalam proses belajar mengajar bukan

hanya menyampaikan ilmu pengetahuan saja,

akan tetapi pemberian motivasi sangatlah

penting karena secara psikologis anak akan

merasa senang apabila mereka diperhatikan.

Salah satu cara memberikan perhatian adalah

dengan memotivasi. Kesuksesan belajar siswa

tidak hanya tergantung pada intelegensi anak

saja, akan tetapi juga tergantung pada

bagaimana pendidik menggunakan metode

yang tepat dan memotivasi.

Banyak cara yang dapat dilakukan

untuk memberikan motivasi kepada anak didik

diantaranya adalah memberi angka atau nilai.

Pemberian mulai dilakukan oleh guru ketika

mereka selesai ulangan atau menjawab

pertanyaan yang diberikan oleh guru. Cara ini

merangsang anak untuk giat belajar. Anak

yang nilainya rendah, mereka akan termotivasi

untuk meningkatkan belajarnya dan anak yang

nilainya bagus akan semakin giat dalam

belajar. Maka untuk meningkatkan aktivitas

dan semangat belajar diperlukan ketrampilan

dan kreativitas guru dalam menyampaikan

materi yaitu dengan cara penggunaan metode

yang tepat dan memotivasi.

Dari uraian latar belakang di atas, maka

penulis menginginkan : Dengan metode Tanya

jawab dan Demonstrasi yang diterapkan dapat

meningkatkan motivasi belajar siswa kelas X

MAN Kuala Makmur Kabupaten Simeulue.

Tujuannya adalah lebih memotivasi da;am

meningkatkan prestasi. Hasil dari penelitian

ini diharapkan bisa memberikan kontribusi

dalam upaya meningkatkan pembelajaran mata

pelajaran pendidikan agama, khususnya pada

*Abusmar, M.Pd adalah Guru MAN Kuala Makmur Kab. Simeulue

Page 25: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

93

mata pelajaran fiqih di kelas X MAN Makmur.

Adapun secara detail manfaat yang diharapkan

dari penelitian ini di antaranya adalah:

1. Bagi lembaga (sekolah)

Penerapan metode tanya jawab dan

demonstrasi ini diharapkan menjadi

sumbangan pemikiran dan menjadi

pijakan dasar untuk lembaga / sekolah

dalam kaitannya menentukan kurikulum

dan memberikan kebijakan dalam

pengajaran pendidikan agama.

2. Bagi guru,

Penerapan metode ini, diharapkan dapat

memberikan masukan kepada para guru,

khususnya guru pendidikan agama, agar

tidak begitu otoriter dan monoton dalam

mengajar, dengan menggunakan metode

tanya jawab dan demonstrasi dalam

KBM di kelas, guru pendidikan agama

bisa memberikan kesempatan kepada

siswa untuk mempraktekkan segala

materi fiqih agar siswa betul-betul

memahaminya dan benar dalam

pelaksanaan di kehidupan sehari-hari.

3. Bagi siswa,

Dengan metode Tanya jawab dan

Demonstrasi ini diharapkan siswa lebih

termotivasi dalam belajar. Terutama

dalam pelajaran fiqih yang memang

membutuhkan praktek dalam

penerapannya.

4. Bagi penulis,

Memberi manfaat bagi peneliti dan

menambah khazanah keilmuan sebagai

bekal menjadi guru yang profesional

kelak serta mengetahui sampai dimana

kemampuan siswa dalam menangkap

pelajaran yang telah disampaikan.

B. Hipotesa Tindakan

1. Dengan penerapan metode tanya

jawab dan demonstrasi maka motivasi

belajar siswa kelas X MAN Kuala

Makmur akan meningkat.

2. Dengan menerapkan metode tanya

jawab dan demonstrasi dapat

meningkatkan kualitas hasil

pembelajaran fiqih siswa kelas X

MAN Kuala Makmur semakin

membaik

Kajian Pustaka

A. Motivasi Belajar

1. Pengertian motivasi belajar dan

macam-macam motivasi

Kata “motif’ diartikan sebagai upaya

yang mendorong seseorang untuk melakukan

sesuatu. “Motif” dapat dikatakan sebagai

penggerak untuk melakukan aktivitas-aktivitas

tertentu demi mencapai seuatu tujuan. Motif

dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern

(kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif”

maka motivasi dapat diartikan sebagai

penggerak yang telah menjadi aktif. Motif

menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama

bila kebutuhan untuk mencapai tujuan dirasa

sangat mendesak. Tugas dan tanggungjawab

guru adalah membangkitkan motivasi anak,

sehingga ia mau melakukan belajar. Motivasi

dapat tumbuh dari dalam diri individu.

(instrinsik) dan dapat pula timbul akibat

pengaruh dari luar dirinya (eksternal).

a. Motivasi Instrinsik

Jenis motivasi ini timbul sebagai

akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa

ada paksaan dan dorongan dari orang lain,

tetapi atas kemauan sendiri. Dalam belajar

terkandung tujuan menambah pengetahuan.

“Intrinsic motivations are inherent in the

learning situation and meet pupil need and

purposes”.

b. Motivasi Ekstrinsik

Jenis motivasi ini timbul sebagai

akibat pengaruh dari luar diri individu. Apakah

karena adanya ajakan, suruhan, paksaan dari

orang lain sehingga dengan kondisi yang

demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu

atau belajar.Untuk dapat membangkitkan

motivasi belajar siswa, guru hendaknya

berusaha dengan berbagai cara.

Muh Uzer Usman( 1989: 24-25)

menyatakan bahwa ada beberapa cara

membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam

rangka menumbuhkan motivasi intrinsik.

1. Kompetisi (persaingan, guru berusaha

menciptakan persaingan diantara

siswanya untuk meningkatkan prestasi

belajar)

2. Pace making, pada awal KBM guru

hendaknya menyampaikan trik pada

siswa.

3. Tujuan yang jelas untuk mencapai

pembelajaran

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 26: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

94

4. Mengadakan penilaian/tes, pada

umumnya siswa mau belajar dengan

tujuan mendapat nilai yang baik .

Dari pernyataan diatas menunjukan

bahwa untuk dapat membangkitkan motivasi

bagi siswa guru hendaknya kaya akan adanya

metode dan strategi untuk mencapai suatu

tujuan.

2. Teori motivasian

Menurut seorang ahli ilmu jiwa dalam

motivasi ada suatu hierarki, yakni motivasi itu

mempunyai tingkatan-tingkatan dari bawah

sampai ke atas yakni: 1).kebutuhan fisiologis,

2).kebutuhan akan keamanan, 3).kebutuhan

akan cinta kasih, 4).kebutuhan untuk

mewujudkan diri sendiri. Tingkat yang di atas

hanya dapat dibangkitkan apabila telah

dipenuhi tingkat motivasi yang di bawahnya.

3. Bentuk-bentuk motivasi

Di dalam kegiatan belajar mengajar

peranan motivasi baik intrinsik maupun

ekstrinsik sangat diperlukan. Ada beberapa

bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi

dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah

yaitu:a. memberikan angka/nilai, b.

memberikan hadiah, c.terdapat

saingan/kompetisi, d. ego-involment, e.

memberi ulangan, f. mengetahui hasil, g.

memberi pujian, h. memberi hukuman,

5.hasrat untuk belajar, j. minat.

B. Pengertian Metode Tanya jawab dan

Demonstrasi

Dalam pendidikan modern seperti telah

diuraikan di atas tampak jelas bahwa siswa

dipandang sebagai titik pusat sebagai proses

terjadinya proses belajar. Siswa sebagai subjek

yang berkembang melalui pengalaman belajar.

Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan

motivator belajar siswa membantu dan

memberikan kemudahan agar siswa

mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuannya

sehingga terjadilah suatu interaksi aktif.

Dalam proses belajar mengajar

demikian agar membuahkan hasil

sebagaimana diharapkan, maka baik siswa

maupun guru perlu memiliki sikap,

kemampuan dan ketrampilan yang mendukung

proses belajar mengajar tersebut, untuk

mencapai tujuan.

1. Metode tanya jawab

Metode tanya jawab adalah suatu cara

penyampaian pembelajaran oleh guru dengan

jalan mengajukan pertanyaan dan siswa

menjawab. Drs. Imansjah Ali Pandie

(1984:79) menyatakan bahwa” metode

dimaksudkan untuk meninjau pelajaran yang

lalu agar para murid memusatkan lagi

perhatiannya tentang sejumlah kemajuan yang

telah dicapai sehingga dapat melanjutkan pada

pelajaran berikutnya dan untuk merangsang

perhatian murid”. Metode ini dapat digunakan

sebagai persepsi, selingan, dan evaluasi.

Penggunaan metode tanya jawab dapat

dinilai sebagai metode yang cukup wajar dan

tepat, apabila penggunaannya dipergunakan

untuk:

1. Merangsang agar perhatian anak terarah

pada suatu bahan pelajaran yang sedang

dibicarakan.

2. Mengarahkan proses berfikir dan

pengamatan anak didik.

3. Meninjau atau melihat penguasaan anak

didik terhadap materi/bahan yang telah

diajarkan sebagai bahan pertimbangan

untuk melanjutkan materi berikutnya

4. Melaksanakan ulangan, evaluasi dan

memberikan selingan dalam ceramah.

Metode tanya jawab mempunyai

beberapa kelebihan dibandingkan dengan

metode lainnya. Di samping terdapat

kelemahan-kelemahannya. Menurut Imansyah

Ali Pandie kelebihan metode tanya jawab

terletak pada:

1. Suasana kelas lebih hidup karena murid-

murid berpikir aktif.

2. Sangat positif untuk melatih anak untuk

berani mengemukakan pendapat secara

lisan dan teratur.

3. Murid yang biasanya malas

memperhatikan menjadi lebih hati-hati

dan sungguh-sungguh mengikuti

pelajaran.

4. Walaupun pelajaran berjalan agak lambat

tetapi guru dapat melakukan kontrol

terhadap pemahaman murid.

Sedangkan metode tanya jawab terdapat

kelemahan apabila:

1. Terjadi perbedaan pendapat/jawaban

maka akan terjadi perdebatan sengit

sehingga mamakan waktu banyak untuk

menyelesaikan, terkadang murid

mengalahkan pendapat guru.

Abusmar, Penerapan Metode Tanya Jawab dan Demonstrasi

Page 27: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

95

2. Kemungkinan timbul penyimpangan dari

pokok persoalan.

3. Memakan waktu yang lama untuk

merangkum bahan pelajaran.

2. Metode Demonstrasi

Metode Demonstrasi yaitu metode

pengajaran dimana guru atau orang lain

sengaja diminta atau siswa sendiri

memperlihatkan kepada seluruh kelas suatu

proses. Sedangkan metode eksperimen adalah

metode pengajaran dimana guru dan siswa

bersama-sama mengerjakan sesuatu sebagai

latihan praktis dari apa yang diketahui.

Pendapat laian bahwa metode demonstrasi

adalah suatu metode mengajar yang dilakukan

oleh guru atau seseorang lainnya dengan

memperlihatkan kepada seluruh kelas tentang

suatu proses atau suatu cara melakukan

sesuatu.

a. Kelebihan dan kelemahan metode

Demonstrasi

Y Kelebihan Metode demonstrasi:

1. Siswa dapat menghayati dengan

sepenuh hati mengenai pelajaran yang

diberikan.

2. Perhatian anak dapat terpusat pada

hal penting yang di demonstrasikan.

3. Mengurangi kesalahan dalam

mengambil kesimpulan dari apa

yang diterangkan guru secara lisan

maupum tulisan karena siswa

memperoleh gambaran melalui

pengamatan langsung perhadap

suatu proses.

4. Masalah yang mungkin timbul dalam

hati siswa dapat langsung terjawab.

Y Kelemahan metode demonstrasi

adalah sebagai berikut:

1. Apabila sarana peralatan kurang

memadai, tidak sesuai dengan

kebutuhan atau tidak bisa diamati

dengan jelas oleh para siswa, maka

metode ini kurang efektif

2. Tidak semua hal dapat

didemonstrasikan didalam kelas

Oleh karena itu untuk mengatasi

kelemahan tersebut di samping menggunakan

metode tanya jawab., penulis juga

menggunakan metode demonstrasi

Metode Penelitian

A. Setting Penelitian

Penelitian dilakukan di MAN Kuala

Makmur Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh,

yang ber1arak 14 Km dari pusat Kota

Kabupaten Simeulue.

B. Rencana Tindakan

1. Perencanaan Tindakan

yang mencakup:

1. Lokasi penelitian adalah MAN Kuala

Makmur

2. Penelitian dilakukan pada bulan

September s/d Nopember 2013

3. Subyek adalah guru Fiqih PND dan

Non PNS

4. Obyek Penelitian ini adalah siswa-

siswi kelas X

5. Desain tindakan adalah model Kurt

Lewin, yaitu meliputi empat

komponen: rencana (planning),

tindakan (acting), pengamatan

(observing) dan refleksi berdasarkan

hasil pengamatan dan tindakan

(reflecting).

6. Alat dan tehnik pengumpulan data

adalah sebagai berikut:

a. Program Tahunan, Program

Semester, Silabus,

Rancangan/skenario

Pembelajaran, dan instrumen.

b. Tehnik pengumpulan data:

Observasi dan dokumentasi

2. Implementasi Tindakan

Setelah semua prosedur awal tersebut

dilaksanakan,. Disini peneliti akan

menjabarkan hasil penelitian selama 4 kali

tatap muka

1. Pertemuan pertama:

Pada pertemuan pertama ini proses

pembelajaran berlangsung belum

begitu lancar, karena memang masih

awal tatap muka, jadi waktu sedikit

banyak tersita untuk perkenalan yang

dilakukan oleh guru bidang studi

pelajaran fiqih. Disini peneliti

menggunakan metode ceramah dalam

menjelaskan materi dan strategi

concept mapping dalam pemberian

tugas terhadap siswa

2. Pertemuan ke-dua:

Pertemuan ke-dua ini peneliti mulai

menerapkan metode demonstrasi

(praktek). Sebelum praktek dimulai,

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 28: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

96

peneliti (guru praktikan) bersama

dengan siswa-siswi membahas soal-

soal yang ada di LKS tentang materi

bersuci, setelah itu peneliti mulai

membagi siswa-siswi menjadi dua

kelompok putra dan putri untuk

melakukan praktek bersuci, dalam hal

ini peneliti memilih tayamum sebagai

materi untuk praktek. Sebelumnya

peneliti (guru praktikan) memberikan

contoh bagaimana cara bertayamum

yang baik dan benar beserta niatnya.

Praktek ini berjalan dengan lancar

baik dari kelompok putra dan putri,

meskipun ada sebagian yang masih

belum begitu lancar melakukannya

yaitu kebanyakan dari mereka yang

lulusan SMP.

3. Pertemuan ke-tiga: dan keempat

lebih baikdari pertemuan kedua dn

pertama, artinya peningkatan yang

dimaksud siswa lebih aktif, kreatif

dan lebih berani

3. Observasi dan Interpretasi

Observasi atau pengamatan ini

berlangsung pada saat proses

demonstrasi yang meliputi:

v Aktivitas guru di kelas dalam

proses pembelajaran fiqih dengan

menerapkan metode demonstrasi

dan tanya jawab memudahkan

guru dalam berintraksi dengan

siswa dan lebih aktif

v Aktivitas siswa dalam kegiatan

belajar mengajar sangat antusias

sekali, apalagi dengan

diterapkannya metode

demonstrasi yang dilanjutkan

dengan tanya jawab sebagai

evaluasi bagi mereka. Dengan

demikian kelas menjadi aktif dan

tidak vakum.

4. Analisis dan Refleksi

Dari pelaksanaan metode tanya jawab

dan demonstrasi yang dikembangkan

diperoleh dapat terlaksana dengan

baik bila kita mengikuti hal-hal

sebagai berikut:

Ø Siklus Penelitian

Ø Pembuatan Instrumen

Ø Pengumpulan Data

Ø Indikator Kinerja

C Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang lebih

akurat, maka peneliti melakukan perekaman

data adapun teknik yang dilakukan adalah

dengan membuat catatan berdasakan

perkembangan siswa setelah pembelajaran

dengan metode Tanya jawab dan Demonstrasi.

Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa

cara/teknik pengumpulan data selama proses

penelitian yaitu:

1. Obeservasi

Observasi/pengamatan ini

dilaksanakan oleh peneliti ketika

peneliti mengajar di kelas, dengan

menggunakan metode Demonstrasi

dan Tanya jawab. Sehingga peneliti

memperoleh gambaran suasana kelas

dan peniliti dapat menentukan metode

Demonstrasi dan Tanya jawabyang

lebih baik pada pertmuan berikutnya.

2. Interview/wawancara

Menuru Arikunto, 1991:126)

menyatakan bahwa“ Metode

interview sering disebut juga dengan

wawancara/kuesioner lesan, adalah

sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh

informasi dari terwawancara”

D. Indikator Kinerja

Di sini indikator yang ditentukan

selama penelitian menerapkan metode Tanya

jawab dan Demonstrasi ini adalah bahwa

sebagian besar siswa memperhatikan dengan

sungguh-sungguh karena mereka ingin

menjawab pertanyaan yang akan peneliti

ajukan. setelah penjelasan materi selesai dan

mereka juga belajar di rumah. Itu terlihat

ketika peneliti memberikan pertanyaan tentang

materi yang telah disampaikan pada pertemuan

sebelumnya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Seperti yang telah dijelaskan penulis

pada pembahasan sebelumnya, Penelitian

Tindakan Kelas ini dilaksanakan, Penelitian

ini ditujukan untuk siswa kelas X IPA MAN

Kuala Makmur dengan melakukan siklus 1 s/d

3 bahwa dengan penerapan metode ini

peningkatan motivasi siswa sangan tinggi

dalam pembelajaran Fiqih melalui metode

Tanya jawab dan Demonstrasi.

Abusmar, Penerapan Metode Tanya Jawab dan Demonstrasi

Page 29: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

97

Penulis melalukan penelitian

berdasarkan pengamatan di kelas selama

proses pengajaran berlangsung. Penerapan

metode Tanya jawab dan Demonstrasi ini

menyebabkan siswa tidak jenuh di dalam

kelas, mereka merasakan bahwa mempelajari

Fiqih adalah sesuatu yang mengasyikkan.

Salah satu metode diatas dapat diterapkan

dalam pembelajaran Fiqih adalah metode

Tanya Jawab dan demonstrasi.. Sebagaimana

yang telah diketahui bersama, bahwa

sebenarnya metode ini telah diterapkan oleh

sebagian besar lembaga pendidikan (sekolah)

pada mata pelajaran lain yang membutuhkan

adanya praktek secara langsung.

Hal ini dimaksudkan sebagai praktek

atau apresiasi ketrampilan siswa dalam proses

pembelajaran yang telah dilaksanakan, dan

diakui atau tidak, metode ini sedikit banyak

memberi pengaruh positif terhadap

kemampuan kongnitif siswa., penerapan

metode Tanya jawab dan Demonstrasi

merupakan metode yang baik diterapkan pada

siswa kelas X IPA sebagai pengalaman yang

melibatkan pribadi siswa dan selanjutnya

dibelajarkan pada kelas lainnya

Tujuan dari penciptaan suasana segar di

kelas adalah agar perasaan tertekan yang ada

pada diri siswa dapat hilang. Tawa dan

senyum seorang guru dapat dianggap sebagai

pembantu pembangkit suasana yang

menyenangkan. Kiranya bahasan yang telah

dikemukakan di atas dapat merupakan suatu

hasil penelitian yang sangat berharga. Terbukti

dengan adanya penerapan metode Tanya

jawab dan Demonstrasi terhadap siswa kelas X

MAN Kuala Makmur Kabupaten Simeulue, di

sekolah ini mengalami kemajuan dan

keberhasilan yang diinginkan.

Penutup

A. Kesimpulan

Setelah penulis menjelaskan berbagai

permasalahan yang terjadi dalam proses

belajar mengajar, maka penerapan metode

Tanya Jawab dan Demonstrasi terhadap siswa

kelas X MAN Kuala Makmur Kabupaten

Simeulue sudah termasuk dalam kategori

berhasil. Terbukti mereka sangat antusias dan

semangat dalam mengikuti pelajaran Fiqih

dibandingkan sebelumnya. Siswa menjadi

betah di kelas, suasana kelas menyenangkan

dan kelihatan hidup sehingga mereka sudah

tidak beranggapan lagi bahwa pembelajaran

Fiqih itu sebagai momok dalam proses belajar

mengajar, malah menjadi sebuah kebutuhan

karena pembelajarannya sangat asyik

B. Saran

Penulis mempunyai beberapa solusi

dalam rangka meningkatkan motivasi siswa

dalam pembelajaran Fiqih. Seorang guru yang

baik harus selalu mempersiapkan materi /

topik bahasan terlebih dulu sebelum pelajaran

dimulai, cara-cara dan teknik serta taktik yang

akan diberikan hendaknya senantiasa

dipikirkan.

Adapun saran-saran tersebut ialah :

a. Dalam menyampaikan materi

usahakan menggunakan metode yang

menarik seperti Tanya jawab dan

Demonstrasi, Pembelajaran fiqih

disenangi oleh siswa karena

membahas tentang praktek dan

kesempurnaan beribadah sebagai

kewajiban salah seorang Muslim dan

Menciptakan suasana yang

menyenangkan.

b. Diharapkan untuk menambah buku-

buku yang menyangkut pembelajaran

Fiqih siswa gemar membaca dan

siap untuk mengamalkannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi, Prof., Dr., Prosedur

Penelitian (Suatu Pendekatan

Praktek) Edisi Revisi V. Jakarta.

Rineka Cipta. 2002.

Imansjah Alipandie, 1984. Detaktik Metode

Pendidikan Umum. Usaha Nasional,

Surabaya.

Moh. Uzer Usman, 1992. Menjadi Guru

Profesional. Remaja Rosda Karya,

Bandung

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 30: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

98

MODEL PENGEMBANGAN METODE QUANTUM TEACHING DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA INGGRIS PADA GURU SMP KOTA BANDA ACEH

Oleh

*Sariakin

Abstrak: Adapun fokus utama penelitian ini adalah menggambarkan secara deskriptif dan

holistik tentang model pengajaran bahasa Inggris metode quantum teaching untuk

meningkatkan prestasi siswa secara menyeluruh. Penelitian ini dirancang dengan

pendekatan penelitian dan pengembangan, yaitu penelitian ditindak lanjuti dengan

mempelajari, menyelidiki, dan memahami serta bagaimana model pengembangan metode

program pengembangan dengan tujuan untuk memperbaiki atau menmyempurnakan

kondisi objek yang diteliti. Sampel penelitian ini adalah guru bahasa Inggris pada SMP

yang ada di Kota Banda Aceh baik swasta ataupun negeri. Untuk menghasilkan model

pengajaran dalam pembelajaran Bahasa Inggris di SMP yang ada di Kota Banda

Aceh.dilakukan langkah-langkah sistematis dalam bentuk proses aksi, refleksi, evaluasi,

dan inovasi. Metode yang digunakan adalah observasi langsung, angket, wawancara,

seminar, dan pengembangan.

Key words: pengembangan, metode, quantum teaching, sekolah

A. Latar Belakang Penelitian

Ilmu pengetahuan selalu berubah dan

berkembang, demikian juga bidang

pendidikan. Perubahan dalam bidang

pendidikan membawa pengaruh terhadap

perubahan pandangan mengenai kurikulum.

Kurikulum yang semula dipandang sebagai

sejumlah mata pelajaran, kemudian beralih

makna menjadi semua kegiatan atau semua

pengalaman belajar yang diberikan kepada

siswa di bawah tanggung jawab sekolah untuk

mencapai tujuan pendidikan.

Kehadiran guru dalam proses belajar

mengajar atau pengajaran masih tetap

memegang peranan penting. Peranan guru

dalam proses pengajaran belum dapat

digantikan oleh mesin, radio, tape-recorder

ataupun oleh komputer yang paling modern

sekalipun. Masih terlalu banyak unsur-unsur

manusiawi seperti sikap, sistem nilai,

perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain

yang diharapkan merupakan hasil dari proses

pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-

alat tersebut.

Secara umum guru diharapkan

menciptakan kondisi yang baik yang

memungkinkan setiap peserta didik dapat

mengembangkan kreatifitasnya, antara lain

dengan teknik kerja kelompok, penugasan dan

mensponsori pelaksanaan proyek. Anak yang

kreatif belum tentu pandai, dan sebaliknya.

Kondisi-kondisi yang diciptakan oleh guru

juga tidak menjamin timbulnya prestasi belajar

yang baik. Hal ini perlu dipahami guru agar

tidak terjadi penyikapan yang salah terhadap

peserta didik yang kreatif dan demikian pula

terhadap anakanak yang pandai.

Salah satu metode yang sering

dilakukan dalam pengajaran adalah metode

Quantum Teaching. Dimana metode ini

mencakup petunjuk spesifik untuk

menciptakan lingkungan belajar yang efektif,

merancang kurikulum, menyampaikan isi, dan

memudahkan proses belajar.

Selanjutnya kepala sekolah dan para

guru harus mampu memahami dan menyadari

bahwa perubahan lingkungan yang terjadi

dalam berbagai bentuk seperti peningkatan

kreatifitas, inovasi, visi masa depan,

pemanfaatan tekhnologi yang makin canggih,

orientasi baru dalam interaksi dengan semua

pihak yang berkepentingan menuntut lembaga

pendidikan untuk menyesuaikan dengan

perubahan tersebut, sehingga kepala sekolah

beserta dewan guru harus mampu menciptakan

suatu lingkungan kerja yang bersifat positif

dan kondusif yang akan menjadi salah satu

factor penguat (reinforcement) untuk

mengarahkan perilaku (kebiasaan) yang positif

yang mengarah pada perubahan tersebut.

* Sariakin, M.Pd adalah Dosen Kopertis Wil I DPK pada FKIP Universitas Serambi Mekkah

Page 31: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

99

Untuk itu, sangat perlu diadakan analisis dan

tinjauan-tinjauan yang mengarah kepada

peningkaatan kualitas sekolah melalui model-

model pengembangan program pembelajaran

di sekolah sehingga terciptalah lembaga-

lembaga pendidikan sesuai harapan

pemerintah dan masyarakat selaku pengguna

jasa lembaga pendidikan tersebut.

Di sisi lain, para siswa akan dapat

memiliki kemampuan berbahasa inggris yang

komunikatif hanya jika mereka benar-benar

terlibat dalam suatu proses pembelajaran yang

diselenggarakan oleh sekolah mereka masing-

masing. Tanpa adanya keterlibatan secara

langsung dalam proses pembelajaran, maka

siswa tidak akan mencapai kemampuan

berbahasa Inggris secara maksimal.

Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran

baik di dalam kelas maupun di luar kelas akan

membantu mereka dalam mempelajari dan

memahami serta menguasai materi-materi

yang diberikan oleh guru. Dengan kata lain,

seorang siswa akan berhasil dalam

pembelajaran bahasa Inggris jika benar-benar

memiliki keterlibatan langsung selama proses

pembelajaran.

Dalam rangka untuk meningkatkan

prestasi siswa dalam proses pembelajaran

bahasa Inggris, maka perlu diadakan suatu

penelitian mengenai model pembelajaran yang

sesuai untuk meningkatkan prestasi siswa

dalam berbahasa Inggris.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan tentang

model pengembangan motode quantum

teaching dalam pembelajaran Bahasa Inggris

di sekolah untuk meningkatkan prestasi siswa

sekaligus prestasi sekolah. Selanjutnya tujuan

tersebut dijabarkan lagi sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan

bagaimana peran guru dan kepala sekolah

dalam mengembangkan metode quantum

teaching dalam pembelajaran Bahasa

Inggris?

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan

bagaimana metode quantum teaching dalam

pembelajaran Bahasa Inggris

dikembangkan untuk meningkatkan prestasi

siswa secara menyeluruh?

Tujuan penelitian pada tahun ke dua

adalah sebagai berikut:

3. Mengembangkan metode quantum teaching

dalam proses pembelajaran Bahasa Inggris

yang dapat meningkatkan prestasi secara

menyeluruh.

4. Melakukan pelatihan bagi guru-guru Bahasa

Inggris tentang model metode quantum

teaching yang dapat meningkatkan prestasi

sekolah dan prestasi siswa dalam berbahasa

Inggris secara menyeluruh.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan

memiliki kegunaan/manfaat sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini akan memberikan

gambaran utuh bagi kepala sekolah dan

guru tentang model pembelajaran Bahasa

Inggris yang lebih efektif dalam

meningkatkan prestasi sekolah dan siswa

secara menyeluruh dan untuk memiliki

tingkat lulusan (outcome) sekolah yang

tinggi pula, sehingga dapat dijadikan

perbandingan untuk pengembangan model

pembelajaran bagi seluruh mata pelajaran.

Secara konseptual juga dapat memperkaya

teori tentang pembelajaran bahasa Inggris

yang lebih efektif dengan menggunakan

metode quantum teaching dalam

pembelajaran Bahasa Inggris.

2. Penelitian ini sangat berguna bagi guru-

guru dalam hal peningkatan mutu

pembelajaran di sekolah dan peningkatan

prestasi belajar Bahasa Inggris siswa,

serta pengelolaan aktivitas belajar secara

profesional.

3. Bagi pengawas sekolah diharapkan hasil

penelitian ini dapat dijadikan rujukan

untuk melakukan pembinaan dalam

mengembangkan kemampuan

profesionalisme guru, agar kinerja sekolah

dan keefektifan pembelajaran makin

meningkat.

4. Penelitian ini sangat berguna bagi komite

sekolah, orang tua siswa, masya-rakat

pendidik, dan agen perubahan lainnya

yang memiliki keinginan un-tuk

melakukan perubahan di sekolah,

sehingga sekolah-sekolah tersebut akan

menjadi sekolah yang memiliki prestasi

yang baik/tinggi melalui kualitas

pembelajaran yang dijalankan para guru.

5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi Pemerintah/Instansi

Terkait (Kementrian Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 32: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

100

dan Kementerian Agama, Dinas

Pendidikan Provinsi dan Kanwil Kemenag

Provinsi Aceh, Dinas Pendidikan dan

Kantor Kementerian Agama kota Banda

Aceh dan kabupaten Aceh Besar, dalam

pengambilan kebijakan paling tepat

terhadap sekolah, kapala sekolah, dan

guru-guru, sehingga pelaksanaan

program-program pendidikan di Provinsi

Aceh berjalan padu dalam upaya

meningkatkan mutu pendidikan di Aceh.

6. Hasil penelitian ini dapat menjadi

masukan bagi Dirjen PMPTK, LPTK,

Pemerintah Daerah, Yayasan Pendidikan

dalam melakukan pembinaan pendidikan,

terutama dalam kualitas pembelajaran di

sekolah, untuk di-adakan berbagai

perbaikan dan pengembangan yang

relevan dan memadai.

7. Dapat menjadi acuan dan pendorong bagi

peneliti berikutnya untuk meng-kaji lebih

lanjut dan lebih mendalam dengan topik

dan pada kasus yang lain untuk

memperoleh perbandingan sehingga

memperkaya temuan-temu-an penelitian

ini.

D. Landasan Teory

1. Metode Quantum Teaching

Quantum Teaching adalah badan ilmu

pengetahuan dan metodelogi yang digunakan

dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi

SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-

teori pendidikan seperti Accelerated Learning

(Lozanov), Multiple Intelligences (Gardner),

NeuroLinguistic Programming (Grinder dan

Bandler), Experiential Learning (Hahn),

Socratic Inquiry, Cooperative Learning

(Johnson and Johnson), dan Elements of

Effective Instruction (Hunter) (DePorter, 2004:

4).

Quantum sendiri berarti adalah

interaksi yang mengubah energi menjadi

cahaya. Quantum Teaching dengan demikian

adalah orkestrasi bermacam-macam interaksi

yang ada di dalam dan di sekitar women

belajar. Interaksi-interaksi ini mencakup

unsur-unsur untuk belajar efektif yang

mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi-

interaksi ini akan mengubah kemampuan dan

bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang

akan bennanfaat bagi mereka sendiri dan bagi

orang lain.

Asas utama Quantum Teaching

adalah "Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita,

dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka".

Maksud dari asas ini adalah betapa pentingnya

memasuki dunia murid sebagai langkah

pertama. Untuk mendapatkan hak mengajar,

pertama-tama guru harus membangun

jembatan autentik memasuki kehidupan murid.

Sertifikat mengajar atau dokumen yang

mengijinkan guru untuk mengajar atau melatih

hanya berarti bahwa guru memiliki wewenang

untuk mengajar. Hal ini tidak berarti bahwa

guru mempunyai hak mengajar. Mengajar

adalah hak yang harus diraih dan diberikan

kepada siswa dan bukan oleh Departernen

Pendidikan.

Belajar dari segala definisinya adalah

kegiatan full-contact. Dengan kata lain, belajar

melibatkan semua aspek kepribadian manusia,

pikiran, perasaan dan bahasa tubuh disamping

pengetahuan, sikap dan keyakinan sebelumnya

serta persepsi masa mendatang. Dengan

demikian, karena belajar berurusan dengan

orang secara keseluruhan, hak untuk

memudahkan belajar tersebut harus diberikan

oleh pelajar dan diraih oleh guru.

2. Prinsip-Prinsip Quantum Teaching

Quantum Teaching memiliki lima prinsip

yaitu:

1. Segalanya Berbicara

Segalanya dari lingkungan kelas

hingga bahasa tubuh guru dari kertas yang

guru bagikan hingga rancangan pelajaran

guru mengirim pesan tentang belajar.

2. Segalanya Bertujuan

Semua yang terjadi dalam

penggubahan guru mempunyai tujuan

semuanya.

3. Pengalaman Sebelum Pemberian Nama

Otak kita berkembang pesat dengan

adanya rangsangan kompleks, yang akan

menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena

itu, proses belajar paling baik terjadi ketika

siswa mengalami informasi sebelum mereka

memperoleh nama untuk apa yang mereka

pelajari.

4. Akui Setiap Usaha

Belajar mengandung resiko. Belajar

berarti melangkah keluar dari kenyamanan.

Pada saat siswa mengambil langkah ini,

Sariakin, Model Pengembangan Metode Quantum Teaching

Page 33: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

101

mereka patut mendapat pengakuan atas

kecakapan dan kepercayaan diri mereka.

5. Jika Layak Dipelajari, Maka Layak Pula

Dirayakan

Perayaan adalah sampan pelajar

juara. Perayaan memberikan umpan balik

mengenai kemajuan dan meningkatkan

asosiasi emosi positif dengan belajar.

(DePorter, 2004:8).

3. Model Quantum Teaching

Model Quantum Teaching hampir

sama dengan sebuah simfoni. Jika sedang

menonton sebuah simfoni, ada banyak unsur

yang menjadi faktor pengalaman musik, tetapi

unsurunsur tersebut dapat dibagi dalam 2 (dua)

kategori yaitu unsur konteks dan isi (context

and content).

Konteks adalah latar untuk

pengalaman yang merupakan keakraban ruang

orkestra itu sendiri (Imigkungan), semangat

konduktor dan para pemam musiknya

(suasana), keseimbangan instrumen dan musisi

dalam bekerja sama (landasan), dan

interpretasi sang maestro terhadap lembaran

musik (rancangan). Dimana lingkungan adalah

cara guru menata ruang kelas; pencahayaan,

warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman,

musik dan semua hal yang mendukung proses

belajar. Suasana merupakan kelas guru

termasuk bahasa yang guru pilih, cara mejahn

simpati dengan siswa dan sikap guru terhadap

sekolah Berta belajar. Suasana yang penult

kegembiraan membawa kegembiraan pula

dalam belajar. Landasan adalah kerangka

kerja; tujuan, keyakinan, kesepaktan,

kebliakan, prosedur dan aturan bersama yang

memberi guru dan siswa sebuah pedoman

untuk bekerja dalam komunitas belajar.

Sedangkan rancangan adalah penciptaan

terarah unsurunsur penting yang bisa

menumbuhkan minat siswa, mendalami makna

dan memperbaiki proses tukar-menukar

informasi.

Jika keempat unsur konteks di atas

ditata dengan cermat maka suatu keajaiban

akan terjadi. Konteks itu sendiri benar-benar

menciptakan rasa saling memiliki yang

kemudian akan meningkatkan rasa memiliki

dan penghargaan. Kelas akan menjadi

komunitas belajar, tempat yang dituju para

siswa dengan senang hati, bukan karena

keterpaksaan.

Quantum Teaching dimaksudkan

untuk menjadi sahabat yang siap membantu

proses pengajaran dengan prinsip-prinsip

komunikasi ampuh, diperkuat dengan

pendekatan multi sensor, multi kecerdasan dan

berdasarkan kerangka rancangan Quantum

Teaching yang dikenal sebagai TANDUR.

Dimana makna TANDUR yaitu:

· Tumbuhkan

Tumbuhkan minat dengan memuaskan

"Apakah manfaatnya bagiku" dan

manfaatkan kehidupan pelajar.

· Alami

Ciptakan atau datangkan pengalaman

umum yang dapat dimengerti semua

pelajar.

· Nama

Sediakan kata kunci, konsep, model,

rumus, strategi dan sebuah masukan.

· Demonstrasikan

Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk

Menunjukan bahwa mereka tahu ini".

· Ulangi

Tunjukan pelajar cara-cara mengulang

materi dan menegaskan "Aku tahu bahwa

aku memang tahu ini".

· Rayakan

Pengakuan untuk penyelesaian,

partisipasi dan pemerolehan keterampilan

dan ilmu pengetahuan

Penelitian menunjukkan bahwa

lingkungan sosial atau suasana kelas adalah

penentu psikologis utama yang mempengaruhi

belajar akademis (Walberg dan Greenberg,

1997). Suasana keadaan ruangan menunjukan

arena belajar yang dipengaruhi emosi.

Memperhatikan emosi siswa membantu guru

untuk mempercepat pembelajaran murid.

Memahami emosi murid juga dapat membuat

pembelajaran lebih berarti dan permanen.

Penelitian otak semakin menunjukkan

adanya hubungan antara keterlibatan emosi,

memon jangka panjang dan belajar. Peneliti

dan psikolog kognitif Dr. Daniel Goleman

menjelaskan:

Studi-studi menunjukan bahwa siswa

lebih banyak belajar jika pelajarannya

memuaskan, menantang dan ramah serta

mereka mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan. Dengan kondisi seperti itu, para

siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan

sukarela yang berhubungan dengan

pembelajaran (Walberg, 1997). Hal ini

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 34: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

102

meningkatkan hubungan dan kepercayaan

dalam pengajaran. Dengan adanya korelasi

langsung antara keterlibatan emosi dan

prestasi belajar siswa, keterlibatan emosi kini

bukan lagi sekedar gagasan muluk yang

menyenangkan hati orang.

4. Mengakui Setiap Usaha

Semua orang senang diakui.

Menerima pengakuan membuat kita merasa

bangga, percaya diri dan bahagia. Penelitian

mendukung konsep bahwa kemampuan siswa

meningkat karena pengakuan guru. Dalam

kajian Gordon Wells mengenai bahasa belajar

anak-anak, dia mencatat:

Jika anak-anak diharapkan

melakukan transisi dengan mudah dan percaya

diri, mereka haruslah mengalami lingkungan

baru sekolah sebagai sesuatu yang

menggairahkan dan menantang. Dalam

lingkungan ini, sebagian besar usaha mereka

harus berhasil dan mereka harus diakui

sebagai diri mereka dan apa yang dapat

mereka lakukan…Anak-anak yang merasa,

atau dibuat merasa tidak diterima dan tidak

kompeten akan lambat memulihkan rasa

percaya diri dan akibatnya kemampuan

mereka untuk memanfaatkan kesempatan

belajar diperbesar yang disediakan sekolah

tersebut bahkan mungkin berkurang, dalam

kasus ekstrem, rusak dan tidak bisa diperbaiki

(Wells, 1986, bal. 68).

Untuk mendapatkan hasil terbaik

dengan siswa, akuilah setiap usaha, tidak

hanya usaha yang tepat. Sebagai guru kita

lebih banyak mengakul ketepatan daripada

proses belajar perorangan.

Mengapa? Karena sebagai guru kita

membaktikan sebagian besar waktu kita di

tempat yang disebut "Mengetahui'. Kita tahu

apa yang kita ketahui. Kita tahu bahan ajaran

kita, kita tahu apa yang diketahui murid kita,

apa yang harus diketahui oleh mereka dan apa

yang akan mereka ketahui. Kita digaji untuk

mengetahui akibatnya, apa yang kita akui dan

para pelajar kita? Apa yang mereka ketahui.

Dilema ini muncul karena murid-

murid kita dalam proses mencapai tempat

yang disebut "Aku tahu" menghabiskan

sebagian besar waktunya di sebuah tempat

berbeda yang disebut "Belajar".

Belajar adalah tempat yang mengalir,

dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan.

Belum ada "Aku tahu" disana. Kesalahan,

kreatifitas, potensi, dan ketakjuban mengisi

tempat tersebut. Di sini ada ketidakcocokan.

Siswa melakukan apa yang guru kehendaki

mereka mencoba belajar. Sayangnya, mereka

tidak diakui untuk hal tersebut. Hanya setelah

mereka tahu, barulah mereka dipuji.

Mengadakan perayaan bagi siswa

akan mendorong mereka memperkuat rasa

tanggung jawab dan mengawali proses belajar

mereka sendiri. Perayaan akan mengajarkan

kepada mereka mengenai motivasi hakiki

tanpa insentif Siswa akan menanti kegiatan

belajar, sehingga pendidikan mereka lebih dari

sekedar mencapai nilai tertentu.

Berikut ada beberapa cara yang

Bering digunakan untuk memberikan pujian

yang menyenangkan kepada murid ketika

mereka melakukan sesuatu hal dengan sukses

yaitu:

· Tepuk Tangan

Teknik ini terbukti tidak pernah gagal

memberikan inspirasi. Cobalah variasi

tepuk tangan, misalnya bertepuk tangan

membentuk lingkaran.

· Hare! Hore! Hare!

Jika diberi aba-aba, semua orang

melompat berdiri dan berteriak senyaring

mungkin, Hore, Hore, Hore!" sambil

mengayunkan tangan ke depan dan ke

atas. Cara ini mengasyikkan sekali jika

dilakukan bergelombang keseluruh

ruangan.

· WUSSSSSS

Jika diberi aba-aba, semua orang bertepuk

tangan tiga kah secara serempak, lalu

mengirimkan segenap energi positif

mereka kepada orang yang dituju. Cara

melakukannya adalah setelah bertepuk

tangan mendorong ke arah orang tersebut

sambil berteriak "Wussss"

· Jentikan Jari

Jika guru memerlukan penagakuan yang

tenang, daripada tepuk tangan, gunakan

jentikan jari yang berkesinambungan.

· Poster Umum

Mengakui individu atau seluruh kelas,

misalnya "Kelas Tiga Ngetop".

· Catatan Pribadi

Sampaikan kepada siswa secara

perseorangan untuk mengakui usaha

keras, sumbangan pada kelas, perilaku

atau tindakan yang baik hati.

Sariakin, Model Pengembangan Metode Quantum Teaching

Page 35: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

103

· Persekongkolan

Mengakui seseorang secara tak terduga.

Misalnya, seluruh kelas Anda dapat

bersekongkol untuk mengakui kelas lain

(misalkan kelas Ibu Ani) dengan cara

memasang poster positif atau surat

misterius yang bertuliskan hal-hal seperti

"Kelas Ibu Amat hebat Iho" atau Selamat

menempuh ujian hari ini, kami

mendukung kalian". Bersekongkol untuk

staff pemelihara dan kantin juga

mempakan ide yang bagus.

· Kejutan

Misalnya, makanan, tak ada pekerjaan,

santai sepanjang pelajaran. Tetapi,

misalkan kejutan ini terjadi secara acak.

Jangan membuat kejutan ini sebagai

hadiah yang mulai diharapkan siswa.

Jadikan kejutan sebagai kejutan!!

· Pengakuan Kekuatan

Lakukan jika anda menginginkan setiap

orang mendapatkan pengakuan, setelah

mereka saling mengenal dengan baik.

Atur siswa untuk duduk membentuk tapal

kuda dengan satu kursi (kursi jempol) di

bagian terbuka tapal. Setiap orang

bergihran menduduki kursi jempol. Siswa

pada kursi jempol tersebut duduk diam

sambil mendengarkan dan

memperhatikan. Setiap siswa dalam tapal

mengakui kekuatan istimewa atau sifat-

sifat baik dari siswa yang duduk di kursi

jempol. Guru dapat memberikan contoh

sehingga murid-murid tahu cara

melanjutkannya (DePorter, 2004: 32).

Dalam Quantum Teaching digunakan

satu set prinsip yang disebut dengan 8

(delapan) Kunci Keunggulan. 8 kunci itu

menyediakan cara yang bermanfaat untuk

mendapatkan keselarasan dan kerjasama. 8

kunci kerja itu memasang kerangka kerja bagi

lingkungan yang saling mendukung dan

mempercayai di mana setiap orang dihargai

dan dihormati.

E. Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai, penelitian ini dirancang dengan

pendekatan penelitian dan pengembangan

(Borg & Gall, 1989), yaitu penelitiann

ditindaklanjuti dengan program pengembagan

dengan tujuan untuk memperbaiki atau

menyempurnakan kondisi objek yang diteliti.

Untuk menghasilkan model pengembangan

metode quantum teaching pada pembelajaran

bahasa Inggris di SMP dilakukan langkah-

langkah sistematis dalam proses aksi, refleksi,

evalusi, dan inovatsi. Metode yang dipakai

dalam mengumpulkan data adalah observasi,

angket, wawancara, seminar, dan

pengembangan.

1. Observasi

Langkah pertama yang dilakukan

adalah observasi kelas secara langsung dalam

pelajaran Bahasa Inggris yang direkam dengan

handycam.

2. Angket

Yaitu dengan cara mengedarkan

angket/sejumlah pertanyaan sesuai dengan

tujuan penelitian. Bentuk-bentuk pertanyaan

dirumuskan sedemikian rupa untuk

memungkinkan terungkapnya indikator-

indikator yang menyangkut dengan

Pengembangan Metode Quantum Teaching

dalam pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa

Inggris pada siswa SMP di Kota Banda Aceh.

3. Wawancara Wawancara digunakan untuk

memperdalam serta menemukan jawaban-

jawaban yang lebib tereperinci yang tidak

mungkin terjawab tuntas dan mendetail

melalui angket. Wawancara hanya akan

dilakukan kepada guru dan kepala sekolah di

setiap SMP sehingga didapatkan gambaran

yang lebih lengkap tentang pengembangan

metode quantum teaching dalam pembelajaran

mata pelajaran Bahasa inggris.

Cara yang digunakan peneliti dalam

wawancara adalah mewancarai narasumber

ecara intensif dengan menggunakan pedoman

wawancara, sehingga masalah yang akan

dikaji tidak menyimpang dari tujuan yang

diinginkan.

4. Seminar

Disamping wawancara untuk

mempertajam dan memperdalam metode-

metode yang ditempuh dalam

mengembangkan metode Quantum Teaching

dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa

Inggris, maka akan dilakukan juga dengan

seminar dan diskusi untuk memperoleh

keseragaman pendapat antara satu pihak

dengan pihak lainnya.

Mengingat data yang ingin diperoleh

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 36: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

104

dalam hal ini memerlukan kecermatan dan

ketajaman yang mungkin dapat dilaksanakan

dalam program- program sekolah tidak mudah,

maka seminar-seminar dan diskusi yang akan

dilakukan memungkinkan lebih dari beberapa

kali, dalam artian sampai diperolehnya cara

yang baik untuk mengembangkan metode

Quantum Teaching dalam pembelajaran Mata

Pelajaran Bahasa Inggris pada SMP di Kota

Banda Aceh.

F. Hasil yang Dicapai

1.1 Mengembangkan Metode Quantum

Teaching Dalam Pembelajaran Mata

Pelajaran Bahasa Inggris

Tahapan penelitian adalah proses

yang harus dilalui peneliti secara sistematis.

Dalam hal pengumpulan data peneliti telah

melalui berbagai tahapan seperti yang sudah

direncanakan, yaitu berupa pengumpulan data

observasi, menyebarkan angket dan

wawancara.

Data ini sudah dianalisis untuk

mengetahui kondisi awal tentang proses

pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini

berlangsung di Sekolah Menengah Pertama

(SMP) di Banda Aceh.

Produk/Draft penelitian ini berupa

metode pembelajaran Bahasa Inggris Quantum

Teaching untuk meningkatkan prestasi belajar

bahasa Inggris siswa SMP di Kota Banda

Aceh.

Untuk produk metode pembelajaran

ini peneliti sudah meyelesaikan seluruh materi

untuk aktivitas metode Quantum Teaching

dengan memformulasikannya dengan

pembelajaran aktif, yang berupa materi writen

dan spoken English yang sangat interaktif.

Untuk aktivitas penelitian selanjutnya

peneliti akan menyelesaikan materi bahasa

Inggris dengan menggunakan metode

Quantum Teaching yang bisa dilakukan oleh

guru dalam mengajar Bahasa Inggris.

G. Kesimpulan

Berdasarkan temuan dan pembahasan

dari penelitian ini, maka dapat disismpulkan

bahwa:

1. Produk/Draft penelitian ini berupa metode

pembelajaran Bahasa Inggris Quantum

Teaching untuk meningkatkan prestasi

belajar bahasa Inggris siswa SMP di Kota

Banda Aceh.

2. Untuk produk metode pembelajaran ini

peneliti sudah meyelesaikan seluruh

materi untuk aktivitas metode Quantum

Teaching dengan memformulasikannya

dengan pembelajaran aktif, yang berupa

materi writen dan spoken English yang

sangat interaktif.

3. Untuk aktivitas penelitian selanjutnya

peneliti akan menyelesaikan materi

bahasa Inggris dengan menggunakan

metode Quantum Teaching yang bisa

dilakukan oleh guru dalam mengajar

Bahasa Inggris.

Daftar Pustaka

Anomious. 2002. Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Pusat

Kurikulum Balitbang Depdinas.

Arikunto, Suharsini. 2003. Manajemen

Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur

Penelitian: Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Boggemen, Sally, dkk. 1996. Succeding With

Multiple Intelligencies: Teaching

Through the Personal Intelegencies.

St. Lois, Missouri: The New City

School.

Boyle, P.G. 1981. Planning Better Programs.

New York: McGraw-Hill Book

Company.

DeProter, Bobbi dkk. 2004. Quantum

Teaching. Bandung: Kaifa.

Dryden, Gordon dan Vos, Jeannete. 1994. The

Learning Revolution. Torrance, CA:

Jalmar Press.

Howard L., Kingley. 1957. The Nature and

Conditions of Learning. New

Jersey: Prentice Hall Inc.

Longstreet and Shane. 1983. Curriculum for a

new Mellenium. Boston, London:

Allyn and Bacon.

Sariakin, Model Pengembangan Metode Quantum Teaching

Page 37: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

105

Mulyasa. 2002. Kurrikulum Berbasis

Kompetensi. Bandung: PT. Remaja

Rosda Karya.

Robert, Bondan, C. 1988. Qualitative

Research for Education: an

Introduction to theory and Methods.

Boston, London: Allyn and Bacon

Inc.

Sudjana, Nana. 2004. Dasar-Dasar Proses

Belajar Mengajar. Bandung: Sinar

Baru Algesindo.

Sugiyono. 2002. Statistika Untuk Penelitian:

Bandung: Alfabeta.

Sunarto dan Agung Hartono, B. 1999.

Perkembangan Peserta Didik.

Jakarta: Renika Cipta.

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 38: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

106

DAMPAK KEBERADAAN KEDAI KOPI BAGI IPK MAHASISWA

DI KOTA BANDA ACEH

Oleh

*Ruhadi dan **Herlina

Abstrak: Fenomena aktivitas di kedai kopi bukan hal asing di Aceh yang terkenal dengan

julukan “Negeri 1000 kedai kupi”. Keterkaitan antara kedai kopi dengan mahasiswa adalah

mahasiswa merupakan agent of change dan termasuk salah satu komponen yang sering

beraktivitas di kedai kopi. Penelitian ini ingin mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana

mahasiswa memaknai kedai kopi dan dampak apa yang ditimbulkan dari seringnya ke kedai

kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa ke kedai kopi sebesar 37 persen

untuk berkumpul, bersosialisasi dan bersilaturahmi dengan teman-teman. Sebesar 33 persen

menyatakan mengerjakan tugas kuliah karena di kedai kopi terdapat fasilitas internet dan

lainnya. Kecenderungan mahasiswa sebesar 50 persen memilih tempat beraktivitas di kedai

kopi karena terdapat berbagai fasilitas terutama WIFI merupakan alasan utama mereka

sering beraktivitas di kedai kupi yang mayoritas tidak setiap hari berkunjung. Mahasiswa

yang beralasan merasa nyaman beraktivitas di kedai kupi adalah sebesar 21 persen, hal

tersebut berkaitan dengan kelengkapan fasilitas termasuk di dalamnya tempat parkir dan

tempat sholat, toilet dan lainnya. Untuk dampak positif seringnya beraktivitas di kedai kupi

menunjukkan bahwa sebesar 52 persen responden menyatakan mendapat tempat belajar

yang nyaman. Memperoleh fasilitas bermain seperti facebook, game, dan lainnya sebesar

11 persen. Sedangkan dampak negatif adalah mahasiswa menyatakan sering lupa waktu

sebesar 60 persen, 29 persen menyatakan menguras biaya, dan 11 persen menjadi malas

untuk melakukan aktivitas lainnya. Angka rata-rata sebelum rutin beraktivitas ke kedai kopi

adalah sebesar 3,00 sedangkan setelah rutin ke kedai kopi adalah sebesar 3,10. Uji F

mendukung pernyataan tersebut dengan F(hitung) = 1,391 < F(tabel) = 3,06. Di sisi lain uji

relasi (R) menunjukkan hubungan negatif antara frekuensi ke kedai kopi dengan IPK

mahasiswa sebesar -0,166 yang berarti semakin besar frekuensi ke kedai kopi maka dapat

menurunkan IPK mahasiswa yang bersangkutan atau sebaliknya. Maka disarankan agar

dapat meningkatkan IPK maka mahasiswa menurunkan frekuensi ke kedai kopi dengan

beralih memperbanyak kegiatan yang mempengaruhi peningkatan IPK, misalnya

menambah jam belajar. Peneitian yang menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif ini

menggunakan wawancara langsung kepada mahasiswa dan pemilik kedai kopi, observasi,

serta dokumentasi, serta studi kepustakaan. Data yang diperoleh diolah disajikan dalam

bentuk tabel atau grafik disertai interpretasinya.

Kata kunci: kedai kupi, aktivitas mahasiswa, dan IPK.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Kesejahteraan merupakan keinginan

dari semua orang, baik secara lahir maupun

bathin. Namun kondisi yang terjadi di

lapangan adalah adanya ketidakseimbangan

antara kebutuhan dengan sumber daya yang

ada, misalnya adanya kecepatan pertumbuhan

penduduk yang berarti kebutuhan hidup juga

meningkat sedangkan ketersediaan kebutuhan

hidup berjalan lambat. Ini berkaitan dengan

jumlah pencari kerja yang dari tahun ke tahun

bertambah, namun lapangan kerja yang ada

sedikit.

Sebagai alternatif peluang

pekerjaan, muncullah sektor informal. Istilah

sektor informal pertama kali dilontarkan oleh

Keith Hart yang dituangkan dalam

penelitiannya di Ghana pada tahun 1973. Dia

mengungkapkan bahwa kesempatan

memperoleh penghasilan di kota tidaklah

selalu diidentikkan dengan proses

*Drs. Ruhadi, M.Pd adalah Dosen Tetap Yayasan Universitas Serambi Mekkah

**Herlina, SE adalah Dosen Tetap Yayasan Universitas Serambi Mekkah

Page 39: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

107

industrialisasi yang serba canggih tetapi

terdapat pula kegiatan ekonomi yang tidak

terorganisir yaitu sektor informal. Sektor

informal justru dapat berfungsi sebagai katup

penyelamat yang dapat meredam ledakan

sosial sebagai akibat meningkatnya pencari

kerja baik dalam kota maupun pendatang dari

desa. Lebih jauh lagi, Hernando de Soto

melihat sektor informal justru merupakan

kekuatan tersembunyi untuk memperbaiki

sistem ekonomi pasar yang tidak aksesibel

(Hernando de Soto, 1991).

Sektor informal sebagai fenomena

yang khas di NSB dapat berupa kegiatan

produksi dan distribusi barang maupun jasa.

Misalnya saja pedagang kaki lima, pedagang

asongan, tukang kredit, warung, dan unit-unit

kegiatan lainnya. Salah satu contoh warung

adalah warung kopi atau dalam bahasa Aceh

sering disebut sebagai kedai kupi, bahkan

Aceh dijuluki sebagai “Negeri 1000 kedai

kupi”. Kedai kopi adalah model perdagangan

makanan dan minuman di suatu tempat.

Tempat tersebut bisa jadi disewa atau toko

yang sudah dibeli, misalnya ruko di lantai

dasar bahkan ada yang dua lantai.

Kenyamanan dan keleluasaan yang

ditawarkan kedai kopi menjadi daya tarik

tersendiri yang membedakan kedai kopi

dengan tempat nongkrong lainnya. Di Kedai

kopi kita boleh saja duduk berjam-jam tanpa

harus khawatir akan mendapat usiran dari

pemiliknya. Di kedai kopi pula kita boleh

makan sambil duduk dengan kaki satu

diangkat, bahkan bila memungkinkan sambil

tiduran. Maka tidak heran bila banyak

mahasiswa yang menjadikan kedai kopi

sebagai tempat konsumsi, mereka memilih

kedai kopi karena suasana berbeda yang

ditawarkan oleh kedai kopi bila dibandingkan

dengan warung nongkrong lainnya.

Kedai kopi di Aceh merupakan

warung kopi dengan jumlah terbesar bila

dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia,

bahkan bisa jadi di dunia, walaupun tidak ada

data yang akurat mengenai jumlah ini. Mereka

yang datang ke kedai kopi bukan hanya

sekadar untuk menghabiskan uang, tapi juga

untuk mengkomunikasikan makna-makna

tertentu. Apa yang dikonsumsi bukan lagi

sekadar obyek tetapi juga makna-makna sosial

yang tersembunyi di dalamnya. Forum-forum

kedai kopi bermunculan, misalnya forum

kedai kopi Beurawe, forum kedai kopi

Uleekareng dan lain-lain. Kedai kopi bisa saja

menjadi ruang baru bagi mahasiswa untuk

memperbincangkan berbagai permasalahan.

Sejarah mencatat ketika masa perang dengan

Belanda, Teuku Umar dalam perjalananan

mengajak pasukannya untuk ngopi bila tiba di

tempat tujuan yaitu Meulaboh, namun tidak

jadi karena beliau meninggal di perjalanan.

Bukti ini menunjukkan bahwa budaya ngopi di

Aceh sudah sejak lama.

1.2. Masalah Penelitian

Kedai kopi di Aceh adalah salah

satu bagian dari sektor informal namun sudah

bergerak menuju sektor formal berdasarkan

ciri-ciri dari kedua sektor tersebut. Berbicara

mengenai mahasiswa sebagai agent of change

dalam menentukan pilihan tempat nongkrong,

bisa dilihat dengan ukuran kantung masing-

masing. Bagi mereka yang berkantung terbatas

atau yang sedang kehabisan cadangan

makanan seringkali menjatuhkan pilihan pada

kedai kopi sebagai tempat makan, kalau tak

cukup uang di tangan, maka makan kueh-

kuehpun juga boleh. Tetapi banyak juga

mahasiswa yang berkantung tebal turut

menjatuhkan pilihan pada kedai kopi sebagai

tempat konsumsinya atau hanya sekadar

tempat untuk nongkrong bersama teman-

teman sambil menikmati hidangan di kedai

kopi.

Berdasarkan latar belakang,

permasalahan dalam penelitian ini adalah

bagaimana mahasiswa memaknai keberadaan

kedai kopi di Kota Banda Aceh dan dampak

yang ditimbulkan oleh perilaku seringnya ke

kedai kopi bagi mahasiswa terhadap IPK.

Tujuan penelitian ini adalah

mengetahui bagaimana mahasiswa memaknai

keberadaan kedai kopi di Kota Banda Aceh

dan mengetahui dampak apa saja yang

ditimbulkan oleh perilaku seringnya ke kedai

kopi bagi mahasiswa.

Tinjauan Pustaka

2.1. Mahasiswa dan Kedai Kopi

Dalam ilmu sosial ditekankan

bahwa interaksi individu tidak berada di ruang

hampa, dimana ada banyak faktor yang

mempengaruhi setiap relasi yang ada. Dalam

kehidupan sehari-hari, apa yang terkait

didalamnya adalah suatu penafsiran makna

dari orang lain melalui interaksi yang

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 40: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

108

kompleks dari struktur relevansi, makna, dan

pengetahuan (Peter L Berger dan Hansfried

Kellner,1985).

Schutz mengkhususkan

perhatiannya kepada satu bentuk dari

subjektivitas yang disebutnya antar

subjektivitas. Konsep ini menunjuk kepada

pemisahan keadaan subjektif atau secara

sederhana menunjuk kepada dimensi dari

kesadaran umum dan kesadaran khusus

kelompok sosial yang sedang saling

berintegrasi. Intersubyektivitas yang

memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi

tergantung kepada pengetahuan tentang

peranan masing-masing yang diperoleh

melalui pengalaman yang bersifat pribadi

(Alimandan, 1992).

Alfred schutz memusatkan

perhatiannya kepada struktur kesadaran yang

diperlukan untuk terjadinya saling bertindak

atau interaksi dan saling memahami antar

sesama manusia, secara singkat dapat

dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan

berlangsung melalui penafsiran dan

pemahaman tindakan masing-masing baik

antar individu maupun antar kelompok.

Fenomenologis mengejar apa yang

disebut Max Weber sebagai verstehen,

pemahaman atas motivasi dan keyakinan yang

terdapat dibalik tindakan seseorang (Moleong,

2004). Menafsirkan tindakan mahasiswa

mengkonsumsi di kedai kopi bukan suatu

pekerjaan mudah. Semua orang punya makna

dan berusaha hidup dalam suatu dunia yang

bermakna. Pada prinsipnya setiap makna

insani dapat diterima oleh yang lainnya. Dan

memang penerimaan timbal balik ini

merupakan suatu premis yang menentukan

untuk kepercayaan bahwa memang ada

sesuatu seperti kemanusiaan bersama. Tetapi

tentunya ada makna yang lebih dapat diterima

dibandingkan dengan makna-makna lainnya.

Dalam kasus ini, faktor harga

makanan yang relatif terjangkau di kedai kopi

bisa jadi merupakan makna yang lebih banyak

diterima orang di balik tindakan mahasiswa

mengkonsumsi di kedai kopi. Namun menjadi

lain halnya jika kemudian dihadapkan pada

kenyataan bahwa kebanyakan para mahasiswa

itu mempunyai latar belakang sosial yang

mapan, yang memungkinkannya untuk

mempunyai alternatif pilihan yang lebih baik

dibandingkan dengan kedai kopi. Di sini

mungkin yang akan lebih bisa digunakan

adalah pemaknaan kedai kopi sebagai arena

interaksi sosial dimana di sana orang bisa

bebas berkumpul membicarakan banyak hal

mulai dari masalah seni, politik, ekonomi,

pendidikan, sosial budaya, sampai humor.

Kedai kopi bisa jadi sebagai tempat

munculnya ide skripsi dan penelitian, diskusi

politik, maupun sekadar ngobrol antar teman.

Atau bisa jadi juga terkait dengan suasana

santai penuh kekeluargaan dan keakraban yang

tercipta di kedai kopi yang menimbulkan

suasana nyaman dalam berkonsumsi. Ketika

kemudian para pelayan dan pemilik kedai kopi

bukan hanya sebagai penjual makanan dan

minuman tetapi juga menjadi teman ngobrol

bagi pembeli. Minimal mereka menjadi saksi

dan pendengar yang baik, hubungan penjual

dan pembeli ini lebih dari hubungan ekonomi

tetapi hubungan pertemanan.

2.2. Kedai Kopi di Aceh

2.2.1. Sejarah Kedai Kopi di Aceh

Kedai kopi mudah ditemui di Aceh,

berbagai kalangan duduk di tempat tersebut

berjam-jam. Kehadiran kedai kopi di Tanah

Rencong memiliki sejarah yang panjang.

Kedai kopi Jasa Ayah yang dikenal sebagai

kedai kupi Solong di Uleekareng, Banda Aceh

tergolong kedai kopi tua. Maraknya kedai kopi

di Aceh menjadikan Aceh sering disebut

sebagai ”Negeri Seribu Kedai Kupi”. Pagi,

siang, dan malam, para konsumen datang silih

berganti. ”Usaha ini dimulai dari ayah saya

pada tahun 1974. Saya melanjutkannya”, kata

H. Nawawy, pemilik kedai kopi Solong di

Uleekareng. Kedai kopi sejenis inilah yang

tergolong tradisional di Kota Banda Aceh dan

sekitarnya. Pembuatan kopi dengan cara

merebus kopi dan menyaring menggunakan

saringan ketika hendak disajikan.

Pasca tsunami dan perjanjian damai

Helsinki semakin banyak tempat nongkrong

dan kedai kopi yang muncul. Kedai kopi yang

tadinya buka tidak sampai 24 jam, kini buka

24 jam. Kebutuhan ini adalah kebutuhan dari

pekerja yang masuk ke Aceh, mereka

membutuhkan tempat duduk untuk relasasi

dan bertemu relasi. Para pendatang Aceh

membutuhkan tempat yang nyaman,

perkembangan kedai kupi menjadi modern

hingga saat ini karena adanya peluang

ekonomi, dan orang Aceh menangkap peluang

tersebut. Budayawan Aceh LK Ara tidak

memungkiri ada orang yang bermalas-malas di

Ruhadi dan Herlina, Keberadaan “Negeri 1000 Kedai Kupi”

Page 41: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

109

tempat tersebut, sehingga kadang muncul

kritikan dari berbagai kalangan bahwa kedai

kupi adalah tempat orang bermalas-malas.

Namun menurutnya banyaknya orang di kedai

kupi merupakan tempat untuk menggali ide

atau menambah informasi.

Kita bisa saja datang ke kedai kopi

dengan menu yang sama persis namun dengan

jumlah pembayaran yang berbeda, karena

penghitungan pembayaran kadang dilakukan

dengan hanya mengandalkan ingatan dari

pelayan. Kalau kita bertanya berapa harga

yang mesti dibayar, maka pelayan akan segera

menyebut sejumlah angka.

Setelah proyek rehabilitasi berakhir

dan BRR ditutup, kedai kopi diperkirakan

akan gulung tikar, karena gelembung-

gelembung perekonomian Aceh akan kembali

seperti sediakala. Kenyataan yang terjadi

adalah kedai kopi tetap eksis dengan jumlah

pendatang ke Aceh memang berkurang,

namun pengunjung tetap marak.

2.2.2. Memaknai Kedai Kupi di Aceh

Kedai kopi semakin populer pada

masa pasca tsunami, menjadi tren dan mulai

banyak kegiatan semiformal dilakukan di

kedai kopi, antara lain adanya kegiatan

simulasi oleh BPS, diskusi yang diadakan oleh

lembaga swadaya masyarakat, diskusi yang

diadakan oleh kapolda Aceh. Pada dialog

tersebut mengangkat tema-tema aktual dan

hangat menjadi obrolan yang santai. Para

pejabat juga sering kelihatan bercengkrama

bersama teman-temannya di kedai kopi.

Biasanya kalau sudah menjadi langganan di

sebuah tempat, maka pengunjung akan

kembali ke Kedai kopi tersebut, sehingga bila

kita ingin mencari atau mengajak si fulan

minum kopi, maka kita dapat menebak

kebiasaan dia sering duduk dimana, dan kita

akan mencari atau menemuinya di kedai kopi

tersebut. Nama-nama kedai kopi di Aceh yang

relatif terkenal dan ramai dikunjungi dapat

dilihat pada tabel 1.

Sumber data tersebut merupakan hasil

survey yang dilakukan dan masih banyak

kedai kopi kecil lainnya yang tidak tertera.

Untuk total kedai kopi di Aceh terdapat sekitar

ratusan kedai kopi. Dan hanya beberapa saja

yang terdaftar di dinas perdagangan Aceh. Ada

beberapa kedai kopi yang sudah membuka

cabang di berbagai tempat antara lain: kedai

kopi Solong, Taufik Cafe, dan Dek Mie. Kalau

dilihat dari tahun mulai berjualan, kedai kopi

mulai berjualan sejak lama sebelum tsunami

dan hingga kini masih berdiri.

Banyak pilihan fasilitas yang

ditawarkan oleh kedai kopi seperti bangku-

bangku dan meja-meja, penampilan band di

setiap malam minggu, fasilitas wifi, dan lain

sebagainya. Kedai kopi modern seperti ini

terutama bertebaran pasca tsunami. Dahulu

sangat sulit ditemui perempuan yang

beraktivitas di kedai kopi, namun sekarang

sudah banyak perempuan yang mau turut serta

beraktifitas di kedai kopi, terutama ke kedai

kopi yang modern.

Mesti diakui sektor informal

memainkan peranan yang penting di daerah

perkotaan, baik dalam hal menyerap tenaga

kerja maupun menyediakan barang dan jasa

bagi berbagai kelompok masyarakat.

Demikian halnya dengan kedai kopi, telah

menjadi tumpuan hidup. Fenomena ini

barangkali terkait dengan tersebarnya kedai

kopi mulai dari tengah kota sampai pinggiran

kota. Budaya ngopi yang telah menjadi budaya

ureung Aceh, tak dapat dipungkiri telah

menjadi daya tarik tersendiri bagi Aceh. Suka

atau tidak suka dengan budaya ngopi.

Kedai Kupi diidentikkan dengan

media berkomunikasi bagi masyarakat Aceh

sejak dahulu, saling bersilaturahmi demi

mempererat kekerabatan, hingga sekarang.

Dan, pada pasca tsunami telah menjadi life

style. Di kedai kupi tidak terbedakan lagi

mana masyarakat yang berpendapatan rendah

dengan masyarakat berpendapatan tinggi, yang

mana anak pejabat dan yang mana anak tukang

becak. Entah lapisan bawah, menengah atau

yang disebut sebagai lapisan sosial atas, sering

terlihat mereka yang berpenampilan rapi,

membawa handphone, berkendaraan sepeda

motor dan mobil, bahkan mahasiswa yang

dipandang oleh masyarakat sebagai calon-

calon intelektual yang bersemangat, penuh

dedikasi, enerjik, kritis, pintar dan berilmu

sebab mereka digodok di sebuah tempat yang

bernama Universitas tanpa segan-segan

nongkrong di kedai kupi. Mereka pun kadang-

kadang rela mengantri untuk bisa mengambil

makanan atau menunggu tempat yang kosong.

2.2.3. Sejarah Budaya Ngopi dari

Ottoman Sampai ke Aceh

Ada kesamaan antara tempat minum

kopi di Turki dan kedai kopi di Aceh. Di Aceh

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 42: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

110

masih ditemukan warung kopi dengan meja

pendek. Tinggi meja hampir sama dengan

dudukan kursi. Cara pembuatan untuk

penyajian kopi juga sama. Ketika warung

kopi berkembang di Ottoman, pada saat yang

sama sufisme juga berkembang di tempat itu.

Kopi diminum kaum sufi sebelum mereka

mengadakan ritual. Mereka minum agar

menahan kantuk. Pada saat yang sama sufisme

juga berkembang kuat di Aceh. Beberapa

tokoh terkenal seperti Hamzah Fanzuri dan

Syamsuddin Al Sumatrani, juga merupakan

tokoh sufi. Sangat memungkinkan kebiasaan

di Ottoman itu masuk ketika paham sufisme

juga masuk ke Aceh. LK. Ara sebagai

budayawan Aceh menuturkan bahwa beliau

menemukan hubungan yang kuat mengenai

kehadiran Ottoman di Aceh.

Tempat untuk minum kopi di Turki

yang terkenal pada mulanya adalah Kiva Han

yang berdiri tahun 1475 di Kota Istanbul.

Tempat ini merupakan salah satu titik dalam

sejarah kopi, setelah abad ke-13 kopi mulai

ditemukan dan diperkenalkan mulai dari

Ethiopia, Yaman, Arab Saudi, hingga

Ottoman. Mungkin dari nama Kiva Han itulah

kemudian dikenal istilah “kafe” setelah masuk

ke Eropa. Kehadiran Ottoman diperkirakan

berpengaruh kuat terhadap gaya hidup orang

Aceh. Salah satunya adalah terkait masuknya

kopi, gaya hidup minum kopi, dan juga

kehadiran kedai kopi. Kemungkinannya adalah

sudah masuk sebelum didatangkan oleh VOC

ke Indonesia. Lebih jauh ketika orang-orang

selesai sholat di Aceh, kita mudah menemukan

mereka mendatangi kedai kopi untuk minum

kopi. Inilah fenomena yang juga dapat

dijumpai di Turki.

2.2.4. Pengaruh Budaya Tionghoa

Terhadap Budaya Ngopi di Aceh

Setidaknya kita perlu memerhatikan

fakta bahwa tidak sedikit pengaruh kebiasaan

orang Tionghoa, yang juga hadir di Aceh sejak

beberapa abad lalu, dalam hal kebiasaan

minum kopi. Orang Tionghoa juga sudah hadir

di tanah Aceh sejak awal Aceh berdiri.

Pengaruh kebiasaan orang Tionghoa dalam hal

minum kopi setidaknya tampak dalam

makanan yang disediakan di warung kopi.

Makanan-makanan kecil itu pasti tidak

ditemukan di Ottoman. Pengaruh itu sangat

kuat karena orang China yang datang ke Asia

Tenggara juga memiliki kebiasaan duduk dan

mengobrol berlama-lama di warung. Sangat

mungkin orang Tionghoa ikut

mengembangkan warung kopi itu. Kenyataan

ini terlihat dari kepemilikan beberapa warung

kopi lama yang dikelola orang Tionghoa.

Pemilik Warung Kopi Ulee Kareng, H

Nawawi, menceritakan, sebelum mendirikan

warung kopi, ayahnya bekerja di warung kopi

milik seorang warga Tionghoa di Kota Banda

Aceh (www.kompas.com).

Walaupun di Takengon, Aceh Tengah

dihiasi oleh perkebunan dan pabrik kopi,

namun Lamno di Aceh Barat merupakan

produsen kopi terbaik di Indonesia. Terkenal

dengan biji kopi Arabikanya, Aceh

memberikan kontribusi sebesar 40 persen dari

produksi kopi Indonesia. Teknik membuat

secangkir kopi di kedai kopi di Aceh tidak ada

duanya. Para barista di sini tidak pernah pergi

ke pelatihan khusus untuk belajar cara

menyajikan secangkir kopi. Cara penyajian

kopi di Aceh berbeda dengan daerah-daerah

lain di Indonesia. Di sini, kopi diseduh melalui

beberapa penyaringan sampai pada kekentalan

yang diinginkan sehingga membuat kopi lebih

harum, nikmat dan memiliki efek rasa yang

kuat.

2.3. Aktivitas Kedai Kupi dan Mahasiswa

Sebagai Konsumen

Batas sosial di Kedai Kupi menjadi

tidak berlaku lagi di tempat ini. Semua berbaur

menjadi satu, saling berinteraksi satu sama lain

tanpa memandang kelas sosial oleh para

konsumennya. Disini mereka salin menegur,

berjabat tangan, saling berbicara dan saling

bercanda antar pedagang dan pembeli.

Sesekali ada yang meminta percik api antar

pemuda satu dengan yang lain untuk

menyalakan rokok, padahal mereka saling

tidak mengenal. Di sini pula mereka

beraktivitas membentuk dunianya sendiri,

sebuah dunia manusia. Sebuah dunia yang

menurut Berger adalah suatu dunia yang mesti

dibentuk oleh aktivitas manusia itu sendiri.

Manusia bisa menempatkan diri serta

merealisasikan kehidupannya. Mereka pun

harus selalu mencoba memahaminya dirinya

sendiri dengan cara mengekspresikan diri

dalam beraktivitas (Berger, 1991).

Ruhadi dan Herlina, Keberadaan “Negeri 1000 Kedai Kupi”

Page 43: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

111

Metode Penelitian

3.1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode

penelitian yang digunakan adalah metode

kualitatif dan kuantitatif. Bogdan dan Taylor

mendefinisikan metode kualitatif merupakan

prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.

Pendekatan fenomenologis dalam

hal ini berbeda dengan pendekatan

positivisme, dimana fenomenologis dapat

lebih peka menangkap fakta sosial dalam

masyarakat karena meletakkan objek studi

dalam kerangka yang natural. Yang

ditekankan oleh fenomenologis ialah aspek

subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha

masuk ke dalam dunia konseptual para subjek

yang diteliti sedemikian rupa sehingga mereka

mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian

yang dikembangkan oleh mereka di sekitar

peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Kota

Banda Aceh karena merupakan pusat

pertumbuhna ekonomi di Aceh, disinilah

banyak kedai kopi tersebar dan merupakan

tempat yang paling banyak dikunjungi oleh

mahasiswa. Tempat ini tidak selalu harus

dekat dengan kampus.

3.3. Responden Penelitian

Populasi penelitian ini adalah

mahasiswa pengunjung kedai kopi yang

relatif terkenal di Kota Banda Aceh dengan

jumlah rata-rata kunjungan 5650 orang per

hari. Namun penelitian ini hanya mencakup

mahasiswa pengunjung di 6 kedai kopi Pada

tahap awal dilakukan observasi untuk

mengetahui populasi pengunjung kedai kopi di

sejumlah kedai kopi tersebut ternyata

menunjukkan ada 1500 orang. Selanjutnya

ditentukan jumlah sampel penelitian

berdasarkan populasi pengunjung pada kedai

kopi tadi. Maka sampel penelitian ini adalah

ksebesar 150 orang mahasiswa yang rutin

setiap hari ke kedai kopi atau paling sedikit

seminggu sekali. Sampel diambil

menggunakan metode purposif sampling yang

bertujuan mengambil sampel dari populasi

mahasiswa yang menjadikan kedai kopi di

Kota Banda Aceh sebagai tempat konsumsi.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi

Observasi merupakan pengamatan

fenomena-fenomena yang diselidiki. Disini

pengamatan yang dilakukan adalah

pengamatan terlibat (Partisipant Observation).

Dalam penelitian ini, yang akan diobservasi

intensitas mahasiswa nongkrong di kedai

kopi, aktivitas selama nongkrong seperti

obrolan, diskusi dan lain-lain. Dalam hal ini

peneliti terlibat untuk ikut nongkrong di kedai

kupi agar dapat mengerti langsung aktivitas

responden.

2. Wawancara

Penelitian ini melakukan

wawancara langsung (tatap muka) terhadap

responden. dengan sebelumnya didahului

pembicaraan informal untuk menciptakan

hubungan yang akrab dengan sampel.

Hubungan yang akrab ini diperlukan agar bisa

memudahkan dalam mendapatkan umpan

balik dalam proses selanjutnya. Demi

mencapai suasana santai dan akrab diperlukan

waktu agar lebih saling mengenal. Lalu

wawancara yang semula bersifat informal

beralih menjadi lebih formal walaupun

keakraban senantiasa dipelihara.

3. Dokumentasi

Penggunaan dokumen ini

merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan jalan melihat dokumen-

dokumen, foto-foto, internet dan media massa,

catatan-catatan seperti memo-memo yang

dapat dikumpulkan peneliti dan peneliti

tinggal memanfaatkan data yang ada untuk

mendukung dan menambah bukti dari sumber-

sumber.

3.5. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini

yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan

kualitatif deskriptif. Data akan diolah

sedemikian rupa dan akan disajikan dalam

bentuk tabel dan grafik dengan disertai

interpretasinya.

Hasil dan Pembahasan

4.1. Kedai Kopi di Kota Banda Aceh

Kedai kopi di Aceh berjumlah

ratusan, tidak diketahui secara pasti berapa

benayak jumlah seluruhnya, karena tidak

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 44: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

112

senua kedai kopi terdaftar di dinas

perdagangan. Setelah melakukan check list

terhadap data-data kedai kupi yang tergolong

relatif terkenal dan ramai dikunjungi

mahasiswa, terdapat kedai kopi yang sudah

tutup dan jumlah pengunjung yang menurun

(lihat tabel 1). Hal ini disebabkan berbagai

sebab salah satunya tidak ada pembaharuan

terhadap kedai kopi tersebut dan mengalami

persaingan dengan kedai kopi lainnya yang

baru bermunculan pasca tsunami di Aceh.

Kedai kopi Jasa Ayah pada tabel

tersebut merupakam kedai kopi tertua dan

hingga sekarang masih bertahan dan malah

membuka cabangnya yaitu Solong II dan

Solong III. Kedai kopi Jasa Ayah disebut juga

Solong I. Sedangkan Zakir Kupi merupakan

kedai kupi yang termuda diantara kedai kupi di

tabel tersebut, namun jumlah pengunjung per

hari relatif banyak untuk sebuah kafe baru

berdiri 5 bulan, hal ini dikarenakan letak Zakir

Kupi yang strategis, ada WIFI. Orang-orang

yang datang ke kedai kopi tersebut dari

berbagai kalangan, hal ini menunjukkan

bahwa kedai kopi ini berhasil memadukan

konsep modern dan tradisional. Konsep lama

yang bukan berarti buruk yaitu tanpa

menggunakan WIFI, tata letak kursi dan

bangku yang lebih berdekatan, tata ruangnya

belum begitu diperhatikan. Namun mirip

modernnya adalah kedai kopi ini memiliki

branding.

Dhapu Kupi berlokasi di Simpang

Surabaya yang memiliki jumlah pengunjung

dalam sehari sekitar 600 orang. Ini merupakan

angka tertinggi bila dibandingkan dengan

kedai kupi lainnya. Kedai kopi ini selain

strategis juga buka kedai kopinya selama 24

jam, tempatnya luas dan memiliki tempat

parkiran. Pengunjungnya nyaris para pemuda

semua. Kedai kopi ini sudah memiliki

branding dan turut menjual baju kaos seperti

kedai kopi Jasa Ayah.

Tabel 1. Kedai Kopi Relatif Terkenal di Kota Banda Aceh

Nama Kedai Kopi Lokasi Tahun

berdiri

Jumlah Pengunjung/

hari (orang)

1. Aan’n adua Kupi Jl. Malikul Saleh Krueng Raya 2009 300

2. Black and White Jl. Teuku Umar 2007 150

3. Cafe Bay Jl. Iskandar Muda 2007 200

4. Cek Wan Ulekareng 2002 200

5. Cut Nun Uleekareng 2010 250

6. Dek Mie Jl. Rukoh Utama, Darussalam 2006 400

7. Dhapu Kupi II Uleelhe 2009 200

8. Dhapu Kupi I Simpang Surabaya 2008 600

9. Kede Kupi jasa ayah Jl. T. Iskandar 1974 500

10. Solong II Jl. Lampenereut 2009 300

11. Solong III Uleekareng 2010 500

12. Mont Kupi Jl. DR. TH. Moh. Hasan, Batoh 2007 200

13. Ringroad Café Jl. DR. TH. Moh. Hasan, Batoh 2010 500

14. Taufik Kupi Jl. Syiah Kuala 2008 350

15. Tower Caffee Jl. Daud Beur’eh 2005 250

16. Zakir Kupi Jl. Daud Beur’eh 2013 300

17. Black Coffee Jl.. DR. TH. Moh. Hasan, Batoh 2010 150

18. Rawasakti Jl. Malahayati, Jeulingke 2010 300

Jumlah 5.650

Keseluruhan kedai kopi tersebut setelah ditotalkan adalah 5.650 orang, itu merupakan jumlah

per hari orang yang ke kedai kopi, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa. Namun kami

memperkecil wilayah penelitian dengan hanya mengambil secara acak sejumlah 6 kedai kopi di Kota

Banda Aceh dengan total populasi sebesar 1500 orang (lihat Tabel 2).

Ruhadi dan Herlina, Keberadaan “Negeri 1000 Kedai Kupi”

Page 45: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

113

Tabel 2. Kedai Kopi di Kota Banda Aceh

No Nama Kedai Kopi Alamat Tahun

Berdiri

Jumlah rata-rata pengunjung

per hari (orang)

1 Café Bay Jl. T Iskandar Muda 2007 200

2 Dhapu Kupi II Jl. Iskandar Muda 2009 200

3 Cut Nun Jl. P. Nyak Makam 2010 250

4 Mont Kupi Jl. Dr. TH. Moh Hasan 2007 200

5 Solong Mini Jl. Lampenerut 2009 300

6 Tower Caffe Jl. Daud Beureuh 2008 350

Jumlah 1500

Hasil penelitian menunjukkan

responden yang diambil secara acak adalah

mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebesar 70

persen, sisanya adalah perempuan. Sebelum

tsunami angka perempuan yang duduk

beraktivitas di kedai kopi tidak sebanyak pasca

tsunami. Hal ini juga merupakan hasil

wawancara dengan pemilik, kasir, dan penjaga

parkir di kedai kopi walaupun angkanya tidak

diketahui secara pasti. Penyebab jumlah

perempuan meningkat antara lain dapat dilihat

dari fasilitas kedai kopi tersebut, mulai dari

toilet, tempat sholat, ketersediaan internet,

keanekaragaman makanan dan minuman

lainnya selain kopi seperti softdrink, aneka jus,

skoteng, dan sebagainya. Design ruang dengan

bangku-bangku modern bisa dikatakan

menjadi penanda berdirinya kedai kopi

tersebut setelah tsunami.

Mahasiswa yang menjadi responden

kebanyakan tinggal di Kota Banda Aceh

sebagai anak kost, sewa atau kontrak

dibandingkan dengan yang tinggal dengan

orang tua. Mereka berasal dari berbagai

universitas negeri dan swasta di Kota Banda

Aceh dengan berbagai fakultas dan jurusan

yang berbeda karena sampel diambil secara

acak. Sedangkan tingkat pendidikan responden

adalah dimulai dari pendidikan yang sedang

kuliah D1, D3, sampai dengan S1 berikut

umur mereka berkisar antara 19-25 tahun.

4.2. Kecenderungan Mahasiswa ke Kedai

Kopi

Mahasiswa cenderung ke kedai kopi

karena ingin berkumpul dengan teman-

temannya yang juga rutin ke kedai kopi.

Mereka membuat janji antara satu sama

lainnya. Sedangkan tujuan lain yaitu belajar

dan mengerjakan tugas, ini lebih pada bahwa

kedai kopi memiliki fasilitas internet yang

digunakan untuk mengakses internet. Bagi

mahasiswa yang berkumpul dengan teman-

teman dan belajar atau mengerjakan tugas juga

bekerja, maka mereka pasti akan

mengeluarkan pengeluaran untuk makan atau

minum, paling tidak untuk minum. Namun ada

mahasiswa yang mengakui datang ke kedai

kopi memang sengaja untuk makan atau

minum yaitu sebesar 25 persen. Yang terkecil

adalah jumlah mahasiswa yang bekerja seperti

mengerjakan website dan pekerjaan lainnya

yang membutuhkan akses internet (lihat Tabel

3).

Fakta menarik adalah selama

beraktivitas di kedai kopi, hampir seluruh

responden menyatakan pernah mendapatkan

teman baru. Biasanya teman baru tersebut

mereka kenal melalui temannya yang sedang

berada di kedai kopi ketika sedang

beraktivitas. Ada sebesar 5 persen yang

menyatakan tidak pernah memperoleh teman

baru di kedai kopi dan jumlah ini didominasi

oleh responden perempuan, hal ini bisa jadi

disebabkan karena memang mayoritas

pengunjung kedai kopi adalah lak-laki.

Lamanya mahasiswa yang ke kedai

kopi minimal kurang dari 30 menit. Namun

rata-rata menunjukkan lamanya berkunjung

lebih dari 30 menit-2 jam. Dalam durasi waktu

inilah yang digunakan untuk melakukan tujuan

ke kedai kopi. Mahasiswa mengaku mereka

menjadi lupa waktu untuk melakukan

aktivitass lainnya seperti ke kampus menjadi

terlambat, pergi ke kursus menjadi telat dan

lainnya.

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 46: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

114

Tabel 3. Tujuan Mahasiswa ke Kedai Kopi

4.3. Makna Keberadaan Kedai Kopi bagi

Mahasiswa

Setengah dari responden menyatakan

bahwa kedai kopi memiliki fasilitas wifi

sehingga mereka leluasa mengakses internet

baik untuk bermain game, facebook, atau

mengerjakan tugas dan lainnya. Disini juga

mereka leluasa bercengkrama dengan teman-

temannya membahas apa saja mulai dari

masalah kampus, berbagi informasi dan

sebagainya. Makanan dan minuman yang enak

selanjutnya menjadi alasan bagi mahasiswa ke

kedai kopi dengan biaya yang relatif

terjangkau (lihat Tabel 4).

Mahasiswa yang setiap hari atau tidak

setiap hari ke kedai kopi menyatakan bila ke

kedai kopi tidak lebih dari satu kali. Hal ini

berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan

untuk minimal memesan minum di kedai kopi.

Rata-rata pengeluaran untuk sekali

kunjungan adalah sebesar Rp. 14.000, angka

ini tentu saja mayoritas tidak setiap hari

dikeluarkan oleh mahasiswa, karena

persentase mahasiswa yang ke kedai kopi

setiap hari hanya 12 persen. Lebih dari

setengah mahasiswa berkunjung ke kedai kopi

dalam sehari paling banyak menjawab satu

kali, baik bagi mereka yang iya dan tidak

setiap hari beraktivitas di kedai kopi.

Tabel 4. Alasan Mahasiswa ke Kedai Kopi

Ruhadi dan Herlina, Keberadaan “Negeri 1000 Kedai Kupi”

Page 47: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

115

4.4. Dampak ke Kedai Kopi bagi

Mahasiswa

4.4.1. Dampak Positif Kedai Kopi

bagi Mahasiswa

Dampak positif yang keberadaan

kedai kopi bagi mahasiswa adalah mahasiswa

memperoleh fasilitas wifi yang dapat

digunakan untuk belajar dan mengerjakan

tugas. Dengan nongkrong di kedai kopi ketika

membahas tugas kampus maka kedai kopi

memfasilitasi tempat bagi mahasiswa.

Tersedianya tempat nongkrong ini lebih baik

dibandingkan tidak ada tempat untuk

nongkrong yang nyaman dan suasana yang

relatif ramai di kedai kopi menjadi salah satu

kontrol sosial sendiri bagi pergaulan

mahasiswa dalam berinteraksi. Di kedai kopi

mereka sering membuat janji untuk bertemu

(lihat Tabel 5).

Di kedai kopi mahasiswa dapat

bersosialisasi dengan nyaman, kenyamanan ini

seperti yang telah disebutkan, juga berdasar

fasilitas termasuk di dalamnya tempat parkir

kedaraan yang umumnya kendaraan bermotor

milik mahasiswa.

Bermain yang merupakan kebutuhan

refreshing bagi mahasiswa dapat dilakukan

dikedai kopi dengan sarana wifi mereka

bermain game, chatting, facebook, browsing,

membaca berita, dan lainnya. Sedangkan

kontrol membuka akses yang kurang baik akan

berlaku dengan sendirinya, karena kedai kopi

relatif ramai.

Keterbatasan dari mahasiswa itu

sendiri untuk terlalu sering ke kedai kopi

berupa anggaran. Sebagian besar mahasiswa

yang menjadi responden adalah mereka yang

kost di Banda Aceh. Pengeluaran yang harus

mereka keluarkan adalah sewa kos, biaya

makan, biaya kuliah dan lainnya. Batasan

inilah yang membuat mahasiswa tidak dapat

setiap hari ke kedai kopi.

Tabel 5. Dampak Positif Mahasiswa ke Kedai Kopi

4.4.2. Dampak Negatif Kedai Kopi

bagi Mahasiswa

Selain dampak postif terdapat

dampak negatif keberadaan kedai kopi bagi

mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa mahasiswa menjadi lupa

waktu. Dengan kata lain tujuan awal misalkan

hanya untuk bertemu dengan teman membahas

sesuatu, akhirnya karena terbawa suasana yang

santai dan tersedianya fasilitas kedai kopi,

maka menjadi lupa waktu. Berinteraksi dengan

santai memang menyenangkan namun lupa

waktu bisa mengakibatkan kegiatan lain

mahasiswa menjadi tidak selaras, misalkan

menjadi telat masuk kuliah, telat pulang ke

rumah dan lain sebagainya (lihat Tabel 6).

Adanya keterbatasan biaya dapat

meyebabkan penambahan pengeluaran

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 48: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

107

mahasiswa yang dibebankan kepada orang tua,

karena mayoritas mahasiswa belum bekerja

untuk mendapatkan penghasilan sendiri.

Sebagian kecil menyatakan menjadi malas

melakukan aktivitas yang lainnya. Berkaitan

dengan lupa waktu, bila lupa waktu diperturut

maka akan menyebabkan mahasiswa menjadi

malas melakukan aktivitas yang lainnya. Bisa

jadi faktor inilah yang menjadikan munculnya

stigma negatif terhadap kedai kopi, bahwa

orang yang sering ke kedai kopi adalah orang

yang malas. Dan karena budaya minum kopi

di kedai kopi adalah budaya Aceh, maka

stigma negatif secara umum yang sering

terdengar adalah orang Aceh adalah pemalas.

Namun hal ini bukan menjadi sorotan bagi

penelitian kami. Mahasiswa yang menjadi

responden penelitian ini menyatakan berada

dalan wilayah lupa waktu dan bukan berada di

wilayah malas beraktivitas lainnya. Karena

persentase pilihan malas beraktivitas yang lain

adalah yang terkecil dipilih oleh mahasiswa.

Tabel 6. Dampak Negatif Mahasiswa ke Kedai Kopi

4.4.3. Dampak ke Kedai Kopi

terhadap Indeks Prestasi Mahasiswa

Nilai IPK (Indeks Prestasi Kumulatif)

rata-rata bagi mahasiswa sebelum sering

beraktivitas ke kedai kopi adalah sebesar 3,00

dan IPK rata-rata setelah sering nongkrong di

kedai kopi menjadi 3,10. Angka ini meningkat

sebesar 0,10, namun pada tingkat kepercayaan

95 persen atau kesalahan 5 persen, maka IPK

sebelum dan sesudah rutin di kedai kopi tidak

berbeda. Berdasar uji F, IPK sesudah rutin

beraktivitas di kedai kopi menunjukkan :

F(hitung) = 1,391 < F(tabel) = 3,06

Berarti nilai IPK sesudah rutin

beraktivitas di kedai kopi tidak signifikan

dengan sebelum rutin beraktivitas di kedai

kopi atau tidak berbeda antara IPK sebelum

dan sesudah rutin ke kedai kopi. Asumsi

wawancara mengenai IPK adalah mahasiswa

menjawab pertanyaan dengan jujur, karena

sudah dilakukan pendekatan terlebih dahulu.

Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak

adanya bukti fisik berupa lembaran KHS

(Karu Hasil Studi) yang diberikan oleh

responden, karena penelitian ini tidak

dirancang bekerjasama dengan kampus untuk

memperoleh KHS.

Nilai dari R adalah sebesar -0,166, ini

menunjukkan adanya hubugan negatif antara

IPK dengan frekuensi mahasiswa yang rutin

ke kedai kopi, yaitu semakin banyak frekuensi

ke kedai kopi maka semakin menurun IPK

mahasiswa tersebut. Ini merupakan dampak

negatif bila frekuensi ke kedai kopi hanya

dibatasi oleh budget yang berikan oleh orang

tua untuk jajan.

Kesimpulan dan Saran

7.1. Kesimpulan

1. Kedai kopi dapat dijadikan sebagai

tempat beraktivitas bagi mahasiswa,

disinilah mahasiswa berinteraksi dan

bersosialisasi satu sama lain. Dampak

negatif yang muncul dari seringnya ke

kedai kopi dapat diminimalisir dengan

116 Ruhadi dan Herlina, Keberadaan “Negeri 1000 Kedai Kupi”

Page 49: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

107

upaya preventif misalnya memberi

pemahaman manfaat dan kelemahan dari

berkunjung ke kedai kopi, membangun

kesadaran diri bahwa sebagai agent of

change, bahwa mahasiswa merupakan

modal pembangunan sehingga memiliki

tugas untuk mengembangkan diri

menjadi kepribadian yang cerdas dan

kritis serta beriman.

2. Berdasar hasil penelitian tidak ada

perbedaan antara IPK (Indeks Prestasi

Kumulatif) sebelum rutin ke kedai kopi

dengan setelah rutin ke kedai kopi.

Sedangkan uji relasi (R) menunjukkan

hubungan negatif antara frekuensi ke

kedai kopi dengan IPK artinya semakin

banyak ke kedai kopi maka IPK akan

menurun dan sebaliknya.

7.2. Saran

1. Kedai kopi dapat menjadi salah satu daya

tarik Aceh bagi wisatawan lokal maupun

mancanegara, karena merupakan budaya

unik yang dapat menjadi perhatian

banyak orang, sesuai dengan julukannya,

“Negeri 1000 kedai kupi” sebagai

wilayah yang memiliki relatif banyak

kedai kopi. Namun hal ini butuh

perhatian dari pemerintah daerah, karena

bicara tentang pariwisata merupakan satu

kesatuan utuh yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Termasuk komponen di dalamnya adalah

mahasiswa.

2. Dengan memahami dampak positif dan

negatif dari keberadaan kedai kopi, maka

bagi mahasiswa yang rutin ke kedai kopi

bila ingin menaikkan IPK disarankan

agar menurunkan frekuensi kunjungan ke

kedai kopi dengan menggantikan waktu

tersebut pada hal-hal yang sangat

menunjang kenaikan indeks prestasi

seperti belajar.

Daftar Kepustakaan

Alimandan,1992. Sosiologi Berparadigma

Ganda, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Berger, Peter L dan Hanasfried Kellner, 1985.

Sosiologi Ditafsirkan Kembali,

LP3ES.Jakarta.

Berger, Peter L dan Thomas Luckman, 1985.

Tafsir Sosial Atas Realitas: Sebuah

Risalah Tentang Sosiologi

Pengetahuan. LP3ES, Jakarta.

Berger, Peter L, 1991. Langit Suci: Agama

Sebagai Realitas Sosial, LP3ES,

Jakarta.

Basri, Hasan, 1995. Remaja Berkualitas

Problematika Remaja dan Solusinya,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Cambel, Tom. Seven Theorities of Human

Society. Hardiman, Efendi, 1994.

Tujuh Teori Sosial, Kanisius.

Yogyakarta.

Chaney, David. 2004. Life Style, Sebuah

Pengantar Komprehensif. Jalasutra.

Bandung.

Effendi, Noer Tadjuddin, 1993. Sumber Daya

Manusia Peluang Kerja Dan

Kemiskinan, PT Tiara Wacana,

Yogyakarta.

Faisal, Sanapiah, 1992. Format-Format

Penelitian Sosial, Raja Grafindo

Persada, Jakarata.

Gerungan, W.A, 1987. Psikologi

Sosial, Eresco, Bandung.

Ibrahim, Idi Subandy (editor), 2005. Lifestyle

Ecstasy. Kebudayaan Pop dalam

Masyarakat Indonesia. (kumpulan

karangan). Jalasutra. Yogyakarta.

Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi

(Penyunting),1985. Urbanisasi,

Pengangguran, dan Sektor Informal

di Kota (bunga rampai). Gramedia.

Jakarta.

Moleong, Lexy, 2004, Metodelogi Penelitian

Kualitatif, Remaja Rosda Karya,

Bandung.

Milles dan Huberman, 1992, Analisis Data

Kualitatif, UII Press, Yogyakarta.

117 Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 50: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

108

Nasution, 1996, Metode Penelitian

Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.

Ritzer, George, 2005. Teori Sosial

Postmodernisme. Kreasi Wacana.

Yogyakarta.

Ritzer, George, 2002. Sosiologi Ilmu

Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Rajawali Pers. Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2002. Mengenal Tujuh

Tokoh Sosiologi. Rajawali Pers.

Jakarta

Soto, De Hernando, 1991. Masih Ada Jalan

Lain:Revolusi Tersembunyi di

Negara Dunia Ketiga. Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

118 Ruhadi dan Herlina, Keberadaan “Negeri 1000 Kedai Kupi”

Page 51: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

119

MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA TENTANG KONSEP PECAHAN

MELALUI BENDA MANIPULATIF

Oleh:

*Muhamad Saleh

Abstrak. Materi matematika sekolah didominasi oleh materi yang abstrak. Materi yang

abstrak lebih sukar bagi siswa untuk memahaminya, baik siswa pada sekolah dasar dan

tidak tertutup kemungkinan bagi siswa pada level yang lebih tinggi. Kenyataan ini dapat

kita lihat ketika siswa menemui kesulitan memahami materi yang disajikan dengan abstrak.

Mereka dapat keluar dari kesulitan ketika diberikan situasi yang lebih konkret. Untuk itu

perlu diupayakan proses pembelajaran yang lebih konkret, terutama ketika siswa baru

berhadapan dengan masalah atau tugas yang ingin diselesaikan. Pembelajaran matematika

realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menghadapkan siswa kepada masalah

yang lebih konkret, sehingga masalah yang mereka hadapi lebih mudah dipahami oleh

siswa. Ketika siswa secara individual melakukan proses belajar pecahan yang diwujudkan

lebih konkret dengan menggunakan benda manipulatif, mungkin saja antara satu siswa dan

siswa yang lain memerlukan waktu yang berbeda. Untuk itu perlu diberikan kesempatan

yang luas kepada sesama siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara berkolaborasi

dengan melaksanakan pembelajaran model kooperatif. Melalui pembelajaran kooperatif

dengan pendekatan realistic akan menghasilkan siswa yang memahami konsep dan proses

pembelajaran akan menjadi lebih menarik karena siswa diajak bekerja sama untuk

menyelesaikan permasalahan secara konkret. Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan

realistik adalah suatu pembelajaran yang mengintegrasikan kooperatif dengan realistic,

sehingga siswa merasakan makna dari apa yang dia lakukan. Proses pembelajaran tidak

diawali langsung dengan menggunakan simbol-simbol bilangan, namun, setelah siswa

memahami konsep tingkat konkret tentu pada level yang lebih tinggi siswa pada akhirnya

tanpa menggunakan manipulatif. Kegiatan belajar secara bersama dalam kelompok dapat

membantu siswa memahami masalah yang mereka hadapi dan memungkinkan siswa

bekerja sesuai dengan jalan pikiran mereka sendiri. Melalui cara ini mengakibatkan, siswa

memiliki kesan yang ”berkualitas” karena mereka mengalami langsung dalam menemukan

konsep matematika yang dihadapkan dan mereka pelajari.

Kata kunci: Pecahan, realistik, manipulatif, kooperatif

Pendahuluan

Materi matematika sekolah

didominasi oleh materi yang abstrak.

Sedangkan Piaget (dalam Dahar, 1988:106)

mengatakan: “dari teori perkembangan Piaget

kita mengetahui, bahwa anak-anak yang masih

kecil baru dapat belajar konsep-konsep

konkret, sedangkan konsep-konsep yang lebih

sulit atau lebih abstrak dipelajari setelah

mereka besar”.

Berdasarkan yang dikemukakan oleh

Piaget, anak yang baru memasuki usia sekolah

dasar dan tidak tertutup kemungkinan siswa

pada level yang lebih tinggi masih

memerlukan materi yang bersifat konkret

untuk memahami konsep yang baru dia

hadapi. Sehingga keabstrakan materi

matematika perlu diupayakan lebih konkret

agar siswa lebih mudah memahaminya. Siswa

memahami matematika dengan baik berarti

siswa mengerti dari makna simbol-simbol atau

ide yang merepresentasikan suatu konsep

materi matematika.

Pada tingkat konkret, siswa dikatakan

telah mencapai kosep bila dia telah mengenal

suatu benda yang pernah ia kenal/hadapi.

Berkaitan dengan pemahaman siswa pada

* Muhamad Saleh, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis Wil I DPK pada FKIP Universitas Serambi Mekkah

Page 52: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

120

tingkat konkret, Dahar (1988:107)

mengatakan:

“bahwa sesorang telah mencapai

konsep pada tingkat konkret, apabila

orang itu mengenal suatu benda yang

telah dihadapinya sebelumnya.

Seorang anak kecil yang pernah

memperoleh kesempatan bermain

dengan mainan, dan ia membuat

respon yang sama waktu ia melihat

mainan itu kembali, telah mencapai

konsep tingkat konkret. Untuk

mencapai konsep tingkat konkret,

siswa harus dapat memperhatikan

benda itu, dan dapat membedakan

benda itu dari stimulus-stimulus yang

ada di lingkungannya”.

Untuk itu dalam proses pembelajaran

matematika pada siswa perlu diwujudkan lebih

konkret. Sehubungan dengan itu, Soedjadi

mengatakan (1999/2000:7) bahwa :

” keabstrakan objek-objek yang

terdapat dalam matematika itu perlu

diupayakan agar dapat diwujudkan

secara lebih konkret, sehingga dapat

membantu siswa lebih mudah

memahaminya. Inilah kunci penting

yang sebaiknya diketahui guru

matematika, dan diharapkan dapat

dijadikan pendorong untuk lebih

kreatif dalam merencanakan

pembelajaran”.

Disisi lain, kenyataan di lapangan

masih banyak guru memanfaatkan masalah

realistik dalam proses pembelajarannya ketika

para siswa mengalami kesulitan memahami

suatu materi matematika. Temuan lain yang

dilaporkan oleh Utari,S (1987:245) bahwa

:”terdapat siswa SMA dengan rata-rata umur

17,43 yang masih pada tahap konkret, tidak

bertentangan dengan teori perkembangan

kognitif Inhelder dan Piaget (1972), dan lebih

lanjut Utari, S (1987:295) “terdapat sejumlah

(55%) siswa SMA kelas II fisika (rata-rata

umur 17,43) yang belum mencapai tahap

operasi formal”. Lebih lanjut Dahar

(1988:125) mengatakan:

”hampir semua orang dewasa melalui

tiga sistem keterampilan untuk

menyetakan kemampuan-

kemapuannya secara sempurna.

Ketiga sistem keterampilan itu ialah

yang disebut tiga cara penyajian

(modes of presentation) oleh Bruner

(1966). Ketiga cara itu ialah: cara

enaktif, cara ikonik, dan cara

simbolik. Cara penyajian enaktif ialah

melalui tindakan, jadi bersifat

manipulatif”.

Pecahan salah satu materi matematika

yang masih dianggap sulit oleh siswa. Hal ini

dapat di ketahui melalui beberapa laporan

penelitian yang telah dilakukan maupun

pernyataan yang dikemukakan oleh peneliti

pada karyanya. Shelby P. Morge (2011:282)

melaporkan bahwa : “National Assessment of

Educational Progress (NAEP) results indicate

that children have a weak understanding of

fraction concepts (Sowder & Wearne, 2006;

Wearne & Kouba, 2000)”. Disisi lain

Rosemaree Caswell (2007: 14) mengatakan:

“My experiences with 'playdough maths'

provide evidence of effectively engaging

learners in building bridges from concrete to

abstract understanding in mathematics”.

Shelby P. Morge ( 2011: 282)

mengatakan bahwa: “The topic of fractions

can be intimidating and difficult for children,

even into the middle grades”.

Disisi lain bahwa pecahan merupakan

suatu materi yang selalu terlibat dalam materi

matematika yang lain. Brown and Robert J.

Quinn (2007:8) melaporkan bahwa :

“Teachers all over the world are

aware that students struggle with

fractional concepts and with

elementary algebra. Support for this

assertion can be found in a variety of

research reports. The National

Assessment of Educational Progress

(NAEP), a United States report,

indicates that students have

recurrently demonstrated a lack of

proficiency in these areas over the

past twenty years (NCES, 2OOO). An

analysis of the l99O NAEP in

mathematics achievemerrt lbuncl that

only 46 percent of all high school

seniors demonstrated success with a

grasp of decimals, percentages,

fractions, and simple algebra (Mullis,

Dossey, Owen & Phillips, 1991). The

inability to perform basic operations

on common fractions has led to error

patterns that emerge in learning

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 53: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

121

algebra. Problems can arise when

students attempt to apply

misunderstood shortcuts, learned with

fractions, to situations involving

algebra (Laursen, 1978)”.

Ketika siswa secara individual

melakukan proses belajar menggunakan benda

manipulatif, mungkin saja antara satu siswa

dan siswa yang lain memerlukan waktu yang

berbeda. Untuk itu perlu diberikan kesempatan

yang luas kepada sesama siswa untuk

melakukan kegiatan belajar secara

berkolaborasi dengan melaksanakan

pembelajaran model kooperatif. Melalui

pembelajaran kooperatif dengan pendekatan

realistic akan menghasilkan siswa yang

memahami konsep dan proses pembelajaran

akan menjadi lebih menarik karena siswa

diajak bekerja sama untuk menyelesaikan

permasalahan secara konkret.

Pembelajaran kooperatif dengan

pendekatan realistik adalah suatu

pembelajaran yang mengintegrasikan

kooperatif dengan realistik. Model

pembelajaran kooperatif yang didasari oleh

pandangan konstruktivis yang menekankan

bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi

(bentukan) kita sendiri (Suparno, 1997:18).

Lebih lanjut Suparno (1997:49) mengatakan:

”secara garis besar, prinsip-prinsip

konstruktivisme yang diambil adalah

(1) pengetahuan dibangun oleh siswa

sendiri, baik secara personal maupun

sosial, (2) pengetahuan tidak dapt

dipindahkan dari guru ke murid,

kecuali hanya dengan keaktifan murid

sendiri untuk menalar (3) murid aktif

mengkonstruksi terus menerus,

sehingga selalu terjadi perubahan

konsep menuju ke monsep yang lebih

rinci, lengkap serta sesuai dengan

konsep ilmiah, (4) guru sekedar

membantu menyediakan sarana dan

situasi agar proses konstruksi siswa

lancar.

Pada saat guru membimbing

siswanya perlu diupayakan sedemikian rupa

sehingga siswa tidak merasa bosan dan tidak

merasa sulit mengikuti proses belajar. Untuk

itu perlu disajikan dengan cara-cara yang dapat

membantu siswa untuk memahami materi

melalui contoh-contoh atau hal-hal yang

konkret atau realistik.

Untuk menjadikan materi matematika

menjadi lebih konkret dapat dilakukan melalui

pembelajaran matematika realistik (PMR).

Marpaung (2001:649) mengemukakan bahwa

pada hasil uji coba di lapangan, tardapat kesan

guru yang menjadi kelebihan model

pembelajaran matematika realistik, yaitu :

(1) siswa tidak mudah lupa pengetahuan

yang diperoleh karena mereka sendiri

yang membangunnya.

(2) suasana dalam proses pembelajaran

menyenangkan karena menggunakan

realitas kehidupan, sehingga siswa

tidak cepat bosan belajar matematika.

Berdasarkan latar belakang yang telah

dikemukakan di atas, dapat di simpulkan

bahwa materi pecahan merupakan materi yang

masih dianggap sulit oleh siswa. Padahal

penguasaan materi pecahan bagi siswa sangat

diperlukan dalam menyelesaikan tugas-tugas

matematika pada materi lain, termasuk pada

materi aljabar. Dengan demikian diperlukan

suatu penelitian lebih lanjut yang berhubungan

dengan pecahan.

Proses belajar pecahan melalui PMR

sangat layak dilakukan mengingat proses yang

berlangsung dengan memanfaatkan benda

manipulatif yang dapat di kemas untuk

merepresentasikan pecahan dapat di amati

langsung oleh siswa dalam proses

menyelesaikan masalah pecahan tersebut.

Proses belajar yang melibatkan

banyak indera siswa menghasilkan kualitas

belajar yang tinggi, baik dari sisi daya tahan

ingatannya terhadap objek yang di lihat dan di

pegang maupun pemahaman konsep tentang

ide yang dipelajari menjadi lebih mantap di

kuasai oleh siswa. Namun demikian belajar

melalui benda manipulatif akan lebih baik lagi

jika kepada siswa diberikan ruang/kesempatan

yang luas untuk berkolaborasi dengan teman-

temannya dalam kelas yang merupakan teman

sebayanya. Melalui kolaborasi dengan teman

sebaya, para siswa akan lebih lugas dan lebih

berani mengemukakan pendapat maupun

bertanya kepada teman-temanya karena dalam

pergaulan sehari-hari mereka telah terbiasa

berkomunikasi sehingga antar mereka menjadi

lebih mudah memahami makna kalimat yang

disampaikan oleh temannya. Hal ini dapat

dilakukan melalui model pembelajaran

kooperatif.

Terdapat enam langkah utama atau

tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan

Muhamad Saleh, Meningkatkan Pemahaman Siswa Tentang Konsep Pecahan

Page 54: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

122

pembelajaran kooperatif, Ibrahim, M (2000:

11). Dua fase yang pertama pada belajar

kooperatif tipe STAD adalah penyajian kelas

dan belajar berkelompok. Pada fase ini,

kegiatan belajar yang dibimbing oleh guru

dapat memfasilitasinya melalui pembelajaran

realistik. Dengan demikian dalam kerja

kelompok, kepada siswa diberikan benda

manipulatif untuk merepresentasikan berbagai

bentuk pecahan yang diawali dengan bentuk

pecahan yang paling sederhana, hingga

akhirnya sampai kepada operasi pecahan.

Benda manipulatif yang membantu siswa

belajar secara realistik tidak di libatkan lagi

ketika siswa telah mampu menyelesaikan

masalah yang berkaitan dengan operasi

pecahan melalui materi abstrak. Rosemaree

Caswell (2007: 14) mengatakan : “My

experiences with 'playdough maths' provide

evidence of effectively engaging learners in

building bridges from concrete to abstract

understanding in mathematics”. Berdasarkan

pengalaman yang dikatakan oleh Rosemaree

Cawell, bahwa benda manipulatif dapat

menjadi jembatan pemahaman siswa dari

abstrak ke konkret. Lebih lanjut dia

mengatakan bahwa : “In the following years,

students are often expected to work with

numerical values or visual drawings of

fractions”. Dengan demikian, tidak selamanya

proses belajar melibatkan benda manipulatif.

Ketika siswa telah memahaminya, mereka

akan bekerja tanpa melibatkan benda

manipualitf tersebut.

Diperlukan waktu yang tepat kepada

siswa untuk memasuki proses belajar tahap

formal. Sehingga tahapan demi tahapan-

tahapan yang dikemukakan oleh Bruner dapat

terlalui dengan baik. Hal ini tidak berarti

menjadikan proses belajar menjadi kaku

dengan memaksakan tahapannya berdasarkan

kepada waktu, tetapi lebih didasarkan kepada

tahapan kemampuan yang dimiliki oleh siswa.

Kemungkinan terjadi bahwa, antara satu siswa

dengan yang lainnya berbeda waktu yang

mereka perlukan untuk melalui dan memahami

satu tahapan. Untuk itu agar siswa yang lain

juga terbantu dengan kecepatan yang di miliki

oleh siswa lain dapat dilakukan dengan

pembelajaran kooperatif.

Dengan pembelajaran kooperatif

seorang siswa yang telah mencapai konsep

tingkat konkret dapat membimbing temannya

yang belum mencapai konsep tingkat konkret,

sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama

siswa dalam kelompok tersebut telah mencapai

konsep tingkat konkret dan memasuki tahapan

berikutnya secara bersama pula. Hal inilah

yang menjadi latar belakang sehingga

diperlukan pengintgrasian pembelajaran

koooperatif dengan pendekatan realistik.

Sebagian dari gambar yang

dilaporkan oleh Rosemaree Caswell (2007)

pada tulisannya yang berjudul : “Fractions

from concrete to abstract using playdough

mathematics” seperti dibawah ini

memperlihatkan bahwa para siswa bekerja

menyelesaikan masalah yang diberikan

gurunya dengan menggunakan benda

manipulatif. Masalah yang diajukan diawali

dengan pecahan sederhana kemudian bertahap

hingga pada operasi pecahan.

Gbr.1. Pecahan dideskripsikan dan ditulis

dengan menggunakan notasi pecahan

Gbr.2 Pecahan campuran

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 55: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

123

Gbr.3 Operasi pengurangan

Tidak tertutup kemungkinan bahwa

dengan menerapkan pembelajaran dengan

memanfaatkan benda manipulatif memakan

waktu yang lebih lama. Disisi lain masih ada

guru yang merasa tidak “berkompeten” dalam

melaksanakan pembelajaran dengan

memanfaatkan benda manipulatif. Hal ini

sesuai dengan yang dilaporkan oleh Robert M.

Capraro (2004:193) :” Additionally, findings

indicate that the primary reason teachers do

not use manipulatives is because they do not

feel competent in using them in the

mathematics classroom”.

Berdasarkan laporan yang

disampaikan oleh Capraro, ternyata guru tidak

menggunakan manipulatif karena mereka tidak

merasa kompeten menggunakannya.

Kenyataan ini juga menjadi suatu hal yang

perlu mendapat perhatian semua pihak

sehingga para guru khususnya guru

matematika dalam melaksanakan proses

belajar mengajar merasa tertarik dan yakin

dengan kemampuannya menggunakan benda

manipulatif pada pengajaran matematika

terutama tentang pecahan.

Kesimpulan

1. Pendekatan pembelajaran dengan

melibatkan benda manipulatif dapat

membantu siswa memahami pecahan

secara baik.

2. Salah satu tujuan dari belajar

matematika adalah terjadinya proses

belajar bermakna pada diri siswa.

Melalui pembelajaran ini siswa

merasakan makna dari apa yang dia

lakukan serta membuat siswa menjadi

enjoy melakukannya karena diawali

dengan menghadapkan siswa pada hal-

hal yang telah terbiasa dia hadapi, tetapi

pembelajaran tidak diawali langsung

dengan menggunakan simbol-simbol

bilangan.

3. Setelah siswa memahami konsep tingkat

konkret tentu pada level yang lebih tinggi

siswa pada akhirnya tanpa menggunakan

manipulatif tapi hanya memanfaakan

pengetahuan yang telah dia miliki untuk

menyelesaikan permasalahan yang lebih

abstrak.

4. Kegiatan belajar secara bersama dalam

kelompok untuk menyelesaikan

permasalahan yang sesuai dengan

konteks dunia nyata dapat membantu

siswa memahaminya masalah yang

mereka hadapi dan memungkinkan siswa

bekerja sesuai dengan jalan pikiran

mereka sendiri. Melalui cara ini

mengakibatkan, siswa memiliki kesan

yang ”berkualitas” karena mereka

mengalami langsung dalam menemukan

konsep matematika yang dihadapkan dan

mereka pelajari.

5. Model kooperatif dapat menimbulkan

sikap positif terhadap budaya gotong

royong yang merupakan milik budaya

rakyat Indonesia dan memiliki prinsip

demokrasi.

Daftar Pustaka

Capraro, Robert M., Emilie A. Naiser, and

Wendy E. Wright. "Teaching fractions:

strategies used for teaching fractions to

middle grades students." Journal of

Research in Childhood Education 18.3

(2004): 193+. Gale Education, Religion

and Humanities Lite Package. Web. 29

Oct. 2013.http://go.galegroup.com/ps/i.

do?id=GALE%7CA116669570&v=2.1&

u=kpt01029&it=r&p=GPS&sw=w&asid

=fafaf1dfcca89ff0deb75b6670e5c27b.

Caswell, Rosemaree. "Fractions from concrete

to abstract using playdough

mathematics: Rosemaree Caswell guides

us through an approach to developing a

sound understanding in fractions by

linking concrete models and written

notations." Australian Primary

Mathematics Classroom 12.2 (2007):

14+. Gale Education, Religion and

Muhamad Saleh, Meningkatkan Pemahaman Siswa Tentang Konsep Pecahan

Page 56: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

124

Humanities Lite Package. Web. 29 Oct.

2013.http://go.galegroup.com/ps/i.do?id=

GALE%7CA166935345&v=2.1&u=kpt0

1029&it=r&p=GPS&sw=w&asid=f2227

c7efaf7f51a43051d4122c13274

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Dirjen

Dikti, Jakarta.

George Brown and Robert J. Quinn.

Investigating the relationship between

fraction proficiency and success in

algebra. Australian Mathematics

Teacher. 63.4 (Winter 2007) p8.

Ibrahim, M dkk. 2000. Pembelajaran

Koopearitf. Universitas Negeri Surabaya,

University Press.

Marpaung, Y. 2001. Prospek RME untuk

pembelajaran matematika di indonesia.

Makalah disajikan pada seminar nasional

“Realistics Matheamatics Education

(RME)”. Surabaya: Jurusan Matematika

FMIPA Unesa, 24 Februari 2001.

Morge, Shelby P. 2011. "Helping children

understand fraction concepts using

various contexts and interpretations."

Childhood Education 87.4 : 282+. Gale

Education, Religion and Humanities Lite

Package. Web. 29 Oct. 2013.

http://go.galegroup.com/ps/i.do?id=GAL

E%7CA254482618&v=2.1&u=kpt01029

&it=r&p=GPS&sw=w&asid=60eec8a02

2554eb3a85faddec1edea12

Soedjadi. 1999/2000. Kiat Pendidikan

Matematika di Indonesia. Konstatasi

Keadaan Masa Kini Menuju Harapan

Masa Depan. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi. Jakarta:Depdiknas.

Suparno.1997. Filsafat Konstruktivis dalam

pendiddikan. Cetakan ke-5, Yogyakarta.

Penerbit kanisius

Utari Sumarmo. 1987. Kemampuan

Pemahaman Dan Penalaran Matematika

Siswa SMA Dikaitkan Dengan

Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan

Beberapa Unsur Proses Belajar-

Mengajar. Disertasi UPI Bandung.

http://digilib.upi.edu/digitalview.php?digi

tal_id=1135

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2013, Volume 14 Nomor 2

Page 57: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)

(Pembelajaran Terhadap Pengendalian Mutu Produk Roti Nusa Indah Bakery)

Oleh

Syaifuddin Yana

Abstrak - Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan kajian terhadap hasil kegiatan kerja praktek

sekolah kejuruan yang berbasis kompetensi pada SMK. Kajian difokuskan pada pembelajaran pada

pengendalian mutu produk roti pada Nusa Indah Bakery. Pembelajaran ini ditujukan untuk meningkatkan

pemahaman siswa terhadap bagaimana cara melakukan pengendalian mutu pada produk roti di Nusa Indah

Bakery. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi dan wawancara langsung ketempat objek

penelitian yang beralamat di Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Uji coba yang

dilakukan disini adalah uji coba terhadap produk roti. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

acuan selanjutnya dalam pembuatan roti yang memiliki kualitas yang baik. Dari semua proses yang dilakukan

dalam pembuatan roti, yang perlu diperhatikan kaitannya dengan pengendalian mutu yaitu dengan

memperhatikan lama pengadukan adonan, menghilangkan atau memonitoring adonan agar tetap terjaga

kualitasnya, jarak penataan roti dalam loyang kurang lebih 4 cm agar adonan tidak lengket satu sama lain dan

bentuknya bagus saat mengembang, dan pengovenan adonan roti dilakukan selama 15 menit pada suhu

200ºC.

Kata Kunci: Pengendalian kualitas, bakery, dan adonan.

PENDAHULUAN

Pada era globalisasi seperti saat ini,

perkembangan dunia usaha semakin meningkat

pesat. Hal tersebut memberikan dampak terhadap

persaingan bisnis yang semakin tinggi dan tajam,

baik di pasar domestik maupun di pasar

internasional. Setiap usaha pasti dihadapkan pada

persaingan yang tinggi dan berkompetisi dengan

perusahaan lain di dalam industri yang sejenis.

Salah satu cara agar bisa memenangkan

kompetisi atau setidaknya dapat bertahan di

dalam kompetisi tersebut adalah dengan

memberikan perhatian penuh terhadap kualitas

produk yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga

bisa mengungguli produk yang dihasilkan oleh

pesaing.

Oleh karena itu, permasalahan kualitas

memainkan peranan yang penting bagi

perusahaan secara menyeluruh dalam rangka

untuk memiliki daya saing dan bertahan terhadap

persaingan global dengan produk perusahaan lain

(La Hatani, 2007). Kualitas suatu produk bukan

suatu yang serba kebetulan (occur by accident)

(Prawirosentono, 2007). Kualitas dapat diartikan

sebagai tingkat atau ukuran kesesuaian suatu

produk dengan pemakainya, dalam arti sempit

kualitas diartikan sebagai tingkat kesesuaian

produk dengan standar yang telah ditetapkan

(Juita Alisjahbana, 2005). Jadi, kualitas yang baik

akan dihasilkan dari proses yang baik dan sesuai

dengan standar kualitas yang telah ditentukan

berdasarkan kebutuhan pasar.

Setiap kualitas yang dihasilkan oleh

produk oleh suatu perusahaan ditentukan

berdasarkan ukuran-ukuran dan karakteristik

tertentu. Suatu produk dikatakan berkualitas baik

apabila dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan

pelanggan atau dapat diterima oleh pelanggan

sebagai batas spesifikasi, dan proses yang baik

yang diberikan oleh produsen sebagai batas

kontrol. Barang yang kualitas atau prosesnya

jelek menurut produsen belum tentu ditolak oleh

pelanggan, dan sebaliknya barang diluar batas

kontrol produsen, karena merupakan barang yang

rusak atau cacat tetapi oleh konsumen masih

diterima. Sedangkan barang yang dikatakan baik

oleh produsen tetapi sudah ditolak oleh konsumen

karena di luar batas spesifikasi

(Alisjahbana,2005).

Dengan memberikan perhatian pada

kualitas akan memberikan dampak yang positif

kepada bisnis melalui dua cara yaitu dampak

terhadap biaya produksi dan dampak terhadap

pendapatan (Gaspersz, 2005 dalam

Alisjahbana,2005). Dampak terhadap biaya

produksi terjadi melalui proses pembuatan produk

yang memiliki derajat konformasi yang tinggi

terhadap standar-standar sehingga bebas dari

tingkat kerusakan. Dampak terhadap peningkatan

pendapatan terjadi melalui peningkatan penjualan

atas produk berkualitas yang berharga kompetitif.

Dengan memperhatikan aspek kualitas produk,

maka tujuan perusahaan untuk memperoleh laba

yang optimal dapat terpenuhi sekaligus dapat

memenuhi tuntutan konsumen akan produk yang

berkualitas dan harga yang kompetitif.

Meskipun proses produksi telah

dilaksanakan dengan baik, pada kenyataannya

seringkali masih ditemukan ketidaksesuaian

antara produk yang dihasilkan dengan yang

diharapkan, dimana kualitas produk yang

dihasilkan tidak sesuai dengan standar, atau

dengan kata lain produk yang dihasilkan

mengalami kerusakan/cacat produk. Hal tersebut

disebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan

dari berbagai faktor, baik yang berasal dari bahan

baku, tenaga kerja maupun kinerja dari fasilitas-

fasilitas mesin yang digunakan dalam proses

produksi tersebut. Agar supaya produk yang

dihasilkan tersebut mempunyai kualitas sesuai

Page 58: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

dengan standar yang ditetapkan perusahaan dan

sesuai dengan harapan konsumen, maka

perusahaan harus melakukan kegiatan yang

berdampak pada kualitas yang dihasilkan dan

menghindari banyaknya produk yang rusak/ cacat

ikut terjual ke pasar.

Salah satu aktifitas dalam menciptakan

kualitas agar sesuai standar adalah dengan

menerapkan sistem pengendalian kualitas yang

tepat, mempunyai tujuan dan tahapan yang jelas,

serta memberikan inovasi dalam melakukan

pencegahan dan penyelesaian masalah-masalah

yang dihadapi perusahaan. Kegiatan pengendalian

kualitas dapat membantu perusahaan

mempertahankan dan meningkatkan kualitas

produknya dengan melakukan pengendalian

terhadap tingkat kerusakan produk (product

defect) sampai pada tingkat kerusakan nol (zero

defect).

Pengendalian kualitas penting untuk

dilakukan oleh perusahaan agar produk yang

dihasilkan sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan perusahaan maupun standar yang telah

ditetapkan oleh badan lokal dan internasional

yang mengelola tentang standarisasi

mutu/kualitas, dan tentunya sesuai dengan apa

yang diharapkan oleh konsumen. Pengendalian

kualitas yang dilaksanakan dengan baik akan

memberikan dampak terhadap kualitas produk

yang dihasilkan oleh perusahaan. Standar kualitas

meliputi bahan baku, proses produksi dan produk

jadi (Nasution, 2005). Oleh karenanya, kegiatan

pengendalian kualitas tersebut dapat dilakukan

mulai dari bahan baku, selama proses produksi

berlangsung sampai pada produk akhir dan

disesuaikan dengan standar yang tetapkan.

Melihat hal tersebut maka diperlukan

adanya sebuah penelitian untuk mengetahui

bagaimana Nusa Indah Bakery dalam melakukan

pengendalian mutu produk, supaya produk yang

dihasilkan berkualitas dan dapat diterima oleh

konsumen. Penelitian ini dilakukan dengan

metode observasi dan wawancara langsung

ketempat objek penelitian yang beralamat di Desa

Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh

Besar. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan acuan selanjutnya dalam pembuatan roti

yang memiliki kualitas yang baik.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan pengendalian

kualitas di Nusa Indah Bakery?

2. Upaya apa saja dilakukan untuk menekan

tingkat kerusakan produk?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan

pengendalian kualitas di Nusa Indah Bakery.

2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan

dalam rangka menekan tingkat kerusakan

produk.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Konsep Dasar Industri Roti

Salah satu bentuk industri pengolahan

adalah roti. Roti merupakan salah satu bentuk

makanan pokok yang cukup diminati masyarakat

Indonesia. Sebagai contoh roti manis ataupun

sejenis roti basah lainnya yang sering dikonsumsi

oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya

yang tinggal di wilayah perkotaan. Umumnya

mereka memiliki roti karena roti dapat dijadikan

makanan alternatif pengganti nasi. Selain itu roti

merupakan makanan instan yang siap saji

(Anonim 2, 2004).

Kualitas roti secara umum disebabkan

karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan

proses pembuatannya. Jika bahan baku yang

digunakan mempunyai kualitas yang baik dan

proses pembuatannya benar maka roti yang

dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik

pula. Jenis dan mutu produk bakery sangat

bervariasi tergantung jenis bahan-bahan dan

formulasi yang digunakan dalam pembuatannya.

Variasi produk ini diperlukan untuk memenuhi

adanya variasi selera dan daya beli konsumen

(Auingerpfund,1999).

Bahan Baku Pembuatan Roti

1. Tepung Terigu

2. Air

Rata-rata ratio tepung: air adalah

100:60-65. Ini berarti 100 kg tepung gandum

menyerap 60-65 l air. Untuk menentukan

perkiraan jumlah air yang ditambahkan dapat

dilihat contoh berikut:

Tabel 1. Menentukan perkiraan jumlah air yang

ditambahkan Komposisi

Resep

Jumlah Keterangan

Tepung Terigu 1000 gr Rasio tepung dan air

1000gr : 600 ml air

Ragi roti 15 gr Jenis bahan yang

dianggap mengandung air

adalah:

Garam 20 gr 1. Telur mengandung

cairan berat : 200 gr

Ragi Instan 15 gr 2. Margarine 50%

mengandung cairan :

75 gr

Bread Improver 30 gr Jumlah : 275 gr

Telur 200 gr

Margarin 150 gr Air yang dibutuhkan :

Jumlah Total

bahan

1430 gr 600 ml – 275 gr = 325 gr

Jumlah air

dibutuhkan

325 gr

Berat adonan

total

1755 gr

Kandungan mineral dan keasaman air

sangat berpengaruh terhadap sifat adonan. Jika

menggunakan air yang lunak seperti air destilata

Page 59: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

atau air hujan cenderung menyebabkan adonan

lengket dan produk kurang mengembang. Jika

digunakan air yang demikian sebaiknya gunakan

peragi kimia atau mineral yeast food yang

mengandung garam – garam mineral, dan jumlah

garam ditingkatkan tanpa menyebabkan rasa asin

berlebihan.

3. Shortening

Dalam proses mixing, pencampuran

shortening harus benar-benar merata. Sifat-sifat

shortening yang biasa digunakan dalam proses

baking seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Karakteristik Berbagai Jenis Shortening Jenis

Lemak

Sumber Warn

a

Konsisten

si

Kandunga

n Lemak

(%)

Vegetable

Shortenin

g

Vegetabl

e oil

Putih Padat 100

Butter Animal

(milk)

Kunin

g

Padat 80

Oil Vegetabl

e

Netral

-

Kunin

g

Cair 100

Lard Animal Putih Padat 98

Margarin

e

Animal /

vegetabl

e

Putih-

Kunin

g

Padat 80 – 85

Puff paste Animal /

Vegetabl

e

Putih Padat 80 - 85

Cocoa

butter

Vegetabl

e

(cocoa

bean)

Cream

-

Kunin

g

Padat 92

Proses Produksi Roti 1. Seleksi Bahan

2. Penimbangan

3. Pengadukan atau pencampuran (Mixing)

4. Peragian (Fermentation)

5. Pengukuran atau penimbangan adonan

(Deviding)

6. Pembulatan adonan (Rounding)

7. Pengembangan singkat (Intermediate

Proof)

8. Pembentukan Adonan (Moulding)

9. Peletakan adonan dalam cetakan (Panning)

10. Pembakaran (baking)

Pengendalian Mutu/Kualitas Gaither (1996:652) mendefinisikan

kualitas atau mutu : The quality of a product or

service is a costumer’s perception of the degree

to which the product or service meets his or her

expectations. Kualitas mutu sebagai yang

memenuhi standar, yang berorientasi kepada

konsumen. Konsumen pada umumnya

menghendaki produk yang baik, harga murah.

Banyak sekali pengertian kualitas yang

dikemukakan para ahli manajemen produksi dan

operasi yang menggambarkan betapa luasnya

istilah mutu/kualitas; seperti dikemukan oleh

Johnson dan Wincell (dalam Djafri 2004) “The

totality of features and characteristics of a

product or service that on its ability to statisfy

stated or implied needs”.

Upaya Pengendalian/Pengawasan Mutu Pengendalian kualitas ini akan

mengandung dua macam pengertian utama, yaitu

yang pertama adalah menendukan standar

kualitas untuk masing-masing produk dari

perusahaan, sedangkan yang kedua adalah usaha

perusahaan untuk dapat memenuhi standar

kualitas yang telah ditetapkan tersebut.

Djafri (1998:8) menyatakan, Dalam era

globalisasi yang ditandai dengan lancarnya arus

dana, arus barang dan arus orang dari satu negara

kenegara lain (perdagangan bebas) menuntut

adanya standar internasional yang ditetapkan oleh

perusahaan seluruh dunia.

Pengendalian Mutu Statistik Pengendalian mutu meliputi beberapa

macam teknik, salah satunya adalah dengan

metode statistik. Keuntungan dari metode statistik

ini adalah:

1. Teknik pengawasan mutu diterapkan

dengan jalan mengambil sampel-sampel

sehingga tidak semua dari komponen harus

diperiksa, cukup hanya dengan mengambil

bagian-bagian tertentu saja secara acak.

2. Pengawasan adalah sebagai alat untuk

mencegah kemungkinan adanya

penyimpangan-penyimpangan sebelum

terjadi lebih serius, jadi hal ini bisa

disamakan sebagai tindakan preventif.

Pengendalian mutu secara statistik juga

dapat disimulasikan melalui grafik kendali

(control chart). Grafik kendali atau “control

chart” mewakili berbagai cara bagaimana dapat

dibuat grafiknya (Supranto,2006:126). Suatu

contoh control chart terlihat dalam gambar

dibawah ini

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan

cara:

1. Observasi

2. Wawancara

3. Praktek Kerja

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengendalian Mutu Bahan Baku

a. Tepung terigu

Analisa yang dilakukan pada

produk roti perusahaan Nusa Indah Bakery

mengunakan tepung terigu bogasari yang

mampu menyerap air dalam jumlah besar,

memiliki elastisitas yang baik untuk

menghasilkan roti tekstur lembut, volume

besar.

b. Air

Air yang digunakan dalam proses

produksi harus benar-benar bersih, agar

Page 60: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

keamanan produk akhir terjamin. Air yang

digunakan dalam perusahaan Nusa Indah

Bakery adalah air sumur yang dialirkan

melalui pipa-pipa. Sebab air sumur yang

terletak di Desa Nusa kualitasnya sangat

bagus. Dan air sumur tidak berbau, tidak

berwarna, tidak berasa.

c. Telur

Pengendalian mutu telur dipabrik

Nusa Indah Bakery dilakukan dengan

sederhana yaitu melakukan monitoring telur

dari kemungkinan pecah. Telur yang

digunakan adalah telur berukuran besar dan

sedang, bebas kotoran, kuning telur utuh

dan bebas noda, putih telur jernih dan

pekat.

d. Gula

Pengendalian mutu melakukan

analisa gula pasir tersebut berwarna coklat

bersih, bebas benda asing dan kotoran,

kering dan tidak lembab, bebas semut dan

serangga lainnya.

e. Susu

Pengendalian mutu susu

diperusahaan Nusa Indah Bakery dengan

mengunakam jenis susu bubuk skim.

penyimpanan susu bubuk senantiasa dijaga

agar tetap kering, hal ini dilakukan karena

susu bubuk bersifat sangat rentan terhadap

kerusakan dari lingkungan terutama air.

f. Margarin

Pengendalian mutu di

perusahaaan Nusa Indah Bakery dilakukan

dengan mengunakan margarin, merek simas

dan pastikan margarin yang dibeli tidak

terlalu keras. Pada saat dibuka, warnanya

kuning cerah, serta pada saat digunakan,

mudah dioleskan (pada roti) atau mudah

meleleh pada saat memasak maupun

memanggang. Hindari meletakkan

persediaan margarin dalam satu tumpukan

yang terlalu banyak. Jangan biarkan

margarin terkena sinar matahari langsung,

panas kompor serta mesin. Pastikan

tempat/ruangan tempat menyimpan

margarin memiliki sirkulasi udara yang

baik serta hindarkan kemasan margarin

yang telah dibuka terkena udara langsung

karena akan menyebabkan perubahan warna

dan bau. Pastikan margarin tersimpan

secara baik dalam wadah khusus, tanpa

kontaminasi benda lain.

2. Kondisi Proses

Kondisi yang dipersyaratkan oleh

masing-masing proses adalah sebagai

berikut :

a. Proses pembuatan adonan

a) Peralatan yang digunakan harus

bersih

b) Pengadukan tidak boleh terlalu

singkat, jika terlalu lama

adonan menjadi keras dan jika

terlalu singkat adonan menjadi

lengket.

c) Bulatan adonan ditutup dengan

lembaran plastik bersih agar

tidak terkontaminasi dan

adonan tidak menjadi kering.

b. Proses pemotongan adonan

a) Pisau untuk memotong harus

bersih dan tidak berkarat

b) Alas untuk memotong harus

bersih

c) Adonan yang sudah dipotong

harus segera ditutup plastik agar

tidak terkontaminasi kotoran

dan agar adonan tidak terlalu

kering.

c. Proses pengovenan

a) Oven untuk memanggang harus

bersih dan tidak berkarat

b) Loyang untuk tempat adonan

harus bersih dan tidak berkarat.

c) Api pada oven harus menyala

dengan rata

d) Tabung gas yang digunakan

dalam oven tidak boleh bocor.

d. Proses pengemasan

a) Roti yang akan dikemas harus

dalam keadaaan dingin saat

dimasukkan dalam plastik

pengemas.

b) Kemasan mudah dibuka dan

menarik

c) Roti yang dikemas harus

mempunyai ukuran yang

seragam.

3. Pengendalian Mutu Proses

Pengendalian terhadap proses dilakukan

dengan cara :

a Memperhatikan lama pengadukan

pada adonan hingga adonan kalis,

atau elastis tidak lengket pada mesin

mixer. Jika pengadukan adonan

terlalu lama akan menyebabkan

volume roti yang dihasilkan sangat

besar dan tidak kenyal, sebaliknya

jika pengadukan adonan terlalu

singkat menyebabkan adonan roti

kurang elastis, dan waktu pengovenan

akan runtuh atau hancur ketika

mengembang.

b Memonitoring adonan ketika

melakukan proses pengadukan agar

adonan tetap terjaga kebersihannya.

c Pengendalian mutu peragian

(fermentasi) selama 1 jam. Adonan

dibungkus dengan plastik putih, agar

adonan tetap terjaga kebersihannya.

d Jarak penataan roti dalam loyang

kurang lebih 4 cm agar adonan tidak

lengket satu sama lain dan bentuknya

bagus saat mengembang.

Page 61: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

e Mengontrol berjalannya proses

pengovenan apakah api oven tetap

menyala atau tidak pada waktu 15

menit dengan suhu 200ºC

4. Kualitas Produk Akhir

Agar mendapatkan produk akhir

dengan kualitas yang baik maka perlu

dilakukan Sortasi terhadap produk akhir.

Sortasi merupakan salah satu cara dalam

menjaga kualitas produk sehingga dapat

dihasilkan kualitas baik yang dapat disukai

konsumen. Tujuan dari tahap sortasi untuk

meneliti kembali produk dan memisahkan

produk yang berkualitas baik dengan

produk yang tidak baik dengan gambaran

seperti berikut, roti patah, tidak

mengembang, terdapat noda hitam. Sortasi

produk akhir dilakukan oleh bagian

pengemasan.

5. Diagram Aliran Proses

Gula

Tepung Terigu

Kuning Telur

Susu

Bahan Pengembang

Ditambah Margarin

Pengadukan bahan baku

ditambah air hingga adonan

kalis/elastis

Proses Peragian/

Fermentasi

Proses Peragian

Pemotongan adonan dan

pembentukan adonan

Angkat dan Dinginkan

Di oven dengan

suhu 200�C

Selama 15 Menit

Gambar : Diagram aliran proses pembuatan

adonan

Persyaratan produk akhir

Perusahaan menentukan persyaratan

mutu produk akhir yang dihasilkan, sebelum

dipasarkan. Persyartan mutu roti perusahaan Nusa

Indah Bakery sebelum dipasarkan. adalah :

1. Roti bertekstur empuk

2. Roti berwarna coklat kekuning-

kuningan

3. Roti tidak patah

4. Bentuknya seragam

5. Penataan dalam kemasan rapi dan

menarik.

6. Seratnya halus

7. Tekstur volume roti mengembang

Pengemasan Pengepakan dan Penyimpanan

Adapun pengemasannya dengan cara

roti yang setelah selesai dipanggang harus segera

dikeluarkan dari oven agar tidak gosong. Roti

yang masih panas tersebut sebelum dimasukkan

kedalam kemasan plastik, dibiarkan diudara

terbuka, namun udaranya tidak boleh terlalu

lembab dan dingin. Jika udara udara terlalu

lembab maka permukaan roti akan basah sehinga

roti mudah busuk dan berjamur. Demikian juga,

jika roti Nusa Indah Bakery dimasukkan masih

dalam keaadan panas kedalam kemasan, akan

menyebabkan terjadinya uap air dan menempel

pada kemasan plastik. Hal ini juga akan

mengakibatkan roti mudah busuk dan berjamur.

Penyimpanan roti Nusa Indah Bakery

adalah dengan cara disusun pada keranjang

plastik. Hanya saja udara tersebut tidak terlalu

lembab (RH<80%) dan tidak terlalu panas

(<35ºC). Selain itu, tempat penyimpanan harus

bersih, tidak banyak debu dan tidak terdapat lalat

dan serangga.

KESIMPULAN

Kesimpulan pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tahapan proses produksi roti Nusa Indah

Bakery yaitu :

a. Penyiapan bahan baku

b. Penimbangan bahan baku dan bahan

pembantu.

c. Pencampuran bahan baku dan bahan

pembantu dalam mixer

(pencampuran dihentikan hingga

adonan telah menjadi kalis atau

elastis).

d. Peragian/fermentasi sejenak selama 1

jam.

e. Pemotongan dan pembentukan

adonan dengan ukuran roti seragam

dan pembentukan adonan yang sesuai

jenis roti.

f. Pengovenan dengan suhu 200 oC

selama 15 menit.

g. Tahap terakhir yaitu pendinginan

pada roti dan penggemasan roti.

2. Cara pengendalian mutu bahan baku

dengan memilih :

a. Tepung terigu dengan kualitas baik

dan tidak kadaluarsa serta kemasan

atau saknya tidak rusak, sehingga

bebas dari serangga.

b. Telur yang dipilih yaitu telur yang

tidak pecah, bentuknya proporsional,

warna seragam dan tidak berbau.

c. Gula yang digunakan gula yang

berbentuk kristal yang ukuranya

seragam, warna putih bersih, bebas

dari kotoran dan tidak ada semut.

3. Cara pengendalian mutu bahan pembantu

dengan memilih :

a. Air yang tidak berbau, tidak

berwarna, tidak berasa, bebas kotoran.

b. Mentega, ragi dan susu bubuk full

cream juga dipilih yang berkualitas

baik dan tidak kadaluarsa. Sedangkan

untuk mentega yang digunakan yaitu

Page 62: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

yang warnanya jernih, bersih dari

cemaran dan tidak berbau tengik.

4. Dari semua proses yang dilakukan dalam

pembuatan roti, yang perlu diperhatikan

kaitannya dengan pengendalian mutu antara

lain :

a. Memperhatikan lama pengadukan

adonan, apabila pengadukan adonan

terlalu lama menyebabkan volume

roti yang dihasilkan sangat besar dan

tidak kenyal, disebabkan adonan

mengalami kematangan awal dalam

proses pengadukan. Jika pengadukan

adonan terlalu singkat menyebabkan

adonan roti kurang elastis, volume

roti sangat kurang dan roti yang

dihasilkan akan runtuh ketika

mengembang sebelum dibakar atau

ketika dalam oven.

b. Menghilangkan atau memonitoring

adonan agar tetap terjaga kualitasnya

seperti menghilangkan benda asing

yang terdapat dalam adonan yang

dapat menurunkan kualitas roti yang

dihasilkan.

c. Jarak penataan roti dalam loyang

kurang lebih 4 cm agar adonan tidak

lengket satu sama lain dan bentuknya

bagus saat mengembang.

d. Pengovenan adonan roti dilakukan

selama 15 menit pada suhu 200ºC.

5. Kualitas roti yang baik di perusahaan Roti

Nusa Indah Bakery adalah sebagai berikut :

a. Bentuk sesuai standar yang telah

ditetapkan oleh perusahaan dan

seragam.

b. Berwarna sedikit kecoklatan dan

mengkilap

c. Tekstur lembut

d. Penataan dalam kemasan rapi dan

menarik.

e. Rasa manis

f. Volume roti mengembang.

6. Penanganan alat di pabrik ini masih kurang

baik. Loyang yang telah selesai hanya

dibersihkan dengan kertas sehingga dalam

waktu lama menyebabkan bau tengik pada

loyang.

SARAN

Saran yang dapat diberikan kepada

Perusahaan Nusa Indah Bakery yaitu

mempertegas pengendalian mutu produk,

misalnya dalam memulai proses produksi

diharapkan terus mengendalikan kualitas bahan

baku, karyawan mencuci tangan terlebih dahulu,

memakai masker, memakai penutup kepala yang

telah disediakan oleh perusahaan, karena ada

beberapa karyawan yang tidak memakainya.

Sebaiknya perusahaan melakukan

pencucian peralatan yaiut mebilas dengan air

panas, ini bertujuan untuk menghilangkan lemak

atau minyak yang masih menempel di peralatan

dan peralatan akan menjadi lebih awet serta

terlihat lebih bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Auinger-pfund dkk, 1999. Pengolahan Kue Dan

Roti. Jakarta. Depatermen Pendidikan

Nasional Dikmenjur.

Alisjahbana, Juita. 2005. “Evaluasi Pengendalian

Kualitas Total Produk Pakaian Wanita

Pada Perusahaan Konveksi.” Jurnal

Ventura, Vol. 8, No. 1, April 2005.

Anonim 4 : http://www.kompas.co.id/ 4 mei

2004.

Gasperz, Vincent. 2005. Total Quality

Management. Jakarta : PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Hatani, La. 2008. “Manajemen Pengendalian

Mutu Produksi Roti Melalui

Pendekatan Statistical Quality Control

(SQC).” Diakses 12 Maret 2010, dari

www.google.com/Jurusan Manajemen

FE Unhalu.

Kamarijani, 1983. Perencanaan Unit Pengolahan.

Fakultas Teknologi Pengolahan.

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Nasution, M. N.. 2005. Manajemen Mutu

Terpadu. Bogor : Ghalia Indonesia.

Prawirosentono, Suyadi. 2007. Filosofi Baru

Tentang Manajemen Mutu Terpadu

Abad 21 “Kiat Membangun Bisnis

Kompetitif”. Jakarta : Bumi Aksara.

Supranto, J. (2006), Pengukuran Tingkat

Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan

Pangsa Pasar, Cetakan Ketiga,

PT.Rineka Cipta, Jakarta.

Page 63: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

1

PEMBELAJARAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK DOSEN ILMU SOSIAL POLITIK

(Telaahan Terhadap Reformasi Birokrasi Dan Good Governance Untuk Peningkatan Kinerja Pelayanan Kepada

Masyarakat Oleh Aparatur Pemerintah)

Badaruddin

Email: [email protected]

Abstrak – Tujuan dari pelaksanaan pembelajaran administrasi pemerintahan bagi dosen ilmu sosial politik adalah

sebagai bahan masukan dan kajian secara berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dosen

sosial politik dalam memberikan wacana berpikir kepada mahasiswa sosial politik di universitas. Selanjutnya, pada

paparan berikut adalah tinjauan pada konsep dan pelaksanaan birokrasi pada pemerintahan daerah.

Pandangan yang negatif terhadap birokrasi seperti pelaksanaan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau

membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya ekstra, pelayanan yang asal-

asalan dan kurang ramah, masih sering terjadi praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lainnya masih sering terjadi

khususnya pada pelayanan sektor publik. Sebagaimana konsep Weber, untuk mewujudkan good governance diperlukan

Reformasi Birokrasi yaitu dalam bentuk reformasi kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik

(public management reform). Untuk lebih dapat meningkatkan pada pelayanan sektor publik, menurut Osborne dan

Gaebler melalui konsep Reinventing Governmentnya, menekankan pada: Pemerintahan Katalis, Pemerintah milik

masyarakat, Pemerintah yang kompetitif, Pemerintah yang digerakkan oleh misi, Pemerintah yang berorientasi pada

hasil, Pemerintah berorientasi pada pelanggan, Pemerintahan wirausaha, Pemerintah antisipatif, Pemerintah

desentralisasi, Pemerintah berorientasi pada pasar.

Kata Kunci: Good Governance, institusional reform, public management reform, pelayanan sektor publik, Reinventing

Government.

PENDAHULUAN

Bagi sebagian besar orang menganggap

bahwa birokrasi adalah sebagai sesuatu yang

berkenaan dengan prosedur yang berbelit-belit,

menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi

sebagian lainnya, birokrasi dipahami sebagai

perspektif yang positif yakni suatu upaya untuk

mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat

agar lebih teratur dan tertib. Maksud dari tertib disini

adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai

sumber daya yang dimiliki dan mendistribusikan

sumber daya tersebut kepada setiap anggota

masyarakat dengan prinsip yang berkeadilan.

Berbagai bentuk keluhan yang berkaitan

dengan apa yang disebut sebagian orang yaitu penyakit

birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan

masyarakat, antara lain seperti ketika kita mengurus

sesuatu di kantor pemerintah merasakan prosedur yang

berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang

lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-

biaya ekstra, pelayanan yang asal-asalan dan kurang

ramah, masih sering terjadi praktek kolusi, korupsi dan

nepotisme, dan lainnya yang tentunya menimbulkan

persepsi yang kurang baik kepada masyarakat.

Kilas balik birokrasi di Indonesia, baik pada

tatanan di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah,

sepanjang Orde Baru dan Orde Lama kerap

mendapat sorotan dan kritikan, karena perilakunya

yang tidak sesuai dengan amanah yang diembannya

sebagai pelayan masyarakat. Dalam hal ini maka wajar

saja, apabila masyarakat memandang istilah birokrasi

dengan konotasi yang negatif. Birokrasi cenderung

lamban, rumit, berbelit-belit, kontra produktif,

cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan

substansi, dan lebih pada tidak efisien.

Disamping itu, masih tampaknya permasalahan

birokrasi dalam pemerintahan pada saat ini

diantaranya: birokrasi pemerintah belum efisien,

kebijakan belum stabil, dan masih ada praktek

penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang.

Bidang peraturan perundang-undangan di bidang

aparatur negara masih tumpang tindih, inkonsisten,

tidak jelas, multi tafsir, pertentangan antara peraturan

perundang-undangan yang satu dengan yang lain dan

pelayanan publik belum dapat mengakomodasi

kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Disisi lainnya, birokrasi merupakan

instrumen yang dipandang penting dalam masyarakat

yang eksistensinya tidak mungkin terelakkan.

Sedangkan Birokrasi adalah merupakan sebuah

konsekuensi logis dimana harus menerima suatu

asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban yang

mulia yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya melalui

media birokrasi. Sebagai perwujudan dari kewajiban

tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung

menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan

oleh rakyatnya. Negara harus berperan aktif dalam hal

yang berkaitan dengan kehidupan sosial rakyatnya.

Oleh karena itu, maka negara berkewajiban untuk

membangun suatu sistem administrasi yang bertujuan

untuk memberi pelayanan yang sangat diperlukan oleh

rakyatnya yang kemudian disebut dengan istilah

birokrasi.

Hans Dieter Evers menyampaikan bahwa

proses birokrasi yang ada di Indonesia saat ini adalah

berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala

Orwel. Maksud Birokrasi model Parkinson yaitu pola

dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan

pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak

terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola

birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan

Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan

ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi

dan bila perlu melalui paksaan.

Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh

lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D

Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah

model bureaucratic policy di mana terjadi akumulasi

kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran

masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan.

Page 64: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

2

Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di

Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.

Berdasarkan paparan di atas maka secara

umum dapat ditarik satu kesimpulan bahwa birokrasi

di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien,

tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan

banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi

pemerintah saat ini masih belum efisien, kebijakan

belum stabil, dan masih ada praktek penyimpangan dan

penyalahgunaan wewenang. Disamping itu, dibidang

peraturan perundang-undangan di bidang aparatur

negara masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas,

masih multi tafsir, pertentangan antara peraturan

perundang-undangan yang satu dengan yang lain dan

pelayanan publik belum dapat mengakomodasi

kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dengan

gambaran terhadap berbagai jenis dan bentuk penyakit

birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi

sampai dengan saat ini belum menunjukkan perubahan

yang signifikan.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perkembangan konsep birokrasi

sebenarnya merupakan bagian dari jenis pemerintahan

demokrasi dan aristokrasi sebagaimana yang dapat

dilihat dari tulisan de Goumay dan Mill. Para pakar

teoritisi pada abad ke-19 seperti Van Mohl, Olzewski

dan Le Play lebih memfokuskan kepada ketidakpuasan

rakyat terhadap pemerintah dan melihat birokrasi

sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk selalu

mencampuri urusan orang lain (Albrow, 1996:17).

Pada abad ke-19, terdapat beberapa penulis

dan pemikir yang sangat berpengaruh terhadap

perkembangan teori birokrasi, diantaranya yaitu

Gaetano Mosca dan Max Weber. Mosca dalam

bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua

tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada

kelas yang memerintah. Dalam sistem pemerintahan

feudal, kelas yang memerintah adalah kelas yang

sederhana yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi,

politik, militer atau administrasi. Setelah masyarakat

berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai

fungsi terpisah satu sama lain, maka pemerintahan

dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok pejabat

yang digaji (Albrow, 1996:22).

Beberapa gambaran mengenai hubungan

birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas melalui

penelusuran berbagai penelitian yang telah dilakukan

oleh para ilmuan terdahulu seperti Karl D. Jackson

(1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical

Framework for the analicys of Power and

Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya

menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses

politik, dan keterasingan kekuatan sosial politik di luar

birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan keputusan

nasional. Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch

tentang “Patrimonialism and Military Rule in

Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989)

melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung

bercorak patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan

dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan

dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil.

Kedua penelitian di atas tersebut tidak tergolong

sebagai penelitian yang baru, namun dalam konteks

analisis tetap diperlukan untuk memberikan gambaran

bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun

waktu dua dekade yang lalu yang bagaimanapun juga

turut menentukan corak dan warna birokrasi saat ini.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu;

Budaya Patron-klien terhadap perilaku birokrasi di

daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006)

menunjukkan bahwa budaya patron-klien sangat

mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah,

utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan

perilaku birokrasi yang menyimpang. Penelitian yang

senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso

(1993) dan Masson C. Headly (2006) memiliki

kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan

birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai

zaman pemerintahah Orde Lama dan Orde Baru dan

ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum

menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang

feodalistik” (Istianto, 2011:75).

Gambaran terhadap birokrasi Indonesia

ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui

pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam

kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi

patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas

dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai

sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat

mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi

administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh

hubungan pribadi dan politik.

Ilmuan yang sangat berjasa dalam

memperkenalkan model organisasi birokratis adalah

Max Weber. Dapat dikatakan bahwa konsep birokrasi

yang diajukan oleh Weber masih menjadi acuan

sampai dengan saat ini, walaupun mendapat kritik dari

ilmuan-ilmuan lain. Weber membahas peran organisasi

dalam suatu masyarakat, dan mempertanyakan bentuk

organisasi yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri

yang dijumpai di Eropa pada akhir abad ke 19. Ia

mencoba melukiskan sebuah organisasi yang ideal—

organisasi yang secara murni rasional dan yang akan

memberikan efisiensi operasi yang maksimum

(Robbins, 1994:337).

Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi

memiliki sejumlah makna, di antaranya adalah

pemerintahan yang dijalankan oleh suatu biro yang

biasanya disebut dengan officialism, badan eksekutif

pemerintah (the executive organs of government), dan

keseluruhan pejabat publik (public officials), baik itu

pejabat tinggi ataupun rendah (Albrow, 1989:116-117).

Diantara ketiga makna tersebut, karakteristik umum

yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya

sebagai suatu lembaga pemerintah. Makna birokrasi

sebagai lembaga pemerintah muncul karena lembaga

pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi.

Skala organisasi pemerintah yang besar dan sangat luas

cakupannya mendorong mereka untuk memilih

birokrasi yang memiliki karakteristik sebagai birokrasi

Weberian.

Dalam konteks Indonesia, lembaga

pemerintah pada umumnya memiliki hierarki yang

panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis,

spesialisasi yang rinci, dan pajabat karier yang menjadi

karakteristik birokrasi Weberian. Oleh karena itu,

lembaga pemerintah sering disebut sebagai birokrasi

pemerintah. Karena kinerja birokrasi pemerintah pada

umumnya cenderung buruk dan mengecewakan,

khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik,

sehingga pandangan masyarakat terhadap birokrasi

Page 65: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

3

pemerintah cenderung negatif yang pada akhirnya

menimbulkan stereotif yang negatif tentang konsep

birokrasi Weberian. Robbins (1994: 338) mengutip

konsep birokrasi ideal dari Weber yang terdiri dari 7

elemen, sebagai berikut:

a. Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan

dilakukan dalam kesederhanaan, rutinitas dan

mendefinisikan tugas dengan baik.

b. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah

struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi

hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa

setiap jabatan yang lebih rendah berada di

bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih

tinggi.

c. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota

organisasi diseleksi dalam basis kualifikasi yang

didemonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan

atau latihan formal.

d. Pengambilan keputusan mengenai penempatan

pegawai yang didasarkan atas kemampuan, yaitu

keputusan tentang seleksi dan promosi

didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan

dan prestasi para calon.

e. Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu

sanksi-sanksi diterapkan secara seragam dan

tanpa perasaan peribadi untuk menghindari

keterlibatan dengan keperibadian individual dan

freferensi peribadi para anggota.

f. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para

pegawai diharapkan mengejar karier dalam

organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen

terhadap karier tersebut, para pegawai

mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan

dipertahankan meskipun mereka “kehabisan

tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai

lagi.

g. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan

jelas dari kehidupan peribadi, yaitu pejabat tidak

bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan

dan kepentingan pribadinya termasuk

keluarganya.

Weber dalam hal ini memperhitungkan tiga

elemen pokok dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1)

birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2)

birokrasi dipandang sebagai kekuatan independen. (3)

birokrasi dipandang mampu keluar dari fungsinya

yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal

dari kelas sosial yang particular (Thoha, 2005:19).

Konsep birokrasi pengikut Weber berasumsi bahwa

birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia

berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang

saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi

pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral,

lebih mengutamakan kepentingan negara dan rakyat

secara keseluruhan, sehingga siapapun kekuatan

politik yang memerintah birokrat dan birokrasinya

memberikan pelayanan terbaik kepadanya.

Kenyataan ini memberi suatu isyarat bahwa

reformasi birokrasi memang perlu dilakukan dalam

rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan

perkembangan masyarakat. Menurut Hughes alasan

untuk melakukan reformasi adalah dalam rangka: (1)

merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan

fungsi pelayanan publik yang lebih baik ke arah

manajerial daripada sekedar administratif, (2) sebagai

respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas

pemerintah, (3) perubahan dalam teori dan masalah

ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam

penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum,

2009: 355).

Dari konsep paparan terhadap tipe ideal

birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat ini belum

sepenuhnya dapat diimplementasikan di Indonesia

sebagaimana yang diharapkan pencetusnya. Bahkan

Weber mempertegas dalam teorinya bahwa satu-

satunya cara bagi masyarakat modern untuk

mengoperasikan secara efektif konsep ideal tersebut di

atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-spesialis

birokrasi yang fungsional dan terlatih. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh LeMay (2006:65),

bahwa sebagai organisasi yang cenderung semakin

besar, membutuhkan pembagian kerja yang lebih kecil

atau bersifat khusus.

Bennis secara pesimistis menyampaikan

bahwa yang menggambarkan kondisi-kondisi sebagai

penyebab matinya birokrasi dibantah oleh Robert

Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan

mengajukan argumentasi tandingan, bahwa birokrasi

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang

berubah dan dinamis. Miewald menegaskan bahwa

Weber tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-

karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-

lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah

menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien.

Bentuk apapun yang diperlukan untuk

mempertahankan rasionalitas seperti efisiensi akan

menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi

professional adalah contoh yang sempurna mengenai

karakteristik birokrasi yang dimodifikasi.

Salah satu pengkritisi terhadap birokrasi

Weber adalah datang dari Fried W. Riggs. Dalam

penelitiannya di beberapa negara berkembang, ia

menemukan model birokrasi yang disebutnya sebagai

“model sala” atau biasa disebut dengan “model

prismatic”. Kata sala diambil dari bahasa Spanyol

yang sering menunjuk arti kantor pemerintah di

negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum

ialah “ruangan”, bahasa Perancis menyebutnya

“Salle” yang pada dasarnya masih serumpun. dalam

penggunaan sehari-hari, kata sala mengandung arti

ruangan pribadi dalam suatu rumah—keagamaan—

ruangan pertemuan umum, tetapi juga dan bahkan

terutama mengandung arti kantor pemerintah (Riggs,

1988:316).

Disisi lain, pandangan khususnya terhadap

agenda utama yang harus dilakukan dalam rangka

peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah

terhadap masyarakatnya, adalah perubahan perilaku

aparatur birokrasi dalam memberikan dan

mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.

Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari yang

lebih kecenderungan menjadi abdi negara ketimbang

abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan

peranan sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi

negara. Hakekatnya, jika aparatur birokrasi sudah

melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka

sesungguhnya mereka telah melaksanakan tugasnya

dengan baik sebagai abdi masyarakat maupun sebagai

abdi negara. Dengan perilaku aparatur birokrasi yang

berorientasi pada kepuasan masyarakat, maka

diharapkan melahirkan dan meningkatkan partisipasi

Page 66: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

4

masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam

menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan

dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian

maka keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya

karena adanya dukungan legalitas formal, tetapi

keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh

masyarakat.

Birokrasi memiliki beberapa fungsi,

diantaranya adalah fungsi pengaturan. Fungsi ini

mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu

pemerintahan negara diberi wewenang untuk

melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan

yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui

berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya.

Persoalan yang sering kali muncul dalam praktiknya,

yaitu acapkali terjadi kekakuan pada saat implementasi

aturan. Kekakuan ini dapat terlihat pada interpretasi

secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan adalah

menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat dari

semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian,

2000: 147).

Beberapa jenis penyakit birokrasi dapat

diidentifikasi dan sudah sangat dikenal dan dirasakan

oleh masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu

apapun yang berkatian dengan kantor pemerintah,

pengurusannya sangat berbelit-belit, membutuhkan

waktu yang cukup lama dan biaya yang besar,

pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi,

korupsi dan nepotisme dan lainnya. Sedangkan

penyakit birokrasi yang lebih sistemik dengan sebutan

yang diberikan diantaranya; politisasi birokrasi,

otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto,

2011:143).

Belum optimalnya perubahan pada tubuh

birokrasi sampai dengan saat ini, dikarenakan secara

internal masih menghadapi beberapa kendala antara

lain; Pertama, dalam sudut pandang aparatur birokrasi,

terutama pola karier tidak berjalan dengan semestinya

yaitu masih banyak penempatan pejabat tidak

menggunakan prinsip “knowledge and basic

competention”, tetapi lebih kental dengan orientasi

kedekatan atau nepotisme. Kedua, perkembangan

dewasa ini cenderung semakin marak praktek

“politisasi birokrasi”, yang menyebabkan terjadinya

disorientasi terhadap professionalisme dan kompetensi.

Ketiga, desain organisasi pemerintahan masih

cenderung berbadan gemuk dan tidak efisien dan

praktis, sehingga hal ini sudah pasti menyebabkan

pemerintahan tidak efisien dan efektif. Keempat,

struktur organisasi pemerintahan yang kecil dan

ramping, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan

keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional,

sampai saat ini belum juga dilaksanakan sebagai

kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi bidang

kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan

perbaikan renumerasi pegawai, belum menunjukkan

keseriusan pemerintah menetapkan perubahan

renumerasi di setiap unit instansi pemerintah. Keenam,

penataan alokasi fasilitas kerja pada semua jabatan

negeri secara adil dan merata, belum menjadi landasan

kebijakan yang komprehensif dalam mengelola sumber

daya aparatur yang profesional dan kompeten

(Istianto,2011:143).

Disamping itu, sebagai suatu gambaran

terhadap birokrasi dan citra pemerintahan kita yaitu

perihal citra buruk birokrasi terlihat dari hasil

penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk

Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong.

Hasil penelitian lembaga ini menilai birokrasi

Indonesia termasuk terburuk dan belum mengalami

perbaikan berarti (Soebhan, 2000). Demikian juga

penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM

tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan

sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity),

responsivitas, efisiensi pelayanan, suap dan rente

birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good

Governance Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM

tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan

kondisi pelayanan publik di Indonesia yang masih

sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita

masih cenderung dilayani daripada melayani.

Kini, apakah model birokrasi seperti

sebagaimana yang diungkapkan di atas masih tetap

melekat dalam birokrasi di Indonesia? Seharusnya

secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi seperti

itu, tetapi harus menuju pada birokrasi ala Weber di

mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek

efisiensi, efektivitas, profesionalisme, merit system,

dan pelayan masyarakat. Karena pada saat zaman yang

telah berubah seperti sekarang ini, dengan terjadinya

era reformasi dan penekanan pada otonomi daerah,

maka sudah seharusnya birokrasi harus mengalami

perubahan paradigma dimana birokrasi harus dapat

memposisikan dirinya sebagai abdi masyarakat,

efisien, efektif, dan lebih memberi penekanan pada

kinerja yang lebih profesionalisme.

PENUTUP

Permasalahan birokrasi dan reformasi

birokrasi itu sendiri sudah begitu banyan dibincangkan

oleh para ahli, praktisi dan pemerintahan sendiri.

Tidaklah begitu mudah untuk menjadikan

pemerintahan yang baik, bersih dan mengutamakan

kepentingan masyarakat luas sebagaimana yang

tertuang dalam konsep di atas. Dalam hal ini

masyarakat menaruh harapan dan menuntut kepada

Pemerintah untuk dapat mewujudkan dan

melaksanakan apa yang disebut dengan good

governance. Sudah pasti masyarakat sangat

menginginkan agar paradigma lama atau pola-pola

lama dalam penyelenggaraan Pemerintahan yaitu

“bad governance” harus sertamerta untuk

ditinggalkan dan selanjutnya diganti dengan

pendekatan baru atau pola-pola baru penyelenggaraan

Pemerintahan berdasarkan pada penekanan terhadap

prinsip-prinsip good governance.

Selanjutnya, agar dapat terlaksana dengan

sepenuhnya untuk mewujudkan good governance

diperlukan suatu upaya yang besar yaitu dalam bentuk

reformasi kelembagaan (institusional reform) dan

reformasi manajemen publik (public management

reform). Agar dapat tercapainya pelayanan yang

memadai dan prima sebagaimana konsep Weber, maka

perlu dilakukan pembenahan atau yang lebih dikenal

dengan istilah Reformasi kelembagaan. Dalam

Reformasi kelembagaan ini dilakukan dengan beberapa

yang menyangkut dengan pembenahan seluruh alat-alat

Pemerintahan, baik struktur maupun infrastrukturnya.

Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah

pemberdayaan masing-masing elemen, yaitu

masyarakat umum sebagai stakeholders, Pemerintah

Page 67: JURNAL PENDIDIKAN - Universitas Serambi · PDF fileJURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU ISSN 1693-4849 (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 14 NOMOR 2 SEPTEMBER

5

sebagai eksekutif dan lembaga perwakilan sebagai

shareholder. Dari Reformasi ini, tentunya diharapkan

Pemerintah pada akhirnya melalui aparatur sebagai

pelaksana pelayanan kepada masyarakat akan dapat

melakukan pekerjaan yang lebih menekankan kepada

efisiensi, efektifitas dan profesionalisme dan lebih

mementingkan kepada kepentingan masyarakat luas

dibandingkan terhadap birokrasi itu sendiri.

Pada akhirnya pelaksanaan reformasi

manajemen pada sektor publik, yaitu yang berkaitan

dengan perubahan dan penggunaan suatu model

manajemen Pemerintahan yang baru yang sesuai

dengan tuntutan perkembangan jaman, lebih luwes

dan tidak kaku, karena perubahan bukanlah hanya

sekedar pada perubahan paradigma baru dan tidak

menyentuh pada substansinya yaitu yang menyangkut

pada perubahan manajemen. Salah satu pendekatan

model manajemen yang lebih dikenal dengan baik

yaitu manajemen yang diperkenalkan oleh Osborne

dan Gaebler dengan konsep Reinventing

Governmentnya. Mereka menyampaikan bahwa:

Pemerintahan Katalis, Pemerintah milik masyarakat,

Pemerintah yang kompetitif, Pemerintah yang

digerakkan oleh misi, Pemerintah yang berorientasi

pada hasil, Pemerintah berorientasi pada pelanggan,

Pemerintahan wirausaha, Pemerintah antisipatif,

Pemerintah desentralisasi, Pemerintah berorientasi

pada pasar.

DAFTAR PUSTAKA

Afadlal (Ed.), Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi

Daerah, Jakarta: P2P LIPI, 2003.

Albrow, Martin,1989. Birokrasi.Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana

Crouch, Harold, “Patrimonialism and Military Rule in

Indonesia,” dalam World Politics, Vol. 31,

1989.

Dwiyanto Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata

Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan

dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.

Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, Kelompok-

Kelompok Strategis: Studi Perbandingan

tentang Negara, Birokrasi, dan

Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990,

hal, 228.

Istianto, Bambang.2011. Demokratisasi Birokrasi.

Jakarta: Mitra Wacana Media.

Lili Romli, “Otonomi Daerah dan Birokrasi Lokal:

Kasus Kabupaten Pandeglang” dalam

Syamsuddin Haris, “Sentralisasri Baru

Dalam Birokrasi Lokal: Kasus Kabupaten

Bima”, dalam, Afadlal (Ed.), Dinamika

Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah,

Jakarta: P2P LIPI, 2003, hal. 64.

Fauziah Rasad, “Reformasi Birokrasi Dalam

Perspektif Pemberantasan Korupsi”,

dikutip dari

http://www.transparansi.or.id/?pilih=li

hatpopulerkolom&id=18.

Menpan: RUU Adiministerasi Pemerintahan

Pryasyarat Reformasi Birokrasi”, dikutip

dari http://www.gtzsfgg.or.id/index.php?

page=menpan-ruu-administrasi-

Pemerintahan-prasyarat-reformasi-

birokrasi&hl=en_EN

Jackson, Karl D., Bureaucratic Polity A Theoritical

framework For The Analysis of Power and

Communication in Indonesia, Berkeley:

University of California, 1988.

LeMay, C. Michael, 2006. Public Administration :

Clashing Values in the Administration of

Public Policy.Thomson Wadsworth.

Prof. Dr. Mustopa dijaya, Guru Besar Kebijakan

Publik, Mantan Ketua LAN periode 1998-

2003,berjudul „Reformasi Birokrasi

Sebagai Syarat Pem-berantasan KKN ,

yang disampaikandalam Seminar dan

Lokakarya Pembangunan Hukum oleh

Badan.

Robbins, P.Stephen, 1994. Teori Organisasi: Struktur,

Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.

---------------, 2003. Perilaku Organisasi, (Jilid 1 dan 2).

Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.

Siagian, P. Sondang, 2000. Administrasi Penbangunan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu

Administrasi Negara. Jakarta: PT,

RajaGrafindo Persada.

----------------.2002. Perspektif Perilaku Birokrasi

(Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi

Negara, Jilid II. Jakarta: PT Rajagrafindo

persada.

Weber, Max, (terjmh), 2009. Sosilogi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.