122
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754 [1]

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN ... · Pendapatan Dan Beban Operasional Dalam Menghasilkan Laba Operasi Pada Pt Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[1]

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[2]

VOLUME 4 NOMOR 1

JANUARI – JUNI 2016

Pengarah : Ir. Qamarul Fattah, MM

Penanggung Jawab : Drs. Hasan Basri, MM

Koordinator/Pimpinan Redaksi : Dra. Siti Mahrani Hasibuan

Ketua : Bahrian Effendi, S.Sos., M.Si

Mitra Bebestari : Dr. Muhyarsyah, SE., M.Si

Syafrida Hani, SE., M.Si

Dr. Muhammad Said Siregar, M.Si

Sekretaris : Titri Suhandayani, S.Sos

Dewan Redaksi : Triratih Handayani, SH., MAP

Edward Sembiring, S.Sos

Toga Aruan, SE

Staf Redaksi : Ir. Sulfan Nasution

Wiwit Suryani, S.IP

Budi Hariono, SSTP

Yuni Rahma Astuti Ritonga

Editor & Design : Azuar Juliandi, SE., M.Si

Muhammad Marwan, S.Sos

Distributor : Juliana Pasaribu, SE

Ir. Netti Efridawati Purba

Osa Mestika DN, AMd

Alamat Redaksi : Jalan Kapten Maulana Lubis No. 2 Medan

Email: [email protected]

Penerbitan Jurnal Pembangunan Perkotaan bertujuan memajukan kegiatan

penelitian di bidang pembangunan perkotaan. Jurnal Pembangunan Perkotaan

ini terbit enam bulan sekali dalam satu tahun yakni bulan Juni dan Desember.

Redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah dan artikel dalam Bahasa

Indonesia dan Bahasa Inggris minimal 15 halaman maksimal 30 halaman

kwarto. Naskah yang dimuat tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi.

Redaksi berhak menyunting sejauh tidak merubah atau mengganti isi dan

makna tulisan ilmiah yang diterima.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[3]

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas

rahmat dan perkenanNya, Jurnal Pembangunan Perkotaan yang dikelola Badan

Penelitian dan Pengembangan Kota Medan untuk Volume 4 Nomor 1 Edisi

Januari – Juni 2016 dapat diterbitkan. Jurnal Pembangunan Perkotaan ini memuat

pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan atau tinjauan kepustakaan bidang

Pembangunan Perkotaan.

Dalam edisi kali ini redaksi menyajikan 10 (sepuluh) karya tulis ilmiah

yaitu: Pengaruh Fasilitas Fisik Dan Fasilitas Non Fisik Terhadap Kepuasan

Pelanggan Di Pasar JBBC Medan Johor, Facebook Komunitas Backpacker Medan

Dan Promosi Pariwisata Sumatera Utara, Implikasi Penghapusan Verifikasi

BPHTB Terhadap Pendapatan Daerah, Analisis Preferensi Konsumen Buah

Pisang Di Pasar Tradisional Dan Pasar Modern Di Kota Medan, Analisis

Pendapatan Dan Beban Operasional Dalam Menghasilkan Laba Operasi Pada Pt

Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumut, Analisis Jumlah

Pengangguran Dan Ketenagakerjaan Terhadap Keberadaan Usaha Mikro Kecil

Dan Menengah (UMKM) Tahun 2007-2012 Di Kota Medan, Analisis Perilaku

Konsumen Buah Durian Di Durian Ucok Kota Medan, Pengaruh Kepuasan Kerja

Dan Komitmen Organisasi Terhadap Intention Turn Over Pada Contact Center

PLN 123 Site Medan, Kajian Kawasan Strategis Menuju Kawasan Yang

Ekonomis Di Kota Medan, Analisis Perbandingan Penerimaan PBB P2 dan

BPHTB Sebelum dan Sesudah Penerapan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009

Pada Dinas Pendapatan Kota Medan.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga Jurnal Pembangunan Perkotaan ini dapat diterbitkan. Semoga

jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pengambil kebijakan serta

tambahan informasi untuk peningkatan ilmu pengetahuan.

Salam Redaksi

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[4]

Pengaruh Fasilitas Fisik Dan Fasilitas Non Fisik Terhadap

Kepuasan Pelanggan Di Pasar JBBC Medan Johor

(Muhammad Zuardi) (1-10)

Facebook Komunitas Backpacker Medan Dan Promosi

Pariwisata Sumatera Utara

(Eninta Yolanda G. Manik, Mazdalifah, Fatma Wardy Lubis) (11-32)

Implikasi Penghapusan Verifikasi BPHTB

Terhadap Pendapatan Daerah

(Fajaruddin) (33-46)

Analisis Preferensi Konsumen Buah Pisang Di Pasar

Tradisional Dan Pasar Modern Di Kota Medan

(Faoeza Hafiz Saragih) (47-51)

Analisis Pendapatan Dan Beban Operasional Dalam

Menghasilkan Laba Operasi Pada Pt Kereta Api Indonesia

(Persero) Divisi Regional I Sumut

(Fitri Wahyuni) (52-65)

Analisis Jumlah Pengangguran Dan Ketenagakerjaan

Terhadap Keberadaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah

(UMKM) Tahun 2007-2012 Di Kota Medan

(Koko Tampubolon, Herlin Silalahi, Fransisca Natalia Sihombing) (66-76)

Analisis Perilaku Konsumen Buah Durian Di Durian

Ucok Kota Medan

(Mitra Musika Lubis, Rahma Sari Siregar) (77-86)

Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasi

Terhadap Intention Turn Over Pada Contact Center

PLN 123 Site Medan

(Willy Yusnandar, Sri Fitri Wahyuni) (87-92)

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[5]

Kajian Kawasan Strategis Menuju Kawasan Yang

Ekonomis Di Kota Medan

(Prawidya Hariani RS, Lailan Safina Hasibuan,

Jasman Saripuddin Hasibuan) (93-105)

Analisis Perbandingan Penerimaan PBB P2 dan BPHTB

Sebelum dan Sesudah Penerapan Undang-Undang No. 28

Tahun 2009 Pada Dinas Pendapatan Kota Medan

(Pandapotan Ritonga) (106-117)

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[1]

PENGARUH FASILITAS FISIK DAN FASILITAS NON FISIK

TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN

DI PASAR JBBC MEDAN JOHOR

Muhammad Zuardi

Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Medan

Surel: [email protected]

ABSTRACT

The decreasing number of consumers are becoming a major factor sluggishness

traditional market competitiveness. Some of the main reasons customers make the

shift from traditional markets to modern markets among others, the existence of

the decline of traditional markets is not entirely due to the modern market. Due to

the fact that the declining traditional market turnover is also influenced by the

availability of facilities given to the buyer. The facility consists of a non- physical

facilities and physical facilities. The purpose of this study was to determine the

influence of physical facilities and non-physical facilities to customer satisfaction

in Pasar JBBC Medan Johor, and analyze the most dominant factor influencing

customer satisfaction of shopping at Pasar JBBC Medan Johor. By using multiple

regression analysis, the result showed that non-physical facilities and physical

facilities of 54.8% impact on customer satisfaction shopping at Pasar JBBC

Medan Johor, while 45.2% influenced by other factors not examined in this study.

Factors of physical facilities provide the most dominant influence on customer

satisfaction market shopping at Pasar JBBC Medan Johor. Security during and

after shopping, the air around the hot market, odorless, neat arrangement of

goods as well as the friendliness of the seller into the factors affecting shopping

convenience.

Keywords: Physical facilities, non physical facilities, customer's decision.

Pendahuluan

JBBC Medan Johor merupakan

salah satu pasar tradisional yang

terletak di perbatasan Medan dengan

Deli Serdang. Keragaman jenis

barang ditambah kesegaran produk

ikan, daging dan sayuran menjadi

daya tarik konsumen berbelanja di

pasar ini. Penelitian AC Nielsen

(Halim, 2008) menyatakan bahwa

93% tujuan konsumen berbelanja

adalah hiburan dan rekreasi. Hal

tersebut menunjukkan bahwa pada

saat melakukan pembelian aktual,

konsumen tidak hanya sekedar

memenuhi kebutuhan biologis, tetapi

juga memenuhi kebutuhan

emosionalnya, seperti ingin

berekreasi, kebutuhan akan rasa

gengsi pada saat pelanggan, sehingga

konsumen cenderung mencari tempat

perbelanjaan yang memuaskan

harapannya.

Seiring dengan perkembangan

waktu, adanya modernisasi dan

meningkatnya kesejahteraan masya-

rakat, banyak masyarakat di Kota

Medan dan sekitarnya yang

pelanggan di pasar modern dan mulai

enggan belanja di pasar tradisional

(kecuali untuk produk-produk yang

tidak ada di supermarket atau

hipermarket). Menurut Limanjaya

dan Wijaya (2006) tidak sedikit

konsumen yang merubah perilaku

belanjanya dari pasar tradisional

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[2]

pindah, coba-coba, dan cari alternatif

ke supermarket dan hipermarket. Hal

ini wajar karena kondisi pasar

tradisional identik dengan becek,

kotor, dan kurang nyaman.

Kelemahan dari pasar tradisional

inilah yang menjadi daya jual bagi

pasar modern. Dalam hal ini

pelanggan sangat memperhatikan

hal-hal yang terkait dengan nilai

tambah terhadap kenyamanan

mereka dalam melakukan aktivitas

belanja mengingat berubahnya

pandangan bahwa belanja adalah

merupakan aktivitas rekreasi,

maupun pemenuhan keaneka-

ragaman kebutuhan mereka dalam

satu lokasi (one stop shopping).

Akan tetapi merosotnya eksistensi

pasar tradisional bukan sepenuhnya

akibat adanya pasar modern. Karena

pada kenyataannya menurunnya

omset pasar tradisional juga

dipengaruhi oleh perubahan selera

konsumen (masyarakat) dan keter-

sediaan fasilitas yang disediakan

pengelola pasar dan pedagang.

Menurut Sukandi (2010) menyatakan

bahwa fasilitas memberikan

pengaruh terhadap kepuasan

konsumen.

Pasar JBBC Medan Johor

memiliki latar belakang konsumen/

pembeli yang beragam dari

pendapatan kelas bawah, menengah

dan atas. Kondisi ini memicu

beragamnya tingkat konsumsi,

kebisaan atau perilaku belanja, dan

beragamnya keputusan mereka

ketika pelanggan di Pasar JBBC

Medan Johor. Berdasarkan uraian

yang telah dikemukakan, diduga

masih rendahnya kepuasan

pelanggan di Pasar JBBC Medan

Johor. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh

fasilitas fisik dan fasilitas non fisik

terhadap kepuasan pelanggan di

Pasar JBBC Medan Johor Medan.

Selanjutnya peneliti akan

menganalisis faktor yang paling

dominan mempengaruhi kepuasan

pelanggan berbelanja di Pasar JBBC

Medan Johor Kota Medan.

Kajian Teori

Penelitian Sukandi (2010)

menemukan adanya hubungan positif

antara fasilitas yang diberikan

kampus terhadap kepuasan

mahasiswa tetapi persentasenya kecil

yaitu sebesar 4%. Jika dilihat dari

harapan responden mengenai fasilitas

responden menyatakan sangat setuju

untuk kondisi ruang tata usaha dan

perlengkapannya, kondisi ruang

kantor pimpinan dan dosen, kondisi

ruang serbaguna dan fasilitas

laboratorium umum yang dirasakan

sudah memadai. Penelitian yang

dilakukan Apriani (2011) mengenai

pengaruh fasilitas, kualitas pelayanan

dan kepuasan pelanggan terhadap

minat mereferensikan, menggunakan

tiga variabel independen yaitu

fasilitas, kualitas pelayanan, dan

kepuasan pelanggan, dengan satu

variabel dependen yakni minat

mereferensikan. Menemukan bahwa

variabel fasilitas mempunyai

pengaruh positif dan berpengaruh

terbesar terhadap minat

mereferensikan dan kepuasan

pelanggan, variabel kepuasan

pelanggan mempunyai pengaruh

terhadap minat mereferensikan.

Fasilitas. Fasilitas merupakan segala

sesuatu yang memudahkan

konsumen dalam menggunakan jasa

perusahaan tersebut. Fasilitas adalah

sumberdaya fisik yang ada dalam

sebelum suatu jasa dapat ditawarkan

kepada konsumen (Tjiptono, 1997).

Fasilitas yaitu segala sesuatu yang

bersifat peralatan fisik dan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[3]

disediakan oleh pihak penjual jasa

untuk mendukung kenyamanan

konsumen (Kotler, 2005). Fasilitas

merupakan segala sesuatu yang

memudahkan konsumen dalam usaha

yang bergerak di bidang jasa, maka

segala fasilitas yang ada yaitu

kondisi fasilitas, kelengkapan, desain

interior, dan eksterior serta

kebersihan fasilitas harus

diperhatikan terutama yang berkaitan

erat dengan apa yang dirasakan atau

didapat konsumen secara langsung.

Pelanggan yang merasa tidak puas

akan meninggalkan perusahaan dan

menjadi pelanggan pesaing. Hal ini

akan menyebabkan penurunan

penjualan dan pada gilirannya akan

menurunkan pendapatan perusahaan.

Menurut Tjiptono (2006) desain

dan tata letak fasilitas jasa erat

kaitannya dengan pembentukan

persepsi pelanggan. Sejumlah tipe

jasa, persepsi yang terbentuk dari

interaksi antara pelanggan dengan

fasilitas berpengaruh terhadap

kualitas jasa tersebut di mata

pelanggan. Fasilitas adalah sarana

untuk melancarkan dan memudahkan

pelaksanaan fungsi. Fasilitas

merupakan komponen individual dari

penawaran yang mudah ditumbuhkan

atau dikurangi tanpa mengubah

kualitas dan model jasa (Lupiyoadi,

2006). Fasilitas merupakan suatu

faktor yang sangat penting dan

sangat menunjang suatu perusahaan

dalam memasarkan produk jasa

kepada konsumen. Fasilitas

merupakan suatu bentuk pembelian

manfaat dari perusahaan kepada

konsumen. Pada perusahaan jasa,

fasilitas yang disediakan berupa alat–

alat yang dapat menunjang dalam

memberikan pelayanan yang

memuaskan bagi konsumen.

Fasilitas sebagai sarana untuk

melancarkan dan memudahkan

pelaksanaan fungsi. Fasilitas

merupakan suatu faktor yang sangat

penting dan sangat menunjang suatu

pemasaran produk jasa kepada

konsumen. Pada perusahaan jasa,

fasilitas yang disediakan berupa alat–

alat yang dapat menunjang dalam

memberikan pelayanan yang

memuaskan bagi konsumen. Fasilitas

terdiri dari 2 (dua) jenis yakni

fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas

menurut Yulyaningsih (2010) terdiri

dari empat yakni fasilitas produksi,

fasilitas pelayanan, fasilitas rekreasi

dan fasilitas penunjang.

Dalam bauran pemasaran jasa,

fasilitas fisik sering juga disebut

physical evidence (bukti fisik). Bukti

fisik adalah lingkungan dimana jasa

disampaikan dan dimana perusahaan

dan konsumennya berinteraksi, dan

setiap komponen berwujud yang

memfasilitasi penampilan atau

komunikasi jasa tersebut (Stanton,

1996). Kondisi fisik merupakan

elemen substansi dalam konsep jasa.

Oleh karena itu para pemasar jasa

semestinya terlihat di dalam design

perencanaan dan pengawasan kondisi

fisik. Fasilitas fisik adalah aktivitas

maupun materi yang dapat melayani

konsumen saat beraktivitas belanja,

yaitu utilitas umum termasuk parkir,

tempat penitipan barang, kamar

mandi, kerapian susunan barang.

Ketersediaan infrastruktur kota dan

fasilitas kota secara bersama sering

disebut sebagai fasilitas umum

(urban public facility). Infrastruktur

kota meliputi gas, air, listrik, telepon,

dan drainase, pembuangan sampah

dan jalan.

Fasilitas fisik adalah segala

sesuatu yang berupa benda atau yang

dapat dibendakan, yang mempunyai

peranan dapat memudahkan dan

melancarkan suatu usaha. Fasilitas

fisik dapat disebut juga dengan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[4]

fasilitas materiil. Karena fasilitas ini

dapat memberi kemudahan dan

kelancaran bagi suatu usaha dan

biasanya diperlukan sebelum suatu

kegiatan berlangsung maka dapat

pula disebut sebagai saran materiil.

Apabila dikaitkan dengan pasar

tradisional maka fasilitas materiil

meliputi: kamar mandi untuk

pengunjung pasar, pengelolaan

sampah, pengelolaan saluran air atau

parit, ruangan atau meja toko tempat

berjualan, penataan barang

dagangan, area parker, fasilitas

tempat ibadah, ketersediaan mesin

ATM.

Fasilitas fisik sangat terkait

dengan kebersihan dan ketersediaan

fasilitas fisik. Dalam menentukan

kepuasan pelanggan khususnya

mengenai tempat, faktor kebersihan

juga memiliki pengaruh yang sangat

besar sekali karena pelanggan

dimanapun juga memiliki keinginan

yang sama dimana dalam

mendapatkan kebutuhan khususnya

makanan, tempatnya harus benar-

benar bersih, sehat dan terbebas dari

kuman penyakit (Yuliarsih, 2002).

Kebersihan adalah keadaan bebas

dari kotoran, termasuk di antaranya,

debu, sampah (Amro, 2011).

Kebersihan adalah segala usaha

untuk memelihara dan mempertinggi

derajat kesehatan.

Menurut Yuliarsih (2002) secara

umum kata sanitasi mengandung dua

pengertian, yaitu usaha pencegahan

penyakit dan kesehatan lingkungan

hidup. Pasar atau tempat jualan

dalam menjalankan usahanya harus

memenuhi syarat higienitas.

Yuliarsih (2002) menyatakan

persyaratan higienitas yang harus

dipenuhi berdasarkan indikator dari

kebersihan antara lain: memiliki

lokasi atau tempat yang bersih,

memiliki fasilitas sanitasi atau

kebersihan yang baik, menyimpan

dan menyajikan makanan yang

terjaga kebersihannya, memiliki

standar pengolahan yang tinggi.

Kebersihan mempunyai pengaruh

positif terhadap perpindahan

konsumen dalam menentukan tempat

pembelian atau tempat pelanggan

(Yuliarsih, 2002). Hal serupa

dinyatakan oleh Riyanto dalam Amri

(2012) bahwa kebersihan dapat

mempengaruhi konsumen

menentukan keputusan perpindahan

merek dalam memperoleh barang

atau jasa yang diinginkan. Kautsari

dkk (2012) menyatakan bahwa

kebersihan pasar merupakan faktor

yang dominan mempengaruhi

konsumen ketika pelanggan di pasar

tradisional. Kebersihan pasar

tradisional berkaitan dengan

kebersihan sarana dan prasarana

pasar serta kebersihan toko atau gerai

tempat berjualan.

Fasilitas non fisik adalah segala

sesuatu yang bersifat mempermudah

dan memperlancar kegiatan sebagai

akibat bekerjanya nilai-nilai non fisik

misalnya menyangkut aspek

keamanan dan keramahan dari

penjual. Pada pasar tradisional aspek

fasilitas non fisik terdiri dari:

keamanan saat berbelanja, keadaan

dan suasana pasar tidak panas, jauh

dari bau yang tidak sedap,

keramahan penjual. Fasilitas non

fisik dapat dirasakan oleh konsumen

dalam bentuk kenyamanan.

Kenyamanan atau nyaman adalah

suatu keadaan segar, sehat, sedap,

sejuk dan enak (Amri, 2011).

Kenyamanan lingkungan adalah

suatu keadaan yang membuat

seseorang terlindung dari ancaman

psikologis. Perubahan kenyamanan

lingkungan akan menyebabkan

perasaan yang tidak nyaman dan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[5]

respon terhadap stimulus yang

berbahaya (Carpenito, 2006).

Kondisi nyaman menunjukkan

keadaan yang bervariasi untuk setiap

individu, sehingga kenyamanan

bersifat subjektif dan berhubungan

dengan keadaan tingkat aktivitas,

pakaian, suhu udara, kecepatan

angin, rata-rata suhu pancaran

radiasi, dan kelembaban udara.

Manusia akan merasa nyaman pada

suhu lingkungan 20°C sampai 25°C,

pada suhu tubuh 37°C, dalam

keadaan normal. Brown dan

Gillespie dalam Amri (2011),

dinyatakan bahwa unsur-unsur iklim

memiliki peran yang penting dalam

menentukan kenyamanan suatu

wilayah/kawasan. Salah satu faktor

iklim yang mempengaruhi

kenyamanan yakni suhu udara,

sehingga semakin tinggi suhu udara

maupun semakin rendah suhu udara

akan mengurangi kenyamanan.

Kenyamanan di dalam tempat

pelanggan akan senantiasa

diharapkan konsumen dalam

memperoleh barang yang

diinginkannya. Mulai dari

kenyamanan tempat perbelanjaan,

keamanan, suasana dan juga

keramahan penjual. Menurut

Carpenito (2006), kenyamanan suatu

tempat akan mempengaruhi

konsumen dalam menentukan tempat

pembelian suatu barang. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa

kenyamanan mempunyai pengaruh

positif terhadap keputusan pemilihan

tempat pembelian. Hasil penelitian

Amri (2011) mengatakan bahwa

kenyamanan dapat berpengaruh

positif terhadap penentuan tempat

dimana konsumen akan mendapatkan

barang atau jasa yang diinginkannya

sehingga mampu mempengaruhi

keputusan perpindahan pelanggan.

Kepuasan merupakan fungsi dari

persepsi seseorang yang muncul

setelah membandingkan antara

persepsi atau kesannya terhadap

kinerja atau hasil suatu produk atau

jasa dan harapan-harapannya. Kotler

dan Amstrong (2001), menyatakan

bahwa kepuasan merupakan perasaan

senang atau kecewa yang dihasilkan

dari perbandingan antara atau jasa

yang dirasakan dengan yang

diharapkan. Sumarwan (2004),

menyatakan salah satu teori yang

dapat menjelaskan bagaimana

kepuasan dan ketidakpuasan

pelanggan adalah the expectancy

disconfirmation model, yang

mengemukakan bahwa kepuasan dan

ketidakpuasan pelanggan merupakan

dampak dari perbandingan antara

harapan yang sesungguhnya yang

dirasakan. Harapan (performance

expectation) merupakan standar

kualitas, sedangkan fungsi produk

atau jasa yang sesungguhnya

dirasakan pelanggan (actual

performance) adalah persepsi

pelanggan terhadap produk atau jasa.

Menurut Tjiptono (2002) adanya

kepuasan pelanggan akan dapat

menjalin hubungan harmonis antara

produsen dan konsumen.

Menciptakan dasar yang baik bagi

pembelian ulang serta terciptanya

loyalitas pelanggan dan membentuk

rekomendasi dari mulut ke mulut

yang akan dapat menguntungkan

sebuah perusahaan. Menurut Kotler

dan Amstrong (2001) kepuasan

adalah sejauh mana suatu tingkatan

produk dipersepsikan sesuai dengan

harapan pembeli.

Zeithaml (1988) merumuskan

kepuasan konsumen sebagai

“costumer’s evaluation of a product

or service in terms of whether that

product or service has met their

needs and expectation”. Dengan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[6]

demikian kepuasan konsumen

merupakan perilaku yang terbentuk

terhadap barang atau jasa sebagai

pembelian produk tersebut.

Kepuasan konsumen sangat penting

karena akan berdampak pada

kelancaran bisnis atau perusahaan.

Pelanggan yang merasa puas pada

produk/jasa yang digunakannya akan

kembali menggunakan jasa/produk

yang ditawarkan. Hal ini akan

membangun kesetiaan pelanggan.

Kepuasan konsumen sendiri

diartikan sebagai suatu keadaan

dimana harapan konsumen terhadap

suatu produk sesuai dengan

kenyataan yang diterima tentang

kemampuan produk tersebut oleh

konsumen. Jika produk tersebut jauh

dibawah harapan konsumen maka ia

akan kecewa. Sebaliknya jika produk

tersebut memenuhi harapan

konsumen, maka ia akan senang.

Harapan konsumen dapat diketahui

dari pengalaman mereka sendiri saat

menggunakan produk tersebut,

omongan orang lain dan informasi

iklan.

Kepuasan merupakan nilai yang

dirasakan pelanggan waktu

mengadakan pembelian. Tujuan

pengukuran kepuasan pelanggan

untuk memberikan informasi, supaya

pelanggan menjadi loyal dan dapat

meningkatkan kinerja keseluruhan

suatu perusahaan (Sumarno dan

Agustiono, 2006). Pada prinsipnya

ada 3 (tiga) kunci dalam memberikan

kepuasan pelanggan yaitu

kemampuan memahami kebutuhan

dan keinginan pelanggan, termasuk

memahami tipe-tipe pelanggan.

Mengembangkan database yang

akurat tentang pelanggan termasuk

kebutuhan dan keinginan setiap

segmen pelanggan dan pemanfaatan

informasi yang didapat dari riset

pasar dalam kerangka pemasaran

strategik (Tjiptono, 1997). Langkah

awal sistem pengukuran yang

dipercaya adalah menentukan

kualitas pelayanan dan kepuasan

pelanggan, kemudian menghubung-

kannya dengan ukuran obyektif

kinerja. Untuk mempertahankan

kepuasan pelanggan, organisasi jasa

harus melakukan 4 (empat) hal yaitu

mengidentifikasi setiap pelanggan,

memahami tingkat harapan

pelanggan atas kualitas pelayanan,

memahami strategi kualitas

pelayanan pelanggan dan memahami

siklus pengukuran serta umpan balik

dari kepuasan pelanggan (Tjiptono,

1997).

Kepuasan pelanggan sangat

tergantung pada perasaan atau kesan

pelanggan terhadap suatu produk,

setelah membandingkannya dengan

produk lain (Kotler, 2002). Kepuasan

pelanggan dapat dibangun melalui

kualitas pelayanan dan nilai yang

terdapat dalam inti pelayanan

tersebut. Kualitas pelayanan dapat

diperoleh dari persepsi pelanggan

terhadap produk yang diterima,

sedangkan nilai dari keseluruhan

jumlah total yang ditangkap

pelanggan sebagai hal yang bermutu

(Kotler, 2002). Kepuasan pelanggan

adalah pusat sasaran konsep

pemasaran. Sehingga segala

perencanaan pemasaran dan program

suatu perusahaan bertujuan untuk

memuaskan pelanggan. Karena

pelanggan akan memperhatikan

kualitas pelayanan yang diberikan

perusahaan (Sumarno dan

Agustiono, 2006).

Menurut Irawan (2004), faktor-

faktor yang pendorong kepuasan

pelanggan adalah sebagai berikut:

(a). Kualitas produk, pelanggan puas

kalau setelah membeli dan

menggunakan produk tersebut

ternyata baik; (b). Harga, untuk

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[7]

pelanggan yang sensitif, biasanya

harga murah adalah sumber

kepuasan yang penting karena

pelanggan akan mendapatkan value

for money yang tinggi; (c). Service

quality, kepuasan terhadap kualitas

pelayanan biasanya sulit ditiru; (d).

Emotional factor, pelanggan akan

merasa puas (bangga) karena adanya

emotional value yang diberikan oleh

brand dari produk tersebut; (e).

Biaya dan kemudahan, pelanggan

akan semakin puas apabila relatif

mudah, nyaman dan efisien dalam

mendapatkan produk atau pelayanan.

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Hipotesis simultan pada

penelitian ini adalah: H0: Fasilitas

fisik dan fasilitas non fisik diduga

secara simultan tidak mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap

kepuasan pelanggan; Ha: Fasilitas

fisik dan fasilitas non fisik diduga

secara simultan mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap

kepuasan pelanggan.

Metode

Jenis penelitian yang digunakan

adalah penelitian korelasional.

Penelitian ini dilaksanakan dengan

tujuan mendeteksi sejauh mana

variasi-variasi pada suatu faktor

berkaitan atau berkorelasi dengan

satu atau lebih faktor lain

berdasarkan koefisien korelasi

(Sinulingga, 2011).

Populasi pada penelitian ini

adalah pembeli yang berbelanja di

Pasar JBBC Medan Johor selama

masa penelitian. Metode

pengambilan sampel yang digunakan

adalah metode non probability

sampling, dengan teknik

pengambilan sampel pada penelitian

ini dilakukan melalui accidental

sampling, yaitu sampel dipilih atas

dasar kemudahan, mudah dijangkau,

didatangi, ditemui.

Pada penelitian ini besar sampel

didasarkan pada rumus Slovin dalam

Umar (2005). 96 kuesioner

disebarkan di toko dan kios yang

berbeda di Pasar JBBC Medan Johor.

Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah purposive

sampling. Pengambilan sampel

dengan penentuan kriteria yang

dibuat oleh peneliti (Sugiyono,

2006). Pada penelitian ini, kriteria

yang ditetapkan adalah pelanggan di

Pasar JBBC Medan Johor untuk

kedua kalinya, dan pendidikan

minimal SMA dan berusia minimal

18 tahun. Pembeli tersebut telah

menjadi pelanggan dan minimal dua

kali berbelanja sehingga lebih

mengetahui kondisi Pasar JBBC

Medan Johor dibanding pembeli

yang baru pertama kali datang

berbelanja.

Analisis data menggunakan

analisis regresi berganda. Dalam

analisis regresi, selain mengukur

kekuatan hubungan antara dua

variabel atau lebih, juga melanjutkan

arah hubungan antara variabel terikat

dengan variabel bebas (Ghozali

2006).

Tabel 1. Koefisien Determinasi

Model R

R

Square

Adjusted

R Square

Std. Error

of the

Estimate

1 .677a .458 .452 .17292

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian ini menyajikan

tentang analisis koefisien determinasi

Fasilitas

Fisik (X1)

Fasilitas

Non Fisik (X2)

Kepuasan

Pelanggan (Y)

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[8]

dan koefisien korelasi, uji hipotesis

simultan, dan uji hipotesis parsial.

Pada tabel 1 nilai koefisien korelasi

sebesar 0,677 menunjukkan

hubungan erat antara variabel

kebersihan, kenyamanan, dan

fasilitas fisik terhadap kepuasan

pelanggan Pasar JBBC Medan Johor.

Jika nilai R diantara 0,6–0,79 maka

korelasi sangat erat (Situmorang dan

Lufti, 2012). Nilai koefisien

determinasi (R Square) sebesar

0,458. Artinya 45,8% kepuasan

pelanggan di Pasar JBBC Medan

Johor dipengaruhi oleh variabel

independen yakni kebersihan,

kenyamanan dan fasilitas fisik.

Sedangkan sisanya 54,2%

dipengaruhi oleh variabel lain.

Tabel 2. Nilai Fhitung

Model

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 5.390 3 1.347 15.060 .000a

Residual 1.615 92 .030

Total 7.004 95

a. Predictors: (Constant), Fasilitas Non Fisik, Fasilitas Fisik

b. Dependent Variable: Kep_Pelanggan

Berdasarkan hasil pada Tabel 2

diperoleh nilai Fhitung sebesar 15,060,

untuk menguji hipotesis secara

simultan maka harus diketahui nilai

Ftabel. Dengan menggunakan tingkat

keyakinan 95%, a=5%, df1 (jumlah

variabel-1) =4-1 = 3, kemudian df2

(n-k-1)= 89-3-1 = 85, diperoleh nilai

Ftabel melalui formula Microsoft

Excell 2010 =FINV(0.05,3,85) yang

menghasilkan angka 2.543. Nilai

Fhitung > Ftabel (15,060 > 2,712), maka

Ho ditolak dan menerima Ha.

Artinya secara simultan terdapat

pengaruh yang sangat signifikan

antara variabel kebersihan,

kenyamanan, dan fasilitas fisik

terhadap kepuasan pelanggan. Dalam

hal ini ketiga faktor tersebut

memberikan pengaruh yang sangat

signifikan terhadap kepuasan

pelanggan di Pasar JBBC Medan

Johor.

Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Parsial

Model

Unstandardized

Coefficients t Sig.

B Std.

Error

1 (Constant) .392 .233 1.683 .098

Fasilitas Fisik .178 .059 3.034 .004

Fasilitas Non Fisik .120 .086 3.401 .003

Dalam uji hipotesis parsial

terlebih dahulu ditentukan nilai ttabel

dengan derajat kebebasan (df) =n-k-1

atau df=89-4-1=85 (n adalah jumlah

responden dan k adalah jumlah

variabel independen). Dengan

menggunakan formula

“=TINV(0.05,85)” pada Microsoft

Excell 2010 diperoleh nilai ttabel

sebesar 1,988. Dari Tabel 6.10

didapat hasil thitung variabel

kebersihan (X1) sebesar 3.03416

kemudian variabel kenyamanan (X2)

sebesar 8.017 dan variabel fasilitas

fisik (X3) sebesar 1.401. Karena nilai

thitung dari semua variabel independen

lebih besar dari ttabel (thitung>1,988)

maka Ho ditolak dan Ha diterima,

artinya bahwa secara parsial ada

pengaruh secara signifikan antara

faktor fasilitas fisik terhadap

kepuasan pelanggan berbelanja di

Pasar JBBC Medan Johor.

Variabel yang memberikan

pengaruh paling dominan terhadap

kepuasan pelanggan berbelanja

adalah fasilitas fisik (X1) karena

memiliki nilai coefficient terbesar

yaitu sebesar 0.178. Sedangkan

variabel yang memberikan pengaruh

paling rendah adalah fasilitas non

fisik (X2) yang memiliki nilai

coefficient sebesar 0.120 .

Simpulan

Hasil penelitian ini

memperlihatkan bahwa fasilitas fisik

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[9]

dan fasilitas non fisik memberikan

pengaruh sebesar 45,8% terhadap

kepuasan pelanggan berbelanja di

Pasar JBBC Medan Johor Kota

Medan, sedangkan 54,2%

dipengaruhi faktor lain yang tidak

diteliti pada penelitian ini. Faktor

fasilitas fisik memberikan pengaruh

paling dominan terhadap kepuasan

pelanggan berbelanja di Pasar JBBC

Medan Johor. Berbagai fasilitas fisik

masih belum lengkap dan cenderung

tidak bersih.

Berdasarkan hasil penelitian ini

disarankan agar: PD Pasar Kota

Medan sebagai pengelola Pasar

JBBC Medan Johor akan secara

intensif melakukan pengawasan

terhadap kebersihan, kenyamanan

pasar ditambah penambahan fasilitas

fisik. Dalam meningkatkan kepuasan

pelanggan berbelanja di Pasar JBBC

Medan Johor, langkah-langkah yang

dilakukan PD Pasar Kota Medan

adalah: (1) Memasukkan klausul

dalam perjanjian atau kontrak sewa

pedagang terhadap ruko agar

pedagang menjual produk-produk

yang bersih dan memiliki kemasan

serta barang-barang dagangan

tersusun rapi; (2) Menertibkan para

pedagang yang tidak memilki izin

berjualan, sehingga area untuk

berjalan konsumen menjadi lebih

luas; (3) Menambah fasilitas kipas

angin atau pendingin ruangan di

kawasan Pasar JBBC Medan Johor

yang sirkulasi udaranya tidak baik;

dan (4) Setiap harinya melakukan

pengawasan terhadap petugas

kebersihan, agar tidak ada kawasan

yang kotor dan berbau tidak sedap.

Daftar Pustaka

Amri, S., dan Yoestini. (2011).

Analisis pengaruh, kebersihan

dan kenyamanan di pasar

tradisional terhadap perpindahan

berbelanja dari pasar tradisional

ke pasar modern di Kota

Semarang (Tesis master).

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Diponegoro,

Semarang.

Apriani. (2011). Analisis pengaruh

fasilitas, kualitas pelayanan dan

kepuasan pelanggan terhadap

minat mereferensikan (Tesis

master). Universitas Diponegoro

Semarang.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kota Medan (2013). Survey

Kepuasan Pelanggan Terhadap

Pasar Tradisional di Kota Medan

(Laporan survey). Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kota Medan, Medan.

Bhuono, A. N. (2005). Strategi jitu

memilih metode statistik

penelitian dengan SPSS.

Yogyakarta: Penerbit Andi.

Carpenito. (2006). Buku saku

diagnosis keperawatan. Jakarta:

EGC.

Ghozali, I. (2006). Aplikasi analisis

multivariate dengan program

SPSS 19. Semarang: Badan

Penerbit Universitas

Diponegoro.

Halim, D. K. (2008). psikologi

lingkungan perkotaan. Jakarta:

Sinar Grafika Offset.

Irawan, H. (2004). 10 faktor yang

mempengaruhi kepuasan

pelanggan. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Kautsari, A. R., Harisudin, M., dan

Utami, B. W. (2012). Analisis

perilaku konsumen dalam

pelanggan kacang mete di pasar

tradisional Kabupaten Wonogiri

(Skripsi Sarjana). Universitas

Sebelas Maret, Semarang.

Kotler, P. (2002). Manajemen

pemasaran. Jakarta:

Prenhallindo.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[10]

Kotler, P. (2005). Manajemen

pemasaran: Analisis,

implementasi dan pengendalian.

Jakarta: Salemba Empat.

Kotler, P., dan Amstrong, G. (2001).

Prinsip-prinsip pemasaran.

Jakarta: Erlangga.

Kuncoro, M. (2003). Metode riset

untuk bisnis dan ekonomi.

Jakarta: Erlangga.

Limanjaya, H., dan Wijaya, B.

(2006). Analisis faktor yang

mendorong tingkat perubahan

perilaku berbelanja konsumen

dari pasar tradisional ke Giant

Hypermarket Margarejo. Jurnal

Manajemen Pemasaran, 1(2),

11-20.

Lupiyoadi, R. (2006). Manajemen

pemasaran jasa: Teori dan

praktek. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat.

Priyatno, D. (2008). Mandiri belajar

SPSS untuk analisis data dan uji

Statistik. Jakarta: MediaKom.

Sinulingga, S. (2011). Metode

penelitian. Medan, USU Press.

Situmorang, S. H., dan Lufti, M.

(2012). Analisis data untuk riset

manajemen dan bisnis. Medan,

USU Press.

Sugiyono. (2006). Metode penelitian

bisnis. Bandung: Alfabeta.

Sumarwan, U. (2004). Perilaku

konsumen. Bogor: Ghalia.

Sugiyono. (2008). Metode penelitian

kuantitatif, kualitatif dan R dan

D. Bandung: Alfabeta.

Sukandi. (2010), Hubungan antara

fasilitas kampus terhadap

kepuasan mahasiswa dalam

menghadapi daya saing jasa

pendidikan (Tesis master).

Universitas Pendidikan

Indonesia, Bandung.

Sumarno, dan Agustiono, B. (2006).

Analisis pengaruh kualitas

pelayanan jasa terhadap

kepuasan dan loyalitas pasien

rawat inap di Rumah Sakit St.

Elisabeth Semarang. Jurnal

Eksplanasi, 1(1), 1-18.

Tjiptono, F. (1997). Manajemen jasa.

Yogyakarta, Penerbit Andi.

Umar, H. (2005). Strategic

management in action. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Yuliarsih, W. R. (2002). Higiene dan

sanitasi umum dan perhotelan.

Jakarta: Grasindo.

Yulyaningsih, N. (2010).

Perencanaan lanskap university

farm IPB Sindang Barang Kota

Bogor sebagai kebun agrowisata

(Skripsi Sarjana). Fakultas

Pertanian Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[11]

FACEBOOK KOMUNITAS BACKPACKER MEDAN DAN PROMOSI

PARIWISATA SUMATERA UTARA

1Eninta Yolanda G. Manik,

2Mazdalifah,

3Fatma Wardy Lubis

1Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara,

2, 3Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Surel: [email protected]

ABSTRACT

The objective of this research is to determine the role and the eminence of Medan

Backpacker Community’s Facebook in supporting tourism promotion in North

Sumatera. Method of the data collection was by observation, interview and

documentationThis qualitative research used the theory of computer mediated

communication and electronic word of mouth to answer the questions. Result of

the study shows that Facebook has excellent in ability as a medium for the

promotion of tourism. Facebook is the main mediated communication of Medan

Backpacker community. Facebook of Medan Backpacker was instrumental in

supporting the promotion of tourism in North Sumatra, especially tourist

attractions which have not been recognized by the public. Facebook is more

interactive as a tools of communication, provides collective and complete

information for tourist.

Keywords: Facebook, Tourism Promotion in North Sumatera.

Pendahuluan

Promosi pariwisata berbasis

digital dan teknologi melalui media

sosial merupakan salah satu bentuk

efisiensi. Sejumlah penelitian

akademik telah menemukan adanya

dampak dan peran media sosial

dalam mempengaruhi keputusan

pengguna yang berkaitan dengan

perjalanan wisata. Bizirgiannia dan

Dionysopoulob (2013) menyatakan

bahwa 89% wisatawan menggunakan

internet sebagai sumber informasi

dalam merencanakan perjalanan

wisatanya. Selanjutnya, Fotis,

Buhalis, dan Rossides (2011)

menjelaskan bahwa media sosial

telah mengubah cara pengguna

internet online dari Rusia dan bekas

Republik Uni Soviet lainnya dalam

membuat rencana liburan mereka.

Selain itu, Tussyadiah, Park, dan

Fesenmaier (2011) menjelaskan

bahwa konten yang dibuat pengguna

dalam media sosial membantu

pengguna lainnya mendapatkan

informasi tentang suatu objek wisata.

Koherensi dalam konten tersebut

kemudian menghasilkan motivasi

yang lebih tinggi serta kesesuaian

hati bagi pengguna dalam

menentukan tujuan wisata. Hal ini

ditegaskan pula oleh Milanoa,

Baggioc, dan Piattellib (2011) dalam

penelitian mereka yang menyatakan

bahwa saat ini wisatawan cenderung

lebih mempercayai testimoni antar

wisatawan sendiri daripada iklan dan

promosi tempat wisata dalam

website yang dikelola oleh travel

agent maupun pemerintah.

Promosi sangat penting untuk

menyebarkan informasi pariwisata

Indonesia ke seluruh dunia. Promosi

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[12]

pariwisata bertujuan untuk mencapai

target wisatawan 20 (dua puluh) juta

orang pada tahun 2019. Menteri

Pariwisata Republik Indonesia, Arief

Yahya menyampaikan bahwa

Kementerian Pariwisata akan

„menggenjot‟ promosi pariwisata

melalui media sosial

(www.tempo.co).

Komunikasi merupakan elemen

penting dalam kegiatan promosi,

karena promosi adalah aktivitas

komunikasi antara individu ke

individu lainnya. Pan, MacLaurin,

dan Crotts (2007) menemukan fakta

bahwa berbagi pengalaman hidup

dan interaksi sosial adalah dua faktor

utama yang memotivasi pengguna

media sosial menghasilkan konten

yang dibuat oleh pengguna. Interaksi

sosial melalui konten yang dibuat

pengguna dalam media sosial

menjadikan sektor pariwisata

berkembang sebagai kebutuhan

primer bagi masyarakat.

Internet sebagai salah satu media

baru (new media) merupakan sebuah

fenomena dunia yang telah

berkembang menjadi sebuah medium

pencarian dan penyebaran informasi

bagi masyarakat yang memiliki akses

terhadap jaringan komputer global

tersebut dimanapun mereka berada.

Internet memberikan dampak

potensial terhadap individu,

organisasi, dan masyarakat di seluruh

disiplin ilmu. Internet telah

berkembang menjadi ranah virtual

tempat para penggunanya saling

berkomunikasi dan berinteraksi

melalui media komputer.

Perkembangan tersebut pada

akhirnya membentuk komunitas-

komunitas yang saling

berkomunikasi untuk bertukar

pikiran dan pendapat, melakukan

sharing pengalaman, membuat

rencana perjalanan wisata, diskusi

intelektual, berdagang serta berbagai

hal lainnya.

Facebook masih menjadi jejaring

sosial favorit di dunia. Indonesia

merupakan salah satu negara dengan

pengguna jejaring sosial terbesar di

dunia. Kementerian Komunikasi dan

Informatika Republik Indonesia

melansir data pengguna internet di

Indonesia saat ini mencapai 63 juta

orang. 95% dari pengguna tersebut

menggunakan internet untuk

mengakses jejaring sosial, dan

jejaring sosial yang paling banyak

diakses adalah Facebook. Indonesia

menempati peringkat ke-4 pengguna

Facebook terbesar setelah Amerika

Serikat, Brazil dan India

(Agustiningsih dan Anindhita, 2014).

Hal ini merupakan peluang bagi

sektor pariwisata untuk

memanfaatkan Facebook sebagai

sarana promosi.

Kelengkapan fitur dan fasilitas

yang disediakan Facebook

memberikan berbagai manfaat bagi

manusia dalam menjalin interaksi

sosialnya. Informasi yang

ditampilkan Facebook umumnya

merupakan data personality yang

dibuat dengan benar. Facebook juga

dilengkapi dengan fasilitas privacy

setting yang membuat pengguna

yakin terhadap keamanan

penggunaan dan akses informasi di

dalamnya (Putra, 2014).

Peran facebook dalam

mendukung promosi pariwisata telah

terbukti. Mark Zuckerberg (pejabat

eksekutif tertinggi Facebook)

mengunggah foto dirinya saat

menikmati matahari terbit di Candi

Borobudur pada 12 Oktober 2014 ke

akun Facebook miliknya. Foto

tersebut mendapatkan banyak

komentar positif dan telah

memperkuat promosi wisata

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[13]

“Borobudur sunrise” (m.liputan6.

com/news/read/211801).

Backpacker Medan merupakan

salah satu komunitas yang peduli

terhadap pengembangan pariwisata

di Provinsi Sumatera Utara.

Beranggotakan masyarakat pecinta

jalan-jalan yang berdomisili di Kota

Medan, komunitas ini memiliki visi

“meningkatkan kecintaan terhadap

tanah air” dan 3 (tiga) misi yaitu: (i)

melakukan trip ke tempat-tempat

wisata yang ada di Indonesia, (ii)

menjadi tuan rumah bagi semua

wisatawan yang akan berkunjung ke

Sumatera Utara, dan (iii) melakukan

kegiatan kemanusiaan, berbagi

kebahagiaan kepada masyarakat

yang tidak mampu

(www.facebook.com).

Komunitas ini dikenal melalui

akun grup Facebook Backpacker

Medan dengan jumlah anggota

sebanyak 9667 (sembilan ribu enam

ratus enam puluh tujuh) akun per

tanggal 14 April 2015. Facebook

Backpacker Medan dirilis sejak

tahun 2011, dan telah menampilkan

ribuan unggahan yang terdiri dari

foto maupun video perjalanan wisata

komunitas Backpacker Medan, foto

objek wisata lainnya di Sumatera

Utara, foto kegiatan sosial di

masyarakat serta rutinitas pertemuan

pada hari rabu di setiap minggunya,

informasi yang berkaitan dengan

kegiatan pariwisata, maupun

pertukaran informasi terkait

perjalanan wisata. Akun grup

Facebook yang bersifat terbuka

untuk umum ini, menjadi wadah

silaturahmi bagi para pecinta wisata

khususnya yang berdomisili di kota

Medan, yang awalnya tidak saling

mengenal hingga menjadi satu

keluarga Backpacker

(www.facebook.com).

Komunitas Backpacker Medan

telah berupaya mempromosikan

potensi wisata di Sumatera Utara

melalui penyebaran informasi dalam

akun facebook. Konten yang

diunggah oleh pengguna akun

facebook komunitas Backpacker

Medan secara tidak langsung telah

memperkenalkan objek wisata yang

ada di Sumatera Utara, bahkan yang

belum pernah dipublikasikan oleh

pemerintah setempat maupun yang

belum dikenal oleh masyarakat.

Fenomena penggunaan facebook

oleh komunitas Backpacker Medan,

merupakan salah satu bukti bahwa

jejaring sosial tersebut mendukung

promosi pariwisata. Facebook

merupakan media yang menjadikan

Backpacker Medan dapat terlibat

secara langsung mempromosikan

pariwisata Sumatera Utara.

Pengguna aktif facebook sangat

banyak jumlahnya di Indonesia,

sehingga aktivitas penggunaan yang

cenderung tinggi akan memberikan

nilai positif bagi kegiatan promosi

pariwisata Indonesia. Berdasarkan

fenomena di atas, penelitian ini

bermaksud mengkaji bagaimana

peran facebook Komunitas

Backpacker Medan dalam

mendukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara.

Tinjauan Pustaka

Computer Mediated Communi-

cation (CMC). Computer mediated

communication adalah komunikasi

antara individu yang terjadi melalui

komputer misalnya e-mail, chat

room, pesan singkat, dan permainan

video (DeVito, 2013). Komunikasi

interpersonal sering berlangsung

melalui beberapa jenis jaringan

komputer yakni melalui short

message service, e-mail, unggahan

facebook, telepon maupun tweeting.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[14]

Bentuk komunikasi melalui jaringan

komputer adalah synchronous dan

asynchronous. Boorgon et al.

menjelaskan bahwa teknologi

komunikasi baru membuka arena

baru untuk komunikasi, tetapi juga

membawa potensi risiko dari

kesalahpahaman, ketidakpercayaan,

dan keputusan yang buruk apabila

mengabaikan perbedaan tujuan,

kasus, dan tingkat hubungan

interpersonal (Bubas, 2001).

Walther (2006) menjelaskan

bahwa dalam computer mediated

communication, tanda-tanda

nonverbal menyaring informasi

interpersonal yang dikirim dan

diterima. Kontak fisik, ekspresi

wajar, nada suara, jarak

interpersonal, posisi tubuh,

penampilan, isyarat, sentuhan, dan

bau tidak ada di dalam komunikasi

ini. Extended time juga dianggap

penting dalam computer mediated

communication. Walther (2006) juga

mengatakan bahwa rentang waktu

dimana pengguna computer mediated

communication mengirim pesan-

pesan mereka menjadi faktor kunci

yang menentukan keberhasilan pesan

menjangkau tingkat keintiman atau

keakraban seperti yang terjalin dalam

komunikasi tatap muka. Oleh sebab

itu kemudian disarankan untuk

mengirimkan pesan lebih sering

dalam berkomunikasi secara online.

Analisis komunikasi face to face

telah menguraikan banyak kualitas

yang absen di sebagian besar

interaksi computer mediated

communication, yaitu: (1) saluran

komunikasi nonverbal audio dan

visual tidak diaktifkan dalam

computer mediated communication;

(2) nilai keeratan hubungan lebih

sedikit dalam computer mediated

communication karena sifatnya yang

asynchronous dan kurangnya isyarat

nonverbal; (3) tidak terdapat

informasi tentang gambaran fisik

maupun anonimitas komunikator

dalam computer mediated commu-

nication; (4) informasi yang

berkaitan dengan latar belakang

budaya dan etnis, status sosial, jenis

kelamin, dan usia dapat

disembunyikan atau tidak diketahui

dalam computer mediated communi-

cation; (5) kehadiran sosial dari

penerima pesan berkurang dalam

computer mediated communication,

dan hal ini memfasilitasi perasaan

yang tidak lazim misalnya malu dan

berseri-seri atau lain sebagainya

(Bubas, 2001).

Promosi. Promosi menurut Tjiptono

(Prisgunanto, 2014) adalah suatu

bentuk kreativitas pemasaran yang

berusaha menyebarkan informasi,

mempengaruhi atau membujuk, dan

atau mengingatkan pasar sasaran atas

perusahaan dan produknya yang

ditawarkan perusahaan yang

bersangkutan. Promosi merupakan

salah satu variabel integrated

marketing communication yang

digunakan oleh perusahaan untuk

mengadakan komunikasi dengan

pasarnya, dengan tujuan untuk

memberitahukan bahwa suatu produk

itu ada dan memperkenalkan produk

serta memberikan keyakinan akan

manfaat produk tersebut kepada

pembeli atau calon pembeli

(Rangkuti, 2009).

Keberadaan internet yang

menghadirkan era digital menyebab-

kan manusia memiliki pola

komunikasi yang baru melalui media

(computer mediated communication)

yang mengesampingkan pentingnya

tatap muka secara langsung. Pola

komunikasi computer mediated

communication ini menyebabkan

informasi dengan lebih cepat

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[15]

menyebar melalui media sosial. Hal

ini memungkinkan masyarakat

informasi tidak lagi pasif dalam

pencarian informasi, sebaliknya

menjadi reaktif, interaktif, sangat

cerdas dan penuh pertimbangan yang

matang dalam melihat sebuah produk

dan jasa sebelum melakukan

pembelian.

Media sosial menyediakan

saluran baru untuk produksi dan

sirkulasi makna dalam menjelaskan

imajinasi akan pengalaman wisata

(Munar dan Jacobsen, 2014). Hal ini

menjadikan media sosial semakin

relevan sebagai bagian dari media

pemasaran kegiatan pariwisata yang

mempengaruhi pemilihan tujuan

wisata dan bisnis di bidang

pariwisata. Aktivitas dalam media

sosial menimbulkan artikulasi

berharga dari interaksi dan dukungan

emosional yang menjadi pertimbang-

an dasar dalam pengambilan

keputusan saat merencanakan

kegiatan wisata.

Facebook adalah sebuah situs

jejaring sosial yang dipakai manusia

untuk berinteraksi dengan manusia

lain dengan jarak jauh (Putra, 2014).

Facebook merupakan salah satu

media sosial yang memungkinkan

seseorang dapat bertemu kembali

dengan teman-teman lama,

membangun silaturahmi yang dahulu

sempat terputus dan dapat

berkomunikasi dengan lancar

walaupun berjauhan. Facebook juga

sebagai media promosi online yang

mempermudah seseorang mem-

promosikan barang dagangannya

karena banyaknya pengguna. Selain

itu Facebook juga sebagai tempat

diskusi yang tepat. Komentar yang

ditulis seseorang secara bebas, akan

direspon oleh orang lain, sehingga

jejaring sosial ini dapat dijadikan

sebagai ajang tukar pikiran yang

baik. Hal ini sangat menarik sebab di

satu sisi masyarakat jadi lebih mudah

berkomunikasi jarak jauh, tapi juga

mulai menggerogoti interaksi sosial

masyarakat sebab mereka mulai

lebih cenderung berinteraksi di dunia

virtual daripada bertemu bertatap

muka.

Electronic Word of Mouth. Arndt

(Erkan dan Evans, 2014) menuliskan

pengertian word of mouth sebagai

komunikasi di antara orang per

orang, dimana orang menerima pesan

non-komersial mengenai merk,

produk maupun jasa. Word of mouth

dengan kata lain diartikan sebagai

aktivitas berbagi maupun pertukaran

informasi tentang pengalaman

mengkonsumsi suatu merk, produk

ataupun jasa. Literatur tentang word

of mouth memfokuskan perhatiannya

kepada perbedaan dari word of

mouth dengan teknik pemasaran

lainnya.

Penyebaran word of mouth tidak

melakukan penyebaran seperti

halnya iklan, tetapi komunikasi ini

sangatlah efektif, karena pada

dasarnya manusia selalu melakukan

komunikasi atau berbicara dengan

kelompoknya, yang pada dasarnya

memiliki kesamaan. Word of mouth

ini memiliki pengaruh di dalam

melakukan pemasaran suatu produk

atau jasa. Smith (Gurning, 2014)

menuliskan bahwa yang paling

berpengaruh di dalam word of mouth

adalah adanya pengalaman pribadi

akan suatu perusahaan produk atau

jasa atau juga pelayanannya.

Bentuk struktur alami word of

mouth mampu meninjau ulang

kondisi sebenarnya dan informasi

tentang produk dan jasa, oleh karena

itu, word of mouth betul-betul

dipertimbangkan oleh konsumen

sebagai cara yang sangat efektif

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[16]

untuk mengurangi perasaan beresiko

saat menerima informasi tentang

suatu produk (Erkan dan Evans,

2014). Konsumen dapat melakukan

word of mouth saat offline maupun

online, dengan demikian word of

mouth dibagi menjadi dua kategori

yaitu, offline word dan electronic

word of mouth.

Electronic word of mouth saat ini

memiliki perbedaan dengan word of

mouth tradisional. Perbedaan

tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut: (1) pada word of mouth

pertukaran informasi terjadi secara

langsung (face to face), namun pada

electronic word of mouth pertukaran

informasi alami terjadi secara

elektronik tanpa adanya pertemuan

langsung; (2) pada word of mouth

pemberi informasi memberikan

informasi kepada penerima yang

mencari tahu tentang informasi yang

dibutuhkan serta memiliki perhatian

pada informasi tersebut, namun pada

electronic word of mouth pemberi

informasi memberikan rujukan

informasi kepada seluruh penerima,

baik yang mencari informasi tersebut

maupun yang tidak mencari

informasi tersebut (Sari, 2012).

Keller dalam penelitiannya pada

tahun 2007 menyimpulkan bahwa

informasi tentang pembuat konten di

media sosial yang tidak lengkap

(anonimitas), dipertimbangkan

sebagai kelemahan dari electronic

word of mouth. Namun kehadiran

media sosial menjadikan electronic

word of mouth tidak hanya terjadi di

antara orang yang saling tidak

mengenal, tetapi juga terjadi di

antara orang-orang yang sebelumnya

sudah saling mengenal (Erkan dan

Evans, 2014). Selanjutnya, para

peneliti mulai menemukan kekuatan

dan kelemahan dari fenomena

komunikasi electronic word of mouth

tersebut. Meskipun electronic word

of mouth lemah karena ketiadaan

pertemuan langsung (face to face),

electronic word of mouth lebih kuat

karena responnya yang bersifat

segera dan dapat diakses oleh semua

orang (Thurau, T.H., Gwinner, K.P.,

Walsh, G., dan Gremler, D.D, 2004).

Electronic word of mouth

dikatakan lebih efektif karena

informasinya yang lebih reliabel.

Orang yang menerima rekomendasi

berdasarkan komunikasi electronic

word of mouth cenderung lebih yakin

bahwa pemberi rekomendasi

berbicara jujur dan tidak memiliki

motif tersembunyi (Christy dan Lee,

2010). Sebagian besar orang

cenderung lebih percaya pada

pemasaran electronic word of mouth

dibandingkan metode promosi

lainnya yang sifatnya lebih formal.

Jenis komunikasi dengan pesan non-

komersial ini memiliki tingkat

persuasif yang lebih tinggi dengan

kepercayaan dan kredibilitas yang

tinggi pula (Jalilvand, 2012).

Komunikasi electronic word of

mouth dapat dilakukan dengan

berbagai cara seperti media opini

berbasis web, forum diskusi online,

boycott website, grup berita online

(Thurau, et al., 2004).

Metode

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif menekankan pada makna

dan pemahaman dari dalam,

penalaran, definisi suatu situasi

tertentu (dalam konteks tertentu),

lebih banyak meneliti hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan

sehari-hari. Penelitian kualitatif lebih

menekankan pada penggunaan diri si

peneliti sebagai instrumen. Lincoln

dan Guba (1985) mengemukakan

bahwa dalam pendekatan kualitatif,

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[17]

peneliti seyogianya memanfaatkan

diri sebagai instrumen, karena

instrumen non manusia sulit

digunakan secara luwes untuk

menangkap berbagai realitas dan

interaksi yang terjadi (Mulyadi,

2012).

Peneliti menggunakan pende-

katan kualitatif ini karena peneliti

merasa tidak memiliki informasi

yang memadai terhadap objek yang

diteliti, yaitu peran facebook

komunitas Backpacker Medan dalam

mendukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara. Informasi yang

dibutuhkan tersebut merupakan

realita dan keberadaannya merupa-

kan besaran yang dapat diukur.

Melalui pengamatan dan wawancara,

peneliti akan memperoleh informasi

terkait peran facebook komunitas

Backpacker Medan dalam

mendukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara. Peneliti dalam

paradigma ini meyakini bahwa

variabel yang ingin diamati tersebut,

merupakan sesuatu yang telah ada di

dunia, dalam hal ini ada dalam akun

facebook komunitas Backpacker

Medan.

Subjek penelitian ini adalah akun

facebook komunitas Backpacker

Medan. Informan dalam penelitian

ini adalah anggota komunitas

Backpacker Medan. Metode

pengumpulan data dilakukan melalui

observasi terhadap konten akun grup

facebook komunitas Backpacker

Medan dan aktivitas komunitas

Backpacker Medan. Data pendukung

lainnya diperoleh melalui wawancara

terhadap kelima informan utama

yang merupakan bagian dari

komunitas Backpacker Medan, serta

dokumentasi terhadap peristiwa

lampau yang terkait dengan fokus

penelitian ini.

Analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini menggunakan

analisis deskriptif kualitatif.

Penekanannya pada deskriptif

menyebabkan format deskriptif

kualitatif lebih banyak menganalisis

permukaan data, hanya memper-

hatikan proses-proses kejadian suatu

fenomena (Bungin, 2007). Analisis

data dimulai berdasarkan hasil

pengamatan, didukung dengan hasil

wawancara terhadap informan, yaitu

seseorang yang benar-benar

memahami dan mengetahui situasi

subjek penelitian. Setelah melakukan

wawancara, analisis data dimulai

dengan membuat transkrip hasil

wawancara, mendengarkan dengan

seksama, kemudian menuliskan kata-

kata yang didengar sesuai dengan

apa yang ada di rekaman tersebut.

Upaya interpretasi data dilakukan

peneliti dengan membangun

deskripsi keseluruhan dari hasil

wawancara dengan informan pene-

litian, serta dokumentasi terhadap

aktivitas facebook komunitas

Backpacker Medan.

Informan tambahan dibutuhkan

untuk melakukan triangulasi data.

Informan tambahan penelitian ini

adalah 2 (dua) orang pengusaha/

pekerja di bidang trip organizer yang

juga bergabung dalam akun

Facebook Backpacker Medan, yaitu

Fitri Girsang mewakili PT. Enous

Tour, dan Eko Suryo dari Pariwisata

Sumut. Selain itu, Kepala Bidang

Pemasaran Dinas Budaya dan

Pariwisata Provinsi Sumatera Utara,

Muchlis Muchus Nasution mewakili

pihak pemerintah juga akan menjadi

informan tambahan dalam penelitian

ini.

Hasil dan Pembahasan

Global merupakan salah satu dari

8 (delapan) sifat yang dimiliki oleh

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[18]

media baru (Prajanto et.al, 2012),

dimana konten media mengalir

melintasi batasan negara, serta

masyarakat menyebarkan jaringan

komunikasi baru untuk berinteraksi

dengan orang lain di seluruh dunia.

Facebook Backpacker Medan yang

pengaturannya bersifat „public

group‟ membuat semua orang dapat

mengakses informasi dan menye-

barkan kepada jaringannya. Apa

yang dikomunikasikan di dalam

kedua jejaring sosial tersebut

memberikan efek kekuatan tersendiri

karena akses pembangunannya

berupa teknologi dan juga „berbagai

media interaksi‟ yang dikomuni-

kasikan dengan teks, gambar, foto,

audio juga video (Juju dan Sulianta,

2010). Hal ini memampukan

facebook mengubah cara kita

memandang diri kita dan tempat kita

hidup di dunia melalui informasi

yang disebarkan di dalamnya.

Backpacker Medan pada

mulanya terbentuk dan berkembang

melalui jejaring sosial facebook.

Wilson dalam penelitiannya

menuliskan paling tidak ada tiga

karakteristik dari komunitas di dunia

virtual, yang membedakannya

dengan komunitas tatap muka, yaitu:

(1) liberty, kebebasan dari kondisi

sosial geografis yang membatasi

identitas yang melekat pada diri

seseorang; (2) equality, penghilangan

hierarki yang berhubungan dengan

identitas yang melekat, sehingga

anggota komunitas dapat terbuka

terhadap segala hal; dan (3)

fraternity, hubungan yang terbentuk

antar anggota dalam komunitas

tersebut (Sugihartati, 2014).

DeVito (2013) telah menguraikan

kelebihan yang dimiliki oleh

komunikasi bermedia komputer bila

dibandingkan dengan komunikasi

tatap muka, diantaranya anonimitas

dalam pengungkapan diri dan

manajemen kesan sangat mudah

karena karakteristik pribadi akan

terungkap apabila ingin diungkap.

Kesempatan untuk berbicara tidak

terbatas, dan kompetisi giliran

berbicara sebagaimana saat komu-

nikasi tatap muka tidak terjadi dalam

komunikasi bermedia komputer.

Penerima pesan dalam komunikasi

bermedia komputer hampir tak

terbatas, karena pesan dapat diambil

oleh orang lain atau diteruskan

kepada pihak ketiga bahkan ribuan

pihak lainnya. Kesempatan dalam

berinteraksi tidak terbatas. Kesan

dalam komunikasi bermedia

didasarkan pada teks pesan dan

unggahan foto maupun video. Hal ini

lah yang menjadi kekuatan

komunikasi bermedia komputer,

meskipun pertemuan secara tatap

muka jarang dilakukan.

Kekuatan computer mediated

communication didukung pula oleh

pernyataan Olaniran (1994) bahwa

dalam beberapa kasus computer

mediated communication lebih

bermanfaat daripada komunikasi face

to face, tetapi computer mediated

communication akan sangat efektif

jika dikombinasikan dengan

komunikasi face to face (Bubas,

2001). „Kopdar‟ merupakan saat

dimana sebagian kecil dari

komunitas backpacker Medan dapat

bertemu dan komunikasi secara

langsung. Meskipun hanya

dilaksanakan 1 (satu) kali dalam

seminggu, kedekatan hubungan yang

terjalin di antara anggota komunitas

tersebut terjalin erat karena

komunikasi yang intensif melalui

facebook.

Pesan yang disampaikan dalam

media sosial bersifat bebas, tanpa

harus melalui suatu gatekeeper

(Cahyani, 2014). Pesan maupun

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[19]

informasi yang dimuat dalam konten

yang diunggah pengguna dalam

Facebook Backpacker Medan adalah

murni hasil pemikiran dan

berdasarkan pengalaman anggota

komunitas tersebut maupun akun

pengguna lainnya yang bergabung di

dalam jejaring sosial itu saat

berwisata di Sumatera Utara. Tidak

adanya intervensi maupun tujuan

tertentu selain ingin memper-

kenalkan objek wisata Sumatera

Utara kepada masyarakat luas, akun

pengguna yang bergabung dalam

kedua jejaring sosial komunitas

backpacker Medan ini secara tidak

langsung telah mendukung promosi

pariwisata di Sumatera Utara.

Konten yang diunggah dalam

akun grup Facebook Backpacker

Medan telah dikategorikan ke dalam

8 (delapan) jenis, yaitu (1) sapaan

perkenalan oleh anggota baru; (2)

ajakan trip; (3) informasi tentang

lokasi wisata baru; (4) feedback; (5)

ajakan „kopdar‟ maupun kegiatan

sosial; (6) pertanyaan tentang

informasi wisata di Sumatera Utara;

(7) unggahan foto; (8) share

informasi tentang pariwisata. Konten

tersebut diperoleh dari hasil

pengamatan terhadap akun grup

facebook backpacker Medan sampai

dengan aktivitas di tanggal 19 Juni

2013, sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Konten Akun Grup

Facebook Backpacker Medan

Konten/Tahun 2013 2014 2015 Total

A 182 93 11 286

B 81 69 18 168

C 39 34 11 84

D 217 210 78 505

E 234 192 53 479

F 303 206 54 563

G 224 120 92 436

H 191 140 44 375

Jumlah 1471 1064 361 2896

Sumber: www.facebook.com/groups/Backpackermedan

Temuan penelitian telah

memperlihatkan keragaman konten

yang mewarnai akun grup Facebook

Backpacker Medan dari tahun 2013

hingga tahun 2015. Keragaman

konten yang diunggah di setiap tahun

menggambarkan alur aktivitas

Backpacker Medan dalam

mewujudkan visi dan misinya.

Konten pertanyaan tentang

informasi wisata di Sumatera Utara

merupakan unggahan terbanyak

selama semester 2 (Juni hingga

Desember) tahun 2013. Feedback

pada tahun 2014 mendominasi akun

grup Facebook Backpacker Medan.

Semester 1 tahun 2015 (Januari

hingga Juni), unggahan foto

merupakan konten yang paling

banyak ditemukan dalam akun grup

Facebook Backpacker Medan.

Secara keseluruhan dari hasil

pengamatan, konten yang paling

banyak ditemukan dalam akun grup

Facebook Backpacker Medan secara

berurutan yaitu (1) pertanyaan

tentang informasi wisata di Sumatera

Utara; (2) feedback; (3) ajakan

„kopdar‟ maupun kegiatan sosial.

Alur aktivitas akun grup

Facebook Backpacker Medan

menunjukkan bahwa pada tahun

2013, aktivitas backpacker Medan

lebih sering memberikan informasi

kepada wisatawan yang ingin

mengeksplorasi Sumatera Utara. Hal

ini berlangsung hingga tahun 2014,

dimana feedback dari wisatawan

mendominasi konten dalam facebook

backpacker Medan. Konten files

(informasi wisata Sumatera Utara)

dan album foto trip yang diunggah

dalam facebook juga sangat

bermanfaat bagi siapa saja yang

ingin mengeksplorasi wisata di

Sumatera Utara. Keseluruhan konten

yang terdapat dalam Facebook

Backpacker Medan tersebut dapat

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[20]

menjadi informasi yang sangat

berguna bagi penyusunan kebijakan

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

untuk mengembangkan sektor

pariwisata.

Hadirnya media baru dalam

komunikasi memungkinkan sese-

orang melakukan aktivitas

komunikasi dan menjalin hubungan

tanpa terjadinya pertemuan secara

langsung atau tatap muka (Triyono,

2011). Pengaruh sosial yang muncul

akibat interaksi dalam komunitas

Backpacker Medan melalui

facebook, telah memicu munculnya

komunitas-komunitas baru yang

memiliki minat yang sama dengan

Backpacker Medan.

Beberapa bentuk komunikasi

melalui jaringan komputer tersebut

adalah synchronous dan

asynchronous (DeVito, 2013).

Synchronous adalah bentuk

komunikasi melalui media komputer

yang dapat dilakukan dalam waktu

yang bersamaan. Contohnya adalah

interaksi di antara akun pengguna

dalam Facebook Backpacker Medan

dalam memberi komentar pada

konten yang diunggah, maupun

melalui fitur chat. Respon yang

diberikan pada saat yang bersamaan

merupakan bentuk komunikasi

synchronous melalui jaringan

komputer. Bentuk komunikasi

lainnya melalui jaringan komputer

juga bersifat asynchronous, dimana

komunikasi yang terjadi tidak dalam

waktu yang bersamaan. Komunikasi

asynchronous ini terjadi ketika

konten yang diunggah pengguna

dalam kedua jejaring sosial tersebut

baru mendapatkan respon beberapa

waktu lamanya atau dapat dikatakan

tidak secara langsung mendapatkan

respon pada waktu yang bersamaan.

Van Dijk (Hapsari, 2014)

menegaskan bahwa media baru

memiliki kemampuan menyimpan

data yang memungkinkan

komunikasi asynchronous (tidak

bergantung pada waktu) “realtime”

(waktu yang sesuai saat kejadian).

Barnes (Griffin, 2012)

menjelaskan bahwa computer

mediated communication mencakup

teknologi yang memfasilitasi

komunikasi dan sharing informasi

secara interaktif melalui jaringan

komputer, seperti email, discussion

groups, newsgroup, chat, instant

message, dan halaman web.

Computer mediated communication

dapat mendukung komunikasi

interpersonal dari satu orang ke

banyak penerima pesan yang lain

dengan menggunakan saluran

komunikasi yang potensial.

Facebook merupakan media

komunikasi yang utama bagi

komunitas Backpacker Medan.

Facebook memberikan ruang

komunikasi yang memudarkan jarak

dan waktu bagi komunitas karena

keterbatasan mereka untuk bertemu

secara langsung. Komunikasi intensif

dan interaktif yang terjalin melalui

facebook menjadikan komunitas ini

bertahan sejak awal terbentuk, dan

sejalan dalam mewujudkan visi misi

mereka.

Informasi yang diunggah dalam

facebook komunitas Backpacker

Medan merupakan akivitas yang

terbaru dari komunitas tersebut. Hal

ini menjadi daya tarik tersendiri bagi

akun pengguna lainnya. Teknik dan

tata cara baru dalam penyampaian

dan pertukaran pesan, yang benar-

benar mengedepankan prinsip

newness merupakan salah satu

kelebihan dari new media

(Sugihartati, 2014). Harapannya

adalah pertukaran informasi wisata

yang terjadi dalam komunikasi

melalui Facebook Backpacker

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[21]

Medan akan menjadi daya tarik besar

bagi masyarakat untuk semakin

sering mengakses kedua jejaring

sosial tersebut untuk mengetahui

lebih banyak tentang informasi

pariwisata di Sumatera Utara.

Konten album foto, files dalam

facebook telah menyajikan informasi

secara online dalam rentang yang

sangat luas sehingga informasi pesan

yang disampaikan dapat dimaknai

dengan mudah dalam perspektif yang

telah disaring melalui tampilan foto,

dan ketahanan informasi bersifat

permanen. Hal ini ditegaskan oleh

DeVito (2013) bahwa pesan verbal

dan nonverbal dalam komunikasi

bermedia adalah berupa kata, foto,

video, dan pesan audio serta

ketahanan pesan tersebut relatif

bersifat permanen. Pesan relatif

bersifat permanen dalam artian bisa

dilihat kapan saja tanpa ada batasan

waktu.

Pesan yang disampaikan melalui

media sosial cenderung lebih cepat

dibandingkan media lainnya

(Cahyani, 2014). Keberadaan akun

Facebook Backpacker Medan

menyebabkan masyarakat memiliki

kecenderungan intensif melakukan

pola komunikasi bermedia komputer.

Hal ini menunjukkan kecenderungan

masyarakat informasi tidak lagi pasif

dalam pencarian informasi,

sebaliknya menjadi reaktif, interaktif,

sangat cerdas dan penuh

pertimbangan yang matang dalam

melihat sebuah produk dan jasa

sebelum melakukan pembelian

(Prisgunanto, 2014). Oleh sebab itu,

pengemasan konten yang benar dan

menarik sebagai informasi wisata

merupakan faktor yang sangat

penting dalam penggunaan facebook

komunitas Backpacker Medan untuk

mendukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara. Harapannya adalah,

informasi yang benar dan menarik

dalam kedua akun jejaring sosial

komunitas tersebut akan mening-

katkan jumlah wisatawan di

Sumatera Utara.

Pertukaran informasi alami

secara online tanpa adanya

pertemuan langsung terjadi pada

Facebook komunitas Backpacker

Medan, selain itu pemberi informasi

memberikan rujukan informasi

kepada seluruh penerima, baik yang

mencari informasi tersebut maupun

yang tidak mencari informasi

tersebut (Sari, 2012). Orang yang

menerima rekomendasi berdasarkan

komunikasi electronic word of mouth

cenderung lebih yakin bahwa

pemberi rekomendasi berbicara jujur

dan tidak memiliki motif

tersembunyi (Christy dan Lee, 2010).

Kesamaan minat menjadikan

komunitas Backpacker Medan

bersedia memberikan informasi yang

benar secara rinci tentang objek-

objek wisata yang ada di Sumatera

Utara. Jenis komunikasi dengan

pesan non-komersial ini memiliki

tingkat persuasif yang lebih tinggi

dengan kepercayaan dan kredibilitas

yang tinggi pula (Jalilvand, 2012).

Saat ini, kehadiran media sosial

menjadikan electronic word of mouth

tidak hanya terjadi di antara orang

yang saling tidak mengenal, tetapi

juga terjadi di antara orang-orang

yang sebelumnya sudah saling

mengenal (Erkan dan Evans, 2014).

Meskipun electronic word of mouth

lemah karena ketiadaan pertemuan

langsung (face to face), electronic

word of mouth lebih kuat karena

responnya yang bersifat segera dan

dapat diakses oleh semua orang

(Thurau, et al., 2004). Hal ini terjadi

pada Facebook Backpacker Medan.

Akun pengguna yang bergabung di

dalam jejaring sosial tersebut tidak

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[22]

saling mengenal pada awalnya,

namun bisa menjadi seperti saudara

atau teman yang sudah kenal lama

akibat interaksi pertukaran informasi

wisata yang terjadi di dalam

facebook komunitas Backpacker

Medan.

Facebook merupakan medium

komunikasi yang kaya karena

memiliki empat dimensi yang

dituliskan Knapp dan Daly sebagai

berikut: (1) jumlah sistem tanda yang

dimiliki, (2) kesegeraan umpan balik,

(3) penggunaan bahasa yang natural

atau nonformal, dan (4) personalisasi

pesan (tingkatan dimana pesan bisa

dibuat untuk ditujukan kepada

individu-individu yang spesifik)

(Cahyani, 2014). Peran facebook

sebagai sarana komunikasi ini

didukung oleh ketersediaan fitur dan

fasilitas yang ada di dalamnya.

Berdasarkan wawancara dengan

informan serta observasi terhadap

akun Facebook Backpacker Medan,

fitur-fitur dan fasilitas di facebook

yang sangat membantu interaksi

komunitas Backpacker Medan

diantaranya, yaitu:

(1) facebook berita terkini (status

update). Fitur ini adalah salah satu

fitur yang dimiliki facebook untuk

menarik perhatian para

penggunanya. Fitur ini digunakan

untuk melakukan unggahan pesan,

baik berupa teks, gambar, link

ataupun video (Putra, 2014). Status

update ini dapat dilihat oleh akun

pengguna lainnya yang ada di

facebook, tergantung pada

pengaturan yang digunakan pemilik

akun.

(2) Friends (pertemanan). Fitur ini

digunakan oleh pengguna facebook

untuk mencari dan mendapatkan

teman baru (akun pengguna facebook

lainnya). Pengguna facebook dapat

menemukan akun facebook yang

dicarinya hanya dengan mengetikkan

kata pencarian (nama orang, grup,

berdasarkan lokasi, nama sekolah,

dan lain sebagainya) (Putra, 2014).

Temuan penelitian telah mema-

parkan bahwa informan kedua dan

keempat menyatakan bahwa

pengalaman pertamanya mengenal

komunitas Backpacker Medan adalah

karena menggunakan fitur yang

dimiliki facebook ini. Kata pencarian

„backpacker‟ telah membantu kedua

informan tersebut menemukan akun

grup Facebook Backpacker Medan.

(3) Suka (like). Fitur ini dibuat oleh

pihak Facebook sebagai bagian dari

mekanisme atau cara untuk

menyampaikan pesan „positive

feedback‟ dari akun pengguna

lainnya yang melihat kiriman update

dari suatu akun facebook (Putra,

2014). Like biasanya digunakan

untuk memberikan respon positif

kepada orang yang membuat

unggahan terbaru misalnya status,

foto, video, dan lain sebagainya.

Semakin banyak yang menyukai

(memberikan like), maka unggahan

terbaru tersebut akan menjadi berita

terpopuler.

Temuan penelitian telah

menguraikan manfaat fitur like pada

facebook ini dalam interaksi

komunitas Backpacker Medan di

akun facebook komunitas tersebut.

Informan pertama dalam penje-

lasannya juga telah menginfor-

masikan bahwa fitur like ini telah

dimanfaatkan untuk menentukan

slogan Backpacker Medan.

Keterbatasan ruang dan waktu

seluruh anggota komunitas

Backpacker Medan telah menjadikan

akun grup Facebook Backpacker

Medan sarana untuk diskusi dan

menemukan solusi dari berbagai

kepentingan yang berkaitan dengan

komunitas ini, termasuk dalam

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[23]

menentukan slogan maupun logo

Backpacker Medan. Sifat komunitas

ini yang terbuka untuk umum juga

membuat fitur like ini sangat

berperan dalam pengambilan

keputusan di komunitas Backpacker

Medan. Seluruh anggota baik yang

berdomisili di Sumatera Utara

maupun dari luar Sumatera Utara;

anggota komunitas Backpacker

Medan maupun anggota komunitas

lainnya berhak memberikan respon

dengan membuat like pada

kemungkinan pilihan yang perlu

ditetapkan dalam komunitas

Backpacker Medan. Jumlah like

terbanyak yang akan menjadi

keputusan bersama.

(4) Pesan dan Messenger. Facebook

mempunyai fitur pesan dan

messenger. Fitur ini digunakan untuk

mengirimkan pesan kepada akun

pengguna lainnya secara pribadi.

Pengguna juga dapat mengirimkan

pesan kepada banyak akun pengguna

lainnya sekaligus. Pesan yang

dikirimkan dan diterima akan

tersimpan oleh kedua belah pihak,

yaitu pengirim dan penerima (Putra,

2014). Apabila pesan ini dihapus

oleh salah satu pihak, maka pesan

tersebut masih ada di pihak lainnya.

Facebook juga memiliki fitur

messenger yang penggunaannya

sama dengan aplikasi populer di

smartphone seperti WhatsApp, Line,

BBM.

Fasilitas pada messenger mem-

buat percakapan lebih interaktif dan

„hidup‟, sebagaimana telah diuraikan

dalam temuan penelitian yang

diperoleh dari informan kedua.

Interaksi dalam komunikasi dunia

virtual semakin menarik karena

fasilitas messenger dilengkapi

dengan sticker, emoticon, dan video

call. Perbedaan waktu dan jarak

tidak lagi menjadi penghalang dalam

komunikasi diantara akun pengguna

facebook. Facebook messenger saat

ini juga sudah dilengkapi dengan

fasilitas „last seen at….‟ dan juga

menampilkan lokasi pengguna saat

mengirim atau menerima pesan

(tergantung pengaturan yang

digunakan). Dokumen dan foto yang

bersifat pribadi juga dapat

dikirimkan ke pengguna facebook

lainnya melalui messenger.

Percakapan yang lebih pribadi juga

dapat dilakukan melalui messenger.

Kelima informan menyatakan bahwa

wisatawan yang ingin berkunjung ke

Sumatera Utara lebih sering memulai

percakapan dan pertanyaan tentang

objek-objek wisata di Sumatera

Utara melalui messenger. Messenger

meminimalisir perasaan „enggan‟,

„malu‟ yang dialami anggota baru

yang bergabung di akun grup

Facebook Backpacker Medan untuk

memulai pembicaraan dengan teman-

teman Backpacker Medan yang

sudah lebih dulu bergabung dalam

akun grup Facebook Backpacker

Medan. Hal inilah yang dijelaskan

oleh seluruh informan sebagai

kemudahan dan daya tarik yang

dimiliki facebook dalam

berkomunikasi.

(5) Pemberitahuan (notification).

Pemberitahuan adalah salah satu fitur

yang dimiliki facebook yang

memberikan informasi berupa pesan

pemberitahuan yang muncul pada

bagian atas toolbar, biasanya berupa

pop-up berwarna merah (Putra,

2014). Seluruh aktivitas baru dalam

akun grup Facebook Backpacker

Medan dapat diketahui oleh seluruh

anggota dalam akun tersebut.

Penyebaran informasi sepeti ini

sangat efektif dalam menjangkau

seluruh anggota komunitas yang

berasal dari berbagai daerah.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[24]

Seluruh informan juga menyatakan

bahwa fitur pemberitahuan dalam

facebook ini merupakan fitur andalan

yang memudahkan untuk menyam-

paikan informasi kepada seluruh

akun pengguna dalam akun grup

Facebook Backpacker Medan.

Informan pertama dalam penelitian

ini juga menjelaskan bahwa di awal

pembuatan akun grup Facebook

Backpacker Medan ini, mereka

sering melalukan unggahan dengan

berbagai aktivitas. Harapannya

adalah dengan semakin banyak

pemberitahuan masuk ke akun

pengguna lainnya, maka semakin

banyak respon terhadap aktivitas

unggahan tersebut dan akun grup

Facebook Backpacker Medan

semakin populer. Akun grup

Facebook Backpacker Medan

semakin populer dengan harapan

semakin banyak yang bergabung dan

pada akhirnya informasi pariwisata

Sumatera Utara menyebar semakin

luas, semakin dikenal, sebagaimana

misi komunitas Backpacker Medan.

(6) Tag photo. Fasilitas tag foto atau

dapat kita tuliskan dengan penanda

foto, juga merupakan salah satu

andalan dari peran facebook dalam

mendukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara. Foto yang diunggah

di akun grup Facebook Backpacker

Medan dapat disebarkan oleh akun

pengguna lainnya dalam akun grup

Facebook Backpacker Medan ke

akun pengguna facebook lainnya

hanya dengan memberi tanda dalam

foto tersebut. Memberi tanda suatu

foto dengan akun pengguna facebook

lainnya membuat seluruh jaringan

akun pengguna facebook dalam akun

yang diberi tanda juga dapat melihat

foto tersebut beserta komentar dan

informasi yang ada di dalamnya

(Putra, 2014).

Temuan penelitian telah

menjelaskan bahwa informasi terkait

objek wisata yang diunggah dalam

akun grup Facebook Backpacker

Medan sangat bermanfaat bagi trip

organizer dalam membantu

pekerjaan mereka. Trip organizer

memanfaatkan informasi yang

diperoleh dari akun grup Facebook

Backpacker Medan dan menye-

barkan informasi tersebut kembali

namun dalam bentuk penawaran jasa

yang berorientasi pada keuntungan.

Komunitas Backpacker Medan

menyebarkan informasi terkait

objek-objek wisata yang potensial di

Sumatera Utara atas dasar

keprihatinan terhadap potensi wisata

yang belum dieksplorasi pemerintah,

serta secara sukarela menjadi tuan

rumah bagi wisatawan yang ingin

berkunjung ke wilayah Sumatera

Utara, sebagaimana yang

disampaikan oleh informan ketiga.

Fenomena perilaku informasi ini

sangat menarik untuk dikaji,

terutama dalam era digital seperti

saat ini.

Perilaku informasi kaum muda di

era digital dikategorikan dalam 3

(tiga) tipe oleh Eliza T. Dresang dan

Koh Kyungwon (Sugihartati, 2014).

Ketiga tipe tersebut, yaitu: (1)

perubahan wujud penelusuran

informasi dan pembelajaran; (2)

perubahan perspektif; (3) perubahan

batasan. Secara garis besar,

karakteristik yang berkaitan dengan

perilaku tipe tiga sebagai berikut: (a)

memperoleh akses instan pada

ketersediaan informasi yang luas; (b)

penelusuran, berbagi, dan penciptaan

informasi secara kolaboratif; (c)

pembentukan tipe jaringan sosial

baru; dan (d) partisipasi dalam

komunitas.

Perilaku informasi kaum muda

era digital tipe perubahan batasan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[25]

menjelaskan perubahan lingkungan

akses informasi dalam era digital

yang dikarakteristikkan oleh akses

cepat dan luas pada informasi, serta

partisipasi mereka dalam lingkungan

informasi. Jenkins (2006)

menyebutnya fenomena budaya

partisipatoris, “budaya dimana

penggemar dan konsumen lainnya

diundang untuk berpartisipasi secara

aktif dalam penciptaan dan sirkulasi

konten baru” (Dresang dan

Kyungwon, 2009).

Pertama, kaum muda pada

umumnya memperoleh akses yang

cepat pada ketersediaan informasi

yang luas. Kaum muda bukan hanya

bisa memperoleh berbagai informasi

tentang hobi atau apa yang menjadi

kesukaan mereka seketika, tetapi

lebih dari itu mereka juga bisa meng-

update informasi setiap saat melalui

hubungan jejaring yang mereka

kembangkan di antara sesama

komunitas cyberspace.

Kedua, di zaman digital ini, salah

satu pola perilaku yang dikembang-

kan kaum muda di dunia maya,

diantaranya penelusuran, berbagi,

dan penciptaan informasi secara

kolaboratif. Talja dan Hansen (2008)

menjelaskan bahwa perilaku

informasi kolaboratif dibangun dari

membagi informasi secara tidak

sengaja hingga berkolaborasi,

mencari informasi, menyeleksi

informasi, interpretasi, dan sintesis

(Dresang dan Kyungwon, 2009).

Kaum muda di zaman digital

berkolaborasi bukan saja untuk

memecahkan permasalahan, melain-

kan disaat yang bersamaan juga

melakukan sirkulasi dan berbagi

informasi serta bertukar foto. Pola

perilaku ini terjadi dalam komunitas

Backpacker Medan. Seorang anggota

Backpacker Medan yang menemu-

kan lokasi wisata yang sangat indah

namun belum dikenal lalu meng-

unggah foto objek wisata tersebut ke

akun grup Facebook Backpacker

Medan, dan dalam hitungan detik

informasi tersebut telah menyebar ke

berbagai komunitas dalam ruang

virtual.

Ketiga, dengan dukungan

perangkat teknologi informasi dan

komunikasi yang canggih serta

kemampuan kaum muda meng-

eksplorasi ruang virtual, maka

kemudian terjadi pembentukan tipe

jaringan sosial baru. Kaum muda

mengembangkan kolaborasi dengan

sesama anggota komunitasnya

melalui ruang virtual. Ito et al.

menjelaskan bahwa terdapat dua tipe

partisipasi online pada kaum muda

yaitu (1) dikendalikan oleh hubungan

pertemanan; dan (2) partisipasi yang

didorong oleh minat (Sugihartati,

2014). Umumnya kesamaan minat

yang mendasari partisipasi online

karena adanya kepentingan untuk

membentuk struktur guna memper-

lebar lingkaran sosial individu.

Komunitas Backpacker Medan

sebagai contoh karakteristik tersebut.

Sekumpulan orang-orang dengan

kesamaan minat jalan-jalan

berkumpul dalam satu komunitas dan

membuat akun grup Facebook

Backpacker Medan sebagai sarana

komunikasi mereka yang utama.

Keempat, intensitas kaum muda

beraktivitas dengan berbagai macam

informasi di dunia virtual, tidak

hanya mempengaruhi sikap kritis

mereka tetapi juga partisipasi kaum

muda tersebut dalam komunitas yang

lebih luas, termasuk dalam kegiatan

sosial politik sebagai bagian dari

masyarakat madani. Kelima

informan yang merupakan anggota

komunitas Backpacker Medan telah

menguraikan karakteristik keempat

ini sebagai alasan utama mereka

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[26]

bergabung dalam komunitas tersebut.

Kepedulian dan keprihatinan mereka

terhadap potensi wisata yang sangat

potensial namun belum dieksplorasi

secara maksimal oleh pemerintah,

mendorong mereka untuk memper-

kenalkan potensi wisata daerah

tersebut ke dunia luar, hingga pada

akhirnya penduduk di sekitar objek

wisata tersebut menerima manfaat

dari meningkatnya kunjungan

wisatawan ke daerah tersebut.

Era digital memungkinkan ada

forum tidak nyata, bahwa tempat

bertemunya pembicara dengan

pendengar dalam waktu bersamaan

sehingga pola mereka satu dengan

yang lain saling mengisi dan

memperbaiki hubungan. Hal tersebut

menekankan bahwa kesalahan

interpretasi dalam pemaknaan pesan

informasi diprediksikan bisa

berkurang. Terlebih diketahui, bahwa

salah satu faktor masalah

berkomunikasi terletak pada faktor

gangguan (noise) bisa teratasi dan

bukan menjadi masalah berarti dalam

proses komunikasi tersebut

(Prisgunanto, 2014). Kelima

informan utama dalam penelitian ini

juga menyatakan bahwa selama ini

tidak ada gangguan yang berarti

dalam pola komunikasi komunitas

Backpacker Medan melalui face-

book, karena ikatan kekeluargaan

berdasarkan kesamaan minat ini

lebih tinggi dari noise apapun.

Perkembangan teknologi, khusus-

nya jejaring sosial, kini telah

membentuk pola promosi pariwisata

yang berbeda dibandingkan beberapa

waktu sebelumnya. Media massa

konvensional tidak lagi menjadi

sumber bacaan yang menarik setelah

internet hadir dengan kemampuan

digitalnya dalam menyampaikan

informasi dengan lengkap dan

interaktif. Gurning (2004)

menuliskan bahwa pengalaman

pribadi merupakan bentuk promosi

tersulit namun bisa menjadi cara

terbaik yang mempengaruhi komu-

nikasi word of mouth. Online word of

mouth atau lebih dikenal dengan

electronic word of mouth melalui

Facebook Backpacker Medan

membantu penyebaran informasi

terkait objek wisata Sumatera Utara

ke dunia luar.

Informasi yang tadinya bersifat

“one to many” telah berubah menjadi

“many to many” (Julianto dan

Subrata, 2014). Isi media yang

dahulu cenderung seragam, sekarang

menjadi beragam dan customized.

Teknologi di bidang informasi dan

komunikasi telah menghilangkan

batas antara dunia virtual dengan

dunia nyata. Penggunaan smartphone

yang dilengkapi dengan fitur

mengakses dunia virtual, bukan saja

menyebabkan lahirnya alienasi dan

isolasi sosial di kalangan masyarakat,

melainkan juga menyebabkan biaya

konsumtif untuk kegiatan wisata

meningkat pesat. Hal inilah yang

menjadi salah satu alasan mengapa

facebook bisa digunakan sebagai

media promosi pariwisata.

Facebook Backpacker Medan

memungkinkan penggunanya berpar-

tisipasi secara aktif, sehingga

memberikan kesempatan pengguna

menjadi kontributor. Hal ini

mengakibatkan kaburnya batas

antara sumber dan penerima. Jika

sebelumnya publik hanya pasif

sebagai konsumen media, kini publik

memainkan peran yang baru sebagai

penyedia informasi. Pada titik inilah

berlangsung emansipasi publik, dan

hal ini juga bisa berlaku dalam

kegiatan promosi pariwisata.

Sulianta (2014) menjelaskan

bahwa salah satu keuntungan dari

fungsi media sosial sebagai media

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[27]

komunikasi adalah hadirnya sarana

promosi dengan bentuk yang baru.

Informasi yang berkaitan dengan

kegiatan wisata tersebar sangat cepat

melalui dunia virtual. Media sosial

menyediakan saluran baru untuk

produksi dan sirkulasi makna dalam

menjelaskan imajinasi akan

pengalaman wisata (Munar dan

Jacobsen, 2014). Hal ini dapat

dimaknai bahwa facebook sebagai

bagian dari media sosial relevan

menjadi bagian dari media

pemasaran kegiatan pariwisata yang

mempengaruhi pemilihan tujuan

wisata dan bisnis di bidang

pariwisata.

Aktivitas dalam media sosial

menimbulkan artikulasi berharga dari

interaksi dan dukungan emosional

yang menjadi pertimbangan dasar

dalam pengambilan keputusan saat

merencanakan kegiatan wisata.

Menurut Kepala Bidang Pemasaran

Pariwisata Dinas Budaya dan

Pariwisata Provinsi Sumatera Utara,

kelak sebagian dari fungsi travel

agent tidak ada lagi, terutama bagi

wisatawan yang bukan bersifat

rombongan. Kehadiran internet telah

memperbesar kemungkinan pembeli

mengumpulkan informasi tentang

produk maupun pengalaman

konsumen terdahulu sebelum

membuat keputusan untuk membeli

suatu produk maupun jasa tersebut

(Thurau, et al., 2004). Oleh sebab itu

Backpacker Medan hendaknya selalu

mengunggah informasi yang benar

dan menarik dalam facebook agar

wisatawan terbantu dengan informasi

yang ada di dalam kedua jejaring

sosial tersebut. Fenomena tersebut

memperlihatkan bahwa kegiatan

wisata saat ini telah menjadi

kebutuhan primer bagi manusia.

Bentuk promosi terhadap

pariwisata di Sumatera Utara yang

dilakukan komunitas Backpacker

Medan melalui facebook cenderung

terdapat pada konten foto. Temuan

penelitian telah memberikan

dokumentasi unggahan konten foto

Pulau Mursala dengan aktivitas

orang yang sedang menikmati

keindahan alam lautan dilator-

belakangi air terjun yang indah. Foto

tersebut mampu menarik perhatian

pengguna facebook yang bergabung

dalam akun grup facebook komunitas

Backpacker Medan yang memuncul-

kan minat terhadap objek wisata

tersebut. Minat memotivasi

seseorang untuk mencari informasi

tentang objek wisata Pulau Mursala

tersebut. Hasrat yang dibangkitkan

oleh informasi terkait Pulau Mursala

tersebut menimbulkan keputusan

untuk pergi mengunjungi objek

wisata tersebut.

Files dan album foto yang

diunggah dalam akun grup Facebook

Backpacker Medan telah membang-

kitkan perhatian kaum muda maupun

masyarakat yang aktif di dunia

virtual. Event yang dilaksanakan oleh

komunitas Backpacker Medan pun

mampu membangkitkan perhatian

masyarakat di Kota Medan pada

umumnya terhadap aktivitas

komunitas tersebut. Informasi yang

disampaikan melalui aktivitas akun

grup Facebook Backpacker Medan

pada akhirnya mampu membangkit-

kan minat para akun pengguna di

dalamnya untuk mengetahui lebih

jauh tentang kegiatan komunitas

tersebut.

Aktivitas komunitas Backpacker

Medan telah membangkitkan

perhatian dan minat wisatawan,

sehingga hasrat mereka pun muncul

untuk mengunjungi objek wisata di

Sumatera Utara setelah melihat

dokumentasi kegiatan trip

Backpacker Medan. Hasrat tersebut

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[28]

menimbulkan keinginan untuk

mencari tahu lebih lanjut tentang

informasi selengkapnya tentang

objek wisata yang ingin dikunjungi.

Foto yang diunggah dalam akun

Facebook Backpacker Medan

mampu membangkitkan perhatian

masyarakat yang aktif menggunakan

aplikasi facebook . Informasi lokasi

objek wisata yang disampaikan

dalam foto tersebut pada akhirnya

mampu membangkitkan minat para

akun pengguna untuk mengetahui

lebih jauh tentang objek wisata

tersebut. Hasrat masyarakat yang

melihat keindahan foto melalui akun

Facebook Backpacker Medan pun

muncul, karena pesona yang

ditampilkan dalam foto tersebut.

Hasrat tersebut menimbulkan

keinginan untuk mencari tahu lebih

lanjut informasi selengkapnya

tentang objek wisata itu. Pada tahap

inilah, Backpacker Medan berfungsi

sebagai tuan rumah yang baik bagi

siapa saja yang ingin mengunjungi

Sumatera Utara, sebagaimana isi dari

visi komunitas tersebut.

Nilai keuntungan dari penggunaan

media elektronik dalam pemasaran

adalah media elektronik akan selalu

ada, dimana saja dan kapan saja,

dengan demikian maka media

elektronik ini bisa dikatakan sarana

pemasaran tanpa henti dan terbatas

oleh kekuatan apapun (Prisgunanto,

2014). Mereka yang menggunakan

media sosial (social media) lebih pro

aktif dan peka dengan segala isu

yang beredar di jejaring sosial.

Perhatian yang besar dengan hal

ihwal di jejaring sosial ini

menjadikan dunia digital lebih

interaktif dalam memaknai hubungan

antar manusia (Prisgunanto, 2014).

Hal ini sejalan dengan kenyataan saat

ini terkait promosi pariwisata di

media sosial yang kian berkembang

pesat. Penggunaan facebook dengan

tepat akan meningkatkan peran

komunitas Backpacker Medan dalam

mendukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara. Unggahan foto,

video, ataupun informasi seputar

objek wisata secara rutin diharapkan

dapat mendukung pemerintah

Sumatera Utara dalam mempromosi-

kan objek wisata di Sumatera Utara.

Bentuk bahasa komunikasi visual

berupa pengolahan pesan-pesan ini

dikenal juga dengan desain

komunikasi visual. Pesan yang akan

disampaikan dapat berupa informasi

terkait produk, jasa atau gagasan

yang nantinya di sampaikan kepada

target audiensi, dalam upaya

peningkatan promosi, peningkatan

citra, dan publikasi sebuah program

atau kegiatan untuk tujuan sosial atau

komersial, dari individu atau

kelompok yang ditujukan kepada

individu atau lainnya. Sukmahati

(2013) dalam penelitiannya menemu-

kan bahwa pengaruh intensitas,

durasi dan isi pesan yang merupakan

sub variabel dari komunikasi visual

bila dilihat secara keseluruhan

memiliki pengaruh terhadap pemben-

tukan kognitif konsumen yang pada

akhirnya memiliki pengaruh terhadap

minat beli konsumen. Hal ini

menegaskan bahwa peran pengelola-

an bahasa visual dalam konten yang

diunggah di facebook Komunitas

Backpacker Medan erat kaitannya

dengan upaya mendukung promosi

pariwisata di Sumatera Utara.

Informasi yang lengkap, dan

kesediaan anggota Backpacker

Medan secara sukarela untuk

menjadi pendamping bagi wisatawan

yang ingin berkunjung ke objek

wisata di Sumatera Utara membuat

wisatawan berada pada tahap

pengambilan keputusan. Keputusan

untuk pergi melakukan wisata ke

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[29]

objek wisata di Sumatera Utara

dengan mempedomani informasi

yang diberikan oleh Backpacker

Medan, merupakan tindakan secara

nyata oleh wisatawan untuk

melakukan kegiatan wisata di

Sumatera Utara.

Sumber: Facebook Backpacker Medan

Gambar 1. Promosi Wisata Melalui Foto

di Akun Grup Facebook Backpacker

Medan

Keterbatasan anggaran pemerin-

tah Provinsi Sumatera Utara dalam

mengakomodir kegiatan promosi

pariwisata Sumatera Utara,

membutuhkan dukungan dan

kerjasama dari pihak swasta dan

masyarakat. Program tahunan Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi

Sumatera Utara bidang Pemasaran

terbatas hanya pada pelaksanaan

event tahunan Festival Danau Toba

dan pameran wisata di luar Provinsi

Sumatera Utara. Kerjasama dari

berbagai pihak akan sangat

membantu pengembangan kondisi

pariwisata di Sumatera Utara yang

kian hari semakin memprihatinkan

(Badan Penelitian dan Pengem-

bangan Provinsi Sumatera Utara,

2011), dan hal ini diakui pula oleh

Kepala Bidang Pemasaran Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi

Sumatera Utara.

Pemasaran dengan menggunakan

komunikasi online dari mulut ke

mulut (electronic word of mouth)

penting pada saat ini disebabkan

persaingan iklan terus meningkat,

biaya operasional media tradisional

semakin meningkat, dengan iklan

terkadang orang merasa dibohongi,

selain itu teknologi semakin

mempercepat pencapaian word of

mouth seperti SMS, email, chatting,

blog dan juga online networking

(Hughes, 2007). Publisitas (publicity)

merupakan salah satu dari 4 (empat)

variabel alat promosi, yakni aktivitas

untuk mempromosikan perusahaan

atau produknya dengan memuat

berita mengenai subjek itu tanpa

dibayar oleh sponsor (Rangkuti,

2009). Komunitas Backpacker

Medan, telah melakukan publikasi

objek wisata di Sumatera Utara

melalui akun Facebook Backpacker

Medan dan akun Backpacker Medan.

Kehadiran sosial media berbasis

internet membuat orang dengan

mudah berinteraksi dalam konteks

manusia, dalam konteks jaringan

sosial antara orang dengan orang

atau orang dengan lembaga. Alhasil

perusahaan tidak perlu riset, cukup

berinteraksi langsung dengan

konsumen mereka mengetahui apa

yang diinginkan konsumennya

(Prisgunanto, 2014). Komunitas

Backpacker Medan dapat menjadi

salah satu alternatif yang mampu

mendukung pemerintah Sumatera

Utara dalam promosi pariwisata.

Informasi dan pengetahuan medan

area objek wisata di Sumatera Utara

didukung dengan kemampuan peng-

gunaan facebook maupun sebagai

media komunikasinya, diharapkan

promosi pariwisata di Sumatera

Utara mengalami peningkatan yang

signifikan, bila Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara mampu meng-

gandeng komunitas Backpacker

Medan dan mengelola semua potensi

ini dengan baik.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[30]

Simpulan

Peran facebook komunitas

Backpacker Medan dalam men-

dukung promosi pariwisata di

Sumatera Utara, sebagai berikut: (1).

Ruang publik virtual yang tersedia

melalui jejaring sosial Facebook,

merupakan ranah publik yang

mampu mendukung promosi pari-

wisata. Interaksi yang terjadi di

antara komunitas Backpacker Medan

dalam akun grup facebook mampu

meningkatkan aktivitas wisata dalam

masyarakat, sekaligus memper-

kenalkan objek wisata yang ada di

Sumatera Utara. (2). Jejaring sosial

dapat menjadi alat pemasaran

pariwisata. Hal ini dikarenakan sifat

interaktivitas dari media baru yang

memungkinkan setiap orang bertukar

informasi tanpa terbatas ruang dan

waktu. Komunitas yang mengguna-

kan jejaring sosial harus memiliki

pesan (konten) yang menarik dan

memudahkan publik untuk mela-

kukan aksi nyata. Keberhasilan

jejaring sosial ini sebagai media

pemasaran selain harus mencakup

gerakan online juga harus didukung

dengan kegiatan offline secara tatap

muka langsung. (3). Facebook

memiliki kemampuan yang sangat

baik sebagai media promosi

pariwisata. Jejaring sosial ini

memiliki ciri khas tersendiri dalam

perannya sebagai media promosi

pariwisata. Facebook mampu

memberi ruang komunikasi yang

interaktif bagi penggunanya. Selain

itu fitur album foto dalam facebook

memungkinkan informasi tentang

satu objek wisata diperoleh dengan

lengkap secara kolektif.

Daftar Pustaka

Agustiningsih, G., dan Anindhita, W.

(2014). Media Sosial Sebagai

Fungsi Pengawasan Dalam

Praktek Bernegara Di Indonesia.

Dalam Boer, R.F (editor). “Masa

Depan Komunikasi, Masa Depan

Indonesia Demokrasi Dalam

Ruang Virtual” h.84-113.

Jakarta, Ikatan Sarjana

Komunikasi Indonesia.

Bizirgiannia, I., dan Dionyso-

pouloub, P. (2013).The influence

of tourist trends of Youth

Tourism through Social Media

(SM) dan Information and

Communication Technologies

(ICTs). Procedia-Social and

Behavioral Sciences 73 (2013)

652–660. Elsevier Ltd.

Bubas, G. (2001). Computer

mediated communication

theories and phenomena: Factors

that influence collaboration over

the Internet. Paper submitted for

the 3rd CARNet Users

Conference, Zagreb. Diunduh 01

Mei 2015, dari

www.pdfdrive.org/computer-

mediated-communication-

theories-and-citeseer-

e11004386.html

Bungin, B. (2007). Penelitian

Kualitatif: Komunikasi,

Ekonomi, Kebijakan Publik, dan

Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta,

Kencana.

Cahyani, D.Y. (2014). Dari Media

Sosial Indonesia Bergerak.

Dalam Boer, R.F (editor). “Masa

Depan Komunikasi, Masa Depan

Indonesia Demokrasi Dalam

Ruang Virtual” h.26-44. Jakarta,

Ikatan Sarjana Komunikasi

Indonesia.

Christy, M.K.C., dan Lee, M.K.O.

(2010). What Drives Consumers

to Spread Electronic Word of

Mouth in Online Consumer-

Opinion Platforms. Article Of

Decision Support System.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[31]

DeVito, J. A. (2013). The

Interpersonal Communication

Book. 13th edition. New York,

Pearson Education, Inc.

Dresang, E.T., dan Koh, K. (2009).

Radical Change Theory, Youth

Information Behavior, and

School Libraries. Library Trends,

Volume 58, Number 1, Summer

2009, pp. 26-50 (Article).

Diakses dari http://muse.jhu.edu.

Effendy,O.U. (2004). Ilmu

Komunikasi Teori dan Praktek.

Bandung, Remaja Rosdakarya.

Erkan, I. dan Evans, C. (2014). The

Impacts of Electronic Word of

Mouth in Social Media on

Consumers Purchase Intentions.

Paper presented at the

International Conference on

Digital Marketing on 3rd-4th

June in Colombo, Sri Lanka.

Diunduh pada 11 Mei 2015 dari

tiikm.com/publication/ICODM-

2014 Online-Proceeding-

Book.pdf.

Fotis, J., Buhalis, D., dan Rossides,

N. (2011). Social media impact

on holiday travel: The case of the

Russian and the FSU markets.

International Journal of Online

Marketing, 1(4), 1-19.

Griffin, E.M. (2012). A First look at

Communication Theory Eigth

Edition, New York, McGraw-

Hill.

Gurning, M. (2014). Kepemilikan

Media Sebagai Sebuah Identitas.

Dalam Boer, R.F (editor). “Masa

Depan Komunikasi, Masa Depan

Indonesia Demokrasi Dalam

Ruang Virtual” h. 289-307.

Jakarta: Ikatan Sarjana

Komunikasi Indonesia.

Hapsari, D.R. (2014). Peran Media

Baru Dalam Perkembangan

Gerakan Sosial. Dalam Boer, R.F

(editor). “Masa Depan

Komunikasi, Masa Depan

Indonesia Demokrasi Dalam

Ruang Virtual” h. 114-127.

Jakarta, Ikatan Sarjana

Komunikasi Indonesia.

Hughes, M. (2007). Buzz Marketing.

Jakarta, Elex Media Komputindo.

Juju, D., dan Sulianta, F. (2010).

Branding Promotion With Social

Network. Jakarta, PT Elex Media

Komputindo.

Milanoa, R., Baggioc, R., dan

Piattellib, R. (2011). The effects

of online social media on tourism

websites. 18th International

Conference on Information

Technology and Travel and

Tourism January 26-28, 2011-

Innsbruck, Austria. Diunduh

pada tanggal 11 Januari 2015

dariwww.researchgate.net/public

ation/221357525_The_effects_of

_online_social_media_on_touris

m_websites.

Mulyadi, M. (2012). Riset Desain

Dalam Metodologi Penelitian.

Jurnal Studi Komunikasi dan

Media, Vol. 16 No. 1.

Munar, A.M. dan Jacobsen, J.K.

(2014). Motivations for Sharing

Tourism Experiences Through

Social Media. Journal Tourism

Management, 43,46-54. Diunduh

tanggal 01 Mei 2015 dari

www.sciencedirect.com/science/

article/pii/s0261517714000132.

Pan, B., MacLaurin, T., dan Crotss,

J, C. (2007). Travel blogs and the

implications for destination

marketing. Journal of Travel

Research, 46(1), 35-45.

Putra, E. D. (2014). Mendalami dan

Menguak Jejaring Sosial.

Serpong, Universitas Surya

Press.

Prajanto, Nunung, dan Nurlatifah.

(2012). „Fungsi, Malfungsi dan

Disfungsi Media.‟ Dalam Wisnu

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[32]

Martha Adipura (ed). Media

Baru: Studi Teoritis dan Telaah

dari Perspektif Politik dan

Sosiokultural. Yogyakarta,

Penerbit Fisipol UGM.

Prisgunanto, I. (2014). Komunikasi

Pemasaran Era Digital. Jakarta,

Prisani Cendekia.

Rangkuti, F. (2009). Strategi

Promosi Yang Kreatif dan

Analisis Kasus Integrated

Marketing Communication.

Jakarta, PT Gramedia Pustaka

Utama.

Sari, V.M. (2012). Pengaruh

Electronic Word Of Mouth

(eWOM) Di Social Media

Twitter Terhadap Minat Beli

Konsumen. Depok, Universitas

Indonesia.

Sugihartati, R. (2014).

Perkembangan Masyarakat

Informasi dan Teori Sosial

Kontemporer. Jakarta, Kencana.

Thurau, T.H., Gwinner, K.P., Walsh,

G., dan Gremler, D.D. (2004).

Electronic Word-of-Mouth Via

Consumer-Opinion Platforms:

What Motivates Consumers To

Articulate Themselves On The

Internet? Journal of Interactive

Marketing,18. 2004.

Tussyadiah, I., Park, S., dan

Fesenmaier, D.R. (2011).

Assessing the effectiveness of

consumer narratives for

destination marketing. Journal of

Hospitality dan Tourism

Research, 35(1), 64-78.

Walther, J. (2006). Social

Information Processing Theory.

In EM. Griffin (Ed). A First

Look at Communication Theory

(6th ed). New York: McGraw

Hill.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[33]

IMPLIKASI PENGHAPUSAN VERIFIKASI BPHTB

TERHADAP PENDAPATAN DAERAH

Fajaruddin

Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Sumatera Utara

Surel:[email protected]

ABSTRACT

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BHPTB) or Tax on Acquisition of

Land and Building is a local tax arising as a result of an act or legal events that

resulted in obtaining rights to land and/or buildings by private persons or entities,

and the right to land and/or building is a total right to land, including rights

management and building on it, as referred to in the legislation in land and

buildings (Vide; Clause 1 No. 42 dan 43 UU 28/2009). Technically, voting

BPHTB further stipulated in local legislation in each local government

district/city. One of the rules set out in the regulation as a policy associated

verification BPHTB calculation. At the same time the Ministry of Agricultural and

Spatial/BPN together with a number of departments issued a joint decree of the

Minister of Finance, Minister of the Internal Affairs and Director of National

Land Affairs Agency (BPN) with No. SE-12/MK.07/2014,593/2278/SJ and

4/SE/V/2014 dated May 6, 2014 on Guidelines for Polling BPHTB In Relation

With Land Rights Registration or Transfer of Rights to Land Registration wrong

the article mentions BPN not prerequisite verification of counting in polling

BPHTB. The implications are then raised in the regulation are open wide gap to

the possibility of manipulation of the value of the land rights that affected the

decline in local revenues from the tax sector of BPHTB.

Keywords: Application, verification, local revenue, regional income.

Pendahuluan

Lahirnya Undang-Undang No. 22

tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah pasca reformasi 1998

merupakan peletak batu pertama azas

otonomi daerah untuk pelaksanaan

Pemerintahan Daerah. Akan tetapi

kerena masih mengandung beberapa

kelemahan dan perlu disesuaikan

dengan pelaksanaan ide pemilihan

Kepala Daerah secara langsung dan

juga karena adanya perubahan UUD

1945, maka undang-undang itu

direvisi dengan Undang-Undang No.

32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah (selanjutnya disebut UU No.

32 tahun 2004) sebagai pengganti

Undang-Undang No. 22 tahun 1999.

Pelimpahan wewenang oleh

pemerintah kepada pejabatnya di

daerah untuk menjalankan roda

pemerintahan disebut dengan

dekonsentrasi. Hal ini berarti

dekonsentrasi tersebut wewenang

untuk mengurus persoalan yang

terjadi di Daerah dilimpahkan oleh

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah, dengan arti kata lain

desentralisasi yang dianut dalam

konsep Negara kesatuan pada

akhirnya juga mempengaruhi

hubungan antara pemerintah dan

daerah, khusunya yang berkaitan

dengan distribusi kewenangan

pengaturan atas urusan-urusan

pemerintahan. Oleh karena itu,

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[34]

adanya satuan pemerintah yang

berlapis-lapis maupun bertingkat

tujuannya antara lain adalah untuk

mencegah dominasi pemerintah yang

lebih tinggi. (Muhammad Fauzan,

2006).

Pasca berlakunya UU No. 32

tahun 2004, pemerintah daerah

memiliki beban berat di balik

kewenangan untuk mengurus rumah

tangganya sendiri, yang salah

satunya adalah terkait dengan tujuan

mensejahterakan masyarakat di

daerahnya, termasuk bagaimana

dapat menggali potensi sumber-

sumber pendanaan di daerahnya.

Menyinggung persoalan sumber

pendanaan bagi pemerintah menjalan

roda organisasinya, sudah barang

tentu salah satunya adalah dari sektor

Pajak, dan untuk memenuhi sesaknya

desakan hawa era otonomi daerah

tersebut, kemudian pemerintah

Republik Indonesia memberikan

kewenangan penuh dalam mengurus

sektor pajak ini, dimana selama ini

beberapa jenis pajak yang menjadi

kewenangan pusat dikembalikan

kepada pemerintah daerah dengan

mengundangkan Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak dan Retribusi Daerah,

Untuk mengimplementasikan

undang-undang tersebut, pemerintah

daerah diperintahkan agar segera

menyusun peraturan daerah sebagai

petunjuk pelaksanaannya. Salah satu

jenis pajak yang kini dikelola

pemerintah daerah yang wajib diatur

kemudian dengan peraturan daerah

di masing-masing pemerintah daerah

adalah terkait petunjuk teknis dalam

pemungutan pajak Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB).

Salah satu yang menarik

terhadap segi substansi dari

peraturan daerah yang kemudian

disusun dan diundangkan oleh

beberapa pemerintah daerah adalah

adanya pasal yang mengatur tentang

kewajiban verifikasi penghitungan

BPHTB yang harus terlebih dahulu

dilakukan oleh pemohon hak atas

tanah sebelum dilakukannya

pendaftaran tanah oleh Institusi

Kementrian Agraria dan tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(BPN). Pihak BPN mengklaim

bahwa salah satu alasan penghapusan

kewajiban verifikasi penghitungan

BPHTB disebabkan oleh adanya

hambatan dalam menjalankan

pelayanan pertanahan sehubungan

dengan pemberlakuan perda tersebut.

Untuk menghindari perdebatan

panjang antara BPN dengan

pemerintah daerah di seluruh

Indonesia terkait kebijakan verifikasi

penghitungan dan pemungutan

BPHTB, maka diterbitkanlah Surat

Edaran Bersama antara Menteri

Keuangan, Menteri Dalam Negeri

dan Ka. BPN dengan Nomor SE-

12/MK.07/2014, 593/2278/SJ/ dan

4/SE/V/2014 tanggal 6 Mei 2014

tentang Petunjuk Pemungutan

BPHTB Dalam Kaitannya Dengan

Pendaftaran Hak Atas Tanah atau

Pendaftaran Peralihan Hak Atas

Tanah. Anehnya, salah satu butir

surat edaran tersebut menegaskan

bahwa BPN tidak memprasyaratkan

verifikasi penghitungan BPHTB

dalam proses pendaftaran hak atas

tanah.

Regulasi dimaksud tentunya

membawa dampak buruk bagi

pemerintah daerah yang salah

satunya adalah menurunnya

pendapatan daerah dari sektor pajak

BPHTB. Tulisan ini bertujuan untuk

mengetahui latar belakang kewajiban

dilakukannya verifikasi BPHTB

sebelum dilakukannya pendaftaran

tanah dan implikasi apa yang

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[35]

mungkin terjadi akibat penghapusan

verifikasi BPHTB tersebut.

Metode

Metode pengumpulan data yang

dilakukan dalam penulisan ini adalah

metode pengumpulan data yuridis

normatif. Penelitian dilakukan

dengan cara melakukan studi

kepustakaan. Pembahasan didasarkan

pada berbagai literatur berupa; buku-

buku, dokumen dan peraturan

perundang-undangan serta referensi

lainnya. Dan pendekatan masalah

yang dilakukan adalah dengan

melakukan pendekatan hasil kajian

teoritis dengan melihat berbagai

pendapat para ahli, penulis dan

kajian-kajian terhadap peraturan

perundang-undangan.

Hasil dan Pembahasan

Kewajiban Verifikasi BPHTB.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak dan Retribusi

Daerah menyebutkan bahwa Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) adalah pajak

perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan (Pasal 1 ayat (41)), dimana

Perolehan Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan adalah perbuatan atau

peristiwa hukum yang mengakibat-

kan diperolehnya hak atas tanah

dan/atau bangunan oleh orang

pribadi atau badan (ayat 42).

Lebih lanjut, pengertian

perolehan hak atas tanah dan atau

bangunan sebagaimana diuraikan

dalam peraturan tersebut adalah

merupakan perbuatan atau peristiwa

hukum yang mengakibatkan

diperolehnya hak atas tanah dan

bangunan oleh orang pribadi atau

badan. Hak atas tanah adalah hak

atas tanah termasuk hak pengelolaan,

beserta bangunan diatasnya sebagai-

mana dimaksud dalam Undang-

Undang No. 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

Merujuk kepada Pasal 1 ayat

(42) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 sebagaimana diuraikan

sebelumnya dapat dipahami bahwa

yang menjadi subjek pajak adalah

orang pribadi atau badan yang

memperoleh hak atas tanah dan atau

bangunan sedangkan yang menjadi

objek pajak adalah perolehan hak

atas tanah dan atau bangunan.

Sedangkan yang menjadi tolok ukur

sebagai penyebab timbulnya

kewajiban pajak BPHTB adalah

timbulnya suatu hak atas tanah

dan/atau bangunan bagi subjek

hukum (perorangan maupun badan

hukum) baik yang disebabkan oleh

karena adanya suatu peristiwa

hukum atau suatu perbuatan hukum.

Pemungutan pajak BPHTB

didasarkan pada nilai filosofis yang

memandang bahwa setiap orang

pribadi atau badan hukum yang

mendapatkan nilai ekonomis serta

manfaat dari tanah dan bangunan

karena adanya perolehan hak atas

tanah dan bangunan akan dikenakan

pajak oleh negara (Budi Ispriyarso,

2005; 277). Dengan demikian,

perlohan hak atas tanah/bangunan

yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat diharapkan mampu

memberikan pemasukan ke kas

negara/daerah berupa pajak dalam

jumlah yang relatif besar.

Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 juga telah merumuskan

penghitungan BPHTB yaitu: BPHTB

= 5% x (NPOP–NPOPTKP), dengan

penjelasan bahwa NPOP (Nilai

Perolehan Obyek Pajak) ditentukan

berdasarkan Nilai tertinggi antara

NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak)

sebagaimana tertera pada SPPT PBB

dengan nilai transaksi/nilai pasar

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[36]

(mana yang tertinggi). Sedangkan

besarnya pengurangan pajak BPHTB

sebelum dikalikan 5% atau yang

dikenal dengan sebutan Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak Kena

Pajak (NPOPTKP) yaitu sebesar Rp.

60.000.000 (enam puluh juta rupiah)

terhadap perolehan hak baru maupun

peralihan hak terkecuali karena

Waris, dan Hibah Wasiat maka

besarnya NPOPTKP adalah Rp.

300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

(vide; Pasal 85 s/d Pasal 87 Undang-

Undang 28/2009).

Lebih lanjut, duraikan bahwa

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan sebagai dasar pemungutan

BPHTB meliputi antara lain;

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan yang disebabkan oleh

terjadinya peralihan hak maupun

dikarenakan penerbitan hak baru atas

tanah maupun bangunan yang

berstatus hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, hak pakai, hak

milik atas satuan rumah susun dan

hak pengelolaan (vide; Pasal 85

Undang-Undang 28/2009).

Hal menarik yang kemudian

muncul dari rumusan penghitungan

BPHTB adalah adanya ruang bebas

yang diberikan oleh Undang-Undang

28/2009 bagi wajib pajak untuk

memilah dan memilih antara Nilai

Transaksi atau NJOP PBB (mana

yang paling tinggi nilainya) sebagai

dasar pengurangan penghitungan

NPOP terhadap pajak BPHTB

sebagaimana tertuang dalam Pasal 87

ayat (2).

Melihat fakta bahwa meningkat-

nya kegiatan pembangunan disegala

bidang, menyebabkan meningkatnya

keperluan akan tersedianya tanah dan

atau bangunan. Sedangkan tanah dan

atau bangunan persediaannya sangat

terbatas. Mengingat pentingnya

tanah dan atau bangunan tersebut

dalam kehidupan, maka sudah

sewajarnya jika orang pribadi atau

badan hukum yang mendapatkan

nilai ekonomis serta manfaat dari

tanah dan atau bangunan karena

adanya perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan dikenakan pajak oleh

negara.

Transaksi jual beli tanah dan

bangunan merupakan suatu aktivitas

yang dilakukan oleh masyarakat

yang dapat memberikan pemasukan

berupa pajak dalam jumlah yang

relatif besar bagi negara. Karena jual

beli merupakan suatu perbuatan

hukum yang dapat menimbulkan

hutang pajak (Budi Ispriyarso, 2005;

278). Dengan demikian seharusnya

transaksi jual beli tanah dapat

menjadi pemasok dana yang

potensial ke kas daerah dari sektor

pajak BPHTB.

Transaksi maupun NJOP sebagai

dasar penghitungan NPOP masih

memiliki celah antara para pihak

yang berkepentingan untuk mengelak

dari kewajiban BPHTB. Terlebih

pemungutan pajak BPHTB

menggunakan sistem self assessment.

Seperti yang diketahui bersama,

bahwa sistem self assessment

mengandung arti bahwa wajib pajak

diwajibkan untuk menghitung,

memperhitungkan, membayar sendiri

dan melaporkan pajak yang terutang

sesuai peraturan perundang-

undangan perpajakan, sehingga

penentuan besarnya pajak yang

terutang dipercayakan kepada wajib

pajak.

Dalam pelaksanaan pemungutan

pajak BPHTB ini menuntut wajib

pajak mengerti serta menguasai

tentang ketentuan perpajakan

sebagaimana diatur dalam peraturan

perpajakan yang berlaku, sehingga

dengan adanya sistem self

assessment ini tidak menutup

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[37]

kemungkinan wajib pajak akan

mengalami kesulitan dalam

pemenuhan kewajiban bagi wajib

pajak tersebut. Keadaan ini masih

diperparah lagi dengan sikap dan

mental oknum aparatur dan pejabat

negara yang berkaitan dengan pajak

BPHTB yang kerap memberikan

pemahaman negatif kepada

masyarakat untuk berbuat ‟curang‟

dalam memenuhi kewajibannya

menyetor BPHTB.

Fakta konspirasi negatif

berbagai pihak menyangkut

penyimpangan dalam pemenuhan

kewajiban BPHTB tampaknya telah

berlangsung lama bahkan jauh

sebelum BPHTB ini menjadi

kewenangan pemerintah daerah.

Uniknya, jika dahulu BPHTB masih

dikelola pemerintah pusat dengan

NOPTKP sebesar Rp.10.000.000

maka nilai transaksi jual beli tanah

dan bangunan banyak yang di bawah

NOPTKP begitu BPHTB menjadi

kewenangan pemerintah daerah dan

NOPTKP menjadi Rp.60.000.000

banyak transaksi jual beli yang

melonjak menjadi kisaran

Rp.40.000.000 sampai dengan

Rp.55.000.000 namun masih di

bawah NOPTKP yaitu

Rp.60.000.000. Tentu hal ini

memunculkan pertanyaan, berapa

nilai pasar terhadap harga tanah

sebenarnya?

Seperti telah diuraikan di atas

bahwa dasar pengenaan pajak

apabila harga transaksi atau nilai

pasar tidak diketahui atau lebih

rendah dari NJOP PBB ditetapkan

adalah sebesar NJOP PBB. Dalam

transaksi jual beli, pihak yang paling

mengetahui besarnya harga transaksi

adalah pembeli dan penjual,

sedangkan PPAT hanya mengetahui

berdasarkan pengakuan atau

pernyataan dari pembeli dan penjual.

Besarnya harga transaksi yang

tercantum dalam akta notaris (PPAT)

adalah murni berdasarkan pengakuan

para pihak. Sehingga untuk

kepentingan tertentu ada

kecenderungan untuk menyatakan

besarnya harga transaksi yang tidak

sesuai dengan kenyataan.

Biasanya mengarah lebih tinggi

sedikit dibandingkan dengan NJOP

PBB yang berlaku. Demikian pula

dengan perolehan hak yang diperoleh

dari transaksi lainnya yang

menyatakan bahwa NPOP-nya

adalah nilai pasar. Karena tidak

adanya patokan nilai pasar yang pasti

yang dapat dipakai sebagai rujukan,

maka NJOP PBB-lah salah satu

rujukan yang dapat dihandalkan.

Sehingga dalam transaksi perolehan

hak atas tanah dan/atau bangunan

seperti ini, ada kecenderungan wajib

pajak akan menentukan besarnya

nilai pasar sesuai atau mungkin

berada sedikit diatas NJOP PBB

yang berlaku.

Untuk diketahui pula bahwa

besarnya NJOP PBB yang berlaku

saat ini cenderung masih jauh

dibawah harga pasar yang

sebenarnya. Bahkan masih mencapai

30% sampai dengan 70% dari harga

pasar. Untuk daerah tertentu masih

ada yang dibawah 30% dari harga

pasar sebenarnya. Namun demikian,

untuk beberapa daerah tertentu juga

sudah ada yang mendekati 100% dari

harga pasar. Besarnya selisih antara

harga pasar dan NJOP PBB,

memungkinkan terjadinya rekayasa

penentuan harga transaksi, sehingga

besarnya harga transaksi yang

tercantum dalam akta notaris

cenderung tidak sesuai dengan

kenyataan (I Wayan Sukada, 2013).

Kecenderungan pencantuman harga

transaksi sedikit lebih besar dari

NJOP PBB yang berlaku

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[38]

mengakibatkan jumlah pajak

(khususnya BPHTB) yang harus

dibayar menjadi lebih rendah.

Timbulnya Kewajiban Pajak

BPHTB. Seperti yang telah

disebutkan di atas bahwa pajak

BPHTB adalah timbulnya suatu hak

atas tanah dan/atau bangunan bagi

subjek hukum (perorangan maupaun

badan hukum) baik yang disebabkan

oleh karena adanya suatu peristiwa

hukum atau suatu perbuatan hukum.

Peristiwa hukum adalah semua

kejadian atau fakta yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat yang

mempunyai akibat hukum, contoh-

nya kematian, kelahiran, perkawinan

dan lain sebagainya (Muhammad

Erzal, 2014). Sedangkan perbuatan

hukum menurut R. Soeroso, adalah

setiap perbuatan subjek hukum

(manusia atau badan hukum) yang

akibatnya diatur oleh hukum dan

karena akibat tersebut dapat

dianggap sebagai kehendak dari yang

melakukan hukum (dalam Ali,

2015).

Jika merujuk pada Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, maka

timbulnya hak atas tanah adalah

merupakan produk yang dihasilkan

dari adanya suatu rangkaian

pendaftaran tanah, dimana

pendaftaran tanah beradasarkan

peraturan pemerintah tersebut di atas

adalah berupa kegiatan pendaftaran

tanah pertama kali dan pemeliharaan

data pendaftaran tanah.

Sesuai dengan title-nya BPHTB

adalah pajak atas perolehan hak

tanah dan/atau bangunan. Dalam

konteks perolehan hak atas tanah

maka berdasarkan uraian di atas,

dapat dirumuskan bahwa BPHTB

timbul oleh karenanya adanya suatu

kegiatan pendaftaran tanah baik yang

didasarkan oleh suatu alat bukti

karena adanya peristiwa hukum

(seperti waris karena kematian)

maupun oleh karena adanya

perbuatan hukum (seperti hibah, jual

beli dan lain sebagainya).

Lalu yang menjadi pertanyaan

bagaimana dengan kewajiban pajak

atas bangunan yang melekat pada

hak atas tanah dimaksud? Apakah

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah khususnya terkait dengan

pelaksanaan setoran BPHTB atas

permohonan hak atas tanah yang

diatasnya dibangun rumah oleh

pemiliknya sendiri, apakah

perhitungan BPHTB-nya hanya

terhadap tanahnya saja atau termasuk

bangunan rumahnya? UNDANG-

UNDANG dimaksud secara umum

mengharuskan bangunan jadi pajak

terutang dalam hal pemberian hak

pertamakali. Artinya cendrung

bangunan juga menjadi beban

kewajiban pemegang hak untuk

dihitungkan pajaknya.

Padahal berdasarkan

nomenklatur yang ada sesuai dengan

Peraturan Menteri Negara

Agrarian/Ka. BPN Nomor 3 Tahun

1997 tentang Peraturan Pelaksana

Perutarn Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah menyebutkan dalam hal

pendaftaran tanah pertama kali yang

diterbitkan adalah Surat Keputusan

tentang Pemberian Hak Atas Tanah

saja (bukan pemberian hak atas

Tanah dan Bangunan).

Sehingga rasanya tidak masuk

akal jika dalam pendaftaran hak

pertama kali atas tanah yang

rumahnya dibangun sendiri oleh

pemilik tanah lantas bangunanya

juga dikenakan BPHTB, walaupun

berdasarkan Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tidak lagi dibaca

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[39]

istilahnya ada yang menggunakan

bea perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan. Jika demikian

berarti bisa alternatif maupun

komulatif, artinya bisa tanah dan

bangunan maupun bisa tanahnya

saja. Ini berarti untuk kasus seperti di

atas yang dikenakan BPHTB hanya

tanahnya saja (Seksi SKP Kantor

Pertanahan Kabupaten Tomohon

Prov. Sulawesi Utara, 2013).

Lebih jauh, dalam hukum

agraria dari semula berlaku azas self

assesment dan bukan pemisahan

horisontal, dibuktikan pada Pasal 4

UUPA Perihal pengertian 'tanah'. Hal

demikian ternyata juga dianut pada

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

tentang HakTanggungan dimana

tanah beserta tanam tumbuh

diatasnya menjadi obyek yang

dipertanggungkan. Sehingga pada

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009, perkiraan dapat diberlakukan

yang sama. Azas pemisahan

horisontal itu malah yang dianut oleh

hukum pertanahan nasional yang

maknanya pemilik tanah tidak

otomatis sebagai pemilik bangunan

atau pun tanaman yang berada di atas

tanah tesebut. Sebelumnya dianut

azas asesi atau perlekatan

sebagaimana yang diatur dalam buku

II Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, namun dengan berlakunya

UUPA maka buku II tersebut

sepanjang yang mengatur tentang

tanah dicabut, oleh karennya azas

perlekatan ini ditinggalkan.

Meski penafsiran tata laksana

hukum pertanahan di Indonesia

memposisikan bangunan tidak ikut

menjadi variable BPHTB, namun

dalam Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tegas menyebutkan

bahwa bangunan adalah salah satu

unsur penghitung sebagai variabel

pembayaran BPHTB. Oleh

karenanya tanah dan bangunan

menjadi satu kesatuan variabel yang

tidak terpisahkan dalam hitung-

hitungan pajak yang muncul akibat

timbulnya hak atas tanah dan

bangunan berdasarkan rumus

penghitungan BPHTB sebagaimana

dijelaskan di atas.

a. Kewajiban verifikasi BHPTB

Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak dan

Retribusi Daerah telah

memerintahkan masing-masing

pemerintah daerah untuk segera

menyusun peraturan daerahnya

sebagai petunjuk pelaksanaan dan

petunjuk teknis dalam pemungutan

pajak BPHTB. Terhitung setahun

setelah undang-undang tersebut

diundangkan kemudian disusun dan

diberlakukannya peraturan

daerah/Perda sebagai Juklak

(petunjuk pelaksanaan) berikut

Peraturan Bupati (Perbub) dan

Perwal (Peraturan Walikota) sebagai

Juknis (Petunjuk Teknis) terhadap

pemungutan BPHTB dimaksud di

masing-masing pemerintah daerah

kabupaten/kota di seluruh wilayah

Indonesia.

Perintah undang-undang tersebut

di atas bermaksud agar tercipta

mekanisme kontrol penghitungan

dan pemungutan BPHTB yang

dituangkan dalam Perda, Perbub

maupun Perwal yang lebih menitik

beratkan aspek Verifikasi BPHTB

yang tertuang dalam Surat Setoran

Pajak Daerah BPHTB (SSPD-

BPHTB) sebagai gerbang

penyaringan dalam penghitungan dan

pemungutan BPTHB. Tujuannya

adalah agar tidak terjadi lose control

dalam pelaksanaannya sehingga

pemungutan pajak BPHTB benar-

benar diharapkan mampu

mendongkrak pendapatan daerah.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[40]

Meski dalam berbagai Perda,

Perbub maupun Perwal telah menitik

beratkan aspek verifikasi dan

validasi bukti pemenuhan pajak

BPHTB yang tertuang dalam Surat

Setoran Pajak Daerah BPHTB

(SSPD-BPHTB) sebagai gerbang

penyaringan dan penghitungan

BPTHB, namun sayangnya persoalan

peluang „main mata‟ terhadap

penghitungan BPHTB khususnya

yang bersumber dari transaksi Jual

Beli tak juga kunjung terbendung

sehingga dapat dikatakan sebagai

kebijakan yang lepas kendali (lose

control).

Pasal 91 ayat (1), (2), dan (3)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 mengatur sebagai berikut: (1)

Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris

hanya dapat menandatangani akta

pemindahan Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan setelah Wajib Pajak

menyerahkan bukti pembayaran

pajak. (2) Kepala kantor yang

membidangi pelayanan lelang negara

hanya dapat menandatangani risalah

lelang Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan setelah Wajib

Pajak menyerahkan bukti

pembayaran pajak. (3) Kepala kantor

bidang pertanahan hanya dapat

melakukan pendaftaran Hak atas

Tanah atau pendaftaran peralihan

Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak

menyerahkan bukti pembayaran

pajak.

Dari aturan tersebut sangat jelas

bahwa proses peralihan hak atas

tanah melalui PPAT dan melalui

Pejabat Lelang Negara serta

pendaftaran atau peralihan hak di

BPN hanya dapat dilakukan apabila

si penerima hak telah membayar

BPHTB. Memang dalam aturan

tersebut tidak secara implisit

mengatur bahwa pembayaran

BPHTB yang dilakukan wajib pajak

harus telah mendapatkan persetujuan

dari fiskus, namun demikian demi

membantu kelancaran penerimaan

kas daerah penelitian atas SSDP

BPHTB sebelum wajib pajak

membayar BPHTB terutang sangat

diperlukan.

Pada tahap inilah sebenarnya

diperlukan sinergi yang saling

mendukung antara BPN sebagai

instansi yang mempunyai

kewenangan atas pemberian hak atas

tanah dan pemerintah kota/kabupaten

sebagai pengelola BPHTB. Disatu

sisi, kehati-hatian fiskus dalam

penelitian SSDP BPHTB sangat

diperlukan dan disisi lain kecepatan

pelayanan di BPN juga sangat

diperlukan. Kunci utamanya adalah

bagaimana kedua instansi pemerintah

tersebut saling bersinergi untuk dapat

memberikan layanan kepada

masyarakat secara cepat, tepat, dan

akurat

Sebagai konsekuensi dari sistem

self assessment dalam pemungutan

BPHTB, fiskus mempunyai peran

selain pembinaan juga melakukan

pemeriksaan. Pembinaan dilakukan

untuk menumbuhkan kesadaran

wajib pajak dalam membayar pajak

sesuai dengan aturan perundangan

yang berlaku. Pemeriksaan dilakukan

dalam menguji kepatuhan pelak-

sanaan kewajiban perpajakan oleh

wajib pajak. Tentu dalam menguji

kepatuhan tersebut, fiskus harus

memiliki data yang valid dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Selain itu, harus ada petugas

pemeriksa yang mempunyai

kompetensi dalam melaksanakan

proses pemeriksaan. Kebijakan

penelitian SSDP BPHTB dilakukan

untuk melaksanakan fungsi

pembinaan dan sekaligus pemerik-

saan yang merupakan kewenangan

fiskus dalam sistem self assessment.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[41]

Pelaksanaan kebijakan penelitian

SSDP BPHTB dilakukan untuk

mengecek kebenaran tentang objek

(tanah dan atau bangunan) yang

dilakukan peralihan. Hal ini

berkaitan dengan lokasi serta persil

bidang tanah dan atau bangunan

yang dilakukan pendaftaran hak atas

tanahnya.

Selanjutnya dilakukan penelitian

terhadap kepatuhan wajib pajak

dalam melaksanaan kewajiban Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) atas

objek yang ditransaksikan. Penelitian

kepatuhan pembayaran PBB

dilakukan agar setelah peralihan hak,

sipenerima hak tidak terbebani

dengan utang PBB atas objek

tersebut sebelum menjadi haknya.

Penelitian juga dilakukan terhadap

perhitungan dan penentuan NPOP

yang dilakukan oleh wajib pajak.

Sebagaimana dijelaskan di atas

bahwa besarnya NPOP ditentukan

sebesar NJOP PBB yang berlaku

dalam tahun pajak yang

bersangkutan apabila harga transaksi

atau nilai pasar tidak diketahui atau

lebih rendah dari NJOP PBB.

Pada umumnya pelaksanaan

kebijakan penelitian SSDP BPHTB

dilakukan sebelum wajib pajak

melunasi BPHTB terutang menurut

perhitungan wajib pajak. Hasil

penelitian yang dilakukan fiskus

dituangkan dalam persetujuan hasil

penelitian dan disertakan tanda

tangan serta cap dinas pada blanko

SSDP BHTBP yang telah diisi oleh

wajib pajak. Besarnya BPHTB

terutang yang tercantum dalam

blanko SSDP BPHTB yang telah

disertakan persetujuan fiskus atas

hasil penelitian dipakai sebagai dasar

pembayaran BPHTB.

Hal ini dilakukan agar fiskus

tidak perlu lagi melakukan

pemeriksaan atas BPHTB terutang

yang telah dilunasi oleh wajib pajak,

mengingat pelaksanaan pemeriksaan

tersebut membutuhkan waktu yang

cukup lama serta SDM yang

kompeten. Selain itu akan

membutuhkan usaha lebih, dalam

menyampaikan surat keputusan

berdasarkan hasil pemeriksaan

kepada wajib pajak, apalagi domisili

wajib pajaknya tidak di lokasi tanah

dan atau bangunan yang diperoleh

haknya. Namun demikian, pelaksa-

naan penelitian SSDP BPHTB ini

tidak serta merta menutup

kemungkinan dilakukan pemeriksaan

kembali oleh fiskus.

Pemeriksaan kembali dapat saja

dilakukan apabila setelah proses

transaksi peralihan hak dilakukan

dan BPHTB telah dibayar wajib

pajak, diketemukan data baru yang

mengindikasi bahwa data yang

tercantum dalam SSDP BPHTB

tersebut tidak benar. Mengingat

dalam pelaksanaan penelitian SSDP

BPHTB tersebut juga tercakup

fungsi pemeriksaan, maka diperlukan

kehati-hatian fiskus dalam

menyetujui atau tidak menyetujui

perhitungan serta penentuan NPOP

yang disampaikan wajib pajak.

Sehingga untuk mencapai ketepatan

yang objektif, dimungkinkan

dilakukan penelitian lapangan selain

penelitian setempat.

Penelitian lapangan dilakukan

untuk mengetahui kebenaran objek

serta lokasi objek tanah dan atau

bangunan yang ditransaksikan.

Penelitian lapangan dilakukan

apabila fiskus merasa tidak yakin

atas berkas yang disampaikan wajib

pajak. Namun apabila fiskus sudah

merasa yakin akan berkas pendukung

dari wajib pajak, cukup dilakukan

penelitian setempat.Untuk menjamin

kelancaran pelayanan kepada wajib

pajak, hendaknya kehati-hatian

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[42]

tersebut tidak sampai menjadi alasan

yang menyebabkan lambatnya

pelayanan, yang pada akhirnya akan

merembet pada lambatnya pelayanan

pelaksanaan pendaftaran hak di BPN

yang merupakan kewenangan BPN.

b. Implikasi akibat dihapusnya

kewajiban verifikasi BPHTB

Pasalnya, kebijakan verifikasi

dan validasi sebagaimana dimaksud

di atas kemudian memunculkan

keluh kesah baru bagi PPAT

diseluruh penjuru tanah air terkait

panjangnya waktu dalam proses

verifikasi dan validasi SSPD-BPHTB

oleh Pemda yang berimbas kepada

molornya pelayanan akta-akta

peralihan hak (bukan hanya sekedar

akta jual beli) yang dijajakan oleh

Notaris/PPAT kepada konsumennya/

masyarakat.

Di samping verifikasi dan

validasi dianggap merepotkan dan

berbelit-belit, pemerintah daerah

dinilai belum siap menerima

pelimpahan pengelolaan pajak

BPHTB yang tadinya dikelola

pemerintah pusat. Selain itu,

barometer uji kelayakan dan

penilaian yang dilakukan oleh Pemda

secara formil (aspek ZNT) juga

menjadi tanda tanya besar terhadap

verifikasi dan validasi SSPD BPHTB

tersebut.

BPN sebagai eksekutor

pemberian dan peralihan hak atas

tanah juga mengalami kendala dan

keterlambatan dalam proses

percepatan pendaftaran tanah

khususnya dalam konteks penetapan

hak atas tanah dan pelayanan

pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Penegasan dalam menghadapi

kewajiban verifikasi BPHTB untuk

setiap perolehan hak atas tanah-pun

kemudian diperkuat dengan

diterbitkannya Surat Edaran Kepala

BPN Nomor 5/SE/IV2013 tanggal 10

April 2013 tentang Pendaftaran Hak

Atas Tanah Atau Pendaftaran

Peralihan Hak Atas Tanah Terkait

Dengan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009

Tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah. Uniknya, justru Surat

Edaran Ka. BPN tersebut dinilai

bertolak belakang dengan tujuan

nilai filsofi pengenaan pajak oleh

negara terhadap perolehan dan

pemanfaatan nilai ekonomis tanah

bagi rakyatnya sebagaimana

diuraikan di atas.

Pada angka 6 Surat Edaran BPN

tersebut secara tegas menyatakan

tidak diprasyaratkan pengecekan

(verifikasi dan validasi) tanda bukti

setoran BPHTB. Dengan kata lain,

pendaftaran tanah dalam konteks

pendaftaran hak dan peralihan hak

dapat terus berlangsung meskipun

belum terbukti benar tidaknya materi

pelaporan pajak oleh penerima

hak/wajib pajak terhadap SSPD-

BPHTB yang dilampirkannya dalam

permohonan hak atas tanah.

Meskpun dalam surat edaran tersebut

memprasyaratkan bukti pendukung

formil berupa rangkaian pernyataan

tentang kebenaran informasi laporan

pajak BPHTB dari si penerima hak,

namun lagi-lagi kebijakan BPN

sebagaimana tertuang dalam surat

edaran tersebut dinilai berpotensi

memperkuat terjadinya lose control

dalam perspektif monitoring dan

kendali atas penyerapan pendapatan

negara/daerah dari sektor pajak

BPHTB.

Adagium yang berkembang di

kalangan BPN terhadap kompleksitas

verifikasi dan validasi BPHTB bagi

BPN adalah bahwa pemanfaatan

BPHTB sepenuhnya merupakan hak

Pemda yang digunakan untuk

kepentingan pembangunan daerah.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[43]

BPN hanya berperan dalam konteks

penghitungan BPHTB sedangkan

hasil pemungutan BPHTB tersebut

untuk belanja penunjang kinerja

BPN kabupaten/kota sehingga

memposisikan kebijakan verifikasi

dan validasi BPHTB hanya sebagai

penghambat pelayanan kepada

masyarakat.

Surat Edaran BPN tersebut

berdampak pada kegelisahan di

kalangan Pemda di seluruh Indonesia

dan kemudian melakukan

penyederhanaan terhadap kebijakan

controlling penghitungan BPHTB

oleh pemerintah pusat, dengan

diterbitkannya Surat Edaran Bersama

antara Menteri Keuangan, Menteri

Dalam Negeri dan Kepala BPN

dengan Nomor SE-12/MK.07/2014,

593/2278/SJ/ dan 4/SE/V/2014

tanggal 6 Mei 2014 tentang Petunjuk

Pemungutan BPHTB Dalam

Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak

Atas Tanah atau Pendaftaran

Peralihan Hak Atas Tanah.

Namun, surat edaran bersama

dimaksud tidak membawa perubahan

apapun terhadap pengawasan atas

penghitungan BPHTB. Sebab pada

angka 6 Surat Edaran Bersama

secara tegas menyebutkan tetap

memberlakukan SE Kepala BPN

Nomor 5/SE/IV/2013 yang artinya

verifikasi dan validasi (pengecekan)

SSPD-BPHTB tidak dipersyaratkan

dan/atau tidak menjadi syarat mutlak

dalam proses permohonan

pendaftaran hak atas tanah atau

pendaftaran peralihan hak atas tanah

di lingkungan BPN.

Adagium yang menyatakan

bahwa verifikasi BPHTB bukan

domein BPN tampaknya menjadi

alasan utama pencabutan kewajiban

verifikasi SSDP BPHTB

sebagaimana dituangkan dalam

Surat Edaran Bersama antara

Menteri Keuangan, Menteri Dalam

Negeri dan Kepala BPN. Secara

prinsip undang-undang hanya

mengatur norma yang bersifat umum

saja, sedangkan teknisnya diatur

dalam peraturan dibawahnya

termasuk Perda, Perbub dan Perwal.

Sehingga masih dalam kerangka

hukum yang benar jika kemudian

dalam hal Perda, Perbub dan Perwal

mengatur adanya kewajiban

verifikasi BPHTB sebelum

pendaftaran hak, hal tersebut masih

dalam kerangka keterikatan aturan

pelaksanan yang didelegasikan oleh

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 terhadap hal-hal teknis

pelaksanaan pajak dan retribusi

daerah termasuk BPHTB kepada

Pemda dengan membuat Perda,

Perbub dan Perwal.

Penghapusan kewajiban verifi-

kasi BPHTB sebagaimana tertuang

pada angka 6 Surat Edaran Bersama

antara Menteri Keuangan, Menteri

Dalam Negeri dan Ka. BPN Nomor

SE-12/MK.07/2014, 593/2278/SJ/

dan 4/SE/V/2014 tanggal 6 Mei 2014

tentang Petunjuk Pemungutan

BPHTB Dalam Kaitannya Dengan

Pendaftaran Hak Atas Tanah atau

Pendaftaran Peralihan Hak Atas

Tanah dinilai telah menghambat

upaya pemerintah daerah dalam

meningkatkan income daerah dari

sektor pajak BPHTB.

Implikasi atas kebijakan

penghapusan kewajiban verifikasi

BPHTB sebagaimana disebutkan

dalam surat edaran bersama tersebut

di atas adalah kemungkinan

terjadinya lose control terhadap

penghitungan dan pemungutan

BPHTB yang berimbas kepada

merosotnya pendapatan daerah dari

sektor pajak BPHTB dimaksud.

Meskipun didalam surat edaran

telah memprasyaratkan bukti

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[44]

pendukung formil berupa rangkaian

pernyataan tentang kebenaran

informasi laporan pajak BPHTB dari

si penerima hak/wajib pajak sebagai

wujud dari sistem self assessment

dalam pemungutan pajak BPHTB,

namun kebijakan BPN sebagaimana

tertuang dalam surat edaran tersebut

dinilai belum memberikan peran

yang maksimal dalam konteks

monitoring pajak BPHTB.

Implikasi tersebut juga didukung

oleh tiga hal yang kerap terjadi,

yaitu; Pertama, pemungutan pajak

BPHTB menggunakan sistem self

assessment yang berarti bahwa wajib

pajak diwajibkan untuk menghitung/

memperhitungkan, membayar sendiri

dan melaporkan pajak yang terutang

sesuai peraturan perundang-

undangan perpajakan, sehingga

penentuan besarnya pajak yang

terutang dipercayakan kepada wajib

pajak. Beberapa hal yang perlu

diperhatikan adalah wajib pajak yang

tidak memahami terhadap tata cara

penghitungan BPHTB, selain itu

masih pihak yang memanipulasi

dalam penghitungan sehingga

membuka peluang bagi wajib pajak

melakukan kecurangan dalam

penghitungan pajak (BPTHB).

Belum tertibnya tata kelola

administrasi pemerintah daerah

dalam konteks pemuktahiran data

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

pasca pengalihan pajak dari

pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah, sehingga kalkulasi nilai dasar

NJOP terhadap masing masing

bidang tanah dan bangunan di suatu

daerah belum up-date, dan tentunya

akan berdampak pada rendahnya

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

sebagaimana tertuang dalam SPPT-

PBB atas bidang-bidang tanah

dimaksud. Dampak terbesarnya

adalah tidak update-nya

penghitungan BPHTB jika

didasarkan pada besarnya nilai NJOP

berdasarkan SPPT PBB.

Zona Nilai Tanah (ZNT)

terhadap bidang-bidang tanah

(khususnya bidang tanah yang telah

bersertifikat/ terdaftar) di suatu

wilayah pemerintah daerah belum

tersedianya, hal ini berdampak

kepada tidak adanya standar nilai

transaksi jual beli terhadap bidang-

bidang tanah di wilayah tersebut.

Sehingga nilai jual beli yang

dituangkan dalam Akta Jual Beli

yang ditandatangani dihadapan

PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

hanya sekedar formalitas

berdasarkan asas standar harga

logika sosial bukan standar logika

hukum pajak yang dipakai dalam

perspektif jual beli.

Simpulan

Implikasi atas kebijakan

penghapusan kewajiban verifikasi

BPHTB sebagaimana disebutkan

dalam surat edaran bersama

kemungkinan besar masih terjadi

lose control terhadap penghitungan

dan pemungutan BPHTB yang

berimbas kepada merosotnya

pendapatan daerah dari sektor pajak

BPHTB. Hal ini disebabkan karena

wajib pajak yang tidak memahami

terhadap tata cara penghitungan

BPHTB, selain itu masih pihak yang

memanipulasi dalam penghitungan

sehingga membuka peluang bagi

wajib pajak melakukan kecurangan

dalam penghitungan pajak (BPTHB).

Tata kelola administrasi

pemerintah daerah dalam konteks

pemuktahiran data Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) pasca pengalihan

pajak dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah belum tertib,

sehingga perhitungan nilai dasar

NJOP terhadap tanah dan bangunan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[45]

di suatu daerah belum up-date,

sehingga berdampak pada rendahnya

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

sebagaimana tertuang dalam SPPT-

PBB atas bidang-bidang tanah

Penghapusan kewajiban melaku-

kan verifikasi BPHTB sebagaimana

tertuang pada angka 6 Surat Edaran

Bersama antara Menteri Keuangan,

Menteri Dalam Negeri dan Ka. BPN

Nomor SE-12/MK.07/2014,

593/2278/SJ/ dan 4/SE/V/2014

tanggal 6 Mei 2014 tentang Petunjuk

Pemungutan BPHTB Dalam

Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak

Atas Tanah atau Pendaftaran

Peralihan Hak Atas Tanah dinilai

telah menghalangi upaya pemerintah

daerah dalam meningkatkan

penerimaan daerah dari sektor pajak

BPHTB.

Beberapa saran yang dapat

dikemukakan antara lain: Pertama,

pelaksanaan verifikasi BPHTB pada

sebagian pemerintah daerah masih

sulit dilaksanakan oleh karena belum

tertibnya tata kelola administrasi

pemerintah daerah dalam konteks

pemuktahiran data PBB pasca

pengalihan pajak dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah,

sehingga kalkulasi nilai dasar NJOP

terhadap masing masing bidang

tanah dan bangunan di suatu daerah

belum up-date, sehingga perlu untuk

menjadi perhatian pemerintah daerah

agar segera ditindaklanjuti dan

ditingkatkan lagi.

Kedua, belum tersedianya Zona

Nilai Tanah (ZNT) terhadap bidang-

bidang tanah (khususnya bidang

tanah yang telah bersertifikat/

terdaftar) di suatu wilayah

pemerintah daerah yang berdampak

kepada tidak terstandarkannya nilai

transaksi jual beli terhadap bidang-

bidang tanah di wilayah tersebut.

Sehingga hal ini butuh perhatian dan

penanganan yang serius bagi masing-

masing pemerintah daerah guna

terlaksananya manajemen kontrol

dalam pelaksanaan verifikasi

BHPTB ke depannya.

Ketiga, terhadap persoalan

‟lempar bola‟ pada konteks

penghapusan kewajiban verifikasi

BPHTB salah satunya adalah duduk

bersama membahas secara teknis

antara Pemda, PPAT dan BPN di

masing-masing daerah. Bahkan trik

‟share benefit’ antara berbagai pihak

dalam hal pemanfaatan hasil

pemungutan BPHTB dinilai sebagai

sebuah posisi tawar untuk

meningkatkan gairah para

stakeholder untuk lebih berperan

dalam memonitor penghitungan

BPHTB bagi masyarakat calon

penerima hak atas tanah (dan

bangunan). Sehingga, peningkatan

pendapatan daerah melalui

monitoring penghitungan dan

pemungutan BPHTB dapat

dilaksanakan dan diyakini hal

tersebut akan memiliki dampak

positif pada peningkatan pendapatan

asli daerah dari sektor pajak

Daftar Pustaka

Ali, Pengertian Perbuatan Hukum

Menurut Para Pakar dalam

http://www.pengertianpakar.com/

2015/04/pengertian-perbuatan-

hukum-menurut-pakar.html#,

diakses padal hari Selasa, 09

Februari 2016 Pukul 23.52Wib.

Budi Ispriyarso, Aspek Perpajakan

dalam Pengalihan Hak Atas

Tanah dan/atau Bangunan

karena Adanya Transaksi Jual

Beli, Masalah-masalah Hukum,

Volume 34. No. 4 Oktober –

Desember 2005.

I Wayan Sukada, Perlunya Penelitian

SSB dalam Penerapan Undang-

Undang Pajak daerah dan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[46]

Retribusi Daerah (Menyikapi

Surat Edaran Kepala BPN

Nomor: 5/SE/IV/2013) dalam

http://www.kemenkeu.go.id/sites/

default/files/artikel_220813.pdf,

Rabu, 10 Februari 2016 Pukul

01.34Wib.

Muhammad Erzal, Pengertian Dasar

Hukum dalam

http://bloganakjahat.blogspot.co.i

d/2014/12/pengertian-peristiwa-

akibat-dan.html, diakses pada

hari Selasa, 09 Februari 2016

Pukul 23.52Wib

Muhammad Fauzan, Hukum

Pemerintahan Daerah, Kajian

tentang Hubungan antara Pusat

dan Daerah, Yogyakarta:

Kerjasama PKHKD FH

UNSOED dengan UII Press,

2006.

Peraturan Menteri Negara

Agraria/Ka.BPN Nomor 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Seksi SKP Kantor Pertanahan

Kabupaten Tomohon Provinsi

Sulawesi Utara dalam

http://seksiskpkantahkotatomoho

n.blogspot.co.id/2013/10/uu-no-

28-tahun-2009-tentang-

pajak.html, diakses padal 10

Februari 2016.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak dan Retribusi

Daerah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Ketentuan Dasar

Pokok-pokok Agraria.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[47]

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN BUAH PISANG

DI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DI KOTA MEDAN

Faoeza Hafiz Saragih

Staf Pengajar Prodi Agribisnis Universitas Medan Area

Surel: [email protected]

ABSTRACT

Traditional market and modern market were last part of bananas marketing that

has an advantages for consumers. The aim of this study was to analyze the factors

which influence the consumer behaviour of bananas fruits in the traditional

markets and modern markets. The method used in this research is analysis factor.

Factors that influence consumers behavior in traditional market bananas fruit is

the the factor with atribute fruit product variables and packaging, while the

factors that influence the oranges consumers behaviour in modern markets is the

factor with atribute fruit product variables and access variable.

Keywords: Bananas, behavior, modern, traditional,market.

Pendahuluan

Indonesia dengan struktur

perekonomian yang cenderung

agraris harus memperkokoh sektor

pertanian melalui strategi

pembangunan sektor pertanian yang

semakin tangguh. Pengembangan

agribisnis sebagai salah satu strategi

pembangunan pertanian merupakan

suatu upaya yang sangat penting

untuk mencapai beberapa tujuan,

antara lain menarik dan mendorong

industri baru di sektor pertanian,

menciptakan struktur perekonomian

yang tangguh, orefisien dan fleksibel,

menciptakan nilai tambah (value

added), meningkatkan penerimaan

devisa, menciptakan lapangan kerja

dan memperbaiki distribusi

pendapatan. Pengembangan agro-

industri merupakan salah satu upaya

untuk meningkatkan nilai tambah

produk primer komoditas pertanian yang sekaligus dapat mengubah

sistem pertanian tradisional menjadi

lebih maju (Artika dan Marini, 2016).

Komoditi pertanian yang saat ini

cukup potensial untuk dikembangkan

adalah komoditi buah-buahan.

Indonesia merupakan negara tropis

yang kaya dengan aneka jenis buah-

buahan. Beberapa komoditi buah-

buahan ada yang diekspor dan

dikonsumsi di dalam negeri yang

berarti budidaya buah-buahan juga

dilakukan secara komersil.

Buah pisang merupakan buah

yang sangat bermanfaat bagi

kehidupan manusia, yang dapat

dikonsumsi kapan saja dan pada

segala tingkatan usia. Di daerah

sentra buah pisang, ketersediaan

buah pisang seringkali dalam jumlah

banyak dan keragaman varietas yang

luas sehingga dapat membantu

mengatasi kerawanan pangan. Pisang

dapat digunakan sebagai alternatif

pangan pokok karena mangandung

karbohidrat yang tinggi, sehingga

dapat menggantikan sebagian

konsumsi beras dan terigu. Untuk keperluan tersebut, digunakan buah

pisang mentah yang kemudian diolah

menjadi berbagai produk, baik

melalui pembuatan gaplek dan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[48]

tepungnya maupun olahan langsung

dari buahnya (Prabawati, dkk, 2008).

Pisang merupakan salah satu

diantara tanaman asli Indonesia.

Dimana salah satu jenis pisang yang

terdapat di Indonesia adalah pisang

barangan (musa paradisiaca

sapientum L.) Pisang barangan

merupakan salah satu komoditi buah

unggulan nasional, hampir setiap

wilayah banyak dijumpai pisang

jenis ini. Tanaman pisang barangan

dibudidayakan secara komersial dan

keuntungannya tidak kalah jika

dibandingkan dengan komoditi lain

(Satuhu, 2006).

Sejalan dengan perkembangan

dunia, masyarakat mulai beralih pada

hal yang bersifat modern dan

meninggalkan hal yang bersifat

tradisional. Dimana terlihat dari

perilaku konsumen saat ini yang

lebih suka berbelanja di pasar

modern dari pada di pasar

tradisional. Di pasar modern kualitas

barang yang diperjualbelikan lebih

baik, kemasan yang higienis dan

suasana yang nyaman sehingga

konsumen leluasa untuk memilih

barang (Kartika,N.Y. 2010).

Pada pasar tradisional jenis

barang yang dihasilkan biasanya

mempunyai kualitas yang kurang

baik, kemasan yang tidak ada serta

suasana yang kurang nyaman.

Namun masih banyak juga

konsumen yang tetap belanja di pasar

tradisional dikarenakan harganya

yang murah. Buah pisang yang

terdapat di kedua pasar ini

mempunyai spesifikasi yang

berbeda, dimana pada pasar modern

buah pisang biasanya telah disortir

berdasarkan atribut produk tertentu

seperti ukuran, warna, bentuk dan

lain-lain. Pada pasar tradisional buah

pisang yang dijual tidak mempunyai

atribut produk sendiri, sehingga

pisang yang dijual tidak mempunyai

keseragaman bentuk, warna dan

ukuran. Oleh karena itu perlu

kiranya untuk melihat faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku

konsumen buah pisang di pasar

modern dan pasar tradisional

Metode

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode survai

(Singarimbun,1989). Jumlah sampel

yang diambil sebanyak 60 sampel

konsumen buah posang. Pada pasar

tradisional dan pasar modern jumlah

sampel yang akan diambil masing-

masing 30 sampel, sehingga jumlah

sampel yang diuji dalam penelitian

ini sebanyak 60 orang. Adapun pasar

tradisonal dan pasar modern yang

dijadikan sampel dalam penelitian ini

adalah Pasar Tuntungan dan

Carefour.

Untuk menganalisis pengaruh

atribut produk terhadap konsumsi

pisang dipasar tradisional dan pasar

modern dilakukan dengan statistik

parametrik. Statistik parametrik yang

digunakan adalah analysis factor.

Metode ini untuk mengetahui

prioritas masyarakat dalam membeli

buah di pasar tradisional dan pasar

modern secara demografis dengan

jenis buah dan tingkat ekonomi

masyarakat.

Untuk mengukur preferensi dan

persepsi atribut buah pisang

digunakan kuesioner yang berisi

pertanyaan mengenai preferensi

masyarakat beserta alasannya,

persepsi masyarakat terhadap atribut

kualitas dalam membeli buah yang

terdapat di Pasar Tradisional dan

Pasar Modern. Kuesioner disebarkan

terhadap sejumlah konsumen.

Pertanyaan persepsi masyarakat

dalam membeli buah pada kuesioner

dibatasi dengan bantuan atribut,

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[49]

seperti: ukuran buah, bentuk buah,

warna buah, rasa buah, kehiegenisan

buah dan aroma buah. Disampng

atribut buah variabel lain yang diuji

adalah ketersediaan buah, promosi,

harga, akses, pelayanan dan

potongan harga Sistem penilaiannya

ini menggunakan jawaban dengan

nilai1-5.

Hasil dan Pembahasan

Pisang merupakan buah yang

sepanjang tahun dijual dipasar

tradisional dengan berbagai jenis

variannya. Terdapat perbedaan

pisang yang dijual dipasar tradisional

dan pasar modern. Dipasar

tradisional, pisang yang dijual tidak

mempunyai standar baik ukuran,

warna, bentuk dan kesegaran,

sedangkan dipasar modern pisang

yang dijual mempunyai standar yang

tidak dimiliki oleh pasar tradisional.

Dari 12 variabel yang diuji untuk

pisang dibedakan berdasarkan

pasarnya, yaitu pasar tradisional dan

pasar modern. Berikut adalah hasil

analisis faktor untuk kedua pasar

tersebut.

a. Pasar Tradisional.

Pasar Tuntungan yang dijadikan

sampel dalam penelitian ini banyak

terdapat pedagang buah. Dimana

buah yang dijual di pasar Tuntungan

beraneka ragam termasuk didalam-

nya pisang barangan. Berikut adalah

hasil analisis faktor preferensi

konsumen buah pisang barangan.

Dari hasil analisis faktor pada

tabel 1 diketahui bahwa terdapat 12

variabel yang dikelompokkan

menjadi 3 faktor konsumen membeli

pisang dipasar tradisional. Besarnya

pengaruh faktor-faktor tersebut

terhadap pembelian pisang di pasar

tradisional berdasarkan pada

besarnya persentase varians yang

dirumuskan pada tabel 2.

b. Pasar Modern

Pasar modern dalam penelitian

ini adalah Supermarket Carefour.

Dimana buah yang dijual di Carefour

tidak hanya dari buah lokal namun

juga buah impor. Berikut adalah

hasil analisis faktor preferensi

konsumen buah pisang barangan.

Tabel 1. Hasil Analisis Faktor Komoditi Pisang pada Pasar Tradisional

Atribut Variabel Faktor

1 2 3

Rasa .828 -.164 -.184

Segar .844 .225 .000

Aroma .847 .324 .109

Pengemasan .839 .009 .326

Warna .367 .822 .076

Ketersediaan -.188 .831 .185

Akses .198 .858 .134

Ukuran .096 .512 -.165

Promosi -.325 .518 .552

HargaMurah .211 -.026 .917

Diskon .049 .355 .916

Pelayanan .000 .477 -.660

% Varians 26.583 26.404 22.138

% Cumulative 26.583 52.987 75.125

Sumber : Data Diolah

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[50]

Tabel 2. Hasil Analisis Pengaruh Tiga Faktor Konsumen Membeli Pisang

Berdasarkan Persentase Varians di Pasar Tradisional Faktor Persentase Varian

Faktor 1 (Rasa, Segar, Aroma, Pengemasan)

Faktor 2 (Warna, Ketersediaan, Akses, Ukuran)

Faktor 3 (Promosi, Harga, Diskon, Pelayanan)

26,583

26,404

22,138

Sumber : Data Diolah

Tabel 3. Hasil Analisis Faktor Komoditi Pisang pada Pasar Modern

Atribut Variabel Faktor

1 2 3 4

Rasa .892 .165 .043 -.054

Kesegaran .922 .194 .000 -.052

Warna .778 .057 .168 -.151

Akses .644 .328 .026 .486

Aroma .554 .672 -.076 .114

Promosi -.066 .852 -.075 -.008

HargaMurah .375 .729 -.255 .091

Diskon .268 .823 .032 -.110

Pengemasan .517 .223 -.711 .274

Pelayanan .159 -.398 .760 .190

Ukuran .460 .289 .736 .150

Ketersediaan -.173 -.080 .087 .934

% Varians 41,424 18,208 10,716 9,876

% Cumulative 41,424 59,631 70,347 80,214

Sumber : Data Diolah

Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Empat Faktor Konsumen Membeli Pisang

Berdasarkan Persentase Varians di Pasar Modern Faktor Persentase Varian

Faktor 1 (Rasa, Kesegaran, Warna, Akses)

Faktor 2 (Aroma, Promosi, Harga, Diskon)

Faktor 3 (Pengemasan, Pelayanan, Ukuran)

Faktor 4 (Ketersediaan)

42,424

18,208

10,716

9,876

Sumber : Data Diolah

Berdasarkan hasil analisis faktor

pada tabel 3 diketahui bahwa

terdapat 12 variabel yang

dikelompokkan menjadi 4 faktor

konsumen membeli pisang dipasar

modern. Besarnya pengaruh faktor-

faktor tersebut terhadap pembelian

pisang di pasar modern berdasarkan

pada besarnya persentase varians

yang dirumuskan pada tabel 4 dapat

diketahui bahwa faktor 1 mempunyai

tingkat persentase yang cukup besar

apabila dibandingkan dengan ketiga

faktor yang lain. Didalam faktor 1

selain variabel atribut buah terdapat

variabel akses didalamnya, hal ini

menunjukkan kemudahan konsumen

dalam menjangkau pasar modern

yang terletak dipusat kota menjadi

variabel penting konsumen untuk

membeli pisang barangan. Untuk

faktor keempat yaitu variabel

ketersediaan menjadi pilihan terakhir

konsumen dalam memutuskan untuk

membeli pisang.

Konsumen dalam memutuskan

untuk membeli pisang di pasar

tradisional dan pasar modern sangat

berbeda. Di pasar tradisional 12

variabel terbagi menjadi 3 faktor

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[51]

sedangkan di pasar modern terbagi

atas 4 faktor konsumen memutuskan

membeli pisang. Pada pasar

tradisional ketiga faktor yang

terbentuk tidak mempunyai persen-

tase perbedaan pengaruh yang cukup

besar namun rasa, kesegaran, aroma

dan pengemasan menjadi variabel

yang menjadi pertimbangan utama

konsumen membeli. Pada pasar

modern rasa dan kesegaran juga

menjadi variabel yang dipertim-

bangkan oleh konsumen ditambah

dengan warna dan akses.

Pada pasar modern aroma tidak

menjadi variabel yang dipertim-

bangkan dikarenakan konsumen

mempunyai keloyalan terhadap

produk yang dijual dipasar modern

dengan penyampaian promosi yang

dilakukan. Hal ini ditunjukkan

dengan variabel promosi terdapat

pada faktor 2, sedangkan pada pasar

tradisional variabel promosi terdapat

pada faktor yang ketiga. Kemasan

dipasar tradisional sangat diperhi-

tungkan dikarenakan pisang tidak

mempunyai standar yang baku,

sedangkan dipasar modern semua

produk buah dikemas dengan baik

dan rapi.

Simpulan

Faktor yang mempengaruhi

perilaku konsumen buah pisang pada

pasar tradisional adalah faktor yang

terdiri variabel atribut produk buah

yaitu rasa, kesegaran, aroma dan

pengemasan, sedangkan faktor yang

tidak berpengaruh besar terhadap

perilaku konsumen adalah variabel

atribut harga. Pada pasar modern

faktor yang mempengaruhi perilaku

konsumen buah pisang adalah faktor

yang terdiri variabel atribut produk

buah yaitu rasa, kesegaran, warna

dan akses, sedangkan faktor yang

tidak berpengaruh besar terhadap

perilaku konsumen adalah

ketersediaan.

Berdasarkan hasil penelitian ini,

pedagang sebaiknya mempertim-

bangkan faktor-faktor beserta

variabel yang mempengaruhi

keputusan konsumen dalam membeli

buah pisang sebagai salah satu

strategi dalam meningkatkan

penjualan sehingga pendapatan akan

meningkat.

Daftar Pustaka

Artika, I.B dan Marini, I. A. (2016).

Analisis Nilai Tambah (Value

Added) Buah Pisang Menjadi

Kripik Pisang di Kelurahan

Babakan Kota Mataram. Jurnal

GaneC Swara Vol. 10 No. 1

Kartika, N.Y. dkk. (2010). Analisis

Perilaku Konsumen Buah di

Pasar Tradisional dan Pasar

Modern Kecamatan Kaliwates,

Kabupaten Jember. Jurnal J-SEP

Vol. 4 No. 1.

Prabawati, S dkk. (2008). Teknologi

Pascapanen dan Pengolahan

Buah Pisang. Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian Balitbang

Pertanian.Jakarta

Sujianto, E.A. (2007). Aplikasi

Statistik Dengan SPSS Untuk

Pemula. Prestasi Pustaka.

Jakarta

Singarimbun, M. (1989). Metode

Penelitian Survai. LP3ES.

Jakarta

Satuhu, S. (2006). Budidaya,

Pengolahan dan Prospek Pasar

Pisang. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[52]

ANALISIS PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL

DALAM MENGHASILKAN LABA OPERASI

PADA PT KERETA API INDONESIA (PERSERO)

DIVISI REGIONAL I SUMUT

Fitri Wahyuni

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Surel: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendapatan dan beban

operasional dalam menghasilkan laba operasi, faktor-faktor yang menyebabkan

perusahaan mengalami kerugian, serta upaya yang telah dilakukan perusahaan

dalam menghasilkan laba operasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

perusahaan tidak mampu mengoptimalkan pendapatan dan mengefesiensikan

beban operasionalnya sehingga perusahaan tidak dapat menghasilkan laba operasi.

Faktor yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian yaitu besarnya beban

operasi sarana dan meningkatnya beban operasi prasarana dan beban optimalisasi

aset setiap tahunnya serta menurunnya pendapatan yang berasal dari angkutan

kereta api (KA) barang dan pendapatan pendukung angkutan KA. Upaya yang

dilakukan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi yaitu lebih

mengoptimalkan pendapatan angkutan KA penumpang dan barang, serta

pendapatan optimalisasi aset, memaksimalkan kinerja unit operasional,

meningkatkan pelayanan terhadap kepuasan pelanggan serta membatasi dan

memilah biaya yang akan dikeluarkan oleh setiap unit.

Kata Kunci: efisiensi, optimalisasi, kinerja unit operasional

Pendahuluan

Dalam menjalankan kegiatan

operasionalnya, PT KAI (Persero)

membagi tanggung jawab ke dalam

Divisi Regional (Divre), salah

satunya adalah Divre I Sumatera

Utara. Berbagai sumber bacaan yang

membahas mengenai keunggulan

kereta api diantaranya, transportasi

ini berdampak ekonomis dalam

pemakaian ruang karena dapat

mengangkut banyak penumpang

dalam sekali pemberangkatan dan

sarana transportasi ini tidak polutif

sehingga menjawab masalah

lingkungan hidup yang kini menjadi

perhatian banyak pihak serta kereta

api ini juga merupakan sarana

transportasi yang memiliki tingkat

keamanan yang tinggi. Seharusnya

hal tersebut menjadi peluang besar

dalam meningkatkan pendapatan

karena kebutuhan masyarakat

terhadap kereta api akan semakin

besar.

Pendapatan pada PT KAI

(Persero) Divre I Sumut terbagi atas

5 macam pendapatan yaitu:

pendapatan angkutan kereta api

penumpang, pendapatan angkutan

kereta api barang, pendapatan

pendukung angkutan kereta api,

pendapatan usaha non angkutan dan

kompensasi pemerintah. Pendapatan

angkutan kereta api penumpang yaitu

pendapatan yang diperoleh dari

angkutan penumpang yang berasal

dari kelas eksekutif, bisnis dan

ekonomi. Pendapatan angkutan

kereta api barang yaitu pendapatan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[53]

yang diperoleh dari angkutan barang

berupa batu bara, bahan bakar

minyak, peti kemas, perkebunan,

parcel/hantaran dan lainnya.

Pendapatan pendukung angkutan

kereta api yaitu pendapatan yang

diperoleh dari pendukung angkutan

kereta api. Pendapatan usaha non

angkutan yaitu pendapatan yang

diperoleh selain dari angkutan kereta

api. Kompensasi pemerintah yaitu

pendapatan yang berasal dari subsidi

pemerintah.

Beban operasional merupakan

salah satu faktor penting karena

semua kegiatan perusahaan tidak

terlepas dari biaya. Menurut

Suwardjono (2003; 82) beban

operasional merupakan beban yang

terjadi dalam rangka untuk

memperoleh pendapatan operasional.

Jika perusahaan dapat

mengendalikan beban operasional

seminimal mungkin, maka

perusahaan tersebut dapat

mengoptimalkan pendapatannya

yang akan berdampak baik terhadap

laba.

Laba merupakan salah satu

ukuran kemampuan perusahaan

dalam melakukan kegiatan

operasional usahanya. Laba

dibutuhkan sebagai tolak ukur bagi

manajemen sejauhmana efisiensi

kebijakan yang diambil dalam usaha

peningkatan laba operasi. Untuk

memperoleh laba operasi, perusaha-

an dapat berupaya meningkatkan

pendapatan perusahaan dengan biaya

yang efisien sehingga pada akhir

periode biaya yang akan dibebankan

akan bernilai rendah. Menurut

Mulyadi (2002; 22) menyatakan

bahwa sebagai upaya untuk

menghasilkan dan meningkatkan

laba, ada dua hal yang dapat

diupayakan. Pertama, dengan

berupaya untuk menghasilkan

pemasukan dan pendapatan sebesar

mungkin dengan biaya yang rendah.

Kedua, apabila pemasukan tidak

dapat optimal maka biaya yang harus

turun.

Pada PT KAI (Persero) Divre I

Sumut beban operasional yang terdiri

dari beban operasi sarana, beban

operasi prasarana dan beban

optimalisasi aset. Beban operasi

sarana adalah semua beban yang

dikeluarkan untuk kegiatan operasi

perawatan sarana perkereta-apian.

Sementara beban operasi prasarana

adalah semua beban yang

dikeluarkan untuk kegiatan operasi

prasarana pendukung perkeretaapian.

Dan beban optimalisasi aset adalah

semua beban yang dikeluarkan untuk

perawatan guna mengoptimalisasi-

kan aset kereta api.

Tidak semua perusahaan dapat

mencapai laba operasi yang positif

atau bahkan meningkat. Ada

sebagian perusahaan yang

memperoleh laba operasi yang

meningkat namun ada juga

perusahaan yang tidak mampu

menghasilkan laba operasi

disebabkan terjadinya kerugian.

Tabel 1

Pendapatan, Beban Operasional dan Laba (Rugi) Operasi

PT KAI (Persero) Divre I Sumut

Tahun Pendapatan Beban Operasional Laba (Rugi) Operasi

2011 Rp137.383.174.388 Rp171.843.230.512 (Rp34.460.056.124)

2012 Rp164.619.911.433 Rp195.249.636.370 (Rp30.629.724.937)

2013 Rp162.630.893.192 Rp182.089.153.505 (Rp19.458.260.313)

Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[54]

Tabel 1 menunjukkan bahwa

selama 3 tahun terakhir, PT KAI

(Persero) Divre I Sumut mengalami

kerugian mulai tahun 2011 hingga

tahun 2013 disebabkan beban

operasional lebih besar dari pada

pendapatan yang diperoleh. Walau-

pun kerugian perusahaan setiap

tahunnya mengalami penurunan,

namun perusahaan belum juga

mampu untuk menghasilkan laba

operasi.

Pada tahun 2012, pendapatan

mengalami peningkatan yang

kemungkinan disebabkan oleh

peningkatan pendapatan angkutan

kereta api penumpang dan barang.

Akan tetapi, peningkatan pendapatan

tersebut juga diikuti dengan

peningkatan terhadap beban

operasional yang mengalami

peningkatan pula pada tahun 2012.

Penentuan beban operasional

akan berbeda pada setiap perusahaan.

Dimana semakin besar perusahaan

akan memiliki beban operasional

yang semakin besar pula. Hal ini

mengharuskan adanya manajemen

yang terampil dalam mengelola

setiap biaya yang dikeluarkan

perusahaan guna menghasilkan laba

yang maksimal. Perusahaan akan

memperoleh laba jika pendapatan

yang diperoleh lebih besar dari

biayanya.

Pada tahun 2011 sampai dengan

tahun 2013, besarnya beban

operasional yang melebihi besarnya

pendapatan kemungkinan disebabkan

perusahaan tidak melakukan efisiensi

terhadap biaya yang dikeluarkan

yaitu beban operasi prasarana dan

beban optimalisasi aset yang

semakin besar pula sehingga

perusahaan tidak mampu untuk

menghasilkan laba operasi. Keadaan

perusahaan yang mengalami

kerugian ini menyebabkan harus

adanya kebijakan yang dilakukan

perusahaan untuk dapat meminimal-

kan beban operasional sehingga

perusahaan memanfaatkan penda-

patan yang terus meningkat agar

dapat menghasilkan laba operasi.

Salah satu unsur kesuksesan dari

aktivitas operasional perusahaan

adalah adanya laba operasi.

Alasannya untuk mencapai laba

diukur dari operating profit karena

operating profit ini disebut murni

(pure profit). Hal ini dikarenakan

jumlah tersebutlah yang benar-benar

diperoleh dari operasional peru-

sahaan. (Soemarso 2009; 227).

Dengan tercapainya laba operasi

yang optimal, maka akan

memberikan kesejahteraan bagi

semua pihak yang berkepentingan

terhadap perusahaan dan akan

meningkatkan nilai dari perusahaan

serta menjaga kelangsungan hidup

perusahaan (going concern).

Pentingnya laba operasi ini sejalan

dengan Henry Simamora (2000; 45)

yang menyatakan bahwa laba operasi

diharapkan akan dicapai setiap tahun,

oleh karenanya angka ini

menyatakan kemampuan perusahaan

untuk hidup dan mencapai laba yang

pantas.

Rumusan masalah.

a. Bagaimana pendapatan dan beban

operasional dapat menghasilkan

laba operasi perusahaan?

b.Faktor-faktor apa saja yang

menyebabkan perusahaan

mengalami kerugian?

c. Apa saja upaya yang telah

dilakukan perusahaan dalam

menghasilkan laba operasi?

Dari rumusan diatas maka tujuan dari

penelitian ini adalah untuk

mengetahui bagaimana pendapatan

dan beban operasional dapat

menghasilkan laba operasi

perusahaan dan untuk mengetahui

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[55]

faktor-faktor yang menyebabkan

perusahaan mengalami kerugian.

Selanjutnya untuk mengetahui upaya

yang telah dilakukan perusahaan

dalam menghasilkan laba operasi.

Kajian Teori

Pendapatan menjadi faktor

terbesar dalam meningkat ataupun

menurunnya laba yang dihasilkan

perusahaan setiap tahunnya. Setiap

perusahaan tidak hanya berpatokan

pada kemampuan menghasilkan

pendapatan yang tinggi dari

penjualan barang atau jasa, tetapi

juga pengendalian terhadap beban.

Dimana dalam menghasilkan

pendapatan selalu dibarengi dengan

beban operasional yang melekat

padanya. Keduanya sangat berkaitan

erat dalam setiap kegiatan

operasional perusahaan dalam rangka

menghasilkan laba.

Pada dasarnya beban operasional

merupakan dasar yang memberikan

perlindungan bagi perusahaan dari

kemungkinan kerugian. Kerugian

akan mengakibatkan suatu usaha

tidak dapat tumbuh dan akan

mencerminkan kemunduran bagi

perusahaan. Untuk menghindari

keadaan tersebut, salah satunya

adalah dengan menghasilkan

pendapatan yang paling tidak bisa

menutupi beban operasional yang

dikeluarkan perusahaan. Oleh karena

itu, penetapan beban operasional

sangat berpengaruh terhadap laba

yang diperoleh perusahaan nantinya.

Laba operasi merupakan selisih dari

pendapatan dengan beban

operasional. Dalam mencapai tingkat

pendapatan yang optimal, perusa-

haan harus mampu mengendalikan

beban operasional. Untuk itu,

perusahaan dikatakan baik apabila

mampu menghasilkan laba operasi

yang maksimal dengan

mengoptimalkan pendapatan yang

tinggi serta mampu meng-

efesiensikan beban operasionalnya

Metode

Penelitian dimulai bulan

November 2014 sampai dengan

bulan Maret 2015. Sumber data

berasal dari laporan keuangan

auditan seperti laporan laba rugi

selama 3 tahun terakhir dimulai dari

tahun 2011, 2012, dan 2013 serta

data yang dikumpulkan melalui

wawancara.

Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah studi dokumentasi

dan wawancara. Teknik analisis data

adalah analisis deskriptif. Adapun

langkah-langkah yang dilakukan

penulis dalam analisis deskriptif ini

adalah sebagai berikut: Tahap

Pertama: (a) Mengumpulkan data

yang dibutuhkan untuk penelitian

berupa laporan keuangan seperti

laporan laba rugi selama 3 tahun

terakhir. (b) Mengikhtisarkan

pendapatan dan beban operasional

selama 3 tahun terakhir. (c)

Membandingkan pendapatan dan

beban operasional dengan laba (rugi)

operasi selama 3 tahun terakhir. (d)

Menginterprestasikan terhadap

pendapatan, beban operasional

dengan laba (rugi) operasi tersebut.

Tahap Kedua: (a) Melakukan

wawancara kepada pejabat yang

bersangkutan yaitu asisten manajer

anggaran dan asisten manajer

keuangan mengenai faktor yang

menyebabkan perusahaan mengalami

kerugian dan upaya apa saja yang

telah dilakukan perusahaan dalam

menghasilkan laba operasi. (b)

Menarik kesimpulan jawaban atas

wawacara tersebut.

Tahap Ketiga: Menganalisis hasil

temuan penelitian kemudian

memberikan kesimpulan dan saran

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[56]

sehingga memberikan gambaran

yang jelas mengenai keadaan

perusahaan tersebut

Operasional Variabel

a. Pendapatan

Pendapatan merupakan sumber

pemasukan yang diperoleh

perusahaan dalam rangka melakukan

kegiatan operasional perusahaan.

Pendapatan itu terdiri dari jumlah

pendapatan angkutan kereta api

penumpang, jumlah pendapatan

angkutan kereta api barang, jumlah

pendapatan pendukung angkutan

kereta api, jumlah pendapatan usaha

non angkutan dan jumlah

kompensasi pemerintah.

1. Pendapatan angkutan kereta api

penumpang diperoleh dari

jumlah pendapatan angkutan

penumpang dari kelas eksekutif,

kelas bisnis dan kelas ekonomi.

2. Pendapatan kereta api barang

diperoleh dari jumlah

pendapatan yang angkutan

barang berupa kereta api barang

batu bara, bahan bakar minyak,

peti kemas, semen, perkebunan,

parcel/hantaran, logam/besi baja

dan kereta barang lainnya.

3. Pendapatan pendukung angkutan

kereta api diperoleh dari jumlah

suplisi, bagasi, pendapatan

angkutan lanjutan dan

pendapatan pendukung angkutan

kereta api lainnya.

4. Pendapatan usaha non angkutan

diperoleh dari jumlah

pendapatan yang diperoleh

selain dari angkutan kereta api

yaitu pekerjaan pihak ketiga

(penjualan jasa teknis),

pendapatan optimalisasi aset

yaitu sewa menyewa,

pendapatan KSO dan

pendapatan KSU serta

pendapatan non angkutan

lainnya.

5. Kompensasi pemerintah yaitu

pendapatan yang berasal dari

subsidi pemerintah baik sebagai

bentuk kewajiban pelayanan

publik (PSO), sebagai bentuk

subsidi angkutan perintis dan

kontribusi Negara untuk

penyediaan prasarana (IMO).

b. Beban Operasional

Beban operasional adalah beban-

beban yang dikeluarkan dalam

kegiatan operasional perusahaan

untuk memperoleh pendapatan.

Beban operasional itu terdiri dari

jumlah beban operasi sarana, jumlah

beban operasi prasarana dan jumlah

beban optimalisasi aset.

1. Beban operasi sarana merupakan

jumlah beban yang dikeluarkan

untuk operasi sarana seperti beban

bahan bakar minyak dan listrik

aliran atas, beban perawatan

sarana perkeretaapian serta beban

penyusutan gedung dan fasilitas

perawatan sarana baik di Dipo dan

Balaiyasa, beban pendukung

kantor unit sarana, beban

pendukung operasional, beban

sewa guna usaha sarana dan

fasilitas bengkel, beban bahan

bakar minyak All In, beban

pegawai operasional dan komersil,

beban penyusutan sarana

perkeretaapian, beban pendukung

angkutan kereta api, dan beban

terminal peti kemas.

2. Beban operasi prasarana

merupakan jumlah beban yang

dikeluarkan untuk operasi

prasarana seperti beban perawatan

prasarana pendukung angkutan

kereta api, beban perawatan dan

operasi prasarana perkeretaapian

(IMO), beban sewa prasarana

(TAC), beban penyusutan aktiva

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[57]

tetap prasarana, beban amortisasi,

beban stasiun, beban K.3, dan

beban asuransi penyelenggaraan

prasarana.

3. Beban optimalisasi aset

merupakan jumlah beban yang

dikeluarkan untuk mengoptimali-

sasikan aset yang dimiliki seperti

beban perawatan optimalisasi aset

PT Kereta Api Indonesia, beban

pendukung kantor unit komersil,

beban pegawai komersil bagian

optimalisasi aset, dan beban

penyusutan aktiva tetap.

c. Laba Operasi

Laba operasi adalah selisih antara

pendapatan dengan beban

operasional.

Hasil dan Pembahasan.

Pendapatan. Pendapatan mengalami

peningkatan pada tahun 2012 bila

dibandingkan tahun 2011. Hal ini

disebabkan oleh peningkatan penda-

patan angkutan KA penumpang yang

terjadi karena melonjaknya kenaikan

jumlah penumpang yang berasal dari

kelas eksekutif dan kelas bisnis, serta

peningkatan pendapatan angkutan

KA barang yang terjadi pada tahun

2012 karena meningkatnya peng-

angkutan kereta api yang

mengangkut barang hasil perkebunan

dan barang lainnya.

Peningkatan pendapatan pada

tahun 2012 juga disebabkan oleh

peningkatan pendapatan usaha non

angkutan. Peningkatan pendapatan

usaha non angkutan disebabkan oleh

adanya pekerjaan pihak ke-3 yaitu

penjualan jasa teknis di tahun 2012

serta meningkatnya pendapatan dari

optimalisasi aset berupa sewa

menyewa aset KA kepada pihak

umum.

Namun, pada tahun 2013

pendapatan mengalami penurunan

bila dibandingkan tahun 2012. Hal

ini disebabkan pendapatan pendu-

kung angkutan KA yang berasal dari

suplisi (pungutan ongkos di atas

kereta api tanpa tiket) mengalami

penurunan. Penurunan pendapatan

pada tahun 2013 juga disebabkan

oleh pendapatan angkutan KA

barang yang mengalami penurunan.

Penurunan pendapatan angkutan KA

barang disebabkan oleh menurunnya

pengangkutan KA yang mengangkut

barang hasil perkebunan, barang

parcel/hantaran, dan barang lainnya

di tahun 2013.

Beban operasi. Dari data tabel 3

terlihat bahwa beban operasional

mengalami peningkatan pada tahun

2012 bila dibandingkan tahun 2011.

Hal ini disebabkan oleh peningkatan

beban optimalisasi aset yang terjadi

karena adanya beban perawatan aset

property dan beban penyusutan

aktiva tetap pada tahun 2012 serta

meningkatnya beban pendukung

kantor unit komersial dan beban

pegawai komersial di tahun 2012.

Peningkatan beban operasional

pada tahun 2012 juga disebabkan

oleh peningkatan beban operasi

sarana. Peningkatan beban operasi

sarana terjadi karena meningkatnya

beban penyusutan sarana perkereta-

apian serta meningkatnya beban

BBM All In yang terjadi pada tahun

2012.

Namun, pada tahun 2013 beban

operasional mengalami penurunan

bila dibandingkan tahun 2012. Hal

ini disebabkan menurunnya beban

operasi sarana. Penurunan beban

operasi sarana ini disebabkan oleh

menurunnya beban perawatan sarana

perkeretaapian di Balaiyasa, beban

BBM All In, dan beban penyusutan

sarana perkeretaapian di tahun 2013.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[58]

Tabel 2 Pendapatan PT KAI (Persero) Divre I Sumut Tahun 2011-2013

Pendapatan Tahun % Peningkatan/Penurunan

2011 2012 2013 2011 2012 2013

1. Pendapatan Angkutan KA Penumpang

a.Kelas Eksekutif 18.500.097.000 23.370.046.354 21.530.435.100 - 26,32% -7,87%

b. Kelas Bisnis 40.661.325.000 45.787.172.500 42.026.114.500 - 12,61% -8,21%

c. Kelas Ekonomi 20.463.554.400 20.235.281.596 26.407.797.500 - -1,12% 30,50%

Jumlah 79.624.976.400 89.392.500.450 89.964.347.100 - 12,27% 0,64%

2. Pendapatan Angkutan KA Barang

a. KA Barang BBM 21.952.902.556 21.947.820.443 21.982.209.600 - -0,02% 0,16%

b. KA Barang

Perkebunan 27.083.875.755 42.890.574.850 37.489.309.682 - 58,36% -12,59%

c. KA Barang

Parcel/Hantaran 2.862.407.300 2.981.745.000 2.699.175.500 - 4,17% -9,48%

d. KA Barang

Lainnya 361.556.220 859.967.220 238.325.782 - 137,85% -72,29%

Jumlah 52.260.741.831 68.680.107.513 62.409.020.564 - 31,42% -9,13%

3. Pendapatan Pendukung Angkutan KA

a. Suplisi 79.938.500 76.987.500 24.537.500 - -3,69% -68,13%

4. Pendapatan Usaha Non Angkutan

a. Penjualan

Jasa Teknis - 5.000.000 4.940.965.791 - 100,00% 98719,3%

b. Pendapatan

Optimalisasi Aset (Sewa

Menyewa)

5.239.927.657 6.300.510.970 5.254.760.204 - 20,24% -16,60%

c. Pendapatan

Nonangkutan

Lainnya

177.590.000 164.805.000 37.262.033 - -7,20% -77,39%

Jumlah 5.417.517.657 6.470.315.970 10.232.988.028 - 19,43% 58,15%

5. Kompensasi

Pemerintah - - - - - -

Total Pendapatan 137.383.174.388 164.619.911.433 162.630.893.192 - 19,83% -1,21%

Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut

Tabel 3. Beban Operasional PT KAI (Persero) Divre I Sumut

Tahun 2011-2013 Beban

Operasional

Tahun % Peningkatan/Penurunan

2011 2012 2013 2011 2012 2013

Beban Operasi Sarana

Beban BBM dan

Listrik Aliran Atas 25.873.620.270 23.138.578.594 25.234.811.108 - -10,57% 9,06%

Perawatan Sarana

Perkeretaapian di

Dipo

12.509.910.912 14.972.388.691 20.316.391.841 - 19,68% 35,69%

Perawatan Sarana

Perkeretaapian di

Balaiyasa

27.424.521.310 30.409.008.776 2.766.835.818 - 10,88% -

90,90%

Beban Pendukung

Operasional 4.990.128.549 3.288.207.182 8.072.454.745 - -34,11%

145,50

%

Beban Pendukung

Kantor Unit Sarana - - 202.323.312 - -

100,00

%

Beban BBM All In 5.012.663.227 7.889.003.746 2.675.362.115 - 57,38% -

66,09%

Beban Pegawai Operasional dan

Komersial

24.448.616.019 28.744.457.808 30.295.585.122 - 17,57% 5,40%

Beban Penyusutan (5.290.365.912) 4.329.731.100 2.076.773.018 - 181,84% -

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[59]

Beban

Operasional

Tahun % Peningkatan/Penurunan

2011 2012 2013 2011 2012 2013

Sarana

Perkeretaapian

52,03%

Beban Pendukung

Angkutan KA 1.216.528.091 411.954.546 3.400.544.202 - -66,14%

725,47

%

Jumlah Beban

Operasi Sarana 96.185.622.466 113.183.330.443 95.041.081.281 - 17,67%

-

16,03

%

Beban Operasi

Prasarana

Beban Perawatan

Prasarana

Pendukung Angkutan KA

483.561.771 574.394.727 543.929.655 - 18,78% -5,30%

Beban Perawatan

dan Operasi Prasarana

Perkeretaapian

68.368.331.376 62.254.905.652 76.163.661.321 - -8,94% 22,34%

Beban Penyusutan

AT Prasarana 236.744.473 151.203.683 995.822.054 - -36,13%

558,60

%

Beban Amortisasi - - 193.496.100 - - 100,00

%

Beban Stasiun 4.773.908.903 11.141.997.105 2.212.496.013 - 133,39% -

80,14%

Beban K3 990.970.107 3.337.458.809 1.551.446.010 - 236,79% -

53,51%

Jumlah Beban

Operasi

Prasarana

74.853.516.630 77.459.959.976 81.660.851.153 - 3,48% 5,42%

Beban Optimalisasi Aset

Beban Perawatan

Aset Property

PTKA

- 806.371.059 891.743.773 - 100,00% 10,59%

Biaya Pdkg

Kantor Unit

Komersial-Property

526.258.735 990.755.382 1.060.874.791 - 88,26% 7,08%

Beban Pegawai Komersial-

Property-

Optimalisasi

277.832.681 2.711.706.552 3.350.510.665 - 876,02% 23,56%

Beban

Penyusutan AT - 97.512.958 84.091.843 - 100,00%

-

13,76%

Jumlah Beban

Optimalisasi

Aset

804.091.416 4.606.345.951 5.387.221.072 - 472,86% 16,95%

Total Beban

Operasional 171.843.230.512 195.249.636.370

182.089.153.50

6 - 13,62% -6,74%

Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut

Dari data tabel 4 terlihat bahwa

pertumbuhan laba operasi mengalami

peningkatan pada tahun 2012 dan

2013 walaupun perusahaan masih

mengalami kerugian. Hal ini di-

sebabkan peningkatan pendapatan,

namun perusahaan belum mampu

mengurangi beban operasional,

bahkan ada beberapa akun beban

yang meningkat.

Pada tahun 2012, pendapatan

yang mengalami peningkatan yaitu

pendapatan KA barang dan

pendapatan usaha non angkutan. Dan

di tahun 2012, beban operasional

juga mengalami peningkatan yang

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[60]

disebabkan oleh meningkatnya beban

operasi sarana dan beban

optimalisasi aset.

Pada tahun 2013, penurunan

beban operasional juga diikuti

dengan penurunan pendapatan. Dan

penurunan beban operasional lebih

besar dari pendapatan yang juga

mengalami penurunan, sehingga

memperkecil kerugian. Tahun 2013,

beban operasional yang mengalami

penurunan yaitu beban operasi

sarana. Sedangkan pendapatan yang

juga mengalami penurunan yaitu

berasal dari pendapatan KA barang

dan pendapatan pendukung angkutan

KA. Pendapatan PT Kereta Api

Indonesia (Persero) Divre I Sumut

tahun 2012, mengalami peningkatan

dari tahun 2011. Pendapatan yang

mengalami peningkatan yaitu penda-

patan angkutan KA penumpang dan

barang serta pendapatan usaha non

angkutan. Beban operasional juga

mengalami peningkatan, yakni beban

operasi sarana, beban operasi

prasarana dan beban optimalisasi

aset. Peningkatan beban operasi

sarana dan beban operasi prasarana

ini dilakukan untuk menunjang

pendapatan angkutan KA penum-

pang dan pendapatan angkutan KA

barang. Dan peningkatan beban

optimalisasi aset ini dilakukan untuk

menunjang pendapatan usaha non

angkutan yang bersumber dari

penjualan jasa teknis kepada pihak

ketiga dan sewa menyewa aset KA

kepada pihak umum. Dari tahun

2011 sampai dengan tahun 2013,

perusahaan masih mengalami

kerugian sehingga perusahaan tidak

mampu menghasil-kan laba operasi

setiap tahunnya.

Tabel 4 Laba Operasi PT KAI (Persero) Divre I Sumut Tahun 2011-2013 Laporan Laba

Rugi

Tahun % Peningkatan/Penurunan

2011 2012 2013 2011 2012 2013

Pendapatan

Pendapatan KA

Penumpang 79.624.976.400 89.392.500.450 89.964.347.100 - 12,27% 0,64%

Pendapatan KA

Barang 52.260.741.831 68.680.107.513 62.409.020.564 - 31,42% -9,13%

Pendapatan

Pendukung

Angkutan KA

79.938.500 76.987.500 24.537.500 - -3,69% -

68,13%

Pendapatan

Usaha Non

Angkutan

5.417.517.657 6.470.315.970 10.232.988.028 - 19,43% 58,15%

Kompensasi

Pemerintah - - - - - -

Total

Pendapatan 137.383.174.388 164.619.911.433 162.630.893.192 - 19,83% -1,21%

Beban

Operasional -

Beban Operasi

Sarana 96.185.622.466 113.183.330.443 95.041.081.281 - 17,67% -16,03%

Beban Operasi

Prasarana 74.853.516.630 77.459.959.976 81.660.851.153 - 3,48% 5,42%

Beban

Optimalisasi Aset 804.091.416 4.606.345.951 5.387.221.072 -

472,86

% 16,95%

Total Beban

Operasional 171.843.230.512 195.249.636.370 182.089.153.506 - 13,62% -6,74%

Laba (Rugi)

Operasi (34.460.056.124) (30.629.724.937) (19.458.260.314) - 12,51% 57,41%

Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[61]

Hal ini disebabkan beban

operasional yang dikeluarkan lebih

besar dari pendapatan yang

diperoleh. Namun demikian,

kerugian yang dialami perusahaan

mengalami penurunan setiap

tahunnya. Henry Simamora (2000,

hal 45) menyatakan bahwa laba

operasi diharapkan akan dicapai

setiap tahun, oleh karenanya angka

ini menyatakan kemampuan

perusahaan untuk hidup dan

mencapai laba yang pantas.

Faktor-faktor Penyebab Kerugian.

Faktor penentu laba adalah

pendapatan dan beban. Jika

pendapatan lebih besar dari pada

beban operasional maka perusahaan

akan mendapatkan laba operasi.

Namun, apabila terjadi sebaliknya

beban operasional lebih besar dari

pada pendapatan maka perusahaan

mendapatkan rugi operasi.

Pada tahun 2012, peningkatan

beban operasional lebih besar dari

pada peningkatan pendapatannya.

Hal ini disebabkan meningkatnya

beban operasi sarana, beban operasi

prasarana dan beban optimalisasi

aset. Peningkatan beban operasi

sarana disebabkan meningkatnya

beban perawatan sarana perkereta-

apian di Dipo dan Balaiyasa, beban

BBM All In, beban pegawai

operasional dan komersial, serta

beban penyusutan sarana

perkeretaapian. Peningkatan beban

operasi prasarana disebabkan

meningkatnya beban perawatan

prasarana pendukung angkutan KA,

beban stasiun, dan beban K3

(Keindahan, Kebersihan dan

Keamanan). Peningkatan beban

operasi sarana dan beban operasi

prasarana ini dilakukan untuk

menunjang pendapatan angkutan KA

penumpang dan pendapatan

angkutan KA barang. Peningkatan

beban optimalisasi aset di tahun 2012

disebabkan meningkatnya beban

perawatan aset properti, beban

pendukung kantor Unit Komersial,

beban pegawai komersial, dan beban

penyusutan aktiva tetap. Peningkatan

beban optimalisasi aset ini dilakukan

untuk menunjang pendapatan usaha

non angkutan yang bersumber dari

penjualan jasa teknis kepada pihak

ketiga dan sewa menyewa aset KA

kepada pihak umum.

Pada tahun 2013, penurunan

pendapatan lebih besar dari pada

penurunan beban operasionalnya.

Hal ini disebabkan penurunan

pendapatan angkutan KA barang dan

pendapatan pendukung angkutan

KA. Penurunan pendapatan angkutan

KA barang disebabkan tingkat

pendapatan KA barang yang

dilakukan untuk mengangkut hasil

perkebunan, pengiriman parcel/

hantaran dan barang lainnya oleh

pihak/instansi pengguna jasa kereta

api mengalami penurunan.

Penurunan pendapatan pendu-

kung angkutan KA yang diperoleh

dari suplisi terus mengalami

penurunan di tahun 2013 karena

telah diberlakukannya secara efektif

pembayaran tiket dengan sistem

online sehingga pendapatan

pungutan ongkos di atas kereta tanpa

tiket (suplisi) menjadi berkurang.

Pada 3 (tiga) tahun periode

pengamatan, perusahaan masih

mengalami kerugian. Tahun 2012,

disebabkan pendapatan mengalami

peningkatan disertai dengan beban

operasional yang mengalami

peningkatan pula. Dan pada tahun

2013, beban operasional mengalami

penurunan, tetapi pendapatan juga

mengalami penurunan. Rendahnya

pendapatan ini disebabkan

perusahaan kurang mampu

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[62]

mengoptimalkan pendapatan yang

berasal dari angkutan KA barang

diantaranya barang bahan bakar

minyak, barang perkebunan, barang

parcel/hantaran, dan barang lainnya.

Demikian pula dengan tingginya

beban operasional sehingga

pendapatan yang diterima tidak

mampu menutupi beban operasional

walaupun pendapatan mengalami

peningkatan. Pendapatan merupakan

faktor penentu dalam menghasilkan

laba, tetapi jika tidak mampu

meminimalisir beban maka tidak

akan bisa menghasilkan laba yang

tinggi.

Upaya Yang Telah Dilakukan

Perusahaan Dalam Menghasilkan

Laba Operasi. Setiap perusahaan

tidak hanya berpatokan pada

kemampuan menghasilkan

pendapatan yang tinggi dari

penjualan barang atau jasa, tetapi

juga pengendalian terhadap beban.

Laba yang maksimal akan diperoleh

dengan pendapatan yang optimal dan

mengefisiensikan beban operasi.

Setiap tahunnya, perusahaan

tidak mampu untuk menghasilkan

laba operasi karena beban

operasional lebih besar dari pada

pendapatannya sehingga perusahaan

mengalami kerugian. Hal ini

menunjukkan bahwa perusahaan

tidak mampu dalam mengefisiensi

beban operasionalnya. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Pebriyanti

(2013) di PT Petro Multi Guna

Tanjung Pinang yang meneliti

tentang pengaruh efisiensi biaya

operasional terhadap laba bersih

dengan perputaran persediaan

sebagai variabel pemoderasi yang

menunjukkan bahwa efisiensi biaya

operasional berpengaruh positif

terhadap laba bersih. Artinya, bahwa

jika perusahaan melakukan tingkat

efesiensi terhadap biaya

operasionalnya semakin tinggi maka

laba yang akan dihasilkan akan

semakin tinggi pula. Sebaliknya, jika

perusahaan melakukan tingkat

efesiensi terhadap biaya

operasionalnya semakin rendah maka

laba yang akan dihasilkan akan

semakin rendah pula.

Namun, kerugian yang dialami

perusahaan mengalami penurunan.

Hal ini membuktikan bahwa ada

upaya yang telah dilakukan oleh

perusahaan dalam menghasilkan laba

operasi. Menurut Mulyadi (2002, hal

22) menyatakan bahwa sebagai

upaya untuk menghasilkan dan

meningkatkan laba, ada dua hal yang

dapat diupayakan. Pertama, dengan

berupaya untuk menghasilkan

pemasukan dan pendapatan sebesar

mungkin dengan biaya yang rendah.

Kedua, apabila pemasukan tidak

dapat optimal maka biaya yang harus

turun.

Upaya yang telah dilakukan

perusahaan dalam menghasilkan laba

operasi adalah:

(1). Meningkatkan pendapatan

sebesar mungkin dengan biaya yang

rendah, caranya dengan

mengoptimalkan pendapatan angkut-

an KA penumpang dan barang. Hal

ini menjadi tanggung jawab Manajer

Komersial. Asisten Manajer

Pengusahaan Aset bertanggungjawab

untuk mampu mengoptimalkan aset

perusahaan, seperti memaksimalkan

aset perusahaan dengan melakukan

revitalisasi rumah-rumah dinas dan

melakukan penyewaan tanah untuk

disewakan ke umum sehingga dapat

menunjang pendapatan dari

optimalisasi aset perusahaan.

Dalam menunjang peningkatan

pendapatan ini dibarengii dengan

peran penting dari Unit Penagihan.

Hal ini menjadi tanggung jawab

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[63]

Asisten Manajer Penagihan untuk

melakukan penagihan secara

maksimal atas aset-aset perusahaan

yang disewakan tersebut.

Memaksimalkan kinerja Unit

Operasi, Unit Sarana dan Unit Jalan

Rel dan Jembatan. Hal ini dilakukan

untuk memperlancar kegiatan

operasional perusahaan dan mendu-

kung sarana dan prasarana dalam

menunjang pendapatan untuk

menghasilkan laba, termasuk

meningkatkan pelayanan terhadap

kepuasan pelanggan dengan

diterapkannya pembayaran tiket

secara online yang dapat

memudahkan pengguna jasa kereta

api.

(2). Mengefesiensikan beban.

Asisten Manajer Anggaran

bertanggungjawab untuk mengecek

kewajaran biaya yang dianggarkan

oleh setiap unit tersebut dan memilah

pengeluaran yang akan diajukan oleh

setiap unit agar dapat menekan

pengeluaran biaya sehingga

mendahulukan pengeluaran yang

lebih prioritas untuk segera

direalisasikan. Hal ini dimaksudkan

agar biaya yang akan dikeluarkan

dapat diefesiensikan penggunaannya.

Namun, kenyataannya beban

operasional perusahaan setiap

tahunnya lebih besar dari pada

pendapatannya.

Dari upaya-upaya yang telah

dilakukan, akan tetapi perusahaan

tetap tidak mampu untuk

menghasilkan laba operasi setiap

tahunnya. Hal demikian menjadi

tanggung jawab manajemen di

seluruh unit yang ada untuk dapat

menghasilkan laba operasi.

Simpulan

Pendapatan dan beban operasional

perusahaan mengalami penurunan di

tahun 2013. Hal ini menunjukkan

bahwa perusahaan tidak mampu

untuk mengoptimalkan pendapatan

sehingga pendapatan tersebut tidak

dapat menutupi beban operasional

yang telah dikeluarkan oleh

perusahaan.

Beban operasional perusahaan

dari tahun 2011 sampai dengan tahun

2013 lebih besar dari pada

pendapatan. Hal ini menunjukkan

bahwa perusahaan tidak mampu

untuk melakukan efesiensi terhadap

beban operasionalnya, walaupun

kerugian yang dialami perusahaan

mengalami penurunan setiap

tahunnya.

Faktor yang menyebabkan

perusahaan mengalami kerugian

yaitu besarnya beban operasi sarana

dan meningkatnya beban operasi

prasarana dan beban optimalisasi

aset setiap tahunnya. Serta

menurunnya pendapatan yang

berasal dari angkutan KA barang

diantaranya barang Bahan Bakar

Minyak, barang perkebunan, barang

parcel/hantaran, dan barang lainnya

serta menurunnya pendapatan

pendukung angkutan KA yang

berasal dari suplisi.

Upaya yang dilakukan

perusahaan dalam menghasilkan laba

operasi yaitu lebih mengoptimalkan

pendapatan angkutan KA

penumpang dan barang,

mengoptimalkan pendapatan yang

bersumber dari optimalisasi aset,

memaksimalkan kinerja Unit

Operasi, Unit Sarana dan Unit Jalan

Rel dan Jembatan, meningkatkan

pelayanan terhadap kepuasan

pelanggan serta membatasi dan

memilah biaya yang akan

dikeluarkan oleh setiap unit. Hal

demikian menjadi tanggung jawab

manajemen di seluruh unit yang ada

untuk mampu menghasilkan laba

operasi.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[64]

Daftar Pustaka

Arfan Ikhsan, dkk. (2013). Teori

Akuntansi. Bandung: Citapustaka

Media Perintis.

Bastian Bustami dan Nurlela (2013).

Akuntansi Biaya (Edisi 4).

Jakarta: Mitra Wacana Media.

Darsono Prawironegoro dan Ari

Purwanti (2008). Akuntansi

Manajemen. Jakarta: Mitra

Wacana Media.

Destiana Rahayu (2013). “ Pengaruh

Beban Pemeliharaan Sarana dan

Prasarana Terhadap Laba Operasi

Pada PT KAI (Persero) DAOP II

Bandung Periode 2006-2011”.

Skripsi Akuntansi. Program Studi

Pendidikan Akuntansi

Universitas Pendidikan

Indonesia, 2013.

Firdaus Ahmad Dunia (2008).

Ikhtisar Lengkap Pengantar

Akuntansi (Edisi Ketiga). Jakarta:

Salemba Empat.

___________________ dan Wasilah

Abdullah (2014). Akuntansi

Biaya (Edisi 3). Jakarta: Salemba

Empat.

Hansen dan Mowen (2009).

Managerial Accounting. Jakarta:

Salemba Empat.

Harahap, Sofyan Safri (2013). Teori

Akuntansi Edisi Revisi. Jakarta:

Rajawali Pers.

Harnanto (2003). Akuntansi

Keuangan Menengah.

Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia (2009).

Standar Akuntansi Keuangan.

Jakarta: Salemba Empat.

I Wayan Bayu Wisesa1, dkk. (2014).

“Pengaruh Volume Penjualan

Mente dan Biaya Operasional

Terhadap Laba Bersih Pada UD.

Agung Esha Karangasem Tahun

2013”. Jurnal Akuntansi. Jurusan

Pendidikan Ekonomi Universitas

Pendidikan Ganesha Singaraja,

Indonesia.

Meiza Efilia (2014). “Pengaruh

Pendapatan Usaha dan Beban

Operasional Terhadap Laba

Bersih Pada Perusahaan Kimia

dan Keramik, Porselin dan Kaca

Yang Terdaftar di Bursa Efek

Indonesia Periode 2008-2012”.

Jurnal Akuntansi. Fakultas

Ekonomi Universitas Maritim

Raja Ali Haji Tanjung Pinang.

M. Hanafi dan Abdul Halim (2007).

Analisis Laporan Keuangan

(Edisi 3). Yogyakarta: UPP

STIM YKPN.

Mulyadi (2001). Akuntansi

Manajemen (Konsep, Manfaat

dan Rekayasa Edisi 3). Jakarta:

Salemba Empat.

_______(2002). Akuntansi

Manajemen. Bandung: Program

Studi Akuntansi.

Nakman Harahap dan Dwi kumala

(2008). “Pengaruh Efisiensi

Biaya Produksi Terhadap Laba

Bersih (Studi Kasus PT

Perkebunan Nusantara III

(Persero) Medan”. Jurnal

Akuntansi. Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

Pebriyanti (2013). “Pengaruh

Efisiensi Biaya Operasional

Terhadap Laba Bersih Dengan

Perputaran Persediaan Sebagai

Variabel Pemoderasi (Studi

Kasus Pada PT Petro Multi Guna

Tanjung Pinang)”. Jurnal

Akuntansi. Fakultas Ekonomi

Universitas Maritim Raja Ali

Haji Tanjung Pinang.

Sigit Hermawan dan Masyhad

(2006). Akuntansi Untuk

Perusahaan Jasa Dan Dagang.

(edisi pertama). Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[65]

Simamora, Henry (2000). Akuntansi,

Basis Pengambilan Keputusan

Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.

Soemarso (2009). Akuntansi Suatu

Pengantar. Jakarta: Salemba

Empat.

Sugiyono (2007). Metode Penelitian

Bisnis Bandung: CV. Alfabeta

Suwardjono (2008). Teori Akuntansi

Perekayasaan Pelaporan

Keuangan. Yogyakarta: BPFE

Yogyakarta.

Ummi Habibi Husni Anas (2014).

“Analisis Penjualan Dan Biaya

Operasional Dalam Menghasil-

kan Laba Operasi Pada PT. Coca

Cola Distribution Indonesia

Medan”. Skripsi Akuntansi.

Fakultas Ekonomi Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara,

Mei 2014.

Usman Kusumah dan Amalia

Suzanti (2009). “Analisis

Pengaruh Biaya Produksi dan

Penjualan Bersih Terhadap Laba

Bersih (Studi Kasus Pada PT

PDAM Tirtanadi)”. Jurnal

Akuntansi. Fakultas Ekonomi

Universitas Siliwangi.

Zaki Baridwan (2004). Intermediate

Accounting. Yogyakarta: BPFE

Yogyakarta.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[66]

ANALISIS JUMLAH PENGANGGURAN DAN KETENAGAKERJAAN

TERHADAP KEBERADAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

(UMKM) TAHUN 2007-2012 DI KOTA MEDAN

1Koko Tampubolon,

2Herlin Silalahi,

3Fransisca Natalia Sihombing

1Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian USU, Medan 2Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi UNIMED, Medan

3Program Studi Pendidikan Tataniaga, Fakultas Ekonomi UNIMED, Medan

Surel: [email protected]

ABSTRACT

The presence and role of micro, small and medium enterprises (SMEs) have an

impact on economic progress and improvement of the economic situation both at

regional and at the center. With the SMEs are expected to absorb the labor force,

thereby reducing the number of unemployed in Medan city. This study was

conducted to determine whether there is a relationship between unemployment

and employment of the SMEs in Medan city. This research was conducted in

Medan city with descriptive research. The results of this study are variable

number of unemployed (X1) can reduce the number of micro, small and medium

enterprises in Medan city at 0.005 units. The number of unemployed increased by

1 percent, the number of SMEs in Medan city decreased by 0.18%. Variable

employment (X2) can increase the number of micro, small and medium enterprises

in Medan city at 0.004 units. Total employment increased by 1 percent, the

number of SMEs in Medan city increased by 1.07%. The coefficient of multiple

determination (r2) of 0.5580. This shows that 55.80% of SMEs affected by

unemployment and employment in Medan city, while 44.20% are influenced by

other factors not examined (lack of capital, lack of business networks, limited

facilities and infrastructure business, the implications of regional autonomy, and

the implications of free trade). Correlation coefficient (r) of 0.747. This indicates

that the independent variable (the number of unemployed and employment) and

the dependent variable (SMEs) were positively correlated linear, unidirectional

and the relationship is very strong.

Keywords: Unemployment, employment, SMEs and Medan City.

Pendahuluan

Di era globalisasi, saat dunia

semakin transparan, kita akan

menyaksikan bagaimana hebatnya

persaingan bisnis dan perusahaan

nasional, perang ekonomi lewat

perdagangan antarbangsa yang

berebut menguasai pasar dunia

dalam bidang barang dan jasa. Salah

satunya usaha yang mampu

mengeimbangi di era globalisasi ini

adalah usaha mikro kecil menenga

(UMKM) yang sedang di gerakkan

oleh pemerintah dalam salah satu

kebijakanya yaitu ekonomi kreatif

untuk memperdayakan masyarakat.

Usaha mikro, kecil dan

menengah (UMKM) merupakan

basis usaha rakyat, yang secara

mengejutkan mampu bertahan di

masa kritis 1997/1998. Saat itu

banyak usaha besar bergelimpangan,

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[67]

mengalami pailit didera pahitnya

krisis. Pada saat bersamaan,

perbankan tidak mampu lagi

membantu usaha besar karena

mereka sendiri memiliki masalah

pula sehingga menambah parah

penderitaan usaha besar. Tidak

demikian halnya dengan UMKM,

yang dapat bertahan pada badai krisis

karena struktur keuangan mereka

yang tidak banyak bergantung pada

perbankan, meski mereka tetap

memanpaatkan jasa perbankan, baik

untuk transaksi maupun untuk

menjaga keamanan. Sebagian besar

pelaku UMKM ini mengandalkan

seluruh permodalannya sendiri yang

bersumber pada tabungan pribadi,

pinjaman dari bank, kerabat atau

tetangga bahkan tak jarang yang

perolehannya melalui pinjaman ke

lembaga keuangan bukan bank. Di

sisi lain, UMKM yang umumnya

padat karya ini juga mampu

menyerap tenaga kerja dalam jumlah

cukup besar.

Jumlah usaha mikro kecil dan

menengah (UMKM) saat ini

berjumlah 99.8% dari total usaha

ekonomi yang ada di kota Medan.

Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS), mampu menyerap

tenaga kerja sebanyak 60,4 juta atau

87,5 persen dari total tenaga kerja

keseluruhan. Kenyataan ini telah

membuka mata sekaligus

menyadarkan kita betapa besar

ketergantungan roda perekonomian

nasional terhadap sektor ini. UMKM

yang umumnya padat karya ini juga

mampu menyerap tenaga kerja dalam

jumlah yang cukup besar. Kenyataan

ini telah membuka mata sekaligus

menyadarkan kita betapa besar

ketergantungan roda perekonomian

nasional terhadap sektor ini.

Di tingkat daerah khususnya

Kota Medan, kita dapat melihat

bahwa secara umum pertumbuhan

perekonomian Kota Medan tidak

terlepas dari kontribusi UMKM. Hal

ini dapat dilihat dari jumlah

pertumbuhan UMKM yang ada di

Kota Medan, yaitu dari tahun 2007-

2012 mengalami fluktuasi jumlah

usaha. Pada tahun 2012 Usaha Mikro

Kecil dan Menengah meningkat

sebanyak 3635 unit. Keseluruhan

jumlah UMKM berada di 21

kecamatan yang ada di kota Medan.

Dalam beberapa dekade ini

masalah pengangguran dan

ketenagakerjaan masih merupakan

masalah besar yang dihadapi bangsa

Indonesia sekarang ini dan beberapa

tahun kedepan termasuk di tingkat

kota yaitu Medan. Tingkat

pengagguran di kota medan tercatat

dalam data Badan Pusat Statistik

(BPS), jumlah pengangguran pada

tahun 2007-2010 mengalami

peningkatan sebesar 8,20% dari

123.670 jiwa menjadi 133.811 jiwa.

Sedangkan jumlah pengangguran

pada tahun 2010-2012 mengalami

penurunan sebesar 58,35% dari

133.811 jiwa menjadi 84.501 jiwa.

Hal ini diduga adanya pengaruh

sektor UMKM dalam mengurangi

jumlah pengangguran di Kota

Medan.

Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS), jumlah angkatan

kerja di Kota Medan pada tahun

2007-2012 mengalami fluktuasi. Hal

ini dipengaruhi pendidikan angkatan

kerja yang didominasi dari SMA

sederajat dan penerapan teknologi

dalam suatu industri UMKM. Dalam

kondisi seperti itu, Pemerintah terus

menurunkan tingkat pengangguran

menjadi sekitar 5%. Oleh sebab itu

mengatasai pengangguran di kota

Medan untuk 5–10 tahun ke depan

haruslah melalui penciptaan

kesempatan kerja langsung dalam

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[68]

bentuk kerja mandiri, usaha

keluarga, atau usaha kecil.

Berdasarkan fenomenan diatas,

model potensi perluasan kesempatan

kerja untuk mengatasi pengangguran

perlu dikembangkan. Dengan

dikembangkan berbagai potensi

perluasan kesempatan kerjanya

diharapkan skala dapat menciptakan

lapangan kerja yang dapat menyerap

tenaga kerja yang pada giliranya

dapat membantu guna

menanggulangi kemiskinan.

Berdasarkan situasi diatas,

kehadiran dan peranan UMKM tentu

saja akan memberikan pengaruh

terhadap kemajuan perekonomian

dan perbaikan pada keadaan

ekonomi baik di daerah maupun di

pusat. Dengan adanya UMKM

diharapkan mampu menyerap tenaga

kerja sehingga mengurangi jumlah

pengangguran di Kota Medan.

Kajian Pustaka

Pengertian Usaha Mikro Kecil

Menengah (UMKM). Ketentuan

Undang-Undang No. 9 Tahun 1995

tentang Usaha Kecil dan kemudian

dilaksanakan lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 44

Tahun 1997 tentang Kemitraan, di

mana pengertian UMKM adalah

sebagaimana diatur dalam Pasal 1

Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1995 sebagai berikut: (1). Usaha

Kecil adalah kegiatan ekonomi

rakyat yang berskala kecil dan

memenuhi kriteria kekayaan bersih

atau hasil penjualan tahunan serta

kepemilikan sebagaimana diatur

dalam undang-undang ini. (2). Usaha

Menengah dan Usaha Besar adalah

kegiatan ekonomi yang mempunyai

kriteria kekayaan bersih atau hasil

penjualan tahunan lebih besar dari

kekayaan bersih dan hasil penjualan

tahunan usaha kecil.

Biro Pusat Statistik (BPS)

Indonesia Tahun 2003, meng-

gambarkan bahwa perusahaan

dengan: (1). Jumlah tenaga kerja 1-4

orang digolongkan sebagai industri

kerajinan dan rumah tangga. (2).

Perusahaan dengan tenaga kerja 5-19

orang sebagai industri kecil; (2).

Perusahaan dengan tenaga kerja 20-

99 orang sebagai industri sedang atau

menengah. (3). Perusahaan dengan

tenaga kerja lebih dari 100 orang

sebagai industri besar.

Menurut Badan Pusat Statistik

(BPS) tahun 2003, yang

mendefenisikan UMKM menurut

dua kategori, yaitu: (1). Menurut

omset. Usaha kecil adalah usaha

yang memiliki aset tetap kurang dari

Rp.200 juta dan omset per tahun

kurang Rp.1 milyar; (2). Menurut

jumlah tenaga kerja. Usaha kecil

adalah usaha yang memiliki tenaga

kerja sebanyak 5 sampai 9 orang.

Industri rumah tangga adalah industri

yang memperkerjakan kurang dari

lima orang.

Usaha mikro kecil menengah

adalah usaha yang mempunyai

modal awal yang kecil, atau nilai

kekayaan (aset) yang kecil dan

jumlah pekerja yang kecil (terbatas),

nilai modal (aset) atau jumlah

pekerjanya sesuai dengan definisi

yang diberikan oleh pemerintah atau

institusi lain dengan tujuan tertentu

(Sukirno 2004). UMKM adalah

usaha yang masih dalam skala kecil

dengan modal awal yang kecil dan

jumlah pekerja yang masih terbatas.

Karakteristik UMKM. Dalam

ketentuan UU No. 9 Tahun 1995

tentang usaha kecil, yang menjadi

kriteria usaha kecil adalah: (1).

Memiliki kekayaan paling banyak

Rp 200.000.000,- (tidak termasuk

tanah dan bangunan tempat usaha);

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[69]

(2). Memiliki hasil penjualan

tahunan paling banyak Rp

1.000.000.000; (3). Milik warga

negara Indonesia; (4). Berdiri

sendiri, bukan merupakan anak

perusahaan atau cabang perusahaan

yang dimiliki, dikuasai atau

berafiliasi baik langsung maupun

tidak langsung dengan usaha

menengah atau usaha besar; (5).

Berbentuk usaha orang perorangan,

badan usaha tidak berbadan hukum

atau badan usaha yang berbadan

hukum termasuk koperasi.

Selain itu, Sutojo (2004)

mengemukakan bahwa ciri-ciri usaha

kecil di Indonesia adalah: (1). Lebih

dari setengah usaha didirikan sebagai

pengembangan dari usaha kecil-

kecilan; (2). Selain masalah

permodalan, masalah lain yang

dihadapi usaha kecil bervariasi

tergantung dengan tingkat

perkembangan usaha; (3). Sebagian

besar usaha kecil tidak mampu

memenuhi persyaratan-persyaratan

administrasi guna memperoleh

bantuan bank; (4). Hampir 60%

usaha kecil masih menggunakan

teknologi tradisional; (5). Hampir

setengah perusahaan kecil hanya

menggunakan kapasitas terpasang

kurang dari 60%; (6). Pangsa pasar

usaha kecil cenderung menurun baik

karena faktor kekurangan modal,

kelemahan teknologi dan kelemahan

manajerial; (7). Hampir 70% usaha

kecil melakukan pemasaran langsung

kepada konsumen; (8). Tingkat

ketergantungan terhadap fasilitas-

fasilitas pemerintah sangat besar.

Tabel 1. Batasan/ Karakteristik UKM menurut beberapa organisasi Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria

Badan Pusat

Statistik (BPS)

Usaha Mikro Pekerja <5 orang termasuk keluarga yang

tidak dibayar

Usaha Kecil Pekerja 5-19 orang

Usaha Menengah Pekerja 20-99 orang

Menneg

Koperasi dan

UKM

Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Aset < Rp. 200 Juta di luar tanah dan

bangunan. Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar

Usaha Menengah (Inpres

10/1999)

Aset Rp. 200 juta Rp. 10 Milyar

Bank Indonesia Usaha Mikro (SK Dir BI No.

31/24/KEP/DIR Tgl 5 Mei

1998)

Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin

atau mendekati miskin: Dimiliki oleh

keluarga sumberdaya lokal dan teknologi

sederhana; Lapangan usaha mudah untuk

exit dan entry

Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Aset < Rp. 200 juta di luar tanah dan

bangunan: Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar

Aset < Rp. 200 juta di luar

tanah dan bangunan: Omzet

tahunan < Rp. 1 Milyar

Aset < Rp. 5 Milyar untuk sektor industri;

Aset < Rp. 600 Juta di luar tanah dan

bangunan untuk manufakturing; Omzet

tahunan < Rp.3 M

Bank Dunia Usaha Mikro Kecil Menengah Pekerja < 20 orang; Pekerja 20-150 orang;

Aset < US$. 500 ribu di luar tanah dan

bangunan

Sumber: http: //www.menlh.go.id/usaha-kecil/top/kriteria.htm

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[70]

Tabel 2. Penggolongan Jenis Usaha MODAL GOLONGAN

< 5 Juta Usaha Mikro

5 -200 Juta Usaha Kecil

201-500 Juta Usaha Menengah

>500 Juta Usaha Besar

Keterangan: *Tidak termasuk tanah dan bangunan

Sumber Dirperindag Kota Medan

Menurut Isono, dkk., (2001)

ada beberapa karakteristik yang

menjadi ciri usaha kecil, antara lain

adalah: (1). Mempunyai skala usaha

kecil, baik modal, penggunaan

tenaga kerja maupun orintasi pasar;

(2). Banyak berlokasi di wilayah

pedesaan dan kota-kota atau daerah

pinggiran kota besar; (3). Status

usaha milik pribadi atau keluarga;

(4). Sumber tenaga kerja berasal dari

lingkungan sosial budaya (etnis

geografis); (5). Pola bekerja sering

kali part time atau sebagai usaha

sampingan dari kegiatan ekonomi

lainnya; (6). Memiliki kemampuan

terbatas dalam mengadopsi

teknologi, pengelolaan usaha dan

administrasinya sendiri masih

sederhana; (7). Struktur

permodalannya sangat tergantung

pada fiskal aset, berarti kekurangan

modal kerja dan sangat tergantung

terhadap sumber modal sendiri serta

lingkungan pribadinya

Jenis-Jenis UKM. Secara umum

UKM bergerak dalam 2 (dua)

bidang, yaitu bidang perindustrian

dan bidang barang dan jasa. Menurut

Keppres No. 127 Tahun 2001,

adapun bidang/jenis usaha terbuka

bagi usaha kecil dan menengah di

bidang industri dan perdagangan

adalah sebagai berikut: (1). Industri

makanan dan minuman olahan yang

melakukan pengawetan dengan

proses pengasinan, penggaraman,

pemanisan, pengasapan, pengering-

an, perebusan, penggorengan, dan

fermentasi dengan cara-cara

tradisional; (2). Industri

penyempurnaan benang dari serat

buatan menjadi benang

bermotif/celup, ikat dengan

menggunakan alat yang digunakan

oleh tangan; (3). Industri tekstil

meliputi pertenunan, perajutan,

pembatikan, dan pembordiran yang

memiliki ciri dikerjakan dengan

ATB, atau alat yang digerakkan

tangan termasuk batik, peci, kopiah,

dan sebagainya; (4). Pengolahan

hasil hutan dan kebun golongan non

pangan : Bahan bangunan atau

rumah tangga, bambu, nipah, sirap,

arang, sabut dan Bahan industri:

getah-getahan, kulit kayu, sutra alam,

gambir; (5). Industri perkakas tangan

yang diproses secara manual atau

semi mekanik untuk pertukangan dan

pemotongan; (7). Industri perkakas

tangan untuk pertanian yang

diperlukan untuk persiapan lahan,

proses produksi, pemanenan, pasca

panen, dan pengolahan, kecuali

cangkul dan sekop; (8). Industri

barang dari tanah liat, baik yang

diglasir, maupun tidak diglasir untuk

keperluan rumah tangga; (9). Industri

jasa pemeliharaan dan perbaikan

yang meliputi otomotif, kapal

dibawah 30 GT, elektronik dan

peralatan rumah tangga yang

dikerjakan secara manual atau semi

otomatis; (10). Industri kerajinan

yang memiliki kekayaan khasanah

budaya daerah, nilai seni yang

menggunakan bahan baku alamiah

maupun imitasi.

Metode Lokasi penelitian ini dilakukan

di Kota Medan Provinsi Sumatera

Jenis penelitian ini adalah penelitian

deskriptif dengan analisis kuantitatif.

Jenis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[71]

dengan menggunakan data 5 tahun

(2007-2012) Di Kota Medan.

Sumber data yang didapatkan dari

penelitian ini adalah data primer

yaitu BPS dan dinas koperasi Kota

Medan.

Penelitian ini menggunakan

metode linear regresi berganda untuk

mengetahui seberapa besar hubungan

antara variabel independen yaitu

jumlah pengangguran dan

ketenagakerjaan terhadap variabel

dependen yaitu UMKM Di Kota

Medan. Dengan bentuk persamaan

regresi linear berganda yang dapat

dirumuskan: Y = α + β1X1 + β2X2 + e

[Keterangan: Y (usaha mikro kecil

menengah); α (koefisien konstanta);

β1 (koefisien variabel

pengangguran); β2 (koefisien

ketenagakerjaan); X1 (variabel

pengangguran); dan X2 (variabel

ketenagakerjaan)].

Hasil dan Pembahasan

Keadaan Pengangguran dan

Ketenagakerjaan di Kota Medan.

Kota Medan memiliki luas 26.510

Hektar atau 265,10 Km2 atau sama

dengan 3,6 persen dari total luas

wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Oleh karena itu, selain memiliki

modal dasar pembangunan dengan

jumlah penduduk dan letak geografis

serta peranan regional yang relatif

terus berkembang semakin besar dan

strategis, namun Kota Medan juga

memiliki keterbatasan ruang sebagai

bagian dari daya dukung lingkungan

kota.

Kota Medan pada saat ini sedang

mengalami masa transisi demografi yang ditunjukkan dengan adanya

proses pergeseran dari suatu keadaan

dimana tingkat kelahiran dan

kematian relatif tinggi menuju

keadaan dimana tingkat kelahiran

dan kematian semakin menurun.

Dalam dimensi ketenagakerjaan,

yang sering dilihat adalah angka

pengangguran. Salah satu persoalan

pokok pembangunan kota Medan

yang dihadapi selama periode 2007-

2012 adalah relatif masih tingginya

tingkat pengangguran terbuka.

Munculnya pengangguran

disebabkan laju pertumbuhan

angkatan kerja yang jauh melampau

laju pertumbuhan kesempatan kerja,

sehingga mengakibatkan relatif

masih tingginya angka pengangguran

terbuka Di Kota Medan. Indikator

ketenagakerjaan diperoleh dari

penduduk usia 15 tahun keatas yang

dikelompokkan menjadi Penduduk

yang termasuk angkatan kerja,

bekerja, pengangguran dan penduduk

bukan angkatan Kerja. Penduduk

angkatan kerja terdiri dari mereka

yang bekerja dan menganggur

(termasuk didalamnya mereka yang

mencari kerja). Sedangkan penduduk

bukan angkatan kerja adalah mereka

yang sekolah, mengurus rumah

tangga dan lainnya.

Dalam membahas aspek

ketenagakerjaan, pada umumnya

yang paling sering dilihat adalah

angka pengangguran. Salah satu

persoalan pokok pembangunan kota

yang dihadapi selama periode 2007-

2012 adalah relatif masih tingginya

tingkat pengangguran terbuka.

Munculnya pengangguran ini

disebabkan laju pertumbuhan

angkatan kerja yang jauh melampaui

laju pertumbuhan kesempatan kerja

sehingga mengakibatkan relatif

masih tingginya angka pengangguran

terbuka di Kota Medan.

Faktor-faktor penyebab

pengangguran secara global di Kota

Medan adalah sebagai berikut: (1).

Besarnya angkatan kerja sehingga

tidak seimbang dengan kesempatan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[72]

kerja, ketidakseimbangan terjadi

karena jumlah angkatan kerja lebih

besar dari pada kesempatan kerja

yang tersedia; (2). Pendidikan

rendah, pendidikan yang rendah

dapat mengakibatkan seseorang

kesulitan mendapatkan pekerjaan;

(3). Adanya budaya pilih-pilih

pekerjaan; (4). Latar belakang

pendidikan tidak sesuai dengan

pekerjaan yang disediakan; (5).

Malasnya mencari pekerjaan,

misalnya ada seseorang lulusan

sarjana yang kemudian tidak mau

bekerja dan lebih suka meng-

gantungkan hidup pada orang tua dan

pasangannya bila sudah menikah;

(6). Tidak mau berwirausaha,

umumnya seseorang yang baru lulus

sekolah atau kuliah, mereka hanya

terpaku dalam mencari pekerjaan,

seolah itu tujuan mutlak; (7).

Kurangnya keterampilan, banyak

mahasiswa atau lulusan SMA yang

sudah mempunyai keriteria bekerja,

namun dalam teknisnya keteram-

pilannya masih kurang, sehingga

susah mencari pekerjaan.

Angka pengangguran pada tabel

3 perlu menjadi perhatian, baik yang

berkaitan langsung dengan upaya

setiap orang untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya, sehingga dapat

hidup layak dan tidak menjadi beban

sosial, maupun untuk mendorong

mereka supaya dapat aktif secara

ekonomi. Oleh karena itu, adanya

kebijakan dasar Pemerintah Kota

Medan selama periode 2007-2012,

untuk mendorong terciptanya

lapangan kerja baru yang salah

satunya melalui penanaman modal.

Indikator ketenagakerjaan di

Kota Medan dapat dilihat dari jumlah

penduduk usia 15 tahun ke atas yang

dapat dikelompokkan menjadi 2

bagian yaitu penduduk yang

termasuk angkatan kerja dan

penduduk yang bukan angkatan

kerja. Penduduk angkatan kerja

terdiri dari mereka yang berkerja dan

penganggur (termasuk di dalamnya

orang yang mencari kerja).

Sedangkan penduduk yang bukan

angkatan kerja adalah mereka yang

sedang sekolah, mengurus rumah

tangga (IRT) dan lainnya.

Berdasarkan tabel 3 diperoleh

bahwa yang termasuk angkatan kerja

selama periode 2007-2012

mengalami perkembangan yang

fluktuatif. Dari jumlah angkatan

kerja di Kota Medan pada tahun

2007 sebanyak 729.892 jiwa, namun

pada tahun 2008 meningkat menjadi

833.832 jiwa, pada tahun 2009

menurun menjadi 824.250 jiwa, pada

tahun 2010 meningkat menjadi

886.815 jiwa, pada tahun 2011

meningkat menjadi 902.097 jiwa dan

pada tahun 2012 menurun menjadi

851.642 jiwa.

Tabel 3. Jumlah Pengangguran, Angkatan Kerja dan UMKM di Kota Medan

Tahun 2007-2012

Tahun Pengangguran (jiwa) Jumlah Angkatan Kerja (jiwa) UMKM

(unit)

2007 123.670 729.892 2570

2008 125.477 833.832 2801

2009 137.160 824.250 3235

2010 133.811 886.815 3342

2011 99.916 902.097 3184

2012 84.501 851.642 3635

Jumlah 704.535 5.028.528 18.767

Rata-Rata 117.422,50 838.088 3.127,83

Sumber : BPS Kota Medan, UMKM data yang diolah, Dinas UMKM Kota Medan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[73]

Peran UMKM Dalam Penyerapan

Tenaga kerja dan Mengurangi

Jumlah Pengangguran.

Perkembangan usaha mikro kecil dan

menengah (UMKM) di Kota Medan

pada tahun 2007-2012 terus

mengalami peningkatan kecuali pada

tahun 2011. Pertumbuhan dan

perkembangannya dari tahun ke

tahun menunjukan arah yang

signifikan. Kita dapat melihat bahwa

secara umum pertumbuhan

perekonomian kota medan tidak

terlepas dari kontribusi UMKM. Hal

ini dapat dilihat dari jumlah

pertumbuhan UMKM yang ada di

kota Medan, yaitu pada tahun 2007

jumlah usaha mikro kecil dan

menengah sebanyak 2570 unit.

Tahun 2008 jumlah usaha mikro

kecil dan menengah meningkat

menjadi 2801 unit, tahun 2009

jumlah usaha kecil menengah

meningkat menjadi 3235 unit, tahun

2010 jumlah usaha kecil menengah

meningkat menjadi 3341 unit, tahun

2011 jumlah usaha kecil menengah

menurun menjadi 3184 unit dan

tahun 2012 jumlah usaha kecil

menengah meningkat 3635 unit.

Usaha mikro kecil dan

menengah ini terdiri dari usaha

makanan, minuman, kerajinan

tangan, furniture, jasa, dan

percetakan. Jumlah usaha mikro

kecil dan menengah (UMKM) saat

ini berjumlah 99.8% dari total usaha

ekonomi yang ada di kota Medan.

Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS), mampu menyerap

tenaga kerja sebanyak 60,4 juta atau

87,5 persen dari total tenaga kerja

keseluruhan.

Jika kita lihat dari jumlah usia,

maka usia kisaran 26-35 tahun

sebanyak (43.28%). Selanjutnya

diikuti oleh umur 36-45 tahun

sebanyak (40.30%). Untuk umur 17-

25 tahun sebanyak (5.97%). Untuk

umur 46-55 tahun sebanyak (5.97%).

Untuk umur 56-65 tahun sebanyak

(2.99%). Sedangkan persentase

terkecil berada pada kisaran >65

tahun sebanyak (1.49%). Gambaran

keadaan tersebut menjelaskan bahwa

sebagian besar pengusaha UMKM

termasuk dalam umur produktif.

Deskriptif karakteristik sampel

berdasarkan tingkat pendidikan

dimana persentase terbanyak adalah

SMA/Sederajat sebanyak (62.69%).

Pendidikan SMP sebanyak (17.9%).

Sarjana (S1) sebanyak (13.43%). SD

sebanyak (4.49%). Sedangkan

persentase terkecil berada pada

Diploma (D1, D2, D3) sebanyak

(1.49%). Ini menunjukan bahwa

sebagian besar pengusaha UMKM

masih di dominasi oleh orang-orang

yang lulusan di tingkat SMP dan

SMA sederajat.

Pengaruh Jumlah Pengangguran

dan Ketenagakerjaan Terhadap

keberadaan UMKM Berdasarkan hasil perhitungan

diperoleh koefisien regresi linear

berganda untuk X1 = -0.005 X2 =

0.004 . Sedangkan konstanta regresi

adalah 504.622 sehingga persamaan

regresi linear berganda adalah

sebagai berikut:

Y = α + β1X1 + β2X2

Y = 504.622 - 0.005 X1 + 0.004 X2

Nilai konstanta ( ) nilai ini berarti jika semua variabel

independen (jumlah pengangguran

dan tenaga kerja) sama dengan nol

atau dianggap konstan maka jumlah

usaha mikro kecil dan menengah di

Kota Medan sebesar 504.622 unit.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[74]

Tabel 4. Koefisisen Korelasi

Berganda (R)

Nilai koefisien ( ) ,

artinya setiap kenaikan 1 (satu) nilai

variabel independen (jumlah

pengangguran) akan menurunkan

variabel dependen (jumlah usaha

mikro kecil dan menengah) di Kota

Medan sebesar 0.005 unit. Untuk

mengetahui tingkat responsif

(sensitifitas) dari variabel dependen

(UMKM) terhadap variabel

independen (jumlah pengangguran),

maka dihitung elastisitas rata-rata

dari variabel Y terhadap variabel X1

dengan menggunakan rumus:

= elastisitas rata-rata dugaan

= koefisien regresi dari variabel X1

= nilai rata-rata dari variabel independen X1

= nilai rata-rata dari variabel dependen

Maka nilai elastisitas rata-rata

dugaan dalam penelitian ini adalah:

E1 = -0,187

Nilai koefisien ( ) artinya setiap kenaikan 1 (satu) nilai

variabel independen (tenaga kerja)

akan meningkatkan variabel

dependen (jumlah usaha mikro kecil

dan menengah) di Kota Medan

sebesar 0.004 unit. Untuk

mengetahui tingkat responsif

(sensitifitas) dari variabel dependen

(UMKM) terhadap variabel

independen (ketenagakerjaan), maka

dihitung elastisitas rata-rata dari

variabel Y terhadap variabel X2

dengan menggunakan rumus:

Dimana: = elastisitas rata-rata dugaan; = koefisien

regresi dari variabel X2; = nilai rata-rata dari variabel

independen X2; = nilai rata-rata dari variabel

dependen.

Maka nilai elastisitas rata-rata dugaan

dalam penelitian ini adalah:

E1 = 1,072

Uji F untuk mengetahui apakah

variabel-variabel independen (X)

secara simultas (keseluruhan)

signifikan terhadap variabel dependen

(Y). Dengan taraf kepercayaan 0,05. Uji F di atas menunjukkan bahwa

nilai F hitung sebesar 1.892 lebih

kecil dibandingkan dengan nilai Sig

0.294b maka variabel jumlah

pengangguran dan ketenagakerjaan

berpengaruh nyata (terima H1)

terhadap variabel UMKM.

Uji determinasi menunjukkan

bahwa nilai (R Square) sebesar

0,558. Hal ini menunjukkan bahwa

55,80% keragaman variabel usaha

mikro kecil dan menengah (UMKM)

dapat dijelaskan oleh variabel jumlah

pengangguran dan ketenagakerjaan

melalui hubungan linier dan sisanya

44,20% dipengaruhi oleh variabel

lain yang tidak diteliti (kurangnya

modal, lemahnya jaringan usaha,

terbatasnya sarana dan prasarana

usaha, implikasi otonomi daerah, dan

implikasi perdagangan bebas).

Tabel 5. Uji F variabel dependen

UMKM ANOVA

a

Model Sum of

Squares

df Mean

Square

F Sig.

1

Regression 410419.183 2 205209.591 1.892 .294b

Residual 325303.651 3 108434.550

Total 735722.833 5

Tabel 6. Koefisisen determinasi (R)

dan Uji autokorelasi Durbin-

Watson Model Summary

b

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

Durbin-Watson

1 .747a .558 .263 329.294 2.489

Dari tabel 6 terlihat bahwa nilai

Durbin-Watson pada uji autokorelasi

terhadap variabel jumlah

pengangguran dan ketenagakerjaan

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std.

Error

Beta

1

(Constant) 504.622 2495.108 .202 .853

Jumlah Pengangguran

-.005 .007 -.286 -.716 .525

Ketenagakerjaan .004 .003 .615 1.539 .221

Sumber : Pengolahan Data dengan IBM SPSS Statistics 20

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[75]

sebesar 2,489. Hal ini menunjukkan

tidak terjadinya autokorelasi atau

tidak adanya penyimpangan yang

terjadi antara residual pada satu

pengamatan dengan pengamatan lain

pada model regresi ini.

Berdasarkan tabel 6 diperoleh

koefisien korelasi (r) sebesar 0,747.

Hal ini menunjukkan bahwa variabel

X (jumlah pengangguran dan

ketenagakerjaan) dan variabel Y

(UMKM) berkorelasi linier yang

positif, searah dan hubungannya

sangat kuat.

Keberadaan UMKM di Kota

Medan sangat berpengaruh terhadap

jumlah pengangguran dan penyera-

pan tenaga kerja. Oleh sebab itu

pemerintahan Kota Medan sebaiknya

meningkatkan kepedulian terhadap

UMKM dengan cara memberikan

perhatian lebih terhadap perkem-

bangannya melalui pemberian

bantuan modal, seminar usaha,

pelatihan dan izin usaha. Selain itu,

pemerintah Kota Medan sebaiknya

mengadakan pameran per tiga bulan

di setiap kecamatan untuk

memperkenalkan produk-produk

home industry kepada masyarakat

sehingga masyarakat berminat untuk

mengkonsumsi dan memakai produk

yang dihasilkan, bahkan dapat

melakukan penjualan ke kabupaten

lainnya yang ada di Provinsi

Sumatera Utara. Hal ini akan

berdampak pada peningkatan laba

usaha, peningkatan output, dan

perluasan usaha. Dengan adanya

perluasan usaha maka UMKM

mampu menyerap tenaga kerja dan

mengurangi jumlah pengangguran Di

Kota Medan.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa jumlah pengangguran dapat

menurunkan jumlah UMKM di Kota

Medan sebesar 0.005 unit. Elastisitas

dari jumlah pengangguran -0,187

dapat diinterprestasikan bahwa

jumlah pengangguran meningkat 1

persen maka jumlah UMKM di Kota

Medan mengalami penurunan

sebesar 0,18%.

Ketenagakerjaan dapat mening-

katkan jumlah UMKM di Kota

Medan sebesar 0.004 unit. Elastisitas

dari jumlah pengangguran sebesar

1,072 dapat diinterprestasikan bahwa

jumlah ketenagakerjaan meningkat 1

persen maka jumlah UMKM di Kota

Medan mengalami peningkatan

sebesar 1,07%. Koefisien deter-

minasi 55,80% jumlah UMKM

dipengaruhi oleh jumlah pengang-

guran dan ketenagakerjaan di Kota

Medan sedangkan 44,20%

dipengaruhi oleh faktor lain seperti

kurangnya modal, lemahnya jaringan

usaha, terbatasnya sarana dan

prasarana usaha, implikasi otonomi

daerah, dan implikasi perdagangan

bebas)

Nilai koefisien korelasi (r)

sebesar 0,747. Hal ini menunjukkan

bahwa variabel independen (jumlah

pengangguran dan ketenagakerjaan)

dan variabel dependen (UMKM)

berkorelasi linier yang positif, searah

dan hubungannya sangat kuat.

Melalui hasil penelitian ini

diharapkan seluruh masyarakat

bekerjasama dengan pemerintah

Kota Medan dalam meningkatkan

UMKM sehingga perekonomian

Kota Medan semakin membaik dan

tingkat pengangguran semakin

sedikit.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (BPS). 2003.

Sumatera Utara Dalam Angka

2003. Badan Pusat Statistik

Provinsi Sumatera Utara, Medan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[76]

Badan Pusat Statistik (BPS). 2007.

Sumatera Utara Dalam Angka

2007. Badan Pusat Statistik

Provinsi Sumatera Utara, Medan

Badan Pusat Statistik (BPS). 2013.

Sumatera Utara Dalam Angka

2013. Badan Pusat Statistik

Provinsi Sumatera Utara, Medan

http://www.menlh.90.id/usah_kecil/t

op/kriteria.htm

Isono, Sadoko dan Heryadi. 2001.

Pengembangan Usaha Kecil.

Bandung, Penerbit Yayasan

Akagita

Kaufman, B., E. Julie dan L.

Hotchkiss. 1999. The Economics

Of Labor Market. Yogyakarta,

BPFE UGM

Keppres RI No. 127 Tahun 2001

tentang Bidang/ Jenis Usaha

yang Disadangkan Untuk Usaha

Kecil dan Bidang/ Jenis Usaha

yang Terbuka Untuk Usaha

Menengah atau Besar Dengan

Syarat Kemitraan

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun

1997 Tentang Kemitraan

Peraturan Pemerintah Republik

dalam UU Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan

Peraturan Pemerintah Republik

dalam UU Nomor 9 Tahun 1995

Tentang Usaha Mikro Kecil

Sukirno, S. 1994. Pengantar Makro

Ekonomi. Jakarta, Penerbit Raja

Grafindo Persada

Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori

Mikro Ekonomi. Jakarta, PT

Raja Grafindo Persada.

Sutojo, S. 2004. Membangun Citra

Perusahaan. Jakarta, Damar

Mulia Pustaka.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[77]

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN BUAH DURIAN

DI DURIAN UCOK KOTA MEDAN

Mitra Musika Lubis dan Rahma Sari Siregar

Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Pertanian Universitas Medan Area

Surel: [email protected]

ABSTRACT

This study is to analyze consumer behavior in Durian Ucok and the factors that

influence it. The research location is determined based purposive method. The

data collected is of secondary data and primary. The data analysis methods is

ordinal regression. The results showed: 1). Customer-specific characteristics in

Durian fruit durian Ucok ranges are 25-37 years old, educated to degree level,

and the average income of one million to five million rupiah. 2) factors that

influence positively influence consumer behavior simultaneously is the attitude,

perception, families, price and place. Partially, a factor which significantly is the

price, but the attitude, perception, and the family did not have a significant

influence.

Keywords: characteristic, perception, families, price and place

Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara

yang memiliki kekayaan sumber

daya. Posisi tersebut mengisyaratkan

bahwa kebijakan pembangunan

nasional masih harus bertumpu pada

bidang pertanian, salah satunya

hortikultura. Komoditas hortikultura

mempunyai nilai ekonomi yang

tinggi, sehingga usaha agribisnis

hortikultura (buah, sayur, flori-

kultura, dan tanaman obat) dapat

menjadi sumber pendapatan bagi

masyarakat dan petani baik berskala

kecil, menengah maupun besar,

karena memiliki keunggulan berupa

nilai jual yang tinggi, keragaman

jenis, ketersediaan sumberdaya lahan

dan teknologi, serta potensi serapan

pasar di dalam negeri dan

internasional yang terus meningkat.

Pasokan produk hortikultura

nasional diarahkan untuk memenuhi

kebutuhan konsumen dalam negeri,

baik melalui pasar tradisional, pasar

modern, maupun pasar luar negeri

(Direktorat Jenderal Hortikultura,

2011). Salah satu primadona

hortikultura di dalam negeri adalah

buah-buahan. Komoditas buah

unggulan di Indonesia ialah buah

durian. Buah durian memiliki

prospek ekonomi yang cukup bagus

disamping buah-buah lainnya.

Pemasaran buah durian yang selalu

meningkat setiap tahunnya

menandakan bahwa buah durian

semakin digemari oleh masyarakat,

terutama di kota-kota besar di

Indonesia. Peluang pasar buah durian

di Indonesia masih menjanjikan,

(Susenas, BPS).

Pengembangan tanaman buah di

Indonesia bisa dikatakan sudah

meluas diberbagai provinsi. Menurut

Badan Pusat Statistika Sumatera

Utara (2014), buah durian

merupakan salah satu dari sepuluh

komoditas unggulan di Sumatera

Utara. Penggemar buah durian

memang luar biasa, siapapun tak

dapat memungkirinya. Diluar negeri

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[78]

buah durian ini terkenal dengan

nama “king of fruits”, rajanya buah.

Oleh karena penggemar buah

durian sangat banyak maka harganya

selalu naik. Meskipun buah durian

selalu membanjiri pasar setiap

musimnya, harganya tidak pernah

goyah bahkan kian melonjak (Susilo,

2013).

Menurut Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian perkembangan

luas panen buah durian di Indonesia

pada periode tahun 1990–2013

berfluktuatif namun cenderung

mengalami peningkatan dengan rata-

rata pertumbuhan per tahun sebesar

3,73%. Peningkatan yang cukup

signifikan terjadi pada tahun 2001

dan 2011 masing masing naik

sebesar 55,56% dan 49,16%

dibandingkan tahun sebelumnya,

sementara penurunan luas panen

buah durian yang cukup signifikan

pada tahun 1997 dan 2010 masing-

masing turun sebesar 35,21% dan

25,16%.

Sejalan dengan perkembangan

luas panennya, produksi buah durian

selama tahun 1990-2013 berfluktuasi

cenderung meningkat dengan rata-

rata pertumbuhan produksi buah

durian Indonesia hanya 1,99% per

tahun. Secara lengkap Sentra buah

durian di Sumatera Utara tahun

1990–2013 dapat dilihat pada

gambar 1.

Perkembangan harga buah

durian di tingkat produsen di

Indonesia selama tahun 2004–2013

menunjukkan kecenderungan me-

ningkat. Pada periode tersebut harga

buah durian di tingkat produsen

mengalami pertumbuhan dengan

rata-rata sebesar 13,70% per tahun.

Harga produsen pada tahun 2004

sebesar Rp.54.117 per 10 buah, atau

harga per kilogramnya sebesar

Rp.1.804 per kg dengan asumsi berat

1 buah durian sebesar 3 kg. Harga

produsen tertinggi dicapai pada

tahun 2013 dengan harga Rp.

165.828 per 10 buah atau sebesar Rp.

5.528 per kg dengan asumsi berat 1

buah durian sebesar 3 kg.

Gambar 1. Sentra buah durian

di Sumatera Utara tahun

1990–2013

Peningkatan harga buah durian

dari tahun ke tahun menggambarkan

bahwa buah durian ini sangat

disenangi konsumen di Indonesia

maupun mancanegara. Ini terbukti

begitu banyaknya penggemar

sehingga menyebabkan hukum pasar

bagi buah durian yang dijajakan di

kota seakan tidak berlaku meskipun

buah durian melimpah harganya

tidak pernah turun.

Gambar 2. Kenaikan Harga Buah

Durian Tahun 1990–2013

Berdasarkan data Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS)

tahun 2002–2013, konsumsi buah

durian per kapita per tahun di

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[79]

Indonesia berfluktuasi. Rata-rata

konsumsi buah durian tahun 2002–

2013 sebesar 1,18 kg/kapita/tahun,

atau mengalami peningkatan dengan

rata-rata sebesar 28,89% per tahun.

Sementara bila dilihat konsumsi

buah durian tahun 2013 sebesar 1,41

kg/kapita, dengan konsumsi

mencapai mencapai 350,33 ribu ton.

Secara lengkap konsumsi buah

durian tahun 1990–2013 dapat dilihat

pada grafik gambar 3.

Gambar 3. Konsumsi Buah

Durian Tahun 1990-2013

Banyaknya penggemar buah

durian di Kota Medan, maka hal ini

menyebabkan banyak tempat yang

ditemukan menjadi lokasi untuk

membeli buah durian, baik secara

musiman maupun tetap. Diantara

banyaknya pedagang buah durian di

kota Medan, yang sudah bersifat

permanen dan banyak dikunjungi

konsumen adalah Durian Ucok dan

Durian Pelawi yang berada di

Kecamatan Petisah, Kota Medan

Sumatera Utara

Melihat perkembangan usaha

dibidang perdagangan buah durian di

kota Medan, maka perlu adanya

penelitian tentang perilaku konsumen

dalam pembelian buah durian di

Durian Ucok. Berdasarkan latar

belakang diatas maka peneliti tertarik

untuk mengetahui karakteristik

konsumen buah durian di Durian

Ucok dan mengetahui faktor yang

mempengaruhi perilaku konsumen

buah durian di Durian Ucok.

Metode

Metode pengumpulan data

dilakukan dengan metode survey.

Data yang dikumpulkan berupa data

primer dan data sekunder.

Pengumpulan data primer dilakukan

dengan metode wawancara dengan

menggunakan daftar pertanyaan

(kuisioner) kepada pembeli

(konsumen) buah durian di Durian

Ucok. Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari hasil studi

kepustakaan maupun publikasi resmi

dari berbagai instansi.

Kriteria sampel untuk konsumen

tersebut adalah konsumen tetap yang

membeli buah durian di lokasi

penelitian. Sampel diambil di lokasi

penelitian, sumber informasi berasal

dari penjual buah durian (pemilik

Durian Ucok). Sampel yang diambil

adalah sebanyak 30 sampel

konsumen yang membeli buah

durian.

Analisis

Metode analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini untuk

mencapai tujuan penelitian pertama

adalah deskriptif kuantitatif yaitu

mengidentifikasi karakteristik konsu-

men buah durian. Pengolahan data

yang akan dilakukan dengan

mentabulasi data secara sederhana ke

dalam bentuk yang lebih mudah

dibaca dan diinterprestasikan.

Untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi perilaku konsu-

men buah durian yang akan

dianalisis dengan model regresi

linear berganda yaitu: Y = bo+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+e

Keterangan: Y = perilaku konsumen;

b0 = Konstanta; X1 = Sikap; X2 = Persepsi;

X3 = Keluarga; X4 = Harga, X5 = Tempat,

dan e = Standar Eror

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[80]

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Konsumen. Pada

penelitian ini, tingkat umur

konsumen buah Durian Ucok

diketahui bahwa umur terendah

konsumen adalah umur 14 tahun dan

umur tertinggi konsumen buah

durian adalah umur 50 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian umur

rata–rata konsumen buah durian di

Durian Ucok adalah umur 25-37

tahun dengan persentase rata–rata

46,67%. Hal ini menunjukkan bahwa

konsumen yang datang ke Durian

Ucok adalah dari kalangan usia

muda. Mereka biasanya datang

bersama teman kelompok maupun

rekan bisnis untuk menikmati buah

durian di Durian Ucok. Mereka

memilih Durian Ucok di karenakan

fasilitas yang lengkap dan

kenyamanan pelayanan.

Menurut Sumarwan (2003)

tingkat pendidikan akan mem-

pengaruhi nilai–nilai yang dianutnya,

cara berfikir, cara pandang bahkan

persepsinya terhadap suatu masalah.

Pada penelitian ini, diperoleh

berbagai latar belakang pendidikan

konsumen buah durian di Durian

Ucok. Tingkat pendidikan rata–rata

konsumen buah durian di Durian

Ucok terbesar adalah pada tingkat

Sarjana dengan persentase rata–rata

yaitu 66,67%. Hal ini menunjukkan

bahwa konsumen buah durian rata–

rata berpendidikan tinggi, diduga

semakin tinggi tingkat pendidikan

konsumen semakin luas cara berpikir

dan cara pandang konsumen untuk

memilih tempat mengkonsumsi buah

durian. Konsumen yang memiliki

pendidikan tinggi akan memilih

tempat yang membuat mereka

nyaman, dan memiliki fasilitas yang

lengkap seperti yang dimiliki oleh

Durian Ucok.

Menurut Sumarwan (2003) jenis

pekerjaan konsumen akan

mempengaruhi pendapatan yang

mereka terima. Pendapatan tersebut

kemudian akan mempengaruhi

proses keputusan dan pola

konsumsinya yang selanjutnya akan

mempengaruhi daya beli konsumen

terhadap barang yang ingin dibeli.

Pekerjaan konsumen buah durian

terbanyak di Durian Ucok adalah

wiraswasta sebanyak 13 orang

dengan persentase 43,33%. Biasanya

mereka datang ke Durian Ucok

bersama rekan bisnis maupun teman

kumpul untuk membahas pekerjaan.

Mereka memilih Durian Ucok

sebagai tempat konsumsi buah

durian karena fasilitas yang di

berikan di Durian Ucok lengkap dan

nyaman, sesuai untuk melakukan

pertemuan bisnis.

Pendapatan terendah konsumen

buah durian di Durian Ucok adalah

Rp.800.000 dan pendapatan tertinggi

konsumen buah durian adalah

Rp.10.000.000. Rata–rata pendapat-

an konsumen buah durian di Durian

Ucok adalah Rp.1.000.000-

Rp.5.000.000 sebanyak 21 orang

dengan persentase rata–rata adalah

70%. Hal ini sesuai dengan jenis

pekerjaan konsumen buah durian di

Durian Ucok yang rata–rata sebagai

wiraswasta, dengan tingkat

pendapatan mulai dari menengah ke

atas.

Frekuensi pembelian buah

durian di Durian Ucok berdasarkan

informasi dari pekerja di Durian

Ucok yang menjadi konsumen tetap

adalah konsumen yang berkunjung

ke Durian Ucok dilakukan 2 (dua)

kali dalam setiap bulan dengan

persentase 83,33%. Konsumen tetap

Durian Ucok yang berusia rata-rata

25 sampai dengan 37 tahun dengan

pekerjaan rata–rata sebagai

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[81]

wiraswasta dan tingkat pendapatan

antara Rp. 1.000.000 sampai dengan

Rp.5.000.000 per tiap bulannya..

Analisis Perilaku Konsumen Buah

Durian di Durian Ucok. Analisis

yang dilakukan dalam penelitian ini

menggunakan uji Regresi Ordinal

dengan bantuan perangkat lunak

SPSS 18. Uji Regresi Ordinal

dilakukan untuk menganalisis faktor-

faktor yang mempengaruhi perilaku

konsumen buah durian di Durian

Ucok.

Tabel 1. Case Processing

Summary

N Marginal Percentage

Perilaku Setuju 23 76,7%

sangat setuju 7 23,3%

Valid 30 100,0%

Missing 0

Total 30

Tabel Case Processing Summary

menerangkan bahwa terdapat 30

responden yang mengkonsumsi

buah durian di Durian Ucok.

Diantara 30 responden tersebut,

sekitar 76,7% konsumen menjawab

setuju pada pernyataan dari kuisioner

penelitian yaitu “Saya membeli buah

durian di tempat ini karena sesuai

dengan pendapatan saya” dan 23,3%

konsumen menjawab sangat setuju

pada pernyataan kuisioner yang

sama.

Tabel 2. Model Fitting

Information

Model -2 Log

Likelihood

Chi-

Square df Sig.

Intercept

Only

27,627

Final 14,173 13,454 5 ,019

Dapat diketahui pada tabel

model Fitting Information

menerangkan dengan memasukkan

variabel independen yaitu variabel

sikap, persepsi, keluarga, harga, dan

tempat dalam model perilaku

konsumen akan memberikan

kontribusi pada model perilaku

konsumen. Pada tabel 9 diperoleh

penurunan Chi-Square sebesar

13,454 atau perubahan nilai -2 log

likehood dari 27,627 menjadi 14,173

dan signifikan 0,019 (<5%). Hal ini

menunjukkan bahwa pemasukkan

variabel independen yaitu variabel

sikap, persepsi, keluarga, harga dan

tempat memberikan kontribusi dalam

model perilaku konsumen.

Tabel 3. Goodness – of – Fit

Chi-Square Df Sig.

Pearson 10,892 15 ,760

Deviance 10,825 15 ,765

Berdasarkan hasil pada tabel 3,

uji kesesuaian model dengan data

empiris model perilaku konsumen

dalam penelitian ini adalah fit atau

layak digunakan. Data hasil prediksi

model sesuai dengan data empiris.

Nilai signifikansi pearson sebesar

0,760 dan nilai signifikansi deviance

sebesar 0,765 lebih besar dari 0,05.

Tabel 4. Pseudo R-Square

Cox and Snell ,361

Nagelkerke ,545

McFadden ,413

Hasil pada tabel 4 menunjukkan

bahwa Pseudo R-Square

menunjukkan nilai nagelkerke 0,545.

Hal ini berarti bahwa 54,5%

variabilitas perilaku konsumen

mampu dijelaskan oleh variabel

sikap, persepsi, keluarga, harga, dan

tempat. Sementara sisanya 46,5%

ditentukan oleh variabel lain yang

tidak disebutkan didalam model ini.

Tabel parameter estimates

menunjukkan bahwa faktor sikap, persepsi, keluarga, dan tempat tidak

berpengaruh signifikan terhadap

perilaku Konsumen buah durian di

Durian Ucok. Hal ini diketahui dari

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[82]

nilai statistic wald yang memiliki

nilai signifikansi lebih besar dari

0,05. Hanya variabel harga, hal itu di

ketahui dari nilai statistic wald yang

memiliki nilai signifikansi lebih kecil

dari 0,05.

Tabel 5. Parameter Estimates

Perilaku Konsumen Durian Ucok

Model regresi ordinal logistic

adalah sebagai berikut:

Interpretasi model dari regresi di

atas adalah: (a). Sikap (X1).Dari

model diatas, interpretasi model

regresi ordinal adalah jika variabel

selain variabel sikap di anggap

konstan maka setiap peningkatan

skor sikap akan menaikkan odd ratio

e (0,133)=1,142 perilaku konsumen

buah durian di Durian Ucok.

(b). Persepsi (X2). Dari

model diatas, interpretasi model

regresi ordinal adalah jika variabel

lain kecuali variabel persepsi di

anggap konstan maka setiap

penurunan skor akan menaikkan odd

ratio e (-0,334)=0,716 perilaku

konsumen buah durian di Durian

Ucok.

(c). Keluarga (X3). Dari model

diatas, interpretasi model regresi

ordinal adalah jika variabel lain

kecuali variabel keluarga di anggap

konstan maka setiap penurunan skor

keluargaakan menaikkan odd ratio e

(-18,239)= 9,119 perilaku konsumen

buah durian di Durian Ucok.

(d). Harga (X4). Dari model

diatas, interpretasi model regresi

ordinal adalah jika variabel lain

kecuali variabel harga di anggap

konstan maka setiap peningkatan

skor harga akan menaikkan odd ratio

e (2,756)= 15,737perilaku konsumen

buah durian di Durian Ucok.

(e). Tempat (X5). Dari model

diatas, interpretasi model regresi

ordinal adalah jika lain kecuali

variable tempat di anggap konstan

maka setiap penurunan skor tempat

akan menaikkan odd ratio e (-,653) =

1,921 perilaku konsumen buah

durian di Durian Ucok.

Konsumen buah durian di Durian

Ucok yang dijadikan sampel

penelitian berjumlah 30 orang di

pilih secara purposive (sengaja)

memperlihatkan hasil pada tabel

Model fitting information

menerangkan bahwa variabel

independen secara keseluruhan yaitu

variabel sikap, persepsi, keluarga,

harga, dan tempat memberikan

kontribusi atau mempengaruhi pada

model perilaku konsumen dengan

besar nilai penuruna Chi-Square

sebesar 14,454 dan signifikan <5%

yaitu 0,019.

Pada model Goodness-of-Fit,

diperoleh nilai signifikansi pearson

>5% yaitu 0,760 dan nilai

signifikansi deviance >5% yaitu

0,765. Dengan di peroleh nilai

tersebut terpenuhilah syarat untuk di

katakan model fit (layak) digunakan

yaitu nilai dearson dan deviance

lebih besar dari 5%. Pada tabel

Pseudo R-Square menunjukkan nilai

nagalkerke sebesar 0,545. Dengan

nilai tersebut dapat dikatakan bahwa

54,5% variabilitas perilaku

konsumen dapat dijelaskan oleh

variabel seperti sikap, persepsi,

keluarga, harga, dan tempat. Sekitar

45,5% di tentukan oleh variabel di

luar variabel sikap, persepsi,

keluarga, harga dan tempat.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[83]

Dengan dipenuhinya ketiga

syarat yaitu signifikansi pada tabel

fitting of information di bawah 5%,

tabel goodness of fit di atas 5% dan

tabel Pseudo R-Square tidak boleh

sama dengan 1. Maka dapat

disimpulkan bahwa variabel sikap,

persepsi, keluarga, harga dan tempat

mempengaruhi perilaku konsumen

buah durian di Durian Ucok dan H1

terbukti.

Namun ketika diuji secara

parsial, hasil yang didapatkan bahwa

variabel sikap, persepsi, keluarga,

dan tempat tidak berpengaruh

terhadap perilaku konsumen tetap

buah durian di Durian Ucok. Hanya

variabel harga yang berpengaruh

terhadap perilaku konsumen buah

durian di Durian Ucok.

Hal itu dapat dilihat dari hasil uji

regresi ordinal pada tabel parameter

estimates interpretasi dari variabel

sikap adalah nilai odd ratio yang

naik sebesar e (0,133)=1,142

perilaku konsumen dan nilai

signifikan sebesar 0,912 artinya

sikap tidak berpengaruh dalam

perilaku konsumen buah durian di

Durian Ucok sebagai tempat

membeli buah durian. Menurut hasil

penelitian Puspita Ayu R bahwa

sikap dan perilaku konsumen

terhadap produk olahan durian

menunjukkan bahwa sikap konsumen

terhadap produk olahan durian, yakni

pancake durian menunjukkan

cenderung kearah proporsi sikap

positif, hal ini sama dengan hasil dari

penelitian ini, yaitu nilai koefisien

sikap adalah positif.

Namun berdasarkan nilai

signifikansi dari variabel sikap,

penelitian yang dilakukan di Durian

Ucok, variabel sikap tidak

berpengaruh terhadap perilaku

konsumen buah durian di Durian

Ucok, hal itu dapat diketahui dari

nilai signifikansi sebesar 0,912 atau

lebih besar dari 0,05. Banyak hal

yang melatarbelakangi tidak

berpengaruhnya sikap terhadap

perilaku konsumen tersebut, seperti

karena tidak ada penawaran khusus

dari Durian Ucok. Selain itu alasan

yang melatarbelakangi tidak

berpengaruhnya sikap konsumen

tersebut ialah tidak sesuai dengan

pendapatan konsumen.

Interpretasi hasil dari uji regresi

ordinal pada tabel parameter

estimates dari variabel persepsi

adalah nilai odd ratio yang naik

sebesar e (-0,334) = 0,716, artinya

variabel persepsi tidak berpengaruh

dalam perilaku konsumen buah

durian di Durian Ucok sebagai

tempat mengkonsumsi buah durian.

Swasta dan Handoko (2000)

mengatakan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi perilaku

konsumen ialah persepsi, konsumen

akan menampakkan perilakunya

setelah melakukan penilaian terhadap

keputususan yang akan di ambil

dalam membeli suatu produk.

Namun berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan di Durian

Ucok, persepsi tidak mempengaruhi

perilaku konsumen dalam memilih

membeli buah durian di Durian

Ucok. Konsumen tidak hanya

membeli buah durian di karenakan

persepsi yang mereka miliki, seperti

bagaimana cita rasa durian, apa

khasiat durian atau amankah durian

dikonsumsi. Hal ini berbanding

terbalik dengan teori tentang persepsi

yang menyebutkan perilaku

konsumen dipengaruhi persepsi.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa

persepsi tidak selalu mempengaruhi

perilaku konsumen, khususnya

konsumen buah durian yang saat ini

sedang diteliti di Durian Ucok.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[84]

Interpretasi hasil dari uji regresi

ordinal pada tabel parameter

estimates dari variabel keluarga

adalah nilai odd ratio yang naik

sebesar e (-18,239) = 9,789, artinya

variabel keluarga tidak berpengaruh

dalam perilaku konsumen buah

durian di Durian Ucok. Menurut

Kotler (2001) anggota keluarga

merupakan kelompok acuan primer

yang paling berpengaruh.Bahkan jika

pembeli sudah tidak berhubungan

lagi dengan orang tua, pengaruh

terhadap perilaku pembeli tetap ada.

Maksudnya ialah perilaku yang

didapat dalam lingkungan keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian yang

diperoleh variabel keluarga tidak

berpengaruh dimana konsumen

memilih mengkonsumsi buah durian

di Durian Ucok tidak hanya karena

keluarga konsumen yang memesan

buah durian maupun konsumen yang

di ajak keluarganya untuk

mengkonsumsi buah durian di

Durian Ucok. Hal ini menunjukkan

bahwa hasil penelitian di Durian

Ucok berbanding terbalik dengan

teori Kotler yang menyebutkan

keluarga berpengaruh terhadap

perilaku konsumen. Hal ini dapat

disebabkan karena kebanyakan

konsumen yang mengunjungi Durian

Ucok ialah konsumen dengan kisaran

umur 25 tahun sampai dengan 37

tahun, yang sebagian besar belum

berkeluarga.

Interpretasi hasil dari uji regresi

ordinal pada tabel parameter

estimates dari variabel harga adalah

nilai odd ratio yang naik sebesar e

(2,785)= 16,200, artinya variabel

harga berpengaruh dalam perilaku

konsumen buah durian di Durian

Ucok. Hal ini disebabkan karena

harganya sesuai dengan kualitas

yang diberikan.

Berdasarkan hasil penelitian yang

di lakukan di Durian ucok, selain

harga yang terjangkau, harga buah

durian di Durian Ucok tidak berubah

sepanjang tahun karena mereka

memiliki stock (persediaan) buah

durian sepanjang musim dan terdapat

banyak pilihan dari berbagai jenis

durian. Sesuai harga yang

ditawarkan, konsumen sudah

dilayani dengan baik oleh pekerja di

Durian Ucok mulai dari konsumen

datang dan diantarkan di tempat

duduk lalu dipilihkan buah durian

sesuai dengan keinginan konsumen.

Sedangkan interpretasi hasil dari

uji regresi ordinal pada tabel

parameter estimates dari variabel

tempat adalah nilai odd ratio yang

naik sebesar e (-0,029)=0,971,

artinya variabel tempat tidak

berpengaruh dalam perilaku

konsumen buah durian di Durian

Ucok sebagai tempat mengkonsumsi

buah durian. Hal yang membuat

variabel tempat tidak berpengaruh

karena meskipun pelayanan nyaman

dan fasilitas disediakan tetapi begitu

banyak tempat yang mirip dengan

Durian Ucok serta berdekatan

dengan Durian Ucok seperti Durian

Pelawi, Durian Sitepu dan lain-lain.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kriteria konsumen buah

durian di Durian Ucok berumur

antara 25 hingga 37 tahun, 70%

berpendidikan sarjana. Besarnya

pendapatan pengunjung antara Rp.

1.000.000,00 sampai Rp.

5.000.000,00. Secara simultan,

faktor–faktor yang mempengaruhi

perilaku konsumen buah durian

adalah variabel sikap, persepsi,

keluarga, harga, dan tempat

berpengaruh pada perilaku konsumen

buah durian di Durian Ucok. Secara

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[85]

parsial, faktor yang berpengaruh

adalah variabel harga karena harga

yang dibayar oleh konsumen sesuai

dengan hal yang didapatkan

konsumen. Penelitian ini tidak

berhasil membuktikan adanya

pengaruh sikap, persepsi, dan

keluarga terhadap prilaku konsumen

buah durian.

Untuk pemilik usaha disarankan

agar memberikan penawaran harga

maupun penawaran khusus kepada

para pelanggan, hal itu dapat

menambah loyalitas konsumen tetap

membeli buah durian di Durian

Ucok. Untuk peneliti selanjutnya

dapat lebih memperdalam variabel

yang tidak berpengaruh dalam

penelitian ini, seperti variabel sikap,

persepsi, keluarga, dan tempat agar

didapatkan hasil yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Ai, Assaf. 2009. Penelitian

BisnisKuantitatif PT Grasindo.

Jakarta.

Badan Pusat Statistika. 2014. Survey

Sosial Ekonomi Nasional.

Jakarta.

Chasanah, Nur. 2010. Analisis

Perilaku Konsumen Dalam

Membeli Produk Susu Instan di

Pasar Modern Kota Surakarta.

Universitas Sebelas Maret.

Diakses 17 Februari 2015.

Departemen Pertanian. 2014.

Sumatera Utara Dalam Angka

2014. Badan Pusat Statistika

Sumatera Utara. Medan.

Direktorat Jenderal Hortikultura.

2011. Statistik Produksi

Hortikultura Kementerian

Pertanian.

Engel JF, Blackwell GD, Minard

PW. 2006. Perilaku konsumen

jilid I, edisi keenam. Jakarta

Binapura Aksara.

Hawkins, D, Best R.J, dan Coney.

2004. Consumen Behavior:

Implication for Marketing

Strategy. Homewood. Illinois.

Iriani, Yani, Mariah Barokah. 2012.

Analisis Faktor – Faktor Yang

Mempengaruhi Perilaku

Konsumen dalam Pembelian

LPG 3KG (Studi Kasus di PT

Graff Ferdiana GerritsEnergi).

Universitas Widyatama.

Bandung.

Kotler, Philip. 2005. Manajemen

Pemasaran, Edisi Kesebelas Jilid

1. Jakarta, PT. Indeks Kelompok

Gramedia. Lamb, Hair, Mc Daniel. 2006.

Pemasaran (terjemahan).Edisi

Bahasa Indonesia, Jilid Pertama.

Jakarta, Salemba empat. Mamang, Etta Sangadji, Sopiah.

2013. Perilaku Konsumen:

Pendekatan Praktis. Jakarta,

Penerbit Andi.

Mayasari, Hesti. 2012. Analisis

Perilaku Pembelian Ponsel

Cerdas (Smartphone): Antara

Kebutuhan dan Gaya Hidup

Konsumen di Kota Padang.

Universitas Taman Siswa.

Mowen, John C. Michael, Minor a.

2002. Perilaku Konsumen. Jilid

1. Jakarta, Erlangga.

Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian. 2013. Statistik SDM,

Penduduk dan Kemiskinan.

Jakarta, Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian.

Kementerian Pertanian.

Schiffman, Leon G and Leslie

Kanuk. 2000. Consumer

/Behaviour. 7th edition.

Prentice-Hall, Inc. Sunarjono, Hendro, 1990. IImu

Produksi Tanaman Buah-

Buahan. Bandung: Sinar Baru.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[86]

Susilo, Joko, 2013. Sukses Bertanam

Durian Varietas Unggul.

Yogyakarta, Pustaka Baru Press.

WisnuWinardi. 2013. Dampak

Pembatasan Impor Hortikultura

Terhadap Aktivitas

Perekonomian, Tingkat Harga

dan Kesejahteraan. Buletin

Ekonomi Moneter dan

Perbankan. www.bi.go.id/

publikasi/jurnal-ekonomi

[diaksesjuni 2015]

Walpole, R.E. 1995. Pengantar

Statistik Edisi ke-3. PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[87]

PENGARUH KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASI

TERHADAP INTENTION TURN OVER PADA CONTACT CENTER PLN

123 SITE MEDAN

Willy Yusnandar dan Sri Fitri Wahyuni

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Email: [email protected]

ABSTRACT

This study is to analyse the effect of job satisfaction, and work commitment

intention to turn over PLN 123 in Contact Center Site Medan. Samples were 47

CSO (Customer Service Officer). The analysis technique used in this research is

the analysis of quantitative data, using multiple linear regression. The results

using the t test showed that job satisfaction and work commitment partially

significant effect on intention to turn over. F test results showed job satisfaction

and work commitment significant effect on intention to turn over, while the

coefficient of determination shows a very strong relationship amounted to 91,9%.

Keywords: Job satisfaction, job commitment, intention turnover.

Pendahuluan Sumber daya manusia dalam

artian tenaga kerja atau orang-orang

yang berada dalam suatu organisasi

merupakan aset perusahaaan yang sangat penting, hal ini dikarenakan

manusia merupakan sumber daya

yang selalu dibutuhkan dalam setiap

proses produksi barang dan jasa.

Untuk dapat bersaing dengan

industri/perusahaan yang sejenis

lainnya, perusahaan harus

mempunyai keunggulan yang

kompetitif yang sangat sulit ditiru

oleh perusahaan lain, dan itu semua

hanya akan diperoleh dari karyawan

yang produktif, inovatif, kreatif

selalu bersemangat dan loyal.

Karyawan yang memenuhi kriteria

seperti itu hanya akan dimiliki

melalui penerapan konsep yang tepat

dengan memperhatikan

kesejahteraan SDM atau karyawan

perusahaan tersebut. Salah satu cara

untuk meningkatkan kesejahteraan

karyawan dapat dilihat melalui

kepuasan kerja yang dirasakan.

Keberhasilan dan kinerja

seseorang dalam suatu bidang

pekerjaan banyak ditentukan oleh

tingkat kompetensi, profesionalisme, kepuasan dan juga komitmennya

terhadap bidang yang ditekuninya.

Komitmen merupakan suatu

konsistensi dari wujud keterkaitan

seseorang terhadap suatu hal, spirit

karir, keluarga, lingkungan dan

sebagainya. Adanya komitmen dapat

menjadi suatu dorongan bagi

seseorang untuk bekerja lebih baik.

Penanganan perilaku individu dalam

organisasi seperti komitmen,

kepuasan kerja adalah sangat penting

karena semua itu terkait dengan

penanganan sumber daya manusia

oleh organisasi. Organisasi perlu me-

manage sumber daya manusianya

dalam upaya mencapai tujuan secara

efektif.

PT. Icon Plus semula didirikan

untuk menyediakan jasa

telekomunikasi dan teknologi

informasi guna mendukung operasi

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[88]

perusahaan induknya yakni PT. PLN.

Namun kini sebagai perusahaan yang

berdiri sendiri PT. Icon Plus juga

berperan sebagai penyedia jaringan

dan jasa terkait lainnya bagi

konsumen perusahaan masyarakat

umum di seluruh Indonesia dan

sekitarnya PT. PLN telah menyerah-

kan sebagian asetnya kepada PT.

Icon Plus sebagai penyertaan modal.

Salah satu jasa yang dikelola oleh

Icon Plus adalah layanan Contact

Center PLN 123. Contact Center

PLN 123 merupakan salah satu

sarana pelayanan listrik yang dibuat

untuk mendekatkan dan memudah-

kan pelanggan berkomunikasi

dengan PLN. Dengan Contact Center

PLN 123, pelanggan dapat

mengajukan pasang baru, perubahan

daya, penyambungan baru sementara

sampai dengan 197 KVA dan

pelanggan dapat memperoleh infor-

masi perihal keluhan kelistrikan

melalui Contact Center PLN 123.

Contact Center PLN 123 terdiri

dari 7 Site di seluruh Indonesia,

terdiri dari Site Medan, Site Jakarta,

Site Semarang, Site Denpasar, Site

Surabaya, Site Palembang, dan Site

Bandung. CSO (Customer Service

Officer) melayani pelanggan

terutama dalam memberikan

kemudahan dan kenyamanan dalam

memperoleh informasi, konsultasi,

kebutuhan dan permasalahan

pelanggan setiap saat, kapanpun dan

dimanapun yang dapat diakses

melalui telepon selama 24 jam sehari

dan 7 hari dalam seminggu. Dalam

pelaksanaan layanan tersebut,

Contact Center PLN 123 selalu

berupaya untuk menjaga kualitas

pelayanan pelanggan selalu

mendapatkan informasi yang tepat

dan sikap layanan yang memuaskan

dengan standar kinerja yang jelas.

Setelah dilakukan wawancara

dengan DC (Dest Control) bahwa

tingkat intention turn over customer

service office (CSO) selama periode

tahun 2011 sampai dengan 2014

mengalami kenaikan. Berikut ini

merupakan data turn over agen

customer service office (CSO)

Contact Center PLN 123 Site

Medan selama empat tahun terakhir.

Tabel 1. Data Turn Over Contact

Center PLN 123 Site Medan

Periode Tahun 2011 s/d 2014

No Periode

Jumlah

Karyawan

(orang)

Jumlah

Turn Over

(orang)

Alasan

1 2011 50 10 Mendapatkan

pererjaan

lain

2 2012 70 12 Alasan

pribadi

3 2013 85 15 Mendapat

pekerjaan

lain

4 2014 95 20 Mendapat

pekerjaan

lain

Sumber : Contact Center PLN 123 Site Medan

Pada tabel 1 terlihat turn over

agen contact center relatif tinggi

disebabkan lebih banyak CSO keluar

karena sudah mendapatkan pekerjaan

baru atau pekerjaan lain di luar

perusahaan. Hal ini menunjukkan

kemungkinan adanya ketidakpuasan

CSO terhadap perusahaan dan

komitmen organisasi yang masih

rendah. Indikasi ketidakpuasan CSO

ditandai dengan tingkat

ketidakhadiran yang cukup tinggi,

tingkat absensi karyawan akan

berdampak negatif terhadap

komitmen organisasi. Berikut

terlampir daftar ketidakhadiran CSO

selama periode Januari sampai

dengan Desember 2014.

Berdasarkan tabel 2 terlihat

bahwa tingkat kehadiran karyawan

yang belum optimal, hal tersebut

dapat dilihat dari data absensi yang

mengalami fluktuasi setiap bulannya,

yaitu terlihat rata-rata ketidakhadiran

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[89]

karyawan setiap bulannya mencapai

39 orang. Hal tersebut dikarenakan

sakit, ijin dan tanpa keterangan.

Tabel 2.Data Ketidakhadiran CSO

Periode Januari Sd Desember 2014

NO Bulan Jumlah Data

Ketidakhadiran (Orang)

1 Januari 40

2 Februari 36

3 Maret 30

4 April 46

5 Mei 48

6 Juni 52

7 Juli 26

8 Agustus 28

9 September 30

10 Oktober 33

11 November 58

Sumber : Contact Center PLN 123 Site Medan

Kebanyakan karyawan tidak

hadir tanpa keterangan. Hal ini

mengindikasi bahwa karyawan

merasa tidak puas dalam bekerja dan

komitmen organisasi tidak dijalankan

dengan baik. Hal ini akan berdampak

pada kemajuan perusahaan.

Perusahaan yang baik ditunjukkan

dengan kepuasan karyawan dalam

bekerja dan komitmen organisasi

dijalankan dan baik sehingga tingkat

intention turn over rendah.

Hal ini mendorong peneliti

untuk mengetahui bagaimana

pengaruh kepuasan kerja dan

komitmen organisasi terhadap

intention turn over pada Contact

Center PLN 123 site Medan.

Kajian Pustaka

Perusahaan yang tidak dapat

menghadapi tantangan perubahan

dalam perusahaan akan mengambil

kebijakan sepihak dengan melakukan

pemberhentian kerja dari perusahaan

terhadap karyawan yang tidak

berpotensial. Kebijakan perusahaan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan

dan harapan karyawan akan

membawa dampak buruk pada sikap

kerja karyawan. Robbins (2006; hal.

73) mendefinisikan turnover sebagai

pemberhentian pegawai yang bersifat

permanen dari perusahaan baik yang

dilakukan oleh pegawai sendiri

(secara sukarela) maupun yang

dilakukan oleh perusahaan.

Menurut Hartono (2002, hal. 52)

intensi turnover adalah kadar atau

intensitas dari keinginan untuk

keluar dari perusahaan. Intensi

turnover di definisikan sebagai

intensi seseorang untuk melakukan

pemisahan aktual (turnover) dari satu

organisasi. Hartono (2002; hal.2)

menyatakan: “turnover intentions

adalah kadar atau intensitas dari

keinginan untuk keluar dari

perusahaan, banyak alasan yang

menyebabkan timbulnya turnover

intentions ini dan diantaranya adalah

keinginan untuk mendapatkan

pekerjaan yang lebih baik.”

Berdasarkan beberapa uraian

definisi yang dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan bahwa intensi

turnover adalah keinginan karyawan

untuk berhenti dari keanggotaan

suatu organisasi atau memutuskan

hubungan dengan organisasi dimana

ia menerima penghasilan.

Menurut Rivai (2004; hal.309)

Kepuasan kerja merupakan perilaku

nyata yang ditampilkan setiap orang

sebagai prestasi kerja yang

dihasilkan oleh karyawan sesuai

dengan perannya dalam perusahaan.

Kemudian menurut Mangkunegara

(2000; hal. 67) kepuasan kerja adalah

hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh

seseorang karyawan dalam

melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang

diberikan kepadanya.

Pendapat dari ahli yang lain,

Bernandin dan Russell (2003; hal.

135), kepuasan kerja adalah catatan

yang dihasilkan dari fungsi suatu

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[90]

pekerjaan tertentu atau kegiatan

selama periode waktu tertentu. Maka

kesimpulan dari pengertian diatas

adalah kepuasan kerja merupakan

prestasi kerja atau prestasi

sesungguhnya yang dicapai oleh

seorang karyawan.

Mathis dan Jackson (2000;

hal.78) kepuasan kerja mengacu pada

prestasi karyawan yang diukur

berdasarkan standar atau kriteria

yang ditetapkan perusahan.

Pengertian kepuasan kerja atau

prestasi kerja diberi batasan sebagai

kesuksesan seseorang di dalam

melaksanakan suatu pekerjaan.

Kepuasan kerja mempengaruhi

seberapa banyak karyawan

memberikan kontribusi kepada

organisasi, antaralain yaitu kualitas

keluaran, kuantitas keluaran, jangka

waktu keluaran, kehadiran di tempat

kerja.

Menurut Porter, dkk (2004; 78),

komitmen adalah kuatnya penge-

nalan dan keterlibatan seseorang

dalam suatu organisasi tertentu. Di

lain pihak, menggambarkan

komitmen sebagai kecenderungan

untuk terikat dalam garis kegiatan

yang konsisten karena menganggap

adanya biaya pelaksanaan kegiatan

yang lain (berhenti bekerja)

(Panggabean, 2004; 50).

Meyer dan Allen (2007; 31)

definisi mengenai komitmen dalam

berorganisasi sebagai suatu konstruk

psikologis yang merupakan

karakteristik hubungan anggota

organisasi dengan organisasinya dan

memiliki implikasi terhadap

keputusan individu untuk melanjut-

kan keanggotaannya dalam

berorganisasi. Berdasarkan definisi

tersebut anggota yang memiliki

komitmen terhadap organisasinya

akan lebih dapat bertahan sebagai

bagian dari organisasi dibandingkan

anggota yang tidak memiliki

komitmen terhadap organisasi.

Dari beberapa pengertian diatas

berarti komitmen organisasi

menjelaskan kekuatan relatif dari

sebuah identifikasi individu dengan

keterlibatan dalam sebuah organisasi.

Komitmen menghadirkan sesuatu

diluar loyalitas belaka terhadap suatu

organisasi. Disamping itu, hal ini

meliputi suatu hubungan yang aktif

dengan organisasi dimana individu

bersedia memberikan sesuatu dari

diri mereka untuk membantu

keberhasilan organisasi.

Menurut Sjahbandhyni (2004;

460) ada tiga penyebab komitmen

organisasi, yaitu: karakteristik

pribadi (kebutuhan berprestasi, masa

kerja/jabatan, dan lain-lain),

karakteristik pekerjaan (umpan balik,

identitas tugas, kesempatan untuk

berinteraksi, dan lain-lain), dan

pengalaman kerja. Model tersebut

kemudian dimodifikasi menjadi

karakteristik pribadi (usia, masa

kerja, tingkat pendidikan, jenis

kelamin), karakteristik peran/

pekerjaan, karakteristik struktural

(berkaitan dengan tingkat formali-

sasi, ketergantungan fungsional dan

desentralisasi, partisipasi dalam

pengambilan keputusan dan

kepemilikan pegawai, serta kontrol

organisasi), dan pengalaman kerja

(Steers dan Porter 2004; 426).

Metode

Jumlah sampel dalam penelitian

ini adalah sebanyak 47 orang CSO

(Customer Service Officer) pada

Contact Center PLN 123 Site Medan.

Pengumpulan data dalam instrumen

ini menggunakan angket yang

ditujukan kepada para karyawan

Contact Center PLN 123 Site Medan

dengan menggunakan skala likert

dalam bentuk checklist. Analisis data

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[91]

menggunakan uji regresi linear

berganda.

Intention turnover adalah

keinginan untuk mendapatkan

pekerjaan yang lebih baik. Kepuasan

kerja yang digunakan mengacu pada

prestasi karyawan yang diukur

berdasarkan standar atau kriteria

yang ditetapkan perusahan. Sedang-

kan komitmen organisasi diukur

dengan karakteristik pribadi (usia,

masa kerja, tingkat pendidikan, jenis

kelamin), karakteristik peran/

pekerjaan, karakteristik struktural

(berkaitan dengan tingkat formali-

sasi, ketergantungan fungsional dan

desentralisasi, partisipasi dalam

pengambilan keputusan dan

kepemilikan pegawai, serta kontrol

organisasi), dan pengalaman kerja.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil pengolahan

data didapat persamaan regresi

berganda model regresi sebagai

berikut:

Y= 6,207+0,762X1+0,058X2

Jadi persamaan regresi di atas

bermakna: (1). Nilai 6,207

menunjukkan bahwa apabila variabel

kepusan kerja dan komitmen

organisasi adalah nol (0) maka nilai

intention turn over sebesar 6,207.

(2). Nilai 0,762 menunjukkan bahwa

apabila variabel kepuasan kerja

ditingkatkan 100% maka nilai

intention turn over akan meningkat

sebesar 76,2%. (3). Nilai 0,058

menunjukkan bahwa apabila variabel

komitmen organisasi ditingkatkan

100% maka nilai intention turn over

akan meningkat sebesar 5,8%.

Dari hasil penelitian ini diperoleh

nilai signifikansi kepuasan kerja

berdasarkan uji t diperoleh sebesar

0.000 (Sig 0.000<α 0.05). dengan

demikian Ho ditolak dan H1 diterima

artinya ada pengaruh signifikan

kepuasan kerja terhadap intention

turn over.

Dari hasil penelitian ini diperoleh

nilai signifikansi komitmen organiasi

berdasarkan uji t diperoleh sebesar

0.005 (Sig 0.005<α0.05). dengan

demikian Ho ditolak dan H1 diterima

artiinya ada pengaruh signifikan

komitmen organisasi terhadap

intention turn over.

Berdasarkan hasil uji F

diperoleh nilai signifikan 0.000 (Sig.

0.000<α0.05), dengan demikian H0

ditolak. Artinya, ada pengaruh signi-

fikan kepuasan kerja dan komitmen

organisasi terhadap intention turn

over.

Dari hasil uji determinasi dapat

dilihat bahwa 0,919 dan hal ini

menyatakan bahwa variabel penga-

ruh kepuasan kerja dan komitmen

organisasi sebesar 91,9% untuk

mempengaruhi variabel intention

turnover sisanya dipengaruhi oleh

faktor lain atau variabel lain.

Simpulan

Penelitian ini berhasil mene-

mukan adanya pengaruh yang

signifikan kepuasan kerja terhadap

intention turn over pada Contact

Center PLN 123 Site Medan.

Komitmen organisasi berpengaruh

signifikan terhadap intention turn

over pada Contact Center PLN 123

Site Medan. Ada pengaruh signifikan

kepuasan kerja dan komitmen

organisasi terhadap intention turn

over pada Contact Center PLN 123

Site Medan.

Daftar Pustaka

Dessler, Gary. 2006. Manajemen

Sumber Daya Manusia. Edisi ke-

10. Jilid 2. Jakarta: Penerbit

Indeks.

Gomes, Faustino Cardoso. 2003.

Manajemen Sumber Daya

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[92]

Manusia. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

Handoko, T. Hani. 2000. Manajemen

Personalia dan Sumberdaya

Manusia. Yogyakarta: Penerbit

BPFE.

Mangkunegara, DR. A.A. Anwar

Prabu. 2005. Evaluasi Kepuasan

kerja SDM. Bandung: Penerbit

Refika Aditama.

Mathis, Robert L. dan Jackson. John

H. 2002. Manajemen Sumber

Daya Manusia. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat.

Mondy, R. Wayne. dan Noe, Robert

M. 2005. Human Resources

Management, Edisi ke-9. New

Jersey: Penerbit Prentice Hall.

Ranupandojo, Hedjrachman, dan

Suad, Husnan. 2002.

Manajemen Personalia, Edisi

Ke-4. Yogyakarta: Penerbit

BPFE.

Rivai, Veithzal. 2004. Manajemen

Sumber Daya Manusia Untuk

Perusahaan. Jakarta: Penerbit

Raja Grafindo Persada.

Sugiyono, Prof. Dr. 2007. Metode

Penelitian Bisnis. Bandung:

Penerbit Alfabeta

Sunyoto, Drs. Danang. 2012.

Manajemen Sumber Daya

Manusia. Yogyakarta: Penerbit

CAPS.

Suwarno, Prof. H. Bambang. 2005.

Rumus dan Data dalam Analisis

Statistika. Bandung: Penerbit

Alfabeta

Umar, Dr. Husein. 2008. Desain

Penelitian MSDM dan Perilaku

Karyawan. Jakarta: Penerbit

Rajagrafindo Persada

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[93]

KAJIAN KAWASAN STRATEGIS MENUJU

KAWASAN YANG EKONOMIS DI KOTA MEDAN

1Prawidya Hariani RS,

2Lailan Safina Hasibuan,

3Jasman Saripuddin Hasibuan

1,2,3Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Surel:[email protected]

ABSTRACT

Studies on the strategic area of Medan City Government aims to do the analysis

and mapping of Strategic Area profiles in the area of Medan based document

Spatial Plan (RTRW) of Medan Year 2011-2031. In addition, this study also

analyses the impact determination in accordance with the Strategic Region

Economic Sector, main city of Medan in achieving Urban Economic Zone. Lastly,

this study would like to create a criteria in determining the strategic areas

contained in the RUTRK city of Medan, so according to the characteristics of the

region and its links with other economic activities. Based on the findings obtained

from the study of this Strategic Area, that the CBD Polonia should be evaluated

as the area that encourage economic growth through the formal sector of trade

and an office area. In addition, the northern region of Medan widely used as a

strategic area of the town-oriented economic growth. As well as Belawan sea

port area which is equipped with the Port and the container port for goods

transportation between islands and between the both countries. Mabar industrial

area, including the largest industrial estates in North Sumatra. There is also a

region that gave the carrying capacity of the environment and provide an

opportunity in the development of tourism in coastal areas in particular, namely

the mangrove forest in Medan Belawan, Labuhan and Marelan, tourist areas

Siombak Lake (artificial lake). The northern area of Medan city, especially

Marelan also designated as cultivated areas with a concentration of agribusiness

products such as vegetables and fish farming, livestock and poultry, in order to

meet local demand community Medan.

Keywords: strategic area, economic area, economic growth

Pendahuluan

Aspek ruang memiliki dimensi

geografis dan lansekap ekonomi

(economic landscape) yang menjadi

variabel tambahan penting dalam

kerangka teori ekonomi

pembangunan. Sesuai dengan

perkembangan ilmu saat ini, maka

munculah konsep baru dalam

mengkombinasikan kedua aspek

tersebut yakni aspek geografi dan

aspek ekonomi, dan dikenal dengan

istilah geografi ekonomi (economic

geography). Konsep ini mampu

menjelaskan tentang tabir misteri

(blackbox) permasalahan dari

ketidakseimbangan spasial dalam

proses pembangunan.

Pembangunan daerah dan

pertumbuhan ekonomi daerah dalam

kerangka kebijakan pembangunan

sangat tergantung pada permasalahan

dan karakteristik spesifik wilayah

yang terkait. Perbedaan tingkat

pembangunan dapat dilihat dari

adanya perbedaan peranan sektoral

yang mempengaruhi pembentukan

PDRB di suatu wilayah. Secara

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[94]

hipotesis, dapat dirumuskan bahwa

semakin besar peranan sektor

ekonomi yang memiliki keunggulan

baik secara alamiah maupun non-

alamiah, maka semakin tinggi

pertumbuhan PDRB wilayah

tersebut. Peranan dari setiap sektor

dapat dilihat dari data PDRB pada

setiap tahunnya.

PDB dan PDRB memiliki 9

sektor ekonomi, dari kesembilan

sektor itu ada beberapa sektor yang

memiliki tingkat keunggulan

(economic base) lebih baik

dibandingkan dengan sektor-sektor

lainnya. Sektor basis tersebut

memiliki peranan yang penting

dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi dan pertumbuhan sekto

lainnya, sehingga melihat sektor-

sektor yang memiliki keunggulan

dan kelemahan di wilayahnya

menjadi sangat penting.

Bila suatu sektor dikatakan basis

atau memiliki keunggulan tertentu,

maka nilai tambah dari sektor

tersebut akan lebih baik jika

dibandingkan dengan sektor-sektor

lain dan juga jika dibandingkan

dengan sektor tersebut dengan

daerah lainnya. Sehingga sektor basis

tersebut merupakan komoditas

ekspor utama dari daerah tersebut.

Ricardo dalam teorinya menyatakan

bahwa sektor yang disebut basis

merupakan sektor ekspor utama bagi

daerah tersebut dan mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi daerah

tersebut (Tarigan 2009; 56). Namun

sektor unggulan dapat juga

didefinisikan sebagai sektor yang

mampu menggerakkan roda

perekonomian di suatu wilayah

dalam meningkatkan aktivitas

ekonomi dan mampu menggerakkan

(economic driven) pertumbuhan

ekonomi kearah yang lebih baik dan

berkesinambungan (suistanability).

Kawasan strategis wilayah

kabupaten atau kota merupakan

bagian dari wilayah kabupaten/kota

yang penataan ruangnya sangat

diprioritaskan. Kawasan strategis ini

mempunyai pengaruh sangat penting

dalam lingkup kabupaten terhadap

ekonomi, sosial budaya, dan/atau

daya dukung lingkungan hidup.

Penentuan kawasan strategis

kabupaten/kota lebih bersifat

indikatif. Batasan fisik kawasan

strategis akan ditetapkan lebih lanjut

di dalam rencana tata ruang kawasan

strategis (RTRK).

Kawasan strategis merupakan

kawasan yang didalamnya

berlangsung kegiatan yang

mempunyai pengaruh besar terhadap,

tata ruang di wilayah sekitarnya,

kegiatan lain dibidang sejenis dan

atau kegiatan dibidang lainnya, serta

peningkatan kesejahteraan masya-

rakat di wilayah tersebut. Kawasan

strategis di wilayah kota atau

kabupaten berfungsi juga dalam

mengembangkan, melestarikan,

melindungi, dan/atau mengkoor-

dinasikan keterpaduan pembangunan

nilai strategis kawasan yang

bersangkutan dalam mendukung

penataan ruang wilayah.

Kawasan strategis dari sudut

kepentingan ekonomi diidentifikasi

melalui penentuan sektor-sektor

ekonomi kunci pada wilayah

tersebut, sektor-sektor unggulan

yang dimiliki oleh setiap

kabupaten/kota, preferensi investasi

di masing-masing kabupaten/kota,

serta pengembangan kebijakan

infrastruktur pendukung pengem-

bangan wilayah. Kemudian

diidentifikasi juga karakteristik

tingkat perkembangan masing-

masing kabupaten atau kota.

Untuk Kota Medan, arah dalam

pengembangan ekonomi lebih jelas

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[95]

dijabarkan melalui penentuan

kawasan-kawasan strategis ekonomi

dengan melihat posisi tingkat

perkembangan setiap kecamatan,

prioritas sektor unggulan apa yang

dapat dikembangkan di kawasan

tersebut berdasar sektor unggulan di

kota Medan, serta kebutuhan

infrastruktur pendukung wilayahnya;

prioritas investasi jangka pendek dan

jangka panjang menjadi bahan

masukan dalam menetapkan fokus

dari sektor-sektor untuk setiap

kawasan strategis yang

dikembangkan; serta potensi kerja

sama antar daerah disekitarnya.

Kawasan-kawasan strategis tersebut

telah dijabarkan pada RUTR Kota

Medan. Oleh karena itu perlu

dilakukan kajian untuk melihat

bagaimana kawasan strategis tersebut

dapat dapat dikembangkan sehingga

menjadi kawasan yang mempunyia

nilai ekonomis.

Kawasan strategis wilayah

kabupaten atau kota merupakan

bagian wilayah kabupaten/kota yang

penataan ruangnya diprioritaskan,

karena mempunyai pengaruh sangat

penting dalam lingkup kabupaten

terhadap ekonomi, sosial budaya,

dan/atau lingkungan. Penentuan

kawasan strategis kabupaten atau

kota lebih bersifat indikatif. Batasan

fisik kawasan strategis kabupaten

akan ditetapkan lebih lanjut di dalam

rencana tata ruang kawasan strategis,

dalam (Indonesian Institute for

Infastructure Studies; 2013)

Kajian Pustaka

Proses dari pembangunan

ekonomi akan selalu fokus pada

permasalahan daya saing industri,

ketersediaan infrastruktur, angkatan

kerja dan pengembangan pasar,

sehingga proses yang terjadi dalam

pembangunan ekonomi ini akan

berkesinambungan (suistanable

development) dan dapat meningkat-

kan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan ekonomi akan

mengisyaratkan adanya proses

pertumbuhan ekonomi yang juga

berkesinambungan. Bicara tentang

pembangunan ekonomi, sekaligus

membahas pertumbuhan ekonomi

dan faktor sosial lainnya, jadi

pembangunan ekonomi menyiratkan

dimensi jamak. Berdasarkan pada

aspek waktu, maka pembangunan

ekonomi akan membahas tentang

transformasi ekonomi dan sosial

dalam kurun waktu panjang biasanya

antara 20 tahun sampai dengan 25

tahun.

Pembangunan ekonomi akan

dapat menghasilkan keadaan berupa

ketimpangan ekonomi dan penduduk

sebagai konsekwensi alamiah, karena

ada daerah yang dapat beraglomerasi

secara ekonomi lebih dahulu dan

menghasilkan daerah konsentrasi

ekonomi serta penduduk.

Perbedaan pokok antara ilmu

ekonomi wilayah dan ekonomi

perkotaan dengan ekonomi

tradisional (mikro ekonomi dan

makro ekonomi) adalah menyangkut

aspek lokasi dan tata ruang (space).

Teori lokasi dan analisis ekonomi

spasial (spatial economic analysis)

merupakan landasan pokok dan

menjadi karakteristik utama dari

ilmu ekonomi wilayah (regional

economics) dan ekonomi perkotaan

(urban economics). Jadi dalam

analisis ekonomi spasial dimana tata

ruang dan lokasi kegiatan ekonomi

(economic activity) merupakan unsur

yang sangat penting.

Teori lokasi akan memberikan

kerangka analisis yang sistematis

mengenai pemilihan lokasi kegiatan

ekonomi dan sosial, serta analisis

interaksi antarwilayah. Teori lokasi

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[96]

menjadi sangat penting karena

pemilihan lokasi yang tepat akan

dapat memberikan penghematan

cukup besar pada ongkos angkut dan

biaya produksi sehingga mendorong

terjadinya efisiensi baik dalam

bidang produksi maupun pemasaran

produk. Sedangkan interaksi antar

wilayah akan mempengaruhi

perkembangan bisnis yang pada

gilirannya akan mendorong pertum-

buhan ekonomi wilayah yang

bersangkutan.

Pada konsep spasial, faktor jarak

menjadi sangat dominan dalam

menentukan suatu lokasi industri,

karena terkait langsung dengan biaya

transportasi, baik biaya angkut dari

sumber bahan baku ke unit

pengolahan dan dari unit pengolahan

menuju pasar. Total biaya

transportasi ini disebut dengan istilah

biaya lokasional. Harga jual produk

per-satuan unit di pasar, tergantung

pada biaya basis (biaya produksi

ditambah dengan laba marginal) dan

biaya lokasional, sehingga harga jual

produk per satuan unit akan semakin

tinggi jika semakin jauh dari lokasi

industri (pabrik). Dengan asumsi

tidak ada perlakuan pada

diskriminasi harga. Biaya lokasional

bertambah besar akibat munculnya

biaya distribusi (biaya angkut produk

dari pabrik ke pasar) yang

merupakan fungsi dari jarak tempuh

meskipun (biaya angkut bahan baku

ke pabrik) diasumsikan konstan.

Formulasi dari teori lokasi dan

analisis ekonomi spasial, dilakukan

dengan memperhatikan faktor-faktor

utama yang menentukan pemilihan

lokasi kegiatan ekonomi, baik bidang

pertanian, maupun industri dan jasa.

Pemilihan lokasi tidak hanya

ditentukan oleh faktor ekonomi saja,

tetapi juga oleh faktor sosial,

geografi maupun kebijakan

pemerintah. Ada enam faktor

ekonomi dan sosial yang

mempengaruhi lokasi seperti yang

diuraikan dalam Syafrizal (2012),

yakni adanya biaya pengangkutan,

perbedaan upah antar wilayah,

keuntungan aglomerasi, kompetisi

antar wilayah, konsentrasi

permintaan dan harga sewa tanah.

Kawasan strategis wilayah

kabupaten atau kota merupakan

bagian wilayah kabupaten/kota yang

penataan ruangnya diprioritaskan,

karena mempunyai pengaruh sangat

penting dalam lingkup kabupaten

terhadap ekonomi, sosial budaya,

dan/atau lingkungan. Penentuan

kawasan strategis kabupaten atau

kota lebih bersifat indikatif. Batasan

fisik kawasan strategis kabupaten

akan ditetapkan lebih lanjut di dalam

rencana tata ruang kawasan strategis,

dalam (Indonesian Institute for

Infastructure Studies; 2013).

Penentuan batasan fisik kawasan

strategis kota pada RTRW kota lebih

bersifat indikatif. Penetapan kawasan

strategis harus didukung oleh tujuan

tertentu daerah sesuai pertimbangan

aspek strategis masing-masing kota.

Kawasan strategis yang ada di kota

memiliki peluang sebagai kawasan

strategis nasional dan provinsi.

Penetapan kawasan strategis kota

didasarkan pada kesepakatan para

pemangku kepentingan dan

kebijakan yang ditetapkan.

Tujuan dalam penetapan untuk

Kawasan Strategis Kota Medan

sebagai berikut: (1). Mengembang-

kan, melestarikan, melindungi, dan

atau mengkoordinasikan keterpaduan

pembangunan nilai strategis kawasan

yang bersangkutan dalam

mendukung penataan ruang wilayah

kota; (2). Lokasi ruang untuk

berbagai kegiatan pertumbuhan

ekonomi, sosial dan budaya, serta

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[97]

fungsi dan daya dukung lingkungan

hidup dalam wilayah kota yang

dinilai mempunyai pengaruh sangat

penting terhadap wilayah kota; (3).

Sebagai pertimbangan dalam

penyusunan indikasi program utama

RTRW kota; dan (4). Sebagai dasar

penyusunan rencana rinci tata ruang

wilayah kota.

Sedangkan dasar penetapan

kawasan strategis kota Medan

sebagai berikut: (1). Tujuan,

kebijakan dan strategi dari penataan

ruang wilayah kota; (2). Nilai

strategis dari aspek-aspek ekster-

nalitas, akuntabilitas dan efisiensi

penanganan kawasan; (3).

Kesepakatan para pemangku

kepentingan dan kebijakan yang

telah ditetapkan terhadap tingkat

kestrategisan nilai ekonomi, sosial

budaya dan lingkungan pada

kawasan yang akan ditetapkan; (4).

Daya dukung dan daya tampung

wilayah kota berdasarkan pada Pola

Ruang dan Tata Ruang Kota Medan;

dan (5). Ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Metode

Kajian ini secara metode

penelitian lebih bersifat deskriptif

yang bertujuan lebih melakukan

evaluasi agar penentuan kawasan

strategis yang telah ditetapkan dapat

diperbaiki agar dampak ekonominya

lebih luas lagi.

Berdasarkan atas klasifikasi

data, maka pada penelitian kali ini

digunakan data kuantitatif dengan

jenis rasio dan beberapa data

kualitatif. Sedangkan berdasarkan

dimensi waktu, maka data yang

digunakan adalah data runtun waktu

(time series) yakni data yang secara

kronologis disusun menurut waktu

pada suatu variabel tertentu

(Mudrajat Kuncoro, 2003).

Adapun sumber data yang

digunakan adalah: (a) Data primer;

yang diperoleh dengan survei dan

wawancara langsung kepada

Bappeda, SKPD dan Kecamatan

terkait yang berhubungan dengan

kawasan strategis dan sektor-sektor

ekonomi unggulan di kota Medan

dan para stakeholders lainnya

sebagai pelaku ekonomi dalam

bentuk asosiasi pengusaha. (b) Data

sekunder; diperoleh dari lembaga

pengumpul data baik dari pemerintah

dalam hal ini BPS (Biro Pusat

Statistik ) Kota Medan, dan Bappeda

dalam bentuk dokimen RTRW dan

RUTR Kota Medan yang telah

dipublikasikan kepada masyarakat

pengguna data. Sedangkan untuk

SKPD Pertanian, Kelautan dan

Perikanan diperoleh data kuantitatif

dan kualitatif.

Adapun teknik pengambilan data

baik yang berbentuk kuantitatif

maupun kualitatif diambil langsung

pada institusi yang bersangkutan,

Data kuantitatif berbentuk data

sekunder berasal dari BPS,

sedangkan data kualitatif diambil

dari SKPD dan institusi yang terkait

dalam mendukung penelitian

tersebut. Maka teknik analisi data

yang akan dipakai dalam kajian ini

berupa: (1). Dokumen RUTR dan

RTRW dikaji khususnya bahagian

penetapan kawasan-kawasan

strategis di kota Medan. (2).

Kemudian data yang berasal dari

masyarakat pelaku ekonomi kota

Medan dalam bentuk asosiasi

pengusaha, dengan cara membuat

daftar pertanyaan (questioner) yang

akan digunakan dalam tehnik

wawancara terstruktur dan mendalam

dengan beberapa dinas terkait dan

beberapa asosiasi pengusaha sektor

riil dikota Medan yang sangat

tradebale dalam perekonomian kota

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[98]

Medan, guna mendapatkan informasi

yang akurat tentang potensi, hasil

produksi dan ekspektasi kedepan dari

bisnis tersebut. (3). Data yang

berasal dari Kantor Statistik Kota

Medan, maka pencarian data

dilakukan dengan cara langsung ke

instansi tersebut untuk pengambilan

data yang telah dipublikasikan secara

resmi, baik dari Buku Medan Dalam

Angka dari tahun 2002-2011 maupun

publikasi lainnya yang mendukung.

Data statistik KADIN (Kamar

Dagang dan Industri) kota Medan,

Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kota Medan, Dinas KOMINFO,

Asosiasi PHRI kota Medan dan

Asosiasi Pengusaha Ritel Kota

Medan. (4). Teknik evaluasi

kawasan, hanya melakukan cross

check dokumen RUTR dan RTRW

kota Medan, kemudian ditinjau ke

lapangan.

Hasil dan Pembahasan

Kawasan Strategis Kota Medan

berdasarkan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Tahun 2010-

2030. Kawasan strategis merupakan

kawasan yang di dalamnya

berlangsung kegiatan yang

mempunyai pengaruh besar terhadap:

(a). Tata ruang di wilayah sekitarnya;

(b). Kegiatan lain di bidang yang

sejenis dan kegiatan di bidang

lainnya; dan/atau (c). Peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

Kawasan Strategis berdasarkan

Kepentingan Pertumbuhan

Ekonomi. Kawasan strategis dari

sudut kepentingan pertumbuhan

ekonomi, antara lain, adalah kawasan

metropolitan, kawasan ekonomi

khusus, kawasan pengembangan

ekonomi terpadu, kawasan tertinggal,

serta kawasan perdagangan dan

pelabuhan bebas. Berdasarkan

kriteria diatas maka Kawasan

Strategis Kota (KSK) Medan yang

dapat dikembangkan sebagai

Kawasan Strategis Pertumbuhan

Ekonomi KSPE), antara lain: (1).

Pusat Pelayanan Kota di Bagian

Pusat Kota (CBD Polonia); Di Kota

Medan terdapat 7 (tujuh) kecamatan

di pusat kota yang ditetapkan sebagai

Pusat Kawasan Metropolitan

Mebidangro, yaitu Kecamatan

Medan Polonia, Medan Maimun,

Medan Barat, Medan Petisah, Medan

Baru, Timur dan Medan Kota. (2).

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);

yang akan di kembangkan adalah di

Kecamatan Medan Labuhan; (3).

Kawasan Pengembangan Ekonomi

Terpadu (KAPET). Kawasan

pengembangan ekonomi terpadu

ditetapkan dengan kriteria sebagai

berikut: (a). Memiliki aksesibilitas

tinggi yang didukung oleh prasarana

transportasi yang sangat memadai.

(b). Memiliki potensi strategis yang

memberikan keuntungan dalam

pengembangan sosial ekonomi. (c).

Berdampak luas terhadap

pengembangan regional, nasional

dan internasional. (d). Memiliki

peluang investasi yang menghasilkan

nilai tinggi. Berdasarkan kriteria

diatas maka kawasan yang dapat

dikembangkan sebagai kawasan

pertumbuhan ekonomi terpadu

adalah: Kecamatan Medan Belawan,

Kecamatan Medan Labuhan,

Kecamatan Medan Deli, Pusat Kota

(CBD Polonia) dan Kecamatan

Medan Amplas. (4). Kawasan

Perdagangan dan Pelabuhan Bebas;

Kawasan perdagangan dan

pelabuhan bebas adalah Kawasan

Pelabuhan Belawan di Kecamatan

Medan Belawan dan Pusat Primer

dan Sekunder.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[99]

Kawasan Strategis berdasarkan

Kepentingan Bidang Sosial

Budaya. Kawasan strategis dari

sudut kepentingan sosial dan budaya,

antara lain, adalah: (1). Kawasan

adat tertentu; (2). Kawasan

konservasi warisan budaya, termasuk

warisan budaya yang diakui sebagai

warisan dunia.

Kawasan-kawasan di Kota

Medan yang dapat dikategorikan

sebagai kawasan strategis sosial

budaya meliputi wilayah: (1).

Kawasan Polonia; (2). Kawasan Kota

Lama Labuhan Deli; yang terdiri dari

Toapekong Labuhan, Rumah-rumah

Toko Pekong, Rumah-rumah

Melayu, Mesjid Raya Labuhan,

Bangunan Eks Bea Cukai dan

Stasiun Kereta Api Belawan. (3).

Kawasan Perumahan dan Pergu-

dangan Eks DSM (Deli Spoorweg

Maatsehappij) di Pulo Brayan; (4).

Kawasan Istana Maimun; yang

meliputi Mesjid Raya Kota Medan,

Istana Maimun dan Taman Sri Deli;

(5). Kawasan Kampung Keling;

Kuil Sri Maryamman; (6). Kawasan

Kesawan; Kota Tua Pusat Kota

Medan (dengan gedung-gedung tua

bekas pusat perdagangan kota di

zaman Belanda); Rumah Tradisonal

Tionghoa peninggalan Tjong A Fie.

Kawasan Kesawan memiliki daya

tarik tersendiri bagi masyarakat

Medan, baik untuk berkumpul

dengan beberapa jenis komunitas

anak muda, termasuk hobi fotografi

dan menjadi lokasi untuk melakukan

aktivitas fotografi.

Kawasan Strategis berdasarkan

Fungsi dan Daya Dukung

Lingkungan Hidup. Kawasan

strategis dari sudut kepentingan

fungsi dan daya dukung lingkungan

hidup, antara lain, adalah kawasan

perlindungan dan pelestarian ling-

kungan hidup, termasuk kawasan

yang diakui sebagai warisan dunia

seperti Taman Nasional.

Kriteria kawasan perlindungan

yang strategis adalah: (1). Memiliki

peran ekologis dan penyelamatan

lingkungan dan mengantisipasi

bencana banjir; (2). Memiliki

peranan ekonomi yang cukup besar,

jika dapat dikelola dengan baik; (3).

Kebutuhan pemberian identitas kota

dengan pengembangan tanaman.

Kawasan strategis yang perlu

dan bisa dikembangkan sebagai

kawasan strategis yang memiliki

kepentingan untuk fungsi dan daya

dukung lingkungan hidup di Kota

Medan adalah: (1). Kawasan

Agrobisnis di Kecamatan Medan

Marelan; wilayah ini menghasilkan

tananaman holtikultura seperti sawi

hijau, kacang panjang, cabe, terong,

timun, kangkung dan bayam. (2).

Kawasan Hutan Manggrove dan

rawa di Kecamatan Medan Belawan;

(3). Kawasan Wisata (Theme Park

dan Natural Park) di Kecamatan

Medan Marelan; (4). Kawasan

rencana pengembangan waduk-

waduk buatan yang menyebar di

Kecamatan Medan Labuhan.

Kawasan Agrobisnis Kota Medan.

Pemerintah kota Medan telah

menetapkan suatu kawasan agribisnis

di sebahagian wilayah kota Medan

yang posisinya berada di bahagian

utara kota Medan. Wilayah agribisnis

di bagian utara Medan meliputi

Kecamatan Medan Marelan, Medan

Deli dan Medan Labuhan.

Sedangkan wilayah bagian selatan

meliputi kecamatan Medan Amplas,

Medan Tuntungan dan Medan

Selayang. Selanjutnya wilayah

Medan bagian barat meliputi

kecamatan Medan Helvetia dan

Medan Sunggal.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[100]

Wilayah ini menghasilkan

tananaman holtikultura seperti sawi

hijau, kacang panjang, cabe, terong,

timun, kangkung, bayam dan bawang

merah .Pada tahun 2015, produksi

pertanian holtikultura berupa sayur-

mayur di Kecamatan Medan Marelan

adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Total Produksi Sayur-

Mayur dan Cabe di Medan

Marelan Tahun 2015 No Komoditi Produksi (Ton)

1

2

3

4

5

Sawi

Cabe merah

Kangkung

Bayam

Bawang merah

115

16

96

54

3

Sumber: Dinas Pertanian, Kelautan dan

Perikanan Kota Medan

Untuk mendorong kegiatan

agribisnis ini, maka Pemerinta Kota

Medan dalam hal ini dinas pertanian,

kelautan dan perikanan memberikan

bantuan kepada para petani. Bantuan

yang diberikan dalam bentuk benih,

pupuk dan obat-obatan. Untuk tahun

2015, bantuan yang diberikan antara

lain: benih cabe (375 gr), pupuk

kandang (1.633 kg), kapur (dolomit)

sebanyak 2.175 kg, NPK (545 kg),

Insektisida (Promexin) sebanyak 2.5

kg, fungisida (antracol) sebanyak 2.5

kg, fungisida (factory) sebanyak 2.5

kg dan mulsa sebanyak 23 ball.

Pengembangan Kawasan Budi

Daya Perikanan. Kawasan budidaya

adalah kawasan yang kondisi dan

potensi sumber alamnya dapat dan

perlu dimanfaatkan guna

kepentingan produksi dalam rangka

memenuhi kebutuhan manusia,

seperti: kawasan perumahan dan

permukiman; kawasan perdagangan

dan jasa; kawasan Industri; kawasan

fasilitas pelayanan; dan kawasan

khusus. Budidaya perikanan menjadi

sangat penting, khususnya dalam

memenuhi permintaan domestik kota

Medan, baik yang berasal; dari

rumah tangga (household) maupun

dari usaha rumah makan dan

restoran.

Tabel 2. Daftar Nama Kelompok Tani Pembudidaya Ikan Air Payau

Kota Medan

No Nama

Kelompok

Lokasi

Budidaya

Jumlah

Anggota

(orang)

Keterangan

1 Gurame Labuhan Deli 11 Medan Labuhan

2 Mina Sejahtera Labuhan Deli 28 Medan Labuhan

3 Mina Karya I Labuhan Deli 12 Medan Labuhan

4 Mujahir Paya Pasir 10 Medan Labuhan

5 Amanah Secanang 12 Medan Belawan

6 Anugerah M Sentosa Secanang 11 Medan Belawan

7 Suka Karya VI Secanang XX 10 Medan Belawan

8 Suka Karya VII Secanang 10 Medan Belawan

9 Suka Karya VIII Secanang 10 Medan Belawan

10 Sukakarya IV Secanang XX 12 Medan Belawan

11 Sukakarya XI Secanang XX 10 Medan Belawan

12 Taruna Tani Secanang XX 10 Medan Belawan

13 Lestari Secanang XX 10 Medan Belawan

14 Sukakarya XII Secanang XVIII 10 Medan Belawan

15 Sukakarya XIII Secanang XX 13 Medan Belawan

16 Mina Soka Labuhan Deli 10 Medan Labuhan

17 Seruai Kel. Sei Mati 10 Medan Labuhan

18 Udang Windu Sejahtera I Kel. Sei Mati 10 Medan Labuhan

19 Keluarga Mandiri Nelayan Indah 27 Medan Labuhan

20 Mina Jaya Pesisir Labuhan Deli 10 Medan Labuhan

21 Forum Petani Batang Kilat Kel. Sei Mati 30 Medan Labuhan

22 Udang Sejahtera Kel. Sei Mati 15 Medan Labuhan

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan Tahun 2014

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[101]

Kawasan Budidaya Perikanan Air

Payau. Wilayah selatan dalam

RUTR (Rencana Umum Tata Ruang)

kota Medan dari tahun 1996 sudah

meneetapkan, bahwa wilayah selatan

sebagai wilayah tangkapan air (wáter

cacthment área) yang berfungsi

sebagai penyangga dan penyimpan

air bagi warga Medan. Jadi dalam

melengkapi dan mempertahankan

tata ruang wilayah tangkapan air

tersebut, sangat cocok sekali

dikembangkan usaha produksi

pertanian tanaman pangan yang

kegiatnnya lebih pertanian perkotaan

dan menjadi kawasan budi daya

perikanan air tawar. Karena produksi

ikan ini dapat mempertahankan

wilayah ruang terbuka hijau yang

menjadi paru-paru kota untuk

menyerap karbon dioksida (CO2)

dan karbon monoksida (CO) yang

dihasilkan dari beberapa kegiatan

ekonomi dan kegiatan transportasi

perkotaan.

Berdasarkan data statistik Kota

Medan dalam Angka tahun 2010,

rumah tangga dengan kategori budi

daya perikanan untuk daratan adalah

967 rumah tangga di tahun 2008 dan

962 rumah tangga pada tahun 2009.

Adapun budi daya perikanan ini

sangat didominasi oleh pembudi-

dayaan ikan darat dengan kolam dan

tambak. Tapi untuk rumah tangga

nelayan laut tidak terdapat datanya,

dan kemungkinan belum diperba-

harui. Data pembudidayaan perikan-

an di kota Medan Tahun 2014 seperti

terlihat dalam tabel 2.

Kawasan Budidaya Perikanan Air

Tawar. Untuk kelompok petani

pembudidaya ikan air tawar,

umumnya berlokasi di wilayah

selatan kota Medan. Sebahagian

besar mereka tergabung dalam

kelompok-kelompok petani

pembudidaya ikan air tawar yang

telah diinventarisir oleh Pemerintah

kota Medan melalui Kantor Dinas

Perikanan dan Kelautan.

Tabel 3

Daftar Nama Kelompok Tani Pembudidaya Ikan Air Tawar Kota

Medan No Nama Kelompok Lokasi Budidaya Jumlah Anggota (orang) Keterangan

1 Mina Permai I Kemenanngan Tani 20 Medan Tuntungan

2 Mina Permai II Tanjung Selamat 15 Medan Tuntungan

3 Nusa Indah Ladang Bambu 21 Medan Tuntungan

4 Mina Bakti Jaya Simalingkar B 12 Medan Tuntungan

5 Suka Indah Medan Johor 18 Medan Johor

6 Eka Minakiati Jl. Ekasuka III 13 Medan Johor

7 Mina Mekar Harjosari II 10 Medan Denai

8 Mina Serumpun Bangun Mulia 8 Medan Denai

9 Makmur Medan Denai 10 Medan Denai

10 Mina Sejahtera Medan Sunggal 9 Medan Sunggal

11 PTP II 10 KSS Medan Denai 10 Medan Denai

12 Bersama 99 Menteng 13 Medan Denai

13 Indah Lestari Sudi Rejo II 16 Medan Denai

14 Laris Manis Sudi Rejo II 18 Medan Denai

15 Sukamaju Bersama Sukamaju 13 Medan Denai

16 Sukamaju Sukamaju 15 Medan Denai

17 Mina Marati Petisah Hulu 16 Medan Petisah

18 Mina Bersama Ladang Bambu 14 Medan Tuntungan

19 Mina Mandiri Helvetia 12 Medan Helvetia

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan Tahun 2014

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[102]

Namun banyak kelompok petani

budidaya ikan air tawar ini hanya

mengandal-kan bantuan dari

pemerintah dalam bentuk bantuan

dana, sehingga untuk mengem-

bangkan usaha budidaya menjadi

kurang efektif jika uang bantuan

yang diberikan sudah habis

digunakan. Kemudian mereka akan

menunggu kembali bantuan dana

berikutnya, sehingga bantuann dana

ini menjadi tidak mendidik. Adapaun

daftar nama kelompok tani pembudi-

daya ikan air tawar dapat dilihat pada

tabel 3.

Kawasan Strategis Nasional dan

Provinsi di Wilayah Kota

Medan. Rencana tata ruang Kota

Medan juga mengakomodir

kawasan-kawasan strategis nasional

dan provinsi yang yang berperan

penting dan diprioritaskan pengem-

bangannya. Kawasan strategis

nasional dan kawasan strategis

provinsi dalam wilayah Kota Medan:

(1). Kawasan Strategis Nasional

(KSN); yang terdapat dalam wilayah

Kota Medan adalah Kawasan

Perkotaan Mebidangro; (2). Kawasan

Strategis Provinsi (KSP); yang

terdapat dalam wilayah Kabupaten

Deli Serdang adalah Kawasan

Andalan Perkotaan Mebidangro; (3).

Kawasan Strategis Nasional dari

sudut kepentingan pertahanan

keamanan; yang diperuntukkan bagi

kepentingan pemeliharaan dan

pertahanan negara berdasarkan

geosrategic national yang terdapat

dalam wilayah Kota Medan adalah

(Pangkalan Udara) Lanud Polonia di

Kecamatan Medan Polonia,

Pangkalan TNI Angkatan Laut

(Lanal) Belawan di Kecamatan

Medan Belawan dan Kodam di

Kecamatan Medan Helvetia.

Penentuan kawasan strategis

kota harus menyesuaikan dengan

Kawasan strategis Nasional dan atau

Provinsi, sehingga tidak terjadi

tumpang tindih fungsi dari kawasan

tersebut. Sebaiknya penentuan

kawasan-kawasan strategis ini harus

saling mendukung pemanfaatannya,

sehingga pola ruang dan tata ruang

menjadi lebih efisien dan efektif.

Penyebaran lokasi dari kawasan

strategis juga akan memperhitungkan

tingkat daya dukung lingkungan,

baik secara sosial, ekonomi maupun

alam.

Sektor Ekonomi Unggulan Kota

Medan. Secara lebih detail melihat

kontribusi dari semua sektor dan sub

sektor akan dapat dilihat pada tabel

4. Sektor unggulan adalah sektor

yang paling besar memberi

kontribusi pada PDRB kota Medan

lebih dari 10%, berturut-turut adalah

sektor perdagangan, hotel dan

restoran dengan kontribusi lebih dari

25% dan didorong oleh sub sektor

perdagangan besar serta eceran

berkisar lebih dari 22%. Kemudian

diikuti oleh sektor pengangkutan

yang mencapai kontribusi lebih dari

16%, dengan dukungan tertinggi

pada angkutan udara serta jalan raya,

dengan sumbangan produksinya

mencapai lebih dari 8%, dapat dilihat

dari gambar grafik 4-12 bahwa trend

nya meningkat cepat untuk

berkontribusi dalam PDRB kota

Medan. Berikutnya sektor bangunan

dan jasa-jasa berkontribusi hampir

sama, yakni berkisar 10%. Untuk

sektor jasa-jasa yang paling besar

kontribusinya adalah sub sektor jasa

pemerintahan yang mencapai lebih

dari 6% sedangkan jasa swasta hanya

4% saja

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[103]

Tabel 4. Perkembangan kontribusi (%) dari Sektor dan

sub-Sektor PDRB Kota Medan

Simpulan

(1). Kawasan strategis merupakan

kawasan yang di dalamnya

berlangsung kegiatan yang

mempunyai pengaruh besar terhadap

tata ruang di wilayah sekitarnya,

kegiatan lain di bidang yang sejenis

dan kegiatan di bidang lainnya serta

peningkatan kesejahteraan masya-

rakat. (2). Kawasan Strategis

berdasarkan Kepentingan Pertum-

buhan Ekonomi terdiri dari Pusat

Pelayanan Kota di Bagian Pusat Kota

(CBD Polonia), Kawasan Ekonomi

Khusus (KEK), Kawasan Pengem-

bangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

dan Kawasan Perdagangan dan

Pelabuhan Bebas. (3). Kawasan

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

3. Industri Pengolahan 16.32 16.07 15.77 15.2 15.04 14.8 14.39 13.73 13.38 12.86

a. Industri Migas

1) Penggalian Minyak Bumi

2) Gas Alam Cair

b. Industri tanpa Migas 16.32 16.07 15.77 15.2 15.04 14.8 14.39 13.73 13.38 12.86

1) Makanan, Minuman, dan Tembakau 6.016 5.908 5.805 5.637 5.56 5.55 5.415 5.201 5.097 4.877

2) Tekstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki 0.415 0.41 0.402 0.388 0.385 0.381 0.378 0.351 0.334 0.32

3) Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 1.251 1.226 1.205 1.165 1.149 1.114 1.079 1.023 0.963 0.903

4) Kertas dan Barang Cetakan 0.286 0.288 0.28 0.27 0.27 0.266 0.255 0.245 0.243 0.235

5) Pupuk Kimia dan Barang dari Karet 1.145 1.182 1.137 1.101 1.113 1.101 1.074 1.024 0.987 0.939

6) Semen dan Brg Galian Bukan Logam 1.381 1.343 1.325 1.288 1.264 1.259 1.184 1.131 1.107 1.075

7) Logam Dasar Besi dan Baja 2.579 2.505 2.472 2.346 2.32 2.24 2.158 2.02 1.905 1.82

8) Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya 2.96 2.882 2.842 2.716 2.683 2.594 2.552 2.461 2.477 2.441

9) Barang Lainnya 0.292 0.322 0.302 0.292 0.293 0.295 0.293 0.28 0.265 0.249

4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 1.719 1.763 1.711 1.636 1.6 1.442 1.411 1.391 1.389 1.346

a. Listrik 0.842 0.844 0.829 0.748 0.753 0.736 0.715 0.698 0.688 0.669

b. Gas Kota 0.421 0.42 0.395 0.433 0.362 0.216 0.205 0.214 0.218 0.209

c. Air Bersih 0.456 0.499 0.486 0.455 0.484 0.491 0.491 0.479 0.483 0.467

5. Bangunan 10.15 10.14 10.68 10.73 11.06 10.92 11.04 11.21 11.18 11.17

6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 27.23 26.66 26.26 27.11 26.7 26.24 25.93 26.4 26.76 27.09

a. Perdagangan Besar dan Eceran 22.93 22.33 22.02 22.97 22.53 22.13 21.8 22.27 22.6 22.99

b. Hotel 0.658 0.64 0.604 0.567 0.551 0.543 0.563 0.541 0.538 0.531

c. Restoran 3.645 3.691 3.63 3.572 3.622 3.574 3.568 3.589 3.616 3.567

7. Pengangkutan dan Komunikasi 16.44 17.25 18.24 18.35 19.3 19.81 20.04 20.54 20.51 20.52

a. Pengangkutan 14.7 15.26 15.99 16.05 16.83 17.13 17.23 17.67 17.61 17.61

1) Angkutan Rel 0.047 0.052 0.051 0.05 0.051 0.05 0.05 0.053 0.052 0.051

2) Angkutan Jalan Raya 5.268 5.163 4.907 4.7 4.634 4.674 4.704 4.917 4.804 4.734

3) Angkutan Laut 1.736 1.171 1.031 0.909 0.856 0.828 0.781 0.77 0.755 0.74

4) Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan

5) Angkutan Udara 4.613 5.712 6.869 7.198 7.948 8.177 8.243 8.378 8.637 8.86

6) Jasa Penunjang Angkutan 3.035 3.157 3.134 3.193 3.343 3.402 3.457 3.553 3.362 3.226

b. Komunikasi 1.744 1.99 2.249 2.298 2.468 2.674 2.806 2.871 2.898 2.906

1) Pos dan Telekomunikasi

8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 14.23 14.57 14.16 13.88 13.53 14.17 14.62 14.12 14.33 14.52

a. Bank 4.053 3.963 3.598 3.512 3.479 3.884 4.373 3.803 3.941 4.071

b. Lembaga Keuangan bukan Bank 0.548 0.648 0.615 0.621 0.636 0.614 0.596 0.633 0.613 0.582

c. Jasa Penunjang Keuangan 0.09 0.087 0.087 0.081 0.079 0.09 0.088 0.077 0.078 0.079

d. Sewa Bangunan 6.76 7.025 6.953 6.76 6.591 6.791 6.668 6.702 6.718 6.798

e. Jasa Perusahaan 2.777 2.85 2.901 2.904 2.749 2.787 2.894 2.906 2.981 2.985

9. Jasa-Jasa 10.72 10.58 10.38 10.44 10.3 10.21 10.23 10.31 10.3 10.45

a. Pemerintahan 6.273 6.055 5.844 6.012 5.998 5.993 6.029 6.208 6.257 6.449

1) Adm. Pemerintahan dan Pertahanan 3.776 3.671 3.662 3.618 3.659 3.716 3.67 3.773 3.813 3.928

2) Jasa Pemerintah Lainnya 2.497 2.383 2.182 2.393 2.339 2.278 2.359 2.435 2.444 2.521

b. Swasta 4.452 4.524 4.539 4.426 4.301 4.215 4.198 4.102 4.046 4.001

1) Sosial Kemasyarakatan 1.023 1.005 0.988 0.936 0.927 0.925 0.868 0.847 0.85 0.849

2) Hiburan dan Rekreasi 1.555 1.626 1.66 1.634 1.528 1.514 1.548 1.515 1.491 1.479

3) Perorangan dan Rumah Tangga 1.874 1.894 1.891 1.855 1.846 1.775 1.782 1.739 1.705 1.673

Share (sektoral) terhadap PDRB Medan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[104]

Strategis berdasarkan Kepentingan

Bidang Sosial Budaya meliputi

Kawasan Polonia, Kawasan Kota

Lama Labuhan Deli, Kawasan

Perumahan dan Pergudangan Eks

DSM, Kawasan Istana Maimun,

Kawasan Kampung Keling, dan

Kawasan Kesawan. (4). Kawasan

Strategis berdasarkan Fungsi dan

Daya Dukung Lingkungan Hidup

meliputi Kawasan Agrobisnis di

Kecamatan Medan Marelan,

Kawasan Hutan Manggrove dan

rawa di Kecamatan Medan Belawan,

Kawasan Wisata (Theme Park

dan Natural Park) di Kecamatan

Medan Marelan dan Kawasan

rencana pengembangan waduk-

waduk. (5). Kawasan Strategis

Nasional dan Provinsi di Wilayah

Kota Medan terdiri dari Kawasan

Strategis Nasional (KSN), Kawasan

Strategis Provinsi (KSP) dan

Kawasan Strategis Nasional dari

sudut kepentingan pertahanan

keamanan. (6). Untuk kota Medan

dari semua sektor kegiatan yang ada,

maka sektor perdagangan dan jasa

merupakan sektor unggulan bagi

kota Medan, yang diikuti dengan

sektor industri, pengangkutan dan

komunikasi, keuangan, bangunan

serta jasa lainnya.

Dengan demikian, rekomendasi

dari penelitian ini adalah: (1).

Seharusnya master plan untuk

kawasan strategis yang sudah

tertuang pada RPJMD untuk tahun

2011 – 2015 sudah selesai

dilaksanakan, dan sudah dapat

diakses oleh stakeholder. (2).

Sebaiknya telah dikerjakan dari

Rencana Detail Tata Ruang Wilayah

Kota Medan tahun 2011 – 2031 yang

disesuaikan dengan RTRW Kota

Medan 2011 – 2031. (3). Kemudahan

untuk memperoleh informasi tentang

tata ruang kota Medan bagi

masyarakat baik melalui internet atau

papan informasi pada ruang-ruang

publik. (4). Penetapan kawasan

strategis hendaknya dilengkapi

dengan sarana dan prasara

pendukung lainnnya yang saling

terkait antara satu dengan yang lain

sehingga dapat meminimumkan

biaya transportasi. (5). Sebaiknya

dilakukan peninjauan ulang tentang

penetapan kawasan strategis yang

telah ada di RPJMD ataupun di

RTRW kota Medan, sehingga dapat

disesuaikan dengan kondisi yang ada

pada saat ini (melakukan evaluasi

capaian)

Daftar Pustaka

Ambardi, U.M dan Socia, P. 2002.

“Pengembangan Wilayah dan

Otonomi Daerah”. Pusat

Pengkajian Kebijakan

Pengembangan Wilayah

(P2KTPW-BPPT), Jakarta.

Azhar et al, 2003, “Analisis Sektor

Basis dan Non Basis di Propinsi

Nangroe Aceh Darussalam”,

Faperta Unsyah, Banda Aceh.

Boediono, 1998, “Ekonomi Makro”,

Erlangga, Jakarta.

Chuzaimah dan Mabruroh, (2008);

Identifikasi Produk Unggulan

berbasis Ekonomi Lokal untuk

Meningkatkan PAF di Era

Otonomi Daerah, Jurnal sains

dan Teknologi, IST Yogyakarta.

Dornbusch, Rudiger dan Stanley

Fischer, 2008, “Makroekonomi”,

PT. Media Global Edukasi,

Jakarta (terjemahan).

Fachrurrazy, 2009,” Analisis

Penentuan Sektor Unggulan

Perekonomian Wilayah

Kabupaten Acah Utara dengan

Pendekatan Sektor Pembentuk

PDRB, PPs, USU.

Ghufron, Muhammad. 2008. Analisis

Pembangunan Wilayah Berbasis

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[105]

sektor Unggulan Kabupaten

Lamongan Propinsi Jawa Timur.

[Skripsi]. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Hariani, P (1994); Konsep dan

Strategi Pembangunan Daerah

pada Wilayah Pembangunan III

Sumatera Utara (suatu tinjauan

deskripsi), USU, Medan.

Kartika (2007); Kajian Tingkat

Produksi dan Pendapatan Usaha

Tani Sayuran Dataran Rendah di

Kawasan Agribisnis Kota

Medan,skripsi, USU Press,

Medan.

Kuncoro, M, (2013); Metode Riset

untuk Bisnis dan Ekonomi :

Bagaimana meneliti dan

menulis), Edisi ke-4, Erlangga,

Jakarta.

Pemerintah Kota Medan (2011);

Perda Kota Medan No, 14

Tahun 2011, tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah

(RPJMD) Kota Medan Tahun

2011-2015.

Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) (2012 ) Kota Medan

Tahun 2010-2030.

BPS Kota Medan (berbagai Tahun);

Medan dalam angka dan

kecamatan2 dalam angka,

Medan.

Pemerintah Kota Medan (2011);

Perda Kota Medan No, 13

Tahun 2011, tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota

(RTRW) Kota Medan Tahun

2011-2015.

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[106]

ANALISIS PERBANDINGAN PENERIMAAN PBB P2 DAN BPHTB

SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 28

TAHUN 2009 PADA DINAS PENDAPATAN KOTA MEDAN

Pandapotan Ritonga

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Surel: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalis perbedaan penerimaan PBB P2

dan penerimaan BPHTB sebelum dan sesudah penerapan UU No. 28 Tahun

2009. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap kendala yang dihadapi

pemerintahan daerah Kota Medan dalam memungut PBB P2 dan BPHTB. Hasil

penelitian ini tidak berhasil menemukan perbedaan yang signifikan penerimaan

PBB P2 sebelum dan sesudah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Sedangkan

untuk penerimaan BPHTB sebelum dan sesudah penerapan UU No. 28 Tahun

2009 terdapat perbedaan yang signifikan. Kendala yang dihadapi oleh Dinas

Pendapatan Daerah dalam mengelolah dan memungut PBB P2 dan BPHTB

adalah masih lemahnya pemahaman petugas, kurangnya tenaga ahli dalam hal

pengelolaan dan pemungutan PBB P2 dan BPHTB sehingga membuat

penggalian potensi PBB P2 dan BPHTB kurang maksimal.

Kata kunci: penerimaan, target, pemungutan pajak

Pendahuluan

Pembiayaan pemerintah daerah

dalam melaksanakan tugas pemerin-

tahan dan pembangunan senantiasa

memerlukan sumber penerimaan

yang dapat diandalkan. Kebutuhan

ini semakin dirasakan daerah

terutama sejak diberlakukannya

otonomi daerah di Indonesia.

Dengan adanya otonomi, daerah

dipacu untuk dapat mencari sumber

penerimaan daerah untuk dapat

membiayai pengeluaran daerah.

Dari berbagai alternatif sumber

penerimaan yang mungkin dipungut

oleh daerah, Undang-Undang

tentang Pemerintahan Daerah

menetapkan pajak dan retribusi

daerah menjadi salah sumber

penerimaan yang berasal dari daerah

dan dapat dikembangkan sesuai

kondisi masing-masing daerah.

Pemberlakuan pajak dan

retribusi daerah sebagai sumber

penerimaan daerah pada dasarnya

tidak hanya menjadi urusan

pemerintah daerah sebagai pihak

yang menetapkan dan memungut

pajak dan retribusi daerah, tetapi

juga berkaitan dengan masayarakat

pada umumnya. Ditinjau dari

lembaga pemungutnya, pajak

dibedakan menjadi 2 yaitu Pajak

Pusat dan Pajak Daerah. Kemudian,

pemerintah daerah dibagi lagi

menjadi 2 yaitu Pemerintah Propinsi

dan Pemerintah Kabupaten/kota.

Setiap tingkatan pemerintah hanya

dapat memungut pajak yang

ditetapkan menjadi kewenangannya.

Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari tumpang tindih dalam

pemungutan pajak terhadap masya-

rakat. Pajak Pusat ditetapkan oleh

Pemerintah pusat melalui Undang-

Undang yang wewenang pungutan-

nya ada pada pemerintah pusat dan

hasilnya digunakan untuk

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[107]

membiayai pengeluaran pemerintah

pusat dan pembangunan. Pajak pusat

sebelum keluarnya Undang-undang

No. 28 tahun 2009 terdiri dari Pajak

Penghasilan, Pajak Pertambahan

Nilai atas Barang Mewah, Pajak

Pertambahan Nilai atas Barang dan

Jasa, Bea Materai, Bea Perolehan

Atas Tanah dan Bangunan, Bea

Masuk, Bea Keluar (Pajak Ekspor),

dan Cukai. Tetapi, setelah

dikeluarkannya Undang-undang No.

28 tahun 2009 Pajak Bumi dan

Bangunan serta Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan sudah

bukan lagi merupakan cakupan dari

Pajak Pusat.

Pajak daerah merupakan iuran

wajib yang dilakukan oleh daerah

kepada orang pribadi atau badan

tanpa imbalan langsung yang

seimbang yang dapat dipaksakan

berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang

digunakan untuk membiayai

penyelenggaran pemerintah daerah

dan pembangunan daerah.

Pajak daerah sebelum

dikeluarkannya Undang-undang No.

28 tahun 2009 tentang PDRD terdiri

dari Pajak Kendaraan Bermotor dan

Kendaraan Diatas Air, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor dan

Kendaraan Diatas Air, Pajak Bahan

Bakar Kendaraa Bermotor, dan

Pajak Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan, Pajak Hotel, Pajak

Restoran, Pajak Hiburan, Pajak

Reklame, Pajak Penerangan Jalan,

Pajak Pengambilan Bahan Galian

Golongan C, serta Pajak Parkir.

Pasca dikeluarkannya Undang-

Undang No. 28 tahun 2009 tentang

PDRD ditetapkan lah struktur pajak

daerah menjadi 16 yang sebelumnya

ada 11, pajak daerah setelah UU.

No. 28 tahun 2009 terdiri dari pajak

kendaraan bermotor, bea balik nama

kendaraan bermotor, pajak bahan

bakar kendaraan bermotor, pajak air

permukaan, pajak rokok, pajak

hotel, pajak hiburan, pajak reklame,

pajak penerangan jalan, pajak

mineral bukan logam dan bantuan,

pajak parker, pajak air tanah, pajak

sarang burung wallet, pajak bumi

dan bangunan perdesaan dan

perkotaan, dan bea perolehan hak

atas tanah dan bangunan. (Marihot

Pahala, 2013)

Undang-Undang No. 28 Tahun

2009 mendefinisikan Pajak Bumi

dan Bangunan Perkotaan dan

Pendesaan (PBB P2) adalah pajak

atas bumi dan/atau bangunan yang

dimiliki, dikuasai, dan/atau

dimanfaatkan oleh orang pribadi

atau badan, kecuali kawasan yang

digunakan untuk kegiatan usaha

perkebunan, perhutanan, dan

pertambangan. Sedangkan Biaya

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan adalah pajak atas

perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan.

Tabel 1.

Penerimaan PBB P2 Sebelum dan Sesudah Penerapan

Tahun 2009-2014 Tahun Sebelum Tahun Sesudah

Target Realisasi Target Realisasi

2009

2010

2011

150.051.635.355

157.902.847.000

192.902.847.000

154.338.173.378

164.338.784.961

182.494.747.833

2012

2013

2014

353.346.171.700

383.000.000.000

365.000.000.000

274.853.657.632

234.325.129.214

289.000.000.000

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[108]

Perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan adalah

perbuatan atau peristiwa hukum

yang mengakibatkan diperolehnya

ha katas tanah dan/atau bangunan

oleh orang pribadi atau badan. PBB

P2 dan BPHTB pada dasarnya

merupakan suatu jenis pajak pusat

yang dipungut oleh pemerintah

pusat melalui Direktorat Jenderal

Pajak dimana hasilnya sebagai

besar akan diserahkan kepada

daerah. PBB P2 tetap menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat

sampai dengan akhir tahun 2013.

Sedangkan BPHTB tetap menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat

sampai dengan akhir tahun 2010.

PBB P2 dan BPHTB termasuk

salah satu dari sumber pajak daerah

yang berperan dalam peningkatan

penerimaan PAD bagi Kota Medan.

Hampir sebagian besar masyarakat

pastinya memiliki tanah dan

bangunan, itu tentunya sebuah

keuntungan besar khususnya bagi

penerimaan PBB dan BPHTB

karena tanah dan bangunan dapat

ditemukan dan diidentifikasi dari

waktu ke waktu.

Berdasarkan tabel 2, diketahui

bahwa sebelum menjadi pajak

daerah penerimaan BPHTB

melampaui dari target anggaran

yang ditetapkan sedangkan sesudah

menjadi pajak daerah penerimaan

BPHTB selalu jauh dibawah target

anggaran yang ditetapkan. Pada

tahun 2012 sampai 2014, BPHTB

merupakan bagian dari pajak daerah,

pada penerimaan BPHTB selalu

menurun pada tahun 2012 sampai

2014. PBB dan BPHTB sangat

berpotensi untuk menunjang

pendapatan daerah guna

melaksanakan otonomi daerah dan

pembangunan (McCluskey, William

J. dan Plimmer, dalam Ni Putu Dian

Damayanti dkk, 2014).

Dengan pengalihan ini,

penerimaan PBB-P2 dan BPHTB

akan sepenuhnya masuk ke

pemerintah Kabupaten/kota

sehingga diharapkan mempu

meningkatkan jumlah pendapatan

asli daerah. Pada saat PBB-P2

dikelola oleh pemerintah pusat,

pemerintah kabupaten/kota hanya

mendapatkan bagian sebesar 64,8%

dan BPHTB hanya mendapatkan

64%. Setelah pengalihan ini, semua

pendapatan dari sektor PBB-P2 dan

BPHTB akan masuk ke dalam kas

pemerintah daerah. Padahal dengan

pengalihan PBB P2 dan BPHTB

dari pajak pusat menjadi pajak

daerah diharapkan dapat menjadi

salah satu sumber Pendapatan Asli

Daerah yang cukup potensial bagi

daerah dibandingkan dari

keseluruhan penerimaan pajak-

pajak daerah yang selama ini ada.

(Sunyoto dan Ery Hidayanti, 2011).

Tabel. 2

Penerimaan BPHTB Sebelum dan Sesudah Penerapan

Tahun 2009-2014

Tahun Sebelum

Tahun Sesudah

Target Realisasi Target Realisasi

2009

2010

68.000.000.000

101.644.549.000

92.347.343.623

131.583.982.750

2011

2012

2013

2014

175.000.000.000

280.974.000.000

330.974.000.000

330.974.000.000

254.217.144.362

259.114.429.583

243.748.815.689

228.392.967.245

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[109]

Dari penelitian awal yang

dilakukan ke Dinas Pendapatan

Daerah Kota Medan diperoleh data

dan informasi tentang permasalahan

yang timbul. Tidak tercapainya

penerimaan PBB P2 sesuai dengan

target yang telah dianggarkan

sesudah penerapan UU No. 28

Tahun 2009. Tapi pemerintah

sendiri sudah melakukan sosialisasi

dan upaya pendekatan kepada wajib

pajak PBB P2 dan BPHTB. Namun

masyarakat masih kurang sadar

untuk memenuhi kewajiban pajak.

Padahal target PBB P2 yang

diturunkan pada tahun 2013 ke

2014. Namun penerimaan BPHTB

sesuai dengan target yang telah

dianggarkan sesudah penerapan UU

No. 28 Tahun 2009 masih belum

tercapaiTujuan penelitian ini adalah

untuk menganalis perbedaan

penerimaan PBB P2 dan penerimaan

BPHTB sebelum dan sesudah

penerapan UU No. 28 Tahun 2009.

Selanjutnya dilakukan analisis

terhadap kendala yang dihadapi

pemerintahan daerah Kota Medan

dalam memungut PBB P2 dan

BPHTB. Penelitian ini diharapkan,

dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dan perbaikan yang

diperlukan sehubungan dengan PBB

P2 dan BPHTB bagi Dinas

Pendapatan, dan menjadi sebagai

bahan informasi dan referensi

pengetahuan di bidang PBB P2 dan

BPHTB.

Hipotesis

H1: Terdapat perbedaan yang

signifikan penerimaan PBB

Perdesaan dan perkotaan sebelum

dan sesudah penerapan UU Nomor

28 tahun 2009.

H2: Terdapat perbedaan yang

signifikan penerimaan BPHTB

sebelum dan sesudah penerapan UU

Nomor 28 tahun 2009

Gambar 1

Kerangka konseptual

DINAS

PENDAPATAN

DAERAH

PBB P2

BPHTB

SEBELUM

PENERAPAN UU SESUDAH

PENERAPAN UU

No. 28 Tahun

UJI MANN

WHITNEY

(U TEST)

KESIMPULAN

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[110]

Metode

Penelitian ini menggunakan

pendekatan deskriptif komperatif,

yakni membandingkan permasalah-

an suatu objek dengan objek lainnya

(Azuar Juliandi dan Irfan 2013).

Variabel yang digunakan adalah

PBB P2 dan BPHTB. PBB P2

adalah pajak yang dipungut atas

kepemilikan bumi dan bangunan

oleh orang pribadi atau badan.

Sedangkan BPHTB adalah pajak

atas perolehan hak atas tanah dan

bangunan yang dimaksud perolehan

hak atas tanah dan bangunan adalah

pernbuatan atau peristiwa hukum

yang mengakibatkan diperolehnya

hak atas tanah, dan atau bangunan

oleh orang pribadi atau badan. Dari

tabel 5 diketahui bahwa BPHTB

menghasilkan pertumbuhan sebesar

42,48% pada tahun 2010.

Penerimaan Pertumbuhan BPHTB

sebelum penerapan UU No 28 tahun

2009. Hal ini menunjukan bahwa

perkembangan BPHTB dalam

peningkatan cukup baik.

Tabel 6 menunjukkan BPHTB

pada tahun 2012 menghasilkan

1,92% dan pada tahun berikutnya

justru mengalami penurunan dari

1,92 menjadi -5,93% dan 6,29%,

sesudah penerapan UU No 28 tahun

2009 pertumbuhan penerimaan PBB

P2 dan BPHTB mengalami

penurunan yang sangat signifikan. Jenis data yang digunakan

berupa data kuantitatif yaitu data

yang berbentuk angka-angka baik

secara langsung dari hasil penilitian

maupun hasil pengelolahan data

kualitatif menjadi data kuantitatif.

Sumber data berdasarkan informasi

yang diperoleh dari Dinas

Pendapatan Daerah Kota Medan

berupa data target dan realisasi

penerimaan PBB P2 dan BPHTB.

Metode pengumpulan data melalui

dokumen yang diperoleh berupa

realisasi dan target penerimaan PBB

P2 dan BPHTB serta realisasi

pendapatan asli daerah dari Dinas

Pendapatan Kota Medan.

Teknik analisa data mengguna-

kan Uji Mann Whitney merupakan

alternatif bagi uji-t. Uji Mann

Whitney merupakan uji non-

parametrik yang digunakan untuk

membandingkan dua populasi yang

berasal dari populasi yang sama. Uji

Mann Whitney juga digunakan

untuk menguji apakah dua populasi

sama atau tidak.

Hasil

Dinas Pendapatan Kota Medan

sehubungan dengan instruksi Menteri

Dalam Negeri KUPD No.7/12/41–10

tentang Penyelenggaraan Struktur

Organisasi Dinas Pendapatan Daerah

di seluruh Indonesia. Maka

Pemerintah Kota Medan,

berdasarkan Peraturan Daerah No. 12

tahun 1978 menyesuaikan dan

membentuk struktur organisasi Dinas

Pendapatan yang baru. Dalam

struktur organisasi Dinas Pendapatan

pada bidang administrasi dibentuk

Bagian Tata Usaha yang membawahi

3 (tiga) Kepala Sub Bagian yaitu sub

sektor perpajakan, retribusi daerah,

dan pendapatan daerah lainnya yang

merupakan kontribusi yang cukup

penting bagi pemerintah daerah

dalam mendukung serta memelihara

pembangunan dan peningkatan

penerimaan pendapatan daerah.

PBB merupakan jenis pajak

yang dipungut oleh pemerintah atas

kepemilikan tanah dan bangunan.

Pajak Bumi dan Bangunan sebelum

disahkannya Undang-Undang No. 28

Tahun 2009 merupakan pajak yang

dipungut oleh Pemerintah Pusat yang

dilakukan oleh Kantor Pelayanan

Pajak Pratama, pajak bumi dan

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[111]

bangunan menjadi pajak pusat

berakhir pada tahun 2011. Pajak

Bumi dan Bangunan setelah

dikeluarkannya UU No. 28 Tahun

2009 merupakan jenis pajak yang

potensial dalam meningkatkan

penerimaan daerah dari sektor PAD.

Perkembangan PBB P2 dan BPHTB

Sebelum penerapan UU No 28

Tahun 2009 pada tahun 2010

menghasilkan pertumbuhan PBB P2

sebesar 6,47% dan tahun berikutnya

PBB P2 mengalami peningkatan

sebesar 11,04%. Hal ini menunjuk-

kan bahwa perkembangan PBB P2

dalam meningkatan PAD cukup

baik.

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa

setelah penerapan UU No 28 tahun

2009 ternyata pertumbuhan PBB P2

pada tahun 2013 hanya -14,74%

namun pada tahun 2014 mengalami

kenaikan sebesar 23,33%. Hal ini

menunjukan bahwa perkembangan

PBB P2 dalam peningkatan cukup

baik.

Dari tabel 5 diketahui bahwa

BPHTB menghasilkan pertumbuhan

sebesar 42,48% pada tahun 2010.

Penerimaan Pertumbuhan BPHTB

sebelum penerapan UU No 28 tahun

2009. Hal ini menunjukan bahwa

perkembangan BPHTB dalam

peningkatan cukup baik. Tabel 6

menunjukkan BPHTB pada tahun

2012 menghasilkan 1,92 % dan pada

tahun berikutnya justru mengalami

penurunan dari 1,92 menjadi -5,93%

dan 6,29%, sesudah penerapan UU

No 28 tahun 2009 pertumbuhan

penerimaan PBB P2 dan BPHTB

mengalami penurunan yang sangat

signifikan.

Tabel 3

Perkembangan PBB P2 Sebelum Penerapan UU No 28 Tahun 2009

Tahun 2009-2011 Tahun

Anggaran

Target

(Rp)

Realisasi

(Rp)

Persentase

(%)

Pertumbuhan

(%)

2009

2010

2011

150.051.635.355

157.902.847.000

192.902.847.000

154.338.173.378

164.338.784.961

182.494.747.833

102,85

104,07

99,60

-

6,47

11,04

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)

Tabel 4

Perkembangan PBB P2 Sesudah Penerapan UU No 28 tahun 2009

Tahun 2012 – 2014 Tahun

Anggaran

Target

(Rp)

Realisasi

(Rp)

Persentase

(%)

Pertumbuhan

(%)

2012

2013

2014

353.346.171.700

383.000.000.000

365.000.000.000

274.853.657.632

234.325.129.214

289.000.000.000

77,78

61,18

79,17

-

-14,74

23,33

Tabel 5

Perkembangan BPHTB Sebelum penerapan UU. No 28 tahun 2009

Tahun 2009 – 2010 Tahun

Anggaran

Target

(Rp)

Realisasi

(Rp)

Persentase

(%)

Pertumbuhan

(%)

2009 2010

68.000.000.000 101.644.549.000

92.347.343.623 131.583.982.750

135,80 129,45

- 42,48

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)

Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754

[112]

Tabel 6

Perkembangan BPHTB Sebelum penerapan UU. No 28 tahun 2009

Tahun 2009 – 2010

Tahun

Anggaran

Target

(Rp)

Realisasi

(Rp)

Persentase

(%)

Pertumbuhan

(%)

2011

2012

2013

2014

175.000.000.000

280.974.000.000

330.974.000.000

330.974.000.000

254.217.144.362

259.114.429.583

243.748.815.689

228.392.967.245

145.26

92,22

73,64

69,00

-

1,92

-5,93

-6,29

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)

Tabel 7

Pajak Bumi dan Bangunan P2 Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

PBB P2 Sebelum 3 154338173378 182494747833 167057235390.67 14273774932.158

PBB P2 Sesudah 3 234325129214 289000000000 266059595615.33 28378460475.001

Valid N (listwise) 3

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)

Tabel 8

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

BPHTB sebelum 2 92347343623.00 131583982750.00 111965663186.5000 27744493597.67112

BPHTB sesudah 4 228392967245.00 259114429583.00 246368339219.7500 13589732188.53025

Valid N

(listwise) 2

Tabel 9

Pajak Bumi dan Bangunan P2

Ranks

Kelompok

N

Mean

Rank

Sum of

Ranks

PBB Sebelum 3 2.00 6.00

Sesudah 3 5.00 15.00

Total 6

Tabel 10

BPHTB

Ranks

Kelompok

N

Mean

Rank

Sum of

Ranks

BPHTB Sebelum 2 1.50 3.00

Sesudah 4 4.50 18.00

Total 6

[113]

Dari output ranks tabel 9,

diketahui bahwa nilai mean untuk

PBB P2 sesudah penerapan lebih

besar dari pada nilai mean sebelum

penerapan (2.00 < 5.00) Dari output

ranks pada tabel 10, nilai mean untuk

BPHTB sesudah penerapan lebih

besar dari pada nilai mean sebelum

penerapan (1.50 < 4.50).

Tabel 11

Pajak Bumi dan Bangunan P2

Test Statisticsb

PBB

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 6.000

Z -1.964

Asymp. Sig. (2-tailed) .050

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Terlihat pada tabel 11 dari nilai

uji Mann Whitey U, dapat kita lihat

output “Test Statistic” untuk PBB P2

dimana kolom Asymp.Sig (2-tailed)

adalah 0,050 dan Mann Whitey U

adalah 0,000, maka didapat

probabilitasnya diatas 0,050 maka

tidak terdapat perbedaan signifikan

terhadap penerimaan PBB P2

sebelum dan sesudah penerapan UU

No. 28 Tahun 2009. Artinya

penerimaan PBB P2 antara sebelum

dan sesudah penerapan tidak

mengalami perubahan yang signifkan

atau tidak mengalami banyak

perubahan.

Peralihan PBB dari pajak pusat

dan dialihkan menjadi pajak daerah

akan berdampak terhadap

peningkatan penerimaan PAD. Jadi,

walaupun penerimaan PBB sebelum

dan sesudah penerapan mengalami

perubahan atau penurunan tetapi

perubahan atau penurunannya tidak

berdampak signifikan. Pada tabel 12,

kolom Asymp.Sig (2-tailed) BPHTB

adalah 0,064 dan Mann Whitey U

adalah 0,000 didapat probilitasnya

diatas 0,050 maka terdapat

perbedaan signifikan terhadap

penerimaan BPHTB sebelum dan

sesudah penerapan UU No. 28

Tahun 2009.

Tabel 12

BPHTB

Test Statisticsb

BPHTB

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 3.000

Z -1.852

Asymp. Sig. (2-tailed) .064

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .133a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Berarti penerimaan BPHTB

sebelum dan sesudah penerapan

mengalami perubahan yang

signifkan atau mengalami banyak

perubahan. Tidak bisa dipungkiri,

dengan lepasnya BPHTB dari pajak

pusat dan dialihkan menjadi pajak

daerah akan berdampak terhadap

peningkatan penerimaan PAD.

Walaupun penerimaan PBB

sebelum dan sesudah penerapan

mengalami perubahana atau

penurunan tetapi perubahan atau

penurunannya tidak berdampak

signifikan.

PEMBAHASAN

Perbedaan Penerimaan PBB

Sebelum dan Sesudah Penerapan

UU No. 28 Tahun 2009. Dari

penelitian yang telah dilakukan,

diperoleh hasil bahwa penerimaan

PBB sebelum dan sesudah tidak

terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan kata lain penerimaan PBB

di Kota Medan sebelum menjadi

Pajak Daerah dan sesudah menjadi

[114]

Pajak Daerah tidak mengalami

perubahan yang signifikan atau

tidak mengalami banyak perubahan.

Tidak bisa dipungkiri, dengan

lepasnya PBB P2 dari pajak pusat

yang menjadi jenis pajak daerah baru

di Kota Medan akan berdampak pada

peningkatan penerimaan Pajak

Daerah. Dari laju pertumbuhan

penerimaan PBB P2 sebelum

penerapan UU No. 28 Tahun 2009

menunjukkan tingkat pertumbuhan

yang sangat baik dimana laju

pertumbuhannya menunjukkan tren

peningkatan dari tahun ke tahun. Hal

ini dikarenakan pada saat sebelum

PBB dipungut oleh KPP dimana

pada KPP terdapat tenaga ahli yang

sudah paham tentang cara

pemungutan PBB dengan baik.

Sedangkan sesudah penerapan

penerimaan PBB P2 menunjukkan

tingkat pertumbuhannya menunjuk-

kan tren negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa Pemerintah

Kota Medan masih belum maksimal

dalam memanfaatkan potensi PBB

P2 yang telah dialihkan menjadi

pajak daerah.

Sebelum penerapan, total

penerimaan PBB P2 adalah

Rp.501.171.706.172 sedangkan

setelah pemekaran totalnya

Rp.798.178.786.846 atau mening-

kat sebesar Rp.297.007.080.674.

Untuk meningkatkan penerimaan

pajak daerah melalui sektor PBB P2,

pemerintah Kota Medan memiliki

strategi tertentu. Diantaranya

melalui kegiatan intensifikasi yang

meliputi pendataan PBB P2 dan

potensi PBB P2 di Kota Medan,

melakukan pemanggilan terhadap

wajib pajak yang belum terdata

tanah ataupun bangunannya, serta

mengadakan sosialisasi dengan

wajib pajak. Selain itu juga ada

kegiatan ekstensifikasi yang

meliputi melaksanakan Peraturan

Daerah Nomor 03 Tahun 2011 dan

Peraturan Walikota Nomor 70

tahun 2011 berkoordinasi dengan

dinas terkait khususnya Badan

Pertanahan Nasional (Kementerian

Agraria dan Tata Ruang Wilayah)

ataupun Dinas Pertanahan dan juga

Pejabat Pembuat Akta Tanah terkait

dengan penerbitan surat hak milik

tanah. Walaupun penerimaan PBB

P2 sebelum penerapan di Kota

Medan mengalami perubahan atau

penurunan tetapi setelah adanya

penerapan UU No. 28 Tahun 2009,

perubahan atau penurunannya tidak

berdampak signifikan.

Perbedaan Penerimaan BPHTB

Sebelum dan Sesudah Penerapan

UU No. 28 Tahun 2009. Hasil

temuan menunjukkan bahwa

penerimaan BPHTB sebelum dan

sesudah terdapat perbedaan yang

signifikan. Penerimaan BPHTB di

Kota Medan sebelum menjadi Pajak

Daerah dan sesudah menjadi Pajak

Daerah mengalami perubahan yang

signifikan atau mengalami banyak

perubahan. Dengan lepasnya

BPHTB dari pajak pusat yang

menjadi jenis pajak daerah baru

yang dimulai pada 1 Januari 2011 di

Kota Medan akan berdampak pada

peningkatan penerimaan Pajak

Daerah.

Dari laju pertumbuhan

penerimaan BPHTB sebelum

penerapan UU No. 28 Tahun 2009

menunjukkan tingkat pertumbuhan

yang sangat baik dimana laju

pertumbuhannya menunjukkan tren

peningkatan dari tahun ke tahun.

Hal ini dikarenakan pada saat

sebelum BPHTB dialihkan menjadi

pajak daerah dipungut oleh KPP

dimana pada KPP memiliki tenaga

ahli yang sudah paham tentang cara

[115]

pemungutan BPHTB dengan baik.

Sedangkan sesudah penerapan

penerimaan BPHTB menunjukkan

tingkat pertumbuhannya menunjuk-

kan tren negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa Pemerintah

Kota Medan masih belum maksimal

dalam memanfaatkan potensi

BPHTB yang telah dialihkan

menjadi pajak daerah.

Sebelum pemekaran, total

penerimaan BPHTB adalah

Rp.223.931.300.000 sedangkan

setelah pemekaran totalnya

Rp.985.473.400.000 atau meningkat

sebesar Rp.761.542.100.000. Untuk

meningkatkan penerimaan pajak

daerah melalui sektor BPHTB,

pemerintah Kota Medan memiliki

strategi tertentu. Diantaranya

melalui kegiatan intensifikasi yang

meliputi pendataan BPHTB dan

potensi BPHTB di Kota Medan,

melakukan pemanggilan terhadap

wajib pajak yang belum terdata

tanah ataupun bangunannya, serta

mengadakan sosialisasi dengan

wajib pajak.

Selain itu juga ada kegiatan

ekstensifikasi yang meliputi

melaksanakan Peraturan Daerah

Nomor 03 Tahun 2011 dan

Peraturan Walikota Nomor 70

tahun 2011 berkoordinasi dengan

dinas terkait khususnya Badan

Pertanahan Nasional (Kementerian

Agraria dan Tata Ruang Wilayah)

ataupun Dinas Pertanahan dan juga

Pejabat Pembuat Akta Tanah terkait

dengan penerbitan surat hak milik

tanah. Penerimaan BPHTB di Kota

Medan mengalami perubahan atau

penurunan setelah adanya

penerapan UU No. 28 Tahun 2009,

tetapi perubahan atau penurunannya

berdampak signifikan terhadap

penerimaan sector Pajak Daerah.

Kendala Yang Dihadapi dalam

Memungut PBB dan BPHTB.

Kendala yang dihadapi dalam hal

pemungutan PBB P2 dan BPHTB

oleh Fiskus atau petugas pajak di

Dinas Pendapatan Daerah:

a. Masih lemahnya pemahaman

petugas pajak tentang

pengelolaan dan pemungutan

PBB P2 dan BPHTB.

b. Masih kurangnya tenaga ahli

dalam hal pengelolaan dan

pemungutan PBB P2 dan

BPHTB yang sebelumnya di

kelolah oleh DJP.

c. Adanya potensi objek bangunan

yang baru dibangun dan belum

terdata serta belum dimasukkan

dalam komponen penilaian dan

perhitungan pengenaan PBB-P2

dan BPHTB.

Kurangnya kesadaran Wajib Pajak

dalam melakukan kewajiban

perpajakannya.

Simpulan

Tidak terdapat perbedaan yang

signifikan penerimaan PBB P2

sebelum dan sesudah penerapan UU

No. 28 Tahun 2009. Sedangkan

untuk penerimaan BPHTB sebelum

dan sesudah penerapan UU No. 28

Tahun 2009 terdapat perbedaan

yang signifikan. Kendala-kendala

yang dihadapi oleh Dinas

Pendapatan Daerah dalam

mengelolah dan memungut PBB P2

dan BPHTB adalah masih lemahnya

pemahaman petugas, kurangnya

tenaga ahli dalam hal pengelolaan

dan pemungutan PBB P2 dan

BPHTB sehingga membuat

penggalian potensi PBB P2 dan

BPHTB kurang maksimal.

Terlepas dari keterbatasan yang

dimiliki, penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat sebagai bahan

masukan bagi Dinas Pendapatan

[116]

Daerah dalam rangka meningkatkan

penerimaan pajak daerah dari sektor

PBB P2 dan BPHTB yang

mengingat bahwa PBB P2 dan

BPHTB ini merupakan jenis pajak

baru di Kota Medan.

Untuk mengurangi kendala

yang ada, sebaiknya pihak Dinas

Pendapatan Daerah bekerja sama

dengan pihak Kementerian

Keuangan khususnya Direktorat

Jenderal Pajak dalam hal

pengiriman tenaga ahli dari DJP

yang ditempatkan untuk sementara

di Kota Medan yang berguna untuk

memberikan pengarahan bagaimana

teknis dari pengelolahan dan

pemungutan PBB P2 dan BPHTB

sehingga dapat meningkatkan

penerimaan PAD sekor Pajak

Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim dan Muhammad Syam

Kusufi, (2011). Akuntansi

Keuangan Daerah, Penerbit

Salemba Empat, Yogyakarta.

Azuar Juliandi dan Irfan, (2013).

Metodologi Penelitian Kualitatif,

Penerbit Citapustaka Media

Perintis, Bandung

Ade Yudistian, (2014). Evaluasi

Realisasi Penerimaan

Pendapatan Asli dan Pajak Bumi

dan Bangunan Terhadap APBD.

(Studi Kasus Kota Bandar

Lampung Periode 2012-2014).

Universitas Bandar Lampung.

Kurniawaty Fitri, (2014). Dampak

pengalihan Dampak Pengalihan

Pengelolaan PBB-P2 Terhadap

Penerimaan PBB di Kelurahan

Cinta Raja Kecamatan Sail Kota

Pekanbaru. Skipsi akuntansi.

Universitas Riau.

Mardiasmo, (2011). Perpajakan

(Edisi Revisi). Yogyakarta: Andi

Ni Putu Dian Damayanti, (2013).

Analisis Efektivitas Dan

Kontribusi Penerimaan PBB

PAD Kota Denpasar Tahun

2009-2013. Skripsi Akuntansi.

Universitas Udayana, Bali,

Indonesia.

Nurcholis, Hanif, (2007). Teori dan

Praktik Pemerintahan dan

Otonomi Daerah, Jakarta:

Grasindo.

Siahaan, P Marihot, (2008). Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah

(Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali

Pers. Diakses 14 Desember

2015.

Suniyoto, (2012). Pelimpahan Pajak

Bumi dan Bangunan Sektor

Perdesaan Dan Perkotaan dan

Bea Perolehan Hak Atas tanah

Dan Bangunan menjadi Pajak

Daerah, anatara peluang Dan

Tantangan. Skripsi Akuntansi.

STIE Widya Gamalumajang.

Tiara Juniar Soewardi (2014).

Dinamika Pengolahan BPHTB

Setelah Dialihkan Menjadi Pajak

Daerah. Skipsi Akuntansi.

Universitas Brawijaya, Malang,

Indonesia.

Undang-undang Nomor 28 Tahun

2009, Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah. 2009. Jakarta

diperbanyak oleh sekretariat

Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 tentang Pajak daerah dan

Retribusi Daerah. 2004.

Jakarta: lembaran Negara

Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Pusat Dan

pemerintah Daerah. Jakarta:

Lembaran Negara Republik

Indonesia tahun 2004

Nomor126.

[117]

Peraturan pemerintah tahun Nomor

16 tahun 2011 Tentang Pajak

Daerah

Peraturan Walikota Medan Nomor

27 tahun 2011 tentang

pelaksanaan Peraturan Daerah

Kota Medan Nomor 3 tahun

2011 tentang pajak bumi dan

Bangunan Perkotaan dan

Perdesaan.

Peraturan Daerah Kota Medan

Nomor 1 tahun 2011 Tentang

Bea Perolehan Hak atas Tanah

Dan Bangunan.

Peraturan walikota Medan Nomor 9

Tahun 2011 Tentang

Pelaksanaan Peraturan Daerah

Kota Medan Nomor 1 tahun

2011 tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan.

Vinna Kunnarto (2013). Pengaruh

Pajak Bumi Dan Bangunan

(PBB) Dan Bea Perolehan Hak

Atas Tanah Dan Bangunan

(BPHTB) Terhadap Pendapatan

Asli Daerah (PAD) di kota

Bandung. Skripsi Akuntansi.

Universitas Kristen Maranatha.

Bandung.