Upload
shofia-widya-murti
View
297
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
Inflamasi : Hubungan Antara Endometriosis Dengan Kelahiran Preterm
Felice Petraglia, M. D.,a Felice Arcuri,b Ph. D., Dominique de Ziegler, M. D.,c
dan Charles Chapron, M. D.c
Endometriosis adalah penyakit inflamasi kronik yang mempengaruhi
kesehatan wanita. Nyeri dan infertilitas merupakan gejala utama yang disebabkan
oleh disfungsi hormonal atau gangguan imun yang menyebabkan kerusakan di
endometrium. Terdapat mekanisme patofisiologi yang hampir sama antara
endometriosis dan kelahiran preterm: hormon, sitokin, neurohormon dan growth
factor berinteraksi dalam mempengaruhi sekresi prostaglandin dan ekstraseluler
matriks yang mengaktifkan proses inflamasi di dalam membran plasenta dan
endometrium. Molekul-molekul dan mekanisme yang sama dapat memberikan
bukti bahwa kelahiran preterm adalah hasil yang sering terjadi pada pasien hamil
dengan endometriosis.
Kata kunci : Endometriosis, Kelahiran Preterm, Inflamasi, Sitokin,
Neurohormon, Growth factors
Inflamasi menggambarkan proses fisiologi yang terjadi apabila jaringan
merespon terhadap berbagai macam gangguan. Inflamasi dapat digambarkan
sebagai kondisi kompleks yang ditandai dengan terdapatnya kemerahan, rasa
hangat, pembengkakan dan nyeri. Saat ini inflamasi dihubungkan dengan regulasi
dari prostaglandin, kemokin, sitokin dan pola pengenalan reseptor. Inflamasi
mempunyai peranan penting dalam mempertahankan homeostasis jaringan.
Bagaimanapun juga, reaksi inflamasi yang berlebihan atau respon tubuh yang
kurang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit.
Mediator inflamasi merupakan komponen-komponen yang berperan
penting dalam fungsi reproduksi wanita, seperti: ovulasi, menstruasi, implantasi
embrio dan kehamilan. Persistiwa fisiologi ini memerlukan peran yang harmonis
antara sinyal-sinyal endokrin, yaitu sekresi dari H-P-O axis yang sesuai dengan
1
waktunya. GnRH menstimulasi hipofisis untuk mensekresi FSH dan LH yang
kemudian mengaktifkan E2 dan P yang berfungsi pada ovulasi, proliferasi dan
diferensiasi sel-sel endometrium, pembentukan korpus luteum, regresi serta
menstruasi saat tidak terjadi kehamilan.
Sehingga, hubungan endokrin-inflamasi memiliki peran yang penting
dalam memastikan kesuksesan suatu reproduksi yang berlanjut pada saat
kehamilan, dimana hormon dan proses inflamasi lokal mencapai kesetimbangan
sehingga menyebabkan pertumbuhan uterus dan keadaan non-kontraktilitas dari
myometrium. Persalinan kemungkinan besar berhubungan dengan akhir dari
keseimbangan antara hormon dan proses inflamasi tersebut.
Inflamasi, endometrium, dan endometriosis
Endometrium adalah jaringan reproduksi yang kaya akan mediator
inflamasi. Sel imun endometrium bermigrasi dari sumsum tulang yang
menyebabkan perubahan yang penting untuk implantasi embrio dan hasil
kehamilan yang baik. Sel-sel imun yang banyak terdapat di endometrium sudah
diketahui sejak beberapa dekade, terutama mengenai gambaran klasik perubahan
histologi dari jaringan ini. Tahapan-tahapan menstruasi berbanding lurus dengan
respon inflamasi, dimana akumulasi dari leukosit pada endometrium sebelum
terjadinya menstruasi mengindikasikan adanya peran penting sel-sel ini pada
proses remodelling. Sedangkan neutrofil dan eusinofil muncul pada saat fase pre-
menstrual saja. Migrasi dari leukosit ke dalam endometrium muncul akibat adanya
respon antara sitokin dan kemokin( IL-8 meregulasi pembentukan neutrofil
sebelum menstruasi) dan diperkuat lebih jauh dengan adanya aktifitas dari COX-2
dan PGE2. Efek dari PG pada pembuluh darah lokal menyebabkan eksudasi dari
protein plasma dan leukosit melalui endotel dan membran sel yang menyebabkan
munculnya karakteristik proses inflamasi akut, seperti pembengkakan, kemerahan,
dan rasa hangat. Leukosit tersebut mempengaruhi perubahan fisiologis dan
terjadinya penyakit pada traktus genitalia perempuan, dan juga memiliki peranan
penting dalam kehamilan.
2
Estrogen dan progesteron memiliki efek langsung pada sel-sel
endometrium, yaitu merangsang seksresi sitokin dan kemokin. Estrogen dan
progesteron juga dapat bekerja melalui efek mediator dari sejumlah growth factor
dan neurohormon lokal. Peran penting dari IGF-1 dan TGF-β atau aktivin telah
ditemukan dimana berfungsi dalam meregulasi fase proliferasi endometrium dan
diferensiasi menjadi fase sekretorik.
Semua peristiwa hormon seks dan mediator tersebut dihubungkan dengan
perubahan populasi sel-sel imun di dalam endometrium yang berawal dari jalur
endokrin-imun yang penting di dalam fungsi reproduksi. Perubahan kembali dari
bentuk jaringan ikat terlibat dalam proses inflamasi ini dan membutuhkan
keseimbangan diantara aktivitas matrix metaloproteinase (MMPs) dan MMPs
inhibitor. MMP mempengaruhi proliferasi, diferensiasi motilitas dan apoptosis sel
dengan cara meregulasi protein matriks ekstraseluler yang berinteraksi dengan sel.
MMP-7, MMP-11, MMP-12, diekspresikan di dalam endometrium selama
peluruhan menstruasi dan ditekan oleh progesteron selama fase sekretorik.
Hormon androgen dan glukokortikoid juga memainkan peran yang penting
dalam fungsi endometrium (proliferasi, apoptosis, remodelling). Dan efek tersebut
diregulasikan oleh ekspresi lokal dari enzim aromatase dan 11-βHydroxisteroid
dehidrogenase (11-bHSD) yang pada akhirnya memperbesar peranan dari enzim-
enzim lokal tersebut di dalam fungsi endometrium. Ketidakseimbangan endokrin
menyebabkan disregulasi peristiwa imunitas lokal dan sebagai akibatnya terjadi
reaksi inflamasi yang abnormal. Sehingga menyebabkan adanya hipo atau hiper-
aktivasi mediator inflamasi yang mempengaruhi dinamika remodelling sel
endometrium. Hiperaktifitas dari jaringan inflamasi tersebut kemungkinan
merupakan kunci utama dari perubahan endometrium yang merugikan
(endometriosis, hiperplasia endometrium) dan juga hasil kehamilan yang
merugikan (preeklampsia, kelahiran preterm, dan IUGR)
Endometriosis adalah suatu kelainan inflamasi kronik berupa tumor jinak
yang menyebabkan nyeri dan mempengaruhi fertilitas melalui mekanisme yang
berbeda sehingga memiliki efek yang berbeda pula. Interaksi oosit dan sperma,
cadangan ovarium, implantasi, tergantung dari jaringan tempat terjadinya
3
endometriosis. Terdapat hubungan antara endometriosis dan inflamasi yang
menyebabkan kerusakan jaringan dari ovarium, destruksi dari epitel germinativum
dengan penurunan jumlah oosit yang tersedia serta adanya distorsi pada anatomi
pelvis yang kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan massa ovarium yang
besar atau perubahan endometrium.
Ketidakseimbangan estrogen dan progesteron kemungkinan menjadi awal
dari pembentukan endometriosis. Hiperekspresi dari reseptor estrogen mungkin
juga menyebabkan terjadinya proliferasi sel endometrium dan penurunan
apoptosis yang pada akhirnya menstimulasi fase awal endometriosis. Resistensi
reseptor progesteron kemungkinan menimbulkan pergeseran dari rasio PRB/PRA,
yang merupakan ketidakseimbangan endokrin lain yang menyebabkan
peningkatan proliferasi sel inflamasi, angiogenesis, penurunan apoptosis, dan
kegagalan desidualisasi. Dan ternyata benar, ketidakseimbangan ER/PR pada
wanita dengan endometriosis dapat dihubungkan dengan peningkatan aktivasi sel
darah putih dan makrofag. Sekresi IL-1, IL-6 dan TNF-α; hiperekspresi dari
peptida atau growth factor di cairan peritoneum dan lesi endometrium serta stres
oksidasi dan proliferasi sel endometrium. Pada saat yang sama, di endometrium
eutopik, penurunan diferensiasi desidua dengan penurunan ekspresi PRL dan
CRH-R1 berkontribusi dalam penjelasan infertilisasi. Peningkatan ekspresi COX-
2 menyebabkan sekresi yang berlebihan PGE2 dan PGF2α di dalam uterus dan
jaringan endometrium pada wanita dengan endometriosis yang berujung pada
nyeri pelvis. Aromatase sebuah enzim lokal yang diekspresikan secara belebihan
pada endomeriosis menyebabkan biosintesis yang abnormal dari estradiol(E2)
yang pada akhirnya meningkatkan formasi PGE2 dengan stimulasi ekspresi dari
COX-2 umpan balik positif antara estrogen dan PG yang membantu dalam
proliferasi dan karakteristik inflamasi dalam endometriosis.
Invasi peritoneum oleh sel stroma adalah proses kunci yang dimodulasi
oleh aktivin sehingga menyebabkan peningkatan ekspresi dari MMP, dimana yang
paling sering diakibatkan oleh resistensi progesteron dan peningkatan sekresi
sitokin. Gen polimorfism atau ekspresi yang berubah dari enzim matrix degrading
dapat memfasilitasi invasi jaringan endometrium ke permukaan peritoneum.
4
Penurunan apoptosis di peritoneum merupakan faktor lain yang mungkin
berkontribusi dalam mempertahankan sel endotelial dalam keadaan agresif.
Estrogen, sitokin, dan faktor angiogenetik (VEGF, FGF, IGFs dan derivat
platelet growth factor) dimana kesemuanya itu diekspresikan baik oleh
endometrium yang eutopik maupun yang ektopik, berperan dalam angiogenesis
yang penting bagi progresifitas penyakit. Sekali sel endometrium telah
menginvasi endometrium dan mendapatkan suplai darah mereka dapat
berimplantasi, dan proses implantasi kronik dimulai. Dimana dapat dihubungkan
dengan hipersekresi mediator inflamasi yang menyebabkan nyeri dan infertilitas.
Inflamasi, kehamilan dan kelahiran pretem
Kehamilan ditandai oleh peningkatan hormon dan aktivitas imun. Inisiasi
kehamilan ditandai dengan sekresi HCG dan produksi progesteron dan relaxin
oleh korpus luteum selama kehamilan, plasenta merupakan kelenjar endokrin
tambahan yang berkontribusi dalam peningkatan estrogen dan progesteron serum
seiring bertambahanya usia kehamilan. Estrogen dan progesteron merupakan
hormon yang penting dalam mempersiapkan kehamilan. Progesteron yang
disintesis kemudian oleh syncitiothropoblast plasenta, memainkan peranan yang
penting dalam implantasi embrio dan mempertahankan relaksasi endometrium.
Karakteristik dari kehamilan manusia adalah kurangnya penurunan kadar
progesteron serum menjelang persalinan, dimana perubahan fungsi progesteron
reseptor isoform (PRB PRA berubah menjadi PRA PRB) dianggap penting.
Estrogen yang juga merupakan produk trophoblast berfungsi dalam menjaga
homeostasis kehamilan, dan penggeseran rasio E3/E2 menandai peran estrogen
pada awal persalinan. Plasenta juga merupakan tempat cadangan hormon stress
yang baik dan CRH merupakan neurohormon plasenta yang berhubungan dengan
homeostasis fetoplasenta yang memiliki efek hormonal dan imunologik.
Hormon sex steroid mempengaruhi sistem imun dan memodulasi keadaan
inflamasi. Sejak awal kehamilan, pada tempat implantasi, kemungkinan respon
dari allograf fetus, leukosit, macrophages dan sel dendritik normalnya
berakumulasi di sekitar sel-sel trophoblast yang sedang menginvasi sel-sel
5
endometrium dan ikut serta dalam pembersihan debris sel yang mengalami
apoptosis. Peningkatan sistem imun memiliki peranan yang penting dalam
fetomaternal, serta kesuksesan pembentukan plasenta. Awal kehamilan ditandai
dengan adanya profil proinflamasi yang dominan dengan kadar sitokin dan
kemokin yang tinggi, yang kemudian menurun selama pertengahan kehamilan dan
kemudian meningkat lagi pada saat kehamilan aterm. Peran kunci dari sel desidua
pada chemoattractant antara neutrofil dan monosit. Invasi sel-sel trofoblas
merupakan peristiwa yang penting dan kegagalan pembentukan plasenta dapat
berujung kepada hasil kehamilan yang buruk. Invasi sitotrofoblas ke kedalaman
yang tepat di uterus juga merupakan faktor utama dalam penentuan hasil
kehamilan. Invasi yang berlebihan dapat berakibat pada perkembangan desidua
yang abnormal dengan penempelan plasenta ke miometrium yang juga abnormal.
Invasi yang tidak adekuat dapat masuk ke dalam patofisiologi terjadinya
preeklampsi, karena tekanan arteriol-arteriol uterus meningkat dan dapat terjadi
kegagalan adaptasi, seperti adanya interaksi desidua miometrium inadekuat dapat
menyebabkan perkembangan ke arah kelahiran preterm.
Mendekati waktu persalinan, sitokin proinflamasi secara aktif melakukan
remodelling serviks, melemahkan dan memecah kulit ketuban serta mengaktivasi
kontraksi uterus, sehingga dapat terjadi pengeluaran janin dan juga plasenta.
Secara khusus sitokin inflamasi terlibat dalam kontraktilitas miometrium (TNF-α
dan IL-1β mempunyai efek yang sama seperti oksitosin terhadap endometrium,
mengingkatkan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 oleh sel-sel miometrium),
sedangkan IL-6 meregulasi ekspresi reseptor oksitosin di sel-sel miometrium;
ruptur selaput ketuban (IL-1 meningkatkan kadar MMP-9, kolagenasi dan
ekspresi prostaglandin serta penurunan kadar inhibitor jaringan yaitu MMP-2);
pematangan serviks (sitokin meningkatkan produksi dari MMP-1, MMP-3, MMp-
8, MM-9, catepsin S, COX-2 dan PGE2).
Selama kehamilan, hormon stress atau infeksi atau faktor penyebab lain
(stress oksidatif, perdarahan) dapat merubah keseimbangan sitokin, yang
menentukan pergeseran pada kaskade produksi sitokin inflamasi yang terlibat
6
dalam peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan ruptur selaput
ketuban yang terjadi pada aborsi spontan dan kelahiran preterm.
Kelahiran preterm muncul sekitar 12-13% (Amerika Serikat) dan 5-9%
(Eropa) dan disebabkan oleh berbagai macam mekanisme. Penyebabnya secara
umum dibagi menjadi beberapa kategori yang berbeda, namun semuanya
memiliki kesamaan yaitu hipersekresi dari sitokin dan kemokin inflamasi;
peningkatan regulasi COX-2 dan kadar prostaglandin; dan aktivasi MMP pada
selaput ketuban, miometrium, serviks, dan pembuluh darah perifer, yang
mengakibatkan pematangan serviks, peningkatan kontraksi uterus dan
melemahnya selaput ketuban.
Beberapa mekanisme hormonal terlibat didalam kelahiran preterm.
Ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron adalah salah satunya.
Hipersekresi dari estriol merupakan akibat dari peningkatan sekresi androgen fetal
adrenal oleh adanya perubahan plasenta melalui aromatase. Wanita dengan
kelahiran peterm memiliki sekresi serum yang tinggi serta rasio E3/E2 yang lebih
tinggi. Penurunan PRB dan peningkatan ekspresi PRA juga merupakan bukti pada
wanita dengan kelahiran preterm, mendukung adanya penurunan aktivitas
antikontraktilitas dari progesteron. Kortisol dan hormon stress (CRH dan ACTH)
juga terlibat di dalam kelahiran preterm. Aktivasi dari HPA axis merupakan
peristiwa endokrin utama pada stress dan selama kehamilan kortisol di
metabolisme menjadi kortison oleh 11-βHSD plasenta, yang melindungi janin dari
efek kortisol. Pada kelahiran preterm plasenta dan selaput ketuban memiliki
ekspresi 11-βHSD yang rendah sehingga memungkinkan adanya aktivasi
peristiwa yang berhubungan dengan stress. Peningkatan sekresi horman CRH
plasenta merupakan bukti yang jelas pada kelahiran preterm, yang menunjukkan
bahwa terdapat aktivasi awal dari plasenta oleh mekanisme stress. CRH dapat
mengaktifkan sekresi prostaglandin, kontraktilitas uterus, vasodilatasi dan fungsi
imun. Ketidakseimbangan pada mekanisme antara anti-inflamasi dan pro-
inflamasi pada uterus dan plasenta merupakan peristiwa patogen yang mungkin
terjadi pada kelahiran preterm. Kemudian ekspresi dari mekanisme lokal yang
7
melindungi unit fetoplasenta dari inflamasi (lipoxin) telah ditemukan dan
peranannya di dalam kelahiran preterm sampai saat ini masih diteliti.
Endometriosis dan Kelahiran Preterm
Endometriosis pada kehamilan kemungkinan dapat dihubungkan dengan
hasil kehamilan yang buruk. Preeklampsia, IUGR dan kalahiran preterm
kemungkinan dapat dikorelasikan dengan endometriosis, namun pada jurnal ini
kami hanya menjelaskan hubungannya dengan kelahiran preterm. Korelasi antara
endometriosis dan kelahiran preterm ditunjukkan oleh beberapa penelitian
retrospektif.
Penilitian dari Skandinavia telah dilakukan terhadap sekelompok besar
wanita dengan riwayat endometriosis. Wanita-wanita dengan riwayat
endometriosis memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami kelahiran preterm,
dimana keadaan inflamasi kronik endometriosis kemungkinan mengakami
korelasi dengan kelahiran preterm. Hal ini juga berlaku pada Crohn’s disease dan
rheumathoid artritis yang juga berhubungan dengan kelahiran preterm.
Pada penelitian retrospektif kohort, peningkatan resiko kelahiran preterm
telah dilaporkan pada beberapa wanita dengan endometrioma yang menjalani
ART (Assisted Reproductive Technology), yang menunjukkan bahwa
endometrium yang abnormal dan pembentukan desidua yang tidak baik dapat
merubah proses pembentukan plasenta. Penelitian case control juga menunjukkan
adanya korelasi anatara kelahiran preterm dan adenomiosis, begitu juga terhadap
wanita dengan infertilitas yang bersifat idiopatik. Tidak ada perbedaan yang
ditemukan pada kejadian kelahiran preterm antara perempuan dengan
endometriosis minimal dengan infertilitas yang idiopatik yang sedang menjalani
ART. Ekspresi endometrium yang tidak biasa dari neurohormon atau growth
factor serta angiogenesis yang terganggu telah ditemukan dapat menentukan
pembentukan plasenta dan fungsi desidua yang abnormal. Tetapi beberapa dari
hasil penelitian ini mungkin memiliki interpretasi yang berbeda sesuai dengan
bukti terbaru bahwa bahkan embrio di dalam kultur dengan perpanjangan waktu
dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko kelahiran preterm, yang mungkin
8
dapat diakibatkan karena pengaruh epigenetik pada gen yang berhubungan dengan
kelahiran preterm.
Kesimpulannya, kondisi endometrium dapat menentukan kualitas
implantasi dan perkembangan plasenta serta mempengaruhi hasil dari kehamilan.
Sistem imunoendokrin sangat penting bagi fungsi endometrium yang normal,
dimana hormon seks steroid, neurohormon, sitokin dan growth factor
berkontribusi dalam proses remodelling endometrium dengan menginduksi
perubahan di membran basal, angiogenesis dan jalur inflamasi. Di lain pihak, pada
saat kehamilan, interaksi trofoblas-desidua dipengaruhi oleh suatu sistem
imunoendokrin, yang meliputi pemeran yang sama (hormon seks steroid,
neurohormon, sitokin dan growth factor) dan mungkin dapat mempengaruhi
perkembangan kehamilan. Keadaan inflamasi yang berlebihan dapat berujung
pada kekacauan jalur imunoendokrin endometrium yang pada akhirnya dapat
menyebabkan endometriosis; pola ini kemungkinan dapat mempengaruhi interaksi
desidua trofoblas dan mengaktivasi mekanisme yang dapat menyebabkan
kelahiran preterm. Sehingga dengan mempertimbangkan kesehatan wanita,
seorang pasien infertil dengan endometriosis harus lebih diawasi apabila dia
hamil. Resiko kelahiran preterm pada wanita ini harus dipertimbangkan walaupun
penelitian yang lebih jauh dibutuhkan untuk membuktikan kebenaran didalam
aplikasi nyata.
9
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita kaum perempuan.
Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun data
pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian di
Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi
dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok
infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang,
maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada
wanita usia produktif. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai penyakit
yang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini (Widhi, 2007).
Gejala endometriosis sangat tergantung pada letak sel endometrium ini
berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya nyeri pada panggul, sehingga
hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri kronis hebat pada saat haid,
dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan infertil (mandul). Tetapi ada juga
yang melaporkan pernah terjadi pada masa menopause dan bahkan ada yang
melaporkan terjadi pada 40% pasien histerektomi (pengangkatan rahim). Selain
itu juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada mereka yang mempunyai
riwayat endometriosis dalam keluarganya (Widhi, 2007).
Penyakit endometriosis umumnya muncul pada usia reproduktif. Angka
kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya dan lebih dari
50% terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung
pada letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya
nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan
nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan
infertil (mandul). Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa
menopause dan bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien
10
histerektomi (pengangkatan rahim). Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat
muncul pada mereka yang mempunyai riwayat endometriosis dalam keluarganya
(Widhi, 2007).
Partus prematurus (persalinan preterm) didefinisikan sebagai pengeluaran
hasil konsepsi dari kavum uteri yang dapat hidup pada usia kehamilan 20-37
minggu.23,24 Partus prematurus terjadi pada 7-10 % kehamilan sebelum minggu ke-
37, 3-4 % kehamilan sebelum minggu ke-34 dan 1-2 % kehamilan sebelum
minggu ke-32.22,25 Persalinan preterm merupakan hal yang berbahaya karena
potensial meningkatkan kematian perinatal sebesar 65%-75%, umumnya
berkaitan dengan berat lahir rendah. Berat lahir rendah dapat disebabkan oleh
kelahiran preterm dan pertumbuhan janin yang terhambat. Keduanya sebaiknya
dicegah karena memiliki dampak yang negatif; tidak hanya kematian perinatal
tetapi juga morbiditas, potensi generasi akan datang, kelainan mental dan beban
ekonomi bagi keluarga dan bangsa secara keseluruhan.24
Di Amerika Serikat setiap tahun terjadi lebih dari 1 juta partus prematurus
(10% dari kelahiran normal).25 Angka kejadian persalinan preterm di Indonesia
berkisar antara 10-20%.26 Penyebab persalinan preterm adalah multifaktorial dan
sering kali tidak diketahui. Ada beberapa kondisi ibu yang merangsang terjadi
kontraksi spontan yaitu kelainan bawaan uterus, ketuban pecah dini, serviks
inkompeten dan kehamilan ganda. Ada pula faktor resiko lain yang mungkin
menimbulkan partus prematurus, misalnya usia, tinggi badan, tingkat sosio-
ekonomi, riwayat persalinan preterm sebelumnya, riwayat lahir mati, tidak
menikah dan perokok berat.23 Menurut Iams JD dalam prematurity prevention and
treatment, faktor resiko lain yang mempengaruhi persalinan preter, ialah adanya
riwayat penyakit infeksi menular seksual, perdarahan setelah trimester I, ada
infeksi saluran kemih, anemia (hematokrit < 34%), dan terdapat pembukaan
serviks sebelum umur kehamilan 32 minggu (pembukaan serviks > 1 cm dan
pendataran serviks < 1 cm).28 Teori berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan
oleh Hippocrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka
hasil konsepsi akan segera dikeluarkan. Ditemukan oleh peneliti di Inggris dan di
Amerika, berat ibu yang menunjukkan kemungkinan kurang gizi juga mempunyai
11
resiko persalinan prematur yang meningkat dibandingkan dengan yang bergizi
lebih baik.22
Berdasarkan hasil penelitian European Society of Human Reproduction
and Embryology, ditemukan 5 dari 100 perempuan tanpa endometriosis
melahirkan secara prematur, yaitu sekitar 37 minggu kehamilan bukan seperti
normalnya 40 minggu, hampir 7 dari 100 perempuan dengan endometriosis
melahirkan prematur. Ini berarti ada 33% resiko lebih besar kelahiran prematur
pada perempuan yang mengidap endometriosis.
II. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang endometriosis
dan kelahiran preterm secara umum, serta hubungan antara endometriosis dengan
kejadian kelahiran preterm.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi Genitalia Interna Wanita
1. Vagina
Vagina merupakan saluran muskulo-membraneus yang menghubungkan
rahim dengan vulva. Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari muskulus
sfingter ani dan muskulus levator ani, oleh karena itu dapat dikendalikan. Vagina
terletak antara kandung kemih dan rektum. Panjang bagian depannya sekitar 9 cm
dan dinding belakangnya sekitar 11 cm. Bagian serviks yang menonjol ke dalam
nagina disebut dengan portio. Portio uteri membagi puncak (ujung) vagina
menjadi: forniks anterior, forniks posterior, forniks dextra dan forniks sinistra. Sel
dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam dengan
PH 4,5. Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi. Fungsi utama
vagina sebagai saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi,
alat hubungan eks dan merupakan jalan lahir pada waktu persalinan.
2. Uterus
Uterus atau rahim berfungsi sebagai tempat implantasi ovum yang
terfertilisasi dan sebagai tempat perkembangan janin selama kehamilan sampai
dilahirkan. Uterus terletak anterior terhadap rectum dan posterior terhadap vesica
urinaria. Uterus berbentuk seperti pear terbalik dan ukuran uterus pada wanita
yang belum pernah hamil (nullipara) adalah panjang 7,5 cm, lebar 5 cm dan tebal
2,5 cm. Uterus terbagi dalam 2 bagian besar yaitu corpus uteri, dan serviks uteri.
Corpus adalah bagian uterus (2/3 superior uterus) yang melebar, terletak di antara
kedua lembar ligmentum latum dan tidak dapat digerakkan. Di dalam corpus uteri
terdapat cavum uteri yang membuka keluar melalui saluran (kanalis sevikalis)
yang terletak di serviks (1/3 inferior uterus). Bagian bawah serviks yang berada di
vagina dinamakan portio uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang
13
berada di atas vagina disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan
serviks masih ada bagian yang disebut isthmus uteri.1
Bagian atas uterus disebut fundus uteri, yang merupakan bagian uterus
yang berbentuk seperti kubah berada di bagian superior dan tempat dimana tuba
fallopi kanan dan kiri masuk ke uterus.1
Gambar 1. Anatomi uterus3
Vaskularisasi uterus berasal dari arteri uterina kiri dan kanan yang terdiri
atas ramus ascendens dan ramus descendens. Pembuluh darah ini berasal dari
arteri iliaca interna (disebut juga arteria hipogastrika) yang melalui dasar
ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di
atas forniks lateralis vagina. Pembuluh darah lain yang memperdarahi uterus
adalah arteria ovarika kiri dan kanan. Arteria ini berjalan dari lateral dinding
pelvis melalui ligamentum infundibulo-pelvikum mengikuti tuba fallopii dan
beranastomosis dengan ramus ascendens arteria uterina di sebelah lateral kanan
dan lateral kiri uterus. Bersama-sama dengan arteri tersebut di atas terdapat vena-
vena yang kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika.1
Getah bening yang berasal dari serviks akan mengalir ke daerah obturatorial
dan inguinal, selanjutnya ke daerah vasa iliaka. Dari korpus uteri saluran getah
bening akan menuju ke daerah paraaorta atau paravertebra dalam. Kelenjar-
kelenjar getah bening penting artinya dalam operasi karsinoma.3
14
Gambar 2. Posisi Uterus2
Dinding uterus mempunyai 3 lapisan, yaitu endometrium, miometrium, dan
perimetrium.4,5
a. Endometrium
Merupakan lapisan mukosa uterus yang terdiri dari epitel selapis silindris
dan lamina propria. Epitelnya terdiri dari 2 macam sel seperti di tuba uteri yaitu
sel yang mempunyai silia dan sel sekretori. Pada lamina propria banyak
ditemukan glandula uterine yang berbentuk tubular simpleks, selain itu juga dapat
ditemukan jaringan pengikat kolagen irregular dengan bermacam-macam sel
berbentuk stelat, sel leukosit, makrofag dan serabut retikular. Serat jaringan
ikatnya terutama berasal dari kolagen tipe III. Morfologi dan fisiologi
endometrium dipengaruhi oleh berbagai macam hormon. Endometrium kaya akan
vaskularisasi dan memiliki 3 komponen yaitu: 5,6
1) Lapisan paling dalam; epitel selapis columnar (bersilia dan sel sekretori)
yang melapisi lumen
15
2) Endometrial stroma; daerah lamina propria yang sangat tebal
3) Endometrial glands; berkembang sebagai invaginasi luminal epithelium dan
sebagian besar memanjang ke miometrium. Endometrium dibagi atas 2
daerah, yaitu:
a) Stratum fungsionale yang melapisi rongga uterine dan divaskularisasi
oleh A. Spiralis yang berkelok-kelok sehingga disebut juga coiled
arteri. A. spiralis akan membentuk arteriol, kemudian anyaman kapiler
dipermukaan endometrium. Stratum fungsionale akan dilepaskan atau
meluruh pada saat menstruasi.
b) Stratum basale yang dekat dengan miometrium. Divaskularisasi oleh
A. basalis yang berbentuk lurus dan pendek. Lapisan ini bersifat
permanen dan membentuk stratum fungsional baru ketika setelah
menstruasi. A. basalis dan A. spiralis berasal dari A. arcuata yang
terletak di perbatasan myometrium dan endometrium.
Gambar 3. Lapisan uterus6
b. Miometrium
Merupakan lapisan otot polos yang tebal, terdiri dari 3 lapisan otot yang
tidak berbtas tegas. Lapisan yang paling luar dan paling dalam berjalan
longitudinal/oblique, sedangkan lapisan yang di tengah berjalan sirkular. Pada
lapisan yang ditengah terdapat pembuluh-pembuluh darah besar sehingga disebut
stratum vaskulare. Lapisan ini diperdarahi oleh A. arcuata. Makin kearah serviks,
16
sel-sel otot makin berkurang digantikan oleh jaringan pengikat fibrosa. Di serviks,
miometrium terdiri dari jaringan pengikat padat irregular yang banyak
mengandung serabut elastis dan hanya sedikit sel-sel otot polos.5,6
Ukuran dan jumlah sel-sel otot di miometrium dipengaruhi oleh kadar
hormon estrogen. Pada kehamilan sel-sel otot akan bertambah banyak
(hyperplasia) dan bertambah besar (hipertrofi) karena produksi hormon estrogen
meningkat. Setelah mentruasi hormon estrogen berkurang, maka sel-sel otot juga
akan mengecil, bahkan bila tidak ada estrogen maka sel-sel otot miometrium akan
mengalami atrofi. Ketika melahirkan terjadi koordinasi kontraksi miometrium
yang merespon terhadap oksitosin dari hipofisis posterior yang membantu
mengeluarkan fetus dari uterus.5,6
c. Perimetrium
Bagian anterior uterus ditutupi oleh tunika adventitia (jaringan pengikat
tanpa sel epitel) yang menutupi urinary bladder dan membentuk vesicouterine
pouch. Bagian lateral menjadi broad ligament, sedangkan bagian fundus dan
posterior ditutupi oleh tunika serosa yang terdiri dari selapis sel epitel gepeng
yang disebut mesotel dan jaringan pengikat longgar yang melapisi rektum dan
membentuk kantung rectouterine.5,6
Gambar 4. Lapisan uterus6
3. Tuba Fallopii
17
Tuba fallopii merupakan tubulo-muskuler, dengan panjang 12 cm dan
diameternya antara 3 sampai 8 mm. Fungsi tuba sangat penting, yaitu untuk
menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi, sebagai saluran dari spermatozoa
ovum dan hasil konsepsi, tempat terjadinya konsepsi dan tempat pertumbuhan dan
perkembangan hasil konsepsi sampai membentuk blastula yang siap melakukan
implantasi.
4. Ovarium
Ovarium merupakan kelenjar berbentuk buah kenari terletak kiri dan
kanan di bawah tuba uterina dan terikat di sebelah belakang oleh ligamentum
latum uterus. Setiap bulan sebuah folikel berkembang dan sebuah ovum
dilepaskan pada saat kira-kira pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi. Ovulasi
adalah pematangan folikel de graaf dan mengeluarkan ovum. Ketika dilahirkan,
wanita memiliki cadangan ovum sebanyak 100.000 buah di dalam ovariumny, bila
habis maka disebut menopause. Ovarium memiliki 3 fungsi, yaitu : memproduksi
ovum, memproduksi hormon esterogen dan memproduksi hormon progesteron.
Memasuki pubertas yaitu sekitar usia 13-16 tahun dimulai pertumbuhan folikel
primordial ovarium yang mengeluarkan homon esterogen. Esterogen merupakan
hormon terpenting pada wanita. Pengeluaran hormon ini menumbuhkan tanda
seks sekunder pada wanita seperti pembesaran payudara, pertumbuhan rambut
pubis, pertumbuhan rambut ketiak, dan akhirnya terjadi pengeluaran darah
menstruasi pertama yang disebut dengan menarch. Awal-awal menstruasi sering
tidak teratur karena folikel de graaf belum melepaskan ovum yang disebut
dengan ovulasi. Hal ini terjadi karena memberikan kesempatan kepada esterogen
untuk menumbuhkan tanda-tanda seks sekunder. Paa usia 17-18 tahun menstruasi
sudah teratur dengan interval 28-30 hari yang berlangsung kurang lebih 2-3 hari
disertai dengan ovulasi, sebagai tanda dari kematangan organ reproduksi wanita.
II.2. Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita
18
1. Menstruasi
Menstruasi adalah perdarahan siklik dan periodik dari uterus disertai
pelepasan endometrium. Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal
mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi yang berikutnya. Hari
mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus wanita yang
berovulasi 97% berkisar antara 21 – 35 hari dengan rata – rata 28 hari. Lama
menstruasi biasanya bervariasi antara 3 – 5 hari namun ada yang sampai 7 – 8
hari. Jumlah darah yang keluar rata – rata adalah 33,2 ± 16 cc. Jumlah darah
menstruasi lebih dari 80 cc dianggap patologik. Darah menstruasi tidak membeku
disebabkan karena adanya fibrinolisin. Usia waktu pertama kalinya mendapat
menstruasi (menarche) bervariasi, yaitu antara 10 – 16 tahun, tetapi rata – rata
12,5 tahun. Usia menarche dipengaruhi genetik, keadaan gizi, dan keadaan
kesehatan secara umum. Menarche terjadi di tengah – tengah masa pubertas.
Sesudah masa pubertas, wanita memasuki masa reproduksi, yaitu masa dimana ia
dapat memperoleh keturunan. Masa reproduksi ini berlangsung 30 – 40 tahun dan
berakhir pada masa mati menstruasi (menopause).2
Hal yang memegang peranan penting dalam siklus menstruasi dan ovulasi
adalah hubungan antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-
pituitary-ovarian axis). Hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin
oleh adenohipofisis melalui sirkulasi portal khusus. Hipotalamus menghasilkan
Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) yang merangsang pelepasan
Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari
hipofisis.2
Siklus menstruasi normal berkaitan dengan siklus uterus (fase proliferasi,
fase sekresi, menstruasi) dan siklus ovarium (fase folikel, saat ovulasi, fase luteal).
Fase folikel pada siklus ovarium diawali dari penurunan kadar estrogen dan
progesterone yang memberikan rangsangan feedback positif terhadap hipotalamus
dalam memproduksi GnRH. Peningkatan GnRH akan merangsang hipofisis
anterior (adenohipofisis) melepaskan FSH dan LH. Jumlah FSH yang dilepaskan
tidak sebanyak LH karena FSH tidak diperlukan dalam jumlah banyak dalam
merangsang sel granulosa pada folikel primer, sedangkan LH diperlukan dalam
19
jumlah banyak dalam merangsang sel teka pada folikel primer. FSH dan LH akan
merangsang pertumbuhan sel granulosa dan sel teka pada sel folikel yang
mengelilingi oosit primer. Sel granulosa selanjutnya akan memproduksi gel yang
akan mengelilingi oosit primer sehingga disebut sebagai zona pelusida. Sel
granulosa juga akan memproduksi estrogen dalam jumlah besar yang mengisi
antrum (rongga cairan kaya akan estrogen di antara jaringan granulosa) yang
terjadi pada hari ke-5 fase folikel dan estrogen yang juga dilepaskan ke aliran
darah. Estrogen di aliran darah memberikan suatu feedback negatif pada
adenohipofisis terutama FSH, sehingga produksi FSH dan LH berkurang, dimana
FSH lebih banyak ditekan dengan tujuan agar folikel yang matang hanya satu.
Produksi FSH dan LH tidak hilang sama sekali dengan maksud agar masih
merangsang pematangan folikel dan folikel terus memproduksi estrogen. Estrogen
terus meningkat sampai suatu saat mencapai puncak. Memuncaknya estrogen
justru akan menyebabkan lonjakan LH. Efek dari lonjakan LH ini akan
menyebabkan oosit primer pada folikel primer mengalami meisois kedua sehingga
menjadi oosit sekinder sebelum mengalami ovulasi, selanjutnya lonjakan LH ini
juga akan merangsang pembentukan prostaglandin yang mencerna dinding sel
granulosa dan sel teka pada folikel sehingga oosit sekunder akan dilepas bersama
sel granulosa yang menjadi korona radiata dan zona pelusida dimana periode ini
disebut dengan ovulasi. Hal ini akan menyebabkan rusaknya dinding folikel yang
yang merupakan tanda berakhirnya fase folikel. Sel granulosa dan sel teka yang
tertinggal di ovarium membesar dan membentuk vakuola serta terjadi
penumpukan pigmen kuning (lutein) kemudian folikel berubah menjadi korpus
luteum. Luteinized granulosa cells dalam korpus luteum itu meningkatkan
progesteron dan luteinized theca cells juga meningkatkan estrogen namun tidak
sebanyak progesterone sehingga kedua hormon ini meningkat tinggi pada fase
luteal. Apabila tidak terjadi kehamilan, mulai 10 – 12 hari setelah ovulasi, korpus
luteum mengalami regresi berangsur angsur disertai dengan berkurangnya kapiler
– kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen.
Penurunan sekresi estrogen dan progesteron merupakan tanda berakhirnya fase
luteal dan akan dimulainya fase folikel kembali. Namun dengan adanya
kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari
20
Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dihasilkan oleh sinsiotrofoblast.
Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca
ovulasi) yang merupakan waktu yang tepat untuk mencegah regresi luteal. HCG
memelihara korpus luteum hingga 9 – 10 minggu kehamilan sampai plasenta telah
terbentuk.2,7
Pada endometrium akan terjadi perubahan – perubahan siklik yang terjadi
yang berkaitan erat dengan aktifitas ovarium. Dibedakan 3 fase pada
endometrium, yaitu fase menstruasi, fase proliferasi, dan fase sekresi. Fase
menstruasi bersamaan dengan akhir dari fase luteal atau awal dimulainya fase
folikel pada ovarium, yaitu akibat dari penurunan kadar progesteron dan estrogen
akan menyebabkan terlepasnya endometrium dari dinding uterus yang disertai
perdarahan. Darah menstruasi mengandung darah vena dan arteri dengan sel darah
merah yang mengalami hemolisis atau aglutinasi, sel – sel epitel dan stroma yang
mengalami disintegrasi dan otolisis, serta sekret dari uterus, serviks, dan kelenjar
vulva dimana fase ini berlangsung 3 – 4 hari. Fase proliferasi berlangsung dari
hari ke-4 sampai hari ke-15 siklus menstruasi. Fase proliferasi bersamaan dengan
fase folikel ovarium yaitu dibawah pengaruh estrogen yang meningkat yang akan
menyebabkan pertumbuhan endometrium dan miometrium di uterus serta
meningkatkan reseptor progesteron di uterus sebagai persiapan apabila terjadi
pembuahan. Pada fase ini ditandai dengan kelenjar yang lurus, pendek dan sempit
serta stroma yang tumbuh aktif dan padat. Tebal endometrium pada fase
proliferasi menjadi setebal ± 3,5 mm. Fase sekresi berlangsung dari hari ke-14
sampai hari ke-28 siklus menstruasi. Fase sekresi bersamaan dengan fase uteal
dari ovarium. Fase ini dipengaruhi oleh progesteron dan estrogen dalam jumlah
besar. Pada fase ini endometrium kira – kira tetap tebalnya, tetapi bentuk kelenjar
berubah menjadi panjang, berlekuk lekuk dan mengeluarkan getah yang makin
lama makin nyata. Dalam endometrium telah tertimbun glikogen dan kapur yang
kelak akan diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang tujuan
perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium menerima telur yang
dibuahi.2,7
21
Gambar 5. Siklus Menstruasi4
2. Konsepsi/Fertilisasi
Pembuahan adalah suatu peristiwa penyatuan antara sperma dengan ovum
di tuba fallopii, umumnya terjadi di ampula tuba, pada hari ke sebelas sampai
empat belas dalam siklus menstruasi. Ada jutaan sperma yang dikeluarkan di
forniks vagina. Hanya beberapa ratus ribu sperma yang meneruskan ke kavum
uteri dan tuba. Dan hanya beberapa ratus sperma yang dapat sampai ke ampula
tuba. Hanya satu sperma yang telah mengalami proses kapasitasi yang dapat
membuahi ovum. Kaput sperma mengandung enzim hialuronidase yang dapat
meluruhkan dan menembus zona pellusida ovum. Sperma masuk ke dalam
vitellus, membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase untuk
melanjutkan pembelahan. Ovum memiliki pronukleus yang haploid. Sperma juga
22
memiliki pronukleus yang haploid. Kedua pronuklei ini saling mendekat dan
bersatu membentuk zigot. Beberapa jam kemudian zigot membelah, Sitoplasma
ovum banyak mengandung zat asam amino dan enzim. Dalam 3 hari terbentuk
suatu kelompok sel-sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi disalurkan terus ke
pars ismika dan pars interstisialis tuba menuju kavum uteri. Dalam kavum uteri,
hasil konsepsi mencapai stadium blastula.
Gambar 6. Fertilisasi6
3. Nidasi/Implantasi
Nidasi adalah masuknya atau tertanamnya hasil konsepsi ke dalam
endometrium. Blastula tersebut diselubungi oleh trofoblas yang mampu
menghancurkan dan mencairkan jaringan. Ketika blastula mencapai cavum uteri,
jaringan endometrium berada dalam masa sekres yang banyak mengandung sel-sel
desidua, yaitu sel-sel besar yang mengandung lebih banyak glikogen serta mudah
dihancurkan oleh trofoblas. Blastula dengan bagian yang mengandung inner-cell
mass aktif akan mudah masuk ke dalam lapisan desidua dan menyebabkan luka
kecil pada desidua yang kemudian dapat sembuh dan dapat menutup kembali.
Kadang-kadang pada saat ini terjadi perdarahan pada luka desidua (tanda
Hartman). Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang uterus, dekat
23
pada fundus uteri. Jika nidasi ini telah terjadi, makan dimulailah differensiasi sel-
sel blastula. Sel-sel yang lebih kecil terletak dekat ruang exoxoeloma akan
membentuk entoderm dan yolk sac. Sedangkan sel-sel yang lebih besar akan
membentuk ectoderm dan ruang amnion.Maka terbentuklah suatu lempeng
embrional (embryonal plate) di antara amnion dan yolk sac. Sel-sel trofoblas
mesodermal yang tumbuh disekitar embrio akan melapisi bagian dalam trofoblas
dan membentuk sekat korionik (chorionic membrane) yang disebut dengan
korion. Sel2 trofoblas tumbuh mjd 2 lapisan, yaitu: Sitotrofoblas, di sebelah dalam
dan Sinsitiotrofoblas, di sebelah luar. Vili koriales yang berhubungan dengan
desidua basalis tumbuh bercabang-cabang membentuk korion frondosum. Vili
koriales yqng berhubungan dengan desidua kapsulasris kurang mendapat makanan
sehingga akhirnya menghilang, dan kemudian disebut chorion leave. Dalam
tingkat nidasi, trofoblas menghasilkan hormon HCG. Hormon HCG meningkat
sampai kurang lebih hari ke 60 kehamilan untuk kemudian turun kembali. Fungsi
dari hormon HCG adalah untuk mempengaruhi korpus luteum supaya dapat
tumbuh terus dan mengahsilkan progesteron, sampai plasentadapat membuat
cukup progesteron sendiri. Hormon HCG dapat diperiksan pada urin wanita hamil
sebagai pemeriksaan kehamilan.
4. Plasentasi
Plasenta merupakan organ penting bagi janin, karena sebagai alat
pertukaran zat antara ibu dan bayi atau sebaliknya. Plasenta berbentuk bundar atau
hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal ± 2,5 cm, berat rata-rata 500
gram. Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan kurang dari 16
minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Plasenta terletak
di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas kearah fundus uteri,
dikarenakan alasan fisiologis, permukaan bagian atas korpus uteri lebih luas,
sehingga lebih banyak tempat untuk berimplementasi. Plasenta berasal dari
sebagian besar dari bagian janin, yaitu villi koriales atau jonjot chorion dan
sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Plasenta mempunyai dua permukaan, yaitu permukaan fetal dan maternal.
Permukaan fetal adalah permukaan yang menghadap ke janin, warnanya keputih-
24
putihan dan licin. Hal ini disebabkan karena permukaan fetal tertutup oleh
amnion, di bawah nampak pembuluh-pembuluh darah. Permukaan maternal
adalah permukaan yang menghadap dinding rahim, berwarna merah dan terbagi
oleh celah-celah yang berasal dari jaringan ibu. Jumlah celah pada plasenta dibagi
menjadi 16-20 kotiledon.
Gambar 7. Permukaan Plasenta
Penampang plasenta terbagi menjadi dua bagian yang terbentuk oleh
jaringan anak dan jaringan ibu. Bagian yang terdiri dari jaringan anak disebut
membrana chorii, yang dibentuk oleh amnion, pembuluh darah janin, korion dan
villi. Bagian dari jaringan ibu disebut piring desidua atau piring basal yang terdiri
dari desidua compacta dan desidua spongiosa.
Gambar 8. Struktur Plasenta
25
II.3. Endometriosis
1. Definisi
Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam
uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau kedua-
duanya dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ dan susunan
lainnya.8 Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di dalam miometrium
disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan jaringan endometrium
yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis eksterna atau
endometriosis sejati.8-10 Pembagian ini sekarang sudah tidak dianut lagi karena
baik secara patologik, klinik ataupun etiologik adenomiosis dan endometriosis
berbeda.9 endometriosis sering disertai pembentukan fibrosis dan perlekatan luas
menyebabkan gangguan anatomi pelvis.
2. Lokasi Endometrosis
Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat
sebagai berikut :
a Ovarium;
b Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding
belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum
rotundum, dan sigmoid.
c Septum rektovaginal;
d Kanalis inguinalis;
e Apendiks;
f Umbilikus;
g Serviks uteri, vagina,
kandung kencing, vulva,
perineum;
h Parut laparotomi;
i Kelenjar limfe; dan
j Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan,
paha, pleura, dan perikardium.
26
3. Patogenesis
Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain :
a. Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)
melalui tuba ke dalam rongga pelvis.8,9 Sudah dibuktikan bahwa dalam
darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang
masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.9 Teori
ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan
kasus endometriosis di luar pelvis.
b. Teori metaplasia (Rober Meyer)
Metaplasia yaitu perubahan dari satu tipe jaringan normal menjadi tipe
jaringan normal lainnya. Beberapa jaringan endometrium memiliki
kemampuan dalam beberapa kasus untuk menggantikan jenis jaringan lain
di luar rahim. Beberapa peneliti percaya hal ini terjadi pada embrio, ketika
pembentukan rahim pertama. Lainnya percaya bahwa beberapa sel dewasa
mempertahankan kemampuan mereka dalam tahap embrionik untuk
berubah menjadi jaringan reproduksi. Endometriosis terjadi karena
rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari selom yang dapat
mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan
menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium.9 Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium,
endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama.8
c. Teori penyebaran secara limfogen (Halban)
Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui
saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke
berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik.
27
Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20%
dari penderita endometriosis.14
d. Teori imunologik
Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit
autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada
perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan
multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu
telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan
endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata
telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa
danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga
mempengaruhi aktivitas fagositik.8
Hipotesis berbeda tersebut telah diajukan sebagai penyebab endometriosis.
Sayangnya, tak satu pun dari teori-teori ini sepenuhnya terbukti, juga tidak
sepenuhnya menjelaskan semua mekanisme yang berhubungan dengan
perkembangan penyakit. Dengan demikian, penyebab pasti endometriosis masih
belum diketahui.
4. Patologi
Lokasi yang sering terdapat endometriosis ialah pada ovarium, dan
biasanya di dapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru
kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat
atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada
dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium
dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat
mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan
dinding kista, dan menyebabkan acute abdomen. Tuba pada endometriosis
biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, kavum
Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau
beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada
permukaan sigmoid atau rektum seringkali ditemukan benjolan yang berwarna
28
kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari
jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar
kavum Douglasi.9
5. Gambaran Mikroskopik
Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi
endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, serta perdarahan
bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi
hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi
dari jaringan endometriosis.9
6. Gambaran Klinis
Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni
sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus
meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala
endometriosis akan menghilang.8 Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada
penyakit endomeriosis berupa :
a Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering
dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya
darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda.1 penyebab
dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan
adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada
waktu sebelum dan semasa haid.9
b Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea,
keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.9
c Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.9
d Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung
kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.9
e Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila
kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium
terganggu.9
29
f Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti.14 Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada
endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan
perlekatan jaringan disekitarnya.9
Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto-
abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar butir
beras sampai butir jagung di kavum douglasi dan pada ligamentum sakrouterinum
dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-mula dapat diraba
sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai sebesar tinju.9
7. Klasifikasi Endometriosis
Menurut American Fertility Society (2007), berdasarkan visualisasi rongga
pelvis dan volume tiga dimensi dari endometriosis dilakukan penilaian terhadap
ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas dari
perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai-nilai dari skoring yang
kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis (Rusdi,
2009). Klasifikasi endometriosis tersebut adalah sebagai berikut:17,20,21
a. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I)
b. Nilai 5-15 adalah ringan (stadium II)
c. Nilai 16-40 adalah sedang (stadium III)
d. Nilai >40 adalah berat (stadium IV)
30
Tabel 1. American Society for Reproductive Medicine Revised Classification
of Endometriosis. 17,20,21
31
Endometriosis <1cm 1-3 cm >1cm
Peritoneum Permukaan 1 2 4
Dalam 2 4 6
Ovarium Kanan Permukaan 1 2 4
Dalam 4 16 20
Kiri Permukaan 1 2 4
Dalam 4 16 20
Perlekatan kavum
douglas
Sebagian Komplit
4 40
Ovarium Perlekatan <1/3 1/3-
2/3
>2/3
Kanan Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Kiri Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Tuba Kanan Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Kiri Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Skema klasifikasi berdasarkan beratnya penyakit endometriosis menurut
American Fertility Society (2007a) dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 9. American Society for Reproductive Medicine Revised
Classification of Endometriosis21
32
8. Diagnosis
Visualisasi endometriosis diperlukan untuk memastikan diagnosis.
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan
dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi
seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya,
biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
Gambar 10. Kista cokelat pada ovarium23
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas,
hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat
menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung
kencing.17 Penggunaan teknik pengambilan gambar yang khusus seperti
ultrasound, Computerized Tomography (CT scan), atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI) juga dapat dilakukan untuk menambah informasi tentang pelvis.
Prosedur ini dapat mengidentifikasi kista dan mengetahui karakteristik dari lesi.
33
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan endometriosis diantaanya adalah dengan cara
pencegahan, terapi hormon dan terapi pembedahan.
a. Pencegahan
Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.
Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu
dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda
terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya
mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sikap demikian itu tidak hanya merupaka profilaksis yang baik terhadap
endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah
endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang
kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat
menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga
panggul.7
b. Terapi Medis
Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan
fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang
normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormon-
hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan
endometriosis mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen,
yakni estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen
menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih diperdebatkan, namun
progesteron sintetik yang mengandung efek androgenik tampaknya
menghambat pertumbuhan endometriosis.9 Dari dasar tersebut, prinsip
pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan
lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga diharapkan
kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis
dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti tidak
34
terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan
endometriosis. Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan
hormon tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi
androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan keadaan rendah
estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.9
Tabel 2. Manajemen Terapi Endometriosis 20
Drug Mechanism Dosage Side effects
Gonadotropin-
releasing
hormone
analogs
Down-regulation of
pituitary receptors,
inhibition of the
hypothalamic-
pituitary-ovarian axis
leading to ovarian
suppression
Leuprolide acetate
(Lupron): 3.75-7.5 mg
IM 1-6 mo
Hot flashes, vaginal
dryness, bone
demineralization,
insomnia, libido
changes, fatigue
Nafarelin acetate
(Synarel): 200-400 µg
intranasally 1-6 mo
Goserelin acetate
(Zoladex): 3.6-mg
implant SC 28d
10.8-mg implant SC
q12wks 1-6 mo
Oral
contraceptives
Anovulation, atrophy
and decidualization
of endometrial tissue
Monophasic pill Weight gain,
breakthrough bleeding,
breast tenderness,
bloating, nausea
35
Progestins Atrophy and
decidualization of
endometrial tissue,
suppression of
gonadotropins,
inhibition of
ovulation,
amenorrhea
Medroxyprogesterone
acetate: 150 mg IM
3mo-4
Weight gain, fluid
retention,
breakthrough bleeding,
depression
30 mg PO 1-90 days
Megestrol acetate: 40
mg PO 1-6 mo
Possible bone
demineralization with
long-term use
Danazol Anovulation by
decreasing the
midcycle luteinizing
hormone surge
400-800 mg PO 1-6
Mo
Amenorrhea,
virilization, acne,
hirsutism, atrophic
vaginitis, decrease in
breast size, hot flashes,
deepening of voice
Obat-obat anti-peradangan nonsteroid atau nonsteroidal anti-
inflammatory drugs atau NSAIDs
Umumnya diresepkan untuk membantu membebasan nyeri pelvis dan
kejang menstruasi. Obat-obat pembebas nyeri ini tidak mempunyai efek
pada endometrial implants. Bagaimanapun, mereka mengurangi produksi
prostaglandin, dan prostaglandins dikenal baik mempunyai peran dalam
produksi sensasi (perasaan) nyeri. Karena diagnosis dari endometriosis
adalah hanya pasti setelah seorang wanita menjalani operasi, tentunya
akan banyak wanita-wanita yang dicurigai mempunyai endometriosis
berdasarkan pada alam dari gejala-gejala nyeri pelvisnya. Pada situasi-
36
situasi semacam ini, NSAIDs umumnya digunakan. Jika mereka bekerja
untuk mengontrol nyeri, tidak ada prosedur-prosedur atau perawatan-
perawatan media lain diperlukan. Jika mereka tidak membebaskan nyeri,
evaluasi dan perawatan tambahan umumnya terjadi.
Gonadotropin-releasing hormone analogs (GnRH analogs)
Gonadotropin-releasing hormone analogs (GnRH analogs) telah digunakan
secara efektif untuk membebaskan nyeri dan mengurangi ukuran dari
endometriosis implants. Obat-obat ini menekan produksi estrogen oleh
indung-indung telur dengan menghambat sekresi (pengeluaran) hormon-
hormon pengatur dari kelenjar pituitary. Sebagai akibatnya, periode-
periode menstruasi berhenti, meniru menopause. Bentuk-bentuk nasal
(hidung) dan suntikan dari GnRH agonists tersedia.
Danazol (Danocrine)
Danazol (Danocrine) adalah obat sintetik yang menciptakan lingkungan
hormon androgen (hormon tipe pria) yang tinggi dan estrogen yang rendah
dengan mengganggu ovulasi dan produksi estrogen indung-indung telur.
Delapan puluh persen dari wanita-wanita yang meminum obat ini akan
mempunyai pembebasan nyeri dan penyusutan dari endometriosis
implants, namun sampai dengan 75% dari wanita-wanita mengembangkan
efek-efek sampingan dari obat ini.
Aromatase inhibitors
Pendekatan yang lebih baru pada perawatan dari endometriosis telah
melibatkan pengaturan dari obat-obat yang dikenal sebagai aromatase
inhibitors [contohnya, anastrozole (Arimidex) dan letrozole (Femara)].
Obat-obat ini bekerja dengan menginterupsi pembentukan estrogen lokal
didalam endometriosis implants sendiri. Mereka juga menghalangi
produksi estrogen di indung-indung telur, otak, dan sumber-sumber lain,
seperti jaringan adipose. Penelitian sedang berlangsung untuk
mengkarakteristikan keefektifan dari aromatase inhibitors dalam
37
pengendalian endometriosis. Aromatase inhibitors menyebabkan
kehilangan tulang yang signifikan dengan penggunaan yang
berkepanjangan dan tidak dapat digunakan sendiri tanpa obat-obat lain
pada wanita-wanita premenopause karena mereka menstimulasi
pengembangan dari banyak follicles pada ovulasi.
c. Terapi Pembedahan
Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan
kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan
merusak fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit
dan transportasi sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi
dengan cara pembedahan.13 Pada umumnya terapi pembedahan pada
endometriosis bersifat bedah konservatif yakni mengangkat saranng-
sarang endometriosis dengan mempertahankan fungsi reproduksi dengan
cara meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang masih sehat, dan
perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.8,9 pembedahan konservatif dapat
dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi
operatif.2 Pembedahan konservatif pada pasien usia duapuluhan akhir dan
awal empatpuluhan terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki,
maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan 1) reseksi
endometriomata; 2) melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa
neurektomi presakral (untuk mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus
(melepaskan fiksasi retroversi fundus uteri dari kavum Douglasi akibat
perlekatan endometriotik); 4) menghilangkan apendiks dikarenakan tidak
jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada serosa apendiks.9,14
Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita
endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan
radikal histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral dan
pengangkatan sarang-sarang endometriosis yang ditemukan.9,14,15
Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat
terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini
mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah
pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama
38
beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi
kista per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6
bulan, tetapi cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih
diperdebatkan.8
Gambar 11. Mekanisme penatalaksanaan pasien dengan endometriosis9
II.4. Kehamilan preterm
1. Definisi
Persalinan preterm adalah persalinan pada kehamilan antara 20 – 37
minggu. Angka kejadian 10 – 15% kehamilan. Penyebab utama morbiditas dan
mortalitas neonatal. 75% kematian neonatus pada persalinan preterm disebabkan
oleh karena kelainan kongenital.
2. Etiologi kelahiran preterm :
a. Komplikasi medis dan obstetrik
39
28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu : 50% akibat pre eklampsia, 25% akibat gawat janin, 25% akibat
IUGR, solusio plasenta atau kematian janin. Sedangkan 72% persalinan
preterm kehamilan tunggal sisanya adalah persalinan spontan preterm
dengan atau tanpa disertai KPD.
b. Abortus iminen
Perdarahan pervaginam [ada awal kehamilan seringkali berkait dengan
meningkatnya perubahan pada outcome kehamilan. Weiss dkk (2002)
melaporkan adanya kaitan antara perdarahan pervaginam pada kehamilan
6 – 13 minggu dengan kejadian meningkatnya persalinan sebelum
kehamilan 24 minggu, persalinan preterm dan solusio plasenta. 37
c. Gaya hidup
Merokok, kenaikan BB selama kehamilan yang tidak memadai serta
penggunaan obat-obatan tertentu memiliki peranan penting dalam angka
kejadian dan outcome BBLR. Casaenuva 2005 menyimpulkan bahwa
faktor maternal lain yang berkaitan dengan persalinan preterm adalah :
Kehamilan remaja atau pada usia tua
Tubuh pendek
Kemiskinan
Defisiensi vit C
Faktor pekerjaan (berjalan jauh , berdiri lama, pekerjaan berat, jam
kerja yang terlalu lama)
d. Faktor genetik
Perkiraan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik denga persalinan
preterm adalah sifat persalinan preterm yang berulang, menurun dalam
keluarga dan banyak pada ras tertentu.
e. Chorioamnionitis
Infeksi selaput ketuban dan cairan amnion yang disebabkan oleh berbagai
jenis mikroorganisme dapat menjelaskan peristiwa KPD dan atau
persalinan preterm. Jalan masuk mikroorganisme kedalam cairan amnion
pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh tidak jelas. Endotoksin
sebagai produk dari bakteri dapat merangsang monosit desidua untuk
40
menghasilkan cytokine yang selanjutnya dapat merangsang asam
arachidonat dan produksi prostaglandine. Prostaglandine E2 dan F2a
bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi
miometrium.
3. Faktor resiko kelahiran preterm :
a. Riwayat persalina preterm sebelumnya
Tabel 3. Recurrent Spontaneous Preterm Births According to Prior Outcome
in 15.863 Women Delivering Their First and Subsequent Pregancies at
Parkaland Hospital (Adapted from Bloom and associates 2001)26
Birth outcome Second Birth = 34 weeks
First birth = 35 weeks 5 %
First birth = 34 weeks 16 %
First and second birth = 34 weeks 41 %
Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalinan preterm jelas memiliki
resiko tinggi mengalami persalinan preterm pada kehamilan selanjutnya,
peristiwa ini hanya 10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata
lain 90% kejadian persalinan preterm tak dapat diramalkan berdasarkan
riwayat persalinan preterm.
b. Inkompetensia serviks
Berdasarkan naskah dari American College of Obstetrican and
Gynecologist (2001) Inkompetensia servik adalah peristiwa klinis
berulang yang ditandai dengan dilatasi servik yang berulang, persalinan
spontan pada trimester II yang tidak didahului dengan KPD, perdarahan
atau infeksi.
c. Dilatasi serviks
Dilatasi servik asimptomatik pada kehamilan setelah trimester II adalah
faktor resiko terjadinya persalinan preterm, ahli lain berpendapat bahwa
hal tersebut adalah variasi normal terutama pada pasien multipara.
41
Pemeriksaan servik pada kunjungan prenatal untuk memperkirakan adanya
persalinan preterm adalah hal yang tak perlu dan berbahaya.
d. Fetal fibronectin
Fetal fibronectin adalah glikoprotein yang dihasilkan dalam 20 bentuk
molekul dari berbagai jenis sel antara lain hepatosit, fibroblas, sel endothel
serta amnion janin. Kadar yang tinggi dalam darah maternal serta dalam
cairan amnion diperkirakan berperan dalam adhesi interseluler selama
implantasi dan dalam mempertahankan adhesi plasenta pada desidua.
Deteksi fibronectin dalam cairan servikovaginal sebelum adanya ketuban
pecah adalah “marker” adanya partus prematurus iminen. Nilai > 50
ng/mL adalah positif (pemeriksaan dengan metode ELISA dan harus
menghindari kontaminasi dengan darah dan cairan ketuban). Goldenberg
dkk (2000) : pemeriksaan fibronectin bahkan pada kehamilan 8 – 22
minggu merupakan prediktor kuat untuk terjadinya persalinan preterm.
Lowe dkk (2004) pemeriksaan fibronectin pada kasus partus prematurus
iminen dapat menurunkan lama waktu tinggal di RS.31,35
e. Vaginosis bakterial
Vaginosis bakterial adalah bukan keadaan infeksi namun adalah satu
keadaan dimana flora vagina normal ( laktobasiluspenghasil hidrogen
peroksida) diganti dengan kuman-kuman anerobik (Gardnerella vaginalis,
spesies Mobiluncus dan Mycoplasmahominis). Vaginosis bakterial sering
dikaitkan dengan abortus spontan, persalinan preterm, KPD,
chorioamnionitis dan infeksi cairan amnion. Vaginosis bakterial
menyebabkan terjadinya persalinan preterm melalui mekanisme yang sama
dengan yang terjadi akibat infeksi dalam cairan amnion. Dari penelitian
yang ada, tak ada keraguan bahwa perubahan flora vagina yang normal
seperti vaginosis bakterial memiliki kaitan erat dengan persalinan preterm
spontan. Namun demikian, sampai saat ini skrining maupun terapi dari
kondisi tersebut terbukti tidak dapat mencegah terjadinya persalinan
preterm.
f. Infeksi traktus genitalia bagian bawah
42
Infeksi chlamydia trachomatis nampaknya tidak berperan dalam proses
persalinan preterm. Goepfert dkk (2002) angka kejadian pada pasien
dengan atau tampa infeksi chlaydia atau trichomonas adalah sama.
Ramsey dkk (2003) hapusan vagina dengan pengecatan gram pada
trimester kedua yang menghasilkan peningkatan rasio polimorfonuclear
dengan sel epitel adalah prediktif untuk terjadinya persalinan preterm
sebelum minggu ke 35. Knudtson dkk (2003) wanita tidak hamil yang
menderita endometritis kronis diluar kehamilan yang ditandai dengan sel
plasma, resiko terjadinya persalinan preterm meningkat 2.5 kali lipat.30,34
g. Penyakit Periodontal
Pasien hamil yang menderita periodontitis memiliki resiko mengalami
persalinan preterm 7.5 kali lipat. Goepfert dkk (2003) Persalinan preterm
sebelum usia kehamilan 32 minggu seringkali disertai dengan periodontitis
berat.
4. Penatalaksanaan kelahian preterm :
a. Rehidrasi dan tirah baring
b. Kortikosteroid
Diberikan untuk percepatan pematangan paru. Betamethasone 12 mg IM
tiap 24 jam selama 48 jam. Dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam selama
48 jam. Efek optimal terjadi 24 jam setelah pemberian terakhir mencapai
puncak dalam waktu 48 jam dan bertahan sampai 7 hari. Pemberian
ulangan kortikosteroid tak berguna oleh karena dapat mengganggu
perkembangan psikomotor janin.
c. Tokolitik :
Beta mimetik (ritodrine, terbutaline)
Magnesium sulfat : Pemberian harus diawasi dengan ketat dengan
pemeriksaan: reflek patela, frekuensi pernafasan, produksi urine.
Harus tersedia antidotum calcium gluconat 10 ml dalam larutan 10%
Indomethacine (Prostaglandine syntetase inhibitors) : Pemberian dapat
peroral atau per rektal. Dosis 50-100 mg diikuti dengan pemberian
selama 24 jam yang tak melebihi 200 mg. Peck dan Lutheran (2003)
43
pemberian Indomethacine selama 7 hari atau lebih pada kehamilan
<33 minggu tidak meningkatkan resiko medis pada neonatus.
Calcium channel blocker : Aktivitas miometrium berkaita langsung
dengan kalsium bebas dalam sitoplasma dan penurunan kadar kalsium
menyebabkan terhambatnya kontraksi uterus. King dkk (2003),
menyatakan bahwa Nifedipine adalah tokolitik yang lebih aman dan
lebih efektif dibandingkan beta-mimetik. Untuk maksud tokolitik,
Nifedipine jangan digunakan bersama dengan Magnesium Sulfat oleh
karena pemberian Nifedipine akan memperkuat efek blokade
neuromuskuler yang dapat mengganggu fungsi jantung dan paru.
Dosis Nifedipine : 20 mg peroral dilanjutkan dengan pemberian 10-
20mg p.o setiap 6 jam sampai kontraksi uterus hilang.
Atosiban : Kompetitif antagonis dari kontraksi uterus akibat oksitosin.
US FDA menolak penggunaan Atosiban dalam pencegahan persalinan
prematur oleh karena efektivitas dan keamanan bagi janin atau
neonatus meragukan.
d. Antibiotika
Terapi antibiotika pada kasus persalinan preterm diperkirakan oleh
sebabesar ahli tidak memberikan manfaat dalam menghambat persalinan
preterm. Pemberian antibiotika bermanfaat untuk mencegah infeksi GBS
pada neonatus. Terapi pilihan adalah pemberian Penicilline atau
Ampicilline. Clindamycin diberikan pada pasien yang alergi terhadap
penicilline.
44
BAB III
PEMBAHASAN
Endometriosis merupakan penyakit inflamasi kronik, dimana sel-sel
endometrium ditemukan di luar cavum uteri. Dimana nyeri panggul dan
infertilitas merupakan gejala utama dari penyakit ini. Pada jurnal ini dibahas
adanya beberapa persamaan pemeran antara endometriosis dan kelahiran preterm,
seperti mediator inflamasi, sitokin, dan kemokin. Sehingga diadakan penelitian
untuk membuktikan adanya korelasi antara endometriosis dan risiko terjadinya
kelahiran preterm pada wanita hamil.
Hormon androgen dan glukokortikoid memainkan peran yang penting
dalam fungsi endometrium (proliferasi, apoptosis, remodelling). Dan efek tersebut
diregulasikan oleh ekspresi lokal dari enzim aromatase dan 11-βHydroxisteroid
dehidrogenase (11-βHSD) yang pada akhirnya memperbesar peranan dari enzim-
enzim lokal tersebut di dalam fungsi endometrium. Ketidakseimbangan endokrin
yang diakibatkan hiperekspresi enzim aromatase dan 11-βHSD menyebabkan
disregulasi peristiwa imunitas lokal dan sebagai akibatnya terjadi reaksi inflamasi
yang abnormal. Sehingga menyebabkan adanya hipo atau hiper-aktivasi mediator
inflamasi yang mempengaruhi dinamika remodelling sel endometrium.
Hiperaktifitas dari jaringan inflamasi tersebut kemungkinan merupakan kunci
utama dari perubahan endometrium yang merugikan (endometriosis, hiperplasia
endometrium) dan juga hasil kehamilan yang merugikan (preeklampsia, kelahiran
preterm, dan IUGR)
Mendekati waktu persalinan, sitokin proinflamasi secara aktif melakukan
remodelling serviks, melemahkan dan memecah kulit ketuban serta mengaktivasi
kontraksi uterus, sehingga dapat terjadi pengeluaran janin dan juga plasenta.
Secara khusus sitokin inflamasi terlibat dalam kontraktilitas miometrium (TNF-α
dan IL-1β mempunyai efek yang sama seperti oksitosin terhadap endometrium,
mengingkatkan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 oleh sel-sel miometrium),
sedangkan IL-6 meregulasi ekspresi reseptor oksitosin di sel-sel miometrium;
45
ruptur selaput ketuban (IL-1 meningkatkan kadar MMP-9, kolagenasi dan
ekspresi prostaglandin serta penurunan kadar inhibitor jaringan yaitu MMP-2);
pematangan serviks (sitokin meningkatkan produksi dari MMP-1, MMP-3, MMp-
8, MM-9, catepsin S, COX-2 dan PGE2).
Hal diatas seharusnya terjadi pada saat kehamilan memasuki usia
kehamilan aterm. Namun pada wanita hamil dengan endometriosis terjadi proses
inflamasi kronik, dimana terjadi perubahan keseimbangan sitokin, yang
menentukan pergeseran pada kaskade produksi sitokin inflamasi yang terlibat
dalam peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan ruptur selaput
ketuban yang terjadi pada aborsi spontan dan kelahiran preterm.
Pada keadaan endometriosis juga terjadi, hipersekresi dari sitokin dan
kemokin inflamasi; peningkatan regulasi COX-2 dan kadar prostaglandin; dan
aktivasi MMP pada selaput ketuban, miometrium, serviks, dan pembuluh darah
perifer, yang mengakibatkan pematangan serviks, peningkatan kontraksi uterus
dan melemahnya selaput ketuban. Yang pada akhirnya akan berujung pada
terjadinya peningkatan risiko persalinan sebelum usia kehamilan aterm.
Beberapa mekanisme hormonal juga terlibat didalam kelahiran preterm
yang dapat dihubungkan dengan endometriosis. Ketidakseimbangan antara
estrogen dan progesteron adalah salah satunya. Hipersekresi dari estriol
merupakan akibat dari peningkatan sekresi androgen fetal adrenal oleh adanya
perubahan plasenta melalui enzim lokal aromatase. Wanita dengan kelahiran
peterm memiliki sekresi serum yang tinggi serta rasio E3/E2 yang lebih tinggi.
Penurunan PRB dan peningkatan ekspresi PRA juga merupakan bukti pada wanita
dengan kelahiran preterm, mendukung adanya penurunan aktivitas
antikontraktilitas dari progesteron, sehingga akan timbul kontraksi myometrium
sebelum usia kehamilan aterm. Kortisol dan hormon stress (CRH dan ACTH) juga
terlibat di dalam kelahiran preterm. Aktivasi dari HPA axis merupakan peristiwa
endokrin utama pada stress dan selama kehamilan kortisol di metabolisme
menjadi kortison oleh 11-βHSD plasenta, yang melindungi janin dari efek
kortisol. Pada kelahiran preterm plasenta dan selaput ketuban memiliki ekspresi
11-βHSD yang rendah sehingga memungkinkan adanya aktivasi peristiwa yang
46
berhubungan dengan stress. Peningkatan sekresi horman CRH plasenta
merupakan bukti yang jelas pada kelahiran preterm, yang menunjukkan bahwa
terdapat aktivasi awal dari plasenta oleh mekanisme stress. CRH dapat
mengaktifkan sekresi prostaglandin, kontraktilitas uterus, vasodilatasi dan fungsi
imun. Ketidakseimbangan pada mekanisme antara anti-inflamasi dan pro-
inflamasi pada uterus dan plasenta merupakan peristiwa patogen yang mungkin
terjadi pada kelahiran preterm.
Korelasi antara endometriosis dan kelahiran preterm ditunjukkan oleh
beberapa penelitian retrospektif pada jurnal ini. Endometriosis pada kehamilan
kemungkinan dapat dihubungkan dengan hasil kehamilan yang buruk.
Preeklampsia, IUGR dan kalahiran preterm kemungkinan dapat dikorelasikan
dengan endometriosis.
Penilitian dari Skandinavia telah dilakukan terhadap sekelompok besar
wanita dengan riwayat endometriosis. Wanita-wanita dengan riwayat
endometriosis memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami kelahiran preterm,
dimana keadaan inflamasi kronik endometriosis kemungkinan mengalami korelasi
dengan kelahiran preterm.
Pada penelitian retrospektif kohort, peningkatan resiko kelahiran preterm
telah dilaporkan pada beberapa wanita dengan endometrioma yang menjalani
ART (Assisted Reproductive Technology), yang menunjukkan bahwa
endometrium yang abnormal dan pembentukan desidua yang tidak baik dapat
merubah proses pembentukan plasenta.
Penelitian case control juga menunjukkan adanya korelasi anatara
kelahiran preterm dan adenomiosis, begitu juga terhadap wanita dengan
infertilitas yang bersifat idiopatik. Ekspresi endometrium yang tidak biasa dari
neurohormon atau growth factor serta angiogenesis yang terganggu telah
ditemukan dapat menentukan pembentukan plasenta dan fungsi desidua yang
abnormal.
Kesimpulannya, kondisi endometrium dapat menentukan kualitas
implantasi dan perkembangan plasenta serta mempengaruhi hasil dari kehamilan.
47
Sistem imunoendokrin sangat penting bagi fungsi endometrium yang normal,
dimana hormon seks steroid, neurohormon, sitokin dan growth factor
berkontribusi dalam proses remodelling endometrium dengan menginduksi
perubahan di membran basal, angiogenesis dan jalur inflamasi. Di lain pihak, pada
saat kehamilan, interaksi trofoblas-desidua dipengaruhi oleh suatu sistem
imunoendokrin, yang meliputi pemeran yang sama (hormon seks steroid,
neurohormon, sitokin dan growth factor) dan mungkin dapat mempengaruhi
perkembangan kehamilan. Keadaan inflamasi yang berlebihan dapat berujung
pada kekacauan jalur imunoendokrin endometrium yang pada akhirnya dapat
menyebabkan endometriosis; pola ini kemungkinan dapat mempengaruhi interaksi
desidua trofoblas dan mengaktivasi mekanisme yang dapat menyebabkan
kelahiran preterm. Sehingga dengan mempertimbangkan kesehatan wanita,
seorang pasien infertil dengan endometriosis harus lebih diawasi apabila dia
hamil. Resiko kelahiran preterm pada wanita ini harus dipertimbangkan walaupun
penelitian yang lebih jauh dibutuhkan untuk membuktikan kebenaran didalam
aplikasi nyata.
48
BAB IV
KESIMPULAN
1. Endometriosis adalah penyakit inflamasi kronik yang mempengaruhi
kesehatan wanita, dimana nyeri dan infertilitas merupakan gejala utama yang
disebabkan oleh disfungsi hormonal atau gangguan imun yang menyebabkan
kerusakan di endometrium.
2. Terdapat mekanisme patofisiologi yang hampir sama antara endometriosis
dan kelahiran preterm: hormon, sitokin, neurohormon dan growth factor
berinteraksi dalam mempengaruhi sekresi prostaglandin dan ekstraseluler
matriks yang mengaktifkan proses inflamasi di dalam membran plasenta dan
endometrium.
3. Molekul-molekul dan mekanisme yang sama dapat memberikan bukti bahwa
kelahiran preterm adalah hasil yang sering terjadi pada pasien hamil dengan
endometriosis.
4. Keadaan inflamasi kronik pada penderita endometriosis di daerah panggul
dan organ-organ di sekitarnya, dapat menginduksi kehamilan sehingga terjadi
kelahiran preterm.
5. Keadaan inflamasi kronik tersebut dapat mengakibatkan peningkatan
kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan ruptur selaput ketuban yang
terjadi pada aborsi spontan dan kelahiran preterm.
6. Kondisi endometrium dapat menentukan kualitas implantasi dan
perkembangan plasenta serta mempengaruhi hasil dari kehamilan, interaksi
trofoblas-desidua dipengaruhi oleh suatu sistem imunoendokrin, keadaan
inflamasi yang berlebihan dapat berujung pada kekacauan jalur
imunoendokrin endometrium yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kelahiran preterm.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. BIOMOLEKULAR
2. Prawirohardjo, S. 2007. Ilmu Kandungan. P.T. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta. Hal 104 – 124, 338 - 345.
3. Moore, Keith L. 2006. Clinically Oriented Anatomy. 5the d.Williams &
Wilkins.Baltimore.
4. Winkjosastro, Hanifa, dkk. 2005. Tumor Ovarium Neoplatik Jinak, dalam
Ilmu kebidanan, edisi keenam. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 347-366.
5. Junquiera L.C., Carneiro J. 2003. Basic Histology, 10th ed. Lange,
New York.
6. Eroschenko V.P. 2005. diFiore’s Atlas of Histology, 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins, Baltomore.
7. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC
8. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam :
Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi
Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia (KSERI),
Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23.
9. Prabowo, Raden P. Endometriosis. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Edisi Ke-2, Jakarta 2005; 314-27.
10. Manuaba, Ida Bagus G. Endometriosis. Dalam : Manuaba, editor. Kapita
Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta 2001; 526-32.
11. Mounsey A, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of
Endometriosis. Dalam : American Academy of Family Physician 2006, Vol.
74, No. 4; 594-602.
12. Bulun SE. Mechanisms of Disease Endometriosis. Dalam : The New
England Journal of Medicine 2009, Vol. 360, No. 3; 268-79.
50
13. Olive DL, Pritts EA. Treatment Endometriosis. Dalam : Wood AJ, editor.
The New England Journal of Medicine 2001, Vol. 345, No. 4; 266-75.
14. Moore JG. Endometriosis dan Adenomiosis. Dalam : Christina Y, editor.
Esensial Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Hipokrates, Edisi Ke-2,
Jakarta 2001; 401-9.
15. Taber B. Endometriosis. Dalam : Melfiawati, editor. Kapita Selekta Obstetri
dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1994; 200-5.
16. Pernoll ML, 10th ed. Benson & Pernoll’s Handbook of Obstetrics &
Gynecology. USA: McGraw-Hill; 2001.p.755-66.
17. Edmonds DK, 7th ed. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynecology.
London: Blackwell; 2007.p.430-9.
18. Lewis V. Reproductive Endocrinology & Infertility. Texas: Landes;
2007.p.84-8.
19. Wiknjosastro H, edisi kedua. Ilmu Kandungan. Jakarta: YBP-SP;
1999.p.314-27.
20. Fortner KB eds, 3rd ed. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.chap.34.
21. DeCherney AH eds, 10th ed. Current Diagnostic & Treatment Obstetrics &
Gynecology. USA: McGraw-Hill; 2007.chap.43.
22. Hohenhaus MH. Endometriosis In: McGarry KA, Tong IL, 1st ed. The 5
Minute Consult clinical Companion to Women’s Health. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.chap.40.
23. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan ed III, cet.
VII, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2005; 125,
180-2, 312-7.
24. Rompas J. Pengelolaan Persalinan Prematur. Bagian/SMF Obstetri
Ginekologi FK UNSRAT/ RSUP Manado. 2004.
25. Dewi J, Rastini A. Fetal Fibronectin Sebagai Prediktor Partus Prematurus.
Lab PK RSU Dr Saiful Anwar / FK UNBRAW Malang. 2007.
51