79
Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 Mei 2011 Page 1

Jurnal Inspirasi Vol 2 No 2 Mei 2011

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 1

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 2

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

“MEWUJUDKAN NILAI KEMANUSIAAN MELALUI PENDIDIKAN”

ISSN: 1978-1563

SMA MUHAMMADIYAH 1 GRESIK MUHIPress

2011

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 3

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

ISSN: 1978-1563

Jurnal INSPIRASI adalah sebuah publikasi ilmiah yang diterbitkan oleh bidang HUMAS SMA Muhammadiyah 1 Gresik untuk memfasilitasi dan mendukung pengembangan pemikiran insan akademik dalam pendidikan. Misi yang diemban dalam penerbitan jurnal ini adalah:

1. Membudayakan budaya tulis di kalangan pelaku pendidikan sehingga dunia akademik akan semakin kaya dengan khasanah intelektual.

2. Mengembangkan wacana pendidikan oleh guru, kepada sesama guru, dan pelaku pendidikan lain,

3. Memperkuat gerakan ilmu dalam lembaga pendidikan.

Diterbitkan oleh Bidang HUMAS SMA Muhammadiyah 1 Gresik Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Tim Pengembangan Mutu Sekolah Muhammadiyah Nasional Jl. KH. Kholil 90 Gresik 61115 – Jawa Timur Telp. 031-3981310, Fax 031-3991342 Versi digital (e-journal) klik: www.smam1gresik.sch.id email: [email protected]

Isi dari jurnal ini menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari penulis yang bersangkutan dan tidak mewakili pandangan

institusional dari SMA Muhammadiyah 1 Gresik

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 4

Dewan Redaksi: Pengarah: Sukari, S.Pd Penanggungjawab: Khusnul Khuluq, M.Pd. Editor: Mustakim, S.S., M.Si. Redaktur Pelaksana: Ahmad Faizin Karimi

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 5

DAFTAR ISI

PILIH NILAI ATAU MORAL? Dian Berkah ………………………………………………………………. 1 PENGEMBANGAN NILAI KEMANUSIAAN MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH Mustakim ……………………………………………………………………. 6 KESEHATAN ORGANISASI Uripan Nada ……………………………………………………………….. 13 RELEVANSI KURIKULUM DAN MUTU PENDIDIKAN Enik Marweni …………………………………………………………….. 20 FENOMENA KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN Taufiqullah A. Ahmady …………………………………………….. 28 NILAI-NILAI DASAR KEMANUSIAAN Khusnul Khuluq ………………………………………………………… 38 PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Mudhoffar Basuni ………………………………………………………. 46 KEYAKINAN LAMA VS KEYAKINAN BARU Dewi Musdalifah …………………………………………………………. 60 MENUJU PENDIDIKAN BERCORAK HUMANIS DENGAN EMPATI DAN KEPERCAYAAN Ahmad Faizin Karimi …………………………………………………. 66

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 6

Dian Berkah, M.HI. Pengajar ISMUBA SMA Muhammadiyah

1 Gresik, dan Universitas Muhammadiyah Surabaya

PILIIH NILAI ATAU MORAL? (II-2-11-Berkah)

Abstract:

It is indirectly, Indonesia's education shows its success. This is evident, with the value and percentage of high school students / MA from 2004 until 2009 continually increased. But the question is, if success is only measured by value? Honestly, that success is worthy of consideration, because the education is not only touches on the cognitive only, but also in psychomotor and affective domains. In the affective realm of reason, morality and moral issues addressed.

Keywords: Value, Morality

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 7

erulang-ulang pemberitaan yang mencoreng dunia pendidikan. Misalnya, sebuah video mesum pelajar yang diperankan oleh siswa-siswi SMK dan SMA di Kota

Mangga, Probolinggo (JP 16/12/09). Mungkin, ini hanya contoh kecil -setelah peristiwa serupa melanda Kota Gresik- yang berhasil terungkap. Bahkan tidak menuntut kemungkinan perilaku tidak senonoh tersebut akan terulang di tempat lain. Terutama, dengan melihat negara ini terus-menerus mengalami degradasi moral, yang berdampak kepada para pelajar, bahkan tidak sedikit dari mereka (baca:pelajar) yang tidak lagi memiliki rasa malu untuk melakukan perbuatan buruk tersebut, sekalipun di tempat yang memiliki nilai religius seperti masjid. Seharusnya, contoh seperti ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah, apalagi perbuatan ini terjadi di tengah-tengah kesibukan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menyelesaikan polemik ujian nasional (unas). Lebih jelasnya, bagi tenaga pendidik (baca: guru), tanpa kecuali guru agama yang secara langsung mengajarkan nilai-nilai religius atau etika kepada peserta didik. Karena jika melihat ke belakang, ternyata pemerintah sudah meningkatkan kualitas pembelajaran agama Islam di sekolah dengan melakukan pengembangan kurikulum yang diharapkan lebih menekankan pada pengembangan peserta didik lewat fenomena bakat, minat serta dukungan sumber daya lingkungan, sehingga mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan daerah (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 7). Bahkan Departemen agama (Depag) pun tidak mau ketinggalan dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk meningkatkan kualitas guru agama melalui program sertifikasi. Memang secara tidak langsung, pendidikan Indonesia menunjukan keberhasilannya. Hal ini terbukti, dengan nilai dan persentase siswa SMA/MA dari tahun 2004 sampai tahun 2009 terus-menerus mengalami peningkatan (lihat JP 16/12/09). Namun yang menjadi pertanyaan, apakah keberhasilan itu hanya diukur dengan nilai? Secara jujur, keberhasilan itu patut dipertimbangkan, karena dalam pendidikan tidak hanya

B

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 8

menyentuh pada ranah kognitif semata, tetapi juga pada ranah psikomotorik dan afektif. Pada ranah afektif itulah, masalah moral dan akhlak diperhatikan. Bahkan, lebih menyakitkan lagi, masalah ini muncul di tengah-tengah kesibukan pemerintah (baca: Mendiknas) yang terus-menerus meningkatkan kualitas tenaga pendidik melalui jalur sertifikasi. Sepertinya, masalah ini tidak akan menuai titik temu, jika setiap usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperhatikan pendidikan tidak berbanding lurus dengan tujuan pendidikan secara konkrit serta tidak menentukan kepada skala prioritas yang lebih melihat kepada asas kebutuhan mendesak dunia pendidikan dewasa ini. Pada titik ini-lah, keberanian pemerintah ditantang untuk selalu mengevaluasi proses pendidikan secara intensif dan jujur dari masalah-masalah yang ada. Dalam hal ini, dengan meminjam jargon Yusuf al-Qardlawy (2002) tentang fiqh prioritas. Artinya pemerintah harus cepat menemukan skala prioritas dari setiap masalah yang terus-menerus menghantui dunia pendidikan. Hal ini berdasar dengan segala usaha pemerintah dalam memperbaiki setiap linih pendidikan, mulai dari hardware hingga software seperti kurikulum, tenaga pendidik, hingga sarana-prasarana. Walau demikian, bukan berarti masalah ini hanya menjadi PR atau pekerjaan bagi pemerintah saja, tetapi juga menuntut keterlibatan beberapa stake holder pendidikan, diantaranya. Pertama, guru selaku tenaga pendidik- terutama bagi mereka (baca: guru) yang telah mendapat tunjangan sertifikasi- untuk menjadikan contoh buruk (video mesum pelajar ) bukan hanya mengomentarinya, tetapi juga perlu menjadikan pelajaran yang sangat berharga, sehingga dari titik itu mereka segera menentukan langkah-langkah baru yang lebih konkrit dan strategis, sebagai konsekuensi logis untuk selalu meningkatkan kualitas dan perhatiannya secara langsung kepada peserta didik. Kedua adalah orang tua, disadari atau tidak, masalah tersebut tidak lepas dari mindset atau cara pandang orang tua yang lebih

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 9

mengarahkan anak-anaknya sukses dalam pelajaran di sekolah, sehingga anak-anak hanya disibukan dengan pelajaran tambahan yang mengarah pada aspek kognitif saja. Mungkin, di sinilah letak kekeliruan orang tua, yang terkadang tidak pernah menyuruh anak-anaknya untuk mendalami pelajaran agama seperti mengikuti taman bacaan al-Quran (TPA) dan yang sejenisnya. Padahal, jika meminjam pandangan Hamka dalam “Lembaga Hidup” (2001: 209) bahwa rumah tangga (baca: Keluarga) itulah tempat kembali, tempat mengumpulkan kekuatan untuk menyambung perjuangan dan di dalam lingkungan keluargalah dipelajari pokok-pokok dan dasar-dasar yang pertama pergaulan hidup dan masyarakat. Oleh karena itu, peran keluarga sangatlah dibutuhkan dan perlu mendapat perhatian yang besar bagi segenap masyarakat, sebagai salah satu atmosfir academic pertama dalam pendidikan, sehingga peserta didik benar-benar memiliki ketangguhan dan kematangan dalam berfikir, bercakap, dan berbuat yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan masyarakat. Potensi inilah kiranya yang seharusnya menjadi perhatian bagi segenap orang-tua untuk mempersiapkan diri dan bersungguh-sungguh dalam mendidik anak (calon peserta didik atau peserta didik) di lingkungan keluarga yang akan berlanjut kepada pendidikan mereka (baca: peserta didik) di lingkungan sekolah. Bahkan peran ini sangat bermanfaat bagi sekolah-sekolah yang selama ini masih memiliki kendala dalam menangani peserta didik. Walau demikian, kerja sama setiap sekolah pun diharapkan untuk memberikan pamahaman kepada wali murid akan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan, khususnya, bagi mereka (baca: wali murid) yang belum memahami dan menyadari akan potensi besar tersebut. Ketiga adalah masyarakat, secara tidak langsung, keterlibatan masyarakat tidak dapat diabaikan, terutama sebagai pengawas dalam meminimalisir masalah moral tersebut, sebagaimana yang

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 10

terjadi dibeberapa daerah yang mulai berani memberikan sanksi kepada mereka yang berbuat tidak senonoh itu. Dengan demikian, jika beberapa stake holder di atas mampu menjalankan peran pentingnya dalam dunia pendidikan secara bersamaan, pasti akan membuahkan sebuah keberhasilan. Pada akhirnya akan kembali kepada mereka semua, mana yang lebih didahulukan apakah nilai atau moral? Mudah-mudahan fenomena ini akan segera berakhir, semoga.[]

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 11

Mustakim, S.S., M.Si. Pengajar Sejarah di SMA

Muhammadiyah 1 Gresik, penulis dan praktisi pembelajaran Sejarah Lokal

PENGEMBANGAN NILAI KEMANUSIAAN MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH

(II-2-11-Mustakim)

Abstract: The main problem of history education is the fact that more people pay attention to the material and the discipline of history than the interests of learners. Frequently asked questions is how much knowledge of history for students, not how the personality of a student after learning of history? Does personality learners become better as a citizen, a citizen of the nation, and even citizens of the world? In fact, the competence of learners in the history of education can take the form of knowledge, attitudes, skills, interests, habits with respect to the expected quality of humanitarian

Keyword: Learning History, Humanity,

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 12

ebagai agen perubahan sosial, pendidikan sejarah yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi, dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara

dinamis dan proaktif dalam pengembangan nilai kemanusiaan. Pendidikan sejarah diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan manusia, baik pada tataran teoritis maupun praktis. Permasalahan utama pendidikan sejarah adalah kenyataan bahwa orang lebih banyak memperhatikan materi dan disipilin sejarah dibandingkan dengan kepentingan peserta didik. Pertanyaan yang sering diajukan adalah berapa jauh pengetahuan sejarah yang dimiliki peserta didik, bukan bagaimana kepribadian seorang peserta didik setelah belajar sejarah? Apakah kepribadian peserta didik menjadi semakin baik sebagai seorang warga masyarakat, warga bangsa, dan bahkan warga dunia? Pertanyaan ini jarang terdengar dan kalau pun terdengar suaranya samar-samar saja. Pertanyaan mengenai pengetahuan sejarah lebih dominan dibandingkan pertanyaan tentang peserta didik. Lebih dari itu banyak kalangan mempertanyakan kemampuan pendidikan sejarah dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Peserta Didik dan Potensi Kemanusiaan Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi kemanusiaan yang memerlukan pengembangan. Potensi kemanusiaan itu beragam dan seorang peserta didik memiliki kemungkinan pengembangan potensi kemanusiaan yang jauh lebih besar dibandingan orang dewasa. Pengembangan potensi yang dilakukan oleh sistem pendidikan persekolahan banyak menentukan kehidupan dan kemampuan mereka mengembangkan potensi kemanusiaan yang mereka miliki, artinya potensi kemanusiaan yang telah dikembangkan melalui sistem pendidikan persekolahan merupakan dasar bagi pengembangan potensi kemanusiaan berikutnya. (Hamid Hasan, 2007: 3).

S

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 13

Manusia diciptakan dengan berbagai potensi. Potensi yang paling banyak digauli dan dikembangkan dalam dunia pendidikan adalah potensi intelektual. Selain potensi intetektual manusia memiliki potensi emosional, potensi berkomunikasi melalui simbol, potensi minat, potensi spiritual, potensi bermasyarakat, potensi kebudayaan, potensi ekonomi, dan sebagainya. Pendidikan harus berhubungan dengan potensi dalam berbagai dimensi kemanusiaan tersebut. Pembatasan selama ini hanya pada potensi intelektual yang didasarkan pada filosofi esensialisme telah menjadi pendidikan, termasuk pendidikan sejarah, hanya memperhatikan dimensi intelektual semata. Pendidikan sejarah harus mampu menggunakan berbagai filosofi pendidikan sehingga mampu mengembangkan berbagai dimensi intelektual peserta didik, mendekatkan materi dan proses pembelajaran dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadikan masyarakat sekitar sebagai objek studi yang langsung dapat diamati. Sesuai dengan karakteristik materinya, materi pendidikan sejarah memiliki kemampuan mengembangkan beberapa dimensi intelektual yang dikemukakan oleh Gardner. Dimensi “linguistic intelligence, spatial intelligence, social intelligence, dan personal intelligence” adalah dimensi intelektual yang dapat dikembangkan melalui pendidikan sejarah. Materi yang tedapat dalam pendidikan sejarah memiliki kemmpuan untuk mengembangkan dimensi intelektual yang dimaksudkan. Revitalisasi pendidikan sejarah haruslah terjadi dan pendidikan sejarah harus menempatkan dirinya sebagai pendidikan yang memiliki tugas untuk mengembangkan dimensi inteligensi yang dikemukanan. Kebijakan mengenai kurikulum di Indonesia pada masa belakangan ini mengalami perubahan yang sangat mendasar. Jika pada masa sebelumnya berada di tangan pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional, maka pada saat sekarang ini untuk menentukan kurikulum berbagi antara pemerintah pusat dengan satuan pendidikan. Pemerintah pusat tidak berbagi

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 14

dengan pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten, tetapi langsung pada satuan pendidikan yang akan melaksanakan kurikulum tersebut. Memang benar kontrol dari pemerintah daerah tidak lepas sama sekai tetapi sifatnya adalah koordinatif. Suatu KTSP hanya dapat dinyatakan berlaku di suatu satuan pendidikan apabila ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah. Disiniah pengembang kurikulum sejarah ditingkat sekolah memiliki peran penting untuk memasukkan pesan-pesan kemanusiaan dalam KTSP, sehingga pendidikan sejarah benar memiliki kontribusi terhadap pembangunan nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini pengembang kurikulum tingkat satuan pendidikan diharapkan mampu memilih aspek-aspek lokal yang dapat di masukkan dalam KTSP. Persoalannya adalah rendahnya kualitas guru sejarah di banyak sekolah, karena lemahnya metodologi sejarah yang dikuasai, apalagi banyak guru sejarah yang bukan dari disiplin sejarah. Disinilah persoalan pengembangan nilai kemanusiaan akan menjadi semakin rumit. Secara tradisional pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa masa lalu kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah adalah wahana bagi pewarisan niai-nilai kemanusiaan dan keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan tersebut. (Mustakim, 2010: vii). Makna pendidikan sejarah yang demikian tentu saja penting. Kehidupan bangsa masa kini adalah kelanjutan dari kehidupan bangsa masa lalu. Oleh karena itu sulit bagi generasi muda bangsa untuk dapat hidup sebagai bangsa jika ia tidak mengenal prestasi-prestasi besar yang telah dicapai oleh bangsanya. Karenanya segala prestasi yang pernah dicapai bangsa ini hendaknya diketahui oleh anak didik, sehingga pendidikan sejarah akan memiliki manfaat praktis, dimana peserta didik dapat mencontoh cara-cara yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya dalam mencapai prestasi itu, tentunya dengan penyempurnaan sesuai dengan perkembangan zaman. Sayangnya, makna yang demikian

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 15

hanya memberi satu sisi dari warisan kehidupan bangsa dan melupakan sisi lain yang tidak cemerlang, menggambarkan kelemahan atau mungkin merupakan lembaran hitam dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa. Pengenalan pada kedua sisi tersebut akan menunjukkan jati diri bangsa dan ketika dikaitkan dengan kebermaknaan kehidupan masa kini, maka generasi muda dapat mengambil pelajaran yang lebih baik dari sejarah. Suda pada saatnya pendidikan sejarah tidak boleh hanya menjadi pewarisan nilai kecemerlangan tetapi juga pelajaran dari kegagalan dan perilaku buruk bangsa. Kalau nilai-nilai kegagalan jugau diperhatikan dalam pendidikan sejarah, maka tidak ada seseorang yang terperosok ke dalam jurang untuk kedua kalinya. Makna lain pendidikan sejarah adalah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Dalam hal ini pendidikan sejarah diposisikan sebagai pendidikan tentang cara berpikir keilmuan, pemahaman berbagai peristiwa sejarah yang menurut kategori ilmu adalah peristiwa penting, dan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah. Dengan demikian hasil didikan sejarah dapat melahirkan manusia yang siap pakai dan siap tempur dalam mengatasi persoalan bangsa ini. Lebih dari itu hasil didikan sejarah juga mampu melihat masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, serta dapat memposisikan diri dalam kehidupan bangsa ini dengan mengukir sejarah, sebaliknya tidak hanya larut dalam arus sejarah dan tenggelam dalam pusaran sejarah. Tujuan pendidikan sejarah tidak hanya untuk menguasai kompetensi atau kemampuan yang dianggap penting hanya oleh ilmu sejarah semata, tetapi dianggap penting sebagai kemampuan yang dapat digunakan dalam kehidupan pribadi

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 16

peserta didik dan dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara. Dalam kontek semacam itu, maka bukanlah suatu hal yang aneh jika pendidikan sejarah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan membaca, mematuhi aturan, disiplin, dan berbagai aspek kehidupan yang penuh nilai. Tentu saja tujuan seperti mengembangkan kemampuan berpikir sejarah, membangun kesadaran akan waktu, pemahaman terhadap peristiwa sejarah, berpikir kritis terhadap sumber/bacaan dan sebagainya dapat pula menjadi tujuan pendidikan sejarah di semua jenjang pendidikan. Penutup

Kompetensi peserta didik dalam pendidikan sejarah dapat berbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, minat, kebiasaan yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang diharapkan. Adapun yang diniai dalam asesmen pendidikan sejarah antara lain: 1) pengetahuan mengenai peristiwa sejarah lolal dan nasional (paralelisme sejarah); 2) kemampuan mengkomu-nikasikan pemahamannya mengenai peristiwa sejarah dalam bahasa lisan dan tulisan; 3) kemampuan menarik pelajaran/nilai dari suatu peristiwa sejarah; 4) kemampuan menerapkan pelajaran/nilai yang dipelajari dari peristiwa sejarah dalam kehidupan sehari-hari masa kini; 5) sensitivitas dalam masalah sosial dan kemampuan menggunakan pelajaran dari peristiwa sejarah untuk solusi masalah-masalah sosial masa kini; 6) kemampuan melakukan kritik terhadap sumber sejarah; 7) kemampuan berpikir historis dalam mengkaji berbagai peristiwa sejarah (Kuntowijoyo, 2003: 23-91), seperti sejarah pedesaan, kota, wanita, agama, pemikiran, biografi, politik, sosial, budaya, ekonomi yang timbul dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan bangsa; dan 8) memiliki semangat kebangsaan dan menerapkannya dalam kehidupan kebangsaan.[]

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 17

DAFTAR PUSTAKA

Hasan. Strategi Pembelajaran Sejarah pada Era Otonomi Daerah sebagai Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Makalah, 2003).

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah, edisi kedua. Jogjakarta: Tiawa Wacana, 2003.

Mustakim. Gresik dalam Lintasan Lima Zaman. Surabaya: Pustaka Eureka, 2010.

S. Hamid Hasan. Pendidikan Sejarah untuk Pengembangan Potensi Kemanusiaan Peserta Didik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2007.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 18

Drs. Ec. Uripan Nada, M.Pd. Pengajar Ekonomi di SMA

Muhammadiyah 1 Gresik, Sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Gresik

KESEHATAN ORGANISASI (II-2-11-Uripan)

Abstract:

Predicting the problem of chronic and acute symptoms is necessary. In organizational situations, the same pattern of thought would apply a team, a family, a community, a persyarikatan, a school and / or any other relationship. Try to learn to identify problems, will be found in chronic and acute problems, we observe the soul, mind, body and heart.

Keywords: educational organization, public healthy

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 19

aya punya pengalaman menarik tepat tanggal 23 April 2011 Jam 10.00 WIB Ibu saya melaksanakan operasi besar karena gangguan usus. Disaat berlangsungnya operasi di

ruang bedah saya dipanggil dokter dan dengan bergegas sekaligus mengenakan pakaian khusus masuk keruang tsb. Diperlihatkan bagian dalam perut Ibu yang keluar dan perintah dokter “naik sedikit pak biar jelas” selanjutnya dokter memasukkan tangannya ke dalam perut Ibu dan dokter berkata “ini pak sumbernya“ jelas terlihat karena dalam jarak 40 cm. Dalam ruang bedah itu ada persetujuan untuk menyetujui salah satu organ tubuh dihilangkan. Setelah itu saya keluar dengan tegar namun dibenak saya timbul pertanyaan, mengapa kok dipotong dan diambil ? Dan saat dokter keluar setelah 4 jam berlangsung saya bertanya pada dokter. Dok mengapa Bapak harus mengambil itu, kok tidak membersihkan saja?

Dengan tenang menjelaskan yang intinya ‘Pada tahapan yang lebih awal kita bisa melakukan hal itu, tetapi setelah lama usus tersumbat dan akan mengganggu fungsi yang selanjutnya menyumbat organ secara menyeluruh “Bapak, ada dua jenis masalah yang terdapat dalam fisik manusia yaitu masalah kronis dan akut. Kronis berarti mendasar, merupakan penyebab, terus berlangsung. Dan Akut berarti menyakitkan, gejala tampak jelas, melemahkan.

Dari penjelasan singkat setelah kami hubungkan manusia dengan organisasi. Seperti juga manusia, organisasi bisa memiliki masalah-masalah kronis yang belum muncul menjadi akut. Mengatasi masalah-masalah akut bisa menghalangi kita untuk mengatasi kondisi kronis memiliki gejala-gejala akut. Karena gejala akut pertama kali, karena kronis sebelumnya tidak terlihat.

Hal yang sama juga terjadi di organisasi. Anda bisa mengalami masalah kronis didalam sebuah organisasi, namun tidak menunjukkan tanda-tanda akut apapun, karena beberapa organisasi tidak berkompetisi dalam sebuah pasar global yang

S

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 20

ketat. Mereka berkompitisi secara lokal atau didalam sebuah pasar yang terproteksi. Mereka mungkin mencapai keberhasilan secara finansial kadang-kadang juga amat berhasil tetapi, seperti yang Anda ketahui, sukses itu relatif. Masalah yang dihadapi para pesaing organisasi tersebut mungkin lebih buruk lagi, jadi mengapa kami berubah ?

Memprediksi masalah kronis dan gejala akutnya adalah perlu. Dalam situasi organisasi, pola pemikiran yang sama akan berlaku sebuah tim, sebuah keluarga, sebuah masyarakat, sebuah persyarikatan, sebuah sekolah dan atau hubungan yang lain apapun. Coba belajar mengidentifikasi masalah, akan ditemukan masalah kronis dan akut, Kita amati jiwa, pikiran, tubuh dan hati.

Pertama kita mengamati jiwa. Seorang manusia jiwanya harus utuh, kelompokpun demikian. Jika jiwa atau nurani terus menerus diabaikan di seluruh organisasi, masalah apa yang timbul ?.

Apa yang akan terjadi di dalam sebuah kelompok jika orang-orang diperlakukan dengan cara-cara yang berlawanan dengan hati nurani mereka ?. Bukankah sudah jelas kepercayaan akan hilang ? Tingkat kepercayaan yang rendah adalah masalah kronis yang pertama, yang dihadapi oleh semua organisasi. Dan bagaimana dengan manifestasi akutnya ?.

Organisasi dengan tingkat kepercayaan yang rendah namun beroperasi di kondisi pasar yang bersaing sengit akan ditandai dengan gejala-gejala akut yang menyakitkan yakni saling menikam dari belakang, pertengkaran, perasaan menjadi korban dan tak berdaya (viktinisme), sikap defensif, menyembunyikan informasi, dan komunikasi yang bersifat protektif dan defensif.

Kedua, masalah kronis apa yang timbul saat Anda mengabaikan pikiran atau visi di dalam sebuah organisasi. Anda tidak akan memilki visi bersama atau sistim bersama. Dalam konsisi ini, perilaku atau gejala yang bisa Anda lihat ? Bahwa orang-orang

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 21

bertindak dengan berbagai agenda tersembunyi, bermain politik, dan mempergunakan kriteria yang berbeda di dalam pengambilan keputusan. Anda akan melihat sebuah budaya yang ambigu dan kacau balau.

Ketiga, masalah apa yang timbul di dalam sebuah organisasi jika didalamnya tersebar secara luas sikap mengabaikan disiplin dalam tubuh organisasi (struktur, sistem, proses)? Dengan kata lain, kondisi apa yang Anda perkirakan akan muncul gejala akut apabila tidak ada dukungan pelaksanaan atau sistim dibalik prioritas-prioritas yang harus dicapai organisasi?. Disitu akan tampak tiada keselarasan, atau disiplin yang dibangun ke dalam struktur, sistim, proses dan budaya organisasi.

Bila kodrat manusia yang dimiliki oleh pemimpin tidak lengkap dan tidak akurat, sistem-sistem yang mereka rancang termasuk komunikasi, perekrutan, pemilihan, penempatan, akuntabilitas, imbalan dan konpensasi, promosi, pelatihan dan pengembangan, serta sistim informasi tidak akan bisa memunculkan potensi terbesar dari orang-orang didalamnya. Baik individu maupun organisasi. Hal ini akan menciptakan sebuah ketidak selarasan yang parah baik dengan pasar maupun dengan para pelanggan dan pemasok luar organisasi tsb. Ketidak selarasan akan muncul sebuah bentuk. Ia akan ikut menurunkan tingkat kepercayaan dan menimbulkan persaingan. Peraturan akan menyisihkan akal sehat manusia karena saat segala hal tidak bisa ditangani.

Keempat, Apa yang terjadi bila mengabaikan hati ?. Bila yang terjadi jika tidak ada gairah, tidak ada keterkaitan emosional terhadap tujuan atau pekerjaan, tidak ada antusiasme dari diri sendiri untuk melakukan sesuatu dengan sukarela atau komitmen dalam organisasi? Hasilnya adalah sebuah ketidakberdayaan (dispowerment) yang parah terhadap orang-orang didalam organisasi. Seluruh budaya organisasi akan mengalir tanpa harapan, gejala akut bisa dilihat ?. Anda akan menemukan banyak sekali orang yang ngobyek,

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 22

melamun, mencari-cari pelarian dari kenyataan sehari-hari, marah, takut, apatis dan pura-pura patuh. Akibat dari masalah-masalah kronis dan gejala yang ditumbulkan adalah rasa sakit akut yang timbul karena kegagalan di pasar, arus kas negatif, kualitas yang rendah, membengkaknya biaya, ketidak luwesan dan merajalelanya sikap saling tuding, budaya saling menyalahkan dan bukan budaya saling bertanggung jawab. Kembali kepada Ibu saya yang di operasi dua hari berjalan merasakan nyeri pada anggota badan terutama pada bagian yang dioperasi. Saya mencoba bertanya pada Pak Dokter. Dan beliau menjawab bahwa kondisi fisik manusia. Sebagai gambaran Nyeri adalah keadaan yang biasa terjadi pada lansia, penilaian nyeri berhubungan dengan keadaan kronis (misalnya,osteroarhritis) dan akut (misalnya kanker, operasi dll). Dalam kamus kesehatan yang dikatakan Nyeri adalah sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, rasa nyeri yang dirasakan oleh tiap individu dapat berbeda-beda tergantung dari ambang dan skala nyeri yang dirasakan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan simultan dan subyektif pada setiap individu. Nyeri biasanya ditunjukkan dengan lamanya nyeri (akut atau kronis) Dan nyeri akut digambarkan sebagai efek dari cedera, operasi, atau kerusakan jaringan. Dalam organisasi nyeri diartikan sebagai kepekaan indivudual yang terkait dengan jalannya organisasi yang berdampak terhadap individu itu sendiri. Organisasi yang sudah lama berjalan apabila tidak adanya suatu pembaharuan akan sama dengan fisik manusia. Di kesehatan memang ada beranggapan nyeri biasa tetapi ada pula berpendapat nyeri harus dimanag karena tidak akan ada atau bisa berkurang nyeri itu apabila dikendalikan dengan cara-cara khusus, Begitupun juga organisasi kepekaan individual menjadikan organisasi itu berjalan dengan baik atau tidak. Sehingga apabila ada kelemahan

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 23

cepat dapat dibangkitkan kembali. Begitupun juga menanggulangi gejala kronis dan akut. Manusia berusaha untuk berikhtiar hidup sehat dengan upaya operasi menghilangkan akut yang menyakitkan, maka organisasipun berupaya untuk menghindar dan mencegah masalah kronis dan akut sehingga organisasi dapat berjalan sehat dan meyakinkan untuk diikuti. Bagaimana solusi pengobatannya agar organisasi bisa sehat ?. Siapapun diantara kita telah memiliki kekuatan untuk mengubah kelemahan dalam kehidupan organisasi menjadikan sehat. Di era global dan diera orang bersaing dalam kapasitas intelektual yang tinggi yang beroperasi dalam organisasi mereka memprioritaskan panutan, perintis, penyelaras dan pemberdaya sebagai penawar gejala kronis jiwa dan tidak lepas dari empat peran positif dari tubuh, hati, pikiran dan jiwa sebagai penawar gejala akut.

Bagaimana memecahkan masalah kronis di organisasi 1. Jika tingkat kepercayaan rendah, kita berfokus pada upaya

untuk memberikan keteladanan mengenai sikap dapat dipercaya dengan tujuan untuk menciptakan kepercayaan.

2. Jika tidak ada visi dan nilai-nilai yang dianut bersama, kita berfokus pada upaya perintisan membangun visi dan sekumpulan nilai bersama.

3. Jika terjadi ketidak-selarasan dan organisasi cerai-berai, kita berfokus kepada penyelarasan tujuan, struktur, sistem, dan proses untuk mendorong dan menumbuhkan pemberdayaan terhadap orang-orang menumbuhkan pemberdayaan terhadap orang-orang dan budaya guna mendukung visi dan nilai-nilai, dan

4. Jika terjadi ketidak berdayaan, kita berfokus pada pemberdayaan terhadap individu dan tim yang menangani organisasi atau pekerjaan tertentu.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 24

Kesadaran untuk mencegah gejala kronis dan akut harus ada, serta upaya pengobatan sebagai ikhtiar untuk tumbuh dan sehat menjadi wajib. Maka kita sebagai pengikut organisasi harus saling bantu membantu dengan kaikhlasan individual ataupun kelompok. Terakhir kita mengingatkan Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 2 yang artinya :

“Saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”

DAFTAR PUSTAKA

Covey. The 8th HABIT . Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005. Roeses, Anisah. Manajemen Nyeri Lansia. (artikel online di anisahroeses.com, 2010)

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 25

Enik Marweni, S.E. Pengajar Ekonomi-Akuntansi di SMA

Muhammadiyah 1 Gresik

RELEVANSI KURIKULUM DAN MUTU PENDIDIKAN (II-2-11-Marweni)

Abstract:

A curriculum refer to a defined and prescribed course of studies, which students must fulfill in order to pass a certain level of education. In order for gaining the goals of national education, the government always progress and evaluate implementation of a curriculum. The competences should apropriated and related to relevancy of the student needs about life skill and academic . Curriculum development concern to find the best way and methode to provide good education, good output and hight quality of a nation human resourcess. Keywords: Education, Curriculum, Student.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 26

Sejarah kurikulum

sensi dari tujuan pendidikan nasional adalah proses menumbuhkan bentuk budaya keilmuan, sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik (pembukaan UUD 1945 alenia

4). Di sisi lain kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Jika dirunut ke belakang, Indonesia telah berganti kurikulum pendidikan sebanyak 9 kali yaitu pada tahun 1947 (Rentjana Pelajaran 1947), 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952), 1964 (Rentjana Pendidikan 1964), 1968 (pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus), 1975 , 1984, 1994 dan suplemennya 1999, 2004 (KBK), dan 2006 (KTSP). Pengembangan dan pembaharuan kurikulum secara berkesinambungan dalam rangka bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan merupakan tuntutan logis dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi, dalam perspektif tertentu harus mengacu pada masa depan yang jelas. Selain itu sesuai dengan cita-cita negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kurikulum yang dinilai tidak lagi mampu menjawab tuntutan kebutuhan keahlian yang harus dimiliki anak didik dalam pasar kerja maupun jenjang yang lebih tinggi, maka pemerintah berkewajiban untuk mengevaluasi dan menyempurnakan. Penyempurnaan itu akan memberikan kontribusi yang positif selama tidak ada muatan politis yang mendasari kelahiran kebijakan dan pemberlakuan kurikulum baru. Dasar penyempurnaan Setiap kurikulum memiliki penekanan tertentu dalam aplikasinya, sebagai contoh pada kurikulum 1984 proses

E

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 27

pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasana pendidikan di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Sedangkan Kurikulum 1994 yang dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tetapi pada kenyataannya seringkali ketika masing-masing kebijakan baru diterapkan, hasil yang diharapkan tidak maksimal sebagaimana harapan ketika kebijakan tersebut masih dirumuskan. Hal ini berkaitan dengan adanya kendala di lapangan yang muncul sebagai reaksi atas penerapan kebijakan baru tersebut. Selain itu sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik dengan dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka kurikulum 1994 disempurnakan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2004 (dan menjadi KTSP pada 2006) yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan,

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 28

keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

1. Pemilihan kompetensi yang sesuai; 2. Spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan

keberhasilan pencapaian kompetensi; 3. Pengembangan sistem pembelajaran.

Pada dasarnya terdapat prinsip-prinsip yang diterapkan dalam setiap penyempurnaan kurikulum, yaitu:

1. Upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat

2. Untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta.

3. Mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.

4. Tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya Relevansi Kurikulum Pertanyaannya adalah sudah relevankah penerapan kurikulum baru—yang selalu berubah hampir setiap dekade—dengan kebutuhan siswa dalam mendukung kualitas output guna menyelesaikan masalah dalam realitas kehidupannya?. Relevansi kurikulum dengan mutu pendidikan menjadi sangat penting karena Peningkatan relevansi dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 29

sumber daya alam Indonesia. Sehingga penyempurnaan-penyempurnaan tersebut dapat dipercaya mampu memberikan solusi atas masalah-masalah pendidikan dan sekaligus mampu menjawab kebutuhan life skill yang aplikatif dalam dunia kerja. Selain pembenahan pada kurikulum nasional, Departemen pendidikan juga merumuskan bagaimana dapat Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan yang dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan. Dari sini bisa dipahami bahwa bukan hanya kurikulum yang membutuhkan evaluasi dan penyempurnaan terus menerus, tetapi tidak kalah penting juga lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu sendiri sebagai cerminan lembaga pendidikan nasional. SBI, Prospek dan Hambatannya Ide awal dirumuskannya SBI pada dasarnya merupakan pelaksanaan dan pemenuhan delapan (8) unsur SNP yang disebut sebagai indikator kinerja kunci minimal (disingkat IKKM) dan diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan komponen, aspek, atau indikator kompetensi yang isinya merupakan penambahan atau pengayaan dari delapan SNP tersebut sebagai indikator kinerja kunci tambahan (disingkat IKKT) dan berstandar internasional dari salah satu anggota OECD atau negara maju lainnya. Jadi yang perlu dipahami adalah SBI bukan sebuah kurikulum, tetapi peningkatan standar mutu

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 30

yang bersifat global. Sekolah yang telah memenuhi 8 unsur SNP dihimbau untuk lebih meningkatkan dan memperkaya keunggulan yang dimilikinya dengan mengacu pada sistem kurikulum salah satu negara maju sehingga mamiliki daya saing secara internasional. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kebijakan Depdiknas Tahun 2007 Tentang “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah” serta sejalan dengan pengertian SBI yang tertuang dalam Permendiknas No. 78 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada kenyataannya setelah proses implementasi di lapangan, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menilai adanya kesalahpahaman antara pihak pemerintah pusat dengan sekolah-sekolah berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dalam mengartikan peningkatan mutu yang tertuang di dalam Permendiknas No 78 tahun 2009 tersebut. Banyak sekolah RSBI yang memiliki gedung , fasilitas sarana dan prasarana yang sangat baik tetapi, ketika dievaluasi kemampuan akademis serta kualitas siswa dan gurunya tidak memenuhi standar RSBI. Sekolah-sekolah tersebut lebih banyak menitikberatkan pada peningkatan sarana fisik semata yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya komersialisasi lembaga pendidikan dan menyebabkan hilangnya kesempatan bagi siswa yang tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan bagus meskipun secara akademik dia lebih baik. Kecenderungan penyimpangan lain, penggunaan dana block grant dari pemerintah tidak tepat sasaran dan kurang memprioritaskan pada pada program-program yang berorientasi akademik. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang akan dilakukan usai tahun ajaran yang berakhir pada Juni 2010.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 31

Evaluasi ini dilaksanakan dengan menggunakan empat parameter. Keempat parameter itu adalah akuntabilitas pelaksanaan, capaian akademik, prinsip-prinsip akademik dalam perekrutan siswa dan persyaratan penyelenggaraan RSBI. Hanya Sekolah yang benar- benar dapat memenuhi keempat kriteria tersebut yang akan mendapat predikat SBI sesungguhnya, Sedangkan yang tidak akan kembali ke status semula (SNNP). Beberapa pengamat pendidikan menilai sebaiknya hanya ada satu SBI dalam satu kabupaten untuk menjaga kualitas peserta didik dan pendidiknya sehingga hanya siswa yang benar-benar berkualitas yang dapat memasuki SBI. Selain itu untuk menghindari akses negatif dengan adanya penyimpangan pelaksanaan prosedur operasional yang dapat meresahkan masyarakat. Maka, sekali lagi pemerintah—dalam hal ini kementerian pendidikan nasional—harus berupaya keras untuk mengevaluasi dan mencari solusi guna tercapainya tujuan utama atas penyelenggaraan pendidikan nasional yang mampu bersaing di tingkat internasional. Menjaga kualitas penyelenggaraan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat guna menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkompeten tinggi dan berdaya saing global.[]

DAFTAR PUSTAKA A.Soekisno,R.Bambang. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum

Nasional Pada Pendidikan Dasar dan Menengah. (artikel di http://rbaryans.wordpress.com, diambil Mei 2011).

Hamalik. Model-Model Pengembangan Kurikulum. (artikel pada http://ruangpikir.multiply.com, diambil Mei 2011).

Anonim. Kisah Ringkas Kurikulum Pendidikan Indonesia Saktia Andri Susilo. Terbukti Materialis Status RSBI Akan Dicabut.

(artikel pada http://suaramerdeka.com diambil Mei 2011) http://www.jpnn.com/read/2011/04/25/90294/Pendidikan-

pendidikan-Kedepankan Fasilitas, RSBI Tak Bermutu

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 32

http://krisna1.blog.uns.ac.id/2011/01/01/konsep-sbi-dan-rsbi/Konsep SBI dan RSBI

Pusat Kurikulum dan Perbukuan - Balitbang Kemdiknas

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 33

Drs. Taufiqullah A. Ahmady Pengajar ISMUBA di SMA Muhammadiyah 1 Gresik,

FENOMENA KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN (II-2-11-Ahmady)

Abstract:

Educational world has experienced changes and developments remarkable. Views of parents, teachers and students in entering the world of education is also different from the way society views the present tempoe doeloe.Pada violence in any form and for any reason deemed contrary to the fundamental basis values education and humanitarian values, because the education that was developed with how violence is feared will give birth to a culture of violence in society, nation and state. Keywords: learning method, violence

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 34

etika menulis judul tulisan ini,Saya teringat kenangan masa kecil.Sejak saya masuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah ,Ibu sudah mengizinkan saya tidak tidur

dirumah.Menjelang maghrib saya izin kepada Ibu untuk pergi Langgar (Mushalla) di dusun Kalitebon Mojopurogede, Bungah.Hal itu juga dilakukan oleh anak anak lain seusia saya, mereka semua sudah siap mengikuti kegiatan ibadah shalat maghrib berjama’ah , kemudian belajar mengaji Al Qur’an bersama hingga waktu isya’,dilanjutkan shalat isya’ berjama’ah bersama sama.Sehabis shalat isya’itu saya dan anak kampung lainnya pulang sebentar untuk mempelajari pelajaran sekolah dengan menggunakan penerangan lampu “Oncor”,lampu yang terbuat dari bahan bekas kaleng susu cap bendera,lalu diisi minyak tanah,kemudian dipasang sumbu dari kain bekas,baru setelah itu di “sumet” atau dinyalakan dengan korek api.Setelah dirasa cukup menggunakan waktu untuk belajar,saya kemudian pergi ke langgar lagi untuk tidur malam,disana teman teman sekampung sudah banyak menunggu sambil bersenda gurau,setelah lelap tertidur,pagi sebelum subuh sudah dibangunkan oleh imam mesjid untuk shalat shubuh berjama’a. Imam shalat di langgar itu adalah sekaligus sebagai guru mengaji. Ketika saya mengikuti belajar mengaji bersama,guru ngaji selalu membawa alat pemukul dari bahan kayu rotan, setiap hari saya selalu menyaksikan teman teman yang tidak lancar membaca ayat terkena pukulan di punggungnya,pukulan itu kadang kadang sampai membekas dengan kulit memar merah.Tidak ada anak yang melawan gurunya atas perlakuan tersebut,tidak ada orang tua yang protes,tidak ada anak yang tidak kembali ke langgar untuk melanjutkan belajar mengaji hingga hatam,tamat 30 juz . Jika ada anak berhasil menamatkan ngaji Al Qur’an 30 juz maka orang tua yang mampu biasanya merayakan dengan mengirimkan “Nasi Tumpeng” ke langgar untuk dirayakan dengan upacara do’a dan makan bersama sama .

K

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 35

Mengajar dengan “alat pemukul” juga saya temui di madrasah Ibtidaiyah.Guru agama yang mengajar disekolah saya justru membawa bekas antenna radio sebagai alat penunjuk papan tulis pada waktu menerangkan,sekaligus sebagai alat pemukul untuk anak anak yang dianggap tidak disiplin,tidak mendengar penjelasan guru atau bicara sendiri dengan teman dekatnya di kelas.Pernah terjadi beberapa anak kelas VI yang tidak terima setelah terkena pukulan di kelas tidak berani melawan gurunya secara terang terangan,tetapi diam diam ia menggerakkan teman temannya yang setuju untuk membalas perlakuan guru tersebut,yaitu dengan cara memasang “serung”,semacam belukar berduri yang diletakkan ditengah jalan pada waktu yang tepat,yaitu ketika sang guru melewatinya pada waktu pulang.Ketika guru melewati jalan itu,ia terpaksa berhenti membersihkan jalan itu dari serung tersebut dan setelah selesai ia lanjutkan perjalanannya dengan sedikit menggerutu.Keesokan harinya ia tidak berusaha mencari cari siapa pelaku yang memasang serungan itu untuk memberikan pembalasan hukuman,tetapi ia melaksanakan tugasnya seperti biasa.Dikalangan masyarakat ada anggapan bahwa murid yang berani memperlakukan guru seperti itu tidak akan berhasil dalam hidupnya,nanti akan “Kuwalat” atau bernasib buruk,sebaliknya bagi murid yang “nurut” atau patuh kepada gurunya akan terbentang jalan menuju keberhasilan hidup. Tidak sedikit ditemukan murid murid yang berhasil dalam hidupnya selalu teringat kepada guru yang dahulu mendidiknya dengan “ keras” ,dan pada waktu ia mendapatkan kesempatan bertemu dengan gurunya itu ia menyampaikan maaf atas sikapnya yang tidak disiplin dimasa masa belajar, dan ia sampaikan terima kasih pula atas segala bimbingannya. Yang menjadi pertanyaan mengapa para orang tua menerima perlakuan guru yang bersifat “keras” dalam mendidik anak anaknya. Mungkin ada beberapa faktor yang menjadi dasar sikap dan pertimbangannya.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 36

Pertama, Sebagian besar orang tua tidak mampu memberikan imbalan jasa yang pantas ,bahkan banyak juga guru yang tidak mendapatkan imbalan apa apa dalam melaksanakan tugasnya.Mereka hanya mendapatkan jatah beras zakat yang diterima pada malam hari raya idul fitri setiap tahunnya,sedang untuk kebutuhan harian dan bulanan ia berusaha mencari rizki sendiri diluar tugas mengajarnya.Sampai dengan tahun1990an fenomena ini masih terjadi, hingga salah seorang teman saya yang menjadi guru di desa Klayar ,Paciran ,meninggalkan tugas mengajarnya lalu pergi menjadi pekerja tukang sebagai TKI di Malaisia.Barangkali fenomena ini masih bisa kita temukan disekitar kita,atau di daerah terpencil yang belum tertangani oleh pemerintah atau organisasi sosial kemasyarakatan. Kedua, Para orang tua memiliki kepercayaan sepenuhnya kepada guru .Mereka percaya sikap keras guru bukan semata mata kekerasan,tetapi sebuah motifasi untuk menggerakkan semangat dan kemauan belajar dari anak didiknya.Banyak anak anak yang tidak nurut ketika orang tuanya mengingatkan atau memerintahkan belajar dirumah,tetapi ditangan guru mereka mau tidak mau harus belajar di sekolah. Itulah romantisme pejarlanan hidup pada masa masa belajar di masa lalu,guru guru yang bersikap “keras” dalam mengajar selalu terkenang dalam bayangan. Tahun 1990 an ketika penulis berusia 24 tahun menjadi guru barulah terasa betapa beratnya menjadi seorang guru.Pertama kali penulis mengajar di SPP SUPM Muhammadiyah Bungah, Sekolah Perikanan milik Muhammadiyah yang sekarang berubah menjadi SMK Muhammadiyah 1 Gresik. Suatu ketika ada seorang murid yang “tidak pernah disiplin” dalam mengikuti proses belajar,sehari hari hanya sibuk main gitar dikelas dan selalu membuat suasana kelas menjadi gaduh sehingga kelas menjadi tidak nyaman untuk tempat proses belajar mengajar.Dengan maksud untuk menghentikan kebiasaanya itu,maka penulis mengambil gitarnya , menyimpannya disuatu tempat yang

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 37

tersembunyi, ternyata murid itu masih mengambil gitar dari tempatnya tanpa permintaan izin,maka dengan emosional penulis menjewer telinga dan memukulnya.Selanjutnya penulis merasa remuk hati ketika murid itu berkata ; “Bapak ! saya ini murid bapak, bukan musuh bapak”. Sejak itu penulis selalu merenung dan selalu mencari jalan untuk menghindari pemukulan dalam menghadapi pelanggaran yang dilakukan anak anak disekolah.. Akar Budaya Kekerasan Dunia pendidikan sudah mengalami perubahan dan perkembangan yang luar biasa.Pandangan orang tua,guru dan murid dalam memasuki dunia pendidikan juga sudah berbeda dengan cara pandang masyarakat tempoe doeloe.Pada masa sekarang kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun dianggap bertentangan dengan dasar dasar nilai pendidikan dan nilai nilai kemanusiaan ,karena pendidikan yang di kembangkan dengan cara kekerasan dikhawatirkan akan melahirkan budaya kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Namun faktanya praktek prektek kekerasan dalam dunia pendidikan masih terus terjadi berulang ulang.Kekerasan yang terjadi itu muncul dalam berbagai bentuk ,antara lain : Kekerasan fisik ,yaitu suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dll. Kekerasan psikis : kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya. Oleh sebab itu perlu dikaji secara cermat factor factor apa saja yang berpengaruh terhadap perilaku kekerasan yang muncul

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 38

dari seorang guru.Menurut Pudji Susilowati S Psi factor yang mempengaruhi guru berbuat kekerasan adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.

2. Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap siswa.

3. Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.

4. Adanya tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.

5. Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.

6. Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 39

kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.

Kuriake mengatakan bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip, 2007). Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat. Contoh Solusi Di SMA Muhammadiyah 1 Gresik Penulis mengajar di SMA Muhammadiyah 1 Gresik sejak tahun 1992 sehingga lama masa tugas mengajar di sekolah ini sudah berjalan 19 tahun (1992-2011).Ditempat ini proses pendidikan juga tidak bersih dari budaya kekerasan dalam menangani murid yang tidak disiplin,masih ada satu dua guru yang bersikap reaktif dan emosional dengan melakukan pemukulan ketika kesabarannya sudah berada diluar batas kemampuannya .Dengan pengalaman 19 tahun mengajar penulis hampir hafal perilaku murid yang disiplin dan yang tidak disiplin.Ciri ciri perilaku murid yang bermasalah selalu memiliki kesamaan dalam bentuk penyimpangannya dan cara cara yang dipakai untuk menutupi perilaku penyimpangannya ,dan selalu berulang dari tahun ketahun. Dengan modal hasil pengamatan yang seperti itu semestinya pihak sekolah dapat menetapkan satu prosedur yang tetap (protap) untuk digunakan oleh semua guru dalam melakukan pembinaan . Namun realitasnya hingga dalam perjalanan10tahun penulis mengajar di tempat ini (1992-2002) ,sekolah belum memiliki panduan yang baku.Masing masing guru memiliki cara yang berbeda dalam melakukan pembinaan .Bagi guru yang streng maka cara yang digunakan untuk membinan kedisiplinan cenderung keras, misalnya menghukum murid dengan member perintah berdiri dijemur ditempat yang

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 40

panas atau berlari mengelilingi halaman sekolah.sementara bagi guru yang lower maka penangannnya cendrung pembiaran.Tidak adanya kesamaan sikap ini bagi penulis merupakan kelemahan dalam proses pembinaan karakter kepribadian murid.Dikalangan guru yang memperhatikan masalah ini juga mempertanyakan ,Mengapa di sekolah yang sebesar ini masih melakukan cara cara pembinaan yang tidak mendidik, Setelah mendiskusikan hal hal yang berhubungan dengan model pembinaan ini maka ditempuhlah suatu model yang disepakati ,yaitu :

1. Menyambut kehadiran murid di sekolah dengan budaya salam,senyum, sapa, sopan dan santun. Guru piket yang bertugas pada hari itu dapat melakukan pembinaan secara langsung ketika melihat murid yang datang dalam keadaan rambut tidak rapi,kelengkapan seragam juga tidak rapi dan tidak lengkap ,atau murid datang terlambat, kemudian murid yang datang dengan membawa masalah seperti itu diminta membaca istighfar meminta ampun kepada Allah ,diberi tugas menghafalkan surat surat pendek atau melancarkan bacaan shalat,kemudian diproses izinnya untuk masuk kelas menguikuti pelajaran seperti biasanya.Tidak boleh ada caci maki,bentak membentak atau tindakan kekerasan diluar ketentuan yang sudah ditetapkan.Masing masing guru petugas piket tidak diperkenankan membuat bentuk hukuman yang tidak sesuai dengan ketentuan diatas.

2. Membuat pedoman penilaian tata tertib siswa.Setiap siswa diberi modalitas nilai 100.Setiap terjadi bentuk pelanggaran maka nilai 100 itu dikurangi sesuai dengan bobot pelanggarannya ,mulai dari pengurangan 1 angka hingga 100 .Jika nilai siswa berkurang 1sampai 20 point maka siswa yang bersangkutan diberi peringatan, dan diberi tindakan sesuai dengan ketentuan, misalnya dengan membuat pernyataan tidak

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 41

mengulang,mendapatkan pembinaan dari wali kelas, atau orang tua wajib mendampingi kehadiran anak ke sekolah selama 2 hari berturut turut .Jika nilainya berkurang lagi hingga 25 point maka siswa diberikan peringatan keras dan dilakukan pemanggilan orang tua,jika nilainya berkurang lagi antara 30 hingga 50 point maka siswa yang bersangkutan di skorsing dan diberi tugas merangkum pelajaran yang ditinggalkan selama masa skorsing, jika nilainya berkurang lagi hingga 100 point maka nilai kepribadian siswa yang bersangkutan berarti Nol dan dikeluarkan dari sekolah.Bentuk perilaku yang dinilai antara lain tentang kerajinan,kerapian,kelakuan dan ketertiban dan lain lain.Dengan aturan seperti ini jika ada murid mengancam guru dengan lisan atau dengan senjata tajam, maka guru yang bersangkutan tidak perlu meladeni dengan tindakan kekerasan .aturannya cukup tegas yaitu nilai kepribadiannya yang 100 point telah habis dan harus dikeluarkan setelah diputuskan melalui konfrensi kasus.Bagian tugas ini ada pada kewenangan Waka Kesiswaan dan jajarannya.

3. Untuk mengungkap masalah yang ada dibalik pelanggaran siswa ,maka dilakukan bantuan klinis psikologis oleh Biro Konseling bekerja sama dengan wali murid yang bersangkutan. Namun konseling ini tidak hanya dibutuhkan oleh anak didik,para wali murid dan gurupun sangat membutuhkan bantuan apabila mengalami kebuntuan dalam menghadapi berbagai persoalan yang berhubungan dengn siswa

Yang perlu diperhatikan dari petugas guru piket,jajaran guru pembina kesiswaan maupun pihak biro konseling adalah cara pandang mereka kepada semua murid dari sudut kefitrahannya. Secara fitri setiap manusia diciptakan oleh Allah dengan sifat baik,senang dengan perdamaian dan tidak suka kepada permusuhan,senang mengutamakankan kepentingan orang lain dibanding dengan memikirkan kepentingannya sendiri.Begitu juga asal mula dari seluruh kepribadian anak didik,semua adalah

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 42

anak anak yang bersifat baik.Jika terjadi perubahan perilaku yang tidak baik maka semua itu bermula dari pengaruh yang datang dari luar dirinya,lingkungan social pergaulannya atau bahkan dari keluarganya.Cara memperbaikinya adalah sekolah menyiapkan lingkungan social dengan nilai nilai moral dan tata tertib yang baik maka anak anak akan menjadi baik dengan sendirinya,asal nilai nilai moral dan tata btertib yang baik itu ditegakkan bersama sama (Lihat QS.Rum :30)

DAFTAR PUSTAKA

Maulana, Aslih (peny.) Dirosah Islamiyah (AIK 3). Gresik: PSAMI Universitas Muhammadiyah Gresik.

Fahd, King. The Noble Qur’an, English Translation of the meanings and comentari. 1930 H.

Susilowati, Pudji. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Pada Siswa. (artikel pada e-psikologi.com, diambil Mei 2011).

Pedoman Penilaian Tata tertib Siswa SMA Muhammadiyah 1 Gresik 2010-2011

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 43

Khusnul Khuluq, S.Pd., M.Pd. Pengajar Bahasa Inggris SMA

Muhamadiyah 1 Gresik, Dosen FKIP Bahasa Inggris, dan Fak.Pertanian Univ.

Muhammadiyah Gresik, serta Direktur Transcom English Builder Course.

NILAI-NILAI DASAR KEMANUSIAAN

(Nataaijul Insaaniyyah) (II-2-11-Khuluq)

Abstract: The major values of human beings against their society is that they can actualize the virtues and good characters in the middle of their society but, we still have big questions towards the result of our education in this country, the product of our education is worse in the form of attitude, behavior, and poor of characters. It degrades on the way of many cases, such as corruptions, manipulations, dishonesty, injustice, and malpractices of many ways performed in the society including the death of responding feeling of humanity. The religious norms extracted from their school are not enough to guide them doing their true senses. Parents are busy to look for the international school labeled but they do not care of their children’s illiterate of religious norms. Factually, that education will mean of: how to feel, how to interpret, how to practice, how to socialize, and how to be meaningful in the society. We feel that there are many disadvantages of having educations because the paradigm of the education in our country was changed into hedonistic, materialistic, and result quantity. The government gives big contributions of having students’ bad attitude because of the careless towards the quality result of the educations among the graduations on each level, they only assume about how big the investment of having big project in their field and they get big benefits of it. This discussion will give feedback views of the urgency of growing good attitude towards the students and to build modern and civil society.

Keywords: Characters, Spiritual norms, humanity values

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 44

slam memerintahkan agar kita merealisasikan nilai – nilai ibadah syar’iyyah kedalam nilai – nilai kemanusiaan, karena Islam datang berfungsi sebagai penyejuk (refreshment)

dalam kehidupan manusia seluruh alam,sebagai pembawa manfaat besar perubahan karakter manusia secara utuh (minad dhulumaati ilaan nuur) dari kegelapan menuju era pencerahan. Dari tujuan Islam yang universal ini perlu sesungguhnya jika seseorang ber Islam dituntut untuk mampu mengejawantahkan nilai – nilainya kedalam manfaat muamalat insaniyyah karena, Islam sesungguhnya merupakan aplikasi ubudiyyah syar’iyyah yang syarat dengan nilai nilai ( nataaij) Manusia beraktivitas dengan tujuan meraih nilai-nilai kepuasan (Nataaij) tertentu. Ada empat qîmah yang menonjol, yaitu: (1) nataaij rûhiyyah (nilai spiritual); (2) nataaij madiyyah (nilai material); (3) nataaij akhlaqiyah (nilai moral); dan nataaij insâniyyah (nilai kemanusiaan). Nilai spiritual tampak, misalnya, dalam ibadah ritual, dakwah, atau jihad. Nilai material tampak dalam berbagai bentuk muamalat. Nilai moral tampak dalam sikap manusia menghadapi sesuatu, termasuk juga sikap sayang kepada binatang. Adapun nilai kemanusiaan tampak dalam pemberian pertolongan tanpa pamrih kepada manusia lain tanpa memandang bangsa, ras/warna kulit, tanah air, agama, dll.yang memerlukan. Semua nilai (nataaij/natiijah) ini diakui dalam Islam. Islam juga memberikan petunjuk bagaimana mendapatkan nilai-nilai itu tanpa bertabrakan satu sama lain. Islam memerintahkan kita untuk mewujudkan natijah insâniyyah (nilai kemanusiaan) dalam setiap interaksi kita dengan manusia lain. Setiap Muslim diperintahkan berbuat baik kepada manusia lain dan membantu manusia lain yang membutuhkan pertolongan, tanpa memandang suku, ras, warna kulit, atau agamanya. Perlakuan yang baik terhadap manusia lain, sekalipun berbeda agama, juga dikuatkan dalam firman-Nya:

I

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 45

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah kalian, karena adil itu lebih dekat pada takwa, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan. (QS al-Maidah [5]: 8). Bahkan dalam peperangan sekalipun, Islam menunjukkan kemuliaan ajarannya, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Misalnya, saat kaum Kafir Quraisy kalah dalam Perang Badar, kaum Muslim telah dengan tulus memakamkan kaum Kafir yang terbunuh, sebagaimana mereka memakamkan kaum Muslim. Sementara yang terluka diberi perawatan dan pengobatan, sebagaimana mereka merawat dan mengobati tentara kaum Muslim yang terluka (Syeich Mahmud Khatthab, ar-Rasûl al-Qâ'id, hal. 110). Subhanallah. Inilah nilai kemanusiaan yang luar biasa, yang diajarkan oleh Islam kepada ummatnya. Jika individu saja diperintahkan demikian, apalagi negara yang harus menanggulangi bencana, maka siapapun korbannya, selama masih rakyatnya, negara tidak boleh melakukan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) dalam hal melayani warganya. Rasulullah saw. pun telah memberikan contoh bagaimana Daulah Islamiyah (Negara Islam) di bawah kepemimpinan beliau memberikan perlindungan yang sama, baik kepada Muslim maupun non-Muslim. Standar perlakuan yang sama dari negara ini justru telah menjadi media dakwah yang sangat efektif sehingga banyak orang berduyun-duyun masuk Islam dengan sukarela. Hubungan negara dan agama di Indonesia tidak ditempatkan dalam konteks dikotomi, tetapi pada posisi yang harmonis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Dapat dikatakan

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 46

bahwa bangsa Indonesia menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai-nilai religius-ilahiah. Sebagaimana terkandung dalam Pancasila, dasar filosofis hubungan negara dan agama bagi bangsa Indonesia adalah dengan menempatkan nilai kemanusiaan dan religius-ilahiah di atas segalanya. Bangsa Indonesia yang kental dengan masyarakat religi tidak menolak modernisasi sejauh tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Nilai ketuhanan dan kemanusiaan telah terukir lama dalam sanubari kehidupan para pendiri bangsa maupun masyrakat Indonesia pada umumnya. Bisa dikatakan bahwa pilar kehidupan berbangsa di Indonesia telah menempatkan dasar nilai ketuhanan menjadi top pilar untuk membentuk manusia seutuhnya yang tunduk atas aturan Nya, serta menjunjung tinggi nilai kebersamaan sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan. Para pendiri negara telah memberikan suatu bentuk yang sama sekali berbeda dengan berbagai pemikiran yang terdapat di Barat dalam konteks hubungan negara dan agama. Hubungan negara dan agama di Indonesia bersifat substansial, artinya dalam agama terdapat ajaran dan nilai bersifat substantif yang mengandung prinsip menjunjung tinggi agama dan prinsip etis moral bermasyarakat serta bernegara dalam bingkai hablum minallah wa hablum minan naas. Nilai-nilai agama menjadi acuan dan pedoman dalam menjalankan dan melaksanakan kehidupan masyarakat dan politik kenegaraan. Dengan demikian, Negara Republik Indonesia adalah negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan tipe negara Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Bertuhan saja belumlah cukup namun harus dilanjutkan dengan hidup yang penuh empati terhadap masyarakatnya untuk menjunjung harkat dan martabat manusia sebagai mahluk sosial

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 47

Bingkai Ahlaq mulia merupakan pilar kuat untuk membangun negeri dalam mencapai kesejahteraan dan kemajuanya,sebagai pembentuk sumber daya manusia (educate human resources) yang akan terus mengisi pembangunan negeri dan alam raya ini. Manusia merupakan pelaku tunggal (single player) dalam mensejahterakan dan memakmurkan negeri dan alam raya ini oleh karenanya, kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang tinggal dalam negeri tersebut, sumber daya manusia itu bukan hanya terbatas pada kecerdasan manusia secara kognitif namun juga dipengaruhi oleh kecerdasan afektif maupun kecerdasan sosial. Kecerdasan afektif maupun kecerdasan sosial sangat erat hubunganya dengan pembangunan ahlaq generasi yang dipersiapakan untuk pengembangan negeri di masa mendatang, ketika pembangunan ahlaq mulia ini menjadi retak seperti retaknya perahu negeri ini maka,semua komponen bangsa ini menjadi risau akan keretakan ahlaq anak bangsa yang disuguhkan dalam kehidupan bermasyarakat,keretakan yang menghiasi negeri ini telah menyeruak tanpa kendali seperti budaya korupsi, manipulasi, penindasan,kebohongan publik, rakus terhadap kekayaan negara, dll. Yang telah mengombang - ambingkan perahu negeri ini kedalam kebinasaan. Ketika pembangunan negeri mengesampingkan pendidikan ahlaq maka, negeri ini berjalan dengan pincang karena tidak dibarengi dengan pendidikan ahlaq mulia, pendidikan ahlaq mulia bukan hanya dalam konteks pendidikan madrasah diniyyah tetapi sesungguhnya semua bentuk pendidikan dan ilmu pengetahuan harus merekomendasikan pendidikan ahlaq mulia, pendidikan ahlaq mulia bukan saja pekerjaan para guru agama (diniyyah) namun tanggung jawab semua stakeholder penyelenggara pendidikan yang ada di negeri ini. Dalam sya’ir yang berbunyi : “Innamal umamul ahlaaqu maa baqiyat, fa inhum dhahabat ahlaaquhum dhahabuu” yang maksudnya : Sesungguhnya kejayaan negeri ini akan tercapai

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 48

jika ahlaqnya baik, namun jika ahlaqnya rusak maka tidak akan tercapai kejayaanya”. Kalau ingin melihat kondisi masa depan suatu bangsa, lihatlah keadaan anak-anak atau remaja masa sekarang. Jika remaja kita saat ini akhlaknya bagus, prestasinya baik, insya Allah bangsa indonesia masa depannya akan baik. Sebaliknya jika remaja sekarang akhlaknya kurang bagus, perkataan yang kasar dan jorok, suka bertengkar dan berkelahi, terlibat narkoba, nongkrong di pinggir jalan, bergaul secara bebas, kurang terkontrol oleh orang tua, sungguh sangat sedih dan ngeri membayangkan masa depan bangsa ini. Banyaknya kasus perkosaan, pembunuhan, tawuran dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak remaja yang berujung pada korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, tidak bisa terlepas dari peran pendidikan. Memang pendidikan bukanlah segalanya, tapi segalanya berasal dari pendidikan. Kalau kita kaji akar masalahnya, pendidikan kita masih kurang menyentuh sisi kehidupan yang sebenarnya yaitu kehidupan setelah kematian. Setelah kematian itulah kehidupan yang sebenarnya. Sukses di dunia tak berarti apa-apa jika sengsara setelah mati. Begitu juga sengsara di dunia tak berarti apa-apa jika setelah kematian mengalami kebahagiaan. Sungguh sangat beruntung apabila seseorang mengalami kesuksesan baik dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Para guru mendoktrin bahwa kesuksesan seseorang akan terlihat dari profesi yang disandangnya kelak. Jadi dokter, politikus, pengacara, polisi, guru, pengusaha besar hingga presiden. Jarang sekali guru mendoktrin siswa bahwa kesuksesan akan tercapai kalau kita memiliki iman yang kuat, sholat yang khusu’, kedekatan kepada Tuhan, dan akhlak yang baik. Sehingga yang banyak terjadi sekarang adalah orang berlomba-lomba untuk memperoleh profesi yang diinginkannya dengan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan aspek keimanan dan akhlak yang mulia. Jika menjadi pejabat akan

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 49

menggunakan jabatannya untuk mengambil keuntungan pribadi sebesar-besarnya, membuat kebijakan yang menyimpang dari norma-norma dan berusaha mempertahankan jabatannya dengan cara-cara yang tidak benar. Jika menjadi guru akan berusaha mengelabui siswa-siswanya untuk keuntungan pribadinya tanpa memperdulikan nasib dan masa depan siswanya. Jika menjadi pengusaha akan membuat produk-produk yang merugikan dan menyengsarakan masyarakat, dan lain sebagainya. Namun jika seseorang dibekali dengan keimanan yang kuat dan akhlak yang mulia, seorang pejabat akan menggunakan jabatannya untuk membuat kebijakan amar makruf nahi munkar demi kemaslahatan masyarakat, seorang guru akan mendedikasikan waktu, tenaga dan kemampuannya untuk mendidik dan mengajar siswa dengan sungguh-sungguh sehingga menghasilkan generasi yang bagus prestasinya dan baik akhlaknya, seorang pengusaha akan menghasilkan produk yang halal dan baik serta aman dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itulah, perlunya tim pengembang kurikulum di sekolah merumuskan kurikulum pendidikan berbasis akhlakul karimah yang standar kompetensinya adalah siswa memiliki pemahaman dan pengamalan yang berhasil dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kurikulum ini menitikberatkan akhlak sebagai pondasi dasar siswa dalam belajar. Dengan demikian ini akan sangat memudahkan bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran dan memudahkan siswa dalam memahami dan mengamalkan pelajaran. Guru akan mengerti bagaimana menjadi seorang guru yang baik, siswa akan belajar bagaimana belajar yang baik. Dengan akhlak, guru akan mendidik dan mengajar dengan kasih sayang dan perhatian yang maksimal kepada siswa. Dengan akhlak yang baik siswa akan menghargai dan menghormati guru baik di kelas maupun di luar kelas, tidak ada lagi siswa yang ribut atau tidur di kelas. Dengan kurikulum pendidikan berbasis akhlakul karimah siswa dibekali dengan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga segala

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 50

perilaku siswa baik di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakat akan mencerminkan nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan. Setiap mata pelajaran diintegrasikan dengan muatan nilai-nilai agama dan akhlaq yang baik. Sehingga indikator yang dicapai siswa tidak hanya mampu memahami pelajaran secara kognitif dan psikomotorik, namun sisi afektif juga akan tercapai. Dengan demikian, akan kita temui anak-anak sekolah yang santun, tertib dan taat menjalankan perintah agamanya, sehingga kelak mereka akan menjadi profesional-profesional yang tangguh dengan berbekal keimanan dan pancaran akhlak yang mulia, akhirnya kita berharap agar masa depan bangsa ini akan jauh menjadi lebih baik daripada kondisi sekarang. Sesungguhnya nilai dasar kemanusiaan itu adalah nilai – nilai ahlaq yang senantiasa diaplikasikan dalam kehidupan sehari haridan merupakan suatu kewajiban bagi kita semua untuk menanamkan hal tersebut kepada generasi bangsa untuk menumbuhkan kemajuan bangsa di semua sector.

DAFTAR PUSTAKA:

Armaidy Armawi. Pemikiran Filosofis Hubungan Negara dan Agama di Indonesi. Jogyakarta, 2009.

Siswomihardjo, Koento Wibisono. Character Building dan Pendidikan Kita. Jakarta, 2009.

Kaelan, M.S., Dr., Prof. Pendidikan Cari Ijazah dan Gelar. Jakarta, 2009.

Eposito.L. Islamic Threat. Myth or Reality. 2005. Nurkholis. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang. Jakarta.

Kompas, 2010. Sauri.S. Potret Pendidikan Antara. 2009.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 51

Drs. A. Mudhoffar Basuni, M.M.Pd. Pengajar ISMUBA di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (II-2-11-Basuni)

Abstract:

In Islam education is not only carried out within certain time limits, but made during the life (long life education). Islam encourages followers to always improve the quality of science and knowledge. Young or old, male or female, rich or poor get the same portion in the view of Islam in the obligation to study (education). Not only knowledge related ukhrowi affairs are emphasized by Islam, but knowledge is also related to worldly affairs. Because no man might someday achieve happiness without going through the street life of this world. Keywords: islamic education,

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 52

endidikan memiliki peran penting pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan.

Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.

Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.

Islam juga menekankan akan pentingnya membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan. Dan sebagai implikasinya kelestarian dan keseimbangan alam harus dijaga sebagai bentuk pengejawantahan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh.

Dalam makalah ini akan dipaparkan pandangan Islam tentang pendidikan, pemerolehan pengetahuan (pendidikan), dan arah tujuan pemanfaatan pendidikan.

Pendidikan Menurut al-Qur’an

P

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 53

Al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”. Al-Qur’an juga telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Dari sini dapat dipahami bahwa betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa madharat.

Dalam sebuah sabda Nabi saw. dijelaskan:

“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 54

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk mendapatkan pengetahuan. Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Islam menekankan akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa pengetahuan niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat, yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di hari akhirat.

Imam Syafi’i pernah menyatakan:

“Barangsiapa menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.

Dari sini, sudah seyogyanya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.

Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat 114 disebutkan:

“Katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”

Pemerolehan Pengetahuan dan Objeknya (Proses Pendidikan)

Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar: mula-mula melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 55

jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam filsafat. Dalam firman Allah Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”

Dengan pendengaran, penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 13 disebutkan:

“Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Namun, pada dasarnya proses pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2).

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 56

Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.

Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 disebutkan:

“Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.

Al-Qur’an membimbing manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.

Dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara ayat 7 juga disebutkan:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 57

Demikianlah, al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.

Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat Al-Haqqah ayat 38-39:

“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.

Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:

“Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak.

Islam mengehendaki pengetahuan yang benar-benar dapat membantu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan duniawi dan ukhrowi, yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Pengetahuan duniawi adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan urusan kehidupan manusia di dunia ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik. Atau lumrahnya disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah berbagai pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan hidup

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 58

manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai pengetahuan tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau biasa disebut dengan pengetahuan agama.

Pengetahuan umum (duniawi) tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang mana dalam menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama niscaya kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista.

Islam selalu mengajarkan agar manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun batin, keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3 disebutkan:

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang! Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.

Dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 8 juga disebutkan:

“Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”.

Dari sini dapat dipahami bahwa Allah selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan seimbang, tidak berat sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga tercipta dalam keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia diharapkan mampu menciptakan keseimbangan diri, lingkungan

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 59

dan alam semesta. Karena hanya manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan manusia di muka bumi.

Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 disebutkan:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.

Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 32 menyebutkan:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.

Islam menghendaki agar pemeluknya mempelajari pengetahuan yang dipandang perlu bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 60

di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 201 disebutkan:

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.

Pemanfaatan Pengetahuan (Orientasi Pendidikan)

Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga diberi kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:

“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.

Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 61

Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.

Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”.

Al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 disebutkan:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.

Sabda Nabi saw.:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat”.

Pisau akan sangat berguna ketika digunakan oleh orang yang berpikiran positif dan ahli dalam menggunakan pisau. Sebaliknya, ketika pisau digunakan oleh orang yang berpikiran

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 62

negatif, niscaya bukan kemanfaatan dan kemaslahatan yang akan dihasilkan dari pisau itu, melainkan kemadharatan.

Demikian halnya dengan pengetahuan, ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya pengetahuan itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan pengetahuan digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan didapat.

Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.

Wahyu yang diturunkan kepada manusia tidak hanya berisikan perintah dan larangan saja, akan tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga membahas tentang bagaimana seharusnya hidup dan menghargai kehidupan. Dan tidak terlepas juga di dalam al-Qur’an dikaji tentang sains dan teknologi sehingga tidaklah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai kitab sains dan medis.

Namun, berbagai bentuk kemajuan sains dan teknologi serta ilmu pengetahuan tanpa didasari tujuan yang benar, niscaya hanya akan menjadi sebuah bumerang yang menghancurkan kehidupan manusia. Karena tidak jarang saat ini manusia malah mengalami kejenuhan, kehampaan jiwa, hedonisme, materialisme bahkan dekadensi moral yang tidak jarang pula implikasinya merugikan diri mereka sendiri bahkan lingkungan sekitar. Padahal dengan adanya kemajuan sains dan teknologi kehidupan manusia diharapkan menjadi lebih mudah, efisien,

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 63

instan, yang bukan malah menimbulkan tekanan jiwa dan kerusakan lingkungan.

Dalam Islam telah digariskan aturan-aturan moral penggunaan pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, baik kesyaritan maupun lainnya, teoritis maupun praktis, ibarat pisau bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat manusia. Pengetahuan tentang atom umpamanya, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanusiaan, tapi dapat pula digunakan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui senjata-senjata nuklir.

Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 41 disebutkan:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia”.

Manusia adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjadi khalifah fil ardh. Kekhalifahan manusia adalah salah satu bentuk dari ta’abbud-nya kepada sang Khalik. Sedangkan ta’abbud adalah tugas pokok dari penciptaan manusia, sekaligus menggali, mengatur, menjaga dan memelihara alam semesta ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85 disebutkan:

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 64

“Sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman“.

Pemanfaatan pengetahuan harus ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri, menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestari-kan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, yang sekaligus sebuah aplikasi dari tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dan pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah swt., Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam. Kesimpulan

Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.

Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.

Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan pengetahuan pengetahuan dan

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 65

teknologi malah menghancurkan dan merusak keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, al-Hajj, Yusuf. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis. Terj.

Kamran Asad Irsyadi. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu 2003.

al-Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terj. Abad Badruzzaman. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

Aly, Noer, Hery & Suparta, Munzier. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. Jakarta: Triasco, 2003.

Habib, Zainal. Islamisasi Sains. Malang: UIN-Malang Press ,2007. Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan

2004. Shihab, Quraish, M. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan. 2001. Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta:

Lintas Pustaka, 2006.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 66

Dewi Musdalifah Petugas perpustakaan dan asisten

pendidik Seni Rupa di SMA Muhammadiyah 1 Gresik

KEYAKINAN LAMA VS KEYAKINAN BARU (II-2-11-Musdalifah)

Abstract:

Life is dynamic. Positive changes we need to do, not only to overcome the problem, but also to realize our dreams. when the urge to make changes that arise, we often ignore it, tend not to believe in ourselves the ability to conduct follow-up and maintain it.

Keywords: beliefe, change

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 67

eberapa waktu yang lalu, keluarga besar SMA Muhammadiyah 1 Gresik melalukan kontemplasi dalam acara Sinergi Building. Sebuah perjalanan menemukan

kembali nilai dasar dalam proses hubungan antar manusia. Sekolah adalah sebuah dunia kecil yang mempunyai arti luarbiasa dalam proses pencarian nilai kehidupan. Pendidikan yang kita berikan kepada siswa berdampak langsung, menjadi bekal hidup dilingkungan masyarakat. Kita terus dituntut berbenah dan melakukan perubahan. kehidupan bersifat dinamis. Perubahan positif perlu kita lakukan, tidak saja untuk mengatasi permasalahan, tapi juga untuk mewujudkan impian kita. ketika dorongan untuk melakukan perubahan itu timbul, kita sering mengabaikannya, cenderung tidak mempercayai kemampuan diri sendiri untuk melakukan tindak lanjut dan mempertahankannya. Ada banyak cara yang tak terbatas jumlahnya untuk memperbaiki pikiran, tubuh, dan hati kita. Kita harus melepaskan keyakinan yang menghambat dan membuka diri sendiri terhadap keyakinan yang baru. Bersinergi ternyata membuka mata kita , untuk mulai menerapkan pemahaman baru, mempertajam fokus mana yang terbaik atau mana yang paling bermanfaat untuk mewujudkan potensi baru kita. Kadang kita harus belok ke kiri untuk menyadari bahwa sebetulnya kita harus belok ke kanan . Kekeliruan merupakan kurva belajar dan menjadi katalisator guna menciptakan perubahan menuju yang lebih baik. Kita telah memilih sendiri nilai nilai dan dijembatani oleh fasilitator, nilai itu yang kita akui harus ada dan dipertahankan dilingkungan sekolah, kita menemukan nilai yang semestinya di terapkan sebagai landasan, yaitu :

1. Disiplin 2. Kebersamaan 3. Proaktif

B

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 68

4. Sabar 5. Ikhlas 6. Semangat 7. Sportif 8. Kerjasama

Dalam kegiatan itu kita menemukan potensi diri kita. Potensi itu sudah tersedia. Untuk mengaksesnya, kita harus melepaskan kebiasaan kebiasaan dan keyakinan keyakinan masa lalu yang mungkin dahulu keyakinan itu benar, tapi sekarang tidak cocok lagi. Berikut beberapa contoh keyakinan lama lawan keyakinan baru yang ditulis oleh John gray ph.d seorang pakar dibidang komunikasi dan hubungan antar pribadi, dalam bukunya yang berjudul Practical Miracles KEYAKINAN LAMA KEYAKINAN BARU

Perubahan itu tidak mungkin

Keajaiban itu mungkin

Saya harus menerima nasib

Saya dapat “menciptakan” nasib saya

Jangan marah Keputusan-keputusan saya yang diambil berdasarkan sikap baik hati itu lebih sukses

Keadilan harus ditegakkan

Saya tidak tergantung pada menghukum orang lain supaya mendapat kelegaan. Saya bertanggungjawab atas perasaaan saya dan bertindak dari sikap memaafkan

Seeorang menyuruh saya melakukannya

Saya mendengarkan orang lain tetapi mengikuti kata hati saya saja. saya-bukan orang lain_ bertanggungjawab terhadap apa yang

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 69

saya kerjakan Hidup itu tidak adil Saya tidak usah membuang buang

waktu menyimpan perasaan negatif sebab saya mempunyai kekuatan untuk menciptakan apa yang saya kehendaki

Saya harus berkorban untuk maju

Apabila saya penuh kasih sayang , keyakinan , dan pilihan. sukses akan datang

Masa kanak kanak menentukan sukses dikemudian hari

Setiap saat saya mempunyai pilihan untuk berhubungan dengan potensi saya yang tak terbatas guna menciptakan yang saya inginkan. Masa depan saya tidak ditentukan oleh masa lalu saya namun oleh yang saya rasakan , pikirkan dan lakukan sekarang ini

Apabila menghadapi kemunduran atau rasa takut, berarti ada sesuatu yang tidak beres dengan saya

Kemunduran dan rasa takut adalah bagian alamiyah dari perjalanan hidup menuju sukses yang lebih besar

Orang orang sukses mempunyai sesuatu yang tidak saya miliki

Saya memiliki segala sesuatu yang saya butuhkan untuk menciptakan sukses yang saya inginkan

Saya mengetahui keterbatasan saya

Kita hidup dalam zaman keajaiban baru. Sekarang saya mempunyai potensi jauh lebih besar untuk menciptakan perubahan

Itu terlalu sulit saya tidak mungkin melakukannya

Pergulatan dan penderitaan muncul manakala saya memutuskan hubungan dengan kekuatan saya untuk mencipta. Ketika saya melatih kekuatan baru ini, penciptaan akan menjadi lebih mudah

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 70

Kita ini menuju millenium, tantangan baru kita bukan hanya mengikuti pikiran dan akal melainkan juga hati kita. Ini merupakan tantangan dan perjalanan yang menggairahkan, untuk mencapai setiap kemajuan dalam menghadapi masalah masalah baru. Kita membutuhkan latihan dan sikap percaya. Semakin kita menjadi tua, kita semakin terbiasa dengan pengalaman masa lampau kita. Kita tahu apa yang dapat kita lakukan dan mana yang tidak mungkin kita lakukan. Ketika kita gagal pada bidang tertentu maka kita akan berpendapat bahwa kita memang tidak berbakat pada bidang itu. Namun sesungguhnya dengan latihan terus menerus dan percaya bahwa kita mampu, kita akan mulai merasakan manfaat secara langsung. Sebelum mempunyai kesempatan untuk mempelajari sesuatu yang baru, kita tak pernah mengetahui bahwa kita memiliki kemampuan tersembunyi untuk melakukan perubahan menuju keyakinan baru yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA:

John Gray, ph.. Practical Miracle. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2004

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 71

Ahmad Faizin Karimi Petugas Dokumentasi Sekolah di SMA

Muhammadiyah 1 Gresik

MENUJU PENDIDIKAN BERCORAK HUMANIS DENGAN EMPATI DAN KEPERCAYAAN

(II-2-11-Karimi)

Abstract: The relationship between teachers and students today is indeed a dilemma. On one side of the teacher is the figure that should be respected students, not just because it is old but because of their knowledge. But on the other hand that contractual relationships have damaged the relationship of this dynamic. Teacher-student relationship (or also a teacher-led institutions) only considered a valued working relationship with money alone, not a moral relationship, the relationship of science, social relations, even more in it should be the relationship between Muslims (ukhuwah Islamiyah).

Keywords: emphaty, trust, humanity

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 72

da sebuah kisah tentang empati dan kepercayaan. Meski kisah ini fiktif, namun agaknya pola-pola kejadiannya sama dengan beberapa fenomena di sekitar kita.

Alkisah sekelompok orang ingin bepergian. Karena jumlahnya banyak mereka menyewa sebuah bis. Oleh pemilik bis sudah ditentukan supir untuk membawa orang-orang tersebut, dan mulailah bis itu melaju di jalan. Tidak berselang lama, supir bis itu mulai ugal-ugalan. Ia tidak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas dan mengendarai dengan sangat kencang di jalan raya yang cukup ramai. Beberapa kali bis itu menabrak kendaraan lain, bahkan menabrak orang. Namun sang supir tetap mengemudi seperti kesetanan. Para penumpang mulai khawatir dengan keselamatan kelompok. Beberapa orang kemudian memberanikan diri mengingatkan sang sopir agar mengemudi lebih bijak. Tapi agaknya tidak diindahkan. Semakin lama penumpang dalam bis terombang-ambing. Mereka menjerit, ada yang menangis ketakutan, ada yang ingin melompat tapi dihalangi temannya. Bagi supir, ia hanya berfokus cepat sampai ke tujuan tapi para penumpang sudah tidak ingat lagi dengan tujuannya, yang ada dalam pikirannya adalah kehawatiran akan terjadi kecelakaan sebelum sampai tujuan. Sebagian penumpang kemudian menelpon pemilik bis. Memprotes agar sang supir diingatkan dan kalau bisa bis dihentikan dan dikirim sopir baru. Penumpang ingin sampai tujuan tapi dengan nyaman dan tidak merugikan pengguna jalan yang lain. Pemilik bis kemudian menelpon supir. Tapi karena perjalanan sudah separuh jarak, pemilik bis menghitung untung-rugi. Setelah mengkalkulasi, pemilik bis tidak mau mengirimkan supir baru. Kepada para penumpang ia berpesan: “percayalah pada supir anda. Dan para penumpang harap tenang, karena kalian tidak tenang supir juga tidak bisa berkonsentrasi”, ujarnya. “Bagaimana bisa tenang kalau kami

A

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 73

khawatir kecelakaan?,” protes penumpang. “Kalian semakin mengacaukan keadaan. Cukup, sekarang tenanglah, diam. Biarkan supir saya mengantar sampai tujuan,” kata pemilik bis lagi. Cerita di atas menggambarkan bagaimana dalam sebuah konsensus hubungan yang paling sederhana sekalipun membutuhkan empati dan kepercayaan. Dalam contoh ini, si pemilik bis dan supirnya tidak bisa bersikap empati kepada para penumpang. Sikap supir yang ugal-ugalan membuat penumpang tidak percaya mereka bisa sampai tujuan dengan selamat, padahal saat mulai berangkat mereka percaya saja pada sopir itu. Empati Jika simpati hanya sebatas ketertarikan dan rasa menghargai kondisi dan situasi orang lain, maka empati melibatkan dimensi yang lebih jauh lagi. Seseorang yang simpati pada pengemis cilik jalanan mungkin memberikan sejumlah uang receh kepadanya setelah pengemis cilik itu menadahkan tangannya. Tapi orang yang empati akan berbuat lebih jauh lagi. Mungkin ia mengajaknya makan, memberinya les privat gratis atau menyekolahkannya, atau memberinya pekerjaan ringan yang layak. Kata ”empathy” berasal dari bahasa Yunani yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jerman menjadi ”Einnfuhlung”, artinya ”merasakan bersama”. Menurut De Vito (1992) berempati terhadap seseorang berarti merasakan apa yang dirasakannya, mengalami apa yang dialaminya dari sudut pandangnya tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Empati adalah bagian dari kecerdasan emosi yang paling penting. Seseorang yang bisa berempati berarti ia bisa mengenali sisi-sisi emosional dari orang lain kemudian menginternalisasi perasaan orang tersebut menjadi emosinya sendiri. Empati juga

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 74

akan mendorong tindakan, karena dengan memposisikan diri sebagai orang lain kita menjadi tergerak melakukan apa yang diinginkan orang tersebut akan tindakan orang lain. Jadi empati dimulai dengan cara mengenali emosi orang lain. Dalam bahasa Psikologi, ini disebut “kemampuan untuk memproyeksikan diri kita Menurut Goleman kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Berlo membagi teori empati menjadi dua:

1. Teori Penyimpulan (inference theory), orang dapat mengamati atau mengidentifikasi perilakunya sendiri.

2. Teori Pengambilan Peran (role taking theory), seseorang harus lebih dulu mengenal dan mengerti perilaku orang lain.

Pembelajaran di kelas yang selama ini kita jalani belum sepenuhnya mengajarkan kepada siswa tentang berempati. Memang setiap orang memiliki karakter individu masing-masing, ada yang empatis dan ada pula yang antipatis/apatis. Namun jika kita bicara pendidikan dalam konteks kita sebagai guru adalah sistem pendidikan itu sendiri. Kita mestinya memproses pendidikan yang membuat siswa tidak sekedar tahu dan simpati, tapi harus sampai pada tataran empati. Penilaian afektif yang kita lakukan masih sebatas “penilaian perilaku belajar”, bukan internalisasi nilai-nilai itu dan perwujudannya. Kiai Dahlan telah mencontohkan kepada kita bagaimana pendidikan yang mengajarkan empati. Ketika mengajarkan Al-Maun, beliau tidak sekedar menyuruh muridnya bercerita tentang simpati mereka pada anak yatim dan orang miskin, tapi

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 75

penanaman empati itu diwujudkan dengan “tugas praktik” mencari anak yatim dan orang miskin kemudian memberi mereka makanan dan pakaian yang layak. Apakah hanya ilmu sosial dan humaniora yang bisa mengajarkan empati? Menurut saya tidak. Sebagai manusia kita ditantang Allah SWT untuk menjadi khalifah, ini berarti kita tidak hanya berempati pada sesama manusia tapi juga keseluruhan alam ini. Jadi ketika kita mengajarkan tentang degradasi, deforestasi, abrasi, polusi, dan berbagai fenomena kerusakan alam lain kita bisa mengajarkan siswa berempati pada alam—dan tentu pada manusia lain yang menjadi korban kerusakan itu. Selain mengajarkan kepada siswa tentang pentingnya empati, dalam melaksanakan proses pembelajaran itupun guru sebagai pendidik harus berempati kepada peserta didiknya. Berempati pada peserta didik bukan berarti memaklumi ketidakmampuan mereka, namun dalam pengertian memahami cara berpikir mereka, emosi mereka, potensi dan kebutuhan mereka untuk mencapai pemahaman akan materi yang kita ajarkan. Ini penting, jika guru tidak berempati bisa jadi ia akan memaksakan metode mengajar yang malah menyulitkan siswanya. Dalam analogi yang saya ceritakan pada awal tulisan ini, Sang Sopir dan Pemilik Bis gagal berempati kepada para penumpang yang khawatir pada keselamatan kelompok sampai-sampai tidak memikirkan lagi tujuan kepergiannya. Apakah penumpang harus berempati pada sopir bis yang ingin cepat sampai? Atau pada pemilik bis yang tidak mau susah-susah mengirim sopir baru? Empati diarahkan pada obyek yang lebih susah atau kesulitan, bukan pada obyek yang lebih senang/ gembira. Kita tidak perlu empati pada seseorang yang sudah kaya dan bahagia, tapi kita mesti empati pada orang yang kesusahan. Kepada orang yang tidak kesusahan, bukan empati yang kita berikan tapi rasa menghargai.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 76

Kepercayaan Jika guru sebagai pendidik gagal “mengajar dengan” dan “mengajar agar” empati kepada siswa, maka selanjutnya adalah siswa tidak percaya lagi kepada gurunya. Dalam analogi cerita di atas, para penumpang bis tidak percaya pada supir dan pemilik bis yang tidak bisa empati pada kehawatiran mereka jadinya para penumpang tidak percaya lagi padanya. Namun sayangnya, kenyataan di dunia pendidikan kita kepercayaan siswa—dan orang tua—kepada pendidik sudah cukup berkurang. Ada sebuah pernyataan keras namun perlu kita renungkan: “Jika untuk masuk sekolah/kerja tidak perlu ijazah, tidak akan ada siswa yang sekolah”. Meski tidak semua, namun sebagian siswa bersekolah hanya untuk mendapat selembar ijazah untuk digunakan sebagai syarat sekolah lebih tinggi yang tujuan akhirnya adalah mencari kerja. Karena kita sebagai pendidik kurang empati pada mereka, akibatnya mereka mencari cara lain. Maraknya Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) adalah bukti bahwa siswa dan orang tua tidak percaya lagi kepada kemampuan sekolah (baca:guru) dalam membimbing siswa memahami materi pelajaran. Healey (2010) dalam Radikal Trust menyebutkan dua aspek kepercayaan: aspek karakter kita, dan aspek pengalaman orang lain. Aspek karakter kita menyangkut kepercayaan terkait karakter (kecerdasan emosi). Aspek pengalaman orang lain adalah aspek kepercayaan terkait pelaksanaan (bagaimana tindakan kita?) dan terkait komunikasi (bagaimana perkataan kita?). Terkait karakter diri kita memang perlu mengasah kecerdasan emosi kita. Sebagai pendidik kita harus berempati agar dipercaya siswa, sekaligus KITA HARUS PERCAYA pada siswa. Begitu dalam pikiran terlintas ketidakpercayaan pada siswa (misalnya, tidak percaya kalau mereka pandai/bisa) maka segera

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 77

ketidakpercayaan itu akan membentuk orientasi sikap yang mempengaruhi tindakan kita. Kepercayaan pendidik kepada siswa perlu diwujudkan dalam dua ranah: perbuatan dan perkataan. Jika dalam dua ranah itu siswa bisa menarik garis konsistensi maka mereka akan balik menghargai kita sebagai pendidik dan otomatis meningkatkan kepercayaan mereka akan kesungguh-sungguhan kita mengajar, bukan sekedar bekerja. Kalau siswa sudah tidak percaya bahwa kita bisa atau kita tulus, maka segala usaha pembelajaran kita akan sia-sia. Ini sama dengan nasihat pemilik bis kepada penumpang untuk tenang karena ketidaktenangan mereka semakin membuat supir tidak bisa berkonsentrasi, sebuah pesan yang sia-sia karena penumpang sudah tidak percaya baik pada supir maupun kepada pemilik bis itu. Lalu bagaimana cara memulihkan kepercayaan jika para siswa tidak percaya lagi pada pendidik (atau pada lembaga pendidikan)? John Kador (2009) dalam Effective Apology menyebutkan bahwa meminta maaf adalah kunci memulihkan kepercayaan. Namun permintaan maaf itu tidak boleh sembarangan, harus mengikuti pola agar bisa efektif. Pola itu adalah: pengakuan, tanggungjawab, penyesalan, ganti rugi, dan tidak mengulangi. Jika kita memang salah dan siswa (atau siapa saja-lah) sudah tidak percaya pada kita, maka untuk merajut kembali hubungan agar menjadi baik maka kita harus meminta maaf. Permintaan maaf itu harus berisi kalimat yang menyatakan pengakuan akan kesalahan kita. Setelah mengakui kesalahan kita tidak boleh mencari-cari alasan tapi harus dengan berjiwa kesatria menyatakan akan bertanggungjawab atas resiko kesalahan itu. Kita juga harus secara tegas menyatakan penyesalan atas kesalahan yang kita lakukan. Jika kalimat penyesalan ini tidak

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 78

muncul, orang akan menganggap bahwa kita hanya berpura-pura bermulut manis. Permintaan maaf kita juga harus jelas menyebut mengenai ganti rugi kita kepada pihak yang merasa kita rugikan akibat kesalahan kita. Misalnya jika kesalahan kita adalah tidak datang padahal sudah berjanji, maka ganti ruginya mungkin dalam janjian mendatang kita yang menjemput mereka menuju tempat pertemuan. Terakhir, dan yang paling penting adalah kita tidak mengulangi perbuatan yang salah itu. Dalam contoh kasus, sang supir tetap saja mengulangi mengemudi dengan kesetanan dan tidak mengindahkan rambu-rambu jadinya penumpang semakin tidak percaya padanya. Hubungan antara guru dan siswa sekarang ini memang dilematis. Di satu sisi guru adalah sosok yang harus dihormati siswa, bukan hanya karena lebih tua namun karena ilmunya. Tapi di sisi lain hubungan yang kontraktual telah merusakkan relasi dinamis ini. Hubungan guru-siswa (atau juga guru-pimpinan lembaga) hanya dianggap hubungan kerja yang dinilai dengan uang semata, bukan hubungan moral, hubungan ilmu, hubungan sosial, bahkan lebih dalam mestinya menjadi hubungan antar muslim (ukhuwah islamiyah). Jadi, mari kita mulai menjalankan pendidikan dan pembelajaran dengan empati dan kepercayaan agar tercipta peradaban pendidikan yang humanis.

DAFTAR PUSTAKA Healey, Joe. Radical Trust. Jakarta: BIP, 2010. Kador, John. Effective Apology. Tangerang: Gemilang, 2009. Fitri, Nuzul & Zulkaidah, Anita. Contribution of Emphaty to

Personal Communication (paper undergraduate program). Jakarta: Gunadarma, 2008.

Jurnal INSPIRASI Vol II. No. 2 – Mei 2011

Page 79