17
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020 86 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Dwi Dasa Suryantoro Prodi ahwal asy syakhsiyyah, STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo,[email protected] Abstrak Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Disini hanya ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena usaha suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama. Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, Dalam kaitannya dalam pernikahan, secara tersirat suami/isteri telah sepakat untuk bekerja sama membina keluarga (rumah tangga) yang didalamnya terdapat perintah mencari penghasilan untuk menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera. Disini antara suami/isteri tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai harta bersama. Keywods : Harta Bersama dalam perkawinan,, Jurnal IMTIYAZ; PENDAHULUAN Keluarga merupakan unit terkecil dalam bangunan masyarakat. Ia merpukan subsistem dari sistem sosial yang didalamnya berlaku norma-norma etika, moral, agama, dan hukum, disamping juga berinteraksi dengan subsistem-subsistem dari sistem sosial lain dan dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi dalam subsistem-subsistem lain dan dengan ekosistemnya tersebut akan mempengaruhi keluarga. Struktur dan fungsi keluarga akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan sosial, sebagai akibat antara lain oleh kemajuan yang pesat di bidang sain dan teknologi. Pada era super industri ini terjadi perubahan pada struktur dan fungsi keluarga, dari keluarga besar menjadi keluarga inti, dan dari fungsi yang komplek menjadi hanya tinggal fungsi proteksi. Namun demikian, ada fungsi keluarga yang tidak pernah berubah sepanjang masa, yaitu fungsi peredam serta penstabil kegoncangan dan instabilitas yang terjadi di masyarakat. Setiap anggota keluarga yang telah bergelut dan mengalami kegoncangan dalam mempertahankan hidupnya di luar keluarga, akan mendapatkan ketenangan

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

86 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Dwi Dasa Suryantoro

Prodi ahwal asy syakhsiyyah, STAI Nurul Huda Kapongan

Situbondo,[email protected]

Abstrak

Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta

benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.

Disini hanya ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena

usaha suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta

bersama. Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama

tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, Dalam kaitannya dalam

pernikahan, secara tersirat suami/isteri telah sepakat untuk bekerja sama

membina keluarga (rumah tangga) yang didalamnya terdapat perintah

mencari penghasilan untuk menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera.

Disini antara suami/isteri tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak

bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja

masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas

dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap

sebagai harta bersama.

Keywods : Harta Bersama dalam perkawinan,, Jurnal IMTIYAZ;

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan unit terkecil dalam bangunan masyarakat. Ia

merpukan subsistem dari sistem sosial yang didalamnya berlaku norma-norma

etika, moral, agama, dan hukum, disamping juga berinteraksi dengan

subsistem-subsistem dari sistem sosial lain dan dengan ekosistemnya. Oleh

karena itu, perubahan yang terjadi dalam subsistem-subsistem lain dan dengan

ekosistemnya tersebut akan mempengaruhi keluarga. Struktur dan fungsi

keluarga akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan sosial,

sebagai akibat antara lain oleh kemajuan yang pesat di bidang sain dan

teknologi. Pada era super industri ini terjadi perubahan pada struktur dan

fungsi keluarga, dari keluarga besar menjadi keluarga inti, dan dari fungsi yang

komplek menjadi hanya tinggal fungsi proteksi. Namun demikian, ada fungsi

keluarga yang tidak pernah berubah sepanjang masa, yaitu fungsi peredam

serta penstabil kegoncangan dan instabilitas yang terjadi di masyarakat. Setiap

anggota keluarga yang telah bergelut dan mengalami kegoncangan dalam

mempertahankan hidupnya di luar keluarga, akan mendapatkan ketenangan

Page 2: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

87

dalam kehidupan rumah tangga.1 Norma-norma yang berlaku dalam keluarga

akan mengalami masyarakat. Demikian pula hukum yang mengatur keluarga

akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan masyarakat tersebut.

Keluarga, baik substansi, institusi, maupun budayanya terus mengalami

perubahan. Perubahan ini dilakukan dalam rangka menjawab tantangan

kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi manusia. 2

Antara keluarga dan perkawinan sangat erat kaitannya, karena keluarga

hanya akan lahir dari suatu perkawinan. Tidak akan ada keluarga, tanpa adanya

perkawinan, dan juga tidak ada perkawinan yang tidak membentuk keluarga.

Hal ini secara jelas tergambar dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,

Pasal 28B ayat 1 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun

1999 tentang hak asasi manusia (lembaran negara republik indonesia [LNRI]

tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

[TLNRI] Nomor 3886, selanjutnya disebut UU HAM), yang menyatakan

bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah, dan dalam pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan (LNRI Tahuhn 1974 Nomor 1/1974), yang menyatakan

bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai uami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai suatu keluarga, suami isteri mempunyai kewajiban yang

bersama, antara lain bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-

menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang

lain (Pasal 33 UU No. 1/1974). Itulah filosofi perkawinan, yang tidak lain

adalah sebagai ikatan lahir batin di antara suami isteri guna mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang kekal dan abadi dalam suasana yang penuh

kerukunan, cinta dan kasih sayang. Kepada suami isteri sangat dituntut suatu

gerak langkah yang bersifat ketersalingan, antara lain saling hormat-

menghormati, saling bantu-membantu, saling bekerjasama, saling

ketergantungan, dan saling pengertian. 3

Sebagai wujud nyata dari adanya sifat ketersalingan tersebut, UU No.

1/1974 juga mengatur soal harta benda dalam perkawinan. Aturan tersebut

menyatakan bahwa:

Pasal 35:

1. Taufiq, Peradian Keluarga Indonesia, dalam hukum keluarga dan Peradilan

Keluarga di Indonesia, (Jakarta Mahkamah Agung RI 2000), hlm.73 2. Ibid hlm. 74 3 . M. Yahya Harahap, Perlawanan terhadap eksekusi, (Bandung, PT. Citra Aditya

Bakti, 1993),hlm. 192

Page 3: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

88 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

(2) Harta bawaan dari msing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain.

Pasal 36:

Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak.

Pasal 37:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukunya” masing-

masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya

(penjelasan Pasal 37).

Berangkat dari persoalan diatas maka penulis ingin mengetahui

bagaimana kedudukan harta bersama dalam rumah tangga presppektif

Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

II. Metode

Metode penelitian merupakan suatu tahapan dalam melakukan suatu

kegiatan penelitian sebagaimana nantinya dapat menjalankan fungsi

peneiltian, dimana fungsi penelitian untuk mendapatkan suatu kebenaran. 4

Suatu kebenaran harus bersumber pada ilmu pengetahuan yaitu darimana

sumber-sumber pengetahuan itu diperoleh, apakah sumber pengetahuan

tesebut dapat dipercaya atau tidak. Untuk itu perlu adanya suatu metode dalam

kegiatan penelitian setidaknya dengan menggunakan teknik pendekatan yaitu

Wawancara, Observasi, dan Dokumetasi.

Dengan demikian tanpa adanya suatu metode penelitian, peneliti tidak

akan pernah mendapatkan sumber-sumber pengetahua dalam penelitiannya

sehingga kebenaran yang dicari sebagaimana fungsi dari penelitian itu sendiri

tidak akan pernah mendapatkan kebenaran.

Bahwa dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis pendekatan

yaitu pendekatan penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dimana

penelitian ini mempunyai sifat Deskriptif, yang maksudnya pendekatan

berdasarkan peraturan perundang-undangan serta hukum yang berkaitan erat

dengan masalah yang akan diteliti yang bersumber pada fakta yang sebenarnya

di dalam masyarakat dan bahan pustaka atau data sekunder.

4 . .Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Perdana Media

Group, 2013) hlm. 20

Page 4: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

89

Pedekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan peraturan perundang-

undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan kedudukan harta bersama

dalam perkawinan perspektif Undang-Undang no.1 Tahun 1974.

PEMBAHASAN

Berbicara mengenai harta bersama berarti berbicara soal harta

perkawinan karena ia merupakan bagian daripadanya. Harta perkawinan

menurut pasal 35 ayat 1 menjelaskan bahwa harta bersama merupakan harta

yang diperoleh sesama perkawinan sedangkan dalam ayat 2 UU No. 1 Tahun

1974 menjelaskan tentang harta bawaan dalam perkawinan.

Menurut Andi Hamzah, terdiri dari empat unsur pertama, harta asal

(warisan) dan pemberian yang diperoleh suami/isteri sebelum katan

perkawinan berlangsung; kedua, harta pendapaan suami/isteri selama ikatan

perkawinan berlangsung; ketiga, hara usaha bersama suami/isteri selama

ikatan perkawinan berlangsung, dan keempat, harta yang diperoleh

suami/isteri sebagai hadiah selama berlangsungnya ikatan perkawinan.

Hampir berbeda dengan itu adalah perincian yang dilakukan oleh Hilman

Hadikusuma yang mengelompokkan harta perkawinan ke dalam empat unsur,

yaitu pertama harta bawaan, yakni harta yang dibawa oleh suami/isteri ke

dalam ikatan perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing

ataupun yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan

sesudah perkawinan mereka berlangsung; kedua harta pencarian, yakni harta

yang diperoleh sebagai hasil karya suami/isteri selama ikatan perkawinan

berlangsung, ketiga harta peninggalan, dan keempat harta pemberian seperti

hadiah, hibah, dan lain-lain.5

Sepintas, terkesan ada perbedaan mengenai unsur harta perkawinan

antara apa yang dikemukakan Andi Hamzah dengan Hilman Hadikusuma.

Tetapi, pada prinsipnya, tidak ada perbedaan dimaksud, karena unsur yang

pertama dalam pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud

oleh Hilman Hadikusuma sebagai harta bawaan. Unsur yang kedua dalam

pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud dengan unsur

ketiga oleh Hilman Hadikusuma. Unsur yang ketiga dalam pandangan Andi

Hamzah sama dengan apa yang dimaksud unsur kedua oleh Hilman

Hadikusuma, dan unsur keempat dalam pandangan Andi Hamzah sama

dengan apa yang dimaksud pada unsur keempat oleh Hilman Hadikusuma.

Namun demikian, pada unsur keempat dalam pandangan Andi Hamzah

telah dikhususkan pada hadiah, sehingga untuk hibah dimasukkannya dalam

unsur kedua. Sementara Hilman Hadikusuma memasukkan hadian dalam

5 . Hilman Hadikusua, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung, CV. Mandaraju,

1990) hlm. 123-124

Page 5: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

90 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

unsur keempat yakni dalam kategori pemberian, yang termasuk didalamnnya

hibah dan hadiah.

Secara ringkas baik menurut pandangan Andi Hamzah maupun Hilman

Hadikusuma, harta perkawinan itu terdiri dari harta bawaan, harta bersama

dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, hibah atau warisan

selama ikatan perkawinan berlangsung.

Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta

benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Dalam

penjelasannya dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, maka harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hanya inilah ketentuan

mengenai pengertian harta bersama dalam UU No. 1/1974. Bagaimana wujud

dan ruang lingkup dari harta bersama itu, UU No. 1/1974 sendiri tidak

menjabarkannya lebih lanjut. Namun demikian, disini telah terpancang suatu

kaidah hukum bahwa semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan

perkawinan menjadi uris diksi harta bersama.

Undang-undang sendiri tidak memerinci dan menjelaskan lebih lanjut

bagaimana wujud dan ruang lingkup harta bersama, maka disini dapat

mengacu pada ketentuan pasal 91 KHI yang pada intinya menentukan bahwa

harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Benda

berwujud disini dapat meliputi benda tidak bergerak. Benda berwujud disini

dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,

sedangkan benda tidak terwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

Berdasarkan rincian tersebut, maka harta bersama itu termasuk dalam

kategori benda, yang secara yuridis adalah segalah sesuatu yang dapat menjadi

obyek hak milik.6 Secara kategoris ada beberapa macam benda, yakni benda

berwujud (lichamelijk) dan benda tidak berwujud (onlichamelijk), benda

bergerak dan benda tidak bergerak, benda yang dapat dipakai habis

(verbruikbaar) dan benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar)

benda yang sudah ada (tegenwoordigde zaken) dan benda yang masih akan ada

(toekomstige) benda dalam perdagangan (zaken in de handle) dan benda di luar

perdagangan (zaken buiten de handle) serta benda yang dapat dibagi dan tidak

dapat dibagi. Sedangkan dalam pasal 1 angka 4 UUF, benda itu adalah segala

sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang

tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun

tidak bergerak.

R. Subekti membagi benda menjadi dua pengertian, yaitu benda dalam

pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Benda dalam pengertian luas

adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang dam karena itu benda

Page 6: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

91

termasuk obyek hukum. Sedangkan benda dalam pengertian sempit berarti

“barang yang terlihat” saja, dan dapat juga berarti “kekayaan yang dimiliki

seseorang”. Jika benda dimasukkan dlam pengertian yang terakhir, maka ia

meliputi juga barang-barang yang tidak dapat dilihat, seperti hak-hak yang

dimiliki oleh seseorang”. Jika benda dimaksudkan dalam pengertian yang

terakhir, maka ia meliputi juga barang-barang yang tidak dapat dilihat, seperti

hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. 7

Undang-undang telah mengklasifikasi benda menjadi beberapa

klasifikasi, dan salah satu yang terpenting di antaranya adalah klasifikasi benda

menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, karena pembagian tersebut

mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Berbicara soal benda,

tidak bisa lepas dari ketentuan Buku II KUHPerdata, karena disanalah sumber

aturan untuk ini berasal. Tetapi, dengan telah dibelakukannya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (LNRI Tahun

1960 Nomor 104 – TLNRI Nomor 2043, yang disebut Undang-Undang Pokok

Agraria, selanjutnya disebut UUPA), berpengaruh besar terhadap dayalaku

ketentuan Buku II KUHPerdata tersebut, khususnya dalam bidang pertahanan.

Hal ini disebabkan karena ketentuan UUPA dimaksud mencabut beberapa

aturan di bidang pertahanan yang berlaku sebelumnya, antara lain adalah

ketentuan Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata indonesia

sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan atau yang

terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai

hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang

ini. (cetak tebal dari penulis).

Dengan demikian, pasca diundangnya UUPA, semua ketentuan

mengenai hak-hak kebendaan sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata,

dicabut, kecuali aturan mengenai hipotek. Tetapi, setelah berlangsung selama

lebih dari tiga setengah dasawarsa, tepatnya hampir 35 tahun enam bulan,

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah

(LNRI Tahun 1996 Nomor 42 – TLNRI Nomor 3632, yang disebut Undang-

Undang Hak tanggungan, selanjutnya disebut UUHT) aturan mengenai

hipotek terhadap hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah pun dinyatakan dalam pasal 29 UUHT yang menyatakan bahwa dengan

berlakunya Undang-Undang ini, dan ketentuan mengenai Hypotheek

sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata

7 . R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 13, (Jakarta, PT Interasa

1978) hlm. 50

Page 7: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

92 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas

tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak

berlaku lagi. Sedangkan ketentuan mengenai Hypotheek yang tidak berlaku

lagi hanya yang menyangkut pembebanan Hypotheek atas hak atas tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.8

Dengan demikian, jangkauan dayalaku ketentuan Buku II KUHPerdata

menjadi semakin sempit, yang dapat diperinci sebagai berikut :

a. Pasal yang masih berlaku penuh karena tidak menjangkau mengenai soal

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai berikut

:

1) Pasal yang dimaksud adalah :pasal tentang benda bergerak, yakni

pasal 509 – 518;

2) pasal tentang penyerahan benda bergerak, yakni pasal 612 dan613;

3) pasal tentang bewoning, dan ini hanya mengenai rumah, yakni pasal

826 dan 827;

4) pasal tentang hukum waris, yakni pasal 830 – 1130. Walaupun ada

beberapa pasal dalam Hukum Waris yang juga mengenai tanah, tanah

tersebut diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris;

5) pasal tentang piutang yang diistimewakan (Previlegie), yakni Pasal

1131 – 1149;

6) 6. pasal tentang gadai, karena gadai hanya mengenai benda bergerak,

yakni Pasal 1150 – 1160;

7) pasal tentang Hipotik, untuk selain tanah, yang dalam hal ini adalah

Pasal 1168 dan 1169,

8) Pasal 1171 ayat 3 dan 4, Pasal 1175 dan 1176 ayat 2, Pasal 1177 dan

1178, Pasal 1180,

9) Pasal 1186 dan 1187, pasal 1189 dan 1190, pasal 1193, Pasal 1197,

pasal 1205, Pasal

10) 1207 sampai dengan 1219 dan Pasal 1224 sampai dengan Pasal 1227.

b. Pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal yang mengatur tentang

bumi, air dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal-pasal

tersebut adalah :

1. Pasal tentang benda tak bergerak, yang hanya berhubungan dengan

Hak-hak mengenai tanah;

2. Pasal tentang ara memperoleh hak milik, yang hanya mengenai tanah;

3. Pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak, tak pernah

berlaku;

4. Pasal tentang kerja rodi, yakni Pasal 673;

8

Page 8: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

93

5. Pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga, yakni

Pasal 625 673;

6. Pasal tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid), Yakni Pasal

674 – 710;

7. Pasal tentang hak Opstal, yakni Pasal 711 -719;

8. Pasal tentang hak Erfpacht, yakni Pasal 720 – 736;

9. Pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh, yakni Pasal 737 –

755.

c. Pasal yang masih berlaku, tetapi tidak secara penuh, dalam arti bahwa

ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi masih tetap

berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya. Pasal yang dimaksud

adalah:

1. Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;

2. Pasal tentang cara membedakan benda, Pasal 503 -505;

3. Pasal tentang benda, sepanjang tida mengenai tanah, terletak di antara

Pasal 529 – 568;

4. Pasal tentang hak milik, sepanjang tidak mengenai tanah, terletak di

antara Pasal 570;

5. Pasal tentang Hak memungut hasil (Vruchtgebruuk), sepanjang tidak

mengenai tanah, yakni Pasal 756;

6. Pasal tentang Hak Pakai sepanjang tidak mengenai tanah, yakni Pasal

818.

Selain pasal-pasal tersebut, juga semua pasal yang merupakan

pelaksanaan atau bertalian dengan pasal yang tak berlaku itu, meskipun tidak

tegas-tegas disebut dan letaknya diluar Buku Ke II, yaitu dalam Buku Ke III,

Buku Ke IV KUH Perdata juga dianggap tidak berlaku lagi; misalnya Pasal

1955 dan 1963, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat

memperoleh hak Eigendom melalui verjaring, yang hakekatnya pasal ini

merupakan pelaksanaan dari pasal 610 yang menentukan bahwa bezitter dapat

memperoleh hak eigendom atas sesuatu benda melalui verjaring. Juga pasal

tentang sewa-menyewa tanah, jual beli tanah dan lain-lain. Karena bertalian

dengan tanah yang sudah diatur khusus dalam UUPA, maka pasal-pasal

tersebut tidak berlaku lagi. Selain itu juga pasal 621, 622, 623 KUHPerdata

mengenai pemberian penegasan tentang hak atas tanah yang menjadi

wewenang dari Pengadilan Negeri.

Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi benda tidak bergerak

karena sifatnya, karena tujuannya, dan karena ditentukan demikian oleh

undang-undang. Yang digolongkan kedalam pengertian benda tidak bergerak

karena sifatnya adalah tanah, rumah, dan segala sesuatu yang melekat diatas

Page 9: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

94 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

tanah, seperti pohon-pohon,(wortelvast) dan tumbuh-tumbuhan kecil (takvast).

Yang digolongkan kedalam pengertian benda tidak bergerak karena tujuannya,

seperti mesin alat-alat yang dipakai di dalam pabrik, walaupun sebenarnya ia

termasuk kategori benda tidak bergerak, tetapi oleh si yang empunya dalam

pemakainnya dihubungkan atau dikaitkan pada benda pokok, yakni benda tak

bergerak, sehingga ia termasuk pada benda tak bergerak. Ini pun masih harus

dipenuhi beberapa persyaratan, antara lain benda begerak yang dipakai dalam

benda pokok itu harus sedemikian bentuk dan konstruksinya, sehingga

keduanya sesuai dan terikat untuk dipakai tetap, selain syarat tersebut, syarat

lainnya adalah bahwa hanya pemilik benda tiak bergerak yang dijadikan benda

pokok itu yang dapat menjadikannya sebagai benda bergerak karena

tujuannya, sedangkan orang lain, misalnya pihak penyewa, tidakdapat

perlindungan demikian. Selain kedua syarat tersebut, syarat lainnya adalah

bahwa benda tidak begerak dan benda tidak bergerak tersebut dimiliki oleh

orang yang sama, bukan pihak lain. Sedangkan yang digolongkan kedalam

benda tidak bergerak karena ditentukan demikian oleh undang-undang ialah

hak-hak atas benda tidak bergerak, seperti hak memungut hasil atas benda tiak

bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak, dan hak tanggungan.

Walaupun tanah, rumah, dan benda-benda yang berada diatas tanah itu

merupakan salah satu unsur benda tidak bergerak, yang menurut KUHPerdata

bahwa antara tanah dengan benda-benda yang berada diatasnya merupakan

satu-kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain,

sehingga benda yang berada diatas tanah menjadi satu-kesatuan dengan

tanahnya, dan oleh karena itu tidak mungkin mengadakan transaksi secara

terpisah antara tanah dengan benda yang berada diatasnya itu, tetapi dalam

sistem Hukum Pertanahan Nasional (HPN) Indonesia tidaklah demikian.

Memang terdapat perbedaan asas antara hukum pertanahan yang dianut

oleh KUHPerdata dengan yang dianut oleh HPN Indonesia. Asas yang dianut

oleh hukum pertanahan dalam KUHPerdata antara asas perlekatan (netrekking

beginsel), sedangkan HPN Indonesia, menganut asa pemisahan horizontal

(horizontale scheiding beginsel), seperti yang diatur UUPA, yang bersumber

pada hukum adat, diamana hukum adat itu menganut asas yang memisahkan

antara kepemilikan tanah dengan benda-benda yang berada diatasnya. Dalam

lalu lintas masyarakat adat, sejak dahulu dikenal transaksi rumah atau tanaman

yang berada diatas sebidang tanah, tanpa ikut mentransaksikan bidang

tanahnya. Oleh karena itu, sehubungan dengan asas pemisahan horizontal ini,

dalam HPN kita sangat mungkin sekali adanya suatu benda, entah itu berupa

bangunan, tanaman, dan lain-lain yang beada diatas sebidang tanah,

pemiliknya berbeda dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Hal yang sama

Page 10: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

95

ditegaskan pula dalam penjelasan umum UUHT yang antara lain menyatakan

:

Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya

adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun

kenyataannya, sering kali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman,

dan hasil-hasil karya, yang secara tetap merupakan satu-kesatuan dengan

tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Sebagaimana diketahui, Hukum

Pertanahan Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas

pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya

dengan bangunan, tanaman, dan hasil kaya tersebut, Hukum Pertanahan

Nasional menggunakan juga asas pemisahan horizontal. Dalam rangka

pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu-kesatuan dengan

tanah menurut hukum bukan merupakan bagian tanah yang bersangkutan.

Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak

dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Namun demikian,

penerapan asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu

memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan, dan

kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat

hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam

undang-undang ini dinyatakan bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas

tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud

diatas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam

praktek, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu-kesatuan dengan

tanah yang bersangkutan dan keikut-sertaannya dijadikan jaminan, dengan

tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam Akta Pembebanan Hak

Tanggungannya. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan

jaminan itu, tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah

yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki oleh pihak

lain.

Suatu benda digolongkan kedalam pengertian benda bergerak karena ia

bersifat sebagai benda bergerak, atau karena undang-undang yang

menentukannya demikian. Yang digolongkan kedalam pengertian benda

bergerak karena sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan, seperti meja,

atau karena ia dapat dipindah sendiri, seperti ternak. Benda yang digolongkan

kedalam pengertian benda bergerak karena undang-undang menentukan

demikian adalah hak-hak atas benda bergerak, seperti hak memungut hasil dari

suatu benda bergerak, dan hak pemakaian atas benda bergerak. Hak jaminan

vidusia, dan saham perusahaan. Khusus mengenai yang terakhir ini ditentukan

dalam pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang

Perseroan Terbaas (LNRI Tahun 1995 Nomor 13 – TLNRI Nomor 3587).

Page 11: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

96 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Pasal ini menyatakan saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak

kepemilikan kepada pemegangnya. Penjelasan ayat tersebut menyatakan

“kepemilikan atas sahan sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan

kepada pemegangnya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap

orang”.

Selain saham, yang digolongkan sebagai benda bergerak juga adalah hak

cipta, seperti yang ditentukan Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta (LNRI Tahun 2002 Nomor 85 - TLNRI Nomor 4220) yang

menyatakan bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. Yang

dimaksud dengan hak kebendaan adalah hak atas suatu benda yang

memberikan kekuasaan atas bendaitu, dan hak ini dapat dipertahankan

terhadap siapapun juga. Termasuk dalam pengertian hak kebendaan ini adalah

hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak tanggungan, hak gadai,

jaminan fidusia, dan hipotik.

UUF menggolongkan benda ada yang termasuk pada benda berwujud

dan adapula benda yang tidak berwujud. Demikian juga harta bersama, ada

yang berupa benda berwujud dan adapula yang berupa benda tidak berwujud.

Harta bersama dalam bentuk benda tidak berwujud dapat berupa hak maupun

kewajiban yang dalam operasionalisasinya dapat pula menjangkau pada hak

atas kekayaan intelektual HAKI.

Suatu asas telah terpancang, yakni semua harta yang diperoleh selama

dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Asas ini telah

dikembangkan secara enumeratif dalam praktek peradilan seperti yang

dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, sehingga daya jangkaunya menjadi

demikian luas. Berdasarkan pengembangan tersebut, maka harta perkawinan

yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah :

a. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi

yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar dan

dimana letaknya, tidak menjadi persoalan. Ini sudah merupakan yurisprudensi

tetap, yang salah satu antaranya adalah putusan MA No. 803 K/Sip/-1970,

tanggal 5 Mei 1971, yang menegaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau

isteri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta

bersama suami isteri jika pembeliannya dilakukan selama perkawinan.

Tetapi, jika uang pembelian barang itu berasal dari harta pribadi

suami/isteri, maka barang tersebut tidak masuk dalam yurisdiksi harta

bersama, melainkan menjadi milik pribadi suami/isteri yang bersangkutan. Hal

ini tertuang dalam putusan MA No. 151 K/Sip/1974, tanggal 16 Desember

1975, yang menegaskan bahwa barang-barang yang di tuntut bukanlah barang

gono-gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang tersebut dibeli dari

Page 12: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

97

harta bawaan milik pribadi Fatimah. Demikian juga halnya jika biaya

perwujudan barang tersebut berasal dari harta bawaan, maka barang itu bukan

yurisdiksi harta bersama, melainkan sebagai harta bawaan. Hal ini ditegaskan

dalam putusan MA No. 237 K/AG/1977, tanggal 12 Maret 1977 jo. Putusan

PTA No. 69/Pdt.G/1996/PTA. Mdn., tanggal 14 April 1997, jo. Putusan PA

No. 38/Pdt.G/1996/PA.Bji., tanggal 10 Oktober 1996, yang salah satu inti

pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan bahwa rumah yang dibangun

dari harta bawaan, bukan harta bersama, tetapi harta bawaan.

b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari

harta bersama Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan

oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan,

meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya penceraian.

Misalnya, suami isteri selama perkawinan mempunyai deposito. Kemudian

terjadi penceraian. Deposito tersebut dikuasai oleh suami, dan belum dilakukan

pembagian. Dari deposito tersebut suami membangun rumah. Disini, rumah

tersebut termasuk dalam yurisdiksi harta bersama. Penerapan MA No.

803/K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970, yang pada intinya antara lain

menyatakan bahwa apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya itu berasal

dari harta bersama, menjadi yurisdiksi harta bersama.

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penerapan seperti itu harus

dipegang secara teguh guna menghindari manipulasi dan itikad buruk ex

suami/-isteri. Sebab, dengan penerapan demikian, hukum tetap dalam

menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang

lain. Misalnya, harta bersama yang mulanya berupa tanah kebun yang telah

berubah menjadi gedung, maka gedung tersebut tetap menjadi yurisdiksi harta

bersama. Jika hukum tidak mampu menjangkau hal yang demikian, tentu akan

banyak terjadi manipulasi harta bersama pasca terjadinya perceraian oleh ex

suami/isteri, dengan tujuan agar semua harta bersama dapat dikuasai. Tindakan

dan itikad yang seperti itu bertentangan dengan nilai-nilai hukum, keadilan dan

kepatutan. Oleh karena itu untuk mengatasinya perlu ditetapkan suatu

kemutlakan harta bersama yang tetap melekat pada setiap barang dalam jenis

dan bentuk apapun, sepanjang barang itu berasal dari harta bersama, walau itu

diperoleh dan dibeli pasca terjadinya perceraian.

c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan

perkawinan

Hal ini sangat relevan dengan kaidah hukum mengenai harta bersama,

yakni semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan

sendirinya menjadi harta bersama. Namun dalam banyak kasus, sengketa harta

bersama berjalan tidak semulus dan sesederhana yang dibayangkan banyak

Page 13: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

98 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

orang. Pada umumnya, dalam setiap sengketa harta bersama, pihak tergugat

menyangka bahwa obyek gugatan bukan sebagai harta bersama, melainkan

milik pribadi tergugat. Jika demikian dari jawaban yang dikemukakan terguga,

maka patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk yurisdiksi

harta bersama atau tidak, sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan

penggugat membuktikan dalil gugatannya bahwa obyek sengketa itu diperoleh

selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak

berasal dari harta pribadi. Penerapan ini tertuang dalam putusan PT Medan,

tanggal 26 November 1975 yang pada intinya antara lain menyatakan bahwa

pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara

diperoleh sebelum perkawinan dengan suaminya dan malah terbukti bahwa

sesuai dengan tanggal izin mendirikan bangunan, rumah tersebut dibangun di

masa perkawinan dengan suaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami/isteri,

sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri. Dalam tingkat kasasi,

MA dengan putusan No. 808 K/Sip/1974, tanggal 30 Juli 1974, menguatkan

outusan PT Medan tersebut. MA menentukan bahwa masalah atas nama siapa

harta itu terdaftar, bukanlah faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta

masuk yurisdiksi harta bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat

membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan

berlangsung, dan biayanya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya

harta yang terdaftar atas nama suami/isteri yang menjadi yurisdiksi harta

bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/isteri pun,

tetap menjadi yurisdiksi harta bersama, asal dapat dibuktikan bahwa itu

diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Hal ini dapat dilihat

dalam putusan MA No. 103 K/Sip/1972, tanggal 23 Mei 1973, yang antara lain

pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sekalipun toko dan barang yang

ada di dalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas nama adik suami, akan

tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu masih terikat dalam

perkawinan dengan isterinya, maka harta tersebut harus dinyatakan sebagai

harta bersama, yang dapat diperhitungkan pembagiannya di antara suami isteri.

d. Pembagian harta bersama dan harta bawaan Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta

bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tapi bukan hanya barang

yang berasal adri harta bersama saja yang menjadi yurisdiksi harta bersama,

melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau isteri. Sekalipun hak

dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya,

namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga.

Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tapi hasil dari barang

Page 14: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

99

tersebut menjadi yurisdiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang

suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Disini harus dibedakan antara harta yang dibeli dari hasil penjualan harta

pribadi dengan harta yang timbul dari harta pribadi an sich. Dalam hal harta

yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, secara milik pribadi yang ditukar

dengan barang lain, mutlak menjadi milik pribadi, tetapi hasil yang timbul dari

harta pribadi itu jatuh menjadi harta bersama.

e. Segala penghasilan pribadi suami/isteri

Patokan ini sesuai dengan putusan MA No. 454/K/Sip/1970, tanggal 11

Maret 1971 yang pada intinya menyatakan bahwa segala penghasilan

suami/isteri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan

masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai

pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami/isteri jadi sepanjang

mengenai penghasilan pribadi suami/isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan

dengan sendirinya terjadi penggabungan sebagai harta bersama.

Penggabungan pernghasilan pribadi suami/isteri ini terjadi demi hukum,

sepanjang suami/isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

f. Harta Bersama Dalam Perkawinan Serial dan Poligami Soal ini diatur dalam pasal 65 Ayat (1) huruf b UU no. 1/1974 yang

menyatakan “isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta

bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau

berikutnya itu terjadi”. Selanjutnya dalam huruf c Pasal dan ayat yang sama

dinyatakan “semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang

terjadi sejak perkawinannya masing-masing”

Ketentuan tersebut menegaskan beberapa asas, yakni pertama, dalam

perkawinan serial atau poligami terbentuk beberapa paket harta bersama.

Kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan

dilangsungkan. Ketiga, masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan

berdiri sendiri.

Asas yang pertama, yaitu dalam perkawinan serial atau poligami

terbentuk beberapa paket harta bersama. Berapa jumlah paket harta bersama

dimaksud, tergantung pada berapa banyak isteri yang dikawini suami.

Misalnya, mula-mula seorang laki-laki, A menikah dengan seorang perempuan

yang bernama X. Berarti antara A dan X terbentuk satu paket harta bersama.

Beberapa tahun kemudian pernikahan A dan X putus karena wafatnya X.

Setelah itu, A menikah lagi dengan Y. Dan pernikahan antara A dan Y ini

terbentuk pula satu paket harta bersama. Setelah berlangsung beberapa waktu

lamanya, pernikahan antara A dan Y ini putus karena perceraian. Lantas A

menikah lagi dengan Z. Disini pun antara A dan Z terbentuk satu paket harta

bersama. Dalam kasus ini berarti A mempunyai tiga paket harta bersama, yaitu

Page 15: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

100 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

pertama, paket harta bersama dalam pernikahan dengan X, kedua paket harta

bersama dalam pernikahannya dengan Y, dan ketiga paket harta bersama

dalam pernikahannya dengan Z.

Bentuk harta bersama dalam pernikahan serial tersebut sama dengan

pernikahan poligami. Jika seorang suami berpoligami dengan dua isteri, maka

dalam kehidupan rumah tangganya terbentuk dua paket harta bersama, antara

suami dengan masing-masing isterinya. Demikian seterusnya, yang jumlah

paketnya tergantung pada jumlah isteri dalam perkawinan poligami tersebut.

Asas yang kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal

perkawinan dilangsungkan. Dalam contoh yang dikemukakan pada asas

pertama, harta bersama antara A dengan X terbentuk sejak pernikahan mereka

dilangsungkan dan berakhir pada saat perkawinan itu putus karena kematian

X. Demikian pula halnya harta bersama antara A dengan Y dan dengan Z,

paket ini terbentuk, terhitung sejak pernikahan dilangsungkan dan baru

berakhir dengan putusnya perkawinan mereka.

Asas yang ketiga, yaitu masing-masing harta bersama tersebut terpisah

dan berdiri sendiri. Dalam perkawinan serial atau poligami, masing-masing

paket harta bersama itu terpisah dan berdiri sendiri, tidak terjadi penggabungan

antara satu paket dengan paket lainnya. Harta bersama antara suami dengan

isteri pertama, kedua, dan seterusnya, masing-masing terpisah dan berdiri

sendiri. Dalam contoh yang dikemukakan pada saat pembicaraan asas pertama,

paket harta bersama antara A dengan X, A dengan Y, dan A dengan Z, masing-

masing terpisah antara satu dengan yang lain.

Hal tersebut sejalan dengan muatan Pasal 65 ayat (1) huruf b UU No.

1/1974 dan sudah cukup lama diterapkan dalam praktek peradilan jauh

sebelum lahirnya ketentuan normatif dalam UU No. 1/1974. Putusan MA No.

248 K/Sip/1958, tanggal 10 September 1958 antara lain menegaskan bahwa

bilamana seorang laki-laki kawin dengan lebih dari seorang perempuan,

sedangkan ada pula lebih dari satu gono-gini, maka gono-gini itu dipisahkan.

Sedangkan penerapan asas tersebut pasca diberlakukannya UU No. 1/1974

adalah putusan MA No. 3581 K/Pdt/1989, tanggal 2 Februari 1995, yang dari

putusan tersebut dapat diangkat abstrak hukum yang pada intinya adalah

bahwa barang yang diperoleh dari perkawinan isteri pertama yang telah

wafat,kemudian dibawa ke dalam perkawinan kedua,maka barang tersebut

adalah harta bawaan,bukan harta bersama dengan istri kedua.

Asas tersebut bukan hanya berlaku bagi pria,tetapi juga bagi wanita yang

kawin serial dengan beberapa pria. Misalnya seorang wanita, M, mula mula

menikah dengan N, setelah berlangsung beberapa waktu lamanya perkawinan

itu putus karena wafatnya N, M menikah lagi dengan O. Dalam contoh ini, M

mempunyai dua paket harta bersama, yakni satu paket harta bersama M dengan

Page 16: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

101

suaminya yang pertama, N, dan kedua paket harta bersama antara M dengan

O.

Kedua paket harta bersama ini masing-masing terpisah dan berdiri

sendiri. O tidak berhak atas paket harta bersama antara M dengan N, demikian

juga N, tidak berhak atas paket harta bersama antara M dengan O, putusan MA

No. 343 K/AG/1995, tangggal 30 Oktober 1996 ini abstrak hukumnya

menyatakan bahwa karena uang yang digunakan untuk membeli tanah dan

rumah adalah milik isteri yang diperolehnya dari pembagian harta bersama

dengan bekas suaminya terdahulu, maka tanah dan rumah tersebut adalah milik

isteri bukan sebagai harta bersama dengan suaminya yang kedua.

g. Konsiderasi Dasariah Lahirnya Harta Bersama

Harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dianalogikan

dengan harta milik suatu badan usaha, harta perkongsian, atau harta

perserikatan, karena didasarkan pada pandangan bahwa pernikahan bukanlah

akad sepihak, dimana pihak wanita hanya dijadikan sebagai obyek akad semata

yang berakibat pada statusnya sebagai unsur yang tidak memiliki harta dalam

rumah tangga, melainkan sebagai akad timbal balik dari kedua belah pihak.

Yang menjadi obyeknya adalah suatu kenikmatan, baik berupa kenikmatan

material maupun immaterial yang dirasakan oleh kedua belah pihak. Dalam

kerangka pikir ini, masing-msing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara

timbal balik, yakni saling menerima dan memberi. Dengan demikian, jika ada

sebuah kenimkatan, baik dalam lingkup material maupun immaterial, harus

dapat dinikmati secara bersama. Dari pandangan inilah, khusu ditinjau dari

segi keuntungan materi, akad nikah menyerupai perkongsian dalam bidang

mu’amalad. Maksudnya, suami isteri berkongsi untuk membina sebuah rumah

tangga, baik dalam rangka menciptakan keturunan yang shaleh maupun

membangun perekonomian rumah tangga guna menunjang terwujudnya

keturunan yang shaleh dimaksud. Oleh karena itu, antara suami isteri tidak lagi

mempersoalkan apa bentuk tugas yang harus diselesaikan masing-masing.

Yang ditekankan adalah kerja sama dalam bentuk tolong-menolong, sehingga

ketika salah satu pihak tidak mampu menyelesaikan tugas yang semula

ditentukan baginya, tugas itu sangat mungkin untuk di ambil alih oleh pihak

lain sebatas kemampuannya. Bagi rumah tangga demikian ini, yang penting

ialah adanya kesepakatan, baik secara tegas maupun secara tersirat, bahwa

segala kerugian yang ditimbulkan dalam pengurusan rumah tangga harus

ditanggung bersama. Demikian juga sebaliknya, segala keuntungan yang

diperoleh harus dinikmati bersama atas dasar pemikiran ini, maka harta yang

diperoleh itu dianggap sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan pihak

mana yang paling banyak berperan dalam mendapatkannya. Kerja sama dalam

mencari keuntungan materi yang hanya bermodalkan keahlian, bukan dana,

Page 17: JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020

102 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

disamping tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak berperan

dalam bekerja, juga tidak mempersoalkan apakah materi kerja masing-masing

sama macamnya atau tidak, dalam khazanah ilmu fikih disebut sebagai syirkah

al’amal atau syirkah al-abdan. Dalam bentuk syirkah seperti ini, yang

dipentingkan adalah danya kesepakatan untuk be kerja sama dalam suatu

bentuk usaha mencari laba, tanpa modal, kecuali tenaga keahlian masing-

masing, dengan ketentuan penghasilannya dibagi antara mereka menurut

kesepakatan.

Dalam kaitannya dalam pernikahan, secara tersirat suami/isteri lewat

akad nikah telah sepakat untuk bekerja sama membina keluarga (rumah

tangga) yang didalamnya terdapat perintahh mencari penghasilan untuk

menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera. Disini antara suami/isteri

tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak bekerja menghasilkan

kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja masing-masingnya.

Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas dasar itu, penghasilan

yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai harta bersama.

PENUTUP

Dengan melihat isi dari pasal 35, 36, 37 maka dapat disimpulkan bahwa

ketentuan mengenai harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang

perkawinan sudah sejalan dengan ketentuan dalam Hukum Islam. Disini hanya

ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena usaha

suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama.

Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap

mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing,

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, CV.

Mandaraju.

Harahap, M. Yahya, 1993, Perlawanan terhadap eksekusi, Bandung, PT. Citra

Aditya Bakti.

Marzuki Mahmud Peter, 2013, Penelitian Hukum, Jakarta:kencana prenada

media group.

Subekti, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 13, Jakarta, PT

Interasa.

Soemiyati, 1982. Hukum perkawinan islam dan undang-undang Perkawinan,

Yoyakarta: Liberty.

Taufiq, 2000 Peradian Keluarga Indonesia, dalam hukum keluarga dan

Peradilan Keluarga di Indonesia, jakarta.