Upload
riska-ulfah-mulyadi
View
359
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Journal Reading
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
ANTITHYROIDS DRUGS
oleh:
Riska Ulfah
NIM. 02.45408.00198.09
Pembimbing:
dr. H. Latif Choibar C., Sp. PD
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2010
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
ANTITHYROID DRUGS
Di presentasikan pada tanggal 4 Mei 2010
Disusun oleh:
Riska Ulfah
NIM. 02.45408.00198.09
Pembimbing:
dr. H. Latif Choibar C., Sp. PD
OBAT ANTITHYROID
The New England Journal of MedicineVol. 352;9 3 Maret 2005
David S. Cooper, M.D.
PENDAHULUAN
Obat Antithyroid telah digunakan selama lebih dari setengah abad. Obat ini
tetap menjadi landasan dalam pengelolaan hyperthyroidisme, khususnya untuk
penderita penyakit Graves. Survey para ahli thyroid pada awal tahun 1990
menunjukkan bahwa obat Anti thyroid menjadi pilihan para penderita penyakit
graves yang berusia muda tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga dihampir
seluruh dunia. Sejumlah informasi baru berdasarkan bukti-bukti semakin
meningkat jumlahnya sejak topik mengenai obat anti thyroid di kumpulkan
dalam jurnal pada tahun 1984. Saat ini muncuk kesadaran akan perlunya kajian
tentang Parmakologic terkini dan penggunaan data klinis yang berhubungan
senyawa tersebut.
PARMAKOLOGI
a. Mekanisme Kerja
Obat Anti Thyroid terdiri dari molekul sederhana yang dikenal sebagai
thionamides, yang berisi kelompok sulfhidril dan setengah tiourea dalam struktur
heterosiklik seperti pada gambar dibawah ini.
Propylthiouracil (6-propil-2-thiouracil) dan methimazole (1-metil-2-
mercaptoimidazole, Tapazole) adalah obat antitiroid yanng digunakan di Amerika
Serikat. Methimazole digunakan di sebagian besar negara Eropa dan Asia, dan
carbimazole (analog methimazole), digunakan di Britania Raya dan Negara
Persemakmuran Inggris.
Agen ini secara aktif terkonsentrasi oleh kelenjar tiroid melawan gradien
konsentrasi. Efek utama adalah untuk menghambat sintesis hormon tiroid
dengan mengganggu dengan tiroid peroksidase- dimediasi iodinasi residu tirosin
dalam thyroglobulin, merupakan langkah penting dalam sintesis tiroksin dan
triiodothyronine.
Propylthiouracil (6-propil-2-thiouracil) dan methimazole (1-metil-2-
mercaptoimidazole, Tapazole) adalah obat antitiroid yang digunakan di Amerika
Serikat. Methimazole juga digunakan oleh kebanyakan negara di Eropa dan Asia,
sedangkan carbimazole, sebuah analog methimazole, digunakan di Inggris dan
negara-negara persemakmuran Inggris.
Obat-obat ini memiliki efek penting lainnya:
1. Propylthiouracil dapat memblokir konversi tiroksin untuk triiodothyronine
dalam tiroid dan jaringan perifer, tetapi efek ini secara klinis tidak penting
dalam kebanyakan kasus.
2. Obat antitiroid secara klinis penting untuk memberikan efek kekebalan
supersif. Pasien yang menggunakan obat anti thyroid, konsentrasi serum
antibodi antithyrotropin-reseptor mengalami penurunan.
Farmakologi Klinis
Propylthiouracil dan methimazole dengan cepat diserap dari saluran pencernaan,
dalam satu atau dua jam setelah konsumsi obat. Level serum tidak ada
hubungannya dengan efek antitiroid, yang biasanya terakhir 12-24 jam untuk
propylthiouracil dan mungkin lebih lama lagi untuk methimazole. 30,31 Tidak ada
penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit hati, meskipun
clearance 22 methimazole (tapi tidak propylthiouracil 32) mungkin menurun.
24,25 Durasi panjang tindakan methimazole memungkinkan dosis sekali sehari,
sedangkan propylthiouracil biasanya diberikan dua atau tiga kali per hari protein.
26,27 Kedua obat berbeda mengikat mereka dalam serum. Methimazole pada
dasarnya bebas dalam serum, sedangkan 80 sampai 90 persen dari
propylthiouracil terikat pada albumin. Dosis obat ini tidak perlu berubah pada
anak-anak, 28 orang tua, 29 atau orang dengan gagal ginjal.
PENDAHULUAN
Prevalensi diabetes semakin meningkat di seluruh dunia, dan sebagian
besar penderita diabetes mengalami kematian atau kecacatan akibat komplikasi
vaskular. Studi prospektif menunjukkan hubungan antara glukosa darah dan
kadar glycated hemoglobin dengan resiko kejadian vaskular utama. Tetapi
penelitian-penelitian yang bertujuan mengevaluasi efek kontrol glikemik pada
pasien diabetes menunjukkan bukti yang inkonsisten terhadap efek penyakit
vaskular. Meskipun demikian, guidelines merekomendasikan target kadar
glycated hemoglobin ≤ 7,0% bagi sebagian besar pasien dengan diabetes.
The ADVANCE (The Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and
Diamicron Modified Release Controlled Evaluation) trial didesain untuk menilai
outcome vaskular utama pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan
penurunan glycated hemoglobin hingga target ≤ 6,5% (kontrol glukosa darah
intensif). The ADVANCE trial, merupakan penelitian yang melibatkan kolaborasi
dari 215 pusat pendidikan di 20 negara Asia, Australasia, Eropa, dan Amerika
Utara.
METODE
Sampel Penelitian
Kriteria dan persyaratan sampel yaitu pasien yang didiagnosis menderita
diabetes melitus tipe 2 pada usia ≥ 30 tahun, dengan riwayat penyakit
makrovaskular atau mikrovaskular utama, atau paling sedikit satu faktor resiko
untuk penyakit vaskular. Tidak ada kriteria inklusi maupun eksklusi berdasarkan
glycated hemoglobin. Kriteria eksklusi termasuk pasien dengan indikasi
pengobatan tertentu atau kontraindikasi terhadap terapi yang akan diberikan
selama penelitian, atau indikasi penggunaan terapi insulin jangka panjang pada
saat penelitian berlangsung.
Terapi yang Digunakan dalam Penelitian
Pasien yang masuk kelompok kontrol glukosa darah intensif diberikan
gliclazide (modified release) 30 – 120 mg/hari dan pemberian golongan
sulfonilurea yang lain dihentikan. Walaupun waktu pemberian, seleksi, dan dosis
seluruh terapi lain diserahkan kepada dokter yang menangani, tetapi tetap ada
protokol terapi yang sama untuk semua pasien yang menjadi sampel penelitian.
Protokol tersebut menyarankan peningkatan dosis gliclazide dengan rangkaian
penambahan atau peningkatan dosis metformin, thiazolidinedion, acarbose, atau
insulin (saran penggunaan awal insulin basal) pada permulaan terapi. Kemudian
dilakukan penambahan insulin kerja lambat saat makan bagi pasien yang target
kadar glycated hemoglobin-nya tidak tercapai, meskipun kadar glukosa darah
puasa tercapai. Pasien kelompok kontrol standar yang menggunakan terapi
gliclazide pada awal penelitian perlu mendapatkan obat substitusi berupa
sulfonilurea yang lain, jika terapi lanjutan dibutuhkan.
Jadwal Follow-up
Pasien dalam kelompok kontrol intensif dipantau pada minggu ke-2
setelah randomisasi, kemudian pada bulan ke-1, 2, 3, 4, dan 6, dan kemudian
setiap 3 bulan. Pasien-pasien tersebut juga diminta untuk mengikuti kunjungan
lain yang tidak terjadwal untuk meningkatkan monitoring dan intensifikasi
kontrol glukosa. Sedangkan pasien yang masuk dalam kelompok kontrol glukosa
standar dipantau pada 3, 4, dan 6 bulan setelah randomisasi dan kemudian
setiap 6 bulan. Informasi yang dikumpulkan setiap kali follow-up yaitu glukosa
darah, glycated hemoglobin, tekanan darah, dan kadar lipid. Selain itu juga dinilai
kepatuhan dan toleransi terhadap terapi yang diberikan dan outcome pasien.
Pada tahun ke-2, ke-4, dan kunjungan akhir, selain pemeriksaan di atas juga
dilakukan pengukuran rasio albumin urin dan kreatinin, pemeriksaan retina,
pemeriksaan status mental, dan penilaian kualitas hidup. Pada saat kunjungan
penelitian khusus untuk kelompok kontrol intensif, informasi yang dikumpulkan
terbatas pada kadar glukosa darah, glycated hemoglobin, dan terapi penurunan
glukosa.
Pengukuran Laboratorium
Semua pengukuran dilakukan di laboratorium setempat, dan setiap
pengukuran glycated hemoglobin distandarisasi. Sampel darah untuk
pengukuran kadar glukosa darah diambil dari darah vena atau kapiler.
End Points
Outcome primer terdiri dari kejadian makrovaskular dan mikrovaskular
yang dinilai secara bersamaan maupun terpisah. Kejadian makrovaskular
didefinisikan sebagai kematian akibat kardiovaskular, infark miokard non-fatal,
dan stroke non-fatal. Kejadian mikrovaskular didefinisikan sebagai nefropati baru
atau perburukan nefropati (perkembangan makroalbuminuria, atau peningkatan
serum kreatinin ≥ 2,26 mg/dl, kebutuhan akan terapi penggantian ginjal, atau
kematian akibat penyakit ginjal), dan retinopati (antara lain perkembangan
retinopati proliferatif, edema makula, atau kebutaan akibat diabetes, atau
penggunaan terapi fotokoagulasi retina).
Spesifikasi dari outcome sekunder adalah kematian dengan penyebab
apapun, kematian akibat kardiovaskular, major coronary events (kematian akibat
PJK termasuk kematian mendadak atau non-fatal infark miokard), total coronary
events (silent myocardial infarction, revaskularisasi koroner, atau MRS karena
angina tidak stabil), kejadian serebrovaskular utama (kematian akibat penyakit
serebrovaskular atau stroke non-fatal), kejadian serebrovaskular total (kejadian
serebrovaskular utama, TIA, atau perdarahan subarakhnoid), gagal jantung
(kematian karena gagal jantung, perawatan di rumah sakit karena gagal jantung,
atau perburukan kelas NYHA), kejadian vaskular perifer, seluruh peristiwa
kardiovaskular, nefropati baru atau perburukan nefropati, retinopati baru atau
perburukan retinopati, perkembangan mikroalbuminuria, deteriorasi visual,
neuropati baru atau perburukan, penurunan fungsi kognitif (penurunan skor
pemeriksaan status mental mini paling sedikit 3 poin, dibandingkan dengan skor
baseline), demensia, dan perawatan di rumah sakit selama ≥ 24 jam.
Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah ≤ 50 mg/dl atau
ditemukannya gejala dan tanda khas hipoglikemia. Pasien dengan disfungsi
sementara sistem saraf pusat yang tidak dapat membantu diri mereka sendiri
dimasukkan dalam kategori hipoglikemia berat.
Analisis Statistik
Seluruh analisis diatur berdasarkan prinsip perlakuan yang disengaja. Efek
terapi pada hasil akhir penelitian diestimasi dengan menggunakan model
unadjusted Cox proportional-hazard. Seluruh nilai P merupakan hubungan timbal
balik, dan nilai P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL
Karakteristik dasar dari sampel penelitian
Antara Juni 2001 sampai Maret 2003, 12877 sampel yang memenuhi
syarat didaftarkan. Sekitar 1737 di antaranya mengundurkan diri sehingga tinggal
11.140 pasien yang menjadi sampel penelitian. Follow up dilakukan hingga 5
tahun. Kedua kelompok sampel memiliki karakteristik dasar yang serupa yang
dapat dilihat pada tabel 1.
Efek terhadap glycated hemoglobin dan glukosa darah puasa
Pada akhir dari periode follow up, rata-rata glycated hemoglobin pada
kelompok kontrol intensif yaitu 6,5% dan pada kelompok kontrol standar yaitu
7,3%. Kadar glukosa darah puasa turun sekitar 21,9 mg/dl pada kelompok kontrol
intensif dibandingkan dengan kelompok kontrol standar.
Efek terhadap faktor resiko lain
Pada akhir dari periode follow-up, rata-rata tekanan darah sistolik lebih
rendah pada kelompok kontrol intensif dibandingkan dengan kelompok kontrol
standar. Perbedaan ini tampak sejak kunjungan pertama setelah randomisasi.
Rata-rata berat badan selama periode follow-up 0,7 kg lebih besar pada
kelompok kontrol intensif dibandingkan dengan kelompok standar (p<0,001).
Tabel 1. Karakteristik sampel saat awal dan di akhir periode follow-up
Penggunaan terapi penurunan glukosa dan pengobatan lain
Selama periode follow-up, penggunaan sebagian besar kelas obat
hipoglikemik oral dan insulin meningkat pada kelompok kontrol intensif
dibandingkan dengan kelompok kontrol standar. Pada kelompok kontrol intensif,
90% pasien pada kunjungan terakhir masih menggunakan gliclazide, 70,4%
diantaranya dengan dosis 120 mg/hari. Insulin diresepkan pada 40,5% pasien
kelompok kontrol intensif dan 24,1% pada kelompok kontrol standar. Pada akhir
kunjungan, 16,8% pasien kelompok kontrol intensif dan 10,9% kelompok standar
mendapatkan thiazolidinedion. Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah,
modifikasi lipid, dan antiplatelet sama antara kedua kelompok tersebut.
Efek terhadap outcome primer
Dari 2125 peserta yang mengalami kejadian makrovaskular dan
mikrovaskular, 18,1% diantaranya adalah kelompok kontrol intensif dan 20%
kelompok kontrol standar. Dibandingkan dengan kelompok kontrol standar,
kelompok kontrol intensif menghasilkan penurunan insiden kejadian
mikrovaskular utama yang signifikan, tetapi tidak pada kejadian makrovaskular
utama. Tidak ada bukti interaksi antara intervensi tekanan darah dan glukosa
darah terhadap timbulnya outcome primer.
Efek terhadap kematian dan outcome sekunder yang lain
Total 1031 pasien yang meninggal, 8,9% merupakan kelompok kontrol
intensif dan 9,6% merupakan kelompok kontrol standar. Dibandingkan dengan
kelompok standar, kelompok intensif berhubungan dengan penurunan yang
signifikan terhadap kejadian ginjal, termasuk nefropati baru atau perburukan,
dan onset baru mikroalbuminuria. Komponen nefropati baru atau perburukan
yang jelas menurun pada kelompok kontrol intensif yaitu perkembangan
makroalbuminuria, dengan pola penurunan kebutuhan terapi penggantian ginjal,
atau kematian akibat kelainan ginjal, tetapi tidak didapatkan efek pada kadar
serum kreatinin.
Lebih banyak pasien pada kelompok kontrol intensif yang memerlukan
perawatan di rumah sakit dengan sebab apapun, dengan penyebab tersering
yaitu hipoglikemia berat. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok dalam hal outcome sekunder.
Efek Hipoglikemia
Hipoglikemia berat terjadi lebih sering pada kelompok kontrol intensif
dibandingkan kelompok kontrol standar. 150 pasien (2,7%) kelompok kontrol
intensif pernah mengalami paling sedikit satu episode hipoglikemia berat,
dibandingkan dengan kelompok kontrol standar sebanyak 81 pasien (1,5%).
Hipoglikemia ringan juga terjadi lebih sering pada kelompok kontrol intensif (120
kejadian per 100 pasien per tahun) daripada kelompok kontrol standar (90 dari
100 pasien per tahun).
PEMBAHASAN
Pada ADVANCE trial, strategi kontrol glukosa darah intensif melibatkan
gliclazide dan obat-obatan lain yang dibutuhkan untuk menurunkan rata-rata
glycated hemoglobin hingga 6,5% dalam rentang luas pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dan menurunkan insiden outcome primer kejadian makrovaskular
dan mikrovaskular utama. Kontributor utama dalam penurunan outcome primer
hingga 10% pada kelompok kontrol intensif yaitu 21% penurunan resiko
nefropati baru atau perburukan. Tidak didapatkan bukti penurunan dari kejadian
makrovaskular. Kontrol glukosa intensif berkaitan dengan peningkatan resiko
hipoglikemia berat dan peningkatan rata-rata lama perawatan di rumah sakit,
dibandingkan dengan kontrol standar. Tidak didapatkan bukti bahwa efek dari
Gambar 1. Efek relatif strategi kontrol glukosa pada outcomes primer dan sekunder
kontrol glukosa intensif tergantung pada kadar glycated hemoglobin awal, atau
kadar glukosa darah awal, usia, jenis kelamin, atau ada-tidaknya riwayat penyakit
vaskular.
Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
dalam rata-rata kematian dengan penyebab apapun atau kematian akibat
kardiovaskular. Kontrol glukosa intensif menurunkan perkembangan nefropati
baru atau perburukan dan menurunkan onset baru mikroalbuminuria.
Penurunan yang begitu signifikan pada angka kejadian nefropati begitu penting,
karena indeks dari kerusakan ginjal sangat berhubungan dengan resiko kejadian
vaskular utama, penyakit ginjal stadium terminal, dan kematian pada penderita
diabetes di kemudian hari.
Tidak ada bukti bahwa kontrol glukosa intensif menurunkan angka
kejadian retinopati baru atau perburukan, termasuk fotokoagulasi retina. Angka
yang rendah ini membatasi kekuatan penelitian untuk mendeteksi sejumlah efek
sedang dari intervensi terhadap penyakit mikrovaskular mata.
Penelitian ini tidak menunjukkan efek yang signifikan dari kontrol glukosa
intensif terhadap resiko kejadian makrovaskular utama. Walaupun hasilnya
menunjukkan seperti itu tetapi tidak dapat disingkirkan adanya keuntungan dari
kadar glycated hemoglobin yang berbeda antara kedua kelompok tersebut.
Bagaimanapun, jelas bahwa pencegahan komplikasi makrovaskular pada
diabetes membutuhkan pendekatan multifaktorial, termasuk seluruh faktor
resiko utama yang dapat dimodifikasi seperti tekanan darah dan kadar lipid
darah.
Penjelasan bagi penurunan tekanan darah pada kelompok kontrol intensif
masih belum jelas. Perbedaan tekanan darah yang segera setelah randomisasi
mengindikasikan adanya efek awal dari pemberian regimen dalam penelitian ini.
Seperti yang diperkirakan, terdapat insiden yang lebih tinggi dari
hipoglikemia pada kelompok kontrol intensif, walaupun keseluruhan resiko dari
komplikasi ini rendah.
KESIMPULAN
Strategi kontrol glukosa intensif memberikan keuntungan dalam
menurunkan kejadian mikrovaskular utama terutama kejadian nefropati,
sedangkan pada kejadian retinopati dan komplikasi makrovaskular tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kontrol glukosa intensif dengan kontrol glukosa
standar. Sementara itu, kontrol glukosa intensif lebih sering mengakibatkan
pasien jatuh ke dalam keadaan hipoglikemia yang lebih berakibat fatal bagi
kelangsungan hidup pasien.