Upload
margaretha-quina
View
134
Download
9
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL HUKUM
LINGKUNGAN INDONESIA Volume 1 Issue 2, Desember 2014
Indonesian Center for Environmental Law
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 1 Issue 02 / Desember / 2014
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: [email protected]
Diterbitkan oleh:
INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331
Tata Letak dan Desain Sampul: Matacakra Design
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan
mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum
lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan
melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan.
DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
iii
R E D A K S I D A N M I T R A B E B E S T A R I
Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Yuyun Ismawati
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Yustisia Rahman, S.H.
Redaktur Pelaksana
Rika Fajrini, S.H.
Margaretha Quina, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Josi Khatarina, S.H., LL.M.
Rino Subagyo, S.H. Windu Kisworo, S.H., LL.M.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Feby Ivalerina, SH., LL.M.
Dyah Paramita, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H. Dessy Eko Prayitno, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H. Raynaldo G. Sembiring, SH. Astrid Debora, S.H. Ohiongyi Marino, S.H. Nisa Istiqomah, S.H.
Mitra Bebestari
Ricardo Simarmata, Ph.D.
Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan
dalam penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.
iv
P E N G A N T A R R E D A K S I
Menggagas Arah Kebijakan Hukum
dalam Mewujudkan Demokrasi Lingkungan di Indonesia
ebagaimana telah ditekankan pada JHLI edisi lalu, demokrasi lingkungan merupakan wujud kedaulatan lingkungan yang berjalan seiring dengan kedaulatan rakyat. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945
menegaskan bahwa kedaulatan tersebut didasarkan dan hanya dapat dijalankan berdasarkan hukum (Constitutional Democracy). Dalam kerangka ini hukum karenanya menjadi alat vital untuk memastikan demokrasi lingkungan diadopsi dan dijalankan dalam praktik pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Pendekatan politik hukum yang memandang hukum secara utuh, tidak sekedar teks dan norma ansich dapat digunakan untuk mengkaji, apakah demokrasi lingkungan telah menjadi praksis atau sekedar jargon populis yang ramai dibincangkan aktivis dan pemanis janji kampanye politisi.
Dalam konteks masyarakat modern, Hukum adalah sebuah instrumen. Hukum tidak hanya dipandang sebagai cara untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga digunakan untuk mengarahkan tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai, dan menciptakan pola-pola kebiasaan baru di masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, hal ini sejalan dengan gagasan tentang politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy) atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Oleh karena lebih menekankan pada pencapaian tujuan yang diinginkan, pembentukan hukum dalam konteks masyarakat modern kerap dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar pembentuk hukum itu sendiri. Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah (GermanHistoricalSchool), sebagaimana dikemukakan oleh tokohnya Freidrich Carl Von Savigny (1776-1861), yang menyatakan bahwa hukum adalah ekspresi dari kesadaran umum atau keinginan rakyat (Volkgeist).
Dalam pandangan modern, hukum tidak dianggap sebagai ekspresi keanginan rakyat yang abadi dan suci, melainkan sebagai sesuatu yang relatif, bisa dirubah dan bergantung pada keadaan. Bahkan secara tajam Sorokin menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, hukum buatan manusia sering kali merupakan instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lainnya. Hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan utilitarian yakni keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan hidup masyarakat secara keseluruhan atau golongan masyarakat yang berkuasa. Mazhab Hukum Kritis (Critical Legal Studies) yang muncul pada pertengahan abad ke-20
S
v
mempertegas kritik terhadap hukum dan proses pembentukan hukum dalam masyarakat modern. Mazhab Hukum Kritis memandang pembentukan hukum tidaklah netral secara politis, bahkan pembentukan hukum tidak lain merupakan salah satu bentuk dari diskursus politik.
Hukum karenanya merupakan produk kesepakatan politik dan tarik menarik antar kepentingan. Hukum bukan produk yang lahir dari ruang yang hampa, oleh karena itu untuk memaknai dan mengimplementasikan hukum perlu juga memperhatikan situasi sosial, ekonomi, dan politik ketika hukum dibentuk. Hal yang sama juga harus diperhatikan dalam memahami berbagai produk hukum dan kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Berbicara mengenai politik hukum lingkungan di Indonesia, kita tidak dapat hanya melihat pada kegiatan legislasi saja. Politik hukum lingkungan ini bersifat konvergen, dibentuk oleh kebijakan-kebijakan hukum yang didorong oleh berbagai pihak. Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Organisasi Lingkungan Masyarakat serta Dunia Internasional (organisasi internasional) merupakan para pihak yang dapat mempengaruhi politik hukum lingkungan, akumulasi kebijakan hukum seperti apa yang mereka dorong membentuk politik hukum lingkungan itu sendiri.
Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap dampak lingkungan yang muncul akibat politik pembangunan yang berkembang pada pertengahan abad ke-20 berperan besar terhadap berkembangnya hukum lingkungan di Indonesia. Konferensi PBB tentang Manusia dan Lingkungan pada tahun 1972 di Stockholm yang menghasilkan Stockholm Declaration on Human Environment sebagai kesepakatan global pertama tentang lingkungan hidup mengakselerasi berkembangnya hukum lingkungan di Indonesia. Pertama-tama hal tersebut dapat dilihat dari diakomodirnya pertimbangan lingkungan hidup dalam pembangunan di GBHN 1973-1978. Selanjutnya seiring dengan meningkatknya kesadaran di tingkat nasional, hukum lingkungan terus berkembang melalui institusionalisasi pengelolaan lingkungan hidup yang ditandai dengan pembentukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta pengesahan perundang-undangan lingkungan. Tak dapat dipungkiri berbagai perubahan dan lahirnya perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup turut mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Hal ini merupakan wujud konstitusionalisme baru, yakni bentuk inkorporasi norma atau produk hukum di tataran global ke dalam produk hukum di tingkat nasional melalui pembentukan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai global tersebut.
Hukum merupakan produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibire) atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (premittere). Hukum dapat dibentuk baik melalui tindakan pengaturan, penetapan, ataupun proses pengadilan, yang membedakan adalah pembentuk serta ruang lingkup keberlakukannya. Hukum yang dibentuk
vi
melalui tindakan pengaturan dibentuk oleh parlemen yang memiliki kewenangan legislasi untuk membuat peraturan yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Sementara itu penetapan merupakan tindakan yang menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings) yang bersifat individual dan konkret. Semenetara itu keputusan judisial yang dihasilkan dari proses penghakiman atau pengadilan menghasilkan vonis (putusan) yang berlaku bagi mereka yang terkait dengan peristiwa tertentu. Perkembangan hukum lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup saja, melainkan turut pula dipengaruhi oleh lahirnya keputusan eksekutif serta putusan pengadilan berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup yang memberikan warna terhadap hukum lingkungan Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, Masyarakat melalui organisasi lingkungan juga turut serta menentukan arah kebijakan hukum lingkungan. Dari pengalaman yang ada, advokasi-advokasi yang yang dilakukan organisasi lingkungan dapat diadopsi dalam kebijakan hukum eksekutif, legislatif maupun yudikatif, contohnya permasalahan keterbukaan informasi publik dan hak gugat organisasi lingkungan yang saat ini sudah diterima dalam hukum lingkungan Indonesia.
Pada jurnal edisi kali ini, Redaksi mengundang akademisi, praktisi, aktivis serta pegiat lingkungan untuk memberikan pandangannya mengenai Politik Hukum Lingkungan Indonesia yang kami maknai sebagai salah satu wujud atas praksis demokrasi lingkungan tersebut. Jika di edisi pertama JHLI mengulas “Demokrasi Lingkungan” sebagai konsep filosofis, maka di edisi ini JHLI bermaksud mengkaji kekuatan, peluang, serta tantangan realisasi konsep demokrasi lingkungan tersebut dalam dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih konkret. Politik hukum karenanya menjadi titik acuan utama untuk menimbang sejauhmana kita bisa bergerak mewujudkan demokrasi lingkungan, dari konsep menuju praksis.
Jakarta, Desember 2014,
Redaksi
vii
D A F T A R I S I
Redaksi & Mitra Bebestari .......................................................................................... iii
Pengantar Redaksi ....................................................................................................... iv
Daftar Isi ....................................................................................................................... vii
Artikel Ilmiah
1. Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai
Pelaksanaannya
Myrna A. Safitri .............................................................................................. 1
2. Konsistensi Negara atas Doktrin Welfare State dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan oleh Masyarakat Adat
Wahyu Nugroho ........................................................................................... 22
3. Peluang Penerapan FPIC Sebagai Instrumen Hukum Progresif untuk
Melindungi Hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Minyak dan
Gas Bumi
Nisa Istiqomah Nidasari ............................................................................. 50
4. Penerapan Transhipment: Kaitannya dengan Hak Bangsa Indonesia
atas Komoditas Perikanan dan Pembangunan Berkelanjutan
Savitri Nur Setyorini.................................................................................... 86
5. Gugatan Warga Negara (Studi Kasus: Gerakan Samarinda Menggugat)
Rizkita Alamanda ....................................................................................... 101
Catatan Akhir Tahun Hukum Lingkungan 2014
“Menyongsong Perlindungan Lingkungan Hidup Lebih Baik:
17 Pekerjaan Rumah Pemerintahan Jokowi-JK
Tim Penyusun ICEL ................................................................................................. 111
Penutup Redaksi ........................................................................................................ viii
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ................................. xii
Biografi Penulis ........................................................................................................... xv
HAK MENGUASAI NEGARA DI KAWASAN HUTAN:
BEBERAPA INDIKATOR MENILAI PELAKSANAANNYA
Myrna A. Safitri1
Abstrak
Kementerian Kehutanan (sekarang berganti menjadi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sedang menjalankan program
percepatan pengukuhan kawasan hutan. Tujuannya antara lain
menciptakan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan.
Meskipun demikian, persoalan lebih mendasar dari percepatan
pengukuhan kawasan itu adalah memperjelas alas hak penguasaan
pemerintah dan masyarakat pada tanah-tanah yang termasuk ke dalam
kawasan hutan.Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsep-konsep hukum
terkait dengan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.Bagaimana
penguasaan dimaksud dapat memberikan kepastian hukum sekaligus
keadilan bagi masyarakat dan pemerintah.Sebagai basis dalam
membangun konstruksi ini adalah elaborasi konsep penguasaan negara
atas kawasan hutan atau dikenal dengan hak menguasai
negara.Bagaimana indikator menilai pelaksanaan hak menguasai negara
itu dan bagaimana indikator tersebut digunakan untuk menilai regulasi
dan praktik pengukuhan kawasan hutan adalah inti dari tulisan ini.
Kata kunci: kawasan, hutan, hak menguasai negara
Abstract
The Ministry of Forestry (now merged as Ministry of Environment and
Forestry) is currently conducting acceleration of forest area gazettement
program. The goal, among others, is to create forest area with legal certainty and
justice. Nevertheless, the more fundamental issue than the acceleration of forest
area designation is the clarification of government land tenure and public land
tenure on lands belong to the forest area. This paper aims to explain legal
1 Direktur Eksekutif Epistema Institute
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
2
concepts related to the land tenure in the forest area. How the tenure could give
legal certainty and justice at the same time for both society and government. The
foundation of this paper is the elaboration of state control over forest areas
concept, known as the state right to control. How the indicators used in assessing
the implementation of the state right to control and how these indicators are used
to assess the regulation and practices of forest area designation are the two core
question of this paper.
Keywords: area,forest, state right to control.
1. Pendahuluan
Pembentukan kawasan hutan sejatinya ditujukan untuk menyediakan
wilayah yang direncanakan menjadi hutan tetap. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyebutkan bahwa status
hukum kawasan hutan diperoleh melalui pengukuhan kawasan yang terdiri
dari tahapan penunjukan, penatabatasan, pemetaan dan penetapan. Kegiatan
penataan batas yang berhasil dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (pada
Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo disebut menjadi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan) hingga tahun 2009 hanyalah 11 persenan dari total luas
kawasan hutan. Rendahnya capaian ini antara lain disebabkan belum
terselesaikannya klaim masyarakat atas tanah yang ditunjuk sebagai kawasan
hutan itu. Melihat pada kondisi ini maka percepatan pengukuhan kawasan
hutan termasuk di dalamnya penyelesaian konflik dengan masyarakat yang
berada di dalam, berbatasan dan di sekitar kawasan itu perlu dilakukan.
Kementerian Kehutanan dengan dukungan berbagai pihak tengah
mengupayakan percepatan pengukuhan kawasan hutan ini. Pada tahun 2014
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan menargetkan sekitar 68% kawasan
hutan dapat ditetapkan.
Meskipun demikian, persoalan lebih mendasar dari percepatan
pengukuhan kawasan itu adalah memperjelas alas hak penguasaan pemerintah
dan masyarakat pada tanah-tanah yang termasuk ke dalam kawasan
hutan.Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsep-konsep hukum terkait dengan
konstruksi penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Secara khusus
pertanyaan yang akan dijawab adalah bagaimana konstruksi dimaksud dapat
memberikan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi masyarakat dan
pemerintah. Sebagai basis dalam membangun konstruksi ini adalah elaborasi
konsep penguasaan negara atas kawasan hutan atau dikenal dengan hak
MYRNA A. SAVITRI
3
Sumber:PermenhutNo.P.32/Menhut-II/2013
menguasai negara ke dalam indikator yang dapat digunakan menilai
pelaksanaan hak menguasai negara tersebut.
Saya membagi tulisan ini ke dalam enam bagian.Setelah bagian
pendahuluan ini maka bagian kedua memaparkan sejarah, data dan fakta
mengenai kawasan hutan. Bagian ketiga menjelaskan tafsir hak menguasai
negara dan tujuannya. Bagian keempat menjelaskan rumusan indikator untuk
menilai pelaksanaan hak menguasai negara. Pada bagian kelima kita
mendiskusikan bagaimana hak menguasai negara digunakan untuk menilai
pengkuhan kawasan hutan dan jenis-jenis penguasaan tanah secara umum
terutama berdasarkan subjek hukumnya.Bagian keenam memberikan
kesimpulan.
2. Kawasan Hutan Indonesia: Sejarah, Data dan Fakta
Pembentukan kawasan hutan merupakan bagian dari perencanaan
kehutanan. Tujuannya adalah menjadikan wilayah tertentu yang ditetapkan
oleh Pemerintah dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.2 UU
Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan dihasilkan melalui proses
pengukuhan yang meliputi tahapan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan
penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan.3 Penunjukan kawasan
2Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3Pasal 15 ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
4
hutan pada dasarnya adalah langkah awal menentukan secara indikatif wilayah
yang akan dijadikan kawasan hutan. Kawasan yang telah ditunjuk itu perlu
diverifikasi di lapangan melalui proses penataan batas dan pemetaan. Pada
tahap inilah penyelesaian terhadap tumpang-tindih antara kawasan yang
ditunjuk sebagai kawasan hutan negara dengan tanah dimana terdapat hak-hak
masyarakat hukum adat atau hak pihak ketiga lainnya diselesaikan.
UU Kehutanan yang lama (UU No. 5 Tahun 1967) juga memandatkan
dilakukannya perencanaan kehutanan secara utuh, dengan memasukkan ke
dalamnya pengukuhan kawasan hutan.Namun, hal ini tidak dilaksanakan
secara konsisten. Pembentukan kawasan hutan di beberapa tempat seperti
halnya Pulau Jawa dan Madura serta beberapa wilayah Pulau Sumatera adalah
warisan kebijakan kolonial Belanda. Di wilayah lain di luar Pulau Jawa dan
Madura, kawasan hutan muncul sebagai hasil dari penerbitan konsesi
kehutanan di penghujung tahun 1960-an dan tahun 1970-an. Keputusan
Menteri Pertanian No. 291/Kpts/Um/5/1970 menyatakan bahwa areal konsesi
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai kawasan hutan
produksi, tanpa melalui proses pengukuhan kawasan hutan.
Pada tahun 2013, Kementerian Kehutanan melalui Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) No. P. 32/Menhut-II/2013 tentang Rencana Makro
Pemantapan Kawasan Hutan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan baik
yang terdapat di daratan ataupun perairan4 adalah 130,68 juta hektar atau
68,4% dari luas wilayah daratan Indonesia (lihat peta 1). Kawasan dimaksud
dibagi ke dalam berbagai macam fungsi yakni hutan konservasi seluas 26,82
juta hektar, hutan lindung seluas 28,86 juta hektar, hutan produksi dengan luas
32,6 juta hektar, hutan produksi terbatas dengan luas 24,46 juta hektar, dan
hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 17,94 juta hektar.5
Meskipun kawasan hutan yang ditunjuk itu meliputi areal yang luas,
pada kenyataannya hingga tahun 2009, kawasan hutan yang telah ditetapkan
hanya mencapai 11,29%6 Data ini menunjukkan bahwa hampir 90% kawasan
hutan Indonesia pada saat itu belum berkepastian hukum. Sebagaimana telah
4 Yang dimaksud dengan kawasan hutan di perairan itu antara lain adalah taman
nasional laut. Kawasan ini ada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan.
5 Hutan konservasi merupakan hutan yang pemanfaatannya sangat dibatasi dan pada umumnya hanya dapat dimanfaatkan jasa lingkungannya seperti halnya cagar alam, suaka margasatwa atau taman nasional. Hutan lindung pemanfaatannya juga terbatas.Selain jasa lingkungan hasil hutan bukan kayu masih dapat dimanfaatkan. Hutan produksi dan hutan produksi terbatas dibedakan dari cara penebangan kayunya. Pada hutan produksi dapat dilakukan tebang habis sedangkan pada hutan produksi terbatas hanya dapat dilakukan tebang pilih.Hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih-fungsikan menjadi bukan kawasan hutan.
6Presentasi dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Agustus 2014.
MYRNA A. SAVITRI
5
disebutkan di awal, penetapan kawasan hutan merupakan fase dimana
kawasan hutan telah dipastikan kejelasan statusnya apakah merupakan
kawasan hutan negara atau hutan hak dimana di dalamnya termasuk pula
hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau disebut sebagai hutan
adat.
Ketidakpastian hukum dari kawasan hutan ini menimbulkan berbagai
persoalan lainnya.Di antaranya adalah lemahnya pengakuan dan perlindungan
hukum terhadap hak-hak warga negara serta kerawanan penyalahgunaan
wewenang yang berimplikasi pada terjadinya korupsi. Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa penunjukan kawasan
hutan yang tidak diikuti dengan proses selanjutnya adalah tindakan
pemerintah yang otoriter. Dalam salah satu pendapatnya, Mahkamah
menyatakan:
Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan
hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai
dengan hukum dan peraturan perundang-undangan,
merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan
kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak
tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak
memerlukan tindakan freiesErmessen (discretionary powers).Tidak
seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup
orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
Melihat bahwa kejelasan status kawasan hutan akan mendukung
pencegahan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan
sejumlah kementerian/lembaga negara pada tahun 2013 menyepakati nota
kesepahaman bersama dan rencana aksi untuk percepatan pengukuhan
kawasan hutan. Rencana Aksi KPK ini menyepakati bahwa pada tahun 2016
target penetapan kawasan hutan sebesar 80% dipenuhi dengan terlebih dahulu
melakukan penyelesaian hak-hak masyarakat. Dalam kenyataannya,
Kementerian Kehutanan melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan
hingga mendekati angka 60% pada tahun 2014 dan menargetkan akan
menyelesaikan pengukuhan kawasan itu sebesar 100% pada 2015. Sementara
itu, belum dapat dipastikan adanya penyelesaian hak masyarakat secara
memuaskan pada seluruh kawasan hutan yang telah ditetapkan.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
6
IzinHKm(2014) IzinHutanDesa(2014)
IUPHHK-HTR(2012)
Pelepasantransmigrasi
(2013)
Pelepasanuntukkebun(2013)
Pinjampakaitambang(2013)
IUPHHK-HA(2012)
IUPHHK-HTI(2012)
IUPHHK-RE(2012)
80.833 67.737 168.448962.000
5.879.980
3.313.574
23.902.979
9.834.744
219.350
Bagan1.IzinPemanfaatan&PenggunaanKawasanHutanNegara
Sumber:RenjaKemenhut,2014,sumberlain.
Izinuntukrakyat
Selain persoalan kepastian hukum terhadap status kawasan hutan, hal
lain yang juga penting mendapat perhatian adalah ketidakadilan dalam
penguasaan dan pemanfaatan kawasan tersebut. Ketimpangan yang sangat
nyata terjadi dalam penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya di
kawasan hutan. Pada kawasan hutan seluas 130-an juta hektar, izin pemanfatan
sumber daya dan kawasan hutan untuk rakyat hanya 3%, sedangkan 97%
selebihnya telah diberikan kepada korporasi (lihat bagan 1).
Pemanfaatan
hutan oleh sektor swasta
melalui Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) dari
hutan alam atau hutan
tanaman juga tidak
berjalan optimal. Data dari
Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia (APHI)
sebagaimana dikutip
Kartodihardjo dan Nagara
(2014) menyebutkan dari
IUPHHK untuk hutan
alam yang telah diberikan, 179 izin tidak aktif (60,8%), 67 izin (22,7%)
beroperasi tanpa mendapat sertifikat pengelolaan hutan lestari, dan hanya 46
izin sisanya (15,6%) yang memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari. Pada
IUPHHK untuk hutan tanaman, kondisinya kurang lebih sama. Dari seluruh
izin yang diberikan, 56,7% tidak aktif (139 izin), 32,6% (80 izin) yang
bersertifikat lestari dan hanya 10,6% (26 izin) yang aktif dan mendapat izin
pengelolaan hutan lestari. Data ini membuktikan bahwa dari 97% kawasan
hutan yang diberikan IUPHHK itu, 34 juta hektar adalah kawasan yangopen
access secara de facto.
Penjelasan di atas menunjukkan kepada kita bahwa ketidakpastian
hukum muncul sebagai akibat kebijakan perencanaan kehutanan yang
inkremental di masa lalu. Sementara itu ketimpangan struktur penguasaan
kawasan hutan adalah cermin dari kurangnya keberpihakan pada pengakuan
hak dan perluasan akses rakyat pada kawasan hutan negara. Data dan fakta ini
menimbulkan pertanyaan mengapa sekian lama pemerintah tidak mampu
menyelesaikan masalah ini dengan memuaskan meskipun ada kewenangan
besar yang diberikan kepada Kementerian Kehutanan terhadap kawasan
hutan?
MYRNA A. SAVITRI
7
Kementerian Kehutanan ditafsirkan sebagai pemegang mandat hak
menguasai negara di kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU
Kehutanan, hak menguasai negara itu memberikan kewenangan untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara
orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan.
Banyak dari jawaban terhadap pertanyaan ini diletakkan pada masalah
kemauan politik, koordinasi, disharmonisasi peraturan perundang-undangan
khususnya di bidang pertanahan dan kehutanan atau faktor politik-ekonomi di
balik kebijakan pengukuhan kawasan hutan (Fay dan Sirait, 2005, Moniaga,
2007, Vandergeest dan Peluso, 2006).Tulisan ini ingin melengkapi sudut
pandang yang telah ada dengan membahas penilaian terhadap pelaksanaan
hak menguasai negara di kawasan hutan.
3. Hak Menguasai Negara: Tafsir dan Tujuan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Inilah yang diartikan sebagai hak
menguasai negara. Sebuah konsep hukum yang acap digunakan untuk
memberikan keabsahan pada penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam
termasuk hutan.
Konsep hak menguasai negara ini di satu sisi dipandang sebagai
kesuksesan bangsa Indonesia merumuskan relasi hukum antara negara dengan
rakyat terkait dengan tanah serta kekayaan alam. Konsep ini menggantikan
doktrin hukum kolonial yang dikenal dengan nama Doktrin atau Pernyatan
Domein atau dikenal pula dengan sebutan Domein Verklaring.7 Namun, di sisi
yang lain, konsep ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai penyebab dari
perilaku keliru dari institusi negara yang menguasai secara fisik laksana
memiliki tanah dan kekayaan alam (lihat kembali Fay dan Sirait, 2005 dan
7 Mengenai Doktrin Domein, asal kemunculan serta polemik diseputarnya lihat Burns
(2004) dan Termorshuizen-Arts (2010).
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
8
Moniaga, 2007). Akibatnya, negara menyingkirkan hak-hak masyarakat
terhadap tanah dan kekayaan alam itu.
Seberapa benarkah bahwa persoalan ketiadaan pengakuan terhadap
hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam itu disebabkan oleh konsep
hak menguasai negara ini? Apakah masalahnya semata-mata kesenjangan
antara doktrin dan realitas?8 Adakah persoalan konseptual yang belum
terselesaikan atau tafsir yang tidak sempurna hingga berimplikasi pada
ketentuan hukum yang kabur dan mendorong beragam interpretasi dan cara
mengimplementasikannya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas saya pertama-tama
perlu menyampaikan bahwa UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemennya
memuat ketentuan yang umum mengenai konsep hak menguasai negara ini.
Terhadap tanah, misalnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak menjelaskan atas
tanah-tanah yang manakah hak menguasai negara itu berlaku. Mohammad
Hatta, salah seorang yang mengusulkan mengenai Pasal 33 ini, baru satu
dekade setelah UUD 1945 berlaku mengatakan bahwa hak menguasai negara
itu berlaku atas tanah-tanah yang berada di luar wilayah desa-desa dan atas
tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh rakyat (Hatta 1954:31). Dengan pernyataan
ini, hak menguasai negara menurut Hatta tidak dapat diterapkan atas tanah-
tanah desa termasuk tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat, serta
tanah-tanah yang dikuasai oleh rakyat secara individual.
Berbeda dengan Hatta, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan mengenai hak
menguasai negara ini sebagai hak yang berlaku atas seluruh tanah-tanah yang
ada di wilayah negara Indonesia. UUPA menyatakan bahwa hak menguasai
negara berlaku atas seluruh tanah baik yang di atasnya terdapat hak atas tanah
ataupun tidak. Derajat keberlakuan hak menguasai negara atas kedua tipologi
penguasaan tanah itu berbeda. Terhadap tanah-tanah yang telah ada hak-hak
atas tanah di atasnya, demikian pula terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat dengan hak-hak komunal yang disebut dengan hak
ulayat atau yang serupanya, kekuasaan negara itu terbatas; sebaliknya terhadap
tanah-tanah yang tidak terdapat hak-hak atas tanah maka kekuasaan negara
lebih luas.9 Hanya terhadap tanah-tanah yang disebut terakhir inilah negara
dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada warga negara lain secara
8Lihat misalnya Lynch dan Talbott (1995) dan Hutagalung (2004).
9Lihat Penjelasan Umum II (2) UUPA.
MYRNA A. SAVITRI
9
individual atau kolektif serta menyerahkannya kepada instansi pemerintah
melalui hak pengelolaan.10
Atas dasar ketentuan dalam UUPA ini, maka dua hal dapat
disimpulkan. Pertama, negara hanya dapat memberikan hak atas tanah kepada
warga negara atau menyerahkannya kepada instansi pemerintah dengan hak
pengelolaan pada tanah-tanah yang bebas dari penguasaan warga negara
secara individual atau kolektif dan tanah yang bukan penguasaan masyarakat
hukum adat. Kedua, untuk menjalankan hak menguasai negara atas tanah,
instansi pemerintah perlu memperoleh hak pengelolaan. Dengan demikian,
penguasaan atas tanah-tanah di wilayah Indonesia perlu didasari atas hak-hak
baik yang bersumber dari hak-hak yang diberikan oleh negara sebagai hak-hak
privat warga, kewenangan publik instansi pemerintah atau hak-hak yang
bersumber dari hak ulayat masyarakat adat.
Pasal 2 UUPA ini merupakan tafsir otentik atas Pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, Pasal 2 ini acap dijelaskan
dalam kaitan dengan lingkup dan definisi hak menguasai negara (lihat tabel 1).
Sangat sedikit pembahasan mengenai tujuan dan cara menilai pelaksanaan hak
menguasai negara itu.
Tabel 1. Lingkup Hak Menguasai Negara menurut UUPA dan UU Kehutanan
UUPA UU Kehutanan
a. Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum
a. Mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan;
b. Menetapkan status wilayah
tertentu sebagai kawasan hutan
atau kawasan hutan sebagai
10Hak pengelolaan ini adalah sebuah format penguasaan tanah yang secara khusus
diberlakukan kepada instansi-instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk pelaksanaan tugasnya namun tanah-tanah dimaksud juga dapat diserahkannya kepada pihak lain. Dasar hukum pertama dari hak pengelolaan ini adalah PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan tanah-tanah negara. Setelah berlakunya UUPA, hak pengelolaan ini memperoleh dasar dari Pasal 2 ayat 4 UUPA. Selanjutnya terdapat beberapa peraturan menteri agraria/dalam negeri terkait dengan hak pengelolaan ini. Dalam perkembangannya terdapat bias pengaturan hak pengelolaan ini dimana tidak hanya instansi pemerintah tetapi juga badan hukum swasta yang menjadi pemegang hak pengelolaan. Pembahasan lebih mendalam mengenai hak pengelolaan ini lihat Parlindungan (1989), Sumardjono (2008:197-215) dan Soemardijono (2008).
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
10
antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa,
c. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
bukan kawasan hutan; dan
c. Mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan
hukum mengenai kehutanan.
Pasal 2 UUPA sebenarnya menjelaskan mengenai empat hal terkait
dengan hak menguasai negara: (i) lingkup hak menguasai negara yang meliputi
seluruh bumi11, air, ruang angkasa dan kekayaan alam; (ii) definisi hak
menguasai negara sebagai kewenangan negara untuk melakukan pengaturan
terhadap alokasi, pemanfaatan, pencadangan dan perlindungan tanah dan
kekayaan alam serta hal-hal lain terkait dengan hubungan hukum dan
perbuatan hukum antara warga negara dengan tanah dan kekayaan alam; (iii)
menegaskan tujuan dari hak menguasai negara untuk mencapai kesejahteraan
dan kedaulatan rakyat dalam konteks negara hukum yang merdeka, berdaulat,
adil dan makmur; (iv) pelaksanaan hak menguasai negara yang dapat
dikuasakan lagi kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat.
Jelaslah bahwa menurut UUPA tujuan hak menguasai negara itu adalah
untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam bahasa Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
tujuannya adalah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun
demikian, kita masih memerlukan ukuran-ukuran yang konkrit untuk menilai
seberapa jauh negara telah berada di jalur yang benar dalam menjalankan
kewenangannya itu. Ukuran atau indikator ini penting dirumuskan karena
pelaksanaan Hak Menguasai Negara ini menimbulkan banyak perdebatan.
Yang pertama terkait dengan penafsiran aparatur pemerintahan yang
menyamakan penguasaan ini dengan pemilikan sehingga menghilangkan atau
membatasi hak-hak rakyat terhadap tanahnya.Persoalan kedua adalah sifat dan
tujuan pengaturan yang dibuat negara dan dilaksanakan pemerintah tidak
sepenuhnya mencapai tujuan yang melekat pada Hak Menguasai Negara ini
yakni untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Persoalan ketiga
terkait dengan proses penyusunan peraturan pertanahan dan pengelolaan
kekayaan alam yang dalam banyak hal kurang memperhatikan prinsip
11Bumi yang dimaksud oleh UUPA adalah permukaan tanah di daratan, tanah di
dasar laut/perairan, dan mineral yang terkandung di dalam tanah (Pasal 1 ayat 4).
MYRNA A. SAVITRI
11
partisipasi rakyat. Masalah keempat adalah lemahnya pengawasan terhadap
peraturan yang dibuat.Yang kelima adalah masalah yang terkait dengan
konstruksi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang sangat antroposentris. Penguasaan
negara semata-mata ditujukan untuk kemakmuran tetapi tidak menyebutkan
dengan tegas bahwa penguasaan itu semestinya juga menyeimbangkan tujuan
kemakmuran dan keadilan pada lingkungan.12
Mahkamah Konstitusi melalui berbagai putusan, antara lain putusan
tentang pengujian UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menafsirkan
Hak Menguasai Negara dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu meliputi
kewenangan untuk:
a. Merumuskan kebijakan
b. Melakukan pengurusan
c. Melakukan pengaturan
d. Melakukan pengelolaan
e. Melakukan pengawasan
Penguasaan negara itu bertujuan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, yang dijelaskan oleh Mahkamah melalui Putusan No.
3/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, akan dapat dicapai melalui
empat indikator berikut:
a. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
b. Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
c. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber
daya alam;
12 Tidak dapat dipungkiri, pendekatan antroposentris sangat kuat dalam Pasal 33 ayat
UUD 1945, Meskipun demikian, saya juga memahami bahwa ekonomi hijau juga diakomodir dalam Pasal 33 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Oleh sebab itu Asshiddiqie (http://www.jimlyschool.com/read/program/254/green-constitution, diakses 4-8-2014) melabeli juga UUD 1945 sebagai konstitusi hijau. Karena selain Pasal 33 ayat 4 itu juga ada Pasal 28H ayat 1 yang menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, dalam kaitan dengan hak menguasai negara, dimana Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah rujukan utama, saya belum menemukan adanya pertimbangan yang kuat terhadap aspek lingkungan dalam hal pelaksanaan kewenangan penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
12
d. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan sumber daya alam.
Keempat indikator ini menentukan seberapa jauh penguasaan tanah
dan kekayaan alam akan mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan
dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi tumpah darah atau dengan istilah
lain melindungi kesatuan wilayah negara dan lingkungan hidupnya,
memajukan kesejahteraan umum dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
Dengan alur dan indikator yang dinyatakan pada bagan 2, kita dapat
memahami bagaimana penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam itu
seharusnya dijalankan oleh penyelenggara negara dan pemerintah.Demikian
pula dengan alur itu kita dapat mengetahui bagaimana rakyat dapat menilai
kemampuan penyelenggara dan pemerintah menjalankan kewenangan Hak
Menguasai Negara.
Meringkas kembali apa yang telah dinyatakan sebelumnya, Hak
Menguasai Negara itu dijalankan melalui lima elemen: perumusan kebijakan,
tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap
tanah dan kekayaan alam. Tujuannya adalah mencapai empat indikator
MYRNA A. SAVITRI
13
kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan
hak rakyat sehingga akhirnya mencapai tiga tujuan negara untuk melindungi
kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan
sosial (Safitri, 2013:248).
4. Menilai Pelaksanaan Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan
Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran terhadap beberapa
elemen Hak Menguasai Negara, terutama dalam hal pengurusan, pengaturan,
pengelolaan dan pengawasan. Meskipun demikian, elemen-elemen yang
disampaikan dalam Putusan Mahkamah itu tidak mudah dipahami oleh
aparatur birokrasi yang mempunyai tugas melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan. Demikian pula bagi masyarakat secara umum sulit
melakukan pengecekan seberapa jauh peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan mengacu pada elemen-
elemen hak menguasai negara tersebut.
Mengacu pada tafsir itu, saya merancang perumusan indikator
penilaian terhadap elemen-elemen Hak Menguasai Negara itu untuk
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada tabel 2. Indikator di sini
dimaknai sebagai komponen untuk menilai keberadaan dan kualitas setiap
elemen Hak Menguasai Negara yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kerangka berpikir yang mendasari perumusan indikator ini dapat dilihat
kembali pada bagan 2. Di situ dipaparkan bagaimana Mahkamah Konstitusi
membangun kerangka logis dalam menjelaskan hubungan antara elemen hak
menguasai negara, indikator kemakmuran rakyat dan tujuan negara. Adapun
indikator yang akan dijelaskan pada tabel 2 memuat elaborasi indikator
kemakmuran rakyat yang telah dibuat oleh Mahkamah dengan mengaitkan
pada tujuan negara dan konteks khusus penguasaan kawasan hutan. Secara
khusus, indikator-indikator ini menerjemahkan aspek-aspek keadilan sosial dan
lingkungan, tata kelola, demokrasi dan kepastian hukum dalam penguasaan
kawasan hutan.
Tabel 2. Indikator Penilaian Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan
Elemen Hak
Menguasai Negara
Indikator
I. Perumusan Kebijakan I.1 Dilakukannya inventarisasi bio-fisik dan
sosial-budaya terhadap kawasan hutan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
14
Elemen Hak
Menguasai Negara
Indikator
secara menyeluruh.
I.2 Adanya arah kebijakan pemanfaatan
dan penggunaan kawasan hutan yang
jelas, stabil dan selaras dengan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan ruang.
I.3 Adanya perencanaan alokasi
pemanfaatan kawasan hutan secara
proporsional antara masyarakat dan
korporasi.
I.4 Adanya perencanaan alokasi fungsi
kawasan hutan yang teruji secara
saintifik dan dikonsultasikan dengan
masyarakat di sekitar.
II. Pengurusan
II.1 Pengakuan terhadap hutan adat dan
hutan hak lainnya.
II.2 Pengukuhan kawasan hutan negara dan
hutan hak termasuk hutan adat
dilakukan dengan proses yang
transparan dan melindungi hak-hak
masyarakat serta dengan batas-batas
yang jelas dan dihormati semua pihak.
II.3 Pemberian izin pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan yang
transparan, akuntabel dan berlandaskan
pada pelaksanaan prinsip Persetujuan
atas Dasar Informasi Awal tanpa
Paksaan (Padiatapa atau free, prior and
informed consent).
III. Pengaturan
III.1 Evaluasi terhadap efektifitas peraturan
perundang-undangan kehutanan yang
sedang berlaku.
III.2 Tersedianya instrumen harmonisasi
peraturan perundang-undangan
kehutanan dan peraturan sektor lain
yang terkait dengan mengacu pada
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001.
III.3 Proses perancangan peraturan
MYRNA A. SAVITRI
15
Elemen Hak
Menguasai Negara
Indikator
perundang-undangan kehutanan yang
terbuka dan partisipatif.
IV. Pengelolaan
IV.1 Dilaksanakannya prinsip-prinsip tata
kelola yang baik yang meliputi
partisipasi, transparansi dan
akuntablitas dalam pengelolaan
kawasan hutan oleh unit-unit
pemerintahan pusat atau daerah.
IV.2 Terpenuhinya legalitas dan prinsip-
prinsip tata kelola yang baik oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)
kehutanan.
V. Pengawasan
V.1 Dilakukannya pengkajian ulang
terhadap izin-izin pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan secara
menyeluruh.
V.2 Dilakukannya evaluasi terhadap kinerja
pengelola hutan secara transparan.
V.3 Adanya penegakan hukum yang efektif
terhadap kejahatan dan pelanggaran
kehutanan.
Dengan indikator yang disebutkan pada tabel di atas maka hak
menguasai negara itu dapat dinilai pelaksanaannya dengan mudah. Selain itu
penilaian juga akan meliputi aspek yang lebih luas dan menyeluruh, tidak
semata dipengaruhi pandangan antroposentris melainkan juga mengutamakan
keadilan ekologis, selain aspek demokrasi dan tata kelola kehutanan yang baik.
5. Pengukuhan Kawasan Hutan sebagai
Instrumen Pelaksanaan Hak Menguasai Negara
UU Kehutanan telah menyebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai
negara salah satunya terwujud dalam bentuk kewenangan menjalankan
pengukuhan kawasan hutan (lihat tabel 1). Kementerian Kehutanan telah
menjalankan kewenangan itu dengan lompatan yang mengagumkan selama
tahun 2009-2014, sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, pada
tahun 2014, hampir 60% kawasan hutan telah ditetapkan. Sementara itu pada
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
16
tahun 2009, penetapan itu hanya mampu mencapai 11.29%. Melihat pada
capaian ini, hal yang penting kita diskusikan adalah bagaimana pengukuhan
kawasan hutan dapat memenuhi indikator II.2 yang disebutkan dalam tabel 2.
Di sini, persoalannya bukan semata mengejar kepastian hukum atas status
kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan kawasan hutan
itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak dan dijalankan melalui proses
yang dalam bahasa Mahkamah Konstitusi adalah „tidak otoriter‟. Dengan kata
lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian
pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.
Untuk menjadikan pengukuhan kawasan hutan memenuhi indikator
II.2 maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini. Pertama, kawasan hutan
yang sedang ditata-batas perlu dilakukan monitoring. Hal ini disebabkan
banyak proses penataan batas dilakukan tanpa pemberian informasi yang
memadai kepada masyarakat, ketiadaan atau minimnya partisipasi masyarakat
dalam pengukuran batas, banyak dilakukan proses penyelesaian klaim
masyarakat secara sepihak, tanpa memberikan pengakuan dan kompensasi
pada hak dan akses masyarakat yang hilang karena pengukuhan kawasan
hutan negara. Kedua, kawasan hutan yang telah selesai ditata-batas perlu
dilakukan evaluasi dengan mekanisme uji-petik terhadap lokasi-lokasi yang
diduga ada penyalahgunaan wewenang atau tidak dijalankannya prosedur
penataan batas yang benar. Ketiga, kawasan hutan yang telah ditetapkan perlu
memasukkan pengakuan terhadap kawasan hutan adat dan kawasan hutan
hak, selain kawasan hutan negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan
pembentukan kawasan hutan itu tidak menghilangkan hak-hak atas tanah dan
hak ulayat. Ini sejalan dengan maksud UU Kehutanan yang tidak menyatakan
bahwa kawasan hutan itu harus selalu berupa hutan negara. Mengingat praktik
penataan batas yang di masa lalu dijalankan tanpa banyak mengindahkan
penyelesaian klaim hak dan akses masyarakat dengan baik maka mekanisme
penanganan keberatan masyarakat terhadap hasil penetapan kawasan hutan
juga perlu disediakan.
MYRNA A. SAVITRI
17
Dengan keberadaan kawasan hutan yang mengakui hak-hak warga
negara atas tanah dan hak ulayat dari masyarakat hukum adat maka apa yang
selama ini dipandang sebagai dualisme administrasi pertanahan antara Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan sejatinya dapat
diakhiri. Konsep penguasaan tanah di kawasan hutan dan bukan kawasan
hutan sebagaimana digambarkan dalam bagan 3 menunjukkan bagaimana
kesatuan administrasi itu dapat dilakukan. BPN mempunyai wewenang
mengadministrasikan seluruh tanah baik di dalam atau luar kawasan hutan.
Atas dasar itu maka setiap orang/badan hukum/instansi pemerintah yang
menguasai tanah di atas fungsi apapun, harus mempunyai alas hak. Untuk
Kementerian Kehutanan, alas hak pada tanah kawasan hutan negara yang
sudah ditetapkan adalah hak pengelolaan.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah cara ini tidak akan
mengancam kelestarian lingkungan di kawasan hutan tersebut? Saya dapat
memastikan ini tidak akan terjadi atas dasar dua alasan. Pertama, tidak ada
penguasaan tanah bersifat mutlak, baik dalam kerangka hukum di Indonesia
maupun di berbagai negara lain. Negara dimanapun mempunyai kewenangan
untuk melakukan intervensi terhadap penguasaan tanah yang ada pada warga
negaranya. Tentu saja intervensi dimaksud akan berbeda-beda sesuai dengan
hukum yang berlaku. Di Indonesia, dengan mengacu pada UUPA, intervensi
itu berupa tiga hal: (1) memastikan bahwa ada fungsi sosial dari hak-hak atas
tanah; (2) memastikan bahwa penguasaan tanah tidak menimbulkan
ketimpangan, ketidakdilan gender, menghindari pemerasan, melindungi
kelompok miskin dan mencegah monopoli; (3) memastikan penguasaan tanah
tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Pemerintah mempunyai
WilayahDaratanIndonesia
KawasanHutan
HutanNegara
yangsudahditetapkan
HutanHak
HutanAdat
HutanHakPer-orangan
HutanHakBadanHukum
KawasanHutanyangbelum
ditetapkan
BukanKawasanHutan
Tanahyangdikuasailangsung
olehNegara
TanahPemerintah(HakPakai/
HakPengelolaan
TanahUlayat
TanahHakPerorangan/
BadanHukum
(HakMilik,HakPakai,HGU,HGB)
Dikuasai
Kemenhut
Bagan3
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
18
kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan upaya
pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terkait dengan
ketiga ranah di atas. Pengaturan dan penegakan hukum diberlakukan pada
seluruh jenis penguasaan tanah.
Kedua, sesuai dengan UU Kehutanan, Pemerintah mempunyai
kewenangan melakukan pengurusan hutan. Pengurusan itu meliputi
kegiatanperencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan serta
pengawasan. Pengurusan hutan dilakukan pada semua jenis penguasaan
kawasan hutan. Dengan demikian Kementerian Kehutanan mempunyai pula
kewenangan untuk mengatur dan mengawasi bagaimana pengelolaan hutan
hak dan hutan adat. Dengan cara ini pula maka tidak akan ada kekhawatiran
bahwa penguasaan hutan hak atau hutan adat akan menimbulkan kerusakan.
Sepanjang keduanya berada di dalam kawasan hutan maka dengan regulasi
yang jelas, fasilitasi yang intensif dan pengawasan yang konsisten sangat mungkin
dihindarkan perusakan kawasan hutan tersebut (lihat kembali bagian 3 tentang
elemen dan tujuan hak menguasai negara).
6. Kesimpulan
Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan
kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya percepatan
pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk mendukung adanya kawasan
hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Tulisan ini menegaskan
bahwa upaya percepatan tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan
terpenuhinya keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu maka
merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai negara dalam
konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak dilakukan.
Mengacu pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, kita dapat
merumuskan lima elemen Hak Menguasai Negara yaitu perumusan kebijakan,
tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap
tanah dan kekayaan alam. Tujuannya adalah mencapai empat indikator
kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan
hak rakyat sehingga akhirnya mencapai tiga tujuan negara untuk melindungi
kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan
sosial.
Pengukuhan kawasan hutan meliputi tahapan penunjukan, penataan
batas, pemetaan hingga penetapan oleh Menteri Kehutanan. Untuk menjadikan
pengukuhan kawasan hutan mampu mencapai tujuan hak menguasai negara
MYRNA A. SAVITRI
19
sebagaimana dimaksud di atas maka diperlukan berbagai upaya yang
menjamin dijalankannya prinsip-prinsip pengakuan hak, partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas. Penataan batas kawasan hutan yang sedang
berjalan perlu monitoring. Evaluasi terhadap kawasan yang telah selesai ditata-
batas perlu dilakukan mengingat banyaknya praktik pengingkaran hak atau
penanganan klaim hak dan akses masyarakat yang tidak tepat. Akhirnya,
ketika kawasan hutan telah ditetapkan maka kawasan tersebut semestinya
mengakomodir keberadaan kawasan hutan adat dan kawasan hutan hak, selain
kawasan hutan negara. Dengan demikian maka dualisme administrasi
pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan dapat ditanggalkan.
Upaya menyatukan administrasi pertanahan di dalam dan luar
kawasan hutan dapat dilakukan jika ada kesepahaman tentang konstruksi
penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Membangun kesepahaman bahwa
keberadaan hak-hak atas tanah dalam kawasan hutan tidak akan berpengaruh
pada kerusakan kawasan hutan sepanjang Kementerian Kehutanan didukung
menjalankan kewenangan penguasan negara dengan membuat regulasi yang
jelas, fasilitasi yang intensif dan pengawasan yang konsisten terhadap
pengelolaan hutan oleh siapapun.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
20
Daftar Pustaka
Burns, Peter. 2004. The Leiden legacy: Concepts of law in Indonesia. Leiden: KITLV.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2014. Penetapan kawasan hutan: Menuju
kawasan hutan Indonesia yang mantap. (lokasi: penerbit)
Fay, Chip dan Martua Sirait.2005. „Kerangka hukum negara dalam
mengatur agraria dan kehutanan Indonesia: Mempertanyakan sistem
ganda kewenangan atas penguasaan tanah‟. ICRAF Southeast Asia
Working Paper 3. Bogor: World Agroforestry Centre.
Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1. Edisi revisi. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Hatta, Mohammad. 1954. Kumpulan karangan III. Jakarta: Penerbit dan
Balai Buku Indonesia.
Hutagalung, Arie S. 2004. „Konsistensi dan korelasi antara UUD 1945
dan UUPA 1960‟, dalam Jurnal Analisis Sosial 9(1): 1-27. (lokasi :
penerbit)
Kartodihardjo, Hariadi dan Grahat Nagara. 2014. Kajian kerentanan
korupsi dalam sistem perizinan di sektor sumber daya alam (SDA): Studi
kasus sektor kehutanan. Presentasi.
Lynch, Owen J. and Kirk Talbott. 1995. Balancing acts: Community-based forest
management and national law in Asia and the Pacific. Washington DC:
World Resources Institute.
Moniaga, Sandra. 2007.”Ketika undang–undang hanya berlaku di 39 % daratan
Indonesia: Realitas pembatasan berlakunya Undang–undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)”,
dalam Wacana pembaruan hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa.
Parlindungan, A.P. 1989. Hak pengelolaan menurut sistem UUPA.
Bandung: Mandar Maju.
Safitri, Myrna A.2013. “Menafsirkan tanggung jawab negara terhadap
reforma agraria”, dalam: Ismatul Hakim dan LukasR. Wibowo (eds.),
Jalan terjal Reforma Agraria di sektor kehutanan. Jakarta: Puspijak.
Soemardijono. 2008. Hak pengelolaan atas tanah.
http://www.landpolicy.or.id/kajian/2/tahun/2008/bulan/10/tanggal
/20/id/133/ (diakses 25-7-2009).
MYRNA A. SAVITRI
21
Sumardjono, Maria. 2008.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya.
Jakarta: KOMPAS.
Termorshuizen-Arts, Marjanne. 2010. “Rakyat Indonesia dan tanahnya:
Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya
dalam hukum agraria Indonesia”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam
Moeliono (ed.), Hukum agraria dan masyarakat di Indonesia: Studi tentang
tanah, kekayaan alam dan ruang di masa kolonial dan desentralisasi. Jakarta:
HuMa, Van Vollenhoven Institute, Leiden University, KITLV-Jakarta.
Vandergeest, Peter dan Nancy Lee Peluso. 2006. “Empires of forestry:
Professional forestry and state power in Southeast Asia. Part 1”, dalam
Environment and History (lokasi : penerbit).
KONSISTENSI NEGARA ATAS DOKTRIN WELFARE STATE
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT ADAT
Wahyu Nugroho1
Abstrak
Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara
yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk
menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau
pembangunan di bidang perekonomian selalu memerhatikan lingkungan hidup
di segala sektor, termasuk kehutanan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan
pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara
seimbang demi menyejahterakan rakyat. Objek kajian ini adalah putusan MK
No. 35/PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah
dilanggar hak konstitusionalnya. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan
lokal (local wisdom) tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup atas sumber daya alam hutan adat, sehingga negara wajib
melindungi dan bertindak sebagai fasilitator masyarakat hukum adat untuk
mengelola hutan adatnya sendiri. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk
menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare
state atau negara kesejahteraan dalam pengelolaan hutan negara dengan
kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan
kajian socio-legal atau hukum dalam fakta sosial atas putusan Mahkamah
Konstitusi. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan
Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini.
Selain itu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan
yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori. Hasil kajian ini
terungkap bahwa terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan
hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan
negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan
memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta
1 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
23
hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun
hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang
tercakup dalam hutan adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada
masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat jatuh kepada Pemerintah. Kesimpulan yang diperoleh adalah hak
menguasai negara dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk
mengelola sumber daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat,
termasuk masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator.
Kata kunci: negara, masyarakat hukum adat, hutan negara, hutan adat, sumber
daya alam
Abstract
Green constitution placed Indonesia as a country that has a constitutional juridical
consequences constitution in 1945 to apply the principles of ecocracy, that is any
wisdom or development in the field of economy always looking environment in all
sectors, including forestry. It aims to implement the pillars of sustainable development
in a balanced manner for the sake of welfare of the people (society). The study object is
the Constitution Court decision No. 35/PUU-X/2012 with indigenous people’s subject
his constitutional rights. Indigenous and tribal peoples have local wisdoms of its own in
the protection and management of natural resources of indigenous forest, so that the
state shall protect and act as facilitators of indigenous communities to manage their own
indigenous forests. The purpose of this study are to examine and analyze the consistency
of state authority over the doctrine of welfare state in the management of state forest
with indigenous authorities in the indigenous forest management based on socio-legal
study of the Constitutional Court's decision. The author uses a methodology based on
assessment of the Constitutional Court decision, by examining the socio-legal aspects of
this decision. In addition, primary legal materials and secondary legal materials as a
normative foundation and the study of literature as a theoretical framework. The results
of this study revealed that is a relationship between the state is the state forest, and the
state is customary forests. To the state forest, the state has full authority to organize and
decide the inventory, allocation, utilization, management, and legal relations that occur
in the forest region of the country. The indigenous forests, state authority is limited
extent authorized content covered in indigenous forest. Indigenous forest management
rights of indigenous communities, but if the development of indigenous communities in
question no longer exists, then the rights of indigenous forest management falls to the
Government. The conclusion is the state is interpreted as the authority and duty of the
state to manage forest resources with the goal of public welfare, including indigenous
peoples, so that the state serves as a facilitator. Unity traditional communities
(indigenous peoples) are part of the eco-system of indigenous forest resource contains
WAHYU NUGROHO
24
the values of local wisdom which has the right to manage indigenous forest, without the
intervention of the state or private.
Keywords: state, indigenous and tribal peoples, state forests, indigenous forests,
natural resources
1. Latar Belakang
Konstitusi perekonomian Indonesia secara eksplisit menegaskan bahwa
bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan oleh sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bunyi
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat spirit/filosofi bahwa adanya suatu
kewajiban bagi negara untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagai konsekuensi
yuridis Indonesia penganut welfare state.2 Dalam konteks penguasaan negara,
sumber daya alam berupa hutan memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan
masyarakat di sekitar kawasan hutan atau yang dikenal dengan istilah
masyarakat (hukum) adat juga mempunyai hak untuk mengelola,
mendapatkan akses dan melestarikan hutan. Negara dengan segala alat
kelengkapannya secara yuridis menurut UUD 1945, undang-undang dan
peraturan di bawahnya diberikan kewenangan untuk menguasai sumber daya
alam berupa hutan. Penguasaan oleh negara melalui instrumen hukum tidak
secara langsung menegasikan masyarakat tradisional/ adat (indigenous people)
untuk mendapatkan akses hutan adat atau mengambil alih hak kesatuan
masyarakat hukum adat atas wilayahnya melalui instrumen perizinan oleh
swasta, tanpa memerhatikan kearifan-kearifan lokal (local wisdom). Tergesernya
peran masyarakat adat kawasan hutan baik secara langsung maupun tidak
langsung akan mengakibatkan penguasaan hutan oleh negara tanpa batas
dengan dalih pendapatan nasional ataupun daerah, melalui pemegang izin
usaha.
2 Doktrin welfare state atau welvaartsstaat (negara kesejahteraan) muncul pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-10 sebagai bentuk perkembangan dan perubahan dari konsep negara penjaga
malam (nachwachterstaat) dengan prinsip the best government is the least government di Eropa pada
abad ke-18 dan abad ke-19. Karena berkembangnya disparitas pendapat dalam masyarakat yang
menyebabkan munculnya fenomena kemiskinan massal di berbagai negara, maka timbul tuntutan
kepada negara untuk memperluas tanggung jawab sosialnya guna mengatasi fenomena kemiskinan itu,
akhirnya muncul dan berkembangnya aliran sosialisme dalam sejarah Eropa. Doktrin ini sangat
mempengaruhi proses perumusan berbagai konstitusi di negara-negara Amerika dan Eropa sendiri.
Lihat: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012, hlm. 40. Dalam literatur lain, dikatakan welfare state merupakan gagasan yang telah
lama lahir dan dirintis oleh Prusia di bawah Otto von Bismarck sejak 1850-an. Gagasan negara
kesejahteraan itu di Eropa dan Amerika masa lampau berbenturan dengan konsepsi negara liberal
kapitalistik. Periksa: Siswono Yudo Husodo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang
Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009, hlm. 65.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
25
Dalam praktiknya, pemerintah sering mengeluarkan keputusan
penunjukan kawasan hutan tanpa terlebih dahulu melakukan pengecekan
tentang klaim kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut yang
bahkan pada kenyataannya telah ada pemukiman-pemukiman masyarakat adat
di dalamnya. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan
71,06 % dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya
huta.3 Selanjutnya, dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014
menunjukkan data bahwa pada tahun 2003, dari 220 juta penduduk Indonesia
terdapat 48,8 juta orang yang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan
ada sekitar 10,2 juta orang miskin yang berada di sekitar wilayah hutan.
Sementara data lain yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat
Statistik (BPS) di tahun 2007 memperlihatkan masih terdapat 5,5 juta orang
yang tergolong miskin di sekitar kawasan hutan.4
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang
dikembangkan kemudian membagi kelembagaan pengelolaan hutan ke dalam
dua kelompok, kelembagaan pengelolaan hutan yang dapat diakses oleh
masyarakat lebih umum, meliputi masyarakat hukum adat dan yang bukan
masyarakat hukum adat. Ketika UU Kehutanan lahir, pengakuan negara
terhadap hak masyarakat hukum adat tidak membaik. Ada beberapa pasal
dalam UU Kehutanan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat dan
hutan adat. Pasal mengenai hutan adat menyatakan hutan adat sebagai hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Aturan ini seolah-
olah memberikan pengakuan terhadap adanya hutan adat, tetapi pengakuan ini
mengandung jebakan karena keberadaan hutan adat tersebut diikuti dengan
kalimat hutan negara yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat.5
Ketentuan ini memberikan dampak yang besar di lapangan, karena
pada prinsipnya aturan ini menyampaikan pesan bahwa hutan adat itu tidak
ada sama sekali. Hedar Laudjeng menegaskan bahwa dengan Pasal 1 ayat (6)
UU Kehutanan, sejak awal sudah menegaskan bahwa masyarakat hukum adat
dalam wujud kolektifnya tidak berhak mempunyai hutan milik sendiri. Pasal
ini mengasumsikan bahwa seluruh areal hutan Indonesia telah ditunjuk dan
ditetapkan sebagai kawasan hutan (hutan negara dan hutan hak), dengan
3 Dikutip dari Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, hlm. 4.
4 Ibid.
5 Andiko, Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, regulasi, negosiasi dalam Konflik Agraria
di Indonesia, dalam Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di
Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta: Epistema Institute-HuMa-Forest Peoples Programme, 2011, hlm. 80.
WAHYU NUGROHO
26
demikian tidak mungkin ada sisa areal hutan yang terluputkan, termasuk yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.6
Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan, maka jelas
bahwa yang dinyatakan sebagai hutan adat oleh pemerintah tidak lain adalah
hutan kepunyaan masyarakat hukum ada, yang di setiap tempat memiliki
nama lokal, misalnya hutan marga, hutan ulayat, hutan pertuanan, bengkar,
dan lain sebagainya. Secara sepihak, hutan-hutan ini kemudian dicaplok oleh
negara dengan balutan konsep hak menguasai oleh negara. Hal inilah yang
dinamakan sebagai proses negaraisasi tanah (hutan) masyarakat hukum adat.
Akibatnya, jika masyarakat hukum adat berkeinginan mengelola dan
memanfaatkan harus terlebih dahulu memohon izin kepada negara, sebagai
penguasa atau “pemilik” baru atas hutan itu.7
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012,
pemohon melakukan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 1 angka 6, Pasal 4
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3). Alasan
pemohon melakukan judicial review antara lain menurut ketentuan Pasal 1
angka 6 UU Kehutanan yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945
berbunyi: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”. Pasal 4 ayat (3) menyatakan: “Penguasaan hutan oleh
negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional”. Ketentuan Pasal 5 menyatakan: ayat (1): “hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara dan b. hutan hak; ayat (2)
“hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan
adat”; ayat (3) “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya”; dan ayat (4) “apabila dalam perkembangannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak
pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pasal-pasal tersebut yang
dikabulkan oleh MK, sedangkan terhadap ketentuan Pasal 67 UU Kehutanan
yang menyangkut hak-hak, eksistensi dan hapusnya masyarakat hukum adat
ditolak Mahkamah karena tidak terdapat muatan yang dianggap bertentangan
dengan norma-norma HAM dalam UUD 1945.
Perkara ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan
6 Hedar Laudjeng, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam
San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,
1999, hlm. 81. 7 Andiko, op.cit., hlm. 81.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
27
Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Sicitu. Permasalahan yang dihadapi
masyarakat hukum adat diantara pemohon sangat beragam, antara lain:
a. masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah mereka, yang
mana mendapatkan penghidupan, termasuk sumber daya alamnya;
b. masalah self-determination, yang sering berbias politik dan hingga
sekarang masih menjadi perdebatan sengit;
c. masalah identification, yakni soal siapakah yang dimaksud
masyarakat adat itu, beserta kriterianya.
Penelitian Charles V. Barber mengungkap bahwa hak menguasai tanah
negara merupakan cerminan dari impelementasi nilai, norma, dan konfigrasi
hukum negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan lingkungan hidup
dan sumber daya alam, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberi
otoritas dan legitimasi kepada negara untuk menguasai dan memanfaatkan
lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya.8
Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam,
pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan
sebagai wujud hukum negara dan satu-satunya hukum yang mengatur
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dengan demikian,
pengaturan dalam bentuk hukum adat diabaikan dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan secara substansi maupun implementasi.9 Hak-
hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup
sumber daya alam hutan adat dipasung oleh negara melalui instrumen
perizinan, tidak melihat kearifan-kearifan lokal atau nilai-nilai adat lokal yang
masih diberlakukan oleh masyarakat adat dan eksploitasi terhadap lingkungan
hidup kawasan hutan adat.
Di dalam Pasal 1 UU Kehutanan terdapat dua jenis hutan, yakni hutan
hak dan hutan negara. Dikatakan hutan hak apabila hutan itu tumbuh atau
berada di atas tanah yang dibebani suatu hak atas tanah. Sebaliknya, dikatakan
hutan negara bila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang tidak
dibebani suatu hak atas tanah. Hutan adat bahkan secara langsung
didefinisikan sebagai hutan negara yang tumbuh di atas tanah dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Bahkan tanpa argumen yang masuk akal sebagaimana
dinyatakan Pasal 1 butir d, butir e dan butir f hutan adat serta merta masuk
8
Charles V. Barber, The State, the Environment and Development; the Genesis of
Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral Dissertation of California
University Berkeley, 1989, hlm. 14. 9 Stefanus Laksanto Utomo, Budaya Hukum Masyarakat Samin, Ed. I, Cet. I, Bandung: PT
Alumni, 2013, hlm. 7.
WAHYU NUGROHO
28
kategori hutan negara. Lebih gamblang lagi dinyatakan bahwa hutan negara
dapat berupa hutan adat, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan.10
Mencermati beberapa pasal di dalam UU Kehutanan, dalam praktik
yang dilakukan oleh negara dan sejumlah perusahaan di sekitar kawasan hutan,
hak-hak konstitusional masyarakat adat untuk mengakses dan melakukan
pengelolaan terhadap hutan adat telah dipangkas dengan menjadikan kawasan
hutan taman nasional sebagai hutan negara, termasuk hutan adat yang menjadi
bagian dari hutan negara. Selanjutnya melalui instrumen perizinan, pemilik
perusahaan dilegalkan dengan perizinan-perizinan yang ada untuk mengambil
alih kawasan hutan adat menjadi usaha kawasan pertambangan, perkebunan
kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Hal ini jelas telah menegasikan
masyarakat hukum adat, nilai-nilai budaya lokal, bahkan sering terjadi konflik
masyarakat adat dengan pemerintah dan pihak pengusaha.
2. Permasalahan
Di dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada permasalahan
bagaimana konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam
pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam
pengelolaan sumber daya alam hutan adat?
3. Tujuan
Tujuan dari pengkajian ini adalah: untuk menguji dan menganalisis
konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state (negara kesejahteraan)
dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam
pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal putusan Mahkamah
Konstitusi.
4. Metodologi
Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan
Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal di dalam putusan No.
10
Maria Rita Roewiastoeti, Gerakan Reforma Agrarian Berbasis Masyarakat Suku-Suku
Pribumi, Jurnal Bina Desa Sadajiwa, Edisi khusus 35 tahun kelahirannya, Juni, 2010, hlm. 29-30.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
29
35/PUU-X/2012 yang menguji UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, juga memanfaatkan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan yuridis normatif
dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori.
5. Studi Pustaka
5.1 Konsepsi tentang Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat bangsa Indonesia adalah masyarakat yang
Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA), kemudian bersatu dalam kesatuan negara Pancasila
sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum Indonesia merdeka, berbagai
masyarakat itu berdiam di berbagai kepulauan besar dan kecil yang
hidup menurut hukum adatnya masing-masing.11
Teer Haar mengemukakan adanya kelompok-kelompok
masyarakat di lingkungan raja-raja dan kaum bangsawan dan di
lingkungan kaum pedagang. Kelompok-kelompok masyarakat ini
dipengaruhi oleh kehidupan hukum adat dan tempat kediaman yang
terpisah dari masyarakat umum.12
Soepomo dalam pidatonya tanggal 2 Oktober 1901 yang
mengutip pendapat van Vollenhoven menyatakan:
Bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama
perlu diselidiki buat waktu apabila pun dan di daerah
mana pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan
hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum
itu, hidup sehari-hari.13
11
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, Bandung: PT Mandar
Maju, 2003, hlm. 105. 12
Ibid. 13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Ed. I, Cet. 9, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008, hlm. 91.
WAHYU NUGROHO
30
Menurut Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat
di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar
susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan
(genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (territorial),
kemudian ditambah dengan susunan yang didasarkan pada kedua
dasar tersebut, yakni genealogi-territorial. Dari sudut bentuknya, maka
masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi
bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup
beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan
perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.
Masing-masing masyarakat hukum adat tersebut dapat dinamakan
sebagai masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat dan
berangkai.14
5.2 Hak Ulayat Menurut Hukum Adat
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sektor kehutanan, masyarakat adat memiliki peranan yang
strategis untuk dapat mengelola hutan sendiri yang dijamin oleh
konstitusi. Hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk
menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan
belakar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan
persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau guna
kepentingan orang-orang luaran (orang asing/orang pendatang),
dengan izin persekutuan hukum hukum itu dengan membayar
recognisi (pengakuan). Adapun yang menjadi objek hak ulayat ialah:15
a. tanah (daratan);
b. air atau perairan, seperti sungai, danau, pantai atau perairan;
c. tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar; dan
d. binatang-binatang liar.
Van Vollenhoven (ahli hukum adat), menamakan hak dari
persekutuan hukum (desa) ini: “beschikkingrecht”, artinya hak
menguasai tanah, tapi dalam pengertian tidak secara mutlak, sebab
persekutuan hukum tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual tanah.
14
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977, hlm. 51. 15
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 14, Jakarta: Gunung
Agung, hlm. 199.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
31
5.3 Sistem Perizinan Bidang Lingkungan Hidup dalam UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan
Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang menginduk kepada UU No. 32 Tahun 2009, maka dalam
konteks penyelenggaraan perizinan bidang lingkungan hidup diatur
dalam undang-undang sektoral, yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Sistem perizinan bidang kehutanan secara singkat dijelaskan di
dalam penjelasan umum bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan
merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada
pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan
kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur
dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau
kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum
mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang
untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan
kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian, untuk hal-hal tertentu
yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai
strategis, pemerintah harus memerhatikan aspirasi rakyat melalui
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.16
Penjelasan umum tersebut menjadi alasan substansial adanya
peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan (welfare legal state)
memiliki konsekuensi logis untuk menyejahterakan bagi rakyatnya di
sektor hutan, termasuk masyarakat hukum adat yang memiliki peran
strategis untuk diberikan tempat dalam pengelolaan hutan adat. Peran
serta masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat sebagai hukum
yang hidup (the living law) terdapat sejumlah kearifan-kearifan lokal
yang dijunjung tinggi oleh komunitasnya. Hal tersebut mendapatkan
pengakuan secara normatif dan diperkuat di dalam Pasal 70 ayat (3)
huruf e UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yakni: “mengembangkan dan menjaga budaya dan
kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan
dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada
prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan
16
Periksa: di dalam Penjelasan Umum UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
WAHYU NUGROHO
32
dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya,
serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan
dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya, yaitu
fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga
keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan
juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan
selain mengembalikan kualitas hutan, juga meningkatkan
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta
masyarakat merupakan inti keberhasilannya.
Penulis berpendapat bahwa apabila diperhatikan penjelasan
umum tersebut, negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan
masyarakat melalui optimalisasi pengelolaan hutan, termasuk hutan
adat yang tidak merupakan bagian dari hutan negara pasca putusan
MK ini, akan dikelola oleh masyarakat adat sendiri. Dengan pemisahan
hutan negara dan hutan adat dalam pengelolaannya berdasarkan
putusan MK tersebut, maka harapannya ke depan tidak ada konflik lagi
antara masyarakat hukum adat dengan negara, atau masyarakat
hukum adat dengan perusahaan pemegang izin usaha. Melihat
empirical evidence berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang diajukan
Pemohon, negara berkedok legalisasi perizinan kepada sejumlah
perusahaan untuk mengalihkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan,
sehingga masyarakat adat tidak mendapatkan tempat. Bahkan, terjadi
konflik, penggusuran, perusakan, diskriminasi dan penutupan akses
sumber daya alam hutan adat sebagai sumber penghidupan bagi
masyarakat adat.
Dikatakan oleh Helmi, bahwa era reformasi bidang kehutanan
dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ternyata
“setali tiga uang”. Perizinan bidang kehutanan yang mendelegasikan
wewenang kepada pemerintah daerah justru makin memperparah
kerusakan hutan di Indonesia. Bahkan, illegal logging, mengalami
booming pada kurun waktu tahun 1999 sampai tahun 2004. 17
Pemanfaatan kayu dari hutan produksi dilegalisasi dengan keputusan
izin para Kepala Daerah dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan skala
kecil. Padahal, berdasarkan UU Kehutanan, HPH seharusnya
merupakan wewenang pemerintah pusat dan kondisi tersebut disadari
oleh pemerintah pada pertengahan 2004. Berbagai wewenang daerah
yang semula didelegasikan ditarik kembali, terutama wewenang dalam
hal izin pemanfaatan hasil hutan kayu.
17
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 179.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
33
Walaupun aktivitas ilegal dan legal pemanfaatan hutan
produksi alam terutama kayu sudah berkurang, pengaturan yang tidak
mempertimbangkan kelestarian fungsi, dalam jangka panjang
berdampak negatif. Banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan
kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau terbukti merugikan
aktivitas ekonomi dan mengancam kenaikan suhu global.18
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, terdapat sejumlah
perizinan sektor kehutanan adalah sebagai berikut:
1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman
Industri (IUPHHK-HTI);19
2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam
(IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan;20
3) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan
Alam (IUPHHK-BK) Lintas Provinsi dan Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri
(IUPHHKBK-HTI) Lintas Provinsi;21
4) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;22
5) Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IPHHK-
RE);23
6) Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Lintas Provinsi (IUPK);24
7) Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) Lintas
Provinsi;25
18
Ibid., hlm. 180. 19
Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin
dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam
Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 11 tahun
2008. 20
Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.
Diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan Peraturan
Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008. 21
Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. 22
Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 43 tahun 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan. 23
Lihat: Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. 24
Lihat: Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan. 25
Ibid.
WAHYU NUGROHO
34
8) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Rakyat (IUPHHK-HTR);26
9) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industri Rehabilitasi (IUPHHK-HTHR);27
10) Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK).28
Sejumlah perizinan tersebut dalam praktiknya, khususnya
berdasarkan keterangan saksi-saksi pada putusan MK ini yang
merupakan komunitas atau kesatuan masyarakat hukum adat,
digunakan oleh pemegang izin usaha dalam mengoperasionalkan
usahanya dengan mengabaikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat hukum adat, sehingga tidak jarang mereka terjadi konflik
dan pemerintah daerah pun sebagai mediator hanya macan ompong,
sulit untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak. Justru dinilai,
terjadi legalisasi perizinan berkedok investasi daerah.
6. Hasil Kajian dan Pembahasan: Konsistensi Kewenangan Negara dalam
Pengelolaan Hutan Negara dengan Kewenangan Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan Adat
Paradigma dalam penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya alam Indonesia oleh negara sebagai otoritas tercermin di dalam rumusan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ketentuan dasar tersebut memperlihatkan prinsip dasar hubungan
antara negara dengan warga masyarakat berkaitan dengan tanah. Dalam
ketentuan dasar tersebut, terutama terkandung maksud untuk menghapuskan
prinsip dasar yang dikenal pada masa Hindia Belanda, maksudnya peran
negara sebagai pemilik seperti digunakan dalam prinsip Domeinverklaring. Asas
ini bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan asas
ketatanegaraan, juga tidak perlu negara merupakan pemilik tanah.29
26
Ibid. 27
Ibid. 28
Ibid. 29
Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009,
hlm. 84.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
35
Kewenangan negara untuk menguasai tanah selanjutnya diatur dalam
Pasal 2 UU Pokok Agraria, yang menyatakan:
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi seluruh rakyat Indonesia. Secara sepintas dapat
diketahui, hak menguasai oleh negara melebihi hak milik, juga
hak lainnya yang dikenal di dalam masyarakat. Sesungguhnya
hak menguasai oleh negara seperti dinyatakan dalam ayat (1)
tersebut memberikan kewenangan kepada negara, untuk:30
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaannya;
2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
(bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Filosofi yang terkandung di dalam paradigma atas penguasaan,
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia tersebut harus
dipahami oleh penyelenggara negara dalam hal ini kekuasaan eksekutif untuk
merumuskan suatu kebijaksanaan yang dikonkritkan menjadi kebijakan.
Negara memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pengelolaan atas
sumber daya alam berupa hutan, akan tetapi perlu diperhatikan kesatuan-
kesatuan masyarakat tradisional yang masih mempertahankan nilai-nilai
budaya lokalnya di kawasan hutan. Kesatuan masyarakat adat tersebut
merupakan bagian dari ekosistem alam yang perlu mendapatkan hak juga
untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat. Masyarakat adat yang
memiliki karakter lokal dan tradisional tersebut apabila ditelisik lebih dalam,
mengandung nilai-nilai sakral, budaya, spiritual dan peraturan bersama (tidak
tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya. Oleh karena itu, penulis
mengatakan masyarakat (hukum) adat disebut sebagai hukum yang hidup (the
living law). Menurut Northop, sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer, bahwa
30
Lihat: Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
WAHYU NUGROHO
36
hukum itu memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari
norma-norma sosial sebagai hukum yang hidup.31
Dalam konteks penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya alam hutan dan lingkungan hidup di sekitarnya, Pasal 4 ayat (1) UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan: “Semua hutan di dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Frasa “dikuasai” dalam Pasal tersebut tidak dimaknai “dimiliki”, akan tetapi
negara sebagai otoritas yang sah secara yuridis konstitusional mendapatkan
amanah berupa kewenangan untuk melakukan pengaturan agar tercipta
kepastian hukum dan ketertiban sosial.
Rumusan Pasal 4 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
secara eksplisit menjelaskan kewajiban dan kewenangan suatu negara untuk
mengatur sumber daya alam hutan, yakni:
Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan wewenang
kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan; (b) menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan
dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur
dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan, dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pengukuhan kawasan
hutan, Menteri menetapkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan.
Berdasarkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan tersebut,
gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas. Selanjutnya
berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas yang ditetapkan oleh
gubernur, Bupati/Walikota menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas
dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan tersebut di wilayahnya. Kriteria
dan standar pengukuhan kawasan hutan telah diatur dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan
Kawasan Hutan. Dalam perkembangannya, Keputusan Menteri ini dicabut dan
diganti dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.50/Menhut-II/2011
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Selanjutnya, peraturan ini dicabut dan
31
Edgar Bodenheimer, Yurisprudence; The Philosophy and Method of the Law, Cambriage,
Massachesetts, 1962, hlm. 106.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
37
diganti dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut-II/2012
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, yang ditetapkan pada tanggal 11
Desember 2012 dan diundangkan tertanggal 12 Desember 2012.
Norma hukum yang dibuat oleh individu, yakni kekuasaan eksekutif
dalam pengelolaan kawasan hutan memiliki otoritas yang sah secara
konstitusional. Hal ini dikatakan oleh Hans Kelsen, seorang legal positivis
bahwa negara yang mempunyai ketentuan “legal” dibayangkan sebagai
seseorang. Para individu merupakan representasi dari organ negara yang
membentuk hukum. Seorang individu yang menjadi organ negara hanya
berarti bahwa tindakan-tindakan tertentu telah dilakukannya bermanfaat bagi
negara, yakni menjadi rujukan bagi kesatuan ketentuan legal. Jika sebuah
norma ketentuan legal diciptakan sesuai dengan perundang-undangan dari
norma lain, maka individu yang menciptakan hukum adalah sebuah organ dari
ketentuan legal, yakni organ negara.32 Dengan demikian, individu dalam ranah
publik (decision maker) sangat menentukan dalam setiap kebijaksanaan yang
akan dibuatnya, termasuk kebijaksanaan dalam pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup kawasan hutan negara dan hutan adat oleh masyarakat
hukum adat.
Ketentuan Pasal di dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
sebelumnya dilakukan judicial review yakni Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan,
yang menyatakan: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap”.
Dalam putusan MK No. 045/PUU-IX/2011 ini, mengabulkan
permohonan pemohon untuk seluruhnya dengan menghapuskan frasa
“ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga berbunyi:
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Implikasinya,
penentuan kawasan hutan tidak hanya sekedar pada penunjukan kawasan
hutan, tetapi juga dilakukan proses penataan batas, pemetaan dan penetapan
kawasan hutan. Sebaliknya, dalam bagian akhir putusan, MK juga memberikan
pertimbangan mengenai ketentuan peralihan dari UU No. 41 Tahun 1999,
khususnya Pasal 81 yang menyatakan;
Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
32
Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk Mewujudkan
Keadilan dalam Hukum dan Politik, terj.dari aslinya: What is Justice? Justice, Politic, and Law in the
Mirror of Science, Cet. II., Bandung: Ujungberung, 2009, hlm. 335.
WAHYU NUGROHO
38
sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap
berlaku berdasarkan undang-undang ini.
Menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun
berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 UU No.
41 Tahun 1999 tetap sah dan mengikat.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Kementerian
Kehutanan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.3/MENHUT-II/2012,
tanggal 3 Mei 2012, ditujukan kepada: (1) Gubernur di seluruh Indonesia; (2)
Bupati/Walikota di seluruh Indonesia; dan (3) Kepala Diinas Provinsi,
Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, intinya menegaskan sebagai
berikut:33
1) Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 menjadi: kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;
2) Keputusan penunjukan kawasan hutan provinsi maupun parsial
yang telah diterbitkan Menteri Kehutanan serta segala perbuatan
hukum yang timbul dari berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2004 tetap
sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Keputusan Menteri tentang penunjukan kawasan hutan, baik
provinsi maupun parsial yang diterbitkan Menteri Kehutanan
setelah putusan Mahkamah Konstitusi tetap sah dan dimaknai
sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 19 tahun 2004.
Masyarakat hukum adat juga diberikan tempat untuk perlindungan
hutan yang menjadi kawasannya, yakni hutan adat. Hal ini ditegaskan di dalam
Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 8
ayat (4) bahwa perlindungan hutan atas kawasan yang pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung
jawab masyarakat adat. Perlindungan kawasan hutan oleh masyarakat adat
dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku dalam masyarakat
33
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan; Aspek Hukum Pertanahan dalam
Pengelolaan Hutan Negara, Ed. , Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 72.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
39
adat yang bersangkutan dengan pendampingan dari pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.34
Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak ulayat.
Dalam wilayah hak ulayat, terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan
dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara
perseorangan berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Keberadaan hak
perseorangan tidak bersifat mutlak, sewaktu-waktu haknya menipis dan
menebal. Jika semakin menipis dan lenyap, akhirnya kembali menjadi
kepunyaan bersama. Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat
bersifat lentur. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum
adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada
Pemerintah. Wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang
hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan
wewenang hak ulayat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diatur hubungan antara hak
menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap
hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh
untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan,
pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan
negara. Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya
diberikan kepada kementerian kehutanan. Adapun hutan adat, wewenang
negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat.
Hutan adat disebut juga hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan adat
lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat, karena berada dalam satu kesatuan
wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya
didasarkan atas kearifan-kearifan lokal (local wisdom) dan mempunyai suatu
badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya.
Para warga suatu masyarakat hukum adatmempunyai hak membuka hutan
ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan
kebutuhan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, tidak dimungkinkan
hak yang dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat tersebut ditiadakan
atau “dibekukan” sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian
kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945.
Setelah dilakukan pembedaan antara hutan negara, hutan hak (hutan
perseorangan dan hutan adat/ulayat), Mahkamah Konstitusi memandang
34
Lihat: Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
WAHYU NUGROHO
40
bahwa tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara,
atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak sebagaimana
dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU a quo, serta hutan
ulayat dalam hutan negara, sehingga menjadi jelas status dan letak hutan ulayat
dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua, yaitu
hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat
dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada
tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.
Masyarakat hukum adat telah menguasai tanah dan kekayaan-
kekayaan alam di suatu wilayah jauh sebelum pembentukan negara.
Penguasaan tradisional itu mendapatkan pengakuan dari komunitas-komunitas
lainnya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendeskripsikan:
Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di
seluruh pelosok nusantara ini (sebagian menjadi wilayah
Indonesia) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial
politik yang berdaulat. Mereka secara otonom mengatur dan
mengurus dirinya serta mengelola tanah dan sumber daya alam
lainnya di habitat masing-masing. Komunitas-komunitas ini telah
mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan juga sistem
kelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk menjaga
keseimbangan antar warga di dalam komunitas tersebut dan juga
antara komunitas tersebut dengan alam di sekitarnya.
Sekolompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul yang
diwariskan oleh leluhurnya ini secara mendunia dikenal sebagai
indigenous peoples dan di Indonesia dikenal dengan berbaga
penyebutan dengan pemaknaan masing-masing, seperti
Masyarakat Hukum Adat, penduduk asli, bangsa pribumi,
umumnya memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan
komunitas lain di sekitarnya. Keragaman sistem lokal ini sering
juga muncul pada satu suku atau etnis atau bahkan pada sub-
suku yang sama umumnya juga memiliki bahasa dan sistem
kepercayaan/agama asli.35
Dalam ketentuan konstitusional tersebut, masyarakat hukum adat
dikatakan sebagai subjek hukum harus mendapatkan pengakuan dan
35
World Agroforestry Centre (ICRAF), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest
Peoples Programme (FPP), Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2003, hlm. 3-4.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
41
penghormatan yang memiliki hak, salah satunya hak untuk mengakses
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup kawasan hutan adat.
Adapun dasar konstitusional terdapat di dalam Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4).
Ketentuan tersebut sebagai dasar pengaturan dalam pengalokasian sumber-
sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk didalamnya sumber
daya alam hutan. Dalam konteks kebijakan negara tersebut, terdapat tiga
elemen terpenting, pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; kedua,
penguasaan negara terhadap bumi (tanah) dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, termasuk hutan adat; ketiga, penguasaan negara
terhadap sumber daya alam berupa hutan, dikelola dalam rangka mewujudkan
kemakmuran rakyat semua golongan, termasuk masyarakat (hukum) adat yang
secara konstitusional diakui keberadaannya.
Dalam perspektif regulasi, dari UU No. 41 Tahun 1999 tidak memiliki
kejelasan untuk mendapatkan hak atas tanah ataupun hutan, yang di dalam
UUD 1945 justru mendapatkan tempatnya. Kekosongan peran dan
ketidakberadaan masyarakat hukum adat di bidang pertanahan dan kehutanan
adat, akan menyebabkan hilangnya potensial dan hilangnya hak untuk
mendapatkan sumber daya alam hutan sebagai penghidupannya. Fakta-fakta
empiris yang dipaparkan oleh saksi-saksi pemohon, sudah jelas membuktikan
bahwa masyarakat adat tidak mendapatkan tempat, sehingga seringkali mereka
terjadi konflik, baik dengan pemerintah maupun swasta (perusahaan).
Mahkamah Konstitusi sebelumnya pernah melakukan judicial review
dalam putusannya No. 3/PUU-VIII/2010 tertanggal 16 Juni 2011 yang
memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat.
Pertimbangan hukum mahkamah adalah berpatokan kepada Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Dengan adanya anak kalimat
“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagai kelanjutan
dari bunyi Pasal tersebut, maka yang menjadi ukuran adalah frasa “sebesar-
besar kemakmuran rakyat” dalam segala pengurusan, pengelolaan dan
pengaturan sumber daya alam, dalam konteks ini adalah hutan. Penguasaan
tersebut wajib memerhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu
maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (atau dikenal
sebagai hak ulayat) atau hak-hak lainnya yang dijamin oleh konstitusi, seperti
hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak akses untuk melintas, serta hak
ekonomi, sosial budaya (hak ekosob).
Konsekuensi logis dari negara untuk menguasai dan melakukan
pengelolaan hutan adalah terciptanya kemakmuran rakyat. Kemakmuran
WAHYU NUGROHO
42
rakyat dapat juga diartikan sebagai kebahagiaan rakyat, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum penggagas
hukum progresif, menyatakan bahwa hukum itu dibuat untuk
menyejahterakan rakyatnya, bukan malahan untuk menyengsarakan
rakyatnya.36 Hal itu juga diperkuat oleh Jeremy Bentham,37 seorang penganut
konsep utilitarianism berkebangsaan Inggris yang menghendaki agar hukum
atau peraturan itu memiliki tujuan untuk memperbesar kebahagiaan rakyat dan
mengurangi penderitaan rakyat.
Konsepsi demokrasi lingkungan dan green constitution menempatkan
Indonesia sebagai negara yang sangat memerhatikan persoalan lingkungan
hidup dalam setiap kebijaksanaan dan pembangunan nasional ataupun daerah
yang ditetapkan oleh negara (pemerintah) baik pusat maupun daerah.
Pembangunan nasional dan daerah baik yang akan dilaksanakan maupun yang
sedang dilaksanakan, mempertimbangkan sendi-sendi berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD
1945. Pembangunan yang tujuan akhirnya untuk memberikan kesejahteraan
dan kemanfaatan bagi rakyat di semua lapisan dengan mempertimbangkan
sendi-sendi lingkungan dan berkelanjutan atau dikenal dengan istilah
sustainable development.
Mahkamah Konstitusi memandang bahwa UUD 1945 telah menjamin
keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, sekalipun disebut
masyarakat hukum adat. Gambaran masyarakat hukum adat masa lalu untuk
sebagian, kemungkinan besar telah mengalami perubahan pada masa sekarang.
Bahkan, masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya di berbagai tempat,
lebih-lebih di daerah perkotaan sudah mulai menipis dan ada yang sudah tidak
ada lagi.
Penulis beranggapan bahwa karakteristik masyarakat yang bersifat
homogen, tingkat kepedulian sosialnya lebih tinggi daripada masyarakat yang
36
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007, hlm. 11.
37 Jeremy Bentham (1748-1832) adalah salah seorang penganut aliran utilitarianisme di
Inggris dikenal sebagai pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak
hukum Inggris yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Tujuan akhir dari perundang-undangan
adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Kontribusi
terbesarnya adalah di bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan
berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan
menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian etis yang dipakai disini adalah apakah
suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Lihat: Satjpto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 275.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
43
bertipe heterogen seperti di lingkungan perkotaan. Sehubungan dengan hal
tersebut, Emile Durkheim (1858-1917), seorang sosiolog Perancis kenamaan
mengklasifikasikan tipe masyarakat menjadi solidaritas mekanis (mechanical
solidarity) dan solidaritas organis (organic solidarity). Solidaritas mekanis dapat
terjadi dengan kuatnya apabila cita-cita bersama dari masyarakat yang
bersangkutan secara kolektif, lebih kuat serta lebih intensif daripada cita-cita
masing-masing warganya secara individual.38 Masyarakat hukum adat yang
seringkali disebut sebagai indigenous peoples merupakan contoh dari tipe
masyarakat yang tergolong ke dalam solidaritas mekanis. Masyarakat adat
yang cenderung berkarakter kekerabatan, ketergantungan pada alam untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari, masyarakatnya sangat sederhana dan sejenis
serta memiliki nilai-nilai sakral-religius antara manusia, Tuhan dengan
lingkungan hidup, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan nilai-
nilai budaya lokal.
Sebagai pijakan penyelenggara negara untuk menerapkan prinsip-
prinsip ekokrasi yang berdasarkan kepada green constitution, yakni terdapat di
dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 berbunyi:
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Pelaksanaan pembangunan nasional ataupun daerah selama ini selalu
memprioritaskan unsur ekonomi atau dalam konteks otonomi daerah lebih
mengutamakan Pendapatan Asli Daerah, tanpa memerhatikan demokrasi
lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
hidup. Tindakan seperti ini merupakan sebuah pengingkaran terhadap
konstitusi. Padahal, kesatuan masyarakat adat yang puluhan tahun menghuni
di bawah payung NKRI dijamin konstitusi dalam Pasal 18B UUD 1945 yang
berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
38
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed. I, Cet. 16, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 50.
WAHYU NUGROHO
44
Apabila masyarakat adat merasa dirugikan melalui sistem perizinan
untuk membuka usaha yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para
pengusaha, maka sudah menjadi haknya untuk memperjuangkan secara
kolektif untuk membangun masyarakat atau komunitasnya. 39 Selain itu,
identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.40 Jadi, masyarakat hukum adat secara
langsung maupun tidak langsung memiliki prinsip yang berakar kuat dari
leluhurnya untuk melestarikan, mengelola, melindungi dan memanfaatkan
lingkungan hidup sumber daya alam hutan adat.
Dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pengelolaan
serta perlindungan lingkungan hidup, negara (pemerintah pusat dan daerah)
diberikan tugas dan kewenangan atas setiap kebijaksanaannya terhadap
masyarakat hukum adat. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 63
ayat (1) huruf t,41, ayat (2) huruf n,42, dan ayat (3) huruf k.43 Dengan demikian,
terhadap beberapa perusahaan sebagaimana yang dipaparkan oleh saksi
Pemohon di depan Majelis Hakim Konstitusi, antara lain PT Roda Mas, PT
Timber Dana, PT Kalhold Utama, PT Hutan Mahligai yang memegang HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) wajib mendirikan Hutan Tanaman Industri, PT Ledo
Lestari, melalui instrumen perizinan dengan terbitnya Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri Kehutanan ataupun surat keputusan yang dikeluarkan
Bupati, telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat adat, yakni tergusur
dan tidak mendapatkan akses sumber daya alam untuk penghidupannya. Jadi,
Penulis menganggap bahwa pemerintah setempat tunduk kepada pemodal
dengan dalih investasi dan Pendapatan Asli Daerah, sehingga mengabaikan
rasa keadilan masyarakat adat dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.
Berdasarkan keterangan saksi yang bernama Jilung, masyarakat (suku)
Talang Mamak yang terletak di Riau, tepatnya di Kabupaten Indragiri Hulu
masih memegang erat nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), yang
berhubungan dengan folklore, mitos, nilai, norma, etika, interaksi sosial, struktur
39
Lihat: Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, perubahan kedua. 40
Lihat: Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, perubahan kedua. 41
Berbunyi: “Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. 42
Berbunyi: ““Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. 43
Berbunyi: “Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
45
sosial, tata ruang, modal sosial, potensi sosial, konflik sosial, kelembagaan,
pemerintahan adat, pola permukiman, alat dan teknologi. Dalam kesehariannya
mereka selalu merujuk kepada apa yang telah diwariskan oleh leluhur
sebelumnya. Warisan-warisan dari leluhur yang mereka sebut sebagai aturan
adat ini yang mengatur semua lini kehidupan, mulai dari pesta kawin,
menanam padi, membuka lahan, upacara kematian, memilih bibit, sampai
menentukan hari baik untuk beraktivitas. Jika dilihat secara holistik, mereka
memiliki pola pengaturan hidup secara turun-temurun, termasuk dalam
pengelolaan sumber daya alam hutan adat.
Tanah dan hutan bagi suku Talang Mamak merupakan bagian dari
kehidupan yang tidak dapat dipisahkan, sejak ratusan tahun mereka hidup
damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil
hutan dan melakukan perladangan berpindah. Terdapat aturan adat mengenai
sumber daya alam hutan, yakni:
1. Kawasan hutan adalah kawasan dengan kepemilikan komunal;
2. Kawasan pemukiman dan perkebunan adalah kawasan dengan
kepemilikan pribadi yang diturunkan berdasarkan keturunan;
3. Kawasan sungai adalah kawasan yang kepemilikannya
berkelompok;
Kepemilikan tanah perorangan diakui oleh masyarakat lain jika ada
yang akan mengelola lahan yang belum ada pemiliknya, maka akan dianggap
sebagai orang yang berhak atas lahan tersebut, dan akan diturunkan ke
generasi berikutnya, jika akan mengelola lahan yang sudah pernah dikelola
oleh penduduk lain akan diperbolehkan jika telah mendapatkan ijin dari
pengelola sebelumnya dan berstatus pinjam pakai serta tidak ada proses jual
beli antar komunitas.
Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan.
Lingkungan tempat mereka hidup diatur melalui hukum adat dan keputusan
pengelolaannya diatur oleh seorang patih yang merupakan simbol kekuasaan
tertinggi talang mamak di bawah Kesultanan Indragiri. Terdapat pepatah kuno
dalam masyarakat talang mamak: “lebih baik mati anak, daripada mati adat”. Hal
itu seakan menunjukkan identitas talang mamak tak bisa lepas dari hutan yang
dikelola dengan hukum adat.
Melihat kentalnya kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat
tersebut, Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa karakter hukum yang
sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sebagai alat untuk mencapai
tujuan nasional adalah hukum yang dapat mengakomodir sifat kemajemukan
bangsa yang tersebar dari sabang sampai merauke dengan berbagai suku
WAHYU NUGROHO
46
bangsa dengan otoritas-otoritas lokal tradisional yang otonom, 44 atau Satjipto
Rahardjo mengistilahkan sebagai peculiar form of social life, sebagai simbol
penghormatan yang mendalam terhadap hukum Indonesia asli yang hidup dan
berkembang sebagai the living law.
Mahkamah Konstitusi akhirnya berkesimpulan bahwa kata “negara”
dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 41 tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sehingga berubah menjadi: “Hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Sedang pada Pasal 4 ayat (3)
berubah menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 5 ayat (1) menjadi: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, tidak termasuk hutan adat”. Terhadap Pasal 5 ayat (3) menghilangkan
kata “dan ayat 2”, sehingga menjadi: “Pemerintah menetapkan status hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya”.
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penulis terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka kesimpulan yang diperoleh adalah
konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan
hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam konteks pengelolaan
sumber daya alam hutan adat berpijak pada hak menguasai negara yang
dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk mengelola sumber
daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk
masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator. Kesatuan-
kesatuan masyarakat tradisional/hukum adat (indigenous people) merupakan
bagian dari ekosistem sumber daya alam hutan adat mengandung nilai-nilai
kearifan lokal (local wisdom), sakral-spiritual, budaya lokal dan peraturan
bersama (tidak tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya memiliki hak untuk
mengelola hutan adat, tanpa adanya intervensi dari negara ataupun swasta.
44
Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm. 189-193.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
47
Daftar Pustaka
Andiko, Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, regulasi, negosiasi dalam
Konflik Agraria di Indonesia, dalam Upaya Tiada Henti Mempromosikan
Pluralisme dalam Hukum Agraria di Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta:
Epistema Institute-HuMa-Forest Peoples Programme, 2011.
Ardiwilaga, Roestandi, Hukum Agraria Indonesia, Cet. 2, Bandung: Masa Baru,
1962.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Barber, Charles V., The State, the Environment and Development; the Genesis of
Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral
Dissertation of California University Berkeley, 1989.
Bodenheimer, Edgar, Yurisprudence; The Philosophy and Method of the Law,
Cambriage, Massachesetts, 1962.
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Husni, Anang, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
Husodo, Siswono Yudo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang
Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009.
Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara
Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman
Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kehutanan No. 11 tahun 2008.
_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA)
pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. Diubah dengan Peraturan
Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan
Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008.
_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2008 tentang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau dalam
Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 43 tahun 2008 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
WAHYU NUGROHO
48
_________. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan.
_________. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
_________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
_________. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
_________.Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2004
tentang Kehutanan.
_________. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
Kelsen, Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk
Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, terj.dari aslinya: What is
Justice? Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, Cet. II., Bandung:
Ujungberung, 2009.
Laudjeng, Hedar, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, dalam San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang
Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1999.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007.
Rahardjo, Satjpto, Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Roewiastoeti, Maria Rita, Gerakan Reforma Agrarian Berbasis Masyarakat Suku-
Suku Pribumi, Jurnal Bina Desa Sadajiwa, Edisi khusus 35 tahun
kelahirannya, Juni, 2010.
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Ed. I, Cet. 9, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008.
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed. I, Cet. 16, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006.
Soepomo, R., Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat-Sketsa Asas, Cet. 4, Yogyakarta: Liberty, 2000.
Supriyadi, Bambang Eko, Hukum Agraria Kehutanan; Aspek Hukum Pertanahan
dalam Pengelolaan Hutan Negara, Ed. , Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
49
Surat Edaran Nomor: SE.3/MENHUT-II/2012 tentang Kawasan Hutan
Utomo, Stefanus Laksanto, Budaya Hukum Masyarakat Samin, Ed. I, Cet. I,
Bandung: PT Alumni, 2013.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 14, Jakarta:
Gunung Agung, 1980.
World Agroforestry Centre (ICRAF), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Forest Peoples Programme (FPP), Jakarta: Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), 2003.
PELUANG PENERAPAN FPIC SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM PROGRESIF
UNTUK MELINDUNGI HAK MASYARAKAT ADAT DALAM KEGIATAN
USAHA MINYAK DAN GAS BUMI
Nisa Istiqomah Nidasari1
Abstrak
Pengadaan tanah untuk kegiatan industri minyak dan gas bumi merupakan
kegiatan strategis yang diprioritaskan negara atas nama „kepentingan umum‟.
Tidak jarang, pengadaan tersebut merampas hak tenurial masyarakat adat demi
menyediakan lahan bagi perusahaan untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi. Padahal fungsi tanah bagi masyarakat adat tidak hanya sebagai
tempat tinggal saja, tetapi juga sebagai tempat peribadatan, sumber mata
pencaharian serta bagian dari budaya dan warisan leluhur yang harus
dipertahankan dan dilestarikan. Hak masyarakat adat terhadap tanah ulayat
juga dilindungi oleh berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.
Salah satu prosedur yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak
fundamental masyarakat adat adalah FPIC (Free, Prior and Informed Consent)
atau PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan).
Secara khusus, tulisan ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan
sebagai berikut: Pertama, mengapa FPIC dapat menjadi instrumen hukum
progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha
migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi
investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC
dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia?
Kata kunci: Masyarakat Adat, Tanah Ulayat, Pengadaan Tanah untuk Kegiatan
Industri Migas, PADIATAPA
1 Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
51
Abstract
Land clearing for oil and gas industry is deemed as a strategic activity that is
prioritized in the name of „Public Interest‟. In many cases, such land clearing
confiscated the land tenure of indigenous peoples to give space for oil companies
conducting exploration and exploitation. This is unacceptable for indigenous peoples
because not only they often depend on their customary land for their livelihoods and
residence, but also because it has strong cultural and often spiritual significance. The
rights of indigenous peoples over their customary land is protected under national and
international legal frameworks.
One of the procedure that shall gives a protection over the fundamental rights of
Indigenous Peoples is FPIC (Free and Prior Informed Consent). In the business
perspective, FPIC will increase the legal certainty for invesment as it provides the
companies with social license to extract. Specifically, this paper will address the
following questions: First, how FPIC could be a progressive legal instrument to protect
Indigenous Peoples rights in the activity of oil and gas? Second, how FPIC could
increase the legal certainty for investment in oil and gas industry? Third, what are the
strategies to apply FPIC in the land clearing policy for oil and gas industry in
Indonesia?
Key Words: Indigenous Peoples, Customary Land, Land Clearing in Oil and Gas
Industry, FPIC
1. Pendahuluan
Bank Dunia, PBB dan berbagai lembaga internasional menyatakan
bahwa terdapat sekitar 350 juta jumlah masyarakat adat di seluruh dunia dan ¾
nya berada di Asia.2 Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 50-70 juta masyarakat
adat yang tersebar di berbagai pulau.3 Sayangnya, Indonesia selaku tuan rumah
belum mampu menjamin hak-hak fundamental masyarakat adat sehingga
masyarakat adat yang selama ini hidup dengan bersahaja dan memegang teguh
kearifan lokal dari leluhur harus hidup dalam ketakutan. Bagaimana tidak?
Masyarakat adat seringkali dipaksa untuk meninggalkan tanah yang telah
mereka tinggali secara turun temurun serta diputus aksesnya terhadap hutan
dan sumber mata pencaharian mereka demi menyediakan lahan bagi kegiatan
industri ekstraktif. Sebagai contoh, pada tahun 2013 terdapat dua kasus yang
2 Rikka Sombolinggi, Jaringan akan Buat Peta Global Masyarakat Adat.
http://www.aman.or.id/2013/10/03/jaringan-akan-buat-peta-global-masyarakat-adat/#.VAuzhxYWS_w diakses pada 15 Oktober 2014.
3 AMAN. Indigenous World 2011 (Jakarta: AMAN, 2011), hal. 1.
NISA I. NIDASARI
52
cukup mengkhawatirkan dimana masyarakat adat dipaksa untuk
meninggalkan tanah ulayatnya: 1) konflik suku Sawai dan Tobelo Dalam
melawan perusahaan nikel di Maluku Utara; dan 2) suku Sambandate-
Walandawe melawan perusahaan tambang di Kabupaten Konawe, Sulawesi
Tenggara. Pada kedua kasus tersebut, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam
konsultasi publik atas pemberian izin kepada perusahaan yang aktivitasnya
berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup mereka. Beberapa upaya
untuk berdikusi tidak diindahkan oleh pemerintah dan perusahaan. Konflik
sosial pun tidak terelakkan lagi bahkan di tahun 2012 masyarakat suku Sawai
melawan dengan cara membakar alat-alat perusahaan dan berakhir di penjara.4
Dalam kasus seperti ini, tidak jarang ditemui polisi dan preman dikerahkan
untuk meredam massa yang turun ke lapangan. AMAN mencatat sejak Oktober
2012-Maret 2013, telah terjadi kriminalisasi terhadap 224 orang masyarakat adat
yang memprotes tindakan perusahaan dan aktif memperjuangkan hak-haknya
atas tanah ulayat.5
Data di atas sungguh mengecewakan mengingat Indonesia seharusnya
memberikan jaminan hukum kepada masyarakat adat sebagaimana
dimandatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip NKRI...”. Lebih jauh, hak-hak masyarakat adat merupakan hak asasi
manusia yang dilindungi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang berbunyi:
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Di tingkat internasional, Indonesia juga telah menandatangani UN
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang berisi 46 Pasal perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat adat, dimana salah satu pasalnya berbunyi:
4 Kharina Triananda, Komnas: Hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang bisa
dilanggar: http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html , diakses pada 10 Oktober 2014.
5 Yance Arizona, Mengapa Undang-undang Masyarakat Adat dibutuhkan. http://www.hukumpedia.com/masyarakat-adat/mengapa-undang-undang-masyarakat-adat-dibutuhkan-hk522d348cacad7.html , diakses pada 10 Oktober 2014.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
53
Indigenous peoples shall not be forcibly removed from their lands or
territories. No relocation shall take place without the free, prior and
informed consent of the indigenous peoples concerned and after
agreement on just and fair compensation and, where possible, with the
option of return.
(Terjemahan bebas: Masyarakat adat tidak boleh diusir secara
paksa dari tanah atau wilayah mereka tanpa FPIC. Tidak boleh
ada relokasi yang dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat
dan setelah adanya kesepakatan tentang kompensasi yang adil,
serta apabila dimungkinkan, masyarakat adat memiliki hak
untuk kembali).
Tindakan perusahaan dan pemerintah dalam mengklaim wilayah atau
tanah yang sebenarnya milik masyarakat adat, menurut Sandra Moniaga
(Komisioner Komnas HAM) telah melanggar beberapa Hak Asasi Manusia
(HAM). Pelanggaran yang paling utama adalah terkait hak atas tanah. Kedua,
hak atas pekerjaan karena pekerjaan masyarakat sebagai petani atau pemburu
tentu akan terganggu. Ketiga adalah hak atas pangan, hal itu disebabkan
sebagian hutan-hutan yang menyediakan makanan pokok mereka akan
terancam, seperti hutan sagu atau area persawahan. Keempat, hak atas hidup,
karena sebagian konflik agraria akan bernuansa kekerasan. Misalnya, saat
perusahaan meminta polisi atau preman untuk menggusur masyarakat adat
seringkali dengan menggunakan kekerasan dan menimbulkan korban jiwa.
Terakhir, hak asasi manusia yang dilanggar adalah hak lingkungan hidup
karena lingkungan sengaja dirusak untuk kepentingan proyek.6
Dari segi investasi, tingginya risiko konflik sosial sebagai bentuk protes
masyarakat adat telah menyebabkan Indonesia tidak lagi merupakan tempat
yang nyaman bagi investor. Berdasarkan Laporan First Peoples Worldwide tahun
2013 yang berjudul “Indigenous Rights Risk Report for the Extractive Industry”,
Indonesia termasuk negara dengan risiko tinggi untuk berinvestasi karena
rawan akan terjadinya protests (demonstrasi), negative press (pencitraan negatif),
work stoppages (penghentian proyek), shut-downs (penutupan), dan law suits
(gugatan hukum) dari Indigenous Peoples yang dirugikan. Risiko-risiko tersebut
apabila benar-benar terjadi tentu akan mengurangi keuntungan perusahaan
6 Kharina Triananda, Komnas: Hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang Bisa
Dilanggar. http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html , diakses pada 10 Oktober 2014.
NISA I. NIDASARI
54
dan pada akhirnya menarik investor keluar dari indonesia.7 Hal ini tidak sejalan
dengan kepentingan Indonesia untuk meningkatkan investasi asing di sektor
migas. SKK Migas dan Kementerian ESDM mencatat bahwa cadangan minyak
Indonesia akan habis dalam kurun waktu 12 tahun sedangkan cadangan gas
bumi akan habis dalam 44 tahun. Karena itu perlu dilakukan eksplorasi untuk
menemukan cadangan minyak dan gas baru dan pemerintah harus bekerja
lebih keras lagi menarik investor untuk melakukan eksplorasi di daerah-daerah
yang sulit dijangkau di bagian timur Indonesia.8
Melihat kondisi di atas, dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat
mempertemukan masyarakat adat dengan perusahaan dimana masyarakat adat
bisa memperoleh informasi yang utuh tentang sebuah proyek yang akan
dilangsungkan di tanah ulayat dan yang akan berdampak pada kehidupan
mereka. Tidak hanya itu, masyarakat adat juga diberikan hak untuk
menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap aktivitas/proyek tersebut.
Mekanisme ini lebih dikenal dengan istilah Free, Prior, and Informed Consent
(FPIC).9
Untuk mengelaborasi lebih lanjut tentang FPIC dan kemungkinan
penerapannya di Indonesia, tulisan ini bermaksud untuk membahas tiga pokok
permasalahan: Pertama, bagaimana FPIC dapat menjadi instrumen hukum
progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha
migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi
investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC
dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia?
Tulisan ini akan didahului dengan sebuah paparan tentang apa yang
dimaksud dengan masyarakat adat dihubungkan dengan istilah populer
internasional: „Indigenous Peoples‟, kemudian akan dilanjutkan dengan
pembahasan apa itu FPIC serta unsur, prinsip dan prosedur umum dari FPIC.
Selanjutnyas tulisan ini akan masuk pada tigas pokok permasalahan di atas lalu
ditutup dengan kesimpulan.
7 First People Worldwide. Indigenous Rights Risk Report for the Extractive Industry,
(Uniter States: First People Worldwide, 2013) Hal. 12. 8 Indonesia SOS Energi Investasi Asing. http://indonesiainvest-
today.com/2013/11/indonesia-sos-energi-investasi-asing-di.html , diakses pada 9 Oktober 2014.
9 Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. Rekomendasi Kebijakan: Instrumen Free, Prior, Informed Concent (FPIC) Bagi Masyarakat Adat dan atau Masyarakat Lokal yang Akan Terkena Dampak dalam Aktivitas Redd+ di Indonesia, (Jakarta: DKN, 2011), hal.3
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
55
2. Istilah dan Definisi Masyarakat Adat di Indonesia
Di Indonesia, istilah dan definisi masyarakat adat sangat beragam. Dari
sisi istilah misalnya, ada peraturan yang menggunakan istilah komunitas adat
terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat
hukum adat, maupun istilah masyarakat tradisional.10 Sedangkan dari sisi
definisi, berikut beberapa definisi yang penting dikemukakan dalam tulisan ini:
Peraturan dan istilah yang
digunakan Definisi dan Kriteria
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat
Kesatuan masyarakat hukum adat diakui:
1. sepanjang masih hidup
2. sesuai dengan perkembangan masyarakat
3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia
UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria
1. masyarakatnya masih dalam bentuk
paguyuban (rechsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata hukum, khususnya peradilan
adat, yang masih ditaati; dan
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan
di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
UU No. 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air
Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok
orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum adat yang didasarkan atas kesamaan
10 Yance Arizona, New York 2014: Mendefinisikan Indigenous Peoples di Indonesia.
http://yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ , diakses pada 19 Desember 2014.
NISA I. NIDASARI
56
Peraturan dan istilah yang
digunakan Definisi dan Kriteria
tempat tinggal atau atas dasar keturunan.
UU No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan
Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria:
1. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgememschaft);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adat;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat yang masih
ditaati; dan
5. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat
Kesatuan masyarakat hukum adat memenuhi
unsur:
1. sepanjang masih hidup
2. sesuai dengan perkembangan masyarakat
3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia
UU 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup,
serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum
Adat
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok
orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
57
Peraturan dan istilah yang
digunakan Definisi dan Kriteria
Masyarakat Hukum Adat
Keputusan Presiden No. 111
Tahun 1999 tentang
Pembinaan Kesejahteraan
Sosial Komunitas Adat
Terpencil.
Komunitas Adat Terpencil
Komunitas adat terpencil atau yang selama ini
lebih dikenal dengan sebutan masyarakat
terasing adalah kelompok sosial budaya yang
bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau
belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan
baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil antara lain:
1. berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan
homogen;
2. pranata sosial bertumpu pada hubungan
kekerabatan;
3. pada umumnya terpencil secara geografi dan
relatif sulit dijangkau;
4. pada umumnya masih hidup dengan sistem
ekonomi subsistems;
5. peralatan dan teknologinya sederhana;
6. ketergantungan pada lingkungan hidup dan
sumber daya alam setempat relatif tinggi;
7. terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi,
dan politik.
Definisi kerja Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN)
Masyarakat Adat
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah dan sumber daya alam di wilayah
adatnya, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial
dan hukum yang berbeda, baik sebagian
maupun seluruhnya dari masyarakat pada
umumnya.
NISA I. NIDASARI
58
Terminologi masyarakat adat dalam tingkat internasional sering
dipadankan dengan istilah indigenous people. Namun, hingga saat ini belum ada
satu definisi hukum atas Indigenous Peoples yang diakui secara internasional.
Hal ini dikarenakan karakteristik Indigenous Peoples yang diperkirakan
berjumlah 370 juta yang tersebar di 70 negara di dunia11 tersebut sangat
beragam. Namun demikian, PBB telah menggariskan karakteristik umum dari
Indigenous Peoples yang bertujuan untuk tetap dapat membedakannya dengan
kelompok masyarakat minoritas lain12. Karakteristik-karakteristik tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Keberlanjutan sejarah dengan masyarakat asli (pre-colonial and/or pre-
settler societies);
2. Kekhasan (distinctiveness) sistem sosial, ekonomi dan politik;
3. Kekhasan (distinctiveness) dari segi bahasa, budaya, dan kepercayaan;
4. Hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alam yang ada di
sekitarnya;
5. Membentuk kelompok yang tidak dominan (non-dominant group) di
masyarakat;
6. Keinginan untuk menjaga, mempertahankan dan meneruskan tanah
adat, sistem adat beserta tradisinya kepada generasi berikutnya.13
Berdasarkan karakteristik Indigenous Peoples di atas, kita dapat menemukan
bahwa karakteristik tersebut pada umumnya sama dengan karakteristik
masyarakat adat di Indonesia. Namun demikian, terdapat kalangan yang
menganggap bahwa masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan Indigenous
Peoples karena konsep Indigenous Peoples pada awalnya berkembang dari
pengalaman kolonialisme, dimana mereka mengalami marginalisasi atas invasi
yang dilakukan oleh penjajah.14 Penguasa kolonial ini kemudian masih menjadi
kekuatan dominan pasca negara-negara terbentuk sebagaimana terjadi di benua
Amerika, Rusia, Antartika dan negara-negara di Pasifik.15 Hal ini berbeda
dengan gerakan masyarakat adat di Indonesia yang berkembang pada awal
11 United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues. Who Are Indigenous
People? 2014. hal. 1 12 The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social Issues
(IPIECA), Indigenous Peoples and the Oil and Gas Industry, (UK: IPIECA, 2012), hal. 5. 13United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues. Who Are..., hal. 1. 14 Yance Arizona, New York..., diakses pada 19 Desember 2014. 15 The State of the World‟s Indigenous Peoples, State of the World‟s Indigenous Peoples.
(United Nation, New York: 2009), hal. 6.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
59
dekade 1990-an untuk merespons persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari
dampak program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Orde
Baru. Permasalahan itu baik dalam bentuk diskriminasi, perampasan tanah,
pengusiran, dan kekerasan lainnya.16 Karenanya, definisi masyarakat adat
dianggap lebih dekat dengan istilah masyarakat suku/Tribal Peoples17
dibanding Indigenous Peoples. Perbedaan ini sebenarnya telah coba dijembatani
melalui sebuah kajian yang dilakukan oleh United Nation Permanent Forum on
Indigenous Issue pada tahun 2004 yang berjudul The Concept of Indigenous Peoples
(PFII/2004/WS.1/3) yang menyimpulkan:
The two terms “indigenous peoples” and “tribal peoples” are used by the
ILO because there are tribal peoples who are not “indigenous” in the
literal sense in the countries in which they live, but who nevertheless live
in a similar situation – an example would be Afro-descended tribal peoples
in Central America; or tribal peoples in Africa such as the San or Maasai
who may not have lived in the region they inhabit longer than other
population groups. Nevertheless, many of these peoples refer to themselves
as “indigenous” in order to fall under discussions taking place at the
United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and
“tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples
concerned identify themselves under the indigenous agenda.
(Terjemahan bebas : Dua istilah “indigenous peoples” dan “tribal
peoples” digunakan oleh ILO karena terdapat tribal peoples yang
tidak “indigenous” dalam pengertian harfiah di negara tempat
mereka tinggal, tetapi bagaimanapun juga hidup dalam situasi
yang hampir sama – contohnya tribal peoples keturunan Afrika yang
tinggal di Amerika Tengah; atau tribal peoples di Africa seperti San
atau Maasai yang mungkin tidak tinggal di daerah yang mereka
tempati lebih lama dari kelompok masyarakat lainnya. Namun
demikian, banyak dari kelompok masyarakat ini yang menyebut
dirinya “indigenous” agar dapat termasuk dalam diskusi yang
sedang berlangsung di PBB. Untuk kepentingan praktis, istilah
“indigenous” dan “tribal” akan digunakan sebagai sinonim dalam
sistem PBB sepanjang kelompok masyarakat yang bersangkutan
mengidenfikasikan dirinya di bawah agenda indigenous).
16http://yancearizona.net. diakses pada 1 Desember 2014. 17 Berdasarkan Konvensi ILO No. 169, definisi “Tribal peoples” adalah: peoples in
independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulations.”
NISA I. NIDASARI
60
Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah
Indigenous Peoples sebagai sinonim dari istilah Masyarakat Adat.
3. Free Prior Informed Consent (FPIC)
3.1 Definisi FPIC
FPIC (Free and Prior Informed Consent) adalah sebuah mekanisme atau
suatu proses yang memungkinkan masyarakat menyatakan „setuju‟ atau „tidak
setuju‟ terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan
dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat dan berpotensi berdampak
kepada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan masyarakat.18 Menilik
sejarah, FPIC pada awalnya digunakan untuk melindungi kepentingan pasien
di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan
yang akan dilaluinya sebelum tindakan medis tersebut dijalankan. Salah satu
kodifikasi pertama FPIC di dunia adalah Kode Nuremberg tahun 1947 yang
berhubungan dengan syarat melakukan riset dan eksperimen medis terhadap
manusia.19 Dari sinilah konsep FPIC berkembang dari semula konsep
perlindungan terhadap hak pasien menjadi konsep perlindungan terhadap hak-
hak Indigenous Peoples dalam berbagai kaidah hukum internasional.20
Bagi masyarakat adat atau lokal di Indonesia, konsep FPIC bukanlah
konsep baru yang diintrodusir oleh pihak asing. Konsep ini sebenarnya telah
mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat adat atau lokal dalam bentuk
musyarawarah untuk melakukan pemanfaatan aset dan potensi yang dimiliki
dengan pihak luar.21
3.2 Unsur-unsur dalam FPIC
FPIC memiliki empat unsur/elemen yaitu Free, Prior, Informed dan
Consent yang mengandung pengertian sebagai berikut:22
18DKN, UN REDD Programme Indonesia. Rekomendasi Kebijakan... hal. 13 19 Robert Goodland. FPIC and the World Bank Group. (Sustainable Development Law
and Policy: 2004), hal.67. 20 Bernadinus Steny. FPIC dalam Pergulatan Hukum Lokal. (HUMA, Jakarta: 2005). Hal.
11. 21 Panduan. Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan..., hal. 5. 22 DKN, UN REDD Programme Indonesia. Rekomendasi Kebijakan..., hal. 6-7.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
61
(1) Free bermakna bahwa masyarakat adat memberikan persetujuan atau
memutuskan untuk tidak menyetujui sebuah rencana aktivitas, proyek
atau kebijakan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Masyarakat adat
bebas dari tekanan, ancaman untuk berpendapat; masyarakat tidak dalam
tekanan waktu dan tempat untuk bernegosiasi; dan masyarakat adat juga
bebas memilih siapa saja yang harus mewakili mereka.
(2) Prior bermakna bahwa perolehan keputusan apakah setuju/tidak itu
dilakukan sebelum kebijakan atau kegiatan itu dilakukan. Kendati
demikian, dalam keadaan memaksa dapat juga persetujuan masyarakat
diperoleh saat kegiatan sedang berlangsung.
(3) Informed bermakna bahwa sebelum proses pemberian keputusan,
masyarakat harus benar-benar mendapat informasi yang utuh dalam
bahasa dan bentuk yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Informasi
seharusnya disampaikan oleh personel yang memahami konteks budaya
setempat, dapat berbicara dengan bahasa setempat dan memasukan aspek
pengembangan kapasitas masyarakat lokal. Informasi seharusnya lengkap
dan objektif termasuk potensi dampak sosial, politik, budaya dan
lingkungan hidup dan memberikan informasi kepada masyarakat baik
mengenai keuntungan maupun kerugian potensial yang akan diterima
oleh masyarakat sebelum persetujuan diberikan.
(4) Consent bermakna bahwa suatu keputusan atau kesepakatan yang dicapai
melalui sebuah proses terbuka dan bertahap yang menghargai hukum adat
atau lokal secara kolektif dengan segala otoritas yang dianut oleh mereka
sendiri.
3.3 Prinsip-prinsip FPIC
Dalam menerapkan FPIC untuk masyarakat adat, pengembang proyek
harus memperhatikan prinsip-prinsip pengakuan dan penghormatan hak
masyarakat adat yang diatur di dalam Deklarasi PBB tentang hak Indigenous
Peoples sebagai bagian dari instrumen hak asasi manusia internasional, yaitu
sebagai berikut:
Pasal 3: Indigenous peoples have the right to self-determination. By virtue of
that right they freely determine their political status and freely pursue their
economic, social and cultural development.
Terjemahan bebas: Masyarakat adat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka dapat
NISA I. NIDASARI
62
secara bebas menentukan status politiknya serta mengejar
pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Pasal 10: Indigenous peoples cannot be forcibly removed from their lands and
territories and relocated without FPIC
Terjemahan bebas:Masyarakat adat tidak boleh diusir secara paksa
dari tanah atau wilayah mereka tanpa FPIC.
Pasal 11: Redress shall be given to indigenous peoples whose cultural,
intellectual, religious and spiritual property are taken without their FPIC;
Terjemahan bebas: ganti rugi harus diberikan kepada masyarakat adat
yang kebudayaannya, properti intelektualnya, agama dan
spiritualitasnya diambil tanpa FPIC;
Pasal 19: FPIC must be obtained before adopting or implementing
legislative/administrative measures affecting indigenous peoples;
Terjemahan bebas: FPIC harus diperoleh sebelum mengadopsi atau
mengimplementasikan tindakan legislatif/administratif yang akan
berdampak pada masyarakat adat.
Pasal 28: Indigenous peoples have the right to redress for lands, territories,
resources, which were confiscated, taken, occupied, used or damaged without
their FPIC.
Terjemahan bebas:Masyarakat adat mempunyai hak atas ganti rugi
atas tanah, wilayah, sumber daya alam yang disita, diambil, diduduki,
digunakan dan dirusak tanpa FPIC.
Pasal 32: FPIC should be obtained prior to approval of any project affecting
their lands, territories and resources, particularly exploitation of mineral,
water and other resources.
Terjemahan bebas: FPIC wajib diperoleh sebelum adanya persetujuan
terhadap proyek apapun yang dapat berdampak pada tanah, wilayah
dan sumber daya alam milik masyarakat adat, khususnya proyek yang
berkaitan dengan eksploitasi mineral, air dan sumber daya alam
lainnya.
3.4 Prosedur Umum FPIC
Sebagaimana diungkapkan oleh Anderson dalam bukunya Free, Prior,
and Informed Consent: Principles and Approaches for Policy and Project (2011),
prosedur FPIC akan sangat bergantung pada tradisi yang berlaku di kalangan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
63
masyarakat adat sehingga tidak mungkin untuk menciptakan suatu prosedur
FPIC yang berlaku untuk semua dan diakui secara universal. Namun demikian
tetap dimungkinkan untuk mengidentifikasi elemen-elemen kunci dalam
proses FPIC dengan catatan bahwa hal ini harus tetap disesuaikan dengan
proses yang diterima secara adat.23 Berikut ini penulis uraikan prosedur FPIC
secara umum:
Bagan I: Prosedur FPIC
A. Mengidentifikasi Tanah Ulayat dan Pemegang hak Ulayat
Langkah ini merupakan fondasi penting dalam proses FPIC karena
dengan mengidentifikasi tanah ulayat dan siapa pemegang hak atas
tanah ulayat, kita dapat mengetahui siapa yang perlu dimintai
persetujuannya atas Kegiatan Usaha Migas yang hendak dilaksanakan.
23 Patrick Anderson, Free, Prior, and Informed Consent: Principles and Approaches for
Policy and Project Development,(Bangkok, GIZ & RECOFTC, 2011), hal. 3.
NISA I. NIDASARI
64
Definisi Tanah Ulayat diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala
BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: “Tanah
Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu.” Adapun yang dimaksud
dengan Hak Ulayat diatur dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:
“Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
(untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah, batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.”
Ketentuan tentang pemegang hak ulayat di suatu wilayah dapat
ditelusuri dari Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang
kelembagaan adat, sebagai contoh pada tahun 2008 Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat membuat Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya. Di dalam Perda tersebut, diatur jenis-jenis tanah ulayat
dan siapa penguasa serta pemilik tanah ulayat tersebut, sebagai berikut:
No. Jenis Tanah Ulayat Penguasa dan Pemilik
Tanah Ulayat
1. Tanah Ulayat
Nagari
Ninik mamak KAN
2. Tanah Ulayat Suku Penghulu-penghulu suku
3. Tanah Ulayat Rajo Lelaki Tertua Pewaris Rajo
mewakili anggota kaum
dalam garis keturunan ibu
Di Kalimantan Tengah juga ditemukan Perda serupa yaitu Perda
No. 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi
kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
65
di Kalimantan Tengah. Di dalam Perda tersebut, Damang Kepala Adat
yang bertugas mengelola hak-hak adat atau harta kekayaan Kedamangan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup
masyarakat hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
Meskipun terdapat beberapa pemerintah daerah yang menerbitkan
Perda semacam ini, masih banyak tanah ulayat yang belum diinventarisir
dengan baik dan diakui secara formal dalam instrumen peraturan
perundang-undangan seperti Perda dan banyak pemegang hak ulayat
yang belum mengurus Sertifikat Tanah Ulayat ke BPN, meskipun secara
de facto bertindak sebagai penguasa dan pemilik atas tanah ulayat
tersebut. Dalam hal demikian, pemerintah dan/atau pengusaha dapat
memanfaatkan Peta Indikatif Wilayah Adat Indonesia yang diinisiasi
oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama dengan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk menelusuri keberadaan
tanah ulayat dan masyarakat adat yang menempati daerah yang dituju.
Peta Indikatif Wilayah Adat ini sudah diintegrasikan dalam One Map
Indonesia yang dibuat oleh UKP4.24 Apabila wilayah yang dituju belum
ada di peta ini, pemerintah dan/atau pengusaha dapat melakukan
pemetaan partisipatif dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat
lokal dan masyarakat adat yang menempati wilayah tersebut serta yang
menempati wilayah lain yang berbatasan langsung untuk memvalidasi
batas-batas wilayah.25
B. Mengidentifikasi lembaga pembuat keputusan di kalangan
Masyarakat Adat
Dalam kerangka hukum internasional, masyarakat adat berhak
untuk diwakili oleh suatu lembaga yang mereka pilih sendiri yang
mungkin berbeda dengan lembaga formil yang dibentuk pemerintah.26
Sebagai contoh, masyarakat adat di Kab. Kampar, Riau, mempunyai
lembaga bernama Kerapatan Adat yang merupakan satu-satunya
lembaga permusyawaratan tertinggi adat yang mengatur tentang
penggunaan dan atau pemanfaatan serta pemindahan kepemilikan
Tanah Ulayat. Berdasarkan hukum adat setempat, Kerapatan Adat
24 IGG Maha Adi, Masyarakat Adat Lengkapi One Map Indonesia.
http://ekuatorial.com/en/climate-change/masyarakat-adat-lengkapi-one-map-indonesia diakses pada 23 Oktober 2014
25 World Wildlife Fund. Free, Prior, Informed Consent and Redd+: Guidelines and Resources. (Indonesia: WWF, 2011) hal. 4.
26Ibid.
NISA I. NIDASARI
66
adalah suatu wadah atau organisasi persidangan para Ninik Mamak27
atau warga yang dituahkan dan ditaudalani secara turun temurun dalam
suatu masyarakat adat. Ketentuan Kerapatan Adat merupakan suatu
ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat.28
Dalam meminta persetujuan, pemrakarsa proyek harus
menghormati keberadaan dari lembaga adat yang mempunyai
kewenangan untuk membuat keputusan tentang pemanfaatan tanah
ulayat berdasarkan hukum adat yang berlaku.
C. Proses Pemahaman Masyarakat Adat tentang Proyek yang
diusung
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
masyarakat terhadap proyek yang akan dilangsungkan di tanah ulayat.
Proses ini dapat dilakukan melalui FGD, penyebaran leaflet, brosur, cerita
bergambar (cergam), film, animasi, dan media pendukung lainnya yang
relevan serta bertujuan agar informasi yang diberikan konsisten,
seragam, lengkap dan jelas. 29
Segala informasi tentang kegiatan usaha Migas yang akan
dilaksanakan di Tanah Ulayat beserta dampak sosial dan lingkungannya
harus disampaikan dengan sebenar-benarnya kepada masyarakat adat
dengan cara:
Terbuka dan transparan;
Menggunakan bahasa daerah/bahasa yang dimengerti oleh
masyarakat adat;
Disampaikan dengan cara yang dapat diterima secara adat.30
Free, Prior, Informed Consent and REDD+: Guidelines and Resources
memberikan panduan tentang informasi apa saja yang perlu
disampaikan kepada masyarakat adat, yaitu:
27 Ninik, Mamak adalah orang yang dinobatkan atau diangkat oleh persukuannya
dan atau kaumnya untuk memimpin persukuan atau kaumnya sendiri, yang telah dikukuhkan atau dinobatkan secara sah oleh persekutusannya sesuai dengan hukum adat setempat
28 Perda Pemkab Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat. 29 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... Hal 35. 30 World Wildlife Fund. Free, Prio... Hal. 5.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
67
Dampak positif dan dampak negatif dari kegiatan usaha migas.
Informasi ini harus disampaikan secara seimbang tanpa ada
penekanan di dampak positifnya saja;
Asesmen tentang biaya dan manfaat (cost and benefit analysis)
dari kegiatan yang dimaksud;
Alternatif kegiatan lain yang dapat dilangsungkan di atas tanah
ulayat, beserta hasilnya (outcome);
Informasi tentang hak-hak masyarakat adat;
Informasi tentang akibat hukum dari proyek yang diusulkan
seperti akibatnya terhadap status tanah, hak masyarakat adat
terhadap sumber daya alam dan lain-lain.31
Mengingat masih lemahnya kapasitas masyarakat adat untuk
memahami dampak dari proyek khususnya sehubungan dengan
kegiatan usaha migas, pemerintah harus berperan dalam memberikan
bantuan teknis agar masyarakat adat dapat benar-benar memahami
informasi yang disampaikan. Misalnya dengan memberikan edukasi,
menerjemahkan istilah-istilah teknis ke bahasa yang mudah dimengerti,
dan tindakan afirmatif lainnya.32
D. Bernegosiasi dengan Masyarakat Adat
Negosisasi dilakukan dengan cara komunikasi dua arah antara
masyarakat adat dengan pemrakarsa proyek (Pemerintah, BUMN
atau perusahaan swasta) tentang proposal kegiatan usaha Migas.
Beberapa isu-isu kunci dapat dibicarakan dalam negosiasi ini seperti
perubahan pemanfaatan lahan, keterlibatan masyarakat adat,
kemungkinan relokasi, ganti rugi dan kompensasi yang akan diterima
oleh masyarakat adat, mekanisme penyelesaian sengketa dan lain
sebagainya. Negosiasi biasanya membutuhkan waktu yang tidak
sebentar untuk memberikan kesempatan bagi pemimpin masyarakat
adat dan anggotanya mendiskusikan proposal proyek di internal
mereka.33
31Ibid. 32 tindakan afirmatif adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar
kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Sumber: Hukum Online, link: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action diakses pada 20 Desember 2014.
33Ibid. hal. 6.
NISA I. NIDASARI
68
E. Pengambilan Keputusan Masyarakat Adat
Pengambilan keputusan oleh masyarakat adat dilakukan
berdasarkan tradisi dan hukum adat yang berlaku sesuai dengan poin
nomor satu dan dua di atas. Tahap ini akan menjawab komponen
consent dalam FPIC, dimana semua perwakilan masyarakat adat yang
terpilih akan mengambil keputusan terkait peran, tanggung jawab,
manfaat yang diterima dan dampak yang akan ditimbulkan serta
sejumlah opsi lainnya.34
F. Mendokumentasikan Keputusan Masyarakat Adat
Keputusan serta kesepakatan yang tercipta antara pengembang
proyek dengan masyarakat adat perlu didokumentasikan dalam bentuk
yang disetujui oleh para pihak. Dokumentasi tersebut dapat menjadi
bukti bahwa masyarakat adat telah memberikan persetujuannya,
beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemrakarsa proyek.35
G. Melakukan Verifikasi atas Persetujuan Masyarakat Adat
Verifikasi dari pihak ketiga yang independen diperlukan
mengingat proses FPIC sangat rentan untuk dimanipulasi. Misalnya,
pihak investor dengan didukung oleh oknum dari pemerintah daerah
melakukan pendekatan kepada orang-orang tertentu di dalam
komunitas masyarakat adat, memberikan informasi yang menyesatkan
dan memanipulasi luasan tanah dan hutan yang akan digunakan.
Pada umumnya, terdapat dua pendekatan dalam menentukan
siapa yang akan menjadi verifikator independen FPIC. Pertama,
verifikasi keabsahan hasil yang berbasis FPIC bisa dipercayakan kepada
badan pemerintah yang akan dibebani tanggung jawab untuk
menjamin bahwa prosedur yang sesuai dengan hukum telah diikuti
dan persetujuan diberikan atau tidak diberikan setelah menempuh
suatu proses yang semestinya. Hal ini lazim diterapkan oleh negara
yang telah mewajibkan FPIC dalam hukum nasionalnya seperti
Filipina. Kedua, mempercayakan tugas verifikasi ini kepada auditor
independen dari luar. Dalam hal ini auditor mempelajari
34 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... hal, 36. 35 World Wildlife Fund. Free, Prio... hal. 6.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
69
pendokumentasian dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak
yang terkait untuk menjajaki sampai sejauh mana perjanjian antara
masyarakat dan perusahaan telah mematuhi prosedur yang
disyaratkan. Hal ini lazim diterapkan apabila FPIC hadir sebagai
standar sukarela/voluntary standard yang diterima oleh perusahaan
swasta namun belum disyaratkan dalam undang-undang nasional.
Dalam kedua pendekatan ini, apabila proses FPIC dianggap telah
memenuhi standar, sebuah sertifikat akan diterbitkan yang kemudian
dapat dipakai sebagai bukti bahwa persetujuan telah diberikan oleh
masyarakat adat secara bebas dan adil.36
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan proses FPIC tidak
verified diantaranya:
Pemrakarsa proyek bernegosiasi dengan perwakilan
masyarakat adat/penghulu adat yang salah dan tidak
diakui oleh masyarakat adat berdasarkan hukum adat
yang berlaku;
Pemrakarsa proyek bernegosiasi dengan cara yang
tidak memperhatikan kepentingan masyarakat adat;
Pemrakarsa proyek tidak memberitahukan dampak
negatif dari proyek yang diusulkan;
Pemrakarsa proyek tidak memberikan waktu yang
cukup bagi masyarakat adat untuk mendiskusikan
rencana proyek atau untuk mencari informasi dan
saran dari pihak lain (second opinion) tentang proyek
tersebut.
H. Tahap Sosialisasi Hasil
Setiap tahapan FPIC (proses dan pengambilan keputusan) perlu
disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat yang akan
terkena dampak, termasuk para pemangku kepentingan di tingkat
desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.37
36 Marchus Colchester dan Maurizio Farhan Ferrari. Menjadikan FPIC –Prinsip
Persetujuan tanpa Paksaan atas Dasar Informasi Awal – Berjalan: Tantangan dan Peluang bagi Masyarakat Adat. (Forest People Programme: 2007). Hal 15.
37 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... hal, 36.
NISA I. NIDASARI
70
I. Monitoring dan Evaluasi (Monev)
Monev dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan harus bersifat
partisipatif yaitu melibatkan semua pihak yang berkepentingan
termasuk masyarakat adat. Monev ini juga harus didukung dengan
pembentukan tim independen yang bertugas menangani komplain
dari masyarakat. Beberapa hal penting dalam penanganan komplain
tersebut diantaranya sesuai dengan prinsip: keterjangkauan oleh
masyarakat, independensi, pengelolaan yang transparan, dan efektif
dalam memberikan respon.38
4 Mengapa FPIC dapat Menjadi
Instrumen Hukum Progresif untuk Melindungi
Hak-hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Migas?
4.1 Teori Hukum Strategis
Hukum progresif merupakan sebuah gagasan yang mengalir, yang
tidak mau terjebak dalam status quo, sehingga menjadi mandeg. Hukum
progresif menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam kajian dan
penegakkan hukum.39 Konsep ini bermuara kepada asas besar bahwa „hukum
adalah untuk manusia‟, karena kehidupan manusia penuh dengan dinamika
dan berubah dari waktu ke waktu.40 Hal tersebut dilukiskan oleh Satjipto
Rahardjo dengan kalimat sebagai berikut:
“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun
dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang
lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam
faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan
lain-lain. Inilah hakikat „hukum yang selalu dalam proses menjadi‟
(law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum
itu sendiri, tetapi untuk manusia.”41
38Ibid. 39 Satjipto Rahardjo (a), Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009), hal. 1-2. 40 Satjipto Rahardjo (b), Hukum dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKIPers, 2006), hal.
151. 41 Satjipto Rahardjo (c), Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum
Progresif (Vol.1/No.1/April 2005)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
71
Konsep mengenai hukum progresif ini lahir bukan tanpa sebab. Aliran
tersebut muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada aliran positivisme
hukum yang selama ini dianut oleh para penegak hukum, para sarjana dan
akademisi hukum di Indonesia.42
Menurut Satjipto Raharjo, hukum yang progresif adalah hukum yang
mampu mengikuti serta menjawab perkembangan dan perubahan zaman.43
Hukum progresif bukanlah konsep yang berdiri sendiri karena eksplanasi
persoalan hukum tidak bisa dilepaskan dari kebersinggungannya dengan
konsep hukum lain seperti teori hukum responsif (responsive law) dari Nonet &
Selznick yang menghendaki agar hukum diposisikan sebagai fasilitator yang
merespon kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat. Dengan kata lain, hukum
harus menawarkan lebih dari sekadar prosedural justice, berorientasi pada
keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu harus
mengedepankan substansial justice.44
Hukum dalam perspektif hukum progresif bukanlah semata-mata rule
of logic, tetapi social structure and behaviour. Hukum tanpa memperhatikan rasa
keadilan masyarakat sama halnya mengingkari kepastian hukum itu sendiri.
Bahwa penegakan hukum sangat terkait dengan masyarakat sehingga tidak
asosial. Oleh sebab itu itu, ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka
hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-
paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.45
4.2 FPIC sebagai Instrumen Hukum Strategis untuk Melindungi Hak-
hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Migas
Kebutuhan domestik atas minyak bumi yang semakin meningkat,
memaksa SKK Migas untuk terus menggenjot laju produksi. Pada tahun 2014,
target produksi minyak ditetapkan sebesar 1 juta barel per hari (bph). Untuk
memenuhinya, pemerintah mematok target pengeboran di angka 1.456 sumur.46
42 Dey Ravena, Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif, Jurnal Suloh (Vol. VII. No.1
April 2009), hal. 17. 43 Satjipto Rahardjo (d), Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum
dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998, hal. 5
44 Dey Ravena, Ibid., hal. 20. 45 Satjipto Rahardjo (c), Ibid., hal. 5. 46Diemas Kresna Duta. Realisasi Pengeboran Sumur Belum Capai Target.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141110092958-85-10507/realisasi-pengeboran-sumur-belum-capai-target/ , diakses pada 19 Desember 2014.
NISA I. NIDASARI
72
Artinya, kedepan akan semakin banyak aktivitas pengadaan tanah untuk
mendukung kegiatan usaha hulu migas ini.
Tidak hanya itu, di sektor hilir Pemerintah Jokowi-JK berkomitmen
untuk melakukan konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas
(BBG) dalam kurun waktu tiga tahun. Cara yang ditempuh adalah dengan
memperbanyak infrastruktur seperti pipanisasi , pembangunan SPBG dan
Terminal.47 Kegiatan ini juga akan membutuhkan pengadaan tanah dalam
jumlah yang sangat besar, dari Sabang sampai Merauke.
Agenda pemerintahan baru di sektor migas yang sangat ambisius ini
bukan tidak mungkin membutuhkan tanah ulayat. Dalam hal demikian,
masyarakat adat harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang akan
berdampak langsung terhadap kehidupannya. Hal ini sejalan dengan asas
partisipatif48 dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berarti setiap anggota masyarakat
didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pembangunan yang partisipatif merupakan wujud tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). Akses partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan, utamanya dalam pengelolaan lingkungan dan sumber
daya alam, akan mendorong lahirnya produk kebijakan yang tidak hanya
mementingkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian
lingkungan dan hak-hak dasar masyarakat, melalui minimalisasi biaya sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup.49
Sebaliknya, pembangunan yang tidak partisipatif dan menerobos hak-
hak masyarakat adat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Berdasarkan doktrin tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia, maka
mekanisme FPIC meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect),
pemenuhan (to fulfill) dan penegakan hak masyarakat adat atas sumber daya
alamnya dalam setiap tindakan yang dilakukan pihak luar.50
47Feby Dwi Sutianto. Jokowi-JK Bakal Konversi BBM ke BBG dalam 3 Tahun.
http://finance.detik.com/read/2014/06/20/213145/2614884/1034/jokowi-jk-bakal-konversi-bbm-ke-bbg-dalam-3-tahun , diakses pada 19 Desember 2014.
48 Pasal 2 huruf (k), UUPPLH. 49 Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Membuka Ruang, Menjembatani
Kesenjangan, (Jakarta:ICEL, 2006) 50 Yance Arizona, Mempertimbangkan FPIC..., diakses pada 19 Desember 2014.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
73
Prosedur FPIC, apabila dikaitkan dengan teori hukum strategis
menurut Satjipto Raharjo, dapat dikategorikan sebagai instrumen hukum
strategis karena pengaplikasiannya dapat bermanfaat:
a. menjamin ruang partisipasi masyarakat adat dalam setiap
tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,
hingga evaluasi suatu kebijakan yang berdampak langsung
pada kehidupannya;
b. mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain;
c. Menjaga keberlanjutan lingkungan sebab penguatan
masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam, yang
selama ini bercorak komunal, dapat menghadang kerusakan
lingkungan dari ketamakan individu dan korporasi;51 dan
d. mengentaskan kemiskinan (poverty alleviation). Untuk poin yang
terakhir ini, hubungan antara FPIC dengan pengentasan
kemiskinan sifatnya memang tidak langsung tetapi sangat
dekat satu sama lain. Pembebasan tanah ulayat yang
merupakan salah satu harta masyarakat adat paling berharga
tanpa persetujuan kompensasi yang memadai akan menyeret
masyarakat ke dalam lubang kemiskinan yang lebih dalam.52
Pembukaan Wilayah Kerja Migas membuat masyarakat
berburu dan nomadik terbelit dalam sempitnya ruang mencari
nafkah dan sulitnya menjamin pasokan makanan.
5. Bagaimana FPIC dapat Meningkatkan Kepastian Hukum Bagi
Investasi di Sektor Migas?
Prosedur FPIC apabila diimplementasikan dengan itikad baik dan
sungguh-sungguh dapat menghasilkan social license bagi perusahaan. Social
license adalah sebuah istilah yang berkembang di dunia bisnis internasional
untuk menunjukkan bahwa proyek yang dijalankan perusahaan disetujui,
diterima dan bahkan didukung oleh masyarakat. Social License diberikan oleh
masyarakat secara informal dan intangible/tidak berwujud. Sebagaimana
diungkapkan oleh Pierre Lassonde, presiden Newmont Mining Corporation,
“You don‟t get your social license by going to a government ministry and making an
51 Yance Arizona, Mempertimbangkan FPIC..., diakses pada 19 Desember 2014. 52 Bernadinus Steny, FPIC dalam..., hal. 9.
NISA I. NIDASARI
74
application or simply paying a fee… It requires far more than money to truly become
part of the communities in which you operate.” 53
Karena sifatnya yang tidak berwujud, sulit untuk menentukan apakah
social license telah diperoleh. Namun demikian social license termanifestasi dalam
berbagai bentuk seperti tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap
kredibilitas perusahaan serta tidak adanya oposisi yang secara aktif
mengkampanyekan penolakan terhadap keberadaan perusahaan. Social license
juga bersifat dinamis dan tidak permanen mengingat kepercayaan, opini dan
persepsi masyarakat dapat berubah. Karena itu social license harus terus dijaga
dan dipelihara.54
Dari perspektif pengusaha, social license sangatlah penting karena:
1. Pemrakarsa proyek dapat memperoleh legitimasi atas
keberadaan dan aktivitasnya dari perspektif masyarakat lokal;
2. Meminimalisir risiko penundaan proyek;
3. Meyakinkan pemegang saham dan investor bahwa perusahaan
telah mengelola risiko sosial dan risiko-risiko lainnya dengan
baik serta tidak melanggar HAM;
4. Meyakinkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya
bahwa perusahaan benar-benar berusaha untuk menghasilkan
performance yang baik;
5. Melindungi reputasi perusahaan.
Berikut ini adalah contoh pentingnya implementasi FPIC dalam dinamika
hubungan antara perusahaan ekstraktif dengan masyarakat adat:
1. Hamersley Iron Pty Limited di Australia
Pada awal tahun 1990an, Hamersley Iron Pty Limited, anak
perusahaan Rio Tinto, berencana mengembangkan tambang biji besi dan
jalur kereta api di Yandicoogina di kawasan Pilbara, Australia. Beberapa
kelompok penduduk asli (Aborigin) tinggal di kawasan dekat tambang
yang akan dibuka tersebut. Hamersley menghabiskan waktu empat bulan
untuk melakukan kegiatan pemetaan sosial. Berdasarkan pemetaan
tersebut, perundingan dilakukan dengan perwakilan suku Aborigin dari
53 http://socialicense.com/definition.html, diakses pada 27 Oktober 2014.
Terjemahan bebas: Anda tidak akan mendapatkan izin sosial dengan cara pergi ke kementerian, membuat permohonan atau dengan membayar fee... Dibutuhkan lebih dari uang untuk benar-benar menjadi bagian dari masyarakat di tempat perusahaan Anda beroperasi.
54 Brian F. Yates dan Celesa L. Horvath, Social License to Operate: How to Get it. and How to Keep It. Working Paper. (Canada: Pacific Energy Summit, 2013), hal 3.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
75
Januari sampai Juni 1996 dan menghasilkan Perjanjian Penggunaan Lahan
Yandicoogina yang memberikan dasar bagi kerangka kerjasama jangka
panjang antara Hamersley dan pihak Aborigin. Dengan adanya kerja sama
ini, Hamersley dapat mengurangi lamanya proses perijinan, menyelesaikan
konstruksi dengan biaya 100 juta dolar AS lebih murah dari pada yang
dianggarkan, dan memulai produksi enam bulan lebih cepat.55
2. Newmont Mining Corporation di Peru
Yanacocha adalah proyek pertambangan emas terbesar di Amerika
Latin dan terbesar kedua di dunia. Nama Yanacocha berasal dari nama
danau yang masih ada pada tahun 1992, namun setelah bertahun-tahun
dilakukan open pit mining danau tersebut berubah jadi tandus dengan
kawah yang sangat besar. Proyek ini akan dilanjutkan dengan nama Mina
Conga dan akan menyebabkan lenyapnya empat danau lain yang
merupakan sumber mata air dan mata pencaharian bagi masyarakat. Baik
masyarakat adat maupun masyarakat lokal tidak menyetujui proyek
pertambangan emas tersebut. Pada bulan November 2011, ratusan orang
berdemonstrasi di Cajamarca dan menyebabkan pembangunan proyek
terhenti. Sampai saat ini, terdapat 5 korban jiwa yang diakibatkan oleh
respon kekerasan dari aparat keamanan terhadap demonstran. Newmont
mengklaim bahwa ia merugi 2 juta dolar Amerika Serikat setiap harinya
sejak demonstrasi melumpuhkan operasinya.56
Pentingnya penerapan FPIC ini juga ditegaskan oleh putusan Inter-
American Human Right System atas kasus Samaraka People v. Suriname.
Dalam putusan ini, pemerintah Suriname dinyatakan bersalah atas tindakannya
memberi konsesi sumber daya alam kepada perusahaan swasta tanpa meminta
persetujuan dari masyarakat adat Samaraka. Majelis hakim menyatakan bahwa
sebelum proyek pembangunan dilangsungkan, pemerintah seharusnya
melakukan proses konsultasi dengan itikad baik, menggunakan sarana yang
menurut adat dapat diterima dan bertujuan untuk mencapai kesepakatan dari
Samaraka People.57
Putusan lain yang dapat menjadi preseden dalam pengakuan hak
masyarakat adat di dunia internasional adalah kasus Kichwa People of Sarayaku v.
Ecuador. Kasus ini bermula dari diterbitkannya izin eksplorasi dan eksploitasi
minyak oleh Pemerintah Ekuador kepada perusahaan swasta dalam lingkup
55 Patrick Anderson. Free, Prior...Hal. 36. 56Marianne Coss and Emily Greenspan. Oil, Gas... hal. 16. 57 Tara Ward. The Right to FPIC: Indigenous Peoples‟ Participation Rights within
International Law. Northwestern Journal of International Human Rights Volume 10, Issue 2, 2011. hal. 63.
NISA I. NIDASARI
76
wilayah yang ditempati secara adat oleh Kichwa People. Majelis hakim
kemudian menyatakan Pemerintah Ekuador bersalah karena telah melanggar
hak kepemilikan (right to property) dan hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan karena tidak menyelenggarakan konsultasi yang efektif dengan
masyarakat terdampak sebelum diterbitkannya izin tersebut. 58
Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa dengan menerapkan
FPIC, manfaat bagi perusahaan sangatlah besar baik secara materil maupun
immateriil seperti nama baik, reputasi, social license dan kepastian hukum.
Sebaliknya, tanpa FPIC perusahaan akan mengalami risiko demonstrasi,
pencitraan negatif, pencabutan izin, penghentian paksa dan gugatan hukum.
Resiko-resiko ini tentunya akan menghambat kegiatan eksplorasi, pelaksanaan
komitmen pengeboran dan pembangunan infrastruktur migas. Karena itu
pemerintah harus segera menormakan FPIC dalam kerangka hukum nasional
dan menciptakan instrumen-instrumen pendukungnya untuk meningkatkan
kepastian hukum bagi investasi di sektor migas.
6. Bagaimana Strategi untuk Menerapkan FPIC dalam Kebijakan
Pengadaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Migas di Indonesia?
Penulis memetakan setidaknya terdapat empat strategi untuk mendorong
penerapan FPIC di Indonesia khususnya di sektor migas, yaitu 1) Merevisi UU
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas); 2) Merevisi UU
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (UU Tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum);
3) Menormakan FPIC dalam RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat;atau 4) Mencantumkan persyaratan FPIC dalam
pinjaman bank.
6.1 Memasukkan Ketentuan tentang FPIC dalam Revisi UU Migas
Di dalam rancangan revisi UU Migas, perlu diatur ketentuan tentang
kewajiban pengusaha baik Badan Usaha maupun Badan usaha Tetap untuk
meminta persetujuan masyarakat adat sebelum melakukan kegiatan usaha
migas yang mempunyai dampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,
budaya dan sistem pemerintahan adat. Berikut ini usulan pasal yang sesuai
dengan standar hukum internasional tentang perlindungan hak-hak
masyarakat adat:
58 Tara Ward. The Right..., hal. 64.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
77
(1) Dalam hal tanah yang akan digunakan untuk kegiatan usaha
minyak dan gas bumi merupakan tanah masyarakat adat,
perolehan tanah dilakukan melalui:
a. persetujuan dari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. pemberian informasi yang lengkap dan akurat dengan bahasa
yang mudah dimengerti tentang Kegiatan Usaha Migas yang
akan berdampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,
budaya dan sistem pemerintahan adat;
c. pemberian restitusi dan kompensasi yang layak dan adil atas
wilayah adat baik daratan maupun perairan, dan sumber daya
alam yang dimiliki secara turun temurun yang diambil alih,
dikuasai dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Migas;
d. pemberian hak untuk kembali ke wilayah adat ketika Kegiatan
Usaha Migas telah selesai.
(2) Pemberian restitusi dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diberikan dalam bentuk:
a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Pemukiman kembali;
d. Kepemilikan saham; dan/atau
e. Bentuk lain yang disepakati oleh kedua belah pihak
(3) Mekanisme lebih lanjut tentang prosedur penggunaan tanah
masyarakat adat untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi akan
diatur oleh Peraturan Pemerintah.
6.2 Merevisi Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) mengatur
tentang prosedur pengadaaan tanah untuk Kepentingan Umum dimana
infrastruktur minyak dan gas59 dikategorikan sebagai Kepentingan Umum60
59 Yang dimaksud Infrastruktur minyak dan gas bumi adalah infrastruktur yang
terkait dengan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transmisi, dan/atau distribusi (Penjelasan Pasal 7 ayat (2)).
NISA I. NIDASARI
78
berdasarkan Pasal 10. Sebenarnya UU ini sudah cukup maju dengan
mensyaratkan adanya konsultasi publik dengan melibatkan Pihak yang
Berhak61 (termasuk di dalamnya masyarakat adat) dan masyarakat yang
terkena dampak dengan tujuan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi
rencana pembangunan. Konsultasi Publik dalam UU ini didefinisikan sebagai
proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan
guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.62 Namun sayangnya
meskipun melalui mekanisme Konsultasi Publik, masyarakat adat tetap tidak
dapat mempertahankan haknya untuk menyatakan setuju atau tidak setuju
pada kegiatan usaha yang akan berdampak pada pada tanah, wilayah dan mata
pencaharian masyarakat adat. Hal ini dikarenakan:
I. Apabila terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana
lokasi pembangunan, dibentuk tim yang bertugas
menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan,
melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang
keberatan dan membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya
keberatan kepada Gubernur (Pasal 21 ayat (3) UU Pengadaan
Tanah);
II. Gubernur berdasarkan rekomendasi tersebut mengeluarkan
surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi
pembangunan. (Pasal 21 ayat (6) UU No.2 Tahun 2012).
Pada akhirnya, gubernur dapat menolak keberatan yang diajukan oleh
masyarakat adat berdasarkan rekomendasi tim yang melakukan kajian atas
keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim ini beranggotakan 5 orang dari
unsur pemerintahan dan 1 orang akademisi63, suatu komposisi yang dapat
60 Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. (Pasal 1 angka 6 UU No.2 Tahun 2012).
61 Yang dimaksud dengan Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2012). Selanjutnya, Penjelasan Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa Pihak yang Berhak atas Ganti Rugi antara lain: a. Pemegang hak atas tanah; b. Pemegang hak pengelolaan; c. nasdzir, untuk tanah wakaf; d. Pemilik tanah bekas milik adat; e. Masyarakat hukum adat; f. Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. Pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau; h. Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
62 Pasal 1 angka 8 UU No.2 Tahun 2012. 63Tim yang akan melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan
terdiri atas: a. Sekretaris daerah provinsi; b. Kepala kantor wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota; c. Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah; d. Kepala kantor wilayah kementerian hukum dan HAM; e. Bupati/walikota; Akademisi (Pasal 21 ayat (3) UU No.2 Tahun 2012)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
79
dikatakan ekslusif karena tidak terdapat perwakilan dari Organisasi
Masyarakat Sipil (OMS) yang bergerak di bidang advokasi hak-hak masyarakat
adat sehingga rekomendasi yang dihasilkan akan cenderung tidak
mencerminkan aspirasi sebenarnya dari masyarakat adat. Lebih jauh,
kewenangan gubernur untuk menolak keberatan yang diajukan oleh
masyarakat adat yang diberikan oleh UU ini telah menegasikan prinsip-prinsip
FPIC sebagaimana diatur di dalam UN Declaration on Indigenous People,
sehingga klausul tersebut perlu direvisi.
6.3 Menormakan FPIC dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat dan Mendorong agar RUU tersebut Masuk
dalam Prolegnas 2015
UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (UU PPHMA)
merupakan mandat undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Sayangnya meskipun sejak setahun yang lalu sidang paripurna DPR telah resmi
menjadikan UU PPHMA sebagai salah satu RUU inisiatif DPR-RI, hingga hari
ini RUU tersebut belum disahkan. Padahal UU PPHMA sangat krusial karena
akan memberikan kejelasan tentang hak masyarakat adat atas tanah ulayat dan
sumber daya alam, baik yang berada di permukaan tanah maupun di dalam
tanah. Selain itu, RUU PPHMA merupakan payung hukum yang tepat untuk
menormakan FPIC karena UU ini fokus mengatur tentang masyarakat adat.
Sehubungan dengan tidak adanya jaminan bahwa pembahasan RUU ini akan
dilanjutkan DPR di tahun depan, sangatlah penting untuk mendorong agar
RUU ini masuk dalam agenda Prolegnas 2015.
Dari segi substansi, RUU PPHMA sebaiknya memiliki bab/bagian
tersendiri tentang FPIC meliputi prosedur, prinsip dan
pembentukan/penunjukan tim independen yang akan menjalankan fungsi
verifikasi sebagaimana telah penulis uraikan pada bab dua. RUU PPHMA juga
harus dengan tegas mewajibkan FPIC untuk semua aktivitas yang akan
dilangsungkan di ruang kehidupan masyarakat adat maupun yang akan
berdampak kepada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan mereka.
Agar memastikan pengaturan ini dapat berjalan efektif, RUU PPHMA perlu
mengatur:
a. Sanksi yang dapat dibebankan kepada perusahaan dalam hal
tidak menjalankan prosedur FPIC;64
64 misalnya berupa pembekuan atau pencabutan izin pengelolaan sumber daya
alam.
NISA I. NIDASARI
80
b. Mekanisme penyelesaian sengketa antar masyarakat adat
maupun antara masyarakat adat dengan pihak lain; dan
c. Pemberdayaan masyarakat adat.
6.4 Mendorong adanya Peraturan Bank Indonesia yang Mensyaratkan
Klausul Perlindungan terhadap Hak-hak Masyarakat Adat dalam
Perjanjian Kredit
Industri migas merupakan industri padat modal yang membutuhkan
kredit dari perbankan untuk mendukungnya. Dalam hal ini sektor perbankan
dapat digerakkan untuk berperan serta dalam memastikan bahwa kredit tersebut
tidak dipergunakan untuk kegiatan yang merampas hak-hak masyarakat adat.
Caranya adalah dengan mencantumkan klausul perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat adat dalam perjanjian kredit. Hal ini selain sesuai dengan UN
Declaration for Indigenous People, juga sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang
wajib dipegang teguh sektor perbankan dalam memberikan pembiayaan. Prinsip
kehati-hatian (prudential principle) berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah oleh UU No. 10 Tahun 1998 adalah suatu
prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik
dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat
harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar
bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan
mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia
perbankan.
Pada tahun 2013 lalu, Bank Mandiri memimpin penyaluran kredit
sindikasi sebesar AS$260 juta kepada anak perusahaan PT Medco E&P Tomori
Sulawesi untuk pengembangan dan konstruksi lapangan hulu gas Senoro (Blok
Senoro-Toili).65 Bayangkan apabila proyek ini tidak dapat berjalan dengan baik
atau bahkan berhenti di tengah jalan karena adanya konflik dengan masyarakat
adat. Tentu hal ini berpotensi menyebabkan return capacity dari kredit yang
diberikan tidak dapat dijamin kolektabilitasnya (kredit macet). Dengan jumlah
kredit sebesar itu, cash flow bank akan terguncang yang pada akhirnya akan
menurunkan tingkat kesehatan bank tersebut. Bagi bank yang dikelola dengan
baik, tentu tidak akan mau menempuh risiko-risiko ini.
Lembaga Keuangan internasional seperti World Bank, International
Finance Corporation (IFC) dan berbagai development banks di tingkat regional
65 Bank Mandiri, Mandiri Kucurkan Kredit Sindikasi $260 Juta untuk Lapangan Gas
Medco Energi http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/news-detail.asp?id=NHBK28186912, diakses pada 19 Oktober 2014.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
81
seperti The Europian Bank for Reconstruction and Development, The Asia
Development Bank dan The Inter-American Development Bank telah
mengadopsi kebijakan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang wajib diikuti
oleh perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan. IFC Performance Standard 7 on
Indigenous People (PS7) adalah ketentuan yang paling sering dirujuk oleh
perusahaan dan lembaga keuangan lainnyaserta direkomendasikan oleh The
Equator Principle yang merupakan benchmark industri keuangan untuk risiko
lingkungan dan risiko sosial.66 PS7 mengatur peran sektor swasta dalam
meminimalisir dampak proyek terhadap masyarakat adat. PS7 bertujuan untuk:
Memastikan bahwa proses pembangunan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, harkat dan martabat, aspirasi serta mata
pencaharian masyarakat adat;
Mengantisipasi dan menghindari dampak negatif proyek terhadap
komunitas masyarakat adat, atau apabila tidak mungkin dihindari,
perusahaan wajib meminimalisir dan/atau memberikan
kompensasi atas dampak tersebut;
Membangun dan memelihara hubungan yang berkelanjutan
dengan masyarakat adat terdampak
Memastikan bahwa hak masyarakat adat atas FPIC ditegakkan;
Menghargai dan melestarikan budaya, kearifan lokal serta praktek-
praktek yang selama ini dilakukan masyarakat adat.67
Sudah saatnya perbankan di Indonesia mencantumkan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat adat dalam perjanjian kreditnya sebagaimana telah
diterapkan oleh IFC dan lembaga keuangan internasional lain. Salah satu
caranya adalah dengan mendorong adanya Peraturan Bank Indonesia yang
memandatkan hal ini.
66 Anonim. About the Equator Principle. http://www.equator-
principles.com/index.php/about-ep/about-ep, diakses pada 19 Oktober 2014. Saat ini The Equator Principle telah diadopsi oleh 80 lembaga keuangan dari 34 negara yang membiayai lebih dari 75% proyek pembangunan di seluruh dunia.
67 The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social Issues (IPIECA), Indigenous Peoples...hal. 8.
NISA I. NIDASARI
82
7. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah Penulis kemukakan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. FPIC merupakan instrumen hukum strategis yang dapat menjadi jawaban
atas permasalahan masyarakat adat akibat pengelolaan sumber daya alam
yang tidak partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat;
2. FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi investasi di sektor migas
karena dapat menciptakan social license bagi perusahaan dalam
menjalankan operasinya dan mengurangi resiko konflik sosial;
3. Untuk menerapkan FPIC dalam kebijakan pengadaan tanah untuk
kegiatan migas di Indonesia, tulisan ini menawarkan empat strategi
perubahan:
a. Memasukkan ketentuan tentang FPIC dalam revisi UU Migas;
b. Merevisi UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
c. Menormakan FPIC dalam RUU PPHMA dan mendorong agar
RUU tersebut masuk dalam Prolegnas 2015;
d. Mendorong adanya Peraturan Bank Indonesia yang
Mensyaratkan Klausul Perlindungan terhadap Hak-hak
Masyarakat Adat dalam Perjanjian Kredit.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
83
Daftar Pustaka
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Jaringan akan Buat Peta Global Masyarakat
Adat. http://www.aman.or.id/2013/10/03/jaringan-akan-buat-peta-
global-masyarakat adat/#.VAuzhxYWS_w
Berita Satu. Komnas HAM: Hanya dari Kasus Tanah, Banyak HAM yang HAM yang
Bisa Dilanggar. http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-
hanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html
Berita Satu. Komnas hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang Dilanggar. Sumber:
http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-
kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html
Brian F. Yates dan Celesa L. Horvath. 2013. Social License to Operate: How to Get
it, and How to Keep It. Working Paper. Canada: Pacific Energy Summit.
Bank Mandiri. Mandiri Kucurkan Kredit Sindikasi US$260 Juta untuk Lapangan Gas
Medco Energi. http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/news-
detail.asp?id=NHBK28186912
Cielo Magno. 2013. FPIC in the Philippines: Regulations and Realities. Boston:
Oxfam America.
Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. 2011.
Rekomendasi Kebijakan: Instrumen Free, Prior, Informed Concent (FPIC) Bagi
Masyarakat Adat dan atau Masyarakat Lokal yang Akan Terkena Dampak
dalam Aktivitas Redd+ di Indonesia. Palu: DKN.
Dey Ravena. 2009. Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif. Jurnal Suloh Vol. VII.
No.1 April 2009.
Ekuatorial. Masyarakat Adat Lengkapi One Map Indonesia.
http://ekuatorial.com/climate-change/masyarakat-adat-lengkapi-one-
map-indonesia
Equator Principles. About The Equator Principles. http://www.equator-
principles.com/index.php/about-ep/about-ep. Saat ini The Equator
Principle telah diadopsi oleh 80 lembaga keuangan dari 34 negara yang
membiayai lebih dari 75% proyek pembangunan di seluruh dunia.
First People Worldwide. 2013. Indigenous Rights Risk Report for the Extractive
Industry. US: First People Worldwide.
NISA I. NIDASARI
84
Hukumpedia. Mengapa Undang-undang Masyarakat Adat dibutuhkan.
http://www.hukumpedia.com/masyarakat-adat/mengapa-undang-
undang-masyarakat-adat-dibutuhkan-hk522d348cacad7.html
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). 2006. Membuka Ruang,
Menjembatani Kesenjangan, Jakarta: ICEL.
Investasi Indonesia. Indonesia SOS Energi Investasi Asing.
http://indonesiainvest-today. /2013/11/indonesia-sos-energi-
investasi-asing-di.html
Christina Hill et.al. 2010. Pedoman Untuk Persetujuan Bebas dan Sadar. Australia:
Oxfam
Prabin Shakya dan Allan T Nash. 2013. Rights in Action: FPIC for Indigenous
Peoples. Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP).
SocialLicense.com. What is the Social License.
http://socialicense.com/definition.html
Satjipto Rahardjo. 1988. Hukum dan Birokrasi. Makalah pada diskusi Panel
Hukum dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas
Hukum UNDIP.
Satjipto Rahardjo (c), “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal
Hukum Progresif (Vol.1/No.1/April 2005)
The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social
Issues (IPIECA). 2012. Indigenous Peoples and the Oil and Gas Industry.
UK: IPIECA
Tim Penulis Pokja IV. 2011. Panduan Pelaksanaan FPIC dalam Program UN-REDD
di Sulawesi Tengah. Palu: FAO, UNDP, UNEP.
United Nations. 2012. Report of the Working Group on the Universal Periodic
Review: Indonesia. Human Rights Council.
United Nation. 2009. The State of the World‟s Indigenous Peoples. New York: UN.
Marcus Colchester. 2009. Prinsip FPIC: Sebuah Panduan bagi Para Aktivis. UK:
Forest Peoples Programme.
Marianne Coss and Emily Greenspan. 2012. Oil, Gas and Mining Company Public
Position on FPIC. US: Oxfam America.
Patrick Anderson. 2011. Free, Prior, and Informed Consent: Principles and
Approaches for Policy and Project Development. Bangkok: GIZ &
RECOFTC.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
85
Robert Goodland. 2004. FPIC and the World Bank Group. Sustainable
Development Law and Policy, Summer.
Tara Ward. 2011. The Right to Free, Prior, and Informed Consent: Indigenous Peoples‟
Participation Rights within International Law. Northwestern Journal of
International Human Rights. US: Northwestern University.
World Wildlife Fund. 2011.Free, Prior, Informed Consent and Redd+: Guidelines and
Resources. Switzerland: WWF.
Yance Arizona. 2010. Kertas Kerja Epistema: Satu Dekade Legislasi Masyarakat
Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat
Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999-2009). Jakarta: Epistema.
PENERAPAN TRANSHIPMENT: KAITANNYA DENGAN HAK BANGSA INDONESIA ATAS KOMODITAS PERIKANAN DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Savitri Nur Setyorini1
Abstrak
Artikel ini memberikan gambaran mengenai praktik transhipment dan kaitannya dengan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di Asia Tenggara. Namun, terdapat masalah yang mengancam kekayaan laut Indonesia, di antaranya adalah transhipment. Transhipment ini dilakukan dengan memindahkan ikan hasil tangkapan ke kapal lain di tengah laut, untuk kemudian dibawa ke luar negeri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transhipment, yang dewasa ini menjadi suatu kebutuhan dan solusi bisnis, merugikan hak bangsa Indonesia dan tidak sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Kata kunci: ikan, transhipment, hak bangsa Indonesia, pembangunan berkelanjutan
Abstract
This article provides an overview of transhipment and its relation with the right of Indonesian people and sustainable development. Indonesia is the largest fish producer in Southeast Asia. However, there are several problems threatening the natural wealth of the seas in Indonesia, one of them is transhipment. Transhipment is done by transferring captured fishes from a vessel to another vessel (or vessels) in the middle of the sea, to be brought outside the country. This research is a qualitative research with descriptive analytic design. The result shows that transhipment, which has currently become a necessity and business solution, is causing a loss to the right of Indonesian people and incompatible with the concept of sustainable development.
Keywords: fishes, transhipment, right of Indonesian people, sustainable development
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana tiga per empat luasnya merupakan perairan. Dengan perairan yang begitu luas dan dengan kekayaan alamnya, Indonesia memliki potensi yang sangat besar dalam hal industri perikanan.2 Berdasarkan data dari Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), pada tahun 2011 jumlah ikan yang dihasilkan oleh Asia Tenggara adalah sebesar 33,5 juta metric ton (MT), di mana sebanyak 40,7%-nya dihasilkan oleh
1 Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
2 Perikanan sendiri merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Lihat Indonesia (1), Undang-Undang tentang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN No. 4433, Ps. 1 angka 1.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
87
Indonesia dan diikuti oleh Vietnam sebesar 16,2%, Filipina sebesar 14,8%, Myanmar sebesar 12,4%, Thailand sebesar 8,6%, Malaysia sebesar 5% dan Kamboja sebesar 1,9%.3 Kemudian, Indonesia juga menjadi produsen ikan terbesar dengan total volume produksi regional sebesar 35,3% dari perikanan tangkap, dan kemudian diikuti oleh Vietnam sebesar 15,2%, Filipina (14.4%), Myanmar (14.3%), Thailand (10.8%), and Malaysia (9.1%).4 Indonesia juga memimpin dengan jumlah nilai produksi regional sebesar 33,5% dari jumlah total perikanan tangkap, diikuti oleh Vietnam sebesar 17,9%, Myanmar (16.9%), Filipina (14.2%), Malaysia (10.7%), dan Thailand (6.7%).5 Hal tersebut membuktikan bahwa laut Indonesia sangatlah kaya.
Usaha perikanan di Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan yang cukup baik, yakni sekitar 12,9% pada tahun 2012, dengan hasil yang hampir menyentuh angka enam belas juta ton. Dari hasil tersebut, sebanyak lima juta ton lebih dihasilkan dari perikanan tangkap, terutama perikanan tangkap di laut.6 Untuk meningkatkan dan menjaga kekayaan tersebut, maka dalam hal perikanan ini diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung percepatan pertumbuhan dan pembangunan kelautan dan perikanan, terutama untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan. Untuk itu, maka Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan di bidang kelautan dan perikanan. Kebijakan perikanan sendiri dapat dilihat dalam empat fase, yakni:7
1) Fase pertama (1968 hingga 1993), fokus sektor perikanan dibagi menjadi dua arah, di mana peningkatan konsumsi domestik menjadi fokus di salah satu pihak, dan mengejar pendapatan melalui ekspor di pihak lain;
2) Fase kedua (1994 hingga 1997), fokus kebijakan perikanan bergeser ke arah pembangunan sumber daya manusia perikanan, seperti peningkatan kesempatan kerja melalui pengembangan kapasitas industri perikanan sejalan dengan peningkatan pasokan dan distribusi produk-produk perikanan;
3) Fase ketiga (1997 hingga 1998), kebijakan-kebijakan perikanan merupakan bagian dan cerminan dari upaya Pemerintah dalam menanggulangi krisis moneter dan ekonomi yang tengah melanda, antara lain dengan berusaha meningkatkan ekspor komoditas perikanan yang memang merupakan salah satu sektor yang paling minimal terkena dampak krisis; dan
4) Fase keempat (1998 hingga sekarang), ditandai dengan berbagai formula desentralisasi pengelolaan perikanan. Dalam fase ini, kebijakan perikanan memiliki beberapa arah, yaitu:
a) Peningkatan manajemen partisipatif, termasuk meningkatkan peranan dan partisipasi pemerintah daerah, masyarakat adat dan perempuan dalam pengelolaan ikan;
b) Promosi investasi perikanan dan perbaikan tatanan kelembagaan ke arah iklim yang lebih kondusif bagi peningkatan investasi dan mempertinggi nilai tambah komoditas perikanan; dan
c) Perbaikan sarana dan prasarana perikanan untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan komoditas perikanan yang lebih bergairah.
Kemudian, pada tahun 2012 Pemerintah kembali merumuskan kebijakan dalam hal kelautan dan perikanan sebagaimana dicantumkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan
3 Southeast Asian Fisheries Development Center, Fishery Statistikal Bulletin of Southeast Asia 2011
(Bangkok: Southeast Asian Fisheries Development Center, 2013), hal. 3.
4 Ibid., hal. 5.
5 Ibid.
6 Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Volume Produksi Perikanan,” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/3/?iframe=true&width=100%&height=95% , diakses pada 27 Agustus 2014.
7 Bono Budi Priambodo, Ikan untuk Nelayan (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hal. 39-40.
SAVITRI NUR SETYORINI
88
Perikanan Nomor PER.15/MEN/2012 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut, di antaranya:
a. Mengembangkan industrialisasi kelautan dan perikanan, dengan tujuan untuk meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Peningkatan produktivitas, efisiensi, dan nilai tambah produk;
c. Pengembangan dan pengawasan sistem jaminan mutu dan traceability (penelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan ketersediaan bahan baku industri;
d. Konservasi dan rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan serta pengelolaan pulau-pulau kecil dan upaya adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
e. Pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan;
f. Pengembangan sumberdaya manusia dan IPTEK kelautan dan perikanan;
g. Peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat perikanan dengan fokus pada Program Peningkatan Kehidupan Nelayan; dan
h. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan, terutama di Koridor Ekonomi Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.
Namun ternyata, dari kebijakan-kebijakan di bidang kelautan dan perikanan tersebut belum dapat mengakomodasi permasalahan yang mengancam kekayaan laut Indonesia, di antaranya adalah Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), yang sekiranya dapat merugikan negara hingga dua juta dollar dalam satu tahun.8 Secara sederhana, illegal fishing berarti penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian ikan. Sementara itu, unreported fishing diartikan sebagai tidak adanya pelaporan atas ikan yang ditangkap, dan unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur oleh negara yang bersangkutan.9
Adapun salah satu masalah yang timbul dari IUU Fishing tersebut adalah transhipment atau alih muat, yakni pengalihan muatan dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut. Menurut data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dari tahun 2001 hingga 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan, dan enam puluh persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga November 2012.10 Kegiatan transhipment ini, selain mengancam kekayaan laut Indonesia, tentunya akan sangat merugikan karena komoditas perikanan yang seharusnya dinikmati oleh bangsa Indonesia dialihmuatkan kepada kapal lain. Selain itu, kegiatan ini juga akan mempengaruhi elemen-eleman pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Penulis akan membahas lebih lanjut mengenai kegiatan transhipment ini beserta kaitannya dengan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan.
8 Hal ini dikemukakan oleh B. Fegan dalam "Plundering the Sea: Regulating Trawling Companies is
Difficult When the Navy is in Business with Them," sebagaimana dikutip dalam Gerd Winter (Ed), Toward Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis (Switzerland: IUCN, 2009), hal. 42.
9 Hal ini disampaikan oleh Dikdik Mohamad Sodik dalam “IUU Fishing and Indonesia’s Legal Framework for Vessel Licensing,” sebagaimana dikutip dalam Amelya Gustina, “Analisis Transhipment Pasal 69 ayat (3) Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap,” Jurnal Dinamika Hukum, Volume 14, Nomor 2 (Mei 2014), hal. 341.
10 Sabar Subekti, "Pencurian Ikan Masih Marak di Lautan Indonesia," http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pencurian-ikan-masih-marak-di-lautan-indonesia diakses pada 3 Oktober 2014.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
89
2. Kaitan Transhipment, Hak Bangsa Indonesia atas Komoditas Ikan dan Pembangunan Berkelanjutan
2.1. Transhipment
Transhipment atau alih muatan merupakan salah satu bentuk dari IUU Fishing11, dan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012, mulai dari Pasal 69 hingga Pasal 71. Adapun transhipment ini didefinisikan sebagai pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan atau pemindahan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kepal penangkap ikan.12
Kemudian, dalam Pasal 69 ayat (2) peraturan ini, ditentukan bahwa kebijakan transhipment ini dapat digunakan oleh setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan, dengan ketentuan: 1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama; 2) pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer); 3) transmitter vessel monitoring system (VMS) dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online; 4) melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); 5) melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan 6) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan.
Dalam pelaksanaan transhipment ini, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas seribu gross ton (GT) yang dioperasikan secara tunggal.13 Selain itu, ditentukan pula bahwa setiap kapal pengangkut ikan yang menggunakan pola kemitraan dapat melakukan alih muatan dengan ketentuan:
a) Kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 10 GT;
b) Kegiatan penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan Kapal dan merupakan mitranya;
c) Ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan hasil tangkapan; dan
d) Mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan dan ditandatangani oleh masing-masing nahkoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan.14
Pada tahun 2013, Peraturan Menteri Nomor 30/PERMEN-KP/2012 ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 26/PERMEN-KP/2013, dan ketentuan Pasal 69 hingga Pasal 71 dihapuskan. Namun ternyata, revisi tersebut masih membuka celah adanya alih
11 Lihat Bab III Lampiran I Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2012-2016.
12 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KKP Nomor 30/PERMEN-KP/2012, Pasal. 1 angka 34.
13 Ibid., Pasal. 69 ayat (3).
14 Ibid., Pasal. 70 ayat (1).
SAVITRI NUR SETYORINI
90
muatan di laut melalui Pasal 37 ayat (7) dan (8) serta Pasal 37A, 37B dan 37C, yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.15
Indonesia sendiri sebenarnya telah memperkenalkan suatu sistem pemantauan kapal melalui VMS, untuk menjamin ketaatan kapal ikan terhadap ketentuan yang berlaku terhadapnya, di mana sistem ini digunakan untuk memantau posisi kapal yang telah diberi izin untuk menangkap ikan di yurisdiksi nasional atau wilayah tertentu.16 Namun sayangnya, masih banyak yang mematikan sistem ini ketika mereka sedang menangkap ikan.17 Dengan dimatikannya sistem tersebut, maka aktivitas yang dilakukan, termasuk transhipment, tidak akan terpantau.
2.2. Transhipment dan Hak Bangsa Indonesia atas Komoditas Perikanan
Adanya kebijakan transhipment ini untuk selanjutnya menimbulkan beberapa pembahasan. Pembahasan pertama adalah mengenai kaitan antara transhipment dan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perairan Indonesia, terutama laut sangatlah kaya. Kekayaan Indonesia tersebut, dalam hal ini adalah kekayaan laut Indonesia, merupakan milik dan hak dari bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana disebutkan bahwa, “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyebutkan bahwa, “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari satu seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”18
Kemudian, hal tersebut dijabarkan pula dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang berbunyi:
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.19
Kemudian, mengenai Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) di atas dalam Penjelasan Umum UUPA, disebutkan bahwa:
Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak rakyat
15 Dalam Pasal 37 ayat (7) dan (8) disebutkan bahwa pendaratan ikan hasil tangkapan dari kapal
penangkap ikan dapat dilakukan langsung pada pelabuhan pangkalan atau melalui alih muatan di laut, dengan ketentuan: 1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama; 2) pelaksanaan alih muatan diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer); transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online; 3) melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; 4) melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan 5) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan. Sedangkan, Pasal 37A memiliki ketentuan yang sama dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012, hanya perubahan kata “transhipment” menjadi “alih muatan”.
16 Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup (Jakarta: Diadit Media, 2007), hal. 129.
17 Hal ini dikemukakan oleh M.V. Erdman dalam “Leave Indonesia’s Fisheries to Indonesians! Corrupt Foreign Fishing Fleets are Depriving Locals of Food,” sebagaimana dikutip dalam Gerd, op. cit., hal. 44.
18 Indonesia (2), Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960.,LN No. 104 Tahun 1960, TLN Nomor 2043, Pasal. 1 ayat (1).
19 Ibid., Pasal. 1 ayat (2)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
91
daerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa kekayaan alam Indonesia, yang terdiri dari bumi, air20 dan ruang angkasa merupakan suatu hak bersama dari seluruh rakyat Indonesia, atau biasa disebut dengan hak bangsa Indonesia. Konstruksi hukum hak bangsa Indonesia ini kemudian berimplikasi pada kepemilikan bersama segala kekayaan alam yang berada di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia oleh seluruh bangsa Indonesia.21 Oleh karena itu, terkait dengan sumberdaya ikan, baik ikan yang selalu berdiam dalam perairan Indonesia atau sering melintas dan berpindah-pindah dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, adalah milik bersama warga negara Indonesia.22 Oleh karena itu, komoditas perikanan pun merupakan hak dari bangsa Indonesia, yang harus dapat dirasakan dan dinikmati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan hak bangsa Indonesia tersebut, maka kegiatan transhipment sangat merugikan bangsa Indonesia. Dengan adanya kegiatan transhipment tersebut, maka ikan yang seharusnya menjadi milik bangsa Indonesia menjadi hilang karena kebijakan transhipment ini memperburuk kegiatan illegal fishing,23 di mana ikan-ikan hasil tangkapan di wilayah perairan Indonesia dapat langsung dipindahkan di tengah laut ke kapal lain untuk kemudian dibawa ke luar negeri. Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), kasus illegal fishing meningkat drastis, di mana sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2013, terdapat 6.215 kasus illegal fishing dan 60%nya terjadi pada tahun 2012.24
Kemudian, kebijakan transhipment ini mengatur bahwa kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 1.000 GT justru tidak diwajibkan didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI. Padahal, pelaku pencurian ikan merupakan jenis kapal besar, seperti 1.000 GT.25 Selain itu, berdasarkan data Kesatuan Nelayan Tradisional
20 Menurut Boedi Harsono, ketentuan yang ada dalam UUPA mencakup pula air dalam arti laut, selain
air yang ada di daratan ataupun air tanah. Lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hal. 6-7.
21 Priambodo, op. cit., hal. 73.
22 Ibid.
23 Illegal fishing dapat diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan peraturan nasional dan/atau kewajiban internasional dan dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau oleh ketentuan hukum internasional. Adapun kegiatan kegiatan illegal fishing di Indonesia meliputi penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu, penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, dan penangkapan Ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin. Lihat Simela Victor Muhamad, “Kejahatan Transnasional Illegal fishing di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara,” dalam Laporan Hasil Penelitian Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Tahun 2011, hal. 65. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2012, definisi dari illegal fishing ini ditambahkan satu poin, yakni kegiatan perikanan yang bertentangan dengan hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk juga kewajiban negara-negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional terhadap organisasi tersebut.
24 Sulung Prasetyo, “Pencurian Ikan Meningkat Drastis,” http://www.kiara.or.id/pencurian-ikan-meningkat-drastis/, diunduh pada 22 Agustus 2014.
25 Ibid.
SAVITRI NUR SETYORINI
92
Indonesia (KNTI), Indonesia tidak memiliki kapal berbobot 1.000 GT.26 Adapun kegiatan transhipment ini umumnya terjadi di daerah perbatasan yang memiliki banyak ikan, seperti Laut Aru, Laut Arafuru, Perairan Natuna dan laut-laut yang berada di daerah Nusa Tenggara.27
Selain illegal fishing, kebijakan transhipment ini juga berkaitan unreported fishing, atau penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Unreported fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang:28
a. tidak melapor atau melaporkan hasil tangkapan secara tidak benar kepada instasi yang berwenang dan menyalahi peraturan perundang-undangan nasional; dan
b. dilakukan di area yang menjadi kompetensi Regional Fisheries Management Organizations (RMFOs), namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar.
Kegiatan unreported fishing di Indonesia di antaranya adalah pemalsuan data tangkapan atau tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya dan membawa hasil tangkapan langsung ke negara lain.29 Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kebijakan transhipment ini berimbas pada ketidakakuratan pencatatan jumlah produksi ikan di Indonesia, karena jumlah ikan yang ditangkap akan berbeda dengan jumlah ikan yang didaratkan dan dicatatkan di pelabuhan perikanan. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian pada negara, dimana pemasukan negara yang seharusnya didapat dari komoditas perikanan menjadi berkurang karena jumlah yang dilaporkan berbeda dengan jumlah yang ditangkap.
Ketiga, kebijakan transhipment ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. Dalam Pasal 25B ayat (2) disebutkan bahwa disebutkan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Bunyi pasal tersebut merepresentasikan hak bangsa Indonesia atas pemenuhan kebutuhan protein hewani, yakni ikan. Namun, dengan adanya kebijakan transhipment yang memperbolehkan adanya alih muatan ikan di atas laut ke kapal lain dan kemudian dibawa ke luar negeri tidak memenuhi ketentuan Pasal 25B ayat (2) tersebut, karena ikan telah lebih dulu dibawa ke luar negeri sebelum digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan di dalam negeri, yang yang artinya hak bangsa Indonesia atas pemenuhan kebutuhan protein tidak dapat terpenuhi.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dilihat bahwa praktik transhipment ini tentunya merugikan Indonesia, dimana ikan yang seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi ataupun sebagai pemasukan negara,30 karena telah dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri.
26 Administrator, "KNTI Tolak Izin Transhipment Kapal 1000 GT,"
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/03/13/mjla4u-knti-tolak-izin-transhipment-kapal-1000-gt, diunduh pada 22 Agustus 2014.
27 Mukhtar, "Kerugian Negara di Perairan Laut Aru dan Laut Arafura," http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10347/Kerugian-Negara-di-Perairan-Laut-Aru-dan-Laut-Arafura/?category_id=91, diunduh pada 22 Agustus 2014.
28 Muhamad, loc. cit.
29 Ibid.
30 Menurut Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Indonesia telah kehilangan tiga puluh triliun dari tindak illegal fishing, Bila setiap pencurian itu dihargai sebesar sepuluh ribu rupiah per kilogram, maka volume ikan yang dicuri setara dengan tiga juta ton setiap tahun, dimana angka kehilangan ikan itu sebenarnya mencukupi jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri perikanan. Lihat Ranap Simanjuntak, "Cold storage: Hangatnya Proyek Pendingin," http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/11/i/17-23-mei-2012/business/22/hangatnya-proyek-pendingin, diakses pada 3 Oktober 2014.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
93
2.3. Transhipment dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembahasan kedua mengenai praktik transhipment atau alih muatan komoditas perikanan ini adalah kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan hasil dari proses perdebatan panjang antara kebutuhan akan pembangunan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup yang dimulai sekitar tahun 1960an.31
Pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membuat sebuah lembaga yang bertugas mengkaji ulang beberapa masalah penting yang terkait dengan pembangunan dan lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang inovatif, kongkrit dan realistis yang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Lembaga ini bernama World Commission on Environment and Development (WCED) atau sering disebut sebagai Brundtland Commission.32
Pada tahun 1987, WECD mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Our Common Future” dan mempopulerkan istilah sustainable development atau pembangunan berkelanjutan, yang mempengaruhi pembuatan kebijakan internasional. WECD kemudian mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai:
“Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within two key concepts:
1. The concept of ‘needs’, in particular the essential needs of the world’s poor, to which overriding priority should be given; and
2. The idea of limitations imposed by the state of technology and sosial organization on the environment’s ability to meet present and future.”33
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat elemen-elemen pembangunan berkelanjutan berdasarkan definisi dari WECD, di antaranya prinsip integrasi (integration principle), prinsip pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use), prinsip keadilan intra generasi (intragenerational equity), dan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity).
Hal serupa dikemukakan oleh Philippe Sands, yang membagi pembangunan berkelanjutan ke dalam beberapa prinsip, yakni:34
a. keadilan antargenerasi (intergenerational equity), yang dapat dilihat dari kebutuhan untuk melindungi SDA bagi keuntungan generasi yang akan datang;
b. pemanfaatan secara bekelanjutan (the principle of sustainable use), yang direfleksikan dalam eksploitasi SDA secara berkelanjutan (sustainable), hati-hati (prudent), rasional (rational), bijaksana (wise), dan layak (appropriate);
31 Kepedulian dunia akan lingkungan dimulai pada tahun 1962, yakni dengan diterbitkannya sebuah
buku yang ditulis oleh Rachel Carson tentang bahaya dari penggunaan pestisida, “the Silent Spring” yang diterbitkan di New York oleh Marnier Book Houghton Mifflin Company. Selain itu, hal ini juga ditandai dengan kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society, yang kemudian menjadi pertanda akan lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia. Lihat T. Brenton, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics (London: Earthscan, 1994), hal. 18-19.
32 Andri G. Wibisana, "Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya," Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 43, Nomor 1 (Januari 2013), hal. 57.
33 Sharon Beder, Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary Introduction (Earthscan, 2006), hal. 18. Lihat juga Wibisana, Ibid., hal. 86-87.
34 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards, and Implementation (Manchester University Press, 1995), hal. 199. Lihat juga Wibisana, ibid.
SAVITRI NUR SETYORINI
94
c. keadilan intra generasi, yang ditunjukkan melalui pemanfaatan SDA secara berkeadilan (equitable use of natural resources), di mana pemanfaatan SDA oleh satu negara tetap harus memperhatikan kebutuhan dari negara lain; dan
d. prinsip integrasi (integration principle), yang meminta adanya jaminan bahwa pertimbangan lingkungan akan diintegrasikan ke dalam rencana, kebijakan, serta program terkait ekonomi dan pembangunan, serta bahwa pemenuhan kebutuhan pembangunan harus memperhatikan tujuan perlindungan lingkungan.
Elemen integrasi dapat disimpulkan dari adanya pengakuan mengenai kebutuhan akan pembangunan pada satu sisi, tetapi pada sisi lain diakui pula bahwa pemenuhan kebutuhan akan pembangunan ini tidak boleh menganggu kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Elemen pemanfaatan yang berkelanjutan dapat dilihat dari adanya pengakuan terhadap dampak teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang, serta adanya pengakuan bahwa pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. Elemen keadilan intra generasi dapat dilihat dari pendefinisian kata kebutuhan (needs) yang memberikan prioritas pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang miskin. Sedangkan elemen keadilan antar generasi dapat disimpulkan dari adanya pengakuan mengenai keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dengan kebutuhan generasi yang akan datang.35
Dari penjelasan keempat elemen mengenai pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh WECD, dapat dilihat benang merah di antaranya, yakni mengenai pembangunan lingkungan dan kebutuhan bagi generasi sekarang (intra generasi) dan generasi yang akan datang (antargenerasi). Jika benang merah dari elemen-elemen tersebut dihubungkan dengan transhipment, maka dapat dilihat bahwa kegiatan transhipment ini dapat mengakibatkan kerugian bagi generasi yang sekarang maupun generasi yang akan datang. Hal ini dikarenakan, ikan yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang, maupun generasi yang akan datang, justru tidak dapat dinikmati atau tidak dapat dinikmati secara maksimal karena adanya alih muatan dan hasil tangkapan ikan langsung dibawa ke luar negeri. Selain itu, pemasukan yang didapat dari komoditas perikanan juga tidak akan maksimal karena dengan adanya transhipment ini akan terjadi bias dalam pencatatan perikanan. Hal ini tentunya akan merugikan generasi sekarang yang akan datang karena, sekali lagi, transhipment ini menjadi faktor yang memperburuk illegal dan unreported fishing.
Namun, perihal elemen pembangunan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak boleh hanya dilihat dari satu sisi, yakni sisi ekonomi saja. Tetapi, harus pula dilihat berdasarkan sisi lain, yakni sosial-budaya dan ekologi.36 Dari sisi sosial-budaya, haruslah dilihat mengenai hal-hal seperti perilaku konsumsi ikan masyarakat Indonesia ataupun pasar untuk komoditas ikan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2012 jumlah konsumsi ikan Indonesia adalah sebesar 33,89 kg/kapita/tahun.37 Jumlah konsumsi ikan ini hanya seperlima dari jumlah konsumsi ikan Jepang yang mencapai 150 kg/kapita/tahun.38 Kemudian, untuk
35 Wibisana, op. cit., hal. 87.
36 Illegal dan unreported fishing berasal dari sisi ekonomi. Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.
37 Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Angka Konsumsi Ikan,” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/4/?iframe=true&width=100%&height=95% , diakses pada 27 Agustus 2014.
38 Ramdhania El Hida, “Konsumsi Ikan Orang Indonesia Hanya Seperlima Jepang,” http://finance.detik.com/read/2011/08/24/165017/1710441/4/konsumsi-ikan-orang-indonesia-hanya-seperlima-jepang, diakses pada 27 Agustus 2014.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
95
pasar bagi komoditas ikan ini sendiri belum dapat diakomodasi oleh Indonesia, dan umumnya masih berada di bagian utara Indonesia.39 Selanjutnya, dari sisi ekologi, haruslah memperhatikan pengukuran atau pencatatan dari ikan yang ditangkap, selain dengan cara didaratkan terlebih dahulu. Hal ini sejatinya dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama statistik dengan negara-negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan begitu, maka diharapkan pembangunan berkelanjutan dalam hal perikanan dapat menghasilkan kemanfaatan bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, baik secara ekonomi, sosial-budaya, maupun secara ekologi.
2.4. Keniscayaan Transhipment
Seperti telah dijabarkan sebelumnya, transhipment atau alih muatan atas komoditas perikanan dari satu kapal ke kapal lain di atas laut dan dibawa ke luar negeri tidak sejalan dengan hak bangsa Indonesia dan juga pembangunan berkelanjutan dan tentunya merugikan Indonesia. Namun, pada kenyataannya, praktik transhipment tetap berjalan dan bahkan masih terbuka celah untuk melakukan hal tersebut dalam peraturan yang berlaku.
Menurut Bono Budi Priambodo, praktik transhipment dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan.40 Hal ini berkaitan dengan komoditas perikanan yang memiliki perbedaan dengan komoditas lain. Jika komoditas lain akan memiliki nilai tambah lebih tinggi jika diolah terlebih dahulu, maka komoditas perikanan justru akan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi jika tidak diolah. Komoditas perikanan yang diolah justru harganya menjadi lebih murah dibandingkan dengan yang tidak diolah.41 Dengan karakteristik demikian di atas, maka komoditas perikanan yang lebih laku di pasar adalah ikan segar yang sebenarnya tidak dapat bertahan lama. Di sisi lain, pasar untuk ikan-ikan segar ini umumnya terletak di tempat yang jauh dari lokasi penangkapan ikan dan membutuhkan jangka waktu yang lama agar ikan tersebut sampai di lokasi atau pasar ikan. Sedangkan, ikan harus tetap segar untuk dapat laku di pasar.
Indonesia, berdasarkan data dari SEAFDEC merupakan produsen ikan tuna terbesar di Asia Tenggara, dengan komoditas andalan berupa frigate tuna, bullet tuna, skipjack tuna, longtail tuna, albacore tuna, southern bluefin tuna, yellowfin tuna dan bigeye tuna.42 Hingga saat ini, pasar tuna justru berada di bagian utara Indonesia, sehingga tuna-tuna yang ditangkap tersebut harus dibawa ke bagian utara Indonesia43 dan harus tetap segar. Namun, tuna sendiri merupakan komoditas perikanan yang memiliki jangka waktu hidup kurang dari empat puluh jam.44 Jika lebih dari empat puluh jam setelah ditangkap tuna-tuna tersebut tidak sampai di pasar, maka tuna-tuna tersebut akan mati, dan harga jualnya otomatis akan menurun. Sementara itu, untuk tuna-tuna yang diekspor dalam keadaan mati, ketidaktersediaan gudang pendingin (cold storage) yang baik dan memadai akan menyebabkan tuna-tuna tersebut tidak lagi segar ketika sampai
39 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.
40 Ibid.
41 Ibid. Lihat juga Dias Satria, “Antara Tuna Port Lincoln dan Tamperan,” http://diassatria.lecture.ub.ac.id/2012/, diakses pada 28 Agustus 2014.
42 Southeast Asian Fisheries Development Center, op. cit., hal. 41, 43.
43 Salah satu pasar lelang ikan internasional adalah di Jepang, yang memiliki permintaan tuna yang besar. Lihat Dias Satria, ibid.
44 Bono Budi Priambodo memberikan contoh yaitu komoditas perikanan berupa salmon yang menjadi bahan utama untuk pembuatan sushi dan diternakkan di Norwegia Utara. Dalam waktu sekitar empat puluh jam, ikan-ikan salmon dari Norwegia Utara tersebut harus sampai di Jepang dalam keadaan segar untuk kemudian dijadikan bahan utama pembuatan sushi. Ikan salmon segar tersebutlah yang kemudian bernilai jual yang tinggi.
SAVITRI NUR SETYORINI
96
di pasar.45 Oleh karena itu, maka agar tetap laku di pasar dan memiliki nilai jual yang tinggi, tuna-tuna tersebut harus sampai di pasar lebih cepat sebelum jangka waktu hidupnya habis dan tetap segar.
Letak pasar yang jauh, jangka waktu yang relatif singkat untuk menjaga kesegaran ikan, dan keterbatasan cold storage inilah yang kemudian menyebabkan praktik transhipment terus terjadi, terutama di daerah penghasil ikan di Indonesia Timur, di mana ikan-ikan yang ditangkap dialihmuatkan ke kapal lain yang memiliki fasilitas cold storage yang baik dan memadai untuk kemudian dibawa ke luar negeri untuk dijual. Dengan melakukan alih muatan di tengah laut tanpa mendaratkannya dulu di pelabuhan perikanan sekiranya dapat menghemat waktu, sehingga ikan-ikan tersebut akan tetap segar ketika sampai di pasar dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Kemudian, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, memang ditentukan bahwa ikan yang ditangkap haruslah didaratkan terlebih dahulu di pelabuhan perikanan untuk kemudian dicatatkan.46 Dengan tidak didaratkannya ikan-ikan tersebut maka akan menyebabkan biasnya pencatatan atau statistik perikanan, yang kemudian menimbulkan kerugian. Namun, pada kenyataannya terdapat perbedaan dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan keadaan di lapangan mengenai pencatatan ini.
Pertama, mengenai pelabuhan perikanan yang digunakan untuk mendaratkan ikan yang ditangkap. Pelabuhan perikanan merupakan unsur yang penting dalam hal pencatatan hasil tangkapan komoditas perikanan. Namun, pada kenyataannya banyak pelabuhan perikanan yang tidak dipakai karena letaknya yang tidak strategis maupun karena adanya pungutan liar, sehingga ikan-ikan akan dibawa ke pelelangan illegal ataupun dilakukan alih muatan sehingga mengacaukan statistik perikanan.47 Selain itu, keterbatasan fasilitas cold storage yang baik dan memadai pada di pelabuhan-pelabuhan, terutama di daerah Indonesia Timur, juga memicu dilakukannya alih muatan ini. Dengan begitu, maka jumlah ikan yang ditangkap di perairan Indonesia tidak tercatat sepenunya.
Kedua, dalam Pasal 44 ayat (3a) Peraturan Menteri Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa penangkapan komoditas tuna segar dikecualikan untuk diolah dalam negeri. Ketentuan ini tentunya semakin memudahkan kegiatan transhipment, terlebih tuna merupakan komoditas perikanan yang menjadi unggulan Indonesia. Ketiga, menurut Bono Budi Priambodo, walaupun dalam Undang-Undang tentang Perikanan ditentukan bahwa pengeluaran komoditas perikanan baru dapat dilakukan ketika telah ada pemenuhan konsumsi dalam negeri,48 pada
45 Sampai saat ini, Indonesia masih kekurangan cold storage, terutama di sentra-sentra perikanan, karena
adanya keterbatasan listrik dan air bersih. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini cold storage terbesar yang ada di Indonesia adalah di Jakarta. Kapasitasnya 75.000-80.000 ton. Namun, hal tersebut dinilai masih kurang, dan Indonesia membutuhkan cold storage yang memadai. Lihat Naomi Siagian, "Indonesia Kekurangan "Cold storage"," http://sinarharapan.co/news/read/140823141/indonesia-kekurangan-cold-storage- diakses pada 3 Oktober 2014. Selain itu, berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Ikan Kaleng Indonesia (APIKI), Indonesia hanya memiliki 30% dari cold storage yang dimiliki oleh Thailand. Lihat Fauzul Muna, "INDUSTRIALISASI PERIKANAN: Cold storage di Tanah Air Hanya 30% dari Thailand," http://m.bisnis.com/industri/read/20140715/99/243295/industrialisasi-perikanan-cold-storage-di-tanah-air-hanya-30-dari-thailand diakses pada 3 Oktober 2014.
46 Indonesia (3), Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073, Pasal. 41 ayat (3).
47 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.
48 Ibid., Pasal 25B ayat (2).
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
97
kenyataannya masyarakat Indonesia tidak gemar makan ikan. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan bahwa ikan ditangkap untuk kemudian diekspor atau dijual ke luar negeri.49 Kebijakan ekspor ini dibarengi dengan kebutuhan untuk menjual ikan segar ke pasar ikan dunia inilah yang kemudian yang menjadi salah satu faktor yang dapat memicu transhipment. Dengan begitu, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya dewasa ini transhipment telah menjadi suatu kebutuhan dan juga menjadi solusi bisnis.
3. Kesimpulan
Indonesia memliki potensi yang sangat besar dalam hal industri perikanan, di mana berdasarkan data dari SEAFDEC Indonesia menempati peringkat pertama dalam hal produksi perikanan di Asia Tenggara. Berbagai macam peraturan dan kebijakan dikeluarkan untuk lebih meningkatkan produksi perikanan Indonesia, tetapi ternyata kebijakan-kebijakan yang ada belum dapat mengatasi permasalahan transhipment, yaitu pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013. Namun ternyata, revisi tersebut masih membuka celah adanya alih muatan di laut melalui Pasal 37 ayat (7) dan (8) serta Pasal 37A, 37B dan 37C, yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.
Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa Indonesia atas komoditas perikanan maupun dengan elemen-elemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment memperburuk illegal dan unreported fishing yang marak terjadi di Indonesia, dan menimbulkan kerugian dimana ikan yang seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi ataupun sebagai pemasukan negara, karena telah dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu, maka hak bangsa Indonesia dan pembangunan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang pun akan terancam.
Dalam praktiknya, transhipment justru menjadi suatu kebutuhan karena produk perikanan akan bernilai jual tinggi apabila dijual dalam keadaan segar, sedangkan pendaratan ikan terlebih dahulu di pelabuhan perikanan akan memakan waktu dan ikan menjadi tidak segar. Selain itu, kurangnya keterbatasan cold storage yang baik dan memadai di Indonesia juga memicu dilakukannya praktik transhipment yang umumnya dilaksanakan di perairan perbatasan. Selain itu, terdapat pula perbedaan keadaan dengan apa yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dengan praktiknya, yang juga dapat membuka celah transhipment.
4. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan oleh Penulis, di antaranya:
a. Merevisi peraturan perundang-undangan mengenai perikanan tangkap atau penangkapan ikan yang berlaku, sehingga tidak terdapat lagi celah untuk dilakukannya transhipment;
b. Pembentukan pengaturan mengenai cara pengukuran atau pencatatan jumlah ikan yang ditangkap, sehingga statistik perikanan tidak akan menjadi bias;
49 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2012 adalah sebesar USD 3,85 juta. Lihat Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Nilai Ekspor Hasil Perikanan,” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/5/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
SAVITRI NUR SETYORINI
98
c. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan dan penguatan sistem dan koordinasi antarpihak di tingkat lokal, nasional maupun internasional; serta melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia, khususnya di daerah perbatasan;
d. Pengembangan kerjasama internasional, khususnya dalam hal hubungan bilateral, untuk meningkatkan promosi dan pemanfaatan sumberdaya ikan Indonesia, serta menjalin kerja sama statistik perikanan dengan negara lain untuk ikan-ikan yang ditangkap di Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan begitu, maka ikan yang ditangkap maupun yang dialihmuatkan dapat didata dengan benar; dan
e. Pelestarian sumberdaya ikan dan penanggulangan transhipment dalam rangka menjalankan pembangunan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
99
Daftar Pustaka
Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960. TLN Nomor 2043.
________. Undang-Undang tentang Perikanan. UU No. 31 Tahun 2004. LN No. 118 Tahun 2004. TLN No. 4433.
________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. UU No. 45 Tahun 2009. LN No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP Nomor 30/PERMEN-KP/2012.
______________________________. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP Nomor 26/PERMEN-KP/2013.
______________________________. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing. Kepmen KKP Nomor 50 Tahun 2012.
Ariadno, Melda Kamil. 2007. Hukum Internasional Hukum yang Hidup. Jakarta: Diadit Media.
Beder, Sharon. 2006. Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary Introduction. Oxford: Earthscan.
Brenton, T. 1994. The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics. London: Earthscan.
Harsono, Boedi. 2013. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti.
Priambodo, Bono Budi. 2013. Ikan untuk Nelayan. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sands, Philippe. 1995. Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards, and Implementation. Manchester: Manchester University Press.
Southeast Asian Fisheries Development Center. 2013. Fishery Statistikal Bulletin of Southeast Asia 2011. Bangkok: Southeast Asian Fisheries Development Center.
Winter, Gerd (Ed). 2009. Toward Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis. Switzerland: IUCN.
Muhamad, Simela Victor. “Kejahatan Transnasional Illegal fishing di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara.” Dalam Laporan Hasil Penelitian Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Tahun 2011.
Wibisana, Andri G. "Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya." Jurnal Hukum dan Pembangunan. Volume 43. Nomor 1. Januari 2013. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Administrator. “KNTI Tolak Izin Transhipment Kapal 1000 GT.”" http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/03/13/mjla4u-knti-tolak-izin-transhipment-kapal-1000-gt diakses pada 22 Agustus 2014.
Hida, Ramdhania El. “Konsumsi Ikan Orang Indonesia Hanya Seperlima Jepang.” http://finance.detik.com/read/2011/08/24/165017/1710441/4/konsumsi-ikan-orang-indonesia-hanya-seperlima-jepang diakses pada 27 Agustus 2014.
SAVITRI NUR SETYORINI
100
Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Nilai Ekspor Hasil Perikanan.” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/5/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
_________________________________________. “Angka Konsumsi Ikan.” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/4/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
__________________________________________. “Volume Produksi Perikanan.” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/3/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
Mukhtar. “Kerugian Negara di Perairan Laut Aru dan Laut Arafura.” http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10347/Kerugian-Negara-di-Perairan-Laut-Aru-dan-Laut-Arafura/?category_id=91 diakses pada 22 Agustus 2014.
Muna, Fauzul. "INDUSTRIALISASI PERIKANAN: Cold storage di Tanah Air Hanya 30% dari Thailand," http://m.bisnis.com/industri/read/20140715/99/243295/industrialisasi-perikanan-cold-storage-di-tanah-air-hanya-30-dari-thailand diakses pada 3 Oktober 2014.
Prasetyo, Sulung. “Pencurian Ikan Meningkat Drastis.” http://www.kiara.or.id/pencurian-ikan-meningkat-drastis/ diakses pada 22 Agustus 2014.
Satria, Dias. “Antara Tuna Port Lincoln dan Tamperan.” http://www.diassatria.lecture.ub.ac.id/2012/ diakses pada 28 Agustus 2014.
Siagian, Naomi. "Indonesia Kekurangan "Cold storage"." http://sinarharapan.co/news/read/140823141/indonesia-kekurangan-cold-storage- diakses pada 3 Oktober 2014.
Simanjuntak, Ranap. "Cold Storage: Hangatnya Proyek Pendingin." http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/11/i/17-23-mei-2012/business/22/hangatnya-proyek-pendinginn diakses pada 3 Oktober 2014.
Subekti, Sabar. "Pencurian Ikan Masih Marak di Lautan Indonesia." http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pencurian-ikan-masih-marak-di-lautan-indonesia diakses pada 3 Oktober 2014.
Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo. Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan. Depok, 22 Agustus 2014.
GUGATAN WARGA NEGARA
(STUDI KASUS: GERAKAN SAMARINDA MENGGUGAT)
Rizkita Alamanda1
Abstrak
Perubahan iklim bukan lagi menjadi sebuah omong kosong, kenyataan bahwa bumi
semakin panas dan ancaman atas dampak perubahan iklim telah menjadi nyata.
Pergeseran musim mengakibatkan kegagalan dalam bercocok tanam, kenaikan
permukaan air laut mengancam keberadaan negara-negara kepulauan kecil. Banjir dan
kekeringan adalah sebagian kecil dari dampak perubahan iklim yang telah nyata
dirasakan. Bumi semakin panas, para ahli dalam Laporan IPCC WG I AR 5 semakin
yakin bahwa penyebab perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia. Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan dan
kerugian yang diderita akibat dampak perubahan iklim? Di Indonesia, Gugatan Warga
Negara menjadi salah satu bentuk litigasi yang menjadi alternatif penyelesaian dampak
perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat.
Kata kunci: perubahan iklim, gugatan warga Negara, litigasi perubahan iklim, tanggung
jawab perubahan iklim.
Abstract
Climate change is not longer became an issue, we are facing the fact that earth is getting warmer
and the impact of climate change is become real. The season changed, and affected the crops failure.
The raising sea level threatening the existence of small islands. Flood and drought are simply the
several impact of climate change that has been perceived. Earth is getting warmer, the IPCC Fifth
Assessment Report of Working Group I ensure the main cause of climate change is from
anthropogenic activities. The question that arose later is who will be responsible for any damage of
the climate change impact? Citizen Law Suit in Indonesia has become one of litigation form that
can be an alternative solution of climate change impacts in civil society.
Keywords: climate change, citizen lawsuit, climate change litigation
1 Asisten Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
102
1. Pendahuluan: Perubahan Iklim
Iklim secara global merupakan ikatan yang tidak terpisahkan dengan atmosfer,
samudra, daratan, serta ekosistem hewan dan tumbuhan.2 Dalam terminologi iklim
sering kali didefinisikan sebagai ringkasan teratur daratan, atmosfer, dan system air dari
waktu ke waktu.3 Untuk memahami perubahan iklim, penting untuk dapat membedakan
antara „iklim‟ dan „cuaca‟.4 Cuaca merupakan keadaan fluktuatif atmosfer di sekitar kita
yang terindikasi oleh suhu, angin, awan, presipitasi, sedangkan iklim mengacu pada
rata-rata cuaca dan variabilitasnya selama rentang waktu tertentu di daerah tertentu.5
Oleh karena itu perubahan cuaca yang ekstrem atau perubahan pola cuaca akan
mengindikasikan perubahan pada sistem iklim.6 Sistem tersebut begitu dinamis dan
berubah secara substansial dalam sejarah bumi. Perubahan-perubahan tersebut dikenal
sebagai „variabilitas iklim‟ yang mengacu pada viarisi dan statistik iklim lainnya pada
skala ruang dan waktu. Variasi dapat terjadi secara alami, karena manusia (anthropogenic)
maupun karena “paksaan”.7 UNFCCC mendefinisikan perubahan iklim sebagai sebuah
perubahan iklim yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas
manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga mengubah variasi iklim
alami dalam komparasi periode waktu.8 IPCC cenderung menggunakan “variasi iklim”
sebagai perubahan iklim alami yang mengindikasikan adanya perubahan-perubahan
yang dapat diprediksi, sedangkan “perubahan iklim” dikonotasikan perubahan dengan
adanya campur tangan manusia.9 Saat ini, para ahli dengan tingkat keyakinan 95-100%,
meyakini perubahan iklim yang terjadi sejak tahun 1950-an di dominasi oleh aktivitas
manusia.10 Keyakinan ini meningkat dari laporan IPCC di tahun 2007 (90-95%) dan
meningkat drastis dari laporan IPCC tahun 2001. Hal ini menunjukkan bahwa
perdebatan di antara ahli apakah perubahan iklim nyata atau tidak, hampir tidak ada
lagi.
Benarkah perubahan iklim adalah akibat ulah manusia? Iklim sangat
dipengaruhi oleh energi dari matahari dalam bentuk radiasi panas matahari, sepertiga
dari energi ini diserap oleh atmosfer, daratan, lautan, dan biosfer, sisanya akan
dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Gas rumah kaca yang alami, yang terdiri dari
uap air, CO2, N2O, CH4, O3, dan CFC8 adalah selimut yang secara efektif menghalagi
radiasi panas matahari untuk terpantul keluar, persis seperti efek dari rumah kaca.
Tanpa gas-gas ini bumi akan 34o C lebih dingin dari saat ini, yang mana bumi akan
berupa “tanah beku”. Gas rumah kaca meningkat kadarnya di atmosfer yang
mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Selama lebih dari 150 tahun era industri, aktivitas
2 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State
Responsibility, (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hlm. 12 3Ibid., hlm. 12 4Ibid., hlm. 12 5 IPCC Third Assessment Report, Working Group I,(2007), hlm. 87. 6 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law, hlm. 12 7Ibid., hlm. 12. 8 UNFCCC, lihat juga,”The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) defines climate
change as a variation in “either the mean state of the climate or in its variability, persisting for an extended period, typically decades or longer”.
9 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State Responsibility, hlm.
10 IPCC, Summary for Policymakers, Fifth Assessment Report, (2014), hlm. 5.
RIZKITA ALAMANDA
103
manusia telah meningkatkan emisi dari tiga jenis gas rumah kaca utama, yaitu
CO2(karbondioksida) yang meningkat akibat penggunaan bahan bakar fosil yang kita
bakar untuk penggunaan transportasi, produksi energi, pemanasan dan pendinginan
bangunan, deforestasi (penebangan hutan) juga menyebabkan terlepasnya CO2 ke
atmosfer dan mengurangi penyerapan CO2 oleh tanaman.11 CH4(metana) meningkat
lebih dari dua kali lipat sebagai hasil aktivitas manusia terkait dengan pertanian,
distribusi gas alam dan pembuangan sampah.12N20 (nitro oksida) juga diemisikan dari
kegiatan manusia seperti penggunaan pupuk dan pembakaran bahan bakar fosil.13
Dalam Laporan IPCC WG I ke-5 disebutkan dalam salah satu temuannya adalah
tiga dekade terakhir (80s, 90s, 2000s,) menjadi dekade yang lebih panas sejak 1850,
dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya.14 Periode pada rentang 1983-2012
sangat mungkin menjadi periode 30 tahun terpanas dalam kurun waktu 800 tahun dan
mungkin sebagai periode terpanas dalam kurun waktu 1400 tahun.15 Sejak 1950, atmosfer
maupun laut memanas, keberadaan dan volume salju serta luasan es berkurang drastis,
juga permukaan air laut yang mengalami kenaikan.16
Hal ini menunjukkan bahwa ada yang menyebabkan kenaikan kadar gas rumah
kaca di atmosfer. Bila secara alami gas rumah kaca dapat memberikan suhu pada bumi
sehingga dapat ditinggali, kenaikan gas rumah kaca akan berdampak pada
meningkatnya suhu bumi yang berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Gas rumah
kaca dapat dihasilkan oleh kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil,
pembukaan hutan, pemupukan tanaman, pemeliharaan hewan ternak, hingga
memproduksi barang-barang hasil industri.17
2. Gugatan Warga Negara
Dampak perubahan iklim telah dirasakan seluruh dunia, tidak terkecuali
Indonesia. Indonesia memiliki jaminan konstitusi lingkungan hidup yang baik dan sehat
bagi warga Negara Indonesia. Hal tersebut termaksud dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28H
ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.18 Pembahasan hak lingkungan hidup menjadi salah satu bagian
dari HAM bukan merupakan suatu perdebatan. Hal tersebut telah menjadi bagian dari
perkembangan HAM internasional. Selain jaminan konstitusional dalam UUD 1945, UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) menjadi salah satu dasar hukum bagi warga Negara Indonesia untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Pasal 65 ayat (1) UUPPLH: “Setiap
11http://id.climate4classrooms.org/content/bagaimana-efek-rumah-kaca-berubah, diakses
pada 10 Desember 2014. 12 Ibid. 13 Ibid. 14IPCC, Summary for Policymakers, Fifth Assessment Report, (2014), hlm. 5. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 US EPA, Science: Climate
Change,http://www.epa.gov/climatechange/science/overview.html, diakses pada 10 Desember 2014. 18 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
104
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia”.19
Gugatan Warga Negara atau Citizen Lawsuit merupakan klaim atau tuntutan atau
kehendak dari masyarakat terorganisir menyangkut kepentingan umum yang dilanggar
oleh siapapun, atas pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan kontrol yang bersifat
fundamental dari warga negara melalui mekanisme Citizen Lawsuit.20 Karakteristik dari
Citizen Lawsuit antara lain:21
1. Citizen Lawsuit merupakan akses orang-perorangan atau warga negara untuk
mengajukan gugatan di Pengadilan untuk dan atas nama kepentingan
keseluruhan warga negara atau kepentingan public;
2. Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari
kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau
pembiaran dari Negara atau otoritas Negara;
3. Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat
Negara atau institusi pemerintah yang melakukan pelanggaran undang-
undang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya
dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;
4. Orang-perorangan warga negara yang menjadi penggugat dalam Citizen
Lawsuit tidak perlu membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat rill
dan tangible;
5. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap tuntutan ganti rugi
kerugian jika diajukan dalam gugatan Citizen Lawsuit.
Gugatan Warga Negara merupakan salah satu terobosan dalam dunia hukum di
Indonesia. Hal ini dikarenakan mekanisme Gugatan Warga Negara tidak dikenal dalam
sistem peradilan di Indonesia. Namun, belakangan hak gugat warga negara banyak
digunakan sebagai salah satu upaya untuk membela kepentingan umum, sebagaimana
dalam Putusan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam Perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST tentang Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang terjadi pada 200.000 Buruh Migran Indonesia yang dideportasi dari
Malaysia ke Nunukan, yang diputus tanggal 8 Desember 2003. Dalam pertimbangannya
Majelis Hakim mengakui adanya mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),
sebagai berikut: “…setiap warga Negara tanpa kecuali mempunyai hak membela
kepentingan umum (on behalf of the public interest) dapat menggugat Negara atau
pemerintah atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang
nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas (pro bono publico), hal
ini pun sesuai dengan hak asasi manusia mengenai acces to justice yaitu akses untuk
mendapatkan keadilan apabila Negara diam atau tidak melakukan tindakan apapun
19 Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, LN, TLN, Pasal 65 ayat (1). 20 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya
di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002), hlm. 15. 21 Indro Sugiarto, “Kasus Nunukan: Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap
Negara, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Ed. 2, (Jakarta: Lembaga Independensi Peradilan, 2004), hlm. 35.
RIZKITA ALAMANDA
105
untuk kepentingan warga negaranya”.22 Selain yurisprudensi hak gugat warga Negara
yang diterima oleh pengadilan, dasar hukum diakuinya Gugatan Warga Negara adalah
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup, pada Bab IV Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan, Gugatan Warga
Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) menjadi salah satu hak gugat yang diakui.23
3. Gugatan Warga Negara terhadap Dampak Perubahan Iklim yang diperparah oleh
Banyaknya Aktivitas Tambang : Komari cs V. Walikota Samarinda cs
Sebagaimana diketahui bersama, dampak perubahan iklim juga dirasakan oleh
Indonesia, seperti yang dialami oleh warga Samarinda, dengan banyaknya kejadian
serupa dengan indikator dampak perubahan iklim seperti berubahnya pola curah hujan,
cuaca ekstrem, banjir, dan kekeringan. Berdasarkan Trend Suhu Udara Rata-Rata yang
dikeluarkan oleh BMKG Samarinda tahun 1982-2012, dalam kurun waktu 30 tahun suhu
udara rata-rata Samarinda meningkat hingga 1ºC (26,5ºC-27,5ºC).24 Sama halnya dengan
Trend Hari Hujan dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Curah hujan yang
meningkat dan tidak menentu mengakibatkan Samarinda dilanda banjir dan terhitung
sejak awal Januari hinga Maret, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Samarinda menetapkan status siaga 2 bencana untuk wilayah Samarinda, mengingat
kondisi cuaca yang tidak menentu di wilayah Samarinda sejak awal Januari hingga akhir
Maret 2013.25 Banjir yang melanda Samarinda menggenangi beberapa titik rawan banjir
antara lain jalan-jalan utama yang menjadi akses transportasi dengan ketinggian
mencapai lutut orang dewasa.26 Banjir dan kekeringan menjadi bencana yang rutin
dirasakan oleh warga Samarinda, selain itu pembukaan operasi tambang memperparah
kerentanan warga Samarinda terhadap dampak perubahan iklim.
Samarinda merupakan ibu kota dari Kalimantan Timur yang 70% wilayahnya
adalah wilayah Izin Usaha Pertambangan.27 Dengan adanya operasi pertambangan batu
bara di lebih dari separuh wilayah Samarinda, warga Samarinda merasakan berbagai
dampak terhadap lingkungan dan kesehatan mereka. Pembukaan tambang batu bara
sangat mempengaruhi kerusakan lingkungan, karena pembukaan tambang batu bara
akan membuka lapisan permukaan dan dalam tanah yang akan meningkatkan hilangnya
humus, erosi, dan mengakibatkan sedimentasi berlebihan sehingga meningkatkan
peluang banjir. Pembukaan tambang batu bara juga berakibat pada pencemaran air dan
22Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,
dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 7. 23 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor:36/KMA/SK/II/2013. 24 Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Geofisika Samarinda, Trend Suhu Udara Rata-Rata
StaMet Temindung Samarinda Tahun 1982-2012. 25 Tribun Kaltim,”Samarinda Status Siaga II Bencana”,
http://kaltim.tribunnews.com/2013/02/28/samarinda-status-siaga-ii-bencana 26 Tribun Kaltim, “Samarinda Kembali Banjir”,
http://m.tribunnews.com/2012/08/28/samarinda-kembali-banjir 27 Energy Today, “Jatam Kaltim: Tambang Batubara Kurangi Ruang Hidup Warga”,
http://energitoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidup-warga/
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
106
udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat.28 Selain itu pembukaan tambang
batu bara juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menjadi simpanan baru emisi
gas rumah kaca di atmosfer, yang menjadi tabungan bagi penyebab perubahan iklim
dimasa akan datang. Hal ini karena pertambangan batubara merupakan salah satu
sumber terbesar emisi metana ditambah dengan adanya akitivitas land clearing yang
dilakukan sebelum kegiatan pertambangan batubara dimulai, yang mengakibatkan
lepasnya emisi CO2 ke atmosfer.29 Warga Samarinda telah berjuang untuk beradaptasi
dengan perubahan iklim yang sedang terjadi dan keadaan mereka diperparah dengan
adanya pembukaan tambang yang massive di wilayah mereka. Segala upaya telah
mereka lakukan namun, tidak ada perubahan yang mereka dapatkan, kekecewaan
terhadap pemerintah justru semakin besar, hingga akhirnya warga berkumpul dan
sepakat untuk membuat gerakan masyarakat, Gerakan Samarinda Menggugat (GSM).30
Warga Samarinda melakukan Gugatan Warga Negara kepada pemerintah untuk
pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tidak lagi dapat
dirasakan dengan adanya dampak perubahan iklim yang diperparah dengan pembukaan
tambang yang berlebihan di Samarinda.
Adanya hak konstitusional yang dimiliki warga Samarinda untuk mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan UUPPLH,
menjadi dasar hukum bagi warga Samarinda untuk mengajukan gugatan. Dengan
mekanisme Gugatan Warga Negara, 19 (sembilan belas) warga Samarinda yang
tergabung dalam GSM mengajukan gugatan terhadap Walikota Samarinda, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gubernur Provinsi Kalimantan Timur,
Kementerian Lingkungan Hidup, dan DPRD Kota Samarinda. Warga Samarinda
menggugat Pemerintah RI atas kelalaiannya dan tidak dipenuhinya kewajiban mereka
dalam memberikan lingkungan yang baik dan sehat, yang dalam hal ini terkait dengan
meningkatnya kerentanan Warga Samarinda dalam mengahadapi perubahan iklim
dikarenakan banyaknya Izin Usaha Pertambangan yang beroperasi di wilayah
Samarinda. Karena hal tersebut warga Samarinda mengalami bencana banjir dan
kekeringan sekaligus, serta menurunnya tingkat kesehatan warga Samarinda. Tiga belas
tuntutan diajukan warga Samarinda terhadap pemerintah yang diantaranya adalah
segera untuk melakukan evaluasi terhadap izin-izin pertambangan yang telah
dikeluarkan, pengawasan atas reklamasi pasca tambang, hingga pengembangan model
adaptasi perubahan iklim bagi warga Samarinda. Gugatan yang diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan Negeri Samarinda tersebut diputus oleh Majelis Hakim dengan
mengabulkan sebagian gugatan warga Samarinda, yaitu menyatakan para tergugat lalai
dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan
sehat yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum bagi warga negara, khususnya
warga kota Samarinda, menghukum para tergugat untuk mengatur kembali suatu
kebijakan umum mengenai pertambangan batu bara yang meliputi: evaluasi terhadap
seluruh izin pertambangan batu bara yang telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha
untuk meralisasikan reklamasi dan pasca tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup,
28Ibid. 29Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,
dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 26. 30Mongabay, “Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga”
Negara,http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarinda-serukan-stop-tambang-lewat-hak-gugat-kepada-pemerintah/ , diakses pada 10 Desember 2014, 5:26 WIB.
RIZKITA ALAMANDA
107
melakukan upaya strategis dalam perlindungan kawasan pertanian dan perikanan
masyarakat dari pencemaran sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara. Selain itu
dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga menyimpulkan bahwa perubahan iklim
telah terjadi di seluruh dunia tidak terkecuali di Samarinda, yang ditandai dengan
perubahan intensitas curah hujan, sehingga menyebabkan banjir di wilayah Samarinda
serta menurunnya kualitas hidup warga Samarinda karena tempat tinggal yang berdebu,
panas dan sulit mendapatkan air bersih akibat aktivitas tambang.31
Gugatan Warga Negara terhadap dampak perubahan iklim yang diperparah
dengan adanya aktivitas pertambangan batubara yang diajukan oleh warga Samarinda
menjadi salah satu tonggak baru dalam terobosan hukum. Putusan No
55/Pdt.G/2013/PN.Smda, memperlihatkan bahwa Gugatan Warga Negara telah diakui
dalam sistem peradilan di Indonesia dan memberikan perhatian khusus terhadap isu
perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim merupakan isu global yang dampaknya
dirasakan oleh seluruh penjuru dunia, namun dalam hal ini negara tetap bertanggung
jawab untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk warga
negaranya. Dalam kasus ini, hal tersebut tercermin dalam upaya pemerintah untuk dapat
mengontrol serta mengawasi izin-izin pertambangan yang ada di wilayah Samarinda,
karena dengan banyaknya aktivitas pertambangan di Samarinda telah menambah
kerentanan warga Samarinda dalam menghadapi perubahan iklim, seperti meningkatnya
frekuensi banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, pencemaran air hingga gangguan kesehatan
seperti ISPA. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim telah menilai adanya kelalaian
pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya. Majelis Hakim pun dalam
pertimbangannya sudah mengakui bahwa perubahan iklim telah terjadi di seluruh
dunia, termasuk Indonesia, dan pertambangan batubara dapat menyebabkan terjadinya
perubahan ilim, meskipun tidak menjamin pertambangan batubara di Samarinda
menjadi penyebab perubahan iklim di dunia. Namun, pada kenyataannya intensitas
hujan bertambah di wilayah Samarinda dan kekeringan melanda, selain itu akibat
pertambangan batubara lingkungan hidup tempat tinggal warga menjadi berdebu,
panas, dan sulit mendapatkan air bersih. Hanya saja dalam putusannya Majelis Hakim
tidak mengabulkan petitum warga terkait model adaptasi perubahan iklim di Samarinda,
namun hanya fokus pada pelaksanaan kewajiban pemerintah yang tidak dilaksanakan
serta perlunya pengaturan kembali atas pertambangan batubara. Meskipun demikian hal
ini tetap perlu diapresiasi, karena sudah adanya keberpihakan Majelis Hakim terhadap
isu-isu lingkungan hidup.
4. Kesimpulan
Berbagai macam cara dilakukan dalam menghadapi isu perubahan iklim. Lebih
dulu dikenal upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kedua upaya tersebut
membutuhkan peranan aktif dari pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam
membentuk kebijakan. Dalam hal mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh peranan
lembaga eksekutif maupun legislatif, upaya litigasi perubahan iklim hadir. Di Indonesia,
adanya hak konstitusional untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat menjadi
31Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,
dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 134.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
108
dasar hukum bagi upaya gugatan terkait dampak perubahan iklim. Sebagaimana upaya
yang dilakukan oleh warga Samarinda yang mengajukan gugatan terhadap Negara
melalui pemerintah dengan mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) atas
dampak perubahan iklim yang diperparah dengan banyaknya pembukaan tambang
batubara. Hal ini menunjukan adanya terobosan hukum serta meningkatnya kepedulian
masyarakat terhadap permasalahan perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim dinilai
sebagai sebuah permasalahan global, namun tetap dibutuhkan upaya-upaya lokal yang
mendukung upaya global dalam menghadapi perubahan iklim, salah satunya melalui
terobosan hukum litigasi perubahan iklim.
Meskipun tidak serupa, namun di Negara lain pun berkembang upaya litigasi
perubahan iklim yang berdasarkan atas tanggung jawab Negara dan pelanggaran
kewajiban internasional, seperti kasus Tuvalu v. United States of America and
Australia.32 Tuvalu adalah negara pulau kecil yang terletak di Samudra Pasifik
menggugat Amerika Serikat dan Australia ke International Court of Justice (ICJ) atas
kontribusi negara-negara tersebut pada perubahan iklim.33 Kedua Negara tersebut
dianggap oleh Tuvalu bertanggung jawab atas kegagalan mereka dalam menstabilkan
emisi gas rumah kaca yang diwajibkan dalam (FCCC). Perubahan iklim telah
menyebabkan melelehnya es yang berakibat pada naiknya permukaan air laut.
Fenomena kenaikan permukaan air laut telah mengancam Tuvalu sebagai negara pulau
yang kecil dengan rata-rata elevasi adalah dua meter di atas permukaan air laut.34
Terlepas dari hal apapun, terobosan hukum yang dilakukan dalam Gugatan
Warga Negara terhadap dampak perubahan iklim yang diperparah dengan adanya
pembukaan pertambangan batubara perlu mendapat apresiasi, terlihat bahwa
masyarakat telah memperhatikan lingkungan hidupnya yang semakin tidak layak karena
dampak perubahan iklim dan pembukaan tambang batubara, serta adanya keberpihakan
majelis hakim terhadap isu lingkungan hidup.
32 Michael F. Faure dan Andre Nolkaemper, Analyses of Issues to be Addressed Climate Change
Litigation Cases, (Amsterdam: Amsterdam International Law Clinic, 2007), hlm. 33. 33 Ibid., hlm. 33. 34 Ibid., hlm. 34.
RIZKITA ALAMANDA
109
Daftar Pustaka
Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Geofisika Samarinda, Trend Suhu Udara Rata-
Rata StaMet Temindung Samarinda Tahun 1982-2012.
Energy Today, “Jatam Kaltim: Tambang Batubara Kurangi Ruang Hidup Warga”,
http://energitoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidup-
warga/
Faure, Michael F. dan Andre Nolkaemper. Analyses of Issues to be Addressed Climate Change
Litigation Cases.(Amsterdam: Amsterdam International Law Clinic, 2007).
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
________. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Intergovernmental Panel on Climate Chage. Summary for Policymakers. Fifth
Assessment Report. (2014).
Intergovernmental Panel on Climate Change. Third Assessment Report. Working Group
I. (2007).
International Law Commission, Draft Articles on State Responsibility for Internationally
Wrongful Act.
Kompas, “Pria Kiribati Cari Status Pengungsi Korban Perubahan Iklim”, (Kamis, 17
Oktober 2013, 17:36 WIB),
http://internasional.kompas.com/read/2013/10/17/1736126/
Pria.Kiribati.Cari.Status.Pengungsi.Korban.Perubahan.Iklim
Litigation: Symposium Introduction”. Law & Policy University of Denver. (July, 2013).
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor:36/KMA/SK/II/2013.
Mongabay, “Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga”
Negara, http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarinda-
serukan-stop-tambang-lewat-hak-gugat-kepada-pemerintah/
Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara
Komari, dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014.
Statute of the International Court of Justice.
Sugiarto, Indro. “Kasus Nunukan: Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap
Negara, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Ed. 2. (Jakarta: Lembaga
Independensi Peradilan, 2004).
Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indonesia. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002).
Tribun Kaltim, “Samarinda Kembali Banjir”, Selasa, 28 Agustus 2012, 19:22 WIB,
http://m.tribunnews.com/2012/08/28/samarinda-kembali-banjir
Tribun Kaltim,”Samarinda Status Siaga II Bencana”, Kamis, 28 Februari 2013, 17.43 WIB,
http://kaltim.tribunnews.com/2013/02/28/samarinda-status-siaga-ii-bencana
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
110
United Nations Framework Convention on Climate Change.
US EPA, Science: Climate Change,
http://www.epa.gov/climatechange/science/overview.html
Verheyen, Roda. Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State
Responsibility. (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005).
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
"Menyongsong Perlindungan Lingkungan Hidup Lebih Baik: 17
Pekerjaan Rumah Pemerintahan Jokowi-JK"
Indonesian Center for Environmental Law ( ICEL )
Jakarta, 23 Desember 2014
Tahun 2014 adalah tahun transisi. Transisi dua periode kepemimpinan
Pemerintahan SBYdengan Kabinet Indonesia Bersatu-nyakepada Pemerintahan
Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja yang beberapa bulan lalu dilantik. Sebagai
tahun transisi, tahun ini menunjukkan dinamika yang cukup menarik untuk
dicermati. Secara politik, Pemerintahan Jokowi-JK yang dianggap "antithesis"
dari pemerintahan sebelumnya karena lahir dari poros oposisi dianggap telah
memberikan harapan baru bagi perubahan masa depan Indonesia, termasuk
dalam isu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Mungkin terlalu dini untuk menilai jalannya pemerintahan baru ini.
Namun saat ini adalah saat yang menentukan bagi pemerintah baru untuk
mengambil langkah-langkah yang tepat,yang menentukan langkah selanjutnya
untuk mencapai apa yang telah dijanjikannya selama masa kampanye. Selain
itu, meskipun pemerintahan baru saat ini menasbihkan dirinya sebagai
"antithesis" pemerintahan sebelumnya, tentu tidak lepas dari apa yang telah
terjadi dan dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Implikasinya,
Pemerintahan Jokowi-JK harus bersungguh-sungguh keluar sebagai korektor
sekaligus implementor dari langkah-langkah dan kinerja pemerintahan
sebelumnya.Oleh karena itu, sangat tepat jika Jokowi-JK menamakan
kabinetnya sebagai Kabinet Kerja.Hanya saja hal ini harus serius dibuktikan
mengingat tidaklah ringan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh
pemerintahan kali ini ditengah harapan publik yang besar.
Berangkat dari pemikiran tersebut, catatan akhir tahun ini akan
menyoroti tentang langkah-langkah atau kinerja pemerintah sebelumnya,
langkah-langkah perdana dari pemerintah baru, dan rekomendasi untuk
menyongsong perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
baik sebagai pekerjaan rumah dari Pemerintahan Jokowi-JK bersama Kabinet
Kerja-nya. Catatan akhir tahun ini akan menyoroti empatisu utama, yaitu : (1)
tata kelola; (2) legislasi dan regulasi; (3) kelembagaan; dan (4) penegakan
hukum.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
112
[1]
Tata Kelola LH dan SDA yang Lemah
Jalan masih panjang mewujudkan keterbukaan informasi.Undang-
undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
telah disahkan 6 tahun yang lalu, tetapi pelaksanaannya berjalan sangat lambat.
Data Ditjen IKP-Kominfo, 1 Juli 2014 menunjukkan bahwa badan publik di
seluruh Indonesia yang telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) baru sekitar 47,98%. Rincian sebagai berikut:
No Badan Publik Jumlah Telah Menunjuk
PPID Persentase
1. Kementerian 34 34 100,00
2. LPNK/LNS/LPP 129 41 31,78
3. Provinsi 34 30 88,24
4. Kabupaten 399 168 42,11
5. Kota 98 60 61,22
TOTAL 694 333 47,98
Data di atas belum termasuk badan publik non-negara (LSM, parpol,
dll).Selain itu, data rekapitulasi di atas masih sebatas mandat pembentukan
PPIDdan belum memasukkan mandat penyusunan standar operasional
prosedur (SOP) pengelolaan dan pelayanan informasi, penyusunan daftar
informasi, laporan pelaksanaan UU KIP, dll. Apabila keseluruhan mandat ini
diakumulasikan, maka dapat dipastikan tingkat ketaatan badan publik dalam
melaksanaan UU KIP akan jauh lebih rendah dari tingkat ketaatan untuk
membentuk PPID saja. Selain itu, masih terdapat delapan provinsi1 yang belum
memiliki Komisi Informasi Provinsi (KI Provinsi), padahal UU KIP secara tegas
memandatkan KI Provinsi harus sudah dibentuk paling lambat dua tahun sejak
UU KIP diundangkan. Belum dibentuknya KI Provinsi di delapan provinsi ini
1Delapan provinsi yang belum memiliki KI Provinsi adalah: Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat. Sebagai catatan, Provinsi Kalimantan Barat telah memilih 5 (lima) calon anggota KI Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan fit and proper test oleh DPRD Kalimantan Barat yang ditetapkan pada 21 Agustus 2014, tetapi hingga saat Desember 2014, calon anggota terpilih belum juga dilantik, sehingga belum dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
113
berdampak pada lambatnya pelaksanaan keterbukaan informasi di delapan
provinsi tersebut.
Keterbukaan informasi terancam oleh UU Ormas dan RUU Rahasia
Negara. Belum juga UU KIP dilaksanakan dengan serius, ternyata ancaman
terhadap keterbukaan informasi justru muncul dari agenda legislasi yang
kontraproduktif dalam pelaksanaan UU KIP. Sejakdisahkan pada 22 Juli 2013,
UU Ormas secara nyata membatasi hak masyarakat atas informasi, terutama
organisasi masyarakat sipil (OMS) di daerah. Hal ini terjadi karena, pemerintah
daerah salah menafsirkan kewajiban OMS memiliki Surat Keterangan Terdaftar
(SKT) dari Kesbanglinmas. Akibatnya tanpa SKT tersebut, pemerintah daerah
menolak melayani permohonan informasi yang diajukan OMS yang tidak bisa
menyertakan SKT. Padahal legalitas OMS tidak hanya ditentukan oleh SKT,
tetapi dapat dilakukan melalui Kemenkum-HAM atau instansi lainnya,
tergantung dari bentuk kelembagaan OMS tersebut.
Belum selesai dengan UU Ormas, pelaksanaan UU KIP berpotensi
terancam juga dengan masuknya RUU Rahasia Negara dalam usulan Prolegnas
2015-2019. Semangat keterbukaan informasi yang diusung UU KIP akan
berhadapan dengan semangat ketertutupan yang diusung oleh RUU Rahasia
Negara. Padahal pembahasan RUU Rahasia Negara telah dihentikan oleh
Pemerintah dan DPR RI pada tanggal 16 September 2009. Bahkan disinyalir
RUU ini akan diagendakan juga dalam usulan RPJMN tahun 2015-2019. Artinya
Pemerintahan Jokowi-JK harus pula berani mengoreksi perkembangan ini jika
serius mengagendakan keterbukaan informasi.
Inisiatif Open Government Partnersip (OGP) belum mampu
mendorong percepatan pemerintahan terbuka. Inisiatif Pemerintah Indonesia
bersama 7 negara lainnya untuk memotori percepatan pemerintahan yang
terbuka melalui OGP sejak September 2011 patut diapresiasi. Bahkan tahun
2013 Indonesia menjadi lead chair dari gerakan ini dan saat ini telah berkembang
menjadi 65 negara. Sebagai strategi percepatan, inisiatif ini telah berhasil
mendorong komitmen negara-negara anggota untuk memperkuat keterbukaan
di tingkat domestik atau negaranya melalui mekanisme perumusan rencana
aksi dan pelaporan. Bagi Indonesia, inisiatif ini telah melahirkan percepatan
pelaksanaan keterbukaan informasi, misalnya berdasarkan laporan pelaksanaan
Open Government Indonesia (OGI) 2012, inisiatif ini dianggap mampu
mendorong capaian pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) di 100% jajaran kementerian/lembaga dan 21%
Pemerintah Daerah serta menaikkan peringkat Open Budget Index (OBI)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
114
Indonesia dari 51 di tahun 2010 menjadi 62 di tahun 2012. Namun inisitif ini
belum mampu mendorong percepatan pemerintahan terbuka melalui
pelaksanaan mandat UU KIP.
Pengelolaan hutan dan lahan belum transparan, partisipatif, dan
akuntabel.2 Hasil studi ICEL dan Seknas Fitra tahun 2014 terhadap tata kelola
hutan dan lahan di daerah menyimpulkan bahwa pengelolaan hutan dan lahan
di daerah masih minim penerapan prinsip transparansi, partisipasi publik, dan
akuntabilitas. Dari sisi transparansi, banyak data/informasi terkait dengan
pengelolaan hutan dan lahan tidak dipublikasikan bahkan gagal untuk
diperoleh masyarakat. Hal ini disebabkan banyaknya pemerintah daerah yang
tidak melaksanakan mandat UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik meskipun sudah 6 tahun disahkan. Terhadap pelanggaran tersebut tidak
ada disinsentif maupun sanksi yang tegas dari pemerintah pusat. Dari sisi
partisipasi publik, pemerintah daerah belum melaksanakan partisipasi publik
secara genuine. Pemerintah daerah belum memberikan ruang yang memadahi
bagi masyarakat untuk berperan serta dalam setiap tahapan pengambilan
keputusan, hanya sebatas sosialisasi. Lebih memprihatinkan lagi, banyak
penyelenggaraan partisipasi publik yang tidak tepat sasaran dimana
masyarakat korban dan potensial korban tidak dilibatkan secara memadahi.
Dari sisi akuntabilitas, persoalan paling mendasar adalah gagalnya pemerintah
daerah mengelola konflik dengan minimnya lembaga penyelesain konflik dan
sengketa, minimnya Norma, Pedoman, Standar, dan Kriteria (NPSK) dalam
pengelolaan hutan dan lahan, dan lemahnya pengawasan dan pemberian
sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau petugas di daerah.
Lebih lengkap bisa dilihat pada data berikut:
2 Laporan Baseline Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah : Potret Kinerja
Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan (Studi Kasus 16 Kabupaten) 2013-2014, ICEL dan Seknas Fitra, Desember 2014.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
115
18.70
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Kuta
i …
Kapu
as H
ulu
Sint
ang
Mal
inau
Kubu
Ray
a
Pase
r
Mus
i Ban
yuas
in
Keta
pang
Mua
ra E
nim
Mus
i Raw
a
Bany
uasi
n
Bulu
ngan
Mel
awi
OKI
Bera
u
Kayo
ng U
tara
Indeks Kelola Hutan dan Lahan
15.44
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Indeks Transparansi
20.7
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
Indeks Partisipasi
21.23
0.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0
100.0
Indeks Akuntabilitas
27.1
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
Indeks Koordinasi
Buruknya transparansi pengelolaan hutan dan lahan berkorelasi
dengan angka deforestasi di daerah. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia
tentang perubahan tutupan hutan tahun 2009-2013, angka deforestasi
Kabupaten Berau sebesar 113.233 Ha dan 88.296 Ha untuk Kabupaten Ketapang
(FWI: 2014). Berdasarkan studi IKHL yang dilakukan ICEL tahun 2014, indeks
transparansi kedua kabupaten tersebut dalam kategori "buruk", yaitu 7.07
untuk Kabupaten Berau dan 10.30 untuk Kabupaten Ketapang. Data tersebut
mengindikasikan bahwa semakin tidak transparan, maka semakin tinggi angka
deforestasinya. Berikut data yang menjelaskan hal di atas:
Penyelesaian konflik hutan dan lahanbelum tersentuh dengan baik.
Berdasarkan data dari JKPP dan Koalisi CSO, hingga tahun 2013 terdapat
kurang lebih 4.050.253,38 Ha atau 81,4 % tumpang tindih dengan kawasan
21.769
52.062
11.38328.981
99.92
29.767
113.233
54.675
20.62113.325
38.467
6.737
88.296
28.42731.456
6.605
020406080
100120
Deforestasi
Indeks Transparansi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
116
hutan, dan sekitar 2.637.953,94 Ha bertumpang tindih dengan perijinan (konsesi
HPH, tambang, sawit, dan HTI). 3 Besarnya luasan tumpang tindih tersebut
menunjukkan tingginya konflik dan potensi konflik perebutan ruang yang
berimplikasi pada semakin sempitnya ruang kelola rakyat yang mengancam
kedaulatan pangan. Data Huma menunjukkan terdapat 281 konflik di 24
provinsi meliputi 80 kaus kehutanan. Kondisi ini sudah disadari oleh
pemerintah. Kepastian status kawasan menjadi isu prioritas Pemerintah SBY
selama 3 (tiga) tahun terakhir.
Pelaksanaan inisiatif percepatan penetapan kawasan hutan yang di
dorong oleh UKP4 dan KPK melalui NKB 12 K/L minim partisipasi publik.4
Berdasarkan data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, sampai dengan
Agustus 2014, realisasi penetapan kawasan hutan seluas 69.758.922,38 Ha atau
56,99 % dari total luas kawasan yang ditunjuk (122.404.872,67 Ha). Artinya,
selama 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan sebesar 45,70 %, sebelumnya
di tahun 2009 Kemenhut menetapkan seluas 13.819.510, 12 Ha atau sebesar
11,29 % dari total kawasan yang ditunjuk. Sayangnya, proses penetapan
kawasan ini masih minim partisipasi publik dan penyelesaian hak-hak pihak
ketiga. Artinya penetapan kawasan yang sudah dilakukan –salah satu tujuan
pnting penetapan kawasan adalah menjamin kepastian agar tidak terjadi
konflik- belum dapat menjamin penyelesaian konflik yang menjadi salah satu
tujuan penetapan kawasan hutan.
Pemerintah belum mampu mewujudkan keterbukaan informasi
proaktif di bidang lingkungan hidup. Dari studi ICEL terkait dengan
informasi di bidang perizinan lingkungan hidup, monitoring kualitas air, dan
pengawasan serta penegakan hukum banyak ditemukan informasi penting
yang dibutuhkan oleh masyarakat belum dipublikasikan secara proaktif oleh
institusi pemerintah, baik KLHK maupun BLHD.Dari 20 informasi pentingbaik
menurut versi masyarakat dan merupakan mandat regulasi, belum satupun
yang dipublikasikan melalui website sebagai salah satu sarana publikasi
3http://www.geodata-cso.org/. Geodata Nasional (GDN) merupakan jaringan kerja
data-informasi yang berbasis spatial mengenai wilayah kelola rakyat dan konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung di GDN ini terdiri dari : Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMA), Perkumpulan Sawit Watch, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
4 http://news.metrotvnews.com/read/2014/11/11/316847/kpk-evaluasi-setahun-perkembangan-nkb-kehutanan.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
117
pemerintah.Meskipun KLHK memiliki Daftar Informasi Publik (daftar
informasi yang menurut pemerintah terbuka/dapat diakses
masyarakat),terdapat 8 data/informasi penting yang belum tercantum.Kondisi
ini ditambah dengan data/informasi yang sudah tercantum dalam DIP belum
merinci kelengkapan/keutuhan informasi yang seharusnya dibuka.Sebagai
contoh, informasi tentang penegakan hukum administrasi.Hanya informasi
tentang daftar perusahaan yang sudah menaati sanksi adminstrasi yang
terbuka untuk publik.Sedangkan daftar perusahaan yang belum menaati sanksi
administrasi tidak tercantum dalam DIP, padahal informasi ini sangat penting
bagi masyarakat sebagai bahan pengawasan.
Komitmen keterbukaan informasi Pemerintahan Jokowi-JK belum
diterjemahkan secara konkret dalam agenda kerja kementerian.Komitmen
Jokowi-JK tersebut terlihat dalam Nawacita sebagai indikator pembangunan 5
tahun pemerintahan Kabinet Kerja 2014-2019. Fokus komitmen dalam
mendorong keterbukaan di sektor lingkungan dan sumber daya alam
tergambar dalam Nawacita 4 poin 4 sebanyak 32 indikator, antara lain:
penaatan Amdal dan publikasi pelaksanaannya; tersedianya data dan peta
keanekaragaman hayati yang akurat, komprehensif, kredibel, serta mutakhir;
tersedianya dengan pelibatan partisipasi publik; terbangun dan berjalannya
Sistem Pengelolaan Informasi Perizinan Terpadu yang menyimpan, mengatur,
dan mempublikasikan seluruh informasi perizinan berbasis lahan; tersedianya
data dan peta risiko industri; tersedianya data dan peta limbah; serta data dan
peta lahan tergradasi secara nasional.5 Komitmen-komitmen ini hingga saat ini
belum dijabarkan dalam agenda kerja yang lebih konkret dari Kabinet Kerja.
Moratorium belum menjawab perbaikan tata kelola kehutanan dan
lahan. Sesungguhnya isu perbaikan tata kelola ini bukanlah isu baru melainkan
isu yang sudah lama didengungkan dalam periode sebelumnya. Berbagai
kebijakan untuk menuju perbaikan tata kelola ini telah dikeluarkan oleh
pemerintahan sebelumnya, misalnya moratorium izin yang kemudian berujung
pada dikeluarkannya Inpres No. 10 Tahun 2011 dan diperbarui dengan Inpres
No. 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kebijkan
moratorium tersebut telah berjalan kurang lebih 3 tahun dan akan berakhir
pada bulan Mei 2015. Kebijakan moratorium tersebut bertujuan untuk
5Target dan Indikator Pembangunan Nasional Indonesia Berdasarkan 9 Visi Misi
Presiden Joko Widodo (Nawacita), hal. 15-17.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
118
melakukan perbaikan tata kelola termasuk perizinan dan restorasi ekosistem.
Hasil evaluasi 3 tahun pelaksanaan moratorium oleh Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global dimana ICEL termasuk
didalamnya menyimpulkan bahwa telah terdapat beberapa capaian yang patut
diapresiasi. Namun tidak data dipungkiri bahwa masih banyak pekerjaan
rumah yang belum terselesaikan dengan baik. 6 Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal berikut: (1) kebijakan moratorium yang masih setengah hati
dengan memberikan pengecualian (exit clause) bagi kegiatan-kegiatan yang
berpotensi besar merusak dibawah agenda MP3EI; (2) adanya inkonsistensi
pelaksanaan moratorium melalui perubahan Peta Indikatif Penundaan Izin
Baru maupun pemberian izin di kawasan konservasi; (3) masih banyak
kementerian dan pemerintah daerah belum menuntaskan agenda sebagaimana
diatur dalam Inpres; (4) lemahnya penegakan hukum sebagai tindaklanjut dari
review perizinan maupun kebakaran hutan dan lahan.
Minimnya informasi proaktif mengancam berlanjutnya pencemaran
sungai-sungai strategis di Indonesia.Limbah industri masih menjadi salah satu
ancaman polusi bagi sungai-sungai strategis di Indonesia. Selama tahun 2014
ICEL menemukan tiga sungai besar yang menderita pencemaran berat oleh
industri kertas yaitu: Sungai Ciujung di Serang Banten yang menderita
pencemaran limbah PT.IKPP7 ; Sungai Asahan yang tercemar oleh limbah PT.
Toba Pulp Lestari8; dan Kali Brantas Surabaya yang tercemar limbah PT. Tjiwi
Kimia. 9 Pencemaran sungai-sungai ini berdampak sangat signifikan bagi
masyarakat sekitar sungai.Mereka kehilangan akses air bersih untuk keperluan
sehari-hari seperti untuk mandi, mencuci dan memasak, berkurangnya sumber
pendapatan mereka karena ikan-ikan di sungai dan usaha pertambakan
masyarakat banyak yang mati; menurunnya produktivitas pertanian sekitar
6 http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2014/05/Evaluasi-Tiga-
Tahun-Moratorium.pdf. 7 Berdasarkan hasil audit lingkungan wajib PT.IKPP ditemukan bahwa perusahaan
ini menyumbang 83,92 % polutan yang ada di Sungai Ciujung, berdasarkan penelitian STRIPE yang dilakukan ICEL, Medialink dan Walhi bekerjasama dengan paguyuban masyarakat Riung Hijau Serang pencemaran ini masih berlangsung hingga 2014.
8PT. Toba Pulp Lestari dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama yang dulu pernah ditutup karena terbukti mencemari Sungai Asahan. Meskipun telah berganti nama, PT. Toba Pulp Lestari tidak jauh berbeda perilaku pencemarnya, berdasarkan wawancara ICEL dengan Yati Simanjuntak dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) hingga saat ini PT. Toba Indah Lestari masih melakukan pencemaran terhadap Sungai Asahan.
9Berdasarkan wawancara ICEL dengan Prigi Arisandi dari Ecological Observation and Wetland Conservation/ECOTON), sepanjang 2014 ditemukan beberapa kali PT. Tjiwi Kimia membuang air limbah melampaui baku mutu dan mengandung Ammonia (NH3) , ICEL mewawancarai ECOTON.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
119
sungai serta risiko kesehatan lainnya.Melihat hal ini, pemerintah harus mulai
lebih ketat mengawasi industry sepanjang aliran sungai, serta selektif
memberikan izin dengan mempertimbangkan pula dampak kumulasi limbah-
limbah industri tersebut. Janji Jokowi dalam memulihkan DAS akan terancam
gagal jika tidak didorong keterbukaan informasi dan pengawasan terhadap
industri pada sepanjang aliran sungai.
Pemerintah belum mampu menutup kebocoran akibat buruknya tata
kelola pertambangan.Di sektor minerba, koalisi anti mafia tambang yang
terdiri dari ICEL, ICW, Seknas Fitra, TII, Pattiro, IPC, dan Article 33
menyatakan bahwa pemerintah menanggung kerugian hingga Rp 4,6 triliun
dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang
sepanjang 2010-2013. Kerugian ini dihitung dari hasil rekapitulasi data
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di 12 provinsi.10 Adapun di sektor
migas, tertangkapnya Ketua DPRD Bangkalan, RKH Fuad Amin Imron, oleh
KPK dalam kasus suap kontrak pembelian gas dan terungkapnya dugaan
penyelewengan tender minyak oleh Pertamina melalui Petral sebanyak 800.000
barel per hari atau sekitar 18 Miliar USD per tahun telah menambah deret
panjang kasus mafia migas setelah kasus korupsi Rubi Rubiandini dan Jero
Wacik. Tentunya kasus yang terungkap ke permukaan jauh lebih sedikit
daripada praktik-praktik mafia yang belum terungkap dan menyedot keuangan
negara hingga saat ini.
Beberapa hal yang diyakini menjadi masalah buruknya tata kelola Migas,
antara lain:pertama, kelembagaan hulu Migas yang belum sepenuhnya
memungkinkan adanya pelaksanaan fungsi kebijakan, pelaksanaan, dan
pengawasan secara memadahi; kedua, belum adanya jaminan pemenuhan hak
informasi, partisipasi, dan akses masyarakatatas industri di sepanjang rantai
proses industri ekstraktif yang meliputi akses terhadap kontrak KKS
penghitungan DBH, data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas
bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen
AMDAL, dan lain-lain; ketiga, belum adanya ketentuan petroleum funddimana
sebagian dana dari penerimaan Migas disisihkan dan dikelola secara akuntabel
untuk mendukung agenda pemerintah dalam (1) pengalihan energi fosil ke
energi bersih terbarukan; (2) pembangunan infrastruktur migas seperti kilang
(refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dan lain-lain, dan
10 http://www.tempo.co/read/news/2014/12/08/090626953/Tiga-Tahun-Sektor-
Tambang-Rugikan-Negara-Rp-46-T, diakses pada 11 Desember 2014. .
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
120
(3) kegiatan yang berkaitan dengan pencarian cadangan migas baru;
keempat,minimnya jaminan pelibatan masyarakat khususnya masyarakat adat
dalam proses penentuan Wilayah Kerja yang memungkinkan concern
masyarakat sekitar tambang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan;
kelima, lemahnya perencanaan Migas yang belum diintegrasikan dengan (1)
kebijakan pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagaimana dimandatkan
UU Energi, (2) perencanaan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam, dan (3) perencanaan tata ruang; dll. Berdasarkan kelemahan-kelemahan
ini, maka saat ini Koalisi Masyarakat Sipil membentuk Rancangan UU Migas
untuk mendorong perubahan legislasi ke arah yang lebih baik.
[2]
Legislasi dan Regulasi yang Belum Terarah
Penyusunan legislasi dan regulasi pelaksana belum memiliki arah
yang jelas.Secara politik pengelolaan LH dan SDA, hingga saat ini belum
ditemukan arah yang jelas soal kebijakan LH dan SDA.Banyak agenda legislasi
maupun regulasi sulit untuk dibaca kemana Pemerintah hendak mengarahkan
pengelolaan LH dan SDA. Sebagai contoh, hingga saat ini pemerintah belum
memiliki agenda pasti soal revisi UU Kehutanan yang secara yuridis-sosiologis
sudah di judicial review sebanyak 9 kali yang menepatkan UU ini menjadi UU
dibidang SDA paling banyak di judicial review, namundalam perjalanannya
muncul UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan( UU P3H ). Sebagai UU yang memperkuat penegakan
hukum, UU P3H cukup bisa dipahami dari sisi tujuan.Masalahnya UU P3H
tentu mendasarkan pada UU Kehutanan yang selama ini dipandang masih
banyak kelemahan.Alhasil UU P3H inipun justru menuai polemik dan akhirnya
kehilangan taringnya.Di sisi lain, UU yang tidak kalah pentingnya selalu masuk
dalam Prolegnas namun progerssnya belum pernah dibahas seperti UU
Pengelolaan SDA, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU
Keragaman Hayati, dan UU Pengelolaan Sumber Daya Genetik, dsb. Lebih
parah lagi, pemerintah dari tahun ke tahun selalu menunggak regulasi
pelaksana, misalnya regulasi pelaksana dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Rapor merah pembentukan regulasi pelaksana UU PPLH. Penyusunan
regulasi pelaksana UU PPLH pada tahun 2014 awalnya terlihat lebih baik
dibandingkan dengan tahun 2013. Hal ini didasarkan dengan adanya inisiatif
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
121
Kementerian Lingkungan Hidup untuk membentuk Tim Percepatan
Pembentukan RPP yang memfokuskan pembentukan 5 RPP, yaitu: RPP
Perlindungan Ekosistem Gambut, RPP Pengelolaan Limbah B3, RPP Kajian
Lingkungan Hidup Strategis, RPP Instrumen Ekonomi, dan RPP Ekosistem
Karst. Namun sampai dengan Desember 2014, target pembentukan 5 RPP tidak
terpenuhi karena baru RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
(PP 71/2014) dan RPP Pengelolaan Limbah B3 (belum ada nomor) yang telah
dibentuk. Fakta ini menunjukan bahwa 5 (lima) tahun sejak pengundangan UU
PPLH, baru 3 RPP yang dibentuk dari minimal 21 (dua puluh satu) materi.
Sedangkan untuk regulasi pelaksana setingkat Peraturan Menteri, masih ada
peraturan materi yang belum disahkan, antara lain mengenai “Sistem Informasi
Lingkungan Hidup”. Berikut mandat regulasi pelaksana di bawah UU PPLH
dan progress-nya:
No Peraturan
Pemerin-Tah
Status Peraturan
Menteri
Keterangan
1 Inventarisasi
Lingkungan
Hidup (Pasal
11)
Belum
ada
Baku Mutu
Lingkungan
Hidup (Pasal
20 ayat (5))
1. Permen No. 34 Tahun 2009 tentang
Baku Mutu Limbah Bagi Usaha
dan/atau Kegiatan Pertambangan
Bijih Bauksit.
2. Permen No. 03 Tahun 2010
Tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Kawasan Industri.
3. Permen No. 04 Tahun 2010
Tentang Mutu Air Limbah Bagi
Usaha dan/atau Kegiatan Industri
Minyak Goreng.
4. Permen No. 5 Tahun 2010 Tentang
Baku Mutu Air Limbah bagi
Industri Gula.
5. Permen No. 19 Tahun 2010
Tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan.atau Kegiatan
Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
6. Untuk Permen lainnya
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 20 ayat (5) belum dibentuk.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
122
No Peraturan
Pemerin-Tah
Status Peraturan
Menteri
Keterangan
2 Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(RPPLH)
(Pasal 11)
Belum
ada
Jenis usaha
dan/atau
kegiatan yang
wajib
dilengkapi
dengan amdal
(Pasal 23 ayat
(2))
Permen No. 5 Tahun 2012 Tentang
Jenis Rencana Usaha dan / atau
Kegiatan yang Wajib AMDAL.
3 Daya Dukung
dan Daya
Tampung
Lingkungan
Hidup (Pasal
12)
Belum
ada
Sertifikasi dan
kriteria
kompetensi
penyusun
amdal (Pasal
28 ayat (4))
Permen No. 7 Tahun 2010 Tentang
Sertifikasi Kompetensi Penyusun
AMDAL.
4 Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
(KLHS) (Pasal
18)
Belum
ada
Persyaratan
dan tatacara
lisensi komisi
penilai amdal
(Pasal 29 ayat
(3))
Permen No. 15 Tahun 2010 Tentang
Persyaratan dan Tata Cara Lisensi
Komisi Penilai AMDAL.
5 Baku Mutu
Lingkungan
Hidup (Pasal
20)
Belum
ada
UKL-UPL dan
surat
pernyataan
kesanggupan
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan
hidup (Pasal
35 ayat (3))
Permen No. 13 Tahun 2010 Tentang
UKL-UPL dan surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
6 Kriteria baku
kerusakan
lingkungan
hidup (Pasal
1. PP
No. 71
Tahun
2014
Audit
lingkungan
(Pasal 52)
Permen No. 3 Tahun 2013 Tentang
Audit Lingkungan Hidup.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
123
No Peraturan
Pemerin-Tah
Status Peraturan
Menteri
Keterangan
21) Tentang
Perlindu
ngan
dan
Pengelol
aan
Ekosiste
m
Gambut.
2. Untuk
PP
lainnya
sebagai
mana
dimaksu
d dalam
pasal 21
ayat (3)
belum
dibentu
k.
7 Kriteria Baku
Kerusakan
Akibat
Perubahan
Iklim (Pasal
21)
Belum
ada
Sistem
informasi
lingkungan
hidup (Pasal
62 ayat (4))
Belum ada
8 Analisis
mengenai
dampak
lingkungan
(Pasal 33)
PP. No.
27
Tahun
2012
Tentang
Izin
Lingkun
gan
Tata cara
pengaduan
(Pasal 65 ayat
(6))
Permen No. 9 Tahun 2010 Tentang
Tata Cara Pengaduan dan Penanganan
Pengaduan Akibat Dugaan
Pencemaran dan/ atau Perusakan
Lingkungan Hidup.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
124
No Peraturan
Pemerin-Tah
Status Peraturan
Menteri
Keterangan
9 Izin
lingkungan
(Pasal 41)
PP No.
27
Tahun
2012
Tentang
Izin
Lingkun
gan
Kerugian
lingkungan
(Pasal 90 ayat
(2))
Permen No. 13 Tahun 2011 Tentang
Ganti Kerugian Akibat Pencemaran
dan / atau Kerusakan Lingkungan
Hidup.
10 Instrumen
ekonomi
lingkungan
hidup (Pasal
43)
Belum
ada
11 Analisis risiko
lingkungan
hidup (Pasal
47 ayat (3))
Belum
ada
12 Tata cara
penanggulang
an
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup (Pasal
53 ayat (3))
Belum
ada
13 Tata cara
pemulihan
fungsi
lingkungan
hidup (Pasal
54 ayat (3))
Belum
ada
14 Dana
penjaminan
(Pasal 55 ayat
Belum
ada
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
125
No Peraturan
Pemerin-Tah
Status Peraturan
Menteri
Keterangan
(4))
15 Pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup (Pasal
56)
Belum
ada
16 Konservasi
dan
pencadangan
sumber daya
alam serta
pelestarian
fungsi
atmosfer
(Pasal 57 ayat
(5))
Belum
ada
17 Pengelolaan
Bahan
Berbahaya dan
Beracun (B3)
dan Limbah
B3 (Pasal 58-
59)
PP
tentang
Pengelol
aan
Limbah
B3
18 Tata cara dan
persyaratan
dumping
limbah atau
bahan (Pasal
61 ayat (3))
Belum
ada
19 Tata Cara
Pengangkatan
Pejabat
Pengawas
Belum
ada
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
126
No Peraturan
Pemerin-Tah
Status Peraturan
Menteri
Keterangan
Lingkungan
Hidup dan
Tata Cara
Pelaksanaan
Pengawasan
(Pasal 75)
20 Sanksi
administratif
(Pasal 83)
Belum
ada
21 Lembaga
penyedia jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan
hidup (Pasal
86 ayat (3))
Belum
ada
Lemahnya transparansi dalam penyusunan regulasi
pelaksana.Pemerintah belum terbuka terkait dengan penyusunan RPP, baik
prosesmaupun materinya. Sebagai contoh, dalam penyusunan RPP
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, tidak terdapat update draft
terakhir secara memadai kepada publik. Hal ini memicu polemik terhadap
materi RPP tersebut.Kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi dalam penyusunan
RPP Pengelolaan Limbah B3. Publik tidak mengetahui secara jelas proses dan
materi dari RPP tersebut. Bahkan dalam sosialisasi pasca disahkannya RPP ini,
pemerintah lebih mengutamakan sosialisasi kepada pelaku usaha
dibandingkan kepada masyarakat sipil.Lemahnya transparansi penyusunan
RPP juga masih terjadi pada penyusunan regulasi pelaksana lainnya, seperti
RPP KLHS, RPP Instrumen Ekonomi, dan RPP Ekosistem Karst. Sampai saat ini
masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengetahui status dari
pembentukan ketiga RPP tersebut.
Minimnya partisipasi publik dalam penyusunan regulasi pelaksana
UU PPLH.Lemahnya inisiatif Pemerintah dalam melahirkan regulasi pelaksana
UU PPLH juga diperparah dengan lemahnya pelibatan masyarakatdalam setiap
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
127
tahapan secara memadahi. Sebagai contoh dalam penyusunan RPP Pengelolaan
Limbah B3.Pelibatan masyarakat yang dilakukan baru sebatas konsultasi
dimana masukan yang diberikan tidak mendapatkan respon yang memadahi.
Bahkan beberapa materinya, sepertiizin dumping limbah B3 dan dumping
limbah B3/tailing ke laut (Submarine Tailing Disposal-STD) mendapat respon
negatif dari organisasi masyarakat sipil. Izin dumping limbah B3 dianggap
bertentangan dengan UU PPLH dimana dalam UU ini dilarang ada kegiatan
dumping limbah B3.Sedangkan STD dikhawatirkan dapat menyebabkan
pencemaran dan perusakan ekosistem laut dimana secara teknis masih terdapat
perdebatan terkait dengan metode ini.Selian itu, STD dikhawatirkan dapat
memicu praktik pembuangan limbah-limbah lain ke laut.Terhadap keberatan
ini tidak memberikan respon yang memadahi dan tetap mengadopsi ketentuan-
ketentuan tersebut.
Nota KesepakatanBersama (NKB) 12 K/L masih berjalan lambat.NKB
yang ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2013 dan berlaku 3 tahun sejak
disahkan inidimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah sektor kehutanan
yang sudah puluhan tahun belum menemukan alternatif penyelesaian terbaik.
NKB 12 ini memiliki tiga agenda utama, yaitu harmonisasi regulasi dan
kebijakan, penyelarasan teknis dan prosedur, serta resolusi konflikyang
kemudian dijabarkan dalam 93 rencana aksi.Hingga saat ini, secara kuantitatif
telah 50% dari rencana aksi yang telah dilakukan. Namun ada beberapa
hambatan yang cukup mendasar dari pelaksanaan NKB 12 ini, antara lain11:
egosektoral dan koordinasi antarkementerian/lembaga; implementasi rencana
masih menjadi pemenuhan dokumen semata sehingga belum memberikan
kontribusi terhadap kepastian hukum; pelibatan masyarakat belum optimal;
perlu memperhatikan arah pembangunan pemerintahan baru dan perubahan
strukturnya; dan rencana aksi kurang fokus pada hal-hal strategis.Oleh karena
itu, diperlukan peninjauan terhadap efektifitas NKB ini guna memfokuskan
pada agenda perubahan yang efektif dan berkelanjutan. Sebagai contoh, dalam
pelaksanaan penetapan status kawasan hutan seharusnya dilakukan penataan
proses penetapan yang memastikan adanya mandat bagi penyelesaian hak-hak
pihak ketiga yang terkena dampak. Selain itu, perlu ada mekanisme publikasi
yang jelas terhadap pelaksanaan rencana aksi ini.
11 http://news.metrotvnews.com/read/2014/11/11/316847/kpk-evaluasi-setahun-
perkembangan-nkb-kehutanan.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
128
[3]
Kelembagaan LH dan SDA yang Belum Terkonsolidasi
Keputusan penggabungan kementerian (lingkungan hidup dan
kehutanan) tanpa diskursus yang memadahi.Keputusan Presiden Jokowi
menggabungkan kementerian tersebut menuai banyak pertanyaan, bahkan
kritikan dari kalangan masyarakat sipil. Banyaknya persoalan lingkungan
hidup dan kehutanan tentu membutuhkan fokus kerja. Tidak jauh berbeda
dengan masyarakat sipil, DPR RI yang dimintai pertimbangan juga
menyampaikan posisi bahwa kedua kementerian tersebut tidak perlu
digabung.Sayangnya hingga saat ini belum terungkap diskursus di balik
keputusan tersebut meskipun saat keputusan masih berupa rencana telah
dikonsultasikan kepada DPR RI. Publik belum mendapatkan informasi yang
utuh tentang alasan dari keputusan itu meskipun ide perampingan kabinet
sudah lama didengungkan. Salah satu alasan yang mengemuka dari keputusan
perampingan kabinet adalah efisiensi dan efektifitas. Namun demikian,
efisiensi dan efektifitas kerja seyogyanya tetap memperhatikan tantangan dan
capaian yang seharusnya menjadi fokus dari Kabinet Kerja, bukan sekedar
persoalan anggaran.Oleh karena itu, wajar jika sebagian kalangan menganggap
keputusan penggabungan ini dipandang sebagai bentuk subordinasi
kepentingan lingkungan hidup dari kepentingan pembangunan lainnya.
Pemerintahan Jokowi-JK belum berhasil membentuk struktur
kelembagaan Kabinet Kerja yang kuat dan berintegritas.Tidak diadopsinya
masukan koalisi masyarakat sipil terkait dengan pembentukan Menteri
Koordinator Pembangunan Berkelanjutan yang mengkoordinasikan
kementerian yang membidangi agraria, penataan ruang, lingkungan hidup, dan
SDA masih menunjukkan lemahnya cara pandang Pemerintahan Jokowi-JK
dalam melihat persoalan pengelolaan agraria dan SDA. Persoalan egosektoral
dan paradigma pertumbuhan ekonomi yang selama ini mengemuka dalam
pengelolaan agraria dan SDA belum dipahami dan diterjemahkan secara baik
dalam formasi kabinet, meskipun dalam pelantikan Presiden menghimbau
untuk menghilangkan egosektoral. Bagaimana mungkin menghilangkan
egosektoral dan paradigma pertumbuhan ekonomi secara optimal jika secara
kelembagaan, kementerian yang mengelola SDA masih dimasukkan dalam
rumpun bidang perekonomian, padahal pengelolaan SDA dalm konteks
pembangunan berkelanjutan harus menjalankan 3 fungsi secara bersamaa dan
seimbang, yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan hidup.
Dari sisi integritas, pengangkatan nama-nama menteri yang duduk dalam
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
129
Kabinet Kerja sempat menuai pro-kontra mengingat masih adanya nama-nama
calon menteri yang tidak direkomendasikan oleh KPK duduk dalam Kabinet
Kerja.Sayangnya, nama-nama tersebut tidak diumumkan kepada publik
sehingga sulit untuk dimonitor.
Selain itu, hasil dari pemantauan terhadap sejumlah kementerian,
misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian
Agraria dan Tata Ruang; maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi hingga saat ini belum menuntaskan struktur
organisasi-nya menuju pemantapan fungsi. Hal lain yang patut digarsbawahi
bahwa belum ada mekanisme trobosan yang diambil oleh para menteri terkait
untuk merekam jejak calon pejabat yang akan diangkat, misalnya meminta
rekomendasi KPK dan PPATK, khususnya untuk eselon 1 dan 2. Hal yang sama
juga belum dilakukan terhadap para calon pejabat BUMN yang saat ini akan
mengalami banyak pergantian. Jika persoalan integritas ini luput dari
perhatian, maka akan sulit bagi Pemerintahan Jokowi-JK untuk membuat
perubahan secara cepat sebagaimana yang dijanjikannya.
[4]
Penegakan Hukum Belum Berefek Jera
Pada tingkat kelembagaan di pengadilan, penegakan hukum
lingkungan hidup mengalami perkembangan yang positif namun belum
diikuti oleh kelembagaan di tingkat hulu (penyidikan dan penuntutan).Sejak
tahun 2011,Mahkamah Agung RI telah menembangkan sistem sertifikasi hakim
lingkungan.Hingga tahun 2014, sistem ini telah menghasilkan sebanyak 103
hakim bersertifikat lingkungan hidup dan 80 hakim yang sedang menunggu
pengangkatan sebagai hakim lingkungan.Hal ini merupakan modal awal bagi
efektifitas penyelesaian perkara lingkungan hidup dan SDA di
pengadilan.Selain itu, dengan sistem sertifikasi tersebut dapat memberikan
harapan bagi peningkatan profesionalisme dan integritas dalam penanganan
perkara lingkungan dan SDA.Namun demikian, perbaikan kelembagaan di
tingkat pengadilan ini tentu sulit diharapkan dapat secara optimal
menghasilkan putusan-putusan yang berpihak bagi lingkungan hidup dan SDA
jika tidak diiringi oleh perbaikan di tingkat hulu, yaitu penyidikan (PPNS dan
Kepolisian) serta penuntutan (Kejaksaan).Meskipun pada tingkat ini, UKP4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
130
telah banyak menginisiasi koordinasi penegakan hukum lingkungan hidup dan
SDA serta pendekatan multidoor, namun terdapat beberapa indikasi yang perlu
dicermati: (1) perubahan kelembagaan UKP4 akan memberikan tantangan
lembaga mana yang akan lead koordinasi dalam proses penegakan hukum di
tingkat penyidikan dan penuntutan; (2) masih banyak agenda penegakan
hukum pada periode sebelumnya yang belum tuntas sehingga butuh
pengawalan. Mandegnya revitalisasi One Roof Enforcement System (ORES) yang
menempatkan pengawas, penyidik, dan penuntut dalam satu atap koordinasi –
dan merupakan mandat UU PPLH –akan sangat berkontribusi bagi pelemahan
penegakan hukum yang selama ini dirintis oleh UKP4. Selain itu, 43 kasus
prioritas yang pernah dirilis pemrintah pada bulan Mei 2013 dengan
melakukan pendekatan multidoormenyisakan agenda yang harus dituntaskan
oleh Pemerintahan Jokowi-JK.12Hingga saat ini tidak terdapat publikasi yang
memadahi terkait dengan penyelesaian kasus ini.Ditambah lagi belum adanya
kejelasan atas kasus-kasus pencemaran dan perusakan sebagai tidaklanjut yang
ditunggu-tunggu publik dari hasil program peringkat kinerja perusahaan
(Proper).Pada tahun 2013, KLH telah berkomitmen menindak 50 perusahaan
kategori hitam (2013) dan 79 perusahaan hitam (2012) namun hingga saat ini
belum ada kejelasan hasilnya.
Upaya pembaruan penegakan hukum telah menunjukkan harapan
namun menyisakan banyak tantangan baru.Dalam tahun 2014, terdapat
beberapa putusan yang mendapat cukup apresiasi publik.Sebagai contoh,
Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 177/Pdt.G/2013/PN.Mlg yang
mengakui pentingnya perlindungan bagi partisipasi masyarakat untuk
mencapai lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam perkara ini, untuk
pertama kalinya konsep Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-
SLAPP) disebutkan dalam putusan hakim. Hal ini menunjukan langkah awal
bagi pembaharuan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya perlindungan
terhadap partisipasi masyarakat.
Putusan berikutnya yang mendapat apresiasi adalah Putusan Pengadilan
Negeri Samarinda Nomor 55/Pdt.G/2013/PN.Smda.Dalam putusan ini hakim
mengakui adanya kelalaian Para Tergugat dalam melakukan pengelolaan
pertambangan batubara yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Putusan yang dikenal dengan Putusan ”Gerakan Samarinda
Menggugat” juga disebut sebagai putusan terkait perubahan iklim pertama di
Asia.
12Catatan Akhir Tahun Hukum Lingkungan Hidup 2013, ICEL, hlm. 9.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
131
Putusan lainnya yang cukup mendapatkan perhatian adalah Putusan No
12/PDT.G/2012/PN-MBO(perdata) yang mengharuskan PT Kalista Alam
membayar ganti rugi materi Rp 114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan,
Rp 251,7 miliar. Dalam putusan itu, hakim mengabulkan gugatan KLH terkait
pembakaran rawa gambut di Rawa Tripa, seluas 1.000 hektare di Desa Pulo
Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. Kalista Alam
kembali menjadi sorotan karena dalam perkara pidana, Direkurnya-Subianto
Rusyid-dihukum pidana 8 bulan kurungan dan denda 150 juta dan subsider 3
bulan akibat tuntutan pidana korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum.
Masih pada kasus yang sama yaitu PT. Kalista Alam (pidana), para
penegak hukum sudah menggunakan konsep pemidanaan korporasi yang
menjerat pelaku fungsional serta badan hukum itu sendiri. PT. Kalista Alam
diajukan ke persidangan dengan nomor perkara No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO
dijatuhi hukuman denda 3 Milyar ; Subianto Rusid selaku Direktur PT. Kalista
Alam disidangkan dengan nomor perkara No. 132/Pid.B/2013/PN.MBO
dijatuhi hukuman 8 bulan kurungan dan denda 150 juta sedangkan Ir.
Khamidin Yoesoef selaku Estate Manager Pengembangan PT. Kalista Alam
disidangkan dengan nomor perkara No. 133/Pid.B/2013/PN.MBO dijatuhi
penjara 3 tahun dan denda 3 milyar subsider kurungan 5 bulan. Putusan ini
patut diapresiasi, selain karena hukumannya juga karena telah menggunakan
konsep pidana korporasi yang jelas, menjerat pelaku fungsional/lapangan dan
badan hukum, tidak tertukar seperti kasus-kasus lain dimana pidana korporasi
yang dijerat hanya pelaku fungsional/lapangan, atau dakwaannya korporasi
tapi pidananya penjara dimana tidak memungkinkan korporasi untuk
dipenjara.
Hasil-hasil positif dari penegakan hukum tahun 2014 belum bisa
menunjukkan hasil akhir dan efek jera.Patut digarisbawahi bahwa perkara-
perkara di atas belum final dan mengikat karena para terdakwa atau tergugat
masih mengajukan upaya hukum.Oleh karena itu, tahun 2014-2015 adalah
tahun berat bagi Pemeirntahan Jokowi-JK apakah dapat mempertahankan atau
bahkan meningkatkan prestasi penegakan hukum tersebut.Bisa jadi hasilnya
sebaliknya jika Pemerintahan Jokowi-JK tidak memperhatikan perkembangan
ini.Bahkan pada periode pemerintahan baru inipun terus berulang kasus-kasus
lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan. Upaya Jokowi dan Menteri
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
132
Lingkungan dan Kehutanan untuk melakukan "blusukan asap" belum
menunjukkan hasil yang konkret.
Komitmen Pemerintahan Jokowi-JK memberantas mafia SDA belum
teruji.Meskipun Jokowi-JK telah mengkampanyekan pemberantasan mafia
SDA, namun hingga saat ini komitmen ini belum teruji. Hal ini disebabkan
oleh: (1) belum adanya kelembagaan yang mencerminkan pemberantasan mafia
SDA. Hanya Stagas Anti Illegal Fishing dan Tata Kelola Migas yang
memperlihatkan progress-nya. Sedangkan untuk isu strategis lainnya seperti
hutan, lingkungan hidup, dan pertambangan belum ada kejelasan strategi
kelembagaan yang akan dibentuk. Di tengah ketidakpastian tersebut,
sayangnya Pemerintah Jokowi-JK justru merencanakan keputusan yang
kontraproduktif, yaitu membeli asset lapindo dalam menyelesaikan kasus
semburan lumpur sidoarjo.Seharusnya Pemerintahan Jokowi-JK mengoreksi
penyelesaian tanggungjawab atas semburan lumpur ini dengan mendorong
penegakan hukum yang tegas sesuai dengan janjinya tanpa harus melupakan
tanggungjawab terhadap pemenuhan hak dan keselamatan korban lumpur.
Artinya, negara seharusnya hadir bukan dengan mengambil alih
tanggungjawab lapindo melainkan melakukan pemenuhan hak warga negara
yang menjadi korban atas nama negara, sekaligus melakukan penegakan
hukum secara tegas untuk memulihkan kerugian korban maupun negara atas
upaya yang telah dilakukannya tersebut. Jadi, rencana pembelian aset lapindo
adalah illegal karena tidak sesuai dengan maskud dan tujuan dari Putusan MK
83/PUU-XI/2013 yang justru menghendaki adanya penegakan hukum yang
serius untuk memastikan penyelesaian ganti rugi dan nondiskriminasi
terhadap mayarakat.
Grasi bagi Eva Bande, bentuk keberpihakan yang harus
dijaga.Pemberian grasi bagi Eva Bande, pejuang petani akibat konflik agraria
terkait dengan operasi perkebunan sawit pada tanggal 22 Desember 2014 patut
diapresiasi.Keputusan Presiden Jokowi ini menunjukkan keberpihakannya
terhadap penegakan hukum yang fair bagi para pejuang hak-hak
masyarakat.Namun demikian keputusan ini perlu terlembagakan dalam sistem
yang kuat mengingat banyaknya kasus serupa yang terjadi dan bisa jadi luput
dari perhatian presiden.Sebagai contoh, menurut Direktur Eksekutif Nasional
WALHI masih terdapat sedikitnya 140 aktivis yang ditahan akibat membela
kasus-kasus agraria dan lingkungan hidup.
CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014
133
REKOMENDASI
Berdasarkan catatan-catatan di atas, maka Catatan Akhir Tahun 2014 ini
merekomendasikan beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan oleh
Pemerintahan Jokowi-JK:
A. Mempercepat perbaikan tata kelola LH dan SDA melalui:
(1) Percepatan pelaksanaan mandat UU KIP oleh seluruh pemerintahan
baik nasional maupun daerah;
(2) Memperkuat mekanisme penegakan hukum maupun insentif-
disinsentif bagi pelanggaran mandat UU KIP;
(3) Mereview UU Ormas dan mengeluarkan usulan RUU Rahasia Negara
dalam Prolegnas 2015 – 2019;
(4) Memperkuat Renaksi, mekanisme insentif-disinsentif, dan pelibatan
masyarakat sipil dalam pelaksanaan Open Government Partnership
(OGP);
(5) Meningkatkan mekanisme transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas
dalam pengelolaan hutan dan lahan;
(6) Menuntaskan agenda pelaksanaan NKB 12 K/L dan moratorium izin
di bidang kehutanan;
(7) Mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup, kehutanan, dan
pertambangan; dan
(8) Mendorong perbaikan tata kelola Migas dalam revisi UU Migas
dengan memperhatikan masukan masyarakat sipil
B. Mengarahkan legislasi dan regulasi LH dan SDA melalui:
(1) Penyusunan agenda prioritas kerja dalam perumusan legislasi dan
regulasi LH dan SDA dengan memforkuskan pada perlindungan LH
dan tata kelola kehutanan, perkebunan, dan pertambangan (indistri
ekstraktif)
(2) Mempercepat penuntasan regulasi pelaksana di bawah UU PPLH
C. Menuntaskan konsolidasi kelembagaan melalui :
(1) Menyelesaikan agenda pembentukan organisasi dan tata laksana
kementerian dengan mempertimbangkan penguatan fungsi yang harus
diemban baik berdasarkan Nawacita maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
134
(2) Memperkuat mandat koordinasi kementerian dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan sebagai implikasi tidak adanya Menteri
Koordinasi yang melaksanakan fungsi ini. Mandat ini bisa diberikan
kepada Menteri Koordinasi Perekonomian dengan memperhatikan
unsur kementerian yang relevan di bawahnya; dan
(3) Mendorong adanya mekanisme penilain rekam jejak yang melibatkan
PPATK dan KPK dalam penentuan pejabat struktural kementerian serta
direktur dan komisaris BUMN.
D. Memperkuat Penegakan Hukum melalui:
(1) Mengawal dan menuntaskan perbaikan sistem dan kelembagaan
penegakan hukum di tingkat penyidikan dan penuntutan;
(2) Mengawal dan menuntaskan komitmen penanganan kasus atau
perkara yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya;
(3) Mengembangkan terobosan kelembagaan guna mempercepat upaya
menjerat mafia SDA di semua sektor SDA (hutan, tambang, kebun, dan
lingkungan), termasuk mengeluarkan keputusan tegas yang
mengoreksi penegakan hukum akibat semburan lumpur Sidoarjo; dan
(4) Mengembangkan perangkat perlindungan bagi masyarakat yang
memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup atau dikenal sebagai
Anti-Strategic Law Againts Public Participation (Anti-SLAPP).
P E N U T U P R E D A K S I
“Sudah Demokratiskah Kebijakan Hukum Lingkungan Indonesia?”
urnal Lingkungan Hidup Indonesia Volume 01 Issue 02, Desember 2014 ini
mencoba mengulas diskursus mengenai sejauh mana demokrasi
lingkungan tercermin dalam kebijakan-kebijakan hukum yang didorong
oleh pemerintah, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif dan gerangan
masyarakat sipil lainnya. Apakah demokrasi lingkungan yang secara populer
dipahami sebagai perwujudan hak tiga akses atau Prinsip 10 Deklarasi Rio,
yaitu akses terhadap informasi, partisipasi dan keadilan telah diakomodir
dalam setiap Kebijakan Hukum di bidang lingkungan dan pengelolaan sumber
daya alam Indonesia.
Tulisan pertama dari Myrna Safitri mengulas bagaimana kebijakan
hukum yang diambil pemerintah dalam melaksanakan kewenangan
penguasaan Negara atas kawasan hutan. Tulisan ini menggambarkan
kebijakan-kebijakan penetapan kawasan hutan terdahulu yang bersifat otoriter
dan tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat di dalamnya, padahal
penetapan kawasan hutan tersebut mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Kebijakan ini adalah cermin dari kurangnya keberpihakan pada pengakuan hak
dan perluasan akses rakyat pada kawasan hutan negara. Myrna berpendapat
bahwa penetapan kawasan hutan bukan semata mengejar kepastian hukum
atas status kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan
kawasan hutan itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak. Dengan kata
lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian
pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.
“Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan
kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya
percepatan pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk
mendukung adanya kawasan hutan yang berkepastian hukum dan
berkeadilan. Tulisan ini menegaskan bahwa upaya percepatan
tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan terpenuhinya
keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu
merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai
negara dalam konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak
dilakukan”
Kemudian Wahyu Nugroho dalam tulisannya mencoba menganalisa
apakah kebijakan hukum yang diambil Indonesia dalam pengelolaan sumber
daya hutan adat sudah sesuai dengan doktrin Welfare State. Dalam tulisan ini,
J
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
ix
Wahyu menekankan bahwa hak menguasai Negara sebagai konsekuensi peran
penting Negara dalam mengusahakan kemakmuran bagi rakyat tidak boleh
menegasikan eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat tradisional yang telah
ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Negara hendaknya berfungsi sebagai
fasilitator saja dengan memberi ruang gerak yang cukup bagi kesatuan
masyarakat adat ini untuk mengelola hutan adatnya masing-masing. Tulisan ini
menjelaskan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berusaha
mengembalikan fungsi pemerintah sebagai fasilitator alih-alih pemilik yang
otoriter terhadap hutan adat, putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan putusan
MK No. 35/PUU-X/2012 jelas sangat mempengaruhi arah kebijakan hukum
bidang kehutanan kedepannya.
“Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penulis terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka
kesimpulan yang diperoleh adalah konsistensi kewenangan
negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan hutan
negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam konteks
pengelolaan sumber daya alam hutan adat berpijak pada hak
menguasai negara yang dimaknai sebagai kewenangan dan
kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam hutan
dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat
adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator. Kesatuan-
kesatuan masyarakat tradisional/hukum adat (indigenous people)
merupakan bagian dari ekosistem sumber daya alam hutan adat
mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), sakral-
spiritual, budaya lokal dan peraturan bersama (tidak tertulis)
yang disepakati oleh komunitasnya memiliki hak untuk
mengelola hutan adat, tanpa adanya intervensi dari negara
ataupun swasta.”
Mengambil topik berbeda namun masih berkenaan dengan partisipasi
masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam, Nisa Istiqomah
mengangkat wacana pentingnya Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk
melindungi hak masyarakat adat dalam usaha migas. FPIC merupakan salah
satu mekanisme bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan
berpartisipasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang akan
mempengaruhi lingkungan sekitarnya, khususnya sektor migas. FPIC tidak
hanya akan bermanfaat bagi masyarakat tapi juga bagi investor migas sendiri,
dimana FPIC ini dapat meminimalisasi konflik dengan masyarakat serta salah
satu jalan bagi perusahaan untuk mendapat social license. FPIC ini merupakan
salah satu cara agar kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan
cita-cita Pasal 33 UUD 1945 justru tidak membebani sebagian kelompok
PENUTUP REDAKSI
x
minoritas yang juga merupakan bagian dari rakyat yang harus diberi
kemakmuran tersebut.
“FPIC merupakan instrumen hukum strategis yang dapat
menjadi jawaban atas permasalahan masyarakat adat
akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak
partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat;
FPIC juga dapat meningkatkan kepastian hukum bagi
investasi di sektor migas karena dapat menciptakan social
license bagi perusahaan dalam menjalankan operasinya
dan mengurangi resiko konflik sosial”
Pada artikel lain, Savitri Nur Setyorini berbicara mengenai kebijakan
hukum negara dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Savitri menyoroti
kebijakan transhipment yang diperbolehkan oleh pemerintah justru merugikan
Hak Bangsa Indonesia .
“Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa
Indonesia atas komoditas perikanan maupun dengan elemen-
elemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment
memperburuk illegal dan unreported fishing yang marak terjadi
di Indonesia, dan menimbulkan kerugian dimana ikan yang
seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat
dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi
ataupun sebagai pemasukan negara, karena telah
dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu,
maka hak bangsa Indonesia dan pembangunan berkelanjutan
bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang pun
akan terancam. “
Dalam artikel terakhir jurnal ini, Rizkita Alamanda mengangkat topik
mengenai gugatan warga negara sebagai sarana warga negara untuk
mengakses keadilan (access to justice) dalam menuntut pemenuhan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat yang dijamin dalam konstitusi Indonesia dan
merupakan kewajiban pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan hak
tersebut. Putusan Pengadilan Samarinda yang mengabulkan gugatan
perubahan iklim warga Samarinda ini diproyeksikan akan mempengaruhi arah
hukum lingkungan Indonesia kedepannya, pertama putusan ini akan
menguatkan posisi prosedur gugatan warga negara yang sebenarnya belum
diakomodir secara tegas dalam hukum acara di Indonesia, dan kedua gugatan
ini adalah gugatan mengenai perubahan iklim pertama yang dikabulkan oleh
pengadilan.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
xi
“Sedangkan di Indonesia, adanya hak konstitusional untuk
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat menjadi dasar
hukum bagi upaya gugatan terkait dampak perubahan iklim.
Sebagaimana upaya yang dilakukan oleh warga Samarinda
yang mengajukan gugatan terhadap Negara melalui
pemerintah dengan mekanisme Gugatan Warga Negara
(Citizen Lawsuit) atas dampak perubahan iklim yang
diperparah dengan banyaknya pembukaan tambang batubara.
Hal ini menunjukan adanya terobosan hukum serta
meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan
perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim dinilai sebagai
sebuah permasalahan global, namun tetap dibutuhkan upaya-
upaya lokal yang mendukung upaya global dalam
menghadapi perubahan iklim, salah satunya melalui terobosan
hukum litigasi perubahan iklim.”
Menelaah rangkaian artikel dalam jurnal ini dapat dilihat bahwa Para
Penulis banyak menekankan pada transparansi dan keterlibatan masyarakat
merupakan komponen penting yang harus diakomodasi dalam setiap kebijakan
hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Tidak hanya transparansi dan ruang partisipasi, masyarakat juga perlu diberi
ruang untuk mengakses keadilan jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut. Komponen-komponen ini merupakan indikator
pengejawantahan demokrasi lingkungan dalam kebijakan hukum yang
diterapkan di Indonesia.
xii
P E D O M A N P E N U L I S A N
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia adalah media yang diterbitkan oleh
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai upaya mempublikasikan
ide dan gagasan mengenai hukum lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya
alam. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ditujukan bagi pakar dan para
akademisi, praktisi,penyelenggara Negara, kalangan organisasi masyarakat sipil,
serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan sumber daya alam.
Prosedur Pengiriman*
Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail maupun melalui pos. Pengiriman melalui
pos disertai dengan tulisan “Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia” di sudut kiri
atas, ditujukan ke alamat berikut:
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Sementara, pengiriman melalui e-mail ditujukan ke [email protected]. Untuk
publikasi di Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Volume 02 Issue 01/ Juni/ 2015
diharapkan telah diterima Redaksi pada 1 April 2015.
Persyaratan Formil
1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif.
2. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin
kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times
New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraf,
dengan panjang naskah 4000-5000 kata.
3. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka.
4. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya
namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai
keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki.
5. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014
xiii
6. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau
catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam poin
7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.
7. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk
memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)
mengikuti ketentuan:
a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), hlm. 342 – 344;
b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-
5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;
c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der
Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),
hlm. 7;
d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15
Januari 2014;
e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,
http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.
Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:
a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:
Cambridge University Press.
b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water
Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd
Conference of the International Association for Water Law (AIDA).
Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.
c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil
Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of
British Columbia Press.
d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:
Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15
Januari 2014.
g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,
http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.
8. Identitas penulis meliputi:
a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis);
b. Nama dan alamat lembaga penulis;
c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor telepon,
handphone dan fax, serta alamat e-mail; dan
PEDOMAN PENULISAN
xiv
d. Nomor rekening bank yang masih aktif.
9. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang ditulis dalam satu alinea yang
mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, maupun
kesimpulan.
Pemilihan Tulisan*
Pemilihan tulisan dilakukan melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari peneliti
senior ICEL, staff peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan
diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan
diberikan notifikasi 1 (satu) bulan sebelum penerbitan jurnal yaitu pada bulan Mei
2015 dan merupakan hak Penulis sepenuhnya.
*) Tidak berlaku bagi Penulis Artikel Utama atau Penulis dengan Undangan dari
Sidang Redaksi.
xv
B I O G R A F I P E N U L I S
Myrna A. Safitri adalah staf pengajar hukum lingkungan di Fakultas Hukum
Universitas Pancasila, Jakarta dan sekarang menjabat sebagai Direktur
Eksekutif Epistema Institute. Ia memperoleh gelar doktor pada tahun 2010 dari
Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda untuk disertasi berjudul
Forest Tenure in Indonesia; The socio-legal challenges of securing communities’ rights.
Selain mengajar, ia aktif dalam gerakan pembaruan hukum lingkungan dan
sumber daya alam dan terlibat dalam proses perumusan dan pemantauan
kebijakan yang ada di sejumlah kementerian dan lembaga negara seperti
Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Penulis dapat dihubungi
melalui alamat e-mail: [email protected].
Wahyu Nugroho, lahir di Wonogiri, 20 Juni 1986, menyelesaikan pendidikan
Sarjana Hukum Islam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang
tahun 2009. Penulis terpilih sebagai penerima Beasiswa Unggulan Kementerian
Pendidikan dan kebudayaan RI pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang dan selesai tahun 2011. Mantan aktivis
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang ini semenjak mendalami
ilmu hukum di almamater pascasarjananya aktif dalam forum diskusi
komunitas Kaum Tjipian pemikiran Satjipto Rahardjo sampai menyentuh ke
ranah filsafat hukum dan postmodernisme. Pengajar muda ini pernah
memenangkan Hibah Penelitian Dosen Pemula oleh DIKTI tahun anggaran
2012 tentang “Konsistensi Political Will Pemerintah RI pasca Ratifikasi HAM
Internasional”. Pekerjaan penulis sekarang adalah staf peneliti Satjipto Rahardjo
Institute, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta dan Staf Ahli
Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik
Indonesia.Penulis gemar berdiskusi seputar sosiologi hukum, teori hukum dan
filsafat hukum dalam jagad penegakan hukum di Indonesia. Penulis dapat
dihubungi melalui email: [email protected]
Nisa Istiqomah Nidasari menyelesaikan studi hukum di Universitas Indonesia
pada tahun 2011. Semasa kuliah ia aktif di bidang sosial kemasyarakatan
dengan menjadi guru bahasa inggris untuk anak-anak jalanan yang bersekolah
di Yayasan Bina Insan Mandiri, Depok. Tidak hanya itu, dengan grant dari
Program Wirausaha Mahasiswa UI Young and Smart Entrepreneur Program, ia
mendirikan bisnis kreatif yang memberdayakan anak-anak dengan kondisi
ekonomi yang kekurangan. Keinginannya untuk bermanfaat bagi masyarakat
xvi
luas membuatnya melepas karir sebagai corporate lawyer di sebuah law firm di
Jakarta untuk menjadi peneliti di Indonesia Center for Environmental Law
(ICEL). Sejak bergabung di ICEL, ia banyak melakukan riset dan advokasi di
bidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) antara lain: 1) menjadi fasilitator
dalam berbagai training pengembangan kapasitas bagi masyarakat sipil dan
pemerintah daerah; 2) co-writer dalam penulisan buku “Catatan Masyarakat
Sipil Terhadap Kinerja Komisi Informasi Pusat (KIP) 2009-2013” dan “Roadmap
KIP 2013-2017”. Saat ini ia sedang mendalami isu tata kelola industry ekstraktif
dan menjadi salah satu tim perumus revisi UU Migas versi masyarakat sipil
bersama dengan koalisi Publish What You Pay Indonesia. Penulis dapat
dihubungi melalui email: [email protected]
Savitri Nur Setyorini lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
mendapat gelar S.H., pada Agustus 2013. Saat ini sedang melanjutkan studi
Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, dengan Peminatan Hukum Sumber Daya Alam. Selain itu, ia juga
aktif sebagai salah satu Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat
dihubungi melalui email [email protected].
Rizkita Alamanda lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada
bulan Agustus 2012 dengan program kekhususan Hukum Internasional.
Penulis sangat tertarik pada isu perubahan iklim. Komitmennya yang kuat
dalam memperjuangkan lingkungan membuat ia tertarik bergabung menjadi
salah satu pejuang lingkungan bersama ICEL. Sejak bergabung di ICEL ia
mendapat kesempatan untuk terlibat dalam gugatan warganegara terhadap
dampak perubahan iklim yang diajukan oleh warga Kota Samarinda dan warga
Riau.Selain fokus pada isu perubahan iklim, ia juga aktif dalam isu industry
ekstraktif yang saat ini memiliki agenda utama dalam Revisi UU Migas. Penulis
dapat dihubungi melalui email [email protected] .