Upload
marmutkupluk1396920
View
15
Download
3
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bagi yang ingin translete jurnal silahkan hubungi via email [email protected].. Thx
Citation preview
Hasil trabeculectomy ulang disertai pemberian mitomycin C pada
glaukoma sudut terbuka primer dan glaukoma PEX selama 2
tahunLinda M. Meyer, Natascha E. Graf, Sebastian Philipp, Marie T. Fischer, Katharina Haller, Peter Distelmaier, Carl-
Ludwig Schönfeld
Herzog Carl-Theodor Eye Clinic, Munich - Germany
ABSTRAK
Tujuan : Untuk memantau efekftifitas dari trabeculectomy berulang dengan pemberian
mitomycin C (MMC) yang disesuaikan berdasarkan faktor resiko yang ada pada pasien
dengan primary open-angle glaucoma (POAG) dan pseudoexfoliation glaucoma (PEXG)
selama 2 tahun
Metode: Total 58 pasien (43 dengan POAG, 15 dengan PEXG) yang melakukan operasi
trabeculectomy berulang dengan MMC akan dimasukkan dalam penelitian retrospektif ini.
Waktu pemberian MMC 0.3 mg/mL akan disesuaikan berdasarkan protokol standar yang ada.
Hasil utama yang diukur adalah best-corrected visual acuity (BCVA), penurunan tekanan
intraocular (intraocular pressure [IOP]), tingkat kebehasilan operasi (kriteria dijelaskan
sebagai kriteria A : IOP ≤21 mmHg dan penurunan IOP≥20%; B = IOP ≤ 18 mmHg dan
penurunan IOP ≥30%; C : IOP ≤15 mmHg dan penurunan IOP ≥40% dari nilai awal), jumlah
pemberian obat pada awal penelitian, 3 bulan, dan 2 tahun setelah operasi.
Hasil : BCVA tetap stabil selama 2 tahun setelah pembedahan (0.47 ± 0.47 pada awal, 0.49 ±
0.64 logMAR unit setelah 2 tahun). Nilai rata-rata penurunan IOP dari 22.2 ± 7.0 mmHg
pada awal menjadi 12.7 ±3. mmHg pada bulan ketiga dan 12.9 ±4.3 mmHg setelah 2 tahun
operasi. Tingkat keberhasilan untuk kriteria A adalah 75.4%, kriteria B 66.6%, dan krteria C
45.6%. Tingkat kesuksesan sempurna adalah 42.0%, 37.5%, dan 32.1%. Setelah 2 tahun
dilakukan trabeculectomy berulang, nilai rata-rata IOP menurun hingga 38.8%, dan jumlah
obat yang digunakan mengalami penurunan yang bermakna.
Kesimpulan : Trabeculectomy berulang dengan pemberian MMC terbukti berhasil untuk
mengurangi IOP pada pasien dengan POAG dan PEXG dan dapat secara aman mengurangi
penggunaan obat antiglaukoma hingga 2 tahun setelah pembedahan
Kata Kunci : Kegagalan Bleb, Operasi Glaucoma, dosis Micomycin C, Trabeculectomy
berulang.
Pendahuluan
Trabeculectomy sudah menjadi baku emas (gold standar) untuk operasi glaukoma sejak
diperkenalkan di tahun 1967. Namun, tingkat kegagalan kumulatif jangka panjang
trabeculectomy, yang disebabkan oleh pembentukan fibrosis pada permukaan antara
episclera-conjunctiva menjadi masalah tersendiri. Bleb scarring menjadi salah satu alasan
utama sehingga terjadi penurunan kontrol dari tekanan intraocular (intra-ocular pressure
[IOP]) jangka panjang setelah dilakukan trabeculectomy. Pembentukan fibrosis pada jaringa
subconjunctiva dan episcleral juga berperan dalam peningkatan fibroblast subepital
conjuctiva yang terstimulasi setelah dilakukan intervensi pembedahan pada conjunctiva.
Karakteristik penyembuhan luka yang beragam pada tiap individu menjadi alasan utama jika
terjadi kegagalan filtering pada saat pembedahan, yang merupakan faktor resiko yang
menyebabkan prognosis buruk seteah dilakukan trabeculectomy berulang. Pembedahan
glaukoma lanjutan sering menjadi pilihan satu-satunya untuk pasien yang mengalami
refrakter terhadap pemberian obat-obatan, setelah dilakukan trabeculectomi pertama, bahkan
dengan adanya resiko terjadinya kegagalan bleb yang tinggi.
Pengenalan terhadap mitomycin C (MMC) semakin membaik, namun masih belum bisa
menyelesaikan masalah terkait fibrosis subepitel –terutama fibrosis ynag terjadi pada
trabeculectomy berulang – dan masih ada kendala terhadap pemberian dosis MMC yang
sesuai. Walaupun banyak faktor resiko yang diketahui untuk kegagalan bleb, seperti operasi
mata sebelumnya termasuk operasi phacoemulsi, etnis, durasi dan jumlah penggunaan obat
antiglaukoma lokal, dan inflammasi intraocular, tidak ada faktor resiko standar – yang
diadaptasi protocol terhadap penggunaan antimetabolie MMC.
Berdasarkan pencarian literatur yang dilakukan peneliti, beberapa penelitian jangka
panjang yang memantau hasil dari pembedahan filtrasi berulang dengan menggunakan MMC
sudah pernah diterbitkan. Dua penelitian yang membandingkan efektifitas dari pembedahan
trabeculectomy awal versus berulang, mempunyai hasil bahwa trabeculectomy berulang
terbukti kurang efektif dibandingkan operasi awal. Pembedahan alternatif untuk
trabeculectomy berulang mata mata yang sudah mendapatkan pembedahan sebelumnya,
seperti pemasangan impan glaucoma Baerveldt, menunjukkan tingkat kesuksesan
pembedahan yang lebih tinggi dan tingkat resiko dilakukannya operasi ulang yang lebih
rendah, berdasarkan analisa 5-tahun dari sebuah penelitian prospektif yang meneliti
pemasangan tube versus trabeculectomy (tube vs trabeculectomy [TVT]). Namun, tidak ada
efek yang terbukti lebih baik dalam penurunan IOP dan analisis sub-kelompok yang
dilakukan pada pasie pada penelitian TVR dan menerima operasi trabeculectomy berulang
dengan penambahan MMC masih terbatas dengan ukuran sampel yang relatif sedikit.
Karenanya, pengamatan terhadap keberhasilan bedah dari pembedahan filtrasi berulang
dengan apilasi MMC standar sangat dibutuhkan.
Peneliti akan menganalisa efektifitas dari operasi trabeculectomy berulang ditambah
dengan pengamatan faktor resiko – yang disertai dengan pemasangan MMC pada pasien
dengan glaukoma sudut terbuka primer (primary open-angle glaucoma [POAG]) dan
pseudoexfoliation glaucoma (PEXG) selama periode observasi 2 tahun.
Metode dan Bahan
Pasien
58 mata dari 58 pasien (usia rata-rata 72.8 tahun; 31 pria, 27 wanita) yang sudah
melakukan trabeculectomy berulang disertai pemasangan MMC berdasarkan protokol
administrasi standar di Herzog Carl Theodor Eye Clinic antara Juni 2009-Januari 2012 akan
dimasukkan ke dalam penelitian dan diikuti minimal selama 2 tahun. 43 dari pasien yang
dimasukkan ke dalam penelitian mempunyai diagnosa POAG dan 15 dengan PEXG tidak
terkompensasi. Semua pasien yang sudah mendapatkan trabeculectomy awal dengan MMC
dalam waktu 1 tahun sebelum operasi ulang dan mengalami kegagalan bleb, didefinisikan
kejadian yang terjadi pada bulan pertama post-operatif, yang diakibatkan fibrosis dan scarring
subconjunctiva atau episklera.
Kriteria ekslusif adalah tipe glaucoma selain POAG dan PEXG, aphakia, riwayat
adanya operasi retina atau kornea melalui jalur conjunctiva, dan periode follow-up yang
kurang dari 24 bulan. Persetujuan etis sudah didapatkan dari Komite Etik Universitas Ludwig
Maximilians, Munich (Protocol 152-13). Informed consent diambil dari setiap pasien.
Pengumpulan data dilakukan berdasarkan panduan dari penelitian Guildelines on Design and
Reporting of Glaucoma Surgical dan semua prosedur dilakukan berdasarkan prinsip Good
Clinical Practice dan Deklarasi Helsinki di tahun 1975.
Semua operasi dilakukan oleh dokter berpengalaman yang sama (N.E.G.). Indikasi
untuk pembedahan glaucoma dibertimbangkan berdasarkan (1) kontrol IOP yang tidak bagus
dan/atau (2) gangguan lapangan pandang (visual field [VF]) akibat glaucoma atau
peningkatan kerusakan optic disc walaupun sudah diberikan obat antiglaucoma yang
diberikan oleh spesialis mata yang menangani.
Untuk setiap pasien, data pre-operatif akan dikumpulkan dari rekam medis: jenis
kelamin, usia, etnis, penyakit ocular yang menyertai sebelum atau pada saat operasi, riwayat
pembedahan glaucoma sebelumnya dan pengobatan laser, periode antara trabeculectomy
pertama dan kedua, adanya trauma ocular, riwayat neurodermatitis, ketajaman penglihatan
paling baik setelah dikoreksi (Best-corrected visual acuity [BCVA]), preoperatif, IOP
preoperatif berdasarkan pemeriksaan Goldman applanation tonometry (nilai dasar IOP: nilai
rata-rata dari 3 pembacaan IOP pada jam yang berbeda di hari yang sama, dan dilakukan
setidaknya dalam 2 hari yang terpisah, namun masih pada bulan yang sama sebelum
dilakukan pembedahan), penebakan kornea central, gangguan lapangan pandang, dan jumlah
obat glaukoma dengan zat aktif serta durasi penggunaan obat. Data intraoperatif yang
dikumpulkan termasuk tanggal pembedahan, kosentrasi dan durasi MMC, dan komplikasi
intraoperatif. Data postoperatif yang dikumpulkan adalah semua kunjungan postoperatif
termasuk penilaian BCVA, IOP, durasi follow-up, jumlah obat yang digunakan, komplikasi
postoperatif, lisis penjahitan laser (laser suture lysis), dan prosedur lainnya yang dilakukan
setelah trabeculectomy.
Pengukuran Hasil
Hasil utama yang dikukur adalah BCVA yang digambarkan dalam logarithm of the
minimum angle of resolution (log MAR), IOP postoperatif, tingkat keberhasilan operasi, dan
jumlah obat antiglauoma yang diberikan (zat aktif). Interval observasi adalah nilai dasar yang
diambil, setelah interval postoperatif atau sekitar 3 bulan (dijelaskan sebagai interval hingga
3 minggu setelah penghentian pemberian tetes mata prednisolone), dan 2 tahun setelah
trabeculectomy berulang.
Hasil dari operasi filtrasi akan dinilai berdasarkan nilai kontrol IOP post-operatif. Tiga
kriteria kesuksesan pembedahan akan dijelaskan berdasarkan panduan European Glaucoma
Association dan panduan dari World Glaucoma Association sebagai tekanan target untuk
kerusakan ringan, sedang, dan lanjut/berat.:
Kritera A untuk deviasi lapangan pandang ringan: IOP≤21 mmHg dan penurunan
IOP≥20% dari nilai awal
Kriteria B untuk deviasi sedang: IOP ≤18 mmHg dan penurunan IOP ≥30% dari nilai
awal
Kriteria C untuk deviasi lanjut/berat: IOP ≤15 mmHg dan penurunan IOP ≥40% dari
nilai awal
Kesuksesan sempurna (Complete) dari operasi dijelaskan sebagai tercapainya
pengendalian IOP tanpa pemberian obat glaucoma dan sukses (qualified success) tercapai
jika pasien membutuhkan obat glaukoma. Hypotony ocular dijelaskan apabila terjadi IOP
dibawah 6 mmHg dan kegagalan dijelaskan apabila terjadi peningkatan nilai IOP diatas batas
atas atau penurunan dibawah batas bawah yaitu 6 mmgHg pada 2 kunjungan penelitian.
Kegagalan sempurna (complete failure) dijelaskan apabila terjadi kejadian hilangnya persepsi
cahaya yang diakibatkan glaukoma, atau kebutuhan untuk dilakakukan intervensi operasi
glaucoma lanjutan.
Teknik Pembedahan
Setelah diberikan anestesia peribulbar dengan 1:1 bupivacaine 0.5%, mepivacaine 0.5%
dan hyaluronidase 3 IE/ml, mata akan dibersihkan dan dipersiapkan.
3-0 silk superior rectus traction suture 9Ethicon, Bridewater, New Jersey, USA) akan
dipasang. Flap kedua di superior limbus-melalui conjunctiva dengan lebar 13-15 mm akan
disiapkan kira-kira 6-10 mm dari limbus dengan penambahan jalur bawah (undermining)
pada conjunctiva yang berdekatan dengan sudut 150◦. Limbal adherence dari tenon capsule
akan dipotong sepanjang 6-8 mm dengan menggunakan gunting. Tenon capsule kemudian
didiseksi dengan memotongnya pada satu sisi dari pembukaan conjunctiva dan merobeknya
ke arah lain. Sisa dari jaringan tenon kemudian akan dibuang, sehingga hanya meninggalkan
lapisan tipis dari tenon capsule. Jaringan episcleral yang longgar akan dibuang, dan dilakukan
wet-field cautery di bagian yang mengalami perdarahan dan disekitar daerah yang direncakan
untuk diinsisi. Flap berukuran 4r4-mm lamellar partial thickness scleral akan dipersiapkan.
Fistel trabeculectomy akan ditetpanasi dengan menggunakan 1.5 mm punch (Schmidt-Mumm
tube-punch, Geuder AG, Heidelberg, Jerman). Iredectomy perifer akan dilakukan melalui
sclerectomy.
Flap sklera kemudian akan ditutup dengan menggunakan 4 jahitan tunggal buried
dengan benang 10-0 nylon (hitam, monofilamen [Alcon Laboratories, Fort Worth, Texas,
USA]). Dua jahitan akan ditempatkan di sudut dari flab dan satu di bagian dekat limbus di
kedua sisi.
Untuk mencegah peningkatan tekanan IOP ekstrim setelah operasi, ketegangan dari
jahitan nylon akan disesuaikan dengan mengisi setidaknya 5 cc balanced salt solution (BSS)
melalui parasintesis. Setelahnya, tekanan IOP akan segera diukur dengan menggunakan
tonometri Schiotz. Jika IOP dibawah 40 mmHg, jahitan nilon tambahan akan dipasang. Jika
IOP diatas 50 mmHg, peneliti akan melonggarkan jahitan dengan 2 forceps. Swab cellulose
(Sugi, REF 30601, Kettenbach GmbH, Eschenburg, Jerman) akan dipotong menjadi sponge
dengan ukuran 1e110 mm dan akan direndam dengan MMC 0,3 mg/ml, diletakkan pada flab,
dan menutupi conjunctiva. Mata kemudian akan diirigasi dengan 5 cc BSS untuk
menghilangkan MMC dari permukaan mata. Untuk meningkatkan paparan MMC,
conjunctiga akan digerakkan dengan ke arah atas dan bawah dengan menggunakan gunting
tumpul (“pumping”). Semua manuver akan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk
mencegah adanya aliran MMC ke mata. Durasi dari pemakaian MMC ditentukan berdasarkan
pengalaman preoperatif pada setiap faktor resiko belb failure pada setmua pasien (Tab I).
Durasi pemasangan MMC pada 58 pasien adalah : 4 menit (n=4), 3.5 menit (n =7), 3 menit (n
= 15), 2.5 menit (n = 18), 2 menit (n = 12), 1.5 menit (n = 1), 1 menit (n = 1).
Setelah mengeluarkan sponge, mata dan rongga subconjunctiva akan diiragi dengan
BSS. Flap conjunctiva akan terus dijahit dengan benang 9-0 polyglactin 910 (Vicryl) suture
(Ethicon), dan luka akan diperiksa ulang untuk melihat adanya kebocoran dengan cara
menginjeksi BSS ke COA melalui parasintesis. Kebocoran conjuntiva akan ditutup dengan
jahitan tunggal menggunakan benang 10-0 nilon. Penambahan 2 mg dexamethason sodium
phosphate dan 37.5 mg cefuroxime akan diinjeksikan secara subconjunctiva. Terakhir, salep
deksametason/neomisin/polimisin B akan diberikan, dan mata akan ditutup.
Pengobatan Postoperatif
Pada awal periode postoperatif, tetes mata deksametason/neomisin/polimisin B akan
diberikan setiap 2 jam untuk 3 minggu awal, kemudian 5 kali perhari, dan dikurangi menjadi
1 tetes perhari untuk setiap minggu selanjutnya. Setelah 11 minggu, pemberian steroid akan
dihentikan. Pada kasus terjadinya penutupan bleb (ditunjukkan dengan adanya peningkatan
vaskularisasi dan/atau kurangnya IOP setelah dilakukan palpasi digital pada bagian mata
bawah), frekuensi pemberian steroid akan ditingkatkan menjadi 1x per jam selama 3 hari.
Laser suture lysis akan dilakukan jika pemberian steroid topikal perjam tidak
meningkatkan aliran atau jika tekanan target tidak tercapai dalam waktu 3 minggu setelah
dihentikannya terapi steroid postoperatif. Laser suture liysis akan dilakukan pada saat itu
juga (dimulai dari penjahitan limbal) dan yang kdua dilakukan jika 1 minggu kemudian
tekanan target tidak tercapai. Tidak ada pemberian antimetabolite atau bleb needling yang
dilakukan postoperatif.
Analisa Statistik
Dengan mempertimbangkan jumlah sampel, tingkat kemaknaan penelitian ditetapkan
menjadi 0,05 dan koefisien confidence menjadi 0.95. Analisa statistik dilakukan dengan
menggunakan software SPSS (Versi 21.0, SPSS, Chicago, Illionois USA).
Hasil
Ketajaman Penglihatan
Nilai rata-rata BCVA ±SD adalah 0,47 ± 0.47 logMAR unit sebagai nilai awal, 0.41 ±
0.38 logMAR unit setelah operasi, dan 0.49 ± 0.64 logMAR unit setelah 2 tahun. Tidak
terdapat adanya perbedaan bermakna (p = 0.45) dinatara nilai awal dan pemantauan BCVA
pada periode observasi dalam waktu 2 tahun.
Tekanan Intraocular
Nilai rata-rata IOP pada awal penelitian adalah 22.2±7.0 mmHg. Nilai rata-rata IOP
setelah operasi menurun hingga 12.2 ± 3.1 mmHg (-40.5%) dan setelah 2 tahun terjadi
rebound minimal dan terjadi peningkatan menjadi 12.9 ± 4.3 mmHg (-38.8% dari nilai awal).
Penurunan IOP setelah oprasi dan akhir observasi menunjukkan kemaknaan secara statistik
jika dibandingkan dengan nilai awal (Gambar 1). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
penurunan IOP yang ditemukan pada pasien POAG dan PEXG pada analisa sub-kelompok.
Kesuksesan Operasi
Dengan mengaplikasikan kriteria A, B, dan C berdasarkan kerusakan VF individual
dari pasien, tingkat kesuksesan operasi adalah 75.4%, 66.6%, dan 45.6%, scara berurutan,
pada akhir observasi penelitian. Secara keseluruhan, tingkat keuksesan operasi yang dicapai
adalah 42.9% untuk kriteria A, 37.5% untuk kriteria B, dan 32.1% untuk kriteria C. Tingkat
kesuksesan untuk kriteria A, B, dan C akan ditampilkan di Tabel II dan dibandingkan dengan
data yang sudah dipublikasikan sebelumnya. 14 dari 58 pasien dikatakan sebagai gagal
(24.1%) (Tab III). Tidak ada kegagalan total yang terjadi pada kelompok penelitian.
Scattergram dengan garis batas akan diberikan untuk meninjau jumlah penurunan IOP pada
pasien dengan trabeculectomy berulang (Gambar 2).
Jumlah obat
Penurunan nilai rata-rata dari jumlah obat yang diberikan dan diamati pada saat periode
post-operatif selama 2 tahun setelah trabeculectomy berulang. Nilai rata-rata jumlah
pemberian obat pada awalnya adalah 2.3 ± 0.8. Setelah operasi, jumlah obat menunjukkan
penurunan bermakna ke 0.2 ± 0.7 (p < 0.05) dan setelah 2 tahun jumlah zat aktif per pasien
adalah 0.84 ± 1.0 (p< 0,05). Seperti yang ditampilkan di Gambar 3. Persentase pasien yang
tidak menggunakan obat meningkat dari 5.1% sebelum dilakukan trabeculectomy berulang
menjadi 93.2% setelah dilakukan intervensi pembedahan (Gambar 3). Dua tahun setelah
dilakukan trabeculelctomy berulang, 56.8% dari semua pasien tidak perlu lagi menggunakan
obat untuk menurunkan IOP (Gambar 3).
Komplikasi Operasi
Komplikasi intraoperatif dan perioperatif akan dipantau untuk semua kasus operasi, dan
tidak ada komplikasi yang dilaporkan. Komplikasi postoperatif adalah hypotony pada periode
awal postoperatif pada 5 pasien (8.6%) dan hyphema pada 2 pasien (3.4%).
e
Pembahasan
Masih terdapat perdebatan terkait efektifitas dilakukannya trabeculectomy berulang
pada pasien glaukoma yang sudah mengalami bleb failure setelah prosedur operasi filtrasi
yang dilakukan sebelumnya. Saat ini, hasil dari penelitian TVT mendukung penggantian pola
praktik untuk ahli bedah glaukoma kepada penggunaan tube shunt pada pasien dengan
riwayat operasi ocular sebelumnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa trabeculectomy
berulang dengan MMC, yang diberikan berdasarkan protokol yang disesuaikan dengan faktor
resiko, dapat menjadi pilihan pengobatan yang sangat efektif untuk menurunkan IOP pada
pasien dengna POAG dan PEXG hingga 2 tahun setelah operasi atau lebih.
Penurunan IOP
Keberhasilan dalam mengendalikan IOP setelah trabeculectomy berulang yang
ditunjukkan dalam penelitian ini juga serupa dengan penelitian lainnya di New Zealand.
Namun, periode follow-up dari penelitian Olali et al hanya dibatasi hingga 12 bulan karena
adanya prosedur filtrasi yang kedua. Beberapa penelitian jangka panjang lainnya yang
membandingkan hasil dari trabeculectomy berulang dan awal juga menyimpulkan bahwa
trabeculectomy yang kedua tidak menunjukkan tingkat kesuksesan yang berarti dalam
penrunan IOP dibandingkan pada operasi awal. Law et al melaporkan tingkat kesuksesan
opeorasi mencapai 41.3% untuk operasi berulang dan 61.3% untuk operasi awal dalam
penelitian retrospektif dengan periode follow-up 3 tahun. Di bawah kriteria penurunan IOP
yang lebih baik, dan dipalikasikan ke dalam penelitian ini, tidak telriaht adanya perbedaan
yang bermakna secara statistik pada kedua kelompok.
Pada konteks ini, penelitian ini dapat dijadikan bukti untuk penjelasan definisi dari
kriteria keberhasilan pembedahan yang mempunyai dampak besar terhadap hasil dari
penelitian glaucoma. Hal yang sama juga dilaporkan terkait kriteria keberhasilan setelah
dilakukan pembukaan bedah dari kegagalan bleb atau operasi di tempat yang sama. Disini,
penulis melaporkan tingkat kesuksesan operasi dari 64%, namun hanya berdasarkan
pengendalian IOP dari 18 mmHg atau kurang.
Untuk mengatasi keterbatasan metodologi dari tipe kriteria keberhasilan operasi yang
berbeda dan membantu pembandingan data kualitatif dan kuantitatif, peneliti menganalisa
hasil penelitian ini berdasarkan tingkat kesuksesan dari kriteria A, B, dan C, dan
menambahkan aplikasi kriteria keberhasilan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya
terhadap operasi trabeculectomy. Data pembanding akan disimpulkan di Tabel II bersamaan
dengan data pemakaian MMC regimen.
Kriteria keberhasilan operasi yang diaplikasikan dalam penelitian ini diambil dari
panduan international untuk kerusakan glaukoma derajat ringan, sedang dan berat (IOP ≤ 21
mmHg dan penurunan IOP ≥20% dari nilai awal; IOP ≤18 mmHg dan penurunan IOP ≥30%
dari nilai awal; IOP ≤15 mmHg dan penurunan IOP ≥40% dari nilai awal). Bahkan setelah
menggunakan kriteria keberhasilan yang ketat ini untuk penilaian dalam penurunan IOP,
hanya 75.4% mata yang mendapatkan trabeculectomy berulang yang berhasil tanpa adanya
gangguan ketajaman penglihatan dalam 2 tahun setelah pembedahan. Tabel II menunjukkan
bahwa tingkat kesuksesan ini dapat dibandingkan dengan kelompok serupa lainnya
(trabeculectomy awal vs berulang) dan serupa dengan tingkat kesuksesan dari trabeculectomy
awal dan pemasangan MMC. Hasil ini menunjukkan bahwa trabeculectomy berulang dengan
faktor resiko – dengan menambahkan MMC., seperti yang ditampilkan disini, dapat menjadi
pilihan jenis pembedahan pada pasien yang sudah pernah mengalami kegagalan dalam
operasi filtering. Hasil ini tergantung dari regimen MMC yang digunakan, dan masih
diperkirakan berdasarkan faktor lainnnya yang terlibat dalm keberhasilan opasi, seperti
kemampuan ahli bedah dan pengalamannya, serta keinginan pasien untuk mematuhi
perawatan post operatif.
Selain itu, adanya penurunan IOP dalam 2 tahunsetelah trabeculectomy berulang juga
dapat dibandingkan dengan hasil dari penelitian TVT dengan nilai rata-rata IOP 12.9 vs 12.1
mmHg dalam waktu 2 tahun setelah pembedahan. Namun informasi yang dapat membantu
dalam mengetahui efisiensi dari trabeculectomy berulang dengan penambahan MMC pada
analisa subkelompok dalam penelitian TVT masih terbatas. Pada penelitian TVT prospektif,
pasien dengan glaucoma tidak terkontrol yang dimasukkan ke penelitian dan melakukan
berbagai tipe operasi ocular sebelumnya termasuk ekstraksi katarak dan/atau kegagalan
operasi filtering. Hanya 14 pasien dengan TVT trabeculectomy (total n = 105), yang
menerima trabeculectomy berulang dengan penambahan 0,4 mg/ml mitomycin selama 4
menit, dan melakukan trabeculectomy dengan MMC yang gagal dan langsung dibandingkan
dengan 58 pasien dalam penelitian ini.
Adanya kelemahan dalam penelitian ini dikarenakan rancangannya yang bersifat
retrospektif. Bisa saja terjadi bias dalam pola penanganan mata pasien dengan trabeculectomy
berulang, cthnya pengobatan postoperatif individual dapat mempengaruhi keberhasilan hasil
operasi dalam beberapa tahapan. Selain itu, perbandingan langsung untuk MMC regimen
terhadap penelitian lainnya masih terbatas, dan informasi yang membandingkan dosis MMC
dalam satu kosentrasi dan paparan waktunya masih tergolong kurang. Namun, penelitian ini
tergolong unik dalam hal pemantauan hasil trabeculectomy berulang yang dilakukan hanya
dengan satu ahli bedah berpengalaman berdasarkan persiapan intraoperatif (dosis MCC) dan
penanganan post-operatif, yang dapat mengurangi terjadinya bias interindividual dalam
operasi dan post-operasi.
Pertanyaan yang paling penting dalam rencana penanganan mata setelah kegagalan
trabeculectomy awal juga maish diperdebatkan. Hasil dari penelitiN TVT mendukung untuk
penggantian pola praktisi diantara ahli glaucoma menjadi penggunaan tube shunt pada pasien
yang sudah pernah dioperasi mata sebelumnya. Namun, penulis menekankan bahwa
pembedahan tube shunt dan trabeculectomy disertai MMC merupakan pilihan pembedahan
untuk mengobati mata pasien dengan glaukoma tidak terkontrol. Berdasarkan hasil penelitian
ini, trabeculectomy dengan menggunakan MMC dan mempertimbangkan MMC regimen
dapat menjadi pilihan pengobatan efektif pada pasien dengan resiko rendah yang mengalami
POAG dan PEXG dan dapat membantu penurunan dalam konsumsi obat antiglaukoma lokal
hingga 2 tahun lebih.