142
J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010) Vol. 6, No. 2, Juni 2010 Akreditasi: No 816/D/08/2009 BOGOR, INDONESIA JURNAL BIOLOGI INDONESIA ISSN 0854-4425 Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153 Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 2006 Onrizal 163 Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo 173 Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah 185 Plant- β Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko 195 Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka 211 Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto 225 JURNAL BIOLOGI INDONESIA ISSN 0854-4425

jurnal biologi indonesia nhaaa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

Vol. 6, No. 2, Juni 2010

Akreditasi: No 816/D/08/2009

BOGOR, INDONESIA

JURNALBIOLOGIINDONESIA

ISSN 0854-4425

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani

153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006 Onrizal

163

Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo

173

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah

185

Plant- β Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko

195

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka

211

Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto

225

JURNALBIOLOGIINDONESIA

ISSN 0854-4425

Page 2: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)

Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia.Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologiyang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember).

Editor Pengelola

Dr. Ibnu MaryantoDr. I Made Sudiana

Dr. Anggoro Hadi PrasetyoDr. Izu Andry Fijridiyanto

Dewan Editor Ilmiah

Dr. Abinawanto, F MIPA UIDr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB

Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIPDr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya

Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPIDr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED

Dr. Parikesit, F. MIPA UNPADProf. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia

Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, MalaysiaDr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB

Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRADDrs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPIDr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Alamat RedaksiSekretariat

Oscar efendi SSi MSid/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI

Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056Fax. (021) 8765068

Email : [email protected] : http://biologi.or.id

Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

Page 3: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

OBITUARI

Pada tanggal 20 Februari 2010, redaksi Jurnal BiologiIndonesia telah kehilangan seorang Editor Pengelola Dr.ANGGORO HADI PRASETYO yang menghadapIlahi pada usia 39 tahun 6 bulan. Dr. Anggoro H.Prasetyo adalah staf Puslit Biologi LIPI, seorang ahlitaksonomi rayap yang diperkirakan merupakan generasimuda satu-satunya yang mempelajari kelompokserangga tersebut. Sebelum meninggalkan kita semua,beliau dengan penuh semangat telah mengkoreksi isijurnal ini berikut saran-saran yang harus diperbaiki.Dr.Anggoro H.Prasetyo meninggalkan seorang istri Dr.Marlina ARDIYANI, yang bekerja di Puslit BiologiLIPI dalam bidang taksonomi tumbuhan dari taksonZingiberaceae, serta dua orang anak laki laki (M.Ammar Zaky dan M. Zuhdi Ali) dan dua anakperempuan (Anisa Zahra dan Aisyah Zafrina Aini).

Page 4: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia edisi volume 6 nomer 2 tahun 2010 yaitu memuat 11artikel lengkap dan sebuah artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangatberagam yaitu dari Departemen Kementerian Kehutanan, Pertanian, Fakultas MIPAIPB, Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas. MIPA Universitas Indonesia, FakultasPertanian Universitas Sumatra Utara, Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor, PusatPenelitian Limnologi-LIPI Bogor dan Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Topikyang dibahas pada edisi ini meliputi empat topik dalam bidang Botani, dua topiktentang mikrobiologi satu topik mengenaik hasil perombakan bakteri dan bahanorganik lainnya dan lima topik dalam bidang zoologi

Beragamnya penulis pada edisi ini yang membahas tiga topik utama yaituZoologi, Botani dan Mikrobiologi diharapkan semakin banyak keragaman pembacadan akhir kata yang diharapkan dari editor jurnal ini akan semakin banyak penulisyang berkeinginan membagi hasil karya penelitiannya dengan menulis ke dalamJurnal Biologi Indonesia.

Editor

Page 5: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepadapara pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 2, Juni 2010:

Dr. Niken TM. Pratiwi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPBIr. Majariana Krisanti MSi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPBOnrizal MSi, Universitas Sumatra UtaraDr.Tike Sartika, Balitnak, Departemen Pertania, Ciawi bogorDr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPIDrs. Edi Mirmanto MSc, Puslit Biologi-LIPIDrs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPIDrs. M. Noerdjito, Puslit Biologi-LIPIDrh. Anang S. Achmadi MSc, Puslit Biologi-LIPISigit Wiantoro SSi ,MSc Puslit Biologi-LIPIIr. Dwi Agustiyani MSc, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2010

Page 6: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

DAFTAR ISI

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani

153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006 Onrizal

163

Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo

173

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah

185

Plant- β Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko

195

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka

211

Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto

225

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi

237

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida

255

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi AerobikDwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin

265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah Penduduk dan Industri Eko Harsono dan Sulung Nomosatryo

277

TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera, Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito

289

Page 7: jurnal biologi indonesia nhaaa

153

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 153-161 (2010)

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati RajaAmpat Papua

Rini Riffiani

Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Jakarta – Bogor km 46, Cibinong,Email: [email protected]

ABSTRACT

Isolation of Bacteria Degrading Phenanthrene in Batanta- Salawati Districts Raja AmpatPapua. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) are important environmental contaminantsin soil and water. These compounds have a potential risk to human health, as many of them arecarsinogenic and toxic to marine organisms such as diatome, gasthrophode, mussel, and fish.Phenanthrene is one of the hazardous hydrocarbon compounds. The purpose of this researchwas to characterize microbial strains from Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Island and theirability to remove phenanthrene. Two isolates were identified at their physiological characteristicsbased on salinity tolerance, pH tolerance and the composition of nitrogen base. Molecularidentification based on 16S rRNA gene sequences indicated that bacteria had the highestsimilarity with Rhodobacteraceae bacterium F9 and Roseobacter sp. RW 37.Rhodobacteraceae bacterium F9 could grow optimum on ONR7a media with 5% salinity andat pH of 5-7,5 while Roseobacter sp. RW 37 could grow optimum on ONR7a media with 2%salinity and at pH of 6,2-7,5.

Key words: Phenanthrene, physiological characteristic, molecular identification, Raja Ampat

PENDAHULUAN

Berbagai kegiatan eksplorasi,eksploitasi, transportasi melalui medialaut, sering menghasilkan kejadiankebocoran tumpahan minyak kelingkungan. Tumpahan minyak di lauttelah berdampak terhadap pencemaranmultidimensi bagi makhluk hayati laut itusendiri, usaha perikanan, usahapariwisata, sampai kepada tingkatkerusakan laut (Edwards & White 1999).Kecelakaan tanker pengangkut minyak,tumpahan minyak mentah dari kegiataneksplorasi minyak bumi sering terjadi diperairan Indonesia, yang memerlukan

perhatian dan tindakan bioremediasi yanglebih optimum dengan memanfaatkanteknologi biostimulasi dan bioaugmentasi.

Aplikasi teknologi bioremidiasimemerlukan data dasar diversitas jenisdan fungsi fisiologis mikroba laut. Bakterimampu mendegradasi bahan kimiaberbahaya dalam lingkungan menjadi airdan gas yang tidak berbahaya (CO

2)

(Vidali 2001). Menurut Yamikov et al.(2004), bakteri pendegradasi senyawahidrokarbon dalam minyak bumi banyakditemukan di laut. Beberapa bakteri yangdiketahui dapat mendegradasi senyawaPAH (Polycyclic Aromatic Hydrocar-bon) dalam minyak bumi antara lain

Page 8: jurnal biologi indonesia nhaaa

154

Rini Riffiani

Cycloclasticus, Marinobacter, Pseu-domonas, dan Sphingomonas (Kasaiet al.2002). Phenanthrene merupakansalah satu dari senyawa PAH yangberpotensi sebagai zat karsinogen danbersifat racun terhadap biota laut sepertidiatom, gastropoda, remis, serta ikan(Ouyang 2006; Sack et al. 1997).

Kepulaun Raja Ampat merupakankawasan tropis dengan produktivitasekosistem yang tinggi, yang mempunyaiperan sentral dalam menjaga ekosistemdunia. Batanta dan Salawati merupakanpulau yang masuk dalam wilayahKepulaun Raja Ampat. Kepulaun initerletak antara pulau Halmahera danPapua. Kawasan ini merupakan pulau-pulau yang berbatasan dengan kawasanWallacea dan dikenal memiliki kekayaanhayati laut sangat tinggi. Ekosistem RajaAmpat telah mengalami perubahandengan adanya kegiatan penambangan,penyelundupan kayu ilegal melaluikepulauan Raja Ampat oleh sejumlahkapal asing, dan ekploitasi sumber dayaperairan. Hampir 99 % mata pencaharianwarga kepulauan Raja Ampat di laut, danumumnya warga setempat memilikikendaraan laut yang menggunakan bahanbakar minyak yang dapat mencemariperairan laut (Kadarusman 2007). Olehkarena itu, tujuan penelitian ini adalahuntuk mendapatkan bakteri yang dapatmendegradasi senyawa phenanthrene dipulau Batanta-Salawati kepulauan PapuaRaja Ampat. Diharapkan dari penelitianini dapat diperoleh bakteri unggulan yangdapat digunakan sebagai landasan untukpengembangan teknologi bioremidiasihidrokarbon di lepas pantai.

BAHAN DAN CARA KERJA

SamplingSampel penelitian diambil dari

Kepulauan Raja Ampat, Papua Baratpada tanggal 21 April-11 Mei 2008.Kordinat geografi astronomi dari lokasipengambilan sampel adalah S: 00.18.865E: 130.55.17 dan sampai S: 00.19.189 E:130.066 (Gambar 1).

Sampel yang dikumpulkan berupaair laut. Untuk menghindari terjadinyadegradasi jumlah bakteri dan kematianbakteri pada sampel, dilakukan metodepengayaan (enrichment). Mediapengayaan yang digunakan adalahmedium artificial seawater mineral saltmedium (ONR7a) yang mengandungphenanthrene (1000 ppm). Komposisimedia ONR7a per liter: 22,79 g NaCl,3,99 g Na2SO4, 0,72 g KCl, 83 mg NaBr,31 mg NaHCO3, 27 mg H3BO3, 2.6 gNaF, 0,27 g NH4Cl, 83 mg Na2HPO4,1,3 g TAPSO, 11,18 g MgCl2, 1,46 gCaCl2, 24 mg SrCl2, 2 mg FeCl2 (Sherylet al.1995).

Pengayaan dilakukan dengan caramenambahkan 100 μL sampel air lautpada tabung (PCR tube) yang telah berisi2 ml medium enrichment secara aseptikdan dilakukan langsung di lapangansetelah pengambilan sampel. Sampelkemudian disimpan pada suhu ruang 27-280C.

Isolasi bakteri pendegradasi phenan-threne

Bakteri pendegradasi phenanthrenediisolasi pada medium minimum agarONR7a dengan menggunakan metodesebar (spread). Medium yang telah

Page 9: jurnal biologi indonesia nhaaa

155

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel

diinokulasikan kemudian disublimasidengan cara memanaskan senyawaphenanthrene pada suhu optimum yaitu100°C selama 10 menit. Kondisidemikian menyebabkan senyawatersebut menguap, lalu tertangkap padamedium yang diberi pendingin berupabatu es (Gambar 2). Pemberian batu esdi atas medium yang telah diinokulasiuntuk mencegah mencairnya mediumagar karena terkena uap panas senyawaphenanthrene.

Medium yang telah disublimasikemudian diinkubasi selama 7 hari padatemperatur 300C. Bakteri yang dapatmendegradasi senyawa phenanthreneditandai dengan terbentuknya zonabening di sekeliling koloni.

Pemurnian Biakan Potensial Pende-gradasi Phenanthrene

Isolat yang tumbuh dalam zonabening kemudian diisolasi secara aseptikdan diinokulasikan kembali ke mediumONR7a. Kultur kemudian diinkubasipada suhu 300C selama 24-72 jam.Kemurnian biakan diuji dengan diino-kulasikan kembali pada medium kaya,yaitu marine agar. Media marine agarmengandung 5 gr pepton, 1 gr yeast ex-

tract, 0,1 gr ferric citrate, 19,45 gr sodiumchloride, 8,8 gr MgCl, 3,24 gr sodiumsulfate, 1,88 gr calcium chloride, 0,55 pot-tasium chloride, 0,16 gr sodium bicarbo-nate, 15 gr agar, 34 mg stronsium chloride,22 mg boric acid, 4 mg sodium sillicate,2,4 mg sodium flouride, 1,6 gr ammoniumnitrat, dan 8 mg disodium phosfate.

Pengujian KonfirmasiPengujian konfirmasi bertujuan

untuk memastikan kemampuan biakterseleksi dalam mendegradasi phenan-threne. Isolat terseleksi diinokulasikankembali pada medium ONR7a, dandisublimasi kembali dengan senyawaphenanthrene. Kultur kemudian diinkubasipada suhu 300 C selama 24-72 jam. Pem-bentukan zona bening pada mediumONR7a kemudian diamati. Zona beningyang terbentuk di sekeliling kolonimenandakan bahwa isolat tersebut mam-pu mendegradasi senyawa phenanthrene.

Pengujian Pengaruh Salinitas dan pHTerhadap Isolat Terpilih

Pengaruh salinitas dan pH terhadappertumbuhan isolat SL49 dan B29dilakukan dengan cara menumbuhkankedua isolat dalam medium ONR7a

Page 10: jurnal biologi indonesia nhaaa

156

Rini Riffiani

dengan variasi salinitas (NaCl) 0%, 2%,5%, dan 10% serta variasi pH 5, 6,2, 7,dan 10. Kultur diinkubasi pada shakerinkubator dengan suhu 300C dankecepatan 100 rpm selama 4 hari.Pengukuran pertumbuhan mikroba (OD)dilakukan dengan spektrofotometer padapanjang gelombang 600 nm. Pengukurandilakukan setiap 4 jam dan 16 jam.

Penelitian yang dilakukan menggu-nakan rancangan acak lengkap, dengantiga kali ulangan. Data yang diperolehdianalisis dengan metode Analysis ofVarian (ANOVA) pada taraf nyata 5%dan dilanjutkan dengan uji Duncandengan program SPSS versi 12.

Identifikasi dan Analisis Filoge-netik.

Identifikasi dilakukan secaramolekular dengan 16S rDNA. Analisismolekuler yang dilakukan berupaekstraksi DNA dan PCR amplifikasi,purifikasi PCR produk dan sekuensing.Ekstraksi DNA menggunakan intragenematrix kit (Biorad) dilanjutkan denganamplifikasi. Hasil optimasi PCR diperolehkomposisi per reaksi sebesar 25 µLdengan menggunakan Primer 9F(5‘GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan

1510R (5‘ GGCTACCTTGTTACGACTT) .

Analisis DNA menggunakanprogram BioEdit dan dilakukan blastpada Bank Gen NCBI dataLibrary.Analisis Filogenetik menggunakanprogram multiple aligment Clustal Xversi 1.83. Konstruksi pohon filogenetikberdasarkan jarak kekerabatan genetikdengan metode Neighbor joining.Konstruksi jarak evolusi dalam derajatkepercayaan menggunakan bootstrapvalue pada program NJ plot.

HASIL

Penapisan mikroba pendegradasisenyawa penanthrene

Hasil isolasi bakteri pendegradasipenanthrene menggunakan metodesublimasi terlihat dengan terbentuknyazona bening di sekeliling koloni. Setelahdipurifikasi ditemukan 2 isolat, yaitu SL49dan B29.

Pengaruh Salinitas TerhadapPertumbuhan Isolat Terseleksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwapertumbuhan optimum bakteri SL49terjadi pada medium dengan salinitas(NaCl) 2% (Gambar 3A), sedangkan

Gambar 2. Teknik sublimasi untuk isolasi mikroba pendegradasi PAHs

Page 11: jurnal biologi indonesia nhaaa

157

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

pertumbuhan isolat B29 berada padakisaran salinitas lebih luas dibandingkanSL49, yaitu pada kisaran salinitas 2-10%,dengan pertumbuhan optimum terjadipada salinitas (NaCl) 5% dengan setelahdiinkubasi selama 28 jam (Gambar 3B).Berdasarkan uji statistik terjadi perbedaanyang nyata pada pertumbuhan bakteri SL49 dan B29 dengan perlakuan denganvariasi salinitas pada taraf uji 0,05.

Pengaruh pH Terhadap PertumbuhanIsolat Terpilih

Hasil pengujian pH terhadappertumbuhan menunjukkan bahwapertumbuhan optimum bakteri SL49terjadi pada pH normal, yaitu padakisaran 6,2-7,5 (Gambar 4A). Pada pHasam (pH 5) dan pH basa (pH 10)pertumbuhan bakteri terlihat kurangoptimal.

Pertumbuhan bakteri B29 memilikikisaran pH yang lebih luas dibandingkandengan SL49, yaitu pada kisaran 5-7,5.Hasil tersebut menunjukkan bakteri B29memiliki toleransi terhadap pH dansalinitas yang lebih luas dibandingkanbakteri SL49 (Gambar 4B). Berdasarkan

uji statistik terjadi perbedaan yang nyatapada pertumbuhan bakteri SL49 dan B29dengan perlakuan dengan variasi pH padataraf uji 0,05.

Identifikasi dan Analisis FilogenetikIsolat Terpilih

Berdasarkan analisis penjajaranurutan nukleotida parsial gen pengkode16S rDNA menggunakan programBLAST, bakteri dengan kode isolat B29mempunyai tingkat kesamaan tertinggidengan Rhodobacteraceae bacteriumF9 dengan persentase tingkat kesamaan100% dan urutan nukleotida yang dapatdideteksi mencapai hingga 1026 bp.Sedangkan bakteri dengan kode isolat SL49 mempunyai tingkat kesamaan denganRoseobacter sp. RW 37 dengan tingkatkesamaan 99% dan nukleotida yangdapat dideteksi mencapai 910 bp.

PEMBAHASAN

Terbentuknya zona bening disekeliling koloni bakteri menunjukkanbahwa koloni bakteri tersebut dapatmenggunakan senyawa phenanthrene

Gambar 3. (A) Kurva pertumbuhan bakteri SL 49; (B) B 29 dalam medium ONR7 dengan variasisalinitas

A) B)

Page 12: jurnal biologi indonesia nhaaa

158

Rini Riffiani

sebagai sumber karbon dan energi bagipertumbuhannya. Oleh karena mediaONR7a merupakan media minimummineral, setelah sumber karbon darimedium digunakan untuk pertumbuhanhabis, maka bakteri akan menggunakansenyawa karbon aromatik yaituphenanthrene sebagai sumber karbondan energi bagi bakteri (Sheryl et al.1995).

Menurut Iwabuchi & Harayama.(1997), biodegradasi senyawa PAHdiawali dengan masuknya atom oksigen(reaksi oksidasi) ke dalam inti aromatik.Reaksi ini dikatalisis oleh multikomponendioksigenase. Senyawa PAH yangteroksidasi akan membentuk prekursorintermediet dari siklus asam sitrat.Sebagai produk dari siklus tersebut padaakhirnya akan terbentuk air dan karbondioksida.

Senyawa phenanthrene dapatdidegradasi secara sempurna oleh bakterimenjadi air dan karbon dioksida melaluisalah satu dari dua jalur yang ada, yaknijalur o-phthalat dan salisilat (Iwabuchi &Harayama 1997). Kedua jalur tersebutmelalui senyawa intermediet yang sama,yaitu 1-hydroxy-2-napthoic acid.

Bakteri Aeromonas dan Nocardioidessp. strain KP7 mendegradasi senyawaphenanthrene melalui jalur o-phthalat,sedangkan bakteri Burkholderiacepacia F297 melalui jalur salisilat(Iwabuchi & Harayama 1997; Mroziket al.2002). Serangkaian reaksi yangterjadi dalam proses biodegradasisenyawa phenanthrene baik melalui jaluro-phthalat maupun salisilat dapat dilihatpada.

Menurut Anthoni (2006), NaClsangat mempengaruhi salinitas air laut,karena konsentrasinya paling dominandibandingkan dengan senyawa lainnya.Air laut dengan salinitas 3,5%mengandung sekitar 85,62% NaCl,artinya konsentrasi senyawa NaCl didalam air laut sebesar 3%. Oleh karenaitu, bakteri SL49 dapat tumbuh optimumpada medium dengan salinitas (NaCl)2%, karena konsentrasi NaCl yangterkandung di dalamnya hampirmenyerupai habitat aslinya (air laut) yaitusebesar 3%.

Pertumbuhan isolat B29 beradapada kisaran salinitas lebih luasdibandingkan SL49, yaitu pada kisaransalinitas 2-10%, dengan pertumbuhan

Gambar 4 (A) Kurva pertumbuhan bakteri SL49; (B) B29 dalam medium ONR7a dengan variasipH

A) B)

Page 13: jurnal biologi indonesia nhaaa

159

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

optimum terjadi pada salinitas (NaCl) 5%dengan OD 1,396 setelah diinkubasiselama 28 jam (Gambar 3B). Hal inididuga stabilitas membran, aktivitasenzim, maupun mekanisme transpor aktifbakteri ini tidak terganggu oleh kenaikankonsentrasi Na+. Menurut Kogure et al.(1991), sebagian bakteri laut memilikiketergantungan terhadap ion Na+ untukmenjaga stabilitas membran, aktivitasenzim, dan mekanisme tranpor aktif.

Pertumbuhan bakteri B29 memilikikisaran pH yang lebih luas dibandingkandengan SL49, yaitu pada kisaran 5-7,5.Hasil tersebut menunjukkan bakteri B29memiliki toleransi terhadap pH dansalinitas yang lebih luas dibandingkanbakteri SL49 (Gambar 4A dan 4B). Hal

ini menunjukkan bahwa bakteri SL49memiliki pH optimum untuk pertumbuhansesuai dengan pH habitat asli dari bakterilaut, yaitu sekitar 7-8,5 (Peter 2003).

Hasil analisis menampilkan pohonfilogeni kedua isolat bakteri tersebut dapatdilihat pada Gambar 5. Pohon filogenitersebut menunjukkan bahwa B29 adalahRhodobacteraceae bacterium F9 danbakteri SL49 adalah Roseobacter sp.RW 37 memiliki kekerabatan yang dekat.Kedua kelompok tersebut termasuk kedalam kelompok α-Proteobacteria.Mikroba laut dari kelompok Sub klasProteobacteria merupakan mikroba lautterkultur yang mempunyai peran dalamproses bioremediasi senyawa toksikseperti senyawa PAH (Polycyclic

Gambar 5. Pohon kekerabatan 2 bakteri potensial pendegradasi phenanthrene yaitu B29(Rhodobacteraceae bacterium F9) dan bakteri SL49 (Roseobacter sp. RW 37) dengankelompok luar sebagai pembanding Microbacteriaceae bacterium yang dianalisisdengan program BioEdit. Tingkat ketelitian dendogram ditentukan melalui nilaibootstrap dengan pengulangan 1000 kali.

Page 14: jurnal biologi indonesia nhaaa

160

Rini Riffiani

Aromatic Hydrocarbon) yang banyakterdapat pada bahan bakar fosil terutamaminyak bumi (Kasai et al. 2002)

KESIMPULAN

Dua bakteri pendegradasi senyawaphenanathrene dari kepulauan RajaAmpat telah diisolasi, masing-masingadalah Roseobacter sp. RW 37 danRhodobacteraceae bacterium F9.Keduanya merupakan kelompok α-Proteobacteria. Pertumbuhan optimumRoseobacter sp. RW 37 berlangsungpada salinitas 2% dan pada kisaran pH6,2-7,5 sedangkan Rhodobacteraceaebacterium F9 pada salinitas 5% dan padakisaran pH 5-7,5.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih penulissampaikan kepada Dr. BambangSunarko, Dr. I Made Sudiana, Dra. NunikSulistinah, Arif Nurkanto S. Si, yang telahmemberikan kontribusi yang besarselama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anthoni, FJ. 2006. The ChemicalComposition of Seawater. http://www.seafriends.orgnz/oceano/seawater.htm

Edward, R.& I.White. 1999. The SeaEmpress Oil Spill.EnvironmentalImpact and Recovery. Procee-ding of International Oil SpillConference. American PetroleumInstitute Washington DC.

Iwabuchi, T.& S. Harayama. 1997.Biochemical and Genetic Charac-terization of 2-Carboxybenzalde-hyde Dehydrogenase, an EnzymeInvolved in PhenanthreneDegradation by Nocardioides sp.Strain KP7. J. Bacteriology. 179:6488-6494.

Kadarusman, 2007. Studi AwalPengeboman Ikan di Raja Ampat,Suatu Ancaman MegadiversitasJantung Segitiga Karang Dunia.Factsheet Apsor: www.apsordkp.com. Akademi Perikanan Sorong-DKP. Sorong, Papua Barat.

Kasai, Y, H. Kishira, & S. Harayama.2002. Bacteria Belonging to theGenus Cycloclasticus Play aPrimary Role in the Degradationof Aromatic HydrocarbonsReleased in a Marine Environment.Appl.& Envi. Microbiology.5625–5633.

Kogure, K, O. Suwan, K. Ohwada, &U. Simidu. 1991. Correlationbetween Possession of aRespiration-Dependent Na+ Pumpand Na+ Requirement for Growthof Marine Bacteria”. Appl.&Envi.Microbiology. 57. 1844-1846.

MacLeod, RA. 1965. The Question ofthe Existence Specific MarineBacter ia. BacteriologicalReview, 29 (1).

Mrozik, A., Z. Piotrowska-Seget & S.Labuzek. 2002. BacterialDegradation and Bioremediationof Polycyclic Aromatic Hydrocar-bons. Polish Journal of Envir.Studies 12: 15-25.

Page 15: jurnal biologi indonesia nhaaa

161

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

Ouyang, Jun. 2006. PhenanthrenePathway Map. http://umbbd.msi.umn. edu/pha/phamap. html

Peter L., JA.Musick & JeanetteWyneken. 2003. The Biology ofSea Turtles. II: 420.CRC PressLLC.

Sack, U, MH.Thomas, D. Joanna, EC.Carl, M. Rainer, Z. Frantisek & F.Wolfgang 1997. Comparison ofPhenanthrene and Pyrene Degra-dation by Different Wood-Deca-ying Fungi”. Appl.& Envi.Microbiolog. 63: 3919-3925.

Yamikov, MM., Laura G., Renata D.,Ermanno C., Tatiana N. C., Wolf-Rainer A., Heinrich L., KennethN. Timmis & Peter N. Golyshin.2004. “Thalassolituus oleivorans

gen. nov., sp. nov., a Novel MarineBacterium That Obligately UtilizesHydrocar-bons”. InternationalJournal of Systematic andEvolutionary Microbiology,141–148

Sheryl, E Dykstershouse, JP. Gray, RP.Herwig, Canolara & JT. Staley.1995. Cycloclasticus pugetii gen.Nov, sp. Nov, on AromaticH y d r o c a r b o n - D e g r a d i n gBacterium from Marine Sadi-ments. International Journal ofSystematic Bacteriology. 116-123.

Vidali, M. 2001. “Bioremediation andOverview”. Pure and Applied.Chemistry.IUPAC, Vol. 73, 7:1163–1172.

Memasukkan: Mei 2009Diterima: Desember 2009

Page 16: jurnal biologi indonesia nhaaa

163

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-172 (2010)

Perubahan Tutupan Hutan Mangrovedi Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006

OnrizalDepartemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

Land-cover change of mangrove forests at eastern coast of North Sumatra in Period 1977 to2006. Mangrove is one of the world’s threatened major tropical environments. Nevertheless,activities that contribute to this depletion continue. The main objectives of this research wereto analyze the land cover change of mangrove forests in eastern coastal of North Sumatrabased on previous inventory in period 1997 to 2006 and to acquire the factors of mangrovedisturbance in the areas. In fact, mangrove forest areas in eastern coastal of North Sumatradecreased 59.68% from 103,425 ha in 1977 to 41,700 ha in year 2006. Expansion of aquacultureponds and extraction of timber and fuel wood were most important factors of mangrove forestdegradation in the areas. Therefore, we need to rehabilitate the degraded mangrove forests inthe area both massively and systematically, and to prevent the remaining mangrove forestsfrom destruction activities.

Keywords: mangroves, land-cover change, North Sumatra

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negarakepulauan yang memiliki hutan mangroveterluas di dunia. Hutan mangrove didunia mencapai luas sekitar 16.530.000ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha,Afrika 3.258.000 ha dan Amerika5.831.000 ha (FAO 1994), sedangkan diIndonesia dilaporkan seluas 3.735.250 ha(Ditjen INTAG1993). Dengan demikian,luas hutan mangrove Indonesia hampir50% dari luas mangrove Asia dan hampir25% dari luas hutan mangrove dunia.

Hutan mangrove sebagai salah satulahan basah di daerah tropis denganakses yang mudah serta kegunaankomponen biodiversitas dan lahan yangtinggi telah menjadikan sumberdayatersebut sebagai sumberdaya tropis yang

terancam kelestariannya (Valiela et al.2001; Onrizal 2005) dan menjadi salahsatu pusat dari isu lingkungan global.Konversi hutan mangrove terusmeningkat untuk dijadikan lahan pertanianatau tambak ikan/udang, sehinggamenyebabkan penurunan produktivitasekosistem tersebut (Dave 2006, Prima-vera 2005). Dalam kurun waktu 25 tahun,hutan mangrove dunia hilang sebesar35% (Valiela et al. 2001) dan hutanmangrove Indonesia yang rusak mencapai57,6% (Ditjen RLPS 2001).

Meskipun hutan mangrove terusterancam kelestariannya, namun berbagaiaktivitas penyebab kerusakan hutanmangrove terus terjadi dan adakalanyadalam skala dan intensitas yang terusmeningkat. Data luas dan perubahan luashutan mangrove menjadi salah satu topik

Page 17: jurnal biologi indonesia nhaaa

164

Onrizal

penting sebagai bahan pertimbangandalam pengelolaan sumberdaya secaralestari. Namun banyak terdapat kesim-pangsiuran data, sehingga seringkali sulitdijadikan dasar dalam perencanaan. Olehkarena itu, penting untuk dilakukan kajianyang secara khusus menganalisisperubahan penggunaan lahan hutanmangrove, baik dari hutan primer kehutan sekunder, maupun dari hutanmangrove ke bentuk penggunaan lahanselain hutan mangrove di pantai timurSumatera Utara berdasarkan hasilinventarisasi mangrove yang telahdilakukan serta faktor penyebabnya.

BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan utama penelitian ini berupahasil inventarisasi hutan mangrove dipesisir Sumatera Utara. Berdasarkanhasil penelusuran, terdapat 4 (empat)hasil inventarisasi mangrove di wilayahkajian dengan metode pendekatan yangsepadan, yakni tahun 1977 (Bakosurtanal1977 dalam ITTO & Ditjen RLPS 2005),1988/1989 (ODA & Dirjen Perikanan1993), 1997 (Ditjen RRL 1997), dan 2006(BP DAS Asahan Barumun 2006; BPDAS Wampu Sei Ular 2006). Keempathasil inventarisasi tersebut dipilih karenametode inventarisasi yang digunakanhampir sama, yakni menggunakan datapenginderaan jauh sebagai data dasar,sehingga bisa dibandingkan. Hasilinventarisasi dan peta yang dihasilkandalam kajian tersebut kemudianditumpangtindihkan untuk mengetahuiperubahan tutupan hutan mangrove,khususnya di pesisir timur SumateraUtara untuk kurun waktu 1977-2006.

Spesifikasi metode dan cakupanwilayah kajian yang digunakan untuktutupan hutan mangrove dalam empatpengukuran berbeda dalam kurun waktu1977-2006 adalah sebagai berikut:

a.1977 oleh Bakosurtanal (1977)dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005)menggunakan Peta Landuse WilayahPantai Timur Sumatera Utara

b.1993 oleh ODA & Dirjen Perikanan(1993) menggunakan Peta RePProTtahun 1988 dan sejumlah seri peta tanahBPPP tahun 1990 untuk pesisir timurSumatera Utara

c.1977 oleh Ditjen RRL (1997)menggunakan Peta Citra Landsat TMtahun 1997 dan Peta Landsystem. untukpesisir timur Sumatera Utara

d. 2006 oleh dua instansi, yaitu BPDAS Asahan Barumun (2006) untukpesisir Asahan dan Labuhan Batudan danBP DAS Wampu Sei Ular (2006) untukpesisir timur Langkat, Deli Serdang.Kegiatan inventarisasi tahun 2006 inimenggunakan Peta Citra Landsat TMtahun 2005 atau 2006 dan PetaLandsystem.

Hasil tumpang tindih peta landsatTM dan Peta Landsystem oleh DirjenRRL (1997) menunjukkan bahwa hutanmangrove di Sumatera terdapat di 2 (dua)sistem lahan, yakni KJP (kajapah) danPTG (puting), namun hasil tumpang tindihPeta Landsat TM dan Peta Landsystemoleh BP DAS Asahan Barumun (2006)dan BP DAS Wampu Sei Ular (2006)menunjukkan bahwa hutan mangrove dipesisir timur Sumatera Utara selainterdapat pada dua sistem lahan tersebut,juga dijumpai pada sistem lahan KHY(kahayan). Namun agar bisa dibanding-

Page 18: jurnal biologi indonesia nhaaa

165

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

kan, perubahan penutupan lahan antara1997 dan 2006, hanya menggunakanluasan hutan mangrove pada sistemlahan KJP dan PTG. Penggunaan keduasistem lahan tersebut (KJP dan PTG)tersebut juga sebanding dengan sebaranhutan mangrove hasil inventarisasi tahun1977 oleh Bakosurtanal (1977) dalamITTO & Ditjen RLPS (2005) dan tahun1988/1989 oleh ODA & DirjenPerikanan (1993).

Selanjutnya pengecekan lapanganterhadap hasil tumpang tindih peta-petahasil inventarisasi untuk validasi padasetiap perwakilan penutupan lahan.Hasil validasi tersebut juga untukmengetahui penyebab kerusakan atauperubahan tutupan hutan mangrove dipesisir timur Sumatera Utara.

HASIL

Perubahan Penggunaan LahanHutan Mangrove

Hasil interpretasi Peta LanduseWilayah Pantai Timur Sumatera Utaramenunjukkan pada tahun 1977 terdapatsekitar 103,415 ha hutan mangrove dipesisir timur Sumatera Utara. Sebagianbesar (89.093 ha atau 86,2%) hutanmangrove tersebut berupa hutanmangrove primer dan sisanya (14.322 haatau 13,8%) sebagai hutan mangrovesekunder. Berdasarkan administrasipemerintahan, sebagian besar hutanmangrove tersebut terdapat di Kabu-paten Langkat dengan luas sebesar45.909 ha (44,4%), kemudian diikuti olehKabupaten Deli Serdang (21.051 ha atau20,4%), Kabupaten Asahan (18.785 haatau 18,2%) dan paling kecil luasannya

pada Kabupaten Labuhan Batu (17.670ha atau 17,1%) (Tabel 1).

Luas hutan mangrove di pesisirtimur Sumatera Utara dalam 4 kalipengukuran berbeda (1977, 1988/1989,1997 dan 2006) terus menurun. Jikadibandingkan dengan hutan mangrovetahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997,dan 2006 hutan mangrove di pesisir timurSumatera Utara secara berturut-turutterus berkurang, yakni sebesar 14,01%(tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56%(tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68%(hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awalsebesar 103.415 ha pada tahun 1977.Sebaliknya penggunaan lahan selain hutanmangrove yang pada tahun 1977 tidakdijumpai, kecuali tambak sebesar (308ha), pada tiga pengukuran berikutnyaterus meningkat, yakni 16.469 ha padatahun 1988/1998, 50.247 ha pada tahun1997, dan 61.746 pada tahun 2006(Gambar 1). Penggunaan lahan hutanmangrove menjadi selain hutan mangroveadalah konversi untuk areal pertambakan,perkebunan, permukiman dan arealpertanian lainnya. Selain itu, areal hutanmangrove juga berkurang akibat abrasiyang diawali oleh rusaknya tegakan hutanmangrove akibat konversi dan peneba-ngan dalam skala yang besar. Perubahanpenggunaan lahan dan dampak budidayaudang tambak di pesisir timur SumateraUtara antara tahun 1977 dan 1988/1989disajikan pada Tabel 2.

Penyebab Perubahan PenggunaanLahan Hutan Mangrove

Perubahan luas hutan mangroveprimer menjadi hutan mangrove sekunderterutama disebabkan oleh aktivitas

Page 19: jurnal biologi indonesia nhaaa

166

Onrizal

Luas (ha) pada Tahun % Perubahan Luas* Kabupaten Tipe Penggunaan

Lahan 1977a 1988/1989b 1997c 2006d, e 1988/1989 1997 2006

HM Primer 42.208 36.175 10.000 2.711 (14,29) (76,31) (93,58) HM Sekunder

3.701 4.314 25.300 17.916 16,56 583,60 384,08

Tot. HM 45.909 40.489 35.300 20.627 (11,81) (23,11) (55,07)

Langkat

Non-HM - 5.450 10.639 25.313 11,87 23,17 55,14 HM Primer 17.897 11.116 387 1.125 (37,89) (97,84) (93,71) HM Sekunder

3.154 7.249 11.010 15.392 129,84 249,08 388,02

Tot. HM 21.051 18.365 11.397 16.517 (12,76) (45,86) (21,54)

Deli Serdang (+ Serdang Bedagai)

Non-HM 308 2.686 9.654 4.534 12,76 45,86 21,54 HM Primer 15.563 7.633 3.904 - (50,95) (74,92) (100,00) HM Sekunder

3.222 5.070 898 2.305 57,36 (72,14) (28,46)

Tot. HM 18.785 12.703 4.801 2.305 (32,38) (74,44) (87,73)

Asahan

Non-HM - 6.082 13.984 16.480 32,38 74,44 87,73 HM Primer 13.425 7.274 - - (45,82) (100,00) (100,00) HM Sekunder

4.245 10.100 1.700 2.251 137,93 (59,95) (46,98)

Tot. HM 17.670 17.374 1.700 2.251 (1,68) (90,38) (87,26)

Labuhan Batu

Non-HM - 2.251 15.970 15.419 12,74 90,38 87,26 HM Primer 89.093 62.198 14.290 3.836 (30,19) (83,96) (95,69) HM Sekunder

14.322 26.733 38.908 37.864 86,66 171,66 164,37

Tot. HM 103.415 88.931 53.198 41.700 (14,01) (48,56) (59,68)

Total

Non-HM 308 16.469 50.247 61.746 15,92 48,59 59,71

Keterangan: HM = hutan mangrove; Tot. HM = total hutan mangrove; Non-HM = penggunaan lahanselain hutan mangrove pada lahan yang sebelumnya berupa hutan mangrove. * = dibandingkandengan tahun 1977, angka dalam tanda kurung menunjukkan luas tipe lahan tersebut berkurangdibandingkan dengan tahun 1977.Pustaka: a = Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005), b = ODA & DirjenPerikanan (1993), c = Ditjen RRL (1997) [Catatan: Data luasan mangrove untuk Kab. Asahanmencakup landsystem KJP dan PTG, dan untuk Kab. Labuhan Batu mencakup landsystemKJP], d = BP DAS Wampu Sei Ular (2006) [Catatan: Kegiatan ini mencakup Kab. Langkat, Kab.Deli Serdang, dan Kab. Serdang Bedagai. Dalam perhitungan, data Kab. Serdang Bedagai digabungdengan data Kab. Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Dalam kajian ini mencakup 3 landsystem,yakni KJP, PTG dan KHY, namun karena penghitungan luas penggunaan lahan mangrove tidakdipisah, maka luasan pada tahun 2006 mencakup ketiga landsystem tersebut], e = BP DASAsahan Barumun, (2006) [Catatan: Data luasan mangrove untuk Kab. Asahan mencakuplandsystem KJP dan PTG, dan untuk Kab. Labuhan Batu mencakup landsystem KJP. Padakegiatan inventarisasi ini, hutan mangrove juga dijumpai pada landsystem KHY dengan luasantutupan mangrove sebesar 19.366,1 ha dari 87.837,1 ha luas total landsystem KHY di Kab.Asahan dan 4.485,4 ha dari 119.909.5 ha luas total landsystem KHY di Kab. Labuhan Batu,namun tidak dimasukkan dalam perhitungan ini, karena luasan pada landsystem KHY tersebuttidak termasuk pada perhitungan luasan mangrove pada inventarisasi mangrove pada tahun-tahun sebelumnya].

Tabel 1. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove dari tahun 1977 s.d. tahun 2006 dipesisir timur Sumatera Utara

Page 20: jurnal biologi indonesia nhaaa

167

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

1977 1988/89 1997 2006Tahun

Luas

(ha)

HMP HMS THM NHM

Gambar 1. Perubahan tutupan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Luas total hutanmangrove (THM), hutan mangrove primer (HMP) terus menurun dalam kurun waktu1977/2006. Sebaliknya luas hutan mangrove sekunder (HMS) dan areal non hutanmangrove (NHM) karena konversi hutan mangrove terus bertambah dalam kurun waktuyang sama.

penebangan, baik untuk industri kayuarang maupun kayu bakar dan perancah.Perubahan dari hutan mangrove primerdan sekunder menjadi areal non hutanmangrove diakibatkan oleh konversi,terutama pembukaan areal untukpertambakan dan pertanian. Arealtambak pada tahun 1977 hanya terdapatdi Kabupaten Deli Serdang seluas 308ha (Tabel 2), namun pada tahun 1988/1989, areal tambak menyebar danbertambah pada daerah lain di pesisirtimur Sumatera Utara, yakni sebesar10.333 ha atau bertambah seluas 10.025ha dalam kurun waktu 12 tahun. Arealtambak pada tahun 1988/1989 terluasterdapat di Kabupaten Deli Serdang(4.786 ha atau 46,32%), kemudian diikutiKabupaten Langkat (4.462 ha atau43,18%), Kabupaten Asahan (1.053 haatau 10,19%) dan sisanya di KabupatenLabuhan Batu (hanya 32 ha atau 0,31%).

Hasil inventarisasi BP DAS WampuSei Ular (2006) menunjukkan arealtambak di Kabupaten Langkat meningkatmenjadi 7.397,47 ha, di Kabupaten DeliSerdang menjadi 4.842,95 ha. Arealmangrove di Kabupaten Asahan danLabuhan Batu pada tahun 2006 jugameningkat dibandingkan tahun 1988/1989, yakni secara berturut-turut menjadi1.106,50 ha dan 2.555,00 ha (BP DASAsahan Barumun 2006). Dengandemikian, areal tambak di pesisir timurSumatera Utara pada tahun 2006mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurunwaktu 1988/1989 sampai 2006 arealtambak bertambah seluas 5.568,92 hadalam kurun waktu 17 tahun. Luastambak tahun 2006 ini tidak termasukareal yang tambak yang berada di sistemlahan KHY yang mencapai 9.189,50 hakarena pada inventarisasi tahun-tahunsebelumnya tidak dihitung.

Page 21: jurnal biologi indonesia nhaaa

168

Onrizal

PEMBAHASAN

Secara umum di pesisir timurSumatera Utara, pengurangan luasanhutan mangrove pr imer maupunpengurangan areal hutan mangrovemenjadi areal selain hutan mangroveterus terjadi. Hilangnya hutan mangrovedi Kabupaten Langkat menyumbangkontribusi terbesar berkurangnya hutanmangrove di Sumatera Utara dalamkurun waktu 1977 s.d. 2006, yaknisebesar 25.313 ha (41,0%), kemudiandiikuti oleh Kabupaten Asahan sebesar16.480 ha (26,7%) 25,0% dan KabupatenLabuhan Batu sebesar 15.419 ha sertayang paling kecil pada Kabupaten DeliSerdang sebesar 4.534 ha (7,3%).

Berbagai kegiatan rehabilitasimangrove secara umum belum mampu

mengurangi laju kerusakan hutanmangrove di pesisir timur SumateraUtara. Pada pesisir Kabupaten LabuhanBatu seluruh hutan mangrove primertidak dijumpai lagi sejak tahun 1997 dariluas awal tahun 1977 sebesar 13.423 ha.Kondisi hilangnya hutan mangroveprimer juga terjadi di Kabupaten Asahan,yakni dari luasan sebesar 15.563 ha padatahun 1997 dan hilang seluruhnya padatahun 2006 (Gambar 2) berubah menjadihutan mangove sekunder atau arealselain mangrove.

Dalam skala kecil, kegiatanrehabilitasi hutan mangrove atau suksesialami mampu mengurangi areal nonhutan mangrove menjadi hutanmangrove. Dalam periode 1997-2006 diLabuhan Batu pada sistem lahan yangsama terjadi penambahan areal hutan

Dampak terhadap tutupan hutan mangrove/penggunaan lahan antara tahun 1977 dan 1988/1989

Langkat Deli Serdang

Asahan Labuhan Batu

Total

Hutan sekunder di lahan bekas hutan primer

1.127 1.060 2.879 4.461 9.527

Hutan sekunder di bekas lahan garapan 1.262 3.097 1.098 2.363 7.820 Hutan gundul di bekas hutan primer 72 112 249 106 539 Hutan gundul di bekas hutan sekunder 5 43 0 22 70 Tambak yang sudah ada tahun 1977 0 308 0 0 308 Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan primer

2.394 3.078 808 14 6.294

Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan sekunder

835 696 108 18 1.657

Tambak udang yang berlokasi di bekas lahan garapan

1.233 1.012 137 0 2.382

Luas total perubahan dari hutan primer dan hutan belukar sekunder

3.229 3.774 916 32 7.951

Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan primer

1.104 1.184 3.505 1.218 7.011

Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan sekunder

1.281 403 2.444 913 5.041

Areal hutan primer dalam luasan < 50 ha 1.261 1.329 477 328 3.395 Areal hutan sekunder dalam luasan < 50 ha 315 1.080 423 16 1.834

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timurSumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989

Page 22: jurnal biologi indonesia nhaaa

169

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

mangrove sebesar 551 ha yang didugadisebabkan oleh kegiatan rehabilitasimaupun suksesi alami. Hutan mangrovedi Deli Serdang dalam kurun waktu yangsama juga bertambah sebesar 5.120 ha,namun hal ini kemungkinan besar berasaldari tambahan hutan mangrove darisistem KHY sebesar 5.693 ha yang tidakdiperhitungkan pada inventarisasi tahun1997. Oleh karena itu, patut didugaluasan hutan mangrove pada landsystemKJP dan PTG jauh berkurangdibandingkan hasil pengukuran tahun1997, yakni hanya menjadi 5.757,58 hapada tahun 2006 dari luas sebelumnyasebesar 11.397 ha pada tahun 1997.

Menurunnya kualitas dan kuantitashutan mangrove telah mengakibatkandampak yang sangat mengkawatirkan,

seperti abrasi yang meningkat, penurunantangkapan perikanan pantai, intrusi airlaut yang semakin jauh ke arah darat,malaria dan lainnya. Bahkan di pantaitimur Sumatera Utara, kerusakanmangrove di pulau Tapak Kuda,Kecamatan Tanjung Pura, KabupatenLangkat mengakibatkan pulau tersebutsekarang sudah hilang/tenggelam(Onrizal & Kusmana 2008). Kerusakanhutan mangrove di pantai timur SumateraUtara berdampak pada penurunanvolume dan keragaman jenis ikan yangditangkap (65,7% jenis ikan menjadilangka/sulit didapat, dan 27,5% jenis ikanmenjadi hilang/tidak pernah lagitertangkap) serta penurunan pendapatannelayan sebesar 40,5% (Onrizal et al.2009). Konversi hutan mangrove di pantai

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

HMP HMS NM HMP HMS NM HMP HMS NM HMP HMS NM

Langkat Deli Serdang Asahan Labuhan Batu

Luas

(ha)

1977 1988/1989 1997 2006

Gambar 2. Perubahan penutupan hutan mangrove pada setiap kabupaten di pesisir timurSumatera Utara berdasarkan hasil pengukuran pada empat tahun berbeda (1977, 1988/1989, 1997, dan 2006). HMP = hutan mengrove primer, MHS = hutan mangrove sekunder,NM = non hutan mangrove

Page 23: jurnal biologi indonesia nhaaa

170

Onrizal

Napabalano, Sulawesi Tenggaramenyebabkan berkurangnya secaranyata kelimpahan kepiting bakau (Scyllaserrata) (Amala 2004).

Walters et al. (2008) menyata-kan bahwa hutan mangrove di sepanjangpesisir pantai dan sungai secara umummenyediakan habitat bagi berbagai jenisikan. Hamilton & Snedaker (1984)melaporkan 80% jenis biota lautkomersial diduga sangat tergantung padakawasan mangrove di kawasan Florida,USA. Demikian juga halnya dengan 67%jenis hasil tangkapan perikanan komersialdi bagian timur Australia. Selanjutnya,hampir 100% udang dan 49% ikandemersal yang ditangkap pada kawasanSelat Malaka bergantung pada kawasanmangrove (Macintosh 1982). Olehkarena itu, kerusakan hutan mangrove diSumatera Utara secara khusus danumumnya di seluruh dunia harus segeradihentikan, kemudian diikuti denganupaya segera untuk merehabilitasi hutanmangrove yang rusak dan dilakukansecara masif dengan pelibatan aktifseluruh para pihak terkait sertamencegah berbagai aktivitas pengrusa-kan terhadap hutan mangrove yangmasih tersisa. Dengan demikian,diharapkan hutan mangrove kembali pulihsehingga mampu mengembalikanberbagai fungsinya, baik fungsi ekologi,maupun fungsi sosial-ekonomi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hutan mangrove di pesisir timurSumatera Utara dalam kurun waktu1977, 1988/1989, 1997 dan 2006kondisinya terus menurun. Hutan

mangrove di wilayah tersebut pada tahun2006 hanya tersisa sebesar 41.700 ha dariluas awal pada tahun 1977 sebesar103.415 ha atau hilang sebesar 59,68%selama 29 tahun. Penyebab utamaperubahan luas dan kerusakan hutanmangrove tersebut adalah penebanganhutan mangrove secara berlebihan dankonversi untuk lahan tambak, perkebunandan pertanian.

Penurunan luas dan kerusakanhutan mangrove di pesisir timur SumateraUtara telah menyebabkan (a)meningkatnya abrasi pantai sampaihilangnya Pulau Tapak Kuda, (b)menurunnya keanekaragaman danvolume hasil tangkap nelayan pesisir dan(c) pada akhirnya menurunkanpendapatan nelayan secara khusus danumumnya bagi masyarakat pesisir pantai.Pada sisi lain, upaya rehabilitasimangrove dalam kurun waktu bersamaanbelum mampu mengurangi lajukerusakan hutan mangrove. Oleh karenaitu, upaya masif yang terencana dansistematik serta pelibatan secara aktifseluruh pihak terkait untuk rehablitasihutan mangrove yang rusak. Pada saatbersamaan penting dilakukan upayapencegahan berbagai aktivitas yangmerusak hutan mangrove yang masihada.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasihkepada Balai Pengelolaan HutanMangrove II yang berkedudukan diMedan atas bantuan pustaka hasilinventarisasi mangrove di pesisir timurSumatera Utara tahun 2006 untuk

Page 24: jurnal biologi indonesia nhaaa

171

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

wilayah BP DAS Wampu Sei Ular.Ucapan terima kasih juga disampaikankepada BP DAS Asahan Barumun ataskerjasamanya dalam inventarisasi hutanmangrove tahun 2006 pada wilayahkerjanya.

DAFTAR PUSTAKA

Amala, WAL. 2004. Hubungan konversihutan mangrove dengan kemelim-pahan kepiting bakau (Scyllaserrata) di pantai NapabalanoSulawesi Tenggara. [Tesis]Program Pascasarjana. UGMYogyakarta.

BP DAS Asahan Barumun. 2006.Inventarisasi dan identifikasilahan kritis mangrove di 4(empat) kabupaten (Asahan,Labuhan Batu, Nias, dan NiasSelatan) Pro-pinsi SumateraUtara. Pematang Siantar: BalaiPengelolaan Daerah Aliran Sungai(BP DAS) Asahan Barumun.

BP DAS Wampu Sei Ular. 2006.Inventarisasi dan identifikasimangrove SWP DAS Wampu SeiUlar Tahun Anggaran 2006.Medan: Balai Pengelolaan DaerahAliran Sungai (BP DAS) WampuSei Ular.

Dave, R. 2006. Mangrove ecosystem ofsouth, west Madagascar: anecological, human impact, andsubsistence value assessment.Tropical Resources Bulletin 25:7-13

Ditjen INTAG. 1993. Hasil penafsiranluas areal dari citra landsat MSSliputan tahun 1986-1991.

Direktorat Jenderal Inventarisasidan Tata Guna Hutan, DepartemenKehutanan RI.

Ditjen RLPS. 2001. Kriteria danstandar teknis rehabili tasiwilayah pantai. DirektoratJenderal Rehabilitasi Lahan danPerhutanan Sosial, Departe-menKehutanan RI.

Ditjen RRL. 1997. Inventarisasi danidentifikasi hutan bakau (mang-rove) yang rusak di PropinsiSimatera Utara. DirektoratJenderal Rebiosasi dan RehabilitasiLahan (Ditjen RRL) DepartemenKehutanan.

FAO. 1994. Mangrove forest manage-ment guidelines. Rome. FAOForestry Paper 117.

Hamilton, LS. & SC. Snedaker. (Ed.).1984. Handbook for mangrovearea management. Hawaii:IUCN/Unesco/UNEP.

ITTO & Dirjen RLPS. 2005. Review ofdata and information ofmangrove forest ecosystem atNorth Sumatra Province. Jakarta:International Tropical TimberOrganization (ITTO) &Directorate General of Land andForest Rehabilitation Development,Ministry of Forestry (DitjenRLPS).

Macintosh, DJ. 1982. Fisheries andaquaculture significance of mang-rove swamps, with special refe-rence to the Indo-West Pacificregion. Dalam: Muir & Roberts(Eds.). Recent Advances inAquaculture. pp. 4–85. England:Croom Helm.

Page 25: jurnal biologi indonesia nhaaa

172

Onrizal

ODA & Dirjen Perikanan. 1993. TheMalacca straits coastal environ-ment and shrimp aquaculture inNorth Sumatra. OverseasDevelopment Administration(ODA) & Direktorat JenderalPerikanan (Ditjen Perikanan)Departemen Pertanian.

Onrizal, & C. Kusmana. 2008. Studiekologi hutan mangrove di pantaitimur Sumatera Utara. Biodiver-sitas 9 (1): 25-29.

Onrizal, A. Purwoko, & M. Mansor.2009. Impact of mangrove forestsdegradation on fisherman incomeand fish catch diversity in easterncoastal of North Sumatra,I n d o n e s i a . I n t e r n a t i o n a lConference on Natural andEnvironmental Sciences 2009(ICONES’09) at the Hermes

Palace Hotel Banda Aceh on May6-8, 2009.

Onrizal. 2005. Hutan mangroveselamatkan masyarakat di pesisirutara Nias dari tsunami. WartaKonservasi Lahan Basah 13 (2):5-7.

Primavera, JH. 2005. Mangroves,fishpond, and the quest forsustainability. Science 310 (5745):57-58.

Valiela, I., JL. Bowen, & JK. York. 2001.Mangrove forest: one of theworld’s threatened major tropicalenvironments. Bioscience 51(10):807-815.

Walters, BB., P. Ronnback, JM. Kovacs,B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola,J.H. Primavera, E. Barbier, & F.Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobio-logy, socio-economic and manage-ment of mangrove forests: areview. Aquatic Botany 89: 220-236.

Memasukkan: September 2009Diterima: Januari 2010

Page 26: jurnal biologi indonesia nhaaa

173

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 173-183 (2010)

Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic

DNA

Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin PartomihardjoLaboratorium Genetika Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi,

Cibinong Science Centre Jl. Raya Bogor Km. 46 Bogor 16911Email: [email protected]

ABSTRACT

Genetic Diversity of Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] from Riau Province Based onRandom Amplified Polymorphic DNA Fingerprint. Gonystylus bancanus is a commercialtimber found only on peat swamp forests, scatteredly distributed in Sumatra and Kalimantan.Their existence is now under severe threat due to habitat conversion. One of the remainingnatural populations of ramin was in Riau Province, Sumatra. This study aimed to assessgenetic diversity of this species within their natural populations in Riau Province using RandomAmplified Polymorphic DNA (RAPD). RAPD profiles were obtained by performing PCRamplification using five arbitrary primers. One hundred and eleven putative loci of RAPD werescored and analysed using Popgene and NTSYS software. Eleven of RAPD bands werecommonly found in all populations and 16 bands were distinctively found in certain populations.These unique bands may serve as population diagnostic marker for such populations. Theaverage genetic diversity within population (0.1606) was lower than that of among populations(0.1894). Genetic differentiation (Gst) indicated that 95.56% of total genetic diversity in raminwas attributed to the differences among populations. The highest genetic diversity was foundin population 3 (He:0.1858) and 3 (I:0.2864), while the lowest genetic variation was observed inpopulation 1 (He: 0.1438) and 2 (I: 0.2201). Total genetic diversity for all population (Ht) was0.1982 with an average value of genetic diversity within populations (Hs) was 0.1606. The lowlevel of genetic diversity found in ramin with high population differentiation may suggest thatthese remaining populations was undergoing genetic bottleneck resulted from severe habitatfragmentation.

Keywords: genetic diversity, populations, ramin, Gonystylus bancanus, RAPD.

PENDAHULUAN

Ramin (Gonystylus bancanus,Thymelaeaceae) merupakan salah satujenis tumbuhan kayu komersial yangmenjadi primadona dalam duniaperdagangan kayu. Negara penghasilkayu ramin yang potensial saat ini hanya

Malaysia dan Indonesia. Kayu ramindiperdagangkan dalam berbagai produkseperti papan interior, komponenperabotan, pigura, lantai, pasak kayu danmainan anak-anak. Jenis-jenis ramin inihanya tumbuh di hutan gambut dantersebar secara mengelompok di Sumatradan Kalimantan (Jayusman 2007). Salah

Page 27: jurnal biologi indonesia nhaaa

174

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

satu populasi alam ramin yang masihtersisa adalah di area hutan konsesiProvinsi Riau, Sumatra.

Seperti halnya dengan jenis-jeniskayu komersil lainnya, jenis ini banyakdieksploitasi untuk diambil kayunyasehingga keberadaannya terancampunah. Hal ini diperburuk dengankenyataan bahwa ramin memiliki siklusregenerasi yang sangat sulit dan lambat,baik di habitat alaminya maupun di areapercobaan. Kesulitan dalam mengem-bangkan ramin melalui kultur jaringanjuga dialami oleh Laboratorium KulturJaringan di Bidang Botani Puslit Biologi-LIPI. Ramin dikategorikan sebagai jenisterancam dengan status rawan (VuA1cdIUCN 2008) dan dimasukkan dalamAppendix II CITES (2009).

Studi keragaman genetika dilakukanuntuk mengetahui variasi genetika padatingkat individu maupun populasi yangsalah satunya untuk tujuan konservasigenetik, populasi maupun jenis. Studi initelah dilakukan dengan menggunakanberbagai marka baik molekuler (RandomAmplified Polymorphic DNA (RAPD),Amplified Fragment Length Polymor-phism (AFLP), Random FragmentLenght Polymorphism (RFLP), SimpleSequence Repeats (SSRs) maupunprotein (isozyme dan allozyme).Beberapa studi sudah dilakukan untukmemperkirakan keragaman genetikaramin, termasuk mengembangkan markamikrosatelit untuk melacak asal usullokasi ramin untuk mencegahperdagangan kayu illegal (Smulders et al.2007) dan pengembangan protokolekstraksi kayu olahan ramin (Asif &Cannon 2005). Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui keragaman genetikaantar individu dan populasi ramin dikawasan propinsi Riau denganmenggunakan marka RAPD.

RAPD adalah marka molekuleryang telah banyak digunakan untukidentifikasi genotipe (Jimenez et al. 2002;Poerba et al. 2007) dan kultivar (Maliket al. 2006; Shabaan et al. 2006; Jain etal. 2007) serta memperkirakan keraga-man genetika jenis-jenis pohon kayutropis (Siregar et al. 2008; Rath et al.1998; Poerba et al. 2007). Keuntunganutama dari RAPD adalah menghasilkanpolimorfisme yang cukup tinggi, randomsampling dalam genom total dan secarateknis cukup cepat dan mudah dilakukan.Kekurangan dari penggunaan markaRAPD yaitu marka ini hanya mengam-plifikasi alel dominan dan memiliki tingkatkeberulangan yang rendah. Hal ini dapatdiatasi antara lain dengan melakukanamplifikasi PCR lebih dari satu kali untukmemastikan konsistensi hasil yangdiperoleh.

BAHAN DAN CARA KERJA

Sampel ramin yang dianalisis dalamstudi ini sejumlah 28 (Tabel 1) yangberasal dari enam populasi alam dipropinsi Riau (Gambar 1). Populasi 1, 2and 3 berada di area konsesi PT RiauAndalan Pulp and Paper (RAPP),populasi 4 dan 6 berada di PT Ara AraAbadi, dan populasi 5 berada dalamkonsesi PT Bina Daya Bintara. Sampelini dikoleksi dalam bentuk daun yangdikeringkan dalam silica gel.

Page 28: jurnal biologi indonesia nhaaa

175

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

No. populasi

No sampel

Jumlah sampel

Lokasi Keterangan

1 1-4 4 Palawan Pohon induk 2 5-7 3 Sungai Kutub Alam Lestari Anakan 3 8-10, 26 4 Blok Palalawan, Palalawan, Blok Konservasi,

Palalawan Batas Konservasi, Triomas Serapung Anakan

4 11, 13-19 8 Serapung A, Palalawan Batas Anakan 5 12, 20,

27-28 4 Blok Palalawan Anakan

6 21-25 5 Serapung Tengah Anakan

Tabel 1. Daftar sampel ramin dari setiap populasi.

1 23

46

5

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel pada enam populasi ramin di propinsi Riau. 1) Palawan,2) Sungai Kutub Alam Lestari, 3) Blok Palalawan, Palalawan, Blok Konservasi, PalalawanBatas Konservasi, Triomas Serapung, 4) Serapung A, Palalawan Batas, 5) Blok Palalawan,6) Serapung Tengah.

Ekstraksi total DNA genomEkstraksi DNA dilakukan dengan

mengikuti protokol Delaporta et al.(1983). Lima µL total DNA dielektro-foresis dalam 0.7% gel agarosa dalamlarutan penyangga TEA(Tris-EDTA),kemudian diwarnai dengan ethidiumbromida, lalu divisualisasi menggunakanlampu ultraviolet kemudian difoto denganmenggunakan gel documentationsystem untuk memastikan kuantitas dankualitas DNA.

Analisis RAPDAnalisis RAPD yang dilakukan pada

studi ini mengikuti protokol William et al.(1990) dengan menggunakan lima primerRAPD (Operon Technology Ltd) yangdiseleksi dari 10 primer RAPD dariOperon Kit A, B, C, N, dan U. ReaksiPCR dilakukan dua kali ulangan untukmemastikan konsistensi profil yangdihasilkan. Hasil amplifikasi PCRdivisualisasi pada gel agarosa 2.0% dalamlarutan penyangga TEA secara

Page 29: jurnal biologi indonesia nhaaa

176

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

elektroforesis, lalu diwarnai denganetidium bromida. Hasil pemisahanfragmen DNA dideteksi dengan meng-gunakan UV transluminator, kemudiandifoto dengan menggunakan geldocumentation system. Sebagai standardigunakan 100 bp plus DNA marker(Promega) untuk menetapkan ukuran pitahasil amplifikasi DNA.

Analisis dataSkor data

Setiap pita RAPD dianggap sebagaisatu lokus putatif. Hanya lokus yangmenunjukkan pita yang jelas yangdisekor: ada (1) dan tidak ada (0).Matr iks binari fenotip RAPD inikemudian disusun untuk digunakan padabeberapa analisis.

Keragaman genetikaParameter-parameter yang

digunakan untuk mengkarakterisasi polakeragaman genetika dikalkulasi denganmenggunakan program POPGENE ver.1.31 (Yeh et al. 1997) dibawah asumsihukum keseimbangan Hardy-Weinberg.

Parameter yang digunakan untukmengukur keragaman genetika dalampopulasi adalah 1) Prosentase LokusPolimorfik (PLP, Nei 1973); 2) Jumlahalel putatif per lokus (na); 3) Jumlah alelefektif per lokus/gene pool (ne,, Hartl &Clark 1989); 4) keragaman genetika yangdiharapkan (H/He=expected heterozy-gosity (Nei 1973) dan keragamanfenotipik berdasarkan Shannon’sinformation index (Lewontin 1972).

Sedangkan parameter yangdigunakan untuk mengukur keragamangenetika antar populasi adalah 1) Nei’s

(1978) unbiased measures of geneticdistance; 2) the relative magnitude ofdifferentiation among populations(GST=Dst/Ht, Nei 1987); 3) Gene flow(Nm, Mc Dermott & McDonald 1993).

HASIL

Profil dan distribusi RAPD dipopulasi

Lima primer RAPD digunakandalam penelitian ini dan diperoleh 111fragmen DNA yang dihasilkan,berukuran dari 100 hingga 2800pb(pasang basa), yakni 99.11% diantaranyamerupakan pita polimorfik (Tabel 2).Primer OPD-20 menghasilkan pitaterbanyak (28) sedangkan primer OPU-12 menghasilkan pita tersedikit (17). Ada11 pita umum yang dijumpai pada seluruhpopulasi, yang sebagian besar berasaldari primer OPD-20. Sementara itu ada15 pita unik yang terdapat pada populasitertentu yang umumnya dijumpai padapopulasi 4 (Tabel 2).

Keragaman genetikaKeragaman genetika tertinggi

dijumpai pada populasi 3 dan 4 masing-masing berdasarkan parameter He(0,1858) dan I (0,2864). Keragamangenetika terendah dijumpai pada populasi1 dan 2 masing-masing berdasarkanparameter He (0,1438) dan I (0,2201)(Tabel 3).

Nilai total keragaman genetika padasemua populasi (Ht) adalah 0.1982+0,0179 dengan nilai rata-rata keragamangenetika dalam populasi (Hs) adalah0,1606+ 0,0097. Nilai keragamangenetika antar populasi (Dst) adalah

Page 30: jurnal biologi indonesia nhaaa

177

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Tabel 2. Sebaran pita polimorfik RAPD pada enam populasi ramin di propinsi Riau.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 M

Gambar 2. Salah satu profil RAPD yang dihasilkan dari primer OPN-14 menunjukkan pita- pita DNA polimorfik. M: DNA marker. Angka 1-28: nomor sampel. Anak panah menunjukkan pita umum ukuran 1800 pb.

Tabel 3. Keragaman genetika setiap populasi ramin.

Nama primer

Urutan DNA primer

Jumlah dan ukuran pita terpendek-terpanjang

Ukuran pita umum

Ukuran pita unik pada setiap populasi

1 2 3 4 5 6

OPB-15 GGAGGGTGTT

19 (100-1600 pb)

100 350 1300 500 1500 450 950 1600

OPC-16 CACACTCCAG

22 (300-1600 pb)

650 700 900

- - - 450 750

- 400

OPD-20 ACCCGGTCAC

28 (300-1800 pb)

800 850 1400 1800

- - - -

750 - - -

- - - -

- - - -

- - - -

- - - -

OPN-14 TCGTGCGGGT 25

(400-1800 pb) 1800 - - - - - -

OPU-12 TCACCAGCCA 17

(300-1200 pb) 650 1500 450 - 650 400 350

Jumlah 111 11 2 3 1 4 2 3

Populasi Jumlah sampel

Jumlah lokus polimorfik

PLP (%) na ne He I

1 4 50 44.64

1,4464 1,2334 0,1438 0,2214

2 3 44 39,29 1,3929 1,2525 0,1480 0,2201 3 4 62 55,36 1,5536 1,3013 0,1859 0,2838

4 8 80 71,43 1,7143 1,2679 0,1769 0,2864 5 4 55 49,11 1,4911 1,2541 0,1574 0,2427 6 5 61 54,46 1,5446 1,2353 0,1520 0,2415

Page 31: jurnal biologi indonesia nhaaa

178

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

Tabel 4. Nilai Ht, Hs, Dst, GST dan Nm

0,1894, jauh lebih rendah Ht dan Hs.Differensiasi genetika (Gst) yang adaantar populasi adalah 95.56% dan geneflow (Nm) yang terjadi antar populasi2,1393 (Tabel 4). Sedangkan nilai Gstuntuk individual marka RAPD berkisarantara 0.0045 (OPB15-18)- 0.3097(OPD20-23).

Jarak genetika dan analisis klusterJarak genetika tertinggi (0.0491)

tercatat antara populasi 2 dan 5,sedangkan jarak genetik terendah(0.0181) tercatat antara populasi 1 dan 2(Tabel 5).

Dendrogram UPGMA (Gambar 3)menyajikan gambaran kesamaangenetika keenam populasi berdasarkanmatriks jarak genetika Nei (1978) (Tabel5). Populasi 3 dan 4 serta 1 dan 2memiliki kesamaan yang terbanyak,sesuai dengan jarak genetik yang cukupkecil (Tabel 5) sehingga membentuk duakelompok di terminal cabangdendrogram. Berikutnya populasi 6 yangterdekat dengan kedua kelompok ini dan

Tabel 5. Jarak genetika antar populasi ramin berdasarkan Nei’s Unbiased Measures.

populasi 5 terletak di dasar dendrogram.

PEMBAHASAN

Profil dan distribusi RAPD dipopulasi

Jumlah pita yang dihasilkan setelahamplifikasi DNA dengan PCR sangatbergantung pada bagaimana primermengenal urutan DNA komplementernyapada cetakan DNA (DNA template)yang digunakan (Tingey et al. 1994).Polimorfisme pita-pita RAPD yangdihasilkan dari penelitian ini sangat tinggi(99,11% polimorfik). Duplikasi reaksiPCR juga menghasilkan keberulanganyang memuaskan sehingga hal inimenunjukkan bahwa primer yangdiseleksi menghasilkan profil RAPDyang cukup konsisten.

Variasi genetika yang ditemui padapenelitian ini berdasarkan perbedaan polapita RAPD yang dijumpai pada individuramin. Secara umum, 111 pita RAPDini menyebar rata di seluruh individuramin. Namun ada pita-pita tertentu

Populasi 1 2 3 4 5 6 1 **** 2 0,0181 **** 3 0,0251 0,0225 **** 4 0,0197 0,0331 0,0196 **** 5 0,0407 0,0491 0,0294 0,0253 **** 6 0,0235 0,0359 0,0366 0,0299 0,0319 ****

Ht Hs Gst Dst Nm Rerata 0,1982+ 0,0179 0,1606+ 0,0097 0,9956 0,1894 2,1393

Page 32: jurnal biologi indonesia nhaaa

179

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

yang dijumpai di seluruh individu dan pitaunik yang hanya dijumpai di populasitertentu atau bahkan di individu tertentu.Terdapatnya pita-pita tertentu yanghanya dijumpai pada populasi tertentumaka pita-pita unik tersebut berpotensiuntuk dijadikan marka untuk identifikasiprovenance. Namun demikian, untukmenjadikan RAPD sebagai markadiagnostik tingkat populasi masih perluditunjang studi lanjutan, karena jumlahsampel yang terdapat pada populasi 2khususnya (3 individu) masih sangatminim. Apabila jumlah sampeldiperbanyak akan ada kemungkinanditemukan pita-pita unik lainnya atausebaliknya pita unik menjadi pita umum.Namun mengingat densitas ramin yangcukup kecil (~1 pohon/hektar) makajumlah individu sampel yang didapatkanjuga cukup kecil.

Keragaman genetikaJumlah individu yang dicuplik untuk

sampel bervariasi antara 3 hingga 8(Tabel 3). Rendahnya jumlah sampeldisebabkan oleh rendahnya densitasramin. Hal ini kemungkinan disebabkanterjadinya fragmentasi habitat ramin yangcukup parah sehingga populasi-populasiramin terpisah menjadi sub-populasi yanghanya berisi beberapa individu dalamjumlah kecil. Menurut hasil crusing PTDiamond Raya Timber, sejak tahun 1999telah terjadi penurunan potensi pohonsebesar 80% dan saat ini ini densitasramin di area tersebut adalah 0.7 pohon/hektar (Jayusman 2007).

Penurunan ukuran populasi dapatmenyebabkan terisolasinya populasi-populasi menjadi populasi kecil, seringkalihanya terdiri kurang dari 50 individu.

0.0360 0.0180 0.0000

0.1

pop5

pop6

pop1

pop2

pop3

pop4

Populasi 1

Populasi 2

Populasi 3

Populasi 4

Populasi 5

Populasi 6

Gambar 3. Dendrogram pengelompokkan enam populasi ramin berdasarkan jarak genetika Nei (1978).

Page 33: jurnal biologi indonesia nhaaa

180

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

Rendahnya jumlah individu dalam setiappopulasi dapat menjadi ancamantersendiri bagi kelangsungan hidup raminkarena dapat menyebabkan terjadinyaerosi genetik dan tingginya diferensiasiantar populasi. Hasil penelitian kamimenunjukkan bahwa terdapat differen-siasi genetika yang sangat tinggi (99,56%)diantara populasi ramin. Sementara itu,nilai total keragaman genetika populasiramin (Ht: 0,1982) termasuk rendahdibanding jenis tumbuhan hutan tropisterancam lainnya, Metasequoiaglyptostroboides (H: 0,318, Li et. al.2005), tetapi lebih tinggi dibandingDipterocarpus littoralis (H: 0,1958).Rendahnya nilai keragaman genetikadalam populasi ini tidak sesuai dengankenyataan yang umumnya terjadi padajenis-jenis tumbuhan menyerbuk silang.Ramin, seperti halnya jenis-jenistumbuhan tropis lainnya adalah jenistumbuhan dominan di hutan rawa gambut,late successional dan menyerbuksilang. Pada jenis-jenis menyerbuk silangseperti ini biasanya nilai keragamangenetika dalam populasi lebih tinggidaripada antar populasi (Loveless &Hamrick 1984; Hamrick & Godt 1989;Pither et al., 2003). Sebaliknya, telahterjadi pada ramin yang diteliti.Rendahnya keragaman genetika raminkemungkinan disebabkan oleh terjadinyainbreeding antar individu dalam populasiyang jumlahnya sedikit sehingga variasigenetik yang ada juga rendah ataubahkan selfers pada individu. Terjadinyainbreeding dan/atau self fertilisation,memang sulit untuk dibuktikan terutamapada ramin yang memiliki jangka hidup

panjang. Namun hal ini merupakan salahsatu penjelasan yang bisa dipaparkan.

Ancaman lain bagi kelangsunganhidup ramin adalah rendahnya tingkatregenerasi. Dari informasi yangdiperoleh di lapangan, tingkat predasiramin oleh mamalia kecil (tupai) danburung (rangkong) cukup tinggi. Masaberbuah ramin rata-rata setiap 3-5 tahunsekali yang seringkali merupakan panenraya. Tingginya predasi mengakibatkanberkurangnya jumlah biji yang dapatberkecambah menjadi semai. Kemam-puan semai untuk berkembang jugasangat rendah karena berbagai faktor,antara lain serangan herbivor dan matikekeringan, sehingga seringkali sulitmenjumpai anakan ramin di habitatalaminya. Teknik budidaya ramin jugabelum sepenuhnya dikuasai hingga saatini. Sementara itu ramin merupakan jeniskayu favorit dalam dunia perdagangankayu yang terus diminati. Seluruh kondisiini cukup memprihatinkan, dan apabiladibiarkan berlanjut, dikhawatirkan raminakan segera mengalami kepunahan.

Jarak genetika dan analisis klusterPopulasi 5 dan 6 tidak mengelompok

bersama dengan populasi-populasi lain.Hal ini kemungkinan karena individu-individu ramin yang berada di keduapopulasi ini memiliki alel yang palingberbeda yang tercermin dari profilRAPD mereka.

Tingginya jarak genetik antarapopulasi 2 dan 5 yang juga tercermin daripola pengelompokkan pada dendrogram,kemungkinan disebakan oleh rendahnyajumlah individu yang tercuplik dimanakesemua individu dalam kedua populasi

Page 34: jurnal biologi indonesia nhaaa

181

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

ini juga memiliki alel yang sangatberbeda. Kedua populasi ini terletak padadua hutan konsesi yang berbeda (Gambar1) dalam jarak yang cukup jauh sehinggakemungkinan terjadinya percampuranmateri genetik baik melalui pollenmaupun pencaran biji antar keduapopulasi ini juga sangat kecil.

Sedangkan mengelompoknyapopulasi 3 dan 4 –yang secara geografisjaraknya cukup jauh (Gambar 1)-kemungkinan disebabkan oleh dua hal.Yang pertama, adanya kesamaan profilRAPD yang dihasilkan dari amplifikasiPCR. RAPD menggunakan primeruniversal yang mengamplifikasi daerahgenom DNA secara acak, sehingga pita-pita DNA yang dihasilkan juga bersifatacak. Kedua, terdapatnya kemungkinanbahwa beberapa individu pada keduapopulasi berasal dari provenance yangsama- apabila terjadi introduksi padakedua populasi tersebut. Namun hal yangkedua kemungkinan kecil terjadi, karenasemua ramin yang berada dalam areakonsesi ini merupakan hutan alam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasihkepada PT Riau Andalan Pulp and Paperatas fasilitas dan ijin pengumpulanmaterial di area konservasi kawasan HTIRAPP. Terima kasih juga kepada Sdri.Agustina dan Herlina yang telah memberibantuan teknis terhadap penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asif, M.J. & C.H. Cannon. 2005. DNAextraction from processes wood: a

case study for the identification ofendangared timber species(Gonystylus bancanus). PlantMol. Biol. Reporter 23: 185-192.

Convention on International trade inendangered species of wild floraand fauna. 2009. Appendices I, IIand III. Valid from 22 May 2009.P. 40.

Delaporta, SL., J. Wood, & JB. Hicks.1983. A plant DNA minipre-paration. Version II. Plant Mol.Biol. Reporter 4:19–21.

Hamrick, JL., & MJW. Godt, 1989.Allozyme diversity in plant species.Dalam: Brown, AHD, MJ. Clegg,AL. Kahler, & BS. Weir (eds.).Plant population genetics,breeding and genetic resources.Sinauer Associates, Sunderland,Massachusetts.

Hartl, DL. & AG. Clark. 1989.Principles of population gene-tics. 2nd ed. Sinauer Associates,Sunderland, Massachusetts.

IUCN. 2008. Red List of EndangeredSpecies. International Union for theConservation of Nature andNatural Resources, Gland.Switzerland. Available from URL:http://www.iucnredlist.org/

Jayusman. 2007. Degradasi sumberdayagenetik jenis ramin dan upayapenyelamatannya. Apforgennewsletter 4:1-4.

Jain, PK, L. Saini, MH. Pathak & VK.Gupta. 2007. Analysis of geneticvariation in different banana(Musa species) variety usingrandom amplified polymorphic

Page 35: jurnal biologi indonesia nhaaa

182

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

DNAs (RAPDs). African J.Biotech. 6 (17): 1987-1989.

Jiminez , JF., P. Sanchez-Gomez, J.Guemes, O. Werner & JA.Rossello. 2002. Genetic variabilityin a narrow endemic snapdragon(Antirrhinum subaeticum,Schrophulariaceae) using RAPDmarkers. Heredity 89(5): 387-393.

Lewontin, R.C. 1972. The apportionmentof human diversity. J. Evol. Biol.6: 381-398.

Li, YY., XY. Chen, X. Zhang, TY. Wu,HP. Lu, & YW Chai. 2005.Genetic differences between wildand artificial populations ofMetasequoia glyptostroboidesHu et Cheng (Taxodiaceae):Implication for species recovery.Conser. Biol. 19: 224-231.

Loveless, MD. & JL. Hamrick. 1984.Ecological determinants of geneticstructure in plant populations. Ann.Rev. Ecol.& Syst. 15: 65-95.

Malik, SK., R. Chaudhury, OP. Dhariwal& R.K. Kalia. 2006. Collection andcharacterisation of Citrus indicaTanaka and C. macroptera Montr.:wild endange-red species of northeastern India. Gen. Res. & CropEvol. 53: 1485-1493.

McDermott, JM. & BA. McDonald.1993. Gene flow in plant pathosys-tems. Ann.Rev. Phytopathology31: 353-373.

Nei, M. 1978. Estimation of averageheterozygosity and genetic distancefrom a small number of individuals.Genetics 89: 583-590.

Nei, M. 1973. Analysis of gene diversityin subdivided populations.

Proceedings of the NationalAcademy Sciences USA 70: 3321-3323.

Pither, R., JS. Shore, & M. Kellman.2003. Genetic diversity of thetropical tree Terminalia amazonia(Combretaceae) in naturallyfragmented populations. Heredity.91(3): 307-313.

Poerba, YS., A. Wawo, & KS. Yulita.2007. Keragaman Fenotipe RAPDSantalum album L. di Pulau Timorbagian timur. Berita Biologi 8(6):537- 546.

Shaaban, EA., S. Abd-El-Aal SKH., NS.Zaied & AA. Rizkalla. 2006.Assessment of genetic variabilityon some orange accessions usingRAPD DNA markers. Res. J.Agri.& Biol.Sci 2(6): 564-570.

Siregar, IZ., T. Yunanto, & PPamoengkas. 2008. Implikasigenetik metode pembiakantanaman Shorea johorensisFoxw. Pada sistem silvikulturtebang pilih tanam jalur (TPTJ).Biodiversitas 9(4): 250-254.

Smulders, MJM., WPC. Van TWestende, B. Diway, G.D.Esselink, P.J. Van Dr Meer, & J.M.Koopman. 2007. Development ofmicrosattelites markers inGonystylus bancanus (Ramin)useful for tracing and trackingwood of this protected species.Molecular Ecology Notes.(Proof. read. version)

Tingey, SV., JA. Rafalski, & MK.Hanafey. 1994. Genetic analysiswith RAPD markers: In Plant

Page 36: jurnal biologi indonesia nhaaa

183

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Molecular Biology. C. Coruzzi &P. Puidormenech (Eds.) p.491-498.

Williams, JG., AR. Kubelik, KJ. Livak,J.A. Rafalsky, & S.V. Tingev.1990. DNA polymorphismamplified by arbitrary primers areuseful as genetic markers. NucleicAcids Research 18(22): 6531-6535.

Yeh, FC., RC. Yang, TBJ. Boyle, ZH.,Ye, JX. Mao 1997. POPGENE(version 1.31), the user-friendlyshareware for population genetic

analysis. Molecular Biology andBiotechnology centre, University ofAlberta, Edmonton. Alberta,Canada. Available free at http://www.ualberta.ca/~fyeh.

Yulita, KS & T. Partomihardjo. 2010.Keragaman genetika populasipelahlar [Dipterocarpus littoralis(Bl.) Kurz] di PulauNusakambangan berdasa-rkanprofil Enhanced Random AmplifiedPolymorphic DNA. BeritaBiologi (in press.)

Memasukkan: Juni 2009Diterima: Desember 2009

Page 37: jurnal biologi indonesia nhaaa

185

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 185-194 (2010)

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi(Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah,

Indonesia

Awal Riyanto1, Suprayogo Soemarno2 dan Achmad Farajallah3

1)Museum Zoologicum Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI, Gd Widyasatwaloka, Jl. RayaJakarta Bogor Km.46 Cibinong 16911; Email: [email protected],

[email protected])KIRAI Indonesia, Jl. Taman Sari II/58, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta

3)FMIPA Jurusan Biologi IPB, Kampus Darmaga, Bogor.

ABSTRACT

The Loss and Recent Condition Habitat of Sulawesian Tortoise (Indotestudo forstenii) atCape Santigi, Central Sulawesi, Indonesia. Unsupervised method of remote sensing wasapplied were evaluated to compute the habitat loss during five years, from 2001 to 2005 usingMultispecW32 software. Meanwhile, the fieldwork was done from 22 to 30 June 2007 todetermine the recent condition of habitat at Sologi hill, a part area of Cape Santigi. During fiveyears (from 2001 to 2005) the forest (habitat) in Cape Santigi was loss making up 60.04 % (rate= 419.25 ha/year). Sologi hill forest was shown as a remaining habitat in Cape Santigi. Vegetationin Sologi hill forest is relatively still good, but is threatened by human activities. We suggesteddeveloping the natural preserve to protect this tortoise, habitat and ecosystem also otherwildlife at Sologi hill.

Key words: Indotestudo forstenii, habitat, Cape Santigi, Central Sulawesi, Indonesia.

PENDAHULUAN

Fauna Sulawesi adalah palingistimewa di Indonesia, dengan tingkatendemisitas tinggi pada kelompokmamalia darat, amfibia dan reptilia(Whitten et al. 1987; Gillespie et al.2005). Semula di Sulawesi diketahuihanya terdapat tiga jenis kura-kura daratdan air tawar, yaitu Kuya Batok (Cuoraamboinensis) dan dua jenis endemik,Baning Sulawesi (Indotestudoforstenii) dan Kura Hutan Sulawesi(Leucocephalon yuwonoi) (de Rooij

1915). Koch et al. (2008) melaporkantemuan sebaran jenis labi-labi (Amydacartilaginea) sebagai anggota baru bagikura-kura di Sulawesi.

Indotestudo forstenii adalah satu-satunya jenis kura-kura darat atau baningyang ditemukan di timur garis Wallacea(Hoogmoed & Crumly 1984) danterdistribusi dari Sulawesi Tengah hinggaSulawesi Utara (Platt et al. 2001; Riyantoet al. 2008; Ives et al. 2008). Di alam,baning ini hidup dalam hutan perbukitanhingga ketinggian 200 m di ataspermukaan laut, tetapi dijumpai juga di

Page 38: jurnal biologi indonesia nhaaa

186

Riyanto, Soemarno & Farajallah

perbukitan lembah Palu yang tandusyang dipenuhi Opuntia nigrican(Riyanto et al. 2008; Ives et al. 2008).

Semula Baning Sulawesi didugaterdiri atas beberapa cryptic species.Dugaan ini didasarkan pada variasikehadiran dan ketidak-hadiran kepingnuchal. Hasil penelitian Ives et al. (2008)menunjukkan bahwa ada tidaknya kepingnuchal ternyata tidak berkorelasi denganvariasi genetik dan disimpulkan sebagaigenetik serupa tetapi berbeda morfologi.Perbedaan morfologi tersebut didugasebagai respon lingkungan yang berbeda.

Saat ini Indotestudo forsteniidimasukkan dalam status Endangeredoleh IUCN 2009 dan Appendiks II olehCITES 2009. Dalam peraturanperundangan Republik Indonesia, jenis initidak termasuk dalam satwa lindungan,namun pemanenan dari alam diaturmelalui mekanisme kuota tangkap yangditetapkan oleh otoritas managemen atasdasar pertimbangan otoritas ilmiah(Samedi & Iskandar 2000). Meskipundemikian, aktivitas ilegal pemanenan danperdagangan baning ini masih terjadi(Riyanto et al. 2008). Ancaman bagikelestarian jenis ini juga datang darikehilangan habitat sebagaimana yangdinyatakan Whitten et al. (1987).

Penelitian mengenai habitat BaningSulawesi merupakan suatu kesempatanuntuk dapat lebih mengetahui danmemahami situasi terkini dari jenistersebut. Penelitian ini bertujuan untukmenentukan tingkat laju kehilanganhabitat dan evaluasi kondisi habitat yangtersisa saat ini dengan studi kasus diSemenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

BAHAN DAN CARA KERJA

Pemilihan kawasan SemenanjungSantigi sebagai lokasi penelitiandidasarkan pada hasil penelitian Platt etal. (2001) yang telah mencatat kebera-daan Baning Sulawesi di kawasantersebut dan informasi dari pemasok danpemburu kura-kura professional.Kepastian lokasi tersebut sebagai habitatbaning dimaksud, juga dibuktikan denganpencarian secara eksploratif pada hutanbukit Sologi dengan mengerahkan tenagalima orang untuk mencari Baning dandibantu seekor anjing pemburu. Penca-rian dilakukan dari pukul 9.00-16.00waktu setempat selama tiga hari (tiga kaliulangan).

Penentuan besar perubahan tutupanlahan dalam hal ini hutan yang menjadihabitat Baning Sulawesi di SemenanjungSantigi, Sulawesi Tengah dilakukanmelalui aplikasi penginderaan jauh(remote sensing) dengan metodaunsupervised. Aplikasi penginderaanjauh telah banyak digunakan dalambidang kehutanan. Menurut Lanya &Bruvoll (1994) data landsat sangat efektifdalam identifikasi perubahan pengggu-naan lahan hutan ke non hutan. Datalandsat (citra satelit) diunduh secaracuma-cuma dari United State Geolo-gical Survey (USGS; http://glovis.usgs.gov), citra satelit tersebut dipotret padatahun 2001 dan 2005. Dalam metodeunsupervised ini, citra satelit diklasifika-sikan menjadi 7 kelas pada konvergensi98%. Selanjutnya masing-masing clusterdiidentifikasi untuk ditentukan jenis tipetutupan lahannya. Unit area yang

Page 39: jurnal biologi indonesia nhaaa

187

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

digunakan untuk untuk masing-masingcluster adalah hektar.

Evaluasi kondisi terkini terhadaphabitat yang tersisa yaitu bukit Sologisuatu area hutan yang terletak ditenggara Semenanjung Santigi telahdilakukan dari tanggal 22 hingga 30 Juni2007. Data vegetasi diperoleh dengancara menempatkan petak cuplikansecara subyektif, yaitu pada t itikditemukannya Baning Sulawesi. Petakcuplikan dibuat berukuran 20 x100 m (0,2ha) menyesuaikan kondisi medan,kemudian pada petak tersebut dibuat: i)20 anak petak berukuran 10 x10 m untukpancacahan pohon (diameter batang 10cm), ii) 20 anak petak berukuran 5x5 muntuk pencacahan anak pohon (diameterbatang 5-10 cm), dan iii) 20 anak petakberukuran 2x2 m untuk pencacahantumbuhan bawah (diameter batang 2-4,9cm). Seluruh pohon di dalam anak petakdicacah, diukur diameter batang setinggidada dan ditaksir tinggi totalnya. Datasetiap jenis pohon dan anak pohon padasetiap anak petak dianalisis untukmengetahui frekuensi, kerapatan danluas bidang dasar. Jumlah nilai nisbiketiga variabel selanjutnya dijumlahkan

untuk mendapatkan indeks nilai pentingmasing-masing jenis pohon dan anakpohon.

Tingkat keragaman jenis ditentukanmenggunakan nilai indeks diversitasShannon Wiener (H’) dan kemerataannyadengan indeks kemerataan (E.).

HASIL

Laju kehilangan habitatPerubahan penutupan lahan dari

tahun 2001 hingga 2005 kawasanSemenanjung Santigi diilustrasikan padaGambar 2 dan hasil perhitungankuantitatif disajikan pada Gambar 3.Dalam kurun lima tahun dalam area seluas7959,51 ha pada kawasan SemenanjungSantigi, telah terjadi kehilangan hutanseluas 2096,23 ha (60,04 %) atau denganlaju 419,25 ha tiap tahunnya. Sementaraitu, telah terjadi perluasan area perkebunansebesar 1498,29 ha (260,05%).

Struktur vegetasiBentukan vegetasi pada bukit Salogi

tergolong relatif masih alami, pengaruhkegiatan manusia terbatas padapembalakan kayu dan pemungutan hasil

Gambar 1. Lokasi penelitian Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

Page 40: jurnal biologi indonesia nhaaa

188

Riyanto, Soemarno & Farajallah

hutan lain, sedang pembukaan hutanmenjadi lahan budidaya pertanian masihterbatas di daerah pantai landai ataupertemuan kaki-kaki bukit di pinggirpantai. Kerapatan pohon pada kawasanini tercatat 490 individu/ha dengan luasbidang dasar (LBD) sebesar 237.876cm2/ha dan rataan LBD/individu sebesar485 cm2. Kerapatan anak pohon tercatat2.480 individu/ha dengan LBD/ha 47.488cm2 dan rataan LBD/individu 19,1 cm2

(Tabel 1).Pola sebaran diameter batang dan

stratifikasi tajuk lokasi ini diilustrasikanpada Gambar 4. Tampak kelas diameterbatang yang terbentuk memperlihatkanpola teratur, membentuk huruf ‘J’ terbalik,dengan lebar sebaran 10-70 cm. Pola

sebaran stratifikasi tajuk juga memper-lihatkan kenampakan yang baik, dijumpailima stratum tajuk E-A, dengan stratumD (10-19 m) merupakan stratummenerus.

Komposisi jenisKomposisi jenis pohon, anak pohon

dan tumbuhan bawah di bukit Sologi-Semenanjng Santigi disajikan pada Tabel1. Pada kawasan ini, dalam luasan 0,2ha tercatat sebanyak 28 jenis pohon (18suku, 21 marga). Pada tingkat anakpohon dalam luasan 0,05 ha tercatat 31jenis (17 suku, 24 marga), sedangkanpada tingkat tumbuhan bawah dalamluasan 0,008 ha tercatat 45 jenis (22 suku,38 marga).

Gambar 2. Citra satelit perubahan penutupan lahan dalam lima tahun dari 2001 hingga 2005 diSemenanjung Santigi, Sulawesi Tengah setelah diolah dengan metode unsupervised.A. Kondisi tahun 2001. B. Kondisi tahun 2005.

Page 41: jurnal biologi indonesia nhaaa

189

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Jenis penyusun utama vegetasihutan pada habitat Baning Sulawesi dapatdiketahui dari Indeks Nilai Penting (INP)lebih dari 10% (Tabel 2) yang disusunoleh delapan jenis utama yaitu Coryphaelata, Streblus ilicifolia, Trema sp.,Diospyros sp3, Cleistanthussumatranus, Drypetes minahasae,Grewia acuminata, dan Prunus grisea.Adapun pada tingkat anak pohon disusunoleh sembilan jenis yaitu Streblusilicifolia, Streblus asper, Cleistanthussumatranus, Diospyros sp3, Pteros-

permum diversifolium, Croton tiglium,Garuga floribunda, Claoxylon affine,Callicarpa longifolia, dan Goniostomarupestre. Pada kelompok tumbuhanbawah didominasi oleh empat jenis utamayaitu Cleistanthus sumatranus,Diospyros sp3, Streblus asper danStreblus ilicifolia.

Diversitas dan kemerataan

Indeks diversitas (H’) dan indekskemerataan jenis (E) pohon (20 anak

Gambar 3. Perubahan luasan tutupan lahan di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah dalamkurun lima tahun (2001-2005).

Tingkat vegetasi Pohon Anak pohon Tumbuhan bawah Kerapatan (individu/ha) 490 2.480 - LBD per individu 485,4 19,1 - LBD (cm 2/ ha) 237.867,1 47.487,5 - Jumlah jenis 28 31 45 Jumlah marga 21 24 38 Jumlah suku 18 17 22 Indeks keragaman (H’) 1,333 1,341 - Indeks kemerataan (E) 0,878 0,875 -

Tabel 1. Data kuantitatif vegetasi pada habitat Baning Sulawesi di bukit Sologi-SemenanjungSantigi, Sulawesi Tengah.

Keterangan: LBD=luas bidang dasar

Page 42: jurnal biologi indonesia nhaaa

190

Riyanto, Soemarno & Farajallah

petak 10x10 m) dan anak pohon (20 anakpetak 5x5 m) disajikan pada Tabel 1.Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut,tampak bahwa vegetasi tingkat pohonmaupun anak pohon relatif sama dalamdiversitas maupun kemerataannya.Diversitas kedua tingkat vegetasi tersebuttergolong sedang (H’ pohon=1,333 danH’ anak pohon=1,341), sebab menurutSoerianegara (1996) diversitas dikatakantinggi bila memiliki nilai indeks Shannon-Wiener lebih dari 3,5. Namun demikiankemerataan jenis tingkat pohon dan anakpohonnya cukup tinggi dengan nilaimendekati satu (E pohon=0,878 dan Eanak pohon=0,875).

PEMBAHASAN

Laju kehilangan hutan kawasanSemenanjung Santigi termasuk sangatcepat. Dalam luasan 7959,51 ha padaperiode 2001 hingga 2005, kawasantersebut telah kehilangan hutan mencapai60,04% atau laju kehilangan hutansebesar 419,25 ha/tahun. Faktor utama

penyebab hilangnya hutan pada masa itudiduga akibat adanya program transmi-grasi yang mengkonversi hutan dataranrendah menjadi pemukiman dan lahanpersawahan (Platt et. al. 2001). Hal inisebelumnya juga telah disinggung olehWhitten et. al. (1987) dan Myers (1992)bahwa deforestasi di Sulawesi adalahsebagai hasil dari aktivitas logging,proyek perkebunan, pembalakan dankebijakan transmigrasi.

Hutan bukit Sologi yang terletak dibagian tenggara Semenanjung Santigidapat dipandang sebagai hutan atauhabitat yang tersisa, meskipun selamatiga hari pencarian hanya menemukansatu individu jantan Baning Sulawesi.Temuan ini berbeda dengan hasilwawancara dengan pemburu profesionaljenis kura-kura ini yang menyebutkanbahwa dua bulan sebelum penelitian inidilakukan mereka telah berhasilmenperoleh sebanyak 13 individu dengantotal jumlah hari pencarian tujuh hari padalokasi yang sama. Perbedaan temuanini kemungkinan disebabkan oleh

Gambar 4. Sebaran diameter batang (A) dan tinggi tajuk (B) pohon pada petak cuplikan dihutan bukit Salogi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

A B

Page 43: jurnal biologi indonesia nhaaa

191

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

konsekuensi sifat kelompok herpetofaunatermasuk jenis Indotestudo forsteniiseperti yang dinyatakan oleh Blomberg& Shine (1996), bahwa satwa kelompokherpetofauna umumnya bersifat kriptikdan bersembunyi sehingga sulit untukdijumpai. Sementara itu, sebagian besarhabitat di Semenanjung Santigi telahberalih fungsi menjadi lahan perkebunancoklat dan tidak pernah lagi ditemukansatupun individu Baning Sulawesi lagi.Hal ini cukup menggambarkan bahwakelangsungan hidup Baning Sulawesitergantung pada habitat hutan.

Hasil penelitian ini menunjukkanbahwa vegetasi area hutan bukit Sologimasih baik, yang ditunjukkan dari nilaiindeks diversitas, indeks kemerataanyang mendekati satu, pola sebaran

diameter batang teratur membentuk huruf‘J’ terbalik dan pola sebaran stratifikasitajuk juga memperlihatkan kenampakanyang baik dijumpai lima stratum tajuk E-A, dengan stratum D (10-19 m)merupakan stratum menerus. Secarafisiognomi tegakan membentuk strukturhorisontal dan vertikal cukup teratur.

Namun demikian, tekanan kegiatanmanusia yang dapat merusak kondisitersebut sudah terasa. Pada beberapabagian dari hutan bukit Sologi terutamabatas pasang surut hingga mendekatipunggung bukit sudah mulai mengalamialih fungsi menjadi lahan budidaya, sepertikebun jeruk dan ladang jagung. Lapisanhumus yang tebal pada lahan bukaanhutan baru terlihat mampu menopangpertumbuan jagung secara optimal pada

INP ≥ 10% Jenis Pohon Anak

pohon Tumbuhan

bawah Callicarpa longifolia - 10,0 - Claoxylon affine - 13,5 - Cleistanthus sumatranus 14,58 38,7 12,9 Corypha elata 40,35 - - Croton tiglium - 18,7 - Diospyros sp3 8,62 22,0 16,8 Drypetes minahasae 2,41 - - Garuga floribunda - 10,6 - Geniostoma rupestre - 11,5 - Grewia acuminata 7,50 - - Prunus grisea 1,89 - - Pterospermum diversifolium - 17,9 - Streblus asper - 12,3 38,0 Streblus ilicifolia 9,20 36,8 17,8 Trema sp. 28,00 - -

Tabel 2. Jenis utama penyusun bentukan vegetasi tingkat pohon, anak pohon dan tumbuhanbawah berdasarkan nilai INP ≥ 10% di bukit Sologi-Semenanajung Santigi, SulawesiTengah.

Page 44: jurnal biologi indonesia nhaaa

192

Riyanto, Soemarno & Farajallah

kawasan ini dan hal ini makinmenggiurkan bagi para penggarap lahan.Selain itu, pembalakan kayu juga mulaimerambah kawasan ini. Bentuk-bentukkegiatan ini bila tidak segera ditanganiakan menyebabkan rusak bahkanhilangnya habitat bagi Baning Sulawesidan satwaliar lainnya seperti burungMaleo, rusa timor dan ayam hutan.Dokumentasi beberapa aktivitas yangmengancam kelestarian hutan di bukitSologi disajikan pada Gambar 5.

Langkah penyelamatan hutan bukitSologi salah satunya dengan menjadikan-nya sebagai cagar alam. Selain BaningSulawesi, dengan terjaganya keutuhanbukit Sologi maka satwaliar lainnya jugaakan ikut lestari seperti rusa timor, burungmaleo dan ayam hutan yang jugaditemukan pada lokasi tersebut ketikapenelitian ini dilakukan. Penetapankawasan hutan Sologi menjadi cagar alamhendaknya dilakukan secara persuasifdan partisipasif terutama terhadap parapenggarap lahan di area tersebut. Parapenggarap ini adalah sebagian kecilwarga berbagai desa di kawasanSemenanjung Santigi yang t idakmempunyai lahan garapan di desamereka. Dalam rangka penetapan hutanSologi sebagai cagar alam danpembuatan serta pelaksanaan programkonservasi insitu Baning Sulawesidiperlukan adanya suatu Project DesignMatrix (PDM) yang baik. PDM yangbaik disusun melalui metoda ProjectCycle Management (PCM) yangmelibatkan banyak stake holder sepertidepartemen kehutanan, pemerintahdaerah, masyarakat lokal/penggarap danperguruan tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kawasan Semenanjung Santigidalam kurun 5 tahun (2001-2005) telahmengalami kehilangan hutan sebanyak2.096,23 ha (60,04%) dengan lajukehilangan mencapai 419,25 ha/tahun.

Ada kecenderungan bahwa hutanbukit Sologi merupakan habitat yangtersisa di kawasan Semenanjung Santigi,Sulawesi Tengah. Hal ini dibuktikan darimasih ditemukannya individu BaningSulawesi (Indotestudo forstenii) padahutan bukit Sologi, sedangkan padahabitat yang sudah beralih fungsi menjadilahan perkebunan coklat sudah tidakditemukan individu Baning Sulawesi lagi.

Kondisi hutan bukit Sologi masihbaik dan mendesak untuk segeraditetapkan menjadi cagar alam sebagaiupaya konservasi insitu bagi BaningSulawesi. Upaya konservasi ini membu-tuhkan suatu PDM yang baik yangdibuat melalui metoda PCM denganmelibatkan banyak stake holder sepertidepartemen kehutanan, pemerintahdaerah, masyarakat lokal/penggarap danperguruan tinggi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasihkepada Dr. Anders G.J. Rhodin (TurtleConservation Fund) atas dukungan untukpenelitian ini. AR mengucapkan teri-makasih kepada Dr. Masami Kanekodan Dr. Buho Hoshino (Rakuno GakuenUniversity, Jepang), Dr. Rika Akamatsu(EnVision, Japan) dan Takashi Ono (En-Vision, Jepang) yang telah memberikanpengetahuan mengenai GIS dan Remote

Page 45: jurnal biologi indonesia nhaaa

193

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Gambar 5. Beberapa aktivitas alihfungsi hutan yang sedang berlangsung di area hutan BukitSologi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah. A-Pembukaan hutan pada bagianpunggung bukit. B-Pembalakan liar skala kecil. C-Ladang jagung dan kebun jeruk(tanda panah).

Sensing yang diseleng-garakan JICA.Terimakasih juga ditujukan kepada bapakIsmail Rachman (HB Cibinong-LIPI)atas bantuannya dalam identifikasi spesi-men tumbuhan. Penelitian ini dibiayai olehTurtle Conservation Fund-CI USA.

DAFTAR PUSTAKA

Bloomberg, SB. & R. Shine. 1996.Reptile. In: Sutherland, WJ. (Ed).Ecological Census Techniques aHandbook. Cambridge UniversityPress. Cambridge. 218-226.

Dombois, DM & H. Ellenberg. 1974.Aims and Methods of vegetationEcology. John Wiley & Sons.New York.

Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M.Scroggie & Boeadi. 2005.Herpetofaunal Richness andCommunity Structure of OffshoreIslands of Sulawesi, Indonesia.Biotropica 37(2): 279–290.

Hoogmoed, MS & CR. Crumly. 1984.Land tortoise types in theRijksmuseum van NatuurlijkeHistorie with comments onnomenclature and systematic(Reptilia: Testudines: Testudini-dae). Zool. Med. Leiden 58: 259-341

Ives, I., PQ. Spinks & HB. Shaffer.2008. Morphological and geneticvariation in the endangeredSulawesi tortoise Indotestudo

Page 46: jurnal biologi indonesia nhaaa

194

Riyanto, Soemarno & Farajallah

forstenii: evidence of distinctlineages? Con. Gen 9:709–713.

Ives, I., SG. Platt, JS. Thasirin, I.Hunowu, S. Siwu & TR.Rainwater. 2008. Field Surveys,Natural History Observations, andComments on the Exploitation andConservation of Indotestudoforstenii, Leucocephalon yuwo-noi, and Cuora amboinen-sis inSulawesi, Indonesia. ChelonianCon. Biol 7(2): 240–248.

Koch, A., I. Ives, EA. Arida & DT.Iskandar. 2008. On the Occurren-ce of the Asiatic Softshell Turtle,Amyda cartilaginea (Boddaert,1770), on Sulawesi, Indonesia.Hamadryad 32(2): 198 – 204.

Lanya, I. & B. Bruvoll. 1994. AplikasiRemote Sensing Untuk Identi-fikasi, Pemantauan dan PemetaanPenggunaan Lahan di KecamatanSeserida dan Sekitarnya Kabupa-ten Indragiri Hulu, Riau. ProsedingProceedings of the NORINDRASeminarJakarta, 25-26 May1993.

Myers, N. 1992. The Primary Source:Tropical Forests and Our Future.W.W. Norton Co. New York.

Platt, SG., RJ. Lee & WK. Michael.2001. Notes on the Distribution,Life History, and Exploitation of

Turtle in Sulawesi, Indonesia, with2 Emphasis on Indotestudoforstenii and Leucocephalonyuwonoi. Chelonian Con. Biol.4:154-159.

Riyanto, A., A. Farajallah & J. Arisona.2008. The Endangered SulawesiTortoise (Indotestudo forstenii):Behavior, habitat, population inthe wild and the harvest level.Annual Report to TCF & CI, USA.

Rooij, Nde. 1915. The Reptiles of TheIndo Australian Archipelago I(Lacertilia, Chelonia, Emydo-sauria). E.I. Brill. Ltd. Leiden.

Samedi & DT. Iskandar. 2000. Fresh-water Turtle and Tortoise Conser-vation and Utilization in Indonesia.Proceeding of a Workshop onConservation and Trade ofFreshwater Turtle and Tortoise inAsia. Phnom Penh, Cambodia, 1-4 December. 106-111.

Soerianegara, I. 1996. Ekologi,Ekologisme dan PengelolaanSumberdaya Hutan. JurusanManajemen Hutan FakultasKehutanan IPB. Bogor.

Whitten, AJ., M. Mustafa & GS.Henderson. 1987. The Ecologyof Sulawesi. Yogyakarta, Indone-sia: Gadjah Mada University Press.

Memasukkan: Oktober 2009Diterima: Januari 2010

Page 47: jurnal biologi indonesia nhaaa

195

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 195-209 (2010)

Plant- â Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest ofthe Waigeo Raja Ampat Islands: with Special Reference to The

Threatened Species

Didik Widyatmoko

UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas – LIPI,Jl. Kebun Raya Cibodas, Sindanglaya, Cianjur 43253, Email: [email protected]

ABSTRACT

Keragaman â dan Komposisi Tumbuhan di Hutan Gunung Nok dan Waifoi Waigeo KepulauanRaja Ampat: Dengan Perhatian Khusus Pada Species yang Terancam Kepunahan RajaAmpat merupakan kepulauan di Papua Barat yang terdiri atas sekitar 610 pulau; empat diantaranya merupakan pulau besar (Waigeo, Salawati, Batanta, dan Misool). Ekspedisi danstudi ekologi dilakukan di Gunung Nok dan Hutan Waifoi (Pulau Waigeo) pada tahun 2007.Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mempelajari komposisi dan keragaman beta (â-diversity)flora Gunung Nok dan Hutan Waifoi yang merupakan area penting di Cagar Alam Pulau WaigeoTimur; mengkaji status populasi dari spesies-spesies endemik atau yang terancam kepunahan;serta mempelajari karakteristik habitat flora endemik atau terancam kepunahan . Survei komposisidan kelimpahan populasi dilakukan dengan menggunakan metode cuplikan sabuk transek(transect belts) dan kuadrat yang disusun secara sistematis bergantian di ke dua sisi sabuktransek di dua lokasi penelitian. Formasi dan keragaman beta vegetasi Gunung Nok diobservasidengan cara menetapkan titik-titik pengamatan berdasarkan perbedaan karakteristik komunitasvegetasi di sepanjang gradien gunung. Identitas spesies dan posisi keberadaannya dalamstrata kanopi dicatat dan diobservasi. Sebanyak 554 records tumbuhan berhasil dikoleksi darilokasi penelitian; lima spesies merupakan tumbuhan endemik Waigeo (Guioa waigeoensis,Alstonia beatricis, Calophyllum parvifolium, Schefflera apiculata, dan Nepenthes danseri)yang semuanya berkategori terancam kepunahan, sedangkan 42 spesies merupakan endemikNew Guinea. Dendrobium dan Bulbophyllum merupakan dua marga anggrek yang palingberagam berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan.

Kata kunci: Keragaman β, komposisi tumbuhan, spesies terancam kepunahan, Gunung Nok,Hutan Waifoi, Waigeo

INTRODUCTION

Raja Ampat is a group of four largeislands (namely Waigeo, Batanta,Salawati, and Misool) with more than 600smaller islands. The islands are locatedand scattered off the western tip of the

Bird’s Head of New Guinea andadministrated by the West PapuaProvince of Indonesia. The waters andenvironment around the Islands havebeen known as the most biologicallydiverse marine area in the world,especially in terms of coral reefs and fish

Page 48: jurnal biologi indonesia nhaaa

196

Didik Widyatmoko

species (Webb 2005; Pemkab RajaAmpat & CI 2006). However, despite forbeing a biologically very rich area, littleis known about the Islands of plantdiversity and terrestria l resources(Bappenas 2003; Webb 2005). Detailplant expeditions and surveys focusingon the beta diversity will thereforeprovide important baseline data formanaging and conserving biodiversitysustainablyof the Islands (Webb 2005).Current situations show that higherelevations are vital refuge areas for thesurvival of many species (both for plantsand animals) as much of the lower areashave been disturbed and converted intovarious land uses. By recording thebiodiversity and characteristics occurredalong gradient and elevation of a mountainarea the total potential will be known,and thus conservation action plans canconsequently be constructed effectively.

Geologically the Raja AmpatIslands is also very interesting, by havingextensive karst ecosystems, alluviumsubstrates, acid volcanic and ultrabasicrocks, as well as a number of relativelyhigh mountains (Jepson & Whittaker2002; Webb 2005; Pemkab Raja Ampat& CI 2006). The floristic diversity is highdue to heterogenous substrate conditions,biogeographical factors, and diversehabitat types which range fromsubmontane forests, via forests on karstand acid volcanics, to sago swamps andmangroves. The ultrabasic scrub ofWaigeo Island is unique and widelyknown for its endemic species (Webb2005). Hill forests on volcanic substratesand karst formations extensively occurin this island. Each island of the Raja

Ampat has its own characteristics,especially in terms of vegetationcomposition and habitat types (BKSDAPapua II 2003). Undoubtedly, the RajaAmpat is botanically very important andvaluable, despite their relatively small sizecompared to the main island Papua(Johns 1995; Johns 1997ab; CI 1999;Webb 2005).

The conservation status of the RajaAmpat Islands is also unique, i.e. thepopulation density is very low, thevillagers in general have great concernto conserve their lands, and the traditionalgovernment system is still highlyinfluential (Webb 2005). Over the pasttwenty years, logging had been extensivein a number of areas of the Islands andeven almost exhaustive in the lowlands.However, some of the prior logging wasrelatively light, searching primarily forlarge trees of Merbau: Intsia bijuga andI. palembanica (Webb 2005), and thusthe potential for the Raja Ampat Islandsremains relatively intact. Preventinglogging and mining companies to disturbthe Islands’ key conservation areas isindeed crucial if we intend to sustain theinvaluable biodiversity contained.

As part of a larger expedition teamcalled “Ekspedisi Widya Nusantara”organised by the Indonesian Institute ofSciences (LIPI), an expedition team fromthe Centre For Plant Conservation BogorBotanic Gardens had surveyed andconducted a floral collecting trip to MountNok (“Mt. Buffelhorn”) and the Waifoiforest of Waigeo Island from 11 June to9 July 2007.

The aims of the expedition were: 1)to elucidate the plant β-diversity and

Page 49: jurnal biologi indonesia nhaaa

197

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

composition of Mount Nok and theWaifoi forest (East Waigeo NatureReserve), 2) assess the population statusof the threatened or endemic speciesfound, and 3) describe their habitatcharacteristics in order to understandtheir ecological preferences forconservation action purposes.

MATERIAL AND METHODS

Study and Exploration AreaThe study area and expedition

locations were focused on the WaifoiForest and the slope of Mount Nok areawithin the East Waigeo Island NatureReserve, the Raja Ampat Islands, ataltitudes range from 20 to 630 m abovesea level. Bomat Isthmus was alsoexplored but only for the purpose ofthreatened plant collection. WaifoiVillage (Waigeo) was used as the entrypoint to the Nature Reserve, while thecamp established at Kamtabae River (E130043’38.2" S 005’53.3") was used as

Figure 1. Map of Waigeo Island (left, source: Google 2007) and the detail locations studied inthe island (right, with green tree symbols). Coordinates and elevations of all locations(localities) observed were recorded using a GPS. Waifoi village is located at the center ofthe circle (blue flags), Bomat Isthmus is located at the left most, and the top of MountNok is at the right most.

the reference point to explore thesurrounding forests. Different directionscomprising all four aspects were coveredin order to comprehensively cover thestudy and exploration areas. Hill and lowermountain forests (with slopes rangingfrom 30 to 70%) dominated the inlandnature reserve topography.

East Waigeo Island Nature Reservewas established in 1996 based on thedecree of the Indonesian Minister ofForestry No. 251/Kpts-II/1996 coveringa total area of 119,000 hectares, locatedbetween E 130033’51" and E 130055’54"and between S 0002’27" and S 0008’51".Rainfall recorded at a station on Saunek(Waigeo) was 1.5 m. y-1. The wettestmonths are April to September.

Vegetation structure and compositionThe study area covers: 1) two

hectares of mixed age indigenous forestlocated on top of the Manitalu hill forestwithin the reserve at an altitude of 183m, and 2) a gradient along the mount Nok

Page 50: jurnal biologi indonesia nhaaa

198

Didik Widyatmoko

slope started from the Kamtabae River(20 m asl) to the shoulder of the mountNok at an altitude of 630 m asl. Twobelt transects (of 100 m x 10 m each)were established on the Manitalu hillforest and one transect of the same size(100 m x 10 m) was developed on eachelevation of the mount Nok to sample theplant composition (formation) andabundance with the major axis orientatednorth-south derived from a selectedcompass bearing (Krebs 1989; Cropper1993). Thus there were 10 quadrats (of10 m x 10 m) on each elevation. A belttransect of 100 m x 10 m was usedbecause it is an effective, operational sizeto operate (Ludwig & Reynolds 1988;Krebs 1989). Yet all existing trees within5 m either side of the major axis of atransect can still be recognized. A seriesof 26 quadrats (of 2 m x 2 m each) wereestablished at each of the two belttransects established on the Manitalu hillforest to record seedling and shrubcomposition (following Mueller-Dombois& Ellenberg 1974, Cox 1974, Sokal &Rohlf 1981). Quadrats were arrangedsystematically in an alternating patternwithin the two belt transects developedin order to cover uniformly both sides ofthe axes (Ludwig & Reynolds 1988).

Each individual tree and saplingwithin all belt transects developed wasidentified, the diameter was measured atbreast height using a diameter tape, andthe relative frequency, relative density,relative dominance, and importance valuewere calculated using the standardformulas for vegetation analysis (Cox1974, Krebs 1989). Abundance wascalculated by using the density parameter,

i.e. number of individuals found within asampled area (Cropper 1993). Speciesidentity and position in the canopy strata,either main canopy (height > 25 m),subcanopy (consisting of two layers:upper subcanopy 15-25 m and lowersubcanopy 5-15 m), or understorey (<5m) were recorded. Damaged or deadplants were not included as their identitywould be undescribed. The location ofeach belt transect was recorded using aGarmin Global Positioning System MAP175. Land slopes were measured usinga clinometer (SUUNTO Optical ReadingClinometer PM-5 made in Finlandia),while soil pH and humidity weremeasured using a soil tester DEMETRApatent no. 193478 Electrode MeasuringSystem, Tokyo, Japan.

RESULTS

A total of 554 plant records(specimens) were collected from threesites: Kamtabae River, Mount Nok andBomat Isthmus. However, the resultsof vegetation analysis included in thisstudy were only from Kamtabae Riverand Mount Nok while those of BomatIsthmus were excluded for separatepublication. Specimens collected fromBomat Isthmus were highlighted here dueto their high conservation values, includingNepenthes danseri. Five species foundare endemic to Waigeo Island (Guioawaigeoensis, Alstonia beatricis,Calophyllum parvifolium, Scheffleraapiculata, and Nepenthes danseri ) and42 species endemic to New Guinea. Thefive endemic species have been regardedas threatened by the IUCN (2000, 2008).

Page 51: jurnal biologi indonesia nhaaa

199

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Based on the Indonesian BotanicGardens’ Catalogues (1999, 2001), 72species of the 554 plant records havebeen determined as new collections forthe Indonesian Botanic Gardens. Someliving specimens of the new palm species(Livistona brevifolia) firstly describedby Dowe and Mogea in 2004 from KaweIsland were also found and collectedfrom the Bomat Isthmus, Waigeo.

Vegetation structure of lowlandforest

Lowland forest of Waigeo (or NewGuinea in general) possesses Malesiancharacterist ics, but without thedominance of dipterocarps. Based onthe importance values (Table 3), theforest main canopy was mainlydominated by Pometia pinnata,Tabernaemontana auricantiaca, Pala-quium obovatum, Celtis philippinensis,Intsia bijuga, Vatica rassak, Semecar-pus macrocarpa, Artocarpus altilis, andKoordersiodendron pinnatum. Thesubcanopy mainly consisted of Pimendlodendron amboinicum, Myristicalancifolia, Drypetes longifolia, Pome-tia pinnata, Syzygium sp., Harpuliaramiflora, Lansium domesticum,Dysoxylum arborescens, Cynometranovoguineensis, Orania regalis, andDillenia papuana. Dominat lowersubcanopy included small trees and shrubAglaia lawii, the small palms Licualagramnifolia and Sommieria leucophyl-la, Ixora kerstingii, Garcinia dulcis,Maniltoa rosea, and M. plurijuga,while dominant understorey species onthe forest floor included Pandanus sp.,Elatostema polioneurum, and the ferns

Nephrolepis dufii and Selaginellawildenowii. Most of the land wascomposed by laterit ultrabasic soil.

Plant species diversity on hill forestHill forests seemed to be moister

than forests lower down and the canopywas generally broken and fairly open.These forests indicated species turnover(transition) between lower and higherforests. Although the abundance of eachindividual species varied significantly,Decaspermum fruticosum, Plancho-nella catartea, Garcinia latíssima, andRhodamnia cinerea were clearly themost dominant species on this mid-elevation forest class, as shown by theirbasal area values (Table 1, Figure 2). Onthe other hand, Gynotroces axillaris,Smilax leucophloa, Dysoxylumparasiticum, Casuarina rumphiana,and the Waigeo-endemic speciesAlstonia beatricis consisted of smallpopulations. Interestingly, the populationsize of the threatened, Waigeo-endemicspecies Guioa waigeoensis wasrelatively large locally, although thepopulations tended to clump. Theimportance value of this species wassignificantly high (Table 1). In comparisonwith G. waigeoensis (28 plants ha-1), thepopulation size of A. beatricis (4 plantsha-1) was much smaller, as shown by itsabundance (density). The smallpopulation status together with theabsence of its seedlings indicated that A.beatricis was facing a serious problemto establish. The absence of the seedlingsmight be due to certain inhibiting factorsfaced during the seed germination stage.Further research is required to reveal this

Page 52: jurnal biologi indonesia nhaaa

200

Didik Widyatmoko

phenomenon. Unlike the two endemicspecies, the populations of Myrsinerawacensis, Pimeleodendron amboi-nicum and Cryptocaria infectonia werefairly abundant (Figure 2).

Table 2 showed plant speciescomposition (formation) at differentelevations on Mount Nok, Waigeo Island,the Raja Ampat Islands. In general,species formation varied with elevations(along the gradient), on which lowlandspecies differed significantly from thoseof hill and higher lands (i.e. lowermontane areas). However, no areas ofthe Raja Ampat Islands were higher than1,000 m. Interestingly, pseudomontanevegetation existed on tops of the hillsoccupying altitudes from 100 m to 200m. This was shown by the occurrence

Species

Frequency Density (individuals ha-1)

BA (m2 ha-1)

Importance Value

Alstonia beatricis 0.23 4 0.01 2.42 Rhodamnia cinerea 0.80 30 1.28 6.24 Garcinia latissima 0.69 30 1.33 6.48 Dysoxylum parasiticum 0.23 3 0.15 2.59 Decaspermum fruticosum 0.76 37 1.08 8.57 Planchonella catartea 0.76 34 1.48 8.25 Nephelium cuspidatum 0.38 10 0.30 1.88 Pimeleodendron amboinicum 0.54 20 1.03 6.02 Salacia macrophylla 0.54 9 0.70 3.73 Casuarina rumphiana 0.15 3 0.01 2.02 Cryptocaria infectonia 0.46 25 0.90 5.84 Myrsine rawacensis 0.54 16 0.01 3.54 Buchanania papuana 0.23 4 0.15 2.26 Gynotroces axillaris 0.08 1 0.01 1.10 Guioa waigeoensis 0.46 28 1.28 6.07 Ploiarium alternifolium 0.23 3 0.01 1.22 Northea fasciculata 0.15 4 0.01 1.26

of the commonly high-inland occupyingspecies, such as Casuarina rumphiana,Decaspermum fruticosum, Castanop-sis acuminata and Livistona rotundi-folia. These species were able to growat much lower elevations on the islandconstituting the so-called pseudomontanevegetation, although their densities wererelatively low, especially C. rumphianaand L. rotundifolia (Table 3). The widthof their ecological amplitude or theirability to tolerate different climaticconditions might be the case. Theproximity of the mountains particularlythe forest edges to the ocean createddynamic climatic conditions and might bethe driving force to form the“Massenerhebung effect”. Mountainssurrounded by large ranges tended to

Table 1. Frequencies, densities and basal areas of dominant tree species on Manitalu hillforests (Kamtabae River) within East Waigeo Nature Reserve.

Page 53: jurnal biologi indonesia nhaaa

201

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Alstonia beatricis

Rhodamnia cinerea

Garcinia latissima

Dysoxylum parasiticum

Decaspermum fruticosum

Planchonella catartea

Nephelium cuspidatum

Pimeleodendron amboinicum

Smilax leucophloa

Salacia macrophylla

Casuarina rumphiana

Cryptocaria infectonia

Myrsine rawacensis

Buchanania papuana

Gynotroces axillaris

Guioa waigeoensis

Ploiarium alternifolium

Northea fasciculata

Flagellaria indica

Nephrolepis dufii

Number of Individuals

Figure 2. Composition and abundance of plant species occurred on Manitalu hill forestswithin East Waigeo Nature Reserve (Kamtabae River and the surrounding areas).

have higher tree lines than more isolatedmountains (like Mount Nok) due to heatretention and wind shadowing(MacKinnon et al. 1996). Thepseudomontane areas of Mount Nokseemed to be the most suitable habitatsof the Island endemic plant species.

Table 3 showed the abundances ofdominant plant species occurred alongthe altitudinal gradient of Mount Nok, EastWaigeo Nature Reserve. While theabundance of most species variedsignificantly with elevation, that ofLicuala graminifolia was consistentlyhigh along the gradient. Tabernaemon-tana aurantiaca, Pometia pinnata, andPalaquium obovatum seemed to

dominate lowland areas, while Celtisphil ippinensis and Intsia bijugadominated higher sites. However, thepopulations of Intsia bijuga, Vaticarassak and Nagaia wallichii seemed tobe scattered, with some relatively largecolonies were found above 400 m. Smallcolonies of the threatened speciesSchefflera apiculata and Calophyllumparvifolium were found above 600 mabove sea level. Interestingly, Castanop-sis acuminata was one of the mostabundant tree species on 400-500 m asthis species commonly occurs in muchhigher altitudes.

In general, the soil thickness variedsignificantly from site to site, from shallow

Page 54: jurnal biologi indonesia nhaaa

202

Didik Widyatmoko

Table 2. Plant species composition (formation) at different elevations (β-diversity) onMount Nok, Waigeo Island, the Raja Ampat Islands, West Papua.

Elevation (m asl)

Species composition (formation) Dominant species

20 - 100 Tabernaemontana aurantiaca, Pometia pinnata, Palaquium obovatum, Celtis philippensis, Intsia bijuga, Vatica rassak, Orania regalis, Licuala graminifolia, Orania regalis, Pandanus tectorius, Semecarpus macrocarpa, Artocarpus altilis, Syzygium malaccensis, Psychotria tripendumculata, Dillenia papuana, and Sommieria leucophylla. Further inland, Hydriastele costata sometimes occurred.

Tabernaemontana aurantiaca, Pometia pinnata, Palaquium obovatum, Celtis philippensis, Intsia bijuga, Vatica rassak, Licuala graminifolia, and Orania regalis.

100-200 Hill tops

Rhodamnia cinerea, Garcinia latissima, Decaspermum fruticosum, Planchonella catartea, Guioa waigeoensis, Licuala graminifolia, Exocarpus latifolius, Cryptocaria infectoria, Semecarpus macrocarpa, Myrsine rawacensis, Casuarina rumphiana, Psychotria tripendumculata, Pimeleodendron amboinicum, Intsia bijuga, Artocarpus altilis, and Livistona rotundifolia very rarely found.

Rhodamnia cinerea, Garcinia latissima, Decaspermum fruticosum, Planchonella catartea, Guioa waigeoensis, and Licuala graminifolia. PSEUDOMONTANE VEGETATION Casuarina rumphiana occurred.

270 Calophyllum persemile, C. grandiflorum, Pometia pinnata, Artocarpus integer, Licuala graminifolia, Lasianthus purpureus, Knema sp., Gnetum sp., Actinodaphne sp., Gyrinops sp., and Canarium sp.

Calophyllum persemile, C. grandiflorum, Pometia pinnata, Artocarpus integer, Licuala graminifolia, and Lasianthus purpureus.

350 Nagaia wallichii, Schima wallichii, Rhodamnia cinerea, Canarium sp., Gironniera sp., Garcinia sp., and Fagraea sp.

Nagaia wallichii, Schima wallichii, Rhodamnia cinerea, and Canarium sp.

460 Castanopsis acuminata, Symplocos fasciculata, Celtis philippinensis, Vatica rassak, Pometia pinnata, Parkia sp., Gironniera sp., and Pandanus tectorius.

Castanopsis acuminata, Symplocos fasciculata, Celtis philippinensis, Vatica rassak, and Pometia pinnata.

545 Celtis philippinensis, Poliosma ilicifolia, Pangium edule, Palaquium sp., Calophyllum persemile, Pandanus sp., Actinodaphne sp., Elaeocarpus sp., Helicia sp., Heritiera javanica, Smilax sp., Inga sp., and Calyptrocalix sp. The orchid Phalaenopsis amabilis scattered, small population.

Celtis philippinensis, Poliosma ilicifolia, Pangium edule, Palaquium sp., Calophyllum persemile, Pandanus sp., Actinodaphne sp., and Elaeocarpus sp.

560 Intsia bijuga, Celtis philippinensis, Calophyllum persemile, and Castanopsis acuminata. Some orchid populations abundant, growing on very steep, narrow mount ridges (Dendrobium macrophyllum, D. amboinensis, Ceratostylis sp., Cadetia sp., Eria javanica, Thelasis sp., and Appendicula sp.). Begonias grew very well.

Intsia bijuga, Celtis philippinensis, Calophyllum persemile, and Castanopsis acuminate.

630 Wendlandia sp., Phytosporum ramiflorum, Heritiera javanica, Intsia bijuga, Oleandra sp. The endemics Schefflera apiculata and Calophyllum parvifolium found. Rocky habitats, very steep, land slides easily, slope 80-90%. Cliff walls were formed by rock piles, united by plant root systems.

Wendlandia sp., Phytosporum ramiflorum, Heritiera javanica, and Intsia bijuga.

Page 55: jurnal biologi indonesia nhaaa

203

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

(16 cm) to very thick (more than 1.5 m).The shallow soils commonly occurred ontop of hills, consequently the plants wererarely tall and the roots seemed to beshort and small. Decaspermumfruticosum, Planchonella catartea, andGarcinia latíssima were the mostabundant species on this shallow soils.Broken and open canopy was common,especially on steep slopes. In contrast,taller and larger trees mainly occurredon lowland forests, particularly on thealluvial soils (such as Pimelodendronamboinicum, Vatica rassak, Palaquiumobovatum, and Celtis philippensis) andvolcanic soils (such as Intsia bijuga,Pometia pinnata, and Koordersio-dendron pinnatum). Soil texturesgenerally consisted of clayed-silt andsandy-silt formations, describing the mostextensive lowland vegetation on Waigeo.Detail results of the soil laboratoryanalysis were reported separately.

DISCUSSIONS

Five species found have beenregarded as threatened and vulnerableto extinction, indicating an urgentconservation action to carry out. Alstoniabeatricis or Pulai Waigeo (the IUCNCategory: VU D2) and Scheffleraapiculata (VU D2) are endemic toWaigeo. Both species constituted smallscattered populations and evensuppressed in the case of A. beatricis.A. beatricis is a small tree occurring onlyon tops of the island hills and preferringa dry, relatively open habitat. S.apiculata occurred on the slopes ofMount Nok at an altitude of 600 to 700

m. The species leaf characteristics wereinteresting compared to those of othermembers of the genus Schefflera.

The threatened pitcher plantNepenthes danseri (VU B1+2b) wasfound in Bomat Isthmus (Waigeo)occupying a very dry open karst habitat,with an average air humidity of 25 percent and temperature of 330C during theday time in June 2007. Most individualsoccurred on very steep slopes rangingfrom 70 to 80 per cent, growing onultrabasic soils (pH > 7.2) and coexistingwith Casuarina rumphiana, Decasper-mum bracteatum, Baeckea fruticans,Styphelia abnormis, and Pinangarumphianum. Guioa waigeoensis andCalophyllum parvifolium populationswere also vulnerable (VU D2) showinga clumped spatial distribution pattern.However, ecological information aboutthese two threatened species is still verylimited.

Potential and attractive species andtheir conservation values

Economically potential small palmscollected include Sommieria leuco-phylla. The individuals of this speciesshowed different leaf colours, in whichtwo variants have been recorded in termsof the abaxial leaf surface colour (somewere green while others were grey).Taxonomically, this is an interestingdiscovery requiring further investigation.The other economically promising smallpalms found were Areca macrocalyx,Dransfieldia micrantha, and Pinangarumphianum.

Part ly soil types seemed todetermine plant species composition, both

Page 56: jurnal biologi indonesia nhaaa

204

Didik Widyatmoko

Table 3. Relative frequencies, densities and dominances of plant species occurred at differentelevations on Mount Nok, East Waigeo Nature Reserve, Waigeo.

Elevation (m asl)

Species

Relative Frequency

Relative Density

Relative Dominance

Importance Value

Tabernaemontana aurantiaca

4.62 6.41 8.28 19.31

Pometia pinnata 3.75 7.22 6.81 17.78 Palaquium obovatum 3.44 4.48 5.24 13.16 Celtis philippensis 2.85 3.25 4.82 10.92 Intsia bijuga 1.46 2.97 4.43 8.86 Vatica rassak 2.10 2.38 4.33 8.81 Licuala graminifolia 4.11 4.64 0.04 8.79 Orania regalis 2.31 3.22 2.06 7.59 Pandanus tectorius 2.44 2.41 1.35 6.20 Semecarpus macrocarpa 2.32 1.82 1.46 5.60 Artocarpus altilis 2.19 1.61 1.62 5.42 Syzygium malaccensis 1.38 1.60 1.66 4.64 Psychotria tripendumculata

1.07 2.13 1.38 4.58

Dillenia papuana 0.92 1.27 1.40 3.59 Sommieria leucophylla 1.26 2.08 0.02 3.36 Hydriastele costata 0.64 1.01 0.42 2.07

20-100

Other species (52) 63.14 51.50 54.68 169.32 Rhodamnia cinerea 5.03 7.02 0.22 12.25 Garcinia latissima 4.52 5.23 1.33 11.08 Decaspermum fruticosum 3.36 6.71 0.85 10.92 Planchonella catartea 4.11 6.01 0.76 10.88 Guioa waigeoensis 3.32 4.19 1.64 9.15 Licuala graminifolia 4.60 4.42 0.02 9.04 Exocarpus latifolius 3.24 4.01 1.45 8.70 Cryptocaria infectoria 2.43 3.88 1.10 7.41 Semecarpus macrocarpa 1.19 3.02 1.22 5.43 Myrsine rawacensis 1.58 2.71 1.01 5.30 Casuarina rumphiana 1.48 2.26 1.25 4.99 Psychotria tripendumculata

1.64 2.01 1.30 4.95

Pimeleodendron amboinicum

1.16 1.84 1.04 4.04

Intsia bijuga 0.74 1.18 2.08 4.00 Artocarpus altilis 0.81 1.22 1.67 3.70 Livistona rotundifolia 0.38 1.01 1.18 2.57

100-200

Other species (58) 60.41 43.28 81.88 185.57 Calophyllum persemile 4.53 6.83 6.26 17.62 Calophyllum grandiflorum 4.34 5.02 6.47 15.83

Page 57: jurnal biologi indonesia nhaaa

205

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Table 3. Continued

Elevation (m asl)

Species

Relative Frequency

Relative Density

Relative Dominance

Importance Value

Pometia pinnata 3.26 6.29 4.81 14.36 Artocarpus integer 3.71 5.47 2.28 11.46 Licuala graminifolia 5.17 4.72 0.06 9.95 Lasianthus purpureus 4.15 4.03 0.86 9.04 Knema sp. 4.01 2.81 1.88 8.70 Gnetum sp. 2.31 3.22 1.88 7.41 Actinodaphne sp. 2.96 2.30 0.17 5.43 Gyrinops sp. 2.73 1.43 1.14 5.30 Canarium sp. 0.94 2.02 1.03 3.99

270

Other species (46) 61.89 55.86 73.16 190.91 Nagaia wallichii 6.57 5.81 4.24 16.62 Schima wallichii 4.33 6.04 4.46 14.83 Rhodamnia cinerea 4.27 5.27 3.82 13.36 Canarium sp. 2.78 3.41 3.27 9.46 Gironniera sp. 3.12 4.37 0.46 7.95 Garcinia sp. 2.04 2.14 2.86 7.04 Fagraea sp. 3.82 1.81 1.08 6.71

350

Other species (42) 73.07 71.15 79.81 224.03 Castanopsis acuminata 7.17 6.83 4.22 18.22 Symplocos fasciculata 5.36 4.02 6.45 15.83 Celtis philippinensis 3.29 3.24 4.83 11.36 Vatica rassak 3.76 3.27 3.43 10.46 Pometia pinnata 4.15 4.32 0.48 8.95 Parkia sp. 3.14 2.05 2.85 8.04 Gironniera sp. 2.86 2.81 2.04 7.71

460

Pandanus tectorius 2.41 1.54 2.49 6.44 Other species (45) 67.86 71.92 73.21 212.99

545 Celtis philippinensis 5.51 6.52 5.28 17.31 Poliosma ilicifolia 3.46 7.51 5.81 16.78 Pangium edule 2.36 3.56 4.24 10.16 Palaquium sp. 2.46 3.65 3.81 9.92 Calophyllum persemile 1.89 1.53 3.44 6.86 Pandanus sp. 2.27 1.22 3.32 6.81 Actinodaphne sp. 2.32 4.46 0.01 6.79 Elaeocarpus sp. 2.42 2.14 2.03 6.59 Helicia sp. 1.23 2.65 1.32 5.20 Heritiera javanica 1.63 1.56 1.41 4.60 Inga sp. 2.54 1.25 0.63 4.42 Smilax sp. 0.44 1.58 0.62 2.64 Calyptrocalix sp. 1.17 1.27 0.14 2.58

Page 58: jurnal biologi indonesia nhaaa

206

Didik Widyatmoko

Elevation (m asl)

Species

Relative Frequency

Relative Density

Relative Dominance

Importance Value

Other species (41) 70.30 61.10 67.94 199.34 560 Intsia bijuga 6.53 6.53 5.25 18.31

Celtis philippinensis 4.44 7.01 4.83 16.28 Calophyllum persemile 3.38 3.55 4.23 11.16 Castanopsis acuminata 2.43 4.25 2.84 9.52 Other species (48) 83.22 78.66 82.85 244.73

630 Wendlandia sp. 5.71 4.32 4.28 14.31 Phytosporum ramiflorum 3.76 6.21 3.81 13.78 Heritiera javanica 2.48 3.44 3.24 9.16 Intsia bijuga 2.76 2.35 2.81 7.92 Oleandra sp. 1.79 1.63 2.44 5.86 Schefflera apiculata 1.67 2.12 1.02 4.81 Calophyllum parvifolium 0.87 0.96 1.01 2.84 Other species (43) 80.96 78.97 81.39 241.32

Table 3. Continued

in Mount Nok and the Waifoi forest.Species compositions occurred onvolcanic and karst formations wereconsiderably different. Pometia pinnata,Tabernaemontana auricantiaca, Arto-carpus altilis, Intsia bijuga, Vaticarassak, Rhodamnia cinerea, Deca-spermum fruticosum, and Planchonellacatartea grew very well on volcanicsubstrates. The palm species Licualagraminifolia, Orania regalis andSommieria leucophylla also preferredthese substrates. On the other hand, thepalms Hydriastele costata (synonym:Gulubia costata) and Livistona brevi-folia habitat preferences were clearlydry karst habitats particularly ultrabasicrocks.

Hydriastele costata seemed to bea prominent indicator species of the karstecosystem. On the other hand, Hydrias-tele rhopalocarpa occurred on inlandhill forests on volcanic substrates. Palmsare indeed important elements of many

tropical forests and often show specificecological preferences (Tomlin-son 1979;House 1984) and local or regionalpatterns of association (Kahn & Mejia1990; Moraes 1996; Svenning 1999).Some palm species appear to be adaptedto specific edaphic conditions, such assoil formation, quality, type, and drainage(House 1984; Moraes 1996).

A number of attractive specieswere also found, including Maniltoarosea, M. plurijuga, Pothos scandens,Tapeinocheilos sp., and the broad leafspecies Dillenia papuana. Promisingspecies for their economic uses occurredon the Nature Reserve includeCynometra novoguineensis, Piper sp.,and Raphidophora sp. Valuable orchidswere also recorded includingDendrobium macrophyllum, Dendro-bium lasianthera, and Dendrobiumcapituliflorum. Most orchid speciesoccurred on Mount Nok and KamtabaeRiver were epiphytic, comprising 103

Page 59: jurnal biologi indonesia nhaaa

207

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

different species. In contrast, theterrestrial species found at the same siteswere only 31 species. Dendrobium andBulbophyllum were the most diversegenera in these two localities, indicatedby their greatest species numbers found,consisting of 32 and 16 speciesrespectively. Most orchid individuals livedon the upper parts of trunks or stems ofthe host trees.

CONCLUSIONS

Five plant species found (Alstoniabeatricis, Schefflera apiculata, Nepen-thes danseri, Guioa waigeoensis, andCalophyllum parvifolium) have beenregarded as threatened, indicating theirurgent conservation actions. The pitcherplant N. danseri found in Bomat Isthmusseemed to be very vulnerable toextinction locally due to its current threatsand habitat vulnerability. In order toconserve these threatened species thepersistence of their coexisting speciesand protected habitat are very crucial.The populations of some of the threatenedspecies were dominated by young plants,reflecting a growing population in whichregeneration and recruitment stillcontinue in some sites. However, habitatconversion and human disturbanceclearly threatened the persistence ofthese species. Population sizes andstructures of the threatened and endemicspecies varied spatially with volcanic andkarst formations being the mostfavourable habitat in which most of thespecies occurred. By protecting thesetypes of habitat, the threatened andendemic species populations will be

sustained for a long term. Thisinformation can be used to set criteriaand priorities for protecting representativesuitable sites both within and outside thenature reserve. As seedlings and youngplants in several locations were suppres-sed or even absent, in situ managementshould focus on monitoring and managingthe survival of the young stages to assistthem to establish successfully. Givenexpected patterns of forest disturbanceand conversion over the next few deca-des, the most important step is to protecthigh quality habitat in dedicatedconservation reserves.

ACKNOWLEDGEMENTS

I greatly appreciated the expeditionteam members: Didit Okta Pribadi,Wihermanto, Saripudin, Sudarsono,Supardi, Tatang Daradjat (Bogor BotanicGardens), Rustandi (Cibodas BotanicGardens), Deden Mudiana (PurwodadiBotanic Gardens), and I Gede Tirta (BaliBotanic Gardens) for their great assis-tance and cooperation. The map wasdrawn by Didit Okta Pribadi. I also thankDr. Irawati and Dr. Hery Harjono for thesupport and encouragement. I acknow-ledged Ir. Kurung, M.M., Djefri Tibalia,Alberth Nebore, Irman Meilandi, Kris,Gustab Gaman, Sakeus Dawa, andHusen for their help and cooperation.

REFERENCES

Badan Perencanaan PembangunanNasional. 2003. Indonesia Inte-grated Biodiversity Strategy andAction Plan (IBSAP). Jakarta.

Page 60: jurnal biologi indonesia nhaaa

208

Didik Widyatmoko

Balai Konservasi Sumber Daya AlamPapua II Sorong, 2003. BeberapaKawasan Cagar Alam DalamLingkungan Seksi KonservasiWilayah IV Balai KSDA PapuaII Sorong. Sorong.

Conservation International. 1999. TheIrian Jaya Biodiversity Conserva-tion Priority-Setting Workshop:Final Report. ConservationInternational, Washington, DC.

Cox, GW. 1974. Laboratory Manual ofGeneral Ecology 2nd edition.Printed in the United States ofAmerica.

Cropper, SC. 1993. Management ofEndangered Plants. JenkinBuxton Printers Pty Ltd.,Melbourne.

Dressler, RL. 1990. The OrchidsNatural History and Classifi-cation. Harvard University Press,Cambridge.

House, AP. 1984. The Ecology ofOncosperma horridum on SiberutIsland, Indonesia. Principes 28 (2):85-89.

Hubalek, Z. 1982. Coefficients ofAssociation and Similarity Basedon Binary (Presence-Absence)Data: An evaluation. Biol . Rev 57:669-689.

Indonesian Botanic Gardens. 1999. AnAlphabetical List of IndonesianOrchid Cultivated in BogorBotanic Gardens. Bogor.

Indonesian Botanic Gardens. 2001. Analphabetical list of plant speciescult ivated in Bogor BotanicGardens. Bogor.

IUCN (The International Union for theConservation of Nature andNatural Resources). 2000. 2000IUCN Red List of ThreatenedSpecies (Compiled by CraigHilton-Taylor). IUCN SpeciesSurvival Commission. Gland,Switzerland and Cambridge, UK.

IUCN. 2008. 2008 IUCN Red List ofThreatened Species (A GlobalSpecies Assessment). The IUCNSpecies Survival Commission.

Janson, S. & J. Vegelius. 1981. Measu-res of Ecological Association.Oecologia 49: 371-376.

Jepson, P. & RJ. Whittaker. 2002.Ecoregions in Context: A critiquewith special reference toIndonesia. Cons. Biol 16 (1): 42-57.

Johansson, DR. 1975. Ecology ofEpiphytic Orchids in West AfricanRain Forests. Amer Orchid Soc.Bull. 44: 125-136.

Johns, RJ. 1995. Malesi-An introduction.Curtis’s Bot. Mag.12 (2): 53 – 62.

Johns, RJ. 1997. Background Papersfor the Study of the Flora andVegetation of the N. E. KepalaBurung, Irian Jaya, Indonesia.Royal Botanic Gardens, Kew.

Johns, RJ. 1997. A checklist of the FernAllies, Ferns and Gymnospermsof the N. E. Kepala Burung(Vogelkop), Irian Jaya, Indone-sia. Royal Botanic Gardens, Kew.

Kahn, F. & K. Mejia. 1990. PalmCommunities in Wetland ForestEcosystems of PeruvianAmazonia. Forest Ecol. Manag33 & 34: 169-179.

Page 61: jurnal biologi indonesia nhaaa

209

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Krebs, CJ. 1989. Ecological Methodo-logy. Harper & Row Publishers.New York.

Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988.Statistical Ecology: A primer onmethods and computing. JohnWiley & Sons, New York.

MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, &A. Mangalik. 1996. The Ecologyof Kalimantan. Periplus Editions,Singapore.

Mittermeier, RA., N. Myers, & CG.Mittermeier. 1999. Hotspots.Cemex, Conservation Internatio-nal, Mexico.

Monk, KA., Y. de Fretes, & G.Reksodiharjo-Lilley. 1997. TheEcology of Nusa Tenggara andMaluku. Periplus Editions,Singapore.

Moraes, MR. 1996. Diversity andDistribution of Palms in Bolivia.Principes 40 (2): 75-85.

Mueller-Dombois, D. & H. Ellenberg.1974. Aims and Methods ofVegetation Ecology. John Wiley& Sons Inc., New York.

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat danConservation InternationalIndonesia . 2006. Atlas Sum-berdaya Wilayah Pesisir Kabu-paten Raja Ampat, ProvinsiIrian Jaya Barat. PemerintahKabupaten Raja Ampat dan CI,Sorong.

Secretariat of the Convention onBiological Diversity. 2003. GlobalStrategy for Plant Conservation.Montreal, Canada.

Sokal, RR. & FJ. Rohlf. 1981. Biometry:The Principles and Practice ofStatistics in Biological Research.W.H. Freeman and Company,New York.

Svenning, JC. 1999. MicrohabitatSpecialization in a Species-richPalm Community in AmazonianEcuador. J. Ecol. 87: 55-65.

Tomlinson, PB. 1979. Systematics andEcology of the Palmae. AnnualRev. Ecol.Sys 10: 85-107.

Webb, CO. 2005. Vegetation of the RajaAmpat Islands, Papua, Indonesia.A Report to the Nat. Con. Rev.1.5.

Memasukkan: Oktober 2009Diterima: Januari 2010

Page 62: jurnal biologi indonesia nhaaa

211

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 211-224 (2010)

PENDAHULUAN

Sistem sawah tadah hujan dengankondisi basah-kering berpengaruhterhadap pola atau dinamika emisi gasdinitrogen oksida. Kondisi tergenangmerupakan kondisi ideal bagi pemben-tukan gas metana (source) dan rosot(sink) bagi gas dinitrogen oksida,sedangkan kondisi kering berfungsi

sebagai rosot metana, dan sumber bagigas dinitrogen oksida (Xiong et al. 2007).

Tanah sawah merupakan salah satusumber antropogenik utama gas dinitrogenoksida (N

2O), yang memberikan kontribusi

terhadap pemanasan global (IPCC 2006).Konsentrasi N

2O di atmosfer dilaporkan

mengalami peningkatan dengan laju 0,25%setiap tahun (Hansen & Bakken 1993,Snyder et al. 2009). Tanah pertanian

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberiJerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi

A. WihardjakaBalai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan Km 5 Jakenan Pati 59182, E-mail :

[email protected]

ABSTRACT

Nitrous Oxide Emission from Rainfed Lowland Rice Soils through Applications of Rice Strawand Nitrification Inhibitor Materials. Alternate wet-dry of soil condition under rainfed lowlandsystem influence on source and sink dynamics of green house gases. Lowland rice soil is oneof antropogenic sources of nitrous oxide (N

2O) emission produced by microbiological

nitrification-denitrification mediated processes. Attempt to increase soil productivity in lowlandrice system by organic amendment is predicted to stimulate nitrous oxide production. Theincrease of N

2O production in lowland rice could be suppressed by using nitrification inhibitor

materials. A field experiment was conducted in rainfed lowland rice during 2009 dry season. Theobjective was to study interaction of rice straw application and nitrification inhibitor materialson nitrous oxide emission from rainfed lowland rice. Experiment was arranged using factorialrandomizes block design with three replicates and treatment of rice straw application (withoutrice straw, fresh straw, composting straw) and inhibitor nitrification materials (without inhibitornitrification, neemcake, carbofuran). Interaction of rice straw and nitrification inhibitor materialsdecreased significantly N

2O emission from lowland rice soil. Nitrous oxide emission in plot

without rice straw was higher than in plot treated with neither fresh rice straw nor compostingstraw. Application neemcake combined with composting straw emitted lowest nitrous oxidewith flux of 72 g N

2O ha-1 season-1, whereas the highest N

2O emission was found in plot without

nitrification inhibitor materials and rice straw with flux of 454 g N2O ha-1 season-1. Compared

with treatment of without nitrification inhibitor, application of neemcake and carbofuran couldsuppress nitrous oxide emission of 48.6 and 41.3 %, respectively.

Key words : nitrous oxide emission, rainfed lowland, rice straw, nitrification inhibitors

Page 63: jurnal biologi indonesia nhaaa

212

A. Wihardjaka

memberikan kontribusi terhadap emisiN2O sebesar 0,2-2,1 Tg N2O (Hansen& Bakken 1993). Gas N2O di atmosferrelatif lebih lama berada dibandingkan gasCO2 dan metana (Prinn et al. 1990),dengan sifat berpotensi pemanasan global250-310 kali lebih tinggi daripada CO2(Watson et al. 1992, Abao et al. 2000,Meiviana et al. 2004).

Gas N2O secara alami dihasilkandalam tanah melalui proses mikrobiologis,denitrifikasi dan nitrifikasi. Prosestersebut dipengaruhi oleh bahan organiktersedia, pasokan nitrat, ketersediaanoksigen, kandungan air tanah, reaksi tanah(pH), suhu tanah dan kehadiran tanaman(Byrnes cit Hansen & Bakken 1993,Snyder et al. 2009). Bakteri nitrifikasi(Nitrosomonas dan Nitrobacter) yangmerupakan bakteri kemoautotrofikberperan dalam proses nitrifikasi-denitrifikasi yang bertanggung jawabterhadap hilangnya N dari lahan sawah(Minami & Fukushi, 1984). Pada kondisitanah reduktif, bakteri anaerobik fakultatifdenitrifikasi mengubah nitrat menjadimolekul nitrogen (N2O, N2) (Yoshida1978). Menurut Klemedtson et al. (1988),beberapa mikroorganisme tanah yangmampu menghasilkan gas N2O yaitubakteri nitrifikasi, bakteri denitrifikasi,bakteri nondenitrifikasi pereduksi nitrat,jamur pereduksi nitrat atau jamur lain.

Ketersediaan nitrat dalam tanahmerupakan salah satu faktor yangmenentukan laju denitrifikasi. NO3

-

sangat tidak stabil pada kondisi tanahtergenang, yang dalam beberapa harisetelah penggenangan nitrat akan hilangsebagai N2O dan N2 melalui denitrifikasi(Ponnamperuma 1977). Proses denitrifi-

kasi menghasilkan gas N2O dalamsuasana anaerob, namun dilaporkan pulabahwa proses tersebut dapat berlangsungdengan adanya O2. Beberapa bakteridenitrifikasi menggunakan O2 dan NO2

-

secara simultan sebagai akseptor elektron(Klemedtson et al. 1988).

Pemberian bahan pembenah organikpada tanaman budidaya diduga memacupeningkatan aktivitas mikrobia denitri-fikasi dan emisi N2O (Meijide et al.2009). Emisi N2O alami dapat meningkatakibat berbagai ragam kegiatan pertanian.Kegiatan tersebut secara langsungmenambah pasokan nitrogen ke dalamtanah yang dapat dikonversi menjadi N2O(USEPA 2006). Menurut Laegreid et al.cit Gold & Oviatt (2005), rata-rata 1,25%N yang ditambahkan ke dalam tanahsebagai pupuk atau limbah organik ataufiksasi hayati ditransformasi menjadiN2O.

Laju emisi gas N2O bergantung padajumlah dan komposisi pupuk baik pupukorganik maupun pupuk mineral (Mosieret al. 1994). Peningkatan takaran pupukkandang hingga 7,5 t ha-1 meningkatkanemisi N2O berkisar 28,8–100,3%(Setyanto et al. 1997). Masukan bahanorganik yang mudah terdegradasi melaluipembenaman sisa tanaman ke dalamtanah akan meningkatkan jumlahdenitrifier dan laju denitrifikasi, sehinggamemberikan kondisi menguntungkan bagipembentukan N2O (Granli & Bockman1994, Xiong et al. 2007).

Jerami padi sebagai salah satu bahanpembenah organik tersedia melimpah dikawasan sawah tadah hujan. Pemberianjerami 5 t ha-1 dapat meningkatkan hasilgabah padi sawah tadah hujan setara

Page 64: jurnal biologi indonesia nhaaa

213

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

dengan pemupukan 30 kg N ha-1 (Basyir& Suyamto 1996, Sharma & Mittra citToha et al. 2001). Pengelolaan jeramipadi pada tanah sawah tadah hujan dapatmempengaruhi pola dan besarnya emisigas N2O. Menurut Xiong et al. (2007),selain pupuk N anorganik, pupuk organikadalah sumber penting pelepasan N2O keatmosfer.

Kehilangan Hara N melalui nitrifi-kasi denitrifikasi menyebabkan efisiensipupuk N rendah (Arafat et al. 1999).Hara N yang hilang melalui denitrifikasidi lahan sawah dapat mencapai kisaran30– 40% (Ladha et al. 1997, Sahrawat2004), sehingga dapat mempengaruhikeseimbangan N dalam sistem produksitanaman (Hansen & Baken 1993).

Beberapa bahan penghambatnitrifikasi telah tersedia secara komersialdan relatif mahal harganya, antara lain:2-chloro-6 (trichloromethyl) pyridine,sulfathiazole, dicyandiamide, 2-amino-4-chloro-6-methyl pyrimidine, 2-mercapto-benzothiazole, thiourea, 5-ethoxy-3-tr ichloromethyl-1 ,2,4-thiadiazole(terrazole), dan karbofuran (2,3-dihidro-2,2-dimetil-7-benzofuranil metilkarbamat)(Kusmaraswamy et al. cit Sahrawat2004, Unger et al. 2009).

Beberapa bahan alami berpotensisebagai penghambat nitrifikasi, antara lainbiji mimba (Azadirachta indica A Juss).Di India, biji mimba telah banyakdimanfaatkan dalam budidaya tanamanpangan sebagai bahan penghambatnitrifikasi selain sebagai bahan pestisidanabati, namun di Indonesia belum begitubanyak dimanfaatkan. Mimba (Azadira-chta indica) merupakan satu di antarafamili Meliaceae yang telah lama

dimanfaatkan sebagai pestisida nabatiuntuk mengendalikan berbagai jenis hamatanaman budidaya sebelum tergeser olehpestisida sintetik di era revolusi hijau.Selain itu, biji mimba mengandungmetabolit sekunder berupa polifenol ataulemak tidak jenuh tertentu yang dapatbertindak sebagai penghambat nitrifikasidan dapat meningkatkan efisiensi pupukurea (Rao 1994).

Informasi penggunaan bahan alamimimba sebagai penghambat nitrifikasi danpengaruhnya terhadap emisi N2O di lahansawah tadah hujan relatif masih terbatas.Oleh karena itu, penelitian ini bertujuanuntuk mengkaji emisi gas dinitrogenoksida (N2O) dari tanah sawah tadahhujan melalui interaksi pemberian jeramipadi dan bahan yang berfungsi sebagaipenghambat nitrifikasi.

BAHAN DAN CARA KERJA

Lokasi dan PerlakuanKegiatan penelitian dilaksanakan di

lahan sawah tadah hujan intensif dikecamatan Jaken, Kabupaten Pati, JawaTengah pada musim kering 2009. Lokasipercobaan termasuk dalam wilayah DesaSidomukti, Kecamatan Jaken, KabupatenPati yang terletak pada ketinggian 15 mdi atas permukaan laut, 17 km dari PantaiUtara Jawa Tengah (kecamatan Juana)dengan koordinat 111o10’ BT dan 6o45’LS, dan tipe iklim Oldeman termasuk E2–E3 (BPS 2000). Tanah tempat penelitianakan dilaksanakan diklasifika-sikansebagai Vertic Endoaquepts yangbereaksi agak masam (pH-H2O 5,6)dengan kandungan N total rendah (0,3 mgg-1) dan C-organik rendah (3,2 mg g-1).

Page 65: jurnal biologi indonesia nhaaa

214

A. Wihardjaka

Percobaan disusun menggunakanrancangan faktorial acak kelompok(RAK) dengan tiga ulangan. Faktor Iberupa jerami padi terdiri tiga perlakuan(tanpa jerami, jerami segar 5 t ha-1, jeramimelapuk 5 t ha-1). Faktor II berupapemberian bahan penghambat nitrifikasiyang terdiri a tiga perlakuan (tanpa bahanpenghambat nitrifikasi, tepung biji mimba20 kg ha-1, karbofuran 20 kg ha-1).

Bibit padi Ciherang ditanam pindahdari persemaian pada masing-masingpetakan berukuran 4 m X 5 m. Bibit padiditanam 1 bibit setiap lubang denganjarak tanam 20 cm X 20 cm. Bahanpembenah organik (perlakuan jerami)diberikan bersamaan dengan pengolahantanah dengan cara dibenamkan, danlahan dibiarkan dua minggu sebelumdilakukan penanaman. Bahan pengham-bat nitrifikasi ditumbuk dan diayak denganayakan 0,5 mm, serta diberikanbersamaan dengan pemberian pupuknitrogen. Takaran pupuk anorganikdiberikan sesuai anjuran setempat yaitu120 kg N, 45 kg P2O5, dan 60 kg K2Osetiap hektar. Pupuk N diberikan tigatahap yaitu 1/3N sebelum tanam, 1/3Nsaat anakan aktif, 1/3N saat primordiabunga. Pupuk P diberikan sekaligussebelum tanam dan pupuk K diberikandua tahap yaitu 1/2K sebelum tanam dan1/2K saat primordia bunga. Kandunganhara N, P, K dalam jerami padidipertimbangkan dalam penghitungankebutuhan pupuk anorganik (N, P, K).Pemeliharaan tanaman dilakukan secaraintensif sesuai anjuran spesifik lokasi.Pengendalian hama dan gulma dilakukansecara intensif dengan mempertim-bangkan kondisi di lapangan.

Pengumpulan DataData yang diamati meliputi fluks gas

dinitrogen oksida, populasi bakteridenitrifikasi (metode Most ProbableNumber), respirasi tanah (metode jar),dan kandungan nitrat dan C organik.Populasi bakteri denitrifikasi dan respirasitanah diamati saat tanaman pada fasepertumbuhan anakan maksimum (45 hst).Fluks gas N2O diukur pada beberapa fasepertumbuhan tanaman (fase anakan aktif,fase anakan maksimum, fase primordiabunga, fase keluar malai ataupembungaan, fase masak) menggunakansungkup.

Respirasi tanah diukur dengan caramemasukkan contoh tanah sebanyak 100g bobot kering mutlak ke dalam gelas piala1000 ml. Ke dalam gelas piala tersebutdimasukkan dua buah gelas piala 20 mlmasing-masing berisi 5 ml larutan KOH0,1N dan 5 ml H2O. Gelas piala 1000 mlditutup rapat dan diinkubasi selama 1minggu dalam ruang gelap. Setelahinkubasi, larutan KOH dan H2O masing-masing dititrasi dengan larutan HCl.Respirasi tanah ditetapkan dengan formuladalam Anas (1989) sebagai berikut :

R = [(A-B0.N.120] / tR : respirasi tanah dalam mg C-CO2 g-

1 hari-1

A : ml HCl contoh tanahB : ml HCl blankoN : normalitas HClt : lama inkubasi (hari)

Perhitungan Populasi MikrobaDenitrifikasi

Metode MPN (most probablenumber) dipakai untuk menghitung jumlahbakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi.

Page 66: jurnal biologi indonesia nhaaa

215

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

Contoh tanah 10 g dari masing-masingperlakuan dimasukkan ke dalamerlenmeyer 250 ml yang mengandunglarutan fisiologis, dikocok selama 30menit, dan dibiarkan beberapa menit.Suspensi tanah 0,1 ml dari seripengenceran (10-3 – 10-5) dipipet dandimasukkan ke dalam tabung kultur.Pemipetan dimulai dari seri pengencerantertinggi dan diulang 3 sesuai dengandaftar yang akan digunakan. Tabungkultur ditutup dengan rapat dan diinkubasiselama dua minggu pada suhu 28 oC.Media kultur digunakan merupakancampuran nutrient broth dengan larutanKNO3. Tabung yang menunjukkanterbentuknya gas yang ditandai denganterjungkitnya posisi tabung durhamsebagai tabung positif dari seripengenceran. Jumlah tabung positifdicocokkan dengan tabel MPN. Populasimikroba denitrifikasi dihitung denganmenggunakan metode MPN seperti yangtercantum dalam Anas (1989).

Pengukuran Fluks Gas N2OFluks gas N2O diukur pada beberapa

fase pertumbuhan tanaman menggunakansungkup. Sungkup tertutup (closedchamber) ukuran 40 cm X 20 cm X 17

cm yang terbuat dari pleksiglasdiletakkan di permukaan tanah sawah disela-sela tanaman padi (Gambar 1) untukpengambilan contoh gas yang pertama,dan pada posisi yang sama untukpengambilan contoh gas berikutnya.

Pengambilan contoh udara dalamsungkup dilakukan empat kali denganinterval waktu pengambilan contoh gas10, 20, 30, dan 40 menit. Pengambilancontoh gas dilakukan pagi hari (07.00 –09.00). Contoh gas diambil denganmenggunakan injektor polipropilen volume5 ml berkatup. Injektor dibungkus dengankertas perak yang berfungsi untukmengurangi panas radiasi matahariselama pengambilan contoh gas. Setiappengambilan contoh gas, perubahan suhudalam sungkup diukur. Contoh gasdianalisis menggunakan alat kromatografigas yang dilengkapi dengan electroncapture detector (ECD) dan kolomPorapak Q menetapkan fluk N2O denganmetode yang digunakan InternationalRice Research Institute (Cortons et al.2000, Jain et al. 2000, Ko & Kang 2000).Kromatografi gas Shimadzu 14A telahdikalibrasi dengan baik dan presisi tinggi(detektor 150 oC, kolom 100 oC, injektor150 oC) digunakan hanya untuk mengukur

Gambar 1. Sungkup penangkapcontoh gas.

Page 67: jurnal biologi indonesia nhaaa

216

A. Wihardjaka

N2O. Fluk N2O kumulatif dihitungberdasarkan penjumlahan dari beberapapengukuran fluk N2O selama pertumbu-han tanaman padi sawah. Fluk gas N2Odihitung menggunakan persamaan yangdigunakan Lantin et al. (1995), yaitu :

E = dtdc

. AchVch

. VmWm

. T+2,2732,273

E : emisi gas N2O (ug m-2 menit-1)dc/dt : perbedaan konsentrasi N2O

per satuan waktu (ppb menit-1)Vch : Volume sungkup (m3)Ach : luas sungkup (m2)Wm : berat molekul N2O (44,02.103

mg)Vm : volume molekul N2O (22,41.

10-3 m3)T : suhu rata-rata selama

pengambilan contoh (oC)

Analisis DataData terkumpul akan dianalisis

menggunakan sidik ragam untukmengetahui pengaruh perlakuan, dandilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil(BNT) taraf 5% yang digunakan untukmembandingkan nilai tengah perlakuan.Hubungan fluks N2O dengan keterse-diaan substrat dan populasi mikroba saatfase pertumbuhan primordia bungaditunjukkan dengan persamaan regresiberganda Yi = âo + â1X1i + â2X2i +â3X3i+â4X4i dimana Yi = fluk N2O dan peubahbebas X1= kandungan nitrat, X2 =kandungan C organik, X3 = populasimikroba total, X4 = respirasi tanah, âo =intercept dan â = koefisien regresi.Koefisiensi deterimnasi dihitungmenggunakan formula dalam Piegorsch& Bailer (2005).

HASIL

Fluks gas dinitrogen oksida (N2O)tertinggi dari tanah sawah tadah hujanterjadi saat tanaman padi sawah berumur45 hst atau saat fase primordia bunga(Gambar 2). Pola fluks N2O mengikutipola pertumbuhan tanaman padi,meningkat di awal pertumbuhan saat faseanakan aktif hingga anakan maksimumdan mencapai puncak fluk saat primordiabunga, dan menurun atau melandai saatfase reproduktif tanaman (keluar bungahingga pemasakan).

Gambar 3 memperlihatkan fluks N2Okumulatif pada petakan-petakan yangdiberi perlakuan jerami dan bahanpenghambat nitrifikasi. Fluk N2O padapetakan tanpa jerami umumnya lebihtinggi dibandingkan petakan denganjerami segar atau petakan dengan denganjerami melapuk, sedangkan fluk N2Opada petakan jerami melapuk relatif lebihrendah daripada pada petakan denganjerami segar.

Pemberian bahan penghambatnitrifikasi dapat menurunkan fluks N2Odari tanah sawah tadah hujan. Fluks N2Opada petakan yang diberi bahanpenghambat nitrifikasi biji mimba relatiflebih rendah dibandingkan petakan yangdiberi karbofuran atau tanpa diberi bahanpenghambat nitrifikasi. Fluks N2Otertinggi dihasilkan dari petakan tanpadiberi bahan penghambat nitrifikasi diikutipetakan dengan diberi karbofuran, danfluk terendah dihasilkan dari petakandengan pemberian biji mimba.

Interaksi jerami padi dan bahanpenghambat nitrifikasi nyata menurunkanemisi N2O dari tanah sawah. Emisi N2O

Page 68: jurnal biologi indonesia nhaaa

217

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

pada perlakuan tanpa jerami lebih tinggidaripada perlakuan dengan jerami segardan jerami melapuk (Gambar 4). Baikpada petakan tanpa jerami dan petakandengan jerami melapuk, pemberian bijimimba menghasilkan emisi N2O terendahdiikuti dengan pemberian karbofuran dantanpa pemberian bahan penghambatnitrifikasi. Emisi N2O pada petakandengan jerami segar, pemberiankarbofuran memperlihatkan fluksterendah diikuti pemberian biji mimba dantanpa penghambat nitrifikasi. Pemberianbiji mimba dan jerami melapuk nyatamenghasilkan emisi N2O terendahdengan fluk 72 g N2O ha-1 musim-1, danemisi N2O tertinggi nyata dihasilkan daripetakan tanpa penghambat nitrifikasi dan

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

10 30 45 60 80 10 30 45 60 80 10 30 45 60 80

Hari setelah tanam (hst)

Fluk

s N 2

O (u

g N

2O m

-2 m

enit-1

)

Tanpa bahan penghambat Biji Mimba Karbofuran

Tanpa Jerami Padi Jerami Segar Jerami Melapuk

Gambar 2. Fluk N2O pada beberapa fase pertumbuhan padi sawah yang diberi perlakuan jeramidan bahan penghambat nitrifikasi

tanpa jerami dengan fluk 454 g N2O ha-1

musim-1.Emisi N2O pada perlakuan jerami

padi nyata lebih rendah daripada tanpajerami padi. Emisi N2O rata-rata dariperlakuan jerami, jerami segar, dan jeramimelapuk masing-masing sebesar 317,154, 130 g N2O ha-1 musim-1. Jeramisegar dan jerami melapuk dapatmenurunkan fluks N2O masing-masingsebesar 51,4 dan 58,9 % dibandingkantanpa jerami padi. Jerami melapuk relatifmenekan emisi N2O lebih tinggi daripadajerami segar.

Pemberian bahan penghambatnitrifikasi nyata menghasilkan emisi N2Olebih rendah dibandingkan tanpapemberian bahan penghambat nitrifikasi.Emisi N2O dari perlakuan biji mimba

0

10

20

30

40

50

60

70

10 30 45 60 80 10 30 45 60 80 10 30 45 60 80

Hari setelah tanam (hst)

Fluk

s ku

mul

atif

(mg

N2O

m-2

)

Tanpa bahan penghambat Biji Mimba Karbofuran

Tanpa Jerami Padi Jerami Segar Jerami Melapuk

Gambar 3. Fluk N2O kumulatif pada beberapa fase pertumbuhan padi sawah

Page 69: jurnal biologi indonesia nhaaa

218

A. Wihardjaka

relatif lebih rendah dibandingkan dariperlakuan karbofuran. Emisi N2O rata-rata pada perlakuan tanpa bahanpenghambat nitrifikasi, biji mimba, dankarbofuran masing-masing sebesar 286,147, 168 g N2O ha-1 musim-1. Dibanding-kan tanpa bahan penghambat nitrifikasi,biji mimba dan karbofuran masing-masingdapat menekan emisi N2O sebesar 48,6dan 41,3 %.

PEMBAHASAN

Emisi N2O tertinggi terjadi saattanaman padi dalam fase pertumbuhanprimordia bunga (45 hst), dan menurunhingga menjelang panen tanaman padi(Gambar 2). Fase pertumbuhan primordiabunga merupakan awal pertumbuhangeneratif atau reproduktif tanaman padi(Yoshida 1978). Produksi eksudat akartanaman padi lebih aktif terjadi saat awalfase pertumbuhan reproduktif terutamapada saat primordia bunga. Translokasihasil fotosintesis dari daun ke akar lebihoptimal pada primordia bunga dansebagian besar akan ditranslokasikan kedalam butir-butir gabah pada fasepertumbuhan reproduktif (Yoshida 1978).

bcdbc

a

e

cde

b

cdede

b

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Tanpa Jerami Jerami Segar Jerami Melapuk

Emis

i N2O

(g N

2O h

a-1 m

usim

-1)

Tanpa Penghambat Nitrifikasi

Biji Mimba

Karbofuran

Gambar 4. Emisi dinitrogen oksida dari tanah sawah tadah hujan. Huruf sama pada masing-masing bar berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT taraf 0,05

Eksudat akar dibutuhkan mikroba dalammetabolismenya sebagai sumber energiatau substrat dalam melakukan aktivitas-nya, termasuk bakteri denitrifikasi padakondisi tanah anaerobik. Eksudat akarmerupakan bahan organik sepertikarbohidrat, asam-asam organik, asam-asam amino yang difermentasikanmenjadi asetat atau CO2 dan H+, yangbeberapa bahannya digunakan sebagaiakseptor elektron mikroba tertentu(Holzapfel-Pschron et al. 1986).

Tanah sawah berpotensi meningkat-kan emisi gas dinitrogen oksida (N2O)bilamana jumlah N tersedia bagitransformasi mikrobia yang ditingkatkanmelalui pemupukan N anorganik,penanaman leguminosa, pengembalianpupuk organik dan sisa-sisa tanaman kedalam tanah, dan mineralisasi biomassatanah dan bentuk-bentuk lain bahanorganik tanah. Tanah sawah tergenangmemberikan habitat ideal bagi bakterianaerob fakultatif seperti bakteridenitrifikasi, sehingga dapat berfungsi baikpada kondisi dengan maupun tanpaoksigen dalam mengemisi N2O danmemfiksasi N2 (Rao 1994). Pemberianjerami padi in situ ke dalam tanah sawah

Page 70: jurnal biologi indonesia nhaaa

219

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

umumnya meningkatkan laju fiksasinitrogen, laju denitrifikasi dan emisi N2O(Rao 1994, Vallejo et al. cit Meijide etal. 2009). Pembenaman jerami padi kedalam tanah sawah nyata menurunkanemisi gas N2O (Gambar 4), sedangkanpengelolaan jerami padi tidak nyatamempengaruh emisi N2O, baik dalambentuk segar ataupun diberikan dalamkondisi melapuk. Pemberian jerami padidapat menekan pelepasan N2O dari dalamtanah ke atmosfer, yang berartimengurangi kehilangan N dalam bentukN2O sebagai hasil proses nitrifikasi-denitrifikasi dan sekaligus meningkatkanefisiensi pupuk N anorganik. Peningkatanefisiensi pupuk N akan menjaminketersediaan N bagi pertumbuhantanaman padi (Yoshida 1978). Penurunanemisi N2O tersebut sebagai hasil interaksijerami padi dengan bahan penghambatnitrifikasi (biji mimba atau karbofuran).

Pemberian pupuk N anorganik sajatanpa disertai dengan pemberian jeramipadi menghasilkan emisi N2O lebih tinggidaripada kombinasi pupuk N anorganikdan jerami padi pada takaran N yangsama. N dari pupuk anorganik lebih cepatditransformasi pada kondisi yang sesuaidibandingkan N hasil mineralisasi pupukorganik. Selain itu, tanah VerticEndoaquept lebih tanggap terhadappemupukan N anorganik akibatrendahnya kandungan N dalam tanah (0,3mg g-1), sehingga berpengaruh terhadaptingginya emisi N2O meskipun kandungannitrat dalam tanah di sekitar perakaranlebih tinggi dibandingkan kombinasi pupukN dan jerami padi (Tabel 1).

Rendahnya emisi N2O pada petakanyang diberi jerami padi baik segar maupun

melapuk dimungkinkan terkait denganpopulasi denitrifikasi yang menurun danketersediaan NH4

+ hasil dari dekomposisijerami padi pada kondisi anoksik. MenurutKirk (2000), dekomposisi bahan organikdalam kondisi anoksik dihasilkan asam-asam organik lebih sederhana + asamamino (RCH2NH2COOH) + NH4

+.Selain itu, dengan pemberian bahanpenghambat nitrifikasi oksidasi NH4

+

menjadi NO2- akan terhambat sehingga

tidak terbentuk N2O (Kirk & Kronzucker2005).

Saat fase pertumbuhan primordiabunga, tanaman mengeluarkan eksudatakar lebih banyak di sekitar perakaranpadi sawah. Eksudat akar tersebutdigunakan mikroba sebagai sumberenergi atau substrat dalam melakukanaktivitasnya, antara lain berupa bahanorganik dan nitrat. Seperti terlihat padaTabel 1, fluk N2O lebih tinggi terjadi padakandungan nitrat dan populasi bakteridenitrifikasi tinggi di sekitar perakarantanaman (rizosfer), terutama padaperlakuan tanpa jerami. Pelepasan N2Oke atmosfer antara lain ditentukan olehkandungan karbon, kandungan nitrat,aktivitas mikroba, populasi denitrifikasidalam tanah. Hubungan fluks N2Odengan ketersediaan substrat danpopulasi mikroba digambarkan denganpersamaan regresi berganda N2O = -1,11+ 0,0214 NO3 – 0,740 C-org + 0,0140mikroba total + 0,0450 respirasi (R2 =98,4 %). Peningkatan fluks N2Oberbanding lurus dengan kandungan nitrat,populasi mikroba total, dan respirasi tanah,namun fluks N2O berbanding terbalikdengan kandungan C organik di zonaperakaran tanaman padi. Ketersediaan

Page 71: jurnal biologi indonesia nhaaa

220

A. Wihardjaka

nitrat dalam tanah nyata mempengaruhibesarnya fluk dinitrogen oksida (P < 0,01).Kondisi tanah sawah tergenang selamapertumbuhan tanaman padi menciptakankondisi anoksik yang distimulasi olehproses denitrifikasi dengan pasokan nitratsebagai substrat mikroba dentrifikasi(Meijide et al. 2009). Hasil analisis kadarC organik saat tanaman berumur 45 hstmenunjukkan bahwa kandungan karbonorganik di sekitar perakaran tanaman padiberkisar 6,1 – 8,4 mg g-1. Karbon organikyang tersedia di perakaran tanaman padimerupakan faktor penting yang ikutmenentukan emisi N2O, meskipun jumlahkarbon yang dikeluarkan dalam mediaakar lebih rendah daripada yang terdapatdalam jaringan tanaman (Rao 1994).

Bahan penghambat nitrifikasiberpengaruh terhadap penurunan populasibakteri denitrifikasi, yang pada kondisianaerob berperan dalam pembentukandan pelepasan gas N2O dari tanah.Menurut Willison & Anderson cit Granli& Bockman (1994), bahan penghambatnitrifikasi dicyandiamide (DCD) dapatjuga menekan aktivitas bakteri denitri-fikasi meskipun populasinya melimpahdalam tanah hutan yang diberi glugosadan NO3

-. Kondisi tanah sawah yangtergenang selama pertumbuhan tanamanmenciptakan kondisi tanah anaerobikdengan potensial redoks rendah yangdapat menurunkan kandungan NO3-Ndan meningkatkan NH4-N dan kandu-ngan polifenol dalam tanah (Unger et al.2009). Peningkatan kandungan polifenoldalam tanah dapat menghambat aktivitasbakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasimeskipun ketersediaan NO3-N dan

populasi bakteri denitrifikasi di sekitarperakaran tanaman padi relatif tinggi.

Bentuk bahan penghambat nitrifikasitidak nyata mempengaruhi emisi N2O daritanah sawah. Emisi N2O dari petakanyang diberi biji mimba tidak berbeda nyatadengan petakan yang diberi karbofuran.Efektivitas biji mimba relatif lebih tinggidibandingkan karbofuran dalam menurun-kan emisi N2O terutama bila diberikanbersamaan dengan jerami padi yang telahmelapuk (Gambar 4). Biji mimba dapatdipandang sebagai sumberdaya murahdan tersedia melimpah potensial sebagaipenghambat nitrifikasi seperti karbofuran,namun relatif lebih ramah lingkungandibandingkan karbofuran yang berpotensisebagai kontaminan dalam ekosistemsawah. Biji mimba yang digunakan dalamkajian ini mengandung senyawa polifenol(0,13% tannin), yang diduga dapatmenghambat aktivitas bakteri nitrifikasidan bakteri denitrifikasi. Senyawapolifenol seperti tannin yang merupakansalah satu komponen bahan organik hanyamampu dimanfaatkan oleh jamur terutamagenus Aspergillus dan Penicillium,sehingga genus-genus bakteri tidak dapatmemanfaatkan atau terhambat aktivitas-nya (Rao 1994). Meskipun di rizosfertersedia asam amino dalam jumlah besar,adanya senyawa polifenol akanmenghambat aktivitas beberapa genusbakteri. Beberapa genus bakteri yangditemukan dalam rizosfer antara lainPseudomonas, Achromobacter, Arthro-bacter, Azotobacter, Mycobacte-rium,dan Bacillus. Di antara genus-genustesebut, Pseudomonas dan Achromo-bacter merupakan genus-genus bakteriyang melaksanakan denitrifikasi yang

Page 72: jurnal biologi indonesia nhaaa

221

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

paling banyak dijumpai dalam tanahsawah (Handayanto & Hairiah 2007).

KESIMPULAN

Pemberian jerami padi nyatamenurunkan emisi dinitrogen oksida daritanah sawah tadah hujan kahat nitrogen,dimana penurunan emisi N2O lebih tinggitercapai bilamana jerami padi diberikansetelah terjadi perombakan (melapuk).Pemberian jerami padi pada tanah sawahtadah hujan dapat meningkatkan efisiensipupuk N anorganik sekaligus menekankehilangan N dalam bentuk N2O.

Biji mimba lebih efektif menurunkanemisi N2O bilamana diberikan bersamaandengan jerami padi yang telah melapuk.Biji mimba, sumberdaya murah danmelimpah tersedia berpotensi sebagaipenghambat nitrifikasi seperti karbofuran,namun lebih ramah lingkungandibandingkan dengan karbofuran yangberpotensi sebagai kontaminan dalamekosistem sawah.

Tabel 1. Pengaruh pemberian jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi terhadap

Pengelolaan jerami padi

Bahan penghambat

nitrifikasi (pn)

Fluks N2O (ug m-2 menit-1)

Kandungan nitrat (ppm)

Populasi bakte-ri denitrifikasi

(104 SPK g-1 tanah)

Respirasi tanah (mg CO2_C g-1

tanah hari-1) Tanpa jerami

Tanpa bahan pn Biji Mimba Karbofuran

1,39 0,73 0,89

110 93 94

110 15 20

6,2 5,5 7,9

Jerami segar Tanpa bahan pn Biji Mimba Karbofuran

0,93 0,56 0,21

108 77 70

140 12 3

4,8 4,6 6,6

Jerami melapuk

Tanpa bahan pn Biji Mimba Karbofuran

0,55 0,22 0,29

75 63 73

140 4 4

7,9 7,2 3,3

Keterangan : data hasil analisis dari contoh tanah komposit, pn = penghambat nitrifikasi, SPK = satuanpembentuk koloni

UCAPAN TERIMA KASIH

Perhargaan yang tinggi denganucapan terima kasih disampaikan kepadaSdr. Helena Lina Susilowati, sdr. RinaKartikawati, Sdr. Miranti Ariyani, Sdr. TitiSoepiawati yang telah membantu dalamanalisis fluks N2O di Laboratorium EmisiGas Rumah Kaca Balingtan.

DAFTAR PUSTAKA

Abao Jr, EB., KF. Bronson, R. Wass-mann, & U. Singh. 2000. Simulta-neous records of methane andnitrous oxide emission in rice-basedcropping systems under rainfedconditions. Nut. Cyc. Agroecos.58: 131-139.

Anas, I. 1989. Bologi Tanah dalamPraktek. Pusat Antar UniversitasBioteknologi. Institut PertanianBogor. Bogor.

Arafat, SM., A. Abd El-Galil, & M. AbuSeeda. 1999. Improvement ofnitrogen fertilizer efficiency with

Page 73: jurnal biologi indonesia nhaaa

222

A. Wihardjaka

nitrification inhibitors in lowlandrice. Pakistan J.Biol. Sci.2(4) :1184-1187.

Basyir, A. & Suyamto. 1996. Penelitianpadi untuk mendukung pelestarianswasembada pangan. ProsidingSeminar Apresiasi Hasil PenelitianBalai Penelitian Padi. BadanLitbang Pertanian. Buku I. BalaiPenelitian Tanaman Padi. 146 –170.

BPS. 2000. Kabupaten Pati dalamAngka 1999. Badan Pusat StatistikKabupaten Pati, Propinsi JawaTengah.

Cortons, TM., JB. Bajita, FS. Grospe,RR. Pamplona, CA. Aziz Jr, R.Wassmann, RS. Lantin, & L.V.Buendia. 2000. Methane emissionfrom irrigated and intensivelymanaged rice fields in CentralLuzon, Philippines. Nut. Cyc.Agroecos.58 : 37-53.

Gold, AJ. & CA. Oviatt. 2005. Nitrate infresh water and nitrous oxide in theatmosphere. Dalam : Addiscott,T.M. (ed.). Nitrate, Agricultureand the Environment. CABIPublishing. Wallingford, Oxford-shire, U.K. 110-154.

Granli, T. & OC. Bockman. 1994.Nitrous oxide from agriculture.Norwegian J. Agric. Sci. Suppl.12 : 1-159.

Handayanto, E. & K. Hairiah. 2007.Biologi Tanah Landasan Penge-lolaan Tanah Sehat. PustakaAdipura. Yogyakarta.

Hansen, S. & LR. Bakken. 1993. N2O,CO2 and O2 concentrations in soilair influenced by organic and

inorganic fertilizers and soilcompaction. J. Agric. Sci. 7 : 1-10.

Holzapfel-Pschorn, AR., Conrad, & W.Seiler. 1986. Effect of vegetationon the emission of methane fromsubmerged rice paddy soil. Plantand Soil 92 : 223-233.

IPCC. 2006. 2006 IPCC Guidelines forNational Greenhouse GasInventory. IGES, Japan.

Jain, MC., S. Kumar, R. Wassmann, S.Mitra, SD. Singh, JP. Singh, R.Singh, AK. Yadav, & S. Gupta.2000. Methane emissions fromirrigated rice fields in northen India,New Delhi. Nutrient Cycling inAgroecosystem 58 : 75-83.

Kirk, GJD. 2000. Rate-limiting steps innitrogen acquisition by rice inflooded soil. Dalam :Sheehy, J.E.,P.L. Mitchell, B. Hardy (eds.).Redesigning Rice Photosyn-thesis to Increase Yield. IRRI –Elsevier. Amsterdam, Lausanne,Tokyo. 249-254.

Kirk, GJD. & HJ. Kronzucker. 2005. Thepotential for nitrification and nitrateuptake in the rhizosphere of wetlandplants: A modelling study. Ann. Bot.96(4) : 639-646.

Klemedtsson, L., BH. Svensson, & T.Rosswall. 1988. Relationshipbetween soil moisture content andnitrous oxide production duringnitrification and denitrification. Biol.Fertil. Soils 6 : 106-111.

Ko, JY. & HW. Kang. 2000. The effectof cultural practices on methaneemission from rice fields. Nut. Cyc.Agroecosystem 58 : 311-314.

Page 74: jurnal biologi indonesia nhaaa

223

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

Ladha, JK., FJ. de Bruijn, & KA. Malik.1997. Introduction: assessingopportunities for nitrogen fixaton inrice-a frontier project. Dalam :Ladha, et al. (ed.). Opportunitiesfor Biological Nitrogen Fixationin Rice and Other Non-Legumes. Developments in Plantand Soil Sciences. Vol. 75. KluwerAcademic Publishers. InCoperation with IRRI. TheNetherlands.

Lantin, RS., JB. Aduna, & AM.Javeliana. 1995. MethaneMeasurements in Rice Fields.International Rice ResearchInstitute. Los Banos, Manila,Philippines.

Meijide, A., Lourdes Garcý´a-Torres,Augusto Arce, & Antonio Vallejo.2009. Nitrogen oxide emissionsaffected by organic fertilization ina non-irrigated Mediterraneanbarley field. Agri. Ecos.Env. 132 :106–115.

Meiviana, A., DR. Sulistiowati, & MH.Soejachmoen. 2004. Bumi MakinPanas, Ancaman PerubahanIklim di Indonesia. KementerianNegara Lingkungan Hidup, JICA,Yayasan Pelangi. Jakarta.

Minami, K. & S. Fukushi. 1984. Methodsfor measuring N2O flux from watersurface and N2O dissolved inwater from agricultural land. SoilSci. Plant Nutr. 30(4) : 495-502.

Mosier, AR., KF. Bronson, JR. Freney,& DG. Keerthisinghe. 1994. Usenitrification inhibitors to reducenitrous oxide emission from ureafertilized soils. Dalam : CH4 and

N2O: Global Emissions andControls from Rice Field andOther Agricultural and IndustrialSources. NIAES. 187 – 196.

Piegorsch, WW. & AJ. Bailer. 2005.Analyzing Environmental Data.John Wiley & Sons, Ltd.Chichester.

Ponnamperuma, FN. 1977. Physico-chemical properties of submergedsoils in relation to fertility. IRPS 5 :10-12.

Prinn, R., D. Cunnold, R. Rasmussen, P.Simmonds, F. Alyen, A. Crawford,P. Fraser, & R. Rosen. 1990.Atmospheric emission and trendsof nitrous oxide reduced from 10years of ALE-GAGE data. J.Geophys. Res. 95 : 18369-18385.

Rao, NSS. 1994. MikroorganismeTanah dan PertumbuhanTanaman. UI-Press, Indonesia.

Sahrawat, KL. 2004. Nitrificationinhibitors for controlling methaneemission from submerged rice soils.Current Science 87(8): 1084-1087.

Setyanto, P., Mulyadi, & Z. Zaini. 1997.Emisi gas N2O dari beberapasumber pupuk nitrogen di lahansawah tadah hujan. PenelitianPertanian Tanaman Pangan16(1): 14-18.

Snyder, CS., TW. Bruulsema, TL.Jensen, & PE. Fixen. 2009. Reviewof greenhouse gas emissions fromcrop production systems andfertilizer management effects.Agri.Ecos.Env. 133 : 247–266.

Toha, HM., AK. Makarim, & S.Abdurachman. 2001. PemupukanNPK pada varietas IR64 di musim

Page 75: jurnal biologi indonesia nhaaa

224

A. Wihardjaka

ketiga pola indeks pertanaman padi300. Penelitian Pertanian Tana-man Pangan 20(1): 40 – 49.

Unger, IM., PP. Motavalli, & RM.Muzika. 2009. Changes in soilchemical properties with flooding :A field laboratory approach. Agri.Ecos. Env. 131 : 105-110.

USEPA. 2006. Nitrous Oxide : Sourcesand Emission. http://www.epa.gov/nitrousoxide/sources.html

Watson, RT., LG. Meira Filho, E.Sanhueza & T. Janetos. 1992.Climate Changes 1992. The

Supplementary Reports to the IPPCScientific Assessment. CambridgeUniversity Press. Cambridge, UK.

Xiong, ZQ., GX. Xing, & ZL. Zhu. 2007.Nitrous oxide and methaneemissions as affected by water, soiland nitrogen. Pedosphere 17(2) :146-155.

Yoshida, T. 1978. Microbial metabolismin rice soil. Dalam : Soil and Rice.International Rice ResearchInstitute. Los Banos, Philippines.445-463.

Memasukkan : November 2009Diterima: Februari 2010

Page 76: jurnal biologi indonesia nhaaa

225

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 225-235 (2010)

Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar BerdasarkanKarakteristik Jenis Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia

Sri Soegiharto1), Agus P. Kartono2), & Ibnu Maryanto3)

1 Peneliti Balai Besar Dipterocarpa Samarinda, Email: [email protected] Staf Pengajar Mayor KVT IPB Bogor, Email: [email protected]

3Peneliti Zoologi LIPI Cibinong, Email: [email protected]

ABSTRACT

The Grouping of Fruit Bats Based on Pollend Type Characterized as Food Resources inBogor Botanical Garden, Indonesia. A study was conducted to identify pollen consummedby fruits bat in Bogor Botanical Garden from March 2008 to June 2009. The types of crown ofthe flower, pollen and pollen size which chosen by fruit bats were analysed by using highdetrended canonical correspondent. The result indicated that there are three major groups ofbats based on the similarities of food type or flower resources consumed by fruit bats. Thegroups were (1) males of Macroglossus sobrinus and the females of Eonycteris spelaea, (2)Cynopterus brachyotis and the females of C. minutus, and (3) males and females of C.titthaheileus, females of C. brachyotis and Macroglossus sobrinus, males of C. sphinx and C.minutus, and females of C. sphinx.

Key words: Megachiroptera, pollend, seed distribution,

PENDAHULUAN

Kelelawar memiliki peran ekologisyang penting sebagai pemencar biji buah-buahan seperti sawo, jambu air, jambubiji, duwet dan cendana (Dumont et al.2004); serta penyerbuk bunga daritanaman bernilai ekonomis tinggi sepertipetai, durian, bakau, kapuk randu danmangga. Kelelawar Megachiroptera,terutama pada genus Pteropus sangatberperan penting dalam penyerbukan danpemencaran biji (Pierson & Rainey 1992;Wiles & Fujita 1992). Spesies anggotapada genus ini mengunjungi kurang lebih26 spesies tumbuhan berbunga dan 64

tumbuhan buah, serta membantupenyerbukan lebih dari 31 genus dan 14famili Angiosperma (Marshall 1985).

Keanekaragaman jenis tumbuhan diKebun Raya Bogor tergolong tinggi.Jumlah koleksi terakhir sampai Januari2006 terdiri atas 222 famili, 1.257 genera,3.423 jenis dan lebih dari 13.684 spesimentanaman hidup (Subarna 2006).Kelelawar Cynopterus sp. di KebunRaya Bogor memakan 48 jenis tumbuhanyang sebagian besar (74,38%) merupakantumbuhan hutan dan bagian yang dimakanadalah buah dan daun (Suyanto 2001).Meskipun demikian, kelelawar merupa-kan salah satu hewan yang masih kurang

Page 77: jurnal biologi indonesia nhaaa

226

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

diperhatikan dalam upaya konservasinya.Hal ini dikarenakan lemahnya pengetahu-an masyarakat akan arti penting kelela-war dalam rangkaian mata rantai ekologi.

Dari uraian tersebut penelitian inidilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu1) mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhanpakan yang dimakan kelelawar, 2)menentukan penge-lompokan masing-masing jenis kelelawar jantan dan betinaterhadap faktor tumbuhan pakan (tipemahkota bunga, tipe polen dan ukuranpolen) dalam pemilihan jenis tumbuhanpakan kelelawar. Hasil penelitiandiharapkan dapat memberikan manfaatantara lain: 1) mengetahui karakteristikjenis tumbuhan pakan kelelawar dalamupaya mendukung konservasi di daerahperkotaan, 2) memberikan informasikepada masyarakat akan perlunya upayakonservasi terhadap jenis-jenis kelelawardi daerah perkotaan.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian dilakukan di Kebun RayaBogor (KRB) selama 16 bulan, mulaiMaret 2008 hingga Juni 2009. Pengam-bilan sampel kelelawar dilakukan di KRBsetiap dua minggu sekali sebanyak 2 ekorsetiap spesies tertangkap di 13 lokasi titikpenangkapan.

Untuk penempatan misnet (jaringkabut) ditempatkan menggunakan teknikpurposive sampling sedangkan pengam-bilan sampel kelelawar menggunakanteknik random sampling. Jaring kabutyang dipasang pada waktu senja hari padapukul 17.00-18.00 WIB dan pagi haripada pukul 06.00 – 08.00 WIB dilakukanpengecekan jaring kabut dan pengam-

bilan kelelawar. Pengambilan sampelkelelawar dilakukan selama kurun waktu16 bulan, untuk tiap bulannya dilakukandengan selang waktu 2 minggu sekali.Jumlah sampel kelelawar yang diambiltiap 2 minggu sekali berjumlah 2 ekoruntuk tiap masing-masing jenis kelelawar.

Pengambilan kelelawar dipilih untuktiap jenis yang mewakili spesiesnyamasing-masing jantan dan betina. Spesieskelelawar yang diambil adalah Cynop-terus minutus, C. brachyotis, C. sphinx,C. t itthaecheilus, Macroglossussobrinus, Rousettus amplexicaudatusdan Eonycteris spelaea.

Proses analisis polen dilakukansecara hati-hati, mengingat ukuran polenyang sangat kecil 10µm-200µm menye-babkan polen mudah berpindah daritempat satu ketempat yang lain.

Pengambilan sampel polen didapatdari isi pencernaan kelelawar. Hasil dariisi pencernaan kemudian dicampurkedalam alkohol 70% dan dimasukkan kedalam tabung reaksi selanjutnya dilaku-kan pemusingan dengan putaran 2000rpm selama 30 menit, langkah selanjutnyadilakukan pembuangan cairan alkoholyang digunakan dan diganti denganalkohol yang baru. Langkah tersebutdilakukan pengulangan sebanyak tigakali. Endapan yang dihasilkan dari prosespemusingan diletakkan pada gelas objeksebanyak satu tetes kemudian ditetesidengan gliserol dan ditutup dengan coverglass dengan bagian tepinya direkatkanmenggunakan kuteks kuku. Penggunaangliserol pada analisis ini diperuntukkansebagai bahan pengawet (Yulianto 1992).

Pengamatan dilakukan denganmenggunakan mikroskop cahaya dengan

Page 78: jurnal biologi indonesia nhaaa

227

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

perbesaran 10, 45 dan 100 kali. Penda-taan dilakukan dengan mencatat danmenggambar jenis polen yang ditemukandalam object glass. Langkah selanjutnyadihitung jumlah polen yang ditemukan.Polen yang ditemukan di dalam perutkemudian diidentifikasi sampai tingkatfamili dan genus menurut kuncideterminasi Erdmant (1952), Nayar(1999) dan Paldat (2005).

Data yang dihasilkan ditranformasisesuai dengan sebaran data. Padapenelitian ini data yang dihasilkan dalambentuk persentase, sehingga bentuktransformasi yang digunakan adalahtransformasi arcsin (Syahid 2009).

Pengelompokan kelelawar pemakanbuah dan nektar berdasarkan karakte-ristik jenis pakan dianalisis menggunakanpendekatan analisis multivariate hiperDetrend Canonical CorespondenceAnalysis (hDCCA) menurut ter Braak& Smilauer (1998). Penggunaan metodehDCCA ini bertujuan untuk menentukankedekatan pengelompokan dalam bentukgrafik serta mengungkap informasimaksimum dari suatu matriks datadengan faktor lingkungan secarabersamaan. Matriks data yang digunakanterdiri atas jenis kelelawar jenis tumbu-han yang teridentifikasi sebagai sampeldan 3 parameter lingkungan yaitu tipemahkota bunga, tipe polen dan ukuranpolen. Bentuk mahkota bunga terbagikedalam 8 tipe, yaitu tabung, bintang,disk, kupu, lonceng, mangkuk, kedok, danbulir.

Menurut Tjitrosoepomo (2007)bentuk mahkota bunga dibagi kedalambeberapa bentuk (1) bintang (rotatus ataustellatus), (2) tabung (tubulosus), (3)

kupu-kupu (papilio-naceus), (4) mang-kuk (urceolatus), (5) berto-peng/berkedok (personatus), (6) lonceng(campanulatus), (7) disk, dan (8) bulir.

Untuk tipe polen dibedakan berda-sarkan kelas permukaannya yangditentukan melalui perbandingan sumbupolar (P) dengan total lebar polen (E)menurut Erdtman (1943). Berdasarkanrasio P/E maka tipe polen dapatdiklasifikasikan ke dalam: (a) peroblate,rasio P/E kurang dari 4/8, (b) oblate,rasio P/E=4/8–6/8, (c) sub-spheroidal,rasio P/E=6/8–8/6, (d) prolate, rasio P/E=8/6–8/4, dan (e) perprolate, rasio P/E >8/4. Tipe polen subspheroidal selan-jutnya dapat dibagi lagi ke dalam: (a) sub-oblate, rasio P/E=6/8–7/8, (b) oblatespheroidal, rasio P/E=7/8–8/8, (c)prolate spheroidal, rasio P/E=8/8–8/7,dan (d) sub-prolate, rasio P/E=8/7–8/6(Erdmant 1952).

Ukuran polen dibagi menurutErdtman (1943) yaitu sangat kecil/perminute (<10μm), kecil/minute (10–25μm), sedang/mediae (25–50μm),besar/magnae (50–100μm), sangatbesar/permagnae (100–200μm), danraksasa/giganteae (>200 μm). Analisispengaruh karakteristik bentuk bunga, tipedan ukuran polen dengan hCCAmenggunakan software Canoco forWindows 4.5 (Leps & Smilauer 1999).

HASIL

Hasil analisis polen dapat diketahuijumlah persentase polen masing-masingspesies kelelawar. Penyajian datadilakukan dalam 3 bentuk, yaitu (1)persentase pakan kelelawar dengan jenis

Page 79: jurnal biologi indonesia nhaaa

228

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

Tabel 1. Persentase mahkota bunga yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar.

Mahkota Bunga

Tabung

Bintang

Disk

Kupu

Lonceng

Mangkuk

Kedok

Bulir

Jenis Kele-lawar Sex

♂ 30,7 7,26 7,26 11,03 43,74 CM ♀ 1,86 27,77 9,09 61,28 ♂ 68,88 7,40 9,55 14,18 CB ♀ 4,15 52,95 9,06 33,84 ♂ 44,08 14,48 41,44 CS ♀ 29,58 12,66 7,23 50,53 ♂ 4,95 42,11 25,24 18,1 9,61 CT ♀ 68,39 12,54 19,08 ♂ 18,40 21,47 48,74 11,39 M ♀ 57,03 42,97 ♂ R ♀ 100 ♂ 100 E ♀ 85,05 2,97 11,99

mahkota bunga disajikan pada Tabel 1,(2) persentase pakan kelelawar dengantipe polen disajikan pada Tabel 2, dan (3)persentase pakan kelelawar denganukuran polen disajikan pada Tabel 3.

Hasil analisis pengelompokkan jeniskelelawar jantan dan betina berdasarkantipe mahkota, tipe polen, dan ukuran polenmenggunakan hDCCA terlihat padaGambar 1 variasi data spesies yang dapatditerangkan adalah untuk axis 1 = 0,146,dengan eigenvalue = 0,753; axis 2 =0,177, dengan eigenvalue = 0,162. Axis1 pada analisis hDCCA menjelaskankedekatan masing-masing kelompokkelelawar pada pemilihan tipe mahkota,tipe dan ukuran polen. Axis 2 menje-laskan hubungan kedekatan anggotaspesies dalam satu kelompok atau antarkelompok dalam nilai axis 1 yang sama.

Hasil analisis memperlihatkan(Gambar 1) bahwa jenis Macroglossus

sobrinus jantan dan Eonycteris spelaeabetina membentuk kelompok pertamayang memiliki kesamaan pemilihan tipepakan. Kelompok kedua terdiri dariCynopterus brachyotis jantan dan C.minutus betina. Kelompok ketiga terdiridari C. titthaecheilus betina dan C.titthaecheilus jantan, C. brachyotisbetina, M.sobrinus betina, C. sphinxjantan, C. minutus jantan, C. sphinxbetina.

Kelompok pertama terbagi menjadidua sub kelompok, sub kelompok A terdiridari jenis Macroglossus sobrinus jantandan sub kelompok B terdiri dari jenisEonycteris spelaea betina. Kelompokketiga terbagi menjadi tiga sub kelompokyaitu sub kelompok C, sub kelompok Ddan subkelompok E. Pada sub kelompokC terdiri dari jenis C. titthaechei-lus,jantan dan C. titthaecheilus,betina,sub kelompok D terdiri dari jenis C.

Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaechei-lus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea.

Page 80: jurnal biologi indonesia nhaaa

229

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

Tabel 2. Persentase tipe polen yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar

Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C.titthaecheilus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycterisspelaea,

Tipe Polen Peroblate Oblate

Sub-Oblate

Oblate Spheroidal

Prolate Spheroidal Prolate

Per-Prolate

Jenis Kele-lawar Sex

♂ 36,31 56,42 7,26 CM ♀ 14,94 6,5 76,69 1,86 ♂ 11,93 41,9 39,45 6,72 CB ♀ 64,72 35,28 ♂ 14,48 85,52 CS ♀ 7,23 7,23 74,92 10,61 ♂ 43,34 37,59 14,13 4,95 CT ♀ 42,67 15,16 42,17 ♂ 29,66 35,65 23,01 11,69 M ♀ 57,03 42,97 ♂ R ♀ 100 ♂ 100 E ♀ 34,21 5,01 14,95 39,85 5,97

Ukuran Polen Gigantea

Permagnae

Magnae

Jenis Kele-lawar

Sex ♂ 40,77 43,58 15,65 CM ♀ 46,29 53,71 ♂ 52,24 44,2 3,57 CB ♀ 35,8 64,2 ♂ 14,48 85,52 CS ♀ 13,92 86,08 ♂ 44,04 41,83 14,13 CT ♀ 25,74 61,78 12,47 ♂ 61,04 20,56 18,4 M ♀ 100 ♂ R ♀ 100 ♂ 100 E ♀ 92,87 7,13

Tabel 3. Persentase ukuran polen yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar

Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaechei-lus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea,

Page 81: jurnal biologi indonesia nhaaa

230

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

brachyotis betina, sub kelompok E terdiridari jenis M. sobrinus betina, C. sphinxjantan, C. minutus jantan, C. sphinxbetina. Kelompok keempat ditempatijenis R. amplexicaudatus betina, danpada kelompok kelima ditempati oleh jenisE. spelaea jantan.

Hasil analisis pengelompokkan jeniskelelawar jantan dan betina berdasarkantipe mahkota, tipe polen, dan ukuran polenmenggunakan hDCCA terlihat padaGambar 1. variasi data spesies yangdapat diterangkan adalah untuk axis 1 =0,146, dengan eigenvalue = 0,753; axis2 = 0,177, dengan eigenvalue = 0,162.Axis 1 pada analisis hDCCA menje-laskan kedekatan masing-masingkelompok kelelawar pada pemilihan tipemahkota, tipe dan ukuran polen. Axis 2

menjelaskan hubungan kedekatananggota spesies dalam satu kelompokatau antar kelompok dalam nilai axis 1yang sama. Macroglossus sobrinusjantan dan Eonycteris spelaea betinamembentuk kelompok pertama yangmemiliki kesamaan pemilihan tipe pakan.Kelompok kedua terdiri dari Cynopterusbrachyotis jantan dan C. minutus betina.Kelompok ketiga terdiri dari C.titthaecheilus betina dan C. titthae-cheilus jantan, C. brachyotis betina,Macroglossus sobrinus betina, C.sphinx jantan, C. minutus jantan, C.sphinx betina.

Kelompok pertama terbagi menjadidua sub kelompok, sub kelompok A terdiridari jenis Macroglossus sobrinus jantandan sub kelompok B terdiri dari jenis

Keterangan : 1. = C. minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotisbetina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaecheilus,jantan, 8=C.titthaecheilus,betina, 9= M. sobrinus jantan, 10= M. sobrinus betina, 11= R. amplexicaudatusbetina, 12= E. spelaea jantan, 13= E. spelaea betina. SB_OB=Sub Oblate, OB= Oblate,PR_SP=Prolate Speroidal, PE_PR=Perprolate, PR=Prolate, PE_OB= Peroblate, OB_SP=Oblate spheroidal. TA_B= Tabung, BI_T=Bintang, DI_S= Disk, KU_P= Kupu-kupu,LO_C=Lonceng,MA_K=Mangkuk,KE_D=Kedok, BU_L=Bulat.

Gambar 1. Pengelompokkan kelelawar berdasarkan karakteristik mahkota bunga, tipe polen.

-2 6

-14

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

TA_B

BI_TDI_S

KU_P

LO_C

MA_K

KE_D

BU_L

PE_OB

OB

SB_OB

OB_SP

PR_SP

PR

PE_PR

Kelompok I

Kelompok II

Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok V

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. D

Sub Kel. A

Sub Kel. B

-2 0 2 4 6AXIS 1

4

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-2 6

-14

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

TA_B

BI_TDI_S

KU_P

LO_C

MA_K

KE_D

BU_L

PE_OB

OB

SB_OB

OB_SP

PR_SP

PR

PE_PR

Kelompok I

Kelompok II

Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok V

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. D

Sub Kel. A

Sub Kel. B

Kelompok I

Kelompok II

Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok V

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. D

Sub Kel. A

Sub Kel. B

-2 0 2 4 6AXIS 1

4

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

Page 82: jurnal biologi indonesia nhaaa

231

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

Eonycteris spelaea betina. Kelompokketiga terbagi menjadi tiga subkelompokyaitu sub kelompok C, subkelompok Ddan subkelompok E. Pada sub kelompokC terdiri dari jenis C. titthaecheilusjantan dan C. titthaecheilus,betina, subkelompok D terdiri dari jenis C.brachyotis betina, sub kelompok E terdiridari jenis Macroglossus sobrinus betina,C. sphinx jantan, C. minutus jantan, C.sphinx betina. Kelompok keempatditempati jenis R. amplexicaudatusbetina, dan pada kelompok kelimaditempati oleh jenis E. spelaea jantan.

Pengelompokan jenis kelelawardidasarkan oleh karakteristik mahkotabunga, tipe dan ukuran polen (Gambar 1dan Gambar 2). Kelompok pertamadipengaruhi oleh mahkota bunga disk,bintang, tabung dan tipe polen sub oblate,oblate spheroidal dan prolate sphe-roidal. Jenis M. sobrinus jantandipengaruhi ukuran polen magnaemembentuk sub kelompok A, sedangkanjenis E. spelaea betina dipengaruhi olehukuran polen magnae dan giganteaemembentuk sub kelompok B. Kelompokkedua dipengaruhi oleh mahkota mang-kuk, lonceng, bulat dan tipe polenperoblate dan perprolate. Kelompokkedua ini dipengaruhi oleh ukuran polenpermagnae. Kelompok ketiga dibagimenjadi subkelompok C, D dan subkelompok E. Pada subkelompok Cdipengaruhi oleh bentuk mahkota kupu-kupu dan tipe polen oblate dan ukuranpolen giganteae.

Sub kelompok D dan E dipengaruhioleh bentuk mahkota mangkuk, loncengdan tipe polen peroblate dan perprolate.C. brachyotis betina dipengaruhi oleh

ukuran polen magnae membentuk subkelompok C. Untuk sub kelompok Emengindikasikan kurang dipengaruhi olehukuran polen permagnae. Kelompokkeempat dikelompokkan oleh pengaruhbentuk mahkota, tipe dan ukuran polen.Kelompok kelima dipengaruhi olehmahkota kedok, tipe polen prolate sertaukuran polen giganteae.

Pada Gambar 3. akan tampak jenis-jenis tumbuhan pakan yang mempenga-ruhi pengelompokkan kelelawar. Padakelompok pertama jenis yang mempe-ngaruhi adalah jenis Anacardium sp.,Adenanthera sp., Apocynaceae sp.1.,Paceae sp.1, Syzygium sp.1. Kelompokkedua jenis yang mempengaruhi adalahAnacardium sp.3., Annona sp., Ceibasp.3, Ceiba sp.1, Acanthaceae sp.1,Pinaceae sp.1, Begoniaceae sp.1,Duabanga sp. , Eugenia sp. Padakelompok ketiga yang terbagi kedalam 2sub kelompok, masing-masing subkelompok memiliki keterkaitan jenis yangberbeda. Sub kelompok A jenis tumbuhanyang mempengaruhi adalah Hisbiscussp. Sub kelompk B jenis tumbuhan yangmempengaruhi adalah [Orchidaceae]sp.2, Acacia sp., [Convolvulaceae] sp.1,Cyathea sp., Salacia sp., [Convolvu-laceae] sp.2, Cyperus sp., Croton sp.,[Acanthaceae] sp.1, [Pinaceae] sp.1,[Begoniaceae] sp.1. Kelompok keempattidak ada tumbuhan yang mempengaruhikuat. Kelompok kelima dipengaruhi olehtumbuhan jenis [Orchidaceae] sp.3.

PEMBAHASAN

Pada pengelompokan kelelawarberdasarkan karakteristik polentumbuhan pakan dapat dibedakan

Page 83: jurnal biologi indonesia nhaaa

232

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

Keterangan : 1. = C. minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotisbetina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaecheilus,jantan, 8=C.titthaecheilus,betina, 9= M. sobrinus jantan, 10= M. sobrinus betina, 11= R. amplexicaudatusbetina, 12= E. spelaea jantan, 13= E. spelaea betina.

Gambar 2. Karakteristik ukuran polen yang mempengaruhi pengelompokan lalai. a. ukuranpolen magnae, b. ukuran polen permagnaee, c. ukuran polen giganteae.

-1 5

-13

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kelompok III Sub Kel. C

Sub Kel. D Sub Kel. A

Axis 1

Axis 2

Kelompok IV

Sub Kel. E

Kelompok V

Sub Kel. B

Kelompok I

Kelompok II

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

1

2

34

56

78

9

10

11

12

13

Sub Kel. B

Kelompok I Kelompok II Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok V

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. D Sub Kel. A

Axis 1

Axis 2

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kelompok I

Sub Kel. A

Sub Kel. B

Kelompok IV

Sub Kel. E

Sub Kel. D

Kelompok III

Sub Kel. C

Axis 1

Axis 2

Kelompok II Kelompok V

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kelompok III Sub Kel. C

Sub Kel. D Sub Kel. A

Axis 1

Axis 2

Kelompok IV

Sub Kel. E

Kelompok V

Sub Kel. B

Kelompok I

Kelompok II

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

1

2

34

56

78

9

10

11

12

13

Sub Kel. B

Kelompok I Kelompok II Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok V

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. D Sub Kel. A

Axis 1

Axis 2

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kelompok III Sub Kel. C

Sub Kel. D Sub Kel. A

Axis 1

Axis 2

Kelompok IV

Sub Kel. E

Kelompok V

Sub Kel. B

Kelompok I

Kelompok II

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

1

2

34

56

78

9

10

11

12

13

Sub Kel. B

Kelompok I Kelompok II Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok V

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. D Sub Kel. A

Axis 1

Axis 2

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kelompok I

Sub Kel. A

Sub Kel. B

Kelompok IV

Sub Kel. E

Sub Kel. D

Kelompok III

Sub Kel. C

Axis 1

Axis 2

Kelompok II Kelompok V

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

12

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Kelompok I

Sub Kel. A

Sub Kel. B

Kelompok IV

Sub Kel. E

Sub Kel. D

Kelompok III

Sub Kel. C

Axis 1

Axis 2

Kelompok II Kelompok V

-1 0 1 2 3 4 5

AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

A)

B)

C)

Page 84: jurnal biologi indonesia nhaaa

233

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

kedalam (1) fungsi kelelawar sebagaipenyerbuk, (2) fungsi kelelawar sebagaipenyebar biji, (3) fungsi kelelawar sebagaipenyerbuk dan penyebar biji.

Fungsi kelelawar sebagai penyerbuktumbuhan diterangkan pada pengelom-pokan kelelawar dengan hDCCA padakelompok 1 dan kelompok 5 (Gambar 1).Fungsi kelelawar sebagai penyerbuktumbuhan diprediksi karena ketertarikankelelawar oleh sumber nektar dan polenpada bunga. Jenis tumbuhan yang

memiliki bunga dengan bentuk mahkotadisk, bintang dan tabung diserbuki olehjenis kelelawar E. spelaea betina, M.sobrinus jantan dan E. spelaea jantan.Pada jenis tumbuhan ini dimungkinkanbuah yang dihasilkan setelah penyer-bukan tidak disebarkan oleh jeniskelelawar. Simpulan karena hanya jeniskelelawar spesialis pemakan nektar danpolen saja yang menyukai jenis bunga inisedangkan jenis kelelawar spesialispemakan buah tidak menyukai jenis

Keterangan : 1. = C. minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotisbetina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaecheilus,jantan, 8=C.titthaecheilus,betina, 9= M. sobrinus jantan, 10= M. sobrinus betina, 11= R. amplexicaudatusbetina, 12= E. spelaea jantan, 13= E. spelaea betina. a=Anacardiaceae sp.3, c=Acanthaceaesp.1, d=Acasia sp., e=Acasia sp.2, f =Adenanthera sp., g=Alnus sp., h=Anacardium sp., i=Annonasp. ,j=Apocynaceae sp. 1, k=Baringtonia sp., l=Bauhinia sp., m=Begoniaceae sp.1, n=Betulasp., o=Betulaceae sp. 1, p=Ceiba pentandra, q=Ceiba sp.1, r=Ceiba sp.2, s=Ceiba sp3,t=Celastraceae sp.1, u=Compositae sp.1, v=Convulvulaceae sp.1, w=Convulvulaceae sp.2,x=Crateva sp., y=Croton sp., z=Croton sp.2, aa=Cyathea sp., ab=Cyperaceae sp.2, ac=Cyperussp., ad=Dacrydium sp., ae=Dilleniaceae sp.1, af=Duabanga sp., ag=Durio sp., ah=Duriozibethinus, ai=Ericaceae sp.1, aj=Eugenia sp., ak=Euphorbiaceae sp.1, al=Hisbiscus sp.,am=Licania sp., an=Mimosa sp., ao=Orchidaceae sp.2, ap=Orchidaceae sp.3, aq=Orchidaceaesp.4, ar=Parkia sp., as=Persea sp., at=Pinaceae sp. 1, au=Pinaceae sp.2, av=Poaceae sp. 1,aw=Poaceae sp. 2, ax=Salacia sp., ay=Syzygium sp.1, az=Typhaceae sp.1

Gambar 3. Jenis tumbuhan pakan yang mempengaruhi pengelompokan lalai.

-1 5

-13

1

2

34

7

8

5

6

9

10

11

12

13

a

c

3

f

g

h

ij

kl

m

n

o

pq r

s

t

uv

w

x

y

ac

ab

aaad

ae

af

agah ai

ijak

al

am

an

aoap

aqar

aq

at

au

avaw

ax

ay

az

d

Sub Kel. D Kelompok V Kelompok II

Kelompok I

Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. B

Sub Kel. A

-1 0 1 2 3 4 5AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

-1 5

-13

1

2

34

7

8

5

6

9

10

11

12

13

a

c

3

f

g

h

ij

kl

m

n

o

pq r

s

t

uv

w

x

y

ac

ab

aaad

ae

af

agah ai

ijak

al

am

an

aoap

aqar

aq

at

au

avaw

ax

ay

az

d

Sub Kel. D Kelompok V Kelompok II

Kelompok I

Sub Kel. C

Sub Kel. E

Kelompok IV

Kelompok III

Sub Kel. B

Sub Kel. A

-1 0 1 2 3 4 5AXIS 1

3

2

1

0

-1

AXI

S 2

Page 85: jurnal biologi indonesia nhaaa

234

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

tumbuhan ini. Jenis tumbuhan sebagaipenciri tersebut adalah spesies Betulasp., [Poaceae] sp.2, Adenanthera sp.,[Apocynaceae] sp.1.

Tipe kelelawar dengan moncongtumpul dan cenderung sebagai penyebarbiji buah dapat diterangkan padapengelompokan kelelawar denganhDCCA seperti pada kelompok 2(Gambar 1), walaupun jenis tersebut jugaberfungsi ganda sebagai penyerbuksebagai fungsi ke dua seperti yang terjadipada penelitian Maryati dkk (2008).Spesies kelelawar yang tergolong dalamfungsi ini adalah C. minutus betina, C.brachyotis jantan khususnya sebagaipenyebar dan penyerbuk utamatumbuhan Annona sp., [Apocynaceae]sp.1, [Anacardiaceae] sp.3, Duabangasp. Kelelawar jenis lainnya seperti hasilanalisis hDCCA pada kelompok 3(Gambar 1). Spesies kelelawar yangtergolong dalam fungsi ini adalah spesiesC. minutus jantan, C. sphinx jantan, C.sphinx betina, C. titthaecheilus,jantan,C. ti tthaecheilus,betina, dan M.sobrinus betina. Tumbuhan pencirisebagai penyerbuk dan penyebar bijiadalah spesies tumbuhan [Acanthaceae]sp.1, Acasia sp., Alnus sp., Baringtoniasp., Bauhi-nia sp., Begoniaceae sp. 1,Betula sp., [Betulaceae] sp. 1, Ceibapentandra, Ceiba sp. 1, Ceiba sp.2,Ceiba sp.3, [Celastraceae] sp.1,[Compositae] sp.1, [Convolvulaceae]sp.1, Crateva sp., Croton sp., Cyatheasp., [Cyperaceae] sp.2, Cyperus sp.,Dacrydium sp., [Dilleniaceae] sp. 1,Durio sp., Durio zibethinus, [Erica-ceae] sp.1, [Euphorbia-ceae] sp.1,Hisbiscus sp., Licania sp., Mimosa sp.,

[Orchidaceae] sp.2, [Orchidaceae] sp.4,[Pinaceae] sp. 1, [Pinaceae] sp.2, [Poa-ceae] sp. 2, Salacia sp., [Typhaceae]sp.1

Dalam satu spesies kelelawar antarajantan dan betina berbeda dalam mencarisumber pakan, hanya spesies C.titthaecheilus,yang memiliki kesamaankarakter dalam pencarian sumber pakan.Kondisi ini menyerupai hasil penelitianMaryati dkk (2008) Sebab perbedaantersebut belum bisa dijelaskan s mengapadalam satu jenis berbeda dalam pencarianpakan.

KESIMPULAN

Fungsi kelelawar dalam ekologidapat dijelaskan pada penggolongansecara multivariate. Peran kelelawarterbagi menjadi 3 yaitu peran kelelawarsebagai penyerbuk, kelelawar sebagaipenyebar biji, kelelawar sebagaipenyerbuk dan penyebar biji. Perankelelawar tersebut berbeda menurutkesukaan terhadap bentuk mahkotabunga, tipe dan ukuran polen.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terioma kasihkepada segenap staf Kebun Raya Bogoryang telah membantu dalam penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA

Dumont, ER., GD Weiblen & JRWinkelmann. 2004. Prefe-rencesof fig wasps and fruit bats for figsof functionally dioecious Ficuspungens. J.Trop. Eco. 20:233–238

Page 86: jurnal biologi indonesia nhaaa

235

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

Erdtman, G. 1943. An Introduction toPollen Analysis. New York:Chronica Botanica.

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphologyand Plant Taxonomy Angio-sperms: An introduction to thestudy pollen grains and spores.Copenhagen: Munksgard.

Leps, J & P. Smilauer. 1999. Multivari-ate Analysis of Ecological Data.Faculty of Biological Sciences,Univer-sity of South Bohemia.Ceske Budejovice.

Maryati, AP. Kartono & I. Maryanto2008. Kelelawar Pemakan BuahSebagai Polinator yang diidenti-fikasi Melalui Polen yang Diguna-kan Sebagai sumber Pakannya diKawasan Sektor Linggarjati,Taman Nasional Ciremai JawaBarat. J. Biol.Indo. 4 (5): 335-347

Marshall, AG. 1985. Old world phytopha-gous bats (Megachi-roptera) andtheir food plants:a survey. J.Biol.Lin.Soc.55(1):321–330.

Nayar TS. 1999. Pollen Flora ofMaharashtra State India.International Bioscence SeriesVolume XIV. New Delhi: Today &Tomorrow’s..

Paldat. 2005. Illustrated Handbook onPollen Terminology. Dept. ofPalynology.

Pierson ED. & WE. Rainey. 1992. Thebiology of flying foxes of the genusPteropus: A review. In: DE Wilsonand GL Graham (Eds). Pacificisland flying foxes proceedingsof an international conservation

conference. US Fish Wild ServBiol Rep. p:1–17.

Suyanto A. 2001. Kelelawar diIndonesia. Pusat Penelitian danPengembangan Biologi–LIPI.Bogor.

Syahid A. 2009. Transformasi Data. http://abdulsyahid-forum. blogspot.com/2009/04/ transformasi-data.html.[20 Juni 2009]

Subarna A. 2006. Sekilas Kebun RayaBogor. Pusat Konservasi Tumbu-han Kebun Raya Bogor.

Ter Braak, CJF. & P Smilauer. 1998.Canoco Reference Manual andUser’s Guide to Canoco for Win-dows. Ithaca: MicrocomputerPower

Tjitrosoepomo, G. 2007. MorfologiTumbuhan. Yogyakarta: GadjahMada Univ Pr

Wiles, GJ. & MS. Fujita. 1992. Foodplants and economic importance offlying foxes on Pacific islands. In:DE Wilson and GL Graham (Eds).Pacific island flying foxes:Proceedings of an internationalconservation conference 36–38.

Yulianto, E. 1992. Preparasi dan dasardeterminasi palinologi. Laporanstudi praktek Jurusan TeknikGeologi Fakultas TeknologiMineral ITB. Bandung.

Memasukkan: Juni 2009Diterima: Februari 2010

Page 87: jurnal biologi indonesia nhaaa

237

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 237-253 (2010)

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi KelestarianBurung Endemik Dataran Rendah Pulau Jawa

Studi Kasus di Kabupaten Kebumen

Eko SulistyadiBidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Email : [email protected]

ABSTRACT

Capability of Nir-Conservation Area for Preserving Jawa Lowland Endemic: CaseStudy in Kebumen District. Indonesia region is inhabited by 1.598 birds which 372 Indonesianendemic birds and 56 species of them are Jawa endemic. Amongs of jawa endemic birds, 19species are lowland occupant. Indeed the birds play important roles in ecosystem as agents ofpest population control, pollination, and seed dispersal. In lowland area of Jawa, intensivetransformation of land use exacerbated by no conservation area may threaten presence of theendemic birds. This study aims to assess caring capacity of disrupted area in low lands forpreserving endemic birds of Jawa.

The study was conducted in Bedegelon river covering northern mountaneus area ofKebumen district from October-November 2007 using encounter rates methode. Survey wascarried out in three farm types: agroforestry (wanatani), intercropping agriculture area(tumpangsari) and mixed area of vegetation-settelment area (sempadan sungai).

Result shows that four spesies Jawa lowland endemik birds was found in observed area.Lonchura leucogastroides and dicaeum trochileum found at all farm type, Prinia familiarisfound at intercropping agriculture area (tumpangsari). Alcedo coerulescens were observed atagroforestri area (wanatani) and mixed of vegetation-settelment area (sempadan sungai) farmtype.

Key words : Jawa endemik birds, diversity, Jawa lowland, farm tipe, kebumen district

PENDAHULUAN

Mengingat bahwa setiap jenis hayatimemiliki fungsi dalam melestarikanekosistem yang ditempatinya, makasudah seyogyanyalah bahwa setiap jenishayati harus tetap dipertahankankeberadaan dan fungsinya. Namundemikian, di antara sedemikian banyakjenis hayati yang terdapat di bumi ini,beberapa kelompok di antaranya jukaada perubahan lingkungan pendukung-

nya akan menjadi rawan punah.Kelompok hayati rawan punah tersebutantara lain yang bersifat endemik, migrant,pemangsa puncak, megaherbivora danberbiak dalam kelompok. Oleh karena itujenis hayati yang termasuk dalamkelompok rawan punah perlu tetapmemiliki habitat dengan luasan yang cukupdalam bentuk kawasan konservasi.

Indonesia telah ditetapkan sebagainegara megadiversity ke dua terbesar didunia (Mittermeier & Mittermeier 1997).

Page 88: jurnal biologi indonesia nhaaa

238

Eko Sulistyadi

Selanjutnya juga dikatakan pula bahwadi dunia tercatat ada 9.040 jenis burung,1.531 jenis diantaranya terdapat diIndonesia dengan 397 jenis (26%)endemik. Dalam thesisnya, van Balen(1999) menyebutkan bahwa terdapat 12jenis burung endemik dataran rendahPulau Jawa dan terdapat 12 jenis burungdataran rendah Pulau Jawa yangterancam punah.

Pulau Jawa merupakan salah satupulau terpadat di dunia dengan jumlahpenduduk diperkirakan 96 juta jiwa dankepadatan 800 jiwa/km2 (MacKinnon dkk1998); penebangan hutan di Pulau Jawayang telah terjadi mulai abad 16 danmencapai puncak pada abad 19 telahmemberikan kontribusi terhadap penyusu-tan penutupan vegetasi di Jawa (terutamahutan hujan) yang sekarang diperkirakantinggal 2,3% atau kurang (van Balen1999). Fakta ini menggam-barkan bahwahampir seluruh lahan dataran rendah diJawa telah dialihfungsi-kan menjadi lahanpertanian dan pemukiman. Partasasmita(2003) menyebutkan bahwa dampaknegatif dari pertumbuhan populasimanusia, laju deforestrasi dan fragmentasihabitat yang terus terjadi mempengaruhipersebaran maupun kelimpahan berbagaijenis burung. Studi penyebaran burung diJawa (van Balen 1999) menunjukkanadanya pola kenampakan abnormaldalam penyebaran burung pada berbagaiketinggian. Terlihat penurunan jumlahjenis yang signifikan pada zona bukit padaketinggian 300-1500m. Kondisi inimenggambarkan adanya pengaruhaktivitas manusia yang mendesak habitatsatwa liar termasuk burung.

Hanya ada beberapa kawasankonservasi yang berfungsi baik di dataranrendah P Jawa yaitu di Jawa Baratterdapat TN Ujung Kulon dan di JawaTimur terdapat TN Merubetiri, TNBaluran dan TN Alas Purwo (Rais dkk2007). Jawa Tengah tidak memilikikawasan konservasi dataran rendah yangmemadai, padahal untuk kelestarian jenishayati selain ketersediaan populasi yangcukup juga perlu adanya pertukaran genantar populasi. Oleh karena itu dirasaperlu dilakukan penelitian perihal potensikawasan nir-konservasi sebagai kawasanpendukung kelestarian burung di JawaTengah sebagai penghubung kawasankonservasi yang ada di Jawa Baratdengan Jawa Timur yang meliputipopulasi TN Ujung Kulon, TN Merubetiri,TN Baluran dan TN Alas Purwo. Untukitu dilakukan penelitian di dataran rendahdengan ketinggian dibawah 500 meter diperbukitan utara Kebumen. Tipeekosistem yang dipilih adalah lahanpertanian yang umum terdapat di lahanpertanian Jawa yaitu pola wanatani,tumpangsari dan sempadan sungai.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini dilakukan pada bulanOktober-November 2007 di daerah aliransungai Bedegolan termasuk perbukitanutara Kabupaten Kebumen. Pengamatandilakukan pada tiga tipe lahan yaitu (1)wanatani, terletak di perbukitan padaketinggian ± 500 m. dpl. Tumbuhanutama pada lahan ini adalah jati (Tectonagrandis), kelompok nangka (Arthocar-pus spp.), beringin (Ficus benjamin) dansaman (Samanea saman). Lahan ini

Page 89: jurnal biologi indonesia nhaaa

239

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

relatif tidak diolah tanahnya danpepohonannya tidak di tebang; (2)tumpangsari, terletak di perbukitan padaketinggian ± 500 m. dpl. Dengantumbuhan utama beringin, kelompoknangka, dan asam (Tamarindus indica).Tanah lahan ini setiap kali diolah untukditanami ulang dengan ubi jalar (Ipomoeabatatas),ketela pohon (Manihotesculenta), jagung (Zea mays) dan albisia(Albizia falcataria); (3) sempadansungai (Bedegolan), terletak di dataranrendah dengan ketinggian ± 200 m. dpl.Lahan ini didominasi oleh tanaman kelapa(Cocos nucifera), pisang (Musaparadisiaca), mangga (Mangiveraspp.), dan jambu batu (Psidiumguajava). Lahan ini tidak diolah, vegetasiyang ada merupakan campuran antaratumbuhan (liar) dan tanaman masyarakat.

Sensus burung dilakukan denganmetoda encounter rates (Bibby dkk1998) yaitu gabungan antara metodapengamatan titik dan jalur sepanjang ± 2km. Pengamatan dilakukan denganmenggunakan binokuler 8 X 30 danpengukur waktu. Penghitungan dilakukanberdasarkan jumlah temuan individudalam satu jalur dalam waktu 1 jampengamatan dengan pengulangan empatkali pada waktu yang berbeda. Penga-matan dilakukan antara pukul 06.00-07.00, 07.00-08.00, 16.00-17.00 dan17.00-18.00.

Untuk memastikan bahwa pengam-bilan contoh sudah dapat mewakilipopulasi masing-masing jenis burungmaka data yang diperoleh diuji denganbootstrap. Kecukupan data ditunjukkanoleh tiga grafik yang terbentuk dengangrafik bootstrap berada di antara Jack

2 means dengan jenis terobservasi Sobs(mao tau). Uji bootstrap dilakukandengan bantuan software EstimateS ver7.00. Jika data yang terkumpul telahmemenuhi syarat maka berbagaiperhitungan lain layak untuk dilanjutkan.

Untuk mengetahui tingkat keane-karagaman jenis burung di masing-masingtipe lahan dilakukan dengan caramembandingkan jumlah individu setiapjenis burung dengan jumlah total individuburung yang terhitung. Hasil analisis inidikenal dengan sebutan Indeks Keane-karagaman Shannon-Wienner (H’).indeks keanekaragaman ShannonWienner dijelaskan dengan pendekatanindeks kemerataan Evenness (E) yangbesarnya antara 0–1 (Ludwig & Reynold1988). Indeks kemerataan menggambar-kan tingkat kemerataan populasi suatujenis burung yang diperoleh denganmembagi nilai keanekaragaman denganjumlah jenis yang ditemukan.

Untuk melihat perbandingankeanakeragaman jenis burung antarhabitat dipakai uji beda (t). Hasil uji inidiharapkan dapat menggambarkanperbandingan nilai rata-rata keanekara-gaman antar habitat.

Kelimpahan relatif jenis burungdihitung dengan menggunakan metodeencounter rates (Bibby et al. 1998).Kelimpahan relatif menggambarkanjumlah individu dari suatu jenis burungyang kemungkinan dapat ditemukandalam setiap 10 jam pengamatan.Selanjutnya Bibby dkk (1998) memberi-kan batasan bahwa jika kelimpahan relatifsuatu jenis burung kurang dari 0,1 makajenis tersebut disebut jarang, antara 0,1sampai 2,0 disebut tidak umum, antara 2,1

Page 90: jurnal biologi indonesia nhaaa

240

Eko Sulistyadi

Gambar 1. Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu burung antar habitatHabitat

550

25

268

20

187

20

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3

jml individu

jml jenis

Habitat

550

25

268

20

187

20

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3

jml individu

jml jenis

sampai 10,0 disebut sering, antara 10,1sampai 40,0 disebut umum dan lebih dari40,0 disebut melimpah.

Untuk melihat pengelompokkanjenis burung dan faktor-faktor yangmempengaruhinya digunakan analisiskelompok dengan menggunakan indeksketidaksamaan Bray curtis dandianalisis dengan bantuan programNTSYSpc 2.1.

Jenis-jenis burung endemik pulauJawa dan habitat pilihannya dicatatmengikuti penelusuran buku Mac-Kinnon dkk 1998, Wishnu dkk 2007.

HASIL

Keanekaragaman jenis burungTeramati sebanyak 30 jenis burung

di lokasi penelitian dengan jumlahindividu 1.005 ekor. Di lahan wanataniditemukan 25 jenis burung denganjumlah individu 550 ekor, di lahantumpangsari ditemukan 20 jenis denganjumlah individu 268 ekor dan di lahansempadan sungai ditemukan 20 jenisdengan jumlah individu 187 ekor.Terdapat 17 jenis burung dari daerah

wanatani yang sama dengan di daerahtumpangsari, 18 burung dari daerahwanatani yang sama dengan dari daerahsempadan dan 16 jenis burung dari daerahtumpangsari yang sama dengan daridaerah sempadan. Data lengkapmengenai nilai keanekaragaman tiap jenisburung dapat dilihat pada Tabel 1. Grafikperbandingan jumlah jenis dan jumlahindividu antar habitat dapat dilihat padaGambar 1.

Kekayan jenis burung tertinggitercatat di lahan wanatani dengan 25 jenis(550 ekor) dan indeks keragaman jenis3,707 serta indeks kemerataan 0,359; dilahan tumpangsari terdapat 20 jenis (268ekor) dengan indeks keanekaragamanjenis 3,757 dan indeks kemerataan 0,533;di lahan sempadan terdapat 20 jenis (187ekor) dengan indeks keragaman 3,573dan indeks kemerataan 0,416. Dengandemikian lahan tumpangsari memilikikeanakaragaman jenis burung tertinggidengan populasi yang merata untuk tiapjenis. Keanekaragaman jenis burung dilahan wanatani cukup tinggi namunkemerataan jenisnya rendah, sedangkanlahan sempadan sungai keanekaragaman

Page 91: jurnal biologi indonesia nhaaa

241

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Tabel 1. Keanekaragaman jenis burung di tiap tipe lahan

jenis burungnya paling rendah dengankemerataan jenis yang lebih tinggidibandingkan lahan wanatani.

Uji beda (t) dengan rentangkepercayaan 95% menunjukkanperbedaan keanekaragaman jenis burungyang signifikan antar tipe lahan. Lahanwanatani dengan lahan tumpangsariberbeda nyata P < 0,009. Lahantumpangsari dengan lahan sempadansungai berbeda nyata dengan P < 0,005.Perbedaan signifikan P< 0,004 jugaterlihat antara lahan wanatani denganlahan sempadan sungai.

Analisis Estimate SBerdasarkan analisis Estimate S

diperkirakan terdapat 32 jenis burung dilokasi penelitian namun hasil observasihanya menunjukkan terdapat 30 jenis.Pada lahan wanatani ditemukan 25 jenisburung namun analisis bootstrapmemperkirakan dapat ditemukan 27 jenis.Pada lahan tumpangsari dan sempadansungai masing-masing ditemukan 20 jenisburung yang diperkirakan dapatditemukan 22 jenis burung (Gambar 2).

Kelimpahan Relatif Jenis BurungDengan menjumlahkan seluruh hasil

pengamatan setiap jenis (12 kali penga-matan masing-masing selama 1 jam) disetiap lahan kemudian dibagi 10/12 maka

diperoleh kelimpahan relatif jenis burungpada masing-masing lahan (Tabel 2).Pada tabel tersebut terlihat bahwa dilahan wanatani terdapat 8 jenis burungyang melimpah, 10 jenis umum, 2 jenissering, 5 jenis tidak umum dan tidak adayang termasuk kategori jarang; di lahantumpangsari terdapat 10 jenis burungyang melimpah, 4 jenis umum, 6 jenissering, tidak ada jenis burung yangtercatat dengan kategori jarang; dan dilahan sempadan terdapat 5 jenis burungyang melimpah, 9 jenis umum, 6 jenissering, tidak ada jenis burung yangtercatat dengan kategori tidak umum ataujarang.

Tercatat 6 jenis burung melimpah diketiga tipe lahan, yaitu jenis walet sarang-putih, walet sarang-hitam dan sriti linchi(Aerodramus fuciphagus, Aerodramusmaxima, Collocalia linchi), madusriganti (Nectarinia jugularis), cinenenkelabu (Orthotomus ruficeps), dansepah kecil (Pericrocotus cinnamo-meus). Keberadaan jenis tumbuhanseperti kelompok nangka (Arthocarpusspp.), akasia (Acacia spectabilis), randu(Ceiba pentandra), dan asam (Tamarin-dus indica) menyediakan serangga dannektar yang menjadi pakan bagi jenisburung tersebut. Empat jenis burungtercatat dengan kategori umum di lahansempadan sungai, sedangkan di dua tipe

Tipe lahan Indeks Wanatani Tumpangsari Sempadan sungai Indeks keanekaragaman Shannon (H’) 3,707 3,757 3,573 Indeks kemerataan Evennes (E’) 0,359 0,533 0,416

Page 92: jurnal biologi indonesia nhaaa

242

Eko Sulistyadi

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4

Sobs (Mao Tau)

Jack 2 Mean

Bootstrap Mean

0

5

10

15

20

25

1 2 3 405

1015202530354045

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pengamatan Pengamatan

PengamatanPengamatan

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4

Sobs (Mao Tau)

Jack 2 Mean

Bootstrap Mean

0

5

10

15

20

25

1 2 3 405

1015202530354045

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4

Sobs (Mao Tau)

Jack 2 Mean

Bootstrap Mean

0

5

10

15

20

25

1 2 3 405

1015202530354045

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pengamatan Pengamatan

PengamatanPengamatan

Gambar 2. Nilai Observasi, perkiraan jumlah, dan bootstrap hasil analisis estimatesS ( A=Wanatani, B=Tumpang sari, C= Sempadan sungai D= Seluruh lahan).

A) B)

C) D)

lahan yang lain tercatat melimpah yaitubondol jawa (Lonchura leucogastroi-des), bondol peking (Lonchurapunctulata), madu kelapa (Anthreptesmalacensis) dan cekakak sungai(Todirhamphus chloris). Tekukur biasa(Streptopelia chinensis) hanya tercatatumum di lahan wanatani sedangkan dilahan tumpangsari dan sempadan sungaitercatat melimpah. Data lengkap dapatdilihat pada Tabel 2.

Analisis kelompokHasil analisis pengelompokan

ketidaksamaan bray curtis padakoefisien ketidaksamaan 0,65 (Gambar 3)untuk setiap jenis burung denganmenggunakan NTSYS spc 2.1menunjukkan bahwa di ketiga lahanterdapat 7 kelompok yang terpisah.1. Kelompok pertama terdiri atas wallet

sarang-putih (Aerodramus fucipha-

gus), walet sarang-hitam (Aerodramusmaximus), sriti linchi (Collocalialinchi), madu sriganti (Nectariniajugularis), cinenen kelabu (Orthoto-mus ruficeps), sepah kecil (Pericro-cotus cinnamomeus), bondol jawa(Lonchura leucogastroides), cekakaksungai (Todirhamphus chloris),bondol peking (Lonchura punctulata),madu kelapa (Anthreptes malacensis),cabai jawa (Dicaeum trochileum),tekukur biasa (Streptopelia chinensis),gelatik batu kelabu (Parus major), dancucak kutilang (Pycnonotusaurigaster).

2.Kelompok kedua terdiri atas prenjakpadi (Prinia inornata), caladi tilik(Picoides moluccensis), cici padi(Cisticola juncidis), cici merah(Cisticola exilis), cipoh kacat(Aegithina tiphia), kacamata biasa(Zosterops palpebrosus), gemak

Page 93: jurnal biologi indonesia nhaaa

243

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Kelimpahan relatif

Wanatani Tumpangsari Sempadan sungai Jenis burung

Jml/10 jam Kategori Jml/10 jam Kategori Jml/10 jam Kategori

Walet liur (Aerodramus fuciphagus), walet sarang-hitam (Aerodramus maxima) dan sriti linchi (Collocalia linchi Horsfield & Moore, 1854)

223,10 1 160 1 137,14 1

Madu sriganti (Nectarinia jugularis) 123,38 1 80 1 57,14 1

Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 108,17 1 60 1 74,29 1

Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) 74,37 1 110 1 171,43 1

Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) 62,54 1 55 1 34,29 2

Bondol peking (Lonchura punctulata) 43,94 1 52,5 1 17,14 2

Madu kelapa (Anthreptes malacensis) 42,25 1 62,5 1 17,14 2

Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 42,25 1 47,5 1 34,29 2

Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) 32,11 2 55 1 45,71 1

Cabai jawa (Dicaeum trochileum) 28,73 2 42,5 1 22,86 2

Prenjak padi (Prinia inornata) 25,35 2 7,5 3 5,71 3

Caladi tilik (Picoides moluccensis) 16,90 2 15 2 11,43 2

Cipoh kacat (Aegithina tiphia) 13,52 2 12,5 2 5.71 3

Gemak tegalan (Turnix sylvatica) 10,14 2 5 3 5.71 3

Gelatik batu kelabu (Parus major) 5,07 3 7,5 3 17,14 2

Cekakak jawa (Halcyon pileata) 5,07 3 5 3 5.71 3

Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) 18,59 2 40 2 --- ---

Raja udang biru (Alcedo coerulescens) 1,69 4 --- --- 11,43 2

Pijantung kecil (Arachnothera everetti) 1,69 4 --- --- 17,14 2

Cici padi (Cisticola juncidis) 21,97 2 --- --- --- ---

Cici merah (Cisticola exilis) 13,52 2 --- --- --- ---

Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) 11,83 2 --- --- --- ---

Bubut jawa (Centropus nigrorufus) 1,69 4 --- --- --- ---

Kipasan belang (Rhipidura javanica) 1,69 4 --- --- --- ---

Elang hitam (Ictinaetus malayensis) 1,69 4 --- --- --- ---

Laying-layang api (Hirundo rustica) --- --- 12,5 2 --- ---

Gagak kampung (Corvus macrorhynchos) --- --- 5 3 --- ---

Prenjak jawa (Prinia familiaris). --- --- 2,5 3 --- ---

Raja udang meninting (Alcedo meninting) --- --- --- --- 5.71 3

Wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis) --- --- --- --- 5,71 3

Total jenis 25 jenis 20 jenis 20 jenis

Tabel 2. Kelimpahan relatif jenis burung di tiap tipe lahan

Page 94: jurnal biologi indonesia nhaaa

244

Eko Sulistyadi

tegalan (Turnix sylvatica), dancekakak jawa (Halcyon cyanoven-tris).

3.Kelompok ketiga terdiri atas pijantungkecil (Arachnothera longirostra) danelang hitam (Ictinaetus malayensis).

4.Kelompok keempat terdiri atas raja-udang biru (Alcedo coerulescens),bubut alang-alang (Centropusbengalensis) dan kipasan belang(Rhipidura javanica).

5.Kelompok kelima terdiri atas layang-layang api (Hirundo rustica) dangagak kampung (Corvus macrorhyn-chos).

6.Kelompok keenam adalah prenjak jawa(Prinia familiaris).

7.Kelompok ketujuh adalah raja-udangmeninting (Alcedo meninting) danwiwik uncuing (Cuculus sepulcralis).

Sukmantoro dkk (2007) mengung-kapkan bahwa wilayah Indonesiaditempati oleh 1.598 jenis burung;sebagian bersifat menetap dan sebagian

lagi bersifat migran. Diketahui jugabahwa di Pulau Jawa terdapat 507 jenisburung dengan 56 jenis merupakan jenisendemik Indonesia dan 32 jenisdiantaranya hanya terdapat di Jawa (Lampiran 1). Penelusuran jenis burungberdasarkan ketinggian tempat dan tipehabitat (MacKinnon dkk 1998) menunjuk-kan ada 19 jenis burung endemik Jawayang dapat hidup di dataran rendah.Habitat yang banyak dihuni oleh burungendemik dataran rendah adalah paya-paya, pesisir pantai, hutan sekunderdataran rendah, kebun, lahan pertanian,semak hutan perbukitan dan padangrumput dataran rendah. Salah satuburung dataran rendah endemik Jawayang diduga telah punah yaitu trulek jawa(Vanellus macropterus Wagler, 1827).

PEMBAHASAN

Di ketiga lahan penelitian secarakeseluruhan ditemukan 30 jenis burung.

Gambar 3. Pengelompokan jenis burung berdasarkan indeks ketidaksamaan bray curtis.Koefisien

0.00 0.25 0.50 0.75 1.00

L.leucogastroid

C.linchi N.jugularis O.ruficeps

P.cinnamomeus L.leucogastroid

T.chloris L.punctulata A.malacensis D.trochileum

S.chinensis P.major

P.aurigaster P.inornata

P.moluccensis C.juncidis

C.exilis A.tiphia

Z.palpebrosus T.sylvatica

H.cyanoventris A.longirostra I.malayensis

A.coerulescens C.bengalensis

R.javanica H.rustica

C.macrorhynchos P.familiaris

A.meninting C.sepulcralis

Page 95: jurnal biologi indonesia nhaaa

245

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Analisis Estimate S (Gambar 2)menunjukkan bahwa di ketiga lahanpenelitian diperkirakan terdapat 32 jenis.Sedangkan di lahan wanatani diperkira-kan terdapat 27 jenis, di lahan tumpang-sari dan sempadan diperkirakan terdapat22 jenis burung. Selisih antara perkiraandan hasil observasi disebabkan adanyakesulitan mengaidentifikasi antara sritilinchi (Collocalia linchi), walet sarang-hitam (Aerodramus maxima) dan waletsarang-putih (Aerodramus fuciphagus)yang selalu terbang. Walaupun tidaksempurna namun karena bootstrap hasilkeempat kali ulangan seluruh berada diantara rata-rata dengan observasi makadapat dikatakan bahwa pengamatan yangdilakukan sudah benar sehingga data yangdiperoleh layak untuk dianalisis lebihlanjut.

Perbedaan keanekaragaman jenisburung antar tipe lahan terlihat dari hasiluji (t) dengan nilai yang signifikan.Keanekaragaman jenis burung tertinggidimiliki oleh lahan tumpangsari dengankemerataan jenis burung yang paling tinggidibandingkan lahan yang lain. Lahanwanatani memiliki kekayaan jenis burungyang lebih tinggi (25 jenis), sedangkanlahan sempadan sungai diketahui memilikikekayaan jenis terendah dengankemerataan jenis lebih rendah dari lahantumpangsari namun lebih tinggi dari lahanwanatani . Perbedaan jenis burung antartipe lahan merupakan wujud dariperbedaan daya dukung pada tiap lahan.Menurut (Wiens 1992; Krebs & Davis1978) burung memiliki kemampuan untukmemilih habitat yang sesuai denganketersediaan sumberdaya yangmendukung kebutuhan hidupnya.

Lahan wanatani yang relatif masihalami dan ditumbuhi pohon jati (Tectonagrandis), kelompok nangka (Arthocar-pus spp.), beringin (Ficus Benjamin) dansaman (Samanea saman) disenangi olehjenis burung yang beraktifitas di tajuk dankerimbunan pohon seperti Kacamata(Zosterops palpebrosus); lahantumpangsari yang diolah untuk ditanamiubi jalar (Ipomoea batatas), ketelapohon (Manihot esculenta) dan jagung(Zea mays) lebih banyak dihuni olehburung pemakan serangga yang meman-faatkan strata bawah, semak dantanaman pertanian tersebut untukmencari makan. Wiwik uncuing (Caco-mantis sepulcralis) dan Raja udangmeninting (Alcedo meninting) cenderungmenyukai habitat tertutup dekat perairanyang dapat dijumpai pada lahan sempadansungai.

Keberadaan tumbuhan sangat terkaitdengan ketersediaan pakan, tempatbersarang, perlindungan dari pemangsadan juga faktor mikroklimat, dengan demi-kian tumbuhan dapat mempengaruhi adadan tidaknya suatu jenis burung di suatulokasi. Hal ini sesuai dengan pendapatPartasasmita (2003) bahwa perubahankomposisi komponen habitat berupa jenis-jenis tumbuhan yang berimplikasilangsung terhadap peru-bahan keterse-diaan sumberdaya, akan merubah pulakomposisi burung-burung yang meman-faatkanya yang sekaligus akan merubahjenis burung yang mendiami habitattersebut.

Pada lahan yang banyak berhubu-ngan dengan aktivitas manusia yaitu lahantumpangsari dan lahan sempadan sungaidiketahui kekayaan jenis burungnya lebih

Page 96: jurnal biologi indonesia nhaaa

246

Eko Sulistyadi

rendah (20 jenis) dibandingkan lahanwanatani yang cenderung lebih alami (25jenis). Odum (1971) menjelaskan bahwakeanekaragaman jenis burung cenderungrendah dalam ekosistem yang terkendalisecara fisik dan cenderung tinggi dalamekosistem yang diatur secara biologi.Namun demikian perlu diperhatikan jugabahwa kadang kekayaan jenis yang tinggitidak selalu diikuti dengan kemerataanjenis yang tinggi pula, hal inilah yangmenyebabkan tidak semua lokasi yangmemiliki kekayaan jenis yang tinggikeanekaragaman jenisnya juga tinggi.Aktivitas manusia (pengolahan lahanpertanian) akan berdampak padapenurunan keanekaragaman jenistumbuhan asli yang juga akan berdampakpada perubahan jenis burung yang ada.Krebs dan Davis (1978) mengemukakanbahwa ketidakhadiran suatu jenis burungdi satu tempat disebabkan oleh beberapafaktor diantaranya yaitu ketidakcocokanhabitat, perilaku (seleksi habitat),kehadiran jenis hewan lain (predator,parasit dan pesaing) dan faktor kimia-fisika lingkungan yang berada di luarkisaran toleransi jenis burung yangbersangkutan.

Keberadaan berbagai jenis burung,terutama jenis endemik dataran rendahJawa di lokasi penelitian menunjukkanbahwa ketersediaan daya dukung yangberagam pada tiap lahan dapatmendukung jenis burung yang lebihberaneka ragam pula. Rosenzweig(1995) menjelaskan bahwa setiap jenismembutuhkan habitat yang sesuai untukdapat bertahan hidup. Habitat denganvariasi yang lebih besar akan berbandinglurus dengan variasi jenis yang lebih besar

pula. Cabai jawa (Dicaeum trochileum)dan bondol jawa (Lonchura leucogas-troides) terdapat di semua tipe lahannamun demikian terdapat perbedaankelimpahan yang tentunya berhubungandengan daya dukung lingkungan.Dicaeum trochileum tercatat melimpahdi lahan tumpangsari sedangkanLonchura leucogastroides tercatatmelimpah di lahan wanatani dan lahantumpangsari. Raja udang biru (Alcedocoerulescens) tercatat umum di lahansempadan sungai namun tidak umum dilahan wanatani karena jenis ini lebihmenyukai daerah yang memiliki aliran air.

Jenis walet dan sriti (Aerodramusfuciphagus + Aerodramus maxima +Collocalia linchi) serta sepah kecil(Pericrocotus cinnamomeus) memilikinilai kelimpahan relatif yang tinggi di lahanwanatani dan lahan tumpangsari. Kondisivegetasi yang didominsi oleh kelompoknangka (Arthocarpus spp.) dan beringin(Ficus benjamina) pada kedua lahanserta pohon saman (Samanea saman)pada lahan wanatani dan pohon asem(Tamarindus indica)di lahan tumpang-sari menyediakan sumber pakan berupaserangga yang berlimpah untuk jenis-jenisburung pemakan serangga tersebut.Ruang terbuka di atas tajuk pohon sertaadanya pergerakan serangga terbangmerupakan kondisi yang disenangi olehjenis walet dan sriti untuk berburu mangsadengan cara menyambar serangga yangsedang terbang. Adanya area yangditanami Ipomoea batatas, Manihotesculenta dan Zea mays di lahantumpangsari juga menyediakan ruangterbuka bagi pergerakan jenis walet dansriti (Aerodramus fuciphagus/

Page 97: jurnal biologi indonesia nhaaa

247

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Aerodramus maxima/ Collocalialinchi) dan sekaligus menyediakanserangga terbang yang melimpah yangmerupakan sumber pakan utamanya.Burung sepah kecil (Pericrocotuscinnamomeus) menyenangi lahan yangmemiliki tumbuhan dengan kondisi bawahtajuk yang relatif terbuka (Noerdjito2009). Kondisi vegetasi di lahantumpangsari yang lebih terbuka menyeba-bkan penutupan bawah tajuk cenderunglebih terbuka dan tidak terlalu rapat, halinilah yang menyebabkan sepah kecil(Pericrocotus cinnamomeus) lebihmelimpah di lahan tumpangsari daripadadi lahan wanatani. Jenis cinenen kelabu(Orthotomus ruficeps) tercatat melim-pah di lahan wanatani karena jenis inimempunyai kemampuan mencari pakandi tempat yang agak rimbun; jarakpercabangan yang tidak terlalu jauh dapatmendukung pergerakan jenis burung inidalam mencari serangga sebagaipakannya (Noerdjito 2009). Jenis-jenistumbuhan seperti disebutkan di depanjuga menyediakan sumber nektar (bunga)untuk burung madu sriganti (Nectariniajugularis) sehingga jenis burung ini jugacukup melimpah di lahan wanatani.Keberadaan burung tekukur biasa(Streptopelia chinensis) di lahantumpangsari juga mengindikasikanadanya lahan terbuka/pertanian yangbiasanya digunakan untuk mencari makan(Noerdjito 2009).

Lahan sempadan sungai dikuasaioleh burung madu sriganti (Nectariniajugularis) dan cinenen kelabu(Orthotomus ruficeps). Kondisivegetasi yang didominasi oleh kelapa(Cocos nucifera) merupakan sumber

nektar bagi burung madu sriganti,sedangkan keberadaan pisang (Musaparadisiaca), mangga (Mangiveraspp.), dan jambu batu (Psidium guajava)selain menyediakan nektar (bunga) jugamenyediakan pakan berupa serangga danmenyediakan percabangan bagi burungcinenen kelabu (Orthotomus ruficeps)untuk berpindah tempat dan mencarimakan. MacKinnon (1998) menjelaskanbahwa jenis cinenen kelabu menyukaihabitat semak, kebun, dan aktif mulai daristrata bawah sampai ke puncak pohon.

Pengelompokan jenis berdasarkanindeks ketidaksamaan braycurtis(Gambar 3) menunjukkan adanya 7kelompok. Kelompok pertama terdiri dari12 jenis burung yaitu Walet liur(Aerodramus fuciphagus), waletsarang-hitam (Aerodramus maxima) dansriti linchi (Collocalia linchi), sampaidengan cucak kutilang (Pycnonotusaurigaster) (Gambar 3). Kelompok initerdiri dari jenis-jenis burung yang bersifatkosmopolitan yang mempunyai rentanghabitat luas, hal ini ditunjukkan dengan 11jenis burung tersebut dapat ditemukan disemua tipe lahan dan satu jenis yaitukutilang (Pycnonotus aurigaster)ditemukan di lahan wanatani dantumpangsari. Perubahan habitat yangterjadi di hutan dataran rendah yang telahdiubah menjadi areal terbuka menye-babkan beberapa spesies burungmengalami perubahan strata tempatmencari makannya dan luas daerahjelajahnya bertambah (Partasasmita2003), pada kasus jenis burungkosmopolitan yang memiliki kemampuanmemanfaatkan sumberdaya yangberagam sangat memungkinkan bagi

Page 98: jurnal biologi indonesia nhaaa

248

Eko Sulistyadi

jenis-jenis ini untuk hidup di ketiga tipelahan yang mempunyai daya dukungberbeda.

Kelompok kedua terdiri dari 8 jenisburung yaitu prenjak padi (Priniainornata) sampai dengan cekakak jawa(Halcyon cyanoventris) (Gambar 3).Kelompok burung ini semuanya dapatditemukan di lahan wanatani, dimana tigajenis diantaranya yaitu Zosteropspalpebrosus, Cisticola juncidis, danCisticola exilis hanya bisa ditemukan dilahan wanatani. Zoosterops palpebro-sus merupakan burung yang menyukaihidup di puncak pohon yang tinggi(MacKinnon dkk 1998) yang masihbanyak dijumpai di lahan wanatani.Kelompok ketiga terdiri dari Arachno-thera longirostra dan Ictinaetusmalayensis merupakan jenis burung yangmenyukai habitat dengan vegetasi cukuplebat, karena itulah jenis ini hanyaditemukan di lahan wanatani yang banyakdidominasi oleh jenis pohon sepertiTectona grandis, Arthocarpus spp.,Ficus benjamina dan Samanea saman.MacKinnon dkk. (1998) juga menjelaskanbahwa kedua jenis burung ini senanghidup di hutan bukit dengan vegetasi yangcukup lebat.

Kelompok keempat terdiri dari raja-udang biru (Alcedo coerulescens), bubutalang-alang (Centropus bengalensis)dan kipasan belang (Rhipidura javanica)yang merupakan jenis-jenis yang sukaberada di dekat aliran air. Keberadaanaliran mata air di lahan wanatani menjadifaktor yang menyebabkan pengelompok-kan jenis ini. Kelompok kelima terdiri dariHirundo rustica dan Corvus macro-rhynchos merupakan jenis burung yang

hanya ditemukan pada lahan tumpangsari.Kedua burung ini menyukai tempatterbuka. Menurut MacKinnon dkk. (1998)Corvus macrorhynchos banyakditemukan pada lahan terbuka dekat desa,sedangkan Hirundo rustica seringterlihat melayang di lahan terbuka untukmenyambar serangga yang menjadimakanannya. Fakta ini sesuai dengankondisi di lahan tumpangsari.

Kelompok keenam adalah burungPrinia familiaris yang menyukai habitatsekunder terbuka (MacKinnon dkk 1998)sehingga jenis ini hanya ditemukan dilahan tumpangsari yang cenderungterbuka dan menyediakan banyakserangga sebagai pakan utama.MacArthur (1965) dalam Rosenzweig(1995) menunjukkan adanya keterkaitanantara keanekaragaman jenis burungdengan kondisi habitat pada strukturvertikal yaitu rumput-rumputan, semakdan perdu, serta pada lapisan kanopipohon. Jenis prenjak ini merupakanburung yang memanfaatkan strata bawahyaitu semak untuk hidup dan mencarimakan. Hal ini berbeda dengan burung-burung kelompok enam yang meman-faatkan ruang terbuka.

Kelompok ketujuh terdiri dariCacomantis sepulcralis dan Alcedomeninting merupakan jenis burung yanghanya ditemukan pada lahan sempadansungai. Cacomantis sepulcralismerupakan penghuni dataran rendah diperbukitan dan menyukai tumbuhansekunder (MacKinnon dkk 2000),sedangkan Alcedo meninting termasukjenis raja udang yang menyukaibertengger di dekat perairan tawar

Page 99: jurnal biologi indonesia nhaaa

249

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

(sungai) dengan pepohonan yang cukupbanyak (MacKinnon dkk 1998).

Data yang disajikan oleh Mittermeier& Mittermeier (1997) masih merupakandata lama dengan jumlah jenis burung diIndonesia 1.531 jenis dan 397 merupakanjenis endemik. Pendekatan data baruyang dilakukan oleh Sukmantoro dkk.(2007) menyebutkan bahwa di Indonesiaterdapat 1.598 jenis burung dengan 372jenis (23,28%) merupakan jenis endemik.Catatan untuk jenis terancam punahIUCN Red List ada 118 jenis burung(7,38%), dengan demikian Indonesiaberada pada peringkat pertama untukjenis burung terancam punah. Analisisterhadap perubahan jumlah jenis ini telahmerubah posisi Indonesia menjadiperingkat empat negara dengankeanekaragaman jenis burung tertinggi didunia. Untuk kategori endemisitas jenisburung, Indonesia masih berada diperingkat pertama.

Ditemukan empat jenis burungendemik dataran rendah Jawa di lokasipenelitian yaitu Lonchura leucogastroi-des, Dicaeum trochileum, Priniafamiliaris dan Alcedo coerulescens(lihat lampiran). Dari empat jenis tersebuttidak ada yang termasuk kategotiterancam punah menurut IUCN Red List,dan hanya satu jenis yaitu Alcedocoerulescens yang termasuk jenisdilindungi perundang-undangan RI. Halini menunjukkan bahwa lokasi penelitianyang meliputi tiga tipe lahan yaituwanatani, tumpangsari dan sempadansungai hanya mampu mendukungkehidupan jenis endemik yang umum dantidak bisa mendukung kehidupan jenis-jenis endemik yang terancam punah.

Berkurangnya keanekaragaman jenistumbuhan akibat pengolahan lahan untukpertanian kemungkinan menjadi faktoryang menyebabkan menurunnya dayadukung lingkungan. Selain itu fragmentasilahan akibat pola pertanian yang berbeda(wanatani, tumpangsari, dan sempadansungai) semakin mengurangi luasanhabitat serta mengurangi koridor yangmenghubungkan antar populasi jenisburung endemik yang ada di kawasankonservasi, padahal sebagian besar jenisburung endemik memerlukan habitat yangcukup luas dengan diversitas daya dukungyang tinggi untuk dapat bertahan hidup.Informasi dari (www.burung.org)menyebutkan bahwa beberapa hutanyang penting bagi keanekaragamanhayati, khususnya di Jawa Tengah, saatini belum terwakili di dalam kawasankonservasi.

Selain jenis burung endemik dataranrendah Jawa, ternyata lahan pertaniandengan pola wanatani, tumpangsari, dansempadan sungai juga mendukungkehidupan jenis-jenis burung pemakanserangga (pengendali hama), pemakannektar (penyerbuk), pemakan biji (agenpenyebar) dan jenis pemangsa puncak,dalam hal ini elang hitam (Ictinaetusmalayensis). van Balen (1999) me-ngungkapkan sejumlah burung dataranrendah telah memperluas wilayahaltitudinal, yaitu tiga jenis spesialis dataranrendah ekstrem, lima jenis spesialis lerengbukit dan tujuh jenis lainnya telahmemperluas habitat hutan menuju habitattaman.

Pola adaptasi dengan caramemperluas rentang habitat merupakanrespon burung terhadap penyusutan

Page 100: jurnal biologi indonesia nhaaa

250

Eko Sulistyadi

habitat dan tekanan manusia. Lebih jauhlagi Wiens (1992) menjelaskan bahwapotensi sumberdaya, seperti ketersediaanpakan di habitat yang ditempatimerupakan salah satu faktor utama bagikehadiran populasi burung sehinggadaerah nir-konservasi seperti lahanpertanian, kawasan terbuka, dan bahkandaerah pemukiman penduduk dapatmenjadi habitat penting bagi burungapabila tersedia pakan yang berlimpah.Melihat fakta ini maka dapat dikatakanbahwa kawasan nir-konservasi (lahanpertanian) dapat mendukung kelestariankeanekaragaman berbagai jenis burungserta menjadi koridor yang akan menjamintetap berjalannya aliran gen antar populasiburung di wilayah-wilayah konservasisehingga kelestarian populasi berbagaijenis burung tetap terjaga dengan baik.

KESIMPULAN

Lahan tumpangsari memilikikeanekaragaman jenis burung tertinggidiikuti lahan wanatani dan lahansempadan sungai. Perbedaan keanekara-gaman jenis burung yang signifikan antartipe lahan membuktikan bahwa lokasipenelitian memiliki daya dukung yangberanekaragam.

Daerah penelitian dihuni oleh empatjenis burung endemik (dataran rendah)Jawa, yaitu Lonchura leucogastroidesdan Dicaeum trochileum ditemukan disemua tipe lahan, Prinia familiaris dilahan tumpangsari serta Alcedocoerulescens di lahan wanatani danlahan sempadan sungai.

Burung endemik Jawa yang rawanpunah tidak ditemukan di lahan penelitian

sehingga dapat dikatakan bahwa lahannir-konservasi ini belum dapat melindungijenis endemik dataran rendah Jawa yanglain terutama yang terancam punah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasihkepada Ir. Djuwanto M.Si, Drs. SukiyaM.Si, Drs. M. Noerdjito dan Dr. IbnuMaryanto yang telah membantu penulisdalam menyelesaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bibby, CM Jones & S. Marsden. 1998.Expedition Field TechniquesBird Surveys. London: ExpeditionAdvisory Centre RoyalGeographical Society. 134 hal.

Burung Indonesia. 2010. DaerahEndemik Burung (Hutan diJawa dan Bali) . (http://www.burung.org/detail_eba.php)25 Januari 2010, pukul 14.46 WIB.

Krebs, JR. & NB Davies. 1978.Behavioural ecology: anEvolutionary Approach. 3rd ed.London: Blackwell ScientificPublication (XI + 494) hal.

Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988.Statistical Ecology A Primer onMethods and Computing. J.Wiley & Sons. (XI + 337) hal.

MacKinnon J. 1998. Burung-Rurung diSumatera, Jawa,Bali, danKalimantan (terjemahan). Bogor:Puslitbang Biologi – LIPI -BirdLife Indonesia. (XV + 509)hal.

Page 101: jurnal biologi indonesia nhaaa

251

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Mittermeier, RA. & CG. Mittermeier.1997. Megadiversity (EarthBiologicaly Weatlhiest Nations).Canada: Quebecor Printing Inc.Cimex. 501 hal.

Noerdjito, M. 2009. KeanekartagamanJenis Burung di Enclave ArbanTaman Nasional GunungCiremai. J. Biologi Indonesia5(3) : (269-278) hal.

Odum, EP. 1971. Fundamentals ofEcology 3rd. Philadelphia: W.BSaunders & Co. (XIV + 574) hal.

Partasasmita, R. 2003. Ekologi BurungPemakan Buah dan Biji sebagaiPenyebar Biji (Paper FalsafahSains Program Pasca Sarjana /S3). Institut Pertanian Bogor (25)hal.

Rais, S., Y. Ruchiat, A. Sartono & T.Hideta. 2007. Buku Informasi 50Taman Nasional di Indonesia.

Memasukkan: Agustus 2009Diterima: Januari 2010

Jakarta: Departemen Kehutanan-LH – JICA. (XVII + 291) hal.

Rosenzweig, ML. Spesies Diversity inSpace and Time. 1995. UK:Cambridge University Press (XX+ 436) hal.

Sukmantoro, W., M. Irham, W.Novarino, F Hasudungan, N.Kemp & M. Muchtar. 2007.Daftar Burung Indonesia No 2.Bogor: Indonesian Ornitho-logists’ Union. (X + 157) hal.

van Balen, B. 1999. Birds onFragmented Islands: Persis-tence in The Forests of Java andBali. Tropical Resource Manage-ment Papers, No. 30. Wageni-ngen University. (IV + 181) hal.

Wiens JA, 1992. The ecology of birdcommunities. Vol. I. Foundan-tions and patterns., CambridgeUniversity Press.

Page 102: jurnal biologi indonesia nhaaa
Page 103: jurnal biologi indonesia nhaaa
Page 104: jurnal biologi indonesia nhaaa

255

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 255-263 (2010)

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of MaroonLeaf Monkey (Presbytis rubicunda Mueller, 1838)

Wartika Rosa FaridaBidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Analisis Kebutuhan Nutrien dan Efisiensi Penggunaan Pakan pada Lutung Merah (MaroonLeaf Monkey Mueller, 1838). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kebutuhan nutriendan efisiensi penggunaan pakan pada lutung merah (Presbytis rubicunda). Penelitian telahdilakukan di Penangkaran Mamalia Kecil Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI selama38 hari yang terdiri dari 10 hari masa adaptasi pakan dan 28 hari (4 minggu) masa pengumpulandata. Obyek yang digunakan adalah dua ekor lutung merah terdiri dari satu ekor jantan dansatu ekor betina. Pakan alternatif yang diberikan selama penelitian adalah daun beringin(Ficus benyamina), daun selada (Lactuca sativa), kangkung (Ipomoea aquatica), buncis(Phaseolus vulgaris), markisa (Passiflora quadrangularis), ubi jalar (Ipomoea batatas), danpisang lampung (Musa sp.). Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, pendugaankebutuhan nutrien, dan efisiensi penggunaan pakan. Jenis pakan yang paling palatabel bagilutung merah jantan adalah ubi jalar sedangkan bagi lutung merah betina adalah buncis. Rataankonsumsi pakan berdasarkan bahan kering adalah 78,09 gram/ekor/hari. Rataan konsumsinutrien adalah abu 4,60 gram/ekor/hari, protein kasar 7,87 gram/ekor/hari, lemak kasar 3,05gram/ekor/hari, serat kasar 10,56 gram/ekor/hari, bahan ekstrak tanpa nitrogen 51,40 gram/ekor/hari, dan bruto energi 2948,50 kal/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan lutungmerah selama penelitian adalah 6,25 gram/ekor/hari dengan efisiensi penggunaan pakan 15,84%.Data konsumsi nutrien tersebut dapat digunakan sebagai dasar penyusunan ransum dan pakanbagi lutung merah di penangkaran.

Key words: Consumption, feed utilization, Presbytis rubicunda, captive breeding

INTRODUCTION

Maroon leaf monkey (Presbytisrubicunda) is one of the kinds ofprotected animals based on Minister ofAgriculture Decree No. 537/Kpts/Um/7/1977. In APPENDIX II CITEs (Baillieand Groombridge, 1996) and IUCN, thisanimal is categorized as vulnerable.Supriatna and Wahono (2000) stated thatthe population of this animal decreasedalong the year as the effect of habitatdamages and illegal trade.

This animal has long tail, longer thanits body, with reddish hairs and bluishface. In their habitat, they live in groupup to eight heads and mastered by onemale. Maroon leaf monkey is arboreal,diurnal animal, and the eater of leaves(folivorus), however, they also eats fruitsand flowers. Their habitats includemangrove, primary and secondary forestsboth in low and high level land. Biologicalaspects of this animal are extremely alittle and constituted deficient data (Kool,1989).

Page 105: jurnal biologi indonesia nhaaa

256

Wartika Rosa Farida

The distribution of maroon leafmonkey in Indonesia includes Sumatera,east part of Kalimantan, and in the biggeramount in Sabah, Malaysia. Nowadays,the existence of this animal is increasinglythreatened as the consequence of forestclearing on a large scale, forest fire, illegalhunting, and uncontrollable trading. Theextinction of the wild animals isaccelerated by the fact that their habitatsare interrupted that, in turn, drive todecrease the biodiversity. Besides, thereare another factors also accelerated theextinction process of primate: illegalhunting to get primate babies for souvenir,illegal ownership, and illegal trading.

It is urgent to conduct research toobtain information which can helping todo ex situ captive breeding managementof maroon leaf monkey. The fulfilling ofnutrient need of this animal in ex situcaptive breeding is necessary for theefforts of preserving the existence of thisanimal. The giving of alternative feedthat is different from original feed in itshabitat to maroon leaf monkey shouldhelped fulfilling main need of this animal.

The aim of this research is meant toobtain the data of (1) nutrient requirementand feed efficiency ratio of maroon leafmonkey in ex situ captive breeding and(2) the kinds of alternative feed to replaceoriginal feed in its original habitat.

MATERIAL AND METHODS

The material used in this researchis two maroon leaf monkey, one maleaged 3 years and one female aged lessthan 1 year. Captive rooms used are twoindividual captive rooms, namely the type

with size of 3.15 m long, 2.26 m wide,and 1.99 m high, and wall of wire fencewith holes of size 2.5 cm x 2.5 cm whichis covered by fine wire fence with holesof size 7 mm x 7 mm. Each captive roomis completed with plastic plate to put feedand plastic cup to put water drinking andbamboo trunks placed crisscross in thecenter of captive room used by maroonleaf monkey to do its activities.

The feedstuff is given with the wayof cafeteria feeding in the morning (08:00a.m) and afternoon (04:00 p.m) whiledrinking water is given ad libitum so thatthere is water along the time. All offeedstuffs are given in conformity.Preliminary treatment is done for 10 daysso that maroon leaf monkey could adaptto feedstuff given. The period of datacollecting is 4 weeks (28 days).

The feedstuff given in this researchare ficus’ leaf (Ficus benyamina),lettuce (Lactuca sativa), kangkong(Ipomoea aquatica), string bean(Phaseolus vulgaris), passion fruit(Passiflora quadrangularis), sweetpotatoes (Ipomoea batatas) danLampung banana (Musa sp.). All offeedstuff are washed to remove pesticideresidue and other dirty things, put inplastic plate in each captive room toenable maroon leaf monkey choosing itsfeedstuff. Every kind of feedstuff isweighing before giving to this animal. Inthe next morning, the rest of feedstuffwill be weighed.

The measuring of temperature andhumidity in the research area is doneusing thermo-hygrometer which is put inone side of captive room. Temperatureand humidity are noted three times a day:

Page 106: jurnal biologi indonesia nhaaa

257

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

Picture 1. Maroon leaf monkey (Photo: W.R.Farida, 2009)

in the morning (06.00 a.m), in the noon(12:00 p.m), and in the afternoon (04:00p.m).

Proximate analysis is conducted toget information about nutrient content ofeach kind of feedstuff. The need ofnutrient can determinate by measuringthe consumption of every feedstuff perday per animal. The average of feedstuffconsumed by maroon leaf monkey thencould be decided as the standard of feedneed.

Data analysis used descriptivemethod. This research method is chosenby considering that the sum of materialis limited. Data processing is done bydescribing the data obtained in the formof tables or graphs in the statements toexplain and summarize the results of theresearch.

RESULTSTemperature averages during

research in the morning, noon, andafternoon are 25.41ºC, 30.76ºC, and29.82ºC, consecutively; while humidityaverages in the morning, noon, andafternoon are 81.93%, 64.15%, and29.32%, consecutively. Sukandar (2004)

reported that the temperature andhumidity in the original habitat of maroonleaf monkey are between 20ºC and 30ºCfor temperature and 80% for humidity.

The condition of low temperatureand high humidity in the morning and hightemperature and low humidity in the noonwill give effect to condition and activitiesof maroon leaf monkey in captivebreeding. Extreme temperatureinfluences feed consumption of theanimal. High temperature decreases theconsumption while low temperatureincreases the consumption.

Table 1 shows that the content ofN-free extractives and protein of leavesare high enough, because part of leavesthat given to maroon leaf monkey isshoot/young parts which is having nutrientcontent higher than other parts (de graffet al. 2004 in Prayogo 2006) andaccording to Kappeler (1981) leaves arethe source of high protein. The dry mattercontent of feedstuff also has high crudefiber because vegetable and fruit thatgiven are the source of high crude fiber(Yulianti et al. 2006). The feedstuff withthe highest crude fiber is ficus’ leaf,namely 39.45%.

Page 107: jurnal biologi indonesia nhaaa

258

Wartika Rosa Farida

Based on the consumption offresh feedstuff (Table 2), male maroonleaf monkey most likes sweet potatoes,string bean, and passion fruit,consecutively. Lampung banana isconsumed more than ficus’ leaf in theweek1 and week 4. Kangkong is likedmore than ficus’ leaf and lettuce. Femalemaroon leaf monkey most likes stringbean, sweet potatoes, passion fruit, and

lampung banana, consecutively. In thefirst two weeks, it consumed more ficus’leaf, however, in week 3 and week 4, itconsumed more kangkong and lettuce.

Based on the amount of freshfeedstuff consumed weekly, femalemaroon leaf monkey consumed morelettuce than male maroon leaf monkeydo. It is caused by the fact that femalemaroon leaf monkey is still young and

Notes : DM = dry matter, CP= crude protein ; C.Fat = crude fat, CF = crude fiber; NFE = nitrogen free extractives; GE = gross energy

Table 1. Compositon of nutrient content feedstuff in the research of maroon leaf monkey(100% dry matter)

Male (g/head/day) Female (g/head/day) Feedstuff Wk. 1 Wk. 2 Wk. 3 Wk. 4 Average ±

Sd Wk. 1 Wk. 2 Wk. 3 Wk. 4 Average ± Sd

Ficus’ leaf 56.14 59.29 78.00 74.14 66.89 ± 10.79

45.57 44.71 43.86 46.71 45.21 ± 1.22

Lettuce 12.71 7.14 3.71 2.14 6.43 ± 4.68

37.71 41.71 55.00 50.86

46.32 ± 7.99

Kangkong 63.14

76.29 110.57 126.29 94.07 ± 29.34

29.71 41.00

71.29

52.29

48.57 ± 17.73

String bean

241.43 228.29 253.57 325.14 262.11 ± 43.27

219.71 258.43 254.71 299.14 258.00 ± 32.50

Passion fruit

150.00 142.57 185.43 177.57 163.89 ± 20.81

91.29

112.57 152.29 137.43 123.40 ± 26.96

Sweet potatoes

335.29 311.00 319.14 332.14 324.39 ± 11.34

173.14 142.43 216.43 176.00 177.00 ± 30.36

Lampung banana

90.14

38.29 70.29

82.71

70.36 ± 22.89

111.86

78.14

71.71

92.29

88.50 ± 17.79

Table 2. Fresh feedstuff consumed by male and female maroon leaf monkey

Notes : Wk = week

Feedstuff DM Ash CP C. Fat CF NFE GE (cal/g) --------------------------------- (%) -------------------------------

Ficus’ leaf 25.05 13.78 14.35 8.82 39.45 23.60 4335 Lettuce 8.01 21.28 33.18 5.37 8.95 31.22 3786 Kangkong 9.89 10.69 30.55 3.38 14.85 40.53 4314 String bean 75.40 5.63 4.12 1.22 12.17 76.86 3545 Passion fruit 14.78 5.10 1.91 14.87 24.19 53.93 4137 Sweet potatoes 25.22 2.78 3.69 1.06 9.43 83.04 3699 Lampung banana 38.75 3.49 33.65 0.52 1.03 61.31 3218

Page 108: jurnal biologi indonesia nhaaa

259

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

with the growing teeth preferred lettucewhich is softer and contends lower crudefiber than ficus’ leaf and kangkong(Table 1). Consumption is feedstuffamount consumed by animal while thefeedstuff is given ad libitum (Parakkasi1999). According to Maynard et al.(1979), the purpose of an animalconsuming its ration is to maintain its life,to grow, and to produce. Palatability isone of some factors determining the rateof ration consumption of animal.According Church and Pond (1988),palatability is influenced by the form,

Figure 1. Average of dry matter consumption of maroon leaf monkey (g/head/day)

Figure 2. Average of dry matter consumption of maroon leaf monkey based on feedstuff (g/head/day)

smell, taste, texture, and temperature offeedstuff given.

Based on sex of maroon leafmonkey, dry matter consumption offeedstuff by this animal shows (Table2) fluctuation in consuming dry matterby both male and female. There is anincrease of consuming dry matter offeedstuff by female maroon leaf monkeyin week 2 to week 4, on the contrary adecrease of consuming dry matter offeedstuff by the female happened. Inweek 1, female maroon leaf monkeyconsumed high dry matter of feedstuff

 

-

50

100

150

200

250

300

DM

con

sum

ptio

n (g

/hea

d/da

y)

Ficus' l

eaf

Lettuce

Kangko

ng

String b

ean

Passion fru

it

Sweet p

otatoes

Banana

Feedstuff

Male

Female

 

119.6

9

108.7

6 128.3

1 141

.03

89.57

11.02

13.12

13.15

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Week 1 Week 2 Week 3 Week 4

Observation time

DM

con

sum

ptio

n (g

/hea

d/da

y)

MaleFemale

Page 109: jurnal biologi indonesia nhaaa

260

Wartika Rosa Farida

because it still adapted to alternativefeedstuff given. While in week 2 andthe next week, it has adjusted to its basicneed. Based on the amount of feedstuffconsumed, male maroon leaf monkeyconsumed more dry matter of feedstuffthan female maroon leaf monkey (Figue1), because the male is adult monkey aged3 years with body weight more than thefemale, while the female is youngmonkey aged 1 year in growing period.Winter and Funk (1956) reported thatration consumption is influenced byenergy and protein contained in the ration,race, sex, and growth rate. Rationamount consumed is depended on bodysize of animal, daily activities in doingmoving activity, temperature in andaround captive room, quality and quantityof ration given, and its management. Thesame fact is also stated by Moen (1973),that feed consumption is influenced bysex, age, surrounding condition, andseason change. High temperature cancause a decrease in feed consumptionand an increase in drinking waterconsumption.

Figure 2 shows that consumptionof dry matter from sweet potatoes andstring bean is the biggest amount and likemost by the male, while the femalepreferred string bean and lampungbanana. High consumption of sweetpotatoes is caused by its carbohydratecontent of 75%-90% used by the bodyas energy resources (Muhilal 1991). Thefamily of maroon leaf monkey is the eaterleaves primate (folivorus) (NRC 2005),though in its original habitat it alsoconsumes fruit, seed, and liana

DISCUSSION

Consumption is the amount of feedscan eaten by every animal and constitutesessential factor which is basic todetermine principal need for life andproduction (Parakkasi 1999). Sweetpotatoes, string bean, dan lampungbanana with the sweet taste are the kindsof feeds palatable for maroon leafmonkey. Palatability factor is urgent inmeasuring feed consumption for animal(Tomaszewska et al. 1991).

The amount nutrient consumption bymaroon leaf monkey is influenced by theamount of dry matter consumption andnutrient content of every feed material.The amount of nutrient consumption isalso effected by the difference of feedspalatability. Based on averages ofnutrient consumption, that of malemaroon leaf monkey is higher than thatof female leaf monkey, because bodyweight of the male is higher so that thenutrient requirement is also bigger.

Percentage of the highest need ofnutrient is N-free extractives, namely66.85% for male maroon leaf monkeyand 61.79% for the female (Table 4). N-free extractives are carbohydrate notcontending crude fiber and contendsmuch starch (Tillman et al. 1991). It iscaused by the fact that feed material givencontended higher N-free extractives thanother nutrients. N-free extractivesconsumed by maroon leaf monkey isrelatively higher than that of othernutrients.

The feeds with high N-freeextractives are easily digested andcontend high energy. The percentage

Page 110: jurnal biologi indonesia nhaaa

261

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

Week I Week II Week III Week IV Average ± sd Nutrient Male Female Male Female Male Female Male Female Male Female DM 119.69 89.57 108.76 11.02 128.31 13.12 141.03 13.15 124.45 ±

13.65 31.72 ± 38.58

Ash 6.43 5.48 6.04 0.99 7.34 1.27 8.01 1.19 6.96 ± 0.89

2.23 ± 2.17

CP 10.88 10.40 7.26 2.69 11.91 3.22 13.29 3.24 10.84 ± 2.58

4.89 ± 3.68

C. Fat 4.55 3.18 4.38 0.34 5.55 0.44 5.56 0.40 5.01 ± 0.63

1.09 ± 1.39

CF 16.46 11.62 15.99 1.17 15.91 1.47 20.45 1.37 17.20 ± 2.18

3.91 ± 5.14

BETN 81.37 58.88 73.51 5.82 84.20 6.73 93.73 6.95 83.20 ± 8.35

19.60 ± 26.19

GE (kal/ head/day)

4499 3315 4136 407 4898 495 5351 486 4721 ± 523

1176 ± 1426

Notes : DM = dry matter, CP= crude protein ; C. Fat = crude fat, CF = crude fiber; NFE = nitrogen free extract; GE = gross energy

Table 3. Average of nutrient consumption of maroon leaf monkey (g/head/day)

Male Female Average ± Sd Nutrient --------------------------(% DM)--------------------------

Ash 5.59 7.03 6.31 ± 1.02

Crude protein 8.71 15.41 12.06 ± 4.74

Crude fat 4.03 3.44 3.74 ± 0.42

Crude fiber 13.82 12.33 13.08 ± 1.05

NFE 66.85 61.79 64.32 ± 3.58

GE (Kal/100 g BK) 3793.49 3707.44 3750.47 ± 60.85

Table 4. Estimation of nutient need of maroon leaf monkey

Notes : DM = dry matter; NFE = nitrogen free extractives; GE = gross energy

average for crude fiber need is thesecond highest need, namely 13.08%.This is caused the ability of maroon leafmonkey in digesting the feeds contendingcrude fiber in its digestive tract as theconsequence of the presence of bacteriathere to fermenting the feeds originatedof plants (NRC 2003).

Female maroon leaf monkey showedhigher body weight addition than the male

experienced, namely around 350 g or9.21 g/head/day (Table 5). It can beexplained, female maroon leaf monkeyis animal in growing period so that theirbody weight growth is high, while themale is adult monkey who just lessexperienced growth. Growth is anextremely complex process includingbody weight gain and the growth will bespread evenly and simultaneously

Page 111: jurnal biologi indonesia nhaaa

262

Wartika Rosa Farida

(Maynard et al. 1979). Body weight gaindata is obtained through measuring bodyweight increase by calculating repeatedlyin certain time such as daily, weekly, ormonthly (Tillman et al. 1991). Theefficiency of feeds using is comparationbetween body weight gain and dry matterconsumption of ration (Crampton &Harris 1969). Research result showedthat female maroon leaf monkey who isyounger than male maroon leaf monkeyseemed has higher feeds using efficiency,namely 29.04%.

CONCLUSION

From the result of this research itcan be concluded that average offeedstuff consumption for maroon leafmonkey are 126.80 g/head/day freshmaterial and 78.09 g/head/day dry matter.N-free extractives is the nutr ientconsumed most. The estimation ofnutrient requirement by maroon leafmonkey is as follows 6.31% ash,12.06% crude protein, 3.74% crude fat,13.08% crude fiber, and 64.32% N-freeextractives. The estimation nutrientrequirement of maroon leaf monkey canbe known from the result of this research

so that feeds intake for this animal canbe better.

REFERENNCES

Baillie, J. & Groombridge, B. (compilersand editors) 1996. 1996 IUCNRed List of Threatened Animals.IUCN, Gland, Switzerland.

Church, DC & WG. Pond. 1988. BasicAnimal Nutrition and Feeding. 3rd

Edition. John Wiley and Sons, Inc.,Canada.

Crampton, EW. & LE. Harris. 1969.Applied Animal Nutrition. W.H.Freeman and Co. San Fransisco.

Kappeler, M. 1981. Sketch of TheEcological Position. [http:www.markuskappler.ch/gips- /chapter8.html]. [10 Maret 2008].

Kool, KM. 1989. Behavioural Ecologyof the Silver Leaf Monkey(Trachypithecus auratus sondai-cus) In the Pangandaran NatureReserve, West Java, Indonesia.University of New South Wales,Sidney.

Maynard, LA., JK. Loosli, HF Hintz, &HG. Wanner. 1979. Animal

Table 5. Daily weight gain and feed efficiency ratio of maroon leaf monkey

Description Male Female

Body weight in the beginning of observation (g) 7,850 1,750

Body weight in the end of observation (g) 7,975 2,100

Daily weight gain (g/head/day) 3.29 9.21

Dry matter consumption (g/head/day) 124.45 31.72

Feed Efficiency Ratio (%) 2.64 29.04

Page 112: jurnal biologi indonesia nhaaa

263

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

Nutrition. 3rd Ed. McGraw HillPublishing Co Ltd. New York.

Muhilal. 1991. Ubi Jalar Kurangi ResikoButa. http://www.mail-archive.com. Kompas (on-line) Jakarta.[16 Februari 2008].

Moen, AN. 1973. Wildlife Ecology. W.H. Freeman and Company. SanFransisco.

National Research Council. 2005.Nutrient Requirements of Nonhu-man Primates, 2nd Revised Edition.The National Academies Press,Washington, D.C.

National Research Council. 2003.Nutrient Requirements of Nonhu-man Primatess, 2nd RevisedEdition, The National AcademiesPress, Washington, D.C.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi danMakanan Ternak Ruminan. UI-Press, Jakarta.

Prayogo, H. 2006. Kajian tingkah lakudan analisis pakan lutung perak(Trachypithecus cristatus) diPusat Primata Scamutzer TamanMargasatwa Ragunan. Tesis.Program Pasca Sarjana. InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Sukandar, S. 2004. Laporan InventarisasiFlora dan Fauna di Cagar AlamTakokak. Balai KonservasiSumber Daya Alam Jawa Barat I.Direktorat Jenderal PerlindunganHutan dan Konservasi Alam.Departemen Kehutanan. Ban-dung.

Supritna, S & EH. Wahono. 2000.Panduan Lapangan PrimataIndonesia. Yayasan OborIndonesia. Jakarta.

Tillman, AD, H. Hartadi, S. Reksoha-diprodjo, S. Prawirokusumo, & S.Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Maka-nan Ternak Dasar. Gajah MadaUniversity Press.

Tomaszewska, MW., IK Sutama & TD.Chaniago. 1991. Reproduksi,Tingkah Laku, dan ProduksiTernak di Indonesia. GramediaPustaka Utama. Jakarta.

Winter, AR, & EM. Funk.1956. PoultryScience and Practice. 4th Ed.Chicago. Philadelphia. New York.323-326.

Yulianti, S., Irlansyah, E. Junaedi & M.Widjaya. 2006. Khasiat danManfaat Apel. Agro MediaPustaka, Jakarta.

Memasukkan: Oktober 2009Diterima: Januari 2010

Page 113: jurnal biologi indonesia nhaaa

265

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 265-275 (2010)

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

1)Dwi Agustiyani, 2)Ruly Marthina Kayadoe & 1)Hartati Imamuddin1)Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi-LIPI, Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16002

2) Dep. Biologi, Fak. MIPA-UI

ABSTRACT

Nitrite Oxidation by Heterotrophic Bacteria Under Aerobic Condition. The nitrite transformingactivities of heterotrophic bacteria from isolates from agriculture soil, Lampung were studiedunder aerobic conditions. Among the 9 bacterial isolates tested, almost all are reported haveability to consume of nitrite, but none of the bacterial isolates formed significant nitrate in themedium. NOB H1 (Bacillus licheniformis), is denitrification-negative, consumed 16. 4 mg/L ofnitrites with the accumulation of 4.45 mg/L nitrates. While, NOB H8 (Pseudomonas sp.) isdenitrification-positive, consumed 49. 64 mg/L of nitrite with the accumulation of 3.34 mg/Lnitrates. Nitrite oxidations of both isolates NOB H1 and NOB H8 took place during stationeryphase to the dead phase. Growth pattern of both isolates NOB H1 and NOB H8 were sigmoidwith generation time of 1.69 and 2.19 hour, respectively

Key words: heterotrophicbacteria; nitrite oxidation; denitrification

PENDAHULUAN

Nitrifikasi merupakan reaksi pentingdalam siklus nitrogen, yaitu oksidasiamonium menjadi nitrit dan oksidasi nitritmenjadi nitrat. Nitrifikasi autotrofikdilakukan oleh dua kelompok bakterikemolitotrofik yang berbeda, yaituammonia-oxidizing bacteria (AOB)seper ti Nitrosomonas dan nitrite-oxidizing bacteria (NOB) sepertiNitrobacter (Prosser 1989). Prosesnitrifikasi sebenarnya tidak hanyadilakukan oleh bakteri kemolitotrofiktetapi berbagai mikroorganisme lainnya,seperti bakteri heterotrofik, kapang, dankhamir juga mempunyai kemampuanuntuk mengoksidasi berbagai komponennitrogen (Sakai et al. 1996). Nitrifikasi

heterotrofik pertama kali dilaporkan padatahun 1894. Proses ini merupakankomponen minor dari biogeokimia siklusnitrogen (Hans et al. 1989). Secarakuantitatif, peran nitrifikasi heterotrofikrelatif kecil dibanding nitrifikasi autotrofik,namun nitrifikasi heterotrofik menjadidominan di tanah hutan konifer yangbersifat asam (Killham 1986, Schimel etal. 1984, Both 1990).

Bakteri heterotrofik berperan dalamproses nitrifikasi di alam jika bakterikemolitoautotrofik berada dalam kondisitidak aktif, seperti pada tanah yangterlalu asam atau basa, pada kondisikadar oksigen yang rendah, kadarnitrogen terlarut yang tinggi, suhu yangterlalu rendah atau tinggi, atauterdapatnya senyawa penghambat

Page 114: jurnal biologi indonesia nhaaa

266

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

nitrifikasi seperti nitrapirin (Nishio et al.1994, Müller 2002). Bakteri nitrifikasiheterotrofik yang telah banyak dipelajariadalah Alcaligenes sp. yang diisolasi daritanah (Castignetti et al. 1980, Castignettiet al. 1981, Castignetti et al. 1982,Castignetti et al. 1983). Bakteri ini dapatmengoksidasi pyruvic oxime (PO)(Castignetti et al. 1983), mampu menga-similasi nitrat (Castignetti et al. 1980) dandenitrifikasi (Castignetti et al. 1981).

Bakteri heterotrofik pengoksidasinitrit pada umumnya memiliki aktivitasmengoksidasi nitrit lebih rendah; sekitar103-104 kali lebih rendah dibandingkanbakteri kemolitoautotrofik, (Focht &Verstraete 1977, Killham 1986, Gupta1997). Aktivitas yang rendah tersebutdisebabkan nitrit bukan sumber energisehingga bakteri heterotrofik hanyamengoksidasi nitrit dalam jumlah yangrendah dibandingkan kemampuannyamengoksidasi sumber organik (Nishio1994). Menurut Kuenen & Robertson(1994), proses nitrifikasi heterotrofikmembutuhkan NADPH tetapi tidakmenghasilkan ATP, reaksi oksidasisenyawa nitrogen secara lengkaptersebut oleh bakteri heterotrofik belumbanyak diketahui (Killham 1986, Koops& Pommerening-Roser 2001, Barraclough & Puri 1995).

Bakteri heterotrofik pengoksidasinitrit mempunyai waktu generasi lebihcepat dibandingkan bakteri kemoli-toautotrofik. Waktu generasi bakteriheterotrofik bervariasi antara 12 menithingga 24 jam (Todar 2002). Akumulasiproduk nitrifikasi pada bakteri heterotrofikpengoksidasi nitrit hanya dapat diamatisetelah kultur mencapai fase pertum-

buhan stasioner. Banyak bakteri hetero-trofik menghasilkan nitrit dan nitratsetelah fase aktif pertumbuhan (fase log),sehingga diduga proses nitrifikasi padabakteri heterotrofik berhubungan denganproses autolisis (Verstraete & Alexander1972). Focht & Verstraete (1977)menduga bahwa bakteri nitrifikasi hete-rotrofik dapat menggunakan nitrit sebagaifaktor pertumbuhan atau faktor biosidaluntuk membantu kompetisi dan kelang-sungan hidupnya (Paavolainen 1999).

Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan bakteri nitrifikasi heterotro-fik, mengetahui pola pertum-buhan danpola reduksi nitrit dan produk nitrat yangdihasilkannya.

BAHAN DAN CARA KERJA

Medium yang digunakanBeberapa media digunakan dalam

penelitian ini adalah Nutrien Agar (NA)untuk mengamati pertumbuhan, mediumheterotrofik pengoksidasi nitrit dari Sakaiet al. (1996) medium Giltay, dan mediumNutrient Broth (NB).

Kultivasi bakteriSumber isolat bakteri diambil dari

tanah pertanian di Lampung. Tanahsebanyak 1 gram ditumbuhkan padaErlenmeyer (100 ml) yang berisi 50 mlmedia pertumbuhan (pH 7,2) yangmengandung 100 mg/L NaNO2. Kulturtersebut kemudian diinkubasi selama 15hari pada suhu ruang diatas pengocok(shaker), dengan kecepatan 120 rpm.

Selama inkubasi dilakukan pengama-tan pertumbuhan mikroba pengoksidasinitrit, yaitu dengan cara mengamati

Page 115: jurnal biologi indonesia nhaaa

267

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

perubahan nitrit dan terbentuknya nitratsecara kualitatif, menggunokulasikanmasing-masing ke dalam tabung reaksiyang berisi 10 ml medium heterotrofikyang dilengkapi tabung durham denganposisi terbalik dalam kondisi aerobik dansemi anaerobik (dengan pemberian 2 mlparaffin oil), pada medium Giltay danmedium NB. Kultur tersebut kemudiandiinkubasi selama 1 minggu pada suhuruang. Kemampuan isolat bakteri hete-rotrofik dalam memproduksi gas Ndipantau dengan cara mengamatipembentukan gelembung udara di dalamtabung durham.

HASIL

Isolasi bakteri heterotrofik pengok-sidasi nitrit

Hasil isolasi diperoleh 8 isolatbakteri heterotrofik murni (NOB H1–NOB H8). Pengamatan morfologimakroskopik koloni bakteri tersebutmemiliki morfologi yang berbeda (Tabel1). Berdasarkan pengamatan mikros-kopis, 6 isolat bakteri bersifat gramnegatif dan 2 isolat bersifat gram positif(Tabel 2).Perbedaan morfologi makros-kopik dan mikroskopik tersebut, didugakedelapan isolat bakteri he-terotrofikmerupakan jenis yang berbeda.

Seleksi kemampuan isolat bakteriheterotrofik dalam mengoksidasinitrit

Konsentrasi nitrit pada awalinkubasi terdeteksi sebesar 71 mg/L N-NO2. Hasil pengukuran konsentrasinitrit pada akhir inkubasi dari delapanisolat bakteri yang diuji berbeda, berkisar

antara 21,40 sampai 64,21 mg/L N-NO2.Sedangkan konsentrasi nitrat yangterbentuk berkisar antara 3,03 sampai 4,45mg/L N-NO3 (Tabel 3).

Penurunan konsentrasi nitrit terbesarditunjukkan oleh isolat NOB H8, yaitusebanyak 49,60 mg/L N-NO2, namunnitrat yang terbentuk hanya sebesar 3,34mg/L N-NO3 atau 6,73% dari jumlahpenurunan konsentrasi nitrit. Pemben-tukan konsentrasi nitrat terbesarditunjukkan oleh isolat NOB H1, yaitusebanyak 4,45 mg/L N-NO3, sedangkanpenurunan nitrit sebanyak 16,4 mg/L N-NO2. Berdasarkan hasil tersebut isolatNOB H1 dan NOB H8 dipilih untukpengujian penentuan pola pertumbuhandan aktivitas oksidasi nitrit.

Pola pertumbuhan isolat bakteri hete-rotrofik terpilih

1. Pola pertumbuhan isolat NOB H1

Fase lag isolat NOB H1 berlangsungsampai jam ke 4. Fase eksponensial terjadisampai jam ke 8 dan fase stasioner hinggakematian terjadi pada jam ke 24 (Gambar1). Pada saat fase eksponensial, isolatNOB H1 tumbuh dengan cepat, denganwaktu generasi isolat bakteri NOB H1mencapai 1,69 jam.

2. Pola pertumbuhan isolat NOB H8Kurva pertumbuhan isolat bakteri

NOB H8 menunjukkan pola yang hampirsama dengan isolat NOB H1. Fase lagberlangsung selama 1 jam, fase eksponen-sial berlangsung sampai jam ke 11, danselanjutnya memasuki fase stasioner dankematian (Gambar 2). Fase lag pada isolatNOB H8 tidak berlangsung lama dan

Page 116: jurnal biologi indonesia nhaaa

268

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

mengindikasikan bakteri dapat cepatberadaptasi. Fase eksponensial padaisolat NOB H8 berlangsung cukup lamahingga jam ke 11. Berdasarkan hasil TPCwaktu generasi isolat NOB H8 mencapai2,19 jam.

D. Pola reaksi oksidasi nitrit isolatbakteri heterotrofik terpilih1. Pola reaksi oksidasi nitrit isolat NOBH1

Hasil pengujian pola reaksi peru-bahan nitrit isolat NOB H1 menunjukkanbahwa secara umum dari jam ke 0sampai ke 120 terjadi penurunan konsen-

trasi nitrit. Amonium mengalami kenai-kan sampai jam ke 22, dan pada jam ke24 mengalami penurunan, kemudiankonstan sampai akhir inkubasi. Penuru-nan konsentrasi nitrit diikuti dengankenaikan konsentrasi nitrat mulai terjadijam ke 24 sampai jam ke 120 (Gambar3). Efisiensi penurunan nitrit dari isolatbakteri NOB H1 mencapai 16,6%, danefisiensi pembentukan nitratnya 6,2%.

2. Pola reaksi oksidasi nitrit isolat NOBH8

Konsentrasi nitrit sampai 8 jaminkubasi, tidak memperlihatkan peruba-

Tabel 2. Karakter morfologi mikroskopik isolat-isolat bakteri heterotrofik

Tabel 1. Karakter morfologi makroskopik koloni isolat-isolat bakteri heterotrofik

Kode Isolat

Pada agar dalam cawan petri Pada agar

miring

Warna

Kemiringan

Permukaan

Tepi

NOB H1 Oranye Bundar Cembung Rata Effuse NOB H2 Kuning Bundar Cembung Rata Bentuk

benang NOB H3 Putih Kriting Menonjol Erose Effuse NOB H4 Krem Bundar Cembung Beralun Echinulate NOB H5 Kuning Tidak beratur Menonjol Beringgit Effuse NOB H6 Kuning terang Bundar Cembung Rata Effuse NOB H7 Putih Bundar Cembung Rata Bentuk

benang NOB H8 Putih Bundar Cembung Rata Effuse

Kode isolat

Jenis Gram

Bentuk Sel

NOB H1 + Batang NOB H2 - Bulat NOB H3 + Bulat NOB H4 - Bulat NOB H5 - Batang NOB H6 - Bulat NOB H7 - Bulat NOB H8 - Batang

Page 117: jurnal biologi indonesia nhaaa

269

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

han yang signifikan, nampak turun padajam ke 8 sampai jam ke 11, setelah itumengalami kenaikan dan penurunansecara bergantian sampai jam ke 24.Amonium mengalami kenaikan dari jamke 0 sampai jam ke 5, kemudian turunhingga jam ke 14, naik kembali pada jamke 17 kemudian turun hingga akhir reaksi.Penurunan konsentrasi nitrit yang diikutidengan kenaikan nitrat terjadi pada jamke 8 sampai jam ke 11. Setelah jam ke11, konsentrasi nitrat cenderungmenunjukkan penurunan sampai jam ke24 (Gambar 4).

Penurunan konsentrasi nitrit yangdiikuti peningkatan konsentrasi nitratmenunjukkan reaksi oksidasi nitrit.Oksidasi nitrit pada isolat NOB H8 terjadipada jam ke 8 sampai jam ke 16, tetapikonsentrasi nitrat yang terbentuk sangatrendah. Hasil tersebut menunjukkanbahwa kemampuan isolat bakteri NOBH8 dalam mengoksidasi nitrit sangatrendah. Apabila dihubungkan dengankurva pertumbuhan pada Gambar 2,reaksi oksidasi nitrit menjadi nitrat jugaterjadi ketika bakteri berada pada fasestasioner. Setelah jam ke 11, konsentrasi

 

Waktu (Jam)

-5 0 5 10 15 20 25 30

OD

610

nm

0

1

Gambar 1. Kurva pertumbuhan isolat bakteri heterotrofik NOB H1 selama 24 Jam 

Waktu (Jam)

-5 0 5 10 15 20 25 30

OD

610

nm

0

1

2

3

Gambar 2. Kurva pertumbuhan isolat bakteri heterotrofik NOB H8 selama 24 Jam

Page 118: jurnal biologi indonesia nhaaa

270

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

Kode Isolat

N-NO2 awal (mg/L)

N-NO2 akhir(mg/L)

PenurunanN-NO2 (mg/L)

Pembentukan N-NO3 (mg/L)

NOB H1 71 54,60 16,4 4,45 NOB H2 71 62,04 8,96 3,03 NOB H3 71 77,55 0 4,60 NOB H4 71 55,84 15,6 3,84 NOB H5 71 64,21 6,79 3,38 NOB H6 71 63,28 7,72 4,04 NOB H7 71 44,98 26,02 3,26 NOB H8 71 21,40 49,60 3,34

Tabel 3. Rerata penurunan konsentrasi nitrit dan pembentukan nitrat isolat-isolat bakteri Heterotrofik

nitrit mengalami penurunan dan kenaikansecara bergantian sampai jam ke 24,sedangkan konsentrasi nitrat cenderungmengalami penurunan.

Uji produksi gas N isolat bakteriheterotrofik terpilih

Hasil pengujian produksi gas darikedua isolat bakter i yang diujimenunjukkan bahwa isolat NOB H1tidak memperlihatkan pembentukan gasdi dalam tabung durham pada mediumheterotrofik dalam kondisi aerobik dan

semi anaerobik (Gambar t idakditampilkan). Isolat NOB H1 juga tidakmemperlihatkan kemampuan membentukgas pada medium Giltay dan mediumNutrient Broth (NB) dalam kondisi semianaerobik. Sedangkan isolat bakteriNOB H8 mampu membentuk gelembunggas di dalam tabung durham padamedium heterotrofik aerobik dananaerobik, juga pada medium Giltay, danmedium Nutrien Broth (NB) dalamkondisi semi anaerobik.

 

Waktu (Jam)

-20 0 20 40 60 80 100 120

N-N

O2 (m

g/L)

60

80

100

120

140

Nitrit

N-N

O3

(mg/

L); N

-NH

4 (mg/

L)

0

2

4

6

8

10

12

Amonium Nitrat

Gambar 3. Grafik perubahan nitrit serta produksi nitrat dan amonium isolat bakteri NOB H1selama 120 jam

Page 119: jurnal biologi indonesia nhaaa

271

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

Identifikasi isolat bakteri hetero-trofik terpilih

Hasil identifikasi oleh BalaiPenelitian Veteriner (Balitvet) menyim-pulkan bahwa isolat bakteri NOB H1adalah bakteri Bacillus licheniformis.dan isolat NOB H8 adalah Pseudo-monas sp. (data tidak ditampilkan).

PEMBAHASAN

Pengamatan makroskopik danmikroskopik dari delapan isolat bakteriheterotrofik memperlihatkan hasil yangberbeda (Tabel 1 dan 2). Berdasarkanperbedaan tersebut dapat diasumsikanbahwa kedelapan isolat bakteriheterotrofik yang diamati merupakanjenis yang berbeda. Menurut Alexander(1965), berbagai jenis mikroorganismeheterotrofik diketahui mampu melakukanproses nitrifikasi, tetapi tidak ada karakterkhusus yang menjadi ciri khas untukmengelompokkan mikroorganismeheterotrofik nitrifikasi kedalam kelompoktaksonomi tertentu.

Dari hasil pengukuran penurunankonsentrasi nitrit, kedelapan isolat bakteri

heterotrofik yang diuji juga memperli-hatkan kemampuan reduksi nitrit danproduksi nitrat yang berbeda (Tabel 3).Penurunan konsentrasi nitrit terbesarditunjukkan oleh isolat NOB H8, yaitusebanyak 49,60 mg/l N-NO2. sedangkanpembentukan konsentrasi nitrat terbesarditunjukkan oleh isolat NOB H1, yaitusebanyak 4,45 mg/l N-NO3. Berdasarkanhasil tersebut maka isolat NOB H1 danNOB H8 dijadikan isolat terpilih untukpenentuan pola pertumbuhan dan ujiaktivitas reduksi nitrit.

Pertumbuhan isolat bakteri NOB H1dalam medium heterotrofik cukup cepat,waktu generasinya mencapai sebesar1,69 jam. Waktu generasi isolat bakteriNOB H1 pada media heterotrofikdengan glukosa sebagai sumber karboncukup pendek. Menurut Gottschalk(1986) sel membutuhkan lebih banyakenergi untuk sintesis biomassa jikamenggunakan asetat dari pada glukosa.Bakteri membutuhkan 99,5 mmol ATPuntuk membentuk 1 g sel dari asetat,sedangkan jika menggunakan glukosaenergi yang dibutuhkan bakteri hanya

 

Waktu (Jam)

-20 0 20 40 60 80 100 120

N-N

O2 (m

g/L)

99

100

101

102

103

Nitrit

N-N

O3 (m

g/L)

; N-N

H4 (m

g/L)

0

2

4

6

8

NitratAmonium

Gambar 4. Grafik perubahan nitrit serta produksi nitrat dan amonium isolat bakteri NOB H8selama 24 jam

Page 120: jurnal biologi indonesia nhaaa

272

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

34,8 mmol ATP. Glukosa merupakanmonosakarida yang memiliki enamkarbon dan lebih mudah digunakan olehbakteri daripada sumber karbon lainnya(Boyer, 2002). Apabila dibandingkandengan isolat NOB H1, fase eksponensialisolat bakteri NOB H8 berlangsung lebihlama, hingga jam ke 11. Berdasarkanhasil TPC (data tidak ditampilkan) dapatdihitung waktu generasi isolat NOB H8sebesar 2,19 jam.

Pola reaksi perubahan nitrit isolatNOB H1 (Gambar 3) menunjukkanbahwa secara umum terjadi penurunankonsentrasi nitrit yang diikuti olehkenaikan konsentrasi amonium dan nitrat.Proses penurunan nitrit yang terjadi padajam ke 0 sampai jam ke 22, tidak diikutidengan kenaikan konsentrasi nitrat,melainkan kenaikan konsentrasi amonium(Gambar 3). Penurunan nitrit pada faseini diduga disebabkan oleh reaksi reduksinitrit menjadi amonium. Apabila dihu-bungkan dengan kurva pertumbuhanpada Gambar 1, reaksi reduksi nitritmenjadi amonium terjadi pada masapertumbuhan sel bakteri. Pada masapertumbuhan, isolat NOB H1 mereduksinitrit menjadi amonium untuk digunakandalam sintesis biomasa. MenurutGottschalk (1986), mikroorganismecenderung untuk mereduksi nitrit menjadiamonium karena amonium dapat diguna-kan untuk sintesis biomassa sel.Amonium juga digunakan untuk sintesisasam amino dan protein melalui glutamindan glutamat (Joklik et al. 1992). Reaksipenurunan nitrit yang diikuti dengankenaikan nitrat terjadi dari jam ke 24sampai jam ke 120. Menurut Sakai et al.(1996), penurunan nitrit yang diikuti

dengan pembentukan nitrat mengindika-sikan terjadinya proses oksidasi. Hasilidentifikasi menyimpulkan bahwa isolatNOB H1 adalah bakteri Bacillus licheni-formis. memperkuat dugaan bahwaisolat bakteri ini adalah bakteri pengok-sidasi nitrit karena menurut Sakai et. al.(1994) beberapa kelompok Bacillusmerupakan bakteri pengoksidasi nitrit.Apabila dihubungkan dengan kurvapertumbuhan pada Gambar 1, terlihatbahwa perubahan nitrit menjadi nitratterjadi pada jam ke 22 sampai jam ke 120yang berarti sudah memasuki fasestasioner sampai kematian. MenurutVerstraete & Alexander (1972), keba-nyakan mikroorganisme heterotrofikmenghasilkan nitrit atau nitrat setelahfase aktif pertumbuhan. Nitrit atau nitratdihasilkan oleh mikroorganisme setelahsumber karbon telah habis digunakanuntuk sintesis biomassa pada fase aktifpertumbuhan. Dari hasil penelitian inidapat disimpulkan reaksi oksidasi nitritpada isolat NOB H1 terjadi pada fasestasioner hingga kematian.

Oksidasi nitrit pada isolat NOB H8terjadi pada jam ke 8 sampai jam ke 11,tetapi konsentrasi nitrat yang terbentuksangat rendah (Gambar 4). Hasil tersebutmenunjukkan bahwa kemampuan isolatbakteri NOB H8 dalam mengoksidasinitrit sangat rendah. Apabila dihubung-kan dengan kurva pertumbuhan padaGambar 3, reaksi oksidasi nitrit menjadinitrat juga terjadi ketika bakteri beradapada fase stasioner. Setelah jam ke 11sampai jam ke 24, konsentrasi nitritmengalami penurunan dan kenaikansecara bergantian, sedangkan konsentrasinitrat cenderung mengalami penurunan.

Page 121: jurnal biologi indonesia nhaaa

273

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

Dari pola reaksi ini dapat disimpulkanbahwa penurunan nitrit pada isolat NOBH8 lebih besar disebabkan oleh reaksireduksi nitrit menjadi gas N. Dugaantersebut diperkuat dengan hasil perhitu-ngan stokiometri yang menunjuk-kanadanya kehilangan jumlah N sekitar 4-5% pada akhir reaksi (data t idakditampilkan). Menurut Gupta (1997),reaksi reduksi nitrit menjadi gas Nmerupakan bagian dari reaksi denitrifi-kasi, sehingga diduga bakteri NOB H8adalah bakteri denitrifikasi. Castignetti &Hollo-cher (1984) bahwa beberapabakteri denitrifikasi heterotrofik jugamampu melakukan proses nitrifikasi atausebaliknya. Diduga isolat NOB H8adalah bakteri denitrifikasi yang jugamempunyai kemampuan mengoksidasinitrit (nitrifikasi). Hasil pengamatankemampuan produksi gas pada mediadenitrifikasi (gambar tidak ditampilkan)menunjukkan bahwa isolat NOB H8mampu memproduksi gas sedangkanisolat NOB H1 tidak memperlihatkankemampuan memproduksi gas. Hasil ujiproduksi gas N pada isolat NOB H8memperkuat dugaan bahwa isolat NOBH8 merupakan bakteri denitrifikasi.Hasil identifikasi yang menyimpulkanbahwa isolat bakteri NOB H8 adalahPseudomonas sp. memperkuat dugaanbahwa isolat bakteri ini adalah bakteridenitrifikasi. Menurut Tchobanoglous etal.(2003), Pseudomonas sp. merupa-kansatu kelompok bakteri denitrifikasi.

KESIMPULAN

Pola pertumbuhan isolat bakteriheterotrofik NOB H1 dan NOB H8

mengikuti pola pertumbuhan yangsigmoid, dengan waktu generasi sebesar1,69 jam untuk isolat NOB H1, dan 2,19jam untuk isolat NOB H8. Isolat NOBH1 memiliki kemampuan mengoksidasinitrit lebih besar dibandingkan denganisolat NOB H8. Penurunan nitrit dariisolat NOB H8 tidak hanya disebabkanoleh reaksi oksidasi tetapi juga melaluireaksi reduksi (denitrifikasi). Isolatbakteri NOB H1 teridentifikasi sebagaibakteri Bacillus licheniformis dan isolatbakteri NOB H8 teridentifikasi sebagaibakteri Pseudomonas, sp.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasihkepada Nani Mulyani yang telahmembantu penelitian ini hingga selesai.Penelitian ini dibiayai dari anggaran DIPAPuslit Biologi-LIPI.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1965. Nitrification. In:Bartholomew, WV. & FE. Clark(eds). 1965. Soil nitrogen. Ameri-can Society of Agronomy Inc.,Publ., Madison.

Barrachlough, D. & G. Puri. 1995. Theuse of 15N pool dilution and enrich-ment to separate the heterotrophicand autotrophic pathways ofnitrification. Soil Biol. Biochem.27(1): 17-22.

Boyer, RF. 2002. Concepts in biochemis-try. Books/Cole, Australia.

Both, GJ. 1990. The ecology of nitrite-oxidizing bacteria in grasslandsoils. Institute for EcologicalResearch, Heteren.

Page 122: jurnal biologi indonesia nhaaa

274

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

Castignetti D., and HB Gunner. 1980.Sequential nitrification by anAlcaligenes sp. and Nitrobacteragilis. Can. J. Microbiol. 26: 1114-1119.

Castignetti D., and HB Gunner. 1981.Nitrite and Nitrate synthesis frompyruvic oxime by an Alcaligenessp. Curr. Microbiol. 5: 379-384.

Castignetti, D. & TC. Hollocher. 1981.Vigorous denitrification by aheterotrophic nitrifier of the genusAlcaligenes Curr. Microbiol. 6:274-252.

Castignetti, D. & TC. Hollocher. 1982.Nitrogen redox metabolism of aheterotrophic nitrifying-denitrifyingAlcaligenes sp. From soil. Appl.Environ. Microbiol. 44: 923-928

Castignetti, D., JR Petithory, and TCHollocher. 1983. Pathway ofoxidation of pyruvic oxime by aheterotrophic nitrifier of the genusAlcaligenes: evidence againsthydrolysis to pyruvate andhydroxylamine. Arch. Biochem.Biophys. 224: 587-593.

Castignetti, D. & TC. Hollocher. 1984.Heterotrophic nitrification amongdenitrifiers. Appl. Environ.Microbiol. 47(4): 620-623.

Departemen Pekerjaan Umum. 1990.Kumpulan SNI bidang pekerjaanumum mengenai kualitas air.Departemen Pekerjaan Umum,Jakarta.

Gottschalk, G. 1986. Bacterial metabo-lism. 2nd ed. Springer-Verlag, NewYork.

Gupta, AB. 1997. Thiosphaera pantotro-pha: a sulphur bacterium capable

of simultaneous heterotrophicnitrifications and aerobic denitrifi-cation. Enzyme Microb. Technol.21: 589-595.

Hans P, Regina von Berg, I Hinkel, BThoene and H Rennenberg. 1989.Heterotrophic Nitrification byAlcaligenes faecalis: NO2-, NO3-N2O, and NO Production inExponentially Growing Cultures.App. Environ. Mic. 55, No. 8:2068-2072

Joklik, WK., HP. Willet, DB. Amos &CM. Wilfer t. 1992. Zinssermicrobiology. 20th ed. Appleton &Lange, Norwalk.

Koops, HP. & A. Pommerening-Röser.2001. Distribution and ecophysio-logy of the nitrifying bacteriaemphasizing cultured species.FEMS Microbiol. Ecol. 37: 1-9.

Müller, C., RJ. Stevens, RJ. Laughlin.2002. Evidence of carbon stimu-lated N transformations in grass-land soil after slurry applications.Soil Biol. Biochem. : 1-9.

Nishio, T., T. Yoshikura, K. Chiba & Z.Inouye. 1994. Effects of organicacids on heterotrophic nitrificationby Alcaligenes faecalis OKK17.Biosci. Biotech. Biochem. 58(9):1574-1578.

Prosser, JI. 1989. Autotrophic nitrificationin bacteria. Adv. Microb. Physiol.30:125–181.

Sakai, K., Y. Ikehata, Y. Ikenaga, M.Wakayama & M. Moriguchi. 1996.Nitrite oxidation by heterotrophicbacteria under various nutritionaland aerobic conditions. J. Ferment.Bioeng. 82(6): 613-617.

Page 123: jurnal biologi indonesia nhaaa

275

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

Tchobanoglous, G., FL. Burton & HD.Stensel. 2003. Wastewaterengineering: Treatment andreuse. 4th ed. McGraw-Hill,Boston.

Memasukkan: November 2008Diterima: Februari 2009

Todar, K. 2002. Growth of bacterialpopulation. http://www.textbook ofbacteriology.net.

Verstraete, W. & M. Alexander. 1972.Heterotrophic nitrification byArthrobacter sp. J. Bacteriol. 110(3): 955-961.

Page 124: jurnal biologi indonesia nhaaa

277

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 277-288 (2010)

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

Dari Masukan Air Limbah Penduduk dan Industri

Eko Harsono &Sulung NomosatryoPusat Penelitian Limnologi, Jl. Raya Cibinong Km 47 Cibinong Bogor

ABSTRACT

Characterisation of Organic Carbon of Up Stream Citarum River Water from Domestic and

Industrial Waste Effluent. The local government of Citarum upstream area has conducted the

river cleaning program to increase Disolved Oxygen since 1991 until now. The program has

impacted to installments of to wastewater treatment for 80% industrials in the Upper Citarum

drainage area declining the load of BOD5 wastewater. However most of waste water coming

from Banung population have been treated in the collective wastewater treatment (IPAL) of

Bojongsoang. Nevertheless, the low concentration of Dissolved oxygen which is under the

minimum stream standard concentration, 3mg/l still becomes a problem until now. An

ineffectiveness of improvement of the DO is caused by the treatment effluent BOD5 load from

domestic and industrial wastewater and low awareness industrial wastewater about

characteristics of river water quality . This research aimed to characterize the BOD oxidation

rate and BOD5 regime of each river reach base on wastewater domestic or industrial characteristic.

The result of this research can then be applied to build the priority of the load reduction of

BOD5 wastewater domestic or industrial in each reach of that river. The characteristic of

oxidation rate have investigated at influent point and water body of Upper Citarum River by

multivariate cluster observation. The oxidation rate was calculated by least-square method

from BOD data. The BOD observation was measured by BOD meter everyday for 5 days. The

result shows that Curugjompong at 0 to 21st km and 36th km to Majalaya bridge is

characterizedby an industrial sewage, while the upper Citarum at 21 to 36 Km is characterized

by an domesticsewage.

Key words: Characteristic, oxydation rate, Citarum river, organic carbon.

PENDAHULUAN

Daerah aliran sungai (DAS) Citarum

Hulu yang luas nya 1807 km2 dan

melingkupi Pemkot dan Pemkab.

Bandung serta Pemkot. Cimahi, di salah

satu sisi telah tumbuh sebagai pusat

kegiatan ekonomi di Propinsi Jawa Barat.

Namun di sisi lainnya, telah menekan

sungai Citarum Hulu dengan beban

karbon organik terdegradasi (degra-

dable organic carbon) yang terkandung

dalam air limbah buangannya (Laporan

tim PROKASIH 2007).

Badan air sungai dapat dianggap

sebagai mixed-flow reactor (Chapra

1997). Apabila badan air tersebut

mendapat masukan material karbon

Page 125: jurnal biologi indonesia nhaaa

278

Eko Harsono & Nomosatryo

organik terdegradasi, maka akan tumbuhmikrobial. Sehingga sungai tersebut jugadapat dianggap sebagai kultur alami.Dimana nasib karbon organikterdegradasi dalam reaktor atau kulturalami tersebut akan dioksidasi olehmikrobial heterogenous yang padaumumnya terdiri dari bakteri, protozoa,rotifers dan fungi untuk pertumbuhanserta perkembangannya (Thomann1987).

Sungai karena kondisi hidrolika danalirannya, dapat melakukan reaerasiuntuk memproduksi oksigen terlarut(DO) di dalam badan air itu sendiri(Chapra 1997). Produksi DO tersebutakan digunakan untuk pertumbuhanmikrobial dengan mengoksidasi karbonorganik terdegradasi secara aerobik(Grady 1997). Apabila kehadiran karbonorganik terdegradasi sedikit, mikrobialyang tumbuh juga sedikit, dan kebutuhanoksigen terlarut (DO) juga sedikit.Sehingga reaerasi sungai masih dapatmengembalikan kandungan DO sungaiseperti semula dan kondisi aerobik masihdapat terjaga. Namun apabila karbonorganik yang hadir berlebihan, makamikrobial yang tumbuh kembang jugaberlebihan, dan DO yang dibutuhkan jugaberlebihan. Sehingga reaerasi tidakmampu lagi mengimbangi kebutuhanDO, yang pada gilirannya produksi DOtersebut defisit.

Sungai yang produksi DO-nyadefisit, lambat-laun akan tumbuhmikrobial yang dapat mengoksidasikarbon organik tanpa oksigen (mikrobialan-aerobik). Badan air sungai yang telahmengalami proses oksidasi an-aerobikakan membuat sungai berwarna hitam,

dimana produksi sampingannya (byproduct) adalah H2S yang bau dan zat-zat beracun lainnya (Thomann,1987).Sungai yang demikian itu harkatnya telahmerosot dan tidak disukai, karena tidakestetik dan terkesan kumuh.

Sungai Citarum Hulu telah menerimabeban karbon organik terdegradasi(degrdable) 160.000 ~ 200.000 Ton/Haridari penduduk (Salim 2002), dan 81.363~ 109.114 Ton/hari dari industri (Bukit2002). Dalam rangka melindungi sungaiCiatrum dalam dari ancaman difisit DOkarena beban tersebut. Pemda setempattelah menetapkan baku mutu kualitas airsungai Citarum Hulu pada peruntukangolongan C dengan konsentrasi DO air-nya e” 3mg/l (Laporan tim PROKASIH2007). Melalui PROKASIH dari tahun1991 hingga sekarang juga telahdilakukan upaya penurunan bebantersebut. Dimana hasilnya adalah, 80%industri yang ada di dalam DAS CitarumHulu telah memasang IPAL (Laporan timPROKASIH 2007). Disamping itu, jugatelah berlangsung Proyek BandungUrban Development (BUDP) yangmembangun saluran dan pengumpul airlimbah sebagian besar penduduk kotaBandung yang kemudian diolah di IPALkolektif Bojongsoang.

Efisiensi penurunan karbon organikterdegradasi oleh IPAL industri dariprogram tersebut telah mencapai antara50 s/d 60%. Sedangkan efisiensi IPALBojongsoang antara 45 s/d 50%. Tingkatefisiensi penurunan beban karbonterdegradasi tersebut, mestinya telahmengakibatkan laju reaerasi alami sungaiCitarum Hulu sudah dapat mengem-balikan DO air pada konsentrasi yang

Page 126: jurnal biologi indonesia nhaaa

279

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

dikehendaki. Namun demikian sampaisaat ini, kandungan oksigen terlarut (DO)air sungai Citarum Hulu masih kurang daribaku mutu peruntukkannya, bahkan disebagian ruas sungai konsentrasi DOairnya 0 mg/l (Wangsaatmadja 2007).

Belum efektifnya upaya penurunanbeban karbon organik terdegradasitersebut, karena pendekatan yang telahdilakukan masih berdasarkan padapembatasan beban pada keluaran darisumber pencemar (effluent standard).Pendekatan ini tidak mempertimbangkankarakteristik sungainya sebagai badanair penerima. Meskipun target penurunankarbon organik terdegrdasi telah tercapaisesuai dengan baku mutu effluent, namunbelum tentu dapat menaikan DO airsungai sesuai dengan yang dikehendakioleh baku mutu sungainya (Streamstandard). Untuk itu badan air sungaiCitarum Hulu perlu diteliti untukmengungkap karakteristiknya dalammenerima beban karbon organikterdegradasi. Sehingga hasilnya dapatdigunakan sebagai landasan untukmenyusun alternatif dalam perencanaandan implementasi pengendalian karbonorganik terdegrdasi dalam perbaikan DOair.

Sungai Citarum Hulu mempunyaibanyak anak sungai (tributary) yangDAS-nya luas maupun sempit. Melaluianak-anak sungai tersebut beban karbonorganik terdegrdasi dari pendudukmaupun industri masuk ke dalam badanair sungai Citarum Hulu. Sehingga sangatsulit untuk membedakan asal air limbahyang mendominasi di setiap ruas badanair sungai tersebut. Apabila dominasi asalair limbah tersebut dapat diketahui, maka

dapat disusun prioritas dalam penurunankarbon organik terdegradsi dari sumberpencemar yang ada di dalam sub-DASruas-ruas sungai Citarum Hulu.

Laju oksidasi karbon organikdegradable dapat dikatakan sebagaiekspresi kinerja mikrobial heterogenousdari suatu kultur (Benefield 1980). Lajuoksidasi karbon organik tersebuttergantung pada kemudahan karbonorganik dioksidasi, kondisi fisika dankimia lingkungan mikrobial serta kesiapanmikrobial dalam kultur tersebut. Apabilakondisi fisika, kimia lingkungan danmikrobial konstan (sama), laju oksidasisemakin tinggi maka semakin mudah pulakarbon organik terdegrasi dioksidasi.Sebaliknya semakin rendah laju oksidasi,maka semakin sulit pula karbon organikterdegradasi dapat dioksidasi. MenurutChapra (1997) laju oksidasi untuk airlimbah domestik berkisar antara 0,05sampai 0,3/hari, dan penelitian Oke(2005) untuk contoh air limbah domestikdari influen IPAL kolam stabilisasi diNigeria, telah memperoleh laju oksidasi0,254 s/d 0,350. Sedangkan menurutNemerow (1978) laju oksidasi air limbahindustri tergantung pada jenis industrinya,dimana rentangnya antara 0,5 s/d 1.5/hari. Apabila karbon organik terdegrdasidi dalam air setiap ruas sungai CitarumHulu dapat dicirikan berdasarkan lajuoksidasi dari air limbah penduduk danindustri. Maka dapat diketahui asal airlimbah yang mendominasi di setiap ruassungai tersebut. Untuk itu penelitian initelah dilakukan, dimana hasilnyadiharapkan dapat digunakan untukmenyusun prioritas dalam penuruanankarbon organik terdegradsi dari sumber

Page 127: jurnal biologi indonesia nhaaa

280

Eko Harsono & Nomosatryo

pencemar yang ada di dalam sub-DASruas-ruas sungai tersebut, sehingga DOair sungai Citarum Hulu dapat meningkatsesuai dengan yang diharapkan.

BAHAN DAN CARA KERJA

Pencirian air limbah domestik danindustri di ruas-ruas sungai Citarum Hulu,dilakukan dengan metode multivariatecluster observations menggunakanperangkat lunak statistik Minitab Release14.12.0. Ciri air limbah domestik danindustri diwakili oleh laju oksidasi karbonterdegradasi (degradable) (k) daricontoh air sungai, influen sungai(masukan aliran air ke dalam sungai), airlimbah area pemukiman dan contoh airlimbah area industri di sepanjang sungaiCitarum Hulu ruas Curugjompong hinggaMajalaya.

Berdasarkan informasi yang telahdiperoleh bahwa, 80% industri yang telahberkembang di DAS Citarum Huluadalah industri tekstil (Laporan TimPROKASIH 2007), air limbah daridomestik Kota Bandung telah disalurkandan diolah di IPAL Bojongsoang, daninformasi penyebaran area pemukimandan industri hasil klasifikasi dari citraAster tahun 2007, maka titik-titikpengambilan contoh air telah ditentukan.Contoh air limbah domestik (DMT) yangsebagai acuhan, diambil di saluranmasuk (influen) IPAL Bojongsoang.Contoh air limbah industri (INDT) yangsebagai acuhan, diambil dari saluranpembuang kawasan industri tekstil didaerah Dayeuhkolot sebelum masuk kedalam IPAL Industri kolektif Cisiriung.

Sedangkan contoh air yang lain lokasititiknya dapat dilihat dalam Gambar 1.

Pengambilan contoh air tersebutdilakukan pada bulan April 2008, yaitupada akhir musim penghujan. Dimanapengambilan contoh airnya dilakukandengan metode Grab. Menurut Chapra(1997), karbon organik terdegradasi yanglangsung di oksidasi oleh mikrobial adalahyang dalam bentuk terlarut. Untukmendekati itu, maka contoh air yang telahdiambil langsung disaring dengan kertassaring Millipore 0,45 ìm. Dimana contohair yang telah tersimpan dalam botolsample tersebut disimpan dalampendingin (d”40C) ketika dibawa kelaboratorium. Sedangkan untuk menjagakeutuhan kandungan karbon organikterdegradasi dalam botol sample,sebelum 24 jam dari pengambilannyatelah dilakukan analisis dan percobaanuntuk menentukan BOD harian dilaboratorium.

Penentuan BOD harian tersebut,dilakukan dengan menggunakan BOD-meter merck Aqualitic AL 181 yangsesuai metode standard APHA (1995).Dimana untuk menjamin kinerja mikrobialpada kultur di dalam botol untuk analisisBOD di laboratorium tersebut, telahdigunakan mikrobial dari kultur lumpurmikrobial sungai Citarum Hulu.

Sedangkan laju oksidasi karbonorganik dihitung dari data BOD harianyang telah diperoleh. Dimana metodeperhitungan laju oksidasi tersebut,menggunakan metode least-squares(Metcalf 1991).

Page 128: jurnal biologi indonesia nhaaa

281

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

HASIL

Hasil pemantauan BOD hariancontoh air sungai dan acuhan disajikandalam Gambar 2, sedang dari masukanaliran (influen) disajikan dalam Gambar3

Dari Gambar 2, dan Gambar 3 dapatdilihat, kurva BOD mempunyaikecenderungan yang serupa. Dimana harike nol hingga hari ke 1 masih landai,namun menginjak hari ke 2 sampaidengan hari ke 4 kurva BOD telahmemperlihatkan kenaikan yang berarti,dan hingga hari ke 5 kurva BOD relatiftidak menunjukkan kenaikan yangberarti. Meskipun kecenderungantersebut serupa, namun bila dilihat daritiap titik contoh airnya, maka kurvatersebut mempunyai karakter sendiri-sendiri. Hal ini terlihat jelas pada Gambar2(b) yang merupakan contoh acuhan dariair limbah industri dan penduduk, dimanakecenderungannya sama namunlengkung BOD dari air limbah industrilebih tingggi dibandingkan dengan dari air

Gambar 1. Lokasi Titik Pengambilan Contoh Air (Sampling)

limbah penduduk. Karakteristik kurvaBOD tersebut perbedaannya semakinjelas apabila dilihat dari laju oksidasikarbon organiknya (k) yang hasilnyadilaporkan berikut ini.

Dari hasil pengamatan BOD tiaphari dan menggunakan metode sepertiyang telah diuraikan sebelumnya, dapatdihitung laju oksidasi karbon organik (k).Hasil perhitungan k dari pemantauanBOD tiap titik pengambilan contoh airdisajikan dalam Gambar 4.

Dari Gambar 4 dapat dilihat, hasil kair limbah domestik (DMST) telahdiperoleh 0.2088/hari, dan industri0,491988/hari. Berdasarkan k acuhantersebut, nilai k air sungai di titik 357, 382dan 397 serta k air dari anak-anak sungai(influen) 356, 368,371 dan 398 cenderungberdekatan karakternya. Sedangkan nilaik air sungai di titik 361 dan dari anak-anak sungai (influen) 359, 364, 367, 368,369, 464, dan 387 cenderung berdekatandengan nilai karakter kurva BOD dari airlimbah penduduk (DMST).

Page 129: jurnal biologi indonesia nhaaa

282

Eko Harsono & Nomosatryo

0

20

40

60

80

100

120

140

0 1 2 3 4 5Waktu (Hari)

BO

D (M

g/l)

Domistik (DMT)Industri (INDT)

0

5

10

15

20

25

30

0 1 2 3 4 5Waktu (Hari)

BOD

(Mg/

l)357 361

382 397

(a) (b)

Gambar 2. Hasil pemantauan BOD setiap hari di titik sungai (a) dan cuhan (b)

05

101520253035

0 1 2 3 4 5Waktu (Hari)

BOD

(Mg/

l)

387 369364 464468 479359 367

020406080

100120140

0 1 2 3 4 5Waktu (Hari)

BOD

(Mg/

l)398 392368 371476 356

Gambar 3. Hasil pemantauan BOD setiap hari contoh air di titik influen

K Acuhan : K Sungai : K nfluen :

Curugjompong

Majalaya

Gambar 4. Hasil Perhitungan Laju Oksidasi (K)

Page 130: jurnal biologi indonesia nhaaa

283

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

Apabila kecenderungan visualtersebut dikelompokan lebih teliti denganmenggunakan “multivariate clusterobservations”, maka diperoleh 3kelompok yang berbeda dimanadendrogramnya dapat dilihat dalamGambar 5 .

Dari Gambar 5 dapat dilihatkelompok 1 dirinci menjadi sub-kelompokA1, A2 dan A3. Kelompok 2 hanya diisioleh titik 476. Sedang kelompok 2 terdiridari sub-kelompok C3 dan C5 dengansisa titik 468, DMST, 464 dan 369.

Sub-kelompok A1 yang terdiri darititik 356 (s.Cisarea), 357 (s.Citarum) dan371 (s.Citepus) dapat diartikan bahwa,air sungai Citarum di titik 357 satu tipekaldengan air influen titik 356 dan titik 371.Sub-kelompok A2 yang terdiri dari titik368 (s. Palasari), 382 (s.Citarum) dan titik397 (s.Citarum), dapat diartikan sebagaiair sungai Citarum di titik 382 dan 397satu tipekal dengan air influen titik 368.Sub-kelompok A3 yang terdiri dari titik398 (s.Cimahi) dan 392 (s.Cibeureum)

dan INDST (industri), dapat diartikan airinfluen titik 398 dan 392 satu tipekaldengan air limbah industri. Sub-kelompokA tersebut, semuanya masuk dalam saturumpun kelompok 1 yang mempunyairerata K 0.451601/hari dan standarddeviasi (Sd) 0,031719/hari. Sehinggadapat dikatakan kelompok 1 merupakanrumpun bercirikan air limbah industri,dimana air sungai Citarum di titik 357,382dan 397 masuk di dalamnya.

Sub-kelompok C3 yang terdiri darititik 364 (s.Cidurian), 387 (s.Ciwidey) dantitik 478, dapat diartikan air limbah influendi titik-titik tersebut satu tipekal. Sub-kelompok C5 yang terdiri dari titik 359(s.Citarik), 367 (s.Cikapundung) dan titik361 (s.Citarum), dapat diartikan bahwaair sungai Citarum di titik 361 satu tipekaldengan ciri air limbah influen di titik 357dan 367. Sedang sisa titik 468, DMST(domestik), 464 dan 369 (s.Cisangkey)merupakan titik-titik influen dengan cirimasing-masing. Sub-kelompok C dan sisatitik tersebut, semuanya masuk dalam

Gambar 5. Pengelompokan dari observasi

Page 131: jurnal biologi indonesia nhaaa

284

Eko Harsono & Nomosatryo

satu rumpun kelompok 2 yangmempunyai rerata K 0,207606/hari danstadard deviasi (Sd) 0,29531/hari .Sehingga dapat dikatakan kelompok 3merupakan rumpun bercirikan air limbahdomestik, dimana air sungai Citarum dititik 361 masuk di dalamnya

Titik 476 yang anggota kelompok 3,merupakan satu tangan dengan kelompok1. Ini menunjukkan bahwa titik tersebutlebih dekat dengan kelompok 1 yangbercirikan air limbah industridibandingkan dengan kelompok 2 yangbercirikan air limbah domestik.

PEMBAHASAN

Mikrobial yang digunakan dalampemantauan BOD harian, pada tahapawal akan melakukan aklimasi danadaptasi untuk penyesuaian dengankondisi dan karbon organik terdegradasiyang ada (Benefield,1980). Kemudianpada tahap selanjutnya, mikrobial tersebutakan tumbuh dengan melakukan oksidasikarbon organik terdegradasi hinggahabis. Secara empirikal, mikrobialmelakukan oksidasi karbon organik didalam botol BOD tersebut hingga habismemerlukan waktu selama 5 hari (Grady1980). Memperhatikan Gambar 1 danGambar 2, proses aklimasi dan adaptasiterjadi selama 1 hari. Setelah mikrobialsiap pada kondisi percobaan tersebut,maka mulai melakukan peran secaraoptimum hingga karbon organikterdegradasi yang ada dalam air habis.Pada saat karbon organik degradablemendekati habis, maka kurva BOD padahari ke 4 hingga ke 5 juga mendekatikonstan.

Memperhatikan kurva BOD dari airlimbah domestik (DMST), nilai k airlimbah tersebut telah diperoleh sebesar0.2088/hari. Apabila dibandingkandengan k dari penelitian pendahulu(Chapra 1997), hasil k penelitian inimasuk dalam rentang yang ada dalampenelitian tersebut. Sedangkan biladibandingkan dengan hasil penelitian Oke(2005), nilai k hasil penelitian ini lebihkecil. Perbedaan hasil penelitian ktersebut, diperkirakan karena letak IPALterhadap daerah layanan. Makin jauhletak IPAL dengan daerah layanan,perjalanan air limbah tersebutmemerlukan waktu yang lebih lamahingga sampai titik pengamatan. Semakinlama perjalanan karbon organikterdegrdasi di penyaluran air limbahtersebut, semakin banyak pula karbonorganik terdegrdasi yang teroksidasi olehmikrobial yang tumbuh di saluran airlimbah tersebut. Dengan demikian karbonorganik terdegradasi yang tersisa di titikpengamatan telah berkurang, dan k yangdiperoleh juga semakin kecil.

Sedangkan apabila memperhatikanhasil k dari limbah industri yang telahdiperoleh, yaitu 0,491988/hari. Nilai initerletak pada rentang bawah dari hasilpeneliti-peneliti pendahulu (Nemerow1978). Seper ti telah dikemukakansebelumnya, bahwa lokasi pengambilancontoh air limbah industri dilakukan padasaluran pembuang air limbah darikawasan industri yang akan masuk kedalam sungai Citarum Hulu. Sehingga airlimbah tersebut telah tercampur denganair limbah dari aktivitas lain di kawasanindustri tersebut. Dengan demikian nilaik yang telah diperoleh dalam penelitian

Page 132: jurnal biologi indonesia nhaaa

285

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

ini lebih kecil dibandingkan dengan hasildari peneliti pendahulu.

Seperti diuraikan dalam metodepenelitian, contoh air limbah industri dandomestik diambil dari titik sebelum masukIPAL (influen IPAL). Laju oksidasi (k)contoh air titik-titik influen dari kelompokair limbah industri mirip dengan k airlimbah industri. Laju oksidasi (k) contohair titik-titik influen dari kelompok airlimbah domestik mirip dengan k air limbahdomestik. Ini berarti air limbah pada titik-titik influen yang telah diambil bolehdikatakan belum melalui IPAL

Memperhatikan hasil pengelompo-kan yang telah diperoleh, dari 4 titikcontoh air sungai 3 titik masuk dalamkelompok air limbah industri dan 1 titikmasuk ke dalam kelompok air limbahdomestik. Sedang untuk titik-titik contohair influen, 5 titik masuk ke dalamkelompok industri dan 6 titik masuk kedalam kelompok air limbah domestik.Apabila nilai k dari titik-titik tersebutdiplotkan terhadap jarak dari

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Jarak dari Curugjompong (Km)

K (1/

Hari)

Sungai Influen

Curugjompong

356

357

361

382397

359364

367369

464

368

468

371

387

392

478

476

398

Majalaya

Pengaruh airlimbah IndustriPengaruh air limbah Industri Pengaruh air limbah Domistik

Curugjompong ke Majalaya, makadiperoleh Gambar 6 berikut ini.

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa,sungai Citarum Hulu dari Km. 0 hinggaKm.21 terdapat 5 titik influen darikelompok air limbah industri dan 6 titikinfluen dari kelompok air limbahdomestik. Diantara titik-titik influentersebut terdapat anak sungai yang besar,yaitu sungai Ciwidey (387), sungaiCisangkey (369) dan sungai Cikapundung(367) yang masuk ke dalam kelompok airlimbah domestik. Dimana debit aliransungai tersebut adalah Ciwidey 7,0 m3/dt, sungai Cisangkey 4,0 m3/det dansungai Cikapundung 2,70 m3/det .(E.Harsono 2009). Namun titik-titik disungai 397 dan 382 masuk ke dalamkelompok air limbah industri.

Ruas sungai antara Km. 21 hinggaKm.36 mempunyai 2 titik influen darikelompok air limbah domestik. Dua titiktersebut telah menyebabkan titik 361 disungai juga masuk pada kelompok airlimbah domestik. Demikian juga dengan

Gambar 6. Profil k terhadap jarak dari Curug Jompong

Page 133: jurnal biologi indonesia nhaaa

286

Eko Harsono & Nomosatryo

ruas sungai antara kilometer 36 hinggakilometer 44 yang hanya terdapat 1 titikinfluen dari kelompok air limbah industri,telah menyebabkan titik 357 di sungaijuga masuk ke dalam kelompok air limbahindustri.

Memperhatikan ruas kilometer 0sampai dengan kilometer 21, meskipunruas hulunya dari kelompok air limbahdomestik dan ada 6 titik influen darikelompok air limbah domestik, namun duatitik di sungai masuk ke dalam kelompokair limbah industri. Ini menunjukanbahwa, air limbah industri yang masukpada ruas tersebut sangat kuattekanannya. Sehingga pada ruas tersebutdapat di katagorikan pada ruas yangdicirikan oleh air limbah industri. Begitujuga dengan ruas kilometer 21 hinggakilometer 36 dikatagorikan ruas yangdicirikan oleh air limbah domestik, danruas kilometer 36 hingg kilometer 44dikatagorikan ruas yang dicirikan oleh airlimbah industri.

Memperhatikan pembagian ruasberdasarkan ciri laju oksidasinya tersebut,sungai Citarum Hulu dari Curugjomponghingga Majalaya sebagian besar ruasnyabercirikan air limbah industri.Berdasarkan klasifikasi tutupan lahanmelalui citra aster tahun 2007 (Gambar7), ruas kilometer 0 sampai dengankilometer 21 setara dari Curugjompongsampai Daerah Dayeuhkolot. Padadaerah antara ruas tersebut, terdapatsentra industri Cimahi dan Dayeukolotyang dekat dengan ruas kilometer 0hingga kilometer 21. Maka dapatdiperkirakan ciri air limbah industri padaruas tersebut banyak dipengaruhi olehbuangan air limbah dari sentra-sentraindustri tersebut.

Dari Gambar 8 dapat dilihat, ruaskilometer 21 hingga kilometer 36mendapat masukan dari anak-anaksungai seperti sungai Cikapundung,Cidurian dan lainnya, dimana sub DAS

Gambar 7. Posisi Titik-Titik Sampilng Anggauta Kelompok 1 Terhadap Tutupan Lahan Industri

Page 134: jurnal biologi indonesia nhaaa

287

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

anak sungai tersebut melingkupi kotaBandung yang padat pemukimannya.Maka dapat dimengerti apabila sungaiCitarum pada ruas 21 hingga 36bercirikan air limbah domestik.

KESIMPULAN

Laju oksidasi karbon organikterdegrdasi dapat digunakan untukmencirikan air sungai Citarum Hulu dariair limbah industri dan domestik.

Air sungai Citarum Hulu telahdicirikan oleh air limbah industri dandomestik, dimana pembagian ciri tersebutadalah sebagai berikut,

Ruas Km.0 sampai dengan Km.21dari Curugjompong dicirikan oleh airlimbah industri.

Ruas Km.21 sampai dengan Km.36dari Curugjompong dicirikan oleh airlimbah domestik.

Ruas Km.36 sampai denganMajalaya dari Curugjompong dicirikanoleh air limbah industri.

Ciri air limbah industri di ruas Km.0sampai dengan Km.21 banyakdipengaruhi oleh sentra industri di daerahDayeuhkolot dan Cimahi

Ciri air limbah domestik di ruasKm.21 sampai dengan Km. 36 banyakdipengaruhi oleh anak-anak sungai yangsub DAS-nya melingkupi Kota Bandung.

Ciri air limbah industri pada ruas Km.36 sampai dengan majalaya banyakdipengaruhi oleh sentra indutri di daerahMajalaya.

DAFTAR PUSTAKA

APHA.1995. Standard Method for theExamination of Water andWastewater. America WaterWorks Association and WaterPollution Control Federation,Washington DC.

Benefield. LD & CW. Randall 1980.Biological Process Design forWastewater Treatment. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.

Bukit. NT & IA.Yusuf. 2002. Bebanpencemaran limbah industri danstatus kualitas Sungai Citarum, J.Teknologi Lingkungan. 3(2): 98–106

Chapra. S.C. 1997. Surface WaterQuality Modeling. New York,McGraw-Hill.

Eko Harsono 2009. Identifikasi titik-titikmasukan aliran material konsumeroksigen terlarut (DO) air SungaiCitarum hulu, Limnotek 16 (1):,33 – 45

Grady.CPL & HC. Lim. 1980. Biologi-cal wastewater treatment, theoryand applications. Marcel Dekkerinc, New York

Metcalf & Eddy, Inc. 1991. WastewaterEngineering. McGraw-Hill,Inc.,New York.

Nemerow, NL. 1978. Industrial waterpollution, orginis, characteris-tics and treatment, Addison-Wesley Publishing Company,Massa-chusetts

Oke,IA & AA. Akindahunsi. 2005. Astatistical evaluation of method ofdetermining BOD rate. J. Appl.Sci. Res. 1(2): 223 – 227

Page 135: jurnal biologi indonesia nhaaa

288

Eko Harsono & Nomosatryo

Salim.H. 2002, Beban PencemaranLimbah Domestik dan Pertanian diDAS Citarum. J. TeknologiLingkungan. 3(2): 107-111

Thomann. RV & JA. Mueller. 1987,Principles of Surface WaterQuality Modeling and Control.Harper and Row, Publishers, NewYork.

Tim PROKASIH. 2007.Laporan Kegia-tan Pengendalian Pencemaran

Memasukkan:November 2009Diterima:Maret 2010

Air Melalui Prokasih TahunAnggaran 2007. PemerintahPropinsi Jawa Barat

Wangsaatmadja.S. 2007. Evaluasikebijakan pengendalian pencema-ran Sungai Citarum hulu melaluipendekatan daerah aliran sungaiterpadu, J. Infrastruktur danLingkungan Binaan. 3(2): 68 –79.

Page 136: jurnal biologi indonesia nhaaa

289

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 289-292 (2010)

TULISAN PENDEK

Arti Kebun Raya Bogor Bagi KehidupanKumbang Sungut Panjang (Coleoptera, Cerambicidae)

Woro Anggaraitoningsih NoerdjitoBidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gdg. Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta – Bogor, Km. 46,

Cibinong

Kumbang sungut panjang (Coleop-tera, Cerambycidae) sebagian besaranggota jenisnya, terutama stadiumlarvanya hidup sebagai pengebor kayu,dan cenderung memilih kayu mati ataukering yang sedang melapuk. Beberapajenis diketahui hidup pada kayu yangditanam sebagai tanaman industri,sehingga dianggap sebagai hama,misalnya Xysttrocera festiva padatanaman jejunjing, Paraseriantesfalcataria.

Kebun Raya Bogor, yang sudahberumur hampir 200 tahun dapatdikatakan sebagai “hutan tanaman”sangat tua. Namun karena kawasan inimerupakan suatu kebun koleksi sehinggapenangannya sangat khusus dan tidakalami. Oleh karena itu dimungkinkanbahwa kumbang “Cerambycidae KebunRaya Bogor” yang kehidupannya selaluberhubungan dengan pohon tumbuhanberkayu adalah khas.

Perangkap cabang Artocarpusdiketahui paling efektif untuk monitoringkumbang Cerambycidae (Noerdjito, W.A. 2003. Noerdjito, W.A., MakiharaHiroshi and Sugiharto, 2003. How to findout indicated cerambycid species for

forest condition status in case of GunungHillman National, West Java and BukitBangkirai Forest, East Kalimantan.Proc. Int, Workshop on the LanscapeLevel Rehabilitation of degradedTropical Forests, 18-19 Feb.2003,FFPRI, Tsukuba, Japan. Page: 57-60. ),walaupun perangkap lain sepertiperangkap Malaise dan lampu jugasangat penting untuk melakukan koleksikeragaman jenis kumbang di suatuhabitat. Keadaan Kebun Raya Bogoryang merupakan salah satu tempatwisata yang biasanya di hari-hari liburbanyak pengunjung, perangkapArtocarpus merupakan perangkap yangpaling tepat untuk diterapkan. Satuminggu setelah perangkap cabangnangka (Artocarpus) dipasang, kumbangyang datang dikoleksi dengan metode“beating” yaitu dengan memukulperangkap agar kumbang yangbersembunyi di antara dedaunan jatuhdan ditampung dengan kain putih yangdibentangkan. Setelah sebulan, biasanyacabang sudah kering dan semua daunrontok perangkap cabang Artocarpus inidiganti dengan yang baru. Dari 54perangkap yang dipasang dapat

Page 137: jurnal biologi indonesia nhaaa

290

W A Noerdjito

dikelompokkan menjadi 18 t itikpengamatan untuk mempermudahmemahami dan menelusuri kembalikondisi vegetasi atau lingkungannya.Oleh karena itu jumlah perangkap yangdipasang sangat erat dengan keadaantumbuhan yang ada, yang tersebar dikawasan yang mempunyai tanamanberkayu (pohon dan semak). Hampirsemua perangkap yang dipasangdikunjungi kumbang Cerambycidea,hanya perangkap no. 44 dan 46, yangterletak di kawasan sebelah timur kolamistana, tidak didatangi kumbangCerambycidae (Tabel 2). Kemungkinanbesar karena letak perangkap yang terlaludekat dengan jalan setapak yang ramaipengunjung (Gambar 1)

Setiap area di kebun raya Bogorternyata menunjukkan habitat yang khasbagi kehidupan kumbang Cerambycidae(Tabel 1 dan Gambar 1) ditunjukkan

No Kawasan (No. Perangkap) No Kawasan (No. Perangkap) 1 Sentiong (1,2,3) 10 Jl. Ke Kdg. Badak

(24,25,26), sebelah kiri 2 Koleksi rotan, Depan Guese House

(4,5,6) 12 Jl. Ke Kdg. Badak

(30,31,32), dekat sungai 3 Depan G. House sebelah utara lapangan

rumput (7,8,9) sebelah kiri 11 Jl. Ke Kdg. Badak

(27, 28,29), sebelah kiri 4 Depan G. House sebelah utara lapangan

rumput (7,8,9) sebelah kanan 13 Mbah Jeprak dekat sungai(33,34,35)

5 Taman Meksiko (10,11,12) 14 Mbah Jeprak depan makam (36,37,38) 6 Seberang sungai (dekat Gdg. Sembilan)

(13,14,15) 15 Di atas Mbah Jeprak dekat istana

(39,40,41) 7 Depan Gdg. Sembilan (16,17,18) 16 Di pinggir sebelah utara kolam dekat

istana Bogor (42,43,44) 8 Hutan (19,20,21) 17 Sebelah timur kolam (45,46,47) 9 Hutan pinggir jalan depan PMI

(22,23,51) 18 Sebelah timur kolam dekat jalan

(48,49,50)

oleh perbedaan komposisi jenis yangdapat ditemukan. Di area 1, di sekitarSentiong, yang didominasi oleh tanamanbambu keragaman jenis dan jumlahindividu rendah dan yang ditemukanhanya jenis-jenis yang menunjukkanpopulasi tinggi yaitu Acaloleptarusticatorix, Sybra fervida danPteriolophia melanura. Hal yang samajuga ditemukan di area 4, di depanGuest. House sebelah utara lapanganrumput (7,8,9) bagian kanan, yangdidominasi oleh koleksi rotan hanyaditemukan 2 jenis kumbangCerambycidae yaitu Pelargoderusbipunctatus dan Sybra fervida.Sebaliknya area no 10 (24,25,26), Jl.Ke Kandang Badak sebelah kiri danarea no. 17 (45,46,47) yang didominasioleh tumbuhan berkayu, dapat dikoleksi9 jenis dengan komposisi jenis yang

Tabel. 1. Lokasi pengambilan sampel

Page 138: jurnal biologi indonesia nhaaa

291

Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan

Gambar 1. Letak pemasangan perangkap cabang “ Artocarpus” di Kebun Raya Bogor

sedikit berbeda. Dari komposisi tersebutdiatas dapat dikatakan bahwa kompo-sisi vegetasi di setiap area di Kebun Raya

Bogor sangat berbengaruh terhadapkomposisi jenis kumbang Cerambycidaepenghuninya.

3

29 33

9

87

37

58

2014

77

91

51

34

18 24

8

3036

3 5 5 2 7 8 4 39 5 8 8 6 6 3

9 44

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Jmlh. IndividuJmlh. Jenis

Gambar 2. Jumlah jenis dan individu kumbang sungut panjang yang terkoleksidengan perangkap cabang Artocarpus di Kebun Raya Bogor

Page 139: jurnal biologi indonesia nhaaa
Page 140: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)

PANDUAN PENULIS

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan:JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata),PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPANTERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA.

Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasukgambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Romanberukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalambentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan).Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol α,β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalambahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplartanpa nama dan lembaga penulis).

Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harusdiikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali.

Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisanpustaka acuan sebagai berikut :

Jurnal :Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate

production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354.Buku :Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge.Bab dalam Buku :Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood,

& N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington.248-277.

Abstrak :Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak

Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42.Prosiding :Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease

ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional IndustriEnzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158.

Skripsi, Tesis, Disertasi :Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di

Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.Informasi dari Internet :Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information

for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.

Page 141: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)

ERATA

Pengaruh Inokulasi Bakteri TerhadapPertumbuhan Awal Jarak Pagar (Jatropa curcas L)

Sri Widawati & Maman RahmansyahPusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Center, Jl Raya Jakarta Bogor km

46.Email: [email protected]

Gambar 3. Pengaruh perlakuan terhadap biomassa tanaman (kiri dan tengah)menghasilkan bobot yang berbeda nyata dari kontrolnya (P-E dan P–F), namunmasih sebanding dengan perlakuan P-D (kontrol dengan kompos plus), dan padasisi parameter lainnya menunjukkan korelasi yang signifikan antara bobot basahterhadap bobot kering (kanan)

 

0

25

50

75

100

125

150

c1 c2 c3 k1 k2 k3 t1 t2 t3A B C D E F G H I

Bob

ot ke

ring

tanam

an (g

)

P e r l a k u a n

 

25

75

125

175

225

275

c1 c2 c3 k1 k2 k3 t1 t2 t3A B C D E F G H I

Bob

ot b

asah

tan

aman

(g)

P e r l a k u a n

0

50

100

150

200

250

300

Bobo

t Bas

ah

0 30 60 90 120 150 180Bobot Kering

Y = 23.649 + 1.722 * X; R^2 = .904

y = 1,7 X + 23,7

r2 = 0,904

Page 142: jurnal biologi indonesia nhaaa

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi

237

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida

255

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi AerobikDwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin

265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah Penduduk dan Industri Eko Harsono & Sulung Nomosatryo

277

TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera, Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito

289