Upload
elsa-elfrida-marpaung
View
395
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebelum obat tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran, obat akan
banyak mengalami proses. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi
menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu, fase biofarmasetik atau farmasetik, fase
farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.
Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya
dalam kadar yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Tercapainya kadar obat
tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat
diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian
lain dari badan. Maka perlu diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat
dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) dalam
penentuan suatu dosis, rute dan bentuk obat yang diberikan agar diperoleh efek
terapi yang diinginkan dengan efek toksis yang minimal (Ansel, H., 1989).
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, et all, 1985).
1
Untuk itulah dilakukan percobaan mengenai pengaruh bentuk sediaan
terhadap laju disolusi dalam hal ini Kapsul Sulfadiazin, Tablet Sulfadiazin,
Sustained Release. Selain itu juga dilakukan percobaan mengenai pengaruh rute
pemberian obat terhadap bioavailabilitas, dalam hal ini secara oral dan intravena,
serta evaluasi sediaan di pasaran atau bioekivalensi menggunakan Furosemid
sebagai obat generik dan Lasix sebagai obat paten untuk dapat dibandingkan
nantinya.
1.2 TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi.
1.3 MANFAAT PERCOBAAN
Dengan melakukan percobaan ini diharapkan agar:
- Kita dapat mengetahui bagaimana pengaruh bentuk sediaan obat
terhadap laju disolusi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Sulfadiazin
BM : 250,27
Nama lazim : sulfadiazinum/sulfadiazine
Rumus kimia : C10H10N4O2S
Pamerian :serbuk putih sampai agak kuning, tidak berbau atau
hampir tidak berbau, stabil di udara tetapi terhadap
pemeparan tehadap cahaya perlahan-lahan menjadi
hitam
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; muadah larut dalam
asam
mineral encer , dalam larutan kalium hidroksida
dan dalam amonium hidroksida ,agak sukar larut
dalam etanol dan dalam aseton,sukar larut dalam
serum manusia pada suhu 37OC.
(Depkes RI.,1995)
3
2.1.2 Furosemida
BM : 330,74
Nama lazim : Furosemidum/furosemida
Rumus kimia : C12H11N2ClO5S
Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton,
dalam dimetilformamidadan dan dalam larutan alkali
hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam
etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam
kloroform.
Wadah penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (Depkes
RI, 1995).
2.2 Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah
pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi
molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya
terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam
bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang terjadi disini adalah proses
ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat
timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan
pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian
4
pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan segera
(Aiache, 1993).
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat
padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat
padat dan pelarut (Aiache, 1993).
Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat
berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik
sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke
dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan,
merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan
(Aiache, 1993).
Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan (rute
limiting step) sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat
berada dalam saluran cerna, ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai
pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat dari sediaan padat tersebut pertama-tama
harus terlarut, sesudah itu barulah obat yang berada dalam larutan melewati
membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat, obat
akan berdifusi secara pasif atau transport aktif, kelarutan obat merupakan
pembatas kecepatan absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya,
kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi, karena kecepatan disolusi
dari obat tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap
disolusi zat aktif. Apabila kecepatan absorpsi tidak dapat ditentukan oleh salah
5
satu dari dua tahap, maka tidak satupun dari kedua tahap merupakan pembatas
kecepatan (Aiache, 1993).
2.2.1 Kondisi Sink
Kondisi sink merupakan kondisi dimana obat pada kedua sisi lapisan epitel
dari dinding usus mencapai kesetimbangan dalam waktu singkat. Saluran
gastrointestinal bertindak sebagai natural sink; yaitu obat diserap dengan segera
pada saat melarut. Pada kondisi in vivo tidak ada konsentrasi tambahan sehingga
efek perlambatan dari gradient konsentrasi pada laju disolusi tidak terjadi
(Syukri, 2002).
Untuk mensimulasi kondisi sink in vivo, pengujian disolusi in vitro
biasanya dilakukan dengan menggunakan media disolusi yang besar atau
mekanisme di mana media disolusi diberikan kembali secara konstan dengan
pelarut baru pada kecepatan tertentu sehingga konsentrasi dari larutan tidak
pernah mencapai lebih dari 10-15 % dari solubilitas maksimalnya. Jika parameter
semacam ini dipertahankan, pengujian disolusi dilakukan dalam kondisi sink,
yaitu kondisi tanpa pengaruh gradien konsentrasi (Syukri, 2002).
Uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam
suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahn yang
terkandung dalam produk obat. Pemilihan suatu metode tertentu untuk suatu obat
biasanya ditentukan dalam monografi untuk suatu produk tertentu. United States
Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan
uji pelarutan yaitu:
6
a. Metode Keranjang (Basket )
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh
tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat
yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang
bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi
rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar
kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat
operasi telah dipenuhi (Syukri, 2002).
b. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung
diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang
terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat
yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat
ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode
basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam
USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa
produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat
mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan
untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Syukri, 2002).
c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi
7
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit
untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram
dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel
tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan
dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran
membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Syukri, 2002).
2.2.2 Pengaruh Bentuk Sediaan terhadap Laju Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan
biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:
A. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat.
Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi
kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran
partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan
berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti
terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Shargel, 1985).
B. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu
dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung
pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan
pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju
disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul,
tablet dan tablet salut. Secara toritis disolusi bermacam sediaan padat tidak
8
selalu urutan dan masalahnya sama, karena di antara masing-masing bentuk
sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori
maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul,
tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan
bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin
dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju
disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari
bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam
formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi.
Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan
granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan
dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama (Syukri, 2002).
Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di
antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan
dan porositas.
C. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang
meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metoda uji
yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan
tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak
dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif.
Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium
disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada
percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat
9
di sepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju
disolusi obat. Metoda penentuan laju disolusi yang berbeda dapat
menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode
uji yang digunakan (Syukri, 2002).
Untuk obat yang tahan terhadap getah-lambung, kecepatan melarut
dari berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sebagai berikut: larutan
– suspensi – serbuk – kapsul – tablet - tablet salut film- dragee (tablet salut
gula) – tablet e.c. – tablet kerja panjang (retaid, sustained release, ZOC). Ini
berarti bahwa tablet, walaupun murah dan praktis, memiliki aktivitas lebih
rendah sebagai bentuk sediaan dibandingkan larutan, serbuk atau kapsul.
Inilah sebabnya pula , mengapa tablet sebaiknya dilarutkan dalam air atau
bila mungkin dikunyah sampai halus sebelum ditelan (Tjay dan Kirana,
2002).
Setelah ditelan, tablet akan pecah (desintegrasi) di lambung dan
menjadi granul kecil, yang terdiri dari zat aktif tercampur zat-zat pembantu
(gom, gelatin, dan sebagainya ). Setelah granul-granul ini pecah, zat aktif
dibebaskan. Bila daya-larutnya cukup besar, zat aktif tersebut akan melarut di
dalam cairan lambung/usus, tergantung di mana obat pada saat itu berada. Hal
ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung (gastric emptying time),
yang pada umumnya berkisar antara 2 dan 3 jam setelah makan. Setelah
melarut, obat tersedia dan proses resorpsi oleh usus dapat dimulai; peristiwa
inilah yang disebut pharmaceutical availability, (kecepatan larut dan jumlah
obat yang in vitro dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk
proses absorpsi). Sehingga jelas bahwa obat yang diberikan sebagai larutan
10
akan mencapai waktu larut yang jauh lebih singkat, karena tidak mengalami
fase desintegrasi dari fase tablet, granul serta melarut (Tjay dan Kirana,
2002).
Bila suatu tablet ataui sediaan obat lainnya dimasukkan ke dalam
saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut mulai masuk ke dalam
larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer,
matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-
granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus.
Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi bisa berlangsung secara serentak
dengan melepasnya suatu obat dari bentuk di mana obat tersebut diberikan.
Tahapan-tahapan ini dipisahkan agar lebih jelas seperti dapat dilihat pada
gambar (Shargel, 1985).
2.3 Spektrofotometri UV-Visible
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan
spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna
yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut
harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Berikut adalah
tahapan-tahapan yang harus diperhatikan :
1. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis
Hal ini diperlukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada
daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa
lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Pereakssi yang digunakan harus
memenuhi persyaratan yaitu :
11
- reaksinya selektif dan sensitif
- reaksinya cepat, kuantitatif, dan reprodusibel
- hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama
2. Waktu operasional (operating time)
Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan
warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu
operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran
dengan absorbansi larutan. Pada saat awal terjadi reaksi, absorbansi senyawa
berwarna ini akan meningkat sampai wakatu tertentu hingga diperoleh absorbansi
yang stabil. Semakin lama waktu pengukuran, maka ada kemungkinan senyawa
yang berwarna tersebut menjadi rusak atau terurai sehingga intensitas warnanya
turun akibatnya absorbansinya juga turun.
3. Pemilihan panjang gelombang
Panjang gelombang ynag digunakan untuk analisis kuantitatif adalah
panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih
panjnag gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara
absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi
tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang
maksimal, yaitu :
- Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena
pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk
setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
- Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar
dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.
12
- Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh
pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan
panjang gelombang maksimal.
4. Pembuatan kurva baku
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai
konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi
diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi. Bila hukum Lambert-beer terpenuhi maka kurva baku berupa
garis lurus. Penyimpangan dari garis lurus biasanya disebabkan oleh kekuatan ion
yang tinggi, perubahan suhu dan reaksi ikutan yang terjadi.
5. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan
Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2
sampai 0,8 atau 15 % sampai 70 % jika dibaca sebagai transmitans. Anjuran ini
berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5
% (kesalahan fotometrik) (Gandjar, 2007).
13
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 ALAT
- Dissolution Tester
- Spektrofotometer (Shimadzu)
- Gelas ukur 1000 ml
- Labu tentukur 25 ml
- Beaker glass 1000 ml
- Maat pipet 5 ml
- Bola karet
- Spuit 15 ml
- Vial
- Pipet tetes
- Tissue
3.2 BAHAN
- Tablet Sulfadiazin
- Kapsul Sulfadiazin
- Tablet sulfadizin SR
- Tablet Furosemida Generik
- Farsix
- Lasix
- Dapar Phospat pH 7,4
- Cairan lambung buatan pH 1,2
- Aquadest
3.3 PROSEDUR
3.3.1 Uji Disolusi Sulfadiazin
Dipanaskan 900 ml medium cairan lambung pH 1,2 sampai suhu 37
0,5oC. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung Dissolution Tester. Diatur
14
putaran 50 rpm. Sediaan sulfadiazin dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu
dihidupkan alat. Pada interval waktu dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan
dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Diencerkan dengan medium disolusi
sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi
dalam jumlah yang sama. Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer
UV pada panjang gelombang maksimum 241,5 nm.
Interval Pengambilan: Kapsul: 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit
Tablet: 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit
Sustained release: 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75 menit
3.3.2 Uji Disolusi Furosemid
Dipanaskan 900 ml medium cairan lambung pH 1,2 sampai suhu 37
0,5oC. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung Dissolution Tester. Diatur
putaran 50 rpm. Sedian furosemid dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu
dihidupkan alat. Pada interval waktu dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan
dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml. Diencerkan dengan medium disolusi
sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi
dalam jumlah yang sama. Larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer
UV pada panjang gelombang maksimum 276,5 nm.
Interval Pengambilan: Lasix : 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit
Farsix : 5, 10, 20, 30, 45, 60, 75 menit
Tablet Generik : 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
Berdasarkan percobaan diperoleh hasil:
Tabel % Kumulatif Sulfadiazin dalam medium cairan lambung buatan pH 1,2
No Waktu Tablet Sulfadiazin Kapsul Sulfadiazin Sulfadiazin SR
1 5 5,106 53,8056 5, 24752 10 7,915 84,19692 6,49523 20 18,79 91,49402 34,11394 30 23,36 103,914 58,97115 45 38,148 100,677 71,28716 60 40,197 102,567 71,88927 75 - - 73,9428
Tabel % Kumulatif Furosemid dalam medium dapar fosfat pH 7,4
No Waktu Furosemid Lasix Farsix1 5 31,07 86,51 41,3432 10 61,24 94,27 58,353 20 99,30 105,8 71,884 30 106,12 102,6 87,785 45 110,58 106,13 101,896 60 110,65 109,45 116,817 75 - - 121,13
4.2 PEMBAHASAN
Dari data percobaan diperoleh bahwa kapsul memiliki persen kumulatif
lebih besar dibandingkan tablet dan sustained release. Hal ini menunjukkan
bahwa kapsul memiliki % kumulatif yang tinggi dibandingkan bentuk sediaan
lainnya. Kenyataan ini dapat terlihat pada menit ke-5, kapsul melepaskan
sulfadiazin sebesar 53,8056 %, sedangkan tablet baru sekitar 5,106% dan sediaan
sustained release 5,2475 %. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan
formulasi dari masing-masing sediaan. Hal ini sangat sesuai karena kapsul
mempunyai % kumulatif yang lebih besar dibandingkan tablet dan sustained
16
release sehingga laju disolusi kapsul lebih cepat dibandingkan sediaan lainnya.
Hal ini mungkin disebabkan karena sediaan kapsul tersusun dari cangkang gelatin
yang mudah larut dalam medium disolusi, sehingga bahan obat yang terkandung
di dalamnya dapat terlepas lebih cepat dari pada sediaan tablet dan sediaan lepas
lambat (sustained release). Sedangkan pada formulasi tablet terdiri dari bahan-
bahan tambahan seperti bahan pengikat dan bahan pelicin yang dapat
memperlambat laju disolusi dari tablet tersebut. Selain itu tablet juga
diformulasikan dengan cara kempa pada tekanan tertentu. Sedangkan sediaan
lepas lambat terdiri dari matriks polimer yang sudah diatur formulasinya untuk
melepaskan bahan obat secara perlahan-lahan.
Secara umum laju disolusi akan menurun sesuai urutan sebagai berikut:
kapsul, tablet dan tablet salut. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan
pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi akan
menghambat laju disolusi. Cangkang kapsul yang terbuat dari gelatin merupakan
suatu senyawa yang mudah larut dalam air sehingga kapsul dapat mengeluarkan
bahan obat yang diperlukan oleh tubuh (Syukri, Y, 2002).
Suatu bahan tambahan dalam formulasi dapat berinteraksi secara langsung
dengan obat membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air
(Shargel, L., 1985).
Pada sustained release dibuat dengan mencampurkan bahan obat ke
dalam pembawa (matriks) yang berbeda viskositasnya dan dirancang supaya
pemakaian unit dosis tunggal melepaskan zat aktif obat secara perlahan-lahan
sehingga laju disolusi dan jumlah obat yang terlarut paling kecil dibandingkan
kapsul dan tablet (Ansel, 1989).
17
Dari grafik disolusi sediaan Lasix , Farsix dan sediaan Furosemid diatas
menunjukkan bahwa sediaan Furosemid memiliki persen kumulatif yang lebih
kecil daripada sediaan Lasix dan Farsix. Hal ini ditunjukkan pada menit ke-5
untuk furosemid % kumulatifnya 31,07% , Farsix 41,343% dan Lasix 86,51%.
Dengan kata lain sediaan Lasix mempunyai laju disolusi yang lebih besar
dibandingkan dengan Farsix dan Furosemid. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
bahan tambahan yang digunakan dalam proses formulasi dan pengolahan sediaan
Lasix, Farsix dan Furosemid.
Suatu bahan tambahan dalam formulasi dapat berinteraksi secara langsung
dengan obat membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air.
Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan penambah menetapkan laju
penglepasan obat dari bentuk sediaan dan transpor berikutnya melewati membran-
membran biologis. Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa
metode fabrikasi dan formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavailabilitas obat
tersebut (Shargel, L., 1985).
4.3 PERHITUNGAN
Terlampir
18
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
- Dari uji disolusi yang dilakukan pada sediaan Sulfadiazin, bentuk sediaan
kapsul memiliki laju disolusi yang lebih besar dibandingkan dua bentuk
sediaan lainnya.
- Dari uji disolusi yang dilakukan pada sediaan Furosemid, bentuk sediaan
Lasix memiliki laju disolusi yang lebih besar dibandingkan dua bentuk
sediaan lainnya.
5.2 SARAN
- Untuk percobaan selanjutnya, sebaiknya digunakan bentuk formulasi
tablet yang lain seperti tablet bersalut.
- Untuk percobaan selanjutnya, sebaiknya digunakan jenis obat yang lain
misalnya Asam Mefenamat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J.M., and Guyot Hermann, A. M. (1993). Farmasetik 2: Biofarmasi. Edisi kedua. Penerjemah: Dr. Widji Soeratri. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Hal. 13, 108-110, 112, 115-119, 121.
Ansel, H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal.110-111.
Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia Ed. IV. Jakarta: Ditjen POM. Hal.796.
Gandjar, I.G dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 226-261.
Shargel,L. (1985). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 170-186.
Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: Penerbit UI Press. Hal. 31-34.
Tjay, T.H., dan R., Kirana, (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: Elex Media Komputindo. Halaman 12, 14, 17, 23.
20
LAMPIRAN
Lampiran 1. Flowsheet
Sulfadiazin
← Dipanaskan sampai suhu 37o + 0,5oC
← Dimasukkan ke dalam tabung disolusi
← Dimasukkan sediaan
← Dihidupkan dengan kecepatan putaran 50
rpm bersamaan dengan stop watch
← Dipipet sebanyak 5 ml pada interval waktu
5, 10, 20, 30, 45, 60 (untuk kapsul dan
tablet) 75 menit (untuk SR)
← Dimasukkan kedalam labu lalu tentukur 25
ml dan diadkan dengan cairan lambung
buatan sampai garis tanda
← Diukur dengan spektrofotometer uv pada
panjang gelombang 241,5 nm (untuk
sulfadiazin)
← Setiap pengambilan ditambahkan media
disolusi dengan jumlah yang sama
21
900 ml medium lambung buatan
Hasil
Furosemid
← Dipanaskan sampai suhu 37o + 0,5oC
← Dimasukkan ke dalam tabung disolusi
← Dimasukkan sediaan
← Dihidupkan dengan kecepatan putaran 50
rpm bersamaan dengan stop watch
← Dipipet sebanyak 5 ml pada interval waktu
5, 10, 20, 30, 45, 60 (untuk furosemid dan
lasix) 75 menit (untuk Farsix)
← Dimasukkan kedalam labu lalu tentukur 25
ml dan diadkan dengan cairan lambung
buatan sampai garis tanda
← Diukur dengan spektrofotometer uv pada
panjang gelombang 276,5 nm (untuk
furosemid)
← Setiap pengambilan ditambahkan media
disolusi dengan jumlah yang sama
22
900 ml medium lambung buatan
Hasil
Lampiran 2. Data kalibrasi sulfadiazine dan kalibrasi furosemid
Perhitungan Pers.Regresi Sulfadiazin
N0 X Y XY X2 Y2
1 0,000 0 0 0 0
2 5,00 0,268 25 0,0718 1,34
3 6,00 0,322 36 0,103684 1,932
4 7,00 0,401 49 0,1608 2,807
5 8,00 0,460 64 0,2116 3,68
6 9,00 0,521 81 0,2714 4,689
7 10,00 0,611 100 0,3733 6,11
∑X= 45
X=5,625
∑Y =2,583
ȳ = 0,3228
∑X2=355 ∑Y2=1,1925 ∑XY=20,558
a = ∑ XY−(∑ X . ∑Y ) ∕ n
∑ X2 – (∑ X )2/n
= 20,558−( 45 )(2,583)/7
355−(45)2/7
= 0,05917
b = y-ax
=0,3228-(0,0590).5,625 =-0,01
R¿∑ xy− (∑ x ) (∑ y )
n
√[∑ x2− (∑ x )2
n ] [∑ y2− (∑ y )2
n ]
23
¿20,558−(45 )(2,583)/7
√[355− (45 )2
7 ][1,1925− (2,583 )2
7] =0,9975
Y=ax+b
Persamaan regresi dari sulfadiazin adalah Y= 0,059x-0,01
Dalam suasana alkali
λ = 240nm (867a), (USP)
- Konsentrasi terendah: A=0,2
A=abc
C=0,2/867 = 2,3068x10-4 mcg/ml
- Konsentrasi tengah: A=0,434
C= 0,434/867 = 0,5 mcg/ml
- Konsentrasi tertinggi: A=0,6
C= 0,6/867 = 6,92x10-4 mcg/ml
Perhitungan Pers.Regresi Furosemid
NO X Y XY X2 Y2
1 0,000 0 0 0 0
2 4,00 0,298 1,192 16 0,088804
3 5,00 0,343 1,715 25 0,117649
4 6,00 0,411 2,466 36 0,168921
5 7,00 0,490 3,43 49 0,2401
6 8,00 0,563 4,504 64 0,316969
7 9,00 0,620 5,58 81 0,3844
8 10,00 0,704 7,04 100 0,495616
24
∑X= 49 ∑Y =3,429 ∑XY=25,927 ∑X2=371 ∑Y2=1,812459
X = 6,125 Y = 0,428625
a = ∑ XY−(∑ X . ∑Y ) ∕ n
∑ X2 – (∑ X )2/n
= 25,927−(49 ×3,429)/8
371−(49)2/8
= 0,069479
b = y-ax
=0,428625-0,069479(6 125)
=0,003121
r¿
∑ xy−(∑ x )(∑ y)/n
√[∑ x2− (∑ x )2
n ] [∑ y2− (∑ y )2
n]
¿25,927−(49 )(3,429)/8
√[371− (49 )2
8 ][1,8115− (3,4297 )2
8]
= 0,9993
Y=ax+b
Persamaan regresi dari furosemid adalah Y=0,06947x+0,0031
Dalam suasana asam:
λ=274nm (A11=600a)
- Konsentrasi terendah: A=0,2
25
A=abc
C=0,2/600 = 3,3x10-4 mcg/ml
- Konsentrasi tengah: A=0,434
C=0,434/600 = 7,23x10-4 mcg/ml
- Konsentrasi tertinggi: A=0,6
C=0,6/600 = 0,001mcg/ml
Lampiran 3. Perhitungan disolusi
1. Konsentrasi
Persamaan regresi :
Furosemid
Y = 0.0695 X + 0,0029
Sulfadiazin
Y = 0.0602 X - 0,0180
X = konsentrasi
Y = absorbansi
Contoh :
Furosemid
Pada t = 5 menit, Y = 0,1952
Y = 0.0695 X + 0,0029
0,1952 = 0,0695 X + 0,0029
X = 2,7617
2. Faktor Pengenceran
Fp = (pengenceran dalam labu 25 ml) / jumlah pemipetan aliquot
26
Fp = 25 / 5
Fp = 5
3. Konsentrasi dalam 1 ml
Contoh : pada t = 5 menit
C = 2,7617 mcg/ml x 5 = 13,8085 mcg/ml
4. Konsentrasi dalam 900 ml
C dalam 900 ml = C dalam 1 ml x 900
Contoh : t = 5 menit
C dalam 900 ml = 13,8085 mcg/ml x 900 = 12427,65 mcg/ml
5. Faktor Penambahan
Faktor penambahan pada t n = C dalam 1 ml pada t ke (n – 1) + C dalam
1ml pada t ke (n-2)
Contoh : pada t = 10 menit
Faktro penambahan = 0 + 69,0425 = 69,0425
6. Furosemid yang Terlepas
Furosemid yang terlepas = C dalam 900 ml + faktor penambahan
Contoh : pada t = 5 menit
Furosemid yang terlepas = 12427,65 mcg/ml + 0 = 12427,65
7. % Kumulatif
27
% kumulatif=[ ]obatyangdilepas /1000 mgdosis /mg
x100 %
=12427 ,65 /100040
x 100 %=31. 07
Lampiran 3. Tabel %Kumulatif
Tabel 1. Disolusi Tablet Sulfadiazin
No.
Waktu (menit
)A
C (mcg/ml
)
FP
C x FP dalam 1
ml (mcg/ml)
C x FP dalam 900
ml (mcg/ml)
Faktor penamba
han
Sulfadiazin yang
terlepas
% Kumulat
if
1 5 0.0505 1.1347 5 5.6735 5106.5 0 5106.15 5.1062 10 0.0880 1.7577 5 8.7885 7909.65 5.6735 7915.3235 7.9153 20 0.2334 4.1743 5 20.8715 18784.35 14.462 18798.812 18.794 30 0.2942 5.1848 5 25.924 23331.6 35.3365 23366.9369 13.365 45 0.4912 8.4638 5 42.319 38087.1 61.2605 38148.3605 38.1486 60 0.5664 9.7097 5 48.5485 40993.65 103.5795 40197.2295 40.1977 75 - - 5 - - - - -
Tablet 2. Disolusi Kapsul Sulfadiazin
No Waktu (menit) A
C (mcg/ml
)FP
C x FP dalam 1 ml
(mcg/ml)
C x FP dalam 900 ml
(mcg/ml)
Faktor penamb
ahan
Sulfadiazin yang
terlepas
% Kumulati
f
1 5 0.3419 5.9784 10 59.784 53805.6 0 53805.6 53.80562 10 0.5432 9.322 10 93.22 83898 298.92 84196.92 84.196923 20 0.588 10.081 10 100.81 90729 765.02 91494.02 91.494024 30 0.6686 11.405 10 114.05 102645 1269.07 103914.07 103.9145 45 0.6431 10.982 10 109.82 98878 1839.32 100677.32 100.6776 60 0.6521 11.131 10 11.31 100179 2388.42 102567.42 102.5677 75 - - 10 - - - -
28
Tabel 3. Disolusi SR Sulfadiazin
NoWaktu (menit
)A
C (mcg/ml
)
FP
C x FP dalam 1
ml (mcg/ml
)
C x FP dalam 900
ml (mcg/ml)
Faktor penambaha
n
Sulfadiazin yang
terlepas
% Kumulat
if
1 5 0.0522 1.1661 5 5.8305 5247.45 0 5247.45 5.24752 10 0.0658 1.4369 5 7.1845 6466.05 29.1525 6495.2025 6.49523 20 0.4375 7.5664 5 37.832 34048.8 65.075 34113.875 34.11394 30 0.7675 13.0482 5 65.241 58716.9 254.235 58971.135 58.97115 45 0.9279 15.7126 5 78.563 70706.7 580.44 71287.14 71.28716 60 0.9307 15.7591 5 78.7955 70915.95 973.255 71889.205 71.88927 75 0.9529 16.1279 5 80.6395 72575.55 1367.2325 73942.7829 73.9428
Tabel 4. Disolusi Tablet Furosemida
NoWaktu (menit
)A
C (mcg/ml
)
FP
C x FP dalam 1
ml (mcg/ml
)
C x FP dalam 900
ml (mcg/ml)
Faktor penamb
ahan
Sulfadiazin yang
terlepas
% Kumula
tif
1 5 0.1952 2.7617 5 13.8085 12427.62 0 12427.65 31.072 10 0.3804 5.4286 5 27.143 24428.7 69.0425 24497.74 61.243 20 0.6132 8.7810 5 43.905 39514.5 204.76 39719.26 99.304 30 0.6519 9.3383 5 46.6915 42022.35 424.285 42446.635 106.12
5 45 0.6758 9.6829 5 48.4145 43573.05 657.7425 44230.79 110.58
6 60 0.6725 9.6354 5 48.177 43359.3 899.815 44259.115 110.657 75 - - 5 - - - - -
29
Tabel 5. Disolusi Tablet Lasix
NoWaktu (menit
)A
C (mcg/ml
)
FP
C x FP dalam 1
ml (mcg/ml)
C x FP dalam 900
ml (mcg/ml)
Faktor penamba
han
Sulfadiazin yang
terlepas
% Kumula
tif
1 5 0.5374 7.689 5 38.448 34604.05 0 34604.06 86.512 10 0.5825 8.339 5 41.6945 37525.086 192.24 37717.3 94.273 20 0.6504 9.316 5 46.580 41922.82 400.7125 42323.533 105.84 30 0.6276 8.988 5 44.94 40446.11 633.613 41079.723 102.65 45 0.6453 9.2434 5 46.213 41592.50 858.313 42450.813 106.136 60 0.6613 9.273 5 47.365 42688.8 1089.378 43778.178 109.457 75 - - - - - - - -
Tabel 6. Disolusi Tablet Farsix
NoWaktu (menit
)A
C (mcg/ml
)
FP
C x FP dalam 1
ml (mcg/m
l)
C x FP dalam 900 ml
(mcg/ml)
Faktor penambaha
n
Sulfadiazin yang terlepas
% Kumula
tif
1 5 0.2456 3.863 5 18.415 16573.5 0 16573.5 4103432 10 0.3428 5.158 5 25.79 23211 92.075 2339.95 58.353 20 0.4207 6.3399 5 31.6995 28529.55 211.025 28750.575 71.884 30 0.5115 7.718 5 38.59 34731 379.5225 35110.5225 87.785 45 0.5914 8.930 5 44.65 40185 572.4425 40757.4425 101.896 60 0.6726 10.206 5 51.03 45927 795.6925 46722.6925 116.817 75 0.6971 10.534 5 52.67 47403 1050.8425 48453.8425 121.13
30