Upload
sarry-handayani
View
116
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
Atrial Fibrilasi Subklinis dan Risiko Stroke
Jeff S. Healey, M.D., Stuart J. Connolly, M.D., Michael R. Gold, M.D., Carsten W. Israel, M.D., Isabelle C.
Van Gelder, M.D., Alessandro Capucci, M.D., C.P. Lau, M.D., Eric Fain, M.D., Sean Yang, M.Sc.,
Christophe Bailleul, M.D., Carlos A. Morillo, M.D., Mark Carlson, M.D., Ellison Themeles, M.Sc.,
Elizabeth S. Kaufman, M.D.,and Stefan H. Hohnloser, M.D., for the ASSERT Investigators*
ABSTRAK
Latar Belakang
Seperempat kejadian stroke tidak diketahui penyebabnya, atrial fibrilasi
subklinis mungkin menjadi penyebab yang umum ditemukan. Alat pacu jantung
dapat mendeteksi episode subklinis dari peningkatan denyut atrium, dimana hal
tersebut berhubungan dengan gambaran atrial fibrilasi pada electrokardiogram.
Kami menilai apakah episode subklinis dari peningkatan denyut atrium yang
terdeteksi dari alat implant berhubungan dengan meningkatnya risiko stroke
iskemik pada pasien yang tidak memiliki riwayat atrial fibrilasi.
Metode
Kami melibatkan 2580 pasien dengan karakteristik usia 65 tahun atau lebih,
menderita hipertensi, tidak memiliki riwayat atrial fibrilasi, dan menggunakan alat
pacu jantung atau defibrilator. Kami melakukan pengawasan selama 3 bulan untuk
mendeteksi adanya atrial takiaritmia subklinis (denyutan atrium > 190 kali per
menit selama lebih dari 6 menit) dan memantau mereka dalam jangka waktu 2,5
tahun untuk mengetahui adanya stroke iskemik atau emboli sistemik. Pasien dengan
alat pacu jantung dipilih secara acak, beberapa dari mereka akan mendapatkan
continous atrial overdrive pacing .
Hasil
Setelah 3 bulan, terdapat 261 pasien (10,1%) mengalami atrial takiaritmia subklinis
yang terdeteksi pada alat implant. Atrial takiaritmia subklinis berhubungan dengan
peningkatan risiko atrial fibrilasi (hazard ratio 5,56; confidence interval (CI) 3,78-
8,17; p<0,001). Dari 51 pasien yang mengalami stroke iskemik atau emboli
sistemik, dalam periode 3 bulan 11 . diantaranya mengalami atrial takiaritmia
subklinis namun tidak ada yang mengalami gejala atrial fibrilasi. Risiko terjadinya
stroke iskemik atau emboli sistemik yang berhubungan dengan dengan atrial
takiaritmia subklinis yaitu sebesar 13%. Atrial takiaritmia subklinis diprediksi
sebagai penyebab utama munculnya stroke iskemik atau emboli sistemik setelah
dilakukan penilaian pada faktor-faktor risiko stroke lain (hazard ratio 2,50;
confidence interval (CI) 1,28-4,89; p=0,008). Pemasangan continous atrial
overdrive pacing tidak dapat mencegah atrial fibrilasi.
Kesimpulan
Terjadinya atrial takiaritmia subklinis tanpa disertai atrial fibrilasi sering terjadi
pada pasien dengan alat pacu jantung dan hal tersebut berhubungan dengan
peningkatan risiko stroke iskemik atau emboli sistemik.
Atrial fibrilasi mungkin asimptomatik dan tidak memberikan gejala klinis
yang nyata. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa banyak pasien dengan
gambaran atrial fibrilasi pada pemeriksaan EKG sebelumnya tidak pernah
didiagnosis menderita atrial fibrilasi. Sekitar 15% penderita stroke terbukti
mengalami atrial fibrilasi dan 50-60% mengalami cerebrovaskular disease. Namun
sekitar 25% pasien yang mengalami stroke iskemik tidak memiliki faktor risiko
apapun. Atrial fibrilasi subklinis menjadi kecurigaan terbesar penyebab stroke pada
pasien-pasien tersebut. Namun prevalensi dan prognosis dari atrial fibrilasi
subklinis ini sulit untuk dinilai.
Implantasi lead atrium dalam jangka panjang disertai analisis software dari
alat pacu jantung yang modern dapat mendeteksi secara kontinyu peningkatan
kecepatan denyut atrium dalam periode yang panjang. Sebuah studi menunjukkan
bahwa dengan bantuan pemrograman alat pacu jantung, dapat mendeteksi adanya
peningkatan kecepatan denyut atrium yang berhubungan erat dengan gambaran
atrial fibrilasi pada EKG. Lebih dari 400.000 alat pacu jantung dan Implantable
Cardioverter Defibrillator (ICD) terpasang setiap tahunnya di Amerika Utara.
Episode subklinis dari peningkatan kecepatan denyut atrium terdeteksi pada pasien-
pasien tersebut, dan sering tidak disertai dengan tanda klinis adanya atrial fibrilasi.
Angka kejadian stroke pada pengguna alat pacu jantung sangat tinggi, sekitar 5,8 %
pasien menglami stroke setelah 4 tahun pemasangan implant. Namun, hubungan
antara alat pendeteksi atrial takiaritmia dengan stroke masih belum dimengerti.
The Asymptomatic Atrial Fibrillation and Stroke Evaluation in Alat pacu
jantung Patients and the Atrial Fibrillation Reduction Atrial Pacing Trial
(ASSERT) didirikan dengan dua tujuan. Pertama, untuk mengevaluasi apakah
episode subklinis dari peningkatan denyut atrium yang terdeteksi dengan alat
implant berhubungan dengan peningkatan risiko stroke iskemik pada pasien yang
tidak menujukkan tanda atrial fibrilasi. Kedua, untuk meneliti dengan metode
randomized trial manfaat continous atrial overdrive pacing dalam mencegah gejala
atrial fibrilasi.
METODE
Gambaran Penelitian
Gambaran mengenai ASSERT telah dijelaskan sebelumnya. Para komite
utama (dapat dilihat pada lampiran tambahan) telah mendesain penelitian ini. Data
dikumpulkan dan dianalisa oleh Population Health Research Institute (McMaster
University, Hamilton, ON,Canada). Pihak sponsor juga termasuk dalam anggota
komite dan dapat membantu mendesain penelitian termasuk pengumpulan data.
Namun mereka tidak memiliki hak untuk menganalisa, menyiapkan naskah,
ataupun publikasi naskah. Dua penulis utama bertanggung jawab atas kelengkapan,
akurasi data, analisa, dan tingkat kepercayaan dari laporan.
Populasi Pasien
Pasien akan dilibatkan dalam penelitian jika usia mereka lebih dari 65
tahun, memiliki riwayat hipertensi dan sedang menjalani terapi, serta melakukan
pemasangan alat pacu jantung menggunakan St. Jude Medical dual-chamber alat
pacu jantung (untuk gangguan sinus-node atau atrioventricular-node) atau ICD
dalam kurun waktu 8 minggu terakhir.
Pasien akan dieksklusi bila memiliki riwayat atrial fibrilasi atau atrial flutter
selama lebih dari 5 menit atau jika pasien mengonsumsi antagonis vitamin K
dengan alasan apapun.
Prosedur Penelitian
Setelah melalui inform consent, pasien akan mendapatkan alat pacu jantung
atau ICD sesuai dengan protokol yang telah ditetapkan. Alat implant tersebut telah
diatur sedemikian rupa sehingga atrial takikadi akan terdeteksi jika denyut jantung
mencapai 190 kali permenit, elektrogram penyimpan data juga telah diaktifkan,
sedangkan algoritma penekanan atrial fibrilasi di non aktifkan.
Tiga bulan kemudian dilakukan evaluasi kembali di klinik. Alat implant
diperiksa untuk mengetahui dan mencari pasien-pasien yang mengalami atrial
takiaritmia subklinis sejak hari pertama pelaksanaan penelitian. Atrial takiaritmia
subklinis diartikan sebagai suatu episode peningkatan denyut atrium (190 kali atau
lebih per menit selama sedikitnya 6 menit) yang terdeteksi dengan alat pacu jantung
atau defibrilator. Saat evaluasi, pasien dengan alat pacu jantung (tidak termasuk
pengguna ICD) akan di pilih secara acak untuk dilakukan pemasangan continous
atrial overdrive pacing dengan program “on” dan “off”. Ketika alat ini “on” alat
pemacu atrium mulai diaktifkan dengan pengaturan elektronik untuk memacu
atrium kanan sehingga frekuensinya lebih tinggi dibandingkan sinus rhythm
intrinsik pasien. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan menghindari inisiasi dari
atrial fibrilasi. Setelah itu, pasien di evaluasi kembali setiap 6 bulan sekali hingga
akhir penelitian.
Hasil Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi tingkat prognosis dari atrial fibrilasi subklinis,
dengan outcome akhir yaitu stroke iskemik atau emboli sistemik. Outcome
sekunder yaitu kematian vaskular, miokard infark, stroke karena penyebab lain, dan
atrial takiaritmia yang terekam dengan EKG. Uraian hasil secara perseorangan di
sertakan di lampiran tambahan. Semua electrogram yang menunjukkan adanya
atrial takiaritmia subklinis atau yang secara nyata menunjukkan gejala klinis akan
dievaluasi langsung oleh komite utama.
Tujuan utama penggunaan sistem randomized trial dalam continous atrial overdrive
pacing adalah mencari adanya simptomatik atau asimptomatik atrial takiaritmia
selama lebih dari 6 menit yang terekam dalam electrocardiogram. Hasil tersebut
hanya akan dibahas secara singkat dalam laporan ini karena laporan ini fokus untuk
menemukan nilai prognosis dari atrial fibrilasi subklinis.
Analisis Statistik
Pada pembahasan sebelumnya, kami memperkirakan bahwa perkiraan
tahunan dari pasien stroke atau emboli sistemik yang berusia 65 tahun atau lebih
dengan riwayat hipertensi dan menggunakan alat pacu jantung yaitu sebesar 1%.
Dengan demikian kami memperkirakan jika kami melibatkan 2500 pasien,
penelitian ini memiliki peluang 90% untuk meningkatkan angka risiko stroke
iskemik atau emboli sistemik per tahun dari 1% menjadi 2% pada pasien-pasien
yang mengalami peningkatan kecepatan denyutan atrium.
Dengan metode penelitian secara random, dari 2500 pasien yang terlibat
dalam penelitian ini, kemungkinan 90% akan terdeteksi penurunan sebesar 25 %
dari kejadian atrial takiaritmia dengan adanya continous atrial overdrive pacing .
Dimana control rate pertahunnya sebesar 8 %. Karakteristik dasar dari pasien
dengan atau tanpa atrial takiaritmia subklinis sebelum evaluasi dalam waktu 3
bulan dibandingkan dengan menggunakan uji t independen atau tes Fisher exact.
Analisis utama yang diharapkan adalah perbandingan kedua kelompok ini terhadap
risiko kumulatif dari stroke iskemik atau emboli sistemik setelah 3 bulan. Kurva
hazard dibuat dengan menggunakan metode Kaplan-Meier dan dikombinasikan
dengan log-rank tes. Model Cox-proportional-hazard digunakan untuk
menyesuaikan ketidakseimbangan dasar sehubungan dengan ada atau tidaknya
riwayat stroke/TIA, diabetes mellitus, kelainan jantung, penyakit arteri coroner,
penyakit arteri perifer, usia, dan jenis kelamin.
Sebuah analisis jugadapat dilakukan menggunakan skor CHADS2. Pada
skor CHADS2, indek risiko stroke pada pasien dengan atrial fibrilasi berkisar
antara 0-6, dimana skor yang makin tinggi menandakan risiko stroke yang lebih
tinggi. Analisis data dilakukan dengan cara menyensor/menghapus data pasien yang
terdeteksi mengalami atrial fibrilasi. Analisis dengan metode Time-Dependent-
Covariate dilakukan dengan melibatkan semua data pasien atrial takiaritmia selama
masa penelitian. Dalam analisis ini, deteksi dari atrial takiaritmia subklinis (durasi
> 6 menit, durasi > 6 jam, atau durasi >24 jam) memicu munculnya variabel waktu
yang akan tetap positif selama periode evaluasi. Data yang diperoleh dengan sistem
random dari continous atrial overdrive pacing. Dianalisis dengan metode Cox-
Proportional-Hazard dan Log-Rank test.
HASIL
Gambaran Pasien
Selama periode Desember 2004 hingga September 2009, terdapat total 2451
pasien dengan pemasangan alat pacu jantung baru dan 29 pasien dengan
pemasangan implant baru ICD, terkumpul dari 23 negara. Sejak waktu
terkumpulnya pasien hingga 3 bulan pelaksanaan evaluasi, setidaknya satu kejadian
atrial takiaritmia terdeteksi oleh alat implant pada 261 pasien (10,1%). Dalam
waktu yang sama, atrial takiaritmia secara klinis terjadi pada 7 pasien.
Diantara seluruh pasien yang mengalami periode subklinis atrial takiarirmia
setelah rentang 3 bulan pemasangan implant, rata-rata mengalami episode serangan
sebanyak 2 kali (rentang 1-3 kali). Nilai median dari denyut atrium yaitu 480 kali
permenit (rentang 366-549 kali per menit), dan nilai median untuk waktu terjadinya
serangan pertama adalah 35 hari (rentang 11-66 hari ). Sebelum waktu 3 bulan,
persentase usia pasien dan riwayat terjadinya stroke hampir sebanding diantara
kelompok yang mengalami atrial takiaritmia subklinis dan yang tidak megalami
atrial takiaritmia subklinis (Lihat Tabel 1). Dibandingkan dengan kelompok yang
tidak mengalami atrial takiaritmia subklinis, prevalensi gangguan sinus nodal
meningkat dan kejadian henti jantung menurun pada pasien-pasien yang mengalami
atrial takiaritmia subklinis. Persentase perbandingan penggunaan aspirin yaitu
61,3% : 61,7 % diantara kedua kelompok tersebut dan tidak ada diantaranya yang
mengonsumsi antagonis vitamin K.
Atrial Takiaritmia Selama Masa Pengawasan
Pasien masih akan mendapatkan pengawasan selama kurang lebih 2,5 tahun
namun terdapat 14 pasien yang gagal mendapat pengawasan. Selama masa tersebut,
194 pasien mendapatkan antagonis vitamin K, termasuk 47 pasien (18%) yang
mengalami atrial takiaritmia subklinis dalam 3 bulan pertama.
Selama masa pengawasan, terjadi penambahan kejadian atrial takiaritmia
subklinis pada 633 pasien (24,5%). Sebelum pemeriksaan dibulan ketiga, sebanyak
41 dari 261 pasien (15,7%) yang mengalami atrial takiaritmia subklinis
memperlihatkan gambaran atrial takiaritmia di electrocardiogram. Dan gambaran
tersebut juga ditemukan pada 71 dari 2319 pasien (3,1%) yang tidak mengalami
atrial takiaritmia subklinis (hazard ratio 5,56; 95% confidence interval (CI) 3,78 -
8,17; p<0,001) (lihat Tabel 2 dan Gambar 1A).
Stroke atau Emboli Sistemik Selama masa pengawasan
diketahui bahwa 11 dari 261 pasien (4,2%) yang telah mengalami atrial
takiaritmia subklinis sebelum jangka waktu 3 bulan pada akhirnya juga mengalami
stroke atau emboli sistemik (angka kejadian 1,69% per tahun) bila dibandingkan
dengan yang tidak mengalami atrial takiaritmia subklinis (sebanyak 1,7% dengan
angka kejadian 0,69 % per tahun) (hazard ratio 2,49; 95% confidence interval (CI)
1,28 - 4,85; p = 0,007) (Lihat Tabel 2 dan Gambar 1B). Risiko tersebut sebenarnya
tidak berubah walaupun telah dilakukan pengaturan faktor-faktor risiko stroke lain
(hazard ratio 2,50; 95% confidence interval (CI) 1,28 - 4,89; p = 0,008). Ini serupa
dengan analisis lain dimana data pasien yang pernah sekali saja mengalami arial
fibrilasi akan lansung disensor/dihapuskan (hazard ratio 2,41; 95% confidence
interval (CI) 1,21 - 4,83; p=0,01).
Dari total 51 pasien yang mengaami stroke iskemik atau emboli sistemik, 11
diantaranya mengalami atrial takiaritmia subklinis dalam periode 3 bulan pertama,
namun tidak ada diantara mereka yang mengalami atrial fibrilasi dalam kurun
waktu tersebut. Keterlibatan atrial takiaritmia subklinis sebagai risiko dari
munculnya stroke atau emboli sistemik sebesar 13%. Tidak ada hubungan antara
atrial takiaritmia subklinis dengan munculnya gejala klinis lain (Lihat Tabel 2).
Analisis dengan metode time-dependent yang melibatkan seluruh kejadian atrial
takiaritmia yang terdeteksi dengan alat impant selama masa pengawasan
menunjukkan kejadian atrial takiaritmia selama lebih dari 6 menit berhubungan
dengan meningkatnya risiko stroke iskemik atau emboli sistemik dibandingkan
dengan yang tidak mengalami serangan atrial takiaritmia (hazard ratio 1,76; 95%
confidence interval (CI) 0,99 – 3,11; p= 0,05). Peningkatan risiko ini juga
didapatkan pada kejadian serangan selama lebih dari 6 jam bila dibandingkan
dengan kelompok yang tidak mendapatkan serangan (hazard ratio 2,00; 95%
confidence interval (CI) 1,13 - 3,55; p = 0,02), begitu juga pada episode serangan
yang lebih dari 24 jam dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan
serangan (hazard ratio 1,980; 95% confidence interval (CI) 1,11 - 3,51; p = 0,02).
Pasien dengan serangan yang terdeteksi dengan alat implant dikategorikan
berdasarkan durasinya, dalam quartil tergolong menjadi serangan ≤ 0,86 jam, 0,87
hingga 3,63 jam, 3,64 hingga 17,72 jam, dan ≥ 17,72 jam). Angka kejadian stroke
iskemik atau emboli sistemik per tahun pada masing-masing kelompok tersebut
secara berurutan yaitu 1,23 (95% CI 0,15-4,46), 0 (95% CI 0-2,08), 1,18 (95% CI
0,14-4,28), dan 4,89 (95% CI 1,96-10,07). Terdapat pula analisis lain yang hampir
serupa mengenai durasi serangan atrial takiaritmia subklinis, secara quartil
dikelompokkan menjadi 1, 2, 3, 4, dan > 4, menghasilkan angka tahunan stroke
iskemik atau emboli sistemik secara berurutan sebesar 1,20 (95% CI, 0,25 – 3,50),
2,15 (95% CI, 0,44 - 6.29), 1,89 (95% CI, 0,23 – 6,81), dan 1,93 (95% CI, 0,40 –
5,63). Risiko relatif terjadinya stroke iskemik atau emboli sistemik yang berkaitan
dengan atrial takiaritmia subklinis secara konsisten meningkatkan risiko awal
terjadinya stroke sebagaimana yang dapat ditentukan dengan skor CHADS2 (Lihat
Tabel 3). Tingkat kejadian stroke meningkat seiring dengan meningkatnya skor
CHADS2, hingga mencapai angka 3,78% per tahun pada pasien yang mengalami
atrial takiaritmia subklinis dan memiliki skor CHADS2 lebih dari dua.
Evaluasi Random pada Penggunaan Continous Atrial Overdrive Pacing
Kami juga secara acak memilih beberapa pasien dengan alat pacu jantung
untuk mendapatkan continous atrial overdrive pacing dan sebagian lagi tidak.
Karakteristik dasar dari kedua kelompok ini di sesuaikan agar serupa (Lihat Tabel
1). Angka kejadianatrial fibrilasi secara klinis tidak terlalu tinggi pada kedua
kelompok ini. Tindakan pencegahan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan
pada hasil ini ataupun lainnya.
Pada sebuah analisis terhadap nilai prognostik atrial takiaritmia subklinis
dengan pasien distratifikasikan berdasarkan kelompok penelitian acak (continous
atrial overdrive pacing versus tanpa continous atrial overdrive pacing), uji
interaksinya tidak signifikan (P=0,995). Sebuah tabel yang menunjukkan kejadian
merugikan yang muncul selama bagian acak pada percobaan tersebut diberikan
pada Lampiran Tambahan.
Tabel 1. Karakteristik Pasien.
1. Nilai plus-minus berarti ±SD. Karakteristik dasar pasien ditunjukkan
berdasarkan apakah atrial takiaritmia subklinis terdeteksi atau tidak terdeteksi
antara waktu pendaftaran hingga 3 bulan dan berdasarkan apakah pasien yang
ditugaskan secara acak setelah tiga bulan kunjungan tersebut untuk menyalakan
atau mematikan pacu continous atrial overdrive pacing. Seluruh pasien memiliki
riwayat hipertensi yang membutuhkan pengobatan, dan tidak ada pasien yang
mendapatkan terapi antagonis vitamin K. ECG menunjukkan elektrokardiogram
dan ICD menunjukkan implantable cardioverter-defibrillator.
2.Hanya pasien yang menerima alat pacu jantung yang didaftarkan pada bagian
percobaan tersebut di mana pasien secara acak ditugaskan menyalakan atau
mematikan pacu continous atrial overdrive pacing setelah 3 bulan kunjungan
tersebut. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut
pada karakteristik dasar yang ditunjukkan (P>0,05 pada seluruh perbandingan).
3.Indeks massa tubuh merupakan berat dalam kilogram yang dibagi dengan kuadrat
tinggi dalam meter.
4.Skor CHAD2 digunakan untuk memperkirakan risiko stroke pada pasien dengan
fibrilasi atrial. Cakupan skor dari 0 hingga 6, dengan skor yang lebih tinggi
menunjukkan risiko stroke yang lebih besar; kategori gagal jantung kongestif,
hipertensi, diabetes dan usia 75 tahun atau lebih masing-masing diberikan 1 poin,
dan kategori stroke terdahulu atau serangan iskemik ringan (TIA) diberi 2 poin.
“Lima kasus menjelaskan stroke dengan penyebab yang tidak ditentukan (iskemik
atau hemoragik) telah diikutsertakan. Seluruh lima kasus tersebut terjadi pada
kelompok pasien yang tidak memiliki episode atrial takiaritmia subklinis antara
waktu pendaftaran hingga 6 bulan.”
DISKUSI
Temuan utama pada penelitian ini adalah bahwa di antara pasien berusia 65
tahun atau lebih dengan riwayat hipertensi yang memiliki implantasi alat pacu
jantung atau ICD dan bebas dari fibrilasi atrial klinis, memiliki insiden takiaritmia
subklinis yang besar. Atrial takiaritmia subklinis dideteksi pada sepersepuluh
pasien dalam 3 bulan setelah implantasi dan dideteksi paling sedikit satu kali
selama rata-rata 2,5 tahun pengawasanpada 34,7% pasien. Episode atrial takiaritmia
subklinis hampir terjadi delapan kali sama seperti episode fibrilasi atrial klinis.
Selama masa penelitian, fibrilasi atrial klinis berkembang hanya pada 15,7% pasien
dengan atrial takiaritmia subklinis, yang menandakan bahwa terdapat kelambatan
antara kejadian subklinis dengan deteksi klinis. Waktu median untuk mendeteksi
adalah selama 36 hari, dengan merata-ratakan waktu monitoring alat secara
kontinu, pada saat terjadinya atrial takiaritmia subklinis selama 3 bulan pertama,
mengindikasikan bahwa monitoring Holter dapat gagal mendeteksi fibrilasi atrial
subklinis bahkan untuk beberapa hari.
Temuan utama kedua pada penelitian tersebut menyebutkan bahwa atrial
takiaritmia subklinis berhubungan secara independen dengan peningkatan faktor
2,5 pada risiko stroke iskmeik atau emboli sistemik dan risiko ini independen
terhadap faktor stroke lainnya dan pada kejadian fibrilasi atrial klinis. Populasi
dengan risiko stroke iskemik atau emboli sistemik yang berhubungan dengan atrial
takiaritmia subklinis sebelum 3 bulan sebesar 13%, yang serupa dengan risiko
stroke yang berhubungan dengan fibrilasi atrial klinis yang dilaporkan oleh peneliti
Framingham. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa risiko stroke lebih tinggi
saat episode atrial takiaritmia subklinis berlangsung lebih lama, namun penelitian
tersebut tidak dapat menguatkankan analisis ini. Penelitian kami juga menganalisi
kejadian yang berlangsung 6 menit atau kurang, yang sering terjadi dan yang
mungkin penting secara klinis.
Risiko stroke dengan atrial takiaritmia yang terdeteksi alat dimodulasi
dengan profil risiko pasien terhadap stroke. Saat seorang pasien memiliki skor
CHADS 2 lebih tinggi dari 2, risiko stroke isemik atau emboli sistemik yang
dihubungkan dengan takiaritnia atrial subklinis mendekati angka 4% per tahun.
Lebih dari setengah pasien awalnya menerima aspirin, dan 18% pasien dengan
atrial takiaritmia subklinis menerika antagonis vitamin K selama masa pengawasan.
Kedua terapi tersebut dapat menurunkan risiko stroke dan mungkin mengurangi
peningkatan risiko stroke yang berhubungan dengan atrial takiaritmia subklinis.
Keuntungan bersih pada terapi antitrombotik ditunjukkan dengan baik pada pasien
dengan fibrilasi atrial klinis, namun mungkin tidak ditemukan keuntungan serupa
pada pasien dengan atrial takiaritmia subklinis; oleh karena itu, diperlukan
percobaan acak pada terapi antikoagulan pada pasien dengan atrial takiaritmia
subklinis.
Dua penelitian sebelumnya melaporkan sebuah peningkatan risiko kejadian
klinis dengan atrial takiaritmia yang terdeteksi alat, namun keduanya tidak
mengekslusi pasien yang pernah terdiagnosis fibrilasi atrial, dan juga tidak
menentukan episode dari atrial takiaritmia tersebut. Analisis retrospektif pada
subgroup dengan 312 pasien dari Mode Selection Trial (MOST; ClinicalTrials.gov
number, NCT00000561) menunjukkan bahwa risiko kematian atau stroke
meningkat dengan faktor 2,5 pada pasien dengan minimal satu episode angka atrial
yang tinggi. Glotzer et al. juga melaporkan hubungan antara takikardia atrial yang
terdeteksi alat dengan kejadian embolik. Akan tetapi, penelitian tersebut juga
mengikutsertakan pasien yang sebelumnya pernah tercatat mengalami fibrilasi atrial
dan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan pada analisis primer sebelumnya.
Prevalensi atrial takiaritmia subklinis mungkin lebih tinggi pada pasien
dengan alat pacu jantung dibandingkan dengan kelompok pasien dengan risiko
tinggi lainnya. Disfungsi sinus-node berhubungan dengan peningkatan risiko
fibrilasi atrial. Selanjutnya, pasien dengan penyakit atrioventrikuler-node lebih
mungkin asimtomatis saat terjadi atrial takiaritmia, yang menunjukkan penurunan
konduksi atrioventrikuler. Meskipun demikian, prevalensi fibrilasi atrial subklinis
pada populasi yang lebih tua mungkin tinggi. Pada penelitian kesehatan
kardiovaskuler yang mengikutsertakan orang-orang usia 65 tahun atau lebih secara
acak, fibrilasi atrial didiagnosis dengan elektrokardiografi pada 2% pasien; 14% di
antaranya tidak memiliki diagnosis fibrilasi atrial sebelumnya. Hubungan antara
penyebab stroke yang belum diketahui, sering disebut dengan stroke kriptogenik,
dan fibrilasi atrial subklinis telah lama diperkirakan. Penelitian dengan monitoring
jangka pendek menunjukkan bahwa fibrilasi atrial subklinis sering muncul pada
pasien dengan stroke kriptogenik, namun pada monitoring jangka panjang, yang
disertai dengan alat pacu jantung, saat ini tidak mudah dilaksanakan. Data dari
penelitian terbaru mendukung konsep bahwa terdapat hubungan antara fibrilasi
atrial subklinis dengan stroke kriptogenik.
Hasil dari penelitian ini tidak menunjukkan keuntungan dari continous atrial
overdrive pacing. Akan tetapi, karena angka perkembangan fibrilasi atrial klinis
yang rendah, penelitian ini tidak sanggup mendukung hasil tersebut. Algoritme
untuk continous atrial overdrive pacing telah dievaluasi pada percobaan
sebelumnya, namun hampir seluruh percobaan tersebut hanya memiliki jumlah
sampel yang sedikit, dan terdapat banyak perbedaan dalam karakteristik populasi
paien, penggunaan algoritme pacu dan posisi sadapan atrial. Percobaan-percobaan
tersebut tidak memberikan bukti manfaat yang meyakinkan. Data saat ini
memberikan bukti yang kurang kuat bahwa intervensi ini tidak mencegah fibrilasi
atrial klinis.
‘
“Angka tahunan merupakan angka per 100 pasien yang di-followup bertahun-tahun.
Atrial takiaritmia simtomatik dan asimtomatik (denyut atrial > 190 kali per menit)
yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tercatat dengan EKG, merupakan keluaran
primer secara acak dari percobaan continous atrial overdrive pacing.”
Kesimpulan
Atrial takiritmia subklinis sering muncul pada pasien dengan alat pacu jantung yang
memiliki riwayat hipertensi namun tanpa diagnosis utama fibrilasi atrial klinis.
Atrial takiaritmia subklinis sering mangawali kejadian fibrilasi atrial klinis. Pada
pasien dengan alat pacu jantung tanpa fibrilasi atrial klinis, kejadian atrial
takiaritmia subklinis dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke lanjutan yang
signifikan.