Upload
trankhue
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal AgriSains Vol.4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
i
Jurnal AgriSains Vol.4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
ii
Jurnal
AgriSains
PENANGGUNGJAWAB Ketua LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Ketua Umum :
Dr. Ir. Ch Wariyah, MP
Sekretaris : Awan Santosa, SE., M.Sc
Dewan Redaksi :
Dr. Ir. Wisnu Adi Yulianto MP Dr. Ir. Sri Hartati Candra Dewi, MP
Dr. Ir Bambang Nugroho MP
Penyunting Pelaksana : Ir. Wafit Dinarto, M.Si Ir. Nur Rasminati, MP
Pelaksana Administrasi :
Gandung Sunardi Hartini
Alamat Redaksi/Sirkulasi : LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Jl. Wates Km 10 Yogyakarta Tlpn (0274) 6498212 Pesawat 133 Fax (0274) 6498213
E-Mail : [email protected]
Jurnal yang memuat artikel hasil penelitian ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali setiap tahun. Redaksi menerima naskah hasil penelitian, yang belum pernah dipublikasikan baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Naskah harus ditulis sesuai dengan format di Jurnal AgriSains dan harus diterima oleh redaksi paling lambat dua bulan sebelum terbit.
Jurnal AgriSains Vol.4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNya, sehingga Jurnal
Agrisains Volume 4, No. 6, Mei 2013 dapat kami terbitkan. Redaksi mengucapkan terima kasih
dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada para penulis yang telah berbagi pengetahuan
dari hasil penelitian, untuk dipublikasikan dan dibaca oleh pemangku kepentingan, sehingga
memberikan kemanfaatan yang lebih besar bagi perkembangan IPTEKS.
Pada jurnal Agrisains edisi Mei 2013, disajikan beberapa hasil penelitian di bidang studi
Peternakan, Agroteknologi, Teknik Informatika yang berisi tentang peningkatan kualitas daging
unggas, peningkatan produksi tanaman pangan melalui pengurangan hama dan peningkatan
kualitas pupuk serta di bidang teknik informasi tentang segmentasi tekstur citra lidah.
Redaksi menyadari bahwa masih terdapat ketidaksempurnaan dalam penyajian artikel
dalam jurnal yang kami terbitkan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan, agar
penerbitan mendatang menjadi semakin baik. Atas perhatian dan partisipasi semua pihak
redaksi mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, Mei 2013 Redaksi
Jurnal AgriSains Vol.4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
iv
DAFTAR ISI
Hal Kata Pengantar iii Daftar Isi iv EVALUASI KINERJA ITIK MANILA JANTAN DAN BETINA PADA PEMBERIAN RANSUM DENGAN ARAS PROTEIN YANG BERBEDA 1-9
FX Suwarta OPTIMALISASI KONSENTRASI MIKROKONIDIUM DALAM FORMULASI AGENS HAYATI FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE AVIRULEN DAN DOSIS PENGGUNAANNYA UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT MOLER PADA BAWANG MERAH 10-19 Bambang Nugroho PENGARUH NANOKAPSUL EKSTRAK KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS SENSORI DAGING AYAM BROILER 20-31 Sundari SEGMENTASI TEKSTUR CITRA LIDAH PENDERITA TIFOID MENGGUNAKAN METODE ADAPTIF 32-41 Supatman KUALITAS KIMIA DAGING AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER 42-49
Sri Hartati Candra Dewi
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK HASIL PENGOMPOSAN LIMBAH PENGOLAHAN KOPI DENGAN MENGGUNAKAN PROBIOTIK URIN SAPI PADA BUDIDAYA TANAMAN SELADA 50-69
Bambang Sriwijaya PEDOMAN PENULISAN NASKAH 70
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
1
EVALUASI KINERJA ITIK MANILA JANTAN DAN BETINA PADA PEMBERIAN RANSUM DENGAN ARAS PROTEIN YANG BERBEDA
FX Suwarta
Program Studi Peternakan, Fakultas AgroIndustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Jl. Wates Km 10 Yogyakarta 55753 E-mail : [email protected].
ABSTRACT
This experiment aims was to evaluate the performance of male and female muscovy
on providing ration with protein levels different. This Research using experimental methods, with completely randomized factorial design (2x2) by sex and protein level different on the ration . This research conducted by experiment method by factorial experiment (2x2) two factors, the first factor was sex (male and female) and second factor was protein level on the ration (18 and 20%). The sixty muscovy ducks consisted 30 male and 39 female alocated by factorial experiment (2x2) following completely Randomized Design, Ration were given isonutrient except protein level (18 and 20 %). The collected data were i.e feed consumption, average daily gain, feed conversion, protein and energy efficiency and performance indeks (PI). The results of this experiment showed feed consumption, gain weight, feed conversion and performance indeks on male muscovy significantly (P<0,05) better than female muscovy. Duck ration with 20% protein showed feed conversion and performance indeks siginificantly (P<0,05) better than duck ration with 18%.. The results concluded, male muscovy have feed consumption, gain weight, feed conversion and performance indeks was better than female ducks. Duck ration with 20% protein have feed conversion and performance indeks was better than duck ration 18%. Performance duck affected by sex interaction and protein level on the ration. Key words: muscovy, sex, protein level, ration , performance.
PENDAHULUAN
Di Indonesia, unggas air (water fowl)
merupakan salah satu unggas yang
mempunyai peranan penting dalam
menyediakan bahan pangan. Diantara
berbagai bangsa unggas air dikenal itik
manila (Muscovy). Keunggulan itik manila
dibanding unggas air lainnnya adalah
ukuran badannya lebih besar sehingga
potensial sebagai penghasil daging dengan
produksi telur cukup baik. Kandungan
protein daging itik manila hampir sama
dengan daging ayam dan kandungan
lemaknya rendah dengan akumulasi lemak
lebih banyak terjadi di bawah kulit.
Disamping sebagai penghasil daging, itik
manila juga dimanfaatkan sebagai unggas
pengeram dan diambil bulunya untuk
industri suttle cock. Itik manila mempunyai
pertumbuhan lebih cepat dibanding itik,
sehingga sangat potensial sebagai unggas
pedaging. Itik manila juga mempunyai
kemampuan memanfaatkan bahan pakan
berserat kasar tinggi secara baik, sehingga
pakannya dapat bersumber pada sayuran,
rumput dan gulma. Penggunaan tanaman
enceng gondok dan teratai sampai delapan
persen tidak mengganggu pertumbuhan
(Soesiawaningrini, et al., 1979), sedang
penggunaan sekam padi sampai lima
persen sudah menurunkan kinerja karena
tingginya Si (Suwarta, 1996).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
2
Pertumbuhan itik manila sangat
bervariasi diantara itik jantan dan betina,
pola pemeliharaan dan keragaman antar
individu. Itik manila jantan mempunyai
pertumbuhan lebih cepat dibanding itik
manila betina. Itik manila jantan dewasa
dapat mencapai berat 5,5 kg, sedang pada
itik manila betina dewasa hanya mencapai
berat 3 kg. Perbedaan dalam cara
pemeliharaan pada itik manila juga
menghasilkan perbedaan pertumbuhan. Itik
manila yang dipelihara secara intensif
menggunakan ransum ayam pedaging pada
umur 8 minggu dapat mencapai berat
badan 1,8 kg (Ermanto, 1986). Dengan
pakan ayam petelur periode starter berat
badan itik manila pada umur 8 minggu
dapat mencapai berat badan 1,64 kg
(Antawidjaja, 1990)
Pertumbuhan unggas secara umum
dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik menentukan
potensi kemampuan pertumbuhan itik untuk
tumbuh secara optimal, jika mendapatkan
nutrien dan perlakuan manajemen secara
baik. Pada umumnya pada fase pertama ,
itik akan mengalami pertumbuhan sangat
cepat. Pertumbuhan paling cepat terjadi
sejak menetas sampai umur 1,5 bulan.
Mulai umur 1,5 bulan sampai 3 bulan
kecepatan pertumbuhan secara berangsur-
angsur akan berkurang, sampai akhirnya
pertumbuhan akan berhenti sama sekali.
Dengan makanan yang baik, itik manila
betina dapat mencapai berat 1,5-1,7 kg
pada umur 8 minggu (Leclercq dan de
Carville, 1985). Sejak umur 6 sampai 7
minggu, mempunyai pertumbuhan naik
hampir linear, kemudian akan mengalami
plateu sesudah berumur 8 minggu.
Dinyatakan pula terdapat perbedaan pola
pertumbuhan dan karkas antara itik manila
dan itik, perbedaan tersebut karena garis
keturunan. Sejak minggu pertama sampai
minggu ketiga itik manila tumbuh lebih
lambat dari daripada itik pekin dan sesudah
4 minggu sampai umur 9 minggu, naik
secara tajam. Pada umur 9 sampai 13
minggu pertumbuhannya relatif statis. Itik
manila betina disamping produksi telurnya
rendah, juga mempunyai pertumbuhan lebih
lambat dari pada itik jantan. Berat badan
itik manila jantan pada umur 13 minggu
dapat mencapai 4 kg, sedang itik manila
betina hanya mencapai 2,5 kg. Itik manila
jantan mempunyai berat dada 700 g atau
sekitar 35-70 persen lebih tinggi daripada
itik betina dan 75 persen lebih berat
daripada itik pekin jantan.
Pertumbuhan itik sangat terkait
dengan konsumsi nutriennya, sehingga itik
perlu diberi pakan sesai dengan
pertumbuhannya yang relatif cepat.
Ransum itik harus mengandung nutrien
yang dibutuhkan dan mempunyai
kecernaan yang baik. Untuk mencapai
pertumbuhan yang optimal, itik manila yang
dipelihara secara intensif memerlukan
ransum yang formulasinya cukup baik
mengandung protein, energi, vitamin,
mineral dan nutrien lainnya. Dinyatakan
oleh Scott dan Dean (1991) bahwa untuk
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
3
mencapai pertumbuhan normal, itik pekin
memerlukan ransum dengan kandungan
energi 2200-33—kcal/kg. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan akan menurun dengan
pemberian ransum berenergi di bawah
2600 kcal/kg. Ditambahkan oleh Dean dan
Shen (1982) bahwa itik pekin yang
mendapat ransum dengan kadar protein
22%, metionin 0,47% dan sistin 0,33%
menghasilkan pertumbuhan 10% lebih baik
jika dibandingkan dengan ransum yang
disuplementasi metionin 0,1%.
Mengingat belum adanya standard
baku kebutuhan nutrien itik manila di
Indonesia, untuk menyusun ransum itik
biasanya digunakan standard dari ayam
pedaging (Srigandono, 1996). Scott dan
Dean (1991) menyatakan bahwa mengingat
adanya perbedaan yang mencolok antara
kandungan lemak tubuh dari itik dan ayam,
itik lebih banyak memerlukan energi.
Demikian pula mengingat itik manila
mempunyai pertumbuhan lebih cepat dari
ayam, juga memerlukan protein yang
berbeda pula. Dinyatakan oleh Srigandono
(1996) bahwa untuk mencapai produksi
yang tinggi itik membutuhkan protein 19%,
energi termetabolis 2800-2900 kcal/kg, Ca
2,5-3,25%, P 0,35-0,45%, lisiin 0,79% dan
metionin 0,34%.
Dalam ransum biaya protein dapat
mencapai 50-60%, sedang harga nutrien
lainnya relatif murah. Mengingat adanya
perbedaan pertumbuhan yang mencolok
antara itik manila jantan dan betina,
kebutuhan proteinnya juga berbeda.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Penelitian menggunakan 60 ekor itik
manila , umur 1 minggu, terdiri dari itik
manila jantan dan betina masing-masing
sebanyak 30 ekor. Selama penelitian itik
manila ditempatkan dalam kandang
kelompok sebanyak 12 kandang masing-
masing berukuran panjang 1 m, lebar 80 cm
dan tinggi 40 cm.Kapasitas setiap kandang
5 ekor. Kandang dilengkapi dengan tempat
pakan dan air minum. Ransum yang
diberikan selama penelitian disusun dari
beberapa bahan pakan yaitu jagung,
bekatul, tepung ikan, tepung tulang.
Ransum dibedakan atas kandungan
proteinnya yaitu 18,1 dan 20,1 %. Macam
bahan pakan dan kandungan nutrien
bahan pakan penyusun ransum perlakuan
tertera pada Tabel 1, sedang susunan dan
kandungan nutrien ransum perlakuan
tertera pada Tabel 2.
Tabel 1. Kandungan nutrien bahan pakan
penyusun ransum Perlakuan
Bahan Pakan
PK (%)
ME (kcal/ kg)
Ca (%)
P (%)
SK (%)
Jagung 8,7 3430 0,02 0,30 2,0 Beketul 12,0 1630 0,04 1,40 3,0
Bungkil kedele
43,8 2425 0,32 0,67 6,0
Tepung ikan
60,0 2970 5,50 2,80 1,0
Tepung tulang
- - 24,0 12,0 -
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
4
Tepung kerang
- - 38,0 - -
Tabel 2. Susunan dan kandungan nutrien
ransum perlakuan
Bahan Pakan (%)
Ransum Penelitian
Ransum I Ransum II Jagung 52,0 48,0 Bekatul 21,0 17,0 Bungkil kedele
20,0 20,0
Tepung ikan
5,0 5,0
Tepung tulang
2,0 2,0
Jumlah 100,0 100,0 PK (%) 18,1 20,1 ME (Kcal/kg)
2681,1 2699,1
SK (%) 2,78 2,93 Ca (%) 1,80 1,82 P (%) 0,90 0,91
Cara Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode
eksperimen menggunakan rancangan acak
lengkap pola faktorial (2x2), dengan faktor
Jenis kelamin dan aras protein ransum.
Enam puluh ekor anak iitik yang terdiri dari
30 ekor itik jantan dan 30 ekor itik betina,
dialokasikan ke dalam 12 kandang,
masing-masing kandang sebanyak 5 ekor.
Setiap tiga kandang yang masing-masing
berfungsi sebagai ulangan, digunakan
sebagai satu kombinasi perlakuan. Itik
dipelihara sampai umur 8 minggu dan diberi
ransum sesuai dengan perlakuan secara ad
libitum. Data yang diambil meliputi
konsumsi pakan, kenaikan berat badan dan
konversi pakan diambil seminggu sekali.
Rancangan Percobaan
Penelitian dirancang dengan
rancangan acak lengkap pola faktorial (2x2)
dengan faktor jenis kelamin (Jantan dan
betina) dan faktor aras protein ransum (
18% dan 20%). Setiap kombinasi
perlakuan, digunakan ulangan tiga kali,
masing-masing menggunakan 5 ekor itik.
Variabel yang diambil meliputi konsumsi
pakan, kenaikan berat badan, konversi
pakan dan indeks performan (IP). Analisis
data dilakukan dengan analisis variansi
dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Variabel yang diamati selama 8
minggu meliputi konsumsi pakan,
pertambahan berat badan ,konversi pakan,
efisiensi penggunaan protein dan energi
serta indeks performan.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan rata-rata itik manila jantan
sebesar 763,3 g/ekor/minggu secara nyata
lebih tinggi daripada itik manila betina yaitu
698,2 g/ekor/minggu. Konsumsi pakan itik
pada pemberian ransum dengan kadar
protein 18% berbeda tidak nyata dengan
kadar protein 20%. Data selengkapnya
tertera pada Tabel 3.
Itik manila jantan secara nyata
(P<0,05) mengkonsumsi pakan lebih tinggi
dibanding itik manila betina, disebabkan itik
manila jantan secara genetik mempunyai
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
5
pertumbuhan yang lebih cepat sehingga
saluran cernanya berukuran lebih besar.
Adanya sifat sexual dymorphisme
mengakibatkan itik manila jantan
mempunyai pertumbuhan lebih cepat (Scott
dan Dean, 1991). Konsumsi pakan itik
manila pada pemberian ransum dengan
kadar protein 18% berbeda tidak nyata
dengan kadar protein 20%. Hal ini
menunjukkan
konsumsi pakan itik manila lebih banyak
dikontrol oleh kandungan energi ransumnya
dari pada kandungan protein.. Dengan
ransum yang mendekati isoenergi (2700
kcal/kg), seperti halnya pada ayam, itik
juga akan mengkonsumsi pakan dalam
jumlah yang hampir sama (Anggrodi, 1995).
Tabel 3. Konsumsi pakan itik manila dari
masing-masing perlakuan (g/ekor/minggu).
Jenis Kelamin Protein ransum
Ulangan
Jantan Betina Rata-rata (ns)
1 796,8 587,7 2 789,8 596,0
PK : 18%
3 776,6 642,5
698,2
Rata-rata
787,7 608,7
1 817,4 592,6 2 778,0 637,0
PK : 20%
3 824,8 623,1
712,2
Rata-rata
806,7 617,6
Rerata 763,3a 613,2b (-)
Keterangan :
- ns : pada kolom rata-rata menunjukkan
berbeda Nyata
-a,b : pada baris rerata menunjukkan
berbeda nyata
- (-) : tidak ada interaksi
Pertambahan Berat Badan
Rata-rata pertambahan berat badan
itik manila jantan sebesar 284,6
g/ekor/minggu secara nyata lebih tinggi dari
pada itik manila betina yaitu 211,0
g/ekor/minggu. Rata-rata pertambahan
berat badan itik manila pada pemberian
ransum dengan kadar protein 18% sebesar
234,9 g/ekor/minggu sedang pada
pemberian ransum dengan kadar protein
20% sebesar 260,8 g/ekor/minggu. Data
selengkapnya disarikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pertambahan berat badan itik
manila dari masing-masing perlakuan
(g/ekor/minggu).
Jenis Kelamin Protein ransum
Ulangan
Jantan Betina
Rata-rata
1 275,3 209,9 2 262,8 202,9
PK : 18%
3 269,3 189,1
234,9a
Rata-rata
269,1e 200,6f
1 291,9 218,6 2 305,0 230,5
PK : 20%
3 303,4 215,2
260,8b
Rata-rata
300,1g 221,4h
Rerata 284,6c 211,0d (+)
Keterangan :
-a,b : superskript pada kolom atau baris
rerata menunjukkan berbeda
nyata
- (+) : ada interaksi
Itik manila jantan mempunyai
pertambahan berat badan lebih tinggi dari
pada itik betina. Hal ini sebagai akibat
adanya interaksi antara genetik dan
lingkungan (pakan). Secara genetik
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
6
sebagai akibat adanya sexual dymorphisme
itik manila jantan mempunyai potensi
tumbuh lebih cepat (Scott and Dean, 1991).
Itik manila jantan juga mempunyai
konsumsi pakan lebih tinggi, sehingga
ketersediaan nutrien untuk pertumbuhan
juga leih baik. Itik manila yang diberi
ransum dengan kadar protein 20% secara
nyata mempunyai pertumbuhan lebih
tinggi.daripada 18%. Hal ini disebabkan
karena konsumsi proteinnya meningkat
sebagai akibat dari meningkatnya konsumsi
pakan dan kandungan protein ransum.
Pertumbuhan itik manila secara bersama-
sama dipengaruhi oleh interaksi antara jenis
kelamin dan aras protein.
Efisiensi Pemanfaatan Protein Untuk
Pertumbuhan
Efisiensi pemanfaatan protein untuk
pertumbuhan, dihitung berdasarkan
kenaikan berat badan dibagi konsumsi
protein dikalikan 100%. Data selengkapnya
disarikan pada Tabel 5.
Dari Tabel 5 diketahui pada itik manila
jantan setiap mengkonsumsi 100 g protein
mampu meningkatkan pertambahan berat
badan 189,41 g, sedang pada itik manila
betina meningkatkan berat badan 175,99 g.
Ransum dengan kandungan protein 18%
menunjukkan pada itik setiap
mengkonsumsi 100 g protein akan
meningkatkan pertambahan berat badan
184,34 g, sedang pada aras protein 20%
akan meningkatkan pertambahan berat
badan 182,77 g. Terdapat interaksi antara
jenis kelamin dan aras protein. Itik manila
jantan yang diberi ransum dengan kadar
protein 20% mempunyai efisiensi
pemanfaatan sama dengan itik manila
betina yang diberi ransum dengan aras
protein 18%. Itik manila betina jika diberi
ransum dengan kadar protein 20%
menunjukkan efisiensi yang rendah.
Tabel 5. Efisiensi pemanfaatan protein
untuk pertumbuhan pada itik manila (%)
Jenis Kelamin Protein ransum
Ulan gan Jantan Betina
Rata-rata (ns)
1 168,40 198,42 2 184,86 189,13
PK : 18%
3 192,65 172,59
184,34
Rata-rata
181,97a 186,71b
1 178,55 184,44 2 196,02 181,03
PK : 20%
3 183,92 172,68
182,77
Rata-rata
186,16b 179,38c
Rerata (ns)
189,41 175,99 (+)
Keterangan :
ns : pada kolom atau baris rata-rata
menunjukkan perbedaan tidak
nyata.
-a,b : superskript pada kolom atau baris
rerata menunjukkan berbeda
nyata
- (+) : ada interaksi
Efisiensi Pemanfaatan Energi
Efisiensi pemanfaatan energi untuk
pertumbuhan dihitung berdasarkan jumlah
energi yang diperlukan untuk setiap
kenaikan 1 g berat badan. Data efisiensi
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
7
pemanfaatan energi selengkapnya
disarikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Efisieni pemanfaatan energi untuk
pertumbuhan pada itik manila (cal/g
pertumbuhan)
Jenis Kelamin Protein ransum
Ulangan
Jantan Betina
Rata-rata
1 7,81 7,56 2 8,11 7,93
PK : 18%
3 7,79 9,17
8,05a
Rata-rata
7,90 8,22
1 7,56 7,32 2 6,89 7,46
PK : 20%
3 7,34 7,81
7,40b
Rata-rata
7,26 7,55
Rerata 7,58a 7,89b (-)
Keterangan :
-a,b : pada baris atau kolom rerata
Menunjukkan berbeda nyata
(P<0,05)
- (-) : tidak ada interaksi
Hasil analisis variansi menunjukkan
itik manila jantan secara nyata mempunyai
efisiensi penggunaan energi lebih baik
daripada itik betina. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pada itik jantan
mampu mengkonvesikan energi menjadi
pertumbuhan lebih baik, sebagai akibat
adanya sifat genetiknya. Efisiensi
pemanfaatan energi pada itik manila yang
diberi ransum dengan kadar protein 20%
lebih baik daripada18 %. Hal ini
menunjukkan pada aras tersebut terjadi
keseimbangan energi-protein yang optimal
untuk pertumbuhan. Ransum dengan aras
protein 18% terjadi in- efiesiensi
penggunaan energi akibat kurang
tersedianya protein.
Konversi Pakan
Konversi pakan rata-rata itik manila
jantan sebesar 2,68, sedang itik manila
betina sebesar 2,91. Rata-rata konversi
pakan itik pada pemberian ransum dengan
kadar protein 18 % sebesar 3.00 sedang
pada pemberian ransum dengan kadar
protein 20% sebesar 2,74. Data
selengkapnya disarikan padaTabel 7.
Tabel 7. Konversi pakan itik manila dari
masing-masing perlakuan (g/ekor/minggu).
Jenis Kelamin Protein ransum
Ulangan
Jantan Betina
Rata-rata
1 2,89 2,80 2 2,96 2,94
PK : 18%
3 3,06 3,34
3,00c
Rata-rata
2,97ef 3,34f
1 2,80 2,71 2 2,55 2,77
PK : 20%
3 2,72 2,90
2,74d
Rata-rata
2,69e 2,79ef
Rerata 2,68a 2,91b (+)
Keterangan :
- ns : pada kolom rata-rata menunjukkan
berbeda nyata
-a,b : pada baris rerata menunjukkan
berbeda nyata
- (+) : Ada interaksi
Konversi pakan itik manila yang
diberi ransum dengan kadar protein 20%
secara nyata (P<0,05) lebih baik dibanding
dengan itik manila yang diberi ransum
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
8
dengan kadar protein 18%. Tingginya
konvesri pakan pada itik manila yang
mendapat ransum dengan kadar protein
18% menunjukkan pada ransum dengan
kadar protein rendah itik manila kurang
optimal mengkonversi pakan menjadi
pertumbuhan. Pada itik manila betina juga
menghasilkan konversi pakan lebih tinggi,
karena secara genetik itik manila betina
mempunyai pertumbuhan yang lebih
rendah. Konversi pakan itik dipengaruhi
oleh interaksi antara jenis kelamin dan aras
protein.
Indek Performan (IP)
Analisis variansi menunjukkan
bahwa rata-rata IP itik jantan sebesar
157,11 secara nyata (P<0,05) lebih baik
daripada itik manila betina yaitu 116,38. Hal
tersebut membuktikan pada umur yang
sama itik manila jantan mempunyai
kemampuan tumbuh dan mengkonversikan
pakan lebih baik daripada itik manila betina.
Ransum dengan kadar protein 20% mampu
memberikan pertumbuhan lebih baik dan
lebih efisien untuk dikonversi menjadi
pertumbuhan sehingga dihasilkan IP lebih
baik.
Tabel 7. IP itik manila dari masing-masing
perlakuan (g/ekor/minggu).
Jenis Kelamin Protein ransum
Ulangan Jantan Betina
Rata-rata
1 138,13 116,26 2 133,23 125,13
PK : 18%
3 131,77 89,83
122,40c
Rata-rata
134,38e 110,41g
1 155,12 124,71 2 174,15 126,85
PK : 20%
3 164,62 115,47
143,49d
Rata-rata
164,63f 122,34h
Rerata 2,57,11a 116,38b
(+)
Keterangan :
-a,b : pada baris rerata menunjukkan
berbeda nyata
- (+) : Terdapat interaksi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Dari hasil penelitian disimpulkan :
1. Itik manila jantan mempunyai konsumsi
pakan, kenaikan berat badan, efisiensi
pemanfaatan protein lebih tinggi
daripada itik betina, dengan konversi
pakan dan indeks performan lebih baik
dari pada itik manila betina.
2. Ransum dengan aras protein 20%
memberikan kinerja lebih baik daripada
ransum dengan aras protein 18%.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
9
3. Kinerja itik manila ditentukan oleh jenis
kelamin, aras protein ransum dan
interaksi keduanya.
Saran
Disarankan untuk mencapai
produktivitas yang optimal peternak
dapat memelihara itik manila jantan
dengan pemberian ransum berkadar
protein 20%.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1995. Kemajuan muthakir
Dalam Ransum Unggas. UI Press.
Jakarta
Antawidjaja Tata. 1990. Meningkatkan
peranan ternak entog (Cairina
moschata) dalam pembangunan
peternakan. Proceeding : Temu tugas
sub sektor peternakan. Sub Balitnak,
Klepu. Januari, 1990.
Dean,W.F dan T.F.Shen, 1982. Effect of
methionine on the chlorine requirement of
ucklings. J.Poult. Sci. 61:1447-1448.
Ermanto, C. 1986. Perbandingan performan
itik tegal (Anas plathyrinchos), itik manila
(Cairina moschata) dan hasil
persilangannya (Mule duck). Karya
ilmiah. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
Leclercq, B and H. De Carville. 1985.
Growth and Bodu composition of
muscovy duckling, in : Duck production
science and world practice. Univ. New
England.
Scott, M. L and W. F. Dean. 1991. Nutrition
and management ducks. M,L. Scott of
Ithaca, New York.
Soesiawaningrini, D.P., B. Suwardi and M.
Thorari. 1979. Waterhyacinth (Eichornia
crassipes mart) in broiler duck ration. In :
Proceedings of the 6th Asian Pasific.
Weed Science Society Conference.
Jakarta. PP:623-627.
Suwarta, FX. 1996. Evaluasi Peranan Seka
dan Aras Sekam Padi Dalam Ransum
Terhadap Kinerja Itik Manila. Thesis.
Pasca Sarjana. UGM.
Srigandono, 1996. Ilmu Produksi Unggas
Air. Gajah Mada University Press.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
10
OPTIMALISASI KONSENTRASI MIKROKONIDIUM DALAM FORMULASI AGENS HAYATI
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE AVIRULEN DAN DOSIS PENGGUNAANNYA
UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT MOLER PADA BAWANG MERAH
Bambang Nugroho
Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Jl. Wates Km 10 Yogyakarta
55753
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
An effective biological control agent, avirulent Fusarium oxysporum f. sp. cepae (Foc33), was developed to control moler disease on shallot and was well formulated in zeolite powder. However, its effectiveness was affected by several factors including dose of application and concentration of microcodia in the formula. This study was carried out to find the appropriate dose of application and microconidia concentration of the agent in controlling moler diseases and giving the best yield of shallot. The research was single factor with three replications arranged in completely randomized design. The treatment was the application of biological control agent of Foc33 formulated in zeolite powder with five levels, i.e. A = Control, B = the dose of 35 kg/ha (0,22 g/polybag) with the concentration of 104 spore/ml, C = the dose of 40 kg/ha (0,25 g/polibag) with the concentration of 104 spore/ml, D = the dose of 35 kg/ha (0,22 g/polibag) with the concentration of 104 spore/ml, E = the dose of 40 kg/ha (0,25 g/polibag) with the concentration of 106 spore/ml. Shallot bulb (Kuning variety) was planted in the polybag 25 cm in diameter containing planting medium of soil and cow manure mixture with the ratio of 2:1 v/v. Before planting, Foc33 was applied by placing the zeolite formula in the planting hole as much as the dose used in the treatment. Pathogen inoculation was done before Foc33 application by pouring 20 ml microconidium suspension of virulent Fusarium oxysporum f. sp. cepae with the concentration of 106 spore/ml. Moler disease intensity, growth variable (plant
height, leaf number, and plant fresh weight), and yield variable (bulb number, bulb diameter, bulb weight after harvest, and bulb sun-dried weight) were observed. Data was analyzed using ANOVA. The results showed that effectiveness of Foc33 in controlling moler disease was affected by its dose and concentration. The higher the dose and concentration, the lower the disease intensity. The best treatment is E (the dose of 40 kg/ha (0,25 g/polibag) and the concentration of 106 spore/ml) with lowest disease intensity of 47 per cent. The use of Foc33 could increase the plant height and leaf number but did not improve bulb number and bulb diameter. However, the use of this biological control agent with the appropriate dose and concentration (treatment E) was able to save about 40 per cent of yield loss based on the bulb sun-dried weight.
Key words: moler disease, Foc33, application dose, microconidium concentration
PENDAHULUAN
Penyakit merupakan salah satu
kendala utama di lapangan dalam
pengembangan bawang merah di Indonesia
karena hampir selalu ditemukan di setiap
daerah penanaman. Penyakit busuk
pangkal umbi (moler) yang disebabkan oleh
Fusarium oxysporum f. sp. cepae adalah
penyakit yang perlu diberi perhatian khusus
dalam penanganannya, karena luas
serangannya dari tahun ke tahun terus
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
11
bertambah. Pada 2003-2005 kumulatif luas
tambah serangan penyakit moler adalah
48,1 ha, 116,8 ha, dan 268,1 ha (Anonim,
2006a). Hal ini menunjukkan bahwa upaya
pengendalian penyakit moler yang
dilakukan selama ini belum efektif, padahal
kumulatif luas pengendalian penyakit ini
dari tahun ke tahun terus meningkat yaitu
4.569,1 ha (2003), 8.095,8 ha (2004), dan
5.867,2 ha (2005) (Anonim, 2006b).
F. oxysporum f. sp. cepae adalah
jamur patogen yang mampu bertahan hidup
di dalam tanah dalam jangka waktu yang
lama. Patogen hidup secara internal di
dalam jaringan tanaman inangnya. Kondisi
yang demikian menyebabkan penyakit sulit
dikendalikan apabila menggunakan
fungisida. Tanah yang sudah terinfestasi
patogen juga sulit untuk dibebaskan
kembali sehingga memungkinkan penyakit
senantiasa muncul sepanjang musim.
Sementara itu varietas bawang merah yang
tahan terhadap penyakit ini belum tersedia.
Dengan demikian perlu dikembangkan
metode pengendalian yang efektif, murah,
mudah diaplikasikan, dan ramah terhadap
lingkungan.
Pengendalian hayati dengan
memanfaatkan agens pengendali biologi
merupakan metode yang tepat untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Agens
hayati yang efektif untuk mengendalikan
penyakit moler telah diperoleh yaitu varian
avirulen dari Fusarium oxysporum f. sp.
cepae yang diberi nama Foc33. Agens
hayati ini juga sudah diformulasikan dalam
bentuk tepung (powder) dengan bahan
pembawa zeolit (Nugroho, 2010). Namun
demikian, dosis penggunaan yang tepat
dan konsentrasi spora yang terbaik di dalam
formulasi tersebut perlu diteliti lebih jauh.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan
dilakukan optimasi dosis dan konsentrasi
tersebut sehingga mampu meningkatkan
efektivitas agens hayati dalam
mengendalikan penyakit moler.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dosis penggunaan formulasi
dan konsentrasi spora (mikrokonidium)
agens hayati Foc33 yang tepat yang
memberikan pengaruh terbaik dalam
mengendalikan penyakit moler bawang
merah dan memberikan hasil bawang
merah yang terbaik.
MATERI DAN METODE
1. Rancangan Percobaan
Penelitian ini merupakan percobaan
faktor tunggal yaitu penggunaan agens
hayati Fusarium oxysporum f. sp. cepae
(Foc33) yang sudah diformulasikan dalam
zeolit dengan lima aras perlakuan yaitu:
A = Kontrol
B = Dosis penggunaan 35 kg/ha (0,22
g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 104 spora/ml
C = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25
g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 104 spora/ml
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
12
D = Dosis penggunaan 35 kg/ha (0,22
g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 104 spora/ml
E = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25
g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 106 spora/ml
Percobaan disusun dalam
rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan.
Tiap-tiap satuan perlakuan digunakan 10
polibeg (10 tanaman) sehingga populasi
total tanaman sebanyak 5 x 3 x 10 = 150
tanaman.
2. Pembuatan Formulasi
Zeolit yang digunakan disterilkan
terlebih dahulu dengan cara pengovenan
selama 2 jam pada suhu 60oC. Pembuatan
formulasi dilakukan dengan menginokulasi
4 g zeolit yang sudah disterilkan dengan
agens pengimbas Foc33 sebanyak 10 ml
dengan konsentrasi mikrokonidium 104
spora/ml dan 106 spora/ml sesuai dengan
perlakuan (Singh et al., 1998). Zeolit yang
sudah diinokulasi dibiarkan mengering di
dalam cawan petri. Setelah mengering,
formulasi tersebut dihancurkan dan
dilembutkan dengan kuas steril dan siap
digunakan.
3. Persiapan Umbi Bibit dan Penanaman
Sebelum ditanam, umbi bibit
bawang merah varietas Kuning didisinfeksi
dengan direndam dalam NaOCl 1% selama
1 menit, dicuci dengan akuades steril dan
ditiriskan semalam di atas kertas koran
(Ozer et al., 2004). Umbi yang sudah
diperlakukan ditanam dalam polibeg
berdiameter 25 cm yang berisi campuran
tanah dan pupuk kandang sapi 2:1 v/v.
Setiap polibeg ditanami satu umbi. Tanah
yang digunakan disterilkan lebih dahulu
dengan cara steaming (pengukusan)
selama lebih kurang 2 jam. Untuk
menimbulkan penyakit moler, sebelum
tanam ke dalam setiap lubang tanam
diinokulasi dengan 20 ml suspensi
mikrokonidium patogen F. oxysporum f. sp.
cepae isolat Bt dengan konsentrasi 106/ml.
4. Pemberian Perlakuan
Agens hayati yang sudah
diformulasikan dalam zeolit dengan
konsentrasi mikrokonidium yang sudah
ditentukan, diberikan pada pada setiap
polibeg dengan dosis seperti perlakuan.
Pemberian dilakukan sebelum umbi bibit
ditanam dengan cara menaburkan di lubang
tanam.
5. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman yang
dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman,
dan penyiangan gulma. Pupuk kandang
sapi dicampur secara merata dengan tanah
sebagai medium tanam dengan
perbandingan 2/1 v/v. Dosis pupuk
anorganik yang diberikan masing-masing
adalah urea 0,625 g/polibeg (setara
dengan 100 kg urea/ha), ZA 1,56 g/polibeg
(setara dengan 250 kg ZA/ha), TSP 1,25
g/polibeg (setara dengan 250 kg TSP/ha),
dan KCl 0,625 g/polibeg (setara dengan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
13
100 kg ZA/ha). Pupuk kandang dan TSP
diberikan sebelum tanam sebagai pupuk
dasar, sedangkan pupuk yang lain diberikan
dua kali pada umur 2 dan 5 minggu setelah
tanam masing-masing dengan setengah
dosis. Penyiraman dilakukan tiap hari untuk
menjaga kelembaban tanaman, sedangkan
penyiangan dilakukan sesuai dengan
kondisi gulma di polibeg.
6. Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk
memperoleh data-data sebagai berikut:
a. Intensitas Penyakit. Intensitas
penyakit dihitung sebanyak 6 kali
pengamatan dimulai sejak 2 minggu
setelah tanam. Pengamatan
dilakukan seminggu sekali.
Intensitas penyakit dihitung dengan
menggunakan rumus:
a
IP = -------- X 100%
b
dengan IP = intensitas penyakit,
a = jumlah tanaman yang bergejala,
dan b =jumlah tanaman yang
diamati.
b. Variabel pertumbuhan meliputi
jumlah daun, tinggi tanaman, dan
bobot segar tanaman. Pengamatan
dilakukan mulai umur 2 sampai
dengan 6 minggu setelah tanam
untuk variabel jumlah daun dan
tinggi tanaman, sedangkan. bobot
segar tanaman ditimbang pada akhir
penelitian. Pengamatan dilakukan
terhadap 10 tanaman.
c. Variabel hasil meliputi jumlah umbi
per rumpun, diameter umbi, dan
bobot umbi. Pengamatan dilakukan
setelah panen terhadap 10 tanaman.
7. Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis
varians dan apabila terdapat beda nyata
dilanjutkan dengan DMRT (Duncan New
Multiple Range Test) (p=0,05%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh perlakuan terhadap
intensitas penyakit moler mulai terlihat pada
pengamatan minggu ke 4, walaupun pada
pengamatan sebelumnya, yaitu minggu
kedua dan ketiga intensitas penyakit moler
pada kontrol selalu yang tertinggi. Pada
minggu kedua (pengamatan pertama),
intensitas penyakit moler pada kontrol
(perlakuan A) sudah mencapai 50% lebih.
Pemberian agens hayati Foc33 mampu
menekan intensitas penyakit moler sampai
dengan pengamatan terakhir. Pada
pengamatan terakhir, intensitas penyakit
moler pada perlakuan dengan dosis dan
konsentrasi terendah (perlakuan B) tidak
berbeda nyata dengan kontrol. Semakin
tinggi konsentrasi dan dosis pemakaian
agens hayati Foc33, semakin rendah
intensitas penyakit molernya. Intensitas
terndah diperoleh pada perlakuan E
sebesar 47% yang berbeda nyata dengan
kontrol (Tabel 1).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
14
Tabel 1. Intensitas penyakit moler bawang merah pada masing-masing perlakuan mulai minggu
kedua sampai dengan minggu keenam setelah tanam (data ditransformasi ke arc sin)
Pengamatan minggu ke Perlakuan
2 3 4 5 6
A 50,85a 70,08a 72,29a 72,29a 72,29a
B 41,07a 52,86a 52,86b 57,00a 61,92ab
C 37,14a 48,93a 50,85b 55,08a 55,08b
D 26,07a 47,01a 48,93b 55,77a 54,78b
E 30,93a 45,08a 47,30b 49,22a 47,01b
Keterangan: A = Kontrol, B = Dosis penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan
konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, C = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25
g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, D = Dosis penggunaan 35
kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, E = Dosis
penggunaan 40 kg/ha (0,25 g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 106 spora/ml
(notasi yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji
DMRT dengan α = 0,05)
Efektivitas yang lebih tinggi pada
perlakuan E dalam menekan intensitas
penyakit moler, berkaitan dengan dosis
penggunaan dan konsentrasi
mikrokonidium agens hayati yang lebih
tinggi yaitu masing-masing sebesar 40
kg/ha dan 106 spora/ml. Konsentrasi ini
sama dengan konsentrasi mikrokonidium
patogennya yang digunakan untuk inokulasi
buatan. Hasil penelitian Shishido (2005)
menunjukkan hal yang sama. Penelitian ini
menguji efektivitas agens hayati F.
oxysporum non-patogenik strain Fo-B2
untuk mengendalikan penyakit layu pada
tanaman tomat yang disebabkan oleh F.
oxysporum f. sp. lycopersici. Konsentrasi
spora agens hayati yang digunakan
bervariasi dari 104 sampai dengan 107/ml,
sedangkan konsentrasi spora patogennya
dari 104 sampai dengan 106/ml. Hasilnya
menunjukkan bahwa intensitas penyakit
layu semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi spora agens
hayati yang digunakan pada setiap
konsentrasi spora patogennya. Intensitas
penyakit bisa lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol apabila konsentrasi spora
agens hayatinya lebih rendah daripada
konsentrasi spora patogennya. Hal ini
mengindikasikan bahwa agens pengimbas
akan bekerja efektif apabila konsentrasi
spora yang digunakan lebih tinggi daripada
konsentrasi spora patogennya.
Peningkatan efektivitas penekanan penyakit
oleh agens hayatinya berkaitan dengan
kolonisasi akar sebelum terinfeksi patogen.
Kemungkinan dengan meningkatnya
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
15
konsentrasi spora agens hayati, kolonisasi
akar juga semakin baik.
Penurunan intensitas penyakit akibat
penggunaan agens pengimbas dengan
dosis dan konsentrasi yang tepat
berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanamannya. Hal ini dapat dilihat pada
tinggi tanaman dan jumlah daun. Tanaman
yang dikendalikan dengan agens hayati
menunjukkan tinggi yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Pada akhir
pengamatan, tinggi tanaman pada kontrol
hanya 19,484 cm sedangkan pada
perlakuan di atas 30 cm (Tabel 2). Sejalan
dengan perkembangan intensitas penyakit,
perbedaan jumlah daun akibat perlakuan
yang diberikan terlihat pada pengamatan
minggu keempat (Tabel 3). Pada minggu
keempat, jumlah daun terbanyak diperoleh
pada perlakuan D, sedangkan yang
terendah diperoleh pada kontrol. Pada
akhir pengamatan, rerata jumlah daun pada
kontrol hanya 7,167 buah, sedangkan pada
perlakuan di atas 13 buah.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Santosa et al. (2007) yang
mendapatkan bahwa pada petak-petak
bawang merah yang diinokulasi dengan
patogen moler menunjukkan pertumbuhan
yang kurang baik dibandingkan dengan
petak-petak yang tidak diinokulasi.
Intensitas penyakit pada petak-petak yang
diinokulasi patogen tersebut lebih tinggi
daripada petak-petak yang tidak diinokulasi.
Tabel 2. Tinggi tanaman bawang merah pada masing-masing perlakuan mulai
minggu kedua sampai dengan minggu keenam setelah tanam (cm)
Pengamatan minggu ke Perlakuan
2 3 4 5 6
A 28,313a 33,756a 33,945a 31,883bc 19,484b
B 29,789a 38,181a 38,700a 41,383a 39,883a
C 29,100 a 35,890 a 35,187 a 30,107c 31,093 a
D 28,400 a 35,728 a 40,256 a 36,039abc 35,094 a
E 28,450 a 36,362 a 40,942 a 39,428ab 37,611 a
Keterangan: A = Kontrol, B = Dosis penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan
konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, C = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25
g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, D = Dosis
penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104
spora/ml, E = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25 g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 106 spora/ml (notasi yang sama pada setiap kolom menunjukkan
tidak berbeda nyata menurut uji DMRT dengan α = 0,05)
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
16
Tabel 3. Jumlah daun bawang merah dan bobot segar tanaman pada masing-masing
perlakuan mulai minggu kedua sampai dengan minggu keenam setelah tanam
(cm)
Pengamatan minggu ke
Perlakuan
2 3 4 5 6
Berat
segar
total
tanaman
(g)
A 19,070a 23,450 a 10,875b 18,500 a 7,167 a 83,375 a
B 19,200 a 29,711 a 22,167ab 18,833 a 23,500 a 92,577 a
C 24,800 a 28,430 a 18,700ab 12,167 a 13,333 a 127,960 a
D 21,200 a 24,680 a 27,170 a 22,222 a 20,833 a 61,480 a
E 20,470 a 27,700 a 23,230ab 16,750 a 15,111 a 131,015 a
Keterangan: A = Kontrol, B = Dosis penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan
konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, C = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25
g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, D = Dosis
penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104
spora/ml, E = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25 g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 106 spora/ml (notasi yang sama pada setiap kolom menunjukkan
tidak berbeda nyata menurut uji DMRT dengan α = 0,05)
Efektivitas agens hayati dalam
menekan penyakit moler belum mampu
meningkatkan jumlah umbi per tanaman
secara nyata walaupun jumlah umbi pada
kontrol lebih rendah daripada jumlah umbi
pada seluruh perlakuan. Jumlah umbi
dihitung setelah bawang merah dipanen
dan dilakukan pada tanaman yang masih
hidup hingga akhir penelitian. Tanaman
yang masih hidup hingga panen adalah
tanaman yang sehat atau tidak
menunjukkan gejala penyakit. Hal inilah
yang diduga menyebabkan jumlah umbi
tidak berbeda nyata antarperlakuan (Tabel
4).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
17
Tabel 4. Jumlah umbi per tanaman, diameter umbi, jumlah tanaman yang hidup pada
saat panen, bobot segar umbi, dan bobot kering matahari umbi pada masing-
masing perlakuan
Perlakuan Jumlah
umbi
Diameter umbi
(mm)
Bobot segar
umbi (g)
Bobot kering
matahari
umbi (g)
Jumlah
tanaman
hidup
A 4,25a 16,455 a 37,050 a 24,500 a 4 a
B 5,00 a 15,710 a 34,250 a 19,530 a 6 a
C 5,50 a 15,875 a 57,200 a 36,800 a 6 a
D 4,83 a 13,580 a 20,940 a 10,977 a 6 a
E 6,50 a 16,170 a 59,950 a 40,500 a 9 a
Keterangan: A = Kontrol, B = Dosis penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan
konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, C = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25
g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104 spora/ml, D = Dosis
penggunaan 35 kg/ha (0,22 g/polibeg) dengan konsentrasi mikrokonidium 104
spora/ml, E = Dosis penggunaan 40 kg/ha (0,25 g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 106 spora/ml (notasi yang sama pada setiap kolom menunjukkan
tidak berbeda nyata menurut uji DMRT dengan α = 0,05)
Perlakuan yang diberikan juga tidak
berpengaruh terhadap diameter umbi.
Umbi yang diperoleh berukuran relatif kecil
karena diameternya tidak mencapai 2 cm.
Nugroho (2009) pada penelitian
sebelumnya juga mendapatkan hasil yang
sama, bahwa walaupun agens hayati yang
digunakan efektif dalam menekan
perkembangan penyakit moler tetapi tidak
berpengaruh terhadap diameter umbi.
Perbedaan yang terlihat pada hasil
akibat perlakuan yang diberikan lebih
disebabkan karena agens hayati mampu
menurunkan jumlah tanaman yang mati
(mempertahankan jumlah tanaman yang
hidup). Pada akhir pengamatan, jumlah
tanaman yang masih hidup terendah
diperoleh pada kontrol sebanyak empat
tanaman, sedangkan yang tertinggi
diperoleh pada perlakuan E sebanyak
sembilan tanaman. Hal ini berarti dengan
dosis dan konsentrasi penggunaan agens
hayati Foc33 yang tepat (perlakuan E)
mampu menurunkan kematian tanaman
hingga 55% bila dibandingkan dengan
kontrol (perlakuan A). Rengwalska dan
Simon (1986) menyatakan bahwa patogen
F. oxysporum f. sp. cepae memang mampu
menyebabkan kematian pada tanaman
inang termasuk pada bawang bombay
secara cepat karena terjadinya kematian
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
18
jaringan (busuk) pada pangkal batang
(basal rot). Patogen ini juga dapat
menyebabkan penyakit pada bawang putih.
Bobot segar umbi dan bobot kering
matahari umbi diperoleh dengan
menimbang seluruh umbi dari jumlah
tanaman yang masih hidup (Tabel 4).
Dengan demikian, maka bobot segar dan
bobot kering matahari umbi tertinggi juga
diperoleh pada perlakuan E masing-masing
sebesar 59,95 g dan 40,5 g. Sementara itu
pada kontrol bobot segar dan bobot kering
matahari umbi masing-masing adalah 37,05
dan 24,5 g. Hal ini berarti bahwa dengan
pemakaian agens hayati dengan dosis dan
konsentrasi yang tepat mampu
menyelamatkan hasil sebesar kurang lebih
40%. Sementara itu pada penelitian
sebelumnya, dengan waktu aplikasi yang
tepat penggunaan agens hayati ini mampu
menyelamatkan hasil hingga 48% lebih
(Nugroho, 2009).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan
tersebut dapat disimpulkan
bahwa:
1. Efektivitas penekanan penyakit moler
oleh agens hayati Fusarium oxysporum
f. sp. cepae avirulen (Foc33) yang
diformulasikan dalam zeolit dipengaruhi
oleh dosis penggunaan dan konsentrasi
mikrokonidiumnya. Dosis yang paling
baik yang diperoleh adalah 40 kg/ha
(0,25 g/polibeg) dengan konsentrasi
mikrokonidium 106 spora/ml.
2. Efektivitas Foc33 dalam menekan
intensitas penyakit moler dapat
diperoleh dengan konsentrasi minimal
sama dengan konsentrasi patogennya.
3. Penggunaan agens hayati Foc33
mampu menyelamatkan hasil dalam
bentuk bobot kering matahari umbi
sebesar 40%.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006a. Kumulatif luas tambah
serangan OPT pada tanaman
bawang merah 2000-2005.
www.deptan.go.id/ditlinhorti/.
Diakses 05/01/07.
______. 2006b. Kumulatif luas
pengendalian OPT pada tanaman
bawang merah 2000-2005.
www.deptan.go.id/ditlinhorti/.
Diakses 05/01/07.
Nugroho, Bambang. 2009.
Pengembangan Fusarium
oxysporum f. sp. cepae varian
avirulen sebagai agens pengimbas
ketahanan bawang merah terhadap
penyakit moler. Laporan Akhir Hasil
Penelitian Hibah Bersaing (Tahun II).
Tidak dipublikasikan.
________________. 2010.
Pengembangan Fusarium
oxysporum f. sp. cepae varian
avirulen sebagai agens pengimbas
ketahanan bawang merah terhadap
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
19
penyakit moler. Laporan Akhir Hasil
Penelitian Hibah Bersaing (Tahun
III). Tidak dipublikasikan.
Ozer, N., N.D. Koychu, G. Chilosi, dan P.
Magro. 2004. Resistance to
Fusarium basal rot of onion in
greenhouse and field and associated
expression of antigungal
compounds. Phytoparasitica 32(4):
388-394.
Rengwalska, M. M., and Simon, P. W. 1986.
Laboratory evaluation of pink root
and Fusarium basal rot resistance in
garlic. Plant Disease 70:670-672.
Santoso, Suprapto Edy, Loekas Susanto,
dan Totok Agung Dwi Haryanto.
2007. Penenkanan hayati penyakit
moler pada bawang merah dengan
Trichoderma harzianum,
Trichoderma koningii, dan
Psudomonas fluorescens P60. J.
HPT Tropika 7(1):53-61
Shishido, M., Miwa, C., Usami, T.,
Amemiya, Y., and Johnson, K. B.
2005. Biological control efficiency of
Fusarium wilt of tomato by
nonpathogenic Fusarium oxysporum
Fo-B2 in different environments.
Phytopathology 95:1072-1080.
Singh, P.P., Shin, Y.C., Park, C.S., and
Chung, Y.R. 1999. Biological
control of Fusarium wilt of cucumber
by chitinolytic bacteria.
Phytopathology 89:92-99.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
20
PENGARUH NANOKAPSUL EKSTRAK KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS SENSORI DAGING AYAM BROILER
Oleh :
Sundari1*, Zuprizal2, Tri-Yuwanta2, Ronny Martien3 1Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta,Jl.Wates km 10,Sedayu-
Bantul 55753 2 Fakultas Peternakan,Universitas Gadjah Mada Jl. Fauna 3, Bulaksumur Yogyakarta 55281
3Fakultas Farmasi,Universitas Gadjah Mada,Sekip Utara Yogyakarta 55281 *E -mail: [email protected]
ABSTRACT
This study aimed to evaluate the effect of turmeric-extract nanocapsule levels in the ration on sensory quality and fatty acids composition of broiler chicken meat. This study used a completely randomized design, one way classification. One hundred and twenty male broiler chicks were divided into 10 treatments with 3 replicates, each of 4 birds per replicate. Ten thtreatments are : P1 (BR + Bacitracin 50 ppm), P2 (BR /Basal-Rations /control), P3 (BR + Chitosan 0.1%), P4 (BR + Turmeric-Extract 0.1%), P5 (BR + STTP 0.1%), P6 (BR + Nanocapsule 0.2%), P7 (BR + Nanocapsule 0.4%), P8 (BR + Nanocapsule 0.6%), P9 (BR + Nanocapsule 0.8%), P10 (Commercial-Ration). The variables measured of sensory quality were : color, odor, taste, tenderness, texture and preference panelists and meat fatty acids composition. ANOVA followed LSD was used for data analysis. The results showed that treatments ofthe feed had no significant difference (P>0.05) for color, odor, taste, tenderness, and preference panelists but significantly difference (P<0.05) in the texture of the meat. It was concluded that turmeric extracts nanocapsule can be used in broiler rations a t levels 0.4% yield sensory quality are good in meat broiler chicken.
Key words: Turmeric-extract, Nanocapsule, Sensory-quality, Fatty-acids, Broiler-chicken.
PENDAHULUAN
Sebagian masyarakat mulai enggan
untuk mengkonsumsi daging ayam broiler,
hal ini antara lain disebabkan oleh adanya
bau amis, anyir atau bau yang lainnya yang
disebut sebagai off odor disamping takut
efek samping adanya residu antibiotik
ataupun lemak dalam daging. Antibiotik
secara luas digunakan pada budidaya
unggas tidak hanya untuk mengobati
penyakit tetapi juga untuk memelihara
kesehatan, meningkatkan pertumbuhan,
dan memperbaiki efisiensi pakan (Gaudin et
al., 2004). Pemberian antibiotik yang tidak
terkontrol dan tidak terbatas dapat
menyebabkan akumulasi atau residu dalam
tubuh ternak dan produknya (Wachira et al.,
2011). Disamping antibiotik guna mencapai
kinerja yang tinggi pada ayam broiler juga
dipakai ransum berprotein dan berenergi /
berlemak tinggi menyebabkan tingginya
kandungan lipid daging terutama asam
lemak jenuh dan kolesterol serta off odor.
Penyakit jantung dan aterosklerosis
merupakan penyebab utama kematian
manusia, berhubungan erat dengan
konsumsi kolesterol dan asam lemak jenuh
(Sacks, 2002 cit. Omojola et al., 2009).
Adanya kontroversi penggunaan
antibiotik dan ransum berenergi tinggi
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
21
diatas, perlu upaya mencari feed additive
dari bahan alami yang mempunyai potensi
pengganti fungsi antibiotik, mengurangi off
odor sekaligus penurun asam lemak
jenuh/kolesterol dalam daging. Beberapa
peneliti terdahulu melaporkan bahwa
antioksidan merupakan komponen yang
dapat menunda, memperlambat dan
mencegah reaksi oksidasi radikal bebas
dalam oksidasi lipid (Barroeta, 2007).
Kurkumin telah terbukti sebagai antioksidan
yaitu dapat menangkap radikal hidroksi
merupakan salah satu bentuk dari radikal
bebas (Nurfina, 1996 cit. Aznam, 2004).
Beberapa penelitian secara in vitro dan in
vivo menunjukkan bahwa kunyit mempunyai
aktivitas sebagai antibakteri, antiinflamasi
(antiperadangan), antitoksik,
antihiperlipidemia, antioksidan dan
antikanker, tetapi kurkumin mempunyai
bioavailabilitas yang rendah (kelarutan
rendah, penyerapan rendah, cepat lewat,
tingginya tingkat metabolisme di sel usus,
eliminasi cepat) (Anand et al., 2007). Salah
satu sebab rendahnya bioavailabilitas
kurkumin adalah tidak larut air pada asam
atau pH netral, dan ini penyebab sulitnya
diabsorpsi (Maiti et al., 2007), sehingga
aplikasi kurkumin diperlukan teknologi dan
polimer yang mampu membawa dan
mengantarkannya untuk dapat terabsorbsi
dengan baik, seperti kitosan nanopartikel.
Kurkumin atau kunyit cenderung
mempunyai muatan negatif. Kitosan pada
suasana asam akan terprotonasi. Kedua
muatan yang berlawanan jika dicampur
akan berikatan ionik (kitosan
mengenkapsulasi kurkumin). Sehubungan
dengan pemberian nanokapsul ini secara
oral dan sifat kitosan yang labil terhadap pH
rendah serta protease yang dihasilkan di
lambung, agar ikatan ionik antara kitosan
dan kurkumin tidak seluruhnya rusak maka
diperlukan bahan anion misalnya sodium
tripolifosfat (STPP) sebagai cross-linking.
Cas yang berlawaanan dari poli elektrolit
dapat menstabilkan kompleks inter
molekuler untuk enkapsulasi dari makro
molekul (Swatantra et al., 2010). Produk
nanokapsul ekstrak kunyit ini adalah
produk baru, oleh karenanya perlu dipelajari
pengaruhnya pada penerimaan konsumen
(uji sensoris) terhadap daging hasil
aplikasinya.
MATERI DAN METODE
Penelitian pemeliharaan ternak
ayam broiler dilakukan di kandang
percobaan Laboratorium Ilmu Makanan
Ternak Fakultas Peternakan UGM.
Sedangkan uji sensoris dilakukan di
Laboratorium sensoris Universitas Mercu
Buana Yogyakarta. Penelitian ini
menggunakan Rancangan AcakLengkap
(RAL) pola searah. Susunan 10 kombinasi
ransum basal dan feed additive perlakuan
adalah sebagai berikut: P1(RB + Bacitracin
50 ppm), P2( RB /Ransum Basal/kontrol),
P3(RB + Kitosan 0,1%), P4(RB + Ekstrak
Kunyit 0,1%), P5(RB + STTP 0,1%), P6(RB
+ Nanokapsul 0,2%), P7(RB + Nanokapsul
0,4%), P8(RB + Nanokapsul 0,6%), P9(RB
+ Nanokapsul 0,8%), P 10(Ransum
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
22
Komersial). Peubah yang diukur : uji
sensoris atau organoleptik adalah warna,
bau, rasa, keempukan, tekstur dan
kesukaan panelis serta kadar asam lemak
daging. Seratus dua puluh ekor anak ayam
broiler umur 2 minggu dibagi secara acak
dalam 10 perlakuan ransum. Setiap
perlakuan diulangi 3 kali dan setiap ulangan
terdiri dari 4 ekor. Ayam dipelihara di
kandang kawat dilengkapi dengan alat
makan dan minum serta pemanas listrik dari
umur 2-6 minggu. Ransum yang diberikan
dalam bentuk mash dan kandungan nutrient
disesuaikan dengan kebutuhan ayam
broiler (NRC, 1994). Ransum dan air minum
diberikan ad libitum. Bahan dan komposisi
serta kandungan gizi ransum basal
disajikan dalam Tabel 1. Pada umur 6
minggu, tiap ulangan diambil 1 ekor ayam
dipotong untuk diambil sampel daging
bagian paha atas tanpa kulit untuk
keperluan uji sensori.
Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum basal *:
BAHAN PAKAN PERSENTASE (%)
Jagung kuning giling 52,00 Dedak padi 13,00 Bungkil kedelai 19,00 Tepung ikan 9,50 Minyak sawit 5,15 Batu kapur 0,85 Garam NaCl Premix ** L-Lysine HCl DL Metionin
0,25 0,20 0,10 0,05
TOTAL 100,00
KANDUNGAN NUTRIEN Protein kasar (%) 20,21 Metabolizable Energy (kcal/kg) 3199,83 Lemak kasar (%) 4,71 Serat kasar (%) 4,02 Kalsium (%) 0,94 Fosfor tersedia (%) 0,41 Lisin (%) 1,15 Metionin (%) 0,40
Keterangan :
*Standar kebutuhan nutrien ayam broiler umur 3-6 minggu (NRC, 1994): protein 20%;
Lys 1,0%; Met 0,38%; energy 3200 kcal/kg, Ca 0,9%; P av 0,35%.
** Komposisi premix per kilogram : Ca 32,5%; P 10,0%; Fe 6,0 g; Mn 4 g; Iod 0,075 g;
Zn 3,75 g; vit B12 0,5 mg; vit D3 50000 IU.
Uji kualitas sensoris daging
dilakukan dengan sampel daging yang
dimasak tanpa garam atau bumbu. Skor
aroma, warna, rasa, tekstur, keempukan,
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
23
dan daya terima pada uji sensoris disajikan
pada Tabel 2. Pada uji sensoris perebusan
daging dilakukan selama 60 menit pada
suhu 80ºC. Ukuran panjang, lebar dan
tinggi setiap potongan daging adalah 1 x 1 x
1 cm. Panelis yang digunakan dalam uji ini
adalah panelis agak terlatih (semi terlatih)
sebanyak 15 orang sesuai metode
Rayahu,1998 cit. Purba et al., 2010.
Seluruh panelis bertugas untuk memberikan
skor pada setiap sampel yang disajikan ke
dalam formulir yang disediakan.
Data hasil uji sensoris dianalisis
dengan statistic non parametric Kruskal
Wallis dan ANOVA untuk yang berbeda
nyata dilanjutkan uji LSD menggunakan
program computer SPSS versi 16 for
Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penilaian kualitas sensoris atau uji
organoleptik
Penilaian kualitas sensoris atau uji
organoleptik terhadap daging ayam broiler
dilakukan dengan uji hedonic. Kualitas
sensoris / sifat mutu daging merupakan
parameter kualitas daging yang terdiri dari
uji aroma, warna, rasa, tekstur, keempukan,
dan daya terima / kesukaan keseluruhan
panelis terhadap daging yang diuji secara
subyektif oleh panelis. Daging yang
digunakan untuk uji ini adalah daging
bagian paha atas. Panelis diminta untuk
memberikan skor 1 (satu) sampai dengan 5
(lima), dengan arti sebagai berikut: 1=
sangat suka, 2 = suka, 3 = agak suka, 4 =
tidak suka, 5 = sangat tidak suka. (Jadi
derajad kesukaan panelis dimulai dari
angka kecil dan paling tidak disukai
mempunyai skor nilai yang besar).
Aroma daging.
Aroma merupakan sifat mutu yang
penting untuk diperhatikan dalam penilaian
organoleptik bahan pangan, karena aroma
merupakan faktor yang sangat berpengaruh
pada daya terima konsumen terhadap suatu
produk. Aroma merupakan sifat mutu yang
sangat cepat memberikan kesan bagi
konsumen. Penilaian terhadap aroma dapat
dilakukan dari jarak jauh, atau tanpa melihat
produk itu sendiri. Nilai rataan kesukaan
panelis terhadap aroma daging antara 2,20
hingga 2,73 yaitu berkisar suka hingga agak
suka, dapat dilihat pada Tabel 2. Secara
statistik perlakuan penambahan feed
additive / nanokapsul ekstrak kunyit
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
aroma daging dibandingkan kontrol ransum
basal ataupun ransum komersial. Tetapi jika
dilihat dari angka reratanya daging ayam
yang diberi ransum komersial atau
nanokapsul 0,4% merupakan yang paling
disukai aromanya (Gambar 1). Menurut
Soeparno (2005) aroma daging dipengaruhi
oleh umur ternak, jenis pakan, lama dan
kondisi penyimpanan setelah dipotong.
Dalam hal ini jenis pakan /nanokapsul
ekstrak kunyit setelah sampai di saluran
pencernaan ayam sebagian kecil akan
didegradasi dan sebagian lagi akan
diabsorbsi masuk ke darah dan dibawa ke
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
24
seluruh tubuh (kecernaan kurkumin dalam
ransum ayam broiler yang ditambah
nanokapsul 0,5% adalah 70,64%).
Kurkumin setelah ada di cairan sel akan
cepat dimetabolisme dan diubah menjadi
senyawa turunannya sehingga sudah
kehilangan sifat aslinya yang beraroma
enak setelah menjadi daging sehingga
memberikan aroma yang tidak berbeda
nyata. Aroma amis /fishy (off odor) daging
pada seluruh perlakuan tidak tampak,
semua daging harum dan enak, disini
pemakaian tepung ikan sama yaitu 9,5%
(Tabel 1).
Gambar 1. Skor nilai aroma daging yang pakannya ditambah nanokapsul.
Warna daging.
Warna daging merupakan salah satu
sifat dari sensoris daging yang utama. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa skor warna
daging ayam broiler yang diberi pakan
dengan penambahan nanokapsul ekstrak
kunyit berbeda tidak nyata (P>0,05) yaitu
antara 2,20 sampai 2,87/ warna agak
kuning sampai putih kekuningan. Hal ini
disebabkan karena penambahan
nanokapsul ekstrak kunyit tidak
mempengaruhi mioglobin (Soeparno, 2005;
Fanatico et al., 2007), hemoglobin (Chartrin
et al., 2006), dan pigmen heme yang
menentukan warna daging. Menurut
Soeparno (2005), faktor-faktor yang
mempengaruhi warna daging adalah pakan,
spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres
(tingkat aktifitas dan tipe otot), pH dan
oksigen. Pada penelitian ini kadar
hemoglobin dari seluruh perlakuan juga
tidak berbeda nyata rerata 5,75 g/dl atau
berkisar antara 4,2 – 9,3 g/dl. Jadi seperti
dijelaskan diatas bahwa kurkumin yang
merupakan pigmen kuning dari kunyit
setelah ada di dalam sel tubuh akan cepat
dimetabolisme dan berubah menjadi
derivatnya sehingga sudah kehillangan
warna aslinya (kuning) sehingga tidak
memberikan warna yang berbeda nyata
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
25
pada daging yang ransumnya ditambah
ekstrak kunyit. Kalau dilihat dari nilai rerata
skor warna yang paling disukai 2,20 adalah
P1 (ransum yang ditambah bacitracin 50
ppm) dan P5 (ransum yang ditambah STTP
0,1%) memberikan warna daging putih
kekuningan. Warna daging ayam broiler
yang pakannya ditambah nanokapsul
ekstrak kunyit paling disukai T8 (level NP
0,6%) Gambar 2.
Gambar 2. Skor nilai warna daging yang pakannya ditambah nanokapsul.
Rasa daging.
Rasa merupakan kualitas sensoris
daging yang berkaitan dengan indera
perasa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa skor rasa daging ayam broiler yang
diberi pakan dengan penambahan
nanokapsul ekstrak kunyit berbeda tidak
nyata (P>0,05) yaitu 2,33 sampai 3,07 yaitu
berkisar antara rasa agak gurih sampai
gurih. Rasa daging ayam broiler relatif sama
yaitu gurih, hal ini disebabkan karena
penambahan nanokapsul ekstrak kunyit
dalam pakan tidak mempengaruhi substansi
atsiri (volatil) yang terdapat di dalam daging
(Soeparno, 2005) sebagai molekul kecil
yang dilepaskan oleh makanan (selama
pemanasan, pengunyahan dan lain-lain)
yang bereaksi dengan reseptor dalam mulut
atau rongga hidung yang menentukan rasa
daging dan daging yang berkualitas baik
mempunyai rasa yang relatif gurih. Dalam
penelitian ini rasa daging paling disukai
pada penambahan STTP 0,1% dengan skor
2,33. Rasa daging ayam broiler yang
pakannya ditambah nanokapsul ekstrak
kunyit paling disukai T9 (level NP 0,8%)
Gambar 3.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
26
Gambar 3. Skor nilai rasa daging yang pakannya ditambah nanokapsul.
Tekstur daging.
Tekstur merupakan sifat sensoris
daging yang berkaitan dengan tingkat
kehalusan dari daging. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa skor tekstur daging
ayam broiler yang diberi pakan dengan
penambahan nanokapsul ekstrak kunyit
berbeda nyata (P<0,05) yaitu 1,73 sampai
3,00 yaitu berkisar antara tekstur agak
halus sampai halus. Pemakaian nanokapsul
0,4% dan 0,8% memberikan skor tekstur
daging yang berbeda tidak nyata (P>0,05)
dengan ransum komersial. Menurut Warris
(2010), ada tiga faktor utama yang diketahui
mempengaruhi tekstur daging diantaranya
panjang sarkomer, jumlah jaringan ikat dan
ikatan silangnya serta tingkat perubahan
proteolitik yang terjadi selama pelayuan.
Luas dan jumlah lemak intramuskular
(marbling) juga akan membuat daging lebih
empuk, karena lemak lebih lembut
dibandingkan otot.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
27
Gambar 4. Skor nilai tekstur daging yang pakannya ditambah nanokapsul.
Keempukan daging.
Keempukan adalah parameter
utama dalam menentukan kualitas daging
yang diuji secara sensoris. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa skor keempukan
daging ayam broiler yang diberi pakan
dengan penambahan nanokapsul ekstrak
kunyit berbeda tidak nyata (P>0,05) yaitu
2,07 sampai 2,87 yaitu berkisar antara agak
empuk sampai empuk. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh jaringan ikat lebih sedikit
adalah lebih empuk daripada otot yang
mengandung jaringan ikat dalam jumlah
yang lebih besar (Soeparno, 2005) dan
semakin tinggi lemak marbling akan
membuat daging semakin empuk (Dilaga
dan Soeparno, 2007). Selain itu, tiga
komponen utama daging yang andil
terhadap keempukan atau kealotan, yaitu
jaringan ikat, serabut serabut otot, dan
jaringan adipose (Soeparno, 2005).
Disamping itu, daging yang empuk adalah
hal yang paling dicari konsumen (Komariah
et al., 2004). Pada P4(ekstrak kunyit 0,2%),
P9(nanokapsul 0,8%) dan P10(Ransum
komersial) , dengan skor 2,07 menunjukan
keempukan daging yang paling disukai
tidak beda nyata (P>0,05%).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
28
Gambar 5. Skor nilai keempukan daging yang pakannya ditambah nanokapsul.
Kesukaan keseluruhan / Daya terima
terhadap daging.
Daya terima merupakan bagian dari
parameter sensoris daging terhadap tingkat
penerimaan konsumen terhadap semua
sifat sensoris daging. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa skor daya terima
daging ayam broiler yang diberi pakan
dengan penambahan nanokapsul ekstrak
kunyit berbeda tidak nyata (P>0,05)
yaitu2,13 sampai 2,87 yaitu berkisar antara
agak suka sampai suka. Ransum komersial
memberikan skor nilai kesukaan
keseluruhan paling baik. Hal ini
mengindikasikan bahwa nanokapsul ekstrak
kunyit pada level 0,4% dapat dipakai untuk
menggantikan ransum komersial yang
memakai antibiotik dan bahan kimia lain
yang tidak teridentifikasi sebagai pemacu
pertumbuhan. Soeparno (2005)
menyatakan bahwa nilai daging didasarkan
atas tingkat akseptabilitas (daya terima)
konsumen. Tingkat daya terima panelis
terhadap daging ayam broiler tidak
dipengaruhi oleh adanya level penambahan
nanokapsul ekstrak kunyit dalam pakan,
tetapi kalau dilihat nilai reratanya terendah
2,20 dicapai oleh ayam yang ransumnya
ditambah nanokapsul 0,4% (P7) Gambar 6.
Hal ini dapat disebabkan karena kepuasan
yang berasal dari konsumen daging
tergantung pada respons fisiologis dan
sensori diantara individu (Soeparno, 2009).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
29
Gambar 6. Skor nilai kesukaan keseluruhan daging yang pakannya
ditambah nanokapsul.
KESIMPULAN
Pemakaian nanokapsul ekstrak kunyit
terbaik pada level 0,4%, mampu
memberikan kualitas sensori yang baik
dalam daging ayam broiler.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dirjen DIKTI yang telah membantu
pendanaan penelitian lewat Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi (Multidisiplin
UGM) tahun anggaran 2013. Ucapan terima
kasih disampaikan juga kepada Tim
Promotor, Laboran dan semua mahasiswa
S1-S2 yang terlibat pada penelitian ini,
sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anand, P.A., A. B. Kunnumakkara, R.A.
Newman, and B.B. Aggarwal,
2007.Bioavailability of Curcumin:
Problems and Promises. Mol.
Pharmaceutics, 2007, 4 (6), 807-818•
DOI: 10.1021/mp700113r.
Aznam, N. 2004. Uji aktivitas antioksidan
ekstrak kunyit (Curcuma domestica,
Val). Prosiding Seminar Nasional,
Penelitian Pendidikan dan Penerapan
MIPA. 2-3 Agustus, Hotel Sahid Raya,
Yogyakarta. Halaman: 111-117.
Barroeta, A.C. 2007. Nutritive value of
poultry meat: relationship between
vitamin E and PUFA. World’s Poult.
Sci. J. 63: 277-284.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
30
Bou, R., F. Guardiola, A. Tres, A.C.
Barreota and R. Codony. 2004. Effect
of dietary fish oil, α-tocopherol
acetate, and zinc supplementation on
the composition and consumer
acceptability of chicken meat. Poult.
Sci. 83:282-292.
Bou, R., S. Grimpa, F. Guardiola, A.C.
Barroeta and Codony R. 2006. Effects
of various fat sources, alpha
tocopheryl acetate, and ascorbic acid
supplements on fatty acid composition
and alpha-tocopherol content in raw
and vacuum-packed, cooked dark
chicken meat. Poult. Sci. 85: 1472-
1481.
Chartrin, P.K. Me´teau, H. Juin, M.D.
Bernadet, G. Guy, C. Larzul, H.
Re´mignon, J. Mourot, M.J. Duclos,
and E. Bae´za. 2006. Effects of
intramuscular fat levels on sensory
characteristics of duck breast meat.
Poultry Sci. 85: 914-922.
Dilaga, I.W.S. dan Soeparno. 2007.
Pengaruh pemberian berbagai level
Clenbuterol terhadap kualitas daging
babi jantan grower. Buletin
Peternakan Vol. 31(4):200-208.
Fanatico, A.C., P.B. Pillai, J.L. Emmert, and
C.M. Owens. 2007. Meat quality of
slow- and fastgrowing chicken
genotypes fed low-nutrient or
standard diets and raised indoors or
with outdoor access. Poultry Sci.
86:2245-2255.
Gaudin, V., Maris, P., Fusetier, R.,
Ribouchon, C., Cadieu, N. and Rault,
A. 2004. Validation of a
microbiological method: The Star
protocol, a five plate test for screening
of antibiotic residues in milk. Food
Additives and Contaminants 21(5):
422-433.
Omojola, A.B, S.S. Fagbuaro dan A.A.
Ayeni. 2009. Cholesterol Content,
Physical and Sensory Properties of
Pork from Pigs Fed Varying Levels of
Dietary Garlic (Allium sativum). J.
World Applied Sci. 7: 971-975.
Komariah, I.I. Arief dan Y. Wiguna. 2004.
Kualitas fisik dan mikrobia daging sapi
yang ditambah jahe (Zinger officinale
roecoe) pada konsentrasi dan lama
penyimpanan yang berbeda. Media
Peternakan Vol. 28(2):38-87.
Maiti, K., K. Mukherjee, A. Gantait, B.P.
Saha, P.K. Mukherjee. 2007.
Kurkumin phospholipid complex:
Preparation, therapeutic, evaluation
and pharmacokinetic studi in rats. Int.
J. Pharm. 330(1-2), 155-63.
NRC. 1994. Nutrient Requirements of
Poultry. 9th Rev.Ed. National Academy
Press, Washington DC.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
31
Park, P.W. and R.E. Goins. 1994. In Situ
Prearation of Fatty Acids Methyl Ester
For Analysis of Fatty Acids
Composition. Foods Sci. 59(6): 1262-
1266.
Purba, M., E.B. Laconi, P.P. Ketaren, C.H.
Wijaya dan P.S. Hardjosworo, 2010.
Kualitas sensori dan komposisi asam
lemak daging itik lokal jantan dengan
suplementasi santoquin, vitamin E
dan C dalam ransum. JITV Vol. 15(1)
: 47-55.
Rebole, A., M.L. Rodriguez, L.T. Ortiz, C.
Alzueta, C. Centeno, C. Viveros, A.
Brenes and I. Arija. 2006. Effect of
dietary high-oleic acid sunflower seed,
palm oil and vitamin E
supplementation on broiler
performance, fatty acid composition
and oxidation susceptibility of meat.
Br. Poult. Sci. 47: 581-591.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi
Daging. Cetakan Ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Swatantra K.K.S., R. Awani K.,
S.Satyawan.2010. Chitosan: A
Platform for Targeted Drug Delivery.
Int.J. PharmTech Res.,2(4): 2271-
2282.
Warris,P.D. 2010. Meat Science : an
Introductory Text.2ndSchool of
Veterinary Science University of
Bristol, CABI Publishing. Bristol UK,
pp. 194-205.
Wachira, W.M., A. Shitandi and R. Ngure,
2011. Determination of the limit of
detection of penicillin G residues in
poultry meat using a low cost
microbiological method. International
Food Research Journal 18(3): 1203-
1208.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
32
SEGMENTASI TEKSTUR CITRA LIDAH PENDERITA TIFOID MENGGUNAKAN METODE
ADAPTIF
Supatman
Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Jl. Wates Km 10
Yogyakarta 55753
E-mail : [email protected]
Abstract
Typhoid and paratyphoid (hereinafter referred to as typhoid) is an acute infectious disease of the small intestine which is included in the category endemic in Indonesia. The disease is classified as infectious diseases listed in Act No. 6 of 1962 on the outbreak. In Indonesia as an epidemic of typhoid rare but more often are sporadic, scattered in an area and rarely cause more than one case in the home and source of infection could not be determined.Identification of typhoid disease conducted with a variety of laboratory tests, including tests widal and culture. The results of these tests are used to ascertain the symptoms of typhoid patients within one week. Early identification of typhoid disease can also be done by looking at the condition of the patient's tongue, the tongue is the degree of soiling. Getting dirty tongue then the probability of patients suffering from typhoid will be even greater.
1. Pendahuluan
Tifoid dan paratifoid (selanjutnya
disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi
akut usus halus yang dimasukkan dalam
katagori endemik di Indonesia. Penyakit ini
digolongkan penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6
tahun 1962 tentang wabah. Di Indonesia
tifoid jarang sebagai epidemic akan tetapi
lebih sering bersifat sporadic, terpencar-
pencar disuatu daerah dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah serta sumber
penularan tidak dapat ditentukan.
Identifikasi dini penyakit tifoid secara visual
dapat juga dilakukan dengan melihat
kondisi lidah pasien, yaitu dengan tingkat
kekotoran lidah. Semakin kotor lidah pasien
maka probabilitas menderita tifoid akan
semakin besar. Proses identifikasi real time
melalui tekstur citra lidah dilakukan dengan
proses awal preprocessing citra yaitu
segmentasi untuk memisahkan citra lidah
dari objek lainnya seperti bibir, gigi dan
bagian dalam mulut lainnya.
2. Dasar Teori
2.1 Tifoid
Tifoid dan paratifoid (selanjutnya
disebut tifoid) adalah penyakit infeksi akut
usus halus yang merupakan penyakit
endemik di Indonesia. Sinonim tifoid adalah
typhoid dan patatyphoid fever, enteric
fever, typhus dan paratyphus abdominfis.
Etiologinya ialah Salmonella typhi, S.
paratytphi A., S. paratyphi B., dan S.
paratyphi C [25,26].
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
33
Penularan S. typhi terjadi melalui
mulut oleh makanan yang tercemar.
Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam
lambung oleh asam lambung. Sebagian lagi
masuk ke usus halus, mencapai jaringan
limfoid lalu berkembang biak. Kuman
kemudian masuk aliran darah dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial hati,
limpa dan organ-organ lain. Diprediksi
proses ini berjalan pada masa tunas, yang
berakhir saat sel-sel retikuloendotelial
melepas kuman pada peredaran darah dan
menimbulkan bakteri untuk kedua kalinya.
Kuman-kuman selanjutnya masuk ke
jaringan beberapa organ tubuh, terutama
limpa, usus halus dan kandung empedu
[25,26].
Ciri-ciri utama penderita demam
tifoid berupa tanda-tanda klinis antara lain
panas meningkat secara berlahan,
gangguan GIT (konstipasi, diare, mual-
muntah) dan lidah kotor [29].
2.2 Citra
2.2.1 Format Citra
2.2.1. 1. Komponen Citra Digital
Citra adalah representasi dua
dimensi untuk bentuk fisik nyata tiga
dimensi. Citra dalam perwujudannya dapat
bermacam-macam, mulai dari gambar
hitam-putih pada sebuah foto (yang tidak
bergerak) sampai pada gambar berwarna
yang bergerak pada pesawat televisi.
Proses transformasi dari bentuk tiga
dimensi ke bentuk dua dimensi untuk
menghasilkan citra akan dipengaruhi oleh
bermacam-macam faktor yang
mengakibatkan penampilan citra suatu
benda tidak sama persis dengan bentuk
fisik nyatanya. Faktor-faktor tersebut
merupakan efek degradasi atau penurunan
kualitas yang dapat berupa rentang kontras
benda yang terlalu sempit atau terlalu lebar,
distorsi geometrik, kekaburan (blur),
kekaburan akibat obyek yang bergerak
(motion blur), noise atau gangguan yang
disebabkan oleh interferensi peralatan
pembuat citra, baik berupa transduser,
peralatan elektronik ataupun peralatan
optik.
Teknik dan proses untuk
mengurangi atau menghilangkan efek
degradasi pada citra digital meliputi
perbaikan/peningkatan citra (image
enhacement), restorasi citra (image
restoration), dan tranformasi spasial
(spasial transformation). Subyek lain dari
pengolahan citra digital diantaranya adalah
pengkodean citra (image coding),
segmentasi citra (image segmentation),
representasi dan deskripsi citra (image
representation and description).
Karena pengolahan citra dilakukan
dengan komputer digital maka citra yang
akan diolah terlebih dahulu
ditransformasikan ke dalam bentuk
besaran-besaran diskrit dari nilai tingkat
keabuan pada titik-titik elemen citra. Bentuk
citra ini disebut citra digital. Setiap citra
digital memiliki beberapa karakteristik,
antara lain ukuran citra, resolusi dan format
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
34
lainnya. Umumnya citra digital berbentuk
persegi panjang yang memiliki lebar dan
tinggi tertentu, yang biasanya dinyatakan
dalam banyaknya titik atau piksel (picture
element/pixel).
Ukuran citra dapat juga dinyatakan
secara fisik dalam satuan panjang
(misalnya mm atau inch). Dalam hal ini
tentu saja harus ada hubungan antara
ukuran titik penyusun citra dengan satuan
panjang. Hal tersebut dinyatakan dengan
resolusi yang merupakan ukuran
banyaknya titik untuk setiap satuan
panjang. Biasanya satuan yang
digunakan adalah dpi (dot per inch). Makin
besar resolusi makin banyak titik yang
terkandung dalam citra dengan ukuran fisik
yang sama. Hal ini memberikan efek
penampakan citra menjadi semakin halus.
Format citra digital ada bermacam-
macam. Karena sebenarnya citra
merepresentasikan informasi tertentu,
sedangkan informasi tersebut dapat
dinyatakan secara bervariasi, maka citra
yang mewakilinya dapat muncul dalam
berbagai format. Citra yang
merepresentasikan informasi yang hanya
bersifat biner untuk membedakan 2
keadaan tentu tidak sama citra dengan
informasi yang lebih kompleks sehingga
memerlukan lebih banyak keadaan yang
diwakilinya. Pada citra digital semua
informasi tadi disimpan dalam bentuk
angka, sedangkan penampilan angka
tersebut biasanya dikaitkan dengan
warna.
Citra digital (digital image) adalah
citra kontinyu f(x,y) yang sudah didiskritkan
baik koordinat spasial maupun tingkat
kecerahannya. Setiap titik biasanya memiliki
koordinat sesuai dengan posisinya dalam
citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan
indeks x dan y hanya bernilai bilangan bulat
positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1.
Citra digital yang selanjutnya akan disingkat
”citra” sebagai matrik ukuran M x N yang
baris dan kolomnya menunjukkan titik-
titiknya yang diperlihatkan pada persamaan
di bawah ini menurut [10]:
X=f(x,y)=
−−−−
−
−
)1,1(...)1,1()0,1(
............
)1,1(...)1,1()0,1(
)1,0(...)1,0()0,0(
NMfMfMf
Nfff
Nfff
(1)
Setiap titik juga memiliki nilai berupa
angka digital yang merepresentasikan
informasi yang diwakili titk tersebut. Format
nilai piksel sama dengan format citra
keseluruhan. Pada kebanyakan sistem
pencitraan, nilai ini biasanya berupa
bilangan bulat positif.
2.2.1.2 Representasi Citra Digital
Komputer dapat mengolah isyarat-
isyarat elektronik digital yang merupakan
kumpulan sinyal biner (bernilai dua: 0 dan
1). Untuk itu, citra digital harus mempunyai
format tertentu yang sesuai sehingga dapat
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
35
merepresentasikan obyek pencitraan dalam
bentuk kombinasi data biner.
Citra yang tidak berwarna atau hitam
putih dikenal sebagai citra dengan derajat
abu-abu (citra graylevel/grayscale). Derajat
abu-abu yang dimiliki ini bisa beragam
mulai dari 2 derajat abu-abu (yaitu 0 dan 1)
yang dikenal juga sebagai citra
monochrome, 16 derajat keabuan dan 256
derajat keabuan.
Dalam sebuah citra monochrome,
sebuah piksel diwakili oleh 1 bit data yang
berisikan data tentang derajat keabuan
yang dimiliki piksel tersebut. Data akan
berisi 0 bila piksel berwarna hitam dan 1
bila piksel berwarna putih. Citra yang
memiliki 16 derajat keabuan (mulai dari 0
yang mewakili warna hitam sampai dengan
15 yang mewakili warna putih)
direpresentasikan oleh 4 bit data.
Sedangkan citra dengan 256 derajat
keabuan (nilai dari 0 yang mewakili warna
hitam sampai dengan 255 yang mewakili
warna putih) direpresentasikan oleh 8 bit
data.
Dalam citra berwarna, jumlah warna
bisa beragam mulai dari 16, 256, 65536
atau 16 juta warna yang masing-masing
direpresentasikan oleh 4,8,16 atau 24 bit
data untuk setiap pikselnya. Warna yang
ada terdiri dari 3 komponen utama yaitu
nilai merah (red), nilai hijau (green) dan nilai
biru (blue). Paduan ketiga komponen utama
pembentuk warna tersebut dikenal sebagai
RGB color yang nantinya akan membentuk
citra warna.
2.2.1.3 Tingkat Abu-abu (Grayscale)
Kecerahan dari citra yang disimpan
dengan cara pemberian nomor pada tiap-
tiap pikselnya. Semakin tinggi nomor
pikselnya maka makin terang (putih) piksel
tersebut. Sedangkan semakin kecil nilai
suatu piksel, mengakibatkan warna pada
piksel tersebut menjadi gelap. Dalam sistem
kecerahan yang umum terdapat 256 tingkat
untuk setiap piksel. Scala kecerahan seperti
ini dikenal sebagai grayscale.
Proses grayscale ini bertujuan untuk
merubah citra 24 bit RGB menjadi citra abu-
abu. Pemilihan pemrosesan pada tingkat
abu-abu ini dipilih karena lebih sederhana,
yaitu hanya menggunakan sedikit
kombinasi warna dan dengan citra abu-abu
dirasakan sudah cukup untuk memproses
peta yang semula berupa RGB colour
dengan liputan abu-abu.
R BRGBRGB RGB G
Titik2 Titik3 Titik4Titik1
Gambar 1. Model penyimpanan piksel
pada buffer memori[3]
Pengubahan citra 24 bit ke citra abu-
abu YUV dengan mengambil komponen Y
(luminance) dapat dilakukan dengan
mengalikan komponen R, G, B dari nilai
taraf intensitas tiap piksel RGB dengan
konstanta (0.299R,0.587G,0.11B).
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
36
Gambar 2. Operasi Pengubahan Citra 24 bit
(piksel warna ) ke Citra Abu-Abu YUV [9]
2.2.1.4 Pengambangan Adaptif.
Pendekatan langsung dalam metode
adaptif adalah dengan membagi citra
menjadi beberapa bidang berukuran m x m
lalu memilih threshold Tij untuk bagian citra
berdasarkan histogram dari bagian ke-ij (1≤
i,j ≤ m). Hasil akhir dari proses ini adalah
gabungan dari bagian-bagian citra tadi,
yang sebearnya berasal dari sebuah citra
yang lebih besar. Sebuah citra dapat dibagi
menjadi 4, 6, 9 bagian dan seterusnya
tergantung pada ukuran dimensi citra dan
besarnya perbedaan latar belakang yang
paling gelap dan latar belakang yang paling
terang, sehingga bagian-bagian kecil tadi
menutup seluruh bagian dari citra asal.
Ilustrasi pembagian citra menjadi empat
bagian diberikan pada Gambar 2.5 [33].
Gambar 3. Pembagian daerah dengan teknik pengambangan adaptif [33].
Nilai ambang lokal dapat dihitung
dengan salah satu dari tiga cara berikut
[21]:
(2)
T1,1 T1,2
T2,1 T2,2
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
37
atau
(3)
(4)
dengan W : blok yang diposes
Nw : banyaknya piksel pada blok W
C : konstanta yang dapat
ditentukan secara bebas
4. Eksperimen
Eksperimen dilakukan
menggunakan citra lidah penderita tifoid
dengan merubah parameter sub window
dan nilai konstanta pada perangkat lunak
aplikasi metode adaptif. Digram blok
perangkat lunak implementasi metode
adaptif ditunjukkan pada Gambar 4 dan
perubahan nilai konstan ditunjukkan pada
Tabel 1.
Gambar 4. Diagram blok implementasi metode adaptif.
Tabel 1. Parameter pengujian perangkat
lunak implementasi algoritma adaptif
Pengujian Sub Window Konstanta
1 4 x 4 0.14
2 16 x16 0.14
3 19 x 19 0.14
4 16 x 16 0.10
6 16 x 16 0.19
5. Hasil dan pembahasan
Berdasarkan data citra lidah
penderita tifoid diperolah hasil uji
segmentasi dengan merubah sub window
dan nilai konstanta ditunjukkan pada
Gambar 5.
Citra Lidah
Penderita Tifoid
Algoritma Metode
Adaptif
Citra Lidah
(tersegmentasi)
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
38
Sub Window : 4x4 Sub Window : 16x16 Sub Window : 19 x 19
Konstanta : 0.14 Konstanta : 0.14 Konstanta : 0.14
Sub Window : 16x16 Sub Window : 16x16 Sub Window : 16 x 16
Konstanta : 0.10 Konstanta : 0.14 Konstanta : 0.19
Gambar 5. Hasil Uji Perangkat Lunak
Segmentasi Citra Lidah Menggunakan
Metode Adaptif.
Berdasarkan Gambar 5. Hasil Uji Perangkat
Lunak Segmentasi Citra Lidah
Menggunakan Metode Adaptif diperoleh
ukuran optimal sub window diperoleh pada
nilai 16 x 16 piksel dengan nilai konstanta
0.14. Semakin rendah nilai konstanta maka
segmentasi citra semakin besar (over
segmentation) dan semakin besar sub
window maka semakin segmentasi citra
semakin besar.
6. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang diambil
dari analisa dan pengujian segmentasi citra
lidah menggunakan metode adaptif pada
penderita penyakit tifoid lain :
a. Ukuran optimal dalam sub window
diperoleh pada nilai 16 x 16 piksel.
b. Konstanta optimal pada nilai 0.14.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
39
Daftar Pustaka
[1]. Adi Dharma Wibawa, 2005, “Early
Detection On The Condition Of
Pancreas Organ As The Cause Of
Diabetes Mellitus By Iris Image
Processing Using Modified SOM-
Kohonen, ICBME, Singapura.
[2]. Ajith Abraham, 2004, “Meta learning
evolutionary artificial neural networks”,
Nero Computing.
[3]. Andy Song, Vic Ciesielski, 2004 ”
Texture Analysis by Genetic
Programming”, In Proceedings of the
2004 Congress on Evolutionary, G.
Greenwood (Editor), pages 2092-
2099, Portland.
[4]. B.C. Merki, M.R. Mahfouz, 2005,
“Unsupervised Three-Dimensional
Segmen-tation of Medical Images
Using an Anotomical Bone Altas ”,
ICBME, Singapura.
[5]. B. Jaganatha Pandian, 2005, “AI
Based Detection And Classification Of
Microca-lcifications In Digital
Mammogram” , ICBME, Singapura.
[6]. Duda., Ricard O, Hart., Peter E,
Stork., Peter E, 2000, “Pattern
Clasification”, John Willey & Sons Inc.
[7]. Erdogan Çesmeli and DeLiang Wang,
2001, “Texture Segmentation Using
Gaussian–Markov Random Fields and
Neural Oscillator Networks”, IEEE
Transactions On Neural Networks,
Vol. 12, No. 2, March.
[8]. Fausett, Laurene, 1994,
“Fundamentals Of Neural Networks,
Arcitectures, Algorithms, and
Applications”, Prentice Hall,
Englewood Cliffs.
[9]. H.P. Ng., 2005, “ An Improved
Watershed Algorithm For Medical
Image Segmentation”, ICBME,
Singapura.[17]
[10]. Ham., Fredric M., Kostanic., Ivica,
2001, ” Principles of Neurocomputing
for Science & Engineering”, McGraw-
Hill, Inc.
[11]. Haryanti Rivai, 2005 “Pengenalan ciri-
ciri tekstur kecacatan kain sutera
dengan menggunakan metode
gaussian markov random field dengan
klasifikasi SOM-Kohonen”, ITS,
Surabaya.
[12]. J.T. Pramudito, 2005,“Design and
Implemtation Of Early Osteoporosis
Detection Software System By
Clavicular Cortx Thickness
Measurement”, ICBME, Singapura.
[13]. Jin-Hyuk Hong, 2005., “The
classification of cancer based on DNA
microarray data that uses diverse
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
40
ensemble genetic programming”,
Artificial Itellejence in Medicine.
[14]. M.S.G. Tsuzuki, 2005, “4D Thoracic
Organ Modelling from
Unsunchronized MR Sequential
Images”, ICBME, Singapura.
[15]. Marques de sa, J.P., 2001,”Pattern
Recognition:Consept, Methods and
Applications”,Springer.
[16]. Matthew J.Langdon,Ph.D, 2003,
”Classification of Gaussian Markov
Random Field (GMRF) with
Application to Powder images ”,
University of Leads.
[17]. Mei-Gie Lim, 2005, “Probability
Distribution Maps As Medical Image
Labeling Tool – Pros and Cons”,
ICBME, Singapura.
[18]. Mori, Shunji., Nishida, Hirobumi.,
Yamada, Hiromitsu, 1999, “Optical
Character Recognition”, John Willey &
Sons Inc.
[19]. Nicholas V. Swindale and Hans-Ulrich
Bauer, 1998, “Application of
Kohonen's self-organizing feature
map algorithm to cortical maps of
orientation and direction preference”,
The royal society .
[21]. Putra., Darma, 2009, “Sistem
Biometrika, Konsep Dasar, Teknik
Analisis Citra, dan Tahapan
Membangun Aplikasi Biometrika”,
C.V. Andi Offset, Yogyakarta.
[22]. Pratt., William K., 2001, “Digital Image
Processing”, John Willey & Sons.
[23]. Rinaldi Munir, 2004, “Pengolahan
Citra Digital Dengan Pendekatan
Algoritmik”, Informatika, Bandung.
[24]. Russ., John C., 1998, “The Image
Processing Handbook 3th”, A CRC
Handbook Published.
[25]. Soeparman, 1995., “Ilmu penyakit
dalam”, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
[26]. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak,
1982., “Ilmu kesehatan anak jilid 2”,
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
[27]. Shao-Jer Chen, 2005, “Quantitative
Assessment Of Pathological Findings
For Breast Cancer through
Sonographic Texture Analysis”,
ICBME, Singapura.
[28]. Steinmetz., Raft, Nahrstedt., Klara,
2002, “Multimedia Fundamentals,
Media Coding and Content
Processing”, Prentice-Hall inc.
[29]. Supatman, 2008,”Identifikasi citra
tekstur bubuk susu dengan metode
alih-ragam gelombang singkat untuk
memprediksi keaslian produk susu”,
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
41
Proceedings SITIA2008, ISBN: 978-
979-8897-24-5, tanggal: 8 Mei 2008 ,
ITS Surabaya.
[30]. Supatman, 2008, “Identifikasi Citra
Sketsa Figur Manusia Dengan
Metode Pulse Coupled Neural
Network (PCNN) Untuk Mempredisi
Daya Tahan Terhadap Stres”,
Prosiding Semnasif 2008, ISSN:1979-
2328, Jurusan Teknik Informatika,
FTI, UPN “Veteran” Yogyakarta.
[31]. Supatman., Mulyanto, Eko., Purnomo,
Mauridy H., 2007, “Identifikasi citra
tekstur lidah menggunakan metode
gaussian markov random field untuk
deteksi dini penyakit tifoid”,
Proceedings SITIA2007, ISBN : 978-
979-9589-9-8, tanggal 9 Mei 2007,
ITS Surabaya.
[32]. Supatman, 2006,”Ekstraksi ciri citra
tekstur lidah menggunakan metode
Co-Occurrence Matrik”, Prosiding
Seminar Nasional Peran Teknologi
Pemrosesan Sinyal Diera Global”
ISBN : 979-1149-91-7, tanggal: 11
November 2006, Fak. Teknik,
Universitas Wangsa Manggala
Yogyakarta.
[33]. Usman Ahmad, 2005, ”Pengolahan
Citra Digital dan Teknik
Pemrogramannya”, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
42
KUALITAS KIMIA DAGING AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER
Sri Hartati Candra Dewi
Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Jl. Wates Km 10 Yogyakarta 55753
E-mail : sh_candradewi@yahoo,com
ABSTRACT
This study aims to determine carcass and chemical quality of chicken meat fed concentrate-based broiler ration, Thirty-six chicks 1 week old used in the experiments were conducted as One Way experiment using a completely randomized design with 4 treatments of feed (use 1 BR concentrate as much as 100%, 75%, 50%, and 25%) per treatment with 3 replications, Data were analyzed by ANOVA and Duncan's Multiple Range Test, Parameters measured were moisture content, protein, fat and meat pH, The results showed that the water content and fat content of real influenced by feed treatment, whereas protein content and pH of the meat was not significantly affected by feeding treatment, The study concluded that the chicken-based concentrates fed up with the percentage of concentrate at 75%, does not affect the chemical characteristics of meat, Keywords: chicken, feed-based concentrates, chemical characteristics of meat,
PENDAHULUAN
Ayam kampung merupakan unggas
yang paling digemari oleh masyarakat
tanpa memandang usia, Selain itu ayam
kampung banyak dipelihara oleh
masyarakat baik di desa maupun di kota,
Pemeliharaan ayam kampung masih dalam
jumlah kecil antara 2 sampai 5 ekor, karena
tujuan utamanya adalah untuk kesenangan
atau hobi, untuk mencukupi kebutuhan gizi
keluarga dan masih sebagai usaha
sambilan,
Pemeliharaan ayam kampung skala
rumah tangga belum memperhatikan
kebutuhan nutrisinya, karena hanya
memanfaatkan sisa dapur dan hanya
ditambah dedak atau bekatul, Oleh karena
itu produksi maupun kualitas dagingnya pun
masih belum optimal, Dalam rangka
meningkatkan produksi dan kualitas
dagingnya perlu perbaikan kualitas pakan,
hal ini dapat diluhat dari pemberian pakan
pada broiler,
Dewasa ini masyarakat dalam
memilih bahan pangan sudah sangat
memperhatikan tentang kualitasnya,
termasuk dalam memilih daging yang akan
dikonsumsi, Masyarakat tentu akan memilih
daging yang mempunyai kualitas baik
sesuai dengan biaya yang dikeluarkan,
Kebutuhan daging baik daging sapi maupun
ayam akan meningkat pada saat-saat
tertentu misalnya pada hari-hari besar
keagamaan, Pada saat itu harga ayam
kampung akan meningkat, hal ini
disebabkan karena permintaan tinggi
sedang ketersediaan sedikit,
Salah satu keuntungan
pemeliharaan ayam pedaging kampung
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
43
dengan menggunakan sistem broiller
adalah, peternak bisa memproduksi DOC
sendiri, Hingga tingkat ketergantungan
peternak pada agroindustri modern menjadi
terkurangi, Tingkat keuntungan peternak
akan semakin tinggi apabila mereka
meramu pakan sendiri dengan membeli
tepung ikan, jagung giling, bungkil, dedak,
tepung tulang, tepung darah dan lain-lain,
Peningkatan produksi dan kualitas
daging ayam kampung akan dilakukan
dengan memberikan pakan berbasis
konsentrat ayam broiler dengan
penambahan bekatul maupun bahan lain,
Penelitian ini bertujuan untuk melihat karkas
dan kualitas kimia daging ayam kampung
yang diberi ransum berbasis konsentrat
broiler,
Daging ayam kampung merupakan
salah satu komoditi peternakan yang
dibutuhkan untuk memenuhi protein hewani
asal ternak, dimana protein dagingnya
mengandung susunan asam amino yang
lengkap, Namun daging dari ayam
kampung pada umumnya harganya lebih
mahal dari daging broiler, sedangkan
bobotnya lebih rendah,
Oleh karena itu untuk meningkatkan
produksi daging ayam kampung perlu
dilakukan perubahan ransum, apakah
dengan pemberian konsentrat broiler
produksi karkasnya akan meningkat?
METODE DAN METODE
Materi
Ø Ayam kampung umur 1 minggu,
Ø Kandang kelompok,
Ø Seperangkat alat untuk analisa kimia
daging,
Ø Seperangkat alat untuk
menyembelih ayam,
Metode
Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan
pengacakan lokasi kandang dan anak
ayam, Pengacakan lokasi dilakukan
sebelum ayam dimasukkan dalam kandang,
sedangkan pengacakan anak ayam
dilakukan pada ayam unsexed yang
dikelompokkan menjadi 4 perlakuan,
dengan 3 ulangan masing-masing 3 ekor,
Perlakuan yang diberikan adalah :
- Perlakuan 1 (R1):100 %konsentrat BR 1
- Perlakuan 2 (R2): 75 %konsentrat BR 1
- Perlakuan 3 (R3): 50 %konsentrat BR 1
- Perlakuan 4 (R4): 25 %konsentrat BR 1
Pemberian Ransum dan Vitamin
Ransum yang diberikan disusun
seperti yang tertera dalam Tabel 2,
Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari
yaitu pagi dan sore dalam bentuk pellet,
Pada ayam berumur 1 hari ransum yang
diberikan adalah BR sampai dengan umur 1
minggu untuk adaptasi, setelah itu baru
kemudian diberikan ransum perlakuan
selama 10 minggu, Ransum dan air minum
diberikan secara ad libitum
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
44
Kandungan nutrient bahan pakan
penyusun ransum pada tabel 1, berikut ini :
Tabel 1, Kandungan nutrient bahan pakan
penyusun ransum
Bahan Pakan ME (Kcal/kg) PK (%)
Jagung (1)
3450 8,7
Bekatul (1) 1630 12
BR 1 3000 20
Keterangan : 1) Anggorodi (1995) 2) Hartadi et al, (1986) Tabel 2, Susunan dan kandungan nutrient ransum perlakuan
Bahan
Pakan
P1
P2 P3 P4
Jagung
(1)
0 10 25 40
Bekatul
(1)
0 15 25 35
BR 1 100 75 50 25
Jumlah
(kg)
100 100 100 100
ME
(Kcal/kg)
3000 2839,50 2770 2700,5
0
PK (%) 20
18,42 15,6
8
12,93
Pengambilan Sampel Daging
Sampel ayam diambil satu ekor
secara acak sehingga tiap perlakuan ada 3
ekor, dan dilakukan penimbangan sebelum
dipotong, Pemotongan ayam dilakukan
sesuai dengan prosedur pemotongan ayam
yaitu dengan metode Kosher dengan
memotong arteri karotis, vena jugularis dan
esophagus (Soeparno, 1994), Sampel
daging diambil dari bagian dada,
Pengambilan data
Peubah yang diukur pada penelitian ini
adalah kadar air, kadar protein, kadar
lemak, dan pH, Perlakuan dalam penelitian
ini adalah pemberian ransum berbasis
konsentrat broiler (BR 1), Jadi dalam hal ini
ada 4 perlakuan yaitu P1, P2, P3 dan P4,
Setiap perlakuan diulang 3 kali, setiap
ulangan diambil 1 ekor,
Data yang diambil adalah kadar air,
protein, lemak dan pH daging (AOAC,
1975),
Analisis Data
Penelitian disusun berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
searah, dengan 4 perlakuan pakan yaitu
penggunaan konsentrat BR 1 sebanyak 100
%, 75 %, 50 %, dan 25 %, dengan 3 kali
ulangan untuk masing-masing perlakuan,
Data diperoleh dianalisis menggunakan
analisis variansi, dan jika ada perbedaan
rata-rata, dilanjutkan dengan uji beda jarak
berganda dari Duncan’s New Multiple
Range Test (Astuti, 1980),
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rerata kandungan air daging ayam
berturut-turut dari P1 sampai dengan P5
seperti tertera pada tabel 3, Hasil penelitian
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
45
menunjukkan bahwa perlakuan pakan
mempengaruhi secara nyata pada kadar air
daging, Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa keempat perlakuan ransum dengan
menggunakan pakan konsentrat terdapat
perbedaan yang nyata, Pada perlakuan 100
% pakan konsentrat menghasilkan daging
dengan kadar air yang lebih tinggi
dibanding perlakuan pakan 75 %, 50 % dan
25 % konsentrat, Hal ini diduga karena
ransum P1 mempunyai kandungan nutrient
(ME) yang lebih tinggi dibandingkan yang
lain, walaupun bahan pakannya berbeda,
perbedaan timbunan protein belum cukup
untuk menyebabkan perbedaan yang nyata
terhadap kandungan air dagingnya,
Tabel 3, Kadar Air daging ayam Kampung (%)
Ulangan Perlakuan (% konsentrat)
100 75 50 25 1 76,31 73,41 75,38 75,46
2 76,20 75,12 73,25 74,76
3 76,64 74,73 74,89 73,90 Rerata 76,38 a 74,42 b 74,51 b 74,71 b
Keterangan : rerata dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05),
Menurut Soeparno (1994),
kandungan air daging antara lain
dipengaruhi oleh umur ternak, semakin tua
umur ternak maka kandungan airnya akan
menurun, dengan kata lain semakin tua
umur ternak maka kandungan air daging
semakin rendah, bila persentase lemak
dalam karkas broiler meningkat maka
kandungan air tubuh berkurang, Hasil
penelitian ini hampir sama dengan
penelitian Indarto dkk. (2000) menyebutkan
bahwa kadar air ayam broiler yang
mendapatkan suplementasi 4% minyak
lemuru sebesar 74,87% sedangkan untuk
kontrol diperoleh 74,92%, Menurut Aberle et
al. (2001) komposisi kimia daging adalah 65
– 80 % merupakan kandungan air,
Sedangkan kandungan air daging ayam
yang normal berkisar antara 70 % sampai
75 % (Aberle et al,, 2001), Kandungan air
dapat berbeda diantara otot, Perbedaan
kandungan air pada tubuh hewan
dipengaruhi oleh variasi umur dan pakan,
Kadar Protein
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang tidak nyata antara
perlakuan ransum, Rerata kandungan
protein daging hasil penelitian dapat dilihat
pada tabel 5, Hasil analisis variansi
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
46
menunjukkan adanya perbedaan yang tidak
nyata antara perlakuan ransum, Hal ini
diduga bahwa kandungan asam amino dari
ransum perlakuan mempunyai kandungan
yang sama, sehingga menyebabkan
kandungan protein daging relatif sama,
Tabel 5, Kadar Protein Daging Ayam Kampung (%)
Ulangan Perlakuan (% konsentrat)
100 75 50 25 1 20,53 20,17 20,03 20,29 2 17,40 20,37 21,11 20,37 3 20,21 21,47 20,67 21,38
Rerata ns 19,38 20,67 20,60 20,68
Keterangan : ns = non signifikan
Menurut Aberle et al, (2001) dan
Soeparno (1994) kandungan protein daging
ayam berkisar antara 16 % sampai 22 %,
Daging juga mengandung asam amino
esensial yaitu valin, triptopan, treonin,
methionin, leusin, isoleusin, lisin dan
histidin, Protein daging dapat dicerna
sampai sekitar 95 %, Dengan demikian
hasil penelitian ini lebih baik dari kisaran
tersebut, Pakan yang dikonsumsi ternak
akan mempengaruhi sifat kimia daging yang
dihasilkan, Peningkatan protein dalam
pakan dapat meningkatkan kandungan air,
protein, dan abu tubuh, serta menurunkan
lemak tubuh (Soeparno, 1992), Kimia
daging dari ternak sangat bervariasi
tergantung dari umur, bangsa, spesies,
stress, pakan dan jenis kelamin (Lawrie,
1995),
Kadar Lemak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kandungan lemak daging ayam berkisar
antara 1,32 % sampai 2,64 %, secara
lengkap dapat dilihat pada tabel 6,
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
47
Tabel 6, Kadar Lemak Daging Ayam Kampung (%)
Ulangan Perlakuan (% konsentrat) 100 75 50 25
1 1,54 2,70 2,60 2,60 2 1,13 2,58 2,47 2,77 3 1,30 2,47 2,70 2,56
Rerata 1,32a 2,58b 2,60b 2,64b
Keterangan : rerata dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05),
Dari hasil analisis variansi
kandungan lemak daging menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang nyata
antar perlakuan, Menurut Soeparno (1994)
bahwa jika seekor ternak mengkonsumsi
energi melebihi kebutuhan untuk
pemeliharaan tubuh pada kondisi
lingkungan yang menguntungkan, maka
dapat diharapkan bahwa ternak tersebut
akan menimbun energi sebagai lemak
dalam tubuhnya, Dijelaskan pula oleh
Anggorodi (1985) bahwa kandungan lemak
dalam tubuh ternak diperoleh dari kelebihan
energi yang dikonsumsi, Ransum yang
dikonsumsi dengan energi yang berlebihan
tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak
sehingga semakin tinggi kandungan energi
ransum maka semakin tinggi pula
kandungan lemak dalam tubuh,
Hasil penelitian diperoleh
kandungan lemak daging ayam termasuk
normal, yaitu 1,2 % sampai 12 % ( Aberle et
al,, 2001), Lebih lanjut disebutkan bahwa
kandungan lemak daging dipengaruhi
antara lain oleh bangsa, lokasi otot, macam
otot, jenis kelamin dan umur ternak,
Menurut Aberle et al. (2001) kandungan
lemak daging sebesar 1,5 – 13 %,
Soeparno (1994) menyatakan bahwa
persentase lemak pada umumnya
bertambah dengan bertambahnya umur
tetapi dapat berubah setiap saat tergantung
dari zat makanan yang dikonsumsi, Menurut
Aberle et al, (2001) kandungan lemak
daging bervariasi tergantung dari jumlah
lemak eksternal dan lemak intramuscular,
Lebih lanjut dijelaskan bahwa ditinjau dari
segi nutrisi, komponen lemak yang penting
adalah trigliserida, fosfolipida, kolesterol
dan vitamin yang larut dalam lemak,
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
48
pH
Dari hasil penelitian diperoleh rerata
pH daging secara berturut-turut
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7,
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa
perlakuan ransum berbasis konsentrat pada
ayam kampung terdapat perbedaan yang
tidak nyata pada pH daging, Wulf et al.
(2002) bahwa daging yang dikatakan tidak
asam adalah daging yang memiliki pH di
atas 5,0.
Tabel 7, pH Daging Ayam Kampung (%)
Ulangan Perlakuan (% konsentrat)
100 75 50 25 1 5,10 5,93 5,09 5,52 2 5,40 5,18 5,26 5,22 3 5,21 5,33 5,32 5,03 Reratans 5,23 5,48 5,22 5,26
Keterangan : Keterangan : rerata dengan superskrip yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05),
Nilai pH daging ayam pada penelitian ini
termasuk dalam kisaran pH normal, Aberle
et al. (2001) menyatakan bahwa pada pH
akhir daging mencapai titik isoelektrik (5,2 –
5,4) jumlah gugus reaktif dari protein otot
yang dimuati secara positif dan negatif
sama, sehingga gugus tersebut cenderung
saling tarik menarik dan hanya gugus yang
tersisa yang tersedia untuk mengikat air,
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa ayam kampung dapat
diberi pakan berbasis konsentrat sampai
dengan persentase konsentrat sebesar 75
%, ditinjau dari sifat kimia daging,
Saran
Pada pemeliharaan ayam kampung
dapat diberikan pakan berbasis konsentrat
sampai dengan pemberian 75 %,
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E, D,, C, J, Forest, H, B, Hedrick, M,
D, Judge dan R,A, Merkel, 2001,
The Principle of Meat Science,
W,H, Freeman and Co, San
Fransisco,
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
49
AOAC, 1975, Official Methods of Analysis,
Association of Official Analytical
Chemists, Washington, D,C,
Anggorodi, H,R, 1995, Ilmu Makanan
Ternak Dasar, PT Gramedia,
Jakarta,
Astuti, M, 1980, Rancangan Percobaan dan
Analisis Statistik, Bagian I,
Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta,
Hartadi , H,, S, Reksohadiprodjo, A, D,
Tillman, 1986, Tabel Komposisi
Bahan Pakan untuk Indonesia,
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta,
Lawrie, R,A, 1995, Ilmu Daging, UI Press,
Jakarta,
Soeparno, 1994, Ilmu dan Teknologi
Daging, Gadjah Mada University
Press,
Yogyakarta.
Indarto, R.E., Zuprizal dan N.M.A. Susenti.
2000. Pengaruh Penambahan
Ampas Tahu Fermentasi Dalam
Pakan Berprotein 18 % Terhadap
Performan Broiler. Buletin
Peternakan Edisi Tambahan.
Fakultas Peternakan UGM.
Yogyakarta.
Wulf DM, Emnett RS, Leheska JM, Moeller
SJ. 2002. Relationships among
glycolytic potential, dark-cutting
(dark, firm and dry) beef, and
cooked beef palatibility. J. Anim. Sci.
80:1895-1903.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
50
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK HASIL PENGOMPOSAN LIMBAH PENGOLAHAN KOPI
DENGAN MENGGUNAKAN PROBIOTIK URIN SAPI PADA BUDIDAYA TANAMAN SELADA
Bambang Sriwijaya Program Studi Agroteknologi, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta,
Jl. Wates Km 10 Yogyakarta 55753 E-mail : [email protected]
ABSTRACT
The research was aimed to know the effect of composting product of coffee processing
waste with cow urine as probiotic sourse on yield quantity and quality of lettuce. The research was done in the experimental garden of University of Mercu Buana Yogyakarta with the elevation of 100 m above sea level. The research was single faktor arranged in CRD (Completely Randomiced Design). The treatnents were compost with 0,5 l cow urine probiotic / 10 kg coffee processing waste, compost with 1,0 l cow urine probiotic / 10 kg coffee processing waste, compost with 1,5 l cow urine probiotic / 10 kg coffee processing waste, compost with 0,5 l EM4 probiotic / 10 kg coffee processing waste, compost with 1,0 l EM4 probiotic / 10 kg coffee processing waste, and compost with 1,5 l EM4 probiotic / 10 kg coffee processing waste. The results showed that there was no difference in the lettuce yield between the use of cow urine and EM4 probiotics. The treatment of compost with 0,5 l cow urine probiotic / 10 kg coffee processing waste to give the better quality and quntity of lettuce yield.
Key word: coffee processing waste, probiotic and compost PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesadaran masyarakat akan
kesehatan semakin lama semakin
meningkat. Kebutuhan vitamin dan mineral
untuk menunjang kesehatan mendapatkan
perhatian. Vitamin dan mineral banyak
terdapat dalam sayuran, sehingga
komoditas ini sekarang semakin menjadi
perhatian dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Selain vitamin dan mineral dalam sayuran
juga terdapat serat yang sangat baik untuk
membantu pencernaan. Pada saat ini
sayuran banyak yang tercemar pestisida
dan bahan kimia yang lain. Sayuran yang
sehat bisa dihasilkan dengan budidaya
secara organik, yaitu dengan menggunakan
bahan-bahan organik untuk mendukung
pertumbuhan sayuran yang dibudidayakan.
Tanaman selada (Lactuca sativa)
merupakan tanaman yang biasa ditanam di
daerah dingin maupun tropis. Tanaman
selada merupakan tanaman semusim yang
banyak mengandung air. Tanaman ini
dimanfaatkan sebagai lalapan oleh
masyarakat Indonesia, karena rasanya
enak dan lembut (Rukmana, 1994).
Selada dapat tumbuh baik di dataran
tinggi maupun dataran rendah. Selada juga
dapat tumbuh baik pada berbagai jenis
tanah, baik lempung berpasir, lempung
berdebu, namun yang paling baik (ideal)
adalah lempung berpasir yang diberi pupuk
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
51
organik (Sugeng, 1983). Pracaya (2011)
juga menyampaikan bahwa bertanam
selada itu mudah selama tersedia bahan
organik pada tanah dan cukup sinar
matahari serta tidak tergenang air.
Budidaya sayuran secara organik
tidak lepas dari penggunaan pupuk organik.
Selama ini pupuk organik yang banyak
digunakan oleh petani adalah pupuk
kandang. Sedangkan saat ini pupuk
kandang tidak hanya digunakan pada lahan
sawah, tetapi juga digunakan pada
budidaya jamur, tanaman hias, perikanan,
dan lain-lain. Oleh karena itu keberadaan
pupuk kandang saat ini semakin langka.
Kelangkaan pupuk kandang harus
dicarikan anternatif penggantinya. Salah
satu caranya dengan menggunakan pupuk
kompos yang dibuat dari sampah atau
limbah yang saat ini keberadaannya sangat
melimpah. Setiap manusia ataupun
makhluk hidup dalam aktivitasnya selalu
menghasilkan sampah.
Pada penelitian ini dicoba
penggunaan pupuk kompos yang dihasilkan
dari pengomposan limbah pengolahan kopi
dengan menggunakan berbagai dosis
probiotik urin sapi pada tanaman selada.
Sebagai pembanding digunakan pupuk
kompos hasil pengolahan limbah
pengolahan kopi menggunakan berbagai
dosis probiotik EM4.
Limbah yang dihasilkan dari pabrik
pengolahan kopi maupun petani kopi
sampai saat ini belum dimanfaatkan dan
belum tertangani dengan baik. Limbah
pengolahan kopi jumlahnya cukup besar
dan dibiarkan menggunung dalam
tumpukan. Hal ini akan menimbulkan bau
yang tidak sedap, menjadi sumber penyakit,
mengakibatkan pencemaran dan
mengganggu kesehatan serta keindahan
lingkungan.
Penelitian ini merupakan penelitian
lanjutan dari penelitian sebelumnya dengan
judul Pemanfaatan Limbah Pengolahan
Kopi Melalui Pengomposan Dengan
Menggunakan Probiotik Urin Sapi Menjadi
Pupuk Organik. Pupuk organik (kompos)
yang dihasilkan pada penelitian tersebut
diuji di lapangan dengan menggunakan
tanaman selada.
Perumusan Masalah
Sayur adalah komoditas yang selalu
dibutuhkan oleh masyarakat. Setiap hari
sayuran selalu dikonsumsi, bahkan sudah
dapat dipastikan kebutuhan atau
permintaan sayuran akan terus meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Tanaman sayuran dengan
kandungan vitamin, mineral, dan serat yang
tinggi sangat dibutuhkan oleh manusia
untuk menjaga kesehatannya.
Pada budidaya tanaman sayuran
sangat dibutuhkan pupuk organik untuk
menunjang pertumbuhan tanaman sayuran
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
52
tersebut menjadi baik. Pupuk organik yang
banyak digunakan adalah pupuk kandang.
Keberadaan pupuk kandang semakin lama
semakin langka, karena semakin banyak
bidang yang memanfaatkannya.
Perlu alternatif mencari sumber
pupuk organik lain sebagai pengganti pupuk
kandang. Pupuk kompos yang dihasilkan
dari pengomposan limbah pengolahan kopi
dengan berbagai dosis probiotik urin sapi
perlu dicoba pada tanaman selada. Sebagai
pembanding digunakan Pupuk kompos
yang dihasilkan dari pengomposan limbah
pengolahan kopi dengan berbagai dosis
probiotik buatan pabrik (EM4).
Pada kompos dengan probiotik urin
sapi dosis berapa yang bisa menghasilkan
selada dengan kuantitas maupun kualitas
yang terbaik belum diketahui.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pupuk
kompos dari hasil pengomposan
limbah pengolahan kopi
menggunakan urin sapi sebagai
sumber probiotik pada
pengomposan,
2. Mengetahui pupuk kompos limbah
pengolahan kopi pada dosis
probiotik urin sapi berapa yang bisa
memberikan hasil selada dengan
kuantitas dan kualitas yang terbaik.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun
Percobaan Fakultas Agroindustri,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta mulai
bulan Juni sampai dengan Agustus 2011.
Lokasi penelitian terletak di Dukuh Gunung
Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu,
Kabupaten Bantul; pada ketinggian 100
meter di atas permukaan laut.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi
pupuk kompos limbah pengolahan kopi
hasil pengomposan dengan probiotik urin
sapi dan EM4, pupuk kandang, tanah, pasir,
benih selada, polibag, Furadan 3G dan
paranet.
Alat yang digunakan antara lain
penggaris, timbangan analitik, oven, gelas
ukur, gunting, dan pisau potong.
Metode Penelitian
Penelitian merupakan percobaan
yang dilakukan di Lapangan menggunakan
rancangan perlakuan faktor tunggal yang
disusun dalam Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Faktor yang diteliti sebagai berikut:
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi
0,5 liter/10 kg limbah
pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi
1,0 liter/10 kg limbah
pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
53
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi
1,5 liter/10 kg limbah
pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5
liter/10 kg limbah pengolahan
kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0
liter/10 kg limbah pengolahan
kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5
liter/10 kg limbah pengolahan
kopi.
Masing-masing perlakuan dilakukan
pengulangan 3 kali, sehingga ada 21 unit
perlakuan. Masing-masing perlakuan
diberikan dengan dosis 200 gram per
polibag.
Data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis dengan sidik ragam taraf nyata
5%. Apabila terdapat perbedaan yang nyata
antar perlakuan, dilakukan uji lanjut dengan
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) taraf
nyata 5%.
Pelaksanaan Penelitian
Tahapan yang dilakukan meliputi :
1. Persiapan bibit
a. Penyiapan media semai
Media semai berupa campuran
tanah, pasir dan pupuk kandang
dengan perbandingan volume
1:1:1. Sebelum dicampur
masing-masing bahan diayak
(saring) untuk mendapatkan
ukuran butiran yang seragam.
Setelah dicampur media semai
dimasukkan ke dalam polibag
ukuran kecil sampai 3/4 bagian.
b. Penyemaian benih
Benih ditanam pada media
dalam polibag dengan dua
benih tiap polibag. Setelah
selesai penanaman, dilakukan
penyiraman media untuk
melekatkan akar dengan media
tanam.
2. Penanaman
a. Penyiapan media tanam
Media tanam dibuat sama
dengan media untuk
penyemaian, yaitu campuran
tanah, pasir dan pupuk kandang
dengan perbandingan volume
1:1:1. Setelah dicampur, media
tanam dimasukkan ke dalam
polibag ukuran besar (20 cm x
30 cm) sampai 3/4 bagian.
Pupuk kandang dan kompos
sebanyak 100 g ditambahkan ke
masing-masing media tanam
dalam polibag sesuai dengan
perlakuan, kemudian dicampur
dengan merata. Media siap
untuk ditanami.
b. Penanaman bibit
Setelah bibit berumur tiga
minggu sudah siap untuk
dipindah tanam ke dalam media
penanaman yang permanen.
Sebelum bibit dipindah tanam,
media pada bibit disiram dengan
sedikit air. Setelah air merata
pada media, polibag dipotong
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
54
bagian bawahnya. Bibit ditanam
pada media tanam dan ditimbun
setengah tinggi polibag. Polibag
ditarik ke atas pelan-pelan dan
dibuang. Penimbunan
dilanjutkan sampai pada
pangkal akar. Setelah selesai
dilakukan penyiraman untuk
menyatukan media bibit dengan
media tanam.
3. Pemeliharaan
a. Penyiraman
Penyiraman dilakukan 1-2 kali
per hari dengan melihat kondisi
media tanam. Apabila media
tanam masih lembab tidak
dilakukan penyiraman.
b. Penyulaman
Penyulaman dilakukan
maksimal tanaman berumur
satu minggu setelah tanam.
Bahan untuk penyulaman
menggunakan bibit yang sudah
disiapkan.
c. Penyiangan
Penyiangan dilakukan mulai
tanaman berumur dua minggu
setelah tanam.
Bersamaan dengan penyiangan
dilakukan pembuangan daun-
daun yang telah membusuk.
d. Pemupukan
Satu bulan setelah penanaman
dilakukan pemupukan susulan
dengan pupuk kandang dan
pupuk kompos sesuai
perlakuan. Setiap polibag
diberikan dengan dosis 100
gram.
e. Pengendalian hama dan
penyakit
Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan dengan jalan
menjaga kebersihan lingkungan
pertanaman. Selama penelitian
tidak ada serangan hama dan
penyakit yang berarti; sehingga
penggunaan pestisida hanya
dilakukan pada awal
penanaman saja, yaitu
pemberian Furadan 3G.
4. Pemanenan
Pemanenan dilakukan setelah
tanaman berumur tiga bulan.
Pemanenan dilakukan dengan cara
mencabut semua bagian tanaman
termasuk akarnya.
Pengamatan
Pada setiap unit perlakuan ada enam
tanaman. Pengamatan dilakukan pada
empat tanaman sampel untuk setiap unit
perlakuan. Variabel pengamatan meliputi :
1. Tinggi tanaman
Pengamatan tinggi tanaman
dilakukan mulai tanaman berumur
dua minggu setelah tanam sampai
panen. Interval waktu pengamatan
satu minggu satu kali. Tinggi
tanaman diukur mulai dari pangkal
akar sampai dengan ujung daun
tertinggi saat ditangkupkan.
2. Jumlah daun
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
55
Penghitungan jumlah daun
dilakukan mulai umur tanaman dua
minggu setelah tanam sampai
panen. Interval waktu pengamatan
satu minggu satu kali. Semua daun
yang telah membuka dihitung
jumlahnya.
3. Bobot segar tajuk tanaman
Tanaman dicabut dan dibersihkan
dari kotoran, kemudian dipisahkan
antara tajuk dan akarnya. Tajuk
tanaman ditimbang untuk
mengetahui bobot segarnya.
4. Bobot kering tajuk tanaman
Setelah diketahui bobot segarnya,
tajuk tanaman dikeringkan di dalam
oven dengan suhu 105 oC.
Penimbangan mulai dilakukan
setelah 24 jam dalam oven. Setelah
ditimbang dimasukkan lagi ke dalam
oven, dan setiap delapan jam
ditimbang lagi sampai diperoleh
bobot konstan.
5. Bobot segar akar tanaman
Akar tanaman yang telah dipisahkan
dari tajuknya ditimbang untuk
mengetahui bobot segarnya.
6. Bobot kering akar tanaman
Setelah diketahui bobot segarnya,
akar tanaman dikeringkan di dalam
oven dengan suhu 105 oC.
Penimbangan mulai dilakukan
setelah 24 jam dalam oven. Setelah
ditimbang dimasukkan lagi ke dalam
oven, dan setiap delapan jam
ditimbang lagi sampai diperoleh
bobot konstan.
7. Bobot segar tajuk layak jual
Tajuk dibersihkan dari daun-daun
yang rusak dan tidak layak
dikonsumsi. Setelah itu ditimbang
bobotnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Variabel yang diamati dalam
penelitian ini meliputi tinggi tanaman, jumlah
daun, bobot segar tajuk tanaman, bobot
kering tajuk tanaman, bobot segar akar
tanaman, bobot kering akar tanaman dan
bobot segar tajuk layak jual.
Hasil analisis data variabel yang
diamati disajikan dalam bentuk tabel
berikut:
1. Tinggi tanaman
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
56
Tabel 1. Tinggi tanaman (cm) umur satu sampai dengan tujuh minggu setelah tanam
Umur (Minggu) Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7
K0 2,42 a 2,79 a 3,25 a 3,98 a 5,50 a 8,73 a 16,16 a
K1 2,59 a 3,28 a 3,96 a 5,30 a 8,03 a 13,17 a 22,00 a
K2 2,71 a 3,76 a 4,40 a 6,03 a 8,67 a 13,67 a 26,22 a
K3 2,83 a 3,17 a 4,20 a 5,59 a 9,01 a 14,32 a 26,03 a
K4 2,73 a 3,39 a 3,58 a 4,05 a 5,86 a 14,49 a 16,25 a
K5 3,04 a 3,51 a 4,26 a 5,71 a 8,59 a 15,02 a 27,00 a
K6 2,59 a 3,31 a 3,83 a 5,01 a 7,75 a 12,06 a 21,34 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Hasil analisis tinggi tanaman umur
satu minggu sampai dengan tujuh minggu
setelah tanam menunjukkan tidak ada beda
nyata antar perlakuan. Purata hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 1.
2. Jumlah daun
Hasil analisis jumlah daun tanaman
umur satu minggu sampai dengan tujuh
minggu setelah tanam menunjukkan tidak
ada beda nyata antar perlakuan. Purata
hasil pengamatan disajikan pada Tabel 2.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
57
Tabel 2. Jumlah daun tanaman (helai) umur satu sampai tujuh minggu setelah tanam
Umur (Minggu) Perlakuan
2 3 4 5 6 7
K0 3,75 a 3,42 a 4,92 a 7,00 a 9,75 a 13,67 a
K1 3,92 a 4,33 a 5,42 a 7,67 a 11,75 a 15,50 a
K2 3,58 a 4,42 a 4,75 a 7,58 a 10,58 a 14,25 a
K3 4,00 a 4,58 a 5,25 a 7,08 a 9,58 a a 13,08 a
K4 3,08 a 3,58 a 4,92 a 5,83 a 8,33 a a 12,42 a
K5 3,42 a 5,00 a 5,33 a 7,67 a 11,58 a 14,75 a
K6 3,50 a 4,33 a 5,42 a 6,92 a 9,83 a 14,42 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak ada beda nyata berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
58
3. Bobot segar tajuk tanaman
Tabel 3. Bobot segar tajuk tanaman (g)
Ulangan Perlakuan
I II III Purata
K0 71,30 94,88 115,57 93,92 a
K1 113,08 134,00 142,47 129,85 a
K2 49,25 143,91 142,54 111,90 a
K3 18,75 72,74 111,28 67,59 a
K4 49,42 106,95 71,54 75,97 a
K5 153,02 110,83 129,37 131,07 a
K6 110,85 143,67 87,72 114,08 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata
berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Hasil analisis bobot segar tajuk
tanaman menunjukkan tidak ada beda
nyata antar perlakuan. Purata hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 3.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
59
2. Bobot kering tajuk tanaman
Hasil analisis bobot kering tajuk
tanaman menunjukkan tidak ada beda
nyata antar perlakuan. Purata hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Bobot kering tajuk tanaman (g)
Ulangan Perlakuan
I II III Purata
K0 3,24 5,23 6,01 4,83 a
K1 4,11 6,97 8,73 6,60 a
K2 1,56 6,07 6,91 4,85 a
K3 1,30 4,89 6,20 4,13 a
K4 2,59 5,41 3,41 3,80 a
K5 3,63 6,00 7,55 5,73 a
K6 4,95 5,67 3,55 4,72 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata
berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
60
3. Bobot segar akar tanaman
Hasil analisis bobot segar akar
tanaman menunjukkan tidak ada beda
nyata antar perlakuan. Purata hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Bobot segar akar (g)
Ulangan Perlakuan
I II III Purata
K0 7,45 9,48 9,38 8,77 a
K1 7,64 11,35 12,75 10,58 a
K2 4,92 14,27 12,32 10,50 a
K3 2,54 8,50 11,15 7,40 a
K4 5,09 11,36 4,96 7,14 a
K5 11,91 11,46 10,69 11,35 a
K6 9,59 11,21 7,60 9,47 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata
berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
61
4. Bobot kering akar tanaman
Hasil analisis bobot segar akar
tanaman menunjukkan tidak ada beda
nyata antar perlakuan. Purata hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Bobot kering akar (g)
Ulangan Perlakuan
I II III Purata
K0 0,26 0,90 0,79 0,65 a
K1 0,42 1,01 0,87 0,77 a
K2 0,16 0,75 0,83 0,58 a
K3 0,24 0,64 0,91 0,60 a
K4 0,42 0,71 0,53 0,55 a
K5 0,60 0,70 1,12 0,81 a
K6 0,62 0,74 0,59 0,65 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata
berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
62
5. Bobot segar tajuk tanaman layak
jual
Hasil analisis bobot segar tajuk
tanaman layak jual menunjukkan tidak ada
beda nyata antar perlakuan. Purata hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Bobot segar tajuk tanaman layak jual (g)
Ulangan Perlakuan
I II III Purata
K0 76,94 106,71 90,53 91,39 a
K1 133,30 102,72 105,68 113,90 a
K2 37,14 103,41 109,14 83,23 a
K3 22,68 117,06 90,64 76,79 a
K4 55,62 81,10 62,93 66,55 a
K5 111,07 82,46 107,66 100,40 a
K6 120,49 99,99 76,60 99,03 a
Keterangan: Angka purata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata
berdasarkan uji F taraf 5%.
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Pembahasan
Usaha pemeliharaan tanaman untuk
meningkatkan hasilnya sebaiknya mengacu
pada tuntutan kehidupan tanaman di
lapangan, sehingga kebutuhan hara
maupun lingkungan (habitat) hidupnya
harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
Pada penelitian ini unsur hara yang
diperlukan tanaman diberikan melalui
pemupukan menggunakan pupuk organik
hasil pengomposan.
Seperti pada media lainnya, bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
selalu diperlukan unsur – unsur hara baik
makro maupun mikro. Unsur hara makro
yang diperlukan dalam jumlah banyak
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
63
antara lain C, H, O, N, S, P, K, Ca, dan Mg;
sedangkan unsur makro yang hanya
diperlukan dalam jumlah sedikit, tetapi
harus selalu tersedia bagi tanaman antara
lain adalah Cl, B, Mo, Mn, Zn, Fe, dan Cu.
Berdasarkan hasil analisis terhadap
variabel tinggi tanaman dan jumlah daun
umur 1 – 7 minggu setelah tanam (Tabel
1dan 2), perlakuan pemberian pupuk
kompos hasil pengomposan dengan
probiotik urin sapi maupun EM4
memberikan hasil yang sama. Hal ini ada
kemungkinan karena kandungan hara
dalam pupuk kompos sangat rendah,
terutama kandungan hara nitrogen,
sehingga kurang mendukung pertumbuhan
vegetatif tanaman. Pada fase vegetatif atau
pertumbuhan tanaman berkonsentrasi
untuk menumbuhkan akar, batang, dan
daun, sehingga diperlukan unsur nitrogen
yang cukup. Ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Rosmarkam dan Yuwono
(2002), unsur nitrogen sangat penting untuk
pembentukan protein dan merupakan
penyusun dari asam amino, koenzim, dan
molekul protein. Unsur nitrogen juga
merangsang pertumbuhan vegetatif,
menambah tinggi tanaman dan
merangsang terbentuknya tunas anakan.
Kalau kita lihat pada Gambar 1,
walaupun tidak beda nyata menurut analisis
statistik, nampak bahwa pada perlakuan
kompos hasil pengomposan dengan
probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah
pengolahan kopi, probiotik urin sapi 1,5
liter/10 kg limbah pengolahan kopi dan
dengan probiotik EM4 1,0 liter /10 kg
limbah pengolahan kopi pada akhir
pengamatan (minggu ke 7) cenderung
memberikan tinggi tanaman yang hampir
sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang lainnya. Sedangkan pada
variabel jumlah daun hasil yang banyak ada
pada perlakuan kompos hasil
pengomposan dengan probiotik urin sapi
0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi dan
dengan probiotik EM4 1,0 liter /10 kg
limbah
pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
64
Gambar 1. Grafik tinggi tanaman dari umur satu minggu sampai dengan tujuh minggu setelah
tanam
Keterangan:
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Pertumbuhan tanaman dapat didefinisikan
sebagai bertambah besarnya tanaman yang
diikuti oleh peningkatan bobot kering yang
terjadi pada jaringan tumbuh tanaman, yaitu
jaringan meristem baik itu pada ujung akar
maupun ujung dahan yang aktifitasnya
menyebabkan pertumbuhan ke atas dan ke
bawah (Harjadi, 1993). Bobot kering
merupakan indikator yang penting untuk
mengetahui proses fotosintesis.
Tanaman terdiri dari bahan kering
dan cairan (air). Bobot kering terdiri dari
bahan organik dan bahan mineral. Bagian
cair pada umumnya, terutama yang masih
segar, jauh lebih banyak dibandingkan
dengan bagian kering. Untuk pembentukan
1 kg bahan kering diperlukan sekitar 150
liter air (Morachan, 1978).
Hasil analisis variabel bobot segar
dan bobot kering tajuk tanaman (Tabel 3
dan 4) menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian pupuk kompos hasil
pengomposan dengan probiotik urin sapi
maupun EM4 tidak berpengaruh. Ini juga
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
65
terjadi pada bobot segar dan bobot kering
akar tanaman (Tabel 5 dan 6). Hal ini
mungkin disebabkan karena kandungan
hara nitrogen pada kompos hasil
pengolahan limbah pengolahan kopi sangat
rendah.
Gambar 2. Grafik jumlah daun tanaman dari umur satu minggu sampai dengan tujuh minggu
setelah tanam
Keterangan:
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002),
nitrogen merupakan unsur hara utama bagi
pertumbuhan tanaman, sebab merupakan
penyusun dari semua protein dan asam
nukleik, dan dengan demikian merupakan
penyusun protoplasma secara keseluruhan.
Marschner (1986) mengatakan, apabila
nitrogen yang tersedia lebih banyak
daripada lainnya, dapat dihasilkan protein
lebih banyak, dan daun dapat lebih lebar.
Oleh karena itu fotosintesis lebih banyak.
Semakin tinggi pemberian nitrogen semakin
cepat sintesis, karbohidrat banyak dan
diubah menjadi protein dan protoplasma.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa
perlakuan kompos hasil pengomposan
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
66
dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg
limbah pengolahan kopi dan dengan
probiotik EM4 1,0 liter /10 kg limbah
pengolahan kopi cenderung memberikan
bobot segar tajuk tanaman yang sama dan
lebih berat dibanding dengan perlakuan
yang lainnya. Sedangkan untuk Bobot
kering tajuk tanaman perlakuan kompos
hasil pengomposan dengan probiotik urin
sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi
lebih berat dibandingkan dengan probiotik
EM4 1,0 liter /10 kg limbah pengolahan
kopi. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas
fotosintesis pada perlakuan kompos hasil
pengomposan dengan probiotik urin sapi
0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi lebih
baik (efektif) dibandingkan dengan kompos
hasil pengomposan dengan probiotik EM4
1,0 liter /10 kg limbah pengolahan kopi.
Gambar 3 . Grafik bobot segar tajuk tanaman
Keterangan:
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
67
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
efektifitas fotosintesis pada perlakuan
kompos hasil pengomposan dengan
probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah
pengolahan kopi lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan kompos hasil
pengomposan dengan probiotik EM4 1,0
liter /10 kg limbah pengolahan kopi, oleh
karenanya bobot kering perlakuan kompos
hasil pengomposan dengan probiotik urin
sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi
lebih tinggi dibanding perlakuan kompos
hasil pengomposan dengan probiotik EM4
1,0 liter /10 kg limbah pengolahan kopi.
Karena bobot segarnya sama, maka
kandungan air pada perlakuan kompos
hasil pengomposan dengan probiotik EM4
1,0 liter /10 kg limbah pengolahan kopi lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kompos hasil pengomposan dengan
probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah
pengolahan kopi. Ada kemungkinan
kandungan air yang tinggi ini yang
menyebabkan daun banyak yang busuk
atau rusak, sehingga tidak layak untuk
dikonsumsi atau dijual.
Gambar 4 . Grafik bobot kering tajuk tanaman
Keterangan:
K0 : Pupuk kandang sapi
K1 : Kompos dengan probiotik urin sapi 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K2 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K3 : Kompos dengan probiotik urin sapi 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K4 : Kompos dengan probiotik EM4 0,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K5 : Kompos dengan probiotik EM4 1,0 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
K6 : Kompos dengan probiotik EM4 1,5 liter/10 kg limbah pengolahan kopi.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
68
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kompos limbah pengolahan kopi
dengan sumber probiotik urin sapi
maupun EM4 memberikan kuantitas
maupun kualitas hasil selada yang
sama.
2. Kuantitas dan kualitas hasil selada
yang terbaik cenderung diperoleh
pada perlakuan kompos limbah
pengolahan kopi dengan sumber
probiotik urin sapi 0,05 liter/10 kg
limbah pengolahan kopi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis sampaikan
kepada Dekan Fakultas Agroindustri;
Kepala P3M; Kepala UPT Kebun
Percobaan Univerversitas Mercu Buana
Yogyakarta; Teknisi Laboratorium Tanah,
Program Studi Agroteknologi, Fakultas
Agroindustri, Univerversitas Mercu Buana
Yogyakarta yang telah memberikan
kesempatan dan bantuan dalam penelitian
ini, sehingga penelitian bisa selesai dengan
baik. Juga terima kasih kepada Solikhatun,
S.P., Farah, Naufal, dan Hariz, isteri dan
anak penulis yang telah memberikan
motivasi, waktu dan kesabarannya; dan
semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Harjadi,S.S. 1993. Pengantar Agronomi.
Gramedia, Jakarta. 197 h.
Ilao,S.S.L & Lastimosa. 1985. Research
Technique in Crops. Phillipine
Council for Agriculture and
Resources Research. ang
Development, Los Banos,
Laguna, Philippines. 512 h.
Marschner.H. 1986. Mineral Nutrition of
Higher Plant. Academic Press
Inc, London. 674 p.
Morachan,Y.B. 1978. Crop Production and
Management. Oxford & IBH
Publising Co. New Delhi.
Bombay. Calcuta. 267 p.
Pracaya. 2011. Bertanam Sayur Organik.
Penebar Swadaya. Jakarta. 123
h.
Rosmarkam, A. dan N.W. Yuwono. 2002.
Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius,
Yogyakarta. 224 h.
Rukmana. 1994. Bertanam Selada dan
Buncis. Kanisius, Yogyakarta.
Saragih,S.E. 2008. Pertanian Organik.
Penebar Swadaya, Jakarta. 163
h.
Sugeng. 1983. Budidaya Tanaman Sayur-
sayuran. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sunaryono, 1990). Kunci Bercocok Tanam
Sayur-sayuran Penting di
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
69
Indonesia. Sinar Baru, Bandung.
154 h.
Sutanto, R. 2003. Penerapan Pertanian
Organik: Pemasyarakatan dan
Pengembangannya. Kanisius,
Yogyakarta.
Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6., Mei 2013 ISSN : 2086-7719
70
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Naskah yang diterima merupakan hasil
penelitian, naskah ditulis dalam bahasa
Indonesia, diketik dengan computer
program MS. Word, front Arial size 11.
Jarak antar baris 2 spasi maksimal 15
halaman termasuk garfik, gambar dan tabel.
Naskah diserahkan dalam bentuk print-out
dan CD; dibuat dengan jarak tepi cukup
untuk koreksi.
Gambar (gambar garis maupun foto)
dan tabel diberi nomor urut sesuai dengan
letaknya. Masing-masing diberi keterangan
singkat dengan nomor urut dan dituliskan
diluar bidang gambar yang akan dicetak.
Nama ilmiah dicetak miring atau
diberi garis bawah. Rumus persamaan ilmu
pasti, simbol dan lambang semiotik ditulis
dengan jelas.
Susunan urutan naskah ditulis
sebagai berikut :
1. Judul dalam bahasa Indonesia.
2. Nama penulis tanpa gelar diikuti
alamat instansi.
3. Abstract dalam bahasa Inggris, tidak
lebih 250 kata.
4. Materi dan Metode.
5. Hasil dan Pembahasan.
6. Kesimpulan.
7. Ucapan terima kasih kalau ada.
8. Daftar pustaka ditulis menggunakan
sistem nama, tahun dan disusun
secara abjad
Beberapa contoh :
Buku :
Mayer, A.M. and A.P. Mayber. 1989. The
Germation of Seeds. Pergamon
Press. 270 p.
Artikel dalam buku :
Abdulbaki, A.A. And J.D. Anderson. 1972.
Physiological and Biochemical
Deteration of Seeds. P. 283-309. In.
T.T.Kozlowski (Ed) Seed Biology Vol.
3. Acad. Press. New York.
Artikel dalam majalah atau jurnal :
Harrison, S.K., C.S. Wiliams, and L.M. Wax.
1985. Interference and Control of
Giant Foxtail (Setaria faberi, Herrm) in
Soybean (Glicine max). Weed Science
33: 203-208.
Prosiding :
Kobayasshi,J. Genetic engineering of Insect
Viruses: Recobinant baculoviruses. P.
37-39. in: Triharso, S. Somowiyarjo,
K.H. Nitimulyo, and B. Sarjono (eds.),
Biotechnology for Agricultural Viruses.
Mada University Press. Yogyakarta.
Redaksi berhak menyusun naskah
agar sesuai dengan peraturan pemuatan
naskah atau mengembalikanya untuk
diperbaiki, atau menolak naskah yang
bersangkutan.
Naskah yang dimuat dikenakan biaya
pencetakan sebesar Rp 100.000,- dan
penulis menerima 1 eks hasil cetakan.