15
FORMULASI DAN UJI KLINIK GEL ANTI JERAWAT BENZOIL PEROKSIDA-HPMC Muslim Suardi, Armenia, Anita Maryawati Fakultas Farmasi FMIPA UNAND ABSTRACT Benzoyl peroxide gels at concentration of 2.5% were formulated using variable Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) concentrations such as 3, 3.5 and 4%. Propylene glycol and methyl paraben were used as moisturizer and preservative, respectively. Characterization of gel formulations were included of organoleptic, homogeniety, the concentration of benzoyl peroxide in gel, pH, viscocity and nature of stream, gel spreadness and penetration. The gel formula countaining 3.5% HPMC representing the best one. Clinical trial was performed to the best gel using a randomized double blind methode. Results showed that the benzoyl peroxide gel decreased the acne lesion better compared to BZ gel 2.5% ® Batch No CNS 61 gel and placebo as well (P < 0.01). PENDAHULUAN Salah satu penyakit kulit yang merisaukan remaja dan dewasa adalah jerawat, karena dapat mengurangi kepercayaaan diri seseorang (1). Jerawat adalah penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun kelenjar polisebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, nodus, dan kista pada tempat predileksi. Jerawat merupakan kelainan kulit yang bersifat umum, menyerang hampir pada semua remaja yang berusia16-19 tahun, bahkan dapat berlanjut hingga usia 30 tahun (2). Di pasaran sediaan anti jerawat telah banyak beredar baik dalam bentuk gel, krim dan losio tetapi dari jenis sediaan tersebut sediaan bentuk gel lebih banyak dipilih. Gel merupakan sistem semi padat yang terdiri dari suspensi partikel anorganik kecil atau molekul organik besar terpenetrasi oleh suatu cairan (3). Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah mengering membentuk lapisan film sehingga mudah dicuci (4). Bahan pembentuk gel yang biasa digunakan adalah turunan selulosa seperti metil selulosa dan hidroksi propil metil selulosa. Hidroksi propil metil selulosa dapat menghasilkan gel yang netral, jernih, tidak berwarna dan tidak berasa, stabil pada pH 3 hingga 11 dan punya resistensi yang baik terhadap serangan mikroba serta memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit (5,6,7). Benzoil peroksida adalah salah satu zat yang dapat digunakan untuk menangani jerawat (8), dapat mengurangi jumLah Propionibacterium acnes yang merupakan bakteri anaerob penyebab infeksi jerawat (9). Zat ini umumnya digunakan untuk “acne vulgaris”, aman untuk anak-anak, dewasa dan ibu hamil (8,10). Zat ini

Jurnal Agne Suardi 1 Dan 3

Embed Size (px)

Citation preview

FORMULASI DAN UJI KLINIK GEL ANTI JERAWAT BENZOIL

PEROKSIDA-HPMC

Muslim Suardi, Armenia, Anita Maryawati

Fakultas Farmasi FMIPA UNAND

ABSTRACT

Benzoyl peroxide gels at concentration of 2.5% were formulated using variable

Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) concentrations such as 3, 3.5 and 4%.

Propylene glycol and methyl paraben were used as moisturizer and preservative,

respectively. Characterization of gel formulations were included of organoleptic,

homogeniety, the concentration of benzoyl peroxide in gel, pH, viscocity and nature of

stream, gel spreadness and penetration. The gel formula countaining 3.5% HPMC

representing the best one. Clinical trial was performed to the best gel using a randomized

double blind methode. Results showed that the benzoyl peroxide gel decreased the acne

lesion better compared to BZ gel 2.5%®

Batch No CNS 61 gel and placebo as well (P <

0.01).

PENDAHULUAN

Salah satu penyakit kulit yang

merisaukan remaja dan dewasa adalah

jerawat, karena dapat mengurangi

kepercayaaan diri seseorang (1). Jerawat

adalah penyakit kulit yang terjadi akibat

peradangan menahun kelenjar

polisebasea yang ditandai dengan adanya

komedo, papul, pustul, nodus, dan kista

pada tempat predileksi. Jerawat

merupakan kelainan kulit yang bersifat

umum, menyerang hampir pada semua

remaja yang berusia16-19 tahun, bahkan

dapat berlanjut hingga usia 30 tahun (2).

Di pasaran sediaan anti jerawat telah

banyak beredar baik dalam bentuk gel,

krim dan losio tetapi dari jenis sediaan

tersebut sediaan bentuk gel lebih banyak

dipilih.

Gel merupakan sistem semi padat

yang terdiri dari suspensi partikel

anorganik kecil atau molekul organik

besar terpenetrasi oleh suatu cairan (3).

Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak

digunakan karena rasa dingin di kulit,

mudah mengering membentuk lapisan

film sehingga mudah dicuci (4). Bahan

pembentuk gel yang biasa digunakan

adalah turunan selulosa seperti metil

selulosa dan hidroksi propil metil

selulosa. Hidroksi propil metil selulosa

dapat menghasilkan gel yang netral,

jernih, tidak berwarna dan tidak berasa,

stabil pada pH 3 hingga 11 dan punya

resistensi yang baik terhadap serangan

mikroba serta memberikan kekuatan film

yang baik bila mengering pada kulit

(5,6,7).

Benzoil peroksida adalah salah

satu zat yang dapat digunakan untuk

menangani jerawat (8), dapat

mengurangi jumLah Propionibacterium

acnes yang merupakan bakteri anaerob

penyebab infeksi jerawat (9). Zat ini

umumnya digunakan untuk “acne

vulgaris”, aman untuk anak-anak,

dewasa dan ibu hamil (8,10). Zat ini

telah tersedia dalam bentuk krim, gel,

losio, dan pencuci muka, biasanya

digunakan pada konsentrasi 2,5; 5 dan

10% (9,10). Benzoil peroksida dapat

digunakan tunggal maupun dalam

bentuk kombinasi (11,12).

Gel benzoil peroksida telah

banyak beredar di pasaran, HPMC

(Hydroxy Propyl Methyl Celullose) telah

digunakan sebagai basis gel tetapi

konsentrasi yang digunakan belum

diketahui. Untuk itu diadakan penelitian

ini, yang diharapkan dapat

memformulasi gel benzoil peroksida

dengan pembawa HPMC yang teruji

secara klinik efektif dapat menurunkan

nilai keparahan lesi jerawat.

BAHAN DAN METODE

Alat yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain adalah: pH

meter E-520, piknometer, sel difusi

Franz tipe vertikal, spektrofotometer UV

(Shimadzu), kulit mencit, viskometer

Stormer serial 79081, viskometer

Hoeppler.

Bahan yang digunakan: benzoil

peroksida, HPMC (Hydroxy Propyl

Methyl Cellulose), propilenglikol, metil

paraben, aquadest, larutan dapar pH 4

dan pH 7, sediaan gel benzoil peroksida

yang beredar di pasaran (BZ 2,5%®

No

Batch CNS 61), larutan besi (III)

klorida, natrium klorida fisiologis,

aseton, asetonitril, asam klorida,

kloroform, etanol, eter, natrium

hidroksida, gliserin.

Tabel 1. Rancangan formula gel benzoil

peroksida dengan basis HPMC.

Formulasi gel benzoil peroksida

Air suling sebanyak 20 kali berat

HPMC dipanaskan hingga mendidih,

kemudian diangkat dan HPMC

dikembangkan didalamnya selama 15

menit, setelah kembang ditambahkan

metil paraben yang telah dilarutkan

dalam etanol (1 dalam 5). Benzoil

peroksida digerus di dalam lumpang

hingga halus, lalu ditambahkan

propilenglikol sedikit demi sedikit

sambil terus digerus sampai homogen,

lalu dipindahkan ke dalam beker gelas

yang berisi basis, terakhir dicukupkan

dengan air suling dan diaduk hingga

homogen.

Evaluasi gel benzoil peroksida hasil

formulasi

Pemeriksaan organoleptis (22),

meliputi bentuk, warna dan bau yang

diamati secara visual.

Pemeriksaan homogenitas (13)

dilakukan dengan cara mengoleskan 0,1

gram sediaan pada kaca transparan.

Sediaan uji harus menunjukkan susunan

yang homogen.

Pemeriksaan kadar benzoil

peroksida (22) dalam sediaan dilakukan

secara spektrofotometri. Penentuan

panjang gelombang serapan maksimum

bennzoil peroksida di dalam asetonitril

Nama Zat

(gram)

FAM1 FAM2 FAM3

Benzoil

peroksida

2,5 2,5 2,5

HPMC 3,0 3,5 4,0

Propilenglikol 15 15 15

Metil paraben 0,18 0,18 0,18

Air suling

sampai

100 100 100

Benzoil peroksida ditimbang seksama 25

mg dan dilarutkan dalam 25 mL

asetonitril (larutan induk). Dari larutan

induk dibuat pengenceran hingga kadar

2 µg/mL. Kemudian panjang gelombang

serapan maksimumnya diukur

menggunakan spektrofotometer UV.

Kurva kalibrasi dibuat dengan

mengukur serapan beberapa larutan

standar benzoil peroksida dalam

asetonitril dengan konsentrasi masing-

masing 2; 3; 4; 5 dan 6 µg/mL. Serapan

larutan diukur menggunakan

spektrofotometer UV pada panjang

gelombang serapan maksimum. Kurva

kalibrasinya dibuat dan persamaan

regresinya dihitung.

Kadar benzoil peroksida dalam

sediaan ditentukan dengan cara berikut.

Satu gram sediaan yang setara dengan 25

mg benzoil peroksida ditambahkan ke

dalam larutan asetonitril hingga 25 mL.

Kemudian pengenceran dibuat hingga

didapatkan konsentrasi benzoil

peroksida dalam gel sebesar 5 µg/mL.

Kemudian serapannya diukur

menggunakan spektrofotometer UV

pada panjang gelombang serapan

maksimum. Kadar benzoil peroksida

dapat dihitung menggunakan kurva

kalibrasi.

Pemeriksaan pH (22,25)

Alat pH meter dikalibrasi

menggunakan larutan dapar pH 7 dan pH

4. Satu gram sediaan yang akan

diperiksa diencerkan dengan air suling

hingga 10 mL. Elektroda pH meter

dicelupkan ke dalam larutan yang

diperiksa, jarum pH meter dibiarkan

bergerak sampai menunjukkan posisi

tetap, pH yang ditunjukkan jarum pH

meter dicatat.

Penentuan viskositas dan sifat alir

(23,25)

Sebelum viskositas sediaan

ditentukan, bobot jenis dan viskositas

gliserin serta konstanta alat ditentukan

terlebih dahulu. Bobot jenis gliserin

ditentukan menggunakan piknometer.

Bobot piknometer kosong (Wo), bobot

piknometer + air ditimbang (Wa), dan

bobot piknometer + gliserin (Wg),

masing-masing ditimbang.

Bobot jenis gliserin =

Viskositas gliserin ditentukan

menggunakan viskometer Hoppler. Alat

diletakkan pada posisi vertikal dengan

memeriksa water pass. Tabung

viskometer diisi dengan gliserin sampai

penuh kemudian bola besi alloy nikel

berdiameter 15,25 mm dimasukkan

dengan hati-hati. Penutup viskometer

dipasang sedemikian rupa sehingga tidak

terdapat rongga udara. Tabung diputar

180o sehingga bagian atas di bawah,

kemudian waktu yang dibutuhkan untuk

turun dari M1 sampai M2 dicatat (n=3).

Viskositas dihitung menggunakan

persamaan :

η = k (ρ1 – ρ2) t

η = viskositas gliserin (poise)

k = konstanta bola besi alloy nikel

berdiameter 15,25 mm

(mPa.cm3/g.detik)

ρ1 = bobot jenis bola besi alloy nikel

berdiameter 15,25 mm (g/cm3)

ρ2 = bobot jenis gliserin (g/cm3)

t = waktu yang dibutuhkan bola

menempuh jarak dari M1-M2 (detik)

Konstanta alat (Kv) viskometer

Stormer ditentukan menggunakan

gliserin. Gelas piala 250 mL diisi dengan

Wg - Wo

(Wa – Wo)/ρ air

gliserin sebanyak 150 mL, kemudian

alas bawah dinaikkan hingga bob tepat

berada di tengah gelas piala dan

terbenam dalam gliserin. Skala diatur

hingga menunjukkan angka nol dan

beban tertentu diberikan, kunci pengatur

putaran dilepaskan hingga beban turun

dan menyebabkan bob berputar, waktu

yang diperlukan untuk bob berputar 100

kali dicatat, yaitu tepat saat jarum

kembali menunjukkan angka nol.

Dengan menambah dan mengurangi

beban sedikit demi sedikit maka

pengukuran pada beberapa kecepatan

geser akan didapat.

RPM = 100/t x 60

Konstanta alat (Kv) viskometer Stormer

ditentukan dengan rumus :

W

Kv = η x

RPM

RPM = Rotasi Per Menit (menit-1

)

η = viskositas (poise)

W = beban (gram)

Viskositas dan sifat aliran sediaan

gel benzoil peroksida hasil formulasi

ditentukan dengan cara berikut. Gelas

piala 250 mL diisi dengan sediaan gel

benzoil peroksida hasil formulasi

sebanyak 150 mL, kemudian alas bawah

dinaikkan hingga bob tepat berada di

tengah gelas piala dan terbenam dalam

gliserin. Skala diatur hingga

menunjukkan angka nol dan beban

tertentu diberikan, kunci pengatur

putaran dilepaskan hingga beban turun

dan menyebabkan bob berputar, waktu

yang diperlukan untuk bob berputar 100

kali dicatat, yaitu tepat saat jarum

kembali menunjukkan angka nol.

Dengan menambah dan mengurangi

beban sedikit demi sedikit maka

pengukuran pada beberapa kecepatan

geser akan didapat. Grafik antara RPM

dan beban yang diberikan dibuat

sehingga diperoleh gambaran sifat aliran

sediaan

W

η = Kv x

RPM

RPM = Rotasi Per Menit (menit-1

)

η = viskositas (poise)

W = beban (gram)

Uji daya menyebar (23)

ditentukan dengan cara berikut.

Gel benzoil peroksida hasil formulasi

sebanyak 0,5 gram diletakkan dengan

hati-hati di atas kertas grafik yang

dilapisi plastik transparan, dibiarkan

sesaat (15 detik) dan luas daerah yang

diberikan oleh sediaan dihitung

kemudian tutup lagi dengan plastik yang

diberi beban tertentu masing-masing 1, 2

dan 5 g dan dibiarkan selama 60 detik,

pertambahan luas yang diberikan oleh

sediaan dapat dihitung.

Uji daya penetrasi (18,25)

Penentuan panjang gelombang

serapan maksimum benzoil peroksida

dalam larutan natrium klorida 0,9%. 25

mg benzoil peroksida dilarutkan dalam

asetonitril sampai 25 mL. Larutan di atas

diambil 7,5 mL dan diencerkan dengan

larutan narium klorida 0,9% sampai 25

mL sebagai larutan induk. Dari larutan

induk ini dibuat pengenceran dengan

natrium klorida 0,9% hingga didapatkan

kadar 10 µg/mL. Spektrum ditentukan

dengan menggunakan spektrofotometer

UV sehingga panjang gelombang

serapan maksimum didapatkan yaitu 223

nm. Sebagai blanko digunakan larutan

natrium klorida 0,9%.

Pembuatan kurva kalibrasi

benzoil peroksida dalam larutan natrium

klorida 0,9%. Kurva kalibrasi dan

persamaan regresi dibuat dari data

serapan pada panjang gelombang

serapan maksimum. Larutan benzoil

peroksida dibuat dengan konsentrasi 3,

6, 9 dan 12 µg/mL. Dalam larutan

natrium klorida 0,9% serapan diukur

dengan spektrofotometer UV pada

panjang gelombang serapan maksimum.

Untuk blanko digunakan larutan natrium

klorida 0,9%.

Penyiapan membran kulit mencit

Untuk membran difusi digunakan

kulit mencit yang berumur ± 2 bulan.

Segera setelah mencit dikorbankan, kulit

mencit diambil dengan jalan

mengelupaskan kulitnya yang sudah

digunting pada bagian sekitar ekor

sampai kepalanya dengan menggunakan

pinset. Kemudian bulu mencit dibuang

dengan cara digunting sampai bulu-

bulunya pendek dan dilanjutkan dengan

pencukuran secara hati-hati. Kulit

mencit yang telah dibuang bulunya

dibersihkan dengan menggunakan

natrium klorida 0,9% untuk melepaskan

sisa jaringan yang melekat. Kulit yang

dibersihkan disimpan dalam lemari es

untuk mencegah terjadinya kerusakan.

Uji penetrasi gel benzoil peroksida

Membran diletakkan pada bagian

mulut donor kompartemen sel difusi

Franz yang telah diisi cairan penerima

larutan natrium klorida 0,9% sebanyak

115 mL. Membran tersebut diletakkan

hati-hati dan diusahakan tidak terdapat

gelembung udara yang terkurung di

bawah membran. Sediaan sebanyak 500

mg dioleskan sambil diratakan di atas

membran dengan menggunakan sudip.

Sel difusi Franz tipe vertikal diletakkan

dalam penangas air bersuhu 37oC ± 1

oC.

Pengaduk magnetik dijalankan dan

dibiarkan berputar pada skala tertentu.

Pengambilan cuplikan dilakukan dalam

selang waktu 5; 15; 30; 45; 60; 75; 90;

105; 120; 135; 150; 165; 180; 195; 210;

225 dan 240 menit. Volume cuplikan

diambil sebanyak 5 mL dan setiap

cuplikan yang diambil diganti dengan

larutan natrium klorida 0,9% dengan

volume dan suhu yang sama. Kadar

cuplikan ditentukan dengan

menggunakan spektrofotometer UV

pada panjang gelombang serapan

maksimum dan konsentrasi benzoil

peroksida diperoleh dari kurva kalibrasi

yang telah dibuat. Pengujian dilakukan

juga terhadap basis gel yang digunakan

sebagai blanko.

Uji Klinik Gel Anti Jerawat Benzoil

Peroksida

Gel benzoil peroksida yang telah

diformulasi dengan memvariasikan

konsentrasi HPMC sebagai basis

dievalusi, dari hasil evalusi tersebut

tarnyata formula AM2 (HPMC 3,5%)

merupakan formula yang paling baik

yang kemudian digunakan untuk uji

klinik anti jerawat.

Pemilihan Relawan (26)

Wanita atau pria berjerawat usia

18 sampai 24 tahun yang bersedia

sebagai relawan uji keparahan lesi

jerawat. Relawan tidak hipersensitif

terhadap benzoil peroksida.Hal ini dapat

diketahui melalui uji hipersensitifitas

dengan cara uji hipersensitifitas

preventif terbuka yaitu dengan cara:

Sebanyak 0,1-0,2 gram sediaan uji

dioleskan selama 24 jam di kulit bagian

belakang telinga, reaksi hipersensitif

yang timbul berupa hiperemia, eritema,

pruritus diamati. Relawan yang

digunakan adalah yang tidak

memberikan reaksi hipersensitif

terhadap benzoil peroksida (1).

Relawan tidak memakai produk

anti jerawat lain selama masa uji

keparahan lesi jerawat.

Uji keparahan lesi jerawat

dilakukan secara random dengan metode

double blind (26).

Setiap relawan hanya

menggunakan satu jenis obat yang

diperoleh secara acak, penguji dan

relawan sama-sama tidak mengetahui

obat yang dipakai.

Pengujian efek anti jerawat

sediaan adalah sebagai berikut:

3 kelompok relawan uji yang masing-

masing terdiri dari 5 orang, kelompok 1

diolesi plasebo (basis gel), kelompok 2

diolesi gel benzoil peroksida-HPMC

hasil formulasi, kelompok 3 diolesi

dengan gel benzoil peroksida yang

beredar di pasaran (BZ 2,5%®

). Gel

dipakai 2 kali sehari selama 7 hari yakni

pada pagi hari pukul 05.30 dan malam

hari pukul 21.00 tiap kali pemakaian

dibiarkan selama 1 jam lalu dicuci.

Perubahan lesi jerawat diamati pada hari

ke-0, ke-3, ke-5 dan ke-7 berupa jumlah

dan keparahan lesi jerawat pada daerah

uji yang masing-masing diberi point: 4

untuk nodul, 3 untuk postul, 2 untuk

papul, 1 untuk kering memerah, dan 0

untuk kering menghitam. Data yang

diperoleh dianalisis dengan Anova dua

arah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil Formulasi dan Evaluasi Sifat

Fisikokimia Formula

Benzoil peroksida dapat

diformulasi dalam bentuk gel

menggunakan HPMC sebagai basis gel

dengan variasi dari konsentrasi masing-

masing 3; 3,5 dan 4%. Hasil formulasi

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil formulasi gel

benzoil peroksida

Hasil pemeriksaan organoleptis

gel benzoil peroksida pada ketiga

formula yaitu berbentuk setengah padat,

berwarna putih dan berbau khas semua

parameter ini stabil selama 6 minggu

penyimpanan.

Hasil pemeriksaan homogenitas

gel benzoil peroksida menunjukkan

bahwa gel (AM1, AM2 dan AM3) tetap

homogen selama 6 minggu

penyimpanan.

Hasil pemeriksaan kadar benzoil

peroksida dalam sediaan dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan kadar

benzoil peroksida dalam sediaan

Sediaan Kadar (%)

Formula AM1 98,5 ± 0,58

Formula AM2 98,0 ± 0,52

Formula AM3 94,4 ± 0,34

BZ 2,5%®

96,9 ± 0,37

Hasil pemeriksaan pH gel benzoil

peroksida menunjukkan bahwa pH

sediaan tidak stabil selama 6 minggu

penyimpanan (P < 0,01).

Tabel 3. Nilai pH rata-rata dan hasil

uji lanjut Duncan

Minggu ke

Sediaan I II III IV V VI

FAM1

4,6

±0,1

4,7

±0,1

4,6

±0,1

4,8

±0,0

4,7

±0,0

4,6

± 0,0

FAM2

4,7

±0,1

4,6

±0,0

4,5

±0,0

4,6

±0,0

4,6

±0,0

4,6

±0,1

FAM3

4,6±0,

1

4,6 ±

0,0

4,5

± 0,0

4,6±

0,05

4,6

±0,0

4,6

±0,0

Rata-

rata

4,6 a

± 0,1

4,6 b

± 0,1

4,5 c

± 0,1

4,7d

± 0,1

4,6e

±0,1

4,6c

±0,0

- a pada rata-rata jenis sediaan =

setiap jenis sediaan memberikan

pengaruh yang sama terhadap pH

sediaan.

- a, b, c, d, e pada rata-rata minggu

= urutan minggu yang paling

mempengaruhi perubahan pH.

Hasil penentuan sifat alir gel

benzoil peroksida memperlihatkan sifat

aliran plastis. Sedangkan pada

pemeriksaan viskositas sediaan, semua

formula memperlihatkan terjadinya

peningkatan viskositas selama 6 minggu

penyimpanan.

40

50

60

70

80

360400440480520560

Beban (gram)

RPM

Gambar 2. Reogram FAM1 sebelum

penyimpanan

30

35

40

45

50

55

60

65

360

400

440

480

520

560

B eban (g r am )

RPM

Gambar 3. Reogram FAM1 3 minggu

penyimpanan

3 0

3 2

3 4

3 6

3 8

4 0

4 2

4 4

360

400

440

480

520

560

B e b a n ( g r a m )

RPM

Gambar 4. Reogram FAM1 6 minggu

penyimpanan

10

15

20

25

30

35

360

400

440

480

520

560

Beban (gram)

RPM

Gambar 5. Reogram FAM2 sebelum

penyimpanan

Gambar 6. Reogram FAM2 3 minggu

penyimpanan

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

360

400

440

480

520

560

B eban (g r am )

RPM

Gambar 7. Reogram FAM2 6 minggu

penyimpanan

Gambar 8. Reogram FAM3 sebelum

penyimpanan

4

6

8

10

12

380

420

460

500

540

beban (gram)

RPM

Gambar 9. Reogram FAM3 3 minggu

penyimpanan

10

15

20

25

30

35

360400440480520560

Beban (gram)

RPM

6

8

10

12

14

16

18

360

400

440

480

520

560

beban (gram)RPM

4

5

6

7

8

9

10

11

12

380

420

460

500

540

beban (gram)

RPM

Gambar 10. Reogram FAM3 6

minggu penyimpanan

Hasil uji daya menyebar gel

benzoil peroksida menunjukkan bahwa

Jenis formula (AM1, AM2 dan AM3)

mempengaruhi pertambahan luas

penyebaran secara bermakna (p < 0,05)

dan variasi beban yang diberikan pada

setiap formula juga memberikan

pengaruh pertambahan luas penyebaran

yang sangat bermakna (p < 0,01), tetapi

tidak terjadi interaksi antara jenis

formula dan beban terhadap

pertambahan luas.

Tabel 4. Hasil uji daya menyebar

sediaan

Daya menyebar

Sediaan Beban 1 g Beban 2 g Beban 5 g

FAM1 0,33± 0,2 0,75±0,40 1,26±0,69

FAM2 0,15±0,05 0,41±0,24 0,75±0,36

FAM3 0,11±0,02 0,38±0,02 0,62±0,22

Rata-

rata

0,33±0,21

0,51±0,21

0,88±0,29

Hasil penentuan daya penetrasi gel

benzoil peroksida menunjukkan bahwa

jenis formula berpengaruh terhadap daya

penetrasi gel benzoil peroksida dari

sediaan (p < 0,01) dan lama pemakaian

juga mempengaruhi daya penetrasi gel

benzoil peroksida dari sediaan (p <

0,01), tetapi tidak terdapat interaksi

antara jenis formula dan lama pemakaian

terhadap daya penetrasi sediaan.

Gambar 11. Profil penetrasi benzoil

peroksida dari basis

= AM1, r = 0,9944

= AM2, r = 0,9938

= AM3, r = 0,9973

= BZ 2,5%

r = 0,9942

Uji Klinik Gel Anti Jerawat Benzoil

Peroksida

Jenis sediaan mempengaruhi

penurunan nilai keparahan lesi jerawat

relawan (p<0,01), selain itu lama

pemakaian juga mempengaruhi

penurunan nilai keparahan lesi jerawat

relawan (p<0,01), tetapi tidak terdapat

interaksi antara jenis sediaan dan lama

pemakaian terhadap penurunan nilai

keparahan lesi jerawat relawan.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

0 5 10 15 20

akar waktu (menit1/2

)

pel

epas

an u

g/m

l

Tabel 5. Hasil uji keparahan lesi

jerawat

Hari pengamatan Jenis

Sediaan ke-0 ke-3 ke-5 ke-7

BZ 2,5%®

7,4±2,1 6,0±1,6 3,6±2,3 1,4± 1,9

Formula 7,0±1,2 4,4±2,3 1,4±1,1 0,2±0,5

Plasebo 7,2±0,8 6,2±1,3 4,2±2,7 2,4±1,9

rata-rata 7,2a±0,2 5,5

b±1 3,1

c±1,5 1,3

d±1,1

a, b pada rata-rata jenis sediaan =

urutan sediaan yang paling cepat

menurunkan nilai keparahan lesi

jerawat.

A, b, c, d pada rata-rata hari

pengamatan = urutan hari yang

paling cepat menurunkan nilai

keparahan lesi jerawat

Gambar 12. Kurva hubungan nilai

keparahan dengan lama pemkaian.

Pembahasan

Formula sediaan Benzoil peroksida

dibuat dalam bentuk gel. Hal ini

didasarkan pada beberapa pertimbangan,

diantaranya sediaan gel lebih diminati

karena mudah dicuci terutama yang

berbasis hidrofilik, tidak menimbulkan

bekas pada saat pemakaian dan

memberikan rasa yang menyejukkan (9).

Umumnya sediaan farmasi terdiri

dari zat aktif dan zat tambahan. Pada

penelitian ini digunakan benzoil

peroksida sebagai zat aktif yang efektif

membunuh bakteri Propionibacterium

acnes yaitu bakteri penyebab jerawat.

Sebagai basis digunakan HPMC karena

mengembang terbatas dalam air

sehingga merupakan bahan pembentuk

hidrogel yang baik. Hidrogel ini sangat

cocok digunakan sebagai sediaan topikal

dengan fungsi kelenjar sebaseus berlebih

yang merupakan salah satu faktor

penyebab jerawat (23). Selain itu HPMC

bersifat netral, tahan terhadap pengaruh

asam dan basa, punya pH stabil antara 3-

11, tahan terhadap serangan mikroba dan

tahan panas (24). Selain sebagai

humektan propilenglikol juga berfungsi

sebagai pelicin, mencegah terjadinya

kerak sisa gel setelah komponen lain

menguap dan sebagai emulien (10).

Sebagai pengawet digunakan metil

paraben. Penggunaan pengawet

diperlukan dalam sediaan gel karena

mempunyai kadar air sediaan yang

tinggi. Kadar air yang tinggi ini

merupakan medium yang baik bagi

pertumbuhan jasad renik (10).

Pemeriksaana bahan baku

merupakan langkah awal yang harus

dilakukan dalam memformula suatu

sediaan obat. Pemeriksaan bahan baku

benzoil peroksida, HPMC,

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 3 5 7Lama pengamatan (hari)

Rata-rata nilai keparahan lesi

jerawat

propilenglikol, metil paraben meliputi

pemerian, kelarutan, sisa pemijaran,

reaksi identifikasi, bobot jenis

memenuhi persyaratan yang berlaku

dalam literatur (22,24).

Menurut Shin-Etsu Chemical

Co.Ltd Jepang, konsentrasi HPMC yang

cocok untuk sediaan gel berkisar 0,1-

0,6%. Akan tetapi pada penelitian ini

konsentrasi HPMC tersebut tidak

dipakai, karena berdasarkan hasil

orientasi HPMC dengan konsentrasi

kecil dari 3% akan menghasilkan

sediaan yang sangat encer. Sehingga

pada penelitian ini konsentrasi HPMC

yang digunakan lebih dari 3 yaitu 3, 3,5

dan 4%. Sediaan yang diperoleh dari

ketiga variasi HPMC ini akan dievaluasi

secara fisikokimia, untuk mendapatkan 1

formula terbaik yang akan diuji

efektivitasnya secara klinik.

Parameter fisikokimia yang

diperiksa pada penelitian ini pada

umumnya bertujuan untuk melihat

kestabilan sediaan selama 6 minggu

penyimpanan. Pemeriksaan ini meliputi,

Pemeriksaan organoleptis bertujuan

untuk melihat perubahan bentuk, warna,

dan bau. Pemeriksaan homogenitas

bertujuan untuk melihat penyebaran zat

aktif dalam sediaan. Pemeriksaan kadar

zat aktif dalam sediaan bertujuan untuk

melihat kadar zat aktif dalam sediaan

gel. Pemeriksaan pH untuk melihat

perubahan pH dan apakah aman untuk

pemakaian pada kulit. Pemeriksaan sifat

alir dan viskositas bertujuan untuk

melihat bentuk aliran dan kestabilan

viskositas selama penyimpanan. Uji

daya menyebar untuk melihat

kemampuan menyebar sediaan di atas

permukaan kulit saat pemakaian.

Pada pemeriksaan kadar

benzoil peroksida dalam sediaan,

penambahan konsentrasi HPMC

menyebabkan penurunan kadar benzoil

peroksida dalam sediaan. Hal ini

mungkin terjadi karena semakin besar

konsentrasi HPMC maka semakin kental

sediaan dan menyebabkan semakin

susah pelepasan zat aktif dari pembawa.

Tetapi kadar ini telah memenuhi

persyaratan. Kadar benzoil peroksida

dalam dasar gel yang sesuai

mengandung tidak kurang dari 90% dan

tidak lebih dari 125% C14H10O4 dari

jumLah yang tertera pada etiket (22).

Pemeriksaan organoleptis

sediaan dilakukan selama 6 minggu

penyimpanan. Semua formula gel yang

diperoleh berbentuk semi padat, berbau

khas dan berwarna putih. Warna putih

ini disebabkan karena benzoil peroksida

agak sukar larut dalam air (22).

Sehingga tidak tercampur dalam bentuk

terlarut tetapi dalam bentuk partikel

halus terbagi rata dalam sediaan gel.

Warna yang dihasilkan memang tidak

transparan seperti sediaan gel biasa tapi

menurut Formularium Kosmetika

Indonesia warna sediaan gel tidak harus

transparan tapi masih diperbolehkan

hingga buram opak (10).

Berdasarkan pemeriksaan pH

dari masing-masing formula diperoleh

pH sedikit asam, yaitu antara 4,55-4,75.

Uji stabilitas pH memang menunjukkan

bahwa pH tidak stabil selama 6 minggu

penyimpanan (p < 0,05), namun harga

pH ini masih berada dalam range pH

normal kulit yaitu 4-6 (27).

Pada pemeriksaan viskositas dan

sifat alir sediaan menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan viskositas pada

semua formula selama 6 minggu

penyimpanan. Hal ini mungkin

disebabkan oleh sifat hidrogel yang akan

menjadi pekat pada waktu didiamkan

(23). Selain itu mungkin telah terjadi

penguapan air selama penyimpanan

sehingga masa menjadi lebih kental.

Sifat alir yang diberikan oleh

sediaan formula AM1 dan AM2 adalah

plastis, yaitu kurva naik dan turun

berimpit membentuk suatu garis yang

melengkung dan kurva tersebut tidak

memotong sumbu nol (23). Berbeda

halnya dengan formula AM3, yaitu

kurva yang diberikan ada yang berimpit

dan ada yang tidak berimpit. Hal ini

mungkin disebabkan karena keterbatasan

alat dalam pengukuran viskositas gel,

yang seharusnya menggunakan

viskometer Ferranti-Shirley (25) diganti

dengan viskometer Stormer yang

dimodifikasi.

Pemeriksaan daya menyebar

sediaan tidak dilakukan dengan

menggunakan alat penetrometer (23)

karena keterbatasan alat, sehingga

pemeriksaan hanya dilakukan dengan

extensiometer yang dilakukan secara

manual. Dari pemeriksaan terlihat bahwa

peningkatan konsentrasi HPMC

menyebabkan penurunan daya menyebar

sediaan. Hal ini didasarkan karena

HPMC mempunyai daya mengembang

yang tidak terbatas artinya pada

penambahan air yang cukup besar akan

berubah menjadi bentuk sol (23). Daya

menyebar ini bukan merupakan data

yang absolut karena tidak ada literatur

yang menyatakan angka yang pasti

untuk ini. Jadi data ini merupakan data

relatif.

Dari pengukuran daya penetrasi

gel didapatkan bahwa sediaan BZ 2,5%®

mempunyai daya penetrasi lebih besar

dibandingkan sediaan hasil formulasi (P

< 0,01). Ini mungkin disebabkan karena

perbedaan basis yang digunakan

sehingga kecepatan pelepasan zat

aktifpun berbeda dan mungkin juga pada

sediaan pembanding ditambahkan bahan

akseleran untuk menambah laju

penetrasinya (1). Sedangkan pada

formula hasil formulasi dari uji lanjut

Duncan menunjukkan bahwa formula

AM2 dan AM3 mempunyai daya

penetrasi yang sama. Daya penetrasi

terkecil diberikan oleh formula AM1.

Data daya penetrasi benzoil

peroksida kemudian diolah menurut

persamaan Higuchi. Dari grafik antara

jumLah zat aktif yang terpenetrasi

terhadap akar waktu memberikan garis

lurus untuk semua formula, dan harga

koefisien korelasinnya (r) lebih besar

dari 0,95. Hal ini berarti penetrasi terjadi

secara difusi pasif.

Dari pemeriksaan sifat

fisikokimia semua formula AM1, AM2

dan AM3 didapatkan hasil yang tidak

terlalu berbeda, kecuali pada uji daya

menyebar dan uji daya penetrasi. Pada

uji daya menyebar kecepatan menyebar

sediaan AM2 tidak terlalu cepat seperti

AM1 dan tidak terlalu lambat seperti

AM3. Sedangkan pada uji daya penetrasi

benzoil peroksida, sediaan AM2

memberikan daya penetrasi terbesar

dibanding formula AM1 dan AM3.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka

formula AM2 dipilih sebagai formula

terbaik.

Sebelum dilakukan uji klinik anti

jerawat masing-masing relawan

diberikan uji hipersensitifitas dengan

cara mengoleskan gel benzoil peroksida

di kulit telinga bagian belakang, uji

preventif terbuka ini dipilih karena

benzoil peroksida merupakan zat

pengoksidasi (10). Dari hasil uji tidak

ada relawan yang menunjukkan gejala

hipersensitif berupa hiperemia, eritema,

pruritus (10), sehingga ke-15 relawan

dapat diikutkan dalam uji klinik.

Benzoil peroksida bekerja efektif

membunuh bakteri Propionibacterium

acnes penyebab jerawat. Benzoil

peroksida melepaskan oksigen ke dalam

kelenjar sebasea, sehingga bakteri

Propionibacterium acnes yang

merupakan bakteri anaerob obligat akan

mati dengan adanya oksigen (28,29).

Dari hasil uji klinik anti jerawat

memperlihatkan bahwa jenis sediaan

mempengaruhi penurunan nilai

keparahan lesi jerawat (p<0,01).

Penurunan nilai keparahan lesi jerawat

tertinggi diberikan oleh formula AM2

diikuti BZ 2,5%®

dan plasebo.

Walaupun daya penetrasi BZ 2,5%®

lebih besar dibanding formula AM2

ternyata formula AM2 pada penelitian

ini lebih efektif menurunkan nilai

keparahan lesi jerawat. Ini mungkin

disebabkan penetrasi AM2 lebih banyak

terjadi melalui kelenjar terutama kelenjar

sebasea (1,30) dibanding BZ 2,5%®

,

sehingga kadar benzoil peroksida yang

bekerja untuk membunuh bakteri

penyebab jerawat yang terdapat di

kelenjar sebasea lebih banyak dan

bakteri yang matipun lebih banyak.

Berdasarkan hasil pengukuran kadar

benzoil peroksida yang terdapat dalam

sediaan juga didapatkan bahwa kadar

benzoil peroksida pada formula BZ

2,5%®

lebih kecil dibanding formula

AM2. Hal ini mungkin disebabkan

karena faktor penyimpanan dan

pendistribusian sediaan yang dapat

menurunkan kualitas sediaan. Plasebo

(sediaan tanpa zat aktif) juga dapat

menurunkan nilai keparahan lesi jerawat.

Hal ini mungkin disebabkan karena kerja

sugestif (2). Selain itu juga karena

jerawat bukan merupakan penyakit yang

permanen sehingga tanpa penggunaan

zat anti jerawatpun, ia punya

kemungkinan untuk sembuh sendiri.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini gel benzoil

peroksida dengan basis HPMC 3,5%

merupakan formula gel benzoil

peroksida-HPMC yang terbaik dan

memberikan penurunan keparahan lesi

jerawat yang lebih baik, dibanding

dengan sediaan benzoil peroksida 2,5%

yang beredar di pasaran (BZ 2,5%)

(p<0,01).

DAFTAR PUSTAKA

1. Lachman, L., H.A, Lieberman. &

J.L, Kanig, Teori dan Praktek

Industri Farmasi, Edisi II,

diterjemahkan oleh Siti Suyatmi,

UI Press, Jakarta, 1994.

2. Mutschler E., Dinamika Obat,

Edisi V, diterjemahkan oleh

M.B. Widianto & A.S. Ranti,

Penerbit ITB, Bandung, 1991.

3. Fakultas Kedokteran Bagian

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

UI, Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin, Jakarta, 1987.

4. Mansjoer, Arif., Kapita Selekta

Kedokteran, Edisi III jilid II,

Media Aesculapius, FKUI,

Jakarta, 2000

5. Henny, Prinsip Penanganan

Jerawat, Medikal Kalbe Farma,

Jakarta, 2002.

6. Rassner., U. Steinert, Buku Ajar

dan Atlas Dermatologi,

diterjemahkan oleh Toni

Harijanto, EGG, Jakarta, 1992.

7. Woodarb, Iris, Adolecent Acne:

A Stepwise Approach to

Management, Adv. Pract. Nurs.

J., vol 2, No 2, 2002.

8. Hguyen, Q.H., Y.A. Kim. & R.A.

Schwartz., Management of Acne

Vulgaris, American Family

Physician, vol 50, No 1, Juli

1994, p 89.

9. British Pharmaceutical Codex,

The Pharmaceutical Press,

London, 1968.

10. Formularium Kosmetika

Indonesia, Dep. Kes. RI, Cetakan

I, Jakarta, 1985.

11. Gennaro, A.R., Remington's

Pharmaceutical Sciences, edisi

ke-18, Mack Publishing

Company, Pensylvania, 1985.

12. Ansel, H.C., Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi, edisi IV,

diterjemahkan oleh Farida

Ibrahim, Penerbit UI, Jakarta,

1989.

13. Carter, J.S., Dispensing for

Pharmaceutical Student, edisi

ke-12, Pitman Medical, London,

1997.

14. Collett, D.M., M.E, Aulton,

Pharmaceutical Practice,

Churchill Livingstone, London,

1990.

15. Anief, M., Formulasi Obat

Topikal, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 1997.

16. Banker, G.S. & R.K, Chalmers.,

Pharmaceutics and Pharmacy

Practice, J. B. Lippincott

Company, Philadelphia, Toronto,

1982.

17. Hadgraft, J. & H.G, Richard.,

Transdermal Drug Delivery,

Marcel Dekker Inc, New York,

1989.

18. Hardgraft, J., Pharmaceutical

Skin Penetration Enchancement,

Marcel Dekker Inc, New York,

1993.

19. Dunn, Steve, Guide to the

Clinical Trial System, Agustus,

2004.

20. The National Eye Institute.,

Facts About Clinical Trial in

Vision Research, www.

Nei.nih.gov, Oktober, 2004.

21. Santoso, B., Rancangan

Percobaan untuk Penelitian

Klinik, Majalah Farmakologi

Indonesia dan Terapi, vol 2, No

3, 1985.

22. Farmakope Indonesia., Edisi IV,

Dep.Kes. RI, Jakarta, 1995.

23. Voigth. R., Buku Pelajaran

Teknologi Farmasi, Edisi V,

diterjemahkan oleh Soendani

Noerono, UGM Press,

Jogjakarta, 1994.

24. Wade, Anley. & P.J, Walter.,

Handbook of Pharmaceutical

Excipient, Edisi 2, The

Pharmaceutical Press, London,

1986.

25. Martin, E.W. et al., Remington,s

Practice of Pharmacy, Edisi 12,

Mack Publishing Company,

Pennsylvania, 1961.

26. Amerio, M.M.,F. & Landi.,R.

Capizzi., Skin Tolerability and

Efficacy of Combination

Therapy with Hydrogen Peroxide

Stabilized Cream and Adeplanae

Gel in Comparison with Benzoyl

Peroxide Cream and Adeplanae

Gel in Common Acne, A

Randomized, Investigator-

masked, Controlled trial, Br. J.

Derm., vol 151, No 4, 2004, p

481-484.

27. Anief, M., Farmasetika, Gadjah

Mada University Press,

Yogyakarta, 1993.

28. Slack, J.M. & S.S, Irvin.,

Bacteria and Human Disease,

Yearbook Medical Publisher

Inc., London, 1978.

29. Jawetz, E., L.M, Joseph. & A.A.

Edward., Review of Medical

Microbiology, Lange Medical

Publications, California, 1974.

30. The Pharmaceutical Codex.,

Principles and Practice of

Pharmaceutical, Edisi 12, The

Pharmaceutical Press, London,

1994.