25
REVIEW Manajemen epistaksis spontan masif Luke Rudmik, MD,1 dan Timothy L. Smith, MD, MPH2 Abstrak Latar Belakang: Epistaksis kegawatan THT yang sering terjadi dan penatalaksanaan lini pertama yang dilakukan adalah kauter, penggunaan agen hemostatik, atau tampon nasal anterior. Namun beberapa pasien mengalami perdarahan masif dan membutuhkan terapi yang lebih lanjut. Metode: Epistaksis spontan masif secara tradisional dikelola dengan tampon nasal posterior dan membutuhkan perawatan lebih lanjut di rumah sakit. Dalam upaya untuk mengurangi risiko morbiditas pada pasien dan memperpendek waktu perawatan di rumah sakit, teknik bedah dan endovascular mendapatkan perhatian. Sebuah tinjauan literatur dilakukan. Hasil: Ligasi dan embolisasi arteri melalui endoskopi sphenopalatina transnasalis memberikan hasil yang sangat baik terhadap pengelolaan epistaksis ini, tetapi keputusan untuk memilih salah satu dari yang lain merupakan pilihan yang sulit. Peran ligasi arteri ethmoidalis melalui endoskopi sphenopalatina 1

Jurnal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal

Citation preview

Page 1: Jurnal

REVIEW

Manajemen epistaksis spontan masif

Luke Rudmik, MD,1

dan Timothy L. Smith, MD, MPH2

Abstrak

Latar Belakang: Epistaksis kegawatan THT yang sering terjadi dan

penatalaksanaan lini pertama yang dilakukan adalah kauter, penggunaan agen

hemostatik, atau tampon nasal anterior. Namun beberapa pasien mengalami

perdarahan masif dan membutuhkan terapi yang lebih lanjut.

Metode: Epistaksis spontan masif secara tradisional dikelola dengan

tampon nasal posterior dan membutuhkan perawatan lebih lanjut di rumah

sakit. Dalam upaya untuk mengurangi risiko morbiditas pada pasien dan

memperpendek waktu perawatan di rumah sakit, teknik bedah dan endovascular

mendapatkan perhatian. Sebuah tinjauan literatur dilakukan.

Hasil: Ligasi dan embolisasi arteri melalui endoskopi sphenopalatina

transnasalis memberikan hasil yang sangat baik terhadap pengelolaan epistaksis

ini, tetapi keputusan untuk memilih salah satu dari yang lain merupakan pilihan

yang sulit. Peran ligasi arteri ethmoidalis melalui endoskopi sphenopalatina

transnasalis masih belum diketahui secara pasti tetapi dapat dipertimbangkan

untuk kasus-kasus tertentu ketika pendarahan berada di regio ethmoid.

Kesimpulan: Artikel ini akan berfokus pada pengelolaan epistaksis

spontan berulang dan membahas peran ligasi dan embolisasi arteri melalui

endoskopi karena berkaitan dengan skenario klinis ini.

(Am J Rhinol Alergi 26, 55-60, 2012; DOI: 10,2500 /

ajra.2012.26.3696)

1

Page 2: Jurnal

Epistaksis adalah yang kegawatan yang umum terjadi pada bidang

THT dengan perkiraan kejadian sekitar 1 dari 200 kasus di instalasi gawat darurat.

Penatalaksaan yang dipilih sebagai lini pertama adalah dengan intervensi seperti

kauter listrik atau kimia, penggunaan agen hemostatik, atau penggunaan tampon

nasal anterior. Namun, ada beberapa pasien yang mengalami epistaksis spontan

masif yang perdarahannya terjadi terus-menerus dan membutuhkan terapi yang

lebih lanjut.

Epistaksis masif adalah masalah sulit yang secara tradisional dikelola

dengan tampon nasal posterior dan memerlukan tatalaksana lebih lanjut di rumah

sakit yang pada akhirnya berkaitan dengan tingkat morbiditas pasien dan

tingginya biaya yang dikeluarkan selama perawatan di rumah sakit. Dengan

perbaikan yang telah diperlihatkan kedua teknik endoskopi dan endovaskular,

ligasi arteri melalui endoskopi sphenopalatina transnasalis (Transnasal

Endoscopic Sphenopalatine Artery Ligation atau TESPAL) dan embolisasi arteri

telah mendapatkan perhatian lebih daripada pengelolaan secara

tradisional. Penggunaan kedua teknik ini memperliahtkan hasil yang baik dalam

mengendalikan epistaksis masif tetapi keputusan untuk menggunakan salah satu

dari kedua teknik ini merupakan hal yang sulit. Artikel ini akan berfokus pada

manajemen epistaksis spontan masif dan membahas peran TESPAL dan

embolisasi karena berkaitan dengan skenario klinis ini.

ANATOMI

Vaskularisasi rongga hidung berasal dari cabang arteri karotis interna

(internal carotid artery/ICA) dan arteri karotis eksternal (external carotid

artery/ECA). Mayoritas epistaksis terjadi pada septum nasal anterior pada regio

wilayah yang disebut Little’s area, yang mendapat vaskularisasi dari pleksus

Kiesselbach. Jaringan pembuluh darah ini merupakan persatuan dari tiga arteri

terminal (arteri sphenopalatina (SPA), arteri ethmoidalis anterior (AEA), dan

arteri labial superior) dan 90-95% berperan dalam terjadinya epistaksis. Meskipun

tidak ada definisi yang jelas tentang epistaksis anterior dan posterior, 5-10% dari

pasien memperlihatkan perdarahan pada visualisasi dengan spekulum hidung dan

2

Page 3: Jurnal

lampu kepala. Dua lokasi anatomi utama epistaksis posterior adalah dinding

lateral nasal dan septum nasal posterior. Karena kaitan antara sulitnya mengetahui

lokasi dan visualisasi, maka sebagian besar kasus epistaksis masif diklasifikasikan

sebagai epistaksis posterior.

Secara klinis, arteri yang paling sering terlibat dalam epistaksis

posterior masif adalah SPA. SPA adalah cabang terminal arteri maksilaris interna

(IMA) dan memasuki rongga hidung melalui perlekatan posterior konka media

melalui foramen sphenopalatina (SPF). Ada beberapa penelitian yang

menunjukkan beberapa variasi anatomi SPF (Tabel 1). Meskipun terdapat

perbedaan dalam variasi anatomi, semua penelitian menunjukkan bahwa SPF

lebih tinggi dari perlekatan posterior konka meida, biasanya terletak di pertemuan

antara konka media dan superior. Oleh karena itu, selama TESPAL,batas diseksi

harus lebih rendah dari tepi inferior perlekatan posterior konka media (Gambar.

1). Puncak ethmoid (juga dikenal sebagai crista ethmoidalis) adalah lokasi bedah

penting, karena ada pada semua pasien dan terletak di anterior SPF pada 98% dari

kasus.Sebuah pemahaman menyeluruh tentang SPF dan SPA anatomi sangat

diperlukan untuk mengoptimalkan terapi bedah epistaksis masif dan

meminimalkan kegagalan pengobatan.

3

Page 4: Jurnal

Epistaksis dari AEA jarang dan biasanya terkait dengan trauma atau

cedera iatrogenik selama pelaksanaan operasi endoskopi sinus. AEA merupakan

cabang dari arteri oftalmik dalam rongga orbital dan medial dan berjalan

melintasi sepanjang dasar tengkorak ethmoid untuk memvaskularisasi dinding

superior lateral hidung dan septum. Secara eksternal, dalam ruang antara

periosteum orbital dan lamina papyracea, AEA dapat diidentifikasi berada pada 2

cm posterior puncak lakrimal.

Secara endonasal, AEA dapat ditemukan baik di perlekatan dasar

tengkorak ethmoid dari bula lamella ethmoid posterior atau sedikit ke posterior,

sepanjang posterior ruang di frontal (Gambar. 2).  Penelitian terhadap dua cadaver

baru-baru ini menunjukkan bahwa AEA berjalan dalam arteri mesenterium tulang

pada sepertiga dari kasus dan disetujui untuk dilakukan ligasi pada 20% kasus

(Tabel 2). Namun, penelitian dengan cadaver lain yang dilakukan oleh Camp et

al. menunjukkan bahwa semua 16 AEA berhasil dipotong menggunakan

endoskopi tanpa menimbulkan cidera pada dasar tengkorak. Pasien dengan AEA

yang terletak di mesenterium dapat diidentifikasi pada CT pra operasi sinus dan

4

Page 5: Jurnal

mereka cenderung memiliki lamella lateralis yang lebih panjang (Keros, tipe 2

atau 3) dan dasar tengkorak ethmoid tinggi (Gbr. 3).

MANAJEMEN UMUM EPISTAKSIS

Sebelum dilakukan pengelolaan definitif epistaksis masif, beberapa

intervensi penting harus digunakan untuk mengoptimalkan pengobatan. Prioritas

pertama adalah untuk mengontrol atau memperlambat perdarahan aktif dengan

beberapa bentuk tampon. Hal ini dapat dicapai dengan dilakukan dengan tampon

anterior-posterior atau kateter Foley yang dikombinasikan dengan tampon

anterior. Tujuan dari kedua metode adalah untuk memperlambat laju kehilangan

5

Page 6: Jurnal

darah dan menutup jalan koana posterior dan mencegah darah mengalir ke saluran

napas bagian atas.

Setelah perdarahan aktif dikendalikan, setiap obat-obatan pencetus

obatan harus diidentifikasi dan diperbaiki jika secara klinis aman untuk

melakukannya. Pasien dengan konsumsi obat antikoagulan dapat menimbulkan

masalah lebih rumit karena mereka cenderung memiliki epistaksis lebih parah dan

perdarahan dari beberapa tempat. Karena risiko komplikasi medis yang serius,

penghentian obat antikoagulan tidak boleh dilakukan kecuali dianggap aman oleh

spesialisasi medis. Pada epistaksis yang terkait warfarin, 80% dari pasien berada

di luar INR normal; oleh karena itu, selain pemeriksaan darah lengkap, semua

pasien harus dievaluasi INR pada saat presentasi. Pada tahun 2008, Walker et

al. Mengusulkan protokol untuk mengelola epistaksis terkait antikoagulan (Tabel

3). Terapi multidisiplin sering dipertimbangkan untuk mengoptimalkan terapi

yang aman dalam mengontrol epistaksis.

BEDAH UNTUK EPISTAKSIS MASIF

Intervensi bedah untuk epistaksis MASIF menyediakan terapi dan

dapat mencegah penggunaan tampon posterior berkepanjangan dengan catatan

harus dilakukan perawatan di rumah sakit. Sebuah uji coba secara acak telah

dilakukan oleh Moshaver et al. untuk mengevaluasi pasien dengan epistaksis

masif yang membandingkan antara pelaksanaan intervensi bedah (menggunakan

TESPAL) dengan tampon nasal posterior. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

TESPAL memerlukan perawatan di rumah sakit lebih pendek dan biaya yang

lebih rendah. Tingkat keberhasilan secara keseluruhan TESPAL adalah 89% dan

6

Page 7: Jurnal

tidak ada perbedaan dalam tingkat komplikasi antara kedua modalitas

pengobatan. Berikut bagian akan dijelaskan mengenai dua teknik bedah

endoskopik yang digunakan untuk mengelola epistaksis masif: (1) TESPAL dan

(2) ligasi arteri ethmoidalis dengan endoskopi transnasal anterior (TEAEAL).

Ligasi Arteri Sphenopalatina dengan Endoskopi Transnasal

Secara historis, pengelolaan bedah epistaksis posterior melibatkan

Caldwell-Luc dengan ligasi transantral dari IMA. Pendekatan ini dikaitkan dengan

morbiditas pasien yang tinggi dan sering gagal untuk mengontrol epistaksis

karena sirkulasi kolateral menyuplai SPA distal ke situs ligasi IMA. Dalam upaya

untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan tingkat keberhasilan, terapi

berkembang menjadi transnasal dengan fokus ligasi pada SPA. Pada tahun 1985,

Stamm et al. menggambarkan pendekatan mikroskop transnasal pada ligasi SPA

dan menunjukkan tingkat keberhasilan 94% dalam mengendalikan epistaksis

posterior masif dengan pengurangan morbiditas pasien. Pada tahun 1992,

Budrovich melaporkan pendekatan dengan endoskopik untuk ligasi SPA telah

meningkat karena peningkatan visualisasi dan mengurangi morbiditas pasien.

Teknik TESPAL. Setelah pemberian anestesi umum dan perlindungan

jalan nafas, TESPAL dimulai dengan persiapan hidung menyeluruh untuk

mengoptimalkan visualisasi dan meningkatkan keberhasilan pengobatan. Pertama,

tampon diangkat dan rongga hidung dibersihkan dari semua gumpalan

darah. Pemeriksaan endoskopi rinci harus dilakukan sebelum diberikan agen

dekongestan pada hidung untuk memperjelas situs perdarahan. Berikutnya,

diberikan epinefrin pada hidung selama 5-10 menit untuk mengurangi pendarahan

aktif dan secara signifikan meningkatkan visualisasi selama operasi. Untuk lebih

mengoptimalkan hemostasis intraoperatif, regio sphenopalatina atau saluran yang

lebih besar dapat disuntikkan lokal anestesi yang mengandung epinefrin (kami

menggunakan 1% Xylocaine dengan epinefrin 1: 100.000). Pentingnya persiapan

hidung ini tidak terlalu ditekankan.

Setelah persiapan, prosedur TESPAL dijelaskan lebih lanjut pada

tabel (Tabel 4). Beberapa ahli bedah rutin melakukan maxillary antrostomy untuk

meningkatkan identifikasi SPA; Namun, baru-baru ini studi oleh Shires et

7

Page 8: Jurnal

al. menunjukkan bahwa 90% dari TESPALs dapat berhasil dengan dilakukan

insisi pada dinding nasal lateral. Setelah SPA dapat diidentifikasi, penelitian

menunjukkan bahwa kauterisasi, dibandingkan dengan pemotongan, memberikan

tingkat keberhasilan yang lebih tinggi.

Tingkat Kesuksesan TESPAL. Kebanyakan penelitian mengevaluasi

bahwa TESPAL kecil dan retrospektif; Namun, tingkat keberhasilan keseluruhan

dilaporkan adalah 85%. Pada tahun 2003, Kumar et al. melakukan review literatur

dan melaporkan tingkat keberhasilan sebesar 98% dengan rata-rata lama rawat

inap selama 1,6 hari setelah dilakukan prosedur TESPAL. Sebuah artikel baru-

baru oleh Nouraei et al. didefinisikan kegagalan bedah sebagai epistaksis berulang

terjadi dalam waktu 2 minggu setelah TESPAL. Mereka melaporkan tingkat

kegagalan 12% dan mengidentifikasi risiko berikut faktor perdarahan ulang yang

membutuhkan tampon hidung: (1) penggunaan warfarin, (2) jumlah trombosit

yang rendah, dan (3) tidak menggunakan kauterisasi untuk ligasi SPA.

Komplikasi TESPAL. Perdarahan minor berulang yang membutuhkan

tampon nasal terjadi pada 15-20% kasus. Perdarahan mayor berulang yang

membutuhkan prosedur pembedahan kedua jarang dan hanya sekitar 1%

kasus. Komplikasi TESPAL lain meliputi krusta hidung (34%), hipoestesi

palatum (12%), dan sinusitis akut (3%). Irigasi nasal saline yang dilakukan 48 jam

setelah TESPAL dapat mengurangi krusta dan berpotensi menghindari komplikasi

jangka panjang seperti sinekia dan obstruksi ostial sinus.

Ligasi Arteri Ethmoidalis dengan Endoskopi Transnasal Anterior

8

Page 9: Jurnal

Epistaksis terkait dengan AEA lebih jarang terjadi daripada SPA dan

secara tradisional dilakukan ligasi menggunakan insisi eksternal Lynch eksternal

dengan pemotongan AEA antara lamina papyracea dan periorbita. Dua studi

terhadap cadaver menunjukkan bahwa TEAEAL dapat dilakukan pada 20% dari

pasien, dan dengan syarat semua kasus AEA berjalan dalam tulang mesenterium

di dasar tengkorak ethmoid. Meskipun penelitian TEAEAL terbatas, dua

penelitian case series kecil telah melaporkan keberhasilan dalam mengontrol

epistaksis masif, yang lokasinya berada di daerah ethmoid pada endoskopi.

Sebelum memilih untuk melakukan TEAEAL, penting bagi ahli bedah untuk

mempertimbangkan manfaat potensial dari menghindari terjadinya bekas luka dari

pendekatan eksternal secara tradisional, dengan potensi terjadinya komplikasi

serius seperti kebocoran cairan spinal atau cedera orbital terkait dengan TEAEAL.

Teknik TEAEAL. CT scan sinus preoperatif harus dilakukan untuk

meninjau anatomi AEA untuk menentukan apakah memungkinkan dilakukan

ligasi endoskopik. Dengan TESPAL, anestesi umum biasanya diperlukan dan

persiapan hidung dianjurkan untuk mengoptimalkan keberhasilan bedah. Pada

tahun 2007, Pletcher dan Metson melaporkan langkah-langkah bedah untuk

TEAEAL (Tabel 5). Peran TEAEAL masih harus dilakukan penelitian lebih

lanjut.

Angka Kesuksesan TEAEAL. Bukti tingkat keberhasilan TEAEAL

masih sangat terbatas. Selain itu, ligasi AEA biasanya dikombinasikan dengan

ligasi SPA, sehingga lebih menantang untuk menentukan efek dari TEAEAL.

9

Page 10: Jurnal

Komplikasi TEAEAL. Potensi terjadinya komplikasi serius yang

harusdipertimbangkan ketika memilih untuk melakukan TEAEAL adalah

kebocoran cairan serebrospinal, cedera orbital, dan kegagalan untuk mengontrol

epistaksis.

EMBOLISASI ARTERI

Pengelolaan endovaskular dalam epistaksis masif pertama kali

dijelaskan pada 1974, dan setelah dievaluasi dalam beberapa penelitian besar,

menjadi pilihan terapi baik diterima. Garis besar teknik dasar, tingkat

keberhasilan, dan komplikasi potensial embolisasi untuk epistaksis masif akan

dijelaskan selanjutnya.

Teknik Embolisasi. Langkah pertama adalah dengan angiogram

preembolisasi dari ICA dan ECA. Tujuan dari angiogram ini adalah untuk

mengevaluasi kontras, yang dapat menentukan lokasi pendarahan, dan untuk

mengidentifikasi etiologi langka epistaksis, seperti tumor, malformasi vaskular,

atau pseudoaneurisme. Selain itu, dapat juga mengidentifikasi adanya anastomosis

berbahaya antara ECA dan ICA yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya

stroke atau kebutaan. Sebuah review artikel terbaru oleh Willems et

al. menguraikan protokol pengobatan untuk embolisasi dari epistaksis masif

idiopatik (Tabel 6).

Hidung memiliki anastomosis signifikan dari sistem arteri

kontralateral; Oleh karena itu, biasanya dilakukan embolisasi IMA kontralateral

10

Page 11: Jurnal

dan kadang-kadang arteri wajah kontralateral untuk mengoptimalkan keberhasilan

pengobatan. Namun, keputusan ini kontroversial dan mungkin meningkatkan

risiko terjadinya iskemi jaringan lunak. Untuk mengurangi risiko iskemi intranasal

selama embolisasi arteri bilateral, pelepasan tampon nasal dini dapat mencegah

kompresi jaringan lunak hidung lebih lanjut.

Keberhasilan Embolisasi. Keberhasilan embolisasi arteri sebanding

dengan TESPAL dalam mengendalikan epistaksis masif, seperti penelitian terbaru

yang menunjukkan tingkat keberhasilan antara 80 dan 90%. Sebuah studi oleh

Christensen et al. mengumpulkan hasil dari 23 penelitian dan menunjukkan

tingkat keberhasilan rata-rata 88%.

Komplikasi Embolisasi. Sebuah artikel Willem et al.mengkategorikan

komplikasi yang terkait dengan embolisasi arteri menjadi tiga kategori: sementara

minor, sementara mayor, dan persisten (Tabel 7). Komplikasi sementara minor

terjadi antara 25 dan 50% kasus dan dapat dikelola dengan terapi konservatif.

Meskipun, komplikasi sementara mayor dan persisten jarang terjadi, komplikasi

ini tetap harus didiskusikan dengan pasien karena gejala sisa yang dapat parah dan

mengakibatkan kesakitan.

Pembedahan dibandingkan Embolisasi untuk Epistaksis Masif

Dalam kasus epistaksis masif, keputusan untuk memilih operasi atau

embolisasi cukup sulit karena kedua modalitas memiliki tingkat keberhasilan yang

serupa. Dengan demikian, pengambilan keputusan terapi umumnya

dipertimbangkan dari beberapa faktor, seperti komorbiditas pasien, penggunaan

antikoagulasi, keahlian dokter bedah dan endovascular, keinginan pasien, dan

biaya kesehatan. Meskipun tidak ada bukti pasti yang menunjukkan salah satu

11

Page 12: Jurnal

modalitas pengobatan lebih unggu daripada yang lain, bagian ini akan membahas

keuntungan dari kedua pilihan dan mencoba untuk memperjelas dilema yang

menantang ini.

Keuntungan utama dari TESPAL dibandingkan embolisasi adalah

lebih rendahnya risiko komplikasi utama seperti stroke, kebutaan, dan iskemia

jaringan lunak. Potensi dari TESPAL termasuk peningkatan lokalisasi perdarahan,

meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa dilihat dari etiologi umum

epistaksis (misalnya, tumor), pilihan untuk melakukan ligasi AEA dapat lebih

cepat dilakukan, dan biaya perawatan kesehatan umumnya lebih

rendah. Keuntungan utama dari embolisasi dibandingkan TESPAL adalah

kemampuan untuk melakukan prosedur di bawah anestesi lokal dengan sedasi

ringan dan menghindari penggunaan anestesi umum pada pasien. Keuntungan lain

dari embolisasi adalah meningkatkan bukti diagnosis dari kelainan pembuluh

darah (seperti malformasi vaskular atau pseudoaneurysm) dan potensi trauma

mukosa hidung yang lebih rendah(Tabel 8).

Dengan sumber daya perawatan kesehatan dan anggaran yang

terbatas, penting mempertimbangkan dampak ekonomi dari intervensi medis.

Bukti yang tersedia telah melaporkan biaya TESPAL sekitar $ 6.000 dan $ 7.500

dibandingkan dengan perkiraan biaya embolisasi sebesar $ 12,000 pada tahun

2005 dolar AS.

Ketika menimbang keuntungan dari TESPAL dan embolisasi, ada

yang berpendapat bahwa TESPAL mungkin merupakan pilihan lini pertama yang

12

Page 13: Jurnal

lebih baik untuk epistaksis masif sementara embolisasi memperlihatkan adanya

kegagalan. Namun, ada situasi klinis ketika embolisasi akan lebih baik untuk

TESPAL seperti pada pasien dengan keadaan yang tidak memungkinkan

dilakukan anestesi umum. Selain itu, operasi pada pasien yang mengonsumsi

antikoagulan dapat mengakibatkan meningkatnya perdarahan dan bertambahnya

lokasi perdarahan; Oleh karena itu, embolisasi dalam skenario ini mungkin dapat

mengurangi risiko trauma pada mukosa hidung dan mengoptimalkan keberhasilan

terapi. Gambar 4 menguraikan algoritma pengobatan yang diusulkan untuk

pengelolaan epistaksis masif.

KESIMPULAN

Epistaksis spontan masif adalah masalah yang menantang dan secara

tradisional dikelola dengan tampon nasal posterior dan memerlukan perawatan di

rumah sakit. Karena morbiditas pasien berkurang dan tingkat keberhasilan yang

sangat baik, teknik bedah dan endovascular untuk mengontrol epistaksis masif

telah menjadi praktek standar. Namun, keputusan untuk melakukan ligasi arteri

dibandingkan embolisasi arteri sangat kompleks. Ketika mempertimbangkan

risiko yang lebih rendah, komplikasi utama, dan dampak ekonomi berkurang,

bedah ligasi (ligasi TESPAL AEA) mungkin menjadi pilihan lebih baik sebelum

mencoba embolisasi arteri untuk epistaksis masif. Embolisasi mungkin pilihan

13

Page 14: Jurnal

yang lebih baik pada pasien dengan risiko tinggi bila dilakukan anestesi umum,

pada mereka yang antikoagulan, dan pada kasus kegagalan bedah. Penelitian di

masa depan diperlukan untuk lebih menjelaskan indikasi klinis untuk kedua

TESPAL dan embolisasi arteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pallin DJ, Chng YM, McKay MP, et al. Epidemiology of epistaxis in US

emergency departments, 1992 to 2001. Ann Emerg Med 46:77–81, 2005.

2. Willems PW, Farb RI, and Agid R. Endovascular treatment of epistaxis.

AJNR Am J Neuroradiol 30:1637–1645, 2009.

3. Kumar S, Shetty A, Rockey J, et al. Contemporary surgical treatment of

epistaxis. What is the evidence for sphenopalatine artery ligation? Clin

Otolaryngol Allied Sci 28:360–363, 2003.

4. Chiu T, and Dunn JS. An anatomical study of the arteries of the anterior

nasal septum. Otolaryngol Head Neck Surg 134:33–36, 2006.

5. Thornton MA, Mahesh BN, and Lang J. Posterior epistaxis: Identification

of common bleeding sites. Laryngoscope 115:588–590, 2005.

6. Chiu TW, and McGarry GW. Prospective clinical study of bleeding sites

in idiopathic adult posterior epistaxis. Otolaryngol Head Neck Surg

137:390–393, 2007.

7. Herrera Tolosana S, Fernandez Liesa R, et al. Sphenopalatinum foramen:

An anatomical study. Acta Otorrinolaringol Esp 62:274– 278, 2011.

8. Antunes Scanavini AB, Navarro JA, Megale SR, et al. Morphometric

evaluation of the sphenopalatine foramen for endonasal surgery.

Rhinology 48:441–445, 2011.

9. Scanavine AB, Navarro JA, Megale SR, et al. Anatomical study of the

sphenopalatine foramen. Braz J Otorhinolaryngol 75:37–41, 2009.

10. Padua FG, and Voegels RL. Severe posterior epistaxis-endoscopic surgical

anatomy. Laryngoscope 118:156–161, 2008.

14

Page 15: Jurnal

11. Wareing MJ, and Padgham ND. Osteologic classification of the

sphenopalatine foramen. Laryngoscope 108:125–127, 1998.

12. Midilli R, Orhan M, Saylam CY, et al. Anatomic variations of

sphenopalatine artery and minimally invasive surgical cauterization

procedure. Am J Rhinol Allergy 23:e38–e41, 2009.

13. McDonald SE, Robinson PJ, and Nunez DA. Radiological anatomy of the

anterior ethmoidal artery for functional endoscopic sinus surgery. J

Laryngol Otol 122:264–267, 2008.

14. Floreani SR, Nair SB, Switajewski MC, et al. Endoscopic anterior

ethmoidal artery ligation: A cadaver study. Laryngoscope 116:1263–

1267, 2006.

15. Solares CA, Luong A, and Batra PS. Technical feasibility of transnasal

endoscopic anterior ethmoid artery ligation: Assessment with

intraoperative CT imaging. Am J Rhinol Allergy 23:619–621, 2009.

16. Camp AA, Dutton JM, and Caldarelli DD. Endoscopic transnasal

transethmoid ligation of the anterior ethmoid artery. Am J Rhinol Allergy

23:200–202, 2009.

17. Ho EC, and Mansell NJ. How we do it: A practical approach to Foley

catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol Allied Sci 29:754– 757,

2004.

18. Smith J, Siddiq S, Dyer C, et al. Epistaxis in patients taking oral

anticoagulant and antiplatelet medication: Prospective cohort study. J

Laryngol Otol 125:38–42, 2011.

19. Melia L, and McGarry GW. Epistaxis: Update on management. Curr Opin

Otolaryngol Head Neck Surg 19:30–35, 2011.

20. Chandler JR, and Serrins AJ. Transantral ligation of the internal maxillary

artery for epistaxis. Laryngoscope 75:1151–1159, 1965.

21. Stamm AC, Pinto JA, Neto AF, et al. Microsurgery in severe posterior

epistaxis. Rhinology 23:321–325, 1985.

22. Budrovich R, and Saetti R. Microscopic and endoscopic ligature of the

sphenopalatine artery. Laryngoscope 102:1391–1394, 1992.

15

Page 16: Jurnal

23. Douglas R, and Wormald PJ. Pterygopalatine fossa infiltration through the

greater palatine foramen: Where to bend the needle. Laryngoscope

116:1255–1257, 2006.

24. Shires CB, Boughter JD, and Sebelik ME. Sphenopalatine artery ligation:

A cadaver anatomic study. Otolaryngol Head Neck Surg 145: 494–497,

2011.

25. Nouraei SA, Maani T, Hajioff D, et al. Outcome of endoscopic

sphenopalatine artery occlusion for intractable epistaxis: A 10-year

experience. Laryngoscope 117:1452–1456, 2007.

26. Moshaver A, Harris JR, Liu R, et al. Early operative intervention versus

conventional treatment in epistaxis: Randomized prospective trial. J

Otolaryngol 33:185–188, 2004.

27. Seno S, Arikata M, Sakurai H, et al. Endoscopic ligation of the

sphenopalatine artery and the maxillary artery for the treatment

ofintractable posterior epistaxis. Am J Rhinol Allergy 23:197–199, 2009.

28. Minni A, Dragonetti A, Gera R, et al. Endoscopic management of

recurrent epistaxis: The experience of two metropolitan hospitals in Italy.

Acta Otolaryngol 130:1048–1052, 2010. American Journal of Rhinology

& Allergy 59

29. Snyderman CH, Goldman SA, Carrau RL, et al. Endoscopic

sphenopalatine artery ligation is an effective method of treatment for

posterior epistaxis. Am J Rhinol 13:137–140, 1999.

30. Pletcher SD, and Metson R. Endoscopic ligation of the anterior ethmoid

artery. Laryngoscope 117:378–381, 2007.

31. Woolford TJ, and Jones NS. Endoscopic ligation of anterior ethmoidal

artery in treatment of epistaxis. J Laryngol Otol 114:858–860, 2000.

32. Sokoloff J, Wickbom I, McDonald D, et al. Therapeutic percutaneous

embolization in intractable epistaxis. Radiology 111:285–287, 1974.

33. Elden L, Montanera W, Terbrugge K, et al. Angiographic embolization for

the treatment of epistaxis: A review of 108 cases. Otolaryngol Head Neck

Surg 111:44–50, 1994.

16

Page 17: Jurnal

34. Tseng EY, Narducci CA, Willing SJ, et al. Angiographic embolization for

epistaxis: A review of 114 cases. Laryngoscope 108:615– 619, 1998.

35. Christensen NP, Smith DS, Barnwell SL, et al. Arterial embolization in the

management of posterior epistaxis. Otolaryngol Head Neck Surg 133:748–

753, 2005.

36. Sadri M, Midwinter K, Ahmed A, et al. Assessment of safety and efficacy

of arterial embolisation in the management of intractable epistaxis. Eur

Arch Otorhinolaryngol 263:560–566, 2006.

37. Strach K, Schrock A, Wilhelm K, et al. Endovascular treatment of

epistaxis: Indications, management, and outcome. Cardiovasc Intervent

Radiol 34:1190–1198, 2011.

38. Guss J, Cohen MA, and Mirza N. Hard palate necrosis after bilateral

internal maxillary artery embolization for epistaxis. Laryngoscope

117:1683–1684, 2007.

39. Miller TR, Stevens ES, and Orlandi RR. Economic analysis ofthe

treatment of posterior epistaxis. Am J Rhinol 19:79–82, 2005. e

17