Upload
rizka-riana
View
1
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jurnal
Citation preview
REVIEW
Manajemen epistaksis spontan masif
Luke Rudmik, MD,1
dan Timothy L. Smith, MD, MPH2
Abstrak
Latar Belakang: Epistaksis kegawatan THT yang sering terjadi dan
penatalaksanaan lini pertama yang dilakukan adalah kauter, penggunaan agen
hemostatik, atau tampon nasal anterior. Namun beberapa pasien mengalami
perdarahan masif dan membutuhkan terapi yang lebih lanjut.
Metode: Epistaksis spontan masif secara tradisional dikelola dengan
tampon nasal posterior dan membutuhkan perawatan lebih lanjut di rumah
sakit. Dalam upaya untuk mengurangi risiko morbiditas pada pasien dan
memperpendek waktu perawatan di rumah sakit, teknik bedah dan endovascular
mendapatkan perhatian. Sebuah tinjauan literatur dilakukan.
Hasil: Ligasi dan embolisasi arteri melalui endoskopi sphenopalatina
transnasalis memberikan hasil yang sangat baik terhadap pengelolaan epistaksis
ini, tetapi keputusan untuk memilih salah satu dari yang lain merupakan pilihan
yang sulit. Peran ligasi arteri ethmoidalis melalui endoskopi sphenopalatina
transnasalis masih belum diketahui secara pasti tetapi dapat dipertimbangkan
untuk kasus-kasus tertentu ketika pendarahan berada di regio ethmoid.
Kesimpulan: Artikel ini akan berfokus pada pengelolaan epistaksis
spontan berulang dan membahas peran ligasi dan embolisasi arteri melalui
endoskopi karena berkaitan dengan skenario klinis ini.
(Am J Rhinol Alergi 26, 55-60, 2012; DOI: 10,2500 /
ajra.2012.26.3696)
1
Epistaksis adalah yang kegawatan yang umum terjadi pada bidang
THT dengan perkiraan kejadian sekitar 1 dari 200 kasus di instalasi gawat darurat.
Penatalaksaan yang dipilih sebagai lini pertama adalah dengan intervensi seperti
kauter listrik atau kimia, penggunaan agen hemostatik, atau penggunaan tampon
nasal anterior. Namun, ada beberapa pasien yang mengalami epistaksis spontan
masif yang perdarahannya terjadi terus-menerus dan membutuhkan terapi yang
lebih lanjut.
Epistaksis masif adalah masalah sulit yang secara tradisional dikelola
dengan tampon nasal posterior dan memerlukan tatalaksana lebih lanjut di rumah
sakit yang pada akhirnya berkaitan dengan tingkat morbiditas pasien dan
tingginya biaya yang dikeluarkan selama perawatan di rumah sakit. Dengan
perbaikan yang telah diperlihatkan kedua teknik endoskopi dan endovaskular,
ligasi arteri melalui endoskopi sphenopalatina transnasalis (Transnasal
Endoscopic Sphenopalatine Artery Ligation atau TESPAL) dan embolisasi arteri
telah mendapatkan perhatian lebih daripada pengelolaan secara
tradisional. Penggunaan kedua teknik ini memperliahtkan hasil yang baik dalam
mengendalikan epistaksis masif tetapi keputusan untuk menggunakan salah satu
dari kedua teknik ini merupakan hal yang sulit. Artikel ini akan berfokus pada
manajemen epistaksis spontan masif dan membahas peran TESPAL dan
embolisasi karena berkaitan dengan skenario klinis ini.
ANATOMI
Vaskularisasi rongga hidung berasal dari cabang arteri karotis interna
(internal carotid artery/ICA) dan arteri karotis eksternal (external carotid
artery/ECA). Mayoritas epistaksis terjadi pada septum nasal anterior pada regio
wilayah yang disebut Little’s area, yang mendapat vaskularisasi dari pleksus
Kiesselbach. Jaringan pembuluh darah ini merupakan persatuan dari tiga arteri
terminal (arteri sphenopalatina (SPA), arteri ethmoidalis anterior (AEA), dan
arteri labial superior) dan 90-95% berperan dalam terjadinya epistaksis. Meskipun
tidak ada definisi yang jelas tentang epistaksis anterior dan posterior, 5-10% dari
pasien memperlihatkan perdarahan pada visualisasi dengan spekulum hidung dan
2
lampu kepala. Dua lokasi anatomi utama epistaksis posterior adalah dinding
lateral nasal dan septum nasal posterior. Karena kaitan antara sulitnya mengetahui
lokasi dan visualisasi, maka sebagian besar kasus epistaksis masif diklasifikasikan
sebagai epistaksis posterior.
Secara klinis, arteri yang paling sering terlibat dalam epistaksis
posterior masif adalah SPA. SPA adalah cabang terminal arteri maksilaris interna
(IMA) dan memasuki rongga hidung melalui perlekatan posterior konka media
melalui foramen sphenopalatina (SPF). Ada beberapa penelitian yang
menunjukkan beberapa variasi anatomi SPF (Tabel 1). Meskipun terdapat
perbedaan dalam variasi anatomi, semua penelitian menunjukkan bahwa SPF
lebih tinggi dari perlekatan posterior konka meida, biasanya terletak di pertemuan
antara konka media dan superior. Oleh karena itu, selama TESPAL,batas diseksi
harus lebih rendah dari tepi inferior perlekatan posterior konka media (Gambar.
1). Puncak ethmoid (juga dikenal sebagai crista ethmoidalis) adalah lokasi bedah
penting, karena ada pada semua pasien dan terletak di anterior SPF pada 98% dari
kasus.Sebuah pemahaman menyeluruh tentang SPF dan SPA anatomi sangat
diperlukan untuk mengoptimalkan terapi bedah epistaksis masif dan
meminimalkan kegagalan pengobatan.
3
Epistaksis dari AEA jarang dan biasanya terkait dengan trauma atau
cedera iatrogenik selama pelaksanaan operasi endoskopi sinus. AEA merupakan
cabang dari arteri oftalmik dalam rongga orbital dan medial dan berjalan
melintasi sepanjang dasar tengkorak ethmoid untuk memvaskularisasi dinding
superior lateral hidung dan septum. Secara eksternal, dalam ruang antara
periosteum orbital dan lamina papyracea, AEA dapat diidentifikasi berada pada 2
cm posterior puncak lakrimal.
Secara endonasal, AEA dapat ditemukan baik di perlekatan dasar
tengkorak ethmoid dari bula lamella ethmoid posterior atau sedikit ke posterior,
sepanjang posterior ruang di frontal (Gambar. 2). Penelitian terhadap dua cadaver
baru-baru ini menunjukkan bahwa AEA berjalan dalam arteri mesenterium tulang
pada sepertiga dari kasus dan disetujui untuk dilakukan ligasi pada 20% kasus
(Tabel 2). Namun, penelitian dengan cadaver lain yang dilakukan oleh Camp et
al. menunjukkan bahwa semua 16 AEA berhasil dipotong menggunakan
endoskopi tanpa menimbulkan cidera pada dasar tengkorak. Pasien dengan AEA
yang terletak di mesenterium dapat diidentifikasi pada CT pra operasi sinus dan
4
mereka cenderung memiliki lamella lateralis yang lebih panjang (Keros, tipe 2
atau 3) dan dasar tengkorak ethmoid tinggi (Gbr. 3).
MANAJEMEN UMUM EPISTAKSIS
Sebelum dilakukan pengelolaan definitif epistaksis masif, beberapa
intervensi penting harus digunakan untuk mengoptimalkan pengobatan. Prioritas
pertama adalah untuk mengontrol atau memperlambat perdarahan aktif dengan
beberapa bentuk tampon. Hal ini dapat dicapai dengan dilakukan dengan tampon
anterior-posterior atau kateter Foley yang dikombinasikan dengan tampon
anterior. Tujuan dari kedua metode adalah untuk memperlambat laju kehilangan
5
darah dan menutup jalan koana posterior dan mencegah darah mengalir ke saluran
napas bagian atas.
Setelah perdarahan aktif dikendalikan, setiap obat-obatan pencetus
obatan harus diidentifikasi dan diperbaiki jika secara klinis aman untuk
melakukannya. Pasien dengan konsumsi obat antikoagulan dapat menimbulkan
masalah lebih rumit karena mereka cenderung memiliki epistaksis lebih parah dan
perdarahan dari beberapa tempat. Karena risiko komplikasi medis yang serius,
penghentian obat antikoagulan tidak boleh dilakukan kecuali dianggap aman oleh
spesialisasi medis. Pada epistaksis yang terkait warfarin, 80% dari pasien berada
di luar INR normal; oleh karena itu, selain pemeriksaan darah lengkap, semua
pasien harus dievaluasi INR pada saat presentasi. Pada tahun 2008, Walker et
al. Mengusulkan protokol untuk mengelola epistaksis terkait antikoagulan (Tabel
3). Terapi multidisiplin sering dipertimbangkan untuk mengoptimalkan terapi
yang aman dalam mengontrol epistaksis.
BEDAH UNTUK EPISTAKSIS MASIF
Intervensi bedah untuk epistaksis MASIF menyediakan terapi dan
dapat mencegah penggunaan tampon posterior berkepanjangan dengan catatan
harus dilakukan perawatan di rumah sakit. Sebuah uji coba secara acak telah
dilakukan oleh Moshaver et al. untuk mengevaluasi pasien dengan epistaksis
masif yang membandingkan antara pelaksanaan intervensi bedah (menggunakan
TESPAL) dengan tampon nasal posterior. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
TESPAL memerlukan perawatan di rumah sakit lebih pendek dan biaya yang
lebih rendah. Tingkat keberhasilan secara keseluruhan TESPAL adalah 89% dan
6
tidak ada perbedaan dalam tingkat komplikasi antara kedua modalitas
pengobatan. Berikut bagian akan dijelaskan mengenai dua teknik bedah
endoskopik yang digunakan untuk mengelola epistaksis masif: (1) TESPAL dan
(2) ligasi arteri ethmoidalis dengan endoskopi transnasal anterior (TEAEAL).
Ligasi Arteri Sphenopalatina dengan Endoskopi Transnasal
Secara historis, pengelolaan bedah epistaksis posterior melibatkan
Caldwell-Luc dengan ligasi transantral dari IMA. Pendekatan ini dikaitkan dengan
morbiditas pasien yang tinggi dan sering gagal untuk mengontrol epistaksis
karena sirkulasi kolateral menyuplai SPA distal ke situs ligasi IMA. Dalam upaya
untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan tingkat keberhasilan, terapi
berkembang menjadi transnasal dengan fokus ligasi pada SPA. Pada tahun 1985,
Stamm et al. menggambarkan pendekatan mikroskop transnasal pada ligasi SPA
dan menunjukkan tingkat keberhasilan 94% dalam mengendalikan epistaksis
posterior masif dengan pengurangan morbiditas pasien. Pada tahun 1992,
Budrovich melaporkan pendekatan dengan endoskopik untuk ligasi SPA telah
meningkat karena peningkatan visualisasi dan mengurangi morbiditas pasien.
Teknik TESPAL. Setelah pemberian anestesi umum dan perlindungan
jalan nafas, TESPAL dimulai dengan persiapan hidung menyeluruh untuk
mengoptimalkan visualisasi dan meningkatkan keberhasilan pengobatan. Pertama,
tampon diangkat dan rongga hidung dibersihkan dari semua gumpalan
darah. Pemeriksaan endoskopi rinci harus dilakukan sebelum diberikan agen
dekongestan pada hidung untuk memperjelas situs perdarahan. Berikutnya,
diberikan epinefrin pada hidung selama 5-10 menit untuk mengurangi pendarahan
aktif dan secara signifikan meningkatkan visualisasi selama operasi. Untuk lebih
mengoptimalkan hemostasis intraoperatif, regio sphenopalatina atau saluran yang
lebih besar dapat disuntikkan lokal anestesi yang mengandung epinefrin (kami
menggunakan 1% Xylocaine dengan epinefrin 1: 100.000). Pentingnya persiapan
hidung ini tidak terlalu ditekankan.
Setelah persiapan, prosedur TESPAL dijelaskan lebih lanjut pada
tabel (Tabel 4). Beberapa ahli bedah rutin melakukan maxillary antrostomy untuk
meningkatkan identifikasi SPA; Namun, baru-baru ini studi oleh Shires et
7
al. menunjukkan bahwa 90% dari TESPALs dapat berhasil dengan dilakukan
insisi pada dinding nasal lateral. Setelah SPA dapat diidentifikasi, penelitian
menunjukkan bahwa kauterisasi, dibandingkan dengan pemotongan, memberikan
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi.
Tingkat Kesuksesan TESPAL. Kebanyakan penelitian mengevaluasi
bahwa TESPAL kecil dan retrospektif; Namun, tingkat keberhasilan keseluruhan
dilaporkan adalah 85%. Pada tahun 2003, Kumar et al. melakukan review literatur
dan melaporkan tingkat keberhasilan sebesar 98% dengan rata-rata lama rawat
inap selama 1,6 hari setelah dilakukan prosedur TESPAL. Sebuah artikel baru-
baru oleh Nouraei et al. didefinisikan kegagalan bedah sebagai epistaksis berulang
terjadi dalam waktu 2 minggu setelah TESPAL. Mereka melaporkan tingkat
kegagalan 12% dan mengidentifikasi risiko berikut faktor perdarahan ulang yang
membutuhkan tampon hidung: (1) penggunaan warfarin, (2) jumlah trombosit
yang rendah, dan (3) tidak menggunakan kauterisasi untuk ligasi SPA.
Komplikasi TESPAL. Perdarahan minor berulang yang membutuhkan
tampon nasal terjadi pada 15-20% kasus. Perdarahan mayor berulang yang
membutuhkan prosedur pembedahan kedua jarang dan hanya sekitar 1%
kasus. Komplikasi TESPAL lain meliputi krusta hidung (34%), hipoestesi
palatum (12%), dan sinusitis akut (3%). Irigasi nasal saline yang dilakukan 48 jam
setelah TESPAL dapat mengurangi krusta dan berpotensi menghindari komplikasi
jangka panjang seperti sinekia dan obstruksi ostial sinus.
Ligasi Arteri Ethmoidalis dengan Endoskopi Transnasal Anterior
8
Epistaksis terkait dengan AEA lebih jarang terjadi daripada SPA dan
secara tradisional dilakukan ligasi menggunakan insisi eksternal Lynch eksternal
dengan pemotongan AEA antara lamina papyracea dan periorbita. Dua studi
terhadap cadaver menunjukkan bahwa TEAEAL dapat dilakukan pada 20% dari
pasien, dan dengan syarat semua kasus AEA berjalan dalam tulang mesenterium
di dasar tengkorak ethmoid. Meskipun penelitian TEAEAL terbatas, dua
penelitian case series kecil telah melaporkan keberhasilan dalam mengontrol
epistaksis masif, yang lokasinya berada di daerah ethmoid pada endoskopi.
Sebelum memilih untuk melakukan TEAEAL, penting bagi ahli bedah untuk
mempertimbangkan manfaat potensial dari menghindari terjadinya bekas luka dari
pendekatan eksternal secara tradisional, dengan potensi terjadinya komplikasi
serius seperti kebocoran cairan spinal atau cedera orbital terkait dengan TEAEAL.
Teknik TEAEAL. CT scan sinus preoperatif harus dilakukan untuk
meninjau anatomi AEA untuk menentukan apakah memungkinkan dilakukan
ligasi endoskopik. Dengan TESPAL, anestesi umum biasanya diperlukan dan
persiapan hidung dianjurkan untuk mengoptimalkan keberhasilan bedah. Pada
tahun 2007, Pletcher dan Metson melaporkan langkah-langkah bedah untuk
TEAEAL (Tabel 5). Peran TEAEAL masih harus dilakukan penelitian lebih
lanjut.
Angka Kesuksesan TEAEAL. Bukti tingkat keberhasilan TEAEAL
masih sangat terbatas. Selain itu, ligasi AEA biasanya dikombinasikan dengan
ligasi SPA, sehingga lebih menantang untuk menentukan efek dari TEAEAL.
9
Komplikasi TEAEAL. Potensi terjadinya komplikasi serius yang
harusdipertimbangkan ketika memilih untuk melakukan TEAEAL adalah
kebocoran cairan serebrospinal, cedera orbital, dan kegagalan untuk mengontrol
epistaksis.
EMBOLISASI ARTERI
Pengelolaan endovaskular dalam epistaksis masif pertama kali
dijelaskan pada 1974, dan setelah dievaluasi dalam beberapa penelitian besar,
menjadi pilihan terapi baik diterima. Garis besar teknik dasar, tingkat
keberhasilan, dan komplikasi potensial embolisasi untuk epistaksis masif akan
dijelaskan selanjutnya.
Teknik Embolisasi. Langkah pertama adalah dengan angiogram
preembolisasi dari ICA dan ECA. Tujuan dari angiogram ini adalah untuk
mengevaluasi kontras, yang dapat menentukan lokasi pendarahan, dan untuk
mengidentifikasi etiologi langka epistaksis, seperti tumor, malformasi vaskular,
atau pseudoaneurisme. Selain itu, dapat juga mengidentifikasi adanya anastomosis
berbahaya antara ECA dan ICA yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
stroke atau kebutaan. Sebuah review artikel terbaru oleh Willems et
al. menguraikan protokol pengobatan untuk embolisasi dari epistaksis masif
idiopatik (Tabel 6).
Hidung memiliki anastomosis signifikan dari sistem arteri
kontralateral; Oleh karena itu, biasanya dilakukan embolisasi IMA kontralateral
10
dan kadang-kadang arteri wajah kontralateral untuk mengoptimalkan keberhasilan
pengobatan. Namun, keputusan ini kontroversial dan mungkin meningkatkan
risiko terjadinya iskemi jaringan lunak. Untuk mengurangi risiko iskemi intranasal
selama embolisasi arteri bilateral, pelepasan tampon nasal dini dapat mencegah
kompresi jaringan lunak hidung lebih lanjut.
Keberhasilan Embolisasi. Keberhasilan embolisasi arteri sebanding
dengan TESPAL dalam mengendalikan epistaksis masif, seperti penelitian terbaru
yang menunjukkan tingkat keberhasilan antara 80 dan 90%. Sebuah studi oleh
Christensen et al. mengumpulkan hasil dari 23 penelitian dan menunjukkan
tingkat keberhasilan rata-rata 88%.
Komplikasi Embolisasi. Sebuah artikel Willem et al.mengkategorikan
komplikasi yang terkait dengan embolisasi arteri menjadi tiga kategori: sementara
minor, sementara mayor, dan persisten (Tabel 7). Komplikasi sementara minor
terjadi antara 25 dan 50% kasus dan dapat dikelola dengan terapi konservatif.
Meskipun, komplikasi sementara mayor dan persisten jarang terjadi, komplikasi
ini tetap harus didiskusikan dengan pasien karena gejala sisa yang dapat parah dan
mengakibatkan kesakitan.
Pembedahan dibandingkan Embolisasi untuk Epistaksis Masif
Dalam kasus epistaksis masif, keputusan untuk memilih operasi atau
embolisasi cukup sulit karena kedua modalitas memiliki tingkat keberhasilan yang
serupa. Dengan demikian, pengambilan keputusan terapi umumnya
dipertimbangkan dari beberapa faktor, seperti komorbiditas pasien, penggunaan
antikoagulasi, keahlian dokter bedah dan endovascular, keinginan pasien, dan
biaya kesehatan. Meskipun tidak ada bukti pasti yang menunjukkan salah satu
11
modalitas pengobatan lebih unggu daripada yang lain, bagian ini akan membahas
keuntungan dari kedua pilihan dan mencoba untuk memperjelas dilema yang
menantang ini.
Keuntungan utama dari TESPAL dibandingkan embolisasi adalah
lebih rendahnya risiko komplikasi utama seperti stroke, kebutaan, dan iskemia
jaringan lunak. Potensi dari TESPAL termasuk peningkatan lokalisasi perdarahan,
meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa dilihat dari etiologi umum
epistaksis (misalnya, tumor), pilihan untuk melakukan ligasi AEA dapat lebih
cepat dilakukan, dan biaya perawatan kesehatan umumnya lebih
rendah. Keuntungan utama dari embolisasi dibandingkan TESPAL adalah
kemampuan untuk melakukan prosedur di bawah anestesi lokal dengan sedasi
ringan dan menghindari penggunaan anestesi umum pada pasien. Keuntungan lain
dari embolisasi adalah meningkatkan bukti diagnosis dari kelainan pembuluh
darah (seperti malformasi vaskular atau pseudoaneurysm) dan potensi trauma
mukosa hidung yang lebih rendah(Tabel 8).
Dengan sumber daya perawatan kesehatan dan anggaran yang
terbatas, penting mempertimbangkan dampak ekonomi dari intervensi medis.
Bukti yang tersedia telah melaporkan biaya TESPAL sekitar $ 6.000 dan $ 7.500
dibandingkan dengan perkiraan biaya embolisasi sebesar $ 12,000 pada tahun
2005 dolar AS.
Ketika menimbang keuntungan dari TESPAL dan embolisasi, ada
yang berpendapat bahwa TESPAL mungkin merupakan pilihan lini pertama yang
12
lebih baik untuk epistaksis masif sementara embolisasi memperlihatkan adanya
kegagalan. Namun, ada situasi klinis ketika embolisasi akan lebih baik untuk
TESPAL seperti pada pasien dengan keadaan yang tidak memungkinkan
dilakukan anestesi umum. Selain itu, operasi pada pasien yang mengonsumsi
antikoagulan dapat mengakibatkan meningkatnya perdarahan dan bertambahnya
lokasi perdarahan; Oleh karena itu, embolisasi dalam skenario ini mungkin dapat
mengurangi risiko trauma pada mukosa hidung dan mengoptimalkan keberhasilan
terapi. Gambar 4 menguraikan algoritma pengobatan yang diusulkan untuk
pengelolaan epistaksis masif.
KESIMPULAN
Epistaksis spontan masif adalah masalah yang menantang dan secara
tradisional dikelola dengan tampon nasal posterior dan memerlukan perawatan di
rumah sakit. Karena morbiditas pasien berkurang dan tingkat keberhasilan yang
sangat baik, teknik bedah dan endovascular untuk mengontrol epistaksis masif
telah menjadi praktek standar. Namun, keputusan untuk melakukan ligasi arteri
dibandingkan embolisasi arteri sangat kompleks. Ketika mempertimbangkan
risiko yang lebih rendah, komplikasi utama, dan dampak ekonomi berkurang,
bedah ligasi (ligasi TESPAL AEA) mungkin menjadi pilihan lebih baik sebelum
mencoba embolisasi arteri untuk epistaksis masif. Embolisasi mungkin pilihan
13
yang lebih baik pada pasien dengan risiko tinggi bila dilakukan anestesi umum,
pada mereka yang antikoagulan, dan pada kasus kegagalan bedah. Penelitian di
masa depan diperlukan untuk lebih menjelaskan indikasi klinis untuk kedua
TESPAL dan embolisasi arteri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pallin DJ, Chng YM, McKay MP, et al. Epidemiology of epistaxis in US
emergency departments, 1992 to 2001. Ann Emerg Med 46:77–81, 2005.
2. Willems PW, Farb RI, and Agid R. Endovascular treatment of epistaxis.
AJNR Am J Neuroradiol 30:1637–1645, 2009.
3. Kumar S, Shetty A, Rockey J, et al. Contemporary surgical treatment of
epistaxis. What is the evidence for sphenopalatine artery ligation? Clin
Otolaryngol Allied Sci 28:360–363, 2003.
4. Chiu T, and Dunn JS. An anatomical study of the arteries of the anterior
nasal septum. Otolaryngol Head Neck Surg 134:33–36, 2006.
5. Thornton MA, Mahesh BN, and Lang J. Posterior epistaxis: Identification
of common bleeding sites. Laryngoscope 115:588–590, 2005.
6. Chiu TW, and McGarry GW. Prospective clinical study of bleeding sites
in idiopathic adult posterior epistaxis. Otolaryngol Head Neck Surg
137:390–393, 2007.
7. Herrera Tolosana S, Fernandez Liesa R, et al. Sphenopalatinum foramen:
An anatomical study. Acta Otorrinolaringol Esp 62:274– 278, 2011.
8. Antunes Scanavini AB, Navarro JA, Megale SR, et al. Morphometric
evaluation of the sphenopalatine foramen for endonasal surgery.
Rhinology 48:441–445, 2011.
9. Scanavine AB, Navarro JA, Megale SR, et al. Anatomical study of the
sphenopalatine foramen. Braz J Otorhinolaryngol 75:37–41, 2009.
10. Padua FG, and Voegels RL. Severe posterior epistaxis-endoscopic surgical
anatomy. Laryngoscope 118:156–161, 2008.
14
11. Wareing MJ, and Padgham ND. Osteologic classification of the
sphenopalatine foramen. Laryngoscope 108:125–127, 1998.
12. Midilli R, Orhan M, Saylam CY, et al. Anatomic variations of
sphenopalatine artery and minimally invasive surgical cauterization
procedure. Am J Rhinol Allergy 23:e38–e41, 2009.
13. McDonald SE, Robinson PJ, and Nunez DA. Radiological anatomy of the
anterior ethmoidal artery for functional endoscopic sinus surgery. J
Laryngol Otol 122:264–267, 2008.
14. Floreani SR, Nair SB, Switajewski MC, et al. Endoscopic anterior
ethmoidal artery ligation: A cadaver study. Laryngoscope 116:1263–
1267, 2006.
15. Solares CA, Luong A, and Batra PS. Technical feasibility of transnasal
endoscopic anterior ethmoid artery ligation: Assessment with
intraoperative CT imaging. Am J Rhinol Allergy 23:619–621, 2009.
16. Camp AA, Dutton JM, and Caldarelli DD. Endoscopic transnasal
transethmoid ligation of the anterior ethmoid artery. Am J Rhinol Allergy
23:200–202, 2009.
17. Ho EC, and Mansell NJ. How we do it: A practical approach to Foley
catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol Allied Sci 29:754– 757,
2004.
18. Smith J, Siddiq S, Dyer C, et al. Epistaxis in patients taking oral
anticoagulant and antiplatelet medication: Prospective cohort study. J
Laryngol Otol 125:38–42, 2011.
19. Melia L, and McGarry GW. Epistaxis: Update on management. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg 19:30–35, 2011.
20. Chandler JR, and Serrins AJ. Transantral ligation of the internal maxillary
artery for epistaxis. Laryngoscope 75:1151–1159, 1965.
21. Stamm AC, Pinto JA, Neto AF, et al. Microsurgery in severe posterior
epistaxis. Rhinology 23:321–325, 1985.
22. Budrovich R, and Saetti R. Microscopic and endoscopic ligature of the
sphenopalatine artery. Laryngoscope 102:1391–1394, 1992.
15
23. Douglas R, and Wormald PJ. Pterygopalatine fossa infiltration through the
greater palatine foramen: Where to bend the needle. Laryngoscope
116:1255–1257, 2006.
24. Shires CB, Boughter JD, and Sebelik ME. Sphenopalatine artery ligation:
A cadaver anatomic study. Otolaryngol Head Neck Surg 145: 494–497,
2011.
25. Nouraei SA, Maani T, Hajioff D, et al. Outcome of endoscopic
sphenopalatine artery occlusion for intractable epistaxis: A 10-year
experience. Laryngoscope 117:1452–1456, 2007.
26. Moshaver A, Harris JR, Liu R, et al. Early operative intervention versus
conventional treatment in epistaxis: Randomized prospective trial. J
Otolaryngol 33:185–188, 2004.
27. Seno S, Arikata M, Sakurai H, et al. Endoscopic ligation of the
sphenopalatine artery and the maxillary artery for the treatment
ofintractable posterior epistaxis. Am J Rhinol Allergy 23:197–199, 2009.
28. Minni A, Dragonetti A, Gera R, et al. Endoscopic management of
recurrent epistaxis: The experience of two metropolitan hospitals in Italy.
Acta Otolaryngol 130:1048–1052, 2010. American Journal of Rhinology
& Allergy 59
29. Snyderman CH, Goldman SA, Carrau RL, et al. Endoscopic
sphenopalatine artery ligation is an effective method of treatment for
posterior epistaxis. Am J Rhinol 13:137–140, 1999.
30. Pletcher SD, and Metson R. Endoscopic ligation of the anterior ethmoid
artery. Laryngoscope 117:378–381, 2007.
31. Woolford TJ, and Jones NS. Endoscopic ligation of anterior ethmoidal
artery in treatment of epistaxis. J Laryngol Otol 114:858–860, 2000.
32. Sokoloff J, Wickbom I, McDonald D, et al. Therapeutic percutaneous
embolization in intractable epistaxis. Radiology 111:285–287, 1974.
33. Elden L, Montanera W, Terbrugge K, et al. Angiographic embolization for
the treatment of epistaxis: A review of 108 cases. Otolaryngol Head Neck
Surg 111:44–50, 1994.
16
34. Tseng EY, Narducci CA, Willing SJ, et al. Angiographic embolization for
epistaxis: A review of 114 cases. Laryngoscope 108:615– 619, 1998.
35. Christensen NP, Smith DS, Barnwell SL, et al. Arterial embolization in the
management of posterior epistaxis. Otolaryngol Head Neck Surg 133:748–
753, 2005.
36. Sadri M, Midwinter K, Ahmed A, et al. Assessment of safety and efficacy
of arterial embolisation in the management of intractable epistaxis. Eur
Arch Otorhinolaryngol 263:560–566, 2006.
37. Strach K, Schrock A, Wilhelm K, et al. Endovascular treatment of
epistaxis: Indications, management, and outcome. Cardiovasc Intervent
Radiol 34:1190–1198, 2011.
38. Guss J, Cohen MA, and Mirza N. Hard palate necrosis after bilateral
internal maxillary artery embolization for epistaxis. Laryngoscope
117:1683–1684, 2007.
39. Miller TR, Stevens ES, and Orlandi RR. Economic analysis ofthe
treatment of posterior epistaxis. Am J Rhinol 19:79–82, 2005. e
17