23
British Journal of Anaesthesia 107 (S1): i27–i40 (2011) doi:10.1093/bja/aer358 PRAKTIS KLINIS Terapi Multimodal untuk Mual dan Muntah Pasca Operasi dan Nyeri A. Chandrakantan* and P. S. A. Glass Department of Anesthesiology, Stony Brook University Medical Center, Stony Brook, NY, USA Ringkasan : Mual dan muntah pasca operasi (MMPO) dan nyeri adalah dua kekhawatiran utama untuk pasien yang bakal menjalani operasi. Penyebab MMPO adalah multifaktorial dan sebagian besar dapat dikategorikan sebagai faktor risiko pasien, teknik anestesi, dan prosedur pembedahan yang dilakukan.. Antiemetik bekerja pada beberapa situs reseptor yang berbeda untuk mencegah atau mengobati MMPO.Hal ini mungkin mengapa sekarang terdapat banyak penelitian membuktikan penggunaan lebih dari satu antiemetik biasanya lebih efektif dan menghasilkan efek samping yang sedikit dibandingkan dari sekedar meningkatkan dosis dari antiemetik tunggal. Sebuah pendekatan multimodal MMPO tidak hanya terbatas pada terapi obat saja tetapi harus melibatkan pendekatan holistik mulai sebelum operasi dan berlanjut intraoperatif dengan strategi pengurangan risiko yang ditambahkan antiemetik profilaksis menurut risiko pasien dinilai untuk mengalami MMPO. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap patofisiologi nyeri akut, terutama terjadinya di hipersensitifitas perifer dan sentral, tidak mungkin dengan penggunaan obat tunggal atau tindakan intervensi yang cukup luas menjadi cukup efektif, terutama pada nyeri yang moderat atau lebih besar . Meskipun morfin dan congener merupakan rejimen yang biasa dipakai untuk manajemen 1 | Page

JURNAL

Embed Size (px)

DESCRIPTION

qqwqwqwqwqwqwqwqwqwqw

Citation preview

British Journal of Anaesthesia 107 (S1): i27–i40 (2011)doi:10.1093/bja/aer358

PRAKTIS KLINIS

Terapi Multimodal untuk Mual dan Muntah Pasca

Operasi dan Nyeri

A. Chandrakantan* and P. S. A. GlassDepartment of Anesthesiology, Stony Brook University Medical Center, Stony Brook, NY, USA

Ringkasan : Mual dan muntah pasca operasi (MMPO) dan nyeri adalah dua kekhawatiran utama

untuk pasien yang bakal menjalani operasi. Penyebab MMPO adalah multifaktorial dan sebagian

besar dapat dikategorikan sebagai faktor risiko pasien, teknik anestesi, dan prosedur pembedahan

yang dilakukan.. Antiemetik bekerja pada beberapa situs reseptor yang berbeda untuk mencegah atau

mengobati MMPO.Hal ini mungkin mengapa sekarang terdapat banyak penelitian membuktikan

penggunaan lebih dari satu antiemetik biasanya lebih efektif dan menghasilkan efek samping yang

sedikit dibandingkan dari sekedar meningkatkan dosis dari antiemetik tunggal. Sebuah pendekatan

multimodal MMPO tidak hanya terbatas pada terapi obat saja tetapi harus melibatkan pendekatan

holistik mulai sebelum operasi dan berlanjut intraoperatif dengan strategi pengurangan risiko yang

ditambahkan antiemetik profilaksis menurut risiko pasien dinilai untuk mengalami MMPO. Dengan

meningkatnya pemahaman terhadap patofisiologi nyeri akut, terutama terjadinya di hipersensitifitas

perifer dan sentral, tidak mungkin dengan penggunaan obat tunggal atau tindakan intervensi yang

cukup luas menjadi cukup efektif, terutama pada nyeri yang moderat atau lebih besar . Meskipun

morfin dan congener merupakan rejimen yang biasa dipakai untuk manajemen nyeri,namun dalam

peningkatan dosis turut terjadi peningkatakan efek samping dari penggunaan obat ini. Dengan

demikian, pendekatan untuk pengelolaan nyeri akut pasca operasi adalah dengan menggunakan

beberapa obat-obatan atau modalitas (misalnya anestesi regional) untuk memaksimalkan pengurangan

rasa sakit dan efek samping.

Kata kunci: mual, pascaoperasi; nyeri, pasca operasi; muntah, pasca operasi

Pascaoperasi Mual dan muntah

Sementara beberapa kemajuan telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir dalam meminimalkan

efek yang merugikan setelah dianestesi, namun pasien tetap meletakkan mual / muntah sebagai hal

yang paling tidak diinginkan pasca operasi. Sementara kejadian mual muntah pasca operasi (MMPO)

bervariasi baik di rawat inap dan rawat jalan , studi menunjukkan bahwa kejadian mual berkisar

1 | P a g e

antara 22% sampai 38% dan kejadian muntah berkisar dari 12% sampai 26% .Beberapa faktor risiko

telah diidentifikasi sebagai penyebab tejadinya MMPO. Insiden MMPO pada pasien yang berisiko

tinggi jauh lebih tinggi iaitu sebnyak 60-70%. Pemberian obat antiemetik dapat mengurangi kejadian

ini, terutama dengan penggunaan secara bijak beberapa antiemetik. Mual dan muntah Pos-discharge

(MMPD) didefinisikan dari 24 jam pasca-discharge sampai 72 jam memiliki insiden hingga 55%.

Tampaknya faktor risiko untuk terjadinya MMPD berbeda dengan MMPO

Pendekatan multimodal menggunakan lebih dari satu antiemetik awalnya dipahami dan

dijelaskan karena efek yang terbatas dengan terapi obat tunggal dan temuan bahwa terapi obat

multiple mengakibatkan insiden lebih rendah terjadinya MMPO. Sementara banyak percobaan telah

mengesahkan utilitas metodologi ini, harus dipahami bahwa pendekatan multimodal yang meluas

jauh melampaui farmakoterapi intraoperatif dan dimulai dengan intervensi non-farmakologis di area

pra operasi.

Identifikasi faktor risiko untuk MMPO

Beberapa faktor seperti jenis kelamin perempuan dan sejarah MMPO / mabuk diidentifikasi secara

retrospektif seawall tahun 1960 sebagai faktor risiko untuk terjadinya MMPO. Pada tahun 1993,

sebuah penelitian telah dilakukan dengan menggunakan analisa regresi logistik untuk melihat secara

prospektif faktor-faktor untuk terjadinya MMPO pada kelompok kecil pasien. Selanjutnya, Apfel dan

rekan-rekan telah mengidentifikasi empat faktor risiko yang membentuk dasar untuk Sistem Skor

Apfel iaitu: jenis kelamin perempuan, riwayat MMPO / gerak penyakit, status non-merokok, dan

penggunaan opioid pasca operasi. Setiap faktor risiko yang terjadi dapat meningkatkan kemungkinan

MMPO sehingga 18-22% . Identifikasi risiko dasar dengan menggunakan Kriteria Apfel penting,

karena dengan peningkatan faktor risiko turut meningkatkan jumlah terapi yang diperlukan

berikutnya.

Meskipun Apfel mendefinisikan kriteria risiko dengan dampak terbesar pada MMPO,

beberapa faktor risiko lain telah diidentifikasi. Ini dapat dibagi menjadi tiga kategori: faktor risiko

pasien, teknik anestesi, dan prosedur bedah. Faktor risiko pasien termasuk jenis kelamin perempuan

dari pubertas, status non-merokok, riwayat PONV / mabuk berjalan, dan predisposisi genetik. Teknik

anastesi meliputi penggunaan agen inhalasi, nitrous oxide, besar dosis neostigmin, dan penggunaan

opiod pada intraoperatif dan posoperatif.Faktor Operasi termasuk durasi operasi yang lebih lama dan

jenis operasi yang dijalankan. Namun,apakah lama suatu operasi merupakan penyebab secara

langsung sulit dibuktikan, karena penggunaan dosis tinggi opioid dan eksposur yang lebih lama untuk

anestesi inhalasi (MAC-jam) yang mungkin terjadi dan merupakan faktor risiko untuk MMPO.

Meskipun faktor risiko populasi telah berjaya dikenalpasti dengan baik dan akan dijalankan

perencanaan untuk terapi antiemetik bagi individu tertentu, tapi sayangnya mereka sangat tidak dapat

diduga

2 | P a g e

Pada anak-anak, terdapat data yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan orang dewasa

berkaitan faktor risiko. Namun, Eberhart dan colleagues mengidentifikasi empat faktor risiko: durasi

operasi >30 menit, usia >3 tahun, operasi strabismus, dan sejarah muntah pasca operasi dalam

kalangan orang tuanya, saudara, atau pasien itu sendiri.

Patofisiologi MMPO

Emesis diyakini diatur oleh pusat muntah di otak, yang menerima beberapa masukan aferen (Gbr. 1).

Input Vagal dari usus dapat mengaktifkan pusat muntah, dan juga aksi aferen dari zona trigger

kemoreseptor (CTZ). CTZ duduk di luar penghalang darah-otak(blood –brain barrier ) dan berisi

beberapa reseptor yang berbeda yang memodulasi aktivitasnya.Kebanyakan obat antiemetik bertindak

dengan cara baik secara langsung atau tidak langsung dengan zat antagonis emetogenik pada reseptor

di CTZ.

Karena ada beberapa sistem reseptor yang terlibat dalam pengembangan dan pengobatan

MMPO, tampak jelas bahwa kombinasi obat yang bekerja pada reseptor yang berbeda akan memiliki

khasiat yang lebih besar daripada hanya menggunakan obat tunggal.Dengan semakin bertambahnya

dosis obat kelas tunggal tidak selalunya menurunkan kejadian MMPO, terutama pada pasien dengan

faktor risiko. Selain itu, kejadian efek samping meningkat dengan meningkatnya dosis berbagai

golongan obat (Tabel 1) . Oleh karena itu teknik multimodal menawarkan manfaat meningkatkan

pengurangan MMPO dengan insiden efek samping yang lebih rendah.

Secara intuitif, efek gabungan dari obat harus sinergis karena setiap intervensi antiemetik

memiliki modus aksi yang. Namun, data saat ini bagi agen yang tersedia menunjukkan bahwa hanya

efek addiktif .Observasi ini menggariskan pentingnya risiko-stratifikasi pasien seperti yang

disebutkan di atas dan pendekatan secara holistik menekankan baik terapi farmakologis dan non-

farmakologis

3 | P a g e

GOLONGAN OBAT EFEK SAMPING

- Serotonin antagonis Nyeri kepala,diare,konstipasi, aritmia

- Neurokinin inhibitor Lelah,nyeri kepala,pusing,diare

- Steroid Pusing,perubahan mood, gelisah

- Antihistamin Mukosa kering,sedasi,retensi urin

- Butyrophenon Pemanjangn interval QT (Dosis>

0.1mg/kgbb,hipotensi,takikardi

- Benzodiazepine Sedasi,disorientasi

Tabel 1

Pendekatan terapi multimodal

Secara umum, pendekatan multimodal merupakan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologis,

yang dimulai di area pra operasi dan berlanjut sampai pasien keluar. Di area pra operasi, untuk

meminimalkan kecemasan adalah suatu hal penting. Anxiolysis dengan benzodiazepin telah terbukti

dapat mengurangi MMPO di beberapa studi kecil. Intervensi lain untuk meminimalkan kecemasan

meliputi informasi optimalisasi diberikan kepada pasien, fasilitas tata letak yang ramah-, dan

interaksi positif dan penuh kasih dengan staf. Semua intervensi ini membantu meminimalkan

kecemasan dan dapat mengurangi kejadian MMPO dan dampaknya terhadap MMPO.

4 | P a g e

Deksametason pra operasi mengurangi insiden MMPO. Aprepitant (a neurokinin-1 antagonis)

diberikan sebelum anestesi terbukti efektif dalam mengurangi baik muntah dan mual hingga 48 jam

setelah operasi.Pre-hidrasi dengan karbohidrat oral yang mengandung cairan bening hingga 2 jam

sebelum operasi juga mengurangi MMPO. Demikian pula, resusitasi cairan i.v yang adekuat telah

menjadi bagian dari regimen multimodal baik dengan kristaloid dan koloid dapat mengurangi

MMPO. Pilihan jenis cairan tidak mengubah kejadian MMPO secara signifikan

Pendekatan intraoperatif dimulai dengan meminimalkan faktor-faktor yang dapat

meningkatkan MMPO. Dengan demikian, pilihan anestesi adalah penting. Anestesi inhalasi, termasuk

nitrous oksida (tergantung dosis), terkait dengan peningkatan risiko MMPO. Penggunaan anestesi

regional mengurangi kejadian MMPO jika dibandingkan dengan anestesi umum.Meskipun ideal untuk

pasien dengan resiko tinggi untuk terjadinya MMPO / MMPD, anestesi regional tidak selalu tersedia

sebagai pilihan. Total i.v. anestesi (TIVA) menurunkan kejadian MMPO dibandingkan dengan

anestesi inhalasi dan N2O. Lebih khusus, penggunaan propofol baik sebagai induksi atau agen

pemeliharaan (seperti TIVA) menurunkan insiden MMPO, tetapi mungkin terkait dengan kos yang

agak tinggi.Propofol memiliki efek antiemetik langsung dan telah digunakan setelah operasi untuk

mengobati MMPO pada dosis 10-20 mg. Konsentrasi efektif minimum propofol untuk MMPO adalah

300 ng ml. Oleh karena pasien biasanya terbangun pada konsentrasi propofol 1000-2000 ng m,l efek

antiemetik dari propofol yang diberikan intraoperatif berlangsung sampai 30 menit setelah operasi.

Analgesia adalah kunci komponen dari anestesi intraoperatif, dengan opioid sebagai terapi

utama. Akan Tetapi, peningkatkan administrasi opioid intraoperatif dan pasca operasi dikaitkan

dengan risiko lebih tinggi terjadinya MMPO. Opioid kerja-cepat tidak meningkatkan kejadian

MMPO apabila digunakan sebagai bagian dari rejimen TIVA, namun tidak memberikan analgesia

pasca operasi. Rasa sakit itu sendiri meningkatkan MMPO dan dengan demikian tujuannya adalah

untuk menciptakan keseimbangan optimal antara administrasi opioid dan nyeri. Ada beberapa

alternatif analgesik opioid yang telah tersedia untuk i.v. administrasi dalam beberapa tahun terakhir.

Mengurangi jumlah opioid diberikan sementara mendapatkan pereda nyeri yang baik adalah tujuan

akhi yang diharapkan. Obat Non-steroid anti-inflamasi (NSAID) menurunkan MMPO

dibandingkan opioid dalam berbagai studies Ada data yang jelas dari efek sparing-opioid terhadap

NSAID dan konsekuen dalam pengurangan MMPO. Dosis kecil i.v. ketamin juga menyediakan

opioid-sparing dengan kecenderungan mengurangi MMPO. Efek opioid-sparing dijelaskan di atas

memiliki peran ganda baik mengurangi kejadian MMPO dan meningkatkan keseluruhan manajemen

nyeri seperti yang dijelaskan untuk analgesia multimodal di bawah ini.

Pembalikan blok neuromuskuler diperlukan untuk berbagai jenis operasi. Meskipun beberapa

penulis telah menunjukkan bahwa dosis tinggi neostigmin meningkatkan risiko MMPO, meta-analisis

5 | P a g e

terbaru menunjukkan tidak ada peningkatan risiko dengan penggunaan neostigmin masalah ini masih

belum jelas, dan studi lebih lanjut diperlukan tentang masalah ini.

Antiemetik intraoperatif membentuk landasan terapi antiemetik (Gbr. 2). Apfel dan

colleagues menunjukkan dengan menggunakan satu atau lebih terapi antiemetik (lebih dari 4)

menurunkan angka kejadian mual dan muntah secara signifikan (Gambar. 3). Studi ini menunjukkan

bahwa dengan setiap penambahan antiemetik diberikan, risiko MMPO kemudian dapat dikurangi

sebanyak 30% (yang disebut aturan 1/3). Penelitian yang sangat besar ini memberikan demonstrasi

dasar validitas model multimodal .Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan dua

terapi antiemetik secara signifikan mengurangi kejadian MMPO dibandingkan dengan penggunaan

obat profiklasi tunggal terhadap populasi yang akan menjalani pembedahan dengan resiko

tinggi .Meskipun ada data yang menunjukkan efektivitas terapi antiemetik yang berbeda , terlalu

banyak hal yang baik bisa menjadi kontraproduktif. Data terakhir menunjukkan aprepitant, ketika

ditambahkan tiga antiemetik yang berbeda, mungkin benar-benar dapat meningkatkan kejadian

MMPO. Dengan biaya minimal dan efek samping mayor antiemetik yang tersedia, pendekatan yang

lebih liberal daripada yang disarankan oleh kriteria Apfel atau SAMBA (Society for Ambulatory

Anestesiologi) pedoman telah dikeluarkan

Akustimulasi di acupoint P6 telah terbukti efektif dalam mencegah MMPO. Satu meta-

analisis akustimulasi pada pasien hamil telah menunjukkan keberhasilan serupa. Sebagai bagian rezim

multimodal, akustimulasi menyediakan lebih 30% pengurangan MMPO bila dikombinasikan dengan

4mg ondansetron (iaitu kemanjuran yang serupa sebagai antiemetik kedua). Ada penelitian kecil yang

menunjukkan bahwa akupunktur mengurangi MMPO lebih dari 24 jam, namun, data untuk MMPD

masih kurang.

MMPD cukup umum setelah perawatan pasien bedah . Namun, faktor risiko untuk MMPD

cenderung sangat berbeda dari orang-orang dari MMPO.Oleh yang demikian, antiemetik yang efektif

dan dengan dampak terapi multimodal juga mungkin sangat berbeda. Dalam meta-analisis dari

MMPD,ondansetron dan deksametason lebih efektif daripada plasebo. Akan tetapi, droperidol

tampaknya tidak efektif untuk MMPD profilaksis. Dalam beberapa kombinasi studi dalam artikel ini,

kombinasi dengan menggunakan dua obat lebih efektif daripada obat tunggal. Sebagai contoh, jumlah

yang diperlukan untuk mengobati (NNT) dengan ondansetron 4 mg adalah 13, sedangkan untuk

kombinasi dari dua antiemetik, NNT adalah sekitar 5. Para penulis menyimpulkan bahwa penggunaan

rutin dua atau lebih antiemetik untuk MMPD pada pasien yang berisiko tinggi dibuktikan berhasil.

Data tentang khasiat tertentu antiemetik dan kombinasi masih kurang, sulit untuk membuat

kesimpulan yang definitif saat ini.

6 | P a g e

Kesimpulan

Algoritma multimodal yang direncanakan dimulai pada area pra operasi tersebut dapat secara

signifikan mengurangi kejadian MMPO. Ini meliputi strategi untuk penilaian risiko, pengurangan

risiko, dan terapi yang ditargetkan pada pencocokan risiko dengan nomor dari antiemetik diberikan.

Kebanyakan pasien datang dengan setidaknya satu kriteria Faktor resiko Apfel. Karena disebabkan

kedua baik dalam bentuk uang dan efek samping kecil dengan antiemetik ini, preferensi penulis

'adalah mulai dengan minimal dua antiemetik (umumnya deksametason 4 mg setelah induksi dan

ondansetron 4 mg 20 menit sebelum akhir operasi). Untuk ini penambahan antiemetik tambahan

tergantung pada faktor-faktor risiko lain. Sayangnya, khasiat tehnik multimodal dalam mencegah

MMPD masih belum jelas. Meskipun banyak faktor risiko yang sama membawa sampai pasien

keluar,namun masih belum pasti apakah pendekatan multimodal yang sama untuk MMPDNV juga

memiliki efektifitas yang sama.

Pendekatan multimodal untuk manajemen nyeri

Meskipun kemajuan dalam pemahaman tentang patofisiologi nyeri dan farmakoterapi, nyeri tetap

kurang dirawat dengan baik di perawatan inap dan rawat jalan . Pentingnya mengukur dan mengobati

7 | P a g e

nyeri akut pasca operasi tidak hanya karena bagaimana ianya suatu yang tidak menyenangkan,tapi

juga karena, jika kurang dirawat, ada risiko untuk perluasan rasa sakit menjadi kronis

Selain kekhawatiran berkepanjangan masa pemulihan dan rehabilitasi, nyeri masih

merupakan antara kekhwatiran tinggi pasien dan kekhawatiran dokter berhubung masalah pasca

bedah yang tidak inginkan.Konsekuensi dari rasa nyeri bisa sangat merusak untuk pasien. Insiden

nyeri ringan sampai sedang setelah berbagai tindakan operasi invasif adalah sekitar 62-65% dan

dengan skala analog visual tetap >4 di sekitar 10% dari pasien 7 hari setelah discharge. Namun,

kejadian perkembangan nyeri kronis bervariasi terhadap pembedahan. Hari ini, nyeri pasca operasi

akut diakui memiliki dua komponen, iaitu komponen inflamasi sebelumnya dan kemudian komponen

neuropatik hanya meringankan komponen peradangan pada pasien yang rentan mungkin tidak cukup;

menangani komponen nyeri neuropatik bisa sama-sama penting dalam pencegahan nyeri kronis.

Sama dengan pendekatan multimodal untuk MMPO pendekatan multimodal dalam

manajemen nyeri dikandung karena keterbatasan dalam terapi obat tunggal , yaitu opioid dan NSAID,

yang mana dapat meningkatnya insiden efek samping dengan dosis tinggi. Kehlet dan Dahl adalah

ilmuan yang pertama yang menemukan bahwa menggabungkan obat yang bekerja melalui

mekanisme yang berbeda menurunkan dosis analgesik,dengan nyeri lebih terkontrol, dan insiden efek

samping yang lebih rendah .Hal ini telah ditunjukkan dalam beberapa studi. Lagi mirip dengan

MMPO,pendekatan multimodal untuk manajmen rasa sakit dimulai dari area pra operasi.

Identifikasi faktor risiko untuk terjadi nyeri

Berbeda MMPO dengan kriteria Apfel, jelas faktor-faktor resiko untuk nyeri pasca operasi masih

belum teridentifikasi. Sementara faktor risiko kualitatif memang ada, terapi analgesik dasar pada

sejumlah faktor risiko tidak layak. Namun, identifikasi faktor risiko dan penilaian adalah masih sangat

penting untuk meminimalkan nyeri akut pasca operasi dan pengembangan menjadi nyeri kronis.

Banyak pasien yang datang untuk prosedur bedah melakukannya karena rasa sakit, dan rasa

sakit sebelum operasi adalah risiko yang diketahui faktor untuk nyeri pasca operasi. Oleh karena itu,

sebelum operasi menyeluruh dijalankan penilaian preoperasi adalah penting. Seperti disinggung

sebelumnya, operasi tertentu, bagian yaitu caesar, coronary arteri bybass grafting, perbaikan hernia

inguinal, operasi payudara, torakotomi, dan amputasi, memiliki insiden yang lebih tinggi

pengembangan menjadi nyeri kronis.

Kecemasan pra operasi telah berkorelasi dengan peningkatan nyeri pasca operasi. Meskipun

demikian, pengaruh terapi benzodiazepine pada nyeri pasca operasi adalah tidak jelas. Namun,

kejadian efek samping dari pemberian benzodiazepine adalah rendah. Hasil penggunaan lorazepam

8 | P a g e

pra operasi dapat mengurangi rasa sakit setelah histerektomi abdominal, dan perbaikan diri pasien

dilaporkan dalam setidaknya satu studi lain dengan administrasi dari midazolam pra operasi.

Ada beberapa penelitian tentang faktor genetik predisposisi untuk kedua nyeri pasca operasi

akut dan perkembangannya untuk nyeri kronis ini adalah studi kecil tanpa data yang cukup untuk

memungkinkan stratifikasi individu pasien di klinik pengaturan.

Toleransi opioid yang berasal dari penggunaan opioid kronis jangka panjang merupakan

faktor risiko penting untuk meningkatnya kompleksitas untuk mengobati nyeri akut pasca operasi.

Dengan demikian, suatu kuantifikasi penggunaan opioid selain bioavailabilitas penting dalam

perioperatif. Manajemen opioid pada pasien ini masih kontroversial; Namun,kejayaan penggunaan

analgesia multimodal telah berjaya dibuktikan

Wanita membutuhkan lebih analgesik dan juga lebih rentan untuk mengembangkan kepada

nyeri kronis. Beberapa operasi di atas lebih sering terjadi pada wanita, dan analgesia multimodal telah

digunakan untuk mengurangi perkembangan ke sakit kronis pada pasien ini.

Patofisiologi nyeri

Meskipun ada beberapa definisi dari rasa sakit, sebagian besar ahli setuju bahwa ianya adalah

pengalaman sensorik yang utama. Ada dua komponen utama yang berkontribusi terhadap perioperatif

nyeri, yaitu inflamasi dan nyeri neuropatik. Kedua keadaan ini berkongsi beberapa karekteristik

umum yang sama dan dapat mengalami baik bersama-sama atau terpisah

Sebuah stimulus nosiseptif dari sumber manapun, baik termal, mekanik, atau sebaliknya,

menyebabkan pelepasan beberapa zat inflamasi dalam jaringan yang terkena (Gbr. 4). Ini

menyebabkan sensitisasi saraf yang memasok area terpengaruh, sebuah fenomena yang dikenal

sebagai sensitisasi perifer. Karena masukan aferen ke sistem saraf pusat (CNS), SSP juga menjadi

peka, fenomena dikenal sebagai sensitisasi sentral. Kedua bentuk sensitisasi dimediasi melalui

berbagai neurotransmitter dan Sistem umpan balik (Gambar 4 dan 5). Mekanisme ini adalah

merupakan protektif utama di alam. Mekanisme yang terlibat dalam transmisi nyeri terpusat mediasi

ditunjukkan dalam Gambar 5. Secara umum, sebagai jaringan menyembuhkan fisiologis perubahan

berikutnya dari pembaikan radang nyeri

Perkembangan dari rasa nyeri radang akut menjadi nyeri neuropatik kronis kurang dipahami.

Ada tiga mekanisme yang penting bagi mediasi nyeri neuropatik kronis. Pertama adalah komponen

perifer dengan pelepasan beberapa mediator inflamasi yang bertanggung jawab untuk yang disebut

'gejala positif', termasuk hipersensitivitas, allodynia, dan eritema. Kedua adalah komponen utama,

melalui mekanisme wind-up, yang dimediasi melalui neuron tanduk dorsal dan melibatkan beberapa

daerah CNS. Ketiga adalah konsep plastisitas pusat, di mana baik kelebihan transmisi rangsang dan

9 | P a g e

hilangnya penghambatan transmisi menyebabkan suatu rentetan input SSP dari tanduk dorsal cord

tulang belakang. Meskipundengan model yang sederhana, patofisiologi nyeri neuropatik tetap kurang

dipahami, dan beberapa mekanisme tetap harus dijelaskan.

Konsep analgesia pre-emptive berfokus terutama pada waktu awal terapi analgesik,

sedangkan analgesia pencegahan berfokus terutama pada waktu, durasi, dan kemanjuran terapi

analgesik .literatur tubuh signifikan yang mendukung analgesia pre-emptive sudah ditarik, sehingga

menciptakan ambiguitas tentang kemanjuran teknik ini. model preventif analgesia telah menunjukkan

manfaat klinis, dan merupakan dasar untuk teknik multimodal.Tehnik Multimodal yang

mempertahankan nitrogen total tubuh dan meningkatkan pemulihan pasca operasi dan rehabilitasi.

Pendekatan multimodal untuk manajemen nyeri

Opioid masih tetap menjadi andalan manajemen nyeri perioperatif (Gbr. 6). Sementara kebijakan

penggunaan mereka menawarkan analgesia melalui mekanisme sentral dan perifer, terkait dengan

banyak efek samping termasuk peningkatan insiden MMPO, sedasi, mengantuk, dan pruritus, yang

10 | P a g e

menunda debit dan menambahkan biaya untuk perawatan pasca operasi . Selain itu, ada data hewan

yang menunjukkan potensiasi oleh opioid terhadap pertumbuhan tumor dan angiogenesis tumor. Hal

ini diyakini bahwa diatur melalui m-opioid receptor. Sebuah konsekuensi untuk konsep ini telah

ditarik pada dua studi retroseptif antara kanker payudara dan kanker prostat.Ketika anestesi regional

digunakan sebagai pengganti analgesia opiod pasca operasi ,tingkat kekambuhan dan metastasis untuk

kanker payudara lebih rendah, dan risiko kekambuhan prostat kanker menurun bersamaan.

NSAID, termasuk COX-2 inhibitor, memberikan opioid-sparing (Mengurangi persyaratan

dosis opioid) dan mengurangi beberapa efek samping terkait-opioid. Apabila perdarahan adalah

kepedulian terhadap prosedur pembedahan (misalnya tonsilektomi), penggunaan NSAID non-selektif

harus dielakkan. Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa profil keamanan selektif COX-2 inhibitor

dalam pengaturan ini dapat sangat berguna. Setelah penarikan beberapa produk COX-2 risiko

kardiovaskular jangka panjang, penggunaannya dalam pengaturan pasca operasi akut juga

dipertanyakan. Sebuah editorial menunjukkan yang ada masih tetap ada manfaat segera dan menengah

dari penghambat COX-2 yang diberikan dalam jangka waktu singkat seperti nyeri pasca operasi,

meskipun sisa-sisa manfaat jangka panjang masih tidak jelas. Ada peningkatan risiko kardiovaskular

pada pasien yang menerima jangka pendek penghambat COX-selektif setelah operasi non-kardial

Dalam sebuah studi besar, ketika ibuprofen (non-selektif NSAID) oral dibandingkan dengan

celecoxib (COX-2 inhibitor), keduanya sama berkhasiat dalam pengurangan rasa nyeri pasca operasi,

sembelit, dan keperluan awal untuk penyelamatan analgesia. Dengan demikian, di mana perdarahan

adalah risiko yang minimal, NSAID non-selektif merupakan pilihan yang paling tepat, tetapi jika

perdarahanmerupakan suatu kekhawatiran, COX-2 inhibitor harus digunakan.

Ketamine, karena cara kerjanya yang unik , telah dipelajari secara ekstensif, khususnya dalam

literatur ortopedi. Dosis kecil (0,15 mg/kgbb/ iv) meningkatkan pemulihan pasien arthroscopy.rawat

jalan. Dalam sebuah analisa besar, ketamin adalah opioid-sparing dengan insiden rendah terjadinya

efek samping. Ketika. Ketamin intravena ditambahkan ke dalam regimen multimodal yang termasuk

analgesia epidural pasca operasi, perkembangan untuk menjadi sakit kronis berkurang. Juga, ketamine

apabila ditambahkan ke rejimen multimodal epidural meningkatkan efek analgesia, menunjukkan

bahwa kemanjurannya tidak terbatas pada hanya rute i.v sahaja. Efek ketamin oral pada nyeri kronis

kompleks, dan ada berbagai tingkat keberhasilan tergantung pada jenis administrasi awal Ketamin

pada nyeri kronis tampaknya penting dalam pencegahan sakit kronis. Dextromethorphan adalah satu

lagi N-metil-D-aspartat-jenis antagonis reseptor glutamat yang mencegah wind-up sentral dan

memiliki mekanisme aksi antinociceptive lainnya. Meskipun cukup banyak penelitian tentang

penggunaannya, hasilnya tetap diperdebatkan.

Gabapentin telah dipelajari dalam beberapa percobaan kecil yang telah dianalisa dalam

beberapa meta-analisa yang besar. Meskipun menunjukkan efek opioid-sparing, superior analgesia

11 | P a g e

pasca-operasi akut, dan penurunan skor nyeri, penurunan efek samping terkait-opioid tidak

diperhatikan.Data yang paling menguntungkan dari efek samping yang paling sedikit berasal dari

dosis tunggal 1200mg gabapentin diberikan pada pra operasi tersebut. Efek ini hanya ditampilkan

dalamt Pengaturan pasca operasi akut; gabapentin belum terbukti menurunkan perkembangan ke nyeri

kronis. Pregabalin adalah dievaluasi sebagai bagian dari rejimen multimodal total operasi lutut

artroplasti, dan dilanjutkan selama 14 hari ke periode pasca operasi. Ada penurunan signifikan secara

statistic menjadi sakit kronis pada 6 bulan, namun terdapat peri dan pasca operasi konfusi segera dan-

obat penenang terkait isu yang dikaitkan dengan dosing. Mirip dengan COX-2 inhibitor, beberapa

artikel ditarik pada pregabalin membawa rutin digunakan dipertanyakan sebagai bagian dari rejimen

multimodal, dan dengan demikian studi lebih dijamin. Orang mungkin mengharap kerjanya untuk

mirip dengan gabapentin. Antidepresan Venlafaxine, jika diberikan sebelum operasi / perioperatif,

mengurangi perkembangan rasa sakit pasca-mastektomi; Namun, penelitian ini tidak tidak

menggunakan analgesik regimen multimodal. Oleh karena itu, diperlukan lebih penelitian dengan

antidepresan sebelum kesimpulan yang pasti dapat dibuat untuk peran mereka dalam pencegahan

analgesia

12 | P a g e

Dua dari alpha-2 agonis telah dipelajari sebagai bagian dari rejimen multimodal:

dexmedetomidine dan clonidine. Dexmedetomidine telah terbukti mengurangi efek samping-opioid

yang terkait, meningkatkan analgesia, dan tanpa efek samping bila digunakan untuk mengontrol rasa

sakit pasca operasi akut sebagai bagian dari sebuah regimen analgesia intravena pasien. Ketika

digunakan analgesia pasca operasi dan pemulihan, dexmedetomidine ditambah morfin dibandingkan

dengan morfin saja menunjukkan sebuah efek aditif Dexmedetomidine sebagai bagian dari

perioperatif sebuah rejimen analgesik menurunkan opioid, MMPO, dan lama tinggal pasca operasi

I.V. clonidine, pada sebaliknya, tidak menunjukkan setiap keberhasilan dalam pengobatan nyeri pasca

operasi.Namun, bila digunakan melalui rute neuraksial, clonidine sebagai bagian dari sebuah

multimodal Rezim efektif dalam mengurangi baik rasa sakit pasca operasi akut dan pengembangan

menjadi nyeri kronis.

Anestesi regional, apakah neuraksial, melalui blok saraf perifer, atau keduanya, merupakan

komponen penting dari sebuah rejimen. multimodal .Bila menggunakan anestesi regional, tidak hanya

modalitas, tetapi juga durasi terapi yang penting. Administrasi anestesi lokal ke dalam luka telah

dipelajari sebagai bagian dari rejimen multimodal di operasi laparoskopi. Meskipun ada manfaat

segera dalam pasca operasi periode (hingga 4 jam), perbedaan ini kurang jelas lebih menurut masa.

Hasil dari single-shot Studi blok saraf perifer juga membuktikan efek ini, dengan nyeri pasca operasi

awal, tapi persentase yang tinggi pasien memerlukan terapi nyeri adjuvant pada 24 jam dan sampai 7

hari. Ketika kateter perineural terus menerus (dari 2 sampai 7 hari) yang digunakan dalam kombinasi

dengan NSAID,analgesia pasca operasi diatas 24 jam sangat bagus. Clonidine, ketika ditambahkan

sebagai bagian dari single-shot blok ekstremitas atas saraf, meningkatkan durasi block aksi

13 | P a g e

Dalam meta-analisis, penggunaan anestesi regional menurunkan kematian penyebab apapun

dan beberapa morbiditas indices. Oleh karena itu, penggunaan anestesi neuraksial saat yang tepat

mungkin memiliki beberapa efek independen dalam mengontrol nyeri. Anestesi epidural (lanjutan

setelah operasi) dikombinasikan dengan anestesi umum lebih unggul berbanding anestesi umum saja

dalam beberapa hasil akhir. Ada juga data yang menunjukkan bahwa dalam operasi torakotomi, yang

berisiko tinggi untuk nyeri kronis, penggunaan perioperatif analgesia epidural menurunkan kejadian

nyeri kronis. Neuraksial analgesia tidak bermanfaat dalam mengurangi perkembangan nyeri kronis

untuk semua operasi yang berisiko tinggi; namun, data studi yang kecil dan lebih lanjut anestesi

spinal lebih diperlukan dibandingkan dengan anestesi umum untuk histerektomi untuk menurunkan

kejadian nyerit kronis dalam satu analysis retrospektif . Nitrous oxide juga telah disarankan untuk

mengurangi kejadian dan perkembangan untuk nyeri kronis; namun, studi lebih lanjut adalah

diperlukan.

Terdapat nilai menggunakan beberapa agen farmakologis sebagai bagian dari blok neuraksial.

Penambahan clonidine ke bupivacaine a /Solusi fentanil signifikan mengurangi rasa sakit, tetapi efek

samping yang tercatat yang terjadi tergantung dosis untuk meningkatkan kekhawatiran terhadap

clonidine. Hipotensi lanjut telah menyebabkan penggunaan yang terbatas clonidine pada populasi

obstetri. Namun, setidaknya dalam satu studi tidak menunjukkan gejala sisa yang merugikan karena

penggunaanya. Kombinasi optimal dari bupivakain, fentanyl, klonidin, dan kadarinfus telah

ditentukan. Kombinasi yang menyediakan peredaan nyeri terbesar pada kadar di infus terendah

adalah 9 mg bupivakain H-1, H-1 21 mg fentanyl, dan 5 mg H-1 clonidine infus 7 ml H-1.

Nyeri pasca operasi juga dapat dikurangi dengan nonfarmakologi adjuvant. Transcutaneous

electrical nerve stimulasi (TENS), bila digunakan pada frekuensi sub-berbahaya atas area luka,

mengurangi konsumsi analgesik pasca operasi. Pendinginan luka Peri dan pasca operasi secara

signifikan mengurangi konsumsi analgesik pasca operasi tanpa peningkatan kadar infeksi pada

luka.Suatu studi menyarankan fungsi haba telah terhadap sensitisasi perifer. Namun, penelitian lebih

lanjut diperlukan untuk semua modalitas di atas sebelum kesimpulan yang pasti bisa dibuat

Singkatnya, rezim nyeri anestesi harus dimulai di daerah pra operasi dengan penilaian pasien

dan komunikasi terperinci dengan ahli bedah tentang jenis operasi dan pendekatan yang diusulkan.

Semakin banyak faktor risiko kualitatif pasien miliki, semakin agresif ahli anestesi harus bertindak

dalam manajemen pencegahan nyeri mereka. Regional anestesi, baik neuraksial atau blok saraf

perifer, harus selalu dipertimbangkan jika memungkinkan. Penerobosan nyeri baik dijelaskan dalam

rasa sakit kronis dan sastra kanker, dan sama terjadi dalam situasi pasca operasi akut. Itu adalah

terbaik dikelola dengan onset cepat, agen pendek berlangsung (misalnya fentanil dalam pemulihan

ruangan) atau agen dari kelas yang berbeda dari yang sebelumnya diberikan.

14 | P a g e

Untuk nyeri ringanl dari operasi kecil, penulis merekomendasikan acetaminophen, NSAID,

atau keduanya, anestesi local infiltrasi luka, dan terapi opioid intraoperatif. Terapi non-farmakologis

(misalnya TENS, paket pendinginanme

Untuk nyeri sedang diharapkan, penulis menyarankan dua sampai tiga agen yang akan

digunakan intraoperatif, termasuk daerah anestesi. Kombinasi opioid dan NSAID harus juga

dipertimbangkan untuk manajemen nyeri pasca operasi.

Untuk sakit parah diharapkan, penulis menyarankan bahwa anestesi regional harus sangat

dipertimbangkan kecuali dengan kontraindikasi, dengan infus multi agen dan meninggalkan regional

kateter di tempat. Manajemen intraoperatif juga harus terdiri dari rejimen multimodal agen yang

aggresif, dengan perhatian segera dan pengobatan nyeri pasca operasi.

Pada pasien dengan riwayat penggunaan opioid kronis atau di mana risiko sakit kronis tinggi,

baik ketamin dan regional anestesi harus dipertimbangkan baik intraoperatif dan setelah operasi.

Kesimpulan

Pendekatan multimodal yang direncanakan untuk manajemen nyeri bisa secara signifikan mengurangi

rasa sakit pasca operasi akut dan perkembangannya menjadi nyeri kronis. Blokade keduanya baik

perifer dan sensitisasi sentral si melalui penggunaan beberapa agen dan pendekatan sangat penting.

Jumlah agen digunakan adalah penting; Namun, durasi terapi juga penting untuk memastikan

analgesia yang dilanjutkan ke periode pasca operasi untuk memastikan mobilisasi dan pemulihan.

Meskipun ada data mendukung beberapa agen individu dan modalitas dalam mengurangi

pengembangan menjadi nyeri kronis, namun studi lebih lanjut diperlukan untuk menggambarkan

faktor-faktor risiko yang tepat dan kombinasi obat yang optimal dalam mencegah terjadinya nyeri

kronis.

15 | P a g e