Jokowi dan Raffi Dalam Perspektif Budaya Populer.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Jokowi dan Raffi Dalam Perspektif Budaya PopulerEnam belas tahun pasca reformasi, dinamika budaya populer terus berkembang pesat di Indonesia. Kebudayaan yang dibentuk oleh mitos sebagai sesuatu yang dangkal, instan, serta meminggirkan wacana atau esensi yang dikandungnya ini, perlahan-lahan merasuk ke ranah politik nasional.Sistem politik Indonesia yang berasaskan demokrasi, tak ubahnya seperti pisau bermata dua. Di satu sisi dapat mengangkat kedaulatan rakyat, namun di sisi lain juga dapat merugikan rakyat dengan adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan elit politik. Hal itulah yang sedang terjadi dewasa ini. Pemilihan langsung sebagai mekanisme memilih wakil rakyat kerap hanya menjadi ajang adu popularitas serta diwarnai praktik-praktik money politik. Tak heran, banyak dari kalangan selebriti dan artis yang kurang kompeten dan kapabel berhasil menduduki kursi lembaga legislatif hanya karena popularitas semata.

sumpah presiden; akad nikahHal ini tentunya tak lepas dari peran media, khususnya Televisi. Siaran TV pada dasarnya merupakan sumber pengetahuan populer bagi suatu masyarakat untuk saling berhubungan dalam wilayah yang tidak terbatas. TV menjadi bagian konstruksi selektif pengetahuan sosial yang digunakan untuk mempersepsi realitas kehidupan orang lain, dan secara imajiner mengkonstruksi hidup kita dan mereka menjadi semacam keseluruhan dunia yang masuk akal bagi kita (Hall dalam Irianto, 1977:140). Dengan kata lain, tayangan TV mampu mereproduksi representasi realitas yang kemudian terakomodasi dalam praktik sosial kita.

Sebagai media yang senantiasa mengakomodasi praktik sosial, tayangan TV menjadi sarana interaksi dan negosiasi yang kompleks dan dinamis dari sejumlah pelaku baik yang meproduksi maupun yang merspons produksi yang masing-masing memiliki kepentingan, baik politik, ekonomi maupun kepentingan lainnya. (Irianto, 2011:2)

Diasadari atau tidak, adanya tarik-menarik kepentingan dalam industri TV berimplikasi pada program dan tayangan yang disajikan. Kepentingan ekonomis biasanya terekspresikan dalam tayangan-tayangan yang sifatnya menghibur atau hura-hura semata, seperti infotaiment, gosip dan sebagainya. Sementara kepentingan politis dapat berupa berita, talkshow dan sebagainya, yang bertendensi menaikan elektabilitas partai atau tokoh politik tertentu. Dari sini kemudian muncul istilah kekasih media atau media darling.

Menyinggung soal kekasih media, agaknya nama yang pas untuk diperbincangkan dalam kurun waktu belakangan ini ialah Joko Widodo. Sebab pemberitaan media tentang dirinya, menurut saya. sudah di luar batas kewajaran. Wajahnya bahkan lebih sering menyapa pemirsa televisi maupun pembaca surat kabar dan media online dibanding SBY, presiden RI yang menjabat saat itu.

Fenomena Jokowi sebagai kekasih media sudah terasa sejak beliau mengikuti pilkada Jakarta 2012. Setelah resmi terpilih sebagai gubernur ibukota, porsi pemberitaannya terus melonjak. Tidak heran jika popularitasnya menanjak. Ujung-ujungnya elektabilitas pun terdongkrak. Walhasil, dalam pilpres kemarin ia berhasil menyingkirkan lawan politiknya Prabowo Subianto dan terpilih sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia.

Bagi media, sosok Jokowi memang memiliki news value yang tinggi. Di kalangan jurnalis, ada adagium name make news, nama membuat berita. Dengan mudah kita temui berita-berita seputar Jokowi baik di televisi dan surat kabar baik cetak maupun elektronik. Semua dilakukan demi komersialisasi sistemik yang berjalan mengikuti logika pasar. Jokowi tak ubahnya selebriti.

Kemunculan Jokowi sebagai fenomena budaya populer bukanlah tanpa alasan. Jika mengacu pada pandangan Yasraf Amir Piliang tentang kebudayaan populer, bahwa budaya populer dibangun oleh imajinasi populer secara sadar oleh orang atau sekelompok orang, untuk membedakan mereka dengan orang-orang lainnya, dengan ciri sifat-sifatnya yang murahan, rendah, dasar, vulgar, umum, rata-rata, atau rakyat kebanyakan serta digunakan untuk menghimpun massa dalam berbagai wacana massa populer. Maka, kesuksesan Jokowi dalam mengelola opini media massa melalui kerjanya sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan sebuah fenomena budaya populer.

Jika disandingkan dengan Raffi Ahmad pun, Jokowi tak kalah populer. Terbukti dengan hasil pencarian google terhadap nama keduanya. Setidaknya terdapat 931.000 hasil pencarian untuk Pelantikan Jokowi- sebagai presiden. Sedangkan untuk Pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina menghasilkan 660.000 hasil pencarian.

Hal ini menunjukan bahwa rasa penasaran publik yang tinggi terhadap Jokowi dan Raffi Ahmad telah menjadi katalisator news value keduanya. Bagi pemilik media, televisi khususnya, tayangan-tayang terkait Jokowi dan Raffi dapat dijadikan alat untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, para pemilki media ini kemudian berperan menjadi perumus realitas (definer of reality). Artinya, ideologi atau kepentingan para subjek pelaku media akan menelusup melalui tayangan yang diproduksi dan direproduksinya. Sebagai salah satu teks, tayangan TV bukan hasil rangkaian realitas, melainkan representasi yang terseleksi dan terkonstruksi serta menjadi bagian yang turut membentuk realitas. (Irianto, 2011:3)

Sejurus dengan itu, faktanya, memang banyak media massa yang masih memihak pada pelaku kapitalisme atau pemilik modal. Konstruksi wacana yang ditawarkan pun lebih memilih pihak pemilik modal. Pemberitaan menjadi tanpa arah dan seolah-olah membiarkan demokratisasi budaya menjadi mampat. Akibatnya, lewat logika budaya populer yang sesaat, bersifat dangkal, dan sesuai selera massa. Maka, tak aneh, anak muda sebagai basis target paling empuk dari budaya populer menjadi massa yang labil, inotentik, dan tanpa identitas.

Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah, apakah ini yang menjadi kausa mayoritas pemilih muda memilih Jokowi? Jika benar demikian, artinya, televisi sebagai elemen budaya populer berhasil merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat secara terstruktur dan sistematis.

Kecemasan bukan tanpa alasan. Ketika pers dan media sebagai pilar keempat demokrasi dikendalikan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, maka demokrasi yang mengantarkan rakyat menuju kesejahteraan bisa jadi hanya utopia belaka.