14
Yayasan Bina Cendekia Indonesia JIWA DALAM PERSFEKTIF FILSAFAT & ISLAM Hasanudin Arinta Kusrin

JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk jiwa dalam tubuh manusia atau kejiwaan manusia. Secara etimologis, psikologi diambil dari bahasa Inggris psychology yang berasal dari bahasa Yunani Psyche yang berarti Jiwa (Soul, Mind) dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi diskursus tentang psikologi adalah membicarakan, mengkaji dan menganalisa tentang jiwa pada manusia.Sebelum menjadi ilmu yang dipelajari tersendiri pada tahun 1879, psikologi telah menjadi obyek kajian dari filsafat dan ilmu faal. Filsafat itu sendiri adalah ilmu yang sangat tua mendalami masalah gejala-gejala kejiwaan atau ‘jiwa manusia’ sejak 500 atau 600 sebelum masehi yaitu berupa pemikiran-pemikiran dari filosof-filosof Yunani kuno, diantaranya ; Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).Pada era “Renaisance Filsafat”, Rene Descartes (1596-1650), seorang filosof Perancis yang diakui sebagai peletak dasar-dasar filsafat modern juga mendefinisikan bahwa ilmu jiwa yang dikenal sebagai psikologi adalah ilmu tentang kesadaran. Di Inggris, John Locke (1623-1704) mengatakan bahwa jiwa tersusun atas elemen-elemen yang sederhana dalam bentuk ide-ide yang muncul dari pengalaman indrawi yang kemudian bersatu dan berkaitan satu sama lain membentuk melalui asosiasi-asosiasi. Generasi selanjutnya adalah George Berkeley (1685-1753) yang mengemukakan pendapatnya bahwa psikologi adalah ilmu tentang penginderaan atau persepsi.Para ahli ilmu faal yang umumnya adalah dokter-dokter medis yang tertarik dengan masalah kejiwaan manusia berbarengan dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa. Mereka berpendapat bahwa jiwa sangat erat hubungannya dengan susunan saraf dan refleks-refleks. Sir Charles Bell (1774-1842) dan Francois Magandie (1783-1855) adalah dokter-dokter ilmuwan Inggris dan Perancis yang menentukan saraf-saraf sensoris (penginderaan) dan saraf-saraf motorik yang mempengaruhi gerak dan kelenjar-kelenjar. Kemudian ada Paul Broca (1824-1880) ilmuwan Jerman yang mengkaji pusat bicara pada otak manusia, sedangkan tentang meknisme refleks pada manusia dikaji oleh ilmuwan Inggris yang bernama Marshall Hall (1790-1857).Setelah diketahui beberapa penemuan-penemuan baru tentang hubungan jiwa dan tubuh manusia, muncullah beberapa definisi psikologi yang kemudian berkembang dalam pengertian tingkah laku atau perilaku manusia yang akhirnya menjadikan psikologi sebagai sebuah ilmu tentang perilaku manusia.Dalam persfektif Islam, Psikologi adalah ilmu tentang ‘nafs’ yang berarti ‘Jiwa’ . Nafs atau Jiwa tidak tumbuh dan berkembang sebagai ilmu pengetahuan yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan semata, melainkan mengkaji dan menganalisa fenomena kejiwaan dalam konteks sistem kerohanian yang berhubungan sangat erat secara vertikal dengan Allah (Tuhan) dimana Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi) sebagai landasan dan rujukan ilmiahnya. Nafs dibahas secara multidimensi sehingga berkembang kepada tahap khazanah keilmuan tasawuf (sufism) dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, disamping ‘kata nafs’ juga banyak disebut dan berkaitan serta senafas dengan kata ‘nafs’ adalah ‘ qalb, aql, ruh, fuad, dan bashirah’ yang semuanya berkaitan banyak dengan jiwa manusia tidak hanya sebagai fenomena perilaku semata tetapi juga dikaji sebagai psikologi kepribadian, psikologi falsafi dan psikologi tasawufi.

Citation preview

Page 1: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

Yayasan Bina Cendekia Indonesia

JIWA DALAM PERSFEKTIF FILSAFAT & ISLAMHasanudin Arinta Kusrin

Page 2: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

PENDAHULUAN

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk jiwa dalam tubuh manusia atau kejiwaan manusia. Secara etimologis, psikologi diambil dari bahasa Inggris psychology yang berasal dari bahasa Yunani Psyche yang berarti Jiwa (Soul, Mind) dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi diskursus tentang psikologi adalah membicarakan, mengkaji dan menganalisa tentang jiwa pada manusia.

Sebelum menjadi ilmu yang dipelajari tersendiri pada tahun 1879, psikologi telah menjadi obyek kajian dari filsafat dan ilmu faal. Filsafat itu sendiri adalah ilmu yang sangat tua mendalami masalah gejala-gejala kejiwaan atau ‘jiwa manusia’ sejak 500 atau 600 sebelum masehi yaitu berupa pemikiran-pemikiran dari filosof-filosof Yunani kuno, diantaranya ; Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).

Pada era “Renaisance Filsafat”, Rene Descartes (1596-1650), seorang filosof Perancis yang diakui sebagai peletak dasar-dasar filsafat modern juga mendefinisikan bahwa ilmu jiwa yang dikenal sebagai psikologi adalah ilmu tentang kesadaran. Di Inggris, John Locke (1623-1704) mengatakan bahwa jiwa tersusun atas elemen-elemen yang sederhana dalam bentuk ide-ide yang muncul dari pengalaman indrawi yang kemudian bersatu dan berkaitan satu sama lain membentuk melalui asosiasi-asosiasi. Generasi selanjutnya adalah George Berkeley (1685-1753) yang mengemukakan pendapatnya bahwa psikologi adalah ilmu tentang penginderaan atau persepsi.

Para ahli ilmu faal yang umumnya adalah dokter-dokter medis yang tertarik dengan masalah kejiwaan manusia berbarengan dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa. Mereka berpendapat bahwa jiwa sangat erat hubungannya dengan susunan saraf dan refleks-refleks. Sir Charles Bell (1774-1842) dan Francois Magandie (1783-1855) adalah dokter-dokter ilmuwan Inggris dan Perancis yang menentukan saraf-saraf sensoris (penginderaan) dan saraf-saraf motorik yang mempengaruhi gerak dan kelenjar-kelenjar. Kemudian ada Paul Broca (1824-1880) ilmuwan Jerman yang mengkaji pusat bicara pada otak manusia, sedangkan tentang meknisme refleks pada manusia dikaji oleh ilmuwan Inggris yang bernama Marshall Hall (1790-1857).

Setelah diketahui beberapa penemuan-penemuan baru tentang hubungan jiwa dan tubuh manusia, muncullah beberapa definisi psikologi yang kemudian berkembang dalam pengertian tingkah laku atau perilaku manusia yang akhirnya menjadikan psikologi sebagai sebuah ilmu tentang perilaku manusia.

Dalam persfektif Islam, Psikologi adalah ilmu tentang ‘nafs’ yang berarti ‘Jiwa’ . Nafs atau Jiwa tidak tumbuh dan berkembang sebagai ilmu pengetahuan yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan semata, melainkan mengkaji dan menganalisa fenomena kejiwaan dalam konteks sistem kerohanian yang berhubungan sangat erat secara vertikal dengan Allah (Tuhan) dimana Al-Quran

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

2

Page 3: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

dan As-Sunnah (Hadits Nabi) sebagai landasan dan rujukan ilmiahnya. Nafs dibahas secara multidimensi sehingga berkembang kepada tahap khazanah keilmuan tasawuf (sufism) dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, disamping ‘kata nafs’ juga banyak disebut dan berkaitan serta senafas dengan kata ‘nafs’ adalah ‘ qalb, aql, ruh, fuad, dan bashirah’ yang semuanya berkaitan banyak dengan jiwa manusia tidak hanya sebagai fenomena perilaku semata tetapi juga dikaji sebagai psikologi kepribadian, psikologi falsafi dan psikologi tasawufi.

PERSPEKTIF FILSAFAT tentang JIWA

Filosof Yunani Kuno berusaha memahami dan membuktikan gejala kejiwaan yang ada pada manusia melalui mitologi dengan cara spekulatif karena keterbatasan penginderaan dan penalaran ilmiah pada masa itu untuk memenuhi hasrat keingintahuannya.

Perbedaan pandangan dan pendapat tentang jiwa juga terjadi diantara para filosof Yunani, membentuk aliran pemikiran filsafat idealisme dan materialisme. Secara global, Aristoteles (384-322 SM) misalnya telah mengumpulkan beberapa pendapat para filosof Yunani sebelumnya atau terdahulu tentang jiwa dan menjelaskan perbedaan-perbedaannya pada makhluk hidup dan makhluk yang tidak hidup.

Sebelumnya, Socrates (469-399 SM) mengatakan bahwa jiwa merupakan wujud ruhani yang bebas atau lepas (independen) yang jika diabaikan akan menimbulkan kebodohan dan akan merusak pemikiran, maka agar kebodohan itu tidak terjadi siapapun harus berfikir tentang jiwa. Mengenali jiwa menurut Socrates adalah pengetahuan yang pertama kali harus dimiliki atau dilakukan oleh manusia, jika tidak ingin bodoh. Socrates sendiri meyakini dan menginterpretasi tabiat jiwa serta kekekalannya dan berkesimpulan bahwa jiwa bersifat kekal sedangkan jasad akan fana (rusak). Dalam mempertahankan pendapatnya tersebut akhirnya Socrates bersedia dihukum mati (gantung) daripada mengakui kesalahan pendapatnya yang diperoleh setelah menganalisa jiwanya dan jiwa orang lain, yang ternyata berbeda dengan pemahaman ‘penguasa gereja’ pada masa itu.

Menyempurnakan pendapatnya Socrates tentang jiwa serta kekekalannya, Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak mampu untuk mengenal jiwanya, kecuali ia dalam keadaan bebas dari perbuatan dosa dan segala bentuk kejahatan; sebagai akibat keterkaitan jiwa dengan jasad. Menurut Plato jiwa adalah substansi independen dari anggota tubuh yang keduanya berhubungan antara jiwa dan jasad ibarat hubungan antara seorang nakhoda dengan kapal laut, dimana nakhoda berfungsi sebagai pengatur jalannya atau bergeraknya kapal laut dan menjaganya dari terpaan gelombang dan badai laut.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

3

Page 4: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

Plato juga mengatakan bahwa jiwa itu berada diantara dua alam, yaitu alam tinggi (alam ide) dan alam bawah (alam rasa), yang pada awalnya menyatu dalam kesatuan, kemudian terpecah setelah jatuh ke tanah menjadi beberapa bagian. Menurutnya jiwa itu sejak turun ke alam yang rendah yaitu alam perasaan, jiwa berusaha untuk mensucikan dirinya agar mampu kembali ke alam awalnya yakni alam tinggi (alam ide). Dengan cara itu jiwa akan berusaha untuk dapat lepas dari ikatan-ikatan jasad dan naik kembali ke alam yang mulia yaitu alam ide dimana jiwa berasal. Tentang kekekalan jiwa, Plato meyakini bahwa ‘kehidupan dan gerak’ adalah dasar dari tabiat jiwa manusia, dimana ketika kehidupan itu bergerak dalam jasad manusia itu berarti jasad manusia itu hidup dan jiwa merupakan sumber dari gerak jasad manusia. Sebaliknya jika jiwa meninggalkan jasad berarti kefanaan (awal kerusakan) dan perpisahan dengan jasad terjadi.

Sedangkan Aristoteles (384-322 SM) dalam membahas jiwa melihat dari dua sisi yaitu perasaan dan gerak, dimana semua filosof Yunani Kuno mengatakan bahwa makhluk hidup itu bergerak dan yang menggerakkan adalah jiwa. Jiwa ini yang membedakan dengan makhluk yang tidak hidup. Jadi jiwa menurut para filosof tersebut adalah penggerak dan bergerak. Thales (624-548 SM) yang dikenal sebagai Bapak Filsafat adalah filosof Yunani pertama yang mengatakan bahwa jiwa adalah kekuatan penggerak yang berjalan di seluruh bagian jasad makhluk hidup. Sebagian filosof Yunani lainnya mengatakan bahwa jiwa adalah jasad yang sangat halus bertabiat panas yang bergerak dan menggerakkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Heraklitos bahwa jiwa selalu bergerak. Filosof lainnya juga ada yang mengatakan bahwa jiwa itu air, jiwa itu debu, jiwa itu udara, jiwa memiliki sifat yang antagonistis yaitu cinta dan benci serta ada yang mengatakan bahwa jiwa itu terdiri dari dzat api yang sangat halus sehingga dapat masuk ke segala benda. Pitagoras, Demokritos serta Lucius mengatakan bahwa jiwa itu adalah api yang memiliki sifat panas.

Aristoteles mengatakan, bahwa yang menyebabkan mereka berpendapat seperti itu adalah; karena mereka tidak melihat suatu penggerak, kecuali jiwa itu sendiri yang bergerak. Dengan demikian, pendapat mereka masih rancu dalam memberikan pengertian antara “penggerak” dan “yang digerakkan”. Jika kita cermati perbedaan kedua istilah di atas, dimana sesuatu yang menggerakkan bukanlah sesuatu yang digerakkan (bergerak), maka atas dasar pemikiran inilah filosof kuno Yunani mengatakan : bahwa gerak dalam jiwa itu bersifat spontan. Dan juga mengatakan, bahwa jiwa itu tercipta dari komposisi materi.1

Aristoteles juga menyitir pendapat Plato dan alirannya yang menyatakan bahwa jiwa memiliki sifat untuk mengetahui segala sesuatu dan sebagai penggerak serta menggerakkan dirinya sendiri dan menginterpretasikan akal, daya pengenalan (ma’rifat) akal, dugaan, dan perasaan dengan bilangan yang menafsirkan fungsi jiwa tersusun dari beberapa unsur.

1 Dr.Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf-Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta : 2004. h.24-5.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

4

Page 5: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

Atas dasar ini Aristoteles mengatakan, bahwa jiwa menurut Plato terbentuk dari unsur-unsur yang sama dengan unsur-unsur terbentuknya jasmani. Dari analisa di atas, tampaknya Aristoteles tergolong aliran natural Plato tentang jiwa, sekalipun masih terdapat perbedaan antara persepsi mengenai jiwa antara Aristoteles dengan para filosof Yunani yang lain di dalam membicarakan unsur-unsur terciptanya jiwa, dimana Aristoteles tidak membicarakan tentang unsur-unsur materi dari terciptanya jiwa. Sebab, jiwa itu sendiri telah terdapat di dalam materi-materi dimaksud. Dengan demikian, aliran Plato menurut Aristoteles tunduk kepada kaidah-kaidah umum yang mengatakan, bahwa jiwa itu tercipta dari unsur-unsur benda, yang mana unsur-unsur benda itu merupakan unsur-unsur terciptanya jasmani. Hal ini didasarkan kepada satu alasan, bahwa “sesuatu yang serupa akan mengenal sesuatu yang serupa pula.” Sementara Pitagoras dengan para filosof Yunani pada umumnya mengatakan tentang akal dan membedakan antara akal dengan jiwa. Akal menurut Pitagoras berbeda dengan akal menurut Democritus, dimana Pitagoras mengatakan akal itu sebagai penyebab kebaikan dan keteraturan. Dan yang dapat menyatukan antara akal dengan jiwa adalah perasaan. Akal menurut Pitagoras merupakan dasar dan segala bentuk makhluk hidup, dan akal bersifat halus, murni serta bersih, dimana akal menurutnya sebagai pangkalan ma’rifat (pengenalan awal, ed.) dan gerak. Akan tetapi, pendapat Pitagoras menurut Aristoteles masih kabur, dimana Pitagoras tidak menerangkan secara detail tentang akal; bagaimana cara kerja akal dalam mengenal obyek, dengan apa akal itu menenal suatu obyek?. Menurut Aristoteles, Pitagoras di dalam membicarakan akal sangat global, sehingga tidak menerangkan tentang sebab maupun tabiat dari akal itu sendiri.2

Secara umum, filosof Yunani memberikan sifat tentang jiwa dengan tiga sifat, yaitu: Gerak, perasaaan dan bukan jasmani. Dimana sifat dari sifat-sifat di atas kembali kepada unsur-unsur yang telah dikatakan oleh masing-masing filosof Yunani tentang jiwa, kecuali Pitagoras. Kesimpulannya, selama mereka mengatakan bahwa yang serupa akan mengenal hal serupa juga, maka seharusnya jiwa itu terbentuk dari semua unsur, dimana unsur-unsur tersebut adalah topik dari pengenalan perasaaan dan akal.3

Menurut Aristoteles para filosof Yunani Kuno mendefinisikan jiwa tetapi tidak mendefinisikan jasmani (jasad) dimana jiwa itu bersemayam di dalamnya, artinya mereka berpendapat bahwa jiwa berdomisili pada setiap bagian tubuh, bukan pada bagian tubuh tertentu dan tidak mengatakan pada bagian tubuh tertentu.

Aristoteles sendiri mendefinisikan jiwa adalah merupakan kesempurnaan awal terhadap jasmani alami menuju satu kehidupan

2 idem. Op.cit. h.263 Idem. Op.cit. h.26

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

5

Page 6: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

yang memiliki kekuatan,4 berdasarkan atas teorinya tentang alam dan geraknya serta membedakan materi sesuatu dan bentuknya.

Kalimat ‘Psyche’ yang sering diterjemahkan dengan “jiwa” menurut Aristoteles pada dasarnya memiliki makna yang sangat luas, artinya tidak hanya manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan sebagai makhluk hidup juga memiliki jiwa, tapi tidak mempunyai kekuatan. Tumbuh-tumbuhan memiliki kekuatan makan dan berketurunan, sedangkan hewan disamping memiliki kekuatan makan dan bereproduksi juga kekuatan mengenal, syahwat dan gerak. Manusia memiliki semua kekuatan yang ada pada tumbuhan dan hewan juga mempunyai kekuatan untuk berfikir. Maka manusia sering juga disebut sebagai makhluk yang berpikir- “al-Hayawan an-Nathiq”.

Kekuatan berfikir pada manusia inilah yang menjadi ‘concern’ filosof Perancis, yaitu Rene Descartes yang meletakkan dasar-dasar kefilsafatannya menjadi “Filsafat Modern” dengan teorinya yang terkenal yaitu : “Cogito Ergo Sum – Aku Berpikir, Maka Aku Ada”. Kemudian berdasarkan teori pemikirannya muncullah teori-teori pemikiran ‘rasionalisme’, ‘empirisme’, yang selanjutnya berkembang sebagai salah satu dasar dalam melakukan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi dengan ‘konsep keraguan atas penemuan-pememuan yang sudah ada’.

Descartes adalah filosof yang berpendapat bahwa jiwa terpisah dengan tubuh atau jiwa pastilah sesuatu yang berbeda dengan tubuh, jiwa adalah satu hal dan tubuh adalah hal yang lain. Tubuh seperti benda-benda fisik yang lain terdiri dari partikel-partikel yang bergerak bebas dan memiki keleluasaan untuk bergerak, sedangkan jiwa yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak bergantung pada ruang dan waktu karena ia merupakan “substansi” yang immaterial atau bukan fisik. Sebagaimana pengalaman indrawi, jiwa keberadaannya tidak nampak secara langsung dalam kesadaran manusia, namun dengan yakin Descartes berpendapat bahwa jiwa itu ada. Keyakinan tersebut mendorong Descartes menyelidiki ide-ide lain yang meskipun ‘nyata’ tetapi tidak dapat dihadirkan hanya oleh suatu pengalaman indrawi belaka yang disebutnya ‘ide-ide bawaan’. Diantara ide-ide bawaan itu adalah tentang “kesempurnaan, kesatuan, ketidakberhinggaan dan aksioma-aksioma geometris yang terdapat dalam jiwa”, termasuk tentang adanya ‘Tuhan’.

Dari sisi historis, definisi jiwa sebagai ilmu atau ilmu jiwa mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan pada masa itu, misalnya definisi Descartes tentang jiwa sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kesadaran tidak dapat bertahan karena pengaruh pemikiran atau teorinya ‘Sigmund Freud’ dan kawan-kawannya yang berpendapat bahwa alam bawah sadarlah yang banyak mempengaruhi tingkah laku manusia.

Perkembangan selanjutnya, psikologi sebagai suatu ilmu yang mengamati dan mengkaji persoalan jiwa dari yang bersifat spekulatif pada

4 Dr.Abdurrahman Badawi dalam kitab An Nafs li Aristo, hal 57, dan diterjemahkan oleh Ishaq bin hanin, tahun1954. Sebagaimana dikutip Dr.Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf-Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa

Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta : 2004. h.29.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

6

Page 7: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

awalnya menjadi objektif berkembang sebagai cabang ilmu yang independen setelah didirikan laboratorium psikologi oleh Willem Wundt pada tahun 1879. Para psikolog meneliti gejala kejiawaan secara lebih sistimatis dan obyektif, sehingga banyak diketemukan metode-metode baru untuk pembuktian-pembuktian nyata dan menyusun teori-teori psikologi sampai akhirnya terlepas dari ilmu induknya, yaitu ‘ilmu filsafat’, menjadi ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya.

JIWA dalam PERSPEKTIF ISLAM

Di dalam khazanah keilmuan Islam, pada umumnya para filosof muslim dan para sufi menganalisa konsep-konsep kejiwaan dengan pemikiran spekulatif, sangat mengutamakan kekuatan akal, yang disebut Psikolog Falsafi. Sedangkan Psikolog Tasawufi mereka lebih mengutamakan struktur al-Qalb (Hati) dan al-Zawq (Perasaan halus).

Seorang ilmuwan yang juga filosuf muslim bernama Al Farabi mendefinisikan jiwa sejalan dengan definisi yang dikatakan oleh Aristoteles, dimana jiwa merupakan sebuah form/bentuk dan kesempurnaan. Itu artinya, Al Farabi memberi makna form dengan makna substansif yang berbeda sifatnya dari jasmani yang juga dibicarakan oleh Plato dan Platoisme. Sedangkan persoalan kekalnya jiwa didalam pemikiran filsafat Al Farabi masih rancu, dimana ia lebih banyak terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles jika dibandingkan dengan pemikiran Plato. Sedangkan al-Kindi berpendapat bahwa jiwa tidak tersusun, sempurna dan mulia serta bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Pendapat al-Kindi senada atau lebih dekat dengan pemikiran Plato daripada Aristoteles, namun al-Kindi tidak sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yaitu : daya bernafsu, daya pemerah dan daya berpikir.

Ibnu Bajjah, sebagaimana juga Aristoteles mendefinisikan jiwa dan menyatakan bahwa tubuh, baik yang alamiah maupun tidak alamiah tersusun dari materi dan bentuk. Bentuk yang membuat nyata sebuah tubuh alamiah disebut jiwa.

Nasir Al-Din Tusi, berpendapat bahwa jiwa merupakan substansi yang sederhana dan immaterial yang dapat merasa, dapat mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat perasa, tetapi tidak dapat dirasakan melalui alat-alat tubuh, karena jiwa tidak dapat dibagi-bagi. Tusi menyatakan bahwa penalaran atas logika, fisika, matematika, teologi dsb, terdapat dalam satu jiwa tanpa bercampur baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas serta mustahil berada dalam suatu substansi immaterial indra-indra jiwa. Tusi juga mengatakan bahwa jiwa imajinatif berada pada posisi antara jiwa hewani dan manusiawi. Sedangkan jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Sebagaimana dikemukakan Aristoteles akal terbagi dua yaitu akal teoritis dan akal praktis. Menurut Tusi akal teoritis merupakan suatu potensi yang perwujudannya meliputi empat tingkatan, yaitu : akal material, akal malaikat, akal aktif dan akal yang diperoleh.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

7

Page 8: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

Dari uraian beberapa pemikir Islam tersebut dapat dinyatakan bahwa psikologi sangat erat kaitannya dengan makna jiwa dalam pandangan Islam dan secara etimologis berarti ilmu tentang jiwa.

Dalam Islam istilah jiwa adalah sama dengan istilah ‘an-Nafs’ dalam bahasa Arab berarti Jiwa, ada juga yang menyamakan dengan ruh. Jadi Psikologi dapat diterjemahkan dalam bahasa Arab menjadi ‘ilmu nafs’. Soekanto Mulyomartono menyebutnya dengan lebih khusus menjadi ‘Nafsiologi’, karena objek kajian Psikologi Islam adalah ‘al-Nafs’, yaitu aspek psikologi pada diri manusia.

Di dalam kitab suci al-Quran, kata an-Nafs (Jiwa) disebut berulang sebanyak 295 kali dalam berbagai ayat Al-Quran yang tersebar di 63 Surat atau 55% dari jumlah suarat yang ada dalam al-Quran dengan arti dan penggunaan yang berbeda, diantaranya dalam Surat: al-Baqarah disebut berulang sebanyak 35 kali, al-Imran sebanyak 21 kali, an-Nisa sebanyak 19 kali, al-An’am sebanyak 17 kali, at-Taubah sebanyak 17 kali, al-A’raaf sebanyak 13 kali, dan Yusuf sebanyak 13 kali.

Kata an-nafs (jiwa) juga memiliki berbagai makna, diantaranya bermakna “manusia sebagai makhluk hidup” (al-Quran Surat: al-Baqarah ayat 48, al-Maaidah ayat 32, Yusuf ayat 32 ), “hakikat sesuatu”, “Dzat Ilahiyah yang Maha Suci” sebagaimana tercantum dalam al-Quran Surat : al-Mulk ayat 14, al-An’aam ayat122.

Makna Jiwa (an-Nafs) yang memiliki konotasi isyarat apa yang tersirat di dalam jiwa manusia dan hati nurani manusia (dhamir) juga terdapat dalam al-Quran Surat : Ar-Ra’d ayat 11, Qaaf ayat 6. Kata an-Nafs (jiwa) yang bermakna asal keturunan manusia dijelaskan dalam al-Quran Surat : an-Nisaa ayat 1. Kata an-Nafs (jiwa) yang hubungannya dengan makna substansi manusia dijabarkan dalam bentuk nafsu-nafsu seperti ‘nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah’ tercantum dalam al-Quran Surat : al-Qiyaamah ayat 2, Yusuf ayat 53, dan al-Fajr ayat 27. Sedangkan yang berkaitan dengan hawa nafsu ini, Nabi Muhammad bersabda dalam Hadits Riwayat ‘Adi dari Jabir dengan sanad dhaif, yaitu :

“Sesuatu yang paling aku takuti dari umatku adalah mengikuti hawa nafsu, panjang angan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu dimaksud akan menutupi kebenaran (al-Haq). Sedangkan orang yang mempunyai panjang angan-angan, maka ia akan cenderung melupakan akhirat”.

Al Hakim at-Tarmidzi, salah seorang sufi terkenal abad ke 3 Hijrah berpendapat bahwa jiwa (an-Nafs) memiliki 3 makna, yaitu5 :

1. Jiwa bermakna nafas yang dapat memberikan hidup, dimana nafas itu terpancar dari ruh, seperti meluapnya sesuatu dari atas ke bawah.

2. Jiwa sebagai gharizah (insting) yang dihiasi oleh setan dengan segala bentuk tipu daya, yang bertujuan untuk menang dan merusak. Dalam posisi ini jiwa sangat lemah dihadapan setan.

5 Dr.Al Huzaini, Nadhariyatul Ma’rifat ‘inda Al hakim At Tirmidzi, hal.381. Sebagaimana dikutip Dr.Amir An- Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf-Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta : 2004. h.39.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

8

Page 9: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

3. Jiwa sebagai teman dan penolong setan, dan jiwa semacam ini ikut serta di dalam kejahatan, bahkan merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri.Dengan demikian Psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai kajian

Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jadi psikologi islam tidak hanya menekankan pada aspek perilaku kejiwaan saja melainkan juga hakikat jiwa yang sesungguhnya.

PSIKOLOGI SEBAGAI ILMU YANG BERDIRI SENDIRI

Menurut sejarah ilmu, ilmu filsafat adalah ilmu tertua sepanjang peradaban manusia. Psikologi yang pada awalnya merupakan bagian dari ilmu filsafat menyadari dan membutuhkan hal-hal yang bersifat obyektif, positif, terukur dan tidak bersifat spekulatif atau renungan-renungan ‘gnostik’. Selanjutnya kesadaran tersebut membuat banyak ilmu-ilmu yang pada awalnya bergabung dengan ilmu filsafat memisahkan diri, satu diantaranya adalah ilmu ‘Psikologi’.

Sekitar abad ke 17, perkembangan sains dan teknologi membangkitkan semangat penemuan-penemuan baru di segala bidang ilmu pengetahuan. Pandangan baru yang menjadi dominan pada masa itu adalah ‘empirisme’, suatu pandangan yang menyatakan bahwa untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui pengalaman dan observasi dalam memperoleh kenyataan-kenyataan berbentuk fakta-fakta obyektif. Pengaruh pengetahuan alam dan fisiologi juga pada tahap awalnya masuk ke dalam psikologi yang kemudian berkembangnya menjadi psikologi eksperimental. Banyak tokoh psikologi yang melakukan eksperimen-eksperimen dalam psikologi pada kurun waktu itu, diantaranya :

1. Wilhelm Wundt (1632-1920), seorang fisiolog yang mengawali psikologi berubah dalam perspektif eksperimental berpandangan bahwa fisiologi adalah ilmu pembantu dari psikologi, dan psikologi merupakan ilmu yang berdiri sendiri merupakan ilmu yang bersifat eksperimental. Tahun 1879 Wundt mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig sebagai pusat penelitian psikologi secara eksperimental. Eksperiment Wund berdasarkan ilmu fisiologi banyak membantu dalam psikologi modern, yang pokok bahasannya sebagai ‘subject matter’ adalah ‘kesadaran’.

2. Hermann Von Helmholz (1821-1894), yang obyek penelitiannya dalam mendalami psikologi adalah berkaitan dengan kecepatan stimulus pada penglihatan dan pendengaran serta mengembangkan teori warna yang dikemukakan oleh Thomas Young.

3. Edward Bradford Titchener (1867-1927), yang dalam karyanya tentang psikologi berjudul “Experimental Psychology” menegaskan eksperimennya Wundt, kecuali eksperimennya tentang emosi yang tidak sependapat dengan Wundt.

4. Hermann Ebbinghaus (1850-1909), adalah psikolog yang pertama kali melakukan eksperiment tentang ‘belajar dan memori/ingatan’.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

9

Page 10: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

5. Oswald Kulpe (1862-1915), adalah penulis buku “An online of psychology” yang menuut pendapatnya, psikologi sebagai ilmu juga membahas fakta-fakta dari pengalaman yang bergantung pada pengalaman pribadi. Pada tahun 1894, sebagai guru besar di Universitas Wurzburg-Jerman, ia mendirikan laboratorium saingan dari laboratoriumnya Wundt dengan menerapkan metode yang disebut ; “A systematic experimental introspection”. Metode tersebut adalah mengenai ‘proses berpikir’ yang menekankan aspek subjektif, kualitatif dan laporan/report detail dari subjek. Disamping itu, ia juga melakukan penelitian tentang motivasi yang memberikan kontribusi dalam psikologi modern. Ia juga mengatakan bahwa pengalaman tidak hanya bergantung kepada elemen-elemen kesadaran, tetapi elemen tidak kesadaran juga berpengaruh terhadap perilaku. Teorinya ii kemudian dikemabngkan oleh Freud.

6. Karl Buhler (1879-1963), adalah psikolog aliran Wurzburg yang menentang teorinya Wundt dan G.E.Muller. Pendekatannya mengenai kejiwaan adalah holistik (ganzheit), dimana kontribusi hasil penelitiannya adalah berkaitan dengan ‘spoken language’ dalam psikologi yang kemudian berkembang menjadi satu cabang psikologi yang disebut ‘psikolinguistic’.Sejak terpisahnya psikologi sebagai llmu yang berdiri sendiri, dimana

pikiran-pikiran para ahli psikologi dan keberagamannya yang sulit disatukan, maka psikologi mulai bercabang-cabang ke dalam beberapa aliran-aliran psikologi.

Menurut Suryabrata aliran-aliran tersebut diklasifikasikan berdasarkan metode psikolog dalam menyusun teori psikologi, maka dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu 6:

1. Psikolog Spekulatif, yaitu psikolog yang menyusun teori-teorinya berdasarkan pemikiran spekulatif, seperti Plato, Kant, ahli-ahli Neo-Kantianisme, Bahnsen, Queyrat, Malapert, dll, terutama para ahli filsafat.

2. Psikolog Empiris, yaitu psikolog eksperimental, yaitu psikolog yang menyusun teori-teorinya atas dasar data-data dari hasil penyelidikan atau eksperimen seperti Watson, Jung, Adler, Eysenk, Rogers, dll.

Namun sampai saat ini aliran psikologi yang diakui secara luas dalam dunia ilmu pengetahuan psikologi terbagi 3 bagian yaitu :

1. Aliran Psikoanalisis, yang dipeleopori oleh Sigmund Freud (1856-1939)

2. Aliran Behaviouristik, yang dipelopori oleh Jhon Braodus Watson (1878-1958) yang pendapatnya dipengaruhi oleh Ivan Pavlov (1849-1936)

3. Aliran Humanistis, yang dipelopori oleh Abraham Maslow (1908-1970) yang kemudian disempurnakan oleh psikologi transpersonal.

Sedangkan Aliran yang keempat, sampai saat ini masih terus berkembang tidak hanya sebatas wacana tetapi sudah ada sejak era

6 Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta; 2008. h.9-10.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

10

Page 11: JIWA (PSIKOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & ISLAM

ilmuwan/filosof muslim memberikan pencerahan ilmu pengetahuan kepada dunia Barat adalah Aliran Psikologi Islami. Pokok bahasan dari psikologi Islam bertumpu kepada tiga unsur, yaitu :

1. Merupakan salah satu kajian dari masalah ke-Islam-an,2. Membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia,3. Sarat akan nilai-nilai etikPsikologi Islam memilki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu

keislaman yang lain, seperti Sosiolog Islam, Politik Islam, Ekonomi Islam dan sebagainya, dimana kata ‘Islam’ menunjukkan corak, cara pandang, pola pikir, paradigma atau aliran-aliran yang secara spesifik berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya.

Jadi Psikologi Islam dapat dipahami sebagai suatu disiplin ilmu untuk membantu memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, evaluasi diri baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

KESIMPULAN

Diskursus tentang psikologi adalah membicarakan, mengkaji dan menganalisa tentang jiwa pada manusia. Jiwa berasal dari bahasa Yunani Psyche yang berarti Jiwa yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Soul, atau Mind sejak awal perkembangannya sudah menjadi perhatian para filosof di Barat maupun Timur.

Baik dalam persfektif filsafat yang dikemukakan oleh para filosof Yunani maupun pandangan Islam yang diungkapkan oleh ilmuwan dan filosof Muslim tentang jiwa mengatakan bahwa jiwa substansi independen yang berkaitan dengan anggota tubuh.

Kepustakaan

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia- Memahami Manusia melalu iFilsafat, Remaja Rosdakarya, Bandung : Cetakan Keempat, 2006.An-Najar, Dr.Amir, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam, Jakarta; Cetkan Ketiga, 2004. Shaleh, Abdul Rahman, Psikologi, Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta; Cetakan Ketiga, 2008.Zubaidi, dkk, Filsafat Barat, Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, Ar-Ruzz Media, Jogyakarta : Cetakan I, 2007.

Jiwa dalam Perspektif Filsafat dan IslamHasanudin Arinta Kusrin (Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia - Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

11