Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 1
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 2
Jurnal Ilmiah Pendidikan
dan Pembelajaran
Volume 15,
Nomor 2, Juni 2018
Publish by
Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 3
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 2 Juni 2018
Pembelajaran
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran adalah Jurnal Ilmiah yang diterbitkan oleh Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk mewadahi artikel-
artikel hasil penelitian pada bidang pendidikan dan pembelajaran. Pada akhirnya, jurnal ini dapat
memberikan deskripsi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pendidikan dan
pembelajaran bagi masyarakat akademik. Jurnal ini terbit 3 kali setahun (Maret, Juni, Oktober)
Executive Director
Prof. Dr. I Wayan Suastra, M.Pd. Direktur Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha
Responsibility Association Prof. Dr. I Nyoman Kanca, M.S., Universitas Pendidikan Ganesha
Prof Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. Universitas Pendidikan Ganesha
Editor in Chief Dr. I Wayan Widiana, S.Pd., M.Pd Universitas Pendidikan Ganesha
Associate Editors Prof. Dr. Putu Budiadnyana, M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Nyoman Dantes, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Drs. Sariyasa, M.Sc., Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Made Candiasa, M.Ikom, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Drs. Putu Sariartha, M.S, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Made Gunamanta, S.T., MM, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M.Pd, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Gede Artawan, M. Pd, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A, Universitas Pendidikan Ganesha
Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. I Nyoman Tika, M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. Kadek Yota Ernanda Aryanto, S.Kom.,MT, Universitas Pendidikan Ganesha
Dr. rer.nat I Gusti Ngurah Agung Suryaputra, ST., M.Sc, Universitas Pendidikan Ganesha
Dra. Ni Luh Putu Artini, MA., Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha
I Wayan Mudianta, S.Pd, M.Phil.,Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha
I Ketut Arthana, S.T.,M.Kom, Universitas Pendidikan Ganesha
Nyoman Laba Jayanta, Universitas Pendidikan Ganesha
Admin and IT Suport
I Gede Putu Banu Astawa, S.T., M. Ak, Universitas Pendidikan Ganesha
Ni Putu Sri Ayuni, S.Si.,M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha
Luh Budiastiti, S.E, Universitas Pendidikan Ganesha
I Ketut Wira Udayana, S.Kom, Universitas Pendidikan Ganesha
Editor address:
Udayana Street, Singaraja, Bali, Indonesia, 81116
Telp. (0362) 22928
Website: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 4
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 2 Juni 2018
Pembelajaran
Discourse
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran diterbitkan oleh Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha pada tahun 2018. Kehadiran JIPP diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja
penelitian di bidang Pendidikan dan Pembelajaran melalui publikasi ilmiah. Penerbitan JIPP
dilaksanakan tiga kali setahun, yaitu, Maret, Juni, dan Oktober. Pada penerbitan edisi Juni 2018 ini,
ditampilkan delapan artikel. Delapan artikel bertuliskan tentang efektivitas pembelajaran di dalam kelas.
Efektivitas tersebut diuji dengan menerapkan berbagai model pembelajaran yang inovatif untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. Inovasi yang dilakukan ini menunjukkan bahwa secara umum beberapa
model inovatif yang dikembangkan ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang signifikan.
Oleh karena itu, publikasi ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk melakukan pengelolaan kelas
secara baik. Secara detail efektifitas pembelajarn di kelas masing-masing temuan diuraikan sebagai
berikut.
Pertama, I Wayan Lasmawan dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh
Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Educative Games Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis dan Hasil Belajar IPA Kelas IV di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional, 2) terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional, dan 3) terdapat perbedaan secara simultan antara kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran creative problem
solving berbasis Educative Games dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
Kedua, M. Dwipayana dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh Model
Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self-
Efficacy Siswa. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah dan self- efficacy siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran langsung (Direct Instruction) dengan rata-rata nilai gain score STM lebih unggul dari nilai
gain score DI berturut-turut yaitu 0,53>0,48 pada variabel kemampuan pemecahan masalah dan
0,55>0,41 pada variabel self-efficacy. Hasil Uji LSD menunjukan gain score kemampuan pemecahan
masalah dan self-efficacy antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STM lebih
baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran langsung (Direct
Instruction).
Ketiga, Ni Wayan Widyaningsih dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Evaluasi
Diskrepansi terhadap Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Pelajaran Pkn Tema Cita-Citaku
di Kelas IV SD Se-Kecamatan Denpasar Timur. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diskrepansi
yang terjadi terkait dengan perencanaan pembelajaran berpendekatan Saintifik pada muatan pelajaran
PKn sebesar 32.97 dengan kategori kecil , diskrepansi yang terjadi terkait dengan pelaksanaan
pembelajaran berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar 40,19 dengan kategori sedang,
diskrepansi yang terjadi terkait dengan penilaian pembelajaran berpendekatan Saintifik pada muatan
pelajaran PKn sebesar 38.21 dengan kategori kecil, diskrepansi terhadap implementasi pembelajaran
berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar 37.13 dalam kategori kecil, persepsi guru
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 5
terhadap pendekatan saintifik sebesar 73.33 dengan kategori baik, hasil belajar PKn siswa kelas IV
sebesar 77.34 dengan kategori baik, serta kontribusi kualitas pengelolaan pembelajaran berpendekatan
saintifik terhadap hasil belajar PKn adalah signifikan dengan koefisien determinasi sebesar 0.41 dan
termasuk korelasi sedang.
Keempat, I.G.A.P. Dewi dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Potensi Dukungan
Budaya Lokal terhadap Muatan Sikap dan Muatan Pembelajaran Tema Selalu Berhemat Energi pada
Kurikulum 2013. Hasil penelitian menemukan sikap spiritual ketaatan beribadah, berprilaku syukur,
danberdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Muatan sikap sosial yaitu jujur,disiplin, tanggung
jawab,santun, peduli serta percaya diri.Muatan pembelajaran yaitu Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial,
Seni Budaya dan Prakarya, danPendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.Nilai budaya lokal yang
mendukung muatan sikap dan muatan pembelajaran pada tema selalu berhemat energiterdapat dalam
aktivitas bermain mebade-badean, medagang-dagangan, dansepit-sepitan, mendengarkan cerita (Satua) I
Siap Selem, bawang teken kasuna,dan men tiwas teken men sugih,bernyanyi (gending rare) putri cening
ayu dan dadong dauh, mengucapkan salam om swastiastu, serta kewajiban mebanten seperti mebanten
saiban, mebanten canang, dan mesegeh.
Kelima, Putu Ariantini dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Analisis Sikap dan
Muatan Pembelajaran Matematika Tema Kerukunan dalam Bermasyarakat Kurikulum 2013 Kelas V
Serta Potensi Budaya Lokal Pendukung Dalam Pembelajaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ditemukan; 1) sikap spiritual yang muncul adalah berprilaku syukur, berdoa sebelum dan sesudah
melakukan kegiatan, dan toleransi dalam beribadah, 2) nilai-nilai sikap sosial yang termuat yaitu disiplin,
tanggung jawab, santun, dan percaya diri, 3) muatan pembelajaran matematika yang muncul yaitu statistik
sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas tinggi yang mendukung
pengembangan nilai-nilai sikap dan muatan pembelajaran matematika pada tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat yaitu, beberapa jenis permainan tradisional, cerita anak (satua), bernyanyi (magending),
mengucapkan salam, dan kegiatan sembahyang (mebanten). Selanjutnya dari hasil temuan-temuan
tersebut juga dihasilkan prototipe buku cerita anak berbasis budaya lokal pada tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat di kelas V sekolah dasar.
Keenam, Gde Parie Perdana dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengetahuan
Awal dan Tingkat Keyakinan Siswa Tentang Konsep Listrik Dinamis. Berdasarkan temuan dan hasil yang
diperoleh dalam penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut. (1) Pengetahuan awal siswa tentang konsep-konsep pada materi listrik dinamis sebagian
besar berupa miskonsepsi (62,3%) dan hanya 37,7% tahu konsep. (2) Tingkat keyakinan siswa dapat
berkorelasi dengan pengetahuan awal siswa. Siswa yang menjadi responden merupakan pemula.
Walaupun hasil dalam penelitian tidak sepenuhnya dapat menunjukkan hubungan antara pengetahuan
awal dan keyakinan siswa karena keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian, namun secara deskriptif
penelitian ini dapat menunjukkan gambaran pengetahuan awal siswa dan tingkat keyakinan tentang
pengetahuan yang dimiliki.
Ketujuh, I Made Adi Arnawa
dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Diskrepansi
Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Materi IPA Tema Organ Tubuh Manusia dan Hewan
Kelas V SD Negeri Di Kecamatan Denpasar Selatan.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat
diskrepansi yang kecil dalam implementasi pendekatan saintifik pada muatan materi IPA tema organ
tubuh manusia dan hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar selatan sebesar 35,10; dengan
diskrepansi perencanaan sebesar 33,54; diskrepansi pelaksanaan sebesar 34,03; diskrepansi penilaian
sebesar 37,75; (2) Persepsi guru tentang pendekatan saintifik sudah baik dengan rerata 69,22; (3)
Pencapaian hasil belajar IPA siswa sudah baik dengan rerata nilai 76,37; (4) Terdapat hubungan yang
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 6
positif dan signifikan antara kualitas pengelolaan pembelajaran berpendekatan saintifik terhadap hasil
belajar IPA dengan kontribusi sebesar 31%.
Kedelapan, Ni Made Diah Padmi dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh
Konseling Kognitif Behavioral Model Aaron Beck dengan Strategi Manajemen Diri Terhadap Self
Autonomy Ditinjau dari Urutan Kelahiran Siswa melalui Lesson Study. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa : (1) terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh konseling kognitif behavioral model Aaron
Beck dengan strategi managemen diri dan konseling konvensional terhadap self autonomy, (2) terdapat
perbedaan yang signifikan self autonomy ditinjau dari urutan kelahiran anak (3) terdapat pengaruh
interaksi yang signifikan antara model konseling dengan urutan kelahiran anak terhadap self autonomy.
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 7
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 2 Juni 2018
Pembelajaran
Table of Contents
I Wayan Lasmawan Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Educative Games terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar IPA Kelas IV di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
............................................................................................................................................................... 90-99
M. Dwipayana Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah dan Self-Efficacy Siswa.. .................................................................................. 100-109
Ni Wayan Widyaningsih Evaluasi Diskrepansi terhadap Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Pelajaran
Pkn Tema Cita-Citaku di Kelas IV SD Se-Kecamatan Denpasar Timur ........................................... 110-121
I.G.A.P. Dewi Potensi Dukungan Budaya Lokal terhadap Muatan Sikap dan Muatan Pembelajaran Tema Selalu
Berhemat Energi pada Kurikulum 2013. ........................................................................................... 122-131
Putu Ariantini Analisis Sikap dan Muatan Pembelajaran Matematika Tema Kerukunan dalam Bermasyarakat
Kurikulum 2013 Kelas V Serta Potensi Budaya Lokal Pendukung dalam Pembelajaran ................. 132-142
Gde Parie Perdana Pengetahuan Awal dan Tingkat Keyakinan Siswa Tentang Konsep Listrik Dinamis143-152
I Made Adi Arnawa Diskrepansi Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Materi IPA Tema Organ Tubuh
Manusia dan Hewan Kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan ....................................... 153-163
Ni Made Diah Padmi Pengaruh Konseling Kognitif Behavioral Model Aaron Beck dengan
Strategi Manajemen Diri Terhadap Self Autonomy Ditinjau dari Urutan Kelahiran Siswa melalui Lesson Study
........................................................................................................................................................... 164-175
Editor address:
Udayana Street, Singaraja, Bali, Indonesia, 81116
Telp. (0362) 22928
Website: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 8
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING
BERBASIS EDUCATIVE GAMES TERHADAP KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR IPA KELAS IV
DI GUGUS IV KECAMATAN KUTA,
KABUPATEN BADUNG
I Wayan Lasmawan
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected].
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative
Problem Solving berbasis Educative Games terhadap kemampuan berpikir kritis dan
hasil belajar IPA kelas IV di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Penelitian
ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan post test only control group
design. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 231 siswa, dan sampel berjumlah
77 siswa. Data kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar IPA dikumpulkan dengan
metode tes. Analisis data yang digunakan yakni Manova berbantuan SPSS 17.00 for
windows. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat perbedaan kemampuan
berpikir kritis antara siswa yang mengikuti model pembelajaran creative problem
solving berbasis Educative Games dengan siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional, 2) terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti
model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa
yang mengikuti pembelajaran konvensional, dan 3) terdapat perbedaan secara simultan
antara kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti
model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa
yang mengikuti pembelajaran konvensional.
Kata kunci: hasil belajar IPA, kemampuan berpikir kritis, model pembelajaran Creative
Problem Solving berbasis Educative Games.
ABSTRACT
This research aims at investigating the effect of Creative Problem Solving
learning model based Educative Games to toward the critical thinking skills and
learning outcomes of science class IV in Gugus IV Kecamatan Kuta, Badung regency.
This research is a quasi experimental research with post test only control group
design. The population in this research were 231 students, and the number of the
sample were 77 students. The data of critical thinking skills and learning outcomes of
science were collected using the test method. The data were analyzed using Manova
with the assistance of SPSS 17.00 for Windows. The result of the research shows that:
1) there is difference of critical thinking ability among students who follow creative
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 9
problem solving learning model based on educative games with students who follow
conventional learning model, 2) there is difference of science learning outcomes
between students who follow creative Problem solving learning model based on
educative games with students who follow conventional learning model, and 3) there
is a simultaneously difference between critical thinking skills and science learning
outcomes among students who follow creative problem solving learning model based
on educative games with students who follow conventional learning model.
Keywords: creative problem solving learning model based educative games, critical
thinking skills, science learning outcome
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan globalisasi pada
saat ini tidak lepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Teknologi
tersebut berasal dari dasar ilmu pengetahuan
alam (IPA), maka dari itu IPA sering disebut-
sebut sebagai tulang punggung pembangunan.
IPA juga sebagai disiplin ilmu dan
penerapannya didalam masyarakat membuat
IPA menjadi penting, maka penguasaan
konsep pada mata pelajaran IPA perlu
diterapkan sejak dini kepada anak-anak.
Depdiknas (2006) menyatakan IPA
merupakan suatu kebutuhan yang dicari
manusia, karena IPA dapat memberikan cara
berikir sebagai suatu struktur pengetahuan
yang utuh. IPA sangat berhubungan dengan
kehidupan nyata siswa, maka dari itu
pembelajaran IPA di SD menuntut penguasaan
konsep-konsep, fakta-fakta atau prinsip-
prinsip serta siswa dituntut juga menguasai
sebuah proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi pedoman untuk
siswa agar dapat mempelajari tentang diri
sendiri, lingkungan alam dan lingkungan
sosial serta dapat menerapkannya di dalam
kehidupan nyata siswa. IPA juga membuka
kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu
siswa secara alamiah, sehingga membantu
mereka mengembangkan kemampuan berpikir
dan mencari jawaban melalui pengamatan dan
pengalaman langsung berdasarkan bukti.
IPA merupakan ilmu pengetahuan yang
sistematis, tersusun secara teratur, berlaku
umum, dan berupa kumpulan data hasil
observasi dan eksperimen. Agar hasil belajar
IPA meningkat maka perlu dilakukan
tindakan. Tindakan yang dapat dilakukan guru
yakni menggunakan media pembelajaran yang
dapat membuat anak berbuat sesuatu yang
menjadikan dirinya termotivasi untuk
melakukan proses belajar IPA. Upaya inovatif
yang ditempuh dalam membelajarkan anak
adalah penggunaan media, model
pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan namun tetap edukatif,
sehingga perlu diciptakan kondisi
pembelajaran IPA di SD yang dapat
mendorong siswa untuk aktif dan
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa.
Pada kenyataannya di sekolah, mata
pelajaran IPA belum mampu mengembangkan
kemampuan anak untuk berpikir kritis karena
model pembelajaran yang digunakan guru
dalam proses pembelajaran belum maksimal
digunakan dengan baik, dan masih banyak
pula guru kelas dalam mengajarkan IPA
menggunakan pembelajaran yang berpusat
pada guru (teacher centered) yang sering
disebut juga pembelajaran konvensional.
Pembelajaran seperti ini membuat siswa
bersikap pasif dan upaya penyampaian
pengetahuan dari guru kepada siswa secara
lisan, sehingga dalam hal ini guru sebagai
sumber informasi berperan aktif dalam proses
pembelajaran, sedangkan siswa sebagai objek
yang sifatnya pasif hanya mendengarkan dan
menghafal pengetahuan yang ditransfer oleh
guru.
Trianto (2010: 58) menyatakan bahwa
pada pembelajaran konvensional guru sering
membiarkan adanya siswa yang mendominasi
kelompok atau menggantungkan diri pada
kelompok, akuntabilitas individual sering
diabaikan sehingga tugas-tugas sering
diborong oleh salah seorang kelompok
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 10
sedangkan anggota kelompok lainnya
“mendompleng” keberhasilan “pemborong”,
kelompok belajar biasanya heterogen,
pemimpin kelompok sering ditentukan oleh
guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih
pemimpinnya dengan cara masing-masing,
keterampilan sosial sering tidak secara
langsung diajarkan, pemantauan melalui
observasi dan invertasi sering tidak dilakukan
oleh guru pada saat belajar kelompok sedang
berlangsung, guru sering tidak memperhatikan
proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok-kelompok belajar, dan penekanan
sering hanya pada penyelesaian tugas”.
Seluruh rancangan proses pembelajaran
telah disiapkan oleh guru, dan siswa tinggal
menerima dan mengikuti perintah guru
kondisi ini sering menimbulkan rasa bosan
pada siswa, dan rasa malas pada siswa pada
saat pembelajaran berlangsung bahkan dapat
mengurangi minat siswa untuk mengikuti
pembelajaran sehingga mengakibatkan
pencapaian kompetensi pembelajarannya
kurang.
Berdasarkan observasi yang telah
dilakukan di kelas IV SD Gugus IV
Kecamatan Kuta yang terdiri dari 6 sekolah,
masih ditemukannya penggunaan metode,
pendekatan pembelajaran konvensional yang
menoton dan kurang aktif, akhirnya
berdampak pada motivasi dan pola pikir siswa
yang kurang kreatif dan akan berpengaruh
pada hasil belajar IPA. Seperti yang kita
ketahui setiap tahun kreteria ketuntasan
minimal (KKM) menuntut siswa harus
menuntaskan atau mencapai angka yang telah
ditetapkan, sehingga guru pun harus berusaha
untuk siswa-siswanya agar dapat memenuhi
KKM tersebut.
Berdasarkan beberapa kendala yang
dihadapi guru dalam pembelajaran, maka
salah satu model pembelajaran yang dapat
digunakan guru adalah menggunakan model
pembelajaran Creative Problem Solving
berbasis Educative Games. Model
pembelajaran Creative Problem Solving
berbasis Educative Games, dalam hal ini guru
memberikan kesempatan pada siswa untuk
terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran, mencari dan menemukan
sebuah informasi untuk kemudian dijadikan
konsep, teori, serta kesimpulan dengan
memadukan Educative Games pada proses
pembelajaran sehingga proses pembelajaran
akan terkesan menyenangkan, permainan ini
dapat dilakukan dalam kelompok, maka siswa
juga belajar bagaimana bekerja sama dengan
teman dalam memecahkan persoalan,
bagaimana mencapai tujuan yang sama,
bagaimana mereka harus memiliki rasa
solidaritas antar teman untuk saling berbagi.
Menurut Pepkin (2004: 1) model
pembelajaran Creative Problem Solving
adalah suatu model pembelajaran yang
memusatkan pada pengajaran dan
keterampilan pemecahan masalah, yang
diikuti dengan penguatan kreatifitas Model
pembelajaran problem solving sangat potensial
untuk melatih siswa berpikir kreatif dalam
menghadapi berbagai masalah, baik itu
masalah pribadi maupun masalah kelompok
untuk dipecahkan secara sendiri atau bersama-
sama. Pembelajaran dengan model
pembelajaran creative problem solving
mengajak siswa untuk aktif dalam kegiatan
pembelajaran yang dapat memacu siswa untuk
mengevaluasi pemahamannya dan
mengidentifikasi kesalahan dalam berpikirnya,
sehingga siswa mampu mengembangkan daya
nalarnya secara kritis untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.
Sedangkan Sanjaya (2007: 214)
mengungkapkan dengan mengajarkan
pemecahan masalah kepada siswa akan
mengembangkan kemampuan siswa untuk
berpiikir kritis, analitis, sistematis, dan logis
untuk alternative pemecahan masalah melalui
eksplorasi data secara impirirs dengan
didorong dan dilatih merekonstruksi
pengetahuan dan konsep berdasarkan proses
mencari dan mengalami sendiri, misalnya
melalui eksperimen penyelidikan, pemecahan
masalah, dan praktek lain. Sedangkan
Educative Games merupakan bentuk kegiatan
yang dilakukan untuk memperoleh
kesenangan atau kepuasan dari cara atau alat
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 11
pendidikan yang digunakan dalam kegiatan
bermain, yang disadari memiliki muatan
pendidikan yang dapat bermanfaat dalam
mengembangkan diri secara seutuhnya serta
bersifat mendidik dan terdapat interaksi
edukatif dimana anak didik tidak hanya diajak
untuk bermain namun juga diajak untuk
belajar.
Menurut Ismail (2006: 204) agar
pembelajaran menarik bagi siswa, maka dalam
pembelajaran dapat memasukkan permainan
edukatif yang dikaitkan dengan persoalan
sehari-hari, cara penyampaian materi berganti-
ganti, dan memberi kesempatan pada siswa
untuk membawa sesuatu yang dapat
dipelajarinya di sekolah. Jika siswa menyukai
pembelaja IPA, maka siswa akan selalu
belajar. Akibatnya siswa dapat
mengembangkan daya nalarnya dalam
menjawab soal dan memahami materi
pelajaran, sehingga hasil belajar siswa
diharapkan lebih memuaskan. Dengan
demikian permainan edukatif bermanfaat
untuk meningkatkan kemampuan berbahasa,
berpikir, serta bergaul dengan lingkungannya.
Disamping itu, permainan edukatif juga
bermanfaat untuk mengaktifkan tubuh siswa
untuk bergerak, mengembangkan kepribadian,
mendekatkan hubungan antara guru dengan
siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas,
penggunaan model pembelajaran creative
problem solving berbasis Educative Games
dipercaya dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa model pembelajaran ini
juga berbengaruh pada hasil belajar siswa
dalam pembelajaran IPA. Seperti halnya
penelitian yang telah dilakukan oleh Budiana
(2013) dengan judul “Pengaruh Model
Creative Problem Solving (CPS) Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Mata
Pelajaran IPA Siswa Kelas V SD dengan hasil
penelitiannya menunjukan bahwa Model
Pembelajaran CPS dapat menumbuhkan dan
melatih kemampuan berpikir kritis siswa
dalam pembelajaran IPA.
Model pembelajaran problem solving
berbasis games education dapat diterapkan
oleh guru dalam proses pembelajaran selain
dapat mempengaruhi pola berpikir kritis siswa
juga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa
dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan,
perlu diketahui pula keunggulan yang dimiliki
oleh model pembelajaran creative problem
solving menurut Sanjaya (2007: 220-221)
memiliki keunggulan sebagai berikut:
pemecahan masalah merupakan teknik yang
cukup bagus untuk memahami isi pelajaran;
pemecahan masalah dapat menantang
kemampuan siswa serta memberikan kepuasan
untuk menemukan; pemecahan masalah dapat
meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa;
pemecahan masalah dapat membantu siswa
bagaimana mentransfer pengetahuan mereka
untuk memahami masalah dalam kehidupan
nyata; pemecahan masalah dapat membantu
siswa untuk mengembangkan pengetahuan
barunya dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran yang mereka lakukan,
disamping juga dapat mendorong untuk
melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil
maupun proses belajarnya, melalui pemecahan
masalah bisa memperlihatkan kepada siswa
bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya
merupakan cara berpikir dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh siswa, bukan sekedar
belajar dari guru atau dari buku-buku saja;
pemecahan masalah dianggap lebih
menyenangkan dan disukai siswa; pemecahan
masalah bisa mengembangkan kemampuan
siswa untuk berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk
menyesuaikan dengan penge-tahuan baru;
pemecahan masalah dapat memberikan
kesempatan pada siswa untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang mereka
miliki dalam dunia nyata; dan pemecahan
masalah dapat mengembangkan minat untuk
secara terus menerus belajar sekalipun belajar
pada pendidikan formal telah berakhir.
Berdasarkan keunggulan model
pembelajaran problem solving tersebut, dalam
penelitian ini akan dikomparatifkan antara
model pembelajaran problem solving berbasis
Educative Games dengan pembelajaran
konvensional. Hal ini dilandasi dengan
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 12
pemikiran Hamalik (2008: 105) menyatakan
bahwa guru perlu mengenal minat-minat
muridnya karena ini penting bagi guru untuk
memilih bahan pembelajaran, merencanakan
pengalaman-pengalaman belajar, menuntut
mereka ke arah pengetahuan dan mendorong
motivasi siswa. Berdasarkan hal tersebut,
dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Berkaitan dengan hal tersebut model
pembelajaran problem solving dengan
pembelajaran konvensional berawal pada
berpikir kritis pada diri siswa, selanjutnya
dengan berpikir kritis maka akan berpengaruh
dengan kenyataan hasil belajar IPA siswa
yang juga akan dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal
antara lain berupa intelegensi, minat,
kemampuan berpikir siswa, motivasi, serta
kondisi fisikologis siswa pada saat
pembelajaran. Sedangkan faktor eskternalnya
adalah berupa keluarga, sekolah dan
lingkungan masyarakat maupun lingkungan
sosial, materi pembelajaran, model
pembelajaran yang diterapkan, serta
kemampuan guru untuk mengelola kelas.
Dengan demikian, salah satu faktor internal
yang mempengaruhi hasil belajar siswa disini
adlah kemampuan berpikir siswa sedangkan
faktor eksternalnya adalah model
pembelajaran yang diterapkan guru dalam
pembelajaran IPA.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
penelitian ini menggunakan judul tentang
pengaruh model pembelajaran Creative
Problem Solving Berbasis Educative Games
terhadap kemampuan berpikir kritis dan hasil
belajar IPA kelas IV di Gugus IV Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen semu (penelitian kuasi
eksperimen) terjadi karena terbentur pada
ketidak mampuan peneliti untuk mengontrol
secara ketat variabel lain di luar variabel
perlakuan, akibatnya sangat sering tidak bisa
memenuhi syarat-syarat penelitian eksperimen
yang sungguhan (Dantes, 2012:
85).Rancangan eksperimen yang digunakan
adalah The Post Test Only Control Group
Design.
Populasi merupakan wilayah
generalisasi, terdiri atas objek/subjek yang
memiliki kualitas dan karakteristik tertentu
yang dapat diterapkan peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono,
2008). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas IV SD Gugus IV
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung yang
terdiri atas siswa SD No. 1 Kedonganan, SD
No. 2 Kedonganan, SD No. 3 Kedonganan,
SD No. 4 Kedonganan, SD No. 3 Tuban, dan
SD No. 5 Tuban. Dikatakan setara karena
dalam pengelompokan, siswa disebar secara
merata antara siswa yang memiliki
kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini
berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun
non unggulan di kelas IV SD Gugus IV
Kecamatan Kuta.
Untuk memperkuat pernyataan Ketua
Gugus tersebut, dilakukan analisis data nilai
ulangan umum semester I. Untuk mengetahui
kesetaraan populasi secara statistik yang
dilaksanakan sebelum perlakuan. Uji
kesetaraan yang dilakukan menggunakan uji t
test dengan bantuan SPSS 17.00 for windows
dengan signifikansi 5%. Jika angka
signifikansi hitung kurang dari 0,05 maka
kelas tersebut tidak setara. Sedangkan jika
angka signifikansi hitung lebih besar dari 0,05
maka kelas tersebut setara.
Berdasarkan uji kesetaraan yang telah
dilakukan didapatkan angka signifikansi t
hitung lebih besar dari 0,05 maka seluruh
kelas dapat dinyatakan setara.
Dalam pengambilan sampel penelitian
menggunakan teknik random sampling
dilakukan pada pasangan kelas yang setara.
Dalam menunjuk kelas eksperimen dengan
kontrol dilakukan dengan sistem pengundian.
Berdasarkan hasil pengundian yang telah
dilakukan, diperoleh pasangan kelas IV SD
No. 3 Tuban yang siswanya berjumlah 39
orang sebagai kelas eksperimen dan SD No. 4
Kedonganan yang siswanya berjumlah 37
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 13
orang sebagai kelas kontrol.
Variabel bebas di kelompok eksperimen
dalam penelitian ini adalah Pembelajaran
Creative Problem Solving Berbasis Educative
Games sedangkan variabel bebas di kelompok
kontrol dalam penelitian ini adalah
pembelajaran Konvensional. Sedangkan
variabel terikat dalam penelitian ini adalah
berpikir kritis dan hasil belajar IPA.
Untuk mengumpulkan data mengenai
kemampuan berpikir kritis dalam
pembelajaran IPA dikumpulkan menggunakan
tes esay. Sedangkan data mengenai hasil
belajar dikumpulkan dengan memberikan tes
pilihan ganda dengan empat pilihan (option).
Sebelum instrumen digunakan dalam
penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba
instrumen. Berdasarkan uji coba yang telah
dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Instrumen berpikir kritis, dari 15 butir
pernyataan yang diujicobakan, seluruh butir
dinyatakan valid dengan reliabilitas instrumen
sebesar 0,780 yang berarti berada pada
katagori tinggi.
2. Instrumen hasil belajar IPA, dari 40
butir soal yang diujicobakan, 34 butir
dinyatakan valid dan 6 butir dinyatakan gugur.
Reliabilitas yang didapatkan dari hasil ujicoba
sebesar 0,867 yang berarti berada pada
katagori sangat tinggi. Namun dalam
penelitian ini hanya menggunakan 30 butir
instrumen hasil belajar IPA.
Setelah data dalam penelitian ini
terkumpul, selanjutnya data dianalisis secara
bertahap. Tahapan-tahapan tersebut adalah
deskripsi data, uji prasyarat dan uji hipotesis.
Uji prasyarat yang dilakukan adalah uji
normalitas sebaran data, uji homogenitas
varian, dan uji korelasi antar variabel terikat.
Pengujian hipotesis dilakuakan dengan
menggunakan teknik analisis multivarian
(MANOVA) satu jalur. Manova adalah teknik
statistik yang dapat digunakan secara simultan
untuk mengekspor hubungan antara beberapa
katagori variabel independen (biasanya
perlakuan) dan dua atau lebih variabel
dependen (Sugiyono, 2010). Analisis dan uji
Anova adalam penelitian ini menggunakan
MANOVA pada taraf signifikansi 5% dan
proses analisisnya menggunakan bantuan
SPSS 17.00 for windows.
Adapun hipotesis yang diuji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan yang signifikan
kemampuan berpikir kritis antara siswa
yang mengikuti model pembelajaran
creative problem solving berbasis
Educative Games dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional
pada siswa kelas IV Gugus IV,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung
2. Terdapat perbedaan yang signifikan hasil
belajar IPA antara siswa yang mengikuti
model pembelajaran creative problem
solving berbasis Educative Games
dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional pada siswa
kelas IV Gugus IV, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung
3. Secara simultan terdapat perbedaan yang
signifikan kemampuan berpikir kritis dan
hasil belajar IPA antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran creative
problem solving berbasis Educative
Games dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional pada siswa
kelas IV Gugus IV, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis
yang telah dilakukan, terlihat bahwa ketiga
hipotesis yang diajukan pada penelitian ini
telah berhasil menerima hipotesis alternatiif
dan menolak hipotesis nol, rincian hasil
hipotesis tersebut sebagai berikut.
1. Pengaruh model pembelajaran Creative
problem solving berbasis Educative
Games terhadap kemampuan berpikir
kritis siswa
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan diperoleh hasil F-hitung sebesar
84,405> Ftabel (4,00) dengan signifikansi
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 14
lebih kecil dari 0,05. Hasil ini menyatakan
bahwa, hipotesis nol (Ho) ditolak dan
hipotesis alternatif (Ha) diterima. Bila dilihat
dari rata-rata skor data berpikir kritis siswa
kelas IVGugus IV, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran
creative problem solving berbasis Educative
Gamesadalah 47,05. Sedangkan rata-rata skor
data berpikir kritis belajar Siswa Kelas IV
yang Mengikuti pembelajaran dengan Model
pembelajaran konvensional adalah 32,84. Hal
tersebut terlihat bahwa model pembelajaran
creative problem solving berbasis Educative
Games memberikan pengaruh terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan
dengan penerapan model pembelajaran
konvensional.
Hasil uji hipotesis ini juga memperkuat
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Budiana (2013) yang mengemukakan
bahwa penerapan model pembelajaran creative
problem solving memberi pengaruh yang
signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis
siswa dalam pembelajaran IPA. Demikian
pula dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Husnawati (2015) bahwa model
pembelajaran creative problem solving
memberi pengaruh terhadap kemampuan
berpikir kritis siswa dalampembelajaran
matematika.
Dalam pelaksanaan model pembelajaran
creative problem solving berbasis Educative
Games merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara
ilmiah. Siswa aktif berpikir, berkomunikasi,
mencari dan mengolah data, dan akhirnya
menyimpulkan. Kemudian aktivitas
pembelajaran diarahkan pada menyelesaikan
masalah. Pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan penedekatan berpikir
secara ilmiah dimana dengan berpikir
menggunakan metode ilmiah adalah proses
berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir
ini dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu
dan didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Model pembelajaran Creative Problem
Solving Berbasis Educative Games adalah
merupakan cara untuk memotivasi siswa
untuk berpikir kritis sehingga mendorong
siswa mengetahui dan menguasai
keterampilan – keterampilan yang disajikan
oleh guru dalam proses pembelajaran. Dalam
pembelajaran guru menyertakan permainan
yang bermanfaat dan sesuai dengan
pembelajaran yang diberikan pada saat itu,
sehingga semua anggota kelompok dapat
menguasai materi dengan baik. Dan secara
tidak langsung kemampuan berpikir siswa
akan muncul untuk memikirkan pemecahan
masalah yang telah diberikan, sehingga siswa
lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran.
Pada pembelajaran IPA menggunakan
model pembelajaran konvensional lebih
menekankan fungsi pendidik sebagai pemberi
informasi. Pendidik mengatur secara ketat
proses pembelajaran baik dari segi topik,
mutu, maupun strategi. Disini pendidik lebih
menekankan tugasnya sebagai model. Tujuan
akan dicapai secara maksimal bila pendidik
mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilan secara tepat sehingga dapat
ditiru oleh siswa. Sementara siswa hanya pasif
mendengarkan penjelasan-penjelasan pendidik
tanpa dilibatkan secara aktif dalam
pembelajaran. Hal itu kurang sejalan dengan
konsepsi pembelajaran IPA bahwa lingkungan
alam atau peristiwa alam yang terjadi di
sekitar haruslah dipahami anak dengan
mengekplorasi kemampuan pada dirinya
sendiri.
Berdasarkan pemahaman tersebut
terlihat jelas bahwa pembelajaran
menggunakan model pembelajaran creative
problem solving berbasis Educative Games
lebih baik diterapkan untuk siswa daripada
pembelajaran konvensional, karena dengan
menggunakan creative problem solving
berbasis Educative Gamessiswa dapat
mengeksplorasikan kemampuannya sendiri.
Dan hasil uji hipotesis pertama semakin
menguatkan bahwa model pembelajaran
inovatif, seperti model pembelajaran creative
problem solving berbasis Educative Games
mampu memberi pengaruh yang signifikan
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 15
terhadap kemampuan berpikir kritis. Tentunya
hal tersebut memberi pengaruh yang besar
terhadap hasil belajar IPA.
2. Pengaruh model pembelajaran creative
problem solving berbasis Educative
Games terhadap hasil belajar IPA
siswa
Berdasarkan hasil analisis menghasilkan
Ftabel sebesar 47,739 > Ftabel (4,00) dengan
signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat perbedaan hasil
belajar IPA yang mengikuti pembelajaran
dengan model pembelajaran creative problem
solving berbasis Educative Games dengan
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan Model pembelajaran konvensional.
Bila dilihat dari rata-rata skor hasil
belajar yang Mengikuti pembelajaran dengan
Model Pembelajaran Creative Problem
Solving Berbasis Educative Games adalah
21,15 berada pada kategori tinggi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar
IPA siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model pembelajaran creative problem
solving berbasis Educative Games tetap lebih
baik daripada hasil belajar IPA siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran konvensional.
IPA merupakan ilmu untuk mencari
tahu, memahami alam semesta secara
sistematis dan mengembangkan pemahaman
ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang
dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip, dan
hukum yang teruji kebenarannya. Namun, IPA
bukan hanya merupakan kumpulan
pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip,
melainkan suatu proses penemuan dan
pengembangan tentang fenomena alam
semesta, baik makhluk hidup ataupun benda
mati yang diperoleh dari pengalaman melalui
serangkaian proses kegiatan ilmiah antara lain
penyelidikan, penyusunan dan pengujian
gagasan-gagasan.
Dalam peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 tentang “Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah” (2006:109)
menyebutkan bahwa mata pelajaran IPA di
SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut: (1) memperoleh
keyakinan terhadap kebesaran tuhan Yang
Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan
dan keteraturan alam ciptaannya, (2)
Mengembangkan pengetahuan dan konsep-
konsep IPA yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3)
mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif
dan kesadaran tentang adanya hubungan yang
saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat, (4) mengemangkan
keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah dan membuat
keputusan, (5) meningkatkan kesadaran untuk
berperan serta dalam memelihara, menjaga,
dan melestarikan lingkungan alam, (6)
meningkatkan kesadaran untuk menghargai
alam dan segala keteraturannya sebagai salah
satu ciptaan Tuhan, (7) Memperoleh bekal
pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA
sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan
ke SMP/MTs.
Model pembelajaran creative problem
solving sangat tepat diterapkan dalam
pembelajaran IPA karena dapat
mengoptimalkan hasil belajar IPA siswa,
siswa dilatih untuk belajar memecahkan
masalah. Siswa dibimbing untuk berpikir
ilmiah, berpikir lebih kritis, melalui model
pembelajaran Creative Problem Solving
Berbasis Educative Games
mengkomunikasikan ide-idenya, sehingga
pembelajaran menjadi lebih aktif.Dan
berdasarkan hasil uji hipotesis semakin
menguatkan bahwa model pembelajaran
creative problem solving berbasis Educative
Games mampu memberi pengaruh yang
signifikan terhadap hasil belajar IPA.
3. Pengaruh model pembelajaran Creative
Problem Solving Berbasis Educative
Games terhadap kemampuan berpikir
kritis dan hasil belajar IPA siswa
Berdasarkan hasil penelitian yang
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 16
dilakukan diperoleh hasil bahwa terdapat
perbedaan secara simultan kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar IPA antara
siswa yang mengikuti model pembelajaran
creative problem solving berbasis Educative
Games dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penerapan model
pembelajaran Creative Problem Solving
Berbasis Educative Games memberikan
pengaruh secara simultan terhadap
kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar
IPA siswa dibandingkan dengan penerapan
model pembelajaran konvensional.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa
data kemampuam berpikir kritis dan hasil
belajar IPA Kelas IV Gugus IV, Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran
creative problem solving berbasis Educative
Games mendapatkan harga ry1y2 = 0,005 dan
data siswa yang belajar dengan Model
pembelajaran konvensional mendapatkan
harga ry1y2 = 0,186. Nilai rtabel kelompok
eksperimen dengan jumlah subjek 39 adalah
0,316, sedangkan nilai rtabel kelompok kontrol
dengan jumlah subjek 38 adalah 0,320. Hasil
uji ini juga memperkuat hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rohwati
(2012) dengan hasil penelitiannya menunjukan
bahwa dengan menggunakan educative games
dapat meningkatkan hasil belajar IPA.
Hasil analisis MANOVA menunjukkan
bahwa nilai signifikansi uji Manova melalui
Pillai trace, Wilks’ Lambda Hotelling’s trace
dan Roy’s largest Rootadalah 0,000 dan nilai
ini lebih kecil dari 0,05 (p<0,05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa data kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar IPA kelas IV
Gugus IV, Kecamatan Kuta, Kabupaten
Badung yang mengikuti pembelajaran dengan
model pembelajaran creative problem solving
berbasis Educative Gamesmaupun siswa yang
belajar dengan model pembelajaran
konvensional tidak berkorelasi.
Jadi dengan adanya hasil pengujian
hipotesis ketiga ini, maka diperoleh bahwa
kemampuan berpikir kritis siswa memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap hasil
belajar IPA siswa kelas IV Gugus IV
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
SIMPULAN DAN SARAN
Adapun simpulan yang dapat ditarik
dari hasil penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
1. Terdapat perbedaan kemampuan
berpikir kritis antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran
creative problem solving berbasis
Educative Games dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional.
2. Terdapat perbedaan hasil belajar IPA
antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran creative problem solving
berbasis Educative Games dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional.
3. Terdapat perbedaan secara simultan
antara kemampuan berpikir kritis dan
hasil belajar IPA antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran
creative problem solving berbasis
Educative Games dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional.
Adapun saran yang dapat diajukan
berdasarkan hasil penelitian yang telah
didapatkan adalah sebagai berikut.
Siswa diharapkan mampu menjadikan
lingkungan sekitar sebagai sumber belajar
yang baik dan efektif dalam proses pengenalan
diri dan lingkungannya. Sehingga memiliki
kesiapan dalam menghadapi perkembangan
IPTEK
Guru disarankan untuk mengembangkan
pembelajaran yang mengutamakan proses
berpikir, yakni pemanfaatan dan penggunaan
otak secara maksimal yang dapat membentuk
konsep diri siswa ke arah yang positif serta
pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini
karena dengan model pembelajaran model
pembelajaran creative problem solving
berbasis Educative Games ini dapat
menumbuhkembangkan interaksi dalam
proses pembelajaran, baik dengan guru, siswa
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 17
lain, maupun dengan lingkungannya sehingga
tercipta suasana interaksi yang multiarah.
Kepala sekolah diharapkan berperan
aktif untuk memotivasi dan memfasilitasi para
pendidik di lingkungan instansi kerja untuk
meningkatkan kompetensinya melalui
workshop, seminar, diklat tentang proses
pembelajaran inovatif atau sejenisnya. Karena
pengetahuan akan model-model pembelajaran
merupakan poin utama para pendidik untuk
mengembangkan kualitas pembelajaran
kepada para siswa.
LPTK diharapkan agar
mempertimbangkan untuk memperkenalkan
model pembelajaran creative problem solving
pada pembelajaran IPA sejak dini kepada
mahasiswa calon guru. Selain sebagai salah
satu model pembelajaran inovatif, pelatihan
sejak dini membantu calon guru untuk terbiasa
mengaplikasikan ke dalam proses
pembelajaran. Serta diharapkan membantu
secara akademis terhadap program
peningkatan mutu pendidikan yang
dicanangkan oleh pemerintah.
DAFTAR RUJUKAN
Budiana. 2013. Pengaruh Model Creative
Problem Solving (CPS) Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
pada Mata Pelajaran IPA Siswa Kelas
V SD. Skripsi. Singaraja: Undiksha
Singaraja.
Dantes, I. N. 2012. Metode Penelitian.
Yogyakarta: Andi Offset
Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan
Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Akasara.
Husnawati, N. 2015. Pengaruh Model
Pembelajaran Creative Problem
Solving Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Matematika Siswa
Kelas VII SMP Negeri 2 Kopang.
Journal. Kopang: IKIP Mataram.
Ismail, A. 2006. Education Games.
Yogyakarta: Pilar Media
Pepkin K.L. 2004. Creative Problem Solving
In Math. Tersedia di:
http://www.uh.edu/hti/cu/2004/v02/04.
htm (diunduh pada tanggal 5-5-2016).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
2006. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional RI.
Rohwati, M. 2012. Penggunaan Education
Game Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar IPA Biologi Konsep
Klasifikasi Makhluk Hidup. Journal.
Semarang: Unnes.
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pebelajaran.
Berorientasi Standar Proses
Pendidikan (cetakan ke-3). Jakarta:
Kencana.
Sugiyono. 2008. Statitiska untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu.
Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 100
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT
(STM) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN
SELF-EFFICACY SISWA
M. Dwipayana
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan
self-efficacy siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Sains
Teknologi Masyarakat (STM) dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran langsung (Direct Instruction). Jenis penelitian ini adalah penelitian
semu (quasi experiment) dengan rancangan pretest-posttest non equivalent control group
design Populasi dalam penelitian ini semua siswa kelas VII SMP 2 Singaraja dan sampel
sebanyak 75 orang siswa. Data self-efficacy dikumpulkan dengan metode kuisioner dan data
kemampuan pemecahan masalah dikumpulkan dengan tes essay. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Manova. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan self-
efficacy siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STM
dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran langsung
(Direct Instruction) dengan rata-rata nilai gain score STM lebih unggul dari nilai gain score
DI berturut-turut yaitu 0,53>0,48 pada variabel kemampuan pemecahan masalah dan
0,55>0,41 pada variabel self-efficacy. Hasil Uji LSD menunjukan gain score kemampuan
pemecahan masalah dan self-efficacy antara kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran STM lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran langsung (Direct Instruction).
Kata kunci: Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM), Kemampuan
Pemecahan Masalah, Self-Efficacy
ABSTRACT
This study aimed to analyze differences of problem solving abilities and students self-
efficacy between Science Technology Society (STS) learning model student groups
compared to Direct Instruction learning model student groups. This research type is quasi
experiment with pretest-posttest non equivalent control group design. The population in this
study are all seven degree students of SMP 2 Singaraja and sample of 75 students. The self-
efficacy data was collected by questionnaire and problem solving data was collected by
essay test. Data analysis used in this research is Manova. Based on the research that has been
done, it is found there is difference of problem solving skills and student self- efficacy
between group of students studying with STS learning model compared with group of
students studying with direct instruction model with average value of gain Score STS is
superior to the value of gain DI score respectively that is 0.53> 0.48 on problem-solving
ability variables and 0.55> 0.41 in the variable self-efficacy. LSD’s test showed that gain
score of problem solving abilities and students self-efficacy in Science Technology Society
(STS) learning model student groups better than Direct Instruction learning model student
groups.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 101
Keywords: Science Technology Society learning models (STS), Problem Solving
Abilities, Self-Efficacy
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi
pondasi yang essensial dalam penentuan
kualitas hidup suatu bangsa. Pada era
globalisasi pendidikan juga ikut mengalami
perubahan-perubahan, baik itu orientasi,
tujuan, metode, dan lain-lain. Pada era
globalisasi juga terjadi pertukaran informasi
dan komunikasi dengan sangat cepat yang
berdampak pada terbentuknya masyarakat
yang dinamis dan serba cepat. Hal ini
memberikan peluang antar bangsa
melakukan interaksi dan berdampak pada
persaingan yang semakin tinggi untuk
memiliki sumber daya manusia yang unggul.
Mendapatkan kualitas sumber daya manusia
yang unggul dan berkualitas tentu
diperlukan usaha dan kerja keras dari
berbagai pihak terutama dalam bidang
pendidikan. Menurut Marsigit (2012) era
globalisasi menjelaskan perbedaan
paradigma pendidikan pada abad 20 dan
abad 21 yang menyatakan bahwa telah
terjadi perubahan besar dalam paradigma
pendidikan. Jika sebelumnya, pada abad 20,
pembelajaran berpusat pada guru dengan
kurang memperhatikan bagaimana siswa
memperoleh pengetahuan, maka pada abad
ke-21 sekarang ini adalah kebalikannya.
Pada abad ini, siswa dituntut untuk aktif
dalam pembelajaran, mampu berpikir
analitik, kritis, logis, kreatif, dan mampu
mengkonstruksi pengetahuan yang
didapatnya sendiri, sehingga pengetahan dan
keterampilan yang diperolehnya dapat
digunakan dan diaplikasikan dalam
memecahkan masalah-masalah kehidupan
sehari-hari. Sikap-sikap yang diharapkan ada
dalam pembelajaran tersebut berkaitan
langsung dengan kualitas pendidikan IPA.
Menurut Sismanto (2007) IPA umumnya
memiliki peran penting dalam peningkatan
mutu pendidikan dan merupakan pondasi
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Sumber Daya Manusia yang dimiliki suatu
bangsa dapat dikatakan maju jika mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi .
Menurut Khan (2008) peningkatan kualitas
sumber daya manusia tidak dapat terjadi
tanpa adanya pendidikan berkulitas. Hal ini
tentu harus direspon dengan kinerja sistem
pendidikan yang profesional dan berkualitas
serta berintegritas.
Pemerintah telah berupaya dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas
pendidikan dan pembelajaran di sekolah
melalui berbagai upaya seperti penetapan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional,
peraturan pemerintah, sisdiknas, sarana dan
prasarana dan orientasi pembelajaran di
sekolah. Upaya lain juga dilakukan dengan
membuat Undang-undang tentang tenaga
pendidik untuk meningkatkan
profesionalisme kerja untuk memenuhi
kompetensi seperti penguasaan materi
subjek, pemahaman terhadap pembelajar
(Suma, 2004) Perbaikan juga dilakukan di
sektor kurikulum secara periodik dan
berkesinambungan seperti upaya inovatif
penyempurnaan kurikulum 1994 menjadi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Penyempurnaan kurikulum dilanjutkan dan
disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), bahkan KTSP
kembali disempurnakan menjadi Kurikulum
2013 (K13).
Berbagai upaya yang telah dilakukan
pemerintah tersebut seharusnya dapat
memberikan pengaruh baik terhadap
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Namun kenyataan di lapangan menunjukan
mutu pendidikan di Indonesia masih
tergolong rendah.
Hal ini dapat dilihat dari fakta yang
ditunjukkan oleh TIMSS tahun 2011. Hasil
penilaian TIMSS terhadap prestasi siswa
Indonesia adalah sebagai berikut: prestasi
pada bidang IPA, pada tahun 1999 Indonesia
berada pada peringkat 32 (dari 38 negara),
pada tahun 2003 Indonesia berada pada
peringkat 37 (dari 46 negara) dan pada tahun
2007 Indonesia berada pada peringkat 35
(dari 49 negara) (Salim. 2010). Data
peringkat ini menunjukkan bahwa prestasi
IPA Indonesia tergolong rendah dan berada
pada kisaran peringkat 32 hingga 37 dari
negara-negara anggota IEA yang jumlahnya
sekarang lebih dari 50 negara. Pada Skor
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 102
literasi IPA Indonesia berturut-turut dari
tahun 1999, 2003 dan 2007 adalah: 435, 420
dan 433. Sedangkan skor matematika pada
tahun 1999 adalah 403, tahun 2003 adalah
411 dan tahun 2007 adalah 405. Rata-rata
skor dari semua negara peserta adalah 500
dengan simpangan baku 100. Dari data
tersebut terlihat bahwa terjadi stagnansi
bahkan penurunan prestasi dalam
pembelajaran IPA yang dikenal dengan mata
pelajaran dengan mengaitkan kemampuan
proses pemecahan masalah dengan
kehidupan sehari-hari.
Pada hasil data yang dilakukan Global
Education Monitoring Report (GEM Report.
2016) skor literasi sains siswa di indonesia
tergolong rendah yaitu 33 persen pada
bidang pemahaman yang memadai tentang
isu-isu yang terkait kewarganegaraan global
dan pembangunan berkelanjutan. Ini juga
dibuktikan dari data yang dikeluarkan
Programme for International Student
Asessment (PISA) tahun 2015. Dalam
penelitian PISA, Indonesia berada pada
peringkat 62 dari 70 negara peserta dalam
hal kemampuan literasi sains yang
mencakup kesiapan keterlibatan siswa dalam
belajar, kesiapan dalam pemecahan masalah,
dan keyakinan diri siswa. Hal ini
menyebabkan kemauan siswa untuk
berprestasi rendah dan faktor internal lain
membuat perbedaan yang nyata terhadap
hasil belajar siswa.
Keberhasilan dunia pendidikan juga
terhambat oleh beberapa kendala. Salah
satunya adalah masalah kecurangan-
kecurangan dalam ujian, perilaku menyontek
dalam pembuatan tugas maupun ujian, dan
kecenderungan siswa tidak aktif dan minder
pada saat proses pembelajaran. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kushartanti
(2009) didapatkan bahwa terdapat
hubungan negatif yang sangat signifikan
antara kepercayaan diri dengan perilaku
menyontek. Hal ini berarti variabel
kepercayaan diri dengan segala aspek di
dalamnya dapat digunakan sebagai prediktor
untuk mengukur perilaku menyontek, yaitu
semakin rendah tingkat kepercayaan diri
maka semakin tinggi kemungkinan perilaku
menyontek. Bentuk bentuk masalah tersebut
merupakan suatu fenomena yang bersumber
dari kecemasan yang berlebih dan
menyebabkan keyakinan diri siswa rendah.
Hal ini berkaitan dengan teori Bandura
tentang self-efficacy atau keyakinan terhadap
kemampuan diri sendiri.
Masih banyak guru yang enggan
menggunakan model pembelajaran inovatif
dan sering menggunakan metode
konvensional juga menjadi kendala.
Menurut penelitian Sadia (2008) model
pembelajaran yang paling dominan
digunakan adalah model ekspositori yang
menekankan pada kegiatan ceramah, diskusi
dan tanya jawab yang secara langsung
dilakukan oleh guru. Model pembelajaran
langsung juga hanya memperhatikan hasil
belajar siswa tanpa melihat proses
mendapatkan ilmu dan kontruksi
pengetahuan. Sehingga model pembelajaran
langsung menekankan pembelajaran yang
didominasi oleh guru / teacher centered
(Riyanto, 2010).
Materi ajar dalam kurikulum yang
berlaku dewasa ini juga cenderung
mengarah pada “science for scientist”
(Sadia, 2014). Materi ajar yang disajikan
masih terfokus pada kajian ontologi dan
epistimologinya. Hal ini berdampak pada
kecenderungan siswa belajar IPA hanya
untuk ujian atau ulangan. Pengajaran
klasikal jarang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berinteraksi dalam
masyarakat belajar (Adnyana, 2004).
Penerapan model pembelajaran langsung
berdampak pada rendahnya ketrampilan
berpikir kritis siswa karena tidak adanya
proses pelatihan ketrampilan seperti kaitan
antara pelajaran dengan dunia nyata dan
proses pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Berbagai temuan indikator kualitas
pendidikan di Indonesia yang masih
tergolong rendah dengan tujuan pendidikan
nasional yang diharapkan menunjukan
adanya kesenjangan yang besar. Mengingat
pentingnya ketrampilan pemecahan masalah
dalam pembelajaran IPA serta untuk
mengurangi kecemasan siswa, maka
dipandang perlu untuk meningkatkan
ketrampilan proses sains utamanya
kemampuan pemecahan masalah yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
menumbuhkan kepercayaan diri (self-
efficacy) dalam pembelajaran. Salah satu
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 103
cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan model pembelajaran Sains
Teknologi Masyarakat (STM).
Sains Teknologi Masyarakat (STM)
merupakan suatu model pembelajaran yang
dapat dijadikan alternatif dalam pengelolaan
kelas dan pembelajaran. Menurut Suastra
(2009) bahwa pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan manusia, baik
sebagai individu maupun kelompok. Hampir
setiap aspek kehidupan masyarakat modern
dewasa ini akan bersentuhan langsung
dengan masalah-masalah yang mengandung
isu-isu sains, teknologi, dan masyarakat.
Menurut Sadia (2014) keuntungan model
STM dalam pembelajaran sains adalah
berlakunya model belajar kontruktivis.
Model pembelajaran ini menekankan pada
proses mendapatkan ilmu dan berbasis siswa
aktif (student centered) dan melatih
ketrampilan berfikir tingkat tinggi.
Ketrampilan tingkat tinggi juga dikaitkan
dengan pemecahan masalah, pembuatan
keputusan, ketrampilan berfikir kritis dan
berfikir kreatif (Costa, 1998).
Model pembelajaran STM akan
menggali isu-isu di masyarakat yang
disesuaikan dengan kemajuan IPTEK yang
dapat membuat siswa berfikir secara
komprehensif dan kritis dalam menemukan
solusi dan ide dalam memecahkan masalah
akan berpengaruh kepada self-efficacy siswa.
Bandura (1977) menyatakan bahwa self-
efficacy dapat mempengaruhi keberhasilan
diri, keberhasilan orang lain, feedback
positif dan keadaan emosi. Dalam proses
belajar dengan model STM siswa akan
dilatih menjadi pemecah masalah yang
handal dan secara tidak langsung akan
meningkatkan kepercayaan diri siswa
melalui sintaks yang ada dalam model STM.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
quasi experiment (eksperimen semu) yang
membandingkan dua jenis model
pembelajaran yang berbeda yaitu model
pembelajaran STM dan model pembelajaran
DI, terhadap dua variabel terikat yaitu
kemampuan pemecahan masalah dan self-
efficacy siswa. Pada penelitian ini digunakan
desain penelitian Pretest- Posttest Non
Equivalent Control Group Design.
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Singaraja
tahun pelajaran 2016/2017. Sampel dalam
penelitian ini diambil dengan cara random
assignment. Teknik ini digunakan sebagai
teknik dalam pengambilan sampel di sekolah
karena individu pada populasi telah
terdistribusi ke dalam kelas tertentu
sehingga tidak memungkinkan untuk
melakukan pengacakan pada tingkat
individu.
Secara umum metode pengumpulan
data pada penelitian ini dikelompokkan
menjadi dua jenis yaitu metode utama dan
metode pelengkap. Berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji pada penelitian ini
metode utama yang dimaksud adalah metode
tes. Metode tes digunakan untuk
mengumpulkan data tentang kemampuan
pemecahan masalah. Sedangkan, metode
pelengkap yaitu kuisioner yang digunakan
untuk memperoleh informasi tentang self
efficacy.
Instrumen yang digunakan untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah
siswa dengan menggunakan tes uraian
dengan lima indikator kemampuan
pemecahan masalah, yaitu
(1).Mengidentifikasi masalah,
(2).Merumuskan (menganalisis) masalah,
(3).Menemukan alternatif-alternatif solusi,
(4).Memilih alternatif solusi (terbaik),
(5)Kualitas hasil pemecahan masalah.
Instrumen untuk mengukur self
efficacy dengan menggunakan kuisioner
yang disusun sesuai dengan dimensi self
efficacy (level, strength, generality). Butir
kuisioner yang disusun akan berbentuk 2
komponen. Komponen 1 terkait dengan
materi pelajaran IPA, sedangkan yang
komponen 2 terkait dengan self efficacy
dalam belajar IPA.
RPP yang dikembangkan yaitu ada
dua model, masing masing model
pembelajaran yaitu sintaks model STM dan
sintaks model DI dengan aturan penggunaan
kurikulum 2013. Lembar kerja siswa dibuat
untuk memfasilitasi penerapan RPP yang
sudah diselipkan sintaks yang masing
masing yaitu sintaks STM, dan LKS dengan
sintaks DI.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 104
Sebelum digunakan sebagai alat dalam
pengambilan data perangkat pembelajaran
dan instrumen penelitian harus divalidasi
terlebih dahulu. Mekanisme perhitungan
validitas tersebut yaitu: 1) pakar menilai
setiap instrumen; (2) penilaian
dikelompokkan menjadi kurang relevan dan
sangat relevan; (3) hasil penilaian pakar
ditabulasi dalam bentuk matrik; (4)
melakukan tabulasi silang antara dua pakar;
(5) menghitung validitas isi.
Pada uji coba tes kemampuan
pemecahan masalah ini, dipakai empat
penilaian untuk menentukan kualitas tes
yang akan dipakai dalam pengambilan data
yaitu penentuan Indeks Daya Beda (IDB),
kesukaran butir tes, korelasi antar variabel,
konsistensi internal tes. Untuk kuisioner self-
efficacy digunakan tiga penilaian yaitu
validitas butir, reliabilitas, korelasi antar
variabel.
Uji prasyarat analisis digunakan untuk
mengetahui apakah data yang diperoleh
memenuhi syarat untuk dianalisis dengan
statistik parametrik atau tidak dengan
melakukan uji normalitas, homogenitas dan
korelasi antar variabel data sampel. Uji
hipotesis digunakan adalah uji F melalui
MANOVA (Multvariate Analysis of
Variance). Dalam hal ini digunakan bantuan
SPSS-PC 23.00 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan rumusan masalah dan
tujuan penelitian yang diharapkan, hasil dari
penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut.
Berdasarkan data pada tabel 1 di atas
maka dapat diketahui hasil uji hipotesis
dalam penelitian ini terbukti secara statistik
bahwa terdapat perbedaan kemampuan
pemecahan masalah dan self efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM dibandingkan
dengan kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran langsung (Direct
Instruction). Bedasarkan hasil uji statistik
analisis MANOVA dengan bantuan SPSS
23.00 for windows maka dapat diketahui
bahwa nilai F untuk Pillai’s Trace, Wilks’
Lambda, Hotelling's Trace, dan Roy’s
Largest Root sebesar 6,077 dengan nilai
signifikansi 0,004. Hal ini berarti bahwa H0
ditolak dan menerima Ha yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan kemampuan
pemecahan masalah dan self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM dibandingkan
dengan kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran langsung (Direct
Instruction). Hasil dari uji statistik
Tabel 1. Uji MANOVA
Efek Nilai F Hipotesis
db
galat
db Sig.
Intersep
Pillai's Trace 0,924 439,849 2,000 72,000 0,000
Wilks' Lambda 0,076 439,849 2,000 72,000 0,000
Hotelling's
Trace 12,218 439,849 2,000 72,000 0,000
Roy's Largest
Root 12,218 439,849 2,000 72,000 0,000
Model_Pembela
jaran
Pillai's Trace 0,144 6,077 2,000 72,000 0,004
Wilks' Lambda 0,856 6,077 2,000 72,000 0,004
Hotelling's
Trace 0,169 6,077 2,000 72,000 0,004
Roy's Largest
Root 0,169 6,077 2,000 72,000 0,004
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 105
MANOVA ini juga didukung oleh hasil
analisis deskriptif dengan membandingkan
hasil nilai rata-rata gain score ternormalisasi
antara model pembelajaran STM dengan
model pembelajaran DI. Hasilnya adalah
bahwa nilai gain score STM lebih unggul
dari nilai gain score DI berturut-turut yaitu
0,53>0,48 pada variabel kemampuan
pemecahan masalah dan 0,55>0,41 pada
variabel self-efficacy.
Hasil Temuan dalam penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Agustini, et al. (2013) yang
berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran
Sains Teknologi Masyarakat (STM)
terhadap Penguasaan Materi Dan
Keterampilan Pemecahan Masalah Siswa
Pada Mata Pelajaran IPA di Mts. Negeri
Patas” . Pada penelitian ini menunjukan
bahwa model pembelajaran sains teknologi
masyarakat dapat digunakan sebagai
alternatif model pembelajaran untuk
meningkatkan penguasaan materi dan
keterampilan pemecahan masalah. Model
STM juga memberikan kesempatan peserta
didik dalam menguasai setiap materi secara
sistematik dengan mengkontruksi sendiri
pengetahuan yang mereka dapatkan.
Agustini, et al. (2013) menyatakan bahwa
model STM dapat meningkatkan
ketrampilan kognitif dan melatihketrampilan
proses yang ada pada enam domain sains.
Hasil yang sama juga didapatkan
terkait dengan kemampuan pemecahan
masalah oleh D’zurilla et al.(1991)
melakukan penelitian dengan judul
“Relation between social problem-solving
ability and subsequent level of psychological
stress in college students”. Dalam penelitian
ini didapat bahwa terdapat hubungan
terbalik yang signifikan antara kemampuan
pemecahan masalah terhadap stres atau
tingkat frustasi siswa. Jika siswa dapat
memecahkan masalah-masalah sosial yang
dihadapinya, secara spontan tingkat stres
siswa berkurang, begitu pula sebaliknya.
Namun pada penelitian ini peneliti tidak
mencari hubungan antara self-efficacy
dengan kemampuan pemecahan masalah
karena dalam data statistik korelasi tidak
ditemukan adanya hubungan yang signifikan
jika kemampuan pemecahan masalahnya
tinggi akan meningkatkan self-efficacy.
Dengan demikian, kemampuan
pemecahan masalah dan self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM lebih baik
dibandingkan dengan kemampuan
pemecahan masalah dan self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran DI.
Tabel 2. Test Between of Subject Effect Kemampuan Pemecahan Masalah
Berdasarkan data pada table 2 di atas,
maka dapat diketahui bahwa nilai F sebesar
1,742 dengan signifikansi 0,019. Apabila
ditetapkan taraf signifikansi α=0,05, maka
nilai signifikansi lebih kecil daripada α
sehingga F signifikan. Hal ini berarti bahwa
H0 ditolak dan menerima Ha yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM dibandingkan
dengan kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran langsung (Direct
Instruction).
Hasil dari analisis deskriptif juga
menunjukan bahwa rata-rata skor gain
ternormalisasi variabel kemampuan
pemecahan masalah untuk kelompok siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
(STM) lebih baik dari kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran
Direct Instructions (DI). Nilai gain score
ternormalisasi untuk model pembelajaran
STM adalah 0,53 lebih tinggi dibandingkan
model pembelajran DI yaitu 0,48.
Hasil penelitian tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Riani
(2014) yang berjudul “Pengaruh Model
Source F Sig.
Corrected Model KPM 1,742 0,019
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 106
pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
(STM) dalam Pembelajaran Biologi
Bermuatan Karakter terhadap Ketrampilan
Berpikir kritis dan Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa SMA”. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa skor rata-rata tes
kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi
dengan gain score 0,581 untuk model
pembelajaran STM dari model pembelajaran
DI dengan rata-rata gain score 0,318. Pada
penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa
pencapaian tiap indikator Kemampuan
Pemecahan Masalah untuk model
pembelajaran STM lebih baik dari model
pembelajaran langsung.
Kemampuan pemecahan masalah setiap
siswa berbeda-beda. Garreth (1986)
menyatakan metode pemecahan masalah
seseorang tidak hanya bergantung pada
tingkat kecerdasan seseorang, namun juga
dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman
pribadi dan situasi masalah masing masing
orang. Perbedaan nilai gain score pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol menunjukan
adanya perbedaan pengalaman belajar yang
didapat seseorang, sehingga mempengaruhi
hasil pemecahan masalah. Kemampuan
pemecahan masalah juga dapat memberikan
pengalaman baru pada peserta didik.
Penelitian yang dilakukan Kirtikar (2010)
menyatakan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan sains dapat memberikan konsep
ilmu yang penuh arti, tidak hanya mengerti
dalam konsep sehingga siswa memiliki
pemahaman mendalam.
Dengan demikian, kemampuan pemecahan
masalah siswa antara kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran STM
lebih baik dibandingkan dengan kemampuan
pemecahan masalah siswa antara kelompok
siswa yang belajar dengan model
pembelajaran DI.
Tabel 3. Test Between of Subject Effect Self-
efficacy
Source F Sig.
Corrected
Model
Self
efficacy 12,276 0,001
(3) Berdasarkan data pada tabel 3 di
atas, maka dapat diketahui bahwa nilai F
sebesar 12,276 dengan signifikansi 0,001.
Apabila ditetapkan taraf signifikansi α=0,05,
maka nilai signifikansi lebih kecil daripada α
sehingga F signifikan. Hal ini berarti bahwa
H0 ditolak dan menerima Ha yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan self-
efficacy siswa antara kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran STM
dibandingkan dengan kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran
langsung (Direct Instruction).
Hasil dari analisis deskriptif juga
menunjukan bahwa rata-rata skor gain
ternormalisasi variabel self-efficacy untuk
kelompok siswa yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) lebih baik dari kelompok
siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran Direct Instructions (DI). Nilai
gain score ternormalisasi untuk model
pembelajaran STM adalah 0,55 lebih tinggi
dibandingkan model pembelajran DI yaitu
0,41.
Self-efficacy juga menjadi faktor
penentu dalam pencapaian akademik siswa.
Motlagh., et al. (2011) menyatakan bahwa
self-efficacy menjadi faktor untuk
mengevaluasi pencapaian akademik. Hal ini
berarti bahwa self-efficacy dapat
meningkatkan prestasi siswa.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Ulantari (2014)
yang berjudul “Pengaruh Model
Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
Lingkungan (STML) dalam pembelajaran
kimia Terhadap Ketrampilan berfikir kritis
dan self-efficacy siswa SMA”. Dalam
penelitiannya tersebut didapatkan perbedaan
yang signifikan hasil self-efficacy siswa
yang belajar dengan model STML dengan
F=76,903; p<0,05. Penelitian yang
dilakukan oleh Widiarsana (2012) yang
berjudul “Pengaruh Model Siklus Belajar 7E
Terhadap Pemahaman Konsep dan Self-
efficacy Siswa dalam pembelajaran Fisika”
self efficacy juga berpengaruh positif
terhadap model pembelajaran 7-E. Dalam
penelitian tersbut juga didapatkan ada
perbedaan self-efficacy antara siswa yang
belajar dengan model MSB-7E lebih baik
daripada menggunakan MPK dengan nilai F
yaitu 38,385 dan p<0,05. Model
pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-
Share juga dapat mempengaruhi self-efficacy
siswa dan juga dipengaruhi oleh gender. Hal
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 107
ini dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nuyami (2013). Dalam
penelitiannya tersebut didapatkan adanya
perbedaan self-efficacy siswa yang
dibelajarakan dengan model TPS dengan
model konvensional dengan nilai F=21,572 ;
p<0,05. Dan terdapat perbedaan self-efficacy
siswa laki-laki dan perempuan dengan
F=12,667; p<0,05).
Dengan demikian, self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM lebih baik
dibandingkan dengan self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran DI.
Dengan demikian, self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM lebih baik
dibandingkan dengan self-efficacy siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran DI.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis
dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah dan self-
efficacy siswa antara kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran STM
dibandingkan dengan kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran
langsung (Direct Instruction) dengan rata-
rata nilai gain score STM lebih unggul dari
nilai gain score DI berturut-turut yaitu
0,53>0,48 pada variabel kemampuan
pemecahan masalah dan 0,55>0,41 pada
variabel self-efficacy.
Kedua, terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah siswa
antara kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran STM dibandingkan
dengan kelompok siswa yang belajar dengan
model pembelajaran langsung (Direct
Instruction) dengan rata-rata skor gain
ternormalisasi variabel kemampuan
pemecahan masalah untuk kelompok siswa
yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
(STM) lebih baik dari kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran
Direct Instructions (DI). Nilai gain score
ternormalisasi untuk model pembelajaran
STM adalah 0,53 lebih tinggi dibandingkan
model pembelajran DI yaitu 0,48.
Ketiga, terdapat terdapat perbedaan
self-efficacy siswa antara kelompok siswa
yang belajar dengan model pembelajaran
STM dibandingkan dengan kelompok siswa
yang belajar dengan model pembelajaran
langsung (Direct Instruction) dengan nilai
gain score ternormalisasi untuk model
pembelajaran STM adalah 0,55 lebih tinggi
dibandingkan model pembelajran DI yaitu
0,41.
Berdasarkan temuan - temuan tersebut
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
model pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) lebih baik dari
pembelajaran Direct instructions (DI)
terhadap kemampuan pemecahan masalah
dan self-efficacy.
Berdasarkan simpulan penelitian yang
telah dipaparkan, maka dapat diajukan
beberapa saran guna peningkatan kualitas
pembelajaran IPA sebagai berikut.
1) Hasil penelitian menunjukan bahwa
kemampuan pemecahan masalah dan
self- efficacy siswa antara kelompok
siswa yang belajar dengan model
pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) lebih unggul
dibandingkan dengan kelompok siswa
yang belajar dengan model pembelajaran
langsung (Direct Instruction). Maka dari
itu, penting diperkenalkan model
pembelajaran ini agar terwujud proses
pembelajaran yang bemakna sehingga
mampu meningkatkan keinginan siswa
untuk belajar.
2) dari hasil penelitian ini, dapat disarankan
untuk menggunakan model
pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) sebagai alternatif
model pembelajaran guna memberi
inovasi dalam proses pembelajaran
sehingga mampu meningkatkan kualitas
hasil belajar IPA.
3) Untuk penyempurnaan penelitian ini,
disarankan kepada peneliti lain untuk
mengadakan penelitian lanjutan dengan
melibatkan variabel-variabel lain.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 108
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih penulis ucapkan kepada
Prof. Dr. Putu Budi Adnyana, M.Si., dan
Prof. Dr. Ketut Suma, MS., selaku
pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, waktu, saran, masukan, dan
motivasi dalam proses penyusunan artikel
ini. Juga kepada bapak dan ibu dan teman-
teman yang telah banyak membantu dan
yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
penulis hanya dapat mendoakan semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melindungi dan membalas atas budi baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana. P.B. 2004. Pengembangan Model
Pembelajaran Kooperatif Bermodul
yang berwawasan Sains Teknologi
Masyarakat (STM) dan Pengaruh
Implementasinya terhadap Hasil
Belajar Biologi Siswa SMA di
Singaraja. Disertasi. Universitas
Negeri Malang.
Agustini, D., Subagia, I W., & Suardana, I
N. 2013. “Pengaruh Model
Pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) terhadap
Penguasaan Materi dan Keterampilan
Pemecahan Masalah Siswa pada Mata
Pelajaran Ipa Di Mts. Negeri Patas”.
E-Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha. 3 (
): 1-10.
Autieril. S. M., Amirshokoohi, A., &
Kazempour, M. 2016. “The science-
technology-society framework for
achieving scientific literacy: an
overview of the existing literature”.
European Journal of Science and
Mathematics Education. 4(1): 75-89.
Britner. S. L., & Pajares. P. 2004. “Self-
efficacy beliefs, Motivation, Race, and
Gender in Middle School Science”.
Journal of Woman and Minorities in
Science and engineering. 7(4): 1-15
Costa, A. L (ed). 1998. Developing Minds
Resource Book for Teaching Thinking.
Alexandria: ASCD.
D’Zurilla, T. J., Sheedy, J., & Collete, F.
1991. “Relation between Social
Problem Solving Ability and
Subsequent Level of Psycological
Stress in College Student”. Journal of
Personality and Social Psycology. 61
(5): 841-846.
Finn. K.V. 2004. “Academic Perfomance
and Cheating: Moderating Role of
School Identification and Self-
efiicacy”. The Journal of Education
Research. 97(3): 115-121.
Garrett, R.M. 1986. “Problem-solving in
Science Education”. Studies in Science
Education. 13(1): 70-95.
Joyce, B. 2009. Models of Teaching.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khan, M. W. 2008. “The importance of
education”. Tersedia pada
http://www.alrisala.org/Articles/mailin
g_list/importance_of_education.html.
(Diakses tanggal 12 Nopember 2016).
Kirtikar, R. 2010. “A Problem-solving
Approach for Science Learning”. New
perspective in Science Education”. 7
(2): 1-4.
Kushartanti, A. 2009. “Perilaku Menyontek
ditinjau dari Kepercayaan Diri”.
Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala
Psikologi. 11(2): 38-46.
Marsigit, P. D. 2012. “Educational
Paradigm”. Tersedia pada
http//:powermathematics.edu/2012/12/
educational-paradigm.html (Diakses
tanggal 14 Nopember 2016).
Mbajiorgu N. M. 2002. “Relationship
between STS Approach, Scientific
Literacy, and Achievement in
Biology”. Science Educations Journal.
87 ( ): 1-7.
Motlagh, S. E., Amrai, K., Yazdani, M. J.,
Abderahim, H., & Souri, H. 2011.
“The Relationship between Self-
efficacy and Academic Achievement
in High School Students”. Procedia
Social and Behavioral Sciences. 15 ( ):
765-768.
Nuyami, N. M. S. 2013. Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-
Pair-Share terhadap Self-efficacy
Siswa SMP ditinjau dari Gender.
Tesis (tidak diterbitkan). Program
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 109
Studi Pendidikan Sains Pascasarjana,
Undiksha.
Pamela, A. S. “Believing is Achieving: The
Implications of Self-Efficacy Research
for Family and Consumer Sciences
Education”. Research Applications In
Family And Consumer Sciences. 4(2):
143-152.
Riani, E. D. 2014. Pengaruh Model
Pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) Dalam
Pembelajaran Biologi Bermuatan
Karakter terhadap Ketrampilan
Berpikir Kritis dan Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa SMA.
Tesis (tidak diterbitkan). Program
Studi Pendidikan Sains Pascasarjana,
Undiksha.
Saad N.G. 2005. “The Sources of
Pedagogical Content Knowledge
(PCK)”. Universiti Pendidikan Sultan
Idris. 4(2): 1-8.
Sadia, I W. 2014. Model-model
Pembelajaran Sains Kontruktivistik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Salim. A (Ed). 2010. Trend Prestasi
Matematika dan IPA pada TIMSS
Tahun 1999, 2003 dan 2007, Jakarta:
Pusat Penilaian Pendidikan Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kementrian Pendidikan Nasional.
Schunk, D. H. (1995). “Self-efficacy,
motivation, and performance”.
Journal of Applied Sport Psychology.
7(2): 112-137.
Selcuk, G. S., Caliskan, S., & Erol, M. 2008.
“The effect of Problem-solving
Instruction and strategy use”.
American Journal Education. 2(3):
151-166.
Sismanto. 2007. “Menakar Integrasi IPA
dalam KTSP”. Tersedia pada http://re-
searchengines.com/0707sismanto.html
. (Diakses tanggal 9 Nopember 2016).
Sudiarta. 2007. “Pengembangan
Pembelajaran Berpendekatan Tematik
Berorientasi Pemecahan Masalah
untuk Mengembangkan Kompetensi
Berpikir Divergen, Kritis dan Kreatif”.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.
Tersedia pada www.depdiknas.co.id
(Diakses tanggal 14 Mei 2017).
Sujanem, R. 2006. “Optimalisasi
Pendekatan STM Dengan Strategi
Belajar Berbasis Masalah dalam
Pembelajaran Fisika Sebagai Upaya
Mengubah Miskonsepsi,
Meningkatkan Literasi Sains dan
Teknologi Siswa”. Jurnal Pendidikan
dan Pengajaran IKIP Negeri
Singaraja. ISSN 02158250 :249-263.
Suma, K. 2004. “Peningkatan Profesional
Guru Sains”.Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran IKIP Negeri Singaraja.37(
): 68-77.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Ulantari, N. W. N. 2014. Pengaruh Model
Pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat Lingkungan (STML)
dalam Pembelajaran Kimia terhadap
Ketrampilan Berpikir Kritis dan Self-
efficacy Siswa SMA. Tesis (tidak
diterbitkan). Program Studi
Pendidikan Sains Pascasarjana,
Undiksha.
Unesco. 2016. Global Education Monitoring
Report. Edisi Ke-2. Paris: UNESCO
Publishing.
Widiarsana, K. S. 2012. Pengaruh Model
Siklus Belajar 7E Terhadap
Pemahaman Konsep dan Self-efficacy
Siswa dalam pembelajaran Fisika.
Tesis (tidak diterbitkan). Program
Studi Pendidikan Sains Pascasarjana,
Undiksha.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 110
EVALUASI DISKREPANSI TERHADAP IMPLEMENTASI PENDEKATAN
SAINTIFIK PADA MUATAN PELAJARAN PKn TEMA CITA-CITAKU
DI KELAS IV SD SE-KECAMATAN DENPASAR TIMUR
Ni Wayan Widyaningsih
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diskrepansi terhadap implementasi pendekatan
saintifik pada muatan pelajaran PKn tema Cita-Citaku di kelas IV SD se-Kecamatan Denpasar
Timur. Penelitian ini merupakan penelitian evaluatif dengan model diskrepansi. Populasi dalam
penelitian ini adalah guru kelas IV SD di Kecamatan Denpasar Timur yang terdiri dari 6 gugus
dan terdapat 36 sekolah. Sampel diambil dengan teknik multistage random sampling. Data yang
dikumpulkan adalah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran, data persepsi guru
dan hasil belajar PKn. Data perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pendekatan saintifik
dikumpulkan dengan rubrik observasi, data persepsi guru terhadap pendekatan saintifik
dikumpulkan dengan kuesioner, serta data hasil belajar PKn dikumpulkan dengan pencatatan
dokumen. Data dianalisis dengan statistik deskriptif kuantitatif dan korelasi product moment.
Diskrepansi yang terjadi terkait dengan perencanaan pembelajaran berpendekatan Saintifik pada
muatan pelajaran PKn sebesar 32.97 dengan kategori kecil , diskrepansi yang terjadi terkait
dengan pelaksanaan pembelajaran berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar
40,19 dengan kategori sedang, diskrepansi yang terjadi terkait dengan penilaian pembelajaran
berpendekatan Saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar 38.21 dengan kategori kecil,
diskrepansi terhadap implementasi pembelajaran berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran
PKn sebesar 37.13 dalam kategori kecil, persepsi guru terhadap pendekatan saintifik sebesar
73.33 dengan kategori baik, hasil belajar PKn siswa kelas IV sebesar 77.34 dengan kategori baik,
serta kontribusi kualitas pengelolaan pembelajaran berpendekatan saintifik terhadap hasil belajar
PKn adalah signifikan dengan koefisien determinasi sebesar 0.41 dan termasuk korelasi sedang.
Kata kunci: diskrepansi, evaluasi, pendekatan saintifik
ABSTRACT
This thesis aims to determine discrepancy towards implementation of scientific approach on PKn
lesson under theme My dream in grade IV of SD in Denpasar Timur district. This thesis was
evaluative research using discrepancy model. Population of this research was teacherof grade IV
of SD in Denpasar Timur district which consisted of 6 gugus in 36 schools. Sample was taken by
using multistage random sampling technique. The collected data was planning, procces and
lesson assessment, taken from teacher perception data, learning result of PKn. Teacher
perception data towards scientific approach was collected by questionnaire, planning data,
implementation and scientific approach assessment were collected by observation rubric and
learning result of PKn was collected by document recording. Data were analysed by using
statistic descriptive quantitative and correlation product moment. Research result shows that
discrepancy related to planning of learning process towards scientific of PKn is 32.97 as small
category, the discrepancy that related to learning procces towards scientific approach in PKn
lesson is 40.19 as regular category, the discrepancy that related to learning assessment towards
scientific approach on PKn lesson is 38.21 as small category, discrepancy towards
implementation of scientific approachon PKn lesson is 37,13 as small category, teacher’s
perception towards scientific approach is 73.33 as good category, learning result of PKn in grade
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 111
IV is 77.34 as good category and the contribution of quality management of learning process
using scientific towards learning result of PKn is significant with coefficient determination as
0,41 and it belongs to regular correlation.
Keywords : discrepancy, evaluation, scientific approach
PENDAHULUAN
Di era globalisasi, pendidikan
dituntut menghasilkan lulusan-lulusan atau
Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas. Salah satu usaha yang dilakukan
pemerintah untuk menghasilkan SDM yang
berkualitas dan menyesuaikan
perkembangan zaman adalah melakukan
pengembangan kurikulum. Pada tahun 2013
dilakukan pengembangan kurikulum di
Indonesia. Dari kurikulum KTSP menjadi
kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 mendefinisikan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
mengenai kualifikasi kemampuan lulusan
yang mencakup sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Acuan dan prinsip
penyusunan kurikulum 2013 mengacu pada
pasal 36 Undang-undang No. 20 tahun 2003
yang menyatakan bahwa penyusunan
kurikulum harus memperhatikan
peningkatan iman dan takwa; peningkatan
akhlak mulia; peningkatan potensi,
kecerdasan dan minat siswa; keragaman
potensi daerah dan lingkungan; tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; tuntutan
dunia kerja; perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni; agama;
dinamika perkembangan global dan
persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan.
Tujuan pembelajaran menurut
kurikulum 2013 disesuaikan dengan tujuan
pendidikan nasional yang dinyatakan pada
pasal 3 UU No 20 tahun 2003, yakni : “
Berkembangnya potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. Berdasarkan pada
landasan yuridis tersebut, dapat
dikatagorikan hasil belajar yang dicapai oleh
siswa, meliputi sikap spiritual (beriman dan
bertakwa kepaa Tuhan Yang Maha Esa),
Sikap Sosial (Berakhlak mulia, sehat
mandiri dan demokratis serta bertanggung
jawab, pengetahuan (berilmu) dan
keterampilan (cakap dan kreatif).
Pembelajaran dalam kurikulum 2013
menekankan pada dimensi pedagogik
modern yaitu dengan menggunakan
pendekatan Saintifik. Pembelajaran melalui
pendekatan saintifik adalah proses
pembelajaran yang dirancang sedemikian
rupa agar peserta didik secara aktif men-
gonstruksi konsep, hukum atau prinsip
melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk
mengidentifikasi atau menemukan masalah),
merumuskan masalah, mengajukan atau
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data
dengan berbagai teknik, menganalisis data,
menarik kesimpulan dan mengomunikasikan
konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.
Pendekatan ilmiah memiliki komponen
proses pembelajaran antara lain mengamati,
menanya, mencoba/mengumpulkan
informasi, menalar/asosiasi, dan membentuk
jejaring/melakukan komunikasi (Sani, 2014 :
53).
Tujuan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik didasarkan pada
keunggulan pendekatan tersebut, antara lain:
(1) meningkatkan kemampuan intelek,
khususnya kemampuan berpikir tingkat
tinggi, (2) untuk membentuk kemampuan
siswa dalam menyelesaikan suatu masalah
secara sistematik, (3) terciptanya kondisi
pembelajaran dimana siswa merasa bahwa
belajar itu merupakan suatu kebutuhan, (4)
diperolehnya hasil belajar yang tinggi, (5)
untuk melatih siswa dalam
mengomunikasikan ide-ide, khususnya
dalam menulis artikel ilmiah, dan (6) untuk
mengembangkan karakter siswa
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 112
Keberhasilan suatu kurikulum dalam
meningkatkan kualitas dan mutu sumber
daya manusia tidak dipungkiri sangat
ditentukan oleh pelaksana kurikulum
tersebut yaitu guru. Untuk dapat
mengimplementasikan pendekatan saintifik
dalam perencanaan pembelajaran, proses
pembelajaran maupun hasil belajar guru
harus memiliki pemahaman terlebih dahulu
mengenai hal tersebut. Menurut penelitian
yang diadakan oleh Puslitbang Kebudayaan
pada tahun 2013, pada jenjang sekolah
dasar, dari 175 guru sasaran, 94,86 %
memahami dengan baik mengenai buku teks
pegangan guru dan 96.00% memahami
dengan baik mengenai buku siswa.
Pemahaman mengenai buku guru dan buku
siswa memegang peranan yang penting
dalam perencanaan pembelajaran berbasis
pendekatan saintifik. Sedangkan untuk
pemahaman pelaksanaan pembelajaran
berbasis pendekatan saintifik, dari 175 guru
sasaran, 90.86% menunjukkan pemahaman
yang baik tentang pendekatan saintifik.
Dalam hal penilaian, diteliti pemahaman
guru tentang penilaian otentik karena
penilaian otentik merupakan penilaian yang
sesuai untuk menilai pembelajaran yang
menggunakan pendekatan saintifik. Dalam
pemahaman mengenai penilaian hasil
pembelajaran, dari 175 guru sasaran 88%
guru menunjukkan pemahaman yang baik.
Dari hasil penelitian diatas, diketahui
bahwa dalam tiga aspek implementasi
kurikulum 2013 yang berbasis pendekatan
saintifik, pemahaman guru sudah
menunjukkan kategori baik. Namun, setelah
Kurikulum 2013 secara serentak mulai
diberlakukan di seluruh Indonesia pada
tahun pelajaran 2014/2015, pemerintah
mengeluarkan surat edaran menteri yang
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014
tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun
2006 dan Kurikulum 2013. Permendikbud
Nomor 160 Tahun 2014 menyebutkan
bahwa satuan pendidikan dasar dan
pendidikan menengah yang telah
melaksanakan Kurikulum 2013 sejak
semester pertama pada Tahun Pelajaran
2014/2015 kembali melaksanakan
Kurikulum Tahun 2006 mulai semester
kedua selama Tahun Pelajaran 2014/2015
sampai ada ketetapan dari Kementerian
untuk melaksanakan Kurikulum 2013.
Sedangkan satuan pendidikan dasar dan
pendidikan menengah yang telah
melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga
semester tetap menggunakan Kurikulum
2013. Sekolah-sekolah tersebut merupakan
sekolah rintisan penerapan Kurikulum 2013.
Adanya perubahan peraturan diatas
mengindikasikan bahwa masih ada kendala-
kendala dalam pelaksanaan kurikulum 2013
yang perlu dikaji ulang. Seperti
dikemukakan dalam penelitian Bintari
(2014) yang menemukan bahwa kendala
yang dihadapi guru dalam pelaksanaan
pendekatan saintifik dalam pembelajaran
adalah pada menyesuaikan alokasi waktu
yang diberikan dengan materi yang ada.
Materi pembelajaran sangat kompleks
namun waktu yang diberikan terbatas.
Selain itu masalah lainnya juga disebutkan
bahwa contoh - contoh yang diberikan dalam
buku pegangan siswa kurang kontekstual
sehingga menyulitkan siswa dalam
memahami materi pelajaran.
Selain itu, secara khusus Nodyanto
(2015) dalam penelitiannya mengkaji
implementasi pendekatan saintifik dalam
suatu muatan pelajaran yaitu muatan
pelajaran PKn. Penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa guru sudah
menunjukkan pemahaman yang cukup
tentang pendekatan saintifik namun masih
perlu ditingkatkan berkaitan dengan
pemilihan model-model pembelajaran yang
tepat sesuai dengan pendekatan saintifik.
Perencanaan pembelajaran yang dibuat oleh
guru dalam pebelajaran PKn pada umumnya
sudah menggambarkan pendekatan saintifik
namun belum maksimal terutama pada
kegiatan menanya. Pada proses
pembelajaran dengan pendekatan saintifik
sudah dilaksanakan oleh guru tetapi belum
maksimal, yaitu kegiatan menanya pada
pertemuan pertama semua guru tidak
melaksanakannya. Selain itu tidak terlihat
guru menggunakan media pembelajaran
serta instrument penilaian. Penilaian masih
terbatas pada kegiatan meluruskan,
memperkuat, dan memberikan apresiasi
terhadap presentasi yang dilakukan siswa.
Bertalian dengan penelitian Nodyanto,
Ananda (2014) mengungkapkan bahwa
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 113
faktor penghambat implementasi pendekatan
saintifik dalam pembelajaran PKn adalah
terkait dengan mempersiapkan materi-materi
dan kelengkapan pembelajaran yang relatif
lebih lama dibanding kurikulum
sebelumnya, kurangnya fasilitas dan sumber
belajar untuk pengayaan siswa, mindset
orang tua dan sebagian guru yang tidak
menginginkan model Kurikulum 2013
dengan tematik integratifnya, serta kendala
dalam mengendalikan antusiasme dan
motivasi belajar siswa.
Selain itu, berdasarkan observasi awal
pada sekolah dasar di Kecamatan Denpasar
Timur, guru masih merasa kesulitan dalam
pelaksanaan pendekatan saintifik pada uatan
pelajaran PKn terutama dalam memfasilitasi
kegiatan menanya dan mencoba. Dalam dua
kegiatan tersebut siswa masih kurang aktif
dalam pembelajaran. Selain itu guru juga
kurang memahami dalam melakukan
penilaian pembelajaran. Guru kurang
memahami cara melakukan penilaian
autentik dan cara membuat instrumen untuk
penilaian autentik.
Adanya temuan-temuan mengenai
kelemahan dan hambatan implementasi
pendekatan saintifik dalam pembelajaran
khususnya muatan pelajaran PKn ini
mengindikasikan perlunya tindak lanjut
dengan melakukan evaluasi program.
Divayana (2017) menyatakan evaluasi
adalah aktivitas mengumpulkan,
menganalisis dan memberi makna terhadap
informasi dari suatu obyek yang dievaluasi,
yang mana hasil dari proses evaluasi tersebut
digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan yang tepat,
akurat, dan reliable. Obyek evaluasi yang
dimaksud adalah implementasi pendekatan
saintifik. Aspek yang perlu dievaluasi seperti
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
pembelajaran yang menggunakan
pendekatan saintifik. Perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian pendekatan
saintifik yang terjadi di lapangan
dibandingkan dengan kriteria implementasi
pendekatan saintifik sesuai Standar Proses
Kurikulum 2013.
Untuk tujuan evaluasi tersebut,
model evaluasi yang tepat digunakan adalah
model evaluasi diskrepansi. Model evaluasi
diskrepansi yakni evaluasi terhadap tingkat
kesesuaian antara standar yang sudah
ditentukan dalam program dengan
penampilan aktual dari program tersebut
(Marhaeni, 2007). Artinya, mencari
kesenjangan antara kondisi ideal
implementasi pembelajaran berpendekatan
saintifik dengan kondisi nyata yang terjadi di
lapangan. Kondisi ideal implementasi
pembelajaran berpendekatan saintifik
beracuan pada Standar Proses Pembelajaran
No 22 tahun 2016.
Adapun tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui
diskrepansi yang terjadi terkait dengan
perencanaan pembelajaran berpendekatan
Saintifik pada muatan pelajaran PKn; 2)
Untuk mengetahui diskrepansi yang terjadi
terkait dengan pelaksanaan pembelajaran
berpendekatan Saintifik pada muatan
pelajaran PKn; 3) Untuk mengetahui
diskrepansi yang terjadi terkait dengan
penilaian pembelajaran berpendekatan
Saintifik pada muatan pelajaran PKn;
4)Untuk mengetahui diskrepansi yang terjadi
terkait implementasi pembelajaran
berpendekatan saintifik pada mata pelajaran
PKn; 5) Untuk mengetahui persepsi guru
tentang implementasi pendekatan saintifik
pada muatan pelajaran PKn; 6) Untuk
mengetahui pencapaian hasil belajar PKn
siswa yang dibelajarkan menggunakan
pendekatan saintifik; 7)Untuk mengetahui
Kontribusi kualitas pengelolaan proses
pembelajaran berpendekatan saintifik
terhadap hasil belajar PKn .
METODE
Desain penelitian adalah penelitian
kebijakan jenis evaluasi program. Program
yang di evaluasi adalah Pendekatan Saintifik
pada Kurikulum 2013 di sekolah dasar .
Model evaluasi program yang digunakan
adalah model diskrepansi. Evaluasi model
diskrepansi dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat kesesuaian antara standar yang sudah
ditentukan dalam program dengan
penampilan aktual (di lapangan) dari
program tersebut
Populasi dalam penelitian ini adalah
guru kelas IV SD di Kecamatan Denpasar
Timur yang terdiri dari 6 gugus dan terdapat
36 sekolah. Sampel diambil dengan teknik
multistage random sampling. Didapatkan 15
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 114
orang guru kelas IV sebagai sampel. 15
orang guru ini berasal dari 10 sekolah dasar
yaitu 4 sekolah di gugus I Gusti Ngurah Rai,
3 sekolah di gugus Srikandi dan 3 sekolah di
gugus Dewi Sartika
Dalam penelitian ini metode
pengumpulan data menggunakan metode
kuesioner, observasi dan pencatatan
dokumen.
Metode Kuesioner dalam penelitian
ini digunakan untuk mengambil data
penelitian terkait persepsi guru terhadap
pendekatan saintifik. Kuesioner yang
digunakan berupa pertanyaan tertutup. Yang
dimaksud pertanyaan tertutup adalah
pertanyaan yang mengharapkan responden
untuk memilih salah satu alternatif jawaban
dari setiap pertanyaan yang telah tersedia.
Metode Observasi dalam penelitian ini
digunakan untuk mengambil data terkait
perencanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik, pelaksanaan pembelajaran
berpendekatan saintifik dan penilaian
pembelajaran berpendekatan saintifik. Untuk
data kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik akan menggunakan
gabungan data hasil observasi perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian pembelajaran
berpendekatan saintifik. Instrumen observasi
yang digunakan adalah instrumen observasi
format APKG (Alat Penilaian Kemampuan
Guru). APKG disusun berdasarkan acuan
kriteria perencanaan pembelajaran yang
terdapat dalam Permendikbud No 22 Tahun
2016 .
Pencatatan dokumen dalam penelitian
ini pencatatan dokumen digunakan untuk
mengambil data terkait hasil belajar PKn
siswa pada tema Cita-Citaku, sehingga
dokumen yang dimaksud adalah daftar nilai
PKn siswa kelas IV pada tema Cita-Citaku
dari guru yang dijadikan sampel penelitian.
Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan statistik deskriptif kuantitatif
dan analisis korelasi product moment.
Data terkait persepsi guru,
kemampuan guru dalam melakukan
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
pembelajaran berpendekatan saintifik serta
hasil belajar PKN siswa yang terkumpul
terlebih dahulu dicari rerata, dan nilai
tengahnya. Dalam deskriptif kuantitatif ini
data hasil penelitian diubah kedalam data
persentil kemudian dikonversikan kedalam
tabel lima kriteria dari Guilford dengan
penyesuaian sebagai berikut.
Tabel 1. Kriteria Kemampuan Guru
No Kriteria
Penguasaan (%)
Keterangan
1 80 < M ≤ 100 Sangat Baik
2 60 < M ≤ 80 Baik
3 40 < M ≤ 60 Cukup
4 20 < M ≤ 40 Kurang
5 0 < M ≤ 20 Sangat Kurang
Guilford dengan modifikasi (dalam
Candiasa, 2010).
Sedangkan untuk analisis data hasil
observasi yang menunjukkan adanya
diskrepansi dalam perencanaan, pelaksanaan
dan penilaian pembelajaran berpendekatan
saintifik, data akan dikonversi dalam kriteria
Guilford dengan modifikasi sebagai berikut.
Tabel 2. Kriteria Diskrepansi
No Kriteria
Diskrepansi (%)
Keterangan
1 0 < D ≤ 20 Sangat Kecil
2 20 < D ≤ 40 Kecil
3 40 < D ≤ 60 Sedang
4 60 < D ≤ 80 Besar
5 80 < D ≤ 100 Sangat Besar
Guilford dengan modifikasi (dalam
Candiasa, 2010)
Analisi dengan uji product moment
di gunakan untuk menganalisis kontribusi
kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik terhadap hasil
belajar PKn siswa. Sebelum dilakukan uji
hipotesis dengan analisis product moment,
terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat
analisis yaitu uji normalitas sebaran data
dengan uji Liliefors serta uji linieritas dan
keberartian arah regresi dilakukan dengan
uji F.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini menganalisis
kesenjangan yang terjadi dalam imlementasi
pendekatan saintifik berdasarkan Standar
Proses Nomor 22 tahun 2016.
Rerata skor kemampuan guru dalam
perencanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik sebesar 67,03 dengan kategori baik,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 115
dalam pelaksanaan pembelajaran
berpendekatan saintifik sebesar 59,81
dengan kategori cukup baik, dan dalam
penilaian pembelajaran berpendekatan
saintifik sebesar 61,79 dengan kategori baik.
Sehingga secara keseluruhanrerata skor
kemampuan guru dalam implementasi
pembelajaran berpendekatan saintifik
sebesar 62,83 dengan kategori baik
Diskrepansi yang terjadi dalam
perencanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik sebesar 32, 97 termasuk kategori
kecil, diskrepansi yang terjadi dalam
pelaksanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik sebesar 40,19 dengan kategori
sedang dan Diskrepansi yang terjadi dalam
pelaksanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik sebesar 38,21 dengan kategori
kecil. Sehingga secara keseluruhan
diskrepansi yang terjadi dalam implementasi
pembelajaran berpendekatan saintifik
sebesar 37,17 dengan kategori kecil.
Persepsi guru tentang implementasi
pendekatan saintifik pada mata pelajaran
PKn tema Cita-Citaku di kelas IV SD se
Kecamatan Denpasar Timur sebesar 73,33
termasuk kategori baik.
Pencapaian hasil belajar PKn siswa
yang dibelajarkan menggunakan pendekatan
saintifik pada tema Cita-Citaku di kelas IV
SD se Kecamatan Denpasar Timur adalah
77.34 dengan kategori baik.
Pengelolaan Proses Pembelajaran
Berpendekatan Saintifik berkontribusi
terhadap terhadap Hasil Belajar Pkn siswa
(rxy = 0,64 > rtabel = 0,514). Dengan
koefisien determinasi 0,41 pada kategori
sedang.
Pembahasan
Dalam perencanaan pembelajaran
berpendekatan saintifik guru kelas IV SD di
Kecamatan Denpasar Timur sudah
menunjukkan kemampuan yang baik
sehingga diskrepansi yang terjadi dalam
perencanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik termasuk kategori kecil. Hal ini
dikarenakan dalam penyususna perencanaan
pembelaran, 1)pada dimensi perumusan
indikator RPP guru telah mampu
merumuskan indikator sesuai dengan
kompetensi dasar dan mencerminkan
pendekatan saintifik, 2), pada dimensi
pengorganisasian materi pembelajaran guru
telah mampu memilih materi pembelajaran
yang sesuai dengan tingkat kognitif
operasional kongkret, 3), pada dimensi
pengorganisasian pengalaman belajar/
kegiatan belajar siswa yang memuat 6 M
guru telah mampu menyusun kegiatan
mengamati, menalar dan
mengkomunikasikan dalam pembelajaran,
4), pada dimensi pemilihan sumber belajar/
media pembelajaran guru telah mampu
memilih sumber belajar yang bersifat
konkret dan menunjang penyampaian materi
sesuai keadaan sebenarnya, 5) pada dimensi
penilaian hasil pembelajaran guru telah
merencanakan penilaian autentik untuk
menilai kompetensi dalam indikator
pencapaian, telah merencanakan adanya
penilaian sikap, keterampilan dan
pengetahuan, baik dalam proses maupun
akhir pembelajaran.
Namun ada beberapa komponen
dalam dalam penyusunan perencanaan
pembelajaran yang belum tercapai dengan
baik, sehingga menyebabkan adanya
kesenjangan dalam kategori kecil antara
kondisi di lapangan dengan kondisi ideal
sesuai Permendikbud Nomor 22 tahun 2016.
Adapun komponen yang belum tercapai
pada dimensi perumusan indikator/tujuan
pembelajaran adalah dalam rencana
pembelajaran belum memuat indikator yang
menuntut siswa untuk melakukan unjuk
kerja. Sebagaimana yang disebutkan oleh
Akbar (dalam Fakhrudin, 2014 ) bahwa
indikator pencapaian kompetensi adalah
penanda perubahan nilai, pengetahuan, sikap
, keterampilan dan perilaku yang dapat
diukur. Dapat dikatakan bahwa dalam
rumusan indikator pencapaian kompetensi
seharusnya mencakup kompetensi
pengetahuan, sikap dan keterampilan,
sehingga untuk mengakomodasi ketiga
kompetensi tersebut dapat tercapai dalam
pembelajaran perlu kegiatan pembelajaran
yang menuntut siswa melakukan unjuk
kerja, namun dilapangan indikator yang
dibuat oleh guru cenderung hanya
pengembangan pada ranah kognitif C1 dan
C2 yaitu menghafal dan menjelaskan materi.
Pada dimensi pengorganisasian
materi pembelajaran, rencana pembelajaran
belum banyak menggunakan materi yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 116
bersifat kontekstual, materi seringkali tidak
sesuai dengan keseharian dan lingkungan
anak. Hal sejenis juga ini ditemukan dalam
penelitian yang dilakukan Bintari (2014)
bahwa contoh - contoh yang diberikan dalam
buku pegangan siswa kurang kontekstual
sehingga menyulitkan siswa dalam
memahami materi pelajaran.
Sedangkan pada dimensi
pengorganisasian pengalaman belajar belum
memuat kegiatan menanya, mencoba dan
mengkreasikan. Hasil temuan ini bertalian
dengan hasil temuan Nodyanto (2015) yang
menyebutkan bahwa perencanaan
pembelajaran yang dibuat oleh guru dalam
pebelajaran PKn pada umumnya sudah
menggambarkan pendekatan saintifik namun
belum maksimal terutama pada kegiatan
menanya.
Selain itu pada dimensi sumber
belajar / media pembelajaran, sumber belajar
dan media pembelajaran yang digunakan
belum berasal dari lingkungan sekitar siswa.
Dalam dimensi penilaian hasil pembelajaran,
masih kurangnya instrumen penilaian yang
dilengkapi rubrik penilaian. Marhaeni
(2008) menyatakan bahwa Rubrik adalah
suatu pedoman penskoran yang digunakan
untuk menentukan tingkat kemahiran
(proficiency) siswa dalam mengerjakan
tugas. Rubrik juga digunakan untuk menilai
pekerjaan siswa. Apabila dua orang guru
atau lebih sedang menilai jenis pekerjaan
yang sama, maka penggunaan rurlik yang
sama membantu mereka memandang produk
itu dengan cara yang sama. Sehingg rubrik
sangat penting keberadaanya untuk
menjamin obyektifitas guru dalam
melakukan penilaian otentik. Namun
dilapangan guru seringkali melakukan
penilaian tampa mempersiapkan rubrik,
sehingga sangat rentan penilaian yang
dilakukan guru bersifat subyektif.
Beberapa komponen perencanaan
pembelajaran berpendekatan saintifik yang
belum dapat dicapai oleh guru karena ada
kendala yang sering dihadapi guru seperti
kendala dalam materi pembelajaran yang
hanya bersumber dari buku guru., Yang
mana buku tersebut bersifat nasional dan isi
materi dapat berasal dari berbagai daerah di
Indonesia, sehingga materi seringkali tidak
sesuai dengan keseharian dan lingkungan
siswa.
Kemampuan guru dalam
perencanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik yang sudah termasuk kategori baik,
di dukung oleh penelitian Kartowagiran,
Abrory (2014) bahwa kualitas perencanaan
pembelajaran matematika SMP Negeri kelas
VII di Kabupaten Sleman dalam
implementasi kurikulum 2013 termasuk
ketegori baik.
Pelaksanaan pembelajaran meliputi
komponen kegiatan pendahuluan, kegiatan
inti dan kegiatan penutup. Berdasarkan hasil
penelitian, dalam pelaksanaan pembelajaran
berpendekatan saintifik guru kelas IV SD di
Kecamatan Denpasar Timur sudah
menunjukkan kemampuan yang cukup baik
sehingga terdapat kesenjangan dalam
kategori sedang. Sebagaimana perencanaan
pembelajaran, dalam pelaksanaan
pembelajaran berpendekatan saintifik, juga
terdapat aspek-aspek pembelajaran yang
sudah dilakukan oleh guru dengan baik.
Seperti 1) dalam kegiatan pendahuluan, guru
sudah mampu mempersiapkan ruang kelas
yang memungkinkan siswa berinteraksi
dengan siswa lain, mempersiapkan media
pembelajaran yang mendukung kegiatan
ilmiah dan menyampaikan tujuan
pembelajaran dengan bahasa yang
dimengerti anak, 2) dalam kegiatan inti, guru
sudah mampu menciptakan suasana belajar
yang mendukung siswa untuk belajar akif,
melakukan kegiatan mengamati, menalar
serta mengkomunikasikan, dan 3) dalam
kegiatan penutup, guru sudah mampu
membuat rangkuman/ simpulan bersama
siswa serta memberikan tindak lanjut berupa
arahan, kegiatan atau tugas yang relevan
kepada siswa.
Namun masih banyak aspek dalam
pelaksanaan pembelajaran berpendekatan
saintifik yang belum dapat dilakukan guru
dengan baik, sehingga menyebabkan
diskrepansi dengan kategori antara kondisi
di lapangan dengan kondisi ideal sesuai
Permendikbud Nomor 22 tahun 2016.
Adapun komponen yang belum tercapai
pada kegiatan pendahuluan adalah guru
belum mengaitkan pembelajaran
sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari. Selain itu guru juga belu
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 117
menyampaikan hal-hal yang akan diukur
pada penilaian proses dan hasil belajar
kepada siswa.
Pada kegiatan inti belum terlaksana 6
pengalaman belajar dalam pendekatan
saintifik sesuai standar proses. Di sekolah
baru terlaksana kegiatan mengamati,
menalar dan mengkomunikasikan dengan
cukup baik, namun untuk kegiatan menanya,
mencoba dan mencipta belum terlihat. Hasil
ini didukung oleh penelitian Nodyanto
(2015) bahwa dalam proses pembelajaran
PKn dengan pendekatan saintifik guru
belum optimal dalam melakukan kegiatan
menanya. Jika dihubungkan dengan hasil
penelitian Ananda (2014) mengenai factor-
faktor penghambat dalam implementasi
pendekatan saintifik dalam muatan pelajaran
PKn didapatkan bahwa guru kesulitan
melakukan kegiatan menanya, mencoba dan
mencipta karena kurangnya fasilitas
pembelajaran serta kesulitan dalam
mengatur antusiasme dan motivasi belajar
siswa. Kurangnya fasilitas pembelajaran
akan membuat guru kesulitan menstimulus
siswa untuk bertanya dan menciptakan karya
sesuai pengetahuannya, akan membuat siswa
tidak dapat melakukan percobaan sederhana
sesuai materi pembelajaran yang
berlangsung. Selain itu siswa yang kurang
antusias dan kurang motivasi dalam
mengikuti pembelajaran akan cenderung
pasif dalam pembelajaran, sedangkan dalam
implementasi pendekatan saintifik siswa
adalah pelaku aktif dalam pembelajaran
(student centered).
Selain itu guru juga belum
melibatkan siswa dalam proses penilaian
dengan penilaian autentik. Salah satu prinsip
penilaian autentik menurut Marhaeni (2008)
adalah berpusat pada siswa, karena
direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh
guru dengan melibatkan secara optimal
peserta siswa. Hal ini penting dilakukan agar
menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri
siswa terhadap proses dan hasil belajarnya,
sehingga memotivasi siswa untuk dapat
mengkonstruksi konsep dan
pengetahuannya sendiri. Namun di lapangan
yang terjadi, guru jarang melibatkan siswa
dalam proses penilaian, siswa masih sebagai
obyek yang dinilai, belum sebagai subyek
yang juga ikut merancang penilaian.
Sedangkan pada kegiatan penutup, guru
belum cukup baik dalam memberi umpan
balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran, serta belum menyampaikan
rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
Beberapa komponen pelaksanaan
pembelajaran berpendekatan saintifik yang
belum dapat dicapai oleh guru karena ada
kendala yang sering dihadapi guru dalam
pelaksanaan pembelajaran. Kendala yang
dihadapi adalah 1) jumlah peserta didik yang
melebihi jumlah maksimum 1 rombongan
belajar sesuai standar proses yaitu melebihi
32 orang, sehingga menyulitkan untuk
mengelola kelas. Hal ini menyebabkan guru
tidak dapat memberikan pengalaman belajar
seperti menanya kepada siswa, karena untuk
membuat siswa mau bertanya diperlukan
suasana kelas yang kondusif, 2) Alokasi
waktu pembelajaran dengan jumlah beban
materi tidak sesuai, sehingga guru kesulitan
merancang pengalam belajar seperti
melakukan percobaan di luar kelas, 3)
Kurangnya media pembelajaran yang dapat
digunakan untuk menstimulus siswa dalam
bertanya dan yang dapat digunakan untuk
kegiatan mencoba.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian Istiqomah (2015) yang
dalam penelitiannya mendapatkan
kesimpulan bahwa sebagian besar guru
yang menjadi sampel penelitiannya memiliki
pengetahuan tentang lima pengalaman
belajar pendekatan saintifik dan memiliki
sikap yang positif dalam melaksanakan
pembelajaran sesuai pendekatan saintifik.
Namun dalam implementasi lima
pengalaman belajar tersebut, salah satu
kesulitan guru adalah dalam implementasi
kegiatan menanya karena siswa jarang
bertanya.
Berdasarkan hasil penelitian, dalam
penilaian pembelajaran berpendekatan
saintifik guru kelas IV SD di Kecamatan
Denpasar Timur sudah menunjukkan
kemampuan yang baik. Hal ini dikarenakan
guru telah mampu, 1) dalam perencanaan
penilaian, guru sudah mulai menggunakan
berbagai jenis asesmen autentik dan
pemilihan asesmen yang digunakan sudah
disesuaikan dengan kompensi yang dinilai;
2) dalam pelaksanaan penilaian, penilaian
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 118
telah dilakukan pada proses dan akhir
pembelajaran, biasanya penilaian pada
proses pembelajaran menilai ranah sikap dan
keterampilan; 3) dalam pelaporan
pembelajaran, guru sudah mampu
mendeskripsikan hasil belajar siswa,
mengolah skor hasil belajar menjadi nilai
dan menentukan rentang predikat hasil
belajar siswa sesuai ketentuan kurikulum.
Yang mana dalam pelaporan penilaian
menggunakan predikat dan deskripsi untuk
ranah pengetahuan, serta menggunakan
deskripsi untuk ranah sikap dan
keterampilan. Dalam pelaporan penilaian
guru sudah menunjukkan nilai yang baik
karena guru telah disediakan aplikasi rapor
yang disusun oleh tim kerja yang ada di
masing-masing gugus sehingga menjadi
acuan bagi guru untuk melakukan pelaporan.
Namun pada penilaian pembelajaran
berpendekatan saintifik terjadi kesenjangan
dalam kategori kecil. Hal ini dikarenakan
dalam dalam perencanaan penilaian belum
dilengkapi dengan rubrik penilaian, Hal ini
dikarenakan guru masih menghadapi
kendala. Sebagian besar guru belum
mengetahui model instrumen yang tepat
untuk melakukan penilaian autentik,
sehingga belum dapat mengembangkan
instrumen penilaian dalam pembelajaran.
Hal ini sesuai, dengan yang diungkapkan
dalam penelitian Marhaeni, Artini (2015)
bahwa dengan penyediaan instrumen
asesmen otentik yang bervariasi dan sesuai
dengan kebutuhan bisa memberi model
kepada guru untuk bisa mengembangkan
instrumennya sendiri.
Selain itu guru belum
menyampaikan kriteria penilaian kepada
siswa (belum melakukan penilaian terbuka),
dalam pelaksanaan penilaian belum
melibatkan siswa serta guru belum
memberikan umpan balik ketika
menunjukkan hasil penilaian. Ketiga hal ini
berkaitan dengan pembentukan rasa
kepemilikan (ownership) dalam diri siswa.
Dengan dilibatkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan penilaian siswa akan
mengetahui apa yang dinilai pada dirinya
sehingga dapat merencanakan tujuan dia
belajar dan prestasi seperti apa yang
diinginkannya. Sehingga hasil belajar bukan
lagi menjadi tuntutan kurikulum melainkan
tujuan (goals) dari siswa itu sendiri. Selain
itu sangat penting guru memberikan umpan
balik terhapat hasil penilaian siswa agar
siswa dapat melakukan evaluasi diri. Namun
kenyataan dilapangan penilaian masih
bersifat tertutup dan hanya guru yang
memegang peranan.
Dalam pelaporan penilaian,
rekapitulasi nilai baru dilakukan pada ranah
pengetahuan dan keterampilan, belum ada
rekapitulasi untuk ranah sikap. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Purnomo
(2014) yang menyatakan bahwa dalam
penilaian afektif sebagian besar (90%) guru
yang tergabung dalam MGMP IPS di Kota
Bandar Lampung tidak menggunakan
instrument untuk penilaian afektif. Hal ini
akan membuat obyektifitas dan validitas
penilaian afektif atau penilaian sikap
tersebut berkurang.
Setelah dibahas secara mendalam
bagian-bagian implementasi pembelajaran
yaitu perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian pembelajaran maka didapatkan
bahwa implementasi pendekatan saintifik
pada muatan pelajaran PKn diskrepansi
dalam kategori kecil.
Persepsi guru tentang implementasi
pendekatan saintifik pada mata pelajaran
PKn tema Cita-Citaku di kelas IV SD se
Kecamatan Denpasar Timu termasuk
kategori baik. Dengan hasil penelitian bahwa
persepsi guru ada di kategori baik, maka
dapat diketahui bahwa guru telah memiliki
pengetahuan mengenai hakikat dan langkah-
langkah implementasi pendekatan saintifik
yang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Budiyanto (2016), bahwa
skor rata-rata pengetahuan guru sekolah
dasar di Malang mengenai pendekatan
saintifik dalam pembelajaran adalah 69,5
dengan kategori baik. Dengan skor persepsi
guru yang termasuk kategori baik maka
dapat diketahui pula bahwa guru memiliki
sikap, motivasi dan minat yang baik
terhadap pendekatan saintifik.
Pencapaian hasil belajar PKn siswa
yang dibelajarkan menggunakan pendekatan
saintifik dalam kategori baik. Hal ini berarti
bahwa implementasi pendekatan saintifik di
Kecamatan Denpasar Timur telah dilakukan
dengan cukup baik. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Wartini (2014) yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 119
menyatakan bahwa sikap sosial dan hasil
belajar PKn siswa kelas VI SD Jembatan
Budaya yang mengikuti pembelajaran
dengan pendekatan saintifik lebih baik dari
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
model pembelajaran konvensional.
Sejalan dengan hasil penelitian
Ananda (2014) bahwa penerapan pendekatan
saintifik pada pembelajaran PKn sudah
memperlihatkan dampak yang yang cukup
positif pada beberapa aspek keterampilan
kewarganegaraan siswa terutama pada aspek
keterampilan menjawab, bertanya,
berdiskusi, dan berpartisipasi aktif, yang
ditandai dengan siswa terlihat lebih kritis,
lebih antusias, dalam bertanya, lebih
menggunakan kecerdasan berpikir selama
proses pembelajaran berlangsung .
Pengelolaan Proses Pembelajaran
Berpendekatan Saintifik berkontribusi
terhadap terhadap Hasil Belajar Pkn siswa,
hal ini dikarenakan hasil belajar salah
satunya di pengaruhi oleh kualitas
pembelajaran di sekolah. Namun
kontribusinya berada pada kategori sedang
karena kualitas pengelolaan pembelajaran
selain dipengaruhi oleh pengelolaan
pembelajaran di kelas juga dipengaruhi oleh
faktor lain yaitu faktor internal. Menurut
Gagne (dalam Sunaryo, 1989:87)
menyatakan bahwa, faktor Internal (dari
dalam individu yang belajar) yang
mempengaruhi kegiatan belajar adalah
faktor psikologis, antara lain yaitu :
motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan
dan lain sebagainya.
Hal ini sejalan dengan penelitian
Sutrisnawati (2012) yang menyatakan bahwa
sumbangsih variabel kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran dapat
menjelaskan makin tingginya peningkatan
prestasi belajar siswa sebesar 30,50%,.
Selain itu dalam penelitian Suryana (2014),
selain diuji kontribusi kemampuan
pengelolaan pembelajaran yang dilakukan
guru terhadap hasil belajar siswa, juga diuji
disiplin belajar dan motivasi belajar. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa disiplin
belajar berkontribusi 7,5% terhadap hasil
belajar dan motivasi belajar berkontribusi
17,4% terhadap hasil belajar. Hal ini
membuktikan kalau hasil belajar selain
dipengaruhi oleh kualitas pengelolaan
pembelajaran oleh guru juga dipengaruhi hal
lain seperti motivasi dan disiplin belajar.
Berdasarkan pembahasan masing-
masing permasalahan dalam penelitian ini
dapat dipahami bahwa kemampuan guru
dalam implementasi pendekatan saintifik
dalam pembelajaran telah menunjukkan
hasil yang baik sehingga diskrepansi yang
terjadi termasuk dalam kategori kecil.
Namun demikian, walaupun menunjukkan
diskrepansi yang kecil, perlu dicermati
aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya
diskrepansi tersebut . Muara permasalah
yang menyebabkan terjadinya diskrepansi
adalah belum optimalnya guru dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik dan
pembelajaran yang kontektual serta belum
optimalnya penggunaan asesmen otentik
dalam melakukan penilaian. Padahal
sebagaimana kita ketahui kurikulum 2013
sebagai kurikulum berbasis kompetensi
(competency based). harus memuat
pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik dan bersifat kontekstual serta
melakukan asesmen otentik(Marhaeni,
2007).
Namun demikian, walaupun terdapat
diskrepansi dalam implementasi pendekatan
saintifik, namun guru sudah memiliki
persepsi yang baik dalam implementasi
pendekatan saintifik. Hal ini berarti bahwa
secara persepsi yang memuat pengetahuan,
sikap, minat dan cara implementasi
pendekatan saintifik guru sudah baik namun
dalam mengunjuk kerjakan pendekatan
saintifik belum optimal sehingga
menyebabkan terjadinya diskrepansi.
Demikian juga pada hasil belajar PKn
siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan
saintifik, sudah termasuk dalam kategori
baik. Namun ketika dicari kontribusi kualitas
pengelolaan pembelajaran berpendekatan
saintifik dengan hasil belajar PKn siswa,
masih dalam kategori sedang. Hal ini berarti
bahwa kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik belum memberi
sumbangsih yang tinggi terhadap hasil
belajar PKn siswa. Tentunya hasil ini tidak
terlepas dari adanya diskrepansi dalam
implementasi pendekatan saintifik. Karena
adanya diskrepansi dalam implementasi
pendekatan saintifik maka kualitas
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 120
pengelolaan pembelajaran kurang optimal
sehingga kurang memberi sumbangsih
terhadap hasil belajar PKn siswa.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut. (1) Diskrepansi yang terjadi
terkait dengan perencanaan proses
pembelajaran berpendekatan Saintifik pada
muatan pelajaran PKn dalam kategori kecil,
(2) Diskrepansi yang terjadi terkait dengan
pelaksanaan pembelajaran berpendekatan
Saintifik pada muatan pelajaran PKn dalam
kategori sedang, (3) Diskrepansi yang terjadi
terkait dengan pelaksanaan penilaian
pembelajaran berpendekatan Saintifik pada
muatan pelajaran PKn dalam kategori kecil,
(4) Diskrepansi yang terjadi terkait dengan
implementasi pembelajaran berpendekatan
Saintifik pada muatan pelajaran PKn
kategori kecil, (5) Persepsi guru tentang
implementasi pendekatan saintifik pada
muatan pelajaran kategori baik, (6)
Pencapaian hasil belajar PKn siswa yang
dibelajarkan menggunakan pendekatan
saintifik kategori baik, (7) Kontribusi
kualitas pengelolaan proses pembelajaran
berpendekatan saintifik terhadap hasil
belajar PKn adalah signifikan dengan
koefisien determinasi dalam korelasi sedang.
Berdasarkan kesimpulan di atas,
maka dapat diajukan beberapa saran sebagai
berikut. (1)Guru dituntut kesiapannya secara
professional untuk mengimplementasikan
pendekatan saintifik. Oleh karena itu,
disarankan kepada pendidik untuk
meningkatkan wawasannya mengenai
pendekatan saintifik dan kompetensinya
dalam mengimplementasikan pendekatan
saintifik. Selain itu, guru hendaknya
berinovasi dan berkreasi dalam menyusun
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran dan penilaian pembelajaran
berpendekatan saintifik, (2)Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa
implementasi pendekatan terjadi
kesenjangan yang kecil. Untuk menanggapi
hal tersebut, perlu adanya upaya dari kepala
sekolah dan pengawas sekolah agar dapat
memberikan arahan dan melakukan evaluasi
terhadap guru di sekolah sehingga guru
dapat mengimplementasikan pendekatan
saintifik sesuai standar proses dalam
Permendikbud No 22 tahun 2016 (3) Pihak
terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan
Olahraga hendaknya terus mensosialisasikan
mengenai pendekatan saintifik yang
digunakan dalam kurikulum 2013 melalui
bimbingan teknis, workshop atau kegiatan
lainnya secara berkelanjutan melibatkan
semua pihak baik pendidik, kepala satuan
pendidikan maupun pengawas satuan
pendidikan, (4)untuk kesempurnaan
penelitian ini, disarankan kepada peneliti
lain untuk mengadakan penelitian lanjutan
dengan jumlah sampel yang lebih besar dan
ulangan melakukan observasi yang lebih
banyak
DAFTAR RUJUKAN
Ananda, R. 2014. Analisis Implementasi
Pendekatan Saintifik Dalam
Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (Studi Kasus Di
Kelas IV Sd Islam Ibnu Sina
Kabupaten Bandung Dan Kelas III SD
Laboratorium UPI Cibiru). Tesis.
Bandung : Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Bintari, N.L.G.R.P., I.N. Sudiana & I.B.
Putrayasa. “Pembelajaran Bahasa
Indonesia Berdasarkan Pendekatan
Saintifik (Problem Based Learning)
Sesuai Kurikulum 2013 Di Kelas VII
Smp Negeri 2 Amlapura”. eJournal
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia
(Volume 3 Tahun 2014).
http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/in
dex.php/jurnal_bahasa/article/viewFile
/1185/924 (diakses pada 15
Januari2016).
Budiyanto, M.A.K., L. Waluyo & A.
Mokhtar, Implementasi Pendekatan
Saintifik dalam Pembelajar di
Pendidikan Dasar di Malang,
Proceeding Biology Education
Conference (Volume 13 Tahun
2016),http://jurnal.uns.ac.id/prosbi/arti
cle (diakses 20 Mei 2017).
Divayana, D.G.H, D.B. Sanjaya, A.A.I.N.
Marhaeni, I.G. Sudirtha, “CIPP
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 121
Evaluation Model Based On Mobile
Phone In Evaluating The Use Of
Blended Learning Platforms At
Vocational Schools In Bali”, Journal
of Theoretical and Applied
Information Technology. Vol.95, No 9,
2017, pp 1983 - 1995
Fakhruddin dan Wahyuningsih, 2014,
Pengembangan instrumen Suvervisi
Pembelajaran Scientific Approach
pada Guru Bahasa Inggris di Sekolah
Menengah, Prosiding Konferensi
Ilmiah Tahunan Himpunan Evaluasi
Pendidikan Indonesia Tahun 2014,
http://www.hepi.or.id/sites/default
(diakses 1 Juli 2017
Istiqomah,N.,A.Asib,&D. Rochsantiningsih.
2015 Teachers’ Attitude toward the
Implementation of Scientific Approach
of Curriculum 2013 to Teach English
(A Case Study of the Seventh Grade
Class of Junior High Schools in
Surakarta in the Academic Year of
2013/2014). Surakarta:Universitas
Sebelas Maret.
Marhaeni,A.A.I.N. 2007. Evaluasi Program
Pendidikan. Singaraja: Program
Pascasarjana Undiksha.
Marhaeni, A.A.I.N. 2008. Asesmen Otentik
dalam Pembelajaran Tematik di SD
Kelas Awal. Makalah. Disampaikan
pada Pelatihan Pembelajaran Tematik
bagi Guru SD di Kabupaten
Karangasem, Tanggal 10-12 Desember
2008 di Karangasem
Marhaeni, A.A.I.N. dan L. P. Artini. 2015.
“Asesmen Autentik dan Pendidikan
Bermakna: Implementasi Kurikulum
2013”. Jurnal Pendidikan Indonesia
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. Volume 4
Nomor 1 Tahun 2015.
Nodyanto, D. 2015. Implementasi
Pendekatan Saintifik Dalam
Pembelajaran Ppkn Untuk
Meningkatkan Kecakapan
Kewarganegaraan Siswa (Studi
Deskriptif Analitis Di Sma Negeri
Kabupaten Bangka). Tesis. Bandung :
Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sani, R.A. 2014. Pembelajaran Saintifik
untuk Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta : Bumi Aksara.
Sunaryo. 1989. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta. Depdikbud Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi.
Wartini, I.A.K.M, I.W. Lasmawan, dan
A.A.I.N. Marhaeni. 2014. “Pengaruh
Implementasi Pendekatan Saintifik
Terhadap Sikap Sosial dan Hasil
Belajar PKn di Kelas VI SD Jembatan
Budaya Kuta”. eJournal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi Pendidikan
Dasar (Volume 3 Tahun
2014),pasca.undiksha.ac.id/ejournal/in
dex.php/jurnal_pendas (diakses 16
Desember 2016).
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 122
POTENSI DUKUNGAN BUDAYA LOKAL TERHADAP MUATAN SIKAP DAN
MUATAN PEMBELAJARAN TEMA SELALU BERHEMAT ENERGI PADA
KURIKULUM 2013
I.G.A. P. Dewi
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail : [email protected],
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan potensi dukungan budaya lokal
terhadap muatan sikap dan muatan pembelajaran, pada tema Selalu Berhemat EnergiKelas 4
Sekolah Dasar. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan variabel
muatan sikap, muatan pembelajaran dan budaya lokal. Pengumpulan data digunakan pencatatan
dokumen untuk mendapatkan data tentang muatan sikap dan muatan pembelajaran. Data tentang
budaya lokal menggunakan pedoman wawancara. Data hasil penelitian kemudian dianalisis
dengan metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah budayawan, guru kelas 4, dan
Orang tua siswa. Hasil penelitian menemukan sikap spiritual ketaatan beribadah, berprilaku
syukur, danberdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Muatan sikap sosial yaitu
jujur,disiplin, tanggung jawab,santun, peduli serta percaya diri.Muatan pembelajaran yaitu
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Prakarya, danPendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan.Nilai budaya lokal yang mendukung muatan sikap dan
muatan pembelajaran pada tema selalu berhemat energiterdapat dalam aktivitas bermain
mebade-badean, medagang-dagangan, dansepit-sepitan, mendengarkan cerita (Satua) I Siap
Selem, bawang teken kasuna,dan men tiwas teken men sugih,bernyanyi (gending rare) putri
cening ayu dan dadong dauh, mengucapkan salam om swastiastu, serta kewajiban mebanten
seperti mebanten saiban, mebanten canang, dan mesegeh.
Kata kunci : budaya lokal, muatan pembelajaran, muatan sikap.
Abstract
This research aimed to analyzing and describing the potential support of local culture to the
attitude content and learning content in theme Always Conserve Energy, fourth grade elementary
school. The methode of this research used descriptive qualitative design with variables values of
attitude, learning content and local culture. To Collected data using document recording to geting
data about attitude content and learning content. The data of local culture used interview
guidance. The result of research analyzing by descriptive qualitatif methode. The subject of this
research are cultural humanist, teacher's of fourth grade,and student's parent. The result findings
the spiritual attitude are obedient worship, gratitude,and pray before and after activity. The
content of Social attitude are honest, discipline, responsibility, courteus, caring and confident.
The learning content are Pancasila, Indonesian, Mathematics, natural science, social science,
art and cultures, and sports physical education and health. Local culture values that support
attitude content and learning content of traditional game are bade-badean, medagang-dagangan,
sepit-sepitan, listening Balinese folkflor of I Siap Selem, bawang teken kasuna, men tiwas
teken men sugih, singing balinese song putri cening ayuand dadong dauh, greetings of local
cultureom swastiastu,The obligation to pray mebanten saiban, mebanten canang, dan mesegeh.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 123
The result of the findings produced general prototype and prototype of childrens tory book as a
suplement theme always conserve energy
Keywords: attitude, learning content, local culture.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan cerminan
kualitas sebuah bangsa.Pendidikan formal,
non formal maupun informal idealnya saling
mendukung satu dengan yang lain sehingga
dapat mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab
yang diamanatkan dalam Undang-Undang
No 20 tahun 2003. Kecenderungan yang
terjadi di lapangan pendidikan nonformal
yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan bagi anak usia sekolah dasar
cenderung hanya terfokus pada kemampuan
kognitif anak. Padahal pendidikan karakter,
pembentukan watak dan sikap merupakan
pondasi penting di dalam menopang
pendidikan yang berkualitas. Kearifan lokal
adalah warisan budaya yang harus selalu kita
jaga. Namun seiring dengan kemajuan
berbagai macam teknologi informasi,
maraknya pengaruh wisatawan asing yang
seolah-olah menyingkirkan budaya lokal kita
sendiri. Generasi muda yang merupakan
pondasi pembangunan sedikit demi sedikit
mulai meninggalkan budaya lokal dan mulai
mengadaptasi budaya asing, sebagai akibat
dari pengaruh penggunaan media teknologi
dan informasi. Kemajuan zaman dalam era
globalisasi modern menuntut manusia untuk
dapat mempertahankan hidupnya ( human
survival ). Tilaar (dalam
sumaatmadja,dkk.2008:1.7) menyebutkan
dampak positif dari globalisasi akan
membentuk masyarakat dinamis, aktif dan
kreatif, di sisi lain dampak negatif yang
muncul adalah ancaman terhadap budaya
bangsa, dengan hilangnya identitas diri dan
bangsa.
Kritisnya moral terlihat dari kasus –
kasus kekerasan yang terjadi di kalangan
dunia pendidikan salah satunya adalah
pemukulan terhadap seorang guru oleh
orangtua siswa atas laporan anaknya
(Anonim, 2016). Hal ini merupakan
tamparan keras dalam dunia pendidikan dan
pertanda kritisnya moral bangsa yang
merupakan ancaman internal yang terjadi,
serta harus segera mendapatkan perhatian
dari pemerintah dan dunia pendidikan. Sikap
dan perilaku masyarakat dan bangsa
Indonesia sekarang ini cenderung
mengabaikan nilai-nilai karakter mulia
seperti, kejujuran, kesantunan, kebersamaan,
sikap religius, tolong-menolong, saling
hormat-menghormati, saling menghargai,
dan toleransi, sedikit demi sedikit mulai
tergerus oleh budaya asing yang cenderung
materialistik, individualistik, dan konsumtif,
sehingga nilai-nilai karakter tersebut tidak
lagi dianggap penting jika bertentangan
dengan tujuan yang ingin diperoleh. Hal ini
bukan berarti generasi muda bersikap anti
terhadap perkembangan dunia. Namun
mampu membentengi diri dengan
penanaman nilai-nilai keagamaan dan nilai
karakter bangsa.
Menurut Delors, (dalam
Dantes,2014:18) bahwa pelaksanaan
pendidikan didasarkan atas empat pilar
yakni learning to know, learning to do, ,
learning to be, dan learning to live
together.Dantes (2014) menambahkan satu
pilar lagi yaitu Learning to live sustanabilies
yang memaknai bahwa peserta didik harus
memahami arti kehidupan ini, dan
kelangsungan hidup jagat raya, sehingga
kelangsungan hidup manusia dan dukungan
alam yang harmonis dan berkesinambungan
dapat diwujudkan.
Perbaikan tata kelola pendidikan sesuai
dengan harapan Undang-Undang salah
satunya adalah dengan pengembangan
kurikulum yang berbasis afeksi. Kurikulum
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1
Ayat (19) Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.Pengembangan
kurikulum hendaknya memperhatikan
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 124
tahapan pertumbuhan dan perkembangan
anak. Pandangan Piaget(dalam
Marhaeni,2012:21-23)dengan teori
perkembangan kognitif yang menyimpulkan
bahwa kemampuan kognitif akan terbentuk
melalui interaksi konstan antara individu
dengan lingkungannya melalui proses
organisasi dan adaptasi. Tahap
perkembangan kognitif anak Sekolah Dasar
berada pada peringkat concrete operational,
dimana anak-anak pada usia ini
diperkenalkan pada pengetahuan yang
kongkrit dengan dunia nyata yang utuh.
Pada masa ini anak diberikan kesempatan
yang sebesar-besarnya untuk
mengeksplorasi berbagai pengalamannya
baik itu melalui bermain, maupun dalam
proses belajarnya. Vgotsky(dalam
sumantri,2011:1.42) meyakini bahwa anak-
anak membentuk, membangun,atau
mengkonstruk pengetahuan, dan interaksi
sosial yang memegang peranan penting
dalam proses perkembangan. Pakar
behaviorisme pendidikan Skinner (dalam
Knight,2008:196)yang menyebutkan, salah
satu lingkup pendidikan adalah modifikasi
tingkah laku, yakni jika lingkungan ditata
untuk memfasilitasi ketercapaian perilaku
yang dikehendaki maka akan sangat
berpengaruh terhadap pencapaian perilaku
yang dikehendaki.
Dengan demikian, Kurikulum 2013
dirancang dengan memberikan standar
terhadap pencapaian kompetensi dalam
sikap, pengetahuan dan keterampilan. sikap
spiritual dan sikap sosial anak
mengembangkan kemampuan anak untuk
dapat menghargai dan melaksanakan ajaran
agamanya masing-masing, kemampuan
bekerja sama, berempati dan berinteraksi
serta meniru perilaku positif dan
menghindari perilaku negatif. Kompetensi
sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan
keterampilan termuat dalam tiap-tiap muatan
pembelajaran. Kebijakan tentang kurikulum
2013 dipandang telah memenuhi semua
harapan output pendidikan di masa depan.
Pemerintah telah mengupayakan berbagai
usaha untuk mensukseskan kurikulum 2013
yang telah diluncurkan salah satunya dengan
terus berupaya untuk merevisi buku guru
maupun buku siswa.
Upaya lain yang dilakukan adalah
dengan gerakan literasi sekolah ( GLS) yang
dikembangkan berdasarkan permendikbud
No 23 tahun 2015. Dengan menggunakan 15
menit sebelum pembelajaran dimulai untuk
membaca buku selain buku mata pelajaran.
Dicantumkan pula kegiatan pembiasaan
yang dapat dilakukan adalah dengan
mendongeng.Upaya tersebut dilakukan
untuk menunjang proses pembelajaran,
sebab salah satu hal pokok yang menjadi
sumber penting dalam proses pembelajaran
adalah buku.Buku adalah jendela dunia,
melalui buku anak-anak akan membuka
cakrawala dunia. Dengan buku yang relevan
dapat membantu guru untuk menyampaikan
isi materi yang menjadi tujuan pendidikan.
Salah satu hal yang dapat dilakukan guru
dengan buku adalah bercerita. Manfaat
darimembacakan cerita menurut Dalman,
(2014:151)antara lain menanamkan
kecintaan untuk membaca buku, membuat
anak lebih tenang dan nyaman, membantu
mengenal kata dan kalimat, menyampaikan
pesan moral, meningkatkan hubungan
emosional. Rooijakkers, (1991) juga
berpendapat membaca merupakan suatu cara
atau suatu sarana untuk memelihara tingkat
pengetahuan sendiri serta untuk menambah
pengetahuan baru. Bercerita dengan media
buku, menjadi stimulasi yang efektif bagi
anak, menstimulasi minat baca anak lebih
penting dari pada mengajar mereka
membaca, sebab menstimulasi memberi efek
yang menyenangkan. Dengan membaca,
nilai-nilai sikap, pengetahuan dan
keterampilan dapat ditanamkan dengan
terintegrasi. Cerita yang berbasis budaya
adalah alat untuk mentransfer nilai-nilai
karakter budaya lokal ke dalam tokoh-
tokohnya dan menjadi inspirasi bagi siswa.
Hal tersebut didukung oleh pendapat
Aristotle,1991; Bormann,1972; Burke1966;
Fisher,1985 (dalam Kent, 2015) “Rhetors, or
storytellers, draw upon shared emotional
experiences, and interpersonaland group
interactions as a means of informing,
persuading, and socializing others”
pendongeng dapat membagikan dan
memberikan pengalaman ekpresi dan emosi,
dengan mendengarkan dongeng juga dapat
memberikan pengalaman berinteraksi dan
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 125
bersosialisasi dengan orang lain. Pendapat
senada juga disampaikan oleh Satriani.,
Marhaeni., Dantes (2016) yang menyatakan
nilai-nilai sikap dan kemampuan literasi
didukung oleh budaya lokal. Prioritas
utamanya adalah agar masyarakat dapat
memiliki sikap positif terhadap budayanya
sendiri, tidak hanya meniru ataupun
mengadopsi budaya luar yang tidak
sepenuhnya dapat diserap oleh bangsa
Indonesia.
Bertolak dari fakta yang terjadi, hal
mendasar yang perlu mendapatkan perhatian
dalam rangka menanamkan nilai-nilai sikap
spiritual, sikap sosial serta membelajarkan
muatan pembelajaran secara terintegrasi di
dalam budaya lokal adalah dengan diadakan
penelitian untuk mengetahui potensi budaya
lokal yang mendukung nilai sikap dan
muatan pembelajaran. Disebabkan
banyaknya tema dalam pembelajaran
kurikulum 2013, maka penelitian ini akan
difokuskan pada tema Selalu Berhemat
Energikelas 4 Sekolah Dasar. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui muatan sikap
dan muatan pembelajaran yang termuat
dalam buku guru dan buku siswa tema
Selalu Berhemat Energi serta mengetahui
potensi budaya lokal yang mendukung
muatan sikap dan muatan pembelajaran pada
tema Selalu Berhemat Energi.
METODE
Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode deskriptif
kualitatif.Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang digunakan untuk
menjelaskan masalah-masalah yang aktual,
Sanjaya (2013:59)
Variabel - variabel dalam penelitian ini
adalah (1) Muatan sikap yang terdiri atas
sikap spiritual dan sikap sosial, (2) muatan
pembelajaran yang terdiri atas muatan
PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA,
IPS,SBdP dan PJOK, (3) budaya lokal
ditetapkan atas 5 aktivitas yaitu, bermain
permainan tradisional Bali, mendengarkan
cerita (satua Bali), bernyanyi (gending sekar
rare), mengucapkan salam dan kewajiban
berdoa (mebanten).
Data tentang muatan sikap spiritual, sikap
sosial dan muatan pembelajaran
dikumpulkan melalui metode pencatatan
dokumenterhadap buku guru dan buku siswa
tema Selalu Berhemat Energi kelas 4
Sekolah Dasar.Metode wawancara
digunakan untuk menggali informasi dari
narasumber tentang potensi dukungan nilai -
nilai budaya lokal yang menyertai aktivitas
anak kelas tinggi yang mendukung muatan
sikap spiritual,sikap sosial dan muatan
pembelajaran pada kurikulum 2013 tema
selalu berhemat energi kelas 4 Sekolah
Dasar. Data penelitian selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Narasumber yang diwawancarai
oleh peneliti merupakan subjek dalam
penelitian ini, yang terdiri dari 3 orang
budayawan, 7 orang guru kelas 4, dan orang
tua siswa sebanyak 3 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai sikap spiritual dan sikap sosial
dalam penelitian ini sesuai dengan Panduan
Teknis Pembelajaran dan Penilaian di
Sekolah Dasar ( kemendikbud, 2016)
Kurikulum 2013. Berdasarkan tabulasi data
hasil pencatatan dokumen terhadap buku
guru dan buku siswa tema selalu berhemat
energi kelas 4 Sekolah Dasar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai-nilai sikap spiritual yang muncul
adalah ketaatan beribadah, berperilaku
syukur, berdoa sebelum dan sesudah
melakukan kegiatan, sedangkan nilai-nilai
sikap sosial yang muncul pada tema selalu
berhemat energi adalah jujur, disiplin,
tanggung jawab, santun, peduli dan
percaya diri. Temuan data tentang nilai-nilai
budaya lokal dalam aktivitas bermain yang
mendukung muatan sikap spiritual dan sikap
sosial adalah mebade-badean, lembu-
lembuan, mebanten-bantenan, sepit-
sepitan, ngejuk lindung, meong-meongan,
poh-pohan, makering-keringan, megale-
galean, mecingklak, kepyak, melayangan,
dan meogoh-ogohan.
Dari temuan penelitian tersebut
pembahasan tentang dukungan budaya lokal
terhadap muatan sikap adalah permainan
tradisional seperti mebanten-
bantenanmerupakan permainan yang
terinpirasi dari kegiatan keagamaan
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 126
masyarakat Hindu di Bali. Banten sebagai
perlambang rasa syukur umat terhadap
anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dengan banten pula menunjukkan nilai-nilai
ketaatan beribadah dari penganut Hindu di
Bali. Dengan permainan mebanten-bantenan
inilah sifat religius dan nilai sikap spiritual
akan tertanam pada anak. Zubaedi
(2011:85)menyatakan bahwa Sikap spiritual
berasal dari kata “spiritual” yang berarti
sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu
menggerakkan serta memimpin cara berpikir
dan bertingkah laku seseorang”. Tingkah
laku dan cara berpikir anak akan terbentuk
melalui permainan mebanten-bantenan yakni
tingkah laku yang taat untuk beribadah serta
selalu bersyukur. Permainan lain yang
mendukung pembentukan sikap tercermin
dari permainan sepit-sepitan.Langkah–
langkah permainan sepit-sepitan, siswa
dibagi ke dalam kelompok yang akan
berlomba untuk nyepit bola ping-pong,
dengan menggunakan alat yang bernama
sepit (sepasang bambu yang diikat sebagai
alat untuk menjepit). Bagi kelompok yang
berhasil menjepit bola dan memasukkannya
ke dalam bung-bung (potongan bambu yang
berlubang diatasnya dan bawahnya tertutup)
maka kelompok tersebut berhak untuk
mengambil lot yang telah disediakan. Dalam
lot inilah dapat dituliskan semua kegiatan
ataupun aktivitas yang akan dilakukan siswa.
Sehingga melalui permainan sepit-sepitan
akan dapat mengakomodasi semua materi-
materi pembelajaran karena dapat ditulis
dalam bentuk soal, arahan, petunjuk maupun
perintah. Hal tersebut didukung oleh Made
Taro yang menyebutkan dengan permainan
sepit-sepitan selain melatih ketangkasan
gerak dan mengasah keterampilan pada saat
menjepit bola dengan sepit, juga dapat
mengembangkan sikap disiplin, semangat
berprestasi, solidaritas, kejujuran,
sportivitas, apresiasi seni dan melatih
pengendalian emosi. Hal ini menunjukkan
melalui kegiatan permainan tradisional
seperti sepit-sepitan akan dapat
menumbuhkan sikap sosial anak.
Jenissatuayang mendukung muatan
sikap
adalahsatuadengantemabinatang(fabel)
sepertiI SiapSelem, I Kancil, I Kambing
takutin macan, I Godogan, jenis cerita
rakyat seperti Bawang teken kasuna/I
pepet teken I Busan, Men sugih teken men
tiwas,cupak gerantang, tuwung kuning,
dan Rajapala.
Salah satu contohnya adalah dari satua
Cupak Gerantang yang menceritakan dua
orang yang bersaudara kandung cupak yang
memiliki wajah serta sifat yang buruk,
sedangkan gerantang adalah seorang
pemuda tampan yang berhati baik. Cupak
sering melakukan tipu daya serta
memperdaya Gerantang namun Gerantang
tetap sabar melayani kakaknya Cupak,
walaupun dia tahu bahwa dirinya telah
diperdaya. Di akhir cerita, kebaikan hati
Gerantang membuahkan karma baik dengan
mendapatkan istri seorang putri yang cantik.
Dari cerita tersebut dapat dilihat nilai-nilai
kebaikan yang terdapat dalam diri
Gerantang, nilai religius dengan selalu taat
beribadah, dia tidak mudah mengeluh
menunjukkan bahwa terdapat rasa syukur
dalam cerita tersebut. Gerantang juga
memiliki tutur kata yang santun, jujur,
disiplin, dan bertanggungjawab. Sedangkan
Cupak hanya memiliki keburukan dalam
sikap dan temperamennya, dengan
mendengarkan cerita ini anak akan
memahami sifat dan perbuatan yang baik
dan buruk. Anak juga akan memahami nilai-
nilai spiritual yakni dengan berkarma baik
maka kebaikanlah yang akan datang, dan
nilai sosial yang tersirat dari tokoh dalam
cerita tersebut akan menjadi model yang
akan ditiru dan menginpirasi anak. Andayani
(2017) juga mendukung hasil analisis
penelitian ini dengan hasil penelitiannya
yang menyebutkan bahwa tema dalam satua
cupak dan gerantang berkaitan dengan
religius, dan dia juga mengatakan bahwa
tokoh dalam cerita tersebut dapat dijadikan
cerminan dalam kehidupan, yang dapat
ditiru dan tidak.
Ditinjau dari jenis gendingsekar
raretemuan budaya lokal yang
mendukungmuatan sikap adalah bebek
putih jambul, curik-curik, semut-semut api,
putri cening ayu, jenggot uban, dadong
dauh, merah putih, dan meong-
meong.Temuan jenis gendingsekar rareyang
terkait dengan nilai-nilai sikap spiritual salah
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 127
satunya adalah gendingbebek putih jambul.
Menurut Made Taro gendingbebek putih
jambul mengandung makna bebek yang
terbang ke arah kaja kangin menurut
kepercayaan Hindu, kaja kangin adalah arah
untuk memuja kebesaran Tuhan. Dari
gending putri cening ayu dapat dilihat
bentuk tanggung jawab seorang anak yang
ditinggal ke pasar oleh ibunya, dengan
ngempu adiknya.Hal tersebut menunjukkan
bahwa gending sekar rare merupakan salah
satu jenis budaya lokal yang mendukung
penanaman sikap spiritual dan sikap sosial
bagi anak.
Jenis salambudayalokal yang
mendukung muatan sikap adalah Om
Swastiastu, salam yang berhubungan dengan
waktu Rahajeng Semeng, rahajeng siang,
rahajeng wengi, salam kesuksesan
sepertiastungkara, salam yang sering
diucapkan oleh masyarakat Bali adalah om
swastiastu. Swastiastu berkaitan dengan
swastika yang merupakan simbol suci
Agama Hindu. Selain sebagai salam Om
Swastiastu mengandung makna doa terhadap
Tuhan agar orang yang kita berikan salam
mendapatkan karunia dari Tuhan, dan alam
semesta beserta isinya mendapatkan berkat
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini
menunjukkan dengan mengucapkan salam
Om Swastiastu, sikap spiritual akan
terbentuk pada diri anak, dan dengan
memaknai makna Om Swastiastu anak-anak
akan terbiasa untuk berkata jujur dan santun.
Salam budaya lokal yang disebutkan diatas
tidak hanya mendukung muatan sikap
namun juga mendukung semua muatan
pembelajaran, sebab setiap memulai
pembelajaran di sekolah anak-anak akan
menucapkan salam Om Swastiastu, dalam
setiap akan memulai aktivitas didahului
dengan mengucap Om Swastiastu, karena
makna lain yang terkandung di dalamnya
adalah sebagai bentuk doa, hal ini melatih
anak agar senantiasa berdoa sebelum
melakukan kegiatan.
Temuan penelitian tentang jenis
mebanten yang biasa dilakukan adalah
kegiatan mebanten saiban,
mesegehdanmebanten canang kedua aspek
tersebut yakni aspek jenis salam budaya
lokal dan jenis mebanten yang biasa
dilakukan oleh anak kelas 4 Sekolah Dasar,
tidak hanya mendukung muatan sikap
spiritual dan sikap sosial saja, namun juga
mendukung semua muatan
pembelajaran.Dengan aktifitas mebanten
saiban anak akan dilatih untuk taat
beribadah, bersyukur, dan berdoa.
Disamping itu anak juga dilatih untuk
disiplin, bertanggung jawab dan peduli.
Melalui kebiasaan mebanten dapat
menumbuhkan keyakinan akan eksistensi
Tuhan, mendidik kesabaran, penanaman
konsep Tri Hita Karana, Tat twam asi,
menanamkan rasa syukur, mengajarkan
untuk berkorban, memberikan ketenangan,
serta menumbuhkan sikap spiritual dan dan
sikap sosial pada anak.
Paparan penelitian diatas didukung
oleh hasil penelitian dari Satriani.,
Marhaeni., Dantes (2016) dalam
penelitiannya yang menunjukkan hasil
bahwa nilai-nilai sikap dan kemampuan
literasi didukung oleh budaya lokal.Pendapat
senada juga disampaikan olehVgotskydalam
sumantri,2011:1.42) yang meyakini bahwa
anak-anak membentuk, membangun, atau
mengkonstruk pengetahuan, dan interaksi
sosial yang memegang peranan penting
dalam proses perkembangan. Pakar
behaviorisme pendidikan Skinner (dalam
Knight,2008:196)yang menyebutkan, salah
satu lingkup pendidikan adalah modifikasi
tingkah laku, yakni jika lingkungan ditata
untuk memfasilitasi ketercapaian perilaku
yang dikehendaki maka akan sangat
berpengaruh terhadap pencapaian perilaku
yang dikehendaki. Penelitian lain yang
relevan dengan hasil penelitian ini adalah
Anggreni (2016),dengan hasil penelitiannya
bahwa budaya lokal mendukung
pengembangan buku cerita yang berbasis
tema dalam pembelajaran. Kemendikbud
(2016). Jika peserta didik memilikinilai
moral spiritual yang baik maka itu akan
menuntunnya untuk senantiasa berlaku baik,
meskipun tidak ada orang yang
mengawasinya.
Kajian tentang muatan pembelajaran
bersumber dari Permendikbud No. 21
Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan
Dasar dan Menengah Kurikulum 2013.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 128
Berdasarkan analisis terhadap buku guru
dan buku siswa melalui metode pencatatan
dokumen, temuan penelitian menunjukkan
bahwa ruang lingkup materi dari muatan
pembelajaran PPKn yang muncul
adalahhak, kewajiban dan tangggung
jawab warga negara.
Temuan penelitian pencatatan dokumen
muatan Bahasa Indonesia dalam buku guru
dan buku siswa tema selalu berhemat energi
sebanyak empat ruang lingkup yaitu1)
Bentuk dan ciri teks faktual (deskriptif,
petunjuk/arahan, laporan sederhana),
teks tanggapan (ucapan terima kasih,
permintaan maaf, diagram/tabel), teks
cerita (narasi sederhana, puisi) teks cerita
non-naratif (cerita diri/personal, buku
harian), 2) Paralinguistik (lafal,
kelantangan, intonasi, tempo, gestur, dan
mimic), 3) Bentuk dan ciri teks genre
faktual (teks laporan informatif hasil
observasi, teks arahan/petunjuk, teks
instruksi, teks surat tanggapan pribadi),
genre cerita (cerita petualangan, genre
tanggapan, teks dongeng, teks
permainan/dolanan daerah (teks
wawancara, ulasan buku),dan 4) Satuan
bahasa pembentuk teks: kalimat
sederhana pola SPPel, SPOPel, SPOPelK,
kata, frasa, pilihan kata/diksi.
Temuan muatan pembelajaran
Matematikaadalah bilangan bulat dan
pecahan.
Hasil penelitian pencatatan dokumen
buku guru dan buku siswa tema selalu
berhemat energi muatan pembelajaran
IPAadalah Bentuk dan sumber energi dan
energi alternative.
Temuan penelitianmuatan pembelajaran
IPS adalah Wilayah geografis tempat
tinggal bangsa Indonesia dan Kehidupan
ekonomi masyarakat Indonesia yang
bertanggung jawab.
Temuan hasil penelitian pencatatan
dokumen muatan pembelajaran SBdP adalah
Apresiasi dan kreasi karya seni rupa
(gambar ekspresif, mosaik/aplikasi, relief
dan patung dari bahan lunak) dan
Apresiasi dan kreasi/rekreasi karya seni
musik (lagu anak- anak, lagu nusantara
daerah lain, lagu wajib, musik ansambel,
alat musik),
Temuan hasil penelitian pencatatan
dokumen muatan pembelajaran PJOK adalah
Pola gerak dasar lokomotor, non-
lokomotor, dan manipulatif pada
permainan bola, aktivitas atletik dan atau
olahraga tradisional.
Pembahasan tentang potensi dukungan
budaya lokal terhadap muatan pembelajaran
yang diperoleh dari hasil wawancara
terhadap 13 orang narasumber dapat
diuraikan berikut ini.
Permainan tradisional yang mendukung
muatan pembelajaranadalah sepit-sepitan,
ngejuk lindung, meong-meongan, poh-
pohan, kepyak, cingklak, medagang-
dagangan, melayangan, meogoh-ogohan,
curik-curik, engklek, dan congklak,
mebade-badean, lembu-lembuan,
mebanten-bantenan. Permainan tradisional
sepit-sepitan merupakan permainan
tradisioanl yang dapat mengakomodasi
semua materi muatan pembelajaran, seperti
yang telah dipaparkan diatas. Dalam semua
permainan tradisional yang disebutkan
diatas memerlukan tanggung jawab dari
pesertanya, sebab jika tidak dilandasi oleh
tanggung jawab maka permainan tersebut
tidak akan dapat berlangsung dengan baik.
Hal ini membuktikan bahwa budaya lokal
memiliki potensi dukungan terhadap muatan
pembelajaran PPKn dengan ruang lingkup
materi hak dan kewajiban warga negara.
Somantri (2001) memaknai Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan usaha untuk
membekali peserta didik dengan
pengetahuan dan kemampuan dasar
berkenaan dengan hubungan antar warga
negara dengan negara serta pendidikan
pendahuluan bela negara, menjadi warga
negara agar dapat diandalkan oleh bangsa
dan negara. Dengan demikian melalui
permainan tradisional dapat mendukung
muatan pembelajaran. Dukungan budaya
lokaldicerminkandari permainan
melayangan, dalam proses pembuatan
layangan diperlukan keterampilan yang baik
agar layangan tersebut dapat terbang,
keterampilan tersebut harus dilandasi oleh
pengetahuan tentang pengukuran, saat
menimbang layangan agar seimbang secara
tidak langsung anak-anak telah belajar
tentang konsep pecahan. Saat
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 129
menerbangkan layangan, anak-anak akan
belajar tentang sumber energi yang dapat
menerbangkan layang-layang yaitu
angin.Dari permainan melayangan telah
mengakomodasi muatan pembelajran IPA,
Matematika, dan SBdP secara terintegrasi,
dan kelebihan dari permainan ini anak-anak
akan merasa gembira sehingga pengetahuan
yang didapat akan bermakna. Penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan penaksiran
yang sesuai dengan temuan materi muatan
matematika terdapat dalam aktivitas
medagang-dagangan dan macingklak.
Dalam permainan budaya lokal tersebut
juga terdapat petunjuk dan arahan, dan teks
permainan/dolanan daerah , yang sejalan
dengan ruang lingkup materi Bahasa
Indonesia.Contoh berikutnya
adalahpermainan medagang-
daganganmencerminkan kehidupan
ekonomi masyarakat yaitu pasar, dimana
dalam pasar tersebut dapat dimodifikasi
bentuk permainannya dengan menjajakan
barang dagangan yang terkait dengan
sumber daya alam seperti jagung, singkong
dan yang lainnya. Sehingga materi muatan
pembelajaran IPS dapat dibelajarkan tanpa
disadari oleh anak. dalam permainan
tradisional kebanyakan diiringi oleh lagu-
lagu yang mendukung permainan, hal ini
selaras dengan materi dari muatan SBdP
yakni apresiasi lagu anak. didukung oleh
bunyi Undang – undang RI No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang mengamanahkan agar pendidikan
tidak hanya memberi kesempatan untuk
membentuk insan Indonesia yang cerdas
semata, tetapi juga berkarakter, sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang
tumbuh berkembang dengan karakter yang
bernafaskan nilai luhur dan agama.
Jenis Satua Bali yang mendukung
muatan pembelajaran adalah jenis-jenis
cerita (fabel) seperti I Kancil, I Kambing
takutin macan, I Godogan,jenis cerita
rakyat seperti Bawang teken kasuna/I pepet
teken I Busan, Men sugih teken men
tiwas,cupak gerantang, tuwung kuning,
Rajapala, curik-curik, semut-semut api dan
putri cening ayu. Men kuwuk lan I Siap
Selem/I siap selem, Balang Tamak, dan I
Godogan. Satua Bali tersebut dalam
pengemasan tampilannya banyak yang
menggunakan gambar-gambar ilustrasi, ada
juga yang menggabungkan nyanyian di
dalamnya, hal tersebut sesuai dengan
muatan pembelajaran SBdP, teks naratif
maupun deskriptif, baik petunjuk maupun
arahan mendukung muatan Bahasa
Indonesia. Dalam kisah Men sugih teken
men tiwas, dimana men tiwas yang bekerja
menumbuk padi di rumah men sugih, hal ini
juga terkait dengan materi IPS tentang
kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam
karakter tokoh yang ada dalam cerita
tersebut mengajarkan tentang nilai-nilai
tanggung jawab yang selaras dengan muatan
PPKn. Hal tersebut didukung oleh pendapat
Aristotle,1991; Bormann,1972; Burke1966;
Fisher,1985 (dalam Kent, 2015) “Rhetors,
or storytellers, draw upon shared emotional
experiences, and interpersonaland group
interactions as a means of informing,
persuading, and socializing others”
pendongeng dapat membagikan dan
memberikan pengalaman ekpresi dan emosi,
dengan mendengarkan dongeng juga dapat
memberikan pengalaman berinteraksi dan
bersosialisasi dengan orang lain.
Temuan tentang Gending sekar rareyang
mendukung temuan pencatatan dokumen
muatan pembelajaran adalah curik-curik,
semut-semut api dan putri cening ayu,
dadong dauh, se dua telu, dari
gendingdadong dauh, se dua telutersebut
siswa diajarkan untuk menghitung bilangan
bulat. Jenis gendingsekar rareyang terkait
dengan muatan IPS adalah putri cening
ayu, yang menggambarkan seorang ibu
yang akan berangkat ke pasar. Dalam ruang
lingkup IPS pasar masuk kedalam materi
kehidupan ekonomi smasyarakat. Dari pasar
juga dapat diperkenalkan tentang sumber
daya alam terkait dengan muatan
pembelajaran. Budaya lokal yang telah
diuraikan diatas memiliki fungsi dengan
memberikan pengalaman terpadu
(integrated understanding) substansinya
meliputi content knowledge, inquiry and
problem solving knowledge, serta epistemic
knowledge, Winataputra,dkk (2013). Dalam
kegiatan pembelajaran di kelas budaya lokal
juga dapat digunakan sebagai pranata awal
dalam mengawali kegiatan pembelajaran
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 130
untuk mengaitkannya dengan materi yang
akan di belajarkan.
Pendapat tentang dukungan budaya
lokal disampaikan oleh Dewi., ,Dantes.,
Marhaeni. (2016), yang menyebutkan
budaya lokal mendukung pengembangan
sikap spiritual, sikap sosial dan literasi dini.
Contoh lain dari pembelajaran yang berbasis
budaya adalah etno matematika (etno
mathematics) yang dilaksanakan oleh UP
College of Baguio, yang mencoba
mempelajari struktur aljabar dari pola tenun
tradisional, pola musik, dan sistem
persudaraan dalam budaya kankana-Ey
Winataputra,dkk (2013). Bertolak dari
paparan diatas dan didukung oleh temuan
peneltitian dari berbagai sumber yang
relevan menguatkan hasil penelitian ini,
bahwa budaya lokal memiliki potensi
dukungan yang optimal terhadap muatan
sikap spiritual, sikap sosial dan muatan
pembelajaran pada tema selalu berhemat
energi kelas 4 Sekolah Dasar.
SIMPULAN
Berdasarkan temuan hasil pencatatan
dokumen pada buku guru dan buku siswa
tema selalu berhemat energi Kurikulum
2013 Kelas 4 Sekolah Dasar, dan hasil
wawancara dengan narasumber dapat
disimpulkan bahwa 1) Muatan sikap
spiritual yang muncul adalah ketaatan
beribadah, berperilaku syukur dan
berdoa sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan. Nilai-nilai sikap sosial yang
ditemukan adalah jujur, disiplin, santun,
percaya diri, peduli, dan tanggung jawab.
2)Muatan pembelajaran yang muncul adalah
muatan PPKn, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, SBdP, PJOK.3)Nilai-
nilai budaya lokal yang mendukung muatan
sikap dan muatan pembelajaran adalah
Permainan tradisional mebade-badean,
lembu-lembuan, mebanten-bantenan,
medagang-dagangan, sepit-sepitan, ngejuk
lindung, meong-meongan, poh-pohan,
makering-keringan, megale-galean,
mecingklak, kepyak, melayangan, dan
meogoh-ogohan.Cerita (satua Bali): I Siap
Selem, I Kancil, I Kambing Takutin
macan, Bawang teken kasuna/I pepet teken
I Busan, cerita Tantri, dan Rajapala, I
Godogan, Men sugih teken men
tiwas,cupak gerantang, tuwung kuning,
dan Rajapala.Gending sekar rarebebek
putih jambul, jenis gending sekar rare
yang terkait dengan nilai-nilai sikap sosial
adalah curik-curik, semut-semut api, putri
cening ayu, jenggot uban, dadong dauh,
merah putih, dan meong-
meong.Mengucapkan salamOm Swastiastu,
Rahajeng Semeng, rahajeng siang,
rahajeng wengi, dan astungkara.Kewajiban
berdoa (mebanten)mebanten saiban,
mebanten canang dan mesegeh.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
manfaat yang diperoleh, maka beberapa
saran yang dapat diajukan adalah sebagai
berikut 1) Perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui nilai-nilai sikap
spiritual dan sikap sosial yang termuat pada
masing-masing tema di kelas 4 sekolah
dasar. 2) Perlu dilakukan kajian
berkelanjutan untuk mengetahui muatan
pembelajaran yang termuat dalam pada
masing-masing tema di kelas 4 sekolah dasar
untuk dibuat sebuah prototipe buku cerita. 3)
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
mengetahui potensi dukungan budaya lokal
terhadap muatan sikap spiritual, sikap sosial
dan muatan pembelajaran pada masing-
masing tema di kelas 4 Sekolah Dasar. 4)
Perlu pengenalan lanjutan kepada praktisi
pendidikan sebagai referensi untuk
pengembangan lebih lanjut, untuk
dirumuskan sebuah buku cerita yang
mendukung muatan sikap dan muatan
pembelajaran yang dapat digunakan untuk
mengembangkan nilai-nilai sikap dan
muatan pembelajaran secara terintegrasi
pada tema selalu berhemat energi kelas 4
sekolah dasar Kurikulum 2013
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, N.M.J.,I Nyoman Linggih., I
Made Wiradnyana.2017.Satua
Cupak Teken Gerantang(pamastika
psikologi tokoh). Diakses dari
http://ejournal.ihdn.ac.id/index
.php/JPAH. pada tanggal 17 Juli
2017.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 131
Anggreni, N. L. P., A.A.I.N, Marhaeni.,
Nyoman, Dantes.2016. Muatan Sikap
Dan Literasi Dini Pada Pembelajaran
Tema Air, Bumi, Dan Matahari Kelas 2
Sd Serta Aspek-Aspek Budaya Lokal
Yang Mendukung Pengembangan Buku
Cerita Anak Berbasis Tema. Diakses dari
http://pasca.undiksha.ac.id/e-
journal/index.php/jurnal_pendas/article/vi
ew/2176 pada tanggal 17 Juni 2017.
BBC. Kasus ayah pukul guru di Makassar
picu debat soal kekerasan dan
pendidikan. Diakses dari.
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2
016/08/160811_trensosial_guru_makassa
r. Tanggal 10 november 2016
Dalman,H.2014.Keterampilan
membaca.Jakarta:Rajawali Pers
Dantes,N.2012.Metode Penelitian.
Yogyakarta:C.V Andi Offset
Dantes,N.2014. Landasan Pendidikan.
Yogyakarta:Graha Ilmu.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2016.Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah. Panduan Teknis
Pembelajaran Dan Penilaian di Sekolah
Dasar. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Dasar.
Kementerian pendidikan dan kebudayaan
2016. Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah.Buku Panduan
Pelaksanaan Gerakan Penumbuhan Budi
Pekerti. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Dasar.
Kent,M.L. 2015.The Power of storytelling in
public relations:understanding the 20
masterplotshttps://www.researchgate.net/
profile/Michael_Kent5/publication/28236
2522_The_Power_of_Storytelling_in_Pu
blic_Relations_Understanding_the_20_M
aster_Plots/links/5707c93d08ae2eb9421b
d8bb.pdf diunduh pada tanggal 28
Januari 2017
Knight, G.R. 2008. Filsafat Pendidikan.
Terjemahan Mahmud Arif. Issues and
Alternatives in Educational Philosophy.
Yogyakarta:Gama Media.
Marhaeni, A.A.I.N. 2012. Landasan dan
inovasi pembelajaran. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang
Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah Kurikulum 2013
Permendikbud No 23 tahun 2015. Tentang
Gerakan Literasi Sekolah.
Rooijakers.A.D.2010. Mengajar dengan
Sukses. Jakarta: Grasindo.
Satriani,M.,A.A.I.N.Marhaeni.,N,Dantes.,20
16. Pengembangan Prototipe Buku
Cerita Anak Melalui Analisis Muatan
Sikap dan Literasi pada Tema
Keluargaku.
http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index
.php/jurnal_pendas/article/view/1965
diunduh pada tanggal 17 juni 2017
Sumantri,M.2011. Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta:Universitas Terbuka.
Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta :
Kementerian pendidikan dan kebudayaan
Republik Indonesia
Sanjaya,W. 2013. Penelitian Pendidikan
Jenis, Metode dan Prosedur.
Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Sumaatmadja,N.H, Wihardit,K. 2008.
Perspektif Global. Jakarta:Universitas
Terbuka.
Dewi,W.K.,N,Dantes.,A.A.I.N.Marhaeni.
2016. Pengembangan Prototipe Buku
Cerita Anak Berbasis Budaya Lokal
Melalui Analisis Muatan Sikap Dan
Literasi Dini Pada Pembelajaran
Tema Kegiatanku Kurikulum 2013
Kelas 1 Sekolah
Dasarhttp://pasca.undiksha.ac.id/e-
journal/index.php/jurnal_pendas/article
/view/1906 diunduh pada tanggal 26
Juni 2016
Winataputra,U.S.,dkk.2013.
Pembaharuan dalam pembelajaran di
SD. Jakarta:Universitas Terbuka.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 132
ANALISIS SIKAP DAN MUATAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA TEMA KERUKUNAN DALAM
BERMASYARAKAT KURIKULUM2013
KELAS V SERTA POTENSI BUDAYA
LOKAL PENDUKUNG DALAM
PEMBELAJARAN
Putu Ariantini
Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia
e-mail: {[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan nilai-
nilai sikap dan muatan pembelajaran Matematika serta nilai-nilai budaya
lokal pendukung dalam kurikulum 2013 tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat di kelas V sekolah dasar. Subjek penelitian ini adalah buku
guru dan buku siswa tema Kerukunan Dalam Bermasyarakat kelas V, guru
kelas V, orang tua siswa, guru SBdP dan budayawan. Data dikumpulkan
menggunakan pendoman pencatatan dokumen dan wawancara. Data
dianalisis secara deskriftif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ditemukan; 1) sikap spiritual yang muncul adalah berprilaku
syukur, berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan, dan toleransi
dalam beribadah, 2) nilai-nilai sikap sosial yang termuat yaitu disiplin,
tanggung jawab, santun, dan percaya diri, 3) muatan pembelajaran
matematika yang muncul yaitu statistik sederhana, dan 4) nilai-nilai
budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas tinggi yang
mendukung pengembangan nilai-nilai sikap dan muatan pembelajaran
matematika pada tema Kerukunan Dalam Bermasyarakat yaitu, beberapa
jenis permainan tradisional, cerita anak (satua), bernyanyi (magending),
mengucapkan salam, dan kegiatan sembahyang (mebanten). Selanjutnya
dari hasil temuan-temuan tersebut juga dihasilkan prototipe buku cerita
anak berbasis budaya lokal pada tema Kerukunan Dalam Bermasyarakat
di kelas V sekolah dasar.
Kata Kunci : budaya lokal, sikap
Abstract
The purpose of this research to analyzis and describe the velue of attitude
and velue content of learning Mathematics and local cultural values of
supporters in curriculum 2013 with theme of Kerukunan Dalam
Bermasyarakat in class V of elementary school. The subject of this
research is the teacher's book and students' book themed Kerukunan
Dalam Bermasyarakat for class V, the fifth grade teacher, students parents,
SBdP teacher and culture experts. The data was gathered by using note-
taking guidelines and interview. The data was analyzed descriptively and
qualitatively. The result of this study showed that: 1) spiritual attitude is
behave gratitude, praying before and after doing activities, tolerance in
worship; 2) the value of social attitudes is discipline, responsibility,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 133
manners, and self-confidence, 3) Charge of mathematics learning that
emerged that is simple statistic, and 4) the value of local culture show in
the children who have high class to support the development in value of
attitude in theme Kerukunan Dalam Bermasyarakat the several of
traditional games, fairy tale, singing, greeting, and prayer activity.
Furthermore, the result of the findings in this study was compiled into
culture-based theoretical children's storybook in the theme Kerukunan
Dalam Bermasyarakat.
keyword : local culture, attitude
PENDAHULUAN
Kemajuan suatu bangsa
ditentukan dari kualitas sumber daya
manusianya, untuk menciptakan sumber
daya yang berkualitas maka harus di
dukung dengan adanya pendidikan.
Dantes (2014) mendefinisiskan
pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia atau membentuk manusia
seutuhnya, artinya bahwa dengan
adanya pendidikan manusia dapat
dibentuk untuk lebih sempurna dari
mahkluk Tuhan yang lainnya. Sejalan
dengan itu Undang-Undang Republik
Indonneia No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional secara tegas
menyebutkkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
dan keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Untuk mempersiapan manusia yang
memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warga Negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif dan afektif
serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara maka dilalukanlah perubahan-
perubahan pada kurikulum.
Kurikulum sebagai suatu
rancangan dalam pendidikan memiliki
posisi yang strategis, karena seluruh
kegiatan pendidikan bermuara kepada
kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum
sebagaimana sentra kegiatan pendidikan,
maka didalam penyusunannya
memerlukan landasan atau pondasi yang
kuat melalui pemikiran dan penelitian
secara mendalam. Lasmawan (2013)
mengemukakan kurikulum dimaknai
sebagai pengalaman belajar yang
direncanakan sebagai dasar dan acuan
dalam merencanakan, melaksanakan,
mengevaluasi dan mengembangkan serta
pelaksanaa kurikulum mampu
mentransformasi materi pendidikan
menjadi pengalaman belajar bagi peserta
didik. Hal ini sejalan dengan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pengembangan
kurikulum 2013 merupakan langkah
lanjutan dari pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi yang telah dirintis
sejak tahun 2004 dan KTSP 2006 yang
mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan secara
terpadu.
Kurikulum 2013 mengusung
konsep pembelajaran tematik
terintegrasi. Pembelajaran tematik
merupakan suatu proses pembelajaran
dengan mengaitkan dan memadukan
materi ajar dalam suatu mata pelajaran
atau antar mata pelajaran dengan semua
aspek perkembangan anak, serta
kebutuhan dan tuntutan lingkungan
sosial keluarga untuk memberikan
pengalaman yang bermakna. Teori
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 134
Ausubel menyatakan bahwa belajar
bermakna terjadi apabila pembelajaran
mampu mengubah suatu proses,
mengaitkan informasi baru pada konsep-
konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang (Santyasa,
2010).
Salah satu pembelajaran yang
terdapat pada kurikulum 2013 adalah
pembelajaran matematika. Pembelajaran
matematika adalah suatu aktivitas mental
untuk memahami arti dan hubungan-
hubungan serta simbol-simbol kemudian
diterapkan pada situasi nyata. (Fitri,
2014). Mata pelajaran Matematika perlu
diberikan kepada semua siswa mulai dari
sekolah dasar untuk membekali siswa
dengan kemampuan berpikir logis,
analistis, sistematis, kritis, dan kreatif,
serta kemampuan bekerja sama.
Kompetensi tersebut diperlukan agar
siswa dapat memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif. Oleh sebab
itu pendidikan matematika perlu untuk
diajarkan sejak dini sehingga diharapkan
dikemudian hari generasi muda bangsa
ini dapat dan mampu menguasai
teknologi informasi, dan bukan hanya
sebagai pengguna teknologi saja.
Kurikulum 2013 merupakan
jawaban dari fenomena-fenomena yang
ada dimasyarakat. Hal tersebut ditinjau
dari menurunnya degradasi moral anak
bangsa saat ini. Banyak kasus yang
terjadi di Indonesia seperti kekerasan,
ketidakpedulian dan kurangnya toleransi
antar sesama. Hal tersebut seolah
menyudutkan pola pendidikan di
Indonesia, yang berdampak pada
lembaga-lembaga pendidikan salah
satunya yaitu sekolah yang dipercaya
oleh masyarakat sebagai tempat untuk
mendidik dan pengembangan karakter
anak.
Kendati kurikulum 2013 sudah
diterapkan dibeberapa sekolah, namun
permasalah sosial di masyarakat masih
saja terjadi. Saat ini banyak diberitakan
adanya kekerasan antar pelajar,
kekerasan dan tindak asusila yang
melibatkan peserta didik. Pada
kenyataannya permasalahan kurikulum
2013 bukan hanya berada pada
perangkat penunjang atau kesiapan
tenaga pendidik, melainkan pada konsep
pembelajaran yang kurang mampu
memenuhi harapan dari kurikulum 2013
itu sendiri. Seperti diketahui bersama,
kurikulum 2013 menekankan pada
penanaman nilai sikap peserta didik,
tanpa mengabaikan aspek pengetahuan
dan keterampilannya. Adapun sikap
yang diturunkan secara formal dalam K-
13 adalah sikap spiritual dan sikap
sosial.
Zubaedi (2011) berpendapat
bahwa spiritual berarti sesuatu yang
mendasar, penting, dan mampu
menggerakkan serta memimpin cara
berpikir dan bertingkah laku seseorang.
Sikap spiritual berarti berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta
kepercayaan yang dianut individu.
sementara sikap sosial erat kaitannya
dengan norma dan nilai yang terdapat
dalam kelompok, dimana individu
menjadi anggota atau berhasrat
mengadakan hubungan struktural dengan
orang lain. Menurut Mudjijono dalam
Sukesari (2016) menjelaskan bahwa
sikap sosial adalah cara seseorang dalam
bertanggung jawab pada setiap
keputusan yang diambil, saling
bekerjasama dengan orang lain dan
selalu bertoleransi dengan orang lain.
Pengenalan kehidupan sosial ini dapat
diperoleh melalui proses belajar dan
melalui interaksi dengan orang lain
dalam kehidupan di keluarga, di sekolah,
dan di masyarakat.
Kedua aspek sikap tersebut
menjadi tolak ukur keberhasilan
kurikulum 2013. Namun, jika masih
terjadi permasalahan mengenai sikap
siswa maka perlu dilakukan pengkajian
lebih mendalam mengenai kurikulum
2013.
Permasalahan lain yang ditemukan
adalah uraian pembelajaran dalam buku
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 135
kurang efisien dalam mengembangkan
nilai-nilai sikap. Ditemukan beberapa
konten pembelajaran yang kurang
mampu mengoptimalkan penanaman
nilai-nilai sikap kepada peserta didik.
Berdasarkan beberapa temuan
empiris tersebut, dirasa perlu mencari
sebuah suplemen pembelajaran yang
mampu mengatasi persoalan tersebut.
Salah satu upaya alternatif yang dirasa
efektif digunakan untuk
mengembangkan nilai-nilai sikap adalah
dengan memanfaatkan peran budaya
lokal.
Dalam istilah bahasa Inggris,
budaya adalah Culture yang berasal dari
bahasa Latin colore yang berarti
mengolah, mengerjakan. Kebudayaan
lokal yang terdiri dari kepercayaan-
kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan
sistem simbol bahasa lisan dan tulis
sangat penting dalam pembelajaran
sikap. Pemertahanan budaya lokal
ditengah derasnya arus globalisasi
merupakan salah satu hal yang penting
dilaksanakan. Kecintaan siswa pada
budaya lokal haruslah ditumbuhkan dari
sejak dini, implikasinya dapat
menumbuhkan rasa memiliki terhadap
budaya lokal sehingga dapat dijadikan
salah satu alat untuk menyaring dampak
negatif globalisasi. Keragaman budaya
yang melatarbelakangi masing-masing
peserta didik menuntut guru agar
memiliki wawasan yang luas terhadap
keadaan sosial budaya yang ada pada
lingkungan dimana guru mengajar.
Pengetahuan guru tentang keragaman
budaya yang dimiliki peserta didik, akan
sangat membantu untuk keberhasilan
pelaksanaan pendidikan. Keragaman
budaya akan berpengaruh terhadap pola-
pola sikap dan perilaku setiap individu.
Adat istiadat, norma-norma dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
masyarakat, satu dengan yang lainnya
berbeda-beda.
Kebudayaan lokal merupakan
kebudayaan yang lahir dan berkembang
secara khusus di suatu daerah/wilayah.
Keanekaragaan budaya merupakan
potensi sosial yang dapat membentuk
karakter dan citra budaya tersendiri pada
masing-masing daerah, serta merupakan
bagian penting bagi pembentukan citra
dan identitas budaya suatu daerah.
Kebudayaan lokal bali secara tidak
langsung sudah mendarah daging pada
kehidupan masyarakat, bahkan sampai
ke anak-anak. Sebagian besar anak-anak
masih terlihat bermain permainan
tradisional bali.
Konsep budaya lokal Bali dalam
kehidupan anak sekolah dasar menurut
Made Taro dalam Guna (2014) adalah
budaya lokal yang akrab dengan
kehidupan anak yang menyertai aktivitas
anak dalam bermain, mendengarkan
cerita (satua), bernyanyi (gending rare),
mengucapkan salam, dan kewajiban
sembahyang (mebanten). Bermain dalam
budaya lokal yaitu bermain permainan
tradisional Bali, bernyanyi dalam budaya
lokal yaitu bernyanyi lagu anak-anak
(gending rare), mendengarkan cerita
dalam budaya lokal disebut ningehang
satua, mengucapkan salam yang
dimaksud adalah salam budaya lokal,
dan kewajiban bersembahyang dalam
budaya lokal disebut mebanten.
Hal-hal di atas menjadi landasan
pemikiran bahwa, nilai-nilai budaya
lokal yang diturunkan ke dalam
beberapa jenis aktivitas, akan sangat
baik untuk mengembangkan nilai-nilai
sikap. Hal tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Almerico
(2014) pada penelitian yang berjudul
Building Character Throught Literacy
With Children Literature yang
memaparkan bahwa kegiatan literasi
dapat dibawa ke dalam kurikulum untuk
membantu mengembangkan karakter
dengan cara yang lebih bermakna.
Pembelajaran yang dikembangkan dan
disajikan melalui teks bacaan yang dapat
mempererat karakter positif siswa.
Maka, aktivitas budaya lokal tersebut
dapat dijadikan sebagai suplemen dalam
menunjang pembelajaran kurikulum
2013 khususnya untuk anak kelas tinggi.
Namun, nilai-nilai budaya lokal yang
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 136
mampu memuat nilai-nilai sikap sesuai
dengan K-13 belum teridentifikasi.
Telah ada penelitian sejenis yang
dilakukan oleh Sukesari (2013), yang
berhasil menganalisis dan memaparkan
beberapa aktivitas budaya lokal bali
yang memiliki keterkaitan dengan nilai
sikap spiritual dan sosial dalam
kurikulum 2013 pada anak kelas rendah.
Namun penelitian yang ditujukan untuk
kelas tinggi masih belum teridentifikasi.
Maka dari itu perlu dilakukan analisis
mengenai nilai-nilai sikap di kelas
tinggi, khususnya di Kelas V pada tema
Kerukunan Dalam Bermasyarakat, serta
kajian nilai-nilai budaya lokal
pendukungnya. Lebih lanjut hasil
analisis ini dapat diarahkan pada
penyusunan prototipe buku cerita anak
yang nantinya dapat dikembangkan
menjadi sebuah buku cerita anak, yang
bisa difungsikan sebagai suplemen buku
pelajaran yang dapat mengembangkan
nilai sikap dan muatan pembelajaran
sesuai dengan pembelajaran tema
Kerukunan Dalam Bermasyarakat Kelas
V sekolah dasar Kurikulum 2013.
METODE
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Dantes (2012), Penelitian Deskriptif
adalah suatu penelitian yang berusaha
mendeskripsikan suatu fenomena atau
peristiwa secara sistematis dan apa
adanya. Penelitian kualitatif menurut
Sugiyono (2014) merupakan metode
yang berlandaskan filsafat
postpositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci dengan tehnik
pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi, analisis data bersifat induktif
atau kualitatif dan hasil penelitian lebih
menekankan makna daripada
generalisasi.
Subjek penelitian adalah pihak-
pihak yang dijadikan sebagai sampel
dalam sebuah penelitian. Subjek
penelitian berupa benda yakni buku
guru dan buku siswa pembelajaran
tematik tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat kelas V kurikulum 2013.
Subjek penelitian dari informan adalah:
Budayawan (3 orang), Guru kelas V (3
orang), Guru Seni Budaya dan Prakarya
(SBdP) (3 orang), dan Orang tua siswa
kelas V (3 orang).
Variabel-variabel dalam penelitian
ini adalah: (1) Nilai-nilai sikap spiritual,
dan (2) sikap sosial. Metode pencatatan
dokumen dan wawancara digunakan
untuk mengumpulkan data tentang
muatan nilai-nilai sikap spiritual dan
sosial pada kurikulum 2013. Dokumen
yang digunakan meliputi buku guru,
buku siswa tema Bangga Sebagai
Bangsa Indonesia kelas V Sekolah
Dasar. Metode wawancara digunakan
dengan tujuan menggali informasi dari
narasumber (budayawan, guru kelas V,
guru SBdP, dan orang tua siswa kelas V
sekolah dasar) tentang nilai - nilai
budaya lokal berupa aktivitas anak kelas
awal yang mendukung nilai spiritual dan
sosial pada pembelajaran tematik
terpadu dengan tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat kelas V Sekolah Dasar
Analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini yaitu metode
analisis deskriptif kualitatif. Menurut
Sanjaya (2013), penelitian deskriptif
kualitatif adalah metode penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan secara
utuh dan mendalam tentang realitas
sosial dan berbagai fenomena yang
terjadi di masyarakat yang menjadi
subjek penelitian sehingga tergambarkan
ciri, karakter, sifat, model dari fenomena
tersebut. Metode analisis deskriptif
kualitatif digunakan untuk menjustifikasi
pencatatan dokumen mengenai nilai-
nilai sikap spiritual dan sikap sosial yang
terdapat pada buku guru dan buku siswa
pada tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat di kelas V Sekolah
Dasar. Mengklasifikasi hasil wawancara
dengan narasumber budayawan, guru
kelas, guru SBdP, dan orang tua siswa
untuk dapat mengetahui dimensi nilai
budaya lokal yang sesuai dengan nilai
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 137
sikap spiritual dan sosial pada tema
Kerukunan Dalam Bermasyarakat kelas
V Sekolah Dasar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam Permendikbud No. 21
tahun 2016, tertera bahwa sikap spiritual
mencakup perilaku menerima,
menjalankan, dan menghargai ajaran
agama yang dianutnya. Kompetensi
tersebut merupakan wujud sikap syukur
siswa kepada Tuhan yang maha esa.
Salah satu cara yang ditunjukkan adalah
dengan taat beribadah menurut ajaran
agama yang dianutnya.
Sikap spiritual terdiri atas
beberapa aspek, diantaranya 1) ketaatan
beribadah, 2) berperilaku syukur, 3)
berdoa sebelum dan sesudah
berkegiatan, dan 4) toleransi dalam
beribadah. Dari hasil analisis data
mengenai nilai sikap spiritual dan nilai
sikap sosial pada buku guru dan buku
siswa kelas V tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat ditemukan bahwa
muatan sikap spiritual hanya muncul tiga
aspek yaitu berprilaku syukur, berdoa
sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan, dan toleransi beribadah. Dari
ketiga aspek yang muncul terlihat bahwa
frekuensi aspek berprilaku syukur
kemunculannya lebih banyak
dibandingkan dengan aspek yang
lainnya. Hal ini menandakan bahwa pada
buku guru dan buku siswa yang lebih
ditekankan adalah kemampuan siswa
untuk selalu berprilaku syukur dalam
kehidupan.
Selanjutnya temuan-temuan
tersebut dijadikan dasar untuk
melakukan wawancara kepada informan
guna mendapatkan hasil yang akurat.
Berdasarkan hasil wawancara
menunjukkan adanya aspek-aspek
budaya lokal yang dekat dengan
aktivitas anak kelas tinggi yang dapat
digunakan untuk pengembangan sikap
spiritual. Pertama, Untuk temuan
berprilaku syukur, aspek yang
menunjukkan keterkaitan dengan nilai
sikap spiritual tersebut adalah
cerita/satua dan aktivitas kewajiban
sembahyang (mebanten). Ada beberapa
judul cerita/satua yang dapat memuat
sikap selalu bersyukur yaitu I Bawang
Teken I Kesuna, Men Sugih Teken Men
Tiwas, I Bintang Lara, Belibis Putih I
Rare Angon Dan Tuwung Kuning.
Dalam cerita tersebut diceritakan tentang
lakon-lakon yang dalam kehidupannya
kurang beruntung. Berikut cuplikan
cerita I Bawang Teken I Kesuna “Ni
Bawang laut megedi sambilange ngeling
sigsigan. Di subane ngutang umah,
neked kone ye di tukade ketemu ajak
kedis crukcuk kuning. Ditu i Kedis
Crukcuk Kuninge kapilasa teken unduk
Ni Bawange. Ni Bawang gotola, baanga
emas-emasan, marupa pupuk, subeng,
kalung, bungkung, gelang muah kain
sutra”. Dari cuplikan tersebut terlihat
bahwa Ni Bawang selalu bersyukur
walaupun dia benci oleh ibu dan saudara
tirinya. Begitu juga dengan kisah Men
Tiwas yang sangat miskin namun dalam
perjalanan hidupnya dia mendapatkan
banyak emas karena dia selalu bersyukur
dengan apa yang dimiliki. Sedangkan
cerita/satua Ni Tuwung Kuning yang
kehadirannya tidak diharapkan oleh ayah
kandungnya. Tapi dalam perjalanan
kisahnya mereka selalu bersyukur dan
tidak henti-henti untuk berbuat baik,
yang pada akhirnya menguntungkan bagi
mereka sendiri. Sementara itu juga
ditemukan pula salah satu aktivitas
budaya lokal yang sesuai dengan nilai
sikap spiritual yakni aktivitas mebanten.
Mebanten yang dapat dilakukan oleh
anak kelas tinggi yaitu mebanten
saiban/jotan, mebanten canang,
mebanten purnama-tilem, dan mebanten
keliling.
Kedua, untuk temuan berdoa
sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan dapat didukung oleh budaya
lokal mebanten yaitu melakukan Tri
Sandya sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan. Dengan demikian peserta didik
secara tidak langsung dapat
menumbuhkan nilai-nilai sikap spiritual.
Ketiga, untuk temuan toleransi dalam
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 138
beribadah, budaya lokal yang
mendukung yaitu aktivitas
mengucapkam salam. Sebagai umat
yang beragama kita harus menghargai
satu dengan yang lainnya. Contoh
pengucapan salam Om Swastiastu dapat
digunakan jika kita bertemu dengan
orang atau teman.
Berdasarkan temuan dan hasil
wawancara tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat beberapa budaya lokal
yang dapat menudukung dalam
pembentukan nilai-nilai sikap dan
pengembangan karakter peserta didik.
Budaya lokal yang mendukung
pengembangan nilai –nilai sikap
spiritual diantaranya yaitu aktivitas
mendengarkan cerita/satua,
mengucapkan salam, dan kewajiban
sembahyang/mebanten.
Selanjutnya nilai-nilai sikap sosial
terdapat enam dimensi yaitu: 1) jujur, 2)
disiplin, 3) tanggung jawab, 4) santun, 5)
peduli, dan 6) percaya diri. Sikap sosial
yang termuat dalam Kurikulum 2013 di
kelas V mengacu pada Permendikbud
No. 21 tahun 2016 ditunjukkan melalui
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
santun, peduli, dan percaya diri dalam
berinteraksi dengan keluarga, teman,
guru, dan tetangganya serta cinta tanah
air. Berdasarkan hasil analisis dan
pencatatan dokumen ditemukan aspek-
asek sikap sosial yang muncul yaitu
disiplin, tanggung jawab, santun dan
percaya diri. Kemunculan frekuensi
nilai-nilai sikap sosial sangat beragam.
Namun, aspek tanggung jawab dan
percaya diri merupakan yang paling
banyak muncul. Hal ini menunjukkan
bahwa aspek tanggung jawab dan
percaya diri mendapatkan penekanan
pada tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat Kurikulum 2013.
Sikap disiplin yang muncul
ditunjukkan melalui prilaku mengikuti
peraturan yang ada di sekolah dan tertib
melaksanakan tugas. Sikap tanggung
jawab ditunjukkan melalui kegiatan
menyelesaikan tugas yang diberikan
serta mengerjakan tugas pekerjaan
rumah dan sekolah dengan baik. Sikap
santun ditunjukkan melalui prilaku
menghormati orang lain dengan
menggunakan cara bicara yang tepat,
dan berbicara atau bertutur kata halus.
Sikap percaya diri ditunjukkan melalui
prilaku berani tampil di depan kelas,
berani mengemukakan pendapat, dan
mencoba hal-hal baru yang bermanfaat.
Ditemukan pula adanya kandungan nilai-
nilai sosial yang dapat dituangkan ke
dalamnya.
Berdasarkan hasil wawancara
menunjukkan adanya aspek-aspek
budaya lokal yang dekat dengan
aktivitas anak kelas tinggi yang dapat
digunakan untuk pengembangan sikap
sosial. Pertama, untuk temuan aspek
sikap disiplin dan bertanggung jawab
dapat dimunculkan pada aktivitas
permainan tradisional dan satua.
Aktivitas bermain dapat menumbuhkan
interaksi sosial dengan lingkungan,
menanamkan nilai karakter seperti
kerjasama, kejujuran, disiplin dan kerja
keras, menerima kekalahan dan selalu
berucap syukur. Beberapa permainan
yang dapat mengembangkan prilaku
disiplin untuk mengikuti peraturan dan
bertanggung jawab menyelesaikan tugas
yang diberikan yaitu permainan
mecingklak, dengkleng, megale-galean,
megoak-goakan, dan meong-meongan.
Kedua, untuk temuan prilaku
santun dapat dimunculkan pada aktivitas
mengucapkan salam. Dalam
mengucapkan salam anak menunjukkan
rasa menghargai dan menghargai orang
yang ditemuinya. Hal ini sesuai dengan
salah satu indikator aspek santun yaitu
menghormati orang lain dan
menggunakan cara bicara yang tepat.
Adapun salam yang dimaksud yakni
panganjali umat, om swastiastu,
rahajeng semeng, rahajeng wengi, dan
paramasanthi.
Ketiga, untuk temuan aspek
percaya diri budaya lokal yang
mendukung yaitu aspek bernyanyi
(megending), aspek cerita/satua dan
permainan tradisional. Dengan menyanyi
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 139
dan bercerita anak dapat tampil di depan
orang lain untuk mencoba hal-hal baru
yang bermanfaat. Beberapa jenis
gending yang sesuai yang dapat
dinyanyikan yaitu gending juru pencar,
curik-curik, ratu anom dan ketut garing.
Dengan mendengarkan cerita/satua anak
kelas tinggi beranii mengemukakan
pendapat dengan percaya diri. Beberapa
jenis cerita/satua yaitu satua Siap Selem,
Men Tiwas Teken Men Sugih, I Bawang
Teken I Kesuna, I Kekua Memaling Isen,
I Bintang Lara, Jayaprana Layonsari,
Rajapala/Durma, Pan Balang Tamak,
Belibis Putih, I Rare Angon dan Kebo
Iwe. Selain itu juga dengan melakukan
permainan tradisional anak kelas tinggi
dapat mencoba hal-hal baru. Adapun
permainan yang dapat dilakukan seperti
meong-meong, mecingklak, megala-
gala, megoak-goakan, tajog dan
dengkleng.
Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Dewi Handayani
pada tahun 2013 yang berjudul
Penerapan Permainan Tradisional
Meong-meong Untuk Meningkatkan
Perkembangan Sikap Sosial Anak
Kelompok B Taman Kanak-Kanak Astiti
Dharma Penatih Denpasar menemukan
bahwa adanya peningkatan kualitas
sikap sosial anak melalui penerapan
permainan tradisional meong-meong.
Selain itu penelitian dari Hartoyo pada
tahun 2015 yang berjudul Pembinaan
Karakter dalam Pembelajaran
Matematika, menemukan bawah,
Pendidikan karakter membekali kepada
peserta didik ilmu, pengetahuan dan
pengalaman budaya, perilaku yang
berorientasi pada nilai-nilai ideal
kehidupan, baik yang bersumber pada
budaya lokal maupun budaya luar.
Berdasarkan temuan dan hasil
wawancara tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat beberapa budaya lokal
yang dapat mendukung dalam
pembentukan nilai-nilai sikap sosial dan
pengembangan karakter peserta didik.
Budaya lokal yang mendukung
pengembangan nilai –nilai sikap sosial
diantaranya yaitu aktivitas bermain
permainan tradisional, mendengarkan
cerita/satua, bernyanyi/megending, dan
mengucapkan salam.
Muatan pembelajaran Matematika
yang tertuang pada Permendikbud No.21
Tahun 2016 yaitu: 1) statistika
sederhana, 2) Bilangan perpangkat dan
akar sederhana, 3) Geometri dan
pengukuran sederhana, 4) Geometri dan
pengukuran (termasuk satuan turunan),
dan 5) Statistika (pengumpulan dan
penyajian data sederhana).
Berdasarkan hasil analisis
mengenai muatan pembelajaran
Matematika pada studi buku guru dan
buku siswa kelas V tema Kerukunan
Dalam Bermasyarakat ditemukan
kompetensi-kompetensi yang muncul
ditemukan bahwa muatan yang muncul
pada pelajaran matematika adalah
statistik sederhana (perbandingan dan
skala). Selanjutnya hasil dari wawancara
terhadap narasumber menunjukan
adanya aspek-aspek budaya lokal yang
dekat dengan aktivitas anak kelas tinggi
dan ada yang mampu memuat muatan
pembelajaran matematika di dalamnya.
Terdapat aktivitas berbasis budaya lokal
yang menurut keterangan narasumber
dapat menjadi wadah untuk
membelajarkan muatan pembelajaran
matematika kepada peserta didik yakni
bermain permainan tradisional.
Menurut narasumber dari
budayawan, guru kelas, dan guru SBdP
muatan statistik sederhana khususnya
perbandingan dapat dimuat pada
permainan tradisional mecingklak,
meong-meong, goak-goakan, selodor
dan tampul/benteng. Pada permainan
mecingklak secara tidak langsung siswa
dapat mengasah kemampuan kognitif
siswa dalam berhitung. Sedangkan pada
permainan tradisional goak-goakan,
meong-meong, selodor, dan
tampul/benteng anak kelas tinggi secara
langsung dapat belajar tentang
perbandingan. Misalnya pada permainan
goak-goakan terdiri dari dua kelompok,
yang berperan menjadi goak terdiri dari
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 140
satu orang, dan yang menjadi mangsa
goak terdiri dari beberapa orang yang
berbaris kebelakang seperti ular. Dari
susunan anggota tersebut anak secara
langsung dapat belajar tentang
perbandingan.
Adapun keterkaitan antar nilai-
nilai sikap spiritual dan sikap sosial serta
muatanpembelajaran dengan nilai-nilai
budaya lokal pendukung, disajikan
dalam tabel 1. berikut.
Tabel 1. Keterkaitan Nilai-nilai Sikap dan Muatan Pembelajaran Matematika
Dengan Budaya Lokal Pendukung Untuk Tema Kerukunan Dalam
Bermasyarakat Kurikulum 2013 di Kelas V Sekolah Dasar
No. Aspek Temuan Budaya Lokal yang Mendukung
1 Nilai-Nilai
Sikap
Spiritual
Berprilaku
syukur
- Aktivitas mendengarkan cerita/satua seperti
I bawang teken I kesuna, Men sugih teken
men tiwas, Tuwung Kuning, Pan Balang
Tamak, I Bintang Lara, Belibis Putih,
Ketimun Mas dan I Rare Angon.
- Kewajiban sembahyang seperti: Mebanten
saiban/jotan, mebanten wedang, Mebanten
cang sari, Sembahyang Purnama-Tilem,
Mebanten keliling, Mesegeh, Tri sandya
Berdoa
sebelum dan
sesudah
melakukan
kegiatan
Melakukan puja Tri Sandya sebelum dan
sesudah mengakhiri pelajaran
Toleransi
dalam
beribadah
Mengucapkan salam seperti: Om Swastiastu
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
2 Nilai-Nilai
Sikap Sosial
Disiplin Permainan tradisional yang dapat melatih
kedisiplinan seperti: Mecingklak, Dengkleng,
Megala-gala, Megoak-goakan, Meong-meong,
Tarik Tambang
Tanggung
Jawab
Bertanggung jawab dalam menyelesaikan
permainan tradisional seperti: Mecingklak,
Dengkleng, Megala-gala, Megoak-goakan,
Meong-meong, Tarik Tambang.
Santun Mengucapkan salam seperti:
Om Swastiastu, Parama Shanti, Rahajeng
semeng/wengi
Percaya Diri - Aktivitas bernyanyi/megending seperti:
megending Lagu Juru Pencar, Curik-Curik,
Ratu Anom, Dan Ketut Garing.
- Aktivitas mendengarkan cerita/satua seperti:
I Siap Selem, Men Tiwas Teken Men Sugih, I
Bawang Teken I Kesuna, I Kekua Memaling
Isen, Jayaprana Layonsari,
Rajapala/Durma, I Bintang Lara, Belibis
Putih, dan I Rare Angon. dan Kebo Iwe.
- Percaya diri dalam aktivitas permainan
tradisional seperti: Mecingklak, Dengkleng,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 141
No. Aspek Temuan Budaya Lokal yang Mendukung
Megala-gala, Megoak-goakan, Meong-
meong
3 Muatan
Pembelajaran
Matematika
Statistik
Sederhana
Aktivitas permainan tradisional seperti:
Meong-Meong, Goak-Goakan, Selodor,
Tampul/Benteng, dan Mecingklak.
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis
deskriptif kualitatif. maka dapat
disimpulkan bahwa bahwa sikap
spiritual siswa berkembang diantaranya
berprilaku syukur, berdoa sebelum dan
sesudah melakukan kegiatan, dan
toleransi dalam beribadah, selain itu
sikap sosial, seperti disiplin, tanggung
jawab, santu dan percaya diri, semunya
itu mampu dikembangkan oleh siswa
dalam pelaksanaan pembelajran
matematika di sekolah.
Saran
Saran yang dapat diberikan
berdasarkan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Perlu dilakukan kajian nilai-nilai
sikap spiritual dan muatan
pembelanilai-nilai sikap sosial
terhadap perangkat pembelajaran
pada tema lainnya di kelas tinggi,
untuk kemudian dikaitkan dengan
budaya lokal yang dapat
mendukungnya.
2. Guna penyempurnaan penelitian yang
dilakukan, maka perlu dilakukan
penelitian lanjutan.
3. Agar tujuan penelitian ini tercapai
optimal, maka hasil dari penelitian ini
hendaknya dapat difungsikan sebagai
landasan dalam melakukan analisis
nilai-nilai sikap spiritual dan sikap
sosial serta budaya lokal
pendukungnya untuk penanaman nilai
sikap dan pengembangan karakter
peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Almerico, G.M. 2014. “Building
character through literacy with
children’s literature”. E-Journal
The University Of Tampa:
School of Education. Vol. 26
tahun 2014
Dantes, N. 2014. Landasan Pendidikan
Tinjauan dari Dimensi
Makropedagogis. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia. 2003.
Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Fitri, Rahma ,Helma, Hendra
Syarifuddin. 2014. Penerapan
Strategi The Firing Line Pada
Pembelajaran Matematika Siswa
Kelas Xi Ips Sma Negeri 1
Batipuh . Vol. 3 No. 1 (2014)
Jurnal Pendidikan Matematika :
Part 2 Hal 18-22
Guna, I.G.M.D. 2014. Made Taro
Mendongeng dan Bermain
Sepanjang Waktu.
Yogyakarta : Media Kreatifitas
Yogyakarta.
Handayani, D. Nyoman Dantes & I W.
Lasmawan. 2013. “Penerapan
Permainan Tradisional Meong-
Meongan Untuk Perkembangan
Sikap Sosial Anak Kelompok B
Taman Kanak-Kanak Astiti
Dhrama Penatih Denpasar”. E-
Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan
Ganesha: Program Pendidikan
Dasar. Vol. 3 tahun 2013
Hartoyo, Agung. 2015. Pembinaan
Karakter Dalam Pembelajaran
Matematika . ISSN 2442-3041
Math Didactic: Jurnal
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 142
Pendidikan Matematika Vol. 1,
No.1
Lasmawan, I.W. 2013. Telaah
Kurikulum. Singaraja: Surya
Grafika
Marhaeni, A.A.I.N. 2013. Landasan dan
Inovasi Pembelajaran.
Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha.
Sanjaya, W. 2013. Penelitian
Pendidikan: Jenis,metode, dan
Prosedur. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sukesari, N.K.A., A.A.I.N. Marhaeni &
N. Dantes. 2016.
“Pengembangan Prototipe Buku
Cerita Anak Bermuatan Budaya
Lokal Melalui Analisis Muatan
Sikap Dan Literasi Dini Pada
Pembelajaran Tema Peristiwa
Alam Kurikulum 2013 Kelas I
Sekolah Dasar”. E-Journal
Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha: Program
Studi Pendidikan Dasar. Vol. 6
No 1 Tahun 2016.
Win, B. 2010. Mengenal Sepintas Seni
Budaya Bali. Jakarta: PT Mapan
Zubaedi, B. 2011. Sikap Spiritual Dalam
Beragama. Yogyakarta: Media
Kreatif.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 143
PENGETAHUAN AWAL DAN TINGKAT KEYAKINAN SISWA
TENTANG KONSEP LISTRIK DINAMIS
Gde Parie Perdana
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menginvestigasi pengetahuan awal siswa dan
tingkat keyakian siswa tentang konsep ilmiah listrik dinamis yang
dimilikinya. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-komparatif dengan
pendekatan crossecsional. Variabel yang diteliti yaitu pengetahuan awal
(prior knowledge) siswa dan keyakinan terhadap pengetahuan yang dimiliki
(certainty of knowledge). Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa
kelas X IPA (Ilmu Pengetahun Alam) SMAN 1 Banjarangkan (2016/2017).
Jumlah keseluruhan sampel adalah 136 siswa. Tes terdiri dari pilihan ganda
dengan tingkat keyakinan siswa atas jawabannya. Jawaban siswa dianalisis
dengan chi-square analysis. Hasil penelitian menunjukkan (1) pengetahuan
awal siswa tentang konsep-konsep pada materi listrik dinamis sebagian besar
berupa miskonsepsi (62,3%) dan hanya 37,7% tahu konsep, dan (2) tingkat
keyakinan siswa dapat berkorelasi dengan pengetahuan awal siswa.
Kata Kunci: pengetahuan awal, keyakinan, listrik dinamis
Abstract
The aims of this research were to investigate the initial knowledge of students
and the level of student's certainty about the dynamic electrical science
concept. This is an analytic-comparative research with cross-sectional
approach. The variables studied are the prior knowledge (prior knowledge)
students and beliefs to the knowledge possessed (certainty of knowledge).
Research subjects in this study were students of class X IPA (Natural Science
Science) SMAN 1 Banjarangkan (2016/2017). The total sample size is 136
students. The test consists of multiple choices with students' level of certainty
in their answers.. Students' answers were analyzed by chi-square analysis. The
result of the research shows (1) the students' prior knowledge about dynamic
electrical concepts is mostly misconception (62,3%) and only 37,7% know the
concept, and (2) the student's confidence level can correlate with the student's
prior knowledge.
Keywords: prior knowledge, certainty, dynamic electrical
PENDAHULUAN
Salah satu faktor penting dalam
kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan.
Pendidikan tersebut haruslah mampu
menjawab tuntutan masyarakat dan mengikuti
perkembangan zaman. Seperti saat ini
pembelajaran di Indonesia saat ini
menghadapi dua tantangan. Tantangan yang
pertama datang dari adanya perubahan
persepsi tentang belajar dan tantangan kedua
datangnya dari adanya teknologi informasi
dan telekomunikasi (TIK) yang
memperlihatkan perkembangan yang luar
biasa ( Taufiq, 2014). Tantangan tersebut
merupaka dampak dari arus globalisasi yang
semakin pesat. Oleh karena itu pembelajaran
di Indonesia harus ditingkatkan. Salah satu
pembelajaran di sekolah adalah pembelajaran
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 144
tentang sains. Secara umum istilah sains
memiliki arti sebagai Ilmu Pengetahuan. Oleh
karena itu, sains didefinisikan sebagai
kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis, sehingga secara umum istilah sains
mencakup Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) (Rahayuni,
2016). Secara khusus, istilah sains dimaknai
sebagai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau
natural science.
Depdiknas (2011) menyatakan bahwa
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan
dengan upaya memahami berbagai fenomena
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan
hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Sejalan dengan
definisi tersebut, tuntutan dalam Pendidikan
IPA adalah diharapkan dapat menjadi wahana
bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan
alam sekitar, serta prospek pengembangan
lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari (Hidyati, 2016).
Menurut Kemendikbud (2013), Pendidikan
IPA diarahkan untuk menemukan sendiri dan
berbuat sehingga dapat membantu siswa
untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang alam sekitar. Dengan
demikian, proses pembelajarannya
menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi
agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. Pendidikan IPA di Indonesia
masih jauh dari standar rata-rata pendidikan
IPA dunia. Survei TIMSS tahun 2015
menunjukkan Indonesia masih berada pada
posisi di bawah dari center point skor
pendidikan dunia, dengan menduduki ranking
44 dari 47 negara yang disurvei dengan skor
rata-rata 397 (Martin et al., 2016). Indonesia
menduduki peringkat jauh di bawah
Singapura yang menduduki peringkat 1 dunia.
Tidak hanya itu, berdasarkan data UNESCO
(2012) tentang Education Development Index
(EDI), Indonesia menempati peringkat 64 dari
120 negara dengan skor 0,938. Hasil survei
kedua lembaga international tersebut
menunjukkan pendidikan IPA di Indonesia
tergolong rendah dan belum mampu bersaing
mengimbangi negara-negara berkembang
lainnya.
Penelitian Suma (2015) menunjukkan
sebagian besar (60%) siswa kelas XI IPA di
SMA Negeri di Bali mengalami miskonsepsi
dan kurang dari 40% memiliki konsep ilmiah
dalam bidang dinamika pada materi fisika. Ini
menunjukkan pengetahuan IPA siswa
khususnya pada mata pelajaran fisika sangat
rendah.
Rendahnya pengetahuan IPA ini
disinyalir disebabkan terganggunya proses
pembelajaran oleh pengalaman-pengalaman
awal siswa. Siswa merasa yakin bahwa
pengalaman tersebut memberikan tafsiran
yang benar. Padahal pengalaman-pengalaman
itu memberikan tafsiran yang tidak sesuai
dengan kaidah saintifik, sehingga
menyebabkan kesalahan konsep. Sadia (2004)
menyatakan bahwa tafsiran tersebut bukan
tidak berdasar, namun tafsiran tersebut lebih
didasarkan atas akal sehat (common sense)
bukan dengan pola pikir ilmiah. Pengalaman-
pengalaman awal siswa yang memberikan
tafsiran tidak sesuai dengan kaidah ilmiah
tersebut dapat mengganggu proses
pembentukan pengetahuan baru.
Rendahnya pengetahuan siswa dalam
pembelajaran khususnya pada materi fisika,
menurut hasil penelitian Samudra et al. (2014)
karena siswa kesulitan dalam mempelajari
fisika, sebab materi fisika yang padat,
menghapal, dan menghitung, serta
pembelajaran fisika di kelas yang tidak
kontekstual.
Siswa memperoleh pengetahuan tidak
hanya dari pembelajaran di sekolah, tetapi
juga dari lingkungannya. Akpinar dan Tan
(2011) Pengalaman-pengalaman ini akan
menghasilkan struktur mental yang berbeda
tentang sebuah konsep, namun beberapa
pengalaman dalam kehidupan sehari-hari
dapat menipu pemikiran awal. Persepsi siswa
tentang suatu konsep terkadang salah dari
sudut pandang saintifik dan dapat
mengganggu siswa dalam belajar (Salame,
2011). Pengalaman-pengalaman awal ini
dikenal dengan pengetahuan awal.
Penelitian Ismail et al. (2015)
menunjukkan pengetahuan awal siswa tentang
konsep listrik dinamis masih kurang,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 145
sebanyak 44,2% tidak mengetahui konsep,
39,9%, dan hanya 13,9% menguasai konsep.
Hasil penelitian Darmawan et al. (2015)
menunjukkan dari 32 siswa yang mengikuti
tes pengetahuan awal (pre-test), hanya 14
siswa memenuhi standar ketuntasan
minimum. Standar ketuntasan minimum yang
ditetapkan adalah 85,00, namun rata-rata hasil
skor yang diperoleh siswa hanya 73,44. Ini
menunjukkan pengetahuan awal siswa tentang
suatu konsep yang telah dimiliki sebelum
proses pembelajaran tergolong rendah.
Pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman awal juga dapat mempengaruhi
keyakinan diri siswa dalam mengikuti
pembelajaran. Keyakinan siswa tentang
pengetahuan yang dimiliki berkaitan dengan
banyak aspek dalam pendidikan, termasuk
motivasi untuk belajar (Jiang et al., 2014),
ketertarikan pada salah satu mata pelajaran
tertentu (Viljaranta et. al., 2014), dan dengan
materi yang sedang dipelajari.
Keyakinan siswa tentang pengetahuan
awal yang dimiliki, mencerminkan persepsi
siswa. Menurut Bandura (1986), keyakinan
diri mengacu pada persepsi tentang
kemampuan individu untuk mengorganisasi
dan mengimplementasikan tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu. Apabila
siswa memiliki persepsi yang tinggi tentang
kemampuan dirinya, maka siswa tersebut akan
memiliki keyakinan yang tinggi pada tiap
tindakan yang dilakukannya. Keyakinan
akademik muncul dari pengalaman-
pengalaman, persuasi verbal, dan keadaan
fisiologis saat berhadapan dengan
permasalahan. Akan tetapi, terkadang siswa
memiliki tingkat keyakinan yang tinggi
terhadap konsep yang tidak sesuai dengan
kaidah saintifik. Ini muncul karena
pengalaman-pengalaman awal yang dimiliki
siswa tidak sesuai dengan kaidah saintifik,
sehingga mengganggu pembentukan
pengetahuan baru dalam pembelajaran.
Pengetahuan awal dan keyakinan siswa
tentang konsep yang dimiliki memiliki
peranan penting dalam pelaksanaan
pembelajaran. Hal ini mendorong peneliti
untuk menginvestigasi pengetahuan awal
siswa dan tingkat keyakinannya terhadap
pengetahuan awal tersebut.
Pengetahuan Awal
Pandangan konstruktivisme mengakui
adanya eksistensi pengetahuan awal yang
dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti
pembelajaran di kelas. Siswa harus dipandang
sebagai suatu subjek pembelajaran yang sudah
memiliki pengetahuan awal sebelum
mengikuti proses pembelajaran (Cordova et
al., 2014).
Dochy dan Alexander (1995)
mendefinisikan pengetahuan awal (prior
knowledge) sebagai seluruh pengetahuan
seseorang yang bersifat (1) dinamis, (2) ada
sebelum pembelajaran, (3) terstruktur, (4) ada
dalam berbagai bentuk (deklaratif, procedural,
dan bergantung pengetahuan), (5) eksplisit
maupun implisit, dan (6) mengandung
konseptual dan komponen pengetahuan
metakognitif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan awal merupakan seluruh
pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum
mendapat pembelajaran yang baru tentang
suatu konsep tertentu.
Pengetahuan awal siswa sangat
mendukung pembentukan konsep ilmiah pada
diri siswa guna mencapai prestasi belajar.
Sesuai dengan hasil penelitian Calisir et al.
(2008) bahwa pengetahuan awal berpengaruh
signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
Tidak hanya mendukung, pengetahuan awal
siswa juga dapat menjadi penghalang untuk
belajar karena beberapa pengetahuan
sebelumnya mungkin bertentangan dengan
informasi yang akan dipelajari (Cordova et al.,
2014). Oleh karena itu, mengetahui
pengetahuan awal siswa menjadi langkah
penting di dalam proses belajar agar konsep
yang diajarkan dapat dipahami oleh siswa.
Pada proses belajar, pengetahuan awal
menjadi kerangka berpikir tempat siswa
menyaring informasi baru dan mencari makna
tentang apa yang sedang dipelajari.
Pengetahuan awal menjadi prasyarat yang
harus dimiliki peserta didik sebelum
memasuki materi pembelajaran berikutnya
yang memerlukan tingkat pemahaman lebih
tinggi.
Keyakinan tentang Pengetahuan Awal
Menurut Bandura (1986), keyakinan
akademik muncul dari prestasi akademik
individu, pengalaman individu lain dalam
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 146
bidang akademik, persuasi verbal akan
kemampuan akademik individu, serta keadaan
fisiologis individu ketika berhadapan dengan
tugas atau tuntutan akademik. Clark dan Enns
(2015) menyampaikan bahwa pelatihan atau
pembelajaran yang pernah diterima tentang
suatu informasi akan memberikan dampak
positif pada keyakinanya.
Hansson et al. (2017) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa
kepercayaan akan pengetahuan yang dimiliki
hanya signifikan berkorelasi dengan
pengetahuan para ahli dan tidak ada untuk
pemula. Jadi, dapat dipastikan bahwa
keyakinan akan pengetahuan yang dimiliki
memiliki hubungan dengan tingkat
pengetahuan individu tersebut. Apabila
individu tersebut memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi maka mereka
memiliki keyakinan yang kuat tentang
pengetahuannya, sedangkan apabila mereka
tidak memiliki pengalaman ataupun
pengetahuan yang memadai, keyakinan
mereka akan kurang. Terkadang terdapat pula
kasus dimana siswa yang memiliki
pengetahuan awal yang kurang memadai,
namun memiliki tingka keyakinan yang
tinggi. Ini menunjukkan pengetahuan awal
yang tidak sesuai dengan kaidah saintifik
menyebabkan keyakinan yang tinggi pada
konsep yang salah. Inilah yang menyebabkan
terganggunya proses pembentukan
pengetahuan baru.
Tingkat keyakinan pengetahuan yang
dimiliki seseorang berbeda sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuni (Hansson et al.,
2017). Subjek pelajaran yang disukai siswa
pasti akan ditekuni olehnya, maka dalam
pengambilan keputusan-kuputusan dalam
pembelajaran subjek tersebut lebih tinggi.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
analitik-komparatif dengan pendekatan cross-
secsional. Variabel yang diteliti yaitu
pengetahuan awal (prior knowledge) siswa
dan keyakinan terhadap pengetahuan yang
dimiliki (certainty of knowledge).
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas
X IPA SMAN 1 Banjarangkan (2016/2017).
Jumlah keseluruhan sampel adalah 136 siswa.
Tes terdiri dari pilihan ganda diperluas dengan
tingkat keyakinan siswa atas jawabannya.
Pilihan ganda yang tersedia terdiri dari satu
pilihan yang merupakan konsep ilmiah dan 4
pilihan jebakan berupa miskonsepsi. Tes
dikembangkan sesuai kompetensi dasar listrik
dinamis KTSP.
Analisis yang digunakan adalah dengan chi
square analysis dengan 2 variabel dan
masing-masing variabel terdiri dari beberapa
kategori. Analisis dibantu dengan
menggunakan IBM SPSS 24. Pengetahuan
awal siswa dikategorikan menjadi tahu konsep
(T) dan miskonsepsi (M). Tabel
pengkategorian dapat dilihat pada Tabel 1.
Skala Linkert (0-5) digunakan untuk
mengekspresikan tingkat keyakinan siswa.
Tingkat keyakinan < 3 dikategorikan tidak
yakin, apabila > 3 dikategorikan yakin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan temuan dalam
penelitian ini yaitu membahas tentang
hubungan antara pengetahuan awal siswa dan
tingkat keyakinan yang dimilikinya terhadap
pengetahuan tersebut.
Pengetahuan Awal Siswa
Hasil dari tes pengetahuan siswa pada
tiap soal dapat dilihat pada Gambar 1. Pada
tiap butir soal, pengetahuan awal siswa
dominan berupa miskonsepsi. Deskripsi
pengetahuan awal siswa berdasarkan sub-
materi listrik dinamis disajikan pada Tabel 1.
Rata-rata sebanyak 37,7% siswa tahu konsep
dan 62,3% mengalami miskonsepsi. Ini
menunjukkan sebagian besar pengetahuan
awal siswa berupa miskonsepsi.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 147
Tabel 1. Persentase Pengetahuan Awal Siswa
No. Soal Konsep T(%) M(%)
1, 2, 3, 4 Arus Listrik 54,6 45,4
5, 6, 7, 8 Hambatan Listrik 43,9 56,1
9, 10, 11, 12, 13, 14 Rangkaian Seri & Paralel 33,7 66,3
15 GGL & tegangan jepit 24,3 75,7
16, 17, 18 Energi & Daya Listrik 38,2 61,8
19, 20 Alat Ukur Listrik 31,3 68,8
Rata-rata 37,7 62,3
Tingkat Keyakinan Siswa
Tingkat keyakinan siswa pada tiap konsep
materi listrik dinamis berdasarkan hasil
penelitian ditunjukan pada Tabel 2. Rata-rata
skor keyakinan siswa adalah 2,75 dengan
kategori tidak yakin. Dari enam konsep pada
materi listrik dinamis, lima diantaranya siswa
tidak yakin dengan jawabannya.
Tabel 2. Kategori Keyakinan Siswa
Hubungan Pengetahuan Awal dan Tingkat
Keyakinan Siswa
Untuk mengetahui hubungan
pengatahun awal dan tingkat keyakinan siswa
digunakan analisis Analisis Pearson
Chi-Square. Hasil analisis tersedia pada tabel
3 sebagai berikut.
Konsep Skor Kategori
Arus Listrik 3.06 Yakin
Hambatan Listrik 2.96 Tidak Yakin
Rangkaian Seri & Paralel 2.86 Tidak Yakin
GGL & tegangan jepit 2.27 Tidak Yakin
Energi & Daya Listrik 2.71 Tidak Yakin
Alat Ukur Listrik 2.65 Tidak Yakin
Rata-Rata 2.75 Tidak Yakin
Gambar 1. Pengetahuan Awal Siswa
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 148
Tabel 3. Analisis Chi-Square untuk Kategori Pengetahuan Awal Siswa dengan Tingkat Kepercayaan
pada Tiap Butir Soal
Konsep No.
Soal Keyakinan Miskonsepsi
Tahu
Konsep
Chi-
Square
Asymptotic
Sig. (2-sided)
Arus Listrik 1 Yakin 35 14 6,841 0,009
Tidak Yakin 42 45
2 Yakin 30 19 9,092 0,003
Tidak Yakin 30 57
3 Yakin 9 40 1,450 0,229
Tidak Yakin 24 63
4 Yakin 37 12 11,131 0,001
Tidak Yakin 40 47
Hambatan
Listrik
5 Yakin 17 32 12,006 0,001
Tidak Yakin 57 30
6 Yakin 39 10 3,450 0,063
Tidak Yakin 56 31
7 Yakin 35 14 1,849 0,174
Tidak Yakin 52 35
8 Yakin 29 20 17,817 0,000
Tidak Yakin 20 67
Rangkaian Seri
& Paralel
9 Yakin 32 17 0,192 0,661
Tidak Yakin 60 27
10 Yakin 37 12 0,039 0,843
Tidak Yakin 67 20
11 Yakin 28 21 1,563 0,211
Tidak Yakin 40 47
12 Yakin 26 23 0,394 0,530
Tidak Yakin 51 36
13 Yakin 44 5 7,559 0,006
Tidak Yakin 60 27
14 Yakin 35 14 0,026 0,872
Tidak Yakin 61 26
GGL &
Tegangan Jepit
15 Yakin 35 14 0,773 0,379
Tidak Yakin 68 19
Energi & Daya
Listrik
16 Yakin 18 31 3,755 0,053
Tidak Yakin 47 40
17 Yakin 43 6 0,005 0,946
Tidak Yakin 76 11
18 Yakin 8 41 34,742 0,000
Tidak Yakin 60 27
Alat Ukur
Listrik
19 Yakin 42 7 1,980 0,159
Tidak Yakin 81 6
20 Yakin 11 38 18,621 0,000
Tidak Yakin 53 34
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 149
Data yang terdapat pada tabel 3
menunjukkan hanya soal nomor 1, 2, 4, 5, 8,
13, 18, dan 20 memiliki nilai signifikansi
p<0,05, maka hanya delapan nomor soal
tersebut dapat menujukan hubungan yang
signifikan antara pengetahuan awal siswa dan
tingkat keyakinan dengan jawabannya. Soal
nomor 3, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17,
dan 19 tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan antara pengetahuan awal siswa dan
tingkat keyakinan dengan jawabannya.
Hasil dari tabel 3 menunjukkan matrik
perbandingan jawaban siswa dengan
keyakinannya. Pengetahuan awal siswa
dengan kategori tahu konsep hanya sebagian
kecil siswa yang yakin bahwa mereka
mengetahui konsep ditunjukan oleh soal
nomor 1, 2, 4, 8, dan 13. Pada soal nomor 5,
18, dan 20, menunjukkan bahwa lebih banyak
siswa tidak yakin bahwa mereka mengetahui
konsep.
Pada soal nomor 8, ditunjukan bahwa
sebagian kecil siswa sangat yakin pada
pengetahuannya, padahal pengetahuan
tersebut merupakan miskonsepsi. Pada soal
nomor 1, 4, 5, 13, 18, dan 20 siswa lebih
banyak tidak yakin terhadap pengetahuannya
dan pengetahuan yang dimiliki siswa tersebut
merupakan miskonsepsi. Dan pada nomor 2,
antara tingkat keyakinan siswa kategori yakin
dan tidak yakin untuk kategori pengetahuan
awal miskonsepsi memiliki jumlah yang
sama.
Pembahasan
Perubahan kemampuan yang dimiliki
oleh siswa dalam berbagai bidang dapat
terjadi dalam proses pembelajaran, dan
kemampuan itu diperoleh karena adanya
belajar. Fenomena yang terjadi kini pada
siswa di SMAN 1 Banjarangkan adalah masih
rendahnya kemampuan awal serta
kemauan/keinginan siswa untuk belajar masih
rendah sehingga mengakibatkan miskonsepsi
antara pembelajaran yang disampaikan oleh
guru dan pelajaran yang diterima oleh siswa.
Terjadinya miskonsepsi pada proses
pembelajaran tidak terlepas dari faktor yang
berasal dari dalam diri siswa itu sendiri yang
disebut sebagai faktor internal. Faktor ini
banyak didominasi oleh kondisi psikologis
berupa kecerdasan emosional yang meliputi
berbagai kemampuan memotivasi diri,
ketabahan, keterampilan bergaul, empati,
kesabaran, kesungguhan, keuletan,
ketangguhan, serta segenap potensi siswa
dalam bentuk pengetahuan awal yang meliputi
pengetahuan siswa terhadap materi sebelum
diajarkan.
Berdasarkan hasil penelitian
pembentukan pemahaman sesuai kaidah
saintifik tentang konsep listrik dinamis
sebagian besar tidak terjadi pada siswa.
Padahal siswa telah mempelajari konsep
listrik dinamis pada jenjang pendidikan
sebelumnya. Sebagian besar pengetahuan
awal siswa merupakan miskonsepsi dan tidak
mengetahui konsep. Ini menunjukkan
pengetahuan awal siswa sangat kurang
tentang listrik dinamis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengetahuan awal,
mempunyai pengaruh positif terhadap hasil
belajar pada mata pelajaran IPA. Oleh karena
itu, Ardhana (2010), dalam penelitiannya
menyatakan bahwa pembelajaran yang
berorientasi pada pengetahuan awal akan
memberikan dampak pada proses dan
perolehan belajar yang memadai. Sejalan
dengan penelitian Ismail et al. (2015) yang
menunjukkan pengetahuan awal siswa tentang
konsep listrik dinamis dominan berupa
miskonsepsi. Apabila ini dibiarkan, proses
pembentukan pengetahuan baru akan
terganggu. Persepsi siswa tentang suatu
konsep terkadang salah dari sudut pandang
saintifik dan dapat mengganggu siswa dalam
belajar (Salame, 2011).
Pengetahuan awal pada dasarnya
merupakan indikator keberhasilan atau
kualitas dan pengetahuan yang telah dikuasai
siswa. Apabila keamampuan awal siswa
tinggi, dalam proses belajar berikutnya siswa
tersebut akan lebih mudah memahami konsep
materi dan tidak akan mengalami kesulitan.
Namun apabila kemampuan awal siswa
rendah, maka siswa akan mengalami kesulitan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
sehingga perlu waktu lama untuk memperoleh
tujuan yang hendak dicapainya.
Selain itu tingkat keyakinan siswa
tentang pengetahuan yang dimilikinya
sebagian besar berkategori tidak yakin.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 150
Ketidakyakinan tersebut timbul karena siswa
tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk
dapat mengkonstruksi konsep listrik dinamis.
Seperti yang dijelaskan oleh Bandura (1997),
keyakinan akademik muncul dari prestasi
akademik individu, pengalaman individu lain
dalam bidang akademik, persuasi verbal akan
kemampuan akademik individu, serta keadaan
fisiologis individu.
Hanya tujuh butir soal dari 20 butir soal
yang dapat menunjukkan hubungan antara
pengetahuan awal dengan tingkat keyakinan
siswa. Hal ini disebabkan karena siswa yang
menjadi partisipan belum memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup. Seperti hasil
penelitian Hansson et al. (2017) menunjukkan
bahwa kepercayaan akan pengetahuan yang
dimiliki hanya signifikan berkorelasi dengan
pengetahuan para ahli dan tidak ada untuk
pemula. Secara deskriptif pengetahuan yang
dimiliki oleh siswa merupakan miskonsepsi.
Ini menunjukkan siswa (pemula) belum
menguasai konsep listrik dinamis. Oleh
karena itu, hubungan antara pengetahuan awal
dan tingkat keyakinan siswa tidak signifikan
ditunjukan pada hasil penelitian ini.
Aktivitas belajar seseorang akan
mengalami perubahan perilaku dalam bentuk
pengetahuan, keterampilan nilai, dan sikap
tertentu. Perubahan perilaku yang terjadi
merupakan akibat dari proses pembelajaran
pada diri seseorang. Proses yang dimaksud
adalah aktivitas yang dilakukan individu
dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pencapaian tujuan pembelajaran itu kemudian
dapat dinyatakan sebagai hasil belajar.
Pengetahuan awal, Aktivitas belajar seseorang
akan mengalami perubahan perilaku dalam
bentuk pengetahuan, keterampilan nilai, dan
sikap tertentu. Perubahan perilaku yang terjadi
merupakan akibat dari proses pembelajaran
pada diri seseorang. Proses yang dimaksud
adalah aktivitas yang dilakukan individu
dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pencapaian tujuan pembelajaran itu kemudian
dapat dinyatakan sebagai hasil belajar. Hal ini
sejalan dengan penelitian Odom dan Barrow
(2007) menyatakan hasil bahwa pengetahuan
awal dapat berkorelasi dengan keyakinan
siswa. Begitu juga penelitian Hasson et al.
(2017), maka dapat dikatakan bahwa tingkat
keyakinan siswa dapat berkorelasi dengan
pengetahuan awal siswa.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan temuan dan hasil yang
diperoleh dalam penelitian dan pembahasan
yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut. (1) Pengetahuan
awal siswa tentang konsep-konsep pada
materi listrik dinamis sebagian besar berupa
miskonsepsi (62,3%) dan hanya 37,7% tahu
konsep. (2) Tingkat keyakinan siswa dapat
berkorelasi dengan pengetahuan awal siswa.
Siswa yang menjadi responden
merupakan pemula. Walaupun hasil dalam
penelitian tidak sepenuhnya dapat
menunjukkan hubungan antara pengetahuan
awal dan keyakinan siswa karena keterbatasan
dalam pelaksanaan penelitian, namun secara
deskriptif penelitian ini dapat menunjukkan
gambaran pengetahuan awal siswa dan tingkat
keyakinan tentang pengetahuan yang dimiliki.
Saran
Mengacu pada hasil temuan penelitian
yang telah dilakukan, maka saran yang dapat
diajukan sebagai berikut. Pertama, diperlukan
pendekatan pembelajaran yang mampu
menyebabkan konflik kognitif pada diri siswa
untuk memperbaiki pengetahuan yang
dimiliki siswa, karena dominan pengetahuan
awal siswa berupa miskonsepsi. Kedua,
instrumen yang dikembangkan belum mampu
secara optimal menunjukkan hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan tingkat
keyakinan siswa karena keterbatasan
responden, maka untuk penelitian selanjutnya
diharapkan responden dalam penelitian
mencakup lebih luas baik dari jenjang
pendidikan yang berbeda maupun dari disiplin
ilmu yang beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Akpinar, M., & Tan, M. 2011. Developing,
implementing, and testing a conceptual
change text about relativity. Western
Anatolia Journal of Educational
Sciences, 139-144.
Bandura, A. 1986. Social Foundation of
Thought and Action: A Social Cognitive
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 151
Theory. Englewood Cliffs, New York:
Prentice Hall.
Bandura, A. 1997. Self-efficacy: The exercise
of control. New York: WH Freeman.
Calisir, F., Eryazici, M., & Lehto, M. R. 2008.
The effects of text structure and prior
knowledge of the learner on computer-
based learning. Computers in Human
Behavior, 24, 439-450.
Clark, N. D., & Enns, K. J. 2015. Impacts of a
Skill Development Course on Teacher
Candidate Confidence in their
Knowledge, Skill, Experience, and
Teaching of Common Power Tools.
American Association for Agricultural
Education Annual Conference 238-241.
Cordova, J. R., Sinarta, G. M., Jones, S. H.,
Taasoobshirazi, G., & Lombardi, D.
2014. Confidence in prior knowledge,
self-efficacy, interest and prior
knowledge: Influences on conceptual
change. Contemporary Educational
Psychology, 39, 164-174.
Darmawan, M. D., Made Santo Gitakarma, S.
T., & Nugraha, I. N. P. 2015. Penerapan
model kooperatif STAD untuk
meningkatkan hasil belajar prakarya dan
kewirausahaan siswa kelas X SMA.
Jurnal Jurusan Pendidikan Teknik
Elektro, 4(1).
Depdiknas. 2011. Panduan pengembangan
pembelajaran IPA secara terpadu.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
Depdiknas. Jakarta
Dochy, F. J. R. C. & Alexander, P. A. 1995.
Mapping prior knowledge: A framework
for discussion among researchers.
European Journal of Psychology of
Education, 10(3), 225-242.
Hansson, I., Buratti, S., & Allwood, C. M.
2017. Experts’ and novices’ perception
of ignorance and knowledge in different
research disciplines and its relation to
belief in certainty of knowledge.
Frontiers in Psychology, 8.
Hidayati, Nur. 2016. Pembelajaran Discovery
Disertai Penulisan Jurnal Belajar
Untuk Meningkatkan Kemampuan
Kerja Ilmiah Siswa Kelas Viii.1 Smp
Negeri 1 Probolinggo. JPPIPA, Vol 1
No 2.
Ismail, I. I., Samsudin, A., Suhendi, E., &
Kaniawati, I. 2015. Diagnostik
miskonsepsi melalui listrik dinamis four
tier test. Prosiding Simposium Nasional
Inovasi dan Pembelajaran Sains, 381-
384.
Jiang, Y., Song, J., Lee, M., & Bong, M.
2014. Self-efficacy and achievement
goals as motivational links between
perceived contexts and achievement.
Educational Psychology, 34(1), 92-117.
Martin, M. O., Mullis, I. V. S., Foy, P., &
Hooper, M. 2016. TIMSS 2015
International Results in Science.
Diperoleh dari timssandpirls.bc.edu.
Diakses pada 24 November 2016.
Odom, A. L., & Barrow, L. H. 2007. High
school biology students' knowledge and
certainty about diffusion and osmosis
concepts. School Science and
Mathematics, 107(3), 94-101.
Rahayuni, Galuh. 2016. Hubungan
Keterampilan Berpikir Kritis Dan
Literasi Sains Pada Pembelajaran Ipa
Terpadu Dengan Model Pbm Dan Stm.
JPPI, Vol. 2, No. 2, Desember 2016,
Hal. 131-146.
Sadia, I W. 2004. Pengembangan model dan
strategi pembelajaran fisika di SMU
untuk memperbaiki miskonsepsi siswa.
Laporan penelitian. Proyek peningkatan
penelitian pendidikan tinggi, Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional. Jurusan
Pendidikan Fisika IKIP Negeri
Singaraja.
Salame, I. I., Sarowar, S., Begum, S., &
Krauss, D. 2011. Students’ alternative
conceptions about atomic properties and
the periodic table. The Chemical
Educator, 16, 190-194.
Samudra, G. B., Suastra, I. W., & Suma, K.
2014. Permasalahan-Permasalahan yang
Dihadapi Siswa SMA di Kota Singaraja
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 152
dalam Mempelajari Fisika. Jurnal
Pendidikan IPA, 4(1).
Suma, K. 2015. Miskonsepsi siswa SMA di
Bali tentang dinamika. Prosiding
Seminar Nasional MIPA.
UNESCO. 2012. Education for all (EFA)
global monitoring report 2012: The
hidden crisis, armed conflict and
education. Monitoring Report.
Diperoleh dari unesco.org dan diakses
pada 24 November 2016.
Taufiq ,M. , N. R. Dewi, A. Widiyatmoko.
2014. Pengembangan Media
Pembelajaran Ipa Terpadu Berkarakter
Peduli Lingkungan Tema
“Konservasi” Berpendekatan Science-
Edutainment. JPII 3 (2) (2014) 140-
145.
Umam, M. Syaikhul ,Indrawati, Subiki. 2016.
Pengaruh Model Process Oriented
Guided Inquiry Learning (Pogil)
Terhadap Hasil Belajar Dan Retensi
Hasil Belajar Siswa Pada
Pembelajaran Fisika Sma/Ma Di
Kabupaten Jember . Jurnal
Pembelajaran Fisika, Vol. 5 No. 3,
Desember 2016, hal 205 – 210.
Viljaranta, J., Tolvanen, A., Aunola, K., &
Nurmi, J. -E. 2014. The developmental
dynamics between interest, self-concept
of ability, and academic performance.
Scandinavian Journal of Educational
Research, 58(6), 734–756.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 153
DISKREPANSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK PADA
MUATAN MATERI IPA TEMA ORGAN TUBUH MANUSIA
DAN HEWAN KELAS V SD NEGERI DI KECAMATAN
DENPASAR SELATAN
I Made Adi Arnawa
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya diskrepansi implementasi pendekatan
saintifik pada muatan materi IPA tema organ tubuh manusia dan hewan kelas V SD
Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan ditinjau dari perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian. Penelitian ini merupakan penelitian evaluatif model diskrepansi. Sampel dalam
penelitian ini adalah 15 orang guru kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan
diambil dengan teknik Multistage Random Sampling. Data implementasi pendekatan
saintifik dikumpulkan dengan lembar observasi, data persepsi guru dikumpulkan dengan
kuesioner, data hasil belajar IPA dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Teknik
analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan analisis korelasi
product moment. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat diskrepansi yang kecil
dalam implementasi pendekatan saintifik pada muatan materi IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar selatan sebesar 35,10;
dengan diskrepansi perencanaan sebesar 33,54; diskrepansi pelaksanaan sebesar 34,03;
diskrepansi penilaian sebesar 37,75; (2) Persepsi guru tentang pendekatan saintifik sudah
baik dengan rerata 69,22; (3) Pencapaian hasil belajar IPA siswa sudah baik dengan
rerata nilai 76,37; (4) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas
pengelolaan pembelajaran berpendekatan saintifik terhadap hasil belajar IPA dengan
kontribusi sebesar 31%.
Kata kunci: Diskrepansi, Pendekatan Saintifik, Perencanaan, Pelaksanaan, Penilaian
Abstract
This research aimed to find out the discrepancy of implementation scientific approach on
science of organ tubuh manusia dan hewan theme at grade V elementary school in South
Denpasar District in terms of planning, implementation and assessment. This research is
an evaluative study with discrepancy model. The sample in this research is 15 teachers of
class V elementary school in South Denpasar District taken by Multistage Random
Sampling technique. Implementation data of scientific approach collected with
observation, teacher perception data collected by questionnaire, data of science learning
outcomes collected by documentation method. Data analysis to quantitative descriptive
and product moment correlation analysis. The results showed: (1) There was a small
discrepancy in the implementation of scientific approach on science of organ tubuh
manusia dan hewan theme at grade V elementary school in South Denpasar District of
35.10 with a planning discrepancy of 33.54; Implementation discrepancy of 34.03;
Discrepancy assessment of 37.75; (2) teacher perception about scientific approach have
been good with mean of 69.22; (3) Achievement of science learning outcomes of students
is good with the average value of 76.37; (4) There is a positive and significant correlation
between the quality of science-based learning approach to science learning outcomes with
contribution of 31%.
Keywords : Discrepancy, Scientific Approach, Planning, Implementation, Assessment.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 154
PENDAHULUAN
Pendekatan Saintifik adalah pendekatan
pembelajaran yang dilakukan melalui proses
mengamati (observing), menanya
(questioning), mencoba (experimenting),
menalar (associating), dan
mengkomunikasikan (communication)
(Fadlillah, 2014) Menurut Daryanto (2014)
Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
adalah proses pembelajaran yang dirancang
sedemikian rupa agar siswa secara aktif
mengkonstruk konsep, hukum atau prinsip
melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk
mengidentifikasikan atau menemukan
masalah), merumuskan masalah,
mengajukan atau merumuskan hipotesis,
mengumpulkan data dengan berbagai
teknik, menganalisis data, menarik
kesimpulan dan mengkomunikasikan
konsep, hukum atau prinsip yang
“ditemukan”. Pembelajaran dengan
pendekatan saintifik memiliki karakteristik
sebagai berikut: 1) berpusat pada siswa; 2)
melibatkan keterampilan proses sains dalam
mengkonstruksi konsep, hukum atau
prinsip; 3) melibatkan proses-proses
kognitif yang potensial dalam merangsang
perkembangan intelek, khususnya
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa;
4) dapat mengembangkan karakter siswa
(Daryanto,2014:53).
Sesuai dengan permendikbud Nomor 22
Tahun 2016 implementasi pendekatan
saintifik dalam pembelajaran meliputi
perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian
hasil pembelajaran. Perencanaan proses
pembelajaran adalah perancangan alat
pandu pelaksanaan pembelajaran yang
disusun guru sebelum kegiatan
pembelajaran dilaksanakan (Abidin,
2014:287). Perencanaan proses
pembelajaran merupakan bagian tugas
administrasi guru yang berdampak langsung
bagi kepentingan pembelajaran. Pada
hakikatnya bila suatu kegiatan direncanakan
lebih dahulu maka tujuan dari kegiatan
pembelajaran akan lebih terarah dan lebih
berhasil (Suryosubroto, 2009) Semakin baik
perencanaan proses pembelajaran
dikembangkan semakin baik pula proses
pembelajaran dilaksanakan (Abidin, 2014)
Menurut Rusman (2011) Komponen
perencanaan proses pembelajaran meliputi
kemampuan guru dalam memahami tujuan
pembelajaran. Melakukan analisis
pembelajaran, mengenali perilaku siswa,
mengidentifikasi karakteristik siswa,
merumuskan tujuan pembelajaran,
mengembangkan butir-butir tes,
mengembangkan materi pelajaran,
mengembangkan media dan metode
pembelajaran, menerapkan sumber-sumber
pembelajaran, mengordinasikan segala
faktor pendukung, mengembangkan dan
melakukan penilaian awal terhadap rencana
pembelajaran, merevisi pembelajaran, dan
melakukan penilaian akhir terhadap rencana
pembelajaran.
Pelaksanaan proses pembelajaran adalah
proses berlangsungnya interaksi guru
dengan siswa dalam rangka menyampaikan
bahan pelajaran kepada siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaran
(Suryosubroto, 2009:30). Pelaksanaan
pembelajaran pada dasarnya menciptakan
sistem pembelajaran sesuai yang
direncanakan sebelumnya. Menurut Rusman
(2011:71) komponen pelaksanaan proses
pembelajaran meliputi kemampuan guru
dalam menciptakan suatu suatu system atau
melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran
dan menutup pembelajaran. Dalam
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016
disebutkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran merupakan implementasi dari
RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti
dan penutup.
Penilaian proses pembelajaran adalah
kegiatan untuk memperoleh, menganalisis,
dan menafsirkan data tentang proses dan
hasil belajar siswa yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan sehingga
dapat menjadi informasi yang bermakna
dalam pengambilan keputusan (Daryanto,
2014: 111). Penilaian proses pembelajaran
bertujuan untuk melihat kemajuan belajar
siswa dalam hal penguasaan materi
pembelajaran yang telah dipelajari sesuai
tujuan yang ditetapkan (Suryosubroto,
2009:44). Menurut Rusman (2011:72)
keterampilan- keterampialan yang
diperlukan untuk melaksanakan komponen
penilaian proses pembelajaran adalah harus
memahami metodelogi penilaian
pembelajaran, antara lain teknik dan alat
penilaian, kriteria penilaian yang baik,
bentuk dan jenis instrumen, penskoran dan
program pelaksanaan remedial dan
pengayaan. Indikasi kemampuan guru
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 155
dalam penyusunan prosedur penilaian dapat
dilihat dari frekuensi penggunaan bentuk
instrumen penilaian secara variatif. Dalam
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016
disebutkan bahwa penilaian proses
pembelajaran menggunakan pendekatan
penilaian autentik yang menilai kesiapan
siswa, proses dan hasil belajar secara utuh.
Penilaian autentik adalah proses
pengumpulan informasi oleh guru tentang
pengembangan dan pencapaian pembelajaan
yang dilakukan siswa melalui berbagai
teknik yang mampu mengungkapkan,
membuktikan, atau menunjukkan secara
tepat bahwa tujuan pembelajaran telah
benar-benar dikuasai dan dicapai (Kosasih,
2014:131). Penilaian Autentik memiliki
relevansi kuat terhadap pendekatan saintifik
karena cenderung fokus pada tugas-tugas
kompleks atau kontekstual, memungkinkan
siswa untuk menunjukkan kompetensi
mereka yang meliputi kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan (Daryanto,
2014:112).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
merupakan salah satu mata pelajaran yang
wajib diikuti pada jenjang pendidikan dasar
maupun menengah. IPA merupakan ilmu
yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam. Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) berhubungan dengan cara mencari
tahu tentang alam secara sistematis,
sehingga IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-
fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip
saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan (BSNP:2006). Pembelajaran IPA
sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri
ilmiah (seientific inquirí) untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir,
bekerja dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagai aspek
penting kecakapan hidup. Oleh karena itu,
pembelajaran IPA di SD menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara
langsung melalui penggunaan dan
pengembangan keterampilan proses dan
sikap ilmiah (Kesnajaya, dkk, 2015).
Pembelajaran mata pelajaran IPA di
Sekolah Dasar saat ini, lebih berorientasi
pada materi yang ada pada kurikulum, dan
buku teks yang disediakan, ini
mengakibatkan guru mengejar target agar
terselesaikannya materi yang ada pada
kurikulum, dampaknya bagi siswa adalah
belajar IPA untuk mempersiapkan diri
menghadapi ulangan, yang terlepas dari
kebermanfaatan dalam kehidupan sehari-
hari, yang menyebabkan beban berat bagi
siswa untuk mengingat dan menghafalkan
fakta, konsep, sehingga pembelajaran
kurang bermakna bagi siswa (Kesnajaya,
dkk,2015:3). Hasil kajian di lapangan yang
dilakukan oleh Witariani, dkk (2014) dalam
penelitiannya mengemukakan masih banyak
terdapat permasalahan dalam pembelajaran
IPA diantaranya (1) pembelajaran IPA yang
cenderung berfokus pada pemahaman
produk IPA sehingga kemampuan
melakukan proses IPA dan pembentukan
sikap ilmiah masih belum terjadi; (2)
ketercapaian target kurikulum bagi guru
lebih penting jika dibandingkan dengan
pemahaman siswa; dan (3) sistem
pendidikan yang lebih didominasi
pengembangan aktivitas otak kiri saja
karena siswa lebih banyak diberikan materi
yang bersifat hapalan dibandingkan
aktivitas yang dapat melatih kemampuan
untuk berkreativitas.
Sejalan dengan beberapa kajian
penelitian yang telah dijabarkan di atas,
Dari hasil observasi awal yang dilakukan
peneliti tanggal 14 Nopember 2016 pada
salah satu SD Negeri di Kecamatan
Denpasar Selatan diketahui bahwa
pembelajaran masih berpusat pada guru.
Kegiatan belajar belum memenuhi kaidah-
kaidah proses pembelajaran secara ilmiah.
Kegiatan belajar dan pembelajaran lebih
banyak berfokus pada penguasaan atas isi
buku teks yang menyebabkan belajar
membosankan dan mematikan kreativitas
siswa. Keadaan demikian mendorong siswa
untuk berusaha menghafal setiap kali akan
diadakan tes atau ulangan harian atau tes
hasil belajar. Kondisi yang demikian tentu
akan berpengaruh langsung terhadap hasil
belajar yang diperoleh siswa. Dari hasil
ulangan harian siswa terlihat bahwa 60 %
siswa belum mampu mencapai KKM yang
ditetapkan sekolah. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pencapaian hasil belajar
siswa di SD Negeri Kecamatan Denpasar
Selatan belum optimal.
Mustofa (2015) dalam penelitiannya
menemukan bahwa pemahaman guru
tentang kurikulum 2013, khususnya dalam
pembelajaran dengan pendekatan saintifik
belum memadai, sehingga guru masih
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 156
memerlukan penyamaan persepsi tentang
pendekatan saintifik. Pemahaman guru yang
masih kurang ini menyebankan terjadinya
perbedaan persepsi di kalangan para guru.
Menurut Slameto (2013:102) persepsi
adalah proses yang menyangkut masuknya
pesan atau informasi ke dalam otak manusia
selama manusia mengadakan hubungan
dengan lingkungannya. Persepsi guru
tentang implementasi pendekatan saintifik
adalah proses pemberian makna oleh guru
terhadap pembelajaran pendekatan saintifik
yang dipengaruhi oleh pengetahuan,
pengalaman, suasana hati dan juga
keinginan yang dapat diketahui melalui
kesan, pendapat dan perilaku yang
ditampilkan guru dalam proses
pembelajaran. Dari kajian penelitian yang
dilakukan oleh Suarjana (2011) diketahui
terdapat kontribusi yang signifikan antara
persepsi guru terhadap kinerja guru. Hal ini
berarti semakin baik persepsi guru semakin
baik pula kinerja dari guru itu sendiri.
Sebaik apapun kurikulum yang
diberlakukan, apabila guru sebagai ujung
tombak pelaksana kurikulum belum
memahami kurikulum yang sedang
diterapkan, kurikulum itu tentunya tidak
akan berhasil mencapai tujuannya
(Kemendikbud, 2013:4). Menurut
Suryosubroto (2009:117), guru yang
kompeten akan lebih mampu menciptakan
lingkungan belajar yang efektif dan akan
lebih mampu mengelola proses
pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa
berada pada tingkat yang optimal.
Menurut Sudjana (2013: 22) Hasil
belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Banyak faktor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa salah
satunya adalah faktor kemampuan guru
dalam mengelola proses pembelajaran.
Menurut Suryosubroto (2009:16)
Kemampuan pengelolaan proses
pembelajaran adalah kesanggupan atau
kecakapan guru dalam menciptakan suasana
belajar edukatif antara guru dan siswa yang
mencakup segi kognitif, afektif dan
psikomotor, sebagai upaya mempelajari
sesuatu berdasarkan perencanaan sampai
dengan evaluasi dan tindak lanjut agar
tercapai tujuan pembelajaran. Kemampuan
guru dalam pengelolaan proses
pembelajaran dapat terlihat dari kegiatan
yang dilakukan guru pada saat mengajar.
Menurut Badawi (1990) mengajar dikatakan
berkualitas apabila seorang guru dapat
menampilkan kelakuan yang baik dalam
usaha mengajarnya (Suryosubroto,
2009:117). Dari kajian penelitian yang
dilakukan oleh Juliarta (2013) diketahui
bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara motivasi berprestasi,
kebiasaan belajar dan kualitas pengelolaan
pembelajaran guru secara bersama-sama
teradap prestasi belajar praktik seni rupa.
Penyelenggaraan proses
pembelajaan berpendekatan saintifik di
Sekolah Dasar perlu dipantau dan diawasi,
serta dibina secara terencana dan
berkeinambungan untuk menegaskan bahwa
pendidikan yang dimaksud memang benar-
benar berjalan sesuai dengan standar.
Kondisi yang diharapkan terjadi adalah
terlaksananya proses pembelajaran
pendekatan saintifik di Sekolah Dasar yang
sesuai dengan standar sebagai pola kegiatan
sehari-hari yang sudah mendarah daging
dalam realisasi tugas keprofesionalan guru.
Oleh karena itu perlu diadakan suatau
evaluasi program untuk mengetahui tingkat
keterlaksanaan suatu kebijakan secara
cermat dengan cara mengetahui efektivitas
pada masing-masing komponennya (
Arikunto dan Jabar, 2009:18).
Dalam penelitian ini peneliti
berupaya mengkaji efektivitas implementasi
pendekatan saintifik pada muatan materi
IPA di kelas V SD Negeri di Kecamatan
Denpasar Selatan dengan menggunakan
model diskrepansi. Evaluasi program model
diskrepansi menekankan pada mencari dan
menemukan diskrepansi antara standar
unjuk kerja dengan standar tujuan yang
telah ditetapkan (Yusuf,2015:138).
Pengukuran efektivitas program dilakukan
dengan membandingkan kemampuan unjuk
kerja guru dalam proses pembelajaran
dengan standar Permendikbud Nomor 22
Tahun 2016 Tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Keunggulan evaluasi program model
diskrepansi dibandingkan dengan model
evalasi program lainnya adalah mampu
mengidentifikasi kelemahan-kelemhan
program untuk diambil suatu tindakan
korektif pada suatu program (Marhaeni
(2007:154-155).
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 157
Berdasarkan paparan di atas
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1) seberapa besarkan diskrepansi yang
terjadi terkait implementasi pendekatan
saintifik pada muatan materi IPA tema
organ tubuh manusia dan hewan ditinjau
dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian
proses pembelajaran pada kelas V SD
Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan? 2)
Bagaimanakah persepsi guru tentang
implementasi pendekatan saintifik pada
muatan materi IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan? 3)
Bagaimanakah pencapaian hasil belajar IPA
tema organ tubuh manusia dan hewan kelas
V SD Negeri di Kecamatan Denpasar
Selatan? 4) Seberapa besarkah kontribusi
kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik terhadap hasil
belajar IPA tema organ tubuh manusia dan
hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan
Denpasar Selatan?
Dari permasalahan tersebut, tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1)
Untuk mengetahui besarnya diskrepansi
yang terjadi terkait implementasi
pendekatan saintifik pada muatan materi
IPA tema organ tubuh manusia dan hewan
ditinjau dari perencanaan, pelaksanaan,
penilaian proses pembelajaran pada kelas V
SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan;
2) Untuk mengetahui persepsi guru tentang
implementasi pendekatan saintifik pada
muatan materi IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan; 3) Untuk
mengetahui pencapaian hasil belajar IPA
tema organ tubuh manusia dan hewan kelas
V SD Negeri di Kecamatan Denpasar
Selatan; 4) Untuk mengetahui besarnya
kontribusi kualitas pengelolaan
pembelajaran berpendekatan saintifik
terhadap hasil belajar IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif yang terkategori penelitian
evaluasi program. Model evaluasi program
yang digunakan adalah evaluasi program
model diskrepansi. Evaluasi program model
diskrepansi ialah suatu proses pengukuran
efektifitas program dengan cara
mengidentifikasi kelemahan-kelamahan
program melalui membandingkan standar
dan kinerja program untuk mengambil suatu
tindakan korektif dari program tersebut.
Adapun komponen program yang dievaluasi
terkait implementasi pendekatan saintifik
ditinjau dari komponen perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, dan penilaian pembelajaran.
Populasi dalam penelitian ini ialah
seluruh guru kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan yang tersebar
kedalam 45 Sekolah Dasar Negeri yang
terbagi ke dalam 10 SD gugus. Karena
jumlah populasi yang besar dan persebaran
populasi yang begitu luas maka dalam
penelitian ini, teknik penarikan sampel
menggunakan teknik multy stage random
sampling. Multy stage random sampling
adalah pengambilan sampel secara bertahap,
dari elemen populasi yang lebih besar ke
elemen populasi yang lebih kecil dan begitu
seterusnya (Dantes,2012:44). Adapun teknik
penarikan sampel yang dilakukan sebagai
berikut. Teknik sampling tahap pertama,
dari sepuluh SD Gugus Inti di random dan
ditarik sampel 50 % dari banyaknya SD
Gugus Inti di Kecamatan Denpasar Selatan
sehingga terpilih 5 SD Gugus Inti yang
mewakili kecamatan yaitu Gugus Ki Hajar
Dewantara, Dewi Sartika, Ir Soekano,
Patimura dan Jendral Sudirman. Pada
masing-masing SD Gugus Inti yang terpilih
ini terdiri dari beberapa SD Imbas.
Sampling tahap kedua dilakukan random
pada SD Imbas yang mewakili SD Gugus
Inti lalu ditarik 50% dari banyaknya SD
Imbas pada masing-masing SD Gugus Inti.
Sampling Tahap ketiga dari jumlah
rombongan belajar pada masing masing SD
imbas yang terpilih dirandom dan ditarik 50
% sehingga terpilih 15 kelas sampel.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah 1) Data kemampuan
guru dalam implementasi pendekatan
saintifik yang meliputi komponen
perencanaan proses pembelajaran,
komponen pelaksanaan proses pembelajaran
dan komponen penilaian proses
pembelajaran; 2) Data Persepsi Guru
Tentang Implementasi Pendekatan Saintifik;
3) Data Hasil Belajar IPA. Metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian adalah sebagai berikut : 1)
metode observasi digunakan untuk
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 158
mengumpulkan data kemampuan guru
dalam mengimplementasi pendekatan
saintifik mempergunakan lembar observasi
format APKG; 2) metode kuesioner
digunakan untuk mengumpulkan data
persepsi guru tentang implementasi
pendekatan saintifi; 3) metode dokumentasi
digunakan untuk mengumpulkan data hasil
belajar IPA.
Teknik analisis data dalam
penelitian ini meliputi Analisis Deskriptif
Kuantitatif dan Analisis Korelasi Product
Momment. Analisis Deskriptif Kuantitatif
digunakan untuk menganalisis besarnya
diskepansi implementasi pendekatan
saintifik, menganalisis persepsi guru tentang
implementasi pendekatan saintifik dan
menganalisis pencapaian hasil belajar IPA.
Dalam analisis ini, data hasil penelitian
diubah kedalam bentuk persentil. Kemudian
dikonversikan ke dalam tabel Guilford
modifikasi. Untuk menafsirkan data
besarnya diskrepansi implementasi
pendekatan saintifik pada komponen
perencanaan proses pembelajaran
berpendekatan saintifik, pelaksanaan proses
pembelajaran berpendekatan saintifik, dan
penilaian proses pembelajaran
berpendekatan saintifik dikonversikan
kedalam tabel Guilford modifikasi sebagai
berikut.
Tabel 2.1 Acuan Kriteria Diskrepansi
No Kriteria
Diskrepansi
Keterangan
1 00 –20 Sangat Kecil
2 21 – 40 Kecil
3 41 – 60 Sedang
4 61 – 80 Lebar
5 81- 100 Sangat Lebar
(Dantes, 2016: 60)
Sedangkan untuk menafsirkan data
persepsi guru tentang implementasi
pendekatan saintifik dan data pencapaian
hasil belajar IPA dikonversikan kedalam
tabel Guilford modifikasi sebagai sebagai
berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi Kemampuan Guru
dan Pencapaian Siswa
No Kriteria
Penguasaan (%)
Keterangan
1 00 – 20 Sangat Kurang
Baik
2 21 – 40 Kurang Baik
3 41 – 60 Cukup Baik
4 61 – 80 Baik
5 81 – 100 Sangat Baik
(Dantes, 2016:60)
Analisis Korelasi Product
Momment digunakan untuk menganalisis
besarnya kontribusi kualitas pengelolaan
pembelajaran berpendekatan saintifik
terhadap hasil belajar IPA. Adapun
hipotesis yang diuji menggunakan teknik
korelasi product momment adalah sebagai
berikut. Hipotesis Nol (H0) menyatakan
tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik dengan hasil belajar
IPA Tema Organ Tubuh Manusia dan
Hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan
Denpasar Selatan sedangkan hipotesis
alternatif (H1) menyatakan terdapat
hubungan yang signifikan antara kualitas
pengelolaan pembelajaran berpendekatan
saintifik dengan hasil belajar IPA Tema
Organ Tubuh Manusia dan Hewan kelas V
SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan rumus Korelasi Product
Momment sebagai berikut :
Error! Reference source not
found.
Error! Reference
source not found.(Candiasa,
2010 :172)
Keterangan: rxy = Error! Reference source not
found.Koefisien korelasi antara variabel
X dan variabel Y
Error! Reference source not found.y = Jumlah
perkalian antara variabel X dan Y
Σy2 = Jumlah dari kuadrat nilai Y
(Σx)2 = Jumlah nilai X kemudian dikuadratkan
(Σy)2 = Jumlah nilai Y kemudian dikuadratkan
Selanjutnya untuk mengetahui apakah
terdapat hubungan yang signifikan atau
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 159
tidak, rxy perlu dikoreksikan dengan r-tabel
dengan dk = n-2. Adapun kriteria pengujian
sebagai berikut. Jika rxy> r tabel maka H0
ditolak dan Ha diterima, sebaliknya Jika rxy
< r tabel maka H0 diterima dan Ha ditolak.
Untuk mengetahui seberapa besar
kontribusi kualitas pengelolaan
pembelajaran berpendekatan saintifik
terhadap hasil belajar IPA dapat ditentukan
dengan koefisien determinasi (r2
xy) yang
merupakan kuadrat dari koefisien korelasi
rxy. Untuk memberikan penafsiran terhadap
koefisien korelasi yang ditemukan besar
atau kecil maka dapat berpendoman pada
tabel Guilford sebagai berikut.
Tabel 2.3 Kategori Koefisien
Determinasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 < r ≤ 0,20 Sangat Rendah
0,20 < r ≤ 0,40 Rendah
0,40 < r ≤ 0,60 Sedang
0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi
0,80 < r ≤ 1,00 Sangat Tinggi
(Candiasa,2010:122)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data
implemetasi pendekatan saintifik yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian pembelajaran diperoleh bahwa
terjadi diskrepansi sebesar 35,10. Jika
dikonversikan ke dalam tabel Guilford
modifikasi diskrepansi yang terjadi terkait
implementasi pendekatan saintifik pada
muatan materi IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan berada pada
kategori kecil. Secara rinci besarnya
diskrepansi pada setiap komponen
implementasi pendekatan saintifik pada
muatan materi IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan dapat
dijabarkan ke dalam tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Ringkasan Hasil Analisis Diskrepansi Implementasi Pendekatan Saintifik
No Komponen Standar
(X)
Skor
(Y)
Diskrepansi
(x-Y)
Kategori
1 Perencanaan 100 66,46 33,54 Kecil
2 Pelaksanaan 100 65,97 34,03 Kecil
3 Penilaian 100 62,25 37,75 Kecil
Rata-rata 100 69,90 35,10 Kecil
Komponen perencanaan proses
pembelajaran meliputi kemampuan dalam
memahami tujuan pembelajaran. Melakukan
analisis pembelajaran, mengenali perilaku
siswa, mengidentifikasi karakteristik siswa,
merumuskan tujuan pembelajaran,
mengembangkan butir-butir tes,
mengembangkan materi pelajaran,
mengembangkan media dan metode
pembelajaran, menerapkan sumber-sumber
pembelajaran, mengordinasikan segala
faktor pendukung, mengembangkan dan
melakukan penilaian awal terhadap rencana
pembelajaran, merevisi pembelajaran, dan
melakukan penilaian akhir terhadap rencana
pembelajaran (Rusman, 2011:71) Kondisi
real di lapangan diketahui bahwa
perancangan prosedur dan instrumen
penilaian proses dan hasil belajar yang
disusun guru dalam RPP belum sesuai
dengan mekanisme penilaian sesuai dengan
permendikbud Nomor 23 Tahun 2016
tentang standar proses penilaian. Prosedur
penilaian belum disusun secara sistematis
seperti aspek yang dinilai, prosedur penlaian
masih belum jelas terutama pada aspek sikap
dan keterampilan, intrumen dan rubrik
penilaian tidak dilampirkan dalam RPP. Hal
ini sejalan dengan temuan Subagia dan
Wiratma (2016) dalam penelitiannya
mengungkapkan, walaupun guru sudah
mendapat pelatihan pembuatan instrumen
penilaian hasil belajar, guru ternyata masih
mengalami kesulitan dalam membuat
instrumen penilaian, khususnya untuk
penilaian sikap dan keterampilan. Pada
penilaian sikap, terutama sikap spiritual (KD
KI-1) yang dihubungkan dengan materi
pelajaran terkadang tidak jelas, baik yang
hendak dicapai, cara mencapai maupun cara
penilaian pencapaiannya termasuk
rubriknya.
Komponen pelaksanaan proses
pembelajaran meliputi kemampuan guru
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 160
dalam menciptakan suatu suatu system atau
melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran
dan menutup pembelajaran. Pelaksanaan
pembelajaran pada dasarnya menciptakan
sistem pembelajaran sesuai yang
direncanakan sebelumnya (Rusman, 2011)
Keadaan real di lapangan diketahui bahwa 1
dari 15 orang guru yang diobservasi yang
secara lengkap melakukan kegiatan wajib
pendahuluan sesuai dengan ketentuan
permendikbud nomor 22 Tahun 2016
Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah. Sebagian besar guru lupa
menjelaskan tujuan pembelajaran atau
kompetensi dasar yang akan dicapai dan
tidak menyampaikan cakupan dan
penjelasan uraian kegiatan yang akan
dilakukan. Setalah diadakan wawancara
sebagian besar guru mengakui takut
kehabisan waktu bila melaksanakan kegiatan
pendahuluan secara runtut dan guru masih
mengagap kegiatan pendahuluan
pembelajaran tidak penting sehingga
kegiatan pendahuluan yang dilakukan guru
hanya sekedar saja. Padahal menurut
Rusman (2011:81), kegiatan pendahuluan
merupakan kegiatan yang sangat penting
untuk dilakukan guru, karena dengan
pendahuluan yang baik akan memengaruhi
jalannya kegiatan belajar selanjutnya. Bila
berhasil melakukan kegiatan pendahuluan,
maka sangat dimungkinkan kegiatan inti dan
penutup akan berhasil. Sejalan dengan
pendapat tersebut menurut Asril (2013:70)
kegiatan pendahuluan merupakan kunci dari
seluruh proses pembelajaran yang harus
dilalui. Sebab jika seorang guru pada awal
pembelajaran tidak mampu menarik
perhatian siswa maka proses tujuan
pembelajaran tidak akan tercapai dengan
baik.
Dalam kaitannya dengan
pelaksanaan langkah-langkah pendekatan
saintifik pada kegiatan inti pembelajaran
berdasarkan hasil analisis diskrepansi yang
dilakukan, kegiatan menanya dalam proses
pembelajaran masih perlu ditingkatkan,
perlu mendapat perhatian lebih oleh para
guru kelas V SD Negeri di Kecamatan
Denpasar Selatan. Kondisi real di lapangan
terlihat bahwa guru masih kesulitan
mendorong siswa untuk mengajukan
pertanyaan. Hanya beberapa siswa saja yang
mau mengajukan pertanyaan setelah
dimotivasi oleh guru. Hal yang sama juga
ditemukan oleh Nodyanto (2015) dalam
penelitiannya menemukan pada proses
pembelajaran dengan pendekatan saintifik
sudah dilaksakan oleh guru tetapi belum
maksimal yaitu pada kegiatan menanya pada
pertemuan pertama semmua guru tidak
melaksanakannya. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Mustofa (2015) dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa
kegiatan menanya belum dieksplorasi guru
secara maksimal. Guru kesulitan
merangsang siswa untuk mengajukan
pertanyaan.
Pada komponen penilaian,
keterampilan-keterampialan yang diperlukan
untuk melaksanakan komponen penilaian
proses pembelajaran adalah guru harus
memahami metodelogi penilaian
pembelajaran, antara lain teknik dan alat
penilaian, kriteria penilaian yang baik,
bentuk dan jenis instrumen, penskoran dan
program pelaksanaan remedial dan
pengayaan. Indikasi kemampuan guru dalam
penyusunan prosedur penilaian dapat dilihat
dari frekuensi penggunaan bentuk instrumen
penilaian secara variatif. Menurut Rusman
(2011:72) Namun kondisi real di lapangan
terlihat bahwa prosedur dan teknik penilaian
yang dilakukan oleh guru masih bersifat
konvensional guru belum menggunakan
prosedur dan teknik penilaian yang beragam.
Penilaian yang dilakukan guru masih hanya
terbatas menilai aspek pengetahuan saja.
Jenis penilaian yang dilakukan oleh guru
sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum,
yaitu dengan penilaian melalui tes. Bentuk
tes yang digunakan selama ini adalah tes
uraian untuk kuis dan ulangan harian, dan
tes pilihan ganda untuk ulangan tengah
semester dan akhir semester.
Persepsi guru tentang implementasi
pendekatan saintifik adalah proses
pemberian makna oleh guru terhadap
hakikat pembelajaran pendekatan saintifik
yang dipengaruhi oleh pengetahuan,
pengalaman, suasana hati dan juga keinginan
yang dapat diketahui melalui kesan,
pendapat dan perilaku yang ditampilkan
guru dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil analisis terhadap persepsi
guru tentang implementasi pendekatan
saintifik pada muatan materi IPA tema organ
tubuh manusia dan hewan kelas V SD
Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan
diketahui bahwa persepsi guru kelas V SD
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 161
Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan
tentang implementasi pendekatan saintifik
sudah baik dengan rerata diperoleh 69,22.
Hasil belajar IPA adalah
kemampuan-kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor yang dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil
analisis terhadap hasil belajar IPA Tema
orgn tubuh manusia dan hewan kelas V SD
Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan
diperoleh rerata nilai 76,37 dengan kategori
baik. Hal ini berarti pencapaian hasil belajar
IPA pada muatan materi IPA tema organ
tubuh manusia dan hewan siswa kelas V SD
Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan
sudah baik.
Menurut Suryosubroto (2009:16)
kemampuan pengelolaan proses
pembelajaran adalah kesanggupan atau
kecakapan guru dalam menciptakan suasana
belajar edukatif antara guru dan siswa yang
mencakup segi kognitif, afektif dan
psikomotor, sebagai upaya mempelajari
sesuatu berdasarkan perencanaan sampai
dengan evaluasi dan tindak lanjut agar
tercapai tujuan pembelajaran. Kualitas
pengelolaan pembelajaran berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Dari
perhitungan yang telah dilakukan diperoleh
koefisien korelasi rxy = 0,557 jadi terdapat
hubungan yang positif sebesar 0,557 antara
kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik dengan hasil belajar
IPA. Hal ini berarti semakin besar dan baik
kualitas pengelolaan pembelajaran
berpendekatan saintifik, maka semakin besar
dan baik pula hasil belajar IPA siswa kelas
V SD Negeri di Kecamatan Denpasar
Selatan. Apakah koefisien korelasi tersebut
signifikan (dapat digeneralisasikan) atau
tidak, maka perlu dibandingkan dengan r
tabel. Berdasarkan data sebanyak 15 dengan
taraf signifikansi 5% maka ditemukan rtabel =
0,514. Dengan demikian rhitung > rtabel
sehingga H0 ditolak dan Ha diterima. Jadi
kesimpulannya Terdapat hubungan yang
signifikan antara kualitas pengelolaan
pembelajaran berpendekatan saintifik
dengan hasil belajar IPA Tema Organ Tubuh
Manusia dan Hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar Selatan.
Untuk mengetahui seberapa besar
kontribusi kualitas pengelolaan
pembelajaran berpendekatan saintifik
terhadap hasil belajar IPA dapat ditentukan
dengan koefisien determinasi (r2xy) yang
merupakan kuadrat dari koefisien korelasi
rxy. Dari hasil penelitian diperoleh r2xy =
0,557 = 0,310. Artinya 31 % variasi hasil
belajar IPA dapat dijelaskan oleh variabel
kualitas pengelolaan pembelajaran,
sedangkan sisanya ditentukan oleh variabel
lain yang tidak diteliti. Jika dikonversikan ke
dalam tabel Guilford besarnya koefisien
determinasi antara kualitas pengelolaan
pembelajaran berpendekatan saintifik
dengan hasil belajar IPA terkategori rendah.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa (1) Terdapat diskrepansi yang kecil
dalam implementasi pendekatan saintifik
pada muatan materi IPA tema organ tubuh
manusia dan hewan kelas V SD Negeri di
Kecamatan Denpasar selatan (2) Persepsi
guru tentang pendekatan saintifik sudah baik
dengan rerata 69,22; (3) Pencapaian hasil
belajar IPA siswa sudah baik dengan rerata
nilai 76,37; (4) Terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara kualitas
pengelolaan pembelajaran berpendekatan
saintifik terhadap hasil belajar IPA dengan
kontribusi sebesar 31%.
Saran
Terdapat beberapa saran yang
dikemukakan terkait hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini 1) Guru selaku pendidik
hendaknya selalu siap menerima perubahan
yang ada dan meningkatkan kemampuannya
untuk dapat mengimplementasikan
pendekatan saintifik, baik melalui kegiatan
pelatihan, KKG (Kelompok Kerja Guru),
maupun dengan memanfaatkan teknologi
informasi yang ada; 2) Pemerintah
hendaknya melaksanakan sosialisasi secara
intensif melalui kegiatan pelatihan,
workshop, seminar, lokakarya, lomba-lomba
desain pembelajaran, atau kegiatan lainnya
dengan melibatkan semua pihak baik
pendidik, kepala satuan pendidikan,
pengawas satuan pendidikan, dan instansi
terkait. Penelitian evaluasi diskrepansi
tentang implementasi pendekatan saintifik
hendaknya sering dilaksanakan sehingga
dapat diketahui kesenjangan yang terjadi,
sehingga dapat diambil langkah perbaikan
terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik yang belum memenuhi
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 162
standar. Dalam penyusunan standar nasional
pendidikan hendaknya pemerintah juga
melibatkan para pendidik selaku praktisi di
bidang pendidikan. Pemerintah juga
hendaknya memerhatikan sarana dan
prasarana pendidikan yang diperlukan,
seperti buku penunjang, media atau sumber
pembelajaran. 3) Kepala satuan pendidikan
dan pengawas satuan pendidikan hendaknya
melaksanakan pengawasan terhadap proses
pembelajaran yang dilaksanakan pendidik
secara intensif serta memberikan tindak
lanjut terhadap hasil pengawasan baik
berupa penghargaan kepada pendidik yang
telah memenuhi standar maupun
memberikan kesempatan bagi pendidik
yaang belum memenuhi standar dengan
memberikan bimbingan dan pelatihan lebih
lanjut; 4) Bagi peneliti lain yang ingin
meneliti permasalahan serupa tentang
diskrepansi implementasi pendekatan
saintifik disarankan melakukan penelitian
yang lebih mendalam dengan variabel dan
populasi yang lebih banyak, sehingga
mendapatkan hasil lebih baik dan lebih
komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. 2014. Desain Sistem
Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013. Bandung: Refika
Aditama.
Arikunto, S. & C.S.A. Jabar 2009. Evaluasi
Program Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Asril, Z. 2013. Micro Teaching Disertai
Dengan Pedoman Pengalaman
Lapangan. Jakarta: Rajawali Pers
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006.
Panduan Penyusunan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan
Candiasa, I M. 2010. Statistik Univariat dan
Bivariat Disertai Aplikasi SPSS.
Singaraja: Unit Penerbitan Undiksha
Dantes, N. 2012. Metode Penelitian.
Yogyakarta: ANDI.
Dantes, N. 2016. Statistika Non Parametrik.
Singaraja: Undiksha Press
Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran
Saintifik Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Gava Media.
Fadlillah. 2014. Implementasi Kurikulum
2013 Dalam Pembelajaran SD/MI,
SMP/MTs, & SMA/MA. Yogyakarta:
Ar-ruzz Media.
Juliarta, I P. B., Natajaya & A. Sunu. 2013.
“Determinasi Motivasi Berprestasi,
Kebiasaan Belajar, dan Kualitas
Pengelolaan Pembelajaran Guru
Terhadap Prestasi Belajar Praktik
(Studi Persepsi Siswa Seni Rupa di
SMKN 1 Sukawati)”. Jurnal
Program Pascasarjana Undiksha
Program Studi Administrasi
Pendidikan. Volume 4 Tahun 2013
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. 2016a.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2016 tentang
Standar Proses Pendidikan dan
Menengah. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Kesnajaya, I K., N. Dantes & G. R. Dantes.
2015.”Pengaruh Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw Terhadap Motivasi Belajar
dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas
V Pada SD Negeri 3 Tianyar Barat”
Jurnal Program Pascasarjana
Undiksha Program Studi Pendidikan
Dasar. Volume 5 Tahun 2015
Kosasih, E. 2014. Strategi Belajar dan
Pembelajaran Implementasi
Kurikulum 2013. Bandung: Yrama
Widya.
Marhaeni, A. A. I. N. 2007. Evaluasi
Program Pendidikan. Singaraja:
Program Pascasarjana Undiksha.
Mustofa. 2015. “Pemetaan Kesiapan
Implementasi Pendekatan Saintifik
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 163
di SMP”. Jurnal Pendidikan
Geografi UM. Volume 20 Tahun
2015
Nodyanto, D. 2015. “Implementasi
Pendekatan Saintifik dalam
Pembelajaran PPKn untuk
Meningkatkan Kecakapan
Kewarganegaraan Siswa (Studi
Deskriptif Analitis di SMA Negeri
Kabupaten Bangka)”. Jurnal UPI
Digital Repository Indonesia
University Of Education. Tahun
2015
Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: Raja Grafindo
Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suarjana, I W. 2011. “Kinerja Guru Dalam
Hubungan Dengan Persepsi Guru
Terhadap Supervisi Kepala Sekolah,
Motivasi Berprestasi, dan Sikap
Profesional Guru SMP Negeri di
Kecamatan Sukawati.” Jurnal
Pascasarjana Undiksha. Volume 2
Tahun 2011
Subagia, I W. & I. G. L. Wiratma, 2016.
“Profil Penilaian Hasil Belajar Siswa
Berdasarkan Kurikulum 2013”.
Jurnal Pendidikan Indonesia
Undiksha. Volume 5 Tahun 2016
Sudjana, N. 2013. Penilaian Hasil Belajar
Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suryosubroto. B. 2009. Proses Belajar
Mengajar di Sekolah: Wawasan
Baru, Beberapa Metode Pendukung,
dan Beberapa Komponen Layanan
Khusus. Jakarta: Rineka Cipta
Witariani, P. E., N. Dantes & I N. Tika.
2014. “Pengaruh Model Brain-Based
Learning Berbantuan Media Visual
Terhadap Hasil Beljar IPA Ditinjau
Dari Sikap Ilmiah Siswa Kelas V SD
Gugus I Kecamatan Banjar Tahun
Pelajaran 2013/2014” Jurnal
Program Pascasarjana Undiksha
Program Studi Pendidikan Dasar.
Volume 4 Tahun 2014
Yususf, M. 2015. Asesmen dan Evaluasi
Pendidikan Pilar : Penyedia
Informasi dan Kegiatan
Pengendalian Mutu Pendidikan.
Jakarta: Prenamedia Group
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 164
PENGARUH KONSELING KOGNITIF BEHAVIORAL MODEL AARON BECK
DENGAN STRATEGI MANAJEMEN DIRI TERHADAP SELF AUTONOMY
DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN SISWA MELALUI
LESSON STUDY
Ni Made Diah Padmi
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail : [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) adanya perbedaan pengaruh
konseling kognitif behavioral model Arron Beck dengan strategi managemen diri dan
konseling konvensional terhadap self autonomy, (2) adanya perbedaan self autonomy
ditinjau dari urutan kelahiran anak, (3) adanya pengaruh interaksi antara model konseling
dengan urutan kelahiran anak terhadap self autonomy. Penelitian ini adalah penelitian
eksperimen dengan desain two factorial design, Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1
Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Teknik pemilihan sampel yang digunakan untuk
menentukan sampel penelitian adalah Purposive sampling. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, wawancara, buku harian, kuesioner dan pencatatan dokumen.
Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Anava dua jalur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa : (1) terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh konseling kognitif
behavioral model Aaron Beck dengan strategi managemen diri dan konseling konvensional
terhadap self autonomy, (2) terdapat perbedaan yang signifikan self autonomy ditinjau dari
urutan kelahiran anak (3) terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model
konseling dengan urutan kelahiran anak terhadap self autonomy.
Kata Kunci : kognitif behavioral, lesson study managemen diri, self autonomy, urutan
kelahiran anak
Abstract
The aims to acknowledge : (1) there is influence differences between cognitive
behavioral counseling of Aaron Beck Model with Self Management Strategy and
conventional counseling against self autonomy, (2) the differences self autonomy based on
the sequence of birth, (3) the influences of interaction between counseling model and the
sequence of birth against self autonomy. This study is an experiment with two factorial
design. This study was done at SMP Negeri 1 Mengwi, Badung, Bali. The sampling
technique mat is used to determine the sample is a purposive sampling technique. Data is
collected by observation, interview, diary book, quesionere and study documenter. Data
analyzed by “two paths anova analysis. The result has shown that : (1) there are differences
of influence cognitive behavioral counseling of Aaron Beck model with self managemen
strategy and conventional counseling against self autonomy; (2) there are differences self
autonomy based of sequence of birth; (3) there are influences of interactions between
counseling model with sequence of birth against self autonomy.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 165
Keyword : cognitive behavioral, lesson study, self management strategy, self autonomy,
sequence of birth
PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil pengamatan
yang telah dilakukan oleh peneliti selama
tiga bulan, ditemukan beberapa
kepribadian yang ditunjukkan melalui
cara berprilaku, bertindak maupun
berpikir selama proses pembelajaran
dikelas maupun saat diluar kelas. Dari
beberapa sifat-sifat kepribadian yang
ditunjukkan tersebut peneliti tertarik
untuk meneliti kepribadian kebutuhan
mandiri dan tanggung jawab (Self
Autonomy) yang ditunjukkan oleh siswa.
Ketertarikan peneliti didasarkan pada
gejala perilaku siswa diantaranya datang
termbat, keluar masuk kelas saat guru
masih menjelaskan materi pelajaran, pasif
dikelas yang ditunjukkan dengan sikap
tidak menanggapi maupun memberikan
pertanyaan, serta sebagian siswa juga
menunjukkan perilaku yang tidak tegas,
bergantung pada teman sebangkunya, dll.
Dalam penelitian ini, peneliti
mengkaitkan gejala perilaku yang
ditunjukkan oleh siswa diatas dengan self
autonomy yang rendah.
Berdasarkan hasil observasi yang
disebutkan di atas, sebagian siswa
menunjukkan perilaku self autonomy
rendah, yaitu sekitar 39,5% dengan gejala
perilaku kurang mampu mengemukakan
apa yang sedang difikirkan, kurang fokus
ketika sedang mengikuti pelajaran di
kelas, sering keluar masuk kelas ketika
guru masih mengajar bahkan guru sedang
menjelaskan di kelas, sering bercanda di
kelas, dll. Gejala self autonomy rendah
juga diperkuat oleh pernyataan beberapa
siswa yang diwawancara oleh peneliti,
berdasarkan hasil wawancara
menunjukkan bahwa gejala-gejala self
autonomy rendah masih ditunjukkan oleh
sebagian siswa di kelas maupun diluar
kelas. Hasil data observasi tersebut,
diberkuat dengan pernyataan-pernyataan
siswa yang diperoleh melalui kegiatan
wawancara yang dilakukan kepada
masing-masing siswa.
Berdasarkan data hasil wawancara
diperoleh bahwa sebagian besar siswa
yaitu 57,9% dari 38 siswa masih
menunjukkan perilaku self autonomy
rendah, berdasarkan hasil wawancara,
beberapa siswa masih menunjukkan
perilaku non-autonomy, seperti keluar
masuk kelas tidak tepat pada waktunya
yaitu saat jam pelajaran masih
berlangsung, siswa nongkrong di kantin
saat jam pelajaran sedang berlangsung,
adanya beberapa siswa yang
menunjukkan perilaku tidak mampu
menanggapi maupun memberikan
jawaban yang diminta oleh guru ketika
mengajukan pertanyaan, sehingga
kebutuhan siswa dalam mengungkapkan
apa yang sedang difikirkan tidak
terpenuhi. Melihat fenomena dan gejala
tersebut diatas, maka muncul perhatian
peneliti untuk melakukan tindakan dalam
rangka meningkatkan self autonomy
siswa.
Self Autonomy menurut Dharsana
(2012) adalah kebutuhan seseorang untuk
berdiri sendiri yang meliputi seseorang
yang mampu datang dan pergi
sebagaimana diinginkan, seseorang yang
mampu mengungkapkan apa yang sedang
difikirkan dan seseorang yang tidak
bergantung kepada orang lain dalam
mengambil sebuah keputusan.
Berdasarkan definisi tersebut, maka “self-
autonomy” dalam hal ini mengandung 3
aspek yaitu: (1) datang dan pergi
sebagaimana diinginkan; (2) mengatakan
apa yang sedang difikirkan; (3) tidak
bergantung pada orang lain dalam
mengambil keputusan.
Murray (dalam Alwisol, (2005)
“Otonomy Personal adalah kebutuhan
untuk membuat keputusan untuk diri
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 166
sendiri dan mengejar tindakan dalam
kehidupan seseorang dan sering terlepas
dari beban moral tertentu”. Berdasarkan
definisi tersebut, maka “self-autonomy”
dalam hal ini mengandung 2 aspek yaitu:
(1) Membuat keputusan sendiri dan untuk
diri sendiri; (2) Mengejar tindakan dalam
kehidupan seseorang.
Sehingga berdasarkan kedua
pendapat para ahli diatas, maka dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan self
autonomy adalah kepribadian yang
dimiliki oleh seseorang untuk selalu
mandiri dan memiliki tanggung jawab
atas setiap tindakan yang dilakukan.
Aspek-aspek dalam self autonomy yang
menjadi acuan dari tindakan siswa yang
memiliki self autonomy tinggi, sedang
maupun rendah adalah (1) mampu datang
dan pergi sebagaimana diinginkan, (2)
mampu mengungkapkan apa yang sedang
difikirkan dan (3) tidak bergantung pada
orang lain dalam mengambil keputusan
untuk dirinya sendiri.
Self Autonomy sangat berpengaruh
dalam usaha mengembangkan
kepribadian siswa, sehingga sekolah
menggunakan berbagai usaha dalam
mengembangkan kepribadin autonomy
siswa, diantara lain yaitu pendidikan,
pelatihan dan melalui layanan Bimbingan
dan Konseling, sehingga oleh guru BK
dilakukan berbagai aplikasi layanan yang
mampu kiranya mengembangkan self
autonomy siswa.
Berdasarkan pemaparan gejala
tingkah laku yang diperoleh melalui
observasi maupun wawancara, maka
adapun usaha yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah yang berkaitan dengan
self autonomy yang rendah dapat
dilakukan berbagai pendekatan, antara
lain: (1) pendidikan, (2) pelatihan, (3)
bimbingan, (4) konseling. Dalam
penelitian ini lebih menekankan pada
tingkah laku (behavior) dan pola pikir
(kognitif), maka peneliti melakukan
pendekatan melalui bimbingan konseling.
Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk mengubah perilaku negatif menjadi
perilaku yang lebih positif dan sekaligus
mengubah pola fikir siswa terhadap
perilaku yaitu dengan Teori Konseling
Kognitif Behavioral (CBT). Konseling
kognitif behavioral adalah suatu proses
untuk mengembangkan self autonomy
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) mengidentifikasi perilaku,
2).menganalisis perilaku,
3).menyimpulkan perilaku,
4).menyimpulkan indikator-indikator
perilaku, 5) mendiagnosa perilaku, 6)
melakukan prognosa perilaku, 7)
mentreatmen perilaku, 8) mengevaluasi
perilaku, 9) merefleksi perilaku, 10)
memfollow-up perilaku. Menurut
Dharsana (2014) “kognitif behavioral
adalah suatu teori secara menyeluruh dan
juga suatu usaha berdasarkan percobaan
untuk menjelaskan prinsip dan kaidah-
kaidah bagaimana tingkah laku manusia
dipelajari melalui respon-respon sebelum
tingkah laku muncul yang diyakini oleh
konseli dan sebagai sebab dari munculnya
perilaku baru. Konseling kognitif
behavioral mempunyai asumsi dasar
bahwa “setiap tingkah laku dapat
dipelajari, tingkah laku lama dapat diganti
dengan tingkah laku baru dan manusia
memiliki potensi untuk berperilaku baik
dan buruk, tepat atau salah. Selain itu,
manusia dipandang sebagai individu yang
mampu melakukan refleksi atas tingkah
lakunya sendiri, mengatur serta dapat
mengontrol perilakunya, dan dapat belajar
tingkah laku baru atau dapat
mempengaruhi orang lain”. (Walker &
Shea, dalam Gantina Komalasari, 2011).
Sedangkan Krisnayana (2014)
mengatakan bahwa Cognitive Behavior
Theraphy (CBT) terjadi proses integrasi
dalam pelaksaanaan konseling yang
dilakukan dengan menggunakan teknik
dari pendekatan kognitif dan pendekatan
behavioral. Sa’Adah (2015) juga
berpendapat bahwa CBT merupakan
bentuk terapi kognitif pada prilaku yang
menyimpang, bimbingan dan konseling
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 167
ini selain akan merubah tingkah laku juga
akan merubah cara berfikir konseli yang
salah atau (un reaalistic).
Bimbingan konseling merupakan
proses mengoptimalkan potensi peserta
didik, adapun tujuan dan fungsi dari
bimbingan konseling adalah untuk
membantu individu dalam
mengembangkan potensi diri secara
optimal sesuai dengan tahap
perkembangan dan predisposisi yang
dimiliki, seperti kemampuan dasar, bakat
dan minat individu sehingga dalam
perkembangannya akan mampu sesuai
dengan arah kemampuan dirinya, selain
itu adapun yang merupakan tujuan khusus
dari bimbingan konseling adalah untuk
membantu individu dalam mengentaskan
permasalahan yang sedang dihadapi baik
dalam belajar, kehidupan sosial, pribadi
maupun arah studi lanjut atau karir siswa,
sehingga keseluruhan tentang siswa
menjadi ranah dari kegiatan bimbingan
konseling, baik belajar, karir, pribadi
maupun hal yang mencangkup studi
lanjut dan persiapan karir siswa. Fungsi
dari bimbingan konseling ada empat,
yaitu: (1) fungsi pemahaman,
(2)pencegahan, (3) Pengentasan dan (4)
Advokasi.
Berdasarkan pemaparan di atas,
kaitannya dengan penelitian ini adalah
bimbingan konseling memiliki peran
sebagai pedoman dan acuan bagi penelitia
dalam melaksanakan penelitian, baik
prosedur maupun langkah-langkah yang
akan digunakan oleh peneliti akan
disesuaikan dengan prosedur dan
langkah-langkah dari konseling pada
umumnya dan juga berpatokan dengan
prosedur dan langkan konseling kognitif
behavioral. Bimbingan konseling
berorientasi pada siswa, perhatian BK
adalah perkembangan siswa.
Berdasarkan pemaparan tentang
Bimbingan dan Konseling di atas, adapun
salah satu cara yang dapat digunakan
untuk mengubah perilaku negatif menjadi
perilaku yang lebih positif yaitu dengan
Konseling Kognitif Behavioral.
Konseling kognitif behavioral adalah
proses yang dilakukan untuk
mengembangkan self autonomy.
Dharsana (2014) bahwa kognitif
behavioral adalah suatu teori dan juga
suatu usaha berdasarkan percobaan untuk
menjelaskan prinsip dan kaidah-kaidah
bagaimana tingkah laku manusia
dipelajari.
Walker & Shea (dalam Komalasari,
2011) menjelaskan bahwa konseling
behavioral mempunyai asumsi dasar
bahwa setiap tingkah laku dapat
dipelajari, tingkah laku lama dapat diganti
dengan tingkah laku baru, dan manusia
memiliki potensi untuk berperilaku baik
dan buruk, tepat atau salah.
Teknik yang akan diaplikasikan
dalam penelitian ini adalah mengadopsi
strategi managemen diri model Cormier
and Cormier.
Menurut Cormier and Cormier
(1985) pengelolaan diri adalah salah satu
proses mengarahkan klien dalam merubah
tingkah lakunya dengan menggunakan
satu terapiutik saja maupun dengan
mengkombinasikan strategi yang lain.
Untuk penerapan dari strategi
pengelolaan diri klien harus
memanipulasi beberapa keadaan, baik
internal maupun eksternal sebagai akibat
dari perubahan tingkah laku yang
diinginkan. Pelaksanaan strategi
pengelolaan diri akan diaplikasikan
dengan 3 model yaitu: self monitoring,
stimulus controll, self reward.
Pengelolaan diri model Cormier
and Cormier menekankan adanya
remanagement terhadap klien (siswa),
pengaturan ulang yang dimaksud adalah
siswa secara bertahap mengatur ulang
beberapa perilaku yang belum sesuai
menjadi perilaku yang lebih sesuai
melalui self monitoring yang akan
dilaksanakan dalam layanan konseling,
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 168
sehingga dalam hal ini siswa akan
memperoleh pengetahuan terkait
perilaku-perilaku yang diharapkan dan
perilaku yang sudah nampak.
Dengan ini akan dilakukan
perbaikan bersama klien (siswa) yang
bersangkutan. Selain melaksanakan
pantau diri (self monitoring) siswa juga
diajak melakukan stimulus kontrol dan
self reward yang bertujuan untuk
mengontrol beberapa keadaan atau
kondisi yang diharapkan oleh siswa untuk
memunculkan perilaku yang diharapkan
dan melalui self reward siswa diajak
untuk belajar menghargai setiap usaha
yang dilakukannya.
Strategi self management
merupakan pelatihan diri yang akan
mengarahkan siswa kepada kesadaran diri
untuk memperbaiki perilaku dirinya yang
telah nampak menjadi perilaku yang
diharapkan. Sedangkan Marwi (2012)
berpendapat bahwa Self-management
adalah strategi yang memberikan
kesempatan pada klien untuk mengatur
atau memantau perilakunya sendiri
dengan satu strategi
atau kombinasi strategi untuk mengubah
perilaku.
Sedangkan penggunaan dari
pendekatan konseling kognitif behavioral
Model Aaron Beck adalah karena kognitif
behavioral merupakan salah satu
pendekatan konseling yang berorientasi
pada tingkah laku dan pola kognisi klien,
baik perubahan tingkah laku, penciptaan
tingkah laku, pemeliharaan tingkah laku
maupun menghapuskan tingkah laku
tertentu, sehingga dalam penelitian ini
dipilih menggunakan pendekatan
konseling kognitif behavioral.
Pelaksanaan konseling kognitif
behavioral dengan strategi self
management untuk meningkatkan
tanggung self autonomy di SMP Negeri 1
Mengwi, Kabupaten Badung, Bali belum
pernah dilakukan sebelumnya, sehingga
kesempatan bagi peneliti melakukan
kegiatan konseling untuk melihat
pengaruh dari penerapan konseling
kognitif behavioral model Aaron Beck
dengan strategi managemen diri untuk
meningkatkan self autonomy siswa.
Sebelumnya, terdapat suatu
penelitian dari Yahya, AD pada tahun
2016 tentang pelaksanaan konseling
Cognitif Behavior Therapy (CBT) , tetapi
dengan menggunakan teknik Self
Control yang menyatakan bahwa ada
pengaruh dalam pelaksanaan konseling
Cognitif Behavior Therapy (CBT) dengan
teknik Self Control dalam mengurangi
perilaku agresif kelas VIII di SMPN 9
Bandar Lampung.
Retnowulan (2013) juga melakukan
penelitian, hasil penelitia diperoleh bahwa
terdapat perbedaan skor yang signifikan
pada kelompok siswa yang diberikan
perlakuan strategi pengelolaan diri (self
management) dibandingkan dengan
kelompok siswa yang dibantu dengan
metode konvensional.
Rumusan penelitian akan
membahas tiga masalah, antara lain (1)
Apakah terdapat perbedaan pengaruh
konseling kognitif behavioral model
Aaron Beck dengan strategi managemen
diri dan konseling konvensional terhadap
self autonomy siswa?; (2) Apakah
terdapat pengaruh urutan kelahiran
terhadap self autonomy?; (3) Apakah
terdapat pengaruh interaksi antara model
konseling dengan urutan kelahiran
terhadap self autonomy?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen dengan two factorial design,
sehingga data yang perlu dianalisis
sebagai hasil penelitian adalah skor data
post-test. Metode analisis data yang
digunakan adalah ANAVA. Pengujian
untuk hipotesis pertama dan kedua diuji
menggunakan rumus ANAVA satu jalur,
dan untuk pengujian hipotesis ketiga akan
diuji menggunakan ANAVA dua jalur.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 169
Penelitian eksperimen ini dilakukan
selama tiga bulan yaitu dari tanggal 16
Maret sampai tanggal 16 Juni 2017
bertempat di SMP Negeri 1 Mengwi
dengan populasi penelitian sebanyak 431
siswa kelas VIII dan sampel sebanyak 90
siswa yang dikategorikan memiliki self
autonomy rendah berdasarkan hasil
analisis kuesioner pemilihan sampel.
Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah kuesioner, observasi,
wawancara dan penulisan buku harian.
Perencanaan penelitian yang akan
dilaksanakan adalah sebagai berikut: (1)
Penyusunan RPBK, (2). Melakukan uji
judges kuesiner self autonomy, (3).
Mengajukan surat ijin penelitian ke SMP
Negeri 1 Mengwi, (4) Uji Coba Intrumen,
Untuk mengetahui kesahan butir dan
keterandalan perangkat, agar instrument
kuesioner self autonomy dapat digunakan
untuk mengumpulkan, (5) Kuesioner
pemilihan sempel diberikan kepada siswa
yang merupakan populasi penelitian yaitu
siswa kelas VIII sebanyak 431 siswa,
sebelum treatment mulai diberikan.
Kuesioner self autonomy ini terdiri dari
item-item yang sudah disiapkan dan telah
diuji cobakan terlebih dahulu, (6).
Diagnosa, melalui data yang telah
dikumpulkan pada tahap identifikasi,
maka dilanjutkan dengan mencari
penyebab atau kemungkinan sebab yang
mempengaruhi self autonomy siswa di
kelas VIII, pada tahap diagnosa dengan
melakukan wawancara dengan siswa-
siswa yang dikategorikan memiliki self
autonomy rendah (antara 40% - 64%
menurut persentase hasil kuesioner) atau
siswa-siswa yang menunjukkan aspek-
aspek pada self autonomy rendah pada
hasil observasi di kelas VIII, (7).
Prognosa, Berdasarkan hasil analisis
kuesioner pemilihan sampel diperoleh
Sembilan puluh siswa dengan kategori
self autonomy rendah, maka layanan yang
akan diberikan kepada siswa yang
menjadi sampel penelitian adalah
konseling kelompok dengan menerapkan
pendekatan konseling kognitif behavioral
model Aaron Beck dengan strategi
managemen diri untuk merubah perilaku
siswa yang tidak diinginkan menjadi
perilaku yang lebih realistis dalam hal ini
adalah merubah perilaku siswa yang
menunjukkan perilaku self autonomy
rendah dalam menjadi perilaku yang
menunjukkan self autonomy sedang atau
tinggi, karena self autonomy sangtlah
penting bagi siswa serta membiasakan
siswa dengan mengkondisikan setiap
aspek self autonomy pada setiap kali layanan diberikan.
Pelaksanaan : Penelitian
dilaksanakan selama 3 bulan dengan
pemberian treatment 10 kali pertemuan
dari tanggal 16 Maret sampai 16 juni
sedangkan pengakhiran penelitian
dilakukan dengan cara (1). Evaluasi,
Mengamati hasil atau dampak dari
konseling kognitif behavioral dengan
strategi pengelolaan diri (self
management) yang dilaksanakan terhadap
subjek yang dikenai tindakan (group
treatment) untuk melihat ada atau
tidaknya perubahan yang dihasilkan
melalui tindakan yang diberikan dengan
cara observasi langsung ke kelas VIII
dengan pedoman observasi yang
digunakan sebelumnya, (2). Setelah
kelima aspek tingkah laku yang sudah
disusun sudah diberikan layanan maka
semua siswa kelas VIII akan diberikan
kuesioner kedua yaitu posttest untuk
melihat perubahan yang ditunjukkan
melalui hasil postest nantinya, (3). Hasil
postest merupakan hasil analisis dari
postest yang akan menunjukkan adanya
pengaruh terhadap variabel yang diteliti,
dalam hal ini yaitu: pengaruh konseling
kognitif behavioral model Aaron Beck
dengan strategi managemen diri untuk
meningkatkan self autonomy ditinjau dari
urutan kelahiran anak melalui lesson study pada siswa di kelas VIII.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 170
Berdasarkan data hasil observasi
pada siswa yang diberikan konseling
kognitif behavioral model Aaron Beck
dengan strategi managemen diri diperoleh
8 orang siswa yang menunjukkan gejala
self autonomy yang positif sedangkan 7
siswa menunjukkan self autonomy
negatif. Berdasarkan data awal pada
siswa yang diberikan konseling
konvensional diperoleh 8 orang siswa
yang menunjukkan self autonomy positif
dan 11 siswa yang menunjukkan gejala
self autonomy yang negatif
Berdasarkan hasil wawancara
diperoleh 57,9% siswa menunjukkan self
autonomy yang masih rendah dan hal
tersebut dipeoleh berdasarkan pernyataan
siswa ketika ditanyakan beberapa
pertanyaan terkait aspek-aspek self
autonomy.
Selain observasi dan wawancara,
dalam penelitian ini digunakan buku
harian untuk mengukur peningkatan self
autonomy siswa setiap harinya, selama
dua bulan diperoleh data skor buku harian
berikut :
Tabel 01
Rekapitulasi Skor Bulan I dan II
Rangkuman Rekapitulasi Skor Bulan I
Total 791 795 828 847
Rata-Rata 41,6 41,8 43,5 44,5
Rangkuman Rekapitulasi Skor Bulan II
Total 1040 1087 1129 1137
Rata-Rata 54,7 57,2 59,4 59,8
Berdasarkan data rekapitulasi skor
bulan I dan II diperoleh perbandingan
skor awal sebelum diberikan treatmen
lebih kecil dari skor buku harian setelah
diberikan
treatmen. Perbandingan skor bulan I dan
II dapat divisualisasikan dalam bentuk
grafik perkembangan berikut :
Gambar 0.1
Grafik Rekapitulasi Skor Bulanan Buku Harian Self Autonomy Siswa yang mengikuti
Konseling Kognitif Behavioral dengan Strategi Managemen Diri Bulan I dan II
Deskripsi data dalam penelitian
ini terdiri dari : (1) self autonomy siswa
yang mengikuti konseling kognitif
behavioral dengan strategi managemen
diri, (2) self autonomy siswa yang
791 795 828 847
1040 1087 1129 1137
SM 1 SM 2 SM 3 SM 4
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 171
mengikuti layanan konseling
konvensional, (3) self autonomy siswa
yang mengikuti konseling kognitif
behavioral strategi managemen diri
dengan urutan kelahiran anak tengah, (4)
self autonomy siswa yang mengikuti
konseling kognitif behavioral strategi
managemen diri dengan urutan kelahiran
anak tengah, (5) self autonomy siswa
yang mengikuti
konseling kognitif behavioral strategi
managemen diri dengan urutan kelahiran
anak bungsu, (6) self autonomy siswa
yang mengikuti konseling konvensional
dengan urutan kelahiran anak tengah, (7)
self autonomy siswa yang mengikuti
konseling konvensional dengan urutan
kelahiran anak tengah, (8) self autonomy
siswa yang mengikuti konseling
konvensional dengan urutan kelahiran
anak bungsu. Rekapitulasi hasil
perhitungan deskriptif skor post-test self
autonomy dalam penelitian ini dapat
dirangkum seperti tabel berikut :
Tabel 02
Rangkuman Deskripsi Skor Posttest
Treatmen
Konseling
Statistik
A1 A2 A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3
N 45 45 15 15 15 15 15 15
Mean 110,4 92,71 112,2 107,6 111,3 91,93 93,4 92,8
Median 111 93 113 107 112 92 93 93
Modus 101 93 - 97 124 90 93 96
SD 8,82 2,35 9,25 8,44 8,65 2,05 2,41 2,48
Varians 77,79 5,53 85,6 71,23 74,81 4,21 5,83 6,17
Range 32 9 29 25 26 6 8 7
Min 95 89 98 95 98 89 90 89
Max 127 98 127 120 124 95 98 96
Hipotesis yang diuji dalam
penelitian ini adalah tiga hipotesis, yaitu :
(1) perbedaan pengaruh konseling
kognitif behavioral model Aaron Beck
dengan strategi managemen diri dan
konseling konvensional terhadap self
autonomy, (2)Perbedaan self autonomy
ditinjau dari
urutan kelahiran anak, (3) pengaruh
interaksi model konseling dengan urutan
kelahiran anak terhadap self autonomy.
Ketiga hiptesis dalam penelitian ini
dianalisis dengan rumus ANAVA.
Dengan bantuan SPSS 20 diperoleh hasil
analisis ANAVA sebagai berikut :
Tabel 03
Rangkuman Analisis Anava Dua Jalur
Sumber Variasi Jumlah
Kuadrat (JK)
dk Rata-rata Jumlah
Kudrat (RJK)
F P
Model (A) 3484.44 1 3484.4 118.5 <.001
Urutan (B) 1779.82 2 889.9 30.26 <.001
Urutan * Model (AxB) 2148.62 2 1074.3 36.53 <.001
Dalam 2470.0 84 29.4
Total 889994.0 90
Hipotesis Pertama : Hipotesis
yang pertama berbunyi terdapat
perbedaan yang signifikan pengaruh
konseling kognitif behavioral model
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 172
Aaron Beck dengan strategi managemen
diri dan konseling konvensional terhadap
self autonomy. Untuk menguji hipotesis
di atas digunakan rumus ANAVA satu
jalur dengan kriteria yang digunakan
adalah sebagai berikut : jika nilai FA >
Ftabel, maka H0 ditolak, sebaliknya jika
nilai FA ≤ Ftabel, maka H0 diterima.
Berdasarkan hasil Anava satu jalur,
diperoleh bahwa FA,hitung = 118,5 dengan
p <0,001. Dengan demikian, hipotesis
alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan
pengaruh konseling kognitif behavioral
model Aaron Beck dengan strategi
managemen diri dan konseling
konvensional terhadap self autonomy,
diterima.
Hipotesis kedua : Hipotesis yang
kedua berbunyi terdapat perbedaan yang
signifikan self autonomy ditinjau dari
urutan kelahiran
anak, dengan ketentuan tolak H0 jika
FBhitung > FBtabel, sebaliknya terima H0
jika FBhitung ≤ FBtabel pada taraf signifikan
5%. Berdasarkan hasil analisis Anava
satu jalur diperoleh nilai Fhitung = 30,26
dengan p < 0,001. Dengan demikian
hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
self autonomy ditinjau dari urutan
kelahiran anak, diterima.
Hipotesis ketiga : Hipotesis yang
ketiga berbunyi terdapat pengaruh
interaksi yang sognifikan antara model
konseling dengan urutan kelahiran anak
terhadap self autonomy., dengan
ketentuan tolak H0 jika FABhitung > FABtabel,
sebaliknya terima H0 jika FABhitung ≤
FABtabel pada taraf signifikan 5%.
Berdasarkan hasil analisis Anava dua
jalur diperoleh nilai FABhitung = 36,53
dengan p < 0,001. Dengan demikian
hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan
bahwa terdapat pengaruh interaksi yang
signifikan antara model konseling dengan
urutan kelahiran anak terhadap self
autonomy, diterima. Selanjutnya perlu
dilakukan uji lanjut dengan uji Tukey.
Berdasarkan uji T-Tukey yang
dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut
:
Tabel 04
Rangkuman Hasil Uji Tukey
Uji T-Tukey thitung Α Hasil Uji Keputusan
A1B1><A1B2 3,28 0,05 thit > α Siswa sulung memiliki self autonomy
yang signifikan berbeda dengan self
autonomy siswa tengah
A1B1><A1B3 0,64 0,05 thit > α Self autonomy siswa sulung signifikan
berbeda dengan self autonomy siswa
bungsu
A1B2><A1B3 -2,64 0,05 thit < α Siswa tengah memiliki self autonomy
yang sama dengan siswa bungsu.
Data pada tabel di atas,
menunjukkan bahwa adanya interaksi
yang mempengaruhi self autonomy
apabila ditinjau dari urutan kelahiran anak
pada kelompok siswa yang diberikan
konseling kognitif behavioral model
Aaron Beck dan konseling konvensional,
yaitu : (1) terdapat perbedaan yang
signifikan self autonomy siswa sulung
dengan self autonomy siswa tengah, (2)
terdapat perbedaan yang signifikan self
autonomy siswa sulung dengan self
autonomy siswa bungsu, (3) tidak
terdapat perbedaan yang signifikan self
autonomy siswa tengah dengan self
autonomy siswa bungsu.
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 173
Pembahasan Hipotesis pertama :
temuan empiris pada penelitian ini
menyatakan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan pengaruh konseling
kognitif behavioral model Aaron Beck
dengan strategi managemen diri dan
konseling konvensional terhadap self
autonomy. Hasil ini dibuktikan dengan
nilai FA,hitung diperoleh sebesar 118,5 dan
p <0,001. Sehingga FA,hitung>p maka dapat
disimpulkan bahwa hipotesis alternatif
(Ha) yang menyatakan “terdapat
perbedaan yang signifikan pengaruh
konseling kognitif behavioral model
Aaron Beck dengan strategi managemen
diri dan konseling konvensional terhadap
self autonomy”, diterima. Temuan
tersebut diperkuat
oleh data rata-rata self autonomy siswa
pada masing-masing kelompok, terdapat
perbedaan rata-rata A1 dan
A2 yang menyatakan bahwa A1 > A2
yaitu 110,4 > 92,71. Hal ini
mengindikasikan bahwa layanan
konseling akan lebih berpengaruh
terhadap self autonomy jika konseli dalam
pelaksanaan layanan difasilitasi dengan
konseling kognitif behavioral model
Aaron beck dengan strategi managemen
diri jika dibandingkan dengan konseling
konvensional.
Pembahasan hipotesis kedua :
Temuan empiris pada penelitian ini
menyatakan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan self autonomy ditinjau
dari urutan kelahiran anak. Hasil ini
dibuktikan dengan nilai FB,hitung diperoleh
sebesar 30,26 dengan (p<0,001).
Sehingga FB,hitung >p, maka dapat
disimpulkan bahwa hipotesis alternatif
(Ha) yang menyatakan “terdapat
perbedaan yang signifikan self autonomy
ditinjau dari urutan kelahiran anak”,
diterima. Temuan tersebut diperkuat oleh
data rata-rata self autonomy siswa pada
masing-masing kategori urutan kelahiran
anak, terdapat perbedaan rata-rata B1, B2
dan B3 yang menyatakan bahwa B1>B2,
B2<B3 dan B1=B3. Hal ini
mengindikasikan bahwa urutan kelahiran
anak memiliki pengaruh terhadap self
autonomy siswa.
Pembahasan hipotesis ketiga : Oleh
karena terdapat pengaruh interaksi yang
signifikan antara model konseling dengan
urutan kelahiran anak terhadap self
autonomy, maka dilanjutkan dengan uji
lanjut Tukey. Berdasarkan uji lanjut yang
dilakukan dengan rumus T-Tukey,
ditemukan bahwa : (1) terdapat perbedaan
yang signifikan self autonomy siswa
sulung dengan self autonomy siswa
tengah, dengan perolehan nilai (α=0,05 <
3,28); (2) terdapat perbedaan yang
signifikan self autonomy siswa sulung
dengan self autonomy siswa bungsu,
dengan perolehan (α=0,05 > 0,64); (3)
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
self autonomy siswa tengah dengan self
autonomy siswa bungsu, dengan
perolehan (α=0,05 <-2,64).
Temuan ini dapat dikatakan
terdapat perbedaan yang signifikan
pengaruh konseling kognitif behavioral
model Aaron Beck dengan strategi
managemen diri dan konseling
konvensional terhadap self autonomy.
Sedangkan dalam penelitian Yahya AD
dan Retnowulan menggunakan konseling
kognitif behavioral dengan teknik yang
berbeda namun memperoleh hasil yang
signifikan juga.
Implikasi hasil penelitian ini,
merujuk pada (1) guru bimbingan
konseling dalam pemberian layanan
bimbingan konseling, (2) perencanaan
dan pengembangan model konseling, dan
(3) lembaga pendidikan dan tenaga
kependidikan (LPTK).
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
(1) terdapat perbedaan yang signifikan
pengaruh konseling kognitif behavioral
model Aaron Beck dengan strategi
managemen diri dan konseling
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 174
konvensional terhadap self autonomy, (2)
terdapat perbedaan yang signifikan self
autonomy ditinjau dari urutan kelahiran
anak, (3) terdapat pengaruh interaksi yang
signifikan antara model konseling dengan
urutan kelahiran anak terhadap self
autonomy. Adapun saran yang dapat
diberikan terkait penelitian adalah: (1)
Guru pembimbing/konselor di SMP
Negeri 1 Mengwi sebaiknya selain
memberikan layanan yang hanya
berorientasi pada masalah siswa, guru
pembimbing / konselor juga melakukan
pendekatan yang berorientasi pada
perubahan tingkah laku yang disebabkan
karna kurangnya kesadaran diri siswa dan
rendahnya self autonomy siswa yang
mampu mempengaruhi perilaku yang
lain. (2) Bagi siswa, diharapkan mampu
lebih mendekatkan diri dengan guru
pembimbing di sekolah untuk melatih
kemampuan menyelesaikan masalah yang
sudah muncul maupun yang belum
muncul sebagai pencegahan, karena
sejauh ini masih banyak siswa yang
beranggapan bahwa ruangan BK hanya
untuk siswa yang bermasalah sehingga
ketika dipanggil ke ruang bk, siswa akan
menunjukkan ekspresi ketakutan. (3) Bagi
peneliti selanjutnya agar bisa
mengembangkan penelitian mengenai self
autonomy dengan setting yang berbeda
maupun pendekatan konseling dan teknik
yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald.2003. Teori dan Praktek
Konseling & Psikoterapi
terjemahan
E.Koeswara.Bandung:PT. Refika
Aditama.
Cormier, William H & Cormier, L
Sherlyn. 1985. Interviewing
Stratgeies for Helpers,
Fundamental Skills and Cognitive
Behavioral Interventions (Second
Edition). California:Brooks/Cole
Publishing Company.
Dharsana, Ketut. 2013. Kumpulan
sertifikat test Psikologi. Singaraja:
Jurusan Bimbingan Konseling
Fakultas Ilmu Perdidikan
Undiksha.
Dharsana, Ketut. 2015. RPBK Seri 1
Bimbingan Klasikal, Bimbingan
Kelompok, Konseling Kelompok,
Konseling Individu Untuk
Pengembangan Self Exhibition.
Singaraja: BK FIP Undiksha.
Dharsana, Ketut. 2014. Model-model
Teori, Teknik, Skill Bimbingan
Konseling. Singaraja: Jurusan
Bimbingan Konseling Fakultas
Ilmu Pendidikan Undiksha.
Donald L. MacMillan,1973.Behavior
Modification in Education.New
York:The MacMillan Company.
Krisnayana,I.N. 2014. “Penerapan
Konseling Kognitif dengan
Teknik Restrukturisasi Kognitif
untuk Meningkatkan Resiliensi
Siswa Kelas XI IPA 1 SMA
Negeri 3 Singaraja”. Dalam E-
Journal Undiksha Jurusan
Bimbingan Konseling Volume: 2
No 1,Tahun 2014. Undiksha
Marwi ,Trio Isnansyah.2012.”
Penggunaan Strategi Pengelolaan
Diri (Selfmanagement) untuk
Mengurangi Tingkat Kemalasan
Belajar pada Siswa Kelas VIII E
Mts Al Rosyid dan Der-
Bojonegoro”. Dalam Jurnal
Psikologi Pendidikan dan
bimbingan Vol. 13. No.1, Juli
2012 .
Namora Lumongga Lubis,2013.
Memahami Dasar-Dasar Konseling
dalam Teori dan
Praktik.Kencana:Medan.
Retnowulan, Dyah Ayu. 2013.
“Penerapan Strategi Pengelolaan
Diri (Self Management) untuk
Mengurangi Kenakalan Remaja
Korban Broken Home”. Dalam
Jurnal BK Unesa. Volume 03
Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543
PPs Universitas Pendidikan Ganesha
JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 175
Nomor 01 Tahun 2013. 335-340.
Universitas Negeri Surabaya.
Rismawati.2008. Kepribadian & Etika
Profesi.Yogyakarta.Graha Ilmu.
Sa’Adah.2015.”Konsep Bimbingan dan
Konseling Cognitive Behavior
Therapy (CBT) dengan
Pendekatan Islam untuk
Meningkatkan Sikap Altruisme
Siswa “. Dalam Jurnal Hisbah,
Vol. 12, No. 2 Desember 2015
Sadulloh, Uyoh,2003. Pengantar Filsafat
Pendidikan.bandung:C.V Alvabeta
Sedanayasa, Gede. 2009. Dasar-dasar
Bimbingan Konseling. Singaraja:
Jurusan Bimbingan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Ganesha.
Yahya, AD. 2016. “Pengaruh Konseling
Cognitif Behavior Therapy (Cbt)
dengan Teknik Self Control untuk
Mengurangi Perilaku Agresif
Peserta Didik Kelas VIII di
SMPN 9 Bandar Lampung Tahun
Pelajaran 2016/2017”. Dalam
Jurnal Bimbingan dan Konseling
03 (2) (2016) 187-200. IAIN
Raden Intan Lampung.