92

JIMKI-Vol-3-No1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

JIMKI-Vol-3-No1

Citation preview

  • i JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    Penasehat

    Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS,

    SpParK

    Penanggung Jawab

    Andi Qautsar Syahrezo Universitas Hasannudin

    Pimpinan Umum

    Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara Universitas Udayana

    Pimpinan Redaksi

    Tjokorda Istri Pramitasuri Universitas Udayana

    Sekretaris

    Siti Arifah Universitas Hasannudin

    Bendahara

    Fahrun Nisai Fatimah Universitas Airlangga

    Penyunting Ahli

    Prof. dr. Mohamad Sadikin, D.Sc. Universitas Indonesia

    dr. Arta Farmawati, Ph.D Universitas Gadjah Mada

    Dr. Dra. Sunarti, M.Kes. Universitas Gadjah Mada

    dr. Rustamaji, M.Kes. Universitas Gadjah Mada

    dr. I Nyoman Sutarsa, MPH Universitas Udayana

    dr. Citra Wulan Sucipta Putri, MPH Universitas Udayana

    dr. Luh Virsa Paradissa Universitas Udayana

    Penyunting Pelaksana

    Matthew Billy Universitas Indonesia

    Made Harumi Padmaswari Universitas Gadjah Mada

    Mochamad Iskandarsyah Agung R. Universitas Indonesia

    Ni Made Erika Suciari Universitas Udayana

    Kharisma Ridho Husodo Universitas Brawijaya

    Humas dan Promosi

    Afandi Charles Universitas Padjajaran

    Muhammad Faisal Putro Utomo Universitas Udayana

    Kevin Ezekia Universitas Udayana

    Tata Letak

    Dewa Ayu Sri Agung Suandewi Universitas Udayana

    Dito Setiadarma Universitas Udayana

    Pande Mirah Dwi Anggreni Universitas Udayana

    SUSUNAN PENGURUS

  • ii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    Susunan Pengurus .......................................................................................................... i

    Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

    Petunjuk Penulisan ...................................................................................................... iv

    Sambutan Pimpinan Umum ...................................................................................... xi

    Editorial Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma: Upaya Bijak Jaga Buah Hati Kita

    Surya Wijaya

    ............................................................................................................................................... 1

    Penelitian Identifikasi Polimorfisme Gen CYP26 Pada Empat Etnis Pada Mayor Penduduk Kota Palembang Enggar Sari Kesuma Wardhani

    ......................................................................................................................................................................................................... 6

    Studi Cross Sectional Terapi Hipertropi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di

    Poliklinik Ginjal Hipertensi Instalansi Rawat Jalan RSUD Dr. Soetomo

    Irene Sienatra, Aditiawardana, Atika

    ..................................................................................................................................................................................................... 16

    Identifikasi Polimorfisme Gen VEGF 936 C/T Pada Penderita Kanker Payudara Di

    RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

    Fajriani Kurnia Rosdi, Surya Wijaya, Muhammad Irsan Saleh, Chairil Anwar, Ika Kartika Putri

    ..................................................................................................................................................................................................... 23

    Phytosome Ekstrak Pegagan Sebagai Modulator Neuregulin-1 Pada Traumatic Brain

    Injury Putri Fitri Alfiantya, Oktavia Rahayu Adianingsih, Zulkarnaen, Alif Fariz Jazmi, Sitti Ayu Hemas Nurarifah,

    Wibi Riawan

    ..................................................................................................................................................................................................... 32

    Tinjauan Pustaka IIB-HSD1 Selective Inhibitor Via INCB13739 Guna Penurunan Glucocorticoid

    Recepror- Pada Pencegahan Komplikasi Pasien Diabetes Gestasional R. Prawira Bayu Putra Dewa, I Made Widiarta Kusuma

    DAFTAR ISI ISSN : 2302-6391

  • iii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    ..................................................................................................................................................................................................... 40

    The Cardioproctective Effects of Citrus Flavonoid on Doxorubicin-induced Cardiotoxicity Chemotherapy : A Prospective Review Aditya Doni Pradana, Gisca Ajeng Widya N.

    ..................................................................................................................................................................................................... 53

    Artikel Penyegar Konsep Ayurveda Dalam Penatalaksanaan Jantung Koroner

    Komang Leo Krisnahari

    ..................................................................................................................................................................................................... 65

    Petunjuk Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan Neurodermatitis Sirkumsripta

    Surya Wijaya, Rusmawardiana

    ..................................................................................................................................................................................................... 71

  • iv JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    Pedoman Penulisan Artikel

    Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI)

    Indonesia Medical Students Journal

    Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) merupakan publikasi ilmiah

    yang terbit setiap 6 bulan sekali setiap bulan Mei dan Desember berada dibawah

    Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah

    dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan

    aturan penulisan JIMKI.

    Ketentuan umum :

    1. JIMKI hanya memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan oleh publikasi

    ilmiah lain.

    2. Naskah dengan sampel menggunakan manusia atau hewan coba wajib melampirkan

    lembar pengesahan kode etik dari institusi yang bersangkutan.

    3. Penulisan naskah :

    a. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik dan

    benar, jelas, lugas, serta ringkas.

    b. Naskah diketik menggunakan microsoft word dengan ukuran kertas A4, dua

    (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi, dengan batas margin atas,

    bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2,5 cm.

    c. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul.

    d. Naskah terdiri dari minimal 3 halaman dan maksimal 15 halaman.

    4. Naskah dikirim melalui email ke alamat [email protected] dengan

    menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa

    dihubungi.

    Ketentuan menurut jenis naskah :

    1 Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu kedokteran, kesehatan masyarakat,

    ilmu dasar kedokteran. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga

    pengarang, abstrak, dan isi.

    2 Tinjauan pustaka: tulisan naskah review atau sebuah tinjauan terhadap suatu

    fenomena atau ilmu dalam dunia kedokteran dan kesehatan, ditulis dengan

    memperhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca.

    PETUNJUK PENULISAN

  • v JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    3 Laporan kasus: naskah tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.

    Naskah ini ditulis sesuai pemeriksaan, diagnosis, dan penatalaksanaan sesuai

    kompetensi dokter dan dokter muda. Format terdiri dari pendahuluan, laporan,

    pembahasan, dan kesimpulan.

    4 Artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan: naskah yang bersifat bebas

    ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau

    kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis

    secara baik. Naskah bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau

    klinis yang perlu diketahui oleh pembaca.

    5 Editorial: naskah yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran dan

    kesehatan, mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi,

    penelitian, penulisan di bidang kedokteran, lapangan kerja sampai karir dalam

    dunia kedokteran. Naskah ditulis sesuai kompetensi mahasiswa kedokteran.

    6 Petunjuk praktis: naskah berisi panduan diagnosis atau tatalaksana yang ditulis

    secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca

    (mahasiswa kedokteran).

    7 Advertorial: naskah singkat mengenai obat atau material kedokteran dan

    kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

    Ketentuan khusus :

    1. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti

    sistematika sebagai berikut:

    a. Judul karangan (Title)

    b. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

    c. Abstrak (Abstract)

    d. Isi (Text), yang terdiri atas:

    i. Pendahuluan (Introduction)

    ii. Metode (Methods)

    iii. Hasil (Results)

    iv. Pembahasan (Discussion)

    v. Kesimpulan

    vi. Saran

    vii. Ucapan terima kasih

    e. Daftar Rujukan (Reference)

    2. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti

    sistematika sebagai berikut:

    a. Judul

    b. Nama penulis dan lembaga pengarang

  • vi JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    c. Abstrak

    d. Isi (Text), yang terdiri atas:

    i. Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

    ii. Pembahasan

    iii. Kesimpulan

    iv. Saran

    e. Daftar Rujukan (Reference)

    3. Judul ditulis dengan Sentence case, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan subjudul.

    Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan

    berupa catatan kaki. Terjemahan judul dalam bahasa Inggris ditulis italic.

    4. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup

    diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan

    institusi asal penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon

    dan email.

    5. Abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak

    tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan nama penulis.

    6. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan

    bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak

    lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam

    judul.

    7. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf

    miring (italic).

    8. Tabel dan gambar disusun terpisah dalam lampiran terpisah. Setiap tabel diberi

    judul dan nomor pemunculan. Foto orang atau pasien apabila ada kemungkinan

    dikenali maka harus disertai ijin tertulis.

    9. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan

    pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad.

    Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :

    1. Naskah dalam jurnal

    i. Naskah standar

    Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an

    increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun

    1;124(11):980-3.

    atau

  • vii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an

    increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med

    1996;124:980-3.

    Penulis lebih dari enam orang

    Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al.

    Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br

    j Cancer 1996;73:1006-12.

    ii. Suatu organisasi sebagai penulis

    The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise

    stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust

    1996;164:282-4.

    iii. Tanpa nama penulis

    Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.

    iv. Naskah tidak dalam bahasa Inggris

    Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar

    seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen

    1996;116:41-2.

    v. Volum dengan suplemen

    Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and

    occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl

    1:275-82.

    vi. Edisi dengan suplemen

    Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions

    to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.

    vii. Volum dengan bagian

    Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in

    noninsulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem

    1995;32(Pt 3):303-6.

    viii. Edisi dengan bagian

    Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration

    of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.

    ix. Edisi tanpa volum

    Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle

    arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.

  • viii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    x. Tanpa edisi atau volum

    Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and

    the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin

    Gen Surg 1993;325-33.

    xi. Nomor halaman dalam angka Romawi

    Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and

    hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995

    Apr;9(2):xi-xii.

    2. Buku dan monograf lain

    i. Penulis perseorangan

    Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses.

    2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996.

    ii. Editor, sebagai penulis

    Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people.

    New York: Churchill Livingstone; 1996.

    iii. Organisasi dengan penulis

    Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid

    program. Washington: The Institute; 1992.

    iv. Bab dalam buku

    Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,

    Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and

    management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78.

    v. Prosiding konferensi

    Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical

    neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of

    EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan.

    Amsterdam: Elsevier; 1996.

    vi. Makalah dalam konferensi

    Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy

    and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme

    TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World

    Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva,

    Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.

  • ix JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis

    a. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:

    Smith P, Golladay K. Payment for durable medical

    equipment billed during skilled nursing facility stays. Final

    report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services

    (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report

    No.: HHSIGOEI69200860.

    b. Diterbitkan oleh unit pelaksana

    Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services

    research: work force and education issues. Washington:

    National Academy Press; 1995. Contract no.:

    AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health

    Care Policy and research.

    viii. Disertasi

    Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and

    utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.

    ix. Naskah dalam Koran

    Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates

    50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect

    A:3 (col. 5).

    x. Materi audiovisual

    HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO):

    Mosby-Year book; 1995.

    3. Materi elektronik

    i. Naskah journal dalam format elektronik

    Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg

    Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24

    screens]. Available from: URL: HYPERLINK

    http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm

    ii. Monograf dalam format elektronik

    CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM].

    Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed.

    Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

  • x JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    iii. Arsip computer

    Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer

    program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational

    Systems; 1993

  • xi JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

    Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Ilmiah

    Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) volume 3 nomor 1. JIMKI bukan hanya

    sekadar wadah publikasi ilmiah, namun JIMKI juga merupakan representatif

    perkembangan keilmiahan mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia. Pada tahun ini,

    JIMKI yang memasuki tahun ke-8 terus berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan

    juga kualitas artikel artikel yang diterbitkan sehingga dapat memberikan manfaat bagi

    seluruh pembaca.

    Dalam edisi ini, antusiasme mahasiswa kedokteran untuk bisa mempublikasikan

    karyanya di JIMKI sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah artikel yang

    masuk ke bagian redaksi, yaitu 25 artikel yang kemudian diseleksi hingga terpilihlah 9

    artikel. Penyeleksian dilakukan dengan bantuan mitra bebestari (MitBes) yang berasal

    dari tiga Universitas, yaitu UI, UGM, dan UNUD. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas

    dan objektifitas dari artikel yang dimuat di JIMKI.

    Mempublikasikan suatu karya bertujuan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan yang

    kita miliki sehingga karya kita berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Di

    samping itu, publikasi ilmiah juga merupakan salah satu syarat kelulusan bagi S1, maka

    dari itu sudah seharusnya budaya menulis ilmiah semakin meningkat di kalangan

    mahasiswa kedokteran. Dan perlu diingat bahwa hal paling penting dari suatu tulisan

    adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat. Maka dari itu, marilah berkarya demi

    kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sehingga dapat menghasilkan suatu

    tulisan yang berkualitas dan memiliki manfaat yang berharga bagi umat manusia.

    Pada kesempatan ini saya mewakili JIMKI ingin mengucapkan terima kasih kepada

    seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung JIMKI dari awal hingga akhir yang

    namanya tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Terakhir saya ingin mengutip sebuah

    quote favorit saya dari Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi,Orang boleh pandai

    setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari

    sejarah.

    Mari kita tingkatkan iklim menulis ilmiah di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia.

    Cogito Ergo Sum !

    Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara

    Pimpinan Umum Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia

    SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

    ,

  • 1

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    MANAJEMEN DETEKSI DINI TERPADU RETINOBLASTOMA: UPAYA BIJAK JAGA BUAH HATI KITA

    Surya Wijaya1

    1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

    Sriwijaya, Palembang

    Editorial

    Sekilas Tentang Kanker pada Anak dan Retinoblastoma Mendengar kata anak, tersirat harapan besar di dalamnya. Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan 237.641.326 orang di Indonesia, sekitar 34,26% adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinventasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Untuk itu, anak perlu dilindungi dan dipenuhi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dalam suatu lingkungan yang layak, termasuk hak hidup sehat.

    [1]

    Di samping permasalahan gizi, kanker pada anak merupakan masalah kesehatan yang mendapat sorotan akhir-akhir ini. Seiring dengan peningkatan jumlah kanker secara umum, angka kejadian kanker pada anak terus meningkat, diperkirakan 2-4% dari seluruh kejadian kanker pada manusia. Data statistik resmi dari International Agency of Research Cancer (IARC) menunjukkan setiap tahun terdapat lebih dari 200.000 kasus baru kanker anak di seluruh dunia dan sekitar 80% kasus terjadi di negara berkembang. Data lain dari International Confederation of Childhood Cancer Parents Organizations (ICCCPO) memperkirakan bahwa lebih dari 100.000 anak dengan kanker meninggal sia-sia setiap tahunnya. Jika diperinci ada sekitar lebih dari 250 anak/hari atau sekitar lebih dari 10 anak/jam meninggal akibat kanker.

    [2]

    Di Indonesia, saat ini diperkirakan terdapat kira-kira 11.000 kasus kanker anak. Angka ini diprediksi akan terus-meningkat, diperkirakan terdapat 650 kasus baru pertahunnya untuk kanker anak. Sebagian besar penderita kanker ini berasal dari keluarga yang tidak mampu.

    [2]

    Kanker pada anak memang berbeda dari kanker yang dijumpai pada orang dewasa. Kanker pada orang dewasa dapat dicegah, sementara kanker pada anak tidak. Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2006, lebih kurang 50% pasien yang datang sudah dalam keadaan stadium lanjut sehingga penanganan kanker pada anak cukup sulit.

    [3]

    Salah satu jenis kanker yang paling sering terjadi di Indonesia adalah retinoblastoma. Retinoblastoma menduduki peringkat kedua kanker pada anak setelah leukemia, disusul oleh limfoma (kanker kelenjar getah bening), neuroblastoma (kanker saraf), kanker ginjal (tumor Wilms), rabdomiosarkoma (kanker otot lurik), dan osteosarkoma (kanker tulang).

    [4]

    Retinoblastoma merupakan keganasan mata yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma adalah tumor intraokular yang paling sering terjadi pada bayi dan anak yang berjumlah sekitar 3% dari seluruh tumor pada anak. Secara umum, frekuensi retinoblastoma 1:14.000 sampai 1:20.000 kelahiran hidup.

    [5] Di Amerika Serikat diperkirakan

    terdapat 250-500 kasus baru retinoblastoma setiap tahun. Di Meksiko dilaporkan 6-8 kasus per juta populasi dibandingkan dengan Amerika Serikat sebanyak 4 kasus per juta populasi.

    [6]

    Sebagian besar bayi dan anak datang pada stadium lanjut, ketika keluarga melihat tanda leukokoria (pupil

  • 2

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    berwarna putih), pupil terlihat bercahaya, berkilauan atau seperti mata kucing. Strabismus (esotropia atau eksotropia) ditemukan pada 25% kasus. Kadang-kadang terdapat hemorrhagi vitreous, hifema, inflamasi okular atau periokular, glaukoma, proptosis, dan hipopion. Pada keadaan dini, tumor dalam neurosensori retina berbentuk datar, transparan atau sedikit putih.

    [5],[7]

    Pentingnya Deteksi Dini Retinoblastoma Fakta yang menarik dari retinoblastoma adalah dari sekian banyak kanker yang dapat ditemui pada anak, retinoblastoma adalah satu-satu kanker yang dapat dideteksi secara dini.

    [3] Lebih dari 95% anak dengan

    retinoblastoma di Amerika Serikat dan di beberapa negara maju bertahan hidup dan hanya sekitar 50% anak yang bertahan di seluruh dunia. Perbedaan yang terjadi disebabkan oleh adanya deteksi dini di negara maju yang mana tumor masih berada pada stadium awal, sedangkan pada negara berkembang retinoblastoma sering baru terdeteksi setelah ada invasi ke rongga orbita atau otak.

    [6] Fakta lain yang mendukung

    pentingnya deteksi dini retinoblastoma adalah anak-anak di negara berkembang yang didiagnosis retinoblastoma pada stadium dini mempunyai prognosis yang sangat baik. Sekitar 95% anak-anak penderita retinoblastoma dapat bertahan hidup. Faktor yang paling penting yang berhubungan dengan perburukan prognosis adalah adanya perluasan tumor ke daerah ekstraokuler yang lebih sering terjadi melalui nervus optik atau dapat juga terjadi secara langsung menembus sklera.

    [7]

    Hal lain yang mendukung pentingnya deteksi dini retinoblastoma karena kanker sulit untuk dicegah karena bersifat familial. Sampai saat ini, kanker yang diketahui diturunkan secara genetik ada dua, yaitu kanker payudara pada dewasa dan retinoblastoma yang diderita anak-anak.

    [4]

    Di Indonesia, data secara lengkap tentang insidens retinoblastoma memang belum ada. Namun, penelitian di Surabaya menunjukkan adanya peningkatan angka penderita retinoblastoma hingga 35 pasien per

    tahunnya. Selama tahun 2010 di RSU dr. Soetomo hanya ada 18 orang anak yang terdiagnosa menderita penyakit tumor ganas itu, bahkan hingga 2012 hingga April 2012, tiap minggunya ada dua operasi tumor mata yang dilakukan.

    [8]

    Data di atas merupakan data pasien yang terdiagnosis, belum ditambah angka kejadian keseluruhan yang tidak terdiagnosis di masyarakat. Seperti kita ketahui, retinoblastoma menimbulkan fenomena gunung es di mana sebenarnya masih banyak kasus lain yang belum terkuak karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang retinoblastoma, bahkan banyak yang menganggap retinoblastoma hanya kelainan sementara yang dapat hilang saat usia anak beranjak dewasa. Padahal sesungguhnya, seiring dengan perjalanan waktu, retinoblastoma akan merenggut mata, bahkan nyawa penderitanya secara cepat.

    [3],[8]

    Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila tidak diobati secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun setelah didiagnosis akan bermetastase jauh secara hematogen. Sel tumor mungkin juga melewati kanal atau melalui sklera untuk masuk ke orbita. Perluasan ekstraokular dapat mengakibatkan proptosis sebagaimana tumor tumbuh dalam orbita. Pada bilik mata depan, sel tumor menginvasi jaringan trabekular, memberi jalan masuk ke limfatik konjungtiva, kemudian timbul kelenjar limfe preaurikular dan servikal yang dapat teraba..Tempat metastasis retinoblastoma yang paling sering pada anak mengenai tulang kepala, tulang distal, otak, vertebra, kelenjar limfe dan organ visera abdomen. Jadi, retinoblastoma bukan hanya mengancam menjadi sebab kebutaan, tetapi dapat membawa pada kematian karenan keganasannya. Oleh karena itu, deteksi sejak dini penting sebagai upaya pencegahan morbiditas dan mortalitas agar penderitanya memiliki harapan hidup yang tinggi.

    [5],[7]

    Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma Deteksi dini terpadu retinoblastoma memang penting karena secara umum deteksi dan penanganan

  • 3

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    yang lebih awal akan memperbesar kemungkinan pencegahan metastasis tumor ke saraf optik dan jaringan orbita. Namun, deteksi ini harus diatur sedemikian rupa agar berjalan optimal dan memberikan hasil yang signifikan. Saat penyakit ditemukan pada mata, angka harapan hidup melebihi 95%. Walaupun dengan penyebaran ekstraokular, angka harapan hidup menurun sampai kurang dari 50%. Selanjutnya, deteksi dini juga mendukung suksesnya strategi terapi dengan sasaran pertama yang harus adalah mempertahankan kehidupan, mempertahankan bola mata, dan akhirnya menjaga supaya tajam penglihatan (visus) dan kosmetiknya tetap baik.

    [9]

    Pertama-tama, perlu diketahui dulu mengapa anak penderita retinoblastoma sering kali dibawa oleh fase lanjut. Sama seperti halnya pada kanker anak lainnya, penyebabnya adalah kurangnya masyarakat mendapat informasi tentang retinoblastoma, kurangnya pengetahuan orang tua tentang gejala retinoblastoma dan pentingnya pengenalan dini, serta kurangnya penanganan segera terhadap anak yang terkena retinoblastoma.

    [4] Banyak orang yang

    belum mengetahui kalau balita bisa terkena kanker mata (retinoblastoma). Balita yang berisiko terkena penyakit ini disebabkan faktor genetik atau keturunan dari garis ibu atau ayahnya yang juga pernah mengalami penyakit tersebut. Minimnya pengetahuan dan rendahnya kesadaran untuk memeriksakan anak menjadi hambatan pencegahan penyakit secara dini. Bahkan, ketika si anak sudah didiagnosa terkena tumor pun, masih ada orang tua yang menolak dilakukan operasi karena masalah biaya.

    [8]

    Penanganan, termasuk deteksi dini retinoblastoma yang banyak diidap oleh masyarakat kelas bawah memerlukan perhatian dari banyak pihak. Pihak-pihak yang terkait tersebut adalah keluarga (terutama orang tua), masyarakat, dokter, media massa, pihak sponspor atau yayasan tertentu, dan pemerintah. Orang tua merupakan garda terdepan pendeteksi sel kanker retinoblastoma pada buah hatinya

    karena kasus retinoblastoma bilateral secara khas terdeteksi pada tahun pertama kehidupan dalam keluarga dan pada kasus sporadik unilateral didiagnosis antara umur 13 tahun. Hal tersebut dapat membuat penyakit mematikan ini menjadi lebih mudah dijinakkan.

    [10] Edukasi pada orang tua

    sangatlah penting, terutama jika ditemuinya adanya riwayat keluarga retinoblastoma. Orang tua harus waspada apabila terlihat tanda-tanda berupa mata merah, berair, bengkak, meski sudah diberi obat mata tidak mempan juga, atau di waktu gelap, mata si anak seolah bersinar seperti kucing bisa dikatakan bahwa si anak tersebut terindikasi penyakit retinoblastoma.

    [9],[11],[12]

    Selain itu, orang tua sebaiknya

    mengajak anak-anaknya untuk melakukan skrining dan pemeriksaan mata anak pada saat baru lahir, usia 6 bulan, usia 3-4 tahun, dan dilanjutkan pemeriksaan rutin pada usia 5 tahun ke atas. Setidaknya anak diperiksakan ke dokter mata setiap 2 tahun dan harus lebih sering apabila telah ditemukan masalah spesifik atau terdapat faktor risiko.

    [10],[13]

    Hal lain yang perlu dicermati

    adalah anak yang menderita retinoblastoma biasanya berada pada umur preverbal, belum bisa berbicara dan berkomunikasi dengan baik, sehingga kehilangan visus tidak diketahui. Oleh karena itu, gejala pertumbuhan tumor berupa strabismus yang menyebabkan visus memburuk sehingga mata berdeviasi, umumnya berdeviasi ke dalam perlu diamati. Anak yang menderita strabismus harus diperiksa matanya pada keadaan pupil besar untuk menyingkirkan tumor intraokuler.

    [11]

    Masyarakat juga merupakan bagian terpenting dalam deteksi retinoblastoma. Namun, banyak masyarakat yang tidak menyadari bahaya retinoblastoma karena gejala penyakitnya sering dianggap penyakit mata biasa. Pilihan turun ke masyarakat untuk melakukan edukasi perlu dilakukan dan dipercaya cukup berhasil mengubah pemahaman masyarakat untuk segera memeriksakan kelainan dalam stadium awal. Hal ini ditunjukkan melalui fakta bahwa edukasi

  • 4

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    yang dilakukan di 142 Puskesmas di DKI Jakarta dengan menggandeng Yayasan kanker Anak telah berhasil mengubah pola pemahaman keluaraga pasien. Mereka yang datang memeriksa ke klinik tidak lagi yang berada pada fase proptosis melainkan stadium awal (intraokular).

    [13] Pemanfaatan organisasi

    kemasyarakatan dan sekolah, seperti Karang Taruna, PKK, dan Usaha Kesehatan Sekolah melalui peran dokter cilik pun sebagai kader masyarakat untuk mendeteksi dini retinoblastoma dan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang terkait dengan retinoblastoma. Dokter merupakan pihak yang berperan penting dalam deteksi dini retinoblastoma, khususnya dokter puskesmas. Pemeriksaan sederhana menggunakan lampu senter dan oftalmoskop di tingkat puskesmas dapat membantu skrining retinoblastoma secara umum. Pada tahap skrining dapat ditemukan beberapa tanda awal retinoblastoma, antara lain manik mata berwarna putih (lekokoria), mata kucing, dan mata juling. Bila tidak segera ditangani, sel kanker yang awalnya berada di dalam bola mata akan terus tumbuh ke luar bola mata dan jaringan sekitarnya. Akibatnya mata tampak menonjol (proptosis).

    [13]

    Apabila ditemukan kelainan, anak

    harus segera diperiksakan ke dokter spesialis mata atau rumah sakit untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Penanganan yang terlambat selain dapat menimbulkan kebutaan, juga menyebabkan sel kanker menyebar ke bagian tubuh lain, seperti sumsum tulang dan otak.

    [9]

    Dokter juga berperan dalam monitoring yang ketat pada pasien retinoblastoma dan anggota keluarganya karena hampir 20% pasien dengan tumor unifokal unilateral mempunyai kemungkinan untuk menderita retinoblastoma pada mata lainnya. Risiko ini menurun dengan bertambahnya umur, dan semakin rendah setelah menginjak umur 24 bulan. Pada retinoblastoma herediter, pasien dan keluarga harus diperiksa setiap 4 bulan sampai umur 3 atau 4 tahun, lalu setiap 6 bulan sampai umur 6 tahun. Dokter juga berperan penting dalam hal edukasi terhadap keluarga

    pasien serta memotivasi anak penderita retinoblastoma dan keluarganya, terutama terkait risiko tinggi kebutaan yang dihadapinya.

    [9],[11]

    Media massa pun memegang peranan penting dalam deteksi dini retinoblastoma. Penyebaran informasi melalui koran, majalah, dan artikel internet memberikan pengetahuan tentang gejala dan bahaya retinoblastoma kepada orang tua, dokter dan masyarakat. Media massa juga dapat berfungsi sebagai perpanjangan tangan yang mempermudah akses bantuan dari yayasan kanker dan pihak sponsor kepada penderita retinoblastoma.

    [8],[10],[12],[14]

    Masalah lain yang dihadapi penderita retinoblastoma dan keluarganya adalah masalah biaya. Mahalnya biaya pengobatan sering menjadi kendala. Biaya operasi dan pengobatan kanker lainnya yang tidak hanya dilakukan 3-5 kali membuat beban penderita atau orang di sekelilingnya semakin bertambah. Selain itu, di samping pemeriksaan oleh dokter spesialis mata, diperlukan juga serangkaian pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis retinoblastoma makin memperberat beban pasien dan keluarganya.

    [13] Di

    sinilah peran yayasan-yayasan yang bergerak di bidang kanker, seperti gerakan Masyarakat Peduli Kanker Anak Indonesia dan pihak sponspor untuk membantu meringankan biaya pengobatan atau perawatan pasien retinoblastoma, khususnya bagi anak penderita kanker yang tidak mampu. Yayasan dan pihak sponspor ini juga dapat memberikan bantuan penyebaran informasi mengenai kanker.

    [10]

    Pemerintah sebagai pemegang

    kebijakan kesehatan tertinggi pun perlu mempublikasikan pentingnya deteksi dini retinoblastoma secara luas kepada masyarakat melalui iklan dan brosur di tempat layanan umum, misalnya menginformasikan tentang gejala dan dampak yang ditimbulkan oleh retinoblastoma. Selain itu, dukungan dana untuk pengobatan retinoblastoma pun menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah melalui pemberian dana sosial, misalnya melalui jaminan kesehatan masyarakat kepada pasien retinoblastoma.

    [8]

  • 5

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    Berdasarkan uraian di atas,

    manajemen terpadu deteksi dini retinoblastoma yang melibatkan berbagai pihak terkait memang merupakan salah satu bentuk langkah awal menuju penanganan retinoblastoma yang baik untuk mempertahankan kehidupan, mempertahankan bola mata, dan akhirnya menjaga supaya tajam penglihatan dan kosmetiknya tetap baik. Terpadu di sini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terpadu dalam pengelolaannya. Walaupun demikian, dalam pelaksanaan manajemen terpadu deteksi retinoblastoma ini terpadu tidaklah mudah, berbagai pihak perlu mendukung pelaksanaan program ini. Melalui kesadaran peran masing-masing, retinoblastoma diharapkan tidak lagi merenggut kebahagiaan penderita dan keluarganya. Early Detection Today, Protect Our Children from Retinoblastoma.

    REFERENSI 1. Kementerian Pemberdayaan

    Perempuan dan Perlindungan Anak & Badan Pusat Statistik. Profil Anak Indonesia 2011. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2011; 1-3.

    2. Yayasan Onkologi Anak Indonesia. Fakta dan Angka Kanker pada Anak. Diunduh dari: http://yoaifoundation.org/childhood-cancer/fact-and-figures/, diakses pada tanggal 25 Desember 2013

    3. Rumah Sakit Dharmais. Kanker Pada Anak, Dapatkah Dicegah? Diunduh dari: http://www.dharmais.co.id/index.php/kanker-pada-anak.html, diakses pada tanggal 25 Desember 2013

    4. Yayasan Onkologi Anak Indonesia. Jenis Kanker Anak dan Pencegahan Dini. Diunduh dari: http://yoaifoundation.org/childhood-cancer/types-of-child-cancer-and-prevention/, diakses pada tanggal 1 September 2012.

    5. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, Ocular and Periocular Tumors In Children (Chapter 26), San Francisco : American Academy of Ophthalmology ; 2011.p.354-361

    6. Wilson ME, Pediatric Ocular Tumors and Stimulating Lesions in Pediatric Ophthalmology Current Thought and A Practical Guide, Berlin: Springer; 2009.p.403-416

    7. Shome D, Garg A, Retinal Tumors in Pediatric Ophthalmology Instant Clinical Diagnosis in Ophthalmology, New Delhi: Jaypee Brother Medical Publishers; 2009.p.709-715.

    8. Soebadjo H. Waspadai Gejala Tumor Mata pada Anak. Diunduh dari: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=515eae905bff018efd23f8d2be7a7076&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c, diakses pada tanggal 25 Desember 2013.

    9. Rahman A. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma. Suplemen Majalah Kedokteran Andalas Dalam Rangka Dies Natalis 53 FK Unand. h. 57-62.

    10. Arsito. Penting, Peran Orangtua Mendeteksi Kanker pada Anak. Diunduh dari: http://www.beritasatu.com/mobile/kesehatan/33831-penting-peran-orangtua-mendeteksi-kanker-pada-anak.html, diakses pada tanggal 2 September 2012.

    11. Sayuti, Kemala. Deteksi dan Manajemen Retinoblastoma. Dipresentasikan pada The 9

    th

    Sumatera Ophthalmology Meeting, pada tanggal 10 Maret 2012.

    12. Rahma LS. Orangtua, Garda Terdepan Penanganan Kanker Anak. Diunduh dari: http://health.detik.com/read/2012/04/23/100403/1898772/775/orangtua-garda-terdepan-penanganan-kanker-anak, diakses pada tanggal 25 Desember 2013.

    13. Sitorus RS. Mata Sehat untuk Anak Indonesia. UNIVERSITARIA - Vol.10 No.4, November 2010. p. 1-4.

    14. Dasrinal. Kanker Mata Bisa Memicu Kematian. Diunduh dari: http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/metropolis/42625-kanker-mata, diakses pada tanggal 25 Desember 2013.

  • 6

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN CYP2A6 PADA EMPAT ETNIS MAYOR PENDUDUK KOTA PALEMBANG

    Enggar Sari Kesuma Wardhani1

    1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,

    Palembang

    Penelitian

    ABSTRAK

    Pendahuluan:Variasi respon obat dapat mengakibatkan kegagalan terapi dan/atau efek samping pada individu dan subpopulasi. Faktor genetik mempunyai pengaruh paling besar sebagai penyebab variasi ini. Enzim sitokrom P450 2A6 (CYP2A6) merupakan enzim yang terlibat dalam reaksi fase satu metabolisme xenobiotik pada sel hati. CYP2A6 berperan dalam metabolisme koumarin, nikotin tembakau, dan nitrosamin. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran genotip dan alel gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada empat etnis mayor penduduk Kota Palembang, yaitu: etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India. Metode:Penelitian ini berjenis deskriptif observasional kepada 69 partisipan penelitian yang terdiri dari 4 etnis mayor penduduk Kota Palembang. Data yang diambil merupakan data primer dan dilakukan konfirmasi kemurnian etnis melalui pengisian kerangka pedigree tiga generasi berturut-turut. Identifikasi polimorfisme CYP2A6 dilakukan dengan metode single-step PCR (Polymerase Chain Reaction) amplifikasi dan dilanjutkan dengan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) menggunakan enzim XcmI untuk deteksi alel varian CYP2A6*2 dan enzim DdeI untuk deteksi alel varian CYP2A6*3. Hasil:Distribusi genotip CYP2A6*1/*1 pada partisipan penelitian menghasilkan sebaran 69/69(100%) pada keempat etnis. Frekuensi genotip CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3, *3/*3 pada keempat etnis bernilai 0/69 (0%). Distribusi alel CYP2A6*1 sebesar 69/69(100%), CYP2A6*2 0/69(0%), dan CYP2A6*3 0/69(0%). Simpulan:Tidak ditemukan mutasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6 pada partisipan penelitian etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India penduduk Kota Palembang. Kata kunci: CYP2A6, Polimorfisme, Genotip, Alel, Melayu, Tionghoa, Arab, India

    ABSTRACT

    Introduction:Variations in drug response may lead to treatment failure and/or adverse effects on individuals and subpopulations. Genetic factors have the greatest influence as the cause of this variation. The enzyme cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) is an enzyme involved in xenobiotics metabolism phase in liver cells. CYP2A6 plays a role in the metabolism of coumarin, nicotine, and nitrosamine. This study aims to reveal the genotype and allele gene variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 of CYP2A6 gene on four major ethnic of Palembang population, that is: ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian population in Palembang. Method:This study is a descriptive observational approach to 69 participants. The data were taken are the primary data and confirmation of ethnic was done by filling the pedigree form of three generations. Identification of CYP2A6 polymorphisms was conducted by single-step PCR amplification and continued by RFLP detection using XcmI enzyme for variant alleles CYP2A6*2 and DdeI enzyme for the detection of variant alleles CYP2A6*3. Result:The distribution of genotype CYP2A6*1/*1 on participants were founded 69/69 (100%) in the four ethnic groups. The frequency of genotype CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3, *3/*3 in all four ethnics are 0/69 (0%). Frequencies of CYP2A6*1 allele founded 69/69 (100%), CYP2A6*2 0/69 (0%), and CYP2A6*3 0/69 (0%).

  • 7

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    Conclution:Allele variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 mutation was not found in the study participants' ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian of Palembang population. Key Words: CYP2A6, Polymorphism, Genotype, Allele, Malay, Chinese, Arab, Indian

    1. PENDAHULUAN Variasi respon obat antar individu merupakan masalah utama dalam praktik kedokteran dan perkembangan obat di dunia. Hal ini mengakibatkan kegagalan terapi dan/atau efek samping pada individu dan subpopulasi.

    [1] Di

    Indonesia, penerapan sistem kesehatan universal coverage yang belum optimal menyebabkan terjadinya perbedaan efektivitas obat antar individu, sehingga menjadi beban ekonomi tersendiri hingga menghasilkan fenomena Sadikin: sakit sedikit jadi miskin yang menjadi wacana kesehatan serius di semua strata ekonomi Indonesia. Variasi respon obat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan dalam proses metabolisme obat, sehingga mengakibatkan perbedaan besar kadar obat dalam plasma antar individu pada kondisi steady state.

    [2] Faktor genetik

    menyebabkan variasi metabolisme obat karena adanya proses mutasi dan seleksi informasi genetik yang disandi oleh DNA yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

    [3]

    Dari sedemikian banyak gen yang bertanggung jawab dalam proses metabolisme xenobiotik tahap I, lebih dari lima puluh persennya merupakan peran dari sitokrom P450 (CYP).

    [4] Salah

    satu sub famili enzim CYP adalah CYP2A6. Gen CYP2A6 menyandi enzim CYP2A6 yang berperan dalam metabolisme beberapa obat-obatan penting seperti reaksi 7-hidroksilasi antikoagulan koumarin, nikotin, obat antagonis reseptor platelet-activating factor SM012502, obat neuroprotektif chlormethiazone, aktivasi zat-zat prekarsinogen seperti 1,3-butadien-2,6-diklorobenzonitril, nicotine-derived nitrosamine keton (NNK), nitrosamine metabolite 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1butanol (NNAL), n-nitrosodiethylamine (NDEA) dan nitrosonornicotine (NNN), aktivasi atau inaktivasi beberapa prokarsinogen dalam asap rokok, yang dapat menyebabkan seseorang menderita kanker paru.

    [5],[6],[7]

    Penelitian Fernandez-Salguero et al memperlihatkan bahwa jika enzim CYP2A6 dibuat sebaran frekuensi kecepatan metabolisme obat-obatan tertentu dalam suatu populasi, maka akan diperoleh ciri khas adanya distribusi dengan dua modus (bimodal).

    [8] Modus pertama

    menggambarkan sebaran extensive metabolizer (EM) yang menghasilkan enzim dengan aktivitas normal, sedangkan modus kedua menggambarkan sebaran poor metabolizer (PM) yang mengalami defek aktivitas. Perbedaan sebaran ini membuktikan bahwa terdapat polimorfisme genetik pada gen CYP2A6.

    [5],[8]

    Adanya polimorfisme gen CYP2A6 dibuktikan dengan adanya alel-alel varian selain alel normal (wild type) CYP2A6*1. Sampai saat ini telah diidentifikasi 41 alel varian yang dimulai dari CYP2A6*2 sampai rs8192726. Alel varian CYP2A6*2 dilaporkan menyandi protein dengan subtitusi Leu160His sehingga menyebabkan enzim menjadi inaktif, sedangkan alel varian CYP2A6*3 merupakan alel hibrid yang dihasilkan akibat konversi multipel dengan gen inaktif CYP2A7.

    [8],[9]

    Sejauh ini data mengenai gambaran fenotip dan genotip gen-gen yang berperan dalam metabolisme obat di Indonesia masih terbatas dan belum lengkap. Data tentang fenotip dan genotip CYP2A6 di Indonesia belum tersedia. Palembang merupakan salah satu ibukota di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan beretnis beragam. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran genotip dan alel gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada empat etnis mayor penduduk Kota Palembang, yaitu: etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India. Dengan diketahui adanya polimorfisme gen CYP2A6 pada populasi masyarakat Palembang, dapat digunakan sebagai acuan menentukan dosis obat sesuai dengan data gena bangsa Indonesia sendiri. Hal ini membuat efek samping,

  • 8

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    toksisitas, dan penyakit yang berhubungan dengan efek samping obat dapat dicegah. Selain itu, pencegahan aktivasi prekarsinogen paru akibat paparan asap rokok dan prekarsinogen hati akibat konsumsi jamu pun dapat dihindari. 2. METODE Berdasarkan ruang lingkupnya, penelitian ini merupakan penelitian laboratorium berjenis deskriptif observasional. Gen CYP2A6 diamplifikasi dengan metode PCR-RFLP. Data dianalisis menghasilkan pola distribusi frekuensi gen CYP2A6, varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 baik genotip maupun alel masing-masing etnis. Data tersebut diolah menjadi pola distribusi frekuensi genotip dan alel keempat etnis yang diteliti berdasarkan sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode November 2012-Januari

    2013. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive random sampling.

    Pengambilan data dilakukan

    melalui anamnesis riwayat penyakit kebiasaan merokok dan konfirmasi kemurnian etnis berbentuk pedigree 3 generasi, serta pengambilan darah vena cubiti sebanyak 3 cc. Selanjutnya dilakukan isolasi DNA pada sampel darah.

    PCR-RFLP dilakukan mengguna-kan metode single step PCR, dengan desain primer 5'-ACC-TCC-CCA-GGC-GTG-GTA-3' sebagai forward, dan 5'-TCG-TCC-TGG-GTG-TTT-TCC-TTC-3' untuk reverse. Kondisi PCR terlihat pada tabel 1.

    Tabel 1. Kondisi PCR untuk Amplifikasi Gen CYP2A

    Tahap Denaturasi Awal 950C (10 menit)

    Siklus PCR : 30 siklus -Tahap Denaturasi 95

    0C (60 detik)

    -Tahap Annealing 600C (60 detik)

    -Tahap Ekstensi 720C (60 detik)

    Ekstensi tambahan 720C (3 menit)

    Kualitas DNA hasil amplifikasi dengan teknik PCR dilihat dengan menggunakan teknik elektroforesis gel agarose (konsentrasi 2%). Elektroforesis menggunakan tegangan listrik 80 volt. Selanjutnya dideteksi dengan menggunakan Gel Doc 1000 (BioRad, USA) untuk divisualisasi dengan sinar ultraviolet pada panjang gelombang 300 nm dan direkam. Deteksi polimorfisme dilakukan dengan RFLP menggunakan enzim XcmI dan DdeI. Enzim XcmI akan memo-tong alel varian 1 (CYP2A6*2) promotor gen CYP2A6 menjadi 2 fragmen (117 dan 96 bp). Pada visualisasi dengan UV, akan terlihat 2 pita di daerah marker 117 pb dan 96 pb. Genotip heterozigot akan tervisualisasi 3 pita yaitu pada daerah marker 213 pb, 117 pb, dan 96 pb. Sedangkan genotip

    homozigot mutan akan tervisualisasi pada daerah marker 117 pb dan 96 pb. Enzim DdeI akan mengenali situs ACGT yang menyebabkan produk PCR akan terpotong menjadi dua fragmen 150 pb dan 63 pb. Genotip heterozigot akan tervisualisasi 3 pita yaitu pada daerah marker 213 pb, 150 pb dan 63 pb. Sedangkan genotip homozigot mutan akan tervisualisasi pada daerah marker 150 pb dan 63 pb.

    3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Visualisasi Hasil PCR Gen CYP2A6 berhasil diamplifikasi dengan metode PCR, ditandai dengan adanya pita pada hasil elektroforesis yang sesuai dengan ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi, yaitu 213 pasang basa (pb).

  • 9

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    b. Visualisasi Hasil RFLP Menggunakan Enzim XcmI

    Pada gambar 1 terlihat semua sampel memiliki pita pada 213 pb. Untuk etnis India (gambar 2D), terlihat adanya gambaran tiga pita pada sampel I-6, I-7, I-8, dan I-9. Gambaran pita tersebut terletak pada 213 pb, 90 pb, dan 50 pb. Pita pada 90 pb, dan 50 pb ini didefinisikan sebagai unspecific band (pita tidak spesifik) karena tidak sesuai dengan band yang diinginkan untuk identifikasi genotip heterozigot. Gamba-ran genotip heterozigot dimungkinkan bila hasil visualisasi berada pada 213 pb, 117 pb, dan 96 pb. c. Visualisasi Hasil RFLP

    Menggunakan Enzim DdeI Hasil visualisasi elektroforesis produk RFLP gen CYP2A6 dengan enzim DdeI terlihat pada gambar 3. Adanya mutasi ditandai dengan gambaran pita pada 117 pb dan 96 pb untuk produk RFLP dengan enzim XcmI, dan pita 150 pb dan 63 pb untuk enzim DdeI.

    [4]

    Sama seperti gambaran hasil visualisasi dengan enzim XcmI, pada etnis India (gambar 3C), terlihat adanya tiga pita, yakni pada 213 pb, 90 pb, dan 50 pb. Dua pita yang tidak sesuai pada band yang diharapkan tersebut diidentifikasi sebagai unspecific band (pita tidak spesifik). Makna munculnya pita tersebut dapat diidentifikasi lebih lanjut melalui DNA sekuensing hasil PCR-nya. Hasil sekuens DNA sampel dengan unspecific band tersebut kemudian dibandingkan dengan sekuens ekson 3 gen CYP2A6 pada gene bank. d. Distribusi Frekuensi Genotip dan

    Alel Gen CYP2A6 Varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3

    Setelah proses isolasi DNA, single-step PCR, dan RFLP, maka didapatkan hasil distribusi frekuensi genotip dan alel gen CYP2A6. Hasil distribusi frekuensi genotip gen CYP2A6 dijabarkan per etnis pada tabel 2. Hasil distribusi frekuensi alel gen CYP2A6 varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 terlihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa 100% partisipan penelitian memiliki genotip CYP2A6*1 /CYP2A6*1 yaitu homozigot wild type.

    Pelbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi alel varian gen CYP2A6 beberapa etnis. Penelitian etnis Melayu di Malaysia menemukan mutasi 3% varian CYP2A6*4 pada penduduk Malaysia.

    [11]

    Untuk etnis Tionghoa, studi dilakukan oleh Nakajima dan Yokoi menghasilkan data 5% alel CYP2A6*4, 3% alel CYP2A6*7, 16% varian CYP2A6*9, dan 3,4% pada alel varian CYP2A6*21.

    [12] Oscarson et al

    mengidentifikasi 0% alel mutan CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 96 orang Cina.

    [5] Ras Asia Timur lainnya

    seperti Jepang menghasilkan nilai frekuensi polimorfisme 11% untuk CYP2A6*7, 20% untuk CYP2A6*9, dan 1,5-2,2% untuk CYP2A6*21.

    [12] Belum

    ada penelitian identifikasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 etnis Melayu yang dilakukan di negara lain. Penelitian pada etnis Arab dan India mengenai CYP2A6 sampai saat ini belum ditemukan. Penelitian identifikasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 dilakukan pada etnis-etnis lain, sebagaimana terangkum dalam tabel 16. Oscarson et al mengidentifikasi 0% mutasi alel CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 100 orang Spanyol.

    [5] Pada etnis Afrika-

    amerika distribusi frekuensi alel CYP2A6*1, CYP2A6*2, dan CYP2A6*3 masing-masing sebesar 608 (99,67%), 2 (0,33%) dan 0 (0%). Namun, frekuensi alel varian yang cukup signifikan ditemukan pada ras Jerman oleh Bourian, Gullsten dan Legrum yakni 4/432 (3,5%) pada CYP2A6*2 dan 6/432 (1,4%) pada CYP2A6*3. Diketahui bahwa metode PCR kedua penelitian ini berbeda.

    [13] Pasckhe et al

    menggunakan single-step PCR sedangkan Bourian et al menggunakan metode nested-PCR yang merujuk pada Fernandez-Salguero et al.

    4,8,13

    Pendekatan metode nested-PCR oleh Fernandez-Salguero et al mengalami misklasifikasi alel heterozigot CYP2A6*2 sebagai homozigot mutan.

    [4],[5],[8]

    Secara keseluruhan terlihat, frekuensi genotip dan alel untuk varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 memang cenderung lebih rendah ketimbang alel varian lainnya. Pernyataan ini senada dengan perbandingan hasil penelitian pada etnis dan alel varian lainnya. Hal

  • 10

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    ini menghasilkan pemikiran bahwa ekson 3 pada gen CYP2A6 merupakan bagian terpenting dari struktur gen tersebut. Bila terjadi mutasi pada ekson ini dan menghasilkan varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3, diperkirakan akan terjadi gangguan yang signifikan pada aktivitas enzim CYP2A6.

    [15]

    Senada dengan pernyataan tersebut, pada uji komparasi sampel etnis India peneliti dengan sampel pasien karsinoma nasofaring penelitian Hadi, yang telah teridentifikasi mengalami mutasi alel varian CYP2A6*1B, pun ditemukan gambaran homozigot wild type.

    [15] Mengingat

    penelitian mutasi pada gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 ini dilakukan pada tingkat genotip, dan frekuensi distribusi genotip serta alel tersebut bernilai 100% wild type, maka pada pembahasan tidak dipaparkan sebaran frekuensi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi ekspresi gen CYP2A6 pada tingkat fenotip. Bila dibuat sebaran frekuensi distribusinya, maka didapatkan nilai 100% genotip wild type homozigot (CYP2A6*1/CYP2A6*1) dan 100% alel CYP2A6*1 (wild type) pada semua kelompok umur keempat etnis. Berdasarkan jenis kelamin pun bernilai 100% genotip wild type homozigot (CYP2A6*1/CYP2A6*1) dan 100% alel CYP2A6*1 (wild type) baik pada laki-laki maupun perempuan dari keempat etnis.

    e. Distribusi Frekuensi Genotip dan Alel Gen CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok

    Secara keseluruhan, frekuensi distribusi genotip dan alel gen CYP2A6 menghasilkan sebaran 100% wild type, sehingga identifikasi korelasi kebiasaan merokok dengan defek pada gen ini belum dapat dilakukan sebagai penelitian lanjutan. Merokok merupakan kebiasaan multifaktorial yang tidak bisa dikurangi hanya karena efek molekuler satu substansi. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai metabolisme nikotin dan kebiasaan merokok untuk mengontrol akibat fenotip dari polimorfisme CYP2A6.

    [4]

    Pianezza et al mempublikasikan hasil studi analisis hubungan antara defek varian CYP2A6 dan perubahan kebiasaan merokok.

    [16] Mereka

    menyimpulkan bahwa perokok dengan defek pada CYP2A6 merokok dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan subjek yang wild type, dan carrier defek CYP2A6, serta perokok dengan genotip homozigot mutan ini cenderung tidak menjadi ketergantungan rokok. Hal ini kemungkinan karena pada orang dengan defek gen ini, nikotin dimetabolisme menjadi kotinin lebih lambat dibandingkan subjek wild type. Defisiensi parsial dari kerja enzim, menghasilkan efek farmakologi nikotin yang bertahan lebih lama di dalam tubuh.

    4 Namun, dengan menggunakan

    metode genotyping PCR yang sama, Oscarson et al tidak berhasil menemukan korelasi antara defek polimorfisme gen CYP2A6 dan perubahan kebiasaan merokok.

    4,5 Oleh

    karena itu, dampak dari defek CYP2A6 pada kebiasaan merokok manusia masih kontroversi. Hubungan antara kebiasaan merokok dengan defek pada gen CYP2A6 ini masih harus diteliti lebih lanjut pada penelitian selanjutnya, dengan membandingkan semua alel varian CYP2A6, terutama kedua alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3. Paschke et al mengungkapkan, untuk mengetahui hubungan tersebut tidak bisa dinilai hanya dari nikotin/kotinin plasma darah atau rasio kotinin/nikotin saja sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian oleh Rao et al, Nakajima et al dan Nakajima et al.

    [17],[18],[19] Kotinin akan dimetabolisme

    kembali menjadi kotinin glukoronida, kotinin N-oxide, norkotinin, trans-3-hidroksikotinin dan glukoronida, sehingga semua hasil metabolit nikotin harus diukur.

    [4],[20] Lagipula, proses

    metabolisme nikotin bervariasi antara satu orang dengan orang lain dan rasio nikotin/kotinin pun dipengaruhi oleh enzim-enzim lain selain CYP2A6.

    [20]

    Penelitian mengenai hubungan defek gen CYP2A6 terhadap kadar nikotin dan kebiasaan merokok yang dilakukan oleh Apinan et al, Yamanaka et al, Kamataki et al, Rao et al menyimpulkan adanya hubungan antara

  • 11

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    Gambar 3. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim DdeI. M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim).

    A. Etnis Melayu Dan Tionghoa, B. Etnis Arab, C. Etnis India.

    dua hal tersebut, namun belum ada yang meneliti hubungannya. Secara berurutan dari kiri ke kanan, K-: kontrol negatif, Me: sampel etnis Melayu, T: sampel etnis Tionghoa, M: marker, A:

    sampel etnis Arab,dan I: sampel etnis India.

    Gambar 1. Hasil PCR dari Partisipan Penelitian dengan Defek pada Alel CYP2A6*2 dan

    CYP2A6*3.[17],[20],[21],[22],[23]

    B A

    C D

    A

    Gambar 2. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim XcmI. M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim).

    A. Etnis Melayu, B. Etnis Tionghoa, C. Etnis Arab, D. Etnis India.

  • 12

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    Ket: arsiran abu-abu menunjukkan perbandingan nilai frekuensi alel yang diteliti peneliti di berbagai etnis

    Gambar 4. Mekanisme Metabolisme Nikotin di Hati[21]

    Tabel 2. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Alel Varian CYP2A6*2 dan

    CYP2A6*3 (N=69)

    Tabel 3. Distribusi Frekuensi Alel Gen CYP2A6 Varian CYP2A6*2 Dan CYP2A6*3

    (N=69)

    Melayu Tionghoa Arab India

    n % n % n % n %

    CYP2A6*1 (wt) 18 100 23 100 18 100 10 100

    CYP2A6*2 (v1) 0 0 0 0 0 0 0 0

    CYP2A6*3 (v2) 0 0 0 0 0 0 0 0

    Tabel 4.Frekuensi Distribusi Alel Gen CYP2A6 pada Berbagai Populasi14

    Alel Peneliti Afrika-

    Amerika Kaukasi

    a Cina

    Jepang Korea Kanada Srilanka Thailand

    CYP2A6*1B 13,0 33,5 51,3

    42,5 37,1 55,0 31,5 39,7

    CYP2A6*1X2 100 0 0,7 0,4 0 0,2 0

    CYP2A6*2 0 1,1 2,2 0 0 0 0

    CYP2A6*3 0 0 0 0 0 0

    CYP2A6*4 1,9 1,2 7,6 20,4 11,0 1,0 9,6 7,8

    CYP2A6*5 0 0,1 0,5 0 0,5 0,5

    CYP2A6*6 0 0 0 0,2 0 0

    CYP2A6*7 0 0,3 3,1 6,5 3,6 0

    CYP2A6*8 0 0,1 3,6 2,2 1,4 0

    CYP2A6*9 7,1 7,1 15,7

    21,3 22,3 15,5

    CYP2A6*10 0 0 0,4 1,1 0,5 0

    CYP2A6*11 0 0,6 0,7

    CYP2A6*12 0,4 2,0 0 0,8 0,5

    CYP2A6*13 0 1,5

    CYP2A6*14 3,6 0

    CYP2A6*15 0 1,5

    CYP2A6*16 3,6 0

    CYP2A6*17 9,4 0 0 0

    Genotip CYP2A6 Formula Melayu Tionghoa Arab India

    n(%) n(%) n(%) n(%)

    CYP2A6*1/*1 q2 18(100) 23(100) 18(100) 10(100)

    CYP2A6*1/*2 2qr 0 0 0 0

    CYP2A6*1/*3 2qs 0 0 0 0

    CYP2A6*2/*2 r2 0 0 0 0

    CYP2A6*2/*3 2rs 0 0 0 0

    CYP2A6*3/*3 s2 0 0 0 0

  • 13

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    Tabel 5. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok

    Kebiasaan merokok

    Total Tidak merokok Perokok ringan Perokok berat

    n(%) n(%) n(%) n(%)

    CYP2A6*1/*1 55(79,7) 6(8,7) 8(11,6) 69(100)

    CYP2A6*1/*2 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    CYP2A6*1/*3 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    CYP2A6*2/*2 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    CYP2A6*2/*3 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    CYP2A6*3/*3 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    Jumlah 55(79,7) 6(8,7) 8(11,6) 69(100)

    Tabel 6. Distribusi Frekuensi Alel CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok

    Kebiasaan merokok

    Total Tidak merokok

    Perokok ringan Perokok berat

    n(%) n(%) n(%) n(%)

    CYP2A6*1 (wt) 55(79,71) 6(8,7) 8(11,59) 69(100)

    CYP2A6*2 (v1) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    CYP2A6*3 (v3) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0)

    Jumlah 55(79,71) 6(8,7) 8(11,59) 69(100)

    4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan Tidak ditemukan mutasi genotip maupun alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6 pada partisipan penelitian etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India penduduk Kota Palembang. Saran untuk penelitian ini antara lain Dengan ditemukannya pita tidak spesifik pada beberapa sampel, perlu dilakukan identifikasi kebermaknaannya melalui DNA sekuensing. Penelitian juga dapat dikembangkan ke arah identifikasi fenotip terkait metabolisme gen CYP2A6, sebagai biomarker keberhasilan terapi obat-obatan yang dimetabolisme melalui enzim CYP2A6, seperti: nikotin, koumarin, 7-Etoksikoumarin, NNK, dan senyawa lainnya. Lebih jauh dapat dikembangkan penelitian mengenai korelasinya terhadap resiko adiksi rokok dan pengaruhnya terhadap kerentanan terkena kanker paru. DAFTAR PUSTAKA 1. Meyer UA.2000. Drugs In Special

    Patient Groups: Clinical Importance Of Genomics In Drug Effects. In: Carruthers GS, Hoffmann BB, Melmon KL, Nierenberg DW, eds. New York: McGrawHill, p 1179205.

    2. Ingelman-Sundberg M, Sim SC, Gomez A, dan Rodriguez-Antona C. 2007. Influence Of Cytochrome P450 Enzymes Polymorphisms On Drug Therapies: Pharmacogenetics, Pharmacoepigenetic And Clinical Aspects. Pharmacol Ther; 116: 496-526.

    3. Maksum Radji. 2005. Pendekatan Farmakogenomik dalam Penemuan Obat Baru. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II; p1-11.

    4. Paschke et al. 2001. Comparison Of Cytochrome P450 2A6 Polymorphism Frequencies In Caucasians And African-American Using A New One-Step PCR-RFLP Genotyping Method. Toxicology 168: 259-268.

    5. Oscarson M. 2001. Genetic Polymorphism In The Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) Gene: Implication For Interindividual Differences In Nicotine Metabolism (Mini Review). Drug Metab Dispos. 29: 91-95.

    6. Crespi CL, Penman BW, Leakey JA, et al. 1990. Human Cytochrome P450IIA3: Cdna Sequence, Role Of The Enzyme In The Metabolic Activation Of Promutagens, Comparison To Nitrosamine Activation By Human Cytochrome

  • 14

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    P450IIE1. Carcinogenesis; 11: 1293300.

    7. Yamazaki H, Inui Y, Yun CH, Guengerich FP, Shimada T. 1992. Cytochrome P450 2E1 And 2A6 Enzymes As Major Catalysts For Metabolic Activation Of N-Nitrosodialkylamines And Tobacco-Related Nitrosamines In Human Liver Microsomes. Carcinogenesis; 13: 178994.

    8. Fernandez-Salguero P, Hoffman SMG, Cholerton S, et al. 1995. A Genetic Polymorphism In Coumarin 7-Hydroxilation: Sequence Of Human CYP2A Genes And Identification Of Variant CYP2A6 Alleles. Am J Hum Genet. 57: 651-660.

    9. Hadidi H, Zahlsen K, Idle JR, et al. 1997. A Single Amino Acid Substitution (Leu160His) In Cytochrome P450 CYP2A6 Causes Switching From 7-Hydroxylation To 3-Hydroxylation Of Coumarin. Food Chem Toxicol. 35: 903-907.

    10. Saleh, Muhammad Irsan. 2009. Hubungan Mutasi Gen Voltage Dependent Anion Channel Isoform 3 (VDAC3) dan Ekspresi Protein VDAC3 pada Sperma Pasien Infertil Astenozoospermia. Disertasi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

    11. Muliaty D., Irawan Y., Rianto S., dan Septalia I. 2010. CYP2A6 gene polymorphisms impact to nicotine metabolism. Medical Journal Indonesia.

    12. Nakajima M. dan Yokoi T. 2005. Novel Human CYP2A6 Alleles Confound Gene Deletion Analysis. FEBS Lett; 569: 75-81.

    13. Bourian M., Gullsten H., Legrum W. 2000. Genetic Polymorphism of CYP2A6 in the German Population. Toxicology 144; p129-137.

    14. Hukkanen J, Jacob P III, Benowitz NL. 2005. Metabolism And Disposition Kinetics Of Nicotine. Pharmacol Rev; 57:79 115.

    15. Hadi, Abdurrahman. 2013. Identifikasi Polimorfisme Gen CYP2A6 pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Skripsi Fakultas Kedokteran

    Universitas Sriwijaya. Tidak dipublikasikan.

    16. Pianezza, M. L., Sellers, E. M., Tyndale, R. F., 1998. Nicotine Metabolism Defect Reduces Smoking. Nature 393, p750.

    17. Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M., Bodin L., Zeman, M., Sellers, E. M., Tyndale, R. F., 2000. Duplications And Defects In The CYP2A6 Gene: Identification, Genotyping And In Vivo Effect On Smoking. Mol. Pharmacol. 58, p747-55.

    18. Nakajima, M., Yamagashi, S., Yamamoto, H., Yamamoto, T., Kuroiwa, Y., Yokoi, T. 2000. Deficient Cotinine Formation From Nicotine Is Attributable To The Whole Deletion Of The CYP2A6 Gene In Humans. Clin. Pharmacol. Ther. 67, p57-69.

    19. Nakajima, M., Kwon, J-T, Tanaka, N., Zenta T., Yamamoto, Y., Yamamoto H., et al. 2001. Relationship Between Interindividual Differences In Nicotine Metabolism And CYP2A6 Genetic Polymorphism In Humans. Clin. Pharmacol. Ther. 68, 72-78.

    20. Benowitz NL, Jacob P III. 1994. Metabolism of Nicotine to Cotinine Studied by A Dual Stable Isotope Method. Clin Pharmacol Ther; 56:483 93.

    21. Yamanaka, Hiroyuki., Nakajima, Miki., Nishimura, Kiyoko., Yoshida, Ryoko., et al. 2004. Metabolic Profile On Nicotine In Subjects Whose CYP2A6 Gene Is Deleted. European Journal of Pharmaceutical Sciences 22; p419-425.

    22. Apinan, Roongnapa., Tassaneeyakul, Wichittra., Mahavorasirikul, W., Satarug, S., Kajanawart, S. et al. 2009. The Influence of CYP2A6 Polymorphisms and Cadmium on Nicotine Metabolism in Thai Population. Env. Toxicology and Pharmacology 28, p420-24.

    23. Kamataki, Tetsuya., Fujieda, Masaki., Kiyotani, Kazuma., Iwano, Shunsuke., Kunitoh, Hideo. 2005. Genetic Polymorphism of CYP2A6 as One of the Potential Determinants of Tobacco-related Cancer Risk. Biochemical and

  • 15

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

    Biophysical Research Communication 228; p306-10.

  • 16

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    Penelitian

    ABSTRAK

    Pendahuluan: Insidens hipertensi meningkat signifikan pada pasien PGK. Tekanan darah yang tinggi mempercepat progresi PGK sehingga kontrol hipertensi merupakan hal yang penting dalam manajemen PGK. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui pola terapi hipertensi, korelasi stage PGK dengan kontrol hipertensi, karakteristik hipertensi yang tidak terkontrol dan prevalensi proteinuria pada pasien PGK. Metode: Penelitian observasional ini menggunakan 90 sampel pasien PGK non dialisis (26,7% stage III, 33,3% stage IV, 40% stage V) yang telah mendapatkan terapi hipertensi minimal selama 1 bulan. Penggunaan obat antihipertensi pada sampel adalah CCB(77,8%), diuretic(38,8%), ACEI(13,3%), BB(18,8%) , spironolactone(3,3%), and ARB(36,6%). Pada pasien dengan proteinuria, CCB digunakan oleh 78% pasien, sedangkan RAAS blocker digunakan pada 52% pasien. Hasil: Secara keseluruhan, 37,8% pasien berhasil mencapai tekanan darah

  • 17

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    proteinuria increases in patient with DM(240,6 mg/d) compared to non DM (47,1 mg/d) (p=0,006). Keyword: CKD stages, Hypertension 1. PENDAHULUAN

    PGK (Penyakit Ginjal Kronik) adalah (1) kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dengan ketidaknormalan fungsional atau struktral dengan atau tanpa penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus), atau (2) penurunan LFG

  • 18

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    (Calcium Channel Blocker), golongan terbanyak yang digunakan pada semua stage dan tingkat ekskresi protein urin. Disusul kemudian oleh golongan ARB (Angiotensin II Receptor Blocker) dan diuretik dengan persentase yang hampir sama tetapi golongan ARB cenderung digunakan pada stage III, dan pengunaannya menurun seiring pertambahan stage PGK. Di sisi lain, diuretik lebih banyak digunakan pada stage yang lebih tinggi, 52,8% pada stage V. Penggunaan ACEI (Angiotensin Converting Enzyme) Inhibitor) sebagai RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) blocker tergantikan dengan penggunaan ARB yang bekerja pada jalur yang sama. Terapi multipel pada pasien menyebabkan persentase hasil mengindikasikan persentase pemberian golongan obat tertentu pada subjek.

    Gambar 1. Pola terapi farmakologis

    saat observasi pada pasien PGK Stage III, IV, dan V

    Terapi Hipertensi Pasien PGK Dengan Proteinuria

    Penggunaan Obat CCB mendominasi pada berbagai tingkat ekskresi protein. Diuretik digunakan pada 38,9% pasien tanpa proteinuria. Penggunaan ARB merupakan terbanyak kedua setelah CCB. Persentase penggunaan ARB paling besar (53,8%) pada pasien dengan ekskresi protein 30-300 mg/hari.

    Gambar 2. Pola terapi farmakologis

    saat observasi pada pasien PGK dengan berbagai ekskresi protein

    3.2. Korelasi Stage PGK dengan

    Kontrol Hipertensi

    Gambar 3. Kontrol hipertensi

    berdasarkan jumlah golongan obat yang digunakan

    Secara deskriptif, kontrol

    hipertensi menurun dengan semakin banyaknya penggunaan jumlah golongan obat.

    Rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik pasien stage III, 143,8 mmHg dan 75,6 mmHg. Pada stage IV , rata-rata tekanan sistolik menurun sedikit menjadi 139 mmHg dan rata-rata tekanan diastolik meningkat 79,1 mmHg. Sedangkan pada stage V, rata-rata tekanan sistolik dan diastolik

  • 19

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    meningkat, yaitu 151,1 mmHg dan 81 mmHg.

    Tabel 1. Korelasi variabel perancu dengan kontrol hipertensi

    Uji chi square test menunjukkan tidak ada korelasi yang bermakna (p>0,05) antara jumlah golongan obat anti hipertensi, proteinuria, DM, PKV dan kelompok umur dengan kontrol hipertensi sehingga tidak dapat menjadi variabel perancu.

    Gambar 4. Korelasi stage PGK dengan kontrol hipertensi

    Dari 90 sampel pasien PGK ,

    hanya 37,8% yang berhasil menurunkan tekanan darahnya

  • 20

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    (p=0,006) antara DM dengan ekskresi protein urin. 4. PEMBAHASAN

    Pada PGK stage III, IV, dan V PGK dan berbagai ekskresi protein, CCB merupakan obat yang paling banyak digunakan (77,8%). CCB mempunyai efek renoprotektif dengan mendilatasi arteriol aferen sehingga efeknya independen terhadap perubahan tekanan kapiler glomerolus. CCB juga menghambat growth factor, memperlemah entrapment mesangium terhadap makromolekul dan memperlembat efek mitogenik berbagai sitokin.

    [7] Selain itu, CCB tidak

    menyebabkan peningkatan kolestrol, glukosa, TG, kalium, dan serum kreatinin.

    [8]

    Dengan semakin bertambahnya stage PGK, terjadi penurunan penggunaan RAAS blocker, ACEI dan ARB. Keduanya tidak menyebabkan perubahan serum kolestrol, TG (Trigliserida), atau level glukosa plasma.

    [1] ACEI dan ARB juga bersifat

    renoprotektif dengan mengurangi proteinuria dan hipertensi glomerolus.

    [4]

    Hal yang dikhawatirkan dari penggunaannya pada pasien PGK stage IV dan V adalah kecenderungan peningkatan serum kreatinin dan kalium.

    [4] Peningkatan serum kreatinin

    karena ACEI dan ARB mendilatasi arteriol eferen. ACEI dan ARB menghambat produksi aldosteron sehingga meningkatkan serum kalium. Obat-obatan yang bekerja sebagai antagonis aldosteron harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan PGK dengan LFG < 30 ml/min/1.73m

    2

    karena mekanisme adaptif ginjal tidak mampu menjaga homeostasis kalium.

    [5]

    Pada kelompok dengan ekskresi protein >300 mg/hari, penggunaan ACEI dan ARB juga menurun. Hal ini disebabkan karena ARB dan ACEI bekerja paling efektif pada kelompok dengan ekskresi protein 30-300 mg/hari.

    Pada semua stage PGK dan berbagai ekskresi protein, ARB lebih banyak digunakan dari pada ACEI. Hal ini untuk menghindari fenomena ACE escape pada pasien yang menerima ACEI dalam jangka panjang, yaitu, kembalinya level angiotensin II seperti sebelum terapi. Sedangkan, ARB

    secara selektif memblok pengikatan angiotensin II ke reseptor tipe I sehingga tidak menimbulkan efek rebound.

    [4]

    Dengan semakin meningkatnya stage PGK, penggunaan diuretik juga meningkat karena terjadinya retensi cairan.

    [1] Diuretik yang diberikan pada

    pasien penelitian adalah diuretik kuat, furosemid. Tidak ada pasien yang mendapat golongan thiazide saja karena efeknya berkurang pada PGK dengan LGF < 40 mil/min/1,73 m

    2. Selain itu,

    peningkatan dosis thiazide menyebabkan peningkatan efek samping metabolik dan gangguan keseimbangan elektrolit.

    [6]

    Penggunaan beta blocker tidak terlalu berbeda jauh antara stage maupun eksresi protein. Persentase penggunaanya sekitar 16%-23%. Penggunaanya yang terbatas karena beta blocker memberikan efek metabolik yang besar, diantaranya peningkatan level glukosa, TG, resistensi insulin, dan penurunan HDL. Tetapi, golongan obat ini menjadi pilihan pada pasien dengan angina, infark miokard, gagal jantung, takikardi pada saat istirahat, migrain, dan glaukoma.

    [1]

    Walaupun terjadi berbagai perbaikan dalam manajemen hipertensi, hasil penelitian ini menunjukkan kontrol hipertensi pasien PGK masih rendah, yaitu hanya 37,8% yang mencapai target terapi. Studi kontrol hipertensi pada pasien PGK multistage di United States yang hanya 37% berhasil mencapai target terapi

  • 21

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    penyakitnya. Tetapi hasil penelitian konsisten menunjukkan kontrol hipertensi paling buruk pada pasien PGK stage V dibandingkan dengan stage III dan stage IV.

    Rendahnya kontrol hipertensi pada stage V menunjukkan semakin fungsi ginjal bertambah buruk, tekanan darah semakin sulit dikontrol.

    [12]]

    Kegagalan fungsi ginjal mengekskresi natrium dan air menyebabkan akumulasi volume cairan ekstraseluler. Faktor lain seperti hiperaktivitas RAS, kelebihan ROS (Reactive Oxygen Species) yang memicu vasokonstriksi, penurunan NO (Nitric Oxide) sebagai vasodilator, dan peningkatan aktivitas simpatis berkonstribusi menyebabkan hipertensi pada PGK.

    [13]

    Kontrol hipertensi PGK menurun dengan semakin banyaknya jumlah obat yang digunakan. Hasil ini tidak dapat memberikan rekomendasi pada penatalaksanaan PGK karena penelitian ini tidak mengumpulkan tekanan darah awal sebelum diterapi dan tidak mengikuti pasien secara kontinu.

    Pada pasien PGK dengan hipertensi yang tidak terkontrol, terutama disebabkan karena tekanan darah sistolik yang tinggi Hal ini sesuai dengan penelitian Control of Hypertension in Adults With Chronic Kidney Disease in United States yang mengungkapkan kegagalan pencapaian target terapi dikarenakan susahnya mengendalikan tekanan sistolik. Target terapi yang digunakan adalah 130/80 mmHg. Sebanyak 59 % pasien mempunyai tekanan darah >130 mmHg dan diastolik 80 mmHg , dan hanya 7% yang mempunyai tekanan diastolik > 80 mmHg, sementara tekanan sistoliknya terkontrol. Padahal tingginya tekanan sistolik adalah penentu progresivitas PGK.

    [9]

    5. KESIMPULAN

    Pada keseluruhan sampel, obat yang diberikan adalah CCB 77,(8%), diuretik (38,8%), ARB (36,6%), BB (18,8%), ACEI (13,3%), dan spironolakton (3,3%). Walaupun terjadi berbagai perbaikan penatalaksanaan terapi, hipertensi yang tidak terkontrol masih tinggi pada pasien PGK. Hasil menunjukkan hanya 41,7% stage III, 53,3% stage IV, dan 22,2% stage V

    yang berhasil menurunkan tek anan darah 30 mg/hari. DAFTAR PUSTAKA 1. KDOQI . 2004. Clinical Practice

    Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents in Chronic Kidney Disease . [Cited 2014 Januari 29 ]. Avaliable from : http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines%5Fbp./

    2. Tedla, Brar, R. Browne, and C. Brown. 2011. Hypertension in Chronic KidneyDisease: Navigating the Evidence. Int J Hypertens. [Cited 29 Mei 2013]. Available from: : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21747971.

    3. CDC. 2014. National Chronic Kidney Disease Fact Sheet. [Cited 5 April 2014]. Available from: : http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/factsheets/kidney.htm

    4. Utsumi, Kouichi. Ken-ichiro Katsura , Yasuhiko lino & Yasuo Katayama. 2012. Blood Pressure Control In Patient with Chronic Kidney Disease. J Nippon Med Sch [Cited 20 September 2014] Available from: :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22687353

    5. Desai, Akshay. 2008. Hyperkalemia Associated With Inhibitors of the Renin-Angiotensin-Aldosterone System Balancing Risk and Benefit. [Cited 19 Mei 2013] Available from: http://circ.ahajournals.org doi: 10.1161/circulationaha.108.807917.

    6. Ernst, Michael E. and Joel A. Gordon.u. 2010. Diuretic therapy: key aspects in hypertension and renal disease. J Nephrol . [Cited 16 Februari 2014]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20677164.

    7. Herlitz, Hans Herlitz, et al. 2001. The effects of an ACE inhibitor and a calcium antagonist on the progression of renal disease: the Nephros Study. Nephrol Dial

  • 22

    JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

    Transplant. [Cited 17 Januari 2014] Available from: : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11682661.

    8. Drug Information Reference. 2003 . Calcium Channel Blocker. [Cited 5 September p2014] Available from: : : http://dpic.org/sites/default/files/pdf/DIR_CCBs.pdf.

    9. Peralta, Carmen A. et al. 2005 . Control of Hypertension in Adults With Chronic Kidney Disease in the United States. Hypertension . [Cited 22 Septembe r 2014]. Available from: : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15851626.

    10. Altun, Gltekin Sleymanlar, et al. 2012. Prevalence, Awareness, Treatment and Control of Hypertension in Adults with Chronic Kidney Disease in Turkey: Results from the CREDIT Study. Kidney Blood Press Res. [Cited 16 September 2014]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22832670 .

    11. ZHENG Ying,et al. 2013. Prevalence, Awareness, and Treatment Rates in Chronic Kidney Disease Patients with Hypertension in China (PATRIOTIC) Collaborative Group. Chin Med J. [Cited 11 September 2014]. Available from: : . http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23786938 .

    12. Lewis, Julia. 2010. Blood Pressure Control in Chronic Kidney Disease: Is Less Really More?.JASN . [Cited 8 September 2014]. Available from: : http://jasn.asnjournals.org/content/21/7/1086.full.

    13. Morgado, Elsa and Pedro Leo Neves .2012. Hypertension and Chronic Kidney Disease: Cause and Consequence Therapeutic Considerations, Antihypertensive Drugs. [Cited 5 Mei 2013] Available from: http://www.intechopen.com/books/antihypertensive-drugs/hypertension-in-chronic-kidney-disease-cause-and-consequence-therapeutic-considerations-.

  • 23

    JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

    Penelitian

    ABSTRAK

    Pendahuluan: Kanker payudara merupakan penyebab kematian wanita nomor dua di dunia setelah kanker paru-paru. Insidens kanker payudara di Indonesia diperkirakan 11-12 kasus baru per 100.000 penduduk berisiko pertahun; dengan kenyataan bahwa l.ebih dari 50% kasus sudah berada dalam stadium lanjut. Kemampuan angiogenesis sangat penting bagi pertumbuhan dan metastasis tumor. Salah satu faktor proangiogenis yang sudah cukup dikenal adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), terletak pada kromosom 6p21.3, yang berikatan dengan reseptornya pada sel endothelial pembuluh darah sehingga teradi promosi proliferasi sel, migrasi dan invasi ke dalam tumor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode cross sectional. Penelitian ini dilakukan Laboratorium Mikrobiologi dan Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK UNSRI) pada bulan Juli hingga Desember 2011. Sampel diteliti dengan teknik PCR dan pemotongan enzim NlaIII dengan teknik RFLP Hasil: Jumlah subjek dalam penelitian ini 25 orang. Rerata umur pada kelompok kasus dan kontrol adalah masing-masing 46,92 15,08 tahun. Distribusi genotip TT, CT dan CC pada kasus masing-masing 0 (0%), 9 (36%) dan 16 (64%). Distribusi frekuensi Alel T sebesar 18% , sementara alel C sebesar 82%. Simpulan: Tidak ditemukan polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Kata kunci: polimorfisme, gen VEGF 936 C/T, kanker payudara, angiogenesis, genotip, alel

    ABSTRACT Introduction: Breast cancer is the number two cause of death among women in the world after lung cancer. Incidence of breast cancer in Indonesia is estimated at 11-12 new cases per 100,000 population at risk per year; with the fact that more than 50% of cases already in an advanced stage. The ability of angiogenesis is essential for tumor growth and metastasis. One factor that has been well known proangiogenis is vascular endothelial growth factor (VEGF), is located on chromosome 6p21.3, which binds to receptors on endothelial cells of blood vessels so that promotion of cell proliferation, migration and invasion into the tumor begun. The aim of this study is to identify polymorphisms of VEGF 936 C/T gene in RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Method: This was a descriptive study with cross sectional method. The research was conducted in Biomolecular Engineering Laboratory of Microbiology Faculty of Medicine, University of Sriwijaya (FK UNSRI) in July until Desember 2011. The samples studied by PCR and cut with NlaIII enzymes by RFLP technique.

    IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN VEGF936C/T PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA DI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

    Fajriani Kurnia Rosdi

    1, Surya Wijaya

    1, Muhammad Irsan Saleh

    2, Chariril

    Anwar3, Ika Kartika Putri

    4

    1Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas

    Sriwijaya,Palembang 2Staff Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas

    Sriwijaya, Palembang 3Staff Departemen Parasitologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas

    Sriwijaya, Palembang 4Staff Departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Muhammad Hoesin,

    Palembang

  • 24

    JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

    Results: The number of subjects in this study were 25 people. The mean of patients age were respectively 46.92 15.08 years. The distribution of genotypes TT, CT and CC was respectively 0 (0%), 9 (36%) and 16 (64%). The distribution of allele T and C was respectively 18% and 82%. Conclusion: VEGF gene polymorphism was not found 936 C/T in patients with breast cancer in RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Key words: polymorphisms, VEGF 936 C/T gene, breast cancer, angiogenesis, genotype, allele. 1. PENDAHULUAN

    Kanker payudara merupakan masalah global dan isu kesehatan internasional yang penting, baik di negara maju maupun negara berkembang.

    [1] Kanker payudara

    merupakan kanker solid yang mempunyai insidens tertinggi pertama pada wanita di negara barat/maju dan nomor dua setelah kanker serviks di negara berkembang.

    [1],[2] Kanker

    payudara merupakan 29% dari seluruh kanker yang didiagnosis setiap tahun.

    [1]

    Kanker payudara ini merupakan kanker yang paling banyak diderita wanita Indonesia dibandingkan dengan kanker serviks.

    [3] Di Indonesia, karena

    tidak tersedianya registrasi berbasis populasi, angka kejadian kanker payudara dibuat berdasarkan registrasi berbasis patologi dengan insidens relatif 11,5%, artinya terdapat 11-12 kasus baru per 100.000 penduduk berisiko. Selain jumlah yang banyak, lebih dari 50% kasus ditemukan berada dalam stadium lanjut.

    [2]

    Secara keseluruhan, kanker payudara merupakan penyebab kematian nomor dua dari seluruh kanker setelah kanker paru.

    [1] Pada tahun 2007,

    terdapat 202.964 wanita yang menderita kanker payudara dan 40.598 diantaranya meninggal dunia di Amerika Serikat.

    [4]

    Salah satu faktor pertumbuhan kanker payudara tergantung pada kemampuan angiogenesis, yaitu kemampuan sel tumor untuk membentuk suatu pembuluh darah baru yang berasal dari endothelium vaskularisasi yang telah ada.

    [5]

    Salah satu faktor angiogenik yang paling penting dan poten adalah Vascular Endothelial Growth Factor

    (VEGF) yang berikatan dengan reseptornya tyrosin kinase pada sel endothelial pembuluh darah.

    6

    Berdasarkan studi in vitro dan in vivo,

    peningkatan ekspresi gen VEGF berhubungan dengan pertumbuhan tumor dan metastasis, sedangkan inhibisi sinyal VEGF mengakibatkan penekanan pada angiogenesis dan pertumbuhan tumor.

    [6],[7]

    Salah satu penyebab peningkatan ekspresi gen VEGF adalah suatu polimorfisme, suatu istilah yang digunakan untuk menandakan bentuk yang beda dari struktur dasar yang sama. Polimorfisme pada gen VEGF 936 C/T pada daerah 3V untranslated region memiliki kadar VEGF plasma yang lebih rendah pada orang sehat.

    [8],[9]

    Polimorfisme suatu gen pada genom manusia sering disebabkan oleh adanya mutasi pada basa nukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut.

    [6]

    Untuk menguji hipotesis tersebut, The Shanghai Breast Cancer Study, telah melakukan penelitian case-control terhadap 1084 orang normal dan 1.193 penderita kanker payudara pada periode 1996-2000. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa polimorfisme gen VEGF 936 C/T tidak berhubungan terhadap risiko untuk berkembangnya kanker payudara, hanya berhubungan terhadap prognosis penderita kanker payudara.

    [6]

    Pada penelitian lainnya, Krippl, et al (2002) melaporkan polimorfisme gen VEGF 936 C/T menurunkan risiko untuk terkena kanker payudara berdasarkan case-control study pada populasi wanita Austria terhadap 500 penderita kanker payudara dan 500 individu sehat.

    [9]

    Wehrschuetz, et al (2009) melaporkan polimorfisme gen VEGF 936 C/T berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya kanker payudara berdasarkan pemeriksaan mammografi dengan menggunakan BI-RADS Score terhadap 54 wanita yang dicurigai terkena kanker payudara dan 52 wanita normal.

    [7]

  • 25

    JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

    Sejumlah penelitian yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak sama dan bertolak belakang. Sejauh ini, belum ada penelitian tentang identifikasi dan hubungan polimorfisme gen VEGF terhadap kanker payudara di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian identifikasi dan hubungan polimorfisme gen VEGF pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Penelitian hubungan varian-varian gen VEGF pada penderita kanker payudara menjanjikan sarana baru bagi klinisi untuk mengevaluasi kerentanannya sebagai faktor predisposisi genetik dan menjadi salah satu acuan dalam menentukan modalitas terapi antiangiogenik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola distribusi polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, mengetahui karakteristik penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, dan mengetahui distribusi alotif dan genotif gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini adalah deskriptif observasional pada gen VEGF 936 C/T dengan metodae PCR-RFLP dan pendekatan studi cross sectional. Observasional deskriptif dipilih karena penelitian ini hanya mengamati dan memaparkan hasil dari pengamatan terhadap gen VEGF 936 C/T

    `

    2.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di

    Laboratorium Mikrobiologi dan Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK UNSRI) Palembang