8
72 Warta BPK JULI 2011 SOSOK Jepretan Rianto Warnai BPK Dunia dokumentasi sudah digeluti oleh Riyanto sejak lama. Berbagai pengalaman mengabadikan aktivitas ketua BPK menjadi bagian penting dalam hidupnya. Mengapa sampai dia dipanggil oleh J.B Sumarlin? S ETELAH lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Jurusan Listrik pada tahun 1978, Ri- anto muda bekerja di sebuah perusahaan produksi film. Sebagai asisten kameramen dan asisten pe- nata cahaya. Di sinilah dia mulai mengenal dunia dokumentasi. Sekitar setahun kemudian, dia mencoba peruntungan dengan mendaftar ke BPK. Lembaga negara ini membuka pendaftaran pegawai baru bagi lulusan sekolah lanjutan tingkat atas kejuruan teknik. Pada

Jepretan Rianto S Warnai BPK file72 JUlI 2011 Warta BPK SOSOK Jepretan Rianto Warnai BPK Dunia dokumentasi sudah digeluti oleh Riyanto sejak lama. Berbagai pengalaman mengabadikan

  • Upload
    vothuan

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

72 Warta BPKJUlI 2011

SOSOK

Jepretan Rianto Warnai BPK

Dunia dokumentasi sudah digeluti oleh Riyanto sejak lama. Berbagai

pengalaman mengabadikan aktivitas ketua BPK menjadi bagian penting

dalam hidupnya. Mengapa sampai dia dipanggil oleh J.B Sumarlin?

Setelah lulus StM (Sekolah teknik Menengah) Jurusan listrik pada tahun 1978, Ri-anto muda bekerja di sebuah

perusahaan produksi film. Sebagai asisten kameramen dan asisten pe-nata cahaya. Di sinilah dia mulai mengenal dunia dokumentasi.

Sekitar setahun kemudian, dia mencoba peruntungan dengan mendaftar ke BPK. Lembaga negara ini membuka pendaftaran pegawai baru bagi lulusan sekolah lanjutan tingkat atas kejuruan teknik. Pada

72 - 73 sosok.indd 72 8/26/2011 12:31:43 PM

73Warta BPK JUlI 2011

1980, dia diterima sebagai pegawai honorer. Ditempatkan di Biro Umum. Setahun kemudian, diangkat calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang akhirnya status resmi pegawai neg-eri sipil pun diraihnya.

Pada saat bertugas di Biro Umum, pria kelahiran 7 Februari 1957 ini mengikuti berbagai pendidikan, di-antaranya pendidikan verifikatur, penilik dan pemeriksa muda. Pen-didikan tersebut masih diikutinya setelah ia tidak lagi di Biro Umum.

“Pendidikan itu hanya untuk tenaga teknis saja, tetapi saya tidak berminat untuk ke bidang pemer-iksanya, walau saya ditawari untuk menjadi pemeriksa. Saya cinta den-gan profesi saya sebagai fotografer. Jadi, profesi saya tetap sebagai kam-eramen dan fotografer,” ucap Rianto.

Pada 1983, dia ditempatkan di Biro Humas. Nah, dari sinilah dunia dokumentasi tak lagi bisa menjauh. Setelah menjalani pendidikan sin-ematografi dan fotografi, pekerjaan-nya sehari-hari mendokumentasikan kegiatan BPK dengan kamera video dan kamera foto. Namun, secara be-rangsur-angsur, penggunaan kamera video dikurangi, kamera foto lebih dominan sampai saat ini.

Sayangnya, pekerjaan yang disu-kainya itu tak berjalan mulus. Pada masa kepemimpinan M. Jusuf, ia terpinggirkan, karena M.Jusuf mem-bawa juru dokumentasi sendiri dari Departemen Pertahanan dan Ke-amanan, institusi yang dipimpin se-belumnya. Ia hanya sebagai asisten saja.

Dengan situasi dimana tidak di-percaya penuh sebagai juru doku-mentasi, akhirnya Rianto memutus-kan mencari pekerjaan sambilan. Dengan sertifikat sinematografi yang didapat selama pendidikan di tVRI, dia diterima di sebuah production house, sebagai pekerja paruh waktu.

Setelah M. Jusuf digantikan J.B. Sumarlin pada 1993, apa yang di-harapkannya terwujud. Dia menjadi juru dokumentasi utama di BPK. Kemana-mana, selalu mengikuti keg-

iatan B.J. Sumarlin, dan kegiatan BPK lainnya.

Meski begitu, Rianto pernah merasa terkejut ketika suatu saat dipanggil menghadap Sumarlin. Di satu sisi, panggilan ini sebagai ben-tuk kepercayaan penuh dari Ketua BPK, di sisi lain, dirinya bertanya-tanya, ada apa sampai diminta untuk menghadap pimpinan BPK. Ternyata panggilan itu terkait dengan ketida-khadirannya dalam mendokumenta-sikan kegiatan Ketua BPK di Istana Negara. Alhasil, setelah kejadian itu, dia tidak pernah lagi absen dari ke-giatan dokumentasi di BPK pada era J.B. Sumarlin. Tidak hanya kegiatan-kegiatan BPK, dia juga diminta untuk mendokumentasikan acara perni-kahan tiga anak J.B. Sumarlin. Suatu kepercayaan yang membuat bangga dirinya.

Mendapat TeguranPekerjaannya sebagai fotografer

kepercayaan pimpinan ternyata kembali terusik. Ketika J.B. Sumarlin digantikan Satrio Budihardjo Joedo-no. Pasalnya, BPK tak banyak menga-dakan kegiatan. Kalaupun ada hanya lebih banyak pada kegiatan kehu-masan dan kegiatan pimpinan BPK. Kondisi ini, kurang lebih sama saat masa kepemimpinan M. Jusuf. Hanya berbeda cerita.

Satrio Budihardjo Joedono dike-nal sebagai orang yang tak banyak neko-neko. Tidak terlalu tertarik dengan dokumentasi dan tak ban-yak kegiatan seremonial. Ini berim-bas pada pekerjaan utama Rianto. Dia lebih banyak ‘menganggur’. Oleh karena itu, diapun kembali mencari kerja sambilan. Kembali, pria asli Sukabumi ini diterima sebagai tena-ga lepas di sebuah production house. Mengisi hari-hari dengan kegiatan plus menambah penghasilan.

Rupanya, pekerjaan sampingan ini membuat waktu kantornya ter-sita. Dia seolah-olah lupa bahwa dirinya pegawai negeri. Namun, me-mang tak banyak yang bisa dilaku-kan di BPK. Rianto pun sibuk dengan

pekerjaan sambilannya di production house. Absen dari kantor sering di-lakukan.

Akhirnya, ia mendapat teguran. Bahkan, dipaksa harus memilih satu pekerjaan: tetap di BPK atau keluar dari BPK. Tak mau kehilangan status pegawai negeri, ia akhirnya memilih untuk tetap bekerja di BPK. Tempat kerja menyambinya pun ditinggal-kan.

“Saya keluar dari kerja sampin-gan, karena mendapat teguran. Se-lama 58 hari nggak masuk. Saya disu-ruh menentukan pilihan, mau di BPK atau tidak. Setelah berpikir, saya me-milih untuk tetap di BPK. Akhirnya pekerjaan di luar, saya tinggalkan,” kenang Rianto.

Masa ‘menganggur’ tak lama ke-mudian berlalu. Anwar Nasution ma-suk menggantikan Satrio Budihardjo Joedono. Pada masa Anwar Nasution, ia kembali dipercaya penuh menjadi fotografer BPK. Bahkan, Sekjen BPK pada saat itu, Dharma Bahkti, untuk pertama kali, membelikannya ka-mera DSLR.

Walau banyak berkutat dengan kamera SlR manual, tetapi dia tak canggung dengan kamera DSLR. Sebab, Rianto banyak belajar pada rekan sejawatnya, sesama fotografer instansi pemerintah yang lebih dulu memiliki dan menggunakan DSLR.

Selain menjadi fotografer keper-cayaan pimpinan, dia juga kerap dim-inta untuk mendokumentasikan keg-iatan-kegiatan di luar kegiatan dinas. tak jauh beda dengan kondisi pada masa kepemimpinan J.B. Sumarlin.

Kepercayaan BPK kepadanya un-tuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan terus berlangsung hingga masa kepemimpinan hadi Poernomo saat ini. Mungkin, pada masa Hadi Poernomo inilah Rianto terakhir mengabdi sebagai fotografer BPK. Pasalnya, tahun depan dia memasuki masa pensiun. Namun, setelah pen-siun pun, dunia fotografi tak akan ditinggalkannya. “Saya jalan terus, nggak mau pensiun,” canda Rianto.

and

72 - 73 sosok.indd 73 8/26/2011 12:31:44 PM

Resensi Buku

Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) merupakan peristiwa terkelam yang per-nah terjadi sejak Indonesia

merdeka. Pembunuhan tingkat tinggi, sampai pemusnahan masyarakat yang terkait dengan PkI. Ujungnya, Presiden Soekarno dilengserkan.

namun, bagi Pangkostrad Mayjen Soeharto, ini bagai blessing in disguised. Beberapa atasannya, seperti Letjen. ahmad Yani termasuk korban gerakan itu, sementara Jenderal a.H. nasution tak punya kekuasaan lagi. rekan yang sama kedudukannya, malah diberan-gus. Sementara, Soeharto terus naik menjadi jenderal dalam tempo sangat singkat.

Mulai menapak tangga kekuasaan setelah Presiden Soekarno memberi-kan kekuasaan penuh menjaga kondisi sosial, politik, dan keamanan melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang kemudian menjadi kontroversial itu. akhirnya, Sang Jenderal naik tahta menggantikan Presiden Soekarno pada 1967 melalui Sidang Istimewa MPrS. Sekitar setahun kemudian, dia resmi diangkat sebagai Presiden.

Begitu cepatnya karier Jenderal Soeharto sampai memegang tampuk pemerintahan, tak lain karena adanya peristiwa G 30 S tersebut. Dari sini pula, terjadi pembersihan massal ter-hadap masyarakat yang terkait dengan PkI, partai yang dianggap pada waktu itu menjadi dalang G 30 S. Tak heran, jika setelah lengser, banyak orang yang menduga bahwa Soeharto ada di balik peristiwa itu. atau, setidaknya, terkait langsung dengan peristiwa tersebut.

Pada masa akhir kepemimpinan-nya, menjadi masa kelabu bagi per-

jalanan hidupnya. Berbanding terbalik ketika tahun 1965-an. Demonstrasi be-sar-besaran pada periode 1997-1998 menuntut reformasi total. kemudian hal inilah yang membuat dia lengser keprabon.

Tuntutan reformasi total pun bercabang. Presiden Indonesia yang berkuasa paling lama ini juga dituntut karena praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (kkn) yang sudah berurat akar sejak kepemimpinannya, yang juga melibatkan keluarganya sendiri.

Belum lagi masalah pelanggaran Hak asasi Manusia (HaM).

Jika sebelumnya ia diibaratkan from zero to hero, pasca reformasi dia malah menjadi from hero to zero. So-sok yang pernah berjuang di samping Panglima Besar Soedirman di awal kemerdekaan, Panglima Trikora pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, pada saat pembebasan Irian Barat dari tan-

Sisi Humanis The Smiling General

74 Warta BPKJULI 2011

74 - 75 resensi buku.indd 74 8/26/2011 12:33:02 PM

gan kolonial Belanda, kini dilupakan karena kekuasaan lama yang melena-kan.

Seperti halnya manusia umumnya, Soeharto tentu memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi terdapat hal yang buruk. Di sisi lain, menampil-kan sisi yang baik. Sungguh elok jika sisi baik yang lebih dimunculkan. Wa-lau tetap membumi, tanpa maksud mendewa-dewakan.

Ini pula yang coba digambarkan buku berjudul: Pak Harto, The Untold Story. Buku yang muncul atas insiatif anak pertama Soeharto, Siti Hardiyanti rukmana ini, menampilkan sosok pen-guasa yang humanis yang sudah nam-pak di sampul depan buku!

Jika anda melihat sampul depan buku ini, sisi humanis seorang Soehar-to sudah mulai ditonjolkan. Seorang penguasa yang tengah duduk berselon-jor di atas tanah. Punggungnya me-nyandar pada pagar kayu. Menerawa-ng jauh, sambil menikmati cerutu yang terselip di antara jari tengah dan telun-juk tangan kirinya. Foto semacam itu, akan banyak ditemui dalam isi buku.

Buku yang disusun oleh lima penu-lis ini menampilkan serpihan-serpihan cerita pendek dari 113 narasumber yang pernah secara langsung maupun tak langsung, berhubungan dengan Soeharto. Terangkum membentuk satu melodrama tebal yang tak pernah dic-eritakan sebelumnya.

Isinya memunculkan citra Soeharto seorang pemimpin negara yang luar biasa, ramah, bersahabat dan tetua di kawasan asean seperti yang diakui mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir bin Mohamad, mantan Perdana Menteri Singapura Lee kuan Yew, Sultan Haji Hassanal Bolkiah, dan mantan Presiden Filipina Fidel Valdez ramos.

atau, ayah yang mencintai negara dan keluarga, serta selalu menanam-kan nilai-nilai kebajikan kepada anak-anaknya, seperti yang diungkapkan Siti Hediati Hariyadi, Siti Hutami endang adiningsih, dan putri sulung, Siti Har-diyanti rukmana dalam kata pengan-tarnya.

ada cerita menarik yang diutara-kan Sjafrie Sjamsoeddin, pada 1995, Soeharto berkunjung ke Bosnia Her-zegovina, negara pecahan Yugosla-via yang tengah dilanda peperangan. Waktu itu, Sjafrie menjabat komandan Grup a Pasukan Pengamanan Presiden.

Sesuai standar keamanan interna-sional, sebelum menuju Sarajevo, ibu kota Bosnia, semua harus memakai rompi dan helm antipeluru. Sjafrie yang secara tidak langsung menawar-

kan rompi dan helm ternyata ditolak secara halus oleh Soeharto. Dia tetap mengenakan jas dan kopiah. Walau situasi peperangan mencekam, Sang Presiden tetap tenang.

Waktu itu, dengan memberanikan diri, Sjafrie menanyakan kenapa be-liau mendatangi Bosnia padahal situasi sangat berbahaya bagi keselamatan-nya. Pak Harto menjawab,” Ya, kita kan tidak punya uang. kita ini pemimpin negara-negara non-Blok, tetapi tidak punya uang. ada negara anggota kita susah (Bosnia), kita tidak bisa mem-bantu dengan uang, ya kita datang saja. kita tengok.”

Lalu, Sjafrie memberanikan untuk bertanya kembali, ”Tetapi ini kan risik-onya besar.”

Dijawablah pertanyaan itu,” Ya, itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat.”

ketenangan memang menjadi cer-minan dalam diri Soeharto. Dia selalu menghadapi sesuatu walau dalam kon-disi apapun dengan tenang. Ini diakui Sjafrie Sjamsoeddin sendiri yang per-nah bertugas menjadi pengawalnya.

Banyak orang di lingkar ring I ke-presidenan mengaku bahwa Soeharto tidak satu kalipun beliau marah. kalau ada yang ia tidak setuju, beliau tak per-nah mengatakan “Tidak”, tetapi kalau beliau kurang berkenan hanya men-gatakan, “apa perlu?”.

Dia sosok yang lebih banyak terse-nyum dengan penuh ketenangan, wa-lau sebagian yang mengenalnya me-lihat sosok Soeharto sebagai seorang yang pendiam dan serius.

Pada 1969, sekitar tiga tahun Jen-deral Soeharto dilantik sebagai peja-bat Presiden menggantikan Soekarno, seorang orientalis Barat, O.G. roeder mengeluarkan buku setebal 209 hala-man. Buku biografi mini itu, dia beri judul The Smiling General: President Soeharto of Indonesia.

Banyak praktisi keilmuan dan jur-nalis Barat yang concern terhadap kon-disi Indonesia waktu itu melihat Jen-deral Soeharto sebagai sosok petinggi militer yang banyak tersenyum. Senyu-man kerap berkait dengan sisi human-isme. Dan, buku ini mencoba mengurai cerita “Sang Jenderal” yang tak pernah diungkap sebelumnya. Buku ini akan sedikit mengusik hati bagi pembaca yang melihat Sang Presiden dari citra negatifnya. Selamat membaca! and

Tiga tahun setelah Jenderal Soeharto dipilih MPrS sebagai Presiden rI kedua, karya O.G. roeder beredar. The Smiling General, begitu orientalis asing menjuluki Presiden kedua Indonesia: Soeharto.

Judul : Pak Harto, The Untold StoriesPenulis : anita Dewi ambarsari, dkkPenerbit : PT. Gramedia Pustaka UtamaTahun Terbit : 2011Jumlah hlm :603 hlm

75Warta BPK JULI 2011

74 - 75 resensi buku.indd 75 8/26/2011 12:33:02 PM

76 Warta BPKJULI 2011

SERBA-SERBI

PUncak Gunung Gede belum lagi nampak. namun, rasa panik dirasakan oleh selu-ruh tim korsapala (komuni-

tas Pemeriksa Pencinta alam) BPk. Betapa tidak, dalam pendakian yang perdana ini, tiba-tiba seorang pendaki pemula menghilang. Semua pun panik. Tentu yang paling merasakan kepani-kan itu tak lain panitia pendakian.

Hilang di gunung bukan masalah enteng. apalagi jika yang menghilang itu adalah seorang yang baru pertama kali naik gunung. Yang belum mengerti medan yang dihadapi serta bagaimana survive menghadapi kondisi sulit.

Untunglah kondisi mengkhawat-

irkan itu tak berlangsung lama. Si pendaki pemula berhasil ditemukan. Menurut Sulung Setyo amboro, Pem-bina korsapala, kondisi tersebut ter-jadi selain karena jumlah peserta yang cukup banyak yakni mencapai 30-an orang, juga banyak di antaranya adalah pendaki pemula yang belum paham benar tentang ‘aturan-aturan’ yang ha-rus ditaati dalam pendakian. Misalnya, tidak meninggalkan kelompoknya.

“Saat itu kami semua panik,” ung-kap Sulung, yang juga kepala Sub Bag Penilaian dan Pengembangan kom-petensi Biro SDM, sambil menun-juk Enda, pendaki pemula yang hi-lang itu. Sore itu kebetulan Endah

Mendaki Gunung bukan Sekadar Refreshing

Siapa sangka hobi mendaki gunung di lingkungan BPK begitu semarak. Terbukti sudah tiga gunung dilahap oleh anggotanya sejak berdiri Mei tahun ini. Bahkan, esensi bagi pengembangan kepegawaian lebih riil daripada outbound.

mendampingi Sulung saat wawancara dengan Warta BPK.

kejadian tersebut membuat pi-haknya sadar betapa pentingnya pem-bekalan bagi pendaki pemula. “Ini pengalaman berharga bagi semua. ke depannya kami harus lebih berhati-hati lagi,” tuturnya.

Berpegang pada pengalaman itu, lanjut Sulung, pengurus korsa-pala memutuskan menyelenggarakan Diklat Pendakian, khususnya untuk para pendaki pemula.

Dia menegaskan mendaki itu bu-kan sekadar minat atau hobi akan tetapi harus memiliki pengetahuan dasar tentang pendakian. Materi diklat diberikan para pendaki senior dari Stapala (komunitas pencinta alam Sekolah Tinggi administrasi negara). Stapala dipilih, selain komu-nitas tersebut sudah lama berdiri dan memiliki banyak pendaki senior, juga

Tim Korsapala (Komunitas Pemeriksa Pencinta Alam) BPK

76 - 78 serba serbi.indd 76 8/26/2011 12:36:04 PM

77Warta BPK JULI 2011

karena banyak pengawai BPk yang alumni STan.

Di bagian lain, dari pengalaman pendakian perdana itu, membuat me-reka melakukan pembatasan jumlah peserta pada pendakian selanjutnya.

“ketika pendakian pertama, tim pendamping kami sempat kaget ketika mengetahui rombongan berjumlah 30-an orang. Menurut mereka terlalu banyak. apalagi banyak di antaranya adalah pendaki pemula. Selanjutnya, kami memberi batasan pada jumlah,” jelas Sulung yang aktif mendaki sema-sa di SMa.

Hal lain yang dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian, lanjutnya, me-nyertakan tim pendamping dalam setiap acara pendakian, juga seorang guide setempat. Tim pendamping ini adalah pendaki-pendaki senior dari komunitas pencinta alam di luar kor-sapala, seperti dari Wanadri (Perhim-punan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung), Stapala, dan lainnya.

“kami ingin safety dan bukan asal-asalan agar mendatangkan manfaat bagi semua. kadang karena terlalu ex-cited menjadi tidak realistis, tidak ada persiapan. kita tidak mau itu. apalagi ini komunitas baru,” tuturnya.

Awal Berdiri Sulung menceritakan awal berdiri-

nya korsapala bermula dari sejumlah staf di Biro SDM BPk yang memiliki kegemaran yang sama yakni, mendaki gunung.

“Dari ngobrol-ngobrol seputar hobi, muncul ide naik gunung bersama. Ide itu kemudian berkembang sehingga tercetuslah keinginan membangun ko-munitas pencinta alam.”

akhirnya, semua sepakat untuk menyebarluaskan ajakan untuk men-daki bersama ini kepada pegawai BPk yang hobi naik gunung.

“Lewat pamphlet, dari mulut ke mulut, berita ini menyebar di kalan-gan pegawai. Responsnya luar biasa, ternyata banyak pegawai BPk gemar naik gunung. Malah di antara mereka ada yang tergabung dengan klub pen-cinta alam di luar BPk.”

ada juga, lanjutnya, pendaki yang sudah lama ‘gantung carier’ karena sibuk bekerja. Belum lagi respons dari mereka yang belum pernah naik gu-nung, tetapi memiliki keinginan ikut serta. nah, minat inilah yang kita tam-pung.

“kita buat rencana pendakian per-dana, persiapan-persiapannya, dan lain-lain. Termasuk soal urunan biaya,” tuturnya.

Dia menambahkan ternyata jumlah peserta bisa lebih banyak jika saja in-formasi tersebut menyebar luas. “Soal-nya, ada yang protes tidak diajak pada-hal mereka suka naik gunung. Mereka baru tahu ada pendakian setelah acara berlangsung. Jadi ternyata banyak rekan-rekan yang juga suka mendaki,” tutur Sulung.

Di puncak Gunung Gede itu dan dihiasi hujan rintik-rintik komunitas Pendaki Pemeriksa BPk RI atau dising-kat korsapala diproklamirkan. Bersa-maan dengan itu para peserta dilantik sebagai anggota.

“Setelah pelantikan pertama, se-lanjutnya untuk menjadi anggota kor-sapala, tidak cukup hanya mendaftar. Minimal telah dua kali mengikuti acara pendakian yang diselenggarakan kor-sapala, baru resmi menjadi anggota,”

katanya.Sebagai komunitas baru, korsa-

pala tergolong produktif. Betapa tidak, di tengah load pekerjaan yang tinggi, mereka berusaha meluangkan waktu untuk mengikuti acara pendakian yang nyaris diadakan sebulan sekali. Setidak nya sejak berdiri Mei tahun ini, sudah tiga kali melakukan pendakian yakni Gunung Gede, Gunung Merba-bu, dan Gunung Papandayan. Bahkan setelah Lebaran, mereka sudah memi-liki rencana untuk mendaki Gunung Semeru.

“Saya heran, di tengah kesibukan yang tinggi, kami bisa menyisihkan waktu untuk kegiatan ini. Untuk uku-ran instansi, kami tergolong produk-tif juga. Bayangkan, berangkat Jumat malam, Sabtu-Minggu mulai penda-kian, lalu pulang, Senin sudah bekerja kembali. Tapi karena hobi, maka enjoy saja menjalaninya,” kata Sulung yang gemar kegiatan outing.

Pengembangan Pegawaikegiatan pendakian, nyatanya bu-

kan sekadar ajang menyalurkan hobi dan refreshing. namun ada manfaat lain yang bisa ditarik dari aktivitas tersebut yakni dalam hal pengemban-gan pegawai. kegiatan ini bukan hanya

Sulung Setyo Amboro.

76 - 78 serba serbi.indd 77 8/26/2011 12:36:07 PM

78 Warta BPKJULI 2011

SERBA-SERBI

latihan    fisik  tapi  juga  mental  bagi peserta.

“Saya ingin ini menjadi agenda keg-iatan pengembangan pegawai. Selama ini hanya outbound, pendakian juga bisa sebagai kegiatan alternatif. Bah-kan, ini lebih real dibandingkan den-gan outbound. kita sedang berusaha kegiatan ini menjadi kegiatan official seperti di Indosat yang memiliki ko-munitas seperti ini dan digarap khu-sus,” papar Sulung.

Harapannya, suatu saat aktivitas korsapala bisa masuk dalam elemen kegiatan pengembangan pegawai yang selama ini kerap diisi dengan outbound. “Dibandingkan dengan outbound, mendaki gunung lebih riil. Bukan hanya masalah ketahanan fisik semata, akan tetapi melatih mental, membangun motivasi. Di sana juga ada pembelajaran team work serta prob-

lem solving,” paparnya. Itu semua, jika dikaitkan dengan

pembinaan SDM, memiliki benang merah yakni etos kerja, achievement orientation. Menurut dia, semangat menyelesaikan tugas terbangun den-gan aktivitas itu.

Demikian juga masalah team work. artinya, melakui kegiatan pendakian gunung banyak hal yang bisa dicapai dalam kaitannya dengan pembinaan SDM.

ke depannya, lanjut Sulung, kegia-tan korsapala akan dikembangkan bu-kan hanya naik gunung. Juga aktivitas pelestarian lingkungan lainnya seperti konservasi pantai dan caving.

“kami berpikir ajang ini bukan sekadar refreshing tapi juga untuk pengembangan diri. kami juga ingin terlibat pada sesuatu yang sifatnya so-cial responsibility, seperti konservasi

lingkungan,” tambahnya. Sulung juga menyinggung tentang

rencana kegiatan selanjutnya yakni mendaki Gunung Semeru. “Semeru cukup jauh. Butuh waktu sekitar 4 hari. Jadi kami harus melihat dan men-sinkronkan dengan tanggal merah atau cuti bersama,” ucapnya.

Sejauh ini, tegasnya, tidak ada ken-dala yang berarti berkaitan dengan ak-tivitas mendaki gunung. Satu-satunya masalah adalah soal waktu.

“Waktu adalah masalah utama kami. kami semua pekerja dan terikat dengan aturan. contohnya, sewaktu rencana pendakian Gunung Gede dan Merbabu. ada teman yang sudah mendaftar, tetapi pada hari H terpaksa tidak berangkat karena mendadak mendapat tugas ke luar kota,” ujarnya.

dr

InI adalah pendakian pertama Enda nurhenti, staf Humas BPk. Tak heran kalau dia begitu ber-semangat ketika memulai penda-kian perdananya. Dia lupa kalau berjalan di gunung berbeda den-gan jalan biasa. Menyimpang se-dikit saja dari jalur yang ada bisa membawa bencana alias tersesat di belantara. Itulah yang dialami si mungil Enda.

“awalnya aku berlima berlari-lari ingin cepat mencapai puncak. Di bawah masih banyak teman lainnya. Lalu temanku meminta aku jalan lebih dulu, dia akan menunggu teman lainnya. Jadi aku mendaki terus, ketika lihat ke-belakang, ternyata semua teman tidak ada. aku tersesat,” ungkap Enda mengenang peristiwa be-berapa bulan lalu.

Sebagai pendaki pemula, su-

dah tentu Enda panik luar biasa. Tersesat di gunung bukan perkara main-main. Tidak ada siapa pun yang bisa diminta pertolongan.

“aku nangis karena takut dan bingung,” ucap Enda sambil ter-tawa malu.

Untunglah tak berapa lama, ada pendaki lain dari UI yang keb-etulan melintas di jalur tempat Enda tersesat. kepada mereka, Enda dengan berlinang air mata mengatakan dirinya tersesat. Setelah mendapat penjelasan itu, para pendaki yang baik hati itu mengantar Enda kembali pada rombongannya.

Bagi Enda, pengalaman per-dana yang mengerikan itu ti-dak membuatnya trauma dan kapok untuk kembali mendaki. Sebaliknya, dia makin berse-mangat dan kerap ikut dalam

Pengalaman Tersesat di Gunung Gede‘Aku Nangis Ketakutan’

setiap acara pendakian korsapala. “aku tidak kapok. namun pengala-man tersesat di gunung itu merupakan pengalaman berharga. kehati-hatian adalah faktor utama dan penting seka-li,” tuturnya. dr

76 - 78 serba serbi.indd 78 8/26/2011 12:36:07 PM

79 - inikah indionesiaku.indd 79 8/26/2011 12:36:32 PM